Api Di Bukit Menoreh 8
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8
"Bukankah lukamu tidak apa-apa kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Tidak apa-apa. Agaknya besok akan sembuh." jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak mengganggunya lagi. Ia sendiri memang tidak terlalu letih, meskipun iapun harus bertem"pur pula. Tetapi tidak sekeras Agung Sedayu. Namun demikian, Sekar Mirah pun telah duduk pula di sebuah amben panjang dengan sandaran tinggi, sehingga iapun dapat beristirahat sambil mengenang apa yang telah terjadi sepanjang perjalanan mereka dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke Sangkal Putung kemudian Jati Anom, kembali ke Sangkal Putung dan selanjutnya menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.
Sementara itu, Agung Sedayu sempat pula merenungi kata-kata guru Jaka Rampan tentang pendapat Swandaru. Darimana ia mendengar, bahwa Swandaru menganggapnya terlalu malas untuk berlatih di Sanggar, sehingga ilmunya menjadi tersendat-sendat dan tidak meningkat lagi.
"Agaknya Swandaru telah mengatakan pendapatnya itu kepada anak-anak muda Sangkal Putung sehingga pada suatu saat, dapat didengar oleh guru Jaka Rampan atau pengikut-pengikutnya. Sadar atau tidak sadar." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun hal itu telah menggugahnya untuk sekedar melihat kemampuan yang ada didalam dirinya. Dalam sebungkus bawaannya diantara lembar-lembar pakaiannya yang sedikit terdapat kitab yang dipinjamkan Swandaru kepadanya dengan permintaan agar Agung Se"dayu menyempatkan diri meningkatkan ilmunya yang menurut Swandaru menjadi agak terbelakang.
Sebenarnyalah bahwa beberapa jenis ilmu yang dahsyat yang dimiliki oleh Agung Sedayu sebagian memang tidak bersumber pada ilmu yang diturunkan oleh Kiai Gringsing, meskipun sudah barang tentu sepengetahuan dan seijinnya. Atau setidak-tidaknya mendapat persetujuannya, atau melaporkannya untuk mendapat penilaian kembali, apakah ilmu itu akan menimbulkan tantangan tantangan didalam dirinya atau tidak.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga merasa gelisah atas penilaian yang salah dari Swandaru itu. Jika pada suatu saat, Swandaru itu mengetahuinya, maka hal itu akan dapat menimbulkan persoalan. Setidak-tidaknya didalam dirinya sendiri.
Menurut Agung Sedayu, memang perlu dicari jalan untuk meletakkan anggapan Swandaru tentang dirinya itu pada tempat yang sewajarnya tanpa menimbulkan kesan seakan-akan ia memang ingin menyombongkan diri.
Di ruang yang lain, Glagah Putih pun telah berbaring pula meskipun matanya tidak terpejam. Ternyata seperti Agung Sedayu ia memikirkan pendapat Swandaru tentang kemampuan ilmunya dibandingkan dengar, ilmu Agung Sedayu. Bahkan rasa-rasanya Glagah Putihlah yang sekalikali ingin mencoba kemampuan ilmu Swandaru.
Tetapi mereka memang tidak mendapat kesempatan terlalu lama merenung. Beberapa saat kemudian, maka seorang pelayan Dalam telah memberitahukan bahwa mereka dipanggil untuk menghadap Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah Panembahan Senapati telah menjamu mereka makan. Sementara itu, mereka sempat juga berbincang serba sedikit tentang persoalan-persoalan yang
timbul menjelang saat-saat terakhir. Terutama setelah
Pangeran Benawa meninggal. Dengan demikian Pajang telah
menebarkan asap yang hitam yang membuat kemelut dia-tas
Mataram dan Madiun menjadi semakin gelap.
" Jadi Panembahan belum sempat bertemu dengan
pamanda Panembahan Madiun" " bertanya Agung Sedayu.
Panembahan Senapati menggeleng. Katanya " Ada-ada
saja hambatannya. Tetapi aku benar-benar berniat untuk
berbicara. Jika persoalan ini tidak segera menjadi jelas, maka
aku akan mengirimkan satu kelompok yang akan membawa
pesan-pesan perdamaian bagi pamanda Panembahan
Madiun. Aku memang harus merendahkan
diri, karena menurut hubungan keluarga, aku ada pada
tataran yang lebih muda. Tetapi jika hubungan itu gagal, maka
aku harus menebus harga diriku dengan langkah dua kali lipat.
" " Maksud Panembahan" " bertanya Agung Sedayu.
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya " Marilah. Kita ingin makan dengan tanpa
merenungi persoalan-persoalan yang rumit. "
Agung Sedayu memang tidak berani bertanya lebih lanjut.
Agaknya Panembahan Senapati memang sedang tidak ingin
berbicara terlalu banyak tentang Madiun.
Karena itu, maka Agung Sedayu tidak bertanya lebih jauh
tentang hubungan antara Mataran dan Madiun. Yang mereka
bicarakan kemudian adalah makanan yang sedang mereka
hadapi. Bahkan Sekar Mirahpun telah ikut berbicara pula,
karena iapun seorang yang mempunyai banyak perhatian
tentang berjenis-jenis makanan.
Setelah makan siang, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah
dan Glagah Putih sempat beristirahat beberapa saat sambil
berbicara tentang banyak hal dengan Panembahan Senapati.
Namun Panembahan Senapati tidak juga menyebut-nyebut
lagi tentang Madiun. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah mohon
diri untuk meneruskan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.
" Apakah kau tidak bermalam saja disini" Kau akan
kemalaman sampai ke Tanah Perdikan. " berkata
Panembahan Senapati. " Ampun Panembahan " Jawab Agung Sedayu " hamba
ingin segera melihat Tanah itu setelah sekian lama hamba
tinggalkan. " " Baiklah " berkata Panembahan Senapati kemudian " hatihatilah
diperjalanan. Mungkin masih ada rintangan
yang akan menghambatmu. "
" Hamba mohon diri Panembahan " berkata Agung Sedayu
kemudian. " Hamba mohon restu Panembahan, semoga
hamba dan isteri serta sepupu hamba, selamat sampai
kerumah hamba kembali. "
Demikianlah, maka setelah Sekar Mirah dan Glagah Putih
mohon diri pula, maka merekapun telah meninggalkan istana
Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka menuruni tepian kali Praga, maka langit
sudah menjadi kemerah-merahan. Meskipun mereka
berangkat dipermulaan hari, namun karena hambatan di
perjalanan serta singgah beberapa lama di istana
Panembahan Senapati, maka perjalanan ke Tanah Perdikan
itu mereka tempuh dalam sehari penuh.
Meskipun senja sudah turun, namun masih ada juga
beberapa orang yang akan bersama-sama menyeberang
dalam satu gethek yang tidak terlalu besar.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah turun di tepian
seberang Kali Opak. Setelah membayar upah mereka bertiga
kepada tukang satang, maka mereka siap meninggalkan
tepian Kali Praga itu. Namun ada saja yang menghambat perjalanan mereka,
Ketika mereka mulai melangkah menuntun kuda mereka,
Glagah Putih justru berdesis " Tunggu sebentar kakang.
Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun berhenti. Semula
mereka tidak begitu memperhatikan apa yang telah terjadi.
Namun agaknya Glagah Putih telah melihat seorang yang naik
gethek bersama mereka bertengkar dengan tukang satang.
" Aku bekerja untuk mendapatkan upah " berkata tukang
satang itu " karena itu kau harus membayar. "
" Bukankah orang lain sudah membayar " justru orang yang
tidak mau membayar itulah yang membentak "
Perdikan Menoreh " jawab orang itu.
" Jika demikian, apakah kau ingin membuat persoalan
dengan orang itu" bertanya Glagah Putih pula.
" Tidak. Tentu tidak. Biarlah aku pergi saja " berkata orang
yang menyebut dirinya Singa Luwuk itu.
Tetapi ketika ia melangkah, Glagah Putih menepuknya
sambil berkata " Ada yang belum kau selesaikan. "
"Apa" " bertanya Singa Luwuk.
" Kau belum membayar upah kepada tukang satang itu. "
jawab Glagah Putih. Singa Luwuk menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya iapun telah mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya yang lebar setelah menyarungkan luwuknya.
Tanpa mengatakan apapun juga, baik kepada tukang satang maupun kepada Glagah Putih, apalagi kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka orang itupun telah melangkah dengan langkah-langkah panjang meninggalkan tepian.
Tukang-tukang satang itupun hampir berbarengan berkata "
Terima kasih anak muda. "
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Kalian tidak perlu mengucapkan terima kasih Ki Sanak. Terimalah hakmu itu, karena kau memang harus menerimanya. "
Tukang-tukang satang itu mengangguk. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian telah meninggalkan mereka dan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah meneruskan perjalanan.
"Nah, kakang" berkata Glagah Putih " nama kakang mulai ditakuti orang sekarang. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam Katanya " Hal itulah yang seharusnya dihindari. "
"Kenapa" Bukankah dengan demikian kakang akan mempunyai wibawa yang besar" " bertanya Glagah Putih pula.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya " Apakah hal itu diperlukan" Kita seharusnya justru menjadi akrab dengan setiap orang. Bukan ditakuti. "
"Dalam keadaan yang khusus seperti ini, agaknya memang diperlukan kakang. Baru saja kita dihadapkan pada satu contoh yang jelas. Seandainya nama kakang tidak ditakuti, maka aku kira, aku harus berkelahi untuk
memaksanya membayar. " berkata Glagah Putih.
"Tetapi antara orang itu dan aku, tentu terbentang jarak.
Demikian juga dengan orang-orang lain yang mempunyai tanggapan yang sama kepadaku dengan orang itu, " berkata Agung Sedayu. Lalu katanya " Bagiku, yang baik adalah bahwa kita mempunyai kedudukan seperti orang-orang lain.
Dengan demikian, kita tidak harus membawa beban justru karena kita dianggap berbeda dengan orang lain itu. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ternyata ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan Agung Sedayu.
Menurut pendapat Glagah Putih, Agung Sedayu terlalu rendah hati sehingga baginya nama yang besar itu akan menjadi beban. Tetapi menurut Glagah Putih, kadang-kadang memang diperlukan kebesaran nama seseorang. Bukan saja karena jabatannya, tetapi juga karena pribadi dan kemampuannya.
Tetapi Glagah Putih tidak berani menyatakannya, sebagaimana ia juga tidak berani menyatakan sikapnya tentang Swandaru kepada Agung Sedayu, apalagi kepada Sekar Mirah, adik Swandaru itu. Seandainya ia menjadi Agung Sedayu, maka ia akan meyakinkan kepada adik seperguruannya itu, bahwa ilmunya lebih tinggi dan mapan.
"Kakang Agung Sedayu terlalu tertutup hatinya. Hal itu kadang-kadang justru dapat menyulitkannya. Banyak persoalan yang harus tertunda penyelesaiannya.
Sebaliknya kakang Swandaru terlalu berterus-terang. " berkata Glagah Putih didalam hatinya. Keduanya memang seperti dua buah pintu. Satu tertutup rapat-rapat, sementara yang lain terbuka lebar-lebar.
Glagah Putih yang merambat keusia dewasa itu ternyata telah mampu menilai keduanya. Bahwa keadaan yang demikian itu, akan dapat mempunyai akibat yang kurang baik pada kedua-duanya.
Meskipun pada dasarnya, sifat dan watak Glagah Putih sangat dipengaruhi oleh sifat dan watak Agung Sedayu, tetapi sifat dan watak gurunya yang lain, Ki Jayaraga, berpengaruh pula padanya. Selain mereka, maka pengaruh Raden Rangga pada sifat dan watak Glagah Putihpun cukup besar. Namun demikian, Glagah Putih adalah satu pribadi yang utuh tersendiri. Ia bukan tiruan dari pribadi-pribadi yang ada disekitarnya.
Demikianlah ketiganya mulai memasuki Tanah Perdikan Menoreh disaat malam mulai turun. Namun jalan-jalan di Tanah Perdikan itu sudah mereka kenal dengan baik, sehingga meskipun malam menjadi kelam, mereka sama sekali tidak merasa terganggu.
Karena itu, meskipun tidak terlalu kencang, maka mereka telah membawa kuda-kuda mereka berlari menyusuri jalanjalan bulak dan padukuhan.
Beberapa kali ketiga orang itu harus berhenti dimulut-mulut lorong karena satu dua orang yang telah berada di gardu telah menyapa mereka. Meskipun ketiga orang itu segera ingin sampai ke padukuhan induk, namun mereka tidak dapatbegitu saja mengabaikan sapa anak-anak muda dan bahkan orang-orang lain yang berpapasan.
Meskipun agak lambat, namun akhirnya ketiganya telah memasuki padukuhan induk. Mereka bertiga sepakat untuk
tidak langsung pulang kerumah mereka, tetapi mereka akan singgah lebih dahulu dirumah Ki Gede untuk melaporkan kehadiran mereka, karena sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan.
Kedatangan mereka dirumah Ki Gede memang mengejutkan. Namun seluruh keluarga Ki Gede dan para pengawal yang kebetulan bertugas meronda malam itu menyambut kedatanganmerekadengan gembira.
Oleh Ki Gede mereka telah diterima diruang dalam.
Agaknya Ki Gede juga ingin mengetahui, apa saja yang telah terjadi dengan mereka, sehingga rasa-rasanya mereka telah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Namun agaknya Ki Gede menyadari, bahwa ketiga orang itu masih terlalu letih untuk berceritera panjang lebar. Karena itu, Ki Gede hanya ingin tahu serba sedikit apa yang telah terjadi di perjalanan mereka mengunjungi Sangkal Putung dan Jati Anom.
Agung Sedayupun kemudian menceriterakan dengan singkat, pengalaman perjalanannya bertiga. Namun yang penting untuk diketahui oleh Ki Gede tidak ada yang terlampaui.
Ki Gede memang tidak ingin membicarakannya saat itu.
Karena itu maka katanya " Baiklah. Laporanmu sudah aku dengar Agung Sedayu. Aku tahu, bahwa kalian perlu beristirahat. Karena itu, biarlah besok kita berbicara lebih panjang. Aku harap kalian datang disaat matahari sepenggalah.
Aku akan mengundang para bebahu Tanah Perdikan.
Meskipun barangkali tidak banyak yang akan dapat mengikuti persoalan yang berkembang antara Mataram dan Madiun, namun biarlah mereka mendengar serba sedikit pengalaman perjalananmu, karena merekapun telah menunggu-nunggu kehadiranmu kembali di Tanah Perdikan ini. "
" Baiklah Ki Gede " sahut Agung Sedayu " perkenankanlah kini kami mohon diri. "
" Kalian tentu ingin segera membersihkan diri dan kemudian tidur dengan nyenyak. Ki Jayaragapun tentu akan senang menerima kedatangan kalian, " berkata Ki Gede kemudian.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putihpun segera mohon diri untuk kembali kerumah mereka yang telah mereka tinggalkan untuk beberapa lama.
Ki Jayaraga menjadi sangat gembira menerima kedatangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pulang.
Dengan nada tinggi ia berkata " Sudah terlalu lama aku merasa kesepian dirumah. Aku kira kalian telah melupakan Tanah Perdikan ini. "
Agung Sedayu tertawa. Katanya " Ada sesuatu yang telah menahan kami. Justru karena disini ada Ki Jayaraga kami tidak merasa tergesa-gesa.
"Ah, ada-ada saja kau Agung Sedayu " sahut Ki Jayaraga "
tetapi sayang, aku tidak menanak nasi sore ini. Aku makan sisa nasi tadi siang yang masih banyak. "
"Sudahlah " berkata Sekar Mirah " Aku akan menanak nasi. "
"Aku juga tidak menyediakan lauk pauk, " desis Ki Jayaraga pula.
Jilid 233 "SATU hal yang rumit." berkata Ki Gede.
"Ki Gede." Ki Panji Wiralaga memang agak ragu-ragu. Tetapi kemudian ia mengatakan juga, "satu contoh adalah Ki Tumenggung Surayuda. Ia adalah saudara seayah dengan Arya Penangsang, meskipun ia lahir dari ibu yang berbeda. Lahir dari seorang selir. Tetapi ia merasa bahwa darah keturunan Demak mengalir didalam tubuhnya. Sementara itu bahwa pertentangan antara Pajang dan Jipang dimasa pemerintahan Adipati Hadiwijaya dan Adipati Arya Penangsang, Panembahan Madiun pada waktu itu tidak nampak bersikap keras terhadap Jipang. Sedangkan Panembahan Senapati telah membunuh saudara seayahnya itu."
"Namun ternyata bahwa Panembahan Senapati telah melupakan permusuhan itu dan memberikan tempat yang baik kepada Ki Tumenggung Surayuda." berkata Ki Gede.
"Ya. Panembahan Senapati telah memberikan pengampuan. Ki Tumenggung termasuk seorang perwira wreda yang dihormati, Ia memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang bertumpuk didalam dirinya. Namun para petugas sandi Mataram telah menemukan bukti-bukti bahwa ada hubungan antara Ki Tumenggung Surayuda dengan Madiun. Sementara itu sebagaimana diketahui, Tumenggung Surayuda adalah salah sorang penentu dalam susunan keprajuritan di Mataram. Karena itu, maka penempatan para perwira di barak-barak pasukan Khusus selalu mendapat perhatian. Demikian juga perwira yang tiba-tiba saja ditempatkan di barak pasukan khusus di Tanah Perdikan ini."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi bukankah ada Panglima Pasukan Khusus di Mataram yang bertanggung jawab atas semua pasukan khusus yang ada di Mataram dimanapun letak baraknya."
"Yang kami kerjakan kemudian untuk menelusuri tingkah laku Ki Tumenggung Surayuda adalah sepengetahuan Panglima Pasukan Khusus. Ketika Ki Tumenggung Surayuda mengajukan nama perwira yang kemudian menjabat Senapati pasukan Khusus itu di Tanah Perdikan, justru telah diterima oleh Panglima Pasukan Khusus. Nah, dalam putaran persoalan inilah kita nanti akan mengambil sikap." jawab Ki Panji Wiralaga.
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sudah mulai mengerti duduk persoalannya. Karena itu, maka Ki Gedepun kemu"dian berkata, "Satu tugas yang berat."
"Kita akan membagi tugas." berkata Ki Panji, "un"tuk itulah aku datang kemari. Ki Lurah Branjangan yang pernah menjabat sebagai Senapati pada Pasukan Khusus disini akan dapat memberikan banyak keterangan, petunjuk dan barangkali pendapat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dengan tiba-tiba. Dalam masa-masa istirahatnya, ia justru akan terlibat dalam kerja yang gawat ini."
"Ki Panji." bertanya Ki Gede kemudian, "disamping Ki Tumenggung Surayuda, apakah ada orang lain yang pantas mendapat pengawasan khusus di Mataram?"
"Ada Ki Gede." jawab Ki Panji, "tetapi masih belum terlalu jelas."
"Bagaimana dengan persoalan guru Jaka Rampan?" bertanya Ki Gede.
Ki Panji Wiralaga mengerutkan-keningnya. Namun kimudian jawabnya, "Persoalan Jaka Rampan dan gurunya bukan persoalan yang rumit bagi Mataram. Persoalan"nya lebih jelas dan terang. Guru Jaka Rampan ingin memanfaatkan muridnya. Hanya itu. Tetapi mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Madiun. Agak berbeda dengan Ki Tumenggung Surayuda."
"Tetapi bukankah Ki Tumenggung Surayuda termasuk perwira wreda yang usianya sudah agak jauh?" ber"tanya Agung Sedayu.
"Ya. Sebenarnya ia merupakan seorang yang disegani karena kemampuannya dan pengetahuannya tentang gelar perang dan perhitungan yang mantap terhadap keadaan." berkata Ki Panji Wiralaga, "namun tidak seorangpun tahu, pengaruh apa yang telah membuat Ki Tumenggung itu bergeser."
"Maaf Ki Panji." berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah Mataram sudah yakin akan kesalahan sebagaimana dituduhkan kepada Ki Tumenggung Surayuda?"
Ki Panji Wiralaga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kami sudah mempunyai bukti-bukti. Meskipun demikian kami masih akan meyakinkan diri. Itulah sebabnya Mataram belum mengambil langlah-langkah pasti, atau katakanlah menangkap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Agung Sedayu memikirkan kemungkinan lain yang berhubungan dengan sikap Ki Tumenggung. Mungkin ada per"soalan yang memaksanya berlaku demikian."
Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam katanya, "Dimanakah keluarga Ki Tumenggung" Disini atau di Jipang atau ditempat lain?"
"Kenapa dengan keluarga di Tumenggung?" berta"nya Ki Panji.
"Baru saja Mataram terjadi seseorang yang dipaksa melakukan langkah-langkah tertentu karena anak dan isterinya telah ditangkap dan dijadikan taruhan. Orang itu terpaksa melakukan perintah-perintah tanpa dikehendaki karena keluarganya telah dikuasai oleh orang-orang tertentu." berkata Agung Sedayu.
Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku ingat itu. Pendapatmu dapat menjadi bahan pertimbangan. Agung Sedayu, agar kita tidak mengambil langkah yang salah terhadap seseorang yang tidak mutlak bersalah. Ka"rena itu, maka kita masih harus mengikuti perkembangannya lebih jauh."
"Jadi apakah yang dapat kau lakukan kemudian Ki Panji?" bertanya Ki Gede.
"Ki Gede. Menyampaikan keputusan pembicaraan beberapa orang pemimpin di Mataram, yang sudah disetujui Ki Mandaraka dan Panembahan Senapati sendiri, maka di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya akan dibentuk satu lingkungan pertahanan yang akan dipimpin oleh sese"orang yang akan ditunjuk oleh Panembahan Senapati sen"diri atau limpahan wewenangnya kepada Ki Mandaraka." berkata Ki Panji Wiralaga.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian bertanya, "Apakah ada hak dan wewenang dari tubuh yang akan mengikat lingkungan pertahanan di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya?"
"Ya. Panembahan Senapati akan memberikan wewe"nangnya itu." jawab Ki Panji Wiralaga.
Ki Gede mengangguk-angguk.
Namun Agung Sedayulah yang bertanya, "Bagaimana hubungannya tubuh yang akan dibentuk ini dengan kekuasaan yang ada pada Pasukan Khusus itu?"
"Pasukan Khusus itu dalam satu susunan tubuh yang mempunyai kekuasaan ke dalam. Kekuasaan pada dirinya sendiri. Jika mereka mengambil langkah-langkah keluar, maka hal itu dilakukan oleh tubuh itu seutuhnya meskipun hanya terdiri dari sebagian kecil dari pasukan yang ada. Pemimpin dari Pasukan Khusus itu nanti akan menjadi salah seorang anggauta pada tubuh yang akan dibentuk nanti yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk." ber"kata Ki Panji Wiralaga. Lalu, "Karena itulah, maka kedatanganku kemari lebih dahulu, agar dengan demikian Ki Gede dapat mempersiapkan diri. Dari Tanah Perdikan ini kami, sekelompok prajurit yang mendapat tugas ini, juga akan menghubungi beberapa orang Demang disekitar Tanah Perdikan ini. Namun tentu saja apa yang kami sampaikan tidak sejauh apa yang kami katakan disini. Ke"pada mereka kami hanya menyampaikan sebab dan alasannya. Juga kepada Senapati Pasukan Khusus yang baru itu. Jika kami menyampaikan alasan tentu alasan yang paling umum, yaitu keadaan yang semakin gawat dari hubungan antara Mataram dan Madiun sehingga perlu disusun ikatan-ikatan yang mantap yang mampu menggerakkan kekuatan besar yang ada di Mataram diluar kekuasaan keprajuwitan itu sendiri."
"Aku mengerti Ki Panji." Agung Sedayu meng"angguk-angguk. Tetapi katanya, "Meskipun demikian. kami di Tanah Perdikan Menoreh ini masih akan bertanya, bagaimana dengan hubungan yang menyangkut Ki Tu"menggung Surayuda?"
Ki Panji Wiralaga mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Pengawasan dilakukan di Mataram. Tubuh yang akan dibentuk itu akan menjadi bayangan kekuatan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Justru karena kita masih belum tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Atas persetujuan Panglima Pasukan Khusus, maka menjadi takaran. Sebaiknya kamipun berterus terang, bahwa persetujuan Partglima Pasukan Khusus terhadap penunjukkan Senapati pada Pa"sukan Khusus itu juga didasari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya benar-benar ada garis yang patah di Tanah Perdikan itu, maka ada kekuatan yang cukup untuk meluruskannya kembali."
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi ketegangan nampak diwajahnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Ki Pan"ji, bukankah dengan demikian Tanah Perdikan itu langsung akan menjadi arena pendadaran kesetiaan Ki Tumenggung Surayuda" Dengan menilai Senopati yang ditempatkannya pada Pasukan Khusus itu, maka kita akan menilai pula kesetiaan Ki Tumenggung. Sementara itu taruhannya ternyata mahal sekali. Kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan kekuatan Pasukan Khusus di barak itu. Jika terjadi sentuhan dalam usaha penilaian ini, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi."
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pertimbangan Ki Gede dapat dipahami. Tetapi dimanapun penilaian itu diadakan, maka benturan yang demikian itu mungkin saja terjadi. Jika bukan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tentu antara prajurit Mataram sendiri."
"Bukankah tidak pantas jika terjadi perlawanan dari pasukan pengawal di Tanah Perdikan ini melawan prajurit Mataram, bagaimana kedudukan mereka masing-masing." berkata Ki Gede.
Sementara itu Ki Gede telah menying-gung pula apa yang terjadi di Sangkal Putung. Katanya kemudian, "Anak laki-laki Ki Demang adalah seorang yang termasuk kurang panjang berpikir. Namun ternyata iapun tidak menghendaki benturan terjadi melawan para prajurit Mataram."
Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya, "Kami sangat menghargai sikap itu. Namun justru karena itu, seperti aku katakan, Ki Gede dan Para Demang tidak berdiri sendiri. Beberapa orang perwira akan membantu. Dan justru ka"rena itu, kita akan bersama-sama mohon kesediaan Ki Lurah Branjangan untuk terlibat didalamnya. Bagaimanapun juga, Ki Lurah pernah menjadi bapa pada barak Pasu"kan Khusus itu. Pengaruhnya tentu masih tersisa dida"lamnya, sehingga dalam keadaan yang paling gawat, Ki Lurah akan dapat membantu. Justru Bapa yang pertama, bahkan dapat disebut pendiri meskipun atas perintah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan yang dimaksudkan oleh Ki Panji itu. Sementara itu Ki Panjipun berkata, "Ki Gede tentu mengetahui, bahwa pembicaraan kita adalah rahasia pada tataran yang paling tinggi."
"Aku mengerti." jawab Ki Gede. Lalu katanya, "Jika demikian, maka terserahlah kepada Ki Panji, apa yang harus kami lakukan."
"Ki Gede sebaiknya mempersiapkan diri untuk kepentingan ini. Tentu saja mempersiapkan diri dengan segala dukungan yang mungkin dapat disiapkan." berkata Ki Panji.
Lalu Ki Panji itupun menunjukkan sebuah cincin yang dipakainya sambil berkata, "Ki Gede tentu mengenal cincin ini sebagai bukti bahwa aku mengemban tugas lang"sung dari Panembahan Senapati."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sebenarnya ia memang ingin bertanya, apakah Ki Panji membawa pertanda bahwa ia memang diutus langsung oleh Panembahan Senapati dalam tugas yang rumit itu. Karena itu, maka katanya, "Pertanda itu memang aku perlukan Ki Panji. Dengan demi"kian maka aku akan bekerja dengan mantap."
Ki Panji tersenyum. Katanya, "Ki Gede. Pada saatnya akan datang perintah-perintah berikutnya. Satu hal yang dapat aku beritahukan sekarang, bahwa Ki Lurah Bran"jangan akan menjadi penasehat dari tubuh yang akan disusun itu. Ki Lurah untuk beberapa lama akan tinggal di Tanah Perdikan itu. Yang lain akan ditentukan kemudi"an."
Ki Gedepun mengangguk-angguk. Perintah Panembah"an Senapati lewat Ki Panji itu sudah tegas. Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi ajang pengamatan Mataram terhadap seorang yang mempunyai kedudukan penting serta mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Jika Tanah Perdikan itu salah langkah, maka akibatnya akan dapat menjadi sangat parah.
Demikianlah setelah minum dan mencicipi makanan, Ki Panji dan para perwira yang lain minta diri meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka tidak segera kembali ke Mataram. Mereka masih akan singgah di barak Pa"sukan Khusus serta di beberapa Kademangan disekitar Tanah Perdikan Menoreh.
