Api Di Bukit Menoreh 19
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19
Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Glagah Putihpun telah sampai pada puncak kemampuannya sebagai pewaris ilmu Ki Sadewa. Karena itu, maka iapun telah bergerak dengan unsur-unsur gerak yang sulit diikuti oleh lawan-lawannya. Apalagi ditangannya tergenggam ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Meskipun Glagah Putih tidak memiliki kemampuan bergerak secepat Agung Sedayu yang dapat seakan-akan mengabaikan berat tubuhnya, namun bagi lawan-lawannya, Glagah Putih itu sudah berada di luar jangkauan mereka.
Karena itu, maka sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah berteriak tertahan. Ujung ikat pinggang Glagah Putih telah menyentuhnya. Hanya goresan yang tidak terlalu dalam. Namun rasa-rasanya ikat pinggang itu demikian tajamnya mengoyak kulitnya.
Keseimbangan yang berubah itu memang membuat pemimpin kelompok itu menjadi cemas. Sejak mereka berangkat, pemimpin kelompok itu sudah mengeluh, bahwa orang-orang yang dibawanya bukanlah orang-orang yang memiliki ilmu setingkat dengan dirinya meskipun hanya satu atau dua orang. Yang diberikan kepadanya adalah enam orang, tetapi dengan ilmu yang kurang memadai.
Tetapi menurut perhitungan mereka, yang akan mereka hadapi hanya Sekar Mirah seorang diri. Demikian pula laporan dari seorang yang mengawasi rumah itu. Mereka melihat tiga orang keluar dari rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Namun mereka tidak menyadari bahwa Glagah Putih telah kembali ke rumah itu melalui jalan lain. Glagah Putih memang tidak masuk kembali ke halaman rumah itu lewat pintu regol halamannya, sehingga karena itu, ia telah luput dari pengawasan orang-orang yang berniat mengambil Sekar Mirah.
Namun seandainya mereka melihat Glagah Putih kembalipun mereka tidak akan terlalu banyak mempertimbangkannya, sebagaimana dua orang peronda itu. Menurut perhitungan mereka, kedua peronda itu adalah anak-anak yang tidak memiliki kemampuan olah kanuragan sama sekali sebagaimana anak-anak muda kebanyakan.
Pemimpin kelompok itupun kemudian menyadari, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang lebih baik dari Sekar Mirah. Sehingga karena itu, maka setelah berpikir sejenak, pemimpin kelompok itu berkata, "Cepat, tahan perempuan ini agar tidak melarikan diri. Aku akan membunuh anak muda itu."
Keempat orang itu dengan cepat tanggap. Seorang diantara mereka telah meninggalkan Glagah Putih dan langsung menghadapi Sekar Mirah. Demikian orang kedua meninggalkan Glagah Putih dan meloncat menghadapi Sekar Mirah dari sisi yang lain, maka pemimpin kelompok itu telah meloncat turun ke halaman.
Sekar Mirah berusaha mempergunakan kesempatan itu untuk mematahkan perlawanan kedua lawannya. Tetapi orang ketiga segera datang membantu kawan-kawannya. Bahkan kemudian orang keempat yang telah terluka itu.
Keempat orang itu mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka mula-mula hanya mendapat tugas untuk menahan agar Sekar Mirah tidak meninggalkan pendapa itu, karena ia dibutuhkan oleh pemimpinnya.
Dengan demikian Sekar Mirah menyadari, bahwa keempat orang itupun tentu tidak akan membunuhnya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah bertempur dengan beraninya. Tongkat bajanya telah terayun-ayun mengerikan.
Namun keempat orang itu memang membuat Sekar Mirah kadang-kadang menjadi bingung. Meskipun keempat orang itu semula tidak berniat untuk melukainya. Namun senjata keempat orang itu cukup berbahaya baginya. Justru karena keempat orang itu bukan pemimpin kelompok yang bertanggung jawab, maka kemungkinan sengatan ujung senjata memang lebih besar.
Seperti diperhitungkan oleh pemimpin kelompok itu, maka kemampuan Glagah Putih memang lebih tinggi dari Sekar Mirah. Meskipun anak muda itu baru tumbuh kemudian, namun kesempatannya berkenalan dengan Raden Rangga telah memberikan kesempatan yang jauh lebih besar dari Sekar Mirah. Apalagi pada dasarnya Glagah Putih adalah anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Apalagi ketika pemimpin kelompok yang kemudian bertempur dengan Glagah Putih itu berteriak, "Tahan perempuan itu. Jika ia memaksa, maka kalian mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan meskipun darah akan menitik dari kulitnya. Ada batas kesabaran."
Sekar Mirah menggeram. Ia sadar, bahwa orang itu tidak sekedar mengancam. Jika tugas mereka gagal, maka mereka tentu akan sampai pada kemungkinan terakhir. Membunuh.
Agaknya orang-orang itu telah melampaui batas pertama dari langkah-langkah yang dipersiapkan untuk mengambil Sekar Mirah itu, sehingga mereka sampai pada satu kemungkinan untuk melukainya.
Namun pemimpin kelompok itu masih berkata, "Tetapi ia harus ditangkap hidup-hidup meskipun terluka."
Keempat orang itu merasa lebih bebas untuk mengayunkan senjatanya. Mereka tidak terlalu tegang karena harus menahan diri demikian kemungkinan terbuka. Namun mereka harus menjaga agar perempuan itu tidak mati, karena ia masih akan dapat dipergunakan untuk memancing kehadiran Agung Sedayu.
Demikianlah maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah harus bertempur melawan empat orang. Namun seorang yang telah terluka itupun semakin lama menjadi semakin lemah. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi kulit yang menganga itu telah mengalirkan darah tanpa henti-hentinya. Karena itu, maka ia harus mengambil waktu untuk beru"saha menahan arus darahnya itu jika ia tidak benar-benar ingin kehabisan tenaga.
Sementara itu kedua peronda yang bertempur melawan dua orang itupun telah mengerahkan batas-batas terakhir dari kemampuan mereka. Rasa-rasanya tenaga merekapun telah terperas dalam pertempuran yang memang seimbang itu. Sehingga beberapa saat kemudian, tenaga mereka itu akan susut.
Sekilas para peronda itu melihat kentongan yang tergantung diserambi. Namun mereka memang harus memperhatikan Sekar Mirah. Dalam keadaan yang terpaksa, Sekar Mirah memang akan dapat dibunuh.
Namun kedua peronda itu melihat bahwa Sekar Mirah masih mampu bertahan beberapa saat. Apalagi setelah lawannya berkurang dengan seorang. Atau jika orang yang terluka itu mencoba untuk berdiri di arena, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak, karena darahnya yang mengalir. Semakin banyak ia bergerak, maka darahnyapun bagaikan diperas lewat lukanya.
Sekar Mirah memang mampu bertahan untuk beberapa lama. Tiga orang lawannya bukannya orang yang memiliki ilmu sebagaimana pemimpin kelompok itu. Karena itu, maka ayunan senjata Sekar Mirahlah yang telah menggetarkan senjata lawan-lawannya pada setiap benturan. Bukan sebaliknya.
Sebenarnyalah bahwa ketiga orang lawannya semakin lama semakin tidak menahan diri. Mereka telah mendapat wewenang untuk jika perlu melukai perempuan yang akan mereka ambil itu. Bahkan dalam kemungkinan terakhir, membunuhnya jika perlu.
Tetapi Sekar Mirah cukup garang bagi ketiga orang itu. Tongkat baja putihnya terayun-ayun mengerikan. Dalam benturan benturan yang terjadi kemudian, ketiga orang lawannya harus mengakui bahwa Sekar Mirah memang seorang perempuan yang pilih tanding.
Tidak mudah bagi lawan-lawannya untuk dapat menyentuh kulitnya meskipun ia tidak mengekang diri. Kakinya menjadi semakin cepat bergerak melontarkan tubuhnya. Demikian Sekar Mirah mengayunkan tongkat baja putihnya dengan kekuatan yang sangat besar, namun kemudian ia menggeliat menghindari tusukan ujung senjata lawannya yang lain seakan-akan sedang menari.
Tetapi ketiga orang itupun termasuk orang-orang yang berpengalaman. Mereka adalah orang-orang yang kasar dan keras. Hanya karena mereka berusaha untuk menangkap Sekar Mirah dalam keadaan hidup, maka mereka menjadi agak mengekang diri. Namun semakin lama sifat mereka itupun menjadi semakin nampak muncul kepermukaan.
Ketika mereka mulai menjadi liar, maka Sekar Mirah memang agak menjadi gelisah. Sekali-sekali terdengar orang-orang itu mengumpat meskipun tidak berteriak-teriak. Agaknya mereka masih berusaha agar kehadiran mereka tidak didengar oleh tetangga-tetangga yang akan dapat membuat rencana mereka semakin rusak.
Sementara itu, pemimpin dari sekelompok orang itu, memang sudah menjadi gelisah. Ia merasa sudah terlalu lama berada dirumah Sekar Mirah. Pada satu saat Agung Sedayu tentu akan kembali.
Karena itu, maka iapun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan anak muda yang telah berani menghalangi rencananya itu, namun yang tidak dapat diingkari, bahwa anak muda itu ternyata juga berilmu tinggi.
Sejenak kemudian, maka orang itupun telah meningkatkan kemampuannya pula. Tiba-tiba saja kekuatan orang itu bagaikan meningkat semakin besar. Ketika kemudian terjadi sentuhan, rasa-rasanya tubuh orang itu menjadi semakin keras.
Glagah Putih menyadari, bahwa orang itu telah memasuki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika ia melihat, jejak kaki orang itu nampak semakin dalam membekas di halaman. Seakan-akan berat badannya menjadi berlipat sehingga kakinya dan geraknya masih saja nampak ringan dan tangkas.
Glagah Putih teringat pada Bandar Anom. Meskipun berbeda tetapi ada beberapa unsur yang mirip. Bagaimanapun juga orang itu agaknya mempunyai hubungan dengan Bandar Anom atau kawannya yang pengecut itu.
Namun Glagah Putih tidak dapat merenungi lebih lama. Orang itu benar-benar menjadi semakin garang. Rasa-rasanya setiap sentuhan senjata, kekuatan orang itu bagaikan semakin meningkat. Bahkan ketika Glagah Putih harus bergeser menghindari serangannya dan kemudian menangkis senjatanya kesamping, sementara itu sambil berputar Glagah Putih mengayunkan kakinya dan mengenai tubuhnya, kaki Glagah Putih rasa-rasanya akan menjadi patah karenanya. Tubuh orang itu seakan-akan telah berubah menjadi besi.
"Apakah orang ini memiliki ilmu kebal?" pertanyaan itu telah menyentuh jantung Glagah Putih.
Sementara itu orang itu menjadi semakin garang. Ia harus dengan cepat menyelesaikan Glagah Putih dan kemudian membawa Sekar Mirah pergi.
Namun Glagah Putih tidak mudah menyerah. Ikat pinggangnya berputaran menyambar-nyambar, sehingga pada suatu saat sempat menyusup disela-sela pertahanan lawannya, mengenai tubuhnya. Namun Glagah Putih harus meloncat surut. Ternyata ikat pinggangnya tidak melukai tubuh orang itu. Tubuh yang seakan-akan telah berubah menjadi sekeras besi.
Bahkan orang itu tiba-tiba saja tertawa, "Ayo anak muda. Kerahkan segala macam ilmumu. Atau menyerah sajalah. Kau akan mati dengan cara yang baik. Kemudian aku akan membawa perempuan itu bersama kami."
Glagah Putih termangu-mangu. Orang itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Apalagi orang yang disebut-sebutnya sebagai gurunya. Tentu ilmunya jauh lebih tinggi, kecuali jika orang ini mampu meningkatkan ilmunya dan mengembangkannya menjangkau kemampuan gurunya.
"Menyerah sajalah. Perlawananmu sia-sia." berkata orang itu pula.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia bertekad untuk menjawab tantangan itu. Tidak ada ilmu yang sempurna. Jika saja ilmu kebal orang itu belum sampai pada tataran yang sempurna itu, maka tentu ada cara untuk menembusnya. Bahkan ilmu kebal Agung Sedayupun masih juga dapat ditembus oleh ilmu yang sangat tinggi.
Karena itu, Glagah Putih telah mengerahkan ilmunya. Ia masih belum berniat untuk menyerang lawannya dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya. Tetapi ia ingin menembus ilmu kebalnya dengan senjatanya itu. Senjata yang bukan senjata kebanyakan. Tetapi senjata yang diterimanya dari seorang yang sangat dihormati bukan saja karena kedudukannya yang tinggi, tetapi juga karena ilmunya.
Namun bukan saja tergantung kepada senjata itu. Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya sampai kepuncak kemampuannya berdasarkan ilmu yang diwarisinya dari jalur Ki Sadewa. Dengan memusatkan nalar budinya, maka ilmu itu seakan-akan telah siap tersalur lewat tangannya dan kemudian mengalir ke ujung ikat pinggangnya itu.
Dengan demikian, maka kekuatan dan kemampuan Glagah Putihpun bagaikan berlipat. Ikat pinggangnya yang berputaran telah mendesing seperti suara sendaren dipunggung burung merpati yang terbang tinggi.
Kedua orang yang bertempur itu telah mengerahkan ilmu masing-masing. Keduanya berloncatan dengan cepat dan tangkas. Masing-masing berusaha untuk menghindari serangan lawannya atau menangkisnya dengan membenturkan senjatanya.
Namun ketika kemudian terjadi benturan, maka lawan Glagah Putih itupun terkejut. Lawannya tiba-tiba saja telah meningkatkan kekuatannya dengan hampir berlipat. Karena itu, hampir saja senjata lawan Glagah Putih itu terlepas.
Selagi lawannya berusaha memperbaiki keadaan, maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan kemampuannya yang sangat besar, dan kekuatannya yang berlipat, Glagah Putih telah mengayunkan senjatanya mendatar, menyusup dibawah pertahaan lawan yang sudah goyah.
Lawannya tidak berusaha untuk menangkisnya lagi. Jika sekali lagi terjadi benturan senjata, maka senjatanya tentu akan terlepas. Namun iapun sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, sehingga karena itu, maka lawan Glagah Putih itu telah mempercayakan perlindungan ilmu kebalnya.
Sesaat kemudian senjata Glagah Putih memang seakan-akan telah membentur dinding besi. Namun kekuatan yang dilontarkan oleh ilmu yang diwarisinya dari jalur Ki Sadewa adalah demikian besarnya, sehingga karena itu, maka seolah-olah memang telah terjadi benturan yang sangat kuat. Benturan kekuatan ilmu Glagah Putih yang sangat besar dengan perisai yang melindungi tubuh lawannya, yang seakan-akan dapat menjadikan kulit dagingnya bagaikan dilapisi oleh lempeng lempeng besi baja.
Namun ternyata kekuatan Glagah Putih dengan lambaran ilmunya terlalu besar bagi kekuatan ilmu kebal lawannya. Meskipun senjata Glagah Putih hanya ikat pinggang kulit. Namun ternyata senjata itu dialasi dengan kekuatan ilmunya telah mampu mengoyak ilmu kebal lawannya.
Terdengar lawannya mengaduh tertahan. Lawannya yang terlalu yakin akan perisai ilmu kebalnya itu terlempar beberapa langkah surut. Bukan hanya terdorong surut, tetapi ternyata ikat pinggang Glagah Putih itu telah melukai kulit lawannya. Meskipun goresan itu tidak dalam, tetapi cukup mendebarkan bagi lawan Glagah Putih itu.
Baju orang itu telah terkoyak di bagian dada tembus sampai kekulit, melintang hampir selebar dada orang itu. Dari goresan yang tidak dalam itu, memang sudah mulai menitik darah. Bahkan karena keringat orang itu yang membasahi seluruh kulitnya, maka luka itu terasa sangat pedih.
"Anak iblis." orang itu mengumpat, "kau mampu menembus ilmu kebalku."
"Kau yang anak iblis." Glagah Putihpun membentak, "kau ternyata memiliki ilmu kebal."
Orang itu memandang wajah Glagah Putih dengan sorot mata yang menyala. Sekilas ia melihat ketiga orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Namun ia tidak dapal menentukan, apakah ketiganya akan berhasil.
Namun kemarahan yang menghentak jantungnya telah membuatnya mata gelap sehingga ia berteriak, "Jangan segan-segan lagi. Paksa perempuan itu menyerah, meskipun kau hanya mendapatkan mayatnya."
"Persetan." suara Glagah Putihpun terdengar garang, "aku akan membunuh kalian."
Orang yang mempunyai ilmu kebal itu telah bersiap untuk menyerang Glagah Putih. Ia telah mengerahkan segenap ilmunya sehingga ia berharap ilmu kebalnya akan menjadi semakin kuat. Namun dengan demikian maka darahnyapun menjadi semakin banyak mengalir.
Glagah Putihpun telah bersiap. Iapun menjadi marah seperti lawannya. Namun ia masih selalu mampu mengendalikan nalar budinya sehingga tidak sekedar hanyut dalam arus perasaannya.
Ketiga orang lawan Sekar Mirah itupun telah menghentakkan kemampuan mereka pula. Mereka bertempur dengan keras dan kasar. Mereka semakin lama telah menjadi semakin liar. Umpatan-umpatan kotor telah keluar dari mulut mereka. Kata-kata yang tidak pantas didengar orang, apalagi seorang perempuan.
Untunglah bahwa Sekar Mirah tetap sadar, bahwa kecuali untuk mendorong menghentakkan kekuatannya dan kemampuannya, maka orang-orang itu dengan sengaja berusaha mempengaruhi Sekar Mirah. Jika secara jiwani Sekar Mirah telah terpengaruh, maka ia tentu tidak akan mampu memusatkan pikiran dan kemampuan ilmunya untuk menghadapi ketiga orang itu.
Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi bingung karenanya. Ia sadar sepenuhnya apa yang dihadapinya. Karena itu, maka penalarannya tetap berjalan dengan bening meskipun ia menjadi sangat marah menghadapi lawan-lawannya. Namun dengan demikian, kemarahan Sekar Mirah yang disadari sepenuhnya itu justru telah membuatnya sangat berbahaya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga, kemampuan Sekar Mirahpun terbatas. Setelah memeras kekuatan dan kemampuannya, maka Sekar Mirah tidak mampu lagi mengatasi keterbatasannya. Tenaganya perlahan-lahan sekali mulai susut. Tetapi bukan berarti bahwa kekuatan lawan-lawannya tidak menjadi susut karenanya. Merekapun telah memaksa diri untuk mengatasi desing putaran tongkat baja putih Sekar Mirah.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran antara Sekar Mirah dan ketiga lawannya tidak berubah dengan tajam. Kedua belah pihak mulai menghemat tenaga mereka, agar mereka tidak kehabisan nafas disaat-saat yang paling gawat.
Demikian pula dua orang peronda yang bertempur melawan dua orang yang tidak dikenal itu. Merekapun harus menghemat tenaga mereka. Karena itu, maka keduanya lebih baik bertahan daripada menyerang. Karena dengan demikian keduanya dapat menghemat tenaga mereka.
Tetapi lawan-lawan merekapun telah melakukan hal yang hampir sama. Keduanya juga tidak lagi menghambur-hamburkan tenaga. Mereka mulai benar-benar memperhitungkan segala gerak yang mereka lakukan, sehingga hanya dalam keadaan yang paling penting saja mereka bergerak.
Berbeda dengan mereka adalah Glagah Putih. Glagah Putih yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, masih belum merasa perlu menghemat tenaganya. Bahkan ia telah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menembus ilmu kebal lawannya yang ditingkatkan.
Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, maka Glagah Putih memang menjadi garang. Sekali-sekali benturan masih terjadi. Namun dengan gerakan yang semakin cepat, maka senjata Glagah Putih telah mampu menyusup pertahanan lawannya dan langsung membentur ilmu kebalnya.
Ternyata kemampuan Glagah Putih benar-benar diluar dugaan lawannya. Anak yang masih muda itu ketika membentur ilmu kebalnya dengan senjatanya yang aneh itu, benar-benar telah berhasil menembusnya sekali lagi. Bukan kebetulan bahwa lawannya lengah, tetapi kemampuan Glagah Putih benar-benar diatas tingkat ilmu kebal lawannya. Sebuah luka telah tergores lagi ditubuh lawannya. Pundaknyalah yang telah dilukai oleh senjata Glagah Putih.
Kemarahan yang tidak ada taranya telah bergejolak dihati lawan Glagah Putih itu. Karena itu, maka agaknya orang itu tidak lagi mengekang dirinya. Ia benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi. Luka ditubuhnya adalah pertanda runtuhnya harga dirinya diantara saudara-saudara seperguruannya. Karena itu, maka orang itupun telah memutuskan untuk menghancurkan lawannya dengan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakan kecuali dalam keadaan yang paling gawat, untuk menebus kekalahannya itu. Dalam keadaan yang terdesak, maka orang itu telah meloncat mengambil jarak. Iapun segera berdiri tegak dan menyilangkan tangan didada.
Glagah Putih sudah siap memburunya. Namun iapun segera menghentikan langkah. Ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya telah memusatkan nalar budinya untuk menghancurkannya.
Tetapi Glagah Putih tidak sempat berbuat sesuatu. Tiba-tiba diseputar tubuh orang itu udara bagaikan berputar. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya menjadi angin pusaran mengitarinya. Namun sejenak kemudian angin pusaran itu telah terlepas dari tubuh itu. Dengan cepat angin pusaran itu telah bergerak kearah Glagah Putih.
Glagah Putih sadar sepenuhnya, bahwa angin pusaran itu adalah ungkapan kekuatan yang sangat dahsyat. Jika ia tersentuh oleh angin pusaran itu, maka tubuhnyapun akan terputar pula. Bahkan mungkin terangkat dan dilemparkan dari ketinggian yang mengerikan.
Karena itu, ketika angin pusaran itu seakan-akan menyerangnya, maka Glagah Putih telah meloncat dengan cepat menghindarinya. Tetapi pusaran yang tajam itu seolah-olah mempunyai mata yang dapat menuntunnya mengejar Glagah Putih.
Ketika Glagah Putih meloncat ke bawah sebatang pohon jambu air, maka pusaran itu telah menyerangnya pula. Demikian Glagah Putih meloncat menghindar, maka pohon jambu air itulah yang telah diputarnya. Terdengar gemerasak daunnya dan derak cabang-cabangnya yang patah.
Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Ia menyadari betapa besarnya kekuatan angin pusaran yang nampaknya tidak lebih besar dari pusaran tubuh lawannya itu.
Derak dahan-dahan yang patah memang telah mengejutkan Sekar Mirah dan kedua orang peronda yang sedang bertempur itu. Sesaat Sekar Mirah sempat melihat apa yang terjadi di halaman. Ia melihat dahan yang patah itu runtuh ditanah.
Jantung Sekar Mirah memang tergetar. Ia menyadari be"tapa tinggi ilmu orang itu. Jika ilmu itu ditrapkan kepadanya, maka agaknya ia tidak akan mampu mengatasinya.
Sementara itu salah seorang dari lawan Sekar Mirah itu sempat berkata, "Nah, kau lihat. Jika batas kesabaran itu sudah dilampaui, maka Ki Lurah itu benar-benar telah bertindak tegas. Karena itu, menyerahlah. Kau tidak akan dikenai oleh ilmunya yang dahsyat itu."
"Cukup." bentak Sekar Mirah. "Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku" Sebentar lagi kalian bertiga akan mati."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Kau coba menghibur dirimu sendiri."
Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun telah meloncat sambil memutar tongkat baja putihnya melihat ketiga orang lawannya itu. Namun tenaga Sekar Mirah tidak lagi seutuh saat ia mulai bertempur.
Sementara itu, putaran angin pusaran itu benar-benar telah mengguncang perasaan kedua orang peronda yang masih bertahan. Rasa-rasanya segala sesuatunya akan segera berakhir. Namun demikian keduanya adalah pengawal yang mengemban tanggung jawab. Karena itu, maka kedua orang itu sama sekali tidak kehilangan gelora didadanya. Apapun yang akan terjadi, mereka tidak berniat untuk melangkah surut. Adalah menjadi tugas mereka untuk melawan siapapun yang akan membuat kericuhan di Tanah Perdikan. Apalagi sudah berniat untuk membunuh dan menculik.
Meskipun tenaga mereka sudah surut, namun keduanya masih berusaha untuk bertahan dan bahkan menyerang lawan-lawannya. Apalagi karena lawan-lawan merekapun telah memeras kekuatan mereka pula.
Balas " On 16 Juni 2009 at 15:08 Mahesa Said:
Sementara itu, Glagah Putih masih harus berusaha menghindarkan diri dari kejaran angin pusaran itu. Sebagai seorang yang banyak berhubungan dengan ilmu kanuragan maka Glagah Putih itupun segera mengetahui, bahwa landasan dasar ilmu lawannya adalah Aji Cleret Tahun yang sudah jarang ditemui. Namun yang memang mempunyai kekuatan yang luar biasa dahsyatnya.
Beberapa kali Glagah Putih memang harus berloncatan menghindari kejaran ilmu itu. Namun dengan demikian maka batang-batang perdu di halaman rumah itu seakan-akan telah digulung dan dilontarkan naik ke udara.
Beberapa saat Glagah Putih harus meloloskan diri. Namun angin pusaran yang dahsyat itu tidak juga susut. Karena itu, maka akhirnya Glagah Putih telah memutuskan untuk mencoba melawan ilmu itu dengan ilmunya. Apapun yang akan terjadi, ia tidak boleh sekedar berlari-larian.
Apalagi ketika terdengar suara lawannya itu bagaikan bergaung di seluruh langit. "Menyerahlah untuk mati. Kau akan diputar dan dilontarkan dari udara. Tubuhmu akan terbanting di tanah dan hancur lumat."
Glagah Putih menggeram, namun Glagah Putih ternyata berhasil. Ia dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memusatkan nalar budi. Sementara itu gulungan angin pusaran itu telah bergerak dengan cepat menyusulnya.
Namun Glagah Putih telah bersiap. Ia adalah murid Ki Jayaraga yang mampu menyadap inti kekuatan angin disamping kekuatan api, air dan bumi. Dengan menghentakkan kekuatan dan kemampuan ilmunya yang telah terangkat semakin tinggi oleh limpahan kemampuan Raden Rangga, maka Glagah Putih telah menjulurkan tangannya kedepan dengan telapak tangan menghadap ke arah angin pusaran yang menyambarnya dengan cepat.
Tetapi tepat pada waktunya, maka kekuatan dan kemampuan ilmu Glagah Putih telah terlontar pula. Kekuatan yang luar biasa besarnya yang disadapnya dari inti kekuatan angin. Satu hembusan yang tidak terukur kekuatannya telah terlontar mengarah pada pusat angin pusaran itu. Satu ledakan telah terjadi. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling berbenturan.
Demikian dahsyatnya sehingga gelombang ledakan karena benturan itu telah menghantam Glagah Putih yang masih berdiri di tempatnya. Namun Glagah Putih tidak melawan dorongan gelombang udara itu. Dibiarkannya tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dengan mapan Glagah Putih menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Dengan demikian maka tubuhnya justru tidak mengalami benturan yang dapat melukai bagian dalamnya, meskipun punggungnya terasa sakit meskipun ia jatuh dengan mapan.
Tetapi sesaat kemudian, Glagah Putih itu dengan tangkasnya telah melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Glagah Putih yang telah berdiri itu masih sempat melihat angin pusaran yang dilepaskan oleh lawannya bagaikan pecah berhamburan. Memang terasa angin yang bergejolak tidak terarah. Kekuatan angin pusaran yang dilepaskan oleh Glagah Putih telah berbaur setelah saling mendesak.
Namun angin pusaran itu tidak mampu lagi menemukan bentuknya. Sehingga karena itu, setelah seluruh pepohonan di halaman itu bagaikan diguncang, maka keadaan mulai menjadi tenang.
