Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 7

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7


Ki Demang mengerutkan keningnya, sementara Swan"daru beringsut setapak maju.
"Baiklah." berkata Ki Demang. Lalu katanya, "Ki Sanak. Jawabku tidak berubah. Setelah kami berbicara dengan para bebahu, maka kami berkesimpulan bahwa kami berkeberatan mengirimkan anak-anak kami bersama dengan Ki Sanak jika Ki Sanak tetap tidak mau menunjukkan pertanda dari Mataram bahwa Ki Sanak memang mem"bawa kuasa Panembahan Senapati."
"Persetan." geram Jaka Rampan, "dengan demikian maka kalian benar-benar memberontak terhadap Mataram. Kalian lebih percaya kepada sepotong benda apakah itu lencana atau tunggul kerajaan daripada kepada prajurit-pra-jurit Mataram."
Jaka Rampan berhenti sejenak, lalu, "jika demikian tunggu sebentar. Kami benar-benar akan mengambil tindakan. Tidak seorangpun yang diperkenankan keluar dari kademangan ini."
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Ki Demang.
"Kalian kami jadikan tawanan kami." geram Jaka Rampan.
"Tidak mungkin." geram Swandaru, "kalian tidak berhak menahan kami dirumah kami sendiri."
Tetapi Agung Sedayu memberi isyarat kepada Swan"daru untuk tenang, sementara ia berbisik kepada Glagah Putih, "Kau dengar pernyataan Jaka Rampan itu?"
Diam-diam Glagah Putihpun telah bergeser meninggal"kan pringgitan itu. Dalam pada itu, seorang diantara perwira bawahan Jaka Rampan telah meninggalkan pringgitan itu pula. Ia tahu apa yang harus dikerjakan. Sejenak kemudian, maka para prajurit Mataram itupun telah menebar di halaman, sedangkan dua orang diantara mereka dengan tergesa-gesa telah pergi ke Semangkak.
Jaka Rampan sendiri masih berada di pringgitan. Namun iapun kemudian berkata, "Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Aku akan menunggu dihalaman, diantara prajurit-prajuritku. Jika kalian benar-benar menolak, maka kalian akan berhadapan dengan prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas. Aku tahu, bahwa Kademangan ini adalah Kademangan yang kuat. Tetapi kami adalah prajurit-prajurit."
Jaka Rampan itupun kemudian telah bangkit dan meninggalkan pringgitan itu sambil berkata, "Semua orang tinggal ditempat masing-masing."
Wajah Swandarulah yang menjadi merah. Tetapi setiap kali Agung Sedayu memberikan isyarat kepadanya untuk mematuhi perintah Jaka Rampan itu, agar mereka tetap tinggal ditempat masing-masing.
Dalam pada itu, dengan sigap para prajurit Mataram telah menempatkan diri dalam kelompok-kelompok kecil ditempat-tempat terpenting di halaman. Mereka mengawasi setiap perkembangan keadaan dan setiap gerak para pengawal yang menjadi agak kebingungan karena mereka tidak mendapat perintah apapun juga. Namun para penga"wal yang terlatih itupun segera bersiaga pula. Mereka tahu bahwa para pemimpin Kademangan ada dipringgitan. Dalam keadaan yang gawat, maka mereka yakin, perintah itu akan diberikan dari pringgitan. Mungkin oleh Ki Demang sendiri, atau oleh Swandaru atau Agung Sedayu. Sementara para pengawal yang ada digardupun telah siap untuk membunyikan kentongan jika memang diperlukan.
Namun para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang sama sekali tidak bermimpi untuk bertempur melawan prajurit Mataram. Selama ini justru mereka berusaha untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram.
Ketika Jaka Rampan dan para perwira prajurit Mata"ram telah turun dari pringgitan dan mengatur prajurit me"reka, Agung Sedayupun berkata, "Kita akan menunggu perkembangan keadaan."
"Aku tidak telaten." geram Swandaru.
"Kita tidak dapat dengan serta merta bertempur me"lawan prajurit Mataram dalam pakaian dan kelengkapan keprajuritan mereka. Apalagi kita tahu benar, bahwa Jaka Rampan memang seorang perwira yang namanya mulai menanjak. Namun kitapun tidak bersalah karena Jaka Rampan tidak mau dan bahkan mungkin memang tidak memiliki pertanda kuasa Panembahan Senapati. Mungkin Jaka Rampan telah kejangkitan nafsu yang membuatnya untuk mengambil keuntungan dari rencananya sendiri menyusup ke Madiun." berkata Agung Sedayu.
Dalam pada itu, ternyata beberapa saat kemudian, sepasukan prajurit Mataram yang lain, yang dipimpin oleh seorang Senapati yang bernama Gondang Bangah telah memasuki halaman Kademangan. Sebagaimana pasukan Jaka Rampan, maka pasukan inipun memakai kelengkapan pertanda prajurit Mataram, sehingga dengan demikian, maka dua pasukan Mataram yang dipimpin oleh Jaka Ram"pan dan Gondang Bangah telah berada di halaman Kade"mangan dan menebar sampai ke halaman samping.
Jaka Rampan yang menyambut kedatangan Gondang Bangah berkata sambil tersenyum, "Kita menghadapi sikap para pemimpin Sangkal Putung yang sombong."
Gondang Bangah tertawa. Iapun kemudian bersama Jaka Rampan telah melangkah ke pringgitan. Namun tanpa naik ke pringgitan itu Gondang Bangah berteriak, "Apa"kah kalian menolak perintah adi Jaka Rampan?"
Yang menjawab adalah Agung Sedayu sambil duduk, "Kami hanya ingin melihat pertanda perintah Panembahan Senapati. Apakah kau membawa Ki Sanak" Dan barangkali Ki Sanak merasa perlu untuk memperkenalkan diri kepada kami?"
Gondang Bangah mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Siapakah kau" Apakah kau Demang disini?"
"Menantu Ki Demang." sahut Jaka Rampan, "ia adalah orang yang terlalu banyak berbicara disini. Melampaui Ki Demang sendiri. Bahkan anak laki-laki Ki Demang semula untuk setuju untuk mengumpulkan tigapuluh orang pengawal yang akan bersama-sama dengan pasukanku melakukan tugas yang berat dibelakang garis pertahanan Madiun. Tetapi menantu Ki Demang itu telah mencairkan kembali kesediaan itu karena ia terlalu banyak berbi"cara."
"Nah, jika demikian, atas nama adi Jaka Rampan se"kali lagi aku bertanya, apakah kalian bersedia membantu pasukan Mataram atau tidak. Aku tidak mau mendengar jawaban siapapun selain Ki Demang." berkata Gondang Bangah.
Ki Demang memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Namun iapun kemudian menjawab, "Maaf Ki Sanak. Dengan cara seperti ini kami tidak dapat mem"bantu kalian. Sekali lagi aku jelaskan, bahwa Sangkal Putung akan tetap setia kepada Mataram sepanjang kami yakin bahwa kami benar-benar berhadapan dengan limpahan kuasa Panembahan Senapati dengan pertanda yang sah."
"Baik. Kami tidak akan memberi keselamatan lagi. Karena itu, maka Ki Demang, anak dan menantunya akan menjadi tawanan kami. Kalian bertiga akan kami bawa menghadap Panembahan Senapati untuk diadili." berkata Gondang Bangah.
"Persoalannya sama saja Ki Sanak." berkata Ki Demang, "apakah kalian berhak menangkap kami dan membawa kami menghadap Panembahan Senapati" Aku tidak yakin, bahwa Ki Sanak benar-benar akan membawa kami menghadap Panembahan Senapati. Ki Sanak dapat memperlakukan kami diluar batas paugeran dan untuk selama-lamanya kami tidak akan sampai kehadapan Panem"bahan Senapati tetapi juga tidak kembali ke Sangkal Pu"tung."
"Ki Demang sudah berani merifitnah kami?" bentak Gondang Bangah.
"Aku menjadi tidak telaten, kakang Gondang." ber"kata Jaka Rampan. Lalu katanya kepada Ki Demang, "Ki Demang. Apakah kita benar-benar harus beradu kekuatan" Apakah Kademangan Sangkal Putung benar-benar ingin bertempur melawan pasukan Mataram" Yang ada disini sekarang, bukan hanya pasukanku. Tetapi juga pasukan kakang Gondang Bangah. Nah, perhatikan keadaan ini."
Ki Demang memang menjadi bingung. Tetapi Agung Sedayu telah memotong, setuju atau tidak disetujui oleh Gondang Bangah, katanya, "Kami tidak dapat tunduk kepada perintah siapapun yang tidak jelas bagi kami."
"Bagus." teriak Gondang Bangah yang agaknya mempunyai darah yang lebih mudah mendidih daripada Jaka Rampan, "kita akan bertempur."
Halaman rumah Ki Demang itu menjadi tegang. Para prajurit Mataram dibawah pimpinan Jaka Rampan dan Gondang Bangah itupun telah bersiap. Mereka telah berada ditempat-tempat yang mapan, yang dengan mudah dapat menyergap para pemimpin Kademangan yang berada di pringgitan.
Sementara itu, para pengawalpun telah bersiap pula. Tetapi jumlah mereka sama sekali tidak memadai. Para pengawal tidak bersiap untuk membenturkan kekuatan melawan para prajurit Mataram. Merekapun tidak tahu apakah mereka harus melawan dan melindungi Kade"mangan itu seandainya para prajurit Mataram benar-benar akan menangkap Ki Demang.
Tetapi para pengawal melihat di pringgitan itu ada Ki Demang, Ki Jagabaya, Agung Sedayu dan Swandaru. Sementara itu merekapun tahu, bahwa didalam rumah itu masih ada Glagah Putih, Sekar Mirah dan barangkali juga Pandan Wangi meskipun keadaannya sedang tidak menguntungkan.
Dalam puncak ketegangan itu terdengar suara Gondang Bangah, "Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak berubah sikap, maka aku akan menjatuhkan perintah untuk menangkap kalian dengan kekerasan. Jika pengawal-pengawal Kademangan ini berusaha melindungi kalian, atau ada diantara kalian yang melawan, maka kami benar-benar akan bertindak sesuai dengan tugas kami sebagai prajurit."
Suasana menjadi semakin tegang, ketika Gondang Ba"ngah itu mulai menghitung "Satu" sementara para prajurit Matarampun mulai bergerak. Kemudian " Dua"
Dan yang mengejutkan itu terjadilah. Selagi para pra"jurit dibawah pimpinan Jaka Rampan dan Gondang Bangah mulai melangkah mendekati pendapa dan pring"gitan, sementara para pemimpin Kademangan Sangkal Putung itu masih saja duduk betapapun ketegangan mencekam jantung, terdengarlah suara di seketheng mendahului mulut Gondang Bangah"
"Jangan ucapkan bilangan berikutnya."
Semua orang telah berpaling kearah suara itu. Seseorang melangkah dalam kegelapan keluar dari seketheng di"bawah cahaya lampu yang suram. Namun semua orang segera mengenalnya, bahwa orang itupun mengenakan pakaian seorang prajurit Mataram dengan pertanda se"orang Senapati.
Sebelum orang-orang itu sempat mengenali wajahnya, maka beberapa orang perwira yang lain telah muncul pula diikuti oleh dua orang yang membawa tunggul pertanda kesatuan serta kelebet kebesaran.
Gondang Bangah dan Jaka Rampan bagaikan membeku melihat para perwira itu. Sementara dari seketheng itu pula serta seketheng disisi yang sebelah, telah muncul pa"sukan yang berkelengkapan lengkap sebagai prajurit Ma"taram pula.
Merekapun menebar justru diluar tebaran para prajurit Mataram yang telah hadir lebih dahulu. Bahkan kemudian diregol halaman itupun telah muncul pula sekelompok pra"jurit Mataram yang lain.
Dalam ketegangan itu, maka seorang perwira dalam kedudukan sebagai Senapati Besar prajurit Mataram telah naik kependapa. Orang itu adalah Untara. Sedangkan para bebahu Kademangan itu bersama Agung Sedayu dan Swandarupun telah berdiri pula.
"Atas nama kuasa Panembahan Senapati, aku perintahkan Jaka Rampan dan Gondang Bangah mengumpulkan prajurit-prajuritnya." terdengar suara Untara berat membelah keheningan yang mencekam.
Sejenak Jaka Rampan dan Gondang Bangah berdiri bagaikan membeku. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa di Kademangan Sangkal Putung itu telah hadir pula Senapati Besar Untara dengan pasukannya. Demikian cepatnya Senapati itu mendengar apa yang terjadi di Sangkal Putung.
Selagi Jaka Rampan dan Gondang Bangah termangu-mangu, maka Glagah Putih telah menyusupi lewat pintu pringgitan dan berdiri dibelakang Agung Sedayu. Agung Sedayu berpaling kepadanya sambil tersenyum, sementara Glagah Putihpun tersenyum pula.
Jaka Rampanpun kemudian menyadari, bahwa orang"orang Sangkal Putung itu telah memperdayainya. Mereka minta waktu untuk membicarakan dengan para bebahu sampai lewat tengah malam adalah sekedar usaha menunda waktu. Sementara itu, mereka telah mengirimkan utusan untuk menemui Untara di Jati Anom.
"Yang datang tentu pasukan berkuda." berkata Jaka Rampan didalam hatinya. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mendengar derap kaki kuda. Namun jika yang datang itu bukan pasukan berkuda, tentu memerlukan waktu yang lebih panjang.
Jaka Rampan menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Senapati Besar Untara yang telah mereka kenal sebagai seorang Senapati yang tegak pada paugeran dan tugas-tugas keprajuritan. Karena itu, maka Jaka Rampan dan Gondang Bangahpun telah mengumpulkan prajurit mereka masing-masing. Sementara prajurit Mataram dibawah pimpinan langsung Senapati Besar Untara mengamati mereka dengan seksama.
Demikian para prajurit itu sudah berkumpul, maka Untarapun berkata, "Jaka Rampan dan Gondang Bangah, marilah, kita akan berbicara dengan para bebahu Kade"mangan Sangkal Putung."
Untara tidak menunggu keduanya. Iapun kemudian telah melangkah menuju kepringgitan. Bersama para bebahu dan orang-orang yang ada dipringgitan, maka iapun telah duduk pula. Sejenak kemudian, maka Jaka Rampan dan Gondang Bangahpun telah hadir pula diantara mereka.
