Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 27

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 27


"Aku ingin tugas ini segera selesai. Karena itu, Kakang jangan bergerak terlalu lamban" "Sejak malam ini hamba akan bergerak. Hamba akan mulai dengan beberapa orang prajurit sandi" "Ingat, Kakang. Harya Wisaka mempunyai pengikut cukup banyak. Jika ia sempat berada di tengah-tengah pengikutnya, maka upaya untuk menangkapnya akan menjadi semakin sulit" "Hamba, Kangjeng Sultan. Hamba akan berusaha mencari jejaknya secepatnya" "Baiklah. Aku serahkan usaha penangkapan ini kepada Kakang Pemanahan" "Hamba junjung perintah Paduka" sahut Ki Gede. Namun katanya kemudian kepada mereka yang ada di paseban dalam itu, "Meskipun tanggung jawab penangkapan Harya Wisaka itu diserahkan kepadaku, tetapi aku minta kalian membantuku. Terutama Ki Tumenggung Reksapati" "Aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan untuk membantu Ki Gede" "Nanti kita berbicara, Ki Tumenggung" "Baik, Ki Gede" Demikianlah Kangjeng Sultanpun menutup pertemuan yang tiba-tiba itu, karena ada persoalan yang sangat gawat telah terjadi. Beberapa orang pemimpin telah meninggalkan paseban dalam. Hanya Ki Gede dan Ki Tumenggung Reksapati sajalah yang masih tinggal. "Jadi Ki Gede pernah menghambat keputusan Kangjeng Sultan untuk menghukum mati Harya Wisaka?" bertanya Ki Tumenggung Reksapati. "Ya, Ki Tumenggung. Tetapi dasar perhitunganku adalah untuk menyelamatkan nama baik Kangjeng Sultan sendiri" "Aku sudah menduga. Bahkan Ki Gede melihat hubungan yang tidak wajar antara Kangjeng Sultan dengan Sekarsari?"
"Ya. Ternyata Sekarsari telah mengelabuhi kita semuanya. Bahkan Sekarsari telah merendahkan dirinya berhubungan dengan Ki Lurah Citrasemu" "Ya" "Lurah tampan yang bodoh itu harus mengorbankan nyawanya. Ia membawa bawahannya untuk menyergap para penjaga. Pertempuran itu terjadi dengan singkat. Semua petugas terbunuh. Tetapi separo dari pengikut Ki Lurah Citrasemu juga terbunuh. Demikian Harya Wisaka bebas, maka yang separo itu dibunuhnya tanpa banyak perlawanan. Tetapi seorang yang ternyata masih hidup itu sempat memberikan kesaksiannya" "Kenapa pertempuran yang terjadi di sekitar bilik tahanan itu luput dari perhatian para petugas yang lain?" Ki Tumenggung Reksapati menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Entahlah, Ki Gede. Tetapi mungkin karena pertempuran itu hanya terjadi dalam waktu yang singkat di tempat yang agak terasing meskipun masih di dalam lingkungan istana" Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah, Ki Tumenggung Reksapati. Yang dapat aku lakukan malam ini adalah memerintahkan para petugas sandi untuk mencari jejak. Tetapi kita tahu bahwa Harya Wisaka adalah orang berilmu sangat tinggi" "Aku menunggu perintah Ki Gede" "Kita siapkan pasukan. Menurut perhitunganku, Harya Wisaka akan segera berada di landasan kekuatannya. Jika kekuatannya bercerai-berai namun setelah Harya Wisaka berhasil meloloskan diri, maka ia akan dapat menghimpun kembali kekuatannya" "Baik, Ki Gede. Pasukanku besok saat matahari terbit sudah siap jika diperlukan" "Terima kasih. Kita pulang sekarang. Besok aku sendiri yang akan memimpin pencaharian ini" "Baik, Ki Gede"
Demikianlah, keduanyapun segera meninggalkan istana pulang ke rumah masing-masing. Namun sisa malam itu bukannya waktu yang dapat dipergunakan untuk beristirahat bagi Ki Gede Pemanahan. Demikian ia sampai di rumahnya, maka iapun telah memerintahkan pengawalnya untuk memanggil kepercayaannya, Ki Lurah Surapada. Demikian Ki Lurah itu menghadap, maka Ki Gedepun segera memberitahukan, bahwa Harya Wisaka telah melarikan diri dari bilik tahanannya. "Ya, Ki Gede" "Jadi kau sudah mendengar?" "Ya, Ki Gede. Tadi Wirasana sudah datang kemari untuk menghadap Ki Gede. Tetapi Ki Gede sudah pergi ke istana" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ada semacam kebanggaan Ki Gede terhadap kepercayaannya itu. Merekapun ternyata melakukan perintahnya dengan baik, sehingga merekapun dengan cepat mendengar berita tentang hilangnya Harya Wisaka. Sementara itu Ki Lurah Surapada itupun berkata lebih lanjut, "Kami mohon maaf, bahwa kami tidak segera dapat bertindak. Terus terang, kami yang ikut mengawasi dari jarak jauh Harya Wisaka yang berada di dalam bilik tahanan itu menjadi lengah, justru karena hubungan Sekarsari dan Harya Wisaka yang nampak menjadi semakin memburuk" "Bukan hanya kau yang telah dikelabuhi. Aku juga sudah disesatkannya. Sekarsari dan Harya Wisaka telah berperan dengan sangat baik dalam permainan yang mengasyikkan, seolah-olah mereka sudah saling menjauhi" "Yang terbodoh di antara para lurah prajurit dan pelayanan dalam adalah Citrasemu" desis Surapada. "Kasihan orang itu. Ia harus mengorbankan nyawanya" "Itu terjadi karena kedunguannya, Ki Gede" "Ya. Tetapi kita tidak dapat terpaku pada sekedar mengasihani Citrasemu" "Kami menunggu perintah Ki Gede"
"Perintahkan anak buahmu untuk mengawasi semua orang yang diduga mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka" "Baik, Ki Gede" "Jangan menunggu besok" "Baik, Ki Gede" Namun pembicaraan merekapun terputus. Lumintu telah datang menghadap Ki Gede untuk memberitahukan bahwa Ki Tumenggung Reksapati dan dua tiga orang pengawalnya datang untuk menghadap Ki Gede. "Persilahkan mereka naik ke pendapa" Demikian Lumintu keluar, maka Ki Gedepun berkata, "Aku baru saja meninggalkan paseban dalam bersama-sama Ki Tumenggung Reksapati. Dan sekarang Ki Tumenggung telah sampai disini" "Mungkin ada keterangan yang penting yang harus segera disampaikan kepada Ki Gede" Ki Gedepun kemudian telah mengajak Ki Lurah Surapada untuk menerima Ki Tumenggung Reksapati. Ketika Ki Gede menemui Ki Tumenggung di pringgitan, maka iapun telah terkejut. Ia melihat Ki Reksapati itu terluka. Namun luka itu nampaknya sama sekali tidak mengganggu Ki Tumenggung Reksapati. "Apa yang terjadi, Ki Tumenggung?" Ki Tumenggung Reksapati tersenyum. Dirabanya lukanya yang sudah pampat itu sambil berdesis, "Harya Wisaka, Ki Gede" "Harya Wisaka?" "Ya, Ki Gede. Aku menghadap untuk menyampaikan peringatan bagi Ki Gede, bahwa Harya Wisaka agaknya sedang mencari Ki Gede. Nampaknya ia sangat mendendam" Ki Gede mengangguk-angguk. "Ketika aku pulang dari paseban, aku memang singgah menemui pelayan dalam yang bertugas untuk mendapatkan beberapa keterangan. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat membantu. Ketika aku kemudian pulang, maka tiba-tiba aku
telah dihentikan oleh Harya Wisaka yang tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah jalan" Ki Gede masih mengangguk-angguk. "Yang pertama-tama ditanyakan adalah Ki Gede. Ia mengira bahwa yang lewat adalah Ki Gede" "Apa katanya?" "Harya Wisaka benar-benar ingin membunuh Ki Gede. Karena itu, aku datang kemari untuk memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa Harya Wisaka masih berkeliaran" "Kenapa Ki Tumenggung terluka" "Harya Wisaka ingin melepaskan kekecewaannya dengan membunuhku. Tetapi aku tidak sendiri. Aku bersama beberapa orang prajurit. Karena itu, aku berhasil menyelamatkan diri. Entah, apa yang terjadi jika aku kebetulan seorang diri" "Ki Tumenggung mampu melindungi dirinya sendiri" "Tetapi aku tahu tingkat kemampuan Harya Wisaka" Ki Gede tersenyum, sementara Ki Tumenggungpun berkata, "Dua orang pengawalku terbunuh. Seorang terluka parah. Akupun terluka, tetapi aku selamat. Ketika beberapa orang prajurit berkuda yang sedang meronda lewat, Harya Wisaka telah melarikan diri" Ki Gede menggeram. Katanya, "Harya Wisaka ingin menantang aku berperang tanding. Jika aku yakin bahwa Harya Wisaka akan berbuat jujur, aku tidak berkeberatan. Tetapi Harya Wisaka adalah seorang yang sangat licik" "Kita semuanya harus berhati-hati. Kangjeng Sultan juga harus berhati-hati. Ilmunya tentu jauh lebih tinggi dari kedua orang utusan Harya Penangsang yang ditugaskan untuk membunuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Jika kedua orang utusan itu saja datang memasuki bilik Kangjeng Sultan tanpa diketahui oleh para prajurit dan pelayan dalam yang bertugas, apalagi Harya Wisaka jika pengamanan Kangjeng Sultan tidak ditingkatkan" "Kau benar, Ki Tumenggung. Besok aku akan menyampaikan kepada para petugas di istana. Tetapi pengkhianatan Ki Lurah Citrasemu telah membuat
kepercayaan Kangjeng Sultan kepada pengawalnya agak menurun" "Itu juga perlu segera diatasi, Ki Gede. Justru dalam keadaan yang gawat ini" Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ki Lurah Surapada, jalankan perintahku. Kau tidak usah menunggu besok. Gerakkan semua orang yang berada di bawah perintahmu untuk mengamati seluruh kota serta rumah-rumah orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka" "Baik, Ki Gede. Aku mohon diri" Kemudian kepada Ki Tumenggung Ki Lurah itu berkata, "Silahkan, Ki Tumenggung. Aku mohon diri" "Silahkan, Ki Lurah. Aku juga akan segera mohon diri. Aku harus segera mempersiapkan pasukanku. Aku harus berpacu dengan Harya Wisaka" Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Surapada itupun telah berpacu meninggalkan rumah Ki Gede bersama seorang prajurit yang menyertainya. Mereka sadar, bahwa jalan-jalan di Pajang menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang yang dimusuhi oleh Harya Wisaka. Tetapi betapa tinggi ilmu Harya Wisaka, ia masih belum sempat mengumpulkan orangorangnya, sehingga Harya Wisaka itu masih sendiri. Karena itu yang dapat dilakukannya pun sangat terbatas. Sepeninggal Ki Lurah Surapada, maka Ki Tumenggung Reksapatipun telah minta diri. Sekali lagi ia berpesan, agar Ki Gede berhati-hati, karena Harya Wisaka itu masih berkeliaran di dalam kota. Sedangkan dendamnya yang terbesar justru tertuju kepada Ki Gede Pemanahan. "Aku mohon diri, Ki Gede. Aku harap Ki Gede juga memperingatkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Mereka memang berilmu tinggi. Tetapi mereka, terlebih-lebih Pangeran Benawa, masih terlalu menuruti perasaannya saja, sehingga agaknya keduanya kurang berhati-hati" "Terima kasih, Ki Tumenggung. Aku akan memperingatkan mereka berdua"
Demikian Ki Tumenggung Reksapati meninggalkan rumah Ki Gede, maka ki Gedepun segera mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Alas Jabung. "Sekarang, Ki Gede?" bertanya Lumintu. "Menjelang fajar" jawab Ki Gede. "Sebaiknya Ki Gede beristirahat, meskipun hanya sekejap" Ki Gede tersenyum. Katanya, "Ya. Aku akan beristirahat sebentar" Tetapi Ki Gede tidak pergi ke pembaringan. Ki Gede itu hanya duduk saja di ruang dalam bersandar tiang. Menjelang matahari terbit, Ki Gede bersama tiga orang pengawalnya memacu kudanya ke Alas Jabung. Ia harus segera memberi peringatan kepada seisi padepokan, terutama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Namun sebagaimana dipesankan oleh Ki Tumenggung Reksapati, Ki Gede Pemanahan tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Dendam Harya Wisaka agaknya akan ditumpahkannya kepada Ki Gede Pemanahan. Kedatangan Ki Gede Pemanahan di padepokan sementara Ki Panengah sangat mengejutkan. Hari masih terhitung pagi. Jarak dari Pajang ke Hutan Jabung memang tidak terlalu jauh. Demikianlah, Ki Panengah dan Ki Waskita telah menerima Ki Gede Pemanahan di pendapa bangunan induk padepokan sementara itu. "Kedatangan Ki Gede membuat jantungku berdebaran" berkata Ki Panengah. Ki Gede tersenyum. Katanya, "Hanya sikap hati-hati orangorang tua" "Apa yang telah terjadi, Ki Gede?" bertanya Ki Waskita. Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya kemudian dengan nada rendah, "Harya Wisaka berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya" "Harya Wisaka melarikan diri?" bertanya Ki Waskita dan Ki Panengah hampir bersamaan. "Ya. Setelah berusaha dengan sangat cerdik dibantu oleh isterinya, Sekarsari, maka Harya Wisaka berhasil"
"Bukankah Harya Wisaka dijaga dengan ketat oleh prajurit pilihan?" bertanya Ki Panengah. Ki Gedepun kemudian telah menceriterakan apa yang telah terjadi. Kebebasan Sekarsari masuk keluar istana telah dimanfaatkannya dengan baik. Demikian pula kecantikan wajahnya, kehangatan sikapnya dan senyumnya yang menawan. Bahkan seorang lurah prajuritnya telah dijeratnya dan dipakainya sebagai alasan kebebasan suaminya. Lurah prajurit muda itu telah mati dibunuh oleh Harya Wisaka demikian ia berhasil keluar dari bilik tahanannya. "Hatinya terbalut oleh bulu-bulu serigala" desis Ki Panengah. "Ki Panengah dan Ki Waskita" berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, "aku ingin bertemu dan berbicara dengan Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Aku ingin memberitahukan bahwa Harya Wisaka berhasil melarikan diri. Tetapi aku tidak perlu berceritera hubungan Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Pangeran Benawa yang sudah sering mengalami kekecewaan, akan menjadi semakin kecewa jika ia mengetahuinya" "Justru hatinya telah beku, Ki Gede" Ki Gede tersenyum. Katanya, "Memang mungkin. Tetapi sebaiknya kita tidak berbicara tentang Sekarsari" Beberapa saat kemudian, maka Ki Panengahpun telah memanggil Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi. Mungkin Paksi akan terlibat juga jika Harya Wisaka mengambil langkah terhadap padepokan itu. Sejenak kemudian, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi telah menghadap. Dengan nada tinggi Raden Sutawijaya berkata, "Masih sepagi ini Ayah telah sampai di Hutan Jabung. Apakah ada sesuatu yang sangat penting Ayah, sehingga Ayah sendiri harus datang kemari?" Ki Gede mengangguk. Katanya, "Ya, Sutawijaya. Memang ada yang penting yang harus kalian dengar. Aku sudah menyampaikan kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, bahwa Harya Wisaka telah melarikan diri dari bilik tahanannya" "Melarikan diri?"