"Anak iblis." orang yang melepaskan angin pusaran itu mengumpat. Tetapi nampaknya ia menjadi sangat marah de"ngan serangan yang gagal itu. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk mengulanginya. Setelah mengambil tempat, maka iapun kemudian bersikap. Berdiri tegak dengan tangan bersilang didada.
Glagah Putih melihat sikap itu dengan gelisah. Ia tidak ingin diburu lagi oleh angin pusaran yang barangkali tidak hanya segulung. Mungkin orang itu akan melepaskan dua atau tiga gulung yang akan dapat menghancurkan bukan saja dirinya, tetapi juga pendapa rumah Agung Sedayu bersama Sekar Mirah dengan tanpa menghiraukan orang-orangnya sendiri akan ikut hancur di dalamnya. Karena itu, maka Glagah Putih telah berniat untuk mematahkan serangan itu justru ketika masih ada pada sumbernya.
Dengan demikian maka Glagah Putihpun segera menghadap kearah lawannya. Ketika ia mulai melihat kabut yang mulai berputar mengelilinginya, maka Glagah Putih telah menjulurkan tangannya. Kedua telapak tangannya menghadap kearah lawannya.
Seperti yang telah terjadi, maka satu hentakkan ilmu telah memancar dari kedua telapak tangan Glagah Putih. Satu hembusan angin yang sangat kuat telah menghantam lawannya yang sedang mempersiapkan ilmunya.
Ternyata akibatnya sangat pahit bagi lawan Glagah Putih itu. Kekuatan ilmu Glagah Putih telah membentur ilmu lawannya yang telah siap dilepaskannya. Namun benturan yang dahsyat itu telah menimbulkan guncangan udara yang luar biasa besarnya, justru pada saat kekuatan ilmu lawan Glagah Putih itu masih diambang pintu.
Karena itu, maka lawan Glagah Putih itu telah terhempas oleh kakuatan yang sangat besar tanpa dapat mengendalikan diri sebagaimana Glagah Putih. Ia tidak dapat menjatuhkan dirinya dengan mapan. Tetapi lawan Glagah Putih itu telah terhempas cukup jauh membentur dinding halaman rumah Agung Sedayu.
Dinding itu sendiri yang tidak langsung terkena hembusan kekuatan ilmu Glagah Putih masih mampu bertahan. Sehingga karena itu, maka tubuh lawan Glagah Putih yang terlempar itulah yang mengalami benturan yang kuat dengan dinding halaman Agung Sedayu itu.
Tidak terdengar keluhan ataupun teriakan. Tidak terdengar suara orang yang terbentur dinding itu selain suara benturan itu sendiri.
Sejenak kemudian, maka keadaannya telah menjadi hening. Ketiga orang lawan Sekar Mirah berusaha untuk mengambil jarak. Mereka mencoba memperhatikan apa yang telah terjadi di halaman. Sejak benturan kekuatan antara angin pusaran dan hembusan ilmu Glagah Putih dan kemudian serangan Glagah Putih langsung ke arah sumber ilmu yang melepaskan Aji Cleret Tahun itu, ketiga orang itu telah menjadi bingung.
Demikian pula kedua orang yang bertempur dengan pengawal Tanah Perdikan itu. Keduanya untuk beberapa saat bagaikan membeku.
Glagah Putih yang telah melepaskan kekuatannya itupun menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin membunuh lawannya itu, karena lawannya itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang diperlukan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan dirinya sendiri karena orang itu sebenarnya terlalu jauh sehingga tubuh dan kepalanya telah membentur dinding halaman, sehingga nampaknya orang itu tidak dapat ditolong lagi.
Selangkah demi selangkah Glagah Putih mendekati orang yang terbaring diam itu. Ia masih harus berhati-hati. Namun ketika kemudian ia menyentuh orang itu dan menelentangkannya, maka iapun pasti bahwa orang itu telah terbunuh.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah kependapa sambil berkata lantang, "Pemimpinmu ternyata telah terbunuh diluar kehendakku. la tidak dapat mempertahankan dirinya dan membentur dinding halaman itu."
Orang-orangnyapun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun mereka memang sudah tidak mempunyai harapan lagi. Pemimpinnya yang dianggap orang yang berilmu tinggi, ternyata tidak dapat bertahan melawan Glagah Putih yang masih muda itu. Apalagi mereka.
Ternyata orang-orang itu telah mencoba memandang berkeliling. Agaknya mereka memang sedang mencari kemungkinan untuk meloloskan diri. Namun tiba-tiba pintu regolpun telah berderak terbuka. Beberapa orang dengan tergesa-gesa telah memasuki halaman rumah itu. Diantara mereka adalah Agung Sedayu dan Ki Jayaaga. Beberapa pengawalpun segera menebar disekeliling halaman. Dua orang diantara mereka terkejut ketika mereka melihat sesosok tubuh yang terbaring di halaman hampir melekat dinding.
Agung Sedayu dengan tergesa-gesa meloncat berlari mendapatkan isterinya. Sambil memegang kedua bahu isterinya, Agung Sedayu bertanya dengan nada cemas, "Bagaimana keadaanmu Mirah?"
Terasa sesuatu bagaikan menyumbat kerongkongan perempuan itu, sementara pelupuknya menjadi berat. Tetapi Sekar Mirah tidak mau menunjukkan kecengengannya meskipun ia seorang perempuan. Bahkan ia telah mencoba tersenyum sambil berkata, "Aku baik-baik saja kakang. Beruntunglah bahwa kau kirim Glagah Putih kembali. Ternyata ada beberapa orang yang berniat jahat kepadaku."
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka akan menculik aku. Dengan demikian mereka akan memaksa kakang Agung Sedayu untuk menyerah. Bahkan jika mungkin juga kakang Swandaru serta kekuatan-kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu serta di Kademangan Sangkal Putung." berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia dapat bertahan terhadap orang-orang yang berniat jahat kepadanya. Tetapi agaknya lain terhadap orang-orang yang berniat jahat kepada isterinya.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkisar dan berpaling kepada ketiga orang yang telah bertempur melawan Sekar Mirah. Namun tiba-tiba ketiga orang itupun menjadi gemetar. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali melemparkan senjata mereka. Hampir berbareng ketiganya berjongkok sambil berkata dengan kata-kata memelas, "Kami mohon ampun."
Agung Sedayu masih saja menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu Sekar Mirah berkata, "Yang seorang diantara mereka, yang justru mempunyai ilmu tertinggi telah diselesaikan oleh Glagah Putih."
Agung Sedayu memandang Glagah Putih yang masih berada di halaman. Namun Agung Sedayu masih belum bertanya kepadanya. Tetapi kepada para pengawal Agung Sedayu minta orang-orang yang menyerah itu ditangkap. Termasuk dua orang yang bertempur melawan dua orang peronda itu.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayupun telah duduk dipendapa bersama Sekar Mirah, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan beberapa orang pemimpin pengawal yang datang bersamanya. Sementara itu, orang yang telah terbunuh oleh Glagah Putih telah dibaringkan pula di pendapa itu.
Dengan singkat Sekar Mirah telah menceriterakan peristiwa yang terjadi di rumah itu. Kedua orang peronda yang datang kerumah itupun telah melengkapi ceritera Sekar Mirah pula.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika sekilas ia memandang ke halaman, maka beberapa orang duduk di halaman dengan tangan terikat dibelakang punggungnya dijaga oleh beberapa orang pengawal bersenjata.
"Sayang, orang itu terbunuh." desis Agung Sedayu.
Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Namun yang menjawab adalah Sekar Mirah. "Orang itu memiliki ilmu yang dahsyat sekali. Kau lihat, pohon jambu air itu" Dahannya berpatahan diputar oleh ilmu orang itu."
Ketika Agung Sedayu mengerutkan dahinya, Glagah Pulih berdesis perlahan penuh keragu-raguan, "Aji Cleret Tahun."
"O." Agung Sedayu mengangguk-angguk, "agaknya itulah yang dilihat oleh dua orang peronda yag kemudian berlari-lari memberitahukan kepada kami di rumah Ki Gede, sehingga kamipun dengan tergesa-gesa kembali."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Satu pendadaran bagi Glagah Putih. Ternyata ia mampu mengatasi Aji Cleret Tahun yang garang itu."
"Kita harus mendapatkan keterangan dari orang-orang yang tertangkap hidup-hidup. Tetapi agaknya keterangan mereka tidak akan dapat menuntun kita sampai ke pusat gerakan itu. Namun agaknya sudah dapat ditebak." berkata Agung Sedayu.
"Justru pada saat Tanah Perdikan akan menerima tamu seseorang yang kedudukannya cukup penting." berkata Ki Jayaraga, "sehingga karena itu, maka segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia ditandai oleh lawan-lawan Mataram. Meskipun ia bukan seorang pemimpin di Mataram. Meskipun ia bukan seorang Senapati atau orang yang memegang kendali pemerintahan.
"Kita bawa orang-orang itu ke rumah Ki Gede. Sudah tentu orang itu tidak berasal dari lingkungan yang sama dengan orang-orang yang kita temui kemarin di pinggir hutan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diluar sadarnya Sekar Mirah bertanya, "Apakah kakang Agung Sedayu akan pergi lagi?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menyadari, bahwa sebenarnyalah kegelisahan masih mencengkam jantung Sekar Mirah, sehingga ia tidak ingin ditinggalkannya lagi. Meskipun Sekar Mirah tidak terbiasa merasa ketakutan, namun apa yang baru saja terjadi benar-benar telah membuatnya sangat gelisah.
Karena itu, maka Agung Sedayupun menyahut, "Biarlah Glagah Putih membawa mereka ke rumah Ki Gede. Termasuk seorang yang terbunuh itu. Aku akan berada di rumah."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putihlah yang kemudian membawa beberapa orang tawanan ke rumah Ki Gede. Demikian pula sesosok mayat yang besok akan dikuburkan.
"Kau aporkan apa yang telah terjadi kepada Ki Gede." pesan Agung Sedayu kepada Glagah Putih.
Sebenarnyalah, Glagah Putih telah memberikan laporan tentang kedatangan orang-orang yang akan menculik Sekar Mirah. Mereka telah berusaha untuk melakukannya dengan kekerasan. Bahkan mereka telah mengatakan, jika mereka gagal menculik Sekar Mirah, maka mereka akan membunuhnya.
"Siapa mereka?" bertanya Ki Gede.
Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, "Kami belum tahu Ki Gede. Kami belum sempat berbicara dengan orang-orang itu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah menurut dugaanmu orang-orang ini ada hubungannya dengan orang-orang yang kau temukan di pinggir hutan itu?"
"Secara langsung agaknya tidak Ki Gede." jawab Glagah Putih, "tetapi mungkin orang-orang dipinggir hutan itu telah diperalatnya."
"Baiklah. Biarlah mereka ditempatkan ditempat yang lain. Biarlah orang-orang yang baru saja kau tangkap itu disimpan ditempat yang lebih rapat. Sementara orang-orang yang kau bawa dari pinggir hutan itu dapat disimpan di gandok kiri."
"Tetapi mereka tetap memerlukan pengawalan yang kuat." berkata Glagah Putih, "meskipun orang-orang itu sendiri tidak begitu berbahaya. Tetapi mungkin ada golongan lain yang memerlukan mereka atau justru membungkam mereka."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putihpun telah memberitahukan, bahwa nampaknya Sekar Mirah yang mengalami tekanan batin, masih memerlukan kehadiran Agung Sedayu dirumahnya.
"mBokayu tidak pernah mengalami kegelisahan dan mungkin kecemasan seperti itu." berkata Glagah Putih.
"Baiklah." berkata Ki Gede, "besok mayat itu akan dikubur. Sayang. Kita tidak dapat bertanya lebih banyak tentang dirinya dan orang-orang yang berdiri dibelakangnya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi baginya, tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukannya, jika ia sendiri ingin digulung oleh angin pusaran, dilemparkan ke udara dan jatuh terbanting ditanah sehingga tulang-tulangnya berpatahan.
Ketika Glagah Putih minta diri, maka Ki Gede telah memerintahkan para pengawal untuk bersiaga sepenuhnya. Kentonganpun telah disiapkan. Jika terjadi sesuatu maka para pengawal akan dapat dengan cepat digerakkan. Bukan saja pengawal di padukuhan induk, tetapi pengawal di semua padukuhan di Tanah Perdikan.
Dirumah Agung Sedayu, beberapa orang duduk berbincang di pendapa, termasuk Sekar Mirah dan pemimpin Pasukan Pengawal di padukuhan induk.
"Padahal besok aku harus pergi." berkata Agung Sedayu.
"Dengan siapa kau akan pergi kakang" Aku minta kakang tidak pergi sendiri." minta Sekar Mirah.
Agung Sedayu termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa sangat berbahaya pergi sendiri.
Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, "Aku akan pergi dengan Glagah Putih. Aku minta Ki Jayaraga membantu Ki Gede mempersiapkan Tanah Perdikan ini. Setelah besok, maka hanya tinggal ada waktu sehari. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kita sudah terlanjur tidak dapat merahasiakan lagi kehadiran Ki Mandaraka di Tanah Perdikan ini."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Namun mulai besok, pasukan pengawal harus sudah benar-benar bersiaga diseluruh Tanah Perdikan."
Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Besok sebelum aku berangkat mencari Ki Waskita, aku harus berbicara dengan Ki Gede dan para pemimpin pengawal."
"Nampaknya kita harus bersungguh-suhgguh." berkata Ki Jayaraga.
Demikianlah, maka malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih hanya sempat beristirahat beberapa saat. Namun bagi mereka, yang beberapa saat itu telah dapat membuat tubuh mereka menjadi segar.
Pagi-pagi benar Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah bersiap. Iapun kemudian telah minta diri kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Keduanya akan pergi menemui Ki Waskita dan sebelumnya mereka akan singgah dirumah Ki Gede.
Dirumah Ki Gede, Agung Sedayu telah memberikan beberapa pesan kepada Prastawa untuk mengatur para pengawal. Prastawa diminta untuk memanggil semua pemimpin pengawal dari semua padukuhan untuk berbicara tentang pengamanan seluruh Tanah Perdikan Menoreh.
"Segalanya harus diatur sebaik-baiknya." berkata Agung Sedayu.
Prastawa mengangguk-angguk. Dengan mantap ia berkata, "Aku akan segera memanggil mereka. Pagi ini juga."
"Maaf, Glagah Putih belum dapat ikut membantu tugasmu pagi ini. Aku membawanya memanggil Ki Waskita." berkata Agung Sedayu.
"Semuanya akan berjalan lancer." jawab Prastawa.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata, "Tetapi ingat. Peristiwa itu terjadi berurutan. Tentu ada niat yang telah terencana. Karena itu, kita tidak boleh lengah. Semua jalur jalan memasuki Tanah Perdikan, bahkan pematang dan padang perdu, lereng-lereng pebukitan harus mendapat pengawasan."
"Aku mengerti." berkata Prastawa, "karena itu, maka para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan harus segera berkumpul."
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah mohon diri kepada Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan untuk pergi kerumah Ki Waskita. Agung Sedayu berniat untuk minta agar Ki Waskita bersedia datang hari itu juga, mendahului para tamu dari Mataram.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka Prastawapun telah melaksanakan segela pesan Agung Sedayu. Para pemimpin pengawal Tanah Predikanpun telah dikumpulkan. Ki Gede yang hadir telah memberikan mereka petunjuk kepada para pemimpin pengawal, agar mereka mampu menciptakan satu suasana yang tenang.
"Ternyata Tanah Perdikan telah disusupi oleh beberapa orang yang pura-pura akan membuka hutan. Namun yang nampaknya dengan sengaja telah memancing persoalan dengan Mangir." berkata Ki Gede. Lalu katanya, "Hal seperti itu tidak boleh terjadi. Namun lebih dari itu, para pengawal tidak boleh dengan tergesa-gesa mengambil sikap tanpa pertimbangan. Seandainya orang-Orang yang mengaku dari Mangir itu mengalami bencana, maka akan segera timbul persoalan baru. Sebelum persoalan dengan Madiun dapat diselesaikan, maka akan timbul persoalan dengan tetangga yang sangat dekat. Mangir."
Para pemimpin pengawal itu mendengarkan semua petunjuk Ki Gede dengan sungguh-sungguh. Mereka dapat mengerti, tugas yang sangat berat telah dibebankan dipundak mereka. Kehadiran Ki Mandaraka tentu merupakan tanggung jawab yang sangat berat bagi Tanah Perdikan.
Apalagi ketika para pengawal kemudian mendengar, bah"wa kehadiran Ki Mandaraka bukan saja berarti penyediaan penginapan, suguhan makan dan minum yang pantas, tetapi Ki Gede juga berniat untuk mengadakan pertunjukan bagi tamunya. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal harus menanggung akibatnya dari segi pengamanan dan ketertiban.
"Sejak hari ini kalian harus bejaga-jaga." berkata Ki Gede, "waktu kita tinggal besok. Besok lusa tamu itu sudah akan datang kemari. Dengan demikian maka jalur jalan dari penyeberangan sampai ke padukuhan induk harus bersih. Jalan-jalan yang akan turun ke jalan induk itu harus diawasi, sehingga tidak mungkin terjadi sesuatu di perjalanan sampai ke padukuhan induk."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede berkata, "Segala sesuatunya mengenai perincian dari tugas kalian akan diatur oleh Prastawa atas dasar pembicaraannya dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Semua tempat-tempat penting harus bersih sejak hari ini."
Demikianlah, maka ketika para pemimpin itu kemudian siap untuk kembali ke tempat masing-masing, maka Prastawa telah memberikan tugas-tugas yang lebih terperinci. Namun kemudian katanya, "Nah, selamat bekerja. Nama dan martabat Tanah Perdikan ada ditangan kalian."
Beberapa saat kemudian, maka para pemimpin pengawal itu telah benar-benar kembali ketempat masing-masing. Merekapun dengan cepat telah mengumpulkan para pengawal lengkap dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah para pengawal yang memang telah ditetapkan. Pada tingkat kedua adalah para pengawal yang bertugas sebagai pengawal disaat-saat yang genting.
"Kita belum perlu mengumpulkan para pengawal ditataran ketiga." berkata para pemimpin pengawal di padukuhan.
Dengan singkat para pemimpin pengawal itu telah memerinci tugas-tugas yang harus mereka lakukan di padukuhan mereka. Beberapa orang terpilih akan pergi ke padukuhan induk. Sedangkan yang lain akan bertugas di padukuhan mereka masing-masing.
"Nanti setelah Agung Sedayu kembali, akan ditentukan tugas para pengawal di tataran ketiga." berkata para pemimpin pengawal.
Para pengawal mengangguk-angguk. Jika perlu maka anak-anak muda yang bebas, yang akan dipanggil berdasarkan atas kemauan mereka dengan suka rela, bahkan setiap orang laki-laki yang masih mampu dan dengan suka rela pula menyatakan diri, akan diikut sertakan dalam tugas-tugas itu. Terutama mereka yang karena usianya yang mendekati setengah abad tidak lagi menjadi pengawal pada tataran pertama dan kedua, namun masih bersedia untuk mengemban tugas para pengawal.
Dengan demikian, maka sejak itu, maka para pengawalpun telah mulai melakukan tugas-tugas mereka. Bukan saja mengawasi padukuhan mereka masing-masing, tetapi juga bulak-bulak disekitar padukuhan, bahkan pategalan, lereng-lereng, sungai dan semak-semak dipebukitan. Sedangkan para petugas khusus telah mulai mengamankan jalur jalan dari daerah penyeberangan di Kali Praga menyusuri jalan induk sampai ke padukuhan induk.
Beberapa orang pengawal berkuda telah mulai meronda pula. Mereka tidak saja melewati jalan-jalan sempit. Bahkan jalan-jalan ditepi-tepi hutan. Justru jalan-jalan tepi hutan itu telah mendapat pengamatan lebih cermat dari pada peronda, karena orang-orang yang bermaksud jahat akan dapat muncul dengan tiba-tiba dari dalam hutan.
Dengan demikian maka suasana di Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi tegang. Seakan-akan seluruh Tanah Perdikan telah berada dalam persiapan perang.
Namun para pengawal setiap kali memberi tahukan kepada orang-orang di Tanah Perdikan itu, bahwa yang terjadi sebenarnya bukan persiapan perang. Tetapi Tanah Perdikan itu akan menyambut kedatangan pemimpin tertinggi setelah Panembahan Senapati. Ki Patih Mandaraka.
"Kita tidak sedang ketakutan, bibi." berkata seorang pemimpin pengawal sebuah padukuhan kepada seorang perempuan yang nampak sangat cemas, yang sedang menarik cucunya agar tidak keluar halaman dan turun dijalan.
"Kamilah yang ketakutan." berkata perempuan itu, "rasa-rasanya akan terjadi perang seperti beberapa tahun yang lalu. Perang besar-besaran, dijaman adik Ki Gede itu mbalela."
"Tidak. Tentu tidak." jawab pemimpin pengawal itu.
"Waktu itu kau tentu belum menjadi pengawal. Atau barangkali kau masih ikut-ikutan saja." berkata perempuan itu pula.
Tetapi pemimpin pengawal itu tertawa. Katanya, "Memang waktu itu aku belum diserahi tugas seperti sekarang. Tetapi yang terjadi sekarang itu justru sebaliknya. Kita tidak sibuk untuk bersiap-siap menghadapi musuh. Tetapi kita akan menyambut kedatangan seorang tamu yang sangat penting, Ki Patih Mandaraka. Seorang yang sangat dihormati. Bukan saja sekarang di Mataram. Tetapi sejak jaman kejayaan Pajang, karena Ki Patih Mandaraka yang dahulu bernama Ki Juru Martani adalah saudara seperguruan Kangjeng Sultan Pajang."
"Kau mau menipu aku ya?" geram perempuan itu, "kau kira menyambu seorang tamu harus dengan pasukan pengawal lengkap bersenjata dan meronda siang dan malam. Berjaga-jaga di setiap mulut lorong dengan senjata telanjang" He, apakah kalian akan membantai tamu kalian itu."
Pemimpin pengawal itu masih saja tertawa. Katanya, "Bibi. Beginilah urut-urutan ceriteranya. Kita akan mendapat tamu. Karena itu kita harus bersiap-siap. Tanah Perdikan ini harus yakin aman dan bersih. Apalagi Ki Gede akan menyuguhi tamu-tamunya dengan berbagai macam pertunjukan. Nah, bukankah wajar jika kita bersiap-siap. Jika ada pertunjukan, maka biasanya rumah-rumah menjadi kosong. Kadang-kadang orang lupa kepada rumahnya karena sekeluarga ingin nonton pertunjukan. Bukankah termasuk tugas kami untuk mengamankan rumah-rumah yang kosong itu?"
"Kau kira aku bodoh sekali ya?" sahut perempuan itu, "mengamankan rumah-rumah yang ditinggal nonton pertunjukan adalah tugas kalian besok, jika pertunjukan itu sudah diselenggarakan. Bukan sekarang." perempuan itu berhenti sejenak. Lalu melangkah mendekati pemimpin pengawas itu sambil berkata, "Kalian tentu berjaga-jaga karena kalian memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang yang memusuhi Mataram akan menyerang Ki Patih selagi Ki Patih ada disini. Nah, itu namanya persiapan perang."
Pemimpin pengawal itu tertawa semakin keras. Tetapi perempuan itu tidak menanggapinya lagi. Ditariknya cucunya menuju ke regol halaman. Sementara itu pemimpin pengawal itu disela-sela tertawanya masih juga berkata, "Bibi. Jika benar perang itu terjadi, tentu bukan sekarang. Cucumu masih sempat bermain-main sampai musuh itu memasuki Tanah Perdikan dan sampai saatnya terdengar isyarat diseluruh Tanah Perdikan ini. Nah, barulah bibi berlari-lari mengambil cucunya dan membawanya masuk ke halaman, menyelarak regol dan menutup semua pintu."
Perempuan itu berhenti sejenak. Namun sambil bersungut-sungut ia kemudian membawa cucunya masuk ke halaman. Tetapi ia tidak menutup dan menyelarak regol.
Pimpinan pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun dengan demikian maka ia mengetahui, bahwa orang-orang Tanah Perdikan memang sudah menjadi gelisah, meskipun mereka mengerti bahwa kesibukan itu dilakukan karena akan ada tamu penting di Tanah Perdikan, namun dalam keadaan yang hangat, maka justru karena ada orang penting di Tanah Perdikan, kemungkinan buruk akan dapat terjadi.
Tetapi sebenarnyalah kegelisahan seperti itu bukan saja menghinggapi penghuni Tanah Perdikan. Sebenarnyalah bahwa para pengawal, bahkan Ki Gede sendiri merasa perlu untuk melakukan kesiagaan tertinggi di Tanah Perdikan.
"Benar juga kata bibi itu." berkata pemimpin pengawal itu didalam hatinya, "rasa-rasanya persiapan ini tidak ubahnya dengan persiapan perang."
Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih tengah berpacu diatas punggung kudanya menuju ke sebuah padukuhan kecil tempat tinggal Ki Waskita. Sudah terlalu lama Ki Waskita meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Agaknya Ki Waskita memang tidak ingin lagi melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana terjadi sebelumnya. Nampaknya Ki Waskita sudah merasa tenang berada dirumahnya dan melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mungkin disawah, mungkin berbincang-bincang dengan tamu-tamunya tentang isyarat yang dilihatnya jika kemampuan itu masih mampu dikembangkannya.
Perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih memang harus dilakukan dengan cepat, agar hari itu juga, meskipun malam hari, Ki Waskita sudah berada di Tanah Perdikan.
Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih di tempuran memang agak mengejutkan Ki Waskita. Namun ketika Agung Sedayu bertemu dengan Ki Waskita, maka iapun telah terkejut pula. Rasa-rasanya Ki Waskita telah menjadi begitu tua. Namun akhirnya Agung Sedayupun mengembalikannya hal itu kepada waktu. Kiai Gringsing pada saat-saat terakhir itupun kelihatannya juga sudah sangat tua.
"Marilah, marilah angger berdua." Ki Waskita mempersilahkan kedua orang tamunya untuk duduk.
Tetapi Agung Sedaju memang ingin segalanya dilakukan dengan cepat. Rasa-rasanya ia selalu gelisah diburu oleh tanggungjawabnya atas Tanah Perdikan Menoreh. Namun ketika hal itu dikatakannya kepada Ki Waskita, maka Ki Waskitapun dapat mengerti.
"Maaf Ki Waskita." berkata Agung Sedayu, "sudah agak lama kita tidak bertemu. Namun agaknya aku datang dengan sikap yang barangkali kurang pantas dihadapan Ki Waskita."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku mengenal angger Agung Sedayu dengan sebaik-baiknya. Karena itu, maka aku mengerti segala sesuatunya."
Memang tidak banyak kesempatan. Namun bukan berarti bahwa Ki Waskita akan begitu saja dapat berangkat saat itu juga.
"Aku akan berkemas ngger. Sementara itu, angger dapat bertemu dengan Rudita. Ia ada di padukuhan sebelah. Ia akan senang sekali menerima angger berdua." berkata Ki Waskita.
"Baiklah Ki Waskita." Agung Sedayu menjadi gembira, "aku akan menemuinya. Sementara Ki Waskita dapat berkemas."
"Jarak tempat tinggal Rudita memang tidak jauh. Hanya berantara sebuah bulak pendek."
Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah memasuki sebuah padukuhan kecil. Tanpa kesulitan merekapun telah menemukan dan memasuki sebuah regol halaman rumah yang sangat luas. Hampir separo dari padukuhan itu.
Sebenarnyalah Rudita telah menerima kedatangan keduanya dengan gembira sekali. Keduanya segera dipersilahkannya duduk dibangunan induk dari beberapa barak yang ada di halaman itu pula.
"Aku tidak menyangka bahwa aku akan kedatangan tamu hari ini." berkata Rudita.
