Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 10

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Kedua orang itu semakin lama semakin berusaha menghentakkan ilmunya. Bahkan kemudian suara tertawa keduanyapun menjadi semakin keras. Dedaunan yang terdapat dibelakang Glagah Putihpun telah berguncang, sementara ranting-ranting berpatahan. Daun-daun yang mulai menguningpun telah berguguran.
Tetapi Glagah Putih tidak bergetar sama sekali. Meskipun ia memang merasakan tusukan-tusukan didadanya, namun tusukan-tusukan ilmu itu dapat diatasinya dengan daya tahan"nya, sehingga rasa sakit itu dapat diabaikannya.
Kedua orang itu menjadi semakin gelisah menghadapi anak muda Tanah Perdikan ini. Seorang perwira dari Pasukan Khusus tidak mampu menahan serangan ilmunya yang menusuk dada itu. Namun anak Tanah Perdikan Menoreh yang masih terlalu muda itu justru telah menghadapi ilmunya sambil bertolak pinggang.
Tetapi semakin lama dada Glagah Putih memang menjadi semakin sakit. Namun dalam batas tertentu Glagah Putih itupun berteriak, "Apakah kalian masih tidak mau berjanji?"
Kedua orang itu tidak menghiraukan. Mereka tidak men"jawab pertanyaan anak muda itu. Keduanya menyangka bahwa Glagah Putih sengaja mengajukan pertanyaan agar keduanya menjawab, sehingga serangan merekapun terhenti.
Karena keduanya tidak menjawab, maka Glagah Putihpun berkata, "Baik. Jika kalian memang benar-benar ingin bermusuhan dengan Tanah Perdikan Menoreh, apaboleh buat. Aku, salah seorang dari pemimpin pengawal Tanah Perdikan, yang ti"dak terhitung disini, akan menunjukkan kepada kalian, bahwa Tanah Perdikan bukan lingkungan yang tidak mempunyai kekuatan sema sekali sehingga orang lain dapat berbuat sehendak hatinya sendiri. Jika kalian bertemu dengan pemimpin-pemimpin pengawal yang lebih tua dari aku, baik umurnya maupun ilmunya, apalagi Ki Gede sendiri, maka kalian akan menjadi lumat."
Kedua orang itu masih saja tidak menjawab. Mereka masih mencoba meningkatkan serangan mereka dengan ilmu mereka yang masih baru pada tataran yang mula sekali.
Karena keduanya tidak menjawab, maka Glagah Putih telah berniat untuk menghentikan permainan yang memuakkan itu. Karena itu, maka iapun segera memusatkan nalar budinya.
Tiba-tiba saja Glagah Putih telah menggerakkan tangannya dan menghentakkan dengan telapak tangan menghadap kedepan. Namun Glagah Putih memang tidak menyerang kedua orang itu, tetapi ilmunya yang dahsyat telah terlontar tepat mengenai tanah lima langkah dihadapan kedua orang itu.
Akibatnya benar-benar luar biasa. Meskipun Glagah Putih tidak melontarkan kekuatan api, namun kekuatan udara yang dilepaskannya justru kearah lima langkah dihadapan kedua orang itu, benar-benar telah membungkam kedua lawannya. Mereka tidak sekedar terkejut dan terdiam. Tetapi dorongan ke-kuatan ilmu Glagah Putih ternyata telah melemparkan mereka beberapa langkah surut, sehingga keduanya telah terbanting jatuh. Tulang-tulang mereka serasa berpatahan, sementara itu dengan debupun untuk beberapa saat telah menyelubungi mere"ka.
Ketika debu kemudian hanyut oleh desah angin yang perlahan-lahan berhembus, maka keduanyapun berusaha untuk bangkit. Namun tubuh mereka benar-benar terasa sakit.
"Aku sengaja tidak langsung menyerang perutmu." ber"kata Glagah Putih, "aku melepaskan seranganku dengan sasar"an tanah lima langkah dihadapanmu. Dan kau merasakan akibatnya."
Kedua orang yang mengaku guru dari kelima orang anak muda yang telah mengganggu Rara Wulan itu mengeluh. Ke"duanya tidak lagi dapat menghindari kenyataan yang telah terjadi itu. Karena itu maka keduanyapun sadar, jika mereka masih ingin mengadakan perlawanan, maka akibatnya akan dapat parah bagi mereka sendiri. Karena itu, maka kedua orang itupun kemudian saling memberikan isyarat. Mereka telah mengangguk bersama-sama. Seorang diantara mereka berkata, "Ampun anak muda. Kami berdua mengaku kalah. Kami mohon, jangan bunuh kami."
"Aku tidak memerlukan pengakuan seperti itu." berkata Glatah Putih, "aku hanya memerlukan janjimu untuk bertanggung jawab, bahwa orang-orang padepokanmu atau perguruanmu atau apapun namanya tidak akan mengganggu orang-orang Tanah Perdikan Menoreh lagi. Apalagi tamu-tamu yang kami hormati. Jika kalian masih melakukannya, maka aku tidak akan terbatas melakukan serangan pada jarak tertentu dari kepalamu. Tetapi aku benar-benar akan memecahkan kepalamu berdua dan murid-muridmu. Kami akan datang untuk meng"hancurkan padepokanmu rata dengan tanah."
"Ya, ya, anak muda." jawab Kiai Sangkan gagap, "ka"mi berjanji."
"Jika itu kau ucapkan tadi sebelum aku marah, maka kau tidak akan mengalami perlakuan kasar, karena pada dasarnya kami tidak ingin berbuat kasar seperti itu." berkata Glagah Putih.
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka hanya menundukkan kepalanya saja.
Dengan lantang Glagah Putihpun kemudian berkata, "Cepat. Pergi, sebelum aku mengambil keputusan lain."
Kedua orang itu mengangguk. hormat. Kiai Sangkan de"ngan nada rendah berkata, "Terima kasih atas kemurahan hati anak muda."
"Bawa murid-muridmu itu." berkata Glagah Putih kemudian.
Kemudian orang itu mengangguk sekali lagi. Kemudian memberikan isyarat kepada murid-muridnya untuk pergi. Na"mun sebelum mereka beranjak dari tempatnya, Glagah Putih masih berkata, "Tetapi ingat, bahwa perguruan bukan tempat"nya bagi seseorang untuk memeras orang lain dan memperkaya diri sendiri. Perguruanmu bagimu adalah alat untuk mengum"pulkan kekayaan, bukan tempat menyebarkan ilmu bagi anak-anak muda. Ingat itu dan selagi belum terlanjur, kau dapat menentukan arah perguruanmu lebih baik dari yang sudah kau lakukan. Jika kau ingin menjadi kaya, caranya bukan membuka perguruan apapun bentuknya. Tetapi jika kau memang ingin membuka sebuah perguruan, maka harus kau lakukan dengan penuh tanggungjawab atas penyebaran ilmu bagi kepentingan sesama."
"Kami mengerti." jawab Kiai Sangkan.
"Nah, sekarang pergilah." berkata Glagah Putih.
Kedua orang guru serta kelima orang muridnya itupun kemudian telah melangkah pergi, menyusuri jalan pinggir hutan itu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan kesan tersendiri. Mereka justru telah mengalami peristiwa yang sebelumnya tidak pernah mereka duga, bahwa di Tanah Perdikan ada anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Kehadiran mereka ditempat yang tidak jauh dari Tanah Perdikan dan membuka sebuah perguruan, ternyata telah berada didekat satu tempat yang akan dapat membayangi padepokannya itu.
Sementara itu, ketika Glagah Putih sedang memperhatikan orang-orang yang meninggalkannya itu, telah terkejut oleh desir lembut dihutan disebelahnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser sambil mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi yang kemudian keluar dari hutan adalah Ki Lurah Branjang diikuti oleh Agung Sedayu.
"Ki Lurah." desis Glagah Putih.
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Aku sudah menduga apa yang kau lakukan ketika aku bertanya kepada pengawal yang ada di arena perkelahian antara Wirastama dengan kelima orang anak-anak muda yang nakal itu, bahwa kau tidak kembali bersama kami. Pengawal itu hanya dapat menyebutkan bebe"rapa hal tentang kepergianmu. Kemudian aku telah singgah dan mengajak kakak sepupumu yang kebetulan ada dirumah."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika rasa-rasanya masih ada yang dicari, Agung Sedayu berkata, "Ki Jayaraga baru pergi ke sawah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah berkata, "Nampaknya serba sedikit kebiasaan Raden Rangga akan nampak pada tingkah lakumu, karena kau pernah bergaul rapat dan menjalankan tugas bersama-sama dengan anak muda itu. Namun agaknya kau lebih dapat mengekang diri."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya saja.
"Aku tahu, kau tidak mau menunjukkan kelebihanmu di"hadapan Teja Prabawa." berkata Ki Lurah. Lalu, "Tetapi sebenarnya itu tidak perlu. Teja Prabawa harus tahu, betapa dirinya itu sebenarnya. Ia bukan seorang yang harus mendapat kehormatan sebagaimana dilakukan sekarang oleh orang-orang Tanah Perdikan ini termasuk kau."
Glagah Putih masih menundukkan kepalanya saja.
"Aku tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh Teja Pra"bawa jika ia melihat apa yang telah kau lakukan." berkata Ki Lurah. Namun kemudian, "Tetapi karena sekarang telah hadir pula Wirastama, maka persoalannya akan menjadi semakin berbelit. Namun sebaiknya kau tidak perlu merendahkan dirimu sendiri."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Aku tidak ingin melanggar pesan kakang Agung Sedayu."
Ki Lurah berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya, "Kakangmu memang mempunyai kebiasaan yang sulit dilakukan oleh orang lain."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun ke"mudian tersenyum sambil berkata, "Aku hanya ingin menghormati tamu-tamu yang datang ke Tanah Perdikan ini. Apalagi jika tamu itu adalah cucu Ki Lurah."
Ki Lurahpun tertawa. Katanya, "Terima kasih. Tetapi jika dengan demikian maka maksud kedatangan mereka ke Tanah Perdikan ini justru tidak akan tercapai."
"Apakah maksud mereka datang kemari?" tiba-tiba Glagah Putih bertanya.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Sebenarnya memang bukan maksud mereka. Tetapi akulah yang ingin mereka mendapat pengalaman baru dalam perlawatan mereka ke Tanah Perdikan ini. Karena itu, biarlah mereka mengalami apa yang sewajarnya harus terjadi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kata"nya, "Mereka akan mendapatkannya Ki Lurah. Tanpa harus dengan serta merta. Lebih baik mereka mendapatkan dari sedikit, sehingga tidak menimbulkan goncangan-goncangan di dalam hati mereka."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Waktu mereka tidak terlalu banyak."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak men"jawab lagi.
Demikianlah maka merekapun kemudian mulai bergerak ketika Agung Sedayu mempersilahkan, "Marilah. Kita kembali ke pedukuhan induk."
Mereka bertigapun kemudian langsung pergi ke rumah Ki Gede. Ternyata bahwa Wirastama sudah tidak ada dirumah Ki Gede itu. Dari Teja Prabawa Ki Lurah mengetahui bahwa Wirastama telah kembali ke baraknya.
"Besok pagi-pagi Wirastama akan datang lagi." berkata Teja Prabawa, "kami akan melihat lihat tempat lain di Tanah Perdikan ini."
"Sebaiknya kau jangan mengganggu tugasnya." berkata Ki Lurah, "kau tahu, bahwa jika ia sering datang untuk mengantarmu berjalan-jalan, maka itu berarti bahwa ia telah meninggalkan tugasnya."
"Tetapi ia sudah mendapat ijin untuk mengawani kami selama kami berada di Tanah Perdikan ini." jawab Teja Pra"bawa.
"Besok aku akan berkata kepadanya, bahwa ia tidak perlu berbuat seperti itu. Sudah aku katakan, bahwa kau dapat ber"jalan-jalan bersama Glagah Putih." berkata Ki Lurah.
"Kakek." jawab Teja Prabawa, "sebenarnya kakek tentu dapat menilai, dengan siapa sebaiknya aku pergi. Apa yang aku dapatkan jika aku pergi bersama anak padukuhan itu" Kakek akan dapat membayangkan, seandainya anak itulah yang tadi di gulung pusaran, apakah kira-kira yang akan terjadi."
Ki Lurah berpaling kearah Glagah Putih yang mendengarkan keterangan Teja Prabawa. Telinganya memang terasa panas. Tetapi setiap kali ia hanya dapat memandang sekilas kakak sepupunya.
Glagah Putih dan Agung Sedayu berada di rumah Ki Gede beberapa lama. Namun merekapun kemudian telah minta diri untuk kembali.
"Ki Gede ada dirumah. Apakah kalian akan minta diri?" bertanya Ki Lurah.
"Terima kasih. Tolong, Ki Lurah sajalah nanti yang mengatakan bahwa kami sudah pulang. Mungkin Ki Gede sedang beristirahat." jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah minta diri. Merekapun kemudian menyusuri jalan padu"kuhan induk. Sementara Glagah Putih berkata, "Aku sudah jemu mengawani anak-anak cengeng itu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Cobalah sekali la"gi. Pada suatu saat kau akan merasakan satu manfaat dari perhubungan kalian dengan mereka. Kau akan mendapat penga"laman baru sebagaimana mereka ingin mendapat pengalaman baru pula."
Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar tidak ingin untuk mengawani mereka lagi. Untuk menghilangkan kejengkelannya, maka dimalalm hari, Glagah Putih telah turun pula ke sungai. Ia tiba-tiba saja merasa bahwa pekerjaannya menutup dan membuka pliridan ittu dapat memberikan kepuasan tersendiri.
Ketika matahari terbit dipagi hari, Glagah Putih masih saja terlalu sibuk dengan pekerjaan dirumah. Ketika ia menyapu halaman, dilihatnya Wirastama telah berjalan didepan regol halaman. Bahkan Wirastama sempat berhenti dan menjenguknya sambil menyapa, "Kau masih sibuk bekerja?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi iapun berta"nya, "Sepagi hii kau sudah sampai disini?"
"Aku berjanji dengan cucu-cucu Ki Lurah untuk naik kebukit. Mereka ingin melihat sumber air yang mengalir menuruni tebing disebelah gumuk kecil itu." jawab Wirastama.
"Maksudmu gumuk Watu Abang?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Gumuk Watu Abang." jawab Wirastama, "aku memang belum tahu bahwa gumuk itu mempunyai nama."
"Hati-hatilah." berkata Glagah Putih, "ada beberapa jenis ular berbisa disekitar gumuk itu."
"Kami tidak akan pergi ke gumuk. Kami akan naik tebing dan melihat sumber air dibawah pohon preh raksasa itu." ja"wab Wirastama.
"Sumber itu tidak terlalu besar." berkata Glagah Putih.
"Tetapi cukup menarik. Aku pernah melihatnya." jawab Wirastama.
"Aku hanya memperingatkanmu. Aku mengenal tempat itu dengan baik." berkata Glagah Putih.
Wirastama mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Aku akan bertanggung jawab."
Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, "Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan di gumuk Watu Abang. Bagaimanapun juga terserah kepadamu. Tetapi ular kendang yang banyak terdapat ditempat itu benar-benar berbahaya, karena ular kendang mempunyai ketajaman bisa seperti ular bandotan. Ular kendang itu berbahaya karena ujudnya yang tidak seperti ular kebanyakan. Terlalu pendek, dan kadang-kadang menggelinding seperti bumbung kecil yang berwarna kehitam-hitaman. Tetapi jika ular itu mematuk ujung kaki sekalipun, maka sulit bagi seseorang untuk menyelamatkan diri. Apalagi jenis ular belang yang juga banyak terdapat di sekitar Watu Abang itu."
Tetapi Wirastama tertawa. Katanya, "Bukan hanya kau yang pernah pergi ke Watu Abang itu. Akupun pernah pergi kesana. Aku tidak melihat seekor ularpun. Ular sawahpun tidak. Apalagi ular berbisa seperti dongengmu itu."
"Terserah kepadamu." desis Glagah Putih kemudian.
"Baiklah. Selesaikan pekerjaanmu. Aku akan pergi ke gu"muk itu dan kemudian naik keatas tebing di sebelah Watu Abang itu untuk melihat sebatang pohon raksasa yang dibawahnya terdapat sumber air yang sangat besar. Tetapi tidak timbul sendang, karena airnya mengalir sebagai gerojogan." berkata Wirastama.
Glagah Putih tidak menghiraukan lagi, karena apapun yang dapat terjadi adalah tanggung jawab Wirastama.
Namun ternyata terdengar suara yang lain, "Sebaiknya kau pertimbangkan lagi rencanamu itu. Aku sependapat dengan Glagah Putih bahwa perjalanan itu akan menjadi perjalanan yang sangat berbahaya. Bukan saja ular berbisa, tetapi disekitar pohon raksasa itu masih terdapat hutan yang lebat yang dihuni oleh binatang-binatang buas."
Wirastama berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
"Sudahlah." berkata Wirastama, "Aku tudak takut bisa dan juga tidak takut binatang buas."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapj ia tidak mengatakan sesuatu lagi ketika Sekar Mirah menggamitnya. Katanya, "Biarkan saja anak itu pergi. Glagah Putih sudah cukup banyak memberikan keterangan. Tetapi nampaknya anak itu memang keras kepala."
Agung Sedayu memang membiarkan anak itu pergi. Na"mun kemudian ia berdesis, "Yang aku pikirkan adalah cucu Ki Lurah."
"Ki Lurah pernah tinggal disini. Ia tentu tahu apakah cucunya pantas pergi ketempat itu atau tidak." berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Mudah-mudahan Ki Lurah sempat bertanya, kemana mereka akan pergi."
Sementara itu, Wirastama telah melanjutkan langkahnya menuju ke rumah Ki Gede. Ia memang ingin mengajak cucu-cucu Ki Lurah itu ketempat yang berbahaya. Dengan demikian ia akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya apabila terjadi sesuatu ditempat yang berbahaya itu.
Ketika Wirastama sampai ke rumah Ki Gede, maka Ki Lurahpun terkejut pula. Teja Prabawa dan Rara Wulan memang sudah bangun, tetapi mereka belum mandi dan berbenah diri.
"Marilah, silahkan ngger." Ki Lurah Branjangan mempersilahkan Wirastama untuk duduk diserambi gandok.
Wirastamapun kemudian telah duduk pula diserambi gan"dok bersama Ki Lurah Branjangan.
"Masih pagi begini, angger telah datang kemari." ber"kata Ki Lurah.
"Mumpung masih pagi Ki Lurah." jawab Wirastama.
"Sebenarnya kami tidak ingin mengganggu tugas-tugas angger. Bukankah angger mempunyai tugas di barak Pasukan Khusus" Jika angger terlalu sering datang kemari, maka tugas-tugas angger itu tentu akan terganggu." berkata Ki Lurah.
Wirastama tersenyum. Katanya, "Pimpinan tertinggi di barak itu adalah kakak kandungku. Ia tidak akan menyalahkan aku."
"Tetapi ia bertanggung jawab kepada seluruh anak buahnya di barak itu." berkata Ki Lurah, "jika seorang diantara para perwira mendapat perlakuan seperti angger, maka yang lainpun akan mendapat perlakuan yang sama pula. Demikian pula kesempatan yang telah diberikan kepada angger, seharusnya diberikan kepada orang lain pula."
Wirastama tertawa. Katanya, "Ki Lurah. Aku justru men"dapat perintah yang bukan saja dengan diam-diam. Tetapi perintah terbuka, bahwa untuk menghormati Ki Lurah, yang pernah bukan saja memimpin, tetapi justru membentuk Pasukan Khusus itu, maka aku telah diperintahkan untuk melayani Ki Lurah dan cucu-cucu Ki Lurah. Dengan demikian tidak akan ada seorangpun yang menjadi iri hati, seakan-akan aku telah meninggalkan tugas. Yang aku lakukan sekarang ini adalah justru tugas yang diberikan kepadaku itulah."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Satu penyambutan yang berlebih-lebihan. Sebenarnya kalian tidak perlu berbuat seperti itu."
"Tetapi kami ingin berbuat seperti itu." jawab Wiras"tama, "Nah, sekarang, aku telah siap membawa cucu-cucu ki Lurah itu berjalan-jalan."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah mereka mandi dan membenahi diri dahulu."
"Tentu. Aku tidak tergesa-gesa Ki Lurah." jawab Wiras"tama.
Sebenarnyalah Wirastama masih harus menunggu. Bahkan terasa agak terlalu lama. Namun meskipun hati Wirastama bergejolak oleh ketidak sabaran, tetapi ia harus menunggu dengan sikap yang seakan-akan sabar dan tanpa kegelisahan.
Sementara itu ternyata Teja Prabawa dan Rara Wulan masih sempat makan pagi lebih dahulu di ruang dalam tanpa Ki Lurah Branjangan, karena Ki Lurah duduk menemani Wiras"tama di serambi gandok.
"Kalian akan pergi ke mana hari ini?" bertanya Ki Ge"de.
"Aku belum tahu Ki Gede." jawab Teja Prabawa, "ter"serah saja kepada Wirastama."
"Tetapi kalian harus berhati-hati. Kemarin Wirastama itu hampir saja ditelan oleh pusaran. Sebelumnya kami sudah memperingatkannya. Tetapi nampaknya anak itu memang kurang berhati-hati." berkata Ki Gede.
"Tetapi ia berhasil menyelamatkan diri." berkata Teja Prabawa.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, "Tidak. Ia tidak akan dapat menyelamatkan diri. Namun agaknya Tuhan masih berbelas kasihan sehingga dengan lantaran ia telah dilemparkan keluar dari pusaran itu. Tetapi sebaiknya ia tidak mengulanginya. Mungkin Yang Maha Esa akan bersikap lain dan benar-benar mengambilnya."
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Lurah telah masuk pula keruang dalam. Didapatinya kedua cucunya masih belum selesai dengan makan pagi, sementara Ki Gede ternyata justru menunggui mereka.
"Aku berpesan agar mereka lebih berhati-hati." berkata Ki Gede.
"Aku sependapat Ki Gede." jawab Ki Lurah, "apalagi rencananya hari ini Wirastama akan membawa Teja Prabawa ke Watu Abang untuk memanjat bukit dan melihat mata air dibawah pohon raksasa itu."
"Kenapa harus pergi ke Watu Abang?" bertanya Ki Gede.
"Apakah tempat itu berbahaya?" bertanya Teja Pra"bawa.
"Di tempat itu banyak sekali terdapat ular." jawab Ki Gede, "bahkan ular-ular berbisa. Jika kalian kemudian naik, maka diatas bukit masih terdapat hutan yang lebat. Masih ter"dapat beberapa jenis binatang buas yang berkeliaran di tempat itu."
"Tetapi Wirastama akan dapat mengatasinya." jawab Teja Prabawa.
"Aku peringatkan, sebaiknya kau tidak pergi ke sana." berkata Ki Lurah, "aku memang ingin membawamu ke satu tempat yang mungkin dapat memberikan pengalaman baru bagimu. Tetapi tentu tidak ketempat yang berbahaya seperti Watu Abang itu."
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Terserah saja kepada Wirastama."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Teja Prabawa terlalu percaya kepada anak muda itu. Namun Ki Lurahlah yang kemudian berkata, "Jika kalian benar-benar akan pergi ke Watu Abang, Wulan tidak akan pergi bersama kalian."
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun Rara Wulanpun berkata, "Aku memang takut kepada ular. Karena itu, aku lebih baik tidak ikut serta."
"Terserah kepadamu." jawab Teja Prabawa, "tetapi aku bukan gadis cengeng seperti kau."
"Kau kira kau bukan seorang laki-laki cengeng" Nampak"nya agak lebih pantas bagi seorang gadis yang cengeng daripada seorang anak muda." jawab Rara Wulan.
"Cukup." potong Ki Lurah, "jika Teja Prabawa ingin pergi, biarlah ia pergi. Tetapi jika Rara Wulan tidak, biarlah ia tidak pergi."
Teja Prabawa tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian telah meninggalkan ruang dalam untuk menemui Wirastama.
"Apakah kau telah mengatakan kepada kakek, kemana kita akan pergi?" bertanya Teja Prabawa.
"Ya." jawab Wirastama.
"Nampaknya kakek agak berkeberatan. Ki Gedepun minta agar kita pergi ke tempat lain karena di sekitar Watu Abang terdapat banyak sekali ular, sedangkan di sekitar mata air dibawah pohon raksasa itu masih terdapat binatang buas." berkata Teja Prabawa.
"Aku tidak takut ular dan tidak takut binatang buas." berkata Wirastama, "kita membawa pedang. Seekor ular yang paling garang sekalipun, lehernya akan putus sekali tebas."
Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Sementara Wiras"tama berkata selanjutnya, "Jika kita harus berhadapan dengan seekor harimau, aku sama sekali tidak berkeberatan."
"Baiklah, kita akan pergi." berkata Teja Prabawa.
"Bagaimana dengan adikmu?" bertanya Wirastama.
"Gadis cengeng itu tidak berani pergi." jawab Teja Pra"bawa.
"Kenapa takut" Katakan, aku akan melindunginya." minta Wirastama.
"Kakek nampaknya menakut-nakutinya." berkata Teja Prabawa.
Wirastama mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah ia ingin pergi bersama Rara Wulan. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Katakan kepada kakekmu dan kepada adikmu, kita pergi ke tempat lain yang tidak berbahaya. Kita melihat sendang kecil yang dihuni oleh seekor bulus raksasa. Ikannya seperti dawet cendol karena banyaknya, tetapi tidak seorangpun yang berani menangkapnya. Katakan, kita pergi ke sendang Panutan. Itu saja. Tempat yang sudah tentu sama sekali tidak berbahaya dan bahkan banyak dikunjungi orang, karena air yang melimpah dipergunakan untuk mencuci seperti sendang yang ada air pusarannya itu."
Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Ia memang me"rasa ragu-ragu untuk mengajak adik perempuannya. Seandainya ia mengatakan yang tidak sebenarnya, kemudian adiknya itu bersedia ikut, maka perjalanan ke tempat yang diren"canakan itu memang terlalu berat bagi adiknya, seorang gadis.
Karena Teja Prabawa itu nampak ragu-ragu, Wirastama telah mendesaknya, "Cepatlah. Katakan kepada kakekmu, bahwa kita telah mengurungkan niat kita pergi ke Watu Abang dan mata air dibawah pohon raksasa di bukit itu."
"Tetapi bagaimana sebenarnya?" bertanya Teja Prabawa.
"Kita akan membicarakan sambil berjalan." jawab Wirastama.
Teja Prabawa termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada kakek."
"Cepatlah. Aku menunggu." berkata Wirastama.
Teja Prabawapun kemudian telah masuk kembali keruang dalam. Untunglah bahwa kakeknya dan Ki Gede masih duduk bersama Rara Wulan. Dengan nada rendah, Teja Prabawa ber"kata, "Kek, Wirastawa telah merubah rencananya."
"O" Ki Lurah mengangguk-angguk, "jadi kalian tidak jadi pergi ke Watu Abang?"
"Tidak kek, Wirastama mengajak kami pergi ke Sendang Panutan untuk melihat bulus raksasa dan ikan yang banyak se"kali." jawab Teja Prabawa.
Ki Gedepun mengangguk-angguk pula. Dengan nada ren"dah ia berkata, "Nah, agaknya memang lebih baik pergi ke Sendang Panutan. Sendang kecil yang menarik. Air mata sen"dang itu juga berada di bawah sebatang pohon yang besar. Te"tapi tidak seorang pun yang berani mandi di sendang yang penuh dengan ikan itu. Di dalam lubang yang besar terdapat seekor bulus raksasa. Siapa yang kebetulan melihat bulus itu, maka ia akan bernasib sangat baik."
Ki Lurahpun menyambung, "Aku juga pernah pergi ke Sendang Panutan. Ikan di sendang itu tidak seorangpun yang berani mengambilnya. Tetapi jika ikan itu sudah turun ke sungai kecil yang merupakan saluran yang menerima limpahan air sendang itu, maka ikan itu dapat ditangkap. Menurut kepercayaan, ikan itu sudah dibuang dan tidak diperlukan lagi. Ka"rena itu, di sungai kecil yang kemudian juga terdapat sebuah kedung kecil itu, sering terdapat anak-anak yang mengail. Ka"dang-kadang mereka mendapat ikan cukup banyak. Tetapi kadang-kadang tidak sama sekali. Sementara di tempat air sendang kecil itu melimpah, banyak perempuan mencuci pakaian. Airnya cukup banyak dan sangat jernih."
"Ternyata Ki Lurah mengenal Tanah Perdikan ini seperti kami mengenalinya." berkata Ki Gede.
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku pernah tinggal di sini untuk waktu yang cukup lama."
"Jadi, apakah kakek tidak berkeberatan jika kami pergi ke sana?" bertanya Teja Prabawa.
"Bahkan kakek menganjurkan, kau pergi saja ke sendang Panutan. Sendang kecil yang menarik. Jika ada orang yang memenuhi nadarnya, maka tempat itu menjadi ramai." berkata Ki Lurah.
"Ki Lurah tahu juga tempat itu sering menjadi ajang kaul." bertanya Ki Gede.
"Tentu." jawab Ki Lurah, "jika seseorang terpenuhi keinginannya dan memang sudah berjanji untuk datang ke Sen"dang Panutan itu untuk menyatakah syukur, maka sebelum orang itu benar-benar mengadakan syukuran di sendang itu, ia masih merasa berhutang. Juga mereka yang keluarganya ada yang sakit dan kemudian sembuh."
"Mudah-mudahan hari ini ada orang yang menyatakan syukur di sendang itu." berkata Ki Gede.
"Apakah yang dikatakan kakek itu benar Ki Gede?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Memang benar. Karena itu, sendang yang meskipun hanya kecil itu menarik. Setidak-tidaknya untuk mencuci pakai"an." jawab Ki Gede sambil tersenyum.
"Tentang syukuran itu?" desak Rara Wulan.
"Benar ngger. Meskipun tidak setiap hari, bahkan tidak setiap pekan, tetapi jika hari ini hari baik, mungkin ada orang yang melakukannya." jawab Ki Gede sambil tersenyum.
"Nah, jika demikian, marilah. Ikut kami." ajak Teja Prabawa.
