Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 17

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


Tetapi nampaknya tidak ada tanda-tanda bahwa Kiai
Gringsing akan bertindak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah berdiri tegak dengan
cambuk ditangannya sebagaimana juga ujud-ujud
rangkapannya. Namun panggraitanya menangkap langkah
Bango Lamatan yang bergeser mendekatinya sambil berkata
"Menyerahlah. Aku tidak benar-benar akan membunuhmu.
Apalagi dihadapan gurumu. Gurumu akan dapat mati karena
kenyataan itu jika aku membunuhmu, karena
agaknya kau adalah cermin dari gurumu yang menyimpan
seribu macam ilmu di dalam diri. Namun yang tidak mampu
melawan ilmuku. " Agung Sedayu tidak menjawab. Ia memang menunggu
Bango Lamatan menjadi semakin dekat. Dengan keyakinan
bahwa panggraitanya memang dapat dipercaya, maka Agung
Sedayupun telah mempersiapkan diri.
Baru ketika Bango Lamatan berada beberapa langkah saja
dari padanya, maka diluar dugaan, tiba-tiba saja Agung
Sedayu meloncat pada arah yang benar. Sekali diayunkan
cambuknya, kemudian satu hentakkan yang dahsyat telah
membenturkan juntai cambuknya itu pada tubuh lawannya.
Tanpa ledakkan yang membelah selaput telinga. Bahkan
seakan-akan bunyi cambuk Agung Sedayu demikian lunaknya
sehingga tanpa tenaga. Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Agaknya
kemarahan Agung Sedayu memang telah sampai
kepuncaknya meskipun tidak membuatnya kehilangan akal.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah menghentakkan
cambuknya dengan kekuatan ilmunya yang sangat tinggi,
sehingga justru cambuknya seakan-akan tidak meledak. Sikap
Bango Lamatan yang sangat merendahkan kemampuannya
bermain cambuk telah mendorongnya untuk menunjukkan,
bahwa suara cambuknya bukan sekedar suara anjing yang
menyalak tetapi tidak menggigit.
Bango Lamatan terkejut bukan kepalang. Ia tidak
menyadari sama sekali bahwa bahaya demikian dekat
daripadanya dan yang tiba-tiba saja menerkamnya.
Dengan sigap dan dengan serta merta Bango Lamatan
berusaha untuk menghindar. Tetapi ia gagal. Ujung juntai
cambuk Agung Sedayu berhasil menggapai pundaknya.
Bango Lamatan itu mengaduh kesakitan. Bahkan ia telah
terdorong oleh kekuatan cambuk Agung Sedayu dan
terlempar jatuh diatas pasir tepian. Untunglah bahwa tubuhnya
tidak membentur batu, apalagi kepalanya.
Namun ketika Bango Lamatan berusaha untuk bangkit,
ternyata luka dipundaknya demikian dalamnya, sehingga
seakan-akan kulit dagingnya koyak sampai ketulang. Bahkan
rasa-rasanya Bango Lamatan itu tidak mampu lagi
menggerakkan tangannya karena luka dipundaknya itu.
Bango Lamatan mengumpat. Namun ia tidak mempunyai
banyak waktu. Agung Sedayu yang tidak tahu pasti keadaan
lawannya, telah menyerang kembali.
Ujung cambuknya telah bergetar sekali lagi. Betapapun
Bango Lamatan berusaha menghindar, namun ujung juntai
cambuk Agung Sedayu itu masih juga mengenai pahanya.
Tidak kalah parahnya dengan luka di pundaknya.
Kesakitan yang sangat telah mencengkam Bango Lamatan.
Bahkan luka dipahanya itu membuatnya tidak dapat berdiri
dengan tegak. Karena itu, maka iapun telah terduduk kembali
diatas pasir tepian. "Anak iblis "geram Bango Lamatan "kau tahu dengan pasti
dimana aku berdiri. Apakah kau mempunyai mata iblis diujung
cambukmu" " Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak
melihat keadaan Bango Lamatan, namun iapun yakin, Agung
Sedayu telah menemukan pemecahan tentang lawannya yang
memiliki ilmu Penglimunan itu serta telah menyerangnya dan
mengenai sasaran. Sebenarnyalah pada saat itu, Bango Lamatan benar-benar
telah dikuasai oleh kesakitan yang amat sangat. Karena itu,
maka iapun tidak mampu lagi mempertahankan penge-trapan
ilmunya. Segala kekuatan getar didalam dirinya, telah diserap
oleh usahanya untuk mengerahkan daya tahannya mengatasi
perasaan sakit yang luar biasa, karena kulit dagingnya yang
koyak sampai ketulang di pundak dan pahanya.
Karena itu, maka perlahan-lahan Bango Lamatan telah
mulai tersembul dari perlindungan Aji Panglimunannya.
Yang dilihat oleh Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Glagah
Putih dan kawan Bandar Anom adalah Bango Lamatan yang
terbaring diatas pasir sambil menyeringai menahan sakit.
Bahkan mengaduh kesakitan.
"Kakang "Glagah Putih berseru. Ia tidak begitu mengerti,
apa yang telah terjadi atas Bango Lamatan.
Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan mendekatinya.
Sambil berdiri tegak dengan kaki renggang, sementara
tangannya memegang cambuknya erat-erat. Agung Sedayu
berkata "Marilah Ki Sanak. Apakah kau sudah lelah" "
"Anak iblis "geram orang itu "kau lukai aku sehingga aku
kehilangan kemampuan untuk mempertahankan ilmu
Panglimunan. He, bukankah kau telah melihat aku" "
"Aku melihatmu sejak tadi. Sejak kau masih merasa dirimu
mampu mempermainkan aku "jawab Agung Sedayu yang
telah melepaskan pula kekuatan Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari,
sehingga ujud rangkapnya menjadi lenyap.
"Bagaimana mungkin kau dapat melihat aku" "bertanya
Bango Lamatan. "Sebagaimana kau ketahui siapakah diantara ujud-ujud
kami yang asli dan yang ujud rangkapan. "jawab Agung
Sedayu. Bango Lamatan menggeram. Tetapi rasa-rasanya ia tidak
mampu lagi mengatasi rasa sakit pada kulit dagingnya yang
menganga karena lukanya yang sangat dalam.
Namun sambil menyeringai ia masih juga berkata "Kau
memang luar biasa orang muda. Jika muridnya dapat berbuat
sebagaimana kau lakukan, aku tidak dapat membayangkan,
apa yang dapat dilakukan oleh gurunya. "
Namun Kiai Gringsing berdesis "Apakah kau belum pernah
mendengar tentang seorang murid yang memiliki kelebihan
dari gurunya. " "Ini bukan apa-apa bagi guru "berkata Agung Sedayu
dengan serta merta. Bango Lamatan masih berdesis menahan sakit. Sementara
itu ia masih berusaha untuk berkata tersendat-sendat "Akulah
yang salah menilai kemampuan kalian. Guru dan murid dari
perguruan Orang Bercambuk. Jika Garuda dari Bukit Kapur,
Bandar Anom dan orang lain dapat kalian kalahkan, Nagaraga
dapat kalian hancurkan, maka itu sudah sewajarnya.
Tetapi Kiai Gringsing menyahut "Bukan kami yang berhasil
melakukannya di Nagaraga. Tetapi Pangeran Singasari.
Bango Lamatan tidak menjawab. Tetapi ia menggeliat
menahan sakit. Kiai Gringsinglah yang kemudian berjongkok disisi-nya.
Katanya "Luka-lukamu sangat dalam. Jika tidak diobati
segera, mungkin akan berakibat sangat buruk bagimu. "
Bango Lamatan berdesah. Dalam kesakitan ia menjawab
"Terima kasih Kiai. Aku memang masih ingin dapat
disembuhkan. Aku masih belum ingin mati, meskipun aku
tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Apakah
aku mendendam kepada muridmu, ataukah aku justru akan
menjadi saksi tingkat ilmunya yang sangat tinggi itu. "
"Bagiku itu bukan soal "berkata Kiai Gringsing "adalah
menjadi kewajiban seorang yang mengetahui tentang
pengobatan untuk membantu dan mengobati orang-orang
terluka, siapapun orang itu. "
Bango Lamatan yang hampir tidak dapat menahan
perasaan sakitnya tidak menjawab lagi. Iapun tidak bersikap
apapun ketika Kiai Gringsing mulai memperhatikan lukalukanya.
"Luka ini sangat dalam "berkata Kiai Gringsing di-dalam
hati. Satu gambaran betapa jantung Agung Sedayu bergejolak
karena penghinaan Bango Lamatan atas ilmu cambuknya.
Sebagaimana kebiasaan Kiai Gringsing, maka iapun selalu
membawa obat kemanapun ia pergi. Terutama obat yang
berhubungan dengan luka-luka baru serta luka akibat juntai
cambuk. Karena luka yang parah, maka Kiai Gringsing terpaksa
mengatupkan daging yang koyak itu dengan duri-duri kecil
yang disusupkan diantara daging-daging yang koyak itu. DuriKang
Zusi - http://kangzusi.com/
duri dari sejenis tanaman yang memang sudah disiapkan bagi
kepentingan seperti itu. Ternyata bahwa luka Bango Lamatan lebih parah lagi dari
luka Bandar Anom. Karena itulah, maka Kiai Gringsing tidak segera dapat
meneruskan perjalanan. Dua orang cantrik yang menunggui
kudanya menjadi gelisah. Bahkan seorang diantara mereka
telah menyusulnya kebalik tikungan.
Cantrik itu terkejut. Agaknya telah terjadi pertempuran yang
dahsyat. Itulah sebabnya, ia telah mendengar ledakan cambuk
Agung Sedayu. "Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan ini "berkata
Kiai Gringsing "tidak ada persoalan apa-apa. Kembalilah ke
kuda-kuda itu ditambatkan. "
"Baik Kiai "jawab cantrik itu. Namun bagaimanapun juga ia
merasakan bahwa memang telah terjadi sesuatu yang
menggetarkan disebelah tikungan itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang menunggui Kiai
Gringsing mengobati luka-luka Bango Lamatan duduk
bersandar kedua tangannya. Ia memang menjadi sangat letih
setelah melepaskan hampir seluruh ilmunya yang ada didalam
dirinya. Seakan-akan telah diperas sampai tuntas.
Glagah Putih telah duduk disebelahnya. Tetapi ia tidak
mengganggu Agung Sedayu yang nampaknya memang
sedang beristirahat, sehingga karena itu ia banyak berdiam
diri, meskipun ia sempat memberi isyarat agar kawan Bandar
Anom duduk disebelahnya. Ternyata Kiai Gringsing memang memerlukan waktu yang
lama. Bango Lamatan yang menahan sakit telah diminta untuk
menggigit sepotong rotan yang telah dikuliti.
Meskipun demikian masih saja terdengar ia mengerang.
Bahkan kadang-kadang hampir berteriak.
"Kau adalah seorang yang pilih tanding "berkata Kiai
Gringsing "tidak pantas kau mengaduh dan berdesah karena
kesakitan. Kau harus mampu mengatasinya. Jika hal ini tidak
aku lakukan, maka akibatnya dapat membuatmu menyesal
sampai hari terakhirmu kelak. "
Bango Lamatan memang mencoba untuk bertahan.
Keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Sementara itu, darahpun masih juga menitik dari luka-lukanya,
meskipun Kiai Gringsing telah memberikan obat untuk
menutup arus darahnya itu.
Sementara itu mataharipun terasa semakin panas.
Bayangan pepohonan telah bergeser semakin jauh.
Namun akhirnya pekerjaan Kiai Gringsingpun dapat
diselesaikannya. Tetapi Bango Lamatan rasa-rasanya hampir
menjadi pingsan. Kiai Gringsing sempat memberikan sejenis obat yang dapat
membuat daya tahan tubuh Bango Lamatan meningkat,
sehingga ia berhasil mengatasi keadaan. Dengan demikian
maka Bango Lamatan tidak menjadi pingsan karenanya.
"Kita sudah selesai "berkata Kiai Gringsing kepada Agung
Sedayu dan Glagah Putih "kita akan dapat melanjutkan
perjalanan. "Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terluka ini"
"bertanya Agung Sedayu.
"Seorang diantara mereka masih sehat. Biarlah ia berusaha
untuk membawa kawan-kawannya kembali kepada
Panembahan Cahya Warastra. Aku yakin bahwa Kecruk Putih
itu akan dapat mengobatinya pula. "sahut Kiai Gringsing.
"Tetapi bagaimana aku dapat membawa mereka" -
bertanya Kawan Bandar Anom.
"Kau tentu mempunyai akal "jawab Kiai Gringsing.
"Aku tidak tahu, bagaimana aku harus membawa mereka.
Kami datang ketempat ini hanya dengan berjalan kaki "berkata
orang itu pula. "Pergi ke padukuhan itu. Cari pedati. Jika perlu kau dapat
membelinya. "sahut Agung Sedayu.
"Aku tidak membawa uang cukup "jawab orang itu.
"Kau dapat menukarkan kamus dan timang emasmu. Atau
pendok kerismu atau barangkah cincin dijari-jarimu atau
apapun juga jika kau memang tidak membawa uang "berkata
Agung Sedayu pula. Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
berkata "Aku akan mencari pedati di padukuhan terdekat.
Tetapi Agung Sedayu segera berkata "Tetapi jangan
mengambil hak orang lain begitu saja. Kau harus memberikan
imbalannya. Atau barangkali kau dapat meminjamnya dengan
meninggalkan tanggungan apapun juga yang harganya lebih
dari harga sebuah pedati dengan lembunya. "
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
berkata "Aku akan meninggalkan timangku. Harganya tentu
lebih dari harga sebuah pedati lengkap dengan lembunya. "
"Darimana kau mendapatkan timang itu" "tiba-tiba saja
Glagah Putih bertanya. Jawabnya memang tidak seperti yang diduga oleh Glagah
Putih "Aku mendapatkannya dari kakek. Kakek memang orang
kaya. Tetapi ayahku lain, sehingga kakek tidak mau
memberikannya kepada ayah. Jika timang ini jatuh ke-tangan
ayah, maka akan segera lenyap ditempat judi. "
"Agaknya masih ada pilihan padamu "desis Agung Sedayu
"nah, pergilah. Tetapi aku akan menelusurinya. Jika kau
merampok pedati, maka kau tidak akan diampuni. "
Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi ia sadar, dengan
siapa ia berhadapan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak
menjawab. Namun sejenak kemudian orang itu telah
meninggalkan tepiari, meloncat naik ke atas tanggul Kali
Opak. Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah
mengangkat tubuh Bango Lamatan yang terluka parah itu dan


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meletakkannya disebelah Bandar Anom, yang masih
dibayangi oleh dedaunan dari sebatang pohon di pinggir Kali
Opak. "Kami akan menunggu sampai kawanmu itu mendapatkan
sebuah pedati "berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan tidak menjawab. Ia mendengar
pembicaraan kawan Bandar Anom dengan Agung Sedayu dan
Glagah Putih. Tetapi Bandar Anomlah yang bertanya
"darimana ia akan mendapat sebuah pedati" Apakah ia harus
merampok di padukuhan" "
"Tidak. Tetapi ia harus meminjam dengan meninggalkan
tanggungan yang cukup. Jika ia merampok, maka ia tidak
akan sekedar terluka parah. Tetapi ia akan mati "geram
Glagah Putih. Bandar Anom menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya kepada Bango Lamatan "Kau sudah
menunjukkan kepada orang itu bahwa kau memiliki kelebihan
untuk memberi peringatan kepadanya tentang para
pendukung Panembahan Cahya Warastra. "
"Tutup mulutmu "Bango Lamatan menggeram. Namun
iapun segera menyeringai menahan sakit.