Sepeninggal Ki Panji dan para perwira yang lain serta Ki Lurah Branjangan, maka Ki Kede masih berbicara bebe"rapa saat dengan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga, maka mereka harus mempersiapkan para pengawal. Bahkan Agung Sedayu telah mengusulkan untuk mengumpulkan kembali para pengawal terpilih untuk ditempatkan dalam lingkungan khusus meskipun mereka tidak harus berada disebuah barak agar tidak menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan.
"Terserah kepadamu Agung Sedayu." berkata Ki Gede, "kau tentu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang gawat ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Baiklah Ki Gede. Aku akan menyiapkan kekuatan inti dari Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan persiapan itu tidak akan pernah dipergunakan."
"Hati-hatilah disetiap langkah Agung Sedayu." pesan Ki Gede, "jika salah langkah, maka justru kitalah yang akan memancing kekeruhan."
"Aku akan berhati-hati Ki Gede. Persoalannya memang cukup rumit untuk diatasi dengan diam-diam." berkata Agung Sedayu yang sejenak kemudian telah minta diri.
Namun Agung Sedayu berusaha untuk tidak memberitahukan persoalan itu kepada Glagah Putih. Kepada Sekar Mirah ia berpesan dengan sungguh-sungguh agar per"soalan yang dikatakan itu akan tetap menjadi rahasia, mes"kipun yang dikatakan kepada Sekar Mirah itu pun tidak seluruh persoalan yang dibicarakan di rumah Ki Gede Me"noreh.
Sementara itu, Ki Panji Wiralaga telah mengunjungi pula barak Pasukan Khusus dan bertemu dengan Senapatinya yang baru. Kepada Senapati yang baru itu, Ki Panji Wiralaga juga menyampaikan perintah Panembahan Sena"pati untuk menyusun satu sosok tubuh yang terdiri dari beberapa unsur yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan di sekitarnya.
"Pasukan Mataram yang mampu digerakkan dengan cepat tidak akan mencukupi jika benar-benar terjadi perang dengan Madiun yang didukung oleh beberapa Kadipaten di sekitarnya. Karena itu Panembahan Senapati ingin bahwa rakyat yang memiliki kemampuan di sekitar Tanah Per"dikan ini dapat dengan tertib digerakkan jika itu diperlukan." berkata Ki Panji.
"Tetapi itu berlebihan." berkata Senapati yang baru itu, "jika memang ada tugas seperti itu, kenapa tidak diserahkan saja kepadaku?"
"Tugasmu hanya didalam lingkungan barak ini. Kau bertugas memimpin para prajurit Pasukan Khusus ini. Kau tidak bertugas untuk mencampuri tugas-tugas yang berhubungan dengan pemerintah di Tanah Perdikan ini dan seki"tarnya." berkata Ki Panji, "karena itu, maka diperlukan satu tubuh yang dapat mengikat semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Pasukan Khusus Mataram yang ada disini, sudah barang tentu menjadi bagian dari seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Aku tidak setuju jika aku diletakkan dibawah kuasa Tanah Perdikan ini." berkata Senapati itu.
"Tidak dibawah kuasa Tanah Perdikan. Tetapi dalam kesatuan pertahanan bagi Mataram, maka diperlukan satu pimpinan diwilayah ini." berkata Ki Panji.
"Aku sanggup mengatur diriku sendiri dengan se"luruh kekuatan Pasukan Khusus ini." berkata Senapati itu.
"Kau tidak dapat mengelak dari tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang prajurit." berkata Ki Panji.
"Tetapi, aku Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini, mempunyai tugas dan tanggungjawab atas lingkungan ini." berkata Senapati itu.
"Dengar Senapati. Aku adalah perwira wreda yang membawa tugas dari Panembahan Senapati sendiri sebagaimana ternyata pada pertanda yang aku pakai ini. Perintah yang kau dengar dari mulutku adalah perintah Panembahan Senapati itu sendiri." berkata Ki Panji kemudian.
Senapati itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi merah dan telinganya bagaikan tersentuh api. Namun ia sadar, bahwa cincin kekuasaan yang ada di jari Ki Panji itu tidak akan dapat dilawannya jika ia tidak ingin mendapat kesulitan. Bahkan penempatannya di pasukan itu akan gagal membawa pesan dari seorang perwira yang lain yang dengan susah payah berusaha menempatkannya di barak itu.
Karena itu, betapapun jantungnya bergejolak, namun ia tidak dapat menolak perintah yang dibawa oleh Ki Panji itu. Sehingga kemudian dengan suara sendat ia berkata, "Aku terima segala perintah Panembahan Senapati."
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Teri"ma kasih. Hal ini sudah diketahui oleh Panglima Pasukan Khusus Mataram. Tetapi karena persoalannya lebih berat pada kesiagaan wilayah, maka perintah ini tidak datang lewat jalur Panglima Pasukan Khusus meskipun pada saatnya perintah itu tentu akan datang pula dalam satu ikatan langkah kebijaksanaan dari Panembahan Senapati. Nah, untuk selanjutnya persiapkan dirimu. Perintah-perintah lain akan menyusul kemudian sampai saatnya tubuh itu diresmikan oleh Panembahan Senapati sendiri."
"Baiklah Ki Panji." jawab Senapati itu. Namun ia masih berkata, "Ki Panji. Bukan maksudku menentang pe-rintah Panembahan Senapat. Tetapi aku hanya ingin bertanya, apakah kedudukan para Senapati prajurit Mataram diluar kota Mataram sama seperti kedudukanku" Misalnya Senapati di Ganjur dan terutama Senapati prajurit Ma"taram di Jati Anom atau yang lebih jauh lagi yang berada di Babadan Gunung Sewu dan yang lain."
Ki Panji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kedudukan mereka lain. Mereka bukan seorang Senapati yang mendapat tugas untuk memimpin satu kesatuan. Seperti Utara di Jati Anom. Ia berada di Jati Anom untuk memimpin satu kesatuan pertahanan sejak masa kalut yang terjadi antara Pajang dan Jipang. Pasukan yang mendukung kekuatan Untara ada sendiri. Nah, kedudukan para Senapati yang ada dibawah pimpinan Untara dan pemimpin pasukan termasuk Pasukan Berkuda, itu mempunyai hak dan wewenang seperti wewenangmu. Sebagai seorang perwira sebenarnya kau harus sudah mengetahui tataran kepemimpinan prajurit di Mataram."
"Aku sebenarnya memang sudah tahu Ki Panji. Jika aku bertanya tentang Untara, apakah kekuasaanku disini tidak dapat diangkat, disejajarkan dengan kekuasaan Untara di Jati Anom?" bertanya Senapati itu.
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu bukan wewenangku untuk menjawab. Karena itu pertanyaanmu akan aku bawa kepada Panembahan Senapati yang tentu akan berbicara dengan Ki Mandaraka, Panglimamu dan beberapa orang perwira wreda dan para pemimpin keprajuritan di Mataram."
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja di dalam hati ia berkata, "Ki Tumenggung Surayuda tentu akan ikut berbicara. Nasehatnya banyak didengar oleh Panembahan Senapati asal tidak hadir Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi, yang nampaknya tidak begitu sesuai cara mereka berpikir."
Demikianlah maka sejenak kemudian Ki Panji itupun telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Seperti yang direncanakan, maka iapun telah mengunjungi beberapa Kademangan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh. Namun sebenarnyalah bahwa arti dari beberapa Kademangan itu bersama-sama tidak sebesar Tanah Perdi"kan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu, Senapati dari barak Pasukan Khusus itupun telah bertindak cepat pula melewati jalur yang seharusnya. Iapun dengan cepat telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram, langsung menghadap Panglima Pasukan Khusus di Mataram. Dengan singkat Senapati itu telah melaporkan perintah Ki Panji Wiralaga baginya dan juga bagi Tanah Perdikan Menoreh dan beberapa Kade"mangan di sekitarnya.
"Terima kasih atas laporanmu." berkata Panglima itu, "tetapi aku sudah tahu, karena yang dilakukan itu atas persetujuanku. Bukankah Ki Panji membawa pertanda pe"rintah Panembahan Senapati sendiri?" ujar Panglima Pa"sukan Khusus itu.
Senapati itu mengangguk-angguk menjawab, "Ya. Ki Panji mengenakan cincin kerajaan."
"Nah, patuhi perintahnya, karena perintah itu sama nilainya dengan perintah Panembahan Senapati sendiri." berkata Panglimanya.
Senapati itupun kemudian telah mohon diri. Tetapi ternyata ia tidak segera kembali ke Tanah Perdikan. Ia telah bermalam satu malam di Mataram. Dirumah Ki Tumeng"gung Surayuda.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun telah memerintahkan agar Senapati itu mematuhi perintah Ki Panji Wira"laga agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Aku telah melapor kepada Panglima." berkata Sena"pati itu.
"Kalau sudah benar. Kau memang harus melapor ke"pada Panglimamu."
Pagi-pagi benar, sebelum fajar Senapati itu telah meninggalkan Mataram dan kembali ke baraknya di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Ki Panji Wiralagapun justru telah kem"bali ke Mataram. Untunglah bahwa perjalanan Ki Panji yang berlawanan arah dengan Senapati Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu tidak bersamaan waktunya sehingga tidak bertemu di perjalanan. Ki Panji yang telah bermalam di sebuah Kademangan tetangga dari Tanah Perdikan Me"noreh itu justru berangkat agak siang setelah Senapati itu sampai di baraknya kembali.
Dalam pada itu, setelah Ki Panji Wiralaga melaporkan perjalanannya kepada Panembahan Senapati, maka Panem"bahan Senapati itupun telah memerintahkan Ki Panji untuk menangani pembentukannya di Tanah Perdikan bersama Ki Lurah Branjangan. Perintah Panembahan Senapatipun tegas, bahwa Pimpinan dari tubuh yang akan disusun di Tanah Perdikan itu adalah Ki Gede sendiri.
Tugas itu memang tugas yang sulit bagi Ki Panji Wiralagr. Tetapi bersama Ki Lurah Branjangan, maka ia bertekad untuk menyelesaikan tugas itu dengan baik. Sementara itu Ki Panjipun mengetahui bahwa persoalannya tidak terhenti pada pembentukan tubuh itu sendiri, tetapi ia akan selalu saling mengamati dengan Ki Tumeng"gung Surayuda, seorang perwira wreda yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas.
Di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah mulai pula dengan langkah-langkahnya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah memanggil beberapa orang pe"mimpin kelompok dari pengawal terpilih di Tanah Perdikan Menoreh. Yang disampaikan kepada mereka adalah persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Mataram menghadapi hubungan yang semakin gawat dengan Madiun.
"Panembahan Senapati menyadari, bahwa kekuatan Mataram harus dihimpun. Jika diperlukan maka yang akan bergerak bukan saja para prajurit. Tetapi semua laki-laki di Mataram harus ikut pula berjuang disamping para prajurit. Tentu saja mereka yang keadaan wadagnya masih memungkinkan." berkata Agung Sedayu kepada mereka. Lalu katanya kemudian, "Dalam rangka itulah kami mempersiapkan diri. Tetapi jangan memancing kegelisahan rakyat Tanah Perdikan ini. Mereka tidak perlu diusik dengan segala macam persiapan."
Salah seorang dari pemimpin kelompok itupun berta"nya, "Apakah hanya kami saja yang bersiap-siap, atau semua pengawal?"
"Pada saatnya semua pengawal akan bergerak. Aku akan berbicara dengan Prastawa. Beberapa saat terakhir ia nampak agak lesu." berkata Agung Sedayu.
"Jangan kau usik." sahut salah seorang pemimpin kelompok, "Prastawa sedang menghindari keinginan orang tuanya untuk kawin dengan seorang gadis yang tidak disukainya, meskipun gadis itu anak seorang Demang. Agaknya Prastawa sudah mempunyai pilihan sendiri."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan cepat ia menguasai perasaannya. Tetapi ia masih juga bertanya, "Gadis manakah yang menjadi pilihannya itu?"
"Anak seorang Bekel di padukuhan yang termasuk bagian dari Tanah Perdikan ini pula." jawab pengawal itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ka"tanya kemudian, "Ia akan dapat membedakan persoalannya. Kepentingan pribadinya dan tugas-tugasnya sebagai salah seorang pimpinan pengawal. Selama ini ia adalah se"orang pemimpin pengawal yang baik, meskipun kadang-kadang ia lebih senang menyendiri."
"Kita tahu, dirinya dibelit oleh persoalan-persoalan pribadinya yang rumit. Bukan saja tentang calon isteri. Itulah sebabnya ia kadang-kadang merasa rendah diri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Biar aku temui nanti untuk membicarakannya lebih jelas. Yang pertama-tama harus disiapkan memang pasukan pengawal terpilih. Jumlahnya cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tiba-tiba. Tetapi bukan berarti bahwa para pengawal yang lain begitu saja diabaikan. Dalam keadaan yang paling gawat, maka semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini diperlukan."
Para pemimpin kelompok dari pengawal terpilih itu mengangguk-angguk. Namun mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan tanpa menimbulkan kegelisahan diantara rakyat Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, langkah-langkah yang diambil oleh Senapati yang baru dibarak Pasukan Khusus itupun mulai nampak. Orang-orang yang tinggal dipadukuhan terdekat mulai mengenal namanya yang memang menggetarkan. Namanya sendiri adalah nama yang wajar saja, Sanggabaya. Tetapi ia lebih senang disebut Naga Geni. Ki Sanggabaya itu merasa dirinya mempunyai kemampuan sebagai seekor naga yang berapi.
Dihari-hari mendatang, maka Ki Sanggabaya yang juga disebut Naga Geni itu telah membawa pasukannya menyusuri jalan-jalan mendaki di pebukitan. Setelah beberapa lamanya pasukan itu jarang sekali mengadakan latihan-la-tihan sampai menjelajahi daerah yang jauh dari barak-barak mereka, maka Senapati yang baru itu telah membawa para prajuritnya mengelilingi bukan saja Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga menembus kademangan-kademangan disekitarnya. Meskipun latihan itu hanya sekedar berlari-lari. Sedangkan latihan-latihan yang sebenarnya juga dilakukan di padang rumput yang memang disediakan bagi barak itu sebagaimana sebelumnya.
Namun karena cara latihan yang ditempuh oleh para prajurit di barak itu, maka para pengawal pilihan di Tanah Perdikan tidak melakukan hal yang sama. Meskipun sebe"lumnya mereka justru sering melakukannya. Meskipun mereka berlatih bagi kepentingan mereka masing-masing, namun para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh sudah mendapat pesan dari Agung Sedayu, agar mereka sejauh mungkin menghindari salah paham, justru karena Senapati yang baru. Jika pada suatu saat hubungan mereka telah menjadi akrab sebagaimana sebelumnya, maka latihan-la"tihan itu tidak akan menimbulkan salah paham.
Para pengawal pilihan di Tanah Perdikan justru meng"adakan latihan-latihan di padang rumput yang berada di lereng bukit, agak jauh dari barak Pasukan Khusus Mata"ram itu. Mereka telah memasang patok-patok kayu untuk memberi tanda-tanda jarak yang harus ditempuh oleh para pengawal disaat berlari-lari mengelilingi padang rumput itu. Mereka pun telah mempergunakan patok-patok dan palang-palang kayu bagi latihan-latihan mereka.
Selain alat-alat yang memang sudah ada, maka para pengawal telah menambah beberapa macam alat-alat yang baru, yang akan dapat menambah ragam ketrampilan dan ketahanan tubuh mereka. Tetapi para pengawal itu tidak mau menarik perhatian rakyat Tanah Perdikan dengan la"tihan-latihan yang lebih banyak, sehingga karena itu, maka segalanya dilakukan sebagaimana biasanya dilakukan.
Namun disamping itu, para pengawal pilihan itu diwajibkan menambah latihan-latihan secara pribadi di rumah masing-masing atau dimana saja asal tidak mengganggu dan tidak membuat orang lain gelisah. Mereka yang memiliki sanggar atau ruang-ruang khusus dirumahnya dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Sedangkan bagi mereka yang tidak, dapat bergabung dengan kawan-kawannya yang memiliki sanggar atau berlatih di malam hari, di halaman atau kebun rumahnya sendiri.
Para pengawal itu terutama telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mempergunakan berjenis-jenis senjata, selain meningkatkan kemampuan mereka me"lawan berjenis-jenis senjata pula. Merekapun telah berlatih sebaik-baiknya mengatur dan menguasai pernafasan mere"ka. Mengendapkan tenaga didalam dirinya, mengungkapkan kembali serta bahkan mengangkat segenap tenaga cadangan kepermukaan.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu Agung Seda"yu telah memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berarti bagi mereka. Sehingga mereka dapat mempergunakan waktu yang singkat untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan kemampuan mereka dalam ilmu kanuragan.
Sebenarnyalah bahwa kegiatan para pengawal seakan-akan memang terselubung. Bahkan kemudian bukan saja para pengawal pilihan. Tetapi setiap pengawalpun telah mempergunakan waktu mereka yang luang dirumah untuk meningkatkan diri. Baik daya tahan maupun kemampuan.
Sementara itu, Senapati yang baru itu nampaknya me"mang ingin menunjukkan kegiatannya yang meningkat. Karena itu, ia seakan-akan telah dengan sengaja menunjuk"kan kepada rakyat Tanah Perdikan, bahwa Pasukan Khu"sus Mataram di Tanah Perdikan itu bukan kebanyakan pra"jurit sebagaimana dikenal orang. Tetapi Pasukan Khusus Tanah Perdikan itu benar-benar terdiri dari orang-orang yang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, selagi perhatian Tanah Perdikan Meno"reh tertuju kepada para prajurit dari Pasukan Khusus itu, Ki Lurah Branjangan ternyata telah datang ke Tanah Per"dikan Menoreh. Tetapi tidak bersama Ki Panji Wiralaga. Namun bersamanya telah ikut pula dua orang cucunya. Se"orang anak muda dan seorang gadis yang meningkat dewasa. Sebaya dengan Glagah Putih. Kedatangan Ki Lurah itu memang agak mengejutkan bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan ramah Ki Gede telah mempersilahkan Ki Lurah Branjangan untuk naik kependapa. Ki Gede berusaha un"tuk menyembunyikan perasaan ingin tahunya, kenapa tiba-tiba saja Ki Lurah itu datang tanpa Ki Panji Wiralaga.
Setelah mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Lurah justru telah mendahului sebelum Ki Gede bertanya, "Ki Gede, aku datang membawa bebanku sen"diri. Dua orang cucuku ingin berada di Tanah Perdikan ini barang satu dua pekan. Sebenarnya tugas yang harus aku lakukan baru akan berjalan dua pekan mendatang. Ki Panjipun baru akan datang dua pekan ini. Aku datang men"dahului waktu yang ditentukan, karena yang dua pekan ini ingin aku pergunakan bagi kepentingan pribadiku."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Lurah. Sebenarnya aku sudah menjadi berdebar-debar. Ki Lurah datang sendiri justru bersama cucu-cucu Ki Lurah."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Aku minta maaf Ki Gede. Mungkin kedatanganku membuat Ki Gede bertambah sibuk, karena aku telah membawa dua orang cucu."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Menyenangkan sekali. Ternyata Ki Lurah jauh berada didepan. Aku masih harus menunggu cucuku yang akan lahir beberapa bulan lagi. Ki Lurah yang nampaknya tidak terpaut banyak dari umurku, sudah mempunyai cucu sebesar itu."
"Ceritera yang agaknya memang menarik Ki Gede. Aku kawin muda. Anakku perempuan, juga kawin muda. Karena itu, cucuku cepat menjadi besar. Kadang-kadang kepada orang yang berpapasan di jalan aku memperkenalkan keduanya sebagai anak-anakku yang paling kecil." jawab Ki Lurah sambil tertawa.
Ki Gedepun tertawa pula. Tetapi yang dikatakan Ki Lurah itu agaknya memang benar.
Sementara itu Ki Lurah berkata pula selanjutnya, "Begitulah Ki Gede, jika Ki Gede tidak berkeberatan, aku ingin berada disini bersama cucu-cucuku ini menjelang tugas-tugasku yang sebenarnya. Pada saatnya menjelang tugas yang rumit itu, maka cucu-cucuku akan aku bawa ke Mataram."
"Tentu saja kami tidak berkeberatan Ki Lurah." ber"kata Ki Gede, "tetapi tentu saja, keadaannya jauh berbeda dengan keadaan di Mataram. Disini segala sesuatunya sangat sederhana. Apa adanya dan tentu jauh lebih sepi dari keadaan di Mataram."
"Itulah yang ingin dilihat oleh kedua cucuku ini." berkata Ki Lurah, "biarlah mereka melihat kehidupan yang lain daripada yang selalu dilihatnya setiap hari. Namun yang dinilainya tidak kalah dari kehidupan orang-orang yang tinggal di Kotaraja."
"Kami justru akan bersenang hati." berkata Ki Gede, "disini ada Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu yang umurnya tentu tidak terpaut banyak. Ia akan dapat menemani kedua cucu Ki Lurah selama berada disini."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Ki Gede. Cucuku yang nakal ini akan melihat satu kehidupan yang lain dari kehidupan di Kotaraja. Mereka akan dapat melihat para petani yang bekerja keras untuk menghasilkan bahan pangan. Mereka akan dapat melihat hubungan antara sesama yang masih sangat akrab disini dibandingkan dengan tata kehidupan kota. Kehidupan yang masih lebih mementingkan nilai-nilai persahabatan dan be"kerja bersama daripada nilai-nilai kebendaan dan uang. Serta kehidupan yang masih erat sekali hubungannya dengan Penciptanya daripada kepentingan-kepentingan lahiriah semata-mata."
"Mudah-mudahan Ki Lurah akan menemukannya di"sini. Kami disini memang berharap bahwa nilai-nilai seperti itu masih akan dapat tetap dipertahankan meskipun tata kehidupan akan bergerak semakin maju. Langkah-langkah panjang menuju keperadaban yang lebih tinggi itu diharapkan tidak beranjak dari alas yang kuat dari kehidupan yang pernah ada dibumi ini." berkata Ki Gede.
Ternyata Ki Lurah Branjangan merasa bahwa kedatangan kedua cucunya itu benar-benar akan berarti bagi mereka. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih datang kerumah Ki Gede itu pula memenuhi panggilan Ki Gede lewat seorang pengawal.
Ki Gedepun kemudian telah memperkenalkan kedua cucu Ki Lurah itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan Ki Gedepun kemudian berkata, "Glagah Putih akan dapat menemani kalian melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini."
Kedua anak muda itu memang melihat Glagah Putih sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak tertarik untuk memperhatikannya lebih lama lagi. Glagah Putih dimata mereka memang tidak lebih dari anak padukuhan yang lain yang dilihatnya di sepanjang perjalanan.
Agung Sedayu melihat gelagat itu. Tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikapnya yang sudah dikenal oleh Ki Lurah Branjangan. Sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, "Banyak hal yang dapat dilihat disini tetapi tidak ada di Kotaraja. Agaknya Tanah Per"dikan ini akan menarik bagi mereka."
Ki Lurah mengangguk. Kepada kedua cucunya ia ber"kata, "Nah, kalian kini berada dirumah Ki Gede Menoreh yang menjadi pimpinan tertinggi di Tanah Perdikan ini. Sedangkan Agung Sedayu adalah seorang yang lebih banyak bergerak dibidang pembaharuan dari Tanah Per"dikan ini. Bukan saja susunan tubuh para pengawal dari pimpinan tertingginya sampai pemimpin-pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan, tetapi juga dibidang kesejahteraan. Kalian akan dapat belajar banyak disini nanti."
Demikianlah, maka sejak saat itu, Ki Lurah Branjang"an dan kedua cucunya telah berada dirumah Ki Gede. Ki Lurah telah memberikan gambaran tentang Tanah Per"dikan itu. Diceritakannya tentang sawah yang terbentang. Padukuhan-padukuhan sampai di kaki bukit serta lereng-lereng terjal yang berbatu padas. Tetapi juga hutan yang lebat yang terbentang di ngarai dan memanjat sampai puncak bukit. Mata air yang mengalir menuruni tebing dan mengaliri tanah-tanah persawahan. Sedangkan beberapa sungai yang tidak terlalu besar mengalirkan air yang bening.
"Kau akan dapat melihatnya." berkata Ki Lurah ke"pada kedua cucunya, "Glagah Putih tentu akan dengan senang hati mengantarmu berjalan-jalan di Tanah Perdikan ini."
Kedua cucu Ki Lurah itu agaknya memang tertarik un"tuk melihat-lihat. Tetapi cucunya yang laki-laki, yang tertua diantara kedua cucunya itu berkata, "Menarik sekali. Tetapi tentu lebih senang jika kakek sendiri membawa kami berjalan-jalan."
"Glagah Putih adalah anak Tanah Perdikan ini meski"pun ia berasal dari Banyu Asri." berkata kakeknya.
"Anak padesan itu nampaknya terlalu dungu untuk diajak berbicara tentang hal-hal yang agak rumit. Yang diketahuinya tentu tidak lebih dari cara membajak, menanam padi, membuat bendungan dan barangkali sedikit tentang berburu di hutan-hutan." gumam cucu Ki Lurah Bran"jangan itu.
Tetapi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, "Kau akan salah menilai anak itu. Anak itu adalah anak yang memiliki kemampuan dan penalaran yang tinggi."
"Setinggi-tinggi tingkat penalarannya, ia adalah anak padesaan." berkata cucu perempuan Ki Lurah itu.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mem"berikan keterangan lebih panjang. Ia memang sengaja membawa cucunya untuk mendapatkan kenyataan yang lain dari yang dianggapnya telah diketahuinya.
Sehari itu kedua cucu Ki Lurah tetap berada di rumah Ki Gede. Mereka hanya melihat-lihat halaman dan kebun. Berdiri di regol halaman serta melihat-lihat jalan induk yang membujur di depan regol itu. Keduanya memang melihat beberapa pengawal digardu. Tetapi keduanya tidak menyapa mereka.
Baru dihari berikutnya, Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih pergi kerumah Ki Gede. Namun di sepanjang jalan Agung Sedayu telah berpesan, agar ia dapat menahan diri. Kedua orang cucu Ki Lurah itu terbiasa hidup didalam kota dan dalam pergaulan yang berbeda. Mungkin ada bebe"rapa perbedaan sikap dan cara menanggapi satu keadaan.
"Kau harus berusaha menahan diri. Disini kau men"jadi tuan rumah, sehingga kau harus lebih bersabar." berkata Agung Sedayu.
"Aku akan mencobanya kakang." jawab Glagah Pu"tih yang ternyata sudah mulai tersinggung melihat sikap kedua cucu Ki Lurah itu sejak mereka bertemu. Namun ia mengerti pesan kakak sepupunya, karena ia memang harus berusaha untuk menjadi tuan rumah yang baik.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di rumah Ki Gede, maka kedua cucu Ki Lurah itu telah dipertemukan langsung dengan Glagah Putih. Ki Lurah telah memperkenalkan mereka lebih dekat.
"Ingat namanya." berkata Ki Lurah, "cucuku yang laki-laki bernama Teja Prabawa."
"Raden Teja Prabawa." anak muda itu melengkapi namanya dengan sebutannya sekali.
"Raden Teja Prabawa." Glagah Putih mengulang.
Ki Lurah Branjangan hanya tersenyum saja. Semen"tara itu, iapun berkata pula, "Sedangkan cucu perempuanku ini bernama Rara Wulan."
Glagah Putih mengangguk hormat. Tetapi ternyata cucu perempuan Ki Lurah itu sama sekali tidak berpaling kepadanya. Tetapi Glagah Putih sudah mendapat bekal pesan dari Agung Sedayu sehingga karena itu, maka ia sudah mengendalikan dirinya sejak semula.
Dalam pada itu Ki Lurah Branjanganpun berkata, "Nah, Glagah Putih. Bawalah kedua cucuku itu melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan apa yang dilihatnya akan berarti bagi mereka berdua. Tidak perlu tergesa-gesa, karena mereka akan berada disini agak lama. Sekitar dua pekan. Sehingga banyak kesempatan bagi mereka untuk melihat seluruh Tanah Perdikan ini."
"Baik Ki Lurah." jawab Glagah Putih, "mudah-mudahan keduanya kerasan tinggal di Tanah Perdikan yang sepi ini."
"Tentu mereka akan kerasan tinggal disini." jawab Ki Lurah, "banyak hal yang terdapat di Tanah Perdikan ini, tetapi tidak terdapat di Kotaraja."
