Pencarian

Meraga Sukma 1

Wiro Sableng 130 Meraga Sukma Bagian 1


BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI
212 Wiro Sableng Episode ke 130 :
Meraga Sukma Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito Wiro Sableng telah terdaftar
pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245
M e r a g a S u k m a
1 Serial Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
Scanning kitab by : Aby Elziefa
mailto:22111122@yahoo.com
M e r a g a S u k m a
2 TIBA-TIBA SECARA ANEH TEMPAT TIDUR BESAR
ITU BERGERAK MELUNCUR MENDEKATI WIRO.
DEMIKIAN DEKATNYA HINGGA WIRO DAPAT
MELIHAT JELAS KECANTIKAN WAJAH DAN
KEBAGUSAN TUBUH NYI RORO MANGGUT.
"KAU MASIH INGIN MENOLAK, PENDEKAR 212"
AKU TAHU HATIMU BIMBANG. DI DALAM DIRIMU
ADA HATI NURANI YANG DIBUNGKUS OLEH SATU
HASRAT YANG TIDAK BISA KAU INGKARI.
TIDURLAH DI SAMPINGKU. KITA SUDAH
MENJADI SEPASANG SUAMI ISTRI. AKU SIAP
MELAYANIMU." NYI RORO ULURKAN
TANGANNYA. WIRO GARUK-GARUK KEPALA. DALAM HATI
DIA BERKATA. "NGACOK! KAPAN NIKAHNYA AKU SAMA DIA!"
"WIRO...."
"MAAFKAN AKU NYI RORO. AKU SUDAH
MELUPAKAN UNTUK MENDAPATKAN ILMU
MERAGA SUKMA ITU. AKU AKAN BERUSAHA
MENCARI CARA LAIN UNTUK MENYELAMATKAN
BUNGA." NYI RORO MANGGUT TURUN DARI TEMPAT
TIDUR. BERDIRI DI HADAPAN WIRO DAN
PEGANG PUNDAK SI PEMUDA DENGAN KEDUA
TANGANNYA. TIBA-TIBA NYI , RORO MANGGUT
DEKATKAN MULUTNYA KE WAJAH SANG
PENDEKAR. M e r a g a S u k m a
3 BASTIAN TITO M E R AG A S U K MA
1 DIPATI Salatiga Jatilegowo memacu
kudanya sekencang yang bisa dilakukan.
ASosok Nyi Larasati tergeletak melintang di atas pangkuannya. Dalam hati orang
ini merutuk tak henti-henti.
"Kurang ajar! Bagaimana kakek jahanam itu bisa mengikuti aku sampai ke sini"
Kalau dia berlaku nekad terpaksa aku menghabisinya!"
Jatilegowo berpaling ke belakang. Dua prajurit yang ikut bersamanya masih belum
kelihatan. Hatinya merasa tak enak.
"Jangan-jangan mereka telah menemui ajal di tangan jahanam itu," pikir sang
Adipati. Dia berusaha mempercepat lari kudanya. Tapi
dengan beban dua orang seperti itu sang kuda tidak mampu lagi berlari lebih
cepat walau didera sekalipun.
Sebelumnya Jatilegowo punya rencana begitu berhasil mendapatkan Nyi Larasati dia
akan membawa janda itu ke Salatiga. Di sana akan diadakan perhelatan pesta
perkawinan sekaligus pengumuman penggabungan Kadipaten
Temanggung dan Kadipaten Salatiga di bawah kekuasaannya sesuai dengan
persetujuan Sri Baginda. Tapi dengan kemunculan kakek
berambut biru yang tidak diduganya sama sekali, dia terpaksa merubah rencana.
Kuda diarahkan ke selatan menuju Bandongan. Di desa itu dia memiliki sebuah
rumah yang selama ini ditinggal kosong.
Ketika sang surya terbit di timur, kemudian bergerak naik memancarkan sinarnya
yang M e r a g a S u k m a
4 benderang dnn mulai hangat, Jatilegowo merasa agak loga. Tak ada yang
mengejarnya. Lari kudapun diperlambat. Sebelum tengahari dia memperkirakan akan
sampai di Bandongan.
Dugaannya tidak meleset. Sebelum mentari
mencapai titik tertinggi Jatilegowo bersama janda boyongannya telah memasuki
Desa Bandongan. Rumah kosong milik Jatilegowo terletak di
bibir lembah subur berpemandangan indah. Ada satu aliran air jernih tak berapa
jauh dari rumah itu. Jatilegowo hentikan kudanya dekat aliran air.
Binatang itu dibiarkan mereguk air segar. Dia sendiri menggendong Nyi Larasati
yang masih berada dalam keadaan tertotok, melangkah menuju rumah.
Di depan pintu rumah Jatilegowo hentikan
langkah. Sunyi. Sang Adipati menyeringai. Dia suka akan kesunyian seperti itu.
Dengan kaki kirinya dia kemudian mendorong daun pintu yang terbuat dari papan
tebal. Pintu terbuka, mengeluarkan suara berkereketan. Jatilegowo melangkah
masuk. Tapi baru satu kaki menginjak lantai rumah, tiba-tiba dari dalam
terdengar suara tawa mengekeh. Membuat Jatilegowo tersentak dan cepat tarik
kakinya ke belakang.
"Jatilegowo! Aku sudah bilang. Dunia ini kecil dan sempit. Kau masih berlaku
nekad hendak mencoba lari dariku" Mana mungkin! Mana mungkin! Ha... ha... ha!"
Kejut Jatilegowo seperti disambar petir. Dia segera melompat mundur, keluar dari
dalam rumah. Dia maklum, bahaya besar mengancam di depan mata. Tubuh Nyi
Larasati cepat-cepat diletakkan di satu tempat di samping sebuah batu besar.
Lalu dia bergerak mendekati rumah, berhenti tujuh langkah di depan pintu yang
terpentang lebar sementara dari dalam rumah masih mengumbar suara tawa bergelak.
M e r a g a S u k m a
5 Jatilegowo kertakkan rahang. Tinju kanan dikepalkan.
"Sarontang! Keluarlah! Katakan apa maumu!"
Berteriak Jatilegowo. Tangan kanannya ditempelkan ke pinggang kiri di mana
terselip sebuah senjata sakti mandraguna. Badik Sumpah Darah senjata yang
didapatnya dari seorang kakek sakti di tanah Makassar, bernama Daeng
Wattansopeng. (Baca dua Episode sebelumnya yakni "Badik Sumpah Darah" dan "Mayat
Persembahan")
Belum lenyap gema teriakan Jatilegowo, suara tawa di dalam rumah sirna. Lalu
satu bayangan melesat ke luar pintu, melayang di udara, jungkir balik dua kali
untuk kemudian turun ke bawah dnn tegak tiga langkah di hadapan Jatileciowo.
Luar biasa sekali gerakan orang ini, pertanda dia memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sudah sampai pada puncaknya. Dan manusia satu ini ternyata bukan lain
kakek berambut biru berminyak.
"Hebat! Dulu kau memanggil aku dengan sebutan kakek Sarontang. Kini Sarontang
saja! Hebat! Tapi kurang ajar! Ha... ha... ha!"
Jatilegowo mendengus.
"Perlu apa memakai segala bahasa halus dan peradatan terhadap manusia
sepertimu!"
"Oo begitu"! Ha... ha... ha!" Si kakek berambut biru kembali umbar tawa panjang.
"Benar rupanya lidah tidak bertulang. Hati bisa menjadi batu.
Manusia bicara semaunya sesuai kebutuhan perut dan pantatnya! Ha... ha... ha!"
"Aku muak mendengar suara tawamu!
Katakan bagaimana kau bisa mengikuti aku
sampai ke sini"!" bentak Jatilegowo.
Sarontang menyeringai.
"Jatilegowo, apa kau lupa"! Aku yang bernama Sarontang ini sebenarnya adalah
Aryo Probo, Pangeran Kerajaan Pakubuwon! Aku lebih
M e r a g a S u k m a
6 tahu setiap jengkal seluk beluk Tanah Jawa di kawasan ini dari padamu! Selagi
kau masih orok aku sudah malang melintang di daerah ini!"
