Pencarian

Api Cinta Sang Pendekar 1

Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar Bagian 1


Episode : 139 Ebook by : Dewi TiraikaSih
Scan Kitab by : Syaugy_ar
Email : 22111122@yahoo.com
API CINTA SANG PENOE KAR 1
TANGAN kiri menggoyang kaleng butut hingga mengeluarkan suara berkerontang
nyaring. Tubuh terbungkuk-bungkuk melangkah sementara tongkat putih di tangan
kanan dipakai sebagai penuntun jalan.
"Dukkk!"
Tiba-tiba kaki kanan kakek buta bercaping lebar itu membentur satu benda
tergeletak di jalan.
"Oala! Apa ini" Pasti bukan batang pohon yang menyandung kakiku!"
Si kakek sapukan tongkatnya di sekujur benda yang barusan menyandung kaki. "Aha!
Ada manusia tergolek di jalanan. Lagi tidur, pingsan atau sudah jadi mayat?"
Orang tua ini berjongkok. Tongkat diletakkan di tanah. Tangan kanan meraba-raba.
"Dari debu yang menempel di pakaiannya, agaknya manusia ini sudah cukup lama
tergeletak di sini.
Mungkin dari tadi malam hemmm..." Tangan yang meraba terhenti di bagian kepala.
"Aneh, kenapa kepalanya dibungkus" Ah....Jangan-jangan mahluk ini yang disebut
Manusia pocong. Berarti aku di arah yang betul. Mulai dekat dengan sarang
gerombolan jahat itu." Si kakek merasa terus. "Masih hidup..."
ucapnya dalam hati begitu jari-jari tangannya merasakan denyutan nadi di lengan
kiri orang. Dia kerontangkan kaleng rombeng dua kali. Rabaannya berpindah ke
tangan kanan. "Eh, lengan kanan mengapa gontal-gantil begini rupa. Patah"
Digebuk orang?"
Kakek bercaping tarik kain yang menutupi kepala dan untuk lebih meyakinkan dia
dekatkan telapak tangannya ke hidung orang. Ada hembusan nafas pertanda orang
itu memang masih hidup. Setelah meraba di bagian leher dan mengusap dada, kakek
bercaping pergunakan ujung tongkatnya untuk menotok. Satu di pangkal leher, satu
lagi di dada kiri menunggu sesaat sambil pasang telinga. Tak lama kemudian
terdengar suara keluhan. Si kakek goyangkan kaleng di tangan kiri lalu buka
capingnya. Tangan kanan menepuk-nepuk pipi orang. Mulutnya berucap. "Manusia pocong, apa
yang terjadi dengan dirimu?"
Orang yang tergeletak di tanah perlahan-lahan buka kedua matanya. Dia melihat
satu wajah tua API CINTA SANG PENOE KAR 2
berambut, berjanggut dan berkumis putih. Sepasang mata orangtua ini |uga
berwarna putih menggidikan.
"Orang tua, aku tidak kenal kamu. Matamu buta, tapi bagaimana kau tahu aku
manusia pocong?"
Si kakek menyeringai, goyang kalengnya hingga orang yang tergeletak di tanah
mengerenyit menahan suara nyaring yang menusuk sakit ke liang telinga.
"Omongan tololmu memberi tahu sendiri siapa dirimu adanya. Ha...ha...ha!" Jawab
si kakek lalu tertawa. "Manusia pocong, dengar ucapanku. Kalau kau mau membantu,
aku akan sembuhkan lengan kananmu yang patah."
Orang yang tergeletak di jalan dan memang adalah Manusia pocong dari 113 Lorong
Kematian melengak kaget. Dalam hati dia berkata. "Luar biasa tua bangka buta
ini. Dia tahu tangan kananku patah!"
Lalu Si Manusia pocong ini bertanya. "Bantuan apa yang kau perlukan?" Sambil
bicara dia tekankan siku kiri ke tanah, berusaha bangkit. Tapi ujung tongkat Si
kakek yang ada di atas dadanya membuat dia tak mampu bergerak. Orang ini merasa
dadanya seperti ditindih sebuah batu besar.
"Katakan, apa yang terjadi dengan dirimu?"
Tanya Si kakek buta.
Tak ada jawaban.
"Kau tak menjawab. Apa yang ada dalam benakmu" Kau menyembunyikan sesuatu?"
"Aku jatuh ke jurang." Akhirnya memberi tahu Manusia pocong.
"Aneh! Jatuh ke jurang tapi mengapa menggeletak di jalan begini rupa?"
"Tadinya aku coba bunuh diri. Menghambur masuk jurang. Tapi tubuhku tersangkut
di cabang pohon tak berdaun. Kalau sebelumnya aku ingin mati, waktu tergantung
di cabang aku malah jadi takut mati. Aku berusaha memanjat tebing, naik ke atas
jurang. Tenagaku terkuras. Aku tak ingat apa-apa lagi begitu berhaSil sampai di
Sini." (Untuk jelasnya peristiwa bunuh diri Manusia pocong Ini baca Bab 7
Episode sebelumnya berjudul
"Pernikahan Dengan Mayat")
"Aneh kalau ada Manusia pocong mau bunuh diri.
Lalu mengapa tanganmu bisa patah?"
"Aku diberi tugas oleh Yang Mulia Ketua...."
"Yang Mulia Ketua Siapa itu?" tanya Si kakek walau dia sudah bisa menduga duga
karena telah pernah mendengar sebelumnya
API CINTA SANG PENOE KAR 3
"Dia adalah Ketua Barisan Manusia pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."
Si kakek goleng-goleng kepala "Hebat sekali,"
katanya. Lalu kaleng di tangan km digoyang dua kali. "Apa masalahnya sampai kau
nekad bunuh diri?"
"Aku takut sekali. Aku tidak dapat melaksanakan tugas dari Sang Ketua. Lebih
baik bunuh diri dari pada kembali ke markas, disedot darah dan dicopot jantung!"
"Tugas apa yang diberikan oleh Ketuamu?" Tanya kakek bercaping.
"Merampas sebuah kain putih dari tangan seorang bertubuh gemuk luar biasa.
Ternyata dia adalah tokoh rimba perSilatan berjuluk Raja Penidur."
Jawab Si Manusia pocong. Tangan kirinya mengambil kain putih penutup kepala yang
tadi dibuka Si kakek lalu dipakaikan untuk menutup kepala dan wajahnya kembali.
Mendengar ucapan orang, Si kakek mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh.
"Pasti Raja Penidur yang mematahkan tangan kananmu! Ha...ha...ha."
"Apa yang lucu" Mengapa kau tertawa?" tanya Manusia pocong, jadi geram.
Dari dalam capingnya kakek buta keluarkan satu gulungan kecil kain putih.
Gulungan dibuka lalu kain digoyang-goyang di atas wajah Manusia pocong.
"Kain putih ini yang kau maksudkan?"
Manusia pocong tersentak kaget. Melotot dan berusaha bangkit. Tapi lagi-lagi
dorongan ujung tongkat yang terbuat dnn tulang putih membuat punggungnya
terhenyak ke tanah.
"Bagaimana kain itu bisa berada di tanganmu"
Temanku harus melepas nyawa dan aku menderita cidera berat untuk dapatkan kain
itu. Kakek buta, Siapa kau ini adanya?"
Sebagai jawaban kakek buta goyangkan kaleng rombengnya. Dia baru berhenti
setelah Si Manusia pocong berteriak-teriak karena liang telinganya seperti mau
jebol. "Siapa aku tidak penting. Bantuanmu lebih penting. Dengar, aku akan obati lengan
kananmu yang patah. Asal kau berjanji mau mengantarkanku ke markasmu."
Si Manusia pocong kaget, terdiam. Tapi otaknya bekerja.
"Hai, apa jawabmu?"
"Kalau cuma mengantarkan apa susahnya. Cepat API CINTA SANG PENOE KAR 4
saja mengobati tanganku. Dan tolong, ujung tongkatmu itu jangan lagi dipakai
menindih dadaku."
"Begitu?" Si kakek menyeringai dan masukkan gulungan kain putih ke dalam caping.
Lalu caping dikenakan di atas kepala. "Ulurkan tangan kananmu!"
Si kakek berkata.
Dengan kening mengerenyit dan muka keringatan Manusia pocong ulurkan tangan
kanannya yang patah. Ujung tangan dan pergelangan ke bawah mengambai-ngambai.
