Pernikahan Dengan Mayat 1
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT Sumber Kitab: Pendekar212
E-Book: Pendekar212 & kiageng80
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
1 ALAM episode sebelumnya, "Bendera Darah" dan
"Aksara Batu Bernyawa", diceritakan bagaimana
D Sinto Gendeng muncul di malam buta ketika Wiro Sableng secara tidak terduga
dibokong oleh salah seorang anggota komplotan manusia pocong. Sebuah bendera
darah menancap di dada Wiro. Di tempat itu hadir Wulan Srindi murid Perguruan
Silat Lawu Putih yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak dan tengah mencari
Pendekar 212 sehubungan dengan ikatan jodoh di antara mereka.
Selain Wulan Srindi, di situ juga ada Jatilandak dan Loh Gatra yang istrinya
diculik komplotan manusia pocong.
Sementara itu, tanpa diketahui orang-orang tersebut, Bidadari Angin Timur dan
Setan Ngompol bersembunyi dalam gelapnya malam, di balik kerimbunan semak belu-
kar lebat. Diam-diam kedua orang ini mengikuti semua apa yang terjadi di tempat
itu. Walau Sinto Gendeng tertawa cekikikan sehabis
mengerjai muridnya dengan berpura-pura hendak
mencekoki Wiro dengan air kencing yang diperas dari ujung kain, tak seorangpun
mau ikutan tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja tak ada yang berani. Mereka
semua tahu kalau si nenek punya adat dan sifat aneh. Sekali marah Sinto Gendeng
bisa melabrak semua orang yang ada di tempat itu. Apa lagi tadi dia sudah marah-
marah dan menganggap ada tiga orang gila di tempat itu.
Orang gila pertama menurut Sinto Gendeng adalah
muridnya sendiri, karena dilihatnya berdandan aneh memakai bendera merah basah
di dada. Sinto Gendeng kemudian pergunakan kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212
untuk menghancurkan Bendera Darah sampai ke
gagangnya. Orang gila kedua di mata si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu adalah
Jatilandak, pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berkulit kuning mulai dari
kepala- nya yang botak sampai ke ujung kaki. Lalu orang gila ketiga yang dituding si
nenek bukan lain Wulan Srindi, gadis cantik berkulit hitam manis yang berlutut
di hadapannya dan mengaku sebagai calon menantu.
Setelah puas tertawa, Sinto Gendeng memandang ke arah Pendekar 212, pelototkan
mata lalu membentak.
"Anak Setan! Dua tugas yang aku berikan padamu,
apakah sudah kau kerjakan"!"
Wiro yang sedang usap-usap bekas luka di dadanya yang barusan disembuhkan sang
guru terlonjak kaget dibentak begitu rupa. Sambil garuk kepala dia balik
bertanya. "Anu Nek, dua tugas yang mana maksudmu?"
Sejak beberapa waktu belakangan ini memang banyak hal yang ditangani Pendekar
212. Lalu yang paling membuat kacau balau pikiran pemuda ini ialah melihat
hubungan tak terduga antara Jatilandak dengan Bidadari Angin Timur. Wiro
memergoki sendiri mereka berdua-duaan di satu tempat sunyi. Lalu sekali lagi
Wiro melihat kedua orang itu. Bidadari Angin Timur seperti habis menangis dan
Jatilandak mendukungnya. (Baca Episode sebelumnya berjudul "Bendera Darah")
"Setan geblek! Aku bertanya malah kau balik bertanya.
Apa otakmu sudah jadi batu" Atau mungkin kerjamu selama ini hanya mencari gadis-
gadis cantik sampai lupa tugas!" Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik seperti
mau melompat dari rongganya yang cekung. "Eh, mungkin juga betul kata gadis
sinting bernama Wulan Srindi itu. Kau kini punya ilmu yang bisa membuat seorang
gadis jadi bunting dari jarak jauh!" Kalau sebelumnya ketika meng-
ucapkan kata-kata itu si nenek tertawa cekikikan, kini tidak. Tampangnya yang
hitam hanya tinggal kulit pembalut tengkorak kelihatan angker sekali.
"Tidak Nek, aku... aku tidak punya ilmu begituan,"
jawab Wiro sambil garuk kepala. "Mengenai dua tugas itu aku mohon maaf. Aku..."
Belum habis Wiro berucap Sinto Gendeng sudah
mendamprat. "Benar-benar anak setan! Jadi jangankan mencari, menjajaki di mana beradanya
Pedang Naga Suci 212 dan Kitab Seribu Pengobatan yang raib itu sama sekali belum
kau lakukan..."
Wiro garuk-garuk kepala. Coba tersenyum dan berkata.
"Begini Nek. Anu, aku..."
"Tutup mulutmu sebelum aku robek dengan tongkat
ini!" Jengkel si nenek rupanya sudah naik ke ubun-ubun.
Tangan kirinya bergerak.
Wutt! Tongkat kayu butut di tangan kiri si nenek melesat di depan muka Wiro. Kalau
tidak cepat sang murid menarik kepalanya ke belakang bukan mustahil mulut Wiro
benar-benar dirobek ujung tongkat.
Wiro usap-usap mulut. Muka pucat. Tak berani
cengengesan lagi.
"Anak setan! Ingat, dulu kau pernah bicara akan
mencari kitab itu bersama gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur.
Kau malah berkata gadis itu punya dugaan di mana beradanya atau siapa pencuri
kitab itu..."
"Memang benar Nek," kata Wiro menjawab ucapan
sang guru. "Namun sebelum hal itu sempat dilakukan kami keburu berpisah. Aku
janji Nek, akan mencari dua benda pusaka itu. Hanya saja saat ini aku dan kawan-
kawan tengah menghadapi satu perkara besar..."
"Kentut busuk! Aku tidak perduli perkara besar apa yang kalian hadapi!" Hardik
Sinto Gendeng. Lalu dia berbalik ke arah Wulan Srindi. "Gadis geblek! Bagaimana
kau bisa jadi sinting mengaku sebagai calon laki anak setan itu! Calon
menantuku! Gelo!"
Wulan Srindi jatuhkan diri berlutut. Dia tundukkan kepala sesaat. Sebenarnya
dulu ketika berselisih dan kesal melihat sikap Bidadari Angin Timur yang cemburu
keter- laluan, Wulan Srindi hanya ingin bergurau untuk memper-
mainkan gadis berambut pirang itu. Ternyata kini jadi keterusan. Kepalang basah,
biar mandi sekalian, Wulan Srindi akhirnya teruskan sandiwara yang dilakukannya.
"Nenek Sinto, harap dimaafkan kalau aku membuatmu terkejut dan marah dengan
semua ucapanku tadi. Tapi ketahuilah, sebelumnya Dewa Tuak telah mengangkatku
jadi murid. Dia kemudian menyuruhku mencari muridmu.
Katanya antara aku dan muridmu ada ikatan perjodohan..."
"Hah! Apa"!" Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik besar. Mulutnya seperti mau
menelan bulat-bulat kepala Wulan Srindi. "Tambah gila urusan ini! Tambah sinting
kau rupanya!" Teriak Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit menahan carut marut.
"Siapa percaya ucapanmu! Kalau aku bertemu bangsat tua bernama Dewa Tuak itu
akan aku hajar dia sampai pengkor!" Sinto Gendeng bantingkan tongkatnya ke tanah
hingga amblas dan hanya tinggal setengah jengkal saja yang tersembul. Sambil
mulutnya menggerendeng panjang pendek, Sinto Gendeng kem-
bangkan telapak tangan. Sekali tangan ditarik ke atas, tongkat yang tenggelam di
tanah melesat ke atas dan tahu-tahu sudah berada dalam genggaman tangan kirinya
kembali. Namun kekuatah tenaga dalam yang dikerahkan Sinto Gendeng sewaktu
menarik tongkat dari dalam tanah terlalu berlebihan. Ujung kainnya ikut terbetot
ke atas sampai ke pinggul! Auratnya sebelah bawah tersingkap lebar!
Wulan Srindi yang berada paling dekat dengan si nenek cepat palingkan muka.
Jatilandak pura-pura melihat ke langit dan Loh Gatra menunduk sambil garuk-garuk
kening. Wiro pejamkan mata lalu melengos. "Gila, sudah dua kali aku melihat aurat
terlarangnya. Dulu waktu dia terpendam di tanah. Kata orang melihat yang
beginian bisa apes!" (Baca Episode pertama "113 Lorong Kematian") Sinto Gendeng
terpekik begitu sadar apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat
menurunkan kain panjang yang basah hingga auratnya sebelah bawah tertutup
kembali. Di balik semak belukar sepasang mata Setan Ngompol terpentang lebar.
"Uhh! Gelap sialan. Aku hanya melihat hitam semua!..."
Matanya yang jereng diusap-usap. Air kencingnya sudah dari tadi mengucur. "Betul
kata orang. Nenek tua ini tidak suka pakai celana dalam! Kalau saja dia masih
seorang gadis, hik... hik... hik pasti bagus punya!"
Di sampingnya Bidadari Angin Timur hanya bisa diam dengan wajah merah.
Sinto Gendeng dengan tampang membesi memandang
berkeliling, mencari-cari.
"Siapa yang kau cari Eyang?" Wiro beranikan diri bertanya.
"Bocah geblek bernama Naga Kuning itu tidak ada di sini?"
"Tidak Nek, dia tidak ada di sini." Menerangkan Wiro sambil bertanya-tanya
mengapa gurunya menanyakan Naga Kuning. Wiro kemudian ingat, dulu ketika Sinto
Gendeng dipendam di tepi telaga oleh Sepasang Naga Kembar Naga Nini dan Naga
Nina, bersama Gondoruwo Patah Hati Naga Kuning menolong mengeluarkan si nenek
dari jepitan tanah. Ketika Sinto Gendeng berhasil diselamatkan ternyata kain
panjangnya masih terjepit di tanah hingga aurat sebelah bawah si nenek
tersingkap lebar, sama dengan apa yang barusan kejadian. "Hemm..."
Wiro membatin. "Rupanya mungkin Eyang Sinto merasa jengah dan malu sekali kalau
Naga Kuning sempat melihat dirinya setengah bugil sampai dua kali." (Baca
Episode "113 Lorong Kematian")
Sementara semua orang mulai tenang setelah menyak-
sikan pemandangan yang mengejutkan tadi, Wiro berpaling pada Wulan Srindi. Ingat
pada apa yang sebelumnya diucapkan si gadis bahwa dirinya telah diangkat jadi
murid oleh Dewa Tuak dan disuruh si kakek mencari dirinya karena ada ikatan
jodoh. Ingin sekali Wiro menampar Wulan Srindi. Namun yang dilakukannya hanya
meman- dang melotot pada si gadis sementara Wulan Srindi sendiri tenang-tenang saja
malah senyum-senyum simpul.
"Nenek Sinto, kalau kau tidak percaya semua ucapanku silahkan mencari guruku
Dewa Tuak. Tapi..." Wulan Srindi lalu berpura-pura unjukkan wajah sedih. Seperti
mau menangis ada, seperti khawatir juga ada.
"Tampangmu berubah! Apa yang ada dalam otakmu!
Jangan kau berani main-main padaku!" Bentak Sinto Gendeng.
Wulan Srindi gelengkan kepala berulang kali.
"Siapa berani mempermainkanmu Nek. Aku sangat
menghormatimu. Apalagi kau adalah calon mertuaku..."
"Gadis setan! Kalau kau berani ucapkan kata-kata itu sekali lagi kubuat rengkah
batok kepalamu!" teriak Sinto Gendeng.
"Maafkan diriku Nenek Sinto. Tapi mengenai guruku Dewa Tuak, aku tidak tahu apa
dia masih hidup atau sudah waras..."
"Memangnya apa yang terjadi dengan tua bangka
rongsokan itu"!" tanya Sinto Gendeng pula dengan mata masih mendelik dan tampang
angker. "Aku punya firasat dia yang mencuri Kitab Seribu Pengobatan. Karena dia
satu-satunya mahluk yang berada di puncak Gunung Gede pada hari lenyapnya kitab
pusaka itu!"
"Perihal kitab itu, aku tidak tahu apa-apa Nek. Guruku orang baik. Dia tidak
mungkin mau mencuri. Apalagi mencuri barang berharga milik calon besan sendiri,"
kata Wulan Srindi pula.
Mendengar ucapan Wulan Srindi yang menyebut dirinya sebagai calon besan, Sinto
Gendeng kembali memaki panjang pendek. Wiro lagi-lagi hanya bisa delikkan mata.
Tanpa perdulikan sikap orang Wulan Srindi lanjutkan ucapan. "Sehabis menolongku
dari seorang manusia pocong yang hendak merusak kehormatanku, Dewa Tuak memasuki
113 Lorong Kematian. Sampai saat ini dia tidak muncul lagi. Semua orang tahu
Nek, sekali masuk ke dalam lorong, jangan harap bisa keluar hidup-hidup! Aku
khawatir telah terjadi sesuatu dengan guruku itu." Wulan Srindi usap matanya
seperti orang mengusut air mata.
"Cerita kentut busuk!" tukas Sinto Gendeng tidak terpengaruh dengan mimik dan
sikap Wulan Srindi. Dia melangkah mondar-mandir lalu kembali berdiri di hadapan
si gadis. "Gadis sinting! Kau harus buktikan semua kebe-
naran ceritamu! Kau harus menyelidik masuk ke dalam lorong. Mencari Dewa Tuak.
Membuktikan di hadapan semua orang ini bahwa dia benar sudah mengangkatmu jadi
murid..." "Dan bahwa dia benar telah menjodohkan diriku
dengan muridmu," sambung Wulan Srindi pula.
"Setan alas! Itu memang harus dibuktikan! Aku mau dengar langsung dari mulut tua
bangka itu!" teriak Sinto Gendeng sementara Wiro garuk-garuk kepala dan yang
lain-lain berusaha menahan senyum melihat keras kepala-
nya gadis bernama Wulan Srindi itu. "Tunggu apa lagi! Ayo cari lorong jahanam
itu! Masuk ke sana!" Sinto Gendeng kembali berteriak.
"Nek...," wajah Wulan Srindi jadi pucat, "Kalau aku masuk ke dalam lorong,
mungkin tidak bisa keluar lagi..."
"Aku tidak perduli kau mau keluar atau tidak. Aku tidak perduli apa kau mati di
dalam lorong lalu berubah jadi hantu lorong!" Jawab Sinto Gendeng.
Wulan Srindi jadi tercekat. "Nenek Sinto, sebenarnya ketika kau datang kami siap
untuk berunding. Tapi men-
dadak ada dua kejadian hebat..."
"Jangan berkilah mengarang cerita!" bentak Sinto Gendeng.
"Tidak Nek, dia tidak mengarang cerita," Wiro menya-
huti, "Ceritakan pada guruku apa yang terjadi."
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
2 I BALIK semak belukar, Setan Ngompol berulang kali kucurkan air kencing men-
dengar semua percaka-
D pan orang yang serba mengejutkan. Di sampingnya Bidadari Angin Timur terdengar
menggerutu. "Huh! Apa-apaan pemuda itu. Mengapa dia malah memberi peluang pada
si gadis untuk menjual kebohongan"!"
"Sebelum mendengar ceritanya, kita tidak tahu apa dia bohong atau bicara benar,"
kata Setan Ngompol pula.
"Kau! Kedengarannya kau mau membelanya. Keluar
saja, pergi ke sana!"
"Oala! Aku yang jadi bahan dampratan!" ucap Setan Ngompol seraya pegang perut
menahan kucuran air
kencing. Diam-diam kakek bermata juling ini mulai tahu kalau gadis cantik di
sebelahnya sangat tidak menyukai dara bernama Wulan Srindi itu. Apa di antara
keduanya sudah saling mengenal sebelumnya" Setan Ngompol
bertanya-tanya siapa sebenarnya dan dari mana muncul-
nya si cantik hitam manis itu. Setelah diam sesaat Setan Ngompol berkata. "Turut
apa yang dibicarakan orang-orang itu, aku memang sudah mendengar lenyapnya
Pedang Naga Suci 212. Tapi mengenai Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan milik
nenek bau pesing itu baru saat ini aku tahu. Tadi Wiro memberitahu gurunya,
kalau kau dan dia punya rencana sama-sama menyelidiki perkara itu. Malah bilang
kau sudah punya dugaan siapa pencurinya."
"Semua orang bisa saja bikin rencana, bisa punya dugaan," jawab Bidadari Angin
Timur dengan suara datar dan wajah dingin. Sikapnya seperti tidak acuh. Gadis
ini memandang ke arah orang-orang di depan sana.
"Sandiwara busuk! Apa Sinto Gendeng tidak sadar kalau dirinya tengah ditipu
gadis centil itu?" Bidadari Angin Timur kepalkan tinju.
"Sahabatku cantik," ujar Setan Ngompol pula. "Kalau kau mau ikut menyelesaikan
keruwetan, agar nenek bau pesing itu tidak tertipu lebih jauh, ayo kita sama-
sama keluar. Kita damprat gadis bernama Wulan Srindi itu. Tapi, apa kita punya
bukti bahwa dia benar berdusta mengarang cerita?"
Sedang jengkel hati, Bidadari Angin Timur tambah kesal mendengar ucapan Setan
Ngompol. "Kakek tolol! Kau membela pemuda itu. Kau juga membela gadis centil
itu! Aku tidak suka bicara lagi denganmu!"
Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur berkelebat ke balik semak belukar yang
lain. Setan Ngompol berusaha menahan gerakan si gadis dengan ulurkan tangan,
mak- sudnya hendak memegang bahu Bidadari Angin Timur. Tapi gerakan si gadis lebih
cepat. Jari-jari tangan Setan Ngompol hanya sempat meraba sekilas bahu dan
samping punggung sebelah kiri Bidadari Angin Timur. Si kakek goleng-goleng
kepala. Pandangi tangan kanan sambil hatinya berkata. "Aku meraba sesuatu di
kepitan tangan kiri gadis itu. Senjata" Ah, mengapa harus aku pikirkan.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan memang banyak perabotan yang selalu dibawa ke mana-mana. Kecuali si
Sinto Gendeng itu. Yang ke mana-mana kalau polos-polos saja. Celana dalam saja
tidak gablek..." Setan Ngompol lalu tertawa sendiri.
*** Sinto Gendeng pelototi muridnya. Lalu berpaling pada Wulan Srindi. "Gadis
sinting, apa yang mau kau ceritakan!
Kalau ngawur kupecahkan kepalamu dengan tongkat ini!"
Wulan Srindi mengerling dulu pada Wiro baru membuka mulut berikan penuturan. Dia
memulai ceritanya dari kematian Surablandong Ketua Perguruan Silat Lawu Putih
yang sudah lengser dan kabarnya dibunuh oleh makhluk aneh berbentuk manusia
pocong. Untuk menyelidik
kematian Surablandong, bersama saudara seperguruannya yaitu Parit Juwana, yang
merupakan ketua baru Perguruan, Wulan Srindi menyamar sebagai sepasang suami
istri muda. Dalam penyamaran itu Wulan Srindi berpura-pura sedang dalam keadaan
mengandung tujuh bulan memakai nama Nyi Ningrum, sedang Parit Juwana mengganti
nama sebagai Raden Kuncorobanu. Hal ini dilakukan karena kabarnya komplotan
manusia pocong yang sangat ganas itu sering berkeliaran menculik perempuan-
perempuan muda yang tengah hamil tujuh bulan.
Di satu malam menjelang fajar, Wulan Srindi dan Parit Juwana pergi ke satu
tempat dekat Telaga Sarangan.
Mereka ingin melihat bunga mawar hitam langka yang hanya tumbuh di sekitar air
terjun. Sebenarnya semua ini adalah siasat dua murid Perguruan Silat Lawu Putih
itu untuk menjebak manusia pocong. Mereka diantar oleh Kepala Desa Sarangan, Ki
Sena Pamungkur berikut beberapa pengawal pamong desa.
Kenyataannya manusia pocong yang ditunggu-tunggu memang muncul. Perkelahian
hebat terjadi. Ki Sena Pamungkur dan beberapa anak buahnya tewas. Menyusul Parit
Juwana. Wulan Srindi sendiri kemudian ditotok dan dilarikan manusia pocong
berkepandaian tinggi. Wulan Srindi dibawa memasuki lorong panjang berliku-liku.
Dia dihadapkan pada seorang manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang
Mulia Ketua. Sebaliknya Sang Ketua memanggil manusia pocong yang menculik Wulan
dengan sebutan Wakil Ketua. Sang Ketua menanyakan apakah tugas mencari Pendekar
212 telah dilakukan. Ternyata tugas itu belum terlaksana, tapi sudah disirap
kabar di mana beradanya Wiro Sableng. Kepada Sang Ketua, Wakil Ketua minta agar
dia diperbolehkan membawa Wulan Srindi. Atas izin Sang Ketua, Wakil Ketua
komplotan manu-
sia pocong membawa Wulan Srindi ke dalam kamarnya.
Tapi ketika ditinggal sebentar, dengan merayu seorang manusia pocong lainnya
gadis ini berhasil keluar dari Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Ternyata
dirinya lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Manusia pocong yang
menolong membawanya ke sebuah pondok dalam satu rimba belantara membekal niat
mesum. Ham- pir dirinya hendak digagahi muncul Dewa Tuak menolong.
Manusia pocong itu dibunuh dan ternyata adalah Ki Sepuh Dalem Kawung seorang
sahabat lama Dewa Tuak. Dewa Tuak tidak sempat menanyai kenapa sahabatnya itu
berubah menjadi orang jahat karena Ki Sepuh Dalem Kawung keburu menghembuskan
nafas terakhir. (Baca Episode sebelumnya "Nyawa Kedua" dan "Rumah Tanpa Dosa")
"Setelah menyelamatkan diriku, sebelum masuk ke
dalam lorong, Dewa Tuak berkenan menyatakan diriku sebagai muridnya..." Wulan
Srindi mengerling pada Sinto Gendeng lalu melirik pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Aku masih tidak percaya. Apa alasannya mengambil dirinya jadi muridnya" Tidak
semudah itu Dewa Tuak mengangkat seseorang jadi murid..." Ucap Sinto Gendeng.
"Nek, keadaan saat itu sulit dilukiskan. Perasaan Dewa Tuak entah bagaimana..."
