Petaka Patung Kamasutra 1
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra Bagian 1
Petaka Patung Kamasutra
Ebook oleh : Agam Vikapip dilanjutkan oleh Dewi Tiraikasih
GURUN Pasir Thar dl barat laut India. Matahari bersinar terik membakar bumt.
Tiupan angin bukan mendatangkan kesejukan malah menebar hawa panas. Lautan pasir
seolah berubah menjadi bubuk bara api. Namun aneh dan sangat luar biasa dalam
keadaan seperti itu seorang tua berselempang kain putih berlari dl gurun pasir
tanpa alas kaki sama sekali Rambut dan janggut putih panjang melambai-lambai ke
belakang. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat besar berbalut emas yang
ujung sebelah atas berbentuk bulat dihias batu permata berbagai warna. Saking
cepatnya dia berlari tubuhnya hanya kellhatan berupa bayangan putih dan tongkat
di tangan kanan membentuk cahaya kuning. Di satu tempat cahaya putih dan kuning
sirna, sosok si orang tua laksana lenyap ditelan bumi. Tak selang berapa lama
dia sudah berada dl dalam satu lorong panjang di perut gurun.
Orang tua itu baru berhenti berlari setelah dia sampal di hadapan satu tembok
batu berwarna hitam pekat yang menutupi lorong dl bawah gurun. Setelah mengusap
wajah beberapa kali, orang tua ini hunjamkan tongkat besi berpalut emas ke
tanah. Sinar kuning berkiblat menyapu seantero ruangan. Si orang tua tundukkan
kepala lalu keluarkan ucapan.
"Resi Ketua Khandwa Abitar, saya Resi Kepala Mirpur Patel datang menghadap
membawa kabar."
Suara orang tua yang menyebut diri sebagai Resi Kepala Mirpur Patel bergema di
dalam lorong. Begitu suara gema lenyap tiba-tiba di tembok ada satu kilatan
cahaya biru. Di lain kejap di depan tembok batu hitam itu telah berdiri seorang
lelaki tinggi besar, berpakaian selempang kain biru. Kulitnya agak kehitaman,
rambut, alis, janggut serta kumis putih seperti kapas. Di tangan kanan dia
memegang sebuah tongkat terbuat dari batu biru, berkeluk pada ujung sebelah
atas. Batu tongkat yang merupakan batu mustika ini konon bernilai Iebih dari
seratus kali nilai emas murni.
"Resi Kepala, aku sudah ada di hadapanmu. Sampaikan kabar yang kau bawa. Baik
atau buruk?"
"Maafkan saya Resi Ketua. Saya datang membawa kabar buruk." Jawab Resi Kepala
Mirpur Patel. "Aku sudah melihat dari raut wajahmu," kata Resi Ketua pula dengan mata
memandang tak berkesip.
"Saya ingin memberi tahu, Patung Kamasutra yang disimpan di tempat rahasia dalam
Goa Binaker lenyap.
Hal ini saya ketahui pagi tadi" Habis berkata begitu Mirpur Patel jatuhkan diri.
Dengan menjatuhkan diri, berlutut di depan Resi Ketua, Mirpur Patel memberi
tanda bahwa dia mengakui dosa, sangat menyesal dan siap dihukum.
"Resi Kepala, berdirilah."
Resi Mirpur Patel perlahan-lahan bangkit berdiri. Kepala masih tertunduk seolah
tidak berani menatap wajah sang Ketua.
Walau ucapan Resi Kepala lebih dahsyat dari gelegar petir di siang bolong namun
Resi Ketua masih mampu berlaku tenang. Suaranya bergetar ketika berkata.
"Aku biasa mendapat kabar buruk. Tapi aku sama sekali sangat tidak menyangka
bahwa kabar yang kau bawa adalah lenyapnya Patung Kamasutra yang berusia lebih
dan lima nibu tahun dan telah disimpan di Goa Binaker selama dua ribu delapan
ratus tahun. Ada tujuh pintu rahasia menuju ke goa penyimpanan patung kuna itu.
Patung diletakkan di dalam satu keranda kaca. Jangankan sampai keranda Itu
disentuh, tertiup angin atau dihinggapi lalat saja alat rahasia akan bekerja.
Dua ratus senjata rahasia akan bergerak, lima jenis racun akan menyembur ke
dalam goa."
Saya juga tidak mengerti namun saya tidak mau mencari alasan.
Saya mengakui, semua terjadi atas kelalaian saya." Ucap Resi Mirpur Patel pula.
Resi Ketua Khandawa Abitar usap janggut, mata terpejam dan benak berpikir. Lalu
dia berucap. "Resi Kepala, antarkan aku ke Goa Binaker. Kalau tidak melihat
dengan mata kepala sendiri rasanya aku masih kurang percaya"
Mendengar ucapan Rest Ketua, Resi Kepala segera pindahkan tongkat yang
dipegangnya ke tangan kiri.
Lalu tangan kanan ditempelkan ke lengan Resi Ketua yang memegang tongkat batu.
Satu cahaya biru berkiblat menyelubungi seluruh ruangan. Saat itu juga ke dua
Resi lenyap dari tempat Itu. Di lain kejap mereka sudah berada di depan mulut
Goa Binaker, sebuah goa rahasia yang terletak di sebelah timur Gurun Pasir Thar.
Di dalam goa dua belas orang Resi berselempang kain putih menyambut kedatangan
Resi Kepala dan Resi Ketua. Mereka sama tundukkan kepala. Di wajah masing-masing
terlihat perasaan takut.
Setelah melewati enam pintu rahasia di pintu ke tujuh Resi Ketua Khandawa Abitar
menekan sebuah tonjolan batu. Konon hanya dia dan Resi Kepala yang memliliki
ilmu kesaktian untuk mampu menekan tonjolan batu tersebut. Tekanan pada batu
yang menonjol bukan saja membuat pintu rahasia ke tujuh terbuka tapi sekaligus
membuat dua ratus alat rahasia yang ada di dalam ruangan di balik pintu tidak
bekerja lagi, lima jenis racun tak dapat menyembur.
Ketika masuk ke dalam ruangan, Resi Ketua melihat banyak pasir bertebaran di
lantai batu. Di tengah ruangan batu yang terletak dl balik pintu rahasia ke
tujuh, terdapat sebuah gundukan batu yang bagian atas 2
rata licin dan berkliat. Dl atas batu ini terletak satu keranda kaca yang bagian
bawahnya di buat agak tinggi demikian rupa dan ditutup kain beludru biru pekat.
Setelah memperhatikan keranda kaca itu beberapa lama Resi Ketua Khandawa Abitar
berkata "Luar biasa! Sungguh luar biasa Keranda kaca tidak pecah tidak rusak. Tapi
Patung Kamasutra yang ada di dalamnya bisa lenyap tak berbekas! Siapa
pencurinya, ilmu kesaktian epa yang dipakainya untuk masuk ke sini dan mencuri
Patung itu. Resi Ketua berpaling pada Resi Kepala, di sampingnya. "Resi Kepala,
satu hal perlu aku beri tahu padamu. Ketika aku menekan tonjolan batu di pintu
ke tujuh, aku sudah tahu ada kerusakan pada alat rahasia dan alat penyembur
racun." Saya juga sudah memperkirakan hal Itu pagi tadi sewaktu memerika," jawab Resi
Mirpur Patel. "Berarti si pencuri masuk melewati tujuh pintu dan...." Resi
Kepala hentikan ucapan, memandang pada Resi Khandwa Abitar. "Hanya kita berdua
yang mampu menekan tonjolan batu ltu...." Mendadak wajah Resi Kepala berubah
pucat. Resi Ketua gelengkan kepala. "Resi Kepala, tak ada yang akan menuduhmu sebagal
pencuri Patung Kamasutra. Walaupun kau mampu masuk ke ruangan ini, kau tak punya
kepandaian untuk mengambli Patung Kamasutra, tanpa memecah kaca keranda. Kau
lihat atap ruangan sebelah sana?"
Resi Kepala memandang ke arah yang ditunjuk Resi Ketua.
"Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, tidak akan kelihatan adanya kelainan
di atap batu Itu." Setelah berkata begitu Resi Ketua dongakkan kepala lalu
meniup ke arah atap batu.
"Wusss!"
"Braaakkk!"
Tiupan Resi Ketua membuat saat itu juga atap batu berlubang besar. Angin menderu
masuk dari luar.
Pecahan kepingan batu atap berjatuhan ke lantai bersama tebaran pasir gurun.
Dari tempatnya berdiri Resi Kepala dapat melihat jelas langit di luar sana. Hawa
panas Gurun Thar ikut menyeruak masuk.
"Dengan kepandaiannya si pencuri lebih dulu merusak semua peralatan rahasia. Itu
dilakukannya setelah dia menjebol atap ruangan dari luar. Sebelum kabur dia
menutup lobang di atas. Kukira dia berusaha menipu kita dengan membawa sebuah
keranda kaca kosong yang sama dengan keranda kaca tempat Patung Kamasutra
diletakkan. Keranda kaca berisi patung diambil, keranda kosong diletakkan
sebagat pengganti. Sepintas lalu terithat tidak ada perbedaan Tapi coba kau
perhatikan. Keranda kaca ini bukan keranda kaca yang asli!"
Resi Kepala perhatikan keranda kaca yang terletak di atas batu rata.
"Resi Ketua, saya mengaku lalai. Keranda kaca ini memang bukan keranda kaca yang
asli" "Resi Kepala, kau tahu malapetaka apa yang akan terjadi jika patung itu berada
di dunia luar sana" Aku tak bisa membayangkan."
"Saya berharap si pencuri tidak mengetahui kekuatan jahat yang tersembunyi di
dalam patung," kata Resi Mirpur Patel lirih. Lalu dia menyambung ucapannya."Resi
Ketua, saya mengaku salah. Saya siap menjalani hukuman."
Resi Ketua Khandawa Abitar merenung sejurus lalu berkata. "Aku tidak berhak
menghukummu. Manusta tidak layak menjatuhkan hukuman atas manusia lain karena
belum tentu si penghukum lebih bersih dan lebih suci dari yang terhukum. Biarlah
para Dewa yang akan menentukan apa yang bakal terjadi"
Resi Mirpur Patel terdiam. Wajahnya tampak sangat murung menyesali diri. Sejurus
kemudian baru dia berkata. "Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua, berikan
kesempatan pada saya untuk menebus dosa."
"Apa maksudmu Resi Mirpur Patel "
Sebagat jawaban Resi Kepala berkelebat melompat ke arah tembok ruangan sebelah
kanan. Resi Ketua berusaha mencegah tapi terlambat.
Kepala Resi Mirpur Patel beradu dengan tembok batu, mengeluarkan suara
menggidikkan. Kepala itu rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh. Nyawanya putus
sebelum tubuhnya menyentuh lantai ruangan.
Resi Khandawa Abitar mengusap. wajah, menghela nafas dalam berulang kali, lalu
berkata. "Resi Mirpur Patel, itu bukan kehendak para Dewa, tapt kemauan dirimu
sendiri" Resi Ketua hentakkan ujung tongkatnya ke lantal batu. Selarik cahaya biru
menebar menutupi seluruh ruangan. Sewaktu cahaya itu sirna. sosok Resi Ketua tak
kelihatan lagi di tempat itu.
Angin gurun yang menyapu dan mengikis lobang batu di atap menimbulkan suara aneh
berkepanjangan.
Pasir gurun semakin banyak yang masuk ke dalam ruangan. Pada saat itu terjadi
satu keanehan. Dari sosok mayat Resi Kepala Mirpur Patel yang terkapar di lantai
batu tiba-tiba keluar satu sosok samar laki-laki berpakaian hitam. Di tangan
kanan dia memegang sebuah patung kecil terbuat dan batu berwarna abu-abu
kehitaman. Patung itu memancarkan cahaya merah redup.
"Wuttt!!"
Sosok samar berkelebat ke arah lobang di atas atap dan lenyap dari pemandangan.
Angin gurun bertiup semakin kencang. Pasir gurun yang masuk ke dalam ruangan
bertambah banyak. Lima hari kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu
telah tertimbun tumpukan pasir gurun.
3 Desa Manding di utara Sumenep. Sang surya belum lama muncul di ufuk timur, masih
belum pupus titik-titik embun di permukaan dedaunan. Sindang, seorang anak
lelaki penggembala itik, ketika menyusuri tepian Kali Pasian mendadak melihat
sepasang kaki putih mulus tersembul dan balik serumpunan semak belukar.
Diselubungi perasaan heran dan juga takut anak ini melangkah mendekati. Dia jadi
terkejut ketika mendapatkan sosok tubuh seorang gadis tergeletak di balik semak-
semak tanpa secuil kainpun menutupi auratnya. Sindang memperhatikan wajah cantik
pucat, bibir kebiruan. Di kening menempel sekuntum bunga kecil sebesar ujung
kuku berwarna putih kekuningan. Bunga tanjung. Sekujur tubuh anak penggembala
ini bergetar. Kakinya goyah bersurut mundur. Dia. rnengenali gadis yang
tergeletak di tanah itu. Setelah mengumpulkan keberanian dia berjongkok di
tanah. Masih takut-takut, tapi juga tidak tahu pasti apa yang terjadi
Sebenarnya, Sindang ulurkan tangan menggoyang bahu si gadis.
"Kakak Rui Semanti mengapa tidur di sini" Mengapa tidak pakai baju?"
Setelah berulang kali menegur dan menggoyang bahu orang namun tak ada jawaban
tak ada gerakan bocah penggembala jadi bingung. Dia tak dapat lagi menahan rasa
takut. "Kakak Rui Semanti sudah mati. Sudah jadi mayat ..." Sindang berucap terbata-
bata lalu melompat bangkit.
Tidak pikir panjang lagi, tanpa perdulikan belasan itik angonannya yang
berpencaran kian kemari, anak ini lari ke arah desa sambil berteriak-teriak. Dia
tahu rumah gadis benama Rui Semanti itu, tapi dia tidak menuju ke sana karena
agak jauh di selatan desa. Sindang lari ke arah barat dimana terletak rumah
Kenda Jamitan, pemuda kekasih Rui Semanti. Semua orang di desa Manding termasuk
anak penggembala itu mengetahul bahwa bulan dimuka Rui Semanti dan Kenda Jamitan
akan melangsungkan pernikahan.
Sindang kenal baik dengan Kenda Jamitan karena pemuda itu sering mengajaknya
main layang-layang.
Sampai di rumah Kenda Jamitan, Sindang langsung menggedor pintu depan seraya
berteriak-teriak.
"Kakak Kenda! Kakak Kenda!" Si bocah terengah-engah hampir kehabisan nafas.
Beberapa tetangga menjulurkan kepala di jendela ingin mengetahut anak siapa yang
pagi-pagi begitu berteriak-terak,dan apa Yang terjadi. Tak lama kemudian pintu
rumah terbuka. Seorang pemuda berkumis tipis, berkulit sawo matang keluar.
"Kakak Kenda....!"
"Sindang" ada apa! Pagi-pagi kau muncul di sini. Bukankah seharusnya kau pergi
menggembala?" tanya pemuda berkumis bernama Kenda Jamitan.
"Kakak Kenda..." Sindang menunjuk ke arah timur. "Saya ... saya menemukan kakak
Rui Semanti di tepi sungai"
"Hah Kau pasti mengintipnya mandi. Awas, kujewer kupingmu sampai putus" Kenda
Jamitan ulurkan tangan.
"Tidak, sumpah saya tidak berbuat nakal. Saya menemukan Kakak Rui tidak
mengenakan pakaian.
Mukanya pucat, bibirnya biru, dua mata terpejam. Saya ...." Sindang lalu
menangis keras.
"Apa"!" Kenda Jamitan terkejut besar.
"Kakak, lekes ikuti saya."
Kenda Jamitan tatap wajah Sindang beberapa ketika. Tidak salahkah dia mendengar"
Rui Semanti calon istrinya ditemui di tepi sungai. Tidak mengenakan pakaian,
bibir biru, mata terpejam. Pemuda ini sulit mau percaya tapi si bocah agaknya
tidak main-main.Darah Kenda Jamitan mendadak berdesir. Dada berdebar.
Dia Iari ke samping rumah mengambil kuda. Sindang dinaikkan di sebelah depan
lalu pemuda itu memacu kudanya ke arah timur.
DESA Manding geger besar. Betapa tidak. Rui Semanti, kembang desa cantik jelita
yang akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi dengan Kenda Jamitan ditemukan
tewas dalam keada?n bugil di tepi Kali Pasian. Melihat kepada bibirnya yang
kebiruan banyak orang menduga gadis malang ini menemui ajal karena keracunan.
Lalu pada bagian tubuhnya yang lain ada tanda-tanda bahwa Rui Semanti telah
dirusak kehormatannya. Rui Semanti dirampas kegadisannya lalu dibunuh dan
mayatnya dibuang di tepi Kali Pasian. Yang menimbulkan tanda tanya tak terjawab
adalah bunga tanjung yang menempel di kening si gadis. Apa artinya dan siapa
yang menempelkan. Sang pembunuh"
Jen?zah Rui Semanti dibawa ke rumahya. Sementara diratap ditangisi oleh kedua
orang tua dan saudara-saudaranya. Seperti orang kemasukan setan tiba-tiba Kenda
Jamitan melompat ke halaman dan berteriak.
"Ini pasti pekerjaan keji Legung Antah! Dia tidak bisa mendapatkan Rui lalu
memperkosa dan membunuhnya
!" Orang banyak yang berkumpul di tempat itu menjadi heboh.
Sebenarnya ada yang sebelumnya juga punya prasangka seperti itu namun tidak
berani mengatakan. Ketika Kenda Jamitan menghunus clurit beberapa orang seg?ra
mendatangi dan membujuk berusaha 4
menenangkan pemuda itu. Namun semua mereka terpaksa mundur berserabutan ketika
pemuda bertubuh kekar itu membabatkan clurit.
Sambil berteriak-teriak menyumpahi Legung Antah, Kenda Jamitan lari ke arah
selatan. Orang banyak mengikuti dari belakang. Mereka tahu apa yang dilakukan
Kenda Jamitan. Mencari Legung Antah, mendatangi rumahnya! Pasti akan terjadi
pertumpahan darah!
DI DEPAN sebuah rumah besar berhalaman luas Kenda Jamitan berdiri dengan muka
berapi-api dan dada turun naik, sepasang mata membara. Mulut berteriak lantang.
Tangan kanan mengacung-acungkan clurit.
"Legung Antah! Manusi? j?hanam! Keluar kau! Jangan sembunyi di dalam rumah!"
Tak ada suara tak ada jawaban. Tetangga berdatangan. Sebentar saja halaman besar
di depan rumah sudah dipenuhi orang.
"Jahanam Legung Antah! Kalau kau tidak keluar aku bakar rumahmu!" Kenda Jamitan
berteriak mengancam.
Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka. Dua orang keluar. Di sebelah depan seorang
pemuda berambut panjarng sebahu beralis tebal hitam, berkulit kuning. Inilah
Legung Antah, pemuda yang konon sejak lama jatuh cinta pada Rui Semanti namun
cintanya tak berbalas karena si gadis telah lebih dahulu terpikat pada Kenda
Jamitan. Beberapa waktu lalu dua pemuda itu tak sengaja bertemu di pasar
Manding. Entah bagaimana pasal sebab musababnya terjadi perang mulut yang
disusul dengan adu jotos. Dalam perkelahian tangan kosong satu lawan satu Kenda
Jamitan menghajar lawannya sampai babak belur.
Di belakang Legung Antah melangkah seorang Ielaki tua, agak bungkuk, hanya
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenakan sehelai celana panjang putih, membekal sebilah clurit dl pinggang.
Orang tua ini adalah Antah Bayana, ayah Legung Antah.
"Kenda Jamitan," tegur Antah Bayana. Pagi hari kau datang ke rumahku! Berteriak-
teriak seperti orang gila!
Mengacungkan clurit seperti tukang jagal kesetanan..."
"Diam!" hardik Kenda Jamitan. "Aku memang hendak menabas batang leher anakmu!"
Antah Bayana maju ke samping puteranya. "Pasal apa kau datang membawa kemarahan
dan mengancam hendak membunuh anakku"!" tanya si orang tua pada Kenda Jamitan.
"Tua bangka, kau jangan ikut campur! Sekali lagi kau berani bicara kau juga akan
kuhabisi!"
"Hebat sekali! Rupanya kau sudah jadi malaikat maut penguasa nyawa manusia!"
kata Antah Bayana tanpa ada perasaan takut
Mendengar kata-kata orang Kenda Jamitan tambah menggelegak amarahnya.
"Puteramu pemuda jahanam ini telah memperkosa dan membunuh calon istriku! Mayat
Rui Semanti ditemukan di tepi Kali Pasian! Dia menempelkan sebuah kembang
tanjung di keningnya! Apa maksudnya berbuat begitu" Jahanam keparat!"
Orang banyak yang mendengar kata-kata Kenda Jamitan, yang tadi masih merasa ragu
apa yang sebenarnya terjadi karuan saja menjadi marah. Salah seorang dari mereka
malah berteriak agar Legung Antah dicincang saat itu juga.
"Tunggu!" Antah Bayana melangkah ke hadapan Kenda Jamitan. Sepasang mata
berkilat dan pelipis bergerak-gerak. "Kau punya bukti anakku yang merusak
kehormatan dan membunuh Rui Semanti"! Kapan, dimana kejadiannya! Di desa ini
tidak ada pohon tanjung. Bagaimana mungkin kau menuduh anakku menempelkan bunga
tanjung dikening Rui Semanti"
"Tua bangka keparat! Dengar baik-baik" Mayat Rui Semanti ditemukan pagi ini oleh
seorang penggembala di tepi Kali Pasian! Pasti kejadiannya tadi malam! Kalau kau
ingin bukti dan saksi tanyakan pada setan Kali Pasian!" teriak Kenda Jamitan
dengan suara keras dan sepasang mata mendelik membara.
"Semalaman tadi anakku Legung Antah ada di rumah. Tidak kemana-mana!"
Menerangkan' ayah Antah Bayana. Lalu dia bertanya.
"Sejak kapan kau bersahabat dengan para setan Kali Pasian hingga bisa
menjadikannya saksi segala"!
"Dusta besar! Kau tentu saja mau membela anak jahanammu itu!"
"Kenda Jamitan!" bentak Legung Antah sambil maju dua langkah.
"Jaga mulutmu! Jangan kau berani bicara kurang ajar terhadap bapakku!"
"Ayah dan anak sama saja jahanamnya. Biar aku habisi kalian berdua sekaligus!"