"Lalu apa maumu mengikuti diriku! Kau inginkan janda muda cantik bernama Nyi
Larasati ini"!" Kembali Jatilegowo membentak.
Sarontang tertawa bergelak.
"Kau tanya mengapa aku mengikuti dirimu"
Aku punya sejuta alasan! Tapi tidak untuk mendapatkan janda cantik itu. Kau tahu
seleraku. Kau pernah bermain cinta denganku! Apa kau lupa"!"
Mendengar ucapan terakhir si kakek Jatilegowo keluarkan suara seperti orang mau
muntah. Memang jika dia ingat peristiwa terkutuk itu, rasa jijik membuat perutnya
bergulung mual.
"Tua bangka mesum! Dosa bejatmu tak akan terampunkan!"
Sarontang menyeringai.
"Justru aku mengejarmu sejak kau kabur dari Tanah Makassar karena dirimu membawa
dua dosa besar pengkhianatan!"
"Hehmm! Kau seperti malaikat yang hendak mengadili insan! Aku kawatir otakmu
sudah sejak lama miring Sarontang!"
Diejek orang begitu rupa si kakek bukannya marah malah kembali umbar tawa
panjang. "Dosa pertamamu! Kau membunuh pemuda bernama Bontolebang yang jadi kekasihku!
Kau bunuh secara keji dan mayatnya kau kirimkan padaku sebagai Mayat
Persembahan! Sungguh kurang ajar dan keterlaluan! Dosa keduamu! Kau membawa
kabur Badik Sumpah Darah asli.
Memberikan badik palsu padaku! Dua dosa itu sudah cukup alasan bagiku untuk
menguliti tubuhmu saat ini juga!"
Jatilegowo sunggingkan seringai mengejek.
"Tadi kau berlaku seperti malaikat. Kini seperti tukang potong sapi hendak
menguliti diriku!
Jangan bicara ngacok di hadapanku Sarontang!
M e r a g a S u k m a
7 Kalau mau gila pergilah ke tempat lain! Aku nasihatkan, sebaiknya kau lekas
angkat kaki dari hadapanku sebelum kuhabisi! Pangeran Aryo Probo, apa kau tidak
sayang tahta kerajaan yang selama ini kau inginkan" Apa kau benar-benar ingin
mampus sebelum merasakan bagaimana
nikmatnya jadi Raja" Bagaimana nikmatnya duduk di atas tahta Kerajaan dalam
Keraton yang indah dan serba mewah" Dengan permaisuri serta dikelilingi para
gundik yang canti-cantik"!"
Sarontang hanya ganda tertawa.
"Mulutmu ternyata cukup pandai menghasut.
Tapi siapa mau mendengar. Hasutanmu hanya tipuan keji karena penuh racun dan
bisa. Dengar Jatilegowo, aku datang untuk minta Badik Sumpah Darah asli.
Serahkan padaku sekarang juga!
Karena senjata itu aku perlukan untuk
mendapatkan tahta Kerajaan!"
Jatilegowo menyeringai lalu gelengkan kepala.
"Aku tidak akan memberikan badik itu pada siapa pun! Juga tidak padamu! Jika kau
ingin merampas tahta Kerajaan silakan kau lakukan sendiri. Aku kawatir tahta
yang kau idamkan selama ini akan menjadi tahta berdarah! Kau akan menemui
kematian sebelum berhasil
menyentuhnya!"
"Bicara soal kematian mungkin kau yang bakal mampus duluan dariku, Jatilegowo!
Kecuali kau mau menyerahkan badik itu padaku sekarang juga! Serahkan!"
"Tua bangka takabur! Kau akan kubuat mati tak berkubur!" bentak Jatilegowo.
Habis berkata begitu Adipati Salatiga ini menggebrak maju, hantamkan tangan kiri
kanan ke arah dada si kakek.
"Bukk... bukkk... bukkk... bukkk!"
Empat jotosan kilat, keras dan bertenaga dalam tinggi melanda dada Sarontang.
Jangankan terpental atau menjerit kesakitan, bergeming M e r a g a S u k m a
8 sedikit pun sosok si kakek tidak. Di wajahnya sama sekali tidak membersit
kerenyit kesakitan!
Malah Sarontang kemudian tertawa bergelak.
Kagetlah Jatilegowo. Jotosannya tadi
jangankan manusia. Tembok batu sekali pun bisa jebol hancur!
Sarontang masih umbar tawa bergelak. Tiba-
tiba dia angkat tangan kanannya ke atas lalu berseru.
"Anak-anak! Bunuh manusia pengkhianat ini!"
Begitu ucapan Sarontang berakhir tiba-tiba menggemuruh suara aneh menggidikkan.
Seperti raungan anjing tapi juga menyerupai lolongan manusia!
Jatilegowo tersentak kaget dan mundur dua langkah. Dia ingat peristiwa di Gunung
Lompobatang. Sarontang mempunyai peliharaan manluk-mahluk aneh. Pada saat-saat
tertentu mahluk-mahluk itu diberinya makan berupa
burung-burung yang beterbangan di udara.
Apakah dia membawa serta mahluk-mahluk
peliharaannya itu ke Tanah Jawa" Jatilegowo tidak pernah melihat bagaimana
bentuk mahluk-mahluk peliharaan Sarontang itu. Dia mendongak ke atas. Suara
menggemuruh semakin keras.
Lalu dia melihat puluhan benda aneh melesat dari langit seolah keluar dari perut
matahari! "Wuuuttt... wuuuttt!"
"Bettt... betttt!"
"Kraakk... kraaakkk!"
"Bukkk! Byaaarrr!"
Puluhan mahluk menyambar ke arah
Jatilegowo. Adipati Salatiga ini cepat jatuhkan diri ke tanah lalu cepat pula
bangkit berdiri. Ketika dia berhasil bangkit dan memandang ke depan, pucatlah
tampang Jatilegowo.
Dua buah pohon cukup besar di depan sana
berpatahan lalu tumbang ke tanah. Di samping dikir tak jauh dari aliran air,
batu besar di dekat M e r a g a S u k m a
9 mana dia membaringkan Nyi Larasati hancur berkeping-keping. Suara raung dan
lolongan kembali menderu. Di udara berlesatan puluhan mahluk menyerupai
kelelawar tapi memiliki dua tangan berkuku panjang hitam seperti manusia dan
kepala menyerupai srigala bertaring penuh lumuran darah!
Seumur hidup Jatilegowo tidak pernah melihat mahluk aneh dan seram seperti ini.
Kelelawar bukan, manusia bukan, srigala juga bukan! Dan inilah rupanya yang
disebut Sarontang sebagai anak anak peliharaannya. Yang sanggup menabas batang
pohon, menghancurkan batu besar!
"Bunuh!"
Tiba-tiba Sarontang berteriak.
"Wuutt... wuuttt!"
"Beettt... beettt!"
Puluhan mahluk aneh menukik ke bawah,
melesat menyambar menyerang dengan
mengeluarkan suara mengerikan. Jatilegowo merunduk, sambil jatuhkan diri dia
hantamkan dua tangan ke atas. Dia berhasil memukul dua mahluk aneh hingga
terpental. Tapi dua mahluk itu tidak cidera sedikit pun malah meraung melolong
tambah beringas. Jatilegowo sendiri ketika berusaha bangkit terkejut pucat
ketika melihat bagaimana lengannya kiri kanan telah bergelimang darah, ternyata
di balik lengan pakaian birunya yang robek besar, daging tangannya telah terkuak
koyak, entah kena cakaran entah disambar taring mahluk-mahluk aneh.


Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bunuh!"
Kembali terdengar Sarontang berteriak.
Raung dan lolongan mahluk aneh semakin
hebat. Puluhan berkelebat, menyambar ke arah Jatilegowo. Dalam takutnya
Jatilegowo ikut berteriak keras. Di saat genting mengerikan begitu rupa dia
ingat pada senjata sakti mandraguna M e r a g a S u k m a
10 yang tersisip di pinggang kirinya. Tangan kanannya yang berlumuran darah segera
bergerak ke pinggang. Di lain kejap di udara siang yang terang benderang itu
berkiblat sinar biru
kehitaman. "Craass... crassss... craasss!"