Sejenak suasana masih terasa tegang. Jaka Rampan dan Gondang Bangah duduk sambil menundukkan kepalanya. Mereka menyesali kebodohan mereka, sehingga me"reka justru telah terjebak.
"Siapakah yang memerintahkan kalian untuk pergi ke belakang garis pertahanan Madiun?" tiba-tiba saja Untara itupun bertanya.
Baik Jaka Rampan maupun Gondang Bangah tidak menjawab. Mereka justru menjadi semakin menundukkan kepala.
"Aku tahu bahwa kalian telah mengambil kebijak"sanaan sendiri." berkata Untara, "tetapi apa alasan kalian meninggalkan kesatuan kalian" Kalian tidak dapat begitu saja pergi untuk waktu yang lama tanpa alasan yang dapat diterima akal."
Jaka Rampan dan Gondang Bangah tidak segera men"jawab. Sementara Untarapun berkata, "Baiklah jika kalian berkeberatan untuk memberikan keterangan sekarang. Kalian akan kami bawa menghadap ke Mataram. Bahkan jika perlu, aku akan mohon untuk membawa kalian meng"hadap langsung Panembahan Senapati."
Gondang Bangah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang ada niat untuk membantu mempercepat penyelesaian persoalan antara Mataram dan Madiun. Kami memang ingin memperlemah kedudukan Madiun di belakang garis pertahanan mereka."
"Satu rencana yang mustahil." berkata Untara, "kalian tidak mempelajari keadaan dengan sebaik-baiknya. Mungkin kalian dapat memasuki daerah dibelakang garis pertahanan. Namun sesudah itu apa yang dapat kalian lakukan" Kalian akan menyerang kesatuan-kesatuan pra"jurit Madiun atau akan melakukan pengacauan dibelakang garis pertahanan" Atau dengan kekuatan yang kalian bawa, kalian akan berusaha langsung menyerang istana Panem"bahan Madiun atau rencana yang lain?"
Gondang Bangah semakin menunduk. Dengan suara lemah ia berkata, "Kami belum mempunyai rencana terperinci."
"Mungkin kalian ingin memanfaatkan keadaan ini untuk mendapat pujian atau bahkan kemudian mendapat"kan kedudukan yang lebih tinggi. Aku tahu bahwa nama kalian, terutama Jaka Rampan justru mulai menanjak. Tetapi jalan pintas yang akan kalian tempuh bukan jalan yang baik." berkata Untara.
Gondang Bangah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang, mungkin kami telah mengambil langkah yang tidak wajar."
Untara mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kita akan membicarakannya kelak. Besok kita akan pergi ke Mataram."
Berbeda dengan Gondang Bangah, justru Jaka Ram"pan tiba-tiba berkata, "Jika saja kami mendapat kesem"patan."
"Kesempatan apa?" bertanya Untara.
"Melaksanakan rencana kami." jawab Jaka Rampan, "kami akan membuktikan, bahwa kami adalah putera-putera terbaik Mataram."
"Kau yakin bahwa kau dapat berbuat sesuatu dibelakang garis pertahanan Madiun?" bertanya Untara.
Jaka Rampan termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menunduk lagi. Bahkan nampak wajahnya yang tengadah. Dengan nada tinggi ia berkata, "Ki Untara. Barangkali Ki Untara pernah mendengar serba sedikit tentang kemampuanku. Beberapa kali aku telah menyelesaikan tugas dengan baik. Kelompok demi kelompok kejahatan disekitar Ganjur, Panggang sampai kepesisir telah kami bersihkan."
"Sudah aku katakan, bahwa aku mengerti. Namamu mulai menanjak sehingga dalam waktu singkat kau telah menduduki jabatanmu yang sekarang." berkata Untara. Lalu, "Tetapi justru karena itu kau mempunyai penilaian yang salah terhadap dirimu sendiri. Kau baru dapat menumpas kejahatan-kejahatan kecil dilingkungan tugasmu sampai ke pesisir, kau sudah merasa memiliki kelebihan yang jarang ada bandingnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmumu itu bukan apa-apa bagi Sangkal Putung. Sebenar"nya tanpa aku dan pasukanku, Sangkal Putung akan dapat menahan pasukanmu dan pasukan Gondang Bangah. Te"tapi karena kalian memakai kelengkapan prajurit Mataram yang utuh, maka Sangkal Putung menjadi ragu-ragu. Memang tidak bijaksana bagi Sangkal Putung untuk ber"tempur langsung melawan prajurit Mataram meskipun me"reka tahu, bahwa kalian justru telah melanggar paugeran prajurit Mataram. Karena itulah maka aku hadir disini."
Jaka Rampan mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Untara sekilas, namun ketika Untara kemudian menatap matanya, maka Jaka Rampan segera melemparkan pandangannya. Namun ia masih juga berkata, "Ki Untara. Kami memang tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Ki Untara dengan pasukan Mataram. Apalagi Ki Untara telah langsung menemukan kami disaat kami mengayunkan langkah yang bertentangan dengan paugeran se"orang prajurit. Tetapi yang Ki Untara katakan, bahwa Sangkal Putung mempunyai kemampuan lebih besar dari kemampuan kami, itulah yang agak janggal ditelinga kami."
"Jadi kau tidak percaya?" bertanya Ki Untara.
"Mungkin yang Ki Untara maksudkan, Sangkal Pu"tung mempunyai jumlah pengawal yang jauh lebih banyak dari jumlah prajurit yang aku bawa sehingga akan dapat mengalahkan prajurit Mataram seandainya benar-benar terjadi pertempuran." berkata Jaka Rampan.
"Salah satu pengertiannya memang demikian. Tetapi pengertian yang lain adalah, bahwa kau, pemimpin dari pa"sukan Mataram yang akan menyusup kebelakang gardu pertahanan Madiun, tidak akan dapat melampaui kemam"puan para pemimpin di Sangkal Putung."
"Omong kosong." diluar sadarnya Jaka Rampan menyahut.
Wajah Untara menjadi merah. Dengan nada keras ia berkata, "Dengan siapa kau berbicara?"
Jaka Rampan menundukkan kepalanya. Jawabnya, "Dengan Senapati Besar Mataram di Jati Anom."
"Nah, jika demikian maka kau tidak pantas menuduhku omong kosong." berkata Untara, "meskipun demi-kian, jika kau ingin membuktikan, aku kira para pemimpin di Sangkal Putung tidak akan ingkar. Apalagi para pemim"pin mudanya. Disini ada anak dan menantu Ki Demang. Salah seorang dari mereka dapat membuktikan, bahwa kau bukan putera terbaik dari Mataram."
Terasa dada Jaka Rampan bagaikan meledak. Sebagai seorang perwira muda yang namanya sedang menanjak, maka pernyataan Untara itu serasa telah menghinanya. Apalagi ketika kemudian Untara berkata, "Nah, terserah kepadamu Jaka Rampan."
Jaka Rampan memandang Untara sekilas. Kemudian katanya, "Jika Senapati menginginkan, aku bersedia membuktikan. Tetapi sudah tentu jangan dijadikan alasan untuk memperberat kesalahan seakan-akan aku menentang keputusan Senapati disini."
"Bagus." berkata Untara, "aku tidak akan menyebutnya demikian. Tetapi hal ini akan aku tawarkan kepada para pemimpin muda di Sangkal Putung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ter"nyata Swandarulah yang berkata lantang, "Kakang Untara. Kakang Agung Sedayu masih belum sembuh benar. Jika memang kesempatan itu diberikan kepada para pemimpin muda di Sangkal Putung, biarlah aku yang membuktikannya, bahwa di Sangkal Putung terdapat orang-orang yang mampu mengimbangi kemampuan per"wira prajurit Mataram."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Biarlah kita melihat. Jika Jaka Rampan tidak percaya, kita akan membuktikannya. Bukan maksudku memperkecil harga diri seorang perwira prajurit Mataram. Namun agar para prajuritpun menyadari, bahwa para pengawal di Kademangan ini merupakan bagian dari ke"kuatan Mataram itu. Aku juga seorang prajurit. Tetapi justru karena tugasku, maka aku mengerti nilai dari pengabdian orang-orang Sangkal Putung dan Kademangan-kademangan lain, bahkan seluruh tlatah Mataram, seba"gaimana merekapun mengerti arti seorang prajurit bagi me"reka, tidak hanya di medan perang." Untara menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Sementara yang kau lakukan adalah justru menodai citra prajurit Mataram itu sendiri."
Jaka Rampan termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Aku tidak ingkar Ki Untara. Tetapi secara pribadi aku ingin membuktikan, bahwa aku adalah putera Mataram terbaik yang akan dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan dipundakku, atau yang telah aku angkat sendiri bagi kepentingan Mataram."
"Baiklah." berkata Untara, "kita akan melihat dengan jujur apakah benar Jaka Rampan memiliki sebutan putera terbaik dari Mataram."
Jaka Rampan memandang Swandaru dengan sorot mata yang menyala. Anak muda itu nampaknya tidak begitu menghiraukannya dengani sebutan putera Mataram terbaik. Bahkan anak muda yang semula telah menyetujui menyerahkan pengawal Sangkal Putung sebagaimana dimintanya itu, telah melangkah turun ke halaman sambil berkata, "Marilah. Kita akan bermain-main di halaman."
Untaralah yang kemudian mengatur segala sesuatunya. Beberapa orang prajurit Mataram yang dibawanya berdiri memagari sebuah lingkaran. Untara dan Gondang Bangah akan menjadi saksi dari perkelahian itu. Namun selain mereka, Untara juga menunjuk Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mengawasinya.
Sejenak kemudian, maka arenapun telah siap. Kedua belah pihak telah melepaskan senjata mereka. Jaka Ram"pan telah meletakkan pedangnya, sementara Swandaru telah meletakkan pula cambuknya.
Ki Demang yang berdiri diluar arena bersama Ki Jagabaya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang yang menyebut dirinya Jaka Rampan dan yang sudah berani mengambil sikap sendiri, menerobos garis pertahanan Ma"diun, tentu seorang yang yakin akan kemampuannya sen"diri.
Demikian setelah segala sesuatunya siap, maka Untarapun berkata, "Yang akan berhadapan di arena adalah Jaka Rampan pribadi dan Swandaru pribadi pula. Keduanya sekedar ingin membuat takaran tentang ilmu kanuragan. Karena itu, keduanya harus jujur terhadap diri sendiri. Kalah dan menang bukan persoalan."
Jaka Rampan dan Swandaru mengangguk.
Sementara itu Untarapun bertanya, "Apakah kalian sudah siap?"
"Ya." sahut Jaka Rampan dengan serta merta.
Sedangkan Swandaru menjawab kemudian, "Ya. Aku sudah siap."
Untara berdiri diantara kedua orang itu untuk beberapa saat. Kemudian iapun memberi isyarat kepada Gondang Bangah dan Agung Sedayu, bahwa perkelahian itu akan se"gera dimulai.
Sesaat kemudian, maka Untarapun bergeser menepi. Dengan demikian maka perkelahian antara Jaka Rampan, seorang perwira muda prajurit Mataram yang namanya sedang menanjak naik, melawan Swandaru, anak Ki Demang Sangkal Putung, murid Kiai Gringsing yang tinggal di padepokan kecil di Jati Anom.
Demikian perkelahian itu dimulai, maka nampak kegembiraan di wajah Jaka Rampan. Ia merasa mendapat penyaluran dari kekecewaannya, bahwa ia telah gagal un"tuk mendapatkan pujian atas langkah-langkah yang akan diambilnya, disamping untuk kepentingan pribadinya.
Tetapi Swandaru menjadi gembira pula. Ia akan menunjukkan kepada Untara, kepada Agung Sedayu dan kepada banyak orang bahwa ia telah memiliki ilmu yang tinggi. Terutama ia ingin menunjukkan kepada saudara tua seperguruannya, betapa ia akan dapat membanggakan diri akan kemampuannya.
"Agaknya orang-orang Mataram hanya mengenal kakang Agung Sedayu. Kini mereka akan melihat, bahwa adik seperguruannya justru memiliki kelebihan daripadanya." berkata Swandaru didalam hatinya.
Jaka Rampan yang telah bersiap itupun mulai bergeser mendekati Swandaru. Sementara Swandarupun telah ber"siap pula untuk menghadapinya.
Namun tiba-tiba saja Jaka Rampan masih bertanya, "Kenapa kau begitu cepat berubah sikap tentang perminta-anku untuk menyiapkan pengawal dari Sangkal Putung ini?"
"Agaknya aku termasuk orang yang terlalu jujur menanggapi keadaan. Aku sama sekali tidak berprasangka buruk terhadapmu. Tetapi ternyata dugaanku itu salah. Dan aku mengakui kesalahan itu, sehingga aku harus berubah sikap." jawab Swandaru.
Jaka Rampan mengangguk-angguk. Ternyata Swan"daru itu cukup cepat pula menanggapi keadaan.
Namun Jaka Rampan tidak mengira kalau Swandaru itu justru bertanya, "Apakah kau sudah siap" Atau masih ada lagi yang ingin kau tanyakan kepadaku selagi kau masih sempat?"
"Persetan." geram Jaka Rampan.
Namun tiba-tiba saja Jaka Rampan itu sudah melenting menyerang.
Swandaru yang sudah siap itupun segera bergeser. Tetapi dengan tiba-tiba pula ia telah menyerang kembali dengan dahsyatnya. Satu loncatan panjang dengan kaki terayun menyamping. Ketika Jaka Rampan menghindari serangan itu dengan cepat pula, maka Swandarupun telah menyerangnya pula. Dengan memutar tubuhnya, maka kakinyapun telah terayun mendatar.
Tetapi Jaka Rampan tidak menghindari serangan itu. Ia terlalu percaya akan kekuatannya. Karena itu, maka Jaka Rampan itu tidak berusaha menghindari serangan itu. Dengan kedua tangannya Jaka Rampan telah membentur putaran kaki Swandaru itu.
