Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 5

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5


menyerangnya dengan tata gerak yang berbeda pula. Satu ciri
dari perguruan lain, bahwa ia menyerang dengan tubuh yang
menghadap hampir sepenuhnya. Serangan-serangannya
bertumpu pada kakinya, namun dalam keadaan yang khusus.
Satu kakinya ditarik setengah langkah ke-belakang, lututnya
agak merendah sementara kedua tangannya teracu kedepan.
Orang itu nampak terkejut. Selangkah ia surut sambil
berdesis " Kau berguru juga kepada bajak laut itu" "
Agung Sedayu terkejut. Tetapi ia berusaha untuk
menghapus kesan itu dari wajahnya. Pengenalannya atas ilmu
Ki Jayaraga telah mendorongnya untuk mengganggu
lawannya dengan jenis-jenis ilmu itu. Namun ia justru terkejut
ketika Singapati itu menyebutnya sebagai ilmu yang
disadapnya dari seorang bajak laut.
Namun Agung Sedayupun teringat, bahwa memang ada
murid Ki Jayaraga yang kemudian menjadi bajak laut yang
ditakuti. Tetapi bajak laut itu sudah tidak ada lagi.
Tetapi karena Agung Sedayu memang tidak mendalami
ilmu itu, maka iapun memang tidak berniat untuk
mempergunakan, selain sekedar menunjukkan kekuatan salah
satu unsur gerak dari ilmu yang dikenalinya dengan baik,
karena ia mengenal Ki Jayaraga dengan baik pula. Apalagi
muridnya, Glagah Putih telah berguru pula kepada Ki
Jayaraga sehingga Agung Sedayu bersama-sama dengan Ki
Jayaraga harus menyusun ilmu didalam diri Glagah Putih
sehingga justru akan dapat saling mengisi. Bukan saling
berbenturan didalam dirinya.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka
Singapati itu membentaknya " Jadi kau berguru pula kepada
bajak laut itu he" "
" Tidak " jawab Agung Sedayu " tetapi aku sekedar pernah
mempelajari ilmunya. Karena kau menganggap bahwa Ki
Sadewa, Kiai Gringsing dan siapa lagi, seorang-seorang tidak
akan dapat mengalahkanmu, maka sekarang mereka datang
bersama-sama bahkan bersama Ki Jayaraga meskipun hanya
sekedar ilmunya. Sementara itu, biarlah wadagku menjadi
lantaran pelepasan ilmu mereka. "
" Iblis kau. Kau benar-benar seorang yang sombong. Kau
merasa dirimu memiliki kemampuan tiga orang berilmu tinggi
itu dan berani menghadapi aku" Kau agaknya memang belum
mengenal kemampuan perguruan Worsukma yang
sesungguhnya. " geram orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun telah
benar-benar bersiap. Ilmu apapun yang akan dipergunakan
oleh lawannya, maka ia harus berusaha untuk
mengimbanginya. Ternyata bahwa Singapati tidak menjadi gelisah dan cepat
terbakar jantungnya. Ia masih menyerang Agung Sedayu
dengan ilmu kanuragan. Meskipun semakin lama menjadi
semakin meningkat, tetapi Agung Sedayu masih saja mampu
mengimbanginya. Serangan dibalas dengan serangan. Sekalisekali
terjadi benturan yang keras sehingga keduanya harus
bergeser surut. Ternyata bahwa Singapati tidak berhasil
mengatasi kemampuan kecepatan dan kekuatan Agung
Sedayu dengan lambaran tenaga cadangannya.
Bagaimanapun ia mengarahkan kemampuannya, ternyata
Agung Sedayu selalu dapat menghindari serangannya atau
menangkisnya dengan kekuatan yang seimbang.
Tetapi bagi Singapati yang dilakukan itu seakan-akan baru
merupakan sekedar menghangatkan darahnya, karena
didalam dirinya tersimpan tingkat-tingkat ilmu yang tinggi dari
perguruan Worsukma disamping ilmu puncaknya.
Dalam pada itu, pertempuran antara para cantrik dan
orang-orang yang memasuki padepokan itupun menjadi
semakin seru. Ternyata kemampuan para cantrik tidak
sebagaimana dibayangkan oleh para pengikut Singapati.
Mereka menyangka bahwa cantrik dari padepokan kecil yang
dipimpin oleh seorang yang menjadi semakin tua, lemah dan
sakit-sakitan itu adalah orang-orang yang lemah pula. Namun
ternyata bahwa mereka memiliki gelora perjuangan yang
sangat besar untuk mempertahankan hak mereka. Didukung
oleh kemampuan yang cukup besar, sehingga dengan
demikian, maka para cantrik itu telah berhasil menahan gerak
maju orang-orang yang datang menyerang.
Tetapi sementara itu, seorang diantara orang-orang yang
datang menyerang padepokan itu telah berhasil lepas dari
pertahanan para cantrik. Kemampuannya yang tinggi
telah mampu menyibakkan para cantrik yang mencoba
menghalanginya. Bahkan seorang diantara para cantrik itu
telah terlempar jatuh dengan luka dipundaknya.
Beberapa orang cantrik memang mengejarnya. Tetapi
orang itu sempat menyusup dilongkangan, kemudian
menyelinap gerumbul-gerumbul perdu, sehingga akhirnya ia
telah berhasil mencapai pintu bangunan induk padepokan itu.
Dengan serta merta iapun telah berlari kepintu dan
mendorongnya pintu itu sehingga berderak. Ternyata
kekuatan orang itu terlalu besar, sehingga pintu itu bukannya
sekedar terbuka, tetapi justru telah patah ditengah.
Para cantrik yang ada diruang tengahpun segera bersiap.
Mereka bersama-sama telah berusaha untuk menahan orang
itu agar tidak mencapai bilik Kiai Gringsing. Namun ternyata
orang itu memang mampu bergerak cepat dan kuat. Kedua
cantrik yang berusaha menggapainya dengan senjata, justru
harus berloncatan mundur.
Tetapi ketika seorang cantrik siap memukul isyarat, maka
terdengar suara dipintu bilik yang terbuka " Jangan. Biarlah
kawan-kawanmu bertempur dengan tenang. "
Ketika orang-orang diruang dalam itu berpaling, mereka
melihat Sekar Mirah berdiri ditengah-tengah, pintu sambil
menggenggam tongkat baja putihnya. Sebuah tengkorak di
pangkal tongkat itu nampak berkilat kekuning-kuningan.
Dengan langkah yang meyakinkan Sekar Mirah mendekati
orang itu sambil berkata " Jika tubuhku telah terkapar disini,
bunyikan tanda itu. Dua orang diantara kalian, masuklah dan
layani Kiai Gringsing jika ia memerlukan minum. Biarlah Kiai
Gringsing beristirahat saja dipem-baringannya. Jangan
diganggu dengan jenis-jenis permainan tidak berarti ini. "
Orang yang memasuki ruang dalam itu memandang
tongkat Sekar Mirah dengan wajah yang tegang. Namun
kemudian katanya Siapakah kau" Darimana kau
mendapatkan tongkat itu" Apakah kau murid Macan
Kepatihan sehingga kau mendapatkan tongkat itu dari
Mantahun lewat Tohpati atau dari Sumangkar" "
" Darimana kau mengenal tongkat ini" " bertanya Sekar
Mirah kemudian " apakah kau termasuk salah seorang
diantara orang-orang Jipang yang mendendam terhadap
Mataram, sehingga kini kau melibatkan diri dari pada
pertentangan yang terjadi antara Madiun dan Mataram untuk
melepaskan dendammu" "
Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Dengan geram ia
berkata " Minggirlah. Biarkan aku bertemu dengan pemimpin
padepokan ini. Jika kau berhasil membunuhnya mendahului
orang lain, maka aku tentu akan mendapatkan hadiah yang
pantas karena jasaku. Aku akan mendapat kedudukan yang
sesuai dengan kemampuanku. Nah, kau tahu, bahwa aku
akan mengorbankan siapa saja yang berusaha menghalangi
aku. " " Itukah tujuan kedatanganmu" Jika kau datang dengan
niat membalas dendam aku masih dapat mengerti. Tetapi jika
kau datang dan ingin membunuh seseorang hanya karena
menginginkan ganjaran dalam bentuk apapun, maka kau
adalah orang yang tidak pantas dihormati lagi. " berkata Sekar
Mirah. " Persetan " geram orang itu " kau adalah seorang
perempuan. Betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan
berarti apa-apa bagiku. Aku tidak percaya bahwa jalur
perguruan Mantahun itu mempunyai nyawa rangkap seperti
ceritera orang. Ternyata Ki Patih Mantahunpun terbunuh
sebagaimana Tohpati. "
" Kau sebenarnya siapa he" Meskipun Mantahun berdiri
dipihak yang salah pada waktu itu, tetapi kau tahu, bahwa
dengan ciri tongkat ini, aku memiliki ilmu dari jalur
yang sama. " berkata Sekar Mirah " Karena itu jangan
menghina ilmunya. " " Akulah yang pantas menuduhmu sebagai sisa-sisa
kekuatan Jipang karena tongkatmu itu " berkata orang itu "
agaknya agar aku tidak mengatakannya, maka kau telah
menuduhku lebih dahulu. "
Sekar Mirah memang menjadi bingung tentang sikap orang
itu. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa ia berusaha untuk
membunuh Kiai Gringsing sebagaimana dikatakannya. Karena
itu, ia tidak lagi mempedulikannya, alasan apa yang
dibawanya dan darimanakah datangnya. Yang penting, bahwa
ia harus mencegahnya. Bukan karena Sekar Mirah merasa
memiliki ilmu yang pantas disejajarkan dengan ilmu Kiai
Grinsing, tetapi justru karena Kiai Gringsing sedang sakit
sehingga ia perlu mendapat bantuan.
Nampaknya orang yang memasuki barak induk itu juga
tergesa-gesa. Agaknya ia tidak mau didahului oleh orang lain,
sehingga karena itu, maka iapun berkata " Sekali lagi aku
peringatkan. Minggirlah. "
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak bergeser dari
tempatnya. Katanya " Kita akan bertempur dipringgitan atau
dipendapa. Disini terlalu sempit, sehingga kita tidak akan seni
pat mengenali kemampuan kita masing-masing yang
sebenarnya. " Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak menghiraukannya. -
Dengan serta merta ia menyerang Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah memang telah bersiap. Ia bergeser
selangkah surut sambil memiringkan tubuhnya. Kemudian
tongkatnya telah berayun deras. Hampir saja menyentuh ke
muka orang itu. Tetapi dengan tangkasnya orang itu mengelak
sambil bergeser kesamping.
Namun pada pengenalan yang pertama atas ilmu
perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu, orang yang
akan membunuh Kiai Gringsing itupun dapat menjajagi
kemampuannya. Perempuan itu memang berilmu
tinggi- Karena itu, maka orang itupun tidak ingin mengalami
kegagalan. Iapun dengan serta merta telah menarik
senjatanya pula. Sebilah pedang yang tajam dikedua belah
sisinya. Pedang yang lurus itu nampak berkilat-kilat dibawah
cahaya lampu minyak diruang dalam.
Sementara itu, dua diantara para cantrik memang sudah
berada di dalam bilik Kiai Gringsing, sementara dua yang
lainnya dengan tegang mengamati pertempuran yang
kemudian terjadi antara Sekar Mirah dengan orang yang ingin
membunuh Kiai Gringsing itu. Namun agaknya mereka tidak
berkesempatan untuk melibatkan diri kedalam pertempuran
yang menjadi semakin sulit dimengerti.
Untunglah bahwa Sekar Mirah telah berhasil meningkatkan
dan memperdalam ilmunya justru karena ia adalah istri Agung
Sedayu. Latihan-latihan yang sering dilakukannya dengan
suaminya, telah banyak membantunya, menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan ilmunya.
Ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar.
Dengan demikian maka Sekar Mirah yang pernah ikut
menyumbangkan tenaga dan kemampuannya disaat-saat
pembentukan pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan
Menoreh, dengan tangkasnya berusaha untuk mengimbangi
lawannya yang dengan tergesa-gesa ingin menyelesaikannya
dengan cepat. Karena itulah maka lawannya tidak lagi
menahan diri meningkatkan ilmunya selapis demi selapis.
Tetapi dengan serta merta, lawannya telah mengerahkan
segenap kemampuan yang ada didalam dirinya.
Tetapi ia telah membentur kemampuan ilmu yang tinggi
dari seorang perempuan yang bersenjata tongkat baja putih
yang diwarisinya dari Ki Sumangkar. Salah seorang yang
berilmu tinggi pada masa pemerintahan Adipati Jipang
disamping Ki Patih Mantahun.
Orang itu mengumpat didalam hati. Semula ia menduga,
bahwa yang akan dilakukannya itu tidak akan mengalami
banyak kesulitan. Ia mengira bahwa ia tinggal membunuh
beberapa orang cantrik yang menjaga Kiai Gringsing yang
sakit, kemudian menikam orang tua yang tidak berdaya itu
dipembaringannya. Namun ia sudah berhadapan dengan perempuan
bertongkat itu. Karena itu, maka ia mempunyai pilihan lain,
bahwa ia harus menyingkirkan perempuan itu.
Karena itu, maka katanya " Perempuan yang tidak tahu diri,
jika kau tidak minggir, maka kematianmupun sama sekali
bukan karena salahku. "
" Marilah " berkata Sekar Mirah " agaknya satu cara yang
baik bagimu untuk membunuh diri. "
Kemarahan orang itu seakan-akan telah menyalakan oborobornya.
Karena itu, maka iapun telah meloncat sambil
mengacukan pedangnya. Tetapi Sekar Mirahpun telah bersiap sepenuhnya. Karena
itu, maka iapun telah siap menghadapi serangan itu. Dengan
tangkasnya ia telah memutar tongkatnya, sehingga telah
terjadi benturan antara kedua jenis senjata itu.
Sekar Mirahpun ternyata tidak ingin mengalami kesulitan
karena kelengahannya. Dengan demikian maka iapun telah
mengerahkan segenap kemampuannya pula untuk melawan
serangan lawannya itu. Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Ternyata lawan
Sekar Mirah itupun terkejut. Ia tidak mengira bahwa
perempuan itu memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi
kekuatannya. Meskipun ia menyadari bahwa perempuan itu
memang berilmu tinggi, namun kekuatannya benar-benar
melampaui dugaannya. Karena itu maka orang itupun harus lebih berhati-hati. Ia
tidak dapat sekedar datang untuk membunuh. Namun
kemungkinan lain akan dapat terjadi. Justru ia akan
terbunuh oleh perempuan yang garang itu.