Raung lolongan menggelegar keras
menggidikkan. Darah berciparatan di udara.
Enam mahluk aneh jatuh berkaparan di tanah dalam keadaan terkutung-kutung,
meraung sambi! meronta geliatkan tangan, melolong
delikkan mata lalu melosoh diam tak berkutik lagi.
Sarontang menggerung keras saksikan enam
anak-anak peliharaannya menemui kematian begitu rupa. Dalam marah yang
menggelegak matanya terkesima melihat benda di tangan kanan Jatilegowo. Badik
Sumpah Darah! Senjata itu bergelimang darah. Darah berasal dari luka besar di
tangan Jatilegowo bercampur darah yang berasal dari pembantaian tubuh anak-anak
peliharaannya! M e r a g a S u k m a
11 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
2 SAP kelabu mengepul keluar dari ubun-
ubun Sarontang. Sepasang matanya
A berubah merah tapi tampak berkaca-kaca.
Mulutnya berkomat kamit merapal sesuatu. Tiba-tiba mulut itu berteriak.
"Bunuh!"
Sunyi sesaat lalu puluhan mahluk aneh yang melayang di udara mendadak berubah
menjadi besar, hampir dua kali besar semula. Dari kepala masing-masing mengepul
asap kelabu seperti yang keluar dari ubun-ubun Sarontang. Kesunyian hanya
sekejapan. Sesaat kemudian didahului gemuruh raung lolongan puluhan mahluk itu
melesat menyerbu ke arah Jatilegowo. Meski panik setengah mati melihat apa yang
terjadi tapi Jatilegowo berusaha tabahkan diri. Di tengah serbuan puluhan mahluk
aneh, dua kakinya laksana menancap ke tanah. Tangan yang
memegang Badik Sumpah Darah dihantamkan ke atas. Sinar biru kehitaman menderu
dahsyat, membentuk lingkaran membentengi Jatilegowo dari setiap serbuan mahluk
halus. "Wuuuttt... wuttt...!"
"Bett... bettt...."
"Craasss... craasss... craasssi"
Sarontang menjerit keras ketika meiihat bagaimana anak-anak peliharaannya satu
persatu terpental, jatuh ke tanah dalam keadaan mati terkutung-kutung.
"Celaka! Badik Sumpah Darah tidak bisa dibuat main!" Dada Sarontang bergetar.
Selagi M e r a g a S u k m a
12 dia terkesima kembali mahluk-mahluk aneh
peliharaannya mati berjatuhan di depan mata.
"Anak-anak! Pulang!" Sarontang akhirnya berteriak.
Lolongan dan raungan menggelegar lalu terdengar suara sayap bergelepakan. Sesaat
kemudian belasan mahluk aneh yang masih hidup melesat tinggi ke udara, berputar
di atas kepala Sarontang dua kali lalu melesat ke arah timur hingga akhirnya
lenyap dari pemandangan. Kini di tempat itu kembali hanya tinggal Sarontang dan
Jatilegowo serta Nyi Larasati yang terbujur di dekat batu besar yang telah
hancur. Dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak bisa bersuara janda cantik
ini menyaksikan semua apa yang terjadi. Tadinya dalam hati dia berharap kakek
berambut biru berminyak itu akan mampu mengalahkan Jatilegowo hingga dia punya
kesempatan untuk selamat. Tetapi begitu melihat bagaimana mahluk-mahluk aneh
peliharaan si kakek akhirnya terbang melarikan diri, rasa takut kembali
menyelimuti diri Nyi Larasati.
"Sarontang! Kau telah menyaksikan apa yang terjadi!" Tiba-tiba Jatilegowo
keluarkan ucapan.
"Aku memberi kesempatan padamu untuk meninggalkan tempat ini!"
Sarontang tak segera menjawab. Dalam hati
dia membatin. "Badik itu, aku harus bisa merampas dari tangannya." Lalu si kakek
berkata. "Aku baru pergi dari sini kalau kau mau menyerahkan badik itu!"
"Tua bangka tak tahu diri! Diberi
pengampunan malah minta mampus!"
Sarontang tak mau menunggu lebih lama.
Begitu orang membentak kakek ini segera melesat ke depan. Tangan kanannya
dihantamkan. Kepala digoyangkan. Lilitan tali yang terbuat dari usus manusia
yang ada di keningnya melesat
menyambar laksana cambuk ke arah leher
M e r a g a S u k m a
13 Jatilegowo. Bersamaan dengan itu si kakek
kirimkan serangan susulan berupa tendangan ke arah dada lawan.
Seperti diketahui Sarontang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang
sudah sampai pada puncaknya. Gerakan tiga
serangannya yang laksana kilat itu mau tak mau membuat Jatilegowo tersentak
kaget. Cepat dia membuat gerakan mengelak sambil babatkan Badik Sumpah Darah.
Hantaman tangan serta sambaran lilitan tali berhasil dielakkan Jatilegowo. Malah
badik sakti di tangan kanannya nyaris mendera paha kanan Inwan. Entah bagaimana
tahu-tahu kaki kanan si knkek mendadak terangkat ke atas. Tendangan ynng tadi
mengarah dada kini melabrak bahu kniinn Jatilegowo, membuat Adipati Salatiga ini
terpental dan terjengkang jatuh. Sarontang tidak sia-siakan kesempatan. Selagi
lawan masih terkapar di tanah begitu rupa dia lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung hawa sakti.
Pukulan dahsyat ini memancarkan cahaya kelabu karena dialiri tenaga dalam
tinggi. Jatilegowo tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri.
"Jahanam keparat! Makan badikku!"
Dalam saat genting begitu rupa Jatilegowo kerahkan tenaga dalam lalu babatkan
Badik Sumpah Darah. Cahaya biru kehitaman yang keluar dari badik sakti langsung
berbenturan dengan sinar kelabu pukulan sakti Sarontang.
Anehnya benturan dahsyat itu tidak
mengeluarkan suara letusan. Yang kelihatan hanya bunga api berpijaran lalu
terdengar keluhan Sarontang. Kakek berambut biru
berminyak ini terjajar ke belakang sambil satu tangan memegangi kening,
sementara tangan lain diletakkan di atas dada. Tali yang melibat kening dan
dipergunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan telah berubah menjadi kepulan
M e r a g a S u k m a
14 arang. Pada kulit kening si kakek kelihatan garis melingkar merah kehitaman
seolah daging di kening itu telah ditoreh dengan besi panas. Lalu dari mulut
Sarontang mengucur lelehan darah pertanda dia menderita luka dalam yang cukup
parah. "Aku tahu betul, keparat ini tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Bagaimana dia
bisa menciderai diriku di sebelah dalam. Pasti dia mendapatkan kekuatan dahsyat
dari badik yang dipegangnya!' mambantin Sarontang.
"Manusia jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!" Berteriak Sarontang. Lalu dengan
nekad kakek ini menerjang ke arah lawan sambil dua tangan membuat gerakan aneh,
didorong ke depan.
"Wuss! Wusssi"
Sepuluh kuku jari tangan Sarontang men-
dadak mencuat panjang, memancarkan cahaya
hitam. Menyambar ganas ke leher dan muka Jatilegowo. Inilah ilmu yang disebut
"Sepuluh Kuku Setan." Di Tanah Bugis dan Makassar ilmu ini menjadi momok nomor
satu bagi para tokoh persilatan baik golongan putih maupun hitam.
"Breett!"
Leher baju biru Jatilegowo robek besar. Kalau tidak cepat dia menarik badannya
ke belakang niscaya lehernya akan amblas berbusaian di-sambar lima kuku hitam
tangan kanan Sarontang.
Melihat serangan lima kuku tangan kanannya hampir berhasil mencelakai lawan,
Sarontang lipatgandakan kekuatan dorongan serangan lima kuku tangan kiri.
Namun saat itu tiba-tiba satu cahaya biru kehitaman berkelebat ganas. Sarontang
maklum apa yang dilakukan lawan. Cepat kakek ini
mundur dua langkah sambil tarik serangan tangan kiri. Namun terlambat.
"Craa... crass... crass... crass... crasss!"