Agung Sedayulah yang kemudian bertanya, "Apa yang kau usahakan dengan tanah seluas ini Rudita" Dibagian belakang dari halaman rumahmu ini terdapat kebun kelapa."
"Ya." jawab Rudita, "kebun kelapa, sebuah belumbang untuk memelihara ikan. Kemudian masih ada kebun buah-buahan dan beberapa kotak sawah disebelah padukuhan ini."
"Dan barak-barak itu?" bertanya Agung Sedayu.
Rudita tertawa. Katanya, "Aku sekarang mendirikan sebuah perusahaan."
"Perusahaan apa?" bertanya Agung Sedayu, "pande besi yang membuat alat-alat pertanian atau barangkali gerabah dan alat-alat dapur atau genting dan batu bata?"
Rudita tertawa. Katanya, "Mariah. Kita melihat-lihat."
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah diajak oleh Rudita memasuki barak demi barak. Dilihatnya anak-anak kecil dan remaja berada di dalam barak-barak itu. Sebagian sedang menganyam tikar, sebagian menganyam kepang dan anyaman bambu yang lain. Mereka yang telah remaja berada di serambi sibuk membuat alat-alat dari bambu. Amben panjang, gledeg tetapi juga alat-alat dapur. Irig, tambir, dan tampah.
"Kau pekerjakan anak-anak dan remaja ini?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka tidak sedang bekerja." jawab Rudita, "lihatlah wajah mereka."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah wajah-wajah itu nampak cerah dan gembira. Bahkan ada diantara anak-anak itu yang sempat meninggalkan pekerjaannya dan berkejaran diserambi. Kemudian kembali duduk sambil bergurau. Namun mereka melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing.
Kepada Ruditapun anak-anak itu sama sekali tidak menunjukkan jarak. Mereka sama sekali tidak takut ketika Rudita itu datang melihat-lihat hasil pekerjaan mereka. Bahkan beberapa orang anak justru telah menarik-narik kain panjangnya.
"lnikah perusahaan yang kau maksudkan?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
"Ya. Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang tidak lagi mempunyai orang tua. Aku mengumpulkan mereka dari padukuhan-padukuhan yang tersebar. Anak-anak terlantar yang kadang-kadang dianggap sebagai sampah yang tidak berguna lagi. Aku pungut mereka dari pinggir-pinggir jalan dan dari orang-orang yang memelihara mereka seperti memelihara seekor lembu yang diperas tenaganya hanya dengan sebungkus kecil nasi sehari. Aku ajak mereka bermain bersama disini. Menghasilkan sesuatu yang dapat dijual untuk membeli makan dan pakaian, selain dari hasil kebun kelapa, kebun buah-buahan dan beberapa kotak sawah." berkata Rudita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih menundukkan kepalanya. Malam tadi ia telah membunuh. Dihadapannya sekarang berdiri seseorang yang memberikan harapan untuk hidup setelah anak-anak itu mengalami bayangan maut.
"Aku mengucapkan selamat Rudita." berkata Agung Sedayu dengan nada berat, "kau adalah terang dalam kegelapan bagi anak-anak itu."
Rudita tersenyum. Katanya, "Aku mencoba membantu mereka bagi masa depannya. Aku telah melakukan apa yang dapat aku lakukan. Tiga hari dalam sepekan mereka belajar untuk mengenali huruf dan angka. Mereka belajar menembangkan kidung puji-pujian serta mendendangkan harapan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sesuatu terasa menyentuh dasar jantungnya. Ia melihat anak-anak itu dengan gembira bekerja, sebagaimana anak-anak yang sedang bermain-main. Tidak ada keterikatan yang ketat dan bentakan-bentakan kasar. Sekali-sekali terdengar kata-kata Rudita yang lembut penuh kasih sayang menyapa anak-anak itu.
Diruang yang lain Rudita menunjukkan seperangkat gamelan yang meskipun bukan gamelan yang terlalu baik, tetapi dapat dipergunakan oleh anak-anak asuhnya.
"Aku bukan penari. Tetapi aku mempunyai beberapa kawan yang dapat mengajar anak-anak itu menari." berkata Rudita.
"Satu lingkungan kehidupan yang lengkap." berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi tanah yang kau pergunakan ini tanah siapa?"
Rudita tersenyum. Katanya, "Ayah sangat berbaik hati. Ayah telah menyerahkan tanah ini kepadaku, karena menurut ayah tanah ini kelak juga akan diwariskan kepadaku. Kebun kelapa, kebun buah-buahan dan sawah beberapa kotak. Ayah pulalah yang membeli gamelan sederhana itu."
Agung Sedayu menjadi semakin kagum kepada anak itu. Sanggar yang dibuat oleh Rudita jauh berbeda dengan sanggar yang dibuat dirumah Agung Sedayu, dirumah Ki Gede dan di padepokan Kiai Gringsing.
Sanggar Rudita berisi gamelan, alat-alat ukir kayu dan kulit sungging serta beberapa buah kitab yang tebal. Kitab yang berisi tuntunan hidup sejati dalam rangkuman kasih sayang diantara sesama serta kasih yang bulat utuh kepada Yang Maha Agung.
"Kitab itu juga menjadi bahan untuk belajar tembang macapat." berkata Rudita.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Seperti juga Glagah Putih maka ia telah membandingkan isi sanggar itu dengan sanggar di rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu sanggarnya berisi beberapa jenis senjata. Alat untuk berlatih olah kanuragan. Pasir dan kerikil dalam kotak yang besar serta patok-patok kayu dan bambu. Palang kayu dan bambu yang lentur serta beberapa utas tali yang bergayutan. Tetapi disanggar itu tidak sepucuk senjatapun yang nam"pak selain alat-alat ukir kayu dan kulit, kapak-kapak kecil, pisau-pisau yang tajam. Tetapi sama sekali bukan senjata.
"Nah." berkata Rudita kemudian, "aku akan menyuguhi kalian dengan tari-tarian pendek."
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Terima kasih Rudita. Lain kali aku akan datang lagi ke sanggarmu ini. Aku benar-benar sangat tertarik. Tetapi waktuku sekarang sangat terbatas."
Rudita mengerutkan keningnya. Iapun kemudian bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Ki Gede minta Ki Waskita datang ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Untuk apa?" bertanya Rudita, "berbicara tentang bencana yang akan menimpa manusia lagi?"
"Rudita." berkata Agung Sedayu dengan nada lembut, "sudah Jama Ki Gede tidak bertemu dengan ayahmu. Hubungan keluarga yang meskipun tidak terlalu dekat itu tidak boleh terputus. Sementara itu beberapa orang tua akan datang di Tanah Perdikan sekedar untuk saling bertemu setelah sekian lama mereka berpisah."
"Mereka itu siapa saja?" bertanya Rudita.
Agung Sedayu memang merasa ragu-ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata, "Mereka adalah Kiai Gringsing, Ki Juru Martani, Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan dan mungkin ada beberapa orang tua-tua yang lain."
Wajah Rudita memang berubah. Tetapi ia masih juga mencoba tersenyum. Katanya, "Mereka adalah orang-orang yang mumpuni. Ki Lurah Branjangan adalah prajurit linuwih. Kiai Gringsing adalah orang yang telah mengajarimu bagaimana membunuh dengan baik. Ki Juru Martani adalah orang terpenting dalam penyelesaian pertikaian antara Pajang dengan Jipang menurut caranya. Darah telah memerah di Bengawan Sore. Bagaimana para prajurit Jipang dibantai oleh prajurit Pajang disaat mereka belum sampai ketepi. Mereka harus melawan arus bengawan dan sekaligus melawan anak panah dan lembing. Kemudian Ki Juru pulalah yang telah ikut membangunkan Mataram dan berdiri di belakang pemberontakan Panembahan Senapati terhadap ayahandanya sendiri, gurunya dan juga rajanya. Dan barangkali akan datang juga orang-orang penting yang lain. Sedangkan diantara mereka akan hadir ayahku."
Jantung Glagah Putih terasa berdenyut semakin cepat. Namun Agung Sedayupun berkata, "Rudita. Dunia kita agaknya memang berbeda. Kau telah membawa satu pesan tertentu dalam hidupmu yang lain dari pesan yang harus kami bawakan dalam kehidupan kami. Sekali lagi aku katakan bahwa aku mengagumimu. Jika ada sejumlah orang di dunia ini yang mem"punyai landasan berpikir seperti kau, maka dunia ini tentu akan menjadi lebih baik. Bahkan jauh lebih baik."
Rudita tersenyum pahit. Katanya, "Selama orang masih mengasah pedangnya dengan dalih untuk melindungi yang lemah sekalipun, maka orang lainpun tentu masih akan mengasah pedangnya pula."
Agung Sedayu menepuk bahu Rudita. Katanya, "Aku mengerti sepenuhnya Rudita."
"Apakah cukup untuk dimengerti?" bertanya Rudita.
"Kami memang harus minta maaf kepadamu. Bagimu, kami adalah pengecut yang takut mati bagi cinta kasih yang utuh terhadap Yang Maha Agung dan cinta kasih bagi sesama." berkata Agung Sedayu, "Tetapi kami memang tidak dapat mengingkari gejolak nurani kami. Mudah-mudahan dalam pencaharian kami, maka kami akan menemukan kebenaran langkah yang harus kami pilih."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rudita mengangguk-angguk. Katanya kemudian dengan nada dalam, "Yang Maha Agung akan melindurigimu. Semoga semua kesalahanmu dihadapanNya diampuninya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Rasa-rasanya ia ingin mengatakan sesuatu. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengucapkannya.
Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun berkata, "Rudita. Aku sekarang mohon diri. Pada kesempatan lain, aku akan datang kembali ke padepokanmu ini. Aku akan datang untuk berada diantara anak-anak asuhanmu dalam waktu yang lebih longgar."
Rudita tersenyum. Katanya, "Aku menunggu. Aku berharap kalian berdua sempat tinggal disini untuk beberapa hari."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri. Diregol Rudita masih berpesan, "Katakan kepada ayah, bahwa anak-anak di padepokanku dalam keadaan baik. Mudah-mudahan ayah dapat bertemu kembali dan mengenang masa lampaunya bersama dengan orang-orang tua. Namun aku minta ayah juga mengenang, apa saja yang pernah diberikan kepada sesamanya."
"Baiklah Rudita." jawab Agung Sedayu, "aku akan menyampaikannya."
Sementara kuda-kuda mereka berlari meninggalkan padukuhan itu melintasi bulak yang tidak terlalu panjang. Glagah Putih bertanya, "Apa saja yang dikatakan orang itu" Kenapa ia berani menuduh Panembahan Senapati memberontak terhadap ayahandanya, terhadap gurunya dan terhadap rajanya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kangjeng Sultan di Pajang adalah ayah angkat Panembahan Senapati yang sangat mengasihinya. Kangjeng Sultan itu pulalah yang memberikan dasar kemampuan olah kanuragan kepada Panembahan Senapati. Bahkan sebagian besar dari ilmu Kangjeng Sultan telah diberikannya kepada Panembahan Senapati sejak ia masih bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Sedangkan Kangjeng Sultan itu adalah rajanya pula."
"Seandainya hal itu didengar oleh Panembahan Senapati, apakah Panembahan Senapati tidak akan tersinggung dan bahkan menjadi marah?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Mungkin kau juga pernah mendengar bahwa ayahanda Panembahan Senapati yang sebenarnya, Ki Gede Pemanahan yang juga disebut Ki Gede Mataram pernah mengatakannya juga langsung kepada Panembahan Senapati, bahwa ia telah bersalah terhadap Kangjeng Sultan Pajang atas tiga hal. Menentang orang tua, menentang guru dan menentang rajanya." sahut Agung Sedayu, "namun yang dilakukan oleh Panembahan Senapati adalah satu keyakinan. Harus ada perubahan yang mendasar di Pajang. Dan orang-orang tua mengetahui dengan pasti, bahwa Kangjeng Sultan Pajang merestui langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Senapati. Dimasa Pajang kalut dan tidak menentu karena keinginan para pemimpin yang lebih banyak memikirkan diri sendiri, maka ketajaman penglihatan Kangjeng Sultan Pajang tertuju kepada putera angkatnya, Panembahan Senapati di Mataram. Justru tidak kepada puteranya sendiri Pangeran Benawa yang merasa sangat kecewa dan menjadi tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi."
Glagah Putih memang pernah mendengar serba sedikit tentang hal itu. Sementara itu Agung Sedayu melanjutkan, "Ternyata Panembahan Senapati benar-benar orang kuat. Lepas dari setuju atau tidak setuju akan sikapnya, namun Mataram lahir, tumbuh dan berkembang. Tanpa ikatan yang mampu menjadi kiblat kepemimpinan, maka tanah ini akan bercerai berai."
"Tetapi kenapa Rudita menganggap Panembahan Sena"pati sebagai seorang pemberontak?" bertanya Glagah Putih.
"Kau harus mengerti landasan berpikir Rudita." jawab Agung Sedayu.
"Dan ia telah menyebut Kiai Gringsing sebagai seorang yang telah mengajari kakang membunuh dengan baik." geram Glagah Putih pula.
"Apakah kau tidak melihat kebenaran kata-katanya" Bukankah guru telah mengajariku bagaimana aku membunuh lawan-lawanku dengan baik." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi tentu adaalasannya kenapa kakang membunuh" Bukankah gila jika dikatakan pula Ki Mandaraka adalah orang yang telah mewarnai Bengawan Sore dengan darah orang-orang Jipang" Apakah anak itu tidak tahu perhitungan perang" Coba kakang, jika saat itu dibiarkan saja prajurit Jipang mencapai seberang dan kemudian terjadi pertempuran di tepian, maka korban tentu akan menjadi jauh lebih besar dari kedua belah pihak. Masih pula dipertanyakan apakah prajurit Pajang yang lebih sedikit akan dapat menang, meskipun Raden Sutawijaya dengan Kiai Pleret mampu membunuh Harya Penangsang." geram Glagah Putih.
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau jangan melihat satu sepotong peristiwa dari keseluruhan alam pikiran Rudita, Kau harus mengenalinya lebih dalam. Iapun tidak akan mengatakan sebagaimana kau tangkap dengan telingamu apa yang diucapkan hanya dengan mulutnya. Kau harus mengenal anak itu dengan utuh. Meskipun tidak dikatakannya, tetapi yang dilihatnya adalah putaran dunia yang besar ini dan melibatkan segala bentuk kegiatan isinya. Ia mencintai alam ini dengan segala isinya, sebagaimana ia mencintai Maha Penciptanya, yang menciptakan alam ini atas dasar cinta kasih-Nya."
Tanpa disadarinya Glagah Putih telah meraba dahinya yang berkerut. Bahkan kemudian penglihatannya atas ucapan-ucapan Rudita itu menjadi semakin kabur, berputar-putar dan kemudian seperti jari-jari baling-baling yang berputar. Menyatu meskipun sadar akan pecahan-pecahannya.
Beberapa saat kemudian keduanya saling berdiam diri. Namun kemudian Agung Sedayupun berkata, "Sudahlah Glagah Putih. Kau jangan memikirkan sekarang. Pada suatu saat jika kau sempat merenung, renungilah dengan hati yang tenang. Kau harus menyadari dimana kau berdiri dan dimana anak muda yang bernama Rudita itu berdiri."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah meletakkan persoalan yang membuatnya pusing. Dipandanginya padukuhan yang sudah dekat dihadapannya. Sejenak kemudian keduanya telah memasuki padukuhan itu. Kemudian berhenti di depan sebuah regol halaman. Mereka tidak memasuki regol itu diatas punggung kuda. Tetapi mereka telah berloncatan turun dan menuntun kuda mereka memasuki halaman.
"Silahkan duduk." seorang pembantu Ki Waskita mempersilahkan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengikat kuda pada patok-patok yang telah disediakan. Kemudian keduanyapun telah duduk di pendapa menunggu Ki Waskita yang nampaknya masih berkemas. Beberapa saat kemudian Ki Waskitapun telah keluar. Sambil tersenyum ia bertanya, "Apakah kalian sudah bertemu dengan Rudita di sanggarnya?"
"Sudah Ki Waskita." jawab Agung Sedayu, "mengagumkan sekali."
"Ia senang sekali dengan pekerjaannya. Ia telah menyerahkan segenap hidupnya bagi anak-anak asuhannya. Namun ternyata beberapa anak asuhannya yang telah meningkat remaja, mampu menunjukkan ketrampilannya. Seorang diantara mereka telah meninggalkan sanggar itu atas persetujuan Rudita dan membuat dapur pemanasan gerabah sendiri. Ternyata ia berhasil. Gerabahnya dapat menembus pasaran di beberapa padukuhan. Bahkan aku kira telah memasuki lingkungan Tanah Perdikan Menoreh." berkata Ki Waskita.
"Bagus sekali." sahut Agung Sedayu, "mereka akan menjadi orang-orang yang mandiri. Mereka tidak akan menjadi beban orang lain atau menjadi sekedar perkakas dari orang lain."
"Mudah-mudahan yang lainpun akan demikian pula. Mereka akan mendapatkan bekal serta akan memiliki harga diri." berkata Ki Waskita.
"Disamping itu, jika ada seperlima saja diantara mereka yang mempunyai watak dan sifat seperti Rudita, maka tatanan kehidupan akan menjadi bertambah baik. Apalagi jika yang seperlima itupun dapat mengembangkan lebih luas lagi." berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun suaranya menjadi lirih, "Mudah-mudahan."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Namun Glagah Putih masih saja sulit untuk mengerti sikap anak muda yang bernama Rudita itu. Bahkan juga menanggapi sikap Agung Sedayu sendiri. Tetapi Glagah Putih merasa lebih baik untuk berdiam diri saja.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Waskita itupun kemudian berkata, "Aku sudah selesai berkemas. Memang agak terlalu mendadak. Untunglah bahwa tidak ada sesuatu yang penting yang harus aku selesaikan. Akupun sudah berpesan, bahwa aku akan pergi untuk beberapa hari."
Agung Sedayu termangu-mangu. Agaknya memang ada yang dicari. Ia belum melihat ibu Rudita sejak ia sampai kerumah itu. la lupa-lupa ingat, apakah ibu Rudita itu masih ada atau tidak.
Namun Ki Waskita agaknya dapat menduganya. Karena itu maka iapun berkata, "Aku tinggal sendiri dirumah. Rudita telah menekuni dunianya. Ibunya sudah agak lama tidak ada."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun Ki Waskita berkata, "Sekarang aku sudah siap. Tetapi diruang dalam, hidanganpun sudah siap. Kita akan makan lebih dahulu. Baru kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Demikianlah, setelah mereka makan, minum dan beristirahat sebentar, bertiga mereka menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kuda yang bagus sekali." desis Ki Waskita memuji kuda Glagah Putih.
"Peninggalan Raden Rangga." Agung Sedayulah yang menjawab.
"Aku lihat kuda itu kecuali besar dan tegar, juga memiliki daya tahan yang sangat tinggi. Kuda yang ditilik dari segi keturanggannya adalah kuda yang tidak mengenal lelah. Namun juga kuda yang setia." berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih menjadi semakin bangga akan kudanya.
Ternyata mereka bertiga tidak mengalami kesulitan di perjalanan. Menjelang senja, mereka telah memasuki padukuhan induk dan langsung pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
Ki Waskita diterima oleh Ki Gede dengan gembira. Meskipun sudah agak jauh, namun mereka memang masih tersangkut kadang sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayupun kemudian telah minta diri untuk menengok rumahnya dan mandi dahulu bersama Glagah Putih, sementara Ki Waskita akan berbenah diri dirumah Ki Gede.
Namun di halaman Agung Sedayu sempat berbicara dengan Prastawa sejenak yang memberitahukan bahwa semua rencana telah berjalan dengan lancar. Nampaknya diseluruh Tanah Perdikan telah diamati, dan tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada bahaya bagi tamu-tamu yang akan datang di Tanah Perdikan itu.
"Waktu kita tinggal semalam." berkata Agung Sedayu.
"Nanti pendapa rumah paman akan diatur. Tamu-tamu itu akan ditempatkan di pringgitan, sementara di pendapa disiapkan gamelan dan peralatan untuk menyuguh beberapa macam tarian bagi para tamu." berkata Prastawa.
"Kapan tempat itu akan diatur" Bukankah besok mereka sudah akan datang?" bertanya Agung Sedayu.
"Malam nanti." jawab Prastawa. Lalu, "Anak-anak muda sudah siap Gamelan sudah dibersihkan dan para penari yang besok akan tampilpun sudah siap. Sore tadi mereka melakukan latihan terakhir. Ki Gede sendiri menunggui gladi yang berjalan sebagaimana dikehendaki itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baik. Aku akan mandi dahulu."
Jilid 243 "SILAHKAN " berkata Prastawa. Lalu katanya pula, "Ki Jayaraga juga ikut nganglang siang tadi. Khusus memasuki hutan dilereng bukit. Agaknya untuk memasuki tempat yang berbahaya itu diperlukan seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Ternyata kami tidak menjumpai apapun juga di lerehg bukit. Karena itu, maka nampaknya sampai saat ini tidak ada masalah yang perlu mendapat perhatian khusus."
"Tetapi kita masih akan melalui satu malam. Dalam waktu satu malam banyak kemungkinan dapat terjadi." berkata Agung Sedayu.
"Ya. Kita harus berhati-hati. Kita sudah meletakkan pengawas disegala tempat. Bahkan di hutan-hutan sekalipun." berkata Prabawa.
"Bagus." berkata Agung Sedayu, "sesudah mandi aku akan melihat-lihat keadaan."
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah kembali kerumahnya. Nampaknya waktu merekapun tidak terlalu banyak, karena mereka harus ikut dalam persiapan-persiapan yang akan sampai pada tataran terakhir. Besok tamu-tamu mereka akan datang dari Mataram.
Ketika mereka kemudian makan malam, setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih berbenah diri, maka Ki Jayaraga sempat memberitahukan bahwa nampaknya sampai saat memasuki malam itu, keadaan masih cukup baik.
"Tetapi di gelapnya malam, banyak hal yang dapat terjadi meskipun penjagaan cukup rapat." berkata Ki Jayaraga.
"Kami akan melihat-lihat keadaan, Ki Jayaraga." berkata Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, "tetapi aku mohon Ki Jayaraga tinggal dirumah. Besok saja Ki Jayaraga menemui Ki Waskita."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mengerti kegelisahan Agung Sedayu tentang isterinya, karena ternyata ada orang yang berusaha memperalat Sekar Mirah sebagai taruhan. Untunglah usaha itu dapat digagalkan.
Setelah makan maka Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat beristirahat sejenak. Ketika Glagah Putih pergi ke dapur maka dilihatnya anak yang membantu dirumah itu sedang sibuk memperbaiki icir.
"He, bukankah sudah ada kolam ikan?" berkata Glagah Putih.
Anak itu berpaling sjenak. Namun iapun Kemudian meneruskan kerjanya sambil menjawab, "Kau kira kita dapat mengambil ikan dikolam itu setiap hari" Kita harus menunggu masa panen ikan. Jika sudah saatnya, maka kita akan mengambil ikan yang sudah cukup besar di kolam itu dan kita tinggalkan ikan yang masih kecil sebagai benih."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kau masih saja pergi ke sungai?"
"Ya." jawab anak itu.
"Tetapi jangan malam ini. Kau tahu, anak-anak muda sedang berjaga-jaga" Memang agaknya tidak akan ada sesuatu. Tetapi sebaiknya kau menyesuaikan diri." berkata Glagah Putih.
"Bukankah aku tidak mengganggu mereka?" bertanya anak itu.
"Benar, kau tidak mengganggu mereka. Tetapi jika terjadi sesuatu akan dapat menimbulkan salah paham." berkata Glagah Putih.
"Tetapi bukankah setiap orang di padukuhan ini mengenal aku?" desis anak muda itu.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Ya. Setiap orang di padukuhan ini mengenal kau. Tetapi mereka yang bukan orang dari padukuhan ini?"
"Ah" desah anak itu, "kau selalu mengganggu saja."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menganggap bahwa yang dilakukan anak itu memang tidak akan banyak bersangkut paut dengan kegiatan para pengawal. Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak mencegahnya lebih jauh.
Bahkan anak itu kemudian bersungut, "Jika kau malas turun kesungai, kau tidak perlu ikut. Tetapi jangan cegah aku."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku cabut kuncungmu."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja sibuk memperbaiki icir yang akan dibawanya turun kesungai malam nanti.
Semen tara itu, Agung Sedayu sudah bersiap pula untuk melihat-lihat keadaan. Karena itu, maka iapun telah memanggil Glagah Putih yang masih ada didapur.
Ketika keduanya kemudian meninggalkan rumah itu, maka Glagah Putih sempat mengatakan kepada Agung Sedayu, bahwa pembantu rumahnya akan tetap turun kesungai meskipun ia sudah memperingatkannya.
Agung Sedayupun tersenyum. Katanya, "Biar saja. Asal anak itu tidak pergi ke mana-mana."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di rumah Ki Gede. Bersama beberapa orang pengawal berkuda, maka merekapun telah mengelilingi padukuhan-padukuhan terpenting di Tanah Perdikan. Terutama padukuhan-padukuhan yang menurut rencana akan dilalui besok oleh Ki Patih Mandaraka.
Disetiap padukuhan Agung Sedayu telah berhenti dan berbicara dengan para pemimpin pengawal. Namun tidak seorang diantara mereka yang memberikan laporan tentang sesuatu yang tidak sewajarnya.
Menjelang tengah malam, dua orang berkuda telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Para pengawal dengan serta merta telah menghentikan mereka. Namun keduanya telah minta untuk dipertemukan dengan Agung Sedayu.
Ternyata keduanya memang sudah mengenal Agung Sedayu yang sedang berada di padukuhan terdepan. Keduanya adalah utusan pribadi Ki Patih Mandaraka dan Kiai Gringsing untuk melihat keadaan.
"Besok Ki Patih Mandaraka akan menepati janjinya." berkata utusan itu, "kami datang untuk meyakinkan keadaan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Kita pergi kerumah Ki Gede."
Demikianlah, maka Agung Sedayu telah membawa tamunya kerumah Ki Gede untuk membicarakan beberapa hal yang pelru. Bagaimanapun juga Ki Mandaraka adalah seorang Pepatih Mataram.
Namun kedua orang itu mengangguk-angguk ketika mereka melihat gamelan yang telah diatur di pendapa oleh anak-anak muda. Kemudian tarubpun telah dipasang. Lampu-lampu telah ditempatkan di sudut-sudut halaman.
"Bukan main." berkata salah seorang dari kedua orang utusan khusus itu, "ternyata Tanah Perdikan benar-benar ingin menyambut dengan baik dan meriah kehadiran Ki Mandaraka."
"Apakah tidak ada kesiagaan di daerah utara?" bertanya salah seorang dari keduanya.
"Tentu ada." jawab Agung Sedayu. "Kesiagaan dilakukan diseluruh Tanah Perdikan dan disemua jalan memasuki Tanah Perdikan ini dari arah manapun."
Apalagi ketika kedua orang itu mendapat laporan bahwa semua padukuhan telah siap mengamankan kehadiran Ki Patih Mandaraka.
"Terima kasih." berkata salah seorang diantara mereka, "Ki Patih tentu akan senang sekali mendapat sambutan yang demikian besarnya."
"Hanya sekedarnya saja." berkata Ki Gede.
Demikianlah, kedua orang itupun kemudian sempat bersama-sama Agung Sedayu melihat kesiagaan Tanah Perdikan itu. Apalagi ketika keduanya mengetahui bahwa Ki Waskita sudah ada di Tanah Perdikan itu pula.
Namun Agung Sedayu menjadi heran, ketika kedua orang itu mengajaknya melihat kesiagaan Tanah Perdikan justru ke Utara.