"Tunggu," memotong Wiro. "Kau belum menceritakan dua kejadian hebat yang kau
maksudkan pada guruku."
Wulan Srindi mengangguk. Lalu mulai bercerita.
"Kejadian hebat pertama adalah munculnya Adipati Sidik Mangkurat yang hendak
menangkap Pendekar
212..." "Tunggu! Kenapa Sidik Mangkurat mau menangkap
anak setan itu"!" potong Sinto Gendeng seraya melirik ke arah Wiro.
"Kami, aku dan Wiro dituduh membunuh Aji Warangan, kepala pasukan Kadipaten
Magetan," yang menjawab Loh Gatra. "Padahal pembunuhnya sudah dapat dipastikan
ada-Zlah anggota komplotan manusia pocong dari Lorong Kematian."
"Juga karena dendam lama, Nek," menyambung Wiro.
"Satu kali Adipati berusaha menangkap kakek berjuluk Setan Ngompol. Dia dituduh
sebagai anggota komplotan manusia pocong dan hendak dihabisi. Aku menolong kakek
itu. Sidik Mangkurat terpaksa angkat kaki kembali ke Magetan bersama anak
buahnya. Dia malu dan dendam besar terhadapku."
"Hemmm..." Sinto Gendeng hanya keluarkan suara
bergumam mendengar keterangan Loh Gatra dan Wiro Sableng.
Wiro garuk-garuk kepala, mendekati gurunya lalu
setengah berbisik berkata. "Nek, kalau aku tidak salah ingat, pada pertemuan
terakhir kau menceritakan pernah dihadang manusia pocong. Terjadi perkelahian.
Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari. Manusia pocong kabur, jubahnya
hangus separoh. Aku heran, sekarang mengapa kau seperti tidak percaya adanya
makhluk aneh ganas itu?"
Sinto Gendeng pencongkan mulut lalu menjawab. "Anak setan, kalau aku cerita
terus-terang, semua orang disini akan lumer nyalinya. Siapa yang bakal berani
menembus lorong kematian" Siapa yang masih punya nyali menyelidik, mengejar dan
menghancurkan mahluk-mahluk keparat itu"
Aku sendiri tidak mau ikut campur urusan beginian. Aku ada urusan lain lebih
penting." "Tapi Nek, rimba persilatan sedang terancam. Di balik semua penculikan perempuan
hamil dan pembunuhan ini pasti ada apa-apanya..."
"Rimba persilatan katamu" Hik... hik... hik." Si nenek tertawa. "Aku sudah lama
tidak mengurusi yang namanya rimba persilatan. Kalian yang muda-muda, rimba
persilatan ada di tangan kalian. Jadi uruslah sendiri!"
Wiro hanya bisa terdiam dan garuk-garuk kepala. Dalam hati pendekar ini berkata.
"Kalau tidak mengurusi rimba persilatan mengapa sekarang dia gentayangan di
tempat ini" Nenek aneh, sulit dibaca hati dan jalan pikirannya."
"Apa yang ada di benakmu?" Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.
"Ti... tidak Nek," Wiro terganggu. "Terus-terang, biar kau marah Nek, aku cuma
heran. Kalau kau memang tidak perduli rimba persilatan lagi, lalu mengapa muncul
di sana, muncul di sini. Mungkin tengah mencari seorang kekasih lama?"
Plaaakkk! Tamparan tangan kanan Sinto Gendeng mendarat
keras di pipi Pendekar 212 Wiro Sableng, membuat sang murid berdiri sempoyongan.
Di sudut bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Sementara semua orang heran
melihat apa yang terjadi karena tadi mereka melihat guru dan murid saling bicara
berbisik-bisik. Lalu tahu-tahu Sinto Gendeng layangkan tamparan ke muka Wiro. Di
balik semak belukar gelap terpisah sekitar sepuluh langkah dari tempat Setan
Ngompol berlindung, Bidadari Angin Timur senyum-senyum seolah mensyukuri Wiro
kena tampar tadi.
Lain hati dan perasaan Bidadari Angin Timur, lain pula perasaan dan sikap Wulan
Srindi. Mungkin saja ada maksud untuk menarik keuntungan dari apa yang terjadi.
Namun saat itu yang jelas memang ada rasa kasihan di lubuk hatinya. Dengan cepat
dia dekati Wiro, keluarkan sehelai sapu tangan biru muda lalu menyeka darah di
sudut bibir Wiro yang luka akibat tamparan. Sehabis menyeka darah, sapu tangan
diselipkannya ke pinggang Wiro.
Di balik semak belukar Bidadari Angin Timur seperti dipanggang.
Melihat muridnya terluka akibat tamparannya,
bagaimanapun juga Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri.
Namun dia cepat tutupi perasaannya dengan berpaling pada Wulan Srindi dan
berkata. "Gadis sinting! Teruskan ceritamu."
Sang dara berkulit hitam manis telan ludahnya, melirik ke arah Wiro sesaat lalu
teruskan ceritanya.
"Terjadi perkelahian hebat antara muridmu dengan Adipati. Sewaktu terdesak
Adipati itu keluarkan sebuah senjata berupa cambuk yang bisa mengeluarkan
puluhan lidah api..."
"Apa"!" Sinto Gendeng kelihatan seperti berjingkrak mendengar cerita si gadis.
Wajahnya berubah. Mata men-
delik, pelipis bergerak-gerak dan susur dalam mulutnya disemburkan. "Kau bilang
Adipati Sidik Mangkurat memiliki senjata berbentuk cambuk. Yang bisa
mengeluarkan puluhan lidah api"! Hah"!"
"Benar Nek!" jawab Wulan Srindi yang menjadi tegang melihat perubahan wajah si
nenek. WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
3 INTO Gendeng mendongak ke langit. Dua mata
dipejamkan. "Nek, kalau aku tidak salah ingat, kakek S bersorban putih menyebut
senjata itu sebagai Pecut Sewu Geni..."
Sinto Gendeng langsung tersentak. Dua mata mem-
belalak. "Apa katamu?" ucapnya sambil menatap tajam ke
wajah Wulan Srindi. "Si kakek menyebut pecut itu Pecut Sewu Geni?"
"Benar Nek," Loh Gatra ikut meyakinkan.
Kembali si nenek mendongak ke langit gelap.
"Kalau itu betul Pecut Sewu Geni... Aku tidak bisa membayangkan. Jangan-
jangan... Tapi bagaimana asal usulnya senjata sakti mandraguna itu sampai ada di
tangan Adipati itu" Aku sendiri sudah belasan tahun mencari. Keburu orang lain
mendapatkan. Heran, mengapa dalam kemunculan terakhir kali Kiai tidak pernah
menceritakan apa-apa menyangkut pecut itu. Apakah... ah, pasti aku akan kena
damprat lagi..."
Untuk beberapa lama Sinto Gendeng tegak termangu mendongak langit seperti itu
hingga semua orang bertanya-tanya ada apa dengan nenek ini.
"Nenek Sinto..." Wulan Srindi menegur. "Ceritaku belum selesai. Apa aku boleh
meneruskan?"
Si nenek turunkan kepala, menatap tajam ke arah
Wulan Srindi lalu anggukkan kepala.
"Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan
cambuknya, orang itu...," Wulan Srindi menunjuk pada Loh Gatra. "Berusaha
menangkis serangan. Maksudnya
sekaligus mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena hantam. Tubuhnya cidera
dikobari api. Wiro sendiri kemu-
dian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh seorang kakek
aneh. Kakek ini berkepan-
daian tinggi sekali. Dia merampas cambuk api dari tangan Adipati Sidik Mangkurat
dalam satu gerakan yang hampir tidak kelihatan."
"Kakek aneh itu!" ujar Sinto Gendeng hampir berteriak.
"Bagaimana ciri-cirinya?" Sinto Gendeng memandang lekat-lekat ke arah Wulan
Srindi, melirik ke arah Wiro.
Wulan Srindi sebagai salah seorang yang memang
melihat kakek aneh itu menjawab. "Dia melayang di antara pepohonan. Gerakannya
cepat luar biasa. Berkelebat dari satu pohon ke pohon lain seperti seekor elang
raksasa..."
"Aku ingin kau menerangkan ciri-cirinya. Bukan segala macam kehebatannya." kata
Sinto Gendeng pula.
"Kakek itu mengenakan jubah dan sorban putih
berkilat. Dalam gelapnya malam pakaian serta sorbannya tampak seperti nyala api.
Dia memelihara janggut dan kumis putih seperti kapas. Wajah putih klimis. Ketika
bicara, walaupun berteriak dan membentak tapi ada kelembutan."
"Ketika bicara walau berteriak dan membentak tapi ada kelembutan..." Sinto
Gendeng ulangi ucapan Wulan Srindi.
Lalu kelihatan nenek ini usap wajahnya yang hitam berulang kali.
"Kakek berwajah klimis itu, apakah ada guratan kecil bekas luka di dagu
kirinya?" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"Matam begitu gelap, dia berada di atas pohon. Aku tidak begitu
memperhatikan..." jawab Wulan Srindi.
Wiro dan Loh Gatra yang sempat berada cukup dekat dengan si kakek juga tidak
ingat dan tidak sempat mem-
perhatikan apakah ada tanda guratan luka di dagu kiri orang tua itu. Karenanya,
keduanya diam saja.
Sinto Gendeng sendiri membatin dalam hati, "Kakek berjubah dan bersorban putih
berkilat. Memelihara janggut dan kumis putih, berwajah kelimis. Ada kelembutan
di balik suaranya sekalipun ketika berteriak atau membentak.
Mungkinkah dia..." Empatpuluh tahun tidak bertemu..."
Sinto Gendeng tarik nafas dalam berulang kali.
"Nek, boleh saya meneruskan cerita saya?" tanya
Wulan Srindi. Sinto Gendeng mengangguk perlahan. Sebagian dari pikirannya berada di tempat
lain, jauh menerawang.
"Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan
cambuknya, orang itu...," Wulan Srindi menunjuk pada Loh Gatra. "Berusaha
menangkis serangan. Maksudnya sekali-
gus mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena han-
tam. Tubuhnya cidera dikobari api. Wiro sendiri kemudian hampir celaka oleh
cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh si kakek. Dia merampas cambuk dari
tangan Adipati Sidik Mangkurat."
"Ah..." Sinto Gendeng lepas nafas panjang.
"Berat dugaanku, dia mengenal siapa adanya si kakek."
Wiro membatin sambil perhatikan gerak-gerik gurunya tapi kapok keluarkan ucapan.
"Aku punya dugaan kakek itu salah seorang kekasihnya di masa muda. Jadi ini
rupanya alasan yang membuat dia masih mau muncul di rimba persilatan."
"Hai, kenapa kau tidak meneruskan cerita. Apa yang terjadi kemudian?" Sinto
Gendeng bertanya pada Wulan Srindi.
"Adipati Sidik Mangkurat minta agar si kakek yang berdiri di atas pohon
menyerahkan kembali pecut sakti kepadanya. Si kakek mempersilahkan Adipati itu
mengam- bil sendiri. Ketika Sidik Mangkurat melesat ke atas pohon, si kakek kipas-
kipaskan tangan di depan wajah seraya berkata mengapa malam begitu panas. Tahu-
tahu Sidik Mangkurat terpental, jatuh bergedebuk di tanah..."
"Pukulan Tangan Dewa Mengipas Bumi..."
Ucapan Sinto Gendeng walau perlahan tapi sempat
terdengar Wiro.
"Ah, kau tahu nama pukulan yang dilepas si kakek.
Pasti kau memang kenal dengan dirinya, Nek..."
"Lalu, bagaimana kelanjutannya. Apa yang terjadi?"
Sinto Gendeng kembali bertanya pada Wulan Srindi.
"Sebelum pergi kakek itu mengobati luka bakar di tubuh pemuda itu," Wulan Srindi
menunjuk ke arah Loh Gatra. "Dia gelantungkan cambuk di depan pemuda itu, lalu
meniup. Ajaibnya, seluruh luka bakar di tubuh dan wajah pemuda itu lenyap.
Sembuh..."
"Mulut Dewa Menghembus Kesembuhan... Pasti dia...
memang dia..." ucap Sinto Gendeng. Lagi-lagi membuat Wiro terkesima tapi tidak
berani keluarkan ucapan. Takut salah dan kena tampar lagi.
"Setelah menyembuhkan pemuda ini, si kakek lantas berbuat apa" Pergi...?"
Wulan Srindi mengangguk.
Tadinya Wiro hendak menceritakan bagaimana sebe-
lum pergi si kakek tersenyum dan kedipkan mata kiri satu kali padanya. Namun
Wiro memutuskan lebih baik diam saja, tidak perlu bicara apa-apa.
"Waktu dia tinggalkan tempat ini, ke arah mana dia menuju..."
Wulan Srindi menunjuk ke jurusan lenyapnya kakek berjubah dan bersorban putih
berkilat. "Aku yakin pasti nenek satu ini akan mengejar ke arah sana," membatin Wiro.
Sinto Gendeng memang siap gerakkan kaki hendak
berkelebat pergi. Tapi dia urungkan niat, memandang berkeliling.
"Coba kalian ingat-ingat. Setelah dapatkan cambuk, apakah kakek itu ada
keluarkan perkataan. Perkataan apa saja..."
"Memang ada, tapi kami tidak ingat satu persatu..."
jawab Wulan Srindi sementara yang lain-lain diam saja.
Tiba-tiba Jatilandak membuka mulut. "Ada di antara ucapannya yang aku masih
ingat. Dia bicara pada Adipati Sidik Mangkurat. Katanya Adipati itu harus sudah
cukup puas dengan beradanya senjata sakti itu di tangannya selama lima puluh dua
purnama. Saatnya senjata itu dikembalikan ke tempat asalnya..."
"Manusia muka kuning, benar kakek itu berucap
begitu?" Sinto Gendeng ingin menegaskan. Ada rasa tak percaya tapi dadanya
berdebar.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jatilandak anggukkan kepala. Si nenek pencongkan mulutnya yang kempot beberapa
kali. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi dia langsung berkelebat pergi tapi
Wulan Srindi cepat memburu seraya berseru. "Nek!
Tunggu!" Sinto Gendeng berhenti dan balikkan badan. Wajahnya yang angker tampak kesal.
"Gadis centil! Kau hanya membuang-buang waktuku saja. Ada apa"!"
"Nek, menghadapi urusan besar dengan manusia-
manusia pocong yang bermarkas di lorong kematian, kami semua mohon petunjukmu.
Apalagi guruku Dewa Tuak ada di dalam sana."
"Gadis tolol! Kalian punya ilmu kepandaian, punya senjata! Apa lagi"! Sekarang
bukan jamannya minta petunjuk! Segala sesuatu harus dipikir dan dikerjakan
sendiri lalu punya rasa tanggung jawab sendiri!" jawab Sinto Gendeng sambil
pelototkan mata.
"Nek, kami yang muda-muda ini hanya menang
semangat. Pengalaman hanya secupak, ilmu kepandaian hanya semata kaki. Mana
mungkin kami bersombong diri dapat menghadapi semua persoalan rimba persilatan.
Lagi pula kau adalah satu-satunya tokoh panutan kepada siapa kami bergantung dan
berharap."
Pandai sekali Wulan Srindi mengucapkan kata-kata itu dan mengatur raut wajah
unjukkan mimik penuh memelas.
"Hemmm..." Sinto Gendeng bergumam. Mulutnya yang perot komat kamit. Sesaat
hatinya masih keras. Namun setelah pandangi wajah-wajah yang ada di tempat itu
satu persatu terlebih wajah Si Anak Setan muridnya sendiri yang tadi
ditamparnya, kekerasan hati si nenek jadi leleh juga.
"Baik! Dalam kalian menghadapi perkara besar ini, aku akan berikan satu
petunjuk, hanya satu petunjuk. Tinggal bagaimana kalian mencernanya. Dengar
baik-baik. Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang
keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong.
Karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Coba kalian ulangi kata-kataku
barusan..."
Semua orang yang ada di situ dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan Sinto
Gendeng. Mereka sama-sama mengucap.
"Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar.
Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar..."
Belum habis gema ucapan semua orang, Sinto Gendeng sudah berkelebat lenyap dari
tempat itu. Hanya bau pesingnya saja yang masih tertinggal menyekat di rongga
hidung, Wiro garuk-garuk kepala. "Apa maksud tua bangka
aneh itu. Urusan menghadapi manusia-manusia pocong pembunuh dan penculik
perempuan-perempuan bunting mengapa membawa segala macam rotan dan bambu?"
Di balik semak belukar lebat dan gelap Setan Ngompol usap-usap bagian bawah
perutnya. "Rotan dan bambu. Hik... hik... Aku juga punya rotan dan bambu. Tak ada lobang
masuk tapi ada lobang keluar.
Ngocor terus-terusan! Ah, pasti ilmu rotan dan bambu milikku ini tidak bisa
dipergunakan..."
Di balik semak belukar lain, tak jauh dari tempat Setan Ngompol mendekam,
Bidadari Angin Timur tengah berpikir keras menimbang-nimbang. Apakah saat itu
sebaiknya dia keluar saja dari tempat persembunyian dan bergabung dengan Wiro.
Rasa benci yang dibalut rasa kecemburuan terhadap Wulan Srindi membuat dadanya
terasa sesak dan panas. Ketika gadis cantik berambut pirang berkepandaian tinggi
ini akhirnya memutuskan untuk segera keluar dari balik semak belukar, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda mendatangi. Setan Ngompol terkencing saking kaget.
Bidadari Angin Timur sibakkan semak-semak dan mem-
perhatikan ke arah kegelapan. Ketika melihat siapa adanya si penunggang kuda,
bibir si gadis seruakkan senyum.
Lesung pipit muncul di pipi kiri kanan.
"Wulan Srindi, sekarang kena batunya kau!"
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
4 ALAM Episode "Aksara Batu Bernyawa" dituturkan
bagaimana setelah mendapatkan batu mustika (kala D itu masih berupa dan bernama
Batu Bernyawa) Raja Setan Tersenyum segera berangkat ke Kotaraja untuk menemui
Tumenggung Abdi Tunggul di Keraton. Namun untuk kedua kalinya tokoh silat yang
dulu pernah menjadi pentolan Istana ini ditimpa nasib sial. Kesialan pertama
adalah kematian kekasihnya Ratu Setan Tersenyum. Sial kedua justru terjadi di
Keraton. Dia kena ditipu oleh seorang yang mengaku mewakili Tumenggung. Orang
ini yang ternyata memiliki kepandaian tinggi berhasil menotok Raja Setan,
menyumpal mulutnya dengan patung kayu lalu mengambil Batu Bernyawa yang ada di
balik jubah hijaunya. Walaupun Raja Setan berhasil menyemburkan patung kayu yang menyumpal
mulut dan berteriak keras, namun pengawal yang kemudian datang tidak bisa
berbuat apa. Orang tinggi besar yang menyamar sebagai seorang kakek berambut
putih telah lenyap dari tempat itu.
Tak selang berapa lama sewaktu Tumenggung Abdi
Tunggul keluar menemui Raja Setan Tersenyum. Walau berusia hampir enam puluh
tahun namun wajah tampak masih segar dan sosok sang Tumenggung tinggi besar
masih tegap kekar. Raja Setan Tersenyum menceritakan apa yang terjadi. Untuk
beberapa lama Tumenggung terdiam, wajah berubah kaku dan mata menatap tak
berkesip ke arah Raja Setan. Saat itu dia bukan cuma terkejut mendengar
keterangan Raja Setan, tetapi juga bertanya-tanya apa yang terjadi dengan
seorang lain yang juga ditugaskannya untuk mendapatkan Batu Bernyawa itu. Jika
masih hidup apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sudah mati siapa yang
membunuhnya. "Seorang yang pernah menjadi tokoh silat Istana kelas satu, bisa diperdaya dan
dirampok orang! Sungguh aku tak bisa percaya..."
"Tumenggung, aku mohon maafmu. Jahanam peram-
pok itu berkepandaian luar biasa tinggi. Tumenggung, apakah kau tidak akan
membantu melepaskan totokan-
ku?" Tumenggung Abdi Tunggul maju mendekat lalu tepuk ubun-ubun Raja Setan. Sungguh
luar biasa. Sekali menepuk totokan di tubuh Raja Setan punah. Biasanya orang
berkepandaian tinggi selalu melepas totokan di tempat di mana korban terkena
totokan. Tapi Tumenggung Abdi Tunggul rupanya memiliki ilmu pelepas totok yang
langka dan jarang orang lain memilikinya.
"Raja Setan, apakah kau mengenal siapa perampok
itu?" tanya Tumenggung.
"Dia berdandan sebagai seorang kakek rambut putih.
Aku yakin dia seorang yang ahli menyamar..."
"Ceritakan bagaimana kau mendapatkan Batu Bernya-
wa sebelum dirampas oleh orang berpenampilan kakek berambut putih."
"Aku menemukan peti hitam yang dibawa makhluk luar kepala manusia dari dasar
samudera, tergeletak dalam keadaan terbuka di satu tempat. Batu Bernyawa
menancap di kening kutungan kepala manusia yang ada dalam peti..."
"Peti tak mungkin berada di situ dengan sendirinya.
Pasti ada beberapa kejadian sebelumnya..." ucap Tumeng-
gung pula. "Sesuai perintahmu, aku melakukan pengintaian di selatan Parangteritis. Ternyata
di situ telah dipenuhi oleh beberapa orang tokoh silat dan serombongan orang
ber- cadar mengaku sebagai orang-orang Kerajaan. Beberapa tokoh mati terbunuh sebelum
salah seorang bercadar ber-
hasil melarikan peti berisi batu mustika. Orang bercadar ini berat dugaanku
adalah Pangeran Haryo..."
Raja Setan Tersenyum hentikan cerita menatap tajam pada Tumenggung Abdi Tunggul.
Dia tidak melihat peruba-
han pada wajah pejabat Keraton itu.
Raja Setan teruskan ucapannya. "Kalau ada orang lain dari Istana yang ikut
mencari batu mustika itu, seperti diriku apakah dia juga atas perintah
Tumenggung?"
"Jangan bertanya dulu. Teruskan saja ceritamu," jawab Tumenggung Abdi Tunggul.
"Orang yang kuduga Pangeran Haryo ini kemudian
cidera berat akibat hantaman satu pukulan sakti yang dilepaskan seorang lelaki
tinggi besar."