"Ya" "Bagaimana hal itu dapat terjadi, Paman?" bertanya Pangeran Benawa. "Itulah yang harus diselidiki" jawab Ki Gede. "Namun yang penting, padepokan ini harus berhati-hati" "Ya, Paman" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. "Kangjeng Sultan menganggap aku telah bersalah, karena aku mohon agar Kangjeng Sultan menunda keputusan hukuman mati atas Harya Wisaka. Tetapi ternyata Harya Wisaka telah melarikan diri" "Ayah telah dihukum?" "Tidak. Tetapi Kangjeng Sultan memerintahkan aku mengembalikan Harya Wisaka hidup atau mati ke istana" Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Siapa saja yang mendapat tugas bersama Ayahanda memburu Harya Wisaka?" "Aku diperkenankan mempergunakan pasukan seberapa saja aku butuhkan. Sementara itu, yang pagi ini telah menyiapkan pasukannya adalah Ki Tumenggung Reksapati" "Apakah Ayah akan langsung mempergunakan pasukan segelar sepapan?" "Tentu tidak, Sutawijaya. Aku harus menemukan Harya Wisaka lebih dahulu. Jika ia berada di antara para pengikutnya dalam kekuatan yang besar, maka aku baru akan menggerakkan pasukan" "Apa rencana Ayah dalam waktu dekat?" "Sekarang aku baru memerintahkan para petugas sandi untuk mengawasi lingkungan dalam kita. Mudah-mudahan Harya Wisaka masih belum pergi. Agaknya Harya Wisaka masih ingin bertemu dengan aku" "Dengan Ayah?" "Ia sangat mendendamku. Ia pernah menantang aku berperang tanding ketika ia masih berada di dalam tahanan. Tentu saja aku tidak melayaninya. Sekarang, setelah ia bebas, mungkin sekali ia mencari kesempatan untuk bertemu dengan aku"
Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mendengarkan keterangan Ki Gede itu dengan saksama. Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun sekali-sekali nampak dahi mereka berkerut. Namun dalam pada itu, Ki Waskita itupun berkata, "Ada satu hal yang ingin aku bicarakan dengan Paksi sehubungan dengan persoalan Harya Wisaka" Paksi mengangkat wajahnya dan memandang Ki Waskita sekilas. Namun iapun kembali menundukkan kepalanya. "Paksi" berkata Ki Waskita kemudian, "apakah kau bersedia untuk pulang?" "Pulang?" bertanya Paksi dengan nada tinggi. "Ya. Sekedar menengok keluargamu. Ayah, ibu dan adikadikmu di rumah" "Belum lama aku pulang, Guru. Yang justru telah menimbulkan persoalan dengan perguruan Ki Ajar Wisesa Tunggal" "Tetapi apakah kau bersedia untuk pulang lagi dalam waktu dekat ini" Mungkin hari ini?" Paksi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat menduga bahwa gurunya ingin agar ia tidak berada di padepokan karena sesuatu sebab yang agaknya ada hubungannya dengan lepasnya Harya Wisaka. Namun akhirnya Ki Waskita itu menjelaskan, "Paksi, maaf jika ada kesan mencurigai ayahmu. Tetapi aku mempunyai dugaan bahwa ayahmu mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka. Jika Harya Wisaka masih berada di dalam kota, maka ia tentu akan berpindah-pindah tempat. Meskipun para petugas sandi agaknya telah mengawasi seluruh kota dan bahkan semua jalan keluar, tetapi Harya Wisaka adalah seorang yang sangat cerdik dan berilmu sangat tinggi" "Aku mengerti, Guru" sahut Paksi kemudian. "Mungkin pada suatu saat Harya Wisaka bersembunyi di rumahku" "Ya" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan karena tugas itu. Tetapi jika hal itu benar,
maka mungkin ia harus bertengkar dengan ayahnya. Mungkin karena ayahnya membantu Harya Wisaka. Tetapi mungkin karena dengan demikian ayahnya justru harus ditangkap. Agaknya Ki Waskita mengetahui kesulitan yang akan dihadapi oleh Paksi. Karena itu, maka katanya, "Paksi, kau hanya akan bertindak jika Harya Wisaka ada di rumahmu. Usahakan untuk menangkapnya. Meskipun Harya Wisaka itu berilmu sangat tinggi, tetapi semoga kau mampu mengimbangi ilmunya setelah kau berada di puncak kemampuanmu" Paksi tidak segera menjawab. Sebuah pertanyaan masih bergetar di dalam dadanya, "Apa yang harus aku lakukan jika ayah berusaha mencegahnya?" Namun Pangeran Benawa yang agaknya juga menangkap kegelisahan itu tiba-tiba saja berkata, "Aku ikut bersamamu, Paksi. Kita berdua akan melihat, apakah Harya Wisaka ada di rumahmu atau tidak" Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Panengah berkata, "Mungkin ada baiknya juga, Pangeran. Tetapi adalah aneh, jika Paksi menginap di rumahnya barang satu malam dan Pangeran juga menginap di rumahnya" "Kenapa aneh?" "Rumah tumenggung itu tidak terlalu jauh dari istana. Seharusnya Pangeran berada di istana. Karena keadaan sebaliknya akan dapat terjadi. Justru karena Harya Wisaka mengetahui Pangeran ada di rumah Paksi, maka Harya Wisakalah yang menyergap Pangeran dengan membawa pengikut-pengikutnya yang sempat dikumpulkannya. Harya Wisaka tentu tidak melupakan cincin yang ada pada Pangeran itu" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata, "Kecuali jika keberadaan Pangeran Benawa di rumah Paksi diimbangi dengan kegiatan beberapa petugas sandi yang akan mengamati rumah itu" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku dapat melakukannya"
"Nah, apa lagi" desis Pangeran Benawa. "Agaknya memang boleh dicoba, Ayah" berkata Raden Sutawijaya. "Jika saja kebetulan Paman Harya Wisaka ada di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi jika Harya Wisaka belum ada disana, meskipun ia selalu berpindahpindah tempat, ia tidak akan datang ke rumah Ki Tumenggung. Demikian Adimas Pangeran Benawa dan Paksi datang ke rumah itu, kaki tangan Harya Wisaka tentu sudah menyampaikannya kepadanya" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun katanya, "Aku mengerti. Tetapi ada baiknya malam nanti Paksi pulang. Sementara aku menyiapkan dua tiga orang petugas sandi untuk mengawasi rumah itu secara khusus malam nanti" Akhirnya diketemukan satu kesepakatan bahwa malam nanti Paksi akan pulang. Tentu akan mengejutkan. Tetapi kepulangan Paksi itu adalah salah satu usaha untuk melihat apakah Harya Wisaka berada di rumah itu tanpa menimbulkan gejolak keluar. Akibatnya akan berbeda jika sekelompok prajurit mengepung rumah itu dan dengan paksa mencari seseorang di dalamnya. Namun sebenarnyalah Paksi merasa sedih. Meskipun demikian ia tidak dapat mengelak, bahwa ayahnya memang pantas dicurigai mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka. Bahkan Paksi sendiri hampir memastikan bahwa ayahnya memang salah seorang dari para pengikut Harya Wisaka. Jika saja Harya Wisaka tidak melarikan diri dan sempat diperiksa, maka salah seorang yang akan disebut namanya adalah ayahnya. Tetapi agaknya hati Harya Wisaka benar-benar sekeras batu, sehingga mungkin tidak sebuah namapun yang akan disebutnya. Ki Gede Pemanahan tidak terlalu lama berada di padepokan. Setelah memberikan beberapa pesan serta memantapkan kesepakatan mereka, maka Ki Gede itupun minta diri.
"Sutawijaya" berkata Ki Gede sebelum meninggalkan padepokan, "mungkin kau juga akan menerima tugas khusus nanti jika Harya Wisaka tidak segera tertangkap" "Baik, Ayah. Aku siap melakukan apa saja" "Bahkan seisi padepokan ini" berkata Ki Panengah kemudian. Ki Gede tersenyum. Katanya, "Padepokan ini masih menghadapi tugas besarnya. Karena itu, Ki Panengah dan Ki Waskita tidak dapat meninggalkan padepokan ini. Orangorang yang tidak senang akan kehadiran padepokan ini akan dapat mengganggunya sebagaimana dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal" "Tetapi dalam keadaan yang khusus, segala sesuatunya akan dapat ditata sebaik-baiknya" "Terima kasih, Ki Panengah. Mungkin pada suatu saat kami memang memerlukan bantuan Ki Panengah dan Ki Waskita" "Kami akan melakukan apa yang dapat kami lakukan" jawab Ki Waskita. Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahanpun telah meninggalkan padepokan di tepi Hutan Jabung itu. Bersama beberapa orang pengawalnya, Ki Gede memacu kudanya menuju ke pintu gerbang kota Pajang. Perjalanan Ki Gede tidak mengalami hambatan apa-apa. Ketika Ki Gede singgah untuk menemui Ki Tumenggung Reksapati di barak pasukannya, Ki Tumenggung sudah berada di barak itu. "Pasukanku sudah siap untuk bergerak. Siang atau malam. Kapanpun juga. Bahkan seandainya sekarang" "Terima kasih, Ki Tumenggung" sahut Ki Gede Pemanahan. "Aku juga sudah menghubungi prajurit dari pasukan berkuda. Merekapun akan siap kapan saja mereka mendapat perintah" "Aku harus menemukan persembunyian Harya Wisaka lebih dahulu" sahut Ki Gede Pemanahan. "Tetapi aku sangat berterima kasih atas kesigapan pasukan Ki Tumenggung Reksapati"
"Kami menunggu perintah Ki Gede. Sementara itu, pasukan berkuda akan meningkatkan perondaan di dalam kota" "Terima kasih, Ki Tumenggung. Kami akan selalu berhubungan" Ki Gedepun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Reksapati dengan kesiagaannya. Ketika Ki Gede sampai di rumahnya, Ki Lurah Surapada sudah menunggunya. Namun Ki Lurah itu masih belum membawa berita yang memberikan petunjuk jejak Harya Wisaka. "Para petugas sandi telah berada di segala sudut kota, Ki Gede. Tetapi tidak seorang pun yang melihat Harya Wisaka. Beberapa orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka telah diawasi dengan ketat. Tetapi bayangan Harya Wisaka itu tidak dapat dilihat oleh para petugas sandi. Sementara itu, semua jalan keluar, semua pintu gerbang dan regol-regol butulan dinding kota juga sudah diawasi" "Kita tidak tergesa-gesa, Ki Lurah. Mungkin Harya Wisaka bersembunyi di rumah seseorang, sehingga dengan demikian jejaknya seakan-akan telah hilang. Tetapi tentu saja kita tidak dapat memasuki setiap rumah yang kita curigai untuk memburu Harya Wisaka. Beberapa orang akan merasa terganggu, sementara tidak ada bukti apapun yang dapat membuat orang itu dituduh mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka. Baiklah, Ki Lurah. Tetapi jangan berhenti berusaha. Kangjeng Sultan telah memerintahkan untuk menangkap Harya Wisaka hidup atau mati" "Kami mohon restu, Ki Gede. Tetapi sebenarnyalah dalam kota ini masih ada beberapa orang yang sebenarnya adalah pendukung kuat Harya Wisaka, yang bersedia memberikan perlindungan kepadanya" "Itulah yang menyulitkan" "Berita tentang larinya Harya Wisaka tentu tidak akan dapat disembunyikan lagi. Berita itu tentu sudah tersebar sekarang ini. Karena itu, tidak ada salahnya jika hilangnya Harya Wisaka justru kita beritahukan kepada penghuni kota ini, tetapi disertai dengan ancaman, siapa yang menyembunyikan dan
melindungi Harya Wisaka akan mendapat hukuman yang sangat berat. Bahkan mungkin hukuman mati" "Berhati-hatilah" pesan Ki Gede selanjutnya. Sementara itu, Kepada Ki Lurah Surapada, Ki Gede juga memberitahukan kesepakatan yang telah dibuat di padepokan di pinggir Hutan Jabung itu. "Kau harus mengawasi bukan saja rumah itu. Tetapi kemungkinan Harya Wisaka menggerakkan orang-orangnya yang sempat dihubungi untuk menangkap Pangeran Benawa" Ki Lurah Surapada mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, Ki Gede. Kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya" Hari itu memang terasa tegang bagi Ki Gede Pemanahan dan beberapa orang pemimpin Pajang. Kangjeng Sultan sendiri lebih banyak dicengkam oleh perasaan kecewanya karena Sekarsari meninggalkannya justru pada saat jantung Kangjeng Sultan sedang dibakar oleh gairah yang menyalanyala. Sementara itu, pengamanan di istanapun telah ditingkatkan. Mungkin saja Harya Wisaka berusaha memasuki istana dan membunuh Kangjeng Sultan selagi Kangjeng Sultan sedang tidur. Tetapi jika Harya Wisaka itu datang ke bilik Kangjeng Sultan yang sedang terjaga, maka Harya Wisaka tidak akan berhasil membunuhnya, karena Kangjeng Sultan memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang hampir tidak ada bandingnya. Ketika matahari menjadi semakin rendah di belahan langit sebelah barat, maka Ki Gedepun menjadi semakin berdebardebar. Malam itu, Paksi akan pulang disertai oleh Pangeran Benawa. Tentu akan terasa aneh oleh keluarga Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi mungkin Ki Tumenggungpun sudah tahu maksud kedatangan Paksi. Dan bahkan Ki Tumenggungpun mungkin tahu pula, bahwa itu bukan rencana Paksi sendiri untuk pulang menengok keluarganya. Dalam pada itu, ketika mataharipun tenggelam, maka Paksi dan Pangeran Benawa telah bersiap-siap untuk meninggalkan
padepokannya di pinggir Hutan Jabung. Memenuhi kesepakatan yang telah dibuat, Paksi akan pulang disertai oleh Pangeran Benawa. "Berhati-hatilah di jalan" pesan Ki Waskita. "Ya, Guru" jawab Paksi dan Pangeran Benawa serentak. "Kalian tahu, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi" "Ya, Guru" sahut Paksi. Keduanyapun kemudian telah minta diri pula kepada Raden Sutawijaya, kepada Ki Kriyadama dan kepada para cantrik lainnya serta pemimpin prajurit Pajang yang ada di Hutan Jabung untuk membantu membangun padepokan itu. "Apakah tidak memerlukan pengawal?" bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di Hutan Jabung itu. Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, "Kami akan berpacu kencang sekali, sehingga kami hanya memerlukan waktu yang pendek untuk sampai ke pintu gerbang kota Pajang" Namun Ki Waskitapun berkata, "Demikian Pangeran memasuki pintu gerbang kota, maka Pangeran harus menjadi lebih berhati-hati" Pangeran Benawa mengerutkan dahinya, sementara Ki Waskitapun berkata selanjutnya, "Kemungkinan terbesar, Harya Wisaka masih berada di dalam kota" Sejenak kemudian, kedua orang itupun segera berpacu meninggalkan Hutan Jabung. Gelapnya malam tidak banyak mengganggu perjalanan mereka. Ketajaman penglihatan mereka mampu menembus kegelapan memperhatikan jalan yang akan mereka lalui. Mereka memang tidak mengalami hambatan di perjalanan yang tidak terlalu lama itu. Namun seperti pesan Ki Waskita, demikian mereka memasuki kota yang sudah menjadi sepi, mereka menjadi semakin berhati-hati. Keduanya sudah tidak memacu kuda mereka lagi. Berlarilari kecil kedua ekor kuda itu membawa penunggangnya ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
"Guru memang menghendaki kita sampai di rumahmu malam hari" berkata Pangeran Benawa. "Ya. Jika Harya Wisaka memang bersembunyi disana, ia tentu sudah tidur atau berbincang dengan ayah atau bersembunyi di dalam bilik. Sehingga kesempatan untuk lari menjadi sempit" "Mudah-mudahan kita menemukannya" "Tetapi hamba akan mengalami kesulitan berhadapan dengan ayah. Hamba justru berharap agar Harya Wisaka tidak berada di rumahku" "Aku mengerti, Paksi" Keduanyapun kemudian terdiam. Untuk beberapa saat mereka tidak berbicara. Malam menjadi semakin dalam. Di langit, bintang terhampar sampai ke cakrawala. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang cahayanya terang berkilat-kilat, ada yang buram tanpa berkedip. Ketika keduanya sampai di regol halaman, maka keduanyapun segera meloncat turun. Keduanya menuntun kuda mereka memasuki regol halaman. Keduanya berdiri termangu-mangu beberapa saat di belakang pintu regol yang telah ditutup kembali. Nyala lampu minyak di pendapa nampak redup seperti biasanya. Semuanya nampak wajar. Tidak ada sesuatu yang berubah. Tidak pula terasa adanya kelainan apa-apa. Paksi menarik nafas panjang. Ia memang berharap, bahwa Harya Wisaka itu tidak berada di rumahnya. Beberapa saat kemudian, keduanya telah menuntun kudanya dan mengikatnya di patok di samping pendapa. Paksi memandang Pangeran Benawa sekilas. Namun kemudian Paksipun melangkah ke pintu seketeng. Tetapi pintu seketeng itu nampaknya diselarak dari dalam, sehingga Paksi tidak dapat membukanya dari luar. "Hamba akan mengetuk pintu pringgitan" berkata Paksi. "Bagaimana dengan pintu seketeng yang lain?" bertanya Pangeran Benawa.
