Pencarian

Meraga Sukma 2

Wiro Sableng 130 Meraga Sukma Bagian 2


Di tempatnya berdiri Ratu Duyung juga ikut terkejut. "Ya Tuhan, pertanda apakah
ini?" mem batin sang Ratu lalu bergerak menjauh menjaga segala kemungkinan.
Di atas pintu gerbang besar Naga Biru buka mulutnya. Air menyembur dari dalam
mulut disertai suara menggumuruh yang membuat
Seantero tempat kembali bergetar. Lidah menjulur merah, taring mencuat
mengerikan. Tiba-tiba binatang itu bergerak meluncur ke bawah.
Nyi Kantili mendorong punggung Wiro.
"Pendekar 212 lekas masuk!"
Wiro melesat melewati bagian bawah pintu
gerbang. Nyi Kantili mengikuti, disusul lima gadis anak buahnya yang berada di
sebelah belakang.
Tapi lebih cepat dari gerakan orang-orang itu, di atas sana Naga Biru meluncur
ke bawah. Air laut laksana terbelah. Tepat pada saat semua orang sudah masuk ke
dalam dan pintu gerbang
tertutup M e r a g a S u k m a
37 kembali, sosok Naga Biru telah melingkar di hadapan mereka. Badan bergelung di
dasar samudera sedang kepala tegak mendongak siap hendak menerkam.
"Celaka! Bertemu Nyi Roro Manggut saja belum! Ternyata nyawaku akan amblas di
tempat ini!" membatin Pendekar 212.
M e r a g a S u k m a
38 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
5 ITA tinggalkan dulu peristiwa hebat yang
terjadi di balik Tembok Karang Abadi, di
K belakang Pintu gerbang Naga Biru. Kita kembali pada Adipati Jatilegowo yang
tengah memacu kudanya ke arah derap kaki kuda di kejauhan. Siapa pun penunggang
kuda di depan sana dia yakin adalah orang yang telah
melarikan Nyi Larasati.
Pengejaran yang dilakukan Jatilegowo
memasuki hutan jati di sebelah barat Tegalrejo.
Di satu bebukitan sekeluarnya dari hutan jati Jatilegowo melihat orang yang
dikejarnya menyusuri anak Kali Progo menuju ke selatan.
Karena kenal betul seluk beluk kawasan itu, Jatilegowo menuruni bukit; mengambil
jalan memotong. Tak selang berapa lama dia berhasil mendahului orang yang
dikejarnya lalu
menghadang di satu jalan mendaki.
"Jahanam! Tanganku .sudah gatal ingin menghajar bangsat minta mampus berani mati
melarikan Nyi Larasati!" kata Jatilegowo. Tanpa turun dari kudanya lelaki tinggi
besar ini keluarkan Badik Sumpah Darah. Dengan ujung senjata sakti ini dia
membuat torehan dalam seputar batang sebuah pohon lalu menunggu. Tak selang
berapa lama di kejauhan kelihatan seorang penunggang kuda menuruni bukit dengan
cepat. Di pangkuannya melintang sosok seorang perempuan yang bukan lain Nyi
Larasati adanya.
Beberapa tombak lagi penunggang kuda itu akan sampai di tempatnya berada,
Jatilegowo dorong kuat-kuat bagian atas batang pohon yang M e r a g a S u k m a
39 telah ditorehnya.
"Kraaakkk!"
Pohon cukup besar itu berderak patah lalu
tumbang menggemuruh, jatuh melintang di
tengah jalan. Kuda yang tengah berlari cepat di jalan menurun meringkik keras,
coba hentikan larinya. Akibat berhenti mendadak dua orang yang ada di atas
punggungnya mencelat mental. Nyi Larasati mencelat lebih tinggi dan lebih jauh
sementara si penunggang kuda yang rupanya memiliki kepandaian cukup tinggi,
walau terlempar begitu rupa namun ketika jatuh ke tanah dia masih mampu tegak di
atas dua kakinya. Malah dengan sigap dia membuat gerakan kilat ke arah jatuhnya
sosok Nyi Larasati. Sebelum tubuh janda yang masih dalam keadaan tertotok itu
jatuh ke tanah dengan cepat orang ini membawa Nyi
Larasati ke tempat yang dianggapnya aman.
Namun baru bergerak empat langkah tiba-tiba satu bayangan tinggi besar
berkelebat di depannya. Satu bentakan menggeledek.
"Jahanam Loh Gatra! Kau rupanya!"
Orang yang mendukung dan menyelamatkan
Nyi Larasati saat itu memang adalah Loh Gatra, pemuda cakap cucu Ki Sarwo
Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung.
Dalam Episode pertama (Badik Sumpah
, Darah) dikisahkan bagaimana Loh Gatra atas perintah kakeknya pergi ke satu
bukit kapur di selatan Gunung Merbabu untuk mencari orang tua berjuluk Kakek
Segala Tahu. Dari kakek ini diharapkan bisa didapat keterangan mengenai di mana
beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng.
Menurut Ki Sarwo Ladoyo, Wiro adalah satu-satunya orang rimba persilatan yang
bisa menolong Nyi Larasati dari maksud jahat Adipati Jatilegowo serta
menyelamatkan Kadipaten Temanggung dari kehancuran.
Dalam perjalanan menuju bukit kapur Loh M e r a g a S u k m a
40 Gatra dihadang oleh tiga orang tak dikenal.
Ketiga orang itu kemudian diketahui adalah orang-orang suruhan Adipati
Jatilegowo yang
berusaha menggagalkan rencana Loh Gatra untuk mencari Kakek Segala Tahu dan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam keadaan terdesak hebat dan luka muncullah Wiro menyelamatkan
Loh Gatra. Loh Gatra sendiri tidak tahu kalau yang telah menolongnya itu sebenarnya adalah
Pendekar 212 yang tengah dicarinya.
Ketika beberapa waktu kemudian Jatilegowo
dan rombongannya muncul di Kadipaten
Temanggung dan memaksa Nyi Larasati untuk dijadikan istri, keributan tak dapat
dihindari. Dalam kemarahan yang menggelegak Jatilegowo berlaku nekad hendak menghabisi Nyi
Larasati dengan pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit."
Saat itulah Loh Gatra berkelebat menghadang.
Dengan bersenjatakan sebilah keris sakti
pemberian kakeknya Ki Sarwo Ladoyo yakni keris Tumbal Bekisar, Loh Gatra
menyabung nyawa menyelamatkan Nyi Larasati yang diam-diam dicintainya. Namun
ilmu silat Loh Gatra masih jauh di bawah tingkat ilmu silat yang dimiliki
Jatilegowo. Pemuda itu tak sanggup menghadapi pukulan "Dua Gunung Meroboh
Langit." bahkan kakeknya ikut kena hantaman hingga cidera berat.
Di saat-saat genting begitu rupa mucul Wiro.
Sebelumnya di Kadipaten Temanggung telah lebih dulu muncul pemuda gendut Bujang
Gila Tapak Sakti. Bagaimanapun hebatnya Jatilegowo, Adipati ini tak mungkin
menghadapi dua pendekar yang tingkat kepandaian silat dan kesaktiannya telah
menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa itu. Tapi Jatilegowo tetap nekad.
Apalagi dia tahu bahwa Wiro-lah yang telah membuat tanda bekas kecupan di leher
istri mudanya. Maka Jatilegowo M e r a g a S u k m a
41 perintahkan pasukannya untuk menyerbu
Kadipaten Temanggung.
Wiro masih mau memberi nasihat agar
Jatilegowo membawa pasukannya kembali ke Salatiga. Ketika Adipati ini masih
tetap keras kepala maka bersama Bujang Gila Tapak Sakti Wiro menggembosi ilmu
"Dua Gunung Meroboh Langit" yang dimiliki Jatilegowo. Bahkan tidak cuma sampai
di sana. Dengan ilmu "Menahan Darah Memindah Jazad" yang didapatnya di Negeri
Latanahsilam, Wiro seenaknya
memindahkan hidung Andipati Jatilegowo ke
kening. Dalam keadaan babak belur habis-habisan serta dihina demikian rupa
Jatilegowo bersama pasukannya akhirnya tinggalkan Kadipaten
Temanggung. "Pemuda jahanam! Turunkan Nyi Lara! Lalu datang berlutut di hadapanku untuk
menerima kematian!"