Sakitnya bukan main. Dalam keadaan seperti itu Si kakek usap-usapkan ujung
tongkat putihnya pada sekujur lengan kanan yang entah. Tiba-tiba tongkat itu
dipukulkan ke tangan orang, Si Manusia pocong menjerit setengah mati.
Tubuhnya sampai tersentak dua jengkal ke atas.
Namun anehnya tangan kanan itu menjadi lurus, tulang yang patah bersambung
kembali! Si kakek kerontangkan kaleng rombengnya sambil tertawa-tawa.
Manusia pocong peiotkan mnta, usap-usap
tangan kanannya dengan tangan kiri. Lalu saking tak percaya tangan kanan itu
ditumbuk-tumbukkan ke tanah.
"Duk! Duk! Duk!"
Tanah bergetar. Sama sekali tak ada rasa sakit.
Tangan yang tadi patah benar-benar sembuh utuh!
"Luar biasa! Orang tua. aku sangat berterima kasih...."
"Sekarang bangun. Giliranmu menolongku.
Saatnya kau mengantarkan aku ke markasmu. Aku ingin ngobrol dengan yang kau
sebut Yang Mulia Ketua itu."
"Pasti, tentu! Aku akan antarkan kau ke sana sekarang juga." Suara ucapan
Manusia pocong bersemangat sekali.
Si kakek jauhkan tongkat tulangnya dari dada Manusia pocong. Orang ini cepat
berdiri. Dia tepuk-tepuk debu yang melekat di pakaiannya. Rapikan kain putih
penutup kepala.
"Orang tua, mari. Biar kutuntun.' Kata Si Manusia pocong sambil pegang lengan
kanan kakek buta bercaping.
Tapi begitu lengan Si kakek berada dalam cekalannya, mendadak sontak Manusia
pocong itu membuat gerakan demikian rupa hingga tubuh Si kakek mencelat ke atas
dan Siap dibanting remuk ke tanah! Namun apa yang terjadi membuat Manusia pocong
melengak. Entah bagaimana sosok yang API CINTA SANG PENOE KAR 5
hendak dibanting itu terlepas dari cekatannya.
melesat ke udara lalu melayang turun sambil tertawa haha-hihi. Kaget dan juga
geram, selagi tubuh Si kakek masih mengapung kaki ke atas kepala ke bawah.
Manusia pocong hantamkan dua jotosan kiri kanan.
"Bukk! Bukkk!"
Dua pukulan itu jelas mengeluarkan suara bergedebuk keras. Namun tubuh Si kakek
tidak bergeming sedikitpun. Manusia pocong serasa memukul tumpukan kapas'
"Setan alas! Dengan pukulan sakti ini masakan tidak remuk tubuhmu!" Teriak
Manusia pocong marah. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia hendak
melancarkan satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi.
Tangan bergerak melepas pukulan.
"Wuttt!"
Satu gelombang angin menerpa dahsyat. Si kakek keluarkan seruan keras, jungkir
balik di udara.
Namun sapuan angin pukulan membuat capingnya terlepas dan melayang jatuh.
Melihat ini secepat kilat Manusia pocong sambar caping yang melayang jatuh lalu
jejakkan kaki di tanah, membuat lompatan dan langsung ambil langkah seribu. Dari
mulutnya terdengar seruan. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!'
"Hah! Ucapan Sinting apa itu?" maki kakek mata putih.
Jelas, rupanya sejak tadi Manusia pocong ini sudah mengincar gulungan kain putih
yang disimpan di dalam caping. Yang ada dalam benaknya, jika dia dapatkan kain
putih itu, dia bisa kembali ke markas menemui Yang Mulia Ketua Barisan Manusia
pocong 113 Lorong Kematian, selamat dari hukuman maut.
Dan pasti akan mendapat imbalan besar. Namun dia tidak tahu kalau saat itu
berhadapan dengan tua bangka yang berjuluk Kakek Segala Tahu. Yang dalam rimba
persilatan tanah Jawa terkenal sebagai salah seorang tokoh Silat aneh dan konon
sulit dijajagi ketinggian ilmu Silat serta kesaktiannya.
Di udara Si kakek berjungkir satu kali. Enteng sekali dia melayang turun dan
tahu-tahu sepasang kaki sudah menginjak tanah. Setelah batuk-batuk sambil usap
dadanya yang tadi dihantam orang, dia keluarkan ucapan.
"Heran, masih ada saja manusia yang diberi susu membalas dengan air tuba.
Tipu....tipu! API CINTA SANG PENOE KAR 6
Kebaikanku dibalas dengan keculasan! Sayang...
sayang sekali."
Kakek bermata putih buta ini kerontangkan kalengnya dua kali. Lalu tubuh atasnya
bergerak condong ke belakang. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ditendangkan ke
depan. "Sebelumnya kau gagal mati bunuh diri. Sekarang Silahkan mengulang
kembali! Hik..hik..hlk."
"Kraaakk!"
Terdengar suara tulang patah.
Jarak antara Si kakek dan Manusia pocong saat itu terpisah sekitar lima langkah.
Walau kaki kanan yang menendang jelas-jelas tidak mengenai atau menempel di
sasaran tapi luar biasanya saat itu juga kelihatan bagaimana tubuh Manusia
pocong mencelat ke depan, terlempar ke arah jurang batu.
Caping yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke anah di depan kaki Si kakek.
Suara jeritan panjang menggema di dalam jurang sewaktu Manusia pocong itu
melayang jatuh ke dasar jurang lalu sunyi.
Kakek mata buta tarik nafas panjang, gelenggeleng kepala. Dengan ujung tongkat
tulangnya dia mengedut pinggiran caping. Benda ini melayang dan bertengger di
atas kepalanya.
"Telaga Sarangan...." Kakek Segala Tahu berkata sambil benahi buntalan di
punggungnya lalu angkahkan kaki. "Aku harus pergi ke utara Telaga Tangan.
Mumpung masih pagi berangkat saja sekarang. Aku harus menikahkan seseorang
disana. Siapa yang aku nikahkan. Dengan Siapa" Raja Penidur" Ada-ada saja kelakuannya
mengerjai diriku!
dan! Ini pekerjaan gendeng! Hik...hik..hik.' Orang tua ini tutup ucapannya
dengan goyangkan kaleng, rombeng di tangan kiri.
Begitu suara berisik sirap, alis Si kakek berjingkat.
mata buta berputar, Telinganya menangkap suara orang bertari disertai suara
menangis. API CINTA SANG PENOE KAR 7
Belum habis heran Si kakek tiba-tiba ada suara anak lelaki berteriak
"Tolong!"
Suara anak lelaki yang berian menangis dan berteriak mendatangi ke arah Si kakek
"Bocahl Siapa kau Ada apa?"
"Aku dikejar orang Mereka mau membunuhku!"
Anak lelaki yang berlari dan menangis sampai di hadapan Kakek Segala Tahu dan
gelungkan dua tangannya ke pinggang Si orang tua Mengharapkan perlindungan
sambil memandang ke belakang
dengan wajah penuh ketakutan
Kakek Segala Tahu usap kepala anak itu.
"Anak, tenang saja Jangan takut. Katakan Siapa dirimu dan Siapa yang
mengejarmu."
"Nama saya Magiyo Saya dikejar mahluk pocong penghuni lorong maut Mereka
membunuh nenek saya. Mereka mengejar saya. Mau membunuh saya Kek, saya takut
sekali Tolong..'
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit
Sepasang telinga dipentang.
"Anak ini tidak bohong Aku mendengar suara beberapa orang berlari ke arah Sini.
Hemmm... Tingkat kepandaian mereka tidak bisa dibuat main.
Masih ada waktu....masih ada waktu mencari keterangan."
Si kakek usap kembali kepala anak bernama Magiyo lalu berkata.
"Bocah, tak perlu takut Coba ceritakan. Pendek-pendek saja. Siapa nenekmu.
Mengapa mereka membunuhnya. Bagaimana kau bisa berada di lorong maut itu. Lalu
mengapa manusia-manusia pocong itu ingin membunuhmu
"Pertanyaanmu banyak sekali Kek. Saya....Saya dan nenek diculik. Nenek saya
Paimah, dukun beranak di Sarangan...."
"Ah. pasti ada yang mau melahirkan di lorong maut itu. Tidak heran. Bukankah
selama ini kabarnya banyak perempuan bunting yang diculik"
Bocah. teruskan ceritamu..."