Sejenak kemudian maka perkelahian yang semakin
sengitpun telah terjadi. Sekar Mirah memang ingin mendesak
lawannya, agar mereka tidak bertempur diruang dalam. Bukan
saja karena tempatnya yang sempit. Tetapi pertempuran itu


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu akan sangat mengganggu Kiai Gringsing yang sedang
sakit. Karena itu, maka Sekar Mirah pun telah berusaha untuk
bergeser dari tempat yang memang terlalu sempit untuk
bertempur dengan senjata.
Ternyata bahwa kecepatan gerak Sekar Mirah memang
mengagumkan disamping kekuatannya yang jauh lebih besar
dari dugaan lawannya. Selangkah demi selangkah Sekar
Mirah mendesak lawannya menjauhi pintu bilik Kiai Gringsing.
Namun lawannyapun berusaha justru untuk mencapai pintu
itu. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing agaknya ada didalam bilik
itu. Tetapi selain Sekar Mirah, maka dua orang cantrik telah
berdiri dipintu itu pula. Jika orang itu berniat untuk dengan
serta merta memasuki bilik itu dengan meninggalkan Sekar
Mirah, maka keduanya akan dapat menghambatnya,
meskipun keduanya merasa tidak akan dapat mengimbangi
kemampuan orang itu. Tetapi setidak-tidaknya mereka akan
dapat memberi kesempatan Sekar Mirah mencapai orang itu
dan menahannya untuk tidak memasuki bilik Kiai Gringsing.
Ternyata bahwa tidak mudah bagi Sekar Mirah untuk
mendesak lawannya keluar dari bilik itu. Karena itu. maka
Sekar Mirahpun kemudian telah berusaha untuk
memanfaatkan keadaan didalam ruang dalam itu untuk
mengawasi lawannya. Dengan demikian maka pertempuran antara Sekar Mirah
dengan orang yang berniat membunuh Kiai GringKang
Zusi - http://kangzusi.com/
sing itupun menjadi semakin cepat dan keras. Keduanya
telah mempergunakan seluruh kemampuan mereka.
Tetapi dengan demikian, maka orang yang mengira bahwa
membunuh Kiai Gringsing adalah sama mudahnya dengan
membunuh beberapa orang cantrik yang menunggunya,
ternyata salah. Meskipun yang dihadapinya adalah seorang
perempuan, tetapi ternyata perempuan itu memiliki
kemampuan yang tidak dapat diatasinya.
Bahkan semakin lama semakin ternyata kemampuan Sekar
Mirah berada selapis diatas kemampuan lawannya.
Betapapun pedang orang itu berputaran, tetapi pedang itu
tidak pernah mampu menembus pertahanan tongkat baja
putih Sekar Mirah. Bahkan Sekar Mirah dengan sengaja telah
mempergunakan kesempatan ruangan itu untuk membuat
lawannya kadang-kadang kehilangan kesempatan karena
pedangnya yang tersentuh oleh barang-barang yang ada di
ruang itu. Karena itu, maka iapun berpendapat, bahwa mereka akan
lebih baik bertempur ditempat yang luas. Orang itu masih
berharap bahwa dengan loncatan-loncatan panjang dan jarak
yang renggang akan dapat memberikan keuntungan baginya,
justru karena lawannya adalah seorang perempuan.
Karena itu, ketika Sekar Mirah berusaha mendesaknya, ia
justru telah memancing lawannya keluar dari ruang itu.
Demikian mereka berada dipinggiran, maka rasa-rasanya
lawan Sekar Mirah itu telah mendapat kesempatan bernafas
sedalam-dalamnya. Dadanya tidak lagi merasa sesak oleh
sesaknya ruangan. Dengan tangkasnya orang itu telah mengambil jarak.
Disilangkannya pedangnya didepan dadanya. Namun
kemudian satu kakinya telah melangkah maju. Tubuhnya
kemudian miring dengan lutut yang merendah, sementara
pedangnya yang lurus dan tajam dikedua sisinya terjulur
kedepan. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Ilmu pedang orang
itu ternyata agak berbeda dengan ilmu pedang yang sering
ditemuinya. Berbeda pula dengan ilmu pedang yang pernah
dipelajarinya disamping kemampuannya mempergunakan
tongkat baja putihnya. Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi tergetar jantungnya
karena ilmu itu. Sebagai seorang yang sering berbicara
tentang ilmu kanuragan dan berbagai ilmu mempergunakan
senjata, maka Sekar Mirahpun pernah berbicara tentang
berbagai kemungkinan dari ilmu pedang. Meskipun ia telah
mengenal secara khusus ilmu lawannya itu, tetapi ia pernah
mengenali sebagai unsur-unsur gerak dari sejenis ilmu
pedang yang pernah dikenalinya pula.
Agaknya lawannya itu telah mengembangkan unsur itu
sehingga menjadi pola dari geraknya kemudian.
Sejenak kemudian, maka orang itupun telah meloncat
menyerang. Setiap kali pedangnya kesamping, terayun
mendatar dan kemudian mematuk lurus kearah dada. Dengan
demikian maka Sekar Mirah menganggap bahwa ilmu pedang
lawannya itu memang ilmu yang berbeda dengan ilmu pedang
pada umumnya. Karena itulah, maka Sekar Mirah harus menjadi semakin
berhati-hati. Ia harus berusaha mengenali ilmu lawannya
sebaik-baiknya, kemudian berusaha menemukan kekuatan
dan kelemahannya. Sehingga untuk itu maka ia harus melalui
satu tataran penjajagan. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah lebih banyak bergeser
surut, menghindar dan dengan sangat berhati-hati menangkis
serangan lawannya. Namun kadang-kadang Sekar Mirah memang harus
meloncat surut. Kedua kaki orang itu selalu pada jarak yang
hampir tetap. Satu kakinya didepan, satu lagi ditarik kebelakang,
sementara yang berada didepan sedikit merendah
pada lututnya. Letak kedua kaki itu ternyata mampu
menggerakkan tubuhnya dengan cepat dan tangkas.
Sekali-sekali bergerak maju, kemudian satu dua langkah
surut. Namun kemudian dengan loncatan-loncatan yang cepat
ia bergeser dan berputar. Tetapi dalam waktu sekejap, orang
itu telah berada dalam sikapnya kembali. Satu kakinya ditarik
kebelakang, merendah pada lututnya sedangkan pedang di
tangannya terjulur lurus kedepan.
Beberapa saat lamanya, Sekar Mirah menjajagi
kemampuan lawannya. Tetapi karena setiap kali Sekar Mirah
meloncat surut, maka lawannya memang menyangka bahwa
Sekar Mirah memang telah terdesak.
Tetapi ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlalu mudah
dilakukan. Ternyata bahwa semakin lama Sekar Mirah tidak
menjadi semakin terdesak. Justru saat-saat Sekar Mirah mulai
mengenali kekuatan dan kelemahan ilmu pedang lawannya,
maka iapun telah berusaha untuk dapat mengimbanginya.
Namun pengenalan itu telah membuat Sekar Mirah
menduga-duga. Orang itu tentu orang dari pesisir yang
berhubungan dengan orang yang datang dari luar Tanah ini
dan mendapat ajaran ilmu pedang dari mereka. Karena yang
dihadapinya itu bukan sekedar pengembangan unsur dalam
ilmu pedang yang sudah dikenalinya, tetapi benar-benar watak
dari satu ilmu tersendiri.
" Atau betapa piciknya pengenalanku atas ilmu kanu-ragan
sehingga aku tidak mengenalinya seandainya ilmu itu bukan
berasal dari seberang " berkata Sekar Mirah didalam hatinya.
Namun demikian, ternyata ketajaman penggraita Sekar
Mirah telah mampu memilih unsur-unsur gerak yang
dikuasainya dan telah dikembangkannya itu untuk
mengimbangi kegarangan ilmu pedang lawannya. Meskipun
Sekar Mirah seorang perempuan, tetapi ia memiliki
pengalaman yang lain. Bahkan seandainya dibandingkan
dengan Swandaru, agaknya Sekar Mirah masih dapat
berbangga. Karena itulah, maka pertempuran antara Sekar Mirah
dengan lawannya yang kemudian bergeser di pringgitan
itupun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya
menjadi semakin cepat bergerak. Tongkat baja putih Sekar
Mirah ternyata masih juga mampu memancing kegelisahan
lawannya. Loncatan-loncatan panjang dan langkah-langkah
yang cepat menghentak-hentak, membuat lawannya kadangkadang
harus meloncat surut mengambil jarak. Sehingga
dengan demikian, maka bukan saja Sekar Mirah yang kadangkadang
harus meloncat satu dua langkah mundur, tetapi juga
lawannya. Dua orang cantrik yang semula berdiri dipintu bilik Kiai
Gringsing telah berdiri pula didepan pintu pringgitan.
Keduanya menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang
berdebar-debar. Dengan tegang keduanya mengikuti apa
yang telah terjadi. Mereka tidak saja akan menghambat jika
lawan Sekar Mirah itu berusaha dengan serta merta masuk
kedalam, tetapi keduanyapun mengamati keadaan jika ada
orang lain yang berusaha naik kependapa dan membantu
lawan Sekar Mirah itu. Sementara itu, dibagian lain dari padepokan itu, dua
kelompok tengah bertempur dengan sengitnya. Sekelompok
orang yang memasuki padepokan itu, dan sekelompok lagi
adalah cantrik-cantrik dari padepokan kecil itu. Ternyata
bahwa para cantrik tidak mengecewakan. Mereka mampu
menahan arus yang melanda padepokan mereka. Sementara
itu, pemimpin kelompok dari orang-orang yang memasuki
padepokan itu telah berhadapan dengan Glagah Putih.
Ternyata bahwa pemimpin kelompok itu tidak mampu
mengatasi kecepatan gerak Glagah Putih. Betapapun orang
itu berusaha menyentuh lawannya dengan ujung senjatanya,
namun ternyata sulit sekali baginya menembus lingkaran
putaran senjata Glagah Putih. Bahkan setiap sentuhan
senjata, maka pemimpin kelompok itu merasa betapa
tangannya bagaikan disengat oleh bara. Dengan susah payah
pemimpin kelompok itu harus mempertahankan agar
senjatanya tidak terlepas dari tangannya karena kekuatan
Glagah Putih yang tidak dapat diimbanginya.
Namun semakin lama orang itu menjadi semakin berdebardebar.
Anak muda yang mengaku cantrik dari padepokan kecil
itu ternyata memiliki kemampuan yang tidak dapat
diimbanginya. Namun dalam pada itu semakin terbuka pula
pengenalannya atas ilmu anak muda itu. Dengan nada tinggi
tiba-tiba saja orang itu berkata " He, siapakah sebenarnya
kau" Kau tidak bertempur sepenuhnya dengan ilmu dari orang
bercambuk itu. Kaupun tidak bersenjata cambuk dan ilmu
bahkan unsur-unsur gerakmu menunjukkan jalur perguruan
tersendiri. " " Apa yang kau ketahui tentang ilmu dari perguruanperguruan
yang tersebar di tanah ini" Jika kau membatasi
unsur-unsur gerak dari satu perguruan, maka kau akan
ketinggalan jauh " jawab Glagah Putih.
Orang itu mengerutkan keningnya sambil bergeser
mengambil jarak. Wajahnya yang tegang menjadi semakin
tegang. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang Glagah
Putih yang melangkah satu-satu mendekatinya.
" Marilah " berkata Glagah Putih " apa yang mencegahmu"
" " Setan kau " geram orang itu " kau mempergunakan ilmu
campur baur dari beberapa perguruan" "
" Aku meramunya menjadi satu kesatuan yang utuh. He,
kau lihat beberapa unsur gerakku dari perguruan lain" Apa
salahnya jika aku melakukannya" Ternyata kau tidak mampu
mengatasi ilmuku itu, karena justru dengan demikian dapat
memperkaya unsur-unsur gerak pada ramuanku itu sehingga
mampu meningkatkan bobot kemampuanku. Kau
merasakannya" " bertanya Glagah Putih.
" Kau.memang terlalu sombong anak muda. Karena itu,
maka kau harus mati. Kau kira dengan mengumpulkan
berbagai macam ilmu dan kau susun menjadi sejenis ilmu
yang baru itu akan lebih baik dari setiap jenis ilmu itu
masing-masing" Ilmu-ilmu itu tidak lahir dalam satu dua
malam dari seorang perenung atau pemimpin. Tetapi tentu
sudah mengalami tempaan dan perkembangan yang
membuatnya mapan. Nah, jika kau mau mencoba, maka kau
tentu akan mengakuinya " berkata orang itu.
Glagah Putih tertegun. Iapun bergeser surut ketika ia
melihat lawannya itu justru menyarungkan senjatanya.
" Jangan menyesal bahwa kau benar-benar akan mati
muda " berkata orang itu kemudian sambil menyilangkan
tangan didadanya. Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya tentu sedang
membangunkan satu jenis ilmu pamungkasnya. -
Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak mau kehilangan
kesempatan. Maka iapun telah bersiap, pula. Dalam waktu
sejenak, iapun telah membangunkan pula kemampu-an
ilmunya yang mampu melontarkan serangan, bahkan yang
dapat disadapnya dari inti kekuatan yang ada di sekitarnya.
Tetapi sebagaimana selalu dilakukannya, Glagah Putih
tidak mempergunakannya dengan serta merta. Ia memang
harus berusaha mengalahkan lawannya agar bukan dirinya
sendiri yang menjadi korban. Tetapi dengan tataran ilmu yangtidak
semena-mena dipergunakannya. Hanya terhadap orangorang
yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, maka
Glagah Putih akan menghempaskan seluruh kekuatan yang
didalam dirinya, yang disadarinya menjadi semakin besar
sejak ia menerima tumpuan alas kekuatan dari Raden Rangga
tanpa mengusik ilmu yang memang telah berada didalam
dirinya. Dengan demikian maka Glagah Putih memang harus
menjajagi lagi kemampuan ilmu puncak lawannya itu.
Meskipun demikian, maka segala kemungkinan akan dapat
terjadi. Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka lawannya itupun
telah meloncat menyerang. Dengan ketajaman
pengamatannya, maka Glagah Putih segera melihat, bahwa
telah terdapat perubahan pada tata gerak orang itu. Ayunan
tangannya bagaikan ayunan sebongkah besi baja yang sangat
berat. Glagah Putih yang telah menyarungkan pedangnya pula,
dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan tatapan mata
wadag telah bergeser, sehingga ayunan tangan lawannya itu
tidak menyentuhnya. Namun terasa betapa angin telah
menyambar kakinya dengan derasnya.