"Aku sudah siap Ki Lurah. Jika dikehendaki, maka kami akan dapat pergi sekarang, mumpung masih belum terlalu panas." berkata Glagah Putih.
"Bagus." jawab Ki Lurah Branjangan, "pergilah." Lalu katanya kepada kedua cucunya, "Ikutlah dengan Glagah Putih. Ia akan menunjukkan apa yang belum pernah atau jarang sekali kalian lihat."
"Kakek tidak pergi bersama kami?" bertanya Teja Prabawa.
Ki Lurah menggeleng. Katanya, "Kakek sudah terlalu sering melihat Tanah Perdikan ini."
"Jika demikian kenapa bukan kakek sendiri yang mengantar kami?" bertanya Rara Wulan.
"Aku masih akan banyak berbicara dengan Ki Gede menjelang tugasku disini." berkata Ki Lurah Branjangan pula.
Kedua cucunya akhirnya bersedia juga pergi diantar oleh Glagah Putih. Demikianlah maka sejenak kemudian Glagah Putih telah minta diri, sementara Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu mengantar kedua cucu Ki Lurah itu sampai keregol.
Diregol halaman rumah Ki Gede, Agung Sedayu sempat menepuk bahu Glagah Putih sambil berbisik, "Kau harus menjadi tuan rumah yang baik."
Namun agaknya Ki Lurah dapat membaca bibir Agung Sedayu. Meskipun ia tidak mendengar, tetapi ia dapat mengetahui apa yang dikatakannya. Karena itu, maka iapun justru mendekati mereka sambil berdesis, "Kau jangan terlalu menahan diri. Aku sengaja ingin mengajar mereka berdua. Jika mereka nakal dan tidak mau men"dengar petunjukmu, kau dapat memaksanya. Aku tidak berkeberatan."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu hanya tersenyum saja.
Sementara itu Teja Prabawa dan Rara Wulan telah berjalan beberapa langkah lebih dahulu, sehingga Glagah Putihpun kemudian harus berlari-lari kecil menyusulnya. Untuk beberapa saat mereka ternyata hanya saling berdiam diri saja. Kedua cucu Ki Lurah itu memang tertarik melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Halaman-halaman rumah yang luas dan ditanami dengan berbagai macam pepohonan. Terutama pohon buah-buahan. Pintu-pintu gerbang dan dinding halaman yang tidak terlalu tinggi.
Glagah Putih berjalan di belakang kedua anak muda itu. Baru ketika mereka keluar dari regol padukuhan induk, kedua anak muda itu mulai berbicara. Teja Prabawa nampaknya sangat tertarik pada bentangan sawah yang luas yang tidak pernah dilihatnya di Kotaraja. Meskipun di pinggir Kotaraja juga masih terdapat bulak-bulak persawahan. Tetapi bulak-bulak itu jauh lebih sempit dari bulak yang dilihatnya di sebelah padukuhan induk itu, sehingga dengan demikian maka jalan yang membujur didepan kakinya nampak begitu panjang sampai kepadukuhan berikutnya. Sementara dibelakang, bukit yang hijau membentang dari Selatan sampai jauh ke Utara. Membujur dengan bebe"rapa puncak yang tinggi rendah.
Glagah Putih masih saja mengikutinya. Nampaknya kedua cucu Ki Lurah itu belum memerlukannya, sehingga mereka sama sekali tidak bertanya kepadanya. Tetapi Glagah Putih yang sudah mempersiapkan diri menghadapi keadaan seperti itu, sama sekali tidak merasa tersinggung lagi sebagaimana mereka bertemu mula-mula dirumah Ki Gede. Glagah Putih sudah berhasil mengendapkan perasaannya setelah ia justru mendengar pesan Ki Lurah dan Agung Sedayu.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ketengah-tengah bulak yang panjang itu. Ketika mereka sampai ke simpang ampat, maka kedua anak muda itu menjadi ragu-ragu. Setelah termangu-mangu sejenak, maka keduanyapun telah berpaling kepada Glagah Putih. Glagah Putih merasa mulai diperlukan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka iapun telah melangkah mendekat.
"He, kita akan pergi kemana?" bertanya Teja Pra"bawa.
"Silahkan Raden memilih." jawab Glagah Putih, "bukankah semuanya masih belum pernah Raden lihat."
"Kaulah yang menentukan, mana yang lebih baik aku lihat lebih dahulu. Kau harus mempunyai rencana sebelum kita berangkat. Jika kau menyerahkan kepadaku, maka tidak perlu kau ikut bersama kami." berkata Raden Teja Prabawa.
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah. Aku akan menawarkan kepada Raden. Jika kita berjalan lurus, kita menuju ke bukit. Kita akan berjalan melalui beberapa padukuhan. Kemudian kita akan melewati padang perdu sebelum memasuki sebuah hutan yang lebat. Namun di hutan itu terdapat jalan yang menuju kekaki bukit, kemudian memanjat tebing dan mencapai padu"kuhan yang berada di dataran tinggi Bukit Menoreh. Jika kita berbelok ke kanan, maka kita akan sampai ke sebuah belumbang yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi men"jadi tempat pemandian yang menarik. Disebelahnya terdapat sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi cukup memberikan nafas kehidupan bagi persawahan di Tanah Perdikan ini. Sungai itu adalah kepanjangan sungai yang akan kita seberangi, jika kita berjalan terus menuju ke hutan. Sedangkan jika kita kesebelah kiri, maka kita akan menuju ke barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Per"dikan ini, setelah melalui beberapa padukuhan dan sedikit menyusuri jalan didekat hutan."
Kedua cucu Ki Lurah itu termangu-mangu. Namun kemudian Rara Wulanpun bertanya, "Kita pergi ke mana?"
"Nah, terserah kepada pilihan kalian. Aku akan mengantarkannya." berkata Glagah Putih.
"Kau yang mengatakan kepadaku dengan alasan-alasan yang mapan atas pilihanmu itu. Buat apa kau ditunjuk oleh kakek untuk membawa kami berdua berjalan-jalan me"lihat-lihat Tanah Perdikan ini?" berkata Teja Prabawa dengan nada keras.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga menjawab, "Tetapi mungkin kalian berdua ingin menentukan satu pilihan."
"Cepat, katakan. Kemana kita sebaiknya pergi." suara Teja Prabawa semakin keras.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita akan berjalan terus."
"Kau akan membawa kami ke hutan?" bertanya Rara Wulan.
"Ya." jawab Glagah Putih.
"Kau akan menjerumuskan kami?" desak Rara Wulan.
"Tentu tidak. Bukankah di Kotaraja tidak ada hutan yang dapat dinikmati seperti di lereng bukit Menoreh" Sawah mungkin terdapat meskipun tidak seluas disini. Belumbang tentu pernah pula kau datangi meskipun mung"kin buatan atau tempat mandi yang dibuat dari tatanan batu. Tetapi hutan tentu tidak pernah kau masuki."
Nampaknya kedua anak muda itu memang menaruh curiga kepada Glagah Putih. Beberapa saat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian Teja Prabawa itu meng"ambil keputusan. "Aku ingin melihat barak Pasukan Khusus itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah kalian ingin melihat barak itu?"
"Ya. Aku ingin bertemu dengan para pemimpin dari barak itu." jawab Teja Prabawa.
"Untuk apa?" bertanya Glagah Putih.
"Bukankah kakek pernah memimpin Pasukan Khusus itu?" desis Teja Prabawa.
"Tetapi pimpinan di barak itu sudah beberapa kali berganti. Sekarang, seorang perwira yang bernama Ki Sanggabaya yang bergelar Naga Geni." desis Glagah Putih.
"Siapapun yang memimpin barak itu, tentu akan menerima kami. Kami tidak akan berbuat apa-apa selain datang untuk melihat-lihat." bertanya Teja Prabawa.
Glagah Putih akhirnya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku hanya akan mengantarkan kalian. Kalianlah yang harus berbicara kepada Ki Sanggabaya apa yang akan kalian lakukan di barak itu."
"Aku yang akan berbicara dengan Senapati barak itu." sahut Teja Prabawa.
Demikianlah, maka mereka bertigapun telah meng"ambil jalan yang berbelok ke kiri. Glagah Putih memang telah menunjukkan letak barak dari Pasukan Khusus Ma"taram yang ada di Tanah Perdikan itu.
Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka me"reka telah melewati beberapa pedukuhan dan bahkan kemu"dian mereka telah berjalan di jalan yang sempit dipinggir hutan. Meskipun masih terdapat beberapa puluh langkah padang perdu yang memisahkan jalanan itu dengan hutan lebat yang membujur searah dengan Bukit Menoreh, namun rasa-rasanya jalan itu bagaikan lekat dengan pohon-pohon dihutan itu.
Ternyata bahwa kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu merasa ngeri juga berjalan di jalan sempit di pinggir hutan itu. Setiap kali keduanya berpaling kepada Glagah Putih yang berjalan dibelakang mereka. Namun nampaknya Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukan hutan yang agaknya masih menyimpan binatang-binatang yang buas.
Ketika jalan itu justru semakin merapat dengan hutan itu, maka Teja Prabawa pun berkata kepada Glagah Putih, "Jalanlah di depan. Kau tentu sudah mengenal arah. Dari"pada setiap kali aku bertanya kepadamu, maka sebaiknya kau memang berada di depan."
Glagah Putih itupun masih juga menjawab, "Hanya ada satu arah jika kita mengikuti jalan ini, maka kita tidak akan tersesat."
Tetapi Teja Prabawa itu berkata tegas, "Kau berjalan di depan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi.
Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan. Glagah Putihlah yang kemudian berada di depan. Ia berjalan tanpa menghiraukan hutan yang ada disebelahnya. Bahkan ketika jalan itu seakan-akan telah menyentuh bibir hutan. Glagah Putih sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan.
Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi semakin ngeri. Keduanya berjalan merapat terlalu cepat bagi Rara Wulan, sehingga karena itu gadis itupun berkata, "He, kenapa kau berlari-lari?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia menyadari, bahwa seharusnya ia berjalan lebih lambat, ka"rena ia berjalan bersama seorang gadis yang datang dari Kotaraja.
Ketika seekor kera meloncat diatas dahan yang menyilang hampir mencapai batas tepi lorong itu, maka Rara Wulan menjerit kecil.
Glagah Putih memang menghentikan langkahnya. Ke"tika ia berpaling, maka dilihatnya Rara Wulan dengan wajah pucat memandang dahan-dahan pepohonan yang ber"gerak.
"Disini memang terdapat banyak kera." berkata Glagah Putih. Lalu katanya, "Namun selama masih banyak kera berkeliaran, maka lingkungan ini masih cukup aman."
"Kenapa?" bertanya Teja Prabawa.
"Jika ada binatang buas yang berbahaya bagi mereka, maka mereka akan segera melarikan diri masuk kedalam lindungan dedauanan yang rapat ditengah-tengah hutan itu." jawab Glagah Putih.
"Binatang buas apa saja?" bertanya Rara Wulan.
"Harimau misalnya." jawab Glagah Putih.
"Jangan sebut." potong Teja Prabawa.
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Apapun alasannya, jangan kau sebut nama binatang itu." geram Teja Prabawa.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ternyata kau masih juga percaya, bahwa kita tidak boleh menyebut jenis harimau di pinggir hutan seperti ini, tetapi dengan sebutan kakek atau Kiai?"
"Cukup." geram Teja Prabawa.
Glagah Putih masih saja tertawa. Katanya, "Seharusnya kau jangan percaya. Aku adalah anak Tanah Perdikan ini. Aku sudah memahami sifat dan tabiat Tanah Perdikan ini termasuk hutan dan segala isinya. Termasuk berjenis-jenis binatang buas. Tetapi aku sama sekali tidak menganggap tabu untuk menyebut namanya karena nama itu memang diberikan untuk membedakan berjenis-jenis bina"tang yang ada."
Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Sementara itu, Glagah Putih yang mulai digelitik oleh sifat-sifatnya itu berkata lebih lanjut, "Nah, karena itu, Raden tidak usah takut mendengar aku menyebut harimau loreng, harimau tutul atau harimau kumbang yang sering memanjat dipepohonan dengan kulitnya yang hitam lekam."
"Cukup." Raden Teja Prabawa itu justru berteriak, "aku perintahkan kepadamu untuk menutup mulutmu."
Glagah Putih mengangguk dalam-dalam sambil men"jawab, "Baiklah Raden. Aku tidak akan menyebutnya lagi."
"Jika kau sekali lagi menyebutnya, aku mau memukulmu. Aku tahu bahwa sebutan itu tidak akan menimbulkan persoalan apa-apa. Tetapi yang membuat aku marah adalah justru kau telah dengan sengaja melakukan apa yang telah aku larang." berkata Raden Teja Prabawa.
"Jangan marah Raden." berkata Glagah Putih, "kita lebih baik tertawa daripada marah. Kata orang-orang tua, cepat marah akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri didalam diri kita."
"Tetapi kau telah membuat aku marah. Ternyata kau benar-benar memuakkan. Aku akan mengatakannya kepada kakek Lurah Branjangan, bahwa kau dengan sengaja telah melanggar apa yang tidak aku kehendaki." berkata Teja Prabawa.
"Jika demikian, maka sebaiknya aku tidak menyertai Raden jika aku memang memuakkan." berkata Glagah Putih.
"Kau akan kembali?" bertanya Teja Prabawa.
"Tidak. Aku akan memasuki hutan ini dan akan bercanda dengan binatang-binatang buas yang tidak pernah marah kepadaku." jawab Glagah Putih.
Wajah Teja Prabawa menjadi tegang. Namun kemu"dian ia masih mengancam, "Kau tahu akibat dari perbuatanmu itu" Jika kakek tahu kau dengan sengaja mempermainkan aku, maka kau akan dapat dihukum gantung."
"O, sangat mengerikan." jawab Glagah Putih, "baiklah. Aku tidak akan mempermainkan Raden, karena se-jak semula aku memang tidak berniat berbuat demikian."
"Kau harus minta maaf kepadaku." berkata Teja Prabawa, "juga kepada adikku."
"Baiklah. Aku minta maaf Raden." lalu katanya ke"pada Rara Wulan, "aku mohon maaf Rara."
"Cepat, berjalanlah." bentak Raden Teja Prabawa.
Glagah Putihpun kemudian telah melangkah melanjutkan perjalanan menyusuri jalan dipinggir hutan itu. Namun ia masih juga sempat berkata, "Raden, aku pernah berkawan dengan seorang anak muda yang barangkali sebaya dengan Raden. Tetapi ia sama sekali tidak pernah merasa takut menghadapi apapun juga. Justru mempunyai keberanian jauh melampaui keberanian anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini, termasuk aku. Anak muda itu juga tinggal di Kotaraja."
"Persetan." geram Teja Prabawa. Tetapi tiba-tiba sa"ja ia justru bertanya, "Jadi kau kira aku tidak mempunyai keberanian seperti anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini, he" Atau kau kira aku kalah dari anak-anak muda lain dari Kotaraja" Kawanmu tentu anak Kotaraja tetapi yang datang dari padesan. Jika ayahnya seorang pekerja atau seorang juru taman atau seorang pekatik yang mencari rum"put bagi kuda seorang bangsawan, maka iapun tentu nampak lebih berani karena kekasarannya. Tetapi kau kira yang nampak kasar itu tentu lebih baik" Mungkin bagi mata orang-orang padukuhan seperti kau hal itu berlaku. Kau ter"lalu biasa melihat anak-anak muda yang kasar dan tidak mengenal unggah-ungguh."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah ber"jalan menuju ke barak Pasukan Khusus. Karena itu, ketika ia tersenyum, maka kedua anak muda yang diantarkannya itu tidak melihatnya.
Dibelakang Glagah Putih, Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan berlari-lari kecil mengikutinya. Bahkan pada jarak tidak lebih dari selangkah. Suara angin yang bergaung di hutan itu memang membuat bulu tengkuk mereka meremang. Adalah diluar kehendak mereka sendiri ketika mereka membayangkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di tengah-tengah hutan itu.
Namun beberapa saat kemudian, jalanpun menjadi se"makin jauh dari hutan itu. Padang perdu yang membentang diantara jalan yang mereka lalui dengan hutan itupun men"jadi semakin luas. Bahkan sejenak kemudian, jalan itupun telah memasuki bulak-bulak persawahan.
Ketika Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan melihat seorang petani bekerja disawahnya, maka merekapun telah menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika mereka melihat seorang yang lain dan yang lain lagi. Rasa-rasanya mereka telah berada kembali di lingkungan kehidupan manusia setelah untuk beberapa saat lamanya mereka berada didunia binatang-binatang buas. Tetapi mereka mulai berpikir, bahwa jika mereka kem"bali kepadukuhan induk, maka mereka akan berjalan melalui jalan itu lagi.
"Tentu ada jalan lain." berkata Raden Teja Prabawa didalam hatinya, "meskipun mungkin agak jauh."
Namun Raden Teja Prabawa itu tidak dapat memikirkannya lebih panjang. Ketika mereka mulai memasuki padukuhan, maka Rara Wulanpun mulai memperkatakan kebiasaan orang-orang padukuhan itu.
"Padukuhan ini nampak bersih kakang." desis Rara Wulan.
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun iapun mengakui bahwa padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan itu pada umumnya nampak bersih meskipun padukuhan-padukuhan itu dihuni bukan oleh orang-orang kaya. Rumah-rumah yang tidak terlalu besar yang nampak terawat. Halaman yang bersih dan regol yang rapi.
Tetapi ketika mereka sekali lagi memasuki bulak yang agak panjang, maka Rara Wulan mulai mengeluh. Katanya, "Aku lelah kakang."
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya kepada Glagah Putih, "He, apakah perjalanan kita masih jauh?"
"Tidak." jawab Glagah Putih, "kita akan memasuki padukuhan diseberang bulak pendek ini. Kemudian diantarar oleh sebuah bulak pendek lagi, maka kita akan sampai ke satu lingkungan yang dipisahkan oleh padang rumput yang tidak terlalu luas. Kemudian pagar kayu yang berjajar rapat mengelilingi satu tempat yang dari jauh nampak se"perti pategalan yang agak luas. Nah dilingkungan pagar kayu yang rapat setinggi dua orang berdiri bersusun itulah barak pasukan khusus Mataram."
Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi Rara Wulanlah yang sekali lagi mengeluh, "Aku sudah lelah."
"Apakah kita akan beristirahat sebentar?" bertanya Teja Prabawa kepada adiknya.
Rara Wulan mengangguk. Sehingga karena itu, maka Teja Prabawapun berkata kepada Glagah Putih, "Kita berhenti sebentar disini. Adikku sudah merasa lelah."
Glagah Putih memang berhenti. Tetapi katanya, "Jarak yang akan kita tempuh tinggal beberapa puluh tonggak lagi. Kenapa kita harus berhenti?"
"Jangan bertanya lagi. Kau tentu sudah mendengar kata-kataku tadi." bentak Teja Prabawa.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Sesaat kemudian, maka kedua orang kakak beradik itupun telah mencari tempat untuk duduk. Mereka tidak mau duduk begitu saja diatas rerumputan dipinggir jalan. Namun agaknya mereka telah menemukan sebongkah batu yang besar yang terletak dipinggir jalan itu, sehingga merekapun kemudian duduk diatas batu itu.
Glagah Putih sendiri tidak ingin duduk. Tetapi ia tetap berdiri saja bersandar sebatang pohon turi yang tidak ter"lalu besar. Ketika kemudian dua orang anak muda lewat sambil memanggul cangkul tanpa mengenakan baju, sementara kakinya penuh dengan lumpur, Glagah Putih sempat menyapa mereka.
"Masih sepagi ini kalian telah selesai bekerja di sawah?" bertanya Glagah Putih.
"Tinggal sisa kerja kemarin." jawab salah seorang diantara mereka. Namun anak muda itupun bertanya, "Apa kerjamu disini?"
"Mengantar kedu cucu Ki Lurah Branjangan yang ingin pergi ke barak." jawab Glagah Putih.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ketika keduanya memandang kedua cucu Ki Lurah, maka kedua cucu Ki Lurah itu sama sekali tidak memandang mereka. Ketika mereka kemudian berpaling lagi kepada Glagah Putih, maka Glagah Putih hanya dapat mengangkat bahunya.
Kedua anak muda yang kotor oleh lumpur itu tersenyum. Hampir berbareng mereka berkata, "Sudahlah Glagah Putih."
"Silahkan." jawab Glagah Putih, "apakah kalian akan singgah disungai?"
"Ya. Kami akan mandi dahulu." jawab seorang diantara mereka.
"Bagaimana dengan pliridanmu?" bertanya Glagah Putih kemudian.
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Aku sudah tidak telaten lagi. Belumbangku dipinggir kali dihalaman kakek itu sudah mulai panen."
"Beruntung kau mempunyai tanah di pinggir kali, se"hingga kau dapat membuat belumbang yang setiap kali tinggal memungut ikannya." sahut Glagah Putih.
Kedua anak muda itu tertawa. Namun merekapun segera meninggalkan tempat itu. Ketika mereka sekali ber"paling kepada kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu, maka Teja Prabawa sedang memandang mereka pula. Namun cepat-cepat ia telah melemparkan pandangan matanya kekejauhan.
Glagah Putih hanya tersenyum saja melihat tingkah laku kedua orang anak muda dari Kotaraja yang masih menganggap dirinya orang berderajad tinggi, sementara Glagah Putih yang pernah mengenal dengan akrab Raden Rangga, dapat membedakan sifat anak-anak muda dari Kotaraja itu.
"Bahkan Ki Lurah Branjangan sendiri sama sekali tidak lagi memiliki sifat-sifat tinggi hati seperti kedua cucu"nya itu." berkata Glagah Putih didalam hatinya. Lalu kata"nya pula kepada diri sendiri, "Mungkin karena anak Ki Lurah Branjangan adalah ibu anak-anak muda itu. Semen"tara anak-anak muda itu telah memiliki sifat ayahnya."
Tiba-tiba saja Glagah Putih ingin mengetahui, siapakah ayah dari kedua orang anak muda itu. Agaknya baik Agung Sedayu maupun Ki Gede masih belum bertanya ten"tang ayah kedua anak muda yang tinggi hati dan tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu. Tetapi Glagah Putih segera menanyakannya langsung kepada kedua anak muda itu. Glagah Putih menyadari, bahwa jika ia bertanya kepadanya, hanya akan menim"bulkan kejengkelan saja.
Glagah Putih mengerutkan dahinya ketika didengarnya Teja Prabawa itu berbicara kepada adiknya, "Nah, kau lihat Wulan. Anak-anak padesan itu hidupnya selalu dilumuri oleh lumpur di sawah."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Jawabnya, "Tetapi nampaknya mereka tidak merasa dirinya kotor."
"Tentu tidak." tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, "seandainya mereka memang kotor, yang kotor hanyalah kulitnya saja. Wadagnya saja."
Teja Prabawa memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian dengan nada tinggi ia bertanya, "Apa yang kau maksud?"
"Raden." jawab Glagah Putih, "kami, anak-anak muda Tanah Perdikan ini memang harus bekerja sebagaimana mereka lakukan. Akupun pada saat-saat tertentu harus turun kesawah, membajak, meratakan dengan garu dan kerja-kerja berat lainnya untuk menyiapkan lahan se"hingga perempuan-perempuan pada saatnya turun untuk memanen padi. Jika padi sudah mulai tumbuh maka kamipun pada saat-saat tertentu harus turun pula untuk menyiangi. Kerja itu memang membuat tubuh kami kotor. Te"tapi hanya tubuh kamilah yang dikotori oleh lumpur sawah. Sedangkan jiwa kami anak-anak padesan, aku kira sama sa"ja dengan anak-anak muda dimana-mana. Jiwa kami dapat kotor, tetapi juga mungkin bersih."
"Kau ingin mengatakan bahwa jiwa anak-anak pade"san lebih bersih dari jiwa anak-anak Kotaraja?" tiba-tiba saja Raden Teja Prabawa membentak.
Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa jiwa kami anak padesan sama saja dengan jiwa anak dimanapun mereka tinggal. Dapat bersih dan dapat juga kotor. Masalahnya adalah masalah yang sangat pribadi. Tetapi jangan dikira bahwa ling"kungan dan pergaulan tidak akan mempengaruhi warna jiwa kita."
Tiba-tiba saja Teja Prabawa itu bangkit berdiri. Selangkah ia maju sambil berkata, "Kau mencoba menggurui aku he?"
Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Tidak Raden. Tentu aku tidak akan dapat menggurui Raden. Jika aku mengucapkannya, rasa-rasanya aku memang sedang menghafal nasehat-nasehat yang pernah diberikan oleh Ki Gede kepada kami. Karena itu apa yang aku katakan lebih banyak aku tujukan kepada diriku sendiri."
Raden Teja Prabawa menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Tetapi kepada adiknya ia berkata, "Apakah kau masih lelah" Jika tidak akan berjalan lagi. Bukankah jaraknya sudah tidak begitu jauh."
Rara Wulan mengangguk. Iapun kemudian bangkit ber"diri, mengibaskan kainnya dengan tangannya. Jawabnya, "Marilah. Aku sudah tidak letih lagi."
Ketiga anak muda itupun kemudian telah melanjutkan perjalanan mereka menyusuri bulak yang tidak begitu pan"jang. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan lagi, maka mereka melihat seperti padukuhan-padukuhan yang pernah mereka lewati padukuhan itupun nampak bersih. Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, dengan ramahnya menyapa Glagah Putih. Namun kedua orang cucu Ki Lurah itu tidak pernah menghiraukan mereka. Tetapi orang-orang padukuhan itu mengerti, bahwa kedua orang itu tentu anak-anak muda dari Kota Raja menilik pakaian yang mereka kenakan. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak merasa berkecil hati melihat sikap mereka berdua.
Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah keluar dari pintu gerbang padukuhan itu dan sekali lagi memasuki bulak yang tidak begitu panjang. Dari kejauhan mereka sudah melihat satu lingkungan yang terpisah, yang dari kejauhan nampak seperti pategalan dengan pepohonan yang lebih jarang dari sebuah padukuhan. Bahkan ketika mereka sudah berjalan memasuki bulak pendek itu, mereka telah melihat dinding kayu yang diatur rapat. Balok-balok yang tidak begitu besar berjajar dan diikat dengan tali ijuk yang kuat. Dibeberapa bagian, terutama didekat pintu ger"bang utama dan pintu-pintu gerbang butulan, dindingnya dibuat dari batu bata yang besar-besar. Namun setiap saat, bangunan barak Pasukan Khusus itu masih saja mengalami perbaikan-perbaikan meskipun perlahan-lahan.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ke sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Dibelakang lapangan rumput itulah terletak pintu gerbang utama barak Pasukan Khusus itu, sehingga lapangan rumput itu seakan-akan merupakan halaman depan yang luas dari barak itu. Namun dibelakang barak itu, meskipun juga diantarai oleh lapangan rumput, terdapat hutan yang tidak terlalu lebat yang memanjat pebukitan dan gumuk-gumuk kecil. Namun semakin tinggi hutan itu memanjat pebukitan, maka hutan itupun menjadi semakin lebat pula.
Glagah Putih yang mengantarkan cucu Ki Lurah itu telah membawa kedua anak muda itu menuju ke pintu ger"bang utama. Dua orang prajurit yang bertugas berdiri disebelah menyebelah pintu gerbang itu dengan tombak ditangan.
Ketika ketiga anak muda itu mendekati pintu gerbang, maka seorang diantara kedua prajurit yang bertugas itu telah menyapa, "Glagah Putih. Kau mau kemana?"
Glagah Putih tersenyum. Ia sudah mengenal prajurit dari Pasukan Khusus itu. Kecuali dalam tugas-tugas tertentu di Tanah Perdikan itu mereka sering bertemu, anak muda yang bertugas itu adalah anak muda yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh yang tergabung didalam Pa"sukan Khusus itu.
"Aku mengantarkan kedua cucu Ki Lurah Branjangan." jawab Glagah Putih.
"Cucu Ki Lurah Branjangan?" bertanya prajurit itu.
"Ya." jawab Glagah Putih, "mereka ingin bertemu dengan Senapati yang baru itu."
"Untuk apa" Apakah mereka mendapat pesan dari Ki Lurah?" bertanya prajurit itu.
"Bertanyalah sendiri kepada mereka." jawab Glagah Putih.
Prajurit itu memandang Teja Prabawa dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah keperluan kalian bertemu dengan Senapati?"
