Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 4

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


menyadari bahwa jarang seseorang memiliki kekuatan dan
kemampuan bergerak secepat Swandaru meskipun geraknya
menjadi mantap dan berat. Tetapi ledakan-ledakan cambuk
itupun tidak mempengaruhi detak jantungnya. Apalagi Pandan
Wangi yang sedang berusaha untuk melindungi anak didalam
kandungannya itu telah mengerahkan daya tahannya pula,
agar ledakan-ledakan itu tidak berpengaruh atas bayinya yang
masih akan dilahirkannya itu kelak. Sementara itu usaha
Pandan Wangi mendalami ilmunya dengan laku dan petunjukpetunjuk
Kiai Gringsing memang telah mampu
membangkitkan perlawanan dari dalam dirinya bersamaan
dengan ungkapan daya tahannya atas pengaruh getarangetaran
yang meng-- hentak dadanya.
Seperti Sekar Mirah, maka Agung Sedayupun menjadi
berdebar-debar pula. Ia justru berpikir, apa yang akan
dilakukannya jika gurunya memintanya untuk menunjukkan
tingkat kemampuannya. Apakah ia harus mempertunjukkan
kemampuannya sejajar dengan tingkat kemampuan
Swandaru, atau kurang dari itu sebagaimana anggapan
Swandaru atau justru pada saat itu gurunya ingin
mengungkapkan tataran ilmu yang sebenarnya dari keduanya.
Ternyata bahwa kegelisahannya itu telah membuatnya
berkeringat di kening dan punggungnya.
Beberapa saat Swandaru masih bermain-main dengan
cambuknya. Namun nampaknya ia telah sampai kepuncak
permainannya, sehingga kemudian kecepatan geraknya telah
disusutnya. Semakin lama semakin lamban dan ledakanledakan
cambuknyapun telah menyusut pula.
Tetapi Swandaru tidak cepat-cepat berhenti. Meskipun
lambat untuk beberapa saat ia masih bergerak. Namun
akhirnya Swandaru itupun berhenti pula.
Kiai Gringsinglah yang mula-mula bertepuk tangan
disambut dengan serta merta oleh Pandan Wangi. Disusul
oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.
Swandarupun kemudian melangkah maju kehadapan
gurunya. Dengan hormat ia mengangguk dalam-dalam.
" Permainan yang buruk, Guru " berkata Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah
ia berkata " Kau mendapat banyak kemajuan Swandaru. "
" Terima kasih Guru " sahut Swandaru " namun aku mohon
Guru bersedia memberikan beberapa penilaian tentang
ilmuku. Tentu saja bukan yang pantas dipuji saja. Tetapi juga
yang Guru anggap belum memenuhi patokan yang Guru
kehendaki. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan hatihati
ia mencoba untuk memberikan penilaian kepada muridnya
yang muda itu. " Swandaru " berkata Kiai Gringsing " kekuatanmu kian
menjadi semakin besar. Aku tahu, bahwa jarang sekali orang
yang memiliki kekuatan sebagaimana kau miliki itu.
Sementara itu, kau mampu membuat dirimu semakin mantap
berjejak diatas bumi sehingga rasa-rasanya tubuhmu terbuat
dari besi yang berat. Namun sama sekali tidak mempengaruhi
gerak yang tangkas dan cepat. "
" Aku berlatih sesuai dengan petunjuk laku didalam kitab
yang aku bawa " berkata Swandaru " selebihnya, aku telah
mempergunakan sebagian waktuku untuk membuat beberapa
perbandingan dengan pengalamanku selama ini. Dengan
demikian, maka aku telah mengembangkan ilmu itu
sebagaimana Guru lihat. "
" Ya " berkata Kiai Gringsing " kau juga telah mengambil
beberapa unsur dari tiga macam laku dari tiga macam
susunan unsur gerak, namun yang senafas, sehingga tata
gerakmu menjadi kaya dengan unsur-unsur yang tersusun
kemudian. Dengan demikian, maka kau telah memenuhi
keinginanku untuk tidak sekedar membaca, mempelajari dan
melakukannya dengan tertib sebagaimana terdapat
didalam kitab itu tanpa kemungkinan-kemungkinan baru
sesuai dengan perkembangan dunia olah kanuragan. Namun
dengan cara sebagaimana kau lakukan, di dukung oleh
petunjuk-petunjuk lain tentang mengatur pernafasan dan
pemanfaatan setiap jalur urat nadi dan otot-otot didalam
tubuhmu, maka kau benar-benar seorang yang memiliki
kemampuan yang sulit untuk ditemukan tandingnya. "
" Aku sedang mempersiapkan satu kemungkinan baru Guru
" berkata Swandaru " aku sedang mempelajari laku ke empat
dari pemanfaatan tenaga dalam untuk melawan berat alami. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah.
Aku tahu bahwa kau telah menguasai laku juga ke tiga dan
sebelumnya. " Nah " berkata Swandaru " bukankah guru juga ingin
melihat tingkat kemajuan ilmu kakang Agung Sedayu" "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
keringat dingin mengalir dari kening dan punggung Agung
Sedayu. Ia masih belum menemukan jawabnya, apakah yang
paling baik dilakukan dihadapan Swandaru.
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah dan Glagah Putih-pun
termangu-mangu seolah-olah mereka mengerti apa yang
bergejolak didalam hati Agung Sedayu. Namun Sekar
Mirahpun menjadi cemas pula, bahwa tiba-tiba saja Agung
Sedayu kehilangan kembali sebagaimana dilakukan semalam.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing telah
terbatuk. Dipeganginya dadanya sambil menundukkan
kepalanya. Hampir berbareng Agung Sedayu dan Swandaru meloncat
dan berlutut disebelah menyebelahnya. Sekar Mirah, Pandan
Wangi dan Glagah Putihpun telah bergegas mendekatinya
pula. " Guru " desis Agung Sedayu dan Swandaru hampir
berbareng. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata " Aku tidak apa-apa. Tetapi biarlah aku
beristirahat. " Agung Sedayu dan Swandaru tidak membantah.
Merekapun kemudian telah memapah Kiai Gringsing keluar
dari sanggar dan membawanya kedalam biliknya.
Ketika Kiai Gringsing kemudian duduk di bibir pembaringan,
maka iapun berkata " Aku minta minum. "
Swandarulah yang berkisar untuk mengambil gendi diatas
sosok disudut bilik itu. Ketika Kiai Gringsing meneguk beberapa tetes air dingin
dari gendi itu, maka rasa-rasanya tubuhnya menjadi segar.
Sambil mendorong gendi itu dari mulutnya ia berkata " Cukup.
Leherku tidak lagi terasa kering. "
" Bagaimana keadaan Guru sekarang" " bertanya Agung
Sedayu. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Aku sudah menjadi semakin baik. Tetapi biarlah aku
berbaring barang sejenak. "
Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian membantu
gurunya merebahkan diri di pembaringannya. Kemudian
merekapun telah diperkenankan oleh Kiai Gringsing untuk
beringsut keluar. " Tunggulah sebentar diluar " berkata Kiai Gringsing " aku
tidak memerlukan waktu lama. Aku akan memusatkan nalar
dan budiku, agar keadaanku segera semakin baik. "
" Silahkan Guru " jawaban merekapun hampir berbareng.
Sekar Mirah dan Pandan Wangipun dengan cemas pula
telah menemui Agung Sedayu dan Swandaru begitu mereka
keluar dari bilik Kiai Gringsing.
" Bagaimana keadaan Kiai Gringsing" " bertanya Pandan
Wangi. " Guru akan beristirahat sepenuhnya. Kami telah diminta
untuk keluar. Tetapi setelah minum beberapa teguk keadaan
guru menjadi semakin baik " jawab Swandaru.
" Sokurlah " Pandan Wangi mengangguk-angguk " agaknya
Kiai Gringsing memang terlalu letih. "
Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya
kepada Pandan Wangi " Marilah, kita berbenah diri. Sebentar
lagi kita akan kembali ke Sangkal Putung mendahului kakang
Agung Sedayu. " " Besok aku akan segera menyusul " berkata Agung
Sedayu " Sekar Mirah nampaknya masih ingin berada di
Sangkal Putung barang dua atau tiga hari. "
Demikianlah maka Swandaru dan Pandan Wangi telah
pergi ke biliknya, sementara Agung Sedayu dan Sekar
Mirahpun telah pergi ke bilik mereka pula.
" Sayang " desis Swandaru didalam biliknya " jika guru tidak
menjadi terlalu letih maka aku akan dapat menunjukkan
kepada kakang Agung Sedayu satu perbandingan ilmu yang
tentu akan sangat menarik. Kakang Agung Sedayu mau tidak
mau harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru bagi
ilmunya atau caranya menyadap ilmu. Ia tentu akan merasa
dicambuk untuk mempercepat langkahnya dalam usahanya
meningkatkan ilmunya. "
Pandan Wangi mengangguk-angguk sambil berkata " Kiai
Gringsing terlalu memaksa diri sejak kemarin. "
" Ya " Swandaru mengangguk. Katanya " Tetapi aku
berharap bahwa pada kesempatan lain aku dan kakang Agung
Sedayu akan dapat melakukannya. "
Pandan Wangi tidak menjawab. Namun iapun membenahi
pakaiannya dan beberapa lembar pakaian yang mereka bawa.
Sementara itu dibilik lain, Agung Sedayu duduk sambil
menarik nafas dalam-dalam. Ia menganggap bahwa gurunya
telah membebaskannya dari kesulitan yang tidak teratasi.
Justru karena gurunya harus beristirahat, maka ia tidak perlu
tampil untuk menunjukkan tingkat ilmunya. Sebab jika ia
benar-benar harus berbuat seperti Swandaru, maka ia akan
kebingungan. Agaknya Sekar Mirahpun merasa lega, bahwa Agung
Sedayu tidak terpaksa untuk berbuat seperti kakaknya
Swandaru. Dan kemungkinan yang dicemaskannya. Jika
Agung Sedayu tiba-tiba terlepas dari kendali perasaannya,
maka ia akan dapat berbuat sebagaimana dilakukan semalam.
Tetapi jika ia ingin memberi kepuasan kepada Swandaru dan
berbuat lebih sedikit daripada yang dapat dilakukannya, maka
Swandaru tentu akan merendahkannya sebagai seorang
saudara tua dalam perguruannya.
Namun, ternyata Kiai Gringsing yang terlalu letih itu
seakan-akan memberikan jalan keluar yang tidak terdugaduga
kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak membicarakannya.
Tetapi agaknya kedua-duanya menjadi saling mengerti akan
hal itu. Sementara itu, Glagah Putih telah berada diantara para
cantrik pula. Sebenarnyalah ia ingin berbicara tentang tingkat
kemampuan ilmu Swandaru. Tetapi karena tidak ada orang
yang dapat diajak berbicara, maka iapun menyimpannya saja
didalam hatinya. Beberapa saat kemudian, ternyata Kiai Gringsing telah
bangkit pula dari pembaringannya. Bahkan iapun telah duduk
dan minum minuman hangat yang telah dihidangkan oleh
seorang cantrik yang bergantian melayaninya.
Kepada cantrik yang membawa minuman itu Kiai Gringsing
berpesan agar Swandaru dan Agung Sedayu bersama isteriisteri
mereka dan Glagah Putih datang ke dalam biliknya.
Beberapa saat kemudian, mereka itupun telah duduk pula
didalam bilik Kiai Gringsing. Meskipun agak berdesakan
mereka duduk berjajar di sebuah lincak panjang yang
memang terdapat didalam bilik itu selain pembaringan Kiai
Gringsing. " Bagaimana keadaan guru" " bertanya Agung Sedayu.
" Aku sudah berangsur baik " jawab Kiai Gringsing yang
duduk di bibir pembaringan. Aku terlalu hanyut dalam tata
gerak Swandaru. " " Apakah Guru kecewa" " bertanya Swandaru.
" Tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku merasa bangga
atas kemajuanmu " jawab Kiai Gringsing " apalagi setelah aku
mendengar bahwa kau sedang mempelajari laku keempat.
Aku hanya ingin menganjurkan agar kau berminat untuk
memasuki bagian kedua dari kitab itu. Meskipun kau belum
sampai pada laku ketujuh dari bagian pertama, maka secara
terpisah, kau dapat mendalami laku sebagaimana menurut
bagian kedua dari kitab itu. Kedua bagian itu dapat kau
pelajari dalam waktu yang bersamaan, asal kau sudah
memahami isi dari kitab itu pada bagian landasannya. "
Swandaru mengerutkan keningnya. Sudah beberapa kali
gurunya menganjurkannya untuk mempelajari bagian kedua
dari kitab itu yang menuntunnya melihat kekedalam-an dirinya,
kekuatan alam disekitarnya dan hubungan antara dunia kecil
dan dunia besar. Bagian yang menurut Swandaru agak kurang
menarik, karena hasilnya tidak dapat langsung terasa dalam
ungkapan jika terjadi benturan kekerasan disaat-saat ia
menjalani laku. Swandaru harus menunggu untuk beberapa
tahun untuk memetik hasil laku pada bagian kekitab itu. Bagi
Swandaru agaknya manfaatnya akan segera terasa jika ia
menjalani laku keempat, kelima, enam dan tujuh.
Tetapi setiap kali gurunya berkata kepadanya, bahwa
kedua bagian itu dapat dipelajari bersama-sama.
"Apakah waktuku tidak akan habis untuk berada di-dalam
sanggar jika aku menjalani laku kedua bagian isi kitab itu
bersama-sama" " pertanyaan itu selalu saja mengganggu
perasaannya. Tetapi menghadapi gurunya yang sedang sakit itu,
Swandaru berkata " Aku akan mencobanya Guru. "
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya " Baiklah. Aku yakin,
bahwa kalian akan menjadi orang yang berilmu tinggi. Namun
berilmu tinggi itu sendiri belum memberikan arti bagi
sesamamu. Karena itu ilmu itu harus kalian amalkan. Tetapi
ingat, kalian harus selalu ingat pada sangkan paraning
dumadi. Selalu ingat kepada Sumber hidup kalian dan sesama
kalian dalam setiap mengamalkan ilmu. Dengan demikian
maka ilmu kalian akan memberikan arti bagi hidup kalian. "
Bukan saja Agung Sedayu dan Swandaru yang
mengangguk-angguk. Tetapi Pandan Wangi, Sekar Mirah dan
Glagah Putihpun mengangguk-angguk pula.
