Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 20

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20


"Ya Panembahan. Semuanya sudah diteliti ulang. Nampaknya semuanya dapat dipercaya." jawab orang itu.
"Bagus." berkata Panembahan Cahya Warastra, "kita harus dapat menyelesaikan tugas yang kita bebankan diatas pundak kita sendiri. Ketika berita tentang rencana kepergian Ki Mandaraka ke Tanah Perdikan sampai kepada kita, maka kita yakin akan dapat berbuat sebaik-baiknya bagi kepentingan Madiun. Panembahan Mas di Madiun memang tidak mau ikut campur dalam usaha ini, karena menurut Panembahan Madiun kita berbuat licik.Tetapi aku berpendirian lain. Membunuh Patih Mandaraka bukan satu hal yang dapat disebut licik."
"Panembahan Madiun memang tidak mencampuri rencana ini. Tetapi Panembahan Madiun mengijinkan pasukannya segelar sepapan untuk melakukan rencana ini. Bukankah itu sama artinya bahwa Panembahan Madiun telah merestui rencana ini?" bertanya orang yang berdiri disampingnya.
"Memang lain." jawab Panembahan Cahya Warastra, "Panembahan Madiun tidak bertanggung jawab atas peristiwa ini. Yang membunuh Mandaraka bukan Panembahan Mas dari Madiun, tetapi Panembahan Cahya Warastra. Aku tidak akan ingkar. Akulah yang akan membunuh Mandaraka, orang tua yang licik dan pengecut itu. Yang hanya dapat mengadu domba orang lain tanpa berani hadir di medan perang."
"Kita akan dapat membunuhnya." berkata orang yang berdiri disisinya.
Namun tiba-tiba Panembahan Cahya Warastra itu bertanya, "Apakah pasukan yang dijanjikan itu telah tiba?"
"Mereka telah berada di tempat. Mereka menyusuri pesisir. Satu perjalanan yang sangat berat. Hanya dalam waktu sehari dua malam, mereka sudah sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara mereka harus berusaha menjauhkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk di perjalanan. Mereka harus memecah diri dalam kelompok-kelompok kecil." berkata orang yang telah mendapat laporan langsung dari petugas yang ikut dalam pasukan yang datang itu.
"Pasukan kita sendiri?" bertanya Panembahan Cahya Warastra, "sudah hampir sampai saatnya kita bergerak."
"Semuanya sudah siap. Arahnyapun telah diatur sebagaimana direncanakan. Prajurit Madiun akan memasuki Tanah Perdikan ini dari arah Selatan." berkata orang itu.
"Bagaimana dengan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini?" bertanya Panembahan itu pula.
Seorang yang bertubuh tegap tegar tertawa penouk. Katanya, "Mereka akan dapat dikendalikan oleh Senapatinya sendiri."
"Jadi mereka pasti tidak akan ikut campur?" bertanya Panembahan Cahya Warastra.
"Senapati itu dapat dipercaya." jawab orang yang bertubuh tegar.
"Bagus." berkata Panembahan Cahya Warastra, "hari ini adalah hari kematian Ki Juru Martani yang menjadi sangat terkenal sejak terbunuhnya Harya Penangsang dari Jipang. Kemudian Mataram akan segera runtuh. Madiun akan mencoba bangkit. Mudah-mudahan Pati akan tetap menjadi imbangan yang akan saling menghancurkan setelah Madiun menjadi parah karena benturannya melawan Mataram meskipun Madiun harus menang. Pati dan Madiun akan hancur bersama-sama. Para Adipati di daerah Jawa Timur memang harus diperhitungkan. Tetapi jika aku selalu berada disisi Panembahan Mas di Madiun, maka aku akan menjadi orang yang mempunyai kemungkinan terbesar menguasai Tanah ini."
Balas " On 17 Juni 2009 at 14:18 Mahesa Said:
Orang yang bertubuh tegap dan tegar itu mengangguk-angguk. Sementara itu malam menjadi semakin bergeser mendekati ujung pagi. Sebentar lagi, ayam jantan akan berkokok untuk ketiga kalinya.
Semua pasukan yang disediakan oleh Panembahan Cah"ya Warastra telah siap. Prajurit yang dibawanya dari Madiun sempat beristirahat hampir sehari semalam dipersembunyiannya setelah menempuh perjalanan sehari dua malam. Bahkan beberapa kelompok kecil agak lebih lambat meski"pun hanya berjarak waktu beberapa saat. Namun sebagai prajurit terlatih, waktu yang hampir sehari semalam itu dapat dimanfaatkannya sebaik-baiknya.
Beberapa orang yang memahami ilmu pengobatan serta pengetahuan tentang ilmu pijiat, telah membantu memberikan sejenis param yang di ulaskan pada anggauta badan para prajurit itu, sehingga tubuh mereka menjadi segar kembali. Sementara itu, di arah lain pasukan Panembahan Cahya Warastra sendiri, yang berhasil dikumpulkan dari beberapa padepokan yang dapat dipengaruhinya telah bersiap pula sepenuhnya. Bahkan masih ada segerombolan pasukan yang mempunyai ciri dan watak yang agak berbeda. Sekelompok orang yang bukan saja ingin meneguk kemenangan atas Tanah Perdikan sehingga mengakibatkan kematian Ki Patih Mandaraka, kemudian hancurnya Mataram dan bangkitnya Panembahana Cahya Warastra, namun juga dorongan nafsu mereka untuk mendapat kesempatan menguasai rumah-rumah orang-orang kaya di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan mendapat keuntungan langsung dengan merampok harta benda dari daerah yang dikalahkan. Bahkan menurut mereka, jika dikehendaki, maka perempuan-perempuan dari daerah yang kalah perang akan dapat dijarah rayah sesuka hati.
Malam itu di Tanah Perdikan Menoreh memang telah dipersiapkan perang. Laporan terakhir yang disampaikan kepada para pe"mimpin pasukan yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh dan dilangsungkan kepada Panembahan Cahya Warastra adalah, bahwa tidak ada perubahan susunan penjagaan di Tanah Perdikan. Para pengawal berada dimulut-mulut lorong, pintu-pintu gerbang dan gardu-gardu. Sedangkan sekelompok kecil pengawal dari Pasukan Penga"wal Khusus yang datang bersama Ki Patih Mandaraka berada di rumah Ki Gede Menoreh. Mereka memang harus bersiap untuk menyelamatkan Ki Patih Mandaraka. Semen"tara itu, Ki Patih Mandaraka berada di rumah Ki Gede Menoreh bersama Kiai Gringsing.
"Orang bercambuk itu memang iblis." geram Panem"bahan Cahya Warastra, "tetapi ia sudah tua dan hampir pikun. Adalah tugas Ki Ajar Cangkring dan Putut Sendawa untuk menjinakkannya. Ki Ajar memiliki kemampuan yang akan dapat menggetarkan jantung tuanya dengan Aji Gelap Ngamparmu. Sementara Putut Sabawa akan dapat mematahkan tulang-tulangnya yang renta dengan Tongkat Wregu Werengmu. Tetapi hati-hati dengan juntai cambuknya itu. Sementara aku sendiri yang akan bertemu dengan Ki Patih Mandaraka. Kalian ingat itu?"
"Tetapi murid orang Bercambuk itu juga sangat berbahaya. Ia sudah memiliki kemampuan gurunya." berkata salah seorang diantara mereka.
"Bango Lamatanlah yang dungu." geram Panembahan Cahya Warastra, "he, bukankah Wreksa Gora telah bersedia untuk membunuhnya" Selain cambuk, murid Orang Bercambuk itu memiliki kemampuan menyerang dari jarak jauh. Wreksa Gora juga memiliki kekuatan seperti itu. Meskipun ia tidak dapat melenyapkan diri dengan Aji Panglimunan dan tidak dapat memecah diri dengan Aji Kakang Kawah dan Adi Ari-ari, tetapi ia memang tidak memerlukannya. Ia memiliki ilmu kebal seperti Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu hanya memiliki ilmu kebal maka Wreksa Gora merangkapnya dengan Ilmu Lembu Sekilan. Tidak ada kekuatan yang dapat menembus perisai ilmu rangkap itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun seorang yang berjanggut putih berkata, "Ia baru mulai. Kedua ilmu itu belum cukup mapan."
"Tetapi ia adalah orang terbaik. Aku yakin sebagaimana Panembahan. Ilmu rangkapnya akan dapat melawan semua macam ilmu yang ada didalam diri murid Orang Bercambuk itu." jawab kawannya. Bahkan iapun bertanya, "Sedangkan kau" Apa yang akan dapat kau lakukan" Ilmu Sirep" Seandainya kau yang ditugaskan melawan anak itu, maka apakah kau akan sempat berkidung untuk menidurkannya."
"Iblis kau." geram orang berjanggut putih itu, "aku memang ingin mendapat kesempatan."
Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Kesempatan apa" bertempur melawan Agung Sedayu?"
"Ya." jawab orang berjanggut putih itu. Namun kemudian iapun berkata, "tetapi pada suatu saat aku ingin mencoba kemampuan Wreksa Gora. Apakah Adji Brajamustiku tidak mampu memecahkan pertahanan ilmu kebalnya rangkap berapapun?"
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil berkata, "Apa" Aji Brajamusti" Apakah kau benar-benar sudah gila sehingga merasa dirimu seperti Gatotkaca dalam ceritera pewayangan?"
Orang berjanggut putih itu tersenyum. Katanya, "Bukan aku yang gila. Tetapi kau benar-benar picik. Nanti, jika kita tidak bersama orang lain, akan aku tunjukkan Aji Brajamusti itu."
"Apakah kau juga merasa dapat terbang seperti Gatotkaca itu?" bertanya kawannya.
Orang berjangkut Putih itu justru tertawa. Katanya, "Kau pernah mendengar Aji Sepi Angin."
"Pernah, tetapi bukan terbang." jawab kawannya.
"Seribu kali lebih cepat dari burung sikatan yang terbang dengan lincahnya. Dan aku sedang dalam tataran permulaan dari ilmu itu." jawab orang yang berambut putih.
"Sekarang rambutmu sudah putih. Sampai kau mati kau belum akan menguasai ilmu itu genap seperempatnya." jawab kawannya.
Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang lagi. Mereka melihat beberapa orang memberikan laporan terakhir kepada Panembahan Cahya Warastra. Dengan orang yang bertubuh tinggi kekar Panembahan masih berbicara. Namun kemudian terdengar ia berkata, "Jangan melupakan tugas kalian masing-masing. Mungkin masih ada orang-orang yang memerlukan perhatian khusus. Ki Gede Menoreh sendiri sudah bukan orang yang menakutkan sekarang. Seperti seekor harimau yang telah kehilangan gigi dan kukunya. Jika ia diajak berlari-lari beberapa saat saja, maka sakit kakinya akan segera kambuh, sehingga untuk membunuhnya tidak ubahnya seperti memijit buah ranti masak."
Semua orang terdiam. Namun suasana memang menjadi tegang.
"Sebentar lagi, kita lepaskan isyarat. Aku sudah mendengar ayam berkokok untuk ketiga kalinya. Langitpun telah menjadi semakin terang. Kita, sekelompok ini harus sampai ke padukuhan induk."
"Sekelompok pasukan khusus yang akan membawa kita ke padukuhan induk sudah siap, Panembahan. Sementara semua pasukan yang akan bergerak dari tiga arah juga akan menuju ke padukuhan induk." berkata seorang diantara mereka yang datang melapor.
Panembahan Cahya Warastra mengangguk-angguk. Katanya, "Semua harus terjadi sebagaimana aku kehendaki. Aku sudah terlalu bodoh untuk mengirim beberapa orang menemui langsung Orang Bercambuk. Disini Orang Bercambuk itu akan mati bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka. Orang yang sebenarnya lebih pantas disebut Ki Juru Martani."
"Ayam jantan telah berkokok untuk yang ketiga Panembahan." berkata seorang pembantunya.
"Dimana orang-orang dari Bukit Kapur?" bertanya Panembahan.
"Mereka berada di sisi Barat dari Tanah Perdikan ini." jawab pembantunya, "bersama orang-orang dari Sapu Angin yang sebagian besar."
"Kenapa sebagian besar?" bertanya Panembahan.
"Bukankah Sapu Angin telah terpecah?" jawab pembantunya.
Panembahan Cahya Warastra itu mengangguk-angguk. Sementara itu pembantunya masih menyebut beberapa perguruan lagi yang dapat dihimpunnya. Sedang disisi Selatan, prajurit Madiun segelar sepapan dalam gelar yang utuh siap akan menyapu Tanah Perdikan.
"Tetapi kalian harus mampu mengendalikan orang-orang Resa Tengul. Mereka tidak mempunyai pikiran lain kecuali merampok isi Tanah Perdikan ini. Jika kami sudah berada di padukuhan induk, pasukan Resa Tengul harus digiring kesebuah padukuhan kecil seperti yang sudah direncanakan disisi Utara dari Tanah Perdikan ini." perintah Panembahan Cahya Warastra.
"Semua sudah jelas." suaranya menggelegar.
"Sudah Panembahan." hampir berbareng beberapa orang telah menjawab.
"Lontarkan isyarat." perintah Panembahan itu.
Sejenak kemudian, beberapa buah panah sendaren telah meluncur kelangit menyusup di antara rimbunnya dedaunan dipinggir hutan dan terbang sambil melontarkan suara yang nyaring kesegenap penjuru. Kemudian disusul oleh panah api yang memancar di udara yang masih dibayangi keremang dini hari, meskipun langit di sebelah Timur sudah mulai kemerah-merahan.
Ternyata panah sandaren itu telah bersambut. Dari ujung-ujung hutan yang lain, panah sendarenpun telah berhamburan keseluruh sudut Tanah Perdikan sambung-bersambung.
Isyarat itu merupakan perintah bagi seluruh pasukan yang mendukung kehadiran Panembahan Cahya Warastra di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Ki Panji Wiralaga, Ki Lurah Branjangan bersama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih justru sedang berada di barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Ki Panji Wiralaga mencoba untuk memberikan isyarat agar Pasukan Khusus itu bergerak.
Tetapi jawaban Senapati dari pasukan khusus itu sangat mengecewakan. Meskipun Ki Panji Wiralaga membawa pertanda kuasa Panglima pasukan Mataram, namun Senapati pasukan Khusus itu berkata, "Kami akan berjaga-jaga didalam barak kami. Jika pasukan yang berani memasuki Tanah Perdikan itu berusaha masuk kedalam barak kami, maka kami akan menghancurkannya."