"Bukankah Ki Patih Mandaraka tidak akan melalui daerah sebelah Utara padukuhan induk?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah tidak ada kesiagaan di daerah Utara?" bertanya salah seorang dari keduanya.
"Tentu ada." jawab Agung Sedayu, "kesiagaan dilakukan diseluruh Tanah Perdikan dan disemua jalan mema"suki Tanah Perdikan ini dari arah manapun."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seharusnya mereka tidak menanyakan kepada Agung Sedayu, karena hal itu tentu sudah diketahuinya. Meskipun demikian kedua orang itu telah mengajak Agung Sedayu berdua saja dengan Glagah Putih menyusuri jalan induk Tanah Perdikan justru kesebelah Utara.
"Jalan yang menuju ke rumah Ki Waskita." desis Glagah Putih.
Ternyata kedua orang utusan pribadi Ki Patih itu mendengar, sehingga seorang diantaranya mengangguk-angguk sambil berkata, "Jadi siang tadi kalian juga melewati jalan ini kerumah Ki Waskita?"
"Ya." Jawab Agung Sedayu.
Kedua utusan pribadi Ki Patih itu hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata kesiagaan disisi yang lain itupun tidak berbeda dari kesiagaan di daerah yang akan dilalui Ki Patih Mandaraka. Namun nampaknya para bebahu padukuhan-padukuhan di sisi Utara perhatiannya justru lebih berat pada pengamanan dari penyambutan.
Namun Agung Sedayu menjadi semakin heran ketika kedua orang itu mengajak Agung Sedayu menuju ke perbatasan dan menuju ke penyeberangan di sisi utara.
"Apa yang ingin kita lihat disana" Daerah penyebe"rangan yang sepi itu" Namun daerah itupun tetap diawasi dengan seksama." berkata Agung Sedayu, "tidak ada orang yang dapat menyusup lewat daerah penyeberangan yang sepi itu."
Tetapi kedua orang itu tetap mengajak Agung Sedayu dan Glagah Putih ketepian.
Malam terasa semakin gelap. Arus sungai yang seakan-akan lebih kuat dari daerah penyeberangan di sisi Selatan, karena Kali Praga di tempat itu agak lebih sempit. Justru karena itu, maka tidak banyak orang yang menyeberang disisi Utara. Apalagi jika arus sungai agak lebih besar karena hujan di daerah berbukitan. Sementara itu, jalan yang menuju ke Tanah Perdikan itupun tidak langsung kedaerah yang ramai dan pusat perdagangan dari tanah Perdikan itu.
Beberapa saat keempat orang itu masih duduk diatas punggung kudanya di tepian. Namun sejenak kemudian terdengar salah seorang dari kedua utusan pribadi Ki Patih itu memberikan isyarat dengan suara burung hantu.
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi semakin heran. Namun dengan demikian keduanyapun telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesaat mereka menunggu. Namun kemudian ternyata mereka melihat dua orang yang muncul dari kegelapan dibalik pohon perdu.
"Siapa mereka?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah kau tidak mengenal mereka?" bertanya orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian ia melihat bahwa kedua orang itu adalah Senapati Mataram yang sudah dikenalnya dengan baik.
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah meloncat turun dari kudanya. Glagah Putih yang tidak begitu jelas persoalannyapun telah turun pula. Demikian pula kedua orang utusan pribadi Ki Patih itu.
"Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa." desis Agung Sedayu, "selamat datang Ki Tanah Perdikan ini."
Kedua orang Senapati itu tertawa. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Sudah lama sekali aku tidak datang ke Tanah Perdikan. Sekarang, aku datang tidak pada waktu yang baik."
"Terima kasih atas kunjungan Ki Rangga dan Ki Lurah." sahut Agung Sedayu.
"Aku pernah berada di Tanah Perdikan ini beberapa lama ketika aku diperbantukan pada pasukan khusus di saat Ki Lurah Branjangan masih memegang pimpinan." berkata Ki Lurah Sabawa.
"Ya. Tetapi itupun sudah lama sekali." jawab Agung Sedayu yang kemudian bertanya, "Namun demikian, kedatangan kalian dengan cara ini memang agak menimbulkan persoalan didalam hatiku."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Glagah Putih.
"Bukankah Ki Rangga pernah mengenalnya" Sepupuku, Glagah Putih." berkata Agung Sedayu.
"Ya. Aku mengenalnya. Bukankah sepupumu itu kawan Raden Rangga semasa hidupnya?" bertanya Ki Rangga.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ia tidak akan senakal Raden Rangga."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Agung Sedayu. Kedatanganku memang tidak sewajarnya. Ada rahasia yang harus aku sampaikan kepadamu. Aku minta, kita dapat membicarakannya dengan tenang, bersungguh-sungguh dan terjamin kerahasiaannya. Tidak terlalu banyak orang boleh mendengar. Mungkin Ki Gede atau satu dua orang yang sangat penting."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya, "Apakah kalian akan pergi ke rumah Ki Gede?"
"Bukan aku." jawab Ki Rangga, "pembicaraan tentang rahasia itu telah diserahkan wewenangnya kepada kedua utusan pribadi Ki Patih. Namun aku memang memerlukan bertemu dengan kau untuk mendukung pembicaraan itu nanti dengan peragaaan yang dapat kau lihat disini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Rangga berkata, "Namun kita memerlukan langkah-langkah yang cepat dan menentukan. Waktu kita tinggal sedikit. Sebentar lagi kita akan memasuki dini hari."
"Tetapi aku belum tahu apa yang harus kami lakukan disini." berkata Agung Sedayu.
"Kedatangan Ki Patih ditunda beberapa saat. Rencananya Ki Patih akan datang di Tanah ini disaat matahari sepenggalah. Tetapi Ki Patih akan datang menjelang tengah hari."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, "Tentu ada alasan penundaan itu?"
"Ya, memang ada." berkata Ki Rangga, "tetapi silahkan membicarakan."
Akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mendapatkan beberapa keterangan sehingga mereka telah membawa kedua orang utusan pribadi itu kembali kepada Ki Gede dan beberapa orang yang khusus diajak berbicara tentang satu rahasia yang memang harus disampaikan oleh keduanya setelah mereka bertemu Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa.
Ki Gede dan beberapa orang pemimpin terpercaya Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi sangat sibuk. Ki Waskita dan Ki Jayaragapun telah mendapat keterangan tentang persoalan yang mungkin terjadi meskipun Ki Jayaraga tetap diminta untuk menemani Sekar Mirah.
Rahasia yang dibawa oleh kedua orang itu adalah rahasia yang memang harus disimpan sebaik-baiknya. Ternyata kedua orang utusan pribadi itu tidak sekedar ingin melihat persiapan penyambutan, tetapi benar-benar akan menentukan keberhasilan kunjungan Ki Patih Mandaraka di Tanah Perdikan.
Namun dengan bekerja keras tanpa mengenal lelah, sebelum fajar menyingsing, maka semuanya telah siap. Semuanya telah disusun seperti yang disepakati oleh Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dengan kedua utusan pribadi Ki Patih sepengetahuan Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa.
Ketika kemudian matahari mulai membayang, maka Tanah Perdikan Menoreh diliputi oleh suasana yang sangat meriah. Semua orang sudah tahu, bahwa di Tanah Perdikan itu akan datang tamu yang sangat dihormati, Ki Patih Mandaraka.
Sebenarnya Ki Patih Mandaraka sendiri tidak menghendaki sambutan yang demikian berlebihan. Ia justru menyesal, baha ia berniat berkunjung ke Tanah Perdikan, yang semula begitu saja timbul oleh dorongan kerinduannya pada masa-masa lampaunya. Namun ketika ia sadari akan kedudukannya, maka semuanya telah terlambat. Semuanya sudah diatur sebagaimana seharusnya. Ki Mandaraka memang tidak dapat begitu saja pergi dengan diam-diam seorang diri atau dua orang dengan Kiai Gringsing atau tiga orang dengan Ki Lurah Branjangan, berkuda ke Tanah Perdikan Menoreh justru dapat keadaan dan suasana yang panas itu.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Karena itu, maka segala sesuatunya telah diatur sebagaimana seharusnya kunjungan seorang pepatih di Mataram.
Para pengawalpun telah mendapat keterangan bahwa kehadiran Ki Patih Mandaraka telah ditunda beberapa lama. Ki Patih akan datang menjelang tengah hari.
Sebenarnyalah, bahwa menjelang tengah hari iring-iringan yang tidak terlalu besar telah menyeberangi Kali Praga. Pada beberapa rakit terdahulu para pengawal telah mendahului menyeberang. Kemudian rakit yang membawa Ki Patih Mandaraka, Kiai Gringsing, Ki Lurah Branjangan dan Ki Patih Wiralaga telah menyeberang pula. Sedangkan dibelakang mereka, masih ada sebuah rakit yang juga membawa beberapa orang pengawal. Semuanya dengan kuda masing-masing.
Demikianlah, beberapa saat kemudian iring-iringan itu telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Dari ujung Tanah Perdikan telah dipasang pertanda penyambutan. Pada gerbang padukuhan pertama yang dilewati Ki Patih telah dipasang rontek dan umbul-umbul.
"Sebenarnya aku justru merasa sulit." desis Ki Patih yang hanya didengar oleh Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan bukannya tidak berarti sama sekali."
"Ya." Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk.
Demikianlah Tanah Perdikan memang menjadi gembira. Sambutan atas kehadiran Ki Patih cukup meriah dan bahkan bagi Ki Patih Mandaraka yang pernah bernama Ki Juru Martani, seorang dari padukuhan kecil meskipun saudara seper guruan dengan Kangjeng Sultan Pajang, memang agak berlebihan.
Demikianlah, maka di rumah Ki Gede, penyambutan benar-benar dilakukan dengan meriah. Segala-galanya telah disiapkan dengan baik. Tempat yang akan dipergunakan oleh Ki Patih untuk beristirahat. Kemudian tempat untuk mengadakan pembicaraan khusus bagi orang-orang tua yang telah dipersilahkan untuk hadir dan bertemu dalam usia tua mereka. Dan tempat-tempat lain yang diperlukan. Dipendapa telah disiapkan seperangkat gamelan yang malam itu akan dipergunakan untuk menghidangkan suguhan kesenian yang terdapat di Tanah Perdikan. Acara-acara yang telah dipersiapkan telah dilaksanakan dengan baik sebagaimana direncanakan.
"Setelah pertunjukan selesai, aku ingin berbicara dengan beberapa orang tua." berkata Ki Patih Mandaraka kepada Ki Gede.
"Baiklah Ki Patih." jawab Ki Gede, "kami akan mengatur segala-galanya. Pembicaraan akan dapat dilakukan di ruang dalam. Ruang yang memang telah kami persiapkan."
Menjelang gelap, maka halaman rumah Ki Gede telah penuh. Orang-orang bukan saja dari padukuhan induk telah berdatangan untuk menyaksikan pagelaran yang memang jarang dilakukan.
"Apakah ada juga tayub?" bertanya seseorang.
"Ah kau, seperti tidak tahu saja sifat Ki Gede yang barangkali sejalan dengan sifat Ki Patih. Mereka tidak senang dengan tari tayub. Tari yang dapat mengakibatkan timbulnya persoalan-persoalan yang tidak diharapkan. Apalagi jika tuak mulai ikut meramaikannya."
Kawannya mengangguk-angguk. Ki Gede memang tidak menyukai tari tayub. Hanya dalam keadaan khusus untuk kepentingan upacara panen sajalah, tayub diselenggarakan sebagai upacara mensukuri kesuburan. Itupun semakin lama semakin susut.
Malam itu di pendapa rumah Ki Gede memang diselenggarakan beberapa jenis pertunjukkan. Yang paling menarik adalah tari topeng yang ditarikan oleh beberapa orang anak muda yang memang memiliki kemampuan menari.
Para tamu Ki Gede duduk di pendapa menyaksikan pertunjukkan yang sangat menarik itu. Diantara mereka termasuk Ki Jayaraga, sementara sekar Mirah ada pula di rumah Ki Gede, untuk membantu menyiapkan hidangan bagi para tamu.
"Hanya anak-anak pedesaan." desis Ki Gede yang duduk disebelah Ki Patih Mandaraka.
Tetapi Ki Patih berkata, "Bagus sekali. Tidak kalah dengan anak-anak muda di Kotaraja."
"Ki Patih terlalu memuji." desis Ki Gede.
Ki Mandaraka menyahut dengan sungguh-sungguh. "Tidak. Aku tidak sekedar memuji. Sebenarnyalah mereka adalah penari-penari yang baik."
Ki Gede tertawa. Orang-orang yang mendengar pujian itupun tertawa pula.
Namun dalam pada itu, hampir disetiap sudut halaman, telah mendapat pengamatan yang sangat ketat. Beberapa orang pengawal berjaga-jaga diregol. Sementara para pengawal dalam tugas sandinya berbaur dengan para penonton yang memadati halaman.
Namun sebagaimanapun juga, para pengawal itu tidak dapat mengenali setiap orang yang berjejal dihalaman itu. Karena itu, maka ada juga beberapa orang yang bukan orang tanah Perdikan itu sendiri.
Dua orang dengan diam-diam telah menyelinap keluar sebelum pertunjukkan selesai. Namun karena diluar regol banyak orang-orang yang berjualan dan anak-anakpun keluar masuk pula, bahkan kadang-kadang bersama orang tua mereka, maka kepergian kedua orang itupun sama sekali tidak menarik perhatian.
Demikian kedua orang itu memasuki kegelapan, maka merekapun seakan-akan telah hilang kedalam dinding halaman disebelah menyebelah jalan. Tetapi ternyata bukan hanya dua orang itu saja. Ada dua orang yang lain dan dua orang lagi yang berbuat serupa.
Malam itu juga orang-orang itu telah memberikan laporan apa yang mereka saksikan di halaman Ki Gede Menoreh yang sedang menyelenggarakan keramaian.
"Satu kesalahan besar." desis seorang yang ada di pinggir hutan setelah menerima laporan itu.
"Pengawal Ki Patih terlalu sedikit." berkata yang lain, "satu tindakan yang tergesa-gesa dan tidak dilandasi dengan perhitungan seorang pemimpin pemerintahan yang katanya sangat bijaksana."
"Jangan memikirkan kebijaksanaan seseorang." berkata kawannya, "sedangkan tupaipun sekali akan jatuh juga dari pelepah pohon kelapa."
"Maksudku, satu kesempatan yang bagus sekali telah disediakan oleh Ki Patih itu sendiri. Kita tinggal memanfaatkannya saja." berkata yang lain.
"Marilah. Malam ini kitapun akan melakukan bujana sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Menoreh." berkata orang yang agaknya memimpin sekelompok orang-orang itu.
Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki hutan itu. Seorang diantara mereka masih bergumam, "Pengawal berkuda Ki Patih memang orang-orang pilihan. Tetapi jumlahnya terlalu sedikit."
"Sebenarnya tidak terlalu sedikit." berkata kawannya, "dalam keadaan wajar, jumlah itu mencukupi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, Ki Patih Mandaraka benar-benar agak kurang cermat."
Ketika orang-orang itu hilang kedalam hutan, maka beberapa puluh langkah dari tempat mereka menunggu dipinggir hutan, sekelompok pengawal Tanah Perdikan sedang meronda. Namun mereka sama sekali tidak menemukan bekas apapun juga.
Di rumah Ki Gede pertunjukkan berlangsung sangat meriah. Semua orang merasa puas dengan pertunjukan itu. Bukan saja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi juga, para tamu yang datang dari Kotaraja. Para pengawal berkuda yang mengawal Ki Patihpun menjadi gembira melihat pertunjukkan itu. Apalagi ketika mereka melihat tari perang yang sangat tangkas yang ditarikan oleh dua orang anak muda yang bertubuh tinggi tegap.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak ikut berada di pendapa. Mereka justru berada diluar halaman rumah Ki Gede. Keduanya terlalu sulit untuk mengamati seorang demi seorang di malam hari, diantara orang yang berjalan hilir mudik serta para penjual yang berderet memanjang sebelah menyebelah regol.
Tetapi menurut pengamatan Agung Sedayu, tidak, ada peristiwa apapun yang terjadi. Setidak-tidaknya untuk malam itu. Bahkan kedua orang utusan pribadi Ki Patih Mandarakapun kemudian telah berada di luar halaman bersama Agung Sedayu.
"Nampaknya berhitungan kita atas dasar uraian pengamatan yang berhasil disadap itu benar." berkata salah seorang diantara salah seorang dari utusan pribadi Ki Patih itu.
"Kita percaya kepada ketajamam perhitungan Ki Rangga Lengkara." desis yang lain.
Agung Sedayu dan Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga mereka tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Bahkan semakin malam jantung Agung Sedayu rasa-rasanya berdegup semakin cepat. Setelah pertunjukkan selesai, maka akan ada pertemuan khusus dari orang-orang tua yang sudah lama tidak selang bertemu.
Namun sementara itu, penjagaan disegala sudut Tanah Perdikan telah diperketat. Tanah Perdikan Menoreh saat itu tidak mempergunakan cara yang sudah ditempuhnya sejak beberapa hari. Penjagaan yang ketat justru tidak digardu-gardu. Tidak di ujung-ujung lorong yang memasuki Tanah Perdikan meskipun hal itu masih juga dilakukan. Tidak pula pada penjagaan para pengawal di pintu-pintu gerbang padukuhan atau pasukan berkuda yang meronda di sekeliling Tanah Perdikan. Tetapi bersama dengan kedua utusan pribadi Ki Patih Mandaraka serta kedua Senapati Mataram yang ditemui Agung Sedayu di tepian, para pemimpin Tanah PerdikanMenoreh telah menentukan lain. Pengamatan lebih banyak dilakukan dengan diam-diam di pematang-pematang sawah, digubug-gubug atau di dekat gejlik dipersimpangan parit, sebagaimana orang-orang yang menunggu air untuk mengairi sawah mereka.
Demikianlah, menjelang pertunjukan selesai, maka seorang diantara para petugas yang mengamati padang perdu dipinggir hutan telah menemui Agung Sedayu.
"Aku melihat dua orang yang tidak dikenal." berkata orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu nampaknya tidak terkejut.
"Amati arahnya." berkata Agung Sedayu kemudian.
Orang itu mengangguk kecil. Kemudian iapun telah pergi meninggalkan lingkuhgan keramaian.
Ketika beberapa saat kemudian keramaian akan berakhir, maka nampak beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh mulai meninggalkan tempat itu. Satu-satu mereka keluar dari regol halaman. Ada yang singgah membeli kacang rebus yang tinggal sedikit tersisa, karena pada umumnya semua dagangan dari mereka yang berjualan telah habis.
Beberapa orang merasa kecewa, bahwa pertunjukan hanya berlangsung sampai tengah malam. Biasanya pertunjukan dapat berlangsung sampai dini hari. Ceritera panji yang ditarikan dengan bentuk tari topeng akan dapat mengikat sampai pagi.
Tetapi beberapa orang dapat memberikan keterangan, "Para tamu itu tentu perlu beristirahat."
Tetapi kawannya menjawab, "Mereka yang ingin beristirahat biar saja beristirahat. Kita yang nonton biar saja nonton sampai pagi."
Tetapi yang pertama berkata, "Kau kira suara gamelan itu tidak mengganggunya?"
Kawannya tidak menjawab lagi. Namun sebenarnyalah pertunjukan yang diselenggarakan di Tanah Perdikan itu biasanya sampai pagi hari.
Ketika pertunjukan itu selesai, maka seperti semut yang keluar dari sarangnya, maka para penontonpun menghambur keluar dari halaman rumah Ki Gede. Sementara itu, beberapa orang yang telah mendahului keluar dari halaman, justru telah berhenti dan berdiri menepi, menga-wasi orang-orang yang berjejal lewat kesegenap arah.
Jika orang-orang yang dikenalnya menyapa kepada mereka yang berdiri di pinggir jalan, maka jawabnya hampir serupa.
"Menunggu anakku yang agaknya masih tertinggal bersama kakeknya." jawab yang seorang. Sementara yang lain menjawab, "Adikku terpisah. Ia tentu akan segera menyusul."
Atau jawaban-jawaban lain yang serupa. Namun sebenarnyalah mereka mengemban tugas untuk mengawasi keadaan, sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glgah Putih, serta para pemimpin pengawal justru ditempat yang agak jauh dari rumah Ki Gede.
Sementara itu, di halaman rumah Ki Gede, para pengawal Ki Patih Mandarakalah yang bersiaga sepenuhnya, meskipun tidak dengan semata-mata. Beberapa orang berdiri dibelakang gardu, sementara yang berada didalam gardu adalah para pengawal Tanah perdikan itu sendiri.
Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, maka setelah pertunjukan selesai, mereka masih mempunyai acara khusus. Ki Patih Mandaraka bertemu dengan orang-orang tua yang sudah lama terpisah, atau bahkan belum dikenalnya sebelumnya.
Diantara mereka yang ada diruang dalam selain Ki Patih Mandaraka adalah Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Ki Gede Menoreh sendiri dan Ki Patih Wiralaga. Namun disamping mereka ternyata Ki Patih juga memanggil tiga orang bekas Senapati Pajang yang juga sudah cukup umur, yang datang diam-diam bersama pengawal Ki Patih Mandaraka, tetapi dengan sepengetahuan Ki Patih.
Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata tidak ikut berada diruang dalam. Keduanya duduk ditangga pendapa rumah Ki Gede yang sedang dibersihkan oleh beberapa orang pengawal. Mereka sedang menggulung tikar, menyapu beberapa kotoran yang berserakan. Sementara beberapa orang bebahu yang masih ada dipersilahkan duduk di pringgitan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak sempat ikut mendengarkan pembicaraan orang-orang tua itu. Tetapi setiap kali ia mendengar suara mereka tertawa. Memang berbeda dari apa yang dibayangkan oleh Agung Sedayu, bahwa pembicaraan akan menjadi tegang. Tetapi ternyata tidak sama sekali.
Ketika tengah malam lewat semakin jauh, maka kedua orang utusan pribadi Ki Patih Mandaraka memang nampak menjadi semakin gelisah. Beberapa kali mereka berbicara dengan Agung Sedayu yang masih saja ada ditangga pendapa.
Menjelang dini hari, ternyata orang-orang tua itu sama sekali belum mengakhiri pembicaraan. Sekali-sekali masih saja terdengar pembicaraan yang nampaknya menarik, disusul dengan suara tertawa yang meledak.
Namun beberapa saat kemudian, Ki Panji Wiralaga dan Ki Lurah Branjangan telah keluar dari ruang dalam meskipun nampaknya pembicaraan belum selesai.
"Sudah hampir dini hari. Ayam jantan sudah berkokok untuk yang kedua kalinya." berkata Ki Panji.
"Ya" Agung Sedayupun bangkit dan berdiri di hala"man, "kami menunggu perintah."
"Tetapi apakah semuanya sudah siap seperti yang direncanakan?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Sudah." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah." berkata Ki Panji kemudian, "kita menunggu beberapa saat. Perintah itu justru akan datang dari pihak lain."
"Kita akan bersiap ditempat kita masing-masing." berkata Ki Lurah.
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak akan beranjak dari tempatnya. Mereka akan berada di halaman rumah Ki Gede. Betapa ketatnya hambatan, namun mereka yang berniat datang kerumah itu tidak akan dengan mudah terhenti diperjalanan. Karena itu, maka yang lebih baik adalah justru menunggu mereka di halaman itu.
Namun dalam pada itu, kedua orang utusan pribadi Ki Patihlah yang meninggalkan halaman itu masuk kedalam gelap bersama tiga orang pengawal berkuda Tanah Perdikan. Sejenak kemudian mereka telah berpacu di bulak punjang, Namun mereka sama sekali tidak merasa cemas, karena di pematang digubug-gubug, digejlig tempat pembagian air atau tanggul terdapat orang yang sebenarnya adalah para pengawal.
Kelima orang itupun kemudian mempercepat kuda mereka, berpacu justru kearah Utara. Mereka telah mengikuti jalan ke penyeberangan dan akhirnya berhenti ditepian.
Ternyata Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa telah menunggu. Demikian kelima orang itu turun ketepian, Ki Rangga berkata, "Ayam jantan sudah berkokok untuk yang kedua."
"Kita menunggu isyarat Ki Rangga." berkata salah seorang dari utusan pribadi Ki Patih.
"Bagus." berkata Ki Rangga, "sampaikan kepada Ki Patih bahwa semuanya sudah dipersiapkan seperti yang direncanakan."
Utusan Ki Patih itu mengangguk-angguk. Namun mereka melihat dalam kegelapan diseberang Kali Praga beberapa buah rakit telah siap.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, kelima orang itupun segera bersiap untuk kembali. Namun utusan Ki Patih itu masih berpesan, "Jika isyarat itu naik, maka segala sesuatunya akan segera mulai."
"Kami sudah memperhitungkan jarak. Jarak yang akan kita tempuh tidak akan lebih jauh dari jarak yang akan mereka tempuh." jawab Ki Rangga.
"Kecepatan bergerak?" bertanya utusan Ki Patih.
"Sudah termasuk hitungan kami." jawab Ki Rangga pula.
Demikianlah, maka kelima orang itupun kemudian telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk dan melaporkan segala sesuatunya kepada Ki Panji Wiralaga.
Demikian, maka dalam dinginnya udara di dini hari, Tanah Perdikan telah dipanasi oleh persiapan yang terselubung, yang akan segera membakar Tanah Perdikan itu. Api akan segera berkobar di Perbukitan Menoreh yang nampaknya masih tenang itu.
Dalam pada itu. di lereng bukit Menoreh, beberapa orang berkumpul dan berbincang dengan sungguh-sungguh. Seorang yang memimpin pembicaraan itupun kemudian berdesis, "Ayam jantan telah berkokok untuk yang kedua kalinya. Jika ayam berkokok untuk yang ketiga kalinya, maka kita semuanya akan bergerak. Perang yang sesungguhnya akan berkobar. Kelengahan Ki Patih Mandaraka akan ditebus dengan taruhan yang sangat mahal. Tanpa Mandaraka, maka Panembahan Senapati akan kehilangan gairah perjuangannya. Dengan mudah Madiun akan menggilasnya, sehingga Mataram tidak akan berbekas lagi. Meskipun Panembahan Senapati adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, tetapi hatinya terlalu rapuh sehingga ia memerlukan sandaran yang kuat. Sandaran itu adalah Ki Patih Mandaraka."
"Aku tidak tahu, bagaimana mungkin orang yang cerdik seperti Ki Patih Mandaraka dapat melakukan kekeliruan seperti ini." berkata seorang yang lain.
"Tetapi kita jangan merendahkan kemampuan para pengawal. Seperti yang kita lihat, semua pengawal di Tanah Perdikan bersiaga. Pengawal pada tataran pertama, tataran kedua sampai pada tataran ketiga. Semuanya telah siap bertempur jika perlu." berkata seorang yang lain.
Tetapi kawan-kawannya tertawa. Katanya, "Mereka bersiap untuk menyambut tamu yang mereka anggap orang terbesar didunia setelah Panembahan Senapati. Bukan un"tuk bertempur."
Namun tiba-tiba merekapun terdiam ketika seorang yang bertubuh tinggi besar berkumis lebat dan berjambang-panjang. Seorang yang rambutnya sudah berwarna dua, namun yang memiliki wibawa yang besar.
Semua orang berdiri karenanya. Salah seorang diantara mereka mengangguk hormat sambil berdesis, "Sang Panembahan Cahya Warastra."
Orang yang disebut Sang Panembahan itu berhenti sejenak sambil memandang berkeliling. Kemudian ketika orang-orang yang ada disekitarnya mengangguk dalam-dalam, iapun telah mengangguk pula kepada mereka.
"Apakah semua sudah siap." bertanya orang yang disebut Panembahan Cahya Warastra itu.
Kepada orang yang berdiri disebelahnya ia berkata, "Apakah semua laporan dapat dipercaya?"
