Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 26

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 26


pun tidak dapat. Yang sangat mengejutkan adalah perintah Kangjeng Sultan untuk menggantikan para prajurit yang bertugas menjaga Harya Wisaka. Yang kemudian mendapat perintah untuk bertugas adalah sekelompok para pelayan dalam yang memang memiliki kemampuan sebagaimana para prajurit. Namun demikian, ada juga perbedaan watak dari kesatuan yang berbeda itu. Ketika hal itu ditanyakan oleh Ki Gede Pemanahan, maka Kangjeng Sultanpun menjawab, "Para penjaga itu harus langsung bertanggung jawab kepadaku. Harya Wisaka adalah seorang tawanan yang sangat berbahaya" "Harya Wisaka adalah seorang pemberontak, Paduka" "Ya, itulah sebabnya, ia harus mendapat penjagaan yang sangat ketat" Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan Ki Gede tidak dapat menelusuri kenapa Kangjeng Sultan telah menjatuhkan perintah itu. Namun Ki Gede itu menjadi semakin curiga, ketika seorang kepercayaannya memberikan laporan kepadanya, bahwa ia melihat Sekarsari sedang berjalan tergesa-gesa berdua dengan seorang lurah pelayan dalam. Seorang lurah yang masih muda. "Apakah ada hubungannya dengan Harya Wisaka?" "Arah pikiranku tidak kesana, Ki Gede" "Lalu apa?" "Mereka nampak sangat mesra. Lurah pelayan dalam itu memang seorang lurah muda yang gagah dan tampan" "Jika Kangjeng Sultan mengetahuinya, lurah yang berwajah tampan itu akan dapat digantung atau dipancung di alun-alun" "Apakah yang harus aku lakukan, Ki Gede?" "Tidak apa-apa. Tetapi awasi tempat tahanan Harya Wisaka itu. Jangan terlalu dekat. Jika para pelayan dalam itu mengetahuinya, mereka akan tersinggung. Aku juga akan berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradilaga, pemimpin pelayan dalam Pajang. Aku akan memperingatkannya, bahwa Harya Wisaka adalah tawanan yang sangat berbahaya"
Prajurit itu mengangguk dalam-dalam sambil berkata, "Baiklah, Ki Gede. Aku akan selalu mengawasinya. Aku sekarang mohon diri" Hari itu juga Ki Gede Pemanahan telah menemui Ki Tumenggung Wiradilaga. Dengan hati-hati Ki Gede memperingatkan, bahwa Harya Wisaka adalah tawanan yang sangat penting dan berbahaya. "Ya, Ki Gede" Ki Tumenggung Wiradilaga mengangguk hormat. "Satu tanggung jawab yang berat. Tetapi aku sudah menempatkan orang-orang yang baik di sekitar bilik tawanan Harya Wisaka" "Sukurlah" sahut Ki Gede. "Jika orang-orangmu gagal dalam tugas itu, maka kau akan mendapat hukuman yang sangat berat" "Aku akan berhati-hati, Ki Gede" "Setiap kali kau sendiri harus melihat keadaan medan. Jangan terlalu percaya kepada orang-orangmu saja" "Ya, Ki Gede. Aku akan melakukannya" Ki Gede mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa Ki Tumenggung Wiradilaga adalah seorang prajurit yang baik, yang bertugas sebagai pemimpin pelayan dalam. Karena itu, maka Ki Gedepun dapat sedikit mengurangi ketegangan jantungnya. Meskipun Ki Gede merasa sedikit terganggu ketenangannya karena beberapa peristiwa yang terjadi di istana, namun ia menaruh perhatian pula ketika dua orang datang dari Hutan Jabung untuk menemuinya. "Ada apa?" bertanya Ki Gede kepada kedua orang prajurit itu. "Kami mendapat perintah dari Ki Panengah untuk menghadap Ki Gede" "Apakah ada persoalan yang penting?" "Ki Gede, besok Ki Ajar Wisesa Tunggal akan datang bersama beberapa orang pengikutnya" Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berdesis,
