Pencarian

Roh Dalam Keraton 2

Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton Bagian 2


sebagai pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta.
Tugas kedua dia harus membasmi para penjahat yang bercokol di Alas Roban sebelah
utara, timur dan barat. Walau berat namun Tunggul Gono bersedia menerima kedua
tugas itu tanpa menyadari bahwa dirinya kini diperalat oleh Kerajaan. Sri
Baginda maupun Patih Selo
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
Kaliangan bukanlah orang-orang bodoh. Kepercayaan yang diberikan pada Tunggul
Gono tetap harus diwaspadai. Untuk itu Malaikat Alis Biru dan Hantu Muka Licin
Bukit Tidar diperintahkan agar selalu mengawasi gerak-gerik Tunggul Gono.
Sebaliknya Tunggul Gono juga cerdik. Dia maklum dua tugas yang diberikan
kepadanya bukan tugas enteng. Salah-salah bisa saja merupakan tugas bunuh diri.
Tidak mudah meringkus Pendekar 212. Juga tidak gampang menghadapi tiga tokoh
rampok penguasa tiga kawasan hutan Roban. Karena itulah dia bersedia bekerja
sama dengan dua tokoh silat Istana yang saat itu ikut bersamanya walau dia tahu
bahwa kedua orang itu diam-diam selalu mengawasi gerak-geriknya.
Setelah memberi isyarat Tunggul Gono yang bertindak selaku pimpinan, lebih dulu
melancarkan serangan terhadap Pendekar 212. Dua puluh perajurit kemudian
merangsak maju, menjepit murid Sinto Gendeng dari delapan penjuru. Malaikat Alis
Biru baru bergerak setelah pecah pertempuran satu jurus. Kakek ini masuk ke
kalangan pertempuran dengan setengah hati.
Dia tidak begitu yakin bahwa Pendekar 212-lah yan telah membunuh Raden Mas Sura
Kalimarta dan berbuat mesum dengan Kinasih.
Yang tetap tenang dan tak bergerak di tempatnya adalah Hantu Muka Licin Bukit
Tidar. Dari punggung kudanya kakek satu ini duduk diam, menyaksikan dengan tenang apa
yang terjadi di depannya sambil mulutnya tiada henti komat kamit.
Tunggul Gono membuka serangan dengan pukulan sakti Ladam Setan. Tanah di bekas
tempat Wiro berdiri berubah menjadi kubangan besar, hangus hitam. Sebelumnya
Wiro telah menyaksikan kedahsyatan pukulan lawan. Untung saja saat itu cidera di
perutnya telah pulih hingga dia bisa mengerahkan tenaga dalam seberapa besar
yang dikehendaki.
Begitu melihat sinar melesat dari tangan kanan Tunggul Gono, Wiro melompat
setinggi satu tombak seraya mainkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar dan
melepas pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Gulungan angin dahsyat melabrak ke arah Tunggul
Gono. Sosok makhluk dempet ini bergoncang keras. Cepat-cepat dia menyingkir selamatkan
diri lalu kalau tadi tangan kanannya yang melepas pukulan
Ladam Setan, kini tangan kirinya yang
dipergunakan untuk menghantam. Seperti diketahui walau sosoknya sudah lepas dari
tubuh saudaranya tapi tangan kirinya masih tetap dempet dengan potongan tangan
kanan Tunggul Gini.
Larikan sinar hitam dahsyat luar biasa menyambar dari sela dua tangan Tunggul
Gono sebelah kiri.
Para perajurit di belakang Wiro berteriak kaget, berlompatan selamatkan diri
karena sinar hitam yang menyembur keluar dari tangan Tunggul Gono menyambar
setinggi dada. Wiro yang sudah tahu sampai dimana tingkat kehebatan lawan, kerahkan dua pertiga
tenaga dalam lalu sambuti sinar hitam serangan Tunggul Gono dengan pukulan Sinar
Matahari. Dua pukulan sakti dalam warna berlainan beradu dahsyat di udara. Tanah kawasan
pekuburan bergoncang keras. Beberapa makam termasuk makam Raden Mas Sura
Kalimarta rambas sama rata dengan tanah diterjang pecahan sinar hitam dan sinar
puih. Tiga orang perajurit yang melakukan pengurungan menjadi korban. Menemui
ajal hangus mulai dari kepala sampai ke kaki.
Hawa panas menyengat seantero tempat. Pendekar 212 terjajar dua langkah ke
belakang. Sesaat mukanya pucat tak berdarah. Sebaliknya Tunggul Gono keluarkan seruan
tertahan. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Lututnya tertekuk ketika dia coba tegak
imbangi diri. Mulutnya panas dan asin. Jalan nafasnya seperti dicekik.
"Celaka! Aku terluka di dalam..." keluh Tunggul Gono begitu menyadari ada darah
dalam mulutnya. Dia meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah!
Tunggul Gono cepat kerahkan tenaga dalam. Selagi dia mengalirkan hawa sakti itu
tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu lawan sudah berada di
depannya kirimkan tendangan ke arah dada. Secepat kilat Tunggul Gono sambut
serangan itu dengan pukulan
Sepasang Palu Kematian dengan tangan kirinya yang dempet. Sinar hitam kembali
berkiblat di tempat itu.
"Hancur kakimu!" teriak Tunggul Gono. Tapi dia kecele. Pukulan dahsyatnya lewat
dua jengkal di bawah kaki Wiro. Dari atas, laksana seekor burung Rajawali murid
Sinto Gendeng melayang turun, menukik sambil tangan kanannya menyambar ke arah
tangan kiri Tunggul Gono yang dempet dengan kutungan tangan kanan Tungul Gini.
Sesaat kemudian terdengar suara kreek... kreek... kreek. Tunggul Gono menjerit
setinggi langit. Jari tangan kirinya hancur. Begitu juga jari tangan Tunggul
Gini yang masih dempet pada tangan kirinya itu. Kreek... kreek... kreek!
Menyusul telapak tangan, lalu ujung lengan, berderak hancur.
Ki Balangnipa alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar kerenyitkan kening, sipitkan
sepasang mata menyaksikan apa yang terjadi.
Malaikat Alis Biru melengak kaget.
"Ilmu gila apa yang dikeluarkan pemuda sableng itu! Setahuku Sinto Gendeng tidak
mempunyai ilmu seperti itu. Jika tidak kucegah tangan Tunggul Gono bisa
dihancurkannya amblas sampai ke bahu! Bahkan tulang lehernya bisa dikeremuk
ludas!" BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
Dengan cepat Malaikat Alis Biru menghunus pedang birunya lalu babatkan senjata
ini ke tangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar biru menggidikkan berkelebat
disertai suara mengaung.
Dalam geramnya Wiro masih terus menghancurkan tulang tangan kiri Tunggul Gono
sampai ke pertengahan lengan. Momok Dempet ini meraung kesakitan. Dengan tangan
kanannya dia berusaha menghantam Pendekar 212, tapi sakit hancurnya tangan
seperti melelehkan sekujur tubuhnya.
Pendekar 212 Wiro Sableng telah mempergunakan ilmu
Koppo yakni ilmu
menghancurkan tulang yang dipelajarinya dari Nenek Neko. (Baca serial Wiro
Sableng berjudul
'Sepasang Manusia Bonsai").
Ketika cahaya biru berkiblat disertai suara mendesing, sesaat Pendekar 212 Wiro
Sableng seperti tidak perduli dan seolah berjibaku membiarkan tangannya ditabas
pedang asal bisa menghancurkan seluruh tangan maut Tunggul Gono. Malaikat Alis
Biru yang sebenarnya tidak punya silang sengketa permusuhan dengan Wiro selain
menjalankan tugas sebagai tokoh silat Istana abdi Kerajaan, terkesiap kaget
melihat Wiro berlaku nekad, tidak berusaha menarik tangan kanan atau berbuat
sesuatu untuk selamatkan diri. Tapi rasa kagetnya itu berubah menjadi jeritan
keras ketika tiba-tiba sekali tangan kiri murid Sinto Gendeng menghantam melepas
pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan ke empat dari enam pukulan
sakti yang dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari
Datuk Rao Basaluang Ameh.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Wasiat Iblis" terdiri dari 8 Episode).