Bandar Anom yang juga terluka itu sempat mengejeknya
"sudahlah. Kau harus melihat kenyataan yang kau hadapi.
Seperti aku. Kita harus mengaku kalah melawan mu
rid Kiai Gringsing yang disebut Orang Bercambuk itu. "
Bango Lamatan tidak menjawab. Tetapi ia memang
mengakui didalam hati. Beberapa saat kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu
dan Glagah Putih masih duduk di tepian, menunggui ke-dua
orang yang terbaring karena luka-lukanya itu. Ternyata
mereka tidak sampai hati meninggalkan keduanya, karena
banyak hal akan dapat terjadi jika keduanya ditinggalkan
dalam keadaan tidak berdaya. Mungkin burung-burung gagak
yang mencium bau darah akan berterbangan turun ditepian
itu. Mungkin anjing-anjing liar atau bahkan mungkin binatangbinatang
liar yang lain. Karena itu, sambil beristirahat maka Agung Sedayu
bersama guru dan sepupunya disamping menunggui
keduanya, juga menunggu kawan Bandar Anom yang sedang
mencari sebuah pedati di padukuhan. Bahkan oleh kelelahan
yang sangat, dibawah bayangan dedaunan dan silirnya angin,
Agung Sedayu sempat terkantuk-kantuk sambil bersandar
sebatang kayu, meskipun sekali-sekali ia masih juga meraba
lukanya yang tidak seberapa.
Namun Glagah Putih yang mendekatinya berdesis "Apakah
tidak mungkin orang itu tidak mencari sebuah pedati, tetapi
justru melarikan diri, kakang" "
"Tidak. Ia tidak akan berani melakukannya. Orang yang
disebut Panembahan Cahya Warastra itu tentu akan
menghukumnya jika pada suatu saat ia diketahui telah
berkhianat kepada kawan-kawannya. Kecuali jika ia tahu pasti,
bahwa kita telah meninggalkan kedua orang yang terluka itu.
Ia akan dapat berbuat lain sekali dari yang kita duga. Karena
jika kedua orang yang terluka itu mati, maka tidak akan ada
jejaknya sama sekali. "jawab Agung Sedayu.
"Bagaimana diperjalanan nanti" "bertanya Glagah Putih
"seandainya ia mendapat pedati, apakah hal seperti itu tidak
mungkin mereka lakukan" "
"Kita menjadi saksi. Itulah agaknya yang akan menentukan
langkah-langkahnya kemudian "jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya didalam hati
"Ya. Pada suatu saat Kiai Gringsing tentu akan dapat bertemu
dengan utusan-utusan lain yang tentu akan berdatangan.
Tetapi mereka harus berhati-hati. Bango Lamatan yang
nampaknya orang penting di lingkungan mereka telah
dikalahkan oleh kakang Agung Sedayu. "
Karena itu maka Glagah Putih tidak mengganggu kakak
sepupunya lagi. Iapun bergeser beberapa langkah menjauh
dan tiba-tiba saja ia melihat keris Bandar Anom. Dengan serta
merta maka iapun bangkit dan mengambil keris itu. Tetapi
keris itu sama sekali tidak bercahaya sebagaimana ditangan
Bandar Anom. Glagah Putihpun menyadari, bahwa cahaya itu timbul
karena perpaduan kekuatan pada keris itu dan kekuatan
Bandar Anom itu sendiri, yang bertumpu pada ilmunya.
Sambil memperhatikan keris itu Glagah Putih duduk
kembali ditempatnya, sementara Bandar Anom yang melihat
kerisnya ditangan Glagah Putih berkata "Kembalikan kerisku
itu. Keris itu adalah keris peninggalan. "
Glagah Putih tertawa. Katanya "Dengan keris ini kau dapat
memaksakan kehendakmu kepada orang lain. Dengan keris
ini kau dapat menakut-nakuti orang dan dengan keris ini kau
berusaha membunuh kakang Agung Sedayu. Bukan sekedar
bermain-main, tetapi kau bersungguh-sungguh. "
Bandar Anom termangu-mangu. Katanya "Dalan pertempuran
seperti itu maka kita akan kehilangan pengamatan
diri. Bukankah Agung Sedayu juga melukai aku dan melukai
Bango Lamatan " "
"Setelah kalian ternyata bersungguh-sungguh ingin
membunuhnya atau lebih buruk lagi, mempermainkannya.
"jawab Glagah Putih.
Bandar Anom terdiam sejenak. Namun kemudian katanya
pula "Aku mohon keris itu. "
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian
jawabnya tegas "Tidak. Kau akan mempergunakannya untuk
kepentingan perluasan pengaruh Panembahan Cahaya
Warastra. Aku tahu, kerismu adalah keris yang sangat
berbahaya. Bukankah kerismu mempunyai bisa yang sangat
tajam. Setiap sentuhan betapapun kecilnya dengan jalur darah
seseorang dilapisan kulit sekalipun, maka kekuatan racunnya
akan dapat membunuh. "
"Jadi apa yang akan kau lakukan dengan kerisku"
"bertanya Bandar Anom dengan suara yang semakin
tersendat. "Untuk mengurangi kegaranganmu, maka keris ini akan aku
musnahkan saja "berkata Glagah Putih.
"Jangan "Bandar Anom tiba-tiba saja berusaha untuk
bangkit. Namun Kiai Gringsing telah mencegahnya "Jangan.
Nanti lukamu akan menganga lagi. "Lalu katanya kepada
Glagah Putih "sebaiknya kau singkirkan saja keris itu Glagah
Putih. Dengan demikian kita sudah mengurangi langkahlangkah
buruk yang mungkin akan diambil oleh Bandar Anom
jika ia sembuh nanti. "
"O "suara Bandar Anom bagaikan tertelan kembali. Tetapi
ia tidak dapat berbuat sesuatu ketika Glagah Putih kemudian
beranjak dari tempatnya sambil membawa keris itu.
Bango Lamatan yang terbaring di sebelahnya ternyata
sempat juga mendengarkan percakapan itu. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu, meskipun iapun menjadi cemas, bahwa
ia akan mengalami nasib yang sama. Karena ia tahu pasti,
bahwa Kiai Gringsing akan dapat memberikan sejenis racun
yang dapat melumpuhkannya jika ia mau atau membuat cacat
yang lain. Tetapi agaknya itu bukan cara yang dipergunakan oleh
Kiai Gringsing yang berilmu sangat tinggi itu.
Demikianlah maka untuk beberapa saat lamanya mereka
menunggu. Ketika kesabaran Glagah Putih hampir habis,
maka kelihatan sebuah pedati yang berjalan lamban sekali
menuju ke batas tanggul Kali Opak. Sementara itu, Agung
Sedayu justru masih memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya
untuk beristirahat. Glagah Putihlah yang pertama kali meloncat ke atas
tanggul mendekati pedati yang justru berada di sebelah Barat
sungai. "Kemana kau cari pedati" "bertanya Glagah Putih.
"Padukuhan yang terdekat adalah padukuhan Bogem.
"jawab kawan Bandar Anom.
"Jadi kau ambil pedati ini dari Bogem" "bertanya Glagah
Putih. "Ya "jawab orang itu.
"Kau rampok" "desak Glagah Putih.
"Tidak "jawab kawan Bandar Anom "aku mengambil pedati
itu dengan cara yang baik. Bahkan aku ingin menukarnya
dengan timangku. Maksudku, timangku akan aku tinggal
sebagai tanggungan. Disaat aku mengembalikan pedati itu
sepekan mendatang, timangku itu akan aku ambil kembali. "
"Dan kau akan mengajak satu dua orang kawan untuk
menakut-nakuti pemilik pedati itu" "berkata Glagah Putih.
"Tidak, aku bersumpah. Pemilik pedati itu adalah orang
yang sangat baik. Aku tidak perlu memaksanya. Ketika aku
menjelaskan kepentingannya, maka iapun dengan suka rela
menyerahkan pedatinya sekaligus dengan lembunya. Dengan
tergesa-gesa ia memerintahkan pembantunya untuk
memasang lembu dan perlengkapannya sekaligus "berkata
orang itu. "Aku akan pergi ke Bogem untuk melihat kebenaran katakatamu.
Siapakah yang sudah berbaik hati memberikan pedati
itu kepadamu" "bertanya Glagah Putih.
"Pedati itu bukannya diberikan. Tetapi dipinjamkan. Aku
harus mengembalikannya "orang itu berhenti sejenak, lalu
"Namun aku memang telah berbohong kepada orang itu. "
"Berbohong bagaimana" "bertanya Glagah Putih dengan
kening yang berkerut. "Aku mengatakan bahwa kedua orang kawanku telah
mengalami kecelakaan. Kuda mereka yang berpacu cepat
telah bergeseran dan keduanya telah jatuh terbanting ditanah,
sementara kuda-kuda itu justru terkejut dan berlari
tanpa dapat ditangkap lagi. "jawab orang itu.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun sekali lagi ia
telah bertanya "Siapa nama orang yang telah berbaik hati itu"
" "Namanya Ki Pinandaya. "jawab orang itu "justru karena
kebaikan hatinya, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku
memang membawa pedatinya itu, tetapi dengan janji di dalam
hati, bahwa aku akan mengembalikannya. "
"Kau bersungguh-sungguh" "bertanya Glagah Putih.
"Aku bersungguh-sungguh. Aku sudah menawarkan timang
emasku. Tetapi orang itu menolak. "jawab orang itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku
justru akan berjalan kearah Barat. Kau kearah Timur. Aku
akan dapat singgah dipadukuhan itu untuk melihat kebenaran
kata-katamu. " "Singgahlah dirumah Ki Pinandaya. Tanyakan kepadanya,
apakah aku memaksa atau ia sendiri memberi kan pedatinya.
Tetapi menurut pengakuanku padanya, dua orang kawanku itu
terluka karena jatuh dari kuda. "jawab kawan Bandar Anom.
"Kau katakan bahwa kau akan memakai pedati itu ke
Madiun" "bertanya Glagah Putih.
"Aku tidak mengatakannya akan pergi ke Madiun. Tetapi
aku berkata bahwa aku akan pergi ke Grobogan. "jawab orang
itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia percaya
bahwa kawan Bandar Anom itu tidak merampok. Meskipun ia
berbohong, tetapi agaknya orang itu benar-benar ingin
mengembalikan pedati itu pada satu hari.
Demikianlah, dibantu oleh Glagah Putih maka orang itu
telah mengangkat Bango Lamatan dan Bandar Anom naik
keatas pedati itu. "Hati-hatilah di perjalanan "berkata Kiai Gringsing "lebih
baik kau berusaha untuk menyembunyikan bawaan-mu yang
sebenarnya. Jika kau berjumpa dengan orang-orang yang
ingin menyingkirkan kedua orang itu, maka kau tidak akan
dapat banyak melindungi mereka, karena kau adalah seorang
yang lemah hati. Tetapi nampaknya kau dituntut untuk
bertanggung jawab kepada Panembahan Cah-ya Warastra,
bahwa kedua orang itu akan sampai kepadanya. Kecruk Putih
itu akan dapat mengobati keduanya, sementara disepanjang
jalan, aku akan memberikan bekal obat serba sedikit, karena
aku memang hanya membawa sedikit. "
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan berhatihati
Kiai. " "Apakah kau masih membawa uang" Kedua orang itu
memerlukan makanan dan minuman disepanjang jalan
"berkata Kiai Gringsing.
"Aku masih ada serba sedikit. Tetapi agaknya akan cukup
aku pakai disepanjang perjalanan "jawab orang itu.
"Baik, pergilah "berkata Kiai Gringsing.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun
telah minta diri kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Aku akan melingkar, lewat jalan penyeberangan itu
"berkata kawan Bandar Anom itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pedati itu telah
berjalan dengan langkah-langkah lamban menyusuri tanggul
dan kemudian berbelok turun ke penyeberangan.
Menyeberangi Kali Opak dan berjalan semakin lama semakin
jauh. "Kita akan meneruskan perjalanan "berkata Kiai Gringsing.
Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu "Kecuali jika
kau masih sangat letih. "
"Aku dapat beristirahat sambil duduk diatas punggung kuda
Guru "jawab Agung Sedayu.
"Kau tentu sangat letih setelah melepaskan beberapa jenis
kekuatan ilmumu "berkata gurunya pula.
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya
"Kita dapat melanjutkan perjalanan Guru, meskipun barangkali
sambil terkantuk-kantuk diatas punggung kuda.
"Marilah "berkata gurunya "jika kau memang tidak
berkeberatan. " Ketiga orang itu kemudian telah melangkah menelusuri
tepian melewati tikungan dan kembali ke tempat mereka
menambatkan kuda-kuda mereka, ditunggui oleh dua orang
cantrik yang semakin berdebar-debar karena rasa-rasanya
keduanya menunggu semakin lama.
Ketika kedua orang cantrik itu melihat kedatangan mereka
bertiga, maka merekapun segera telah menyongsongnya.
Melihat ketegangan diwajah kedua orang cantrik itu, Kiai
Gringsing itupun berkata "Jangan cemas. Tidak ada apa-apa.
Semuanya sudah selesai. Kita akan segera meneruskan
perjalanan. " Kedua cantrik itu mengangguk-angguk. Namun mereka


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bertanya sesuatu. Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka berlima
telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan mereka ke
Mataram. Rasa-rasanya kuda-kuda mereka sudah cukup lama
beristirahat, sehingga mereka langsung dapat menuntun kuda
mereka ke penyeberangan dan kemudian meloncat
kepunggung kuda masing-masing.