Raden Teja Prabawa memang agak menjadi bingung untuk menjawab. Ia memang tidak mempunyai keperluan khusus dengan pimpinan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Tetapi ia sudah berdiri di muka barak itu, sementara prajurit yang bertugas di pintu gerbang itupun telah bertanya pula kepadanya. Karena itu, maka iapun telah menjawab asal saja, "Aku hanya ingin bertemu."
Prajurit yang bertugas itu termangu-mangu. Dengan nada heran ia bertanya pula, "Hanya karena ingin bertemu begitu saja"
Biasanya Senapati tentu menanyakan, apakah kepentingan seseorang yang akan menemuinya. Pada hari-hari terakhir, Senapati nampak sangat sibuk. Bukan hanya
mengenai latihan-latihan dan penempaan pasukan, tetapi hubungan dengan Mataram pun berjalan lebih sering dari biasanya. "
Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Aku adalah cucu Ki Lurah Branjangan. Bukankah kakek pernah berada di barak ini" Aku hanya sekedar ingin melihat-lihat saja. "
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang perwira muda yang kebetulan mendengar pembicaraan itupun berkata " Jadi keduanya adalah cucu Ki Lurah Branjangan" "
" Ya " jawab prajurit yang bertugas.
" Baiklah. Biar aku yang menyampaikan kepada Senapati.
Tetapi aku tidak tahu, apakah mereka berdua akan dapat diterima atau tidak " berkata perwira muda itu.
Ketika ia melangkah meninggalkan pintu gerbang menuju ke barak khusus yang dipergunakan oleh Senapati yang lebih senang disebut Nagageni itu bekerja, seorang perwira muda yang lain, yang kebetulan adalah adik Nagageni, menyusulnya.
" Siapa mereka he" " bertanya adik Nagageni itu.
" Cucu Ki Lurah Branjangan " jawab perwira muda itu.
"Ki Lurah Branjangan yang menurut pendengaranku pernah memimpin Pasukan Khusus ini" " bertanya adik Senapati Nagageni itu pula.
"Ya. Bukan sekedar memimpin. Tetapi Ki Lurah Branjangan adalah seorang prajurit yang telah menyusun dan membentuk pasukan khusus ini pada saat-saat Mataram
bangkit " jawab perwira muda itu.
"Siapa gadis itu" " bertanya adik Senapati.
"Sudah aku katakan, cucu Ki Lurah " jawab perwira muda itu.
"Kau kenal gadis itu" " bertanya adik Nagageni.
Perwira muda itu menggeleng. Katanya " Aku baru melihat mereka diregol. "
" Nampaknya kau mulai tertarik. Ternyata kau dengan serta merta bersedia menyampaikan kedatangannya kepada kakang Senapati " berkata adik Nagageni itu.
Perwira muda itu justru terhenti. Dipandanginya adik Nagageni itu dengan tajamnya. Dengan suara berat ia menyahut " Kau kira aku laki-laki seperti kau yang langsung tertarik kepada seorang gadis begitu melihatnya" "
Perwira muda adik Nagageni itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia berdesis " Tetapi gadis itu sangat cantik. "
" Jika demikian, kau sajalah yang menghadap Senapati Nagageni. Katakan kepada kakakmu itu, bahwa cucu Ki Lurah Branjangan ingin bertemu. Mereka tidak mempunyai keperluan khusus selain sekedar ingin melihat-lihat. Nah, terserah kepadamu. Mudah-mudahan kau mendapat tugas dari kakakmu untuk mengantar keduanya berjalan-jalan di barak ini " berkata perwira muda itu.
Adik Nagageni berpikir sejenak. Namun tiba-tiba saja ia bertanya " Dimana keduanya sekarang" "
" Bukankah kau tahu bahwa keduanya masih berada diregol" " jawab perwira muda itu.
Adik Nagageni mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah.
Biarlah aku yang menyampaikannya kepada kakang Senapati."
Dengan demikian, maka adik Nagageni itulah yang
menemui kakaknya di ruangan khususnya. Dengan singkat ia
menyatakan bahwa kedua cucu Ki Lurah Branjangan ingin
menghadap. " Apakah ia membawa pesan dari Ki Lurah" " bertanya
Nagageni. " Menurut keterangannya tidak. Mereka hanya ingin
melihat-lihat. Mungkin karena mereka mengetahui bahwa
kakeknyapun pernah berada di barak ini. "
"Yang pernah berada di barak ini adalah Ki Lurah
Branjangan. Bukan cucunya. Untuk apa mereka ingin melihatlihat"
" bertanya kakaknya.
" Aku tidak tahu. Mungkin mereka pernah mendengar
ceritera tentang kakeknya yang telah berhasil menyusun
Pasukan Khusus Mataram disini " jawab adiknya.
" Omong kosong " geram Senapati itu " apa yang pernah
dihasilkan oleh Ki Lurah Branjangan" Setiap orang dapat saja
mengumpulkan anak-anak muda, memberi makan dan
pakaian, menyediakan tempat untuk tidur dan memberikan
uang gaji mereka setiap bulan. Tetapi kemampuan pasukan
itu ternyata tidak berarti sama sekali. Bahkan pemimpinpemimpin
sesudahnyapun tidak berhasil membentuk pasukan
ini sesuai dengan namanya. Pasukan Khusus. Baru sekarang,
kita mulai membentuk pasukan ini dengan bersungguhsungguh.
" " Apapun yang mereka katakan, tetapi apa salahnya jika
berada sekedar melihat-lihat barak ini" " bertanya adiknya.
" Kita harus mencurigai setiap orang sekarang ini " jawab
Senapati itu " karena itu, kita harus yakin, bahwa keduanya
tidak berbahaya bagi kita. "
" Aku dapat menanggung bahwa keduanya tidak
berbahaya. Keduanya masih sangat muda. Seorang diantaranya
adalah seorang gadis, yang cantik " berkata adiknya.
Senapati Pasukan Khusus itu mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya " Aku mengerti sekarang. Kau tentu
menganggap bahwa gadis itu cantik sekali, sehingga kau
tertarik kepadanya. "
Perwira muda itu tertawa.
" Sebenarnya aku ingin menasehatimu. Jangan terlalu
mudah tertarik kepada wajah yang cantik. Kau dapat
terjerat kedalam kesulitan " berkata Nagageni.
" Kali ini aku tidak akan berbuat seperti yang pernah aku
lakukan sebelumnya kakang. Apalagi jika gadis itu cucu Ki
Lurah Branjangan. Aku memang tertarik kepada gadis itu.
Tetapi aku akan memperlakukannya dengan baik. Siapa tahu,
bahwa gadis itu akan dapat menjadi pasangan hidupku kelak "
berkata perwira itu. Nagageni termangu-mangu sejenak. Meskipun demikian, ia
ingin melihat kedua anak muda itu dan berbicara dengan
mereka. Apakah benar-benar mereka tidak berbahaya bagi
barak Pasukan Khusus itu. Atau bahkan kedua cucu Ki Lurah
itu membawa tugas khusus yang bersifat rahasia dari Ki Lurah
itu sendiri. Karena itu, maka Nagageni itu pun berkata " Bawalah
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua anak itu kemari. Aku ingin melihat mereka. "
" Baik kakang " jawab perwira muda itu.
Dengan tergesa-gesa perwira muda itupun telah pergi ke
regol. Didapatinya kedua orang yang disebut cucu Ki Lurah itu
masih ada diregol. Tetapi ternyata bahwa mereka datang
bertiga. Ketiga perwira itu berdiri digerbang barak itu, maka iapun
telah bertanya " Siapakah diantara kalian cucu Ki Lurah
Branjangan" " Teja Prabawa dan Rara Wulan menjawab hampir bersama
" Aku. " Perwira muda itu mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya
pula " Siapakah yang seorang itu" "
" Glagah Putih " jawab Teja Prabawa " anak Tanah
Perdikan ini yang diperintahkan oleh Ki Gede mengikuti aku
kemari. " Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak berkata
apapun juga. Sementara itu perwira muda itupun berkata " Perintah
Senapati, hanya cucu Ki Lurah saja yang diperkenankan
memasuki barak ini. "
Glagah Putih memang tersinggung mendengar keterangan
perwira muda itu. Apalagi ketika Teja Prabawa berkata " Jika
demikian, biarlah anak itu menunggu aku diluar dinding barak.
" " Marilah. Silahkan menghadap " perwira itu mempersilahkan.
Teja Prabawapun kemudian telah membimbing adiknya
melangkah masuk. Sementara itu ia berpaling kepada Glagah
Putih sambil berkata " Kau tunggu disini. Sebelum aku keluar,
kau tidak boleh pergi. "
Terasa telinga Glagah Putih menjadi panas. Memang sulit
untuk memenuhi pesan Agung Sedayu. Bahkan Glagah Putih
itu telah bergeremang didalam hatinya " Mungkin kakang
Agung Sedayu dapat melakukannya. Tetapi aku merasa
sangat berkeberatan mendapat perlakuan seperti ini. "
Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Teja
Prabawa telah membentak " Kau dengar perintahku he" -
Dengan susah payah Glagah Putih menahan gejolak
didalam dadanya. Dengan suara bergetar ia menjawab "
Baiklah Raden. " Teja Prabawa memandanginya sejenak. Namun kemudian
bersama adik perempuannya ia memasuki pintu gerbang
barak Pasukan Khusus, mengikuti perwira muda yang akan
membawa mereka menghadap pimpinan barak itu.
Perwira muda yang lain, yang mula-mula akan melaporkan
kehadiran kedua cucu Ki Lurah itu memandang dari kejauhan.
Ia sempat tersenyum sendiri melihat tingkah laku adik
Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah
Perdikan itu. Demikianlah, maka kedua cucu Ki Lurah telah dibawa
menghadap Senapati yang memimpin barak Pasukan Khusus
itu. Setelah berbicara beberapa patah kata, serta beberapa
pertanyaan Senapati itu sudah dijawab, maka Senapati yang
mempunyai pengenalan yang tajam itupun segera mengetahui
bahwa kedua orang itu memang tidak berbahaya sama sekali.
Bahkan ada kesan bahwa keduanya adalah anak-anak muda
yang manja, yang tidak banyak mengetahui lingkungan diluar
dinding rumahnya. Namun akhirnya Senapati itu bertanya " Maaf anak-anak
muda, yang kalian katakan selalu kakek kalian, Ki Lurah
Branjangan. Bolehkah aku mengetahui, siapakah ayah kalian"
" " Ayahku adalah seorang pejabat di istana Panembahan
Senapati. Sedang kakekku, ayah dari ayahku adalah seorang
Tumenggung " jawab Teja Prabawa.
" O, jadi kakekmu yang satu lagi dari aliran darah ayahmu
adalah seorang Tumenggung" " bertanya Senapati itu.
" Satu jabatan yang tinggi " berkata Senapati itu
selanjutnya. " Ya. " Jawab Teja Prabawa " Tumenggung memang
kedudukan yang tinggi. Tetapi kakekku dari jalur ibuku,
meskipun hanya berpangkat Lurah, tetapi kakek agak lebih
dekat dengan Panembahan Senapati itu sendiri daripada
orang lain yang meskipun telah tinggi pangkatnya. "
" Ya, aku tahu. Disaat-saat Mataram bangkit berdiri,
kakekmu itu telah ikut bekerja keras membuka Alas Man-taok.
Itulah sebabnya kakekmu merupakan orang yang sangat
dekat dengan Panembahan Senapati itu sendiri. Demikian
pula saat-saat Pasukan Khusus ini dibentuk " berkata
Senapati itu pula. Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia ikut berbangga,
bahwa Senapati itu mengakui peranan kakeknya
pada Pasukan Khusus di barak itu.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun kemudian telah
memerintahkan kepada perwira muda yang kebetulan adalah
adiknya itu " Bawalah keduanya melihat-lihat. Hati-hati, jangan
memasuki tempat-tempat yang memang dianggap rahasia. "
" Baik Senapati " jawab perwira muda itu, yang kemudian
berkata kepada Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan "
Marilah. Kita berjalan-jalan. "
Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan merasa senang
bahwa mereka mendapat sambutan yang ramah dari pimpinan
barak Pasukan Khusus itu. Sehingga didalam hati Raden Teja
Prabawa dan adiknya itu berkata " Kalau saja anak Tanah
Perdikan itu melihat sambutan dari para pemimpin barak itu,
maka ia tidak akan dapat menyombongkan diri lagi. "
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah menelusuri
lorong-lorong yang terdapat di barak Pasukan Khusus itu.
Mereka melihat-lihat barak-barak yang dibangun diantara
halaman yang ditumbuhi pepohonan yang hijau. Kemudian
beberapa sanggar khusus yang dipergunakan untuk latihanlatihan
berat. Sementara itu, di bagian tengah dan belakang
dari barak itu terdapat lapangan rumput yang meskipun tidak
terlalu luas, namun mencukupi untuk mengadakan latihanKang
Zusi - http://kangzusi.com/
latihan dalam kelompok-kelompok dengan berbagai macam
peralatan. Sementara itu, diluar barak, Glagah Putih dengan jantung
yang berdegupan semakin keras justru karena itu menahan
diri. Jika ia tidak mengingat pesan kakak sepupunya, maka
rasa-rasanya ia tidak akan menyiksa diri menunggu didepan
barak itu. Padahal Ki Lurah Branjangan sendiri telah
berpesan, agar suatu saat jika perlu ia dapat berbuat sesuatu
untuk sedikit memberikan pengalaman bagi kedua cucunya
itu. Dalam pada itu, prajurit yang bertugas, yang kebetulan
telah mengenalnya itu telah bertanya kepadanya " Kenapa
kau hanya menunggu diluar" Sikapnya tidak
menyenangkan meskipun keduanya adalah cucu Ki Lurah
Branjangan. " Agaknya Ki Lurah juga tidak menyukai sikapnya itu. Itulah
sebabnya ia telah membawa kedua cucunya itu kemari, agar
mereka mendapatkan satu pengalaman baru dalam hidupnya
" berkata Glagah Putih.
" Bawa saja mereka masuk ke dalam hutan " berkata
prajurit itu " bawalah mereka ke tempat yang banyak terdapat
binatang buasnya, biar mereka tahu, siapa sebenarnya
mereka itu. " Rasa-rasanya akupun ingin berbuat demikian " jawab
Glagah Putih " tetapi kakang Agung Sedayu terlalu sabar. Ia
berpesan kepadaku, agar aku tetap berlaku baik sebagai tuan
rumah. " Prajurit itu tertawa. Katanya " Agung Sedayu memang
orang aneh. Tetapi siapa yang dapat berlaku sebagaimana
kakak sepupumu itu" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan
menahan gejolak didalam dirinya, Glagah Putih itupun
kemudian menjatuhkan dirinya dan duduk bersandar dinding
dekat kawannya yang bertugas.
" He, jangan duduk disitu " berkata kawannya yang
bertugas " kau akan diusir. Duduklah agak kesana. Jangan
terlalu dekat dengan dinding.
" Kau akan mengusir aku" " bertanya Glagah Putih.
" Bukan aku, tetapi kawanku ini " jawab prajurit itu sambil
berpaling kepada kawannya yang berdiri di sisi lain dari pintu
gerbang itu. Tetapi kawannya itupun hanya tersenyum saja tanpa
menjawabnya. Glagah Putih yang sudah terlanjur duduk itu tidak segera
bangkit. Tetapi ia menjawab " Aku mempunyai tugas untuk
menunggu kedua cucu Ki Lurah Branjangan. "
Kawannyapun kemudian hanya tertawa saja. Sedangkan
Glagah Putih tidak lagi menghiraukan apa saja. Bahkan iapun
telah memejamkan matanya, seolah-olah ia akan tidur sambil
bersandar dinding. Dalam pada itu, Raden Teja Prabawa telah berjalan-jalan
mengelilingi barak Pasukan Khusus itu bersama adiknya,
diantar oleh seorang perwira muda yang dengan sangat
ramah, bahkan agak berlebih-lebihan telah menerangkan
berbagai macam bangunan yang ada dibarak itu. Merekapun
telah memasuki lapangan berlatih bagi Pasukan Khusus itu,
dan bahkan sanggar-sanggar yang dipergunakan untuk
melakukan latihan-latihan yang berat.
Ternyata bahwa perwira muda itu, bukan saja ingin
menunjukkan berbagai macam kelengkapan yang ada di
barak itu sebagai alasan untuk dapat berjalan-jalan lebih lama
dengan Rara Wulan, namun iapun telah berusaha untuk
menunjukkan kelebihannya dalam olah kanuragan.
Karena itu, maka ketika mereka berada disanggar yang
cukup besar yang terdapat disalah satu sudut halaman barak
itu, perwira itu berkata " Marilah. Kita dapat mempergunakan
segala peralatan ini untuk bermain-main. Aku kira kita juga
mendapat kesempatan untuk melakukannya " lalu iapun
bertanya kepada Raden Teja Prabawa " Marilah. Sekali-sekali
kita berlatih bersama" "
Keringat dingin telah membasahi punggung Teja Prabawa.
Ia bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup baik.
Meskipun ia juga berlatih olah kanuragan, namun melihat
peralatan yang ada di barak itu, ia menjadi gelisah, bahwa
ilmu yang dimilikinya itu tidak berarti sama sekali dihadapan
seorang perwira muda Pasukan Khusus yang terkenal itu.
Seandainya yang ada di barak itu adalah Glagah Putih, maka
ia akan dengan bangga menunjukkan kemampuannya.
Karena Teja Prabawa tidak segera menyahut, maka
perwira muda itu mendesaknya " Marilah. Kita hanya
sekedar bermain-main. "
Tetapi Raden Teja Prabawa itu menggeleng. Katanya " Aku
masih terlalu letih. Silahkan, barangkali aku perlu melihat
tingkat kemampuan para perwira di barak ini. "
Perwira muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
keinginannya untuk menunjukkan kemampuannya tidak dapat
ditahankannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata "
Baiklah. Aku akan bermain-main sendiri. Tetapi kalian jangan
mentertawakannya. Ilmuku masih terlalu dangkal. "
" Jangan terlalu merendah " berkata Raden Teja Prabawa.
Perwira itupun kemudian telah bersiap. Iapun mengangguk
kepada kedua cucu Ki Lurah itu berganti-ganti. Kemudian ia
mulai membuka langkah sambil menggerakkan tangannya
perlahan-lahan mengembang dan terangkat semakin tinggi,
sehingga kemudian kedua telapak tangan-nyapun telah
terkatup sambil bergerak turun perlahan-lahan. Dimuka
dadanya kedua tangan itu telah terurai lagi. Satu tangan
kemudian telah mengepal, sementara tangan yang lain tetap
terbuka dengan jari-jari yang merapat. Kemudian dengan satu
hentakkan, tangan yang mengepal itu memukul kedepan,
sementara sebelah kakinya telah melangkah setengah
langkah sambil menekuk lututnya, sedangkan tangannya yang
lain ditariknya disamping lambungnya.
Baru kemudian, perwira itu mulai dengan melepaskan
beberapa unsur gerak dari ilmunya. Semakin lama semakin
cepat, sehingga akhirnya, perwira itu tidak lagi nampak
ujudnya dimata kedua cucu Ki Lurah. Perwira muda itu telah
berubah bagaikan bayangan yang berterbangan, bahkan
seolah-olah tidak lagi menjejak tanah. Sekali bahkan perwira
muda itu telah melenting dan hinggap pada patok-patok yang
dibuat dari batang pohon kelapa yang utuh dengan tinggi yang
tidak sama. Kaki perwira itu seolah-olah mampu melekat pada
tempat yang disentuhnya. Raden Teja Prabawa memang menjadi sangat heran
melihat kemampuan perwira muda itu. Untunglah bahwa ia
tidak bersedia untuk mengadakan latihan bersama, karena
ilmu mereka memang tidak seimbang.
Rara Wulan yang serba sedikit juga mempelajari ilmu
kanuragan benar-benar telah dicengkam oleh keheranan
melihat ketangkasan perwira muda itu. Rasa-rasanya ia
memang belum pernah melihat kemampuan seseorang yang
demikian tinggi. Ia pernah mendengar betapa kakeknya, Ki
Lurah Branjangan memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kedua
cucunya itu belum pernah mendapat kesempatan untuk
melihatnya. Karena itu, maka anak muda itu menyaksikan unsur-unsur
gerak perwira muda itu dengan mata yang bagaikan tidak
berkedip. Beberapa saat kemudian, gerak itupun semakin susut pula.
Perwira muda itu telah meloncat dari patok-patok batang
kelapa dan bergerak dengan tangkasnya dilantai sanggar.
Namun kemudian, ia telah sampai pada akhir permainannya.
Perwira muda itu telah berdiri tegak. Tangannya mulai
bergerak perlahan-lahan. Terangkat dan kemudian mengatup
didepan dadanya kemudian perlahan-lahan turun dan dengan
lemah tergantung disisi tubuhnya seakan-akan kedua
tangannya itu telah terlepas dari penguasaannya.
Ketika perwira muda itu kemudian mengangguk hormat,
maka kedua cucu Ki Lurah itu telah bertepuk tangan. Mereka
benar-benar merasa kagum melihat ilmu kanuragan yang
sangat tinggi dari perwira muda itu.
" Luar biasa " desis Rara Wulan diluar sadarnya. Perwira
muda itu mengangguk hormat sambil berkata " Memang tidak
begitu berarti. " Tetapi Teja Prabawa menyahut " Aku belum pernah
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyaksikan tingkat ilmu setinggi itu. "
" Tentu ilmu kanuraganmu jauh lebih tinggi dari ilmuku itu "
sahut perwira muda itu. Raden Teja Prabawa memang ragu-ragu untuk mengaku.
Tetapi Rara Wulanlah yang menjawab " memang, ilmunya
tidak setinggi ilmu Ki Sanak. "
" Ah, kau terlalu merendahkan diri " jawab perwira muda itu.
" Tidak " jawab Teja Prabawa. Ia tidak dapat berbuat lain
kecuali mengucapkan pengakuan " Untung aku tidak bersedia
berlatih bersamamu. Jika demikian, maka kau akan
mengetahui betapa rendahnya ilmu kanuraganku. "
" Jangan memuji. Ilmuku belum seberapa dibanding
dengan ilmu Senapati yang sekarang memimpin Pasukan
Khusus ini. " berkata perwira itu.
" Aku percaya. Inilah gambaran dari pasukan yang ada di
tanah Perdikan Menoreh ini, yang dahulu pernah dibentuk
oleh kakek Lurah Branjangan. " berkata Teja Prabawa.
Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian " Tetapi tingkat kemampuan Pasukan Khusus ini
tidak dengan serta merta berada pada tataran sekarang.
Setingkat demi setingkat, Pasukan ini telah ditempa sehingga
akhirnya Senapati yang sekarang itulah yang telah berhasil
meningkatkan kemampuan Pasukan Khusus ini sehingga
benar-benar mencapai tataran yang diinginkan.
Kedua cucu Ki Lurah itu hanya mengangguk-angguk saja.
Mereka tidak merasa tersinggung karena kakeknya yang
dianggap tidak berhasil melakukan tugasnya dengan
sempurna, karena kedua cucu Ki Lurah itu memang tidak
dapat menggapai penalaran sampai sekian jauh.
Raden Teja Prabawa tiba-tiba terkejut ketika perwira muda
itu kemudian berkata " Apakah kau akan bermain-main juga" "
" Tidak " jawab Teja Prabawa " tidak ada yang dapat aku
tunjukkan kepadamu. Mungkin setelah aku melatih diri selama
lima tahun lagi, baru aku akan berbuat sebagaimana kau
lakukan itu. Jilid 234 KI LURAH menarik nafas dalam-dalam. "Biarlah me"reka mengenal kenyataan yang keras dari kehidupan ini." katanya. Lalu, "kalian jangan terlalu berendah hati. Sekali-sekali kalian menunjukkan kenyataan-kenyataan itu. Jika tidak demikian maka gagallah usahaku membawa mereka kemari. Terutama Teja Prabawa. Ayahnya, yang memang seorang Tumenggung, terlalu memanjakan mereka dan mendidiknya menjadi seorang bangsawan yang sombong dan keras kepala. Tetapi keduanya kurang mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Biarlah semuanya terjadi dengan perlahan-lahan Ki Lurah."
"Aku sependapat. Tetapi bukannya tidak sama sekali." berkata Ki Lurah.
"Tanah Perdikan yang keras ini menunjukkan kenya"taan itu." berkata Agung Sedayu pula.
"Ya. Namun nampaknya kedua cucuku memang mengagumi seorang perwira muda dari Pasukan Khusus itu, yang kebetulan adalah adik dari Nagageni yang baru dalam beberapa bulan memimpin pasukan di barak itu." berkata Ki Lurah.
Agung Sedayu masih saja tersenyum. Katanya, "Lebih baik bukan kita yang merusakkan citra perwira muda itu. Biarlah semuanya berlangsung. Adalah lebih baik jika per"wira muda itu dapat menunjukkan kenyataan-kenyataan,yang keras itu kepada Teja Prabawa."
Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita menunggu saja perkembangannya. Tetapi sebenarnya aku lebih senang jika angger Glagah Putih yang membawa cucu-cucuku berjalan-jalan."
"Mereka nampaknya tidak begitu tertarik kepadaku Ki Lurah." berkata Glagah Putih, "mereka telah mengusirku di barak Pasukan Khusus."
"Kau telah kejangkitan penyakit kakak sepupumu." desis Ki Lurah.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Bukankah kita memang wajib menjadi tuan yang baik?"
Ki Lurahpun akhirnya tertawa pula. Tetapi ia berkata, "Bagaimanapun juga aku akan meyakinkan cucu-cucuku. Kalau perlu aku akan menyuruhnya menantang Glagah Putih berkelahi. Aku minta Glagah Putih membuat wajahnya sedikit merah dan panas agar ia menyadari, siapakah sebenarnya dirinya itu."
"Jangan terlalu keras mendidik anak-anak muda Ki Lurah." berkata Agung Sedayu, "aku usulkan agar Ki Lurah tidak mempergunakan cara itu. Cara yang terbaik adalah membiarkannya mengalami pada saatnya."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian ber"kata, "Aku tidak terlalu lama disini. Mudah-mudahan akan berarti bagi kedua cucuku itu."
Agung Sedayu menyahut, "Tentu Ki Lurah. Mereka akan mendapatkan pengalaman yang menarik di Tanah Perdikan ini."
Ki Lurahpun kemudian berkata, "Baiklah. Aku ingin mereka berceritera pengalaman mereka dihari pertama."
Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri. Mungkin Ki Lurah akan dapat berbicara dengan cucu-cucunya tentang keadaan yang telah mereka alami dihari pertama perkenalan mereka dengan Tanah Per"dikan ini.
Dari serambi gandok kedua orang itu masih memasuki seketheng untuk minta diri kepada Ki Gede yang sedang beristirahat di ruang dalam. Sementara Ki Lurahpun telah masuk pula kedalam bilik cucu-cucunya.
Di perjalanan pulang, Glagah Putih dan Agung Sedayu masih membicarakan kedua cucu Ki Lurah. Seperti yang pernah dikatakannya, maka sekali lagi Agung Sedayu ber"kata, "Mudah-mudahan perwira muda itu dapat memberikan kesempatan kepada kedua cucu Ki Lurah itu. Aku harap kedua cucu Ki Lurah mendapatkan pengalaman seperti yang dikehendaki oleh kakeknya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi kata hatinya memang agak berbeda. Meskipun demikian ia tidak berani mengatakannya kepada kakak sepupunya itu.
Di gandok rumah Ki Gede, Teja Prabawa memang sempat pula berceritera tentang perwira muda yang mengagumkan itu. Teja Prabawa juga berceritera bahwa ia sempat melihat perwira itu berlatih didalam sanggar.
"Ilmu yang sangat tinggi yang belum pernah aku saksikan sebelumnya." berkata Teja Prabawa.
Ki Lurah hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata iapun tidak sampai hati membuat cucunya itu kecewa. Namun demikian Ki Lurah masih berharap bahwa dihari-hari berikutnya, terjadi sesuatu yang berharga bagi kedua cucu"nya itu.
Dimalam harinya, ternyata Glagah Putih bahkan telah merasa terganggu ketenangannya. Rasa-rasanya kedua cucu Ki Lurah itu telah menimbulkan masalah didalam dirinya. Justru karena ia harus mengekang diri sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu. Karena kegelisahannya itulah, maka Glagah Putih telah keluar dari biliknya justru pada saat pembantu di"rumah itu mulai terbangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sungai.