"Pintu seketeng ini memang selalu diselarak kedua-duanya, Pangeran" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah kepadamu" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah melangkah naik ke pendapa sambil berdesis, "Marilah, Pangeran" Paksi dan Pangeran Benawa berdiri dengan ragu-ragu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian Paksipun telah mengetuk pintu itu perlahan-lahan. Tetapi rumah itu terasa sangat sepi. Tidak ada yang menyahut ketukan pintu Paksi, sehingga Paksipun mengetuk pintu semakin keras. Baru kemudian terdengar suara di ruang dalam. Berbisikbisik. Namun kemudian terdengar seseorang bertanya, "Siapa di luar?" Paksi mengenal suara itu. Suara ayahnya. Dengan agak ragu Paksipun menyahut, "Aku Paksi, Ayah" "Paksi?" terdengar suara perempuan. Paksipun mengenalnya dengan baik. Agaknya ibunyapun telah terbangun oleh ketukan pintu itu. "Ya, Ibu" Namun terdengar suara ayahnya pula, "Jangan dibuka. Malam telah larut" "Tetapi itu suara Paksi" "Untuk apa ia pulang malam-malam begini?" "Bukankah kita dapat bertanya kepadanya?" "Aku tidak dapat menerima kedatangannya malam-malam begini" "Tetapi ia pulang ke rumahnya sendiri" "Aku tidak peduli. Ia harus pergi" "Kakang" "Jangan cengeng. Anak ini sudah tidak mengenal lagi unggah-ungguh. Hampir tengah malam enak saja ia datang" "Ia datang ke rumahnya sendiri, Kakang. Apakah salahnya?"
"Tidak" lalu terdengar suara ayah Paksi mengeras, "Pergilah. Datanglah esok sesudah matahari terbit. Atau tunggulah di pendapa. Aku tidak akan membuka pintu" "Aku Paksi, Ayah. Kenapa aku tidak pantas untuk pulang malam ini?" Terdengar suara ayah Paksi di dalam, "Jangan buka pintu" "Aku akan membuka pintu" "Tidak" Ketika Paksi memasuki regol halaman rumah itu, ia masih berharap bahwa Harya Wisaka tidak berada di rumahnya. Tetapi sikap ayahnya itu sangat mencurigakan baginya. Ia bahkan menduga bahwa Harya Wisaka benar-benar berada di rumahnya sehingga ayahnya tidak dapat menerimanya. Paksi adalah seorang anak yang patuh sejak kanak-kanak. Perintah ayahnya selalu dilakukannya. Tetapi sejak ayahnya mencoba memaksanya untuk berguru kepada sebuah perguruan yang diwakili oleh Ki Semburwangi, Paksi bergejolak. Sikap ayahnya memang sangat menyakitkan. Kenapa ia tidak boleh masuk ke dalam rumahnya sendiri hanya karena ia datang terlalu malam. Padahal ayahnya tahu, bahwa ia berada di sebuah padepokan di pinggir Hutan Jabung. Dalam ketegangan itu, Pangeran Benawa telah memberi isyarat kepada Paksi untuk mengiakan saja perintah ayahnya, sementara Pangeran Benawa akan pergi ke belakang rumah. Jika Harya Wisaka ada di rumah itu, ia tentu akan pergi lewat pintu belakang. Agaknya Paksi tanggap akan isyarat Pangeran Benawa. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Baiklah, Ayah. Jika aku harus menunggu sampai esok, biarlah aku menunggu di pendapa" "Kasihan anak itu" terdengar suara ibunya. "Anak itu sudah tidak mau mendengarkan kata-kataku lagi. Aku membencinya" "Ia patuh kepadamu. Ia melakukan semua perintahmu. Bahkan pergi mencari sesuatu yang ia tidak tahu. Bahkan ia
dapat berhasil. Ia pulang dengan membawa benda yang kau inginkan" "Tetapi anak itu membawa sial" "Tidak. Ia anak baik" "Sudahlah, Ibu" berkata Paksi dari luar pintu, "aku akan tidur disini. Di pringgitan terdapat sehelai tikar pandan yang tebal. Di padepokan akupun tidur di sembarang tempat" Paksi mendengar isak tangis di ruang dalam. Ia tahu ibunya tentu menangis. Tetapi Paksi itupun kemudian duduk di atas tikar pandan di pringgitan. Sementara itu Pangeran Benawa telah pergi ke halaman belakang. Ia tidak meloncati seketeng dan masuk ke longkangan. Tetapi gandok kanan. Sejenak kemudian, suasanapun menjadi tenang. Tidak terdengar suara apa-apa lagi. Namun dengan sabar Pangeran Benawa berjongkok di antara pepohonan perdu di halaman belakang. Dalam pada itu, Paksi terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara ayahnya bertanya dari dalam, "Paksi, apakah kau masih berada di pringgitan?" Paksi memang curiga terhadap pertanyaan itu. Namun iapun menyahut, "Masih, Ayah. Aku masih berada di pringgitan" Ayahnyapun terdiam. Paksi tidak mendengar pertanyaan apa-apa lagi. Tangis ibunyapun tidak didengarnya lagi. Namun Paksi sempat bertanya di dalam hatinya, apakah adik-adiknya tidak terbangun oleh suara-suara gaduh di ruang dalam itu. Pertanyaan ayahnya itu agaknya sekedar untuk mengetahui, apakah Paksi masih berada di pringgitan atau tidak. Pertanyaan itu tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi Paksi justru tidak beringsut dari tempatnya. Ia masih saja duduk bersandar dinding papan yang memisahkan pringgitan dan ruang dalam. Telinga Paksi yang tajam telah mendengar desir langkah kaki di belakang dinding. Ia tahu seseorang berdiri di belakang dinding itu. Karena itu, Paksi justru sengaja
memperdengarkan tarikan nafasnya panjang-panjang seperti orang kelelahan. "Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak gaduh, sehingga orang yang berada di dalam tidak tahu, bahwa ada dua ekor kuda di halaman" Sejenak kemudian, Paksipun mendengar langkah menjauh di belakang dinding. Paksipun tahu bahwa orang yang meyakinkan kehadirannya di pendapa itu telah beranjak pergi. Namun dengan demikian, Paksipun justru bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kecurigaannya justru menjadi semakin besar, bahwa ada seseorang yang bersembunyi di rumahnya, yang tidak boleh diketahuinya. Kemungkinan terbesar, orang itu adalah Harya Wisaka. Beberapa saat Paksi menunggu sebagaimana Pangeran Benawa juga menunggu. Hampir saja Pangeran Benawa kehabisan kesabaran. Namun tiba-tiba saja ia melihat pintu dapur yang menghadap ke halaman belakang terbuka. Seorang laki-laki dengan hati-hati melangkah keluar pintu. Laki-laki itu menebarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia tidak melihat sesuatu. "Aku minta diri" desis laki-laki itu kepada seseorang yang masih berdiri di dapur. "Berhati-hatilah. Aku akan mengurus kelinci-kelinci itu. Ia tidak akan pernah keluar lagi dari rumah ini" "Besok biarlah dua orangku menjemputnya" berkata lakilaki itu. Pangeran Benawa segera mengenal laki-laki itu. Orang itulah Harya Wisaka yang bersembunyi di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera mempersiapkan diri. Ia tidak membawa senjata yang paling sesuai dengan tangannya, tombak pendeknya. Tetapi ia membawa sepasang pisau belati yang dibawanya mengembara. Jika diperlukan, maka senjata itu akan dapat membantunya.
Beberapa saat Pangeran Benawa menunggu. Jika Harya Wisaka meninggalkan pintu dapur itu, maka Pangeran Benawa akan segera menyergapnya. Meskipun Harya Wisaka memiliki ilmu yang sangat tinggi, namun tingkat ilmu Pangeran Benawapun seakan-akan tidak terbatas. Namun dalam pada itu, Pangeran Benawapun menjadi berdebar-debar. Ternyata firasat Harya Wisakapun sangat tajam. Kehadiran Pangeran Benawa di halaman belakang itu seolah-olah dapat diketahuinya. Karena itu, maka Harya Wisaka menjadi agak ragu. Katanya, "Ada seseorang di halaman belakang ini?" "Paksi masih berada di pendapa" "Apakah hanya Paksi yang datang kemari?" "Memang hanya suaranya yang kita dengar, tetapi agaknya ia datang bersama orang lain" Orang yang berada di dapur itu termangu-mangu sejenak. Namun Harya Wisaka itupun kemudian berkata, "Tangkap anak itu. Aku akan mencari orang yang bersembunyi di halaman ini. Keduanya tidak boleh terlepas jika kau tidak ingin ditangkap karena menyembunyikan aku" Orang yang berada di dapur itu segera berlari ke ruang dalam. Namun langkahnya tertegun. Ki Tumenggung Sarpa Biwada pernah melihat, bagaimana Paksi mampu mengalahkan Ki Semburwangi. Jika ia ingin menangkapnya, apakah ia dapat melakukannya apabila Paksi melawan" Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada adalah seorang prajurit. Ia pernah menjadi senapati yang disegani. Iapun mempunyai ilmu yang tinggi. "Aku akan menangkapnya" berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya, "bahkan aku akan membunuhnya" Ki Tumenggung itupun segera berlari ke pintu pringgitan. Disambarnya tombak pendek yang berada di plonconnya. "Ki Tumenggung" desis Nyi Tumenggung, "ada apa?" Ki Tumenggung tidak berhenti. Tetapi ia sempat menjawab sambil berlari ke pintu, "Pengkhianat itu ada di pringgitan" "Siapa?"