Ternyata Agung Sedayu memang masih merasa letih.
Karena itu, ia tidak ingin berkuda terlalu cepat, sebagaimana
biasanya. Bahkan dengan demikian, rasa-rasanya ia justru
menyesuaikan diri dengan keadaan Kiai Gringsing yang tua
itu. Beberapa saat kemudian, maka kuda-kuda itu sudah berlari
di jalan raya yang menuju ke Mataram. Tetapi tidak terlalu
kencang. Bahkan satu dua orang berkuda yang lain telah
mendahului mereka. Seorang saudagar dengan seekor kuda
berwarna hitam ketika mendahului Glagah Putih agaknya telah
tertarik kepada kuda Glagah Putih. Karena itu, maka iapun
telah memperlambat perjalanannya dan membiarkan kudanya
berjalan disisi kuda Glagah Putih.
"He anak muda "berkata saudagar itu "kudamu luar biasa
tegarnya. Kenapa kau tidak berpacu secepat angin" Sayang
sekali. Atau barangkali kau ingin menjual kudamu agar kau
dapat membeli dua ekor kuda seperti kudaku ini" "
Agung Sedayu dan Kiai Gringsingpun berpaling pula
kepada orang itu. Namun dalam pada itu Glagah Putih
menjawab "Maaf Ki Sanak. Kuda ini adalah kuda peninggalan.
Aku tidak akan menjualnya kepada siapapun juga. "
"Anak dungu. Kau akan mendapatkan dua. Aku mau
menukarnya dengan dua ekor kuda. Bukankah kau tidak
menjualnya" "berkata orang itu pula.
Tetapi sekali lagi Glagah Putih menggeleng sambil
tersenyum "Maaf Ki Sanak. "
Saudagar itu mempercepat kudanya dan memperlambatnya
disisi kuda Kiai Gringsing dan Agung Sedayu.
Dengan nada tinggi ia berkata kepada Kiai Gringsing "He,
kakek tua. Siapa yang berkuda tegar itu" Anakmu atau
cucumu" " "Cucuku Ki Sanak "jawab Kiai Gringsing.
"Ia terlalu bodoh. Aku menawarkan menukar kudanya
dengan dua ekor kuda seperti kuda yang aku pakai sekarang
ini. Tetapi ia tidak mau "berkata orang itu.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Ia suka sekali kepada
kudanya itu. " "Kakek tua. Bujuk cucumu. Nanti aku beri kau uang
disamping dua ekor kuda buat cucumu itu. "berkata orang itu.
Tetapi Kiai Gringsing menjawab "Kuda itu adalah kudanya.
Aku tidak dapat memaksanya jika ia memang tidak
menghendakinya. " "Kau juga dungu seperti cucumu "berkata saudagar itu.
Lalu katanya "Kudaku, meskipun kuda yang kurang tegar
tetapi mampu berlari cepat. Mari kita berpacu. Berapa saja
kau bertaruh. Atau barangkali cucumu" "
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya masih juga sambil
tersenyum "Tidak Ki Sanak. Soalnya bukan saja soal kudanya.
Tetapi cucuku tidak pandai berkuda. Jika kudanya lari
kencang, maka ia akan menjadi ketakutan dan menggigil
dipunggung kudanya itu. "
Saudagar itu bersungut-sungut. Kemudian katanya
"Sekelompok orang dungu. Kalian akan menyesal. "
Tidak ada yang menjawab. Kiai Gringsing tidak menjawab.
Agung Sedayupun tidak. Sejenak kemudian maka orang berkuda hitam itu telah
mempercepat lari kudanya, mendahului iring-irngan kecil yang
memang dengan sengaja tidak berpacu dengan cepat.
Kecuali Kiai Gringsing yang tua itu tidak ingin tubuhnya
terguncang-guncang, maka Agung Sedayupun saat itu
seakan-akan sedang beristirahat dipunggung kudanya.
Namun karena itu, perjalanan yang tidak terlalu jauh lagi itu
mereka tempuh dalam waktu yang agak lama. Mereka
menyusuri jalan lewat Candi Sari, kemudian Cupu Watu dan
beberapa saat lagi mereka telah mendekati alas Tambak Baya
yang sudah menjadi semakin ramai dilalui orang meskipun
masih ada bagian hutan yang lebat dan penuh dengan pohonpohon
raksasa. Tidak ada sesuatu yang menghambat perjalanan mereka.
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang letih itu berkuda
dipaling depan. Glagah Putih sendiri ditengah. Tetapi sekalisekali
ia berada disebelah Agung Sedayu, namun pada
kesempatan lain ia berkuda bersama para cantrik di belakang.
Beberapa saat kemudian, maka ketiganya diikuti oleh dua
orang cantrik telah mendekati dinding kota Mataram.
Mereka berlima memang tidak mempunyai rencana untuk
melihat kebenaran kata-kata kawan Bandar Anom tentang
pedati yang didapatinya dari seorang yang disebutnya
bernama Ki Pinanjaya, karena menilik sikap dan kata-katanya,
maka mereka yakin bahwa kawan Bandar Anom itu tidak
berbohong. Demikianlah maka kelima orang itu telah memasuki pintu
gerbang kota. Untuk menghindari perhatian para petugas,
maka mereka telah berkuda pada jarak tertentu. Kiai
Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih lebih dahulu
memasuki gerbang kota, baru kemudian kedua cantrik yang
ikut serta bersama mereka pada jarak yang agak jauh.
Meskipun para petugas tidak mengganggu mereka, tetapi
jika mereka memasuki gerbang berlima, maka mereka
agaknya akan mendapat beberapa pertanyaan dari para
petugas dipintu gerbang. Didalam kota, mereka memperpendek jarak diantara
mereka. Apalagi ketika mereka mendekati pintu gerbang
istana. Kiai Gringsing justru menunggu para cantrik itu, agar
keduanya tidak mendapat kesulitan untuk masuk.
Namun ketika mereka berlima mendekati gerbang halaman
istana, maka para petugas yang ada diluar pintu gerbang telah
menghentikan mereka. Kiai Gringsing dan mereka yang bersamanya dapat
mengerti, bahwa keadaan memang terasa sedikit gawat
karena hubungan yang semakin memburuk antara Mataram
dan Madiun, sehingga penjagaanpun agaknya semakin
ditingkatkan. Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua
orang cantrik itupun kemudian telah mohon ijin kepada para
penjaga untuk memasuki halaman istana itu.
"Kalian mempunyai kepentingan apa" "bertanya pemimpin
dari para prajurit yang bertugas diluar pintu gerbang.
"Kami akan menghadap Panembahan Senapati "jawab Kiai
Gringsing. "Menghadap Panembahan" "pemimpin prajurit yang bertugas itu menjadi heran "kalian siapa" "
"Kami datang dari Jati Anom "jawab Kiai Gringsing. "Untuk keperluan apa kalian akan menghadap" "bertanya pemimpin petugas itu.
"Kami ingin menyampaikan sesuatu kepada Panembahan.
Aku mohon dapat disampaikan. Katakan bahwa Kiai Gringsing dari padepokan kecil di Jati Anom. Panembahan Senapati akan mengetahuinya "jawab Kiai Gringsing.
Ternyata prajurit itu belum mengenal nama Kiai Gringsing, sehingga iapun menjawab "Tidak mudah untuk menghadap. Orang itu harus meyakinkan. "
"Panembahan akan segera mengenal jika kalian sampaikan nama dari padepokanku "berkata Kiai Gringsing pula.
"Kau kira Panembahan Senapati dapat mengenali semua orang di Mataram ini" "jawab prajurit itu.
"Tentu tidak "sahut Kiai Gringsing "tetapi Panembahan Senapati mengenal kami. Karena itu, kami mohon Ki Sanak dapat menyampaikan kehadiran kami kepada Panembahan Senapati lewat para petugas yang berwenang. "
"Kau tunggu saja disitu. Nanti jika ada diantara mereka yang lewat, biarlah aku mengatakannya jika mereka berkenan "jawab pemimpin petugas itu.
"Mereka, siapa yang Ki Sanak maksudkan?"bertanya Agung Sedayu.
*** Jilid 241 "PARA petugas di dalam istana." jawab prajurit itu.
"Jika tidak ada yang lewat?" desak Agung Sedayu.
"Nasibmulah yang buruk. Kau harus datang lagi besok pagi." jawab prajurit itu.
"Baiklah. Kami akan menunggu. Tetapi jika Panembahan Senapati menjadi marah karena kami terlambat, serta barangkali dengan demikian sekelompok orang telah menjadi korban, maka itulah tanggung jawabmu. Panembahan Senapati akan dapat memberikan hukuman apapun kepadamu." berkata Agung Sedayu.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Jangan seperti berbicara dengan anak-anak. Tunggu di sebelah pintu gerbang itu, atau kami akan mengusirmu pergi."
"Baik. Kami akan menunggu. Tetapi peristiwa itu tengah berlangsung sekarang. Jika Panembahan cepat mengetahuinya, segalanya akan dapat dicegah. Tetapi jika lambat, maka tidak akan ada harapan lagi. Demikian juga kau tidak akan mempunyai harapan untuk dapat kembali kerumahmu untuk menemui isteri dan anak-anakmu jika kau mempunyainya."
Prajurit itu masih juga termangu-mangu ketika ia melihat kelima orang itu melangkah menepi dan duduk disebelah pintu gerbang. Ternyata prajurit itu telah mempertimbangkan kata-kata Agung Sedayu. Tetapi akhirnya ia memutuskan, bahwa kata-kata itu tentu sekedar untuk memaksanya menyampaikan permintaannya.
"Tidak semudah itu menghadap Panembahan Senapati." berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu kepada dua orang penjaga di pintu gerbang, "kita harus berhati-hati pada keadaan seperti ini."
Namun seorang diantara prajurit itu berkata, "Tetapi jika mereka berniat buruk, apakah mereka akan masuk melalui pintu gerbang dan menyampaikan niatnya kepada kita?"
"Siapa tahu." desis pemimpinnya.
"Bukankah dengan cara seperti itu, mereka yang ingin melakukan kejahatan tidak akan dapat berbuat apa-apa." sahut prajurit itu.
Pemimpin para petugas diluar regol itu bersungut sambil berkata, "Kau memang bodoh. Jika orang itu berniat buruk, maka ia dapat saja mengaku bernama Kiai Gringsing. Nama yang sudah dikenal oleh Panembahan Senapati. Jika kita terkecoh oleh sikap itu dan begitu saja mempercayainya, maka orang yang mengaku Kiai Gringsing itu akan melakukan kejahatan demikian ia diterima oleh Panembahan Senapati yang mengiranya bahwa ia benar-benar Kiai Gringsing."
"Tetapi jika orang itu kita biarkan dan kita serahkan kepada petugas didalam, demikian seterusnya sampai kepada Pelayan Dalam, apakah orang yang mengaku bernama Kiai Gringsing itu tidak akan takut dikenali oleh salah seorang dian"tara para prajurit dan apalagi Senapati?" bertanya prajurit itu.
Pemimpin prajurit yang bertugas itu termangu-mangu. Tetapi ia sudah mengambil keputusan sehingga karena itu, maka ia berkata, "Biar saja mereka menunggu. Kita harus memberikan kesan, bahwa untuk menghadap Panembahan Se"napati tidak begitu mudah sebagaimana kita ingin bertemu dengan seorang Bekel disebuah padukuhan kecil. Bahkan untuk bertemu dengan seorang Bekel saja kadang-kadang seseorang harus menunggu."
Prajurit itupun terdiam. Ia tidak dapat berbantah dengan pemimpinnya meskipun ia tidak setuju dengan sikap pemimpin"nya itu. Dalam pada itu, ternyata seorang prajurit berkuda telah berpacu mendekati regol istana. Ketika ia sampai didepan regol, maka iapun berkata lantang, "Ki Mandaraka akan segera memasuki regol."
Prajurit itu tidak turun dari kudanya. Tetapi ia langsung menuju ke gardu petugas didalam regol dan memberikan keterangan yang sama. Para petugaspun segera bersiap. Hari itu, Panembahan Senapati memang akan berbicara secara khusus dengan Ki Mandaraka. Para prajurit dan petugas telah mendapat perintah sebelumnya untuk menerima Ki Mandaraka dan mempersilahkannya masuk.
Seorang Pelayan dalam telah mendahului menghadap Panembahan Senapati untuk memberitahukan kedatangan Ki Mandaraka.
"Kami persilakan Paman Mandaraka untuk langsung ke bilik khusus. Kami akan berbicara tentang sesuatu hal." berkata Panembahan Senapati kepada Pelayan Dalam yang menghadapnya.
Pelayan Dalam itupun segera bergeser kembali keluar. Pelayan Dalam itu memang sudah mengetahui, bahwa Panembahan Senapati telah memanggil Ki Mandaraka untuk menghadap.
Di regol, pemimpin prajurit yang bertugas itu telah mendekati prajuritnya sambil berkata, "Nah, bukankah kau terlalu bodoh" Jika orang-orang itu diperkenankan masuk, bukankah kuda-kudanya hanya akan mengotori halaman justru pada saat Ki Patih Mandaraka menghadap."
"Ki Mandaraka memang dipanggil." jawab prajurit itu termangu-mangu. Namun iapun merasa bahwa jika orang-orang yang menunggu itu ada didalam, mereka mungkin akan terasa agak mengganggu para petugas atau sebelumnya harus ditempatkan ditempat yang khusus. Tetapi prajurit itu bertanya, "Apakah Ki Lurah tadi ingat bahwa Ki Patih memang telah dipanggil dan dalam perjalanan keistana untuk segera menghadap?"
Pemimpin prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Sebenarnya aku memang tidak ingat akan hal itu. Tetapi ternyata naluri keprajuritanku sangat tajam, sehingga aku telah mengambil keputusan yang paling baik bagi orang-orang itu."
Beberapa saat kemudian, seorang lagi dari pasukan berkuda telah memasuki lingkungan para petugas sambil berkata, "Ki Patih telah datang."
Demikian petugas berkuda itu memasuki regol, maka mereka telah melihat sebuah iringan-iringan kecil mendekati regol.
"Satu kesempatan." desis Agung Sedayu.
"Maksudmu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kita memotong perjalanan Ki Mandaraka. Jika tidak, kita akan dapat menunggu sampai sebulan disini." berkata Agung Sedayu.
"Aku setuju." sahut Glagah Putih.