Rahasia Laskar Iblis 2 Wiro Sableng 127 Mayat Persembahan Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 8
"Bukankah lukamu tidak apa-apa kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Tidak apa-apa. Agaknya besok akan sembuh." jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak mengganggunya lagi. Ia sendiri memang tidak terlalu letih, meskipun iapun harus bertem"pur pula. Tetapi tidak sekeras Agung Sedayu. Namun demikian, Sekar Mirah pun telah duduk pula di sebuah amben panjang dengan sandaran tinggi, sehingga iapun dapat beristirahat sambil mengenang apa yang telah terjadi sepanjang perjalanan mereka dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke Sangkal Putung kemudian Jati Anom, kembali ke Sangkal Putung dan selanjutnya menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.
Sementara itu, Agung Sedayu sempat pula merenungi kata-kata guru Jaka Rampan tentang pendapat Swandaru. Darimana ia mendengar, bahwa Swandaru menganggapnya terlalu malas untuk berlatih di Sanggar, sehingga ilmunya menjadi tersendat-sendat dan tidak meningkat lagi.
"Agaknya Swandaru telah mengatakan pendapatnya itu kepada anak-anak muda Sangkal Putung sehingga pada suatu saat, dapat didengar oleh guru Jaka Rampan atau pengikut-pengikutnya. Sadar atau tidak sadar." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun hal itu telah menggugahnya untuk sekedar melihat kemampuan yang ada didalam dirinya. Dalam sebungkus bawaannya diantara lembar-lembar pakaiannya yang sedikit terdapat kitab yang dipinjamkan Swandaru kepadanya dengan permintaan agar Agung Se"dayu menyempatkan diri meningkatkan ilmunya yang menurut Swandaru menjadi agak terbelakang.
Sebenarnyalah bahwa beberapa jenis ilmu yang dahsyat yang dimiliki oleh Agung Sedayu sebagian memang tidak bersumber pada ilmu yang diturunkan oleh Kiai Gringsing, meskipun sudah barang tentu sepengetahuan dan seijinnya. Atau setidak-tidaknya mendapat persetujuannya, atau melaporkannya untuk mendapat penilaian kembali, apakah ilmu itu akan menimbulkan tantangan tantangan didalam dirinya atau tidak.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga merasa gelisah atas penilaian yang salah dari Swandaru itu. Jika pada suatu saat, Swandaru itu mengetahuinya, maka hal itu akan dapat menimbulkan persoalan. Setidak-tidaknya didalam dirinya sendiri.
Menurut Agung Sedayu, memang perlu dicari jalan untuk meletakkan anggapan Swandaru tentang dirinya itu pada tempat yang sewajarnya tanpa menimbulkan kesan seakan-akan ia memang ingin menyombongkan diri.
Di ruang yang lain, Glagah Putih pun telah berbaring pula meskipun matanya tidak terpejam. Ternyata seperti Agung Sedayu ia memikirkan pendapat Swandaru tentang kemampuan ilmunya dibandingkan dengar, ilmu Agung Sedayu. Bahkan rasa-rasanya Glagah Putihlah yang sekalikali ingin mencoba kemampuan ilmu Swandaru.
Tetapi mereka memang tidak mendapat kesempatan terlalu lama merenung. Beberapa saat kemudian, maka seorang pelayan Dalam telah memberitahukan bahwa mereka dipanggil untuk menghadap Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah Panembahan Senapati telah menjamu mereka makan. Sementara itu, mereka sempat juga berbincang serba sedikit tentang persoalan-persoalan yang
timbul menjelang saat-saat terakhir. Terutama setelah
Pangeran Benawa meninggal. Dengan demikian Pajang telah
menebarkan asap yang hitam yang membuat kemelut dia-tas
Mataram dan Madiun menjadi semakin gelap.
" Jadi Panembahan belum sempat bertemu dengan
pamanda Panembahan Madiun" " bertanya Agung Sedayu.
Panembahan Senapati menggeleng. Katanya " Ada-ada
saja hambatannya. Tetapi aku benar-benar berniat untuk
berbicara. Jika persoalan ini tidak segera menjadi jelas, maka
aku akan mengirimkan satu kelompok yang akan membawa
pesan-pesan perdamaian bagi pamanda Panembahan
Madiun. Aku memang harus merendahkan
diri, karena menurut hubungan keluarga, aku ada pada
tataran yang lebih muda. Tetapi jika hubungan itu gagal, maka
aku harus menebus harga diriku dengan langkah dua kali lipat.
" " Maksud Panembahan" " bertanya Agung Sedayu.
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya " Marilah. Kita ingin makan dengan tanpa
merenungi persoalan-persoalan yang rumit. "
Agung Sedayu memang tidak berani bertanya lebih lanjut.
Agaknya Panembahan Senapati memang sedang tidak ingin
berbicara terlalu banyak tentang Madiun.
Karena itu, maka Agung Sedayu tidak bertanya lebih jauh
tentang hubungan antara Mataran dan Madiun. Yang mereka
bicarakan kemudian adalah makanan yang sedang mereka
hadapi. Bahkan Sekar Mirahpun telah ikut berbicara pula,
karena iapun seorang yang mempunyai banyak perhatian
tentang berjenis-jenis makanan.
Setelah makan siang, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah
dan Glagah Putih sempat beristirahat beberapa saat sambil
berbicara tentang banyak hal dengan Panembahan Senapati.
Namun Panembahan Senapati tidak juga menyebut-nyebut
lagi tentang Madiun. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah mohon
diri untuk meneruskan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.
" Apakah kau tidak bermalam saja disini" Kau akan
kemalaman sampai ke Tanah Perdikan. " berkata
Panembahan Senapati. " Ampun Panembahan " Jawab Agung Sedayu " hamba
ingin segera melihat Tanah itu setelah sekian lama hamba
tinggalkan. " " Baiklah " berkata Panembahan Senapati kemudian " hatihatilah
diperjalanan. Mungkin masih ada rintangan
yang akan menghambatmu. "
" Hamba mohon diri Panembahan " berkata Agung Sedayu
kemudian. " Hamba mohon restu Panembahan, semoga
hamba dan isteri serta sepupu hamba, selamat sampai
kerumah hamba kembali. "
Demikianlah, maka setelah Sekar Mirah dan Glagah Putih
mohon diri pula, maka merekapun telah meninggalkan istana
Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka menuruni tepian kali Praga, maka langit
sudah menjadi kemerah-merahan. Meskipun mereka
berangkat dipermulaan hari, namun karena hambatan di
perjalanan serta singgah beberapa lama di istana
Panembahan Senapati, maka perjalanan ke Tanah Perdikan
itu mereka tempuh dalam sehari penuh.
Meskipun senja sudah turun, namun masih ada juga
beberapa orang yang akan bersama-sama menyeberang
dalam satu gethek yang tidak terlalu besar.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah turun di tepian
seberang Kali Opak. Setelah membayar upah mereka bertiga
kepada tukang satang, maka mereka siap meninggalkan
tepian Kali Praga itu. Namun ada saja yang menghambat perjalanan mereka,
Ketika mereka mulai melangkah menuntun kuda mereka,
Glagah Putih justru berdesis " Tunggu sebentar kakang.
Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun berhenti. Semula
mereka tidak begitu memperhatikan apa yang telah terjadi.
Namun agaknya Glagah Putih telah melihat seorang yang naik
gethek bersama mereka bertengkar dengan tukang satang.
" Aku bekerja untuk mendapatkan upah " berkata tukang
satang itu " karena itu kau harus membayar. "
" Bukankah orang lain sudah membayar " justru orang yang
tidak mau membayar itulah yang membentak "
Perdikan Menoreh " jawab orang itu.
" Jika demikian, apakah kau ingin membuat persoalan
dengan orang itu" bertanya Glagah Putih pula.
" Tidak. Tentu tidak. Biarlah aku pergi saja " berkata orang
yang menyebut dirinya Singa Luwuk itu.
Tetapi ketika ia melangkah, Glagah Putih menepuknya
sambil berkata " Ada yang belum kau selesaikan. "
"Apa" " bertanya Singa Luwuk.
" Kau belum membayar upah kepada tukang satang itu. "
jawab Glagah Putih. Singa Luwuk menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya iapun telah mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya yang lebar setelah menyarungkan luwuknya.
Tanpa mengatakan apapun juga, baik kepada tukang satang maupun kepada Glagah Putih, apalagi kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka orang itupun telah melangkah dengan langkah-langkah panjang meninggalkan tepian.
Tukang-tukang satang itupun hampir berbarengan berkata "
Terima kasih anak muda. "
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Kalian tidak perlu mengucapkan terima kasih Ki Sanak. Terimalah hakmu itu, karena kau memang harus menerimanya. "
Tukang-tukang satang itu mengangguk. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian telah meninggalkan mereka dan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah meneruskan perjalanan.
"Nah, kakang" berkata Glagah Putih " nama kakang mulai ditakuti orang sekarang. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam Katanya " Hal itulah yang seharusnya dihindari. "
"Kenapa" Bukankah dengan demikian kakang akan mempunyai wibawa yang besar" " bertanya Glagah Putih pula.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya " Apakah hal itu diperlukan" Kita seharusnya justru menjadi akrab dengan setiap orang. Bukan ditakuti. "
"Dalam keadaan yang khusus seperti ini, agaknya memang diperlukan kakang. Baru saja kita dihadapkan pada satu contoh yang jelas. Seandainya nama kakang tidak ditakuti, maka aku kira, aku harus berkelahi untuk
memaksanya membayar. " berkata Glagah Putih.
"Tetapi antara orang itu dan aku, tentu terbentang jarak.
Demikian juga dengan orang-orang lain yang mempunyai tanggapan yang sama kepadaku dengan orang itu, " berkata Agung Sedayu. Lalu katanya " Bagiku, yang baik adalah bahwa kita mempunyai kedudukan seperti orang-orang lain.
Dengan demikian, kita tidak harus membawa beban justru karena kita dianggap berbeda dengan orang lain itu. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ternyata ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan Agung Sedayu.
Menurut pendapat Glagah Putih, Agung Sedayu terlalu rendah hati sehingga baginya nama yang besar itu akan menjadi beban. Tetapi menurut Glagah Putih, kadang-kadang memang diperlukan kebesaran nama seseorang. Bukan saja karena jabatannya, tetapi juga karena pribadi dan kemampuannya.
Tetapi Glagah Putih tidak berani menyatakannya, sebagaimana ia juga tidak berani menyatakan sikapnya tentang Swandaru kepada Agung Sedayu, apalagi kepada Sekar Mirah, adik Swandaru itu. Seandainya ia menjadi Agung Sedayu, maka ia akan meyakinkan kepada adik seperguruannya itu, bahwa ilmunya lebih tinggi dan mapan.
"Kakang Agung Sedayu terlalu tertutup hatinya. Hal itu kadang-kadang justru dapat menyulitkannya. Banyak persoalan yang harus tertunda penyelesaiannya.
Sebaliknya kakang Swandaru terlalu berterus-terang. " berkata Glagah Putih didalam hatinya. Keduanya memang seperti dua buah pintu. Satu tertutup rapat-rapat, sementara yang lain terbuka lebar-lebar.
Glagah Putih yang merambat keusia dewasa itu ternyata telah mampu menilai keduanya. Bahwa keadaan yang demikian itu, akan dapat mempunyai akibat yang kurang baik pada kedua-duanya.
Meskipun pada dasarnya, sifat dan watak Glagah Putih sangat dipengaruhi oleh sifat dan watak Agung Sedayu, tetapi sifat dan watak gurunya yang lain, Ki Jayaraga, berpengaruh pula padanya. Selain mereka, maka pengaruh Raden Rangga pada sifat dan watak Glagah Putihpun cukup besar. Namun demikian, Glagah Putih adalah satu pribadi yang utuh tersendiri. Ia bukan tiruan dari pribadi-pribadi yang ada disekitarnya.
Demikianlah ketiganya mulai memasuki Tanah Perdikan Menoreh disaat malam mulai turun. Namun jalan-jalan di Tanah Perdikan itu sudah mereka kenal dengan baik, sehingga meskipun malam menjadi kelam, mereka sama sekali tidak merasa terganggu.
Karena itu, meskipun tidak terlalu kencang, maka mereka telah membawa kuda-kuda mereka berlari menyusuri jalanjalan bulak dan padukuhan.
Beberapa kali ketiga orang itu harus berhenti dimulut-mulut lorong karena satu dua orang yang telah berada di gardu telah menyapa mereka. Meskipun ketiga orang itu segera ingin sampai ke padukuhan induk, namun mereka tidak dapatbegitu saja mengabaikan sapa anak-anak muda dan bahkan orang-orang lain yang berpapasan.
Meskipun agak lambat, namun akhirnya ketiganya telah memasuki padukuhan induk. Mereka bertiga sepakat untuk
tidak langsung pulang kerumah mereka, tetapi mereka akan singgah lebih dahulu dirumah Ki Gede untuk melaporkan kehadiran mereka, karena sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan.
Kedatangan mereka dirumah Ki Gede memang mengejutkan. Namun seluruh keluarga Ki Gede dan para pengawal yang kebetulan bertugas meronda malam itu menyambut kedatanganmerekadengan gembira.
Oleh Ki Gede mereka telah diterima diruang dalam.
Agaknya Ki Gede juga ingin mengetahui, apa saja yang telah terjadi dengan mereka, sehingga rasa-rasanya mereka telah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Namun agaknya Ki Gede menyadari, bahwa ketiga orang itu masih terlalu letih untuk berceritera panjang lebar. Karena itu, Ki Gede hanya ingin tahu serba sedikit apa yang telah terjadi di perjalanan mereka mengunjungi Sangkal Putung dan Jati Anom.
Agung Sedayupun kemudian menceriterakan dengan singkat, pengalaman perjalanannya bertiga. Namun yang penting untuk diketahui oleh Ki Gede tidak ada yang terlampaui.
Ki Gede memang tidak ingin membicarakannya saat itu.
Karena itu maka katanya " Baiklah. Laporanmu sudah aku dengar Agung Sedayu. Aku tahu, bahwa kalian perlu beristirahat. Karena itu, biarlah besok kita berbicara lebih panjang. Aku harap kalian datang disaat matahari sepenggalah.
Aku akan mengundang para bebahu Tanah Perdikan.
Meskipun barangkali tidak banyak yang akan dapat mengikuti persoalan yang berkembang antara Mataram dan Madiun, namun biarlah mereka mendengar serba sedikit pengalaman perjalananmu, karena merekapun telah menunggu-nunggu kehadiranmu kembali di Tanah Perdikan ini. "
" Baiklah Ki Gede " sahut Agung Sedayu " perkenankanlah kini kami mohon diri. "
" Kalian tentu ingin segera membersihkan diri dan kemudian tidur dengan nyenyak. Ki Jayaragapun tentu akan senang menerima kedatangan kalian, " berkata Ki Gede kemudian.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putihpun segera mohon diri untuk kembali kerumah mereka yang telah mereka tinggalkan untuk beberapa lama.
Ki Jayaraga menjadi sangat gembira menerima kedatangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pulang.
Dengan nada tinggi ia berkata " Sudah terlalu lama aku merasa kesepian dirumah. Aku kira kalian telah melupakan Tanah Perdikan ini. "
Agung Sedayu tertawa. Katanya " Ada sesuatu yang telah menahan kami. Justru karena disini ada Ki Jayaraga kami tidak merasa tergesa-gesa.
"Ah, ada-ada saja kau Agung Sedayu " sahut Ki Jayaraga "
tetapi sayang, aku tidak menanak nasi sore ini. Aku makan sisa nasi tadi siang yang masih banyak. "
"Sudahlah " berkata Sekar Mirah " Aku akan menanak nasi. "
"Aku juga tidak menyediakan lauk pauk, " desis Ki Jayaraga pula.
Jilid 233 "SATU hal yang rumit." berkata Ki Gede.
"Ki Gede." Ki Panji Wiralaga memang agak ragu-ragu. Tetapi kemudian ia mengatakan juga, "satu contoh adalah Ki Tumenggung Surayuda. Ia adalah saudara seayah dengan Arya Penangsang, meskipun ia lahir dari ibu yang berbeda. Lahir dari seorang selir. Tetapi ia merasa bahwa darah keturunan Demak mengalir didalam tubuhnya. Sementara itu bahwa pertentangan antara Pajang dan Jipang dimasa pemerintahan Adipati Hadiwijaya dan Adipati Arya Penangsang, Panembahan Madiun pada waktu itu tidak nampak bersikap keras terhadap Jipang. Sedangkan Panembahan Senapati telah membunuh saudara seayahnya itu."
"Namun ternyata bahwa Panembahan Senapati telah melupakan permusuhan itu dan memberikan tempat yang baik kepada Ki Tumenggung Surayuda." berkata Ki Gede.
"Ya. Panembahan Senapati telah memberikan pengampuan. Ki Tumenggung termasuk seorang perwira wreda yang dihormati, Ia memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang bertumpuk didalam dirinya. Namun para petugas sandi Mataram telah menemukan bukti-bukti bahwa ada hubungan antara Ki Tumenggung Surayuda dengan Madiun. Sementara itu sebagaimana diketahui, Tumenggung Surayuda adalah salah sorang penentu dalam susunan keprajuritan di Mataram. Karena itu, maka penempatan para perwira di barak-barak pasukan Khusus selalu mendapat perhatian. Demikian juga perwira yang tiba-tiba saja ditempatkan di barak pasukan khusus di Tanah Perdikan ini."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi bukankah ada Panglima Pasukan Khusus di Mataram yang bertanggung jawab atas semua pasukan khusus yang ada di Mataram dimanapun letak baraknya."
"Yang kami kerjakan kemudian untuk menelusuri tingkah laku Ki Tumenggung Surayuda adalah sepengetahuan Panglima Pasukan Khusus. Ketika Ki Tumenggung Surayuda mengajukan nama perwira yang kemudian menjabat Senapati pasukan Khusus itu di Tanah Perdikan, justru telah diterima oleh Panglima Pasukan Khusus. Nah, dalam putaran persoalan inilah kita nanti akan mengambil sikap." jawab Ki Panji Wiralaga.
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sudah mulai mengerti duduk persoalannya. Karena itu, maka Ki Gedepun kemu"dian berkata, "Satu tugas yang berat."
"Kita akan membagi tugas." berkata Ki Panji, "un"tuk itulah aku datang kemari. Ki Lurah Branjangan yang pernah menjabat sebagai Senapati pada Pasukan Khusus disini akan dapat memberikan banyak keterangan, petunjuk dan barangkali pendapat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dengan tiba-tiba. Dalam masa-masa istirahatnya, ia justru akan terlibat dalam kerja yang gawat ini."
"Ki Panji." bertanya Ki Gede kemudian, "disamping Ki Tumenggung Surayuda, apakah ada orang lain yang pantas mendapat pengawasan khusus di Mataram?"
"Ada Ki Gede." jawab Ki Panji, "tetapi masih belum terlalu jelas."
"Bagaimana dengan persoalan guru Jaka Rampan?" bertanya Ki Gede.
Ki Panji Wiralaga mengerutkan-keningnya. Namun kimudian jawabnya, "Persoalan Jaka Rampan dan gurunya bukan persoalan yang rumit bagi Mataram. Persoalan"nya lebih jelas dan terang. Guru Jaka Rampan ingin memanfaatkan muridnya. Hanya itu. Tetapi mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Madiun. Agak berbeda dengan Ki Tumenggung Surayuda."
"Tetapi bukankah Ki Tumenggung Surayuda termasuk perwira wreda yang usianya sudah agak jauh?" ber"tanya Agung Sedayu.
"Ya. Sebenarnya ia merupakan seorang yang disegani karena kemampuannya dan pengetahuannya tentang gelar perang dan perhitungan yang mantap terhadap keadaan." berkata Ki Panji Wiralaga, "namun tidak seorangpun tahu, pengaruh apa yang telah membuat Ki Tumenggung itu bergeser."
"Maaf Ki Panji." berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah Mataram sudah yakin akan kesalahan sebagaimana dituduhkan kepada Ki Tumenggung Surayuda?"
Ki Panji Wiralaga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kami sudah mempunyai bukti-bukti. Meskipun demikian kami masih akan meyakinkan diri. Itulah sebabnya Mataram belum mengambil langlah-langkah pasti, atau katakanlah menangkap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Agung Sedayu memikirkan kemungkinan lain yang berhubungan dengan sikap Ki Tumenggung. Mungkin ada per"soalan yang memaksanya berlaku demikian."
Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam katanya, "Dimanakah keluarga Ki Tumenggung" Disini atau di Jipang atau ditempat lain?"
"Kenapa dengan keluarga di Tumenggung?" berta"nya Ki Panji.
"Baru saja Mataram terjadi seseorang yang dipaksa melakukan langkah-langkah tertentu karena anak dan isterinya telah ditangkap dan dijadikan taruhan. Orang itu terpaksa melakukan perintah-perintah tanpa dikehendaki karena keluarganya telah dikuasai oleh orang-orang tertentu." berkata Agung Sedayu.
Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku ingat itu. Pendapatmu dapat menjadi bahan pertimbangan. Agung Sedayu, agar kita tidak mengambil langkah yang salah terhadap seseorang yang tidak mutlak bersalah. Ka"rena itu, maka kita masih harus mengikuti perkembangannya lebih jauh."
"Jadi apakah yang dapat kau lakukan kemudian Ki Panji?" bertanya Ki Gede.
"Ki Gede. Menyampaikan keputusan pembicaraan beberapa orang pemimpin di Mataram, yang sudah disetujui Ki Mandaraka dan Panembahan Senapati sendiri, maka di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya akan dibentuk satu lingkungan pertahanan yang akan dipimpin oleh sese"orang yang akan ditunjuk oleh Panembahan Senapati sen"diri atau limpahan wewenangnya kepada Ki Mandaraka." berkata Ki Panji Wiralaga.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian bertanya, "Apakah ada hak dan wewenang dari tubuh yang akan mengikat lingkungan pertahanan di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya?"
"Ya. Panembahan Senapati akan memberikan wewe"nangnya itu." jawab Ki Panji Wiralaga.
Ki Gede mengangguk-angguk.
Namun Agung Sedayulah yang bertanya, "Bagaimana hubungannya tubuh yang akan dibentuk ini dengan kekuasaan yang ada pada Pasukan Khusus itu?"
"Pasukan Khusus itu dalam satu susunan tubuh yang mempunyai kekuasaan ke dalam. Kekuasaan pada dirinya sendiri. Jika mereka mengambil langkah-langkah keluar, maka hal itu dilakukan oleh tubuh itu seutuhnya meskipun hanya terdiri dari sebagian kecil dari pasukan yang ada. Pemimpin dari Pasukan Khusus itu nanti akan menjadi salah seorang anggauta pada tubuh yang akan dibentuk nanti yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk." ber"kata Ki Panji Wiralaga. Lalu, "Karena itulah, maka kedatanganku kemari lebih dahulu, agar dengan demikian Ki Gede dapat mempersiapkan diri. Dari Tanah Perdikan ini kami, sekelompok prajurit yang mendapat tugas ini, juga akan menghubungi beberapa orang Demang disekitar Tanah Perdikan ini. Namun tentu saja apa yang kami sampaikan tidak sejauh apa yang kami katakan disini. Ke"pada mereka kami hanya menyampaikan sebab dan alasannya. Juga kepada Senapati Pasukan Khusus yang baru itu. Jika kami menyampaikan alasan tentu alasan yang paling umum, yaitu keadaan yang semakin gawat dari hubungan antara Mataram dan Madiun sehingga perlu disusun ikatan-ikatan yang mantap yang mampu menggerakkan kekuatan besar yang ada di Mataram diluar kekuasaan keprajuwitan itu sendiri."
"Aku mengerti Ki Panji." Agung Sedayu meng"angguk-angguk. Tetapi katanya, "Meskipun demikian. kami di Tanah Perdikan Menoreh ini masih akan bertanya, bagaimana dengan hubungan yang menyangkut Ki Tu"menggung Surayuda?"
Ki Panji Wiralaga mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Pengawasan dilakukan di Mataram. Tubuh yang akan dibentuk itu akan menjadi bayangan kekuatan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Justru karena kita masih belum tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Atas persetujuan Panglima Pasukan Khusus, maka menjadi takaran. Sebaiknya kamipun berterus terang, bahwa persetujuan Partglima Pasukan Khusus terhadap penunjukkan Senapati pada Pa"sukan Khusus itu juga didasari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya benar-benar ada garis yang patah di Tanah Perdikan itu, maka ada kekuatan yang cukup untuk meluruskannya kembali."
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi ketegangan nampak diwajahnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Ki Pan"ji, bukankah dengan demikian Tanah Perdikan itu langsung akan menjadi arena pendadaran kesetiaan Ki Tumenggung Surayuda" Dengan menilai Senopati yang ditempatkannya pada Pasukan Khusus itu, maka kita akan menilai pula kesetiaan Ki Tumenggung. Sementara itu taruhannya ternyata mahal sekali. Kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan kekuatan Pasukan Khusus di barak itu. Jika terjadi sentuhan dalam usaha penilaian ini, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi."
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pertimbangan Ki Gede dapat dipahami. Tetapi dimanapun penilaian itu diadakan, maka benturan yang demikian itu mungkin saja terjadi. Jika bukan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tentu antara prajurit Mataram sendiri."
"Bukankah tidak pantas jika terjadi perlawanan dari pasukan pengawal di Tanah Perdikan ini melawan prajurit Mataram, bagaimana kedudukan mereka masing-masing." berkata Ki Gede.
Sementara itu Ki Gede telah menying-gung pula apa yang terjadi di Sangkal Putung. Katanya kemudian, "Anak laki-laki Ki Demang adalah seorang yang termasuk kurang panjang berpikir. Namun ternyata iapun tidak menghendaki benturan terjadi melawan para prajurit Mataram."
Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya, "Kami sangat menghargai sikap itu. Namun justru karena itu, seperti aku katakan, Ki Gede dan Para Demang tidak berdiri sendiri. Beberapa orang perwira akan membantu. Dan justru ka"rena itu, kita akan bersama-sama mohon kesediaan Ki Lurah Branjangan untuk terlibat didalamnya. Bagaimanapun juga, Ki Lurah pernah menjadi bapa pada barak Pasu"kan Khusus itu. Pengaruhnya tentu masih tersisa dida"lamnya, sehingga dalam keadaan yang paling gawat, Ki Lurah akan dapat membantu. Justru Bapa yang pertama, bahkan dapat disebut pendiri meskipun atas perintah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan yang dimaksudkan oleh Ki Panji itu. Sementara itu Ki Panjipun berkata, "Ki Gede tentu mengetahui, bahwa pembicaraan kita adalah rahasia pada tataran yang paling tinggi."
"Aku mengerti." jawab Ki Gede. Lalu katanya, "Jika demikian, maka terserahlah kepada Ki Panji, apa yang harus kami lakukan."
"Ki Gede sebaiknya mempersiapkan diri untuk kepentingan ini. Tentu saja mempersiapkan diri dengan segala dukungan yang mungkin dapat disiapkan." berkata Ki Panji.
Lalu Ki Panji itupun menunjukkan sebuah cincin yang dipakainya sambil berkata, "Ki Gede tentu mengenal cincin ini sebagai bukti bahwa aku mengemban tugas lang"sung dari Panembahan Senapati."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sebenarnya ia memang ingin bertanya, apakah Ki Panji membawa pertanda bahwa ia memang diutus langsung oleh Panembahan Senapati dalam tugas yang rumit itu. Karena itu, maka katanya, "Pertanda itu memang aku perlukan Ki Panji. Dengan demi"kian maka aku akan bekerja dengan mantap."
Ki Panji tersenyum. Katanya, "Ki Gede. Pada saatnya akan datang perintah-perintah berikutnya. Satu hal yang dapat aku beritahukan sekarang, bahwa Ki Lurah Bran"jangan akan menjadi penasehat dari tubuh yang akan disusun itu. Ki Lurah untuk beberapa lama akan tinggal di Tanah Perdikan itu. Yang lain akan ditentukan kemudi"an."
Ki Gedepun mengangguk-angguk. Perintah Panembah"an Senapati lewat Ki Panji itu sudah tegas. Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi ajang pengamatan Mataram terhadap seorang yang mempunyai kedudukan penting serta mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Jika Tanah Perdikan itu salah langkah, maka akibatnya akan dapat menjadi sangat parah.
Demikianlah setelah minum dan mencicipi makanan, Ki Panji dan para perwira yang lain minta diri meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka tidak segera kembali ke Mataram. Mereka masih akan singgah di barak Pa"sukan Khusus serta di beberapa Kademangan disekitar Tanah Perdikan Menoreh.
