Lorong Kematian 1
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian Bagian 1
BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI
WIRO SABLENG Episode ke 113 :
LORONG KEMATIAN
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
mailto:22111122@yahoo.com
BASTIAN TITO 113. LORONG KEMATIAN
1 KEINDAHAN dan ketenangan Telaga Sarangan di kaki selatan Gunung Lawu sejak
beberapa waktu belakangan ini dilanda oleh kegegeran menakutkan. Tujuh penduduk
desa sekitar lembah dicekam rasa cemas amat sangat. Jangankan malam hari, pada
siang hari sekalipun jarang penduduk berani keluar rumah. Pagi hari mereka
tergesa-gesa pergi ke ladang atau sawah, menggembalakan memberi makan atau
memandikan lemak lalu cepat-cepat kembali pulang. Mengunci diri dalam rumah,
menambah palang kayu besar pada pintu dan jendela.
Pasar yang biasanya ramai hanya digelar sebentar saja lalu sepi kembali.
Penduduk lebih banyak berada di rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga
sambit berjaga-jaga. Terutama dirumah dimana ada orang perempuan yang tengah
hamil tujuh bulan ke atas. Malam hari setiap desa diselimuti kesunyian. Penduduk
tenggelam dalam rasa takut. Tak ada yang berani keluar rumah. Apakah yang lelah
terjadi " Apa penyebab hingga penduduk dilanda rasa takut demikian rupa"
Peristiwanya dimulai sekitar empat purnama lalu. Malam hari itu rumah Ki Mantep
Kepala Desa Plaosan kelihatan ramai. Mereka tengah mempersiapkan hajatan
selamatan tujuh bulan kehamilan pertama Nyi Upit Suwarni yang akan dirayakan
secara besar-besaran besok harinya. Maklum Nyi Upit adalah anak tunggal, puleri
satu-satunya Ki Mantep Jalawardu yang bersuamikan I Ketut Sudarsana. seorang
pcngusaha dan juru ukirberasal dari Klungkung, Bali berarti bayi yang dikandung
Nyi Upit akan merupakan cucu pertama Kepala Desa Plaosan itu. Tidak mengherankan
selamatan tujuh bulan ini dilangsungkan secara meriah. Besok malam, setelah
upacara adat pada siang harinya, akan digelar pertunjukan wayang kulit semalam
suntuk. Untuk itu sebuah panggung besar telah di bangun di halaman depan rumah
Kepala Desa. Malam itu semakin larut hari semakin ceria kelihatan suasana di rumah Ki Mantep
Jalawardu. Di dapur orang memasak berbagai macam makanan dan kue-kue. Di ruang
tengah ibu-ibu muda sahabat Nyi Upit sambil sesekali berseloroh, sibuk menata
sebuah meja besar, menghiasi berbagai juadah dan buah-buahan yang diletakkan
dalam beberapa piring besar mengelilingi sebuah tumpeng raksasa.
Di dalam kamar setengah berbaring di atas tempet tidur, Nyi Upit mengobrol
dengan beberapa orang gadis. Gadis-gadis itu adalah sahabatnya sedesa, tapi
beberapa diantaranya berasal dari desa lain. Mereka mengobrol segala macam hal.
Terkadang mengganggu Nyi Upit dengan cerita-cerita lucu tapi nakal, sesekali
terdengar mereka tertawa riuh.
Di ruang depan Ki Mantep dan sang menantu I Ketut Sudarsana, ditemani beberapa
keluarga dekat serta tetangga, kelihatan asyik bercakap-cakap. Kopi hangat
dihidangkan tiada henti. Berbagai juadah disuguhkan. Sekotak cerutu besar yang
dibeli dari awal sebuah kapal asing yang berlabuh di pantai utara ikut menambah
maraknya suasana percakapan. . .
Lewat tengah malam ketika udara terasa tambah dingin dan beberapa orang sejawat
mulai minta diri, orang-orang lelaki yang tengah asyik bercakap-cakap di langkan
depan rumah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian seorang
penunggang kuda dengan cepat melintas di halaman rumah. Wajahnya tidak jelas
karena halaman depan agak gelap dan kuda hitam yang ditungganginya melesat cepat
sekali. Yang sempat terlihat ialah si penunggang mengenakan jubah putih serta kerudung
berbentuk pocong putih. Aneh!
"Siapa menunggang kuda malam-malam buta begini " Berpakaian aneh, lewat begitu
saja seperti setan". I Ketut Sudarsana keluarkan ucapan sambil berdiri dari
kursi memperhatikan penunggang kuda yang segera saja menghilang dalam kegelapan
Sesaat selelah penunggang kuda itu lewat dan lenyap, sebuah benda melayang di
udara melewati bagian depan rumah, menyipratkan cairan kental. Benda yang
melayang ini terus melesat ke bagian dalam rumah. Beberapa orang ibu muda yang
tengah menghias buah-buah serta juadah di meja besar terpekik kaget dan
melangkah mundur dengan muka pucat. Ki Mantep Jalawardu orang yang pertama
sekali melompat dari kursi, lari ke bagian dalam rumah diikuti menantunya I
Ketut Sudarsana serta beberapa anggota keluarga dekat dan kenalan.
"Ada apa"!" lanya Kepala Desa Plaosan itu sambil memandang ke arah orang
perempuan yang bergerombol merapat di salah satu sudut ruangan, unjukkan wajah
ketakutan. Seorang diantara mereka dengan tangan gemetar dan muka pucat menunjuk
kearah tumpangan di atas meja besar.
Tepat di bagian atas tumpengan yang terletak di meja. kelihatan menancap sebuah
bendera kecil berbentuk segitiga. Bendera ini diikatkan pada potongan kecil
bambu sepanjang setengah jengkal. Ujung bambu inilah yang menancap di tumpengan.
Warna merah bendera aneh Itu ternyata adalah cairan kental yang masih menetes-
netes. Dari dalam kamar beberapa orang gadis berlarian keluar. Nyi Upjt mengikuti.
Mereka mendengar ribut-ribut diluar, suara orang menjerit. Mereka ingin tahu apa
yang terjadi orang-orang yang bekerja di dapur lak ketinggalan ikut berlarian ke
ruangan tengah rumah.
"Ayah, ada apa ?" Bertanya Nyi Upit.
"Tidak ada apa-apa. Kalian semua masuk kembali ke dalam kamar..." jawab Ki
Mantep. Tapi Nyi Upit dan teman-temannya tetap saja tegak di depan pintu kamar,
Ki Mantep dekati meja besar. Tubuhnya dibungkukkan, kepala didekatkan ke
tumpengan, memperhatfkan bendera merah. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan
meraba bendera segi tiga. Terasa cairan kental menempel di ujung-ujung jari.
Ki Mantep tarik tangannya, memperhatikan cairan merah yang melekat di ujung
jari-jari tangan sambil jari-jari itu digesekkan. Tengkuk Kepala Desa ini
mendadak dingin.
"Darah.." Ucap Ki Mantep dengan suara bergetar. Kepala Desa ini tersurut dua
langkah. I Ketut Sudarsana beranikan diri maju mendekati meja. Dengan tangan
kirinya dicabutnya bendera segitiga yang menancap di tumpengan. Bendera merah
basah diperhatikan dengan mata tak berkesip. Hidungnya mencium bau amis.
"Darah, memang darah." kata I Ketut Sudarsana. Seperti ayah mertuanya, suara
sang menantu juga bergetar
"Apa artinya ini" Siapa yang melempar bendera darah ini"!"
"Pasti orang berkuda berjubah putih tadi." Ucap Ki Mantep Jalawardu.
"Mengapa dia melakukan ini" Melempar bendera segitiga basah dengan darah.
Apa maksudnya?" Tanya I Ketut Sudarsana sambil memandang pada ayah mertuanya
lalu pada orang-orang di sekeliliingnya. Tak ada yang menjawab karena memang
mereka tidak tahu apa artinya semua ini. Namun Ki Mantep Jalawardu sebagai orang
tua yang telah berpengalaman dan menjadi Kepala Desa Plaosan lebih dari dua
puluh tahun diam-diam merasa ada sesuatu yang aneh di balik apa yang barusan
terjadi. Dan di belakang keanehan Ini dia mencium sesuatu yang berbahaya.
Ki Mantep kembali menyuruh putrinya dan semua anak gadis masuk ke dalam kamar.
Orang dapur dimintanya kembali bekerja di dapur. Ibu-ibu muda yang tadi sibuk
menghias piring-piring besar berisi berbagai hidangan, juadah dan buah disuruh
meneruskan pekerjaan. Kepala Desa ini kemudian mengajak semua orang lelaki
kembali ke langkan rumah.
"Orang melempar bendera darah ke dalam rumah, Sulit aku menduga apa maksudnya,"
Ki Mantep berkata.
"Di masa muda, aku banyak membasmi orang-orang jahat sekitar kaki Gunung Lawu.
Mungkin saja salah satu dari mereka, kawan atau turunan mereka ingin membalas
dendam, sengaja mencari kesempatan pada saat kita mengadakan pesta selamatan
tujuh bulan puteriku. Kita perlu berjaga-jaga. Aku akan mengatur para perangkat
desa untuk melakukan perondaan sampai pagi. Besok siang penjagaan harus
dilanjutkan. Orang yang punya niat jahat pasti akan mengintai kelengahan kita. Aku tak ingin
perayaan selamatan tujuh bulan puteriku sampat terganggu."
"Ki Mantep" seorang lelaki berusia enam puluh tahun yang merupakan tetangga dan
sahabat Kepala Desa sejak bertahun-tahun, bernama Surablandong berkata, "Malam
ini urusan keamanan biar serahkan pada saya. Saya akan mengatur anak-anak. Ki
Mantep dan yang lain-lain tetap di sini saja. Istirahat dan tidur kalau
perlu..." Kepala Desa Plaosan terdiam sesaat, akhirnya menganggukkan kepala. Siapa tidak
kenal dengan Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah
punya nama harum di sekitar perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur mulai dari
Sragen di sebelah utara sampai Ponorogo di kawasan selatan, mulai dari Surokerto
di ujung barat sampai Madiun di sebelah timur. Selama bertahun-tahun dirinya
ditakuti para penjahat dan orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Sejak
empat tahun lalu setelah istrinya meninggal, dalam duka cita yang sangat
mendalam. Surablandong mengundurkan diri dari dunia persilatan. Jabatan Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih diserahkan pada muridnya yang paling pandai dan
paling dipercaya, bernama Tambak Juwana.
Sambil memegang punggung sahabatnya yang tiga tahun lebih muda itu Ki Mantep
mengajak Surablandong melangkah ke pintu pagar.
"Ki Blandong, aku sengaja membawamu ke sini agar yang lain tidak mendengar apa
yang akan aku katakan" kata Ki Mantep Jalawardu dengan suara perlahan.
"Saya sudah merasa kalau Ki Mantep hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak tahu
mau mengatakan apa".
"Aku punya firasat buruk..."
"Jangan berkata begitu Ki Mantep." Potong Surablandong.
"Padamu aku tidak pernah berpura-pura. Kita sama-sama menyaksikan apa yang
terjadi malam ini, Mulai dengan munculnya orang menunggang kuda hitam. Berjubah
putih mengenakan penutup kepala seperti pocong. Lalu bendera segitiga yang
dibasahi darah. Sengaja dilemparkan ke dalam rumah menancap di Tumpeng besar.
Semua itu bagiku adalah suatu pertanda akan terjadi satu malapetaka..."
"Ki Mantep. siapa orang yang berani berbuat macam-macam terhadap dirimu dan
keluargamu. Apa lagi saya ada di sini. Bukan saya bicara sombong akan saya tekuk
leher orang yang berani mengacau".
"Kekacauan barusan telah terjadi. Dan kita tidak sempat berbuat apa-apa. Orang
sanggup melemparkan bendera darah. Lalu kabur begitu saja..."
Diam-diam Surablandong merasa malu mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Ki Mantep, sudahlah. Jangan dipikirkan apa yang telah terjadi. Masuklah, kau
perlu istirahat dan tidur barang beberapa kejap. Soal keamanan rumahmu dan
keluargamu menjadi tanggung jawab saya. Saya akan mengatur anak-anak untuk
melakukan penjagaan."
"Terima kasih Ki Blandong. Aku akan masuk.Tapi aku tak akan tidur. Kata Ki
Mantep Jalawardu pula sambil menepuk bahu sahabatnya lalu berbalik.
"Memang dalam cemas melanda seperti itu siapa orangnya yang bisa tidur,"
Baru satu langkah sang Kepala Desa itu berbalik ke arah rumah, sekonyong-konyong
ada derap kaki kuda dari ujung halaman sebelah kanan. Ki Mantep cepat balikkan
tubuhnya kembali. I Ketut Sudarsana dan beberapa orang lelaki yang ada di
langkan rumah besar menghambur lari ke halaman. Saat itu Surablandong telah
melompati pagar terus melesat ke atas panggung besar.
Dari arah kegelapan di sebelah depan kanan panggung melesat seekor kuda hitam.
Surablandong siap untuk menggebuk siapapun yang jadi penunggangnya. Tapi jago
tua ini jadi melengak kaget ketika melihat kuda hitam itu berlari kencang tanpa
penunggang sama sekali!
Saat itu Ki Mantep, I Ketut Sudarsana dan yang lain-lainnya juga sudah melompat
ke atas panggung. Seperti Surablandong, tadinya mereka siap menghadang dan
menyergap penunggang kuda. Namun semua mereka ikut terkesiap melihat kuda tanpa
penunggang itu. Rasa terkesiap dibayangi rasa mengkirik aneh. Selagi semua orang
terheran-heran bercampur kecut begitu rupa, kuda hitam lewat menghambur di depan
panggung. Dan saat itu pula di dalam rumah mendadak terdengar pekik jerit tiada
hentinya. I Ketut Sudarsana tersentak kaget.
Salah satu jeritan itu dikenalinya adalah jeritan isterinya. Lelaki menantu
Kepala Desa Plaosan ini secepal kilat melompat turun dari atas panggung, terus
melesat ke dalam rumah.
Ki Mantep sesaat tampak bingung sebelum menyusul sang menantu. Yang lain-lain
ikut berlarian ke dalam rumah. Hanya Surablandong yang lari ke jurusan lain
yakni ke halaman belakang rumah besar, ke arah kandang kuda.
Di dalam rumah jerit pekik orang-orang perempuan semakin keras. Ketika menantu
dan suaminya berlari mendatangi, isteri Kepala Desa berteriak,
"Pakne, Nyi Upit diculik ! anak kita diculik setan pocong ! "
BASTIAN TITO 2 113. LORONG KEMATIAN
DI DALAM gelap di bawah hitamnya bayangan pohon besar Surablandong mendekam di
atas punggung kuda. Mata dipentang lebar, telinga dipasang tajam. Di dalam rumah
didengarnya suara jerit-pekik tiada henti. Malah kini ada suara orang meratap.
Surablandong maklum ada satu perkara besar lelah terjadi dalam rumah Kepala Desa
sahabatnya itu. Dia tidak bisa menduga apa. Dia tidak bisa membagi perhatian.
Lalu didengarnya suara itu. Suara yang ditunggu-tunggu. Derap kaki-kaki kuda.
Di ujung halaman timur rumah besar Kepala Desa, seorang penunggang kuda
mengenakan jubah dan penutup kepala putih menyerupai pocong muncul dari dalam
kegelapan. Kuda digebrak membelok ke arah depan bangunan panggung, yang berarti
akan melewati pohon besar di balik mana Surablandong menunggu Sekitar lima
tombak kuda dan penunggangnya dari pohon besar, untuk pertama kalinya
Surablandong melihat kalau di sebelah depan si penunggang kuda, di atas
pangkuannya, terbujur melintang sosok seorang perempuan. Surablandong tidak bisa
menduga siapa adanya perempuan itu.