"Kau tahu siapa orang tinggi besar ini?"
"Tidak," jawab Raja Setan. Walau sudah bisa menduga siapa adanya lelaki tinggi
besar itu namun Raja Setan sengaja berdusta, tidak mau memberitahu. Dia punya
rencana untuk menyelidik. "Aku sendiri kemudian terlibat perkelahian dengan
orang tinggi besar itu dan kena ditotok. Kemudian dia lari mengejar Pangeran
Haryo." "Jika orang tinggi besar inginkan Batu Bernyawa, adalah aneh dia tidak
membunuhmu," kata Tumenggung Abdi Tunggul sambil usap-usap dagu.
"Mungkin dia lebih mementingkan mengejar Pangeran Haryo," jawab Raja Setan. "Apa
yang terjadi kemudian, tidak aku ketahui. Menjelang pagi aku berhasil melepaskan
diri dari totokan. Lalu aku temui peti kayu itu..."
"Pangeran Haryo sendiri berada di mana?" tanya
Tumenggung pula.
"Tidak aku ketahui berada di mana atau bagaimana nasibnya." jawab Raja Setan.
"Aku punya firasat, Pangeran itu telah menemui ajal."
"Kalau begitu, agaknya benar dugaanku bahwa
Tumenggung juga menugaskan Pangeran Haryo selain diriku dalam mencari Batu
Bernyawa itu."
"Rasanya hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada satu tugas baru yang harus
segera kau laksanakan."
Raja Setan Tersenyum diam saja. Dia merasa ada
siasat busuk dalam tugas yang diberikan sang tumenggung kepadanya.
"Sekarang juga kau berangkat ke kaki Gunung
Kukusan. Di sebelah timur ada dua sungai saling bertemu pada tikungan berbentuk
tapal kuda. Jika kau datang tepat waktu, di situ kau akan menemui seorang kakek
aneh bertampang sedih dan sebentar-sebentar menangis. Temui kakek itu, begitu
berhadapan langsung kau bunuh. Kau boleh pergunakan kuda terbaik yang ada di
kandang kuda Keraton."
"Kakek aneh ini, apakah dia punya nama atau memiliki gelar?" tanya Raja Setan
Tersenyum sambil sunggingkan senyum.
"Dia dikenal dengan julukan Dewa Sedih."
Senyum langsung lenyap dari wajah Raja Setan Terse-
nyum. Tubuhnya hampir terangkat dari kursi yang diduduki.
Sesaat kakek ini terdiam, baru kemudian membuka mulut.
"Soal bunuh membunuh sudah jadi pekerjaanku sejak aku berusia lima belas tahun.
Tapi membunuh manusia yang berjuluk Dewa Sedih itu bukan satu pekerjaan mudah,
Tumenggung. Selain itu aku harus menyelidik dan mencari pembunuh kekasihku.
Orang tinggi besar itu. Besar duga-
anku dia adalah orang yang merampas Batu Bernyawa."
"Aku tidak mau mendengar alasan apapun keluar dari mulutmu. Apa kau masih
inginkan hadiah ini, atau kita tutup pembicaraan sampai di sini!"
Habis keluarkan ucapan begitu Tumenggung Abdi
Tunggal bertepuk dua kali. Saat itu juga muncul lima orang lelaki bertubuh
tinggi tegap, berwajah angker. Masing-masing mencekal golok besar. Cepat sekali
gerakan mereka tahu-tahu telah mengurung Raja Setan Tersenyum.
Melihat ancaman, Raja Setan Tersenyum sunggingkan senyum. Tapi dia tidak diam
saja. Secepat kilat dia ambil lima anak panah hitam dari kantong di punggungnya.
"Aku tahu, kau punya ilmu hebatan melempar panah.
Kau sanggup membunuh mereka dalam satu kali kejapan mata. Tapi kau tidak akan
punya peluang untuk menghin-
dari serangan maut dariku! Bagaimana?" Tumenggung Abdi Tunggul angkat tangannya
yang dikepal. Kepalan itu tampak memancarkan cahaya hitam.
"Pukulan Jelaga Besi!" membatin Raja Setan Terse-
nyum yang mengenali pukulan sakti yang siap dilepaskan sang Tumenggung.
Jangankan tubuh manusia, dinding besipun mampu ditembus pukulan itu. Orang yang
terkena pukulan tidak akan langsung tewas, tapi sakit sengsara dulu selama
beberapa hari sebelum menemui ajal karena saluran darah, isi perut termasuk
jantungnya telah dirambas bubuk besi mengandung racun jahat luar biasa.
Di dalam hati Raja Setan Tersenyum menyumpah habis-habisan. "Tumenggung keparat
ini rupanya memang sudah menyusun rencana keji dari dulu-dulu." Namun tanpa
perlihatkan rasa benci pada air mukanya terhadap sang Tumenggung, malah sambil
tersenyum Raja Setan
Tersenyum berkata. "Aku memilih hadiah itu."
Tumenggung Abdi Tunggul lemparkan kantong kain.
Raja Setan Tersenyum cepat menangkap kantong berisi beberapa kepingan emas itu.
Tumenggung bertepuk
tangan dua kali. Lima lelaki tinggi besar bertampang angker serta merta
tinggalkan tempat itu.
Tumenggung Abdi Tunggul usap dagunya. "Aku ragu, hatiku menduga dia akan
terlambat. Orang tinggi besar yang merampas Batu Bernyawa itu mungkin sekali
mendahului sampai di tempat itu..." Sang Tumenggung geleng-geleng kepala. "Aku
punya dugaan Raja Setan Tersenyum tahu siapa adanya orang tinggi besar itu. Ada
apa dia tidak mau menerangkan padaku."
*** Kaki Gunung Kukusan sebelah timur. Saat itu
menjelang tengah hari. Udara tidak begitu baik. Di arah selatan tampak awan
tebal menutupi sebagian langit.
Sesekali ada sambaran kilat membelah udara. Di tikungan sungai berbentuk tapal
kuda pada pertemuan sebuah sungai dengan sungai lain seorang penunggang kuda
berhenti di satu lamping batu. Matanya memandang berkeliling, lalu kembali
diarahkan pada batu-batu besar yang bertebaran di bawah sana.
"Tumenggung itu menyuruhku ke sini. Tidak ada
manusia, tidak ada hantu di tempat ini. Apalagi kakek berjuluk Dewa Sedih itu.
Atau... hemmm, apakah ini siasat, satu jebakan yang dirancang oleh Tumenggung
keparat itu"! Kalau aku lihat sosok tinggi besarnya, mengapa ada persamaan
dengan orang tinggi besar yang membunuh kekasihku, dan kakek berambut putih si
penyamar dalam keraton?" Raja Setan Tersenyum geleng-geleng kepala.
"Aku tidak akan mencari. Lebih baik menunggu. Kalau sampai matahari tenggelam
Dewa Sedih tidak muncul, perduli setan! Aku akan tinggalkan tempat ini. Tidak
membunuhnya tidak jadi apa. Aku sudah dapatkan
hadiah." Raja Setan Tersenyum turun dari kudanya. Binatang itu dituntun ke tebing sungai
yang tidak begitu terjal, lalu diturunkan ke dalam sungai untuk diberi minum.
Raja Setan Tersenyum sendiri kemudian mencari bagian sungai yang airnya lebih
bersih, singsingkan jubah hijau, ujungnya diikat di pinggang lalu turun ke air,
membasahi muka dan kepalanya yang botak serta minum air sungai beberapa teguk.
Mendadak Raja Setan Tersenyum dikagetkan oleh satu keanehan. Arus air sungai
yang mengalir melewati kedua kakinya ke arah hilir, tiba-tiba berputar-putar di
sekitar tempat dia berada. Putaran yang mula-mula lambat saat demi saat menjadi
keras. Akibatnya tubuhnya yang berada di dalam air mulai ikut berputar.
Perlahan-lahan, lalu men-
deru seperti gasing dan satu saat melesat ke udara.
Raja Setan Tersenyum berseru kaget. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi.
Namun mengapa air sungai mampu membuat dia berputar dan terpental ke udara"
Kekuatan dahsyat apa yang ter-
sembunyi di balik kejadian aneh itu"
Di udara setelah lepas dari kekuatan dahsyat yang membuat dirinya terpental.
Raja Setan Tersenyum mem-
buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun ke batu hitam berbentuk rata
empat persegi di tengah sungai.
Sepasang mata Raja Setan Tersenyum berputar liar, memandang berkeliling. Dia
adalah seorang kakek luas pengalaman dan tinggi ilmu kepandaian. Tidak sembarang
orang bisa mempermainkannya. Lalu apa yang barusan terjadi" Kekuatan apa yang
bisa membuat air sungai berputar begitu rupa hingga dia ikut berputar dan
terpental ke udara. Tidak satu manusiapun yang kelihatan. Lalu apakah semua itu
tadi pekerjaan hantu, dedemit sungai"
Selagi Raja Setan Tersenyum kibas-kibaskan ujung jubahnya yang basah, tiba-tiba
alisnya mencuat. Mata mendelik diarahkan ke air sungai satu tombak di depan batu
persegi di atas mana dia berdiri. Air sungai dilihatnya mengeluarkan gelembung-
gelembung serta suara aneh.
Lalu di balik suara aneh itu dia seperti mendengar suara orang sesenggukan.
"Dia ada di sini..." ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar. Matanya
tak mau berkedip. Lengah sedikit saja bisa merenggut nyawa. Suara sesenggukan
terdengar semakin keras. Orangnya sendiri tidak kelihatan. Lalu meledak satu
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara orang menangis meratap! Batu yang dipijak Raja Setan Tersenyum bergetar
hebat! "Dewa Sedih... Di mana dia?" ujar Raja Setan Terse-
nyum sambil memandang berkeliling. Matanya menyapu seantero tempat. Dia tidak
melihat siapa-siapa. Kembali pandangannya diarahkan ke sungai yang mengeluarkan
gelembung air. "Apakah dia berada di dalam situ" Apa ada manusia yang bisa
menangis di dalam air?"
Baru saja Raja Setan Tersenyum berkata seperti itu sekonyong-konyong gelembungan
di sungai lenyap. Air sungai muncrat ke udara, disusul melesatnya satu sosok
berselempang kain putih dalam keadaan basah kuyup!
Saat itu juga kawasan sungai dibuncah oleh gelegar suara orang menangis.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
5 ALAM keterkejutannya Raja Setan Tersenyum cepat
tekuk dua lutut, tangan bergerak ke punggung
D mengambil lima buah anak panah hitam. Jika
dilempar dengan kehebatan ilmu yang dimilikinya, Raja Setan Tersenyum mampu
menghantam lima sasaran
sekaligus. Apa lagi kalau lima anak panah maut hanya ditujukan pada satu
sasaran. Sulit korban bisa lolos selamatkan diri. Namun saat itu Raja Setan
Tersenyum menghadapi sesuatu yang membuat dirinya tergetar.
Memandang ke depan, di atas sebuah batu bulat,
sejarak dua tombak dari batu persegi di mana Raja Setan Tersenyum berada, tampak
seorang berambut putih basah awut-awutan, berkulit hitam, berselempang kain
putih kuyup, duduk dengan kepala dibenamkan di atas lutut yang dilipat. Dari
mulutnya menangis keluar ratapan yang membuat Raja Setan Tersenyum tambah
terkesiap. "Aku sedih, hik... hik... hik. Dua hari berendam di dalam sungai, rasanya diriku
belum juga bersih. Hik... hik. Apakah dosa kesalahan bisa dihapus dengan
berendam dalam air"
Ampun biyung, tobat dewa... Mengapa aku harus selalu menerima nasib sial begini"
Aku menangis sengsara, orang lain tertawa bahagia. Hik... hik... hik. Kalau saja
bukan karena biji celaka ini, tidak akan jatuh malapetaka atas diriku. Hik...
hik... hik."
Sesaat orang di atas batu bulat hentikan tangisnya. Dia kembangkan kedua lutut
lalu tarik ke depan kain putih yang dikenakan. Sambil sesenggukan dia perhatikan
bagian bawah perutnya. "Ah... Tidak kambuh... untung tidak bengkak lagi. Hik...
hik. Biji celaka, apa kau tahu malapetaka besar yang akan menimpa rimba
persilatan gara-gara tingkahmu menggelembungkan diri" Semua orang akan mengutuk
diriku. Semua orang akan menya-
lahkan diriku! Tapi mereka tidak tahu apa kesengsaraan diriku! Hik... hik...
hik." Habis meratap panjang orang ini kembali sembunyikan wajahnya di antara dua
lutut. Namun tadi waktu sesaat orang itu mengangkat kepala, Raja Setan Tersenyum
sempat memperhatikan wajahnya. Seorang kakek berwajah hitam aneh menunjukkan
kesedihan abadi dengan sepasang alis hitam menjulai panjang ke bawah.
"Dewa Sedih, memang dia..." ucap Raja Setan Terse-
nyum. Mula-mula Raja Setan Tersenyum tercekat juga melihat kehadiran serta mendengar
ratap tangis orang di atas batu. Tapi lama-lama dia jadi bosan dan sebal
mendengar oceh ratapan yang tidak dimengertinya. Mulutnya sung-
gingkan senyum. Tangan kiri mengusap kepala botak.
"Biar cepat selesai, biar aku habisi sekarang juga," kata Raja Setan Tersenyum.
Tangan kanannya yang memegang lima anak panah bergerak. Namun gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba orang di atas batu bundar menggerung keras lalu
keluarkan ratap tangis.
"Aku sedih, aku kecewa. Hik... hik. Ada orang hendak membunuhku. Dia menyangka
diri sudah jadi kaya raya karena punya sekantong emas. Tapi hik... hik... hik.
Aku sedih, apa yang punya tidak tahu kalau emas itu palsu belaka adanya" Hik...
hik... Aku sedih..."
Kejut Raja Setan Tersenyum bukan alang kepalang. Dia meraba dada jubah hijau di
balik mana dia menyimpan kantong kain berisi emas yang diberikan Tumenggung Abdi
Tunggul. "Dia tahu aku membekal sekantong emas. Apa iya
emas itu palsu?" Semula ragu akhirnya dengan tangan kiri Raja Setan Tersenyum
keluarkan kantong emas. Dengan bantuan beberapa giginya yang masih utuh
sementara tangan kanan tetap memegang lima anak panah hitam, kakek kepala gundul
itu buka ikatan kantong. Dia membungkuk lalu tuang isi kantong di atas batu
persegi. Mata mendelik. Satu persatu tujuh kepingan emas yang bergeletakan di batu
diteliti. Lalu menyembur kutuk serapah dari mulutnya.
"Jahanam keparat! Adipati kurang ajar! Kau benar-benar mencari perkara! Aku
bersumpah akan menembus batok kepalamu dengan tujuh keping emas ini!" Dengan
cepat Raja Setan Tersenyum masukkan potongan-potongan emas itu ke dalam kantong
kain lalu kantong disusupkan ke balik jubah.
Di atas batu besar Dewa Sedih kembali meratap. "Aku sedih, ada orang pandai kena
tipu. Hik... hik... hik... Apakah ini akhir perjalanan dirinya atau akhir
riwayat diriku?"
Raja Setan bangkit berdiri lalu berteriak.
"Dewa Sedih! Dengar baik-baik! Saat ini adalah akhir riwayat dirimu!"
"Hik... hik... hik. Buruknya nasibku! Mati di tengah sungai, jauh dari sanak,
jauh dari kadang. Tak ada sahabat yang tahu. Adikku Dewa Ketawa kau tak akan
bisa tertawa mengiringi kematian diriku karena kau tak tahu kalau kakakmu ini
sebentar lagi akan jadi bangkai. Hik... hik...
hik." (Seperti diketahui Dewa Sedih mempunyai seorang adik berjuluk Dewa Ketawa.
Dari julukan saja jelas sudah bahwa dua bersaudara ini memiliki dua sifat yang
bertolak belakang. Satu selalu sedih dan menangis, satunya selalu senang
tertawa-tawa) "Dewa Sedih, cukup sampai di situ kau meratap! Seka-
rang terima kematianmu!" Bentak Raja Setan Tersenyum.
Tangan kanannya yang memegang lima anak panah hitam diangkat lebih tinggi.
Dibentak orang, Dewa Sedih bukannya hentikan tangis malah menggerung lebih
keras. "Tidak disangka tidak dinyana dalam sedih masih ada sekelumit rasa bahagia.
Kematianku tidak sia-sia. Hik...
hik... hik. Ada seseorang yang kebetulan lewat, akan menjadi saksi kematian
diriku. Hik... hik... hik. Mungkin juga aku bisa menyampaikan pesan terakhir
padanya. Hik... hik... hik."
Ucap ratap Dewa Sedih membuat Raja Setan Terse-
nyum terkejut dan untuk kedua kalinya dia hentikan gerakan tangan kanan yang
hendak melempar lima panah maut. Telinga dipentang, mata dibuka lebar.
Pertama sekali dia mendengar suara derak derik aneh.
Lalu ada langkah-langkah kaki mendatangi. Semakin dekat langkah-langkah kaki itu
semakin terasa adanya getaran di atas batu sungai tempat dia berdiri. Lalu
hidungnya mencium bau aneh. Belum sempat Raja Setan Tersenyum mengira-ngira,
tiba-tiba di tebing sungai muncul satu pemandangan luar biasa!
Empat orang lelaki bertubuh kekar penuh otot, menge-
nakan celana gombrong hitam berdiri di tebing sungai. Dua di depan, dua di
belakang, mereka memanggul tiga buah batang kelapa yang diikat jadi satu. Di
atas jejeran batang kelapa ini ada sebentuk sandaran menyerupai sandaran kursi.
Di sini duduk seorang kakek bermuka berminyak, bertubuh luar biasa gemuknya dan
mengenakan pakaian yang kekecilan. Tiga batang kelapa kelihatan melengkung
saking beratnya tubuh kakek gemuk ini yang diperkirakan lebih dari dua setengah
kwintal. Sambil usap-usap dadanya yang berbulu, mata kelihatan seperti
mengantuk, si gemuk ini asyik-asyikan menghisap sebuah cangklong atau pipa yang
menebar asap berbau tidak sedap. Jika pipa dilepas dari mulutnya maka mulut itu
menguap lebar-lebar dan sepasang mata jadi berair. Sambil mengusap mata, si
gemuk ini kembali masukkan pipa ke dalam mulut.
Dada Raja Setan Tersenyum jadi bergetar. "Seumur hidup aku belum pernah melihat
orangnya. Jika aku tidak salah menduga, apakah ini manusianya yang dijuluki Raja
Penidur, tokoh paling tua dalam rimba persilatan. Punya segudang ilmu yang
dianggap setingkat kehebatan para dewa" Ada apa dia tahu-tahu muncul di tempat
ini?" Kalau Raja Setan cuma bisa membatin dalam hati, lain halnya dengan Dewa Sedih.
Kakek ini langsung keluarkan ratapan.
"Kedatangan seorang sahabat pada saat aku tengah bersedih, sungguh membuat
diriku malu. Hik... hik... hik.
Raja Penidur, harap maafkan kalau aku tidak bisa mem-
berikan penyambutan sewajarnya padamu. Ketahuilah...
hik... hik, kuharap kau jangan tidur. Saksikan akhir riwayat diriku. Hari ini
aku akan menerima kematian sesuai dengan segala kesalahanku. Aku sedih...
Selamat tinggal sahabatku Raja Penidur. Sebelum kau pergi, bolehkah aku
menitipkan sebuah pesan padamu" Hik... hik... hik."
"Waktuku tidak lama, mataku sangat mengantuk. Aku ingin tidur..." Raja Penidur
berucap lalu kembali menguap lebar-lebar. "Jika kau ingin menitipkan pesan harap
segera mengatakan. Ketahuilah aku sendiri tengah dalam perjala-
nan terakhir mengelilingi rimba persilatan. Sebelum diriku menghadap Yang Maha
Kuasa, Maha Pencipta aku ingin melihat rimba persilatan untuk terakhir kali.
Seratus enam puluh lima tahun hidup di dunia terasa sangat memalukan.
Karena lebih dari dua pertiga hidupku hanya kuhabiskan untuk menghisap cangklong
dan tidur pulas..."
"Hik... hik. Aku ikut sedih mendengar penuturanmu.
Sebagian dari pesan yang akan aku titipkan padamu ada dalam telapak tangan
kiriku. Akan kulihat dan segera kukatakan padamu. Hik... hik." Habis berkata
begitu Dewa Sedih kembangkan telapak tangan kirinya. Kakek sakti ini memang
punya kemampuan melihat sesuatu melalui
telapak tangan kiri itu.
"Lekaslah, aku sudah sangat mengantuk. Aku mau
tidur..." Raja Penidur berseru dari atas batang kelapa.
"Aku melihat... Hik... hik... Betapa menyedihkan. Rimba persilatan tanah Jawa
akan dilanda malapetaka besar kalau ilmu terkutuk itu tidak segera dihentikan...
hik... hik... hik." "Ilmu terkutuk" Ilmu terkutuk apa" Huah..." Raja Penidur mengucap. "Saatnya aku
tidur..." "Tunggu! Hik... hik. Jangan tidur dulu!" Teriak Dewa Sedih. Kakek ini gerakkan
telapak tangan kirinya. Sebuah bola api melesat keluar lalu menderu ke arah Raja
Penidur. Empat orang bertubuh kekar yang memanggul batang kelapa berteriak marah tapi tak
berani berbuat apa-apa ketika mendengar Raja Penidur berkata.
"Tidak apa, dia tidak berbuat jahat. Dia hanya
mencegah agar aku tidak tidur. Tapi kepandaiannya hanya mampu menahan kantukku
dua kali kejapan mata saja..."
Bola api yang keluar dari tangan kiri Dewa Sedih melesat membungkus sekujur
tubuh gemuk Raja Penidur.
Tokoh silat aneh ini batuk-batuk beberapa kali. Sekali dia mengibaskan pipa,
sinar merah yang membungkus
tubuhnya lenyap.
"Sahabatku di sungai, mataku mulai mengantuk lagi.
Aku mohon diri. Harap segera katakan pesanmu itu."
Dewa Sedih tahan sesenggukan dan tangisnya. Dia
usap-usap matanya yang basah lalu berkata.