"Mendekatlah ke regol dan bawa kudamu. Mudah-mu-dahan Ki Mandaraka akan tertarik kepada kuda yang tentu pernah dilihatnya itu, serta melihat kita." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putihpun segera bersiap. Demikian iring-iringan Ki Patih Mandaraka mendekati regol, maka bersama Agung Sedayu Glagah Putihpun menuntun kudanya mendekati regol pula.
Seorang prajurit dengan serta merta telah mendekatinya dan membentak, "Minggir. Jangan disitu. Ki Patih akan lewat."
"Bukankah kami sama sekali tidak menutup jalan. Aku disini. Regol itu disitu." jawab Agung Sedayu.
Pemimpin prajurit yang bertugas di luar regol itu menjadi geram. Katanya, "Pergi atau aku surukkan kepalamu dibawah kaki kuda Ki Patih."
"Surukkan saja kepala kami dibawah kaki kuda Ki Patih." jawab Agung Sedayu.
"Kau gila. Kau sadar, bahwa kau dapat dibunuh disini?" geram pemimpin itu.
"Biarlah Ki Mandaraka membunuh kami." jawab Agung Sedayu.
Ternyata Ki Patih melihat keributan kecil itu. Ternyata kuda yang besar dan tegar itu memang menarik perhatiannya. Kuda itu adalah kuda Raden Rangga yang masih dikenalinya. Ki Mandaraka ternyata telah berhenti. Sementara itu para prajurit menjadi cemas. Pemimpin prajurit itu berkata kepada Agung Sedayu, "Nasibmu akan menjadi sangat buruk. Salahmu sendiri."
"Tidak. Ki Mandaraka bukan seorang yang bengis." jawab Agung Sedayu justru sambil melangkah maju.
Pemimpin prajurit itu dengan tangkas telah menangkapnya dan menariknya mundur. Namun Ki Mandaraka telah melihatnya. Karena itu, maka Ki Mandaraka itupun kemudian bertanya, "Siapakah orang itu?"
"Ampun Ki Patih." berkata pemimpin prajurit itu, "orang ini sama sekali tidak tahu diri. Mereka ingin melihat Ki Patih dari dekat, karena mereka adalah orang-orang dari padepokan yang jauh dari kota, sehingga belum pernah melihat para pemimpin di Mataram. Namun caranya memang sangat ti"dak pantas."
"Anak padepokan yang jauh dari kota mempunyai kuda setegar itu?" bertanya Ki Mandaraka.
Para prajurit itu berpaling. Kuda yang dituntun oleh anak muda itu memang terlalu tegar. Karena itu, prajurit itu memang tidak dapat menjawab.
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka Ki Mandaraka itupun berkata, "Bawa orang itu kemari."
Pemimpin prajurit itu memang merasa ragu-ragu. Tetapi iapun telah mendorong Agung Sedayu melangkah maju sambil berbisik, "Jangan menyalahkan aku. Aku sudah memperingatkanmu. Seharusnya kau mendengarkan aku, sehingga kau tidak akan mengalami nasib buruk."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum sambil melangkah mendekati Ki Mandaraka.
Ki Mandarakapun tersenyum pula. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kapan kau datang Agung Sedayu."
"Belum lama Ki Mandaraka. Kami memang ingin menghadap Panembahan Senapati. Tetapi kami tertahan di regol ini. Nampaknya para petugas masih belum mengenal seorangpun diantara kami." jawab Agung Sedayu.
"Selain Glagah Putih, dengan siapa kau datang?" bertanya Ki Mandaraka pula.
"Dengan Guru. Kiai Gringsing." jawab Agung Sedayu.
"Dimana Kiai Gringsing sekarang?" bertanya Ki Mandaraka pula.
Agung Sedayupun kemudian menunjuk kearah Kiai Gringsing dan para cantrik menunggu.
Para prajurit itu menjadi terheran-heran, bahkan mereka bagaikan kehilangan akal ketika mereka melihat Ki Mandaraka itu meloncat turun dari kudanya dan bergegas mendapatkan orang yang bernama Kiai Gringsing.
"Kenapa menunggu disini Kiai?" bertanya Ki Patih Mandaraka yang sudah hampir setua Kiai Gringsing pula.
"Kami sedang beristirahat disini Ki Patih. Sebenarnyalah kami merasa letih diperjalanan. Agar kami menghadap dengan keadaan yang nampak segar dan tidak dengan nafas yang tersengal-sengal, kami telah beristirahat disini barang sejenak sebelum kami masuk ke halaman istana." jawab Kiai Gringsing.
Tetapi Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, "Aku tahu. Tentu para prajurit itu telah menahan kalian disini dan tidak mau melaporkan kehadiran kalian."
Pemimpin prajurit itulah yang kemudian menjadi gemetar. Sedang prajurit yang telah menyatakan sikapnya yang berbeda itu menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah." berkata Ki Mandaraka sambil mempersilahkan Kiai Gringsing, "bukankah kalian ingin bertemu dengan angger Panembahan Senapati?"
Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kami memang akan menghadap Panembahan Senapati."
Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka telah berjalan bersama-sama memasuki regol. Sementara itu, para cantrik telah membawa kuda Kiai Gringsing masuk ke halaman, sementara para pengawal Ki Mandaraka menjadi bertebaran dan kehilangan bentuk pengawalannya. Namun ada diantara mereka yang telah mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Diregol Agung Sedayu sempat berbicara dengan pemimpin pasukan yang bertugas di luar regol, "Mudah-mudahan kami tidak terlambat, sehingga semuanya masih mungkin diselamatkan. Jika tidak, korban benar-benar telah berjatuhan, maka itu adalah tanggung jawabmu."
"Tetapi, tetapi aku tidak tahu." berkata prajurit itu de"ngan suara gemetar.
"Aku sudah memberitahukan kepadamu. Tetapi kau terlalu sombong untuk mendengarkannya." berkata Agung Se"dayu.
"Tetapi aku minta ampun." berkata prajurit itu ketakutan.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melangkah memasuki regol halaman istana.
"Apa yang terlambat?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu justru tertawa. Glagah Putihpun telah ikut tertawa pula. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengganggu prajurit yang bertugas itu.
Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah dibawa menghadap oleh Ki Mandaraka, tanpa mempergunakan tata cara yang biasa dipakai. Namun para perwira yang sudah mengenal Agung Sedayu, Glagah Putih dan apalagi Kiai Gringsing sama sekali tidak berkeberatan, karena Panembahan Senapati sendiri memperlakukan mereka diluar tata cara istana.
Beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang telah menghadap Panembahan Sena"pati bersama dengan Ki Mandaraka. Setelah Panembahan Senapati menanyakan keselamatan tamu-tamunya serta keadaan padepokan yang ditinggalkan, maka Panembahan Senapati itupun berkata, "Adalah kebetulan bahwa Paman Mandaraka ada diantara kita, sehingga hal-hal yang penting akan langsung diketahui oleh paman Mandaraka."
Tetapi Ki Patih Mandaraka sempat memotong, "Apakah begitu penting yang ingin Kiai katakan, sehingga harus dilakukan dengan tergesa-gesa" Bagaimana jika hari ini sampai besok pagi Kiai beristirahat" Besok pagi-pagi aku akan datang meng"hadap kembali untuk ikut mendengarkan pembicaraan Kiai dengan angger Panembahan."
"Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mendesak meskipun aku menganggap bahwa persoalannya tidak tergesa-gesa, bahkan mungkin tidak penting sama sekali." jawab Kiai Gringsing.
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Segala sesuatunya terserah kepada angger Panembahan."
"Biarlah Kiai Gringsing berceritera sekarang paman." berkata Panembahan Senapati, "selanjutnya Kiai Gringsing bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat beristirahat tanpa membawa beban lagi."
Ki Mandaraka tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Biarlah. Biar malam nanti Kiai dapat tidur dengan nyenyak."
Ternyata bahwa persoalan yang ingin disampaikan oleh Kiai Gringsing tertunda lagi ketika seorang Pelayan Dalam menyampaikan laporan bahwa perintah Panembahah Senapati untuk mempersiapkan makan telah selesai.
"Untuk berapa orang?" bertanya Panembahan Senapati.
"Dua orang." jawab Pelayan Dalam.
"Aku akan menjamu ampat orang tamu sekaligus." ber"kata Panembahan Senapati pula, "persiapkan semuanya."
Pelayan Dalam itu bergeser dan meninggalkan ruangan itu untuk melakukan perintah baru dari Panembahan Senapati.
Sementara itu, maka Panembahan Senapati telah mempersilahkan Kiai Gringsing untuk mengatakan persoalan yang di bawanya dari Madiun.
Panembahan Senapati memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Gringsing dengan seksama. Dari kata demikata, maka Panembahan Senapati mengambil kesimpulan, bahwa Madiun nampaknya sudah sulit untuk diajak berbicara lagi.
"ltulah sebabnya, maka usahaku untuk dapat bertemu dengan paman Panembahan selalu gagal." berkata Panembahan Senapati.
"Yang paling menyinggung perasaan Panembahan Madi"un adalah penempatan Pangeran Gagak Baing di Pajang." berkata Kiai Gringsing, "Panembahan Madiun menuntut agar yang berkuasa di Pajang ditunjuk oleh Madiun."
"Itu tidak mungkin." jawab Panembahan Senapati.
"Selebihnya, pusaka-pusaka Pajang berupa apapun harus dikembalikan ke Pajang meskipun pada waktu itu Pangeran Benawa sudah menyatakan tidak berkeberatan atas dipindahkannya pusaka-pusaka itu ke Mataram." berkata Kiai Gringsing pula.
"Satu syarat pembicaraan yang tidak mungkin dapat aku penuhi seluruhnya." berkata Panembahan Senapati.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa Panembahan Senapati tidak akan dapat memenuhi syarat yang diberikan oleh Panembahan Madiun.
Namun Panembahan Senapati itu masih berkata, "Jika pamanda Panembahan Madiun berbicara, maka segala sesuatunya akan dapat kita bicarakan. Tetapi kalau Panembahan Madiun memberikan persyaratan itu untuk mulai dengan pembicaraan, maka aku tidak akan mungkin memenuhinya."
"Apakah Panembahan tidak berniat untuk mengirimkan utusan yang dapat mengambil keputusan tentang kemungkinan pembicaraan itu?" bertanya Kyai Gringsing.
Panembahan Senapati termangu-mangu. Sementara itu Ki Mandaraka bertanya, "Bagaimana dengan para Adipati di daerah Timur?"
"Untuk sementara nampaknya mereka bersatu." jawab Kiai Gringsing.
"Kenapa untuk sementara?" bertanya Ki Mandaraka pula.
"Ki Mandaraka tentu sudah dapat meraba arti pernyataan itu." jawab Kiai Gringsing.
Ki Mandaraka memandang Panembahan Senapati yang termangu-mangu. Katanya, "Bagaimana pendapat angger Panembahan?"
"Bagi mereka, Mataram memang harus dilenyapkan. Baru mereka akan menentukan siapakah diantara mereka yang paling baik. Mungkin mereka akan memilih yang terbaik. Mungkin mereka akan memperebutkan untuk menjadi yang terbaik. Tetapi mungkin mereka akan berdiri sendiri-sendiri setelah menghancurkan Mataram." berkata Panembahan Senapati.
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Dari perhitungan keseimbangan kekuatan perang, jumlah prajurit dan dukungan persediaan bahkan makanan dan senjata untuk perang yang lama agaknya Mataram akan mengalami kesulitan. Jumlah prajurit cadangan dan kekuatan prajurit pada tataran ketiga yang merupakan kesediaan rakyat Mataram ikut memanggul senjata juga terlalu kecil dibandingkan dengan kekuatan yang nampaknya akan berkumpul di Madiun. Karena itu harus ada cara untuk memecahkan kelemahan itu."
"Tetapi kekuatan sebuah pasukan tidak tergantung pada jumlahnya saja paman, meskipun harus diakui bahwa jumlah itupun akan sangat berpengaruh." sahut Panembahan Senapati, "karena itu, maka kita harus mempunyai pasukan khusus yang sangat kuat dan ditilik secara pribadi sehingga pasukan itu akan merupakan pasukan yang dapat memecahkan kekuatan lawan meskipun jumlahnya berlipat. Kita harus mempunyai beberapa kelompok pasukan yang demikian yang tidak saja berada di satu tempat. Mereka akan dapat mengganggu Madiun dari beberapa jurusan. Sementara itu, kita harus mampu dengan tajam mengamati kekuatan yang dipasang oleh Madiun untuk mempertahankan diri."
"Tetapi Panembahan." berkata Kiai Gringsing, "nam"paknya Madiun tidak saja ingin bertahan. Tetapi para Adipati daerah Timur juga sudah mempersiapkan pasukan untuk menuju ke Mataram. Meskipun pasukan itu saat ini belum berada di madiun. Sasaran mereka pertama-tama tentu Pajang. Baru kemudian bergeser ke Barat, ke Mataram."
Panembahan Senapati termangu-mangu. Sementara itu Ki Mandaraka bertanya, "Bagaimana suasana kota Madiun sendiri?"
"Masih tetap tenang. Tetapi kegiatan para prajurit sudah Nampak." jawab Kiai Gringsing. Lalu katanya, "Bahkan kepadaku Panembahan Madiun telah memberikan isyarat, bah"wa Madiun akan benar-benar melakukannya, kecuali Panembahan Madiun akan berbicara tentang kemungkinan lain, jika tuntutannya itu dipenuhi."
"Itu sulit untuk aku terima." Panembahan Senapati menggelengkan kepalanya.
"Kita harus membicarakan dengan beberapa orang pimpinan prajurit." berkata Ki Mandaraka, "namun hanya orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya. Sementara itu, kita harus benar-benar mempersiapkan kekuatan yang sudah jelas ada."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan berhubungan dengan Pati, Pegunungan Sewu, Bagelen dan sudah tentu Pajang."
"Panembahan." berkata Kiai Gringsing kemudian, "pada perkembangan terakhir, di samping para Adipati, di Madi"un juga ada seorang Panembahan yang lain, yang tidak hamba ketahui atau mungkin belum ada disaat hamba berada di Madi"un."
"Siapa?" bertanya Panembahan Senapati.
Kiai Gringsingpun kemudian sempat bercerita tentang orang-orang yang datang ke padepokan dengan menyebut diri mereka Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Kemudian orang-orang yang menemuinya di pinggir Kali Opak.
Ki Mandaraka yang mendengarkan ceritera Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jadi ada garis lain dari garis para Adipati didaerah Timur" Apakah hal itu perlu diimbangi dengan cara yang sama?"
"Tidak perlu dengan mata-mata paman." sahut Panem"bahan Senapati, "tetapi hal ini perlu mendapat perhatian secara khusus."