Maka terjadilah satu benturan yang keras. Swandaru yang telah mempergunakan sebagian dari kekuatannya itu memang terkejut. Kakinya terasa bagaikan membentur dinding baja sehingga seakan-akan telah memental kembali. Dengan demikian maka iapun menjadi terhuyung-huyung sesaat. Namun dengan tangkasnya ia justru telah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, maka iapun telah tegak berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi ternyata bahwa lawannya tidak memburunya. Benturan yang terjadi agaknya terlalu keras baginya, se"hingga Jaka Rampan telah terdorong beberapa langkah surut. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa anak padukuhan Sangkal Putung itu memiliki kekuatan sedemikian besarnya.
Bagaimanapun juga Untara menjadi berdebar-debar melihat benturan itu. Ia sudah mempercayakan kepada Swandaru untuk membuktikan bahwa Jaka Rampan telah menilai kekuatan di Sangkal Putung. Jika Swandaru tidak berhasil membuktikannya, maka Jaka Rampan akan men"jadi semakin sombong akan kelebihannya. Meskipun ia akan tunduk kepada Untara untuk dibawa ke Mataram, ka"rena kesalahannya telah bertindak sendiri, namun ia masih akan dapat menengadahkan wajahnya dan berkata bahwa dirinya adalah putera terbaik Mataram. Bahkan tidak mustahil bahwa Jaka Rampan itu menganggap bahwa secara pribadi ia tentu akan dapat melampaui kemampuan Untara. Hanya karena kedudukan Untara sajalah maka Jaka Ram"pan tunduk kepadanya.
Dalam pada itu, maka Jaka Rampan dan Swandaru telah bersiap pula. Sejenak kemudian, pertempuran diarena itupun telah mulai lagi. Justru semakin lama menjadi se"makin cepat. Jaka Rampan yang merasa dirinya seorang perwira yang baru tumbuh dan dengan cepat memangku jabatan yang baik dalam susunan keprajuritan di Mataram, ber"usaha untuk menunjukkan kelebihannya itu. Ia berusaha dengan cepat untuk mengalahkan Swandaru. Ia ingin segera berdiri disisi tubuh yang terbaring pingsan di arena sambil menghadap kepada Untara dan berkata, "Apakah ada orang lain yang lebih baik?"
Tetapi ternyata bahwa tidak semudah itu untuk menun"dukkan Swandaru. Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu yang perhatiannya lebih banyak tertuju kepada ke"kuatan jasmaniah serta dukungan tenaga cadangannya itu, ternyata memang memiliki kekuatan yang mendebarkan. Ketrampilan gerak yang tinggi dan langkah-langkah yang kadang-kadang sulit untuk diperhitungkan. Meskipun setiap geraknya nampak mantap dan berat, tetapi kakinya yang kuat mampu melontarkan tubuhnya dengan cepat dan tangkas kesegala arah yang dikehendaki.
Setelah bertempur beberapa saat, maka Jaka Rampan mulai melihat satu kenyataan tentang Kademangan Sang"kal Putung. Anak laki-laki Ki Demang yang agak gemuk itu, benar-benar memerlukan segenap kesungguhannya, meskipun ia seorang prajurit Mataram yang terbaik.
Agung Sedayu mengikuti setiap gerak dan langkah dari kedua orang yang bertempur itu dengan seksama. Karena Swandaru adalah saudara seperguruannya, maka iapun mengenal setiap tata geraknya dengan baik. Namun sekali-sekali Agung Sedayupun mengangguk-angguk melihat kemampuan Swandaru mengembangkan unsur-unsur gerak dari ilmunya, sehingga dengan demikian, maka ilmu itu pula Swandaru menjadi seakan-akan memiliki unsur gerak yang berlipat.
Dalam pada itu, maka ternyata bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah hadir pula di halaman. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, tetapi mereka dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di arena.
Demikianlah, maka ketegangan telah mencengkam halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Para prajurit Mataram yang datang bersama Jaka Rampan dan Gondang Bangah melihat pertempuran itu dengan heran. Mereka menganggap bahwa Jaka Rampan adalah seorang perwira muda yang jarang ada duanya. Namun berhadapan dengan anak muda dari sebuah Kademangan, ternyata ia tidak segera dapat mengatasinya.
Berbeda dengan penglihatan para prajurit, maka Gon"dang Bangah justru menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melihat kelebihan Swandaru yang memiliki kekuatan raksasa itu.
Sementara itu, prajurit Mataram yang datang dari Jati Anom memang berusaha untuk dapat menyaksikan pertem"puran di arena itu pula. Namun sebagian dari mereka harus mengamati keadaan halaman itu seluruhnya. Bahkan juga mengawasi prajurit yang datang bersama Jaka Rampan dan Gondang Bangah.
Tetapi menurut pengamatan para prajurit dari Jati Anom itu bahwa para prajurit yang datang dengan Jaka Rampan dan Gondang Bangah ternyata telah terpukau oleh pertempuran diarena antara pemimpinnya yang mereka anggap melampaui kemampuan orang-orang berilmu melawan anak muda Sangkal Putung.
Namun ternyata murid Kiai Gringsing itu benar-benar tidak mengecewakan. Untara yang tegang itu kadang-kadang sempat juga mengangguk-angguk melihat kemampuan
Swandaru yang mendebarkan.
Beberapa kali telah terjadi benturan antara kedua orang
yang sedang bertempur itu. Namun Swandaru yang telah
meningkatkan kemampuannya itu membuat lawannya
semakin heran. Tetapi Jaka Rampan adalah seorang perwira muda yang
tangguh. Dalam keadaan yang gawat, ia masih sempat
melenting surut. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi,
ia telah meloncat menyerang lawannya. Kedua tangannya
terjulur kedepan dengan telapak tangan yang mengembang,
tetapi dengan jari-jari yang merapat. Kedua telapak tangannya
bersusun menelungkup. Namun dengan cepat bergerak
mengembang, demikian kakinya menyentuh tanah selangkah
di depan Swandaru. Swandaru yang melihat gerak lawannya, justru telah
menyilangkan kedua tangannya didadanya. Namun ternyata
kedua tangan Jaka Rampan yang mengembang itu telah
menyerang kening Swandaru dari dua arah.
Tetapi Swandaru tidak menjadi bingung karenanya.
Dengan cepat ia merendahkan dirinya. Kedua tangannyalah
yang kemudian menyerang dada orang yang berdiri dihadapannya
itu, sementara kedua tangan orang itu tidak
menyentuh sasarannya. Namun orang itupun cukup tangkas. Dengan cepat Jaka
Rampan bergeser surut, sehingga tangan Swandaru tidak
mencapainya. Demikian pertempuran itupun semakin lama menjadi
semakin cepat. Baik Jaka Rampan maupun Swandaru telah
meningkatkan ilmu mereka. Mereka mengerahkan tenaga
cadangan mereka sampai ke batas kemampuannya.
Sebagai seorang perwira yang sedang dengan cepat
meningkat, maka Jaka Rampan merasa sudah terlalu lama
bertempur melawan anak Demang Sangkal Putung itu.
Seharusnya ia lebih cepat mengalahkannya, sehingga ia akan
tetap dianggap seorang yang berilmu tinggi. Seorang yang
pantas disebut putera terbaik dari Mataram.
Tetapi betapa ia mengerahkan kemampuannya, ternyata ia
masih belum dapat menjatuhkan anak Ki Demang Sangkal
Putung itu. Bahkan justru anak Ki Demang Sangkal Putung itu
rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin kokoh.
Gondang Bangah memang menjadi sangat gelisah
menyaksikan pertempuran itu. Apakah seorang perwira seperti
Jaka Rampan itu akan dapat diimbangi ilmunya oleh seorang
anak Demang. Namun sebenarnyalah Jaka Rampan justru mulai
mengalami kesulitan. Swandaru yang dengan sungguhsungguh
menekuni ilmunya itu, semakin lama justru menjadi
semakin kuat. Tenaganya sama sekali tidak menjadi susut,
meskipun keringat telah terperas dari tubuhnya.
Pada setiap benturan yang terjadi terasa bahwa kekuatan
Swandaru tidak menjadi susut, tetapi justru rasa rasanya
menjadi semakin meningkat. Tubuhnya menjadi semakin
keras dan gerakannyapun menjadi semakin tang kas.
Jaka Rampan mengumpat didalam hati. Sebagai seorang
perwira yang berpengalaman, maka iapun segera berusaha
mengatasi kemampuan Swandaru. Jaka Rampan mulai
dengan segenap kemampuannya berusaha menyerang titiktitik
kelemahan Swandaru. Menurut pengetahuan Jaka
Rampan betapapun kemampuan seseorang, namun mereka
tetap memiliki kelemahan itu. Kelemahan yang terdapat pada
bagian-bagian tertentu tubuhnya.
Tetapi Swandarupun mengerti, bahwa Jaka Rampan -itu
telah membidik tempat-tempat yang lemah sebagaimana telah
dipelajarinya dari gurunya. Kiai Gringsing sebagai seorang
yang memiliki kemampuan pengobatan telah memberitahukan
kepadanya dalam latihan-latihan olah kanuragan, bahwa ada
delapan kelemahan pokok terdapat pada tubuhnya. Kemudian
dua belas tempat lainnya pada tataran kedua, dan lebih
banyak lagi pada tataran ketiga.
Dengan demikian maka Swandarupun telah
memperhitungkan hal itu pula. Bahkan sebagaimana
dilakukan oleh lawannya, maka Swandarupun telah
melakukan hal yang serupa.
" Agaknya orang ini benar-benar akan mengakhiri
pertempuran tanpa memikirkan akibatnya " berkata Swandaru
didalam hatinya, karena serangan-serangan pada tempattempat
yang paling lemah akan dapat berakibat gawat.
Bahkan titik-titik kelemahan itu akan benar-benar dapat
membunuh seseorang atau membuatnya cacat.
Sementara itu, Untara mulai menjadi tenang ketika ia
melihat bahwa Jaka Rampan memang tidak dapat dengan
segera mengalahkan Swandaru dan menepuk dada sebagai
putera terbaik dari Mataram, sehingga wajarlah jika ia
berusaha untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan Mataram atas
rencananya sendiri. Pandan Wangi yang semula merasa cemas, menjadi lebih
tenang pula. Kemampuannya mengamati ilmu seseorang telah
menunjukkan kepadanya. Meskipun banyak kemungkinan
dapat terjadi, seandainya Swandaru berbuat kesalahan oleh
kelengahannya atau oleh sebab-sebab lain, namun dalam
keadaan wajar, ia tidak akan mudah dikalahkan.
Sekar Mirahpun kemudian hampir menjadi yakin bahwa
kakaknya akan mampu bertahan sampai akhir pertempuran.
Ditempat lain Glagah Putih yang pernah menilai latihanlatihan
yang dilakukan oleh Swandaru didalam sanggar
padepokan di Jati Anom justru masih berharap Swandaru
meningkatkan ilmunya selapis lagi.
Sebenarnyalah, bahwa ketika kedua belah pihak telah
merasa bahwa pertempuran itu sudah berlangsung terlalu
lama tanpa ada yang dapat menunjukkan kemenangannya,
sementara langitpun mulai menjadi terang, maka Jaka
Rampan benar-benar telah mengerahkan tenaganya, justru
pada saat-saat tenaganya sudah mendekati batas susut.
Namun Swandaru telah siap menghadapi kemungkinan itu.
Apalagi karena Swandarupun tahu bahwa sebenarnya Jaka
Rampan telah sampai pada batas.
Karena itulah, maka Swandarulah yang kemudian lebih
banyak menguasai arena. Ia masih tetap tegar dan kuat.
Bahkan seakan-akan tenaganya justru masih akan dapat
bertambah. Tubuhnya masih mungkin mengeras dan
ketahanan tubuhnya masih lebih baik dari Jaka Rampan.
Gondang Bangah yang berada diluar arena, ternyata
mampu menilai kenyataan yang telah terjadi. Sebenarnyalah
ia merasa sedih bahwa seorang perwira prajurit Mataram yang
namanya mulai menanjak, ternyata tidak lebih baik dari anak
seorang Demang di Sangkal Putung.
Tetapi jika kenyataan itu yang terjadi, maka Gondang
Bangah itu memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu dalam keadaan terakhir, Swandarulah yang
bertempur dengan dada tengadah. Ia telah membuktikan,
bahwa ia memiliki kemampuan yang lebih baik dari seorang
perwira prajurit yang dianggap sebagai seorang perwira yang
berilmu tinggi. " Kakang Agung Sedayu tidak akan dapat menuduhku
hanya sekedar berbicara " berkata Swandaru didalam hatinya.
Pada saat-saat berikutnya, Jaka Rampan menjadi semakin
terdesak. Sementara itu Swandaru justru menjadi semakin
cepat bergerak. Beberapa kali serangannya ber hasil
menyusup pertahanan Jaka Rampan sehingga sekali-sekali
tangannya telah mengenai tubuh perwira prajurit Mataram itu.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaka Rampan yang mengerahkan tenaganya disaat-saat
yang gawat itu sekali-sekali memang juga berhasil mengenai
tubuh Swandaru, tetapi dalam perbandingan yang lebih
jarang. Iapun tidak sempat mengenai tepat pada sasaran yang
dibidiknya, pada bagian-bagian yang sangat
lemah ditubuh Swandaru. Ketika tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara
serangan Swandaru datang semakin deras, maka sekali-sekali
Jaka Rampan itu seakan-akan hampir kehilangan
keseimbangannya. Bahkan ketika tangan Swandaru yang
terayun kesamping mendatar berhasil mengenai dadanya,
maka Jaka Rampan itu telah terhuyung-huyung beberapa
langkah surut. Swandaru yang tidak mau kehilangan
kesempatan telah memburunya. Satu tendangan kakinya
kemudian telah mengenai sekali lagi dadanya itu yang
bagaikan menjadi retak. Jaka Rampan benar-benar tidak dapat bertahan untuk tetap
tegak. Karena itu, maka iapun telah terdorong beberapa
langkah lagi surut dan kemudian jatuh terguling di tanah.
Namun oleh pengalaman dan kemampuan yang ada
didalam dirinya, maka Jaka Rampan itupun telah melenting
berdiri. Betapapun kekuatannya telah semakin surut, namun ia
masih juga mampu tegak dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi Swandaru ternyata tidak memburunya lagi. Ia berdiri
sambil bertolak pinggang memandang lawannya yang nampak
menjadi semakin lemah. Sementara itu langit memang sudah menjadi terang.
