Bayi Titisan 2
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan Bagian 2
Saat itu tiga mahluk siluman ini telah merubah diri menjadi buntalan bola api
yang serta merta memenuhi goa dan siap membakar kedua orang itu. Sandaka cepat
terapkan Ilmu Batu Pualam pemberian Datuk Sipatoka. Saat itu juga seluruh
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam.
41 | B a y i T i t i s a n
Dia bisa bertahan walau mungkin tidak lama. Tapi-
bagaimana dengan Nyi Retno"
"Nyi Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan membantumu." teriak Sandaka.
"Tidak, apapun yang terjadi aku tetap di sini ber-samamu!" jawab Nyi Retno
Mantili yang membuat Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia
memeluk perempuan itu bersama boneka kayunya.
"Kalian berdua rupanya sudah saling mencinta!"
Dewi Ular berseru. Dia mendengar apa yang tadi di-
katakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan berterima kasih padaku karena
memberi kesempatan bagi kalian untuk mati bersama!"
Sandaka berbisik pada Nyi Retno.
"Kita harus dapat membunuh perempuan iblis itu!
Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku harus memancing untuk mengetahui di mana dia
berada! Aku perlu
bonekamu!"
"Untuk apa?" tanya Nyi Retno.
"Lihat saja nanti."
"Akan kuserahkan... Tapi aku mau tanya satu hal dulu. Hik...hik...hik. Kau pasti
marah." " Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!"
"Aku tahu, tapi ini urusan penting!"
"Cepat katakan apa yang mau kau tanya"!"
"Gurumu sudah jadi jerangkong alias sudah mati.
Apa kau masih hendak menikahi diriku"!"
"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus bisa keluar dari goa ini
dalam keadaan selamat!" Jawab Sandaka. "Boneka kayu..."
Nyi Retno serahkan boneka kayu pada Sandaka
seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan boneka tapi anakku Kemuning. Satu saja
rambutnya kau buat
rontok aku hajar kau sampai setengah mati!"
42 | B a y i T i t i s a n
Sandaka kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang
matanya dan saat itu juga dua mata berubah warna
menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang
pinggang boneka kayu erat-erat.
"Kunti Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama asli Dewi Ular. "Kalau kau
menghentikan serangan api siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa
ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona
padamu. Dengan senjata sakti itu kau bisa menyem-
buhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah
serta tubuh ularmu!"
"Manusia tolol! Kau kira kau bisa menipuku"! Keris Nagasona ada di pantai
selatan!" "Setahun lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya Ratu Laut Selatan untuk memegang
sepasang keris mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!"
Dewi Ular tertawa panjang.
"Kalau keris sakti itu ada padamu mengapa tu-
buhmu masih ditancapi paku" Mengapa kau tidak
mampu menyembuhkan diri sendiri"!"
"Keris Nagasona tidak bisa menyembuhkan penyakit yang sama pada diri seseorang
sampai dua kali."
"Aku tetap tidak percaya padamu! Kau punya
dendam kesumat besar terhadapku! Pasti kau mau
menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api ber-
sama gendakmu itu, aku akan tetap mendapatkan
keris Nagasona. "DewiUlar meniup ke depan. Kobaran api menggemuruh, bergerak
mendekati Sandaka dan
Nyi Retno Mantili.
"Perempuan setan! Aku ingin membunuhnya se-
karang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya berusaha mengambil boneka kayu dari
tangan Sandaka.
"Jangan berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah aku katakan!" kata Sandaka penuh
kawatir Nyi Retno 43 | B a y i T i t i s a n
akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka
tidak sanggup selamatkan diri dari tambusan api siluman.
"Kau keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris Nagasona tidak punya kemampuan
melawan api. Keris
ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan untuk menyembuhkan diri. Apa kau
tidak ingin hidup sampai seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi dalam
keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan
tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular seperti sekarang ini"!"
Dewi Ular terdiam sesaat. Lalu dia berteriak.
"Kalau begitu lemparkan sepasang keris sakti itu ke arahku!"
"Aku tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas berteriak Sandaka. Tiba-tiba
gelombang api siluman mereda. Namun Sandaka masih belum melihat perempuan itu.
"Kunti! Aku belum melihatmu!"
"Aku di sini!"
Gelombang api menyurut turun sampai sebatas
dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular yang
disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas.
Lalu dia melihat kepala dan sebagian tubuh perem-
puan itu. "Kunti! Aku akan melemparkan keris Nagasona ke arahmu!" teriak Sandaka.
"Lakukan cepat!"
"Kau berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno Mantili keluar dari goa ini
dalam keadaan selamat!"
"Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat lemparkan keris Nagasona!"
Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya.
Yang ada di tangan itu bukansepasang keris Nagasona 44 | B a y i T i t i s a n
tetapi boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu
cahaya hijau yang ada dalam sepasang mata si pe-
muda memancar menyorot terang.
"Hai! Mana kerisnya"! teriak Dewi Ular sambil mengapungkan diri ke atas, Saat
itulah dia melihat sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya
hijau! "Manusia jahanam kurang ajar! Kau menipuku!"
Dewi Ular gerakkan tangan kanannya. Manusia
Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka memencet
pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang
mata boneka. Bersamaan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur
pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak tertutup pemandangannya oleh
nyala kobaran api baru
menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar maut sudah berada di depan
matanya! Dewi Ular hanya mampu berteriak marah, masih
berusaha menyingkir selamatkan diri namun terlam-
bat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala,
dada, perut dan sepasang kaki. Tidak menunggu lebih lama Sandaka segera melesat
keluar goa sambil
mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas jurang batu pualam. Namun
hawa panas api siluman
telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi seba-
gian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya. Pemuda ini tidak mampu
mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya
melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno Mantili maka daya jatuh ke
bawah jadi dua kali lebih cepat.
Sandaka berusaha melentingkan tubuh ke dinding
jurang sebelah kanan. Namun gerakannya tidak lelu-
asa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus la-45 | B a y i T i t i s a n
pisan kaku batu pualam. Gerakan melenting yang
dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke
arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan
dinding jurang!
"Braakk!"
Punggung dan batu yang menonjol beradu keras.
Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang hancur
luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili ter-
lepas. "Nyi Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menye-lamatkanmu!" Sandaka berseru
lalu pemuda ini jatuh pingsan.Tubuhnya melayang ke dasar jurang.
Nyi Retno Mantili menjerit keras. Dia bukan beru-
saha menyelamatkan diri tapi malah melesat ke bawah menyusul jatuhnya Sandaka.
Dia berusaha menggapai
tubuh pemuda itu, namun jarak mereka terlalu jauh.
"Nyi Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan dirimu!" Teriak Sandaka.
"Jika aku selamat sedangkan kau tidak buat apa"!
Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati bersa-
mamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi Retno Mantili yang selama
ini diketahui memiliki otak tidak waras tapi saat itu menyatakan ingin mati
bersama dengan Manusia Paku Sandaka!
46 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 7 ANYA beberapa kejapan
mata tubuh Sandaka
Hakan terhempas di dasar
jurang yang dipenuhi batu pua-
lam keras dan runcing, hanya
beberapa saat saja kepala Nyi
Retno Mantili akan membentur
dinding jurang, tiba-tiba di atas
jurang ada teriakan teriakan ke-
ras. Lalu tampak dua orang ber-
kelebat terjun ke dalam jurang.
Gerakan mereka ringan dan sebat
sekali. Laksana dua ekor burung
raksasa keduanya melayang
menuju dasar jurang batu pualam. Yang satu me-
nyambar ke arah tubuh Manusia Paku Sandaka, sa-
tunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili.
Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua
orang itu berhasil menangkap tubuh-tubuh yang me-
layang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di se-la-sela bebatuan di dasar
jurang. "Syukur...syukur kita bisa menyelamatkan mereka.
Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku merasa
sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku terasa dingin. Kukira bulu
ketiakku rontok semua.
Ternyata masih utuh. Hik...hik...hik."
Yang bicara ini adalah seorang perempuan gemuk
gembrot mengenakan pakaian berupa celana monyet
47 | B a y i T i t i s a n
warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat tebal hitam tersembul
keluar. Dia yang barusan menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini berwajah
aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis
kuning. Telinga dicanteli anting-anting besar dari perak. Rambut seperti lidi,
tegak mencuat di atas kepala.
Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah.
Orang kedua yang menolong Nyi Retno Mantili
adalah pemuda gondrong berpakaian dan berikat ke-
pala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot
dia senyum-senyum. Sesekali dia usap kepala Nyi
Retno Mantili. "Aku tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkang-anku terasa dingin. Kantong
menyanku seperti hilang!
Waktu kuraba untung masih ada!"
Perempuan gemuk dan pemuda gondrong lalu ter-
tawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam
keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan dan tertawa gelak-gelak"
Yang gondrong bukan lain Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah
Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu bersama komplotannya pernah hendak
membunuh Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan
ginjalnya. Bagaimana Wiro dan Denok Tuba Biru bisa berada di tempat itu dan
sama-sama memberi pertolongan"
Seperti diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro
Sableng "Janda Pulau Cingkuk") Pendekar 212 mene-rima penjelasan dari Bujang
Gila Tapak Sakti bahwa Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka ke
tempat kediaman gurunya dan ada maksud kalau
Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk mele-
48 | B a y i T i t i s a n
nyapkan puluhan paku yang menancap di kepala,
wajah dan tubuhnya.
Karena Wiro memang sedang mencari Nyi Retno
Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken Permata yang ada di tempat kediaman
Datuk Rao Basaluang
Ameh di Danau Maninjau, dan dia tahu pula di mana
letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah
Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cem-
paka ke dasar laut selatan, murid Sinto Gendeng segera berangkat menuju jurang
batu pualam tempat
kediaman guru Sandaka.
Dalam perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro
tidak sengaja bertemu dengan Denok Tuba Biru yang
juga tengah menuju ke tempat yang sama guna me-nyambangi Sandaka yang pernah
mengampuni ji- wanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh
Nyi Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul
"Perjodohan Berdarah") Wiro sendiri sebelumnya juga telah pernah bertemu dengan
Denok Tuba Siru sewaktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya
pertama kali mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu Nenek Kembaran Ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu
ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca
"Si Cantik Gila Dari Gunung Gede")
Mula-mula Wiro merasa curiga melihat si gembrot
berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira perempuan aneh berdada besar dan berperut
gembrot serta berpaha
gempal ini telah memata-matai perjalanannya dan
punya niat jahat.
"Gembrot! Kalau kau punya niat jahat macam-
macam terhadapku, mukamu yang tembam akan
kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ke-
tiakmu aku cabuti sampai botak!"
49 | B a y i T i t i s a n
Mendengar ancaman Wiro, Denok Tuba Biru ber-
surut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan.
"Pendekar, kau mau menggebuki diriku sampai
bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan cabuti
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan mencium! Kalau kau mau
boleh saja!" Lalu si gembrot ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu tebal
hitam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tu-
buhnya yang gembrot dari dada sampai ke bawah
perut bergoyang-goyang.
Wiro akhirnya bersedia melakukan perjalanan
bersama perempuan itu. Ternyata kedua orang ini
cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu
dan jorok-jorok!
Ketika Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang
batu pualam, tiba-tiba dari dalam jurang mereka
mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali
itu adalah suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada dua tubuh melayang jatuh
ke dasar jurang, tidak
tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera
terjun ke dalam jurang.
Dengan ilmu kesaktian yang mereka miliki secara
luar biasa keduanya berhasil menyelamatkan Nyi
Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retna Mantili walau masih pingsan tampaknya tidak
mengalami cidera.
Lain halnya dengan Sandaka. Bagian tubuh sebelah
belakang Manusia Paku ini tampak memar kebiru-
biruan. Pemuda ini beruntung melindungi dirinya
dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam. Sehingga ketika punggungnya menghantam tonjolan
batu runcing di
dinding jurang lapisan batu pualam hancur berkep-
ing-keping namun tubuhnya masih bisa tersela-
matkan. Walau demikian setelah siuman ternyata
pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri. Dia 50 | B a y i T i t i s a n
hanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan.
Wiro dan Denok Tuba Biru berusaha menolong dengan
mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun
tidak berhasil.
" Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu Pualam seharusnya aku sudah mati
saat ini. Mati akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka keluarkan
ucapan menyesali nasib.
"Sobatku Sandaka, jangan berputus asa, Kau
hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat
benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan segera sembuh." Wiro
menghibur. "Aku berterima kasih kalian telah datang menolong.
Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku kawatir dia telah tiada. Aku tidak mampu
menyelamatkannya. Kalaupun aku hidup tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka ini
tidak akan pernah lenyap dari tubuhku."
"Kau tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam keadaan selamat. Tapi masih
pingsan." Menerangkan Denok Tuba Biru.