"Jahanam penculik! Manusia atau setan sekalipun kau adanya akan ku pecahkan
kepalamu!" Kertak Surablandong. Dengan gerakan gesit lelaki berusia enam puluh
tahun ini membuat gerakan ringan dan cepat melesat ke alas. Dua tangannya
bergantungan di cabang pohon paling bawah. Ketika penunggang kuda berjubah dan
berlutup kepala putih lewat. Surablandong ayun tubuhnya. Saat itu juga, laksana
seekor burung rajawali Surablandong melesat ke bawah. Tangan kanan menggebuk ke
arah kepala penunggang kuda yang ditutupi kain putih seperti pocong.
"Praakk!"
Surablandong merasa yakin gebukan tangannya yang mengandung daya kekuatan atau
bobot sama kekuatan hantaman batu seberat 100 kati akan menghancurkan kepala
orang. Bahkan dia seolah mendengar suara pecahnya kepala si penculik. Namun jago
tua yang di masa muda telah menggegerkan delapan penjuru angin kawasan
perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur ini kecele. Bukan kepala orang yang
dipecahkannya, malah sebaliknya dirinya yang kena celaka!
Orang di atas kuda lewat dua lobang kecil pada penutup kepala yang menyerupai
pocong rupanya telah melihat bayangan kuda dan sosok Surablandong yang mendekam
di balik pohon besar. Begitu Surablandong melayang ke arahnya sambil gebukkan
tangan kanan orang ini cepat rundukkan kepala sama datar dengan leher kuda.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat tinggi ke samping.
"Dukkk!"
Gerakan tubuh Surablandong yang menukik sambil memukul sesaat tertahan di udara
lalu mencelat dua tombak untuk kemudian jaluh bergedebuk di tanah! Sesaat
Surablandong mengerang menahan sakit. Tangan kirinya ditekapkan ke ulu hatinya
yang barusan kena dihantam tendangan. Dia kerahkan tenaga dalam ke bagian yang
cidera, atur pernafasan lalu bangkit berdiri. Setengah berlari, tanpa perdulikan
rasa sakit pada ulu hatinya. Surablandong menghampiri kudanya, naik ke atas
punggung binatang ini yang kemudian digebrak ke arah lenyapnya penunggang kuda
berpakaian serba putih.
Sambil mengejar Ki Blandong tiada hentinya merutuki diri sendiri. Dia tahu
dirinya telah tua. Tapi ilmu silat dan kepandaiannya tidak pernah berkurang.
Tiga kali dalam satu minggu dia selalu melatih diri. Kini ternyata orang begitu
mudah menghajarnya dengan satu tendangan. Menendang lawan sambil melesat di atas
punggung kuda dan memangku sosok perempuan di atas paha bukanlah satu pekerjaan
mudah. Hal inilah yang agaknya dilupakan Surablandong. Siapapun adanya
penunggang kuda yang kepalanya ditutupi kain putih, dia adalah seorang
berkepandaian tinggi. Dan tingkat kepandaiannya jelas berada di atas kepandaian
Surablandong! Orang yang dikejar menggebrak tunggangannya ke arah barat daya. Surablandong
yakin dalam waktu tidak terlalu lama dia akan berhasil mengejar orang itu.
Berkuda sambil memangku tubuh orang di atas paha bukan pekerjaan mudah dan
memungkinkan seseorang bisa memacu tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Namun
lagi-lagi Surablandong dibuat kecele. Bagaimanapun dia kerahkan kepandaian
memacu kudanya.
Tetap saja antara dia dan orang yang dikejar terpaut sekitar lima lombak Dalam
kesalnya Surablandong gerakkan tangan ke pinggang. Dari balik sabuk kulit besar
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang melilit pinggangnya dia keluarkan dua buah benda berwarna kuning, berbentuk
bola-bola kecil sebesar ibu jari kaki, yang dipenuhi duri-duri lancip. Ketika
dia masih malang melintang dalam rimba persilatan, benda ini merupakan senjata
rahasia sangat menakutkan, dikenal dengan julukan Elmaut Kuning. Belasan lawan
terutama orang-orang jahat menemui ajalnya oleh bola berduri terbuai dari
kuningan beracun ini.
Sejak dia mengundurkan diri dari dunia persilatan meninggalkan Perguruan Silat
Lawu Putih, Surablandong tidak pernah lagi mempergunakan senjata rahasia itu.
Agaknya malam ini tidak ada jalan lain. Dia terpaksa mengeluarkan senjata
tersebut untuk menghentikan sekaligus menghabisi si penculik.
Ketika di depan sana penunggang kuda yang dikejar membuat gerakan membelok ke
kiri. Surablandong melihat inilah kesempatan terbaik untuk menghantam orang.
Secepat kilat dia gerakkan tangan kanannya.
"Wuutt ".
Surablandong lancarkan serangan pertama. Satu dari dua bola kuningan berduri itu
melesat di udara. Inilah kebiasaan dan kecerdikan Surabandong. Dia tidak pernah
melepas senjata rahasia lebih dari satu buah dalam satu ketika serangan. Cara
ini pula yang membuat banyak lawan terpedaya dan menemui ajalnya.
Walau malam gelap namun bola lembaga itu pelihatkan menyala kuning, melayang
laksana batu berpijar yang jatuh dari langit, mencari sasaran di.arah kepala
penunggang kuda hitam. Orang yang diserang rupanya sudah tahu kalau dirinya
hendak dihantam orang dengan satu senjata rahasia. Sambil menyentakkan tali
kekang kuda dan rundukkan kepala, dia membuat gerakan berkelit, bersamaan dengan
ilu tangan kirinya dilambaikan ke samping.
Pada saat orang berusaha menghindari serangan bola kuningan pertama itulah
Surablandong susul dengan serangan kedua. Untuk ke dua kalinya dalam gelapnya
malam terdengar suar menderu disertai melesatnya cahaya kuning yang kali ini
mencari sasaran di pinggang penunggang kuda hitam.
Orang di atas kuda hitam mendengus. Kembali dia lambaikan tangan kirinya,
"Tringg!"
"Tringg!"
Dua kal terdengar suara berdering disertai kerlipan bunga api dalam gelapnya
mafam. Dua bola kuningan berduri yang dilemparkan Surablandong hancur bertaburan di
udara! Kagetnya Surabiandong bukan alang kepalang. Seumur hidup baru sekali ini
serangan bola kuningannya dipukul hancur demikian rupa. Pernah kejadian ada
lawan yang memang mampu mengelakkan bola kuningan pertama, Tapi hampir tidak ada
yang sanggup menyelamatkan diri dari serangan bola kuningan susulan.
Geram penasaran dan marah Surablandong menggebrak kudanya lebih cepat.
Kuda tunggangannya lari seperti dikejar setan namun tetap saja dia tidak mampu
mengejar penunggang kuda didepannya.
Ternyata orang yang dikejar lari ke arah timur Telaga Sarangan. Sel ah u
Surablandong tak jauh dari kawasan itu terdapat sebuah air terjun. Lalu lebih
jauh ke arah utara ada satu bukit batu yang konon menjadi sarang kediaman
berbagai binatang buas mulai dari ular berbisa sampai harimau raksasa.
Di timur telaga entah bagaimana Surnblandong berhasil mendekati orang yang
dikejarnya. Makin dekat, makin dekat dan akhirnya dia dapat mengejar bahkan
mendahului orang itu. Surablandong memutar kudanya, berbalik. Kini dia
menghadang orang yang sejak tadi dikejarnya. Bekas Ketua Perguruan Silat Lawu
Putih ini tidak sadar kalau dia bisa mengejar orang karena orang yang dikejar
memang sengaja memperlambat lari kudanya.
Dua tombak dari hadapan Surablandong penunggang kuda hitam hentikan kudanya. Dua
matanya memandang tajam ke arah Surablandong. Lalu dari bawah penutup kepala
berbentuk pocong putih itu menggema suaranya.
"Surablandong, perjalananmu cukup sampai disini! Kembali ke Plaosan atau kubuat
kau meregang nyawa saat ini juga!" Surablandong tersentak kaget mendengar orang
tahu dan menyebut namanya. Dia coba mengingat-ingat. Tapi tak mampu mengenali
suara itu. Matanya memperhatikan sosok yang menggeletak di atas pangkuan orang. Sosok
seorang perempuan, perutnya tinggi. Astaga! Surablandong terkejut untuk kedua
kalinya. Perempuan di atas pangkuan penunggang kuda hitam itu adalah Nyi Upit! Puteri
Kepala Desa sahabatnya yang tengah hamil tujuh bulan!
BASTIAN TITO 3 113. LORONG KEMATIAN
SURABLANDONG majukan kudanya hingga mulut binatang ini hampir bersentuhan dengan
kepala kuda tunggangan orang di hadapannya. Pandangan orang tua ini seolah ingin
menembus penutup kepala kain putih berbentuk pocong, namun dia hanya bisa
melihat kerlapan cahaya sepasang mata di balik dua lobang kecil kain putih
penutup kepala.
Perempuan lain saja diculik orang dudan cukup membuat Surablandong marah.
Apa lagi yang diculik puteri sahabatnya dan dalam keadaan hamil pula.
"Bangsat penculik!' Bentak Surablandong.
"Beraninya kau menculik puteri Kepala Desa yang sedang hamil! Serahkan Nyi Upit
padaku atau kuhabisi kau saat ini juga!".
Dari balik kain putih penutup kepala berbentuk pocong keluar suara tawa bergelak
"Surablandong, kembalilah ke Plaosan. Anggap kita tidak pernah bertemu di tempat
ini. Anggap kau tidak pernah melihat apa-apa. tidak pernah menghadapi kejadian
ini. Maka kau akan selamat dalam sisa hidupmu!"
Rahang Surablandong menggembung, dia merasa sangat dihina dan direndahkan.
"Manusia atau hantu kurang ajar! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan
siapa!". Kembali dari balik penutup kepaia berbentuk pocong terdengar suara tertawa,
"Siapa tidak kenal Surablandong, tokoh nomor wahid rimba persilatan yang pernah
menjabat Ketua Perguruan Sifat Lawu Putih! Semua kehebatanmu hanya tinggal
kenangan Surablandong. Malah aku melihat Perguruan Silai yang kau tinggalkan
empat tahun silam akan menjadi porak paranda. Pergilah, kembali ke Plaosan !".
"Penculik keparat! Aku tidak akan pergi dari tempat ini sebelum membetot lepas
kain penutup kepafamu mengetahui siapa dirimu!. Dan sebelum kau menyerahkan
padaku puteri Kepala Desa itu!"
Kembali orang bertutup kepala keluarkan tawa bergelak.
"Sura,... Surablandong, Di masa muda ketika kau sedang hebat-hebatnya malang
melintang di rimba persilatan tanah Jawa. Seandainya kita bertemu saat itu, kau
tak bakal berkemampuan menghadapi diriku. Apa lagi saat ini. di usiamu yang
sudah tua badan telah rapuh dan pikiran mulai pikun! Kau ingin membetot lepas
kain penutup kepalaku!
Ha...ha! Jangan berucap terlalu sombong. Jangan berkata apa yang kau tidak mampu
melakukan! Kau ingin membawa puteri Kepala Desa ini! Jangan sekali-kaii
bertindak menjadi pahlawan besar! Karena nyawamu Cuma satu, Surablandong !".
"Mungkin kau punya dua atau tiga nyawa hingga bicara sombong di hadapanku!
Aku mau lihat, berapa banyak nyawa kau punyai!" Surablandong membalas ucapan
orang dengan suara lantang keras, bergetar penuh marah.
"Kau ingin menghitung nyawa yang aku miliki"' Ceh... ceh... ceh!". Kepala yang
ditutupi kain putih berbentuk pocong bergeleng beberapa kali. Mulutnya keluarkan
suara leletan lidah. "Orang muda terkadang berlaku tolol. Tapi banyak orang bisa
memahami dan memaafkan. Namun kalau orang tua bangka seperti mu berlaku tolol
hanya penyesalan yang akan kau bawa ke liang kubur!"
Amarah Surablandong meluap sudah !
"Ujudmu seperiti setan! Biarlah kau kujadikan setan sungguhan!"
Habis berkata begitu Surablandong membedal kudanya ke depan. Begitu bersisian
dengan lawan serta merta dia melesat dari punggung kuda. Sementara tubuhnya
melayang di udara, Surablandong kirim pukulan dengan kedua tangan ke arah muka
orang. Tangan kanan memang sungguhan hendak menghantam kepala lawan, tapi
gerakan tangan kiri hanya tipuan karena bertujuan untuk membetot lepas kain
penutup kepala. Inilah gerakan silat bernama Jurus Menghantam Batang Mencabut
Daun. Penunggang kuda hitam keluarkan suara mendengus lalu membuat gerakan merebahkan
tubuh sebelah atas dan kepalanya ke belakang. Kaki kanan ditendangkan ke perut
kuda tunggangan Surablandong hingga binatang ini meringkik kesakitan dan angkat
dua kaki depannya tinggi-tinggi. Selagi Surablandong berusaha mengimbangi diri
agar tidak terpental dari punggung kuda, tahu-tahu tangan kanan si pocong putih
telah melabrak dada Surablandong dua kali berturut-turut. Tubuh Surablandong
terlipat ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sekali lagi jotosan
keras melanda dada orang tua itu. Tak ampun sosok Surablandong terpental dari
atas kuda. Terbanting menelentang di tanah. Matanya mendelik tapi dia tidak
melihat apa-apa.
Wajah di balik kain penutup kepala menyeringai. Entah kapan dia mengambil dan
entah dari mana diambilnya, orang ini tahu-tahu telah memegang sebuah bendera
kecil berbentuk segitiga terbuat dari sehelai kain putih. Sekali tangannya
digerakkan, bambu kecil lancip yang menjadi ikatan bendera menancap dalam di
leher Surablandong. Darah menyembur. Kain berbentuk segitiga yang tadinya putih
serta merta berubah merah.
Menjadi Bendera Darah' .
Di arah selatan, dalam kegelapan malam kelihaian setengah lusin api obor
bergerak cepat menuju Telaga Sarangan. Sambil perhatikan barisan obor di
kejauhan, orang di alas kuda usap-usap perut hamil perempuan yang terbujur di
atas pangkuannya.
Mulutnya menyeringai. Lalu sekali tali kekang kuda disentakkan, sebelum
rombongan pembawa obor sampai di tepi telaga, bersama tunggangannya orang ini
telah melesat lenyap dalam kegelapan malam.
PEDATARAN tinggi bukit berbatu-batu di utara Telaga Sarangan. Dalam pekat
gelapnya malam kawasan itu kelam menghitam, menampilkan pemandangan angker dalam
kesunyian yang membuat kuduk bisa terasa dingin. Sesekali hembusan angin bertiup
mengeluarkan suara aneh menegakkan bulu roma. Ketika dari arah selatan muncul
satu bayangan putih, bergerak cepat bersama hembusan angin, siapa yang
menyaksikan akan menduga makhluk itu adalah setan yang tengah berkelebat
gentayangan di malam gelap gulita.