"Kami perintahkan sebagian dari pasukan Khusus ini keluar membantu pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi lawan yang datang, yang jumlahnya diluar perhitungan." berkata Ki Panji.
Tetapi Senapati Pasukan Khusus itu menyahut, "Itu bukan tugas kami. Kami akan mempertahankan barak ini sampai orang terakhir. Tetapi kami tidak akan keluar dari barak ini, karena diluar barak ini adalah kewajiban orang-orang Tanah Perdikan."
"Jadi kau menolak perintahku, yang mendapat limpahan kuasa dari Panembahan Senapati, pada saat Tanah Perdikan Menoroh berada dalam keadaan yang sangat gawat seperti ini?" bertanya Ki Panji Wiralaga.
"Aku tidak menolak perintah Panembahan Senapati. Tetapi aku telah menempatkan diriku pada batas wewenangku. Jika sebagian pasukan keluar, kemudian barak ini dihancurkan, maka aku pulalah yang harus bertanggung jawab." jawab Senapati itu.
Ki Panji Wiralaga memang tidak dapat berbuat lebih dari itu. Jika ia berbuat lebih jauh, maka akan terjadi keadaan yang lebih buruk lagi.
Apalagi kemudian telah datang saat ayam jantan berkokok ketiga kalinya, sedang dilangit telah terdengar panah sendaren.
Karena itu, Ki Panji Wiralaga berkata dengan wajah yang merah menahan kemarahan, "Kau akan mendapat hukuman dari Panembahan Senapati sendiri."
"Tidak. Panembahan Senapati tentu akan membenarkan sikapku ini."
Ki Panji Wiralaga tidak peduli lagi. Iapun segera meninggalkan barak itu bersama Agung Sedayu, Ki Lurah Branjangan dan Glagah Putih.
Beberapa orang Senapati di barak itu tidak dapat menahan gejolak perasaan mereka. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa diluar perintah Senapati Agungnya.
"Sudahlah." berkata Ki Lurah Branjangan kepada seorang Senapati yang menyatakan diri untuk melanggar perintah Senapati tertinggi di barak Pasukan Khusus itu.
"Jangan." berkata Ki Lurah, "keadaan akan menjadi semakin kusut."
Demikianlah, maka pertanda perang telah terdengar. Selain isyarat yang dilontarkan oleh orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan, maka kentonganpun mulai terdengar merambat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Dengan demikian, maka seluruh Tanah Perdikanpun telah bangkit. Mereka sadar, bahwa lawan mereka akan datang dari beberapa arah. Para pengamat yang sempat mengamati arah isyarat panah sendaren sempat membuat uraian, bahwa lawan mereka akan datang sedikitnya dari tiga arah.
Para pengawalpun telah bersiap, Kelompok-kelompok berkuda telah menuju ke tiga sasaran sebagaimana dilihat dari isyarat yang dilontarkan oleh lawan. Namun para petugas sandi memang telah melaporkan, bahwa dari arah Selatan akan datang pasukan segelar sepapan dalam gelar yang lengkap, yang terdiri para prajurit di Madiun.
Karena itu, maka para pengawal terbaik Tanah Perdikanpun sebagian telah dikerahkan untuk melawan pasukan yang akan datang dari Selatan itu juga dengan gelar yang lengkap. Para pengawal Tanah Perdikan tidak canggung lagi bergerak dalam gelar. Selain para pengawal yang masih muda dan terlatih, maka pasukan cadangan pun telah dikerahkan pula. Bahkan pasukan dari tataran ketigapun telah ikut berada di medan. Mereka yang kebetulan bekas pengawal dan bekas prajurit Mataram dengan cepat menyesuaikan diri dalam gelar. Senjata mereka yang sudah beberapa lama tersimpan, telah mereka ambil kembali untuk mereka pergunakan di medan perang.
Para petugas sandi dari Tanah Perdikan yang mendapat bantuan para petugas sandi dari Matarampun mengetahui bahwa sekelompok orang yang ingin merampok seisi Tanah Perdikan itupun ada pula diantara mereka yang menyerang Tanah Perdikan. Bagi mereka, maka telah disediakan pula pengawal khusus yang mampu bertempur dengan keras dan bahkan kasar.
Sementara itu, Agung Sedayu yang pergi ke barak bersama Ki Panji Wiralaga, Ki Lurah Branjangan dan Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede. Di pendapa mereka menghadap dan memberikan laporan hasil perjalanan mereka ke barak kepada Ki Mandaraka.
Ki Patih hanya tersenyum saja. Katanya, "Bukankah kita sudah menduga?"
"Pertempuran sudah mulai Ki Patih." berkata Ki Panji kemudian.
"Bunyikan isyarat yang lain." berkata Ki Patih.
"Maksud Ki Patih?" bertanya Ki Panji Wiralaga.
"Bunyikan bende di seluruh medan. Bukan kentongan." sahut Ki Patih.
Ki Panji Wiralaga memang menjadi ragu-ragu. Tetapi sambil tersenyum Ki Patih berkata, "Tidak perlu bende Kiai Bancak yang memang tidak ada di Tanah Perdikan. Ambil bende yang manapun yang ada. Bawa kesemua medan dan bunyikan tanpa henti sampai benturan perang benar-benar terjadi."
Ki Panji Wiralaga memang masih saja termangu-mangu. Ia masih menganggap Ki Mandaraka masih saja bergurau. Namun sambil tersenyum Ki Mandaraka berkata, "Aku benar-benar minta hal itu dicoba untuk mempengaruhi segi kejiwaan pasukan yang datang ke Tanah Perdikan yang menurut laporan, jumlahnya cukup besar."
Ki Panji mengangguk-angguk. Iapun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, "Usahakan, agar hal itu dapat dilakukan."
Perintahpun telah merambat kepada para pemimpin pengawal. Dalam waktu yang singkat, maka berpaculah para penghubung berkuda ke padukuhan-padukuhan yang berada di garis paling depan. Memang hampir disetiap pedukuhan terdapat bende sebagai bagian dari gamelan yang dimiliki oleh padukuhan itu.
Perintah itu memang tidak diduga sebelumnya. Namun karena perintah itu langsung diucapkan oleh Ki Mandaraka, maka para pengawalpun telah berusaha untuk melaksanakannya. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, di semua medan telah terdengar suara bende yang menggema bagaikan mengguncang dinding-dinding padukuhan.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang telah menyerang Tanah Perdikan itu terkejut. Terutama pasukan segelas sepapan yang menyerang Tanah Perdikan itu dengan gelar penuh dari sisi Selatan.
"Apakah Kiai Bancak berada di Tanah Perdikan?" bertanya seorang Senapati dari Madiun.
Senapati besar yang memimpin pasukan itu memang menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun berkata, "Bende apapun yang kita dengar suaranya itu, kita tidak menghiraukannya. Kita harus menggempur Tanah Perdikan itu sampai hancur. Kita datang untuk diperbantukan kepada Panembahan Cahya Warastra, sehingga jika ada perubahan rencana, Panembahan Cahya Warastra yang harus mengambil keputusan."
Senapati-senapati bawahannya tidak bertanya lagi. Namun ternyata suara bende itu bagaikan telah mengguncang setiap dada prajurit Madiun. Mereka yang telah pernah mendengar bahwa di Mataram ada sebuah bende yang dapat menjadi pertanda perang memang ragu-ragu. Jika. bende itu ditabuh dan berbunyi nyaring, maka Mataram atau pihak yang mempergunakan bende itu akan memenangkan perang.
Demikianlah, maka jarak antara dua pasukan yang akan bertempur disegala medanpun menjadi semakin dekat. Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Mandaraka, maka suara bende itu memang berpengaruh bagi setiap orang yang sedang menyerang Tanah Perdikan itu.
Namun demikian, ada golongan yang tidak banyak terpengaruh oleh suara bende itu. Orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan dengan maksud yang khusus selain menghancurkan Tanah Perdikan dan membunuh Ki Patih Mandaraka.
Kelompok orang-orang yang memang sebagian besar terdiri dari para perampok yang merasa seakan-akan dapat melakukan tugasnya dengan terbuka dan dilindungi oleh kekuatan pasukan Panembahan Cahya Warastra.
Kelompok orang-orang itulah yang justru pertama kali membentur pasukan pengawal Tanah Perdikan yang memang dipersiapkan untuk melawan mereka. Di Tanah Perdikanpun, bekas orang-orang yang pernah hidup dalam dunia hitam telah menyatakan kesediaan mereka untuk ikut berjuang. Terutama mereka yang telah meninggalkan kehidupan hitam mereka. Kesempatan itu seakan-akan diberikan oleh Tanah Perdikan untuk memperbaiki nama mereka serta kesempatan untuk mengurangi kesalahan yang pernah dilakukannya.
Dengan demikian, maka benturan yang terjadi adalah benturan yang sangat keras. Para pengawal yang dipersiapkan khusus sama sekali tidak terkejut. Merekapun mampu bertempur dengan keras dan kasar sejak benturan pertama. Apalagi mereka yang pernah bertualang dan hidup sebagaimana orang-orang yang menyerang itu. Rasa-rasanya mereka mendapat kegembiraan permainan mereka kembali setelah mereka tinggalkan beberapa lama. Bahkan mereka sempat berada dipihak yang dibenarkan.
Karena itu, maka sejak benturan pertama, maka pertempuranpun telah terjadi dengan kasarnya. Orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itupun berteriak-teriak dan mengumpatrumpat kasar. Namun mereka justru terkejut ketika diantara orang-orang Tanah Perdikan itu ada pula yang melakukannya. Bahkan sambil memutar senjata-senjata mereka yang tidak terbiasa dipakai oleh para pengawal, orang-orang itu menghadang serangan itu sambil memaki-maki dengan kata-kata kotor dan kasar.
Beberapa orang prajurit Madiun serta orang-orang Panembahan Cahya Warastra terkejut. Mereka tidak mengira bahwa pasukannya yang khusus itu akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki tabiat dan sifat yang sama. Sehingga dengan demikian, yang bertemu dalam pertempuran itu seolah-olah adalah dua kelompok penjahat yang berebut kuasa atas satu daerah.
Anak-anak muda dan pengawal Tanah Perdikan yang memang telah dipersiapkan untuk bertempur dalam keadaan seperti itu ternyata mula-mula meskipun tidak terkejut menjadi berdebar-debar pula. Tetapi kemudian mereka tidak mempunyai pikiran lain kecuali bertempur untuk mengusir orang-orang yang telah menyerang Tanah Perdikan.
Anak-anak muda dan pengawal Tanah Perdikan itu berusaha untuk menghentikan serangan itu tidak pada dinding padukuhan. Tetapi merekalah yang keluar dari padukuhan dan menyongsong mereka di bulak persawahan, karena para pengawal mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang itu di padukuhan.
Pada saat yang hampir bersamaan, maka benturan-benturan yang lainpun terjadi. Diarah yang lain, satu kekuatan dari kumpulan beberapa padepokan yang telah menyatakan diri menyatu dengan Panembahan Cahya Warastra ditambah dengan beberapa kelompok prajurit dari Madiun.
Untuk menghadapi mereka, maka sepasukan pengawal telah bersiap pula. Mereka adalah para pengawal dari segala tataran. Dipaling depan adalah para pengawal terlatih yang telah mendapat penjelasan siapakah yang akan mereka hadapi.
Para pengawal Tanah Perdikan itu, meskipun tidak utuh, telah menyusun dari dalam bayangan gelar memanjang. Sekelompok pasukan terpilih berada ditengah dan menjadi induk pasukan. Kemudian dengan pasukan pengapit sebagai induk sayap-sayap pasukan disebelah menyebelah. Selain para pengawal yang telah terlatih dengan matang, maka didalam pasukan itu terdapat pula para pengawal cadangan yang telah memiliki pula pengetahuan keprajuritan serta ilmu mempergunakan senjata. Bahkan telah berada pula didalam pasukan itu adalah pasukan suka rela yang terdiri dari setiap orang yang masih memiliki kemampuan mengangkat senjata. Juga bekas prajurit yang telah melampaui batas usia namun masih tegar. Demikian pula bekas para pengawal Tanah Perdikan sendiri.
Seperti yang direncanakan, maka setelah benturan terjadi, maka para pengawal Tanah Perdikan dapat memperkirakan kekuatan dari kedua belah pihak. Demikian pula pengawal tengah menghadapi kesatuan dari beberapa padepokan yang diperkuat oleh beberapa kelompok prajurit dari Madiun itu.
Ternyata bahwa kekuatan lawan yang juga menebar diperkirakan lebih banyak dari para pengawal dari Tanah Perdikan. Beberapa orang yang mendapat tugas khusus untuk mengatakan hal itu, telah bertindak cepat pula. Yang mula-mula mereka lakukan adalah menghubungi padukuhan terdekat yang masih memungkinkan mengirimkan sejumlah pengawal ke medan. Namun padukuhan itu sendiri tidak boleh dikosongkan sama sekali. Karena setiap saat lawan akan dapat menyusup sampai ke padukuhan itu.
Namun hampir disetiap sudut Tanah Perdikan telah dibayangi oleh para pengawal. Sehingga selain benturan-benturan yang terjadi di medan, maka tidak ada pasukan lain yang menyusup disela-sela padukuhan-padukuhan yang ada di Tanah Perdikan.
Meskipun demikian, pengawasan yang tersebar masih belum ditarik. Hanya mereka sudah mendapat perintah untuk bergerak dengan cepat ke medan terdekat jika diperlukan.
Dalam jumlah yang lebih besar, maka pasukan yang datang dari arah lereng pegunungan itu, berhasil mendesak dengan cepat pasukan pengawal Tanah Perdikan. Para pemimpin pengawal Tanah Perdikan memang tidak berkeras untuk bertahan pada garis mati. Tetapi mereka mengambil kebijaksanaan untuk melangkah surut dalam pertahanan lentur agar pasukan mereka tidak langsung terpecah.
Namun sambil bergerak surut, maka para pemimpin pengawal Tanah Perdikan telah mempelajari sebaik-baiknya kekuatan dan kemampuan lawan. Beberapa orang yang ditugaskan untuk itu disamping pasukan Tanah Perdikan itu memang menunggu datangnya bantuah.