Untarapun kemudian maju beberapa langkah. Ia berdiri
diantara Jaka Rampan dan Swandaru yang tegak dengan
dada tengadah. " Aku kira permainan ini sudah cukup " berkata Untara " kita
sudah tahu, siapakah yang kalah dan siapakan yang menang.
" " Siapa yang kalah menurut pendapat Ki Untara" " bertanya
Jaka Rampan dengan wajah yang tegang.
Untara mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia
justru ganti bertanya " Jadi kau merasa belum kalah" "
" Aku belum kalah " berkata Jaka Rampan " aku tantang
anak Demang Sangkal Putung itu bertempur dengan
senjata. Seorang prajurit baru dapat dinilai dengan lengkap
jjka ia sudah mempergunakan senjatanya. Tanpa senjata ia
masih belum seorang prajurit yang utuh. "
" Tidak perlu " berkata Untara.
Namun Swandaru berteriak " Jika ia ingin kita bermain
senjata, maka aku tidak berkeberatan.
" Nah, Ki Untara mendengar sendiri. Betapa ia menjadi
sangat sombong. Seolah-olah ia berhasil meruntuhkan nilai
dan harga diri seorang prajurit, " berkata Jaka Rampan.
" Kenapa" " justru Untara bertanya " apakah salahnya jika
seseorang yang bukan prajurit mempunyai kemampuan
melampaui seorang prajurit seperti kau yang justru telah
merusak citra keprajuritan. "
" Aku akan membuktikan bahwa aku adalah seorang
prajurit yang baik. " berkata Jaka Rampan " karena itu beri aku
kesempatan bertempur dengan senjata.
" Kau dengar jawabku" Tidak. Kau tidak dapat memaksaku.
" berkata Untara. "Sebaiknya biarlah aku menyelesaikan persoalanku sendiri. Kau tidak perlu turut campur " bentak Jaka Rampan.
Wajah Untara menjadi merah. Dengan nada berat ia bertanya kepada Jaka Rampan " Kau berhadapan dengan siapa" "
Betapapun perasaannya bergejolak, maka naluri keprajuritannya telah mengekangnya. Karena itu, suaranyapun telah menyusut ketika ia kemudian menjawab "
Senapati Besar di Jati Anom. "
"Lakukan perintahku " geram Untara.
Jaka Rampan tidak menjawab. Namun Swandarulah yang hampir berteriak " Beri kesempatan kepadanya bermain senjata. Aku akan menerima tantangannya.
"Tidak" suara Untara masih tetap tegas " aku perintahkan, pertarungan ini dianggap selesai. Semua kembali ketempatnya masing-masing. "
"Tetapi aku bukan seorang prajurit yang harus tunduk kepada perintah Senapati yang manapun " Swandaru ternyata masih juga berusaha mendesak.
Tetapi Ki Demanglah yang datang kepadanya. Katanya"
Dalam keadaan yang gawat, Senapati akan dapat bertugas menangani semua persoalan yang berhubungan dengan pengamanan satu lingkungan. Seandainya kau dapat tidak tunduk pada perintah seorang Senapati sekarang ini, lalu kau akan berkelahi melawan siapa" Nah, sekarang kau dengar.
Aku ayahmu. Aku perintahkan kau keluar dari arena ini. "
Jilid 232 ORANG itu tersenyum. Katanya, "Ternyata kau memang memiliki kemampuan mempergunakan nalarmu. Itulah sebabnya rencana Jaka Rampan telah gagal. Agaknya kau memang lebih cerdik dari adik seperguruanmu, anak Demang Sangkal Putung itu. Tetapi agaknya benar juga kata orang, bahwa ilmu anak Ki Demang itu lebih tinggi dari ilmumu."
"Biarlah orang lain menilai perbandingan ilmu kami." berkata Agung Sedayu, "tetapi satu hal yang harus kau ketahui Ki Sanak, bahwa aku tidak akan singgah di padepokanmu. Persoalan Jaka Rampan bukan persoalanku lagi."
"Begitu mudahnya kau mencuci tangan?" bertanya guru Jaka Rampan.
Agung Sedayu tersenyum. Sambil memasukkan potongan terakhir tasikannya kedalam mulutnya, ia berkata, "Aku kira yang paling mudah aku lakukan memang mencuci tangan."
Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi ia masih duduk dengan tenang. Untuk beberapa saat orang yang mengaku guru Jaka Rampan itu berdiam diri. Kawan-kawannyalah yang nampak menjadi gelisah. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu, Bagi mereka, maka langkah yang paling baik adalah memaksa Agung Sedayu untuk mengikuti mereka ke padepokan.
Namun sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirahpun menjadi gelisah pula. Mereka menyadari, bahwa ternyata mereka telah menjumpai persoalan yang tidak me"reka perhitungkan sebelumnya. Mereka mengira bahwa per"soalan Jaka Rampan itu sudah selesai dan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab para Senapati di Mataram.
Tetapi tiba-tiba saja mereka telah bertemu dengan orang yang mengaku guru Jaka Rampan, yang tentu saja gurunya sebelum Jaka Rampan memasuki tugas keprajuritan. Orang itu sengaja atau tidak sengaja telah mengaku, bahwa justru orang itulah yang telah menggerakkan Jaka Rampan untuk menyusup kebelakang garis pertahanan Madiun yang sedang berselisih pendapat dengan Mataram.
Beberapa saat kemudian, ternyata guru Jaka Rampan itupun berkata, "Agung Sedayu. Aku tahu, kaupun memiliki kemampuan yang tinggi, meskipun aku tidak tahu pasti, apakah benar ilmunya belum setataran dengan saudara seperguruannya. Apalagi kau baru saja terluka parah, meskipun aku juga tidak tahu, siapakah yang telah melukaimu itu. Tetapi menurut pendengaranku, orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi pula. Namun yang telah berhasil kau bunuh di pedepokam kecil gurumu. Tetapi tentu setiap orang akan memperhitungkan peranan gurumu dalam hal ini. Gurumu yang namanya menjulang setinggi Gunung Merapi itu, tentu akan dapat membantumu meskipun ia dalam keadaan sakit. Sehingga dengan demikian, maka kau tidak terbunuh oleh lawanmu itu."
Glagah Putih yang tidak sadar lagi, telah bergeser setapak. Hampir saja mulutnya menjawab. Tetapi Agung Se"dayu mendahului, "Bukankah hal itu wajar" Seorang guru memang wajib membantu muridnya jika muridnya dalam keadaan gawat. Apalagi muridnya tidak melakukan langkah-langkah yang bertentangan dengan paugeran. Bahkan berusaha menegakkannya."
"Tetapi sekarang, gurumu itu tidak ada disini Agung Sedayu." berkata guru Jaka Rampan itu.
"Dalam keadaan yang demikian, maka aku harus bersandar pada kemampuanku sendiri. Namun ada sandaranku yang lebih kokoh dari segalanya. Yang Maha Adil akan menilai langkah-langkah kita. Apakah benar yang kau tawarkan itu memang sudah cukup adil." jawab Agung Sedayu.
"Kau menjengkelkan aku Agung Sedayu." berkata guru Jaka Rampan. Lalu, "Semula aku ingin membuat perjanjian dengan baik-baik. Selama Jaka Rampan belum dibebaskan, aku persilahkan kau tinggal di padepokanku. Tetapi pembicaraan kita telah mengarah ketingkat yang lebih keras daripada sekedar membuat rencana yang saling kita setujui."
"Lupakan saja perjanjian yang kau siapkan itu Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "kami akan meneruskan perjalanan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh yang tentu sudah menunggu. Apalagi jika mereka yang ada di Tanah Perdikan itu mendengar bahwa aku telah terluka parah di Jati Anom sementara guruku sedang sakit."
"Agung Sedayu." berkata guru Jaka Rampan, "kemungkinan seperti itu bukannya tidak aku perhitungkan. Karena itu, maka akupun telah siap memaksamu. Terserah kepadamu, apakah kita akan bertempur disini, di jalan itu atau kita masuk saja kedalam hutan agar tidak mengganggu orang lain. Siapa yang kalah, harus tunduk kepada yang menang, kecuali jika terlanjur mati."
"Kalau itu yang kau tawarkan, maka aku tidak dapat menolak. Sebab seandainya aku menolak, maka kaupun ten"tu akan memaksaku." jawab Agung Sedayu. Namun kemu"dian katanya, "Tetapi kau harus ingat, bahwa bukan akulah yang membuat perkara ini. Kaulah yang agaknya telah membuat langkah yang salah atas murid-muridmu, karena kau ingin memanfaatkan muridmu bagi kepuasan hatimu. Sementara kau menginginkan kepuasan dari sebuah dendam yang membakar jantungmu. Bukankah dengan demikian kau sendirilah yang telah menjerumuskan muridmu ke dalam kesulitan."
"Karena itu, aku harus membebaskannya." berkata guru Jaka Rampan. Lalu, "Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?"
"Terserah kepadamu." jawab Agung Sedayu.
"Masuklah kedalam hutan. Aku akan mengikutimu agar tidak ada kesan bahwa aku telah menjebakmu. Kaulah yang memilih tempat." berkata guru Jaka Rampan.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian berpaling kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih, "Marilah. Kita penuhi keinginan saudara kita itu."
Glagah Putih dan Sekar Mirah tidak menjawab. Keduanyapun kemudian bangkit pula dan berjalan keluar kedai itu, sementara Agung Sedayu sempat menghitung minuman dan makanan yang telah mereka makan dan membayarnya.
Namun dalam pada itu, guru Jaka Rampan itupun menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya tongkat baja putih ditangan Sekar Mirah. Tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kekuningan. Senjata lambang kekerasan yang jarang ada yang dapat mematahkannya. Tetapi orang itu berkata didalam hatinya, "Senjata itu sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Tergantung sekali kepada pemiliknya."
Namun orang itupun telah mendengar pula keterangan beberapa orang yang pernah berbicara tentang Sekar Mi"rah. Bahkan adik Swandaru itu adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Sedangkan saudara sepupu Agung Sedayu itu juga seorang anak yang masih muda namun yang telah membekali dirinya dengan ilmu yang hampir mapan.
Karena itu, ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah keluar dari kedai itu, orang yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itupun berkata kepada kawan-kawannya, "Kita ikuti mereka. Tetapi hati-hatilah. Kalian sudah pernah mendengar tentang mereka bertiga. Agung Sedayu sendiri, isterinya yang membawa tongkat yang mendebarkan, karena tongkat seperti itu pula yang dimiliki oleh Macan Kepatihan di Jipang. Aku tidak tahu hubungan perempuan itu dengan Ma"can Kepatihan, tetapi nampaknya aliran ilmu mereka bersumber dari perguruan yang satu. Sedangkan anak yang masih sangat muda itu adalah sahabat Raden Rangga yang tidak dapat ditakar ilmunya itu."
Ketiga kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Kita tidak pernah silau menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Sementara itu Agung Sedayu yang baru saja sembuh dari luka-lukanya yang parah, tentu masih belum mencapai tingkat kemampuannya sebagaimana sebelumnya."
"Agung Sedayu nampaknya sudah pulih sepenuhnya. Kita harus berhati-hati." berkata guru Jaka Rampan itu.
Mereka berempatpun sejenak kemudian telah meninggalkan tempatnya setelah orang yang rambutnya keputih-putihan dan menyebut dirinya guru Jaka Rampan itu membayar harga makanan dan minumannya serta kawan-kawannya.
Diluar, mereka melihat Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih tengah mengambil kuda mereka. Kepada orang yang mengurusi kuda-kuda itu Agung Sedayu telah memberikan beberapa keping uang.
Guru Jaka Rampan itupun kemudian telah berkata kepada Agung Sedayu ketika orang itu mengambil kudanya pula, "Kaulah yang memilih tempat. Mungkin tempat itu akan menjadi kuburmu pula jika kau berkeras menolak tawaranku."
Agung Sedayu tidak menjawab. Bersama Sekar Mirah dan Glagah Putih maka merekapun telah meninggalkan halaman kedai menyusuri jalan yang cukup banyak dilalui orang itu.
"Apakah kita akan masuk kedalam hutan?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Sekar Mirah ia berkata, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Tentu kepada kakang." jawab Sekar Mirah, "tetapi akupun telah siap untuk mempertahankan diri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Apaboleh buat. Kita sudah berusaha sejauh mungkin untuk menghindari kekerasan. Tetapi agaknya persoalan-persoalan itu datang beruntun mengejar kita."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa Agung Sedayu sendiri sebenarnya tidak menghendaki pertengkaran seperti itu terjadi. Namun ia memang tidak dapat mengelak.
Karena itu, ketika mereka melihat sebuah lorong sempit memasuki Alas Tambak Baya, maka Agung Sedayupun berkata, "Kita akan mengambil lorong itu."
Sekar Mirah hanya mengangguk saja. Ketika kemudian Agung Sedayu benar-benar berbelok memasuki lorong itu, iapun telah mengikutinya pula. Dipaling belakang adalah Glagah Putih yang duduk diatas kudanya yang tegar yang diterimanya dari Raden Rangga. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di dalam Alas Tambak Baya. Ketika mereka menemukan tem"pat yang agak lapang, maka Agung Sedayupun telah berhenti.
"Kita menunggu mereka disini." desis Agung Sedayu.
Mereka bertigapun telah berloncatan turun. Ditambat"kannya kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon yang tumbuh dihutan yang lebat itu. Untuk beberapa saat mereka menunggu sambil mengamati lingkungan disekitar mereka. Pohon-pohon yang tum"buh pepat. Batang-batang perdu dan tanah yang lembab.
"Kenapa tempat ini menjadi agak lapang?" bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
"Kau lihat batu-batu padas dibawah kaki kita?" ber"tanya Agung Sedayu pula.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya mereka berada diatas bebatuan sehingga tidak sebatang pohon besarpun yang tumbuh. Hanya pohon-pohon perdu sajalah yang lebat menutupi batu-batu padas yang keras.
Beberapa saat kemudian, maka mereka bertigapun telah melihat ampat orang diatas punggung kuda pula memasuki tempat itu. Dengan tenang merekapun turun dari kuda mereka. Sebagaimana Agung Sedayu, maka mere"kapun telah menambatkan kuda-kuda mereka pula.