M e r a g a S u k m a
15 Sarontang melompat mundur sambil keluarkan pekik kesakitan. Lima jari tangan
kanannya kepulkan asap biru. Bersamaan dengan itu hawa panas luar biasa
menggerogoti tangan kirinya.
Dia merasa tangan itu laksana lumer. Sarontang kucurkan keringat dingin,
kerahkan tenaga menahan sakit. Ketika diperhatikan dia saksikan bagaimana lima
kuku jari tangan kirinya terbabat putus. Sisa kuku yang masih menempel di ujung-
ujung jari tampak hangus kehitaman dan mengepulkan asap.
Jatilegowo tertawa bergelak.
"Sarontang kakek mesum! Umurmu tak bakal lama! Racun badik akan merasuk ke dalam
tubuhmu, menghancurkan pembuluh darah
menjebol jantungmu! Ha... ha... ha!"
Pucatlah wajah tua Sarontang. Dia tahu
Jatilegowo tidak bisa dusta. Racun Badik Sumpah Darah yang berasal dari Pohon
Tuba jahat luar biasa. Sekali racun itu masuk ke dalam tubuh tidak satu mahluk
hidup pun bisa bertahan.
"Jahanam!" rutuk Sarontang. Dia gerakkan tangan kanannya ke tangan kiri. Lalu
kraakk! Sarontang pelintir dan tanggalkan tangan kirinya sendiri sebatas pergelangan!
Kutungan tangan kiri ketika dicampakkannya ke tanah telah
berubah menjadi sangat hitam. Dia masih beruntung. Walau tangan kirinya kini
hancur buntung tapi racun jahat Badik Sumpah Darah tidak sampai masuk ke dalam
tubuhnya! Jatilegowo tertawa mengekeh.
"Sarontang. Kau memang bisa selamat dari racun badik, tapi kau tidak bisa
selamat dari badiknya sendiri!"
Habis berkata begitu Jatilegowo melompat ke depan sambil kirimkan satu tusukan
ganas. Tapi Sarontang yang sudah tahu gelagat cepat melesat ke udara. Kakek ini
sengaja melesat ke atas satu pohon besar, lalu berpindah ke pohon lain dan M e r
a g a S u k m a
16 akhirnya lenyap dari pemandangan. Jatilegowo yang tidak punya kemampuan untuk
berbuat seperti itu, tak bisa melakukan pengejaran. Dia hanya menyumpah habis-habisan.
Saat ini dia memang bisa membuat si kakek tak berdaya dan melarikan diri. Namun
dia maklum satu saat orang tua itu akan muncul kembali untuk dapatkan Badik
Sumpah Darah dan membunuh dirinya.
Selama Sarontang masih hidup dia akan merasa tidak tenteram.
Untuk beberapa lamanya Jatilegowo meman-
dang ke arah lenyapnya si kakek di atas deretan pohon-pohon sebelah sana.
Kemudian dia perhatikan koyakan iuka pada dua tangan kiri kanan.
Dengan badik yang dipegang di tangan kanan Jatilegowo ucapkan senjata itu ke
tangan kiri. Asap biru kehitaman mengepul. Ketika asap lenyap, luka mengerikan di tangan
kirinya ikut lenyap.
Jatilegowo menyeringai. Dia letakkan Badik Sumpah Darah di kening lalu cium
senjata sakti mandraguna itu. Badik kemudian dipindah ke tangan kiri. Lalu
seperti tadi senjata sakti mandraguna ini diusapkan ke tangan kanan yang luka
parah akibat serangan mahluk-mahluk halus peliharaan Sarontang. Asap biru
mengepul, begitu asap sirna, luka di tangan kanan Jatilegowo ikut lenyap. Kembali
Jatilegowo letakkan badik sakti di atas kening. Sambil mencium senjata itu dia
berkata. "Terima kasih badik sakti. Aku akan menjaga dirimu baik-baik. Harap kau
juga mau menjaga diriku baik-baik."
Mendadak ada suara derap kaki kuda
meninggalkan tempat itu. Jatilegowo tersentak kaget. Dia ingat pada Nyi
Larasati. Secepat kilat dia melompat ke balik hancuran batu besar di mana tadi
dia membaringkan janda itu. Seperti disambar petir begitu terkejutnya Adipati
Salatiga ini ketika dapatkan sosok Nyi Larasati tak ada M e r a g a S u k m a
17 lagi di tempat itu.
"Jahanam! Siapa berani mati punya pekerjaan!
Nyi Lara! Nyi Lara! Di mana kau?" teriak Jatilegowo. Dia memandang berkeliling.
Kuda besar miliknya masih ada di tempat itu. Tadi dia mendengar suara derap kaki
kuda. Berarti orang melarikan Nyi Lara menunggang kuda.
Siapa" Mungkin Sarontang yang kembali lagi secara tak terduga, membawa kuda dan
menculik Nyi Larasati"
"Tidak mungkin setan tua keparat itu," ujar Jatilegowo dalam hati. "Tak mungkin
dia. Lalu siapa...?" Jatilegowo tak bisa menjawab. Dia hanya bisa menyumpah
habis-habisan lalu melompat ke atas kudanya. Bintang ini segera dipacu ke arah
lenyapnya suara derap kaki kuda tadi.
M e r a g a S u k m a
18 BASTIAN TITO M E RAG A S U K MA
3 ALAM Episode sebelumnya (Tahta Janda
DBerdarah) diceritakan bahwa Wiro minta
pertolongan Ratu Duyung untuk
mempertemukannya dengan Nyi Roro Manggut.
Sesuai petunjuk Kakek Segala Tahu, Nyi Roro memiliki satu-satunya ilmu kesaktian
yang bisa dipergunakan Wiro untuk menolong Bunga keluar dari sekapan guci
tembaga Iblis Kepala Batu Alis Empat. Ketika Wiro mengutarakan maksudnya Ratu
Duyung tidak memberikan jawaban.
Menyangka gadis bermata biru ini tidak mau menolongnya karena baru sembuh dan
mungkin masih berada di bawah pengaruh petaka besar yang baru dialami yakni
dicelakai oleh Nyi Ragil dengan ilmu Mengupas Raga hingga dadanya
mengalami luka mengerikan, maka tanpa mau memaksa Wiro akhirnya tinggalkan
puncak Bukit Menoreh. Agaknya dia harus berusaha sendiri mencari Nyi Roro
Manggut yang konon berdiam di dasar samudera kawasan selatan. Di puncak Bukit
Menoreh saat itu ada Bidadari Angin Timur dan Anggini. Bujang Gila Tapak Sakti
telah pergi duluan ke Temanggung.
Tidak dinyana ternyata Ratu Duyung mengejar Wiro dan berhasil menyusul sang
pendekar di satu tempat. Kepada Bidadari Angin Timur dan Anggini Ratu Duyung
sebelumnya dia memberi tahu karena ada satu keperluan di Kotaraja maka dia
terpaksa meninggalkan dua gadis sahabatnya itu.
"Menurutmu...." berkata Bidadari Angin Timur pada Anggini sesaat setelah Ratu
Duyung M e r a g a S u k m a
19 tinggalkan Bukit Menoreh. "Apakah dia benar-benar pergi ke Kotaraja?"
Anggini tersenyum.
"Kau bisa menduga sendiri. Menurutmu bagaimana?" balik bertanya murid Dewa Tuak.
"Kita sama tahu," jawab Bidadari Angin Timur.
"Antara Ratu Duyung dan Bunga sejak peristiwa Wiro menolong Ratu Duyung di Puri
Pelebur Kutuk telah terjadi perselisihan yang tak mungkin diperbaiki. Bunga
berpendapat Ratu Duyung secara licik telah memperdayai Wiro dan berhasil
mendapatkan kejantanan pemuda itu. Padahal kita tahu hal tersebut sebenarnya
tidak pernah kejadian. Kesembuhan Ratu Duyung dari penyakit kutukan semua karena
kehendak Tuhan Yang
Maha Kuasa. Dalam perselisihan yang masih
berlarut-larut, bagaimana mungkin sekarang Ratu Duyung mau dan rela menolong
Wiro

Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membebaskan Bunga dari sekapan guci Iblis
Kepala Batu?" (Mengenai peristiwa di Puri Pelebur Kutuk harap baca serial Wiro
Sableng berjudul
"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode) Anggini tak segera menjawab.