Sepeninggal Ki Panji dan para perwira yang lain serta Ki Lurah Branjangan, maka Ki Kede masih berbicara bebe"rapa saat dengan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga, maka mereka harus mempersiapkan para pengawal. Bahkan Agung Sedayu telah mengusulkan untuk mengumpulkan kembali para pengawal terpilih untuk ditempatkan dalam lingkungan khusus meskipun mereka tidak harus berada disebuah barak agar tidak menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan.
"Terserah kepadamu Agung Sedayu." berkata Ki Gede, "kau tentu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang gawat ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Baiklah Ki Gede. Aku akan menyiapkan kekuatan inti dari Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan persiapan itu tidak akan pernah dipergunakan."
"Hati-hatilah disetiap langkah Agung Sedayu." pesan Ki Gede, "jika salah langkah, maka justru kitalah yang akan memancing kekeruhan."
"Aku akan berhati-hati Ki Gede. Persoalannya memang cukup rumit untuk diatasi dengan diam-diam." berkata Agung Sedayu yang sejenak kemudian telah minta diri.
Namun Agung Sedayu berusaha untuk tidak memberitahukan persoalan itu kepada Glagah Putih. Kepada Sekar Mirah ia berpesan dengan sungguh-sungguh agar per"soalan yang dikatakan itu akan tetap menjadi rahasia, mes"kipun yang dikatakan kepada Sekar Mirah itu pun tidak seluruh persoalan yang dibicarakan di rumah Ki Gede Me"noreh.
Sementara itu, Ki Panji Wiralaga telah mengunjungi pula barak Pasukan Khusus dan bertemu dengan Senapatinya yang baru. Kepada Senapati yang baru itu, Ki Panji Wiralaga juga menyampaikan perintah Panembahan Sena"pati untuk menyusun satu sosok tubuh yang terdiri dari beberapa unsur yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan di sekitarnya.
"Pasukan Mataram yang mampu digerakkan dengan cepat tidak akan mencukupi jika benar-benar terjadi perang dengan Madiun yang didukung oleh beberapa Kadipaten di sekitarnya. Karena itu Panembahan Senapati ingin bahwa rakyat yang memiliki kemampuan di sekitar Tanah Per"dikan ini dapat dengan tertib digerakkan jika itu diperlukan." berkata Ki Panji.
"Tetapi itu berlebihan." berkata Senapati yang baru itu, "jika memang ada tugas seperti itu, kenapa tidak diserahkan saja kepadaku?"
"Tugasmu hanya didalam lingkungan barak ini. Kau bertugas memimpin para prajurit Pasukan Khusus ini. Kau tidak bertugas untuk mencampuri tugas-tugas yang berhubungan dengan pemerintah di Tanah Perdikan ini dan seki"tarnya." berkata Ki Panji, "karena itu, maka diperlukan satu tubuh yang dapat mengikat semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Pasukan Khusus Mataram yang ada disini, sudah barang tentu menjadi bagian dari seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Aku tidak setuju jika aku diletakkan dibawah kuasa Tanah Perdikan ini." berkata Senapati itu.
"Tidak dibawah kuasa Tanah Perdikan. Tetapi dalam kesatuan pertahanan bagi Mataram, maka diperlukan satu pimpinan diwilayah ini." berkata Ki Panji.
"Aku sanggup mengatur diriku sendiri dengan se"luruh kekuatan Pasukan Khusus ini." berkata Senapati itu.
"Kau tidak dapat mengelak dari tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang prajurit." berkata Ki Panji.
"Tetapi, aku Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini, mempunyai tugas dan tanggungjawab atas lingkungan ini." berkata Senapati itu.
"Dengar Senapati. Aku adalah perwira wreda yang membawa tugas dari Panembahan Senapati sendiri sebagaimana ternyata pada pertanda yang aku pakai ini. Perintah yang kau dengar dari mulutku adalah perintah Panembahan Senapati itu sendiri." berkata Ki Panji kemudian.
Senapati itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi merah dan telinganya bagaikan tersentuh api. Namun ia sadar, bahwa cincin kekuasaan yang ada di jari Ki Panji itu tidak akan dapat dilawannya jika ia tidak ingin mendapat kesulitan. Bahkan penempatannya di pasukan itu akan gagal membawa pesan dari seorang perwira yang lain yang dengan susah payah berusaha menempatkannya di barak itu.
Karena itu, betapapun jantungnya bergejolak, namun ia tidak dapat menolak perintah yang dibawa oleh Ki Panji itu. Sehingga kemudian dengan suara sendat ia berkata, "Aku terima segala perintah Panembahan Senapati."
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Teri"ma kasih. Hal ini sudah diketahui oleh Panglima Pasukan Khusus Mataram. Tetapi karena persoalannya lebih berat pada kesiagaan wilayah, maka perintah ini tidak datang lewat jalur Panglima Pasukan Khusus meskipun pada saatnya perintah itu tentu akan datang pula dalam satu ikatan langkah kebijaksanaan dari Panembahan Senapati. Nah, untuk selanjutnya persiapkan dirimu. Perintah-perintah lain akan menyusul kemudian sampai saatnya tubuh itu diresmikan oleh Panembahan Senapati sendiri."
"Baiklah Ki Panji." jawab Senapati itu. Namun ia masih berkata, "Ki Panji. Bukan maksudku menentang pe-rintah Panembahan Senapat. Tetapi aku hanya ingin bertanya, apakah kedudukan para Senapati prajurit Mataram diluar kota Mataram sama seperti kedudukanku" Misalnya Senapati di Ganjur dan terutama Senapati prajurit Ma"taram di Jati Anom atau yang lebih jauh lagi yang berada di Babadan Gunung Sewu dan yang lain."
Ki Panji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kedudukan mereka lain. Mereka bukan seorang Senapati yang mendapat tugas untuk memimpin satu kesatuan. Seperti Utara di Jati Anom. Ia berada di Jati Anom untuk memimpin satu kesatuan pertahanan sejak masa kalut yang terjadi antara Pajang dan Jipang. Pasukan yang mendukung kekuatan Untara ada sendiri. Nah, kedudukan para Senapati yang ada dibawah pimpinan Untara dan pemimpin pasukan termasuk Pasukan Berkuda, itu mempunyai hak dan wewenang seperti wewenangmu. Sebagai seorang perwira sebenarnya kau harus sudah mengetahui tataran kepemimpinan prajurit di Mataram."
"Aku sebenarnya memang sudah tahu Ki Panji. Jika aku bertanya tentang Untara, apakah kekuasaanku disini tidak dapat diangkat, disejajarkan dengan kekuasaan Untara di Jati Anom?" bertanya Senapati itu.
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu bukan wewenangku untuk menjawab. Karena itu pertanyaanmu akan aku bawa kepada Panembahan Senapati yang tentu akan berbicara dengan Ki Mandaraka, Panglimamu dan beberapa orang perwira wreda dan para pemimpin keprajuritan di Mataram."
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja di dalam hati ia berkata, "Ki Tumenggung Surayuda tentu akan ikut berbicara. Nasehatnya banyak didengar oleh Panembahan Senapati asal tidak hadir Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi, yang nampaknya tidak begitu sesuai cara mereka berpikir."
Demikianlah maka sejenak kemudian Ki Panji itupun telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Seperti yang direncanakan, maka iapun telah mengunjungi beberapa Kademangan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh. Namun sebenarnyalah bahwa arti dari beberapa Kademangan itu bersama-sama tidak sebesar Tanah Perdi"kan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu, Senapati dari barak Pasukan Khusus itupun telah bertindak cepat pula melewati jalur yang seharusnya. Iapun dengan cepat telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram, langsung menghadap Panglima Pasukan Khusus di Mataram. Dengan singkat Senapati itu telah melaporkan perintah Ki Panji Wiralaga baginya dan juga bagi Tanah Perdikan Menoreh dan beberapa Kade"mangan di sekitarnya.
"Terima kasih atas laporanmu." berkata Panglima itu, "tetapi aku sudah tahu, karena yang dilakukan itu atas persetujuanku. Bukankah Ki Panji membawa pertanda pe"rintah Panembahan Senapati sendiri?" ujar Panglima Pa"sukan Khusus itu.
Senapati itu mengangguk-angguk menjawab, "Ya. Ki Panji mengenakan cincin kerajaan."
"Nah, patuhi perintahnya, karena perintah itu sama nilainya dengan perintah Panembahan Senapati sendiri." berkata Panglimanya.
Senapati itupun kemudian telah mohon diri. Tetapi ternyata ia tidak segera kembali ke Tanah Perdikan. Ia telah bermalam satu malam di Mataram. Dirumah Ki Tumeng"gung Surayuda.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun telah memerintahkan agar Senapati itu mematuhi perintah Ki Panji Wira"laga agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Aku telah melapor kepada Panglima." berkata Sena"pati itu.
"Kalau sudah benar. Kau memang harus melapor ke"pada Panglimamu."
Pagi-pagi benar, sebelum fajar Senapati itu telah meninggalkan Mataram dan kembali ke baraknya di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Ki Panji Wiralagapun justru telah kem"bali ke Mataram. Untunglah bahwa perjalanan Ki Panji yang berlawanan arah dengan Senapati Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu tidak bersamaan waktunya sehingga tidak bertemu di perjalanan. Ki Panji yang telah bermalam di sebuah Kademangan tetangga dari Tanah Perdikan Me"noreh itu justru berangkat agak siang setelah Senapati itu sampai di baraknya kembali.
Dalam pada itu, setelah Ki Panji Wiralaga melaporkan perjalanannya kepada Panembahan Senapati, maka Panem"bahan Senapati itupun telah memerintahkan Ki Panji untuk menangani pembentukannya di Tanah Perdikan bersama Ki Lurah Branjangan. Perintah Panembahan Senapatipun tegas, bahwa Pimpinan dari tubuh yang akan disusun di Tanah Perdikan itu adalah Ki Gede sendiri.
Tugas itu memang tugas yang sulit bagi Ki Panji Wiralagr. Tetapi bersama Ki Lurah Branjangan, maka ia bertekad untuk menyelesaikan tugas itu dengan baik. Sementara itu Ki Panjipun mengetahui bahwa persoalannya tidak terhenti pada pembentukan tubuh itu sendiri, tetapi ia akan selalu saling mengamati dengan Ki Tumeng"gung Surayuda, seorang perwira wreda yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas.
Di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah mulai pula dengan langkah-langkahnya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah memanggil beberapa orang pe"mimpin kelompok dari pengawal terpilih di Tanah Perdikan Menoreh. Yang disampaikan kepada mereka adalah persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Mataram menghadapi hubungan yang semakin gawat dengan Madiun.
"Panembahan Senapati menyadari, bahwa kekuatan Mataram harus dihimpun. Jika diperlukan maka yang akan bergerak bukan saja para prajurit. Tetapi semua laki-laki di Mataram harus ikut pula berjuang disamping para prajurit. Tentu saja mereka yang keadaan wadagnya masih memungkinkan." berkata Agung Sedayu kepada mereka. Lalu katanya kemudian, "Dalam rangka itulah kami mempersiapkan diri. Tetapi jangan memancing kegelisahan rakyat Tanah Perdikan ini. Mereka tidak perlu diusik dengan segala macam persiapan."
Salah seorang dari pemimpin kelompok itupun berta"nya, "Apakah hanya kami saja yang bersiap-siap, atau semua pengawal?"
"Pada saatnya semua pengawal akan bergerak. Aku akan berbicara dengan Prastawa. Beberapa saat terakhir ia nampak agak lesu." berkata Agung Sedayu.
"Jangan kau usik." sahut salah seorang pemimpin kelompok, "Prastawa sedang menghindari keinginan orang tuanya untuk kawin dengan seorang gadis yang tidak disukainya, meskipun gadis itu anak seorang Demang. Agaknya Prastawa sudah mempunyai pilihan sendiri."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan cepat ia menguasai perasaannya. Tetapi ia masih juga bertanya, "Gadis manakah yang menjadi pilihannya itu?"
"Anak seorang Bekel di padukuhan yang termasuk bagian dari Tanah Perdikan ini pula." jawab pengawal itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ka"tanya kemudian, "Ia akan dapat membedakan persoalannya. Kepentingan pribadinya dan tugas-tugasnya sebagai salah seorang pimpinan pengawal. Selama ini ia adalah se"orang pemimpin pengawal yang baik, meskipun kadang-kadang ia lebih senang menyendiri."
"Kita tahu, dirinya dibelit oleh persoalan-persoalan pribadinya yang rumit. Bukan saja tentang calon isteri. Itulah sebabnya ia kadang-kadang merasa rendah diri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Biar aku temui nanti untuk membicarakannya lebih jelas. Yang pertama-tama harus disiapkan memang pasukan pengawal terpilih. Jumlahnya cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tiba-tiba. Tetapi bukan berarti bahwa para pengawal yang lain begitu saja diabaikan. Dalam keadaan yang paling gawat, maka semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini diperlukan."
Para pemimpin kelompok dari pengawal terpilih itu mengangguk-angguk. Namun mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan tanpa menimbulkan kegelisahan diantara rakyat Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, langkah-langkah yang diambil oleh Senapati yang baru dibarak Pasukan Khusus itupun mulai nampak. Orang-orang yang tinggal dipadukuhan terdekat mulai mengenal namanya yang memang menggetarkan. Namanya sendiri adalah nama yang wajar saja, Sanggabaya. Tetapi ia lebih senang disebut Naga Geni. Ki Sanggabaya itu merasa dirinya mempunyai kemampuan sebagai seekor naga yang berapi.
Dihari-hari mendatang, maka Ki Sanggabaya yang juga disebut Naga Geni itu telah membawa pasukannya menyusuri jalan-jalan mendaki di pebukitan. Setelah beberapa lamanya pasukan itu jarang sekali mengadakan latihan-la-tihan sampai menjelajahi daerah yang jauh dari barak-barak mereka, maka Senapati yang baru itu telah membawa para prajuritnya mengelilingi bukan saja Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga menembus kademangan-kademangan disekitarnya. Meskipun latihan itu hanya sekedar berlari-lari. Sedangkan latihan-latihan yang sebenarnya juga dilakukan di padang rumput yang memang disediakan bagi barak itu sebagaimana sebelumnya.
Namun karena cara latihan yang ditempuh oleh para prajurit di barak itu, maka para pengawal pilihan di Tanah Perdikan tidak melakukan hal yang sama. Meskipun sebe"lumnya mereka justru sering melakukannya. Meskipun mereka berlatih bagi kepentingan mereka masing-masing, namun para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh sudah mendapat pesan dari Agung Sedayu, agar mereka sejauh mungkin menghindari salah paham, justru karena Senapati yang baru. Jika pada suatu saat hubungan mereka telah menjadi akrab sebagaimana sebelumnya, maka latihan-la"tihan itu tidak akan menimbulkan salah paham.
Para pengawal pilihan di Tanah Perdikan justru meng"adakan latihan-latihan di padang rumput yang berada di lereng bukit, agak jauh dari barak Pasukan Khusus Mata"ram itu. Mereka telah memasang patok-patok kayu untuk memberi tanda-tanda jarak yang harus ditempuh oleh para pengawal disaat berlari-lari mengelilingi padang rumput itu. Mereka pun telah mempergunakan patok-patok dan palang-palang kayu bagi latihan-latihan mereka.
Selain alat-alat yang memang sudah ada, maka para pengawal telah menambah beberapa macam alat-alat yang baru, yang akan dapat menambah ragam ketrampilan dan ketahanan tubuh mereka. Tetapi para pengawal itu tidak mau menarik perhatian rakyat Tanah Perdikan dengan la"tihan-latihan yang lebih banyak, sehingga karena itu, maka segalanya dilakukan sebagaimana biasanya dilakukan.
Namun disamping itu, para pengawal pilihan itu diwajibkan menambah latihan-latihan secara pribadi di rumah masing-masing atau dimana saja asal tidak mengganggu dan tidak membuat orang lain gelisah. Mereka yang memiliki sanggar atau ruang-ruang khusus dirumahnya dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Sedangkan bagi mereka yang tidak, dapat bergabung dengan kawan-kawannya yang memiliki sanggar atau berlatih di malam hari, di halaman atau kebun rumahnya sendiri.
Para pengawal itu terutama telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mempergunakan berjenis-jenis senjata, selain meningkatkan kemampuan mereka me"lawan berjenis-jenis senjata pula. Merekapun telah berlatih sebaik-baiknya mengatur dan menguasai pernafasan mere"ka. Mengendapkan tenaga didalam dirinya, mengungkapkan kembali serta bahkan mengangkat segenap tenaga cadangan kepermukaan.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu Agung Seda"yu telah memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berarti bagi mereka. Sehingga mereka dapat mempergunakan waktu yang singkat untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan kemampuan mereka dalam ilmu kanuragan.
Sebenarnyalah bahwa kegiatan para pengawal seakan-akan memang terselubung. Bahkan kemudian bukan saja para pengawal pilihan. Tetapi setiap pengawalpun telah mempergunakan waktu mereka yang luang dirumah untuk meningkatkan diri. Baik daya tahan maupun kemampuan.
Sementara itu, Senapati yang baru itu nampaknya me"mang ingin menunjukkan kegiatannya yang meningkat. Karena itu, ia seakan-akan telah dengan sengaja menunjuk"kan kepada rakyat Tanah Perdikan, bahwa Pasukan Khu"sus Mataram di Tanah Perdikan itu bukan kebanyakan pra"jurit sebagaimana dikenal orang. Tetapi Pasukan Khusus Tanah Perdikan itu benar-benar terdiri dari orang-orang yang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, selagi perhatian Tanah Perdikan Meno"reh tertuju kepada para prajurit dari Pasukan Khusus itu, Ki Lurah Branjangan ternyata telah datang ke Tanah Per"dikan Menoreh. Tetapi tidak bersama Ki Panji Wiralaga. Namun bersamanya telah ikut pula dua orang cucunya. Se"orang anak muda dan seorang gadis yang meningkat dewasa. Sebaya dengan Glagah Putih. Kedatangan Ki Lurah itu memang agak mengejutkan bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan ramah Ki Gede telah mempersilahkan Ki Lurah Branjangan untuk naik kependapa. Ki Gede berusaha un"tuk menyembunyikan perasaan ingin tahunya, kenapa tiba-tiba saja Ki Lurah itu datang tanpa Ki Panji Wiralaga.
Setelah mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Lurah justru telah mendahului sebelum Ki Gede bertanya, "Ki Gede, aku datang membawa bebanku sen"diri. Dua orang cucuku ingin berada di Tanah Perdikan ini barang satu dua pekan. Sebenarnya tugas yang harus aku lakukan baru akan berjalan dua pekan mendatang. Ki Panjipun baru akan datang dua pekan ini. Aku datang men"dahului waktu yang ditentukan, karena yang dua pekan ini ingin aku pergunakan bagi kepentingan pribadiku."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Lurah. Sebenarnya aku sudah menjadi berdebar-debar. Ki Lurah datang sendiri justru bersama cucu-cucu Ki Lurah."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Aku minta maaf Ki Gede. Mungkin kedatanganku membuat Ki Gede bertambah sibuk, karena aku telah membawa dua orang cucu."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Menyenangkan sekali. Ternyata Ki Lurah jauh berada didepan. Aku masih harus menunggu cucuku yang akan lahir beberapa bulan lagi. Ki Lurah yang nampaknya tidak terpaut banyak dari umurku, sudah mempunyai cucu sebesar itu."
"Ceritera yang agaknya memang menarik Ki Gede. Aku kawin muda. Anakku perempuan, juga kawin muda. Karena itu, cucuku cepat menjadi besar. Kadang-kadang kepada orang yang berpapasan di jalan aku memperkenalkan keduanya sebagai anak-anakku yang paling kecil." jawab Ki Lurah sambil tertawa.
Ki Gedepun tertawa pula. Tetapi yang dikatakan Ki Lurah itu agaknya memang benar.
Sementara itu Ki Lurah berkata pula selanjutnya, "Begitulah Ki Gede, jika Ki Gede tidak berkeberatan, aku ingin berada disini bersama cucu-cucuku ini menjelang tugas-tugasku yang sebenarnya. Pada saatnya menjelang tugas yang rumit itu, maka cucu-cucuku akan aku bawa ke Mataram."
"Tentu saja kami tidak berkeberatan Ki Lurah." ber"kata Ki Gede, "tetapi tentu saja, keadaannya jauh berbeda dengan keadaan di Mataram. Disini segala sesuatunya sangat sederhana. Apa adanya dan tentu jauh lebih sepi dari keadaan di Mataram."
"Itulah yang ingin dilihat oleh kedua cucuku ini." berkata Ki Lurah, "biarlah mereka melihat kehidupan yang lain daripada yang selalu dilihatnya setiap hari. Namun yang dinilainya tidak kalah dari kehidupan orang-orang yang tinggal di Kotaraja."
"Kami justru akan bersenang hati." berkata Ki Gede, "disini ada Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu yang umurnya tentu tidak terpaut banyak. Ia akan dapat menemani kedua cucu Ki Lurah selama berada disini."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Ki Gede. Cucuku yang nakal ini akan melihat satu kehidupan yang lain dari kehidupan di Kotaraja. Mereka akan dapat melihat para petani yang bekerja keras untuk menghasilkan bahan pangan. Mereka akan dapat melihat hubungan antara sesama yang masih sangat akrab disini dibandingkan dengan tata kehidupan kota. Kehidupan yang masih lebih mementingkan nilai-nilai persahabatan dan be"kerja bersama daripada nilai-nilai kebendaan dan uang. Serta kehidupan yang masih erat sekali hubungannya dengan Penciptanya daripada kepentingan-kepentingan lahiriah semata-mata."
"Mudah-mudahan Ki Lurah akan menemukannya di"sini. Kami disini memang berharap bahwa nilai-nilai seperti itu masih akan dapat tetap dipertahankan meskipun tata kehidupan akan bergerak semakin maju. Langkah-langkah panjang menuju keperadaban yang lebih tinggi itu diharapkan tidak beranjak dari alas yang kuat dari kehidupan yang pernah ada dibumi ini." berkata Ki Gede.
Ternyata Ki Lurah Branjangan merasa bahwa kedatangan kedua cucunya itu benar-benar akan berarti bagi mereka. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih datang kerumah Ki Gede itu pula memenuhi panggilan Ki Gede lewat seorang pengawal.
Ki Gedepun kemudian telah memperkenalkan kedua cucu Ki Lurah itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan Ki Gedepun kemudian berkata, "Glagah Putih akan dapat menemani kalian melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini."
Kedua anak muda itu memang melihat Glagah Putih sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak tertarik untuk memperhatikannya lebih lama lagi. Glagah Putih dimata mereka memang tidak lebih dari anak padukuhan yang lain yang dilihatnya di sepanjang perjalanan.
Agung Sedayu melihat gelagat itu. Tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikapnya yang sudah dikenal oleh Ki Lurah Branjangan. Sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, "Banyak hal yang dapat dilihat disini tetapi tidak ada di Kotaraja. Agaknya Tanah Per"dikan ini akan menarik bagi mereka."
Ki Lurah mengangguk. Kepada kedua cucunya ia ber"kata, "Nah, kalian kini berada dirumah Ki Gede Menoreh yang menjadi pimpinan tertinggi di Tanah Perdikan ini. Sedangkan Agung Sedayu adalah seorang yang lebih banyak bergerak dibidang pembaharuan dari Tanah Per"dikan ini. Bukan saja susunan tubuh para pengawal dari pimpinan tertingginya sampai pemimpin-pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan, tetapi juga dibidang kesejahteraan. Kalian akan dapat belajar banyak disini nanti."
Demikianlah, maka sejak saat itu, Ki Lurah Branjang"an dan kedua cucunya telah berada dirumah Ki Gede. Ki Lurah telah memberikan gambaran tentang Tanah Per"dikan itu. Diceritakannya tentang sawah yang terbentang. Padukuhan-padukuhan sampai di kaki bukit serta lereng-lereng terjal yang berbatu padas. Tetapi juga hutan yang lebat yang terbentang di ngarai dan memanjat sampai puncak bukit. Mata air yang mengalir menuruni tebing dan mengaliri tanah-tanah persawahan. Sedangkan beberapa sungai yang tidak terlalu besar mengalirkan air yang bening.
"Kau akan dapat melihatnya." berkata Ki Lurah ke"pada kedua cucunya, "Glagah Putih tentu akan dengan senang hati mengantarmu berjalan-jalan di Tanah Perdikan ini."
Kedua cucu Ki Lurah itu agaknya memang tertarik un"tuk melihat-lihat. Tetapi cucunya yang laki-laki, yang tertua diantara kedua cucunya itu berkata, "Menarik sekali. Tetapi tentu lebih senang jika kakek sendiri membawa kami berjalan-jalan."
"Glagah Putih adalah anak Tanah Perdikan ini meski"pun ia berasal dari Banyu Asri." berkata kakeknya.
"Anak padesan itu nampaknya terlalu dungu untuk diajak berbicara tentang hal-hal yang agak rumit. Yang diketahuinya tentu tidak lebih dari cara membajak, menanam padi, membuat bendungan dan barangkali sedikit tentang berburu di hutan-hutan." gumam cucu Ki Lurah Bran"jangan itu.
Tetapi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, "Kau akan salah menilai anak itu. Anak itu adalah anak yang memiliki kemampuan dan penalaran yang tinggi."
"Setinggi-tinggi tingkat penalarannya, ia adalah anak padesaan." berkata cucu perempuan Ki Lurah itu.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mem"berikan keterangan lebih panjang. Ia memang sengaja membawa cucunya untuk mendapatkan kenyataan yang lain dari yang dianggapnya telah diketahuinya.
Sehari itu kedua cucu Ki Lurah tetap berada di rumah Ki Gede. Mereka hanya melihat-lihat halaman dan kebun. Berdiri di regol halaman serta melihat-lihat jalan induk yang membujur di depan regol itu. Keduanya memang melihat beberapa pengawal digardu. Tetapi keduanya tidak menyapa mereka.
Baru dihari berikutnya, Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih pergi kerumah Ki Gede. Namun di sepanjang jalan Agung Sedayu telah berpesan, agar ia dapat menahan diri. Kedua orang cucu Ki Lurah itu terbiasa hidup didalam kota dan dalam pergaulan yang berbeda. Mungkin ada bebe"rapa perbedaan sikap dan cara menanggapi satu keadaan.
"Kau harus berusaha menahan diri. Disini kau men"jadi tuan rumah, sehingga kau harus lebih bersabar." berkata Agung Sedayu.
"Aku akan mencobanya kakang." jawab Glagah Pu"tih yang ternyata sudah mulai tersinggung melihat sikap kedua cucu Ki Lurah itu sejak mereka bertemu. Namun ia mengerti pesan kakak sepupunya, karena ia memang harus berusaha untuk menjadi tuan rumah yang baik.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di rumah Ki Gede, maka kedua cucu Ki Lurah itu telah dipertemukan langsung dengan Glagah Putih. Ki Lurah telah memperkenalkan mereka lebih dekat.
"Ingat namanya." berkata Ki Lurah, "cucuku yang laki-laki bernama Teja Prabawa."
"Raden Teja Prabawa." anak muda itu melengkapi namanya dengan sebutannya sekali.
"Raden Teja Prabawa." Glagah Putih mengulang.
Ki Lurah Branjangan hanya tersenyum saja. Semen"tara itu, iapun berkata pula, "Sedangkan cucu perempuanku ini bernama Rara Wulan."
Glagah Putih mengangguk hormat. Tetapi ternyata cucu perempuan Ki Lurah itu sama sekali tidak berpaling kepadanya. Tetapi Glagah Putih sudah mendapat bekal pesan dari Agung Sedayu sehingga karena itu, maka ia sudah mengendalikan dirinya sejak semula.
Dalam pada itu Ki Lurah Branjanganpun berkata, "Nah, Glagah Putih. Bawalah kedua cucuku itu melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan apa yang dilihatnya akan berarti bagi mereka berdua. Tidak perlu tergesa-gesa, karena mereka akan berada disini agak lama. Sekitar dua pekan. Sehingga banyak kesempatan bagi mereka untuk melihat seluruh Tanah Perdikan ini."
"Baik Ki Lurah." jawab Glagah Putih, "mudah-mudahan keduanya kerasan tinggal di Tanah Perdikan yang sepi ini."
"Tentu mereka akan kerasan tinggal disini." jawab Ki Lurah, "banyak hal yang terdapat di Tanah Perdikan ini, tetapi tidak terdapat di Kotaraja."