Kematian Kedua 1 Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Tangan Berbisa 14
Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Glagah Putihpun telah sampai pada puncak kemampuannya sebagai pewaris ilmu Ki Sadewa. Karena itu, maka iapun telah bergerak dengan unsur-unsur gerak yang sulit diikuti oleh lawan-lawannya. Apalagi ditangannya tergenggam ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Meskipun Glagah Putih tidak memiliki kemampuan bergerak secepat Agung Sedayu yang dapat seakan-akan mengabaikan berat tubuhnya, namun bagi lawan-lawannya, Glagah Putih itu sudah berada di luar jangkauan mereka.
Karena itu, maka sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah berteriak tertahan. Ujung ikat pinggang Glagah Putih telah menyentuhnya. Hanya goresan yang tidak terlalu dalam. Namun rasa-rasanya ikat pinggang itu demikian tajamnya mengoyak kulitnya.
Keseimbangan yang berubah itu memang membuat pemimpin kelompok itu menjadi cemas. Sejak mereka berangkat, pemimpin kelompok itu sudah mengeluh, bahwa orang-orang yang dibawanya bukanlah orang-orang yang memiliki ilmu setingkat dengan dirinya meskipun hanya satu atau dua orang. Yang diberikan kepadanya adalah enam orang, tetapi dengan ilmu yang kurang memadai.
Tetapi menurut perhitungan mereka, yang akan mereka hadapi hanya Sekar Mirah seorang diri. Demikian pula laporan dari seorang yang mengawasi rumah itu. Mereka melihat tiga orang keluar dari rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Namun mereka tidak menyadari bahwa Glagah Putih telah kembali ke rumah itu melalui jalan lain. Glagah Putih memang tidak masuk kembali ke halaman rumah itu lewat pintu regol halamannya, sehingga karena itu, ia telah luput dari pengawasan orang-orang yang berniat mengambil Sekar Mirah.
Namun seandainya mereka melihat Glagah Putih kembalipun mereka tidak akan terlalu banyak mempertimbangkannya, sebagaimana dua orang peronda itu. Menurut perhitungan mereka, kedua peronda itu adalah anak-anak yang tidak memiliki kemampuan olah kanuragan sama sekali sebagaimana anak-anak muda kebanyakan.
Pemimpin kelompok itupun kemudian menyadari, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang lebih baik dari Sekar Mirah. Sehingga karena itu, maka setelah berpikir sejenak, pemimpin kelompok itu berkata, "Cepat, tahan perempuan ini agar tidak melarikan diri. Aku akan membunuh anak muda itu."
Keempat orang itu dengan cepat tanggap. Seorang diantara mereka telah meninggalkan Glagah Putih dan langsung menghadapi Sekar Mirah. Demikian orang kedua meninggalkan Glagah Putih dan meloncat menghadapi Sekar Mirah dari sisi yang lain, maka pemimpin kelompok itu telah meloncat turun ke halaman.
Sekar Mirah berusaha mempergunakan kesempatan itu untuk mematahkan perlawanan kedua lawannya. Tetapi orang ketiga segera datang membantu kawan-kawannya. Bahkan kemudian orang keempat yang telah terluka itu.
Keempat orang itu mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka mula-mula hanya mendapat tugas untuk menahan agar Sekar Mirah tidak meninggalkan pendapa itu, karena ia dibutuhkan oleh pemimpinnya.
Dengan demikian Sekar Mirah menyadari, bahwa keempat orang itupun tentu tidak akan membunuhnya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah bertempur dengan beraninya. Tongkat bajanya telah terayun-ayun mengerikan.
Namun keempat orang itu memang membuat Sekar Mirah kadang-kadang menjadi bingung. Meskipun keempat orang itu semula tidak berniat untuk melukainya. Namun senjata keempat orang itu cukup berbahaya baginya. Justru karena keempat orang itu bukan pemimpin kelompok yang bertanggung jawab, maka kemungkinan sengatan ujung senjata memang lebih besar.
Seperti diperhitungkan oleh pemimpin kelompok itu, maka kemampuan Glagah Putih memang lebih tinggi dari Sekar Mirah. Meskipun anak muda itu baru tumbuh kemudian, namun kesempatannya berkenalan dengan Raden Rangga telah memberikan kesempatan yang jauh lebih besar dari Sekar Mirah. Apalagi pada dasarnya Glagah Putih adalah anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Apalagi ketika pemimpin kelompok yang kemudian bertempur dengan Glagah Putih itu berteriak, "Tahan perempuan itu. Jika ia memaksa, maka kalian mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan meskipun darah akan menitik dari kulitnya. Ada batas kesabaran."
Sekar Mirah menggeram. Ia sadar, bahwa orang itu tidak sekedar mengancam. Jika tugas mereka gagal, maka mereka tentu akan sampai pada kemungkinan terakhir. Membunuh.
Agaknya orang-orang itu telah melampaui batas pertama dari langkah-langkah yang dipersiapkan untuk mengambil Sekar Mirah itu, sehingga mereka sampai pada satu kemungkinan untuk melukainya.
Namun pemimpin kelompok itu masih berkata, "Tetapi ia harus ditangkap hidup-hidup meskipun terluka."
Keempat orang itu merasa lebih bebas untuk mengayunkan senjatanya. Mereka tidak terlalu tegang karena harus menahan diri demikian kemungkinan terbuka. Namun mereka harus menjaga agar perempuan itu tidak mati, karena ia masih akan dapat dipergunakan untuk memancing kehadiran Agung Sedayu.
Demikianlah maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah harus bertempur melawan empat orang. Namun seorang yang telah terluka itupun semakin lama menjadi semakin lemah. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi kulit yang menganga itu telah mengalirkan darah tanpa henti-hentinya. Karena itu, maka ia harus mengambil waktu untuk beru"saha menahan arus darahnya itu jika ia tidak benar-benar ingin kehabisan tenaga.
Sementara itu kedua peronda yang bertempur melawan dua orang itupun telah mengerahkan batas-batas terakhir dari kemampuan mereka. Rasa-rasanya tenaga merekapun telah terperas dalam pertempuran yang memang seimbang itu. Sehingga beberapa saat kemudian, tenaga mereka itu akan susut.
Sekilas para peronda itu melihat kentongan yang tergantung diserambi. Namun mereka memang harus memperhatikan Sekar Mirah. Dalam keadaan yang terpaksa, Sekar Mirah memang akan dapat dibunuh.
Namun kedua peronda itu melihat bahwa Sekar Mirah masih mampu bertahan beberapa saat. Apalagi setelah lawannya berkurang dengan seorang. Atau jika orang yang terluka itu mencoba untuk berdiri di arena, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak, karena darahnya yang mengalir. Semakin banyak ia bergerak, maka darahnyapun bagaikan diperas lewat lukanya.
Sekar Mirah memang mampu bertahan untuk beberapa lama. Tiga orang lawannya bukannya orang yang memiliki ilmu sebagaimana pemimpin kelompok itu. Karena itu, maka ayunan senjata Sekar Mirahlah yang telah menggetarkan senjata lawan-lawannya pada setiap benturan. Bukan sebaliknya.
Sebenarnyalah bahwa ketiga orang lawannya semakin lama semakin tidak menahan diri. Mereka telah mendapat wewenang untuk jika perlu melukai perempuan yang akan mereka ambil itu. Bahkan dalam kemungkinan terakhir, membunuhnya jika perlu.
Tetapi Sekar Mirah cukup garang bagi ketiga orang itu. Tongkat baja putihnya terayun-ayun mengerikan. Dalam benturan benturan yang terjadi kemudian, ketiga orang lawannya harus mengakui bahwa Sekar Mirah memang seorang perempuan yang pilih tanding.
Tidak mudah bagi lawan-lawannya untuk dapat menyentuh kulitnya meskipun ia tidak mengekang diri. Kakinya menjadi semakin cepat bergerak melontarkan tubuhnya. Demikian Sekar Mirah mengayunkan tongkat baja putihnya dengan kekuatan yang sangat besar, namun kemudian ia menggeliat menghindari tusukan ujung senjata lawannya yang lain seakan-akan sedang menari.
Tetapi ketiga orang itupun termasuk orang-orang yang berpengalaman. Mereka adalah orang-orang yang kasar dan keras. Hanya karena mereka berusaha untuk menangkap Sekar Mirah dalam keadaan hidup, maka mereka menjadi agak mengekang diri. Namun semakin lama sifat mereka itupun menjadi semakin nampak muncul kepermukaan.
Ketika mereka mulai menjadi liar, maka Sekar Mirah memang agak menjadi gelisah. Sekali-sekali terdengar orang-orang itu mengumpat meskipun tidak berteriak-teriak. Agaknya mereka masih berusaha agar kehadiran mereka tidak didengar oleh tetangga-tetangga yang akan dapat membuat rencana mereka semakin rusak.
Sementara itu, pemimpin dari sekelompok orang itu, memang sudah menjadi gelisah. Ia merasa sudah terlalu lama berada dirumah Sekar Mirah. Pada satu saat Agung Sedayu tentu akan kembali.
Karena itu, maka iapun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan anak muda yang telah berani menghalangi rencananya itu, namun yang tidak dapat diingkari, bahwa anak muda itu ternyata juga berilmu tinggi.
Sejenak kemudian, maka orang itupun telah meningkatkan kemampuannya pula. Tiba-tiba saja kekuatan orang itu bagaikan meningkat semakin besar. Ketika kemudian terjadi sentuhan, rasa-rasanya tubuh orang itu menjadi semakin keras.
Glagah Putih menyadari, bahwa orang itu telah memasuki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika ia melihat, jejak kaki orang itu nampak semakin dalam membekas di halaman. Seakan-akan berat badannya menjadi berlipat sehingga kakinya dan geraknya masih saja nampak ringan dan tangkas.
Glagah Putih teringat pada Bandar Anom. Meskipun berbeda tetapi ada beberapa unsur yang mirip. Bagaimanapun juga orang itu agaknya mempunyai hubungan dengan Bandar Anom atau kawannya yang pengecut itu.
Namun Glagah Putih tidak dapat merenungi lebih lama. Orang itu benar-benar menjadi semakin garang. Rasa-rasanya setiap sentuhan senjata, kekuatan orang itu bagaikan semakin meningkat. Bahkan ketika Glagah Putih harus bergeser menghindari serangannya dan kemudian menangkis senjatanya kesamping, sementara itu sambil berputar Glagah Putih mengayunkan kakinya dan mengenai tubuhnya, kaki Glagah Putih rasa-rasanya akan menjadi patah karenanya. Tubuh orang itu seakan-akan telah berubah menjadi besi.
"Apakah orang ini memiliki ilmu kebal?" pertanyaan itu telah menyentuh jantung Glagah Putih.
Sementara itu orang itu menjadi semakin garang. Ia harus dengan cepat menyelesaikan Glagah Putih dan kemudian membawa Sekar Mirah pergi.
Namun Glagah Putih tidak mudah menyerah. Ikat pinggangnya berputaran menyambar-nyambar, sehingga pada suatu saat sempat menyusup disela-sela pertahanan lawannya, mengenai tubuhnya. Namun Glagah Putih harus meloncat surut. Ternyata ikat pinggangnya tidak melukai tubuh orang itu. Tubuh yang seakan-akan telah berubah menjadi sekeras besi.
Bahkan orang itu tiba-tiba saja tertawa, "Ayo anak muda. Kerahkan segala macam ilmumu. Atau menyerah sajalah. Kau akan mati dengan cara yang baik. Kemudian aku akan membawa perempuan itu bersama kami."
Glagah Putih termangu-mangu. Orang itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Apalagi orang yang disebut-sebutnya sebagai gurunya. Tentu ilmunya jauh lebih tinggi, kecuali jika orang ini mampu meningkatkan ilmunya dan mengembangkannya menjangkau kemampuan gurunya.
"Menyerah sajalah. Perlawananmu sia-sia." berkata orang itu pula.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia bertekad untuk menjawab tantangan itu. Tidak ada ilmu yang sempurna. Jika saja ilmu kebal orang itu belum sampai pada tataran yang sempurna itu, maka tentu ada cara untuk menembusnya. Bahkan ilmu kebal Agung Sedayupun masih juga dapat ditembus oleh ilmu yang sangat tinggi.
Karena itu, Glagah Putih telah mengerahkan ilmunya. Ia masih belum berniat untuk menyerang lawannya dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya. Tetapi ia ingin menembus ilmu kebalnya dengan senjatanya itu. Senjata yang bukan senjata kebanyakan. Tetapi senjata yang diterimanya dari seorang yang sangat dihormati bukan saja karena kedudukannya yang tinggi, tetapi juga karena ilmunya.
Namun bukan saja tergantung kepada senjata itu. Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya sampai kepuncak kemampuannya berdasarkan ilmu yang diwarisinya dari jalur Ki Sadewa. Dengan memusatkan nalar budinya, maka ilmu itu seakan-akan telah siap tersalur lewat tangannya dan kemudian mengalir ke ujung ikat pinggangnya itu.
Dengan demikian, maka kekuatan dan kemampuan Glagah Putihpun bagaikan berlipat. Ikat pinggangnya yang berputaran telah mendesing seperti suara sendaren dipunggung burung merpati yang terbang tinggi.
Kedua orang yang bertempur itu telah mengerahkan ilmu masing-masing. Keduanya berloncatan dengan cepat dan tangkas. Masing-masing berusaha untuk menghindari serangan lawannya atau menangkisnya dengan membenturkan senjatanya.
Namun ketika kemudian terjadi benturan, maka lawan Glagah Putih itupun terkejut. Lawannya tiba-tiba saja telah meningkatkan kekuatannya dengan hampir berlipat. Karena itu, hampir saja senjata lawan Glagah Putih itu terlepas.
Selagi lawannya berusaha memperbaiki keadaan, maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan kemampuannya yang sangat besar, dan kekuatannya yang berlipat, Glagah Putih telah mengayunkan senjatanya mendatar, menyusup dibawah pertahaan lawan yang sudah goyah.
Lawannya tidak berusaha untuk menangkisnya lagi. Jika sekali lagi terjadi benturan senjata, maka senjatanya tentu akan terlepas. Namun iapun sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, sehingga karena itu, maka lawan Glagah Putih itu telah mempercayakan perlindungan ilmu kebalnya.
Sesaat kemudian senjata Glagah Putih memang seakan-akan telah membentur dinding besi. Namun kekuatan yang dilontarkan oleh ilmu yang diwarisinya dari jalur Ki Sadewa adalah demikian besarnya, sehingga karena itu, maka seolah-olah memang telah terjadi benturan yang sangat kuat. Benturan kekuatan ilmu Glagah Putih yang sangat besar dengan perisai yang melindungi tubuh lawannya, yang seakan-akan dapat menjadikan kulit dagingnya bagaikan dilapisi oleh lempeng lempeng besi baja.
Namun ternyata kekuatan Glagah Putih dengan lambaran ilmunya terlalu besar bagi kekuatan ilmu kebal lawannya. Meskipun senjata Glagah Putih hanya ikat pinggang kulit. Namun ternyata senjata itu dialasi dengan kekuatan ilmunya telah mampu mengoyak ilmu kebal lawannya.
Terdengar lawannya mengaduh tertahan. Lawannya yang terlalu yakin akan perisai ilmu kebalnya itu terlempar beberapa langkah surut. Bukan hanya terdorong surut, tetapi ternyata ikat pinggang Glagah Putih itu telah melukai kulit lawannya. Meskipun goresan itu tidak dalam, tetapi cukup mendebarkan bagi lawan Glagah Putih itu.
Baju orang itu telah terkoyak di bagian dada tembus sampai kekulit, melintang hampir selebar dada orang itu. Dari goresan yang tidak dalam itu, memang sudah mulai menitik darah. Bahkan karena keringat orang itu yang membasahi seluruh kulitnya, maka luka itu terasa sangat pedih.
"Anak iblis." orang itu mengumpat, "kau mampu menembus ilmu kebalku."
"Kau yang anak iblis." Glagah Putihpun membentak, "kau ternyata memiliki ilmu kebal."
Orang itu memandang wajah Glagah Putih dengan sorot mata yang menyala. Sekilas ia melihat ketiga orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Namun ia tidak dapal menentukan, apakah ketiganya akan berhasil.
Namun kemarahan yang menghentak jantungnya telah membuatnya mata gelap sehingga ia berteriak, "Jangan segan-segan lagi. Paksa perempuan itu menyerah, meskipun kau hanya mendapatkan mayatnya."
"Persetan." suara Glagah Putihpun terdengar garang, "aku akan membunuh kalian."
Orang yang mempunyai ilmu kebal itu telah bersiap untuk menyerang Glagah Putih. Ia telah mengerahkan segenap ilmunya sehingga ia berharap ilmu kebalnya akan menjadi semakin kuat. Namun dengan demikian maka darahnyapun menjadi semakin banyak mengalir.
Glagah Putihpun telah bersiap. Iapun menjadi marah seperti lawannya. Namun ia masih selalu mampu mengendalikan nalar budinya sehingga tidak sekedar hanyut dalam arus perasaannya.
Ketiga orang lawan Sekar Mirah itupun telah menghentakkan kemampuan mereka pula. Mereka bertempur dengan keras dan kasar. Mereka semakin lama telah menjadi semakin liar. Umpatan-umpatan kotor telah keluar dari mulut mereka. Kata-kata yang tidak pantas didengar orang, apalagi seorang perempuan.
Untunglah bahwa Sekar Mirah tetap sadar, bahwa kecuali untuk mendorong menghentakkan kekuatannya dan kemampuannya, maka orang-orang itu dengan sengaja berusaha mempengaruhi Sekar Mirah. Jika secara jiwani Sekar Mirah telah terpengaruh, maka ia tentu tidak akan mampu memusatkan pikiran dan kemampuan ilmunya untuk menghadapi ketiga orang itu.
Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi bingung karenanya. Ia sadar sepenuhnya apa yang dihadapinya. Karena itu, maka penalarannya tetap berjalan dengan bening meskipun ia menjadi sangat marah menghadapi lawan-lawannya. Namun dengan demikian, kemarahan Sekar Mirah yang disadari sepenuhnya itu justru telah membuatnya sangat berbahaya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga, kemampuan Sekar Mirahpun terbatas. Setelah memeras kekuatan dan kemampuannya, maka Sekar Mirah tidak mampu lagi mengatasi keterbatasannya. Tenaganya perlahan-lahan sekali mulai susut. Tetapi bukan berarti bahwa kekuatan lawan-lawannya tidak menjadi susut karenanya. Merekapun telah memaksa diri untuk mengatasi desing putaran tongkat baja putih Sekar Mirah.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran antara Sekar Mirah dan ketiga lawannya tidak berubah dengan tajam. Kedua belah pihak mulai menghemat tenaga mereka, agar mereka tidak kehabisan nafas disaat-saat yang paling gawat.
Demikian pula dua orang peronda yang bertempur melawan dua orang yang tidak dikenal itu. Merekapun harus menghemat tenaga mereka. Karena itu, maka keduanya lebih baik bertahan daripada menyerang. Karena dengan demikian keduanya dapat menghemat tenaga mereka.
Tetapi lawan-lawan merekapun telah melakukan hal yang hampir sama. Keduanya juga tidak lagi menghambur-hamburkan tenaga. Mereka mulai benar-benar memperhitungkan segala gerak yang mereka lakukan, sehingga hanya dalam keadaan yang paling penting saja mereka bergerak.
Berbeda dengan mereka adalah Glagah Putih. Glagah Putih yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, masih belum merasa perlu menghemat tenaganya. Bahkan ia telah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menembus ilmu kebal lawannya yang ditingkatkan.
Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, maka Glagah Putih memang menjadi garang. Sekali-sekali benturan masih terjadi. Namun dengan gerakan yang semakin cepat, maka senjata Glagah Putih telah mampu menyusup pertahanan lawannya dan langsung membentur ilmu kebalnya.
Ternyata kemampuan Glagah Putih benar-benar diluar dugaan lawannya. Anak yang masih muda itu ketika membentur ilmu kebalnya dengan senjatanya yang aneh itu, benar-benar telah berhasil menembusnya sekali lagi. Bukan kebetulan bahwa lawannya lengah, tetapi kemampuan Glagah Putih benar-benar diatas tingkat ilmu kebal lawannya. Sebuah luka telah tergores lagi ditubuh lawannya. Pundaknyalah yang telah dilukai oleh senjata Glagah Putih.
Kemarahan yang tidak ada taranya telah bergejolak dihati lawan Glagah Putih itu. Karena itu, maka agaknya orang itu tidak lagi mengekang dirinya. Ia benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi. Luka ditubuhnya adalah pertanda runtuhnya harga dirinya diantara saudara-saudara seperguruannya. Karena itu, maka orang itupun telah memutuskan untuk menghancurkan lawannya dengan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakan kecuali dalam keadaan yang paling gawat, untuk menebus kekalahannya itu. Dalam keadaan yang terdesak, maka orang itu telah meloncat mengambil jarak. Iapun segera berdiri tegak dan menyilangkan tangan didada.
Glagah Putih sudah siap memburunya. Namun iapun segera menghentikan langkah. Ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya telah memusatkan nalar budinya untuk menghancurkannya.
Tetapi Glagah Putih tidak sempat berbuat sesuatu. Tiba-tiba diseputar tubuh orang itu udara bagaikan berputar. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya menjadi angin pusaran mengitarinya. Namun sejenak kemudian angin pusaran itu telah terlepas dari tubuh itu. Dengan cepat angin pusaran itu telah bergerak kearah Glagah Putih.
Glagah Putih sadar sepenuhnya, bahwa angin pusaran itu adalah ungkapan kekuatan yang sangat dahsyat. Jika ia tersentuh oleh angin pusaran itu, maka tubuhnyapun akan terputar pula. Bahkan mungkin terangkat dan dilemparkan dari ketinggian yang mengerikan.
Karena itu, ketika angin pusaran itu seakan-akan menyerangnya, maka Glagah Putih telah meloncat dengan cepat menghindarinya. Tetapi pusaran yang tajam itu seolah-olah mempunyai mata yang dapat menuntunnya mengejar Glagah Putih.
Ketika Glagah Putih meloncat ke bawah sebatang pohon jambu air, maka pusaran itu telah menyerangnya pula. Demikian Glagah Putih meloncat menghindar, maka pohon jambu air itulah yang telah diputarnya. Terdengar gemerasak daunnya dan derak cabang-cabangnya yang patah.
Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Ia menyadari betapa besarnya kekuatan angin pusaran yang nampaknya tidak lebih besar dari pusaran tubuh lawannya itu.
Derak dahan-dahan yang patah memang telah mengejutkan Sekar Mirah dan kedua orang peronda yang sedang bertempur itu. Sesaat Sekar Mirah sempat melihat apa yang terjadi di halaman. Ia melihat dahan yang patah itu runtuh ditanah.
Jantung Sekar Mirah memang tergetar. Ia menyadari be"tapa tinggi ilmu orang itu. Jika ilmu itu ditrapkan kepadanya, maka agaknya ia tidak akan mampu mengatasinya.
Sementara itu salah seorang dari lawan Sekar Mirah itu sempat berkata, "Nah, kau lihat. Jika batas kesabaran itu sudah dilampaui, maka Ki Lurah itu benar-benar telah bertindak tegas. Karena itu, menyerahlah. Kau tidak akan dikenai oleh ilmunya yang dahsyat itu."
"Cukup." bentak Sekar Mirah. "Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku" Sebentar lagi kalian bertiga akan mati."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Kau coba menghibur dirimu sendiri."
Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun telah meloncat sambil memutar tongkat baja putihnya melihat ketiga orang lawannya itu. Namun tenaga Sekar Mirah tidak lagi seutuh saat ia mulai bertempur.
Sementara itu, putaran angin pusaran itu benar-benar telah mengguncang perasaan kedua orang peronda yang masih bertahan. Rasa-rasanya segala sesuatunya akan segera berakhir. Namun demikian keduanya adalah pengawal yang mengemban tanggung jawab. Karena itu, maka kedua orang itu sama sekali tidak kehilangan gelora didadanya. Apapun yang akan terjadi, mereka tidak berniat untuk melangkah surut. Adalah menjadi tugas mereka untuk melawan siapapun yang akan membuat kericuhan di Tanah Perdikan. Apalagi sudah berniat untuk membunuh dan menculik.
Meskipun tenaga mereka sudah surut, namun keduanya masih berusaha untuk bertahan dan bahkan menyerang lawan-lawannya. Apalagi karena lawan-lawan merekapun telah memeras kekuatan mereka pula.
Balas " On 16 Juni 2009 at 15:08 Mahesa Said:
Sementara itu, Glagah Putih masih harus berusaha menghindarkan diri dari kejaran angin pusaran itu. Sebagai seorang yang banyak berhubungan dengan ilmu kanuragan maka Glagah Putih itupun segera mengetahui, bahwa landasan dasar ilmu lawannya adalah Aji Cleret Tahun yang sudah jarang ditemui. Namun yang memang mempunyai kekuatan yang luar biasa dahsyatnya.
Beberapa kali Glagah Putih memang harus berloncatan menghindari kejaran ilmu itu. Namun dengan demikian maka batang-batang perdu di halaman rumah itu seakan-akan telah digulung dan dilontarkan naik ke udara.
Beberapa saat Glagah Putih harus meloloskan diri. Namun angin pusaran yang dahsyat itu tidak juga susut. Karena itu, maka akhirnya Glagah Putih telah memutuskan untuk mencoba melawan ilmu itu dengan ilmunya. Apapun yang akan terjadi, ia tidak boleh sekedar berlari-larian.
Apalagi ketika terdengar suara lawannya itu bagaikan bergaung di seluruh langit. "Menyerahlah untuk mati. Kau akan diputar dan dilontarkan dari udara. Tubuhmu akan terbanting di tanah dan hancur lumat."
Glagah Putih menggeram, namun Glagah Putih ternyata berhasil. Ia dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memusatkan nalar budi. Sementara itu gulungan angin pusaran itu telah bergerak dengan cepat menyusulnya.
Namun Glagah Putih telah bersiap. Ia adalah murid Ki Jayaraga yang mampu menyadap inti kekuatan angin disamping kekuatan api, air dan bumi. Dengan menghentakkan kekuatan dan kemampuan ilmunya yang telah terangkat semakin tinggi oleh limpahan kemampuan Raden Rangga, maka Glagah Putih telah menjulurkan tangannya kedepan dengan telapak tangan menghadap ke arah angin pusaran yang menyambarnya dengan cepat.
Tetapi tepat pada waktunya, maka kekuatan dan kemampuan ilmu Glagah Putih telah terlontar pula. Kekuatan yang luar biasa besarnya yang disadapnya dari inti kekuatan angin. Satu hembusan yang tidak terukur kekuatannya telah terlontar mengarah pada pusat angin pusaran itu. Satu ledakan telah terjadi. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling berbenturan.
Demikian dahsyatnya sehingga gelombang ledakan karena benturan itu telah menghantam Glagah Putih yang masih berdiri di tempatnya. Namun Glagah Putih tidak melawan dorongan gelombang udara itu. Dibiarkannya tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dengan mapan Glagah Putih menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Dengan demikian maka tubuhnya justru tidak mengalami benturan yang dapat melukai bagian dalamnya, meskipun punggungnya terasa sakit meskipun ia jatuh dengan mapan.
Tetapi sesaat kemudian, Glagah Putih itu dengan tangkasnya telah melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Glagah Putih yang telah berdiri itu masih sempat melihat angin pusaran yang dilepaskan oleh lawannya bagaikan pecah berhamburan. Memang terasa angin yang bergejolak tidak terarah. Kekuatan angin pusaran yang dilepaskan oleh Glagah Putih telah berbaur setelah saling mendesak.
Namun angin pusaran itu tidak mampu lagi menemukan bentuknya. Sehingga karena itu, setelah seluruh pepohonan di halaman itu bagaikan diguncang, maka keadaan mulai menjadi tenang.