"Saya berusaha melarikan diri dari lorong..."
"Kata orang sekali masuk ke dalam lorong sulit bisa keluar. Aneh kalau bocah
sebesarmu mampu keluar dari tempat itu.'
API CINTA SANG PENOE KAR 8
"Saya sembunyi di salah satu sudut lorong yang gelap. Setiap ada Manusia pocong
lewat saya ikuti.
Tiga minggu lebih saya mendekam di dalam lorong.
Pagi tadi ada satu manusia pocong keluar dari dalam lorong. Saya ikuti dan saya
berhasil keluar..."
"Kalau kau tidak dusta maka kau adalah anak cerdik luar biasa. Bagaimana kau
bisa bertahan hidup selama tiga minggu. Apa yang kau makan?"
"Di dalam lorong, dindingnya penuh lumut. Itu yang saya makan. Mula-mula saya
muntah. Sakit perut. Tapi tidak berak. Lama-lama jadi biasa."
'Kau tidak berak katamu" Selama tiga minggu"
Ha..ha. Ku satu keanehan...."
"Kek, orang yang mengejar sudah kelihatan. Di sebelah sana..."
"Ya, ya....Aku tahu. Lekas berdiri di belakangku."


Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Kakek Segala Tahu.
Anak lelaki usia enam tahun itu segera lakukan apa yang dikatakan.
"Wuuttt!"
Sebuah benda tiba-tiba sekali melayang di udara.
Kakek Segala Tahu gerakkan tangan kanan yang memegang tongkat tapi terhalang
oleh sosok bocah yang tengah melangkah di arah sisi kanannya. Di lain saat tiba-
tiba anak ini menjerit keras. Tubuhnya terhuyung ke depan. Dia coba merangkul
pinggang Si kakek tapi luput. Magiyo terkapar menelungkup di tanah. Sebuah
bendera berbentuk segi tiga, basah oleh cairan berwarna merah menancap amblas di
batok kepala sebelah belakang, nyaris tembus sampai di kening! Bendera Darah!
"Magiyo!" seru Kakek Segala Tahu. Telinga dipentang sambil menghirup dalam-
dalam. "Bau amis darah..." ucap Si kakek dalam hati. Tongkat putih diusapkan
kesekujur tubuh Magiyo yang tertelungkup di tanah. Mulai dari kaki dan baru
berhenti waktu membentur gagang kayu Bendera Darah yang menancap di kepala anak
itu. (Mengenai kisah Magiyo bersama neneknya, seorang dukun beranak dari
Sarangan bernama Paimah, Silahkan baca Episode sebelumnya berjudul Bendera
Darah") Kakek Segala Tahu dongakkan kepala. Kaleng rombeng digoyang sampai tiga
kali. Dalam hati dia berkata. "Manusia-Manusia pocong, pasti mereka..."
Dugaan Si kakek tidak keliru. Tiga orang yang muncul adalah tiga Manusia pocong
dari 113 Lorong Kematian. Begitu suara berisiknya kerontangan kaleng lenyap.
Kakek Segala Tahu keluarkan ucapan.
"Kejam dan keji! Iblis sekalipun tidak akan API CINTA SANG PENOE KAR 9
membunuh anak kecil begini rupal"
Dari arah depan ada suara orang berdecak
leletkan lidah.
"Orang tua bercaping bermata buta putih.
membekal kaleng rombeng. Ketahuilah setiap kematian ada pangkal sebabnya!"
"Hemm begitu?" Kakek Segala Tahu tetap dongakkan kepala. Din kerahkan kekuatan
pendengaran serta perasaan. Selain orang yang barusan bicara, tiga langkah di
kiri kanannya saat itu ada orang kedua dan ketiga. "Kalian bertiga! Coba katakan
apa pangkal sebab kesalahan bocah ini hingga kalian tega membunuhnya"!"
Orang yang tadi bicara dan dua kawannya sama-sama terkejut. Bagaimana kakek buta
ini tahu kalau mereka ada bertiga. Matanya jelas putih buta. Lalu dengan apa dia
melihat" "Kami punya alasan. Tapi tidak perlu memberi tahu tua bangka sepertimu1'
"Tolol sekalil" damprat Si kakek.
"Kami tolol"!" Orang yang menyahuti kembali leletkan lidah lalu bersama dua
temannya tertawa jelak-gelak.
"Tolol dan pengecut!" Kakek Segala Tahu memaki.
"Tua bangka! Tutup mulutmu!" Orang di sebelah kanan Kakek Segala Tahu membentak.
Kakek Segala Tahu ganda tertawa. Kepala masih mendongak di angkat tangan
kanannya, tudlngkan ujung tongkat tulang ke arah orang yang barusan membentak.
"Mahluk dajal bermulut besar! Aku perintahkan padamu untuk mengurus jenazah
bocah Ini. Kuburkan dia secara baik-baik!"
"Tua bangka Sinting! Siapa sudi turut perintahmu!" Teriak Si Manusia pocong.
"Mahluk pocong, apapun kau adanya, nasibmu bakal jelek. Kau akan mati tanpa
kubur!" Sambil berkacak pinggang Manusia pocong di sebelah kanan tertawa gelak-gelak.
Dua kaki bergeser maju, tangan kanan bergerak. Tahu dirinya akan diserang, Kakek
Segala Tahu acungkan tongkat tulang.
"O-oo! Tunggu dulu! Biar aku yang kau bilang Sinting ini diberi kesempatan untuk
mengubur jenazah bocah teraniaya ini!"
Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu tancapkan dalam-dalam tongkat tulang
ketanah lalu tongkat digerakkan membuat garis empat persegi API CINTA SANG PENOE
KAR 10 panjang. Ketika tongkat disentakkan ke atas. tanah berhamburan membentuk
gundukan di samping kiri kanan dan di tempat itu kini menganga sebuah lobang.
Tiga Manusia pocong untuk sesaat lamanya jadi terkesiap bahkan saling pandang.
Yang tadi didamprat bakal mati tanpa kubur mendadak saja kuduknya terasa dingin
Sementara itu Kakek Segala Tahu susupkan tongkatnya ke bagian bawah perut mayat
anak yang tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan jenazah Magiyo diangkat. Lagi-
lagi membuat tiga manusia pocong tampak melengak. Walau Magiyo adalah seorang
anak kecil, tapi bagaimana tongkat tulang yang kelihatan seperti rapuh mampu
dipergunakan untuk mengangkat beban seberat itu.
Jenazah Magiyo diturunkan dan sampai di dasar lobang. Kakek Segala Tahu kembali
unjukkan kehebatan. Dengan ujung tongkat dia membuat gerakan menyapu ke arah
lobang. Gundukan tanah di sekitar lobang didorong menutupi jenazah, membentuk
sebuah kuburan!
"Mahluk-mahluk tolol! Begitu caranya mengurus dan menghormati jenazah manusia!"
Kakek Segala Tahu mendamprat.
Manusia pocong yang berdiri di antara dua temannya menyeringai di balik kain
putih penutup kepala.
"Terima kasih kau telah menyuguhkan satu pertunjukan hebat! Sekarang saat kami
untuk mengurus dan menghormati dirimu!" Lalu Manusia pocong ini gesekkan ujung
ibu jari dan jari tengah tangan kanannya hingga mengeluarkan suara keras.
Mendengar tanda ini dua Manusia pocong yang berada di kiri kanan Si kakek
keluarkan seruan lantang.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!"
Kakek Segala Tahu tertawa dan cibirkan bibir mendengar ucapan itu.
Dua Manusia pocong berkelebat lancarkan serangan. Serangan didahului dengan
melemparkan dua Bendera Merah. Dua Bendera Merah ini dengan mudah dipukul mental
oleh Kakek Segala Tahu dengan tongkat tulang putih. Tongkat di tangan kanan,
kaleng rombeng dikerontangkan di tangan kiri, Kakek Segala Tahu hadapi lawan
yaitu dua Manusia pocong yang ternyata memiliki kepandaian tinggi. Selama lima
jurus orang tua ini menjadi API CINTA SANG PENOE KAR 11
bulan-bulanan serangan yang sangat berbahaya.
Manusia pocong ketiga yang bukan lain adalah Wakil Ketua Barisan Manusia pocong
113 Lorong Kematian geleng-geleng kepala. Rasa kagum melihat semua kehebatan Si
kakek justru membuat dia merasa kawatir.