Ki Tumenggung tidak menjawab. Dengan serta-merta iapun telah membuka selarak dan mendorong daun pintu pringgitan itu. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggungpun meloncat keluar dengan ujung tombak yang merunduk. Sekilas Ki Tumenggung melihat dua ekor kuda terikat di halaman. Dengan lantang iapun berkata, "Jadi kau memang tidak sendiri, Paksi?" Paksi terkejut. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Ki Tumenggung itu sudah menyerangnya. Paksi yang belum sempat bangkit itu justru berguling sehingga ujung tombak Ki Tumenggung tidak menghunjam ke jantungnya. Dengan cepat Paksipun meloncat bangkit. Sementara itu ujung tombak Ki Tumenggung telah mematuk tubuhnya lagi. Paksi menangkis serangan itu dengan tongkat kayunya. Kemudian sambil berloncatan mundur, Paksi berdesis, "Ayah, Ayah" "Anak durhaka. Berapa kali kau telah menghancurkan nama baikku. Sekarang kau telah mengkhianati aku lagi. Karena itu, maka tidak ada hukuman yang paling pantas bagimu selain membunuhmu" "Ayah, aku Paksi, Ayah. Kenapa Ayah akan membunuhku?" "Kau datang dengan siapa, Paksi" Kenapa kau telah mengkhianatiku?" "Apa yang aku lakukan?" Ki Tumenggung tidak segera menjawab. Tetapi ujung tombaknya menyambar ke arah lambung. Hampir saja lambung Paksi terkoyak, namun untunglah bahwa Paksi dengan tangkas meloncat ke samping. Ketika ujung tombak itu berputar mendatar menyambar ke arah perutnya, Paksi menangkisnya dengan tongkatnya. -ooo00dw00ooo-
Jilid 22 SEBUAH benturan yang keras terjadi. Hampir saja tombak Ki Tumenggung terlepas dari tangannya. Namun dengan cepat ia berhasil memperbaikinya. "Ayah, aku datang dengan saudara seperguruanku. Ia ingin ikut bermalam di rumah ini semalam" "Siapa saudara seperguruanmu itu?" "Pangeran Benawa" "Pangeran Benawa" Kau Gila Paksi. Dimana Pangeran itu sekarang?" "Ia baru pergi ke pakiwan sebentar, Ayah" "Persetan dengan Pangeran Benawa" geram Ki Tumenggung. "Aku tidak dapat memaafkanmu kali ini, Paksi. Jika kau tidak dihentikan sekarang, maka pada suatu saat kaulah yang akan membunuhku. Setidak-tidaknya kau akan menjadi sebab kematianku" "Aku tidak tahu apa yang Ayah maksudkan" Ki Tumenggung tidak menjawab lagi. Tetapi seranganserangannya datang semakin cepat. Namun Paksi telah mematangkan ilmunya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia berhasil menghindari dan menangkis serangan-serangan itu. Bahkan demikian besar tenaganya, sehingga pada setiap benturan, terasa tangan Ki Tumenggung menjadi panas. Tetapi serangan-serangan Ki Tumenggung datang mengalir seperti banjir. Tidak henti-hentinya. Ketika Nyi Tumenggung kemudian keluar dari pintu pringgitan dan melihat Ki Tumenggung menyerang Paksi dengan tombak pendek, maka tahulah Nyi Tumenggung, bahwa Ki Tumenggung bersungguh-sungguh. Kecemasan yang sudah lama membayang itupun kini telah ternyata. Ki Tumenggung memang berusaha untuk menyingkirkan Paksi. Jika sebelumnya ia masih mencari cara yang terselubung, maka kini Ki Tumenggung tidak lagi menyembunyikan niatnya itu.
"Ki Tumenggung" Nyi Tumenggung hampir berteriak, "apa yang kau lakukan?" "Iblis kecil ini telah mengkhianati aku. Dengan sengaja ia ingin menyurukkan aku ke dalam bencana" "Apa yang dilakukannya?" Ki Tumenggung meloncat sambil menjulurkan tombaknya. Sementara itu Paksi menghindarinya. "Kakang, berhentilah" "Aku akan membunuhnya. Kesabaranku telah habis" "Kakang" "Kali ini masalahnya bukan lagi kepatuhan seorang anak kepada ayahnya. Tetapi persoalannya sudah menyangkut keselamatan bahkan mati dan hidupku" "Jadi kau beratkan Harya Wisaka daripada anakmu?" "Bukan hanya Harya Wisaka. Tetapi keselamatanku sendiri. Aku dan seisi rumah ini. Termasuk kau dan anak-anakmu yang lain, yang masih memerlukan perlindungan ayahnya dan kasih sayang ibunya" Tiba-tiba saja Paksi bertanya, "Kenapa dengan Ayah, Ibu dan adik-adikku" Jika ada yang mengancam mereka, aku justru akan dapat membantu Ayah melindungi mereka" "Jangan berpura-pura tidak tahu. Kau harus mati dan Pangeran Benawa pun akan mati di halaman belakang rumah ini. Harya Wisaka sendiri akan membunuhnya" Dalam pada itu, di halaman belakang rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Pangeran Benawa memang sudah tidak bersembunyi lagi. Apalagi ketika kemudian Harya Wisaka itu berkata sambil memandang ke kegelapan, "Jangan bersembunyi seperti seorang pencuri. Keluarlah dan kita akan berhadapan sebagai laki-laki" Pangeran Benawapun kemudian telah bangkit berdiri dan melangkah mendekati Harya Wisaka, "Aku, Paman. Aku tidak mengira kalau Paman ada disini" "Kau tidak usah berbohong. Kita sudah berhadapan sekarang"
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang ingin bermalam disini bersama Paksi. Tetapi terasa sesuatu agak mencurigakan disini. Karena itu, maka aku telah bersembunyi di halaman belakang untuk mengetahui, apa yang telah membuat aku menjadi curiga" "Cukup. Sudah aku katakan, kau tidak perlu berpura-pura atau mengarang ceritera apapun. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu, sementara Ki Tumenggung Sarpa Biwada akan menyelesaikan anaknya yang telah mengkhianatinya" "Apakah Ki Tumenggung sampai hati untuk melakukannya?" "Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung. Apakah ia akan membunuh anak laki-lakinya atau akan memasungnya seumur hidupnya. Tetapi sudah tentu Ki Tumenggung tidak ingin ditangkap karena menyembunyikan aku di rumahnya" "Seandainya Paksi dipasung seumur hidupnya atau dibunuh sekalipun, bukankah aku akan dapat berceritera kepada Ayahanda, bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah menyembunyikan Paman Harya Wisaka yang melarikan diri dari penjara" "Kau tidak akan pernah dapat melaporkannya" "Kenapa?" "Kau akan mati disini" "Jangan begitu Paman. Apakah Paman sampai hati untuk membunuhku?" "Kau memang harus mati, Benawa. Aku tidak ingin kau membawa kabar kepada banyak orang bahwa aku bersembunyi disini. Bagiku sendiri tidak akan ada soal, karena malam ini aku dapat melarikan diri dan bersembunyi di tempat lain. Tetapi aku tidak dapat membiarkan Ki Tumenggung Sarpa Biwada mengalami bencana karena aku" "Sikap Paman sangat terpuji. Tetapi juga sangat tercela. Paman ingin menyelamatkan seseorang tetapi dengan mengorbankan orang lain. Apakah arti penyelamatan itu?"
"Aku harus menyelamatkan orang yang telah berusaha menolongku. Jika hal itu tidak berhasil, sama sekali tidak mempengaruhi maksud baiknya. Sedangkan kau sama sekali tidak bersikap bersahabat. Kau memusuhiku dan ayahmu sudah memenjarakan aku" "Siapa yang memusuhi Paman" Pamanlah yang memusuhi aku, dan bahkan telah memburu aku kemana aku pergi, meskipun yang Paman buru adalah cincin ini. Tetapi seandainya di Pajang tidak ada cincin inipun Paman tentu akan memburuku" "Untuk apa aku memburumu jika kau tidak mengenakan cincin itu?" "Maksud Paman untuk menguasai cincin ini hanyalah pengejawantahan dari nafsu Paman untuk menguasai lahir. Tanpa cincin inipun Paman tetap berniat merebut tahta Pajang dari Ayahanda" "Cukup. Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang aku lakukan" Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, "Bukan hanya aku dan anak-anak muda sebayaku atau yang lebih muda lagi daripada aku yang dapat mengerti apa yang Paman lakukan, karena yang Paman lakukan tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah pemberontakan" "Aku akan membuatmu diam untuk selama-lamanya" "Tetapi tentu aku tidak akan membiarkan diriku menjadi korban, Paman. Akupun tidak rela jika cincin kerajaan ini jatuh ke tangan Paman" "Kau tidak akan dapat lari" "Lari" Untuk apa aku lari" Bukankah aku mampu mengimbangi kemampuan Paman?" "Kau memang pemimpi. Jika di Alas Jabung aku dapat tertangkap, itu sama sekali bukan karena ilmumu lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi saat itu, kau dengan licik mengajak Sutawijaya dan Paksi, anak Sarpa Biwada untuk menangkapku"
"Kenapa saat itu Paman menyerah begitu saja tanpa perlawanan yang berarti terhadap kami bertiga?" "Aku sama sekali tidak takut ditangkap, karena seperti yang kau lihat, aku dengan mudah melepaskan diri" "Jika Paman sekali lagi tertangkap, maka Paman akan disimpan di tempat yang lebih kokoh, dijaga oleh prajurit yang jumlahnya berlipat serta beberapa senapati pilihan yang tidak mungkin dapat dibujuk atau diperalat oleh apapun" Harya Wisaka tertawa. Katanya, "Di seluruh Pajang tidak ada tempat yang dapat memenjarakan aku. Aku dapat keluar lewat lubang sebesar ujung duri" Tetapi Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Kau memang suka berkelakar, Paman. Jika Paman memang merasa mampu menembus dinding tempat Paman ditahan di lingkungan istana Pajang, kenapa Paman masih harus bersembunyi?" "Sudah aku katakan, jangan menyesali sikapku. Tetapi yang penting aku ingin bertanya kepadamu Benawa, jika kematian itu datang menjemputmu malam ini, pesan apa yang ingin kau sampaikan kepada ayahandamu, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang tamak itu?" "Paman tidak usah menyibukkan diri dengan pesanpesanku. Biarlah aku sendiri yang menyampaikannya kepada ayahanda, bahwa aku telah berhasil menangkap kembali Harya Wisaka yang melarikan diri dari bilik tahanannya" Wajah Harya Wisaka menjadi merah. Dengan nada keras ia berkata, "Pangeran Benawa, sebenarnya aku tidak ingin bertengkar dengan kanak-kanak. Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku tidak dapat berbuat lain dari membunuhmu. Ada atau tidak ada cincin di jari-jarimu. Jika cincin itu ternyata ada di jari-jarimu adalah satu kebetulan, karena aku akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Kau tidak dapat berbicara tentang keberadaanku disini kepada siapapun, sementara aku tidak perlu lagi memburu cincin itu kemanamana"
"Tetapi seperti yang sudah aku katakan, Paman. Aku tidak mau mati sekarang. Jika Paman memaksa untuk membunuhku, maka aku pun dapat berbuat seperti itu. Karena kita mempunyai kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Kecuali jika Paman bersedia berbaik hati menyerah untuk kembali ke bilik tahanan" "Cukup. Bersiaplah untuk mati, Benawa" Pangeran Benawa surut selangkah. Ia melihat Harya Wisaka sudah bersiap menyerangnya. Sebenarnyalah, sesaat kemudian, Harya Wisaka itupun telah meloncat menyerang. Sementara itu, Pangeran Benawa yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinanpun telah menghindari serangan itu. Namun agaknya Harya Wisaka benar benar tidak menahan diri lagi. Dengan garangnya ia menyerang dan menyerang terus. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu dengan membunuh Pangeran Benawa. Kemudian menguburkan mayatnya di kebun belakang rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu. Tetapi Pangeran Benawapun telah meningkatkan ilmunya pula. Dengan demikian, maka pertahanannyapun menjadi semakin rapat, sehingga serangan-serangan Harya Wisaka tidak mampu menembusnya. Dengan demikian, maka pertempuran di belakang rumah Ki Tumenggung itupun menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Namun ternyata tidak mudah bagi Harya Wisaka untuk membunuh Pangeran Benawa. Sebaliknya, tidak mudah pula bagi Pangeran Benawa untuk menangkap kembali Harya Wisaka tanpa bantuan orang lain. Apalagi kebun yang luas dan ditumbuhi dengan pohon-pohon yang besar, tanamantanaman perdu dan beberapa rumpun empon-empon yang sengaja ditanam oleh Nyi Tumenggung sebagai bahan untuk membuat reramuan jamu, sehingga kesannya kebun belakang itu menjadi rimbun.
Di gelap malam, pepohonan yang besar, tanaman perdu dan rumpun empon-empon itu dapat menjadi perisai bagi keduanya yang sedang terdesak. Namun ternyata bahwa Pangeran Benawa memiliki ilmu yang sangat tinggi. Harya Wisaka yang meyakini kemampuannya itupun mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan Pangeran Benawa yang datang seperti prahara. Dalam pada itu, di halaman depan, Ki Tumenggung Sarpa Biwada mengerahkan segenap kemampuannya untuk membunuh Paksi. Namun Paksi yang sudah ditempa itupun tidak dapat dengan mudah dibunuhnya. Sementara itu, Paksi sendiri masih mengekang dirinya. Ia lebih banyak menangkis, menghindar dan berloncatan mengambil jarak daripada melawan, apalagi menyerang. "Ayah. Kenapa Ayah ingin benar-benar membunuhku" Paksi hampir berteriak. Keributan itu telah membuat kedua orang adik Paksipun menjadi kebingungan. Mereka terbangun dan dengan tergesagesa keluar dari bilik mereka dan bahkan langsung keluar ke pringgitan. Sementara itu, Nyi Tumenggung masih berusaha untuk melerai mereka. Dengan lantang iapun memanggil, "Kakang. Kakang Tumenggung. Kenapa Kakang benar-benar ingin membunuh Paksi" "Anak durhaka. Anak ini akan membawa bencana bagi seluruh keluarga" "Kakang takut melihat bayangan sendiri. Lihat, Paksi tidak melawan. Tetapi ia tidak ingin mati" Tetapi Ki Tumenggung tidak menghiraukannya. Ia masih saja memburu Paksi, memutar tombaknya dan mengayunkannya menebas ke arah perut. Kemudian menjulurkannya mematuk ke arah dada. Namun Paksi benar-benar tangkas. Kadang-kadang ia berloncatan menghindar. Namun jika terpaksa Paksi menangkis serangan-serangan itu dengan tongkatnya.