Dalam beberapa saat, bantuanpun telah berdatangan. Tidak sekaligus dalam jumlah yang besar. Tetapi kelompok demi kelompok yang berdatangan dari padukuhan yang tidak menjadi ajang pertempuran, meskipun disetiap padukuhan masih tersisa para pengawal.
Dengan demikian maka jumlah para pengawalpun semakin bertambah. Karena itu, maka kekuatan merekapun menjadi semakin meningkat. Dengan kekuatan yang semakin besar, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu mulai berusaha untuk memantapkan sebuah garis pertahanan.
Beberapa kelompok prajurit dari Madiun yang merasa memiliki ketangkasan bertempur telah berusaha mendesak terus. Namun para pengawal terpilih dari Tanah Perdikanpun memiliki kemampuan prajurit. Karena itu, maka para prajurit Madiun yang diperbantukan kepada Panembahan Cahya Warastra itupun menjadi agak terkejut juga, bahwa kekuatan pasukannya telah membentur pertahanan yang tangguh.
Dengan demikian, maka di medan pertempuran sebelah Barat, kedua pasukan mulai menjadi seimbang. Para pengawal yang menjadi semakin banyak itupun telah berusaha untuk bukan saja memantapkan garis pertahanan. Tetapi merekapun berusaha untuk dapat menekan lawannya.
Para prajurit dan orang-orang padepokan yang sempat dikumpulkan oleh Panembahan Cahya Warastra itupun telah mulai meningkatkan kemampuan mereka pula. Mereka berharap bahwa meskipun jumlah para pengawal masih juga bertambah satu dua orang, namun mereka bukannya orang-orang yang memang sudah terbiasa bermain-main dengan senjata.
Tetapi sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah menjadi semakin sengit. Gelar yang menebar itu benar-benar telah bergejolak bagaikan membakar lereng perbukitan.
Sementara itu, dari arah Selatan pasukan yang kuat dan benar-benar terlatih telah melanda Tanah Perdikan bagaikan gelombang lautan. Pasukan Madiun yang utuh segelar sepapan telah menyerang untuk menggulung pertahanan Tanah Perdikan Menoreh yang meskipun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Meskipun Tanah Perdikan Menoreh sudah memasang gelar yang utuh untuk menghadapi pasukan itu, namun ternyata bahwa jumlah dan bobot prajurit Madiun masih lebih baik dari pasukan Tanah Perdikan.
Pasukan Tanah Perdikan Menonnh yang disusun dalam gelar penuh menghadapi gelar prajurit dari Madiun itu sudah dipilih yang terbaik diantara pasukan pengawal Tanah Perdikan. Meskipun diantara para pengawal terbaik itu ada juga para pengawal cadangan dan mereka yang dengan suka rela ikut bertempur, namun bobot pasukan itu bagi Tanah Perdikan Menoreh, adalah yang paling tinggi.
Ternyata pasukan Madiun yang lengkap itu telah memasang gelar Supit Urang. Dengan gelar tersebut, maka pasukan Madiun yang diperbantukan kepada Panembahan Cahya Warastra itu telah menekankan pada pasukan pengapit yang bertindak sebagai supitnya, dibawah pimpinan Senapati pengapit yang tangguh. Meskipun demikian pasukan induknyapun tidak kalah kuatnya sehingga dalam keseluruhan gelar itu memang sangat berbahaya. Bahkan akan dapat menghisap kekuatan lawan masuk kedalam pelukan pasukan pengapitnya dan akan digilasnya sampai lumat.
Para pengawal Tanah Perdikan yang dipimpin langsung oleh Prastawa telah mengubah gelarnya. Jika semula pasukan pengawal mempergunakan gelar Wulan Tumanggal, maka kedua ujung pasukannya tidak akan mampu menghadapi kekuatan supit urang dari gelar pasukan lawan. Karena itu, maka gelar pasukan pengawal Tanah Perdikanpun telah berubah. Prastawa memerintahkan gelar itu menjadi gelar Garuda Nglayang yang mendukung kekuatan pada sayap-sayap pasukan dengan Senapati pengapit yang terpercaya pula.
Jika saja pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan dapat digerakkan, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu tidak akan mengalami kesulitan, karena didalamnya akan terdapat prajurit-prajurit pilihan dari pasukan khusus. Tetapi Senapati dari Pasukan Khusus itu justru telah menutup pintu regol baraknya. Ia telah menyatakan akan menyapu bersih pasukan hanya yang memasuki baraknya. Pasukan khusus itu tidak akan keluar dari barak mereka.
Meskipun demikian, pasukan pengawal Tanah Perdikan tidak gentar. Mereka telah bertekad untuk mempertahankan bukan saja kampung halamannya. Tetapi tamu mereka yang sangat mereka hormati.
Dalam pada itu, dirumah Ki Gede, Ki Mandaraka mulai merenungi keadaan. Meskipun ia tidak mencemaskan dirinya sendiri namun ia berkata kepada Ki Gede, "Aku minta maaf Ki Gede. Ternyata kehadiranku telah membuat Tanah Perdikan ini terbakar. Api telah berkobar dan dinyalakan oleh Panembahan Cahya Warastra yang tamak itu. Bagaimanapun juga aku yakin, bahwa ini bukan perbuatan Panembahan Mas dari Madiun, meskipun ada beberapa bagian dari prajuritnya yang terlibat."
"Ini adalah tanggung jawab kami Ki Patih. Kunjungan Ki Patih adalah satu kehormatan. Tidak ada penyesalan sama sekali apapun yang terjadi. Yang penting bagi kami, bahwa kami harus mampu menjadi tuan rumah yang bertanggung jawab." jawab Ki Gede.
Ki Patih tersenyum. Kiai Gringsing yang menyertaiyapun tersenyum pula. Disisi lain Ki Waskita dan Ki Jayaraga duduk termangu-mangu sedangkan tiga orang bekas perwira Pajang yang hadir juga pada pertemuan itupun merasakan ketegangan yang mencekam Tanah Perdikan itu.
Di halaman Agung Sedayu dan Glagah Putih nampak gelisah. Ketika sekali Agung Sedayu pergi kebelakang, dilihatnya didapur Sekar Mirah telah siap pula menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana dengan para pengawal?" bertanya Sekar Mirah.
"Kita masih menunggu laporan." jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, "Berhati-hatilah. Para pemimpin mereka tentu berusaha untuk sampai ke padukuhan induk ini."
"Kenapa para pemimpin itu tidak berusaha meng"hindar saja?" bertanya Sekar Mirah.
"Mereka justru menunggu. Jika kesempatan itu datang, kita memang dihadapkan pada dua kemungkinan. Hancur atau menghancurkan." berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun tongkat baja putihnya telah terselip pada ikat pinggang mencuat dipunggungnya.
Ketika Agung Sedayu kemudian kembali ke halaman, dua orang petugas pribadi Ki Patih memang sedang memberikan laporan. Pertempuran di dua medan di dua arah dari Tanah Perdikan ini nampak seimbang. Namun menurut laporan seorang petugas sandi kekuatan prajurit Madiun yang dari Selatan sangat besar.
Ki Patih mengangguk-angguk. Namun katanya, "Bagaimana dengan para pemimpin mereka?"
"Dua orang pengamat melihat mereka dengan kelompok pengawalnya sedang menuruni bukit. Mereka menunggu jika seluruh Tanah ini telah terbakar oleh api pertempuran. Nampaknya mereka yakin bahwa pasukan mereka akan mampu menerobos masuk dan menghancurkan setiap padukuhan yang ada di Tanah Perdikan ini." jawab salah seorang dari keduanya.
Ki Patih berpaling kepada Ki Panji Wiralaga yang ada di halaman itu juga. Nampak wajah Ki Panji menjadi tegang. Namun ia masih juga berkata, "Kita akan menunggu perkembangan terakhir. Masih ada pasukan cadangan di pedukuhan induk ini yang akan mampu digerakkan."
Sementara itu Ki Jayaragapun berkata, "Kami masih disini. Bukankah perintah itu dapat diberikan kepada kami?"
Tetapi Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "kita menunggu tamu-tamu terhormat kita yang lain, yang tentu akan datang kemari. Kita tidak tahu, berapa padepokan yang sempat dihimpun oleh Panembahan Cahya Warastra itu."
Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Namun bagaimanapun juga ia masih merasa tegar karena ia masih melihat sepasukan pengawal di padukuhan induk. Namun menurut pendapatnya, jika pasukan disisi Selatan itu benar-benar mengalami kesulitan, justru pasukan di padukuhan induk itu dapat dikurangi jumlahnya.
Namun pasukan pengawal disisi Selatan itupun telah berusaha untuk mengisi kekurangan jumlahnya seperti di medan yang lain. Para pengawal dari padukuhan-padukuhan terdekat yang masih belum dihimpun dalam pasukan pengawal yang mendapat tugas-tugas tertentu telah dihisap pula ke medan.
Dalam benturan yang kemudian terjadi, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh memang tidak dapat bertahan pada garis pertahanan yang telah disusun. Perlahan-lahan mereka bergeser surut memasuki bulak yang panjang, sehingga pertempuran telah terjadi diatas hamparan tanaman padi yang hijau.
Sementara pertempuran itu berlangsung, maka di lereng bukit Panembahan Cahya Warastra bersama beberapa orang pemimpin padepokan yang telah menyatakan setia kepadanya masih menunggu laporan. Jika Tanah Perdikan telah kehilangan kemampuan untuk mempertahankan diri, serta para pemimpinnya mulai turun ke medan, maka datang saatnya mereka menghadapinya. Beberapa orang telah mendapat tugasnya masing-masing. Sementara Panembahan Cahya Warastra sendiri ingin membunuh Ki Patih Mandaraka. Orang yang dianggap sebagai lanjaran kekuatan Mataram. Tanpa Mandaraka, maka Mataram bagaikan kehilangan tulang-tulang kekuatannya.
Disisi Utara, sekelompok orang-orang yang kasar telah menjadi semakin liar. Semakin tinggi matahari di langit, serta keringat yang mulai membasahi tubuh mereka, maka merekapun telah kehilangan kendali. Para prajurit Madiun yang berada bersama merekapun telah menjadi gelisah melihat cara mereka bertempur. Teriakan-teriakan kotor dan kata-kata tidak pantas didengar. Namun ternyata bebepa orang yang ada didalam pasukanTanah Perdikan telah mengimbanginya dengan cara yang sama. Dengan demikian maka pertempuran di sisi Utara itupun telah berlangsung dengan keras dan kasar. Mereka hampir tidak mengenal bentuk gelar sama sekali. Mereka bertempur asal saja bertempur dibenturan manapun juga.
Para pengawal Tanah Perdikan untungnya telah dipersiapkan benar-benar menghadapi cara itu, sehingga mereka saka sekali sudah tidak terkejut lagi mendengar teriakan-teriakan kasar serta tingkah laku yang tidak wajar. Juga jenis-jenis senjata yang tidak terbiasa dipergunakan.
Karena itulah, maka orang-orang yang tergesa-gesa ingin menerobos masuk dan menguasai padukuhan demi padukuhan dengan niat yang lain itu sulit untuk dapat bergerak maju. Bahkan kelompok kelompok kecil dari padukuhan sebelah menyebelah yang datang membantu telah membuat kedudukan para pengawal menjadi semakin kuat.
Pemimpin prajurit Madiun yang tergabung atas pasukan yang menyerang Tanah Perdikan itu memang men"jadi heran. Seolah-olah pasukan pengawal Tanah Perdikan itu seluruhnya mempunyai tabiat dan tingkah laku seperti itu.
Ketika pemimpin prajurit itu sempat bertemu dengan pemimpin pengawal Tanah Perdikan, maka Senapati dari Madiun itu menggeram, "Jadi inikah ujud dan watak pengawal Tanah Perdikan yang terkenal itu?"
Pemimpin pengawal itu tertawa. Katanya, "Jika kau sempat hidup dan dapat kembali kesarangmu, berbicaralah dengan kawan-kawanmu yang ada di medan sebelah Barat dan Selatan. Apakah mereka juga menjumpai gaya perang seperti sekarang yang kau lihat ini."
"Apa maksudmu" Seandainya tidak, bagaimana Tanah Perdikan dapat tepat menunjuk orang-orang gila ini untuk bertemu dengan pasukan yang mamang khusus ini?"
"Itulah kelebihan pasukan sandi kami." jawab pengawal Tanah Perdikan itu, "Kami tahu pasukan yang mana yang akan ditempatkan di Tanah Perdikan ini. Dari ujud dan perlengkapan kalian, maka kami sudah dapat membaca watak dari pasukan ini. "
"Setan kau." geram Senapati itu.
Pemimpin pengawal yang telah terlatih sehagaimana seorang prajurit itu tidak menjawab lagi. Dengan demikian maka keduanya justru telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Bukan saja kedua orang pemimpin pasukan itu. Tetapi juga seluruh pasukan yang berhadapan di tempat itu. Tetapi Senapati dari Madiun itu mempunyai keyakinan, tentu pasukan sandi dari Mataram telah ikut campur.
Namun ia tidak sempat lagi terlalu banyak memikirkannya. Pertempuran semakin lama menjadi semakin keras, sehingga teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kotor rasa-rasanya telah menggetarkan udara.
Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya di beberapa arah, maka sebagian dari para pengawal masih sempat untuk mengatur para pengungsi yang meninggalkan padukuhan, terutama yang terdekat dengan garis pertempuran. Mereka telah dikawal pergi ke beberapa padukuhan yang memang sudah dipersiapkan. Bahkan meskipun di garis pertempuran para pengawal Tanah Perdikan masih selalu memerlukan tambahan kekuatan, namun perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak tetap diperhitungkan.
Pertempuran disisi Utara dan disisi Barat tidak banyak mengalami kesulitan. Pasukan pengawal Tanah Perdikan berhasil menahan gerak maju lawan mereka yang kuat. Teriyata meskipun persiapan untuk mempertahankan Tanah Perdikan itu hanya dilakukan dalam dua hari, namun pengawal Tanah Perdikan yang terlatih baik itu tidak mengecewakan.
Di rumah Ki Gede para pemimpin dan orang-orang tua masih tetap tenang, meskpun Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Panji Wiralaga dan Ki Lurah Branjangan nampak gelisah. Sementara itu ternyata ada pula para pengungsi yang telah langsung memasuki padukuhan induk. Mereka yang mempunyai sanak kadang di padukuhan induk, agaknya telah langsung mengungsi ketempat sanak kadang mereka.