Sementara perempuan gemuk ini berusaha me-
nyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan
apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perempuan iblis Dewi Ular itu
benar-benar telah menemui ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam
ujud mahluk jahat Lainnya."
Tak selang berapa lama terdengar suara tarikan
nafas panjang. Lalu disusul jeritan keras. Itulah jeritan Nyi Retno Mantili yang
baru sadar dari pingsan.
"Sandaka..." Ucapan itu pertama kali keluar dari mulut Nyi Retno Mantili. Lalu
perempuan ini bergerak duduk. "Kemuning..." Nyi Retno menyebut nama.
anaknya si boneka kayu lalu memandang berkeliling.
Belum sempat melihat sosok Sandaka yang terbujur
51 | B a y i T i t i s a n
dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini
kembali menjerit. "Kemuning! Ayahmu ada di sini!"
Denok Tuba Biru mengernyit heran mendengar
ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak mengatakan
sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja.
"Kemuning! Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!"
Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari balik dada pakaiannya lalu kepala
boneka itu diusap-usapkannya ke pipi Pendekar 212.
"Anak manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau tidak menangis. Bagus...bagus.
Aku memang tidak
suka punya anak cengeng. Hik...hik...hik."
Mau tak mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi
terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno Mantill itu.
Wiro belai belakang kepala Nyi Retno.
"Nyi Retno aku senang bisa menemuimu walau
dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur kau sela-
mat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi... "
"Sandaka!" Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana dia"!"
"Nyi Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu telah menyelamatkan diriku. Telah
menyelamatkan kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku ber-
syukur pada Yang Maha Kuasa. Dia masih mengasihi
diriku. Walau cidera berat tapi aku masih bernafas... "
Nyi Retno Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro
lalu dia jatuhkan diri di samping Manusia Paku Sandaka.
"Aku bersumpah akan membunuh perempuan ular
itu! Aku bersumpah!"
"Dewi Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang membunuhnya waktu di goa. Apa
kau tidak ingat?"
"Ya aku ingat..." Nyi Retno anggukkan kepala. Ti-ba-tiba sepasang mata Nyi Retno
Mantili terpentang 52 | B a y i T i t i s a n
lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jerit-an keras. Tangan kiri
menunjuk ke arah dinding ju-
rang sebelah kiri.
"Ada apa Nyi Retno" "tanyaWiro.
Denok Tuba Biru memandang berkeliling. Dia me-
rasa kehadiran sesuatu tapi tidak melihat apa-apa.
"Lihat! Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di sana!"Teriak Nyi Retno Mantili.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang pembe-
rian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke arah yang
ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gendeng tercekat. Tengkuknya
terasa dingin. "Gila! Bagaimana mungkin!"
53 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 8 ANG disaksikan Pendekar
212 memang luar biasa.
YMengapung di depan
dinding jurang sebelah timur.
Tampak sosok Dewi Ular dalam
keadaan tanpa pakaian sama
sekali. Tubuh bugil itu menge-
luarkan cahaya kebiruan meng-
gidikan. Wajahnya yang cantik
pucat pasi seperti mayat Dan
sepasang mata, dua liang telinga
dan dua lobang hidung serta dari
mulut, menggeliat-geliat ular
merah berbelang hitam. Bina-
tang yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta lobang duburnya!
"Mati.... Mati! Siapapun yang ada di tempat ini harus mati! Harus ikut bersamaku
ke alam arwah! Matiii! Hik...hik...hik!"
Sosok bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan yang lain-lainnya yang
berada di dasar jurang. Dari sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur
keluar larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang
batu pualam serta merta tenggelam dalam cahaya
merah. Dengan gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat,
mengambil boneka kayu dari tangan Pendekar 212
Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka
54 | B a y i T i t i s a n
maka dua cahaya putih menyilaukan melesat keluar
dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke arah
datangnya serangan Dewi Ular. Wiro tidak tinggal
diam. Tangan kanan yang sudah berubah menjadi putih
perak dihantamkan ke depan. Selarik gelombang ca-
haya putih luar biasa panas menderu, mendorong
Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala yang tadi dilepaskan Nyi Retno Mantili.
Itulah Pukulan Sakti Sinar Matahari!
"Bummm! Bummmm!"
Dua letusan hebat menggelegar di dalam jurang.
Hawa panas menghampar dahsyat. Beberapa bagian
dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di
dasar jurang terbelah. Air kawah menggelegat dan
muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang ter-
dengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan srigala gurun pasir!
Denok Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap
tubuh Sandaka agar tidak terpental sementara Nyi
Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan wajah pucat pasi. Dada
mendenyut sakit. Wiro sendiri jatuh berlutut sambil dua tangan dipentangkan ke
depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang
hebat. Cahaya menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan Sepasang Batu Kumala lenyap
bersamaan dengan musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jejadian. Sosok
sepuluh ekor ular jejadian dan tubuh Dewi Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam
jurang kini menghampar bau kemenyan yang membuat semua orang
jadi bergidik mengkirik.
Sandaka berbisik pada Denok Tuba Biru.
"Apa yang terjadi?"
55 | B a y i T i t i s a n
"Aku tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi Retno menjerit lalu ada cahaya
merah. Wiro dan Nyi Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara
jeritan perempuan seperti loloogan srigala. Sekarang ada bau kemenyan."
"Dewi Ular..." ucap Sandaka. "Kali ini dia akan tenggelam di alam arwah untuk
selama-Iamanya. Dia
tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi.
Aku tahu betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan bau kemenyan menjadi akhir
riwayatnya... Rohnya
akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib
dalam ujud seekor srigala..."
"Aneh, mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya Denok Tuba Biru.
"Ayah Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya seekor ular. Keduanya mahluk
jejadian yang sudah lama mendekam di alam gaib." Menerangkan Sandaka.
"Ternyata ada mahluk yang lebih kapiran dari diriku... Hik...hik!" Si gembrot
bermuka biru tertawa cekikikan.
Wiro menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil
berkata. "Kita harus segera meninggalkan jurang ini.
Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman."
"Kau benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan aku di tempat ini."
"Aku tidakakan meninggalkanmu. Kalau aku pergi kau juga harus ikut!" kata Nyi
Retno Mantili pula.
"Nyi Retno, kau danWiro saja yang pergi. Aku akan menunggui Sandaka di tempat
ini sampai dia sembuh
dari kelumpuhan." Berkata DenokTuba Biru.
"Nyi Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih kalian mau memperhatikan
diriku.Tapi..."
"Aku akan menggendongmu asal kau mau berjanji."
Nyi Retno Mantili memotong ucapan Sandaka.
56 | B a y i T i t i s a n
Sandaka tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?"
"Kalau kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah sembuh, kau tidak akan
menikahiku!"
Sandaka terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa
menatap. Wiro garuk-garuk kepala.
"Selama ini aku selalu menginginkan kesembuhan dari sengsara paku-paku celaka
ini. Tekadku untuk
hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun
takdir agaknya menentukan lain. Nyi Retno, kau sa-
tu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau memang
tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah.
Aku memang sudah menduga kalau tidak akan pernah
bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk sela-
ma-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan
diriku. Jika umur sama panjang, jika Yang Maha Ku-
asa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan bertemu lagi."
Denok Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata.
"Aku akan tetap di sini. Aku akan berusaha mengobati sebisaku sampai cidera di
punggung Sandaka
sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah ber-
sama Nyi Retno Mantili. Bukankah kau punya niat
hendak membawanya menemui anaknya yang ber-
nama Ken Permata itu demi kesembuhan sakit inga-
tannya?" "Aku bingung..." kata Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku juga menginginkan
kesembuhan sahabatku Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama
bertahun-tahun..." Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno..."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan." Menukas Nyi Retno Mantili. "Bagaimana
mungkin aku bisa menikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku
Kemuning."
57 | B a y i T i t i s a n
"Nyi Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku... "
"Jadi kau menolak mengakui sebagai ayah Ke-
muning"!" Suara Nyi Retno Mantili setengah membentak."Lalu selama ini siapa kau
sebenarnya"!"
Pendekar 212 garuk kepala, tersenyum, meng-
geleng beberapa kali lalu berkata.
"Baiklah, aku mau saja dan tidak menolak kau
sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah kau
tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh
kau mau diajaknya ke tempat ini. Setelah sampai di sini kau menolak. Lihat
keadaan Sandaka, apa kau
tidak kasihan?"
"Aku hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah bilang mau nikah dengan dia!"
Untuk beberapa lama suasana di dasar jurang batu
pualam itu menjadi sunyi karena tidak ada satu
orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka
sangat sedih. Lalu terdengar suara Nyi Retno Mantili memecah kesunyian.
"Selama ini tidak ada orang yang kasihan pada diriku. sudah aku katakan. Aku
akan menggendong
Sandaka keluar dari dalam jurang ini."
"Nyi Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Apapun yang terjadi. Kau
pergilah bersama Wiro.
Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian
selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang me-
nungguiku di tempat ini."
"Aku merasa tidak ada urusan dengan ayah Ke-
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muning. Kalau kau tidak mau pergi, aku juga tidak
akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili lalu dudukkan diri di atas
satu gundukan batu.
Semua orang jadi bingung mendengar ucapan dan
melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun karena me-
nyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa 58 | B a y i T i t i s a n
dan pikiran mereka hanya diam saja. Denok Tuba Biru kemudian mendekati Wiro lalu
berbisik. "Kau pernah menceritakan riwayat kesembuhan
Sandaka. Bagaimana kalau aku yang dinikahinya"
Begitu saja repot!"
Wiro menatap si gembrot berwajah biru itu bebe-
rapa ketika. Dia hendak tertawa terbahak-bahak tapi batalkan niat dan balas
berbisik. "Kau tahu, perempuan yang harus dinikahi San-
daka adalah seerang perempuan sakti berkepandaian
tinggi. ..."
"Lalu apa aku bukan perempuan" Banci" Hik...hik!
Apa aku tidak punya kesaktian dan kepandaian ting-
gi?" tanya Denok Tuba Biru sambi! tusuk-tusuk rusuk kiri Wiro dengan ujung jari
tangan kanan hingga murid Sinto Gendeng menggeliat kegelian.
"Bukan cuma itu. Perempuannya juga harus yang otaknya tidak waras alias gila
alias sinting!"
"Hemm... Aku memang belum gila dan sinting beneran. Tapi gejala-gejalanya sudah
ada. iya kan"! Aku punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak...
Wiro tertawa. "Gembrot! Kau bukannya sinting tapi tolol! Ini bukan urusan bulu
ketiak!" Denok Tuba Biru tertawa haha-hihi.
"Kau suka pada pemuda itu?"Wiro bertanya.
"Terserah kau mau menilai bagaimana. Tapi aku menginginkan dia bisa sembuh dan
lepas dari azab
tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan dia denganmu pun aku maul
Hik...hik!"
Wiro menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar
Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut itu kini
yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan.
"Gembrot muka biru, aku tidak tahu mau menja-
wab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka, Kalau dia 59 | B a y i T i t i s a n
mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan
edan ini bisa dibereskan. Tapi yang penting apakah dia bisa mendapatkan
kesembuhan dari pernikahan
denganmu" Bagaimana kalau penyakitnya malah ke-
tambahan"!"
Denok Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini
menjadi bimbang setelah mendengar kata-kata ter-
akhir Pendekar212.
"Sudah, aku lebih baik mendekam di dasar jurang ini saja menungguinya sambil
berusaha mengobati."
Kata si gembrot berbulu ketiak lebat.
"Aku punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama menggotong Sandaka keluar dari
dalam jurang. Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang
baik untuknya. Dalam perjalanan ke sini aku melihat ada satu gubuk tua tak jauh
dari jurang. Kita bisa membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi aku
akan berusaha mencari seseorang untuk mengoba-
tinya..." "Aku menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi
Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama kita?"
"Kalau Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan dia tidak akan mengikuti. Biar
aku yang bicara padanya."
Setelah dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau
diajak meninggalkan tempat itu. Malah dengan ke-
saktian yang dimilikinya perempuan ini membantu
menggotong tubuh Sandaka di bagian pinggang. De-
nok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala, Wiro di bagian kaki. Sekali
ketiganya mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sosok
lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke
atas jurang. 60 | B a y i T i t i s a n
Tak berapa jauh dari jurang batu pualam memang
terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh
para penebang kayu di hutan untuk beristirahat.
Sandaka di bawa ke gubuk ini. Setelah berbaring beberapa saat Sandaka berkata.
"Terima kasih pada kalian semua. Aku kini berada di tempat yang aman dan baik.
Wiro dan Nyi Mantili, sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi.
Pergilah ke danau Maninjau untuk menemui Ken
Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di sini.
Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh..."
"Gila! Yang sakit memangnya aku atau kau"!" ucap Nyi Retno Mantili dengan mata
melotot. Sandaka
memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik.
"Kau harus menotok Nyi Retno. Baru bisa mem-
bawanya pergi dari sini."