" Nah " tiba-tiba suara Kiai Gringsing merendah "
sebenarnya aku juga ingin memberikan bekal kepada Pandan
Wangi. Aku dengar kau sudah mulai mengandung. Aku ikut


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan kebahagiaan perasaanmu. Karena itu, maka aku
akan memberikan sejenis obat untukmu, agar kau selalu
dalam keadaan sehat beserta bakal anakmu yang masih ada
did alam kandungan itu. "
Pandan Wangi mengangguk hormat sambil menjawab "
Terima kasih Kiai. Untuk selanjutnya kami mohon restu. "
" Aku akan berdoa untuk kalian dan bakal anakmu yang
masih berada dalam kandungan. " berkata Kiai Gringsing
sambil tersenyum. Kiai Gringsingpun kemudian bangkit berdiri sementara
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama mendekatinya.
" Guru akan kemana" " bertanya Swandaru.
" Tidak kemana-mana. Aku hanya akan mengambil obat
didalam gledeg bambu itu. Obat yang aku janjikan kepada
Pandan Wangi. " jawab Kiai Gringsing.
Namun Agung Sedayu dan Swandaru memapahnya
melangkah ke gledeg di sudut bilik itu. Diambilnya sebuah
bumbung dari dalam bilik itu dan diberikannya kepada
Swandaru sambil berkata " Aku mempunyai beberapa butir
obat yang sangat baik bagi isterimu. Setiap tiga hari sekali,
biarlah Pandan Wangi menelan satu butir obat ini, sampai
habis. Mudah-mudahan ia menjadi semakin sehat, sehingga di
saat melahirkan tidak akan mengalami kesulitan. Baik ibunya
maupun anaknya. " " Terima kasih Guru " jawab Swandaru sambil menerima
obat didalam bumbung itu.
Ketika kemudian Kiai Gringsing telah duduk kembali, maka
Swandaru telah mohon diri untuk kembali ke Sangkal Putung
bersama isterinya. " Apakah kau benar-benar akan kembali hari ini" " bertanya
Kiai Gringsing. " Ya Guru, agar pekerjaanku tidak banyak yang
terbengkelai " jawab Swandaru.
" Baiklah. Jaga isterimu baik-baik. Kau tentu berharap
bahwa anakmu akan lahir dengan sehat dan tumbuh dengan
cepat pula. Bukankah ia bakal muridmu pula yang akan
menyambung kelangsungan hidup dari ilmu keturunan
perguruan kita" Laki-laki atau perempuan" " bertanya Kiai
Gringsing. " Ya Guru " jawab Swandaru sambil menunduk. Kiai
pringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun
berkata " Sayang sekali kau tidak dapat berada disini lebih
lama lagi. Tetapi untuk selanjutnya kau aku harap akan sering
datang ketempat ini. Aku sudah menjadi semakin lemah dan
tidak berdaya. " Swandaru mengangguk hormat sambil menjawab " Ya
Guru. Aku akan selalu datang kemari. "
Demikianlah maka Swandaru telah meninggalkan
padepokan kecil itu bersama Pandan Wangi. Gurunya tidak
mengantarkannya sampai keregol. Tetapi Kiai Gringsing
berdiri saja bersandar tongkat di pendapa.
Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan beberapa
cantrik memang mengantar mereka sampai keregol. Ketika
Pandan Wangi dan Swandaru siap untuk berangkat Agung
Sedayu berkata " Besok kami akan menyusul ke Sangkal
Putung. " " Kami menunggu " jawab Swandaru.
Sementara itu Sekar Mirah berbisik di telinga Pandan
Wangi " Berhati-hatilah. Seharusnya kau tidak lagi berkuda. "
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah meninggalkan
padepokan itu. Seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi,
kudanya memang tidak berlari sama sekali. Meskipun
perjalanan mereka masih lebih cepat dari orang-orang yang
berjalan, tetapi perjalanan itu memang merupakan perjalanan
yang lambat. Namun Swandaru sama sekali tidak tergesa-gesa. Dengan
sabar ia berkuda disebelah Pandan Wangi. Mereka tidak ingin
mengalami kesulitan dengan anak yang ada di-dalam
kandungan itu. Kedua orang suami isteri itu sama sekali tidak mengalami
gangguan diperjalanan. Jalan yang mereka lalui, merupakan
jalan yang sudah menjadi semakin ramaL Baik jalur disebelah
Timur, maupun jalur disebelah Barat. Meskipun pohon randu
alas yang sering disebut rumah Hantu Bermata Satu itu masih
ada, tetapi disekitarnya sudah menjadi jauh lebih lapang dari
beberapa tahun yang lampau. Gerumbul-gerumbul telah
banyak yang dibersihkan. Sebatang parit mengalirkan air yang
bersih lewat dibawah batang randu alas itu. Sawahpun
menjadi semakin hijau dari saat-saat sebelumnya ketika air parit masih belum
dapat mengalir dengan teratur.
Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan
Glagah Putih telah kembali ke pendapa. Kiai Gringsing yang
kemudian duduk di pendapa itu sudah nampak lebih segar
dari beberapa saat sebelumnya. Apalagi ketika Kiai Gringsing
itu berada di sanggar. " Bagaimana keadaan Kiai" " Bertanya Agung Sedayu.
" Aku sudah menjadi semakin baik " jawab Kiai Gringsing "
mudah-mudahan kedatangan kalian merupakan obat yang
baik bagiku. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya " Sebenarnya aku ingin berbicara
dengan Ki Widura. Meskipun Swandaru tidak ada, tetapi salah
satu diantara murid utamaku ada disini, sehingga aku dapat
ikut serta dalam pembicaraan itu. "
Agung Sedayu mengangguk hormat sambil bertanya "
Apakah aku harus memanggil Ki Widura" "
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Baiklah. Mungkin kau dan Glagah Putih akan dapat
memanggilnya. Sekar Mirah dapat menunggu di padepokan ini
atau Sekar Mirah juga akan ikut ke Ba-nyu Asri" "
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Biarlah aku ikut ke Banyu Asri, Kiai. Aku ingin
melihat-lihat perkembangan daerah ini "
" Baiklah. Ajak Ki Widura datang ke padepokan kecil ini.
Mudah-mudahan ia tidak berkeberatan mengawani aku disini "
berkata Kiai Gringsing. " Ya Guru, jawab Agung Sedayu " kami akan berangkat
sekarang. " Pergilah. Aku menunggu kalian disini " sahut Kiai
Gringsing. " Apakah Guru tidak akan masuk ke bilik untuk beris
tirahat" " bertanya Agung Sedayu.
" Aku sudah cukup beristirahat " jawab Kiai Gringsing pula.
Agung Sedayu memang menjadi termangu-mangu. Tetapi
karena Kiai Gringsing tidak beranjak dari tempatnya, maka
Agung Sedayu telah mengajak Sekar Mirah dan Glagah Putih
untuk meninggalkan pendapa.
Ketiganya kemudian telah membenahi kuda-kuda mereka.
Sebentar kemudian sambil menuntun kuda masing-masing
mereka berjalan di depan pendapa.
Kiai Gringsing yang melihat ketiganya, telah bangkit berdiri
dan berjalan ke tangga pendapa dengan tongkatnya.
Nampaknya memang lebih segar dari beberapa saat
sebelumnya. " Hati-hatilah di jalan " pesan Kiai Gringsing.
" Ya Guru " jawab Agung Sedayu " kami akan berhati-hati "
Sejenak kemudian, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan
Glagah Putih telah turun ke jalan didepan padepokan itu.
Berloncatan mereka naik. Sesaat kemudian, maka kuda
merekapun telah berlari meninggalkan regol. Debu yang
kelabu berhamburan dibelakang kaki kuda-kuda itu.
Ketiganya memang merencanakan untuk singgah barang
sebentar di rumah Untara. Namun ternyata Untara tidak
sedang berada dirumah. Bersama beberapa orang
pengawalnya ia sedang bertugas mengamati keadaan disekitar
barak pasukannya yang berada di Jati Anom. Tetapi
agaknya Untara juga akan menemui beberapa orang beba-hu
Kademangan Jati Anom untuk membicarakan persoalanpersoalan
yang tumbuh kemudian sebagaimana sering
dilakukannya. Bahkan Untara telah sering pula mengunjungi
dan membuat hubungan yang akrab dengan padukuhan-
padukuhan dan Kademangan-kademangan disekitar
Jati Anom. Karena itu, maka mereka bertiga tidak lama berada dirumah
Untara. Merekapun kemudian telah mohon diri untuk
meneruskan perjalanan ke Banyu Asri.
Di Banyu Asri mereka telah disambut dengan gembira oleh
keluarga Ki Widura. Dengan akrab mereka saling menyapa
dan menanyakan keselamatan masing-masing.
Sambil minum-minuman hangat dan menikmati beberapa
potong makanan merekapun berbicara tentang keadaan
mereka masing-masing serta lingkungan tempat tinggal
mereka. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu
menyampaikan maksud kedatangannya kepada Ki Widura.
" Kiai Gringsing memanggilku" " desis Ki Widura.
" Ya Paman. Guru ingin berbicara tentang beberapa hal
yang penting dengan Paman " berkata Agung Sedayu.
" Tentang apa" " bertanya Ki Widura.
" Guru yang akan mengatakannya langsung kepada Paman
" jawab Agung Sedayu.
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian menjawab " Baiklah. Aku akan memenuhi undangan
gurumu. Aku akan membenahi pakaianku dahulu. "
Beberapa saat kemudian, Ki Widurapun telah siap
sehingga iapun dapat bersama-sama dengan Agung Sedayu.
Sekar Mirah dan Glagah Putih.
Kiai Gringsingpun telah mempersilahkan Ki Widura untuk
duduk diruang dalam. Sementara itu, ia telah minta Agung
Sedayu untuklikut berbicara bersamanya dengan Ki Widura.
" Aku akan membicarakan beberapa hal yang perlu kau
ketahui " berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk hormat. Sementara itu Sekar
Mirah dan Glagah Putih mengerti maksud orang tua itu, bahwa
sebaiknya mereka tidak ikut dalam pembicaraan itu. Karena
itu, maka Sekar Mirahpun kemudian minta diri untuk
beristirahat dibiliknya dan Glagah Putih ingin melihat-lihat
kebun di padepokan itu. Ketika Sekar Mirah dan Glagah Putih telah meninggalkan
ruangan itu, maka Kiai Gringsingpun mulai menyampaikan
rencana untuk minta agar Ki Widura bersedia membantunya
tinggal di padepokan itu.
Ki Widura memang terkejut. Yang dilakukan Kiai Gringsing
memang bukan kebiasaan sebuah perguruan. Ki Widura
adalah orang diluar perguruan Kiai Gringsing. Bagaimana
mungkin ia akan dapat memimpin padepokan itu meskipun
atas nama Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing yang mengetahui perasaan Ki Widura
berkata " Ki Widura. Kadang-kadang seseorang dapat saja
menyimpang dari kebiasaan yang berlaku jika itu akan
memberikan kebaikan baginya dan sudah tentu tidak
merugikan orang lain. Terlebih-lebih lagi tidak menyalahi
tanggungjawab seseorang kepada Sumber Hidupnya. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai
Gringsing berkata selanjutnya " Ki Widura. Disini ada seorang
diantara kedua murid utamaku. Ia menjadi saksi, bahwa yang
aku sampaikan kepada Ki Widura telah aku bicarakan dengan
Agung Sedayu dan Swandaru. Ternyata keduanya sama
sekali tidak berkeberatan atas rencana itu. Karena itu, Ki
Widura. Aku berharap bahwa Ki Widura tidak menolak. Jarak
Banyu Asri dan padepokan ini dekat sekali, sehingga Ki
Widura akan dapat setiap kali menengok ke Banyu Asri. "
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ada dua
hal yang perlu dipertanyakan Kiai. Pertama, aku bukan
berasal dari perguruan Kiai. Mungkin Kiai sudah menjeKang
Zusi - http://kangzusi.com/
laskan hal ini sebelum aku mengajukan pertanyaan, bahwa
kadang-kadang seseorang dapat menyimpan sebuah
padepokan tidak sebaiknya membagi waktunya dengan
kepentingan lain. Dalam hal ini, keluargaku yang berada di
Banyu Asri. " Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Kita akan
melakukan sesuatu yang barangkali tidak dilakukan oleh
orang lain. Tetapi aku yakin bahwa kita akan dapat
melakukannya dengan baik. Jika aku mohon Ki Widura
memimpin padepokan ini, maka tidak akan bertumpu pada
ilmu dari perguruan ini. Tetapi bagaimana paugeran dan
ikatan-ikatan yang lain dapat berlaku disini. "
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai
Gringsing berkata " Ki Widura. Baiklah aku berterus terang.
Aku menjadi cemas melihat perkembangan padepokan ini
sejalan dengan umurku yang merambat terus. Sementara itu
kedua murid utamaku tidak akan dengan mudah
meninggalkan tugas mereka masing-masing. Seorang di
Tanah Perdikan. Seorang di Sangkal Putung. Karena itu, aku
mohon Ki Widura bersedia menolongku, agar padepokan ini
tidak menjadi semakin mundur. Sedangkan dari segi
peningkatan ilmu para cantrik, aku kira aku masih dapat
memberikan beberapa petunjuk meskipun tubuhku menjadi
semakin lemah. Tentu saja hanya dengan gerak-gerak kecil
dan penjelasan lesan. "
Ki Widura termangu-mangu. Ketika berpaling kepada
Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun berkata " Guru tidak
mempunyai wawasan lain. Karena itu Guru benar-benar
berharap, Paman akan bersedia membantunya. "
Hampir diluar sadarnya Ki Widura mengangguk-angguk.
Tetapi ia sudah mempunyai gambaran tentang tugastugasnya.
Ia bukan harus memimpin padepokan itu
sepenuhnya. Tetapi terutama justru agar padepokan itu dapat
hidup terus, dengan ikatan-ikatan yang tetap ketat.