Malaikat Alis Biru melompat tunggang langgang dari punggung kudanya. Kakek satu
ini selamat tapi tunggangannya meringkik keras. Binatang bertubuh besar ini
mental sampai tiga tombak, terguling di tanah, melejang-lejang sebentar lalu
diam kaku tak bergerak lagi! Lobang besar terkuak mengerikan di rusuk kanan kuda
itu. Si kakek alis biru tegak tergontai-gontai dengan muka pucat.
Wiro hancurkan tangan kiri Tunggul Gono sampai sebatas siku baru dilepaskan.
Tunggul Gono meraung-raung kesakitan lalu gulingkan diri di tanah.
"Kalian semua tua bangka tak berguna! Menyingkir! Serahkan bocah ingusan itu
padaku!" Yang berteriak adalah kakek tokoh silat Istana bernama Ki Balangnipa berjuluk
Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Kudanya disentakkan ke depan. Kakinya kiri kanan
menendangi perajurit-perajurit yang tidak sempat menyingkir memberi jalan.
Sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Anak muda, aku tidak bicara banyak! Kau mau serahkan diri atau minta kusakiti
dulu sampai tahu rasa..."
Wiro pandangi wajah tua di atas kuda itu sesaat. Dia tidak kenal siapa adanya
kakek satu ini, juga belum pernah bertemu sebelumnya.
"Apa salahku hingga kalian orang-orang Kerajaan hendak menangkapku"!" murid
Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.
"Kalau kau punya telinga tadi tentu sudah mendengar apa yang dikatakan kakek
yang kau hancurkan tangan kirinya itu!" jawab Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
"Kalian seharusnya menyelidik lebih dulu. Aku..."
"Bicaraku sudah cukup! Kau selain sableng juga keras kepala!" membentak kakek
berjubah kelabu itu. Lalu dia loloskan tali kuning berumbai-umbai yang melilit
di pinggang. Ketika tali itu diputar, suara deru keras membahana seperti mau merobek gendang-
gendang telinga. Bersamaan dengan itu larikan sinar kuning berbentuk tabir
lingkaran muncul menutup pemandangan. Wiro tersentak kaget ketika merasakan
tubuhnya tertarik laksana disedot, masuk ke dalam tabir lingkaran kuning.
Didahului satu bentakan keras murid Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya,
coba menjebol tabir lingkaran kuning dengan pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung. Tabir
kuning bergetar hebat seperti hendak pecah berantakan. Namun alangkah
terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika getaran tabir kuning itu berubah menjadi
satu hawa dahsyat, membalik memukul tubuhnya dari empat jurusan!
"Sial dangkalan!" teriak murid Sinto Gendeng.
Wiro cepat jatuhkan diri di tanah. Dia selamat dari hantaman pukulannya sendiri.
Sambil bergulingan dia lepaskan pukulan dengan dua tangan sekaligus. Tangan
kanan melepas pukulan
Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan ini mengarah ke atas, ditujukan ke
kepala lawan. Tangan kiri melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang. Diarahkan ke dada Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Kakek ini melengak kaget
besar ketika melihat dua pukulan yang dilancarkan si pemuda berhasil menjebol
tabir lingkaran kuning. Tangannya yang memegang tali kuning bergetar hebat,
darahnya sesaat mengalir tidak karuan. Tubuhnya menghuyung, dengan cepat dia
imbangi diri agar tidak jatuh dari atas punggung kuda.
"Luar biasa! Kalau aku tidak bertindak cepat bisa-bisa aku dibuat malu oleh
pemuda sableng ini!" membatin si kakek. Lalu dia cepat melesat dari punggung
kuda. Sambil melompat
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
dia pukul pinggul tungganggannya hingga binatang ini selamat dari serempetan
pukulan tangan kanan Wiro. Dua pukulan sakti yang dilepas Pendekar 212 kemudian
melabrak sebuah gubuk dan sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping!
Wiro terkejut ketika dapatkan lawannya tak ada lagi di atas kuda ataupun di
hadapannya. Ketika dia merasa ada sambaran angin di belakang, cepat Wiro berbalik. Astaga si
kakek ternyata ada di belakangnya. Memandang tak berkesip ke arahnya. Belum
habis kejut murid Sinto Gendeng, lawan tiba-tiba gerakkan tangan kiri untuk
mengusap wajahnya. saat itu juga wajah si kakek berubah menjadi licin. tak ada
alis dan mata, tak tampak hidung ataupun mulut! Lawan mana yang tak bakal
terkejut dan berlaku lengah melihat kejadian itu. Inilah kehebatn si kakek
hingga dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Banyak lawan yang terkecoh,
berlaku lengah lalu dihabisi!
Selagi Wiro terkesiap dalam kejutnya tiba-tiba Hantu Muka Licin Bukti Tidar
putar tali kuningnya. Kali ini tidak muncul tabir kuning. Tapi di antara suara
berdesir aneh, tiba-tiba dari dua ujung tali kuning yang ada umbai-umbainya
meluncur keluar seratus jarum putih. Demikian cepat lesatan jarum-jarum itu
hingga mata telanjang sulit melihatnya.
Namun bagi Wiro, cukup mendengar dari sambaran angin saja. Dia sudah maklum
kalau ada senjata rahasia dalam jumlah sangat banyak menyambar ke arah dirinya.
Secepat kilat Wiro melesat setinggi dua tombak seraya lepaskan pukulan
Dinding Topan Berhembus Tindih
Menindih dan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
"Tembus!" teriak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Wiro berhasil mengelakkan puluhan jarum yang menyambar ke arahnya dan memukul
mental puluhan lainnya. Namun dua puluh satu buah masih bisa lolos! Menancap di
dada, perut, tangan kiri kanan dan dua kakinya. Inilah kedahsyatan senjata
rahasia Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang dalam rimba persilatan disebut Jarum
Perontok Syaraf. Saat itu juga Wiro merasa sekujur tubuhnya mati rasa, tak dapat
digerakkan lagi. Untung tak ada jarum yang menancap di muka atau matanya!
Hantu Muka Licin Bukit Tidar tertawa mengekeh. Dia usap wajahnya dengan tangan
kiri. Sepasang alis, dua buah mata, hidung dan mulutnya kembali muncul di wajahnya
yang tadi licin!
"Kalian tunggu apa lagi! Naikkan bocah sableng itu ke aats kuda! Kita bawa ke
Kotaraja! Jebloskan dalam kerangkeng besi bersama temannya kakek sial berjuluk Setan
Ngompol itu!"
Sementara si kakek tertawa mengekeh Wiro terkejut mendengar apa yang barusan
diucapkan. "Jadi benar Setan Ngompol dipenjarakan di Kotaraja. Aku belum sempat mengetahui
sebab musababnya. Apa lagi menolongnya. Juga belum tahu nasib apa yang menimpa
si Naga Kuning.
Kini diriku sendiri jadi tidak karuan!"
Seorang perajurit tiba-tiba bertanya. "Bagaimana dengan isri mendiang juru ukir
Keraton ini?"
Meski menahan sakit setengah mati tapi begitu ingat Kinasih Momok Dempet Tunggul
Gono cepat bangkit berdiri. "Tinggalkan perempuan itu. Aku yang akan
mengurusnya!"
Hantu Muka Licin Bukit Tidar tertawa bergelak. "Tunggul Gono, mengurus diri
sendiri saja kau tidak mampu. Apalagi mau mengurus perempuan muda secantik ini!