Tapt makhluk tersebut, walau berpakaian serba putih, bertutup kepala laksana
pocong hidup, bukanlah setan atau makhluk halus adanya. Dia adalah manusia biasa
yang berdandan seperti setan. Sambil melompat dari satu batu ke batu lain,
berkelebat cepat dalam kegelapan malam, orang ini menggendong sosok perempuan
hamil. Berlari cepat dalam gelapnya malam di kawasan berbatu-batu dengan beban
perempuan hamil dalam gendongan, jelas bukan pekerjaan mudah. Kalau makhluk
seperti pocong hidup itu mampu melakukan, berarti dia memiliki ilmu kepandaian
luar biasa tingginya
Di atas sebuah batu agak datar, orang ini hentikan larinya. Dan balik dua lobang
kecil pada kain putih penutup kepala, sepasang matanya memandang berkeliling.
Dia sudah sering berada dibukit batu ilu, namun pada malam hari segala
sesuatunya kelihatan serba hitam. Dia harus memasang mata mengawasi agar tidak
salah jalan. Akhirnya dia melihat mulut lorong itu. Gelap menghitam dibalik bayang-bayang
sebuah batu besar, sejarak dua puluh tombak di sebelah bawah bukit. Tidak
menunggu lebih lama orang ini segera berkelebat ke arah balu besar di bawah
sana. Dilain kejap sosok putihnya lenyap menghilang masuk ke dalam mulut lorong
batu yang berada di perut bukit.
Adalah aneh, di dalam lorong batu keadaannya remang-remang, tidak segelap di
luar. Kenyataan lain ialah bahwa di dalam perut bukit batu Itu tidak hanya ada
satu lorong tetapi terdapat banyak sekali cabang dan setiap cabang memiliki
cabang-cabang pula.
Orang yang tidak tahu seluk beluk tempat ini bukan saja akan tersesat malah
bisa-bisa tidak mampu lagi mencari jalan keluar.
Sambil lari sepanjang lorong batu yang penuh dengan cabang-cabang itu orang
berpakaian seperti pocong berucap perlahan seperti menghitung-hitung.
"Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh kanan. Lima puluh kiri. Empat
puluh kanan. Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh
kanan. Lima puluh kiri. Empat puluh kanan Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan."
Tepat pada ucapan lima puluh kanan yang terakhir di depan orang yang berlari
sambil menggendong sosok perempuan hamil, terlihat sebuah pintu kayu berwarna
hitam. Pada pertengahan daun pintu menancap sebuah bendera kecil berbentuk segitiga,
berwarna merah basah. Bendera Darah !
Sepuluh langkah akan sampai ke depan pintu hitam yang ditancapi Bendera Darah
tiba-tiba dari kiri kanan pintu dimana terdapat dua buah lorong melompat keluar
dua sosok berpakaian putih dengan kepala ditutup kain putih berbentuk pocong.
Masing-masing mencekal golok. Yang sebelah kanan langsung membentak.
"Siapa"!"
"Wakil Ketua Harap buka pintu hitam" . .
Dua orang di depan pintu cepat-cepat menekuk lutut dan menjura memberi hormat
pada setan pocong yang menggendong perempuan hamil. Lalu salah seorang dari
mereka menekan sebuah tombol rahasia di dinding kiri pintu. Serta merta pintu
hitam terpentang lebar. Sekali melompat manusia pocong yang menyebut diri Wakil
Ketua lenyap ke dalam satu ruangan batu di balik pintu. Pintu hitam tertutup
kembali. Begitu berada dalam ruangan balu di belakang pintu hitam, manusia pocong segera
berkelebat ke ujung ruangan dimana terdapat pintu kedua berwarna biru. Pada
pintu ini juga menancap sebuah bendera segitiga merah dan basah. Ketika
mendekati pintu biru tiba-tiba atap ruangan terbuka. Empat manusia pocong
melayang turun dengan mengeluarkan suara berkesiuran. Golok tergenggam di
tangan. Empat pasang mata di balik lobang-lobang kecil kain putih penulup kepala
yang sebelumnya berkilat beringas begitu melihat dan mengenali orang di
depannya, serta merta menekuk lutut menjura hormat,
"Wakil Ketua, silahkan masuk. Ketua sudah aama menunggu."
Manusia pocong yang barusan bicara menekan sebuah tombol di kiri pintu. Maka
pintu biruu terbuka dengan sendirinya. Begitu manusia pocong yang menggendong
perempuan hamil masuk ke dalam, pintu biru segera menulup.
Ruangan batu dimana manusia pocong itu berada, luas sekali tetapi kosong dan
sunyi. Kekosongan dan kesunyian ini hanya sebentar. Tak selang berapa lama
dinding batu di sebelah kiri bergeser membentuk celah. Dari celah ini keluar
seorang manusia pocong bertubuh tinggi.
Manusia pocong yang menggendong perempuan hamil cepat bungkukkan badan lalu
berkala. "Yang Mulia Ketua, terima salam hormat saya. Saya datang sesuai tugas."
"Wakil Ketua, aku gembira melihat kau berhasil. Baringkan perempuan itu
dilantai. Aku akan menyerahkannya pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu". Manusia pocong
bertubuh tinggi keluarkan ucapan. Suaranya menggema menggetarkan dinding, lantai
dan atap ruangan batu.
Sesuai apa yang diperintahkan sang Wakil Ketua baringkan sosok perempuan hamil
di lantai batu. Orang yang dipanggil dengan sebutan Ketua perhatikan sesaat
wajah perempuan hamil itu lalu bertanya.
"Siapa dia?"
"Nyi Upit. pureri Kepala Desa Plaosan", jawab Wakil Ketua.
"Berapa usia kandungannya?"
"Tujuh bulan rencananya besok akan dilangsungkan hajatan selamatan."
"Bagus. Aku puas. Kau boleh istirahat barang sebentar. Sebelum pergi ada hal
lain yang hendak kau sampaikan?"
"Ada, Yang Mulia. Pertama saya telah membunuh Surablandong. Bekas Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih..."
"Manusia satu itu memang tidak berguna hidup, lebih lama. Ada hal lain ?".
"Ki Mantep Jalawardu. Kepala Desa Plaosan, bersama menantunya, I Kelut
Sudarsana, suami Nyi Upit tengah melakukan pengejaran. Sebelum pergi saya
mendengar Ki Mantep memerintahkan anak buahnya untuk melapor dan minta bantuan
ke Kadipaten Magetan. Selain itu saya juga mendengar Ki Mantep minta didatangkan
Ki Juru Seta, ahli pencari jejak. Apa yang saya harus lakukan" Apakah orang-
orang itu cukup layak untuk dibiarkan hidup dan dipakai tenaganya seperti yang
kita rencanakan?"
"Tingkat kepandaian Ki Mantep Jalawardu tidak ada artinya. Juga sang menantu
Habisi mereka"
"Bagaimana dengan Ki Juru Seta?"
"Bunuh dia sebelum berhasil mengetehui tempat ini."
"Akan saya lakukan. Saya akan berangkat sekarang juga."
"Tunggu dulu. Tadi kau mengatakan Ki Mantep minta bantuan Kadipaten Magetan.
Aku tahu Adipati Magetan adalah sahabat kental Ki Mantep Jalawardu. Mungkin dia
akan turun tangan sendiri menolong sahabatnya itu. Jika Adipati benar-benar
muncul, tangkap dia hidup-hidup. Tingkat kepandaian silat dan ilmu kesaktiannya
bisa kita manfaatkan,"
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik Yang Mulia. Saya minta diri sekarang."
"Pergilah. Orang-orang itu harus kau habiskan malam ini juga."
"Balk Yang Mulia."
Manusia pocong Wakil Ketua membungkuk hormat lalu memutar badan, tinggalkan
ruangan itu. BASTIAN TITO 113. LORONG KEMATIAN
4 SAMBIL mengangkat obor tinggi-tinggi, penunggang kuda paling depan berteriak.
"Berhenti! Ada tubuh manusia tergeletak ditengah jalan!". Dua penunggang kuda di
sebelah belakang, hentikan kuda lalu melompat turun. Kedua orang ini adalah Ki
Mantep Jalawardu Kepala Desa Plaosan dan menantunya I Ketut Sudarsana. Tujuh
orang lagi menyusul turun dari kuda masing-masing. Lima diantaranya membawa
obor. Mereka adalah para petugas Pamongdesa Plaosan.
Ki Mantep Jalawardu mengambil obor dari tangan salah seorang anak buahnya.
Dia melangkah cepat ke arah tergeletaknya sosok manusia. Ketika obor di tangan
Ki Mantap dan dua obor lain, menerangi wajah dan badan orang yang terhampar
ditanah itu, kagetlah Kepala Desa dan semua orang yang ada disitu. Ki Mantep
berikan obornya pada anak buah disampingnya lalu berlulut, pegangi kepala orang
yang tergetak di tanah.
"Surablandong,..". Suara Ki Mantep bergetar wajahnya tegang membesi. Kemudian
dia melihat bendera segitiga merah yang menancap di leher sababatnya itu.
"Bendera Merah..." desis Ki Mantep.
I Ketut Sudarsana berlutut di seberang ayah mertuanya. "Ki Sura pasti berhasil
mengejar penculik. Si penculik lalu membunuhnya."
Ki Mantep pejamkan mata, anggukkan kepala lalu bangkit berdiri. Dia memandang
berkeliling. Mula-mula ke arah Telaga Sarangan. Lalu ke jurusan kerapatan
pepohonan dan terakhir sekati ke arah bukit batu yang menghitam di kejauhan.
Sulit untuk menduga kemana larinya si penculik.
"Ini satu perkara besar! Nyi Upit anakku harus bisa diselamatkan! Si penculik
harus bisa ditangkap. Aku sendiri yang akan memenggal batang lehernya.
Tapi jika dia sanggup menghabisi sahabatku Surablandong seperti ini berarti
penculik jahanam itu memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Kita perlu berhati-
hati. Kita harus menyusun siasat pengejaran."
Dua orang Pamongdesa ditugaskan membawa pulang jenazah Surablandong ke Plaosan.
Sesampainya di Plasoan, salah seorang dari mereka harus kembali lagi membawa
bantuan tenaga pengejar sebanyak mungkin. Sedang petugas satunya harus segera
menemui Adipati Magetan untuk melaporkan apa yang terjadi. Kalau bisa meminta
bantuan perajurit Kadipaten mengejar si penculik. Kepada petugas ini juga
diminta untuk menemui seorang bernama Juru Seta yang dikenal memiliki kepandaian
mencari jejak orang atau binatang buruan. Semasa perang. Kerajaan mempergunakan
kepandaian Juru Seta untuk mengintai, menyelidiki kedudukan musuh. Di masa kaum
pemberontak mengacau negeri, tenaganya dimanfaatkan untuk mengejar para
pemberontak sampai ke sarangnya hingga pemberontakan dapat ditumpas sampai ke
akar-akarnya. Kepada menantunya Ki Mantep kemudian berkata.
"Kau dan tiga orang Pamong tetap di sini, menunggu sampai tenaga bantuan datang.
Aku dan yang lain-lain melanjutkan pengejaran."
Khawatir akan keselamatan ayah mertuanya Ketut Sudarsana menjawab.
"Ayah, sebaiknya biar saya yang meneruskan melakukan pengejaran. Ayah dan yang
lain-lain menunggu di sini..."
''Yang diculik jahanam itu adalah anakku! Aku harus....."
"Nyi Upit adalah istri saya. Di dalam perutnya ada jabang bayi darah daging
saya!" ucap sang menantu. Kelihatannya Ketut Sudarsana tidak dapat menahan rasa geram
yang sebelumnya berusaha ditahan hingga dia mengeluarkan kata-kata keras pada
ayah mertuanya.
"Seperti ayah saya juga ingin menyelamatkannya dan membunuh penculik keji itu".
Ki Mantep terdiam mendengar ucapan sang menantu.
''Kalau begitu kita lanjutkan pengejaran sama- sama!", kata Ki Mantep Jalawardu
akhirnya. Dua orang petugas Pamongdesa ditinggalkan di tempat itu menunggu rombongan
bantuan. Ki Mantep dan I Ketut Sudarsana bersama enam orang lainnya segera
melanjutkan pengejaran. Sebelum pergi Ki Mantep meninggalkan pesan pada dua anak
buahnya. Kalau Juru Sela dan rombongan datang agar menyusul ke arah utara.
Sebagai orang yang telah menjadi Kepala Desa Plaosati lebih dari dua puluh tahun
Ki Mantep bukan saja tahu belul seluk beluk desanya tapi juga hampir seluruh
kawasan perbatasan termasuk daerah sekitar kaki Gunung Lawu. Karenanya walaupun
saat itu malam hari. bukan merupakan satu kesulitan bagi Kepala Desa ini untuk
melanjutkan pengejaran. Namun sampai fajar menyingsing di ufuk timur, jejak sang
penculik masih belum tersidik. Padahal dia dan rombongan telah dua kali
mengitari telaga.
"Kita tunggu sampai hari terang. Baru melanjutkan pencarian". Ki Mantep
mengambil keputusan. Rombongan itu kemudian beristirahat di tepi barat Telaga
Sarangan. Pagi harinya, selesai Ki Mantep mencuci muka di tepi telaga, petugas Pamongdesa
yang diperintahkan menemui Juru Seta serta meminta tenaga bantuan muncul membawa
Juru Seta serta orang enam pemuda yang rata-rata bertubuh tegap dan membekal
golok besar di pinggang masing-masing.
Ki Mantep segera menemui Juru Seta, seorang tua berpakaian dan berblangkon serba
hitam yang setiap saat selalu mengunyah sirih campur tembakau dalam mulutnya dan
sesekali menyemburkan ludah merah ke tanah.
"Ki Juru, aku sangat mengharapkan bantuanmu...."
"Dari Pamongdesa saya sudah mendengar apa yang terjadi. Saya akan berusaha
sebisanya agar Nyi Upit dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat."
"Pamong desa memberitahu mengenai Bendera Darah?" Juru Seta mengangguk.
"Agaknya bendera segitiga yang dibasahi dengan darah itu menjadi satu tanda dari
penjahat terkutuk yang menculik anakku. Mungkin Ki Juru pernah tahu atau pernah
mendengar sebelumnya hal-hal yang berhubungan dengan Bendera Darah itu. Mungkin
juga tahu siapa orang di belakang semua kejadian ini?"
"Ini satu kejadian aneh luar biasa dalam hidup saya. Saya tidak mengetahui dan
juga tidak bisa menduga apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa ada orang menculik
puteri Ki Mantep yang sedang hamil. Lalu mengapa begilu tega membunuh
Surablandong dan menancapi lehernya dengan Bendera Darah. Hanya ada satu hal
yang bisa saya artikan. Orang dibalik kejadian ini ingin memberi kesan. Jangan
main-main dengan Bendera Darah. Setiap Bendera Darah muncul maka satu peristiwa
besar akan terjadi.
Yang juga bisa berarti kematian." Juru Seta diam sebentar lalu berkala lagi.
"Ki Mantep, sebaiknya kita segera saja mulai bergerak."
Dari balik pakaiannya orang tua yang seumur dengan sang Kepala Desa Plaosan ini
keluarkan sebuah tongkat kecil terbuat dari bambu kuning panjang lima jengkal.
Inilah benda yang menjadi andalan Juru Seta dalam melakukan pekerjaannya.
Juru Seta memulai penyelidikannya dari tempat ditemukannya mayat Surablandong.
Tongkat bambu kuning ditancapkan di tanah, tepat dimana sebelumnya sosok
Surablandong terkapar menemui kematian. Perlahan-lahan Juru Seta pejamkan mata.
Begitu matanya terkancing rapat tiba-tiba tongkat bambu kuning yang menancap di
tanah sedalam satu jengkal kelihatan bergetar. Makin lama makin keras. Kemudian
perlahan-lahan, masih dalam keadaan bergetar ujung tongkat bambu kuning itu
meliuk ke arah utara. Pada saat ujung tongkat meliuk membentuk garis patah tiba-
tiba tongkat Itu melesat ke udara lalu melayang turun kembali. Tanpa membuka
matanya Juru Seta ulurkan tangan menangkap tongkainya. Benda ini diselipkan di
pinggang lalu matanya dibuka, langsung menatap pada Kepala Desa.