"Danau Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang.
Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat untuk mem-
bawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk kepala. Wiro ingat pada batu sakti
milik Ratu Laut Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat batu itu." Kalau
saja Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru masih ada padaku...."
"Walau tidak dengan batu itu kau pasti punya cara lain untuk pergi ke sana. Aku
dengar kau punya ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma..."
Wiro merenung sejenak lalu kembangkan telapak
tangan kanan. Telapak tangan ditiup sambil mulut
berucap perlahan.
"Datuk Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu pertolonganmu."
Saat itu juga pada telapak tangan kanan Pendekar
212 muncul gambar kepala harimau putih bermata
hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng.
61 | B a y i T i t i s a n
Tanah bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang
lain-lain berada berderak-derak seperti hendak roboh.
Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul seekor harimau putih besar
bermata hijau. Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti peliharaan Datuk Rao
Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan
selama ini memelihara Ken Permata, bayi yang dila-
hirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan dengan
Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan.
Begitu Wiro mendatangi harimau putih segera
menjilati tangan sang pendekar. Wiro mengusap
tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil berkata.
"Datuk, aku sangat berterima kasih kau mau datang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa
aku dan Nyi Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh."
Harimau putih menggereng perlahan.
Mendadak terdengar jeritan Nyi Retno Mantili.
"Wiro, binatang celaka apa yang kau bawa ke sini!
Lihat, anakku Kemuning menangis ketakutan sete-
ngah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno Mantili menghambur
tinggalkan tempat itu.
"Nyi Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat mengejar. Denok Tuba Biru telah
lebih dulu berkelebat
sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan
Pernafasan. Dua larik sinar biru menusuk punggung dan betis kiri Nyi Retno
Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun kaku walau mulutnya masih
terus berteriak-teriak.
Wiro cepat usap urat besar di leher kiri kanan Nyi Retno Mantili hingga dia
tidak bisa lagi keluarkan suara. Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan
itu dan melompat ke punggung Datuk Rao Bamato
62 | B a y i T i t i s a n
Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat mening-
galkan tempat itu Wiro berkata pada Sandaka.
"Sobatku, apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi Retno Mantili akan sembuh
setelah bertemu dengan
bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat mele-
nyapkan tiga puluh paku bala yang menancap di tu-
buhmu?" Sandaka menghela nafas dalam. "Nasib manusia
ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya berusaha.
Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka kebahagiaan akan menjadi
bagian diriku dan mungkin itu merupakan setengah dari kesembuhan diriku.
Paling tidak kesembuhan batin."
"Kau orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan kembali ke sini secepat yang bisa
aku lakukan. Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi
Retno Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi
dan memberkahi kita semua."
Sandaka lambaikan tangan kanan. Sepasang ma-
tanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau
menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk tua berderak-derak. Sesaat
kemudian harimau sakti
itu melesat ke udara laksana hendak menembus langit lalu lenyap dari pemandangan
bersama dua penung-gangnya.
63 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 9 I TEPI danau Maninjau
Ken Permata duduk di
Datas batu, dua kaki di-
juntaikan ke dalam air. Di sam-
ping anak perempuan itu duduk
Mande Saleha, perempuan yang
menjaga dan mengasuhnya. Se-
sekali angin dari tengah danau
bertiup sejuk. Ikan-ikan bilis
berkerumun jinak tak jauh dari
batu tempat kedua orang itu
duduk. "Anak Mande Ken Permata,
anak rancak parmato hati, Hari
sudah rembang petang. Lihat matahari sudah merah
warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita pulang ke rumah gadang.
Berlama-lama di sini Datuk pasti akan mencari."
Anak perempuan yang belum mencapai usia dua
tahun itu dengan suara lincah menjawab.
"Mande tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak
akan mencari kita. Beliau tadi ada di balik pohon besar sana memperhatikan kita.
sekarang Datuk sudah
kembali ke goa pertapaannya."
Dengan perasaan heran Mande Saleha berpaling ke
arah pohon besar tak jauh dari tepi danau. Dia tidak melihat siapa-siapa. Sambil
memeluk anak yang kini 64 | B a y i T i t i s a n
memiliki tubuh lebih besar dari usianya, Mande Sa-
leha barkata. "Mande tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi me-
mang Datuk ada di balik pohon kita berdua tetap
harus kambali ke rumah gadang."
"Mande, saya tidak akan pulang sebelum orang
yang akan menemui saya datang."
Terkejut Manda Saleha mendengar ucapan Ken
Permata. "Anakku, apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang akan datang menemuimu?"
"Kalau Mande mau melihat orangnya, duduk saja di sini bersama saya..."
Mande Saleha menatap anak perempuan itu bebe-
rapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk, kini anak itu dipangku sambil terus
dipeluk erat-erat. Ada kekawatiran dalam diri perempuan ini.
Mande Saleha memandang berkeliling. Dia tidak
melihat orang lain di tempat itu. Di tengah danau juga tidak ada biduk yang
berlayar mencari ikan.
"Anakku, kita harus pulang sekarang juga." Mande Saleha lalu turun dari batu,
melangkah ke tepi telaga sambil terus mendukung Ken Permata. Tapi dengan
hanya bergerak sedikit saja anak perempuan itu telah meluncur turun ke tanah,
lalu lari kembali ke tepi danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang
bahu anak itu. Ketika dia hendak mendukung kembali sang pengasuh merasa heran.
Tubuh Ken Permata
berat sekali hingga jangankan untuk mendukung,
mengangkat saja dia tidak mampu.
"Anakku, apa yang terjadi dengan dirimu" Mengapa tubuhmu menjadi seberat batu
raksasa?" Ken Permata tersenyum, tidak menjawab perta-
nyaan pengasuhnya, malah berkata.
65 | B a y i T i t i s a n
"Mande, orang yang hendak menemui saya sudah
datang." Ken Permata bicara sambil sepasang mata beningnya menatap ke arah
danau. Mande Saleha cepat memperhatikan ke arah danau.
Tidak kelihatan satu orang pun, juga tidak ada pera-hu. Namun kemudian dia
melihat sebuah batangan
kayu mengapung di permukaan danau, bergerak per-
lahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana dia dan Ken Permata berdiri.
Bersamaan dengan itu telinganya menangkap suara tiupan serunai. Jantung
Mande Saleha berdetak, dada berdebar.
"Serunai itu... Aku pemah mendengar sebelumnya.
Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah... Apakah memang
dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam hati. Lalu perempuan ini
membungkuk sedikit dan
berbisik ke telinga si anak perempuan. "Nak, mana orang yang katamu hendak
menemui dirimu?"
"Ah Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu
orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu di tengah danau..."
Mande Saleha memperhatikan ke arah danau.
"Anakku, Mande tidak melihat apa-apa. Yang Mande lihat hanya batang kayu
terapung."
"Aduh Mande, orang itu berada di atas batang kayu itu Mande. Masakan Mande tidak
melihat?" ujar Ken Permata.
Mande Saleha membuka mata lebar-Iebar. Me-
ngucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak melihat orang yang dikatakan Ken
Permata." Bulu kuduk Mande Saleha merinding.
"Anakku, jangan-jangan kau melihat mahluk halus.
Sebelum kau keteguran dan menyebabkan kau bisa
jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini..." Perempuan itu lalu menarik
tangan Ken Permata. Tapi
66 | B a y i T i t i s a n
seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat menyebabkan Mande Saleha tidak
mampu membuatnya
bergerak sedikitpun.
"Mande, orang itu melambaikan tangan memanggil.
Saya harus menemuinya..."
"Tidak, kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus tetap di sini bersama Mande!"
Mande Saleha lalu mendekap Ken Permata erat-erat. Tapi dengan mudah
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi danau. Selanjutnya sulit
dipercaya tubuh Ken Permata melayang di udara, melesat ke arah batang kayu
terapung di permukaan danau dan berdiri di atas batang kayu itu! Mande Saleha
berteriak memanggil. Dia
merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak
sekecil itu, yang masih bayi belum berusia dua tahun mampu melesat di udara,
lalu berdiri di atas batang kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang
dewasa saja tidak semudah itu mampu melakukan
kalau tidak memiliki kepandaian tinggi.
" Onde mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo didapat anak ini hingga dia bisa
melompat dan berdiri di atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu Datuk
tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi kesaktian padanya." Mande Saleha
lalu berteriak memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya
serak. Tak lama kemudian sang pengasuh jadi terpera-
ngah. Di atas batang kayu, di depan Ken Permata dia melihat ada sosok seseorang.
Mula-mula samar, perlahan-lahan berubah bertambah jelas. Perempuan tua ini
menepuk-nepuk bahu Ken Permata, sementara
batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau.
Mande Saleha berteriak sejadi-jadinya namun clepp!
Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang tiba-tiba 67 | B a y i T i t i s a n
menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak bisa mengeluarkan suara, apa
lagi berteriak.
"Nenek itu..." ucap Mande Saleha hanya di dalam hati sementara mata terpentang
lebar ke arah danau.
Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha lantas saja dapat mengenali
perempuan tua yang ada di atas batang kayu bersama Ken Permata. Detak
jantung dan dugaannya ternyata benar.
"Memang dia..." desis Mande Saleha. Nenek tua yang berdiri di hadapan Ken
Permata di atas batang kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu
malam beberapa waktu lalu pernah menyelinap masuk
ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala yang
berambut putih perak digulung dihias lima sunting
rendah terbuat dari suasa. Pakaian kebaya panjang
kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam.
Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Parantili! Kekasih Datuk Rao
Basaluang Ameh di masa
muda. Dalam "Janda Pulau Cingkuk" dituturkan bahwa pada suatu malam Laras Parantili
mendatangi Datuk
Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken
Permata akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang
pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi Ratu Laut
Utara. Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia
kena ditipu oleh bekas kekasih di masa mudanya itu dengan racun kuning sehingga
sang datuk pingsan tak sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak mampu
mencegah terjadinya penitisan. Mande Saleha
sendiri sempat melihat Laras Parantili dan sempat
pula menyaksikan berlangsungnya penitisan.
"Dia muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia hendak berbuat jahat lagi. Celaka
apa yang hendak
68 | B a y i T i t i s a n
dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko!
Lindungi anak itu, lindungi Ken Permata.
Mande Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa
berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh lunglai. Ti-ba-tiba ada satu cahaya putih
berkelebat ke arahnya.
Sesaat kemudian dia mendengar suara.
"Perempuan pengasuh bayi titisan. Berucaplah
kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini. Kata-kanlah: Pendekar 212. Jika
kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke
Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok tengah hari tepat. Kau harus
datang seorang diri"
Beberapa totokan kemudian mendarat di kepala
Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri kanan, lalu pada bagian bawah dagu
dekat tenggorokan.Yang terakhir ada usapan di bagian mulutnya. Satu keanehan
kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha seperti orang kurang ingatan
mengeluarkan ucapan
yang selalu diulang-ulang: " Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken
Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung
Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
69 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 10 UARA jeritan Mande Sale-
ha membuat berhamburan
Skeluar penghuni rumah
gadang yang terletak tak jauh
dari tepian Danau Maninjau.
Sebelum orang-orang itu sampai
di tempat Mande Saleha berada,
Datuk Rao Basaluang Ameh su-
dah lebih dulu tiba di tempat itu.
Dia terkejut sekali melihat kea-
daan perempuan pengasuh Ken
Permata ini. Lebih-lebih ketika
menyaksikan dan mendengar
Mande Saleha yang bicara terus
mengulang ucapan yang sama seperti orang kema-
sukan roh gaib.
" Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat
datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari
tepat. Kau harus datang seorang diri."
Datuk Rao Basaluang Ameh mengucap istigfar be-
rulang Kali. "Saleha, kau ini keteguran mahluk halus atau bagaimana?" Sang Datuk pegang bahu
perempuan itu lalu menggoncang tubuhnya. Tapi Mande Saleha terus saja bicara
seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya.
Datuk Rao perhatikan wajah, terutama sepasang mata Mande Saleha. Dua mata
perempuan itu lebih banyak
70 | B a y i T i t i s a n
nyalang daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris
tidak bergerak. Lalu dia melihat ada tanda kebiruan di pelipis kiri kanan sarta
tenggorokan samentara mulut bicara terus mangulang-ulang ucapan.
" Totokan Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini pakerjaan Laras Parantili! Tanpa
sadar perempuan ini bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!"
Dengan cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil
saluang (semacam seruling) emas yang terselip di
pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di
tubuh Mande Saleha. Saat itulah tiba-tiba satu ba-
yangan putih melesat disertai suara orang berucap.
"Datuk, dia menyebut nama saya. Biar saya yang melepas totokannya!"
Belum sempat Datuk Rao Basaluang Ameh ber-
paling tahu -tahu desss...dess...dess!