Biar aku yang akan berbaik hati padanya!" Si kakek putar tali kuningnya. Kinasih
mundur ketakutan. Dia terpekik ketika tiba-tiba tali kuning itu menjirat
pinggangnya. Sekali tarik saja tubuh Kinasih terbetot, melayang ke atas bahu
Hantu Muka Licin. Sambil terus mengumbar tawa kakek ini melangkah mendekati
kudanya. Momok Dempet Tunggul Gono memaki panjang pendek melihat perbuatan Hantu Muka
Licin Bukit Tidar itu.
"Tua bangka busuk! Jika kau berani berbuat keji terhadap Kinasih, aku bersumpah
akan membunuhmu!" Wiro berteriak mengancam.
Hantu Muka Licin putar tubuhnya sebentar, berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Perempuan ini apamu" Kekasihmu bukan, apalagi istrimu! Ancamanmu
membuktikan bahwa kalian berdua sebelumnya memang sudah berselingkuh! Aku akan
meminta Raja menjatuhkan hukuman berat atas dirimu! Pernahkah kau mendengar
siksaan anggota rahasia diantuk puluhan kelabang beracun"! Ha... ha... ha...!"
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
BAB 5 Rawapening sebenarnya tidak pantas disebut telaga. Selain luas, kedalamannya
mencapai puluhan bahkan lebih dari seratus kaki. Saat itu tepat tengah hari.
Sang surya bersinar terik membakar jangat. Dari arah selatan kelihatan meluncur
sebuah rakit bambu, dikayuh oleh dua orang lelaki desa berbadan tegap. Kedua
orang ini sangat bersemangat mengayuh hingga rakit meluncur dengan cepat di
permukaan air. Semangat dua orang ini disebabkan tidak lain oleh empat penumpang
yang mereka bawa. Keempatnya merupakan gadis-gadis berwajah sangat cantik. Sukar
bagi mereka membedakan mana yang paling cantik karena selama ini memang keduanya
belum pernah melihat dara-dara begitu jelita mempesona.
Meski senang mendapatkan penumpang empat gadis cantik, namun diam-diam dua
lelaki desa ini merasa heran. Heran karena empat gadis itu membawa dua buah
pacul, sebuah linggis dan dua buah pengki besar. Hendak bertanya mereka merasa
sungkan. Empat gadis yang bearda di atas rakit bukan lain adalah Ratu Duyung, Bidadari
Angin Timur, Anggini dan Puti Andini. Dalam Episode sebelumnya ("Tiga Makam
Setan") empat gadis itu diceritakan menyirap kabar bahwa Pendekar 212 telah
meninggal dunia, diperkirakan dimakamkan di sebuah makam yang terletak di satu


Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari tiga pekuburan. Pekuburan pertama terletak di dekat candi di Kopeng. Yang
kedua di pekuburan Banyubiru dekat telaga Rawapening sedang yang ke tiga di
puncak Gunung Gede.
Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya telah menyelidik ke pekuburan dekat
candi Kopeng. Di situ mereka menemui sebuah makam dengan papan nisan bertuliskan
nama Wiro Sableng. Setelah makam dibongkar ditemukan tulang belulang manusia
masih lengkap dengan kepala tengkorak. Pada kening tengkorak terdapat tulisan
212 sedang pada salah mata tengkorak ditemukan secarik kertas bertuliskan
kalimat "Selamat Datang Di Makam Setan Pertama.
Kalian Ditunggu Di Makam Setan Kedua."
Merasa ditantang dan ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dengan
Pendekar 212 yang sama mereka cintai, empat gadis itu sepakat mengadakan
perjalanan ke pekuburan Banyubiru.
Angin telaga bertiup kencang, mengibarkan pakaian dan rambut empat gadis cantik.
Harumnya bau pakaian dan badan Bidadari Angin Timur terasa sedap di rongga
hidung. Dua lelaki pengayuh rakit sampai kembang kempis cuping hidung mereka.
Setelah berdiam diri sekian lama, Anggini memecah kesunyian.
"Menurut kalian, apakah kita akan menemukan kejadian sama seperti di makam
pertama?" "Maksudmu. Kita akan menemukan tulang belulang, tengkorak dan kertas bertuliskan
kalimat gila itu?" tanya Puti Andini.
Anggini anggukkan kepala.
"Kita harus tabah kalau memang akan menemukan hal sama untuk kedua kalinya."
Kata Ratu Duyung.
"Yang jadi pertanyaan, siapa berbuat gila seperti itu. Apa tujuannya?"
Anggini, Puti Andini dan Ratu Duyung tak bisa menjawab. Lalu Puti Andini
berucap. "Dua lelaki penggali makam di pekuburan candi Kopeng itu. Mereka menemui
kema...." Bidadari Angin Timur cepat memberi tanda agar Puti Andini tidak meneruskan kata-
katanya lalu berbisik. "Jika kau menyebut-nyebut kematian dua penggali makam
itu, dua pengayuh rakit ini kemungkinan besar tidak akan mau membantu kita
menggali kuburan...."
"Selama malang melintang di rimba persilatan. Pendekar 212 banyak mempunyai
musuh. Mungkin salah satu dari orang-orang yang tidak menyukainya itu yang melakukan
perbuatan aneh ini...." kata Ratu Duyung pula.
"Bisa jadi..." kata Anggini. "Tapi mengapa membalaskan sakit hati dengan cara
begitu rupa" Sepertinya mengarah pada diri kita. Di makam pertama kita selamat.
Di makam kedua kita harus berhati-hati."
"Aku menaruh firasat, siapapun orang yang berbuat gila ini dia tahu keadaan
Wiro. Sudah meninggal atau msaih hidup! Ada satu niat jahat di balik semua yang
di lakukannya. Kita benar-benar harus hati-hati..."
Tak selang berapa lama rakit sampai di tepian barat telaga Rawapening. Begitu
merapat ke daratan, empat gadis melompat gesit, membuat kagum dua lelaki
pengayuh rakit.
"Kalian harap menunggu sampai kami kembali ke sini. Tapi kami akan memberikan
tambahan uang jika mau membantu kami..." kata Anggini.
"Membantu apa?" tanya salah seorang dari pengayuh rakit.
"Antarkan kami ke pekuburan Banyubiru. Nanti akan kami beri tahu apa yang harus
kalian lakukan..."
"Baiklah, untuk kalian kami akan melakukan apa saja!" kata lelaki desa yang
lebih muda dari temannya.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
Tak jauh berjalan kaki dari tepi barat telaga Rawapening terlihat pekuburan
Banyubiru, terletak di satu bukit kecil. Jumlah makam di tempat ini lebih banyak
dibanding dengan pekuburan di candi Kopeng. Seperti yang mereka lakukan di
pekuburan candi Kopeng, empat gadis ini berbagi tugas meneliti papan-papan nisan
di kepala makam. Kebanyakan papan nisan itu sudah lapuk dan nama penghuni makam yang
tertuls di situ sulit dibaca.
"Tak ada papan nisan bertuliskan nama Pendekar 212 atau Wiro Sableng..." kata
Bidadari Angin Timur lalu menarik nafas dalam dan memandang berkeliling.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Puti Andini.
Bidadari Angin Timur diam, Ratu Duyung juga diam tapi matanya yang biru
memandang tajam memperhatikan puluhan makam yang ada di pekuburan itu. Tiba-tiba
mata biru bagus sang Ratu kelihatan membesar. Kepalanya sedikit menengadah.
"Para sahabat, aku melihat sesuatu. Mungkin terlewatkan oleh kita waktu
memeriksa tadi.
Lihat makam di ujung paling kanan, baris kedua."
Anggini, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini mengikuti arah pandangan Ratu
Duyung. Memperhatikan makam yan terletak di baris kedua paling ujung kanan.