Habis berteriak begitu Kenda Jamitan menyerbu Legung Antah dengan clurit besar
yang sejak tadi dipegang di tangan kanan. Kalau tidak cepat Legung Antah
menghindar. pasti perutnya robek ditambus clurit.
"Legung Antah!" teriak Antah Bayana pada puteranya. "Kita orang Madura!
Kehormatan diri dan keluarga adalah pegangan utama! Tidak ada orang boleh
menghina dan memfitnah keluarga Antah dan turunannya!
Hadapi bangsat edan itu! Carok!" Antah Bayana kemudian cabut clurit yang
tergantung di pinggang lalu diberikan pada Legung Antah. Di Madura carok dikenal
sebagai pembelaan harga diri dan keluarga secara jantan, diselesaikan dalam
pertarungan satu lawan satu dan biasanya masing-masing pihak bersenjatakan
clurit. Lima jurus perkelahian berlalu. Dua pemuda sama-sama punya gerakan
cepat. Dua buah clurit besar berkesiuran di udara mencari sasaran di tubuh
lawan. Dalam jurus ke sembilan darah mulai mengucur.
Legung Antah kena bacokan di bahu kiri yang segera di balas oleh pemuda itu
dengan membabat ke arah kepala lawan, menabas putus telinga kiri Kenda Jamitan.
Pertarungan semakin hebat semakin ganas.
Bacokan dibalas bacokan. Sambaran clurit dibalas babatan ganas. Setelah berlalu
dua puluh jurus lebih, dua pemuda itu akhirnya terkapar bergelimang darah di
tanah dengan tubuh dan muka penuh luka bacokan.
5 Keduanya sama-sama menghembuskan nafas dalam keadaan sangat mengenaskan.
Sebelum meIepas ajal, orang banyak masih sempat mendengar Legung Antah keluarkan
ucapan. "Ya Allah ya Tuhanku. Aku rela mati membela kebenaran dan kehormatan
diri serta keluargaku. Kau tahu ya Allah, aku tidak membunuh Rui Semanti...."
Orang banyak merasakan kuduk masing-masing jadi dingin bergidik mendengar ucapan
menjelang ajal itu.
Lalu siapa yang telah merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti"
6 Perempuan tua berambut putih duduk di bangku bambu di langkan rumah, menatap ke
arah halaman becek lalu memandang ke jalan lurus di depan sana. Mulutnya berucap
perlahan. "Hujan sudah lama berhenti. Mengapa anak itu belum juga kembali" Sebentar lagi
malam akan turun."
Kilat menyabung di udara, disusul suara gelegar guntur di kejauhan. Di ujung
jalan lurus muncul seorang penunggang kuda. Perempuan tua berdiri dari duduknya,
memperhatikan penuh harapan dan merasa lega ketika mengetahui yang datang adalah
puteranya seorang pemuda bertubuh tegap, berwajah elok. Bajunya basah kuyup
pertanda dia kehujanan dalam perjalanan. Begitu turun perempuan tua langsung
menegur. "Wayan, syukur kau cepat kembali."
"Udara buruk. Barusan hujan. Ayah sakit di dalam. Mengapa ibu berada di luar?"
"Aku menunggu adikmu. Sejak tadi Ayu pergi ke Pura untuk berdoa memohon
kesembuhan ayahmu pada Sang Hyang Widhi. Mungkin terhalang hujan. Tapi hujan
sudah lama berhenti..."
"Sebentar lagi dia pasti kembali. Bagaimana keadaan ayah?"
"Panasnya tidak turun-turun. Nafasnya masih sesak......
"Saya ada membawa ramuan obat pemberian juru obat Mangku Arsana di Besakih.
Tolong ibu menggodok dan meminumkan pada ayah. Mudah-mudah ayah lekas sembuh."
Ni Warda, ibu pemuda bernama, Wayan Arta mengambil bungkusan obat yang diberikan
puteranya. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah perempuan ini berkata. "Wayan, ibu tidak
merasa tenteram sebelum adikmu pulang. Cobalah kau pergi ke Pura. Kalau Ayu
tidak ada di sana, tanyakan pada penjaga Pura. Mungkin orang di sana tahu kemana
perginya anak itu."
Wayan Mantra turun kembali ke halaman dan naik ke atas kuda. Cukup lama dia
pergi, sewaktu kembali hari sudah malam. Ni Warda keluar dan dalam kamar setelah
memberi minum obat godokan pada suaminya yang sedang sakit
"Bertemu?" tanya perempuan berambut putih itu dengan wajah cemas.
"Jadi Ayu belum kembali?" Wayan Mantra balik bertanya yang mengira adiknya,
sudah pulang sewaktu dia pergi. Sang ibu gelengkan kepala.
"Orang di Pura memberi tahu Ayu meninggalkan Pura sebelum hujan turun. Kemana
perginya anak itu?"
Wayan Mantra monatap ke arah jalan becek. "Mungkin dia berteduh di satu tempat
atau pergi ke rumah salah seorang sahabatnya."
"Sampai malam begini" Dia tahu ayahnya sedang sakit..." Ni Warda semakin cemas.
"Ibu kawatir..."
"Saya juga merasa cemas. Tapi kemana saya harus mencari?"
"Desa Bali Aga ini tidak terlalu luas. Kau bisa bertanya pada banyak orang. Ayu
banyak temannya. Siapa yang tidak kenal adikmu itu."
"Baik, Bu. Akan saya cari dia sampai dapat. Ibu tak perlu cemas.
Sebelum pergi saya akan melihat ayah dulu."
"Pakaianmu basah. Gantilah."
"Tidak apa. Nanti juga kering," jawab Wayan Arta.
Setelah melihat ayahnya yang tengah sakit dalam keadaan tertidur Wayan Arta
meninggalkan rumah.
Hampir tengah malam pemuda ini baru kembali. Dia datang bersama empat orang
temannya yang sama-sama menunggangi kuda. Dia melihat ibunya duduk dekat pintu
kamar, setengah tidur setengah jaga.
Perempuan ini buka kedua matanya begitu Wayan Arta melangkah mendekati. Sebelum
sang ibu bertanya dia mendahului berkata.
"Seluruh desa sudah saya kelilingi bersama teman-teman. Puluhan orang saya
tanyai termasuk sahabat Ayu. Tak seorangpun yang melihatnya."
"Wayan, ibu punya firasat tidak enak. Tadi malam ibu bermimpi..."
Perempuan ini mulai terisak.
Wayan Arta jongkok di samping Ni Warda dan memeluk perempuan Itu. "Ibu, harap
ibu tenang saja. Saya dan beberapa orang kawan di tambah para penjaga desa akan
melakukan pencarian. Ayu pasti kami temukan...."
"Dalam keadaan selamat," sambung sang ibu.
Wayan Arta gigit bibirnya sendiri. "Tentu, dalam keadan selamat, pemuda itu
mengulangi ucapan ibunya.
Lalu dia mengambil sepotong kayu yang terletak di sanding pintu sebelah atas.
Dengan kayu itu dia kemudian memukul berulang-ulang kentongan yang tergantung di
langkan rumah. Dalam waktu singkat suara kentongan terdengar bersahut-sahutan
dari berbagai penjuru. Para tetangga dan penduduk Desa Bali Aga berdatangan.
Sebentar saja halaman rumah sudah dipenuhi banyak orang. Tengah malam itu juga
pencarian atas diri Ida Ayu Kintani dilakukan ke seluruh pelosok desa bahkan
sampai ke desa-desa tetangga. Para pencari dibagi atas dua rombongan. Namun
sampai pagi datang dan malam berganti siang 7
gadis jelita berusia delapan beles tahun itu masih belum berhasil ditemukan.
SORE hari sebelum Ida Ayu Kintani diketahui hilang. Suasana di dalam Puri hening
sekali. Ida Ayu Kintani berdoa penuh khidmat. Memohon pada Yang Maha Kuasa Sang
Hyang Widhi untuk kesembuhan ayahnya yang telah menderita sakit sejak lima hari
lalu. Selesai berdoa gadis cantik kembang Desa Bali Aga itu bersiap-siap
meninggalkan Pura. Di luar didengarnya suara-suara gelegar guntur dan sesekall
kilat menyambar di langit. Suara hujan rintik-rintik terdengar berjatuhan di
atap Pura. Di pintu Pura, seorang penjaga memberi salam. Ida Ayu Kintani membalas salam
orang Itu lalu bergegas pulang. Di satu kelokan jalan hujan rintik-rintik tiba-
tiba berubah deras. Selagi kebingungan mencari tempat berteduh, tiba-tiba muncul
seorang lelaki muda berpayung kertas lebar yang langsung melindungi Ida Ayu
Kintani dari curahan hujan hingga si gadis tak sampai kebasahan. Pemuda yang
memayungi Ida Ayu Kintani berwajah tampan, memelihara kumis, cambang serta
janggut tipis rapi dan tubuhnya menebar harum bunga.
Pakaian bagus mewah berwama hitam berhias bunga-bunga kocil disulam dari benang
perak dan emas.
Kening diikat kain merah yang juga bersulam bunga perak dan emas. Ida Ayu
Kintani tak pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dia yakin orang ini bukan
penduduk Desa Bali Aga dan dari pakaiannya agaknya dia adalah seorang pemuda
bangsawan atau putera keluarga hartawan.
"Peganglah payung ini Jangan sampai adik kehujanan." Orang tak dikenal berkata.
Suara begitu lembut dan senyumnya ramah. Ida Ayu Kintani hentikan Iangkah,
terdiam sejenak.
"Apakah saya mengenal..."
"Jangan persoalkan dulu kenal atau tidak. Yang penting adik tak boleh
kehujanan.."
"Lalu kakak sendiri bagaimana?" tanya si gadis.
"Saya masih punya satu payung lagi." Lalu dari balik punggungnya lelaki ini
mengambil sebuah payung kertas kocil.
Ida Ayu Kintani akhirnya mengambil juga payung kertas besar yang diberikan
orang. Sebelum melangkah gadis ini bertanya. "Kemana nanti saya mengembailkan
payung ini?"
"Tak usah dikembalikan. Pulanglah. Bukankah ayah adik sedang sakit dan barusan
adik berdoa di Pura?"
Walau heran orang tak dikenal ini mengetahui keadaan ayahnya, Si gadis anggukkan
kepala lalu melangkah, diikuti lelaki tadi."Kalau adik memberi izin, saya punya
sejenis obat. Mudah-mudah bisa menjadi penyembuh penyakit orang tua adik."
"Terima kasih. Wayan sudah pergi meminta obat pada seorang tabib di Besakih."
Jawab Ida Ayu Kintani.
"Siapa Wayan"'
"Kakak saya," menerangkan Ida Ayu Kintani.
Sambil berjalan berpayung di samping si gadis, lelaki Itu bertanya.
"Apakah adik pemah mendengar kata Kamasutra?"
"Saya pernah mendengar tapi tidak tahu apa artinya."
"Kamasutra adalah satu mukjizat luar biasa. Jika adik tidak keberatan saya ingin
memperlihatkan sesuatu pada adik."
. "Saya harus cepat pulang..."
"Saya mengerti. Tapi kalau adik mau melihat sebentar saja benda itu ..." Ida Ayu
Kintani tidak menjawab.
Dari balik pakaiannya lelaki berpayung di samping si gadis keluarkan sebuah
kantong kain berwarna hitam.
Ada sebuah benda di dalam kantong yang memancarkan cahaya merah redup,membuat
Ida Ayu Kintani jadi menaruh perhatian. Mengetahui si gadis mulai tertarik,
lelaki itu berkata. "Hujan tambah lebat. Rumah adik masih cukup jauh dan jalanan
sangat becek. Saya akan memperlihatkan benda di dalam kantong ini pada adik di
satu tempat. Di tepi Danau Batur banyak gubuk kosong. Bagaimana kita pergi ke
sana barang sebentar. Di salah satu gubuk saya akan memperlihatkan benda dalam
kantong pada adik."
Ida Ayu Kintani menggeleng. "Saya harus pulang cepat-cepat. Saya tak mau pergi
ketempat yang kau katakan itu."
"Kalau begitu..." Pemuda tampan terdiam.
Melihat orang yang menolongnya kecewa Ida Ayu Kintani lantas berkata.
"Mengapa harus pergi ke Danau Batur. Perlihatkan saja di sini. Sambil berjalan."
Lelaki berkumis dan berjanggut tipis rapi tersenyum. "Kalau itu pinta adik,
baiklah..." katanya. Payung yang dipegangnya dicampakkan begitu saja ke jalan.
Dibawah hujan lebat dan dalam kantong kain hitam dikeluarkannya sebuah benda
yang memancarkan cahaya merah redup lalu diperlihatkan pada si gadis.
Wajah Ida Ayu Kintani Iangsung berubah merah.
Dia cepat membuang muka namun telah keburu sempat melihat. Tubuhnya bergetar.
"Adik, kita ke Danau Batur sekarang...?"
Pemuda berkumis, bercambang dan berjanggut tipis bertanya lembut sambil memegang
tangan si gadis. Ida Ayu Kintani tidak menyahut. Tapi entah mengapa langkahnya
bergerak mengikuti kemana dia diajak.
MENJELANG tengah hari Wayan dan teman-teman dibantu penduduk desa melanjutkan
pencarian di rimba belantara di kaki Gunung Abang. Pada saat itulah datang
seorang penduduk desa menunggang kuda. Dia membawa kabar buruk. Seorang penjala
ikan menemukan sesosok Ida Ayu Kintani telah jadi mayat, 8
terapung di tepi Danau Batur. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung.
Bibirnya tampak membiru.
Sebentar saja kabar buruk itu telah menebar luas dan diketahui seluruh penduduk
Desa Bali Aga. Hampir semua orang menangis meratapi kematian gadis cantik
kembang desa itu.
9 Pesta perkawinan Sekartaji, puteri Adipati Lumajang dilangsungkan secara besar-
besaran. Selama tiga hari tiga malam perhelatan digelar dengan segala
kemeriahan. Ratusan tamu datang dari berbagai penjuru termasuk para pejabat
tinggi Kerajaan. Sri Baginda sendiri mengutus Patih Kerajaan untuk menghadiri
pesta tersebut. Selain hidangan dan minuman yang lezat berbagai pertunjukan
untuk menghibur para tamu disuguhkan silih berganti. Mulai dan hiburan gamelan
dengan para penyanyi terkenal, wayang kulit, debus dari Madura sampai rombongan
Reog jauh-jauh didatangkan dari Ponorogo. Selain Sekartaji adalah anak satu-
satunya, perhelatan besar itu juga sekaligus merupakan syukuran karena bulan
dimuka Adipati Lumajang Surogeneng akan dipindah tugas ke Kotaraja. Dia
dipercayai Sri Baginda menduduki jabatan baru setingkat dibawah Patih Kerajaan.
Yang menjadi besan Adipati Lumajang adalah Giring Santiko seorang hartawan kaya
raya dari Gresik hingga tidak heran kalau pesta perkawinan itu dapat
terselenggara secara besar dan mewah.
Malam terakhir pesta besar meriah, sebelum masuk ke kamar, Ageng Sutawijaya,
sang pengantin lelaki sementara tampak masih duduk-duduk di wang depan Gedung
Kadipaten dengan teman-temannya sambil minum-minum. Ageng Sutawijaya tidak
henti-hentinya menjadi bulan-bulanan godaan. Seorang teman berkata.
"Ageng, mengapa kau masih di sini" Masuk ke dalam kamar sana.
Jangan biarkan pengantinmu kedinginan menunggu terlalu lama."
Teman yang lain menyahut. "Kalau kita masih di sini dia tak mau masuk kamar.
Takut kita intip!"
Gelak tawa untuk kesekian kalinya pecah di tempat itu.
Di dalam rumah besar, seorang pelayan yang sejak kecil mengurus Sekartaji
mengantarkan pengantin perempuan itu masuk ke dalam kamar.
"Den ayu, sebentar lagi suamimu akan masuk ke sini. Baiknya mbok keluar saja."
Berkata si pelayan setelah berada dalam kamar itu beberapa saat lamanya.
"Jangan pergi dulu mbok. Temani saya. Nanti kalau dia sudah datang baru mbok
pergi." Pelayan tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Sekartaji dengan lembut lalu
berkata. "Kalau tahu mbok masih di sini, den masmu pasti tidak akan masuk-masuk.
Sudah, mbok pergi dulu. Awas jangan sampai ketiduran waktu suami den ayu masuk.
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini adalah malam paling bahagia dalam kehidupan den ayu. Yang pasti tidak akan
terlupakan selama-lamanya."
"Mbok, apakah mbok tidak akan menolong saya lebih dulu membuka pakaian pengantin
ini?" Sang pelayan tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata. Biar suamimu nanti
yang membukanya. Itu salah satu hal yang paling indah dalam malam pengantin ini"
"Mbok, kau bisa saja menggodaku ...... .:, Walau Sekartaji berusaha mencegah
agar pelayan itu jangan pergi dulu, sambil senyum-senyum si pelayan membuka
pintu dan keluar dari kamar.
Setelah tinggal sendiri, Sekartaji bingung mau berbuat apa. Sebentar dia duduk
di tepi tempat tidur besar, berdiri dan melangkah mundar mandir dalam kamar.
Lalu berdiri di belakang jendela besar Dia ingin membuka jendela itu memandang
keluar tapi tak berani, takut menyalahi adat. Akhirnya sang pengantin perempuan
ini duduk di sebuah kursi di sudut kamar. Pada saat itulah telinganya mendengar,
suara di pintu.
Memandang ke pintu Sekartaji melihat besi pegangan pintu bergerak ke bawah. Dada
pengantin perempuan ini berdebar. Suaminya datang.
Perlahan-lahan pintu kamar terbuka. Yang muncul dan kemudian masuk bukan sosok
gagah berpakaian pengantin, bukan sang suami Ageng Sutawijaya, melainkan seorang
pemuda yang tidak dikenal Sekartaji.
Orang inimengenakan pakalan hitam bersulam bunga-bunga kecil terbuat dan benang
perak dan emas.
Wajahnya yang tampan tertutup cambang, kumis dan janggut tipis rapi. Kening
diikat kain merah yang juga bersulam gambar bunga terbuat dan benang perak dan
emas. Begitu orang ini berada di dalam kamar, seantero ruangan ditebar bau
harumnya kembang tanjung.
Terkejut dan heran Sekartaji segera menegur dengan nada marah. "Kau siapa".
Mengapa berani masuk ke dalam kamar pengantin"!"
Pemuda yang masuk cepat menutup pintu kamar dengan tangan kanan sementara
telunjuk tangan kiri disilangkan di depan bibir yang tersenyum.
"Jangan takut, aku sahabat yang membawa keberuntungan bagimu." Pemuda berpakaian
hitam berkata. Suaranya lembut.
"Aku tak kenal dirimu. Kau bukan sahabat Ageng Sutawijaya. Keluar atau aku akan
berteriak!" Sekartaji mengancam.
"Aku akan keluar. Tapi mohon berikan padaku sedikit waktu. Aku memang tamu tak
di undang. Aku juga bukan sahabat suamimu. Tapi diriku adalah sahabatmu. Seperti
kataku tadi aku datang membawa 10
keberuntungan. Dengar, Iihat....Apakah kau pernah melihat benda ini sebelumnya?"
Dari dalam saku pakaian di sisi kiri, dengan tangan kirinya pemuda di dalam
kamar mengambil sebuah kantong kain wama hitam. Dengan cepat dia mengeluarkan
sebuah benda yang memancarkan cahaya merah redup dari dalam kantong kain itu.
"Lihat baik-baik, pandanglah. Bukankah indah sekali?" Si pemuda acungkan benda
di tangan kirinya dekat-dekat ke muka Sekartaji. Sang pengantin memperhatikan
dengan mata membesar, tubuh bergetar, wajah memerah dan dua kaki bersurut
mundur, dada turun naik.
"Aku datang membawa berkah untukmu, Sekartaji." Si pemuda berucap. Tangan kanan
diulurkan ke kening si gadis, menempelkan sekuntum bunga tanjung bulat kecil.
Saat itu punggung Sekartaji tertahan di dinding kamar. Sekujur tubuhnya
berkeringat. Di depannya ada dua bayangan aneh lelaki perempuan telanjang,
membuat gerakan-gerakan seperti menari.
HAMPIR menjelang pagi, diiringi tepuk tangan sorak sorai teman-temannya yang
terus menggoda, Ageng Sutawijaya akhirnya masuk juga ke dalam kamar pengantin.
Setelah menutup pintu pengantin lelaki itu berdiri sejenak, mata memandang
seputar kamar. Dia mengira akan melihat Sekartaji di atas tempat tidur besar,
tapi sang pengantin perempuan itu tak ada di sana. Juga tidak tampak duduk di
salah satu dari dua kursi di dalam kamar.
Sekar..." Tak ada jawaban.
"Mungkln dia menggodaku. Sembunyi atau bagaimana. Mungkin keluar kamar..."
Ageng Sutawijaya merasa ada tiupan angin dingin. Dia berpaling ke arah kanan.
Dia heran melihat jendela kamar terbuka labar. Timbul rasa curiga. Pemuda ini
lari ke belakang jendela. Halaman samping sunyi sepi.
Di dua sudut tampak obor menyala dan seorang pengawal tegak berjaga-jaga. Di
kejauhan sana dia bisa mendengar suara gelak tawa teman-temannya yang masih
bercanda satu sama lain.
"Sekar.,." Ageng Sutawijaya memanggil sekali lag!. Tak ada jawaban. Merasa
semakin tidak enak dia memeriksa seuruh kamar Malah sampal-sampai membalik
tempat tidur besar. Sekartaji tetap tidak ditemukan.
"Apa yang terjadi" Sekar! Dimana kau"!" Ageng Sutawijaya mulai berteriak.
Akhirnya pemuda ini melompat keluar kamar lewat jendela. Ketika dia muncul di
bagian depan rumah, teman-temannya yang masih ada di sana karuan saja menjadi
heran. Ada yang mulai menggoda.
"Kau seperti ketakutan! Ha ... ha! Kau diapakan sama pengantinmu"'
"Ageng! Kau dari mana?" Salah seorang teman bertanya.
"Teman-teman....Sekartaji hilang!" Ageng Sutawijaya memberi tahu.
Tak ada yang percaya. Ucapannya disambut gelak tawa.
"Saat ini seharusnya kau berada dalam kamar berdua-duaan dengan istrimut Mengapa
mau-mauan membuat lelucon?"
"Aku tidak membuat lelucon Sekartaji benar-benar Tak ada di kamar!" ucap Ageng
Sutawijaya berteriak.