"Ibu" adik perempuan Paksipun berlari memeluk ibunya. "Ayah" teriak adik laki-laki Paksi, "apa yang telah terjadi?" Tetapi ayahnya tidak menjawab. Serangan-serangannya datang semakin cepat. Namun serangan-serangan itu tidak pernah berhasil menyentuh tubuh Paksi. Adik laki-laki Paksi itupun kemudian berlari menghambur mendekati arena sambil berteriak, "Ayah, Kakang Paksi" "Minggirlah" teriak ayahnya, "aku harus membunuh kakakmu yang durhaka ini" "Kenapa" bertanya adik laki-laki Paksi. "Minggir. Kau akan tahu kemudian, kenapa Paksi harus mati" Adik laki-laki Paksi itu memang melangkah surut. Sementara adik perempuannya masih saja memeluk ibunya. Paksi masih saja berloncatan menghindar serta sekali-sekali menangkis dan membenturkan tongkatnya. Tetapi Paksi masih belum membalas menyerang. Meskipun Paksi masih belum membalas menyerang, tetapi Ki Tumenggung sudah mulai menjadi cemas. Benturanbenturan senjata yang terjadi telah mengisyaratkan kepada Ki Tumenggung, bahwa Paksi memiliki tenaga yang sangat besar, di samping kemampuan olah kanuragannya yang tinggi, yang telah ditunjukkannya ketika Paksi mengalahkan Ki Semburwangi. Kecemasan Ki Tumenggung itu ternyata mulai mempengaruhi tata geraknya. Unsur-unsur geraknya mulai kehilangan watak. Tombak pendeknya tidak lagi berbahaya seperti sebelumnya. Namun justru karena itu, maka Ki Tumenggung nampak menjadi semakin garang. Seranganserangannya nampaknya menjadi semakin keras. Tetapi semakin tidak terarah. Sebenarnya paksi mempunyai kesempatan semakin besar untuk membalas menyerang menembus pertahanan ayahnya yang sudah goyah. Tetapi Paksi tidak melakukannya. Ia masih tetap bertahan. Menghindar dan sekali-sekali menangkis dan membenturkan tongkatnya.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi di halaman belakang rumah Ki Tumenggung pun menjadi semakin sengit. Harya Wisaka telah mengerahkan kemampuannya untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ketika Harya Wisaka mulai terdesak, maka ia telah mengetrapkan ilmunya yang mendebarkan. Telapak tangannya seakan-akan telah membara. Dengan menelakupkan telapak tangannya, maka asap tipis yang kemerah-merahan telah mengepul dari telapak tangannya itu. Tetapi telapak tangannya yang membara itu sama sekali tidak membantunya. Dengan tangkas Pangeran Benawa berloncatan menghindari sentuhan telapak tangannya. Bahkan sekali-sekali serangan Pangeran Benawa justru telah mengenai tubuhnya. Dalam puncak kemarahannya, maka Harya Wisakapun telah menarik pedangnya. Ketika pedang itu berputar sehingga membayangkan kabut tipis di seputarnya, Pangeran Benawa meloncat surut. "Kau akan mati, Benawa. Kau tidak bersenjata sekarang" Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Ia menyadari, betapa tingginya ilmu pedang Harya Wisaka. Tetapi di malam hari, tidak ada cahaya matahari yang memantul dari pedang itu, sehingga Pangeran Benawa menduga, bahwa pedang itu tidak akan dapat menyilaukan matanya. Namun ternyata dugaan Pangeran Benawa itu keliru. Pedang itu semakin lama menjadi semakin berkilau. Pantulan cahaya lampu di kejauhan dan pantulan kilatan bintangbintang di langit, bagaikan menjadi berlipat ganda sehingga Pangeran Benawa menjadi silau karenanya. "Kau tidak dapat melihat arah gerak pedang pusakaku, Benawa. Sebentar lagi pedangku akan membuat lingkaran di lehermu" Pangeran Benawa memang menjadi silau. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Pangeran Benawa tidak dapat melihat sama sekali gerak pedang Harya Wisaka. Dibantu oleh
ilmunya Sapta Panggraita, maka Pangeran Benawa tidak menemui kesulitan untuk mengamati gerak pedang Harya Wisaka. Meskipun demikian, Pangeran Benawa memerlukan senjata untuk melawan pedang Harya Wisaka. Meskipun Pangeran Benawa tidak membawa tombak pendeknya, namun ia telah mengenakan lembaran kulit yang melingkari pergelangan tangannya. Sementara itu, kedua tangannya telah menggenggam sepasang pisau belatinya. Harya Wisaka tertawa pendek sambil berkata, "Apa artinya sepasang pisau belatimu itu, Benawa?" "Sama seperti arti pedang itu di tangan Paman" Jawab Pangeran Benawa. "Omong kosong" geram Harya Wisaka. "Pedangku adalah pedang pusaka yang memiliki banyak kelebihan dari kebanyakan pedang" "Demikian pula kedua pisau belatiku ini, Paman" "Apa kelebihan pisau dapurmu itu?" Pangeran Benawa justru tertawa. Katanya, "Jika Paman memang kebal, coba jangan hindari tajam pisau-pisau dapurku ini" "Persetan dengan igauanmu" geram Harya Wisaka sambil meloncat menyerang. Pangeran Benawa yang meskipun silau itu tahu pasti arah pedang Harya Wisaka. Karena itu, maka iapun dengan sigapnya menghindarinya. Dengan cepat Harya Wisaka memutar pedangnya. Kilatan cahaya yang memantul pada daun pedang itu, maka agak merepotkan Pangeran Benawa. Tetapi ilmunya Sapta panggraita seakan-akan telah memberinya petunjuk arah ayunan pedang Harya Wisaka. Karena itu, maka dengan tangkasnya Pangeran Benawa menangkis serangan pedang Harya Wisaka itu. Justru Harya Wisakalah yang terkejut. Ia mengira bahwa pedangnya akan berhasil menyentuh tubuh Pangeran Benawa yang silau itu. Mungkin Pangeran Benawa berusaha untuk
menangkis atau menghindar. Tetapi tentu tidak akan berhasil sepenuhnya, sehingga serangannya itu tentu akan dapat mengenai sasaran meskipun tidak tepat seperti yang dimaksudkan. Ternyata sebuah benturan telah terjadi. Harya Wisaka yang tidak menduga bahwa Pangeran Benawa berhasil menangkis serangannya dengan tepat, justru hampir saja kehilangan senjata dalam benturan yang tidak diduganya itu. Namun dengan cepat Harya Wisaka meloncat surut untuk memperbaiki genggaman pedangnya. Pangeran Benawa tidak segera memburunya. Apalagi ketika Harya Wisaka memutar pedangnya di seputar tubuhnya, sehingga tubuh itu seolah-olah dilingkari oleh kabut yang berwarna keputih-putihan, dan bahkan kemudian kilatankilatan pantulan cahaya lampu di belakang rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, serta kerdipan cahaya bintang di langit, bagaikan menghiasi lingkaran kabut itu. Pangeran Benawa sejenak justru terpesona oleh ujud yang memancar dari ilmu serta kelebihan pedang Harya Wisaka. Namun tiba-tiba Harya Wisaka telah meloncat menyerangnya pula. Namun dengan kecepatan yang tinggi. Pangeran Benawa berhasil menghindarinya. Tetapi Harya Wisaka tidak menghentikan serangannya. Pedangnya itupun terjulur lurus mengarah ke dada. Tetapi dengan tangkasnya Pangeran Benawa menepis ujung pedang itu. Dan bahkan ujung belatinya yang sebuah lagi dengan cepat menggapai tubuh Harya Wisaka. Harya Wisaka meloncat surut. Terasa pundaknya disengat ujung belati Pangeran Benawa. Tidak terlalu dalam. Tetapi luka itu telah menitikkan darah. Harya Wisaka menggeram. Kemarahannya semakin membakar jantungnya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Pundaknya telah terluka. Ketika kemudian Pangeran Benawa yang meloncat menyerang, maka Harya Wisakapun menjadi terdesak. Kilatan-
kilatan pedangnya yang menyilaukan tidak mampu menghambat serangan-serangan Pangeran Benawa itu. Harya Wisakapun kemudian telah dijerat ke dalam kesulitan. Ia merasa tidak akan mungkin dapat mengalahkan, apalagi membunuh Pangeran Benawa. Bahkan Harya Wisaka pun yakin, bahwa di dalam diri Pangeran Benawa tersimpan beberapa kelebihan yang lain dari dirinya. Namun Harya Wisaka tidak ingin tertangkap dan ditahan kembali. Karena itu, maka baginya tidak ada jalan lain kecuali melarikan diri dari halaman belakang rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu. Harya Wisaka tidak lagi menghiraukan harga dirinya sebagai seorang prajurit linuwih. Ia bukan kesatria yang memilih mati daripada melarikan diri dari medan. "Tidak semua orang yang menyingkir dari arena adalah pengecut" berkata Harya Wisaka di dalam hatinya. Harya Wisakapun tidak lagi mengingat nasib Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang telah menyembunyikannya. Apakah ia akan ditangkap atau dibunuh oleh Pangeran Benawa. Dalam keadaan yang tersudut, maka Harya Wisaka lebih memikirkan nasibnya sendiri daripada nasib Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang telah membantu menyembunyikannya di rumahnya. Karena itu, maka memanfaatkan kerimbunan halaman belakang rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, pohon-pohon buah-buahan serta pohon nyiur yang terdapat di halaman belakang dan gelapnya malam, maka Harya Wisaka dengan beralaskan ilmunya, berusaha melepaskan diri dari tangan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa memang terlambat sekejap. Harya Wisaka yang dengan hentakan-hentakan ilmunya menyerang Pangeran Benawa, tiba-tiba saja telah meloncat ke belakang pepohonan. "Paman" panggil Pangeran Benawa sambil memburunya, "jangan lari. Kita masih akan berunding mengadu kemahiran naik kuda di padang rumput yang luas"
Harya Wisaka tidak mendengarkannya. Bayanganbayanganpun segera lenyap dalam kegelapan. Pangeran Benawa memang berusaha mengejarnya. Tetapi Harya Wisaka itu luput dari tangannya. Pangeran Benawa menjadi sangat kecewa. Ia telah menemukan Harya Wisaka. Tetapi ia telah gagal untuk menangkapnya kembali. Demikian Harya Wisaka hilang dari halaman belakang rumah Ki Tumenggung serta meloncati dinding halaman turun di halaman rumah sebelah, Pangeran Benawa termangumangu sejenak di atas dinding halaman belakang itu. Tetapi ia tidak meloncat turun ke halaman sebelah dan memburu Harya Wisaka, karena usahanya tentu akan sia-sia. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, maka Harya Wisaka dapat berlari sangat cepat, meskipun mungkin Pangeran Benawa dapat pula berlari secepat itu, tetapi di antara pepohonan, rumpun perdu dan gelapnya malam, ia akan sulit untuk dapat menyusulnya. Dengan kemampuan Aji Sapta Pandulu, Pangeran Benawa masih melihat Harya Wisaka menyusup di belakang rimbunnya tanaman perdu di halaman sebelah. Tetapi Pangeran Benawa terpaksa membiarkannya pergi. Baru beberapa saat kemudian Pangeran Benawa teringat, apa yang telah terjadi atas Paksi. Apakah ayahnya akan membunuhnya atau memperlakukannya dengan tindakantindakan kekerasan yang lain. Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera meloncat turun dan berlari ke halaman depan, melingkari sudut gandok. Ternyata Paksi masih berusaha untuk melindungi dirinya dari ujung tombak ayahnya yang menyerangnya dengan garangnya. Tetapi serangan-serangannya sudah tidak lagi terarah dengan baik, sehingga tidak lagi membahayakan keselamatan Paksi. Pangeran Benawapun termangu-mangu menyaksikan pertempuran itu. Paksi masih belum berusaha untuk
membalas menyerang. Ia masih saja berloncatan menghindar, menangkis dan sekali-sekali membentur senjata ayahnya. Sementara itu, ibu Paksi masih berusaha untuk melerainya. Bahkan ibu Paksi telah turun ke halaman bersama adik perempuan Paksi. Demikian pula adik laki-laki Paksi. Tetapi mereka tidak berani mendekat. Ujung tombak Ki Tumenggung menyambar-nyambar dengan garang. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri di halaman itu menjadi ragu-ragu, apakah ia akan mencampuri pertempuran itu. Tetapi ketika ia melihat cara Paksi bertempur, maka Pangeran Benawa memutuskan untuk tidak melibatkan diri. Persoalan yang timbul pada ayah dan anak laki-lakinya itu sebaiknya tidak dicampurinya, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus sehingga membahayakan jiwa Paksi. Pangeran Benawa juga tidak dapat menebak perasaan Paksi seandainya ia turun ke arena pertempuran. Apakah Paksi akan berterima kasih, atau sebaliknya akan menyesalinya sepanjang umurnya. Apalagi jika ayahnya terluka dan mengalami keadaan yang sangat buruk. Cahaya lampu minyak di pendapa nampak redup. Tetapi cahayanya mampu menggapai Pangeran Benawa betapa lemahnya. Ayah Paksi menjadi sangat gelisah. Pangeran Benawa tibatiba sudah berada di halaman itu. "Bagaimana nasib Harya Wisaka?" pertanyaan itu ternyata sangat mengganggunya. Dalam keadaan yang gawat itu, maka Ki Tumenggung menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu ia tidak akan dapat membunuh Paksi sebagaimana diinginkannya. Bagaimanapun ia berusaha. namun Paksi masih saja mampu menghindarinya. Dalam kebingungan itu, maka Ki Tumenggungpun telah mengambil keputusan yang tidak diduga oleh Paksi, ibunya dan adik-adiknya. Tiba-tiba saja Ki Tumenggung itupun melarikan diri menuju ke pintu regol halaman. "Ayah, Ayah" Paksi mencoba memanggilnya.
Demikian pula Nyi Tumenggung dan adik-adik Paksi. Tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak berpaling. Pangeran Benawa masih tetap ragu-ragu. Karena itu, ia berdiri saja termangu-mangu. Namun sejenak kemudian halaman itu bagaikan membeku. Paksi berdiri di tempatnya dengan tongkat kayunya. Namun kemudian tangis adik perempuan Paksipun bagaikan meledak. Beberapa kali ia masih memanggil ayahnya yang melarikan diri masuk ke dalam kegelapan malam. "Kenapa hal ini terjadi Paksi?" bertanya ibunya. "Aku tidak tahu, Ibu" "Tentu bukan satu kebetulan kau pulang malam ini, justru pada saat Harya Wisaka bersembunyi disini" Paksi menundukkan kepalanya. Sementara itu, Pangeran Benawapun melangkah mendekat. "Pangeran" desis Nyi Tumenggung Sarpa Biwada, "apakah Pangeran datang untuk menangkap Kakang Tumenggung?" "Tidak, Bibi" jawab Pangeran Benawa, "kami sebenarnya tidak ingin menangkap siapa-siapa. Tetapi karena Harya Wisaka ada disini, maka akupun berusaha untuk menangkapnya" "Tentu Pangeran sudah mengetahui bahwa Harya Wisaka ada disini" "Semua orang memang sedang mencari Harya Wisaka. Kamipun sedang mencarinya pula. Kami tidak tahu pasti, apakah Paman Harya Wisaka ada disini" "Tetapi Pangeran sudah menduga sebelumnya, setidaktidaknya curiga, bahwa Harya Wisaka bersembunyi disini" "Ya, Bibi. Sebagaimana kami lihat, ternyata Harya Wisaka memang bersembunyi disini" Mata Nyi Tumenggung menjadi panas. Tetapi ia berjuang untuk tidak menangis. Anak perempuannya yang sudah menangis itu tentu akan menjadi semakin ketakutan menghadapi keadaan yang tidak dimengertinya. Sementara itu adik laki-laki Paksipun bertanya, "Kenapa Kakang berkelahi dengan ayah?"