Bentakan Jatilegowo tidak membuat takut Loh Gatra. Pemuda ini malah menjawab
dengan suara tak kalah keras.
"Pelajaran dari Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti rupanya tidak membuatmu
jera! Kau masih berkeliaran meneruskan niat kejimu! Nyi Lara tidak suka padamu!
mengapa memaksa malah menculiknya! Kebejatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau
telah membunuh kakekku!"
"Pemuda keparat! Bagus kalau kau sudah tahu kalau kakekmu telah jadi bangkai!
Sebentar lagi kau akan segera menyusul kakekmu itu! Kau mencampuri urusanku
telah kelewat jauh.
Turunkan Nyi Lara! Atau kalian berdua akan kubantai sekaligus!"
Loh Gatra tidak takut ancaman Jatilegowo
terhadap dirinya. Tapi jika Nyi Larasati sampai cidera, itu yang
dikawatirkannya. Karenanya pemuda ini segera baringkan tubuh Nyi Larasati di
bawah sebatang pohon.
M e r a g a S u k m a
42 "Bagus! Sekarang datang ke hadapanku untuk menerima kematian!" kata Jatilegowo
begitu Loh Gatra selesai membaringkan tubuh Nyi Lara di tanah.
Loh Gatra balikkan badan. Begitu dia
menghadapi Jatilegowo di tangan kanannya
pemuda ini telah menggenggam sebilah keris terbuat dari perak murni, memancarkan
cahaya terang berkilauan. Inilah Keris Tumbal Bekisar, pemberian Ki Sarwo Ladoyo
kakeknya. Dulu ketika bertempur melawan Jatilegowo, kalau tidak memegang senjata bertuah ini
Loh Gatra niscaya menemui ajal dihantam pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit." Loh
Gatra menyaksikan sendiri bagaimana Pendekar 212 Wiro sableng dan temannya si
gendut Bujang Gila Tapak Sakti memusnahkan ilmu pukulan "Dua Gunung Meroboh
Langit" yang dimiliki Jatilegowo. Karena itu dia yakin kali ini dia akan dapat
menghadapi Adipati Salatiga itu, menyelamatkan Nyi Larasati dan sekaligus
menuntut balas atas kematian kakeknya. Si pemuda sayangnya tidak tahu, walau
Jatilegowo tidak lagi memiliki ilmu pukulan maut
"Dua Gunung Meroboh Langit", namun dia kini membekal sebilah senjata sakti
mandraguna yang kehebatannya lebih dahsyat dari ilmu pukulan itu.
Jatilegowo sunggingkan senyum mengejek.
"Ternyata kau masih menyimpan senjata rongsokan itu! Kau mau membunuh aku dengan
keris itu"! Silakan maju! Cari bagian tubuhku paling empuki'
Dengan sikap menantang tapi air muka
merendahkan Jatilegowo buka dada bajunya lalu tangannya dilambaikan memberi
isyarat agar Loh Gatra mendekat.
Diejek dan dianggap enteng seperti itu Loh Gatra jadi terpancing marah. Tenaga
dalam dialirkan ke tangan kanan hingga pancaran M e r a g a S u k m a
43 cahaya Keris Tumbai Bekisar tambah terang.
"Lihat serangan!" teriak Loh Gatra. Tubuhnya melesat ke depan. Keris Tumbal
Bekisar lenyap, berubah menjadi cahaya kemilau, membeset ke arah dada lalu
membabat ke atas mengincar tenggorokan! Inilah jurus yang disebut "Bekisar
Menyabung Gunung Menghujat Matahari".
"Loh Gatra! Jurusmu hanya pantas untuk menyerang anak kecil!" teriak Loh
Jatilegawa lalu sambil tertawa bergelak dia mundur dua langkah.
Begitu serangan keris lewat dia gerakkan tangan kanan untuk memukul hancur
sambungan siku kanan lawan. Tapi Loh Gatra cepat merubah kedudukan kakinya, dengan tubuh
dimiringkan dia kembali membabatkan Keris Tumbal Bekisar.
Suara angin menggidikkan menderu dahsyat
keluar dari ujung runcing dan badan keris. Kali Ini yang diarah adalah lambung
Jatilegowo hingga manusia tinggi besar ini berseru kaget dan cepat melompat
selamatkan perutnya.
Loh Gatra tak mau memberi kesempatan.
Jurus "Bekisar Menyabung Topan" yang tadi gagal diteruskannya dengan jurus
"Bekisai Menyabung Dinding Karang." Keris di tangan Loh Gatra bergetar demikian
rupa hingga kelihatan seolah berubah menjadi enam buah, menderu
ganas dari pinggang kiri ke arah dada kanan, begitu tidak mengenai sasaran
membalik dari bahu kanan ke arah leher!
"Hebat!" teriak Jatilegowo. Dia kembangkan tangan kirinya untuk menangkis
serangan maut Keris Tumbal Bekisar.
"Wuuutt!"
"Craasss!"
Keris Tumbal Bekisar menancap tepat di
pertengahan telapak tangan kiri Jatilegowo. Ketika keris itu dicabut darah
langsung menyembur.
Anehnya walau cidera begitu rupa Jatilegowo seperti tidak merasakan apa-apa.
Ingat peristiwa M e r a g a S u k m a
44 sewaktu dirinya diserang oleh mahluk aneh peliharaan Sarontang" Walau dua
lengannya koyak besar berlumuran darah namun dia tidak merasakan apa-apa. Ini
adalah berkat kesaktian Badik Sumpah Darah yang seolah telah menyatu dengan tubuhnya.
Sementara Loh Gatra terkesima melihat sikap lawan, dengan tenang Jatilegowo
keluarkan Badik Sumpah Darah. Senjata ini kemudian diusapkannya ke telapak
tangan kirinya. Serta merta luka bekas tusukan keris di telapak tangan itu sirna
bahkan darah yang mengotori tangan Jatilegowo ikut lenyap.
"Luar biasa! Ilmu apa yang dimiliki Adipati jahanam ini!" membatin Loh Gatra.
"Dia mampu menahan sakitnya luka! Badiknya mampu
menyembuhkan cidera!"
Di hadapan Loh Gatra Jatilegowo tertawa
mengekeh. "Aku minta agar kau memilih bagian tubuhku paling empuk! Kau cuma menusuk
telapak tanganku! Ha... ha... ha! Sekarang giliranku mencari bagian tubuhmu yang lunak!
Lihat badik!" Habis berkata begitu Jatilegowo menerjang sambil babatkan Badik Sumpah Darah.
Sinar biru kehitaman berkiblat angker disertai deru menggidikkan.
Loh Gatra maklum kalau senjata di tangan
lawan bukan senjata sembarangan. Dia cepat menyingkir ke kiri sambil susupkan
Keris Tumbal Bekisar di arah bawah tangan lawan. Ujung keris mengarah tepat ke
jantung Jatilegowo. Yang diserang menyeringai sinis dan keluarkan suara
mendengus. Tiba-tiba tubuh besar Jatilegowo melesat ke atas. Tapi setengah jalan
tubuh yang melayang itu menukik ke bawah. Badik Sumpah Darah membabat ganas ke
arah kepala Loh
Gatra. M e r a g a S u k m a
45 Jurus "Bekisar Menyusup Mega" yang dilancarkan Loh Gatra ke arah jantung
Jatilegowo disambut lawan dengan jurus "Badik Sakti Menebas Genta".