Gadis itu berdiam diri seolah tengah memikirkan sesuatu.
Sesaat kemudian baru Anggini berkata.
"Dari sudut pandanganmu hal itu memang bisa seperti yang kau katakan. Tapi dari
sudut pandangan Ratu Duyung sendiri, bukankah ini berarti satu kesempatan
baginya untuk lebih mendekatkan diri dengan Wiro?"
"Dengan kata lain kau tidak yakin Ratu Duyung benar-benar pergi ke Kotaraja?"
Anggini menggeleng. "Dia tidak ke Kotaraja.
Aku yakin saat ini Ratu Duyung tengah mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Lalu kita mau berbuat apa?" tanya Bidadari Angin Timur pula sambil melirik pada
Anggini. "Kau punya usul apa, sahabatku?" balik M e r a g a S u k m a
20 bertanya Anggini.
"Aku bisa pergi ke mana saja aku suka. Namun aku justru memikirkan dirimu."
"Memikirkan diriku?" Anggini berucap heran.
Bidadari Angin Timur mengangguk. "Dalam rimba persilatan sudah bukan rahasia
lagi. Hampir semua orang mengetahui kalau gurumu Dewa
Tuak ingin menjodohkan dirimu dengan Pendekar 212...."
"Ah, perkara yang satu itu tak usah kita bicarakan," kata Anggini. Selain memang
tidak suka membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro, Anggini juga maklum
kalau Bidadari Angin Timur adalah salah satu dari sekian banyak gadis yang
menginginkan pemuda yang dikasihinya itu.
"Kau tak ingin membicarakan perjodohanmu.
Tak ingin membicarakan jalan hidupmu di kemudian hari. Itu hakmu, aku tak berani
memaksa.Tapi sebagai sahabat, kalau aku boleh bertanya mengapa kau tidak suka
membicarakan hal itu...."
"Mengenai perjodohanku dengan Wiro itu hanya maksud baik guruku saja. Dari pihak
Wiro dan gurunya Eyang Sinto Gendeng dingin-dingin saja. Menurutmu apakah
perjodohan itu bisa dipaksakan?"
"Tentu saja jodoh tidak bisa dipaksakan. Tapi bisa diatur...." jawab Bidadari
Angin Timur. "Kita suka orang tak mau. Orang mau kita tak suka.
Mana mungkin kejadian?"
"Nah kalau kau bisa berucap seperti itu, berarti kau sudah tahu permasalahannya.
Jadi kita tak usah membicarakan berpanjang-panjang.
Sekarang hanya tinggal kita berdua di puncak bukit ini. Tak lama lagi pagi
segera datang. Apa yang hendak kita lakukan?" bertanya Anggini.
"Kita dimintai pertolongan mencari Pedang Naga Suci 212 oleh Wiro...." kata
Bidadari Angin M e r a g a S u k m a
21 Timur pula. "Betul, lalu apa yang akan kita lakukan" Ke mana kita akan pergi?" tanya
Anggini. "Sebaiknya kita tinggalkan saja bukit ini.
Sambil berjalan kita bisa bicara ke mana kita akan pergi. Tapi jika aku boleh
memilih, aku akan pergi ke tempat di mana kira-kira beradanya Pangeran
Matahari."
"Mengapa begitu?" tanya Anggini.
"Dia biang racun dari segala malapetaka yang terjadi belakangan ini. Lalu, aku
juga tidak akan pernah melupakan bahwa dialah yang telah menghamili lalu
membunuh adik kembarku sendiri!" (Mengenai kematian gadis bernama Pandan Arum
kisahnya dapat dibaca dalam "Kiamat Di Pangandaran" Episode terakhir dari
"Wasiat Iblis"
terdiri dari 8 Episode)
Bidadari Angin Timur memegang lengan
Anggini. Dua gadis itu menuruni bukit sambil berpegangan tangan. Dalam hati
Bidadari Angin Timur muncul selarik kegembiraan. Kini dia tahu pasti bahwa
perjodohan antara Anggini dengan Wiro hanya tetap menjadi satu niat belaka, yang
tak akan mungkin menjadi kenyataan. Berarti bagi Bidadari Angin Timur seorang
saingan dalam memperebutkan cinta Pendekar 212, yaitu gadis bernama Anggini yang
saat itu berjalan
berdampingan bersamanya, tidak perlu
dikhawatirkan lagi. Puti Andini yang juga
mencintai Wiro telah meninggal dunia. Bunga gadis alam roh yang bagaimanapun
juga sampai kiamat tak mungkin bersatu sebagai suami istri dengan Wiro. Jadi
kini hanya Ratu Duyung seorang yang harus diperhatikannya.
"Sahabat, apa yang tengah kau pikirkan sambil melangkah?"
Suara Anggini mengejutkan Bidadari Angin Timur. Gadis ini tersenyum. Tapi tak
menjawab. M e r a g a S u k m a
22 SANG SURYA mulai condong ke barat ketika
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung turun dari biduk kecil yang
ditumpanginya sampai di satu muara di kawasan selatan. Kini samudera luas
terbentang di hadapan mereka. Ratu Duyung memandang ke langit, memperhatikan
letak matahari. "Kita tunggu sampai sang surya masuk ke tempat tenggelamnya. Pada saat itu kita
baru masuk ke dalam laut," kata Ratu Duyung.
"Kenapa tidak masuk sekarang saja?" tanya Pendekar 212.
"Ada hitungannya Wiro...."
"Hitungan" Hitungan apa?" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Hitungan agar kita sampai pada waktu yang tepat dan baik. Agar maksud dan
tujuan bisa terlaksana dengan baik pula...."
"Aku tidak mengerti. Tapi aku menurut apa yang baik menurutmu saja," kata Wiro.
Lalu dia meneruskan. "Ingat peristiwa beberapa waktu lalu ketika pertama kali
kau membawaku masuk ke dalam laut di pantai selatan ini?"
Ratu Duyung tersenyum. "Apa yang masih kau ingat, Wiro?"
"Waktu itu sehabis pertempuran besar di Pangandaran. Aku naik kereta putih
bersamamu. Kereta itu menuruni pantai, masuk ke dalam laut.
Aku ketakutan...."
"Kau takut mati. Tapi tidak mati kan?" ujar Ratu Duyung pula sambil tersenyum.
"Sekarang kau tidak membawa kereta.
Bagaimana caranya kita bisa masuk ke dalam laut?"
Ratu Duyung tertawa.
"Tanpa kereta kita bisa lebih cepat sampai ke tujuan. Atau mungkin kau punya
usul bagaimana caranya kita bisa sampai lebih cepat?"
Pendekar 212 tertawa. Lalu gelengkan kepala.
M e r a g a S u k m a
23 "Wiro, satu hal harus kau ingat baik-baik,"
kata Ratu Duyung. "Keadaan samudera kawasan selatan saat ini, dibanding ketika
dulu pertama kali kau bersamaku masuk ke sana, jauh berbeda.
Dulu aku masih menjadi orang dalam yang bisa bergerak bebas ke mana aku suka.
Sekarang setelah aku terlepas dari kutukan berkat pertolonganmu, aku bukan lagi
orang dalam. Lang-kahku terbatas. Gerak gerikku akan diawasi. Jadi kita harus
berlaku sangat hati-hati. Jangan sampai berbuat salah atau keliru. Begitu berada
dalam air, kau harus mengerahkan Ilmu Menembus Pandang hingga daya penglihatanmu
bisa lebih luas. Lalu satu hal lagi. Sebelum kita sampai ke kawasan tempat
kediaman Nyi Roro Agung, di dalam air kau tidak akan bisa bicara. Jadi jangan
coba-coba membuka mulut. Kecuali kalau kau Ingin perutmu kembung kemasukan air
laut!" "Semua ucapanmu akan kuperhatikan Ratu,"
kata Wiro pula. "Mengenai Nyi Roro Manggut yang akan kita temui itu. Apakah
dia...." "Ingat, aku bukan lagi orang dalam. Aku punya pantangan. Tidak boleh menerangkan
segala sesuatu menyangkut isi samudera
kawasan selatan. Mengenai Nyi Roro Manggut, kalau Nyi Roro Agung memberi izin
kau akan bertemu sendiri dengan dia. Kau bisa mengajukan seribu satu
pertanyaan."