"Makam iu tidak ada papan nisannya..." kata Puti Andini.
"Kita semua terlalu memperhatikan pada bagian nisan," kata Ratu Duyung. "Dari
sini aku melihat ada satu batu besar, mungkin batu kali, menyembul dari dalam
tanah. Pada bagian kepala makam... Ikuti aku!"
Empat gadis itu segera bergerak, melangkah cepat. Ratu Duyung di depan sekali.
Dua lelaki desa yang tidak tahu apa sebenarnya yang tengah dikerjakan gadis-
gadis cantik itu mengikuti pula dari belakang.
Ratu Duyung dan tiga kawannya sampai di depan makam baris kedua, ujung kanan.
Pada kepala makam, seperti yang terlihat dari jauh tadi, menyembul sebuah batu
besar, kotor tertutup debu dan tanah serta rumput liar.
Ratu Duyung berjongkok. Tangan kirinya mematahkan sepotong ranting berdaun
banyak. Dengan daun-daun ini disapu dibersihkannya debu dan tanah pada permukaan batu.
Begitu debu dan tanah tersibak, sedikit demi sedikit kelihaan sederetan tulisan
di atas batu. "Lihat!" kata Ratu Duyung setengah berseru. Kini dia pegunakan tangannya yang
halus untuk membersihkan batu di kepala makam. Deretan tulisan kelihatan makin
jelas. Di situ tertera tulisan yang membuat dada empat gadis cantik berdegup
keras begitu mereka mambaca.
"DI SINI DIMAKAMKAN WIRO SABLENG - PENDEKAR 212"
"Keadaan makam ini berbeda dengan makam yang kita bongkar di candi Kopeng.
Tanahnya gersang, tidak ditumbuhi rumput segar. Berarti sudah cukup lama. Lebih
dari satu tahun..." Berkata Anggini dengan suara agak bergetar.
"Aku punya firasat..." berucap Ratu Duyung. Suaranya agak tersendat menahan
perasaan. "Jangan-jangan kali ini kita akan menemukan dirinya di dalam..." Sang Ratu tak
mampu meneruskan ucapannya.
Bidadari Angin Timur menggigit bibir lalu melambaikan tangan pada dua orang
lelaki desa. "Ambil pacul. Gali makam ini."
Dua lelaki tadi tidak menyangka kalau mereka akan disuruh menggali kuburan.
Keduanya saling berpandangan sesaat.
"Tadi kalian begitu bersemangat mau membantu kami. Sekarang seperti ketakutan!
Menyingkirlah! Biar kami orang-orang perempuan yang melakukan!"
Anggini sambar pacul di sebelah kanan. Puti Andini mengambil pacul satunya. Dua
lelaki tadi cepat menarik pacul-pacul itu dari tangan dua gadis. Tanpa banyak
cerita lagi keduanya segera menggali. Ketika makam digali sedalam dada salah
satu mata pacul mengeluarkan suara berdentrang tanda beradu dengan benda keras.
Empat gadis saling pandang.
"Seperti suara besi..." bisik Bidadari Angin Timur.
"Gali terus sampai kalian menemukan sesuatu!" kata Anggini.
Dua lelaki itu kembali menggali. Salah satu di antaranya mengganti pacul dengan
linggis. Sesaat kemudian untuk kedua kalinya mata pacul beradu dengan benda keras. Lelaki
yang memegang linggis tancapkan linggis di dekat pacul beradu lalu mengait ke
atas. Perlahan-lahan dari dasar makam menyembul sebuah benda kehitaman. Ternyata
sebuah peti besi karatan, tidak dikunci atau digembok.
"Naikkan peti besi itu ke atas!" kata Anggini.
Begitu peti dinaikkan ke pinggiran makam yang baru digali Anggini segera
menariknya menjauhi lubang makam. Dengan tangan gemetar gadis ini membuka
penutup peti besi. Agak sulit, mungkin karena engselnya karatan. Anggini
kerahkan tenaga. Ketika penutup peti tiba-tiba terbuka gadis ini terpekik hampir
jatuh terduduk. Tiga gadis lainnya juga sama menjerit tapi bukan karena hendak
jatuh melainkan karena melihat apa yang ada di dalam peti karatan itu.
Di dalam peti ada sebuah tengkorak kepala manusia. Seperti sewaktu di makam
pertama di pekuburan candi Kopeng, pada kening tengkorak tertera angka 212,
ditulis dengan cat untuk
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
membatik. Sepotong kertas terletak di samping tengkorak dalam keadaan terlipat.
Anggini yang masih belum sirap darahnya tidak berani mengambil.
Bidadari Angin Timur ulurkan tangan mengambil kertas. Lipatan dibuka. Semua mata
terpentang lebar. Semua mulut sama membaca.
SELAMAT DATANG DI MAKAM SETAN KEDUA. KALIAN MEMANG
HEBAT. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM SETAN KETIGA. DI PUNCAK GUNUNG
GEDE. "Setan kurang ajar!" maki Bidadari Angin Timur. Kertas itu diremasnya sampai
hancur. Lalu sekali kaki kirinya bergerak, peti berisi kepala tengkorak manusia mencelat
jauh. Sesaat tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
"Aku akan segera berangkat ke Gunung Gede. Di situ letak makam ke tiga! Makam
terakhir! Aku berharap akan menemukan manusia jahanam yang melakukan semua
perbuatan gila ini!" kata Anggini sambil kepalkan tangan. "Paling tidak bisa
membuka teka teki gila ini!
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Apa benar dia sudah mati atau masih
hidup!" Bidadari Angin Timur memandang ke arah kejauhan. Dari wajahnya dia tengah
memikirkan sesuatu. Dalam hati dia membatin.
"Perjalanan ke Gunung Gede agaknya tidak bisa dihindari. Aku pernah ke sana
bersama Wiro. Apakah aku sebaiknya memisahkan diri. Mendahului datang ke Gunung
Gede" Mungkin aku akan menemui pemuda itu di sana dalam keadaan hidup. Bukan
mustahil ini semua akal-akalan Wiro sendiri. Tapi bagaimana aku memberi alasan
meninggalkan tiga gadis ini?"
Diam-diam Ratu Duyung memperhatikan perilaku Bidadari Angin Timur, saingannya
paling berat dalam memperebutkan cinta kasih Pendekar 212 Wiro Sableng. "Seperti
ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Aku menaruh duga dia tengah memikirkan
satu kesempatan untuk bisa mendahului berada di puncak Gunung Gede. Kalau betul,
bagaimana aku harus bisa mencegah. Aku bisa mendahului ke sana melalui laut.
Tapi aku tidak mau mengkhianati dua gadis lainnya ini....."
Sementara itu Anggini tenggelam pula dalam jalan pikirannya sendiri. "Makam ke
tiga di puncak Gunung Gede. Besar kemungkinan Wiro meninggal dan dikuburkan di
sana. Bukankah di situ tempat dia digembleng oleh gurunya" Bukankah di situ pula
tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng" Kalaupun akan menemui tipu daya untuk
ketiga kalinya, paling tidak bisa menemui nenek sakti itu untuk mendapatkan
keterangan. Jika muridnya masih hidup, siapa tahu Sinto Gendeng tahu dimana Wiro
berada..." Sambil merenung seperti itu Anggini meraba bunga kenanga yang tempo
hari diberikan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang aslinya bernama Suci,
berjuluk Dewi Bunga Mayat. Kembang itu diberikan dengan pesan agar diserahkan
pada Wiro jika kelak Anggini bertemu dengan pemuda itu. "Apakah aku akan bertemu
dengan Wiro" Lalu jika kuserahkan kembang kenanga ini padanya, apakah yang akan
terjadi" Aku tahu benar, walau dia tidak mungkin hidup bersama Wiro namun Bunga
bisa menjadi ganjalan bagi diriku>"
Setelah menimbang-nimbang, baik Bidadari Angin Timur maupun Ratu Duyung akhirnya
memutuskan untuk tetap melakukan perjalanan bersama-sama.