Rara Wulan ragu-ragu. Sementara itu Ke Gede berkata, "Tempat itu bukan tempat yang berbahaya."
"Ki Gede benar." berkata Ki Lurah, "kau dapat pergi ke Sendang Panutan. Tetapi tidak ke tempat lain, apalagi ke Watu Abang. Pergi ke Watu Abang sama artinya dengan bermain-main dengan nyawamu. Bahkan bertaruh nyawa tanpa arti. Seseorang mungkin mempertaruhkan nyawanya untuk satu cita-cita. Tetapi orang yang mati di Watu Abang karena digigit ular atau diterkam harimau diatas bukit, akan mati sia-sia."
"Kakek menakut-nakuti saja." desis Teja Prabawa.
"Bukan menakut-nakuti anak muda." sahut Ki Gede, "sebenarnyalah Ki Lurah mengenal Tanah Perdikan ini seperti aku sendiri mengenalinya. Karena itu, yakinlah apa yang dikatakannya itu."
Teja Prabawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menya"hut.
Sementara itu Rara Wulanpun berkata, "Kek, aku akan pergi bersama kakang Teja Prabawa."
"Pergilah. Tetapi ingat, jangan pergi ketempat lain." pesan Ki Lurah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Kami minta diri kek." Dan kepada Ki Gede ia berkata, "Kami mohon diri Ki Gede"
"Berhati-hatilah." pesan Ki Gede.
Kedua cucu Ki Lurah itupun kemudian telah-pergi ke gandok untuk menemui Wirastama bersama Ki Lurah dan Ki Gede. Ternyata Wirastama menjadi berdebar-debar juga ketika kemu"dian Ki Lurah dan Ki Gede memberikan beberapa pesan. Terutama pesan Ki Lurah, "Jangan pergi ketempat yang lain kecuali Sendang Panutan. Itu saja."
Wirastama yang ragu-ragu itu mengangguk. Dengan gagap ia menjawab, "Baik. Baik Ki Lurah."
"Aku titipkan kedua cucuku kepadamu ngger." berkata Ki Lurah, "cegahlah jika mereka mengajak pergi kemanapun, apalagi ke Watu Abang. Aku percayakan keseluruhan mereka kepadamu."
Wirastama memang menjadi termangu-mangu. Tetapi ia mengangguk juga sambil berkata, "Ya, ya Ki Lurah."
Sementara itu Ki Gedepun berkata, "Kami yakin, bahwa kau dapat mengendalikan kedua tamumu itu agar mereka tidak pergi ke tempat lain. Aku adalah tuan rumah disini. Aku meng"ucapkan terima kasih atas kesediaanmu membantuku. Namun bagaimanapun juga, segala langkah yang kita ambil harus kita pertanggungjawabkan."
Wirastama menjadi semakin berdebar-debar. Namun sam"bil mengangguk ia berkata, "Baiklah Ki Gede. Kami akan berhati-hati."
Demikianlah maka ketiga orang anak muda itupun telah meninggalkan rumah Ki Gede. Wirastama mengajak mereka mengikuti jalan untuk menuju ke arah yang berlawanan dengan arah rumah Agung Sedayu. Teja Prabawa dan Rara Wulan berjalan dibelakang Wiras"tama ketika mereka melintas pintu gerbang, meninggalkan padukuhan induk.
"Tempatnya memang agak jauh." berkata Wirastama.
Teja Prabawa dan Rara Wulan sempat mengagumi hijaunya bulak panjang yang terbentang dihadapan mereka. Sudah beberapa kali mereka berjalan dibulak itu. Tetapi rasa-rasanya udara yang segar selalu membuat nafsu mereka menjadi terasa bening.
"Marilah." berkata Wirastama kemudian, "Kita ber"jalan agak cepat. Sendang Panutan itu terletak disebuah padu"kuhan kecil disebelah gumuk kecil. Dari padukuhan ini berjarak lebih dari lima padukuhan besar dan kecil, serta bulak panjang dan pendek."
"Apakah jarak itu jauh sekali" Manakah yang lebih jauh dengan sendang yang ada pusarannya itu" " bertanya Rara Wulan.
"Sendang ini lebih dekat sedikit " jawab Wirastama " tetapi diarah yang berlawanan. "
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berjalan tidak lagi berurutan. Teja Prabawa dan Wirastama berjalan mengapit Rara Wulan. Mereka menyusuri jalan bulak yang disebelah menyebelahnya ditumbuhi pohon-pohon turi yang melindungi jalan bulak itu dari teriknya matahari ditengah hari. Sementara itu, ternyata Agung Sedayu tidak sampai hati membiarkan kedua cucu Ki Lurah itu pergi ke Watu Abang hanya ditemani oleh Wirastama. Apalagi setelah Agung Sedayu mendengar apa yang terjadi di sendang yang sering diputar oleh pusaran air itu.
" Bagaimanapun juga, ada baiknya kau pergi menemui Ki Lurah, Glagah Putih " berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih sebenarnya merasa segan sekali untuk melakukannya. Tetapi ternyata bahwa Ki Jayaraga juga mendesaknya " Pergilah. Mungkin ada gunanya. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sekar Mirahpun berkata " Memang nampaknya kau harus melihatnya Glagah Putih. Apalagi jika Rara Wulan ikut bersama mereka. "
Glagah Putih tidak dapat membantah lagi. Iapun kemudian telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Ki Lurah Branjangan.
Ki Lurah tersenyum ketika Glagah Putih bertanya tentang kedua cucunya dan Wirastama.
"Mereka telah merubah acara mereka " berkata Ki Lurah "
mereka tidak lagi pergi ke Watu Abang dan belik diba-wah pohon raksasa diatas bukit. Aku telah melarang mereka.
Demikian pula Ki Gede yang untung sempat pula mendengar pembicaraan tentang rencana kepergian Teja Prabawa dan Wulan. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Sokurlah.
Kakang Agung Sedayu merasa sangat cemas. Demikian pula mBokayu Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. "
"Memang mencemaskan " berkata Ki Lurah " untunglah mereka bersedia merubah acara itu. "
" Tetapi Wirastama nampaknya terlalu yakin untuk pergi ketempat itu " berkata Glagah Putih.
Ki Lurah menyahut dengan nada rendah " Ki Gede berhasil
meyakinkan mereka " Tetapi tiba-tiba saja Ki Lurah berkata "
Marilah. Kita pergi. Aku hanya ingin melihat, apakah mereka
memang berada di Sendang Panutan. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Seperti dihari
sebelumnya, keduanya juga pergi ke sendang yang kadangkadang
diputar oleh pusaran itu dengan diam-diam.
Dalam pada itu, Wirastama yang sempat berjalan-jalan
bersama Rara Wulan dan Teja Prabawa merasa, dirinya
diperlukan oleh kedua cucu Ki Lurah itu. Karena itu, maka
pembicaraan Wirastawa semakin lama menjadi semakin
melambung. Teja Prabawa yang memang mengaguminya,
ternyata telah ikut pula memuji kelebihan yang dimiliki oleh
Wirastama. Bahkan kemudian Wirastama mulai memberanikan diri
untuk memuji Rara Wulan sebagai seorang gadis yang cantik,
lembut dan berpandangan luas.
" Jarang sekali aku temui gadis-gadis seperti kau " desis
Wirastama. Rara Wulan menundukkan kepalanya. Sebagai seorang
gadis ia merasa malu mendapat pujian langsung dari seorang
anak muda dihadapannya. Karena itu, maka pipinyapun
menjadi merah sementara Wirastama berkata selanjutnya "
Gadis-gadis biasanya hanya ingin melihat pasar dan tempattempat
untuk berbelanja. Tetapi kau ingin melihat sesuatu
yang jauh lebih berarti. Gadis-gadis Kotaraja yang aku kenal pada
umumnya hanya pandai bersolek dan dikerumuni oleh
pelayan-pelayannya yang siap menjalankan perintahnya atau
dikerumuni oleh perempuan-perempuan untuk memijit tangan
dan kakinya dan memandikannya. "
Wajah Rara Wulan terasa semakin panas, sementara
Wirastama justru seakan-akan mendapat kesempatan untuk
berbicara lebih panjang. Namun Rara Wulan akhirnya justru
berkisar dan berjalan sebelah kakaknya, sehingga dengan
demikian Teja Prabawalah yang kemudian berjalan ditengah.
Wirastama memang menjadi kecewa. Tetapi sebagai
seorang anak muda yang mempunyai pengalaman yang luas
bergaul dengan gadis-gadis maka ia tidak dengan cepat ikut
bergeser pula. Dibiarkannya saja Rara Wulan menghindar.
Tetapi Wirastama yang berpengalaman itu merasa tidak akan
luput menangkap gadis cantik itu. Meskipun ia tidak dapat
melupakan bahwa gadis itu adalah cucu Ki Lurah Branjangan,
sehingga ia tidak dapat memperlakukannya seperti gadisgadis
pedesaan yang pernah dikenalnya.
Beberapa saat mereka masih berjalan. Wirastamapun
kemudian tidak habis-habisnya berceritera kepada Teja
Prabawa dan sekali-sekali kepada Rara Wulan tentang Tanah
Per-dikan Menoreh yang terhitung besar dibanding dengan
Kade-mangan-kademangan di sekitarnya. Macam-macam isi
yang ada di Tanah Perdikan itu serta kebiasaan-kebiasaan
rakyatnya yang jarang atau hampir tidak pernah dijumpai di
Kotaraja. Ternyata Wirastama tidak membawa kedua cucu Ki Lurah
itu langsung ke Sendang Panutan. Tetapi Wirastama
membawa mereka menempuh jalan yang lebih jauh, agar ia
dapat berjalan bersama mereka lebih lama. Dengan demikian
Wirastama mendapat lebih banyak kesempatan untuk
berbincang dengan kedua cucu Ki Lurah itu.
Namun akhirnya mereka bertigapun telah mendekati
padukuhan kecil yang mereka tuju. Di sebelah padukuhan
kecil itu terdapat sendang Panutan. Sendang yang tidak begitu
besar, tetapi mempunyai daya tariknya tersendiri, karena di
sendang itu terdapat seekor bulus yang sangat besar serta


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikan yang jumlahnya terlalu banyak. Sementara itu airnya
yang jernih yang melimpah kesebuah parit, dipergunakan
untuk mencuci pakaian oleh perempuan-perempuan dari
padukuhan itu, sementara sawah dibawah sendang itu dapat
pula memanfaatkan air sendang itu bagi sawah mereka.
Ketika ketiga orang anak muda itu sampai di Sendang
Panutan itu, maka Ki Lurah dan Glagah Putih sempat melihat
mereka dari kejauhan. Ternyata Ki Lurah dan Glagah Putih -
justru telah sampai ketempat itu lebih dahulu. Selain mereka
memang menempuh jalan pintas, mereka pun langsung
menuju ke sendang itu. Sedangkan Wirastama justru telah
mengambil jalan yang melingkar-lingkar.
" Kenapa mereka baru sampai" " bertanya Ki Lurah.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Mereka tidak menempuh jalan yang seharusnya.
Jika mereka melalui jalan yang biasa, mereka tidak akan
datang dari arah itu. "
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya " Agaknya mereka
memang mencari jalan yang lebih panjang. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
segera mengerti kenapa mereka justru memilih jalan yang
lebih panjang. Namun kemudian Ki Lurah berkata " Mungkin
sudah menjadi kebiasaan anak-anak muda. Mereka lebih
senang berbincang-bincang sambil menyusuri jalan panjang. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Untuk beberapa saat mereka mengawasi ketiga anak muda
itu dari kejauhan. Mereka melihat bahwa, Teja Prabawa dan
Rara Wulan mengagumi bulus raksasa yang kebetulan
sedang menampakkan diri. Mereka juga kagum melihat ikan
yang jumlahnya tidak terhitung, sementara perempuan yang
mencuci pakaian menjadi tersipu-sipu melihat kehadiran
mereka. Jika mereka tidak datang bersama Rara Wulan, maka
perempuan-perempuan itu tentu akan berlari-larian.
Namun ketika mereka sudah agak lama melihat-lihat
sendang kecil itu, nampaknya Wirastama telah berniat untuk
mengajak mereka meneruskan perjalanan.
Dari jauh Ki Lurah Branjangan dan Glagah Putih tidak tahu
apa yang sedang dibicarakan oleh ketiga orang anak muda
itu. Namun mereka mengerti bahwa nampaknya Rara Wulan
mempunyai keinginan yang berbeda dengan Wirastama dan
Teja Prabawa. Sebenarnyalah, ketika mereka sudah puas melihat
sendang kecil itu, maka Wirastama mengajak mereka untuk
melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu lebih jauh lagi.
" Kemana" " bertanya Rara Wulan.
" Kita pergi ke lereng bukit itu " berkata Wirastama "
Dimana kita akan dapat melihat dataran Tanah Perdikan ini
bagaikan permadani yang terbentang sampai ke pinggir Kali
Praga. " " Bagus sekali " berkata Teja Prabawa " kita naik kelereng.
Dari lereng itu kita melihat pemandangan yang digelar
dihadapan kita. Sawah, ladang, padukuhan dan Kali Praga."
" Tetapi kakek dan Ki Gede sudah berpesan, kita tidak akan
pergi ketempat lain. Aku tidak berani naik kelereng. Dan
barangkali aku tidak dapat memanjat tebing lereng bukit itu "
berkata Rara Wulan. Wirastama tertawa. Katanya " Kita akan naik bersamasama
dan saling menolong. Jangan cemas, lereng itu tidak
begitu terjal sebagaimana kita lihat dari tempat ini. "
Aku dapat membantumu " berkata Teja Prabawa " jangan
menjadi penakut seperti itu. "
" Tetapi kakek sudah pesan. Bahkan Ki Gede juga
berpesan agar kita tidak pergi ke mana-mana. Apalagi ke
Watu Abang " jawab Rara Wulan.
" Kita tidak pergi ke Watu Abang. Kita naik kelereng bukit
yang jauh dari Watu Abang. Kita hanya ingin melihat
pemandangan alam. Bukan melihat mata air dibawah pohon
raksasa ditempat yang masih sering didatangi binatang buas
itu, meskipun sebenarnya aku sama sekali tidak takut kepada
binatang buas itu. " berkata Wirastama kemudian.
Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya " Aku tidak mau
pergi ke lereng " Wirastama tersenyum. Dengan pengalamannya
berhubungan dengan perempuan, maka iapun berkata "
Jangan begitu Rara Wulan. Selama ini aku telah
mengagumimu sebagai seorang gadis yang luar biasa. Gadis
yang tidak seperti kebanyakan gadis yang hanya pandai
bersolek. Tetapi kau mempunyai keinginan melihat betapa
luasnya cakrawala. Karena itu, marilah. Kita pergi bersamasama.
Jangan takut, bagaimana kau nanti akan naik lereng
yang tidak terlalu terjal itu. "
Tetapi Rara Wulan tetap pada pendiriannya. Katanya "
Tidak. Aku tidak mau. "
" Jangan keras kepala " bentak Teja Prabawa " kenapa kau
tadi ikut bersama kami" "
" Aku ikut sampai ke Sendang ini saja " berkata Rara Wulan
" bukankah kalian juga mengatakan, bahwa kalian tidak akan
pergi ke mana-mana" "
" Marilah anak manis " desis Wirastama " jangan cemas.