Dengan demikian maka Glagah Putih dapat
memperhitungkan betapa kuatnya ayunan tangan lawannya
itu. Bahkan ilmu yang telah dibangunkannya itu tentu mampu
membuat tubuh lawannya itu menjadi sekeras batu hitam.
Pukulannyapun tentu akan meremukkan tulang.
Karena itu, maka orang itu sama sekali tidak


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhitungkan bahwa lawannya akan menangkis
serangannya itu. Bahkan ia berusaha untuk membuat
benturan-benturan yang akan dapat menghancurkan
perlawanan lawannya. Tetapi Glagah Putih mampu menempatkan diri. Bahkan ia
masih sempat menduga-duga, apakah dengan demikian
lawannya akan dapat menjadi kebal sehingga seandainya ia
mempergunakan pedangnya, orang itu tidak akan dapat
dilukainya. Namun Glagah Putih tidak ingin lagi menarik pedangnya. Ia
akan mencoba dengan kemampuan ilmunya, apakah
lawannya memang kebal. Ia akan memanfaatkan kecepatan
geraknya untuk menjajagi kekuatan dan kemampuan
lawannya itu. Sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun telah
mengimbangi ilmu lawannya. Iapun telah meningkatkan
perlawanannya, sehingga tata geraknyapun telah berubah
pula. Geraknya menjadi semakin cepat, sehingga kakinya seakan-
akan tidak lagi berjejak diatas tanah. Dalam keremangan
cahaya obor dikejauhan, maka Glagah Putih itu
bagaikan bayangan yang terbang mengitari arena
pertempuran. Dengan demikian, maka Glagah Putih telah
mempergunakan unsur yang berlawanan dari lawannya yang
seakan-akan menjadi semakin berat dan menekan bumi.
Geraknya dan ayunan serangannya yang bagaikan besi baja,
sementara Glagah Putih seolah-olah telah menjadi seringan
kapas. " Anak iblis " geram lawannya yang tidak segera mampu
mengenai sasaran dengan ilmunya yang garang. Tetapi
serangan-serangannyapun kemudian datang beruntun.
Lawannya memburunya kemana Glagah Putih bergeser tanpa
harus membuat perhitungan atas serangan-serangannya itu
karena lawannya itu tidak merasa perlu menghindari benturan
kekuatan. Glagah Putih kemudian memang mencoba untuk
mengetahui daya tahan lawannya. Dengan cepat, ia telah
mempergunakan kesempatan yang terbuka untuk
memasukkan serangannya mengenai pundak lawannya itu.
Ternyata Glagah Putih berhasil. Jari-jarinya yang merapat,
berhasil mengenai pundak lawannya sebagaimana
direncanakan. Tetapi sentuhan itu telah mengejutkan Glagah Putih.
Meskipun lawannya itu juga meloncat surut oleh serangan
yang terasa menyakitinya, tetapi jari-jari Glagah Putihpun
merasa sakit pula. Rasa-rasanya jari-jarinya akan berpatahan.
Pundak lawannya itu seolah-olah berubah menjadi
sekeras batu. " Satu jenis ilmu yang berbahaya " berkata Glagah Putih
didalam hatinya " setiap sentuhan serangan telah menyakiti
penyerangnya sendiri. Dan karena itulah agaknya, maka ia
tidak terlalu banyak memperhitungkan tata
geraknya. Ia menyerang seperti seekor kerbau yang dungu.
Namun ayunan tangannya seperti ayunan balok-balok besi.
Sementara itu, tubuhnyapun menjadi sekeras batu pula.
Semakin keras seseorang menyerang dan mengenainya,
maka orang itu sendiri akan menjadi semakin kesakitan. "
Tetapi satu hal yang diketahui puli oleh Glagah Putih,
bahwa ternyata orang itu tidak menjadi kebal. Sentuhan
tangannya masih juga mampu menyakiti orang itu, meskipun
jari-jarinya juga menjadi sakit.
Dengan demikian Glagah Putih menduga, bahwa ilmu
orang itu menjadi hubungan atau merupakan rambatan dari
ilmu Tameng Waja. Jika orang itu berhasil, maka sulit bagi
lawan-lawannya untuk mengalahkannya, karena Tameng
Waja mempunyai kemampuan sebagaimana ilmu kebal.
Meskipun bukan berarti bahwa ilmu itu tidak dapat ditembus
sama sekali. Kemampuan ilmu yang mempunyai tataran ilmu
Tameng Waja itu masih akan dapat menembusnya dan
menghancurkannya. Demikian maka pertempuran antara Glagah Putih dengan
pemimpin kelompok dari orang-orang yang memasuki
padepokan itu menjadi semakin seru. Orang itu benar-benar
telah mempercayakan dirinya pada kemampuan ilmunya.
Meskipun serangan-serangan orang itu tidak dapat mengenai
lawannya, tetapi Glagah Putihpun harus membuat perhitungan
sebaik-baiknya untuk menyentuhnya agar lawannya sendiri
tidak merasa sakit karenanya.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak mengenai lawannya
dengan sentuhan-sentuhan yang keras, tetapi Glagah Putih
telah mempergunakan sentuhan-sentuhan yang lunak.
Seakan-akan setiap kali ia hanya mendorong lawannya
sehingga setiap kali lawannya itu seakan-akan telah
kehilangan keseimbangannya. Tetapi ternyata bahwa
dorongan-dorongan itu tidak juga berhasil menjatuhkannya
meskipun beberapa kali hal itu hampir terjadi.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih menjadi berdebardebar
ketika ia mengamati pertempuran yang terjadi
disekitarnya. Meskipun hanya sekilas-sekilas, tetapi ia melihat
bahwa ternyata lawan-lawan para cantrik itu telah bertempur
semakin keras dan kasar. Bahkan kadang-kadang diluar
batas-batas paugeran, sehingga sikap itu ternyata telah
berpengaruh atas perlawanan para cantrik. Dalam beberapa
hal para cantrik yang kurang berpengalaman itu memang
mempunyai beberapa kekurangan menghadapi keadaan yang
tiba-tiba saja berubah. Sehingga sikap orang-orang yang
memasuki padepokan itupun kadang-kadang membingungkan
mereka. Dengan keadaan yang demikian, maka Glagah Putih-pun
merasa telah berpacu pula dengan waktu. Jika keadaan para
cantrik itu menjadi semakin sulit, maka korbanpun tentu akan
berjatuhan tanpa dapat dikekang lagi.
Karena itu, maka Glagah Putih pun merasa wajib untuk
dengan segera berusaha mengatasi lawannya yang memiliki
kemampuan yang tinggi itu.
Sementara itu Agung Sedayupun tengah bertempur
melawan lawannya yang wajahnya bagaikan membeku. Orang
yang menyebut dirinya bernama Singapati serta memiliki ilmu
yang diwarisinya dari perguruan Worsukma itu telah
meningkatkan ilmunya dari satu tingkat ketingkat berikutnya.
Namun Agung Sedayupun j telah mengimbanginya pula. Iapun
telah meningkatkan - ilmunya setingkat demi setingkat pula.
Dengan demikian pertempuran diantara keduanyapun
menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak semakin cepat,
sementara gerak tangan dan kaki merekapun tidak lagi dapat
diikuti dengan pandangan mata wadag.
Di pringgitan Sekar Mirahpun bertempur semakin cepat
pula. Ternyata dua orang cantrik yang mengejar orang itu
namun kemudian kehilangan jejaknya, telah berada di
pendapa pula. Tetapi keduanya tertegun ketika mereka
melihat dua orang cantrik yang lain berdiri termangu-mangu di pintu
pringgitan, sementara Sekar Mirah bertempur dengan
kemampuan yang mendebarkan melawan orang yang
bersenjata pedang lurus bermata tajam di kedua sisinya itu.
Karena itulah maka keduanyapun untuk sementara hanya
sekedar melihat saja apa yang terjadi dengan kedua orang
yang bertempur itu. Namun keduanyapun ternyata sempat menangkap isyarat
dari pertempuran itu, bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat
dikalahkan oleh lawannya yang berpedang lurus itu. Beberapa
kali justru Sekar Mirahlah yang telah mendesak lawannya.
Tongkat baja putihpun berputaran seperti baling-baling.
Suaranya seperti desau angin yang bertiup kencang diselasela
dedaunan. Dalam setiap benturan, maka lawannya, selalu nampak
terdorong surut meskipun hanya setapak atau senjatanya
sajalah yang bagaikan mental dari benturan.
Dengan demikian maka kedua orang cantrik yang berusaha
mengejarnya tidak lagi merasa cemas akan orang itu,
sehingga keduanyapun telah meninggalkan pendapa dan
berlari kembali kepada kelompok mereka yang masih
bertempur dengan sengitnya.
Yang ditinggalkan di pendapa ternyata masih bertempur
terus dengan sengitnya. Dua orang cantrik yang dipintu pringgitan menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung yang seakan-akan berdenyut
semakin cepat. Namun merekapun melihat, bahwa Sekar
Mirah berada pada kemungkinan yang lebih baik dari
lawannya. Beberapa kali lawannya yang bersenjata panjang
itu telah terdesak mundur, sementara pedang-nyapun sulit
untuk mengikuti kecepatan gerak tongkat baja putih Sekar
Mirah. Sekar Mirahpun kemudian menjadi semakin yakin pula,
bahwa ilmu yang dimilikinya mampu mengatasi ilmu
pedang betapapun mula-mula ilmu itu agak asing baginya.
Namun pengalamannya serta kemampuannya yang telah
berkembang dapat melampaui tata gerak yang semula tidak
begitu dikenalnya. Namun yang perlahan-lahan dapat dikenali
kekuatan dan kelemahan itu.
Namun dalam pada itu. Sekar Mirah menjadi termangumangu
sejenak. Hampir saja ujung pedang lawannya
menyentuh tubuhnya. Untunglah bahwa ia mampu meloncat
surut dengan gerak nalurinya, sehingga tubuhnya tidak
terkoyak karenanya. Dari sebelah bangunan induk di padepokan itu terdengar
sorak yang bagaikan mengguncang seluruh padepokan.
Kemudian disusul oleh teriakan-teriakan yang serupa dari arah
lain. Seakan-akan suara-suara riuh itu semakin lama menjadi
semakin dekat. " Apakah mereka berhasil mendesak para cantrik sehingga
pertempuran itu menjadi semakin dekat dengan barak induk
ini" " pertanyaan itu tumbuh dihati Sekar Mirah.
Tetapi justru karena itu, maka iapun telah mengambil
keputusan untuk dengan cepat menyelesaikan perlawanan
orang berpedang lurus itu.
Ketika teriakan-teriakan dari corak yang riuh itu terdengar
semakin keras, maka Sekar Mirahpun telah menghentakan
kemampuan ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar dan
telah dikembangkannya pula dengan tuntunan suaminya serta
dilambari dengan pengalaman yang luas, maka iapun benarbenar
telah menekan lawannya. Demikian sorak yang
mengguntur meledak, maka keluh kesakitan orang berpedang
itu tidak dapat didengarnya.
Orang berpedang lurus itu meloncat beberapa langkah
surut. Ternyata tongkat baja putih Sekar Mirah telah mengenai
bahu orang itu. Kulit orang itu memang tidak ter-luka, tetapi
tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan.
Sekar Mirah tidak melepaskan lawannya justru karena suara riuh itu menjadi semakin dekat. Bahkan Sekar Mirah telah menghentakkan pula kemampuannya, agar ia dapat segera membantu jika kemungkinan yang terburuk telah terjadi.
Dengan demikian maka Sekar Mirahlah yang kemudian nampak menjadi garang. Ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar, sebagaimana ilmu yang dikuasai oleh Tohpati yang digelari Macan Kepatihan memang satu jenis ilmu yang garang. Apalagi jenis senjata yang dipergunakannya adalah senjata yang menggetarkan jantung pula. Sedangkan kemampuan ilmunya telah berkembang pula semakin mapan.
Karena itu, ketika Sekar Mirah benar-benar mengerahkan ilmunya sampai kepuncak, maka lawannya memang tidak banyak mendapat kesempatan. Orang berpedang lurus itu justru semakin terdesak. Apalagi karena bahunya telah dikenai tongkat baja putih Sekar Mirah.
Beberapa saat kemudian, maka suara yang riuh itu rasarasanya memang hampir mencapai sebelah menye-belah pendapa. Sekar Mirah memang menjadi agak gelisah. Tetapi kegelisahannya itu tidak mengaburkan pengamatannya atas tata gerak lawan. Ia memang berusaha mempercepat penyelesaian, tetapi tidak dengan tanpa perhitungan.
Ketika Sekar Mirah meloncat kesamping dengan ayunan mendatar, lawannya sempat bergerak kearah yang berlawanan. Namun demikian ujung jari kaki Sekar Mirah menyentuh lantai, maka iapun telah melenting pula.
Tongkatnya mematuk lurus kedepan kearah dada. Tetapi lawannya masih juga sempat memiringkan tubuhnya sambil menangkis tongkat itu kesamping. Tetapi Sekar Mirah dengan cepat memutar tongkatnya. Sekali lagi ia mengayunkan mendatar dan kekuatannya yang besar telah menghantam lambung orang itu lewat tongkat besi bajanya.
Orang itu tidak sekedar meloncat mundur. Ketika ia mencoba menghindar, justru pada saat kakinya lepas dari lantai, tongkat lawannya itu mengenainya. Sehingga dengan demikian maka orang itu bagaikan dilemparkan dengan kekuatan yang sangat besar. Sekali orang itu berguling.
Namun ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia justru telah terpeleset jatuh ketangga pendapa.
Sekar Mirah tidak mau melepaskannya. Orang itu tidak boleh melarikan diri. Karena itu, Sekar Mirahpun dengan loncatan panjang menyusulnya. Demikian orang itu bangkit, maka tongkat Sekar Mirah telah terayun deras.
Terdengar keluh kesakitan. Namun tubuh itupun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Tongkat Sekar Mirah yang agak tergesa-gesa diayunkan, ternyata telah mengenai punggung orang itu agak dibawah tengkuk.
Beberapa saat orang itu memang berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun sejenak kemudian iapun telah terjatuh menelungkup. Pedangnya tergeletak disisinya sementara tangannya masih berusaha untuk berpegang pada hulunya.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Kedua orang cantrik yang berdiri didepan pintu pringgitan itupun berlari-larimendekat.