"Bagaimana Ki Juru Seta?". Tanya Ki Mantep Jalawardu tidak sabaran,
"Penculik membawa puteri Ki Mantep ke jurusan utara. Kita menuju ke sana
sekarang juga". Jawab Juru Seta.
Di daerah sebelah utara terdapat kawasan rimba belantara. Di seberang rimba
belantara ada satu kawasan bukit batu. Kawasan mi merupakan kaki selatan Gunung
Lawu. Rombongan segera meninggalkan Telaga Sarangan menuju utara. Sepanjang
perjalanan Juru Seta mendapat petunjuk melalui getaran yang keluar dari tongkat
bambu kuning yang terselip di pinggangnya. Selama tongkat itu mengeluarkan
getaran berarti arah yang mereka ikuti adalah benar, berarti puta bahwa si
penculik memang melarikan diri di arah yang tengah mereka ikuti. Selain getaran
tongkatnya. Juru Seta juga bisa melihat jejak yang ditanggalkan kaki kuda si
penculik. Tongkat terus bergetar dan jejak kelihatan jelas ketika rombongan
memasuki rimba belantara.
Menjelang tengah hari rombongan sampai di kaki selatan Gunung Lawu. Getaran
masih terus keluar dari tongkat bambu kuning di pinggang Juru Seta tetapi
gelarannya terasa semakin perlahan. Sedangkan jejak-jejak kaki kuda tidak
kelihatan lagi. Hal ini dapat dimaklumi karena kawasan tlu memiliki tanah yang
tertutup bebatuan. Diam-diam Juru Seta merasa kawatir.
"Aneh." membatin Juru Seta. 'Kalau penculik membawa Nyi Upit ke sekitar tempat
ini, jejak bisa saja hilang karena ini kawasan berbatu-batu. Tapi seharusnya
getaran tongkat semakin keras."
Ketika getaran tongkat lenyap sama sekali, Juru Seta memberi isyarat agar
rombongan berhenti. Lalu orang tua berpakaian serba hitam ini turun dari
kudanya. "Bagaimana Ki Juru, sudah ada petunjuk?" Bertanya I Ketul Sudarsana, Juru Seta
tidak segera menjawab. Dia memandang dulu berkeliling. Di sebelah belakang
terbentang rimba belantara yang barusan mereka lewati. Di sebelah depan ada
jajaran lembah yang walau cukup dalam tapi tidak sulit untuk ditempuh. Di
seberang lembah terdapat satu pedataran tinggi membentuk bukit batu. Ke sebelah
barat ada tiga desa besar yakni Tawang mangu. Karang anyar dan Karang pandan.
Jika pergi ke timur akan sampai ke kawasan pecandian. Salah satu candi yang
terkenal di daerah itu adalah Candi Cemorosewu. Juru Seta berpikir-pikir. Kalau
getaran tongkat lenyap di tempat itu dan jejak di tanah tidak lagi kelihatan,
berarti itulah akhir perjalanan si penculik. Berarti ke tempat sekitar situlah
Nyi Upit dilarikan. Namun memandang berkeliling Juru Sela tidak melihat hal-hal
mencurigakan. Mungkin penculik membawa Nyi Upit menuruni lembah.
Dan di dasar lembah sana perempuan muda hamil tujuh bulan itu disekap.
"Kalau penculik dan Nyi Upit berada di lembah sana, seharusnya tongkat
mengeluarkan getaran lebih kuat. Tapi nyatanya getaran tongkat malah lenyap. Aku
merasa, sejak sebelum keluar dan rimba belantara ada hawa aneh menahan getaran
tongkat. Seumur hidup baru sekali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.
Mengejar pemberontak walau berbahaya tapi tidak sufit. Mengejar seorang penculik
mengapa begini susah". Agaknya ada satu hal besar yang tak bisa kubayangkan di
belakang semua kejadian ini.
"Ki Juru, kau mengetahui sesuatu?" K i Mantep Jalawardu bertanya.
"Agaknya penculik berada di sekitar kawasan ini...". jawab Juru Seta.
"Agaknya" Berarti kau ragu-ragu Ki Juru " ujar Ki Mantep.
"Menurut petunjuk, Nyi Upit dilarikan ke arah sini. Di depan ada jajaran lembah.
Di seberang sana ada bukit batu. Dua kawasan ini harus kita selidiki"
"Ki Juru tidak tahu pasti di sebelah mana penculik berada?" bertanya Ketut
Sudarsana. Juru Seta menggeleng. Terus-terang dia berkata.
"Ada satu kekuatan aneh tapi hebat mempengaruhi pekerjaan saya. Namun saya
yakin, kalau tidak didalam lembah, puteri Ki Mantep mungkin berada di pedataran
tinggi berbatu-batu sana." Baik Ki Mantep Jalawardu maupun I Ketut Sudarsana dan
semua orang yang ada di tempat itu merasa tidak puas atas keterangan Juru Seta.
Juru Seta sendiri diam-diam merasa gelisah. Dia cabut tongkat bambu kuning yang
terselip di pinggang lalu tancapkan tongkat ini ke tanah antara dua buah batu.
Dengan telapak tangan kanannya Juru Seta tekan ujung tongkat. Belum lama menekan
tiba-tiba ada sambaran hawa aneh menyengat telapak tangan Juru Seta. Wajah orang
tua ini jadi berubah. Terlebih ketika tangan kanannya yang berada di atas
tongkat mulai bergetar. Juru Seta kerahkan tenaga meredam getaran aneh. Tiba-
tiba orang tua ini keluarkan jeritan keras. Tangan kanannya terpental, tubuhnya
terbanting ke tanah.
Kepalanya nyaris membentur sebuah batu. Dari mulutnya tersembur keluar tembakau
serta sirih yang selalu dikunyahnya. Lalu ada lelehan cair berwarna merah.
Lelehan ini bukan ludah sirih tetapi darah! Satu kekuatan aneh dan dahsyat yang
dikirimkan orang ke tongkat kuning telah membuat Ki Juru Seta menderit luka
dalam yang parah.
Saat tubuh Juru Seta terbanting ke tanah, bersamaan dengan itu tongkat bambu
kuning yang menancap di tanah tercabut. Melayang ke udara, lalu berbarengan,
suara tawa bergelak menggelegar di tempat itu, menggema sampai ke dalam jajaran
lembah dan rimba belantara.
BASTIAN TITO 5 113. LORONG KEMATIAN
SEMUA tersentak kaget. Ki Mantep Jalawardu melompat turun dari kuda.
menghambur ke arah Juru Seta yang saat itu melingkar di tanah, tubuh menggigil
seperti orang kedinginan. Dari mulutnya masih mengucur darah. I Ketut Sudarsana
juga telah berkelebat turun dari punggung kudanya. Menantu Kepala Desa ini bukan
melompat ke arah Juru Seta tapi melesat ke dekat sebuah balu besar dlmana
berdiri seekor kuda. Di atas kuda ini duduk seorang berpakaian jubah putih,
kepala ditutup kain putih berbentuk pocong. Dari wajahnya hanya sepasang matanya
yang kelihatan lewat dua lobang kecil pada penutup kepala. Di tangan kanannya
orang ini memegang tongkat bambu kuning milik Juru Seta yang sebelumnya melesat
tercabut dari tanah. Rupanya ketika tongkat bambu itu melayang di udara, orang
ini berhasil menyambarnya. Sesaat diperhatikannya tongkat itu lalu berkata.
"Tongkat hebat! Tapi aku tidak butuh!"
Tangan manusia pocong meremas beberapa kali. Tongkat bambu kuning hancur tak
berbentuk lagi.
"Setan jahanam..." Juru Seta merutuk melihat tongkat andalannya dihancurkan
begitu rupa. Dia berusaha kumpulkan tenaga, mencoba bangkit berdiri untuk
menyerang manusia pocong tapi hanya mampu bergerak sedikit, sosoknya terhempas
kembali ke tanah. Sementara itu beberapa orang anak buah Ki Mantep Jalawardu
dengan golok di tangan mengikuti gerakan Ketut Sudarsana, melompat ke arah
penunggang kuda di dekat batu.
"Setan pocong! Pasti kau yang menculik isteriku" Teriak Ketut Sudarsana, Lalu
dia mengambil golok yang dipegang seorang pemuda Pamong desa. Dengan senjata ini
dia menyerang si penunggang kuda. Diserang orang dengan golok, melihat gerakan
lawan serta derasnya siuran senjata yang membabat ke arahnya jelas Ketut
Sudarsana memiliki kepandaian silat tidak rendah. Si penunggang kuda tidak mau
berlaku ayal. Sekali membuat gerakan, sosok nya melesat ke udara. Di lain kejap
dia telah berdiri di atas sebuah batu besar berpermukaan rata. Tangan kiri
bertolak pinggang.
"Jahanam! Mana istriku!" Kucincang kau kalau tidak menyerahkan Nyi Upit dalam
keadaan selamat !" Ketut Sudarsana berbalik, melompat ke atas batu dan untuk
kedua kalinya menyerang orang berjubah dengan goloknya.
"Wuuttt..!"
Golok menderu membabat ke arah pinggang. Si jubah putih condongkan tubuhnya ke
belakang. Dengan tangan kanannya dia pukul lengan yang memegang golok.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menyapu ke depan, menendang tulang kering kaki
kanan Ketut Sudarsana. Gerakannya luar biasa cepat walau Ketut Sudarsana
memiliki kepandaian tidak rendah namun dia tak mampu menghindar.
"Kraaakr!"
"Kraaak!"
Golok besar di tangan Ketut Sudarsana mencelat mental, jatuh ke dalam lembah.
Dua kali terdengar suara tulang patah disertai jerit setinggi langit keluar dari
mulut I Ketut Sudarsana, lelaki muda ini terbanting jatuh ke atas batu datar.
Tulang lengan kanan dan tulang kering kaki kanan patah. Untuk beberapa lamanya
dia terkapar menggeliat kesakitan di atas batu sambil keluarkan suara erang
kesakitan. Sosok yang dipanggil dengan sebutan setan pocong mendatangi lalu injakkan kaki
kanannya ke dada Ketut sudarsana. Orang yang sedang megap-megap kesakitan ini
merasa seolah sebuah batu besar menindih dadanya, membuat dua matanya mendelik
dan lidahnya terjulur.
Sambil bertolak pinggang manusia pocong yang menginjak dada Ketut Sudarsana
berteriak. "Orang-orang Plaosan! Kematian sudah dijatuhkan bagi kalian. Tapi aku masih
berbaik hati. Dengar! kalian harus segera tinggalkan tempat ini! Kalau sampai
matahari terbenam kalian masih berada di sini, kalian semua akan mampus percuma!
Contohnya ini"
Habis berkata begitu si manusia pocong tendang tubuh Ketut Sudarsana hingga
lelaki muda ini mencelat mental dan jatuh tepat di samping Ki Mantep Jalawardu
yang tengah menolong Ki Juru Seta. Ki Mantep Jalawardu terbeliak melibat sosok
menantunya terkapar di depannya, tidak bersuara tidak bergeming. Amarah Kepala
Desa Plaosan tidak terbendung lagi.
"Keparat jahanam! Kau menculik anakku! Membunuh sahabatku! Mencelakai menantuku!
Kupatahkan batang lehermu!" Belum lenyap gema suara bentakan Kepala Desa,
sosoknya telah melesat ke atas batu. Lancarkan pukulan tangan kosong mengandung
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga dalam, dua kali berturut-turut.
Seperti tadi ketika diserang Kelut Sudarsana, manusia pocong hantamkan tangannya
ke atas untuk menangkis serangan disertai niat hendak mematahkan lengan lawan.
Tapi Ki Mantep Jalawardu sudah mencium maksud tersebut dan berlaku cerdik.
Sebelum dua lengannya beradu dengan dua lengan lawan dia cepat melompat ke atas.
Setengah tombak melayang di udara Ki Mantep kembali menggempur. Bukan cuma
dengan jotosan tapi kali ini disertai tendangan ke arah dada.
"Hebat !".
Si manusia pocong berseru. Sambil miringkan tubuh dia bergerak ke samping satu
tangkah lalu tangan kanannya bekerja. Ki Mantep Jalawardu menjerit kesakitan
ketika urat besar di pahanya kena ditotok lawan. Keseimbangannya hilang dan
tubuhnya berputar di udara lalu jaluh ke tanah. Selagi mencoba berdiri sambil
menahan sakit, kaki lawan telah berkelebat ke arah kepalanya. Ki Mantep
terlambat melihat serangan ini.
"Praaakkk"
Kepala Desa Plaosan itu terbanting ke tanah. mengerang pendek lalu tak berkutik
lagi! Nyawanya lepas dengan kepala pecah! Ki Juru Seta yang megap-megap dalam
cidera batalnya pejamkan mata ngeri melihat kematian Kepala Desa itu. Dua belas
anak buah Ki Mantap melengak kaget dan juga bergidik.
Juru Seta coba berteriak. Wala teriakannya tidak keras tapi cukup jelas
terdengar oleh selusin anak buah Ki Mantep Jalawardu,
"Kalian! mengapa diam saja! Orang telah membunuh Kepala Desa kalian lekas bunuh
makhluk setan jahanam itu!"
DUA belas orang anak buah Ki Mantep Jalawardu yang sejak tadi diam saja
berkelebat dengan cepat mereka mengurung bat besar di atas mana si manusia
pocong berdiri.
"Kalian mau apa" Aku tidak begitu suka melayani monyet-monyet macam kalian.
Pergi sana!".
"Bunuh! Cepat bunuh!". Berteriak Juru Seta ketika melihat dua belas orang yang
diperintahkannya untuk membunuh manusia pocong berdiri bimbang walau sudah
mengurung lawan. Darah meleleh dari mulutnya. Mendengar teriakan itu dua belas
orang pemuda petugas Pamongdesa tadi serta merta menyerbu. Dua belas senjata
tajam berkelebat dalam gelapnya malam, mengeluarkan suara bersiuran.
"Kalian minta mati aku akan berikan!" Manusia pocong di atas batu keluarkan
ucapan. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke udara. Begitu terabasan dua
belas golok lewat di bawahnya tiba-tiba orang ini membuat gerakan aneh. Tubuhnya
berputar seperti gasing. Kaki kanan menyapu ganas.
Enam orang anak buah Ki Mantep Jalawardu keluarkan jeritan keras. Tiga terlempar
lalu tergelimpang tak berkutik lagi karena kepalanya pecah. Dua lainnya terkapar
di tanah sambil pegangi tulang-tulang iga yang patah. Yang ke enam megap-megap
lalu semburkan darah dari mulut. Tendangan si setan pocong meremukkan tulang
dadanya. Enam anak buah Ki Mantep Jalawardu yang lain serta rnerta melompat
mundur dengan wajah pucat manusia pocong keluarkan tawa bergelak.
"Kalian mengapa mundur" Mau minta mampus ayo mendekat ke sini."
Tak ada yang berani bergerak. Ketika manusia pocong melompat turun dari atas
batu, enam pemuda itu bersurut mundur. Lutut masing-masing terasa goyah. Nyali
mereka leleh sudah setelah menyaksikan kematian Ki Mantep Jalawardu dan enam
kawan mereka. "Kalian... pengecut semua...".