Sebenarnya saat itu serangan Loh Gatra
maupun Jatilegowo masih bisa dielakkan oleh masing-masing pihak. Namun tidak
terduga tumit kanan Loh Gatra terserandung akar pohon yang menyembul di
permukaan tanah. Walau hanya Sebentar dia kehilangan keseimbangan namun
Jatilegowo tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Badik di tangan kanan Adipati Salatiga ini berkelebat ganas ke arah muka cucu Ki
Sarwo Ladoyo! Dalam keadaan seperti itu tidak ada
kemungkinan bagi Loh Gatra untuk selamatkan diri dengan cara mengelak atau
singkirkan dari serangan lawan yang datang cepat luar biasa.
Satu-satunya jalan untuk cari selamat ialah dengan cara menangkis badik lawan
dengan keris di tangan.
"Traang!"
Dua senjata sakti saling bentrokan di udara.
Dua cahaya biru kehitaman dan putih berkilauan bersabung. Bunga api memercik
berpijaran. Loh Gatra keluarkan seruan tertahan. Dengan muka pucat pemuda ini melompat
setengah tombak ke belakang. Ketika dia memperhatikan, dalam genggaman tangan
kanannya hanya tinggal gagang dan sedikit sisa badan keris. Keris Tumbal Bekisar
telah buntung dibabat Badik Sumpah Darah. Buntungannya mencelat mental entah ke


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana! Selagi Loh Gatra terkesiap begitu rupa didahului bentakan menggeledek
tiba-tiba Jatilegowo kembali menyerang.
Dengan mengandalkan tangan kosong tak
mungkin Loh Gatra mampu menghadapi lawan.
Lalu senjata apa yang akan dipergunakan" Dia tak punya senjata lain selain Keris
Tumbal Bekisar M e r a g a S u k m a
46 yang kini telah buntung dan berubah hitam.
Untuk sedikit menghalangi serangan lawan
Loh Gatra lemparkan gagang keris yang masih ada dalam genggamannya lalu secepat
kilat dia melompat mematah cabang sebatang pohon kecil.
Dengan cabang pohon sebagai senjata, Loh Gatra berjibaku coba menyambut serangan
Jatilegowo. Ganda tertawa Jatilegowo babatkan Badik
Sumpah Darah. "Kraakk! Kraaakk!"
Beberapa kali kena dibabat badik sakti,
cabang pohon yang dijadikan senjata untuk bertahan oleh Loh Gatra habis dibabat
buntung. Kini cabang itu hanya tinggal dua jengkal panjangnya!
"Celaka!" keluh Loh Gatra. Pemuda ini terpaksa melangkah mundur ketika
Jatilegowo mendatanginya dengan Badik Sumpah Darah
terpentang angker di tangan kanan.
"Wuuuttt!"
Serangan pertama berhasil dielakkan Loh
Gatra. "Wuttt!"
Loh Gatra masih mampu selamatkan diri dari sambaran badik berikutnya yang
semakin dekat. Ketika serangan ke tiga dilancarkan Jatilegowo, dengan berlindung di balik kuda
miliknya Loh Gatra masih bisa bertahan.
"Jahanam! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" gertak Jatilegowo. Lalu
saking kesalnya Adipati Salatiga ini tusukkan badik saktinya ke lambung kuda
yang dijadikan tameng perlindungan oleh Loh Gatra.
Kuda besar warna coklat ini meringkik krias dua kali berturut-turut. Dua kaki
depannya tersentak naik ke atas. Dari mulutnya keluar busa kuning. Sekali lagi
binatang ini meringkik lalu tubuhnya terhempas ke tanah. Empat kaki melejang-
lejang beberapa kali lalu akhirnya diam.
M e r a g a S u k m a
47 Kuda malang ini menemui ajal dengan sekujur kulit sampai ke bulunya berubah
menjadi hitam akibat racun luar biasa jahat dari Badik Sumpah Darah! Racun badik
yang berasal dari Pohon Tuba berusia ratusan tahun itu memang luar biasa. Kalau
kuda sebesar itu saja bisa dibuat meregang nyawa demikian rupa, dapat
dibayangkan bagaimana kejadiannya dengan
tubuh manusia! Pada saat kuda coklat besar miliknya roboh ke tanah Loh Gatra melompat ke balik
pohon besar. Dengan cepat dia menyambar tubuh Nyi Larasati untuk dibawa lari.
Namun baru sempat membungkuk, belum lagi tangannya menyentuh tubuh janda itu
tiba-tiba seseorang berkelebat di sampingnya dan satu tendangan keras melanda
pinggulnya. Tak ampun lagi Loh Gatra terlempar sampai
satu tombak, terguling-guling di tanah. Tulang pinggulnya sakit bukan kepalang,
mungkin remuk. Ketika susah payah dia berusaha bangkit berdiri, tiba-tiba satu sosok
tinggi besar melompat dihadapannya. Itulah Jatilegowo yang tegak menghunus Badik
Sumpah Darah. Seringai maut bermain di mulutnya.
"Loh Gatra! Kau bakal menunggang bangkai kudamu pergi ke neraka menyusul
kakekmu! Ha... ha... ha!"
"Kau mau bunuh aku! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" teriak Loh Gatra sambil
tangan kanannya bergerak ke pinggul seperti mengurut bagian yang cidera terkena
tendangan. Tapi sebenarnya tangan itu menyusup ke balik pinggang pakaian di mana
terselip sebuah senjata rahasia terbuat dari besi putih berbentuk bintang.
Ketika tangan itu bergerak, satu cahaya putih menderu di udara.
Jatilegowo berseru kaget dan marah sekali ketika melihat ada benda melesat ke
arahnya. M e r a g a S u k m a
48 "pembokong jahanam!" maki Jatilegowo. Dia cepat miringkan kepala ke kiri. Tapi
tak urung saiah satu mata bintang senjata rahasia yang dilemparkan Loh Gatra
masih sempat menyerempet daun telinganya sebelah kanan hingga luka dan mengucurkan darah.
Didahului bentakan marah yang sekaligus
merupakan teriakan kesakitan Jatilegowo
melompat sambil babatkan Badik Sumpah Darah ke arah leher Loh Gatra. Cucu Ki
Sarwo Ladoyo itu tak mampu membuat gerakan menyelamatkan diri atau menangkis.
Pemuda ini hanya berdiam diri seperti pasrah.
Hanya sesaat lagi ujung badik beracun akan membabat batang leher Loh Gatra tiba-
tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tangan
mendorong bahu Jatilegowo hingga sosok tinggi besar Adipati Salatiga ini
terjajar ke samping.
Ujung badik maut lewat seujung kuku di depan leher Loh Gatra!
M e r a g a S u k m a
49 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
6 DIPATI Jatilegowo berteriak marah. Sambil
membabatkan Badik Sumpah Darah dia
Aberbalik. Bayangan putih yang tadi mendo-
rongnya cepat melompat mundur. Dua tangan dipentang ke depan. Saat itu juga
udara di tempat itu terasa dingin luar biasa.
"Jahanam! Kau rupanya!" teriak Jatilegowo ketika melihat siapa yang berdiri
cengengesan di depannya sambil mengipas-ngipaskan kopiah hitam ke mukanya yang
bulat gembrot, merah keringatan.
"Jahanam! Kau rupanya! Sama!" Orang itu keluarkan ucapan meniru bentakan
Jatilegowo lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya ini membuat gelombang udara
dingin seperti mencucuk. Jatilegowo kertakkan rahang berusaha bertahan. Loh Gatra terbungkuk-
bungkuk, sekujur tubuh menggigil. Sementara Nyi Larasati yang terbujur kaku di
bawah pohon juga merasa ada udara dingin menyelimuti hingga janda cantik ini
bergeletar sekujur tubuhnya.
Di hadapan Jatilegowo saat itu berdiri seorang pemuda gemuk luar biasa, rambut
gondrong. celana hitam komprang, baju terbalik dan sehelai kain sarung butut melintang di
atas bahunya. Di tangan kanannya si gendut ini memegang sebuah peci hitam yang
dikipas-kipaskan ke wajahnya yang keringatan. Aneh, sementara semua orang
kedinginan dia sendiri kepanasan dan keringatan.