"Hamba sependapat Panembahan." sahut Kiai Gring"sing, "tetapi aku kira tidak banyak orang yang dapat kami ajak berbicara tentang hal itu."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia pun telah bertanya kepada Agung Sedayu. "Bagaimana pendapatmu?"
"Menurut pendapat hamba Panembahan, langkah pengawasan terhadap Madiun harus diperketat. Petugas sandi harus selalu mengirimkan laporannya. Sehingga dengan demikian, kita tidak akan kehilangan jejak atas setiap langkah." berkata Agung Sedayu.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku sependapat. Namun sampai saat ini petugas sandi yang ada di Madiun belum dapat menembus dinding istana. Banyak perkembangan didalam dinding istana yang belum dapat ditangkap. Namun nampaknya usaha itu mulai berhasil meskipun belum memuaskan. Namun sejalan dengan itu, kitapun menyadari, bahwa disekitar kitapun tentu terdapat petugas-petugas sandi dari Madiun. Bukan saja disini, tetapi tentu juga di Pajang dan ditempat-tempat lain yang berhubungan dengan Mataram."
"Maksud Panembahan di Pati, Tanah Perdikan Menoreh, Bagelen, Pegunungan Kidul, dan lain-lainnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya." jawab Panembahan Senapati, "bukan saja sekedar mengamati keadaan, tetapi tentu juga usaha untuk mempengaruhi beberapa pihak. Tetapi kitapun akan melakukan perlawanan dengan cara yang sama. Tidak saja di lingkungan Mataram, tetapi juga di Madiun dan di Kadipaten-kadipaten yang langsung atau tidak langsung telah terlibat."
"Satu kerja besar yang rumit." berkata Ki Mandaraka, "tentu ada diantara para petugas sandi itu yang menjadi ular berkepala dua."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Memilih orang memang pekerjaan yang paling rumit diantara pekerjaan memilih sasaran yang lain. Bahkan lebih rumit dari memilih sebuah pusaka atau wesi aji."
"Itulah Kiai." sahut Panembahan Senapati, "kita tidak dapat gegabah memilih orang."
Tetapi Kiai Gringsing itupun kemudian bertanya, "Panembahan. Selain tugas-tugas yang berhubungan dengan tugas keprajuritan, apakah ada usaha lain yang sebaiknya Panembahan lakukan?"
"Aku masih berusaha terus untuk dapat berbicara langsung dengan pamanda Panembahan di Madiun. Tetapi agaknya orang-orang disekitarnya, yang barangkali termasuk Panembahan yang Kiai katakan itu, telah menutup kemungkinan-kemungkinan itu. Tetapi aku belum berputus asa." berkata Panembahan Senapati.
"Harapannya memang sangat kecil." berkata Ki Mandaraka, "tetapi akupun telah memohon untuk melakukan terus-menerus. Mudah-mudahan pada suatu saat dapat diketemukan satu jalan, meskipun keadaan tentu menjadi semakin parah."
"Tetapi disamping segala usaha itu, kita tidak boleh mengabaikan susunan kekuatan kita, yang menurut pamanda Mandaraka, kekuatan kita belum sebanding dengan kekuatan yang akan dapat disusun di Madiun." berkata Panembahan Senapa"ti.
Namun Ki Patih Mandaraka itu menyahut, "Aku sependapat dengan Panembahan. Harus ada kelompok-kelompok khusus yang mendapat bekal secara khusus pula. Kita tidak mempunyai waktu untuk membentuk dan melatih para prajurit secara khusus. Yang kita lakukan haruslah memungut kekuatan-kekuatan khusus itu dan menyusunnya dalam kelompok-kelompok tertentu."


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana dengan pasukan khusus di Tanah Perdikan?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau tahu keadaannya?" bertanya Panembahan Senapati.
"Maksud Panembahan, pimpinannya?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya" jawab Panembahan Senapati.
"Bagaimana dengan pembentukan kekuatan terpadu di Tanah Perdikan yang pernah dirintis?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Sebentar lagi harus terwujud." jawab Panembahan Senapati, "kecuali jika ada perkembangan baru."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika susunan kekuatan yang menyatu di Tanah Perdikan dilaksanakan, maka Ki Gede akan terlibat langsung. Itu berarti bahwa tenaga Agung Sedayu akan diperlukan. Mungkin ada orang-orang yang berpendirian lain diantara para pemimpin yang baru dari pasukan khusus itu.
Sementara itu Panembahan Senapati telah berkata selanjutnya, "Untuk sementara aku tidak memperhitungkan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu. Pada suatu saat pasukan itu akan ikut menentukan gejolak ini."
"Bagaimana dengan pasukan di Jati Anom?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Aku memperhatikan bagian dari seluruh pasukan itu. Kelompok yang dipimpin oleh Sabungsari." berkata Panembahan Senapati.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nampaknya kemampuan Sabungsari dan pasukannya memang dapat dipergunakan untuk kepentingan khusus itu.
Namun demikian, Kiai Gringsing masih memperingatkan kemungkinan lain dari kekerasan.
"Panembahan." berkata Kiai Gringsing, "hamba sudah mencoba menemui Panembahan Madiun dan kini menemui Panembahan Senapati di Mataram. Hamba sadar, bahwa hamba tidak berhasil mempertemukan sikap kedua pemimpin itu, namun hamba mohon usaha itu tidak terhenti."
"Aku mengerti Kiai." jawab Panembahan Senapati. Lalu, "Jika kini aku berbicara tentang kekuatan pasukan, sebenarnyalah aku justru belum pernah berbicara terbuka dengan para Manggala dan Senapati di Mataram. Jika aku berbicara dengan mereka, maka sebagian kata-kataku akan merupakan perintah. Tetapi disini, aku mendapat bahan-bahan pikiran yang lebih jernih dan terbuka, justru karena aku tidak berbicara dengan para Manggala dan Senapati. Apalagi aku tahu, disamping pamanda Mandaraka, maka Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki wawasan yang jauh lebih baik dari semua Manggala dan Sena"pati yang ada di Mataram. Karena sebenarnyalah aku tahu, bah"wa Kiai Gringsing memang memiliki pengetahuan tentang hal itu, yang sadar atau tidak sadar, sebagian besar telah dimiliki pula oleh Agung Sedayu. Itulah sebabnya aku berbicara dengan kalian dalam suasana yang lain daripada berbicara dalam paseban yang khusus sekalipun."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Mandaraka yang tersenyum berkata, "Kalian adalah pemimpin-pemimpin pemerintahan yang terselubung. Pendapat kalian sangat berharga bagi Panembahan Senapati. Tetapi kalian tidak dapat ikut hadir dalam pembicaraan-pembicaraan resmi dengan para pemimpin pemerintahan. Karena itu, kalian selalu mendapat kesempatan untuk menghadap secara khusus."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku masih juga tampil dihadapan Panembahan Senapati. Tetapi apa yang dilakukan Ki Juru Martani pada saat Pajang mengalahkan Jipang" Bukan saja seorang penyusun rencana yang terselubung, tetapi Ki Juru benar-benar tidak nampak dalam permainan yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi."
Ki Mandaraka yang pernah bernama Ki Juru Martani itu tersenyum. Katanya, "Justru dalam pembicaraan seperti ini kadang-kadang menemukan pemecahan atas satu masalah yang pelik. Dalam pertemuan yang lebih resmi lagi, Panembahan Senapati tinggal menjatuhkan perintah."
"Karena itu, aku menghargai setiap pendapat." berkata Panembahan Senapati, "namun bagaimanapun juga, kita mampu menilik nilai pendapat seseorang."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Penembahan. Hamba telah berusaha sejauh dapat hamba lakukan. Tetapi sayang. Nampaknya masih tetap ada jarak antara kedua pemimpin dari Madiun dan Mataram ini."
"Tuntutan Pamanda Panembahan Madiun terlalu berat bagiku. Pamanda Panembahan Madiun dengan demikian telah melanggar hakku sebagai seorang yang berkuasa atas Mataram sebagai kelanjutan pemerintah Pajang, sementara Pajang meru"pakan kelanjutan dari pemerintahan Demak." berkata Panembahan Senapati, "namun aku merasa sangat berterimakasih atas keterangan-keterangan yang dapat Kiai berikan kepada kami. Dengan demikian kita mendapat gambaran, bahwa para Adipati di daerah Timur telah menyatu dengan Pamanda Panembahan Madiun."
"Satu keterangan yang sangat perlu." berkata Ki Mandaraka, "meskipun para petugas sandi kita sempat juga melaporkan kehadiran beberapa orang Adipati daerah Timur ke Madiun, tetapi mereka tidak dapat memberikan keterangan lebih jelas tentang hubungan mereka dengan Madiun."
"Kemudian segala sesuatunya terserah kepada Panembahan." berkata Kiai Gringsing, "namun barangkali yang perlu hamba ingatkan, bahwa Panembahan Madiun adalah Pangeran Timur, pamanda Panembahan Senapati sendiri, karena Pangeran Timur yang kemudian bergelar Panembahan Mas di Madiun itu sadalah saudara ibunda Ratu di Pajang, yang mengangkat Panembahan Senapati menjadi putera yang sangat dikasihi."
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja kepalanya tertunduk. Bahkan seakan-akan membayang kembali wajah ayahnya, Ki Gede Pemanahan yang pernah dengan nada sedih berkata kepadanya, "Sutawijaya. Kau telah melakukan tiga kesalahan sekaligus. Salah kepada Rajamu. salah kepada gurumu dan salah kepada orang tuamu."
Panembahan Senapati justru telah berangan-angan. Terbayang kembali saat-saat ia mulai menentang Pajang. Dengan keras ia menolak untuk menghadap Sultan Hadiwijaya, ayah angkatnya, yang mengasihinya seperti kepada anak kandungnya sendiri. Sultan Hadiwijaya yang telah memberikan ilmu kepadanya sebagaimana seorang guru yang baik. Namun Sultan Hadiwijaya adalah juga Raja yang berkuasa di Pajang pada saat itu.
Panembahan Senapati memang tidak pernah ingkar akan hal itu. Hubungan antara dirinya dengan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Namun Sutawijaya memang bertekad untuk membangun Mataram. Ketika beberapa orang menghinanya, mentertawakannya meskipun tidak langsung di paseban di saat ia berniat membangun Mataram, dengan mengatakan bahwa Mataram tidak lebih dari sebuah hutan yang lebat, yang hanya pantas dibuka menjadi padukuhan-padukuhan yang tidak berarti, maka ia berdiri sambil berkata lantang. "Aku tidak akan menginjak paseban di Pajang ini lagi sebelum Mataram menjadi sebuah negeri yang besar."
Dan Panembahan Senapati telah melakukannya. Ia bukan saja menunggu sampai Mataram menjadi negeri yang besar, tetapi Pajang kemudian telah dihapuskannya dan bahkan menjadi sebuah Kadipaten justru dibawah kuasa Mataram. Namun bagaimanapun juga yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu telah menyentuh hatinya.
Kiai Gringsing yang melihat sikap Panembahan Senapati itu menjadi termangu-mangu. Ia tidak tahu pasti tanggapan apakah yang bergejolak didalam hati Panembahan Senapati. Tetapi Kiai Gringsing mengucapkan hal itu bukannya asal saja membuka mulutnya. Tetapi sebagai seorang tua yang berwawasan luas, kata-kata yang diucapkannya itu telah dipikirkannya masak-masak untuk diucapkannya. Karena itu, akibat apapun yang timbul di dalam hati Panembahan Senapati, namun Kiai Gringsing memang merasa wajib untuk menyatakannya.
Namun yang kemudian diucapkan oleh Panembahan Senapati adalah, "Terima kasih Kiai. Aku akan selalu mengingatnya. Hubungan dalam tingkat apapun yang akan terjadi antara Mataram dan Madiun, namun aku akan selalu ingat, bahwa yang bergelar Panembahan Mas di Madiun adalah pamanda Pangeran Timur. Namun kedudukanku bukan saja sebagai seorang kemanakan dari Pangeran Timur, tetapi aku juga Panembahan Senapati di Mataram. Bagaimanapun juga aku terikat pada kedudukanku, pimpinan pemerintahan di Mataram yang berhadapan dengan pimpinan pemerintahan di Madiun, yang seharusnya menghormati kuasa Mataram."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah sampai pada ujung jalan yang ditempuhnya dalam usahanya mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik dalam kemelut yang terjadi diatas langit yang menaungi Mataram dan Madiun.
Tetapi Kiai Gringsingpun rasa-rasanya memang ingin menganjurkan agar Mataram mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena jika tidak, sementara Madiun benar-benar ingin mempergunakan kekerasan, maka keadaan yang tidak seimbang itu akan dapat menghancurkan Mataram sampai ke alas-alasnya. Rakyat Mataram akan mengalami penderitaan yang sangat parah. Namun jika pasukan yang datang itu dapat ditahan sebelum memasuki kota, maka keadaannya akan berbeda. Akan tetapi lebih baik jika pasukan itu dapat dihentikan sebelum memasuki Pajang.
Beberapa saat mereka masih berbincang meskipun arah pembicaraan mereka sudah agak bergeser. Nampaknya Panembahan Senapati sudah menganggap cukup bahan-bahan yang akan dapat diuraikan dalam persoalannya dengan pamandanya Pangeran Timur yang bergelar Panembahan Mas di Madiun.
Yang dibicarakan kemudian adalah justru Panembahan yang lain, yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra. Seorang yang dikenal sebelumnya dengan nama Kecruk Putih.
"Orang itu justru tidak berasal dari daerah Timur." berkata Kiai Gringsing yang mencoba mengingat-ingat, meskipun dengan agak ragu-ragu.
"Aku juga pernah mendengar namanya." berkata Ki Mandaraka, "nampaknya kehadiran Kecruk Putih di Madiun sama sekali tidak ada hubungannya dengan daerah asal Kecruk Putih itu. Agaknya ia justru berasal dari daerah ini. Mungkin dari pesisir atau barangkali dari kaki Gunung Merapi atau Merbabu. Tetapi agaknya sudah lama mengembara, sehingga agak"nya ia berhasil menyusup diantara para Adipati di daerah Timur dan menanamkan pengaruhnya disana."
"Bukan pengaruh." berkata Panembahan Senapati, "tetapi agaknya ia memiliki kemampuan membujuk, berbohong atau katakanlah ia memiliki keahlian untuk menipu."
"Apakah Panembahan Madiun begitu mudah tertipu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Mungkin bukan tertipu. Tetapi dalam keadaan seperti ini, Pamanda Panembahan Madiun memang memerlukannya. Setidak-tidaknya agar orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu tidak mengganggunya." jawab Panembahan Senapati.