Empat gadis itu memang sudah nekad. Setelah meninggalkan Rawapening, keesokan
harinya mereka berangkat menuju Gunung Gede. Jika saja mereka menyempatkan diri
singgah di Kotaraja dan mendengar berita ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sableng,
jalan cerita akan menjadi lain.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
BAB 6 Tumenggung Cokro Pambudi pagi itu tengah asyik bermain-main dengan burung
Tekukur kesayangannya ketika seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam,
memasuki pekarangan menunggangi seekor kuda coklat. Di leher kuda bergelantungan
dua buah buntalan.
Seorang penjaga segera menemui tamu ini, menanyakanan maksud kedatangannya. Si
penjaga kemudian memberi tahu Tumenggung Cokro.
"Orang muda itu bernama Damar Wulung. Ingin bertemu dengan Tumenggung untuk
melapor satu kejadian penting dan menyerahkan sejumlah barang berharga."
Tumenggung Cokro Pambudi sangkutkan sangkar burung di bawah cucuran atap. Dia
perhatikan pemuda di atas kuda coklat sesaat. "Aku tidak kenal pemuda itu. Belum
pernah melihatnya sebelumnya. Suruh dia menunggu di beranda. Aku segera
menemui...."
Tak selang berapa lama Tumenggung Cokro Pambudi menemui tetamunya di beranda
samping yang merupakan ruang tamu cukup besar, dipenuhi jambangan-jambangan
berbagai ukuran.
Pemuda berpakaian kuning itu segera bangkit berdiri begitu melihat sang
Tumenggung muncul. Dia membungkuk memberi hormat lalu memperkenalkan diri.
"Saya Damar Wulung, berasal dari Desa Karangmojo. Maafkan kalau kedatangan saya
menggganggu ketentraman Tumenggung di pagi hari yang indah segar ini....."
Tumenggung Cokro Pambudi tersenyum. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan
seorang pemuda tampan yang bicara halus budi bahasa dan hormat seperti pemuda
yang ada di hadapannya ini. Dia melirik pada dua buntalan yang dibawa si pemuda
dan diletakkan di lantai di dekat meja rendah.
Setelah mempersilahkan tamunya duduk Tumenggung Cokro mengambil tempat di lantai
di belakang meja rendah, berhadap-hadapan dengan si pemuda.
"Anak muda bernama Damar Wulung, jelaskan maksud kedatanganmu....."
"Saya tahu Tumenggung tidak punya banyak waktu menerima saya. Karena itu saya
langsung saja pada pokok persoalan. Secara tidak sengaja saya memergoki
serombongan perampok. Ternyata mereka adalah para penjahat dari Alas Roban, di
bawah pimpinan Warok Mata Api....."
Terkejutlah Tumenggung Cokro Pambudi mendengar penuturan Damar Wulung.
"Teruskan ceritamu, anak muda."
"Mereka berjumlah lima orang, termasuk Warok Mata Api. Agaknya mereka baru saja
melakukan penjarahan. Mereka tengah hendak membagi-bagi isi buntalan ketika saya
memergoki."
Tumenggung Cokro Pambudi perhatikan dua buntalan di samping Damar Wulung. "Kau
tahu apa isi buntalan itu?"
Damar Wulung pindahkan dua buah buntalan ke atas meja rendah. Lalu satu persatu
buntalan itu dibukanya. Terkejutlah mata Tumenggung Cokro Pambudi ketika melihat
apa isi dua buntalan itu. Dua buah peti kayu jati coklat kehitaman. Pada penutup
peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung.
"Ini peti-peti milik Kerajaan!" kata sang Tumenggung. "Apa isinya..." Tumenggung
menjawab sendiri dengan langsung membuka penutup dua buah peti. "Tidak salah!
Ini adalah harta dan uang emas milik Kerajaan yang dikabarkan lenyap dijarah
perampok beberapa hari lalu.
Menurut keterangan para Abdi Dalem, barang yang dirampok berjumlah lima peti.
Kau menemukan hanya dua peti...?"
"Benar Tumenggung." Jawab Damar Wulung.
Pandangan mata sang Tumenggung yang tak berkesip membuat si pemuda jadi tidak
enak. Dia dapat membaca apa yang ada dalam hati atau pikiran pejabat Kerajaan
itu. Maka dengan suara tenang dan halus dia berkata.
"Kalau sekiranya saya berniat jahat, perlu apa susah-susah mengantarkan dua buah
peti ini" Lebih baik saya ambil untuk kepentingan sendiri..."
"Damar Wulung, jangan kau menduga salah. Ketika kau memergoki Warok Mata Api dan
kawan-kawannya, mungkin saja tiga peti lainnya sudah disembunyikan di tempat
lain. Namun sebenarnya ada sesuatu yang sangat berharga ikut lenyap digasak
perampok Alas Roban itu...."
Untuk memastikan ucapannya Tumenggung Cokro Pambudi menuangkan seluruh isi dua
peti ke atas meja. Matanya memperhatikan harta perhiasan dan uang emas yang
bergeletakan di atas meja. Diacak-acaknya beberapa kali. Tapi benda yang
dicarinya tidak ada.
"Tidak ada..." kata Tumenggung Cokro dengan suara perlahan. Air mukanya tampak
masgul. Damar Wulung masukkan tangan kanannya ke balik baju kuning. Ketika dikeluarkan
membersit cahaya kuning dari sebilah keris terbuat dari emas.
BASTIAN TITO

Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ROH DALAM KERATON
"Senjata inikah yang Tumenggung maksudkan?" tanya Damar Wulung seraya meletakkan
keris emas itu di atas meja rendah.
Untuk kesekian kalinya sepasang mata sang Tumenggung mendelik besar. Keris emas
di atas meja segera disambarnya. Dia agak tergagau ketika merasakan ada hawa
aneh menjalar masuk ke dalam tubuhnya lewat dua lengan. Selama ini dia hanya
mendengar, tidak pernah melihat langsung keberadaan keris emas itu. Setelah
menenangkan kejutnya, dengan cepat Tumenggung Cokro meneliti keris emas itu.
Mula-mula ditelitinya sarung senjata yang terbuat dari emas. Setelah dibolak-
balik beberapa kali Tumenggung Cokro Pambudi lalu mencabut senjata itu. Dengan
dada berdebar diperhatikannya keris telanjang itu. "Yakin, aku yakin!" kata
Tumenggung Cokro sambil menyarungkan keris itu kembali lalu sesaat meletakkan di
atas kepalanya.
"Benar Damar Wulung! Benda ini yang kumaksudkan. Ini adalah
Keris Kiai Naga
Kopek! Gusti Allah! Senjata ini jauh lebih berharga dari semua barang yang
dirampok! Aku akan menghadap Sri Baginda di Keraton, membawa keris ini dan dua
peti itu. Kau harus ikut bersamaku Damar. Tapi tunggu dulu. Aku ingin jelas
ceritanya. Katamu kau bertemu, memergoki Warok Mata Api. Penjahat itu tidak
menyerahkan cuma-cuma begitu saja dua peti dan keris ini padamu, bukan?"
Sepasang mata sang Tumenggung memperhatikan sosok pemuda di hadapannya seolah
mengukur kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh kekar pemuda bernama Damar
Wulung ini. Damar Wulung tersenyum. "Kami sempat bentrokan. Saya berusaha menghindari
pertumpahan darah. Saya coba mengingatkan kepala rampok itu agar meninggalkan
dunia hitam, kembali ke jalan yang benar. Tapi dia mana memandang sebelah mata.
Dia menyuruh empat anak buahnya mengeroyok saya..."