Bukankah ada kakakmu dan ada aku" "
" Jika kau tidak mau ikut, kau lalu mau apa" " bertanya Teja
Prabawa. " Aku akan kembali. Antarkan aku kembali dahulu, baru
kalian pergi sesuka kalian " jawab Rara Wulan.
" Tentu tidak " sahut Wirastama " jika kita pulang, kita akan
banyak kehilangan waktu. Kita akan berjalan terus. Jarak dari
tempat ini sampai kerumah Ki Gede lebih jauh dari tempat ini
sampai ke lereng. " " Tetapi ...... " Rara Wulan tidak sempat meneruskan
kata-katanya karena Wirastama memotong " Baiklah. Kita
akan pergi sampai kekaki bukit. Jika kira-kira kau kesulitan
naik ke lereng, maka kita tidak akan naik. Kita akan melihatlihat
sawah di kaki bukit itu saja. Jangan takut, kita tidak pergi
ke Watu Abang. " Rara Wulan menjadi bingung. Sementara itu kakaknya
berkata " Jika kau ingin kembali, kembalilah sendiri. "
Rara Wulan memang tidak mempunyai pilihan lain. Rara
Wulan memang tidak berani kembali sendiri. Sementara itu, ia
percaya bahwa kakaknya tidak akan memaksanya naik lereng
bukit, jika ia memang tidak dapat melakukannya. Apalagi
menurut penglihatannya bukit itu memang tidak terlalu jauh
lagi dari sendang Panutan itu.
" Marilah " berkata Teja Prabawa " kita berjalan lagi "
Wirastama tersenyum. Ternyata Rara Wulan akhirnya
bersedia mengikutinya ke lereng. Yang penting baginya
adalah berada diperjalanan semakin lama bersama Teja
Prabawa dan lebih-lebih lagi bersama Rara Wulan. Ia akan
mendapat kesempatan menolong gadis itu naik ke lereng
bukit, dan bahkan menunjukkan ketrampilan dan
kemampuannya. Malahan Wirastama memang mengharap
seekor harimau datang mendekati mereka, meskipun mereka
memang tidak pergi ke Watu Abang dan tidak pergi ke mata
air dibawah pohon raksasa, tetapi diatas bukit itupun terdapat
hutan yang dihuni oleh binatang buas.
Dari kejauhan Ki Lurah dan Glagah Putih melihat mereka
bertiga meninggalkan Sendang Panutan. Tetapi mereka tidak
menuju ke padukuhan induk.
" Mereka akan kemana" " desis Glagah Putih.
" Memang tidak ke Watu Abang. " sahut Ki Lurah " tetapi
nampaknya mereka pergi ke lereng bukit. Apa sebenarnya
yang dimaui oleh anak-anak itu" "
" Kita tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi
nampaknya Rara Wulan semula berkeberatan " berkata
Glagah Putih. Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kita akan
melihat dari kejauhan. Apa yang akan mereka lakukan. Kita
dapat mengikuti mereka melalui jalan-jalan setapak dan lewat
pategalan. Jalan yang akan mereka lalui adalah jalan satusatunya
ke lereng bukit. " Glagah Putih mengangguk. Baginya sama sekali tidak ada
kesulitan untuk mengikuti ketiga orang anak muda yang
berjalan menuju ke lereng.
Sebenarnyalah mereka bertiga telah pergi ke lereng bukit.
Ternyata bahwa lereng itu tidak mudah untuk didaki. Tetapi
Rara Wulan menjadi semakin tersudut untuk mengikuti
kakaknya dan Wirastama. Namun ternyata gadis itu benar-benar menolak untuk naik.
Bahkan ketika kakaknya mengancam akan meninggalkan
sendiri. Rara Wulan menjawab " Pergilah. Aku tidak akan naik.
Aku akan pulang sendiri. Jika aku sampai ke rumah Ki Gede,
aku akan mengatakan kepada kakek. Tetapi jika aku tidak
sempat kembali karena tersesat atau kehilangan jalan atau
karena sebab lain, kakek tentu akan minta
pertanggungjawaban kepadamu. "
Teja Prabawa tidak mengira bahwa adiknya akan menjadi
sekeras itu. Namun Wirastama agaknya bersikap lain. Ia justru
tertawa sambil berkata " Kau aneh Rara Wulan. Kau tidak mau
naik karena menurut katamu, kau tidak akan mampu atau
takut atau alasan yang lain. Tetapi tiba-tiba kau menjadi
seorang pemberani yang ingin kembali seorang diri. Baru
kemarin kau diganggu oleh anak-anak yang tidak tahu adat.
Apakah kau tidak membayangkan bahwa kau akan dapat
bertemu lagi dengan orang-orang seperti itu. "
Wajah Rara Wulan menjadi merah. Dengan nada tinggi ia
berkata " Jika terjadi hal seperti itu, bahkan lebih buruk lagi,
maka itu bukanlah salahku. Tetapi salah kalian berdua. "
" Jangan berkata begitu Rara Wulan " berkata Wirastama "
marilah. Aku dan kakakmu akan menolongmu. Jika kau benarbenar
mengalami kesulitan, aku bersedia menKang
Zusi - http://kangzusi.com/
dukungmu sampai kelereng. Kita tidak perlu sampai ke
punggung bukit yang tertinggi. Dari perut bukit itu, kita sudah
dapat melihat betapa indahnya Tanah Perdikan ini. Sawah,
ladang, sungai, parit-parit dan Kali Praga merupakan lukisan
alam yang sangat mempesona. "
" Tetapi aku tidak mau naik " berkata Rara Wulan.
" Kau jangan keras kepala " bentak Teja Prabawa " kita
tidak untuk seterusnya berada disini. Kita harus
mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya. Karena
itu, jangan membiarkan kesempatan ini sia-sia. "
" Aku tidak mau " Rara Wulan berteriak.
Tetapi Wirastama masih tetap saja tertawa. Katanya "
Marilah. Kau akhirnya akan mengikuti kami. "
" Tidak " Rara Wulan masih berteriak.
Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Namun kemudian
katanya " Terserah kepadamu. Aku akan naik. "
Teja Prabawapun kemudian mulai bergerak, Wirastama
telah menggamitnya sambil berkata " Ia akan merubah
kepuasannya. Ia akan ikut bersama kita. "
Ketika Teja Prabawa dan Wirastama mulai memanjat
lereng bukit, Rara Wulan memang menjadi bingung. Rasarasanya
memang takut untuk kembali seorang diri, sementara
mereka sudah berjalan cukup jauh. Bahkan Rara Wulan tentu
akan menemui kebingungan jika ia harus berjalan sendiri. Ia
akan tersesat dan banyak kemungkinan buruk dapat terjadi.
Namun dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja seseorang
telah muncul dari balik gerumbul. Seorang yang juga sudah
dikenal oleh Rara Wulan. Karena itu, tiba-tiba saja diluar
sadar-nya Rara Wulan itu telah menyebut namanya " Glagah
Putih. Teja Prabawa dan Wirastama yang sudah mulai memanjat
tebing mendengar panggilan itu. Karena itu, maka
keduanyapun tiba-tiba telah berpaling.
Sebenarnyalah mereka melihat Glagah Putih berdiri
termangu-mangu. Kehadiran Glagah Putih itu telah membuat kedua anak
muda itu berbeda sikap. Teja Prabawa merasa beruntung,
bahwa adiknya itu akan dapat diserahkan kepada Glagah
Putih untuk diantar pulang. Dengan demikian maka ia tidak
akan mengganggunya lagi. Karena itu, maka katanya " Nah, kebetulan kau datang
Glagah Putih. Bawa Rara Wulan kembali kepada kakek. Jika
kau tidak dapat melakukannya dengan baik, maka kau akan
menyesal seumur hidupmu. Aku tidak dapat mengampunimu
lagi. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan
ingin mengendapkan gejolak didalam dadanya.
Tetapi sebelum gejolak jantungnya menjadi reda, terdengar
suara Wirastama garang " He, anak dungu. Apa kerjamu
disini" Siapa yang menyuruhmu kemari" "
Glagah Putih memang masih mencoba bertahan. Ia masih
selalu ingat pesan kakaknya. Ia tidak boleh menyakiti hati
tamu-tamu Ki Gede. Tetapi ia menjadi bingung. Sikap kedua anak muda itu
nampaknya memang berbeda. Bahkan Teja Prabawapun
menjadi bingung mendengar kata-kata Wirastama. Agaknya
Wirastama tidak berkenan melihat kehadiran Glagah Putih
yang bagi Teja Prabawa justru kebetulan sekali.
Untuk beberapa saat lamanya Glagah Putih termangumangu.
Sementara itu Wirastama telah membentaknya " Pergi.
Tinggal kan kami. Jangan mengganggu lagi. "
Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Ia masih
bingung. Langkah yang manakah yang harus diambilnya. Ki
Lurah tidak memberinya pesan apa-apa, selain memaksanya
untuk mendekat. Hanya itu.
" Cepat, pergi " sekali lagi Wirastama membentak.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Jantungnya
bergejolak semakin keras. Yang membentaknya itu bukan
tamu Ki Gede, tetapi seorang perwira muda dari Pasukan
Khusus di Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putihpun menjadi semakin bingung. Ia tidak
seharusnya melawan seorang prajurit. Tetapi iapun tidak
dapat membiarkan dirinya dihinakan.
Namun ia pernah mendengar Ki Lurah, bukan saja seorang
perwira prajurit dari Pasukan Khusus, tetapi justru ialah yang
mendapat tugas pada masanya membentuk pasukan itu
berkata " Seorang prajurit harus dapat menjadi teladan.
Seorang prajurit yang salah langkah akan merusak citra


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit itu sendiri. Tetapi menghadapi sikap yang demikian, apa yang harus
dilakukannya. Untuk beberapa saat Glagah Putih memang menjadi
bingung. Namun selagi Glagah Putih termangu-mangu
Wirastama membentak-bentaknya pula " Cepat pergi. Apa
yang kau tunggu" Atau kau ingin gigimu rontok lebih dahulu. "
Glagah Putih berusaha untuk tetap menguasai
perasaannya meskipun jantungnya bagaikan terbakar. Namun
sebelum ia menjawab Rara Wulanlah yang menjawab. "
Baiklah. Pergilah Glagah Putih. Aku juga akan pergi
bersamamu. " " Glagah Putih mengangguk kecil. Hampir diluar sadarnya
ia menjawab. " Marilah "
" Tunggu " Wirastama telah meloncat mendekat " Rara
Wulan dan Teja Prabawa pergi bersamaku. Aku harus
mempertanggungjawabkannya sampai keduanya kembali
kepada kakeknya. Karena itu, ia tidak akan pergi bersama
orang lain, kecuali bersama aku. "
" Tidak " Rara Wulanlah yang menjawab " aku akan pulang
bersama Glagah Putih. "
" Glagah Putih tidak akan melakukannya. Kecuali jika ia
sudah jemu hidup. " geram Wirastama.
" Kau kira aku tidak punya mulut untuk menceritera-kannya
kepada kakek" Kepada Ki Gede dan kepada pimpinanmu"
Kau akan dihukum oleh piminan Pasukan Khusus itu karena
tingkah lakumu " jawab Rara Wulan dengan berani.
Wajah Wirastama menjadi merah. Ia tidak mengira bahwa
gadis yang lembut, luruh dan hampir selalu menunduk itu tibatiba
mempunyai keberanian untuk melawan kemauannya.
Sementara itu Teja Prabawa justru berdiri saja termangumangu.
Ia memang menjadi bingung, la tidak mengerti apa
yang sebaiknya dilakukannya.
Namun dalam pada itu, selagi keadaan menjadi semakin
tegang, anak-anak muda itu telah dikejutkan oleh suara
tertawa. Tidak terlalu keras. Namun seakan-akan telah
mengguncang jantung mereka.
Anak-anak muda itu kemudian telah berpaling. Mereka
terkejut ketika mereka melihat seorang yang sudah seumur
dengan Ki Lurah Branjangan datang mendekat bersama
seorang laki-laki yang umurnya sebaya dengan Agung
Sedayu. " Maaf anak-anak muda " berkata orang itu " aku ingin
mengganggu sedikit. "
Wirastama memandang orang itu dengan wajah yang
masih tegang. Dengan nada datar ia bertanya " Siapakah
kalian" " " Aku memang ingin memperkenalkan diri " jawab orang tua
itu. Katanya kemudian " Namaku Ki Citrabawa. Ki Lurah
Citrabawa. Aku adalah kawan baik dari Ki Lurah Branjang an.
" " O " Wirastama mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya
pula " Lalu, apakah maksud Ki Lurah Citrabawa. "
" Sebenarnya aku menunggu kalian naik kelereng. Tetapi
ternyata kalian masih saja bertengkar disini. " jawab orang itu.
" Apakah kepentingan Ki Lurah" " desak Wirastama.
Orang itu tertawa. Kemudian iapun berpaling kepada orang
yang masih muda itu sambil berkata " Ini adalah anakku yang
bungsu. Aku ajak anak ini mengembara di Tanah Perdikan
ini selama beberapa hari hanya untuk mendapat kesempatan
berbicara dengan cucu-cucu Ki Lurah Branjangan. "
" Untuk apa" " bertanya Wirastama.
" Baiklah, aku ingin langsung berbicara dengan cucu Ki
Lurah itu. " jawab Ki Lurah Citrabawa.
Teja Prabawalah yang kemudian melangkah maju sambil
bertanya " Apakah yang ingin Ki Lurah bicarakan" "
" Anak muda " berkata Ki Lurah Citrabawa " sebenarnya
aku terpaksa mengambil langkah ini. Tetapi aku tidak
mempunyai pilihan lain. Sejak Ki Lurah Branjangan berkhianat
terhadap Pajang, maka beberapa kali ia membuat aku
kecewa. " " Maksud Ki Lurah" " bertanya Teja Prabawa.
" Dahulu aku dan Branjangan berada dalam satu kesatuan.
Tetapi ketika Panembahan Senapati memberontak terhadap
Pajang. Branjangan telah berkhianat pula dan ikut pergi ke
Mataram. " berkata Citrabawa " sebenarnya aku tidak ambil
posing. Tetapi ternyata bahwa janjinya secara pribadi dengan
aku telah dikhianatinya pula. "
" Janji Ki Lurah" " bertanya Teja Prabawa.
" Aku dan Branjangan telah sepakat untuk mempererat
hubungannya kekeluargaan dengan mempertunangkan anakanak
sulung kami. Tetapi ketika Branjangan pergi ke Mataram,
ia melupakan janji itu sehingga akhirnya anak perempuannya
kawin dengan seorang pembesar di Mataram. Namun semula
aku berusaha menahan hati. Mungkin karena kami sudah
lama tidak berhubungan, Branjangan menganggap janji itu
tidak berlaku lagi. Tetapi disaat terakhir aku tahu bahwa
Branjangan mempunyai cucu perempuan yang cantik. Nah,
aku telah menemuinya lagi setelah sekian lamanya tidak
pernah berhubungan. Memang hanya satu kebetulan bahwa
kita bertemu lagi setelah permusuhan antara Mataram dan
Pajang menjadi reda, bahkan Pajang berada di bawah
kekuasaan Mataram. Tetapi aku merasa sangat kecewa,
bahwa Branjangan tidak memenuhi keinginanku untuk
memperbaharui janji itu. Bukan anaknya yang akan aku ambil
menantu, tetapi cucunya, bagi anakku yang bungsu. " berkata
Ki Lurah Citrabawa. " Wulan maksud Ki Lurah" " bertanya Teja Prabawa.