Padahal udara dingin yang menyungkup seantero tempat itu adalah hasil
perbuatannya! M e r a g a S u k m a
50 "Gendut jahanam! Kau memang masuk dalam daftar kematian manusia-manusia keparat
yang akan kubunuh! Berani datang sendiri, hingga aku tidak susah-susah mencari!"
"Bujang Gila Tapak Sakti...." ujar Loh Gatra yang mengenali siapa adanya si
gendut. Dia merasa bersyukur atas kemunculan pemuda yang telah menyelamatkan
dirinya dari tangan maut Jatilegowo. Dia lantas ingat bagaimana bersama Pendekar
212 Wiro Sableng dulu bukan saja Adipati Salatiga itu telah dipermainkan, malah
digembosi ilmu kesaktiannya. Dan di saat itu pula Loh Gatra ingat, bukankah
Pendekar 212 waktu itu secara aneh telah memindahkan hidung Jatilegowo ke keningnya" Bagaimana
sekarang cacat wajahnya itu pulih dan hidungnya kembali berada di tempat semula"
Jatilegowo sendiri juga ingat, pemuda gendut inilah dulu yang mempermalukannya
habis-habisan, menggembosi kesaktiannya hingga dia kehilangan ilmu pukulan hebat
yang disebut "Dua Gunung Meroboh Langit." Tidak heran kalau Jatilegowo sangat
mendendam dan inginkan
kematian Bujang Gila Tapak Sakti sebagaimana dia juga ingin membunuh Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Eh!" seru Bujang Gila Tapak Sakti sambil menuding Jatilegowo. "Dulu kawanku
memindah hidungmu ke jidat! Sekarang mengapa
tampangmu bisa bagus kembali" Tukang solder mana yang pandai mendadani
tampangmu"!
Kalau aku bisa bertemu dia akan kuminta memindahkan kemaluan kuda yang mati itu
ke atas hidungmu biar tampangmu tambah bagus!"
Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga dadanya
yang gembrot dan perutnya yang buncit berayun-ayun.
Amarah Jatilegowo dihina seperti itu jadi meledak. Asap tipis mengepul dari
ubun-ubunnya. M e r a g a S u k m a
51 Tangannya yang memegang Badik Sumpah Darah bergetar. Tanpa banyak bicara,
didahului suara menggembor keras Jatilegowo melompat ke arah si gendut. Badik
sakti berkiblat di udara.
"Wah, marah dia rupanya!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar, peci kupluk
hitam di tangan kanan cepat disungkupkannya ke kepala. Lalu tangan kanannya
diangkat ke atas, telapak mengembang terbuka diarahkan pada Jatilegowo.
Satu gelombang angin dingin luar biasa
menggempur Adipati Salatiga itu. Sesaat tubuhnya mengambang di udara, tertahan
tak bisa maju. Tapi begitu tangan kanannya
membabatkan Badik Sumpah Darah ke depan
dan selarik sinar biru kehitaman berkiblat, gelombang hawa dingin yang menahan
gerakan serangannya serta merta terbelah buyar!
Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget ketika merasakan hawa dingin yang
dilepasnya jebol bahkan bergerak membalik menyerangnya.
Dengan cepat dia kibaskan tangan kiri. Serangan hawa dingin terpental ke
samping. Baru saja dia selamat dari gelombang dahsyat miliknya sendiri tiba-tiba
senjata di tangan lawan telah membeset di depan kepalanya!
"Edan!" maki Bujang Gila Tapak Sakti. Tubuhnya yang gendut luar biasa, enteng
sekali melesat beberapa langkah ke belakang. Tahu bahaya dan ganasnya Badik
Sumpah Darah, pemuda gendut ini cepat loloskan sarung bututnya. Dengan sarung ini dia hadapi
serangan ganas senjata lawan yang datang bertubi-tubi.
Jatilegowo kerahkan seluruh tenaga dan
menyerang dengan segala kecepatan yang bisa dilakukan. Sambaran angin yang
keluar dari sarung di tangan si gendut menahan atau membuat mental setiap
serangannya. "Jahanam! Masakan hanya sehelai sarung butut dan bau sanggup mengalahkan badik M
e r a g a S u k m a
52 saktiku!" maki Jatilegowo dalam hati. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam, genggam
badik lebih erat lalu lancarkan serangan berantai laksana curahan hujan. Udara
tertutup oleh larikan sinar biru kehitaman yang sabung-menyabung mengurung sosok
gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
"Breett!"
Satu tusukan kilat selagi sarung berkelebat di udara membuat sarung itu robek
besar. Bujang Gila Tapak Sakti terkesiap dan maklum kalau senjata di tangan
lawannya benar-benar tidak bisa dibuat main. Maka dia berseru pada pemuda
bernama Loh Gatra.
"Loh Gatra! Lekas tinggalkan tempat ini.
Selamatkan Nyi Larasati!"
Mendengar teriakan si gendut, Loh Gatra segera melompat ke arah pohon. Namun
gerakannya tak terduga dipotong oleh Jatilegowo.
Badik Sumpah Darah kembali berkiblat, membeset udara, mencari sasaran di dada
Loh Gatra. Maksud si pemuda hendak mendekati sosok Nyi Larasati yang terbaring di bawah
pohon gagal. Malah dadanya tak urung hampir dikoyak sambaran senjata maut di tangan
Jatilegowo. "Edan!" kembali Bujang Gila Tapak Sakti memaki. "Senjata di tangan Adipati
keparat itu harus bisa kurebut!" Lalu si gendut menerobos menghadang serangan
Jatilegowo kembali
dengan mempergunakan kain sarung. Dalam amarahnya Jatilegowo membabat habis-
habisan. Terdengar suara bret-bret berulang kali. Robekan kain sarung bertebaran di
udara. Sesaat kemudian, kain sarung di tangan si gendut hanya tinggal seukuran
kecil sebesar sapu tangan!
"Hah"!" Bujang Gila Tapak Sakti pelototkan matanya yang belok. "Benar-benar
edan!" Si gendut palingkan kepala ke arah Jatilegowo.
M e r a g a S u k m a
53 "Adipati, aku minta badik saktimu! Atau aku pecahkan kepalamu!"
"Babi gendut! Jangan cuma mengancam!
Buktikan ucapanmu!" ejek Jatilegowo dengan suara lantang.
"Begitu"!" ujar Bujang Gila Tapak Sakti. Dia tanggalkan kopiah hitam kupluk di
kepala, berkipas-kipas beberapa kali lalu bett! Tubuh gendutnya berkelebat
lenyap dan mendadak terdengar seruan kaget Jatilegowo ketika tiba-tiba lengannya
yang memegang badik dicekal orang dari samping.
Tahu bahaya Jatilegowo hantamkan tangan
kirinya. "Bukkk!"
Pukulan kilat tak terduga itu memang
mengenai sasaran yakni dada gembrot Bujang Gila Tapak Sakti, tapi sebaliknya
bukkk! Kening Jatilegowo juga kena dihantam pukulan tangan kanan si gendut!
Jatilegowo melintir kesakitan. Kepalanya seperti pecah. Pemandangannya berkunang
gelap. Di keningnya kelihatan satu benjolan besar. Di sebelah bawah benjolan ada luka
cukup besar mengucurkan darah. Walau cidera cukup berat begitu rupa tapi dia
berhasil selamatkan Badik Sumpah Darah yang hendak dirampas lawan.
Dengan senjata ini dia cepat usap keningnya.
Benjolan besar serta luka yang mengucurkan darah serta merta lenyap.
Bujang Gila Tapak Sakti sendiri tegak
setengah tertegun melihat kehebatan badik di tangan lawan. Sambil usap-usap
dadanya yang kena dihajar orang dia berkata dalam hati.
"Heran, kerbau saja jika kupukul seperti itu akan pecah kepalanya. Ilmu apa yang
didapat Adipati keparat itu setelah menghilang beberapa bulan. Badik di
tangannya itu bukan saja merupakan senjata berbahaya tapi juga punya M e r a g a
S u k m a 54 kemampuan pengobatan luar biasa. Aku harus berjibaku dapatkan senjata itu!"