Dua tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu
tusukan lagi di tenggorokan membuat totokan yang
menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas
dari totokan perempuan ini mengeluh panjang,
menggeliat lalu terguling di tanah. Muka pucat pasi.
Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Da-
tuk Rao usap kepala dan wajah Mande Saleha. Mulai
sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata ini meng-
gerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan
hingga Mande Saleha menghentikan tangisnya sendiri.
Orang tua ini berpaling ke kanan di mana berdiri sosok tegap pemuda berambut
gondrong berpakaian putih
yang saat itu cepat-cepat membungkuk hormat, me-
nyalami dan mencium tangannya.
"Datuk, saya muridmu. Terima salam hormat saya dan mohon dimaafkan kalau tadi
saya telah berbuat
lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong
Ibu ini..."
71 | B a y i T i t i s a n
Orang tua sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu si pemuda.
"Pendekar dari tanah Jawa, aku memang sudah
lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau da-
tang ke sini dalam keadaan kurang menggem-
birakan..." Sang Datuk melirik ke arah harimau putih bermata hijau peliharaannya
yang tegak di samping si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Diatas punggung binatang sakti ini terbujur melintang menelungkup
seorang perempuan bertubuh
mungil dalam keadaan seperti tertidur pulas. "Perempuan itu, apakah istri Patih
Kerajaan tanah Jawa?"
Bertanya Datuk Rao.
Wiro mengangguk lalu kembali meminta maaf atas
kelancangannya meminta tolong Datuk Rao Bamato
Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Ma-
ninjau ini. Saya..."
"Anak muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk berbuat baik yang diredohi Allah
seseorang wajib
mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi Retno sudah berada di sini
untuk kita pertemukan
dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah terjadi."
"Datuk, apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Ken Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika sebelum kau sampai di sini."
Wiro terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau
sampai dua kali bayi Nyi Retno diculik orang dari pe-ngawasan orang tua
berkepandaian tinggi seperti
Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberikan
banyak ilmu kesaktian padanya dan telah dihor-
matinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya Ken Permata pernah diculik
oleh Wira Bumi dibantu
oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga
72 | B a y i T i t i s a n
datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu
dapat diselamatkan. (Baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Bayi Satu
Suro") "Datuk, apakah Datuk tahu siapa yang menculik bayi Nyi Retno Mantili?"
Datuk Rao Basaluang Ameh anggukkan kepala.
"Aku sudah bisa menduga karena hanya satu orang yang bisa menembus ilmu
kesaktian Selusin Jaring Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi bayi
itu. Agar lebih jelas mari kita tanyakan pada Mande Saleha apa yang telah
terjadi. Dia sudah berhenti menangis, keadaannya sudah mulai tenang."
"Saya juga ingin menanyai mengapa dia menye-
but-nyebut nama saya. Meminta saya datang seorang
diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau ingin mendapatkan Ken
Permata dalam keadaan selamat."
"Orang jahat tengah memasang jebakan untuk kita, terutama dirimu."
"Siapa Datuk?" tanya Wiro pula.
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Diikuti Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh men-
datangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala pe-
rempuan itu sang Datuk berkata.
"Saleha, hentikan tangismu! Katakan apa yang
terjadi." "Saya mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau
menghukum saya bagaimana. Saya telah berusaha
menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu muncul or...orang itu
Datuk. Dia datang lagi... Saya tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari de-
kapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau
dan berdiri di samping perempuan tua itu, di atas
73 | B a y i T i t i s a n
batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke
tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi."
"Orang itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa dia Saleha" Apa kau
mengenalinya?"tanya Datuk Rao.
"Dia perempuan tua bersunting suasa yang muncul di rumah gadang waktu terjadi
penitisan atas diri Ken Permata."
Datuk Rao menghela nafas panjang. Wajahnya yang
kelimis langsung berubah. "Ternyata memang dia..."
ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras Parantili."
"Laras Parantili. Siapa dia Datuk" Saya tidak pernah mendengar nama orang ini
sebelumnya," Tanya Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir jangan-jangan
roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang
muncul kembali. "Saya juga heran mendengar kete-rangan Ibu ini. Ken Permata bayi
yang menurut saya belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah
danau dan berdiri di atas batang kayu terapung. Hal itu hanya bisa dilakukan
oleh orang berkepandaian
silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
puncaknya. Bagaimana bisa
terjadi?" "Laras Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh menyebut nama sang kekasih di masa
muda dengan su-
ara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana
mungkin. Aku telah melindungi seputar tempat ini
dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Ternyata dia masih bisa menembusnya.
Mungkin dia memiliki
bubuk bunga sakti penangkal ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu?" Si orang tua
merenung sejenak lalu berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah kekasihku di
masa muda. Kami tidak kunjung jadi me-
nikah karena berbagai kendala yang muncul secara
74 | B a y i T i t i s a n
tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui
kalau kekasihku itu memiliki hati yang tidak seputih wajahnya tidak pula
sebersih pakaian yang dikena-kannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia
bisa berubah. Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi. Malah dengan
kemunculannya menjadi pelin-
dung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia telah membuktikan kalau
dirinya tidak berubah, dia tetap culas seperti di masa lalu."
"Datuk, saya ikut merasa sedih mendengar cerita Datuk. Tapi ada yang tidak saya
mengerti. Ken Permata ketitisan. Ketitisan roh siapa?"
"Bayi itu ketitisan roh seorang perempuan muda yang mengaku Ratu Laut Utara
bernama Nyi Harum
Sarti..." Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan iblis itu rupanya yang punya
pekerjaan. Saya tahu, dia memang pernah mengancam akan melakukan penitisan atas
diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa berbuat keji pada seorang bayi yang
tidak berdosa?"
(Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti bisa dibaca dalam
serial Wiro Sableng
sebelumnya berjudul "Cinta Tiga Ratu")
"Ken Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua tahun lagi. Tubuhnya tumbuh
besar menyerupai anak
lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu kesaktian. Ilmu kesaktian
itu berasal dari roh yang menitis atas dirinya."
"Sangat berbahaya..." ucap Wiro sambil menggaruk kepala. Lalu dia berpaling pada
perempuan pengasuh Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil menolong
perempuan ini berdiri Wiro bertanya.
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
75 | B a y i T i t i s a n
"Ibu coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana menghilangnya Ken Permata
bersama perempuan
yang menculiknya itu."
Setelah memandang berkeliling perempuan itu
menunjuk ke tengah danau. "Keduanya berada di atas sebuah batang kayu. Meluncur
ke tengah danau. Lalu ada cahaya putih menyelubungi sekujur tubuh saya.
Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bicara terus tapi saya tidak
tahu apa yang saya katakan..."
Datuk Rao Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro
Sableng memperhatikan sekeliling danau, Mereka ti-
dak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Sa-
leha. Wiro bertanya lagi.
"Ibu, Ken Permata dan perempuan tua bersunting itu, apakah dia lenyap masuk ke
dalam danau atau
melayang naik ke udara?"
"Saya tidak tahu... saya tidak melihat. Tiba-tiba saja keduanya lenyap."
"Datuk, kalau Datuk mengizinkan dan memberi
petunjuk saya akan segera menuju lereng barat Gu-
nung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak membawa Ken Permata ke
dasar Danau Maninjau tapi
ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya harus
mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno Mantili..."
"Kita pergi berdua..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Tapi bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini tadi terus menerus berucap saya
harus datang seorang diri jika ingin Ken Permata selamat?"
Datuk Rao mengangguk. Dia sapukan saluang
emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih terbaring menelungkup di atas punggung
harimau putih sakti
bermata hijau. Lalu berkata pada Wiro.
76 | B a y i T i t i s a n
"Totokanmu pada tubuh perempuan itu sudah aku lenyapkan. Mulai sekarang dia akan
tidur sepanjang hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali."
Datuk Rao berkata pada Mande Saleha dan harimau
putih. "Kembalilah kau ke rumah gadang. Jaga perempuan itu. Dan kau Datuk Rao
Bamato Hijau, awasi kawasan ini. Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku."
Harimau putih merunduk dan menggereng perla-
han. Wiro mengusap tengkuknya lalu berkelebat
mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih dulu berkelebat ke arah
timur di mana di kejauhan
Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan puncak disaput awan putih kelabu.
77 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 11 EPAT tengah hari keeso-
kannya, hujan lebat
Tmengguyur Gunung Merapi
ketika Wiro sampai di lereng
barat. Dia berhenti di satu
lamping gunung di mana terda-
pat dinding batu berwarna ku-
ning dan merah pekat. Di be-
berapa tempat dinding batu ini
membentuk tonjolan-tonjolan
berwarna hitam. Sambil meman-
dang berkeliling Wiro keluarkan
ucapan. "Datuk, apakah Datuk ada di
sekitar sini?"
Terdengar suara jawaban pertahan, hampir meru-
pakan bisikan di telinga kiri sang pendekar.
"Aku ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh bicara..."
"Tapi Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat
berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini nama suatu
tempat atau nama benda..."
"Naiklak ke atas dinding batu merah kuning. Terus
mendaki sampai kau menemukan satu pedataran kecil
ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedatar-an kau akan melihat batu-
batu hitam bertebaran da-
lam berbagai bentuk. Pada bagian tengah pedataran
ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu 78 | B a y i T i t i s a n
bercabang dua, besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga tombak. Itulah Tunggul
Hitam. Cepat pergi ke sana
dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menjawab apapun yang kau tanyakan.
Aku tidak ingin
urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan
mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum
tahu siapa saja yang berada bersama Ken Permata.
Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali terpikat atau tertipu
dengan apa yang kau lihat!"
Wiro mengangguk kepalanya yang basah riap-
riapan. Dalam hati dia berkata. "Eh, memangnya aku mau melihat apa" Perawan
bugil" Nenek peot tidak
berpakaian" Atau dua ekor kucing lagi kawin" "Wiro tertawa-tawa seorang diri.
Ketika memperhatikan ke atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup
terjal dan licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan membuat batu-batu itu
menjadi sangat licin. Kelihatannya memang tidak ada cara lain mencapai peda-
taran di atas sana kecuali harus melewati hamparan batu yang membentuk dinding
terjal licin. Setelah memusatkan pikiran dan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat ke
udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat menjejakkan kaki di salah
satu tonjolan batu berwarna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga kali dia
berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian atas dinding batu terjal dan
dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak
belukar setinggi dada. Semak belukar ini bukan semak belukar biasa, tapi penuh
dengan duri yang laksana hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah.
Hujan dan tiupan angin yang cukup kencang mem-
buat semak belukar berduri itu sangat berbahaya.
Sementara dia masih memperhatikan keadaan di
79 | B a y i T i t i s a n
tempat aneh itu, pakaian putih Wiro sudah robek
terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu kanan.
Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Da-
lam udara dingin Wiro serta merta merasakan ada
hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih
besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata goresan duri telah membuat
kulitnya menggembung
kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas!
"Kurang ajar! Duri semak belukar ini mengandung racun! Betul ucapan Datuk. Orang
hendak menjebak
mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau
duri di tempat ini mengandung racun" Atau mungkin
ada orang yang belum lama menabur racun di peda-
taran ini. Benar-benar kurang ajar!"
Pendekar 212 cepat kerahkan tenaga dalam serta
hawa sakti yang disalurkan dari Kapak Naga Geni 212
yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti di-
ketahui Wiro memiliki kekebalan terhadap racun
namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi diri
lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati.
Hujan mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar
dan kilat menyabung di langit. Wiro memperhatikan ke depan. Dia melihat banyak
gundukan batu menyem-bul di antara semak belukar berduri. Gundukan batu itu
kebanyakan berbentuk bulat namun ada pula yang menyerupai binatang besar. Di
salah satu bagian pedataran tersembul batu hitam berbentuk pohon ber-
cabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga
tombak. "Tunggul Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti yang dikatakan Datuk?" ucap
Wiro. Dia lalu ingat. Dia tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu
orangpun di tempat itu. Dia kerahkan Ilmu Menem-80 | B a y i T i t i s a n
bus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa, Tiba-tiba Wiro merasa
tanah gunung yang
dipijaknya bergetar. Lalu ada suara berdesing panjang.
Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika di depan sana batu yang
disebut Tunggul Hitam perlahan-lahan bergerak naik ke atas, makin tinggi
hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di
tanah dan suara berdesing serta merta lenyap begitu Tunggul Hitam berhenti
bergerak naik. Sesaat kemudian samar-samar Wiro melihat
bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul Hitam.
Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa berdiri di cabang kiri
kanan. Orang yang kecil duduk berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang rata.
"Ken Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!"
ucap Wiro dalam hati, Dia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar yang ada sejarak dua belas
langkah dari hadapan
Tunggul Hitam. Namun baru saja dua kakinya berge-
rak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di
hadapannya laksana mahluk hidup mencuat tegak.