Para pengawalpun telah disibukkan pula oleh para pengungsi. Namun para pengawal itu tidak ingin membuat mereka menjadi semakin gelisah.
Pertempuran yang paling berat terjadi disisi Selatan. Pasukan segelar sepapan dari Madiun yang maju dengan gelar Sapit Urang, sulit dibendung oleh para pengawal Tanah Perdikan yang mempergunakan gelar Garuda Nglayang. Setapak demi setapak pertahanan para pengawal Tanah Perdikan itu terdesak. Mereka mundur terus melintasi bulak panjang yang menjadi padang ilalang berdaun pedang.
Ketika laporan dari medan masih juga menyebutkan kesulitan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka kedua orang pembantu pribadi Ki Mandaraka itupun telah bersiap dengan kudanya. Kepada Ki Panji Wiralaga seorang di antara mereka berkata, "Aku harus menelusuri kelambatan ini."
"Tidak ada gunanya." berkata Ki Panji.
"Tetapi kami tahu pasti, apa yang terjadi." jawab salah seorang dari mereka.
Namun sebelum keduanya meninggalkan halaman, maka telah datang dua orang penghubung yang dengan tergesa-gesa ingin berbicara dengan Ki Panji Wiralaga.
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Panji.
"Air Kali Praga tiba-tiba telah menjadi besar. Agaknya hujan disebelah Utara cukup lebat." jawab penghubung itu.
"Lalu?" desak Ki Panji.
"Rakit-rakit itu agak kesulitan menyeberang." jawab penghubung itu.
"Tetapi bagaimana sekarang?" Ki Panji tidak sabar lagi.
"Rakit rakit itu sudah selamat sampai keseberang, tetapi melampaui titik sasaran." jawab penghubung itu pula.
Ki Panji Wiralaga menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian telah menghadap Ki Patih Mandaraka untuk meneruskan laporan itu.
Ki Patih mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Mudah-mudahan ada perbaikan di medan. Tetapi pengamatan terhadap para pemimpin mereka harus tetap dilaksanakan dengan saksama. Ada tanda-tanda bahwa mereka akan langsung menuju ke padukuhan induk."
"Nampaknya memang demikian Ki Patih." sahut Ki Panji Wiralaga. Yang kemudian katanya pula, "Bagaimana perintah Ki Patih selanjutnya?"
"Lakukan sebagaimana direncanakan." perintah Ki Patih Mandaraka.
"Baiklah Ki Patih. Aku sendiri akan pergi ke medan." sahut Ki Panji Wiralaga.
Ki Patih tidak mencegahnya. Tetapi ia justru mengangguk kecil.
Sejenak kemudian, maka Ki Panji Wiralaga dengan beberapa orang pengawal serta penghubung yang memberikan laporan tentang rakit-rakit yang menyeberang itu telah berpacu diatas punggung kuda.
Sementara itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan di sisi Selatan memang benar-benar telah mengalami kesulitan. Pasukan Madiun yang kuat dan utuh, telah mendorong pasukan Tanah Perdikan dengan cepat. Korbanpun mulai jatuh. Beberapa orang telah diusung meninggalkan medan karena luka-lukanya.
Dalam keadaan yang semakin sulit dan mendesak itu, tiba-tiba telah terdengar antara bende yang telah mengendor kembali bergaung. Sedangkan disela-sela suara bende telah terdengar suara sangkakala yang melengking tinggi, ditimpa garangnya suara genderang yang bagaikan menggetarkan udara.
Isyarai itu telah bergelora disetiap hati para pengawal Tanah Perdikan yang telah berjuang dengan gagah berani. Isyarat itu memang harus menjadi aba-aba langkah-langkah yang telah direncanakan.
Karena itu, maka telah terdengar aba-aba yang keras melengking di medan, sambung bersambung. Panglima pasukan yang melontarkan aba-aba itu telah disaut oleh setiap pemimpin kelompok dalam pasukan Tanah Perdikan yang menyusun diri dalam gelar Garuda Nglayang.
Pasukan dari Madiun memang terkejut. Tetapi mereka tidak sempat menebak teka-teki yang mereka hadapi meskipun mereka tidak dapat mengabaikannya. Karena itu, ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan surut dengan cepat, maka pasukan Madiun tidak melepaskannya. Bahkan supit-supit dari gelarnya telah berusaha untuk bergerak lebih cepat dan menjepit sayap-sayap gelar Garuda Nglayang.
Tetapi tiba-tiba saja pasukan Madiun yang mendesak dengan cepat itu sempat terkejut. Meskipun mereka sudah mendengar dan memperhitungkan satu kemungkinan lain akan terjadi, namun ketika tiba-tiba saja muncul pasukan segelar sepapan yang lain bahkan lengkap dengan pertanda panji-panji, kelebet, rontek dan umbul-umbul pada tunggul-tunggul kerajaan dari padukuhan dihadapan mereka, maka gelar Supit Urang itu telah terhenti.
Balas " On 17 Juni 2009 at 14:50 Mahesa Said:
Namun gerak surut pasukan Tanah Perdikan tidak berhenti. Perlahan-lahan pasukan Tanah Perdikanpun bergerak mundur, sementara pasukan yang keluar dari padukuhan dengan segala macam isyarat kebesaran, suara bende dan sangkakala serta gemuruhnya genderang telah maju terus.
Panglima pasukan dari Madiun memang memerintahkan pasukannya berhenti. Dari segala macam pertanda diketahui dengan jelas bahwa pasukan itu adalah pasukan Mataram.
"Apakah pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan mengingkari janji?" bertanya Panglima pasukan Madiun itu kepada Senapati pembantunya.
"Aku yakin tidak." jawab Senapati itu.
"Tetapi kita berhadapan dengan pasukan Mataram. Betapapun cepatnya gerak pasukan Mataram, tidak akan mungkin sepagi ini mereka sudah berada disini. Seandainya pagi ini seorang penghubung menyampaikan kehadiran pasukan Madiun disini, maka tentu memerlukan waktu untuk membawa pasukan itu kemari." berkata Panglimanya.
"Apakah ada seorang perwira yang sangat berpengaruh telah memaksa pasukan khusus itu keluar dari baraknya?" desis Senapati itu.
Namun satu kenyataan sudah ada dihadapan mereka. Pasukan Mataram yang bergerak maju. Kemudian pasukan Madiun itu melihat pasukan Mataram dan pasukan Tanah Perdikan yang mundur itu siap bergabung.
"Kita manfaatkan kesempatan ini." berkata Panglima pasukan dari Madiun itu, "justru saat-saat sulit bagi kedua pasukan itu."
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja Panglima pasukan Madiun itu telah menjatuhkan perintah untuk menyerang tanpa merubah bentuk gelarnya, karena Panglima itu akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Sejenak kemudian, maka pasukan Madiun dalam gelar Supit Urang telah bergerak dengan cepat menyerang pasukan lawan yang menurut perhitungan pasukan Madiun sedang berusaha saling menyesuaikan diri dan membentuk gelar yang lebih baik.
Tetapi dugaan para Senapati Madiun itu salah. Demikian pasukan Madiun itu menyerang, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh dengan cepat seakan-akan telah menghilang menyusup diantara pasukan Mataram, sehingga sejenak kemudian yang berhadapan adalah prajurit Madiun dan Mataram.
Pasukan dari Madiun yang digerakkan oleh Panembahan Cahya Warastra itu tidak sempat merubah gerakan mereka. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada langsung membentur kekuatan prajurit Mataram, sementara para pengawal Tanah Perdikan bagaikan telah hilang lenyap kedalam gelar pasukan Mataram.
Demikian pasukan Tanah Perdikan Menoreh lenyap, maka yang nampak kemudian adalah prajurit Mataram dalam gelar yang menggetarkan dari sepasukan prajurit segelar sepapan. Namun yang jumlahnya memang lebih kecil dari prajurit Madiun. Meskipun demikian, setiap orang tahu, bobot kemampuan para prajurit Mataram.
Demikian pasukan Tanah Perdikan lenyap kebelakang gelar, prajurit Mataram, maka Gelar Dirada Meta itupun mulai bergerak seirama dengan derap genderang yang semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya gelar yang berbentuk bulat telor itu bagaikan bergulir dengan cepat.
Para prajurit Madiunpun ternyata adalah prajurit yang cukup terlatih. Dengan cepat gelar Supit Urang itu telah kuncup, Kedua kekuatan pada supit disebelah menyebelah telah bergerak dengan cepat mendekati induk pasukan, sehingga siap menerkam gelar lawan yang berbentuk bulat dari dua sisi.
Benturan yang terjadi kemudian adalah benturan yang keras sekali. Dua pasukan prajurit yang benar-benar terlatih. Meskipun jumlah prajurit Mataram lebih sedikit, namun ternyata Gelar Dirada Meta itu benar-benar telah mengguncang seluruh gelar pasukan dari Madiun.
Namun dengan ketangkasan yang tinggi dari para Senapati pengapit, maka kedua supit disebelah menyebelah dari gelar Supit Urang itu telah menghantam pasukan Mataram dari kedua sisinya.
Sejenak kemudian pertempuranpun telah terjadi dengan keras. Kedua pasukan telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak lawannya. Sementara itu gelar pasukan Madiun memang telah berkerut, karena Mataram dengan gelarnya hanya mempunyai batas permukaan yang tidak terlalu luas, yang sangat sesuai dengan gelar dari pasukan yang jumlahnya lebih kecil, tetapi mempunyai kemampuan pribadi setidak-tidaknya seimbang.
Tetapi ternyata pasukan Madiun tidak berani menggerakkan supitnya melingkar memeluk dan menelan gelar lawannya yang bulat. Sementara benturan itu terjadi, maka telah terjadi gejolak pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang nampaknya telah merubah gelarnya pula.
Prastawa yang melihat pasukan pengapit pada gelar prajurit Madiun itu telah terhisap pula dalam pergumulan melawan prajurit Mataram, maka Prastawa telah merubah gelar pasukannya dengan gelar Wulan Tumanggal. Ia berharap kedua ujung tajamnya bulan sabit akan dapat menusuk dan memotong tangkai supit dari gelar Supit Urang pasukan Madiun.
Ternyata pasukan inti dari para pengawal Tanah Perdikan itupun memiliki ketangkasan para prajurit. Dalam waktu yang singkat, maka pasukan pengawal itu telah tersusun dalam gelar yang mapan, sementara para pengawal cadangan dan mereka yang dengan suka rela ikut dalam pasukan itu berusaha untuk menyesuaikan diri.
Namun induk pasukan dalam gelar Wulan Tumanggal yang tidak begitu tebal, serta di kedua ujung bulan sabit yang tajam itu, terdiri dari para pengawal pilihan yang dapat disejajarkan dengan baik prajurit Mataram sendiri maupun prajurit Madiun.
Demikianlah, maka Prastawapun dengan cepat pula telah memerintahkan pasukan itu untuk kembali menuju ke medan. Dalam gelar Wulan Tumanggal, maka Prastawa mencari celah-celah medan untuk membantu pasukan Mataram yang jumlahnya memang lebih sedikit.
Namun bersama prajurit Mataram, maka jumlah pasukan gabungan itupun telah melampaui jumlah prajurit Madiun.
Ki RanggaLengkaradanKi Lurah Sabawa ternyata ada didalam gelar Dirada Meta itu. Demikian pula, ketika Ki Panji memasuki gelar itu pula, maka pimpinan memang beralih ketangan Ki Panji Wiralaga.
Ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan telah melibatkan diri pula dalam gelar tersendiri yang merangkapi gelar prajurit Mataram, maka pasukan Madiun memang segera mengalami kesulitan. Tetapi merekapun terdiri dari prajurit pilihan yang telah memasuki daerah lawan yang menurut rencananya harus dihancurkan. Dengan demikian, maka gejolak didalam dada para prajurit Madiun itupun ternyata tidak mudah digoyahkan.
Namun dalam pada itu, suara sangkakala, genderang dan sorak para prajurit disaat terjadi benturan kekuatan bagaikan membelah langit menjadi semakin mereda, maka suara bende justru terdengar semakin bergaung memantul lereng-lereng perbukitan dan menggaungkan gema yang mendebarkan jantung para prajurit Madiun. Bahkan beberapa orang diantara mereka memastikan, bahwa bende Kangjeng Kiai Bancak, salah satu pusaka Mataramberada di Tanah Perdikan Menoreh untuk menilai akhir dari pertempuran itu.
Demikianlah keseimbangan pertempuran itupun segera berubah. Pasukan Madiun tidak lagi mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi justru pasukan Madiunlah yang harus menyusun garis pertempuran yang lentur dengan gelar Supit Urangnya.
Dalam pada itu, maka laporan tentang perubahan keseimbangan itupun telah pula sampai kepada Panembahan Cahya Warastra yang mengumpat sejadi-jadinya. Mula-mula iapun menuduh, bahwa Pasukan Khusus Mataram telah ingkar janji. Namun akhirnya iapun tahu bahwa pasukan itu bukan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Dengan demikian maka Panembahan Cahya Warastra itu harus mengakui kenyataan tentang kecepatan gerak pasukan sandi Mataram.
"Luar biasa." geram Panembahan itu, "aku kira, gerak cepat yang kita lakukan, luput dari pengamatan petugas sandi dari Mataram. Namun ternyata bahwa disaat pasukan Madiun ada di Tanah Perdikan ini, pasukan Matarampun telah berada disini pula."
Para pemimpin padepokan yang telah dapat dipengaruhinya itupun mengangguk-angguk. Kenyataan itu memang harus dihadapinya. Pasukan Madiun yang diharapkan akan dapat menentukan akhir dari perjuangan Panembahan Cahya Warastra untuk membunuh Ki Patih Mandaraka ternyata telah menghadapi perlawanan yang keras dari para prajurit Mataram.
Dengan demikian, maka tusukan yang dilakukan oleh Panembahan Cahya Warastra dari tiga arah, tidak segera mampu menembus pertahanan Tanah Perdikan. Pasukan yang sebagian besar terdiri dari unsur padepokan dengan landasan ilmu dari perguruannya yang berbeda-beda, diperkuat oleh beberapa kelompok prajurit Madiun, telah tertahan dilereng pegunungan. Jika semula mereka bagaikan roda yang menggelinding di jalan yang menurun, ternyata telah membentur batu sehingga dengan tiba-tiba telah terhenti, dan bahkan telah terjadi tekanan balik dari kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.