"Anak iblis." orang yang melepaskan angin pusaran itu mengumpat. Tetapi nampaknya ia menjadi sangat marah de"ngan serangan yang gagal itu. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk mengulanginya. Setelah mengambil tempat, maka iapun kemudian bersikap. Berdiri tegak dengan tangan bersilang didada.
Glagah Putih melihat sikap itu dengan gelisah. Ia tidak ingin diburu lagi oleh angin pusaran yang barangkali tidak hanya segulung. Mungkin orang itu akan melepaskan dua atau tiga gulung yang akan dapat menghancurkan bukan saja dirinya, tetapi juga pendapa rumah Agung Sedayu bersama Sekar Mirah dengan tanpa menghiraukan orang-orangnya sendiri akan ikut hancur di dalamnya. Karena itu, maka Glagah Putih telah berniat untuk mematahkan serangan itu justru ketika masih ada pada sumbernya.
Dengan demikian maka Glagah Putihpun segera menghadap kearah lawannya. Ketika ia mulai melihat kabut yang mulai berputar mengelilinginya, maka Glagah Putih telah menjulurkan tangannya. Kedua telapak tangannya menghadap kearah lawannya.
Seperti yang telah terjadi, maka satu hentakkan ilmu telah memancar dari kedua telapak tangan Glagah Putih. Satu hembusan angin yang sangat kuat telah menghantam lawannya yang sedang mempersiapkan ilmunya.
Ternyata akibatnya sangat pahit bagi lawan Glagah Putih itu. Kekuatan ilmu Glagah Putih telah membentur ilmu lawannya yang telah siap dilepaskannya. Namun benturan yang dahsyat itu telah menimbulkan guncangan udara yang luar biasa besarnya, justru pada saat kekuatan ilmu lawan Glagah Putih itu masih diambang pintu.
Karena itu, maka lawan Glagah Putih itu telah terhempas oleh kakuatan yang sangat besar tanpa dapat mengendalikan diri sebagaimana Glagah Putih. Ia tidak dapat menjatuhkan dirinya dengan mapan. Tetapi lawan Glagah Putih itu telah terhempas cukup jauh membentur dinding halaman rumah Agung Sedayu.
Dinding itu sendiri yang tidak langsung terkena hembusan kekuatan ilmu Glagah Putih masih mampu bertahan. Sehingga karena itu, maka tubuh lawan Glagah Putih yang terlempar itulah yang mengalami benturan yang kuat dengan dinding halaman Agung Sedayu itu.
Tidak terdengar keluhan ataupun teriakan. Tidak terdengar suara orang yang terbentur dinding itu selain suara benturan itu sendiri.
Sejenak kemudian, maka keadaannya telah menjadi hening. Ketiga orang lawan Sekar Mirah berusaha untuk mengambil jarak. Mereka mencoba memperhatikan apa yang telah terjadi di halaman. Sejak benturan kekuatan antara angin pusaran dan hembusan ilmu Glagah Putih dan kemudian serangan Glagah Putih langsung ke arah sumber ilmu yang melepaskan Aji Cleret Tahun itu, ketiga orang itu telah menjadi bingung.
Demikian pula kedua orang yang bertempur dengan pengawal Tanah Perdikan itu. Keduanya untuk beberapa saat bagaikan membeku.
Glagah Putih yang telah melepaskan kekuatannya itupun menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin membunuh lawannya itu, karena lawannya itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang diperlukan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan dirinya sendiri karena orang itu sebenarnya terlalu jauh sehingga tubuh dan kepalanya telah membentur dinding halaman, sehingga nampaknya orang itu tidak dapat ditolong lagi.
Selangkah demi selangkah Glagah Putih mendekati orang yang terbaring diam itu. Ia masih harus berhati-hati. Namun ketika kemudian ia menyentuh orang itu dan menelentangkannya, maka iapun pasti bahwa orang itu telah terbunuh.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah kependapa sambil berkata lantang, "Pemimpinmu ternyata telah terbunuh diluar kehendakku. la tidak dapat mempertahankan dirinya dan membentur dinding halaman itu."
Orang-orangnyapun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun mereka memang sudah tidak mempunyai harapan lagi. Pemimpinnya yang dianggap orang yang berilmu tinggi, ternyata tidak dapat bertahan melawan Glagah Putih yang masih muda itu. Apalagi mereka.
Ternyata orang-orang itu telah mencoba memandang berkeliling. Agaknya mereka memang sedang mencari kemungkinan untuk meloloskan diri. Namun tiba-tiba pintu regolpun telah berderak terbuka. Beberapa orang dengan tergesa-gesa telah memasuki halaman rumah itu. Diantara mereka adalah Agung Sedayu dan Ki Jayaaga. Beberapa pengawalpun segera menebar disekeliling halaman. Dua orang diantara mereka terkejut ketika mereka melihat sesosok tubuh yang terbaring di halaman hampir melekat dinding.
Agung Sedayu dengan tergesa-gesa meloncat berlari mendapatkan isterinya. Sambil memegang kedua bahu isterinya, Agung Sedayu bertanya dengan nada cemas, "Bagaimana keadaanmu Mirah?"
Terasa sesuatu bagaikan menyumbat kerongkongan perempuan itu, sementara pelupuknya menjadi berat. Tetapi Sekar Mirah tidak mau menunjukkan kecengengannya meskipun ia seorang perempuan. Bahkan ia telah mencoba tersenyum sambil berkata, "Aku baik-baik saja kakang. Beruntunglah bahwa kau kirim Glagah Putih kembali. Ternyata ada beberapa orang yang berniat jahat kepadaku."
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka akan menculik aku. Dengan demikian mereka akan memaksa kakang Agung Sedayu untuk menyerah. Bahkan jika mungkin juga kakang Swandaru serta kekuatan-kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu serta di Kademangan Sangkal Putung." berkata Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia dapat bertahan terhadap orang-orang yang berniat jahat kepadanya. Tetapi agaknya lain terhadap orang-orang yang berniat jahat kepada isterinya.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkisar dan berpaling kepada ketiga orang yang telah bertempur melawan Sekar Mirah. Namun tiba-tiba ketiga orang itupun menjadi gemetar. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali melemparkan senjata mereka. Hampir berbareng ketiganya berjongkok sambil berkata dengan kata-kata memelas, "Kami mohon ampun."
Agung Sedayu masih saja menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu Sekar Mirah berkata, "Yang seorang diantara mereka, yang justru mempunyai ilmu tertinggi telah diselesaikan oleh Glagah Putih."
Agung Sedayu memandang Glagah Putih yang masih berada di halaman. Namun Agung Sedayu masih belum bertanya kepadanya. Tetapi kepada para pengawal Agung Sedayu minta orang-orang yang menyerah itu ditangkap. Termasuk dua orang yang bertempur melawan dua orang peronda itu.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayupun telah duduk dipendapa bersama Sekar Mirah, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan beberapa orang pemimpin pengawal yang datang bersamanya. Sementara itu, orang yang telah terbunuh oleh Glagah Putih telah dibaringkan pula di pendapa itu.
Dengan singkat Sekar Mirah telah menceriterakan peristiwa yang terjadi di rumah itu. Kedua orang peronda yang datang kerumah itupun telah melengkapi ceritera Sekar Mirah pula.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika sekilas ia memandang ke halaman, maka beberapa orang duduk di halaman dengan tangan terikat dibelakang punggungnya dijaga oleh beberapa orang pengawal bersenjata.
"Sayang, orang itu terbunuh." desis Agung Sedayu.
Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Namun yang menjawab adalah Sekar Mirah. "Orang itu memiliki ilmu yang dahsyat sekali. Kau lihat, pohon jambu air itu" Dahannya berpatahan diputar oleh ilmu orang itu."
Ketika Agung Sedayu mengerutkan dahinya, Glagah Pulih berdesis perlahan penuh keragu-raguan, "Aji Cleret Tahun."
"O." Agung Sedayu mengangguk-angguk, "agaknya itulah yang dilihat oleh dua orang peronda yag kemudian berlari-lari memberitahukan kepada kami di rumah Ki Gede, sehingga kamipun dengan tergesa-gesa kembali."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Satu pendadaran bagi Glagah Putih. Ternyata ia mampu mengatasi Aji Cleret Tahun yang garang itu."
"Kita harus mendapatkan keterangan dari orang-orang yang tertangkap hidup-hidup. Tetapi agaknya keterangan mereka tidak akan dapat menuntun kita sampai ke pusat gerakan itu. Namun agaknya sudah dapat ditebak." berkata Agung Sedayu.
"Justru pada saat Tanah Perdikan akan menerima tamu seseorang yang kedudukannya cukup penting." berkata Ki Jayaraga, "sehingga karena itu, maka segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia ditandai oleh lawan-lawan Mataram. Meskipun ia bukan seorang pemimpin di Mataram. Meskipun ia bukan seorang Senapati atau orang yang memegang kendali pemerintahan.
"Kita bawa orang-orang itu ke rumah Ki Gede. Sudah tentu orang itu tidak berasal dari lingkungan yang sama dengan orang-orang yang kita temui kemarin di pinggir hutan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diluar sadarnya Sekar Mirah bertanya, "Apakah kakang Agung Sedayu akan pergi lagi?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menyadari, bahwa sebenarnyalah kegelisahan masih mencengkam jantung Sekar Mirah, sehingga ia tidak ingin ditinggalkannya lagi. Meskipun Sekar Mirah tidak terbiasa merasa ketakutan, namun apa yang baru saja terjadi benar-benar telah membuatnya sangat gelisah.
Karena itu, maka Agung Sedayupun menyahut, "Biarlah Glagah Putih membawa mereka ke rumah Ki Gede. Termasuk seorang yang terbunuh itu. Aku akan berada di rumah."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putihlah yang kemudian membawa beberapa orang tawanan ke rumah Ki Gede. Demikian pula sesosok mayat yang besok akan dikuburkan.
"Kau aporkan apa yang telah terjadi kepada Ki Gede." pesan Agung Sedayu kepada Glagah Putih.
Sebenarnyalah, Glagah Putih telah memberikan laporan tentang kedatangan orang-orang yang akan menculik Sekar Mirah. Mereka telah berusaha untuk melakukannya dengan kekerasan. Bahkan mereka telah mengatakan, jika mereka gagal menculik Sekar Mirah, maka mereka akan membunuhnya.
"Siapa mereka?" bertanya Ki Gede.
Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, "Kami belum tahu Ki Gede. Kami belum sempat berbicara dengan orang-orang itu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah menurut dugaanmu orang-orang ini ada hubungannya dengan orang-orang yang kau temukan di pinggir hutan itu?"
"Secara langsung agaknya tidak Ki Gede." jawab Glagah Putih, "tetapi mungkin orang-orang dipinggir hutan itu telah diperalatnya."
"Baiklah. Biarlah mereka ditempatkan ditempat yang lain. Biarlah orang-orang yang baru saja kau tangkap itu disimpan ditempat yang lebih rapat. Sementara orang-orang yang kau bawa dari pinggir hutan itu dapat disimpan di gandok kiri."
"Tetapi mereka tetap memerlukan pengawalan yang kuat." berkata Glagah Putih, "meskipun orang-orang itu sendiri tidak begitu berbahaya. Tetapi mungkin ada golongan lain yang memerlukan mereka atau justru membungkam mereka."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putihpun telah memberitahukan, bahwa nampaknya Sekar Mirah yang mengalami tekanan batin, masih memerlukan kehadiran Agung Sedayu dirumahnya.
"mBokayu tidak pernah mengalami kegelisahan dan mungkin kecemasan seperti itu." berkata Glagah Putih.
"Baiklah." berkata Ki Gede, "besok mayat itu akan dikubur. Sayang. Kita tidak dapat bertanya lebih banyak tentang dirinya dan orang-orang yang berdiri dibelakangnya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi baginya, tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukannya, jika ia sendiri ingin digulung oleh angin pusaran, dilemparkan ke udara dan jatuh terbanting ditanah sehingga tulang-tulangnya berpatahan.
Ketika Glagah Putih minta diri, maka Ki Gede telah memerintahkan para pengawal untuk bersiaga sepenuhnya. Kentonganpun telah disiapkan. Jika terjadi sesuatu maka para pengawal akan dapat dengan cepat digerakkan. Bukan saja pengawal di padukuhan induk, tetapi pengawal di semua padukuhan di Tanah Perdikan.
Dirumah Agung Sedayu, beberapa orang duduk berbincang di pendapa, termasuk Sekar Mirah dan pemimpin Pasukan Pengawal di padukuhan induk.
"Padahal besok aku harus pergi." berkata Agung Sedayu.
"Dengan siapa kau akan pergi kakang" Aku minta kakang tidak pergi sendiri." minta Sekar Mirah.
Agung Sedayu termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa sangat berbahaya pergi sendiri.
Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, "Aku akan pergi dengan Glagah Putih. Aku minta Ki Jayaraga membantu Ki Gede mempersiapkan Tanah Perdikan ini. Setelah besok, maka hanya tinggal ada waktu sehari. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kita sudah terlanjur tidak dapat merahasiakan lagi kehadiran Ki Mandaraka di Tanah Perdikan ini."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Namun mulai besok, pasukan pengawal harus sudah benar-benar bersiaga diseluruh Tanah Perdikan."
Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Besok sebelum aku berangkat mencari Ki Waskita, aku harus berbicara dengan Ki Gede dan para pemimpin pengawal."
"Nampaknya kita harus bersungguh-suhgguh." berkata Ki Jayaraga.
Demikianlah, maka malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih hanya sempat beristirahat beberapa saat. Namun bagi mereka, yang beberapa saat itu telah dapat membuat tubuh mereka menjadi segar.
Pagi-pagi benar Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah bersiap. Iapun kemudian telah minta diri kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Keduanya akan pergi menemui Ki Waskita dan sebelumnya mereka akan singgah dirumah Ki Gede.
Dirumah Ki Gede, Agung Sedayu telah memberikan beberapa pesan kepada Prastawa untuk mengatur para pengawal. Prastawa diminta untuk memanggil semua pemimpin pengawal dari semua padukuhan untuk berbicara tentang pengamanan seluruh Tanah Perdikan Menoreh.
"Segalanya harus diatur sebaik-baiknya." berkata Agung Sedayu.
Prastawa mengangguk-angguk. Dengan mantap ia berkata, "Aku akan segera memanggil mereka. Pagi ini juga."
"Maaf, Glagah Putih belum dapat ikut membantu tugasmu pagi ini. Aku membawanya memanggil Ki Waskita." berkata Agung Sedayu.
"Semuanya akan berjalan lancer." jawab Prastawa.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata, "Tetapi ingat. Peristiwa itu terjadi berurutan. Tentu ada niat yang telah terencana. Karena itu, kita tidak boleh lengah. Semua jalur jalan memasuki Tanah Perdikan, bahkan pematang dan padang perdu, lereng-lereng pebukitan harus mendapat pengawasan."
"Aku mengerti." berkata Prastawa, "karena itu, maka para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan harus segera berkumpul."
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah mohon diri kepada Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan untuk pergi kerumah Ki Waskita. Agung Sedayu berniat untuk minta agar Ki Waskita bersedia datang hari itu juga, mendahului para tamu dari Mataram.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka Prastawapun telah melaksanakan segela pesan Agung Sedayu. Para pemimpin pengawal Tanah Predikanpun telah dikumpulkan. Ki Gede yang hadir telah memberikan mereka petunjuk kepada para pemimpin pengawal, agar mereka mampu menciptakan satu suasana yang tenang.
"Ternyata Tanah Perdikan telah disusupi oleh beberapa orang yang pura-pura akan membuka hutan. Namun yang nampaknya dengan sengaja telah memancing persoalan dengan Mangir." berkata Ki Gede. Lalu katanya, "Hal seperti itu tidak boleh terjadi. Namun lebih dari itu, para pengawal tidak boleh dengan tergesa-gesa mengambil sikap tanpa pertimbangan. Seandainya orang-Orang yang mengaku dari Mangir itu mengalami bencana, maka akan segera timbul persoalan baru. Sebelum persoalan dengan Madiun dapat diselesaikan, maka akan timbul persoalan dengan tetangga yang sangat dekat. Mangir."
Para pemimpin pengawal itu mendengarkan semua petunjuk Ki Gede dengan sungguh-sungguh. Mereka dapat mengerti, tugas yang sangat berat telah dibebankan dipundak mereka. Kehadiran Ki Mandaraka tentu merupakan tanggung jawab yang sangat berat bagi Tanah Perdikan.
Apalagi ketika para pengawal kemudian mendengar, bah"wa kehadiran Ki Mandaraka bukan saja berarti penyediaan penginapan, suguhan makan dan minum yang pantas, tetapi Ki Gede juga berniat untuk mengadakan pertunjukan bagi tamunya. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal harus menanggung akibatnya dari segi pengamanan dan ketertiban.
"Sejak hari ini kalian harus bejaga-jaga." berkata Ki Gede, "waktu kita tinggal besok. Besok lusa tamu itu sudah akan datang kemari. Dengan demikian maka jalur jalan dari penyeberangan sampai ke padukuhan induk harus bersih. Jalan-jalan yang akan turun ke jalan induk itu harus diawasi, sehingga tidak mungkin terjadi sesuatu di perjalanan sampai ke padukuhan induk."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede berkata, "Segala sesuatunya mengenai perincian dari tugas kalian akan diatur oleh Prastawa atas dasar pembicaraannya dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Semua tempat-tempat penting harus bersih sejak hari ini."
Demikianlah, maka ketika para pemimpin itu kemudian siap untuk kembali ke tempat masing-masing, maka Prastawa telah memberikan tugas-tugas yang lebih terperinci. Namun kemudian katanya, "Nah, selamat bekerja. Nama dan martabat Tanah Perdikan ada ditangan kalian."
Beberapa saat kemudian, maka para pemimpin pengawal itu telah benar-benar kembali ketempat masing-masing. Merekapun dengan cepat telah mengumpulkan para pengawal lengkap dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah para pengawal yang memang telah ditetapkan. Pada tingkat kedua adalah para pengawal yang bertugas sebagai pengawal disaat-saat yang genting.
"Kita belum perlu mengumpulkan para pengawal ditataran ketiga." berkata para pemimpin pengawal di padukuhan.
Dengan singkat para pemimpin pengawal itu telah memerinci tugas-tugas yang harus mereka lakukan di padukuhan mereka. Beberapa orang terpilih akan pergi ke padukuhan induk. Sedangkan yang lain akan bertugas di padukuhan mereka masing-masing.
"Nanti setelah Agung Sedayu kembali, akan ditentukan tugas para pengawal di tataran ketiga." berkata para pemimpin pengawal.
Para pengawal mengangguk-angguk. Jika perlu maka anak-anak muda yang bebas, yang akan dipanggil berdasarkan atas kemauan mereka dengan suka rela, bahkan setiap orang laki-laki yang masih mampu dan dengan suka rela pula menyatakan diri, akan diikut sertakan dalam tugas-tugas itu. Terutama mereka yang karena usianya yang mendekati setengah abad tidak lagi menjadi pengawal pada tataran pertama dan kedua, namun masih bersedia untuk mengemban tugas para pengawal.
Dengan demikian, maka sejak itu, maka para pengawalpun telah mulai melakukan tugas-tugas mereka. Bukan saja mengawasi padukuhan mereka masing-masing, tetapi juga bulak-bulak disekitar padukuhan, bahkan pategalan, lereng-lereng, sungai dan semak-semak dipebukitan. Sedangkan para petugas khusus telah mulai mengamankan jalur jalan dari daerah penyeberangan di Kali Praga menyusuri jalan induk sampai ke padukuhan induk.
Beberapa orang pengawal berkuda telah mulai meronda pula. Mereka tidak saja melewati jalan-jalan sempit. Bahkan jalan-jalan ditepi-tepi hutan. Justru jalan-jalan tepi hutan itu telah mendapat pengamatan lebih cermat dari pada peronda, karena orang-orang yang bermaksud jahat akan dapat muncul dengan tiba-tiba dari dalam hutan.
Dengan demikian maka suasana di Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi tegang. Seakan-akan seluruh Tanah Perdikan telah berada dalam persiapan perang.
Namun para pengawal setiap kali memberi tahukan kepada orang-orang di Tanah Perdikan itu, bahwa yang terjadi sebenarnya bukan persiapan perang. Tetapi Tanah Perdikan itu akan menyambut kedatangan pemimpin tertinggi setelah Panembahan Senapati. Ki Patih Mandaraka.
"Kita tidak sedang ketakutan, bibi." berkata seorang pemimpin pengawal sebuah padukuhan kepada seorang perempuan yang nampak sangat cemas, yang sedang menarik cucunya agar tidak keluar halaman dan turun dijalan.
"Kamilah yang ketakutan." berkata perempuan itu, "rasa-rasanya akan terjadi perang seperti beberapa tahun yang lalu. Perang besar-besaran, dijaman adik Ki Gede itu mbalela."
"Tidak. Tentu tidak." jawab pemimpin pengawal itu.
"Waktu itu kau tentu belum menjadi pengawal. Atau barangkali kau masih ikut-ikutan saja." berkata perempuan itu pula.
Tetapi pemimpin pengawal itu tertawa. Katanya, "Memang waktu itu aku belum diserahi tugas seperti sekarang. Tetapi yang terjadi sekarang itu justru sebaliknya. Kita tidak sibuk untuk bersiap-siap menghadapi musuh. Tetapi kita akan menyambut kedatangan seorang tamu yang sangat penting, Ki Patih Mandaraka. Seorang yang sangat dihormati. Bukan saja sekarang di Mataram. Tetapi sejak jaman kejayaan Pajang, karena Ki Patih Mandaraka yang dahulu bernama Ki Juru Martani adalah saudara seperguruan Kangjeng Sultan Pajang."
"Kau mau menipu aku ya?" geram perempuan itu, "kau kira menyambu seorang tamu harus dengan pasukan pengawal lengkap bersenjata dan meronda siang dan malam. Berjaga-jaga di setiap mulut lorong dengan senjata telanjang" He, apakah kalian akan membantai tamu kalian itu."
Pemimpin pengawal itu masih saja tertawa. Katanya, "Bibi. Beginilah urut-urutan ceriteranya. Kita akan mendapat tamu. Karena itu kita harus bersiap-siap. Tanah Perdikan ini harus yakin aman dan bersih. Apalagi Ki Gede akan menyuguhi tamu-tamunya dengan berbagai macam pertunjukan. Nah, bukankah wajar jika kita bersiap-siap. Jika ada pertunjukan, maka biasanya rumah-rumah menjadi kosong. Kadang-kadang orang lupa kepada rumahnya karena sekeluarga ingin nonton pertunjukan. Bukankah termasuk tugas kami untuk mengamankan rumah-rumah yang kosong itu?"
"Kau kira aku bodoh sekali ya?" sahut perempuan itu, "mengamankan rumah-rumah yang ditinggal nonton pertunjukan adalah tugas kalian besok, jika pertunjukan itu sudah diselenggarakan. Bukan sekarang." perempuan itu berhenti sejenak. Lalu melangkah mendekati pemimpin pengawas itu sambil berkata, "Kalian tentu berjaga-jaga karena kalian memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang yang memusuhi Mataram akan menyerang Ki Patih selagi Ki Patih ada disini. Nah, itu namanya persiapan perang."
Pemimpin pengawal itu tertawa semakin keras. Tetapi perempuan itu tidak menanggapinya lagi. Ditariknya cucunya menuju ke regol halaman. Sementara itu pemimpin pengawal itu disela-sela tertawanya masih juga berkata, "Bibi. Jika benar perang itu terjadi, tentu bukan sekarang. Cucumu masih sempat bermain-main sampai musuh itu memasuki Tanah Perdikan dan sampai saatnya terdengar isyarat diseluruh Tanah Perdikan ini. Nah, barulah bibi berlari-lari mengambil cucunya dan membawanya masuk ke halaman, menyelarak regol dan menutup semua pintu."
Perempuan itu berhenti sejenak. Namun sambil bersungut-sungut ia kemudian membawa cucunya masuk ke halaman. Tetapi ia tidak menutup dan menyelarak regol.
Pimpinan pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun dengan demikian maka ia mengetahui, bahwa orang-orang Tanah Perdikan memang sudah menjadi gelisah, meskipun mereka mengerti bahwa kesibukan itu dilakukan karena akan ada tamu penting di Tanah Perdikan, namun dalam keadaan yang hangat, maka justru karena ada orang penting di Tanah Perdikan, kemungkinan buruk akan dapat terjadi.
Tetapi sebenarnyalah kegelisahan seperti itu bukan saja menghinggapi penghuni Tanah Perdikan. Sebenarnyalah bahwa para pengawal, bahkan Ki Gede sendiri merasa perlu untuk melakukan kesiagaan tertinggi di Tanah Perdikan.
"Benar juga kata bibi itu." berkata pemimpin pengawal itu didalam hatinya, "rasa-rasanya persiapan ini tidak ubahnya dengan persiapan perang."
Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih tengah berpacu diatas punggung kudanya menuju ke sebuah padukuhan kecil tempat tinggal Ki Waskita. Sudah terlalu lama Ki Waskita meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Agaknya Ki Waskita memang tidak ingin lagi melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana terjadi sebelumnya. Nampaknya Ki Waskita sudah merasa tenang berada dirumahnya dan melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mungkin disawah, mungkin berbincang-bincang dengan tamu-tamunya tentang isyarat yang dilihatnya jika kemampuan itu masih mampu dikembangkannya.
Perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih memang harus dilakukan dengan cepat, agar hari itu juga, meskipun malam hari, Ki Waskita sudah berada di Tanah Perdikan.
Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih di tempuran memang agak mengejutkan Ki Waskita. Namun ketika Agung Sedayu bertemu dengan Ki Waskita, maka iapun telah terkejut pula. Rasa-rasanya Ki Waskita telah menjadi begitu tua. Namun akhirnya Agung Sedayupun mengembalikannya hal itu kepada waktu. Kiai Gringsing pada saat-saat terakhir itupun kelihatannya juga sudah sangat tua.
"Marilah, marilah angger berdua." Ki Waskita mempersilahkan kedua orang tamunya untuk duduk.
Tetapi Agung Sedaju memang ingin segalanya dilakukan dengan cepat. Rasa-rasanya ia selalu gelisah diburu oleh tanggungjawabnya atas Tanah Perdikan Menoreh. Namun ketika hal itu dikatakannya kepada Ki Waskita, maka Ki Waskitapun dapat mengerti.
"Maaf Ki Waskita." berkata Agung Sedayu, "sudah agak lama kita tidak bertemu. Namun agaknya aku datang dengan sikap yang barangkali kurang pantas dihadapan Ki Waskita."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku mengenal angger Agung Sedayu dengan sebaik-baiknya. Karena itu, maka aku mengerti segala sesuatunya."
Memang tidak banyak kesempatan. Namun bukan berarti bahwa Ki Waskita akan begitu saja dapat berangkat saat itu juga.
"Aku akan berkemas ngger. Sementara itu, angger dapat bertemu dengan Rudita. Ia ada di padukuhan sebelah. Ia akan senang sekali menerima angger berdua." berkata Ki Waskita.
"Baiklah Ki Waskita." Agung Sedayu menjadi gembira, "aku akan menemuinya. Sementara Ki Waskita dapat berkemas."
"Jarak tempat tinggal Rudita memang tidak jauh. Hanya berantara sebuah bulak pendek."
Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah memasuki sebuah padukuhan kecil. Tanpa kesulitan merekapun telah menemukan dan memasuki sebuah regol halaman rumah yang sangat luas. Hampir separo dari padukuhan itu.
Sebenarnyalah Rudita telah menerima kedatangan keduanya dengan gembira sekali. Keduanya segera dipersilahkannya duduk dibangunan induk dari beberapa barak yang ada di halaman itu pula.
"Aku tidak menyangka bahwa aku akan kedatangan tamu hari ini." berkata Rudita.