"Sungguh satu sikap yang terpuji." berkata guru Jaka Rampan itu, "dengan demikian maka kebesaran nama Agung Sedayu bukannya sekedar bualan orang-orang yang mengaguminya."
"Sudahlah." berkata Agung Sedayu, "kau tidak usah berpura-pura memujiku. Sekarang, cara penyelesaian yang manakah yang kau inginkan?"
"Aku masih tetap menawarkan kesempatan terbaik bagimu. Singgah di padepokanku." berkata guru Jaka Rampan.
"Jangan kau sebut lagi. Kau sudah tahu jawabanku." desis Agung Sedayu.
Orang yang mengaku sebagai guru Jaka Rampan itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, "Agung Sedayu. Jika kau tidak mau menerima tawaranku, kau tentu akan kehilangan segala kesempatan. Bahkan bukan hanya kau saja yang harus terkubur disini. Tetapi isteri dan adik sepupumu itupun akan menanggung akibat kesalahanmu pula. Tetapi jika kau bersedia, aku akan membiarkan mereka pergi justru untuk memberitahukan kepada Untara, bahwa kita telah membuat satu perjanjian."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Ki Sanak. Apapun yang terjadi, tetapi kau tidak akan dapat memaksaku. Ku lihat bahwa isteriku juga menjinjing senjata. Itu adalah satu pertanda bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Sementara sepupuku, meskipun masih sangat muda, namun ia akan berusaha mempertahankan dirinya. Karena itu, maka kau jangan menakut-nakuti kami."
"Baiklah." berkata Guru Jaka Rampan itu, "kau telah memilih. Dengan demikian maka tidak seorangpun yang dapat menyalahkan aku. Kaupun jangan menyangka bahwa aku melawanmu justru karena kau baru saja sembuh dari sakitmu yang parah."
"Aku sudah pulih kembali." berkata Agung Sedayu, "jika aku kalah, maka kau benar-benar memiliki ilmu melampaui takaran ilmuku. Bukan karena aku baru saja sembuh dari lukaku yang parah."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau memang sombong sekali. Tetapi kesombonganmu kali ini adalah kesombonganmu yang terakhir."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, orang yang mengaku guru Jaka Ram"pan itupun berkata kepada orang-orangnya, "Jaga agar isteri dan sepupu Agung Sedayu itu tidak melarikan diri. Aku akan menyelesaikan Agung Sedayu lebih dahulu. Aku ingin isteri dan sepupunya melihat, bagaimana Agung Se"dayu mati ditanganku, sehingga dengan demikian akan lenyaplah segala kebanggaan mereka atas seorang yang bernama Agung Sedayu itu. "
Dengan sengaja Agung Sedayu tidak menghindari serangan itu. Sambil menjajagi kekuatan lawannya, Agung Sedayu menangkis serangan itu dengan kedua tangannya. Temyata benturan itu telah memberikan takaran bagi keduanya.
Glagah Putihlah yang menggeram. Tetapi ia masih menahan diri. Ia ingin melihat, apa saja yang dapat dila-kukan oleh orang yang menyebut dirinya guru Jaka Ram"pan itu. Bahkan tiba-tiba saja timbul keinginan Glagah Putih untuk menilai kemampuan Agung Sedayu yang bertempur dengan guru dari orang yang pernah dikalahkan oleh Swandaru.
"Jika kakang Swandaru bertempur melawan murid"nya, maka kakang Agung Sedayu akan bertempur melawan gurunya." berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Dalam pada itu, maka ketiga orang kawan dari orang yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itupun telah memencar. Mereka menjaga agar tidak seorangpun diantara ketiga orang yang menjadi sasaran mereka itu sempat melarikan diri.
Sejenak kemudian guru Jaka Rampan dan Agung Se-dayupun telah bersiap. Untuk beberapa saat mereka berdiri berhadapan. Namun tiba-tiba saja guru Jaka Rampan itu telah meloncat menyerang. Meskipun serangan itu belum merupakan serangan yang menentukan, namun ternyata bahwa guru Jaka Ram"pan itu memang memiliki kekuatan yang sangat besar.
Agung Sedayu bergeser selangkah. Ia berhasil mengelakkan serangan itu. Namun lawannya itupun telah meloncat pula. Dengan kakinya ia menyerang kearah dadanya.
Sekali lagi Agung Sedayu bergeser. Tetapi lawannya itupun tiba-tiba telah menyerang dengan putaran kakinya mendatar. Dengan sengaja Agung Sedayu tidak menghindari se"rangan itu. Sambil menjajagi kekuatan lawannya, Agung Sedayu menangkis serangan itu dengan kedua tangannya. Ternyata benturan itu telah memberikan takaran bagi keduanya. Guru Jaka Rampan itupun segera mengetahui, bahwa Agung Sedayu memang memiliki kekuatan yang cukup besar. Iapun menyadari, bahwa yang membentur serangannya itu tentu belum seluruh kekuatan yang tersimpan didalam diri Agung Sedayu.
Demikianlah, maka guru Jaka Rampan itu semakin mempercepat tata geraknya. Namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya meskipun setingkat demi setingkat lawannya mempertajam ilmunya yang menjadi semakin berbahaya.
Sekar Mirah dan Glagah Putih berdiri tegak mengamati pertempuran itu. Namun mereka berdua belum melihat kelebihan masing-masing. Agaknya keduanya masih berusaha untuk saling menjajagi. Namun pertempuran itu memang menjadi semakin cepat. Guru Jaka Rampan bertempur semakin keras. Na"mun semakin lama memang menjadi semakin jelas, bahwa orang itu memang memiliki unsur-unsur gerak sebagaimana diperlihatkan oleh Jaka Rampan saat ia bertempur melawan Swandaru. Tetapi mereka yang menyaksikan itu"pun segera menyadari, bahwa bobot ilmu orang itu memang lebih mapan dari Jaka Rampan. Orang itu mampu bergerak lebih cepat, ayunan serangan yang lebih kuat dan perkembangan yang lebih cepat, ayunan serangan yang lebih berbahaya dari yang pernah diperlihatkan oleh Jaka Rampan. Sementara mereka menyadari bahwa apa yang diper"lihatkan oleh guru Jaka Rampan itu masih berada pada tataran permulaan. Dengan demikian maka Sekar Mirah dan Glagah Putih menyadari pula, bahwa guru Jaka Rampan itu tentu memi"liki ilmu yang sangat tinggi.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia merasa iba terhadap Agung Sedayu. Demikian ia sembuh, maka tiba-tiba lawan yang barupun telah menunggu. Tetapi dalam keprihatinan, ada juga kebanggaan pada diri Sekar Mirah. Bahwa suaminya yang mendapat kurnia kelebihan dan orang kebanyakan itu telah mengetrapkan ilmunya bagi pengabdian atas sesama. Bagi kewajibannya sebagai seorang kawula yang baik dalam batas-batas tanggungjawabnya.
Dengan debar di hati yang semakin cepat, maka Sekar Mirah menyaksikan pertempuran antara suaminya dan orang yang mengaku guru Jaka Rampan itu menjadi se"makin cepat juga. Keduanya mulai berloncatan dengan tangkasnya. Ketika sekali-sekali terdengar guru Jaka Ram"pan itu berteriak, maka rasa-rasanya kulit Sekar Mirah ikut meremang.
Semakin lama guru Jaka Rampan itupun menjadi se"makin cepat bergerak. Tubuhnya menjadi semakin ringan sehingga kemudian seakan-akan bagaikan bayangan yang terbang mengitari Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja tangannya telah terayun menyerang, atau kakinya yang berputar mendatar atau lurus menyamping. Bahkan kadang kadang kakinya terjulur kedepan mengarah ke dagu.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu seakan-akan tidak sempat bergeser dari tempatnya. Ia hanya berkisar saja selangkah selangkah untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Sehingga dengan demikian maka seakan-akan Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk menye"rang.
Tetapi Sekar Mirah dan Glagah Putih yang menyak"sikan pertempuran itu tidak menjadi cemas karenanya. Agaknya Agung Sedayu masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya yang mulai melepaskan ilmunya dan meningkat selapis demi selapis.
Sebenarnyalah guru Jaka Rampan itu memang meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ketika serangan-serangannya belum juga berhasil menyakiti lawannya, maka iapun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi dan semakin tinggi. Guru Jaka Rampan itu semula menyangka bahwa Agung Sedayu mulai mengalami kebingungan dan tidak sempat beranjak dari tempatnya. Serangan-serangan yang datang seakan-akan dari segala arah telah membuatnya bertahan tanpa sempat bergeser dari tempatnya.
Kawan-kawan orang itupun mempunyai dugaan serupa. Bahkan mereka menganggap bahwa ternyata pekerjaan mereka jauh lebih ringan dari yang mereka perhitungkan semula. Mereka semula mengira bahwa untuk memaksa Agung Sedayu tunduk kepada mereka, akan diperlukan waktu yang cukup lama. Tetapi ketika pertempuran itu mulai meningkat semakin cepat, seakan-akan Agung Sedayu sudah tidak mendapat kesempatan sama sekali.
Tetapi dugaan itu ternyata keliru. Meskipun Agung Se"dayu seakan-akan hanya bertahan tanpa sempat bergeser dari tempatnya, namun adalah satu kenyataan bahwa guru Jaka Rampan itu belum sempat mengenai tubuhnya. Serangan-serangannya belum dapat mengenai sasarannya.
Kemarahan yang memang telah menyala di dadanya, seakan-akan telah membakar jantungnya. Sambil berteriak nyaring, maka serangan-serangannyapun semakin menjadi cepat dan keras.
Dalam pada itu, Agung Sedayu masih berusaha ber"tahan untuk beberapa saat. Ternyata ia berhasil memancing sebagian besar dari kekuatan dan ilmu lawannya. Meskipun Agung Sedayu menyadari bahwa guru Jaka Rampan itu tentu memiliki ilmu pamungkas yang sangat tinggi, namun Agung Sedayu serba sedikit telah mampu mengenali watak dan kemampuan lawannya. Bahkan serba sedikit, Agung Sedayu melihat kelemahan-kelemahan lawannya. Agaknya lawannya itu lebih banyak memperhitungkan serangan-serangannya daripada pertahanannya.
Guru Jaka Rampan itu semakin lama semakin menya"dari kedudukannya. Bahkan ia sempat mengumpati dirinya didalam hati. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka ia telah merasa menjadi terlalu bodoh karena semula ia telah menganggap bahwa ia berhasil mengurung Agung Sedayu.
"Bukan main." geramnya, "ternyata kau benar-benar seorang yang luar biasa. Agung Sedayu. Kecuali berilmu tinggi, maka otakmu adalah otak yang cerah."
"Kau tidak usah memujiku. Sebaiknya kau batalkan saja niatmu." sahut Agung Sedayu sambil bergeser menghindari serangan lawannya.
Sambil memburu, guru Jaka Rampan itu berkata, "Tetapi kau tidak perlu menghinaku dengan cara seperti itu. Kau akan semakin menyesal dan kecewa atas ilmu yang te"lah kau miliki."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ternyata bah"wa tiba-tiba saja guru Jaka Rampan itu telah menghentakkan ilmunya yang menggetarkan.
Demikian cepatnya ia bergerak, maka dalam saat yang hampir bersamaan guru Jaka Rampan itu seakan-akan te"lah berada di beberapa tempat. Sebelum Agung Sedayu sempat menghadapinya kesatu arah, maka guru Jaka Ram"pan itu telah berada di tempat lain.
Sekar Mirah dan Glagah Putih mulai menjadi tegang. Agaknya lawan Agung Sedayu mulai mengerahkan ilmu"nya yang tinggi. Sehingga merekapun memperhitungkan bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat bertahan dengan caranya.
Sementara itu ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itupun mengerutkan keningnya. Ia mengerti, bahwa guru Jaka Rampan itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Semula mereka mengira bahwa guru Jaka Rampan itu tidak perlu meningkatkan ilmunya sampai ke tataran itu, karena seakan-akan Agung Sedayu sudah tidak sempat melawan lagi. Namun akhirnya merekapun menyadari, bahwa Agung Sedayu masih belum bersungguh-sungguh.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu mulai merasakan tekanan lawannya. Benturan yang kemudian terjadi telah memperingatkan Agung Sedayu untuk semakin berhati -hati. Karena itu maka Agung Sedayupun harus mengerah"kan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya. Ia berusaha untuk dapat mengimbangi kecepatan gerak lawannya, yang setiap saat berada ditempat yang berbeda.
Tetapi ternyata bahwa tenaga cadangan yang dimiliki oleh Agung Sedayu masih belum mencukupi. Setiap kali Agung Sedayu masih saja agak terlambat. Jika ia dengan tangkasnya menangkis serangan yang datang, maka tiba-tiba saja serangan dari arah lain telah menyergapnya, se"hingga Agung Sedayu harus meloncat menghindar. Tetapi demikian kakinya berjejak diatas tanah, serangan berikutnya telah menyambarnya. Begitu cepatnya, sehingga Agung Sedayu tidak lagi sempat mengelak atau menangkis serangan itu.
Beberapa kali tubuh Agung Sedayu memang sudah dikenai oleh serangan-serangan lawannya yang datangnya menjadi semakin cepat. Lebih cepat dari seekor lalat yang terbang mengitarinya. Dalam keadaan yang demikian, maka lawannya mulai menjadi yakin, bahwa ia akan dapat mengalahkan orang yang bernama Agung Sedayu itu. Saudara tua dari anak Demang Sangkal Putung yang telah mengalahkan Jaka Rampan.
Namun Jaka Rampan ternyata masih belum sampai pada tingkat atau bahkan alas ilmu yang dipergunakan oleh gurunya itu. Ilmu yang telah mampu membuatnya bergerak sangat cepat, sehingga bagi Agung Sedayu, lawannya itu seakan-akan telah menyerangnya dari segala penjuru pada waktu yang bersamaan.
Ketika tubuh Agung Sedayu mulai merasa nyeri oleh serangan-serangan lawan, maka ia mulai berusaha untuk menghindarinya. Dengan demikian maka ia akan mendapat kesempatan untuk berbuat lebih banyak meskipun masih harus memperhitungkan sentuhan-sentuhan serangan lawannya yang datang dari segenap arah itu.