Namun demikian, Ki Widura masih juga bertanya "
Kiai. Dalam kehidupan sebuah perguruan, maka ia tidak
akan terlepas dari pengamatan orang lain. Apa kata orang
tentang kesediaanku membantu Kiai memimpin padepokan
ini, karena setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak berasal
dari perguruan ini. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya dengan nada lembut "
Ki Widura. Orang lain memang berhak menilai perguruan kita.
Menilai keadaan dan hubungan kita. Tetapi mereka tidak
mengetahui isi yang sebenarnya dari dada kita. Karena itu Ki


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Widura. Mungkin orang lain akan membicarakan kita dalam
satu dua pekan, mungkin satu dua bulan. Namun akhirnya
mereka akan menjadi jemu selama kita tidak menunjukkan
kelainan dari kebiasaan sehari-hari yang berlaku di padepokan
ini." Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Kiai.
Aku akan mencobanya. Aku akan mencoba untuk membantu
Kiai memimpin padepokan ini dan sekaligus mengendalikan
keluargaku di Banyu Asri yang letaknya memang tidak begitu
jauh dari padepokan kecil ini. Tetapi dengan pengertian,
bahwa aku hanya membantu Kiai memimpin
menyelenggarakan padepokan itu. Bukan isi dari padepokan
ini." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Kesediaan
Ki Widura berada di padepokan ini telah jauh meringankan
tugas-tugasku disini. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya kemudian dengan
nada rendah " Ada baiknya aku mempunyai kesibukan
tertentu. Selama ini rasa-rasanya waktuku banyak yang
terluang. " Agung Sedayu yang mendengar kesediaan pamannya
itupun kemudian berkata " terima kasih paman. Aku dan Adi
Swandaru agaknya tidak dapat meninggalkan beban tugas
yang telah kami terima sebelumnya. Karena itu, kesediaan
Paman tinggal di padepokan ini telah meringankan
kegelisahanku. " " Tetapi kau dan Swandaru jangan melepaskan seluruh
tanggung jawab kalian " berkata Ki Wudura. " Meskipun hanya
pada saat-saat tertentu saja aku minta kalian sering datang ke
padepokan ini. " " Tentu Paman " jawab Agung Sedayu " aku akan sering
datang mengunjungi Paman disini. "
Dalam pada itu Kiai Gringsingpun kemudian bertanya
kepada Widura " Sejak kapan Ki Widura bersedia tinggal
disini" " " Aku minta waktu barang sepekan. Kiai. Aku akan
membenahi pekerjaanku dirumah. Meskipun tidak banyak,
tetapi pekerjaan itu memang harus ada yang mengerjakan
" jawab Ki Widura. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Ki
Widura, kami di padepokan ini selalu menunggu kehadiran Ki
Widura. " Ki Widura mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia
sempat merenungi kewajiban yang baru saja disanggupinya
dari Kiai Gringsing itu. Satu hal yang menyimpang dari
kebanyakan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing, bahwa penyimpangan itu sama sekali tidak
merugikan orang lain dalam hal apapun juga. Juga tidak
merugikan kedudukan para cantrik yang memang memerlukan
seorang pembimbing yang masih mampu bergerak cepat,
sementara Kiai Gringsing menjadi semakin tua. Apalagi dalam
keadaan sakit seperti yang baru disandangnya saat itu.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Widura masih berada di
padepokan itu untuk berbincang tentang berbagai persoalan
menjelang kehadiran Ki Widura di padepokan itu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Ki Widu-rapun
minta diri dengan kesanggupan untuk kembali ke padepokan
itu sepekan lagi. Ketika mereka turun kehalaman, maka Glagah Putih-pun
telah mendekati mereka sambil bertanya kepada ayahnya
" Ayah akan kembali ke Banyu Asri" "
" Ya " jawab Ki Widura " sepekan lagi aku akan berada
disini. " Glagah Putih mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia
berkata " Sokurlah. Mudah-mudahan ayah kerasan tinggal di
padepokan ini. " Ki Widurapun tersenyum pula. Katanya " Aku kerasan
berada dimana-mana. "
Ketika mereka menuju ke regol halaman, maka Sekar
Mirahpun telah turun pula dari serambi dan melangkah
menyusul mereka sampai ke regol untuk ikut melepaskan Ki
Widurayang masih akan kembali ke Banyu Asri.
Di regol Ki Widura masih bertanya " Kapan kalian akan
meninggalkan padepokan ini" "
" Besok kita akan pergi ke Sangkal Putung, Paman " jawab
Agung Sedayu. " Sampai kapan" " bertanya Ki Widura pula. Agung Sedayu
berpaling kepada Sekar Mirah untuk
minta pertimbangan. Sementara Sekar Mirahpun menyahut
" Kami belum menentukan kapan kami akan kembali ke
Tanah Perdikan. Tetapi sudah tentu dalam waktu dekat,
karena kamipun tidak dapat meninggalkan Tanah Perdikan
terlalu lama. " " Baiklah " berkata Ki Widura " tetapi jika kalian kembali ke
Tanah Perdikan kami harap kalian dapat singgah sebentar di
padepokan ini. " " Tentu Paman " jawab Agung Sedayu " kami akan singgah
di padepokan ini serta jika mungkin minta diri kepada kakang
Untara yang nampaknya jarang-jarang berada dirumah. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian,
maka iapun telah melangkah meninggalkan padepokan yang
dalam waktu sepekan lagi akan dihuninya.
Sepeninggal Ki Widura, maka Kiai Gringsingpun telah
kembali untuk beristirahat didalam biliknya. Sementara itu
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah sempat
pula berjalan-jalan dikebun padepokan. Mereka kemudian
telah berada dipinggir belumbang yang berair jernih, sehingga
ikan yang berenang didalamnya dapat dilihat dengan jelas.
Namun dalam pada itu, maka tiba-tiba saja terbersit di
angan-angan Agung Sedayu untuk mempertahankan alur
perguruannya untuk masa-masa mendatang. Sebagaimana
dikatakan oleh Swandaru, bahwa ia telah membina Glagah
Putih sebagai muridnya, namun dengan landasan ilmu yang
justru dari alur perguruan Ki Sadewa.
Bagi Agung Sedayu, Ki Sadewa dan Kiai Gringsing adalah
orang-orang yang memiliki kedudukannya masing-masing. Ki
Sadewa adalah ayahnya, sementara Kiai Gringsing adalah
gurunya. Ia berkepentingan bahwa kedua jalur perguruan itu
agar dapat tetap diperhatikan. Namun setelah ia berbicara
langsung dengan keluarga perguruannya, maka ia memang
melihat, bahwa pada suatu saat jalur perguruan Kiai Gringsing
akan jauh surut. Seandainya Swandaru kemudian menjadikan
anaknya kelak juga muridnya, maka seberapa jauh Swandaru
mampu mempertahankan tataran ilmu perguruan Kiai
Gringsing, karena Swandaru sendiri masih harus mempelajari
laku keempat dari bagian pertama tanpa berusaha untuk
mempelajari bagian kedua dari isi kitab itu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata
kepada Glagah Putih " Glagah Putih. Kau telah memiliki
landasan ilmu lengkap dari perguruan Ki Sadewa. Sementara
itu Guru mengeluh bahwa diperlukan jalur yang akan
mempertahankan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing.
Bagaimanapun juga aku ikut memikirkan kemungkinankemungkinan
bahwa jalur perguruan Kiai Gringsing pada
suatu saat benar-benar akan menjadi terputus. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Sekar Mirahpun bertanya " Apakah kakang Swandaru
tidak akan mencari bibit yang akan dapat menjadi pewaris
ilmunya kelak" "
" Adi Swandaru memang sudah menyebutkan. Ia akan
mempunyai seorang anak. Anaknyalah yang diharuskan akan
dapat menjadi pewaris ilmu dari jalur perguruan Kiai
Gringsing. Namun sebagaimana kita lihat, bahwa adi
Swandaru telah memilih bagian yang sesuai dengan
seleranya, sehingga ia tidak akan dapat mewariskan bagianbagian
lain yang tidak kalah penting dari jalur perguruan Kiai
Gringsing " jawab Agung Sedayu. Lalu " Sementara itu aku
sama sekali tidak mewariskan ilmu itu kepada Glagah Putih.
Jika satu dua unsur muncul pada tata gerak Glagah Putih, itu
adalah sekedar pengaruh dari unsur-unsur yang selalu
dilihatnya dan sekali-sekali diserap manfaatnya. Tetapi aku
tidak pernah secara khusus mewariskan ilmu itu kepadanya. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk, sementara itu Glagah
Putih berkata " Kakang, apakah maksud kakang ingin
mewariskan ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing
kepadaku" Jika kakang memang berniat demikian, maka
sudah barang tentu aku tidak akan berkeberatan. Dengan
demikian, aku akan dapat memperbanyak kekayaan ilmu
didalam diriku. " " Mungkin akan berarti bagimu Glagah Putih. Tetapi kau
akan mempunyai kewajiban ganda- Mewariskan ilmu Ki
Sadewa dan mewariskan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing. "
" Bukankah kakang juga mempunyai tugas yang demikian
karena didalam diri kakang kedua ilmu itu juga kakang kuasai"
" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya " Disamping ilmu dari perguruan Ki
Sadewa, kau juga memiliki ilmu yang kau warisi dari jalur
perguruan Ki Jayaraga. Karena itu, maka kau harus mempunyai
kemampuan untuk memilahkan unsur-unsur itu.
Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak dapat
mempergunakannya dalam satu kesatuan. Jika kau
mengatakan bahwa kau harus dapat memilahkannya, itu
hanyalah sekedar untuk menunjukkan ciri-ciri dari masingmasing
perguruan. " Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia
berkata " Kakang. Jika kakang menghendaki, aku akan
menjalankannya. Aku akan berusaha untuk mewarisi ilmu dari
perguruan Kiai Gringsing. Akupun akan berusaha untuk dapat
memilahkannya untuk satu kepentingan yang khusus,
sementara itu, aku akan menjadi semakin kaya dengan jenisjenis
unsur gerak yang akan dapat menyempurnakan ilmuku. "
Tetapi Agung Sedayu berkata " Glagah Putih. Seandainya
kau mempelajari ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing,
maka tidak banyak peningkatan yang akan kau alami, karena
kegunaannya pada dasarnya tidak banyak berbeda dari yang
telah kau kuasai. Namun ilmu yang kau warisi dari jalur
perguruan Kiai Gringsing itu akan memberikan kemungkinankemungkinan
baru pada ilmumu. Apalagi jika kau sempat
mempelajari kitab dari perguruan Kiai Gringsing. Maka kau
akan mendapat banyak kesempatan untuk
mengembangkannya. Justru pada bagian yang kurang
disenangi oleh adi Swandaru. "
*** Jilid 229 GLAGAH PUTIH mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Segalanya terserah kepada kakang. Tetapi aku merasa gembira jika kesempatan itu diberikan kepadaku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah bahwa kau bersedia melakukannya. Mudah-mudahan akan memberikan arti bagi jalur-jahir ilmu yang kau pelajari."
Agung Sedayupun kemudian berkata pula, "Baiklah. Jika kita kelak kembali ke Tanah Perdikan, maka aku akan mulai dengan memberikan dasar-dasar ilmu itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa yang aku lakukan atasmu berbeda sekali dengan apa yang harus kita lakukan terhadap mereka yang benar-benar baru mulai. Bagimu, apa yang seharusnya dipelajari dalam waktu setahun akan dapat kau cakup dalam waktu sebulan, karena kau tidak perlu lagi mengadakan latihan-latihan olah tubuh dan penguasaannya. Jalur nadimu telah masak dan kau sudah menguasai gerak-gerak dasar seluruhnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kakang. Apapun yang harus aku lakukan, akan aku laku"kan. Juga kewajiban-kewajiban yang kemudian akan dibebankan kepadaku dalam hubungan pewarisan dan pengembangan ilmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita akan melakukannya. Namun bukan berarti bahwa tugas-tugas kita yang lain akan terlambat. Selain itu sudah barang tentu aku juga harus berbicara dengan Ki Jayaraga."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa niat sebagaimana dikatakan oleh kakak sepupunya itu merupakan tanggung jawab yang lain yang akan dibebankan dipundaknya. Tetapi Glagah Putih tidak merasa keberatan. Ia sudah terbiasa bekerja keras untuk beberapa kepentingan yang menyangkut sesamanya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka ia memang harus berbicara dengan gurunya yang seorang lagi, Ki Jayaraga.
Demikianlah maka untuk beberapa saat, mereka masih berada di tepi belumbang. Mereka melihat seorang cantrik yang menangkap beberapa ekor ikan yang sudah cukup besar untuk lauk mereka nanti. Sedangkan cantrik yang lain sedang memanjat sebatang pohon nangka untuk mengambil buahnya yang masih muda.
Namun beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah meninggalkan belumbang itu untuk menyusuri kebun sayuran dibagian belakang padepokan itu. Namun akhirnya, mereka telah sampai dibelakang sanggar yang sepi. Sanggar yang menjadi agak jarang dipergunakan sejak Kiai Gringsing sakit.
Namun tiba-tiba saja rasanya mereka ingin melihat-lihat lagi isi sanggar itu. Sejalan dengan keinginan Agung Sedayu untuk mewariskan ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing kepada Glagah Putih. Karena itu, maka hampir diluar sadar mereka telah melangkah kepintu sanggar itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semalam ia telah melepaskan sesak dadanya dengan melakukan latihan yang agak berlebihan. Namun ternyata Agung Sedayu tidak memasuki sang"gar itu. Iapun kemudian mengajak Sekar Mirah dan Glagah Putih kembali ke bangunan induk untuk duduk-duduk dan berbincang dengan para cantrik yang sedang beristirahat.
Demikianlah hari itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih masih berada di padepokan kecil Kiai Gring"sing. Namun menjelang senja mereka masih berkesempatan untuk menengok Untara suami isteri dan anaknya yang menjadi semakin nakal.
Dari Untara, Agung Sedayu mendengar, bahwa keadaan justru menjadi semakin buram. Hubungan antara Mataram dan Madiun tidak bertambah jernih.
"Memang ada orang-orang yang dengan sengaja mengeruhkan hubungan itu." berkata Untara.