Bujang Gila Tapak Sakti sungkupkan peci kupluknya di atas kepala. Dengan tangan
kosong dia kembali menyerbu Jatilegowo. Setiap
serangan yang dilancarkannya dia selalu kerahkan tenaga dalam tinggi yang
membawa alur gelombang sangat dingin. Jatilegowo memang sempat dibuat terdesak
beberapa jurus, namun untuk benar-benar mampu menembus pertahanan lawan sulit
dilakukan Bujang Gila Tapak Sakti.
Badik di tangan Jatilegowo menjadi satu kendala luar biasa. Malah memasuki
jurus-jurus se-lanjutnya si gendut ganti terdesak. Di satu saat ketika
keadaannya terdesak hebat Bujang Gila Tapak Sakti terpaksa keluarkan pukulan Dua
Puncak Mahameru Murka. Dua gelombang angin luar biasa dingin yang memancarkan
cahaya seputih salju menderu ke arah Jatilegowo.
Adipati Jatilegowo ini merasakan tubuhnya seperti ditindih dua gunung es.
Lututnya goyah, kepalanya laksana leleh. Dia cepat kerahkan tenaga. Ketika
sosoknya hampir jatuh terduduk di tanah, satu hawa hangat keluar dari dalam
Badik Sumpah Darah, menjalar ke dalam tubuhnya. Pada saat kekuatannya pulih
kembali, Jatilegowo melesat ke udara. Mulut keluarkan bentakan garang dan tangan
kanan membabat ke atas.
"Dess! Desss!"


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua letupan yang tidak keras tapi memijarkan cahaya berapi mencuat di udara.
Jatilegowo terpental satu tombak, jatuh berlutut di tanah.
Mulutnya menggumam darah. Sementara Bujang Gila Tapak Sakti terguling
menggelinding. Sosok gemuk ini tiba-tiba melenting ke udara, lalu brukkk! Jatuh
duduk menjelepok di tanahl Di depannya Adipati Jatilegowo usapkan badik sakti di
atas dada. Seperti tidak menderita cidera apa-M e r a g a S u k m a
55 apa sosoknya kemudian bangkit berdiri lalu dengan Badik Sumpah Darah terhunus di
tangan dia melangkah mendekati si gendut yang saat itu megap-megap berusaha
mengatur jalan darah
dan pernafasan.
"Jangan bunuh dia!" teriak Loh Gatra sambil memburu, berusaha menghadang
Jatilegowo. "Kalian berdua sudah ditakdirkan mampus bersama!" kertak Jatilegowo. Lalu
senjata di tangan kanannya ditusukkan ke dada Loh Gatra.
Pemuda ini masih mampu mengelak. Namun
ketika Jatilegowo mengejar, memburunya dengan serangan kedua, Loh Gatra tak
sanggup selamatkan diri. Sewaktu Jatilegowo angkat tangan kanannya dan siap
menghunjamkan senjata maut itu ke tubuh si pemuda tiba-tiba satu bayangan berkelebat di balik
pohon besar. Lalu terdengar suara derap kaki kuda
menghambur. "Loh Gatra! Nyi Larasati diculik orang!" teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Loh Gatra terkesiap kaget. Jatilegowo juga tersentak. Loh Gatra mengejar ke arah
pohon, tapi dia tidak melihat apa-apa kecuali dapatkan sosok Nyi Larasati memang
tak lagi di tempat itu.
Jatilegowo yang sebelumnya hendak menghabisi Loh Gatra dan Bujang Gila Tapak
Sakti jadi lupa rencana. Dia lebih mementingkan mengejar si penculik Nyi
Larasati. Maka tanpa perdulikan kedua orang itu dia segera berkelebat mengejar
ke arah lenyapnya suara derap kaki kuda.
Jatilegowo boleh dikatakan cukup mengenal
seluk beluk daerah itu. Melalui jalan memotong dia mampu melakukan pengejaran
dengan cepat. Namun di satu tempat tiba-tiba terdengar beberapa kali suara letusan. Tahu-tahu
kawasan di mana dia berada telah tertutup kabut tebal, membuat Adipati itu
tenggelam dalam kegelapan, tak sanggup melanjutkan pengejaran.
M e r a g a S u k m a
56 Untuk beberapa lamanya Jatilegowo terpaksa berdiam diri, tegak menunggu. Begitu
kabut tebal surut dan akhirnya lenyap, pertama sekali yang dilihatnya adalah
sebuah pecahan benda bulat di tanah borbentuk manggis terbelah. Jatilegowo ambil
benda ini, memperhatikan dengan seksama.
Dia mengenali. "Sarontang keparat! Dia lagi! Aku pernah melihat benda ini di tempat
kediamannya. Ini salah satu senjata rahasia miliknya, jahanam!
Kabut Penyesat Mata." Jatilegowo menggeram marah. Pelipisnya bergerak-gerak. Dia
cabut Badik Sumpah Darah yang tersisip di pinggang.
Letakkan senjata sakti mandraguna ini di atas keningnya. Lalu mulutnya berucap.
"Darah Sarontang menjadi reguk minumanmu.
Nyawanya menjadi hias tumbal dirimu. Bantu aku mengejar manusia jahanam itu!"
Setelah simpan kembali Badik Sumpah Darah di balik pinggangnya Jatilegowo segera
tinggalkan tempat itu. Kira-kira lari sepcminuman teh ke arah timur, di satu
tempat tiba-tiba dia mendengar suara orang mengerang. Ingin tahu dan ingin
melihat siapa adanya oiang itu Jatilegowo menyelinap ke balik serumpunan
semak belukar. Dia mendengar suara an
menggericik. Semak belukar disibakkan, pertama sekali dia melihat sebuah
pancuran bambu yang airnya mengucur ke sebuah telaga kecil berbatu-batu. Lalu di
tepi telaga, duduk
bersandar ke sebuah batu besar dilihatnya
seorang nenek berdandan menor. Sepasang alis kereng hitam, gincu tebal menutupi
bibir, pipi yang keriput diberi merah- merah. Nenek ini duduk sambil tiada
hentinya mengerang
kesakitan. Dia pegangi tangan kanannya yang buntung dengan tangan kiri. Sesekali
dia mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok M e r a g a S u k m a
57 ini dia menciduk air telaga yang sejuk lalu mengguyur tangannya yang buntung.
Jatilegowo keluar dari balik semak-semak.
"Nek, siapa kau. Mengapa berada di tempat ini dan apa yang terjadi dengan
dirimu. Buntung di tanganmu aku lihat masih baru...."
Sepasang mata si nenek berputar melirik.
Ketika melihat yang menegur seorang lelaki tinggi besar, dengan kumis melintang
berkilat menghiasi wajahnya yang jantan garang, cahaya genit membayang di mata
si nenek. Dia mendehem beberapa kali lalu berkata.
"Orang gagah berkumis tebal melintang, apa matamu sudah lamur" Hari masih begini
siang, terang benderang. Kau memanggil aku nenek.
Buka matamu lebar-lebar."
Jatilegowo hendak tertawa bergelak. Tapi ditahannya. Dia berkata. "Aku belum
buta! Yang aku lihat memang seorang tua bangka
berdandan...." Jatilegowo hentikan ucapannya.
"Astaga!" Dia kucak-kucak matanya berulang kali.
Orang yang tadi dilihatnya sebagai nenek buntung berdandan tak karuan kini
tampak berupa seorang gadis berwajah cantik jelita dan tangan sempurna,
berpakaian sangat tipis hingga tembus pandang, memandang ke arahnya penuh daya
tarik mengundang. "Panas begini terik, kau barusan saja dari satu perjalanan jauh. Dari wajahmu
aku bisa melihat ada satu perkara besar yang tengah kau hadapi. Untuk melepas
lelah dan bertutur sapa membagi duka serta pengalaman, mengapa kau tidak duduk
di sampingku?" Habis berkata begitu gadis jelita itu menggeser duduknya, sengaja
memberi tempat bagi Jatilegowo.