Agung Sedayupun kemudian telah mulai merambah memasuki kemampuan ilmunya. Bukan sekedar tenaga cadangannya. Karena itu, maka iapun mulai mengetrapkan kekuatan ilmunya itu sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu mempunyai landasan yang lebih tinggi bagi perlawanannya.
Mula-mula Agung Sedayu memang baru berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya. Dengan lan"dasan ilmunya yang disalurkan pada kekuatan dan kemam"puan gerak kakinya, maka Agung Sedayu ternyata mampu bergerak lebih cepat dan kuat. Meskipun ia tidak mampu berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya yang se"akan-akan datang menyerang dari semua penjuru, namun Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang sangat tinggi, sehingga ia mampu melontarkan tubuhnya dengan kuat. Se-hingga seakan-akan tubuhnyalah yang telah kehilangan bobot.
Ketika lawannya masih saja berada disegala arah dan menyerangnya tanpa berhenti, maka tubuh Agung Sedayu itu mulai melenting. Bukan hanya satu dua langkah. Tetapi beberapa langkah.
Lawannya memang terkejut. Betapapun ia mampu ber"gerak cepat, tetapi tidak sejauh loncatan Agung Sedayu. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi, orang itu segera telah menyusulnya. Sekali lagi terjadi serangan-serangan yang keras dari beberapa penjuru, sehingga mem"buat Agung Sedayu terlambat untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Namun dalam kesulitan, tiba-tiba Agung Sedayu telah meloncat tinggi-tinggi, bagaikan terbang diudara, kemudian dengan kedua kakinya yang kuat, Agung Sedayu telah berdiri tegak beberapa langkah dari lawannya.
Lawannyalah yang kemudian termangu-mangu. De"ngan nada berat ia berkata, "Agung Sedayu. Ternyata kau memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna. Namamu benar-benar bukan nama yang sekedar dibesar-besarkan. Agaknya cerita tentang kemalasanmu berlatih se"hingga adik seperguruanmu telah melampaui kemampuanmu adalah ceritera isapan jempol saja."
"Jangan menilai kemampuan kami." berkata Agung Sedayu, "kaupun akan mengalami kesulitan jika kau harus bertempur melawan Swandaru."
Guru Jaka Rampan tertawa. Katanya, "Jangan meng-ada-ada. Aku mengenal dengan pasti kemampuan murid"ku."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu guru Jaka Rampan itupun berkata, "Dengan kemampuanmu meringankan tubuh, maka aku kira aku memerlukan waktu yang terlalu lama untuk menundukkanmu. Karena itu, maka apaboleh buat jika aku terpaksa mempergunakan senjata. Karena dengan senjata maka kemungkinan yang paling buruk akan terjadi atas dirimu. Sayang, Jaka Rampan tidak mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam ilmu pedang. Nah, sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku adalah gurunya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu kemampuanmu jauh berada diatas kemampuan Jaka Rampan dalam ilmu pedang. Bukankah kau ingin mengatakan demikian?"
"Syukurlah jika hal itu kau sadari." berkata guru Jaka Rampan itu, "karena itu sebelum pedangku benar-benar membelah jantungmu, aku masih menawarkan niat baikku. Singgahlah dipadepokanku."
Tetapi jawab Agung Sedayu, "Ki Sanak. Tingkah lakumu telah menimbulkan niatku untuk menangkapmu. Kita sudah berada di dekat ibu kota Mataram. Karena itu , sebaiknya aku membawamu menghadap Panembahan Senapati agar kau dapat menunggui muridmu dan yang penting bertanggung jawab atas perbuatanmu, menjerumuskan muridmu dalam tindak yang salah, melanggar paugeran seorang prajurit. Apalagi muridnya adalah seorang perwira."
Guru Jaka Rampan itu menggeram. Sikap Agung Se"dayu benar-benar telah membuat hatinya menjadi semakin sakit. Karena itu, maka iapun berkata, "Jika demikian Agung Sedayu, maka tidak ada yang paling baik aku lakukan selain membunuhmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap sepenuhnya untuk melawan ilmu pedang guru Jaka Ram"pan.
Sesaat kemudian, maka pedang guru Jaka Rampan itu mulai bergetar. Namun dalam waktu sekejap pedang itu bagaikan terbang mengitari tubuh Agung Sedayu. Dengan susah payah Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya. Namun dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu telah melenting mengambil jarak.
Tetapi guru Jaka Rampan tidak mau melepaskannya. Iapun telah memburu dengan kemampuannya yang tinggi. Ilmunya telah membuatnya menjadi bagaikan bayangan mengimbangi kemampuan ilmu meringankan tubuh Agung Sedayu.
Keduanyapun bagaikan berputar-putar diudara. Hanya sekali-sekali saja kaki mereka menyentuh tanah. Sementara itu dalam kesempatan tertentu, guru Jaka Rampan itu se"akan-akan telah menyerang dari beberapa penjuru dalam waktu yang bersamaan.
Agung Sedayu benar-benar mengalami kesulitan. Ke"mana ia meloncat, guru Jaka Rampan yang telah sampai pada puncak kemampuannya serta kemampuan ilmu pedangnya yang jarang ada bandingnya telah memburunya. Sehingga akhirnya, dalam putaran yang cepat melampaui kecepatan bayangan, ujung pedang guru Jaka Rampan itu telah menyentuh kulit pada lengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang merasakan lengannya terluka telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan meloncat mengambil jarak dari lawannya.
Ternyata guru Jaka Rampan tidak mengejarnya. Ia ber"diri sambil menyilangkan pedang didadanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Maaf Agung Sedayu. Aku tidak mempunyai pilihan lain."
"Apa maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
Pedang guru Jaka Rampan itu berputar satu putaran. Demikian pedang itu kembali bersilang didadanya guru Jaka Rampan itu berkata, "Kau akan mati. Racun di pedangku adalah racun yang sangat kuat. Melampaui kuatnya bisa ular bandotan."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sementara itu guru Jaka Rampan itu berkata, "Tetapi bukannya tidak ada jalan untuk menyelamatkan jiwamu."
"Bagaimana?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika kau bersedia singgah di padepokanku, maka aku akan memberimu penawar racun itu." berkata guru Jaka Rampan.
"Jika tidak?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Jika tidak kau akan mati. Isterimu juga akan mati. Demikian pula adik sepupumu itu." berkata guru Jaka Rampan sambil tersenyum.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika dipandanginya isterinya dan Glagah Putih, maka keduanya nampak termangu-mangu. Sementara ketiga orang kawan dari guru Jaka Rampan telah yakin bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat memilih.
Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "Sayang Ki Sanak. Aku tetap menolak untuk singgah di padepokanmu."
"Jadi kau memilih mati?" bertanya guru Jaka Ram"pan.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Aku juga tidak ingin mati. Masih banyak yang harus aku kerjakan. Kecuali jika Yang Maha Agung memang menghendaki."
"Kau jangan mengabaikan racun ditubuhmu." ber"kata guru Jaka Rampan, "aku tidak bermain-main."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah memijit luka dilengannya. Dari celah-celah bajunya yang koyak, darah nampak meleleh dari luka itu. Merah kebiru-biruan. Namun kemudian Agung Sedayu telah mengusap darah itu sehingga pampat.
Guru Jaka Rampan memang terkejut. Ternyata Agung Sedayu mampu menolak racun yang mulai menyentuh darahnya. Bahkan ia berhasil memampatkan kembali darah yang telah terkena racun itu.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "jangan risaukan racun di tubuhku."
"Anak iblis." geram guru Jaka Rampan, "ternyata kau mampu menolak racun yang menyentuh saluran darahmu. Iblis manakah yang telah memberikan kemampuan itu kepadamu?"
"Sudahlah." berkata Agung Sedayu, "nampaknya kau memang harus bersungguh-sungguh. Kau benar-benar telah menggoreskan racun. Dengan demikian, maka akupun harus bersungguh-sungguh pula sebagaimana kau lakukan."
"Persetan." geram guru Jaka Rampan. Tiba-tiba saja pedangnya telah terjulur pula. Bahkan ujungnya mulai bergetar, sementara iapun menggeram, "mungkin racun di pedangku tidak dapat membunuhmu. Tetapi ternyata aku telah berhasil melukaimu. Karena itu maka akupun yakin, bahwa aku akan mampu membelah jantungmu."
Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Ia telah mempergunakan waktu yang sesaat itu untuk mengetrapkan ilmu kebalnya. Bagaimanapun juga, ternyata bahwa guru Jaka Rampan itu mampu bergerak sangat cepat. Tetapi selain ilmu kebalnya, maka Agung Sedayupun kemudian telah mengurai pula senjata andalannya. Sehelai cambuk.
Guru Jaka Rampan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Nasibmu memang buruk Agung Sedayu. Orang yang menyerang padepokan itu hanya mampu melu"kaimu. Tetapi aku akan membunuhmu."
"Aku akan berusaha untuk membela diriku sendiri Ki Sanak." jawab Agung Sedayu.
Jantung guru Jaka Rampan itu menjadi bagaikan berdegup semakin cepat. Ketika Agung Sedayu menggerakkan juntai cambuknya, orang itu menggeram, "Murid dari orang bercambuk ini benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Ternyata bahwa pendapat tentang perbandingan ilmu antara Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat menyesatkan."
Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Lawannya, yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itu seakan-akan memang mempunyai ilmu siluman, sehingga ia dapat berada dibeberapa tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Agung Sedayu memang mengerti, bahwa hal itu semata-mata karena kemampuan ilmu orang itu. Ia mampu bergerak sangat cepat. Tetapi tidak pada jarak yang terlalu panjang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang itu telah meloncat dengan cepatnya. Seakan-akan telah menghilang. Namun pedangnyapun dengan cepat pula telah terayun mendatar menebas kearah punggung Agung Sedayu.
Agung Sedayu masih sempat bergeser. Demikian pula ketika tiba-tiba saja orang itu telah menyerangnya dari depan. Pedang itu terjulur lurus mengarah ke dada. Meskipun Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, namun Agung Sedayu tidak membiarkan ujung pedang orang itu mengenai dadanya. Agung Sedayu masih belum tahu, apakah puncak ilmu orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya itu. Karena itu, maka Agung Sedayu masih juga bergeser mengelak. Tetapi demikian cepatnya, pedang itu telah ber"gerak mendatar setinggi leher Agung Sedayu.
Agung Sedayu itupun kemudian meloncat surut. Justru beberapa langkah. Tubuhnya yang bagaikan tidak mem"punyai bobot itu melambung bagaikan terbang kearah belakang. Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan. Iapun mampu bergerak cepat meskipun tidak sekaligus pada jarak yang panjang.
Tetapi demikian bayangannya menghampiri Agung Se"dayu yang menyentuh tanah, maka cambuk Agung Seda"yupun telah meledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Orang itu terkejut. Dengan gerak naluriah, namun dengan kecepatan yang dialasi dengan kemampuan ilmu"nya, orang itu telah meloncat surut sehingga ujung cambuk Agung Sedayu tidak mengenainya. Namun ternyata jantung orang itu bagaikan meledak.
Dengan nada rendah ia bergumam kepada diri sendiri, "Be"nar-benar ilmu iblis. Suara cambuknya dapat merontokkan isi dada."
Sementara itu Sekar Mirah dan Glagah Putih ternyata mempunyai tanggapan yang berbeda dengan orang-orang yang berdiri termangu-mangu mengawasi pertempuran itu. Mereka menganggap ledakan cambuk yang bagaikan petir di langit itu merupakan puncak kekuatan ilmu Agung Se"dayu. Namun Sekar Mirah dan Glagah Putih mengetahui, bahwa justru suara cambuk itu meledak keras-keras, maka Agung Sedayu masih belum memasuki inti kekuatan ilmunya yang dahsyat.
Sejenak kemudian, maka pertempuran menjadi se"makin cepat dan semakin keras. Lawan Agung Sedayu itu"pun telah sampai pada tataran tertinggi dari kemampuan"nya bergerak cepat. Namun Agung Sedayupun telah mencapai satu tingkat yang mapan pada ilmunya meringankan tubuh.
Putaran pedang guru Jaka Rampan yang menjadi se"makin cepat itu bagaikan gumpalan awan yang kehitam-hitaman yang terbang dengan kecepatan terbang burung sikatan menyambar bilalang. Namun ujung juntai cambuk Agung Sedayupun telah berputar pula melindunginya, sehingga setiap kali putaran pedang lawannya mendekatinya, maka ledakan yang memekakkan telinga telah menghentak seperti petir dilangit.
Jika benturan terjadi, maka getar dari benturan itu telah merambat pada batang senjata masing-masing hingga kemudian bagaikan menggigit telapak tangan. Kekuatan ilmu keduanya benar-benar merupakan kekuatan yang sulit dicari bandingnya.
Namun kemudian ternyata bahwa guru Jaka Rampan itu mampu membuat perhitungan yang rumit dari putaran senjata Agung Sedayu. Meskipun senjata itu berputar cepat sekali, tetapi lawannya yang dengan teliti memperhitungkannya, dapat seakan-akan menghanyutkan diri pada putaran itu dan memasuki pertahanan Agung Sedayu.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayupun sempat mengetahuinya sehingga dengan cepat Agung Sedayu telah menarik cambuknya dan kemudian menghentakkannya sendal pancing kearah lawannya. Tetapi guru Jaka Rampan ternyata mampu bergerak lebih cepat. Sebelum Agung Sedayu sempat menghentakkan cambuknya sendal pancing, ternyata ujung pedang guru Jaka Rampan itu telah sempat mengenai sasarannya, menyentuh pundak Agung Sedayu.
Sekejap kemudian, pada saat cambuk Agung Sedayu meledak, lawannya itu telah berpaling tiga kali dan dengan satu loncatan yang cepat dan kuat ia telah berdiri tegak dengan pedang yang terjulur kedepan siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sementara itu lawannyapun berkata, "Sekali lagi pedang-ku telah mengoyak tubuhmu. Jika pertempuran ini berlangsung terus, maka tubuhmu tentu akan luka arang kranjang."
Agung Sedayu melangkah mendekat sambil tersenyum. Katanya, "Kau tidak berhasil mengenai tubuhku, Ki Sanak. Kau hanya dapat menyentuh sapuan juntai cambukku."