"Aku tidak tahu" jawab Paksi. "Aku sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ayah agaknya menjadi sangat marah kepadaku" Adik laki-laki Paksi itu sudah dapat mempergunakan penalarannya untuk mengurai keadaan. Meskipun agak ragu, adik laki-laki Paksi itupun bertanya, "Apakah peristiwa ini terjadi dalam hubungannya dengan kehadiran Harya Wisaka disini?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah. Nanti kita bicarakan untuk mencari jalan keluar" "Tetapi ayah itu akan pergi ke mana?" "Aku tidak tahu" Adik laki-laki Paksi itu terdiam. Sementara itu, ibu Paksipun telah mempersilahkan Pangeran Benawa naik ke pendapa. "Bagaimanapun juga, anak-anak masih memerlukan ayahnya" berkata Nyi Tumenggung kemudian. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. "Apakah ayah tidak akan kembali?" bertanya adik perempuan Paksi. "Kita semuanya tidak tahu. Tetapi aku akan berusaha mencarinya" Nyi Tumenggung itupun kemudian menggeleng sambil berdesis, "Kau tidak usah mencari ayahmu, Paksi. Agaknya kau dan Pangeran Benawa berdiri berseberangan dengan ayahmu" "Jika Ibu menduga demikian, maka Ibu tentu tahu kedudukan ayah di mata Kangjeng Sultan di Pajang" Nyi Tumenggung masih bertahan. Betapa jantungnya bergejolak, namun Nyi Tumenggung itu berusaha untuk tidak menangis. Tetapi Nyi Tumenggung itupun mengangguk kecil. "Aku minta maaf, Ibu. Jika akulah yang menyebabkan ayah pergi malam ini. Tetapi aku tidak tahu, seandainya aku tidak pulang malam ini, apakah tidak ada orang lain yang melakukannya. Bagaimanapun juga, nama ayah sudah terlanjur tersangkut dengan langkah-langkah yang dibuat oleh Harya Wisaka"
Bagaimanapun juga Nyi Tumenggung bertahan, namun air matanya meleleh juga dari pelupuknya. Bahkan Nyi Tumenggung itupun kemudian telah terisak. "Ibu, Ibu" adik perempuan Paksi itupun mengguncangguncang ibunya. Tetapi adik laki-laki Paksi itupun kemudian berkata, "Apakah ayah memang tersangkut dalam gerakan yang dilakukan oleh Harya Wisaka?" Paksi memandang ibunya sejenak. Tetapi sebelum ia menjawab, adiknya itupun berdesis, "Satu pertanyaan yang bodoh. Jika ayah tidak tersangkut, maka Harya Wisaka malam ini tentu tidak akan bersembunyi disini" Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluar yang dapat kita tempuh" Adik laki-lakinya memandang ibunya sejenak. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, Nyi Tumenggungpun kemudian berkata, "Tetapi bukankah ayahmu tidak berperanan dalam gerakan Harya Wisaka itu?" Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak tahu pasti, Ibu" Nyi Tumenggungpun kemudian memandang Pangeran Benawa dengan tajamnya. Dengan nada tinggi serta suara yang bergetar Nyi Tumenggung itupun berkata, "Pangeran, kenapa Pangeran diam saja" Katakan Pangeran, apakah Ki Tumenggung akan dihukum mati jika tertangkap dan diketahui menyembunyikan Harya Wisaka?" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian agak ragu, "Bibi, Sebenarnyalah aku tidak tahu" "Katakan terus terang, Pangeran" "Benar, Bibi. Aku tidak tahu" Nyi Tumenggung itupun masih terisak. Tetapi ia masih bertahan agar tangisnya tidak meledak. Tetapi justru karena itu, dadanya terasa sakit sekali. Namun kemudian Nyi Tumenggung itupun berkata, "Silahkan Pangeran, apapun
yang akan Pangeran lakukan atas keluarga kami. Tetapi jangan lakukan apa-apa atas anak-anakku ini" Sebelum Pangeran Benawa menjawab, maka Nyi Tumenggung itupun segera bangun. Dibimbingnya anak perempuannya dan ditariknya pula tangan anak laki-laki sambil berkata, "Marilah. Kita tidak tahu-menahu apa yang telah terjadi" Demikian Nyi Tumenggung dan kedua anaknya masuk ke ruang dalam, maka Paksipun berkata, "Peristiwa seperti inilah yang hamba takuti sejak kita berangkat dari padepokan" Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya, "Aku dapat mengerti, Paksi" "Ayah benar-benar akan membunuh hamba" "Seharusnya kau tidak terlalu terkejut" "Kenapa?" "Kau sudah pernah mendapat tugas yang tidak masuk akal dari ayahmu. Pada waktu kau menginjak tujuhbelas tahun, kau diperintahkannya untuk mencari cincin kerajaan ini. Apakah itu bukan satu rencana pembunuhan" Kemudian rencana ayahmu untuk melemparkan kau ke padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal" Paksi menundukkan kepalanya. Dengan suara yang seakanakan bergetar di dalam dadanya saja itupun bergumam, "Kenapa?" "Paksi, bukankah waktu itu kau masih belum tahu apa-apa tentang hubungan antara ayahmu dengan Paman Harya Wisaka" Karena itu, jika waktu itu ayahmu akan membunuhmu, tentu ada sebab yang lain. Bukan sematamata dalam hubungannya dengan Harya Wisaka" "Hamba akan menanyakannya kepada Ibu" "Tanyakanlah" "Tetapi tidak sekarang, Pangeran. Aku tidak ingin menambah pedih perasaan Ibu" "Justru sekarang waktunya, Paksi. Ibumu melihat langsung apa yang akan dilakukan oleh ayahmu"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun anak muda itupun kemudian bangkit sambil berdesis, "Hamba akan mencobanya" Paksipun kemudian menyusul ibunya masuk. Dilihatnya ibunya duduk di ruang dalam. Adik perempuannya berbaring dengan meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya, sedang adik laki-lakinya duduk di sebelahnya. Mereka hanya berdiam diri saja, merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika melihat kedua adiknya, maka Paksipun mengurungkan niatnya. Ia justru duduk di depan ibunya sambil berkata, "Sudahlah, Ibu. Seperti aku katakan tadi, kita akan mencari jalan keluar dari pusaran peristiwa yang tidak kita kehendaki ini" "Aku sudah pasrah, Paksi" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada kedua adiknya, "Tidur sajalah sambil menunggu pagi" "Bagaimana aku dapat tidur lagi, Kakang" jawab adik lakilakinya. Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku mengerti. Tetapi setidak-tidaknya berbaringlah di pembaringanmu" "Aku akan duduk bersama Ibu disini" Paksi tidak memaksanya. Bahkan iapun kemudian berkata, "Aku duduk di pringgitan, Ibu" Ibunya mengangguk. Ketika Paksi keluar, Pangeran Benawapun bertanya, "Kau sudah menanyakannya?" "Belum, Pangeran. Ibu duduk bersama adik-adik hamba" Pangeran Benawa mengangguk. Katanya, "Baiklah. Mungkin besok pagi kau dapat berbicara dengan ibumu" Dalam pada itu, Pangeran Benawapun kemudian berceritera tentang Harya Wisaka yang lepas dari tangannya. Mungkin Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada sudah bertemu lagi di tempat-tempat yang hanya mereka kenal saja. "Kedudukan hamba menjadi sangat sulit" berkata Paksi kemudian. "Ya" jawab Pangeran Benawa, "tetapi mungkin tidak lagi setelah kau mendapat penjelasan dari ibumu, kenapa ayahmu
ingin menyingkirkanmu sejak semula tanpa ada kaitannya dengan Harya Wisaka" Paksi menarik nafas panjang. Katanya, "Mudah-mudahan aku menemukan jawabnya" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti perasaan Paksi. Tetapi memang tidak ada pilihan lain. Ki Tumenggung Sarpa Biwada memang sudah terlibat dalam pemberontakan yang dilakukan oleh Harya Wisaka. Ia telah menyembunyikan Harya Wisaka yang melarikan diri dari bilik tahanannya. Sampai langit membayang cahaya fajar, maka Pangeran Benawa dan Paksi masih duduk di pringgitan. Di ruang dalam, ibunya juga masih duduk merenung. Anak perempuannya sudah tertidur di pangkuannya, sedangkan anak laki-lakinya masih juga duduk di sampingnya. Di pringgitan Paksi bertanya kepada Pangeran Benawa, "Apa yang akan kita lakukan?" "Kita menghadap Ki Gede Pemanahan dan selanjutnya menghadap ayahanda. Kita harus memberikan laporan, apa yang terjadi di rumah ini" "Apakah ibu dan adik-adik hamba dapat dianggap ikut bersalah karena Harya Wisaka semalam ada disini?" "Kita akan memberikan pertimbangan kepada Paman Pemanahan yang mendapat beban untuk menangkap kembali Paman Harya Wisaka. Tetapi menurut pendapatku, ibu dan adik-adikmu tidak dapat dinyatakan ikut bersalah" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut di kening, iapun bertanya, "Kapan kita akan menghadap Ki Gede?" "Sekarang" jawab Pangeran Benawa, "sebentar lagi fajar akan menyingsing. Pada saat seperti ini, Paman Pemanahan tentu sudah bangun dan berbenah diri" "Baiklah. Aku akan minta diri kepada ibu dan adik-adikku" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Akupun akan minta diri"
Paksipun kemudian masuk ke ruang dalam. Jantungnya terasa berdesir ketika ia melihat ibu dan adik-adiknya masih berada di tempatnya tanpa bergeser setapak pun. "Ibu" desis Paksi. Ibunya mengangkat wajahnya dan memandang Paksi dengan kerut di dahi. "Aku minta diri, Ibu" "Kau akan pergi ke mana?" "Mengantar Pangeran Benawa ke istana" "Melaporkan bahwa keluarga ini telah menyembunyikan Harya Wisaka?" "Kami tidak dapat menyembunyikan peristiwa yang terjadi di rumah ini. Apalagi Pangeran Benawa sendiri telah terlibat di dalamnya" "Apakah dengan demikian ibu juga akan ditangkap" Atau bahkan kami berdua?" bertanya adik laki-laki Paksi. "Tidak" jawab Paksi. "Ibu dan kalian berdua tidak akan ditangkap karena kalian tidak ikut bersalah" Adik laki-laki Paksi itu terdiam. "Ibu" berkata Paksi kemudian, "Pangeran Benawa juga akan minta diri" "Aku tidak dapat berdiri untuk keluar ke pringgitan, Paksi. Adikmu tidur di pangkuanku. Aku tidak ingin ia terbangun" "Biarlah aku angkat anak itu ke pembaringannya" "Tidak. Ia akan terbangun. Biarlah ia menikmati kesempatannya. Jika ia terbangun, maka ia tidak akan dapat tidur lagi" "Biarlah Pangeran Benawa kemari" desis Paksi. Ibunya tidak mencegahnya. Paksipun kemudian meninggalkan ibunya. Sejenak kemudian maka iapun telah kembali bersama Pangeran Benawa. "Aku minta diri, Bibi" "Ampun, Pangeran. Hamba tidak dapat mengantar Pangeran sampai ke regol. Anak ini tidur di pangkuan" "Sudahlah, Bibi. Jangan kejutkan anak itu. Agaknya tidurnya nyenyak"
"Ya, Pangeran. Meskipun barangkali ia bermimpi buruk" Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Aku mohon diri, Bibi. Aku minta maaf, bahwa peristiwa yang tidak diinginkan telah terjadi disini. Aku tidak dapat menghindarinya. Tetapi Bibi hendaknya percaya, bahwa tidak akan ada tindakan sewenang-wenang" "Terimakasih, Pangeran" sahut Nyi Tumenggung. "Paksi akan ikut bersamaku. Ia juga harus menyampaikan laporan kepada Paman Pemanahan dan kepada ayahanda Sultan" "Silahkan. Hamba tidak dapat mencegahnya. Hamba tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah" Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Selamat pagi, Bibi" Nyi Tumenggung mengusap matanya. Tetapi wajahnya tetap saja menunduk mengamati wajah anak perempuannya yang tidur di pangkuannya. Sejenak kemudian, Paksi dan Pangeran Benawapun telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada menuju ke rumah Ki Gede Pemanahan. Mereka ingin bertemu dan berbicara lebih dahulu dengan Ki Gede sebelum mereka menghadap Kanjeng Sultan, meskipun Pangeran Benawa yakin, bahwa ayahandanya akan menerimanya meskipun masih terlalu pagi. Menjelang fajar terdengar derap dua ekor kuda yang berlari menuju ke rumah Ki Gede Pemanahan. Tidak terlalu cepat, agar suara derapnya tidak mengejutkan orang-orang yang tinggal di sebelah menyebelah jalan. Namun keduanya tidak meninggalkan kewaspadaan. Mungkin saja mereka tiba-tiba mendapat serangan dari tempat-tempat yang tersembunyi. Bahkan mungkin Harya Wisaka sendiri. Tetapi mungkin juga pengikutnya. Tetapi mereka berdua tidak menemui hambatan apapun di sepanjang jalan. Bahkan mereka malah berpapasan dengan beberapa orang perempuan yang akan pergi ke pasar yang berjalan beriringan sambil membawa sisa obor belarak.