"Terjadi perkelahian empat lawan satu. Benar...?"
"Memang begitu Tumenggung. Saya beruntung bisa mengalahkan mereka..."
"Ah... Lalu Warok Mata Api?"
"Seperti empat anak buahnya, saya terpaksa menyelesaikan dirinya..."
"Hebat! Luar Biasa!Selama ini tidak satu orang pandaipun sanggup menangkap
kepala rampok itu hidup atau mati! Pasukan Kerajaan telah berkali-kali menyerbu
Alas Roban kawasan selatan sarangnya Warok Mata Api. Mereka selalu kembali
dengan membawa korban tidak terhitung! Kini kau seorang diri berhasil
menewaskannya! Betul begitu Damar Wulung"!"
"Tumenggung, apakah saya bersalah membunuh lima orang itu walau mereka adalah
para penjahat, rampok yang selama ini membuat onar, menyengsarakan rakyat
menyusahkan Kerajaan?"
Tumenggung Cokro tertawa lebar mendengar kata-kata Damar Wulung.
"Anak muda, baru sekali ini aku bertemu orang yang hatinya sangat polos
sepertimu. Ah..." Sang Tumenggung geleng-gelengkan kepala. Matanya tidak lepas-lepas
memandangi wajah tampan si pemuda. Dia teringat Milani, puteri satu-satunya.
"Sayang anak itu sudah mempunyai pilihan hati. Kalau tidak aku akan sangat
berbahagia bila dia mendapatakn jodoh seperti pemuda ini. Pagi tadi dia sudah
dijemput untuk latihan menunggang kuda. Seandainya saat ini dia ada di sini dan
bertemu degann Damar Wulung..."
"Damar Wulung, kau telah berjasa besar pada Raja dan Kerajaan. Apakah kau
menyadari hal itu?"
"Saya... Saya tidak merasa berjasa. Malah..."
"Kau memilih datang padaku. Mengapa tidak menghadap Patih Kerajaan atau menemui
salah seorang Pangeran. Atau langsung menghadap Sri Baginda... Aku merasa
mendapat kehormatan besar..."
"Saya hanya pemuda desa . Mana mungkin berani berlancang diri menemui Patih
Kerajaan, apalagi menghadap Sri Baginda. Saya sudah lama mendengar tentang
pribadi Tumenggung yang sangat dekat dengan rakyat. Itu sebabnya saya memilih
menemui Tumenggung. Jika tindakan saya ini salah atau tidak berkenan di hati
Tumenggung. Mohon saya diberi tahu dan minta maaf. Pagi ini saya sudah
menghabiskan waktu Tumenggung..."
Tumenggung Cokro tertawa lebar. "Damar Wulung, kau bukan saja seorang pemuda
gagah berilmu. Tapi juga tinggi budi rendah hati!" Tumenggung Cokro tepuk-tepuk
bahu pemuda di hadapannya itu. Sambil menepuk dia kerahkan kekuatan tenaga
dalam. Seseorang yang tidak memiliki ilmu, akan terhenyak miring tubuhnya oleh
tepukan yang kelihatannya enteng- enteng saja itu. Tetapi yang terjadi malah
mengejutkan sang Tumenggung. Tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming. Dia
merasa tangannya menepuk tumpukan kapas yang sangat lembut. Semakin sukalah
Tumenggnung Cokro Pambudi pada pemuda ini. Tidak terasa, meluncur saja
ucapannya. "Aku mempunyai seorang puteri. Kalau saja dia ada di sini, aku senang kau
berkenalan dengannya. Pagi-pagi sekali tadi dia..."
"Tumenggung, rasanya saya sudah cukup lama mengganggu. Saya mohon diri..."
Tumenggung Cokro terkejut. "Apa" Kau harus ikut aku, Damar!"
"Ikut Tumenggung" Ikut kemana?" Damar Wulung bertanya heran.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Astaga! Kau masih belum sadar kalau sudah berbuat jasa besar pada Kerajaan. Aku
akan mengajakmu menghadap Sri Baginda di Keraton. Baginda pasti sangat gembira.
Dan kau tahu Damar. Pemuda sepertimu sangat besar arti dan gunamya bagi
Kerajaan. Aku yakin Sri Baginda akan memberikan satu jabatan tinggi bagimu.
Bungkus kembali peti itu Damar. Kita berangkat sekarang juga. Aku akan berganti
pakaian dulu..."
Tumenggung Cokro masuk ke dalam dengan membawa Keris Kiai Naga Kopek. Dua peti
ditinggalkannya di atas meja. Ketika tak lama kemudian dia kembali ke beranda
samping, dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang emas sudah terbungkus
rapi dalam buntalan kain.
Namun pemuda bernama Damar Wulung tak ada lagi di tempat itu.
"Damar....?" Tumenggung Cokro memanggil.
"Damar Wulung"!" Sang Tumenggung berteriak lebih keras. Lalu lari ke halaman
depan. Damar Wulung lenyap.
"Aneh, manusia aneh! Berbuat jasa besar begitu rupa. Lenyap menghilang!
Sepertinya tidak menginginkan balasan apa-apa! Padahal ratusan pemuda bisa nekad
berbuat apa saja agar bisa mendapat pekerjaan terhormat di Keraton..."
Tumenggung Cokro usap dagunya lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia kembali ke
beranda samping, lalu bergegas ke belakang menemui pembantu yang mengurus
kudanya. Pagi itu juga dia segera menghadap Raja di Keraton. Seperti yang telah
diduganya, Raja tidak kecewa dengan lenyapnya sebagian besar harta perhiasan dan
uang. Yang penting Keris Kiai Naga Kopek bisa diemukan kembali.
Dengan mata bercahaya dan wajah berseri-seri Raja mengeluarkan Keris Kiai Naga
Kopek dari dalam peti.
"Sungguh Gusti Allah Maha Besar. Ada saja uluran tanganNya melalui seorang
pemuda berhati jujur, membawa pusaka Kerajaan ini kembali ke Keraton..." Sri
Baginda cium sarung keris emas itu lalu perlahan-lahan ditariknya senjata itu
keluar dari sarungnya. Ketika dia hendak mencium keris emas telanjang itu,
mendadak gerakannya tertahan. Sepasang matanya membesar, meneliti ukiran di
badan keris lalu kelihatan tubuh Sri Baginda lemas, menatap membelalak tapi sayu
pada Tumengung Cokro Pambudi.
Heran melihat sikap dan raut wajah Sri Baginda, Tumenggung Cokro Pambudi
langsung bertanya.
"Sri Baginda, agaknya ada sesuatu?"
"Keris ini Tumenggung... Keris ini...."
"Ya, ada apa dengan keris itu Sri Baginda?" Tumenggung Cokro beringsut maju
mendekati Raja.
"Keris ini bukan Keris Kiai Naga Kopek. Keris ini palsu! Hanya sarungnya yang
benar asli... Ampun Gusti Allah!"
"Tobat biyung!" ucap Tumenggung Cokro begitu mendengar kata-kata Raja.
Pagi itu juga Sri Baginda memerintahkan Tumenggung Cokro agar segera berangkat
ke Desa Karangmojo. Damar Wulung sempat memberi tahu bahwa dia berasal dari desa
tersebut. Tumenggung Cokro membawa sejumlah perajurit dan dua orang berkepandaian tinggi.
Salah seorang di antaranya adalah Momok Dempet Tunggul Gono. Saat itu tangan
kiri Tunggu Gono yang buntung sebatas siku telah disambung dengan selongsong
besi yang ujungnya lancip berkeluk seperti ganco.
Begitu sampai di Desa Karangmojo, Kepala Desa dipanggil.