"Aku sudah siap Ki Lurah. Jika dikehendaki, maka kami akan dapat pergi sekarang, mumpung masih belum terlalu panas." berkata Glagah Putih.
"Bagus." jawab Ki Lurah Branjangan, "pergilah." Lalu katanya kepada kedua cucunya, "Ikutlah dengan Glagah Putih. Ia akan menunjukkan apa yang belum pernah atau jarang sekali kalian lihat."
"Kakek tidak pergi bersama kami?" bertanya Teja Prabawa.
Ki Lurah menggeleng. Katanya, "Kakek sudah terlalu sering melihat Tanah Perdikan ini."
"Jika demikian kenapa bukan kakek sendiri yang mengantar kami?" bertanya Rara Wulan.
"Aku masih akan banyak berbicara dengan Ki Gede menjelang tugasku disini." berkata Ki Lurah Branjangan pula.
Kedua cucunya akhirnya bersedia juga pergi diantar oleh Glagah Putih. Demikianlah maka sejenak kemudian Glagah Putih telah minta diri, sementara Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu mengantar kedua cucu Ki Lurah itu sampai keregol.
Diregol halaman rumah Ki Gede, Agung Sedayu sempat menepuk bahu Glagah Putih sambil berbisik, "Kau harus menjadi tuan rumah yang baik."
Namun agaknya Ki Lurah dapat membaca bibir Agung Sedayu. Meskipun ia tidak mendengar, tetapi ia dapat mengetahui apa yang dikatakannya. Karena itu, maka iapun justru mendekati mereka sambil berdesis, "Kau jangan terlalu menahan diri. Aku sengaja ingin mengajar mereka berdua. Jika mereka nakal dan tidak mau men"dengar petunjukmu, kau dapat memaksanya. Aku tidak berkeberatan."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu hanya tersenyum saja.
Sementara itu Teja Prabawa dan Rara Wulan telah berjalan beberapa langkah lebih dahulu, sehingga Glagah Putihpun kemudian harus berlari-lari kecil menyusulnya. Untuk beberapa saat mereka ternyata hanya saling berdiam diri saja. Kedua cucu Ki Lurah itu memang tertarik melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Halaman-halaman rumah yang luas dan ditanami dengan berbagai macam pepohonan. Terutama pohon buah-buahan. Pintu-pintu gerbang dan dinding halaman yang tidak terlalu tinggi.
Glagah Putih berjalan di belakang kedua anak muda itu. Baru ketika mereka keluar dari regol padukuhan induk, kedua anak muda itu mulai berbicara. Teja Prabawa nampaknya sangat tertarik pada bentangan sawah yang luas yang tidak pernah dilihatnya di Kotaraja. Meskipun di pinggir Kotaraja juga masih terdapat bulak-bulak persawahan. Tetapi bulak-bulak itu jauh lebih sempit dari bulak yang dilihatnya di sebelah padukuhan induk itu, sehingga dengan demikian maka jalan yang membujur didepan kakinya nampak begitu panjang sampai kepadukuhan berikutnya. Sementara dibelakang, bukit yang hijau membentang dari Selatan sampai jauh ke Utara. Membujur dengan bebe"rapa puncak yang tinggi rendah.
Glagah Putih masih saja mengikutinya. Nampaknya kedua cucu Ki Lurah itu belum memerlukannya, sehingga mereka sama sekali tidak bertanya kepadanya. Tetapi Glagah Putih yang sudah mempersiapkan diri menghadapi keadaan seperti itu, sama sekali tidak merasa tersinggung lagi sebagaimana mereka bertemu mula-mula dirumah Ki Gede. Glagah Putih sudah berhasil mengendapkan perasaannya setelah ia justru mendengar pesan Ki Lurah dan Agung Sedayu.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ketengah-tengah bulak yang panjang itu. Ketika mereka sampai ke simpang ampat, maka kedua anak muda itu menjadi ragu-ragu. Setelah termangu-mangu sejenak, maka keduanyapun telah berpaling kepada Glagah Putih. Glagah Putih merasa mulai diperlukan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka iapun telah melangkah mendekat.
"He, kita akan pergi kemana?" bertanya Teja Pra"bawa.
"Silahkan Raden memilih." jawab Glagah Putih, "bukankah semuanya masih belum pernah Raden lihat."
"Kaulah yang menentukan, mana yang lebih baik aku lihat lebih dahulu. Kau harus mempunyai rencana sebelum kita berangkat. Jika kau menyerahkan kepadaku, maka tidak perlu kau ikut bersama kami." berkata Raden Teja Prabawa.
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah. Aku akan menawarkan kepada Raden. Jika kita berjalan lurus, kita menuju ke bukit. Kita akan berjalan melalui beberapa padukuhan. Kemudian kita akan melewati padang perdu sebelum memasuki sebuah hutan yang lebat. Namun di hutan itu terdapat jalan yang menuju kekaki bukit, kemudian memanjat tebing dan mencapai padu"kuhan yang berada di dataran tinggi Bukit Menoreh. Jika kita berbelok ke kanan, maka kita akan sampai ke sebuah belumbang yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi men"jadi tempat pemandian yang menarik. Disebelahnya terdapat sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi cukup memberikan nafas kehidupan bagi persawahan di Tanah Perdikan ini. Sungai itu adalah kepanjangan sungai yang akan kita seberangi, jika kita berjalan terus menuju ke hutan. Sedangkan jika kita kesebelah kiri, maka kita akan menuju ke barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Per"dikan ini, setelah melalui beberapa padukuhan dan sedikit menyusuri jalan didekat hutan."
Kedua cucu Ki Lurah itu termangu-mangu. Namun kemudian Rara Wulanpun bertanya, "Kita pergi ke mana?"
"Nah, terserah kepada pilihan kalian. Aku akan mengantarkannya." berkata Glagah Putih.
"Kau yang mengatakan kepadaku dengan alasan-alasan yang mapan atas pilihanmu itu. Buat apa kau ditunjuk oleh kakek untuk membawa kami berdua berjalan-jalan me"lihat-lihat Tanah Perdikan ini?" berkata Teja Prabawa dengan nada keras.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga menjawab, "Tetapi mungkin kalian berdua ingin menentukan satu pilihan."
"Cepat, katakan. Kemana kita sebaiknya pergi." suara Teja Prabawa semakin keras.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita akan berjalan terus."
"Kau akan membawa kami ke hutan?" bertanya Rara Wulan.
"Ya." jawab Glagah Putih.
"Kau akan menjerumuskan kami?" desak Rara Wulan.
"Tentu tidak. Bukankah di Kotaraja tidak ada hutan yang dapat dinikmati seperti di lereng bukit Menoreh" Sawah mungkin terdapat meskipun tidak seluas disini. Belumbang tentu pernah pula kau datangi meskipun mung"kin buatan atau tempat mandi yang dibuat dari tatanan batu. Tetapi hutan tentu tidak pernah kau masuki."
Nampaknya kedua anak muda itu memang menaruh curiga kepada Glagah Putih. Beberapa saat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian Teja Prabawa itu meng"ambil keputusan. "Aku ingin melihat barak Pasukan Khusus itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah kalian ingin melihat barak itu?"
"Ya. Aku ingin bertemu dengan para pemimpin dari barak itu." jawab Teja Prabawa.
"Untuk apa?" bertanya Glagah Putih.
"Bukankah kakek pernah memimpin Pasukan Khusus itu?" desis Teja Prabawa.
"Tetapi pimpinan di barak itu sudah beberapa kali berganti. Sekarang, seorang perwira yang bernama Ki Sanggabaya yang bergelar Naga Geni." desis Glagah Putih.
"Siapapun yang memimpin barak itu, tentu akan menerima kami. Kami tidak akan berbuat apa-apa selain datang untuk melihat-lihat." bertanya Teja Prabawa.
Glagah Putih akhirnya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku hanya akan mengantarkan kalian. Kalianlah yang harus berbicara kepada Ki Sanggabaya apa yang akan kalian lakukan di barak itu."
"Aku yang akan berbicara dengan Senapati barak itu." sahut Teja Prabawa.
Demikianlah, maka mereka bertigapun telah meng"ambil jalan yang berbelok ke kiri. Glagah Putih memang telah menunjukkan letak barak dari Pasukan Khusus Ma"taram yang ada di Tanah Perdikan itu.
Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka me"reka telah melewati beberapa pedukuhan dan bahkan kemu"dian mereka telah berjalan di jalan yang sempit dipinggir hutan. Meskipun masih terdapat beberapa puluh langkah padang perdu yang memisahkan jalanan itu dengan hutan lebat yang membujur searah dengan Bukit Menoreh, namun rasa-rasanya jalan itu bagaikan lekat dengan pohon-pohon dihutan itu.
Ternyata bahwa kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu merasa ngeri juga berjalan di jalan sempit di pinggir hutan itu. Setiap kali keduanya berpaling kepada Glagah Putih yang berjalan dibelakang mereka. Namun nampaknya Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukan hutan yang agaknya masih menyimpan binatang-binatang yang buas.
Ketika jalan itu justru semakin merapat dengan hutan itu, maka Teja Prabawa pun berkata kepada Glagah Putih, "Jalanlah di depan. Kau tentu sudah mengenal arah. Dari"pada setiap kali aku bertanya kepadamu, maka sebaiknya kau memang berada di depan."
Glagah Putih itupun masih juga menjawab, "Hanya ada satu arah jika kita mengikuti jalan ini, maka kita tidak akan tersesat."
Tetapi Teja Prabawa itu berkata tegas, "Kau berjalan di depan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi.
Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan. Glagah Putihlah yang kemudian berada di depan. Ia berjalan tanpa menghiraukan hutan yang ada disebelahnya. Bahkan ketika jalan itu seakan-akan telah menyentuh bibir hutan. Glagah Putih sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan.
Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi semakin ngeri. Keduanya berjalan merapat terlalu cepat bagi Rara Wulan, sehingga karena itu gadis itupun berkata, "He, kenapa kau berlari-lari?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia menyadari, bahwa seharusnya ia berjalan lebih lambat, ka"rena ia berjalan bersama seorang gadis yang datang dari Kotaraja.
Ketika seekor kera meloncat diatas dahan yang menyilang hampir mencapai batas tepi lorong itu, maka Rara Wulan menjerit kecil.
Glagah Putih memang menghentikan langkahnya. Ke"tika ia berpaling, maka dilihatnya Rara Wulan dengan wajah pucat memandang dahan-dahan pepohonan yang ber"gerak.
"Disini memang terdapat banyak kera." berkata Glagah Putih. Lalu katanya, "Namun selama masih banyak kera berkeliaran, maka lingkungan ini masih cukup aman."
"Kenapa?" bertanya Teja Prabawa.
"Jika ada binatang buas yang berbahaya bagi mereka, maka mereka akan segera melarikan diri masuk kedalam lindungan dedauanan yang rapat ditengah-tengah hutan itu." jawab Glagah Putih.
"Binatang buas apa saja?" bertanya Rara Wulan.
"Harimau misalnya." jawab Glagah Putih.
"Jangan sebut." potong Teja Prabawa.
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Apapun alasannya, jangan kau sebut nama binatang itu." geram Teja Prabawa.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ternyata kau masih juga percaya, bahwa kita tidak boleh menyebut jenis harimau di pinggir hutan seperti ini, tetapi dengan sebutan kakek atau Kiai?"
"Cukup." geram Teja Prabawa.
Glagah Putih masih saja tertawa. Katanya, "Seharusnya kau jangan percaya. Aku adalah anak Tanah Perdikan ini. Aku sudah memahami sifat dan tabiat Tanah Perdikan ini termasuk hutan dan segala isinya. Termasuk berjenis-jenis binatang buas. Tetapi aku sama sekali tidak menganggap tabu untuk menyebut namanya karena nama itu memang diberikan untuk membedakan berjenis-jenis bina"tang yang ada."
Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Sementara itu, Glagah Putih yang mulai digelitik oleh sifat-sifatnya itu berkata lebih lanjut, "Nah, karena itu, Raden tidak usah takut mendengar aku menyebut harimau loreng, harimau tutul atau harimau kumbang yang sering memanjat dipepohonan dengan kulitnya yang hitam lekam."
"Cukup." Raden Teja Prabawa itu justru berteriak, "aku perintahkan kepadamu untuk menutup mulutmu."
Glagah Putih mengangguk dalam-dalam sambil men"jawab, "Baiklah Raden. Aku tidak akan menyebutnya lagi."
"Jika kau sekali lagi menyebutnya, aku mau memukulmu. Aku tahu bahwa sebutan itu tidak akan menimbulkan persoalan apa-apa. Tetapi yang membuat aku marah adalah justru kau telah dengan sengaja melakukan apa yang telah aku larang." berkata Raden Teja Prabawa.
"Jangan marah Raden." berkata Glagah Putih, "kita lebih baik tertawa daripada marah. Kata orang-orang tua, cepat marah akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri didalam diri kita."
"Tetapi kau telah membuat aku marah. Ternyata kau benar-benar memuakkan. Aku akan mengatakannya kepada kakek Lurah Branjangan, bahwa kau dengan sengaja telah melanggar apa yang tidak aku kehendaki." berkata Teja Prabawa.
"Jika demikian, maka sebaiknya aku tidak menyertai Raden jika aku memang memuakkan." berkata Glagah Putih.
"Kau akan kembali?" bertanya Teja Prabawa.
"Tidak. Aku akan memasuki hutan ini dan akan bercanda dengan binatang-binatang buas yang tidak pernah marah kepadaku." jawab Glagah Putih.
Wajah Teja Prabawa menjadi tegang. Namun kemu"dian ia masih mengancam, "Kau tahu akibat dari perbuatanmu itu" Jika kakek tahu kau dengan sengaja mempermainkan aku, maka kau akan dapat dihukum gantung."
"O, sangat mengerikan." jawab Glagah Putih, "baiklah. Aku tidak akan mempermainkan Raden, karena se-jak semula aku memang tidak berniat berbuat demikian."
"Kau harus minta maaf kepadaku." berkata Teja Prabawa, "juga kepada adikku."
"Baiklah. Aku minta maaf Raden." lalu katanya ke"pada Rara Wulan, "aku mohon maaf Rara."
"Cepat, berjalanlah." bentak Raden Teja Prabawa.
Glagah Putihpun kemudian telah melangkah melanjutkan perjalanan menyusuri jalan dipinggir hutan itu. Namun ia masih juga sempat berkata, "Raden, aku pernah berkawan dengan seorang anak muda yang barangkali sebaya dengan Raden. Tetapi ia sama sekali tidak pernah merasa takut menghadapi apapun juga. Justru mempunyai keberanian jauh melampaui keberanian anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini, termasuk aku. Anak muda itu juga tinggal di Kotaraja."
"Persetan." geram Teja Prabawa. Tetapi tiba-tiba sa"ja ia justru bertanya, "Jadi kau kira aku tidak mempunyai keberanian seperti anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini, he" Atau kau kira aku kalah dari anak-anak muda lain dari Kotaraja" Kawanmu tentu anak Kotaraja tetapi yang datang dari padesan. Jika ayahnya seorang pekerja atau seorang juru taman atau seorang pekatik yang mencari rum"put bagi kuda seorang bangsawan, maka iapun tentu nampak lebih berani karena kekasarannya. Tetapi kau kira yang nampak kasar itu tentu lebih baik" Mungkin bagi mata orang-orang padukuhan seperti kau hal itu berlaku. Kau ter"lalu biasa melihat anak-anak muda yang kasar dan tidak mengenal unggah-ungguh."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah ber"jalan menuju ke barak Pasukan Khusus. Karena itu, ketika ia tersenyum, maka kedua anak muda yang diantarkannya itu tidak melihatnya.
Dibelakang Glagah Putih, Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan berlari-lari kecil mengikutinya. Bahkan pada jarak tidak lebih dari selangkah. Suara angin yang bergaung di hutan itu memang membuat bulu tengkuk mereka meremang. Adalah diluar kehendak mereka sendiri ketika mereka membayangkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di tengah-tengah hutan itu.
Namun beberapa saat kemudian, jalanpun menjadi se"makin jauh dari hutan itu. Padang perdu yang membentang diantara jalan yang mereka lalui dengan hutan itupun men"jadi semakin luas. Bahkan sejenak kemudian, jalan itupun telah memasuki bulak-bulak persawahan.
Ketika Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan melihat seorang petani bekerja disawahnya, maka merekapun telah menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika mereka melihat seorang yang lain dan yang lain lagi. Rasa-rasanya mereka telah berada kembali di lingkungan kehidupan manusia setelah untuk beberapa saat lamanya mereka berada didunia binatang-binatang buas. Tetapi mereka mulai berpikir, bahwa jika mereka kem"bali kepadukuhan induk, maka mereka akan berjalan melalui jalan itu lagi.
"Tentu ada jalan lain." berkata Raden Teja Prabawa didalam hatinya, "meskipun mungkin agak jauh."
Namun Raden Teja Prabawa itu tidak dapat memikirkannya lebih panjang. Ketika mereka mulai memasuki padukuhan, maka Rara Wulanpun mulai memperkatakan kebiasaan orang-orang padukuhan itu.
"Padukuhan ini nampak bersih kakang." desis Rara Wulan.
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun iapun mengakui bahwa padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan itu pada umumnya nampak bersih meskipun padukuhan-padukuhan itu dihuni bukan oleh orang-orang kaya. Rumah-rumah yang tidak terlalu besar yang nampak terawat. Halaman yang bersih dan regol yang rapi.
Tetapi ketika mereka sekali lagi memasuki bulak yang agak panjang, maka Rara Wulan mulai mengeluh. Katanya, "Aku lelah kakang."
Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya kepada Glagah Putih, "He, apakah perjalanan kita masih jauh?"
"Tidak." jawab Glagah Putih, "kita akan memasuki padukuhan diseberang bulak pendek ini. Kemudian diantarar oleh sebuah bulak pendek lagi, maka kita akan sampai ke satu lingkungan yang dipisahkan oleh padang rumput yang tidak terlalu luas. Kemudian pagar kayu yang berjajar rapat mengelilingi satu tempat yang dari jauh nampak se"perti pategalan yang agak luas. Nah dilingkungan pagar kayu yang rapat setinggi dua orang berdiri bersusun itulah barak pasukan khusus Mataram."
Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi Rara Wulanlah yang sekali lagi mengeluh, "Aku sudah lelah."
"Apakah kita akan beristirahat sebentar?" bertanya Teja Prabawa kepada adiknya.
Rara Wulan mengangguk. Sehingga karena itu, maka Teja Prabawapun berkata kepada Glagah Putih, "Kita berhenti sebentar disini. Adikku sudah merasa lelah."
Glagah Putih memang berhenti. Tetapi katanya, "Jarak yang akan kita tempuh tinggal beberapa puluh tonggak lagi. Kenapa kita harus berhenti?"
"Jangan bertanya lagi. Kau tentu sudah mendengar kata-kataku tadi." bentak Teja Prabawa.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Sesaat kemudian, maka kedua orang kakak beradik itupun telah mencari tempat untuk duduk. Mereka tidak mau duduk begitu saja diatas rerumputan dipinggir jalan. Namun agaknya mereka telah menemukan sebongkah batu yang besar yang terletak dipinggir jalan itu, sehingga merekapun kemudian duduk diatas batu itu.
Glagah Putih sendiri tidak ingin duduk. Tetapi ia tetap berdiri saja bersandar sebatang pohon turi yang tidak ter"lalu besar. Ketika kemudian dua orang anak muda lewat sambil memanggul cangkul tanpa mengenakan baju, sementara kakinya penuh dengan lumpur, Glagah Putih sempat menyapa mereka.
"Masih sepagi ini kalian telah selesai bekerja di sawah?" bertanya Glagah Putih.
"Tinggal sisa kerja kemarin." jawab salah seorang diantara mereka. Namun anak muda itupun bertanya, "Apa kerjamu disini?"
"Mengantar kedu cucu Ki Lurah Branjangan yang ingin pergi ke barak." jawab Glagah Putih.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ketika keduanya memandang kedua cucu Ki Lurah, maka kedua cucu Ki Lurah itu sama sekali tidak memandang mereka. Ketika mereka kemudian berpaling lagi kepada Glagah Putih, maka Glagah Putih hanya dapat mengangkat bahunya.
Kedua anak muda yang kotor oleh lumpur itu tersenyum. Hampir berbareng mereka berkata, "Sudahlah Glagah Putih."
"Silahkan." jawab Glagah Putih, "apakah kalian akan singgah disungai?"
"Ya. Kami akan mandi dahulu." jawab seorang diantara mereka.
"Bagaimana dengan pliridanmu?" bertanya Glagah Putih kemudian.
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Aku sudah tidak telaten lagi. Belumbangku dipinggir kali dihalaman kakek itu sudah mulai panen."
"Beruntung kau mempunyai tanah di pinggir kali, se"hingga kau dapat membuat belumbang yang setiap kali tinggal memungut ikannya." sahut Glagah Putih.
Kedua anak muda itu tertawa. Namun merekapun segera meninggalkan tempat itu. Ketika mereka sekali ber"paling kepada kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu, maka Teja Prabawa sedang memandang mereka pula. Namun cepat-cepat ia telah melemparkan pandangan matanya kekejauhan.
Glagah Putih hanya tersenyum saja melihat tingkah laku kedua orang anak muda dari Kotaraja yang masih menganggap dirinya orang berderajad tinggi, sementara Glagah Putih yang pernah mengenal dengan akrab Raden Rangga, dapat membedakan sifat anak-anak muda dari Kotaraja itu.
"Bahkan Ki Lurah Branjangan sendiri sama sekali tidak lagi memiliki sifat-sifat tinggi hati seperti kedua cucu"nya itu." berkata Glagah Putih didalam hatinya. Lalu kata"nya pula kepada diri sendiri, "Mungkin karena anak Ki Lurah Branjangan adalah ibu anak-anak muda itu. Semen"tara anak-anak muda itu telah memiliki sifat ayahnya."
Tiba-tiba saja Glagah Putih ingin mengetahui, siapakah ayah dari kedua orang anak muda itu. Agaknya baik Agung Sedayu maupun Ki Gede masih belum bertanya ten"tang ayah kedua anak muda yang tinggi hati dan tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu. Tetapi Glagah Putih segera menanyakannya langsung kepada kedua anak muda itu. Glagah Putih menyadari, bahwa jika ia bertanya kepadanya, hanya akan menim"bulkan kejengkelan saja.
Glagah Putih mengerutkan dahinya ketika didengarnya Teja Prabawa itu berbicara kepada adiknya, "Nah, kau lihat Wulan. Anak-anak padesan itu hidupnya selalu dilumuri oleh lumpur di sawah."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Jawabnya, "Tetapi nampaknya mereka tidak merasa dirinya kotor."
"Tentu tidak." tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, "seandainya mereka memang kotor, yang kotor hanyalah kulitnya saja. Wadagnya saja."
Teja Prabawa memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian dengan nada tinggi ia bertanya, "Apa yang kau maksud?"
"Raden." jawab Glagah Putih, "kami, anak-anak muda Tanah Perdikan ini memang harus bekerja sebagaimana mereka lakukan. Akupun pada saat-saat tertentu harus turun kesawah, membajak, meratakan dengan garu dan kerja-kerja berat lainnya untuk menyiapkan lahan se"hingga perempuan-perempuan pada saatnya turun untuk memanen padi. Jika padi sudah mulai tumbuh maka kamipun pada saat-saat tertentu harus turun pula untuk menyiangi. Kerja itu memang membuat tubuh kami kotor. Te"tapi hanya tubuh kamilah yang dikotori oleh lumpur sawah. Sedangkan jiwa kami anak-anak padesan, aku kira sama sa"ja dengan anak-anak muda dimana-mana. Jiwa kami dapat kotor, tetapi juga mungkin bersih."
"Kau ingin mengatakan bahwa jiwa anak-anak pade"san lebih bersih dari jiwa anak-anak Kotaraja?" tiba-tiba saja Raden Teja Prabawa membentak.
Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa jiwa kami anak padesan sama saja dengan jiwa anak dimanapun mereka tinggal. Dapat bersih dan dapat juga kotor. Masalahnya adalah masalah yang sangat pribadi. Tetapi jangan dikira bahwa ling"kungan dan pergaulan tidak akan mempengaruhi warna jiwa kita."
Tiba-tiba saja Teja Prabawa itu bangkit berdiri. Selangkah ia maju sambil berkata, "Kau mencoba menggurui aku he?"
Glagah Putih justru tertawa. Katanya, "Tidak Raden. Tentu aku tidak akan dapat menggurui Raden. Jika aku mengucapkannya, rasa-rasanya aku memang sedang menghafal nasehat-nasehat yang pernah diberikan oleh Ki Gede kepada kami. Karena itu apa yang aku katakan lebih banyak aku tujukan kepada diriku sendiri."
Raden Teja Prabawa menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Tetapi kepada adiknya ia berkata, "Apakah kau masih lelah" Jika tidak akan berjalan lagi. Bukankah jaraknya sudah tidak begitu jauh."
Rara Wulan mengangguk. Iapun kemudian bangkit ber"diri, mengibaskan kainnya dengan tangannya. Jawabnya, "Marilah. Aku sudah tidak letih lagi."
Ketiga anak muda itupun kemudian telah melanjutkan perjalanan mereka menyusuri bulak yang tidak begitu pan"jang. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan lagi, maka mereka melihat seperti padukuhan-padukuhan yang pernah mereka lewati padukuhan itupun nampak bersih. Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, dengan ramahnya menyapa Glagah Putih. Namun kedua orang cucu Ki Lurah itu tidak pernah menghiraukan mereka. Tetapi orang-orang padukuhan itu mengerti, bahwa kedua orang itu tentu anak-anak muda dari Kota Raja menilik pakaian yang mereka kenakan. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak merasa berkecil hati melihat sikap mereka berdua.
Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah keluar dari pintu gerbang padukuhan itu dan sekali lagi memasuki bulak yang tidak begitu panjang. Dari kejauhan mereka sudah melihat satu lingkungan yang terpisah, yang dari kejauhan nampak seperti pategalan dengan pepohonan yang lebih jarang dari sebuah padukuhan. Bahkan ketika mereka sudah berjalan memasuki bulak pendek itu, mereka telah melihat dinding kayu yang diatur rapat. Balok-balok yang tidak begitu besar berjajar dan diikat dengan tali ijuk yang kuat. Dibeberapa bagian, terutama didekat pintu ger"bang utama dan pintu-pintu gerbang butulan, dindingnya dibuat dari batu bata yang besar-besar. Namun setiap saat, bangunan barak Pasukan Khusus itu masih saja mengalami perbaikan-perbaikan meskipun perlahan-lahan.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ke sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Dibelakang lapangan rumput itulah terletak pintu gerbang utama barak Pasukan Khusus itu, sehingga lapangan rumput itu seakan-akan merupakan halaman depan yang luas dari barak itu. Namun dibelakang barak itu, meskipun juga diantarai oleh lapangan rumput, terdapat hutan yang tidak terlalu lebat yang memanjat pebukitan dan gumuk-gumuk kecil. Namun semakin tinggi hutan itu memanjat pebukitan, maka hutan itupun menjadi semakin lebat pula.
Glagah Putih yang mengantarkan cucu Ki Lurah itu telah membawa kedua anak muda itu menuju ke pintu ger"bang utama. Dua orang prajurit yang bertugas berdiri disebelah menyebelah pintu gerbang itu dengan tombak ditangan.
Ketika ketiga anak muda itu mendekati pintu gerbang, maka seorang diantara kedua prajurit yang bertugas itu telah menyapa, "Glagah Putih. Kau mau kemana?"
Glagah Putih tersenyum. Ia sudah mengenal prajurit dari Pasukan Khusus itu. Kecuali dalam tugas-tugas tertentu di Tanah Perdikan itu mereka sering bertemu, anak muda yang bertugas itu adalah anak muda yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh yang tergabung didalam Pa"sukan Khusus itu.
"Aku mengantarkan kedua cucu Ki Lurah Branjangan." jawab Glagah Putih.
"Cucu Ki Lurah Branjangan?" bertanya prajurit itu.
"Ya." jawab Glagah Putih, "mereka ingin bertemu dengan Senapati yang baru itu."
"Untuk apa" Apakah mereka mendapat pesan dari Ki Lurah?" bertanya prajurit itu.
"Bertanyalah sendiri kepada mereka." jawab Glagah Putih.
Prajurit itu memandang Teja Prabawa dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah keperluan kalian bertemu dengan Senapati?"