"Rejeki besar, gadis ini ternyata tidak kalah cantiknya dengan Sri Kemuning,
istri mudaku. Juga tak kalah dengan kejelitaan Nyi Larasati.
Tempat begini sepi, udara begini sejuk. Hanya M e r a g a S u k m a
58 aku berdua dengan dia."
Jatilegowo tersenyum lebar, usap-usap
dagunya. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia duduk di samping si gadis.
"Tubuhku memang letih, aku memang dalam satu perjalanan jauh. Dan aku memang
tengah menghadapi satu perkara besar. Sungguh luar biasa. Gadis semudamu ini
bagaimana bisa mempunyai kepandaian menduga apa yang terjadi dan dialami
seseorang seperti yang barusan kau ucapkan?"
Sang dara tersenyum manis.
"Raut air muka di wajahmu yang gagah tak bisa ditutupi. Semua orang akan bisa
menduga, bukan cuma diriku." Si gadis bicara merendah, membuat Jatilegowo tambah
tertarik. "Hari begini panas, pakaian dan tubuhku kotor. Keringat kering di badan. Air
telaga itu tampak begitu sejuk. Ingin sekali rasanya aku terjun dan mandi."
"Aneh," ucap si gadis.
"Apa yang aneh?" tanya Jatilegowo.
"Perasaan kita sama. Dari tadi aku ingin mandi menyejukkan diri dalam telaga.
Tapi mandi sendirian apa nikmatnya" Orang gagah, apakah kau mau menemani aku
mandi?" Jatilegowo tertawa lebar. Tubuhnya mendadak terasa panas. Sang dara dilihatnya
kedipkan mata. Lalu terdengar suaranya penuh manja.
"Orang gagah mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."
Darah di tubuh Jatilegowo semakin panas
dan semakin cepat mengalirnya. Lelaki ini memang sudah cukup lama tidak
berdekatan dengan perempuan. Karenanya tidak tunggu lebih lama dia segera
lakukan apa yang diminta si gadis. Tangannya dengan cepat melepas tali-tali
kecil pengikat bajunya. Sesaat kemudian, ketika punggung dan dadanya tersingkap
putih, tiba-M e r a g a S u k m a
59 tiba terdengar suara orang berkata.
"Nyi Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama.
Aku pergi mencari obat untuk menyembuhkan
luka buntungan tanganmu! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan lelaki lain!
Sungguh keterlaluan!"
Suara ucapan orang membuat si gadis yang
telah terbuka setengah pakaiannya menjadi terkejut dan palingkan kepala. Saat
itu juga wajah dan tubuhnya kembali berubah ke bentuk aslinya yakni sosok
seorang nenek-nenek bertangan buntung!
M e r a g a S u k m a
60 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
7 ITA kembali dulu pada peristiwa setelah terjadi pertempuran hebat antara tokoh
Kgolongan putih dengan Nyi Ragil dan Si
Muka Bangkai di Bukit Menoreh (Baca Episode sebelumnya berjudul "Tahta Janda
Berdarah") Satu sosok tinggi hitam dengan kepala
ditancapi empat buah tusuk konde berlari secepat kilat dalam gelapnya malam,
meninggalkan bayangan angker di sebelah belakang, seolah dirinya setan yang
tengah gentayangan di malam buta. Sebelumnya di kepala itu ada lima tusuk konde.
Namun satu di antaranya telah
dipergunakan untuk menghantam Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai yang melarikan diri.
"Nyi Ragil.... Kau telah membunuh saudara Tua Gila. Aku tidak akan membiarkan
dirimu tenteram seumur hidup. Ke mana pun kau pergi akan kukejar."
Orang yang berlari tidak tahu sudah sejauh mana dia meninggalkan Bukit Menoreh
melakukan pengejaran. Dia terperangah sendiri ketika di timur muncul cahaya
terang pertanda fajar telah menyingsing. Orang ini hentikan larinya. Saat itulah
dia baru sadar kalau sekujur dirinya sangat letih. Dia mendengar suara kicau
burung di sekitarnya. Lalu lapat-lapat ada suara riak air. Dia melangkah ke arah
suara ini hingga akhirnya menemui sebuah telaga kecil di tengah kerapatan
pepohonan dan semak belukar.
"Aku capai sekali, haus... ingin mandi. Tapi apakah aku perlu mandi"! Hik..
hik... hik!" Orang M e r a g a S u k m a
61 yang tertawa jatuhkan dirinya di tepi telaga. Lalu dia ulurkan tangan untuk
menciduk air, maksudnya mau meneguk air telaga lalu mencuci muka.
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, entah siapa yang bicara terdengar suara
menggema. Suara perempuan.
"Sinto Gendeng, air telaga itu lebih suci dari dirimu yang penuh dosa. Jangan
kau berani menyentuhnya. Apa lagi minum dan dipakai
mandi!" Orang di tepi telaga yang memang adalah Sinto Gendeng nenek sakti dari puncak
Gunung Gede, guru Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget. Kibaskan air telaga
yang sempat dici-duknya lalu berdiri di tepi telaga sambil berkacak pinggang.
Sepasang matanya yang berada dalam rongga cekung berputar, memandang garang
seputar telaga.
"Mahluk betina yang barusan bicara! Siapa kau" Mengapa berani bicara tidak
berani unjukkan diri"!"
"Kau tidak cukup pantas melihat diri kami!"
Ada jawaban, juga suara perempuan. Dan tetap saja Sinto Gendeng tidak bisa
mengetahui dari mana asalnya.
Nenek sakti itu mendengus.
"Kami! Huh! Jadi kalian berdua! Sama-sama tidak berani unjukkan tampang! Berarti
sama-sama jelek! Mungkin kalian berdua punya wajah bopeng. Atau hidungnya
gerumpung. Mungkin juga picak sebelah matanya! Hik... hik... hik!"
"Sinto Gendeng, menjauh dari telaga!"
"Kurang ajar!" Sinto Gendeng hentakkan kaki kanannya. Hentakan ini bukan gerakan
biasa tapi mengandung tenaga dalam tinggi luar biasa, apalagi disertai tawa
kemarahan. Tanah bergetar.
Batu-batu dan tanah sekitar telaga berjatuhan ke dalam air. Pohon-pohon besar
keluarkan suara berderak. Dedaunan runtuh luruh dan jatuh ke M e r a g a S u k m
a 62 tanah. "Manusia penuh dosa, tidak ada gunanya memamerkan kehebatan tenaga dalam di
hadapan kami. Jika kami mau, tubuhmu bisa kami benamkan ke dalam tanah!"
"Oo la la!" Sinto Gendeng mendongak lalu tertawa melengking. Diam-diam matanya
memandang berputar, telinga dipasang tajam.
"Bicara sombong amat! Baik, aku mau tahu bagaimana caranya kalian membenamkan
diriku ke dalam tanah! Tapi lebih dulu kalian berdua harus unjukkan tampang!"
Habis berkata begitu Sinto Gendeng
hantamkan tangan kanannya ke arah satu pohon besar yang diperkirakan di situlah
tempat dua orang yang tadi bicara mendekam.
Sinar putih berkiblat. Hawa panas menghampar. Sesaat rimba belantara sekitar
telaga itu menjadi terang berderang. Lalu bummm! Wusss!
Pohon besar yang kena dihantam Pukulan
Sinar Matahari tenggelam dalam kobaran api ialu kraakk! Pohon ini tumbang
menggemuruh. Dua tawa cekikikan memenuhi gemuruhnya
suara pohon yang tumbang.
"Sinto Gendeng! Orang lain mungkin bisa kagum melihat kehebatan pukulan saktimu
tadi. Tapi kami berdua menganggap pukulan itu tidak ada apa-apanya!"
"Saudaraku, dia minta memperlihatkan bagaimana cara kita membenamkan dirinya ke
tanah. Bagaimana menurutmu?"
"Tidak ada salahnya kita penuhi
permintaannya itu! Kau sudah siap"!"
"Sudah! Mari!"