"Ilmu terkutuk itu adalah... hik... hik... hik. Memberikan nyawa kedua pada
orang yang sudah mati. Orang yang kemudian dihidupkan ini akan memiliki hik...
hik... ilmu kesaktian luar biasa hebat tiada tandingan. Jika tidak dicegah
malapetaka besar akan menimpa rimba persila-
tan. Karena si pemberi kehidupan berkuasa penuh dan bisa memerintahkan apa saja
atas diri orang yang dihidup-
kan. Hik... hik... hik... Semua tokoh rimba persilatan bisa menjadi hamba sahaya
si pemberi kehidupan atau dibunuh begitu saja secara keji. Mengerikan sekali.
Hik... hik... hik."
"Jadi itu pesan yang hendak kau sampaikan padaku?"
tanya Raja Penidur sambil hembuskan asap pipa. Matanya mulai redup.
"Bukan... hik... hik! Jangan tidur dulu! Aku mohon...
Pesanku, harap kau sampaikan kepada para tokoh yang bisa dipercaya. Malapetaka
yang akan menghancurkan rimba persilatan bisa dicegah bilamana manusia pertama
yang diberi kehidupan..."
Raja Penidur hembuskan asap pipanya.
"Aku tidak tertarik pada penuturanmu. Aku tidak tertarik apapun bunyi pesanmu.
Pesan gila tak masuk akal. Mana ada orang yang sudah mati bisa dihidupkan dengan
memberikan nyawa kedua. Nyawa siapa" Nyawa dari
mana" Aku tidak tertarik pada ceritamu sahabatku."
"Aku sedih mendengar ucapanmu. Hik... hik... Aku orang tolol. Tapi ternyata kau
lebih tolol lagi. Akibat tidur seumur-umur, kau tidak tahu apa yang saat ini
terjadi di dalam rimba persilatan. Padahal hik... hik... hik. Jika benar kau
tengah dalam akhir perjalanan hidupmu, maka ini adalah satu kebajikan besar yang
bisa kau buat sebelum meng-
hadap Yang Maha kuasa. Aku mohon agar kau mencari seorang tokoh silat
bernama..."
"Saatnya aku tidur sahabatku..." Di atas jajaran batang kelapa Raja Penidur
berkata. Lalu kepalanya terkulai di atas kayu sandaran, tangan yang memegang
pipa jatuh ke samping.
Melihat hal ini Dewa Sedih menangis keras. Dia
miringkan kepalanya ke kanan. Lalu kepala dipukul-pukul berulangkali. Aneh! Dari
telinga kanan si kakek meluncur keluar sebuah gulungan kain berwarna putih. Dewa
Sedih cabut gulungan kain ini lalu dengan cepat dilemparkan ke arah Raja Penidur
dan jatuh tepat di pangkuannya. Namun saat itu sepasang mata Raja Penidur mulai
terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur.
Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak bisa berbuat apa selain memperhatikan
kepergian Raja Penidur yang digotong oleh empat orang bertubuh kekar bercelana
hitam gombrong.
Setelah puas menangis, Dewa Sedih baru ingat pada Raja Setan Tersenyum yang
hendak membunuhnya. Tanpa berpaling dia berucap.
"Orang yang memegang lima anak panah hitam, tunggu apa lagi. Aku siap menerima
kematian di tanganmu. Aku hanya sedih si gemuk itu tidak mau menyampaikan pesan-
ku. Kalau dia bangun mudah-mudahan dia melihat
gulungan kain putih itu. Tapi kapan dia akan bangun dari tidur pulasnya. Dua
bulan, lima bulan atau satu tahun di muka" Malapetaka" Malapetaka! Hik... hik...
hik. Mengapa hidup ini selalu susah dan menyedihkan bagi diriku?"
Dewa Sedih usap matanya, sesenggukan dan menghela nafas berulang kali. Yang
ditunggu tidak terjadi. Raja Setan Tersenyum tidak melemparkan panah-panah maut,
tidak membunuhnya. Perlahan-lahan Dewa Sedih angkat kepala dan berpaling ke arah
batu persegi di tengah sungai tempat Raja Setan Tersenyum berada. Astaga! Dewa
Sedih menggerung keras.
"Nasib peruntungan anak manusia tidak bisa
ditentukan kecuali oleh Yang Maha Kuasa. Aku, mengapa bukan diriku yang pergi
lebih dulu" Hik... hik... hik.
Mengapa aku tak melihat kapan dia merampas panah itu.
Mengapa aku tidak tahu kapan dia melempar anak panah itu! Hik... hik... hik!"
Di atas batu hitam persegi di tengah sungai sosok Raja Setan Tersenyum terkapar
berlumuran darah. Lima anak panah yang sebelumnya dipegangnya dan akan dijadikan
sebagai senjata membunuh Dewa Sedih, kelihatan me-
nancap di tubuh kakek kepala gundul itu. Dua menancap di kening, dua di leher
dan satunya di dada kiri.
"Raja Penidur, hik... hik... hik. Aku tahu pasti kau yang punya pekerjaan. Aku
tahu, kau tak suka orang itu membunuhku. Lalu kau bunuh duluan. Tapi ketahuilah.
Hatiku jadi sangat sedih. Tindakanmu hanya menunda kematian bagi diriku. Hik...
hik... hik." Dewa Sedih menangis keras lalu luncurkan diri dari atas batu bulat,
masuk ke dalam air sungai.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
6 UA purnama setelah pertemuan Dewa Sedih dengan
Raja Penidur. Di satu petang menjelang matahari
D tenggelam, dua sosok putih berlari cepat membe-
lakangi sang surya. Dari gerak lari keduanya serta jarak yang tak pernah terpaut
jauh menunjukkan mereka sama-sama memiliki ilmu lari yang setara. Dua sosok
putih ini bukan lain adalah dua anggota komplotan ganas yang dikenal dengan nama
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Mereka sanggup berbuat sadis semudah
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengedipkan mata karena telah dicuci otaknya, dibuat beku perasaan hatinya dan
hanya tunduk pada pimpinan mereka yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia
Ketua. Sambil berlari manusia pocong di sebelah kanan
berkata. "Heran, mengapa kita berdua yang ditugaskan Yang Mulia Ketua.
Belakangan ini ada beberapa anggota baru. Kabarnya mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Malah aku mendengar kabar selentingan di dalam lorong.
Salah seorang yang kena dijerat adalah dedengkot rimba persilatan dikenal dengan
julukan Dewa Tuak. Seharusnya dia dan seorang lain yang diberi tugas, bukan
kita. Hal itu sekaligus untuk menguji kemampuan serta kesetiaan mereka pada
kelompok kita."
"Mula-mula aku juga berpikir seperti itu," jawab manusia pocong kedua. "Tapi
kemudian aku merasa, ini bukan cuma soal uji menguji. Tetapi soal kepercayaan
dan kemampuan pasti bahwa tugas harus bisa dilaksanakan.
Mengenai tokoh bernama Dewa Tuak, aku tidak heran mengapa Yang Mulia Ketua tidak
memberi tugas sebagai ujian padanya. Aku menyirap kabar, minuman pencuci otak
yang diberikan padanya tidak mempan. Dia pernah
mencoba kabur. Membunuh dan menciderai kawan-kawan kita. Terpaksa dia dicekoki
sampai dua kali. Itupun masih ada kekhawatiran manusia sakti satu itu belum
dapat dikuasai perasaan dan jalan pikirannya. Sekarang Yang Mulia Ketua
memberikan perintah pada kita berdua.
Berarti dia mempercayai kita dan ini bukan tugas main-main. Kalau kita berhasil,
kedudukan kita dalam Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian akan dinaikkan
ke tingkat lebih tinggi. Tapi jika gagal tahu sendiri akibatnya.
Jadi ini bukan tugas main-main."
"Ini memang bukan tugas main-main. Maut hadangan-
nya," jawab manusia pocong pertama. "Kau tahu siapa orang yang bakal kita
hadapi?" "Aku pernah mendengar nama julukannya. Tapi belum pernah melihat orangnya. Aku
tidak yakin apakah dia memang punya kepandaian seperti yang disohorkan dunia
persilatan. Orang kerjanya selalu tidur punya kemampuan apa?"
Manusia pocong kedua tersenyum di balik kain putih penutup kepala. "Jangan
sekali-kali bersikap memandang rendah orang. Kau tahu, sebelum kita berdua
dilahirkan, manusia itu sudah hidup lebih dari seratus dua puluh tahun dan
dianggap sebagai salah satu tokoh paling hebat dalam rimba persilatan."
Sampai saat sang surya tenggelam, tak satupun dari dua manusia pocong itu
bicara. Begitu hari mulai menjadi gelap manusia pocong pertama baru membuka
mulut. "Sebelum bintang pertama muncul di langit, kita akan sampai di Candi Cemorosewu.
Aku harap dugaan Yang Mulia Ketua tidak meleset. Kalau tidak kita harus mencari
ke mana" Kita hanya diberi waktu sampai tengah malam nanti. Berhasil atau tidak
kita sudah harus kembali ke markas. Kau tahu apa yang bakal kejadian jika kita
tidak berhasil?"
"Darah kita akan dikuras. Jantung kita akan dicopot!
Mati!" jawab manusia pocong kedua. Tengkuknya terasa dingin. "Setahuku selama
ini Yang Mulia Ketua selalu matang dan tepat setiap perhitungannya. Lagi pula
teman-teman yang bertindak sebagai mata-mata tentunya sudah menjajagi sebelumnya
dan melapor pada Yang Mutia Ketua. Keberhasilan kita tergantung pada hasil kerja
mata-mata. Bagaimana kalau mereka berdusta mengatakan bahwa benda yang harus
kita dapatkan itu benar-benar berada di tangan Raja Penidur padahal kenyataannya
tidak." "Di antara para anggota, siapa yang berani dusta dan mengkhianati Yang Mulia
Ketua?" menyahuti manusia pocong pertama.
Kawannya terdiam. Sesaat kemudian baru membuka
mulut. "Aku pikir-pikir sungguh aneh. Kita ditugaskan untuk mendapatkan segulung kecil
kain putih yang konon berada di tangan Raja Penidur. Sepotong kain putih yang
digulung! Apa tidak gila! Mending kalau kain itu merupakan satu senjata atau benda sakti
mandraguna?"
"Aku tidak pernah berpikir terlalu jauh atau coba-coba menyelidik. Aku punya
firasat benda itu sama berharganya dengan nyawa seluruh penghuni 113 Lorong
Kematian. Kita hanya diberi tugas untuk mendapatkan gulungan kain itu. Apakah berani
membantah" Ingat ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Yang Mulia Ketua Seorang yang wajib dicintai."
"Aku tidak membantah," sahut manusia pocong kedua.
Ada rasa ngeri dan rasa tunduk di dalam hatinya.
Manusia pocong pertama lanjutkan ucapan. "Tak
sengaja aku pernah mendengar pembicaraan antara Yang Mulia Ketua dan Wakil
Ketua. Benda berupa gulungan kecil kain putih itu agaknya merupakan satu rahasia
dahsyat. Yang bakal menentukan apakah 113 Lorong Kematian akan sanggup menguasai rimba
persilatan atau tidak. Ada anggota yang melihat Yang Mulia Ketua bicara dengan
semacam roh gaib. Roh gaib yang menjadi penguasa batu aneh yang sanggup
memberikan nyawa baru pada orang yang sudah mati. Lalu ada kabar lain yaitu
bahwa Yang Mulia Ketua akan membentuk satu partai."
"Partai?"
"Ya, satu kelompok yang jauh lebih besar dari sebuah perguruan silat. Partai itu
mempunyai cabang di mana-mana. Kelak akan merajai rimba persilatan tanah Jawa,
bahkan sampai ke seberang lautan."
Semakin gelap malam semakin angker kelihatan
bayangan dua manusia pocong yang berkelebat sangat cepat itu.
"Bintang pertama sudah kelihatan di langit!" manusia pocong pertama memberitahu
temannya. "Aku sudah melihat bagian atas candi," kata manusia pocong kedua.
Hanya beberapa kejapan mata berlalu, dua manusia pocong itu telah sampai di
sebelah timur Candi Cemoro-
sewu. Di bawah sebatang pohon besar berdaun rimbun keduanya berhenti. Masing-
masing memasang mata,
pentang telinga.
"Sepi, aku tidak melihat apa-apa. Juga tidak terdengar suara apapun." Manusia
pocong kedua berkata.
"Tapi aku mencium bau sesuatu," kata manusia pocong pertama.
Kawannya lalu tinggikan hidung dan menghisap udara malam dalam-dalam.
"Kau betul. Raja Penidur ada di candi. Bau yang kita cium adalah bau asap
cangklongnya,"
"Berarti dia dalam keadaan bangun."
"Belum tentu. Sekian puluh hari dia tidur, pipanya bisa saja tetap menyala.
Kabarnya dia punya empat anak buah.
Rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bergan-
tian menambah tembakau pipa dan menyalakan apinya.
Eh, apakah kau tidak mendengar suara sesuatu" Tadi memang belum kedengaran.
Sekarang jelas sekali. Suara orang mendengkur?"
"Astaga! Aku juga mendengar. Tanah terasa bergetar.
Luar biasa hawa sakti tenaga dalam orang itu. Raja Penidur yang kita cari memang
ada di candi."
Manusia pocong pertama pegang bahu temannya lalu berbisik. "Aku melihat bayangan
asap tipis dari bagian kanan candi. Itu asap pipa Raja Penidur. Berarti dia
memang ada di sana. Di balik tembok."
"Kita menyerbu berbarengan atau dari arah terpisah?"
tanya manusia pocong kedua.
"Kau lompati tembok sebelah kiri dan coba menarik perhatian empat pembantu Raja
Penidur. Begitu mereka lengah aku akan merampas gulungan kain putih. Menurut
penjelasan mata-mata yang diterima Yang Mulia Ketua, sejak Raja Penidur tidur
dua bulan lalu, gulungan kain itu tidak bergerak dari pangkuannya."
Tanpa tunggu lebih lama manusia pocong kedua segera keluar dari balik pohon
besar. Dua kali bergerak cepat dia sudah berada di atas reruntuhan tembok candi
sebelah kiri. Memandang ke bawah walau hanya sesaat, dadanya terasa bergetar. Di
bawah sana, di lantai batu halaman candi, empat orang lelaki bertubuh besar
kekar, bertelan-
jang dada dan mengenakan celana hitam gombrong,
duduk berpencaran, bersila tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada.
Tidak dapat diduga apakah mereka tengah bersamadi atau beristirahat atau
tertidur lelap.
Di antara keempat orang itu, di lantai batu terletak tiga batang kelapa yang
diikat jadi satu. Di atas jajaran batang kelapa ini berbaring sesosok tubuh luar
biasa gemuk. Sebuah pipa besar dan panjang berada di genggaman tangan kirinya dalam keadaan
menyala dan mengepulkan asap berbau sangat tidak sedap. Dua mata terpejam.
Mulut, rongga hidung dan tenggorokan jadi satu menge-
luarkan suara grookk... grookk. Suara mendengkur.
Begitu injakkan kaki di atas reruntuhan tembok candi, manusia pocong kedua
keluarkan suara suitan dua kali berturut-turut. Seperti yang diduga, empat
lelaki yang bergerak mengelilingi jajaran batang kelapa, saat itu juga melompat
bangkit. Kepala dan mata diarahkan ke tembok di mana manusia pocong kedua
berdiri seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan.
"Mahluk di atas tembok!" Orang bertubuh kekar besar di ujung kanan menegur.
"Kami hanya memberi ingat satu kali! Tinggalkan tempat ini atau mati!"
Manusia pocong di atas tembok keluarkan suara
mendengus. "Kalian bangsa manusia. Aku mahluk pengu-
asa kawasan Candi Cemorosewu. Ancaman itu lebih pantas aku tujukan pada kalian!
Tinggalkan candi atau mampus!"
"Kami memilih mampus!" Teriak empat lelaki bercelana komprang hitam.
"Kalau begitu majulah berempat sekaligus. Biar cepat aku menghabisi kalian!"
Empat lelaki bertelanjang dada keluarkan suara
menggeram. Saat itu juga keempatnya melesat ke arah tembok. Manusia pocong kedua
berlaku sigap. Sesuai siasat yang sudah diatur, begitu empat lawan melayang
setengah jalan, dia segera melompat turun dari atas tembok, lenyapkan diri ke
bagian gelap di samping candi.
Empat pembantu Raja Penidur segera mengejar. Walau tubuh mereka besar dan kekar
namun gerakan masing-masing sangat enteng dan luar biasa gesit. Dalam waktu
sangat cepat mereka telah berada di halaman samping Candi Cemorosewu, mengurung
manusia pocong yang
tegak dengan sikap sombong berkacak pinggang.
Pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tengah dan ibu jari tangan
kanan hingga mengeluarkan suara klik! Saat itu juga kawannya di sebelah depan
melesat menerjang ke arah manusia pocong. Namun
beberapa langkah sebelum serangan sampai, manusia pocong kibaskan lengan jubah
kiri kanan. Dua gelombang angin menderu menyambut datangnya serangan. Sesaat
sosok pembantu Raja Penidur tergontai-gontai. Di lain kejap begitu berhasil
mengimbangi diri dia cepat menyerbu kembali. Namun lawan yang diserang membuat
gerakan kilat. Sekali berkelebat manusia pocong lenyap dari pemandangan.
Klik! Sekali lagi pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tangan.
Orang tinggi besar di sebelah kiri melesat ke udara.
Lenyap di balik bangunan candi. Karena berada di tempat yang agak jauh di mana dia bisa memandang lebih jelas,
pembantu Raja Penidur ini tadi dapat melihat ke arah mana lenyapnya si manusia
pocong. Namun begitu men-
jejakkan kaki di lantai candi, dari balik dinding bangunan berkelebat sebuah
kaki. Bukkk! Satu tendangan keras mendarat di pipi kanan
pembantu Raja Penidur!
Kepala orang ini seperti terpental. Tubuhnya bergetar hebat namun dua kakinya
tidak bergeser! Mulut keluarkan suara menggerang, kepala dimiringkan dan tangan
kanan ditepuk-tepukkan ke pipi yang barusan kena tendangan lalu kepala kembali
diluruskan. Dari mulut keluar suara menggembor. Dengusan nafas terasa panas
dalam dingin- nya udara malam.
Di balik dinding candi, manusia pocong yang barusan hantamkan tendangan melengak
kaget pelototkan mata.
Tembok batu saja akan hancur berantakan kena
tendangan kakinya. Seatos apa kepala manusia satu ini hingga tidak cidera barang
sedikitpun" Tidak menunggu lebih lama, sambil melompat keluar dari balik dinding
dia hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti bertenaga dalam tinggi.
Namun selagi tangan kanan masih terangkat di udara, belum sempat dipukulkan ke
arah pembantu Raja Penidur, tiba-tiba satu tangan kukuh mencekal lengan
kanannya. Berpaling ke belakang seorang tinggi besar bertelanjang dada
menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap dan bersamaan tubuh si manusia pocong
dipuntir ke depan lalu, bukkk! Satu jotosan keras melanda dada manusia pocong.
Walau tubuh terpental hampir sepuluh langkah dan tertahan di dinding candi,
namun tak ada suara keluhan apa lagi jeritan terdengar keluar dari mulut si
manusia pocong. Hanya saja, pada kain putih penutup kepala, di bagian mulut
kelihatan warna merah. Pertand aada lelehan darah keluar dari mulut mahluk ini,
pertanda tubuhnya menderita luka dalam hebat akibat jotosan. Saat itu di kiri
kanan dan sebelah belakang si manusia pocong mendengar suara dengusan. Meman-
dang berkeliling dilihatnya empat pembantu Raja Penidur sudah mengurung! Sosok
tinggi besar, dada telanjang celana gombrong hitam dan tampang sama-sama sung-
gingkan seringai angker. Walau hatinya bergetar namun dengan cepat si manusia
pocong pulihkan rasa percaya diri. Dua lutut dilipat, tubuh merunduk, dua tangan
dikembang dengan ujung-ujung jari menukik ke lantai candi. Tiba-tiba tubuh itu
diayun ke bawah. Ujung-ujung jari menotok lantai candi. Seperti sebuah bola
karet tubuh manusia pocong melenting ke udara. Tepat pada saat kaki mencapai
ketinggian kepala, sosok manusia pocong berputar. Ujung jubah menghambur angin
deras, terangkat ke atas. Dua kaki menyembul dari balik bagian bawah jubah.
Begitu tubuhnya berputar, dua kaki juga ikut berputar dan, bukk... bukk...
bukk... bukk! Empat kepala pembantu Raja Penidur dimakan tendangan dahsyat!
Sebelumnya, ketika menendang seorang pembantu
Raja Penidur dari balik bangunan candi, manusia pocong hanya kerahkan sepertiga
tenaga dalamnya. Kini mengha-
dapi empat lawan yang siap membantai dan diketahui memiliki tenaga dalam tinggi,
dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya hingga perutnya menjadi
cekung gembos dan dada seperti terbakar.
"Mampus semua!" teriak manusia pocong lalu
hamburkan tawa bergelak.
Apa yang terjadi memang luar biasa!
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
7 ENDANGAN yang sangat cepat disertai kekuatan
tenaga dalam tinggi membuat empat orang pembantu TRaja Penidur terpental dan
jatuh terjengkang di lantai candi. Satu di antaranya malah membelintang di atas
reruntuhan tembok. Orang pertama kelihatan hancur hidungnya, separuh muka
bergelimang darah. Pembantu kedua lebam memar pipi kiri. Yang ketiga pergunakan
tangan kiri untuk menekap mata yang melesak ke dalam rongga dan kucurkan darah,
ketika tangannya diturunkan tampangnya kelihatan menggidikkan. Sementara pemban-
tu keempat pegangi keningnya yang benjut hampir sebesar kepalan!
Setelah keluarkan keluh kesakitan serta menggembor pendek penuh geram, tiga
pembantu Raja Penidur itu yang terjengkang di lantai candi perlahan-lahan
bangkit berdiri.