Memasuki jurus ke tujuh Kakek Segala Tahu putar tongkat putihnya sambil berkata.
"Aku jarang berkelahi! Berkelahi membuat tubuh rongsokan ini pegal sakit-sakit!
Hai! Aku bosan bercanda dengan orang-orang tolol seperti kalian!" Tongkat putih
lalu berubah menjadi titiran, mengeluarkan suara berdesing menggidikan. Jubah
dan kain putih tutup kepala dua Manusia pocong berkibar-kibar.
"Lihat tongkat!" Tiba-tiba Kakek Segala Tahu berseru.
"Wuuuttt!"
Suara deru tongkat tulang disusul dengan jeritan Manusia pocong di sebelah
kanan. Kakek Segala Tahu .tertawa mengekeh. Ujung tongkatnya menancap di leher
Manusia pocong itu sampai sedalam satu jengkal. Ketika tongkat diangkat ke atas.
sosok Manusia pocong ikut terangkat dan berayun-ayun. Sewaktu tongkat ditarik,
darah langsung menyembur dari lobang besar di leher, membasahi kain penutup
kepala dan jubah putih.
"Aku bilang apa! Kau bakal mati tidak berkubur!"
Sosok tubuh yang tengah terhuyung-huyung itu digebuk di bagian kaki. Tak ampun
lagi Manusia pocong itu jatuh tergelimpang. Dua kaki melejang-lejang beberapa
kali lalu diam pertanda nyawanya amblas sudah!
Melihat kematian temannya, Manusia pocong di sebelah kiri berteriak marah. Dari
jarak tiga langkah dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Di depan sana Manusia pocong ke tiga tidak tinggal diam. Mulutnya
keluarkan suara suitan seolah memberi tanda.
Tangan kanan mengeruk ke saku jubah. Manusia pocong yang hendak menyerbu cepat
membuat langkah surut sambil tutup jalan pernafasan. Kakek Segala Tahu bersikap
waspada. Ketika dia hendak menghajar lawan di sebelah kiri tiba-tiba dia mencium
bau sesuatu. Orang tua ini cepat menutup hidung. Tapi terlambat. Sejenis asap
beracun yang disemprotkan Manusia pocong ke tiga keburu masuk ke dalam saluran
pernafasannya. Tubuhnya mendadak limbung. Kaki seperti tidak menginjak tanah
lagi. Dia masih sempat kerontangkan kaleng API CINTA SANG PENOE KAR 12
rombengnya satu kali tergelimpang miring di tanah.
Tongkat masih tergenggam di tangan. Caping dan kaleng butut terlepas jatuh.
Wakil Ketua Manusia pocong rangkap dua tangan di atas dada.
"Sudah lama aku mendengar kehebatan kakek satu ini. Baru kali ini menyaksikan
dengan mata kepala sendiri. Yang Mulia Ketua benar. Kalau tidak mempergunakan
asap beracun pelumpuh syaraf akan sangat sulit membekuk dedengkot rimba
persilatan ini!" Setelah berikan perintah pada Satria Pocong anak buahnya agar
segera memanggul Kakek Segala Tahu dia lalu dekati mayat Manusia pocong yang
terbujur di jalanan. Sekali tendang saja mayat itu terlempar belasan langkah dan
akhirnya jatuh masuk ke dalam jurang.
API CINTA SANG PENOE KAR 13
KAKEK Segala Tahu terbujur di atas tempat tidur batu di dalam kamar tempat dia
disekap. Untuk beberapa saat dia tergeletak tak bergerak, masih tidak sadarkan
diri akibat menghisap asap beracun Tak selang berapa lama di kejauhan sayup-
sayup terdengar suara orang menyanyi. Entah suara nyanyian ini. atau mungkin
juga pengaruh asap beracun yang perlahan sirna, Si kakek mulai siuman. Dua kaki
bergeraki Tapi gerakannya tertahan. Dia geser dua tangan. Sama, gerakannya juga
tertahan "Ada apa dengan diriku " Aku mendengar suara nyanyian. Apakah saat ini aku sudah
mati dan berada di sorga?" Si kakek membatin dalam hati tertawa membatin sendiri
Mulutnya berucap. "Tua bangka rongsokan seperti aku, banyak dosa seumur-umur.
Mana mungkin masuk sorga! Ha...ha...ha!"
Lalu orang tua ini nyalangkan sepasang matanya yang putih buta. Dia coba lagi
menggerakkan tangan dan kaki, berusaha bangun. Tapi tidak mampu. "Ada suatu pada
pergelangan tangan dan pergelangan kakiku! Setan alas. Siapa yang mengikat
aku"!"
Kakek ini kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke pergelangan tangan dan kaki
untuk menjebol putus ikatan.
"Dess!"
"Dess!"
Dari pergelangan tangan dan kaki Si kakek mengepul asap kelabu.
"Oala! Ilmu Sihir apa yang menguasai diriku"l"
ucap Kakek Segala Tahu.
Saat itu di dalam ruangan tiba-tiba menghambur gelak tawa keras.
"Ah rupanya ada orang lain di tempat ini...."
membatin Kakek Segala Tahu.
"Tua bangka goblok!" Ada suara orang memaki.
"Tidak ada ilmu Sihir yang menguasai dirimu! Tangan dan kakimu berada dalam
keadaan terikat! Kau boleh punya ilmu setinggi langit sedalam lautan! Tangan dan
kakimu tak akan bisa bebas! Kau sudah kena ringkus! Tangan dan kakimu diikat
dengan benang sutera halus. Itulah yang disebut Benang Kayangan."
Kakek Segala Tahu melengak, tapi hanya sesaat.
API CINTA SANG PENOE KAR 14
Dia terdiam sambil berpikir pikir. Namun jalan pikirannya masih belum jernih
akibat pengaruh asap beracun.
"Orang yang barusan bicara dan tertawa. Siapa dirimu" Barusan kau menyebut
Benang Kayangan.
Aku rasa-rasa...."
"Hidup tidak bisa hanya merasa-rasa. Kau lihat sendiri akibatnya. Terlalu banyak
merasa-rasa akhirnya nasibmu berakhir di tempat celaka ini!
Disini kau bakal melepas nyawa!"
"Tempat celaka Melepas nyawa" Memangnya aku berada dimana"'
"Kau berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian!"
"Ahh.... Kakek Segala Tahu lepas nafas panjang.
"Apakah saat ini aku berhadapan dengan Manusia pocong yang disebut Yang Mulia
Ketua?" "Tahu juga kau siapa pemimpin kami! Tunggu saja. Sebentar lagi Yang Mulia Ketua
akan datang ke tempat ini. Dia akan menyuruh sedot seluruh kekuatan tenaga dalam
dan ilmu kesaktian yang ada dalam dirimu. Tubuhmu sudah rongsokan. Tidak pantas
menguasai semua kehebatan itu!"
Kakek Segala Tahu tidak perdulikan ucapan orang.
Dia berusaha memusatkan ingatan pada satu hal.
Mulutnya berkata. "Benang Kayangan...Ah! Aku ingat sekarang. Benda itu hanya
dimiliki oleh satu orang. Kalau aku tidak salah dia...."
Tiba-tiba pintu besi setebal setengah jengkal di samping kanan ruangan batu
terbuka. Tiga Manusia pocong masuk ke dalam. Dua bertubuh tinggi besar, yang
ketiga agak pendek. Orang yang barusan bicara dengan Kakek Segala Tahu keluarkan
ucapan lantang.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!"
"Hik....hik...hik!" Kakek Segala Tahu tertawa geli.
"Lagi-lagi ucapan itu! Ah, rupanya Yang Mulia Ketua sudah berada di Sini. Sayang
tangan dan kakiku dalam keadaan terikat hingga tak bisa memberi salam hormat!"
"Wakil Ketua!" Manusia pocong tinggi besar yang berada di sebelah depan berkata.
"Kita tak perlu berbasa basi dengan tua bangka rongsokan ini.
Lekas geledah manusia satu ini. Temukan benda yang kita perlukan itu!"
Manusia pocong tinggi besar kedua yang berdiri di belakang Sang Ketua membungkuk
hormat. Dia API CINTA SANG PENOE KAR 15
memberi tanda pada Manusia pocong di sampingnya.
Wakil Ketua dan anak buahnya segera menggeledah sekujur tubuh Kakek Segala Tahu.
Baju dan celana rombeng disingkap. Tubuh Si kakek dibolak balik.