"Jangan berbohong." guru Jaka Rampan itu tertawa.
Tetapi Agung Sedayupun tertawa pula. Sambil mengusap pundaknya ia berkata. "Kau lihat" Tidak ada luka dipundakku."
Guru Jaka Rampan itu termangu-mangu. Ia memang tidak melihat luka di pundak Agung Sedayu. Yang dilihat adalah lubang kecil pada baju Agung Sedayu seujung pedangnya. Tetapi pundak itu tidak terkoyak seujung duripun. Guru Jaka Rampan itu menjadi semakin berdebar-debar menghadapi lawannya yang termasuk masih muda itu. Namun ia masih ingin membuktikan bahwa ia mampu mengenai tubuh lawannya.
Sejenak kemudian serangan-serangahnyapun telah datang lagi beruntun, sementara Agung Sedayu berusaha untuk menghindar dan menghalau serangan-serangan yang datang demikian cepatnya. Dengan ilmu meringankan tubuh, maka Agung Sedayu mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya itu.
Bahkan ketika lawannya itu meloncat dengan pedang terjulur kearah dadanya, Agung Sedayu sempat mengibaskan cambuknya. Memang tidak terlalu keras, karena tiba-tiba saja orang itu telah berada dihadapannya.
Sejenak kemudian keduanya telah meloncat mundur. Orang itu terbelalak ketika ia tidak melihat luka didada Agung Sedayu. Bahkan terasa betapa pedihnya lengannya yang disentuh oleh ujung cambuk Agung Sedayu itu. Ketika ia meraba lengannya yang berdarah, ternyata bahwa sebuah luka telah menganga.
"Setan kau Agung Sedayu." geram orang itu, "karah baja pada cambukmu sempat mengoyak kulitku. Sementara itu ternyata kau memiliki ilmu kebal."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada gunanya kita bertempur terus. Sekarang, akulah yang mempersilahkan kau ikut bersamaku ke Mataram. Sebenarnya aku tidak ingin singgah. Tetapi karena aku akan bersamamu, maka kami sebaiknya memang harus singgah."
"Persetan." geram guru Jaka Rampan, "kau kira il"mu kebalmu cukup kuat untuk menahan serangan-seranganku?"
"Apapun yang ada pada kita masing-masing, maka sebaiknya kita tidak bertempur lagi." minta Agung Sedayu.
"Kau memang terlalu sombong." geram orang itu.
"Bukan maksudku. Tetapi aku mempunyai tawaran penyelesaian yang lain dari yang kau tawarkan." berkata Agung Sedayu pula.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja pedangnya telah perputar lagi. Sejenak kemudian tubuhnya bagaikan hilang dari tempatnya. Namun serangannya telah datang dari arah yang lain.
Pertempuran antara Agung Sedayu dan orang itupun telah berlangsung lagi. Tetapi seperti sebelumnya, guru Jaka Rampan itu tidak mempunyai kesempatan untuk mendesak lawannya. Bahkan sekali lagi cambuk Agung Se"dayu telah mengenainya.
Dalam keadaan yang sulit itu, maka guru Jaka Rampan itupun tiba-tiba saja berteriak nyaring kepada kawan-kawannya, "Kuasai isteri dan saudara sepupunya. Jika Agung Sedayu tidak menyerah, mereka akan dikorbankan."
Ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itupun tiba-tiba telah bergerak. Perintah guru Jaka Rampan itu tidak perlu diulangi. Dengan serta merta mereka telah menarik pedang dan siap untuk menguasai Sekar Mirah dan Glagah Putih.
Tetapi teriakan guru Jaka Rampan itu telah memberikan isyarat pula kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, demikian mereka mendengar teriakan lawan Agung Se"dayu, maka Sekar Mirahpun telah mengangkat tongkat ba"ja putihnya, sementara Glagah Putih pun telah mengurai ikat pinggangnya. Ia tidak mau membuat kesalahan, karena dengan demikian maka keadaan Agung Sedayu akan menjadi sulit. Karena itu, maka ia tidak mempergunakan senjata lain dari senjata yang sudah diyakininya.
Ketika Ketiga orang itu mendekati Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka keduanya telah bersiap sepenuhnya. Dengan mantap Sekar Mirah berkata, "Kita akan bertem"pur berpasangan."
Glagah Putih mengetahui maksud Sekar Mirah. Karena itu, maka ia pun segera berdiri di belakang Sekar Mirah menghadap kearah yang berlawanan.
Ketiga orang kawan guru Jaga Rampan itupun segera mengepungnya. Namun merekapun menyadari bahwa menguasai kedua orang itu bukannya pekerjaan yang mudah.
Seorang diantara ketiga orang itu memang berusaha untuk mempengaruhi ketahanan jiwani kedua orang itu. Dengan nada berat orang itu berkata, "Kalian bukan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu memiliki ilmu kebal dan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, maka kalian tidak akan dapat melakukannya. Karena itu, untuk menghindari kemungkinan buruk terjadi atas kalian, maka kami harap kalian menyerah saja. Meletakkan senjata kalian dan menurut perintah yang kami berikan."
Yang menjawab adalah Sekar Mirah, "Maaf Ki Sanak. Barangkali kami terpaksa membunuhmu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan geram ia berkata, "Kau juga sombong seperti Agung Sedayu."
"Jangan lupa, aku adalah siterinya." berkata Sekar Mirah, "sifat-sifatnya akan dapat mempengaruhi sifat-sifatku."
"Persetan." orang itu mulai marah.
Sementara itu, terdengar lawan Agung Sedayu berte"riak, "Cepat, Kuasai mereka dan paksa mereka untuk tunduk kepada perintah kalian."
Ketiga orang itu dengan serta merta telah bersiap. Sen"jata mereka segera terangkat. Namun seorang diantara mereka masih berkata, "Lebih baik menyerahlah."
Meskipun ketiga orang itu sudah memperhitungkan sebelumnya, bahwa Sekar Mirah tidak akan terlalu mudah menyerah, namun mereka masih juga terkejut, ketika Sekar Mirah yang tidak menjawab itu tiba-tiba saja sudah mengayunkan tongkat baja putihnya.
Orang yang kebetulan berada dihadapannya itu harus meloncat surut. Jantungnya terasa berdebar semakin cepat. Tongkat baja putih itu telah terayun menghanyutkan udara dengan gaung yang nyaring.
"Betapa kuat ayunannya." berkata orang itu kepada diri sendiri.
Namun orang-orang itu adalah orang-orang yang juga cukup berpengalaman. Karena itu, maka merekapun segera menempatkan dirinya dan dalam waktu sesaat, mereka telah mulai menyerang. Kadang-kadang mereka menyurukkan senjata mereka hampir bersamaan, namun kadang-kadang serangan-serangan mereka datang beruntun susul-menyusul.
Namun agaknya Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mengetahui pula rencana Agung Sedayu yang ingin membawa orang-orang itu ke Mataram. Karena itu, maka mere"kapun telah berusaha untuk mengimbangi lawan-lawan me"reka agar tidak menyulitkan Agung Sedayu. Jika seorang saja dari keduanya dikuasai oleh orang-orang itu, maka me"reka akan dapat memaksa Agung Sedayu untuk menyerah. Sementara itu ujung cambuk Agung Sedayu telah menyen"tuh lagi kulit lawannya sehingga lukanyapun telah bertambah pula.
Ternyata Sekar Mirah dan Glagah Putih memang tidak mengecewakan. Ketiga orang yang telah lama menjelajahi dunia olah kanuragan itu ternyata telah membentur ke"kuatan yang luar biasa. Meskipun ujudnya seorang perempuan, tetapi ketika tangannya memutar tongkat baja putihnya, maka ketiga orang itu semakin menyadari, bahwa kegarangan tongkat baja putih itu masih tetap mendebarkan jantung.
Ketika sekilas orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itu sempat melihat ayunan tongkat Sekar Mirah, maka kegelisahannyapun telah memuncak. Ternyata Sekar Mirah telah mengingatkannya kepada kegarangan Macan Kepatihan.
Tetapi bukan Sekar Mirah sajalah yang telah mengejutkannya. Ketika itu menyempatkan diri melihat kemampuan anak yang masih terlalu muda itu, hatinyapun tergetar pula. Ternyata anak muda itu mempunyai senjata yang tidak terbiasa dipergunakan oleh orang lain. Sehelai ikat pinggang.
Agung Sedayu dengan sengaja memperlambat tata geraknya, seakan-akan memberi kesempatan kepada lawan"nya untuk menilai seluruh arena pertempuran itu. Dengan demikian Agung Sedayu berharap bahwa ia mempunyai penilaian yang benar tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya dan ketiga orang kawan-kawannya.
Justru karena itu, maka guru Jaka Rampan itu mendapat kesempatan untuk melihat apa yang telah terjadi dengan ketiga orang kawan-kawannya. Orang itu tidak menjadi berbesar hati, tetapi justru menjadi semakin berdebar-debar. Guru Jaka Rampan itu melihat tongkat baja putih Sekar Mirah yang berayun cepat seperti baling-baling.
Sementara itu, seorang diantara kawan-kawannya itu terkejut bukan buatan ketika pedangnya membentur ikat pinggang Glagah Putih. Menurut penglihatannya, ikat pinggang Glagah Putih itu terbuat dari kulit. Tetapi ter"nyata dalam benturan yang terjadi, rasa-rasanya pedang"nya telah membentur kekuatan yang luar biasa beratnya. Apalagi dengan senjata selembar ikat pinggang.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnyalah Glagah Putih telah, mempergunakan ikat pinggangnya dengan landasan ilmunya, sehingga jika dikehendaki, ikat pinggangnya itu menjadi sekuat kepingan baja pilihan.
"Kau lihat kemampuan kawan-kawanmu dibandingkan dengan isteri dan sepupuku?" bertanya Agung Sedayu kepada lawannya yang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Sementara itu tubuhnya sendiri telah terluka dibeberapa tempat. Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu ternyata mampu mengoyak kulitnya, karena karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuk itu.
Guru Jaka Rampan itu tidak segera menjawab. Ia harus mengakui bahwa Agung Sedayu memang tidak akan dapat dikalahkannya. Bahkan menitik sikapnya, apa yang diperlihatkan Agung Sedayu kepadanya itu belum seluruh kemampuannya. Agaknya memang masih tersimpan dalam perbendaharaan ilmu Agung Sedayu, kemampuan yang akan dapat membuatnya kehilangan akal.
Agung Sedayu sendiri memang tidak ingin memperlihatkan puncak-puncak kemampuannya. Ia menganggap bahwa untuk melawan guru Jaka Rampan ia tidak memerlukannya.
Sementara itu, ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itupuan telah mengalami kesulitan melawan Sekar Mirah dan Glagah Putih. Ternyata perempuan yang semula tidak dianggap sangat berbahaya itu memiliki kemampuan yang mengagumkan. Ditangannya, meskipun ia seorang perem"puan, tongkat baja itu masih tetap memiliki ciri-ciri kega"rangan yang mendebarkan. Sedangkan Glagah Putih yang masih sangat muda itu ternyata mampu menembus lawanya menjadi kebingungan.
Bukan saja kemampuannya mempermainkan senjatanya yang sudah dimengerti oleh ketiga orang lawannya, namun anak muda itu memiliki ke"kuatan yang sangat besar. Dengan demikian, maka ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itu sama sekali telah berhasil menguasai Sekar Mirah dan Glagah Putih yang akan dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendak guru Jaka Rampan itu kepa"da Agung Sedayu. Bahkan yang terjadi adalah justru sebaliknya. Kedua orang itulah yang telah mendesak lawan mereka.
Bahkan ketiga orang itu berusaha memaksa diri untuk menyerang, justru salah seorang diantara mereka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Ketiga orang itu berdiri, ternyata bahwa pundaknya telah dicengkam oleh perasaan sakit yang sangat. Tulang-tulangnya bagai"kan patah, sementara kulitnya menjadi biru kemerah-merahan. Tongkat baja putih Sekar Mirah agaknya dengan cepat telah menyusup diantara senjata lawannya itu dengan me"ngenai pundak salah seorang diantara mereka.
Meskipun demikian ketiga orang itu masih berusaha untuk mengatasi keadaan. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Betapapun sakit menggigit pundaknya, tetapi orang itu masih juga dengan garangnya bersama dengan kedua kawannya menyerang kedua orang itu hampir bersamaan.
Dalam pada itu, ternyata seorang lagi diantara ketiga orang itu terdesak. Dengan serta merta orang itu telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Ia merasa ujung ikat pinggang anak muda itu menyentuh lambungnya. Tetapi semula ia tidak mengira bahwa sentuhan itu akan dapat membuat lambungnya terluka. Namun ketika ia mengusap lambungnya yang terasa sangat pedih, tangannya telah menyentuh darahnya yang hangat. Demikian ia mengamatinya, maka ternyata bahwa segores luka telah menganga.
"Gila." geram orang itu.
Glagah Putih dan Sekar Mirah tegak ditempatnya ke"tika lawan-lawannya berloncat surut. Dua orang telah ter"luka. Seorang pundaknya bagaikan dilumpuhkan, sedang"kan yang lain, lambungnya telah dikoyakkan.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah mengambil jarak pula dari lawannya. Bukan karena terdesak atau keadaannya menjadi sulit, tetapi justru Agung Sedayu beru"saha memberikan kesempatan kepada lawannya itu untuk menilai keadaan.
Guru Jaka Rampan itupun tidak memburunya. Ia be"nar-benar telah menyadari keadaan. Luka-luka ditubuhnya ternyata telah mengalirkan darah cukup banyak.
"Nah, apa katamu Ki Sanak." desis Agung Sedayu, "aku mohon Ki Sanak sempat mempertimbangkan keadaan. Jika kita memaksa diri untuk saling membunuh, aku kira bukan satu penyelesaian yang terbaik untuk persoalan ini. Sementara itu, kau masih harus memperhatikan keadaan muridmu. Kaulah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa yang telah terjadi pada muridmu itu."
Guru Jaka Rampan itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia berkata, "Aku akan bertempur sebagai seorang laki-laki."
"Apakah ciri seorang laki-laki jika ia bertempur?" bertanya Agung Sedayu.