" Apa yang terjadi" " bertanya salah seorang diantara mereka.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika kedua orang cantrik itu menengadahkan orang itu, Sekar Mirah berpaling dan berjalan beberapa langkah menjauh. Ternyata bahwa Sekar Mirah tidak ingin menyaksikan wajah orang itu yang membayangkan kesakitan yang sangat disaat-saat terakhir.
Namun dalam pada itu suara sorak dan teriakan-teriakan itupun menjadi semakin keras.
Sesaat Sekar Mirah menunggu. Namun ketika ia mendapat kesempatan untuk memperhatikan dengan, sungguh-sungguh suara itu, maka agaknya pertempuran itu masih belum terlalu dekat dengan pendapa barak induk itu.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah berlari kepintu pringgitan. Sejenak ia tertegun seakan-akan menunggu kedua orang cantrik yang masih menunggui tubuh orang yang terbaring dibawahtangga pendapa itu. Namun kemudian iapun telah masuk keruang dalam dan langsung menuju kebilik Kiai Gringsing.
Dilihatnya Kiai Gringsing yang duduk dibibir pembaringannya itu tersenyum. Katanya dengan nada rendah " Kau berhasil mengalahkan lawanmu" "
"Ya Kiai. Ternyata aku dapat menghentikan perlawanannya. Tetapi suara sorak yang teriak-teriakan itu menjadi semakin dekat " jawab Sekar Mirah.
" Tidak apa-apa " jawab Kiai Gringsing masih tetap tenang "
kita percayakan saja semuanya kepada Agung Se-dayu. Ia akan dapat mengatasi persoalan ini. "
Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun Kiai Gringsing masih melihat kecemasan diwajah perempuan itu. Karena itu maka katanya " Yakinkan dirimu. "
" Baik Kiai " jawab Sekar Mirah.
" Nah, karena itu, jangan gelisah. Tunggu sajalah mereka disini " berkata Kiai Gringsing.
Sekar Mirah mengangguk pula. Dengan ragu-ragu ia berdesis " Aku akan menunggu disini Kiai. "
- Hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa menanggapi keadaan "
berkata Kiai Gringsing pula.
Demikianlah, maka Sekar Mirahpun kemudian telah keluar.
Dua orang cantrik masih berada didalam bilik Kiai Gringsing.
Ketika dengan hati-hati Sekar Mirah menjenguk pringgitan, maka dilihatnya dua orang cantrik yang berada
diluar telah berdiri berjaga-jaga dipringgitan, sementara itu sesosok tubuh yang semula berada dibawah tangga, telah diangkat dan dibaringkan di pendapa.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang mendatangi padepokan itu memang dengan sengaja berusaha untuk menggoncangkan ketahanan batin para cantrik yang kurang berpengalaman.
Ternyata usaha mereka memang berpengaruh. Ketikaorang-orang itu bersorak-sorak dan berteriak nyaring, bahkan mengumpat-umpat dan segala macam bunyi, maka para cantrik menjadi sangat gelisah. Apalagi tata gerak orang-orang itu menjadi kasar dan liar. Mereka berlari-lari dan berusaha untuk mendesak para cantrik mendekati bangunan induk.
Bahkan beberapa orang justru berusaha untuk menyusup melampaui arena pertempuran.
Namun betapapun para cantrik terpengaruh oleh keadaan itu, tetapi mereka masih berusaha untuk menahan agar orang-orang yang memasuki padepokan itu tidak mendekat barak induk. Apalagi mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing memang sedang sakit.
Glagah Putih yang menyadari pula akan usaha orang-orang itu untuk mempengaruhi perlawanan para cantrik dari dalam diri sendiri, maka Glagah Putihpun tidak berniat untuk memperpanjang pertempuran itu. Iapun semakin meningkatkan kemampuannya sehingga tata geraknyapun menjadi semakin cepat.
Tetapi ternyata bahwa kemampuan lawannya telah menghambarnya. Glagah Putih tidak dapat menyakiti lawannya dengan tanpa memperhitungkan dirinya sendiri.
Karena semakin keras ia mengenai tubuh lawannya, maka tangannya sendiripun rasa-rasanya bagaikan menjadi patah.
Karena itu, maka Glagah Putihpun telah memilih jalan lain.
Ia terpaksa mempergunakan ilmunya yang menurutperhitungannya akan dapat mengalahkan lawannya tanpa menyakiti diri sendiri. Meskipun semula Glagah Putih tidak ingin mempergunakan kemampuannya itu, namun ia memang tidak mempunyai jalan lain.
Dengan ilmunya itu maka Glagah Putih dapat menyerang lawannya tanpa menyakitinya.
Demikian, ketika lawannya dengan tanpa membuat perhitungan-perhitungan yang rumit berusaha menyerang Glagah Putih, maka Glagah Putihpun telah berusaha mengambil jarak. Sentuhan orang itu akan dapat meremukkan tulang-tulangnya jika ia berhasil mengenainya.
Tetapi agaknya lawannya tidak membiarkan Glagah Putih itu melepaskan diri. Setiap loncatan yang memberikan jarak diantara mereka, dianggap oleh lawannya bahwa Glagah Putih menjadi semakin terdesak.
Namun ketika Glagah Putih mendapat satu kesempatan, maka tiba-tiba iapun telah menggerakkan tangannya menghentak kearah lawannya.
Ternyata gerak tangan Glagah Putih itu sangat mengejutkan lawannya. Lawannya itu tidak mengira bahwa lawannya yang masih sangat muda itu, akan mampu melepaskan ilmu sebagaimana dikerahkan sebagai ilmu yang mampu menjangkaulawannya dari arah tertentu.
Tetapi ternyata bahwa serangan itu memang telah datang menerkamnya.
Karena itu, maka dengan serta merta orang itu berusaha menghindar. Dengan loncatan panjang ia bergeser kesamping. Namun ketika serangan Glagah Putih datang pula memburunya, maka iapun telah menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Dengan sigapnya orang itupun kemudian melenting berdiri dan siap untuk meloncat menghindar jika serangan Glagah Putih datang sekali lagi.
Serangan Glagah Putih yang tidak mengenai sasarannya telah mengejutkan mereka yang sedang bertempur namun yang sudah bergeser semakin jauh kearah barak induk itu.
Namun orang-orang yang memasuki padepokan itu justru berusaha semakin cepat mendesak para cantrik dengan cara yang sangat kasar. Sambil berteriak-teriak mereka bertempur dengan liar.
Sementara itu Glagah Putih menjadi semakin cemas.
Ketika sekilas ia memperhatikan orang-orang yang mendesak para cantrik itu maka tiba-tiba saja lawannya telah melancarkan sesuatu. Glagah Putih menghindar. Namun ternyata lengannya masih juga terasa panas. Bahkan juga di bahunya.
Glagah Putih menggeram. Ketika ia meraba bahunya,
maka tangannya telah menyentuh cairan yang hangat yang meleleh dari luka. Sementara ketika ia kemudian meraba lengannya, maka terasa sesuatu berada dibawah kulitnya.
Dengan cepat Glagah Putih dapat mengetahui apa yang telah terjadi. Orang itu ternyata telah melemparkan butiranbutiran besi sebesar biji jagung. Tidak hanya satu dua, tetapi butiran-butiran besi itu telah ditaburkan dalam jumlah yang banyak. Mungkin lima atau enam sekaligus.
Karena itulah maka Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya memang sangat berbahaya baginya. Apalagi lawannya itu telah melukainya dan bahkan satu diantara butiran besi itu ternyata telah mengeram didalam lengannya.
Lengannya memang terasa nyeri jika digerakkannya.
Dengan demikian, maka kemarahan Glagah Putih menjadi semakin terungkat. Dua hal yang telah memaksanya mengambil satu keputusan. Bahwa para cantrik yang menjadi bingung menghadapi kekasaran orang-orang yang menyerang padepokan itu, bahkan liar dan garang, serta bahwa lawannya itu telah melukainya.
Apalagi Glagah Putih tidak sempat membuat pertimbanganpertimbangan lebih lanjut karena lawannya itu telah menyerangnya pula. Beberapa butir biji-biji besi itu telah menghambur dengan derasnya kearahnya.
Glagah Putih yang marah itu sempat meloncat menghindar.
Namun sesaat kemudian serangan berikutnya yang menyambarnya, sehingga karena itu, maka Glagah Putihlah yang harus meloncat kemudian menjatuhkan dirinya berguling menghindari serangan berikutnya yang mengejarnya, karena lawannya agaknya tidak mau melepaskan kesempatan itu.
Tetapi Glagah Putihpun telah mengambil keputusan.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, tanpa meloncat bangkit ia telah menyerang lawannya dengan ilmunya yan dahsyat.
Ternyata lawannya salah menghitung gerak Glagah Putih.
Ia menyangka bahwa Glagah Putih akan melenting berdiri. Ia telah siap dengan butir-butir besi ditangannya untuk dilontarkannya demikian Glagah Putih melenting. Dengan demikian maka kemungkinan Glagah Putih untuk menghindar menjadi sangat kecil. Selagi kakinya belum menyentuh tanah, maka butir-butir besi itu sudah akan menyambarnyadibeberapa bagian tubuhnya.
Kesalahan itu berakibat sangat buruk bagi orang itu.
Glagah Putih yang masih terbaring ditanah itu ternyata telah menghentakkan tangannya.
Seleret cahaya sakan-akan telah meluncur dari tangan-nya itu. Demikian cepatnya dan tidak terduga-duga, sehingga lawannya yang telah bersiap melontarkan serangannya itu terlambat menyadari apa yang telah terjadi.
Yang terdengar kemudian adalah pekik kesakitan. Orang itu terlempar beberapa langkah surut tanpa sempat melepaskan butir-butir besi ditangannya.
Pekik kesakitan itu ternyata telah menggetarkan setiap jantung dari orang-orang yang menyerang padepokan itu.
Mereka mengenali suara itu, adalah suara pemimpin kelompok mereka. Mereka yang sempat berpaling sejenak melihat bagaimana pemimpin mereka itu terlempar jatuh dan tidak segera berhasil bangkit kembali.
Kesempatan itu dipergunakan oleh para cantrik sebaikbaiknya.
Disaat orang-orang itu terkejut melihat peristiwa yang, menggetarkan itu.
Yang terdengar bersorak kemudian adalah justru para cantrik. Sorak kemenangan. Bukan sekedar berpura-pura untuk mengimbangi teriakan-teriakan lawannya. Tetapi benarbenar begitu saja melonjak dari dalam hati.
Glagah Putihlah yang kemudian termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya lawannya yang terbaring diam. Namun Glagah Putih tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia tahu bahwa lawannya memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa oleh ilmunya yang tinggi, yang menjadikan tubuhnya bagaikan sekeras batu. Tetapi Glagah Putihpun tahu bahwa lawannya tidak menjadi kebal karenanya. Seandainya benar dugaannya bahwa ilmu yang dimiliki itu adalah, bentuk mula dari ilmu Tameng Waja, maka ilmu itu sama sekali masih belum mapan.
*** Jilid 230 SEMENTARA itu, orang-orang yang memasuki padepokan itu segera menyadari keadaan mereka. Pemimpin kelompok mereka telah dikalahkan oleh lawannya. Karena itu, maka mereka tidak lagi dapat mengharapkan perlindungannya. Adalah kebetulan bahwa orang-orang yang berilmu tinggi tidak ada didalam kelompok itu, tetapi ada di kelompok yang lain. Namun orang-orang didalam kelompok itu tidak mengetahui, bahwa seorang diantara mereka yang berilmu tinggi itu telah pula dikalahkan oleh Sekar Mirah, justru di pringgitan barak induk.
Sesaat kemudian orang-orang yang menyerbu masuk kedalam padepokan itu menjadi semakin liar dan garang. Mereka seakan-akan menjadi putus asa dan kehilangan pegangan, sehingga mereka telah bertempur tanpa sandaran selain membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka mengamuk seperti orang yang sedang mabuk tuak dan kehilangan kesadaran diri.
Para cantrik terkejut mengalami perlakuan yang se"makin kasar. Mereka semula mengira, bahwa kematian pemimpin kelompok itu akan memperlemah perlawanan me"reka. Namun ternyata tidak demikian. Orang-orang itu menjadi semakin liar karena putus asa.
Dengan demikian para cantrik menjadi semakin gelisah. Mereka tidak lagi bersorak-sorak. Justru mereka menjadi cemas menghadapi lawan-lawan mereka.
Glagah Putih melihat kecemasan para cantrik yang memang kurang berpengalaman itu. Karena itu, maka iapun telah meninggalkan tubuh yang terbaring diam itu. Dengan serta merta maka Glagah Putihpun telah melibatkan diri dalam pertempuran antara para cantrik dan orang-orang yang menyerang padepokan itu. Bahkan arena pertempuran itupun telah bergeser semakin dekat dengan
bangunan induk. Tetapi seorang yang melepaskan diri dari arena dan meloncat naik kepringgitan, ternyata bernasib sangat buruk. Sekar Mirah yang ada di pringgitan terkejut melihat kehadiran orang itu. Apalagi Sekar Mirah memperhitungkan kemampuan orang-orang yang memasuki padepokan itu sebagaimana orang yang baru saja dilawannya. Karena itu, dengan kemampuan yang tinggi, maka Sekar Mirah telah menyongsong orang itu.
Namun Sekar Mirah telah terkejut ketika ayunan tongkatnya yang pertama telah melemparkan senjata orang itu. Bahkan ketika Sekar Mirah kemudian memutar tongkatnya dan sekali lagi menyerang dengan ayunan mendatar kearah lambung, orang itu sama sekali tidak sempat mengelakkannya.
Diiringi jerit kesakitan tubuh orang itu telah terdorong kesamping. Kemudian jatuh berguling dipringgitan. Namun orang itu tidak bangkit lagi.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat bahwa sese-orang telah mampu mencapai pringgitan, maka iapun dengan serta merta tidak meloncat keluar dari arena dan mendahului naik kepringgitan. Namup iapun terkejut ketika melihat Sekar Mirah berdiri tegang dengan tongkat baja putihnya, sementara seseorang telah terbaring diam.
"mBokayu." Glagah Putih menyapanya.
"Apakah mereka semakin mendesak?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya. Sebagian dari mereka tentu akan mencoba untuk memasuki bangunan induk ini." berkata Glagah Putih.
"Aku dan kedua orang cantrik itu akan menunggu disini." berkata Sekar Mirah.
"Baiklah. Aku akan melihat apakah mereka tidak ada yang berusaha menembus lewat jalan lain. Mungkin pintu butulan atau bahkan memecah dinding. Mereka ternyata sempat menipu para cantrik sehingga dapat melepaskan diri dari pertempuran." berkata Glagah Putih yang tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah telah turun lagi dari pring"gitan menyongsong lawan-lawannya disisi bangunan induk.