Rambut putih panjang dan janggut disingkap. Tapi apa yang mereka cari tidak
ditemukan. "Telanjangi dia! Pasti dia menyembunyikan benda itu di salah satu bagian
tubuhnya!" Perintah Sang Ketua.
"Hai! Kalian semua sudah pada gila apa"! Apa enaknya melihat aku telanjang! Aku
bukan perempuan muda bertubuh putih montok!"
"Plaakk!"
Satu tamparan mendarat di pipi kiri Kakek Segala Tahu membuat orang tua ini
sesaat seperti kelojotan tapi kemudian malah menyeringai dan tertawa.
"Kalau kau tidak hentikan tawamu, akan kurengkah batok kepalamu!" Sang Ketua
mengancam. "Apa yang kalian cari sampai-sampai mau menelanjangi diriku?"
"Dimana kau sembunyikan segulung kain putih"!"
"Ah, mengapa aku mendadak menjadi tuli, budek..." Kakek Segala Tahu berucap.
"Apa...apa tadi yang kau tanyakan?"
"Setan tua! Jangan berpura-pura tuli! Jawab pertanyaan Ketua kami. Dimana kau
Simpan gulungan kain putih yang kau dapat dari Raja Penidur?" Yang bicara keras
kali ini adalah Wakil Ketua Manusia pocong.
"Apa" Kau mau menyuruh aku tidur" Dengan Siapa" Dengan perempuan-perempuan
bunting itu"
Ha..ha...Tak pernah aku bayangkan..."
"Gulungan kain pulih! Bukan tidur!" Teriak Wakil Ketua.
"Ooo, tubuh perempuan itu putih. Aku memang paling suka perempuan putih. Apa
lagi kalau gemuk banyak lemaknya. Ha..ha..ha! Padahal....ha...ha!
Aku disuruh menikahkan orang! Hai, apakah Yang Mulia Ketua hendak kawin" Dengan
Siapa" HA...ha...
Pasti aku bakal menerima imbalan besar kalau menikahkan Yang Mulia Ketua!
Ha...ha...ha!"
Saking marahnya Yang Mulia Ketua kepalkan tinju kanan, Siap hendak menjotos
kepala Kakek Segala Tahu. Kalau ini sampai kejadian kepala Si kakek akan pecah
dan nyawanya tak akan tertolong agi. Tapi tiba-tiba saja tangannya dipegang oleh
seseorang. Orang ini adalah yang tadi pertama kali berada dalam ruangan batu
tempat Kakek Segala API CINTA SANG PENOE KAR 16
Tahu disekap. "Yang Mulia Ketua, tua bangka satu ini tidak bodoh. Aku tahu betul dirinya.
Akalnya banyak.
Walau disiksa sampai tubuhnya lumat dan otaknya terbongkar tak bakalan dia mau
bicara. Malah salah-salah dia bisa memberi keterangan menyesatkan kita. Kita
tidak akan menemukan gulungan kain itu di tubuhnya. Pasti dia menyembunyikan di
tempat lain. Setahuku biasanya dia memakai caping, membawa kaleng rombeng. Aku
tidak melihat dua benda itu. Bukan mustahil dia menyembunyikan di dalam kaleng
atau dibalik caping."
Yang Mulia Ketua berpaling pada wakilnya.
Sepasang mata dibalik kain putih penutup kepala menyorotkan Sinar angker. "Aku
tahu, apa yang dikatakan Dewa Tuak betul adanya. Dimana caping dan kaleng
rombeng itu?"
"Agaknya, mungkin tertinggal di tempat kami meringkusnya."
"Lalu apa yang akan kau perbuat" Hanya bertambah tolol dengan tetap berada di
tempat ini"!"
Bentak Sang Ketua pada wakilnya.


Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Saya dan satria pocong akan kembali ke tempat
itu. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintail Namun ada sebuah tongkat
sakti milik kakek ini..."
Dari balik punggung jubah putihnya. Wakil Ketua Barisan Manusia pocong keluarkan
tongkat putih terbuat dari tulang. Benda ini segera diserahkan pada Sang Ketua.
"Pencuri busuk! Lekas kembalikan tongkatku!"
Kakek Segala Tahu berteriak.
"Hanya tongkat tulang butut dan rapuh! Tak ada gunanya!" ucap Yang Mulia Ketua.
Wakil Ketua segera mendekati pimpinannya.
Setengah berbisik dia menceritakan kehebatan tongkat itu. Dengan tongkat butut
dan kelihatan rapuh itu Kakek Segala Tahu mengangkat tubuh manusia. Dengan benda
itu pula dia menggali tanah untuk mengubur bocah bernama Magiyo.
"Jadi sudah kalian bunuh anak itu?" tanya Sang Ketua pula.
"Sesuai perintah Yang Mulia," jawab Wakil Ketua.
Yang Mulia Ketua perhatikan tongkat tulang putih yang dipegangnya. "Aku tidak
percaya tongkat ini begitu sakti," ucap Sang Ketua. "Tidak mustahil dia
menyembunyikan gulungan kain putih dalam rongga tongkat!"
API CINTA SANG PENOE KAR 17
"Kraakkk.....kraakkk!"
Terdengar suara berderak patah berulang kali. Di lain kejap Sang Ketua telah
patahkan tongkat tulang itu menjadi tujuh potongan. Setiap patahan diperiksa.
Kosong semua. Gulungan kain putih tidak ada dalam rongga patahan tulang. Dengan
geram Yang Mulia Ketua lemparkan tujuh patahan tongkat ke dinding batu. Luar
biasa! Tujuh patahan tongkat amblas hampir sama rata dengan dinding batu!
Kesunyian menggantung dalam ruangan Wakil ketua dan anak buahnya terdiam kagum
menyaksikan kehebatan tenaga dalam pimpinan mereka. Hanya Dewa Tuak yang walau
ikutan diam tapi kelihatan seperti tak acuh.
Tiba-tiba kesunyian dalam ruangan batu pecah oleh gelak tawa Kakek Segala Tahu.
"Tua bangka jahanam! Apa yang lucu! Mengapa kau tertawa"!" Bentak Yang Mulia
Ketua. "Tidak ada yang lucu!" Sahut Kakek Segala Tahu.
Hanya saja..."
"Hanya saja apa"!" bentak Sang Ketua.
"Banyak orang gila di tempat ini. Mereka semua akan mati konyol dalam kegilaan
itu! Dan diantara mereka akan ada tulangnya aku ambil pengganti tongkatku!
Ha...ha...ha!"
"Begitu?" Sang Ketua usap-usap dagunya yang tertutup kain putih. Dia melangkah
mendekati tempat tidur batu. "Kalau begitu biar kepalamu kuhancurkan lebih
dulu!" "Yang Mulia Ketua, tahan!" Dewa Tuak bergerak menghalangi. "Jangan sampai
terpancing oleh Siasat tua bangka satu ini. Kita lebih banyak ruginya kalau dia
mati lebih cepat. Sesuai rencana"
"Sudah! Menjauh sana!" Ucap Yang Mulia Ketua sambil mendorong Dewa Tuak hingga
terjajar ke pintu beSi.
Di atas pembaringan batu kembali Kakek Segala Tahu tertawa-tawa.
Setelah Wakil Ketua dan anak buahnya tinggalkan tempat itu. Sang Ketua ingat
sesuatu dan berpaling pada orang tua yang berdiri di samping kiri. "Dewa Tuak,"
tegurnya. "Apa kau sudah memberikan minuman selamat datang pada tua bangka ini"'
"Belum Yang Mulia Ketua. Bukankah kita perlu lebih dulu mengorek keterangan dari
dirinya" Bagaimana mungkin dia bicara kalau otaknya dicuci dan ingatannya lenyap" Yang
Mulia tak usah kawatir.
Dia tak bakal bisa lolos. Tidak ada satu manusiapun yang mampu menjebol ikatan
Benang Kayangan itu."
API CINTA SANG PENOE KAR 18
"Aku percaya padamu. Tapi tidak selalu. Jika dia sampai kabur, nyawa busukmu
imbalannya!"
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang wajib dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai."
Yang Mulia Ketua sesaat memandang pada Kakek Segala Tahu yang terbujur di atas
ketiduran batu.
"Tua bangka keparat ini tadi menyebut-nyebut soal pernikahan. Kawin. Siapa yang
nikah" Siapa yang kawin" Diriku" Gila! Tapi kupikir ada sesuatu yang aneh.