Yang hidungnya hancur dan wajah bercelemongan darah, usap mukanya mulai dari
kening sampai ke dagu. Saat itu juga celemongan darah lenyap dan hidungnya yang
Heng Thian Siau To 6 Pendekar Rajawali Sakti 181 Lima Golok Setan Manusia Harimau Marah 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT Sumber Kitab: Pendekar212
E-Book: Pendekar212 & kiageng80
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
1 ALAM episode sebelumnya, "Bendera Darah" dan
"Aksara Batu Bernyawa", diceritakan bagaimana
D Sinto Gendeng muncul di malam buta ketika Wiro Sableng secara tidak terduga
dibokong oleh salah seorang anggota komplotan manusia pocong. Sebuah bendera
darah menancap di dada Wiro. Di tempat itu hadir Wulan Srindi murid Perguruan
Silat Lawu Putih yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak dan tengah mencari
Pendekar 212 sehubungan dengan ikatan jodoh di antara mereka.
Selain Wulan Srindi, di situ juga ada Jatilandak dan Loh Gatra yang istrinya
diculik komplotan manusia pocong.
Sementara itu, tanpa diketahui orang-orang tersebut, Bidadari Angin Timur dan
Setan Ngompol bersembunyi dalam gelapnya malam, di balik kerimbunan semak belu-
kar lebat. Diam-diam kedua orang ini mengikuti semua apa yang terjadi di tempat
itu. Walau Sinto Gendeng tertawa cekikikan sehabis
mengerjai muridnya dengan berpura-pura hendak
mencekoki Wiro dengan air kencing yang diperas dari ujung kain, tak seorangpun
mau ikutan tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja tak ada yang berani. Mereka
semua tahu kalau si nenek punya adat dan sifat aneh. Sekali marah Sinto Gendeng
bisa melabrak semua orang yang ada di tempat itu. Apa lagi tadi dia sudah marah-
marah dan menganggap ada tiga orang gila di tempat itu.
Orang gila pertama menurut Sinto Gendeng adalah
muridnya sendiri, karena dilihatnya berdandan aneh memakai bendera merah basah
di dada. Sinto Gendeng kemudian pergunakan kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212
untuk menghancurkan Bendera Darah sampai ke
gagangnya. Orang gila kedua di mata si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu adalah
Jatilandak, pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berkulit kuning mulai dari
kepala- nya yang botak sampai ke ujung kaki. Lalu orang gila ketiga yang dituding si
nenek bukan lain Wulan Srindi, gadis cantik berkulit hitam manis yang berlutut
di hadapannya dan mengaku sebagai calon menantu.
Setelah puas tertawa, Sinto Gendeng memandang ke arah Pendekar 212, pelototkan
mata lalu membentak.
"Anak Setan! Dua tugas yang aku berikan padamu,
apakah sudah kau kerjakan"!"
Wiro yang sedang usap-usap bekas luka di dadanya yang barusan disembuhkan sang
guru terlonjak kaget dibentak begitu rupa. Sambil garuk kepala dia balik
bertanya. "Anu Nek, dua tugas yang mana maksudmu?"
Sejak beberapa waktu belakangan ini memang banyak hal yang ditangani Pendekar
212. Lalu yang paling membuat kacau balau pikiran pemuda ini ialah melihat
hubungan tak terduga antara Jatilandak dengan Bidadari Angin Timur. Wiro
memergoki sendiri mereka berdua-duaan di satu tempat sunyi. Lalu sekali lagi
Wiro melihat kedua orang itu. Bidadari Angin Timur seperti habis menangis dan
Jatilandak mendukungnya. (Baca Episode sebelumnya berjudul "Bendera Darah")
"Setan geblek! Aku bertanya malah kau balik bertanya.
Apa otakmu sudah jadi batu" Atau mungkin kerjamu selama ini hanya mencari gadis-
gadis cantik sampai lupa tugas!" Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik seperti
mau melompat dari rongganya yang cekung. "Eh, mungkin juga betul kata gadis
sinting bernama Wulan Srindi itu. Kau kini punya ilmu yang bisa membuat seorang
gadis jadi bunting dari jarak jauh!" Kalau sebelumnya ketika meng-
ucapkan kata-kata itu si nenek tertawa cekikikan, kini tidak. Tampangnya yang
hitam hanya tinggal kulit pembalut tengkorak kelihatan angker sekali.
"Tidak Nek, aku... aku tidak punya ilmu begituan,"
jawab Wiro sambil garuk kepala. "Mengenai dua tugas itu aku mohon maaf. Aku..."
Belum habis Wiro berucap Sinto Gendeng sudah
mendamprat. "Benar-benar anak setan! Jadi jangankan mencari, menjajaki di mana beradanya
Pedang Naga Suci 212 dan Kitab Seribu Pengobatan yang raib itu sama sekali belum
kau lakukan..."
Wiro garuk-garuk kepala. Coba tersenyum dan berkata.
"Begini Nek. Anu, aku..."
"Tutup mulutmu sebelum aku robek dengan tongkat
ini!" Jengkel si nenek rupanya sudah naik ke ubun-ubun.
Tangan kirinya bergerak.
Wutt! Tongkat kayu butut di tangan kiri si nenek melesat di depan muka Wiro. Kalau
tidak cepat sang murid menarik kepalanya ke belakang bukan mustahil mulut Wiro
benar-benar dirobek ujung tongkat.
Wiro usap-usap mulut. Muka pucat. Tak berani
cengengesan lagi.
"Anak setan! Ingat, dulu kau pernah bicara akan
mencari kitab itu bersama gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur.
Kau malah berkata gadis itu punya dugaan di mana beradanya atau siapa pencuri
kitab itu..."
"Memang benar Nek," kata Wiro menjawab ucapan
sang guru. "Namun sebelum hal itu sempat dilakukan kami keburu berpisah. Aku
janji Nek, akan mencari dua benda pusaka itu. Hanya saja saat ini aku dan kawan-
kawan tengah menghadapi satu perkara besar..."
"Kentut busuk! Aku tidak perduli perkara besar apa yang kalian hadapi!" Hardik
Sinto Gendeng. Lalu dia berbalik ke arah Wulan Srindi. "Gadis geblek! Bagaimana
kau bisa jadi sinting mengaku sebagai calon laki anak setan itu! Calon
menantuku! Gelo!"
Wulan Srindi jatuhkan diri berlutut. Dia tundukkan kepala sesaat. Sebenarnya
dulu ketika berselisih dan kesal melihat sikap Bidadari Angin Timur yang cemburu
keter- laluan, Wulan Srindi hanya ingin bergurau untuk memper-
mainkan gadis berambut pirang itu. Ternyata kini jadi keterusan. Kepalang basah,
biar mandi sekalian, Wulan Srindi akhirnya teruskan sandiwara yang dilakukannya.
"Nenek Sinto, harap dimaafkan kalau aku membuatmu terkejut dan marah dengan
semua ucapanku tadi. Tapi ketahuilah, sebelumnya Dewa Tuak telah mengangkatku
jadi murid. Dia kemudian menyuruhku mencari muridmu.
Katanya antara aku dan muridmu ada ikatan perjodohan..."
"Hah! Apa"!" Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik besar. Mulutnya seperti mau
menelan bulat-bulat kepala Wulan Srindi. "Tambah gila urusan ini! Tambah sinting
kau rupanya!" Teriak Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit menahan carut marut.
"Siapa percaya ucapanmu! Kalau aku bertemu bangsat tua bernama Dewa Tuak itu
akan aku hajar dia sampai pengkor!" Sinto Gendeng bantingkan tongkatnya ke tanah
hingga amblas dan hanya tinggal setengah jengkal saja yang tersembul. Sambil
mulutnya menggerendeng panjang pendek, Sinto Gendeng kem-
bangkan telapak tangan. Sekali tangan ditarik ke atas, tongkat yang tenggelam di
tanah melesat ke atas dan tahu-tahu sudah berada dalam genggaman tangan kirinya
kembali. Namun kekuatah tenaga dalam yang dikerahkan Sinto Gendeng sewaktu
menarik tongkat dari dalam tanah terlalu berlebihan. Ujung kainnya ikut terbetot
ke atas sampai ke pinggul! Auratnya sebelah bawah tersingkap lebar!
Wulan Srindi yang berada paling dekat dengan si nenek cepat palingkan muka.
Jatilandak pura-pura melihat ke langit dan Loh Gatra menunduk sambil garuk-garuk
kening. Wiro pejamkan mata lalu melengos. "Gila, sudah dua kali aku melihat aurat
terlarangnya. Dulu waktu dia terpendam di tanah. Kata orang melihat yang
beginian bisa apes!" (Baca Episode pertama "113 Lorong Kematian") Sinto Gendeng
terpekik begitu sadar apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat
menurunkan kain panjang yang basah hingga auratnya sebelah bawah tertutup
kembali. Di balik semak belukar sepasang mata Setan Ngompol terpentang lebar.
"Uhh! Gelap sialan. Aku hanya melihat hitam semua!..."
Matanya yang jereng diusap-usap. Air kencingnya sudah dari tadi mengucur. "Betul
kata orang. Nenek tua ini tidak suka pakai celana dalam! Kalau saja dia masih
seorang gadis, hik... hik... hik pasti bagus punya!"
Di sampingnya Bidadari Angin Timur hanya bisa diam dengan wajah merah.
Sinto Gendeng dengan tampang membesi memandang
berkeliling, mencari-cari.
"Siapa yang kau cari Eyang?" Wiro beranikan diri bertanya.
"Bocah geblek bernama Naga Kuning itu tidak ada di sini?"
"Tidak Nek, dia tidak ada di sini." Menerangkan Wiro sambil bertanya-tanya
mengapa gurunya menanyakan Naga Kuning. Wiro kemudian ingat, dulu ketika Sinto
Gendeng dipendam di tepi telaga oleh Sepasang Naga Kembar Naga Nini dan Naga
Nina, bersama Gondoruwo Patah Hati Naga Kuning menolong mengeluarkan si nenek
dari jepitan tanah. Ketika Sinto Gendeng berhasil diselamatkan ternyata kain
panjangnya masih terjepit di tanah hingga aurat sebelah bawah si nenek
tersingkap lebar, sama dengan apa yang barusan kejadian. "Hemm..."
Wiro membatin. "Rupanya mungkin Eyang Sinto merasa jengah dan malu sekali kalau
Naga Kuning sempat melihat dirinya setengah bugil sampai dua kali." (Baca
Episode "113 Lorong Kematian")
Sementara semua orang mulai tenang setelah menyak-
sikan pemandangan yang mengejutkan tadi, Wiro berpaling pada Wulan Srindi. Ingat
pada apa yang sebelumnya diucapkan si gadis bahwa dirinya telah diangkat jadi
murid oleh Dewa Tuak dan disuruh si kakek mencari dirinya karena ada ikatan
jodoh. Ingin sekali Wiro menampar Wulan Srindi. Namun yang dilakukannya hanya
meman- dang melotot pada si gadis sementara Wulan Srindi sendiri tenang-tenang saja
malah senyum-senyum simpul.
"Nenek Sinto, kalau kau tidak percaya semua ucapanku silahkan mencari guruku
Dewa Tuak. Tapi..." Wulan Srindi lalu berpura-pura unjukkan wajah sedih. Seperti
mau menangis ada, seperti khawatir juga ada.
"Tampangmu berubah! Apa yang ada dalam otakmu!
Jangan kau berani main-main padaku!" Bentak Sinto Gendeng.
Wulan Srindi gelengkan kepala berulang kali.
"Siapa berani mempermainkanmu Nek. Aku sangat
menghormatimu. Apalagi kau adalah calon mertuaku..."
"Gadis setan! Kalau kau berani ucapkan kata-kata itu sekali lagi kubuat rengkah
batok kepalamu!" teriak Sinto Gendeng.
"Maafkan diriku Nenek Sinto. Tapi mengenai guruku Dewa Tuak, aku tidak tahu apa
dia masih hidup atau sudah waras..."
"Memangnya apa yang terjadi dengan tua bangka
rongsokan itu"!" tanya Sinto Gendeng pula dengan mata masih mendelik dan tampang
angker. "Aku punya firasat dia yang mencuri Kitab Seribu Pengobatan. Karena dia
satu-satunya mahluk yang berada di puncak Gunung Gede pada hari lenyapnya kitab
pusaka itu!"
"Perihal kitab itu, aku tidak tahu apa-apa Nek. Guruku orang baik. Dia tidak
mungkin mau mencuri. Apalagi mencuri barang berharga milik calon besan sendiri,"
kata Wulan Srindi pula.
Mendengar ucapan Wulan Srindi yang menyebut dirinya sebagai calon besan, Sinto
Gendeng kembali memaki panjang pendek. Wiro lagi-lagi hanya bisa delikkan mata.
Tanpa perdulikan sikap orang Wulan Srindi lanjutkan ucapan. "Sehabis menolongku
dari seorang manusia pocong yang hendak merusak kehormatanku, Dewa Tuak memasuki
113 Lorong Kematian. Sampai saat ini dia tidak muncul lagi. Semua orang tahu
Nek, sekali masuk ke dalam lorong, jangan harap bisa keluar hidup-hidup! Aku
khawatir telah terjadi sesuatu dengan guruku itu." Wulan Srindi usap matanya
seperti orang mengusut air mata.
"Cerita kentut busuk!" tukas Sinto Gendeng tidak terpengaruh dengan mimik dan
sikap Wulan Srindi. Dia melangkah mondar-mandir lalu kembali berdiri di hadapan
si gadis. "Gadis sinting! Kau harus buktikan semua kebe-
naran ceritamu! Kau harus menyelidik masuk ke dalam lorong. Mencari Dewa Tuak.
Membuktikan di hadapan semua orang ini bahwa dia benar sudah mengangkatmu jadi
murid..." "Dan bahwa dia benar telah menjodohkan diriku
dengan muridmu," sambung Wulan Srindi pula.
"Setan alas! Itu memang harus dibuktikan! Aku mau dengar langsung dari mulut tua
bangka itu!" teriak Sinto Gendeng sementara Wiro garuk-garuk kepala dan yang
lain-lain berusaha menahan senyum melihat keras kepala-
nya gadis bernama Wulan Srindi itu. "Tunggu apa lagi! Ayo cari lorong jahanam
itu! Masuk ke sana!" Sinto Gendeng kembali berteriak.
"Nek...," wajah Wulan Srindi jadi pucat, "Kalau aku masuk ke dalam lorong,
mungkin tidak bisa keluar lagi..."
"Aku tidak perduli kau mau keluar atau tidak. Aku tidak perduli apa kau mati di
dalam lorong lalu berubah jadi hantu lorong!" Jawab Sinto Gendeng.
Wulan Srindi jadi tercekat. "Nenek Sinto, sebenarnya ketika kau datang kami siap
untuk berunding. Tapi men-
dadak ada dua kejadian hebat..."
"Jangan berkilah mengarang cerita!" bentak Sinto Gendeng.
"Tidak Nek, dia tidak mengarang cerita," Wiro menya-
huti, "Ceritakan pada guruku apa yang terjadi."
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
2 I BALIK semak belukar, Setan Ngompol berulang kali kucurkan air kencing men-
dengar semua percaka-
D pan orang yang serba mengejutkan. Di sampingnya Bidadari Angin Timur terdengar
menggerutu. "Huh! Apa-apaan pemuda itu. Mengapa dia malah memberi peluang pada
si gadis untuk menjual kebohongan"!"
"Sebelum mendengar ceritanya, kita tidak tahu apa dia bohong atau bicara benar,"
kata Setan Ngompol pula.
"Kau! Kedengarannya kau mau membelanya. Keluar
saja, pergi ke sana!"
"Oala! Aku yang jadi bahan dampratan!" ucap Setan Ngompol seraya pegang perut
menahan kucuran air
kencing. Diam-diam kakek bermata juling ini mulai tahu kalau gadis cantik di
sebelahnya sangat tidak menyukai dara bernama Wulan Srindi itu. Apa di antara
keduanya sudah saling mengenal sebelumnya" Setan Ngompol
bertanya-tanya siapa sebenarnya dan dari mana muncul-
nya si cantik hitam manis itu. Setelah diam sesaat Setan Ngompol berkata. "Turut
apa yang dibicarakan orang-orang itu, aku memang sudah mendengar lenyapnya
Pedang Naga Suci 212. Tapi mengenai Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan milik
nenek bau pesing itu baru saat ini aku tahu. Tadi Wiro memberitahu gurunya,
kalau kau dan dia punya rencana sama-sama menyelidiki perkara itu. Malah bilang
kau sudah punya dugaan siapa pencurinya."
"Semua orang bisa saja bikin rencana, bisa punya dugaan," jawab Bidadari Angin
Timur dengan suara datar dan wajah dingin. Sikapnya seperti tidak acuh. Gadis
ini memandang ke arah orang-orang di depan sana.
"Sandiwara busuk! Apa Sinto Gendeng tidak sadar kalau dirinya tengah ditipu
gadis centil itu?" Bidadari Angin Timur kepalkan tinju.
"Sahabatku cantik," ujar Setan Ngompol pula. "Kalau kau mau ikut menyelesaikan
keruwetan, agar nenek bau pesing itu tidak tertipu lebih jauh, ayo kita sama-
sama keluar. Kita damprat gadis bernama Wulan Srindi itu. Tapi, apa kita punya
bukti bahwa dia benar berdusta mengarang cerita?"
Sedang jengkel hati, Bidadari Angin Timur tambah kesal mendengar ucapan Setan
Ngompol. "Kakek tolol! Kau membela pemuda itu. Kau juga membela gadis centil
itu! Aku tidak suka bicara lagi denganmu!"
Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur berkelebat ke balik semak belukar yang
lain. Setan Ngompol berusaha menahan gerakan si gadis dengan ulurkan tangan,
mak- sudnya hendak memegang bahu Bidadari Angin Timur. Tapi gerakan si gadis lebih
cepat. Jari-jari tangan Setan Ngompol hanya sempat meraba sekilas bahu dan
samping punggung sebelah kiri Bidadari Angin Timur. Si kakek goleng-goleng
kepala. Pandangi tangan kanan sambil hatinya berkata. "Aku meraba sesuatu di
kepitan tangan kiri gadis itu. Senjata" Ah, mengapa harus aku pikirkan.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan memang banyak perabotan yang selalu dibawa ke mana-mana. Kecuali si
Sinto Gendeng itu. Yang ke mana-mana kalau polos-polos saja. Celana dalam saja
tidak gablek..." Setan Ngompol lalu tertawa sendiri.
*** Sinto Gendeng pelototi muridnya. Lalu berpaling pada Wulan Srindi. "Gadis
sinting, apa yang mau kau ceritakan!
Kalau ngawur kupecahkan kepalamu dengan tongkat ini!"
Wulan Srindi mengerling dulu pada Wiro baru membuka mulut berikan penuturan. Dia
memulai ceritanya dari kematian Surablandong Ketua Perguruan Silat Lawu Putih
yang sudah lengser dan kabarnya dibunuh oleh makhluk aneh berbentuk manusia
pocong. Untuk menyelidik
kematian Surablandong, bersama saudara seperguruannya yaitu Parit Juwana, yang
merupakan ketua baru Perguruan, Wulan Srindi menyamar sebagai sepasang suami
istri muda. Dalam penyamaran itu Wulan Srindi berpura-pura sedang dalam keadaan
mengandung tujuh bulan memakai nama Nyi Ningrum, sedang Parit Juwana mengganti
nama sebagai Raden Kuncorobanu. Hal ini dilakukan karena kabarnya komplotan
manusia pocong yang sangat ganas itu sering berkeliaran menculik perempuan-
perempuan muda yang tengah hamil tujuh bulan.
Di satu malam menjelang fajar, Wulan Srindi dan Parit Juwana pergi ke satu
tempat dekat Telaga Sarangan.
Mereka ingin melihat bunga mawar hitam langka yang hanya tumbuh di sekitar air
terjun. Sebenarnya semua ini adalah siasat dua murid Perguruan Silat Lawu Putih
itu untuk menjebak manusia pocong. Mereka diantar oleh Kepala Desa Sarangan, Ki
Sena Pamungkur berikut beberapa pengawal pamong desa.
Kenyataannya manusia pocong yang ditunggu-tunggu memang muncul. Perkelahian
hebat terjadi. Ki Sena Pamungkur dan beberapa anak buahnya tewas. Menyusul Parit
Juwana. Wulan Srindi sendiri kemudian ditotok dan dilarikan manusia pocong
berkepandaian tinggi. Wulan Srindi dibawa memasuki lorong panjang berliku-liku.
Dia dihadapkan pada seorang manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang
Mulia Ketua. Sebaliknya Sang Ketua memanggil manusia pocong yang menculik Wulan
dengan sebutan Wakil Ketua. Sang Ketua menanyakan apakah tugas mencari Pendekar
212 telah dilakukan. Ternyata tugas itu belum terlaksana, tapi sudah disirap
kabar di mana beradanya Wiro Sableng. Kepada Sang Ketua, Wakil Ketua minta agar
dia diperbolehkan membawa Wulan Srindi. Atas izin Sang Ketua, Wakil Ketua
komplotan manu-
sia pocong membawa Wulan Srindi ke dalam kamarnya.
Tapi ketika ditinggal sebentar, dengan merayu seorang manusia pocong lainnya
gadis ini berhasil keluar dari Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Ternyata
dirinya lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Manusia pocong yang
menolong membawanya ke sebuah pondok dalam satu rimba belantara membekal niat
mesum. Ham- pir dirinya hendak digagahi muncul Dewa Tuak menolong.
Manusia pocong itu dibunuh dan ternyata adalah Ki Sepuh Dalem Kawung seorang
sahabat lama Dewa Tuak. Dewa Tuak tidak sempat menanyai kenapa sahabatnya itu
berubah menjadi orang jahat karena Ki Sepuh Dalem Kawung keburu menghembuskan
nafas terakhir. (Baca Episode sebelumnya "Nyawa Kedua" dan "Rumah Tanpa Dosa")
"Setelah menyelamatkan diriku, sebelum masuk ke
dalam lorong, Dewa Tuak berkenan menyatakan diriku sebagai muridnya..." Wulan
Srindi mengerling pada Sinto Gendeng lalu melirik pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Aku masih tidak percaya. Apa alasannya mengambil dirinya jadi muridnya" Tidak
semudah itu Dewa Tuak mengangkat seseorang jadi murid..." Ucap Sinto Gendeng.
"Nek, keadaan saat itu sulit dilukiskan. Perasaan Dewa Tuak entah bagaimana..."