Malam itu juga Gedung Kadipaten Lumajang yang baru saja mengadakan perhelatan
besar tiga hari tiga malam menjadi geger. Kegegeran ini dengan cepat melanda
seluruh kota. Menjelang pagi semua penduduk mengetahui apa yang terjadi.
Sekartaji entah melarikan diri entah diculik orang. Pencarian besar-besaran
segera dilaksanakan, dibagi dua kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Adipati
Surogeneng dan Ageng Sutawijaya.
MENJELANG tengah hari serombongan pengantar jenazah memasuki kawasan pekuburan
yang terletak di luar kota sebelah timur Lumajang. Selesai jenazah dimakamkan
dan doa dibacakan, pada saat rombongan hendak meninggalkan pekuburan mereka
melihat sebuah keranda jenazah tertutup kain hijau terletak di bawah satu pohon
rindeng tak jauh di arah jalan menuju pintu gerbang.
"Heran, tadi tidak kulihat keranda itu di sana.
Bagaimana tahu-tahu bisa berada di tempat Itu"' seseorang berucap.
Seorang lain menyambung. "Siapa yang membawa" Tak ada yang menunggui. Mengapa
ditinggal begitu saja?"
Penuh rasa ingin tahu semua orang segera mendatangi keranda jenazah itu. Kain
hijau penutup keranda disingkapkan. Langaung saja semua mulut keluarkan seruan
tertehan dan bersurut mundur!
Di alas keranda terbujur sesosok tubuh perempuan muda mengenakan pakaian
pengantin penuh robek dan nyaris tak mampu menutupi aurat. Di keningnya menempel
sekuntum kembang tanjung putih kekuningan.
Wajah pucat pasi dan bibir tampak membiru.
"Gusti Allah ! ini Den Ayu Sekartaji!"
"Ya Tuhan! Siapa yang membawa kuda! Lekas beri tahu Adipati Surogeneng!"
Seseorang berteriak.
Tak selang berapa lama, setelah ditemukannya Sekartaji dalam keadaan sudah jadi
mayat, untuk kedua kalinya Lumajang dilanda kegemparan. Sungguh luar biasa dan
sangat mengenaskan kejadian ini. Siapa yang begitu biadab menculik Sekartaji
pada malam pengantinnya, merusak kehormatan lalu membunuhnya!
11 GOA CADASBIRU, Kaliurang. Udara pagi masih terasa sejuk walau sang surya sudah
cukup lama menampakkan diri di ufuk timur. Kicau burung masih terdengar
bersahut-sahutan di atas pepohonan. Di dalam goa, di atas ranjang batu
beralaskan kasur empuk, seorang dara cantik berpakaian tidur warna biru
menggeliatkan tubuhnya yang elok, mengangkat ke dua kaki tinggi-tinggi ke atas.
Pakaian tidur yang dikenakannya merosot ke bawah, menyingkapkan sepasang betis
bagus dan paha putih mulus.
"Malas sekali rasanya pergi mandi ke telaga". Berucap si gadis lalu duduk di
tepi ranjang. Rambut yang dikonde di atas kepala digerai lepas, panjang
sepinggang. Rambut hitam tebal yang dilepas begitu rupa membuat wajahnya tampak
bertambah jelita.
Di atas ranjang batu kedua di dalam goa, seorang gadis berpakalan merah menatap
ke langit-langit ruangan. "Kalau kau masih malas mandi, biar aku duluan yang
turun ke telaga." Si baju merah berkata. Lalu bangun, turun dan tempat tidur dan
tanggalkan pakaiannya. Dalam keadaan bugil begitu rupa dia melangkah ke lorong
menuju pintu goa.
"Kau ke telaga bertelanjang bulat seperti itu?" menegur gadis berpakaian biru.
"Apa salahnya" Tak ada orang di tempat ini" jawab si baju merah yang berdiri
bertolak pinggang tanpa pakaian sambil menggoyangkan pinggul.
"Gila!" Gadis baju biru mendamprat. Kurasa tempat ini tidak lagi aman. Apa kau
lupa kajadian siang kemarin" Ada orang tak dikenal muncul. Mundar mandir di luar
goa. Aku merasa pasti dia tengah meyelidiki tempat ini."
Kalau cuma seorang lelaki, apa lagi masih muda dan berwajah tampan mengapa harus
takut" Malah seharusnya kita undang dia datang dan masuk ke dalam goa ini."
"Ngacok! Kau bicara tolol atau memang sudah gila"! Kita masih menyimpan lima
puluh kati madat di dalam goa ini!" Banyak orang berusaha mendapatkannya,
terutama pemiliknya orang-orang dari daratan Cina.
Belum lagi sisa orang-orang yang menamakan diri dari Kraton Kaliningrat. Pasti
orang kemarin tengah menyelidiki keberadaan madat itu. Jika dia menemukan kita
tapi tidak menemukan madat, dia akan membunuh kita!" (Kisah mengenai madat ini
terjadi ketika kaum pemberontak yang menamakan diri orang-orang Keraton
Kaliningrat menjarah lima puluh kati madat dari kapal China yang berlabuh di
Moro Damak untuk membiayai perjuangan mereka merebut tahta Kerajaan. Untuk
jelasnya baca serial Wiro Sableng Episode "Perjanjian Dengan Roh" s/d "Api Di
Puncak Merapi")
"Kita berdua, orang itu Cuma sendiri. Nyalimu kecil sekali."
"Jangan menganggap remeh orang lain. Kau kira apa cuma kita bendua saja yang
punya ilmu silat dan kesaktian di dunia ini?"
"Lalu apakah aku tidak bisa mandi ke. telaga" Sampai berapa hari kita harus
mendekam di dalam goa ini"
"Siapakah dua gadis jelita penghuni goa Cadasbiru ini" Mereka bukan lain adalah
sepasang kakak adik Liris Merah dan Liris Biru, murid nenek sakti berjuluk Hantu
Malam Bergigi Perak. Seperti dituturkan dalam serial Wino Sableng berjudul "Azab
Sang Murid" Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal tewas di tangagan Sinto
Gendeng dalam memperebutkan Kitab Seribu Pengobatan. Liris Merah dan Linis Biru
yang punya penyakit tidak tahan panas dengan petunjuk yang ada dalam Kitab
Seribu Pengobatan berhasil disembuhkan. Setelah sang guru menemui ajal, Liris
Merah mengalami nasib malang, jatuh ke tangan Pangoran Matahari dan dijadikan
budak nafsu selama beberapa hari sebelum akhirnya Pangeran Matahari menemui ajal
di puncak Gunung Merapi ( Baca serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak
Merapi") "Kita harus menunggu sampai keadaan aman. Mari kita awasi dulu keadaan diluar
sana sebelum pergi ke telaga." kata Liris Biru. Liris Merah kenakan pakaian
merahnya kembali lalu dua kakak beradik ini memasuki lorong pendek dan sampai di
mulut goa yang ditutup dengan sebuah batu besar. Dari luar, mulut goa yang
tertutup batu ini tidak kentara sama sekali. Selain sulit dilihat juga terhalang
oleh beberapa pohon yang tumbuh rapat serta semak belukar lebat.
Di bagian dalam dinding goa sebelah kanan, terdapat dua buah lobang sangat kecil
yang bisa dipergunakan untuk mengintai keadaan di luar goa.
"Aku yakin orang kemarin akan muncul lagi di sini. Dia tengah mencari sesuatu.
Dia tidak akan berhenti sebelum menemukan... " Liris Biru berkata sambil
mendekatkan mata kanan di lobang pengintai.
"Kemarin aku tak sempat melihatnya. Ketika aku mengintai dia keburu pergi ..."
"Orangnya masih muda, berpakaian hitam. Wajah tampan. Gerak geriknya..."
"Wajahnya tampan katamu"! Hik ... hik..hik! Jangan-jangan aku yang tengah
dicarinya. Kalau dia datang biar aku keluar menemui."
"Jangan lakukan perbuatan tolol itu! Sekali orang tahu goa ini kita bisa
celaka!" "Adikku Liris Biru, kau tenang-tenang sajalah. Tak usah kawatir. Kakakmu ini
yang akan menangani semua urusan!" kata Liris Merah pula sambil tersenyum.
"Cuma, aku merasa bosan, mataku bisa terasa pedas 12
kalau terus-terusan mengintip tanpa kita tahu kapan munculnya pemuda itu.
"Kemarin dia muncul tengahari. Kurasa kali ini bisa saja dia datang pagi-pagi
begini atau sore nanti..."Jawab Liris Biru.
Liris Merah pegang bahu adiknya. Lalu berkata setengah berbisik.
"Ssstt. Aku melihat sesuatu bergerak. Arah kiri dibalik deretan pohon bambu di
kanan jalan. Agaknya dia datang dari arah telaga."
Liris Biru mengintai tak berkesip. Dia perhatikan deretan pohon bambu lalu gadis
ini menahan nafas. Dari balik pohon bambu, berjalan di tangga batu cadas muncul
seorang pemuda berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi.
Pakaiannya yang hitam bersulam bunga-bunga kecil dan benang perak dan emas.
"Liris Merah, orang yang kita tunggu sudah muncul. Kau mengenali atau pernah
melihat pemuda ini sebelumnya?" Bertanya Liris Biru.
Di luar goa pemuda gagah berpakaian hitam berdiri di satu gundukan batu cadas,
memandang berkeliling sambil jari-jari tangan kanannya mempermainkan sebuah
benda bulat sebesar ujung jari, berwarna putih kekuningan. Sesekali benda itu
didekatkan ke hidung.
"Aku tak kenal orang ini. Tapi kelihatannya dia pemuda baik-baik. Mungkin juga
seorang anak bangsawan kaya raya lihat pakaian yang dikenakannya.
Bagus dan pasti mahal" Ujar Liris Merah yang diam-diam mulai merasa tertarik
akan ketampanan wajah pemuda di luar sana.
"Mungkin dia mahluk jejadian. Bisa saja dia adalah roh Pangeran Matahari yang
tengah menyaru gentayangan Ucap Liris Biru pula.
Liris Merah menatap ke arah adiknya lalu kembali mengintal lewat lobang rahasia.
"Mahluk jejadian memang ada. Tapi kali ini aku tidak percaya hal begituan. Lihat
saja, dua kaki pemuda itu jelas-jelas menginjak bumi, menginjak batu. Mana
mungkin dia mahluk jejadian."
Liris Biru menghela nafas dalam. "Yang kita tunggu Pendekar Dua Satu Dua. Yang
muncul malah pemuda tak dikenal."
"Lupakan dulu pendekar itu. Pemuda yang satu ini pasti turunan bangsawan kaya.
Kalau kita bisa berkenalan dengan dia pasti kita bakal mendapat banyak
kesenangan. Lihat, pemuda itu sekarang duduk di atas batu. Agaknya dia menunggu
sesuatu. Atau tengah berpikir.." Kata Liris Merah pula.
"Aku punya firasat dia sudah menduga ada orang di sekitar sini. Tadi dia mungkln
menyelidik di telaga.
Kalau dia mengetahui goa rahasia ini dan tahu kita ada di dalam..."
Liris Merah menggeleng. "Dia tidak bakal mampu mengetahui.
Walau sudah meninggal, namun hawa kesaktian guru kita masih ada di sekitar
tempat ini melindungi goa."
"Kau tahu benda apa yang berulang kali dicium pemuda itu?"
Bertanya Liris Biru namun sebelum mendapat jawaban dia sudah berucap lagi.
"Kakak, lihat! Pemuda itu berdiri. Dia melangkah pergi."
Liris Merah mengintip kembali. "Liris Biru, kita harus tahu kemana perginya
orang itu. Apa sebenarnya yang tengah dilakukannya di tempat ini. Kau tetap di
dalam goa....".
"Kau mau kemana?" tanya sang adik.
"Aku akan mengikuti pemuda itu. Kita harus tahu apa sebenarnya yang dilakukannya
di tempat ini. Kalau nanti ketahuan dia memang berbahaya, aku akan
menghabisinya." Liris Merah rapikan pakaian merahnya "
Jangan lakukan hal itu. Biarkan saja dia pergi. Dia mungkin tak akan kembali
lagi ke sini. Kita sudah aman di dalam sini."
Liris Merah tidak perdulikan ucapan adiknya. Malah dia menjawab.
"Kalau aku.tidak kembali dalam waktu sepeminuman teh, kau harus segera keluar
goa mencariku." kata Liris Merah lalu menggeser batu besar penutup goa. Sesaat
kemudian gadis itu sudah berada di luar goa.
"Liris Merah...." Liris Biru berucap sendiri di dalam goa. "Aku tahu kau bukan
ingin menyelidik, kau tertarik pada pemuda itu. Kau tidak jera-jeranya. Apa
pengalaman keji dengan Pangeran Matahari tidak membuatmu kapok?"
Liris Biru kembali masuk ke dalam ruangan tidur dan membaringkan tubuh di atas
ranjang batu beralas kasur. Dia coba memicingkan mata. Namun hal ini membuat dia
semakin tambah kawatir. Karena takut akan terjadi sesuatu yang tak diingini atas
diri kakaknya, akhirnya sebelum seperminuman teh Liris Biru keluar dari dalam
goa, berkelebat kearah perginya Liris Merah.
Setelah mencari dan mengejar cukup lama Liris Biru tidak juga menemukan
kakaknya, akhirnya gadis ini hentikan lari. Saat itu dia berada di sebelah timur
Goa Cadasbiru. Dari tempat itu dia bisa melihat telaga di kejauhan. Tiba-tiba
gadis ini melihat bayangan seseorang di balk batu di tepian telaga. Dia
memperhatikan. Dia merasa yakin yang tadi dilihatnya sekelebat adalah sosok seorang lelaki.
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan kakaknya Liris Merah.
Liris Biru memperhatikan lagi dengan pandangan ditajamkan. Kali ini dia melihat
kepala laki-laki tersembul di balik batu. Kepala yang diikat kain merah.
"Pemuda itu! Dia ada di sana!"
Tidak menunggu Iebih lama Liris Biru segera menghambur lari ke arah telaga. Agar
sampai lebih cepat gadis ini tidak lari melewati jalan biasa melainkan melompat
dart satu cadas batu ke cadas batu lainnya 13
mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sesaat kemudian dia sudah
sampai di tepi telaga, langsung berkelebat ke arab batu besar dimana tadi dia
melihat kepala lelaki tersembul. Dia mendengar suara tawa manja perempuan. Tawa
Liris Merah. Begitu sampai di balik batu kejut Liris Biru bukan alang kepalang.
Gadis tnt berteriak keras.
"Jahanam! Kalian tengah berbuat apa! Terkutuk!"
Sosok pemuda telanjang yang tengah meneduhi tubuh Liris Merah tersentak kaget.
Secepat kilat tangannya bergerak ke arah dada Liris Merah yang berada dibawah
tindihannya lalu menyambar baju dan celana hitam millknya. Di lain kejap pemuda
ini sudah lenyap dari tepi telaga. Liris Biru berusaha mengejar. Namun dia
segera berbalik. Dia lebih mementingkan keselamatan kakaknya. Hanya saja ketika
dia memeriksa keadaan sang kakak Liris Merah sudah tidak bernafas lagi. Tubuh
tergeletak bugil. Pakaian merahnya entah berada dimana. Di kening menempel
sekuntum kembang tanjung. Bibir tampak membiru.
"Kakak!" jerit Liris Biru.
LIRIS BIRU berlari membawa jenazah kakaknya. Sepanjang jalan gadis ini tiada
hentinya menangis. Dalam keadaan seperti itu dia tidak menyadani kalau ada
seorang pemuda berpakaian hitam berikat kepala kain merah mengikutinya. Di depan
goa rahasia si penguntit memperhatikan bagaimana Liris Biru menggeser batu besar
penutup mulut goa lalu masuk ke dalam.
"Hebat! Tempat persembunyian luar biasa! Aku berulang kali menyelidik ke sini.
Tapi tak berhasil mengetehul jalan masuk. Sekarang si cantik itu sendirl yang
menunjukkan jalan padaku. Gadis berbaju biru, apakah kau juga sudah tidak
perawan seperti saudara mu itu?"
Pemuda berpakaian hitam segera menyibak semak belukar dan mendekati batu baser
penutup goa. Namun sebelum dia sempat mengeser batu besar itu tiba-tiba ada
orang berseru. "Sahabatku muda dan cantik! Liris Merah Liris Biru! Apa kalian ada di dalam goa"
Kangennya aku ini pada kalian hingga siang malam beser terus-menerus ha!"
"Kurang ajar! Bangsat pengganggu!" Pemuda berpakaian hitam di depan goa terkejut
dan menyumpah marah. Dengan cepat dia melompat ke balik satu pohon besar lalu
berkelebat pergi ke arah timur. Sambil lari dia merutuk habis-habisan.
Sementara, orang yang barusan berseru berdiri termangu di bawah pohon sambil
usap-usap bagian bawah perutnya.
"Aneh, aku sudah pemah ke tempat ini. Tapi tetap saja tidak tahu dimana letaknya
mulut goa!" Orang ini berucap dan memandang berkeliling. Dia adalah seorang
kakek bermata belok jereng, daun telinga sebeIah kanan lebar terbalik,
mengenakan celana gombrong yang lepek basah oleh air kencing! Siapa lagi kalau
bukannya Setan Ngompol!
"Liris Merah! Liris Biru! Aku sahabat tua kailan Setan Ngompol! Mana pintu masuk
ke dalam goa!"
Menunggu beberapa lama tetap tak ada jawaban. Setan Ngompol punya dugaan mungkln
dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tak ada di tempat itu. Namun
mendadak dia mendengar suara sesuatu.
Si kakek melangkah mundar-mandir. Daun telinga sebelah kanan diputar-putar.
Serrr. Si kakek mulal pancarkan air kencing.
"Aku mendengar suara orang menangis. Suara perempuan." Setan Ngompol memandang
ke arah kiri. Dia hanya melihat deretan pohon-pohon, semak belukar dan bukit
batu. "Liris Merah! Liris Biru! Aku Setan Ngompol! Aku mendengar suara orang menangis!
Mengapa kalian tidak mau membuka pintu goa"!"
Baru saja Setan Ngompol berteriak tiba-tiba salah satu bagian dinding batu biru
di sebelah depan sana bergeser. Liris Biru keluar dan dalam goa sambil menangis,
Iangsung menghambur ke arah Setan Ngompol.
"Kek, Liris Merah dlbunuh orang...." SI gadis memberl tahu.
Setan Ngomol kaget besar, langsung terkencing-kencing. Liris Biru membawanya
masuk ke dalam goa. Baik Liris Biru maupun Setan Ngompol tidak menyadari bahwa
kemunculan Si kakek secara tidak terduga sebenarnya telah menyelamatkan gadis
itu dari perkosaan dan pembunuhan seperti yang terjadi dengan kakaknya.
Di dalam goa Setan Ngompol melihat Liris Merah terbujur di atas kasur, ditutup
kain panjang sampai sebatas leher.
"Bagaimana kejadiannya*?" tanya si kakek sambil berusaha menahan ngompol.
"Semua berlangsung cepat sekali..." Lalu Liris Biru menuturkan bagaimana dia
menemui kakaknya di balik batu besar.
Setelah mendengar cerita si gadis, Setan Ngompol berkata. "Kalau kakakmu
tertawa-tawa ketika dirinya disebadani, berarti dia tidak diperkosa. Dia
melakukan hal itu suka sama suka..."
"Lalu mengapa dia kemudian di bunuh sekeji ini"! Manusia jahanam itu lebih
biadab dan Pangeran Matahari!" Liris Biru lalu menangis keras. Setelah tangisnya
reda dia menatap memperhatikan wajah kakaknya. "Apa artinya bunga tanjung yang
ditempelkan di kening" Lihat, kek. Bibir Liris Merah biru. Dia mati diracun!"
"Kalau dia diracun, berarti itu dilakukan sebelum kehormatannya dirampas. Tapi
mana mungkin dalam waktu sesingkat itu ...." Setan Ngompol perhatikan wajah
Liris Merah yang masih tampak sagar merah lalu melangkah mundar mandir. Satu
saat dia berhenti melangkah dan berkata. "Aku ingin melihat lehernya.
Coba kau turunkan kain penutup..."
14 Liris Biru turunkan kain panjang penutup jenazah kakaknya sampai ke pundak.
Setan Ngompol perhatikan leher Liris Merah. Dia tidak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan. "Aku menduga kakakmu mati dicekik. Ternyata tidak," ucap Setan Ngompol. "Masih
ada satu tempat lagi yang ingin kulihat. Bagian dadanya. Tolong kau turunkan
lagi kain panjang itu."
"Tidak, aku tidak akan memperlihatkan aurat kakakku padamu," kata Liris Biru
pula. Si kakek pegang bagian bawah perutnya menahan kencing.
"Terserah padamu. Aku hanya ingin mengetahui penyebab kematian kakakmu. Kalau
dia memang diracun, dan mana datangnya racun itu dan bagaimana masuknya ke tubuh
kakakmu" Melalul hubungan badan itu...?" SerrT! Kencing Setan Ngompol mendadak
terpancar. Setelah menarik nafas panjang berulang kali akhimya Setan Ngompol
berkata. "Kita urus dulu jenazah kakakmu. Ada baiknya dia dimakamkan di samping
kubur guru kalian. Setelah itu kau harus berkemas. Kau harus tinggalkan goa ini
untuk selama-lamanya. Tempat ini tidak aman lagi bagimu!
Pemerkosa dan pembunuh keji itu sewaktu-waktu bisa muncul.
"Aku akan membunuhnya jika dia berani datang ke sini" ucap Liris Biru pula.
"Aku punya dugaan, pemuda berpakaian hitam itu bukan cuma memiliki Ilmu
kepandaian tinggi. Tapi mungkin juga memiliki semacam pengasih atau ilmu pelet.
Buktinya bagaimana mungkin kakakmu yang aku ketahui galak itu bisa menyerahkan
dirinya dalam waktu sesingkat itu. Kenalpun tidak sebelumnya ..."
Aku tidak tahu kek," jawab Liris Biru. "Sejak peristiwa dirinya dengan Pangeran
Mataharl tempo hari, Liris Merah selalu ingin berhubungan dengan laki-laki. Tapi
satu hal kau benar Aku memang harus menghindar dulu dari goa ini. Hanya
saja...." Liris Biru ingat pada madat yang disembunyikan di dalam goa.
"Hanya saja apa?" tanya Setan Ngompol.
"Tidak, tidak apa-apa." Jawab Liris Biru. Dia tidak mau menceritakan perihai
madat dalam kantong kulit seberat 50 kati itu. Malah si gadis merubah
pembicaraan. "Kek, kau percaya roh orang yang sudah mati bisa gentayangan
menjadi mahluk jejadian?"