Di tepi telaga Sinto Gendeng keluarkan caci maki panjang pendek. Tapi sambil
memaki dia siapkan dua pukulan sakti. Pukulan pertama berupa pukulan pertahanan
yakni Benteng Topan Melanda Samudera satunya pukulan Segulung M e r a g a S u k
m a 63 Ombak Menerpa Karang. Begitu dua orang
tersebut unjukkan diri maka dia akan
menghantam dengan dua pukulan sakti itu. Malah diam-diam dia juga telah
menyiapkan ilmu sakti Sepasang Pedang Inti Roh di kedua matanya.
Tapi dua orang yang ditunggu tidak kunjung muncul.
"Pengecut!" teriak Sinto Gendeng.
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi berpasangan. Satu suara tinggi,
satunya suara rendah. Dua-duanya suara perempuan.
"Tembang Puspita Loro," desis Sinto Gendeng mengenali nyanyian itu. Tengkuknya
mendadak mengkirik. Tembang itu adalah
nyanyian yang biasa dialunkan pada saat-saat terjadi kedukaan. Misal pada saat
ada seseorang meninggal dunia.
Selagi Sinto Gendeng berusaha mencari-cari di mana adanya dua perempuan yang
menyanyi itu tiba-tiba dia merasa ada satu hawa aneh di sekeliling tubuhnya.
Sesaat kemudian satu kekuatan yang tidak kelihatan, laksana himpitan sebuah
gunung, menekan dirinya ke bawah.
"Jahanam! Minta mati berani membokong licik!" Sinto Gendeng berteriak marah lalu
hantamkan dua tangannya ke atas. Namun
pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera dan Segulung Ombak Menerpa Karang
tidak mau keluar! Malah tekanan berat yang datang dari atas semakin hebat. Dua
kaki Sinto Gendeng mulai bergetar lalu menekuk. Dia kerahkan tenaga dalam untuk
bertahan akibatnya dess... desss!
Sepasang kakinya yang hitam tinggal kulit pembalut tulang melesat ke dalam
tanah! Kejut nenek sakti ini bukan alang kepalang.
Dia pukulkan dua tangannya ke udara dalam gerakan "Kipas Sakti Terbuka".
Bersamaan dengan itu dia keluarkan pula Ilmu Belut


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusup Tanah untuk bisa loloskan diri dari M e r a g a S u k m a
64 tanah tempat kakinya terbenam. Namun sia-sia saja. Setiap apa yang dilakukannya
membuat tubuhnya semakin melesak ke dalam tanah! Kini tubuhnya telah terbenam
sampai sebatas pinggul!
Sinto Gendeng keluarkan keringat dingin.
Seumur hidup nenek yang tidak pernah merasa jerih ini untuk pertama kalinya
merasa takut yang amat sangat. Makin jauh terbenam ke dalam
tanah, makin terasa lemas sekujur tubuhnya.
Suara teriakan dan makiannya yang tadi
terdengar tidak berkeputusan kini lenyap. Dada si nenek turun naik. Nafasnya
megap-megap. Tekanan dari atas masih belum berhenti.
Sosok Sinto Gendeng amblas sampai ke perut, lalu lebih dalam lagi sampai ke
dada. "Kalian siapa... kalian siapa" Apa dosaku sampai mengazab diriku seperti ini?"
Ucapan itu keluar berkepanjangan dari mulut Sinto Gendeng.
Suara dua perempuan menyanyikan lagu
Puspito Loro lenyap. Saat itulah berbarengan dengan munculnya sang surya di ufuk
timur dua sosok aneh muncul di permukaan telaga. Sosok ini perwujudan dua
perempuan tua berwajah sama, jernih bersih yang dari rautnya
menandakan di masa mudanya mereka
merupakan gadis-gadis cantik. Rambut mereka yang putih melambai- lambai ditiup
angin pagi, berkilauan laksana perak. Yang luar biasanya tubuh dua perempuan tua
ini, mulai dari dada sampai ke kaki berupa tubuh seekor naga berwarna putih.
Sosok dua perempuan tua bertubuh naga ini seolah-olah mengapung di tepian
telaga. Entah dari mana datangnya kabut mendadak muncul di permukaan air.
"Sinto Gendeng," perempuan tua di sebelah kanan keluarkan ucapan. "Kami sudah
unjukkan diri. Apakah kau mengenali siapa adanya kami berdua?"
Sinto Gendeng buka matanya lebar-lebar lalu M e r a g a S u k m a
65 gelengkan kepala. "Aku tidak mengenali. Aku tidak tahu siapa kalian. Katakan...
katakan siapa kalian."
"Kami Sepasang Naga Putih Kembar. Aku bernama Naga Nini, adikku bernama Naga
Nina. Nah, kami sudah memperkenalkan diri. Apalagi yang hendak kau tanyakan."
"Kalian.... Meng... mengapa memendam diriku begini rupa. Apa dosaku dan
kesalahanku...." ujar Sinto Gendeng dengan suara gemetar.
"Kalau ingin kami mengatakan, dosamu terlalu banyak Sinto Gendeng. Tapi dosamu
terakhir yang ada sangkut pautnya dengan diri kami adalah pembunuhan yang kau
lakukan terhadap seorang anak lelaki berusia lima belas tahun. Bernama Boma
Wanareja."
"Aahhhh.... Anak itu," ujar Sinto Gendeng dengan mata berputar liar. "Aku
membunuhnya secara tidak sengaja. Aku mengira dia orang yang telah membunuh
Datuk Mudo Carano Ameh, orang yang kusangka adalah Tua Gila Dari Andalas. Aku
tidak sengaja karena tidak tahu.
Aku ketelepasan tangan dan seumur hidup aku akan menyesali perbuatanku itu!"
Sepasang Naga Putih sama-sama gelengkan
kepala. Lalu seperti menyanyi tadi, sama-sama pula keduanya berucap.
"Kau tidak ketelepasan tangan Sinto. Kau juga bukan tidak sengaja. Sebelum
menemui ajal anak itu sempat berteriak bahwa dia bukan pembunuh Datuk Mudo
Carano Amen. Tapi karena sudah biasa gatal tangan membunuh
sembarangan, kau tidak perdulikan teriakan orang. Kau menghantamnya dengan
Pukulan Sinar Matahari! Sungguh keji! Pukulan sakti yang sanggup menghancur gunung itu
kau pakai untuk membunuh seorang bocah tidak berdaya!"
Sinto Gendeng keiuarkan suara menggerung
mendengar kata-kata Sepasang Naga Putih.
M e r a g a S u k m a
66 "Kalian berdua boleh saja tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah aku tidak
punya niat jahat membunuh anak itu!"
"Kematian sudah terjadi! Anak yang mati tak mungkin dibuat hidup kembali! Dosamu
tak mungkin dilebur. Jadi saat ini pantas sekali kami membenamkan dirimu di
tanah!" Berkata Naga Nini.
Naga Nina menyambung. "Sebenarnya kami ingin memendam tubuhmu di puncak Gunung
Gede, di samping makam Boma Wanareja. Namun ketika kami datang ke sana kau
tengah gentayangan ke mana-mana...."
"Aku bukan gentayangan. Aku justru tengah mengejar Nyi Ragil, pembunuh
sebenarnya dari Datuk Mudo Carano Amen!" jawab Sinto Gendeng setengah berteriak.
"Sekali pun Nyi Ragil punya tujuh nyawa dan kau membunuhnya sampai tujuh kali,
Boma tidak akan dapat hidup kembali...." ujar Naga Nini.
"Kalian... kalian bukan manusia. Mahluk apa kailan aku tidak perduli. Tapi apa
sangkut paut kalian dengan Boma Wanareja"!"
"Kami adalah Sepasang Naga pelindung anak itu. Ketika kejadian kau membunuh
Boma, kami baru saja menyelesaikan tapa di Gunung Wilis."
Menerangkan Naga Nina.
Naga Nini menyambungi. "Sekarang kau sudah tahu dosamu. Berarti kau harus
menyadari bahwa cukup pantas dirimu kami hukum
dipendam dalam tanah begitu rupa!"