Pertempuranpun menjadi semakin riuh karena keputus-asaan orang-orang yang telah kehilangan pimpinan itu. Na"mun Glagah Putihpun telah berada diantara mereka, sehingga ia dapat banyak membantu para cantrik yang kadang-kadang menjadi kebingungan.
Meskipun Glagah Putih tidak mempergunakan ilmunya yang telah dipergunakan untuk menghabisi perlawanan pemimpin kelompok itu, namun dengan dorongan tenaga cadangannya, maka Glagah Putih telah mampu menjadi penentu dalam pertempuran itu.
Ketika kemudian beberapa orang telah menyerangnya bersama-sama, maka Glagah Putih memang haras berusaha untuk melawan mereka dengan mengerahkan tenaga cadangannya. Dengan kecepatan yang tinggi Glagah Putih berhasil mengelakkan serangan-serangan yang datang beruntun.
Namun ternyata bahwa lawannya semakin lama menja"di semakin banyak, sehingga Glagah Putih menjadi terdesak karenanya. Bahkan hampir saja Glagah Putih mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya jika keadaan menjadi semakin gawat.
Tetapi beberapa orang cantrik yang melihat keadaan itu telah datang membantunya. Dengan demikian maka beberapa orang diantara mereka telah terseret keluar dan bertempur, dengan para cantrik itu. Karena itulah, maka Glagah Putih menjadi semakin mapan. Rasa-rasanya nafasnya menjadi semakin longgar, sehingga Glagah Putih mulai dapat mendesak lawannya seorang demi seorang. Ketika ujung pedang Glagah Putih menyentuh seorang lawan, maka orang itupun telah mengumpat dengan kasarnya. Tanpa menghiraukan darah yang mengalir dilukanya itu, ia telah berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan pedangnya menyerbu kearah Glagah Putih.
Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ketika orang itu mendesaknya, maka Glagah Putih terpaksa menyingkirkan ujung senjatanya dengan benturan yang keras, kemudian ujung pedang Glagah Putihlah yang telah membungkamnya.
Orang itu memang terdiam Bahkan iapun telah jatuh terbaring di tanah. Pedangnya terlepas beberapa langkah dari tubuhnya yang kemudian terdiam. Tetapi kematian orang itu dan beberapa orang yang lain, membuat orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi bagaikan orang gila. Mereka tidak menjadi cemas akan nasib mereka sendiri. Tetapi mereka justru telah bertempur semakin menggila.
"Satu keberhasilan seseorang membuat orang lalu kehilangan akal budinya." berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Orang-orang yang bertempur itu di penglihatan Glagah Putih seperti orang-orang yang tidak lagi sempat menilai apa yang telah mereka lakukan. Mereka berbuat sebagaimana yang mereka lakukan seakan-akan tanpa tahu arti dan kepentingannya. Sehingga orang-orang itu bagai"kan telah kehilangan pribadinya. Tetapi orang-orang yang demikian adalah justru orang-orang yang sangat berbahaya. Orang-orang yang tidak sempat memikirkan dirinya sendiri atau membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menyerah.
Namun menghadapi orang-orang yang demikian maka Glagah Putih justru berusaha mengekang dirinya. Glagah Putih merasa berhadapan dengan orang-orang yang tidak tahu apa yang dilakukannya sehingga menurut Glagah Putih orang-orang itu seharusnya tidak harus bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatan mereka.
Karena itulah, mereka tidak semestinya dibunuh dalam pertempuran itu. Hanya jika terpaksa dan diluar perhitungan, maka Glagah Putih telah melemparkan lawannya dari arena dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Demikianlah satu-satu orang-orang yang memasuki padepokan itu telah dilumpuhkan. Betapapun Glagah Putih menghindari kematian, namun beberapa orang diarena telah terbunuh pula. Para cantrik memang tidak mendapat petunjuk untuk selalu membunuh lawannya, bahkan setiap Kiai Gringsing memberitahukan bahwa kemampuan me"reka bukannya alat untuk membunuh. Tetapi dalam pertempuran yang seru, para cantrik itu tidak lagi mampu mengendalikan diri. Apalagi ketika para cantrik itu melihat beberapa orang kawan mereka telah jatuh pula menjadi korban, maka hati merekapun menjadi bagaikan menyala.
Tetapi ternyata bahwa pertempuran yang semula bagaikan membakar padepokan itu, disatu sisi telah men"jadi reda. Satu-satu lawan para cantrik dan Glagah Putih itu kehilangan kesempatan untuk bertempur. Glagah Putih"pun kemudian telah bersedia untuk mencegah agar para cantrik tidak semata-mata menghanyutkan diri dalam arus perasaannya.
Karena itulah, maka setiap kali Glagah Putih telah menawarkan kepada orang-orang yang memasuki pade"pokan itu untuk menyerah. Bagaimanapun juga, akhirnya perasaan orang-orang itupun terungkat. Kenyataan yang ada dihadapan mereka, telah membangunkan mereka dari sebuah mimpi yang buruk. Itulah agaknya yang memaksa mereka untuk kemudian menyerah ketika Glagah Putih menyerukannya sekali lagi.
Satu-satu orang-orang itu telah melemparkan senjatanya, sehingga orang yang terakhirpun kemudian telah menyerah pula.
Namun justru setelah pertempuran itu dianggap selesai disatu sisi, maka Glagah Putih merasakan kepedihan pada lukanya. Sebutir besi telah bersarang dibawah kulitnya. Hanya karena ketahanan tubuhnya yang kuat luar biasa, maka Glagah Putih masih dapat menyelesaikan pertem"puran itu dengan mencegah kematian lebih banyak lagi. Tetapi kemudian justru dirinya sendirilah yang merasa, betapa lengannya menjadi sangat sakit. Meskipun demikian Glagah Putih sadar, bahwa tugas masih belum selesai seluruhnya.
Disisi lain, masih terdengar teriakan-teriakan yang menggetarkan jantung. Selain keras juga dan berkesan kotor. Umpatan-umpatan dan makian-makian yang tidak terkendali.
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih menunggui para cantrik yang mulai mengumpulkan senjata yang dilemparkan dari mereka yang telah menyerah. Kemudian mengambil tali ijuk yang kuat untuk mengikat para tawanan, agar mereka tidak melarikan diri atau berusaha untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang masih belum menyerah. Baru kemudian Glagah Putih itupun berkata, "Kita dapat membantu saudara-saudara kita yang masih bertempur. Kita dapat menunjuk beberapa orang saja untuk menunggui para tawanan yang sudah terikat. Namun demikian, jika terjadi kesulitan, agar kalian membunyikan pertanda yang akan dapat memanggil bantuan."
Demikian, Glagah Putihpun telah meninggalkan tempat itu bersama sebagian dari para cantrik, sementara yang lain tetap berada ditempat itu menunggui orang-orang yang sudah terikat. Seorang diantara para cantrik yang tinggal telah diserahi untuk memimpin kawan-kawannya. Dengan hati-hati Glagah Putih membawa beberapa orang cantrik melingkari bangunan induk. Kemudian menyelinap diantara batang-batang perdu mendekati arena pertempuran.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Ia masih melihat pertempuran yang sengit.
Seperti para cantrik yang bertempur bersamanya, maka kekasaran lawan-lawan me"reka memang sangat berpengaruh. Sementara itu, agak jauh dari para cantrik, Agung Sedayu masih juga ber"tempur dengan sengitnya melawan seseorang yang agaknya juga memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Melihat pertempuran antara para cantrik dan orang-orang yang memasuki padepokan itu, Glagah Putih melihat pula usaha beberapa orang untuk menerobos arena dan langsung menuju ke pendapa. Namun usaha mereka itu agaknya selalu dihalangi oleh para cantrik. Tetapi orang-orang itu tidak menghentikan usaha mereka. Bahkan ada diantara mereka orang yang ternyata telah memilih untuk melalui jalan pintas.
Dua orang diantara mereka ternyata berhasil menghindar dari arena. Dengan mengendap-endap mereka lang"sung menuju ke pintu butulan. Namun Glagah Putihpun segera memberi isyarat kepada para cantrik yang mengikutinya agar mereka men"cegah perbuatan kedua orang itu.
Beberapa orang cantrik telah menghambur dari balik batang-batang perdu dan langsung menyerang kedua orang yang ingin masuk kedalam bangunan induk lewat pintu butulan. Sementara itu kedua orang itu telah siap untuk merusakkan pintu butulan itu.
Ternyata bahwa kedua orang itu terkejut melihat keha"diran para cantrik sambil mengacungkan senjata mereka. Karena itu, maka keduanyapun telah meloncat untuk mempersiapkan diri melawan para cantrik itu.
Sejenak kemudian, maka keduanya sudah harus ber"tempur melawan beberapa orang cantrik yang marah me"lihat kelicikan mereka. Dengan garangnya kedua orang itu telah mengayun-ayunkan senjata mereka. Namun para can"trik yang telah memiliki bekal yang memadai itupun kemu"dian telah berhasil mendesak mereka menjauhi pintu butulan. Namun karena percobaan itulah, maka pintu butulan itupun telah dijaga. Bahkan pintu butulan yang lainpun telah dijaga pula oleh dua orang cantrik.
Dalam pada itu pertempuran yang terjadi kian lama menjadi semakin sengit. Seorang yang berilmu melampaui yang lain telah bertempur berhadapan dengan beberapa orang cantrik. Namun ternyata bahwa orang itu terlalu tangkas, sehingga justru para cantrik itu setiap kali telah terdesak.
Namun karena para cantrik bekerja bersama dengan baik, maka orang itupun belum berhasil memecahkan keputusan beberapa orang cantrik yang menyerangnya berurutan dari segala arah itu.
Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Setiap kali ia meraba lengannya yang pedih. Dalam kesempatan itu, Glagah Putih telah menaburkan serbuk obat pada lukanya. Tetapi ia tidak dapat mengobati luka di lengannya, karena sebutir besi telah mengeram didalamnya. Bahkan obat itu rasa-rasanya justru telah membuat luka"nya bagaikan tersentuh api. Rasa-rasanya butir besi dida"lam kulitnya itu justru telah membara.
Glagah Putih menggeretakkan giginya untuk menahan. Iapun telah mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit itu. Meskipun tidak hilang seluruhnya, tetapi cara itu memang telah berkurang.
Dalam pada itu, maka pertempuran telah berubah. Kehadiran para cantrik dari sisi yang lain bangunan induk padepokan itu, telah membuat keseimbangan bergeser. Selain mereka yang mendesak dua orang yang berusaha membuka pintu butulan, maka beberapa orang cantrik telah langsung terjun ke dalam pertempuran.
Dengan lantang salah seorang cantrik berkata, "Per"tempuran disebelah bangunan induk ini sudah selesai. Kami telah membinasakan semua orang yang memasuki pade"pokan ini dengan maksud buruk. Karena itu, maka kami sekarang telah berada disini."
Suara itu memang sebagian tenggelam diantara teriakan-teriakan kasar lawan-lawan mereka. Namun orang-orang yang berdiri disebelah menyebelahnya telah mendengar teriakan itu. Seorang cantrik yang lain dengan sengaja telah bertanya keras-keras, "Jadi kalian sudah ber"hasil membunuh lawan-lawan kalian?"
"Ya. Bahkan pemimpm kelompoknya yang berilmu tinggi itu telah mati." jawab cantrik itu keras-keras.
"Bohong." terdengar suara yang lain, "jangan mem"buat. Aku koyakkan mulutmu."
"Kau mulai ketakutan." berkata cantrik itu, "dengar. Jika mereka belum kami selesaikan, maka kami tidak akan berada disini sekarang."
Tidak ada jawaban. Namun para cantrik itupun men"jadi semakin mendesak. Beberapa orang diantara para can"trik itu telah berhasil membelah kekuatan orang-orang yang memasuki padepokan itu. Mendesak mereka kearah yang beda pula.
Orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin garang. Mereka berusaha untuk mencapai pendapa bangunan induk. Tetapi agaknya akan menjadi semakin baik karena jumlah para cantrik yang semakin bertambah.
Beberapa saat kemudian, keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas. Bagaimanapun orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin liar dan kasar, namun mereka tidak berhasil untuk mengurai perlawanan para cantrik yang semakin rapat.
Glagah Putih sendiri masih belum turun ke arena. Ia melihat kemungkinan yang semakin baik bagi para cantrik. Beberapa saat Glagah Putih masih berusaha mengatasi perasaan sakitnya.
Tetapi perhatian Glagah Putih kemudian telah terlempar pada pertempuran yang terjadi agak terpisah dari arena pertempuran yang semakin luas. Dengan kening yang berkerut, Glagah Putih melihat Agung Sedayu bertempur melawan orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula.
Perlahan-lahan Glagah Putihpun beringsut dari tempatnya. Ia tidak lagi menyelinap diantara gerumbul-gerumbul perdu. Tetapi ia berjalan saja melintasi arena pertempuran. Memang sekali-sekali Glagah Putih harus meloncat menghindari serangan yang datang kepadanya. Namun Glagah Putih telah mempercayakan penyesalan pertem"puran itu kepada para cantrik yang memang telah hampir menguasai seluruh arena.
Sekali-sekali terdengar seorang cantrik yang meneriakkan tawaran agar lawan-lawannya mengerti sebagai-mana dilakukan oleh Glagah Putih. Namun agaknya orang-orang yang menyerang padepokan itu masih melihat satu kemungkinan bagi mereka.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah berada di arena pertempuran yang lain. Pertempuran antara Agung Sedayu melawan seseorang yang mengaku pewaris dari perguruan Worsukma yang mendebarkan itu.
Sebenarnyalah pertempuran antara keduanya menunjukkan betapa keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka pertempuran diantara mereka adalah pertempuran yang mendebarkan. Keduanya seakan-akan melayang-layang seperti dua ekor elang yang sedang berlaga, Namun kadang-kadang keduanya bergerak cepat se"perti burung-burung sikatan. Sambar menyambar sehingga sulit dikuti dengan tatapan mata wadag.
Dalam pada itu, maka keduanyapun telah meningkatkan kemampuan mereka semakin tinggi. Dalam pertem"puran yang semakin cepat itu, keduanya telah mulai ber"hasil menyentuh tubuh lawan-lawannya.
Ketika tangan lawannya berhasil mengenai pundak Agung Sedayu, maka terasa betapa sakitnya pundak itu. Namun Agung Sedayupun mampu bergerak secepat lawan"nya, sehingga karena itu, maka iapun telah berhasil menghantam dada lawannya sehingga terdorong selangkah surut.