"Serrr!"
Setan Ngompol delikkan mata dan pegangi bagian bawah perutnya yang kembali lepek
basah. "Siang bolong begini rupa kau bicara yang membuat aku mengkirik saja!
Mengapa kau bertanya aneh seperti itu?"
"Aku takut Pangeran Matahari yang sudah menemui ajal itu rohnya gentayangan,
membentuk diri sebagai pemuda berpakaian serba hitam itu. Gentayangan untuk
menuntut balas."
Setan Ngompol enak saja usap-usap tengkuknya yang terasa dingin dengan tangan
basah penuh air kencing. Dia merasa lega sedikit karena air kencing hangat yang
ikut tersapu di kuduknya membuat hilang rasa dingin di kuduk itu.
"Aku tidak tahu. Tuhan Maha Kuasa, mampu berbuat sekehendakNya. Tapi aku tidak
yakin pemuda berkumis berpakaian hitam itu adalah jejadian Pangeran Matahari.
Kalau memang benar dia jejadian Pangeran Matahari, yang dicari dan dibunuhnya
bukan Liris Merah, tapi Sinto Gendeng, Wiro Sableng dan para pendekar lain yang
ikut urunan membunuhnya di puncak Gunung Merapi. Sudah, sebaiknya kita tidak
membicarakan manusia dajal yang sudah mampus itu. Bisa-bisa aku ngompol terus-
terusan:.."
15 HUJAN lebat yang turun sejak pagi dan mulai berhenti pada siang hari membuat
jalan di kaki bukit kecil di tenggara Godean menjadi becek berlumpur. Udara
terasa dingin. Langit masih kelihatan agak kelabu. Di beberapa bagian malah
tampak awan tebal menggantung hitam. Mungkin saja hujan akan turun lagi
menjelang sore atau malam nanti.
Kesunyian di kaki bukit dipecah oleh suara derap lari seekor kuda diseling
teriakan-teriakan perempuan. Tak lama kemudian di satu jalan menurun, becek dan
penuh batu, seorang gadis berpakaian ringkas warna biru muda yang robek di
bagian dada tampak memacu kuda coklat tunggangannya ke arah timur. Agaknya dia
memang cekatan menunggang kuda namun sangat berbahaya memacu kuda secepat itu di
jalan yang demikian buruk serta menurun. Sesekali gadis ini menoleh ke belakang.
Merapatkan dada pakaiannya yang robek lalu menggigit bibir dan memaki dalam
hati. "Kurang ajar! Ilmu lari setan apa yang dimiliki pemuda jahanam itu!" Si gadis
menepuk pinggul kudanya, berteriak keras agar binatang itu lari lebih cepat. Di
wajahnya yang ayu cantik jelas tampak rasa takut amat sangat. Di keningnya,
entah dia sadar atau tidak menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan,
kecil sebulatan kuku jari tangan, "Kotaraja masih jauh. Bagaimana aku bisa
memancing agar manusia jahanam itu diringkus pasukan Kerajaan.
Terpisah sekitar sepuluh tombak di belakang gadis berkuda kelihatan berlari
seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala merah. Dia berlari luar biasa
capat, seolah dua kaki tidak menginjak tanah jalanan.
Hanya persoalan waktu. Cepat atau lambat dia akan berhasil mengejar gadis
penunggang kuda di depannya.
Di ujung jalan yang menurun terdapat satu tikungan patah. Gadis berpakaian biru
tidak berusaha memperlambat lari kuda. Agaknya dia tidak mengenali benar keadaan
jalan di kawasan itu. Dia menyangka begitu keluar dari tikungan akan menemui
jalan rata. Ternyata keliru. Justru di balik tikungan terdapat satu jurang batu
sedalam dua puluh tombak yang hanya dipagari batu-batu setinggi betis serta
semak belukar rendah. Konon tikungan di jalan menurun ini oleh para perampok
seringkali dijadikan tempat menunggu mangsa.
Sementara itu di pinggiran jurang batu, tak jauh dan jalan yang menikung, dari
arah sebuah goa kecil terdengar merdu suara tiupan seruling. Alunan suara
seruling ini seolah berpadu dengan keadaan udara yang perlahan-lahan berubah
mulai cerah serta munculnya pelangi di langit sebelah timur.
Begitu melewat tikungan dan melihat jurang menghadang, gadis penunggang kuda
berteriak kaget. Dia cepat tarik tali kekang. Namun dalam kecepatan seperti itu
sulit untuk dapat menghentikan kuda. Malah setelah meringkik keras, kepala
mendongak, dua kaki depan kuda coklat membentur deretan batu di tepi jurang.
Patah! Binatang mi tersungkur. Kepala menghantam sebuah batu besar hingga remuk
mengerikan. Gadis berpakaian biru terpental mencelat ke udara. Dia membuat gerakan jungkir
balik satu kali, berusaha mencapai pinggiran jurang. Agaknya dia memiliki
sedikit ilmu kepandaian silat serta ilmu meringankan tubuh.
Namun ilmu yang secupak itu tidak bisa menahan daya berat tubuhnya, membuat dia
tidak mampu selamatkan diri, malah langsung melesat jatuh ke dalam jurang batu!
Gadis ini menjenit satu kali lalu pingsan tak sadarkan diri.
Suara tiupan seruling di pinggir jurang mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu
seorang berpakaian putih berkelebat ke arah melayangnya tubuh gadis berbaju
biru. Dengan gerakan luar biasa cepat dan mengagumkan orang berpakaian putih
berhasil menyambar pinggang si gadis, lalu melompat ke tepi jurang.
Sosok gadis itu kemudian dibaringkan di atas rerumputan basah.
Orang berpakaian putih ternyata adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu.
Sebuah suling perak tersisip di pinggang kiri. Pemuda ini agak terkesima ketika
melihat bagian dada putih yang tersingkap dibalik robekan baju biru. Mulutnya
keluarkan siulan dan tangan kanan menggaruk kepala.
"Tuhan benar-benar adil." Si pemuda berucap. "Sejak pagi tadi aku kedinginan,
kini diberi hadiah pemandangan yang menghangatkan! Ha...ha ... ha!"
Mendadak si pemuda hentikan tawa. Dia berbalik, memandang ke arah jalan mendaki.
Walau sangat perlahan namun telinganya yang tajam mampu mendengar suara gerakan.
Dia perhatikan kuda coklat yang terkapar di tanah. Binatang Itu telah menemui
ajal, tak bergerak lagi. Berarti ada sumber suara lain yang tadi ditangkap
pendengarannya.
"Ada orang sembunyi di salah satu lereng batu di atas sana..." ucap pemuda
gondrong. Lalu dia berteriak.
"Manusia yang sembunyi di balik batu! Keluarlah! Perlihatkan tampangmu!"
Tak ada sahutan tak ada gerakan.
"Apa boleh buat," ucap si gondrong. Dia usapkan kedua tangan sambil mengalirkan
tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan dihantamkan ke arah batu paling besar di
kejauhan, di sebelah kanan jalan menurun.
"Wusss!"
16 Selarik angin dahsyat menderu.
"Braakkk!"
Batu besar di tepi jalan hancur berantakan. Satu bayangan hitam berkelebat
disertai terdengarnya suara teriakan memaki lalu sunyi. Pemuda gondrong
menunggu. Orang yang barusan kabur dan balik batu tidak munculkan diri. Si
gondrong memandang ke arah kuda yang tergeletak tak benyawa di tepi jurang. Ada
yang menarik perhatiannya. Pada pinggul kanan binatang ini terdapat sebuah cap
hitam bergambar tombak pendek bermata tiga. Tombak Trisula.
"Setahuku, tanda di pinggul kuda itu salah satu lambang Kerajaan. Berarti gadis
ini bukan gadis sembarangan." Si pemuda berucap lalu jongkok di samping gadis
baju biru. Walau pakaian biru yang dikenakan si gadis berpotongan sederhana
namun bahannya adalah kain bagus dan mahal. Ketika dia hendak memeriksa keadaan
gadis itu tiba-tiba si pemuda melihat ujung alis sebelah kiri yang hitam tebal
bergerak beberapa kali. Si pemuda gosokkan telapak tangannya satu sama lain
sampai panas lalu ditempelkan ke pipi gadis yang agaknya mulai siuman.
Sepasang mata bagus bening terbuka, menatap ke langit. Ketika pandangannya
membentur wajah tersenyum pemuda rambut gondrong, langsung gadis ini menjerit
dan berusaha bangun. Pemuda berpakaian putih cepat memegang bahu si gadis dan
berkata. "Tenang, tak ada yang perlu kau takutkan..."
"Aku ... aku sudah mati?"
Si gondrong tertawa. "Kalau kau sudah mati mana bisa bicara?"
Si gadis terdiam.
"Tapi .... Tadi aku jatuh ke dalam jurang ..." Gadis baju biru memandang ke
samping, ke arah jurang.
Kuduknya merinding.
"Tidak, kau tidak jadi jatuh ke dalam jurang. Tuhan menyelamatkan dirimu."
"Tuhan...Gusti Allah menyelamatkan diriku?" Si gadis tampak bingung. Dia usap
tangan kiri ke tangan kanan, lalu tekap wajah. Saat itulah dia melihat
pakaiannya yang robek besar di bagian dada. Cepat cepat dia menutupkan. Namun
begitu dilepas tersibak kembali. Pemuda di depannya tertawa. Dia mencabut tiga
batang rumput yang cukup panjang. Ketika dia hendak menusukkan ujung rumput ke
baju biru yang robek, Si gadis langsung mendorong dadanya hingga dia
terjengkang. "Jangan kau berani menyentuh diriku!"
Dengar, aku tidak bermaksud tidak baik. Dengan rumput ini baju yang robek bisa
dijahit..."
"Dusta! Mana ada orang menjahit baju dengan rumput! iya kan"!"
"Namanya juga keadaan terpaksa. Kau mau kutolong ...."
Si gadis akhirnya mengangguk namun sambil keluarkan ucapan. "Awas kalau kau
berani berlaku kurang ajar!"
Pemuda rambut gondrong cuma tertawa. Tiga ujung rumput ditusukkannya ke bagian
baju yang robek lalu satu persatu ujung dengan ujung saling dibuhul. Ketika
melakukan hal itu tak sengaja jari-jari tangan si pemuda menyentuh payudara si
gadis. Langsung kakinya menendang perut si pemuda. Untuk kedua kalinya pemuda
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini jatuh terjengkang.
"Dasar manusia kurang ajar! Kau pergunakan kesempatan.
"Mengaku! Iya kan"!"
"Aku tak sengaja. Harap dimaafkan. Habis bajumu agak ketat.
Lalu anumu itu besar sekali. Mana mungkin..."
"Plaakk!"
Satu tamparan melayang ke pipi si gondrong.
"Bukan tanganmu saja yang kurang ajar. Ternyata mulutmu juga kurang ajar!"
Si pemuda meringis pura-pura kesakitan. Sambil pegangi pipi yang tadi ditampar
dia berkata. "Sudahlah, yang penting pakaianmu yang robek sudah tertutup. Sekarang ceritakan
apa sebabnya kau menunggangi kuda seperti dikejar setan hingga hampir celaka
masuk jurang."
Si gadis tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Lalu menangis ketika melihat
kuda coklat miliknya yang tergeletak mati.
"Ki Sepuh Ireng" ucap si gadis lirih sesenggukan.
"Siapa Ki Sepuh Ireng?" tanya pemuda gondrong.
"Kudaku .... Kuda saja dicemburui.."
"Ee ... siapa yang cemburu!" Si pemuda ingin tertawa bergelak namun akhirnya
cuma garuk-garuk kepala.
Dia kemudian ingat pada tanda Kerajaan yang tertera di pinggul kuda berbentuk
Tombak Trisula. Lalu dia bertanya.
"Adik, apakah kau seorang kerabat Keraton?"
"Kau sendiri siapa?" Si gadis usap air matanya dan balik bertanya.
Pemuda rambut gondrong tersenyum, menggaruk kepala dan menjawab. "Namaku
Wiro..." "Wiro .... Wiro. Banyak orang bernama Wiro. Kau ini Wiro yang mana?"
"Maksudmu?" tanya si gondrong tak mengerti.
"Apa nama panjangmu"!"
"Oh Itu. Aku malu mengatakan. Namaku belakangku jelek." Jawab si pemuda pula.
17 "Huh, orangnya juga jelek. Jadi pantas kalau punya nama jelek! Iya kan"!"
Si pemuda tertawa gelak-gelak.
"Weh, diejek malah tertawa. Konyol! Aku tanya siapa nama panjangmu!"
"Namaku Wiro .... Wiro Sableng."
"Apa?" Si gadis besarkan mata lalu tertawa panjang. Eh, kau tahu apa artinya
sableng?" Pemuda gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti
Sinto Gendeng dari Gunung Gede sambil senyum-senyum menjawab. "Sableng itu
artinya kalau tidak edan ya sinting, bisa juga gila atau gendeng..."
"Hemmm..." si gadis bergumam dan angguk-anggukkan kepala. "Jadi Itulah kau
manusianya rupanya.
Pantas tadi berani berlaku kurang ajar."
"Kalau orang gila berlaku kurang ajar kan tidak bisa disalahkan. Iya kan?" ucap
Wiro pula meniru logat bicara si gadis.
"Enaknya!"
"Sekarang giliranmu memberi tahu siapa namamu dan mengapa kau bisa sampai disini
hampir celaka."
"Apa perlunya aku memberi tahu namaku padamu!" jawab si gadis.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. "Aneh, ada gadis yang sudah
ditolong begini rupa malah bicara galak. Aku tidak meminta tapi berterima
kasihpun dia tidak."
"Kalau kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa."
"Ya sudah kalau begitu! Iya kan"!" jawab si gadis pula lalu bangkit berdiri.
Wiro mendahului bangun, tertawa dan berkata. "Kalau kau memang kerabat Keraton,
kau tentu tahu perjalanan ke Kotaraja dan sini cukup jauh. Kudamu sudah mati.
Kalau kau jalan kaki dua kakimu yang bagus itu bisa meleleh begitu kau Sampai di
Kotaraja. Lalu, di tengah jalan mungkin saja kau akan kejatuhan hujan. Mungkin
kau tidak takut pada air hujan. Tapi ketahuilah kawasan ini sedang digentayangi
para perampok. Kalau orang-orang jahat itu menemuimu, nasibmu lebih celaka dari
pada mati kecebur jurang! Selain itu aku punya dugaan. Kau tadi membedal kuda
luar biasa kencang karena ada orang yang mengejar.
Orang itu pasti punya niat jahat padamu. Mungkin dia yang merobek bajumu! Orang
Itu berpakaian hitam.
Aku sempat melihat bayangannya sewaktu aku menghancurkan batu besar dibalik mana
dia sembunyi. Mungkin dia masih ada di sekitar sini! Begitu kau berjalan sendirian pasti dia
akan mencekalmu! Seram kan"
Ngeri kan"!"
Habis berkata begitu Pendekar 212 tinggalkan si gadis, melesat ke mulut goa di
tepi jurang, duduk bersila dan ambil suling yang terselip di pinggang. Ditinggal
sendirian si gadis memandang berkeliling. Lalu perlahan-lahan rasa takut mulai
mencekam dirinya. Apalagi melihat ke atas, langit yang tadi cerah kini mulai
diselimuti awan hitam. Dia memandang ke arah goa di tepi jurang. Saat itu Wiro
mulai meniup suling perak.
"Hail Kesinilah!" si gadis berteriak sambil melambaikan tangan.
Wiro terus saja meniup suling.
"Hai! Kesinilah! Aku mau bicara!" teriak gadis baju biru kembali.
Wiro turunkan suling ke bawah bibir lalu menjawab.
"Kalau mau bicara kau saja yang datang ke sini!" Wiro lanjutkan meniup suling.
"Kau yang kesini!" teriak si gadis.
"Aku tidak perlu kau! Kau yang perlu aku! Iya kan"!" Wiro terus-terusan
menirukan gaya ucapan si gadis yang kalau bicara selalu pakai tambahan kata-kata
iya kan. Tidak perduli dia melanjutkan meniup, suling perak. Dari mana dan
bagaimana Wiro kini memiIiki sebuah suling perak" Seperti dituturkan dalam
episode sebelumnya (Sang Pembunuh) suling perak itu adalah milik Loan Nio
Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Sebelum berpisah sang paderi memberikan
suling perak itu sebagai tanda terima kasih pada nenek kembar jejadian (kembaran
Eyang Sepuh Kembar Tilu) yang telah memberikan obat untuk menggugurkan
kandungannya. Sang paderi mengandung akibat diperkosa oleh Liok Ong Cun sewaktu
berada dalam keadaan pingsan. Tanpa setahu Wiro, si nenek kembar jejadian
menyelipkan suling itu di pinggang sang pendekar. Wiro baru menyadari keberadaan
suling itu di pinggangnya beberapa waktu kemudian. Karena dia memang pandai
meniup suling, jika ada kesempatan Wiro menghibur diri dengan suling perak itu.
"Dasar manusia sableng!" maki gadis baju biru. Tahu kalau pemuda itu tidak akan
mau datang menemuinya gadis ini menjadi nekad. "Kau kira aku tidak mampu datang
ke tempatmu di goa batu"!"
Wiro berhenti meniup suling lalu menyahut ucapan orang. "Bukan tidak mampu. Tapi
tidak.berani! Iya kan'"!"
"Tunggu! Akan aku perlihatkan padamu kalau aku Raden Ayu Ambarsari bukan gadis
pengecut!"
Begitu selesai berucap gadis berpakaian biru dan mengaku bernama Raden Ayu
Ambarsari mundur mengambil ancang-ancang. Lalu dibarengi satu teriakan keras dia
melompat ke arah goa di tepi jurang dimana Pendekar 212 duduk bersila meniup
suling. Celakanya, apapun ilmu yang dimilikinya ternyata gadis ini tidak mampu
mencapai mulut goa.
Tubuhnya melayang, terapung sesaat hanya dua jengkal dari hadapan Wino. Dia
berusaha menggapai batu pinggiran goa, namun luput.
dilanjutkan...............................
18 DILANJUTKAN OLEH
Dewi Tiraikasih
SESAAT lagi tubuh Raden Ayu Ambarsari akan melayang jatuh; amblas menemui ajal
di dasar jurang batu berkedalaman dua puluh tombak, tiba-tiba Pendekar 212
ulurkan tangan kiri mencekal pergelangan tangan kanan si gadis yang menggapai-
gapai di udara.
"Aduh tubuhmu berat amat! Tanganmu licin. Aku tak bisa menahan!" Wiro berteriak.
Tubuhnya merunduk ke depan. Murid Sinto Gendeng hanya berpura-pura. Dia ingin
tahu sampai dimana sebenarnya kenekadan gadis itu.
"Pegang lenganku dengan dua tangani" teriak Ambarsari. Rupanya gadis ini
sekarang benar-benar ketakutan setengah mati.
Wiro tersenyum. Dia segera kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentakkan tangan
kiri tubuh Ambarsari tertarik keras ke atas, melayang ke dalam goa dan jatuh
terbujur tepat di atas pangkuan Wiro
"Ihhh'"
Raden Ayu Ambarsari cepat berdiri namun tak bisa karena bahunya ditekan Wiro
dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih memegang suling perak yang terus
ditiup. "Gilai Hentikan meniup sulingi Aku tidak mau kau pangku seperti ini!" teriak
Ambarsari. "Siapa yang memangku" Kau sendiri yang menjatuhkan tubuhmu ke pangkuanku! Iya
kan"l" jawab Wiro laiu tertawa gelak-gelak.
"Pemuda kurang ajari"
"Jangan terus-terusan bicara seperti itu. Ingat aku sudah dua kali menyelamatkan
nyawamu!" "Ooo, jadi kau ingin minta balasan" Lalu enak saja memangku dan meraba tubuhku"!
Aku tidak takut mati, lihat!" Entah sungguhan entah pura-pura si gadis lalu
hendak melompat kedalam jurang. Wiro tidak mau kesalahan menduga. Cepat dia
sambar leher pakaian si gadis lalu menariknya hingga terduduk di dalam goa.
Dengan muka pucat keringatan Ambarsari menatap mendelik ke arah Wiro lalu gadis
ini mulai menangis.
"Eeh. tadi galak nekad Sekarang mengapa jadi cengeng?" ujar Wiro, .
Tangis si gadis semakin keras.
"Sudahi Berhenti menangis!"
"Aku belum pernah menemui orang sejahat dan sekurang ajar seperti dirimul"'ucap
Ambarsari yang segera dijawab Pendekar 212.
"Aku belum pernah melihat dara secantikmu tapi tolol dan nekadl"
"Mulutmu lancang sekalil Berani menghinaku!" Si gadis pukulkan tangannya ke
punggung Wiro. "Kalau kau terus mewek. terus memukuli, akan aku tinggalkan kau sendirian di
dalam goa ini" Wiro berdiri.
pura-pura hendak melompat ke tepi jurang sana.
"Tunggul Jangan pergil" teriak Ambarsari. Dia mengusut matanya yang basah
berulang kali, hentikan tangis dan tarik tangannya yang memukuli punggung si
pemuda. "Nah begitu lebih baik. Iya kan"!"
"Iya kanl Iya kan! Kau benar-benar sablengi" Ambarsari berteriak jengkel.
Kembali dia hendak memukul Wiro tapi tak jadi.
"Jadi kau gadis Keraton" Namamu Raden Ayu Amparsari" Betul?"
"Sudah tahu kenapa masih bertanya"!" si gadis unjukkan wajah sebal. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Aku cucu Pangeran tua Wirapala."
Wiro menggaruk kepala seolah tidak mendengar kata-kata Ambarsari. Padahal walau
belum pernah bertemu muka dia sering-mendengar perihal pangeran itu dari
gurunya. Di masa muda Eyang Sinto Gendeng bersahabat dengan Pangeran Sena
Wirapala. "Dengar, tolong aku keluar dari goa ini Aku harus segera kembali ke Kotaraja."
"Aku akan memenuhi apa pintamu asai kau tidak galak. Apa lagi'setelah tahu kau
puteri Keraton aku harus menaruh hormat padamu. Tapi sebelum meninggalkan tempat
ini aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirimu. Puteri Keraton tidak pernah
memakai bunga tanjung dikeningnya. Apa arti bunga tanjung yang kau tempelkan
dikeningmu itu?"
19 Raden Ayu Ambarsari Ingat dan terkejut. Dia cepat meraba keningnya, mengambil
bunga tanjung yang menempel.
Sekali meremas bunga tanjung itu hancur.