" Ya. Aku ingin Rara Wulan menjadi menantuku. " berkata
Ki Lurah. " sekarang anakku yang bungsu itu ada bersamaku.
" " Tidak " tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak.
" Ki Lurah " berkata Teja Prabawa " persoalannya harus Ki
Lurah selesaikan dengan kakek. "
" Kakekmu keras kepala " jawab Ki Lurah Citrabawa itu.
Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Rara Wulan
menggigil oleh kemarahan dan ketakutan, sementara Teja
Prabawapun menjadi marah. Tetapi mereka tertegun karena
sikap orang tua dan anaknya itu. Nampaknya Ki Lurah
Citrabawa bukan orang kebanyakan.
" Anak-anak muda " berkata Ki Lurah Citrabawa itu " jika
anakku yang sulung sesuai dengan perjanjian mendapat anak
Ki Lurah Branjangan, maka gadis cantik ini akan menjadi
cucuku. Tetapi karena hal itu tidak terjadi, maka gadis cantik
ini akan menjadi menantuku dan mendapatkan anakku yang
bungsu. " Dalam pada itu, ketegangan semakin mencengkam jantung
anak-anak muda itu. Sementara itu Ki Lurah Citrabawapun
berkata selanjutnya " Anak-anak muda. Aku terpaksa
menempuh jalan ini karena aku tidak mempunyai cara lain.
Kakekmu menjadi terlalu sombong dan tidak mau lagi
mengenal aku. Ia nampaknya telah berhasil menjadi seorang
yang disegani di Mataram, sementara aku setelah Pajang
jatuh telah kehilangan pekerjaanku dan menjadi seorang
petani yang miskin. Tetapi aku masih tetap mempunyai harga
diri seorang laki-laki. Karena itu, aku akan membawa Rara
Wulan. Aku sama sekali tidak takut jika Branjangan menjadi
marah. Aku akan menghadapinya sebagai laki-laki. "
" Aku tidak mau " teriak Rara Wulan.
" Berteriaklah. Di kaki bukit ini tidak akan ada orang yang
mendengarnya. Paling-paling petani yang bekerja disawahnya
dibulak itu. Itupun jika suaramu mampu
menjangkaunya. " berkata Ki Lurah Citrabawa.
Jantung Rara Wulan berdegup semakin keras. Ia menjadi
semakin ketakutan. Namun dalam pada itu, maka Wirastama pun telah
meloncat kedepan sambil berkata " Ki Lurah. Kau kira kau
dapat berbuat apa saja sesukamu disini" "
Orang itu tertawa pendek. Katanya " Menilik pakaianmu,
kau tentu seorang perwira muda dari Pasukan Khusus yang
di-bentuk oleh Branjangan itu. Kau sebenarnya pantas
dihormati. Tetapi sebaiknya kau jangan mencoba melindungi
gadis itu, karena yang kau lakukan itu sia-sia. "
" Aku akan mencegah perbuatan itu. Baik sebagai seorang
prajurit, maupun sebagai seorang anak muda aku akan
mempertahankan Rara Wulan. " berkata Wirastama.
" Jangan terlalu sombong anak muda " berkata Ki Lurah
Citrabawa " kau kira pakaianmu itu dapat membuat kau silau"
Kau tidak usah melepas pakaian keprajuritanmu sebagaimana
kau lakukan ketika kau berkelahi dengan anak-anak muda
yang bengal itu, karena bagiku, pakaianmu tidak berarti apaapa.
" Wirastama yang merasa wajib melindungi Rara Wulan
itupun serasa bersiap-siap. Katanya " Ki Citrabawa. Maaf,
bahwa seharusnya aku tidak boleh berlaku kasar terhadap
orang-orang tua, bahkan harus menghormatinya. Tetapi jika
kau memaksakan niatmu, maka kau memang tidak pantas
untuk dihormati " " Bagus anak muda " berkata Ki Citrabawa " nampaknya
kau benar-benar ingin melindungi gadis itu. "
" Ya " jawab Wirastama.
Ki Lurah Citrabawa itupun kemudian maju beberapa
langkah. Dengan nada rendah Ki Citrabawa itu berkata " Hatihatilah
anak muda. Aku memang ingin tahu, seberapa jauh
keberhasilan Branjangan menyusun kekuatan dengan
Pasukan Khususnya di Tanah Perdikan ini. Dengan menjajagi
salah seorang perwira mudanya, maka aku akan mendapat
gambaran hasil jerih payah Branjangan itu. "
Wirastama memang sudah siap. Karena itu iapun telah
meloncat menyerang orang tua yang telah membuat jantung
Wirastama menjadi panas itu.
Tetapi orang itu cukup tangkas. Iapun dengan cepat
menghindar sehingga serangan Wirastama tidak mengenai
sasaran. Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah
terlihat dalam perkelahian yang cepat. Ternyata Ki Lurah
Citrabawa itu masih cukup cekatan untuk mengimbangi gerak
Wirastama yang cepat dan kuat. Agaknya pengalaman yang
sangat luas pada orang itu membuatnya tidak terlalu sulit
untuk menghadapi Wirastama.
Wirastama memang memiliki kekuatan yang besar dan
kecepatan gerak yang mengagumkan. Namun beberapa saat
kemudian, anak muda itu terdorong beberapa langkah surut.
Tangan Ki Citrabawa tepat mengenai dada anak muda itu.
Kemarahan Wirastamapun kemudian telah memuncak.
Dikerahkannya kemampuannya. Ia adalah seorang perwira
muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga
dengan demikian maka serangan-serangannya yang
kemudian menjadi semakin garang. Apalagi di tepi arena
pertempuran itu terdapat seorang gadis yang cantik.
Namun lawan Wirastama saat itu adalah seorang tua yang
tangguh dan berpengalaman. Meskipun Ki Citrabawa tidak
memiliki kekuatan sebesar Wirastama, tetapi ia justru lebih
banyak berhasil mengenai tubuh lawannya yang masih muda
itu. Geraknya yang kadang-kadang, membingungkan
membuat Wirastama sering kehilangan arah serangan
lawannya. Ternyata bahwa meskipun dengan mengerahkan
tenaganya. Wirastama tidak berhasil menguasai lawannya
yang tua itu. Bahkan semakin lama ia menjadi semakin
terdesak, sehingga beberapa saat kemudian Wirastama bukan
saja terdorong beberapa langkah surut, tetapi ia benar-benar
telah terbanting jatuh. Dadanya bagaikan menjadi sesak
sehingga nafasnya seolah-olah tertahan ditenggorokan.
Ki Lurah Citrabawa tertawa. Iapun kemudian berdiri
beberapa langkah daripadanya. Katanya " Sudahlah anak
muda. Sebaiknya kau tidak usah turut campur. Persoalan ini
adalah persoalanku dengan Ki Lurah Bran jangan.
Wajah Wirastama menjadi merah. Ia berusaha untuk
bangkit. Namun ia tidak dapat dengan serta merta
menghilangkan sesak didadanya serta mengatur
pernafasannya agar berjalan wajar.
Karena itu, maka Wirastama tidak dengan serta merta
menyerang kembali Ki Lurah Citrabawa yang berdiri tegak
sambil bertolak pinggang.
" Urusan ini urusan orang tua-tua " berkata Ki Citrabawa
kemudian " Nah, Rara Wulan. Kau harus ikut aku, atau kau
akan mengalami nasib yang sangat buruk. "
" Tidak " teriak Rara Wulan sambil berlari dan bersembunyi
dipunggung kakaknya " aku tidak mau kakang. Aku tidak mau.
" Teja Prabawa sadar, bahwa ia harus melindungi adiknya.
Tetapi Wirastama yang dikaguminya itu tidak berdaya
menghadapi orang yang nampaknya sudah hampir pikun itu.
Karena itu, Teja Prabawa telah menjadi sangat bingung.
" Sudahlah " berkata Ki Lurah Citrabawa " jangan
memperpanjang persoalan. Kita akan menganggap persoalan
ini selesai. Jika belum selesai itu adalah persoalanku dengan
persoalan Ki Lurah Branjangan. "
Teja Prabawa menjadi semakin bingung ketika Ki Lurah itu
berkata " Minggir kau anak muda. Aku hanya memerlukan
Rara Wulan. Aku tidak memerlukan kau. "
" Kakang " teriak Rara Wulan " aku tidak mau. "
Teja Prabawa menjadi gemetar ketika ia melihat Ki Lurah
itu melangkah mendekatinya sementara Wirastama masih
juga belum dapat menguasai dirinya sendiri.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang berada di
lereng bukit itu dicengkam ketegangan, seorang lagi telah
muncul dari balik pepohonan. Dengan nada berat orang itu
berkata " Kau benar Ki Lurah. Persoalan berikutnya adalah
persoalanmu dengan aku. "
Ki Lurah Citrabawa berpaling. Ia terkejut ketika ia melihat Ki
Lurah Branjangan melangkah mendekat.
" Setan tua " geram Ki Lurah Citrabawa " ternyata kau ada
disini" " " Tentu. Aku tidak akan membiarkan cucuku kau ambil
begitu saja dengan cara yang sama sekali tidak terpuji. He,
apakah kau tidak lagi mengenal unggah-ungguh" Begitulah
cara melamar anak orang jaman sekarang ini" " bertanya Ki
Lurah.

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Persetan Ki Lurah " jawab Ki Citrabawa.
Sementara itu, Rara Wulan yang menggigil tiba-tiba saja
telah lari menghambur memeluk kakeknya.
" Jangan cemas Wulan " desis Ki Lurah Branjangan.
Namun diluar sadarnya ia berpaling kepada Glagah Putih
yang masih saja berdiri kebingungan. Ia tidak tahu apa yang
sebaiknya dilakukan. Namun pandangan mata Ki Lurah
Branjangan itu nampak olehnya seakan-akan satu penyesalan
yang dalam, bahwa Glagah Putih tidak berbuat apa-apa pada
saat Rara Wulan mengalami ketakutan, sementara Wirastama
sudah tidak berdaya. Namun Ki Lurah Branjanganpun kemudian perhatiannya
telah tertuju sepenuhnya kepada Ki Lurah Citrabawa yang
dengan suara lantang berkata " Branjangan. Aku tidak
mempunyai banyak kesempatan. Sekarang, berikan cucumu
itu kepadaku. Ia akan menjadi isteri yang akan dijaga sebaikbaiknya
oleh anakku yang bungsu itu. "
Tetapi jawab Ki Lurah Branjangan " Rara Wulan itu
bukan anakku. Jika kau melamarnya bertemulah dengan
orang tuanya. " " Maaf Ki Lurah. Aku sudah bukan orang penting lagi. Aku
kira aku dapat melupakan unggah-ungguh itu. Sebaiknya aku
mempergunakan cara yang aku kenal. Mengambilnya saja.
Bahkan kalau perlu dengan kekerasan. Bukankah kita sudah
tidak lagi bersahabat sejak kau berkhianat" " geram Ki Lurah
Citrabawa. " Siapakah yang berkhianat Ki Lurah" Jika kau masih tetap
pada martabatmu, setidak-tidaknya martabat kemanusiaanmu,
aku tidak akan ingkar. Tetapi kegagalanmu meraih kedudukan
yang tidak akan mungkin dapat kau capai membuatmu
menjadi gila. Sehingga aku berpikir, lebih baik aku menarik diri
dari perjanjian persahabatan kita, karena aku tidak mau
mempunyai sanak keluarga orang gila " jawab Ki Lurah Branjangan.
" Kau benar-benar iblis, Branjangan " berkata Ki Lurah
Citrabawa " nampaknya kedudukanmu di Mataram
membuatmu menjadi kehilangan tempat berpijak. Kau tidak
lagi menganggap sahabat-sahabatmu yang tidak berhasil
menjilat seperti kau itu tidak lagi bermartabat. "
" Jangan memutar balikkan keadaan " jawab Ki Lurah
Branjangan " kau dapat membohongi siapa saja. Tetapi kau
tidak akan dapat membohongi dirimu sendiri. Apa yang kau
lakukan pada saat-saat terakhir Pajang membuat aku sangat
kecewa. Kau tahu, bahwa yang kau sebut pengkhianat
terhadap sahabat itu aku lakukan sebelum aku mendapat
kedudukan apapun di Mataram. Pada waktu itu kita masih
bersama-sama ada di Pajang. Kau terlempar dari
kedudukanmu bukan karena Mataram. Tetapi karena
ketamakanmu. Nah, sebenarnya kau tidak perlu membohongi
anak-anak muda ini. Mereka memang tidak tahu apapun juga
tentang diri kita masing-masing. Dan akupun merasa heran,
bahwa tiba-tiba saja kau sekarang menggangguku lagi setelah
sekian tahun tidak bertemu. Dan kaupun melihat Rara Wulan
masih terlalu remaja untuk kau jadikan menantumu. Ia masih
memerlukan beberapa tahun lagi untuk sempat mekar. "
" Biarlah gadis itu mekar di petamananku Ki Lurah. Tentu
akan menjadi semakin cantik dan semerbak " sahut Ki Lurah
Citrabawa seakan-akan tanpa menghiraukan kata-kata Ki
Lurah Branjangan. " Sudahlah Ki Lurah Citrabawa " berkata Ki Lurah
Branjangan " sebaiknya kau sadari keadaanmu. "
Ki Lurah Citrabawa memandang Ki Lurah Branjangan
dengan tatapan mata yang menyorotkan gejolak didalam
jantungnya. Sementara itu Ki Lurah Branjangan telah
mempersiapkan diri. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan. Ki
Lurah Citrabawa adalah seorang prajurit yang baik
sebagaimana dirinya sendiri ketika mereka masih bersamasama
berada di Pajang. Tetapi hubungan mereka yang akrab
itupun kemudian telah pecah menjelang bangkitnya Mataram,
karena keinginan Ki Lurah Citrabawa yang melonjak-lonjak
untuk menduduki jabatan yang jauh lebih tinggi, sehingga
justru ia telah tersisih.
Dan sejak itulah Ki Lurah Citrabawa telah menempuh jalan
yang sesat dan meninggalkan Pajang.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjanganpun berkata pula " Ki
Lurah Citrabawa. Demi sisa-sisa persahabatan kita yang
masih ada, tinggalkan cucuku. Jangan kau ganggu lagi dan
untuk seterusnya jangan kau ganggu keluarga kami. "
Ki Citrabawa menggeleng. Katanya " Apapun yang kau
katakan Branjangan, aku akan membawa cucumu. Meskipun
anakku yang bungsu masih harus menunggu dua tiga tahun
lagi, ia akan melakukannya. Tetapi kesempatan untuk
mengambil cucumu tidak akan datang pada kesempatan lain. "
Tetapi Ki Lurah Branjanganpun mulai menjadi keras.