Kemarahan yang meledak telah membuat wajah orang itu menjadi merah. Dadanya bagaikan menjadi retak didalam, sehingga nafasnya rasa-rasanya telah tersumbat. Karena itu, maka keduanya merasa perlu untuk melindungi diri mereka masing-masing. Agung Sedayu yang menyadari, betapa kuatnya tenaga lawannya, telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sementara itu lawannyapun telah mengungkapkan ilmunya pula untuk melindungi dirinya.
Pertempuran itu masih berlangsung dengan dahsyatnya. Namun kemudian keduanyapun telah berubah. Ketika Singapati dari Worsukma itu berhasil mengenai tubuh Agung Sedayu, maka Agung Sedayu yang telah mengenakan perisai ilmu kebalnya itu sama sekali tidak tergoncang karenanya. Tetapi ketika kemudian Agung Sedayu mengenainya, maka justru tangan Agung Sedayulah yang menjadi sakit karenanya. Tubuh orang itu menjadi sekeras besi.
Meskipun Glagah Putih yang menyaksikan pertempur"an itu tidak terlihat, namun ia segera menyadari, bahwa lawan Agung Sedayu itu memiliki ilmu yang sama dengan orang yang telah bertempur melawannya. Bahkan sudah barang tentu, dalam tataran yang justru lebih tinggi. Orang itu agaknya telah mampu menguasai ilmu sejenis dengan ilmu Tameng Waja yang mempunyai kemampuan menahan setiap serangan sehingga seakan-akan tidak menyentuh tubuhnya, bahkan membuat orang yang menyerangnya menjadi kesakitan. Karena itulah, maka keduanya kemudian telah bertem"pur semakin sengit. Agung Sedayu memiliki ilmu kebal, sementara orang itu memiliki ilmu Tameng Waja.
Tetapi sebagaimana setiap ilmu betapapun tinggi tingkatnya, namun tentu bukannya ilmu yang sempurna. Demikian pula ilmu kebal Agung Sedayu. Ternyata bahwa kemampuan dan kekuatan ilmu lawannya yang seakan-akan menjadi semakin meningkat itu mampu menembus ilmu kebalnya. Meskipun tidak menimbulkan kesulitan yang gawat, namun Agung Sedayu menjadi berdebar-debar juga ketika ia merasakan ilmu lawannya itu sedikit demi sedikit mampu menembus kekuatan ilmu kebalnya, sementara itu ia masih belum mampu menembus ilmu Tameng Waja lawannya, karena semakin keras ia memukul lawannya, maka tangannya sendiripun menjadi semakit sakit, justru kekuatan ilmu orang itu sudah menembus ilmu kebalnya, meskipun serangan itu sebenarnya datang dari padanya sendiri. Dengan demikian, maka sedikit demi sedikit, justru Agung Sedayulah yang mulai terdesak. Beberapa kali Agung Sedayu Justru melangkah surut menghindari serangan lawannya yang datang membadai.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika Agung Sedayu menjadi semakin terdesak, maka pada saat yang paling gawat, ia tentu akan mempergunakan kemampuan puncaknya. Sebagaimana diketahui oleh Glagah Putih, maka Agung Sedayu akan mampu menyerang lawannya lewat sorot matanya. Jangankan tubuh seseorang meskipun ia berperisai ilmu Tameng Waja sekalipun. Sedangkan keping-keping bajapun akan dapat dihancurkannya.
Namun ternyata Glagah Putih salah hitung. Agung Se"dayu masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya, meskipun beberapa kali ia terdesak. Agung Sedayu agak"nya tidak ingin dengan serta merta membunuh lawannya.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang ingin menyelesaikan pertempuran itu tanpa membunuh lawan"nya. Meskipun Agung Sedayu sudah mengira, bahwa sangat sulit baginya untuk dapat menangkap orang yang ber"ilmu tinggi itu. Seandainya orang itu dapat dilumpuhkannya tanpa membunuhnya, namun orang itu tentu tidak akan mau berbicara sebagaimana diinginkan oleh Agung Sedayu. Meskipun demikian, ternyata Agung Sedayu masih ingin mencobanya, sehingga karena itu, maka iapun tidak dengan serta merta mempergunakan ilmu puncaknya.
Untuk mempertahankan dirinya, Agung Sedayupun kemudian ternyata telah mengurai cambuknya. Ternyata Agung Sedayu ingin mencoba menembus ilmu lawannya yang mirip dengan ilmu Tameng Waja itu dengan ujung cambuknya.
Ketika mula-mula Agung Sedayu menggetarkan cambuknya, maka ledakannya bagaikan hendak mengguncangkan seisi padepokan. Rasa-rasanya udarapun telah bergetar mengguncang-guncang dada orang-orang yang ada didalam padepokan itu.
Namun Agung Sedayu mampu bergerak secepat lawannya, se"hingga karena itu, maka iapun telah berhasil menghantam dada lawannya sehingga terdorong selangkah surut.
Ternyata Sekar Mirah, Kiai Gringsing dan para cantrik yang ada di bangunan indukpun telah mendengar ledakan cambuk itu pula. Sejenak Sekar Mirah terhenyak ditempatnya. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia telah melangkah dengan tergesa-gesa ke bilik Kiai Gringsing.
Demikian Sekar Mirah melangkah masuk, Kiai Gring-sing itupun tersenyum. Orang tua itu melihat kegelisahan di wajah Sekar Mirah sehingga karena itu, maka iapun berkata, "Kau dengar suara cambuk itu Sekar Mirah" Kau tahu watak dari ilmu suamimu" Selama cambuk itu masih meledak dengan hentakan-hentakan yang keras, maka sua"mimu masih belum merasa perlu memasuki tataran ilmunya yang lebih tinggi. Bahkan jika ia masih mempergunakan cambuknya, maka ia masih belum merasa perlu memper"gunakan ilmu pamungkasnya."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, "Ya. Kiai."
Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan Sekar Mirah untuk beristirahat. Katanya, "Kau letih Mirah. Duduklah Kau dapat beristirahat."
"Aku tidak letih Kiai." jawab Sekar Mirah.
"Mungkin tubuhmu tidak. Tetapi jiwamu yang tegang itu agaknya perlu kau tenangkan. Duduklah. Minumlah. Biarlah para cantrik itu berjaga-jaga diluar. Jika terjadi sesuatu, mereka akan memberikan isyarat."
Sekar Mirah termangu-mangu. Kiai Gringsing yang me"lihat keragu-raguan Sekar Mirah itupun kemudian berkata kepada dua orang cantrik yang ada didalam bilik itu, "Kawanilah saudara-saudaramu yang ada diluar. Biarlah aku disini bersama Sekar Mirah. Hanya jika perlu sekali, panggillah kami."
"Ya Kiai." jawab kedua cantrik itu hampir berbareng.
Demikianlah, sejenak kemudian maka kedua orang can"trik itu telah meninggalkan bilik itu. Sementara Sekar Mirahpun kemudian telah duduk di sebuah amben kecil di"dalam bilik itu.
Namun Sekar Mirah memang tidak dapat menjadi tenang. Apalagi ketika ia mendengar suara cambuk itu lagi. Berdentum dengan kerasnya.
"Nah kau dengar." berkata Kiai Gringsing, "suamimu masih bermain-main. Ia belum merasa perlu untuk bersungguh-sungguh."
Sekar Mirah hanya mengangguk saja.
Sementara itu, Agung Sedayu yang bertempur melawan Singapati yang mengaku pewaris perguruan Worsukmo masih berlangsung dengan sengitnya. Ketika cambuk Agung Sedayu itu meledak bagaikan memecahkan selaput telinga, maka Singapati telah meloncat surut. Iapun terkejut mendengar suara itu. Namun kemudian dengan keyakinan yang tinggi atas kemampuan ilmunya yang mempunyai kekuatan mirip dengan Aji Tameng Waja itu, iapun telah mendesak maju.
Sekali lagi Agung Sedayu meledakkan cambuknya. Bukan sekedar untuk mengejutkan saja. Tetapi ia benar-benar telah berusaha mengenai lawannya dengan ujung cambuknya yang berkarah.
Dengan kerasnya ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menghantam tubuh lawannya. Bukan sekedar juntai janget tinatelon. Tetapi juga karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuk itupun telah mengenai tubuh lawannya itu pula. Namun ternyata bahwa kekuatan cam"buk Agung Sedayu tidak dapat menembus ilmu Tameng Waja yang kuat dan kokoh itu.
Karena itulah, maka ketika oranng itu maju mendesak lagi, Agung Sedayu telah berloncatan surut. Ia memang masih mencoba satu dua kali menyerang lawannya dengan ujung cambuknya. Tetapi ujung cambuk itu hanya dapat menghentikan langkah Singapati. Namun tidak melukainya, sehingga Singapatipun telah melangkah lagi memburu kemana Agung Sedayu meloncat mundur.
Agung Sedayu akhirnya menyadari, bahwa dengan landasan tenaga cadangannya saja, maka ia tidak mampu menembus perisai ilmu orang itu. Betapapun ia mengerahkan kekuatan tenaga cadangannya. Bahkan dengan hentak"kan yang keras.
Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa mem"pergunakan kekuatan ilmunya. Dihimpunnya kekuatan ca-dangannya, diangkatnya dengan ilmunya kebatas kekuatan tertinggi, kemudian perlahan-lahan menyerang memasuki kemampuan ilmunya itu. Dan Agung Sedayu pun kemudian mengalirkan kemampuan ilmunya itu pada ujung cambuk"nya. Dengan demikian, maka bobot kekuatan yang terdapat pada ujung cambuk Agung Sedayu itu sudah jauh berbeda dari sebelumnya.
Tetapi lawannya tidak menyadarinya. Ia hanya melihat Agung Sedayu itu beberapa kali menelusuri juntai cambuk"nya dengan telapak tangannya. Namun kemudian cambuk itu telah berputar lagi diatas kepalanya.
Pada keadaan yang demikian itulah maka Singapati telah melangkah mendekat. Tanpa menghiraukan ujung cambuk Agung Sedayu ia melangkah sambil mengacukan tangannya yang siap menyerang kearah dada.
Namun Agung Sedayu yang masih saja memutar cam"buknya itu telah mencoba memberi peringatan kepada lawannya. Perlahan-lahan mulai terdengar putaran cambuk"nya itu bergaung. Semakin lama semakin keras, sehingga kemudian seakan-akan beribu lebah tengah terbang mengitari Agung Sedayu itu.
Tetapi Singapati sama sekali tidak memperhatikannya. Ia tidak memperhitungkan gaung putaran cambuk Agung Sedayu yang melampaui kewajaran itu. Bahkan ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang hanya mampu mem"buat bunyi yang diharapkan dapat mempengaruhi ketahanan jiwani lawannya itu.
Karena itu, maka Singapati justru ingin menyerang se"makin cepat. Tanpa menghiraukan cambuk yang dianggapnya sama sekali tidak akan mampu menembus ilmu yang menjadi perisainya itu, maka iapun telah meloncat sambil menjulurkan tangannya kearah dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang mampu juga bergerak cepat, telah melenting selangkah kesamping menghindari serangan lawannya itu.
Dalam pada itu Glagah Putih menjadi semakin tegang. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu telah menyalurkan ilmu"nya pada ujung cambuknya. Ia menunggu saat-saat cam"buk itu menghantam tubuh Singapati yang dilindungi oleh ilmunya itu.
Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak segera meledakkan cambuknya. Ia justru meloncat-loncat menghindar ketika lawannya kemudian memburunya. Demikian cepatnya dan beruntun, sehingga Agung Sedayu benar-benar harus berloncatan surut beberapa langkah.
"Kenapa kakang Agung Sedayu tidak memperguna"kan cambuknya itu." geram Glagah Putih.
Agung Sedayu memang tidak segera mempergunakan cambuknya. Ia masih berusaha menahan diri. Ia masih belum tahu akibat dari ujung cambuknya. Namun menilik kemampuan ilmu lawannya yang dapat menahan serangan cambuknya dengan kekuatan kewadagannya, maka iapun menduga bahwa ujung cambuknya tidak akan melumatkan lawannya.
Namun ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar telah terdesak oleh serangan lawannya yang datang berun"tun tanpa menghiraukan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atasnya oleh ujung cambuk Agung Sedayu.
Pada saat Agung Sedayu terdesak dan sulit untuk terus-menerus menghindar, maka akhirnya Agung Sedayu memang terpaksa melindungi dirinya dengan ujung cam"buknya.
Pada saat lawannya mendesaknya terus dengan serang"an-serangan yang berbahaya, maka disaat Agung Sedyu sudah sulit untuk bergerak mundur, karena punggungnya sudah melekat dinding padepokan, maka tiba-tiba saja cambuknya sudah meledak. Tidak terlalu keras. Tidak lagi mengejutkan. Tetapi getarannya telah menghentak tubuh Singapati. Sentuhan juntai cambuk Agung Sedayu yang mengantarkan arus kekuatan ilmunya, ternyata telah mam"pu mengoyak ilmu lawannya yang mempunyai kekuatan sejenis Aji Tameng Waja itu.
Dengan demikian maka lawannya telah terlempar bebe"rapa langkah surut. Wajahnya memancarkan ketegangan dan membayangkan kesakitan yang sangat. Meskipun kulitnya tidak terluka, tetapi Singapati benar-benar telah disakiti oleh ujung cambuk itu.
Tetapi Singapati yang terdorong surut itu segera dapat memperbaiki keadaannya. Ia masih dapat mengatur keseimbangannya, sehingga ia tidak terjatuh karenanya.
Agung Sedayu yang melihat lawannya yang bergeser surut itu justru menjadi berdebar-debar. Ternyata lawan"nya benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmunya yang mirip dengan kekuatan ilmu Agung Sedayu lewat ujung cambuknya, namun seakan-akan Singa"pati itu mampu dengan cepat mengatasi perasaan sakitnya.
Bahkan sejenak kemudian, maka Singapati itupun telah melangkah maju lagi. Bahkan meloncat menyerang dengan kekuatan dan kecepatan gerak yang tidak berubah.
Glagah Putih yang melihat pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Menilik ledakan cambuknya, maka Agung Sedayu telah mengerahkan kemampuan ilmunya yang disalurkan lewat juntai cambuknya. Namun juntai cambuknya itu tidak berhasil menghentikan gerak maju la"wannya.
Tetapi bagaimanapun juga, ujung cambuk itu telah memberikan kesempatan lebih banyak kepada Agung Se"dayu untuk mengatur kedudukannya di hadapan lawannya itu.