Kereta Berdarah 3 Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas Hong Lui Bun 21
Petaka Patung Kamasutra
Ebook oleh : Agam Vikapip dilanjutkan oleh Dewi Tiraikasih
GURUN Pasir Thar dl barat laut India. Matahari bersinar terik membakar bumt.
Tiupan angin bukan mendatangkan kesejukan malah menebar hawa panas. Lautan pasir
seolah berubah menjadi bubuk bara api. Namun aneh dan sangat luar biasa dalam
keadaan seperti itu seorang tua berselempang kain putih berlari dl gurun pasir
tanpa alas kaki sama sekali Rambut dan janggut putih panjang melambai-lambai ke
belakang. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat besar berbalut emas yang
ujung sebelah atas berbentuk bulat dihias batu permata berbagai warna. Saking
cepatnya dia berlari tubuhnya hanya kellhatan berupa bayangan putih dan tongkat
di tangan kanan membentuk cahaya kuning. Di satu tempat cahaya putih dan kuning
sirna, sosok si orang tua laksana lenyap ditelan bumi. Tak selang berapa lama
dia sudah berada dl dalam satu lorong panjang di perut gurun.
Orang tua itu baru berhenti berlari setelah dia sampal di hadapan satu tembok
batu berwarna hitam pekat yang menutupi lorong dl bawah gurun. Setelah mengusap
wajah beberapa kali, orang tua ini hunjamkan tongkat besi berpalut emas ke
tanah. Sinar kuning berkiblat menyapu seantero ruangan. Si orang tua tundukkan
kepala lalu keluarkan ucapan.
"Resi Ketua Khandwa Abitar, saya Resi Kepala Mirpur Patel datang menghadap
membawa kabar."
Suara orang tua yang menyebut diri sebagai Resi Kepala Mirpur Patel bergema di
dalam lorong. Begitu suara gema lenyap tiba-tiba di tembok ada satu kilatan
cahaya biru. Di lain kejap di depan tembok batu hitam itu telah berdiri seorang
lelaki tinggi besar, berpakaian selempang kain biru. Kulitnya agak kehitaman,
rambut, alis, janggut serta kumis putih seperti kapas. Di tangan kanan dia
memegang sebuah tongkat terbuat dari batu biru, berkeluk pada ujung sebelah
atas. Batu tongkat yang merupakan batu mustika ini konon bernilai Iebih dari
seratus kali nilai emas murni.
"Resi Kepala, aku sudah ada di hadapanmu. Sampaikan kabar yang kau bawa. Baik
atau buruk?"
"Maafkan saya Resi Ketua. Saya datang membawa kabar buruk." Jawab Resi Kepala
Mirpur Patel. "Aku sudah melihat dari raut wajahmu," kata Resi Ketua pula dengan mata
memandang tak berkesip.
"Saya ingin memberi tahu, Patung Kamasutra yang disimpan di tempat rahasia dalam
Goa Binaker lenyap.
Hal ini saya ketahui pagi tadi" Habis berkata begitu Mirpur Patel jatuhkan diri.
Dengan menjatuhkan diri, berlutut di depan Resi Ketua, Mirpur Patel memberi
tanda bahwa dia mengakui dosa, sangat menyesal dan siap dihukum.
"Resi Kepala, berdirilah."
Resi Mirpur Patel perlahan-lahan bangkit berdiri. Kepala masih tertunduk seolah
tidak berani menatap wajah sang Ketua.
Walau ucapan Resi Kepala lebih dahsyat dari gelegar petir di siang bolong namun
Resi Ketua masih mampu berlaku tenang. Suaranya bergetar ketika berkata.
"Aku biasa mendapat kabar buruk. Tapi aku sama sekali sangat tidak menyangka
bahwa kabar yang kau bawa adalah lenyapnya Patung Kamasutra yang berusia lebih
dan lima nibu tahun dan telah disimpan di Goa Binaker selama dua ribu delapan
ratus tahun. Ada tujuh pintu rahasia menuju ke goa penyimpanan patung kuna itu.
Patung diletakkan di dalam satu keranda kaca. Jangankan sampai keranda Itu
disentuh, tertiup angin atau dihinggapi lalat saja alat rahasia akan bekerja.
Dua ratus senjata rahasia akan bergerak, lima jenis racun akan menyembur ke
dalam goa."
Saya juga tidak mengerti namun saya tidak mau mencari alasan.
Saya mengakui, semua terjadi atas kelalaian saya." Ucap Resi Mirpur Patel pula.
Resi Ketua Khandawa Abitar usap janggut, mata terpejam dan benak berpikir. Lalu
dia berucap. "Resi Kepala, antarkan aku ke Goa Binaker. Kalau tidak melihat
dengan mata kepala sendiri rasanya aku masih kurang percaya"
Mendengar ucapan Rest Ketua, Resi Kepala segera pindahkan tongkat yang
dipegangnya ke tangan kiri.
Lalu tangan kanan ditempelkan ke lengan Resi Ketua yang memegang tongkat batu.
Satu cahaya biru berkiblat menyelubungi seluruh ruangan. Saat itu juga ke dua
Resi lenyap dari tempat Itu. Di lain kejap mereka sudah berada di depan mulut
Goa Binaker, sebuah goa rahasia yang terletak di sebelah timur Gurun Pasir Thar.
Di dalam goa dua belas orang Resi berselempang kain putih menyambut kedatangan
Resi Kepala dan Resi Ketua. Mereka sama tundukkan kepala. Di wajah masing-masing
terlihat perasaan takut.
Setelah melewati enam pintu rahasia di pintu ke tujuh Resi Ketua Khandawa Abitar
menekan sebuah tonjolan batu. Konon hanya dia dan Resi Kepala yang memliliki
ilmu kesaktian untuk mampu menekan tonjolan batu tersebut. Tekanan pada batu
yang menonjol bukan saja membuat pintu rahasia ke tujuh terbuka tapi sekaligus
membuat dua ratus alat rahasia yang ada di dalam ruangan di balik pintu tidak
bekerja lagi, lima jenis racun tak dapat menyembur.
Ketika masuk ke dalam ruangan, Resi Ketua melihat banyak pasir bertebaran di
lantai batu. Di tengah ruangan batu yang terletak dl balik pintu rahasia ke
tujuh, terdapat sebuah gundukan batu yang bagian atas 2
rata licin dan berkliat. Dl atas batu ini terletak satu keranda kaca yang bagian
bawahnya di buat agak tinggi demikian rupa dan ditutup kain beludru biru pekat.
Setelah memperhatikan keranda kaca itu beberapa lama Resi Ketua Khandawa Abitar
berkata "Luar biasa! Sungguh luar biasa Keranda kaca tidak pecah tidak rusak. Tapi
Patung Kamasutra yang ada di dalamnya bisa lenyap tak berbekas! Siapa
pencurinya, ilmu kesaktian epa yang dipakainya untuk masuk ke sini dan mencuri
Patung itu. Resi Ketua berpaling pada Resi Kepala, di sampingnya. "Resi Kepala,
satu hal perlu aku beri tahu padamu. Ketika aku menekan tonjolan batu di pintu
ke tujuh, aku sudah tahu ada kerusakan pada alat rahasia dan alat penyembur
racun." Saya juga sudah memperkirakan hal Itu pagi tadi sewaktu memerika," jawab Resi
Mirpur Patel. "Berarti si pencuri masuk melewati tujuh pintu dan...." Resi
Kepala hentikan ucapan, memandang pada Resi Khandwa Abitar. "Hanya kita berdua
yang mampu menekan tonjolan batu ltu...." Mendadak wajah Resi Kepala berubah
pucat. Resi Ketua gelengkan kepala. "Resi Kepala, tak ada yang akan menuduhmu sebagal
pencuri Patung Kamasutra. Walaupun kau mampu masuk ke ruangan ini, kau tak punya
kepandaian untuk mengambli Patung Kamasutra, tanpa memecah kaca keranda. Kau
lihat atap ruangan sebelah sana?"
Resi Kepala memandang ke arah yang ditunjuk Resi Ketua.
"Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, tidak akan kelihatan adanya kelainan
di atap batu Itu." Setelah berkata begitu Resi Ketua dongakkan kepala lalu
meniup ke arah atap batu.
"Wusss!"
"Braaakkk!"
Tiupan Resi Ketua membuat saat itu juga atap batu berlubang besar. Angin menderu
masuk dari luar.
Pecahan kepingan batu atap berjatuhan ke lantai bersama tebaran pasir gurun.
Dari tempatnya berdiri Resi Kepala dapat melihat jelas langit di luar sana. Hawa
panas Gurun Thar ikut menyeruak masuk.
"Dengan kepandaiannya si pencuri lebih dulu merusak semua peralatan rahasia. Itu
dilakukannya setelah dia menjebol atap ruangan dari luar. Sebelum kabur dia
menutup lobang di atas. Kukira dia berusaha menipu kita dengan membawa sebuah
keranda kaca kosong yang sama dengan keranda kaca tempat Patung Kamasutra
diletakkan. Keranda kaca berisi patung diambil, keranda kosong diletakkan
sebagat pengganti. Sepintas lalu terithat tidak ada perbedaan Tapi coba kau
perhatikan. Keranda kaca ini bukan keranda kaca yang asli!"
Resi Kepala perhatikan keranda kaca yang terletak di atas batu rata.
"Resi Ketua, saya mengaku lalai. Keranda kaca ini memang bukan keranda kaca yang
asli" "Resi Kepala, kau tahu malapetaka apa yang akan terjadi jika patung itu berada
di dunia luar sana" Aku tak bisa membayangkan."
"Saya berharap si pencuri tidak mengetahui kekuatan jahat yang tersembunyi di
dalam patung," kata Resi Mirpur Patel lirih. Lalu dia menyambung ucapannya."Resi
Ketua, saya mengaku salah. Saya siap menjalani hukuman."
Resi Ketua Khandawa Abitar merenung sejurus lalu berkata. "Aku tidak berhak
menghukummu. Manusta tidak layak menjatuhkan hukuman atas manusia lain karena
belum tentu si penghukum lebih bersih dan lebih suci dari yang terhukum. Biarlah
para Dewa yang akan menentukan apa yang bakal terjadi"
Resi Mirpur Patel terdiam. Wajahnya tampak sangat murung menyesali diri. Sejurus
kemudian baru dia berkata. "Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua, berikan
kesempatan pada saya untuk menebus dosa."
"Apa maksudmu Resi Mirpur Patel "
Sebagat jawaban Resi Kepala berkelebat melompat ke arah tembok ruangan sebelah
kanan. Resi Ketua berusaha mencegah tapi terlambat.
Kepala Resi Mirpur Patel beradu dengan tembok batu, mengeluarkan suara
menggidikkan. Kepala itu rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh. Nyawanya putus
sebelum tubuhnya menyentuh lantai ruangan.
Resi Khandawa Abitar mengusap. wajah, menghela nafas dalam berulang kali, lalu
berkata. "Resi Mirpur Patel, itu bukan kehendak para Dewa, tapt kemauan dirimu
sendiri" Resi Ketua hentakkan ujung tongkatnya ke lantal batu. Selarik cahaya biru
menebar menutupi seluruh ruangan. Sewaktu cahaya itu sirna. sosok Resi Ketua tak
kelihatan lagi di tempat itu.
Angin gurun yang menyapu dan mengikis lobang batu di atap menimbulkan suara aneh
berkepanjangan.
Pasir gurun semakin banyak yang masuk ke dalam ruangan. Pada saat itu terjadi
satu keanehan. Dari sosok mayat Resi Kepala Mirpur Patel yang terkapar di lantai
batu tiba-tiba keluar satu sosok samar laki-laki berpakaian hitam. Di tangan
kanan dia memegang sebuah patung kecil terbuat dan batu berwarna abu-abu
kehitaman. Patung itu memancarkan cahaya merah redup.
"Wuttt!!"
Sosok samar berkelebat ke arah lobang di atas atap dan lenyap dari pemandangan.
Angin gurun bertiup semakin kencang. Pasir gurun yang masuk ke dalam ruangan
bertambah banyak. Lima hari kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu
telah tertimbun tumpukan pasir gurun.
3 Desa Manding di utara Sumenep. Sang surya belum lama muncul di ufuk timur, masih
belum pupus titik-titik embun di permukaan dedaunan. Sindang, seorang anak
lelaki penggembala itik, ketika menyusuri tepian Kali Pasian mendadak melihat
sepasang kaki putih mulus tersembul dan balik serumpunan semak belukar.
Diselubungi perasaan heran dan juga takut anak ini melangkah mendekati. Dia jadi
terkejut ketika mendapatkan sosok tubuh seorang gadis tergeletak di balik semak-
semak tanpa secuil kainpun menutupi auratnya. Sindang memperhatikan wajah cantik
pucat, bibir kebiruan. Di kening menempel sekuntum bunga kecil sebesar ujung
kuku berwarna putih kekuningan. Bunga tanjung. Sekujur tubuh anak penggembala
ini bergetar. Kakinya goyah bersurut mundur. Dia. rnengenali gadis yang
tergeletak di tanah itu. Setelah mengumpulkan keberanian dia berjongkok di
tanah. Masih takut-takut, tapi juga tidak tahu pasti apa yang terjadi
Sebenarnya, Sindang ulurkan tangan menggoyang bahu si gadis.
"Kakak Rui Semanti mengapa tidur di sini" Mengapa tidak pakai baju?"
Setelah berulang kali menegur dan menggoyang bahu orang namun tak ada jawaban
tak ada gerakan bocah penggembala jadi bingung. Dia tak dapat lagi menahan rasa
takut. "Kakak Rui Semanti sudah mati. Sudah jadi mayat ..." Sindang berucap terbata-
bata lalu melompat bangkit.
Tidak pikir panjang lagi, tanpa perdulikan belasan itik angonannya yang
berpencaran kian kemari, anak ini lari ke arah desa sambil berteriak-teriak. Dia
tahu rumah gadis benama Rui Semanti itu, tapi dia tidak menuju ke sana karena
agak jauh di selatan desa. Sindang lari ke arah barat dimana terletak rumah
Kenda Jamitan, pemuda kekasih Rui Semanti. Semua orang di desa Manding termasuk
anak penggembala itu mengetahul bahwa bulan dimuka Rui Semanti dan Kenda Jamitan
akan melangsungkan pernikahan.
Sindang kenal baik dengan Kenda Jamitan karena pemuda itu sering mengajaknya
main layang-layang.
Sampai di rumah Kenda Jamitan, Sindang langsung menggedor pintu depan seraya
berteriak-teriak.
"Kakak Kenda! Kakak Kenda!" Si bocah terengah-engah hampir kehabisan nafas.
Beberapa tetangga menjulurkan kepala di jendela ingin mengetahut anak siapa yang
pagi-pagi begitu berteriak-terak,dan apa Yang terjadi. Tak lama kemudian pintu
rumah terbuka. Seorang pemuda berkumis tipis, berkulit sawo matang keluar.
"Kakak Kenda....!"
"Sindang" ada apa! Pagi-pagi kau muncul di sini. Bukankah seharusnya kau pergi
menggembala?" tanya pemuda berkumis bernama Kenda Jamitan.
"Kakak Kenda..." Sindang menunjuk ke arah timur. "Saya ... saya menemukan kakak
Rui Semanti di tepi sungai"
"Hah Kau pasti mengintipnya mandi. Awas, kujewer kupingmu sampai putus" Kenda
Jamitan ulurkan tangan.
"Tidak, sumpah saya tidak berbuat nakal. Saya menemukan Kakak Rui tidak
mengenakan pakaian.
Mukanya pucat, bibirnya biru, dua mata terpejam. Saya ...." Sindang lalu
menangis keras.
"Apa"!" Kenda Jamitan terkejut besar.
"Kakak, lekes ikuti saya."
Kenda Jamitan tatap wajah Sindang beberapa ketika. Tidak salahkah dia mendengar"
Rui Semanti calon istrinya ditemui di tepi sungai. Tidak mengenakan pakaian,
bibir biru, mata terpejam. Pemuda ini sulit mau percaya tapi si bocah agaknya
tidak main-main.Darah Kenda Jamitan mendadak berdesir. Dada berdebar.
Dia Iari ke samping rumah mengambil kuda. Sindang dinaikkan di sebelah depan
lalu pemuda itu memacu kudanya ke arah timur.
DESA Manding geger besar. Betapa tidak. Rui Semanti, kembang desa cantik jelita
yang akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi dengan Kenda Jamitan ditemukan
tewas dalam keada?n bugil di tepi Kali Pasian. Melihat kepada bibirnya yang
kebiruan banyak orang menduga gadis malang ini menemui ajal karena keracunan.
Lalu pada bagian tubuhnya yang lain ada tanda-tanda bahwa Rui Semanti telah
dirusak kehormatannya. Rui Semanti dirampas kegadisannya lalu dibunuh dan
mayatnya dibuang di tepi Kali Pasian. Yang menimbulkan tanda tanya tak terjawab
adalah bunga tanjung yang menempel di kening si gadis. Apa artinya dan siapa
yang menempelkan. Sang pembunuh"
Jen?zah Rui Semanti dibawa ke rumahya. Sementara diratap ditangisi oleh kedua
orang tua dan saudara-saudaranya. Seperti orang kemasukan setan tiba-tiba Kenda
Jamitan melompat ke halaman dan berteriak.
"Ini pasti pekerjaan keji Legung Antah! Dia tidak bisa mendapatkan Rui lalu
memperkosa dan membunuhnya
!" Orang banyak yang berkumpul di tempat itu menjadi heboh.
Sebenarnya ada yang sebelumnya juga punya prasangka seperti itu namun tidak
berani mengatakan. Ketika Kenda Jamitan menghunus clurit beberapa orang seg?ra
mendatangi dan membujuk berusaha 4
menenangkan pemuda itu. Namun semua mereka terpaksa mundur berserabutan ketika
pemuda bertubuh kekar itu membabatkan clurit.
Sambil berteriak-teriak menyumpahi Legung Antah, Kenda Jamitan lari ke arah
selatan. Orang banyak mengikuti dari belakang. Mereka tahu apa yang dilakukan
Kenda Jamitan. Mencari Legung Antah, mendatangi rumahnya! Pasti akan terjadi
pertumpahan darah!
DI DEPAN sebuah rumah besar berhalaman luas Kenda Jamitan berdiri dengan muka
berapi-api dan dada turun naik, sepasang mata membara. Mulut berteriak lantang.
Tangan kanan mengacung-acungkan clurit.
"Legung Antah! Manusi? j?hanam! Keluar kau! Jangan sembunyi di dalam rumah!"
Tak ada suara tak ada jawaban. Tetangga berdatangan. Sebentar saja halaman besar
di depan rumah sudah dipenuhi orang.
"Jahanam Legung Antah! Kalau kau tidak keluar aku bakar rumahmu!" Kenda Jamitan
berteriak mengancam.
Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka. Dua orang keluar. Di sebelah depan seorang
pemuda berambut panjarng sebahu beralis tebal hitam, berkulit kuning. Inilah
Legung Antah, pemuda yang konon sejak lama jatuh cinta pada Rui Semanti namun
cintanya tak berbalas karena si gadis telah lebih dahulu terpikat pada Kenda
Jamitan. Beberapa waktu lalu dua pemuda itu tak sengaja bertemu di pasar
Manding. Entah bagaimana pasal sebab musababnya terjadi perang mulut yang
disusul dengan adu jotos. Dalam perkelahian tangan kosong satu lawan satu Kenda
Jamitan menghajar lawannya sampai babak belur.
Di belakang Legung Antah melangkah seorang Ielaki tua, agak bungkuk, hanya
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenakan sehelai celana panjang putih, membekal sebilah clurit dl pinggang.
Orang tua ini adalah Antah Bayana, ayah Legung Antah.
"Kenda Jamitan," tegur Antah Bayana. Pagi hari kau datang ke rumahku! Berteriak-
teriak seperti orang gila!
Mengacungkan clurit seperti tukang jagal kesetanan..."
"Diam!" hardik Kenda Jamitan. "Aku memang hendak menabas batang leher anakmu!"
Antah Bayana maju ke samping puteranya. "Pasal apa kau datang membawa kemarahan
dan mengancam hendak membunuh anakku"!" tanya si orang tua pada Kenda Jamitan.
"Tua bangka, kau jangan ikut campur! Sekali lagi kau berani bicara kau juga akan
kuhabisi!"
"Hebat sekali! Rupanya kau sudah jadi malaikat maut penguasa nyawa manusia!"
kata Antah Bayana tanpa ada perasaan takut
Mendengar kata-kata orang Kenda Jamitan tambah menggelegak amarahnya.
"Puteramu pemuda jahanam ini telah memperkosa dan membunuh calon istriku! Mayat
Rui Semanti ditemukan di tepi Kali Pasian! Dia menempelkan sebuah kembang
tanjung di keningnya! Apa maksudnya berbuat begitu" Jahanam keparat!"
Orang banyak yang mendengar kata-kata Kenda Jamitan, yang tadi masih merasa ragu
apa yang sebenarnya terjadi karuan saja menjadi marah. Salah seorang dari mereka
malah berteriak agar Legung Antah dicincang saat itu juga.
"Tunggu!" Antah Bayana melangkah ke hadapan Kenda Jamitan. Sepasang mata
berkilat dan pelipis bergerak-gerak. "Kau punya bukti anakku yang merusak
kehormatan dan membunuh Rui Semanti"! Kapan, dimana kejadiannya! Di desa ini
tidak ada pohon tanjung. Bagaimana mungkin kau menuduh anakku menempelkan bunga
tanjung dikening Rui Semanti"
"Tua bangka keparat! Dengar baik-baik" Mayat Rui Semanti ditemukan pagi ini oleh
seorang penggembala di tepi Kali Pasian! Pasti kejadiannya tadi malam! Kalau kau
ingin bukti dan saksi tanyakan pada setan Kali Pasian!" teriak Kenda Jamitan
dengan suara keras dan sepasang mata mendelik membara.
"Semalaman tadi anakku Legung Antah ada di rumah. Tidak kemana-mana!"
Menerangkan' ayah Antah Bayana. Lalu dia bertanya.
"Sejak kapan kau bersahabat dengan para setan Kali Pasian hingga bisa
menjadikannya saksi segala"!
"Dusta besar! Kau tentu saja mau membela anak jahanammu itu!"
"Kenda Jamitan!" bentak Legung Antah sambil maju dua langkah.
"Jaga mulutmu! Jangan kau berani bicara kurang ajar terhadap bapakku!"
"Ayah dan anak sama saja jahanamnya. Biar aku habisi kalian berdua sekaligus!"
Habis berteriak begitu Kenda Jamitan menyerbu Legung Antah dengan clurit besar
yang sejak tadi dipegang di tangan kanan. Kalau tidak cepat Legung Antah
menghindar. pasti perutnya robek ditambus clurit.