Agung Sedayulah yang kemudian bertanya, "Apa yang kau usahakan dengan tanah seluas ini Rudita" Dibagian belakang dari halaman rumahmu ini terdapat kebun kelapa."
"Ya." jawab Rudita, "kebun kelapa, sebuah belumbang untuk memelihara ikan. Kemudian masih ada kebun buah-buahan dan beberapa kotak sawah disebelah padukuhan ini."
"Dan barak-barak itu?" bertanya Agung Sedayu.
Rudita tertawa. Katanya, "Aku sekarang mendirikan sebuah perusahaan."
"Perusahaan apa?" bertanya Agung Sedayu, "pande besi yang membuat alat-alat pertanian atau barangkali gerabah dan alat-alat dapur atau genting dan batu bata?"
Rudita tertawa. Katanya, "Mariah. Kita melihat-lihat."
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah diajak oleh Rudita memasuki barak demi barak. Dilihatnya anak-anak kecil dan remaja berada di dalam barak-barak itu. Sebagian sedang menganyam tikar, sebagian menganyam kepang dan anyaman bambu yang lain. Mereka yang telah remaja berada di serambi sibuk membuat alat-alat dari bambu. Amben panjang, gledeg tetapi juga alat-alat dapur. Irig, tambir, dan tampah.
"Kau pekerjakan anak-anak dan remaja ini?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka tidak sedang bekerja." jawab Rudita, "lihatlah wajah mereka."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah wajah-wajah itu nampak cerah dan gembira. Bahkan ada diantara anak-anak itu yang sempat meninggalkan pekerjaannya dan berkejaran diserambi. Kemudian kembali duduk sambil bergurau. Namun mereka melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing.
Kepada Ruditapun anak-anak itu sama sekali tidak menunjukkan jarak. Mereka sama sekali tidak takut ketika Rudita itu datang melihat-lihat hasil pekerjaan mereka. Bahkan beberapa orang anak justru telah menarik-narik kain panjangnya.
"lnikah perusahaan yang kau maksudkan?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
"Ya. Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang tidak lagi mempunyai orang tua. Aku mengumpulkan mereka dari padukuhan-padukuhan yang tersebar. Anak-anak terlantar yang kadang-kadang dianggap sebagai sampah yang tidak berguna lagi. Aku pungut mereka dari pinggir-pinggir jalan dan dari orang-orang yang memelihara mereka seperti memelihara seekor lembu yang diperas tenaganya hanya dengan sebungkus kecil nasi sehari. Aku ajak mereka bermain bersama disini. Menghasilkan sesuatu yang dapat dijual untuk membeli makan dan pakaian, selain dari hasil kebun kelapa, kebun buah-buahan dan beberapa kotak sawah." berkata Rudita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih menundukkan kepalanya. Malam tadi ia telah membunuh. Dihadapannya sekarang berdiri seseorang yang memberikan harapan untuk hidup setelah anak-anak itu mengalami bayangan maut.
"Aku mengucapkan selamat Rudita." berkata Agung Sedayu dengan nada berat, "kau adalah terang dalam kegelapan bagi anak-anak itu."
Rudita tersenyum. Katanya, "Aku mencoba membantu mereka bagi masa depannya. Aku telah melakukan apa yang dapat aku lakukan. Tiga hari dalam sepekan mereka belajar untuk mengenali huruf dan angka. Mereka belajar menembangkan kidung puji-pujian serta mendendangkan harapan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sesuatu terasa menyentuh dasar jantungnya. Ia melihat anak-anak itu dengan gembira bekerja, sebagaimana anak-anak yang sedang bermain-main. Tidak ada keterikatan yang ketat dan bentakan-bentakan kasar. Sekali-sekali terdengar kata-kata Rudita yang lembut penuh kasih sayang menyapa anak-anak itu.
Diruang yang lain Rudita menunjukkan seperangkat gamelan yang meskipun bukan gamelan yang terlalu baik, tetapi dapat dipergunakan oleh anak-anak asuhnya.
"Aku bukan penari. Tetapi aku mempunyai beberapa kawan yang dapat mengajar anak-anak itu menari." berkata Rudita.
"Satu lingkungan kehidupan yang lengkap." berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi tanah yang kau pergunakan ini tanah siapa?"
Rudita tersenyum. Katanya, "Ayah sangat berbaik hati. Ayah telah menyerahkan tanah ini kepadaku, karena menurut ayah tanah ini kelak juga akan diwariskan kepadaku. Kebun kelapa, kebun buah-buahan dan sawah beberapa kotak. Ayah pulalah yang membeli gamelan sederhana itu."
Agung Sedayu menjadi semakin kagum kepada anak itu. Sanggar yang dibuat oleh Rudita jauh berbeda dengan sanggar yang dibuat dirumah Agung Sedayu, dirumah Ki Gede dan di padepokan Kiai Gringsing.
Sanggar Rudita berisi gamelan, alat-alat ukir kayu dan kulit sungging serta beberapa buah kitab yang tebal. Kitab yang berisi tuntunan hidup sejati dalam rangkuman kasih sayang diantara sesama serta kasih yang bulat utuh kepada Yang Maha Agung.
"Kitab itu juga menjadi bahan untuk belajar tembang macapat." berkata Rudita.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Seperti juga Glagah Putih maka ia telah membandingkan isi sanggar itu dengan sanggar di rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu sanggarnya berisi beberapa jenis senjata. Alat untuk berlatih olah kanuragan. Pasir dan kerikil dalam kotak yang besar serta patok-patok kayu dan bambu. Palang kayu dan bambu yang lentur serta beberapa utas tali yang bergayutan. Tetapi disanggar itu tidak sepucuk senjatapun yang nam"pak selain alat-alat ukir kayu dan kulit, kapak-kapak kecil, pisau-pisau yang tajam. Tetapi sama sekali bukan senjata.
"Nah." berkata Rudita kemudian, "aku akan menyuguhi kalian dengan tari-tarian pendek."
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Terima kasih Rudita. Lain kali aku akan datang lagi ke sanggarmu ini. Aku benar-benar sangat tertarik. Tetapi waktuku sekarang sangat terbatas."
Rudita mengerutkan keningnya. Iapun kemudian bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Ki Gede minta Ki Waskita datang ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Untuk apa?" bertanya Rudita, "berbicara tentang bencana yang akan menimpa manusia lagi?"
"Rudita." berkata Agung Sedayu dengan nada lembut, "sudah Jama Ki Gede tidak bertemu dengan ayahmu. Hubungan keluarga yang meskipun tidak terlalu dekat itu tidak boleh terputus. Sementara itu beberapa orang tua akan datang di Tanah Perdikan sekedar untuk saling bertemu setelah sekian lama mereka berpisah."
"Mereka itu siapa saja?" bertanya Rudita.
Agung Sedayu memang merasa ragu-ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata, "Mereka adalah Kiai Gringsing, Ki Juru Martani, Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan dan mungkin ada beberapa orang tua-tua yang lain."
Wajah Rudita memang berubah. Tetapi ia masih juga mencoba tersenyum. Katanya, "Mereka adalah orang-orang yang mumpuni. Ki Lurah Branjangan adalah prajurit linuwih. Kiai Gringsing adalah orang yang telah mengajarimu bagaimana membunuh dengan baik. Ki Juru Martani adalah orang terpenting dalam penyelesaian pertikaian antara Pajang dengan Jipang menurut caranya. Darah telah memerah di Bengawan Sore. Bagaimana para prajurit Jipang dibantai oleh prajurit Pajang disaat mereka belum sampai ketepi. Mereka harus melawan arus bengawan dan sekaligus melawan anak panah dan lembing. Kemudian Ki Juru pulalah yang telah ikut membangunkan Mataram dan berdiri di belakang pemberontakan Panembahan Senapati terhadap ayahandanya sendiri, gurunya dan juga rajanya. Dan barangkali akan datang juga orang-orang penting yang lain. Sedangkan diantara mereka akan hadir ayahku."
Jantung Glagah Putih terasa berdenyut semakin cepat. Namun Agung Sedayupun berkata, "Rudita. Dunia kita agaknya memang berbeda. Kau telah membawa satu pesan tertentu dalam hidupmu yang lain dari pesan yang harus kami bawakan dalam kehidupan kami. Sekali lagi aku katakan bahwa aku mengagumimu. Jika ada sejumlah orang di dunia ini yang mem"punyai landasan berpikir seperti kau, maka dunia ini tentu akan menjadi lebih baik. Bahkan jauh lebih baik."
Rudita tersenyum pahit. Katanya, "Selama orang masih mengasah pedangnya dengan dalih untuk melindungi yang lemah sekalipun, maka orang lainpun tentu masih akan mengasah pedangnya pula."
Agung Sedayu menepuk bahu Rudita. Katanya, "Aku mengerti sepenuhnya Rudita."
"Apakah cukup untuk dimengerti?" bertanya Rudita.
"Kami memang harus minta maaf kepadamu. Bagimu, kami adalah pengecut yang takut mati bagi cinta kasih yang utuh terhadap Yang Maha Agung dan cinta kasih bagi sesama." berkata Agung Sedayu, "Tetapi kami memang tidak dapat mengingkari gejolak nurani kami. Mudah-mudahan dalam pencaharian kami, maka kami akan menemukan kebenaran langkah yang harus kami pilih."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rudita mengangguk-angguk. Katanya kemudian dengan nada dalam, "Yang Maha Agung akan melindurigimu. Semoga semua kesalahanmu dihadapanNya diampuninya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Rasa-rasanya ia ingin mengatakan sesuatu. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengucapkannya.
Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun berkata, "Rudita. Aku sekarang mohon diri. Pada kesempatan lain, aku akan datang kembali ke padepokanmu ini. Aku akan datang untuk berada diantara anak-anak asuhanmu dalam waktu yang lebih longgar."
Rudita tersenyum. Katanya, "Aku menunggu. Aku berharap kalian berdua sempat tinggal disini untuk beberapa hari."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri. Diregol Rudita masih berpesan, "Katakan kepada ayah, bahwa anak-anak di padepokanku dalam keadaan baik. Mudah-mudahan ayah dapat bertemu kembali dan mengenang masa lampaunya bersama dengan orang-orang tua. Namun aku minta ayah juga mengenang, apa saja yang pernah diberikan kepada sesamanya."
"Baiklah Rudita." jawab Agung Sedayu, "aku akan menyampaikannya."
Sementara kuda-kuda mereka berlari meninggalkan padukuhan itu melintasi bulak yang tidak terlalu panjang. Glagah Putih bertanya, "Apa saja yang dikatakan orang itu" Kenapa ia berani menuduh Panembahan Senapati memberontak terhadap ayahandanya, terhadap gurunya dan terhadap rajanya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kangjeng Sultan di Pajang adalah ayah angkat Panembahan Senapati yang sangat mengasihinya. Kangjeng Sultan itu pulalah yang memberikan dasar kemampuan olah kanuragan kepada Panembahan Senapati. Bahkan sebagian besar dari ilmu Kangjeng Sultan telah diberikannya kepada Panembahan Senapati sejak ia masih bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Sedangkan Kangjeng Sultan itu adalah rajanya pula."
"Seandainya hal itu didengar oleh Panembahan Senapati, apakah Panembahan Senapati tidak akan tersinggung dan bahkan menjadi marah?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Mungkin kau juga pernah mendengar bahwa ayahanda Panembahan Senapati yang sebenarnya, Ki Gede Pemanahan yang juga disebut Ki Gede Mataram pernah mengatakannya juga langsung kepada Panembahan Senapati, bahwa ia telah bersalah terhadap Kangjeng Sultan Pajang atas tiga hal. Menentang orang tua, menentang guru dan menentang rajanya." sahut Agung Sedayu, "namun yang dilakukan oleh Panembahan Senapati adalah satu keyakinan. Harus ada perubahan yang mendasar di Pajang. Dan orang-orang tua mengetahui dengan pasti, bahwa Kangjeng Sultan Pajang merestui langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Senapati. Dimasa Pajang kalut dan tidak menentu karena keinginan para pemimpin yang lebih banyak memikirkan diri sendiri, maka ketajaman penglihatan Kangjeng Sultan Pajang tertuju kepada putera angkatnya, Panembahan Senapati di Mataram. Justru tidak kepada puteranya sendiri Pangeran Benawa yang merasa sangat kecewa dan menjadi tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi."
Glagah Putih memang pernah mendengar serba sedikit tentang hal itu. Sementara itu Agung Sedayu melanjutkan, "Ternyata Panembahan Senapati benar-benar orang kuat. Lepas dari setuju atau tidak setuju akan sikapnya, namun Mataram lahir, tumbuh dan berkembang. Tanpa ikatan yang mampu menjadi kiblat kepemimpinan, maka tanah ini akan bercerai berai."
"Tetapi kenapa Rudita menganggap Panembahan Sena"pati sebagai seorang pemberontak?" bertanya Glagah Putih.
"Kau harus mengerti landasan berpikir Rudita." jawab Agung Sedayu.
"Dan ia telah menyebut Kiai Gringsing sebagai seorang yang telah mengajari kakang membunuh dengan baik." geram Glagah Putih pula.
"Apakah kau tidak melihat kebenaran kata-katanya" Bukankah guru telah mengajariku bagaimana aku membunuh lawan-lawanku dengan baik." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi tentu adaalasannya kenapa kakang membunuh" Bukankah gila jika dikatakan pula Ki Mandaraka adalah orang yang telah mewarnai Bengawan Sore dengan darah orang-orang Jipang" Apakah anak itu tidak tahu perhitungan perang" Coba kakang, jika saat itu dibiarkan saja prajurit Jipang mencapai seberang dan kemudian terjadi pertempuran di tepian, maka korban tentu akan menjadi jauh lebih besar dari kedua belah pihak. Masih pula dipertanyakan apakah prajurit Pajang yang lebih sedikit akan dapat menang, meskipun Raden Sutawijaya dengan Kiai Pleret mampu membunuh Harya Penangsang." geram Glagah Putih.
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau jangan melihat satu sepotong peristiwa dari keseluruhan alam pikiran Rudita, Kau harus mengenalinya lebih dalam. Iapun tidak akan mengatakan sebagaimana kau tangkap dengan telingamu apa yang diucapkan hanya dengan mulutnya. Kau harus mengenal anak itu dengan utuh. Meskipun tidak dikatakannya, tetapi yang dilihatnya adalah putaran dunia yang besar ini dan melibatkan segala bentuk kegiatan isinya. Ia mencintai alam ini dengan segala isinya, sebagaimana ia mencintai Maha Penciptanya, yang menciptakan alam ini atas dasar cinta kasih-Nya."
Tanpa disadarinya Glagah Putih telah meraba dahinya yang berkerut. Bahkan kemudian penglihatannya atas ucapan-ucapan Rudita itu menjadi semakin kabur, berputar-putar dan kemudian seperti jari-jari baling-baling yang berputar. Menyatu meskipun sadar akan pecahan-pecahannya.
Beberapa saat kemudian keduanya saling berdiam diri. Namun kemudian Agung Sedayupun berkata, "Sudahlah Glagah Putih. Kau jangan memikirkan sekarang. Pada suatu saat jika kau sempat merenung, renungilah dengan hati yang tenang. Kau harus menyadari dimana kau berdiri dan dimana anak muda yang bernama Rudita itu berdiri."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah meletakkan persoalan yang membuatnya pusing. Dipandanginya padukuhan yang sudah dekat dihadapannya. Sejenak kemudian keduanya telah memasuki padukuhan itu. Kemudian berhenti di depan sebuah regol halaman. Mereka tidak memasuki regol itu diatas punggung kuda. Tetapi mereka telah berloncatan turun dan menuntun kuda mereka memasuki halaman.
"Silahkan duduk." seorang pembantu Ki Waskita mempersilahkan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengikat kuda pada patok-patok yang telah disediakan. Kemudian keduanyapun telah duduk di pendapa menunggu Ki Waskita yang nampaknya masih berkemas. Beberapa saat kemudian Ki Waskitapun telah keluar. Sambil tersenyum ia bertanya, "Apakah kalian sudah bertemu dengan Rudita di sanggarnya?"
"Sudah Ki Waskita." jawab Agung Sedayu, "mengagumkan sekali."
"Ia senang sekali dengan pekerjaannya. Ia telah menyerahkan segenap hidupnya bagi anak-anak asuhannya. Namun ternyata beberapa anak asuhannya yang telah meningkat remaja, mampu menunjukkan ketrampilannya. Seorang diantara mereka telah meninggalkan sanggar itu atas persetujuan Rudita dan membuat dapur pemanasan gerabah sendiri. Ternyata ia berhasil. Gerabahnya dapat menembus pasaran di beberapa padukuhan. Bahkan aku kira telah memasuki lingkungan Tanah Perdikan Menoreh." berkata Ki Waskita.
"Bagus sekali." sahut Agung Sedayu, "mereka akan menjadi orang-orang yang mandiri. Mereka tidak akan menjadi beban orang lain atau menjadi sekedar perkakas dari orang lain."
"Mudah-mudahan yang lainpun akan demikian pula. Mereka akan mendapatkan bekal serta akan memiliki harga diri." berkata Ki Waskita.
"Disamping itu, jika ada seperlima saja diantara mereka yang mempunyai watak dan sifat seperti Rudita, maka tatanan kehidupan akan menjadi bertambah baik. Apalagi jika yang seperlima itupun dapat mengembangkan lebih luas lagi." berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun suaranya menjadi lirih, "Mudah-mudahan."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Namun Glagah Putih masih saja sulit untuk mengerti sikap anak muda yang bernama Rudita itu. Bahkan juga menanggapi sikap Agung Sedayu sendiri. Tetapi Glagah Putih merasa lebih baik untuk berdiam diri saja.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Waskita itupun kemudian berkata, "Aku sudah selesai berkemas. Memang agak terlalu mendadak. Untunglah bahwa tidak ada sesuatu yang penting yang harus aku selesaikan. Akupun sudah berpesan, bahwa aku akan pergi untuk beberapa hari."
Agung Sedayu termangu-mangu. Agaknya memang ada yang dicari. Ia belum melihat ibu Rudita sejak ia sampai kerumah itu. la lupa-lupa ingat, apakah ibu Rudita itu masih ada atau tidak.
Namun Ki Waskita agaknya dapat menduganya. Karena itu maka iapun berkata, "Aku tinggal sendiri dirumah. Rudita telah menekuni dunianya. Ibunya sudah agak lama tidak ada."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun Ki Waskita berkata, "Sekarang aku sudah siap. Tetapi diruang dalam, hidanganpun sudah siap. Kita akan makan lebih dahulu. Baru kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Demikianlah, setelah mereka makan, minum dan beristirahat sebentar, bertiga mereka menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kuda yang bagus sekali." desis Ki Waskita memuji kuda Glagah Putih.
"Peninggalan Raden Rangga." Agung Sedayulah yang menjawab.
"Aku lihat kuda itu kecuali besar dan tegar, juga memiliki daya tahan yang sangat tinggi. Kuda yang ditilik dari segi keturanggannya adalah kuda yang tidak mengenal lelah. Namun juga kuda yang setia." berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih menjadi semakin bangga akan kudanya.
Ternyata mereka bertiga tidak mengalami kesulitan di perjalanan. Menjelang senja, mereka telah memasuki padukuhan induk dan langsung pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
Ki Waskita diterima oleh Ki Gede dengan gembira. Meskipun sudah agak jauh, namun mereka memang masih tersangkut kadang sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayupun kemudian telah minta diri untuk menengok rumahnya dan mandi dahulu bersama Glagah Putih, sementara Ki Waskita akan berbenah diri dirumah Ki Gede.
Namun di halaman Agung Sedayu sempat berbicara dengan Prastawa sejenak yang memberitahukan bahwa semua rencana telah berjalan dengan lancar. Nampaknya diseluruh Tanah Perdikan telah diamati, dan tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada bahaya bagi tamu-tamu yang akan datang di Tanah Perdikan itu.
"Waktu kita tinggal semalam." berkata Agung Sedayu.
"Nanti pendapa rumah paman akan diatur. Tamu-tamu itu akan ditempatkan di pringgitan, sementara di pendapa disiapkan gamelan dan peralatan untuk menyuguh beberapa macam tarian bagi para tamu." berkata Prastawa.
"Kapan tempat itu akan diatur" Bukankah besok mereka sudah akan datang?" bertanya Agung Sedayu.
"Malam nanti." jawab Prastawa. Lalu, "Anak-anak muda sudah siap Gamelan sudah dibersihkan dan para penari yang besok akan tampilpun sudah siap. Sore tadi mereka melakukan latihan terakhir. Ki Gede sendiri menunggui gladi yang berjalan sebagaimana dikehendaki itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baik. Aku akan mandi dahulu."
Jilid 243 "SILAHKAN " berkata Prastawa. Lalu katanya pula, "Ki Jayaraga juga ikut nganglang siang tadi. Khusus memasuki hutan dilereng bukit. Agaknya untuk memasuki tempat yang berbahaya itu diperlukan seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Ternyata kami tidak menjumpai apapun juga di lerehg bukit. Karena itu, maka nampaknya sampai saat ini tidak ada masalah yang perlu mendapat perhatian khusus."
"Tetapi kita masih akan melalui satu malam. Dalam waktu satu malam banyak kemungkinan dapat terjadi." berkata Agung Sedayu.
"Ya. Kita harus berhati-hati. Kita sudah meletakkan pengawas disegala tempat. Bahkan di hutan-hutan sekalipun." berkata Prabawa.
"Bagus." berkata Agung Sedayu, "sesudah mandi aku akan melihat-lihat keadaan."
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah kembali kerumahnya. Nampaknya waktu merekapun tidak terlalu banyak, karena mereka harus ikut dalam persiapan-persiapan yang akan sampai pada tataran terakhir. Besok tamu-tamu mereka akan datang dari Mataram.
Ketika mereka kemudian makan malam, setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih berbenah diri, maka Ki Jayaraga sempat memberitahukan bahwa nampaknya sampai saat memasuki malam itu, keadaan masih cukup baik.
"Tetapi di gelapnya malam, banyak hal yang dapat terjadi meskipun penjagaan cukup rapat." berkata Ki Jayaraga.
"Kami akan melihat-lihat keadaan, Ki Jayaraga." berkata Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, "tetapi aku mohon Ki Jayaraga tinggal dirumah. Besok saja Ki Jayaraga menemui Ki Waskita."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mengerti kegelisahan Agung Sedayu tentang isterinya, karena ternyata ada orang yang berusaha memperalat Sekar Mirah sebagai taruhan. Untunglah usaha itu dapat digagalkan.
Setelah makan maka Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat beristirahat sejenak. Ketika Glagah Putih pergi ke dapur maka dilihatnya anak yang membantu dirumah itu sedang sibuk memperbaiki icir.
"He, bukankah sudah ada kolam ikan?" berkata Glagah Putih.
Anak itu berpaling sjenak. Namun iapun Kemudian meneruskan kerjanya sambil menjawab, "Kau kira kita dapat mengambil ikan dikolam itu setiap hari" Kita harus menunggu masa panen ikan. Jika sudah saatnya, maka kita akan mengambil ikan yang sudah cukup besar di kolam itu dan kita tinggalkan ikan yang masih kecil sebagai benih."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kau masih saja pergi ke sungai?"
"Ya." jawab anak itu.
"Tetapi jangan malam ini. Kau tahu, anak-anak muda sedang berjaga-jaga" Memang agaknya tidak akan ada sesuatu. Tetapi sebaiknya kau menyesuaikan diri." berkata Glagah Putih.
"Bukankah aku tidak mengganggu mereka?" bertanya anak itu.
"Benar, kau tidak mengganggu mereka. Tetapi jika terjadi sesuatu akan dapat menimbulkan salah paham." berkata Glagah Putih.
"Tetapi bukankah setiap orang di padukuhan ini mengenal aku?" desis anak muda itu.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Ya. Setiap orang di padukuhan ini mengenal kau. Tetapi mereka yang bukan orang dari padukuhan ini?"
"Ah" desah anak itu, "kau selalu mengganggu saja."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menganggap bahwa yang dilakukan anak itu memang tidak akan banyak bersangkut paut dengan kegiatan para pengawal. Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak mencegahnya lebih jauh.
Bahkan anak itu kemudian bersungut, "Jika kau malas turun kesungai, kau tidak perlu ikut. Tetapi jangan cegah aku."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku cabut kuncungmu."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja sibuk memperbaiki icir yang akan dibawanya turun kesungai malam nanti.
Semen tara itu, Agung Sedayu sudah bersiap pula untuk melihat-lihat keadaan. Karena itu, maka iapun telah memanggil Glagah Putih yang masih ada didapur.
Ketika keduanya kemudian meninggalkan rumah itu, maka Glagah Putih sempat mengatakan kepada Agung Sedayu, bahwa pembantu rumahnya akan tetap turun kesungai meskipun ia sudah memperingatkannya.
Agung Sedayupun tersenyum. Katanya, "Biar saja. Asal anak itu tidak pergi ke mana-mana."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di rumah Ki Gede. Bersama beberapa orang pengawal berkuda, maka merekapun telah mengelilingi padukuhan-padukuhan terpenting di Tanah Perdikan. Terutama padukuhan-padukuhan yang menurut rencana akan dilalui besok oleh Ki Patih Mandaraka.
Disetiap padukuhan Agung Sedayu telah berhenti dan berbicara dengan para pemimpin pengawal. Namun tidak seorang diantara mereka yang memberikan laporan tentang sesuatu yang tidak sewajarnya.
Menjelang tengah malam, dua orang berkuda telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Para pengawal dengan serta merta telah menghentikan mereka. Namun keduanya telah minta untuk dipertemukan dengan Agung Sedayu.
Ternyata keduanya memang sudah mengenal Agung Sedayu yang sedang berada di padukuhan terdepan. Keduanya adalah utusan pribadi Ki Patih Mandaraka dan Kiai Gringsing untuk melihat keadaan.
"Besok Ki Patih Mandaraka akan menepati janjinya." berkata utusan itu, "kami datang untuk meyakinkan keadaan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Kita pergi kerumah Ki Gede."
Demikianlah, maka Agung Sedayu telah membawa tamunya kerumah Ki Gede untuk membicarakan beberapa hal yang pelru. Bagaimanapun juga Ki Mandaraka adalah seorang Pepatih Mataram.
Namun kedua orang itu mengangguk-angguk ketika mereka melihat gamelan yang telah diatur di pendapa oleh anak-anak muda. Kemudian tarubpun telah dipasang. Lampu-lampu telah ditempatkan di sudut-sudut halaman.
"Bukan main." berkata salah seorang dari kedua orang utusan khusus itu, "ternyata Tanah Perdikan benar-benar ingin menyambut dengan baik dan meriah kehadiran Ki Mandaraka."
"Apakah tidak ada kesiagaan di daerah utara?" bertanya salah seorang dari keduanya.
"Tentu ada." jawab Agung Sedayu. "Kesiagaan dilakukan diseluruh Tanah Perdikan dan disemua jalan memasuki Tanah Perdikan ini dari arah manapun."
Apalagi ketika kedua orang itu mendapat laporan bahwa semua padukuhan telah siap mengamankan kehadiran Ki Patih Mandaraka.
"Terima kasih." berkata salah seorang diantara mereka, "Ki Patih tentu akan senang sekali mendapat sambutan yang demikian besarnya."
"Hanya sekedarnya saja." berkata Ki Gede.
Demikianlah, kedua orang itupun kemudian sempat bersama-sama Agung Sedayu melihat kesiagaan Tanah Perdikan itu. Apalagi ketika keduanya mengetahui bahwa Ki Waskita sudah ada di Tanah Perdikan itu pula.
Namun Agung Sedayu menjadi heran, ketika kedua orang itu mengajaknya melihat kesiagaan Tanah Perdikan justru ke Utara.