"Tunggu," memotong Wiro. "Kau belum menceritakan dua kejadian hebat yang kau
maksudkan pada guruku."
Wulan Srindi mengangguk. Lalu mulai bercerita.
"Kejadian hebat pertama adalah munculnya Adipati Sidik Mangkurat yang hendak
menangkap Pendekar
212..." "Tunggu! Kenapa Sidik Mangkurat mau menangkap
anak setan itu"!" potong Sinto Gendeng seraya melirik ke arah Wiro.
"Kami, aku dan Wiro dituduh membunuh Aji Warangan, kepala pasukan Kadipaten
Magetan," yang menjawab Loh Gatra. "Padahal pembunuhnya sudah dapat dipastikan
ada-Zlah anggota komplotan manusia pocong dari Lorong Kematian."
"Juga karena dendam lama, Nek," menyambung Wiro.
"Satu kali Adipati berusaha menangkap kakek berjuluk Setan Ngompol. Dia dituduh
sebagai anggota komplotan manusia pocong dan hendak dihabisi. Aku menolong kakek
itu. Sidik Mangkurat terpaksa angkat kaki kembali ke Magetan bersama anak
buahnya. Dia malu dan dendam besar terhadapku."
"Hemmm..." Sinto Gendeng hanya keluarkan suara
bergumam mendengar keterangan Loh Gatra dan Wiro Sableng.
Wiro garuk-garuk kepala, mendekati gurunya lalu
setengah berbisik berkata. "Nek, kalau aku tidak salah ingat, pada pertemuan
terakhir kau menceritakan pernah dihadang manusia pocong. Terjadi perkelahian.
Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari. Manusia pocong kabur, jubahnya
hangus separoh. Aku heran, sekarang mengapa kau seperti tidak percaya adanya
makhluk aneh ganas itu?"
Sinto Gendeng pencongkan mulut lalu menjawab. "Anak setan, kalau aku cerita
terus-terang, semua orang disini akan lumer nyalinya. Siapa yang bakal berani
menembus lorong kematian" Siapa yang masih punya nyali menyelidik, mengejar dan
menghancurkan mahluk-mahluk keparat itu"
Aku sendiri tidak mau ikut campur urusan beginian. Aku ada urusan lain lebih
penting." "Tapi Nek, rimba persilatan sedang terancam. Di balik semua penculikan perempuan
hamil dan pembunuhan ini pasti ada apa-apanya..."
"Rimba persilatan katamu" Hik... hik... hik." Si nenek tertawa. "Aku sudah lama
tidak mengurusi yang namanya rimba persilatan. Kalian yang muda-muda, rimba
persilatan ada di tangan kalian. Jadi uruslah sendiri!"
Wiro hanya bisa terdiam dan garuk-garuk kepala. Dalam hati pendekar ini berkata.
"Kalau tidak mengurusi rimba persilatan mengapa sekarang dia gentayangan di
tempat ini" Nenek aneh, sulit dibaca hati dan jalan pikirannya."
"Apa yang ada di benakmu?" Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.
"Ti... tidak Nek," Wiro terganggu. "Terus-terang, biar kau marah Nek, aku cuma
heran. Kalau kau memang tidak perduli rimba persilatan lagi, lalu mengapa muncul
di sana, muncul di sini. Mungkin tengah mencari seorang kekasih lama?"
Plaaakkk! Tamparan tangan kanan Sinto Gendeng mendarat
keras di pipi Pendekar 212 Wiro Sableng, membuat sang murid berdiri sempoyongan.
Di sudut bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Sementara semua orang heran
melihat apa yang terjadi karena tadi mereka melihat guru dan murid saling bicara
berbisik-bisik. Lalu tahu-tahu Sinto Gendeng layangkan tamparan ke muka Wiro. Di
balik semak belukar gelap terpisah sekitar sepuluh langkah dari tempat Setan
Ngompol berlindung, Bidadari Angin Timur senyum-senyum seolah mensyukuri Wiro
kena tampar tadi.
Lain hati dan perasaan Bidadari Angin Timur, lain pula perasaan dan sikap Wulan
Srindi. Mungkin saja ada maksud untuk menarik keuntungan dari apa yang terjadi.
Namun saat itu yang jelas memang ada rasa kasihan di lubuk hatinya. Dengan cepat
dia dekati Wiro, keluarkan sehelai sapu tangan biru muda lalu menyeka darah di
sudut bibir Wiro yang luka akibat tamparan. Sehabis menyeka darah, sapu tangan
diselipkannya ke pinggang Wiro.
Di balik semak belukar Bidadari Angin Timur seperti dipanggang.
Melihat muridnya terluka akibat tamparannya,
bagaimanapun juga Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri.
Namun dia cepat tutupi perasaannya dengan berpaling pada Wulan Srindi dan
berkata. "Gadis sinting! Teruskan ceritamu."
Sang dara berkulit hitam manis telan ludahnya, melirik ke arah Wiro sesaat lalu
teruskan ceritanya.
"Terjadi perkelahian hebat antara muridmu dengan Adipati. Sewaktu terdesak
Adipati itu keluarkan sebuah senjata berupa cambuk yang bisa mengeluarkan
puluhan lidah api..."
"Apa"!" Sinto Gendeng kelihatan seperti berjingkrak mendengar cerita si gadis.
Wajahnya berubah. Mata men-
delik, pelipis bergerak-gerak dan susur dalam mulutnya disemburkan. "Kau bilang
Adipati Sidik Mangkurat memiliki senjata berbentuk cambuk. Yang bisa
mengeluarkan puluhan lidah api"! Hah"!"
"Benar Nek!" jawab Wulan Srindi yang menjadi tegang melihat perubahan wajah si
nenek. WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
3 INTO Gendeng mendongak ke langit. Dua mata
dipejamkan. "Nek, kalau aku tidak salah ingat, kakek S bersorban putih menyebut
senjata itu sebagai Pecut Sewu Geni..."
Sinto Gendeng langsung tersentak. Dua mata mem-
belalak. "Apa katamu?" ucapnya sambil menatap tajam ke
wajah Wulan Srindi. "Si kakek menyebut pecut itu Pecut Sewu Geni?"
"Benar Nek," Loh Gatra ikut meyakinkan.
Kembali si nenek mendongak ke langit gelap.
"Kalau itu betul Pecut Sewu Geni... Aku tidak bisa membayangkan. Jangan-
jangan... Tapi bagaimana asal usulnya senjata sakti mandraguna itu sampai ada di
tangan Adipati itu" Aku sendiri sudah belasan tahun mencari. Keburu orang lain
mendapatkan. Heran, mengapa dalam kemunculan terakhir kali Kiai tidak pernah
menceritakan apa-apa menyangkut pecut itu. Apakah... ah, pasti aku akan kena
damprat lagi..."
Untuk beberapa lama Sinto Gendeng tegak termangu mendongak langit seperti itu
hingga semua orang bertanya-tanya ada apa dengan nenek ini.
"Nenek Sinto..." Wulan Srindi menegur. "Ceritaku belum selesai. Apa aku boleh
meneruskan?"
Si nenek turunkan kepala, menatap tajam ke arah
Wulan Srindi lalu anggukkan kepala.
"Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan
cambuknya, orang itu...," Wulan Srindi menunjuk pada Loh Gatra. "Berusaha
menangkis serangan. Maksudnya
sekaligus mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena hantam. Tubuhnya cidera
dikobari api. Wiro sendiri kemu-
dian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh seorang kakek
aneh. Kakek ini berkepan-
daian tinggi sekali. Dia merampas cambuk api dari tangan Adipati Sidik Mangkurat
dalam satu gerakan yang hampir tidak kelihatan."
"Kakek aneh itu!" ujar Sinto Gendeng hampir berteriak.
"Bagaimana ciri-cirinya?" Sinto Gendeng memandang lekat-lekat ke arah Wulan
Srindi, melirik ke arah Wiro.
Wulan Srindi sebagai salah seorang yang memang
melihat kakek aneh itu menjawab. "Dia melayang di antara pepohonan. Gerakannya
cepat luar biasa. Berkelebat dari satu pohon ke pohon lain seperti seekor elang
raksasa..."
"Aku ingin kau menerangkan ciri-cirinya. Bukan segala macam kehebatannya." kata
Sinto Gendeng pula.
"Kakek itu mengenakan jubah dan sorban putih
berkilat. Dalam gelapnya malam pakaian serta sorbannya tampak seperti nyala api.
Dia memelihara janggut dan kumis putih seperti kapas. Wajah putih klimis. Ketika
bicara, walaupun berteriak dan membentak tapi ada kelembutan."
"Ketika bicara walau berteriak dan membentak tapi ada kelembutan..." Sinto
Gendeng ulangi ucapan Wulan Srindi.
Lalu kelihatan nenek ini usap wajahnya yang hitam berulang kali.
"Kakek berwajah klimis itu, apakah ada guratan kecil bekas luka di dagu
kirinya?" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"Matam begitu gelap, dia berada di atas pohon. Aku tidak begitu
memperhatikan..." jawab Wulan Srindi.
Wiro dan Loh Gatra yang sempat berada cukup dekat dengan si kakek juga tidak
ingat dan tidak sempat mem-
perhatikan apakah ada tanda guratan luka di dagu kiri orang tua itu. Karenanya,
keduanya diam saja.
Sinto Gendeng sendiri membatin dalam hati, "Kakek berjubah dan bersorban putih
berkilat. Memelihara janggut dan kumis putih, berwajah kelimis. Ada kelembutan
di balik suaranya sekalipun ketika berteriak atau membentak.
Mungkinkah dia..." Empatpuluh tahun tidak bertemu..."
Sinto Gendeng tarik nafas dalam berulang kali.
"Nek, boleh saya meneruskan cerita saya?" tanya
Wulan Srindi. Sinto Gendeng mengangguk perlahan. Sebagian dari pikirannya berada di tempat
lain, jauh menerawang.
"Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan
cambuknya, orang itu...," Wulan Srindi menunjuk pada Loh Gatra. "Berusaha
menangkis serangan. Maksudnya sekali-
gus mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena han-
tam. Tubuhnya cidera dikobari api. Wiro sendiri kemudian hampir celaka oleh
cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh si kakek. Dia merampas cambuk dari
tangan Adipati Sidik Mangkurat."
"Ah..." Sinto Gendeng lepas nafas panjang.
"Berat dugaanku, dia mengenal siapa adanya si kakek."
Wiro membatin sambil perhatikan gerak-gerik gurunya tapi kapok keluarkan ucapan.
"Aku punya dugaan kakek itu salah seorang kekasihnya di masa muda. Jadi ini
rupanya alasan yang membuat dia masih mau muncul di rimba persilatan."
"Hai, kenapa kau tidak meneruskan cerita. Apa yang terjadi kemudian?" Sinto
Gendeng bertanya pada Wulan Srindi.
"Adipati Sidik Mangkurat minta agar si kakek yang berdiri di atas pohon
menyerahkan kembali pecut sakti kepadanya. Si kakek mempersilahkan Adipati itu
mengam- bil sendiri. Ketika Sidik Mangkurat melesat ke atas pohon, si kakek kipas-
kipaskan tangan di depan wajah seraya berkata mengapa malam begitu panas. Tahu-
tahu Sidik Mangkurat terpental, jatuh bergedebuk di tanah..."
"Pukulan Tangan Dewa Mengipas Bumi..."
Ucapan Sinto Gendeng walau perlahan tapi sempat
terdengar Wiro.
"Ah, kau tahu nama pukulan yang dilepas si kakek.
Pasti kau memang kenal dengan dirinya, Nek..."
"Lalu, bagaimana kelanjutannya. Apa yang terjadi?"
Sinto Gendeng kembali bertanya pada Wulan Srindi.
"Sebelum pergi kakek itu mengobati luka bakar di tubuh pemuda itu," Wulan Srindi
menunjuk ke arah Loh Gatra. "Dia gelantungkan cambuk di depan pemuda itu, lalu
meniup. Ajaibnya, seluruh luka bakar di tubuh dan wajah pemuda itu lenyap.
Sembuh..."
"Mulut Dewa Menghembus Kesembuhan... Pasti dia...
memang dia..." ucap Sinto Gendeng. Lagi-lagi membuat Wiro terkesima tapi tidak
berani keluarkan ucapan. Takut salah dan kena tampar lagi.
"Setelah menyembuhkan pemuda ini, si kakek lantas berbuat apa" Pergi...?"
Wulan Srindi mengangguk.
Tadinya Wiro hendak menceritakan bagaimana sebe-
lum pergi si kakek tersenyum dan kedipkan mata kiri satu kali padanya. Namun
Wiro memutuskan lebih baik diam saja, tidak perlu bicara apa-apa.
"Waktu dia tinggalkan tempat ini, ke arah mana dia menuju..."
Wulan Srindi menunjuk ke jurusan lenyapnya kakek berjubah dan bersorban putih
berkilat. "Aku yakin pasti nenek satu ini akan mengejar ke arah sana," membatin Wiro.
Sinto Gendeng memang siap gerakkan kaki hendak
berkelebat pergi. Tapi dia urungkan niat, memandang berkeliling.
"Coba kalian ingat-ingat. Setelah dapatkan cambuk, apakah kakek itu ada
keluarkan perkataan. Perkataan apa saja..."
"Memang ada, tapi kami tidak ingat satu persatu..."
jawab Wulan Srindi sementara yang lain-lain diam saja.
Tiba-tiba Jatilandak membuka mulut. "Ada di antara ucapannya yang aku masih
ingat. Dia bicara pada Adipati Sidik Mangkurat. Katanya Adipati itu harus sudah
cukup puas dengan beradanya senjata sakti itu di tangannya selama lima puluh dua
purnama. Saatnya senjata itu dikembalikan ke tempat asalnya..."
"Manusia muka kuning, benar kakek itu berucap
begitu?" Sinto Gendeng ingin menegaskan. Ada rasa tak percaya tapi dadanya
berdebar.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jatilandak anggukkan kepala. Si nenek pencongkan mulutnya yang kempot beberapa
kali. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi dia langsung berkelebat pergi tapi
Wulan Srindi cepat memburu seraya berseru. "Nek!
Tunggu!" Sinto Gendeng berhenti dan balikkan badan. Wajahnya yang angker tampak kesal.
"Gadis centil! Kau hanya membuang-buang waktuku saja. Ada apa"!"
"Nek, menghadapi urusan besar dengan manusia-
manusia pocong yang bermarkas di lorong kematian, kami semua mohon petunjukmu.
Apalagi guruku Dewa Tuak ada di dalam sana."
"Gadis tolol! Kalian punya ilmu kepandaian, punya senjata! Apa lagi"! Sekarang
bukan jamannya minta petunjuk! Segala sesuatu harus dipikir dan dikerjakan
sendiri lalu punya rasa tanggung jawab sendiri!" jawab Sinto Gendeng sambil
pelototkan mata.
"Nek, kami yang muda-muda ini hanya menang
semangat. Pengalaman hanya secupak, ilmu kepandaian hanya semata kaki. Mana
mungkin kami bersombong diri dapat menghadapi semua persoalan rimba persilatan.
Lagi pula kau adalah satu-satunya tokoh panutan kepada siapa kami bergantung dan
berharap."
Pandai sekali Wulan Srindi mengucapkan kata-kata itu dan mengatur raut wajah
unjukkan mimik penuh memelas.
"Hemmm..." Sinto Gendeng bergumam. Mulutnya yang perot komat kamit. Sesaat
hatinya masih keras. Namun setelah pandangi wajah-wajah yang ada di tempat itu
satu persatu terlebih wajah Si Anak Setan muridnya sendiri yang tadi
ditamparnya, kekerasan hati si nenek jadi leleh juga.
"Baik! Dalam kalian menghadapi perkara besar ini, aku akan berikan satu
petunjuk, hanya satu petunjuk. Tinggal bagaimana kalian mencernanya. Dengar
baik-baik. Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang
keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong.
Karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Coba kalian ulangi kata-kataku
barusan..."
Semua orang yang ada di situ dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan Sinto
Gendeng. Mereka sama-sama mengucap.
"Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar.
Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar..."
Belum habis gema ucapan semua orang, Sinto Gendeng sudah berkelebat lenyap dari
tempat itu. Hanya bau pesingnya saja yang masih tertinggal menyekat di rongga
hidung, Wiro garuk-garuk kepala. "Apa maksud tua bangka
aneh itu. Urusan menghadapi manusia-manusia pocong pembunuh dan penculik
perempuan-perempuan bunting mengapa membawa segala macam rotan dan bambu?"
Di balik semak belukar lebat dan gelap Setan Ngompol usap-usap bagian bawah
perutnya. "Rotan dan bambu. Hik... hik... Aku juga punya rotan dan bambu. Tak ada lobang
masuk tapi ada lobang keluar.
Ngocor terus-terusan! Ah, pasti ilmu rotan dan bambu milikku ini tidak bisa
dipergunakan..."
Di balik semak belukar lain, tak jauh dari tempat Setan Ngompol mendekam,
Bidadari Angin Timur tengah berpikir keras menimbang-nimbang. Apakah saat itu
sebaiknya dia keluar saja dari tempat persembunyian dan bergabung dengan Wiro.
Rasa benci yang dibalut rasa kecemburuan terhadap Wulan Srindi membuat dadanya
terasa sesak dan panas. Ketika gadis cantik berambut pirang berkepandaian tinggi
ini akhirnya memutuskan untuk segera keluar dari balik semak belukar, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda mendatangi. Setan Ngompol terkencing saking kaget.
Bidadari Angin Timur sibakkan semak-semak dan mem-
perhatikan ke arah kegelapan. Ketika melihat siapa adanya si penunggang kuda,
bibir si gadis seruakkan senyum.
Lesung pipit muncul di pipi kiri kanan.
"Wulan Srindi, sekarang kena batunya kau!"
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
4 ALAM Episode "Aksara Batu Bernyawa" dituturkan
bagaimana setelah mendapatkan batu mustika (kala D itu masih berupa dan bernama
Batu Bernyawa) Raja Setan Tersenyum segera berangkat ke Kotaraja untuk menemui
Tumenggung Abdi Tunggul di Keraton. Namun untuk kedua kalinya tokoh silat yang
dulu pernah menjadi pentolan Istana ini ditimpa nasib sial. Kesialan pertama
adalah kematian kekasihnya Ratu Setan Tersenyum. Sial kedua justru terjadi di
Keraton. Dia kena ditipu oleh seorang yang mengaku mewakili Tumenggung. Orang
ini yang ternyata memiliki kepandaian tinggi berhasil menotok Raja Setan,
menyumpal mulutnya dengan patung kayu lalu mengambil Batu Bernyawa yang ada di
balik jubah hijaunya. Walaupun Raja Setan berhasil menyemburkan patung kayu yang menyumpal
mulut dan berteriak keras, namun pengawal yang kemudian datang tidak bisa
berbuat apa. Orang tinggi besar yang menyamar sebagai seorang kakek berambut
putih telah lenyap dari tempat itu.
Tak selang berapa lama sewaktu Tumenggung Abdi
Tunggul keluar menemui Raja Setan Tersenyum. Walau berusia hampir enam puluh
tahun namun wajah tampak masih segar dan sosok sang Tumenggung tinggi besar
masih tegap kekar. Raja Setan Tersenyum menceritakan apa yang terjadi. Untuk
beberapa lama Tumenggung terdiam, wajah berubah kaku dan mata menatap tak
berkesip ke arah Raja Setan. Saat itu dia bukan cuma terkejut mendengar
keterangan Raja Setan, tetapi juga bertanya-tanya apa yang terjadi dengan
seorang lain yang juga ditugaskannya untuk mendapatkan Batu Bernyawa itu. Jika
masih hidup apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sudah mati siapa yang
membunuhnya. "Seorang yang pernah menjadi tokoh silat Istana kelas satu, bisa diperdaya dan
dirampok orang! Sungguh aku tak bisa percaya..."
"Tumenggung, aku mohon maafmu. Jahanam peram-
pok itu berkepandaian luar biasa tinggi. Tumenggung, apakah kau tidak akan
membantu melepaskan totokan-
ku?" Tumenggung Abdi Tunggul maju mendekat lalu tepuk ubun-ubun Raja Setan. Sungguh
luar biasa. Sekali menepuk totokan di tubuh Raja Setan punah. Biasanya orang
berkepandaian tinggi selalu melepas totokan di tempat di mana korban terkena
totokan. Tapi Tumenggung Abdi Tunggul rupanya memiliki ilmu pelepas totok yang
langka dan jarang orang lain memilikinya.
"Raja Setan, apakah kau mengenal siapa perampok
itu?" tanya Tumenggung.
"Dia berdandan sebagai seorang kakek rambut putih.
Aku yakin dia seorang yang ahli menyamar..."
"Ceritakan bagaimana kau mendapatkan Batu Bernya-
wa sebelum dirampas oleh orang berpenampilan kakek berambut putih."
"Aku menemukan peti hitam yang dibawa makhluk luar kepala manusia dari dasar
samudera, tergeletak dalam keadaan terbuka di satu tempat. Batu Bernyawa
menancap di kening kutungan kepala manusia yang ada dalam peti..."
"Peti tak mungkin berada di situ dengan sendirinya.
Pasti ada beberapa kejadian sebelumnya..." ucap Tumeng-
gung pula. "Sesuai perintahmu, aku melakukan pengintaian di selatan Parangteritis. Ternyata
di situ telah dipenuhi oleh beberapa orang tokoh silat dan serombongan orang
ber- cadar mengaku sebagai orang-orang Kerajaan. Beberapa tokoh mati terbunuh sebelum
salah seorang bercadar ber-
hasil melarikan peti berisi batu mustika. Orang bercadar ini berat dugaanku
adalah Pangeran Haryo..."
Raja Setan Tersenyum hentikan cerita menatap tajam pada Tumenggung Abdi Tunggul.
Dia tidak melihat peruba-
han pada wajah pejabat Keraton itu.
Raja Setan teruskan ucapannya. "Kalau ada orang lain dari Istana yang ikut
mencari batu mustika itu, seperti diriku apakah dia juga atas perintah
Tumenggung?"
"Jangan bertanya dulu. Teruskan saja ceritamu," jawab Tumenggung Abdi Tunggul.
"Orang yang kuduga Pangeran Haryo ini kemudian
cidera berat akibat hantaman satu pukulan sakti yang dilepaskan seorang lelaki
tinggi besar."