Pertempuran di lereng bukit itu telah terjadi dengan sengitnya. Pola pertempuran yang berbeda-beda itu telah dihahapi oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki kesatuan bentuk pola kemampuan ilmu. Namun yang telah dikembangkan secara pribadi sebagaimana diarahkan oleh Agung Sedayu yang pada dasarnya tidak ditempa didalam kesatuan keprajuritan.
Dengan demikian maka pertempuran yang bagi para pengikut beberapa perguruan itu lebih banyak bersifat pribadi, sama sekali tidak menyulitkan para pengawal Tanah Perdikan. Namun sebaliknya, para prajurit Madiun yang biasa bertempur dalam kesatuan kelompok mereka, juga bukan hentakan yang mampu menggoyahkan pertahanan para pengawal Tanah Perdikan.
Diarena pertempuran yang lain, pasukan Tanah Perdikan justru bagaikan menjadi kuda lepas dari ikatan. Jika mereka selalu berada dalam keterikatan paugeran didalam segala tingkah laku dan perbuatan maka tiba-tiba saja mereka mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari segala keterikatan itu dan berbuat ada saja sesuka hati. Dipengaruhi oleh suasana yang keras dan kasar, maka seluruh arena pertempuran itupun memang menjadi keras, kasar dan bahkan liar.
Namun pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak mendesak. Apalagi semakin lama jumlah para pengawal Tanah Perdikan menjadi semakin banyak. Namun ada diantara mereka yang tidak segera dapat menyesuaikan diri. Mereka yang diperbantukan oleh padukuhan-padukuhan terdekat yang tidak secara khusus mendapat pesan-pesan dan petunjuk tentang sifat dan watak lawan, memang terkejut menghadapi kenyataan itu. Bahkan mereka sempat merasa heran melihat tingkah dan tata gerak kawan-kawannya sendiri. Namun secara khusus pula beberapa orang telah memberikan sekedar keterangan singkat tentang apa yang terjadi di medan itu.
"Jika hatimu tidak sampai untuk melakukannya, maka berusahalah bertahan jika kau diserang. Jangan banyak terpengaruh dengan ujud dan sikap. Kalian adalah pengawal yang sedang melakukan tugas di medan perang. Itulah pegangan kalian hadir disini."
Para pengawal itupun kemudian telah mengatur getar jantung mereka. Mereka mulai menutup telinga mereka tanpa mendengarkan umpatan-umpatan kasar serta makian yang tidak pantas didengar. Namun ujung-ujung senjata mereka telah bergetar.
Sebagian besar dari mereka yang datang kemudian itu memang lebih banyak menunggu. Jika lawan datang menyerang, maka mereka telah bertahan, dengan kesadaran seorang pengawal di medan perang. Apapun yang dilakukan oleh lawan mereka.
Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu memang benar-benar menjadi semakin marah sehingga mereka bukan saja mengumpat sebagai kebiasaan, tetapi benar-benar ungkapan kemarahan karena mereka tidak segera dapat memecahkan pertahanan lawan. Mereka tidak segera dapat menerobos memasuki padukuhan-padukuhan untuk merampok harta benda yang tentu masih terdapat dirumah-rumah yang ditinggalkan mengungsi oleh penghuninya.
Namun sebenarnyalah bahwa di setiap padukuhan yang ditinggal mengungsi, masih juga ditunggui oleh sekelompok pengawal yang siap bertempur meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Bahkan ternyata bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang juga memanfaatkan orang-orang yang pernah bertualang dalam dunia gelap, perlahan-lahan berhasil mendesak lawan mereka selangkah demi selangkah menjauhi padukuhan.
Para prajurit Madiun yang ada didalam pasukan itupun merasa heran atas daya tahan pasukan pengawal Tanah Perdikan yang nampaknya tidak banyak terpengaruh oleh sikap orang-orang yang kasar dan bahkan liar itu. Malahan para prajurit Madiun itulah yang merasa tidak betah untuk mendengarkan kata-kata kotor yang terlontar di medan perang itu.
Sedangkan di medan ketiga, di batas Selatan, pasukan Tanah Perdikan yang tergabung dengan prajurit Mataram hampir dapat memastikan diri, bahwa pasukan Tanah Perdikan itu akan dapat menghalau dan bahkan jika perlu menghancurkan lawannya. Betapapun garangnya prajurit yang datang dari Madiun, namun jumlah pasukan Tanah Perdikan memang lebih banyak.
Dengan demikian, berdasarkan atas laporan yang sampai kepada Ki Patih Mandaraka, maka orang-orang yang berada dirumah Ki Gede itupun telah menjadi lebih tenang. Namun demikian, dua orang petugas sandi Mataram yang disertai pengamat dari Tanah Perdikan telah memberikan laporan bahwa masih ada sekelompok pasukan dari Madiun yang belum mulai memasuki arena pertempuran. Mereka berada di lereng bukit, disebelah Selatan pasukan Madiun yang telah diturunkan. Pasukan yang sebagian terdiri dari orang-orang padepokan yang telah dipengaruhi oleh Panem"bahan Cahya Warastra.
"Siapakah mereka menurut pengamatan kalian?" bertanya Ki Patih langsung kepada para petugas sandi.
"Mereka adalah pimpinan tertinggi dari pasukan Madiun yang datang ke Tanah Perdikan." jawab petugas sandi itu.
"Kenapa kau dapat mengambil kesimpulan sperti itu?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Mereka nampaknya memutuskan segala sesuatu. Beberapa orang hilir mudik memberikan laporan dan me"nunggu perintah. Pengawalan yang baik dan tertib, serta sikap orang-orang itu sendiri." jawab petugas sandi itu.
"Awasi mereka." perintah Ki Mandaraka. Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi apakah pengawal mereka cukup kuat dan jumlahnya cukup banyak."
"Ada beberapa kelompok prajurit Madiun dan beberapa orang yang nampaknya berilmu sangat tinggi." jawab petugas sandi itu.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Pergilah. Siapkan petugas rangkap untuk mengamati orang-orang itu."
Petugas sandi itupun kemudian telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk melihat apa yang telah terjadi atas sekelompok orang yang menurut perhitungannya adalah justru para pemimpin dari Madiun.
Seorang kawannya yang masih selalu mengawasi merekapun kemudian memberitahukan bahwa belum ada gerakan yang nampaknya penting dilakukan oleh orang-orang itu.
Namun sepeninggal para petugas sandi itu, Ki Mandaraka berkata kepada Ki Gede, "Mereka adalah para pemimpin dari Madiun yang tentu akan berusaha dapat bertemu langsung dengan kita. Karena itu, maka penjagaan di padukuhan induk harus diperketat. Setidak-tidaknya pasukan pengawal yang ada disini harus dapat menahan para prajurit Madiun yang mengawal para pemimpin itu. Biarlah para pemimpin itu langsung kita terima sendiri. Mungkin ada manfaatnya bertemu dengan mereka."
"Baik Ki Patih." sahut Ki Gede, "kami akan mengatur sebaik-baiknya."
"Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak membiarkan terlalu banyak korban jatuh untuk menghalangi pasukan yang akan membawa para pemimpin dari Madiun itu ke padukuhan induk. Meskipun pasukan itu nampaknya kecil, tetapi karena didalamnya terdapat orang-orang berilmu tinggi, maka kelompok-kelompok pasukan yang ada di padukuhan-padukuhan mencoba menghentikan mereka, maka pasukan itu tentu akan disapu bersih tanpa sisa." berkata Ki Patih Mandaraka.
"Baik Ki Patih." jawab Ki Gede.
"Kitapun tidak akan menunggu disini. Kita akan berada diregol padukuhan. Para pemimpin dari Madiun itu setelah yakin, bahwa pasukannya tidak akan mampu memecahkan pertahanan Tanah Perdikan, maka mereka akan segera bergerak. Mereka tentu mempergunakan perhitungan mereka kedua. Jika semula mereka akan menghancurkan para pengawal dan menguasai Tanah Perdikan seluruhnya baru memaksa kita untuk menyerah serta kemudian membunuh kita, maka mereka akan mempergunakan rencana yang sebaliknya. Mereka tentu akan berusaha menghancurkan para pemimpin Tanah Perdikan untuk memaksa pasukan pengawal Tanah Perdikan dan Mataram menyerah, kemudian menguasai Tanah Perdikan. Tetapi kita tahu pasti, bahwa tujuan utamanya bukan menguasai Tanah Perdikan, tetapi membunuh aku, karena aku dianggap orang yang selama ini selalu menghasut Panembahan Senapati untuk melakukan langkah-langkah yang bertentangan dengan kepentingan Madiun." berkata Ki Patih kemudian. Lalu katanya, "Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa. Yang harus segera dilakukan adalah membuka jalan bagi mereka, orang-orang berilmu tinggi itu, agar korban tidak berjatuhan."
Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Ki Patih Mandaraka, maka Ki Gedepun telah memerintahkan dua orang penghubung untuk menghubungi para pengawal di setiap padukuhan yang mungkin dilalui kelompok khusus dari lereng bukit. Namun kedua orang penghubung itu juga minta kepada para penghubung di setiap padukuhan untuk menyampaikan perintah itu kepada padukuhan lain yang berdekatan.
Dengan demikian maka perintah itupun segera merata. Jika para pengawal yang berada disepanjang jalan, yang berada di bendungan, di gejlik, disimpang empat atau dimana saja para pengawal itu tersebar.
Sebenarnyalah bahwa perhitungan Ki Patih Mandaraka itu tepat. Panembahan Cahya Warastra segera memerintahkan kepada orang-orangnya untuk mengetahui, apakah ada pemimpin Tanah Perdikan yang berada di medan yang manapun juga, atau tidak.
Beberapa orang pembantunya terdekat telah bersiap-siap untuk melakukan langkah akhir yang menentukan dalam usaha mereka membunuh Ki Patih Mandaraka yang kebetulan sedang melawat di Tanah Perdikan Menoreh.
"Perang ini harus dapat kita selesaikan hari ini." berkata Ki Cahya Warastra.
"Jika disaput malam?" bertanya pembantunya.
"Kita tidak terikat paugeran perang. Kita tidak harus mentaati semacam ketentuan bahwa jika matahari terbenam, perang harus berhenti dulu dilanjutkan esok pagi." jawab Panembahan Cahya Warastra.
"Tetapi apakah pasukan dari kesatuan prajurit Madiun akan dapat mengerti?" bertanya seorang yang lain.
"Panglimanyalah yang harus meyakinkan mereka." berkata Panembahan itu pula.
Sejenak kemudian, maka para penghubung telah berdatangan. Ternyata di segala medan, masih belum turun para pemimpin tertinggi Tanah Perdikan. Apalagi Ki Patih Mandaraka.
"Bagus." berkata Panembahan Cahya Warastra, "mereka tentu bersembunyi di padukuhan induk. Mereka mengira bahwa mereka akan tenang berlindung di padu"kuhan induk itu."
"Maksud Panembahan?" bertanya seorang pembantunya.
"Kita akan pergi ke padukuhan induk. Ingat nama-nama yang harus kalian selesaikan. Disini ada beberapa orang berilmu tinggi. Jika kalian tidak dapat menyelesaikan tugas ini, maka kita tidak akan pernah kembali lagi ke Madiun. Lebih baik berkubur di Tanah Perdikan ini daripada tidak berhasil membawa mayat Ki Patih Mandaraka menghadap Panembahan Mas." berkata Panembahan Cahya Warastra.
Orang-orang yang pernah disebut namanya dengan tugas tertentu memang merasa gembira. Mereka seakan-akan dihadapkan pada satu kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka masing-masing dengan harapan untuk memperoleh imbalan dalam bentuk apapun. Mungkin harta benda, mungkin hak atas tanah yang luas bukan saja sebagai padepokan, tetapi sebagai Tanah Perdikan. Atau imbalan-imbalan lain yang dapat memberikan kebanggaan bagi perguruannya sehingga dengan demikian perguruannya akan menjadi bertambah besar.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekelompok pengawal yang berada bersama para pemimpin tertinggi dari Madiun itupun segera bersiap. Dengan nada tinggi panembahan Cahya Warastra berdesis sebagaimana telah diucapkan pula oleh Ki Patih Mandaraka, "Kita ambil jalan kedua. Kita tundukkan lebih dahulu para pemimpin Tanah Perdikan yang sebenarnya tidak penting, karena sasaran utama kita adalah kematian Ki Patih Mandaraka."
Pasukan kecil itupun segera mempersiapkan diri. Beberapa orang penghubung telah melakukan hubungan terakhir serta memberitahukan baha Panembahan Cahya Warastra telah menempuh rencana kedua.
Baru sejenak kemudian, Panembahan Cahya Warastra memerintahkan pasukan kecil itu bergerak. Bahkan perintahnyapun cukup tegas. Kekalahan yang diderita oleh pasukannya membuatnya sangat garang.
"Bunuh siapa saja yang menghambat perjalanan kita." berkata Panembahan Cahya Warastra.
Pasukan itupun kemudian telah menuruni lereng pebukitan. Tanpa hambatan sama sekali mereka memasuki sebuah padukuhan. Panembahan Cahya Warastra masih melihat beberapa orang pengawal di padukuhan itu. Namun demikian mereka memasuki padukuhan, maka tidak ada perlawanan sama sekali yang menghambat perjalanan mereka. Dengan rancak mereka memasuki pintu gerbang. Menelusuri jalan induk padukuhan. Melewati banjar dan sampai ke pintu jalan yang lain.
"Nampaknya para pengawal sudah mengerti, siapakah kita yang lewat di padukuhan-padukuhan menuju ke padukuhan induk." berkata salah seorang pemimpin kelompok.
Orang-orang itu menjadi kecewa. Bahkan seorang berkata dengan geram, "Jika kita tak menemukan seorangpun, kita bakar saja semua rumah di padukuhan di depan kita."
Tetapi Panembahan Cahya Warastra mendengarnya. Dengan nada marah ia berkata, "Kau akan memberikan kesan, bahwa yang lewat adalah segerombolan perampok?"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi jantungnya memang menjadi berdebar-debar.