"Bagaimana kalau Nyi Roro Agung tidak memberi izin?" tanya Wiro.
"Berarti kita harus menunggu sampai bulan purnama mendatang. Saat itu biasanya
Nyi Roro Agung bersikap baik dan mengabulkan segala sesuatu yang dipinta."
Wiro menarik nafas dalam, menggaruk kepala.
Lalu lama sekali dia memandang ke tengah laut sementara sang surya semakin
condong ke barat.
"Apa yang tengah kau pikirkan" Apa yang ada dalam benakmu?" bertanya Ratu
Duyung. M e r a g a S u k m a
24 "Kau ingat sewaktu terjadi pertempuran antara guruku Eyang Sinto Gendeng dengan
si gendut Bujang Gila Tapak Sakti di Bukit Menoreh?"
"Saat itu aku masih dalam keadaan terluka berat. Terbaring tak berdaya. Tapi apa
yang terjadi sempat kusaksikan semua. Dua orang itu, apa yang terjadi dengan
diri mereka. Berkelahi mau saling berbunuhan. Padahal masih satu
golongan, dan selama ini ia selalu bersahabat...."
"Orang-orang berkepandaian tinggi memang terkadang suka berlaku aneh," kata
Wiro. "Tapi aku yakin mereka tidak ada maksud untuk sung-guhan saling membunuh."
"Lalu apa maksud pertanyaanmu tadi, apa kau ingat akan pertempuran mereka?"
tanya Ratu Duyung pula.
"Aku pernah mendengar ucapan orang-orang tua. Katanya seorang guru tidak pernah
mewariskan seluruh kepandaiannya pada
muridnya. Menurutmu bagaimana?"
"Bukan menurutku bagaimana," jawab Ratu Duyung. "Tapi justru aku mau tahu kenapa
kau bertanya seperti itu. Agaknya ada satu ganjalan dalam dirimu?"
Wiro menggaruk kepala. Memandang ke
tengah laut. "Sudahlah, lupakan saja apa yang aku tanyakan tadi."
Ratu Duyung pegang tangan Wiro. "Jangan kau berkata seperti itu. Apa yang
menjadi ganjalan dalam dirimu tidak akan pernah lenyap hanya dengan ucapan seperti itu.
Satu ketika hal itu akan muncul kembali...."
"Hemmm.... Baiklah. Akan aku sampaikan apa yang menjadi unek-unekku. Ketika
Eyang Sinto Gendeng dibuat panik oleh serangan hawa dingin Bujang Gila Tapak
Sakti, guruku itu menyerang dengan dua larik sinar biru yang keluar dari
sepasang matanya. Dua sinar itu seperti sepasang pedang raksasa, membabat
bersilangan. M e r a g a S u k m a
25 Dahsyatnya bukan kepalang. Puncak gunung karang sekali pun kalau kena dihantam
pasti akan papas buntung...."
Wiro hentikan ucapannya ketika dilihatnya Ratu Duyung tersenyum.
"Ratu, mengapa kau tersenyum?"
"Aku maklum sudah. Eyang Sinto Gendeng tidak pernah mengajarkan atau memberikan
ilmu itu padamu. Itu yang membuat hatimu kecewa dan menjadi ganjalan. Mungkin
juga merasa dirimu tidak dipercaya untuk menguasai ilmu itu."
"Apa yang kau katakan memang benar
adanya...."
"Eyang Sinto Gendeng pasti punya alasan mengapa tidak mewariskan ilmu itu. Atau
belum mewariskan ilmu itu padamu."
Wiro mengangguk.
"Beliau memang pernah berkata. Aku belum pantas, belum bisa dipercaya untuk
memiliki ilmu itu," kata Wiro pula. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Munculnya Sinto Gendeng)
"Kalau begitu kau tak perlu kecewa. Satu ketika ilmu luar biasa itu pasti akan
diajarkannya padamu."
"Sewaktu Bujang Gila Tapak Sakti dilabrak serangan itu, dalam kejutnya pemuda
gendut itu berseru menyebut ilmu yang dikeluarkan Eyang Sinto Gendeng. Sepasang
Sinar Inti Roh."
"Wiro sebaiknya kau tak usah menurutkan perasaan. Bukankah ada ujar-ujar
mengatakan. Jangan perasaan menipu jalan pikiran...."
Wiro tertawa. Dibelainya punggung Ratu
Duyung sehingga gadis bermata biru ini merasa sejuta kebahagiaan. Dua matanya
yang biru bagus dipejamkan. Dalam keadaan seperti itu dia berkata.
"Wiro, jika kau masih belum puas, mungkin aku bisa membantu."
"Kau mau meminta guruku agar mengajarkan M e r a g a S u k m a
26 ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu padaku?" tanya Wiro.
Ratu Duyung gelengkan kepala lalu berkata.
"Aku juga memiliki ilmu kesaktian menyerupai ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu.
Dua mataku bisa mengeluarkan sinar biru atau hijau, menyambar bersilang seperti
sepasang pedang.
Tapi dibanding dengan Sepasang Sinar Inti Roh, ilmu yang kumiliki kehebatannya
mungkin tidak ada sepersepuluhnya. Kalau kau suka, aku bisa mengajarkan dan
memberikan ilmu itu padamu."
"Ratu...." ujar Wiro. "Aku senang sekali mendengar ucapanmu itu. Tapi aku sudah
terlalu banyak berhutang budi padamu. Kau telah memberikan beberapa ilmu
kesaktian padaku. Aku tak berani menerima budi lebih banyak. Di samping itu
sebenarnya aku juga telah memiliki ilmu mirip-mirip seperti yang dipunyai Eyang
Wiro. Namanya ilmu Sepasang Pedang Dewa.
Aku dapat dari Datuk Rao Basuluang Ameh, seorang mahluk setengah roh setengah
manusia yang konon telah meninggal sekitar seratus tahun lalu. tapi jika
dibanding dengan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh milik guruku, ilmu Sepasang Pedang
Dewa agaknya masih berada satu dua tingkat di bawah...."
"Wiro, jika kau bicara perihal budi, ketahuilah budi hanyalah sekedar ucapan.
Dari apa yang didapatnya si penerima budi akan menanam dan mendapatkan kebaikan
di kemudian hari. Sedang si pemberi budi sendiri tidak kehilangan apa-apa....
"Terima kasih Ratu, aku tak mau membebani diriku dengan terlalu banyak ketanaman
budi." Kata Wiro pula sambil memegang lengan Ratu Duyung. Sang Ratu letakkan tangannya
di atas tangan Wiro yang memegang lengannya.
"Wiro, aku jadi berpikir. Gurumu memiliki ilmu yang disebut Sepasang Sinar Inti
Roh. Kau punya M e r a g a S u k m a
27 ilmu Sepasang Pedang Dewa, dan aku punya
ilmu Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudera.
Tiga ilmu kesaktian itu memiliki kesamaan. Sama-sama keluar dari dalam mata.
Menurutmu apakah ketiganya tidak bersumber pada ilmu yang sama"
Warisan dari seorang tokoh sakti mandraguna yang sama?"
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.
"Bisa jadi. Tapi siapa yang mau menyelidik?"
Wiro diam sebentar lalu melanjutkan ucapannya.
"Ratu Duyung, saat ini kita tengah menghadapi satu urusan besar. Aku tahu kau
ada perselisihan dengan Bunga. Tetapi ketulusan hatimu
menunjukkan bahwa budimu begitu luhur. Kau masih mau membantu aku untuk
menyelamatkan gadis dari alam roh itu...."
Ratu Duyung diam saja. Dalam hati dia berkata. "Tak mungkin bagiku untuk
mengatakan terus terang padamu Wiro. Bahwa aku menolong gadis alam roh itu
semata-mata karena cinta kasihku padamu. Sebagai manusia biasa aku tidak bisa
melepaskan diri dari berbagai rasa dan harapan."