Mencari Ayah Kandung 2 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5
Saat itu tiga mahluk siluman ini telah merubah diri menjadi buntalan bola api
yang serta merta memenuhi goa dan siap membakar kedua orang itu. Sandaka cepat
terapkan Ilmu Batu Pualam pemberian Datuk Sipatoka. Saat itu juga seluruh
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam.
41 | B a y i T i t i s a n
Dia bisa bertahan walau mungkin tidak lama. Tapi-
bagaimana dengan Nyi Retno"
"Nyi Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan membantumu." teriak Sandaka.
"Tidak, apapun yang terjadi aku tetap di sini ber-samamu!" jawab Nyi Retno
Mantili yang membuat Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia
memeluk perempuan itu bersama boneka kayunya.
"Kalian berdua rupanya sudah saling mencinta!"
Dewi Ular berseru. Dia mendengar apa yang tadi di-
katakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan berterima kasih padaku karena
memberi kesempatan bagi kalian untuk mati bersama!"
Sandaka berbisik pada Nyi Retno.
"Kita harus dapat membunuh perempuan iblis itu!
Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku harus memancing untuk mengetahui di mana dia
berada! Aku perlu
bonekamu!"
"Untuk apa?" tanya Nyi Retno.
"Lihat saja nanti."
"Akan kuserahkan... Tapi aku mau tanya satu hal dulu. Hik...hik...hik. Kau pasti
marah." " Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!"
"Aku tahu, tapi ini urusan penting!"
"Cepat katakan apa yang mau kau tanya"!"
"Gurumu sudah jadi jerangkong alias sudah mati.
Apa kau masih hendak menikahi diriku"!"
"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus bisa keluar dari goa ini
dalam keadaan selamat!" Jawab Sandaka. "Boneka kayu..."
Nyi Retno serahkan boneka kayu pada Sandaka
seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan boneka tapi anakku Kemuning. Satu saja
rambutnya kau buat
rontok aku hajar kau sampai setengah mati!"
42 | B a y i T i t i s a n
Sandaka kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang
matanya dan saat itu juga dua mata berubah warna
menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang
pinggang boneka kayu erat-erat.
"Kunti Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama asli Dewi Ular. "Kalau kau
menghentikan serangan api siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa
ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona
padamu. Dengan senjata sakti itu kau bisa menyem-
buhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah
serta tubuh ularmu!"
"Manusia tolol! Kau kira kau bisa menipuku"! Keris Nagasona ada di pantai
selatan!" "Setahun lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya Ratu Laut Selatan untuk memegang
sepasang keris mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!"
Dewi Ular tertawa panjang.
"Kalau keris sakti itu ada padamu mengapa tu-
buhmu masih ditancapi paku" Mengapa kau tidak
mampu menyembuhkan diri sendiri"!"
"Keris Nagasona tidak bisa menyembuhkan penyakit yang sama pada diri seseorang
sampai dua kali."
"Aku tetap tidak percaya padamu! Kau punya
dendam kesumat besar terhadapku! Pasti kau mau
menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api ber-
sama gendakmu itu, aku akan tetap mendapatkan
keris Nagasona. "DewiUlar meniup ke depan. Kobaran api menggemuruh, bergerak
mendekati Sandaka dan
Nyi Retno Mantili.
"Perempuan setan! Aku ingin membunuhnya se-
karang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya berusaha mengambil boneka kayu dari
tangan Sandaka.
"Jangan berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah aku katakan!" kata Sandaka penuh
kawatir Nyi Retno 43 | B a y i T i t i s a n
akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka
tidak sanggup selamatkan diri dari tambusan api siluman.
"Kau keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris Nagasona tidak punya kemampuan
melawan api. Keris
ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan untuk menyembuhkan diri. Apa kau
tidak ingin hidup sampai seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi dalam
keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan
tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular seperti sekarang ini"!"
Dewi Ular terdiam sesaat. Lalu dia berteriak.
"Kalau begitu lemparkan sepasang keris sakti itu ke arahku!"
"Aku tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas berteriak Sandaka. Tiba-tiba
gelombang api siluman mereda. Namun Sandaka masih belum melihat perempuan itu.
"Kunti! Aku belum melihatmu!"
"Aku di sini!"
Gelombang api menyurut turun sampai sebatas
dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular yang
disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas.
Lalu dia melihat kepala dan sebagian tubuh perem-
puan itu. "Kunti! Aku akan melemparkan keris Nagasona ke arahmu!" teriak Sandaka.
"Lakukan cepat!"
"Kau berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno Mantili keluar dari goa ini
dalam keadaan selamat!"
"Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat lemparkan keris Nagasona!"
Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya.
Yang ada di tangan itu bukansepasang keris Nagasona 44 | B a y i T i t i s a n
tetapi boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu
cahaya hijau yang ada dalam sepasang mata si pe-
muda memancar menyorot terang.
"Hai! Mana kerisnya"! teriak Dewi Ular sambil mengapungkan diri ke atas, Saat
itulah dia melihat sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya
hijau! "Manusia jahanam kurang ajar! Kau menipuku!"
Dewi Ular gerakkan tangan kanannya. Manusia
Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka memencet
pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang
mata boneka. Bersamaan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur
pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak tertutup pemandangannya oleh
nyala kobaran api baru
menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar maut sudah berada di depan
matanya! Dewi Ular hanya mampu berteriak marah, masih
berusaha menyingkir selamatkan diri namun terlam-
bat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala,
dada, perut dan sepasang kaki. Tidak menunggu lebih lama Sandaka segera melesat
keluar goa sambil
mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas jurang batu pualam. Namun
hawa panas api siluman
telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi seba-
gian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya. Pemuda ini tidak mampu
mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya
melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno Mantili maka daya jatuh ke
bawah jadi dua kali lebih cepat.
Sandaka berusaha melentingkan tubuh ke dinding
jurang sebelah kanan. Namun gerakannya tidak lelu-
asa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus la-45 | B a y i T i t i s a n
pisan kaku batu pualam. Gerakan melenting yang
dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke
arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan
dinding jurang!
"Braakk!"
Punggung dan batu yang menonjol beradu keras.
Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang hancur
luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili ter-
lepas. "Nyi Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menye-lamatkanmu!" Sandaka berseru
lalu pemuda ini jatuh pingsan.Tubuhnya melayang ke dasar jurang.
Nyi Retno Mantili menjerit keras. Dia bukan beru-
saha menyelamatkan diri tapi malah melesat ke bawah menyusul jatuhnya Sandaka.
Dia berusaha menggapai
tubuh pemuda itu, namun jarak mereka terlalu jauh.
"Nyi Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan dirimu!" Teriak Sandaka.
"Jika aku selamat sedangkan kau tidak buat apa"!
Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati bersa-
mamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi Retno Mantili yang selama
ini diketahui memiliki otak tidak waras tapi saat itu menyatakan ingin mati
bersama dengan Manusia Paku Sandaka!
46 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 7 ANYA beberapa kejapan
mata tubuh Sandaka
Hakan terhempas di dasar
jurang yang dipenuhi batu pua-
lam keras dan runcing, hanya
beberapa saat saja kepala Nyi
Retno Mantili akan membentur
dinding jurang, tiba-tiba di atas
jurang ada teriakan teriakan ke-
ras. Lalu tampak dua orang ber-
kelebat terjun ke dalam jurang.
Gerakan mereka ringan dan sebat
sekali. Laksana dua ekor burung
raksasa keduanya melayang
menuju dasar jurang batu pualam. Yang satu me-
nyambar ke arah tubuh Manusia Paku Sandaka, sa-
tunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili.
Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua
orang itu berhasil menangkap tubuh-tubuh yang me-
layang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di se-la-sela bebatuan di dasar
jurang. "Syukur...syukur kita bisa menyelamatkan mereka.
Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku merasa
sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku terasa dingin. Kukira bulu
ketiakku rontok semua.
Ternyata masih utuh. Hik...hik...hik."
Yang bicara ini adalah seorang perempuan gemuk
gembrot mengenakan pakaian berupa celana monyet
47 | B a y i T i t i s a n
warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat tebal hitam tersembul
keluar. Dia yang barusan menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini berwajah
aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis
kuning. Telinga dicanteli anting-anting besar dari perak. Rambut seperti lidi,
tegak mencuat di atas kepala.
Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah.
Orang kedua yang menolong Nyi Retno Mantili
adalah pemuda gondrong berpakaian dan berikat ke-
pala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot
dia senyum-senyum. Sesekali dia usap kepala Nyi
Retno Mantili. "Aku tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkang-anku terasa dingin. Kantong
menyanku seperti hilang!
Waktu kuraba untung masih ada!"
Perempuan gemuk dan pemuda gondrong lalu ter-
tawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam
keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan dan tertawa gelak-gelak"
Yang gondrong bukan lain Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah
Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu bersama komplotannya pernah hendak
membunuh Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan
ginjalnya. Bagaimana Wiro dan Denok Tuba Biru bisa berada di tempat itu dan
sama-sama memberi pertolongan"
Seperti diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro
Sableng "Janda Pulau Cingkuk") Pendekar 212 mene-rima penjelasan dari Bujang
Gila Tapak Sakti bahwa Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka ke
tempat kediaman gurunya dan ada maksud kalau
Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk mele-
48 | B a y i T i t i s a n
nyapkan puluhan paku yang menancap di kepala,
wajah dan tubuhnya.
Karena Wiro memang sedang mencari Nyi Retno
Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken Permata yang ada di tempat kediaman
Datuk Rao Basaluang
Ameh di Danau Maninjau, dan dia tahu pula di mana
letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah
Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cem-
paka ke dasar laut selatan, murid Sinto Gendeng segera berangkat menuju jurang
batu pualam tempat
kediaman guru Sandaka.
Dalam perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro
tidak sengaja bertemu dengan Denok Tuba Biru yang
juga tengah menuju ke tempat yang sama guna me-nyambangi Sandaka yang pernah
mengampuni ji- wanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh
Nyi Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul
"Perjodohan Berdarah") Wiro sendiri sebelumnya juga telah pernah bertemu dengan
Denok Tuba Siru sewaktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya
pertama kali mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu Nenek Kembaran Ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu
ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca
"Si Cantik Gila Dari Gunung Gede")
Mula-mula Wiro merasa curiga melihat si gembrot
berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira perempuan aneh berdada besar dan berperut
gembrot serta berpaha
gempal ini telah memata-matai perjalanannya dan
punya niat jahat.
"Gembrot! Kalau kau punya niat jahat macam-
macam terhadapku, mukamu yang tembam akan
kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ke-
tiakmu aku cabuti sampai botak!"
49 | B a y i T i t i s a n
Mendengar ancaman Wiro, Denok Tuba Biru ber-
surut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan.
"Pendekar, kau mau menggebuki diriku sampai
bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan cabuti
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan mencium! Kalau kau mau
boleh saja!" Lalu si gembrot ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu tebal
hitam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tu-
buhnya yang gembrot dari dada sampai ke bawah
perut bergoyang-goyang.
Wiro akhirnya bersedia melakukan perjalanan
bersama perempuan itu. Ternyata kedua orang ini
cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu
dan jorok-jorok!
Ketika Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang
batu pualam, tiba-tiba dari dalam jurang mereka
mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali
itu adalah suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada dua tubuh melayang jatuh
ke dasar jurang, tidak
tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera
terjun ke dalam jurang.
Dengan ilmu kesaktian yang mereka miliki secara
luar biasa keduanya berhasil menyelamatkan Nyi
Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retna Mantili walau masih pingsan tampaknya tidak
mengalami cidera.
Lain halnya dengan Sandaka. Bagian tubuh sebelah
belakang Manusia Paku ini tampak memar kebiru-
biruan. Pemuda ini beruntung melindungi dirinya
dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam. Sehingga ketika punggungnya menghantam tonjolan
batu runcing di
dinding jurang lapisan batu pualam hancur berkep-
ing-keping namun tubuhnya masih bisa tersela-
matkan. Walau demikian setelah siuman ternyata
pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri. Dia 50 | B a y i T i t i s a n
hanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan.
Wiro dan Denok Tuba Biru berusaha menolong dengan
mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun
tidak berhasil.
" Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu Pualam seharusnya aku sudah mati
saat ini. Mati akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka keluarkan
ucapan menyesali nasib.
"Sobatku Sandaka, jangan berputus asa, Kau
hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat
benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan segera sembuh." Wiro
menghibur. "Aku berterima kasih kalian telah datang menolong.
Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku kawatir dia telah tiada. Aku tidak mampu
menyelamatkannya. Kalaupun aku hidup tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka ini
tidak akan pernah lenyap dari tubuhku."
"Kau tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam keadaan selamat. Tapi masih
pingsan." Menerangkan Denok Tuba Biru.
Sementara perempuan gemuk ini berusaha me-
nyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan
apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perempuan iblis Dewi Ular itu
benar-benar telah menemui ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam
ujud mahluk jahat Lainnya."