Katanya " Pergilah. Atau kita akan benar-benar bermusuhan. "
Ki Lurah Citrabawa tertawa. Katanya " Sudah lama aku
merasa terhina. Sekarang, datang saatnya aku melepaskan
tekanan perasaan itu. "
" Apa yang akan kau lakukan" " bertanya Ki Lurah
Branjangan. " Memaksa membawa cucumu dengan kekerasan. " jawab
Ki Lurah Citrabawa itu. Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
" Baiklah Ki Lurah Citrabawa. Nampaknya Ki Lurah masih
juga senang mengajak bermain diusia tua. Marilah. Aku akan
mclayanimu. " Ki Lurah Citrabawapun kemudian mempersiapkan diri.
Sekilas ia berpaling kepada anaknya sambil berkata " Awasi
mereka. Biarlah aku melayani setan tua itu. Nampaknya ia
ingin lebih cepat mati. "
Anak Ki Lurah Citrabawa itu mengangguk sambil berkata
" Tidak seorangpun akan dapat pergi ayah. "
Demikianlah, maka Ki Lurah Citrabawapun mulai
menyerang Ki Lurah Branjangan. Setelah mendorong Rara
Wulan kepada kakaknya, maka Ki Lurahpun telah melayani Ki
Lurah Citrabawa. Sebagai dua orang yang saling mengenal
dengan baik pada mulanya, maka keduanyapun telah
mempunyai gambaran tentang kemampuan mereka masingmasing.
Namun ke-pergian Ki Lurah Branjangan ke Mataram,
telah menempanya, sehingga ia semakin matang dalam olah
kanuragan. Sejenak kemudian maka pertempuran antara kedua orang
tua itupun menjadi semakin sengit. Teja PrabaWa dan Rara
Wulan melihat kakeknya bertempur dengan jantung, yang
berdegupan. Mereka memang mengetahui bahwa kakeknya
adalah bekas seorang Senapati Mataram. Namun ketika
mereka melihat kakeknya benar-benar bertempur, mereka
semakin yakin akan kemampuan kakeknya itu.
Wirastama yang dadanya masih sesak, berdiri termangu"
mangu. Ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat membantu lagi.
Jika ia melibatkan diri, maka nafasnya tentu akan putus
karenanya. Beberapa saat kemudian pertempuran antara kedua orang
itu menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa kehidupan Ki
Citrabawa benar-benar telah dipengaruhi oleh kehidupan
dunia yang hitam. Meskipun semula nampak pada kedua
orang tua itu sikap yang mirip, namun kemudian Ki
Citrabawapun menjadi semakin keras. Bahkan kemudian tata
geraknya menjadi kasar. " Dari siapa kau belajar bertempur cara ini Ki Citrabawa" "
bertanya Ki Lurah Branjangan " ilmumu menjadi buram. Aku
tidak lagi melihat unsur-unsur gerakmu yang bening. Tetapi
yang nampak adalah kekerasan dan kekasaran semata-mata.
Apakah itu juga gambaran kehidupan Ki Lurah Citrabawa
selama ini" " " Persetan " geram Ki Citrabawa " jika kau merasa ngeri,
menyerahlah. Serahkan cucumu dan persoalan kita sudah
selesai. Aku tidak akan merasa terhina lagi dan dengan
demikian kalian sekeluarga tidak akan terganggu lagi. "
Tetapi Ki Lurah Branjangan menjawabnya dengan
mempercepat serangannya. Sebagai Senapati Pasukan
Khusus, maka Ki Lurah Branjangan memiliki pengetahuan
yang luas tentang olah kanuragan meskipun ia bukan salah
seorang yang memiliki puncak-puncak ilmu kanuragan.
Namun ternyata pertempuran itu menjadi sangat seru.
Kedua orang tua itu telah mengerahkan kemampuan mereka,
sehingga dengan demikian, maka pengaruh kewadagan
mereka-pun dengan cepat pula mulai mewarnai pertempuran
itu. Kekuatan mereka dengan cepat mulai susut, justru karena
keduanya bertempur melawan kekuatan yang seimbang,
sementara mereka telah memasuki usia senja.
Tetapi semakin lama semakin nampak, bahwa daya tahan
Ki Lurah Branjangan masih lebih baik dari lawannya. Karena
itu, maka setelah bertempur beberapa lama, ternyata Ki Lurah
Citrabawa mulai terdesak. Kecepatan gerak Ki Lurah
Branjangan masih lebih baik dari lawannya, sehingga
beberapa kali Ki Lurah Branjangan sempat mengenai tubuh
lawannya. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Citrabawa tidak
pernah berhasil mengenai lawannya. Terasa dada Ki Lurah
Branjanganpun menjadi serasa sesak ketika pukulan yang
keras mengenai dadanya. Namun Ki Lurah Citrabawa telah
merasa tercekik pada saat ketukan ibu jari Ki Lurah
Branjangan sempat mengenai lehernya.
Dengan demikian maka semakin lama pertempuran itupun
menjadi nampak semakin letih. Ki Lurah Branjangan yang
memiliki daya tahan yang lebih besar dari Ki Lurah Citrabawa,
sekali-sekali masih nampak menyerang dengan keras dan
kuat, sehingga kadang-kadang Ki Lurah Citrabawa telah
terdorong beberapa langkah surut.
Pada saat nafas Ki Citrabawa bagaikan terputus di
kerongkongan, maka mau tidak mau Ki Lurah Citrabawa itu
harus meloncat beberapa langkah surut, menghindar dari
serangan Ki Lurah Branjangan yang masih cukup kuat.
Dengan mengambil jarak itu, maka Ki Lurah Citrabawa sempat
beristirahat sambil menekan lambungnya yang terasa menjadi
sakit. Ki Lurah Branjanganpun mulai menjadi terengah-engah.
Namun ia masih sempat berkata " Nah, Ki Lurah Citrabawa.
Apa maumu sekarang" "
Ki Lurah Citrabawa tidak segera menjawab. Di pandanginya
kedua cucu Ki Lurah Branjangan yang kemudian telah
mendekati kakeknya yang nampak sangat letih itu.
" Kakek " desis Rara Wulan.
" Ia tidak akan mengganggumu lagi Wulan " berkata Ki
Lurah Branjangan. Tetapi ternyata Ki Lurah Citrabawa yang nafasnya hampir
terputus itu masih sempat tertawa meskipun sambil terengahengah.
Katanya " Kau salah Branjangan. "
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Dengan
nada berat ia bertanya " Apa yang akan kau lakukan lagi" "
" Ki Lurah Branjangan. Ternyata kau tidak saja seorang
yang dibesarkan namanya karena kau selalu menjilat
atasanmu. Tetapi ternyata kau benar-benar memiliki ilmu yang
tinggi. Kau mampu menyalurkan ilmumu dengan dorongan
tenaga cadangan didalam dirimu sehingga mampu menembus
pertahananku. Sayang ketuaanku sangat mempengaruhi
kemampuan wadagku mendukung ilmuku. " berkata Ki Lurah
Citrabawa. " Karena itu Ki Lurah, tinggalkan kami. Tinggalkan aku dan
cucu-cucuku. Jangan mencoba mengganggu kami lagi. "
" Tentu tidak begitu saja kami akan pergi " sahut Ki Lurah
Citrabawa " yang harus mengakui kelebihanmu adalah aku.
Tetapi ada orang yang lebih berkepentingan dengan cucumu.
Karena itu, biarlah anakku sendiri yang berbicara. "
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Sementara
itu anak bungsu Ki Lurah Citrabawa itupun melangkah
mendekat dengan sikap yang sangat meyakinkan.
" Branjangan " berkata Ki Citrabawa " kau belum mengenal
anakku yang bungsu. Beberapa tahun ia berguru untuk
mencari bekal bagi masa depannya. Ia bukan saja
mempelajari ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain yang
akan dapat menjadi landasan bagi masa-masa yang panjang
dari hidupnya. Ki Lurah Branjangan memang menjadi berdebar-debar.
Apalagi ketika orang itu mengangguk hormat kepadanya
sambil berkata " Hormatku Ki Lurah. "
Ki Lurah Branjangan memang menjadi termangu-mangu
sejenak, sementara Ki Lurah Citrabawa tersenyum " Ia juga
belajar unggah-ungguh, sehingga nampaknya ia memiliki adat
yang lebih baik dari aku. "
" Apa yang kau kehendaki" " bertanya Ki Lurah
Branjangan. " Ayah telah mengatakan Ki Lurah. Aku ingin membawa
cucu Ki Lurah. Aku berjanji untuk berbuat baik dan tidak akan
menyia-nyiakannya. " berkata orang itu.
Ki Lurah Branjangan memandang orang itu dengan sorot
mata yang menyala. Katanya " Citrabawa. Kau ajari anakmu
dengan unggah-ungguh seperti itu" Kau kira, keluarga kami
adalah keluarga yang sama sekali tidak berharga" "
Ki Lurah Citrabawa justru tertawa. Katanya " Kau dapat
dengan dada tengadah menolak permintaanku, karena
ternyata kau masih juga memiliki kelebihan dari aku. Tetapi
kau tidak akan dapat berbuat seperti itu dengan anakku. Ia
telah melihat, bagaimana kau bertempur melawanku. Karena
itu, maka aku kira kau rangkap empat masih belum akan
dapat mengimbangi kemampuannya. "
" Apapun yang terjadi " geram Ki Lurah Branjangan " aku
akan mempertahankan martabat keluargaku. "
" Ki Lurah " berkata anak Ki Lurah Citrabawa itu "
sebenarnya aku tidak ingin melakukan kekerasan. Aku ingin
membawa cucu Ki Lurah dengan baik-baik. Ketika kami
mengetahui bahwa Ki Lurah pergi ke Tanah Perdikan
Menoreh dengan cucu Ki Lurah, maka kami telah mengikuti Ki
Lurah. Kami telah mengikuti dalam beberapa hari ini kedua
cucu Ki Lurah yang dikawani oleh prajurit itu. Namun kami
baru mendapat kesempatan hari ini berbicara dengan Ki
Lurah. " " Cukup " bentak Ki Lurah " aku minta kau pergi. " Tetapi Ki
Lurah Citrabawa yang menyahut " Jangan terlalu kasar Ki
Lurah Branjangan. Kau akan dapat menyesal, karena anak itu
akan dapat mematahkan batang lehermu. Tetapi ia sudah


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. "
Ki Lurah Branjangan menggeretakkan giginya. Tetapi ia
percaya bahwa anak Ki Lurah Citrabawa itu mempunyai
kelebihan dari ayahnya. Namun meskipun demikian, ia tidak
akan melepaskan cucu perempuannya itu.
Sementara itu, Wirastama yang telah berhasil mengatasi
kesulitan pernafasannya tiba-tiba saja meloncat maju sambil
berkata lantang " Kau akan ditangkap oleh para pengawal di
Tanah Perdikan ini. "
" Tutup mulutmu " tiba-tiba orang yang nampaknya lembut
dan penuh hormat itu membentak kasar " jangan ikut campur
atau aku koyakkan mulutmu. "
Wajah Wirastama menjadi marah. Harga dirinya benarbenar
tersinggung. Karena itu, maka iapun telah meloncat
menyerang orang yang akan mengambil Rara Wulan itu.
Tetapi ternyata Wirastama salah menilai lawannya. Orang
itu sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia telah membentur
kekuatan Wirastama itu. Satu benturan yang keras telah terjadi. Orang itu tergetar
dan surut selangkah. Namun Wirastama telah terlempar dan
terbanting jatuh. Demikian kerasnya sehingga ketika ia
bangkit, maka punggungnya bagaikan terasa patah.
Wirastama menyeringai menahan sakit. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa lawannya itu bagaikan dinding baja
yang tidak dapat digoyahkannya. Bahkan telah menyakitinya.
" Nah anak muda " berkata orang itu " aku memang tidak
perlu menggelitikmu untuk melepaskan pakaian perwiramu.
Jika kau masih ingin berkelahi, marilah. Kau akan aku
remukkan dan untuk selanjutnya kau tidak akan dapat lagi
menjadi seorang perwira pada Pasukan Khusus itu.
Telinga Wirastama bagaikan tersentuh api mendengar
kata-kata anak Ki Lurah Citrabawa itu. Sementara Ki Lurah
Citrabawa itu tertawa sambil berkata " Sudahlah. Jangan
mencampuri persoalan kami. Aku tahu, bahwa kau telah
bersusah payah berusaha untuk menunjukkan kelebihanmu
kepada Rara Wulan. Kau paksa gadis itu untuk naik kelereng
agar kau mendapat kesempatan untuk menolongnya, karena
kau tahu, kakaknya yang bernama Teja Prabawa itu tidak
akan dapat melakukannya. Tetapi sekarang, kau berhadapan
dengan aku. Meskipun kau dapat mengalahkan siapapun juga,
kau tidak akan dapat mengalahkan anakku. "
Wirastama berdiri dengan tubuh bergetar oleh kemarahan
yang menghentak-hentak didadanya. Namun ia benar-benar
tidak akan dapat berbuat sesuatu. Punggungnyalah yang
bagaikan patah itu, terasa demikian sakitnya ketika ia
mencoba bergerak. Apalagi jika ia harus bertempur lagi
melawan orang yang nampaknya memang memiliki ilmu yang
sangat tinggi itu. " Tidak sia-sia anakku itu berguru bertahun-tahun " berkata
Ki Lurah Citrabawa. Kemudian katanya kepada Ki Lurah
Branjangan " Nah, kau telah beruntung mendapat cucu
menantu yang tangguh, sehingga ia akan dapat melindungi
cucumu dari kemungkinan yang paling buruk sekalipun. "
Ki Lurah Branjangan menggeretakkan giginya. Namun Ki
Lurah Citrabawa berkata " Jangan mencoba melawan anakku,
Ki Lurah. Jika ia marah, maka ia tidak peduli lagi. Siapapun
akan dihancurkannya tanpa belas kasihan. Ia telah ditempa
oleh seorang guru yang keras dan tidak mengenal belas
kasihan. " " Apapun yang terjadi " berkata Ki Lurah Branjangan " Aku
bertanggung jawab atas cucu-cucuku, karena akulah yang
telah membawa mereka kemari. "
" Lalu apa yang akan kau lakukan" " bertanya Ki Lurah
Citrabawa. " Kau dapat berbuat apa saja terhadap cucu-cucuku, jika
aku sudah terbujur mati disini " geram Ki Lurah Branjangan
yang benar-benar menjadi marah.
" Kakek " Rara Wulan mulai menangis. Sementara Teja
Prabawapun menjadi gemetar.
" Jangan takut " berkata Ki Lurah Branjangan " aku adalah
bekas. Senapati dari Pasukan Khusus itu. "
Tetapi anak Ki Lurah Citrabawa tertawa. Katanya " Aku
tidak akan gentar terhadap Senapati dari Pasukan Khusus itu.
Jangankan Ki Lurah Branjangan yang sudah tua, yang
wadagnya tidak akan mampu lagi mendukung ilmu yang
betapapun tingginya. Senapati yang sekarang itupun aku tidak
akan gentar. " Suasana memang menjadi sangat tegang. Glagah Putih
memperhatikan keadaan itu dengan jantung yang berdebaran.