"Bukankah Ki Patih Mandaraka tidak akan melalui daerah sebelah Utara padukuhan induk?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah tidak ada kesiagaan di daerah Utara?" bertanya salah seorang dari keduanya.
"Tentu ada." jawab Agung Sedayu, "kesiagaan dilakukan diseluruh Tanah Perdikan dan disemua jalan mema"suki Tanah Perdikan ini dari arah manapun."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seharusnya mereka tidak menanyakan kepada Agung Sedayu, karena hal itu tentu sudah diketahuinya. Meskipun demikian kedua orang itu telah mengajak Agung Sedayu berdua saja dengan Glagah Putih menyusuri jalan induk Tanah Perdikan justru kesebelah Utara.
"Jalan yang menuju ke rumah Ki Waskita." desis Glagah Putih.
Ternyata kedua orang utusan pribadi Ki Patih itu mendengar, sehingga seorang diantaranya mengangguk-angguk sambil berkata, "Jadi siang tadi kalian juga melewati jalan ini kerumah Ki Waskita?"
"Ya." Jawab Agung Sedayu.
Kedua utusan pribadi Ki Patih itu hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata kesiagaan disisi yang lain itupun tidak berbeda dari kesiagaan di daerah yang akan dilalui Ki Patih Mandaraka. Namun nampaknya para bebahu padukuhan-padukuhan di sisi Utara perhatiannya justru lebih berat pada pengamanan dari penyambutan.
Namun Agung Sedayu menjadi semakin heran ketika kedua orang itu mengajak Agung Sedayu menuju ke perbatasan dan menuju ke penyeberangan di sisi utara.
"Apa yang ingin kita lihat disana" Daerah penyebe"rangan yang sepi itu" Namun daerah itupun tetap diawasi dengan seksama." berkata Agung Sedayu, "tidak ada orang yang dapat menyusup lewat daerah penyeberangan yang sepi itu."
Tetapi kedua orang itu tetap mengajak Agung Sedayu dan Glagah Putih ketepian.
Malam terasa semakin gelap. Arus sungai yang seakan-akan lebih kuat dari daerah penyeberangan di sisi Selatan, karena Kali Praga di tempat itu agak lebih sempit. Justru karena itu, maka tidak banyak orang yang menyeberang disisi Utara. Apalagi jika arus sungai agak lebih besar karena hujan di daerah berbukitan. Sementara itu, jalan yang menuju ke Tanah Perdikan itupun tidak langsung kedaerah yang ramai dan pusat perdagangan dari tanah Perdikan itu.
Beberapa saat keempat orang itu masih duduk diatas punggung kudanya di tepian. Namun sejenak kemudian terdengar salah seorang dari kedua utusan pribadi Ki Patih itu memberikan isyarat dengan suara burung hantu.
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi semakin heran. Namun dengan demikian keduanyapun telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesaat mereka menunggu. Namun kemudian ternyata mereka melihat dua orang yang muncul dari kegelapan dibalik pohon perdu.
"Siapa mereka?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah kau tidak mengenal mereka?" bertanya orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian ia melihat bahwa kedua orang itu adalah Senapati Mataram yang sudah dikenalnya dengan baik.
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah meloncat turun dari kudanya. Glagah Putih yang tidak begitu jelas persoalannyapun telah turun pula. Demikian pula kedua orang utusan pribadi Ki Patih itu.
"Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa." desis Agung Sedayu, "selamat datang Ki Tanah Perdikan ini."
Kedua orang Senapati itu tertawa. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Sudah lama sekali aku tidak datang ke Tanah Perdikan. Sekarang, aku datang tidak pada waktu yang baik."
"Terima kasih atas kunjungan Ki Rangga dan Ki Lurah." sahut Agung Sedayu.
"Aku pernah berada di Tanah Perdikan ini beberapa lama ketika aku diperbantukan pada pasukan khusus di saat Ki Lurah Branjangan masih memegang pimpinan." berkata Ki Lurah Sabawa.
"Ya. Tetapi itupun sudah lama sekali." jawab Agung Sedayu yang kemudian bertanya, "Namun demikian, kedatangan kalian dengan cara ini memang agak menimbulkan persoalan didalam hatiku."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Glagah Putih.
"Bukankah Ki Rangga pernah mengenalnya" Sepupuku, Glagah Putih." berkata Agung Sedayu.
"Ya. Aku mengenalnya. Bukankah sepupumu itu kawan Raden Rangga semasa hidupnya?" bertanya Ki Rangga.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ia tidak akan senakal Raden Rangga."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Agung Sedayu. Kedatanganku memang tidak sewajarnya. Ada rahasia yang harus aku sampaikan kepadamu. Aku minta, kita dapat membicarakannya dengan tenang, bersungguh-sungguh dan terjamin kerahasiaannya. Tidak terlalu banyak orang boleh mendengar. Mungkin Ki Gede atau satu dua orang yang sangat penting."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya, "Apakah kalian akan pergi ke rumah Ki Gede?"
"Bukan aku." jawab Ki Rangga, "pembicaraan tentang rahasia itu telah diserahkan wewenangnya kepada kedua utusan pribadi Ki Patih. Namun aku memang memerlukan bertemu dengan kau untuk mendukung pembicaraan itu nanti dengan peragaaan yang dapat kau lihat disini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Rangga berkata, "Namun kita memerlukan langkah-langkah yang cepat dan menentukan. Waktu kita tinggal sedikit. Sebentar lagi kita akan memasuki dini hari."
"Tetapi aku belum tahu apa yang harus kami lakukan disini." berkata Agung Sedayu.
"Kedatangan Ki Patih ditunda beberapa saat. Rencananya Ki Patih akan datang di Tanah ini disaat matahari sepenggalah. Tetapi Ki Patih akan datang menjelang tengah hari."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, "Tentu ada alasan penundaan itu?"
"Ya, memang ada." berkata Ki Rangga, "tetapi silahkan membicarakan."
Akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mendapatkan beberapa keterangan sehingga mereka telah membawa kedua orang utusan pribadi itu kembali kepada Ki Gede dan beberapa orang yang khusus diajak berbicara tentang satu rahasia yang memang harus disampaikan oleh keduanya setelah mereka bertemu Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa.
Ki Gede dan beberapa orang pemimpin terpercaya Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi sangat sibuk. Ki Waskita dan Ki Jayaragapun telah mendapat keterangan tentang persoalan yang mungkin terjadi meskipun Ki Jayaraga tetap diminta untuk menemani Sekar Mirah.
Rahasia yang dibawa oleh kedua orang itu adalah rahasia yang memang harus disimpan sebaik-baiknya. Ternyata kedua orang utusan pribadi itu tidak sekedar ingin melihat persiapan penyambutan, tetapi benar-benar akan menentukan keberhasilan kunjungan Ki Patih Mandaraka di Tanah Perdikan.
Namun dengan bekerja keras tanpa mengenal lelah, sebelum fajar menyingsing, maka semuanya telah siap. Semuanya telah disusun seperti yang disepakati oleh Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dengan kedua utusan pribadi Ki Patih sepengetahuan Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa.
Ketika kemudian matahari mulai membayang, maka Tanah Perdikan Menoreh diliputi oleh suasana yang sangat meriah. Semua orang sudah tahu, bahwa di Tanah Perdikan itu akan datang tamu yang sangat dihormati, Ki Patih Mandaraka.
Sebenarnya Ki Patih Mandaraka sendiri tidak menghendaki sambutan yang demikian berlebihan. Ia justru menyesal, baha ia berniat berkunjung ke Tanah Perdikan, yang semula begitu saja timbul oleh dorongan kerinduannya pada masa-masa lampaunya. Namun ketika ia sadari akan kedudukannya, maka semuanya telah terlambat. Semuanya sudah diatur sebagaimana seharusnya. Ki Mandaraka memang tidak dapat begitu saja pergi dengan diam-diam seorang diri atau dua orang dengan Kiai Gringsing atau tiga orang dengan Ki Lurah Branjangan, berkuda ke Tanah Perdikan Menoreh justru dapat keadaan dan suasana yang panas itu.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Karena itu, maka segala sesuatunya telah diatur sebagaimana seharusnya kunjungan seorang pepatih di Mataram.
Para pengawalpun telah mendapat keterangan bahwa kehadiran Ki Patih Mandaraka telah ditunda beberapa lama. Ki Patih akan datang menjelang tengah hari.
Sebenarnyalah, bahwa menjelang tengah hari iring-iringan yang tidak terlalu besar telah menyeberangi Kali Praga. Pada beberapa rakit terdahulu para pengawal telah mendahului menyeberang. Kemudian rakit yang membawa Ki Patih Mandaraka, Kiai Gringsing, Ki Lurah Branjangan dan Ki Patih Wiralaga telah menyeberang pula. Sedangkan dibelakang mereka, masih ada sebuah rakit yang juga membawa beberapa orang pengawal. Semuanya dengan kuda masing-masing.
Demikianlah, beberapa saat kemudian iring-iringan itu telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Dari ujung Tanah Perdikan telah dipasang pertanda penyambutan. Pada gerbang padukuhan pertama yang dilewati Ki Patih telah dipasang rontek dan umbul-umbul.
"Sebenarnya aku justru merasa sulit." desis Ki Patih yang hanya didengar oleh Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan bukannya tidak berarti sama sekali."
"Ya." Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk.
Demikianlah Tanah Perdikan memang menjadi gembira. Sambutan atas kehadiran Ki Patih cukup meriah dan bahkan bagi Ki Patih Mandaraka yang pernah bernama Ki Juru Martani, seorang dari padukuhan kecil meskipun saudara seper guruan dengan Kangjeng Sultan Pajang, memang agak berlebihan.
Demikianlah, maka di rumah Ki Gede, penyambutan benar-benar dilakukan dengan meriah. Segala-galanya telah disiapkan dengan baik. Tempat yang akan dipergunakan oleh Ki Patih untuk beristirahat. Kemudian tempat untuk mengadakan pembicaraan khusus bagi orang-orang tua yang telah dipersilahkan untuk hadir dan bertemu dalam usia tua mereka. Dan tempat-tempat lain yang diperlukan. Dipendapa telah disiapkan seperangkat gamelan yang malam itu akan dipergunakan untuk menghidangkan suguhan kesenian yang terdapat di Tanah Perdikan. Acara-acara yang telah dipersiapkan telah dilaksanakan dengan baik sebagaimana direncanakan.
"Setelah pertunjukan selesai, aku ingin berbicara dengan beberapa orang tua." berkata Ki Patih Mandaraka kepada Ki Gede.
"Baiklah Ki Patih." jawab Ki Gede, "kami akan mengatur segala-galanya. Pembicaraan akan dapat dilakukan di ruang dalam. Ruang yang memang telah kami persiapkan."
Menjelang gelap, maka halaman rumah Ki Gede telah penuh. Orang-orang bukan saja dari padukuhan induk telah berdatangan untuk menyaksikan pagelaran yang memang jarang dilakukan.
"Apakah ada juga tayub?" bertanya seseorang.
"Ah kau, seperti tidak tahu saja sifat Ki Gede yang barangkali sejalan dengan sifat Ki Patih. Mereka tidak senang dengan tari tayub. Tari yang dapat mengakibatkan timbulnya persoalan-persoalan yang tidak diharapkan. Apalagi jika tuak mulai ikut meramaikannya."
Kawannya mengangguk-angguk. Ki Gede memang tidak menyukai tari tayub. Hanya dalam keadaan khusus untuk kepentingan upacara panen sajalah, tayub diselenggarakan sebagai upacara mensukuri kesuburan. Itupun semakin lama semakin susut.
Malam itu di pendapa rumah Ki Gede memang diselenggarakan beberapa jenis pertunjukkan. Yang paling menarik adalah tari topeng yang ditarikan oleh beberapa orang anak muda yang memang memiliki kemampuan menari.
Para tamu Ki Gede duduk di pendapa menyaksikan pertunjukkan yang sangat menarik itu. Diantara mereka termasuk Ki Jayaraga, sementara sekar Mirah ada pula di rumah Ki Gede, untuk membantu menyiapkan hidangan bagi para tamu.
"Hanya anak-anak pedesaan." desis Ki Gede yang duduk disebelah Ki Patih Mandaraka.
Tetapi Ki Patih berkata, "Bagus sekali. Tidak kalah dengan anak-anak muda di Kotaraja."
"Ki Patih terlalu memuji." desis Ki Gede.
Ki Mandaraka menyahut dengan sungguh-sungguh. "Tidak. Aku tidak sekedar memuji. Sebenarnyalah mereka adalah penari-penari yang baik."
Ki Gede tertawa. Orang-orang yang mendengar pujian itupun tertawa pula.
Namun dalam pada itu, hampir disetiap sudut halaman, telah mendapat pengamatan yang sangat ketat. Beberapa orang pengawal berjaga-jaga diregol. Sementara para pengawal dalam tugas sandinya berbaur dengan para penonton yang memadati halaman.
Namun sebagaimanapun juga, para pengawal itu tidak dapat mengenali setiap orang yang berjejal dihalaman itu. Karena itu, maka ada juga beberapa orang yang bukan orang tanah Perdikan itu sendiri.
Dua orang dengan diam-diam telah menyelinap keluar sebelum pertunjukkan selesai. Namun karena diluar regol banyak orang-orang yang berjualan dan anak-anakpun keluar masuk pula, bahkan kadang-kadang bersama orang tua mereka, maka kepergian kedua orang itupun sama sekali tidak menarik perhatian.
Demikian kedua orang itu memasuki kegelapan, maka merekapun seakan-akan telah hilang kedalam dinding halaman disebelah menyebelah jalan. Tetapi ternyata bukan hanya dua orang itu saja. Ada dua orang yang lain dan dua orang lagi yang berbuat serupa.
Malam itu juga orang-orang itu telah memberikan laporan apa yang mereka saksikan di halaman Ki Gede Menoreh yang sedang menyelenggarakan keramaian.
"Satu kesalahan besar." desis seorang yang ada di pinggir hutan setelah menerima laporan itu.
"Pengawal Ki Patih terlalu sedikit." berkata yang lain, "satu tindakan yang tergesa-gesa dan tidak dilandasi dengan perhitungan seorang pemimpin pemerintahan yang katanya sangat bijaksana."
"Jangan memikirkan kebijaksanaan seseorang." berkata kawannya, "sedangkan tupaipun sekali akan jatuh juga dari pelepah pohon kelapa."
"Maksudku, satu kesempatan yang bagus sekali telah disediakan oleh Ki Patih itu sendiri. Kita tinggal memanfaatkannya saja." berkata yang lain.
"Marilah. Malam ini kitapun akan melakukan bujana sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Menoreh." berkata orang yang agaknya memimpin sekelompok orang-orang itu.
Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki hutan itu. Seorang diantara mereka masih bergumam, "Pengawal berkuda Ki Patih memang orang-orang pilihan. Tetapi jumlahnya terlalu sedikit."
"Sebenarnya tidak terlalu sedikit." berkata kawannya, "dalam keadaan wajar, jumlah itu mencukupi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, Ki Patih Mandaraka benar-benar agak kurang cermat."
Ketika orang-orang itu hilang kedalam hutan, maka beberapa puluh langkah dari tempat mereka menunggu dipinggir hutan, sekelompok pengawal Tanah Perdikan sedang meronda. Namun mereka sama sekali tidak menemukan bekas apapun juga.
Di rumah Ki Gede pertunjukkan berlangsung sangat meriah. Semua orang merasa puas dengan pertunjukan itu. Bukan saja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi juga, para tamu yang datang dari Kotaraja. Para pengawal berkuda yang mengawal Ki Patihpun menjadi gembira melihat pertunjukkan itu. Apalagi ketika mereka melihat tari perang yang sangat tangkas yang ditarikan oleh dua orang anak muda yang bertubuh tinggi tegap.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak ikut berada di pendapa. Mereka justru berada diluar halaman rumah Ki Gede. Keduanya terlalu sulit untuk mengamati seorang demi seorang di malam hari, diantara orang yang berjalan hilir mudik serta para penjual yang berderet memanjang sebelah menyebelah regol.
Tetapi menurut pengamatan Agung Sedayu, tidak, ada peristiwa apapun yang terjadi. Setidak-tidaknya untuk malam itu. Bahkan kedua orang utusan pribadi Ki Patih Mandarakapun kemudian telah berada di luar halaman bersama Agung Sedayu.
"Nampaknya berhitungan kita atas dasar uraian pengamatan yang berhasil disadap itu benar." berkata salah seorang diantara salah seorang dari utusan pribadi Ki Patih itu.
"Kita percaya kepada ketajamam perhitungan Ki Rangga Lengkara." desis yang lain.
Agung Sedayu dan Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga mereka tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Bahkan semakin malam jantung Agung Sedayu rasa-rasanya berdegup semakin cepat. Setelah pertunjukkan selesai, maka akan ada pertemuan khusus dari orang-orang tua yang sudah lama tidak selang bertemu.
Namun sementara itu, penjagaan disegala sudut Tanah Perdikan telah diperketat. Tanah Perdikan Menoreh saat itu tidak mempergunakan cara yang sudah ditempuhnya sejak beberapa hari. Penjagaan yang ketat justru tidak digardu-gardu. Tidak di ujung-ujung lorong yang memasuki Tanah Perdikan meskipun hal itu masih juga dilakukan. Tidak pula pada penjagaan para pengawal di pintu-pintu gerbang padukuhan atau pasukan berkuda yang meronda di sekeliling Tanah Perdikan. Tetapi bersama dengan kedua utusan pribadi Ki Patih Mandaraka serta kedua Senapati Mataram yang ditemui Agung Sedayu di tepian, para pemimpin Tanah PerdikanMenoreh telah menentukan lain. Pengamatan lebih banyak dilakukan dengan diam-diam di pematang-pematang sawah, digubug-gubug atau di dekat gejlik dipersimpangan parit, sebagaimana orang-orang yang menunggu air untuk mengairi sawah mereka.
Demikianlah, menjelang pertunjukan selesai, maka seorang diantara para petugas yang mengamati padang perdu dipinggir hutan telah menemui Agung Sedayu.
"Aku melihat dua orang yang tidak dikenal." berkata orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu nampaknya tidak terkejut.
"Amati arahnya." berkata Agung Sedayu kemudian.
Orang itu mengangguk kecil. Kemudian iapun telah pergi meninggalkan lingkuhgan keramaian.
Ketika beberapa saat kemudian keramaian akan berakhir, maka nampak beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh mulai meninggalkan tempat itu. Satu-satu mereka keluar dari regol halaman. Ada yang singgah membeli kacang rebus yang tinggal sedikit tersisa, karena pada umumnya semua dagangan dari mereka yang berjualan telah habis.
Beberapa orang merasa kecewa, bahwa pertunjukan hanya berlangsung sampai tengah malam. Biasanya pertunjukan dapat berlangsung sampai dini hari. Ceritera panji yang ditarikan dengan bentuk tari topeng akan dapat mengikat sampai pagi.
Tetapi beberapa orang dapat memberikan keterangan, "Para tamu itu tentu perlu beristirahat."
Tetapi kawannya menjawab, "Mereka yang ingin beristirahat biar saja beristirahat. Kita yang nonton biar saja nonton sampai pagi."
Tetapi yang pertama berkata, "Kau kira suara gamelan itu tidak mengganggunya?"
Kawannya tidak menjawab lagi. Namun sebenarnyalah pertunjukan yang diselenggarakan di Tanah Perdikan itu biasanya sampai pagi hari.
Ketika pertunjukan itu selesai, maka seperti semut yang keluar dari sarangnya, maka para penontonpun menghambur keluar dari halaman rumah Ki Gede. Sementara itu, beberapa orang yang telah mendahului keluar dari halaman, justru telah berhenti dan berdiri menepi, menga-wasi orang-orang yang berjejal lewat kesegenap arah.
Jika orang-orang yang dikenalnya menyapa kepada mereka yang berdiri di pinggir jalan, maka jawabnya hampir serupa.
"Menunggu anakku yang agaknya masih tertinggal bersama kakeknya." jawab yang seorang. Sementara yang lain menjawab, "Adikku terpisah. Ia tentu akan segera menyusul."
Atau jawaban-jawaban lain yang serupa. Namun sebenarnyalah mereka mengemban tugas untuk mengawasi keadaan, sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glgah Putih, serta para pemimpin pengawal justru ditempat yang agak jauh dari rumah Ki Gede.
Sementara itu, di halaman rumah Ki Gede, para pengawal Ki Patih Mandarakalah yang bersiaga sepenuhnya, meskipun tidak dengan semata-mata. Beberapa orang berdiri dibelakang gardu, sementara yang berada didalam gardu adalah para pengawal Tanah perdikan itu sendiri.
Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, maka setelah pertunjukan selesai, mereka masih mempunyai acara khusus. Ki Patih Mandaraka bertemu dengan orang-orang tua yang sudah lama terpisah, atau bahkan belum dikenalnya sebelumnya.
Diantara mereka yang ada diruang dalam selain Ki Patih Mandaraka adalah Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Ki Gede Menoreh sendiri dan Ki Patih Wiralaga. Namun disamping mereka ternyata Ki Patih juga memanggil tiga orang bekas Senapati Pajang yang juga sudah cukup umur, yang datang diam-diam bersama pengawal Ki Patih Mandaraka, tetapi dengan sepengetahuan Ki Patih.
Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata tidak ikut berada diruang dalam. Keduanya duduk ditangga pendapa rumah Ki Gede yang sedang dibersihkan oleh beberapa orang pengawal. Mereka sedang menggulung tikar, menyapu beberapa kotoran yang berserakan. Sementara beberapa orang bebahu yang masih ada dipersilahkan duduk di pringgitan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak sempat ikut mendengarkan pembicaraan orang-orang tua itu. Tetapi setiap kali ia mendengar suara mereka tertawa. Memang berbeda dari apa yang dibayangkan oleh Agung Sedayu, bahwa pembicaraan akan menjadi tegang. Tetapi ternyata tidak sama sekali.
Ketika tengah malam lewat semakin jauh, maka kedua orang utusan pribadi Ki Patih Mandaraka memang nampak menjadi semakin gelisah. Beberapa kali mereka berbicara dengan Agung Sedayu yang masih saja ada ditangga pendapa.
Menjelang dini hari, ternyata orang-orang tua itu sama sekali belum mengakhiri pembicaraan. Sekali-sekali masih saja terdengar pembicaraan yang nampaknya menarik, disusul dengan suara tertawa yang meledak.
Namun beberapa saat kemudian, Ki Panji Wiralaga dan Ki Lurah Branjangan telah keluar dari ruang dalam meskipun nampaknya pembicaraan belum selesai.
"Sudah hampir dini hari. Ayam jantan sudah berkokok untuk yang kedua kalinya." berkata Ki Panji.
"Ya" Agung Sedayupun bangkit dan berdiri di hala"man, "kami menunggu perintah."
"Tetapi apakah semuanya sudah siap seperti yang direncanakan?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Sudah." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah." berkata Ki Panji kemudian, "kita menunggu beberapa saat. Perintah itu justru akan datang dari pihak lain."
"Kita akan bersiap ditempat kita masing-masing." berkata Ki Lurah.
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak akan beranjak dari tempatnya. Mereka akan berada di halaman rumah Ki Gede. Betapa ketatnya hambatan, namun mereka yang berniat datang kerumah itu tidak akan dengan mudah terhenti diperjalanan. Karena itu, maka yang lebih baik adalah justru menunggu mereka di halaman itu.
Namun dalam pada itu, kedua orang utusan pribadi Ki Patihlah yang meninggalkan halaman itu masuk kedalam gelap bersama tiga orang pengawal berkuda Tanah Perdikan. Sejenak kemudian mereka telah berpacu di bulak punjang, Namun mereka sama sekali tidak merasa cemas, karena di pematang digubug-gubug, digejlig tempat pembagian air atau tanggul terdapat orang yang sebenarnya adalah para pengawal.
Kelima orang itupun kemudian mempercepat kuda mereka, berpacu justru kearah Utara. Mereka telah mengikuti jalan ke penyeberangan dan akhirnya berhenti ditepian.
Ternyata Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa telah menunggu. Demikian kelima orang itu turun ketepian, Ki Rangga berkata, "Ayam jantan sudah berkokok untuk yang kedua."
"Kita menunggu isyarat Ki Rangga." berkata salah seorang dari utusan pribadi Ki Patih.
"Bagus." berkata Ki Rangga, "sampaikan kepada Ki Patih bahwa semuanya sudah dipersiapkan seperti yang direncanakan."
Utusan Ki Patih itu mengangguk-angguk. Namun mereka melihat dalam kegelapan diseberang Kali Praga beberapa buah rakit telah siap.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, kelima orang itupun segera bersiap untuk kembali. Namun utusan Ki Patih itu masih berpesan, "Jika isyarat itu naik, maka segala sesuatunya akan segera mulai."
"Kami sudah memperhitungkan jarak. Jarak yang akan kita tempuh tidak akan lebih jauh dari jarak yang akan mereka tempuh." jawab Ki Rangga.
"Kecepatan bergerak?" bertanya utusan Ki Patih.
"Sudah termasuk hitungan kami." jawab Ki Rangga pula.
Demikianlah, maka kelima orang itupun kemudian telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk dan melaporkan segala sesuatunya kepada Ki Panji Wiralaga.
Demikian, maka dalam dinginnya udara di dini hari, Tanah Perdikan telah dipanasi oleh persiapan yang terselubung, yang akan segera membakar Tanah Perdikan itu. Api akan segera berkobar di Perbukitan Menoreh yang nampaknya masih tenang itu.
Dalam pada itu. di lereng bukit Menoreh, beberapa orang berkumpul dan berbincang dengan sungguh-sungguh. Seorang yang memimpin pembicaraan itupun kemudian berdesis, "Ayam jantan telah berkokok untuk yang kedua kalinya. Jika ayam berkokok untuk yang ketiga kalinya, maka kita semuanya akan bergerak. Perang yang sesungguhnya akan berkobar. Kelengahan Ki Patih Mandaraka akan ditebus dengan taruhan yang sangat mahal. Tanpa Mandaraka, maka Panembahan Senapati akan kehilangan gairah perjuangannya. Dengan mudah Madiun akan menggilasnya, sehingga Mataram tidak akan berbekas lagi. Meskipun Panembahan Senapati adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, tetapi hatinya terlalu rapuh sehingga ia memerlukan sandaran yang kuat. Sandaran itu adalah Ki Patih Mandaraka."
"Aku tidak tahu, bagaimana mungkin orang yang cerdik seperti Ki Patih Mandaraka dapat melakukan kekeliruan seperti ini." berkata seorang yang lain.
"Tetapi kita jangan merendahkan kemampuan para pengawal. Seperti yang kita lihat, semua pengawal di Tanah Perdikan bersiaga. Pengawal pada tataran pertama, tataran kedua sampai pada tataran ketiga. Semuanya telah siap bertempur jika perlu." berkata seorang yang lain.
Tetapi kawan-kawannya tertawa. Katanya, "Mereka bersiap untuk menyambut tamu yang mereka anggap orang terbesar didunia setelah Panembahan Senapati. Bukan un"tuk bertempur."
Namun tiba-tiba merekapun terdiam ketika seorang yang bertubuh tinggi besar berkumis lebat dan berjambang-panjang. Seorang yang rambutnya sudah berwarna dua, namun yang memiliki wibawa yang besar.
Semua orang berdiri karenanya. Salah seorang diantara mereka mengangguk hormat sambil berdesis, "Sang Panembahan Cahya Warastra."
Orang yang disebut Sang Panembahan itu berhenti sejenak sambil memandang berkeliling. Kemudian ketika orang-orang yang ada disekitarnya mengangguk dalam-dalam, iapun telah mengangguk pula kepada mereka.
"Apakah semua sudah siap." bertanya orang yang disebut Panembahan Cahya Warastra itu.
Kepada orang yang berdiri disebelahnya ia berkata, "Apakah semua laporan dapat dipercaya?"
Kematian Kedua 1 Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Tangan Berbisa 14