Yang menjadi berdebar-debar didalam bangunan induk padepokan itu adalah Kiai Gringsing. Iapun mendengar dan merasakan getaran cambuk Agung Sedayu. Getaran cam"buk yang telah melontarkan ilmunya.
Tetapi Kiai Gringsing berusaha untuk tidak memberikan kesan yang dapat membuat hati Sekar Mirah yang pucat, iapun berkata, "Jangan cemas Sekar Mirah. Cam"buk yang melontarkan ilmu suamimu ini bukan ilmu pun"caknya. Ia memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari ujung cambuknya, yaitu sorot matanya."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi hatinya be"nar-benar tidak menjadi tenang. Bahkan kemudian katanya, "Apakah aku diijinkan untuk melihat keadaan kakang Agung Sedayu?"
Kiai Gringsing menggeleng lemah. Katanya, "Kau disini saja bersamaku Mirah."
Sekar Mirah tidak memaksa. Tetapi hatinya menjadi semakin gelisah ketika cambuk itu meledak beberapa kali berturut-turut. Yang tidak kalah gelisahnya adalah Glagah Putih. Lawan Agung Sedayu ternyata memang seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun ia harus melawan ujung cambuk Agung Sedayu, namun ia masih juga mampu menyerang dengan garangnya. Bahkan beberapa kali ia mampu menyentuh tubuh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak membentengi dirinya dengan ilmu kebalnya, maka tubuh Agung Sedayu itupun telah menjadi lumat. Bahkan semakin tajam Agung Sedayu mempergunakan ilmu kebalnya, maka dari dirinya seakan-akan telah memancar udara yang panas.
Sebenarnyalah bahwa Singapatipun menjadi berdebar-debar pula. Ujung cambuk Agung Sedayu itu berhasil mengoyak ilmunya dan menyakiti tubuhnya. Bahkan kemu"dian di sekeliling Agung Sedayu itu seakan-akan telah diselimuti oleh udara yang panas.
Tetapi pertempuran itu masih saja berlangsung semakin sengit. Keduanya saling mendesak, saling menye"rang dan saling mengelak. Namun serangan demi serangan telah saling mengenai sasarannya, sehingga keduanya men"jadi kesakitan, meskipun keduanya tidak terluka.
"Anak iblis." geram Singapati, "ternyata kau memi"liki juga ilmu kebal. He, dari jenis ilmu kebal yang mana yang kau pergunakan?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknya telah bergetar mengenai tubuh lawannya, sehingga lawan"nya itu terdorong selangkah surut. Tetapi tiba-tiba saja Singapati dari perguruan Worsukma itu telah meloncat ma"ju dengan cepatnya. Tangannya berhasil mengenai dada Agung Sedayu sehingga Agung Sedayulah yang terdesak. Beberapa langkah Agung Sedayu terdorong surut. Tetapi ketika lawannya itu memburunya, maka dengan cepat pula Agung Sedayu meledakkan cambuknya mengarah ke wajah orang itu. Untuk menghindarinya, maka lawannya telah memalingkan wajahnya itu. Namun demikian juntai cam"buk Agung Sedayu itu justru mengenai tengkuknya.
Sambil berdesis menahan sakit, maka orang itupun telah berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya.
Agung Sedayu tidak melepaskan lawannya. Selagi lawan"nya itu masih belum mapan benar, maka cambuknya telah meledak sekali lagi mengenai tubuh orang itu pula. Ternyata orang yang mengaku pewaris ilmu perguruan Worsukma itu benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Terhuyung-huyung sejenak, namun kemudian iapun telah terjatuh.
Namun ketika Agung Sedyu meloncat mendekatinya, orang itu telah berguling beberapa kali. Justru kemudian dengan sigapnya iapun telah melenting berdiri. Demikian kedua kakinya tegak, maka Singapati itupun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Ia tidak menghiraukan ketika juntai cambuk Agung Sedayu mengenainya. Langkahnya memang tertahan, namun iapun kemudian telah meloncat menyusup disela-sela putaran cambuk Agung Sedayu dan langsung menyerang kearah dada.
Agung Sedayu berusaha mengelak. Namun serangan itu datang seakan-akan tanpa memperhitungkan ujung cambuk Agung Sedayu, sehingga justru karena itu, maka Agung Sedayu telah sedikit terlambat bergerak. Serangan orang itu ternyata telah mengenai pundak Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya, namun serangan itu masih juga terasa betapa sakitnya. Karena itu, maka Agung Sedayu telah dengan cepat menghindar ketika orang dari perguruan Worsukma itu menyerangnya sekali lagi.
Agung Sedayu yang berhasil mengambil jarak, telah meledakkan cambuknya pula mengenai orang itu. Karena itu, maka orang yang telah melangkah memburu Agung Sedayu itu terhenti.
Namun Agung Sedayu tidak menghentikan serangannya. Sekejap kemudian ujung cambuknya telah meledak dan meledak lagi. Beberapa kali orang itu terdesak mundur. Namun orang itu masih juga berusaha untuk mengatasi rasa sakitnya dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya disamping perisai ilmunya yang mirip dengan Aji Tameng Waja itu. Dengan demikian maka pertempuran semakin lama men"jadi semakin sengit. Dengan cara masing-masing keduanya berusaha untuk mengalahkan lawannya.
Namun agaknya cambuk Agung Sedayu telah memaksa orang itu untuk bekerja lebih keras. Bagaimanapun juga, cam"buk Agung Sedayu benar-benar merupakan senjata yang luar biasa. Ujungnya yang setiap kali dihentakkan sendal pancing itu, telah menyakiti hampir seluruh tubuhnya, meskipun sudah mempergunakan perisai ilmu yang jarang ada duanya.
Tubuh Agung Sedayu juga merasa sakit-sakit oleh pukulan"-pukulan lawannya yang berhasil menyusup diantara putaran cambuknya dan menembus ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu masih mampu mengatasinya dengan daya tahan tubuhnya yang kuat dibawah ilmu kebalnya. Sementara itu keduanyapun telah menunjukkan kemampuan dalam kecepatan gerak masing-masing, sehingga keduanya bagaikan bayangan yang terbang berputaran.
Sementara itu, pertempuran antara para cantrik dan pengikut Singapati itu telah mencapai satu keseimbangan yang pasti. Para cantrik yang jumlahnya telah bertambah itu benar-benar telah berhasil mendesak lawannya. Korbanpun berjatuhan dan darah telah menitik ke bumi.
Perlahan-lahan para cantrik mendesak lawan-lawan mereka. Namun beberapa kali para cantrik masih menawarkan kesempatan untuk menyerah. Namun agaknya para pengikut Singapati itu tidak menghiraukannya.
Dalam pada itu, Glagah Putih merasa tidak perlu ikut ber"tempur diantara para cantrik yang sebentar lagi tentu akan berhasil menguasai lawannya. Hidup atau mati. Jika mereka memang pantang menyerah, maka memang tidak ada pilihan lain daripada membunuh mereka. Amat berbahaya bagi padepokan itu jika membiarkan saja mereka melarikan diri.
Tetapi membunuh memang bukan tujuan mereka. Itu telah ternyata dari seruan para cantrik untuk menyerah saja. Namun agaknya orang-orang yang menyerang padepokan itu berkeberatan. Mereka memang memilih mengakhiri perlawanan mereka dengan kematian, karena mereka mengira bahwa kematian merupakan penyelesaian yang tuntas bagi pengabdian mereka.
Dengan demikian maka para pengikut Singapati itu seakan-akan telah bertempur dengan putus-asa, karena tidak ada harapan bagi mereka untuk menang. Yang mereka lakukan tidak ubahnya sebagai satu usaha untuk membunuh diri bersama-sama. Adalah satu kemenangan bagi mereka apabila mereka dapat membunuh lawannya, karena dengan demikian maka mereka mendapat kawan untuk mati.
Tetapi jumlah para cantrik yang banyak, tidak memberi kesempatan dan peluang sama sekali kepada mereka. Satu-satu para pengikut Singapati itu telah tertembus oleh tajamnya senjata para cantrik. Namun diantara keyakinan untuk bertahan sampai mati, ternyata ada juga diantara mereka yang menyerah. Satu dua diantara mereka telah melemparkan senjata mereka dan tidak lagi mengadakan perlawanan.
Sementara itu, pertemuran yang terpisah ternyata masih berlangsung, justru semakin sengit. Keduanya benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Desak mendesak, serang-menyerang dengan cepat dan karena itu, maka pertem"puran itu menjadi semakin sulit untuk dinilai.
Di bangunan induk, kegelisahan Sekar Mirah agaknya memang sudah memuncak. Ia masih mendengar ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu yang menggetarkan udara dengan dorongan kekuatan ilmunya. Meskipun ledakan itu tidak terlalu keras, tetapi justru mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar atas lawannya. Namun untuk sekian lama, hentakan-hentakan cambuk itu belum berhasil menghentikan perlawanan lawannya itu.
Kiai Gringsing yang melihat kegelisahan Sekar Mirah telah berusaha menenangkannya. Dengan nada yang lembut dan bah"kan senyum dibibir Kiai Gringsing berkata, "Percayalah bahwa suamimu akan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya, Mi"rah. Dalam keadaan yang gawat, maka serahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung."
"Apakah aku boleh melihat keadaan kakang Agung Seda"yu, Kiai." berkata Sekar Mirah, "kita tidak tahu, apakah kakang Agung Sedayu harus bertempur melawan satu orang atau banyak orang. Barangkali aku dapat membantunya daripada aku menunggu disini."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita pergi melihatnya."
"Maksud Kiai?" bertanya Sekar Mirah.
"Akupun akan pergi. Kau tentu akan bersedia membantuku." berkata Kiai Gringsing.
"Kiai sedang sakit. Tidak baik untuk keluar malam hari." berkata Sekar Mirah.
"Tetapi sakitku sudah jauh susut. Bukankah aku telah hampir sehat kembali?" berkata Kiai Gringsing pula.
"Tetapi sebaiknya Kiai tinggal disini." minta Sekar Mirah.
Tetapi Kiai Gringsing itupun tersenyum. Iapun justru telah bangkit berdiri dan berjalan dengan bantuan tongkatnya. Katanya, "Marilah. Kita pergi."
Sekar Mirah tidak dapat membantah. Iapun kemudian mengiringi Kiai Gringsing yang berjalan perlahan-lahan. Na"mun kemudian di pendapa ia berkata kepada seorang cantrik, "Kemarilah. Kita melihat apa yang terjadi."
Dengan berpegang pada cantrik itu, maka Kiai Gringsing dapat berjalan lebih cepat, diikuti oleh Sekar Mirah yang menjinjing tongkat baja putihnya.
Ketika Kiai Gringsing mendekati arena, maka beberapa orang cantrik telah berdiri bebas. Lawan-lawannya telah dilumpuhkannya. Karena itu, ketika mereka melihat kehadiran Kiai Gringsing, maka dengan tergesa-gesa mereka menyongsongnya.
"Kiai, apakah keadaan Kiai sudah baik?" bertanya seorang cantrik.
Kiai Gringsing tersenyum. Pertempuran memang sudah hampir selesai. Namun dalam pada itu, Sekar Mirahpun ber"Tanya, "Dimana kakang Agung Sedayu."
Cantrik itu termangu-mangu. Namun merekapun tidak usah terlalu sulit untuk mencarinya. Ketika kemudian terdengar cambuk Agung Sedayu meledak.
Dengan serta merta merekapun telah menuju ke suara cam"buk itu. Didalam kegelapan mereka segera melihat dua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya. Bahkan Glagah Putihpun telah berada di tempat itu pula. Namun Glagah Putih sama sekali tidak berbuat sesuatu, seakan-akan Agung Sedayu itu sedang berperang landing sehingga tidak ada orang lain yang pantas untuk ikut campur.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Sekar Mirah dan beberapa orang cantrik telah berdiri di sebelah Glagah Putih yang telah datang lebih dahulu.
Agaknya murid dari perguruan Worsukma itu melihat kedatangan mereka, sehingga orang itupun kemudian berteriak, "Marilah. Siapa yang akan ikut mati bersama orang ini" Se"makin banyak kalian memasuki arena, maka akan semakin cepat pekerjaanku selesai."
Namun seorang cantrik telah menyahut, "Orang-orangmu telah habis. Sebagian besar memang telah membunuh diri, sedang yang lain telah menyerah. Apakah kau akan tetap ber"tempur?"
"Aku koyakkan mulutmu. Jangan mencoba menghina aku." geram orang itu.
Cantrik itu memang berdiam diri, sementara itu pertem"puran antara orang yang menyebut dirinya Singapati itu dengan Agung Sedayu telah berlangsung semakin cepat. Beberapa kali cambuk Agung Sedayu meledak. Udarapun telah tergetar menghentak jantung. Apalagi orang yang tersentuh ujung cam-buk itu. Tetapi lawannya ternyata mampu mengatasinya. Bah"kan masih sempat bergerak maju dan menyusup menyerang.
Sekar Mirah memang menjadi semakin gelisah melihat pertempuran itu. Ternyata lawan Agung Sedayu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga mampu melawan juntai cambuk Agung Sedayu yang dihentakkan sendal pancing dengan segenap kekuatan ilmunya.
Yang terjadi kemudian memang mendebarkan jantung. Ke"duanya saling menyerang dan saling bertahan. Keduanya mempergunaan ilmu kebal meskipun dari jenis yang berlainan. Bahkan lawan Agung Sedayu itu mampu membuat dirinya bagaikan sekeras baja, sementara jenis ilmu kebal Agung Se"dayu justru telah memancarkan panas dari tubuhnya. Disamping itu, maka ledakan-ledakan cambuknya mampu menembus ilmu kebal lawannya meskipun lawannya itu mampu mengatasi rasa sakitnya.
Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit dan mendebarkan. Desak mendesak, serang menyerang dengan kekuatan dan kemampuan diluar jangkauan orang kebanyakan. Tetapi anehnya justru cambuk Agung Sedayu itu lambat laun telah benar-benar menyakiti kulit lawannya, sementara itu panas ditubuh Agung Sedayu yang semakin tajampun telah berpengaruh pula pada lawannya. Tubuhnya yang bagaikan besi baja yang tidak tembus ditusuk ujung senjata, namun justru mulai merasa betapa panasnya udara seakan-akan tubuhnya yang menjadi baja itu telah lebih banyak menyerap panas dari pada keadaan wajarnya.