Ia masih saja agak ragu untuk berbuat sesuatu. Namun ketika
keadaan menjadi semakin gawat, ia telah berusaha
memecahkan belenggu yang dibuatnya sendiri atas dirinya. Ia
tidak peduli lagi, apakah langkahnya akan menyinggung
perasaan Teja Prabawa atau Wirastama. Namun ia tidak
dapat membiarkan Ki Citrabawa yang ilmunya hampir
seimbang itu harus bertempur dengan orang yang ilmunya
nampaknya cukup tinggi. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia maju mendekati Ki
Lurah Branjangan sambil berkata " Ki Lurah. Aku mohon maaf.
Apakah Ki Lurah memperkenankan aku mencampuri
persoalan ini" "
Ki Lurah berpaling. Sebenarnyalah bahwa satu-satunya
harapan baginya adalah Glagah Putih. Karena itu, maka
iapun kemudian tersenyum sambil berkata " Kau yang
ditugaskan oleh Ki Gede mengantarkan dan mengamat-amati
cucu-cucuku. Kau bertanggung jawab pula akan
keselamatannya. " Glagah Putih mengangguk hormat. Sementara itu
Wirastama menggeram " Apa yang akan kau lakukan" "
Glagah Putih tidak menghiraukannya. Iapun kemudian
melangkah menghadap kepada anak Ki Lurah Citrabawa itu.
Katanya " Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak mengurungkan niat
Ki Sanak. Aku kira cara yang Ki Sanak tempuh itu kurang
pada tempatnya. " " Setan " geram orang itu " siapakah kau" "
" Aku Glagah Putih, anak Tanah Perdikan ini. Aku telah
mendapat kepercayaan Ki Gede untuk mengawani cucu-cucu
Ki Lurah selama mereka berada di Tanah Perdikan. Persoalan
apakah mereka senang atau tidak itu bukan persoalanku.
Namun yang penting bahwa tugas itu dibebani tanggung
jawab akan keselamatan mereka " jawab Glagah Putih.
" Kasihan kau anak muda " berkata anak Ki Lurah
Citrabawa itu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya
sikap yang meyakinkan dari anak Ki Lurah Citrabawa.
Sedangkan anak Ki Citrabawa itu nampaknya terlalu percaya
kepada ilmunya. Karena itu, maka Glagah Putih merasa bahwa ia memang
harus berhati-hati. " Anak muda " berkata orang itu pula " pergilah sebelum
terlanjur. Kau tahu, bahwa perwira Pasukan Khusus itupun
tidak dapat mencegah aku. Apalagi kau, anak padu-kuhan
yang malang. " Namun Glagah Putih menjawab " Apapun yang terjadi
atasku, aku harus melakukan tugas yang dibebankan
kepadaku oleh Ki Gede. Karena itu, pergilah dengan damai,
tanpa permusuhan dengan orang-orang Tanah Perdikan
Menoreh yang menjadi tuan rumah dari kedua cucu Ki Lurah
Branjangan itu. " " Kata-katamu menyakitkan hati anak muda " geram anak
Ki Lurah Citrabawa. " aku ingin menyumbat mulutmu dengan
tumitku. " " Sekali lagi aku mohon Ki Sanak. Tinggalkan Tanah
Perdikan " berkata Glagah Putih.
Orang-orang yang menyaksikan sikap Glagah Putih itu
menjadi tegang. Anak Ki Lurah Citrabawa itupun mampu
menilai sikap Glagah Putih yang matang. Sementara itu,
Wirastama terheran-heran melihat Glagah Putih dengan
mantap menghadapi orang yang memiliki kekuatan yang
sangat besar itu. Teja Prabawa menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak
menduga bahwa anak padukuhan itu dapat bersikap demikian
meyakinkan menghadapi keadaan yang gawat.
Anak Ki Lurah Citrabawa yang berilmu tinggi itu mulai
marah. Sementara Ki Lirah Citrabawa itu berkata " Jangan
berkorban untuk orang yang tidak banyak kau kenal. Jika kau
mati, maka kematianmu tidak berarti apa-apa bagi Tanah
Perdikan ini. " " Aku sedang mempertahankan martabat Tanah Perdikan
ini " jawab Glagah Putih.
" Anak iblis " berkata anak Ki Lurah Citrabawa " kenapa kau
demikian dungunya menghadapi kenyataan ini. Jika aku ambil
gadis itu apakah kau akan merasa kehilangan" "
Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga Glagah Putih.
Tetapi iapun telah bertanya kepada diri sendiri " Apakah aku
akan merasa kehilangan" "
Glagah Putih memang bertanggung jawab atas
keselamatan tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh karena ia
adalah salah seorang penghuni Tanah Perdikan itu. Karena
itu, maka iapun telah menjawab pertanyaan dari dalam dirinya
itu didalam hati " Bukan karena kehilangan. Tetapi itu adalah
kewajibanku. " Namun justru diluar sadarnya ia telah berpaling memandang
Rara Wulan. Gadis itu wajahnya menjadi sangat
pucat karena ketakutan. Tubuhnya menggigil dan air matanya
telah mengalir di pipinya.
Tiba-tiba saja Glagah Putih merasa sangat iba melihat
gadis yang sangat ketakutan itu, sehingga dengan demikian,
maka telah mendorong niatnya untuk menghancurkan
ketamakan Ki Lurah Citrabawa dengan anak laki-lakinya yang
bungsu yang dibanggakannya itu.
Sementara itu anak Ki Lurah Citrabawa itupun membentak
" Minggir atau aku bunuh kau. "
Tetapi hampir diluar sadarnya Glagah Putih berkata "
Kaulah yang minggir. Kau sudah terlalu tua untuk mengambil
Rara Wulan yang masih terlalu muda. "
Anak Ki Lurah Citrabawa tidak dapat menahan
kemarahannya. Iapun kemudian maju selangkah sambil
berkata " Bersiaplah untuk mati. Jika ada pesan yang ingin
kau sampaikan, lakukanlah sekarang, karena pada benturan
pertama kau tentu sudah akan mati. "
Glagah Putihpun menjadi marah. Sudah cukup lama ia
menahan diri. Sejak hari-hari sebelumnya rasa-rasanya ia
telah mengekang diri sehingga dadanya bagaikan menjadi
sesak. Karena itu, ketika kesempatan itu datang, maka
perasaannya-pun bagaikan telah meledak.
Karena itu, maka Glagah Putihpun melangkah maju dengan
tatapan mata yang tajam. Dengan mantap ia berdiri tegak
beberapa langkah dihadapan anak Ki Lurah Citrabawa.
" Kau benar-benar ingin mati " geram orang itu.
" Kita akan melihat siapakah yang akan keluar dari
pertempuran ini dengan selamat " sahut Glagah Putih.
Orang itupun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja
ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Agaknya ia
tidak sekedar menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi anak Ki
Citrabawa itu agaknya langsung ingin membunuh Glagah
Putih. " Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
berdebar-debar. Wirastamapun menjadi tegang. Ia menyadari,
bahwa serangan itu adalah serangan mematikan. Nampaknya
anak Tanah Perdikan itu benar-benar bernasib buruk, hanya
karena ia terlalu taat melakukan perintah Ki Gede.
Tetapi dugaan mereka ternyata salah. Dengan tangkas
Glagah Putih menghindari serangan itu. Ia bergeser selangkah
sambil memiringkan tubuhnya. Demikian serangan itu
menyambar setapak di sisinya, tiba-tiba saja Glagah Putih
telah berputar, bertumpu pada sebelah kakinya, sementara
kakinya yang lain terayun dengan cepatnya, menyerang
lawannya yang kehilangan sasaran.
Adalah tidak terduga sama sekali, justru serangan Glagah
Putih yang telah mengenai tubuh lawannya yang meluncur itu
meskipun tidak terlalu keras. Namun sentuhan itu benar-benar
telah menyakiti hati lawannya, jauh lebih sakit dari tubuhnya
yang terkena serangan itu.
" Anak iblis " orang itu menggeram sambil meloncat
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Glagah Putih memang tidak memburunya. Iapun berdiri
tegak menghadap kearah anak Ki Lurah Citrabawa itu.
" Kau bangga dengan kelengahanku itu" " bertanya anak Ki
Lurah Citrabawa yang marah sekali.
" Bunuh saja anak itu dengan cepat " geram Ki Citrabawa
pula " waktu itu tidak terlalu panjang. "
Tetapi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya " Sedang
seekor cacingpun akan menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi
Glagah Putih. " Sebenarnyalah Glagah Putih memang telah bersiap
sepenuhnya menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun
juga. Meskipun Glagah Putih tidak pernah merasa sebagai
seorang yang terbaik dalam olah kanuragan, namun ia
memang meyakini bahwa ilmu yang pernah disadapnya akan
mampu melindunginya. Demikianlah, maka anak Ki Lurah Citrabawa itu telah
menerkamnya lagi dengan garangnya. Karena ia terlalu
bernafas untuk segera membunuh Glagah Putih, maka tata
geraknyapun menjadi keras dan kasar.
Tetapi Glagah Putih telah bersiap-siap menghadapi
kemungkinan itu. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap
serangan. Namun dengan cepat pula ia berganti menyerang,
sehingga dengan demikian, keduanya telah saling menyerang
dengan sengitnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
semakin tegang. Setiap saat, kemampuan keduanya seakanakan
semakin meningkat. Sehingga beberapa saat kemudian
maka keduanya telah bertempur pula tataran ilmu yang tinggi.
Keduanya bergerak seperti bayangan yang tidak digantungi
oleh berat tubuhnya. Kaki-kaki mereka bagaikan tidak berjejak
diatas tanah. Ki Lurah Citrabawa menjadi sangat tegang. Ia terlalu
percaya akan kemampuan anaknya. Namun tiba-tiba saja di
Tanah Perdikan ini anaknya itu menjumpai seorang anak yang


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih sangat muda yang mampu mengimbangi ilmunya.
Ki Lurah Branjanganpun menjadi tegang. Ternyata anak Ki
Lurah Citrabawa itu memang memiliki bekal ilmu yang tinggi.
Namun ia tetap berharap bahwa Glagah Putih akan dapat
mengatasinya. Yang menjadi bingung adalah Wirastama dan apalagi Teja
Prabawa. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa anak
padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh itu mampu bertempur
dengan dahsyatnya, pada tataran ilmu yang tinggi.
" Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan ".desis
Wirastama kepada diri sendiri. Sementara Teja Prabawa justru
merasa bingung. Tanpa disengaja ia sempat mengingat apa
yang pernah dilakukan atas anak Tanah Perdikan yang
dianggapnya tidak lebih dari anak padesan itu.
"Agaknya kakek sudah mengenalnya dengan baik "
berkata Teja Prabawa didalam hatinya " ternyata kakek begitu
yakin akan kemampuannya. "
Rara Wulan justru menjadi sangat berdebar-debar. Serba
sedikit ia dapat mengetahui, bahwa pertempuran antara kedua
orang itu benar-benar sudah berada pada tataran ilmu yang
tinggi. Sebenarnyalah anak Ki Lurah Citrabawa itu telah
meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Tangannya berputaran,
terayun, mematuk dan menerkam lawannya dengan
secepatnya sehingga tangannya yang sepasang itu seakanakan
telah menjadi beberapa pasang.
Tetapi tubuh Glagah Putihpun rasa-rasanya tidak lagi
menyentuh tanah. Seperti seekor burung sikatan menyambar
bilalang, maka gerak Glagah Putih kadang-kadang memang
membingungkan lawannya yang tangguh itu.
*** Jilid 236 BEBERAPA saat kemudian, maka serangan-serangan merekapun telah mulai mengenai sasaran. Tangan anak Ki Lurah Citrabawa itu sempat menyambar lambung Glagah Putih. Tetapi dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, maka dengan cepat ia menguasai dirinya sepenuhnya. Bahkan ketika kaki lawannya terjulur kearah dadanya, Glagah Putih sempat merendah. Satu putaran kakinya telah menyambar kaki lawan"nya demikian ia berjejak diatas tanah. Tetapi anak Ki Lurah Ci"trabawa itu tepat pada waktunya telah melenting kembali untuk menghindari serangan kaki Glagah Putih yang menyapu kaki"nya. Tetapi ketika ia sekali lagi berdiri tegak, maka ia sama sekali tidak sempat mengelak ketika tangan Glagah Putih menghantam dadanya.
Anak Ki Lurah Citrabawa itu terdorong beberapa langkah surut. Ketika Glagah Putih memburunya, maka lawannya itu justru melenting untuk mengambil jarak. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkannya. Iapun telah meloncat dengan loncatan yang lebih panjang, sehingga ketika lawannya itu tegak, Glagah Putih telah berada disampingnya. Tangannya terayun deras menyambar kening anak Ki Lurah Ci"trabawa. Tetapi anak Ki Lurah itu sempat membungkukkan badannya.
Namun perhitungan Glagah Putih ternyata lebih cermat. Demikian lawannya membungkuk, maka sambil meloncat maju, lututnya telah diangkatnya. Hampir saja lutut Glagab Putih mengenai dahi anak Ki Lurah itu. Tetapi dengan cepat, anak Ki Lurah itu sempat mendorong kaki Glagah Putih kesamping sementara anak Ki Lurah itu bergeser selangkah. Namun yang terjadi adalah putaran kaki Glagah Putih telah menghantam punggungnya.
Anak Ki Lurah Citrabawa itu hampir saja jatuh terjerembab. Tetapi dengan tangkas ia justru berguling dalam putaran yang mapan beberapa kali, sehingga akhirnya ia melenting berdiri.
Glagah Putih yang siap memburunya tertegun. Ia melihat lawannya itu menggenggam senjata ditangannya. Sepasang pisau belati panjang dikedua tangannya.
Glagah Putih berdiri tegak dengan tatapan mata yang tajam. Sekali dipandanginya sepasang pisau belati panjang itu. Kemudian ditatapnya wajah orang yang menjadi sangat marah itu.
"Kau memang harus dibunuh anak iblis." geram anak Ki Lurah Citrabawa itu.
Glagah Putih termangu-mangu. Sebagai seorang yang berilmu, maka ia dapat melihat kemampuan lawannya dengan meli"hat caranya menggenggam sepasang pisau belatinya itu.
"Kau akan mati anak muda. Pisau-pisauku ini adalah pisau-pisau yang bertuah. Jika keduanya sudah disentuh silirnya angin, maka keduanya harus dibasahi dengan darah. Sayang, bahwa kali ini darahmulah yang akan membasahi pisau belati ini."
Glagah Putih masih berdiri tegak. Pisau belati itu agaknya terbuat dari baja pilihan. Tidak berkilat seperti kebanyakan pisau belati. Tetapi pisau-pisau itu berwarna kelam. Namun dengan demikian Glagah Putih mengerti, bahwa pisau belati itu memang bukan pisau belati kebanyakan meskipun ujud dan bentuknya memang sebagaimana pisau belati yang lain. Glagah Putihpun segera bersiap ketika ia melihat lawannya itu maju selangkah demi selangkah.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka tidak melihat Glagah Putih membawa senjata apapun. Dilambungnya tidak tergantung pedang. Di punggung"nya tidak terselip keris. Bahkan pisau belatipun agaknya ia tidak membawa.
Sesaat kemudian, maka anak Ki Lurah Citrabawa itu telah meloncat menyerangnya. Kedua pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Bayangan yang berputaran menyelubungi anak Ki Lurah yang menjadi semakin garang.