Ki Mandaraka mepgangguk-angguk, Kiai Gringsingpun mengerti pula alasan itu. Namun apapun landasannya, tetapi Panembahan Cahya Warastra itu harus mendapat perhatian secara khusus, karena nampaknya ia berhasil menghimpun para pemimpin padepokan besar dan kecil yang bahkan tidak mungkin akan menjangkau padepokan-padepokan justru di daerah Mataram.
Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati itupun berkata, "Kiai, apakah kehadiran orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu menurut Kiai akan ikut menentukan akhir daripada persoalan yang timbul antara Mataram dan Madiun."
"Aku kira begitu Panembahan." jawab Kiai Gringsing, "Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun, bagaimanapun juga selalu dibayangi oleh sifat-sifat kekesatriaan. Panembahan berdua tentu tidak akan mengorbankan harga diri dan wibawanya untuk mencapai tujuan akhir dari persoalan ini. Sedangkan bagi Panembahan Cahya Warastra agaknya berbeda. Panembahan itu menurut penilaianku, tidak akan terikat oleh landasan apapun juga. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai satu tujuan tertentu. Bahkan tidak mustahil bahwa suatu saat Panembahan itu akan mengkhianati Panembahan Mas dari Madiun."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika demikian, orang itu memang harus mendapat perlawanan khusus. Maksudku, kesiagaan padepokan-padepokan besar kecil yang tersebar di lingkungan Mataram, Pati, Pajang dan sekitarnya, termasuk Tanah Perdikan Menoreh. Banyak padepokan yang kurang kita ketahui. Meskipun barang"kali padepokan padepokan itu tidak memiliki orang-orang terkuat seperti Kecruk Putih itu sendiri, namun jika mereka dapat digerakkan olehnya, tentu akan merupakan kekuatan yang cukup mendebarkan jantung."
Panembahan Senapati ter"mangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gringsing, "Maaf Kiai. Bukan maksudku untuk menyeret Kiai dalam persoalan yang timbul antara Madiun dan Mataram, karena nampaknya Kiai akan berdiri menengahi. Tetapi aku mohon Kiai secara khusus memperhatikan orang yang menyebut diri Panembahan Cahya Warastra itu. Dengan demikian Kiai akan membantu mengurangi arus prahara yang akan menempuh Mataram sehingga korban dari kedua belah pihak akan dapat dikurangi jika terpaksa timbul benturan kekuatan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Panembahan. Umurku sudah terlalu tua untuk mengemban tugas-tugas berat seperti itu. Tetapi aku tidak akan ingkar. Aku mem"punyai dua orang murid, yang agaknya akan dapat membantuku. Meskipun Agung Sedayu akan ikut memikul tugas di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi agaknya ia akan dapat membagi waktunya. Tugas ini memang memerlukan waktu yang agak lama, karena kami harus mencari dan kemudian menghubungi padepokan-padepokan besar dan kecil yang ada di lingkungan Mataram, Pati dan Pajang serta sekitarnya."
"Kiai jangan bekerja sendiri." berkata Panembahan Senapati, "mungkin ada orang yang dapat Kiai percaya untuk membantu tugas ini selain murid-murid Kiai sendiri."
"Aku akan membantu tugas Kiai." berkata Ki Mandaraka, "aku kira aku akan dapat lebih banyak berbuat dalam hal ini daripada tugas-tugas keprajuritan."
Kiai Gringsing terkejut. Demikian pula agaknya Panembahan Senapati. Dengan nada rendah Kiai Gringsing bertanya, "Ki Mandaraka adalah orang yang terdekat dengan Panembahan Senapati. Adalah tidak mungkin bagi Ki Mandaraka untuk melakukannya. Ki Mandaraka tentu tidak akan mungkin meninggalkan Panembahan Senapati dalam kesibukan seperti ini."
Tetapi Ki Mandaraka tersenyum. Katanya, "Sudah tentu aku tidak akan dapat menangani sendiri seluruhnya sebagaimana Kiai Gringsing yang tua. Tetapi sebagaimana Kiai Gringsing mempunyai murid dan kepercayaan, maka akupun demikian. Aku akan dapat mempergunakan waktu-waktu luang untuk sedikit melihat keluar istana ini. Kemudian disaat-saat yang lain, biarlah orang lain melakukannya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Panembahan Senapati berkata, "Pamanda Ki Mandaraka agaknya merasa sangat jenuh untuk berada di istana dengan pembicaraan-pembicaraan yang membuatnya pening. Persoalan-persoalan yang tidak disukainya harus dipecahkannya. Sementara hal-hal yang menjemukan telah berulang kali terjadi. Karena itu, aku tidak berkeberatan memberikan kesempatan pamanda Mandaraka untuk melakukannya sepanjang saat-saat aku memerlukannya pamanda ada di istana."
Ki Mandaraka tertawa. Katanya, "Ternyata angger Panembahan Senapati dapat mengerti sepenuhnya keadaanku. Sebenarnyalah aku merindukan satu masa jauh kebelakang. Aku adalah seorang petani dan pengembara sekaligus."
"Bukan." berkata Kiai Gringsing, "Ki Juru Martani bukan seorang petani. Tetapi Ki Juru Martani bertindak seperti seorang petani."
Ki Mandaraka tertawa. Katanya, "Suatu kenyataan yang memang menarik. Tetapi aku tidak ingin mengulanginya. Yang aku lakukan sekarang merupakan tugas yang dibebankan kepadaku sekarang. Aku tidak boleh melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadaku sekarang dengan caraku yang dahulu."
Panembahan Senapatilah yang kemudian berkata, "Pamanda. Bagaimanapun juga pamanda akan meninggalkan istana ini. Tetapi pamanda tidak boleh tenggelam dalam kenangan sehingga pamanda akan melupakan tugas-tugas yang justru sekarang ini menjadi semakin rumit."
"Menurut pendapatku, dalam waktu dekat ini, kemung-kinan untuk berbicara dengan Panembahan Madiun masih agak jauh. Bahkan semakin lama akan semakin jauh. Meskipun aku akan keluar dari istana, tetapi aku akan selalu menghubungi Panembahan setiap kali. Persoalan-persoalan yang timbul akan segera dapat sampai kepadaku." berkata Ki Mandaraka.
Panembahan Senapati memang tidak akan dapat mencegah keinginan Ki Mandaraka tanpa membuatnya kecewa. Nampaknya Ki Mandaraka disamping kejenuhannya sehingga ia ingin melihat-lihat keadaan diluar dinding istana, juga menganggap bahwa persoalannya memang sangat penting. Sebagai seorang yang telah mengenal Ki Mandaraka sejak waklu yang lama sekali, maka Panembahan Senapati sedikil banyak dapat mengenalinya. la teringat, bagaimana Ki Juru Martani dimasa pergolakan antara Pajang dan Jipang membiarkannya ikut ke paseban bersama ayahnya, Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi. Tidak seorangpun yang mengetahui dasar perhitungan Ki Juru Martani. Namun waktu itu Panembahan Senapati yang juga disebut Sutawijaya berkeras untuk ikut ke medan.
Ternyata perhitungan Ki Juru Martani tepat. Justru karena Sutawijaya, anak Pemanahan yang diangkat anak oleh Sultan Hadivvijaya di Pajang berkeras untuk ikut kemedan, maka Sultan Pajang telah merelakan tombak terbesar pusaka Pajang, Kangjeng Kiai Pleret untuk dibawa kemedan. Tanpa Sutawijaya, Sultan Hadiwijaya tidak akan memberikan tombak Kiai Pleiet yang berhasil mengoyak lambung Arya Penangsang itu.
"Jika pamanda Ki Mandaraka kali ini berkeras untuk turun menangani persoalan Panembahan Cahya Warastra, tentu ada perhitungan tersendiri." berkata Panembahan Senapati itu didalam hatinya.
Demikianlah, maka beberapa hal telah dapat disimpulkan. Bahkan diluar dugaan Kiai Gringsing, bahwa Ki Patih Mandaraka sendiri akan turun menangani satu persoalan yang memang cukup rumit. Sementara itu, Panembahan Senapati akan meningkatkan kesiagaan diluar keprajuritan.
Sesuai dengan pendapat Ki Mandaraka, maka Panembahan Senapati akan menyiapkan utusan ke Pati, Pajang, Jipang dan bahkan Demak dan Grobogan. Disamping kekuatan yang ada disekitar Mataram sendiri yang meskipun bukan sebuah Kadipaten, tetapi karena menurut perkembangannya merupakan landasan pertempuran yang besar, maka tempat-tempat itu memiliki kekuatan yang cukup memberikan dukungan seperti Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung.
Beberapa Kadipaten itu diminta untuk mempersiapkan pa"sukan yang setiap saat dapat digerakkan disamping harus berhati-hati menghadapi cara yang dipergunakan oleh Panembahan Cahya Warastra.
Dengan demikian, maka beberapa persoalan telah selesai dibicarakan. Yang harus dilakukan oleh Panembahan Senapati adalah melaksanakan. Terutama hubungan dengan Kadipaten-kadipaten itu.
"Nah Kiai." berkata Panembahan Senapati, "aku sangat berterima kasih kepada Kiai atas segala keterangan yang telah Kiai berikan. Serta usaha Kiai untuk mencegah meluasnya pertentangan antara Madiun dan Mataram. Namun agaknya yang terjadi tidak seperti yang Kiai harapkan. Meskipun demikian hal itu tidak mengurangi nilai usaha yang telah Kiai lakukan."
"Terima kasih Panembahan." berkata Kiai Gringsing, "agaknya segala sesuatunya memang sudah hamba sampaikan. Juga persoalan yang telah timbul diperjalanan dalam hubungannya dengan sikap Kecruk Putih itu."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, "Justru orang-orang seperti Kecruk Putih itulah yang harus mendapat pengawasan dengan saksama. Jika terjadi perang, maka perang itu sendiri menjadi lebih jelas daripada langkah-langkah yang akan diambil oleh orang-orang seperti Kecruk Putih dengan segala pengikutnya. Apalagi setelah ia menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra, dan mendapat tempat di antara para Adipati dari Timur. Meskipun masih juga seperti aku katakan, kehadirannya perlu dipertanyakan. Apakah karena orang itu mampu mempengaruhi para Adipati termasuk pamanda Panembahan Madiun, atau karena untuk sementara orang itu dapat dimanfaatkan sehingga seolah-olah telah diberi tempat di antara mereka."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hamba sependapat Panembahan. Dan hambapun akan melakukan tugas yang berat itu meskipun seperti hamba katakan, bahwa hamba tidak akan mampu melakukannya sendiri. Hamba sangat berterima kasih kepada Ki Patih Mandaraka yang bersedia melakukan bersama hamba, meskipun kami berdua bersama-sama akan melimpahkan kepada orang lain."
Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, "Memangagak berbelit. Tetapi mudah-mudahan ada manfaatnya."
Panembahan Senapatipun tertawa pula. Orang-orang tua itu kadang-kadang memang mempunyai cara tcrsendiri untuk melakukan tugas-tugasnya. Tugas yang berat kadang-kadang dilakukan dengan cara yang nampaknya tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata tugas-tugas itu dapat diselesaikan dengan baik.
Demikianlah, maka Panembahan Senapati yang telah merasa cukup dengan pembicaraan itu, telah memberikan kesempatan kepada tamu-tamunya untuk makan bersama-sama. Satu kehormatan yang memang jarang diberikan orang lain di luar istana. Bahkan para pemimpin pemerintahanpun jarang sekali mendapat kesempatan seperti itu. Makan bersama secara pribadi.
Sementara itu Panembahan Senapatipun telah memerintahkan pula agar kepada kedua cantrik yang menyertai Kiai Gringsing juga dihidangkan makan dan minum secukupnya.
Dalam pada itu, ternyata Panembahan Senapati telah mendapatkan bahan yang cukup yang akan dapat dibicarakan lagi dengan para pemimpin pemerintahan dan pemimpin keprajuritan untuk menentukan langkah-langkah yang paling baik sebagai pelaksanaan dari kesimpulan-kesimpulan yang telah diambil oleh Panembahan Senapati.
Namun agaknya telah timbul pula keinginan pada Kiai Gringsing untuk sempat berbincang lebih panjang dengan Ki Patih Mandaraka. Karena itu, maka setelah selesai makan bersama Panembahan Senapati, Kiai Gringsing mohon untuk diperkenankan bermalam di istana Ki Patih saja.
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Agaknya bagi Kiai Gringsing bermalam di istana pamanda Mandaraka lebih sesuai daripada bermalam disini. Orang-orang tua kadang-kadang mempunyai banyak kenangan yang dapat saling dibicarakan. Namun bagaimana dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih?"
"Hamba akan menyertai Guru, Panembahan. Jika Panembahan berkenan. Kecuali jika ada perinlah lain dari Panembahan." jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapati tersenyum. Meskipun Kiai Gringsing nampaknya ingin berdiri di antara Panembahan Mas dan Panembahan Senapati, tetapi Panembahan Senapati sendiri yakin, bahwa Agung Sedayu tentu akan mengambil sikap yang lebih mantap. Baginya Agung Sedayu adalah seorang yang sangat dapat dipercaya. Orang yang berbuat terlalu banyak dan bahkan tanpa pamrih sama sekali. Meskipun Agung Sedayu tidak menempatkan diri dengan tegas seperti kakaknya. Untara.
"Baiklah." berkata Panembahan Senapati, "nam"paknya belum ada persoalan yang penting yang ingin aku bicarakan secara khusus, kecuali pesan kepada Ki Gede Menoreh untuk mempersiapkan penyusunan kekuatan terpadu di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam waktu dekat semuanya akan segera dilakukan. Apalagi kemelut yang nampaknya semakin gelap yang menyelubungi Mataram dan Madiun sekarang ini. Karena itu, maka jika kalian ingin bermalam bersama Kiai Gringsing, aku tidak keberatan. Tetapi sebelum kalian meninggalkan Mataram, aku masih ingin bertemu lagi."
Demikianlah, maka Ki Mandarakapun telah mohon diri. Namun Panembahan Senapati masih berbicara beberapa saat dengan Ki Patih. Panembahan memanggil Ki Patih untuk berbicara tentang lalu lintas perdagangan di Bergota lewat jalan Barat.
Tetapi pembicaraan itu tidak terlalu penting dan mendesak, sehingga sebagian telah ditundanya, justru karena Kiai Gringsing akan bermalam di istana Kepatihan.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan istana. Selain Kiai Gringsing berlima, maka Ki Patih Mandaraka ternyata diiringi beberapa orang prajurit pengawal.