"Di desa sini tidak ada orang bernama Damar Wulung. Apalagi memiliki kepandaian
silat hebat bisa mengalahkan perampok Alas Roban..." menerangkan Kepala Desa
Karangmojo. "Ada atau tidak desa ini harus kami geledah!" kata Tumengtung Cokro. "Jumlah
kami dari Kotaraja tidak banyak. Harap perintahkan para petugas keamanan desa
dan rakyat ikut membantu!"
Semua rumah penduduk di Desa Karangmojo digeledah satu demi satu. Karena desa
ini cukup luas, maka menghhabiskan banyak waktu dan melelahkan untuk
menggeledahnya. Dan hasilnyapun nihil besar. Damar Wulung tidak diketemukan
batang hidungnya!
Dalam perjalanan kembali ke Kotaraja, Tumenggung Cokro Pambudi tidak habis-
habisnya berpikir. "Agaknya aku berhadapan dengan bangsa penjahat kakap, cerdik
dan berkepandaian tinggi. Semula dengan membawa harta, uang dan keris itu kepada
Raja, aku berharap akan mendapat pujian. Syukur-syukur bisa diangkat jadi
Adipati. Ternyata kini aku yang menanggung apesnya! Edan biyung! Apa yang harus
aku katakan pada Sri Baginda" Tobat biyung!"
Selagi dalam keadaan pikiran kacau serta hati gemas begitu rupa, sesampainya di
Kotaraja rombongan segera menuju Keraton untuk memberikan laporan. Ketika sama-
sama menambatkan kudanya, Momok Dempet Tunggul Gono berbisik pada sang
Tumenggung. "Aku menaruh curiga?"
"Menaruh curiga" Maksud sampean apa?" tanya Tumenggung Cokro.
"Jangan-jangan semua ini hanya sandiwaramu saja. Siapa tahu kau berada di
belakang layar. Aku mendengar peti emas itu sebenarnya berjumlah lima buah. Yang
kau serahkan pada
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
Raja hanya dua. Yang tiga pasti kau tilep. Lalu Keris Kiai Naga Kopek yang asli
kau ambil, menggantikannya dengan keris rongsokan dari kuningan disepuh emas..."
"Makhluk jahanam bermulut busuk!" teriak Tuemnggung Cokro marah sekali. Tangan
kanannya bergerak laksana kilat hendak menampar. Tapi tangan kiri selongsong
besi lancip Tunggul Gono cepat membuat gerakan menangkis, melintang di depan
mukanya. Tumenggung Cokro menggeram. Dia berusaha menindih amarah dan terpaksa
menarik tangananya.
"Lain kali jika kau berani berucap kotor, walau cuma sedikit saja, aku bersumpah
akan membunuhmu!" kata sang Tumenggung pula.
Momok Dempet Tunggul Gono tertawa lebar. "Memang itu harus kau lakukan. Untuk
menghilangkan jejak. Tapi apakah kau sanggup Tumenggung?"
"Akan aku buktikan. kita berdua akan menghadap Raja. Silahkan kau umbar mulut
kejimu di hadapan Sri Baginda. Kalau perlu aku akan menghabisimu di depan
beliau!" Habis berkata begitu Tumengung Cokro mendahului masuk ke dalam Keraton.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
BAB 7 Kembali pada peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Dalam keadaan lumpuh tangan dan kaki Pendekar 212 Wiro Sableng dogotong oleh dua
orang perajurit. Di sebelah belakang mengikuti Tunggul Gono yang tangan kirinya
hancur sebatas siku. Dengan menotok dua jalan darah di sisi kiri tangan yang
hancur itu tidak sampai mengucurkan darah. Namun rasa sakit seperti ada puluhan
paku mencucuk membuat Momok Dempet ini kelihatan mengerenyit kesakian berulang
kali. Tampang yang kesakitan itu juga tampak garang beringas. Amarahnya hampir
tidak terkendali. Saat itu ingin sekali Tunggul Gono menendang hancur kepala
Pendekar 212 dengan kakinya yang berbentuk kuda. Pemuda inilah yang menyebabkan
dia terpaksa membunuh saudaranya. Lalu pemuda ini pula yang telah menghancurkan
tangan kirinya sampai ke siku, membuat dia cacat seumur hidup.
Di samping rasa dendam terhadap Wiro, Tunggul Gono juga marah pada Hantu Muka
Licin Bukit Tidar. Dia sudah lama mengincar Kinasih. Kini kakek satu itu
memisahkan diri, membawa perempuan cantik itu entah kemana.
Tunggul Gono berdiri di hadapan sosok Wiro yang terbujur di lantai kerangkeng
besi. Kaki kanannya diangkat, dipisahkan ke kepala Wiro. Tenggorokannya keluarkan
suara menggeram pendek. Lalu mulutnya berucap.
"Pendekar 212! Saat ini sangat mudah bagiku menghabisi nyawamu. Satu kali kakiku
menginjak remuk amblas kepalamu!"
Murid Sinto Gendeng menyeringai. "Lalu kenapa tidak kau lakukan"!" Wiro
menantang. Tunggul Gono menggeleng. "Kematian secara cepat terlalu enak bagimu. Aku lebih
suka menyiksamu lebih dulu. Kalau perlu tidak usah membunuhmu, tapi membuatmu
cacat dan gila seumur-umur! Ingat ucapan Hantu Muka Licin Bukit Tidar" Kakek
sakti yang melumpuhkanmu dengan puluhan jarumnya" Malam nanti aku akan menyuruh
orang menyiksa anggota rahasiamu dengan sengatan puluhan kelabang beracun! Kau
boleh hidup, tapi sebagai laki-laki kau tidak akan punya daya apa-apa lagi. Di
mata perempuan anjing buduk lebih berharga dari pada dirimu!
Ha... ha... ha!"
"Ha... ha... ha!" Wiro ikutan tertawa membuat Tunggul Gono hentikan tawanya dan
delikkan mata. "Jahanam! Apa yang kau tertawakan"!" Tunggul Gono membentak.
"Kalau aku jadi anjing buduk, aku akan menggigit bukan cuma kakimu. Tapi juga
anggota rahasiamu! Seperti aku kau juga tidak akan ada artinya bagi perempuan!
Lalu kita bisa gila barengan! Ha... ha... ha!"
"Keparat!" Maki Tunggul Gono lalu tendang pinggul Pendekar 212 hingga mencelat
ke sudut kerangkeng. Sambil memaki panjang pendek Tunggul Gono kelur dari tempat
itu. Sebelum pergi dia kunci pintu kerangkeng dengan dua buah gembok besar.
Kuncinya lalu digantung pada tembok enam langkah di depan kerangkeng. Sebenarnya
dia ingin menyiksa Wiro dengan beberapa tendangan lagi, namun keadaan luka di
tangan kirinya saat itu membuat dia lebih mementingkan mencari seseorang untuk
minta pengobatan. Selain itu dia harus memikirkan akan disambugnya dengan apa
tangan kirinya yang buntung itu. Tangan palsu dari kayu, atau besi"
Ketika Tunggul Gono mengikuti perajurit yang menggotong Wiro menuju kerangkeng
besi, Malaikat Alis Biru pergi menemui Patih Kerajaan di satu ruangan dalam
Keraton. Dia melaporkan perihal ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sanleng yang
dituduh sebagai pembunuh juru ukir Raden Mas Sura Kalimarta.
"Patih Kerajaan," kata Malaikat Alis Biru menyudahi laporannya. "Menyimak segala
perbuatannya di masa lalu serta mengetahui dia adalah murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede, saya menaruh kawatir kalau-kalau kita telah kesalahan tangan."
"Maksudmu?"
"Saya meragukan bahwa Wiro Sableng yang membunuh juru ukir itu lalu berselingkuh
dengan Kinasih, istri almarhum," jawab Malaikat Alis Biru pula. "Kalau kita
sampai kesalahan tangan Sinto Gendeng pasti tidak akan tinggal diam. Lalu para
tokoh rimba persilatan pasti akan bersikap tidak enak pula terhadap Kerajaan..."