"Membunuh atau dibunuh." jawab guru Jaka Ram"pan.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Betapa mudahnya untuk mati tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Katakan kepadaku, manakah yang lebih jantan dari seorang laki-laki. Membiarkan dirinya mati untuk menghapuskan tanggungjawabnya atau mempertanggung"jawabkan perbuatannya, apalagi hal itu akan menyangkut keselamatan orang lain."
Guru Jaka Rampan termangu-mangu sejenak. Semen"tara itu Agung Sedayu berkata selanjutnya, "Muridmu memerlukan kau. Meskipun kau tidak akan membebaskannya, tetapi kau akan dapat memperingan penderitaannya."
Sejenak guru Jaka Rampan itu merenung. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka merekapun telah memberikan kesempatan kepada lawan-lawan mereka untuk merenungi keadaan.
Baru sesaat kemudian guru Jaka Rampan itu berkata, "Baiklah Agung Sedayu. Aku menyerah. Ternyata aku telah salah menilai kemampuanmu. Aku termakan oleh desas-desus bahwa kau agaknya terlalu malas untuk me"masuki sanggar, sehingga adik seperguruanmu telah mam"pu melampaui ilmumu. Karena itu, maka aku menduga bahwa seandainya ilmumu berada dibawah atau sama dengan Swandaru, atau katakanlah karena pengalamanmu kau mempunyai sedikit kelebihan, maka aku akan dengan mudah mengalahkanmu. Tetapi ternyata bahwa kemam"puanmu jauh melampaui kemampuanku. Apalagi muridku Jaka Rampan."
"Sudahlah." berkata Agung Sedayu, "jangan kau sebut-sebut lagi. Namun aku menghargai keputusanmu. Dengan demikian kau akan bertanggungjawab atas perbuatanmu. Kau akan membantu muridmu dan memberikan keringanan atas hukuman yang akan diterimanya."
Guru Jaka Rampan itu mengangguk. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, "Kita termasuk ikan yang masuk kedalam wuwu. Ternyata kita telah menjerumuskan diri kita sendiri kedalam kesulitan. Kita tidak berhasil melepaskan Jaka Rampan dengan cara ini, bahkan kita sendirilah yang justru telah terjerat karenanya."
Ketiga orang kawannya tidak menyahut. Penyesalan yang dalam nampak di wajah mereka. Tetapi keputusan guru Jaka Rampan itu adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan mereka dari kematian. Karena jika mereka memaksa untuk bertempur terus, maka tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memenangkan pertempuran itu. Bahkan kemungkinan yang paling dekat adalah justru kematian.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, guru Jaka Ram"pan dan kawan-kawannya telah membenahi dan mengobati diri. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sama sekali tidak memerintahkan agar mereka meletakkan senjata mereka. Namun merekapun yakin, bahwa keempat orang itu tidak akan dapat lepas dari tangan mereka.
Sebelum mereka meninggalkan hutan itu, maka Sekar Mirahpun telah mengobati pula luka Agung Sedayu. Mes"kipun luka itu tidak berbahaya, serta racun yang terdapat di senjata lawannya tidak sempat menusuk ke saluran darah Agung Sedayu, namun luka itu memang perlu diobati.
Demikian semuanya telah siap, maka merekapun segera naik ke punggung kuda masing-masing. Tanpa memberikan kesan yang mercurigakan mereka telah meninggalkan Alas Tambak Baya.
Guru Jaka Rampan memang tidak mempunyai pilihan lain. Di sepanjang jalan menuju ke Mataram, sekali-sekali terbersit pula pikiran untuk membebaskan diri. Tetapi guru Jaka Rampan itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bah"wa Agung Sedayu memiliki ilmu yang terlalu tinggi baginya. Karena itu, maka akhirnya guru Jaka Rampan itupun menjadi pasrah apapun yang akan terjadi atas dirinya.
Perjalanan ke Mataram memang tidak terlalu jauh lagi. Dengan guru Jaka Rampan dan kawan-kawannya maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih akhirnya harus singgah di Mataram.
Guru Jaka Rampan memang menjadi heran, bahwa Agung Sedayu tidak banyak mengalami kesulitan untuk memasuki istana. Memang satu kebetulan bahwa diantara para prajurit yang bertugas di pintu gerbang istana, telah ada yang mengenalnya. Justru perwira yang bertugas memimpin pasukan pengawal yang bertugas itu. Sehingga dengan demikian maka kedatangan Agung Sedayu itupun telah dilangsungkan kepada pelayan Dalam yang meneruskannya kepada Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati yang sedang beristirahat, tidak menolak permohonan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga keduanya pernah menjadi sangat akrab dimasa-masa pengembaraan mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun segera dipersilahkan untuk memasuki seketheng dan diterima di serambi sebelah kiri. Agung Sedayu menghadap seorang diri. Baru kemudian ia melaporkan apa yang telah terjadi dan dengan siapa ia telah menghadap.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kau berhasil menangkap guru Jaka Rampan?"
"Secara kebetulan, Panembahan. Hamba tidak senga"ja mencarinya. Tetapi guru Jaka Rampan itu telah datang sendiri menernui hamba." jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapati tersenyum ketika Agung Sedayu juga menceriterakan bagaimana guru Jaka Rampan itu menyusulnya masuk kedalam kedai.
"Bawalah orang itu kemari. Hanya guru Jaka Rampan saja." berkata Panembahan Senapati. Namun katanya pula, "Kau dapat mengajak isteri dan sepupumu untuk bersamamu. Sementara serahkan tawananmu yang lain kepada para prajurit pengawal."
Agung Sedayu itupun kemudian bergeser meninggal"kan serambi itu untuk memanggil guru Jaka Rampan serta Sekar Mirah dan Glagah Putih.
Guru Jaka Rampan benar-benar terkejut ketika ia begitu saja telah menghadap Panembahan Senapati sendiri. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu, penghuni Tanah Perdikan Menoreh serta seorang yang tidak mempunyai kedudukan khusus di Mataram, dapat begitu mudah dan cepatnya menghadap langsung Panembahan Senapati, Penguasa tertinggi Mataram yang sedang berkembang.
"Marilah Ki Sanak." Panembahan Senapti mempersilahkan guru Jaka Rampan duduk diatas selembar tikar pandan yang putih berkotak-kotak biru.
Namun guru Jaka Rampan itu telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Aku hanya ingin berbicara sedikit." berkata Panem"bahan Senapati. Lalu, "Karena yang akan bertugas untuk mengurus persoalanmu dan muridmu adalah seorang Sena"pati yang telah aku tunjuk."
Guru Jaka Rampan hanya mengangguk dalam-dalam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Aku hanya ingin mendengar pengakuanmu, apakah benar bahwa yang dilakukan oleh Jaka Rampan itu karena perintahmu" " bertanya Panembahan Senapati.
"Hamba Panembahan." jawab guru Jaka Rampan dengan suara bergetar. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Panembahan Senapati sendiri yang akan bertanya kepadanya tentang hal itu.
"Apakah dasar perintahmu itu?" bertanya Panem"bahan Senapati itu.
"Ampun Panembahan." jawab guru Jaka Rampan, "sebenarnyalah hamba didorong oleh perasaan dendam terhadap seseorang. Hamba ingin memanfaatkan murid ham"ba untuk memukul sebuah padepokan yang kuat dibelakang garis pertahanan Panembahan Madiun."
"Jadi persoalannya adalah persoalan pribadi?" ber"tanya Panembahan Senapati.
Guru Jaka Rampan tidak menjawab. Sementara Panembahan Senapati berkata, "Untuk kepentingan pribadi, kau sudah menyeret dua kelompok prajurit Mataram yang dipimpin oleh Jaka Rampan dan Gondang Bangah."
"Ampun Panembahan." wajah guru Jaka Rampan itu menjadi semakin menunduk.
Namun dalam pada itu, Panembahan Senapatipun ber"kata, "Baiklah. Hanya itulah yang ingin aku ketahui."
Demikianlah, sejenak kemudian maka Panembahan Senapati itupun telah memberi isyarat kepada seorang Pelayan Dalam untuk memanggil prajurit yang sedang ber"tugas. Ketika prajurit yang dipanggil itu menghadap, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan agar guru Jaka Rampan dan kawan-kawannya ditahan ditempat yang terpisah dari muridnya.
"Hati-hatilah. Jaga mereka baik-baik. Pada saatnya semuanya akan jelas." berkata Panembahan Senapati.
Seorang perwira dan beberapa orang prajurit kemudian telah menempatkan guru Jaka Rampan dan ketiga orang kawannya didalam sebuah bilik yang kokoh. Mereka mendapat pengawasan yang kuat karena para prajurit Mataram itu tahu, bahwa guru Jaka Rampan itu memiliki kemam"puan dan ilmu yang tinggi.
Sementara itu Panembahan Senapati yang masih ber"ada di serambi bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih itupun sepeninggal guru Jaka Rampan ber"kata, "Kehadiran gurunya akan memperingan kesalahan Jaka Rampan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya, Panembahan Senapati itu telah berkata selanjutnya, "Ternyata niat Jaka Rampan menembus garis pertahanan madiun dengan diam-diam itu bukan karena keinginannya sendiri. Bukan karena niatnya untuk mengacaukan hubungan antara Mataram dan Madiun yang memang menjadi semakin kalut. Tetapi justru karena gurunya men"dendam kepada seseorang, sehingga persoalannya akan terbatas pada persoalan pribadinya meskipun mungkin akan dapat menimbulkan akibat yang sama. Tetapi niat yang terbersit dihatinya bukannya ingin mendahuiui perintahku dalam hubungan antara Mataram dan Madiun."
"Hamba Panembahan." sahut Agung Sedayu, "menurut guru Jaka Rampan itu ia telah mendendam kepada saudara seperguruannya."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun iapun telah berkata, "Persoalannya telah dibatasi pada pertentangan antara murid-murid seperguruan. Tetapi setelah bertempur dengan guru Jaka Rampan apakah kau dapat mengenali aliran ilmunya?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya, "Ternyata bahwa pengetahuan hamba sangat sempit, Panembahan. Hamba tidak dapat mengetahui ciri aliran ilmu guru Jaka Rampan, selain kelebihannya pada kemam"puan dan kecepatan bergerak, sehingga hampir dalam satu saat, seakan-akan ia berada ditempat yang berbeda se"hingga seakan-akan serangannya datang bersamaan dari dua penjuru."
"Bukan kemampuan untuk menunjukkan dirinya menjadi lebih dari satu dalam satu saat, sebagaimana dapat kau lakukan?" bertanya Panembahan Senapati.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Hanya satu permainan yang tidak berarti Panembahan. Orang yang memi"liki ketajaman penglihatan batin, akan segera mengetahui jenis permainan itu."
"Celakanya, tidak banyak orang memiliki ketajaman penglihatan batin. Meskipun seseorang berilmu tinggi, namun kadang-kadang penglihatan batinnya sangat tumpul."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Panem"bahan Senapati kemudian berkata, "Tetapi biarlah para perwira yang bertugas memeriksa guru Jaka Rampan itu bertanya tentang perguruannya dan tentang pertentangan yang timbul diantara saudara seperguruannya itu."
"Hamba Panembahan." sahut Agung Sedayu, "mungkin ada sesuatu yang berarti yang dapat disadap dari orang itu."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang harus mengucapkan terima kasih kepadamu Agung Sedayu. Banyak hal yang sudah kau lakukan bagi tanah ini."
"Seperti hamba katakan, bahwa secara kebetulan orang itulah yang datang kepada hamba." jawab Agung Sedayu.
"Jika kebetulan itu berakibat lain, maka guru Jaka Rampan itu tentu tidak akan sampai padaku." berkata Panembahan Senapati, "misalnya, seandainya ilmunya lebih tinggi dari ilmumu. Selebihnya, menurut laporan yang aku terima, kau pulalah yang telah mengirim adik sepupumu untuk memanggil Untara dan pasukannya ketika Jaka Rampan itu berada di Sangkal Putung. Bukankah itu satu kebijaksanaan yang patut dihargai" Memang tidak sebaiknya para pengawal Sangkal Putung bertempur melawan prajurit Mataram. Kesannya akan dapat menyuramkan citra prajurit itu. Meskipun dalam keadaan yang terpaksa hal itu dapat dilakukan jika langkah para prajurit itu me"mang salah. Tetapi adalah sangat bijaksana bahwa Untara sempat datang dengan pasukan Mataram pula."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kembali kepalanya menunduk dalam-dalam.
"Nah." berkata Panembahan Senapati, "baiklah kali"an beristirahat. Aku minta kalian singgah sehari ini disini."
"Ampun Panembahan." jawab Agung Sedayu, "hamba mohon agar hamba diperkenankan untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan hari ini."
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, "Kenapa tergesa-gesa" Bukankah kau sudah beberapa lama berada di Sangkal Putung" Jika hanya tambah sehari saja, maka tidak akan mengganggu pemerintahan di Tanah Perdikan. Apalagi aku sudah mendengar keterangan dari kakakmu Untara, apa yang telah terjadi atasmu di Jati Anom."
"Justru karena itu Panembahan." sahut Agung Se"dayu pula, "Hamba telah terlalu lama pergi."
Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Ketika dipandanginya Agung Sedayu, Sekar Mirah dan
Glagah Putih yang menunduk, maka katanya, "Baiklah. Tetapi nanti, sesudah kalian makan siang disini. Bukankah kalian singgah di kedai hanya untuk minum dan makan makanan saja?"
Ketiganya tidak dapat menolak. Karena itu, maka merekapun menunggu sampai saatnya mereka dipersilahkan makan. Seorang Pelayan Dalam telah mendapat perintah dari Penembahan Senapati untuk menyiapkan dua buah bilik bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah serta Glagah Putih.
"Beristirahatlah sambil menunggu makan dipersiapkan. Aku ingin menjamu kalian kali ini." berkata Panem"bahan Senapati.
Ternyata bahwa Agung Sedayu memang merasa letih setelah ia bertempur melawan guru Jaka Rampan. Bagaimanapun juga, kemampuan guru Jaka Rampan itu perlu diperhitungkan. Karena itulah Agung Sedayu pun telah beristirahat dengan berbaring didalam bilik yang telah disediakan.
Matahari Esok Pagi 19 Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran Bu Kek Kang Sinkang 6
^