Namun dalam pada itu, diperjalanan Glagah Putih telah berbisik ditelinga Agung Sedayu, "Apakah aku dapat pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan?"
"Untuk apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukankah aku telah berjanji, bahwa aku akan singgah setelah kita kembali dari Jati Anom?" jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "besok saja. Tidak baik kau bermalam disana."
"Kenapa tidak baik" Bukankah kita sudah mengenal Ki Lurah dengan baik?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita memang sudah mengenal Ki Lurah dengan baik. Tetapi sebaiknya besok saja kau pergi ke rumah Ki Lurah bersamaku. Jika kita harus menginap maka kita akan menginap bersama-sama. Sementara itu, agaknya kita perlu juga singgah di rumah Ki Panji Wiralaga yang barangkali sudah mendapat perintah pelaksanaan tentang penyusunan kendali pemerintahan yang satu di Tanah Perdikan."
Glagah Putih termangu-mangu, sementara itu Kiai Gring sing bertanya, "Ada apa dengan Glagah Putih?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Tidak apa-apa, Guru. Ia hanya menyatakan keinginannya untuk singgah di rumah Ki Lurah Branjangan."
"Ki Lurah." desis Ki Mandaraka, "agaknya Ki Lurah juga dapat kita ajak untuk menangani persoalan ini. Biarlah orang-orang tua yang dianggap sudah tidak dapat berbuat sesuatu ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki tenaga."
Tetapi Kiai Gringsing tersenyum sambil berkata, "Apakah aku benar-benar dapat berbuat demikian?"
Ki Mandarakapun tertawa. Katanya, "Kiai memang sudah terlalu tua untuk tugas itu. Tetapi padepokan Kiai di Jati Anom akan dapat menjadi pusat kendali dari tugas-tugas ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah dalam keadaan yang demikian tiba-tiba saja ia merasa sepi. Meskipun sudah menjadi kebiasaannya hidup sendiri, namun rasa-rasanya ia akan lebih merasa hidup jika murid-muridnya ada didalam padepoan itu pula. Tetapi itu tidak mungkin, karena kedua muridnya telah mengemban tugasnya masing-masing.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menolak. Bahkan sambil mengangguk-agguk ia berkata, "Dengan senang hati Ki Patih."
"Apalagi padepokan kecil itu berada dekat dengan Jati Anom. Sebuah pasukan yang kuat ada di Jati Anom. Jika terjadi sesuatu, maka pasukan itu akan dapat memberikan perlindungan." berkata Ki Mandaraka.
"Hubungan itu memang sudah dijalin, Ki Patih. Angger Untara memang sudah meletakkan kelompok kelompok pasukannya tidak jauh dari padepokan. Jika kami memukul kentongan sebagai isyarat dengan irama yang khusus telah kami sepakati, maka angger Untara atau pasukannya itu akan bertindak." berkata Kiai Gringsing.
"Bagus." berkata Ki Patih Mandaraka, "besok aku akan pergi ke padepokan itu jika Kiai Gringsing kembali."
"Benar?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya. Meskipun hanya semalam. Panembahan Senapati tentu akan mengijinkannya. Kita akan menentukan beberapa langkah untuk mulai dengan tugas kita." berkata Ki Mandaraka.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil berkata, "Kami akan menerima Ki Patih dengan senang hati."
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka merekapun telah memasuki halaman kepatihan, Glagah Putih sudah mengenal tempat itu dengan baik, karena bersama Kaden Rangga ia pernah berada di Kepatihan.
Namun rasa-rasanya ia hanya kehilangan waktu saja jika malam itu ia ikut bermalam di Kepatihan, karena persoalannya tentu hanya akan dibicarakan antara Ki Patih Mandaraka dan Kiai Gringsing atau kakak sepupunya, Agung Sedayu. Karena itu, ia merasa tidak banyak berkepentingan berada di Kepatihan. Tetapi Agung Sedayu tetap melarangnya.
"Besok kita bermalam semalam di rumah Ki Lurah. Atau jika persoalannya sudah selesai, kita akan meneruskan perjalanan." berkata Agung Sedayu.
Keterangan itu menjadi semakin tidak mapan baginya. Tetapi ia tidak berani membantah. Dengan demikian maka malam yang panjang kemudian telah dihabiskannya di istana Kepatihan. Seperti yang diduganya, maka yang banyak berbincang adalah Ki Patih Mandaraka dengan Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah kedua orang itu seakan akan berada dalam keadaan yag sebaliknya. Namun hal itu mereka sadari sepenuhnya, sehingga keduanya menjadi saling menghormatinya.
Kiai Gringsing yang menempatkan dirinya dari jenjang kebangsawanan menjadi orang kebanyakan, sementara Ki Juru Martani, seorang dari keturunan pidak pedarakan, telah memanjat ketataran tertinggi dalam kendali pemerintahan setelah Panembahan Senapati sendiri.
Dengan sungguh-sungguh keduanya telah membicarakan perkembangan terakhir Mataram dalam hubungannya dengan para Adipati terutama di daerah Timur. Kemudian dengan sungguh-sungguh pula keduanya berbicara tentang Kecruk Putih yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra yang dalam kedudukan apapun, namun satu kenyataan bahwa ia berada diantara para Adipati di daeiah Timur itu.
Keduanyapun sempat mengingal-ingat nama-nama yang pernah mereka kenal atau satu cara untuk menjaring nama-nama padepokan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Tetapi mereka masih belum menentukan langkah-langkah yang pasti yang akan mereka ambil. Namun dalam pada itu, Ki Mandaraka benar-benar berniat untuk pergi ke Jati Anom.
Tetapi sementara itu, Agung Sedayu telah berkata kepada gurunya dan Ki Mandaraka, "Bagaimana dengan Ki Jayaraga" Apakah Ki Jayaraga dapat membantu Guru. Nampaknya ia juga mempunyai hubungan yang luas meskipun untuk waktu yang lama telah meninggalkan lingkungannya karena kecewa dan berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu Ki Jayaraga adalah seorang yang menjadi kecewa murid-muridnya yang tidak mau mendengarkan nasehat-nasehatnya yang baik. Setelah mereka merasa cukup menimba ilmu, maka mereka segera meninggalkannya dan menjadi orang yang memilih jalan sesat dengan mempergunakan ilmu yang telah diwarisinya dari Ki Jayaraga. Karena itu, maka ia tentu akan dengan senang hati bekerja bersama kami, untuk mencari keseimbangan jiwa dan kekecewaannya itu sebagaimana ia dengan bersungguh-suugguh telah menempa Glagah Putih menjadi seorang yang berilmu tinggi."
"Kita akan berbicara dengan Ki Jayaraga itu." berkata Ki Mandaraka, "semua orang yang mungkin kita ajak berbicara tentang hal ini akan kita minta untuk bekerja bersama kami sebelum pengaruh Panembahan Cahya Warastra memasuki seluruh tanah ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk, katanya, "Ternyata Kecruk Putih seorag yang bernalar tajam. Ia tidak menempuh cara sebagaimana pernah ditempuh oleh orang-orang lain sebelumnya. Sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Nagaraga yang langsung mengambil langkah sendiri. Jika mereka berhasil, maka mereka memang akan mendapat tempat yang sangat baik disisi Panembahan Madiun, atau sebaliknya justru akan dimusnahkan. Tetapi Kecruk Putih berhasil mendapatkan tem"pat lebih dahulu, baru kemudian bertindak dengan singkat berhati-hati dan dengan cara yang tidak terlalu kasar."
Namun dalam padaitu, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, "Apakah Kiai ingat kepada Ki Waskita?"
"Tentu." jawab Kiai Gringsing, "aku akan selalu ingat kepada Ki Waskita."
Tetapi Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Kiai Gringsing memang menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh Glagah Putih, tetapi ternyata Glagah Putih hanya menunduk saja, sehingga Agung Sedayu menggamitnya sambil berdesis, "Bagaimana dengan Ki Waskita?"
"Aku hanya mengingat saja. Mungkin Ki Waskita termasuk orang yang dapat dihubungi dalam tugas ini." sahut Glagah Putih.
"Katakan kepada Ki Patih dan Guru." minta Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Bukankah aku sudah mengatakannya."
Orang-orang tua itu hanya tersenyum saja. Sementara Agung Sedayu tertawa sambil berkata, "Kau nampaknya memang sedang bermimpi. Meskipun kau duduk disini, tetapi angan-anganmu tidak bersamamu disini."
Kedua orang tua itulah yang kemudian termangu-mangu. Bahkan Kiai Gringsing telah bertanya, "Apa yang terjadi dengan Glagah Putih."
"Tidak Kiai. Tidak ada apa-apa." jawab Glagah Putih dengan serta merta.
Tetapi Agung Sedayu tertawa. Sementara Glagah Putih menjadi gelisah.
Kiai Gringsing melihat sesuatu pada anak itu meskipun tidak jelas. Tetapi orang tua itu mengerti, bahwa agaknya Agung Sedayu sedang mengganggu Glagah Putih. Karena itu sambil tersenyum Kiai Gringsing justru bertanya, "Ada apa dirumah Ki Lurah Branjangan?"
"Tidak ada apa-apa Kiai." jawab Glagah Putih dengan serta merta.
"Apakah perlu aku yang mengantarkan?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tertawa, sementara Glagah Putih justru makin gelisah. Tetapi ia yakin, bahwa Kiai Gringsing masih belum tahu persoalannya.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "Jika persoalannya memang masih harus dirahasiakan, aku tidak akan memaksa untuk memecahkan rahasia itu."
"Tidak ada apa-apa Kiai. Agaknya kakang Agung Sedayulah yang menjadi kebingungan." jawab Glagah Putih.
Ki Mandarakapun ikut tertawa. Namun dalam pada itu, Agung Sedayulah yang berkata, "Baiklah. Nampaknya kita telah berkisar. Semula kita berbicara tentang Ki Waskita."
"Kakang yang telah menyesatkan pembicaraan ini." desis Glagah Putih.
Yang lainpun tertawa. Sementara itu Kiai Gringsing menyahut, "Ya. Kita sedang berbicara tentang Ki Waskita. Nampak"nya kita dapat menghubunginya. Ki Waskita tentu tidak berkeberatan meskipun umurnya kurang lebih juga setua aku."
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya sambil tersenyum, "Kita akan menghimpun orang-orang tua. Tentu menyenangkan untuk berceritera tentang masa lampau. Nampaknya akan menjadi sekelompok orang yang berangan-angan dan bermimpi tentang kenangan yang bermacam-macam. Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Tetapi kita akan menyertakan anak-anak muda, meskipun hanya satu dua." desis Kiai Gringsing.
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Namun agaknya malam menjadi semakin malam, sehingga Ki Mandarakapun kemudian telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di bilik yang sudah disediakan bagi mereka.
Malam itu rasa-rasanya sangat panjang bagi Glagah Putih. Rasa-rasanya ia ingin segera keluar dari dalam biliknya, berbenah diri dan pergi kerumah Ki Lurah Branjangan. Namun agaknya Agung Sedayu masih saja mengganggunya.
Namun akhirnya, terdengar juga kokok ayam menjelang dini hari. Glagah Putih yang terbangun oleh kokok ayam itu, rasa-rasanya hanya sempat tertidur tidak cukup panjang. Apalagi dibanding dengan seluruh malam.
Ketika Agung Sedayu dan Kiai Gringsing bangkit dari pembaringannya menjelang pagi, Glagah Putih ternyata telah mandi dan berbenah diri.
"Bukan main." desis Agung Sedayu, "kau rajin sekali hari ini. Kau bangun pagi-pagi sekali dan nampaknya kau telah mandi dan berpakaian sangat rapi."
"Bukankah sudah menjadi kebiasaanku bangun pagi-pagi?" justru Glagah Putih bertanya.
"Tetapi tidak sepagi ini." jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab.
Agung Sedayupun tidak mengganggunya lagi. lapun telah pergi pula ke pakiwan. Baru yang terakhir adalah Kiai Gringsig.
Ketika mereka berkumpul didalam biliknya, maka Kiai Gringsingpun bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kau akan meneruskan perjalanan kalian ke Tanah Perdikan hari ini" Nampaknya kau akan membawa bahan pembicaraan dengan Ki Jayaraga sebagaimana dimaksudkan oleh Ki Patih Mandaraka. Kemudian berusaha untuk bertemu dengan Ki Waskita. Meskipun seandainya orang-orang Tanah Perdikan belum pernah datang kerumahnya, tetapi kalian tentu akan dapat mencarinya."
"Tidak terlalu sulit untuk menemuinya Guru." jawab Agung Sedayu, "namun apakah aku akan mohon orang-orang tua itu untuk menemui Guru di Jati Anom atau di istana Kepatihan ini atau dimana?"
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian kata"nya, "Aku sudah terlanjur meninggalkan Jati Anom. Baiklah, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah agak lama aku tidak menyeberang Kali Praga."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Tetapi bagaimana dengan perjalanan itu bagi Guru?"
"Tidak apa-apa. Bukankah aku dan beberapa orang tua akan mengemban tugas yang berat?" sahut Kiai Gringsing.
"Tetapi Guru tidak akan melaksanakannya sendiri." berkata Agung Sejdayu, "Sebagaimana orang yang disebut Kecruk Putih itu juga tidak dating langsung menemui Kiai di padepokan Jati Anom."
"Tetapi perjalanan ke Tanah Perdikan bukan perjalanan yang berat. Rasa-rasanya akan membuat tubuhku menjadi segar, jika aku sempat menyusuri bulak-bulak panjang di kaki pegunungan Menoreh" desis Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, "Menyenangkan sekali menunggang rakit menyeberangi Kali Praga. Apalagi jika airnya sedikit naik."
Agung Sedayu menarjk nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Segala sesuatunya terserah kepada Guru."
Tetapi Glagah Putih telah menjadi gelisah. la berjanji untuk singgah dirumah Ki Lurah. Jika diijinkan, cucu Ki Lurah akan pergi juga ke Tanah Perdikan untuk berguru pada Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata kepada Agung Sedayu, "Tetapi aku masih ingin berbicara lagi dengan Ki Mandaraka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih menjadi semakin gelisah.
Ternyata Kiai Gringsing melihat kegelisahan Glagah Putih. Bahkan nampak setitik keringat mengembun di kening. Karena itu maka orang tua itupun bertanya, "Glagah Putih. Rasa-rasanya aku masih kedinginan. Tetapi kau sudah mulai berkeringat. Kenapa?"