Perlahan-lahan Ratu Duyung sandarkan
kepalanya ke dada bidang berotot Wiro. Sang pendekar merangkul bahu Ratu Duyung,
me-meluknya erat-erat lalu perlahan-lahan rundukkan kepala mencium kepala gadis
itu. Ratu Duyung tengadahkan wajahnya. Ketika dia menarik mesra kepala sang
pendekar dan sesaat lagi bibir mereka akan saling kecup, tiba-tiba Wiro sadar.
Jari-jari tangannya ditempelkan di atas bibir sang dara hingga bibir mereka
tidak jadi saling bersentuhan.
"Kita tengah menghadapi urusan besar.
Seperi katamu tadi jangan perasaan kita mempengaruhi pikiran."
Ratu Duyung buka sepasang matanya yang
bagus yang barusan sempat dipejamkan,
mendesah lirih.
M e r a g a S u k m a
28

Wiro Sableng 130 Meraga Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sejak lama aku merindukan keadaan seperti Ini Wiro. Kau dan aku berdua-dua.
Tapi...." Ratu Duyung menarik nafas dalam. "Aku mengerti.
Kita tengah menghadapi urusan besar. Mungkin aaja penguasa kawasan ini tidak
suka melihat tindak tanduk kita hingga apa yang kita harapkan dari mereka tidak
kesampaian. DI BALIK serumpunan semak belukar lebat
tak jauh dari tempat Wiro dan Ratu Duyung berada, dua gadis cantik yang sejak
tadi sembunyi memperhatikan Wiro dan Ratu Duyung sama-sama kelihatan jengah
paras masing-masing.
Keduanya lalu sama-sama menarik nafas panjang.
"Anggini, aku tak mau lebih lama berada di tempat ini. Lebih baik kita pergi
sekarang juga...."
Yang bicara adalah gadis berpakaian biru tipis dan tubuhnya menebar bau harum.
Dia bukan lain Bidadari Angin Timur, gadis yang selama ini begitu mendalam cintanya
terhadap Wiro. Dadanya terasa sesak. Sepasang matanya
berkaca-kaca. Gadis di sebelahnya yaitu Anggini, pegang tangan Bidadari Angin Timur. Dua
tangan yang saling berpegangan itu sama berkeringat dan dingin.
"Aku tahu perasaanmu, sahabatku," kata Anggini yang bicara sambil memandang ke
jurusan lain karena dua matanya juga tampak mulai basah. Walau dia sadar
sepenuhnya bahwa perjodohannya dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng sulit akan menjadi kenyataan, namun dia tidak bisa menipu diri sendiri.
Saat itu rasa cemburu menyumpal relung hatinya karena
seperti Bidadari Angin Timur dia pun mengasihi Wiro.
KETIKA sang surya masuk ke titik tengge-
lamnya, kawasan samudera selatan mulai
diselimuti kegelapan. Keheningan alam hanya ditandai oleh tiupan angin yang kini
terasa agak M e r a g a S u k m a
29 mencucuk. "Sudah saatnya Wiro," kata Ratu Duyung.
"Pegang lengan kiriku. Jangan lepaskan sebelum kepalamu berada tiga tombak di
bawah permukaan air. Nanti aku akan memberi tanda.
Kau siap?"
Wiro mengangguk. Dia merasa sedikit tegang.
Ratu Duyung angkat tangan kirinya. Wiro segera pegang lengan gadis itu. Satu
hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuh Pendekar 212.
Hawa ini merambat lebih banyak di bagian dada, leher, jalan pernafasan termasuk
hidung dan mulut serta mata. Inilah hawa sakti yang bisa membuat Wiro berada
dalam lautan seperti dia berada di daratan.
Wiro dan Ratu Duyung melangkah bergan-
dengan tangan di atas pasir pantai. Pecahan ombak membasahi kaki dan pakaian
mereka. Saat demi saat sepasang kaki ke dua orang itu memasuki air laut semakin
dalam. Ketika air laut mencapai pinggang Wiro mulai merasa dingin. Di sebelahnya
Ratu Duyung tampak tenang.
Air laut naik sampai ke dada. Terus naik
mencapai leher. Tak selang berapa lama kepala kedua orang itu tak kelihatan
lagi, lenyap di bawah permukaan air. Di dalam air Wiro
melangkah terus. Gerakannya tambah cepat. Air laut bersibak keras di kiri
kanannya. Wiro mengikuti. Tangannya memegang lengan si gadis erat-erat. Kemudian
dia merasakan dua kakinya tidak menginjak pasir lagi. Di sebelahnya Ratu Duyung
mulai berenang. Wiro ikut berenang. Lalu sang Ratu sentakkan tangan kirinya.
Itulah tanda yang dikatakan Ratu Duyung. Berarti saat itu mereka telah berada
tiga tombak di bawah
permukaan air laut. Wiro lepaskan pegangannya pada lengan kiri Ratu Duyung. Lalu
dia sadar kalau dia belum mengerahkan Ilmu Menyusup Pandang. Segera dia
keluarkan ilmu ini. Satu M e r a g a S u k m a
30 keanehan serta merta terasa. Keadaan yang tadi remang-remang kini menjadi lebih
terang seolah dia berada di udara terbuka dalam keadaan
rembang sore. M e r a g a S u k m a
31 BASTIAN TITO M E RAG A S U K M A
4 AKIN jauh masuk ke dasar samudera air
laut terasa tambah dingin. Wiro terpaksa
Mkerahkan hawa sakti hangat ke sekujur
tubuh agar gerakannya berenang tidak
kaku. Saat itu dia tertinggal jauh di belakang Ratu Duyung. Di satu tempat Ratu
Duyung berhenti, menunggu sampai Wiro mendekat. Gadis ini kemudian menunjuk ke
arah depan. Memandang ke arah yang ditunjuk, di kejauhan Wiro melihat satu
dinding batu kelabu, membujur dari kiri ke kanan. Demikian tinggi dan panjangnya
dinding ini hingga tidak kelihatan bagian atas dan tak tampak ujung jari kiri
maupun kanan. Lapat-lapat Wiro mendengar suara bebunyian seperti alunan gamelan.
Wiro hendak membuka mulut bertanya. Air
laut langsung masuk ke dalam mulutnya. Ratu Duyung mengangkat tangan memberi
tanda lalu berkata.
"Wiro, kau belum masuk ke dalam kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung. Jadi belum
mampu untuk bicara. Dengar saja apa yang aku ucapkan."
Ratu Duyung menunjuk ke arah dinding kelabu
"Itu Tembok Karang Abad. Pembatas kawasan kediaman Nyi Roro Agung dengan dunia
luar. Tembok itu berusia ratusan bahkan ribuan tahun.
Tidak satu kekuatan dari luar pun bisa menembus tembok itu. Kita harus masuk
melalui Pintu Gerbang Naga Biru. Letaknya di sebelah sana.
Ikuti aku...."
Ratu Duyung berenang menyusuri pinggiran
Tembok Karang Abadi ke arah barat. Makin jauh M e r a g a S u k m a
32 berenang keadaan semakin redup dan air laut bertambah dingin. Hawa panas yang
diandalkan Wiro untuk melindungi diri dari dinginnya air laut ternyata masih
bisa ditembus hingga pemuda ini berenang setengah menggigil. Melihat Wiro
sering-sering tertinggal di belakang dan cara berenangnya yang tersendat-sendat
Ratu Duyung segera dekati si pemuda. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke dada
Wiro lalu perlahan-lahan dia alirkan hawa sakti ke dalam tubuh sang pendekar.
Tak selang berapa lama Wiro merasakan tubuhnya menjadi hangat dan pemandangannya
jernih kembali. Dia angguk-anggukkan kepala pada Ratu Duyung sebagai tanda
ucapan terima kasih.
Ratu Duyung kembali berenang ke arah barat.
Di kejauhan Wiro melihat ada bagian dinding berbcnluk gapura tinggi. Di atas
gapura bergelung patung besar seekor naga berwarna biru. Agaknya itulah Pintu
Gerbang Naga Biru, pikir Wiro.