Namun kemarahannya yang bagaikan meledakkan kepalanya itu telah memeras kemampuan dan ilmunya yang sebenarnya. la menjadi semakin keras dan kasar.
Ternyata orang itu benar-benar menguasai sepasang senjatanya. Bahkan bukan saja ketrampilannya, tetapi orang itu memang memiliki ilmu yang rumit. Beberapa kali Glagah Putih harus berloncatan surut untuk mengambil jarak jika keadaannya menjadi sulit oleh serangan-serangan yang datang beruntun susul menyusul.
Ki Lurah Branjanganpun menjadi tegang pula. Anak Ki Lurah Citrabawa dengan sepasang pisau belatinya memang nampak sangat garang. Beberapa kali ia berhasil mendesak Glagah Putih, sehingga kedudukan Glagah Putihpun menjadi semakin berbahaya.
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih bertumpu pada kemampuannya bergerak cepat dan ketangkasannya mengelakkan diri dari ujung-ujung senjata lawannya itu. Namun ternyata kemudian bahwa ia semakin mengalami kesulitan. Bahkan beberapa saat kemudian Glagah Putih itu telah terdesak ketebing bukit.
Rara Wulan yang melihat pertempuran itu kadang-kadang harus menyembunyikan wajahnya atau berpaling sambil memejamkan matanya. Namun ketegangan yang mencengkam jan"tungnya membuatnya berpegangan kepada kakeknya semakin erat.
Sementara itu terdengar Ki Lurah Citrabawa tertawa. Semakin lama semakin keras. Katanya disela-sela derai tertawanya, "He, Branjangan. Lihatlah. Anak yang ditugaskan oleh Ki Gede Menoreh itu sebentar lagi akan mati. Ia tidak akan mungkin mampu bertahan menghadapi ilmu pedang anakku yang disebutnya ilmu pedang Sapu Angin."
Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Tetapi ia memang semakin berdebar-debar melihat ilmu pedang anak Ki Citra"bawa itu. Kedua pisau belati panjang ditangannya, telah berputaran dengan cepat sekali, sehingga nampak seakan-akan gumpalan awan yang hitam kelabu bergulung-gulung menyerang Glagah Putih yang nampaknya menjadi semakin terdesak.
Suara tertawa Ki Lurah Citrabawapun menjadi semakin ke"ras, sementara Rara Wulan mulai terisak. Baginya Glagah Putih adalah harapan terakhir untuk menyelamatkannya. Jika Glagah Putih itu benar-benar terbunuh, maka ia tentu akan dibawa oleh laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Sementara itu, iapun telah pula menyebabkan kematian anak muda dari Tanah Perdikan itu.
Teja Prabawa dan Wirastama menyaksikan pertempuran itu dengan nafas yang bagaikan terhenti. Keduanya membeku dalam ketegangan yang mencengkam. Wirastama yang tidak ingin dilampaui kemampuannya itu, ternyata menjadi cemas pula melihat keadaan Glagah Putih.
Sementara itu, anak Ki Lurah Citrabawa itu semakin mendesak lawannya. Ketika Glagah Putih telah berada di bawah tebing bukit, orang itu menggeram, "Sayang anak muda. Kau telah mencampuri persoalan orang lain. Sekarang, sesalilah perbuatanmu itu beberapa saat sebelum koyak oleh senjataku ini."
Glagah Putih menggeretakkan giginya. Iapun menjadi marah melihat sikap lawannya. Sementara itu sekilas ia sempat melihat orang-orang yang membeku menyaksikan pertempuran itu. Jafak mereka sudah menjadi agak jauh karena Glagah Pu"tih yang telah terdesak sampai ketebing. Namun orang-orang itu masih sempat menyaksikan pertempuran itu dengan jelas. Merekapun dapat melihat dengan jelas pula, bahwa Glagah Putih telah terdesak sampai ketebing. Adalah kebetulan bahwa Gla"gah Putih ketika berloncatan surut tidak memperhatikan jalan setapak di lereng bukit itu, sehingga ia masih akan mendapat kesempatan untuk naik dan menghindari serangan-serangan anak Ki Lurah Citrabawa itu.
"Kakek." Rara Wulan memang tidak dapat menahan tangisnya.
"Kalian tidak akan dapat melarikan diri." berkata Ki Lu"rah Citrabawa.
Tetapi Ki Lurah Branjangan berpendapat lain, katanya, "Pertempuran itu belum berakhir."
Ki Lurah Citrabawa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anaknya yang berdiri tegak dengan sepasang pisau belati ditangannya. Dihadapannya Glagah Putih berdiri di wajah tebing hampir tegak yang terdiri dari batu-batu padas yang berlumut kehijau-hijauan.
Sementara itu, anak Ki Lurah Citrabawsritu berkata pula, "Sepasang pisauku akan berterima kasih kepadamu, karena sempat menghirup darah anak yang masih terlalu muda untuk mati. Tetapi darahmu tentu jauh lebih segar daripada darah Ki Lurah Branjangan yang tua itu."
Suara tertawa anak Ki Lurah Citrabawa masih terdengar. Bahkan kemudian semakin keras dan bergema pada dinding-dinding pada pebukitan.
"Jangan sesali nasibmu anak muda." anak Ki Lurah Ci"trabawa itu menggeram.
Namun dalam pada itu, ketika jantung Ki Lurah Branjang"an dan orang-orang lain yang menyaksikan pertempuran itu bagaikan berhenti berdetak, mereka melihat tangan Glagah Pu"tih melepas ikat pinggang kulitnya. Kemudian menarik kain panjangnya dan mengikatkannya pada lambungnya. Dengan ikat pinggang kulit ditangan, maka Glagah Putih berdiri tegak menunggu kemungkinan yang bakal terjadi.
"Gila." geram anak Ki Lurah Citrabawa, "kau masih sempat menghina aku he" Buat apa ikat pinggang kulit seperti itu?"
Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Ia mulai menggerakkan ikat pinggangnya. Terayun-ayun disisi tubuhnya. Namun kemudian iapun berkata, "Bersiaplah Ki Sanak. Saat kematian kita bukanlah kita yang menentukan. Karena itu, maka aku atau kau yang akan mati, tidak akan dapat kita pastikan menurut keinginan kita."
"Persetan." geram anak Ki Lurah Citrabawa. Agaknya ia sudah tidak ingin menunda-nunda lagi. Karena itu, maka kedua pisau belati yang berwarna suram ditangannya itupun mulai berputar. Semakin lama semakin cepat.
Demikianlah sesaat kemudian, maka anak Ki Lurah Citra"bawa itupun telah meloncat dengan garangnya. Sebuah dari pisau belatinya mematuk lurus kearah dada, sementara yang lain siap untuk terayun mendatar jika Glagah Putih mengelak kesamping.
Namun adalah diluar dugaan. Demikian pisau belati itu meluncur dengan derasnya, maka Glagah Putih yang telah menggerak-gerakkan ikat pinggangnya itu memiringkan tubuh"nya. Iapun menyadari adanya pisau belati yang ada ditangan lawannya yang lain. Karena itu, ia tidak meloncat menghindar, tetapi dengan kecepatan sulit diikuti dengan mata wadag, ia justru telah menangkis serangan lawannya. Pisau belati yang mematuk lurus kedada Glagah Putih itu tiba-tiba bagaikan terpukul oleh tongkat baja sebesar batang wregu dengan kekuatan yang tidak terduga. Karena itu, maka tanpa dapat dimengerti sama sekali, pisau belati yang terjulur kearah dada itu, telah terlempar dan jatuh beberapa langkah dari anak Ki Citrabawa yang terkejut itu.
Glagah Putih yang berhasil melepaskan satu senjata lawan"nya itu sebenarnya mempunyai kesempatan yang lebih baik dari lawannya untuk menyerang. Ikat pinggangnya yang telah menjadi sekuat keping baja itu, sudah siap untuk menusuk. Meskipun ujungnya sama sekali tidak runcing, namun kekuatan Glagah Putih akan mampu membelah dada lawannya dengan senjatanya yang khusus itu.
Tetapi ketika senjata itu mulai terjulur, maka Glagah Putih telah menahan diri. Pengaruh Raden Rangga mulai nampak didalam sikapnya yang meyakinkan, tetapi agak menyakitkan hati.
Glagah Putih yang urung memecahkan tulang-tulang iga lawannya itu telah memutar ikat pinggangnya disisi tubuhnya sambil berkata, "Nah Ki Sanak. Ambillah senjatamu. Dengan sepasang senjata kau tidak mampu berbuat apa-apa atasku. Apalagi hanya dengan sebuah dari sepasang senjatamu."
Wajah anak Ki Lurah Citrabawa itu menjadi merah. Penghinaan itu benar-benar telah menyengat jantungnya.
Namun Glagah Putih telah membentak, "Cepat. Ambil pisaumu."
Lawannya masih agak kebingungan. Namun karena orang itu tidak segera mengambil pisaunya, maka tiba-tiba saja Gla"gah Putih telah meloncat menyerang. Ikat pinggangnya terayun cepat sehingga desing angin telah menyakitkan telinga lawannya Bahkan gerak ikat pinggang itu demikian cepatnya, sehingga lawannyapun dengan serta merta telah menangkisnya. Tetapi sekali lagi, lawannya terkejut sekali. Pisaunya yang sebuah itupun ternyata telah terlepas dan terlempar pula dari tangannya. Orang itu meloncat beberapa langkah surut untuk mengam"bil jarak.
Glagah Putih tiba-tiba saja tertawa. Katanya disela-sela derai tertawanya, "Kasihan kau Ki Sanak. Kau telah kehilangan semua senjatamu. Ambillah. Aku akan menunggu."
Telinga lawannya bagaikan tersentuh api. Sikap Glagah Putih yang tiba-tiba berubah itu telah sangat menyakitkan hatinya. la sama sekali tidak menyangka, bahwa ia telah berhadapan dengan anak muda yang berilmu sangat tinggi.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih berkata, "Ki Sanak. Aku tahu kau berilmu tinggi. Kau tentu tidak akan begitu mudah kehilangan senjata jika kau tidak terlalu sombong. Kau terlalu merendahkan lawanmu sehingga kau lengah. Karena itu, sekali lagi aku minta, ambil senjatamu. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini secara kebetulan, bahwa lawanku adalah seorang yang sombong sehingga menjadi lengah. Aku ingin bertempur sebagaimana seorang laki-laki jantan. Kita beradu dada, sama-sama siap dan sempat mengerahkan semua ilmu yang kita miliki. Aku tahu, bahwa kau belum sampai kepuncak ilmumu, sehingga jika kau terbunuh sekarang, kau tentu sangat menyesal oleh kelengahan itu."
"Persetan." orang itu menggeram dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya.
Tetapi Glagah Putih justru tersenyum. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jangan marah. Tentunya gurumu pernah berpesan kepadamu agar kau tidak cepat menjadi marah dalam pertem"puran. Kemarahan akan dapat membuat seseorang kehilangan pengamatan diri. Hal itu akan dapat mempercepat kekalahanmu."
Anak Ki Lurah Citrabawa itu menggeretakkan giginya. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah pisau-pisaunya yang terlepas dari tangannya.
"Ambil. Ambillah Ki Sanak." berkata Glagah Putih sambil tersenyum.
Orang itupun tidak memperdulikan harga dirinya lagi. Kemarahannya tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga ia benar-benar ingin membunuh anak muda yang dimatanya men"jadi sangat sombong itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu meloncat menggapai pisau-pisaunya yang terlepas dari tangannya.
Ki Lurah Branjangan menjadi berdebar-debar sesaat. Ia"pun melihat perubahan sikap Glagah Putih. Ia tidak lagi membayangkan sikapnya yang dengan sungguh-sungguh mengangguk hormat. Tetapi anak muda itu memang bersikap lain. Tertawanya yang ceria dan sikapnya yang telah menjadi bebas dan tidak terkekang oleh keseganan yang membelenggunya.
Wirastamapun terkejut bukan kepalang melihat perkelahian itu. Apalagi karena anak Ki Lurah Citrabawa itu telah kehi"langan kedua pisaunya, serta kesempatan yang diberikan Gla"gah Putih kepadanya untuk mengambil pisaunya itu kembali.
"Siapakah Glagah Putih itu sebenarnya?" pertanyaan itu tiba-tiba saja telah membelit di hatinya.
Rara Wulan yang putus asa, telah menemukan harapannya kembali, sehingga tangisnyapun telah terhenti, sedangkan Teja Prabawa menjadi kebingungan. la merasa bersalah atas sikap"nya terhadap anak muda padesan yang kakinya kotor oleh lumpur dan pakaiannya basah oleh keringat karena kerja di sawah itu. Ternyata anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Beberapa saat kemudian, kedua orang yang bertempur itu telah berdiri saling berhadapan. Anak Ki Citrabawa telah meng"genggam sepasang pisaunya kembali, sementara ikat pinggang Glagah Putihpun masih saja terayun:ayun disisi tubuhnya. Menurut penglihatan lawannya, ikat pinggang itu adalah ikat pinggang kulit seperti ikat pinggang kebanyakan. Namun sentuhan ikat pinggang itu bagaikan sentuhan lempeng baja yang tebal dan kuat melampui kuatnya pedang yang terbaik sekalipun.
"Marilah Ki Sanak." terdengar Glagah Putih, "kita akan dapat segera mulai. Kita berhadapan dalam kesiagaan yang sama. Kau jangan menjadi lengah lagi karena kesombonganmu. Jika terjadi sekali lagi demikian, dan kemudian dadamu pecan karena ikat pinggangku, maka itu sama sekali bukan salahku lagi. Jangan kau sebut aku terlalu kejam menghadapi orang sekasar kau."
Anak Ki Lurah Citrabawa itu tidak dapat menahan getar kemarahannya lagi. Karena itu, maka iapun kemudian telah menyerang Glagah Putih dengan sepasang pisau belati yang berputar.
Gumpalan asap kelabu nampak lagi di seputar anak Ki Lu"rah Citrabawa. Sepasang putaran asap yang bergerak-gerak semakin lama menjadi semakin dekat dengan tubuh Glagah Pu"tih yang masih tetap berada di tempatnya.
Namun Glagah Putihpun telah bersiap pula. Ketika gumpalan asap kelabu itu menjadi semakin dekat, maka Glagah Putihpun mulai memutar ikat pinggangnya pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuranpun telah berlangsung lagi dengan dahsyatnya. Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Keduanya mampu menguasai sen"jata masing-masing dengan baik dan bahkan hampir sempurna.
Kedua pisau belati itu berganti-ganti menyambar tubuh Glagah Putih. Jika sebuah diantaranya mematuk, maka yang lain siap menyambar tubuh Glagah Putih yang terlempar menghindar. Namun tidak terlalu mudah untuk menyentuh tubuh Glagah Putih, ikat pinggangnyalah yang menyambar senjata lawannya itu.
Tetapi lawannya memang menjadi semakin berhati-hati. Disadarinya kekuatan Glagah Putih yang sangat besar, sehingga karena itu, maka iapun telah menggenggam senjatanya erat-erat.
Namun kemampuan Glagah Putih bermain dengan ikat pinggangnya memang mengagumkan. ltulah sebabnya, maka lawannya kadang-kadang harus berloncatan surut menghindari kejaran senjata anak padesan itu.
Raja Silat 14 Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air Love In Sunkist 2
^