"Sudah cukup, pasukan yang datang dari Utara sudah akan memberikan kesan itu. Yang lain tidk perlu." berkata Panembahan itu selanjutnya. Lalu, "Yang dari Utara itupun akan kita giring untuk menghindri perampokan yang luas di Tanah Perdikan ini."
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara itu, pasukan kecil itu berjalan terus, melintasi padukuhan-padukuhan dan bulak-bulak panjang dan pendek. Tidak ada pasukan yang menghentikan mereka disepanjang perjalanan.
"Mandaraka memang seorang yang berotak cemerlang." berkata Panembahan Cahya Warastra, "tentu orang itulah yang mengatur sehigga pasukan Tanah Perdikan yang tidak terlibat pertempuran di medan, dengan sengaja telah menghindari kita."
"Agaknya memang demikian." sahut salah seorang pengikutnya, "karena itu maka agaknya telah membuat orang-orang kita kesal, karena mereka tidak menemukan sasaran."
"Jangan sombong." geram Panembahan Cahya Warastra, "beberapa saat lagi, kau tidak akan berkata demikian. Kita akan mendapatkan kemungkinan yang sama. Membantai atau dibantai."
Orang-orang itu memang terdiam. Mereka mulai merenungi sasaran yang akan mereka hadapi. Di padukuhan induk itu selain Ki Patih Mandaraka terdapat juga Kiai Gringsing. Kemudian yang termasuk angkatan yang masih muda adalah Agung Sedayu. Mereka adalah orang-orang yang mendapat perhatian utama dari Panembahan Cahya Warastra. Beberapa orang yang pernah dikirimkan kepada Orang Bercambuk dan muridnya, ternyata sempat menjajagi ilmunya. Ternyata Orang Bercambuk dan muridnya adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan Aji Panglimunanpun tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu itu.
Demikianlah perjalanan pasukan kecil itu memang tidak terhambat sama sekali. Beberapa padukuhan telah mereka lewati. Karena itu, maka merekapun telah mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan.
Demikian mereka turun ke dalam bulak panjang yang menghadap ke padukuhan induk, maka Panembahan Cahya Warastra telah sekali lagi memberikan peringatan kepada orang-orangnya. Katanya, "Berhati-hatilah, Jangan menganggap orang-orang Tanah Perdikan Menoreh seperti orang-orang padukuhan kebanyakan yang tidak dapat memberikan perlawanan sama sekali kepada orang-orang yang sedikit saja memiliki ilmu kanuragan. Pertempuran yang telah terjadi di tiga arah telah menunjukkan kemampuan yang tinggi dari Tanah Perdikan ini, dengan atau tanpa pra"jurit Mataram."
Para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu mengangguk-angguk. Mereka memang menyadari sepenuhnya bahwa mereka akan memasuki medan yang keras.
Sementara itu, laporan memang telah disampaikan kepada Ki Patih Mandaraka yang berada di rumah Ki Gede, bahwa para pemimpin dari Madiun telah mendekati padepokan induk.
"Kita tidak akan menunggu mereka disini seperti yang telah aku katakana." berkata Ki Patih, "jika padukuhan induk ini menjadi ajang pertempuran, maka keadaannya tentu akan menjadi porak-poranda. Karena itu kita harus mengusahakan agar medan pertempuran terjadi diluar padukuhan."
"Semuanya sudah siap Ki Patih." jawab Ki Gede.
"Jika demikian kita akan segera keluar dari padukuhan. Tentu sebelum mereka memasuki pintu gerbang." berkata Ki Patih kemudian.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan segera mendahului ke regol padukuhan induk. Iapun segera memberikan beberapa perintah, agar para pengawal membangun pertahanan beberapa puluh langkah di luar padukuhan induk.
Ternyata para pengawal Tanah Perdikan memang tangkas. Dalam waktu yang pendek, maka pertahanan itupun telah dibangun dengan mapan, Bukan sebuah gelar yang lengkap. Apalagi jumlah orangnya tidak begitu banyak. Tetapi para pengawal telah memusatkan tiga kekuatan pokok dari pertahanannya. Induk pasukan dan kedua sayap yang menjadi pengapit dari induk pasukan.
Sebenarnyalah dari kejauhan mereka sudah melihat sepasukan kecil lawan yang keluar dari padukuhan diseberang bulak. Memang masih agak jauh. Tetapi iring-iringan itu tentu akan segera sampai ke garis pertahanan.
Agung Sedayu memperhatikan iring-iringan yang masih jauh itu. Sementara itu, Ki Patih diiringi oleh orang-orang tua yang ada di Tanah Perdikan telah berada di regol padukuhan induk.
"Kita menunggu disini." berkata Ki Patih.
"Tetapi bagaimana dengan pertahanan itu" Apakah mereka tidak akan disapu dalam waktu yang pendek?" bertanya salah seorang bekas perwira Pajang yang menjadi tamu Ki Patih Mandaraka itu.
"Kita akan segera memasuki medan jika pertempuran hampir terjadi." berkata Ki Patih. "Tetapi kita memang jangan terlambat."
Beberapa saat kemudian maka benturan pasukan memang tidak dapat dielakkan. Namun dalam pada itu, Panembahan Cahya Warastra masih sempat menghentikan pasukannya. Sambil mengamati lawan Panembahan berkata, "Kita cari Mandaraka itu. Nampaknya ia akan berlindung dibalik timbunan bangkai orang-orang Tanah Perdikan." kemudian katanya kepada para pengawalnya, "mereka adalah umpan yang diberikan kepada kalian. Jangan segan-segan. Mereka harus mati. Aku akan mencari dan harus menemukanpara pemimpin Tanah Perdikan termasuk tamu mereka yang paling terhormat. Ki Patih Mandaraka."
Tetapi Panembahan Cahya Warastra tidak perlu bersusah payah memasuki regol padukuhan induk dan mencari orang-orang yang telah mereka tentukan. Sesaat kemudian, dalam hiruk pikuk pertempuran yang terjadi mereka melihat sekelompok orang memasuki lingkungan peperangan.
Panembahan Cahya Warastra telah menggamit kawan-kawannya. Dengan isyarat sandi yang khusus, maka setiap orang segera mengetahui bahwa yang datang itu adalah orang yang mereka cari. Ki Patih Mandaraka.
Hampir diluar sadarnya Panembahan berkata, "Ternyata kita telah menempuh jalan yang benar. Membiarkan anak-anak bermain. Main tombak dan rantai. Kita yang tua-tua harus tanggap. Kita harus yakin bahwa Aji rog-rog asem dan beberapa jenis kekuatan ilmu yang lain ada bersama mereka. Tetapi kita tidak gentar. Biarlah orang-orang terpenting berhadapan dengan mereka sesuai dengan rencana kita yang sudah tersusun dengan rapi."
Beberapa saat kemudian, pasukan Tanah Perdikan justru mundur beberapa langkah, tetapi tidak sampai ke dinding padukuhan.
Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan telah memasuki pasukan kecil Tanah Perdikan yang sedang mempertahankan padukuhan induk itu.
Pertempuran memang segera terjadi dengan sengitnya. Adalah diluar dugaan orang-orang Madiun, bahwa ternyata Ki Gede sendirilah yang telah berada di induk pasukan Tanah Perdikan itu serta langsung memberikan aba-aba. Ketika pasukan Menoreh yang mundur beberapa langkah itu kemudian membentur pasukan dari Madiun, maka Ki Gede telah berada di ujung pasukannya dengan tombak pusakanya ditangan.
Dengan kesadaran penuh akan keadaan kakinya, maka Ki Gede telah siap menghadapi segala kemungkinan. Disaat-saat senggang ternyata Ki Gede telah mematangkan ilmunya sesuai dengan keadaan kakinya yang telah cacat itu.
Namun dalam benturan pasukan, cacat kaki Ki Gede masih belum nampak. Apalagi oleh orang yang tidak mengenalinya. Tetapi Panembahan Cahya Warastra telah memberikan isyarat akan hal itu, sehingga beberapa orang terpenting diantara para pengikut Panembahan Cahya Warastra telah mengetahuinya dengan baik.
Sementara itu orang-orang yang telah mendapat perintah khususpun telah bersiap-siap. Ki Ajar Cangkring dan Putut Sendawa telah bersiap pula untuk melawan Orang Bercambuk. Sebenarnyalah keduanya merasa agak tersinggung ketika Panembahan Cahya Warastra menunjuk mereka berdua harus bertempur melawan seorang mes"kipun orang itu yang disebut Orang Bercambuk, Mereka masing-masing merasa memiliki kemampuan yang cukup untuk seorang diri melawan Orang Bercambuk itu. Tetapi karena yang mengucapkan perintah itu adalah Panembahan Cahya Warastra, maka mereka lebih baik berdiam diri daripada membantah.
Sedangkan Wreksa Gorapun kecewa bahwa ia hanya sekedar dihadapkan kepada murid Orang Bercambuk. Ia mampu melawan Orang Bercambuk itu sendiri. Bukan sekedar muridnya. Sedangkan orang lain lagi, yang juga merasa memiliki ilmu yang tinggi merasa kecewa, bahwa ia tidak akan mendapat pujian karena dapat membunuh seseorang yang berilmu tinggi diantara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh atau orang-orang Mataram.
Seorang yang berjanggut putih selalu bergeremang. Bahkan katanya, "Aku akan menunggu kesempatan itu dengan mendahului setiap orang yang telab ditunjuk oleh Panembahan. Dalam peperangan seperti ini, mana mungkin seseorang akan dapat mengelakkan lawan yang dihadapannya."
Yang mengejutkan adalah di sayap-sayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Disayap kanan seorang yang masih terhitung muda telah bertempur dengan garangnya. Tidak seorangpun akan menyebutnya Orang Bercampuk itu, karena setiap orang tahu, bahwa orang bercambuk itu adalah orang yang sebenarnya sudah terlalu tua untuk berada di medan. Tetapi orang yang masih terhitung muda itu telah bertempur dengan senjata cambuk.
"Orang itulah murid Orang Bercambuk itu." berkata salah seorang diantara mereka yang berada diantara pasukan lawan.
"Kita harus cepat memberikan laporan ke induk pasukan, bahwa murid orang bercambuk itu kini telah muncul disini." berkata salah seorang dari mereka.
"Setelah pasukan Tanah Perdikan itu mundur bebe"rapa langkah, ternyata mereka telah mengatur diri sebaik-baiknya." berkata yang lain.
Karena itulah, maka untuk mengatasi putaran cambuk Agung Sedayu yang memang telah bergeser ke sayap kanan, itu pemimpin sayap kiri dari Madiun telah menyusun sebuah kelompok kecil yang terdiri dari empat orang pilihan sambil menunggu orang yang ditugaskan untuk menghadapi Agung Sedayu.
Namun ternyata terlalu berat bagi lawan-lawannya untuk menahannya. Cambuknya telah berputaran dan meledak-ledak. Setiap sentuhan ternyata telah melemparkan seorang keluar arena. Lukapun telah menganga dan darah yang panas mengalir dengan derasnya.
Laporan tentang kehadiran murid Orang Bercambuk disayap kanan Pasukan Tanah Perdikan itupun segera sampai kepada Panembahan Cahya Warastra. Karena itu, maka iapun telah memanggil Wreksa Gora dan bertanya, "Apakah kau sudah siap?"
"Tentu Panembahan." jawab Wreksa Gora.
"Musuhmu ada disayap kanan." berkata Panembahan Cahya Warastra.
Wreksa Gora itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan pergi ke sayap kanan."
Orang itu menjadi kecewa. Bahkan seorang berkata dengan geram, "Jika kita tak menemukan seorangpun, kita bakar saja semua rumah di padukuhan didepan kita."
Tetapi Panembahan Cahya Warastra mendengarnya.
"Hati-hati. Murid Orang Bercambuk itu menyimpan sebangsal ilmu didalam dirinya. Bahkan lebih lengkap dari gurunya sediri. Jangan sekedar mengandalkan ilmu kebalmu dan ilmumu yang dapat merangkapinya itu. Salah satu kemampuannya yang mungkin akan dapat menembus kedua ilmu rangkapmu itu adalah serangan dengan sorot matanya. Sorot matanya itu dapat menusuk, dapat pula meremas dan dapat meledakkan sasaran, sesuai dengan dasar lontarannya. Ilmunya seperti tali siter yang dapat dirubah dasar nadanya dengan menarik dan mengendorkan talinya. Seperti juja bunyi rebab. Nada manakah yang dikehendakinya. Ia tinggal menggerakkan tangannya dileher rebab sehingga ujung jarinya yang menekan bergeser pada tali rebab itu. Akibatnya nadanyapun telah bergeser pula." berkata Panembahan Cahya Warastra.
"Panembahan tidak percaya kepadaku?" bertanya Wreksa Gora.
"Tidak." jawab Panembahan tegas, "jika lawanmu bukan murid orang bercambuk itu aku tidak peduli."
Wreksa Gora tidak menjawab. Sementara itu Panembahan Cahya Warastra berkata selanjutnya, "Cepat, sebelum orang-orang kita disayap itu habis."
Wreksa Gorapun dengan segera meninggalkan induk pasukan menuju ke sayap sebelah kiri.
Sementara itu, pasukan disayap sebelah kiri dari Madiun itu memang telah hampir menjadi rusak. Selain pasukan pengawal Tanah Perdikan yang terlatih, di sayap kanan pasukan Tanah Perdikan itu terdapat Agung Sedayu. Agung Sedayu yang sudah hampir semalam suntuk gelisah, demikian ia mendengar laporan dari para petugas sandi Mataram, bahwa ada gerakan pasukan Madiun yang diperhitungkan akan pergi ke Tanah Perdikan dan ada hubungannya dengan kehadiran Ki Patih Mandaraka di Tanah Perdikan, telah memuntahkan tekanan yang menghimpit jantungnya itu.
Meskipun para petugas sandi itu juga memberitahukan bahwa pasukan Matarampun akan dikirim ke Tanah Perdikan, bahkan setelah ia menyadari hadirnya Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa, namun ia tidak dapat menyingkirkan kegelisahannya itu. Itu justru jauh lebih gelisah dari Ki Patih Mandaraka sendiri yang menyadari spenuhnya, bahwa dirinyalah yang akan menjadi sasaran serangan pasukan Madiun. Namun nampaknya Ki Patih Mandaraka tetap tenang sampai kedua pasukan itu benar-benar berbenturan.