Hanya beberapa belas tombak menjelang
sampai ke Pintu Gerbang Naga Biru, tiba-tiba pada Tembok Karang Abadi kelihatan
dua belas titik bercahaya terang kebiruan. Titik cahaya ini makin lama makin
besar dan tambah terang. Lalu selagi Wiro memperhatikan dan bertanya cahaya apa
gerangan itu adanya tiba-tiba bett... bett...
bett! Dua belas titik terang menembus tembok. Di lain kejap kelihatan dua belas
sosok gadis berwajah cantik berambut panjang tergerai melesat dalam air dan
dalam waktu singkat telah mengurung Wiro serta Ratu Duyung. Di tangan masing-
masing gadis cantik tergenggam sebuah tongkat memancarkan warna biru terang.
Yang membuat murid Sinto Gendeng jadi
terkesima bukan saja kecantikan wajah dua belas gadis, bukan pula rambut yang
hitam tergerai lepas, bukan kehebatannya yang sanggup
menembus dinding karang. Tetapi juga pakaian M e r a g a S u k m a
33 yang begitu minim yang melekat di tubuh dua belas gadis hingga keadaan mereka
nyaris polos. Selagi Wiro terkagum-kagum begitu rupa, tiba-tiba salah seorang gadis yang
memegang tongkat paling besar membentak. Agaknya dia adalah pimpinan dari
rombongan gadis-gadis cantik itu.
"Siapa berani mati memasuki kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung tanpa izin?"
Wiro garuk-garuk kepala tak bisa menjawab.
Gadis yang barusan bicara melesat ke arahnya.
Tongkat biru menyala disorongkan ke depan kepala Pendekar 212.
"Ah...." Gadis pembawa tongkat besar keluarkan seruan tertahan. Dia tidak
menyangka orang yang berada di hadapannya ternyata
seorang pemuda berwajah sangat gagah. Belasan tahun hidup di dasar samudera baru
hari itu dia melihat pemuda segagah yang ada dihadapannya.
Tapi ingat tugas, dia tak mau larut dalam perasaan. Kembali gadis ini membentak.
"Kau siapa" Apa keperluanmu berada di tempat ini"!"
"Nyi Kantili, aku yang membawa pemuda itu ke sini. Harap maaf kalau aku tidak
sempat memintakan izin. Waktu dan kemampuanku
sangat terbatas." Satu suara tiba-tiba menggema di dalam air.
Nyi Kantili dan sebelas gadis bertongkat biru menyala sama palingkan kepala ke
arah kiri. Dua belas gadis ini keluarkan seruan pendek ketika mengetahui siapa
yang barusan bicara.
"Ratu Duyung! Ah, kau rupanya...." ujar gadis bernama Nyi Kantili. "Kawan-kawan,
berikan penghormatan pada Ratu Duyung!"
Dua belas gadis di bawah pimpinan Nyi Kantili membungkuk dalam sambil
membabatkan tongkat masing-masing dua kali berturut-turut.
"Nyi Kantili dan para sahabat. Terima kasih atas penghormatan itu. Rasanya semua
itu tidak M e r a g a S u k m a
34 perlu lagi diberikan padaku. Kita ini hidup dalam alam yang berbeda...."
"Ratu Duyung, walau bagaimanapun kau adalah yang pernah menjadi pimpinan dan
sahabat kami. Kami merasa bahagia bisa bertemu lagi dengan dirimu." Nyi Kantili
melirik pada Wiro lalu bertanya. "Ratu Duyung, kalau kami boleh bertanya
siapakah adanya pemuda ini" Kau tadi berkata bahwa kaulah yang membawa dirinya
ke sini." "Nyi Kantili, pemuda ini bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212. Beberapa
waktu lalu dia telah pernah datang ke kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung namun
waktu itu kami datang dari arah Pangandaran hingga kau tidak berkesempatan
menemuinya karena
tugasmu di wilayah ini. Jauh dari Pangandaran...."
"Hmm.... Kami memang pernah mendengar peristiwa hebat itu. Waktu itu walau tidak
bisa menemui dirimu tapi kami para sahabat merasa bahagia bahwa kau berhasil
lepas dari hukum kutukan...."
"Semua berkat pertolongan pemuda bernama Wiro ini," kata Ratu Duyung pula.
"Ooh, jadi dia...?" Kembali Nyi Kantili dan sebelas gadis lainnya arahkan
pandangan pada wajah gagah Pendekar 212. "Ratu Duyung, harap kau suka memberi
tahu maksud kehadiranmu di sini. Kami tidak bisa terlalu lama berada di luar Tembok Karang
Abadi." "Aku mengerti," jawab Ratu Duyung. "Nyi Kantili, untuk satu keperluan sangat
penting pemuda sahabatku ini ingin bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Aku minta
pertolonganmu dan para sahabat untuk membawanya ke hadapan Nyi Roro Manggut.
Tentunya setelah mendapat izin dari Nyi Roro Agung."
"Apa yang kau mintakan akan kami lakukan.
Namun kami tak bisa mengajakmu serta...."
M e r a g a S u k m a
35 "Nyi Kantili, aku tahu. Sejak perubahan diriku aku tidak bisa keluar masuk
kawasan kediaman Nyi Roro Agung sebebas seperti dulu lagi.
Sampaikan salam hormatku pada Nyi Roro Agung dan Nyi Roro Manggut. Aku akan
tetap berada di sini sampai pemuda sahabatku selesai dengan urusannya."
"Ratu Duyung, kami akan menolong sebisa yang kami lakukan. Kami merasa senang
bisa bertemu denganmu. Kami harus pergi sekarang,"
kata Nyi Kantili.
Ratu Duyung mengangguk dan lambaikan
tangan. Pada Wiro dia berkata. "Ikutlah bersama Nyi Kantili dan kawan-kawannya.
Ingat, begitu kau sampai di balik Tembok Karang Abadi kau baru bisa bicara."
Wiro lambaikan tangan pada Ratu Duyung
lalu bergerak mengikuti Nyi Kantili dan sebelas gadis lainnya. Kalau tadi mereka
keluar dengan cara menembus Tembok Karang Abadi maka karena membawa Wiro para
gadis itu melewati Pintu Gerbang Naga Biru.
Di hadapan pintu gerbang Nyi Kantili membuat gerakan-gerakan seperti menusuk,
membabat dan membacok dengan tongkat besar biru bercahaya di tangan kanannya,
gerakan-gerakan itu bukan gerakan sembarangan karena merupakan sembilan gerakan
rahasia yang mampu membuka Pintu Gerbang Naga Biru. Selesai membuat gerakan
sembilan, secara aneh pintu gerbang yang terbuat dari batu kelabu dan memiliki
dua buah daun pintu mengeluarkan suara berdesir lalu bergerak membuka ke dalam.
Enam orang anak buah Nyi Kantili melesat masuk. Nyi Kantili sendiri memberi
isyarat pada Wiro agar mengikuti. Sebelum bergerak Wiro berpaling pada Ratu
Duyung. Setelah lambaikan tangan murid Sinto Gendeng ini segera berenang
melewati pintu. Pada saat kepalanya tepat berada M e r a g a S u k m a
36 di bawah pintu gerbang, tiba-tiba terdengar suara menggemuruh. Air laut
bergelombang menimbulkan gelembung-gelembung aneh. Pintu
gerbang bergetar, mengeluarkan suara berderik.
Ada sesuatu bergerak di atas sana. Ketika Nyi Kantili dan anak buahnya mendongak
ke atas mereka sama mengeluarkan pekik terkejut.
Patung Naga Biru besar yang melingkar di atas pintu gerbang kelihatan
menggerakkan kepala dan ekornya.
"Nyi Kantili! Patung Naga Biru hidup!" seru seorang anak buah Nyi Kantili.
"Batara Tunggal! Gusti Allah Maha Kuasa!"
mengucap Nyi Kantili dengan suara gemetar sementara sebelas anak buahnya
menunjukkan wajah pucat. Bagaimana mungkin selama ratusan tahun patung Naga Biru
yang terbuat dari batu, mendekam diam kaku membatu tiba-tiba kini bisa
menggerakkan kepala dan ekor seolah hidup!"
Tombak Panca Warna 1 Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 12
^