"Sejak semula hal itu sudah disadari oleh Panembahan Senapati." berkata Agung Sedayu. Lalu, "Jika Panembahan Madiun juga menyadari akan hal itu, maka bukankah mereka akan dapat saling mengekang diri?"
"Agaknya memang demikian. Tetapi meninggalnya Pangeran Benawa merupakan peluang baru yang dapat menambah keruhnya hubungan itu." berkata Untara. Lalu, "Karena itu, kita semuanya harus berhati-hati. Sebagai"mana Mataram mengirimkan beberapa orang petugas sandi untuk melihat-lihat keadaan Madiun, maka tentu banyak pula petugas sandi dari Madiun yang berada di Mataram."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata Untara sudah mendapat banyak keterangan tentang gerakan Panembahan Madiun. Karena itu pulalah maka Untara telah membuat banyak persiapan-persiapan yang bila setiap saat terjadi sesuatu, pasukannya tidak akan mengecewakan. Namun dalam pada itu, Untarapun berpesan kepada adiknya, jika mereka kembali ke Tanah Perdikan, mereka harus berhati-hati di perjalanan.
"Mungkin ada orang yang mengenalmu, bahwa kau banyak berbuat bagi Panembahan Senapati." berkata Untara, "atau ada orang yang tahu, bahwa kau adalah murid Kiai Gringsing. Salah seorang diantara mereka yang ikut memperkuat kedudukan Mataram. Bahkan tidak mustahil bahwa padepokan Kiai Gringsing akan menjadi sasaran sebagaimana usaha Panembahan Senapati memotong ranting-ranting yang tumbuh dibatang yang kuat, Madiun."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun berkata, "Agak berbeda kakang. Jika Mataran me"motong ranting-ranting kekuatan Madiun antara lain Nagaraga, maka padepokan itu benar-benar berdiri sendiri. Sementara itu, padepokan Kiai Gringsing terlalu dekat dengan kekuatan Mataram yang kakang pimpin disini. Sehingga jika orang-orang Madiun dengan tanpa perhitungan menyerang Padepokan Kiai Gringsing, maka berarti mere"ka menyerang kekuatan pasukan Mataram disini."
Tetapi Untara menggeleng. Katanya, "Belum tentu. Orang-orang Madiun akan dapat menyusup dengan diam-diam kedalam padepokan. Apalagi disaat Kiai Gringsing sedang sakit seperti sekarang ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kemungkinan memang ada."
Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih berbincang dengan Untara. Namun ketika malam mulai turun dan udara menjadi kelam, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih itupun minta diri.
Di sepanjang jalan menuju ke padepokan kecil, Agung Sedayu justru mulai membicarakan pesan Untara, agar padepokan kecil itu menjadi berhati-hati.
"Jika mereka tahu bahwa Kiai Gringsing sedang sakit." berkata Agung Sedayu.
"Aku tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar." berkata Sekar Mirah, "seandainya aku tidak mendengar pesan kakang Untara, aku kira aku tidak pernah memikirkannya."
"Kemungkinan itu memang ada." berkata Agung Sedayu, "besok sebelum kita berangkat ke Sangkal Putung, aku akan minta kakang Untara ikut mengamati padepokan itu, atau meletakkan satu dua orang prajuritnya ikut mengawasi sebelum Paman Widura datang."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Kiai memerlukan kawan yang pantas. Jika terjadi sebagaimana yang dikatakan kakangUntara, maka Kiai Gringsing akan mengalami kesulitan, Justru orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, akan mendapat kesulitan di padepokannya sendiri disaat ia sedang sakit. Masih be"lum ada para cantrik yang pantas untuk menahan kekuatan yang memang sudah dipersiapkan."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang, kita tidak dapat menemaninya untuk waktu yang lama. Apalagi kitapun mengetahui bahwa usaha orang-orang Madiun telah merambah sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Untunglah bahwa para pengawal di Tanah Per"dikan sudah memiliki tingkat kemampuan yang dapat dibanggakan. Sementara itu, Ki Jayaraga masih juga bersedia untuk tetap berada di Tanah Perdikan."
"Kita memang tidak dapat meninggalkan Tanah Per"dikan terlalu lama." berkata Glagah Putih kemudian, "te"tapi bagaimana jika kita berada di padepokan sampai Kiai Gringsing sembuh benar?"
"Kiai Gringsing sudah terlalu tua." berkata Agung Sedayu, "seandainya ia sembuh dari sakitnya, namun ten"tu sudah ada beberapa kekurangan pada unsur wadagnya, sebagai pendukung ilmu-ilmunya. Tetapi jika paman Widu"ra sudah berada di padepokan, maka rasa-rasanya kita men"jadi tenang."
"Sepekan lagi." berkata Glagah Putih.
"Ya. Sepekan lagi." berkata Agung Sedayu pula.
Ketiganyapun kemudian justru terdiam oleh angan-angan mereka masing-masing. Ketiga orang itu memasuki regol padepokan disaat malam sudah menjadi semakin sunyi. Para cantrik telah berada di bilik masing-masing, selain yang bertugas di pendapa.
Karena itu, ketika regol terbuka perlahan-lahan karena didorong dari luar, dua orang cantrik yang ada di pendapa telah bangkit dan berjalan turun ke halaman. Namun merekapun segera melihat bahwa yang datang adalah Agung Se"dayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.
"Marilah, silahkan." desis salah seorang diantara kedua cantrik itu.
"Guru sudah tidur?" bertanya Agung Sedayu.
"Belum. Guru masih menunggu." jawab cantrik.
"Guru menunggu!" bertanya Agung Sedayu, "di mana?"
"Guru ada didalam biliknya. Tetapi tadi sudah berpesan, jika kalian datang, diminta untuk menemuinya di-dalam bilik." jawab cantrik itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Diantar oleh salah seorang dari kedua cantrik itu mereka langsung menuju ke bilik Kiai Gringsing. Ternyata Kiai Gringsing memang belum tidur. Karena itu iapun kemudian telah mempersilahkan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk masuk.
"Marilah." Kiai Gringsing mempersilahkan, "jika kalian masih belum berniat untuk beristirahat kita akan berbicara tentang apa saja, Agung Sedayu. Mumpung kau bermalam disini dengan isterimu dan Glagah Putih. Rasa-rasanya sayang jika kita tidur sore hari."
Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun mempersilah"kan gurunya, "Silahkan guru sambil berbaring saja."
"Ah tidak. Aku sudah terlalu lama berbaring. Aku ingin duduk." jawab Kiai Gringsing yang sudah duduk di bibir pembaringannya.
"Tetapi Guru akan menjadi terlalu letih nanti." ber"kata Agung Sedayu kemudian.
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak. Justru aku sudah letih berbaring."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu iapun bertanya, "Kau bertemu dengan Untara dan keluarganya?"
"Ya Guru. Kami sempat berbincang-bincang agak panjang." jawab Agung Sedayu.
"Syukurlah. Nampaknya karena pesan Panembahan Senapati itu. Untara telah menjadi lebih sibuk dengan pasukannya. Tetapi ia dapat menjaga ketenangan lingkungan, karena kesiagaannya tidak memberikan kesan yang menggelisahkan." berkata Kiai Gringsing. Lalu, "Peronda-perondanya sering lewat di depan padepokan ini pula. Kadang-kadang sampai empat orang dari pasukan berkudanya yang terkenal itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian menyampaikan pesan-pesan Untara pula, agar padepokan kecil itu menjadi semakin berhati-hati.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Jika yang berkata begitu adalah Untara, maka aku kira bukannya tidak beralasan. Karena itu, mumpung kau disini Agung Sedayu, kau dapat membantukan mengatur para cantrik yang ada. Kau memang harus melihat kemampuan mereka yang baru selapis. Dengan demikian berdasarkan tataran kemampuan mereka yang baru selapis, kau dapat mengatur kesiagaan yang sebaik-baiknya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian berkata, "Agung Sedayu. Sebenarnya ada pesan yang penting yang harus aku sampaikan kepadamu. Karena itu, kapanpun kau kembali malam ini dari Jati Anom, aku pasti menunggu."
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih justru menjadi berdebar-debar. Sementara itu Kiai Gringsing berkata pula, "Pesan itu pernah disinggung oleh Untara beberapa waktu yang lalu, ketika ia singgah di padepokan ini. Sebenarnyalah kami juga sudah mengatur diri betapapun lemahnya padepokan ini. Tetapi aku tidak terlalu gelisah karena belum ada tanda-tanda yang nampak bahwa padepokan kecil ini mendapat perhatian. Namun sejak kemarin, para cantrik telah memberikan laporan khusus tentang hal itu."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Nampaknya me"mang telah terjadi perkembangan disaat-saat terakhir.
Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Agung Se"dayu. Baru menjelang senja ini seorang cantrik telah melaporkan sesuatu yang agaknya cukup menarik perhatian."
Agung Sedayu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Namun kemudian Kiai Gringsingpun telah minta kepada Glagah Putih untuk memanggil seorang cantrik yang dimaksud oleh Kiai Gringsing itu.
Sejenak kemudian cantrik itu telah menghadap. Kiai Gringsing yang nampak masih lemah itupun kemudian ber"kata, "Cantrik. Coba katakan sekali lagi, apa yang kau laporkan kepadaku tadi agar Agung Sedayu sebagai murid tertua padepokan ini dapat mendengar."
Cantrik itu, mengangguk kecil. Kemudian iapun mulai melaporkan sekali lagi agar Agung Sedayu dapat mendengarnya. Katanya, "Kakang Agung Sedayu, aku melihat tiga orang yang berkeliaran disebelah padepokan ini. Agak"nya mereka memang mencurigakan. Untunglah bahwa aku saat itu lagi bekeja disawah sehingga orang itu nampaknya tidak mencurigai aku. Tetapi justru karena itu, maka aku tidak berhenti bekerja meskipun senja turun. Aku telah berpura-pura memperbaiki saluran air agar aku dapat tetap berada disawah. Sebenarnyalah, bahwa menjelang gelap, lima orang telah lewat di jalan depan regol padepokan itu. Menurut dugaanku, diantara mereka terdapat ketiga orang yang telah aku lihat sebelumnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Me"mang agaknya orang itu mempunyai maksud tertentu atas padepokan ini."
"Agaknya memang demikian kakang. Sementara itu, kami telah menyiapkan sebuah kentongan yang besar, yang akan dapat didengar dari gardu penjagaan di lapis luar penjagaan pasukan kakang Untara di Jati Anom. Menurut pesan para prajurit Mataram, maka jika diperlukan bantuan, kentongan itu supaya dibunyikan dengan nada yang telah ditentukan." berkata cantrik itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, maka kalian supaya berhati-hati." Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, "Jika demikian Guru, apakah penjagaan yang dilakukan hanya di pendapa sudah memadai?"
"Dua orang cantrik yang ada di padepokan itu diharapkan akan dapat mengamati seluruh halaman di depan. Sementara itu, disetiap barak, telah ditetapkan bahwa diantara para cantrik harus ada yang berjaga-jaga." jawab Kiai Gringsing.
Namun Agung Sedayu masih bertanya, "Dimanakah kentongan yang besar itu dipasang?"
"Dibarak sebelah sanggar. Barak yang terbesar yang dihuni oleh sejumlah cantrik yang sudah dipersiapkan untuk memberikan isyarat jika diperlukan." jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya pade"pokan itu harus menyadari kelemahannya, sehingga segala sesuatunya dilakukan ditempat tertutup. Meskipun dengan demikian, para cantrik itu tidak akan dapat melihat pada sasaran yang lebih luas. Namun agaknya menurut perhitungan Kiai Gringsing, para cantrik masih terlalu berbahaya jika mereka berjaga-jaga diluar, karena jika datang orang-orang berilmu tinggi, maka mereka justru akan dengan cepat menjadi korban pertama.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian bertanya, "Tetapi Guru kemarin tidak mengatakan keadaan seperti ini. Jika Guru mengatakannya, mungkin adi Swandaru tidak akan tergesa-gesa pulang meninggalkan tempat ini."
"Sampai kemarin kami tidak menganggap bahwa akan ada ancaman yang sungguh-sungguh. Adalah tidak bijaksana jika aku menyuguhi tamu-tamuku dengan kegelisahan dan bahkan ketegangan. Namun karena agaknya sore ini persoalannya berkembang semakin gawat, maka terpaksa aku memberitahukan hal ini kepadamu." jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Sementara Kiai Gringsing berkata, "Nah, Agung Sedayu. Kau adalah muridku yang tertua. Karena itu selagi kau ada disini, tolong, lihatlah kesiagaan para cantrik. Laporan yang terakhir memang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Tidak mustahil bahwa apa yang dikatakan oleh angger Untara sesuai dengan uraiannya atas peristiwa terakhir itu akan terjadi atas padepokan ini. Mungkin padepokan kecil ini dianggap salah satu pilar kekuatan Mataram, sehingga padepokan ini akan menjadi sasaran pertama sebagaimana Tanah Perdikan Menoreh Jika Tanah Perdikan Menoreh dimulai dengan usaha memisahkan rakyat Tanah Perdikan itu dari keutuhan Mataram dengan berbagai macam cara, maka mereka menganggap bahwa padepokan kecil ini akan dengan mudah dihapuskan begitu saja."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Guru. Aku akan melihat-lihat barak para cantrik."


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pergilah. Mudah-mudahan mereka tidak mengecewakan." berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putihpun ke"mudian meninggalkan bilik Kiai Gringsing. Dari cantrik yang memberikan laporan tentang orang-orang yang mencurigakan itu, Agung Sedayu mendengar keterangan yang lebih terperinci, sehingga Agung Sedayupun menjadi se"makin yakin, bahwa bahaya memang sedang mengancam padepokan kecil itu.
Bahkan kepada Sekar Mirah ia berkata, "Apakah dalam keadaan seperti ini kita akan meninggalkan Guru yang sedang sakit itu besok?"