"Kau tahu siapa orang tinggi besar ini?"
"Tidak," jawab Raja Setan. Walau sudah bisa menduga siapa adanya lelaki tinggi
besar itu namun Raja Setan sengaja berdusta, tidak mau memberitahu. Dia punya
rencana untuk menyelidik. "Aku sendiri kemudian terlibat perkelahian dengan
orang tinggi besar itu dan kena ditotok. Kemudian dia lari mengejar Pangeran
Haryo." "Jika orang tinggi besar inginkan Batu Bernyawa, adalah aneh dia tidak
membunuhmu," kata Tumenggung Abdi Tunggul sambil usap-usap dagu.
"Mungkin dia lebih mementingkan mengejar Pangeran Haryo," jawab Raja Setan. "Apa
yang terjadi kemudian, tidak aku ketahui. Menjelang pagi aku berhasil melepaskan
diri dari totokan. Lalu aku temui peti kayu itu..."
"Pangeran Haryo sendiri berada di mana?" tanya
Tumenggung pula.
"Tidak aku ketahui berada di mana atau bagaimana nasibnya." jawab Raja Setan.
"Aku punya firasat, Pangeran itu telah menemui ajal."
"Kalau begitu, agaknya benar dugaanku bahwa
Tumenggung juga menugaskan Pangeran Haryo selain diriku dalam mencari Batu
Bernyawa itu."
"Rasanya hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada satu tugas baru yang harus
segera kau laksanakan."
Raja Setan Tersenyum diam saja. Dia merasa ada
siasat busuk dalam tugas yang diberikan sang tumenggung kepadanya.
"Sekarang juga kau berangkat ke kaki Gunung
Kukusan. Di sebelah timur ada dua sungai saling bertemu pada tikungan berbentuk
tapal kuda. Jika kau datang tepat waktu, di situ kau akan menemui seorang kakek
aneh bertampang sedih dan sebentar-sebentar menangis. Temui kakek itu, begitu
berhadapan langsung kau bunuh. Kau boleh pergunakan kuda terbaik yang ada di
kandang kuda Keraton."
"Kakek aneh ini, apakah dia punya nama atau memiliki gelar?" tanya Raja Setan
Tersenyum sambil sunggingkan senyum.
"Dia dikenal dengan julukan Dewa Sedih."
Senyum langsung lenyap dari wajah Raja Setan Terse-
nyum. Tubuhnya hampir terangkat dari kursi yang diduduki.
Sesaat kakek ini terdiam, baru kemudian membuka mulut.
"Soal bunuh membunuh sudah jadi pekerjaanku sejak aku berusia lima belas tahun.
Tapi membunuh manusia yang berjuluk Dewa Sedih itu bukan satu pekerjaan mudah,
Tumenggung. Selain itu aku harus menyelidik dan mencari pembunuh kekasihku.
Orang tinggi besar itu. Besar duga-
anku dia adalah orang yang merampas Batu Bernyawa."
"Aku tidak mau mendengar alasan apapun keluar dari mulutmu. Apa kau masih
inginkan hadiah ini, atau kita tutup pembicaraan sampai di sini!"
Habis keluarkan ucapan begitu Tumenggung Abdi
Tunggal bertepuk dua kali. Saat itu juga muncul lima orang lelaki bertubuh
tinggi tegap, berwajah angker. Masing-masing mencekal golok besar. Cepat sekali
gerakan mereka tahu-tahu telah mengurung Raja Setan Tersenyum.
Melihat ancaman, Raja Setan Tersenyum sunggingkan senyum. Tapi dia tidak diam
saja. Secepat kilat dia ambil lima anak panah hitam dari kantong di punggungnya.
"Aku tahu, kau punya ilmu hebatan melempar panah.
Kau sanggup membunuh mereka dalam satu kali kejapan mata. Tapi kau tidak akan
punya peluang untuk menghin-
dari serangan maut dariku! Bagaimana?" Tumenggung Abdi Tunggul angkat tangannya
yang dikepal. Kepalan itu tampak memancarkan cahaya hitam.
"Pukulan Jelaga Besi!" membatin Raja Setan Terse-
nyum yang mengenali pukulan sakti yang siap dilepaskan sang Tumenggung.
Jangankan tubuh manusia, dinding besipun mampu ditembus pukulan itu. Orang yang
terkena pukulan tidak akan langsung tewas, tapi sakit sengsara dulu selama
beberapa hari sebelum menemui ajal karena saluran darah, isi perut termasuk
jantungnya telah dirambas bubuk besi mengandung racun jahat luar biasa.
Di dalam hati Raja Setan Tersenyum menyumpah habis-habisan. "Tumenggung keparat
ini rupanya memang sudah menyusun rencana keji dari dulu-dulu." Namun tanpa
perlihatkan rasa benci pada air mukanya terhadap sang Tumenggung, malah sambil
tersenyum Raja Setan
Tersenyum berkata. "Aku memilih hadiah itu."
Tumenggung Abdi Tunggul lemparkan kantong kain.
Raja Setan Tersenyum cepat menangkap kantong berisi beberapa kepingan emas itu.
Tumenggung bertepuk
tangan dua kali. Lima lelaki tinggi besar bertampang angker serta merta
tinggalkan tempat itu.
Tumenggung Abdi Tunggul usap dagunya. "Aku ragu, hatiku menduga dia akan
terlambat. Orang tinggi besar yang merampas Batu Bernyawa itu mungkin sekali
mendahului sampai di tempat itu..." Sang Tumenggung geleng-geleng kepala. "Aku
punya dugaan Raja Setan Tersenyum tahu siapa adanya orang tinggi besar itu. Ada
apa dia tidak mau menerangkan padaku."
*** Kaki Gunung Kukusan sebelah timur. Saat itu
menjelang tengah hari. Udara tidak begitu baik. Di arah selatan tampak awan
tebal menutupi sebagian langit.
Sesekali ada sambaran kilat membelah udara. Di tikungan sungai berbentuk tapal
kuda pada pertemuan sebuah sungai dengan sungai lain seorang penunggang kuda
berhenti di satu lamping batu. Matanya memandang berkeliling, lalu kembali
diarahkan pada batu-batu besar yang bertebaran di bawah sana.
"Tumenggung itu menyuruhku ke sini. Tidak ada
manusia, tidak ada hantu di tempat ini. Apalagi kakek berjuluk Dewa Sedih itu.
Atau... hemmm, apakah ini siasat, satu jebakan yang dirancang oleh Tumenggung
keparat itu"! Kalau aku lihat sosok tinggi besarnya, mengapa ada persamaan
dengan orang tinggi besar yang membunuh kekasihku, dan kakek berambut putih si
penyamar dalam keraton?" Raja Setan Tersenyum geleng-geleng kepala.
"Aku tidak akan mencari. Lebih baik menunggu. Kalau sampai matahari tenggelam
Dewa Sedih tidak muncul, perduli setan! Aku akan tinggalkan tempat ini. Tidak
membunuhnya tidak jadi apa. Aku sudah dapatkan
hadiah." Raja Setan Tersenyum turun dari kudanya. Binatang itu dituntun ke tebing sungai
yang tidak begitu terjal, lalu diturunkan ke dalam sungai untuk diberi minum.
Raja Setan Tersenyum sendiri kemudian mencari bagian sungai yang airnya lebih
bersih, singsingkan jubah hijau, ujungnya diikat di pinggang lalu turun ke air,
membasahi muka dan kepalanya yang botak serta minum air sungai beberapa teguk.
Mendadak Raja Setan Tersenyum dikagetkan oleh satu keanehan. Arus air sungai
yang mengalir melewati kedua kakinya ke arah hilir, tiba-tiba berputar-putar di
sekitar tempat dia berada. Putaran yang mula-mula lambat saat demi saat menjadi
keras. Akibatnya tubuhnya yang berada di dalam air mulai ikut berputar.
Perlahan-lahan, lalu men-
deru seperti gasing dan satu saat melesat ke udara.
Raja Setan Tersenyum berseru kaget. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi.
Namun mengapa air sungai mampu membuat dia berputar dan terpental ke udara"
Kekuatan dahsyat apa yang ter-
sembunyi di balik kejadian aneh itu"
Di udara setelah lepas dari kekuatan dahsyat yang membuat dirinya terpental.
Raja Setan Tersenyum mem-
buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun ke batu hitam berbentuk rata
empat persegi di tengah sungai.
Sepasang mata Raja Setan Tersenyum berputar liar, memandang berkeliling. Dia
adalah seorang kakek luas pengalaman dan tinggi ilmu kepandaian. Tidak sembarang
orang bisa mempermainkannya. Lalu apa yang barusan terjadi" Kekuatan apa yang
bisa membuat air sungai berputar begitu rupa hingga dia ikut berputar dan
terpental ke udara. Tidak satu manusiapun yang kelihatan. Lalu apakah semua itu
tadi pekerjaan hantu, dedemit sungai"
Selagi Raja Setan Tersenyum kibas-kibaskan ujung jubahnya yang basah, tiba-tiba
alisnya mencuat. Mata mendelik diarahkan ke air sungai satu tombak di depan batu
persegi di atas mana dia berdiri. Air sungai dilihatnya mengeluarkan gelembung-
gelembung serta suara aneh.
Lalu di balik suara aneh itu dia seperti mendengar suara orang sesenggukan.
"Dia ada di sini..." ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar. Matanya
tak mau berkedip. Lengah sedikit saja bisa merenggut nyawa. Suara sesenggukan
terdengar semakin keras. Orangnya sendiri tidak kelihatan. Lalu meledak satu
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara orang menangis meratap! Batu yang dipijak Raja Setan Tersenyum bergetar
hebat! "Dewa Sedih... Di mana dia?" ujar Raja Setan Terse-
nyum sambil memandang berkeliling. Matanya menyapu seantero tempat. Dia tidak
melihat siapa-siapa. Kembali pandangannya diarahkan ke sungai yang mengeluarkan
gelembung air. "Apakah dia berada di dalam situ" Apa ada manusia yang bisa
menangis di dalam air?"
Baru saja Raja Setan Tersenyum berkata seperti itu sekonyong-konyong gelembungan
di sungai lenyap. Air sungai muncrat ke udara, disusul melesatnya satu sosok
berselempang kain putih dalam keadaan basah kuyup!
Saat itu juga kawasan sungai dibuncah oleh gelegar suara orang menangis.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
5 ALAM keterkejutannya Raja Setan Tersenyum cepat
tekuk dua lutut, tangan bergerak ke punggung
D mengambil lima buah anak panah hitam. Jika
dilempar dengan kehebatan ilmu yang dimilikinya, Raja Setan Tersenyum mampu
menghantam lima sasaran
sekaligus. Apa lagi kalau lima anak panah maut hanya ditujukan pada satu
sasaran. Sulit korban bisa lolos selamatkan diri. Namun saat itu Raja Setan
Tersenyum menghadapi sesuatu yang membuat dirinya tergetar.
Memandang ke depan, di atas sebuah batu bulat,
sejarak dua tombak dari batu persegi di mana Raja Setan Tersenyum berada, tampak
seorang berambut putih basah awut-awutan, berkulit hitam, berselempang kain
putih kuyup, duduk dengan kepala dibenamkan di atas lutut yang dilipat. Dari
mulutnya menangis keluar ratapan yang membuat Raja Setan Tersenyum tambah
terkesiap. "Aku sedih, hik... hik... hik. Dua hari berendam di dalam sungai, rasanya diriku
belum juga bersih. Hik... hik. Apakah dosa kesalahan bisa dihapus dengan
berendam dalam air"
Ampun biyung, tobat dewa... Mengapa aku harus selalu menerima nasib sial begini"
Aku menangis sengsara, orang lain tertawa bahagia. Hik... hik... hik. Kalau saja
bukan karena biji celaka ini, tidak akan jatuh malapetaka atas diriku. Hik...
hik... hik."
Sesaat orang di atas batu bulat hentikan tangisnya. Dia kembangkan kedua lutut
lalu tarik ke depan kain putih yang dikenakan. Sambil sesenggukan dia perhatikan
bagian bawah perutnya. "Ah... Tidak kambuh... untung tidak bengkak lagi. Hik...
hik. Biji celaka, apa kau tahu malapetaka besar yang akan menimpa rimba
persilatan gara-gara tingkahmu menggelembungkan diri" Semua orang akan mengutuk
diriku. Semua orang akan menya-
lahkan diriku! Tapi mereka tidak tahu apa kesengsaraan diriku! Hik... hik...
hik." Habis meratap panjang orang ini kembali sembunyikan wajahnya di antara dua
lutut. Namun tadi waktu sesaat orang itu mengangkat kepala, Raja Setan Tersenyum
sempat memperhatikan wajahnya. Seorang kakek berwajah hitam aneh menunjukkan
kesedihan abadi dengan sepasang alis hitam menjulai panjang ke bawah.
"Dewa Sedih, memang dia..." ucap Raja Setan Terse-
nyum. Mula-mula Raja Setan Tersenyum tercekat juga melihat kehadiran serta mendengar
ratap tangis orang di atas batu. Tapi lama-lama dia jadi bosan dan sebal
mendengar oceh ratapan yang tidak dimengertinya. Mulutnya sung-
gingkan senyum. Tangan kiri mengusap kepala botak.
"Biar cepat selesai, biar aku habisi sekarang juga," kata Raja Setan Tersenyum.
Tangan kanannya yang memegang lima anak panah bergerak. Namun gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba orang di atas batu bundar menggerung keras lalu
keluarkan ratap tangis.
"Aku sedih, aku kecewa. Hik... hik. Ada orang hendak membunuhku. Dia menyangka
diri sudah jadi kaya raya karena punya sekantong emas. Tapi hik... hik... hik.
Aku sedih, apa yang punya tidak tahu kalau emas itu palsu belaka adanya" Hik...
hik... Aku sedih..."
Kejut Raja Setan Tersenyum bukan alang kepalang. Dia meraba dada jubah hijau di
balik mana dia menyimpan kantong kain berisi emas yang diberikan Tumenggung Abdi
Tunggul. "Dia tahu aku membekal sekantong emas. Apa iya
emas itu palsu?" Semula ragu akhirnya dengan tangan kiri Raja Setan Tersenyum
keluarkan kantong emas. Dengan bantuan beberapa giginya yang masih utuh
sementara tangan kanan tetap memegang lima anak panah hitam, kakek kepala gundul
itu buka ikatan kantong. Dia membungkuk lalu tuang isi kantong di atas batu
persegi. Mata mendelik. Satu persatu tujuh kepingan emas yang bergeletakan di batu
diteliti. Lalu menyembur kutuk serapah dari mulutnya.
"Jahanam keparat! Adipati kurang ajar! Kau benar-benar mencari perkara! Aku
bersumpah akan menembus batok kepalamu dengan tujuh keping emas ini!" Dengan
cepat Raja Setan Tersenyum masukkan potongan-potongan emas itu ke dalam kantong
kain lalu kantong disusupkan ke balik jubah.
Di atas batu besar Dewa Sedih kembali meratap. "Aku sedih, ada orang pandai kena
tipu. Hik... hik... hik... Apakah ini akhir perjalanan dirinya atau akhir
riwayat diriku?"
Raja Setan bangkit berdiri lalu berteriak.
"Dewa Sedih! Dengar baik-baik! Saat ini adalah akhir riwayat dirimu!"
"Hik... hik... hik. Buruknya nasibku! Mati di tengah sungai, jauh dari sanak,
jauh dari kadang. Tak ada sahabat yang tahu. Adikku Dewa Ketawa kau tak akan
bisa tertawa mengiringi kematian diriku karena kau tak tahu kalau kakakmu ini
sebentar lagi akan jadi bangkai. Hik... hik...
hik." (Seperti diketahui Dewa Sedih mempunyai seorang adik berjuluk Dewa Ketawa.
Dari julukan saja jelas sudah bahwa dua bersaudara ini memiliki dua sifat yang
bertolak belakang. Satu selalu sedih dan menangis, satunya selalu senang
tertawa-tawa) "Dewa Sedih, cukup sampai di situ kau meratap! Seka-
rang terima kematianmu!" Bentak Raja Setan Tersenyum.
Tangan kanannya yang memegang lima anak panah hitam diangkat lebih tinggi.
Dibentak orang, Dewa Sedih bukannya hentikan tangis malah menggerung lebih
keras. "Tidak disangka tidak dinyana dalam sedih masih ada sekelumit rasa bahagia.
Kematianku tidak sia-sia. Hik...
hik... hik. Ada seseorang yang kebetulan lewat, akan menjadi saksi kematian
diriku. Hik... hik... hik. Mungkin juga aku bisa menyampaikan pesan terakhir
padanya. Hik... hik... hik."
Ucap ratap Dewa Sedih membuat Raja Setan Terse-
nyum terkejut dan untuk kedua kalinya dia hentikan gerakan tangan kanan yang
hendak melempar lima panah maut. Telinga dipentang, mata dibuka lebar.
Pertama sekali dia mendengar suara derak derik aneh.
Lalu ada langkah-langkah kaki mendatangi. Semakin dekat langkah-langkah kaki itu
semakin terasa adanya getaran di atas batu sungai tempat dia berdiri. Lalu
hidungnya mencium bau aneh. Belum sempat Raja Setan Tersenyum mengira-ngira,
tiba-tiba di tebing sungai muncul satu pemandangan luar biasa!
Empat orang lelaki bertubuh kekar penuh otot, menge-
nakan celana gombrong hitam berdiri di tebing sungai. Dua di depan, dua di
belakang, mereka memanggul tiga buah batang kelapa yang diikat jadi satu. Di
atas jejeran batang kelapa ini ada sebentuk sandaran menyerupai sandaran kursi.
Di sini duduk seorang kakek bermuka berminyak, bertubuh luar biasa gemuknya dan
mengenakan pakaian yang kekecilan. Tiga batang kelapa kelihatan melengkung
saking beratnya tubuh kakek gemuk ini yang diperkirakan lebih dari dua setengah
kwintal. Sambil usap-usap dadanya yang berbulu, mata kelihatan seperti
mengantuk, si gemuk ini asyik-asyikan menghisap sebuah cangklong atau pipa yang
menebar asap berbau tidak sedap. Jika pipa dilepas dari mulutnya maka mulut itu
menguap lebar-lebar dan sepasang mata jadi berair. Sambil mengusap mata, si
gemuk ini kembali masukkan pipa ke dalam mulut.
Dada Raja Setan Tersenyum jadi bergetar. "Seumur hidup aku belum pernah melihat
orangnya. Jika aku tidak salah menduga, apakah ini manusianya yang dijuluki Raja
Penidur, tokoh paling tua dalam rimba persilatan. Punya segudang ilmu yang
dianggap setingkat kehebatan para dewa" Ada apa dia tahu-tahu muncul di tempat
ini?" Kalau Raja Setan cuma bisa membatin dalam hati, lain halnya dengan Dewa Sedih.
Kakek ini langsung keluarkan ratapan.
"Kedatangan seorang sahabat pada saat aku tengah bersedih, sungguh membuat
diriku malu. Hik... hik... hik.
Raja Penidur, harap maafkan kalau aku tidak bisa mem-
berikan penyambutan sewajarnya padamu. Ketahuilah...
hik... hik, kuharap kau jangan tidur. Saksikan akhir riwayat diriku. Hari ini
aku akan menerima kematian sesuai dengan segala kesalahanku. Aku sedih...
Selamat tinggal sahabatku Raja Penidur. Sebelum kau pergi, bolehkah aku
menitipkan sebuah pesan padamu" Hik... hik... hik."
"Waktuku tidak lama, mataku sangat mengantuk. Aku ingin tidur..." Raja Penidur
berucap lalu kembali menguap lebar-lebar. "Jika kau ingin menitipkan pesan harap
segera mengatakan. Ketahuilah aku sendiri tengah dalam perjala-
nan terakhir mengelilingi rimba persilatan. Sebelum diriku menghadap Yang Maha
Kuasa, Maha Pencipta aku ingin melihat rimba persilatan untuk terakhir kali.
Seratus enam puluh lima tahun hidup di dunia terasa sangat memalukan.
Karena lebih dari dua pertiga hidupku hanya kuhabiskan untuk menghisap cangklong
dan tidur pulas..."
"Hik... hik. Aku ikut sedih mendengar penuturanmu.
Sebagian dari pesan yang akan aku titipkan padamu ada dalam telapak tangan
kiriku. Akan kulihat dan segera kukatakan padamu. Hik... hik." Habis berkata
begitu Dewa Sedih kembangkan telapak tangan kirinya. Kakek sakti ini memang
punya kemampuan melihat sesuatu melalui
telapak tangan kiri itu.
"Lekaslah, aku sudah sangat mengantuk. Aku mau
tidur..." Raja Penidur berseru dari atas batang kelapa.
"Aku melihat... Hik... hik... Betapa menyedihkan. Rimba persilatan tanah Jawa
akan dilanda malapetaka besar kalau ilmu terkutuk itu tidak segera dihentikan...
hik... hik... hik." "Ilmu terkutuk" Ilmu terkutuk apa" Huah..." Raja Penidur mengucap. "Saatnya aku
tidur..." "Tunggu! Hik... hik. Jangan tidur dulu!" Teriak Dewa Sedih. Kakek ini gerakkan
telapak tangan kirinya. Sebuah bola api melesat keluar lalu menderu ke arah Raja
Penidur. Empat orang bertubuh kekar yang memanggul batang kelapa berteriak marah tapi tak
berani berbuat apa-apa ketika mendengar Raja Penidur berkata.
"Tidak apa, dia tidak berbuat jahat. Dia hanya
mencegah agar aku tidak tidur. Tapi kepandaiannya hanya mampu menahan kantukku
dua kali kejapan mata saja..."
Bola api yang keluar dari tangan kiri Dewa Sedih melesat membungkus sekujur
tubuh gemuk Raja Penidur.
Tokoh silat aneh ini batuk-batuk beberapa kali. Sekali dia mengibaskan pipa,
sinar merah yang membungkus
tubuhnya lenyap.
"Sahabatku di sungai, mataku mulai mengantuk lagi.
Aku mohon diri. Harap segera katakan pesanmu itu."
Dewa Sedih tahan sesenggukan dan tangisnya. Dia
usap-usap matanya yang basah lalu berkata.