Seorang di antara mereka berjalan sambil berdendang. Tidak terlalu keras, tetapi suaranya terasa menyentuh dinding jantung. Nadanya yang mengalun bukan menjeritkan keluhan, tetapi keluguan seseorang yang mengusung beban kewajiban yang berat. Perempuan-perempuan yang berjalan beriringan ke pasar itu menggendong bakul di punggungnya yang disambungnya dengan serumbung yang agak tinggi. Mereka membawa hasil kebunnya yang akan dijualnya untuk mendapatkan beberapa keping uang yang dapat dibelikannya garam dan kebutuhankebutuhan sehari-hari yang lain. Pangeran Benawa dan Paksi memperlambat kudanya. Sementara itu beberapa orang perempuan yang berjalan beriring itu menduganya bahwa keduanya adalah prajurit yang sedang meronda. "Mereka adalah pekerja-pekerja yang sangat rajin" berkata Pangeran Benawa. "Namun penghasilan mereka masih belum memadai" Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Beban yang mereka bawa itu cukup berat. Namun uang yang mereka peroleh rasarasanya kurang seimbang dengan jerih payah mereka" "Tentu tidak mudah untuk meningkatkan penghasilan mereka. Jika harga hasil kebunnya harus dihargai lebih tinggi, maka ada golongan yang merasa semakin sulit kehidupannya. Orang upahan yang menjual tenaganya akan mengeluh, karena penghasilan mereka nilai tukarnya akan menjadi semakin rendah" Paksi mengangguk-angguk. Memang tidak mudah untuk mengubah keseimbangan kesejahteraan rakyat Pajang. Dalam pada itu, maka beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai di rumah Ki Gede Pemanahan. Sementara langit menjadi semakin terang. Burung-burung liarpun sudah terdengar berkicau di pepohonan.
"Meskipun fajar telah naik, tetapi kedatangan kita di rumah Ki Gede tentu akan mengejutkannya. Apalagi kita tidak disertai oleh Kakangmas Sutawijaya" Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi Ki Gede akan segera mengetahui persoalannya" "Ya" Pangeran Benawa mengangguk. Keduanyapun terdiam. Mereka sudah berada di depan regol halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Keduanya segera meloncat turun. Mereka menuntun kuda mereka memasuki regol halaman rumah Ki Gede Pemanahan yang sudah sedikit terbuka. Dua orang pengawal menghentikan mereka. Namun setelah mereka melihat bahwa keduanya adalah Pangeran Benawa dan Paksi yang kebetulan juga mereka kenal, maka merekapun dipersilahkan untuk masuk. "Apakah Paman Pemanahan masih tidur?" "Tidak" jawab pengawal, "Ki Gede tadi sudah turun ke halaman. Berjalan berputar-putar sebentar lalu masuk lagi lewat pintu seketeng" "Katakan, kami akan menghadap" Salah seorang pengawalpun kemudian masuk ke longkangan lewat pintu seketeng yang tidak diselarak dari dalam. Sejenak kemudian, maka Ki Gedepun keluar lewat pintu pringgitan dan mempersilahkan Pangeran Benawa dan Paksi untuk duduk di pringgitan. "Pagi-pagi sekali Pangeran dan Paksi sudah berada disini. Apakah kalian baru datang dari Hutan Jabung?" "Tidak, Paman. Kami datang semalam" "O" "Paksi rindu kepada keluarganya dan ingin bermalam semalam di rumahnya. Aku hanya ikut mengantarkannya" Ki Gede Pemanahan mengerutkan dahinya. Jawaban itu sangat menarik perhatian Ki Gede Pemanahan. Karena itu, sambil tersenyum Ki Gedepun bertanya, "Jadi kalian benarbenar melakukannya?"
Pangeran Benawapun memandang Paksi sejenak. Tetapi Paksi hanya menarik nafas panjang saja. "Paman" berkata Pangeran Benawa kemudian, "adalah kebetulan bahwa Harya Wisaka benar-benar berada di rumah Paksi" Pangeran Benawapun kemudian telah menceriterakan bahwa ia gagal menangkap kembali Harya Wisaka, sementara itu ayah Paksipun melarikan diri. "Pangeran dan Paksi juga gagal menangkap Ki Tumenggung?" bertanya Ki Gede. "Aku tidak dapat melakukannya, Ki Gede. Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah ayahku. Apalagi di hadapan ibu dan adik-adikku" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk kecil, sementara Pangeran Benawapun berkata, "Aku juga tidak dapat melakukannya" "Baiklah, Pangeran. Aku harus memerintahkan para petugas sandi untuk bekerja lebih keras. Ternyata mereka tidak mengetahui bahwa Harya Wisaka ada di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Dan bahkan mereka tidak tahu bahwa telah terjadi pertempuran di halaman belakang dan halaman depan rumah itu, rumah yang harusnya diawasi, karena nama Ki Tumenggung Sarpa Biwada sudah terkait dengan gerakan Harya Wisaka" "Ketika Paman Harya Wisaka dan Ki Tumenggung melarikan diri keluar dari lingkungan halaman rumah itupun tidak diketahui pula oleh para petugas sandi. Jika saja rumah itu diawasi, meskipun mereka tidak tahu bahwa Paman Harya Wisaka ada di dalam, mereka akan dapat melihat keduanya lari keluar melalui jalan dan menuju ke arah yang berbeda" "Ya, Pangeran Benawa. Ini merupakan kelemahan kerja para petugas sandi yang tidak dapat dibiarkan. Apalagi sekarang, setelah Harya Wisaka lari dari rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada" "Aku mohon maaf, Paman, bahwa aku tidak dapat menangkapnya"
"Bukan salah Pangeran. Harya Wisaka termasuk bukan orang kebanyakan" "Seharusnya aku datang ke rumah Paksi bersama Paksi dan Kakangmas Sutawijaya. Jika kami bertiga, Paman Harya Wisaka tentu akan tertangkap" "Semuanya sudah terjadi. Yang harus kita lakukan adalah peningkatan pengawasan di seluruh Pajang. Mudah-mudahan Harya Wisaka masih belum meninggalkan gerbang kota" "Mudah-mudahan, Paman" jawab Pangeran Benawa. Dalam pada itu, Ki Gedepun kemudian berkata, "Silahkan duduk sebentar Pangeran dan kau Paksi, aku ingin berbicara dengan para petugas" "Silahkan, Paman" jawab Pangeran Benawa. Ki Gedepun kemudian telah meninggalkan pringgitan. Di serambi Ki Gede memberikan perintah-perintah kepada seorang lurah prajurit yang bertugas. "Pagi ini, semua pengawasan harus ditingkatkan. Terutama di gerbang kota dan regol-regol di segala arah" "Baik, Ki Gede. Perintah Ki Gede akan segera aku sampaikan kepada Ki Lurah Surapada" "Setelah itu, perintahkan Ki Lurah Surapada untuk segera menghadap" "Baik, Ki Gede" Sejenak kemudian telah terdengar derap kaki dua ekor kuda yang berlari kencang di jalan di depan rumah Ki Gede Pemanahan itu. Ketika Ki Gede kembali duduk di pringgitan, maka Pangeran Benawa dan Paksi sudah mendapat hidangan minuman hangat. "Minumlah" berkata Ki Gede Pemanahan yang kemudian duduk kembali bersama mereka. "Siapakah kedua orang berkuda itu, Paman?" bertanya Pangeran Benawa. "Prajurit yang bertugas. Aku perintahkan mereka menghubungi Ki Lurah Surapada"
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun kemudian diraihnya mangkuk minumannya sambil berdesis, "Marilah Paksi. Mumpung masih hangat" Paksipun kemudian mengangkat mangkuk pula. Namun Paksi masih juga bertanya, "Ki Gede?" "Aku sudah minum tadi semangkuk" jawab Ki Gede sambil tersenyum. Namun sebelum mereka meletakkan mangkuk mereka, terdengar derap kaki kuda yang terputus di depan regol halaman. Seorang penunggang kuda telah menuntun kudanya memasuki halaman rumah Ki Gede Pemanahan. "Ki Lurah Surapada" desis Ki Gede Pemanahan. Sebenarnyalah Ki Lurah Surapada yang datang dan yang kemudian naik ke pendapa. "Marilah, Ki Lurah" Ki Gedepun mempersilahkan. Ki Lurahpun kemudian telah duduk pula bersama mereka. "Apakah dua orang yang aku perintahkan menemui Ki Lurah sudah sampai di rumah Ki Lurah?" Ki Lurah Surapada mengerutkan dahinya. Dengan kerut di kening, Ki Lurah itu berdesis, "Belum, Ki Gede. Belum ada orang yang datang menemuiku. Aku juga belum pulang pagi ini" "O" Ki Gede mengangguk-angguk. "Ki Lurah ada dimana semalam?" Ki Lurah Surapada itupun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Pangeran Benawa dan Paksi berganti-ganti. "Tiga orang prajurit sandi terluka parah malam tadi" desis Ki Lurah. Ki Gede Pemanahan mengerutkan dahinya, sementara Pangeran Benawa dan Paksi mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. "Kenapa?" bertanya Ki Gede. "Para petugas sandi yang mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada melihat Harya Wisaka melarikan diri dari rumah itu. Mereka berusaha untuk menangkapnya.
Tetapi gagal. Lima orang yang mengejarnya, tiga orang terluka parah, sedang dua orang yang lain terluka ringan. Tetapi Harya Wisaka itu terlepas dari tangan mereka" "Tumenggung Sarpa Biwada?" "Seorang petugas sandi yang lain, sempat melihatnya dan mengejarnya. Tetapi juga tidak berhasil" Pangeran Benawa beringsut sejengkal. Dengan bersunguhsungguh ia berkata, "Ceriterakan apa yang telah terjadi semalam" "Pangeran" berkata Ki Lurah Surapada, "para petugas sandi melihat Pangeran dan Paksi memasuki halaman rumah Ki Tumenggung. Para petugas memang mendapat perintah khusus untuk mengamati rumah itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa para petugas tidak tahu bahwa Harya Wisaka ada di rumah itu. Kehadiran Pangeran Benawa dan Paksi di rumah Ki Tumenggung seakan-akan memberi kesempatan kepada petugas sandi untuk beristirahat. Kami memang menjadi agak lengah. Apalagi dari dalam rumah itu tidak ada isyarat apaapa. Kami tidak mengetahui bahwa terjadi pertempuran di dalam rumah itu" "Di halaman depan dan halaman belakang" Pangeran Benawa meluruskan. "Ya. Di halaman rumah itu. Namun tiba-tiba saja seorang petugas sandi melihat Harya Wisaka melarikan diri lewat halaman belakang. Beberapa orang mengejarnya sampai beberapa ratus patok dari rumah Ki Tumenggung. Tiba-tiba saja Harya Wisaka berhenti, dan terjadilah pertempuran itu. Lima orang yang mengejar Harya Wisaka itupun terluka. Tiga di antara mereka sangat parah" "Dan Ki Tumenggung?" "Seorang petugas sandi melihatnya dan berusaha menangkapnya. Tetapi tidak berhasil" "Lalu kenapa kalian tidak segera memasuki rumah Ki Tumenggung?" "Seorang yang gagal mengejar Ki Tumenggung langsung lari ke rumahku. Ia ingin segera mendapatkan bantuan karena
iapun tahu bahwa beberapa orang kawannya tengah mengejar Harya Wisaka" "Yang lain?" "Lima orang menjadi pingsan. Tetapi dua di antaranya segera sadar. Mereka langsung merawat ketiga orang kawannya yang terluka berat sampai kami datang ke tempat kejadian" "Lalu" Kalian tidak menghubungi kami?" "Ya" "Kami memasuki halaman rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi Pangeran dan Paksi sudah meninggalkan rumah itu" "Jadi Ki Lurah sudah memasuki rumah kami?" "Ya" "Kalian bertemu dan berbicara dengan ibu?" "Ya" "Kalian menakut-nakuti ibu dan adik-adikku?" "Tidak, Paksi. Kami hanya ingin mendengar apa yang telah terjadi di rumah itu" Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan nada tinggi iapun bertanya, "Apakah sekarang masih ada prajurit atau petugas sandi yang berada di rumahku?" "Untuk mengamankan rumah itu, Paksi, ada sekelompok prajurit yang berjaga-jaga disana" "Ibuku akan menjadi ketakutan. Ia akan tertekan. Kenapa rumah itu harus dijaga?" "Kami justru ingin mengamankan rumah itu. Ki Tumenggung dan Harya Wisaka mungkin akan datang kembali" "Apa artinya sekelompok prajurit sandi" Jika Harya Wisaka datang lagi ke rumah itu bersama ayah, maka Ki Lurah akan mengorbankan para prajurit itu lagi sebagaimana kelima orang yang mengejar Harya Wisaka. Apalagi jika Harya Wisaka dan ayah datang bersama satu atau dua orang kawan" "Mereka sudah mendapat perintah untuk memberikan isyarat dengan panah sendaren. Berbeda dengan perintah
bagi lima orang yang mengejarnya. Perintah yang diberikan kepada mereka, jangan membuat orang banyak menjadi resah" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun berkata, "Ampun, Pangeran, ampun, Ki Gede. Hamba ingin mohon diri. Hamba harus menemani ibu hamba yang ketakutan karena prajurit-prajurit yang berada di rumah hamba itu" "Mereka tidak berbuat apa-apa selain mengawasi keadaan" "Hamba akan meyakinkan ibu hamba, bahwa mereka tidak berbuat apa-apa, sehingga ibu tidak menjadi ketakutan" Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Benawalah yang kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan menemanimu" Paksi mengerutkan dahinya. Sementara Pangeran Benawapun berkata kepada Ki Gede Pemanahan, "Maaf, Paman. Aku akan menemani Paksi. Kami berdua akan segera kembali kemari" "Biarlah Pangeran disini saja. Aku dapat pergi sendiri" Tetapi Pangeran Benawa seakan-akan tidak mendengar kata-kata Paksi itu. Bahkan Pangeran Benawalah yang lebih dahulu bangkit. Sejenak kemudian Paksi dan Pangeran Benawa telah melarikan kuda mereka menuju ke rumah Paksi yang dijaga oleh sekelompok prajurit. Mereka masih mempertimbangkan kemungkinan Ki Tumenggung Sarpa Biwada kembali ke rumahnya bersama Harya Wisaka. Sepeninggal Paksi dan Pangeran Benawa, Ki Gedepun bertanya kepada Ki Surapada, "Bukankah para prajurit itu tidak akan mengusik Nyi Tumenggung dan anak-anaknya?" "Tidak, Ki Gede. Mereka hanya mengawasi keadaan" "Mudah-mudahan mereka tidak membuat Nyi Tumenggung dan anak-anaknya ketakutan" "Mereka tidak mendapat perintah untuk berbuat apa-apa selain mengamati keadaan. Kecuali jika Ki Tumenggung pulang, apalagi bersama Harya Wisaka"
"Bukankah mereka tidak akan memeriksa Nyi Tumenggung sebagaimana mereka memeriksa orang-orang yang terlibat dalam kejahatan?" "Tidak, Ki Gede. Aku sendirilah yang tadi berbicara langsung kepada Nyi Tumenggung. Itupun dengan sangat berhati-hati" Ki Gedepun mengangguk-angguk. Dalam pada itu, maka Ki Gedepun telah memberikan perintah-perintah baru kepada Ki Lurah Surapada untuk semakin membatasi gerak Harya Wisaka dan Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Surapadapun harus lebih menertibkan orangorangnya yang bertugas, agar keduanya tidak dapat keluar dari kota. "Baik, Ki Gede" Namun sebelum Ki Lurah minta diri, Ki Gedepun berkata, "Aku minta maaf, bahwa aku mempunyai dugaan yang salah terhadap kesiagaanmu, Ki Lurah" "Maksud Ki Gede?" "Aku dan Pangeran Benawa mengira, bahwa para petugas sandi tidak mengetahui bahwa Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada meninggalkan rumah Ki Tumenggung itu" "Kami memang tidak segera memasuki halaman rumah itu, Ki Gede. Seperti sudah aku katakan, kami dalam keadaan yang sulit. Baru beberapa saat kemudian kami dapat melakukannya, justru ketika Pangeran Benawa dan Paksi sudah meninggalkan rumah itu" "Ya. Ternyata kalian telah melakukan tugas kalian dengan baik. Bahkan beberapa orang telah terluka parah" "Tetapi kami gagal menangkap kembali Harya Wisaka" "Bukan salah kalian. Harya Wisaka memang seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, jadikanlah pengalaman, bahwa ilmu seorang prajurit sandi pilihan tidak dapat menangkap Harya Wisaka" "Ya, Ki Gede"
"Nah, sekarang lakukan tugas Ki Lurah dengan baik. Mungkin Ki Lurah akan bertemu dengan dua orang prajurit yang aku perintahkan untuk menghubungi Ki Surapada" Demikianlah, maka Ki Lurah Surapada itupun minta diri untuk menjalankan kewajibannya. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah sampai ke regol rumah Ki Tumenggung. Keduanya segera turun dari kuda mereka dan menuntun kuda-kuda mereka memasuki halaman. Dua orang prajurit yang bertugas di regol segera menghentikan keduanya. Tetapi ketika prajurit itu melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Pangeran Benawa, maka kedua orang prajurit itu segera mengangguk dalamdalam. Pangeran Benawa dan Paksipun menambatkan kuda mereka pada patok-patok di sebelah pendapa. "Marilah, Pangeran" Paksi mempersilahkan. Namun Pangeran Benawa berkata, "Naiklah. Temui ibumu. Aku menunggu disini" Demikian Paksi naik ke pendapa, seorang lurah prajurit yang memimpin sekelompok prajurit yang bertugas di rumah itupun mendekati Pangeran Benawa. Sambil membungkuk hormat, lurah prajurit itupun berdesis, "Selamat datang, Pangeran. Apakah yang dapat kami kerjakan bagi Pangeran?" "Tidak apa-apa. Aku tidak memerlukan apa-apa" "Silahkan naik, Pangeran. Silahkan duduk" "Pemilik rumah ini sudah mempersilahkan aku naik. Tetapi aku akan menunggu disini" "Pemilik rumah ini" Maksud Pangeran?" "Anak muda yang datang bersamaku adalah pemilik rumah ini" "Anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada?" "Ya" "Apa yang akan dilaksanakan" Apakah anak muda itu harus ditangkap?" "Ditangkap" Kenapa?"