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia berkata, "Memang rasa-rasanya kita tidak sampai hati untuk beringsut dari tempat ini. Tetapi apakah Ki Widura tidak dapat datang lebih cepat dari sepekan" "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa Sekar Mirah ingin pula segera berada si Sangkal Putung. Sebagai seorang yang berada cukup jauh dari rumah orang tuanya, maka sudah barang tentu Sekar Mirah ingin untuk berada di rumah itu untuk waktu yang cukup.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Besok kita akan menghubungi lagi. Persoalan yang men"jadi terasa gawat baru dilaporkan malam ini, sehingga kesempatan pertama yang dapat kita lakukan adalah besok pagi. Mungkin Ki Widura dapat datang ke padepokan ini le"bih cepat, sehingga kitapun akan segera dapat ke Sangkal, Putung."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Tetapi ia berkata, "Kita akan menunggu sampai paman Widura sempat berada di padepokan ini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Mereka bertiga bersama seorang cantrikpun kemudian telah memasuki barak demi barak. Barak-barak kecil yang berisi hanya sekitar empat orang itu memang telah mengatur diri. Se"orang diantara mereka berjaga-jaga berganti-ganti. Semen"tara itu didalam barak-barak kecil itu terdapat sebuah kentongan kecil pula.
"Baiklah." berkata Agung Sedayu, "kalian tentu sudah mendengar bahwa diujung malam ini, beberapa orang yang mencurigakan telah berkeliaran di sekitar pade"pokan ini. Karena itulah maka kalian harus berhati-hati. Aku kira tidak ada salahnya orang berhati-hati meskipun seandainya tidak terjadi apa-apa. Karena itu, yang kebetulan bertugas berjaga-jaga jangan asal tidak tidur saja. Tetapi ia harus memperhatikan keadaan di sekeliling barak ini. Jika ada hal-hal yang mencurigakan, ia harus segera membangunkan kawan-kawannya."
Para cantrik itupun mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, "Kalian kecilkan saja lampu minyak di ajuk-ajuk itu. Usahakan agar kalian tidak berada dibawah cahaya lampu itu. Sebaiknya kalian ada di"dalam bayangan yang gelap. Dengan demikian maka kalian tidak akan mudah diintip dari luar seandainya ada orang-orang yang berilmu memasuki padepokan ini sehingga mampu menyerap bunyi sentuhannya sehingga kalian tidak mendengarnya."
Petunjuk-petunjuk Agung Sedayu itu merupakan petunjuk yang berharga dari para cantrik. Merekapun merasa bahwa saudara tertuanya itu sempat memperha"tikan mereka. Dalam keadaan yang gawat itu, sementara guru mereka sedang sakit, mereka memang memerlukan seseorang untuk bersandar. Dengan kehadiran Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih di barak-barak mereka, rasa-rasanya keberanian dan ketabahan hati me"rekapun menjadi berkembang. Yang terakhir, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah telah memasuki barak yang terbesar, barak yang digunakan untuk menyimpan kentongan yang besar, yang suaranya akan didengar dari gardu penjagaan dilapis luar dari prajurit Mataram di Jati Anom. Ternyata barak itu benar-benar telah dipersiapkan dengan baik.
Sebuah ruang khusus bagi kentongan yang besar itu dindingnya telah dibuka di bagian atas, diganti dengan deriji-deriji yang rapat. Dengan demikian suara kentongan itu tidak akan melingkar-lingkar didalam bilik itu saja, te"tapi dapat lepas keluar menggapai gardu prajurit Mataram di Jati Anom sebagaimana dikehendaki.
Agung Sedayu menganggap bahwa persiapan telah dilakukan dengan baik. Namun sebagai murid tertua dari padepokan kecil itu, rasa-rasanya hatinya menjadi sakit. Sebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Gringsing, se"orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari duanya, terpaksa harus menggantungkan keselamatan padepokannya kepada bantuan orang lain.
Kenyataan itu benar-benar telah membuat jantung Agung Sedayu berdebar semakin cepat. Seandainya ia tidak memiliki tanggungjawab yang besar di Tanah Perdikan, juga dalam masa yang gawat seperti yang dirasakan di pa"depokan itu, maka ia tentu sudah menyatakan diri untuk tinggal di padepokan.
Karena itu, maka harapan satu-satunya memang ada pada Ki Widura. Jika Ki Widura ada di padepokan itu, maka keadaannya tentu akan berbeda. Seandainya pade"pokan itu masih juga harus mengharapkan bantuan orang lain, tetapi didalam dirinya sendiri terdapat kekuatan yang pantas. Apalagi selama Kiai Gringsing masih sakit. Bahkan setelah sembuhpun keadaannya tentu sudah berbeda.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya kepada para cantrik, "Siapa yang tertua diantara kalian?"
Seorang diantara mereka melangkah mendekat. Kata"nya, "Di barak ini akulah yang dianggap cantrik tertua."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengenal can"trik itu sejak lama. Ketika ia datang ke padepokan itu sebelumnya, cantrik itupun telah berada di padepokan itu pula. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu belum mengetahui tingkat kemampuannya.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Marilah. Dua diantara kalian akan ikut aku ke sanggar."
Dua orang yang dianggap tertua di barak itu memang agak heran mendengar ajakan Agung Sedayu. Tetapi dua orang diantara merekapun kemudian telah mengikutinya ke sanggar.
Dibawah sinar lampu minyak yang redup, Agung Sedayu kemudian berkata, "Bersiaplah. Kita akan berlatih sebentar. Aku ingin tahu sampai dimana tingkat kemam"puan kalian."
Para cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian telah mempersiapkan diri. Mereka kemudian menyadari bahwa saudara tertua mereka ingin membuat takaran tentang kemampuan mereka.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah berla"tih bersama kedua orang cantrik itu. Agung Sedayu memang mulai dari tataran awal, yang semakin lama semakin ditingkatkan. Ternyata bahwa para cantrik itu sudah menguasai gerak-gerak dasar dari ilmu yang diwariskan oleh perguruan Kiai Gringsing.
Bahkan ketika Agung Sedayu meningkatkan lagi ilmunya sesuai dengan jalur perguruan Kiai Gringsing, maka para cantrik itu mampu mengikutinya dengan baik. Mereka memang sudah mulai merambah pada pelepasan tenaga cadangan dalam tata gerak mereka, sehingga gerak mereka menjadi lebih cepat, lebih tangkas dan lebih kuat dari gerak kewadagan mereka sewajarnya.
Agung Sedayu yang mengamati kemampuan para can"trik itu mengangguk-angguk kecil. Namun ia telah mem-percepat geraknya dan bahkan meningkatkan tenaga cadangari yang dipergunakan untuk mencoba kemampuan para cantrik itu, sehingga akhirnya pada satu tataran, Agung Sedayu harus menghentikan peningkatan ilmunya, karena itu sudah sampai pada tingkat tertinggi dari kemampuan para cantrik itu. Tetapi Agung Sedayu tidak segera berhenti. Bahkan kemudian ia telah mengisi tata geraknya dengan unsur-unsur dari cabang perguruan yang lain.
Para cantrik itu mula-mula memang menjadi agak bingung menghadapi tata gerak yang berubah. Namun Agung Sedayupun kemudian berkata lantang, "Hati-hati. Tidak semua orang berlandaskan ilmu yang sama. Jika kau hanya mampu menghadapi ilmu yang sama dengan ilmu kalian sendiri, maka kalian hanya mampu berkelahi dengan sesama saudara."
Kedua orang cantrik itu tidak menjawab. Tetapi merekapun menjadi semakin berhati-hati. Dengan kemam"puan yang ada pada mereka, maka para cantrikpun telah melawan Agung Sedayu yang kemudian justru mempergunakan ilmu yang lain.
"Kenapa kalian menjadi bingung?" bertanya Agung Sedayu sambil menyerang.
"Karena perubahan tata gerak kakang." jawab salah saorang diantara para cantrik.
Agung Sedayu tersenyum. Namun ia justru menyerang semakin cepat.
Ternyata setelah beberapa saat mereka berlatih, para cantrik itu menjadi semakin mapan meskipun Agung Se"dayu tidak lagi mempergunakan ilmu yang sama. Kebingungan yang terjadi sesaat hanyalah karena perubahan tata gerak pada Agung Sedayu yang tidak diduga lebih dahulu oleh para cantrik itu. Jika semula Agung Sedayu mem"pergunakan ilmu sebagaimana mereka pergunakan, tiba-tiba saja ada unsur gerak yang terasa asing.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayupun ber"kata kepada mereka, "Cepat, pergunakan senjata yang pal"ing kalian kuasai."
Kedua cantrik itu berloncatan surut. Namun untuk sesaat mereka masih termangu-mangu, sehingga Agung Se"dayu pun harus mengulanginya, "Ambil senjata. Aku ingin melihat kemampuan kalian bermain dengan senjata. Aku tidak tahu senjata apa yang paling kalian kuasai, karena aku sejak permulaan telah mempergunakan cambuk yang diberikan oleh Guru."
Kedua cantrik itupun kemudian telah berloncatan menggapai senjata yang tersangkut di dinding. Seorang diantaranya mempergunakan pedang, sedang yang lain menggenggam sepasang trisula.
Agung Sedayupun kemudian telah mengambil sebatang tongkat besi pula yang tersangkut pada dinding sang"gar. Dengan tongkat itu ia akan berlatih dengan kedua can"trik itu.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah mulai. Ternyata kedua cantrik itu sudah memiliki ilmu yang ma"pan hagi senjata masing-masing. Dengan ilmu pedang yang trampil serta penguasaan sepasang trisula ditangannya, ke"dua cantrik itu telah berlatih melawan tongkat besi Agung. Sedayu yang berputar dengan cepat, sekali terayun dan kemudian mematuk.
Bagi Agung Sedayu, kemampuan kedua cantrik itu sudah cukup bagi pemula. Bahkan kedua cantrik itu sudah mencapai tataran yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka para cantrik itu tidak akan sekedar menjadi beban di padepokan itu. Mereka akan dapat ikut serta membantu mempertahankan padepokan itu apabila memang diperlukan.
Setelah berlatih beberapa saat, maka Agung Sedayu"pun menghentikan latihan itu. Iapun kemudian bertanya kepada kedua cantrik itu, apakah para cantrik yang lain mempunyai tataran yang sama dengan mereka.
"Tidak kakang." jawab salah seorang diantara mereka, "ada beberapa orang yang masih baru. Mereka baru menyelesaikan landasan yang paling dasar, meskipun sudah pula mempelajari penggunaan senjata. Sedangkan sebagian besar memiliki tataran sebagaimana kami berdua. Namun ada empat orang saudara kami yang memiliki bebe"rapa kelebihan meskipun mereka bukan yang tertua di"antara kami. Empat orang yang memang terpilih dengan teliti karena bakat yang tersimpan didalam dirinya, sehingga mereka mendapat perhatian khusus dari Guru."
"Apakah mereka mendapatkan senjata khusus ciri perguruan Kiai Gringsing" Maksudku, apakah mereka juga bersenjata cambuk sebagaimana Guru?" bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itu menggeleng. Katanya, "Guru memang mulai memperkenalkan senjata jenis lentur, khususnya cambuk. Tetapi menurut Guru, cambuk yang memang temurun dari perguruannya hanya ada dua yang kemudian diberikan kepada murid utamanya. Kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru. Tetapi Guru yakin bahwa Guru akan dapat membuatnya pula. Mungkin pada suatu saat Guru akan membuat dan diberikan kepada keempat orang saudara kami atau bahkan lebih dari itu meskipun nilai kegunaannya tidak sama dengan yang dimiliki oleh murid utamanya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah, Aku sudah dapat menjajagi kekuatan yang ada di padepokan ini. Nah, jika demikian, kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi disini. Mungkin malam ini, mungkin besok atau kapanpun."
Para Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayupun berkata, "Menurut pendapatku, dua orang cantrik di pendapa itu memerlukan dua orang kawan lagi."
"Mereka adalah orang-orang yang aku katakan mem"punyai kelebihan dari para cantrik yang lain." berkata can"trik itu, "mereka bergantian dengan dua orang yang memi"liki tataran yang sama."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah kita kembali ke barakmu. Kita akan menentukan empat orang yang akan berada di pendapa bergantian, sehingga yang ada di pendapa seluruhnya akan berjumlah empat orang setiap giliran."
Cantrik itupun mengangguk-angguk. Sementara itu merekapun telah keluar dari sanggar dan kembali ke barak yang terbesar itu. Di barak itu, Agung Sedayu telah menen"tukan empat orang cantrik yang harus bergantian berada di pendapa, mengawani dua orang cantrik yang bertugas ber"gantian.
Agung Sedayulah yang kemudian membawa para can"trik ke pendapa untuk diperbantukan kepada dua orang yang bertugas. Dengan demikian maka ruang pengamatan merekapun menjadi semakin luas.
"Berhati-hatilah." pesan Agung Sedayu kepada me"reka, "jangan menunggu sampai terlambat. Setiap persoalan yang timbul harus cepat mendapat penanganan. Laporan seorang diantara para cantrik tentang orang-orang yang mencurigakan itu harus mendapat perhatian dengan sungguh-sungguh."
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak dapat mengabaikan kemungkinan yang dapat terjadi malam itu karena sikap beberapa orang yang mencurigakan disekitar padepokan itu.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun segera kembali kedalam bilik mereka, sementara Glagah Putihpun kembali pula kedalam biliknya, diantara beberapa orang cantrik pula.
Dalam pada itu, maka padepokan itu semakin lama memang menjadi semakin sepi. Beberapa orang cantrikpun telah tertidur nyenyak. Bahkan Glagah Putih yang bebe"rapa saat sebelumnya masih berbicara dengan seorang can"trik, telah menjadi lelap pula.
Di pendapa, empat orang cantrik yang bertugas, duduk di dua kelompok yang terpisah. Masing-masing mempunyai ruang perhatian yang berbeda, meskipun mereka sempat juga berbincang tentang beberapa hal. Namun berempat mereka merasa beban tugas mereka menjadi berkurang.
Namun bagi keempat orang itu, malam rasa-rasanya memang terlalu sepi. Suara malam yang bersahutan dihalaman terdengar semakin ngelangut. Derik cengkerik dan suara angkup yang bagaikan keluhan yang sedih, membuat sepinya malam menjadi semakin mencengkam.
"He." tiba-tiba seorang cantrik berkata, "kita perlu mengguncang malam ini agar tidak terlalu sepi."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya seorang kawannya.