Tak selang berapa lama terdengar suara tarikan
nafas panjang. Lalu disusul jeritan keras. Itulah jeritan Nyi Retno Mantili yang
baru sadar dari pingsan.
"Sandaka..." Ucapan itu pertama kali keluar dari mulut Nyi Retno Mantili. Lalu
perempuan ini bergerak duduk. "Kemuning..." Nyi Retno menyebut nama.
anaknya si boneka kayu lalu memandang berkeliling.
Belum sempat melihat sosok Sandaka yang terbujur
51 | B a y i T i t i s a n
dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini
kembali menjerit. "Kemuning! Ayahmu ada di sini!"
Denok Tuba Biru mengernyit heran mendengar
ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak mengatakan
sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja.
"Kemuning! Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!"
Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari balik dada pakaiannya lalu kepala
boneka itu diusap-usapkannya ke pipi Pendekar 212.
"Anak manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau tidak menangis. Bagus...bagus.
Aku memang tidak
suka punya anak cengeng. Hik...hik...hik."
Mau tak mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi
terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno Mantill itu.
Wiro belai belakang kepala Nyi Retno.
"Nyi Retno aku senang bisa menemuimu walau
dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur kau sela-
mat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi... "
"Sandaka!" Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana dia"!"
"Nyi Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu telah menyelamatkan diriku. Telah
menyelamatkan kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku ber-
syukur pada Yang Maha Kuasa. Dia masih mengasihi
diriku. Walau cidera berat tapi aku masih bernafas... "
Nyi Retno Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro
lalu dia jatuhkan diri di samping Manusia Paku Sandaka.
"Aku bersumpah akan membunuh perempuan ular
itu! Aku bersumpah!"
"Dewi Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang membunuhnya waktu di goa. Apa
kau tidak ingat?"
"Ya aku ingat..." Nyi Retno anggukkan kepala. Ti-ba-tiba sepasang mata Nyi Retno
Mantili terpentang 52 | B a y i T i t i s a n
lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jerit-an keras. Tangan kiri
menunjuk ke arah dinding ju-
rang sebelah kiri.
"Ada apa Nyi Retno" "tanyaWiro.
Denok Tuba Biru memandang berkeliling. Dia me-
rasa kehadiran sesuatu tapi tidak melihat apa-apa.
"Lihat! Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di sana!"Teriak Nyi Retno Mantili.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang pembe-
rian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke arah yang
ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gendeng tercekat. Tengkuknya
terasa dingin. "Gila! Bagaimana mungkin!"
53 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 8 ANG disaksikan Pendekar
212 memang luar biasa.
YMengapung di depan
dinding jurang sebelah timur.
Tampak sosok Dewi Ular dalam
keadaan tanpa pakaian sama
sekali. Tubuh bugil itu menge-
luarkan cahaya kebiruan meng-
gidikan. Wajahnya yang cantik
pucat pasi seperti mayat Dan
sepasang mata, dua liang telinga
dan dua lobang hidung serta dari
mulut, menggeliat-geliat ular
merah berbelang hitam. Bina-
tang yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta lobang duburnya!
"Mati.... Mati! Siapapun yang ada di tempat ini harus mati! Harus ikut bersamaku
ke alam arwah! Matiii! Hik...hik...hik!"
Sosok bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan yang lain-lainnya yang
berada di dasar jurang. Dari sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur
keluar larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang
batu pualam serta merta tenggelam dalam cahaya
merah. Dengan gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat,
mengambil boneka kayu dari tangan Pendekar 212
Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka
54 | B a y i T i t i s a n
maka dua cahaya putih menyilaukan melesat keluar
dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke arah
datangnya serangan Dewi Ular. Wiro tidak tinggal
diam. Tangan kanan yang sudah berubah menjadi putih
perak dihantamkan ke depan. Selarik gelombang ca-
haya putih luar biasa panas menderu, mendorong
Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala yang tadi dilepaskan Nyi Retno Mantili.
Itulah Pukulan Sakti Sinar Matahari!
"Bummm! Bummmm!"
Dua letusan hebat menggelegar di dalam jurang.
Hawa panas menghampar dahsyat. Beberapa bagian
dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di
dasar jurang terbelah. Air kawah menggelegat dan
muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang ter-
dengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan srigala gurun pasir!
Denok Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap
tubuh Sandaka agar tidak terpental sementara Nyi
Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan wajah pucat pasi. Dada
mendenyut sakit. Wiro sendiri jatuh berlutut sambil dua tangan dipentangkan ke
depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang
hebat. Cahaya menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan Sepasang Batu Kumala lenyap
bersamaan dengan musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jejadian. Sosok
sepuluh ekor ular jejadian dan tubuh Dewi Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam
jurang kini menghampar bau kemenyan yang membuat semua orang
jadi bergidik mengkirik.
Sandaka berbisik pada Denok Tuba Biru.
"Apa yang terjadi?"
55 | B a y i T i t i s a n
"Aku tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi Retno menjerit lalu ada cahaya
merah. Wiro dan Nyi Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara
jeritan perempuan seperti loloogan srigala. Sekarang ada bau kemenyan."
"Dewi Ular..." ucap Sandaka. "Kali ini dia akan tenggelam di alam arwah untuk
selama-Iamanya. Dia
tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi.
Aku tahu betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan bau kemenyan menjadi akhir
riwayatnya... Rohnya
akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib
dalam ujud seekor srigala..."
"Aneh, mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya Denok Tuba Biru.
"Ayah Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya seekor ular. Keduanya mahluk
jejadian yang sudah lama mendekam di alam gaib." Menerangkan Sandaka.
"Ternyata ada mahluk yang lebih kapiran dari diriku... Hik...hik!" Si gembrot
bermuka biru tertawa cekikikan.
Wiro menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil
berkata. "Kita harus segera meninggalkan jurang ini.
Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman."
"Kau benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan aku di tempat ini."
"Aku tidakakan meninggalkanmu. Kalau aku pergi kau juga harus ikut!" kata Nyi
Retno Mantili pula.
"Nyi Retno, kau danWiro saja yang pergi. Aku akan menunggui Sandaka di tempat
ini sampai dia sembuh
dari kelumpuhan." Berkata DenokTuba Biru.
"Nyi Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih kalian mau memperhatikan
diriku.Tapi..."
"Aku akan menggendongmu asal kau mau berjanji."
Nyi Retno Mantili memotong ucapan Sandaka.
56 | B a y i T i t i s a n
Sandaka tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?"
"Kalau kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah sembuh, kau tidak akan
menikahiku!"
Sandaka terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa
menatap. Wiro garuk-garuk kepala.
"Selama ini aku selalu menginginkan kesembuhan dari sengsara paku-paku celaka
ini. Tekadku untuk
hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun
takdir agaknya menentukan lain. Nyi Retno, kau sa-
tu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau memang
tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah.
Aku memang sudah menduga kalau tidak akan pernah
bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk sela-
ma-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan
diriku. Jika umur sama panjang, jika Yang Maha Ku-
asa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan bertemu lagi."
Denok Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata.
"Aku akan tetap di sini. Aku akan berusaha mengobati sebisaku sampai cidera di
punggung Sandaka
sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah ber-
sama Nyi Retno Mantili. Bukankah kau punya niat
hendak membawanya menemui anaknya yang ber-
nama Ken Permata itu demi kesembuhan sakit inga-
tannya?" "Aku bingung..." kata Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku juga menginginkan
kesembuhan sahabatku Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama
bertahun-tahun..." Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno..."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan." Menukas Nyi Retno Mantili. "Bagaimana
mungkin aku bisa menikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku
Kemuning."
57 | B a y i T i t i s a n
"Nyi Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku... "
"Jadi kau menolak mengakui sebagai ayah Ke-
muning"!" Suara Nyi Retno Mantili setengah membentak."Lalu selama ini siapa kau
sebenarnya"!"
Pendekar 212 garuk kepala, tersenyum, meng-
geleng beberapa kali lalu berkata.
"Baiklah, aku mau saja dan tidak menolak kau
sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah kau
tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh
kau mau diajaknya ke tempat ini. Setelah sampai di sini kau menolak. Lihat
keadaan Sandaka, apa kau
tidak kasihan?"
"Aku hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah bilang mau nikah dengan dia!"
Untuk beberapa lama suasana di dasar jurang batu
pualam itu menjadi sunyi karena tidak ada satu
orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka
sangat sedih. Lalu terdengar suara Nyi Retno Mantili memecah kesunyian.
"Selama ini tidak ada orang yang kasihan pada diriku. sudah aku katakan. Aku
akan menggendong
Sandaka keluar dari dalam jurang ini."
"Nyi Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Apapun yang terjadi. Kau
pergilah bersama Wiro.
Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian
selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang me-
nungguiku di tempat ini."
"Aku merasa tidak ada urusan dengan ayah Ke-
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muning. Kalau kau tidak mau pergi, aku juga tidak
akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili lalu dudukkan diri di atas
satu gundukan batu.
Semua orang jadi bingung mendengar ucapan dan
melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun karena me-
nyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa 58 | B a y i T i t i s a n
dan pikiran mereka hanya diam saja. Denok Tuba Biru kemudian mendekati Wiro lalu
berbisik. "Kau pernah menceritakan riwayat kesembuhan
Sandaka. Bagaimana kalau aku yang dinikahinya"
Begitu saja repot!"
Wiro menatap si gembrot berwajah biru itu bebe-
rapa ketika. Dia hendak tertawa terbahak-bahak tapi batalkan niat dan balas
berbisik. "Kau tahu, perempuan yang harus dinikahi San-
daka adalah seerang perempuan sakti berkepandaian
tinggi. ..."
"Lalu apa aku bukan perempuan" Banci" Hik...hik!
Apa aku tidak punya kesaktian dan kepandaian ting-
gi?" tanya Denok Tuba Biru sambi! tusuk-tusuk rusuk kiri Wiro dengan ujung jari
tangan kanan hingga murid Sinto Gendeng menggeliat kegelian.
"Bukan cuma itu. Perempuannya juga harus yang otaknya tidak waras alias gila
alias sinting!"
"Hemm... Aku memang belum gila dan sinting beneran. Tapi gejala-gejalanya sudah
ada. iya kan"! Aku punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak...
Wiro tertawa. "Gembrot! Kau bukannya sinting tapi tolol! Ini bukan urusan bulu
ketiak!" Denok Tuba Biru tertawa haha-hihi.
"Kau suka pada pemuda itu?"Wiro bertanya.
"Terserah kau mau menilai bagaimana. Tapi aku menginginkan dia bisa sembuh dan
lepas dari azab
tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan dia denganmu pun aku maul
Hik...hik!"
Wiro menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar
Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut itu kini
yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan.
"Gembrot muka biru, aku tidak tahu mau menja-
wab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka, Kalau dia 59 | B a y i T i t i s a n
mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan
edan ini bisa dibereskan. Tapi yang penting apakah dia bisa mendapatkan
kesembuhan dari pernikahan
denganmu" Bagaimana kalau penyakitnya malah ke-
tambahan"!"
Denok Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini
menjadi bimbang setelah mendengar kata-kata ter-
akhir Pendekar212.
"Sudah, aku lebih baik mendekam di dasar jurang ini saja menungguinya sambil
berusaha mengobati."
Kata si gembrot berbulu ketiak lebat.
"Aku punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama menggotong Sandaka keluar dari
dalam jurang. Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang
baik untuknya. Dalam perjalanan ke sini aku melihat ada satu gubuk tua tak jauh
dari jurang. Kita bisa membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi aku
akan berusaha mencari seseorang untuk mengoba-
tinya..." "Aku menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi
Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama kita?"
"Kalau Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan dia tidak akan mengikuti. Biar
aku yang bicara padanya."
Setelah dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau
diajak meninggalkan tempat itu. Malah dengan ke-
saktian yang dimilikinya perempuan ini membantu
menggotong tubuh Sandaka di bagian pinggang. De-
nok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala, Wiro di bagian kaki. Sekali
ketiganya mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sosok
lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke
atas jurang. 60 | B a y i T i t i s a n
Tak berapa jauh dari jurang batu pualam memang
terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh
para penebang kayu di hutan untuk beristirahat.
Sandaka di bawa ke gubuk ini. Setelah berbaring beberapa saat Sandaka berkata.
"Terima kasih pada kalian semua. Aku kini berada di tempat yang aman dan baik.
Wiro dan Nyi Mantili, sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi.
Pergilah ke danau Maninjau untuk menemui Ken
Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di sini.
Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh..."
"Gila! Yang sakit memangnya aku atau kau"!" ucap Nyi Retno Mantili dengan mata
melotot. Sandaka
memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik.
"Kau harus menotok Nyi Retno. Baru bisa mem-
bawanya pergi dari sini."
"Danau Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang.
Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat untuk mem-
bawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk kepala. Wiro ingat pada batu sakti
milik Ratu Laut Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat batu itu." Kalau
saja Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru masih ada padaku...."
"Walau tidak dengan batu itu kau pasti punya cara lain untuk pergi ke sana. Aku
dengar kau punya ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma..."
Wiro merenung sejenak lalu kembangkan telapak
tangan kanan. Telapak tangan ditiup sambil mulut
berucap perlahan.
"Datuk Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu pertolonganmu."
Saat itu juga pada telapak tangan kanan Pendekar
212 muncul gambar kepala harimau putih bermata
hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng.
61 | B a y i T i t i s a n
Tanah bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang
lain-lain berada berderak-derak seperti hendak roboh.
Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul seekor harimau putih besar
bermata hijau. Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti peliharaan Datuk Rao
Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan
selama ini memelihara Ken Permata, bayi yang dila-
hirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan dengan
Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan.
Begitu Wiro mendatangi harimau putih segera
menjilati tangan sang pendekar. Wiro mengusap
tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil berkata.
"Datuk, aku sangat berterima kasih kau mau datang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa
aku dan Nyi Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh."
Harimau putih menggereng perlahan.
Mendadak terdengar jeritan Nyi Retno Mantili.
"Wiro, binatang celaka apa yang kau bawa ke sini!
Lihat, anakku Kemuning menangis ketakutan sete-
ngah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno Mantili menghambur
tinggalkan tempat itu.
"Nyi Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat mengejar. Denok Tuba Biru telah
lebih dulu berkelebat
sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan
Pernafasan. Dua larik sinar biru menusuk punggung dan betis kiri Nyi Retno
Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun kaku walau mulutnya masih
terus berteriak-teriak.
Wiro cepat usap urat besar di leher kiri kanan Nyi Retno Mantili hingga dia
tidak bisa lagi keluarkan suara. Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan
itu dan melompat ke punggung Datuk Rao Bamato
62 | B a y i T i t i s a n
Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat mening-
galkan tempat itu Wiro berkata pada Sandaka.
"Sobatku, apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi Retno Mantili akan sembuh
setelah bertemu dengan
bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat mele-
nyapkan tiga puluh paku bala yang menancap di tu-
buhmu?" Sandaka menghela nafas dalam. "Nasib manusia
ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya berusaha.
Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka kebahagiaan akan menjadi
bagian diriku dan mungkin itu merupakan setengah dari kesembuhan diriku.
Paling tidak kesembuhan batin."
"Kau orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan kembali ke sini secepat yang bisa
aku lakukan. Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi
Retno Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi
dan memberkahi kita semua."
Sandaka lambaikan tangan kanan. Sepasang ma-
tanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau
menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk tua berderak-derak. Sesaat
kemudian harimau sakti
itu melesat ke udara laksana hendak menembus langit lalu lenyap dari pemandangan
bersama dua penung-gangnya.
63 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 9 I TEPI danau Maninjau
Ken Permata duduk di
Datas batu, dua kaki di-
juntaikan ke dalam air. Di sam-
ping anak perempuan itu duduk
Mande Saleha, perempuan yang
menjaga dan mengasuhnya. Se-
sekali angin dari tengah danau
bertiup sejuk. Ikan-ikan bilis
berkerumun jinak tak jauh dari
batu tempat kedua orang itu
duduk. "Anak Mande Ken Permata,
anak rancak parmato hati, Hari
sudah rembang petang. Lihat matahari sudah merah
warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita pulang ke rumah gadang.
Berlama-lama di sini Datuk pasti akan mencari."
Anak perempuan yang belum mencapai usia dua
tahun itu dengan suara lincah menjawab.
"Mande tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak
akan mencari kita. Beliau tadi ada di balik pohon besar sana memperhatikan kita.
sekarang Datuk sudah
kembali ke goa pertapaannya."
Dengan perasaan heran Mande Saleha berpaling ke
arah pohon besar tak jauh dari tepi danau. Dia tidak melihat siapa-siapa. Sambil
memeluk anak yang kini 64 | B a y i T i t i s a n
memiliki tubuh lebih besar dari usianya, Mande Sa-
leha barkata. "Mande tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi me-
mang Datuk ada di balik pohon kita berdua tetap
harus kambali ke rumah gadang."
"Mande, saya tidak akan pulang sebelum orang
yang akan menemui saya datang."
Terkejut Manda Saleha mendengar ucapan Ken
Permata. "Anakku, apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang akan datang menemuimu?"
"Kalau Mande mau melihat orangnya, duduk saja di sini bersama saya..."
Mande Saleha menatap anak perempuan itu bebe-
rapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk, kini anak itu dipangku sambil terus
dipeluk erat-erat. Ada kekawatiran dalam diri perempuan ini.
Mande Saleha memandang berkeliling. Dia tidak
melihat orang lain di tempat itu. Di tengah danau juga tidak ada biduk yang
berlayar mencari ikan.
"Anakku, kita harus pulang sekarang juga." Mande Saleha lalu turun dari batu,
melangkah ke tepi telaga sambil terus mendukung Ken Permata. Tapi dengan
hanya bergerak sedikit saja anak perempuan itu telah meluncur turun ke tanah,
lalu lari kembali ke tepi danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang
bahu anak itu. Ketika dia hendak mendukung kembali sang pengasuh merasa heran.
Tubuh Ken Permata
berat sekali hingga jangankan untuk mendukung,
mengangkat saja dia tidak mampu.
"Anakku, apa yang terjadi dengan dirimu" Mengapa tubuhmu menjadi seberat batu
raksasa?" Ken Permata tersenyum, tidak menjawab perta-
nyaan pengasuhnya, malah berkata.
65 | B a y i T i t i s a n
"Mande, orang yang hendak menemui saya sudah
datang." Ken Permata bicara sambil sepasang mata beningnya menatap ke arah
danau. Mande Saleha cepat memperhatikan ke arah danau.
Tidak kelihatan satu orang pun, juga tidak ada pera-hu. Namun kemudian dia
melihat sebuah batangan
kayu mengapung di permukaan danau, bergerak per-
lahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana dia dan Ken Permata berdiri.
Bersamaan dengan itu telinganya menangkap suara tiupan serunai. Jantung
Mande Saleha berdetak, dada berdebar.
"Serunai itu... Aku pemah mendengar sebelumnya.
Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah... Apakah memang
dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam hati. Lalu perempuan ini
membungkuk sedikit dan
berbisik ke telinga si anak perempuan. "Nak, mana orang yang katamu hendak
menemui dirimu?"
"Ah Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu
orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu di tengah danau..."
Mande Saleha memperhatikan ke arah danau.
"Anakku, Mande tidak melihat apa-apa. Yang Mande lihat hanya batang kayu
terapung."
"Aduh Mande, orang itu berada di atas batang kayu itu Mande. Masakan Mande tidak
melihat?" ujar Ken Permata.
Mande Saleha membuka mata lebar-Iebar. Me-
ngucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak melihat orang yang dikatakan Ken
Permata." Bulu kuduk Mande Saleha merinding.
"Anakku, jangan-jangan kau melihat mahluk halus.
Sebelum kau keteguran dan menyebabkan kau bisa
jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini..." Perempuan itu lalu menarik
tangan Ken Permata. Tapi
66 | B a y i T i t i s a n
seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat menyebabkan Mande Saleha tidak
mampu membuatnya
bergerak sedikitpun.
"Mande, orang itu melambaikan tangan memanggil.
Saya harus menemuinya..."
"Tidak, kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus tetap di sini bersama Mande!"
Mande Saleha lalu mendekap Ken Permata erat-erat. Tapi dengan mudah
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi danau. Selanjutnya sulit
dipercaya tubuh Ken Permata melayang di udara, melesat ke arah batang kayu
terapung di permukaan danau dan berdiri di atas batang kayu itu! Mande Saleha
berteriak memanggil. Dia
merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak
sekecil itu, yang masih bayi belum berusia dua tahun mampu melesat di udara,
lalu berdiri di atas batang kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang
dewasa saja tidak semudah itu mampu melakukan
kalau tidak memiliki kepandaian tinggi.
" Onde mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo didapat anak ini hingga dia bisa
melompat dan berdiri di atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu Datuk
tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi kesaktian padanya." Mande Saleha
lalu berteriak memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya
serak. Tak lama kemudian sang pengasuh jadi terpera-
ngah. Di atas batang kayu, di depan Ken Permata dia melihat ada sosok seseorang.
Mula-mula samar, perlahan-lahan berubah bertambah jelas. Perempuan tua ini
menepuk-nepuk bahu Ken Permata, sementara
batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau.
Mande Saleha berteriak sejadi-jadinya namun clepp!
Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang tiba-tiba 67 | B a y i T i t i s a n
menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak bisa mengeluarkan suara, apa
lagi berteriak.
"Nenek itu..." ucap Mande Saleha hanya di dalam hati sementara mata terpentang
lebar ke arah danau.
Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha lantas saja dapat mengenali
perempuan tua yang ada di atas batang kayu bersama Ken Permata. Detak
jantung dan dugaannya ternyata benar.
"Memang dia..." desis Mande Saleha. Nenek tua yang berdiri di hadapan Ken
Permata di atas batang kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu
malam beberapa waktu lalu pernah menyelinap masuk
ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala yang
berambut putih perak digulung dihias lima sunting
rendah terbuat dari suasa. Pakaian kebaya panjang
kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam.
Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Parantili! Kekasih Datuk Rao
Basaluang Ameh di masa
muda. Dalam "Janda Pulau Cingkuk" dituturkan bahwa pada suatu malam Laras Parantili
mendatangi Datuk
Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken
Permata akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang
pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi Ratu Laut
Utara. Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia
kena ditipu oleh bekas kekasih di masa mudanya itu dengan racun kuning sehingga
sang datuk pingsan tak sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak mampu
mencegah terjadinya penitisan. Mande Saleha
sendiri sempat melihat Laras Parantili dan sempat
pula menyaksikan berlangsungnya penitisan.
"Dia muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia hendak berbuat jahat lagi. Celaka
apa yang hendak
68 | B a y i T i t i s a n
dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko!
Lindungi anak itu, lindungi Ken Permata.
Mande Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa
berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh lunglai. Ti-ba-tiba ada satu cahaya putih
berkelebat ke arahnya.
Sesaat kemudian dia mendengar suara.
"Perempuan pengasuh bayi titisan. Berucaplah
kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini. Kata-kanlah: Pendekar 212. Jika
kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke
Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok tengah hari tepat. Kau harus
datang seorang diri"
Beberapa totokan kemudian mendarat di kepala
Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri kanan, lalu pada bagian bawah dagu
dekat tenggorokan.Yang terakhir ada usapan di bagian mulutnya. Satu keanehan
kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha seperti orang kurang ingatan
mengeluarkan ucapan
yang selalu diulang-ulang: " Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken
Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung
Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
69 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 10 UARA jeritan Mande Sale-
ha membuat berhamburan
Skeluar penghuni rumah
gadang yang terletak tak jauh
dari tepian Danau Maninjau.
Sebelum orang-orang itu sampai
di tempat Mande Saleha berada,
Datuk Rao Basaluang Ameh su-
dah lebih dulu tiba di tempat itu.
Dia terkejut sekali melihat kea-
daan perempuan pengasuh Ken
Permata ini. Lebih-lebih ketika
menyaksikan dan mendengar
Mande Saleha yang bicara terus
mengulang ucapan yang sama seperti orang kema-
sukan roh gaib.
" Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat
datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari
tepat. Kau harus datang seorang diri."
Datuk Rao Basaluang Ameh mengucap istigfar be-
rulang Kali. "Saleha, kau ini keteguran mahluk halus atau bagaimana?" Sang Datuk pegang bahu
perempuan itu lalu menggoncang tubuhnya. Tapi Mande Saleha terus saja bicara
seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya.
Datuk Rao perhatikan wajah, terutama sepasang mata Mande Saleha. Dua mata
perempuan itu lebih banyak
70 | B a y i T i t i s a n
nyalang daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris
tidak bergerak. Lalu dia melihat ada tanda kebiruan di pelipis kiri kanan sarta
tenggorokan samentara mulut bicara terus mangulang-ulang ucapan.
" Totokan Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini pakerjaan Laras Parantili! Tanpa
sadar perempuan ini bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!"
Dengan cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil
saluang (semacam seruling) emas yang terselip di
pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di
tubuh Mande Saleha. Saat itulah tiba-tiba satu ba-
yangan putih melesat disertai suara orang berucap.
"Datuk, dia menyebut nama saya. Biar saya yang melepas totokannya!"
Belum sempat Datuk Rao Basaluang Ameh ber-
paling tahu -tahu desss...dess...dess!
Dua tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu
tusukan lagi di tenggorokan membuat totokan yang
menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas
dari totokan perempuan ini mengeluh panjang,
menggeliat lalu terguling di tanah. Muka pucat pasi.
Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Da-
tuk Rao usap kepala dan wajah Mande Saleha. Mulai
sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata ini meng-
gerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan
hingga Mande Saleha menghentikan tangisnya sendiri.
Orang tua ini berpaling ke kanan di mana berdiri sosok tegap pemuda berambut
gondrong berpakaian putih
yang saat itu cepat-cepat membungkuk hormat, me-
nyalami dan mencium tangannya.
"Datuk, saya muridmu. Terima salam hormat saya dan mohon dimaafkan kalau tadi
saya telah berbuat
lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong
Ibu ini..."
71 | B a y i T i t i s a n
Orang tua sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu si pemuda.
"Pendekar dari tanah Jawa, aku memang sudah
lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau da-
tang ke sini dalam keadaan kurang menggem-
birakan..." Sang Datuk melirik ke arah harimau putih bermata hijau peliharaannya
yang tegak di samping si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Diatas punggung binatang sakti ini terbujur melintang menelungkup
seorang perempuan bertubuh
mungil dalam keadaan seperti tertidur pulas. "Perempuan itu, apakah istri Patih
Kerajaan tanah Jawa?"
Bertanya Datuk Rao.
Wiro mengangguk lalu kembali meminta maaf atas
kelancangannya meminta tolong Datuk Rao Bamato
Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Ma-
ninjau ini. Saya..."
"Anak muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk berbuat baik yang diredohi Allah
seseorang wajib
mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi Retno sudah berada di sini
untuk kita pertemukan
dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah terjadi."
"Datuk, apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Ken Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika sebelum kau sampai di sini."
Wiro terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau
sampai dua kali bayi Nyi Retno diculik orang dari pe-ngawasan orang tua
berkepandaian tinggi seperti
Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberikan
banyak ilmu kesaktian padanya dan telah dihor-
matinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya Ken Permata pernah diculik
oleh Wira Bumi dibantu
oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga
72 | B a y i T i t i s a n
datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu
dapat diselamatkan. (Baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Bayi Satu
Suro") "Datuk, apakah Datuk tahu siapa yang menculik bayi Nyi Retno Mantili?"
Datuk Rao Basaluang Ameh anggukkan kepala.
"Aku sudah bisa menduga karena hanya satu orang yang bisa menembus ilmu
kesaktian Selusin Jaring Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi bayi
itu. Agar lebih jelas mari kita tanyakan pada Mande Saleha apa yang telah
terjadi. Dia sudah berhenti menangis, keadaannya sudah mulai tenang."
"Saya juga ingin menanyai mengapa dia menye-
but-nyebut nama saya. Meminta saya datang seorang
diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau ingin mendapatkan Ken
Permata dalam keadaan selamat."
"Orang jahat tengah memasang jebakan untuk kita, terutama dirimu."
"Siapa Datuk?" tanya Wiro pula.
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Diikuti Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh men-
datangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala pe-
rempuan itu sang Datuk berkata.
"Saleha, hentikan tangismu! Katakan apa yang
terjadi." "Saya mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau
menghukum saya bagaimana. Saya telah berusaha
menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu muncul or...orang itu
Datuk. Dia datang lagi... Saya tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari de-
kapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau
dan berdiri di samping perempuan tua itu, di atas
73 | B a y i T i t i s a n
batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke
tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi."
"Orang itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa dia Saleha" Apa kau
mengenalinya?"tanya Datuk Rao.
"Dia perempuan tua bersunting suasa yang muncul di rumah gadang waktu terjadi
penitisan atas diri Ken Permata."
Datuk Rao menghela nafas panjang. Wajahnya yang
kelimis langsung berubah. "Ternyata memang dia..."
ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras Parantili."
"Laras Parantili. Siapa dia Datuk" Saya tidak pernah mendengar nama orang ini
sebelumnya," Tanya Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir jangan-jangan
roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang
muncul kembali. "Saya juga heran mendengar kete-rangan Ibu ini. Ken Permata bayi
yang menurut saya belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah
danau dan berdiri di atas batang kayu terapung. Hal itu hanya bisa dilakukan
oleh orang berkepandaian
silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
puncaknya. Bagaimana bisa
terjadi?" "Laras Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh menyebut nama sang kekasih di masa
muda dengan su-
ara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana
mungkin. Aku telah melindungi seputar tempat ini
dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Ternyata dia masih bisa menembusnya.
Mungkin dia memiliki
bubuk bunga sakti penangkal ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu?" Si orang tua
merenung sejenak lalu berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah kekasihku di
masa muda. Kami tidak kunjung jadi me-
nikah karena berbagai kendala yang muncul secara
74 | B a y i T i t i s a n
tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui
kalau kekasihku itu memiliki hati yang tidak seputih wajahnya tidak pula
sebersih pakaian yang dikena-kannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia
bisa berubah. Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi. Malah dengan
kemunculannya menjadi pelin-
dung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia telah membuktikan kalau
dirinya tidak berubah, dia tetap culas seperti di masa lalu."
"Datuk, saya ikut merasa sedih mendengar cerita Datuk. Tapi ada yang tidak saya
mengerti. Ken Permata ketitisan. Ketitisan roh siapa?"
"Bayi itu ketitisan roh seorang perempuan muda yang mengaku Ratu Laut Utara
bernama Nyi Harum
Sarti..." Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan iblis itu rupanya yang punya
pekerjaan. Saya tahu, dia memang pernah mengancam akan melakukan penitisan atas
diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa berbuat keji pada seorang bayi yang
tidak berdosa?"
(Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti bisa dibaca dalam
serial Wiro Sableng
sebelumnya berjudul "Cinta Tiga Ratu")
"Ken Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua tahun lagi. Tubuhnya tumbuh
besar menyerupai anak
lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu kesaktian. Ilmu kesaktian
itu berasal dari roh yang menitis atas dirinya."
"Sangat berbahaya..." ucap Wiro sambil menggaruk kepala. Lalu dia berpaling pada
perempuan pengasuh Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil menolong
perempuan ini berdiri Wiro bertanya.
Wiro Sableng 165 Bayi Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
75 | B a y i T i t i s a n
"Ibu coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana menghilangnya Ken Permata
bersama perempuan
yang menculiknya itu."
Setelah memandang berkeliling perempuan itu
menunjuk ke tengah danau. "Keduanya berada di atas sebuah batang kayu. Meluncur
ke tengah danau. Lalu ada cahaya putih menyelubungi sekujur tubuh saya.
Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bicara terus tapi saya tidak
tahu apa yang saya katakan..."
Datuk Rao Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro
Sableng memperhatikan sekeliling danau, Mereka ti-
dak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Sa-
leha. Wiro bertanya lagi.
"Ibu, Ken Permata dan perempuan tua bersunting itu, apakah dia lenyap masuk ke
dalam danau atau
melayang naik ke udara?"
"Saya tidak tahu... saya tidak melihat. Tiba-tiba saja keduanya lenyap."
"Datuk, kalau Datuk mengizinkan dan memberi
petunjuk saya akan segera menuju lereng barat Gu-
nung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak membawa Ken Permata ke
dasar Danau Maninjau tapi
ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya harus
mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno Mantili..."
"Kita pergi berdua..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Tapi bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini tadi terus menerus berucap saya
harus datang seorang diri jika ingin Ken Permata selamat?"
Datuk Rao mengangguk. Dia sapukan saluang
emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih terbaring menelungkup di atas punggung
harimau putih sakti
bermata hijau. Lalu berkata pada Wiro.
76 | B a y i T i t i s a n
"Totokanmu pada tubuh perempuan itu sudah aku lenyapkan. Mulai sekarang dia akan
tidur sepanjang hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali."
Datuk Rao berkata pada Mande Saleha dan harimau
putih. "Kembalilah kau ke rumah gadang. Jaga perempuan itu. Dan kau Datuk Rao
Bamato Hijau, awasi kawasan ini. Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku."
Harimau putih merunduk dan menggereng perla-
han. Wiro mengusap tengkuknya lalu berkelebat
mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih dulu berkelebat ke arah
timur di mana di kejauhan
Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan puncak disaput awan putih kelabu.
77 | B a y i T i t i s a n
WIRO SABLENG BAYI TITISAN 11 EPAT tengah hari keeso-
kannya, hujan lebat
Tmengguyur Gunung Merapi
ketika Wiro sampai di lereng
barat. Dia berhenti di satu
lamping gunung di mana terda-
pat dinding batu berwarna ku-
ning dan merah pekat. Di be-
berapa tempat dinding batu ini
membentuk tonjolan-tonjolan
berwarna hitam. Sambil meman-
dang berkeliling Wiro keluarkan
ucapan. "Datuk, apakah Datuk ada di
sekitar sini?"
Terdengar suara jawaban pertahan, hampir meru-
pakan bisikan di telinga kiri sang pendekar.
"Aku ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh bicara..."
"Tapi Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat
berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini nama suatu
tempat atau nama benda..."
"Naiklak ke atas dinding batu merah kuning. Terus
mendaki sampai kau menemukan satu pedataran kecil
ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedatar-an kau akan melihat batu-
batu hitam bertebaran da-
lam berbagai bentuk. Pada bagian tengah pedataran
ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu 78 | B a y i T i t i s a n
bercabang dua, besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga tombak. Itulah Tunggul
Hitam. Cepat pergi ke sana
dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menjawab apapun yang kau tanyakan.
Aku tidak ingin
urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan
mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum
tahu siapa saja yang berada bersama Ken Permata.
Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali terpikat atau tertipu
dengan apa yang kau lihat!"
Wiro mengangguk kepalanya yang basah riap-
riapan. Dalam hati dia berkata. "Eh, memangnya aku mau melihat apa" Perawan
bugil" Nenek peot tidak
berpakaian" Atau dua ekor kucing lagi kawin" "Wiro tertawa-tawa seorang diri.
Ketika memperhatikan ke atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup
terjal dan licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan membuat batu-batu itu
menjadi sangat licin. Kelihatannya memang tidak ada cara lain mencapai peda-
taran di atas sana kecuali harus melewati hamparan batu yang membentuk dinding
terjal licin. Setelah memusatkan pikiran dan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat ke
udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat menjejakkan kaki di salah
satu tonjolan batu berwarna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga kali dia
berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian atas dinding batu terjal dan
dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak
belukar setinggi dada. Semak belukar ini bukan semak belukar biasa, tapi penuh
dengan duri yang laksana hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah.
Hujan dan tiupan angin yang cukup kencang mem-
buat semak belukar berduri itu sangat berbahaya.
Sementara dia masih memperhatikan keadaan di
79 | B a y i T i t i s a n
tempat aneh itu, pakaian putih Wiro sudah robek
terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu kanan.
Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Da-
lam udara dingin Wiro serta merta merasakan ada
hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih
besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata goresan duri telah membuat
kulitnya menggembung
kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas!
"Kurang ajar! Duri semak belukar ini mengandung racun! Betul ucapan Datuk. Orang
hendak menjebak
mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau
duri di tempat ini mengandung racun" Atau mungkin
ada orang yang belum lama menabur racun di peda-
taran ini. Benar-benar kurang ajar!"
Pendekar 212 cepat kerahkan tenaga dalam serta
hawa sakti yang disalurkan dari Kapak Naga Geni 212
yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti di-
ketahui Wiro memiliki kekebalan terhadap racun
namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi diri
lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati.
Hujan mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar
dan kilat menyabung di langit. Wiro memperhatikan ke depan. Dia melihat banyak
gundukan batu menyem-bul di antara semak belukar berduri. Gundukan batu itu
kebanyakan berbentuk bulat namun ada pula yang menyerupai binatang besar. Di
salah satu bagian pedataran tersembul batu hitam berbentuk pohon ber-
cabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga
tombak. "Tunggul Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti yang dikatakan Datuk?" ucap
Wiro. Dia lalu ingat. Dia tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu
orangpun di tempat itu. Dia kerahkan Ilmu Menem-80 | B a y i T i t i s a n
bus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa, Tiba-tiba Wiro merasa
tanah gunung yang
dipijaknya bergetar. Lalu ada suara berdesing panjang.
Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika di depan sana batu yang
disebut Tunggul Hitam perlahan-lahan bergerak naik ke atas, makin tinggi
hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di
tanah dan suara berdesing serta merta lenyap begitu Tunggul Hitam berhenti
bergerak naik. Sesaat kemudian samar-samar Wiro melihat
bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul Hitam.
Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa berdiri di cabang kiri
kanan. Orang yang kecil duduk berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang rata.
"Ken Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!"
ucap Wiro dalam hati, Dia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar yang ada sejarak dua belas
langkah dari hadapan
Tunggul Hitam. Namun baru saja dua kakinya berge-
rak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di
hadapannya laksana mahluk hidup mencuat tegak.
Mencari Ayah Kandung 2 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5