Juru Seta keluarkan ucapan. Semangat dan dendam amarah masih berkobar. Dia
Cinta Berlumur Darah 1 Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 16
BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI
WIRO SABLENG Episode ke 113 :
LORONG KEMATIAN
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
mailto:22111122@yahoo.com
BASTIAN TITO 113. LORONG KEMATIAN
1 KEINDAHAN dan ketenangan Telaga Sarangan di kaki selatan Gunung Lawu sejak
beberapa waktu belakangan ini dilanda oleh kegegeran menakutkan. Tujuh penduduk
desa sekitar lembah dicekam rasa cemas amat sangat. Jangankan malam hari, pada
siang hari sekalipun jarang penduduk berani keluar rumah. Pagi hari mereka
tergesa-gesa pergi ke ladang atau sawah, menggembalakan memberi makan atau
memandikan lemak lalu cepat-cepat kembali pulang. Mengunci diri dalam rumah,
menambah palang kayu besar pada pintu dan jendela.
Pasar yang biasanya ramai hanya digelar sebentar saja lalu sepi kembali.
Penduduk lebih banyak berada di rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga
sambit berjaga-jaga. Terutama dirumah dimana ada orang perempuan yang tengah
hamil tujuh bulan ke atas. Malam hari setiap desa diselimuti kesunyian. Penduduk
tenggelam dalam rasa takut. Tak ada yang berani keluar rumah. Apakah yang lelah
terjadi " Apa penyebab hingga penduduk dilanda rasa takut demikian rupa"
Peristiwanya dimulai sekitar empat purnama lalu. Malam hari itu rumah Ki Mantep
Kepala Desa Plaosan kelihatan ramai. Mereka tengah mempersiapkan hajatan
selamatan tujuh bulan kehamilan pertama Nyi Upit Suwarni yang akan dirayakan
secara besar-besaran besok harinya. Maklum Nyi Upit adalah anak tunggal, puleri
satu-satunya Ki Mantep Jalawardu yang bersuamikan I Ketut Sudarsana. seorang
pcngusaha dan juru ukirberasal dari Klungkung, Bali berarti bayi yang dikandung
Nyi Upit akan merupakan cucu pertama Kepala Desa Plaosan itu. Tidak mengherankan
selamatan tujuh bulan ini dilangsungkan secara meriah. Besok malam, setelah
upacara adat pada siang harinya, akan digelar pertunjukan wayang kulit semalam
suntuk. Untuk itu sebuah panggung besar telah di bangun di halaman depan rumah
Kepala Desa. Malam itu semakin larut hari semakin ceria kelihatan suasana di rumah Ki Mantep
Jalawardu. Di dapur orang memasak berbagai macam makanan dan kue-kue. Di ruang
tengah ibu-ibu muda sahabat Nyi Upit sambil sesekali berseloroh, sibuk menata
sebuah meja besar, menghiasi berbagai juadah dan buah-buahan yang diletakkan
dalam beberapa piring besar mengelilingi sebuah tumpeng raksasa.
Di dalam kamar setengah berbaring di atas tempet tidur, Nyi Upit mengobrol
dengan beberapa orang gadis. Gadis-gadis itu adalah sahabatnya sedesa, tapi
beberapa diantaranya berasal dari desa lain. Mereka mengobrol segala macam hal.
Terkadang mengganggu Nyi Upit dengan cerita-cerita lucu tapi nakal, sesekali
terdengar mereka tertawa riuh.
Di ruang depan Ki Mantep dan sang menantu I Ketut Sudarsana, ditemani beberapa
keluarga dekat serta tetangga, kelihatan asyik bercakap-cakap. Kopi hangat
dihidangkan tiada henti. Berbagai juadah disuguhkan. Sekotak cerutu besar yang
dibeli dari awal sebuah kapal asing yang berlabuh di pantai utara ikut menambah
maraknya suasana percakapan. . .
Lewat tengah malam ketika udara terasa tambah dingin dan beberapa orang sejawat
mulai minta diri, orang-orang lelaki yang tengah asyik bercakap-cakap di langkan
depan rumah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian seorang
penunggang kuda dengan cepat melintas di halaman rumah. Wajahnya tidak jelas
karena halaman depan agak gelap dan kuda hitam yang ditungganginya melesat cepat
sekali. Yang sempat terlihat ialah si penunggang mengenakan jubah putih serta kerudung
berbentuk pocong putih. Aneh!
"Siapa menunggang kuda malam-malam buta begini " Berpakaian aneh, lewat begitu
saja seperti setan". I Ketut Sudarsana keluarkan ucapan sambil berdiri dari
kursi memperhatikan penunggang kuda yang segera saja menghilang dalam kegelapan
Sesaat selelah penunggang kuda itu lewat dan lenyap, sebuah benda melayang di
udara melewati bagian depan rumah, menyipratkan cairan kental. Benda yang
melayang ini terus melesat ke bagian dalam rumah. Beberapa orang ibu muda yang
tengah menghias buah-buah serta juadah di meja besar terpekik kaget dan
melangkah mundur dengan muka pucat. Ki Mantep Jalawardu orang yang pertama
sekali melompat dari kursi, lari ke bagian dalam rumah diikuti menantunya I
Ketut Sudarsana serta beberapa anggota keluarga dekat dan kenalan.
"Ada apa"!" lanya Kepala Desa Plaosan itu sambil memandang ke arah orang
perempuan yang bergerombol merapat di salah satu sudut ruangan, unjukkan wajah
ketakutan. Seorang diantara mereka dengan tangan gemetar dan muka pucat menunjuk
kearah tumpangan di atas meja besar.
Tepat di bagian atas tumpengan yang terletak di meja. kelihatan menancap sebuah
bendera kecil berbentuk segitiga. Bendera ini diikatkan pada potongan kecil
bambu sepanjang setengah jengkal. Ujung bambu inilah yang menancap di tumpengan.
Warna merah bendera aneh Itu ternyata adalah cairan kental yang masih menetes-
netes. Dari dalam kamar beberapa orang gadis berlarian keluar. Nyi Upjt mengikuti.
Mereka mendengar ribut-ribut diluar, suara orang menjerit. Mereka ingin tahu apa
yang terjadi orang-orang yang bekerja di dapur lak ketinggalan ikut berlarian ke
ruangan tengah rumah.
"Ayah, ada apa ?" Bertanya Nyi Upit.
"Tidak ada apa-apa. Kalian semua masuk kembali ke dalam kamar..." jawab Ki
Mantep. Tapi Nyi Upit dan teman-temannya tetap saja tegak di depan pintu kamar,
Ki Mantep dekati meja besar. Tubuhnya dibungkukkan, kepala didekatkan ke
tumpengan, memperhatfkan bendera merah. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan
meraba bendera segi tiga. Terasa cairan kental menempel di ujung-ujung jari.
Ki Mantep tarik tangannya, memperhatikan cairan merah yang melekat di ujung
jari-jari tangan sambil jari-jari itu digesekkan. Tengkuk Kepala Desa ini
mendadak dingin.
"Darah.." Ucap Ki Mantep dengan suara bergetar. Kepala Desa ini tersurut dua
langkah. I Ketut Sudarsana beranikan diri maju mendekati meja. Dengan tangan
kirinya dicabutnya bendera segitiga yang menancap di tumpengan. Bendera merah
basah diperhatikan dengan mata tak berkesip. Hidungnya mencium bau amis.
"Darah, memang darah." kata I Ketut Sudarsana. Seperti ayah mertuanya, suara
sang menantu juga bergetar
"Apa artinya ini" Siapa yang melempar bendera darah ini"!"
"Pasti orang berkuda berjubah putih tadi." Ucap Ki Mantep Jalawardu.
"Mengapa dia melakukan ini" Melempar bendera segitiga basah dengan darah.
Apa maksudnya?" Tanya I Ketut Sudarsana sambil memandang pada ayah mertuanya
lalu pada orang-orang di sekeliliingnya. Tak ada yang menjawab karena memang
mereka tidak tahu apa artinya semua ini. Namun Ki Mantep Jalawardu sebagai orang
tua yang telah berpengalaman dan menjadi Kepala Desa Plaosan lebih dari dua
puluh tahun diam-diam merasa ada sesuatu yang aneh di balik apa yang barusan
terjadi. Dan di belakang keanehan Ini dia mencium sesuatu yang berbahaya.
Ki Mantep kembali menyuruh putrinya dan semua anak gadis masuk ke dalam kamar.
Orang dapur dimintanya kembali bekerja di dapur. Ibu-ibu muda yang tadi sibuk
menghias piring-piring besar berisi berbagai hidangan, juadah dan buah disuruh
meneruskan pekerjaan. Kepala Desa ini kemudian mengajak semua orang lelaki
kembali ke langkan rumah.
"Orang melempar bendera darah ke dalam rumah, Sulit aku menduga apa maksudnya,"
Ki Mantep berkata.
"Di masa muda, aku banyak membasmi orang-orang jahat sekitar kaki Gunung Lawu.
Mungkin saja salah satu dari mereka, kawan atau turunan mereka ingin membalas
dendam, sengaja mencari kesempatan pada saat kita mengadakan pesta selamatan
tujuh bulan puteriku. Kita perlu berjaga-jaga. Aku akan mengatur para perangkat
desa untuk melakukan perondaan sampai pagi. Besok siang penjagaan harus
dilanjutkan. Orang yang punya niat jahat pasti akan mengintai kelengahan kita. Aku tak ingin
perayaan selamatan tujuh bulan puteriku sampat terganggu."
"Ki Mantep" seorang lelaki berusia enam puluh tahun yang merupakan tetangga dan
sahabat Kepala Desa sejak bertahun-tahun, bernama Surablandong berkata, "Malam
ini urusan keamanan biar serahkan pada saya. Saya akan mengatur anak-anak. Ki
Mantep dan yang lain-lain tetap di sini saja. Istirahat dan tidur kalau
perlu..." Kepala Desa Plaosan terdiam sesaat, akhirnya menganggukkan kepala. Siapa tidak
kenal dengan Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah
punya nama harum di sekitar perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur mulai dari
Sragen di sebelah utara sampai Ponorogo di kawasan selatan, mulai dari Surokerto
di ujung barat sampai Madiun di sebelah timur. Selama bertahun-tahun dirinya
ditakuti para penjahat dan orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Sejak
empat tahun lalu setelah istrinya meninggal, dalam duka cita yang sangat
mendalam. Surablandong mengundurkan diri dari dunia persilatan. Jabatan Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih diserahkan pada muridnya yang paling pandai dan
paling dipercaya, bernama Tambak Juwana.
Sambil memegang punggung sahabatnya yang tiga tahun lebih muda itu Ki Mantep
mengajak Surablandong melangkah ke pintu pagar.
"Ki Blandong, aku sengaja membawamu ke sini agar yang lain tidak mendengar apa
yang akan aku katakan" kata Ki Mantep Jalawardu dengan suara perlahan.
"Saya sudah merasa kalau Ki Mantep hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak tahu
mau mengatakan apa".
"Aku punya firasat buruk..."
"Jangan berkata begitu Ki Mantep." Potong Surablandong.
"Padamu aku tidak pernah berpura-pura. Kita sama-sama menyaksikan apa yang
terjadi malam ini, Mulai dengan munculnya orang menunggang kuda hitam. Berjubah
putih mengenakan penutup kepala seperti pocong. Lalu bendera segitiga yang
dibasahi darah. Sengaja dilemparkan ke dalam rumah menancap di Tumpeng besar.
Semua itu bagiku adalah suatu pertanda akan terjadi satu malapetaka..."
"Ki Mantep. siapa orang yang berani berbuat macam-macam terhadap dirimu dan
keluargamu. Apa lagi saya ada di sini. Bukan saya bicara sombong akan saya tekuk
leher orang yang berani mengacau".
"Kekacauan barusan telah terjadi. Dan kita tidak sempat berbuat apa-apa. Orang
sanggup melemparkan bendera darah. Lalu kabur begitu saja..."
Diam-diam Surablandong merasa malu mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Ki Mantep, sudahlah. Jangan dipikirkan apa yang telah terjadi. Masuklah, kau
perlu istirahat dan tidur barang beberapa kejap. Soal keamanan rumahmu dan
keluargamu menjadi tanggung jawab saya. Saya akan mengatur anak-anak untuk
melakukan penjagaan."
"Terima kasih Ki Blandong. Aku akan masuk.Tapi aku tak akan tidur. Kata Ki
Mantep Jalawardu pula sambil menepuk bahu sahabatnya lalu berbalik.
"Memang dalam cemas melanda seperti itu siapa orangnya yang bisa tidur,"
Baru satu langkah sang Kepala Desa itu berbalik ke arah rumah, sekonyong-konyong
ada derap kaki kuda dari ujung halaman sebelah kanan. Ki Mantep cepat balikkan
tubuhnya kembali. I Ketut Sudarsana dan beberapa orang lelaki yang ada di
langkan rumah besar menghambur lari ke halaman. Saat itu Surablandong telah
melompati pagar terus melesat ke atas panggung besar.
Dari arah kegelapan di sebelah depan kanan panggung melesat seekor kuda hitam.
Surablandong siap untuk menggebuk siapapun yang jadi penunggangnya. Tapi jago
tua ini jadi melengak kaget ketika melihat kuda hitam itu berlari kencang tanpa
penunggang sama sekali!
Saat itu Ki Mantep, I Ketut Sudarsana dan yang lain-lainnya juga sudah melompat
ke atas panggung. Seperti Surablandong, tadinya mereka siap menghadang dan
menyergap penunggang kuda. Namun semua mereka ikut terkesiap melihat kuda tanpa
penunggang itu. Rasa terkesiap dibayangi rasa mengkirik aneh. Selagi semua orang
terheran-heran bercampur kecut begitu rupa, kuda hitam lewat menghambur di depan
panggung. Dan saat itu pula di dalam rumah mendadak terdengar pekik jerit tiada
hentinya. I Ketut Sudarsana tersentak kaget.
Salah satu jeritan itu dikenalinya adalah jeritan isterinya. Lelaki menantu
Kepala Desa Plaosan ini secepal kilat melompat turun dari atas panggung, terus
melesat ke dalam rumah.
Ki Mantep sesaat tampak bingung sebelum menyusul sang menantu. Yang lain-lain
ikut berlarian ke dalam rumah. Hanya Surablandong yang lari ke jurusan lain
yakni ke halaman belakang rumah besar, ke arah kandang kuda.
Di dalam rumah jerit pekik orang-orang perempuan semakin keras. Ketika menantu
dan suaminya berlari mendatangi, isteri Kepala Desa berteriak,
"Pakne, Nyi Upit diculik ! anak kita diculik setan pocong ! "
BASTIAN TITO 2 113. LORONG KEMATIAN
DI DALAM gelap di bawah hitamnya bayangan pohon besar Surablandong mendekam di
atas punggung kuda. Mata dipentang lebar, telinga dipasang tajam. Di dalam rumah
didengarnya suara jerit-pekik tiada henti. Malah kini ada suara orang meratap.
Surablandong maklum ada satu perkara besar lelah terjadi dalam rumah Kepala Desa
sahabatnya itu. Dia tidak bisa menduga apa. Dia tidak bisa membagi perhatian.
Lalu didengarnya suara itu. Suara yang ditunggu-tunggu. Derap kaki-kaki kuda.
Di ujung halaman timur rumah besar Kepala Desa, seorang penunggang kuda
mengenakan jubah dan penutup kepala putih menyerupai pocong muncul dari dalam
kegelapan. Kuda digebrak membelok ke arah depan bangunan panggung, yang berarti
akan melewati pohon besar di balik mana Surablandong menunggu Sekitar lima
tombak kuda dan penunggangnya dari pohon besar, untuk pertama kalinya
Surablandong melihat kalau di sebelah depan si penunggang kuda, di atas
pangkuannya, terbujur melintang sosok seorang perempuan. Surablandong tidak bisa
menduga siapa adanya perempuan itu.