"Membangunkan beberapa orang kawan di barak-barak." jawab cantrik itu.
"Jangan seperti orang mabuk." desis kawannya, "di setiap barak tentu ada kawan kita yang berjaga-jaga. Jangan ganggu yang lain."
Sambil menarik nafas cantrik itu menjawab, "Rasa-rasanya malam ini lain dengan malam-malam sebelum"nya."
"Itulah sebabnya kita harus berhati-hati." jawab kawannya.
Cantrik yang merasa jemu duduk di pendapa itupun kemudian berkata, "Aku akan turun ke halaman."
Kawan-kawannya tidak mencegah. Bahkan seorang cantrik yang lain berkata, "Marilah. Kita melihat keadaan."
Dua orang cantrik itupun telah turun ke halaman. Me"reka berjalan melintas dari satu sisi ke sisi halaman yang lain. Bahkan merekapun kemudian telah menyusup ke"dalam gelapnya bayangan pepohonan di halaman samping padepokan itu. Satu dorongan di dalam diri mereka, telah membawa mereka justru semakin jauh ke bagian-bagian yang tersembunyi dari padepokan itu.
Namun kedua orang cantrik itu tiba-tiba tertegun ketika mereka melihat sebatang pohon yang tumbuh melekat pada dinding padepokan itu bergerak-gerak. Kedua orang cantrik itupun dengan serta merta telah bergeser ke"dalam gelap yang lebih pekat. Bahkan kemudian mereka telah berusaha untuk berada dibawah bayangan pohon per"du.
Tetapi karena jarak yang masih agak jauh, maka me"reka tidak melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Teta"pi bahwa dedaunan itu bergerak-gerak tanpa angin yang bertiup, maka hal itu agaknya pantas untuk diamati.
Dengan hati-hati kedua orang itu telah berusaha mendekat. Namun kemudian, mereka berhasil melihat meskipun tidak begitu jelas, sesosok tubuh yang meloncat dari din"ding padepokan dan bergayut pada cabang sebatang pohon yang tumbuh melekat pada dinding padepokan itu. Bahkan merupakan tangga yang baik bagi mereka yang ingin turun dari dinding padepokan tanpa menimbulkan bunyi yang dapat didengar dari barak terdekat.
Kedua orang cantrik itu saling memberikan isyarat. De"ngan sangat berhati-hati mereka telah bergeser diantara pepohonan perdu dan kembali kependapa. Bagaimanapun juga kesan debar di jantung mereka nampak pada wajah mereka, sehingga kawannya yang ber"ada di pendapat itupun bertanya hampir berbareng, "Kenapa dengan kalian?"
Seorang diantara kedua cantrik itu menjawab, "Ada beberapa orang memasuki padepokan ini. Mereka memanjat dinding dan turun melalui sebatang pohon sehingga tidak menimbulkan bunyi apapun. Untunglah bahwa kami sempat melihat daun-daunnya yang bergetar."
"Kau bersungguh-sungguh?" bertanya kawannya.
"Untuk apa aku berbohong?" bertanya cantrik itu pula.
"Bukan sekedar hendak mengguncang malam yang sepi ini?" kawannya mendesak.
"Jika demikian tentu tidak dengan cara ini." jawab cantrik itu.
Kawannya masih saja termangu-mangu. Sehingga can"trik itupun berkata, "Kau menunggu sampai terlambat?"
"Baiklah." sahut kawannya, "kita bunyikan isyarat."
Tetapi yang lain bertanya, "Berapa orang yang kau lihat?"
"Tidak jelas," jawab cantrik itu, "aku segera saja memberitahukan kemari, agar kita tidak terlambat bertindak."
"Kita tidak usah membunyikan isyarat. Kita akan membangunkan para cantrik di barak induk ini. Kemudian kita akan melihat apa yang terjadi." berkata cantrik yang lain itu.
"Kita akan melihat langsung ke halaman?" bertanya kawannya.
"Kita bangunkan dahulu kawan-kawan kita di barak induk ini." potong cantrik yang melihat beberapa orang memasuki halaman itu, "nanti kita terlambat."
"Lakukanlah." berkata yang tertua diantara mereka, "aku berjaga-jaga disini."
Dua orang cantrik segera memasuki barak induk. Me"reka telah membangunkan empat orang cantrik yang ber"ada di bagian belakang bangunan induk itu.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang juga berada di salah satu bilik di bangunan induk itu telah terbangun pula. Tetapi mereka masih berusaha mendengarkan apa yang telah terjadi.
"Agaknya ada sesuatu yang penting." berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun iapun segera membenahi pakaiannya sambil berkata, "Mungkin ada hubungannya dengan laporan cantrik menjelang malam tadi."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Iapun telah bersiap-siap pula. Bahkan ketika mereka mendengar langkah seorang cantrik di depan biliknya, maka Agung Seda"yupun telah membuka pintu.
"Ada apa?" bertanya Agung Sedayu.
Cantrik yang agak tergesa-gesa itu hanya mengatakan dengan singkat tentang beberapa orang yang memasuki halaman padepokan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Sekar Mirah, "Yang dicemaskan itu telah terjadi."
"Apa yang akan kita lakukan?" bertanya Sekar Mirah.
"Kita menghadap Guru. Tetapi aku ingin memanggil Glagah Putih lebih dahulu. Ia berada di barak sebelah bersama para cantrik." berkata Agung Sedayu, "sementara itu, kau mendekatlah lebih dahulu ke bilik Guru."
Sekar Mirah mengangguk. Iapun kemudian melangkah ke ruang dalam. Namun di depan bilik Kiai Gringsing, dua orang cantrik telah bersiap.
"Apakah Kiai Gringsing masih tidur?" bertanya Se"kar Mirah.
"Kami masih ragu-ragu untuk melihat. Persoalan yang timbul masih belum jelas." jawab cantrik itu.
Sekar Mirah tidak segera membuka pintu bilik itu. Ia masih menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sementara itu, Agung Sedayu dengan sangat berhati-hati telah melintas halaman belakang yang tidak terlalu panjang sebagaimana sebuah longkangan. Ketika ia mengetuk barak di sebelah, maka seorang cantrik telah membuka pintu.
"Mana Glagah Putih?" bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itupun telah menunjuk ke sebuah bilik dibagian samping dari barak itu. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Glagah Putih ternyata sudah keluar dari dalam bilik itu.
"Ada apa kakang?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayupun kemudian memberitahukan apa yang dilihat oleh para cantrik yang bertugas berjaga-jaga. Lalu katanya kepada Glagah Putih, "Ikut aku."
Glagah Putih dengan cepat membenahi diri. Kemudian iapun melangkah kepintu sementara Agung Sedayu berpesan, "Hati-hatilah. Kalau perlu, bunyikan isyarat."
Cantrik itu mengangguk. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan barak itu setelah can"trik yang ditinggalkan itu menyelarak pintu dari dalam. Sejenak kemudian, maka Agung Sedyu telah berada di depan bilik Kiai Gringsing. Sekar Mirah dan dua orang can"trik masih tetap berjaga-jaga didepan pintu bilik itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu bilik Kiai Gringsing. Ternyata Agung Sedayu tidak perlu mengulanginya. Dengan suara yang dalam Kiai Gringsing berkata, "Masuklah."
Agung Sedayu membuka pintu itu perlahan-lahan. Ketika ia melangkah masuk, maka dilihatnya Kiai Gring-sing sudah duduk dibibir pembaringannya.
Agung Sedayu kemudian memberikan laporan singkat, bahwa menurut para canrik, beberapa orang telah mema"suki halaman padepokan. Namun para cantrik itu belum dapat memberikan laporan yang lebih terperinci.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku serahkan kepadamu, Agung Sedayu."
"Baik Guru." jawab Agung Sedayu, "biarlah Sekar Mirah mengawani Guru disini. Aku dan Glagah Putih akan melihat-lihat keadaan dan membangunkan para cantrik."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil berdesis, "Berhati-hatilah. Meskipun aku tidak merasa diriku seorang yang disegani, tetapi orang-orang yang dikirim ke pade"pokan ini tentu orang-orang yang terpilih. Karena itu, kau harus berusaha untuk menempatkan dirimu sebaik-baiknya."
"Ya guru." jawab Agung Sedayu, "kami akan berhati-hati."
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah minta Sekar Mirah untuk berada di dalam bilik Kiai Gringsing, sementara Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih untuk melihat keadaan. Adapun para cantrik di barak induk itupun telah bersiap-siap pula untuk menghadapi segala ke"mungkinan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak keluar dari barak induk di padepokan itu lewat pringgitan. Tetapi ke-duanya telah turun melalui pintu butulan. Dengan sangat berhati-hati keduanya telah mendekati lagi barak yang ber"ada disebelah longkangan. Kepada para cantrik yang ada di dalamnya Agung Sedayu berpesan, agar mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula maka dengan mengendap-endap keduanya telah memberitahukan hal yang serupa kepada para cantrik di barak-barak yang lain.
Karena itulah, maka para cantrik yang bertugas berjaga-jaga telah membangunkan kawan-kawan mereka un"tuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena setiap saat keadaan akan dapat meledak.
Dengan ketajaman penglihatan dan pendengaran, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berusaha mendekati tempat yang ditunjukkan oleh cantrik yang telah melihat kehadiran beberapa orang yang meloncati dinding.
Ternyata Agung Sedayu berhasil melihatnya. Agaknya mereka masih belum beranjak dari bawah pohon itu. Mereka nampaknya masih sibuk membicarakan rencana yang akan mereka lakukan setelah mereka berada di dalam.
Dengan mengerahkan kemampuan ilmu Sapta Pangrungu maka Agung Sedayu mencoba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang yang berada di bawah pohon didekat dinding padepokan itu.
Salah seorang diantara mereka ternyata berkata, "Kita menunggu sejenak, Aku yakin, ia tidak akan lepas dari ren"cana ini. Ia tentu akan datang pada waktunya."
"Sebentar lagi, malam menjadi semakin mendekati dini hari." berkata seorang yang lain.
"Kita tidak memerlukan waktu yang lama disini." jawab orang pertama, "Kiai Gringsing sedang sakit. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi tanpa dukungan kewadagannya, maka ia tidak akan banyak memberikan perlawanan. Sementara itu, kalian akan dengan mudah menggilas para cantrik yang masih belum memiliki alas kemampuan kanuragan yang memadai. Apalagi pada saat-saat terakhir, Kiai Gringsing yang tua itu tidak mampu lagi memberikan latihan-latihan yang berarti kepada para cantriknya."
Tidak terdengar jawaban. Agaknya mereka baru akan mulai bergerak jika orang yang mereka tunggu itu sudah datang. Orang yang agaknya dianggap menjadi penentu dalam gerakan mereka.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat, bahwa jumlah orang-orang yang berkumpul di kebun belakang dari padepokan mereka itu cukup banyak. Karena itu, maka para cantrik benar-benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Agung Sedayupun kemudian telah menggamit Glagah Putih dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikutinya.
Ketika mereka sudah berada di jarak yang cukup, Agung Sedayu itupun berkata, "Para cantrik harus siap menunggu selagi mereka masih belum mulai bergerak."
"Ya." Glagah Putih memang sependapat, "jika para cantrik harus menunggu di dalam barak, maka pada saat-saat mereka keluar dari pintu barak, kemungkinan yang buruk-dapat terjadi atas mereka, karena mereka akan dapat menyerang dan menghancurkan barak demi barak."
"Marilah." berkata Agung Sedayu, "selagi ada wak"tu."
Agung Sedayu dan Glagah Putih sekali lagi berkeliling dari satu barak ke barak yang lain dan memerintahkan para cantrik untuk berkumpul di longkangan, dibelakang barak induk.
"Hati-hati." berkata Agung Sedayu kepada para can"trik disetiap barak, "mereka sudah ada di dalam lingkungan padepokan."
Dengan ilmu pedang yang trampil serta penguasaan sepasang trisula ditangannya, kedua cantrik itu telah berlatih melawan tongkat besi Agung Sedayu yang berputaran dengan cepat
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para cantrik itu"pun dengan sangat hati-hati, telah meninggalkan barak ma"sing-masing dan berkumpul dilongkangan.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun telah menga"tur agar para cantrik itu berada di beberapa tempat yang terpisah. Agung Sedayu telah membagi para cantrik itu ber"dasarkan atas kemampuan mereka masing-masing. Empat orang yang memiliki ilmu terbaik harus memimpin empat kelompok yang harus berada di empat penjuru. Empat orang cantrik bersama Sekar Mirah akan berada di barak induk, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih akan ber"ada ditempat-tempat yang memerlukannya.
Namun satu hal yang selalu diingat oleh Agung Seda"yu, bahwa ada seseorang yang ditunggu oleh sekelompok orang yang memasuki padepokan itu. Seorang itu tentu orang yang berilmu tinggi.
"Agaknya akan menjadi kewajibanku untuk menghadapinya." berkata Agung Sedayu didalam hatinya, kare"na ia menyadari bahwa ia adalah orang yang bertanggungjawab di padepokan itu pada saat itu sebagaimana diperintahkan oleh gurunya.
Namun untuk sementara Agung Sedayu telah mempercayakan barak induk itu kepada Sekar Mirah, karena bagaimanapun juga, Kiai Gringsing yang duduk di bibir pembaringannya itu tentu bukannya tidak mampu berbuat apa-apa sama sekali.
Kepada seorang cantrik yang ikut berjaga-jaga di barak induk itu Agung Sedayu telah memerintahkan untuk membunyikan isyarat, jika barak itu dimasuki oleh siapapun selain orang-orang padepokan itu.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah meninggalkan barak induk itu pula untuk mengamati keadaan dengan le"bih cermat. Dari tempat yang tidak terlalu jauh namun tersembunyi Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat kegelisahan diantara mereka yang memasuki padepokan itu. Namun da"lam pada itu, keduanya melihat bayangan yang meluncur dari atas dinding tanpa menuruni pohon yang dapat dijadikan tangga oleh orang-orang yang masuk sebelumnya itu.
Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan. Mereka menyadari bahwa tentu orang itulah yang ditunggu.
Kedatangan orang itu telah menggerakkan orang-orang yang berada dibawah pohon itu untuk segera mulai dengan tugas mereka. Tanpa banyak berbicara, maka orang itu telah memberikan perintah-perintah singkat.