"Legung Antah!" teriak Antah Bayana pada puteranya. "Kita orang Madura!
Kehormatan diri dan keluarga adalah pegangan utama! Tidak ada orang boleh
menghina dan memfitnah keluarga Antah dan turunannya!
Hadapi bangsat edan itu! Carok!" Antah Bayana kemudian cabut clurit yang
tergantung di pinggang lalu diberikan pada Legung Antah. Di Madura carok dikenal
sebagai pembelaan harga diri dan keluarga secara jantan, diselesaikan dalam
pertarungan satu lawan satu dan biasanya masing-masing pihak bersenjatakan
clurit. Lima jurus perkelahian berlalu. Dua pemuda sama-sama punya gerakan
cepat. Dua buah clurit besar berkesiuran di udara mencari sasaran di tubuh
lawan. Dalam jurus ke sembilan darah mulai mengucur.
Legung Antah kena bacokan di bahu kiri yang segera di balas oleh pemuda itu
dengan membabat ke arah kepala lawan, menabas putus telinga kiri Kenda Jamitan.
Pertarungan semakin hebat semakin ganas.
Bacokan dibalas bacokan. Sambaran clurit dibalas babatan ganas. Setelah berlalu
dua puluh jurus lebih, dua pemuda itu akhirnya terkapar bergelimang darah di
tanah dengan tubuh dan muka penuh luka bacokan.
5 Keduanya sama-sama menghembuskan nafas dalam keadaan sangat mengenaskan.
Sebelum meIepas ajal, orang banyak masih sempat mendengar Legung Antah keluarkan
ucapan. "Ya Allah ya Tuhanku. Aku rela mati membela kebenaran dan kehormatan
diri serta keluargaku. Kau tahu ya Allah, aku tidak membunuh Rui Semanti...."
Orang banyak merasakan kuduk masing-masing jadi dingin bergidik mendengar ucapan
menjelang ajal itu.
Lalu siapa yang telah merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti"
6 Perempuan tua berambut putih duduk di bangku bambu di langkan rumah, menatap ke
arah halaman becek lalu memandang ke jalan lurus di depan sana. Mulutnya berucap
perlahan. "Hujan sudah lama berhenti. Mengapa anak itu belum juga kembali" Sebentar lagi
malam akan turun."
Kilat menyabung di udara, disusul suara gelegar guntur di kejauhan. Di ujung
jalan lurus muncul seorang penunggang kuda. Perempuan tua berdiri dari duduknya,
memperhatikan penuh harapan dan merasa lega ketika mengetahui yang datang adalah
puteranya seorang pemuda bertubuh tegap, berwajah elok. Bajunya basah kuyup
pertanda dia kehujanan dalam perjalanan. Begitu turun perempuan tua langsung
menegur. "Wayan, syukur kau cepat kembali."
"Udara buruk. Barusan hujan. Ayah sakit di dalam. Mengapa ibu berada di luar?"
"Aku menunggu adikmu. Sejak tadi Ayu pergi ke Pura untuk berdoa memohon
kesembuhan ayahmu pada Sang Hyang Widhi. Mungkin terhalang hujan. Tapi hujan
sudah lama berhenti..."
"Sebentar lagi dia pasti kembali. Bagaimana keadaan ayah?"
"Panasnya tidak turun-turun. Nafasnya masih sesak......
"Saya ada membawa ramuan obat pemberian juru obat Mangku Arsana di Besakih.
Tolong ibu menggodok dan meminumkan pada ayah. Mudah-mudah ayah lekas sembuh."
Ni Warda, ibu pemuda bernama, Wayan Arta mengambil bungkusan obat yang diberikan
puteranya. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah perempuan ini berkata. "Wayan, ibu tidak
merasa tenteram sebelum adikmu pulang. Cobalah kau pergi ke Pura. Kalau Ayu
tidak ada di sana, tanyakan pada penjaga Pura. Mungkin orang di sana tahu kemana
perginya anak itu."
Wayan Mantra turun kembali ke halaman dan naik ke atas kuda. Cukup lama dia
pergi, sewaktu kembali hari sudah malam. Ni Warda keluar dan dalam kamar setelah
memberi minum obat godokan pada suaminya yang sedang sakit
"Bertemu?" tanya perempuan berambut putih itu dengan wajah cemas.
"Jadi Ayu belum kembali?" Wayan Mantra balik bertanya yang mengira adiknya,
sudah pulang sewaktu dia pergi. Sang ibu gelengkan kepala.
"Orang di Pura memberi tahu Ayu meninggalkan Pura sebelum hujan turun. Kemana
perginya anak itu?"
Wayan Mantra monatap ke arah jalan becek. "Mungkin dia berteduh di satu tempat
atau pergi ke rumah salah seorang sahabatnya."
"Sampai malam begini" Dia tahu ayahnya sedang sakit..." Ni Warda semakin cemas.
"Ibu kawatir..."
"Saya juga merasa cemas. Tapi kemana saya harus mencari?"
"Desa Bali Aga ini tidak terlalu luas. Kau bisa bertanya pada banyak orang. Ayu
banyak temannya. Siapa yang tidak kenal adikmu itu."
"Baik, Bu. Akan saya cari dia sampai dapat. Ibu tak perlu cemas.
Sebelum pergi saya akan melihat ayah dulu."
"Pakaianmu basah. Gantilah."
"Tidak apa. Nanti juga kering," jawab Wayan Arta.
Setelah melihat ayahnya yang tengah sakit dalam keadaan tertidur Wayan Arta
meninggalkan rumah.
Hampir tengah malam pemuda ini baru kembali. Dia datang bersama empat orang
temannya yang sama-sama menunggangi kuda. Dia melihat ibunya duduk dekat pintu
kamar, setengah tidur setengah jaga.
Perempuan ini buka kedua matanya begitu Wayan Arta melangkah mendekati. Sebelum
sang ibu bertanya dia mendahului berkata.
"Seluruh desa sudah saya kelilingi bersama teman-teman. Puluhan orang saya
tanyai termasuk sahabat Ayu. Tak seorangpun yang melihatnya."
"Wayan, ibu punya firasat tidak enak. Tadi malam ibu bermimpi..."
Perempuan ini mulai terisak.
Wayan Arta jongkok di samping Ni Warda dan memeluk perempuan Itu. "Ibu, harap
ibu tenang saja. Saya dan beberapa orang kawan di tambah para penjaga desa akan
melakukan pencarian. Ayu pasti kami temukan...."
"Dalam keadaan selamat," sambung sang ibu.
Wayan Arta gigit bibirnya sendiri. "Tentu, dalam keadan selamat, pemuda itu
mengulangi ucapan ibunya.
Lalu dia mengambil sepotong kayu yang terletak di sanding pintu sebelah atas.
Dengan kayu itu dia kemudian memukul berulang-ulang kentongan yang tergantung di
langkan rumah. Dalam waktu singkat suara kentongan terdengar bersahut-sahutan
dari berbagai penjuru. Para tetangga dan penduduk Desa Bali Aga berdatangan.
Sebentar saja halaman rumah sudah dipenuhi banyak orang. Tengah malam itu juga
pencarian atas diri Ida Ayu Kintani dilakukan ke seluruh pelosok desa bahkan
sampai ke desa-desa tetangga. Para pencari dibagi atas dua rombongan. Namun
sampai pagi datang dan malam berganti siang 7
gadis jelita berusia delapan beles tahun itu masih belum berhasil ditemukan.
SORE hari sebelum Ida Ayu Kintani diketahui hilang. Suasana di dalam Puri hening
sekali. Ida Ayu Kintani berdoa penuh khidmat. Memohon pada Yang Maha Kuasa Sang
Hyang Widhi untuk kesembuhan ayahnya yang telah menderita sakit sejak lima hari
lalu. Selesai berdoa gadis cantik kembang Desa Bali Aga itu bersiap-siap
meninggalkan Pura. Di luar didengarnya suara-suara gelegar guntur dan sesekall
kilat menyambar di langit. Suara hujan rintik-rintik terdengar berjatuhan di
atap Pura. Di pintu Pura, seorang penjaga memberi salam. Ida Ayu Kintani membalas salam
orang Itu lalu bergegas pulang. Di satu kelokan jalan hujan rintik-rintik tiba-
tiba berubah deras. Selagi kebingungan mencari tempat berteduh, tiba-tiba muncul
seorang lelaki muda berpayung kertas lebar yang langsung melindungi Ida Ayu
Kintani dari curahan hujan hingga si gadis tak sampai kebasahan. Pemuda yang
memayungi Ida Ayu Kintani berwajah tampan, memelihara kumis, cambang serta
janggut tipis rapi dan tubuhnya menebar harum bunga.
Pakaian bagus mewah berwama hitam berhias bunga-bunga kocil disulam dari benang
perak dan emas.
Kening diikat kain merah yang juga bersulam bunga perak dan emas. Ida Ayu
Kintani tak pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dia yakin orang ini bukan
penduduk Desa Bali Aga dan dari pakaiannya agaknya dia adalah seorang pemuda
bangsawan atau putera keluarga hartawan.
"Peganglah payung ini Jangan sampai adik kehujanan." Orang tak dikenal berkata.
Suara begitu lembut dan senyumnya ramah. Ida Ayu Kintani hentikan Iangkah,
terdiam sejenak.
"Apakah saya mengenal..."
"Jangan persoalkan dulu kenal atau tidak. Yang penting adik tak boleh
kehujanan.."
"Lalu kakak sendiri bagaimana?" tanya si gadis.
"Saya masih punya satu payung lagi." Lalu dari balik punggungnya lelaki ini
mengambil sebuah payung kertas kocil.
Ida Ayu Kintani akhirnya mengambil juga payung kertas besar yang diberikan
orang. Sebelum melangkah gadis ini bertanya. "Kemana nanti saya mengembailkan
payung ini?"
"Tak usah dikembalikan. Pulanglah. Bukankah ayah adik sedang sakit dan barusan
adik berdoa di Pura?"
Walau heran orang tak dikenal ini mengetahui keadaan ayahnya, Si gadis anggukkan
kepala lalu melangkah, diikuti lelaki tadi."Kalau adik memberi izin, saya punya
sejenis obat. Mudah-mudah bisa menjadi penyembuh penyakit orang tua adik."
"Terima kasih. Wayan sudah pergi meminta obat pada seorang tabib di Besakih."
Jawab Ida Ayu Kintani.
"Siapa Wayan"'
"Kakak saya," menerangkan Ida Ayu Kintani.
Sambil berjalan berpayung di samping si gadis, lelaki Itu bertanya.
"Apakah adik pemah mendengar kata Kamasutra?"
"Saya pernah mendengar tapi tidak tahu apa artinya."
"Kamasutra adalah satu mukjizat luar biasa. Jika adik tidak keberatan saya ingin
memperlihatkan sesuatu pada adik."
. "Saya harus cepat pulang..."
"Saya mengerti. Tapi kalau adik mau melihat sebentar saja benda itu ..." Ida Ayu
Kintani tidak menjawab.
Dari balik pakaiannya lelaki berpayung di samping si gadis keluarkan sebuah
kantong kain berwarna hitam.
Ada sebuah benda di dalam kantong yang memancarkan cahaya merah redup,membuat
Ida Ayu Kintani jadi menaruh perhatian. Mengetahui si gadis mulai tertarik,
lelaki itu berkata. "Hujan tambah lebat. Rumah adik masih cukup jauh dan jalanan
sangat becek. Saya akan memperlihatkan benda di dalam kantong ini pada adik di
satu tempat. Di tepi Danau Batur banyak gubuk kosong. Bagaimana kita pergi ke
sana barang sebentar. Di salah satu gubuk saya akan memperlihatkan benda dalam
kantong pada adik."
Ida Ayu Kintani menggeleng. "Saya harus pulang cepat-cepat. Saya tak mau pergi
ketempat yang kau katakan itu."
"Kalau begitu..." Pemuda tampan terdiam.
Melihat orang yang menolongnya kecewa Ida Ayu Kintani lantas berkata.
"Mengapa harus pergi ke Danau Batur. Perlihatkan saja di sini. Sambil berjalan."
Lelaki berkumis dan berjanggut tipis rapi tersenyum. "Kalau itu pinta adik,
baiklah..." katanya. Payung yang dipegangnya dicampakkan begitu saja ke jalan.
Dibawah hujan lebat dan dalam kantong kain hitam dikeluarkannya sebuah benda
yang memancarkan cahaya merah redup lalu diperlihatkan pada si gadis.
Wajah Ida Ayu Kintani Iangsung berubah merah.
Dia cepat membuang muka namun telah keburu sempat melihat. Tubuhnya bergetar.
"Adik, kita ke Danau Batur sekarang...?"
Pemuda berkumis, bercambang dan berjanggut tipis bertanya lembut sambil memegang
tangan si gadis. Ida Ayu Kintani tidak menyahut. Tapi entah mengapa langkahnya
bergerak mengikuti kemana dia diajak.
MENJELANG tengah hari Wayan dan teman-teman dibantu penduduk desa melanjutkan
pencarian di rimba belantara di kaki Gunung Abang. Pada saat itulah datang
seorang penduduk desa menunggang kuda. Dia membawa kabar buruk. Seorang penjala
ikan menemukan sesosok Ida Ayu Kintani telah jadi mayat, 8
terapung di tepi Danau Batur. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung.
Bibirnya tampak membiru.
Sebentar saja kabar buruk itu telah menebar luas dan diketahui seluruh penduduk
Desa Bali Aga. Hampir semua orang menangis meratapi kematian gadis cantik
kembang desa itu.
9 Pesta perkawinan Sekartaji, puteri Adipati Lumajang dilangsungkan secara besar-
besaran. Selama tiga hari tiga malam perhelatan digelar dengan segala
kemeriahan. Ratusan tamu datang dari berbagai penjuru termasuk para pejabat
tinggi Kerajaan. Sri Baginda sendiri mengutus Patih Kerajaan untuk menghadiri
pesta tersebut. Selain hidangan dan minuman yang lezat berbagai pertunjukan
untuk menghibur para tamu disuguhkan silih berganti. Mulai dan hiburan gamelan
dengan para penyanyi terkenal, wayang kulit, debus dari Madura sampai rombongan
Reog jauh-jauh didatangkan dari Ponorogo. Selain Sekartaji adalah anak satu-
satunya, perhelatan besar itu juga sekaligus merupakan syukuran karena bulan
dimuka Adipati Lumajang Surogeneng akan dipindah tugas ke Kotaraja. Dia
dipercayai Sri Baginda menduduki jabatan baru setingkat dibawah Patih Kerajaan.
Yang menjadi besan Adipati Lumajang adalah Giring Santiko seorang hartawan kaya
raya dari Gresik hingga tidak heran kalau pesta perkawinan itu dapat
terselenggara secara besar dan mewah.
Malam terakhir pesta besar meriah, sebelum masuk ke kamar, Ageng Sutawijaya,
sang pengantin lelaki sementara tampak masih duduk-duduk di wang depan Gedung
Kadipaten dengan teman-temannya sambil minum-minum. Ageng Sutawijaya tidak
henti-hentinya menjadi bulan-bulanan godaan. Seorang teman berkata.
"Ageng, mengapa kau masih di sini" Masuk ke dalam kamar sana.
Jangan biarkan pengantinmu kedinginan menunggu terlalu lama."
Teman yang lain menyahut. "Kalau kita masih di sini dia tak mau masuk kamar.
Takut kita intip!"
Gelak tawa untuk kesekian kalinya pecah di tempat itu.
Di dalam rumah besar, seorang pelayan yang sejak kecil mengurus Sekartaji
mengantarkan pengantin perempuan itu masuk ke dalam kamar.
"Den ayu, sebentar lagi suamimu akan masuk ke sini. Baiknya mbok keluar saja."
Berkata si pelayan setelah berada dalam kamar itu beberapa saat lamanya.
"Jangan pergi dulu mbok. Temani saya. Nanti kalau dia sudah datang baru mbok
pergi." Pelayan tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Sekartaji dengan lembut lalu
berkata. "Kalau tahu mbok masih di sini, den masmu pasti tidak akan masuk-masuk.
Sudah, mbok pergi dulu. Awas jangan sampai ketiduran waktu suami den ayu masuk.
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini adalah malam paling bahagia dalam kehidupan den ayu. Yang pasti tidak akan
terlupakan selama-lamanya."
"Mbok, apakah mbok tidak akan menolong saya lebih dulu membuka pakaian pengantin
ini?" Sang pelayan tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata. Biar suamimu nanti
yang membukanya. Itu salah satu hal yang paling indah dalam malam pengantin ini"
"Mbok, kau bisa saja menggodaku ...... .:, Walau Sekartaji berusaha mencegah
agar pelayan itu jangan pergi dulu, sambil senyum-senyum si pelayan membuka
pintu dan keluar dari kamar.
Setelah tinggal sendiri, Sekartaji bingung mau berbuat apa. Sebentar dia duduk
di tepi tempat tidur besar, berdiri dan melangkah mundar mandir dalam kamar.
Lalu berdiri di belakang jendela besar Dia ingin membuka jendela itu memandang
keluar tapi tak berani, takut menyalahi adat. Akhirnya sang pengantin perempuan
ini duduk di sebuah kursi di sudut kamar. Pada saat itulah telinganya mendengar,
suara di pintu.
Memandang ke pintu Sekartaji melihat besi pegangan pintu bergerak ke bawah. Dada
pengantin perempuan ini berdebar. Suaminya datang.
Perlahan-lahan pintu kamar terbuka. Yang muncul dan kemudian masuk bukan sosok
gagah berpakaian pengantin, bukan sang suami Ageng Sutawijaya, melainkan seorang
pemuda yang tidak dikenal Sekartaji.
Orang inimengenakan pakalan hitam bersulam bunga-bunga kecil terbuat dan benang
perak dan emas.
Wajahnya yang tampan tertutup cambang, kumis dan janggut tipis rapi. Kening
diikat kain merah yang juga bersulam gambar bunga terbuat dan benang perak dan
emas. Begitu orang ini berada di dalam kamar, seantero ruangan ditebar bau
harumnya kembang tanjung.
Terkejut dan heran Sekartaji segera menegur dengan nada marah. "Kau siapa".
Mengapa berani masuk ke dalam kamar pengantin"!"
Pemuda yang masuk cepat menutup pintu kamar dengan tangan kanan sementara
telunjuk tangan kiri disilangkan di depan bibir yang tersenyum.
"Jangan takut, aku sahabat yang membawa keberuntungan bagimu." Pemuda berpakaian
hitam berkata. Suaranya lembut.
"Aku tak kenal dirimu. Kau bukan sahabat Ageng Sutawijaya. Keluar atau aku akan
berteriak!" Sekartaji mengancam.
"Aku akan keluar. Tapi mohon berikan padaku sedikit waktu. Aku memang tamu tak
di undang. Aku juga bukan sahabat suamimu. Tapi diriku adalah sahabatmu. Seperti
kataku tadi aku datang membawa 10
keberuntungan. Dengar, Iihat....Apakah kau pernah melihat benda ini sebelumnya?"
Dari dalam saku pakaian di sisi kiri, dengan tangan kirinya pemuda di dalam
kamar mengambil sebuah kantong kain wama hitam. Dengan cepat dia mengeluarkan
sebuah benda yang memancarkan cahaya merah redup dari dalam kantong kain itu.
"Lihat baik-baik, pandanglah. Bukankah indah sekali?" Si pemuda acungkan benda
di tangan kirinya dekat-dekat ke muka Sekartaji. Sang pengantin memperhatikan
dengan mata membesar, tubuh bergetar, wajah memerah dan dua kaki bersurut
mundur, dada turun naik.
"Aku datang membawa berkah untukmu, Sekartaji." Si pemuda berucap. Tangan kanan
diulurkan ke kening si gadis, menempelkan sekuntum bunga tanjung bulat kecil.
Saat itu punggung Sekartaji tertahan di dinding kamar. Sekujur tubuhnya
berkeringat. Di depannya ada dua bayangan aneh lelaki perempuan telanjang,
membuat gerakan-gerakan seperti menari.
HAMPIR menjelang pagi, diiringi tepuk tangan sorak sorai teman-temannya yang
terus menggoda, Ageng Sutawijaya akhirnya masuk juga ke dalam kamar pengantin.
Setelah menutup pintu pengantin lelaki itu berdiri sejenak, mata memandang
seputar kamar. Dia mengira akan melihat Sekartaji di atas tempat tidur besar,
tapi sang pengantin perempuan itu tak ada di sana. Juga tidak tampak duduk di
salah satu dari dua kursi di dalam kamar.
Sekar..." Tak ada jawaban.
"Mungkln dia menggodaku. Sembunyi atau bagaimana. Mungkin keluar kamar..."
Ageng Sutawijaya merasa ada tiupan angin dingin. Dia berpaling ke arah kanan.
Dia heran melihat jendela kamar terbuka labar. Timbul rasa curiga. Pemuda ini
lari ke belakang jendela. Halaman samping sunyi sepi.
Di dua sudut tampak obor menyala dan seorang pengawal tegak berjaga-jaga. Di
kejauhan sana dia bisa mendengar suara gelak tawa teman-temannya yang masih
bercanda satu sama lain.
"Sekar.,." Ageng Sutawijaya memanggil sekali lag!. Tak ada jawaban. Merasa
semakin tidak enak dia memeriksa seuruh kamar Malah sampal-sampai membalik
tempat tidur besar. Sekartaji tetap tidak ditemukan.
"Apa yang terjadi" Sekar! Dimana kau"!" Ageng Sutawijaya mulai berteriak.
Akhirnya pemuda ini melompat keluar kamar lewat jendela. Ketika dia muncul di
bagian depan rumah, teman-temannya yang masih ada di sana karuan saja menjadi
heran. Ada yang mulai menggoda.
"Kau seperti ketakutan! Ha ... ha! Kau diapakan sama pengantinmu"'
"Ageng! Kau dari mana?" Salah seorang teman bertanya.
"Teman-teman....Sekartaji hilang!" Ageng Sutawijaya memberi tahu.
Tak ada yang percaya. Ucapannya disambut gelak tawa.
"Saat ini seharusnya kau berada dalam kamar berdua-duaan dengan istrimut Mengapa
mau-mauan membuat lelucon?"
"Aku tidak membuat lelucon Sekartaji benar-benar Tak ada di kamar!" ucap Ageng
Sutawijaya berteriak.
Malam itu juga Gedung Kadipaten Lumajang yang baru saja mengadakan perhelatan
besar tiga hari tiga malam menjadi geger. Kegegeran ini dengan cepat melanda
seluruh kota. Menjelang pagi semua penduduk mengetahui apa yang terjadi.