Dibalik keanehan ucapan mungkin ada satu rahaSia...."
Pintu beSi dibuka. Sang Ketua tinggalkan tempat itu.
"Dewa Tuak" Kakek Segala Tahu berucap.
Tak ada jawaban.
"Dewa Tuak kakek keparat! Kau masih ada disini?"
Tetap tak ada jawaban.
"Jahanam pengkhianat! Tunggu pembalasanku!"
Dua mata putih Si kakek berputar. "Dia pasti ikutan keluar bersama ketuanya.
Edan, sebelum aku rupanya dia sudah kena diringkus duluan. Heran, mengapa dia
mau bercokol di sini dan jadi kaki tangan Manusia pocong" Tega-teganya dia
mengikat aku begini rupa. Pengkhianat busuk! Jangan-jangan kakek itu diumpan
penganan perempuan-perempuan muda bunting" Minuman selamat datang. Pencuci otak
pelupa ingatan. Minuman setan apa itu"
Mungkin Dewa Tuak sudah dicekoki minuman itu.
Kalau aku juga sampai kena dicekoki. Ihhh.
" *** Ketika Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian bersama anak buahnya sampai di tempat kejadian dimana mereka
berhaSil melumpuhkan Kakek Segala Tahu dengan asap beracun, keduanya tidak menemukan
caping dan kaleng rombeng milik Si kakek. Seluruh tempat mereka periksa. Telap
saja caping dan kaleng tidak ditemukan.
"Aneh, kalau memang jatuh dan tertinggal, pasti caping dan kaleng itu ada di
Sini. Kalau jatuh tercecer di jalan pasti tadi sudah ditemukan..." Wakil Ketua
berkata sambil melangkah mundar mandir.
Manusia pocong anak buahnya tidak keluarkan ucapan. Saat itu pikirannya kalut
membayangkan hukuman apa yang bakal diterimanya dari Sang Ketua. Wakil ketua
kembali keluarkan ucapan.
API CINTA SANG PENOE KAR 19
"Kita telah berbuat ceroboh Mungkin sekali apa yang dikatakan Dewa Tuak benar
adanya. Gulungan kain putih itu ada di dalam caping atau dalam kaleng. Agaknya
orang lain telah menemukan lalu mengambil benda-benda itu sebelum kita sampai di
Sini." Lalu dia menyambung ucapan, membantah sendiri kata- katanya tadi.
"Kalaupun ada orang yang melihat caping dan kaleng rombeng itu tidak nanti dia
akan mengambilnya. Pasti orang itu tahu riwayat dan pemilik dua benda sialan
itu!" Wakil Ketua sesaat tampak agak masygul. Setelah mencari-cari lagi tanpa haSil,
kedua Manusia pocong itu akhirnya kembali ke markas mereka.
Kembali ke 113 Lorong Kematian.
Dalam Episode sebelumnya berudul "Pernikahan Dengan Mayat" kepada Wakil Ketua
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia pocong menyatakan bermaksud menyedot semua
kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Namun Wakil Ketua mengingatkan jika hal itu dilakukan maka rencana semula yaitu
ingin memanfaatkan dan mempergiat Sang Ratu untuk menghadapi para tokoh rimba
perSilatan yang cepat atau lambat akan menyerbu ke dalam 113 Lorong Kematian,
tidak akan dapat dilaksanakan.
Seandainya Sang Ketua memaksa maka dia
menyarankan agar semua kehebatan yang dimiliki Sri Paduka Ratu disedot melalui
ubun-ubun. Namun Sang Ketua merasa kawatir, otak dan kepala Yang Mulia Sang
Paduka Ratu akan hancur sebelum dia berhaSilmenguras tenaga dalam dan hawa
sakti. Satu-satunya cara, menurut Sang Ketua, adalah dengan jalan meniduri Sang Ratu
dan menyedot semua kehebatan yang dimiliki perempuan itu ketika terjadi hubungan
badan. Karena terpaksa menunda maksud mesumnya
terhadap Yang Mulia Sri Paduka Ratu, Sang Ketua memilih perempuan lain. Satu-
satunya perempuan yang belum sempat dan ditiduri oleh Sang Ketua adalah Nyi
Larasati, istri Loh Gatra. Selain itu, perempuan ini memang adalah giliran
berikutnya yang bayinya akan dibunuh dan diambil darahnya untuk mengusap ubun-
ubun Yang Mulia Sri Paduka Matu. Yaitu seperti yang tertulis dalam "Aksara Batu
Bernyawa" sebagai perwujud dan kesinambungan kehidupan mahluk yang memiliki
nyawa kedua. Sesuai dengan perintahnya untuk membawa
Larasati ke ruang ketidurannya, ketika Sang Ketua masuk ke dalam kamar, Larasati
telah berada di Situ, API CINTA SANG PENOE KAR 20
duduk di atas sebuah kursi batu, memegang sebuah cangkir terbuat dari kayu.
Walau berdandan dan dipoles bedak, wajah perempuan in" tampak agak pucat karena
sekian lama berada di dalam goa. tidak pernah tersentuh Sinar matahari. Ketika
melihat Yang Mulia Ketua memasuki kamar. Larasati
tersenyum dan bangkit berdiri.
Sambutan berupa senyuman yang membuat
gairah itu pertanda Larasati berada dalam pengaruh minuman pencuci otak, pelupa
diri pelupa ingatan.
Namun Sang Ketua masih ingin menguji.
"KekaSihku Larasati, sudah lamakah kau menunggu diriku di Sini?"
Larasati mengangkat cangkir kayu yang
dipegangnya lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia seorang yang wajib
dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dikasihi."
Yang Mulia Ketua tertawa lebar. Dia melangkah mendekati Larasati, membelai pipi
perempuan itu lalu mengusap perutnya yang hamil besar.
"Larasati, kau berkata hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dikasihi.
Bisakah kau membuktikan hal itu"'
"Seribu bukti untuk Yang Mulia Ketua...." jawab Larasati.
"Bagus sekali. Sekarang tinggalkan pakaianmu.
Semua." Larasati tersenyum. Perempuan yang sudah dicuci otaknya ini dengan minuman
pelupa diri pelupa ingatan, angkat cangkir kayu di tangan kanan dan mendekatkan
ke bibir Yang Mulia Ketua. Sang Ketua pegang tangan halus perempuan hamil itu
lalu teguk habis minuman dalam cangkir kayu.
Sambil memegang cangkir kosong, Sang Ketua memperhatikan bagaimana Larasati
mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu. Dalam keadaan tanpa selembar benangpun
menutupi auratnya yang hamil besar perempuan ini lemparkan senyuman mesra,
menggeliat tubuh lalu berputar dan melangkah ke arah tempat tidur besar di
tengah ruangan. Yang Mulia Ketua basahi bibirnya dengan ujung lidah. Dibanding
dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu wajahnya memang kalah cantik. Namun dari
sekian banyak perempuan hamil yang telah diculik dan digaulinya, baru yang satu
ini dilihatnya memiliki tubuh begitu mulus dan luar biasa bagus. Yang Mulia
Ketua lemparkan cangkir kayu yang dipegangnya lalu buka kain putih penutup
kepala. API CINTA SANG PENOE KAR 21
DI SATU rimba belantara, tak jauh dari lembah batu di selatan kawasan 113 Lorong
Kematian. Loh Gatra yang tengah berlari cepat bersama Anggini tiba-tiba menekap
telinga kirinya. Wajah yang keringatan mendadak tampak pucat. Dada berdebar
kencang. Larinya tersaruk-saruk. Suami Larasati ini akhirnya hentikan lari dan
duduk berSila di tanah dengan dada turun naik, mata setengah terpejam.
"Loh Gatra, ada apa?" Tanya Anggini.
Lelaki muda itu buka sepasang mata, menatap jauh ke depan.
"Aku barusan mendapat firasat buruk. Telinga kiri mengiang. Jantungku berdetak
keras. Aku kawatir. Sangat kawatir. Nyi Lara, istriku. Jangan-jangan...."
Anggini pandang wajah Loh Gatra sambil
menggigit bibir. Dia sudah mendengar dan tahu semua bahaya sangat besar dan
segala kekejian yang ada di dalam 113 Lorong Kematian. Setiap saat hal itu bisa
jatuh menimpa perempuan-perempuan hamil yang disekap di tempat itu. Selain Tuhan
Yang Maha Kuasa, tidak ada seorangpun mampu
menjamin keselamatan dan menolong perempuan-perempuan malang itu. Termasuk
keselamatan Nyi Larasati, istri sahabat barunya itu. Anggini coba menghibur.