"Waktu kita terbatas." katanya kemudian, "kita ha"rus segera mulai."
Tidak ada jawaban. Namun orang itu mulai melangkah diikuti oleh sekelompok diantara mereka. Namun yang lain telah menuju kearah yang berbeda. Agaknya orang-orang itu akan menyerang padepokan kecil itu dari arah yang berlainan. Atau barangkali mereka menganggap bahwa menundukkan padepokan itu sama mudahnya seperti sekelompok serigala menerkam sejumlah domba-domba di dalam kandangnya.
Untunglah bahwa kelompok-kelompok itu telah mengambil jalan yang tidak terlalu dekat dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih bersembunyi. Apalagi Agung Sedayu memiliki kemampuan menyerap bunyi sehingga kehadirannya tidak mudah diketahui oleh orang lain meski"pun orang berilmu tinggi sekalipun.
Agung Sedayulah yang kemudian justru mengikuti kelompok-kelompok yang mulai bergerak itu. Kepada Gla"gah Putih diisyaratkan untuk mengikuti kelompok yang lain, sementara Agung Sedayu sendiri mengikuti kelompok yang dipimpin langsung oleh orang yang datang terakhir itu.
Demikianlah, maka ketegangan telah mencekam seisi padepokan itu, Baik mereka yang memasuki padepokan itu, maupun para cantrik yang siap menunggu di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Ternyata orang-orang yang memasuki padepokan itu ti"dak segera mengetahui bahwa kedatangan mereka memang sudah ditunggu. Karena itu, maka dengan cepat mereka bergerak menuju ke bagian yang lain dari padepokan itu.
Glagah Putih yang mengikuti sekelompok orang yang mengambil jalan yang lain dari kelompok yang diikuti oleh Agung Sedayu melihat bahwa kelompok itu akan melintas diantara kelompok-kelompok para cantrik yang memang su"dah menunggu. Karena itu, Glagah Putih justru telah mem"berikan isyarat. Dilemparkannya sebuah batu kearah para cantrik menunggu sebagaimana diatur oleh Agung Sedayu.
Bunyi batu yang gemerasak didedaunan dan kemudian jatuh di tanah itu memang telah menarik perhatian. Tetapi bukan saja para cantrik. Orang-orang yang memasuki pade"pokan itupun telah terkejut pula sehingga langkah mereka terhenti sejenak.
Glagah Putih mempergunakan kesempatan itu untuk mendahului kelompok orang-orang yang memasuki pade"pokan itu. Dengan menyusup diantara gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di halaman samping ia langsung menu"ju ketempat yang sudah ditentukan bagi para cantrik siap menunggu.
Sekelompok orang yang memasuki padepokan itupun telah menjadi berhati-hati. Selain gemerasak batu yang dilemparkan oleh Glagah Putih, merekapun telah memasuki bagian dari padepokan itu yang dihuni oleh para cantrik. Beberapa barak bertebaran diantara pepohonan yang rimbun. Sementara disebelah depan dari bagian yang dihuni itu terdapat bangunan induk dari padepokan itu.
Glagah Putih ternyata telah berada diantara para can"trik di salah satu kelompok yang memang sudah menunggu kehadiran orang-orang yang tidak dikenal itu. Demikian Glagah Putih memberikan isyarat, maka para cantrik itupun mulai bergeser dari tempat mereka. Sebagian dari mere"ka tetap menunggu, sementara Glagah Putih dengan tiga orang cantrik telah melingkari sebuah barak. Ketika sekelompok orang-orang itu dengan hati-hati mendekati para cantrik, maka perintah dari pimpinan para cantrik itupun telah mengejutkan mereka.
Sejenak kemudian, beberapa orang cantrik telah menghambur keluar dari persembunyian mereka, di sebuah long"kangan yang sempit diantara dua buah barak. Tidak menunggu perintah itu diulangi maka para cantrikpun telah menyerang orang-orang yang tidak dikenal itu.
Orang-orang yang memasuki padepokan itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa demikian cepatnya mereka akan disergap oleh para cantrik yang ternyata telah bersiaga.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang seru. Namun ternyata bahwa sejumlah orang-orang yang mema"suki padepokan itu lebih banyak dari satu kelompok cantrik yang menunggu mereka. Glagah Putih yang bersama dengan tiga orang cantrik mengitari sebuah barak, tiba-tiba pula telah menyergap Orang-orang yang memasuki padepokan itu dari punggung.
Sebenarnyalah kehadiran Glagah Putih telah mengejut"kan orang-orang yang memasuki padepokan itu. Meskipun mereka belum mengenal Glagah Putih, tetapi sikap dan tata gerak Glagah Putih membuat mereka menjadi berdebar-debar.
Demikianlah pertempuran itupun telah meningkat se"makin keras. Sebagaimana petunjuk para pemimpinnya, para cantrik harus memanfaatkan pengenalan mereka atas padepokan itu sebagai perisai. Mereka dapat berlari-larian mengitari pepohonan untuk tiba-tiba saja kembali menye"rang. Merekapun dapat memanfaatkan longkangan-longkangan yang gelap pekat dan bagian-bagian yang lain. Ternyata dengan cara itu, para cantrik sekali-sekali dapat membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang memasuki padepokan itupun memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, mereka tidak segera terpancing oleh para cantrik yang berlari-larian. Mereka berusaha untuk tidak terjebak dalam arena yang sempit dan sulit. Karena itu, mereka justru bergerak mendekati banguhan induk. Namun mereka tetap bertahan di jalur arah mereka jika para cantrik menyerang.
Glagah Putih memang tidak dengan tergesa-gesa bertindak lebih jauh. Bersama para cantrik mereka telah menyerang dan kemudian berkisar kebelakang batang-batang perdu atau masuk ke longkangan yang gelap. Tetapi orang-orang yang memasuki padepokan itu sama sekali tidak mengejar mereka. Tetapi mereka meneruskan langkah mereka ke arah yang agaknya memang su"dah ditentukan. Barak induk padepokan kecil itu.
Namun ternyata bahwa kelompok itu telah membentur kekuatan para cantrik dari kelompok yang lain yang dengan serta merta telah menyergap mereka. Dengan demikian maka kekuatan merekapun menjadi berimbang. Namun ternyata bahwa orang-orang yang memasuki padepokannya itu masih saja berusaha terus mendekati barak induk.
Tetapi mereka tidak lagi semudah sebelumnya untuk maju terus. Kekuatan para cantrik benar-benar telah mam"pu menghentikan mereka. Sehingga dengan demikian maka telah terjadi pertempuran yang sengit antara orang-orang yang memasuki padepokan itu melawan para cantrik.
Beberapa orang cantrik memang telah memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi lawan-lawannya, meskipun ada juga yang mendapat kesulitan karena dasar kemampuan kanuragan mereka masih belum mapan. Tetapi ternyata bahwa para cantrik itu benar-benar telah mampu mengimbangi kekuatan orang-orang yang memasuki padepokan itu.
Namun hal itu ternyata telah membuat pemimpin kelompok orang-orang yang memasuki padepokan itu menjadi marah. Dengan lantang ia berteriak, "Minggirlah tikus-tikus kecil. Biarlah pemimpinmu, orang bercambuk itu turun ke arena. Sudah waktunya orang itu mati, sehing"ga ia tidak akan dapat lagi ikut campur dalam persolalan Mataram dengan lawan-lawannya yang semakin banyak."
Para cantrik tidak menghiraukannya. Mereka bertempur terus dengan garangnya. Tetapi pemimpin kelompok orang-orang yang tidak dikenal itu ternyata telah terjun langsung memasuki arena pertempuran. Demikian tinggi kemampuannya sehingga beberapa orang cantrik telah terkejut ketika terjadi benturan senjata. Hampir saja senjata para cantrik itu terlepas dari tangan mereka, ketika sapuan senjata pemimpin kelompok orang-orang yang belum dikenal itu menyentuh senjata para cantrik.
Untunglah bahwa Glagah Putih sempat melihat peristiwa itu. Karena itu, maka iapun telah bergerak diantara para cantrik mendekat pemimpin kelompok lawan yang menggetarkan jantung para cantrik itu.
"Luar biasa Ki Sanak." berkata Glagah Putih, "kemampuanmu melampui kemampuan kawan-kawanmu."
Orang yang sedang mengayun-ayunkan senjatanya itu tertegun. Dipandanginya Glagah Putih yang siap menghadapinya. Dari sinar obor di kejauhan, ketajaman mata orang itu melihat, betapa mudanya orang yang menyapa itu. Karena itu, maka orang itupun bertanya, "Siapakah kau he?"
"Aku salah seorang cantrik padepokan kecil ini." jawab Glagah Putih.
"Kau berani dengan sombong menghadapi aku?" bertanya orang itu.
"Kau kira aku menyombongkan diri" Tidak Ki Sanak. Bukankah kewajiban para cantrik untuk menghentikan polah tingkahmu itu?" bertanya Glagah Putih.
"Kau lihat, bahwa kawana-kawanmu tidak ada yang berani mendekati aku lagi. Apalagi seorang diri" Jika kau datang dalam sebuah kelompok yang besar, mungkin aku masih dapat menghargaimu. Tetapi agaknya kau datang untuk membunuh diri." berkata orang itu.
"Jika demikian siapakah yang sombong diantara kita" Kau atau aku?" bertanya Glagah Putih.
"Persetan. Jangan mati terlalu muda. Pergilah." bentak orang itu. Lalu, "Panggil gurumu, orang bercambuk itu. Biarlah aku yang membinasakannya?"
"Bukankah seorang kawanmu dengan kelompoknya telah memilih jalan lain menuju ke bangunan induk" Aku kira bukan kau yang akan menghadapi Guru. Tetapi kawan"mu yang telah kau tunggu cukup lama dibawah pohon di kebun belakang padepokan ini." jawab Glagah Putih.
"Jadi kau melihat kehadiran kami?" bertanya orang itu.
"Ya. Aku telah melihat kegelisahan kalian menunggu seorang diantara kalian, yang agaknya merasa dirinya pan"tas menghadapi Kiai Gringsing." jawab Glagah Putih, "nah, jika demikian, kau tidak usah menyebut nama Guru lagi. Kita bertemu dan siapakah diantara kita yang akan keluar dari arena pertempuran ini dengan selamat."
"Ternyata kau memang harus dibunuh." geram orang itu.
"Apapun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Kita berada di peperangan. Setiap orang berhak untuk membunuh dan mungkin akan terbunuh. Karena itu, kita akan melihat, aku ingin mengetahui, siapakah kalian dan bekerja untuk siapa Apapula keuntungan kalian dengan menghancurkan padepokan kecil ini?" bertanya Glagah Putih.
"Siapapun kami dan untuk siapa kami melakukannya, itu bukan urusanmu." berkata orang itu.
"Baik." jawab Glagah Putih, "jika demikian, maka kalian akan mati tanpa nama."
"Kamilah yang akan membinasakan kalian." geram orang itu.
Glagah Putih tidak menyahut lagi. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, orang yang memimpin kelompok orang-orang yang tidak dikenal itu telah menyerang Glagah Putih.
Glagah Putih meloncat menghindar. Iapun telah memegang pedang ditangannya. Ketika lawannya memburunya dengan mengacukan senjatanya lurus ke dadanya, maka Glagah Putihpun telah menangkis serangan itu.
Kedua-duanya terkejut. Pemimpin kelompok itu tidak mengira bahwa orang yang masih sangat muda itu mempunyai kekuatan yang sangat besar. Jauh melampaui ke"kuatan para cantrik yang pernah membenturkan senjata mereka dengan senjatanya.
"Agaknya anak itu memiliki kelebihan dari para can"trik yang lain." berkata orang itu didalam hatinya.
Sementara itu, Glagah Putih terkejut. Meskipun ia sudah menduga bahwa lawannya memiliki kekuatan yang besar, namun sentuhan senjatanya itu benar-benar menunjukkan kekuatannya yang luar biasa. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar karenanya. Apa yang terjadi itu baru merupakan sentuhan "sentuhan permulaan dari kemungkinan yang akan dapat berkembang menjadi jauh lebih seru.
Ternyata pemimpin kelompok itu tidak memberi banyak kesempatan kepada Glagah Putih untuk merenung. Dengan garangnya iapun segera telah menyerang kembali. Senjatanya berputaran dengan cepatnya. Namun tiba-tiba saja menebas mendatar mengarah kedada lawannya.
Ketika Glagah Putih sempat bergeser surut selangkah, maka orang itu telah meloncat selangkah maju sambil mengacukan senjatanya kearah leher. Tetapi Glagah Putih mampu bergerak secepat lawan"nya. Karena itu, maka ujung senjata itu mematuk sejengkal dari sasaran.
Glagah Putih tidak membiarkan dirinya sekedar men"jadi sasaran serangan lawannya. Iapun kemudian telah me"nyerang pula. Dengan memukul senjata lawannya menyamping, maka dada lawannya telah terbuka. Dengan cepat Glagah Putih memutar pedangnya dan dengan loncatan menyamping, pedang itu terayun kearah perut. Tetapi lawannya sempat bergeser surut. Pedang Glagah Putih sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Demikianlah pertempuranpun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya semakin meningkatkan ilmu me"reka masing-masing. Sedangkan para cantrikpun telah bertempur dengan keras pula karena lawan-lawan mereka men"jadi garang.
Ternyata bahwa kemampuan para cantrik tidak mencemaskan. Mereka sebagian besar telah menguasai ilmu dasar dari perguruan Kiai Gringsing. Bahkan beberapa orang di"antara mereka telah mulai mampu mengembangkannya. Dua orang yang masing-masing memimpin sekelompok can"trik di padepokan itu, sebagaimana dikatakan oleh kawan-kawannya, memang memiliki kelebihan dari kemampuan rata-rata para cantrik yang lain. Mereka sempat membuat lawan-lawannya terdorong surut beberapa langkah dalam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan kadang-kadang lawannya terpaksa mendapat bantuan dari lawan-lawannya jika cantrik itu mendesak mereka kedalam keadaan yang sangat gawat. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama memang menjadi semakin seru.