"Tidak bisa! Kalian bukan Tuhan yang bisa menghukumku seenaknya!" teriak Sinto
Gendeng lantang.
Sepasang Naga Putih tertawa panjang.
"Ketika kau membunuhi musuh-musuhmu apa terpikir olehmu bahwa kau juga bukan
Tuhan yang bisa menghukum dan membunuh orang lain seenaknya"!"
M e r a g a S u k m a
67 "Jahanam! Kalian berdua tidak lebih dari mahluk keji yang kesasar! Keluarkan aku
dari dalam tanah. Mari kita bertempur secara satria!"
Kembali Sepasang Naga Putih tertawa.
"Selamat tinggal Sinto Gendeng!" Naga Nini dan Naga Nina berucap lalu didahului
dengan menebarnya kabut putih, sosok kedua mahluk aneh itu lenyap dari tepian
telaga. "Jahanam pengecut!" teriak Sinto Gendeng karena dua mahluk pergi begitu saja
tanpa berani melayani tantangannya. Dia mengira dengan perginya Sepasang Naga
Putih dia akan bisa keluar dari pendaman. Tapi tetap saja sia-sia.
Tekanan berat di sebelah atas tidak kunjung lenyap, masih menindih kepala dan
bahunya. Sinto Gendeng pukuli kepalanya sendiri lalu menggerung keras.
Mengenai riwayat/kisah Boma dapat pembaca
ikuti dalam buku-buku serial Boma Gendenk : Episode I Suka Suka Cinta
Episode II ABG (Anak Baru Gendenk)
Episode III Tripping
Episode IV Muridku Machoku
Pengarang : BASTIAN TITO
Penerbit : DUTA MEDIA
M e r a g a S u k m a
68 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
8 EMBALI kepada apa yang terjadi di kawasan
samudera kekuasaan Nyi Roro Agung, di
Kbalik tembok Karang Abadi, di belakang Pintu Gerbang Naga Biru. Seperti
dituturkan dalam akhir Bab Ke Empat ketika Pendekar 212
Wiro Sableng baru saja melesat melewati pintu gerbang, patung batu yang
membentuk sosok seekor naga berwarna biru yang selama ratusan tahun mendekam di
atas bangunan pintu gerbang tiba-tiba seolah hidup, meluncur ke bawah. Air laut
terbelah. Sosok Naga Biru bergelung melingkari Nyi Kantili dan lima orang gadis
jelita anak buahnya serta Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kepala binatang ini tegak mendongak, matanya yang merah memancarkan sinar maut,
siap hendak menerkam siapa saja yang ada di bawah sana.
Tiba-tiba dari hidung dan mulut Naga Biru melesat cairan berwarna kebiru-biruan.
Saat itu juga air laut di sekitar tempat itu menebar bau harum semerbak. Di
tempat lain, dalam peristiwa lain keharuman ini akan mendatangkan rasa
sejuk. Tapi yang dirasakan Pendekar 212 saat itu justru adalah suasana angker
menggidikkan, suasana berbau kematian!
Tiba-tiba ekor Naga Biru melenting ke atas.
Air laut mencuat laksana kepulan asap.
Bersamaan dengan itu Naga Biru buka mulutnya lebar-lebar. Lalu dengan kecepatan
luar biasa, kepala itu melesat turun ke bawah. Nyi Kantili dan semua anak
buahnya keluarkan seruan tertahan. Mereka sudah membayangkan apa yang M e r a g
a S u k m a 69 bakal terjadi. Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng akan amblas masuk ke dalam mulut
Naga Biru, seterusnya ditelan masuk ke dalam perut.
Sesaat lagi kepala dan tubuh Pendekar 212
akan amblas masuk ke dalam mulut Naga Biru, tiba-tiba binatang yang tadinya
adalah batu mati ini rundukkan kepalanya hingga dagu dan leher menyentuh dasar
samudera. Sepasang matanya yang tadi bersinar garang kini meredup sayu, sesekali
dikedip-kedipkan. Kalau tadi mulutnya mengeluarkan cairan aneh dan menimbulkan
gelombang air laut yang dahsyat, kini mulut itu terkatup rapat, mengeluarkan
suara menggeru perlahan. Sikap binatang raksasa ini berubah menjadi jinak.
Ketika lidahnya diulurkan, lidah ini dipergunakan untuk menjilat-jilat dua kaki
Wiro. "Nyi Kantili, apa yang terjadi"!" salah seorang anak buah Nyi Kantili bertanya.
Bersama Nyi Kantili dan teman-temannya saat itu dia tegak ketakutan, merapat ke
pintu gerbang. "Aku tak bisa menduga," jawab Nyi Kantili.
"Kalian semua tetap berlaku waspada!"
Dijilati kedua kakinya seperti itu membuat Wiro takut ada geli pun ada. Dia
sampai terlonjak-lonjak menahan geli.
"Binatang ini, apa maunya. Tadi begitu galak seperti mau menelanku. Sekarang
mengapa jadi begini jinak. Apakah...."
Belum habis Wiro berucap dalam hati tiba-
tiba Naga Biru angkat kepalanya ke arah pinggang kiri Wiro di mana tersisip
Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan mulutnya Naga Biru singkapkan pakaian Wiro.
Begitu senjata sakti mandraguna warisan Eyang Sinto Gendeng itu tersembul sang
naga menjilat-jilatnya lalu sekali mulutnya menyedot Kapak Maut Naga Geni 212
melesat masuk ke dalam mulutnya.
"Astaga! Kapakku ditelan!" Seru Wiro tercekat. Dalam bingung dia juga merasa
kawatir. M e r a g a S u k m a
70 Bagaimana dia bisa mendapatkan senjata itu kembali" Berkelahi melawan Naga Biru"
mustahil dia bisa menghadapi naga raksasa ir. Sekali tubuhnya dikibas atau
ditelan hidup-hidup, tamatlah riwayatnya.
Selagi Wiro kebingungan Naga Biru dilihatnya letakkan kepala di dasar samudera,
mata dipejamkan dan dari mulutnya ada suara
menggeru halus. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Naga Kuning angkat kepalanya
kembali. Mata yang terpejam dibuka merah. Mulut
menganga. Lalu seperti meniup, dari dalam mulut Naga Biru melesat keluar Kapak
Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini secara luar biasa tersisip kembali ke
balik pinggang Wiro. Saat itu juga Wiro merasa ada hawa aneh mengalir dari dalam
kapak memasuki seluruh tubuhnya.
Tubuhnya terasa ringan. Ketika hawa aneh
memasuki kepalanya, pemandangannya menjadi lebih terang dan telinganya kini bisa
menangkap suara-suara yang sebelumnya tidak terdengar.
"Aneh," membatin Pendekar 212. Dia pandangi sosok Naga Biru di hadapannya.
Naga Biru kedipkan sepasang mata lalu
angguk-anggukkan kepala tiga kali berturut-turut.
Kemudian dengan suara menggemuruh sosoknya melesat ke atas, hinggap bergelung ke
tempatnya semula di atas pintu gerbang dan berubah
kembali menjadi batu mati.
Nyi Kantili dan anak buahnya segera
mendekati Wiro.
"Pendekar 212, kau tidak apa-apa?" tanya Nyi Kantili yang sejak tadi merasa
kawatir. "Aku tidak apa-apa," jawab Wiro.
"Kejadian aneh," ucap salah seorang anak buah Nyi Kantili.
"Memang luar biasa. Tidak pernah terjadi yang seperti tadi. Patung batu mati
berbentuk naga itu bisa hidup. Tidak pernah kejadian yang seperti M e r a g a S
u k m a 71 ini." Ucap Nyi Kantili pula.
"Mungkin kau tahu apa sebabnya?" tanya Wiro.
"Kami tak bisa menjawab. Kami tidak tahu.
Mungkin nanti bisa kita tanyakan pada Nyi Roro Manggut. Pendekar, mari ikuti
kami." "Tunggu sebentar. Aku akan memeriksa senjataku lebih dahulu." Kata Wiro. Lalu
Petir Di Mahameru Dua 1 Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali Anting Mustika Ratu 2
^