Wreksa Gora yang melihat keadaan itu menjadi sangat marah. Sebagai salah seorang Panembahan Cahya Warastra, maka ia harus dapat menyelesaikan tugasnya. Ia sudah mendengar apa yang terjadi dengan Bango Lamatan. Tetapi Wreksa Gora merasa dirinya memiliki kemampuan melampaui Bango Lamatan yang hanya mengandalkan Aji Panglimunannya saja.
Karena itu, maka Wreksa Gora itupun segera telah menyibak orang-orangnya sambil berteriak, "Minggir. Aku yang akan menyelesaikan anak itu."
Beberapa orang telah menyibak. Kehadiran Wreksa Gora telah menitikkan ketenangan dihati orang-orang Madiun yang berada di sayap kanan itu. Karena itu, maka mereka tidak perlu didorong untuk kedua kalinya. Merekapun telah dengan sendirinya menyibak dan memberi jalan kepada Wreksa Gora yang telah merasa kenal tingkat ilmunya.
"Anak itu akan membentur lawan sekarang." berkata salah seorang diantara orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sejenak kemudian, orang yang disebut Wreksa Gora itupun telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu yang juga menghentikan putaran cambuknya.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya antara para pendukung Panembahan Cahya Wa"rastra dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengawal padukuhan induk itu adalah pengawal-pengawal yang memang benar-benar terpilih. Dengan demikian maka mereka dengan kemampuan mereka telah mampu menahan kemajuan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan mampu mengatasi lawan mereka.
Namun dalam pada itu, orang yang disebut Wreksa Gora itu berdiri bertolak pinggang dihadapan Agung Sedayu. Seorang yang memang tidak terlalu tinggi, tetapi tubuhnya nampak kekar dan kuat. Kumisnya yang lebat dan jambangnya yang panjang, membuat wajahnya nampak seram. Rambutnya dibiarkannya terjurai dibawah ikat kepalanya. Pada kumis, jambang dan rambutnya sudah nampak satu dua helai uban yang mulai tumbuh. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, "Apakah kau murid Orang Bercambuk?"
Agung Sedayu segera mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Orang Bercambuk adalah memang gurunya, Kiai Gringsing. Karena itu maka Agung Sedayu sama sekali tidak ingkar. Dengan tegas ia menjawab, "Ya. Aku adalah murid orang bercambuk itu."
"Agung Sedayu." orang itu menebak.
"Ya." jawab Agung Sedayu, "Siapa kau?"
"Namaku Wreksa Gora." jawab orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia mengulang, "Wreksa Gora."
"Apakah kau belum pernah mendengar nama itu?" bertanya Wreksa Gora.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Belum Ki Sanak. Aku baru mendengarnya kali ini."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kau memang masih terlalu hijau. Kau belum pernah menjelajahi dunia olah kanuragan meskipun aku pernah mendengar bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi apa yang dikatakan Bango Lamatan tentang dirimu tidak lebih dari satu lelucon yang menggelikan."
"Apa yang dikatakannya?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah benar bahwa kau memiliki bertumpuk ilmu didalam dirimu?" bertanya Wreksa Gora.
Tetapi Agung Sedayu menarik nafas sambil menjawab, "Kau benar. Bango Lamatan tentu hanya ingin bergurau."
Wreksa Gora terkejut. Agung Sedayu sama sekali tidak membela diri. Bahkan ia telah membenarkannya. Karena itu, maka Wreksa Gora itupun bertanya, "Jika demikian, landasan apakah yang kau banggakan sehingga kau berani turun kemedan melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra?"
"Aku telah berjuang untuk menegakkan kebenaran di sini. Tanah Perdikan ini harus mempertahankan dirinya dan kami tahu, bahwa kehadiran Ki Patih Mandarakalah yang telah mengundang kalian kemari." jawab Agung Sedayu, "karena itu, apapun yang terjadi, kami tidak akan bergeser surut."
Orang itu tertawa. Katanya, "Satu sikap terpuji. Tetapi tidak lebih dari sebuah mimpi yang buruk."
"Apapun namanya. Tetapi aku akan bertahan." berkata Agung Sedayu.
"Bagus." berkata Wreksa Gora, "kita sudah berhadapan. Kita akan menguji, apakah ilmu kita pantas diperbandingkan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika orang itu kemudian bersiap, maka Agung Sedayupun telah bersiap pula. Ujung juntai cambuknya telah menggeletar.
Wreksa Gora ternyata tidak ingin melawan Agung Sedayu tanpa senjata karena ia menyadari betapa berbahayanya cambuk yang merupakan ciri perguruan Orang Bercambuk itu. Karena itu, maka iapun telah menarik senjatanya pula. Sebatang tongkat baja yang berwarna hitam kelam. Namun nampak gerigi yang tajam dibagian ujung tongkat baja itu.
Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu telah mulai menggerakkan senjatanya masing-masing. Wreksa Gora yang menyadari bahaya yang dihadapinya, telah bersiap sebaik-baiknya. Wreksa Gora memang terkejut ketika ia mendengar cambuk Agung Sedayu itu meledak, seakan-akan telah menggetarkan langit. Karena itu, maka iapun telah memutar tongkat bajanya pula.
Sejenak kemudian, pertempuranpun telah terjadi. Keduanya ternyata mampu bergerak dengan cepat. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Sekali-sekali Agung Sedayu harus bergeser surut. Namun kemudian Wreksa Goralah yang meloncat menjauhi lawannya.
Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin cepat. Keduanya telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi, sehingga pertempuran itupun berlangsung semakin sengit.
Sementara itu, di sayap kiri pasukan pengawal tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih memimpin langsung para pengawal Tanah Perdikan. Dengan keras pertempuran telah berlangsung antara pasukan pengawal Tanah Perdikan melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Pasukan pengawal Tanah Perdikan adalah pasukan terpilih, sementara pasukan Panembahan Cahya Warastra yang disertakan dalam kelompok itupun adalah pasukan yang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Dengan demikian, maka pertempuran disayap kiri itupun telah berlangsung dengan sengitnya sebagaimana pertempruan yang terjadi di sayap kanan.
Untuk memimpin pasukan di sayap kiri itu, telah dipilih seorang Senapati muda yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun dari induk pasukan telah dikirim seorang Putut yang akan mendampinginya. Setelah Panembahan Cahya Warastra mengetahui bahwa yang memimpin sayap kanan adalah murid Orang Bercambuk, maka yang memimpin sayap kiri tentu juga seorang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka Panembahan Cahya Warastra telah menunjuk Putut Kaskaya untuk berada di sayap kanan pasukan dari Madiun itu untuk bersama-sama dengan Senapati sayap kanan pasukannya menghadapi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sebenarnyalah telah dilaporkan bahwa di sayap kiri pasukan Tanah Perdikan, terdapat seorang anak muda yang telah menguasai medan. Seakan-akan kemampuan lawan tidak dapat menggoyahkan.
"Anak muda itu bersenjata ikat pinggangnya yang aneh." berkata seorang penghubung.
Putut Kaskaya yang mendapat kepercayaan itupun dengan cepat telah berada di sayap kanan pasukannya. Sejenak ia mengamati keadaan. Ia memang melihat seorang anak muda yang telah mengguncang pertahanan pasukan Panembahan Cahya Warastra.
Jilid 244 "ANAK iblis." geram Putut Kaskaya yang juga terhitung masih muda. "Anak itu harus mendapat pelajaran. Ia harus menyadari, bahwa ia bukan orang terbaik di seluruh dunia. Baru kemudian ia dapat dibunuh."
Putut Kaskaya itupun kemudian telah menyibak medan dan berkata kepada Senapati muda yang mengalami kesulitan menghapai Glagah Putih, "Aku mendapat perintah dari Panembahan Cahya Warastra langsung untuk menghentikan dan kemudian membunuh anak muda itu."
Senapati muda itu tidak membantah. Jika perintah itu datang dari Panembahan Cahya Warastra, maka perintah itu harus dilaksanakan.
Glagah Putih memang telah mempergunakan ikat pinggangnya untuk bertempur bersama para pengawal Tanah Perdikan. Ia harus menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Tanah Perdikan tidak kalah dari kemampuan orang-orang yang menyerang mereka. Karena itu, ketika kedua pasukan itu berbenturan, maka Glagah Putih langsung berusaha mendesak lawan-lawannya.
Sebenarnyalah Glagah Putih dengan ikat pinggangnya yang bertempur dengan kuat, cepat dan mapan, telah menghalau setiap orang yang mendekatinya, termasuk Senapati muda yang memimpin sayap kanan pasukan lawan itu.
Ketika para pengikut Panembahan Cahya Warastra disayap kanan itu menyibak dan muncul Putut Kaskaya, maka Glagah Putihpun telah mengendalikan dirinya dan menghentikan serangan-serangannya atas lawannya. Namun dalam pada itu, pasukan Panembahan Cahya Warastra di sayap kanan itu masih saja bertempur melawan para pengawal Tanah Perdikan di sayap kiri.
"Luar biasa anak muda." desis Putut Kaskaya.
"Siapa kau?" bertanya Glagah Putih.
"Namaku Putut Kaskaya." jawab Putut itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk Namun iapun bertanya, "Apakah kau datang dari sebuah perguruan" Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Ya. Aku dari perguruan Alang-alang Kerep. Aku adalah murid terpercaya Ki Ajar Cangkring yang siap menghadapi Orang Bercambuk di induk pasukan." jawab Putut itu.
"Gurumu bernama Ki Ajar Cangkring, namun padepokanmu tidak bernama padepokan Cangkring, tetapi Alang-alang Kerep." desis Glagah Putih.
"Alang-alang Kerep adalah nama sebuah padukuhan. Padepokanku terletak disebelah padukuhan itu, sehingga padepokanku juga disebut padepokan Alang-alang Kerep, meskipun guruku disebut Kiai Cangkring."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi gurumu telah memberanikan diri menghadapi Orang Bercambuk itu" Seharusnya Kecruk Putihlah yang paling pantas untuk berhadapan dengan Kiai Gringsing yang juga disebut Orang Bercambuk itu."
"Siapakah Kecruk Putih itu?" bertanya Putut Kaskaya. "Aku justru belum pernah mendengar namanya."
"Orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu dahulu bernama Kecruk Putih. Nah, jika ia bertemu dengan Orang Bercambuk itu, maka persoalannya akan menjadi sangat meriah, karena kedua-duanya pernah berkenalan dahulu." berkata Glagah Putih.
"Jangan menghina Panembahan Cahya Warastra seorang yang menghinanya akan dapat dihukum mati." geram Putut Kaskaya.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, "Bagiku tidak akan ada masalah. Menghina atau tidak menghina, kalian berusaha membunuhku. Persoalannya adalah, apakah kalian mampu atau tidak."
"Persetan." geram Putut Kaskaya, "kau terlalu sombong. Kau yang masih sangat muda itu telah berani menghina Panembahan Cahya Warastra dihadapanku."
"Kaupun nampaknya masih muda." berkata Glagah Putih, "meskipun barangkali sudah lebih tua sedikit dari aku. Karena itu, maka sepantasnya bahwa kau mati lebih dahulu dari aku, karena kau telah mengenali isi dunia ini lebih lama dari aku."
"Cukup." bentak Putut itu, "bersiaplah untuk mati."
Glagah Putih tertawa. Tiba-tiba saja ia teringat kepada sahabatnya yang telah tidak ada lagi. Raden Rangga, yang kadang-kadang bersikap aneh. Namun Agung Sedayu telah berpesan kepadanya, agar ia tidak berbuat tanpa kendali sebagaimana Raden Rangga. Meskipun kadang-kadang ia tidak mempertimbangkan langkah-langkah yang diambilnya, maka ia akan dapat terjerumus kedalam satu tindakan yang merugikan. Terutama bagi ayahandanya, Panembahan Senapati.
Namun ternyata bahwa Raden Rangga itu telah menyimpan ilmu yang sangat tinggi didalam dirinya. Bahkan pada saat terakhir ia telah mendapat limpahan kemampuan untuk mengembangkan ilmunya itu. Bukan saja dari unsur-unsurnya, tetapi tatarannya. Getaran yang seakan-akan mengalir dari tubuh Raden Rangga kedalam tubuhnya telah membuat segala-galanya meningkat pada dirinya. Ilmunya, kemampuannya, kekuatan tenaga cadangannya serta kecerdasannya dan ketajaman penalarannya.
Tetapi Glagah Putih tidak sempat terlalu lama mengenang Raden Rangga. Lawannya, Putut Kaskaya itupun telah mulai bergeser selangkah maju, sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun harus bersiap.
"Ambil senjatamu." berkata Putut Kaskaya, "kila tidak sedang bermain-main."
Glagah Putih telah menunjukkan ikat pinggangnya sambil berkata, "Ini senjataku."
"Kau jangan terlalu sombong. Mungkin dengan senjata semacam itu kau dapat menakut-nakuti para prajurit yang belum pernah menuntut ilmu secara pribadi. Tetapi kau sekarang sedang berhadapan dengan Putut Kaskaya." berkata Putut itu.
"Senjataku memang hanya satu ini. Jika kau berkeberatan aku mempergunakan senjata ini, berarti kau menghendaki aku bertempur tanpa senjata." berkata Glagah Putih.
"Baiklah." berkata Putut itu, "jika kau berkeras hati untuk tetap mempergunakan ikat pinggangmu sebagai senjatamu, maka aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa tanpa senjata aku akan dapat membunuhmu."
"O,apakah kau menyimpan ilmu tanpa batas sehingga akan dapat mengalahkan aku tanpa senjata?"
"Persetan." geram Putut itu, "berhati-hatilah. Kita akan mulai."
Glagah Putih tidak menjawab, sementara itu Putut Kaskaya telah mulai menyerangnya. Dengan garang kedua tangannya bergerak dengan cepat. Sekali kedua tangannya merentang, namun kemudian keduanya telah melakukan gerak yang berbeda. Ketika ia memutar tangan kanannya, maka tangan kirinya berada di dadanya. Namun tangan kirinya terjulur cepat, sementara tangan kanannya siap disisi tubuhnya.