Patih Selo Kaliangan merenung sejenak. "Ucapanmu ada benarnya..." kata sang
Patih kemudian. "Aku tugaskan padamu menemui pemuda itu malam nanti. Jika kau
merasa pasti dia tidak bersalah, aku memberi wewenang padamu untuk
melepaskannya. Namun setelah dilepas, ternyata memang dia yang melakukan
pembunuhan itu, bisakah kau memberikan satu jaminan bahwa kau akan mampu
menangkapnya kembali?"
Malaikat Alis Biru. "Saya menjadikan diri saya sebagai jaminanya Patih. Saya
bersedia dihukum berat kalau apa yang saya lakukan ternyata keliru."
"Malaikat Alis Biru, kalau aku boleh bertanya mengapa kau seperti membela
Pendekar 212?" bertanya Patih Kerajaan.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Saya tidak membela dirinya Patih. Bagi saya lebih baik kelolosan terhukum yang
bersalah dari pada memenjarakan orang yang sebenarnya tidak bersalah..."
Patih menganguk. "Jalan pemikiran yang bagus," kata Patih Selo Kaliangan. "Tapi
agaknya kau akan bentrokan kepentingan dengan Momok Dempet Tunggul Gono..."
"Saya tidak menyalahkan dirinya, Patih. Tunggul Gono punya segudang dendam
kesumat terhadap Pendekar 212. Kematian saudaranya. Tangan kirinya yang dibikin
hancur..."
"Baiklah Malaikat Alis Biru. Aku akan menemui Raja memberitahu keputusan kita
ini. Semoga Raja dapat memahami. Aku tidak melihat orang tua berjuluk Hantu Muka
Licin Bukit Tidar. Bukankah dia ikut serta dalam rombonganmu?"
"Di tengah jalan dia memisahkan diri. Dia memboyong Kinasih, istri mendiang juru
ukir Keraton."


Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berubahlah paras Patih Selo Kaliangan. "Malaikat Alis Biru, perintahkan satu
pasukan untuk mencari kakek itu. Cegah dia melakukan perbuatan keji itu. Aku
akan memberitahu Raja.
Sudah sejak lama kita orang-orang Keraton tidak suka dengan segala perbuatannya.
Dia pernah diperingatkan, tapi masih saja berlaku tidak terpuji!"
"Saya akan menyiapkan pasukan. Atas izinmu biar saya minta Tunggul Gono untuk
memimpin pasukan itu..."
"Ya, Momok Dempet itu memang harus banyak diberi pekerjaan. Dia juga salah satu
orang yang harus kita awasi terus menerus..."
*** Sesaat setelah Tunggul Gono dan dua perajurit meninggalkan tempat itu, Pendekar
212 berusaha mengetahui berada dimana dia saat itu. Ternyata dia disekap dalam
sebuah ruangan.
Bagian belakang merupakan tembok batu yang sangat kokoh. Di kiri kanan serta
bagian depan ruangan itu dibatasi dengan jalur-jalur besi sebesar betis. Ruangan
itu tidak beda dengan sebuah kerangkeng tempat mengandangkan binatang buas.
Wiro coba kerahkan tenaga dalam. Tidak berhasil. Coba gerakkan kaki dan tangan.
Juga tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata dan menggerakkan leher atau
kepalanya sedikit.
Selagi dia berusaha menarik nafas dalam sambil mengatur jalan darah, tiba-tiba
hidungnya mencium satu bau yang amat tajam. Dia memutar mata, menggerakkan
kepala. Tapi tak banyak yang bisa dilihatnya. Ditariknya nafas dalam kembali,
lalu lapat-lapat didengarnya ada suara seperti orang mengorok jauh di sudut
kiri, agak sebelah depan. Kalau saja dia bisa menaikkan kepala sedikit. Kemudian
terdengar suara orang batuk-batuk.
"Tidak salah! Suara batuk itu aku kenali betul. Lalu bau pesing yang santar itu.
Hanya ada dua makhluk di dunia yang bau tubuhnya memancarkan bau pesing. Guruku
Sinto Gendeng dan Setan Ngompol. Yang tadi batuk adalah suara laki-laki.
Jadi..." Wiro membatin. Dia kumpulkan tenaga dan berteriak.
"Setan Ngompol! Kau ada di sini"!"
Di dalam sebuah kerangkeng besi, terletak sebelah kiri depan kerangkeng tempat
Wiro disekap, suara batuk serta merta lenyap. Satu sosok tua kerempeng yang
sejak tadi terbujur di lantai mendadak sontak bangkit berdiri. Dari bawah
perutnya memancar air kencing karena kaget oleh teriakan Wiro tadi. Sambil
pegangi perutnya, orang tua ini terhuyung-huyung bangkit berdiri. Daun
telinganya lebar. Yang sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik. Daun
telinga yang seharusnya menghadap ke depan justru menghadap ke belakang.
Kakek ini memiliki sepasang mata jereng. Sambil memegang daun telinga kirinya,
dua mata jereng memandang berputar mencari-cari. Lalu dia berseru.
"Siapa tadi berteriak menyebut nama Setan Ngompol"!"
"Aku! Wiro Sableng! Jawab cepat! Kau Setan Ngompol atau bukan"!"
Kakek dalam kerangkeng besi melangkah ke depan tapi gerakannya hanya sebatas dua
langkah. Sesuau yang menjepit di selangkangannya membuat dia tak bisa maju lebih
jauh. Walaupun demikian sudah cukup baginya untuk dapat melihat ke dalam kerangkeng
dimana Wiro berada. Sebaliknya karena kini kakek itu dalam keadaan tegak
berdiri, walau dia sendiri masih terbaring namun Wiro sudah dapat melihat bagian
kepala orang. "Astaga naga!" si kakek dalam kerangkeng yang memang Setan Ngompol adanya
berseru kaget. Kencingnya langsung terpancar. "Wiro! Dedemit dari mana yag
membawamu ke tempat celaka ini"!" teriak Setan Ngompol.
"Nanti aku ceritakan. Kau duluan yang cerita. Tempat apa ini, kira-kira dimana
letaknya. Lalu bagaimana kau bisa bertahta di sini..."
"Sialan! Kau menyebut aku bertahta! Nasibku dan nasibmu tidak beda! Kita
dipenjarakan orang di ruang bawah tanah ini. Letaknya di ujung satu lorong,
masihdi kawasan Keraton. Tapi di
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
bawah tanah. Kau tahu tempat apa ini" Ini adalah tempat manusia-manusia malang
celaka menunggu hukuman mati!"
Serrr! Habis menyebut mati begitu si kakek kembali mengucur air kencingnya.
"Kalau memang mati ya mau dibilang apa!" kata Wiro. Tangan kanannya digerakkan
hendak menggaruk. Tapi tidak bisa. "Lekas kau ceritakan riwayatmu sampai minggat
ke sini. Bukankah kita sama-sama melesat mental dari Latanahsilam, negeri seribu dua
ratus tahun lalu?"
"Ya... ya aku sadari hal itu kemudian. Celakanya aku mental dan melayang jatuh
di sumur tempat sumber air mandi Raja! Walau semua itu terjadi secara tidak
sengaja, tapi para penguasa Istana mana mau tahu. Lagi pula siapa percaya kalau
aku katakan aku barusan saja terpental dari negeri jahanam Latanahsilam. Raja
marah, aku ditangkap. Kabarnya air sumur yang sudah tercemar air kencingku itu
bukan saja sempat dipakai bersiram oleh Sri Baginda tapi juga sempat dipakai
berkumur-kumur. Asyik tidak"!"
Pendekar 212 masih bisa tertawa gelak-gelak mendengar cerita Setan Ngompol itu.
Senja Jatuh Di Pajajaran 7 Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Tengkorak Maut 10
^