"Jahanam penculik! Manusia atau setan sekalipun kau adanya akan ku pecahkan
kepalamu!" Kertak Surablandong. Dengan gerakan gesit lelaki berusia enam puluh
tahun ini membuat gerakan ringan dan cepat melesat ke alas. Dua tangannya
bergantungan di cabang pohon paling bawah. Ketika penunggang kuda berjubah dan
berlutup kepala putih lewat. Surablandong ayun tubuhnya. Saat itu juga, laksana
seekor burung rajawali Surablandong melesat ke bawah. Tangan kanan menggebuk ke
arah kepala penunggang kuda yang ditutupi kain putih seperti pocong.
"Praakk!"
Surablandong merasa yakin gebukan tangannya yang mengandung daya kekuatan atau
bobot sama kekuatan hantaman batu seberat 100 kati akan menghancurkan kepala
orang. Bahkan dia seolah mendengar suara pecahnya kepala si penculik. Namun jago
tua yang di masa muda telah menggegerkan delapan penjuru angin kawasan
perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur ini kecele. Bukan kepala orang yang
dipecahkannya, malah sebaliknya dirinya yang kena celaka!
Orang di atas kuda lewat dua lobang kecil pada penutup kepala yang menyerupai
pocong rupanya telah melihat bayangan kuda dan sosok Surablandong yang mendekam
di balik pohon besar. Begitu Surablandong melayang ke arahnya sambil gebukkan
tangan kanan orang ini cepat rundukkan kepala sama datar dengan leher kuda.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat tinggi ke samping.
"Dukkk!"
Gerakan tubuh Surablandong yang menukik sambil memukul sesaat tertahan di udara
lalu mencelat dua tombak untuk kemudian jaluh bergedebuk di tanah! Sesaat
Surablandong mengerang menahan sakit. Tangan kirinya ditekapkan ke ulu hatinya
yang barusan kena dihantam tendangan. Dia kerahkan tenaga dalam ke bagian yang
cidera, atur pernafasan lalu bangkit berdiri. Setengah berlari, tanpa perdulikan
rasa sakit pada ulu hatinya. Surablandong menghampiri kudanya, naik ke atas
punggung binatang ini yang kemudian digebrak ke arah lenyapnya penunggang kuda
berpakaian serba putih.
Sambil mengejar Ki Blandong tiada hentinya merutuki diri sendiri. Dia tahu
dirinya telah tua. Tapi ilmu silat dan kepandaiannya tidak pernah berkurang.
Tiga kali dalam satu minggu dia selalu melatih diri. Kini ternyata orang begitu
mudah menghajarnya dengan satu tendangan. Menendang lawan sambil melesat di atas
punggung kuda dan memangku sosok perempuan di atas paha bukanlah satu pekerjaan
mudah. Hal inilah yang agaknya dilupakan Surablandong. Siapapun adanya
penunggang kuda yang kepalanya ditutupi kain putih, dia adalah seorang
berkepandaian tinggi. Dan tingkat kepandaiannya jelas berada di atas kepandaian
Surablandong! Orang yang dikejar menggebrak tunggangannya ke arah barat daya. Surablandong
yakin dalam waktu tidak terlalu lama dia akan berhasil mengejar orang itu.
Berkuda sambil memangku tubuh orang di atas paha bukan pekerjaan mudah dan
memungkinkan seseorang bisa memacu tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Namun
lagi-lagi Surablandong dibuat kecele. Bagaimanapun dia kerahkan kepandaian
memacu kudanya.
Tetap saja antara dia dan orang yang dikejar terpaut sekitar lima lombak Dalam
kesalnya Surablandong gerakkan tangan ke pinggang. Dari balik sabuk kulit besar
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang melilit pinggangnya dia keluarkan dua buah benda berwarna kuning, berbentuk
bola-bola kecil sebesar ibu jari kaki, yang dipenuhi duri-duri lancip. Ketika
dia masih malang melintang dalam rimba persilatan, benda ini merupakan senjata
rahasia sangat menakutkan, dikenal dengan julukan Elmaut Kuning. Belasan lawan
terutama orang-orang jahat menemui ajalnya oleh bola berduri terbuai dari
kuningan beracun ini.
Sejak dia mengundurkan diri dari dunia persilatan meninggalkan Perguruan Silat
Lawu Putih, Surablandong tidak pernah lagi mempergunakan senjata rahasia itu.
Agaknya malam ini tidak ada jalan lain. Dia terpaksa mengeluarkan senjata
tersebut untuk menghentikan sekaligus menghabisi si penculik.
Ketika di depan sana penunggang kuda yang dikejar membuat gerakan membelok ke
kiri. Surablandong melihat inilah kesempatan terbaik untuk menghantam orang.
Secepat kilat dia gerakkan tangan kanannya.
"Wuutt ".
Surablandong lancarkan serangan pertama. Satu dari dua bola kuningan berduri itu
melesat di udara. Inilah kebiasaan dan kecerdikan Surabandong. Dia tidak pernah
melepas senjata rahasia lebih dari satu buah dalam satu ketika serangan. Cara
ini pula yang membuat banyak lawan terpedaya dan menemui ajalnya.
Walau malam gelap namun bola lembaga itu pelihatkan menyala kuning, melayang
laksana batu berpijar yang jatuh dari langit, mencari sasaran di.arah kepala
penunggang kuda hitam. Orang yang diserang rupanya sudah tahu kalau dirinya
hendak dihantam orang dengan satu senjata rahasia. Sambil menyentakkan tali
kekang kuda dan rundukkan kepala, dia membuat gerakan berkelit, bersamaan dengan
ilu tangan kirinya dilambaikan ke samping.
Pada saat orang berusaha menghindari serangan bola kuningan pertama itulah
Surablandong susul dengan serangan kedua. Untuk ke dua kalinya dalam gelapnya
malam terdengar suar menderu disertai melesatnya cahaya kuning yang kali ini
mencari sasaran di pinggang penunggang kuda hitam.
Orang di atas kuda hitam mendengus. Kembali dia lambaikan tangan kirinya,
"Tringg!"
"Tringg!"
Dua kal terdengar suara berdering disertai kerlipan bunga api dalam gelapnya
mafam. Dua bola kuningan berduri yang dilemparkan Surablandong hancur bertaburan di
udara! Kagetnya Surabiandong bukan alang kepalang. Seumur hidup baru sekali ini
serangan bola kuningannya dipukul hancur demikian rupa. Pernah kejadian ada
lawan yang memang mampu mengelakkan bola kuningan pertama, Tapi hampir tidak ada
yang sanggup menyelamatkan diri dari serangan bola kuningan susulan.
Geram penasaran dan marah Surablandong menggebrak kudanya lebih cepat.
Kuda tunggangannya lari seperti dikejar setan namun tetap saja dia tidak mampu
mengejar penunggang kuda didepannya.
Ternyata orang yang dikejar lari ke arah timur Telaga Sarangan. Sel ah u
Surablandong tak jauh dari kawasan itu terdapat sebuah air terjun. Lalu lebih
jauh ke arah utara ada satu bukit batu yang konon menjadi sarang kediaman
berbagai binatang buas mulai dari ular berbisa sampai harimau raksasa.
Di timur telaga entah bagaimana Surnblandong berhasil mendekati orang yang
dikejarnya. Makin dekat, makin dekat dan akhirnya dia dapat mengejar bahkan
mendahului orang itu. Surablandong memutar kudanya, berbalik. Kini dia
menghadang orang yang sejak tadi dikejarnya. Bekas Ketua Perguruan Silat Lawu
Putih ini tidak sadar kalau dia bisa mengejar orang karena orang yang dikejar
memang sengaja memperlambat lari kudanya.
Dua tombak dari hadapan Surablandong penunggang kuda hitam hentikan kudanya. Dua
matanya memandang tajam ke arah Surablandong. Lalu dari bawah penutup kepala
berbentuk pocong putih itu menggema suaranya.
"Surablandong, perjalananmu cukup sampai disini! Kembali ke Plaosan atau kubuat
kau meregang nyawa saat ini juga!" Surablandong tersentak kaget mendengar orang
tahu dan menyebut namanya. Dia coba mengingat-ingat. Tapi tak mampu mengenali
suara itu. Matanya memperhatikan sosok yang menggeletak di atas pangkuan orang. Sosok
seorang perempuan, perutnya tinggi. Astaga! Surablandong terkejut untuk kedua
kalinya. Perempuan di atas pangkuan penunggang kuda hitam itu adalah Nyi Upit! Puteri
Kepala Desa sahabatnya yang tengah hamil tujuh bulan!
BASTIAN TITO 3 113. LORONG KEMATIAN
SURABLANDONG majukan kudanya hingga mulut binatang ini hampir bersentuhan dengan
kepala kuda tunggangan orang di hadapannya. Pandangan orang tua ini seolah ingin
menembus penutup kepala kain putih berbentuk pocong, namun dia hanya bisa
melihat kerlapan cahaya sepasang mata di balik dua lobang kecil kain putih
penutup kepala.
Perempuan lain saja diculik orang dudan cukup membuat Surablandong marah.
Apa lagi yang diculik puteri sahabatnya dan dalam keadaan hamil pula.
"Bangsat penculik!' Bentak Surablandong.
"Beraninya kau menculik puteri Kepala Desa yang sedang hamil! Serahkan Nyi Upit
padaku atau kuhabisi kau saat ini juga!".
Dari balik kain putih penutup kepala berbentuk pocong keluar suara tawa bergelak
"Surablandong, kembalilah ke Plaosan. Anggap kita tidak pernah bertemu di tempat
ini. Anggap kau tidak pernah melihat apa-apa. tidak pernah menghadapi kejadian
ini. Maka kau akan selamat dalam sisa hidupmu!"
Rahang Surablandong menggembung, dia merasa sangat dihina dan direndahkan.
"Manusia atau hantu kurang ajar! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan
siapa!". Kembali dari balik penutup kepaia berbentuk pocong terdengar suara tertawa,
"Siapa tidak kenal Surablandong, tokoh nomor wahid rimba persilatan yang pernah
menjabat Ketua Perguruan Sifat Lawu Putih! Semua kehebatanmu hanya tinggal
kenangan Surablandong. Malah aku melihat Perguruan Silai yang kau tinggalkan
empat tahun silam akan menjadi porak paranda. Pergilah, kembali ke Plaosan !".
"Penculik keparat! Aku tidak akan pergi dari tempat ini sebelum membetot lepas
kain penutup kepafamu mengetahui siapa dirimu!. Dan sebelum kau menyerahkan
padaku puteri Kepala Desa itu!"
Kembali orang bertutup kepala keluarkan tawa bergelak.
"Sura,... Surablandong, Di masa muda ketika kau sedang hebat-hebatnya malang
melintang di rimba persilatan tanah Jawa. Seandainya kita bertemu saat itu, kau
tak bakal berkemampuan menghadapi diriku. Apa lagi saat ini. di usiamu yang
sudah tua badan telah rapuh dan pikiran mulai pikun! Kau ingin membetot lepas
kain penutup kepalaku!
Ha...ha! Jangan berucap terlalu sombong. Jangan berkata apa yang kau tidak mampu
melakukan! Kau ingin membawa puteri Kepala Desa ini! Jangan sekali-kaii
bertindak menjadi pahlawan besar! Karena nyawamu Cuma satu, Surablandong !".
"Mungkin kau punya dua atau tiga nyawa hingga bicara sombong di hadapanku!
Aku mau lihat, berapa banyak nyawa kau punyai!" Surablandong membalas ucapan
orang dengan suara lantang keras, bergetar penuh marah.
"Kau ingin menghitung nyawa yang aku miliki"' Ceh... ceh... ceh!". Kepala yang
ditutupi kain putih berbentuk pocong bergeleng beberapa kali. Mulutnya keluarkan
suara leletan lidah. "Orang muda terkadang berlaku tolol. Tapi banyak orang bisa
memahami dan memaafkan. Namun kalau orang tua bangka seperti mu berlaku tolol
hanya penyesalan yang akan kau bawa ke liang kubur!"
Amarah Surablandong meluap sudah !
"Ujudmu seperiti setan! Biarlah kau kujadikan setan sungguhan!"
Habis berkata begitu Surablandong membedal kudanya ke depan. Begitu bersisian
dengan lawan serta merta dia melesat dari punggung kuda. Sementara tubuhnya
melayang di udara, Surablandong kirim pukulan dengan kedua tangan ke arah muka
orang. Tangan kanan memang sungguhan hendak menghantam kepala lawan, tapi
gerakan tangan kiri hanya tipuan karena bertujuan untuk membetot lepas kain
penutup kepala. Inilah gerakan silat bernama Jurus Menghantam Batang Mencabut
Daun. Penunggang kuda hitam keluarkan suara mendengus lalu membuat gerakan merebahkan
tubuh sebelah atas dan kepalanya ke belakang. Kaki kanan ditendangkan ke perut
kuda tunggangan Surablandong hingga binatang ini meringkik kesakitan dan angkat
dua kaki depannya tinggi-tinggi. Selagi Surablandong berusaha mengimbangi diri
agar tidak terpental dari punggung kuda, tahu-tahu tangan kanan si pocong putih
telah melabrak dada Surablandong dua kali berturut-turut. Tubuh Surablandong
terlipat ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sekali lagi jotosan
keras melanda dada orang tua itu. Tak ampun sosok Surablandong terpental dari
atas kuda. Terbanting menelentang di tanah. Matanya mendelik tapi dia tidak
melihat apa-apa.
Wajah di balik kain penutup kepala menyeringai. Entah kapan dia mengambil dan
entah dari mana diambilnya, orang ini tahu-tahu telah memegang sebuah bendera
kecil berbentuk segitiga terbuat dari sehelai kain putih. Sekali tangannya
digerakkan, bambu kecil lancip yang menjadi ikatan bendera menancap dalam di
leher Surablandong. Darah menyembur. Kain berbentuk segitiga yang tadinya putih
serta merta berubah merah.
Menjadi Bendera Darah' .
Di arah selatan, dalam kegelapan malam kelihaian setengah lusin api obor
bergerak cepat menuju Telaga Sarangan. Sambil perhatikan barisan obor di
kejauhan, orang di alas kuda usap-usap perut hamil perempuan yang terbujur di
atas pangkuannya.
Mulutnya menyeringai. Lalu sekali tali kekang kuda disentakkan, sebelum
rombongan pembawa obor sampai di tepi telaga, bersama tunggangannya orang ini
telah melesat lenyap dalam kegelapan malam.
PEDATARAN tinggi bukit berbatu-batu di utara Telaga Sarangan. Dalam pekat
gelapnya malam kawasan itu kelam menghitam, menampilkan pemandangan angker dalam
kesunyian yang membuat kuduk bisa terasa dingin. Sesekali hembusan angin bertiup
mengeluarkan suara aneh menegakkan bulu roma. Ketika dari arah selatan muncul
satu bayangan putih, bergerak cepat bersama hembusan angin, siapa yang
menyaksikan akan menduga makhluk itu adalah setan yang tengah berkelebat
gentayangan di malam gelap gulita.