"Bukankah kami harus menangkap Ki Tumenggung jika ia pulang. Demikian pula Harya Wisaka jika ia datang lagi ke rumah ini?" "Apakah anak muda itu Ki Tumenggung Sarpa Biwada?" "Bukan, Pangeran" "Harya Wisaka?" "Bukan, Pangeran" "Jadi, apakah ia harus ditangkap?" Lurah prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya lurah prajurit itu menjawab, "Tidak, Pangeran" "Jika demikian, biarkan saja anak muda itu. Rumah ini adalah rumahnya. Ia berhak berbuat apa saja di rumah ini" Lurah prajurit itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk hormat pula, "Baik, Pangeran" "Kembalilah kepada anak buahmu. Aku akan menunggu Paksi disini" "Hamba, Pangeran" "Dimana mereka?" "Mereka tersebar di seluruh halaman rumah itu. Halaman depan dan halaman belakang. Yang sedang beristirahat berada di gandok" "Kau sudah minta ijin kepada Nyi Tumenggung?" "Minta ijin apa Pangeran?" "Minta ijin untuk mempergunakan gandok itu" "Apakah aku harus minta ijin?" "Tentu. Rumah ini bukan rumahmu" "Tetapi aku bertugas disini" "Tugasmu apa?" "Mengamati rumah ini. Menangkap Ki Tumenggung jika ia pulang. Juga Harya Wisaka jika ia kembali kemari" "Apakah kau juga mendapat tugas untuk menguasai rumah ini atau bagian-bagiannya?" "Tidak, Pangeran" "Nah, dengan demikian, maka kau harus tetap menghargai pemilik rumah ini"
"Tetapi Ki Tumenggung tidak ada di rumah" "Jika tidak ada Ki Tumenggung, yang berhak atas rumah ini adalah Nyi Tumenggung" Lurah prajurit itu mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya, Pangeran" "Kau tidak boleh bertindak semena-mena terhadap keluarga Ki Tumenggung. Yang harus kau tangkap adalah Ki Tumenggung. Bukan keluarganya, karena yang bersalah hanya Ki Tumenggung" "Tetapi Nyi Tumenggung tentu juga membantu, setidaktidaknya melindungi orang-orang bersalah" "Kesimpulan itu kau ambil darimana" Seberapa jauh kuasa Nyi Tumenggung di rumah ini" Jika Ki Tumenggung membentaknya, apakah Nyi Tumenggung berani melawan?" Sekali lagi lurah prajurit itu mengangguk sambil berdesis, "Ya, Pangeran" "Biarlah aku nanti menemui Nyi Tumenggung atas nama para prajurit. Aku harus mohon maaf atas tingkah laku kalian" Lurah prajurit itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam. Dalam pada itu, Paksipun telah berada di ruang dalam menemui ibunya. Dengan mata yang basah Nyi Tumenggungpun berkata, "Mereka datang sepeninggalmu. Mungkin kau masih berada beberapa puluh langkah saja dari rumah ini. Mereka menguasai seisi rumah dan mengawasi segala sudut" "Tetapi bukankah mereka tidak mengganggu Ibu dan adikadik serta seisi rumah ini?" "Mereka memang tidak sengaja mengganggu, Paksi. Tetapi kehadiran mereka serta sikap mereka, terasa agak asing. Mungkin karena ayahmu dianggap seorang pemberontak, sehingga mereka dapat berbuat apa saja di rumah ini" "Seharusnya mereka tidak berbuat seperti itu. Aku akan berbicara dengan pemimpin mereka yang bertugas disini" "Sudahlah. Biar mereka memperlakukan kami sekehendak hati mereka"
"Itu tidak mungkin" "Mereka akan dapat marah kepadamu. Kau bukan apa-apa, Paksi. Mungkin kau justru akan dianggap bersalah dan bahkan ditangkap" "Mereka tidak akan menangkap aku, Ibu. Aku datang bersama Pangeran Benawa" "O. Dimana Pangeran Benawa sekarang?" "Ada di depan, Ibu. Di halaman" Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sementara Paksipun bertanya, "Dimana adik-adik, Ibu?" "Mereka berada di dalam biliknya" Paksi mengangguk kecil. Dengan nada berat ibunya berkata selanjutnya, "Biarlah mereka tidak terpengaruh oleh sikap para prajurit itu" Paksi masih mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian adik perempuannya keluar dari biliknya. Dengan sikap yang ragu ia berdiri di depan pintu biliknya itu. "Ada apa, Ngger?" bertanya ibunya sambil mendekati anak perempuannya. "Aku ingin ke pakiwan, Ibu" "O" Ibunya menarik nafas dalam-dalam. "Pergilah" "Tetapi" Ibunya tersenyum. Ia tahu bahwa anak perempuannya itu merasa takut karena kehadiran para prajurit. "Pergilah. Mereka tidak akan memperhatikanmu" Adik perempuan Paksi adalah seorang gadis yang meningkat remaja. Tetapi badannya yang tumbuh subur, membuatnya nampak lebih tua dari umurnya, sehingga adik perempuan Paksi itu seakan-akan telah benar-benar remaja penuh, bahkan mendekati dewasa. Adik perempuan Paksi itu memang merasa ragu. Namun ibunya berkata, "Pergilah ke pakiwan. Ibu akan berdiri di pintu serambi samping" Gadis itupun kemudian melangkah ke pintu diantar oleh ibu Paksi. Ketika anak itu keluar pintu, tidak dilihatnya seorang pun di halaman dan di sekitar pakiwan. Karena itu, maka adik
perempuan Paksi berlari ke pakiwan yang hanya berjarak beberapa langkah itu. Demikian anak perempuannya itu masuk ke pakiwan, maka Nyi Tumenggungpun telah kembali ke ruang dalam untuk berbicara bersama Paksi. Namun beberapa saat kemudian, keduanya terkejut mendengar adik perempuan Paksi itu menjerit. Dengan sertamerta keduanya dan bahkan adik laki-laki Paksi telah keluar pula dari dalam biliknya sambil mengusap matanya. Agaknya ia telah tertidur. Ketika ibunya berdiri di pintu dilihatnya anak perempuannya itu berdiri bertolak pinggang sambil berkata lantang, "Kau mau apa" Kau kira kau siapa, he?" Dua orang prajurit berdiri sambil tersenyum. Dipandanginya Nyi Tumenggung sambil berdesis, "Anakmu cantik, Nyi" Sebelum Nyi Tumenggung menjawab, adik laki-laki Paksi telah melangkah keluar pintu serambi. Namun Paksi menangkap lengannya dan berkata, "Biarlah aku yang mengurusnya" Paksi melangkah mendekati dua orang prajurit itu. Dengan nada berat iapun berkata, "Apa yang kalian lakukan" Aku kakak anak ini" "O" prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hanya mengatakan kepadanya, bahwa ia cantik" "Kau tidak pantas bersikap demikian terhadap seorang gadis. Apalagi masih kanak-kanak" "Apakah kau tidak melihat bahwa adikmu cantik" Bukankah ia anak Ki Tumenggung yang memberontak itu" Dan kau tentu juga anaknya" Kemarahan Paksi tidak tertahan lagi. Dengan tangan kirinya ia menampar mulut prajurit itu, sehingga prajurit itu terpekik kecil. Selain terkejut, sentuhan tangan Paksi terasa sakit sekali. Prajurit yang lain dengan cepat bertindak. Iapun segera meloncat dengan menjulurkan tangannya untuk memukul wajah Paksi. Tetapi Paksi mengelak. Tangan itu tidak
menyentuhnya. Namun justru tangan Paksi yang terjulur memukul dada itu. Prajurit itu terdorong beberapa langkah surut. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Sementara itu kawannya yang seorang lagi telah bersiap. Ia merasakan cairan hangat meleleh di pipinya. Ketika ia mengusap dengan punggung telapak tangannya, ia melihat darah yang segar. Sejenak kemudian, Paksi harus berhadapan dengan dua orang prajurit yang marah. Seorang di antara mereka berkata kasar, "Kau anak Sarpa Biwada. Kau juga akan memberontak seperti ayahmu" Atau kau akan menyerah" Jika kau mencoba melawan, maka kami bunuhpun tidak akan ada yang mempersoalkanmu, karena kau sudah memberontak seperti ayahmu" Paksi tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba saja ia meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar mengarah ke dada. Prajurit itu tidak sempat mengelak. Kaki Paksi menghantam dadanya dan melemparkannya beberapa langkah. Prajurit itu jatuh terkapar di tanah. Namun betapapun Paksi marah, tetapi ia masih dapat mengekang dirinya sehingga ia tidak mempergunakan tongkatnya meskipun tongkatnya itu ada di genggaman tangannya. Kedua orang prajurit itu tiba-tiba saja merasa ngeri melawan Paksi. Karena itu, seorang di antaranya telah bersuit nyaring. Beberapa orang prajuritpun berdatangan. Mereka tidak bertanya apa-apa. Tiba-tiba saja mereka telah mengepung Paksi. "Siapakah anak ini?" bertanya seorang prajurit yang baru saja datang dari halaman belakang. "Anak pemberontak itu" jawab prajurit yang mulutnya berdarah. Prajurit yang baru datang itupun menarik pedangnya sambil menggeram, "Menyerahlah. Kau kami tangkap"
Tetapi sebelum mulutnya terkatup, tongkat Paksipun telan terjulur dan berputar dengan cepat. Prajurit itu terkejut. Tiba-tiba saja pedangnya telah terlempar dari tangannya. Para prajurit yang lain yang mengepungnya terkejut pula. Merekapun dengan serta-merta telah menarik senjata mereka pula. Dalam pada itu, adik perempuan Paksi telah berlari memeluk ibunya. Sementara itu, adik laki-laki Paksi telah berlari ke ruang dalam untuk mengambil sebuah tombak pendek yang masih berada di plonconnya, sedang tombak pendek yang satu lagi telah dibawa oleh ayahnya yang melarikan diri. Tetapi ibu Paksilah yang menahan anak laki-lakinya. Katanya, "Jangan, Ngger. Kau masih terlalu kanak-kanak untuk melibatkan diri dalam perkelahian itu" "Aku tidak akan membiarkan Kakang Paksi mengalami cidera" "Kita lihat saja, apakah kakakmu cidera. Jika kakakmu cidera kau harus menyampaikannya kepada Pangeran Benawa yang berada di halaman depan" Adik laki-laki Paksi itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Paksi tidak dapat lagi menghadapi para prajurit itu tanpa mempergunakan tongkatnya. Dengan demikian, maka telah terjadi pertempuran antara Paksi dengan beberapa orang prajurit. Namun ternyata bahwa kemampuan Paksi sangat mengejutkan para prajurit itu. Dengan tangkasnya Paksi berloncatan sambil memutar tongkatnya. Sekali-sekali tongkatnya telah melemparkan senjata para prajurit itu. Namun yang lain sempat memungut senjatanya kembali. Tetapi akhirnya para prajurit itu mengakui, bahwa mereka tidak akan segera dapat menangkap Paksi, karena Paksi mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itu, maka salah seorang di antara para prajurit itupun segera berlari ke halaman depan, mencari lurahnya. "Ada apa?" bertanya lurah prajurit itu. "Anak Sarpa Biwada mengamuk"
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5 Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Naga Dari Selatan 3
^