Karena itu, maka orang itupun telah mempertimbangkan untuk segera mengakhiri pertempuran dengan ilmu simpanannya yang jarang sekali dipergunakannya jika tidak karena tidak ada pilihan lain. Ilmu yang memang sangat dikagumi dari perguruan Worsukma, karena ilmu itu mampu membuat lawan"nya menjadi hitam atau merah sebagaimana dikehendakinya.
Karena itulah maka orang itupun telah mengambil sikap. Dengan sikapnya Singapati itu meloncat beberapa langkah surut. Kemudian berdiri tegak dengan tangan bersilang didada.
Agung Sedayu terkejut. Ia sadar, bahwa lawannya tentu akan melepaskan ilmunya yang paling berbahaya.
Sementara itu tidak ada orang lain yang dapat membantu selain orang yang dikenal itu sendiri mempertahankan diri. Kecuali dengan langsung memadamkan sumbernya. Namun dengan de"mikian, maka akan dapat menjatuhkan martabat Agung Sedayu yang meskipun tidak sedang berperang tanding, tetapi agaknya keduanya telah bertekat untuk mengadu kemampuan ilmu mereka.
Ternyata bahwa orang-orang yang menyaksikan pertem"puran itupun menjadi berdebar-debar. Bahkan Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar pula. Perguruan Worsukma memang mempunyai sejenis ilmu yang jarang ada duanya.Singapatipun terkejut bukan buatan. Tetapi semuanya telah ter-lambat. Serangan Agung Sedayu itu langsung mengenai dada orang yang mengaku memiliki warisan ilmu dari perguruan Worsukma itu.
Beberapa saat orang itu berdiri tegak. Agung Sedayupun berdiri tegak pula ditempatnya. Kiai Gringsing menjadi semakin cemas ketika ia melihat bahwa Agung Sedayu telah menatap wajah lawannya. Tetapi iapun tidak dapat berteriak mencegahnya. Karena dengan demikian, maka ia sudah membantu Agung Se-dayu.
Suasanapun kemudian menjadi sangat tegang. Kedua orang yang bertempur itu tengah memusatkan nalar budi mereka.
Singapati merasa mendapatkan kesempatan ketika Agung Sedayu justru menatap wajahnya. Dengan serta merta maka Singapati telah mengetrapkan ilmunya. Ilmu kebanggaan per"guruan Worsukma. Dengan kekuatan sorot matanya, maka Singapati telah mengetrapkan ilmunya. Perlahan-lahan dengan penuh keyakinan, maka Agung Sedayu yang menatap matanya itu tentu akan segera tunduk pada kehendaknya.
Sementara itu, Agung Sedayupun merasa sesuatu mempengaruhi jiwanya. Ada kehendak yang bergejolak tanpa dimengertinya. Seakan-akan telah terjadi benturan di dalam dirinya. Dengan cepat Agung Sedayu teringat, siapakah lawannya itu. Karena itu, maka dengan serta merta Agung Sedayupun telah mengikatkan diri pada sumbernya. Dengan demikian, maka ia akan tetap melekat erat tanpa berkisar sejengkalpun dari pijakannya. Dalam sandaran yang kokoh Agung Sedayu dengan sengaja telah menatap mata lawannya. Ia yakin akan dirinya dart sandarannya yang tidak akan goyah. Apalagi Agung Sedayu yakin, bahwa ia justru sedang mempertahankan diri dan haknya. Benturan kekerasan yang terjadi itu bukan karena salahnya.
Untuk beberapa saat keduanya saling memandang. Kedua"nya memiliki landasan yang sama-sama kokoh, tetapi berbeda. Namun Agung Sedayu yakin, bahwa tidak ada sandaran yang lebih kokoh dari sumber segala sumber itu.
Ketegangan telah mencengkam jantung orang-orang yang memperhatikan kedua orang yang berdiri bagaikan patung itu. Namun kemudian perlahan-lahan Singapati telah melangkah mendekat.
Agung Sedayu masih tetap berdiri saja tanpa bergerak. Seolah-olah Agung Sedayu tidak lagi mampu mengambil sikap menghadapi lawannya.
Sambil melangkah, maka lawannya itupun kemudian ter"tawa. Katanya disela-sela tertawanya, "Ternyata kemampuanmu tidak lebih dari kemampuan kewadagan Apa yang dapat kau lakukan sekarang" Kau telah berada dalam kuasaku. Sebentar lagi kau tentu akan membunuh dirimu sendiri. Tetapi itu yang terakhir kau lakukan setelah kau membunuh semua orang-orangmu."
"Gila." Sekar Mirah tiba-tiba berteriak.
Tetapi Kiai Gringsing cepat memahaminya ketika perem-puan itu hampir saja menghambur berlari menyerang Singapati.
Singapati itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kalian akan mengalami satu pertempuran yang asing. Kalian sebentar lagi akan bertempur melawan orang ini, karena orang ini akan segera menyerang kalian atas namaku. Jangan terkejut bahwa orang ini dengan segala ilmunya yang tinggi akan menghancurkan padepokan ini. Tidak seorangpun yang akan dapat melawannya."
"Kiai." suara Sekar Mirah tersendat dikerongkongan.
Kiai Gringsingpun menjadi gelisah, sementara Glagah Putih memang menjadi bingung. Apa yang dapat dilakukannya. Jika ia melawan Agung Sedayu dengan ilmu puncaknya, mungkin serangannya yang mengandung kekuatan api atau air, atau kekuatan yang lain yang dapat dilakukannya, jika mampu menembus ilmu kebalnya akan dapat merusakkan tubuh Agung Sedayu, sementara hal itu belum merupakan satu bantuan bahwa pribadi Agung Sedayu akan dapat dipulihkan.
Dalam pada itu, pewaris perguruan Worsukma itu masih berkata, "Karena itu, untuk selanjutnya, tidak seorangpun yang akan mampu mengalahkan perguruan Worsukma. Pergu"ruan yang tidak ada duanya lagi dalam masa sekarang." orang itu berhenti sejenak. Ia masih melangkah mendekat Agung Se"dayu yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangan didadanya, "Sebentar lagi, orang ini akan bergerak atas namaku."
Singapatipun kemudian berhenti tiga langkah dihadapan Agung Sedayu. Dipandanginya mata Agung Sedayu sambil berdesah, "Lakukan apa yang aku inginkan. Kau harus memper"gunakan semua kekuatan ilmumu untuk membinasakan isi padepokan ini. Kau dapat mempergunakan segala kemampuan ilmumu yang tinggi untuk membunuh semua orang yang menentangmu. Lakukan apa yang aku perintahkan, karena kau adalah bagian dari kehendakku."
Agung Sedayu masih berdiri tegak. Sementara orang itupun telah tertawa pula keras-keras. Iapun kemudian menggerakan kedua tangannya. Terjulur lurus kearah Agung Sedayu sambil berkata, "Nah, lakukan sekarang apa yang aku katakan. Hancurkan padepokan ini dan bunuh semua orang yang tidak termasuk golonganku, orang yang memerintahmu. Lakukan perintahku demi nama perguruan Worsukma yang agung."
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi tidak sabar lagi. Bagi Glagah Putih dan Sekar Mirah, maka yang terbaik untuk mengatasinya adalah menyerang orang yang telah membius Agung sedayu dengan ilmunya itu. Dengan demikian, maka kekuatan biusnya itu akan hilang.
Namun keduanyapun menyadari, bahwa orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Glagah Putih tidak tahu, apakah ilmunya akan dapat menembus kekuatan ilmu kebal orang yang telah mebius Agung Sedayu itu yang mirip dengan Aji Tameng Waja.
Selagi mereka belum dapat menemukan langkah yang paling baik harus dilakukan, maka mereka melihat Agung Se"dayu itu mulai bergerak. Bahkan Agung Sedayu itu sudah bergeser selangkah surut, sementara Singapati tertawa sambil ber"kata, "Bagus. Lakukanlah."
Sementara itu Singapati seakan-akan tidak menghiraukan orang -orang lain yang memperhatikan apa yang terjadi, karena ia terlalu yakin, seandainya ada di"antara mereka menyerangnya, maka serangannya tidak akan mampu menembus ilmu kebalnya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang surut selangkah itu telah berdiri tegak. Tangannya masih bersilang didadanya. Namun yang terjadi benar-benar telah mengejutkan semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terjadi. Agung Sedayu sama sekali tidak melakukan perintah orang itu, tetapi dari jarak yang terlalu dekat Agung Sedayu justru telah menyerang orang itu dengan kekuatan sinar yang memancar dari matanya.
Singapatipun terkejut bukan buatan. Tetapi semuanya sudah terlambat. Serangan Agung Sedayu itu langsung menge"nai dada orang yang mengaku memiliki warisan ilmu dari per"guruan Worsukma itu. Terdengar orang itu. berteriak nyaring. Ternyata ia telah terdorong selangkah surut. Serangan Agung Sedayu itu telah mengoyak ilmu kebalnya yang mirip dengan Aji Tameng Waja itu. Betapa perasaan sakit telah menghentak didada dan bahkan seluruh isi dadanya seakan-akan telah terbakar.
Dengan sekuat tenaga orang itu berusaha mengatasi rasa sakitnya. Kemudian dengan sisa tenaganya ia meloncat jauh kedepan menyerang Agung Sedayu. Ayunan tangannya yang bagaikan besi baja itu telah dengan kuatnya menghantam dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang menangkis serangan itu. Tetapi ke"kuatan orang itu memang luar biasa. Ketika satu tangannya luput menggapai dada Agung Sedayu, maka tangannya yang lain dengan cepat sekali telah menyerang pula.
Ternyata serangan berikutnya itu berhasil menyusup pertahanan Agung Sedayu yang terlambat menangkisnya. Serangan itu tepat mengenai dadanya, sehingga Agung Sedayu itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan Agung Sedayu itu telah terbanting jatuh dan berguling ditanah.
Ketika Agung Sedayu dengan susah payah berusaha untuk bangkit, maka Singapati itu telah melangkah dengan langkah-langkah pendek mendekatinya. Namun sesaat kemudian langkah-langkah itupun telah terhenti.
Agung Sedayu yang dadanya bagaikan terhimpit besi baja itu, telah mempergunakan sisa tenaganya, untuk menyerang lawannya yang masih berdiri beberapa langkah dihadapannya. Justru pada saat lawannya itu mulai bergerak lagi, maka Agung Sedayu telah melepaskan serangannya kembali.
Serangan itu memang tidak sedahsyat serangannya yang pertama. Tetapi kekuatan dan daya tahan lawannyapun telah melemah. Demikian pula ilmu kebalnya, sehingga serangan Agung Sedayu itu benar-benar telah meremas isi dada lawan"nya.
Lawannya itu terdorong selangkah surut. Sambil terhuyung-huyung ia pun mengumpat. Katanya, "Kenapa kau tidak tunduk kepada perintahku anak iblis."
Nafas Agung Sedayu menjadi terengah-engah. Karena itu ia tidak menjawab.
"Kau justru berhasil mengelabui aku dengan pura-pura tunduk kepadaku. Namun dengan licik kau telah menyerangku dari jarak yang sangat pendek dengan ilmu iblismu itu." geram orang itu dengan suara yang gemetar.
"Ilmumu mungkin dapat menumbangkan kesadaranku Ki Sanak, tetapi tidak akan pernah mampu mengantarkan sandaranku." jawab Agung Sedayu. Suaranya juga bergetar karena rasa sakit didadanya.
"Tetapi akhirnya aku dapat membunuhmu sekarang." suara orang itu semakin sendat. Bahkan sejenak kemudian iapun tidak dapat bertahan lagi. Ketika ia melangkah maju, maka iapun justru terjatuh di tanah.
Agung Sedayu masih berdiri tegak. Namun rasa-rasanya tubuhnyapun menjadi semakin lemah. Karena itu, maka perlahan-lahan iapun telah menjatuhkan dirinya dan berdiri diatas lututnya.
Sekar Mirah tidak dapat menahpn diri lagi. Iapun kemu"dian telah berlari mendapatkan suaminya yang lemah.
"Kakang." desis Sekar Mirah.
Agung Sedayu benar-benar telah menjadi lemah. Bahkan iapun telah duduk ditanah.
Ketika Sekar Mirah akan memeluk suaminya, maka ter"nyata Kiai Gringsing yang telah berdiri dibelakangnya telah menggamitnya sambil berkata, "Beri kesempatan suamimu mengatur pernafasannya. Itu akan sangat berarti bagi keadaannya yang memang agak parah."
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun iapun melakukan apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Namun iapun kemudian membantu Agung Sedayu untuk duduk bersila menyilangkan tangannya didadanya.
Beberapa. saat Agung Sedayu mencoba mengatur jalan pernafasannya yang tersendat, karena dadanya yang seraya telah diremukkan oleh serangan lawannya yang mampu menem"bus ilmu kebalnya. Perlahan-lahan jalan pernafasan Agung Sedayupun men"jadi lancar kembali, sementara itu maka denyut darahnyapun menjadi wajar. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Agung Sedayupun telah berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi didalam dirinya. Meskipun tidak sepenuhnya, tetapi rasa-rasanya dadanya telah menjadi longgar.
"Bawa Agung Sedayu masuk." desis Kiai Gringsing, "mungkin aku harus membantunya dengan obat-obatan."
Agung Sedayu yang sudah merasa menjadi lebih baik itupun telah dibantu oleh Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk berdiri dan kemudian perlahan-lahan perjalanan menuju ke bangunan induk padepokan itu. Sementara Kiai Gringsing memerintahkan para cantrik untuk mengatur segala sesuatunya tentang orang-orang yang terluka, terbunuh dan yang tertangkap.
Namun Kiai Gringsing masih sempat untuk mengamati ke"adaan orang yang mengaku pewaris tunggal perguruan Wor"sukma itu. Ternyata bahwa orang itu telah terbunuh dalam pertempuran melawan Agung Sedayu.
Tetapi Kiai gringsing dengan demikian menyadari, bahwa orang itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Agung Sedayu tentu tidak akan mempergunakan ilmu puncaknya, jika ia memang tidak benar-benar telah tersudut. Bahkan disaat cambuknya sudah tidak dapat menghentikan lawannya. Sebagaimana ternyata bahwa kemampuan ilmu orang itu ter"nyata pula telah dapat menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
"Pisahkan orang ini dari yang lain." berkata Kiai Gring"sing.
Seorang cantrik yang berdiri disebelahnyapun mengangguk hormat sambil menjawab, "Baik Kiai."
"Kumpulkan segera kawan-kawanmu yang terluka. Mungkin ada pula yang gugur dalam pertempuran ini. Bawa mereka ke pendapa." berkata Kiai Gringsing pula.
Istana Yang Suram 3 Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat Tiga Naga Sakti 24
^