Tapt makhluk tersebut, walau berpakaian serba putih, bertutup kepala laksana
pocong hidup, bukanlah setan atau makhluk halus adanya. Dia adalah manusia biasa
yang berdandan seperti setan. Sambil melompat dari satu batu ke batu lain,
berkelebat cepat dalam kegelapan malam, orang ini menggendong sosok perempuan
hamil. Berlari cepat dalam gelapnya malam di kawasan berbatu-batu dengan beban
perempuan hamil dalam gendongan, jelas bukan pekerjaan mudah. Kalau makhluk
seperti pocong hidup itu mampu melakukan, berarti dia memiliki ilmu kepandaian
luar biasa tingginya
Di atas sebuah batu agak datar, orang ini hentikan larinya. Dan balik dua lobang
kecil pada kain putih penutup kepala, sepasang matanya memandang berkeliling.
Dia sudah sering berada dibukit batu ilu, namun pada malam hari segala
sesuatunya kelihatan serba hitam. Dia harus memasang mata mengawasi agar tidak
salah jalan. Akhirnya dia melihat mulut lorong itu. Gelap menghitam dibalik bayang-bayang
sebuah batu besar, sejarak dua puluh tombak di sebelah bawah bukit. Tidak
menunggu lebih lama orang ini segera berkelebat ke arah balu besar di bawah
sana. Dilain kejap sosok putihnya lenyap menghilang masuk ke dalam mulut lorong
batu yang berada di perut bukit.
Adalah aneh, di dalam lorong batu keadaannya remang-remang, tidak segelap di
luar. Kenyataan lain ialah bahwa di dalam perut bukit batu Itu tidak hanya ada
satu lorong tetapi terdapat banyak sekali cabang dan setiap cabang memiliki
cabang-cabang pula.
Orang yang tidak tahu seluk beluk tempat ini bukan saja akan tersesat malah
bisa-bisa tidak mampu lagi mencari jalan keluar.
Sambil lari sepanjang lorong batu yang penuh dengan cabang-cabang itu orang
berpakaian seperti pocong berucap perlahan seperti menghitung-hitung.
"Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh kanan. Lima puluh kiri. Empat
puluh kanan. Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh
kanan. Lima puluh kiri. Empat puluh kanan Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan."
Tepat pada ucapan lima puluh kanan yang terakhir di depan orang yang berlari
sambil menggendong sosok perempuan hamil, terlihat sebuah pintu kayu berwarna
hitam. Pada pertengahan daun pintu menancap sebuah bendera kecil berbentuk segitiga,
berwarna merah basah. Bendera Darah !
Sepuluh langkah akan sampai ke depan pintu hitam yang ditancapi Bendera Darah
tiba-tiba dari kiri kanan pintu dimana terdapat dua buah lorong melompat keluar
dua sosok berpakaian putih dengan kepala ditutup kain putih berbentuk pocong.
Masing-masing mencekal golok. Yang sebelah kanan langsung membentak.
"Siapa"!"
"Wakil Ketua Harap buka pintu hitam" . .
Dua orang di depan pintu cepat-cepat menekuk lutut dan menjura memberi hormat
pada setan pocong yang menggendong perempuan hamil. Lalu salah seorang dari
mereka menekan sebuah tombol rahasia di dinding kiri pintu. Serta merta pintu
hitam terpentang lebar. Sekali melompat manusia pocong yang menyebut diri Wakil
Ketua lenyap ke dalam satu ruangan batu di balik pintu. Pintu hitam tertutup
kembali. Begitu berada dalam ruangan balu di belakang pintu hitam, manusia pocong segera
berkelebat ke ujung ruangan dimana terdapat pintu kedua berwarna biru. Pada
pintu ini juga menancap sebuah bendera segitiga merah dan basah. Ketika
mendekati pintu biru tiba-tiba atap ruangan terbuka. Empat manusia pocong
melayang turun dengan mengeluarkan suara berkesiuran. Golok tergenggam di
tangan. Empat pasang mata di balik lobang-lobang kecil kain putih penulup kepala
yang sebelumnya berkilat beringas begitu melihat dan mengenali orang di
depannya, serta merta menekuk lutut menjura hormat,
"Wakil Ketua, silahkan masuk. Ketua sudah aama menunggu."
Manusia pocong yang barusan bicara menekan sebuah tombol di kiri pintu. Maka
pintu biruu terbuka dengan sendirinya. Begitu manusia pocong yang menggendong
perempuan hamil masuk ke dalam, pintu biru segera menulup.
Ruangan batu dimana manusia pocong itu berada, luas sekali tetapi kosong dan
sunyi. Kekosongan dan kesunyian ini hanya sebentar. Tak selang berapa lama
dinding batu di sebelah kiri bergeser membentuk celah. Dari celah ini keluar
seorang manusia pocong bertubuh tinggi.
Manusia pocong yang menggendong perempuan hamil cepat bungkukkan badan lalu
berkala. "Yang Mulia Ketua, terima salam hormat saya. Saya datang sesuai tugas."
"Wakil Ketua, aku gembira melihat kau berhasil. Baringkan perempuan itu
dilantai. Aku akan menyerahkannya pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu". Manusia pocong
bertubuh tinggi keluarkan ucapan. Suaranya menggema menggetarkan dinding, lantai
dan atap ruangan batu.
Sesuai apa yang diperintahkan sang Wakil Ketua baringkan sosok perempuan hamil
di lantai batu. Orang yang dipanggil dengan sebutan Ketua perhatikan sesaat
wajah perempuan hamil itu lalu bertanya.
"Siapa dia?"
"Nyi Upit. pureri Kepala Desa Plaosan", jawab Wakil Ketua.
"Berapa usia kandungannya?"
"Tujuh bulan rencananya besok akan dilangsungkan hajatan selamatan."
"Bagus. Aku puas. Kau boleh istirahat barang sebentar. Sebelum pergi ada hal
lain yang hendak kau sampaikan?"
"Ada, Yang Mulia. Pertama saya telah membunuh Surablandong. Bekas Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih..."
"Manusia satu itu memang tidak berguna hidup, lebih lama. Ada hal lain ?".
"Ki Mantep Jalawardu. Kepala Desa Plaosan, bersama menantunya, I Kelut
Sudarsana, suami Nyi Upit tengah melakukan pengejaran. Sebelum pergi saya
mendengar Ki Mantep memerintahkan anak buahnya untuk melapor dan minta bantuan
ke Kadipaten Magetan. Selain itu saya juga mendengar Ki Mantep minta didatangkan
Ki Juru Seta, ahli pencari jejak. Apa yang saya harus lakukan" Apakah orang-
orang itu cukup layak untuk dibiarkan hidup dan dipakai tenaganya seperti yang
kita rencanakan?"
"Tingkat kepandaian Ki Mantep Jalawardu tidak ada artinya. Juga sang menantu
Habisi mereka"
"Bagaimana dengan Ki Juru Seta?"
"Bunuh dia sebelum berhasil mengetehui tempat ini."
"Akan saya lakukan. Saya akan berangkat sekarang juga."
"Tunggu dulu. Tadi kau mengatakan Ki Mantep minta bantuan Kadipaten Magetan.
Aku tahu Adipati Magetan adalah sahabat kental Ki Mantep Jalawardu. Mungkin dia
akan turun tangan sendiri menolong sahabatnya itu. Jika Adipati benar-benar
muncul, tangkap dia hidup-hidup. Tingkat kepandaian silat dan ilmu kesaktiannya
bisa kita manfaatkan,"
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik Yang Mulia. Saya minta diri sekarang."
"Pergilah. Orang-orang itu harus kau habiskan malam ini juga."
"Balk Yang Mulia."
Manusia pocong Wakil Ketua membungkuk hormat lalu memutar badan, tinggalkan
ruangan itu. BASTIAN TITO 113. LORONG KEMATIAN
4 SAMBIL mengangkat obor tinggi-tinggi, penunggang kuda paling depan berteriak.
"Berhenti! Ada tubuh manusia tergeletak ditengah jalan!". Dua penunggang kuda di
sebelah belakang, hentikan kuda lalu melompat turun. Kedua orang ini adalah Ki
Mantep Jalawardu Kepala Desa Plaosan dan menantunya I Ketut Sudarsana. Tujuh
orang lagi menyusul turun dari kuda masing-masing. Lima diantaranya membawa
obor. Mereka adalah para petugas Pamongdesa Plaosan.
Ki Mantep Jalawardu mengambil obor dari tangan salah seorang anak buahnya.
Dia melangkah cepat ke arah tergeletaknya sosok manusia. Ketika obor di tangan
Ki Mantap dan dua obor lain, menerangi wajah dan badan orang yang terhampar
ditanah itu, kagetlah Kepala Desa dan semua orang yang ada disitu. Ki Mantep
berikan obornya pada anak buah disampingnya lalu berlulut, pegangi kepala orang
yang tergetak di tanah.
"Surablandong,..". Suara Ki Mantep bergetar wajahnya tegang membesi. Kemudian
dia melihat bendera segitiga merah yang menancap di leher sababatnya itu.
"Bendera Merah..." desis Ki Mantep.
I Ketut Sudarsana berlutut di seberang ayah mertuanya. "Ki Sura pasti berhasil
mengejar penculik. Si penculik lalu membunuhnya."
Ki Mantep pejamkan mata, anggukkan kepala lalu bangkit berdiri. Dia memandang
berkeliling. Mula-mula ke arah Telaga Sarangan. Lalu ke jurusan kerapatan
pepohonan dan terakhir sekati ke arah bukit batu yang menghitam di kejauhan.
Sulit untuk menduga kemana larinya si penculik.
"Ini satu perkara besar! Nyi Upit anakku harus bisa diselamatkan! Si penculik
harus bisa ditangkap. Aku sendiri yang akan memenggal batang lehernya.
Tapi jika dia sanggup menghabisi sahabatku Surablandong seperti ini berarti
penculik jahanam itu memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Kita perlu berhati-
hati. Kita harus menyusun siasat pengejaran."
Dua orang Pamongdesa ditugaskan membawa pulang jenazah Surablandong ke Plaosan.
Sesampainya di Plasoan, salah seorang dari mereka harus kembali lagi membawa
bantuan tenaga pengejar sebanyak mungkin. Sedang petugas satunya harus segera
menemui Adipati Magetan untuk melaporkan apa yang terjadi. Kalau bisa meminta
bantuan perajurit Kadipaten mengejar si penculik. Kepada petugas ini juga
diminta untuk menemui seorang bernama Juru Seta yang dikenal memiliki kepandaian
mencari jejak orang atau binatang buruan. Semasa perang. Kerajaan mempergunakan
kepandaian Juru Seta untuk mengintai, menyelidiki kedudukan musuh. Di masa kaum
pemberontak mengacau negeri, tenaganya dimanfaatkan untuk mengejar para
pemberontak sampai ke sarangnya hingga pemberontakan dapat ditumpas sampai ke
akar-akarnya. Kepada menantunya Ki Mantep kemudian berkata.
"Kau dan tiga orang Pamong tetap di sini, menunggu sampai tenaga bantuan datang.
Aku dan yang lain-lain melanjutkan pengejaran."
Khawatir akan keselamatan ayah mertuanya Ketut Sudarsana menjawab.
"Ayah, sebaiknya biar saya yang meneruskan melakukan pengejaran. Ayah dan yang
lain-lain menunggu di sini..."
''Yang diculik jahanam itu adalah anakku! Aku harus....."
"Nyi Upit adalah istri saya. Di dalam perutnya ada jabang bayi darah daging
saya!" ucap sang menantu. Kelihatannya Ketut Sudarsana tidak dapat menahan rasa geram
yang sebelumnya berusaha ditahan hingga dia mengeluarkan kata-kata keras pada
ayah mertuanya.
"Seperti ayah saya juga ingin menyelamatkannya dan membunuh penculik keji itu".
Ki Mantep terdiam mendengar ucapan sang menantu.
''Kalau begitu kita lanjutkan pengejaran sama- sama!", kata Ki Mantep Jalawardu
akhirnya. Dua orang petugas Pamongdesa ditinggalkan di tempat itu menunggu rombongan
bantuan. Ki Mantep dan I Ketut Sudarsana bersama enam orang lainnya segera
melanjutkan pengejaran. Sebelum pergi Ki Mantep meninggalkan pesan pada dua anak
buahnya. Kalau Juru Sela dan rombongan datang agar menyusul ke arah utara.
Sebagai orang yang telah menjadi Kepala Desa Plaosati lebih dari dua puluh tahun
Ki Mantep bukan saja tahu belul seluk beluk desanya tapi juga hampir seluruh
kawasan perbatasan termasuk daerah sekitar kaki Gunung Lawu. Karenanya walaupun
saat itu malam hari. bukan merupakan satu kesulitan bagi Kepala Desa ini untuk
melanjutkan pengejaran. Namun sampai fajar menyingsing di ufuk timur, jejak sang
penculik masih belum tersidik. Padahal dia dan rombongan telah dua kali
mengitari telaga.
"Kita tunggu sampai hari terang. Baru melanjutkan pencarian". Ki Mantep
mengambil keputusan. Rombongan itu kemudian beristirahat di tepi barat Telaga
Sarangan. Pagi harinya, selesai Ki Mantep mencuci muka di tepi telaga, petugas Pamongdesa
yang diperintahkan menemui Juru Seta serta meminta tenaga bantuan muncul membawa
Juru Seta serta orang enam pemuda yang rata-rata bertubuh tegap dan membekal
golok besar di pinggang masing-masing.
Ki Mantep segera menemui Juru Seta, seorang tua berpakaian dan berblangkon serba
hitam yang setiap saat selalu mengunyah sirih campur tembakau dalam mulutnya dan
sesekali menyemburkan ludah merah ke tanah.
"Ki Juru, aku sangat mengharapkan bantuanmu...."
"Dari Pamongdesa saya sudah mendengar apa yang terjadi. Saya akan berusaha
sebisanya agar Nyi Upit dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat."
"Pamong desa memberitahu mengenai Bendera Darah?" Juru Seta mengangguk.
"Agaknya bendera segitiga yang dibasahi dengan darah itu menjadi satu tanda dari
penjahat terkutuk yang menculik anakku. Mungkin Ki Juru pernah tahu atau pernah
mendengar sebelumnya hal-hal yang berhubungan dengan Bendera Darah itu. Mungkin
juga tahu siapa orang di belakang semua kejadian ini?"
"Ini satu kejadian aneh luar biasa dalam hidup saya. Saya tidak mengetahui dan
juga tidak bisa menduga apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa ada orang menculik
puteri Ki Mantep yang sedang hamil. Lalu mengapa begilu tega membunuh
Surablandong dan menancapi lehernya dengan Bendera Darah. Hanya ada satu hal
yang bisa saya artikan. Orang dibalik kejadian ini ingin memberi kesan. Jangan
main-main dengan Bendera Darah. Setiap Bendera Darah muncul maka satu peristiwa
besar akan terjadi.
Yang juga bisa berarti kematian." Juru Seta diam sebentar lalu berkala lagi.
"Ki Mantep, sebaiknya kita segera saja mulai bergerak."
Dari balik pakaiannya orang tua yang seumur dengan sang Kepala Desa Plaosan ini
keluarkan sebuah tongkat kecil terbuat dari bambu kuning panjang lima jengkal.
Inilah benda yang menjadi andalan Juru Seta dalam melakukan pekerjaannya.
Juru Seta memulai penyelidikannya dari tempat ditemukannya mayat Surablandong.
Tongkat bambu kuning ditancapkan di tanah, tepat dimana sebelumnya sosok
Surablandong terkapar menemui kematian. Perlahan-lahan Juru Seta pejamkan mata.
Begitu matanya terkancing rapat tiba-tiba tongkat bambu kuning yang menancap di
tanah sedalam satu jengkal kelihatan bergetar. Makin lama makin keras. Kemudian
perlahan-lahan, masih dalam keadaan bergetar ujung tongkat bambu kuning itu
meliuk ke arah utara. Pada saat ujung tongkat meliuk membentuk garis patah tiba-
tiba tongkat Itu melesat ke udara lalu melayang turun kembali. Tanpa membuka
matanya Juru Seta ulurkan tangan menangkap tongkainya. Benda ini diselipkan di
pinggang lalu matanya dibuka, langsung menatap pada Kepala Desa.