Namun Glagah Putih tidak kalah tangkasnya. Iapun telah bergerak dengan cepat pula mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Ketika Putut Kaskaya itu dengan berputar sambil mengayunkan kakinya, maka Glagah Putih dengan cepat menghindar. Namun secepat itu pula ikat pinggang"nya telah memukul kearah kaki lawannya itu. Tetapi ternyata bahwa lawannya sempat mengelak, sehingga ikat pinggang Glagah Putih sama sekali tidak menyentuhnya.
Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang yang masih muda itu menjadi semakin sengit. Putut Kaskaya ternyata mempunyai kemampuan untuk bergerak sangat cepat. Namun lawannya adalah seorang anak muda yang bukan sebagaimana anak muda kebanyakan.
Karena itu, maka Putut Kaskayapun segera terdesak. Meskipun Glagah Putih masih menahan diri. Ia tidak akan merasa puas jika ia melukai lawannya pada saat lawannya tidak bersenjata. Karena itu, maka yang dilakukannya hanya setiap kali mendesak, mengejutkannya dan sekali-sekali memburunya.
Tetapi Putut Kaskaya yang terdesak itupun ternyata orang yang sombong. Meskipun ia mengalami kesulitan, namun ia masih belum mempergunakan senjata apapun. Akhirnya Glagah Putih menjadi jengkel. Ia menganggap perlu untuk memaksa lawannya mempergunakan senjata apapun. Dengan demikian, maka Glagah Putihpun menjadi semakin keras. Ia semakin mendesak lawannya. Bahkan sekali-sekali ikat pinggang Glagah Putih telah menyentuh pakaian Putut Kaskaya sehingga koyak.
Tetapi Putut itu masih saja menganggap belum perlu mempergunakan senjata karena lawannya hanya mempergunakan sehelai ikat pinggang kulit. Ia merasa hanya dirinya akan tersinggung jika senjata pusakanya hanya akan dihadapi dengan ikat pinggang seperti itu.
Namun akhirnya Putut itu harus melihat kenytaan. Glagah Putih yang menjadi semakin tidak sabar, telah benar-benar menyentuh kulit lawannya dengan ujung ikal pinggangnya.
Putut Kaskaya itu benar-benar terkejut. Meskipun sebelumnya ia sudah merasa heran, bahwa ikat pinggang itu dapat mengoyak pakaiannya yang kuat dan tebal namun ketika goresan ikat pinggang itu benar-benar mengoyak kulitnya, maka iapun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak.
Glagah Putih memang tidak mengejarnya. Seakan-akan ia telah memberi kesempatan kepada lawannya untuk melihat apa yang telah terjadi atasnya.
"Iblis manakah yang telah memberikan senjata seperti itu kepadamu?" bertanya Putut itu dengan geramnya.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Kau harus yakin bahwa senjataku bukan barang mainan."
Putut Kaskaya mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Sekarang aku percaya bahwa senjatamu termasuk senjata yang memang pantas dibanggakan."
"Dan kau masih tetap ingin melawan tanpa senjata?" bertanya Glagah Putih.
Putut Kaskaya tidak segera menjawab. Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, "Aku tahu, bahwa dipunggungmu, dibawah bajumu itu tentu bukan sebilah keris. Tetapi sebuah trisula. Nah, kenapa kau tidak mempergunakan trisulamu melawan ikat pinggangku" Apakah kau tidak yakin bahwa trisulamu sama nilainya dengan ikat pinggangku sehingga kau malu mempergunakannya."
"Kau memang anak iblis." geram Putut Kaskaya.
"Jangan marah." sahut Glagah Putih, "dalam pertempuran, kau tidak boleh marah. Apakah kau belum pernah mendapat pesan dari gurumu yang sudah berani berhadapan dengan Orang Bercambuk itu" Jika dalam pertempuran kau marah, maka kau akan kehilangan penalaranmu yang bening, sehingga kau akan dapat menjadi salah langkah."
"Tutup mulutmu." teriak Putut Kaskaya yang marah, "aku tidak ingin kau gurui."
"Aku tidak mengguruimu. Aku hanya mengingatkanmu jika kau lupa." berkata Glagah Putih.
Putut Kaskaya menjadi benar-benar marah. Karena itu, maka iapun segera mencabut trisulanya yang disisipkan di ikat pinggangnya diarah punggung. Tanpa mengatakan sesuatu, maka iapun telah meloncat menyerang Glagah Putih dengan trisulanya yang berputar cepat ditangannya.
Tetapi Glagah Putih telah bersiap menghadapi kemungkinan seperti itu. Karena itu, demikian serangan itu datang, maka iapun segera bergeser surut. Namun ketika Putut Kaskaya memburunya, maka iapun telah melenting kesamping. Satu putaran ikat pinggangnya mendatar telah berdesing ditelinga Putut Kaskaya. Sekali lagi Putut itu terkejut. Desing yang didengarnya terlalu tajam, sehingga seakan-akan sepotong besi bajalah yang telah terayun menyambar telinganya itu.
"Gila." geram Putut itu didalam hatinya. Namun keheranannya itu tidak diucapkannya.
Demikianlah pertempuran diantara merekapun semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Mereka berloncatan diantara benturan kekuatan antara Tanah Perdikan Menoreh dan para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang juga membawa prajurit dari Madiun.
Sementara itu diinduk pasukan, Ki Gede Menoreh sendirilah yang telah memegang pimpinan. Karena itu, maka iapun telah langsung berhadapan dengan Senapati yang memimpin pasukan Panembahan Cahya Warastra itu. Seorang Senapati yang memiliki nama yang besar di Madiun. Tumenggung Tambakyuda.
Ketika ia memasuki arena pertempuran itu bersama pasukan yang dipimpinnya maka ia sudah bertekad untuk bertemu dengan salah seorang pemimpin di Tanah Perdikan. Ia menjadi gembira ketika ia tahu, bahwa lawannya adalah Ki Gede Menoreh sendiri yang juga bernama Ki Argapati. Apalagi iapun sudah mengetahui bahwa Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu mempunyai cacat pada kakinya. Semakin banyak kaki itu bergerak, maka cacat itu akan menjadi semakin nampak.
"Aku harus berusaha memancingnya bertempur dalam jarak panjang. Dengan demikian maka cacat kaki Ki Gede itu akan segera kambuh kembali." berkata Tumenggung Tambakyuda itu didalam hatinya.
Demikianlah, ketika pertempuran telah menjadi mapan, maka Ki Tumenggung itu telah berusaha dapat langsung bertemu dengan pimpinan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Gedepun mengerti, bahwa yang kemudian berdiri dihadapannya dengan wibawanya yang besar itu tentu Senapati pasukan pengawal Panembahan Cahya Warastra. Karena itu, maka Ki Gedepun mengangguk hormat sambil berkata, "Bukankah Ki Sanak Senapati dari pasukan yang telah datang menyerang Tanah Perdikanku ini?"
Ternyata Senapati itu menjawab tegas, "Ya. Aku adalah Tumenggung Tambakyuda dari pasukan khusus prajurit Madiun yang diperbantukan kepada Panembahan Cahya Warastra yang datang ke Tanah Perdikan ini untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Seorang yang mulutnya tajam sekali, sehingga hubungan antara Mataram dan Madiun seakan-akan telah menjadi semakin jauh. Tanpa orang yang dahulu bernama Ki Juru Martani, maka antam Mataram dan Madiun tidak akan timbul persoalan. Apalagi Panembahan Mas di Madiun menganggap Panembahan Senapati itu sebagai puteranya sendiri."
"Siapakah yang mengatakannya Ki Tumenggung?" bertanya Ki Gede Menoreh, "sebab menurut pengetahuanku, Ki Patih Mandaraka adalah seorang bijaksana. Ia pulalah yang telah memperingatkan pesan ayahanda Pamembahan Senapati, bahwa Panembahan Senapati telah melakukan tiga kesalahan terhadap Sultan Pajang. Salah terhadap orang tua, salah terhadap guru dan salah terhadap raja. Tetapi Panembahan Senapatipun mempunyai pegangan yang kuat untuk tetap pada sikapnya. Sebenarnya ia tidak menentang Kangjeng Sultan di Pajang. Memang telah terjadi satu kesalah pahaman."
Ki Tumenggung Tambakyuda mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Kau adalah orang Tanah Perdikan yang jauh dari kedudukan para pemimpin pemerintahan. Nampaknya mengelabui orang-orang superti kau ini demikian mudahnya seperti membujuk anak-anak dengan sepotong gula kelapa. Apa yang sebenarnya kau ketuhui hubungan antara Panembahan Senapati dan ayahandanya Sultan Pajang" Dan apa pula yang kau ketahui hubungan antara Panembahan Senapati dengan pamandanya di Madiun sekarang ini?"
Ki Tumenggung Tambakyuda itu kemudian justru telah tersenyum sambil berkata, "kau harus mengenal dirimu sendiri Ki Gede. Kau adalah orang yang paling terhormat di Tanah Perdikan yang kecil, sepi dan terasing ini. Tetapi kau bukan apa-apa di Madiun."
"Ki Tumenggung." jawab Ki Gede, "aku tidak mengira, bahwa pendapat Ki Tumenggung begitu sempitnya. Ketika aku melihat ujud Ki Tumenggung, aku benar-benar telah terpengaruh oleh wibawa yang tinggi, sehingga diluar sadar aku telah mengangguk hormat. Tetapi ketika Ki Tumenggung mulai menyebut beberapa hal tentang wawasan Ki Tumenggung atas persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan ini, Mataram, Pajang dan Madiun, maka ternyata wawasan Ki Tumenggung begitu sempitnya. Tetapi aku harus mengakui, bahwa Tanah Perdikan ini adalah hanya sekedar satu sisi sempit dari Mataram yang besar. Dan sisi sempit ini telah berhasil menahan dan mendorong surut kekuatan Panembahan Cahya Warastra. Atau dengan kata-kata yang kasar, Tanah Perdikan ini akan dapat memukul mundur kekuatan yang telah kalian persiapkan sebaik-baiknya."
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Tetapi iapun seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Maka katanya, "Kau menilai perang ini dengan peristiwa sepotong demi sepotong. Bukan begitu seharusnya menilai satu per"tempuran Ki Gede. Kau yang telah menjabat pimpinan Tanah Perdikan ini berpuluh tahun, ternyata masih juga belum memiliki pengetahuan seorang pemimpin."
Ki Gede tersenyum. Ia sadar, tidak ada manfaatnya untuk lebih banyak berbicara, sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Karena itu, maka Ki Gedepun segera mempersiapkan diri. Sekilas ia melihat pertempuran yang sengit itu. Namun ia tidak melihat tanda-tanda yang mencemaskan dalam pasukannya.
Namun Ki Gede itu menyadari, bahwa dibelakangnya berada beberapa orang tua yang memiliki ilmu yang tinggi, namun yang salah seorang diantara mereka telah menjadi sasaran serangan Panembahan Cahya Warastra itu. Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Gede percaya, bahwa orang-orang tua itu akan mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam pertempuran itu jika orang-orang berilmu tinggi dari Madiun itu mulai turun ke medan.
Sejenak kemudian, maka Ki Gede itu telah mulai menggerakkan tombaknya. Sementara Ki Tumenggungpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Ki Tumenggung telah mempunyai bekal pengertian, bahwa kaki Ki Gede itu akan dapat kambuh jika terlalu banyak bergerak. Untuk melawan tombak Ki Gede, maka Ki Tumenggung itu telah menarik sebilah keris yang ukurannya agak tidak wajar. Keris itu panjang dan besar yang diselipkan di punggungnya mencuat sampai ke pundaknya.
"Keris ini buatan Bali." berkata Ki Tumenggung, "seorang sahabatku dari pulau itu telah memberikan keris bertuah ini. Dalam segala pertempuran keris ini menyelesaikan masalah yang paling sulit sekalipun."
Namun Ki Gede tersenyum. Katanya, "Apapun ujud senjatanya, namun akhirnya yang penting adalah orang-orang yang memegang senjata itu. Aku sependapat dengan Ki Tumenggung, keris itu memang keris yang sangat bagus. Pamornya bagaikan menyala. Sementara itu, ukurannya meyakinkan bagi senjata di peperangan. Berbeda dengan keris yang aku bawa ini. Terlalu kecil untuk benar-benar bertempur dipertempuran. Karena itu, aku tidak mempergunakan kerisku, tetapi aku mempergunakan tombakku ini."
"Jangan tekebur Ki Gede. Kau belum pernah melihat bagaimana jika keris ini menjadi marah." geram Ki Tumenggung.
"Yang marah itu kerisnya atau Ki Tumenggung sendiri?" bertanya Ki Gede.
Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia meloncat dan tegak diatas kedua kakinya. Satu diantara kedua kakinya melangkah setengah langkah kedepan, sementara lututnya agak merendah.
Ki Gede memang menjadi berdebar-debar. Ketika Ki Tumenggung memutar kerisnya itu, maka seakan-akan yang berputar adalah sepotong bara yang memanjang. Merah dan bagaikan menyala.
"Luar biasa." berkata Ki Gede didalam hatinya.
Tetapi ia tidak mau membiarkan lawannya berbesar hati melihat kedahsyatan senjatanya sendiri. Karena itulah, maka Ki Gedepun telah memutar tombaknya.
Ki Tumenggunglah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ujung tombak Ki Gede itu bagaikan telah memancarkan cahaya yang kehijau-hijauan. Bahkan getaran udara oleh putaran tombak itu rasa-rasanya bagaikan ujung duri yang mengerumuninya dan menyentuh-nyentuh kulitnya. Namun Ki Tumenggung tidak ingin terpengaruh lebih lama lagi.
Karena itu, maka dengan tangkasnya ia sudah meloncat menyerang Ki Gede. Ki Tumenggung Tambakyuda itu sudah mulai dengan rencananya untuk memancing Ki Gede bertempur dalam jarak panjang, agar cacat di kaki Ki Gede segera mengganggunya.
Namun Ki Gede menyadarinya. Apalagi ia secara khusus telah mematangkan diri bertempur pada jarak yang terbatas dengan menyesuaikan ilmunya yang tinggi. Ujung tombaknyalah yang seakan-akan telah memperpanjang langkahnya menggapai lawannya yang menghindar menjauh.
Karena itu, maka Ki Gede memang tidak mudah terpancing. Setiap kali Ki Tumenggung meloncat mengambil jarak, maka Ki Gede hanya beringsut selangkah dan bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Harimau Kemala Putih 16 Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara Monk Sang Detektif Genius 2
^