Raden Teja Prabawa memang agak menjadi bingung untuk menjawab. Ia memang tidak mempunyai keperluan khusus dengan pimpinan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Tetapi ia sudah berdiri di muka barak itu, sementara prajurit yang bertugas di pintu gerbang itupun telah bertanya pula kepadanya. Karena itu, maka iapun telah menjawab asal saja, "Aku hanya ingin bertemu."
Prajurit yang bertugas itu termangu-mangu. Dengan nada heran ia bertanya pula, "Hanya karena ingin bertemu begitu saja"
Biasanya Senapati tentu menanyakan, apakah kepentingan seseorang yang akan menemuinya. Pada hari-hari terakhir, Senapati nampak sangat sibuk. Bukan hanya
mengenai latihan-latihan dan penempaan pasukan, tetapi hubungan dengan Mataram pun berjalan lebih sering dari biasanya. "
Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Aku adalah cucu Ki Lurah Branjangan. Bukankah kakek pernah berada di barak ini" Aku hanya sekedar ingin melihat-lihat saja. "
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang perwira muda yang kebetulan mendengar pembicaraan itupun berkata " Jadi keduanya adalah cucu Ki Lurah Branjangan" "
" Ya " jawab prajurit yang bertugas.
" Baiklah. Biar aku yang menyampaikan kepada Senapati.
Tetapi aku tidak tahu, apakah mereka berdua akan dapat diterima atau tidak " berkata perwira muda itu.
Ketika ia melangkah meninggalkan pintu gerbang menuju ke barak khusus yang dipergunakan oleh Senapati yang lebih senang disebut Nagageni itu bekerja, seorang perwira muda yang lain, yang kebetulan adalah adik Nagageni, menyusulnya.
" Siapa mereka he" " bertanya adik Nagageni itu.
" Cucu Ki Lurah Branjangan " jawab perwira muda itu.
"Ki Lurah Branjangan yang menurut pendengaranku pernah memimpin Pasukan Khusus ini" " bertanya adik Senapati Nagageni itu pula.
"Ya. Bukan sekedar memimpin. Tetapi Ki Lurah Branjangan adalah seorang prajurit yang telah menyusun dan membentuk pasukan khusus ini pada saat-saat Mataram
bangkit " jawab perwira muda itu.
"Siapa gadis itu" " bertanya adik Senapati.
"Sudah aku katakan, cucu Ki Lurah " jawab perwira muda itu.
"Kau kenal gadis itu" " bertanya adik Nagageni.
Perwira muda itu menggeleng. Katanya " Aku baru melihat mereka diregol. "
" Nampaknya kau mulai tertarik. Ternyata kau dengan serta merta bersedia menyampaikan kedatangannya kepada kakang Senapati " berkata adik Nagageni itu.
Perwira muda itu justru terhenti. Dipandanginya adik Nagageni itu dengan tajamnya. Dengan suara berat ia menyahut " Kau kira aku laki-laki seperti kau yang langsung tertarik kepada seorang gadis begitu melihatnya" "
Perwira muda adik Nagageni itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia berdesis " Tetapi gadis itu sangat cantik. "
" Jika demikian, kau sajalah yang menghadap Senapati Nagageni. Katakan kepada kakakmu itu, bahwa cucu Ki Lurah Branjangan ingin bertemu. Mereka tidak mempunyai keperluan khusus selain sekedar ingin melihat-lihat. Nah, terserah kepadamu. Mudah-mudahan kau mendapat tugas dari kakakmu untuk mengantar keduanya berjalan-jalan di barak ini " berkata perwira muda itu.
Adik Nagageni berpikir sejenak. Namun tiba-tiba saja ia bertanya " Dimana keduanya sekarang" "
" Bukankah kau tahu bahwa keduanya masih berada diregol" " jawab perwira muda itu.
Adik Nagageni mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah.
Biarlah aku yang menyampaikannya kepada kakang Senapati."
Dengan demikian, maka adik Nagageni itulah yang
menemui kakaknya di ruangan khususnya. Dengan singkat ia
menyatakan bahwa kedua cucu Ki Lurah Branjangan ingin
menghadap. " Apakah ia membawa pesan dari Ki Lurah" " bertanya
Nagageni. " Menurut keterangannya tidak. Mereka hanya ingin
melihat-lihat. Mungkin karena mereka mengetahui bahwa
kakeknyapun pernah berada di barak ini. "
"Yang pernah berada di barak ini adalah Ki Lurah
Branjangan. Bukan cucunya. Untuk apa mereka ingin melihatlihat"
" bertanya kakaknya.
" Aku tidak tahu. Mungkin mereka pernah mendengar
ceritera tentang kakeknya yang telah berhasil menyusun
Pasukan Khusus Mataram disini " jawab adiknya.
" Omong kosong " geram Senapati itu " apa yang pernah
dihasilkan oleh Ki Lurah Branjangan" Setiap orang dapat saja
mengumpulkan anak-anak muda, memberi makan dan
pakaian, menyediakan tempat untuk tidur dan memberikan
uang gaji mereka setiap bulan. Tetapi kemampuan pasukan
itu ternyata tidak berarti sama sekali. Bahkan pemimpinpemimpin
sesudahnyapun tidak berhasil membentuk pasukan
ini sesuai dengan namanya. Pasukan Khusus. Baru sekarang,
kita mulai membentuk pasukan ini dengan bersungguhsungguh.
" " Apapun yang mereka katakan, tetapi apa salahnya jika
berada sekedar melihat-lihat barak ini" " bertanya adiknya.
" Kita harus mencurigai setiap orang sekarang ini " jawab
Senapati itu " karena itu, kita harus yakin, bahwa keduanya
tidak berbahaya bagi kita. "
" Aku dapat menanggung bahwa keduanya tidak
berbahaya. Keduanya masih sangat muda. Seorang diantaranya
adalah seorang gadis, yang cantik " berkata adiknya.
Senapati Pasukan Khusus itu mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya " Aku mengerti sekarang. Kau tentu
menganggap bahwa gadis itu cantik sekali, sehingga kau
tertarik kepadanya. "
Perwira muda itu tertawa.
" Sebenarnya aku ingin menasehatimu. Jangan terlalu
mudah tertarik kepada wajah yang cantik. Kau dapat
terjerat kedalam kesulitan " berkata Nagageni.
" Kali ini aku tidak akan berbuat seperti yang pernah aku
lakukan sebelumnya kakang. Apalagi jika gadis itu cucu Ki
Lurah Branjangan. Aku memang tertarik kepada gadis itu.
Tetapi aku akan memperlakukannya dengan baik. Siapa tahu,
bahwa gadis itu akan dapat menjadi pasangan hidupku kelak "
berkata perwira itu. Nagageni termangu-mangu sejenak. Meskipun demikian, ia
ingin melihat kedua anak muda itu dan berbicara dengan
mereka. Apakah benar-benar mereka tidak berbahaya bagi
barak Pasukan Khusus itu. Atau bahkan kedua cucu Ki Lurah
itu membawa tugas khusus yang bersifat rahasia dari Ki Lurah
itu sendiri. Karena itu, maka Nagageni itu pun berkata " Bawalah
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua anak itu kemari. Aku ingin melihat mereka. "
" Baik kakang " jawab perwira muda itu.
Dengan tergesa-gesa perwira muda itupun telah pergi ke
regol. Didapatinya kedua orang yang disebut cucu Ki Lurah itu
masih ada diregol. Tetapi ternyata bahwa mereka datang
bertiga. Ketiga perwira itu berdiri digerbang barak itu, maka iapun
telah bertanya " Siapakah diantara kalian cucu Ki Lurah
Branjangan" " Teja Prabawa dan Rara Wulan menjawab hampir bersama
" Aku. " Perwira muda itu mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya
pula " Siapakah yang seorang itu" "
" Glagah Putih " jawab Teja Prabawa " anak Tanah
Perdikan ini yang diperintahkan oleh Ki Gede mengikuti aku
kemari. " Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak berkata
apapun juga. Sementara itu perwira muda itupun berkata " Perintah
Senapati, hanya cucu Ki Lurah saja yang diperkenankan
memasuki barak ini. "
Glagah Putih memang tersinggung mendengar keterangan
perwira muda itu. Apalagi ketika Teja Prabawa berkata " Jika
demikian, biarlah anak itu menunggu aku diluar dinding barak.
" " Marilah. Silahkan menghadap " perwira itu mempersilahkan.
Teja Prabawapun kemudian telah membimbing adiknya
melangkah masuk. Sementara itu ia berpaling kepada Glagah
Putih sambil berkata " Kau tunggu disini. Sebelum aku keluar,
kau tidak boleh pergi. "
Terasa telinga Glagah Putih menjadi panas. Memang sulit
untuk memenuhi pesan Agung Sedayu. Bahkan Glagah Putih
itu telah bergeremang didalam hatinya " Mungkin kakang
Agung Sedayu dapat melakukannya. Tetapi aku merasa
sangat berkeberatan mendapat perlakuan seperti ini. "
Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Teja
Prabawa telah membentak " Kau dengar perintahku he" -
Dengan susah payah Glagah Putih menahan gejolak
didalam dadanya. Dengan suara bergetar ia menjawab "
Baiklah Raden. " Teja Prabawa memandanginya sejenak. Namun kemudian
bersama adik perempuannya ia memasuki pintu gerbang
barak Pasukan Khusus, mengikuti perwira muda yang akan
membawa mereka menghadap pimpinan barak itu.
Perwira muda yang lain, yang mula-mula akan melaporkan
kehadiran kedua cucu Ki Lurah itu memandang dari kejauhan.
Ia sempat tersenyum sendiri melihat tingkah laku adik
Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah
Perdikan itu. Demikianlah, maka kedua cucu Ki Lurah telah dibawa
menghadap Senapati yang memimpin barak Pasukan Khusus
itu. Setelah berbicara beberapa patah kata, serta beberapa
pertanyaan Senapati itu sudah dijawab, maka Senapati yang
mempunyai pengenalan yang tajam itupun segera mengetahui
bahwa kedua orang itu memang tidak berbahaya sama sekali.
Bahkan ada kesan bahwa keduanya adalah anak-anak muda
yang manja, yang tidak banyak mengetahui lingkungan diluar
dinding rumahnya. Namun akhirnya Senapati itu bertanya " Maaf anak-anak
muda, yang kalian katakan selalu kakek kalian, Ki Lurah
Branjangan. Bolehkah aku mengetahui, siapakah ayah kalian"
" " Ayahku adalah seorang pejabat di istana Panembahan
Senapati. Sedang kakekku, ayah dari ayahku adalah seorang
Tumenggung " jawab Teja Prabawa.
" O, jadi kakekmu yang satu lagi dari aliran darah ayahmu
adalah seorang Tumenggung" " bertanya Senapati itu.
" Satu jabatan yang tinggi " berkata Senapati itu
selanjutnya. " Ya. " Jawab Teja Prabawa " Tumenggung memang
kedudukan yang tinggi. Tetapi kakekku dari jalur ibuku,
meskipun hanya berpangkat Lurah, tetapi kakek agak lebih
dekat dengan Panembahan Senapati itu sendiri daripada
orang lain yang meskipun telah tinggi pangkatnya. "
" Ya, aku tahu. Disaat-saat Mataram bangkit berdiri,
kakekmu itu telah ikut bekerja keras membuka Alas Man-taok.
Itulah sebabnya kakekmu merupakan orang yang sangat
dekat dengan Panembahan Senapati itu sendiri. Demikian
pula saat-saat Pasukan Khusus ini dibentuk " berkata
Senapati itu pula. Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia ikut berbangga,
bahwa Senapati itu mengakui peranan kakeknya
pada Pasukan Khusus di barak itu.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun kemudian telah
memerintahkan kepada perwira muda yang kebetulan adalah
adiknya itu " Bawalah keduanya melihat-lihat. Hati-hati, jangan
memasuki tempat-tempat yang memang dianggap rahasia. "
" Baik Senapati " jawab perwira muda itu, yang kemudian
berkata kepada Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan "
Marilah. Kita berjalan-jalan. "
Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan merasa senang
bahwa mereka mendapat sambutan yang ramah dari pimpinan
barak Pasukan Khusus itu. Sehingga didalam hati Raden Teja
Prabawa dan adiknya itu berkata " Kalau saja anak Tanah
Perdikan itu melihat sambutan dari para pemimpin barak itu,
maka ia tidak akan dapat menyombongkan diri lagi. "
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah menelusuri
lorong-lorong yang terdapat di barak Pasukan Khusus itu.
Mereka melihat-lihat barak-barak yang dibangun diantara
halaman yang ditumbuhi pepohonan yang hijau. Kemudian
beberapa sanggar khusus yang dipergunakan untuk latihanlatihan
berat. Sementara itu, di bagian tengah dan belakang
dari barak itu terdapat lapangan rumput yang meskipun tidak
terlalu luas, namun mencukupi untuk mengadakan latihanKang
Zusi - http://kangzusi.com/
latihan dalam kelompok-kelompok dengan berbagai macam
peralatan. Sementara itu, diluar barak, Glagah Putih dengan jantung
yang berdegupan semakin keras justru karena itu menahan
diri. Jika ia tidak mengingat pesan kakak sepupunya, maka
rasa-rasanya ia tidak akan menyiksa diri menunggu didepan
barak itu. Padahal Ki Lurah Branjangan sendiri telah
berpesan, agar suatu saat jika perlu ia dapat berbuat sesuatu
untuk sedikit memberikan pengalaman bagi kedua cucunya
itu. Dalam pada itu, prajurit yang bertugas, yang kebetulan
telah mengenalnya itu telah bertanya kepadanya " Kenapa
kau hanya menunggu diluar" Sikapnya tidak
menyenangkan meskipun keduanya adalah cucu Ki Lurah
Branjangan. " Agaknya Ki Lurah juga tidak menyukai sikapnya itu. Itulah
sebabnya ia telah membawa kedua cucunya itu kemari, agar
mereka mendapatkan satu pengalaman baru dalam hidupnya
" berkata Glagah Putih.
" Bawa saja mereka masuk ke dalam hutan " berkata
prajurit itu " bawalah mereka ke tempat yang banyak terdapat
binatang buasnya, biar mereka tahu, siapa sebenarnya
mereka itu. " Rasa-rasanya akupun ingin berbuat demikian " jawab
Glagah Putih " tetapi kakang Agung Sedayu terlalu sabar. Ia
berpesan kepadaku, agar aku tetap berlaku baik sebagai tuan
rumah. " Prajurit itu tertawa. Katanya " Agung Sedayu memang
orang aneh. Tetapi siapa yang dapat berlaku sebagaimana
kakak sepupumu itu" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan
menahan gejolak didalam dirinya, Glagah Putih itupun
kemudian menjatuhkan dirinya dan duduk bersandar dinding
dekat kawannya yang bertugas.
" He, jangan duduk disitu " berkata kawannya yang
bertugas " kau akan diusir. Duduklah agak kesana. Jangan
terlalu dekat dengan dinding.
" Kau akan mengusir aku" " bertanya Glagah Putih.
" Bukan aku, tetapi kawanku ini " jawab prajurit itu sambil
berpaling kepada kawannya yang berdiri di sisi lain dari pintu
gerbang itu. Tetapi kawannya itupun hanya tersenyum saja tanpa
menjawabnya. Glagah Putih yang sudah terlanjur duduk itu tidak segera
bangkit. Tetapi ia menjawab " Aku mempunyai tugas untuk
menunggu kedua cucu Ki Lurah Branjangan. "
Kawannyapun kemudian hanya tertawa saja. Sedangkan
Glagah Putih tidak lagi menghiraukan apa saja. Bahkan iapun
telah memejamkan matanya, seolah-olah ia akan tidur sambil
bersandar dinding. Dalam pada itu, Raden Teja Prabawa telah berjalan-jalan
mengelilingi barak Pasukan Khusus itu bersama adiknya,
diantar oleh seorang perwira muda yang dengan sangat
ramah, bahkan agak berlebih-lebihan telah menerangkan
berbagai macam bangunan yang ada dibarak itu. Merekapun
telah memasuki lapangan berlatih bagi Pasukan Khusus itu,
dan bahkan sanggar-sanggar yang dipergunakan untuk
melakukan latihan-latihan yang berat.
Ternyata bahwa perwira muda itu, bukan saja ingin
menunjukkan berbagai macam kelengkapan yang ada di
barak itu sebagai alasan untuk dapat berjalan-jalan lebih lama
dengan Rara Wulan, namun iapun telah berusaha untuk
menunjukkan kelebihannya dalam olah kanuragan.
Karena itu, maka ketika mereka berada disanggar yang
cukup besar yang terdapat disalah satu sudut halaman barak
itu, perwira itu berkata " Marilah. Kita dapat mempergunakan
segala peralatan ini untuk bermain-main. Aku kira kita juga
mendapat kesempatan untuk melakukannya " lalu iapun
bertanya kepada Raden Teja Prabawa " Marilah. Sekali-sekali
kita berlatih bersama" "
Keringat dingin telah membasahi punggung Teja Prabawa.
Ia bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup baik.
Meskipun ia juga berlatih olah kanuragan, namun melihat
peralatan yang ada di barak itu, ia menjadi gelisah, bahwa
ilmu yang dimilikinya itu tidak berarti sama sekali dihadapan
seorang perwira muda Pasukan Khusus yang terkenal itu.
Seandainya yang ada di barak itu adalah Glagah Putih, maka
ia akan dengan bangga menunjukkan kemampuannya.
Karena Teja Prabawa tidak segera menyahut, maka
perwira muda itu mendesaknya " Marilah. Kita hanya
sekedar bermain-main. "
Tetapi Raden Teja Prabawa itu menggeleng. Katanya " Aku
masih terlalu letih. Silahkan, barangkali aku perlu melihat
tingkat kemampuan para perwira di barak ini. "
Perwira muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
keinginannya untuk menunjukkan kemampuannya tidak dapat
ditahankannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata "
Baiklah. Aku akan bermain-main sendiri. Tetapi kalian jangan
mentertawakannya. Ilmuku masih terlalu dangkal. "
" Jangan terlalu merendah " berkata Raden Teja Prabawa.
Perwira itupun kemudian telah bersiap. Iapun mengangguk
kepada kedua cucu Ki Lurah itu berganti-ganti. Kemudian ia
mulai membuka langkah sambil menggerakkan tangannya
perlahan-lahan mengembang dan terangkat semakin tinggi,
sehingga kemudian kedua telapak tangan-nyapun telah
terkatup sambil bergerak turun perlahan-lahan. Dimuka
dadanya kedua tangan itu telah terurai lagi. Satu tangan
kemudian telah mengepal, sementara tangan yang lain tetap
terbuka dengan jari-jari yang merapat. Kemudian dengan satu
hentakkan, tangan yang mengepal itu memukul kedepan,
sementara sebelah kakinya telah melangkah setengah
langkah sambil menekuk lututnya, sedangkan tangannya yang
lain ditariknya disamping lambungnya.
Baru kemudian, perwira itu mulai dengan melepaskan
beberapa unsur gerak dari ilmunya. Semakin lama semakin
cepat, sehingga akhirnya, perwira itu tidak lagi nampak
ujudnya dimata kedua cucu Ki Lurah. Perwira muda itu telah
berubah bagaikan bayangan yang berterbangan, bahkan
seolah-olah tidak lagi menjejak tanah. Sekali bahkan perwira
muda itu telah melenting dan hinggap pada patok-patok yang
dibuat dari batang pohon kelapa yang utuh dengan tinggi yang
tidak sama. Kaki perwira itu seolah-olah mampu melekat pada
tempat yang disentuhnya. Raden Teja Prabawa memang menjadi sangat heran
melihat kemampuan perwira muda itu. Untunglah bahwa ia
tidak bersedia untuk mengadakan latihan bersama, karena
ilmu mereka memang tidak seimbang.
Rara Wulan yang serba sedikit juga mempelajari ilmu
kanuragan benar-benar telah dicengkam oleh keheranan
melihat ketangkasan perwira muda itu. Rasa-rasanya ia
memang belum pernah melihat kemampuan seseorang yang
demikian tinggi. Ia pernah mendengar betapa kakeknya, Ki
Lurah Branjangan memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kedua
cucunya itu belum pernah mendapat kesempatan untuk
melihatnya. Karena itu, maka anak muda itu menyaksikan unsur-unsur
gerak perwira muda itu dengan mata yang bagaikan tidak
berkedip. Beberapa saat kemudian, gerak itupun semakin susut pula.
Perwira muda itu telah meloncat dari patok-patok batang
kelapa dan bergerak dengan tangkasnya dilantai sanggar.
Namun kemudian, ia telah sampai pada akhir permainannya.
Perwira muda itu telah berdiri tegak. Tangannya mulai
bergerak perlahan-lahan. Terangkat dan kemudian mengatup
didepan dadanya kemudian perlahan-lahan turun dan dengan
lemah tergantung disisi tubuhnya seakan-akan kedua
tangannya itu telah terlepas dari penguasaannya.
Ketika perwira muda itu kemudian mengangguk hormat,
maka kedua cucu Ki Lurah itu telah bertepuk tangan. Mereka
benar-benar merasa kagum melihat ilmu kanuragan yang
sangat tinggi dari perwira muda itu.
" Luar biasa " desis Rara Wulan diluar sadarnya. Perwira
muda itu mengangguk hormat sambil berkata " Memang tidak
begitu berarti. " Tetapi Teja Prabawa menyahut " Aku belum pernah
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyaksikan tingkat ilmu setinggi itu. "
" Tentu ilmu kanuraganmu jauh lebih tinggi dari ilmuku itu "
sahut perwira muda itu. Raden Teja Prabawa memang ragu-ragu untuk mengaku.
Tetapi Rara Wulanlah yang menjawab " memang, ilmunya
tidak setinggi ilmu Ki Sanak. "
" Ah, kau terlalu merendahkan diri " jawab perwira muda itu.
" Tidak " jawab Teja Prabawa. Ia tidak dapat berbuat lain
kecuali mengucapkan pengakuan " Untung aku tidak bersedia
berlatih bersamamu. Jika demikian, maka kau akan
mengetahui betapa rendahnya ilmu kanuraganku. "
" Jangan memuji. Ilmuku belum seberapa dibanding
dengan ilmu Senapati yang sekarang memimpin Pasukan
Khusus ini. " berkata perwira itu.
" Aku percaya. Inilah gambaran dari pasukan yang ada di
tanah Perdikan Menoreh ini, yang dahulu pernah dibentuk
oleh kakek Lurah Branjangan. " berkata Teja Prabawa.
Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian " Tetapi tingkat kemampuan Pasukan Khusus ini
tidak dengan serta merta berada pada tataran sekarang.
Setingkat demi setingkat, Pasukan ini telah ditempa sehingga
akhirnya Senapati yang sekarang itulah yang telah berhasil
meningkatkan kemampuan Pasukan Khusus ini sehingga
benar-benar mencapai tataran yang diinginkan.
Kedua cucu Ki Lurah itu hanya mengangguk-angguk saja.
Mereka tidak merasa tersinggung karena kakeknya yang
dianggap tidak berhasil melakukan tugasnya dengan
sempurna, karena kedua cucu Ki Lurah itu memang tidak
dapat menggapai penalaran sampai sekian jauh.
Raden Teja Prabawa tiba-tiba terkejut ketika perwira muda
itu kemudian berkata " Apakah kau akan bermain-main juga" "
" Tidak " jawab Teja Prabawa " tidak ada yang dapat aku
tunjukkan kepadamu. Mungkin setelah aku melatih diri selama
lima tahun lagi, baru aku akan berbuat sebagaimana kau
lakukan itu. Jilid 234 KI LURAH menarik nafas dalam-dalam. "Biarlah me"reka mengenal kenyataan yang keras dari kehidupan ini." katanya. Lalu, "kalian jangan terlalu berendah hati. Sekali-sekali kalian menunjukkan kenyataan-kenyataan itu. Jika tidak demikian maka gagallah usahaku membawa mereka kemari. Terutama Teja Prabawa. Ayahnya, yang memang seorang Tumenggung, terlalu memanjakan mereka dan mendidiknya menjadi seorang bangsawan yang sombong dan keras kepala. Tetapi keduanya kurang mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Biarlah semuanya terjadi dengan perlahan-lahan Ki Lurah."
"Aku sependapat. Tetapi bukannya tidak sama sekali." berkata Ki Lurah.
"Tanah Perdikan yang keras ini menunjukkan kenya"taan itu." berkata Agung Sedayu pula.
"Ya. Namun nampaknya kedua cucuku memang mengagumi seorang perwira muda dari Pasukan Khusus itu, yang kebetulan adalah adik dari Nagageni yang baru dalam beberapa bulan memimpin pasukan di barak itu." berkata Ki Lurah.
Agung Sedayu masih saja tersenyum. Katanya, "Lebih baik bukan kita yang merusakkan citra perwira muda itu. Biarlah semuanya berlangsung. Adalah lebih baik jika per"wira muda itu dapat menunjukkan kenyataan-kenyataan,yang keras itu kepada Teja Prabawa."
Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita menunggu saja perkembangannya. Tetapi sebenarnya aku lebih senang jika angger Glagah Putih yang membawa cucu-cucuku berjalan-jalan."
"Mereka nampaknya tidak begitu tertarik kepadaku Ki Lurah." berkata Glagah Putih, "mereka telah mengusirku di barak Pasukan Khusus."
"Kau telah kejangkitan penyakit kakak sepupumu." desis Ki Lurah.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Bukankah kita memang wajib menjadi tuan yang baik?"
Ki Lurahpun akhirnya tertawa pula. Tetapi ia berkata, "Bagaimanapun juga aku akan meyakinkan cucu-cucuku. Kalau perlu aku akan menyuruhnya menantang Glagah Putih berkelahi. Aku minta Glagah Putih membuat wajahnya sedikit merah dan panas agar ia menyadari, siapakah sebenarnya dirinya itu."
"Jangan terlalu keras mendidik anak-anak muda Ki Lurah." berkata Agung Sedayu, "aku usulkan agar Ki Lurah tidak mempergunakan cara itu. Cara yang terbaik adalah membiarkannya mengalami pada saatnya."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian ber"kata, "Aku tidak terlalu lama disini. Mudah-mudahan akan berarti bagi kedua cucuku itu."
Agung Sedayu menyahut, "Tentu Ki Lurah. Mereka akan mendapatkan pengalaman yang menarik di Tanah Perdikan ini."
Ki Lurahpun kemudian berkata, "Baiklah. Aku ingin mereka berceritera pengalaman mereka dihari pertama."
Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri. Mungkin Ki Lurah akan dapat berbicara dengan cucu-cucunya tentang keadaan yang telah mereka alami dihari pertama perkenalan mereka dengan Tanah Per"dikan ini.
Dari serambi gandok kedua orang itu masih memasuki seketheng untuk minta diri kepada Ki Gede yang sedang beristirahat di ruang dalam. Sementara Ki Lurahpun telah masuk pula kedalam bilik cucu-cucunya.
Di perjalanan pulang, Glagah Putih dan Agung Sedayu masih membicarakan kedua cucu Ki Lurah. Seperti yang pernah dikatakannya, maka sekali lagi Agung Sedayu ber"kata, "Mudah-mudahan perwira muda itu dapat memberikan kesempatan kepada kedua cucu Ki Lurah itu. Aku harap kedua cucu Ki Lurah mendapatkan pengalaman seperti yang dikehendaki oleh kakeknya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi kata hatinya memang agak berbeda. Meskipun demikian ia tidak berani mengatakannya kepada kakak sepupunya itu.
Di gandok rumah Ki Gede, Teja Prabawa memang sempat pula berceritera tentang perwira muda yang mengagumkan itu. Teja Prabawa juga berceritera bahwa ia sempat melihat perwira itu berlatih didalam sanggar.
"Ilmu yang sangat tinggi yang belum pernah aku saksikan sebelumnya." berkata Teja Prabawa.
Ki Lurah hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata iapun tidak sampai hati membuat cucunya itu kecewa. Namun demikian Ki Lurah masih berharap bahwa dihari-hari berikutnya, terjadi sesuatu yang berharga bagi kedua cucu"nya itu.
Dimalam harinya, ternyata Glagah Putih bahkan telah merasa terganggu ketenangannya. Rasa-rasanya kedua cucu Ki Lurah itu telah menimbulkan masalah didalam dirinya. Justru karena ia harus mengekang diri sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu. Karena kegelisahannya itulah, maka Glagah Putih telah keluar dari biliknya justru pada saat pembantu di"rumah itu mulai terbangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sungai.
Rahasia Laskar Iblis 2 Wiro Sableng 127 Mayat Persembahan Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 8