"Bagaimana Ki Juru Seta?". Tanya Ki Mantep Jalawardu tidak sabaran,
"Penculik membawa puteri Ki Mantep ke jurusan utara. Kita menuju ke sana
sekarang juga". Jawab Juru Seta.
Di daerah sebelah utara terdapat kawasan rimba belantara. Di seberang rimba
belantara ada satu kawasan bukit batu. Kawasan mi merupakan kaki selatan Gunung
Lawu. Rombongan segera meninggalkan Telaga Sarangan menuju utara. Sepanjang
perjalanan Juru Seta mendapat petunjuk melalui getaran yang keluar dari tongkat
bambu kuning yang terselip di pinggangnya. Selama tongkat itu mengeluarkan
getaran berarti arah yang mereka ikuti adalah benar, berarti puta bahwa si
penculik memang melarikan diri di arah yang tengah mereka ikuti. Selain getaran
tongkatnya. Juru Seta juga bisa melihat jejak yang ditanggalkan kaki kuda si
penculik. Tongkat terus bergetar dan jejak kelihatan jelas ketika rombongan
memasuki rimba belantara.
Menjelang tengah hari rombongan sampai di kaki selatan Gunung Lawu. Getaran
masih terus keluar dari tongkat bambu kuning di pinggang Juru Seta tetapi
gelarannya terasa semakin perlahan. Sedangkan jejak-jejak kaki kuda tidak
kelihatan lagi. Hal ini dapat dimaklumi karena kawasan tlu memiliki tanah yang
tertutup bebatuan. Diam-diam Juru Seta merasa kawatir.
"Aneh." membatin Juru Seta. 'Kalau penculik membawa Nyi Upit ke sekitar tempat
ini, jejak bisa saja hilang karena ini kawasan berbatu-batu. Tapi seharusnya
getaran tongkat semakin keras."
Ketika getaran tongkat lenyap sama sekali, Juru Seta memberi isyarat agar
rombongan berhenti. Lalu orang tua berpakaian serba hitam ini turun dari
kudanya. "Bagaimana Ki Juru, sudah ada petunjuk?" Bertanya I Ketul Sudarsana, Juru Seta
tidak segera menjawab. Dia memandang dulu berkeliling. Di sebelah belakang
terbentang rimba belantara yang barusan mereka lewati. Di sebelah depan ada
jajaran lembah yang walau cukup dalam tapi tidak sulit untuk ditempuh. Di
seberang lembah terdapat satu pedataran tinggi membentuk bukit batu. Ke sebelah
barat ada tiga desa besar yakni Tawang mangu. Karang anyar dan Karang pandan.
Jika pergi ke timur akan sampai ke kawasan pecandian. Salah satu candi yang
terkenal di daerah itu adalah Candi Cemorosewu. Juru Seta berpikir-pikir. Kalau
getaran tongkat lenyap di tempat itu dan jejak di tanah tidak lagi kelihatan,
berarti itulah akhir perjalanan si penculik. Berarti ke tempat sekitar situlah
Nyi Upit dilarikan. Namun memandang berkeliling Juru Sela tidak melihat hal-hal
mencurigakan. Mungkin penculik membawa Nyi Upit menuruni lembah.
Dan di dasar lembah sana perempuan muda hamil tujuh bulan itu disekap.
"Kalau penculik dan Nyi Upit berada di lembah sana, seharusnya tongkat
mengeluarkan getaran lebih kuat. Tapi nyatanya getaran tongkat malah lenyap. Aku
merasa, sejak sebelum keluar dan rimba belantara ada hawa aneh menahan getaran
tongkat. Seumur hidup baru sekali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.
Mengejar pemberontak walau berbahaya tapi tidak sufit. Mengejar seorang penculik
mengapa begini susah". Agaknya ada satu hal besar yang tak bisa kubayangkan di
belakang semua kejadian ini.
"Ki Juru, kau mengetahui sesuatu?" K i Mantep Jalawardu bertanya.
"Agaknya penculik berada di sekitar kawasan ini...". jawab Juru Seta.
"Agaknya" Berarti kau ragu-ragu Ki Juru " ujar Ki Mantep.
"Menurut petunjuk, Nyi Upit dilarikan ke arah sini. Di depan ada jajaran lembah.
Di seberang sana ada bukit batu. Dua kawasan ini harus kita selidiki"
"Ki Juru tidak tahu pasti di sebelah mana penculik berada?" bertanya Ketut
Sudarsana. Juru Seta menggeleng. Terus-terang dia berkata.
"Ada satu kekuatan aneh tapi hebat mempengaruhi pekerjaan saya. Namun saya
yakin, kalau tidak didalam lembah, puteri Ki Mantep mungkin berada di pedataran
tinggi berbatu-batu sana." Baik Ki Mantep Jalawardu maupun I Ketut Sudarsana dan
semua orang yang ada di tempat itu merasa tidak puas atas keterangan Juru Seta.
Juru Seta sendiri diam-diam merasa gelisah. Dia cabut tongkat bambu kuning yang
terselip di pinggang lalu tancapkan tongkat ini ke tanah antara dua buah batu.
Dengan telapak tangan kanannya Juru Seta tekan ujung tongkat. Belum lama menekan
tiba-tiba ada sambaran hawa aneh menyengat telapak tangan Juru Seta. Wajah orang
tua ini jadi berubah. Terlebih ketika tangan kanannya yang berada di atas
tongkat mulai bergetar. Juru Seta kerahkan tenaga meredam getaran aneh. Tiba-
tiba orang tua ini keluarkan jeritan keras. Tangan kanannya terpental, tubuhnya
terbanting ke tanah.
Kepalanya nyaris membentur sebuah batu. Dari mulutnya tersembur keluar tembakau
serta sirih yang selalu dikunyahnya. Lalu ada lelehan cair berwarna merah.
Lelehan ini bukan ludah sirih tetapi darah! Satu kekuatan aneh dan dahsyat yang
dikirimkan orang ke tongkat kuning telah membuat Ki Juru Seta menderit luka
dalam yang parah.
Saat tubuh Juru Seta terbanting ke tanah, bersamaan dengan itu tongkat bambu
kuning yang menancap di tanah tercabut. Melayang ke udara, lalu berbarengan,
suara tawa bergelak menggelegar di tempat itu, menggema sampai ke dalam jajaran
lembah dan rimba belantara.
BASTIAN TITO 5 113. LORONG KEMATIAN
SEMUA tersentak kaget. Ki Mantep Jalawardu melompat turun dari kuda.
menghambur ke arah Juru Seta yang saat itu melingkar di tanah, tubuh menggigil
seperti orang kedinginan. Dari mulutnya masih mengucur darah. I Ketut Sudarsana
juga telah berkelebat turun dari punggung kudanya. Menantu Kepala Desa ini bukan
melompat ke arah Juru Seta tapi melesat ke dekat sebuah balu besar dlmana
berdiri seekor kuda. Di atas kuda ini duduk seorang berpakaian jubah putih,
kepala ditutup kain putih berbentuk pocong. Dari wajahnya hanya sepasang matanya
yang kelihatan lewat dua lobang kecil pada penutup kepala. Di tangan kanannya
orang ini memegang tongkat bambu kuning milik Juru Seta yang sebelumnya melesat
tercabut dari tanah. Rupanya ketika tongkat bambu itu melayang di udara, orang
ini berhasil menyambarnya. Sesaat diperhatikannya tongkat itu lalu berkata.
"Tongkat hebat! Tapi aku tidak butuh!"
Tangan manusia pocong meremas beberapa kali. Tongkat bambu kuning hancur tak
berbentuk lagi.
"Setan jahanam..." Juru Seta merutuk melihat tongkat andalannya dihancurkan
begitu rupa. Dia berusaha kumpulkan tenaga, mencoba bangkit berdiri untuk
menyerang manusia pocong tapi hanya mampu bergerak sedikit, sosoknya terhempas
kembali ke tanah. Sementara itu beberapa orang anak buah Ki Mantep Jalawardu
dengan golok di tangan mengikuti gerakan Ketut Sudarsana, melompat ke arah
penunggang kuda di dekat batu.
"Setan pocong! Pasti kau yang menculik isteriku" Teriak Ketut Sudarsana, Lalu
dia mengambil golok yang dipegang seorang pemuda Pamong desa. Dengan senjata ini
dia menyerang si penunggang kuda. Diserang orang dengan golok, melihat gerakan
lawan serta derasnya siuran senjata yang membabat ke arahnya jelas Ketut
Sudarsana memiliki kepandaian silat tidak rendah. Si penunggang kuda tidak mau
berlaku ayal. Sekali membuat gerakan, sosok nya melesat ke udara. Di lain kejap
dia telah berdiri di atas sebuah batu besar berpermukaan rata. Tangan kiri
bertolak pinggang.
"Jahanam! Mana istriku!" Kucincang kau kalau tidak menyerahkan Nyi Upit dalam
keadaan selamat !" Ketut Sudarsana berbalik, melompat ke atas batu dan untuk
kedua kalinya menyerang orang berjubah dengan goloknya.
"Wuuttt..!"
Golok menderu membabat ke arah pinggang. Si jubah putih condongkan tubuhnya ke
belakang. Dengan tangan kanannya dia pukul lengan yang memegang golok.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menyapu ke depan, menendang tulang kering kaki
kanan Ketut Sudarsana. Gerakannya luar biasa cepat walau Ketut Sudarsana
memiliki kepandaian tidak rendah namun dia tak mampu menghindar.
"Kraaakr!"
"Kraaak!"
Golok besar di tangan Ketut Sudarsana mencelat mental, jatuh ke dalam lembah.
Dua kali terdengar suara tulang patah disertai jerit setinggi langit keluar dari
mulut I Ketut Sudarsana, lelaki muda ini terbanting jatuh ke atas batu datar.
Tulang lengan kanan dan tulang kering kaki kanan patah. Untuk beberapa lamanya
dia terkapar menggeliat kesakitan di atas batu sambil keluarkan suara erang
kesakitan. Sosok yang dipanggil dengan sebutan setan pocong mendatangi lalu injakkan kaki
kanannya ke dada Ketut sudarsana. Orang yang sedang megap-megap kesakitan ini
merasa seolah sebuah batu besar menindih dadanya, membuat dua matanya mendelik
dan lidahnya terjulur.
Sambil bertolak pinggang manusia pocong yang menginjak dada Ketut Sudarsana
berteriak. "Orang-orang Plaosan! Kematian sudah dijatuhkan bagi kalian. Tapi aku masih
berbaik hati. Dengar! kalian harus segera tinggalkan tempat ini! Kalau sampai
matahari terbenam kalian masih berada di sini, kalian semua akan mampus percuma!
Contohnya ini"
Habis berkata begitu si manusia pocong tendang tubuh Ketut Sudarsana hingga
lelaki muda ini mencelat mental dan jatuh tepat di samping Ki Mantep Jalawardu
yang tengah menolong Ki Juru Seta. Ki Mantep Jalawardu terbeliak melibat sosok
menantunya terkapar di depannya, tidak bersuara tidak bergeming. Amarah Kepala
Desa Plaosan tidak terbendung lagi.
"Keparat jahanam! Kau menculik anakku! Membunuh sahabatku! Mencelakai menantuku!
Kupatahkan batang lehermu!" Belum lenyap gema suara bentakan Kepala Desa,
sosoknya telah melesat ke atas batu. Lancarkan pukulan tangan kosong mengandung
Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga dalam, dua kali berturut-turut.
Seperti tadi ketika diserang Kelut Sudarsana, manusia pocong hantamkan tangannya
ke atas untuk menangkis serangan disertai niat hendak mematahkan lengan lawan.
Tapi Ki Mantep Jalawardu sudah mencium maksud tersebut dan berlaku cerdik.
Sebelum dua lengannya beradu dengan dua lengan lawan dia cepat melompat ke atas.
Setengah tombak melayang di udara Ki Mantep kembali menggempur. Bukan cuma
dengan jotosan tapi kali ini disertai tendangan ke arah dada.
"Hebat !".
Si manusia pocong berseru. Sambil miringkan tubuh dia bergerak ke samping satu
tangkah lalu tangan kanannya bekerja. Ki Mantep Jalawardu menjerit kesakitan
ketika urat besar di pahanya kena ditotok lawan. Keseimbangannya hilang dan
tubuhnya berputar di udara lalu jaluh ke tanah. Selagi mencoba berdiri sambil
menahan sakit, kaki lawan telah berkelebat ke arah kepalanya. Ki Mantep
terlambat melihat serangan ini.
"Praaakkk"
Kepala Desa Plaosan itu terbanting ke tanah. mengerang pendek lalu tak berkutik
lagi! Nyawanya lepas dengan kepala pecah! Ki Juru Seta yang megap-megap dalam
cidera batalnya pejamkan mata ngeri melihat kematian Kepala Desa itu. Dua belas
anak buah Ki Mantap melengak kaget dan juga bergidik.
Juru Seta coba berteriak. Wala teriakannya tidak keras tapi cukup jelas
terdengar oleh selusin anak buah Ki Mantep Jalawardu,
"Kalian! mengapa diam saja! Orang telah membunuh Kepala Desa kalian lekas bunuh
makhluk setan jahanam itu!"
DUA belas orang anak buah Ki Mantep Jalawardu yang sejak tadi diam saja
berkelebat dengan cepat mereka mengurung bat besar di atas mana si manusia
pocong berdiri.
"Kalian mau apa" Aku tidak begitu suka melayani monyet-monyet macam kalian.
Pergi sana!".
"Bunuh! Cepat bunuh!". Berteriak Juru Seta ketika melihat dua belas orang yang
diperintahkannya untuk membunuh manusia pocong berdiri bimbang walau sudah
mengurung lawan. Darah meleleh dari mulutnya. Mendengar teriakan itu dua belas
orang pemuda petugas Pamongdesa tadi serta merta menyerbu. Dua belas senjata
tajam berkelebat dalam gelapnya malam, mengeluarkan suara bersiuran.
"Kalian minta mati aku akan berikan!" Manusia pocong di atas batu keluarkan
ucapan. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke udara. Begitu terabasan dua
belas golok lewat di bawahnya tiba-tiba orang ini membuat gerakan aneh. Tubuhnya
berputar seperti gasing. Kaki kanan menyapu ganas.
Enam orang anak buah Ki Mantep Jalawardu keluarkan jeritan keras. Tiga terlempar
lalu tergelimpang tak berkutik lagi karena kepalanya pecah. Dua lainnya terkapar
di tanah sambil pegangi tulang-tulang iga yang patah. Yang ke enam megap-megap
lalu semburkan darah dari mulut. Tendangan si setan pocong meremukkan tulang
dadanya. Enam anak buah Ki Mantep Jalawardu yang lain serta rnerta melompat
mundur dengan wajah pucat manusia pocong keluarkan tawa bergelak.
"Kalian mengapa mundur" Mau minta mampus ayo mendekat ke sini."
Tak ada yang berani bergerak. Ketika manusia pocong melompat turun dari atas
batu, enam pemuda itu bersurut mundur. Lutut masing-masing terasa goyah. Nyali
mereka leleh sudah setelah menyaksikan kematian Ki Mantep Jalawardu dan enam
kawan mereka. "Kalian... pengecut semua...".
Juru Seta keluarkan ucapan. Semangat dan dendam amarah masih berkobar. Dia
Cinta Berlumur Darah 1 Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 16