Sekartaji entah melarikan diri entah diculik orang. Pencarian besar-besaran
segera dilaksanakan, dibagi dua kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Adipati
Surogeneng dan Ageng Sutawijaya.
MENJELANG tengah hari serombongan pengantar jenazah memasuki kawasan pekuburan
yang terletak di luar kota sebelah timur Lumajang. Selesai jenazah dimakamkan
dan doa dibacakan, pada saat rombongan hendak meninggalkan pekuburan mereka
melihat sebuah keranda jenazah tertutup kain hijau terletak di bawah satu pohon
rindeng tak jauh di arah jalan menuju pintu gerbang.
"Heran, tadi tidak kulihat keranda itu di sana.
Bagaimana tahu-tahu bisa berada di tempat Itu"' seseorang berucap.
Seorang lain menyambung. "Siapa yang membawa" Tak ada yang menunggui. Mengapa
ditinggal begitu saja?"
Penuh rasa ingin tahu semua orang segera mendatangi keranda jenazah itu. Kain
hijau penutup keranda disingkapkan. Langaung saja semua mulut keluarkan seruan
tertehan dan bersurut mundur!
Di alas keranda terbujur sesosok tubuh perempuan muda mengenakan pakaian
pengantin penuh robek dan nyaris tak mampu menutupi aurat. Di keningnya menempel
sekuntum kembang tanjung putih kekuningan.
Wajah pucat pasi dan bibir tampak membiru.
"Gusti Allah ! ini Den Ayu Sekartaji!"
"Ya Tuhan! Siapa yang membawa kuda! Lekas beri tahu Adipati Surogeneng!"
Seseorang berteriak.
Tak selang berapa lama, setelah ditemukannya Sekartaji dalam keadaan sudah jadi
mayat, untuk kedua kalinya Lumajang dilanda kegemparan. Sungguh luar biasa dan
sangat mengenaskan kejadian ini. Siapa yang begitu biadab menculik Sekartaji
pada malam pengantinnya, merusak kehormatan lalu membunuhnya!
11 GOA CADASBIRU, Kaliurang. Udara pagi masih terasa sejuk walau sang surya sudah
cukup lama menampakkan diri di ufuk timur. Kicau burung masih terdengar
bersahut-sahutan di atas pepohonan. Di dalam goa, di atas ranjang batu
beralaskan kasur empuk, seorang dara cantik berpakaian tidur warna biru
menggeliatkan tubuhnya yang elok, mengangkat ke dua kaki tinggi-tinggi ke atas.
Pakaian tidur yang dikenakannya merosot ke bawah, menyingkapkan sepasang betis
bagus dan paha putih mulus.
"Malas sekali rasanya pergi mandi ke telaga". Berucap si gadis lalu duduk di
tepi ranjang. Rambut yang dikonde di atas kepala digerai lepas, panjang
sepinggang. Rambut hitam tebal yang dilepas begitu rupa membuat wajahnya tampak
bertambah jelita.
Di atas ranjang batu kedua di dalam goa, seorang gadis berpakalan merah menatap
ke langit-langit ruangan. "Kalau kau masih malas mandi, biar aku duluan yang
turun ke telaga." Si baju merah berkata. Lalu bangun, turun dan tempat tidur dan
tanggalkan pakaiannya. Dalam keadaan bugil begitu rupa dia melangkah ke lorong
menuju pintu goa.
"Kau ke telaga bertelanjang bulat seperti itu?" menegur gadis berpakaian biru.
"Apa salahnya" Tak ada orang di tempat ini" jawab si baju merah yang berdiri
bertolak pinggang tanpa pakaian sambil menggoyangkan pinggul.
"Gila!" Gadis baju biru mendamprat. Kurasa tempat ini tidak lagi aman. Apa kau
lupa kajadian siang kemarin" Ada orang tak dikenal muncul. Mundar mandir di luar
goa. Aku merasa pasti dia tengah meyelidiki tempat ini."
Kalau cuma seorang lelaki, apa lagi masih muda dan berwajah tampan mengapa harus
takut" Malah seharusnya kita undang dia datang dan masuk ke dalam goa ini."
"Ngacok! Kau bicara tolol atau memang sudah gila"! Kita masih menyimpan lima
puluh kati madat di dalam goa ini!" Banyak orang berusaha mendapatkannya,
terutama pemiliknya orang-orang dari daratan Cina.
Belum lagi sisa orang-orang yang menamakan diri dari Kraton Kaliningrat. Pasti
orang kemarin tengah menyelidiki keberadaan madat itu. Jika dia menemukan kita
tapi tidak menemukan madat, dia akan membunuh kita!" (Kisah mengenai madat ini
terjadi ketika kaum pemberontak yang menamakan diri orang-orang Keraton
Kaliningrat menjarah lima puluh kati madat dari kapal China yang berlabuh di
Moro Damak untuk membiayai perjuangan mereka merebut tahta Kerajaan. Untuk
jelasnya baca serial Wiro Sableng Episode "Perjanjian Dengan Roh" s/d "Api Di
Puncak Merapi")
"Kita berdua, orang itu Cuma sendiri. Nyalimu kecil sekali."
"Jangan menganggap remeh orang lain. Kau kira apa cuma kita bendua saja yang
punya ilmu silat dan kesaktian di dunia ini?"
"Lalu apakah aku tidak bisa mandi ke. telaga" Sampai berapa hari kita harus
mendekam di dalam goa ini"
"Siapakah dua gadis jelita penghuni goa Cadasbiru ini" Mereka bukan lain adalah
sepasang kakak adik Liris Merah dan Liris Biru, murid nenek sakti berjuluk Hantu
Malam Bergigi Perak. Seperti dituturkan dalam serial Wino Sableng berjudul "Azab
Sang Murid" Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal tewas di tangagan Sinto
Gendeng dalam memperebutkan Kitab Seribu Pengobatan. Liris Merah dan Linis Biru
yang punya penyakit tidak tahan panas dengan petunjuk yang ada dalam Kitab
Seribu Pengobatan berhasil disembuhkan. Setelah sang guru menemui ajal, Liris
Merah mengalami nasib malang, jatuh ke tangan Pangoran Matahari dan dijadikan
budak nafsu selama beberapa hari sebelum akhirnya Pangeran Matahari menemui ajal
di puncak Gunung Merapi ( Baca serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak
Merapi") "Kita harus menunggu sampai keadaan aman. Mari kita awasi dulu keadaan diluar
sana sebelum pergi ke telaga." kata Liris Biru. Liris Merah kenakan pakaian
merahnya kembali lalu dua kakak beradik ini memasuki lorong pendek dan sampai di
mulut goa yang ditutup dengan sebuah batu besar. Dari luar, mulut goa yang
tertutup batu ini tidak kentara sama sekali. Selain sulit dilihat juga terhalang
oleh beberapa pohon yang tumbuh rapat serta semak belukar lebat.
Di bagian dalam dinding goa sebelah kanan, terdapat dua buah lobang sangat kecil
yang bisa dipergunakan untuk mengintai keadaan di luar goa.
"Aku yakin orang kemarin akan muncul lagi di sini. Dia tengah mencari sesuatu.
Dia tidak akan berhenti sebelum menemukan... " Liris Biru berkata sambil
mendekatkan mata kanan di lobang pengintai.
"Kemarin aku tak sempat melihatnya. Ketika aku mengintai dia keburu pergi ..."
"Orangnya masih muda, berpakaian hitam. Wajah tampan. Gerak geriknya..."
"Wajahnya tampan katamu"! Hik ... hik..hik! Jangan-jangan aku yang tengah
dicarinya. Kalau dia datang biar aku keluar menemui."
"Jangan lakukan perbuatan tolol itu! Sekali orang tahu goa ini kita bisa
celaka!" "Adikku Liris Biru, kau tenang-tenang sajalah. Tak usah kawatir. Kakakmu ini
yang akan menangani semua urusan!" kata Liris Merah pula sambil tersenyum.
"Cuma, aku merasa bosan, mataku bisa terasa pedas 12
kalau terus-terusan mengintip tanpa kita tahu kapan munculnya pemuda itu.
"Kemarin dia muncul tengahari. Kurasa kali ini bisa saja dia datang pagi-pagi
begini atau sore nanti..."Jawab Liris Biru.
Liris Merah pegang bahu adiknya. Lalu berkata setengah berbisik.
"Ssstt. Aku melihat sesuatu bergerak. Arah kiri dibalik deretan pohon bambu di
kanan jalan. Agaknya dia datang dari arah telaga."
Liris Biru mengintai tak berkesip. Dia perhatikan deretan pohon bambu lalu gadis
ini menahan nafas. Dari balik pohon bambu, berjalan di tangga batu cadas muncul
seorang pemuda berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi.
Pakaiannya yang hitam bersulam bunga-bunga kecil dan benang perak dan emas.
"Liris Merah, orang yang kita tunggu sudah muncul. Kau mengenali atau pernah
melihat pemuda ini sebelumnya?" Bertanya Liris Biru.
Di luar goa pemuda gagah berpakaian hitam berdiri di satu gundukan batu cadas,
memandang berkeliling sambil jari-jari tangan kanannya mempermainkan sebuah
benda bulat sebesar ujung jari, berwarna putih kekuningan. Sesekali benda itu
didekatkan ke hidung.
"Aku tak kenal orang ini. Tapi kelihatannya dia pemuda baik-baik. Mungkin juga
seorang anak bangsawan kaya raya lihat pakaian yang dikenakannya.
Bagus dan pasti mahal" Ujar Liris Merah yang diam-diam mulai merasa tertarik
akan ketampanan wajah pemuda di luar sana.
"Mungkin dia mahluk jejadian. Bisa saja dia adalah roh Pangeran Matahari yang
tengah menyaru gentayangan Ucap Liris Biru pula.
Liris Merah menatap ke arah adiknya lalu kembali mengintal lewat lobang rahasia.
"Mahluk jejadian memang ada. Tapi kali ini aku tidak percaya hal begituan. Lihat
saja, dua kaki pemuda itu jelas-jelas menginjak bumi, menginjak batu. Mana
mungkin dia mahluk jejadian."
Liris Biru menghela nafas dalam. "Yang kita tunggu Pendekar Dua Satu Dua. Yang
muncul malah pemuda tak dikenal."
"Lupakan dulu pendekar itu. Pemuda yang satu ini pasti turunan bangsawan kaya.
Kalau kita bisa berkenalan dengan dia pasti kita bakal mendapat banyak
kesenangan. Lihat, pemuda itu sekarang duduk di atas batu. Agaknya dia menunggu
sesuatu. Atau tengah berpikir.." Kata Liris Merah pula.
"Aku punya firasat dia sudah menduga ada orang di sekitar sini. Tadi dia mungkln
menyelidik di telaga.
Kalau dia mengetahui goa rahasia ini dan tahu kita ada di dalam..."
Liris Merah menggeleng. "Dia tidak bakal mampu mengetahui.
Walau sudah meninggal, namun hawa kesaktian guru kita masih ada di sekitar
tempat ini melindungi goa."
"Kau tahu benda apa yang berulang kali dicium pemuda itu?"
Bertanya Liris Biru namun sebelum mendapat jawaban dia sudah berucap lagi.
"Kakak, lihat! Pemuda itu berdiri. Dia melangkah pergi."
Liris Merah mengintip kembali. "Liris Biru, kita harus tahu kemana perginya
orang itu. Apa sebenarnya yang tengah dilakukannya di tempat ini. Kau tetap di
dalam goa....".
"Kau mau kemana?" tanya sang adik.
"Aku akan mengikuti pemuda itu. Kita harus tahu apa sebenarnya yang dilakukannya
di tempat ini. Kalau nanti ketahuan dia memang berbahaya, aku akan
menghabisinya." Liris Merah rapikan pakaian merahnya "
Jangan lakukan hal itu. Biarkan saja dia pergi. Dia mungkin tak akan kembali
lagi ke sini. Kita sudah aman di dalam sini."
Liris Merah tidak perdulikan ucapan adiknya. Malah dia menjawab.
"Kalau aku.tidak kembali dalam waktu sepeminuman teh, kau harus segera keluar
goa mencariku." kata Liris Merah lalu menggeser batu besar penutup goa. Sesaat
kemudian gadis itu sudah berada di luar goa.
"Liris Merah...." Liris Biru berucap sendiri di dalam goa. "Aku tahu kau bukan
ingin menyelidik, kau tertarik pada pemuda itu. Kau tidak jera-jeranya. Apa
pengalaman keji dengan Pangeran Matahari tidak membuatmu kapok?"
Liris Biru kembali masuk ke dalam ruangan tidur dan membaringkan tubuh di atas
ranjang batu beralas kasur. Dia coba memicingkan mata. Namun hal ini membuat dia
semakin tambah kawatir. Karena takut akan terjadi sesuatu yang tak diingini atas
diri kakaknya, akhirnya sebelum seperminuman teh Liris Biru keluar dari dalam
goa, berkelebat kearah perginya Liris Merah.
Setelah mencari dan mengejar cukup lama Liris Biru tidak juga menemukan
kakaknya, akhirnya gadis ini hentikan lari. Saat itu dia berada di sebelah timur
Goa Cadasbiru. Dari tempat itu dia bisa melihat telaga di kejauhan. Tiba-tiba
gadis ini melihat bayangan seseorang di balk batu di tepian telaga. Dia
memperhatikan. Dia merasa yakin yang tadi dilihatnya sekelebat adalah sosok seorang lelaki.
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan kakaknya Liris Merah.
Liris Biru memperhatikan lagi dengan pandangan ditajamkan. Kali ini dia melihat
kepala laki-laki tersembul di balik batu. Kepala yang diikat kain merah.
"Pemuda itu! Dia ada di sana!"
Tidak menunggu Iebih lama Liris Biru segera menghambur lari ke arah telaga. Agar
sampai lebih cepat gadis ini tidak lari melewati jalan biasa melainkan melompat
dart satu cadas batu ke cadas batu lainnya 13
mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sesaat kemudian dia sudah
sampai di tepi telaga, langsung berkelebat ke arab batu besar dimana tadi dia
melihat kepala lelaki tersembul. Dia mendengar suara tawa manja perempuan. Tawa
Liris Merah. Begitu sampai di balik batu kejut Liris Biru bukan alang kepalang.
Gadis tnt berteriak keras.
"Jahanam! Kalian tengah berbuat apa! Terkutuk!"
Sosok pemuda telanjang yang tengah meneduhi tubuh Liris Merah tersentak kaget.
Secepat kilat tangannya bergerak ke arah dada Liris Merah yang berada dibawah
tindihannya lalu menyambar baju dan celana hitam millknya. Di lain kejap pemuda
ini sudah lenyap dari tepi telaga. Liris Biru berusaha mengejar. Namun dia
segera berbalik. Dia lebih mementingkan keselamatan kakaknya. Hanya saja ketika
dia memeriksa keadaan sang kakak Liris Merah sudah tidak bernafas lagi. Tubuh
tergeletak bugil. Pakaian merahnya entah berada dimana. Di kening menempel
sekuntum kembang tanjung. Bibir tampak membiru.
"Kakak!" jerit Liris Biru.
LIRIS BIRU berlari membawa jenazah kakaknya. Sepanjang jalan gadis ini tiada
hentinya menangis. Dalam keadaan seperti itu dia tidak menyadani kalau ada
seorang pemuda berpakaian hitam berikat kepala kain merah mengikutinya. Di depan
goa rahasia si penguntit memperhatikan bagaimana Liris Biru menggeser batu besar
penutup mulut goa lalu masuk ke dalam.
"Hebat! Tempat persembunyian luar biasa! Aku berulang kali menyelidik ke sini.
Tapi tak berhasil mengetehul jalan masuk. Sekarang si cantik itu sendirl yang
menunjukkan jalan padaku. Gadis berbaju biru, apakah kau juga sudah tidak
perawan seperti saudara mu itu?"
Pemuda berpakaian hitam segera menyibak semak belukar dan mendekati batu baser
penutup goa. Namun sebelum dia sempat mengeser batu besar itu tiba-tiba ada
orang berseru. "Sahabatku muda dan cantik! Liris Merah Liris Biru! Apa kalian ada di dalam goa"
Kangennya aku ini pada kalian hingga siang malam beser terus-menerus ha!"
"Kurang ajar! Bangsat pengganggu!" Pemuda berpakaian hitam di depan goa terkejut
dan menyumpah marah. Dengan cepat dia melompat ke balik satu pohon besar lalu
berkelebat pergi ke arah timur. Sambil lari dia merutuk habis-habisan.
Sementara, orang yang barusan berseru berdiri termangu di bawah pohon sambil
usap-usap bagian bawah perutnya.
"Aneh, aku sudah pemah ke tempat ini. Tapi tetap saja tidak tahu dimana letaknya
mulut goa!" Orang ini berucap dan memandang berkeliling. Dia adalah seorang
kakek bermata belok jereng, daun telinga sebeIah kanan lebar terbalik,
mengenakan celana gombrong yang lepek basah oleh air kencing! Siapa lagi kalau
bukannya Setan Ngompol!
"Liris Merah! Liris Biru! Aku sahabat tua kailan Setan Ngompol! Mana pintu masuk
ke dalam goa!"
Menunggu beberapa lama tetap tak ada jawaban. Setan Ngompol punya dugaan mungkln
dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tak ada di tempat itu. Namun
mendadak dia mendengar suara sesuatu.
Si kakek melangkah mundar-mandir. Daun telinga sebelah kanan diputar-putar.
Serrr. Si kakek mulal pancarkan air kencing.
"Aku mendengar suara orang menangis. Suara perempuan." Setan Ngompol memandang
ke arah kiri. Dia hanya melihat deretan pohon-pohon, semak belukar dan bukit
batu. "Liris Merah! Liris Biru! Aku Setan Ngompol! Aku mendengar suara orang menangis!
Mengapa kalian tidak mau membuka pintu goa"!"
Baru saja Setan Ngompol berteriak tiba-tiba salah satu bagian dinding batu biru
di sebelah depan sana bergeser. Liris Biru keluar dan dalam goa sambil menangis,
Iangsung menghambur ke arah Setan Ngompol.
"Kek, Liris Merah dlbunuh orang...." SI gadis memberl tahu.
Setan Ngomol kaget besar, langsung terkencing-kencing. Liris Biru membawanya
masuk ke dalam goa. Baik Liris Biru maupun Setan Ngompol tidak menyadari bahwa
kemunculan Si kakek secara tidak terduga sebenarnya telah menyelamatkan gadis
itu dari perkosaan dan pembunuhan seperti yang terjadi dengan kakaknya.
Di dalam goa Setan Ngompol melihat Liris Merah terbujur di atas kasur, ditutup
kain panjang sampai sebatas leher.
"Bagaimana kejadiannya*?" tanya si kakek sambil berusaha menahan ngompol.
"Semua berlangsung cepat sekali..." Lalu Liris Biru menuturkan bagaimana dia
menemui kakaknya di balik batu besar.
Setelah mendengar cerita si gadis, Setan Ngompol berkata. "Kalau kakakmu
tertawa-tawa ketika dirinya disebadani, berarti dia tidak diperkosa. Dia
melakukan hal itu suka sama suka..."
"Lalu mengapa dia kemudian di bunuh sekeji ini"! Manusia jahanam itu lebih
biadab dan Pangeran Matahari!" Liris Biru lalu menangis keras. Setelah tangisnya
reda dia menatap memperhatikan wajah kakaknya. "Apa artinya bunga tanjung yang
ditempelkan di kening" Lihat, kek. Bibir Liris Merah biru. Dia mati diracun!"
"Kalau dia diracun, berarti itu dilakukan sebelum kehormatannya dirampas. Tapi
mana mungkin dalam waktu sesingkat itu ...." Setan Ngompol perhatikan wajah
Liris Merah yang masih tampak sagar merah lalu melangkah mundar mandir. Satu
saat dia berhenti melangkah dan berkata. "Aku ingin melihat lehernya.
Coba kau turunkan kain penutup..."
14 Liris Biru turunkan kain panjang penutup jenazah kakaknya sampai ke pundak.
Setan Ngompol perhatikan leher Liris Merah. Dia tidak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan. "Aku menduga kakakmu mati dicekik. Ternyata tidak," ucap Setan Ngompol. "Masih
ada satu tempat lagi yang ingin kulihat. Bagian dadanya. Tolong kau turunkan
lagi kain panjang itu."
"Tidak, aku tidak akan memperlihatkan aurat kakakku padamu," kata Liris Biru
pula. Si kakek pegang bagian bawah perutnya menahan kencing.
"Terserah padamu. Aku hanya ingin mengetahui penyebab kematian kakakmu. Kalau
dia memang diracun, dan mana datangnya racun itu dan bagaimana masuknya ke tubuh
kakakmu" Melalul hubungan badan itu...?" SerrT! Kencing Setan Ngompol mendadak
terpancar. Setelah menarik nafas panjang berulang kali akhimya Setan Ngompol
berkata. "Kita urus dulu jenazah kakakmu. Ada baiknya dia dimakamkan di samping
kubur guru kalian. Setelah itu kau harus berkemas. Kau harus tinggalkan goa ini
untuk selama-lamanya. Tempat ini tidak aman lagi bagimu!
Pemerkosa dan pembunuh keji itu sewaktu-waktu bisa muncul.
"Aku akan membunuhnya jika dia berani datang ke sini" ucap Liris Biru pula.
"Aku punya dugaan, pemuda berpakaian hitam itu bukan cuma memiliki Ilmu
kepandaian tinggi. Tapi mungkin juga memiliki semacam pengasih atau ilmu pelet.
Buktinya bagaimana mungkin kakakmu yang aku ketahui galak itu bisa menyerahkan
dirinya dalam waktu sesingkat itu. Kenalpun tidak sebelumnya ..."
Aku tidak tahu kek," jawab Liris Biru. "Sejak peristiwa dirinya dengan Pangeran
Mataharl tempo hari, Liris Merah selalu ingin berhubungan dengan laki-laki. Tapi
satu hal kau benar Aku memang harus menghindar dulu dari goa ini. Hanya
saja...." Liris Biru ingat pada madat yang disembunyikan di dalam goa.
"Hanya saja apa?" tanya Setan Ngompol.
"Tidak, tidak apa-apa." Jawab Liris Biru. Dia tidak mau menceritakan perihai
madat dalam kantong kulit seberat 50 kati itu. Malah si gadis merubah
pembicaraan. "Kek, kau percaya roh orang yang sudah mati bisa gentayangan
menjadi mahluk jejadian?"
"Serrr!"