Glagah Putih memang menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Namun Agung Sedayupun telah berkata, "Sebaiknya kau katakan dengan berterus terang Glagah Putih, agar Kiai Gringsing dapat memperhitungkan persoalanmu itu."
"Bukan persoalanku saja. Tetapi juga persoalan kakang." sahut Glagah Putih.
"Baiklah. Persoalanmu dan persoalanku. Tetapi kau wajib mengatakannya kepada Kiai Gringsing." berkaia Agung Sedayu, "dengan demikian persoalannya menjadi jelas."
Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Kiai Gringsingsambil tersenyum bertanya, "Kakakmu menganggap bahwa kau sudah dewasa sepenuhnya, sehingga kau harus dapat menyatakan isi hatimu. Apalagi menanggapi persoalan-persoalan yang penting. Dengan demikian maka kau tidak akan tergantung kepada orang lain."
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Namun kemudian iapun berkata, "Kiai. Ketika kami berangkat dari Tanah Perdikan, kami menempuh perjalanan bersama dengan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah minta agar disaat kami kembali, kami singgah kerumahnya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Hanya persoalan itu" Jika hanya kesediaan singgah dirumah Ki Lurah saja, kenapa kau menjadi begitu gelisah?"
Keringat yang memang sudah mengembun di kening Glagah Putih karena kegelisahannya, telah menjadi semakin banyak. Bahkan punggung bajunyapun telah menjadi basah.
"Apakah ada persoalan lain yang perlu kau selesaikan dengan Ki Lurah selain sekedar singgah?" bertanya Kiai Gringsing.
Glagah Putih termangu-mangu. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu. Namun Glagah Putih menjadi semakin gelisah ketika ia melihat Agung Sedayu justru tersenyum.
"Kau harus berterus terang." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih beringsut sejengkal. Katanya, "Kiai, sebenarnyalah cucu Ki Lurah Branjangan ingin ikut ke Tanah Per"dikan jika diijinkan oleh ayah dan ibunya. Cucu Ki Lurah Branjangan ingin belajar olah kanuragan pada mbokayu Sekar Mirah."
"Cucu Ki Lurah?" ulang Kiai Gringsing.
"Ya Kiai." jawab Glagah Putih sambil menundukkan wajahnya.
"Kenapa belajar pada mbokayumu Sekar Mirah. Tidak pada kakakmu Agung Sedayu saja?" bertanya Kiai Gringsing.
Glagah Putih menjadi semakin bingung. Namun karena Agung Sedayu tidak mau menolongnya, akhirnya Glagah Putih itu berkata, "Cucu Ki Lurah adalah seorang gadis."
"O" Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun akhirnya tersenyum pula sambil berkata, "Itulah agaknya yang telah membuatmu gelisah" Jika demikian, pergilah ke rumah Ki Lurah. Bertanyalah kepada cucu Ki Lurah itu, apakah ia akan pergi ke Tanah Perdikan atau tidak."
Balas " On 16 Juni 2009 at 11:46 Mahesa Said:
Glagah Putih menunduk semakin dalam. Sementara itu Agung Sedayu berkata, "Biarlah aku mengantarkannya Guru. Sementara itu Guru dapat berbincang dengan Ki Patih Manda"raka tentang rencana guru pergi ke Tanah Perdikan."
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "akan lebih baik jika kau bawa Ki Lurah itu kemari. Kita dapat berbicara lebih panjang. Bukan hanya cucu gadisnya itu, tetapi juga tentang banyak hal."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil tertawa. Katanya, "Baik Guru. Aku akan mengajak Ki Lurah untuk datang kemari."
Demikianlah maka Agung Sedayupun telah minta diri kepada Ki Patih untuk bersama-sama pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan.
"Masih sepagi ini?" bertanya Ki Mandaraka.
"Jika tidak bersamaan, maka Guru akan minta Ki Lurah datang kemari." berkata Agung Sedayu.
"Bagus." berkata Ki Patih Mandaraka, "jika Ki Lurah tidak berkeberatan, itu lebih baik." Namun Ki Patih berkata selanjutnya. "Tetapi jangan terlalu lama. Juru masak sudah menyiapkan makan bagi kita semua. Makan pagi. Ingat, jangan makan ditempat lain."
Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, "Baik Ki Patih. Kami mohon diri. Mumpung masih pagi."
Bersama Glagah Putih, Agung Sedayu telah pergi kerumah Ki Lurah Branjangan. Agar perjalanan mereka lebih cepat, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, mereka telah menempuhnya berkuda.
Kedatangan mereka dirumah Ki Lurah telah disambut dengan gembira. Mereka segera dipersilahkan naik kependapa setelah seorang pembantu dirumah Ki Lurah menerima kuda-kuda mereka.
"Pagi-pagi sekali." berkata Ki Lurah, "kalian tentu berangkat dari Jati Anom dini hari."
"Kami tidak datang dari Jati Anom Ki Lurah." jawab Agung Sedayu, "semalam kami sudah bermalam di sini."
"Dimana?" bertanya Ki Lurah, "kenapa lidak ber"malam disini saja?"
"Aku sudah mengajaknya. Tetapi kakang Agung Sedayu berkeberatan." sahut Glagah Putih.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kami bermalam di rumah Ki Patih Mandaraka."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia telah mengulang, "Di rumah Ki Patih Mandaraka?"
"Ya Ki Lurah." jawab Agung Sedayu, "Kami datang kemarin sore."
"Kenapa kalian tidak langsung kemari?" bertanya Ki Lurah pula.
"Kami menempuh perjalanan bersama Kiai Gringsing." berkata Agung Sedayu.
"Kiai Gringsing" Kenapa Kiai Gringsing tidak kalian ajak kemari?" bertanya Ki Lurah pula.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Justru Kiai Giringsing dan Ki Patih Mandaraka minta Ki Lurah datang ke Kepatihan."
Ki Lurah mengangguk-angguk. la tidak dapat bertanya kenapa bukan Ki Patih yang datang kerumahnya.
Namun demikian Ki Lurah itu berkata, "Jika demikian aku akan pergi ke Kepatihan. Tetapi sudah tentu nanti siang. Kalian akan berada dirumahku sampai lewat tengah hari. Setelah aku menghadap di Kepatihan, maka kalian harus mengantarkan aku pulang."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Aku akan mengantar Ki Lurah pulang. Tetapi maaf Ki Lurah, Ki Patih Mandaraka minta Ki Lurah datang pagi ini. Selain Kiai Gringsing sudah lama tidak bertemu dengan Ki Lurah, Ki Patihpun ingin berbicara dengan Ki Lurah."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kalian tidak singgah dirumahku?"
"Bukankah kami sudah singgah sekarang ini Ki Lurah." jawab Agung Sedayu.
"Tidak. Kalian tidak singgah dirumahku. Kalian datang sekedar memanggil aku untuk menghadap ke Kepatihan." berkata Ki Lurah.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Baiklah Ki Lurah. Nanti kami akan singgah dirumah Ki Lurah, bersama-sama Ki Lurah kembali dari Kepatihan."
Ki Lurahpun tersenyum pula. Katanya, "Baiklah. Sekarang aku akan berbenah dulu."
Ketika Ki Lurah masuk, maka Glagah Putih masih saja nampak gelisah. Ia seakan-akan mencari sesuatu di halaman rumah Ki Lurah yang termasuk besar itu. Sekali-sekali di pandanginya seketheng kiri dan kanan. Kemudian pandangannya merayap kepintu gandok sebelah menyebelah. Namun yang dicarinya tidak juga nampak. Apalagi keluar dari pintu pringgitan.
"Kau cari apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Jadi kita datang kerumah ini hanya untuk memanggil Ki Lurah Branjangan?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Nanti, jika Ki Lurah pulang dari Kepatihan, kita akan menyertainya lagi untuk berada di rumah ini beberapa lama."
"Tetapi, apakah kita begitu tergesa-gesa sekarang ini?" bertanya Glagah Putih.
"Kau dengar sendiri pesan Ki Patih Mandaraka?" jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia bertanya, "Tetapi bukankah yang akan berbincang dengan Ki Patih hanyalah orang-orang tua dan kakang Agung Sedayu saja?"
"Aku tahu maksudmu." sahut Agung Sedayu, "karena kau merasa tidak perlu ikut berbincang, maka kau akan berada dirumah ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun kepalanya justru telah tertunduk dalam-dalam.
Sementara Ki Lurah Branjanganpun telah siap pula. Namun ia masih mempersilahkan kedua orang tamunya duduk. Sebentar kemudian seorang pembantu telah menghidangkan minuman hangat.
"Silahkan. Meskipun hanya minum. Jika kalian tidak tergesa-gesa, kami dapat menyiapkan suguhan yang lain." berkata ki Lurah Branjangan.
"Terima kasih Ki Lurah." jawab Agung Sedayu, "nanti, pada saatnya, kami akan berada disini lebih lama. Tergantung kepada pembicaraan Ki Lurah dengan Guru dan Ki Mandaraka."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara itu sesudah kedua orang itu menghabiskan isi mangkuk mereka, maka Ki Lurahpun berkata, "Baiklah. Kita dapat berangkat sekarang. Karena kalian berkuda, maka akupun akan berkuda pula supaya aku tidak harus berlari-lari mengikuti derap kuda kalian."
Agung Sedayu tertawa. Tetapi Glagah Putih masih saja termangu-mangu. la belum melihat orang yang dicarinya. Ternyata Agung Sedayupun menjadi kasihan juga kepadanya. Agaknya Glagah Putih tidak dapat bertanya kepada Ki Lurah Branjangan. Karena itu, maka Agung Sedayulah yang bertanya, "Ki Lurah, nampaknya begitu sepi. Dimanakah cucu-cucu Ki Lurah itu"
Ki Lurah tersenyum sambil menjawab, "mereka telah kembali kerumah orang tua mereka."
"O" Agung Sedayu mengangguk-angguk, "jadi mereka tidak berada disini?"
"Orang tua mereka memang mulai memikirkan perkembangan anak-anak mereka. Keduanya memang perlu berguru untuk meningkatkan bukan saja kemainpuan olah kanuragan, tetapi juga ilmu dan pengetahuan." berkata Ki Lurah, "karena itu, maka orang tua mereka menghendaki seorang guru yang mampu mengajari anak-anak mereka dalam berbagai macam pengetahuan itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih menjadi sangat kecewa atas keputusan itu. Karena dengan demikian agaknya cucu Ki Lurah itu tidak akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Glagah Putih tidak dapat bertanya tentang cucu Ki Lurah Branjangan itu, sementara Agung Sedayu tidak akan dapat mengatakan bahwa di Tanah Perdikan Menoreh, gadis itu akan dapat juga mempelajari berbagai macam pengetahuan. Bahkan Agung Sedayu memiliki pengetahuan tentang pertanian dan sedikit tentang sastera, tentang pemerintahan dan tentang perang, serta tentang kehidupan. Disamping tentang olah kanu"ragan .
Namun Agung Sedayupun kemudian menyadari bahwa gadis itu sejak semula tidak akan berguru kepadanya, tetapi kepada Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah juga memiliki beberapa pengetahuan lain kecuali olah kanuragan, tetapi yang dimaksud Ki Lurah Branjangan tentu seorang yang berusia separo baya, bijaksana dan dipenuhi dengan pengalaman hidup serta terbiasa menguraikan perbedaan antara baik dan buruk.
"Agaknya orang-orang seperti Kiai Gringsing itulah yang dimaksud." berkata Agung Sedayu didalam hati "sedangkan Ki Jayaragapun agaknya kurang memenuhi syarat karena ia pernah mengalami kegagalan mendidik murid-muridnya."
Demikianlah maka sejenak kemudian, mereka bertiga telah turun dari pendapa, menerima kuda mereka masing-masing dan meninggalkan halaman rumah itu menuju ke kepatihan.
Disepanjang jalan, rasa-rasanya Glagah Putih ingin bertanya, apakah mbokayunya Sekar Mirah kurang memenuhi syarat" Tetapi Glagah Putih tidak pernah dapat mengucapkannya. Bahkan kemudian Ki Lurah Branjangan itu sendirilah yang berbicara kesana kemari sampai kepada kedua cucunya itu.
"Kedua orang tuanya tidak ingin melepaskan anak-anaknya berguru disatu tempat. Mereka berniat untuk mengundang seorang guru yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga bijaksana serta mengerti unggah-ungguh serta pengaruh paugeran di lingkungan istana." berkata Ki Lurah Branjangan. Namun kemudian ia berdesah seperti kepada diri sendiri, "tetapi aku tidak tahu, dimana mereka akan mendapatkan orang seperti itu dan dengan senang hati bersedia mendidik keduanya di rumah mereka."
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menyahut. Namun merekapun menangkap kesan bahwa Ki Lurah Branjangan mempunyai sikap yang berbeda dengan sikap kedua orang tua kedua cucunya itu.
Namun Ki Lurah Branjangan juga mengatakan, "Tetapi aku dapat mengerti sikap itu. Kedua anak itu sudah terlanjur manja, sehingga kalau orang tuanya tidak sampai hati rasa-rasa"nya menjauhkan mereka dari rumahnya dan tinggal ditempat yang mungkin lebih buruk dari keadaan dirumahnya. Apalagi jika gurunya bersikap keras sehingga kedua anak itu diperlakukan dengan keras dan bahkan kasar. Kedua orang tuanya menghendaki, bahwa segala peraturan untuk mendidik kedua anak itu dibuat oleh orang tua mereka, bukan oleh guru yang bakal menuntun mereka."
Agung Sedayu dan Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tidak dapat ikut berbicara tentang sikap anak dan menantu Ki Lurah Branjangan itu. Sehingga karena itu, maka mereka menjadi lebih banyak mendengarkan saja kata-kata yang mengalir dari sela-sela bibir Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah maka beberapa saat kemudian mereka telah mendekati kepatihan. Dengan nada rendah Ki Lurah Branjangan berdesis, "Apakah memang ada keperluan penting atau karena Kiai Gringsing ingin bertemu dengan aku?"
"Bukan hanya karena Guru ingin bertemu dengan Ki Lurah." jawab Agung Sedayu, "jika demikian maka Guru ten"tu akan datang kerumah Ki Lurah, karena Guru tentu merasa wajar jika Gurulah yang singgah."
"Bukan maksudku." sahut Ki Lurah dengan serta merta, "aku merasa senang untuk dapat berbicara langsung dengan Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka."
"Sebenarnyalah ada persoalan yang memang sebaiknya dibicarakan dengan Guru dan Ki Patih Mandaraka." berkata Agung sedayu kemudian.
Kelana Buana 27 Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley Raja Silat 4
^