"Ilmu terkutuk itu adalah... hik... hik... hik. Memberikan nyawa kedua pada
orang yang sudah mati. Orang yang kemudian dihidupkan ini akan memiliki hik...
hik... ilmu kesaktian luar biasa hebat tiada tandingan. Jika tidak dicegah
malapetaka besar akan menimpa rimba persila-
tan. Karena si pemberi kehidupan berkuasa penuh dan bisa memerintahkan apa saja
atas diri orang yang dihidup-
kan. Hik... hik... hik... Semua tokoh rimba persilatan bisa menjadi hamba sahaya
si pemberi kehidupan atau dibunuh begitu saja secara keji. Mengerikan sekali.
Hik... hik... hik."
"Jadi itu pesan yang hendak kau sampaikan padaku?"
tanya Raja Penidur sambil hembuskan asap pipa. Matanya mulai redup.
"Bukan... hik... hik! Jangan tidur dulu! Aku mohon...
Pesanku, harap kau sampaikan kepada para tokoh yang bisa dipercaya. Malapetaka
yang akan menghancurkan rimba persilatan bisa dicegah bilamana manusia pertama
yang diberi kehidupan..."
Raja Penidur hembuskan asap pipanya.
"Aku tidak tertarik pada penuturanmu. Aku tidak tertarik apapun bunyi pesanmu.
Pesan gila tak masuk akal. Mana ada orang yang sudah mati bisa dihidupkan dengan
memberikan nyawa kedua. Nyawa siapa" Nyawa dari
mana" Aku tidak tertarik pada ceritamu sahabatku."
"Aku sedih mendengar ucapanmu. Hik... hik... Aku orang tolol. Tapi ternyata kau
lebih tolol lagi. Akibat tidur seumur-umur, kau tidak tahu apa yang saat ini
terjadi di dalam rimba persilatan. Padahal hik... hik... hik. Jika benar kau
tengah dalam akhir perjalanan hidupmu, maka ini adalah satu kebajikan besar yang
bisa kau buat sebelum meng-
hadap Yang Maha kuasa. Aku mohon agar kau mencari seorang tokoh silat
bernama..."
"Saatnya aku tidur sahabatku..." Di atas jajaran batang kelapa Raja Penidur
berkata. Lalu kepalanya terkulai di atas kayu sandaran, tangan yang memegang
pipa jatuh ke samping.
Melihat hal ini Dewa Sedih menangis keras. Dia
miringkan kepalanya ke kanan. Lalu kepala dipukul-pukul berulangkali. Aneh! Dari
telinga kanan si kakek meluncur keluar sebuah gulungan kain berwarna putih. Dewa
Sedih cabut gulungan kain ini lalu dengan cepat dilemparkan ke arah Raja Penidur
dan jatuh tepat di pangkuannya. Namun saat itu sepasang mata Raja Penidur mulai
terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur.
Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak bisa berbuat apa selain memperhatikan
kepergian Raja Penidur yang digotong oleh empat orang bertubuh kekar bercelana
hitam gombrong.
Setelah puas menangis, Dewa Sedih baru ingat pada Raja Setan Tersenyum yang
hendak membunuhnya. Tanpa berpaling dia berucap.
"Orang yang memegang lima anak panah hitam, tunggu apa lagi. Aku siap menerima
kematian di tanganmu. Aku hanya sedih si gemuk itu tidak mau menyampaikan pesan-
ku. Kalau dia bangun mudah-mudahan dia melihat
gulungan kain putih itu. Tapi kapan dia akan bangun dari tidur pulasnya. Dua
bulan, lima bulan atau satu tahun di muka" Malapetaka" Malapetaka! Hik... hik...
hik. Mengapa hidup ini selalu susah dan menyedihkan bagi diriku?"
Dewa Sedih usap matanya, sesenggukan dan menghela nafas berulang kali. Yang
ditunggu tidak terjadi. Raja Setan Tersenyum tidak melemparkan panah-panah maut,
tidak membunuhnya. Perlahan-lahan Dewa Sedih angkat kepala dan berpaling ke arah
batu persegi di tengah sungai tempat Raja Setan Tersenyum berada. Astaga! Dewa
Sedih menggerung keras.
"Nasib peruntungan anak manusia tidak bisa
ditentukan kecuali oleh Yang Maha Kuasa. Aku, mengapa bukan diriku yang pergi
lebih dulu" Hik... hik... hik.
Mengapa aku tak melihat kapan dia merampas panah itu.
Mengapa aku tidak tahu kapan dia melempar anak panah itu! Hik... hik... hik!"
Di atas batu hitam persegi di tengah sungai sosok Raja Setan Tersenyum terkapar
berlumuran darah. Lima anak panah yang sebelumnya dipegangnya dan akan dijadikan
sebagai senjata membunuh Dewa Sedih, kelihatan me-
nancap di tubuh kakek kepala gundul itu. Dua menancap di kening, dua di leher
dan satunya di dada kiri.
"Raja Penidur, hik... hik... hik. Aku tahu pasti kau yang punya pekerjaan. Aku
tahu, kau tak suka orang itu membunuhku. Lalu kau bunuh duluan. Tapi ketahuilah.
Hatiku jadi sangat sedih. Tindakanmu hanya menunda kematian bagi diriku. Hik...
hik... hik." Dewa Sedih menangis keras lalu luncurkan diri dari atas batu bulat,
masuk ke dalam air sungai.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
6 UA purnama setelah pertemuan Dewa Sedih dengan
Raja Penidur. Di satu petang menjelang matahari
D tenggelam, dua sosok putih berlari cepat membe-
lakangi sang surya. Dari gerak lari keduanya serta jarak yang tak pernah terpaut
jauh menunjukkan mereka sama-sama memiliki ilmu lari yang setara. Dua sosok
putih ini bukan lain adalah dua anggota komplotan ganas yang dikenal dengan nama
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Mereka sanggup berbuat sadis semudah
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengedipkan mata karena telah dicuci otaknya, dibuat beku perasaan hatinya dan
hanya tunduk pada pimpinan mereka yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia
Ketua. Sambil berlari manusia pocong di sebelah kanan
berkata. "Heran, mengapa kita berdua yang ditugaskan Yang Mulia Ketua.
Belakangan ini ada beberapa anggota baru. Kabarnya mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Malah aku mendengar kabar selentingan di dalam lorong.
Salah seorang yang kena dijerat adalah dedengkot rimba persilatan dikenal dengan
julukan Dewa Tuak. Seharusnya dia dan seorang lain yang diberi tugas, bukan
kita. Hal itu sekaligus untuk menguji kemampuan serta kesetiaan mereka pada
kelompok kita."
"Mula-mula aku juga berpikir seperti itu," jawab manusia pocong kedua. "Tapi
kemudian aku merasa, ini bukan cuma soal uji menguji. Tetapi soal kepercayaan
dan kemampuan pasti bahwa tugas harus bisa dilaksanakan.
Mengenai tokoh bernama Dewa Tuak, aku tidak heran mengapa Yang Mulia Ketua tidak
memberi tugas sebagai ujian padanya. Aku menyirap kabar, minuman pencuci otak
yang diberikan padanya tidak mempan. Dia pernah
mencoba kabur. Membunuh dan menciderai kawan-kawan kita. Terpaksa dia dicekoki
sampai dua kali. Itupun masih ada kekhawatiran manusia sakti satu itu belum
dapat dikuasai perasaan dan jalan pikirannya. Sekarang Yang Mulia Ketua
memberikan perintah pada kita berdua.
Berarti dia mempercayai kita dan ini bukan tugas main-main. Kalau kita berhasil,
kedudukan kita dalam Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian akan dinaikkan
ke tingkat lebih tinggi. Tapi jika gagal tahu sendiri akibatnya.
Jadi ini bukan tugas main-main."
"Ini memang bukan tugas main-main. Maut hadangan-
nya," jawab manusia pocong pertama. "Kau tahu siapa orang yang bakal kita
hadapi?" "Aku pernah mendengar nama julukannya. Tapi belum pernah melihat orangnya. Aku
tidak yakin apakah dia memang punya kepandaian seperti yang disohorkan dunia
persilatan. Orang kerjanya selalu tidur punya kemampuan apa?"
Manusia pocong kedua tersenyum di balik kain putih penutup kepala. "Jangan
sekali-kali bersikap memandang rendah orang. Kau tahu, sebelum kita berdua
dilahirkan, manusia itu sudah hidup lebih dari seratus dua puluh tahun dan
dianggap sebagai salah satu tokoh paling hebat dalam rimba persilatan."
Sampai saat sang surya tenggelam, tak satupun dari dua manusia pocong itu
bicara. Begitu hari mulai menjadi gelap manusia pocong pertama baru membuka
mulut. "Sebelum bintang pertama muncul di langit, kita akan sampai di Candi Cemorosewu.
Aku harap dugaan Yang Mulia Ketua tidak meleset. Kalau tidak kita harus mencari
ke mana" Kita hanya diberi waktu sampai tengah malam nanti. Berhasil atau tidak
kita sudah harus kembali ke markas. Kau tahu apa yang bakal kejadian jika kita
tidak berhasil?"
"Darah kita akan dikuras. Jantung kita akan dicopot!
Mati!" jawab manusia pocong kedua. Tengkuknya terasa dingin. "Setahuku selama
ini Yang Mulia Ketua selalu matang dan tepat setiap perhitungannya. Lagi pula
teman-teman yang bertindak sebagai mata-mata tentunya sudah menjajagi sebelumnya
dan melapor pada Yang Mutia Ketua. Keberhasilan kita tergantung pada hasil kerja
mata-mata. Bagaimana kalau mereka berdusta mengatakan bahwa benda yang harus
kita dapatkan itu benar-benar berada di tangan Raja Penidur padahal kenyataannya
tidak." "Di antara para anggota, siapa yang berani dusta dan mengkhianati Yang Mulia
Ketua?" menyahuti manusia pocong pertama.
Kawannya terdiam. Sesaat kemudian baru membuka
mulut. "Aku pikir-pikir sungguh aneh. Kita ditugaskan untuk mendapatkan segulung kecil
kain putih yang konon berada di tangan Raja Penidur. Sepotong kain putih yang
digulung! Apa tidak gila! Mending kalau kain itu merupakan satu senjata atau benda sakti
mandraguna?"
"Aku tidak pernah berpikir terlalu jauh atau coba-coba menyelidik. Aku punya
firasat benda itu sama berharganya dengan nyawa seluruh penghuni 113 Lorong
Kematian. Kita hanya diberi tugas untuk mendapatkan gulungan kain itu. Apakah berani
membantah" Ingat ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Yang Mulia Ketua Seorang yang wajib dicintai."
"Aku tidak membantah," sahut manusia pocong kedua.
Ada rasa ngeri dan rasa tunduk di dalam hatinya.
Manusia pocong pertama lanjutkan ucapan. "Tak
sengaja aku pernah mendengar pembicaraan antara Yang Mulia Ketua dan Wakil
Ketua. Benda berupa gulungan kecil kain putih itu agaknya merupakan satu rahasia
dahsyat. Yang bakal menentukan apakah 113 Lorong Kematian akan sanggup menguasai rimba
persilatan atau tidak. Ada anggota yang melihat Yang Mulia Ketua bicara dengan
semacam roh gaib. Roh gaib yang menjadi penguasa batu aneh yang sanggup
memberikan nyawa baru pada orang yang sudah mati. Lalu ada kabar lain yaitu
bahwa Yang Mulia Ketua akan membentuk satu partai."
"Partai?"
"Ya, satu kelompok yang jauh lebih besar dari sebuah perguruan silat. Partai itu
mempunyai cabang di mana-mana. Kelak akan merajai rimba persilatan tanah Jawa,
bahkan sampai ke seberang lautan."
Semakin gelap malam semakin angker kelihatan
bayangan dua manusia pocong yang berkelebat sangat cepat itu.
"Bintang pertama sudah kelihatan di langit!" manusia pocong pertama memberitahu
temannya. "Aku sudah melihat bagian atas candi," kata manusia pocong kedua.
Hanya beberapa kejapan mata berlalu, dua manusia pocong itu telah sampai di
sebelah timur Candi Cemoro-
sewu. Di bawah sebatang pohon besar berdaun rimbun keduanya berhenti. Masing-
masing memasang mata,
pentang telinga.
"Sepi, aku tidak melihat apa-apa. Juga tidak terdengar suara apapun." Manusia
pocong kedua berkata.
"Tapi aku mencium bau sesuatu," kata manusia pocong pertama.
Kawannya lalu tinggikan hidung dan menghisap udara malam dalam-dalam.
"Kau betul. Raja Penidur ada di candi. Bau yang kita cium adalah bau asap
cangklongnya,"
"Berarti dia dalam keadaan bangun."
"Belum tentu. Sekian puluh hari dia tidur, pipanya bisa saja tetap menyala.
Kabarnya dia punya empat anak buah.
Rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bergan-
tian menambah tembakau pipa dan menyalakan apinya.
Eh, apakah kau tidak mendengar suara sesuatu" Tadi memang belum kedengaran.
Sekarang jelas sekali. Suara orang mendengkur?"
"Astaga! Aku juga mendengar. Tanah terasa bergetar.
Luar biasa hawa sakti tenaga dalam orang itu. Raja Penidur yang kita cari memang
ada di candi."
Manusia pocong pertama pegang bahu temannya lalu berbisik. "Aku melihat bayangan
asap tipis dari bagian kanan candi. Itu asap pipa Raja Penidur. Berarti dia
memang ada di sana. Di balik tembok."
"Kita menyerbu berbarengan atau dari arah terpisah?"
tanya manusia pocong kedua.
"Kau lompati tembok sebelah kiri dan coba menarik perhatian empat pembantu Raja
Penidur. Begitu mereka lengah aku akan merampas gulungan kain putih. Menurut
penjelasan mata-mata yang diterima Yang Mulia Ketua, sejak Raja Penidur tidur
dua bulan lalu, gulungan kain itu tidak bergerak dari pangkuannya."
Tanpa tunggu lebih lama manusia pocong kedua segera keluar dari balik pohon
besar. Dua kali bergerak cepat dia sudah berada di atas reruntuhan tembok candi
sebelah kiri. Memandang ke bawah walau hanya sesaat, dadanya terasa bergetar. Di
bawah sana, di lantai batu halaman candi, empat orang lelaki bertubuh besar
kekar, bertelan-
jang dada dan mengenakan celana hitam gombrong,
duduk berpencaran, bersila tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada.
Tidak dapat diduga apakah mereka tengah bersamadi atau beristirahat atau
tertidur lelap.
Di antara keempat orang itu, di lantai batu terletak tiga batang kelapa yang
diikat jadi satu. Di atas jajaran batang kelapa ini berbaring sesosok tubuh luar
biasa gemuk. Sebuah pipa besar dan panjang berada di genggaman tangan kirinya dalam keadaan
menyala dan mengepulkan asap berbau sangat tidak sedap. Dua mata terpejam.
Mulut, rongga hidung dan tenggorokan jadi satu menge-
luarkan suara grookk... grookk. Suara mendengkur.
Begitu injakkan kaki di atas reruntuhan tembok candi, manusia pocong kedua
keluarkan suara suitan dua kali berturut-turut. Seperti yang diduga, empat
lelaki yang bergerak mengelilingi jajaran batang kelapa, saat itu juga melompat
bangkit. Kepala dan mata diarahkan ke tembok di mana manusia pocong kedua
berdiri seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan.
"Mahluk di atas tembok!" Orang bertubuh kekar besar di ujung kanan menegur.
"Kami hanya memberi ingat satu kali! Tinggalkan tempat ini atau mati!"
Manusia pocong di atas tembok keluarkan suara
mendengus. "Kalian bangsa manusia. Aku mahluk pengu-
asa kawasan Candi Cemorosewu. Ancaman itu lebih pantas aku tujukan pada kalian!
Tinggalkan candi atau mampus!"
"Kami memilih mampus!" Teriak empat lelaki bercelana komprang hitam.
"Kalau begitu majulah berempat sekaligus. Biar cepat aku menghabisi kalian!"
Empat lelaki bertelanjang dada keluarkan suara
menggeram. Saat itu juga keempatnya melesat ke arah tembok. Manusia pocong kedua
berlaku sigap. Sesuai siasat yang sudah diatur, begitu empat lawan melayang
setengah jalan, dia segera melompat turun dari atas tembok, lenyapkan diri ke
bagian gelap di samping candi.
Empat pembantu Raja Penidur segera mengejar. Walau tubuh mereka besar dan kekar
namun gerakan masing-masing sangat enteng dan luar biasa gesit. Dalam waktu
sangat cepat mereka telah berada di halaman samping Candi Cemorosewu, mengurung
manusia pocong yang
tegak dengan sikap sombong berkacak pinggang.
Pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tengah dan ibu jari tangan
kanan hingga mengeluarkan suara klik! Saat itu juga kawannya di sebelah depan
melesat menerjang ke arah manusia pocong. Namun
beberapa langkah sebelum serangan sampai, manusia pocong kibaskan lengan jubah
kiri kanan. Dua gelombang angin menderu menyambut datangnya serangan. Sesaat
sosok pembantu Raja Penidur tergontai-gontai. Di lain kejap begitu berhasil
mengimbangi diri dia cepat menyerbu kembali. Namun lawan yang diserang membuat
gerakan kilat. Sekali berkelebat manusia pocong lenyap dari pemandangan.
Klik! Sekali lagi pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tangan.
Orang tinggi besar di sebelah kiri melesat ke udara.
Lenyap di balik bangunan candi. Karena berada di tempat yang agak jauh di mana dia bisa memandang lebih jelas,
pembantu Raja Penidur ini tadi dapat melihat ke arah mana lenyapnya si manusia
pocong. Namun begitu men-
jejakkan kaki di lantai candi, dari balik dinding bangunan berkelebat sebuah
kaki. Bukkk! Satu tendangan keras mendarat di pipi kanan
pembantu Raja Penidur!
Kepala orang ini seperti terpental. Tubuhnya bergetar hebat namun dua kakinya
tidak bergeser! Mulut keluarkan suara menggerang, kepala dimiringkan dan tangan
kanan ditepuk-tepukkan ke pipi yang barusan kena tendangan lalu kepala kembali
diluruskan. Dari mulut keluar suara menggembor. Dengusan nafas terasa panas
dalam dingin- nya udara malam.
Di balik dinding candi, manusia pocong yang barusan hantamkan tendangan melengak
kaget pelototkan mata.
Tembok batu saja akan hancur berantakan kena
tendangan kakinya. Seatos apa kepala manusia satu ini hingga tidak cidera barang
sedikitpun" Tidak menunggu lebih lama, sambil melompat keluar dari balik dinding
dia hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti bertenaga dalam tinggi.
Namun selagi tangan kanan masih terangkat di udara, belum sempat dipukulkan ke
arah pembantu Raja Penidur, tiba-tiba satu tangan kukuh mencekal lengan
kanannya. Berpaling ke belakang seorang tinggi besar bertelanjang dada
menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap dan bersamaan tubuh si manusia pocong
dipuntir ke depan lalu, bukkk! Satu jotosan keras melanda dada manusia pocong.
Walau tubuh terpental hampir sepuluh langkah dan tertahan di dinding candi,
namun tak ada suara keluhan apa lagi jeritan terdengar keluar dari mulut si
manusia pocong. Hanya saja, pada kain putih penutup kepala, di bagian mulut
kelihatan warna merah. Pertand aada lelehan darah keluar dari mulut mahluk ini,
pertanda tubuhnya menderita luka dalam hebat akibat jotosan. Saat itu di kiri
kanan dan sebelah belakang si manusia pocong mendengar suara dengusan. Meman-
dang berkeliling dilihatnya empat pembantu Raja Penidur sudah mengurung! Sosok
tinggi besar, dada telanjang celana gombrong hitam dan tampang sama-sama sung-
gingkan seringai angker. Walau hatinya bergetar namun dengan cepat si manusia
pocong pulihkan rasa percaya diri. Dua lutut dilipat, tubuh merunduk, dua tangan
dikembang dengan ujung-ujung jari menukik ke lantai candi. Tiba-tiba tubuh itu
diayun ke bawah. Ujung-ujung jari menotok lantai candi. Seperti sebuah bola
karet tubuh manusia pocong melenting ke udara. Tepat pada saat kaki mencapai
ketinggian kepala, sosok manusia pocong berputar. Ujung jubah menghambur angin
deras, terangkat ke atas. Dua kaki menyembul dari balik bagian bawah jubah.
Begitu tubuhnya berputar, dua kaki juga ikut berputar dan, bukk... bukk...
bukk... bukk! Empat kepala pembantu Raja Penidur dimakan tendangan dahsyat!
Sebelumnya, ketika menendang seorang pembantu
Raja Penidur dari balik bangunan candi, manusia pocong hanya kerahkan sepertiga
tenaga dalamnya. Kini mengha-
dapi empat lawan yang siap membantai dan diketahui memiliki tenaga dalam tinggi,
dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya hingga perutnya menjadi
cekung gembos dan dada seperti terbakar.
"Mampus semua!" teriak manusia pocong lalu
hamburkan tawa bergelak.
Apa yang terjadi memang luar biasa!
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
7 ENDANGAN yang sangat cepat disertai kekuatan
tenaga dalam tinggi membuat empat orang pembantu TRaja Penidur terpental dan
jatuh terjengkang di lantai candi. Satu di antaranya malah membelintang di atas
reruntuhan tembok. Orang pertama kelihatan hancur hidungnya, separuh muka
bergelimang darah. Pembantu kedua lebam memar pipi kiri. Yang ketiga pergunakan
tangan kiri untuk menekap mata yang melesak ke dalam rongga dan kucurkan darah,
ketika tangannya diturunkan tampangnya kelihatan menggidikkan. Sementara pemban-
tu keempat pegangi keningnya yang benjut hampir sebesar kepalan!
Setelah keluarkan keluh kesakitan serta menggembor pendek penuh geram, tiga
pembantu Raja Penidur itu yang terjengkang di lantai candi perlahan-lahan
bangkit berdiri.
Yang hidungnya hancur dan wajah bercelemongan darah, usap mukanya mulai dari
kening sampai ke dagu. Saat itu juga celemongan darah lenyap dan hidungnya yang
Heng Thian Siau To 6 Pendekar Rajawali Sakti 181 Lima Golok Setan Manusia Harimau Marah 1