Setan Ngompol delikkan mata dan pegangi bagian bawah perutnya yang kembali lepek
basah. "Siang bolong begini rupa kau bicara yang membuat aku mengkirik saja!
Mengapa kau bertanya aneh seperti itu?"
"Aku takut Pangeran Matahari yang sudah menemui ajal itu rohnya gentayangan,
membentuk diri sebagai pemuda berpakaian serba hitam itu. Gentayangan untuk
menuntut balas."
Setan Ngompol enak saja usap-usap tengkuknya yang terasa dingin dengan tangan
basah penuh air kencing. Dia merasa lega sedikit karena air kencing hangat yang
ikut tersapu di kuduknya membuat hilang rasa dingin di kuduk itu.
"Aku tidak tahu. Tuhan Maha Kuasa, mampu berbuat sekehendakNya. Tapi aku tidak
yakin pemuda berkumis berpakaian hitam itu adalah jejadian Pangeran Matahari.
Kalau memang benar dia jejadian Pangeran Matahari, yang dicari dan dibunuhnya
bukan Liris Merah, tapi Sinto Gendeng, Wiro Sableng dan para pendekar lain yang
ikut urunan membunuhnya di puncak Gunung Merapi. Sudah, sebaiknya kita tidak
membicarakan manusia dajal yang sudah mampus itu. Bisa-bisa aku ngompol terus-
terusan:.."
15 HUJAN lebat yang turun sejak pagi dan mulai berhenti pada siang hari membuat
jalan di kaki bukit kecil di tenggara Godean menjadi becek berlumpur. Udara
terasa dingin. Langit masih kelihatan agak kelabu. Di beberapa bagian malah
tampak awan tebal menggantung hitam. Mungkin saja hujan akan turun lagi
menjelang sore atau malam nanti.
Kesunyian di kaki bukit dipecah oleh suara derap lari seekor kuda diseling
teriakan-teriakan perempuan. Tak lama kemudian di satu jalan menurun, becek dan
penuh batu, seorang gadis berpakaian ringkas warna biru muda yang robek di
bagian dada tampak memacu kuda coklat tunggangannya ke arah timur. Agaknya dia
memang cekatan menunggang kuda namun sangat berbahaya memacu kuda secepat itu di
jalan yang demikian buruk serta menurun. Sesekali gadis ini menoleh ke belakang.
Merapatkan dada pakaiannya yang robek lalu menggigit bibir dan memaki dalam
hati. "Kurang ajar! Ilmu lari setan apa yang dimiliki pemuda jahanam itu!" Si gadis
menepuk pinggul kudanya, berteriak keras agar binatang itu lari lebih cepat. Di
wajahnya yang ayu cantik jelas tampak rasa takut amat sangat. Di keningnya,
entah dia sadar atau tidak menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan,
kecil sebulatan kuku jari tangan, "Kotaraja masih jauh. Bagaimana aku bisa
memancing agar manusia jahanam itu diringkus pasukan Kerajaan.
Terpisah sekitar sepuluh tombak di belakang gadis berkuda kelihatan berlari
seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala merah. Dia berlari luar biasa
capat, seolah dua kaki tidak menginjak tanah jalanan.
Hanya persoalan waktu. Cepat atau lambat dia akan berhasil mengejar gadis
penunggang kuda di depannya.
Di ujung jalan yang menurun terdapat satu tikungan patah. Gadis berpakaian biru
tidak berusaha memperlambat lari kuda. Agaknya dia tidak mengenali benar keadaan
jalan di kawasan itu. Dia menyangka begitu keluar dari tikungan akan menemui
jalan rata. Ternyata keliru. Justru di balik tikungan terdapat satu jurang batu
sedalam dua puluh tombak yang hanya dipagari batu-batu setinggi betis serta
semak belukar rendah. Konon tikungan di jalan menurun ini oleh para perampok
seringkali dijadikan tempat menunggu mangsa.
Sementara itu di pinggiran jurang batu, tak jauh dan jalan yang menikung, dari
arah sebuah goa kecil terdengar merdu suara tiupan seruling. Alunan suara
seruling ini seolah berpadu dengan keadaan udara yang perlahan-lahan berubah
mulai cerah serta munculnya pelangi di langit sebelah timur.
Begitu melewat tikungan dan melihat jurang menghadang, gadis penunggang kuda
berteriak kaget. Dia cepat tarik tali kekang. Namun dalam kecepatan seperti itu
sulit untuk dapat menghentikan kuda. Malah setelah meringkik keras, kepala
mendongak, dua kaki depan kuda coklat membentur deretan batu di tepi jurang.
Patah! Binatang mi tersungkur. Kepala menghantam sebuah batu besar hingga remuk
mengerikan. Gadis berpakaian biru terpental mencelat ke udara. Dia membuat gerakan jungkir
balik satu kali, berusaha mencapai pinggiran jurang. Agaknya dia memiliki
sedikit ilmu kepandaian silat serta ilmu meringankan tubuh.
Namun ilmu yang secupak itu tidak bisa menahan daya berat tubuhnya, membuat dia
tidak mampu selamatkan diri, malah langsung melesat jatuh ke dalam jurang batu!
Gadis ini menjenit satu kali lalu pingsan tak sadarkan diri.
Suara tiupan seruling di pinggir jurang mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu
seorang berpakaian putih berkelebat ke arah melayangnya tubuh gadis berbaju
biru. Dengan gerakan luar biasa cepat dan mengagumkan orang berpakaian putih
berhasil menyambar pinggang si gadis, lalu melompat ke tepi jurang.
Sosok gadis itu kemudian dibaringkan di atas rerumputan basah.
Orang berpakaian putih ternyata adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu.
Sebuah suling perak tersisip di pinggang kiri. Pemuda ini agak terkesima ketika
melihat bagian dada putih yang tersingkap dibalik robekan baju biru. Mulutnya
keluarkan siulan dan tangan kanan menggaruk kepala.
"Tuhan benar-benar adil." Si pemuda berucap. "Sejak pagi tadi aku kedinginan,
kini diberi hadiah pemandangan yang menghangatkan! Ha...ha ... ha!"
Mendadak si pemuda hentikan tawa. Dia berbalik, memandang ke arah jalan mendaki.
Walau sangat perlahan namun telinganya yang tajam mampu mendengar suara gerakan.
Dia perhatikan kuda coklat yang terkapar di tanah. Binatang Itu telah menemui
ajal, tak bergerak lagi. Berarti ada sumber suara lain yang tadi ditangkap
pendengarannya.
"Ada orang sembunyi di salah satu lereng batu di atas sana..." ucap pemuda
gondrong. Lalu dia berteriak.
"Manusia yang sembunyi di balik batu! Keluarlah! Perlihatkan tampangmu!"
Tak ada sahutan tak ada gerakan.
"Apa boleh buat," ucap si gondrong. Dia usapkan kedua tangan sambil mengalirkan
tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan dihantamkan ke arah batu paling besar di
kejauhan, di sebelah kanan jalan menurun.
"Wusss!"
16 Selarik angin dahsyat menderu.
"Braakkk!"
Batu besar di tepi jalan hancur berantakan. Satu bayangan hitam berkelebat
disertai terdengarnya suara teriakan memaki lalu sunyi. Pemuda gondrong
menunggu. Orang yang barusan kabur dan balik batu tidak munculkan diri. Si
gondrong memandang ke arah kuda yang tergeletak tak benyawa di tepi jurang. Ada
yang menarik perhatiannya. Pada pinggul kanan binatang ini terdapat sebuah cap
hitam bergambar tombak pendek bermata tiga. Tombak Trisula.
"Setahuku, tanda di pinggul kuda itu salah satu lambang Kerajaan. Berarti gadis
ini bukan gadis sembarangan." Si pemuda berucap lalu jongkok di samping gadis
baju biru. Walau pakaian biru yang dikenakan si gadis berpotongan sederhana
namun bahannya adalah kain bagus dan mahal. Ketika dia hendak memeriksa keadaan
gadis itu tiba-tiba si pemuda melihat ujung alis sebelah kiri yang hitam tebal
bergerak beberapa kali. Si pemuda gosokkan telapak tangannya satu sama lain
sampai panas lalu ditempelkan ke pipi gadis yang agaknya mulai siuman.
Sepasang mata bagus bening terbuka, menatap ke langit. Ketika pandangannya
membentur wajah tersenyum pemuda rambut gondrong, langsung gadis ini menjerit
dan berusaha bangun. Pemuda berpakaian putih cepat memegang bahu si gadis dan
berkata. "Tenang, tak ada yang perlu kau takutkan..."
"Aku ... aku sudah mati?"
Si gondrong tertawa. "Kalau kau sudah mati mana bisa bicara?"
Si gadis terdiam.
"Tapi .... Tadi aku jatuh ke dalam jurang ..." Gadis baju biru memandang ke
samping, ke arah jurang.
Kuduknya merinding.
"Tidak, kau tidak jadi jatuh ke dalam jurang. Tuhan menyelamatkan dirimu."
"Tuhan...Gusti Allah menyelamatkan diriku?" Si gadis tampak bingung. Dia usap
tangan kiri ke tangan kanan, lalu tekap wajah. Saat itulah dia melihat
pakaiannya yang robek besar di bagian dada. Cepat cepat dia menutupkan. Namun
begitu dilepas tersibak kembali. Pemuda di depannya tertawa. Dia mencabut tiga
batang rumput yang cukup panjang. Ketika dia hendak menusukkan ujung rumput ke
baju biru yang robek, Si gadis langsung mendorong dadanya hingga dia
terjengkang. "Jangan kau berani menyentuh diriku!"
Dengar, aku tidak bermaksud tidak baik. Dengan rumput ini baju yang robek bisa
dijahit..."
"Dusta! Mana ada orang menjahit baju dengan rumput! iya kan"!"
"Namanya juga keadaan terpaksa. Kau mau kutolong ...."
Si gadis akhirnya mengangguk namun sambil keluarkan ucapan. "Awas kalau kau
berani berlaku kurang ajar!"
Pemuda rambut gondrong cuma tertawa. Tiga ujung rumput ditusukkannya ke bagian
baju yang robek lalu satu persatu ujung dengan ujung saling dibuhul. Ketika
melakukan hal itu tak sengaja jari-jari tangan si pemuda menyentuh payudara si
gadis. Langsung kakinya menendang perut si pemuda. Untuk kedua kalinya pemuda
Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini jatuh terjengkang.
"Dasar manusia kurang ajar! Kau pergunakan kesempatan.
"Mengaku! Iya kan"!"
"Aku tak sengaja. Harap dimaafkan. Habis bajumu agak ketat.
Lalu anumu itu besar sekali. Mana mungkin..."
"Plaakk!"
Satu tamparan melayang ke pipi si gondrong.
"Bukan tanganmu saja yang kurang ajar. Ternyata mulutmu juga kurang ajar!"
Si pemuda meringis pura-pura kesakitan. Sambil pegangi pipi yang tadi ditampar
dia berkata. "Sudahlah, yang penting pakaianmu yang robek sudah tertutup. Sekarang ceritakan
apa sebabnya kau menunggangi kuda seperti dikejar setan hingga hampir celaka
masuk jurang."
Si gadis tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Lalu menangis ketika melihat
kuda coklat miliknya yang tergeletak mati.
"Ki Sepuh Ireng" ucap si gadis lirih sesenggukan.
"Siapa Ki Sepuh Ireng?" tanya pemuda gondrong.
"Kudaku .... Kuda saja dicemburui.."
"Ee ... siapa yang cemburu!" Si pemuda ingin tertawa bergelak namun akhirnya
cuma garuk-garuk kepala.
Dia kemudian ingat pada tanda Kerajaan yang tertera di pinggul kuda berbentuk
Tombak Trisula. Lalu dia bertanya.
"Adik, apakah kau seorang kerabat Keraton?"
"Kau sendiri siapa?" Si gadis usap air matanya dan balik bertanya.
Pemuda rambut gondrong tersenyum, menggaruk kepala dan menjawab. "Namaku
Wiro..." "Wiro .... Wiro. Banyak orang bernama Wiro. Kau ini Wiro yang mana?"
"Maksudmu?" tanya si gondrong tak mengerti.
"Apa nama panjangmu"!"
"Oh Itu. Aku malu mengatakan. Namaku belakangku jelek." Jawab si pemuda pula.
17 "Huh, orangnya juga jelek. Jadi pantas kalau punya nama jelek! Iya kan"!"
Si pemuda tertawa gelak-gelak.
"Weh, diejek malah tertawa. Konyol! Aku tanya siapa nama panjangmu!"
"Namaku Wiro .... Wiro Sableng."
"Apa?" Si gadis besarkan mata lalu tertawa panjang. Eh, kau tahu apa artinya
sableng?" Pemuda gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti
Sinto Gendeng dari Gunung Gede sambil senyum-senyum menjawab. "Sableng itu
artinya kalau tidak edan ya sinting, bisa juga gila atau gendeng..."
"Hemmm..." si gadis bergumam dan angguk-anggukkan kepala. "Jadi Itulah kau
manusianya rupanya.
Pantas tadi berani berlaku kurang ajar."
"Kalau orang gila berlaku kurang ajar kan tidak bisa disalahkan. Iya kan?" ucap
Wiro pula meniru logat bicara si gadis.
"Enaknya!"
"Sekarang giliranmu memberi tahu siapa namamu dan mengapa kau bisa sampai disini
hampir celaka."
"Apa perlunya aku memberi tahu namaku padamu!" jawab si gadis.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. "Aneh, ada gadis yang sudah
ditolong begini rupa malah bicara galak. Aku tidak meminta tapi berterima
kasihpun dia tidak."
"Kalau kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa."
"Ya sudah kalau begitu! Iya kan"!" jawab si gadis pula lalu bangkit berdiri.
Wiro mendahului bangun, tertawa dan berkata. "Kalau kau memang kerabat Keraton,
kau tentu tahu perjalanan ke Kotaraja dan sini cukup jauh. Kudamu sudah mati.
Kalau kau jalan kaki dua kakimu yang bagus itu bisa meleleh begitu kau Sampai di
Kotaraja. Lalu, di tengah jalan mungkin saja kau akan kejatuhan hujan. Mungkin
kau tidak takut pada air hujan. Tapi ketahuilah kawasan ini sedang digentayangi
para perampok. Kalau orang-orang jahat itu menemuimu, nasibmu lebih celaka dari
pada mati kecebur jurang! Selain itu aku punya dugaan. Kau tadi membedal kuda
luar biasa kencang karena ada orang yang mengejar.
Orang itu pasti punya niat jahat padamu. Mungkin dia yang merobek bajumu! Orang
Itu berpakaian hitam.
Aku sempat melihat bayangannya sewaktu aku menghancurkan batu besar dibalik mana
dia sembunyi. Mungkin dia masih ada di sekitar sini! Begitu kau berjalan sendirian pasti dia
akan mencekalmu! Seram kan"
Ngeri kan"!"
Habis berkata begitu Pendekar 212 tinggalkan si gadis, melesat ke mulut goa di
tepi jurang, duduk bersila dan ambil suling yang terselip di pinggang. Ditinggal
sendirian si gadis memandang berkeliling. Lalu perlahan-lahan rasa takut mulai
mencekam dirinya. Apalagi melihat ke atas, langit yang tadi cerah kini mulai
diselimuti awan hitam. Dia memandang ke arah goa di tepi jurang. Saat itu Wiro
mulai meniup suling perak.
"Hail Kesinilah!" si gadis berteriak sambil melambaikan tangan.
Wiro terus saja meniup suling.
"Hai! Kesinilah! Aku mau bicara!" teriak gadis baju biru kembali.
Wiro turunkan suling ke bawah bibir lalu menjawab.
"Kalau mau bicara kau saja yang datang ke sini!" Wiro lanjutkan meniup suling.
"Kau yang kesini!" teriak si gadis.
"Aku tidak perlu kau! Kau yang perlu aku! Iya kan"!" Wiro terus-terusan
menirukan gaya ucapan si gadis yang kalau bicara selalu pakai tambahan kata-kata
iya kan. Tidak perduli dia melanjutkan meniup, suling perak. Dari mana dan
bagaimana Wiro kini memiIiki sebuah suling perak" Seperti dituturkan dalam
episode sebelumnya (Sang Pembunuh) suling perak itu adalah milik Loan Nio
Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Sebelum berpisah sang paderi memberikan
suling perak itu sebagai tanda terima kasih pada nenek kembar jejadian (kembaran
Eyang Sepuh Kembar Tilu) yang telah memberikan obat untuk menggugurkan
kandungannya. Sang paderi mengandung akibat diperkosa oleh Liok Ong Cun sewaktu
berada dalam keadaan pingsan. Tanpa setahu Wiro, si nenek kembar jejadian
menyelipkan suling itu di pinggang sang pendekar. Wiro baru menyadari keberadaan
suling itu di pinggangnya beberapa waktu kemudian. Karena dia memang pandai
meniup suling, jika ada kesempatan Wiro menghibur diri dengan suling perak itu.
"Dasar manusia sableng!" maki gadis baju biru. Tahu kalau pemuda itu tidak akan
mau datang menemuinya gadis ini menjadi nekad. "Kau kira aku tidak mampu datang
ke tempatmu di goa batu"!"
Wiro berhenti meniup suling lalu menyahut ucapan orang. "Bukan tidak mampu. Tapi
tidak.berani! Iya kan'"!"
"Tunggu! Akan aku perlihatkan padamu kalau aku Raden Ayu Ambarsari bukan gadis
pengecut!"
Begitu selesai berucap gadis berpakaian biru dan mengaku bernama Raden Ayu
Ambarsari mundur mengambil ancang-ancang. Lalu dibarengi satu teriakan keras dia
melompat ke arah goa di tepi jurang dimana Pendekar 212 duduk bersila meniup
suling. Celakanya, apapun ilmu yang dimilikinya ternyata gadis ini tidak mampu
mencapai mulut goa.
Tubuhnya melayang, terapung sesaat hanya dua jengkal dari hadapan Wino. Dia
berusaha menggapai batu pinggiran goa, namun luput.
dilanjutkan...............................
18 DILANJUTKAN OLEH
Dewi Tiraikasih
SESAAT lagi tubuh Raden Ayu Ambarsari akan melayang jatuh; amblas menemui ajal
di dasar jurang batu berkedalaman dua puluh tombak, tiba-tiba Pendekar 212
ulurkan tangan kiri mencekal pergelangan tangan kanan si gadis yang menggapai-
gapai di udara.
"Aduh tubuhmu berat amat! Tanganmu licin. Aku tak bisa menahan!" Wiro berteriak.
Tubuhnya merunduk ke depan. Murid Sinto Gendeng hanya berpura-pura. Dia ingin
tahu sampai dimana sebenarnya kenekadan gadis itu.
"Pegang lenganku dengan dua tangani" teriak Ambarsari. Rupanya gadis ini
sekarang benar-benar ketakutan setengah mati.
Wiro tersenyum. Dia segera kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentakkan tangan
kiri tubuh Ambarsari tertarik keras ke atas, melayang ke dalam goa dan jatuh
terbujur tepat di atas pangkuan Wiro
"Ihhh'"
Raden Ayu Ambarsari cepat berdiri namun tak bisa karena bahunya ditekan Wiro
dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih memegang suling perak yang terus
ditiup. "Gilai Hentikan meniup sulingi Aku tidak mau kau pangku seperti ini!" teriak
Ambarsari. "Siapa yang memangku" Kau sendiri yang menjatuhkan tubuhmu ke pangkuanku! Iya
kan"l" jawab Wiro laiu tertawa gelak-gelak.
"Pemuda kurang ajari"
"Jangan terus-terusan bicara seperti itu. Ingat aku sudah dua kali menyelamatkan
nyawamu!" "Ooo, jadi kau ingin minta balasan" Lalu enak saja memangku dan meraba tubuhku"!
Aku tidak takut mati, lihat!" Entah sungguhan entah pura-pura si gadis lalu
hendak melompat kedalam jurang. Wiro tidak mau kesalahan menduga. Cepat dia
sambar leher pakaian si gadis lalu menariknya hingga terduduk di dalam goa.
Dengan muka pucat keringatan Ambarsari menatap mendelik ke arah Wiro lalu gadis
ini mulai menangis.
"Eeh. tadi galak nekad Sekarang mengapa jadi cengeng?" ujar Wiro, .
Tangis si gadis semakin keras.
"Sudahi Berhenti menangis!"
"Aku belum pernah menemui orang sejahat dan sekurang ajar seperti dirimul"'ucap
Ambarsari yang segera dijawab Pendekar 212.
"Aku belum pernah melihat dara secantikmu tapi tolol dan nekadl"
"Mulutmu lancang sekalil Berani menghinaku!" Si gadis pukulkan tangannya ke
punggung Wiro. "Kalau kau terus mewek. terus memukuli, akan aku tinggalkan kau sendirian di
dalam goa ini" Wiro berdiri.
pura-pura hendak melompat ke tepi jurang sana.
"Tunggul Jangan pergil" teriak Ambarsari. Dia mengusut matanya yang basah
berulang kali, hentikan tangis dan tarik tangannya yang memukuli punggung si
pemuda. "Nah begitu lebih baik. Iya kan"!"
"Iya kanl Iya kan! Kau benar-benar sablengi" Ambarsari berteriak jengkel.
Kembali dia hendak memukul Wiro tapi tak jadi.
"Jadi kau gadis Keraton" Namamu Raden Ayu Amparsari" Betul?"
"Sudah tahu kenapa masih bertanya"!" si gadis unjukkan wajah sebal. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Aku cucu Pangeran tua Wirapala."
Wiro menggaruk kepala seolah tidak mendengar kata-kata Ambarsari. Padahal walau
belum pernah bertemu muka dia sering-mendengar perihal pangeran itu dari
gurunya. Di masa muda Eyang Sinto Gendeng bersahabat dengan Pangeran Sena
Wirapala. "Dengar, tolong aku keluar dari goa ini Aku harus segera kembali ke Kotaraja."
"Aku akan memenuhi apa pintamu asai kau tidak galak. Apa lagi'setelah tahu kau
puteri Keraton aku harus menaruh hormat padamu. Tapi sebelum meninggalkan tempat
ini aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirimu. Puteri Keraton tidak pernah
memakai bunga tanjung dikeningnya. Apa arti bunga tanjung yang kau tempelkan
dikeningmu itu?"
19 Raden Ayu Ambarsari Ingat dan terkejut. Dia cepat meraba keningnya, mengambil
bunga tanjung yang menempel.
Sekali meremas bunga tanjung itu hancur.
Kereta Berdarah 3 Pendekar Rajawali Sakti 187 Penghuni Kuil Emas Hong Lui Bun 21