"Loh Gatra, firasat terkadang menyesatkan.
Kuatkan hatimu. Tabahkan diri. Mohon kepada Tuhan agar istrimu diselamatkan Ayo
kita lanjutkan perjalanan"
"Aku akan memusnahkan tempat jahanam itu, membunuh semua Manusia pocong kalau
sampai istriku mendapat celaka..."
Anggini tepuk bahu kiri Loh Gatra dan membantu lelaki muda ini bangkit berdiri.
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan berlari cepat. Jauh di belakang sana terdengar
sayup-sayup curah air terjun Ngadiloyo. Sebelumnya, walau sebentar kedua orang
itu telah menyempatkan diri istirahat di tepi telaga.
Anggini yang ternyata memiliki kecepatan lari melebihi Loh Gatra tidak mau
meninggalkan lelaki itu di sebelah belakang. Dia sengaja memperlambat larinya
hingga sepanjang jalan mereka selalu API CINTA SANG PENOE KAR 22
bersisian. Loh Gatra maklum kalau gadis cantik itu lebih tinggi ilmu larinya
berkata. "Aku mengagumi ketinggian ilmu larimu. Dewa Tuak tentu telah menggembleng dirimu
secara luar biasa. Anggini, kalau kau ingin lari lebih dulu Silahkan saja. Aku
mengikuti dari belakang."
Sang dara melirik. Tersenyum. Mulutnya tidak berucap namun hati kecilnya
berkata. "Lelaki rendah hati. Pasti tinggi budi. KaSihan istrinya. Aku kawatir
sesuatu telah terjadi dengan perempuan malang itu"
Anggini tidak mau mempercepat lari hingga
keduanya tetap berdampingan. Diperlakukan seperti itu, kalau saja pikirannya
tidak kalut menghadap.
perkara besar yang dialaminya mungkin perhatian Loh Gatra telah terbagi pada
kebaikan Sifat Si gadis.
Kedua orang itu hentikan lari ketika di hadapan mereka membentang sebuah cegukan
panjang membentuk tiga buah lembah batu.
"Buntu" ucap Anggini sambil menyeka peluh yang membasahi kening.
"Tidak," menyahuti Loh Gatra. "Di bibir lembah seberang sana ada gugusan bukit
batu. Dugaanku, markas Manusia pocong atau Seratus Tiga Belas Lorong Kematian
ada di bebukitan itu. Kita harus bertindak cepat menuju ke sana. Kali ini biar
aku lebih dulu. Semakin dekat dengan lorong markas Manusia pocong kita harus
sangat hati-hati karena bahaya tak terduga bisa muncul secara mendadak.
Mungkin ada banyak jebakan maut. mungkin juga dibokong secara pengecut." Loh
Gatra segera perhatikan keadaan lembah batu. "Kita bisa sampai ke seberang sana
dengan dua cara. Pertama memutari bibir lembah, cukup lama dan jauh. Kedua akan
lebih cepat, jika menuruni lembah di arah tengah." Selesai berucap Loh Gatra
segera menuruni lembah batu.
Untuk beberapa lama Anggini perhatikan lelaki itu. Hatinya membatin. "Dia tidak
malu mengakui bahwa ilmuku lebih tinggi dari yang dimilikinya. Tapi sepertinya
dia mau mengorbankan diri demi melindungiku." Murid Dewa Tuak ini gigit bibirnya
sendiri. Dia ingat. Dulu di dalam banyak kejadian Pendekar 212 Wiro Sableng
selalu membela dan melindunginya. Dia mengharapkan semua itu adalah cermin dari
rasa kaSih sayang. Namun segala harapan itu tidak menjadi kenyataan. Dia
berharap, tapi orang tak hendak. Tali perjodohan yang diuntai oleh gurunya Dewa
Tuak dan Sinto Gendeng guru sang pendekar sampai saat ini tak kunjung menjadi
API CINTA SANG PENOE KAR 23
buhul ikatan. Dia harus mengakui bahwa dia tidak bisa melupakan pemuda itu.
Namun apakah dia harus menunggu seumur-umur tanpa satu kejelasan.
Lalu gadis ini ingat akan kata-katanya sewaktu membentak Wulan Srindi. "Soal
perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan Siapa bukan perduliku!"
Anggini menggigil bibirnya lebih keras. "Aku menunjukkan ketidak perdulianku
padanya. Apakah dia tersinggung" Marah" Mungkin dia tidak menyukaiku lagi" Aku
salah" Gadis bernama Wulan Srindi itu! Aku benar-benar benci padanya. Tapi Wiro
mengapa kelihatan begitu dekat padanya?"
Murid Dewa Tuak itu usap dagunya yang basah oleh keringat. Lalu permainkan ujung
selendang ungu yang dilingkarkan di pinggang. Ketika matanya diarahkan ke bawah,
pandangannya membentur angka 212 pada ujung selendang. Kenangan lama kembali
terbayang. Tiga angka di ujung selendang itu Wiro sendiri yang dulu mengguratkan
dengan ujung jarinya. (Baca- serial Wiro Sableng berjudul
"Maut Bernyanyi Di Pajajaran")
Di bawah saputan cahaya sang surya yang
semakin tinggi, wajah Anggini bersemu merah.
Bibirnya bergerak, suaranya bergetar perlahan ketika mulutnya berucap.
"Aku tidak akan pernah melupakan, dia pemuda yang pertama kali memeluk tubuhku.


Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mencium pipi dan keningku. Mengecup bibirku. Dia pemuda kepada Siapa aku
membisikkan kata bahwa aku mencintai-nya. Tapi mengapa semua berjalan begitu
hampa dan agaknya akan berakhir tidak seperti yang aku dambakan" Apakah aku
telah salah dan ketelepasan bicara bahwa aku tidak perduli lagi akan segala
ikatan tali perjodohan. Karena memang ikatan itu tidak pernah ada?" (Baca serial
Wiro Sableng berjudul "Keris Tumbal Wilayuda") Anggini angkat kepala, menatap ke
langit putih berSih kebiruan di atas sana. Tidak terasa butir-butir air mata
meluncur jauh di kedua pipinya. Ketika di pejamkan dua mata yang berkaca-kaca
itu entah bagaimana tiba-tiba muncul wajah lain. Wajah seorang pemuda gagah
dengan hiasan anting-anting emas di telinga kanannya.
"Panji" mulut Anggini berucap perlahan menyebut nama pemuda rtu. "Aku tahu kau
mencintai diriku.
Namun. Ah,mungkin seharusnya aku tidak pergi dari Danau Maninjau. Tidak
meninggalkan dlrinya"
(Mengenai pemuda bernama Panji bisa dibaca dalam serial Wrro Sableng pada
Episode berjudul "Lembah API CINTA SANG PENOE KAR 24
Akhirat". Dalam serial berjudul "Kiamat Di Pangandaran" dkeritakan setelah
terjadi bentrokan hebat antara para tokoh sesat golongan putih melawan golongan
hitam di pantai Pangandaran, Anggini bersama Panji berangkat ke Pulau Andalas,
tinggal di Danau Maninjau dimana menetap Nyanyuk Amber seorang dedengkot rimba
Persilatan. Dari kakek sakti berkepandaian tinggi ini sepasang muda mudi itu
mendapat tambahan ilmu kepandaian.
Namun Anggini merasa tidak kerasan berlama-lama di Pulau Andalas. Kerinduan
terhadap tanah Jawa terlebih terhadap gurunya Dewa Tuak tidak dapat ditahan.
Selain itu tentu saja terselip semua kenangan manis dirinya dengan Pendekar 212
Wiro Sableng, yang menambah kobaran hasratnya untuk cepat-cepat berangkat ke
tanah Jawa. Setelah meminta izin dan memohon diri kepada
Nyanyuk Amber dan Panji disertai janji akan segera kembali, Anggini kemudian
berangkat ke Tanah Jawa. Semula Panji ingin ikut pergi mendampingi gadis itu.
Tapi entah mengapa Nyanyuk Amber melarang.
"Anggini! Cepat turuni Tapi hati-hati. Batu diSini licin sekali.!"
Suara teriakan Loh Gatra membuat Anggini sadar dari lamunannya.