Orang-orang yang datang memasuki padepokan itu tidak menduga, bahwa di dalam padepokan kecil itu terdapat kekuatan yang memadai. Bahkan seorang anak muda telah mampu mengimbangi kemampuan pemimpin mereka yang mereka anggap memi"liki ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, kelompok yang lain, yang dipimpin langsung oleh orang yang untuk beberapa lama ditunggu itu, bergerak melalui sisi yang lain. Merekapun berusaha untuk sampai kebarak induk padepokan itu. Agaknya orang yang datang terakhir itulah yang mendapat tugas langsung untuk mengakhiri perasaan Kiai Gringsing yang banyak membantu Mataram itu.
Namun seperti yang terjadi pada kelompok yang lain, maka para cantrikpun telah menyergap mereka dari balik gerumbul-gerumbul perdu tanaman hias di halaman samping padepokan dan dari celah-celah barak yang bertebaran. Dua kelompok para cantrik harus bertempur mengha"dapi kelompok pendatang itu.
Namun Agung Sedayu terkejut melihat kekasaran orang yang datang terakhir itu. Ketika seorang cantrik menyergapnya, maka seakan-akan ia hanya mengibaskan sebelah tangannya. Namun cantrik itu terlempar beberapa langkah, jatuh berguling dan tubuhnyapun telah terdiam.
Agung Sedayu memang tersinggung. Cantrik itu ada"lah cantrik yang bernasib buruk. Ia tidak sempat berbuat apapun di pertempuran itu, ketika tiba-tiba saja ia ber"papasan dengan orang yang dengan semena-mena mempergunakan ilmunya yang sangat tinggi.
Ketika Agung Sedayu meloncat mendekati orang itu, maka dua orang cantrik telah terlempar. Meskipun keduanya tidak menjadi separah cantrik yang pertama, namun keduanyapun harus meringkuk menepi. Untunglah bebe"rapa orang kawannya telah membantunya, membawanya ketempat yang gelap. Sementara dua orang cantrik yang lain telah mengusung kawannya yang pingsan menyingkir pula dari pertempuran.
Ketika ampat orang cantrik yang marah meloncat mendekati orang itu, Agung Sedayu telah berada di hadapan mereka. Katanya kepada para cantrik, "Biarlah aku yang menghadapinya."
"Anak setan." geram orang itu.
Ternyata semakin dekat. Agung Sedayu menjadi semakin jelas mengamati wajah orang itu. Wajah yang nampak pucat dan dalam. Tidak ada gejolak sama sekali pada wajah yang bermata sangat cekung itu. Seakan-akan yang nampak itu bukannya wajah sebenarnya. Seperti sebuah topeng yang diam tanpa perubahan kesan apapun selain sorot mata yang memancarkan nafas kematian.
Ternyata bahwa wajah yang beku itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang berwajah demikian, menurut pengenalannya adalah orang yang memiliki kelainan jiwa. Perasaannya tentu sudah membeku sebagaimana wajahnya. Namun sebagaimana sorot matanya, hatinyapun menyimpan api. Orang-orang yang demi"kian, akan dapat membunuh tanpa mengedipkan matanya. Tanpa getar apapun dijantungnya. Apalagi penyesalan. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati menghadapinya.
Dalam pada itu terdengar suara orang itu parau, "Siapakah kau yang berani dengan sadar menghadapi aku se"orang diri?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau tentu mencari Kiai Gringsing. Aku adalah salah se"orang muridnya."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Suruh gurumu menghadapi aku. Aku ingin membunuhnya."
"Apa hubunganmu dengan Guru, sehingga kau akan membunuhnya?" bertanya Agung Sedayu.
Ternyata orang itu tidak berbelit-belit. Katanya, "Gurumu tentu akan memihak Mataram yang bermusuhan dengan Madiun. Sementara itu aku berpihak kepada Ma"diun."
"Bagaimana jika perselisihan antara Mataram dan Madiun dapat diselesaikan dengan baik tanpa kekerasan?" bertanya Agung Sedayu.
"Itu bukan urusanku. Tugasku membunuh Kiai Gringsing yang dikenal sebagai orang bercambuk itu. Kecuali ia akan dapat mengganggu, ia pun seharusnya memang sudah mati karena ia sudah terlalu lama hidup." berkata orang itu.
"Tentang umur seseorang itu bukannya persoalan kita. Bukan pula urusanmu. Panjang atau pendek umur seseorang, adalah wewenang Yang Maha Kuasa." jawab Agung Sedayu.
"Omong kosong." geram orang berwajah beku itu, "orang-orang yang lemah akan mencari sandaran untuk menutupi kelemahannya. Aku yang yakin akan kemampu-anku, sama sekali tidak mempercayainya. Aku akan mempertahankan umurku dengan membunuh lawan-lawannya. Nah, minggirlah jika kau tidak ingin mati. Aku akan mem"bunuh Gurumu."
"Sikapku berbeda." jawab Agung Sedayu, "karena aku yakin, bahwa mati hidupku sudah ditentukan oleh Kuasa-Nya, maka aku tidak akan minggir. Aku akan menghadapimu siapapun kau. Aku barangkali kau mau menye"but namamu atau sebutanmu" "
"Namaku Singapati. Katakan kepada Gurumu, bahwa aku adalah pewaris tunggal ilmu dari perguruan Worsukma." berkata orang yang bernama Singapati itu. Lalu, "ia ten"tu akan menjadi gemetar dan barangkali dengan suka rela akan menyerahkan nyawanya kepadaku."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia memang sudah mendengar berbagai macam perguruan yang pernah disebut oleh gurunya. Iapun pernah mendengar nama per"guruan Worsukma. Perguruan yang pada masanya memi"liki nama yang menggetarkan bagi orang-orang berilmu. Gurunyapun pernah memberikan petunjuk untuk meng"hadapi berjenis-jenis ilmu yang memiliki kelebihan dari ber"bagai macam perguruan. Dan Agung Sedayupun teringat jelas, bagaimana gurunya memberikan petunjuk untuk menghadapi ilmu dari perguruan Worsukma.
Agung Sedayu teringat jelas, betapa gurunya berpesan, agar ia tidak kehilangan pribadinya menghadapi ilmu dari perguruan Worsukma. Jika ia kehilangan pribadinya, maka ia akan tunduk pada kehendak lawannya, bahkan dipenggal kepalanya sekalipun. Dan ilmu itu tidak dapat dilawan dengan ilmu kebal. Melainkan satu keyakinan akan dirinya sendiri.
"Benar kata Guru." berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "orang-orang yang mewarisi ilmu Worsukma, yang menurut Singapati adalah pewaris tunggalnya di saat ini, tidak percaya akan kuasa Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya, maka aku justru tidak boleh bergeser setebal daun sekalipun dari sandaran itu. Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka aku akan tetap tegak pada pribadiku dan tidak akan dapat dikuasainya."
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Singapati itupun tiba-tiba telah membentaknya, "He, jika kau menjadi ketakutan, minggirlah. Aku memang ingin bertemu dengan pewaris ilmu cambuk yang terkenal itu. Na"mun yang sebenarnya hampa di dalamnya."
"Guru sedang sakit." berkata Agung Sedayu, "atau barangkali kau sengaja datang karena kau mendengar Guru sedang sakit" Agaknya kau tidak berani berhadapan dengan Guru disaat-saat Guru siap bertempur melawan siapapun, termasuk pewaris tunggal ilmu Worsukma." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia ber"kata, "Kau bukan pewaris tunggal. Aku pernah bertemu dengan orang yang memiliki ilmu yang sama dengan ilmumu. Warisan dari perguruan Worsukma. Cirinya sama dengan ciri-ciri yang ada padamu. Tidak mempercayai kuasa Yang Maha Kuasa. Sombong dan tidak mengakui saudara-saudara seperguruannya sendiri."
"Persetan." geram orang itu, "banyak orang yang mengaku pewaris ilmu dari perguruan Worsukma. Tetapi semuanya itu bohong sama sekali. Sekarang, menyerahlah atau kau akan mati."
"Sudah aku katakan, mati hidupku tidak ditentukan oleh siapapun. Tidak olehmu dan bahkan tidak olehku sen"diri. Tetapi oleh Penciptanya." jawab Agung Sedayu.
Orang itu menggeram. Satu hal lagi yang membuat Agung Sedayu berdebar-debar. Gigi orang itu seakan-akan mengintip dari sela-sela bibirnya. Satu hal yang tidak per"nah disebut oleh gurunya.
"Jika orang ini menggeram, maka giginya bagaikan gigi binatang buas yang mencuat dari batas bibirnya." ber"kata Agung Sedayu didalam hatinya. Lalu, "Apakah arti dari keadaan itu?"
Tetapi memang ada kemungkinan bahwa hal itu tidak mempunyai arti apapun kecuali satu kebiasaan saja. Atau karena orang itu memang memiliki sifat-sifat binatang buas karena ilmunya atau karena watak dan pribadinya.
Karena Agung Sedayu ternyata sama sekali tidak gentar menghadapinya, maka orang itupun kemudian berkata, "Bersiaplah. Mungkin masih ada yang ingin kau lihat di padepokanmu ini karena sebentar lagi kau akan mati."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak boleh lengah bukan saja menghadapi benturan kewadagan, tetapi orang yang mewarisi ilmu perguruan Worsukma itu akan dapat mempengaruhi nalar budinya dan bahkan menguasainya.
Sejenak kemudian maka orang itupun mulai bergerak.
Seperti kebekuan di wajahnya, maka geraknyapun bagaikan tidak disadarinya. Namun Agung Sedayu tahu pasti, bahwa orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Agung Sedayu memang dapat mempergunakan ilmu kebalnya jika diperlukan untuk mengatasi benturan wadagnya, tetapi ia tidak dapat mempergunakan ilmu itu untuk melawan pengaruh yang mungkin dapat menguasai jiwanya. Karena itu maka ia harus mempersiapkan perlawanan khusus untuk mengatasinya.
Tetapi agaknya orang itu ingin mencoba kemampuan dan kekuatan ilmu Agung Sedayu dengan benturan-benturan wadag. Agaknya orang itu tidak dengan serta merta mempergunakan ilmu andalan dari perguruan Worsukma yang dapat menundukkan lawannya tanpa benturan kewadagan.
Sejenak kemudian, maka orang itu mulai menggerakkan tangannya. Agung Sedayu telah menyaksikan sendiri, bagaimana kibasan tangannya mampu melemparkan dan membuat seorang cantrik langsung pingsan, sedangkan yang lain telah terlempar dan terbanting pula ditanah.
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya. Ketika orang itu meloncat dengan satu langkah panjang sambil menerkam dengan jari-jarinya yang berkembang, maka Agung Sedayu seakan-akan telah bertemu dengan kenalan lamanya meskipun berdiri berseberangan.
Wawasannya yang tajam segera mengenal gerak itu, meskipun sebelumnya ia baru mendapat keterangan dari Kiai Gringsing tentang jenis ilmu itu. Ilmu yang sangat berbahaya. Terkaman itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.
Namun Agung Sedayu ternyata mampu mengimbangi hentakan pertama lawannya. Demikian ia bergeser menghindari serangan lawannya, Agung Sedayupun telah meloncat pula. Sambil merendah maka tangannya terayun mendatar. Jari-jarinya yang merapat menyambar lambung
lawannya dengan telapak tangan yang menelungkup. Ketika lawannya menghindar surut, maka tangan itupun segera
berubah arah, mematuk dengan cepat menghadap ke ulu hati.
Orang itu meloncat surut. Wajahnya masih tetap membeku
ketika ia bergumam " Ternyata kau tangkas. He, apakah
murid-murid Kiai Gringsing sudah mewarisi kemampuannya" "
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia
melenting sambil berputar, sementara kakinyalah yang
terayun deras sekali, hampir saja menyambar kepala orang
yang menyebut dirinya Singapati itu.
" Anak iblis " orang itu mengumpat. Untunglah bahwa ia
masih sempat menghindar dengan merendahkan dirinya
sehingga kepalanya tidak disambar oleh kaki Agung Sedayu.
Gerak itu memang tidak diduganya sebelumnya.
Namun kemarahan orang itu bagaikan terangkat. Karena
itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara Agung Sedayu
dan Singapati itupun menjadi semakin cepat dan keras.
Ternyata bahwa Agung Sedayu memang harus mengimbangi
lawannya. Meskipun tidak kasar, tetapi Agung Sedayu telah
bertempur sebagaimana lawannya.
Namun dengan sengaja Agung Sedayu telah
memperlihatkan unsur-unsur ilmunya yang lain, yang
diwarisinya dari perguruan Ki Sadewa. Ia ingin melihat
ketajaman pengamatan lawannya tentang jenis-jenis ilmu dari
jalur perguruan yang pernah terkenal pada masa silam.
Ternyata orang itu telah memperhatikan unsur-unsur gerak
yang diperlihatkan oleh Agung Sedayu. Sebagai seorang yang
berilmu tinggi dari angkatan sebelumnya, maka ternyata orang
itu menjadi heran melihat jenis unsur-unsur gerak yang


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak pada lawannya yang masih terhitung muda itu.
Karena itu, hampir diluar sadarnya, maka terdengar orang
itu bertanya dengan nada datar " Kau bukan saja murid Kiai
Gringsing. Tetapi kau memiliki kemampuan ilmu dari
perguruan Ki Sadewa. "
" Kau mengenal Ki Sadewa" " bertanya Agung Sedayu.
" Ia berasal dari Jati Anom ini. Aku mengenal orang-orang
berilmu tinggi sebagaimana aku sendiri. Tetapi seandainya Ki
Sadewa masih hidup, ia tidak akan mampu mengimbangi
kemampuanku sekarang, sebagaimana Kiai Gringsingpun
tidak, " berkata orang itu.
" Itulah sebabnya maka kau harus dihadapkan pada dua
jenis ilmu itu sehingga dengan demikian maka barulah kau
dapat dikalahkan. " berkata Agung Sedayu.
" Persetan " geram orang itu " jika kau baru mengenal
dasar-dasar ilmu dari seratus perguruanpun kau tidak mampu
berbuat apa-apa dihadapanku sekarang ini. "
Namun tiba-tiba orang itu terkejut ketika Agung Sedayu
Kampung Setan 13 Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan Dendam Asmara 3
^