"Ya...ya aku datang," balas berteriak Anggini. Dia cepat usap wajahnya yang
jelita. Lalu lagi-lagi hatinya bicara. "Dia mengingatkan aku berhati-hati.
Wiro dulu juga begitu. Ah ada apa dengan diriku ini.
Mengapa jadi membandingkan lelaki yang sudah beristri itu dengan Wiro."
Walau sudah diingatkan bahwa lembah batu itu licin, namun seperti burung yang
terbang dan hinggap sana hinggap Sini Anggini menuruni lembah dengan cara
melompat dari tonjolan batu satu ke gundukan satu lainnya. Sesaat kemudian dia
sudah berada di hadapan Loh Gatra yang memandangnya penuh rasa kagum. Tadi waktu
menuruni lembah kakinya hampir terpeleset
"Kau melamuni apa di atas sana?" tanya Loh Gatra.
"Aku" Aku melamun?" Anggini tertawa lebar berusaha menyembunyikan
keterkejutannya karena tidak menyangka orang bisa menduga apa yang tadi
dilakukannya. Barisan gigi sang gadis tampak putih dan rata. "Justru aku saat
ini melihat kau berdiri seperti orang bingung. Ayo naik keatas sana. Di daerah
berbahaya jangan terlalu lama berdiam diri.
API CINTA SANG PENOE KAR 25
Bisa jadi sasaran empuk pembokong gelap."
"Eh, dua matamu kelihatan agak merah...."
Anggini terkejut Dia barusan memang habis menangis. Cepat gadis ini usap kedua
matanya seraya berkata. "Rupanya mataku tak tahan sengatan Sinar matahari di
atas sana." Gadis ini lalu mendahului naik ke atas lembah. Loh Gatra geleng-
geleng kepala lalu cepat mengikuti.
Begitu sampai di atas lembah batu. di hadapan Anggini dan Loh Gatra membentang
sebuah bukit batu. Bukit batu itu tidak terlalu tinggi. Dengan mudah kedua orang
itu mendaki dan sampai di salah satu puncaknya. Sinar sang surya
memancarkan terik. Batu yang dipijak terasa panas. Satu-satunya suara yang
terdengar saat itu adalah desau angin. Kemanapun mata memandang yang kelihatan
adalah pohon-pohon tinggi berdaun lebat, kerumunan semak belukar luar biasa
lebat. Agak ke barat mendekam sebuah jurang batu
berlumut hijau. Tidak lebar tapi sangat dalam.
"Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mustahil di tempat begini rupa beradanya
markas Manusia pocong yang disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Agaknya
kita datang ke tempat yang salah. Kita sudah kesasar!" kata Anggini pula.
Nada suaranya geram dan penuh penasaran karena merasa tidak mendapat jalan untuk
mencari, menemui dan menyelamatkan gurunya Dewa Tuak.
Juga niatnya yang ingin menolong menyelamatkan istri Loh Gatra.
"Aku melihat atap bangunan...." kata Loh Gatra tiba-tiba seraya menujuk ke arah
kanan jurang batu berlumut.
Anggini ikuti arah yang ditunjuk Loh Gatra.
Di kejauhan kelihatan sebuah atap bangunan terbuat dari bambu, tertutup oleh
tumpukan dedaunan, tanaman jalar serta lumut dan semak belukar.
"Mari kita selidiki." Kata Loh Gatra pula. Anggini mengangguk.
Kedua orang itu segera menuruni bukit batu, bergerak cepat tapi penuh hati-hati
ke arah bangunan di sebelah kanan jurang. Namun sebelum sampai ke sana, mereka
menemui sebuah pedataran. DiSini terdapat dua buah batu besar berwarna hitam pekat. Loh Gatra
perhatikan tanah pedataran.
"Walau agak samar, aku melihat bekas jejak kaki manusia. " ucap Loh Gatra. Untuk
memastikan dia API CINTA SANG PENOE KAR 26
berjongkok dan memperhatikan lebih seksama.
Ketika Loh Gatra bergerak bangkit dilihatnya Anggini melangkah ke balik salah
satu batu besar lalu terdengar Si gadis memanggil.
Di balik dua batu besar, tepat di sebelah tengah terdapat sebuah batu lagi.
Tinggi dan besar melebar.
Keduanya segera hendak melangkah ke balik batu.
Tapi gerakan mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar suara suitan panjang
dari arah timur.
Sesaat kemudian ada suitan lain dari sebelah selaian.
"Ada orang memberi tanda dengan suitan," kata Anggini, "Mungkin orang-orang
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Mereka sudah mengetahui kedatangan kita...."
"Kita harus tambah hati-hati," ucap Loh Gatra.
Dipegangnya lengan Anggini dan mengajak gadis ini meneruskan langkah ke balik
batu besar. Di balik batu besar terdapat satu pedataran sempit. Di Sini lebih
jelas kelihatan tanda-tanda atau jejak orang pernah berada di tempat itu. Di
salah satu SiSi pedataran yang merupakan dinding batu terdapat sebuah mulut goa
dengan tinggi melebihi kepala manusia. Kedua orang itu sesaat saling pandang.
Dengan dada berdebar mereka bergerak mendekati mulut goa. Memperhatikan ke dalam
walau hanya melihat remang-remang, tampak satu lorong
panjang. Dikiri kanan menjelang ujung lorong kelihatan banyak sekali terowongan
atau cabang lorong.
"Seratus Tiga Belas Lorong Kematian," ucap Anggini dengan suara bergetar. "Mulut
goa ini pasti pintu masuknya. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Aku akan segera masuk. Istriku disekap di dalam sana!" Jawab Anggini.
"Tunggu dulu," kata Anggini sambil memegang bahu lelaki itu.
Loh Gatra menoleh. "Kau tampak ragu. Mungkin juga takut Kalau kau memang takut
tunggu saja di Sini. Biar aku sendm yang masuk ke dalam."
Anggini menggeleng. "Guruku juga ada di dalam sana. Aku harus menolongnya.
Berarti aku harus masuk ke dalam lorong. Tapi satu hal harus diingat Akal dan
kehati-hatian adalah jalan utama bagi keselamatan. Kalau salah bertindak kita
tidak akan berhaSil menyelamatkan istrimu dan guruku! Malah kita bisa diringkus
hidup-hidup atau mati konyol percuma!"
"Kalau kita cuma bicara, kapan kita akan API CINTA SANG PENOE KAR 27
menolong istriku dan gurumu"!" ucap Loh Gatra pula.
"Kau ingat ucapan orang tentang lorong celaka ini" Sekali masuk ke dalam Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian jangan harap bisa keluar"
"Aku lebih suka mati di dalam lorong celaka itu daripada tidak berbuat apa-apa."
"Kau ingat ucapan nenek sakti Sinto Gendeng"
ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar
Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar."
"Nenek sakti itu hanya memberi kita teka-teki.
Bukan pertolongan."
Anggini tersenyum. Dia melangkah menjauhi mulut goa batu, mendongak ke langit.
"Anggini, melihat tingkah lakumu aku jadi tidak sabaran. Kita seharusnya segera
masuk ke dalam lorong. Kau malah melihat ke langit! Apa yang kau cari di sana"
Istriku dan gurumu ada di dalam lorong!"
"Tenang, sabar sebentar" jawab Anggini. Saat itu jauh di atas bukit batu tampak
melayang dua ekor burung. Tepat ketika dua burung berada di atas mereka, Anggini
angkat dua tangannya ke atas. Lalu secepat kilat dua tangan itu membuat gerakan
membetot ke bawah. Apa yang terjadi menyebabkan Loh Gatra terkagum-kagum.
Seperti ditarik ke bawah, dua ekor burung yang sedang terbang di udara melayang
turun dan sesaat kemudian telah berada dalam pegangan tangan kiri kanan Anggini.
"Luar biasa! Baru sekali ini aku melihat kepandaian seperti itu. Di tanah Jawa
ini kurasa tak ada orang lain yang memiliki ilmu seperti ini. Bahkan gurumu Dewa
Tuak hanya bisa melakukan hal itu jika dia menggunakan peralatan saktinya yaitu
benang sutera putih."
"Ah, ini hanya permainan anak-anak," jawab Anggini merendah. "Tidak sangka kau
tahu banyak tentang guruku..."
"Kau hebat sekali." Memuji Loh Gatra.
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 8 Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Sepasang Bidadari Merah 2
^