"Baiklah. Besok aku akan datang ke Hutan Jabung. Aku ingin menjadi saksi dari permainan yang diusulkan oleh utusan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu" "Ki Panengah dan Ki Waskita memang berharap, jika Ki Gede sempat dan tidak ada halangan apapun untuk datang ke Hutan Jabung. Ki Panengah dan Ki Waskita mohon ijin untuk menyiagakan para prajurit jika Ki Ajar Wisesa Tunggal melanggar persetujuan kesepakatan" "Aku tidak berkeberatan" jawab Ki Gede. "Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke Hutan Jabung" Kedua orang prajurit itupun kemudian segera minta diri. Sementara Ki Gedepun berpesan, "Lakukan pengamatan di sekitar lingkungan. Siapkan pasukanmu sejak malam nanti" "Ya, Ki Gede" "Kita tidak mempercayai Ki Ajar Wisesa Tunggal itu sepenuhnya, ia adalah orang yang tidak mempunyai keterikatan dengan apa saja. Juga dengan janji dan katakatanya sendiri" "Baik, Ki Gede. Nanti akan kami sampaikan kepada Ki Lurah" Demikianlah, sepeninggal kedua orang prajurit itu, Ki Gedepun telah memanggil seorang lurah prajurit kepercayaannya. Diperintahkannya untuk memilih lima orang terbaiknya yang besok akan diajaknya pergi ke Hutan Jabung. "Ki Gede akan pergi ke Hutan Jabung?" "Ya. Ada sedikit permainan yang memerlukan saksi. Kita akan menjadi saksi besok" Malam itu, Ki Gede telah mendapat ijin dari Kangjeng Sultan, bahwa besok Ki Gede akan pergi ke Hutan Jabung. Sekali lagi Ki Gede mengutarakan niat Pangeran Benawa untuk turun ke gelanggang. "Jika Kangjeng Sultan berkenan" Tetapi tanggapan Kangjeng Sultan masih sama saja. Rasara-sanya Kangjeng Sultan tidak menaruh perhatian terhadap puteranya itu. Perhatian Kangjeng Sultan sepenuhnya sedang tertuju kepada seorang perempuan.
Seperti ketika Ki Gede memberitahukan hal itu sebelumnya, maka Kangjeng Sultanpun berkata, "Terserah kepada Kakang Pemanahan. Kakang tentu mempunyai pertimbanganpertimbangan yang matang bagi Benawa" "Hamba ingin mendengar titah Paduka" "Terserah sajalah, Kakang" Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalamdalam. Kangjeng Sultan nampaknya enggan berpikir. Karena itu dibebankannya tanggung jawab sepenuhnya kepada Ki Gede Pemanahan. "Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka leherkulah taruhannya" berkata Ki Gede di dalam hati. Tetapi Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat mendesak Kangjeng Sultan untuk menentukan sikapnya terhadap Pangeran Benawa. Dengan kecewa Ki Gede Pemanahanpun minta diri. Namun Kangjeng Sultan itu masih berpesan, "Berhatihatilah, Kakang" "Hamba akan berhati-hati, Kangjeng Sultan. Mohon restu" "Aku percaya kepada Kakang" Malam itu Ki Gede Pemanahan telah berkemas. Pengenalannya yang tidak terlalu banyak tentang Ki Ajar Wisesa Tunggal memaksanya harus berhati-hati. Tetapi di Hutan Jabung telah ada sepasukan prajurit yang jika diperlukan siap untuk bertempur. Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Ki Gede Pemanahan sudah berangkat ke Hutan Jabung. Ia ingin sampai di hutan itu mendahului kedatangan Ki Ajar Wisesa Tunggal dan orang-orangnya. Lima orang prajurit pilihan telah ikut bersamanya. Ketika mereka sampai di Hutan Jabung, matahari masih rendah di timur. Ki Ajar Wisesa Tunggal memang belum datang sebagaimana diharapkan. Sejenak Ki Gede sempat mengamati kesiagaan para prajurit. Meskipun mereka masih tidak mengenakan pakaian keprajuritan mereka, karena
mereka akan tetap berada di pekerjaan mereka, namun mereka berada dalam kesiagaan penuh untuk bertempur setiap saat diperlukan. Tempat mereka bekerjapun telah mereka atur sesuai dengan kemungkinan yang dapat terjadi di Hutan Jabung itu. Untuk beberapa saat Ki Gede masih menunggu. Bahkan ketika matahari sepenggalah Ki Gede berkata kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, "Orang itu dapat saja tidak datang hari ini. Tetapi esok atau lusa sesuai dengan wataknya. Keputusannya dapat berubah setiap saat menurut keinginannya yang berubah-ubah" "Terpaksa kita yang harus menyesuaikan diri" "Tidak. Kita dapat juga berbuat sekehendak kita. Jika mereka datang, kita tidak perlu menghiraukannya" sahut Pangeran Benawa. "Kita minta mereka menunggu sampai esok" "Jika mereka tidak mau?" bertanya Ki Gede Pemanahan. "Ada dua kemungkinan. Kita biarkan mereka pergi, atau kita lumatkan mereka hari ini disini" Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Kita tidak perlu menjadi seperti mereka" Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi dibaca pada wajahnya, nampak bahwa Pangeran Benawa benar-benar ingin mencoba mengetrapkan sikap itu terhadap Ki Ajar Wisesa Tunggal. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, menjelang puncak langit, barulah sekelompok orang-orang mendatangi padepokan yang masih bersifat sementara itu, sedang padepokan yang sesungguhnya masih dalam pembangunan. Ki Panengah, Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan beberapa orang cantrik yang lain telah turun menyongsong sekelompok orang-orang berkuda itu. Tetapi Ki Gede Pemanahan tetap duduk di pendapa bangunan induk padepokan sementara itu. Ternyata sikap Ki Gede itu adalah sikap yang tepat sekali.
Ketika iring-iringan orang berkuda itu memasuki regol halaman, mereka telah berloncatan turun dari kuda mereka. Tetapi seorang di antara mereka masih tetap duduk di atas punggung kudanya. "Orang yang di punggung kuda itulah Ki Ajar Wisesa Tunggal" desis Ki Panengah. Para muridnya mengangguk-angguk. Namun Pangeran Benawapun berkata, "Orang itu memang gila" Ketika mereka mendekati orang-orang yang menyambut kedatangannya, yang diucapkan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu justru sebuah pertanyaan, "Kaliankah yang membuat peraturan bahwa orang yang naik kuda harus turun di halaman padepokan burukmu ini?" Ki Panengah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia justru bertanya, "Kau kenal aku, Ki Ajar?" Ki Ajar itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki Panengah dengan saksama. Kemudian katanya, "Namamu bukan Panengah. Juga bukan Waskita" "Inilah yang bernama Ki Waskita" berkata Ki Panengah sambil menunjuk Ki Waskita. "Jadi kau siapa?" "Aku Ki Panengah" "Kau senang nama itu?" "Ya" "Pakailah. Aku tidak berkeberatan" Pangeran Benawa mulai terbakar jantungnya. Namun di sebelahnya berdiri Raden Sutawijaya yang setiap kali menggamitnya. "Aku ingin mempersilahkan kalian duduk di pendapa" Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun akhirnya turun pula dari kudanya. Katanya, "Aku ingin naik dan duduk di pendapa itu" "Silahkan, Ki Ajar" Namun Ki Ajar itupun tertegun sejenak. Dilihatnya seorang yang sudah duduk di pendapa. Dengan serta-merta iapun bertanya, "Siapakah yang sudah duduk di pendapa itu?" "Ki Gede Pemanahan"
"Ki Gede Pemanahan?" Ki Ajar itu mengulangi. "Bukankah kau mengenalnya atau setidak-tidaknya pernah mendengar namanya?" "Ya. Tentu. Setiap orang Pajang tentu pernah mendengar namanya" Tanpa dipersilahkan lagi, Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun segera naik ke pendapa. Tanpa memberikan hormat sama sekali kepada Ki Gede Pemanahan ia melangkah mendekat. Sambil berdiri tegak Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun bertanya, "Kaukah yang bernama Ki Gede Pemanahan?" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan nada rendah ia menjawab, "Ya, Ki Sanak. Akulah Pemanahan. Kau siapa?" "Kau tentu sudah mengenal aku atau mendengar namaku disebut-sebut. Aku adalah Ki Ajar Wisesa Tunggal" "Silahkan duduk, Ki Ajar" Ki Gede Pemanahan mempersilahkannya tanpa bangkit berdiri di tempat duduknya. Ki Ajar itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Rasarasanya aku ingin duduk disitu" Ki Ajar itupun kemudian duduk di pendapa itu. Tetapi ia tidak duduk di atas tikar yang sudah terbentang. Ditariknya sehelai dari tikar-tikar yang terbentang itu untuk duduk di tengah-tengah pendapa. "Suruh mereka duduk disini. Masing-masing membawa tikar sendiri" Ki Panengah dan Ki Waskita memang menjadi agak canggung. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa menarik mereka berdua dan dengan sedikit memaksa agar mereka duduk bersama Ki Gede Pemanahan. "Suruh mereka duduk disini" terdengar sekali lagi suara berat Ki Ajar Wisesa Tunggal. Raden Sutawijayalah yang kemudian duduk di hadapan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu bersama Paksi. Tetapi Pangeran Benawa telah menahan agar Ki Panengah dan Ki Waskita tidak mendekati.
Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun kemudian berkata lebih keras lagi. Suaranya bagaikan guntur yang menggetarkan langit. Pendapa itu telah terguncang dan nyaris runtuh. "Suruh mereka duduk disini" Ternyata Ki Wisesa Tunggal itu telah memamerkan kemampuan Aji Gelap Ngampar yang dimilikinya. Tetapi kekuatan Aji Gelap Ngampar itu tidak mengejutkan sama sekali. Orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Ki Panengah tidak terpengaruh sama sekali dengan getar Aji Gelap Ngampar, meskipun mereka harus meningkatkan daya tahan mereka. Terutama bagi bagian dalam tubuh mereka. Karena itu, mereka seakan-akan tidak mendengar dan tidak mengetahui bahwa pendapa yang mereka pergunakan sementara itu terguncang. Mereka masih saja duduk di tempat mereka masing-masing. Bahkan Raden Sutawijaya dan Paksi yang duduk di hadapan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu masih saja duduk sambil tersenyum-senyum. Wajah Ki Ajar itu nampak berkeringat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang duduk bersama-sama Ki Gede Pemanahan berpindah tempat. Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan itu sama sekali tidak berpengaruh atas orangorang dari padepokan Ki Panengah. Ki Gede Pemanahan masih tetap duduk di tempatnya. Ki Panengah dan Ki Waskita duduk beberapa jengkal dari Ki Gede. Di sebelahnya lagi adalah Pangeran Benawa. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu bangkit berdiri. Ki Panengah dan Ki Waskita tidak sempat menangkap pergelangan tangannya. "Mau apa anak itu" desis Ki Gede Pemanahan. Pangeran Benawapun kemudian menarik sehelai tikar lagi. Tetapi tidak dibawa mendekati Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi ditariknya tikar itu ke sudut. Tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu berbaring di atas tikar itu. Bahkan Pangeran Benawa itupun telah memejamkan matanya. "Aku mengantuk" berkata Pangeran Benawa. "Jika saat berkelahi itu tiba, bangunkan aku"
Wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi merah. Dengan garang ia berkata, "He, siapa kau" Murid Ki Panengah" Pantas, kau tidak tahu aturan sama sekali. Aku tamu padepokan ini masih berada disini, kau tidur disitu" Tetapi Pangeran Benawa itupun bertanya, "Siapakah yang telah membuat aturan itu" Kau" Atau siapa" Aku tidak terikat pada peraturan apapun juga, kecuali peraturan dan paugeran yang ditetapkan oleh Kangjeng Sultan" "Persetan dengan Kangjeng Sultan" "Persetan dengan peraturanmu. Aku mau tidur. Peliharalah mulutmu baik-baik, Ki Ajar Wisesa Tunggal" Kemarahan Ki Ajar sampai ke ubun-ubun. Tiba-tiba saja ia meloncat bangkit. Namun bersamaan dengan itu, Raden Sutawijaya dan Paksi yang duduk di hadapannya telah bangkit pula dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara Pangeran Benawa masih tetap berbaring. Bahkan dengan lantang Pangeran Benawa itupun berkata, "Kau tidak boleh marah, Ki Ajar, sebagaimana Ki Panengah juga tidak marah ketika kau tidak mau turun dari kudamu saat kau memasuki halaman padepokan ini, karena kau merasa tidak terikat pada peraturan yang ada. Sekarang, biar saja aku berbuat sesuka hatiku tanpa menghiraukan peraturan, sopan-santun dan unggah-ungguh" "Setan kau, aku ingin melumatkan mulutmu" "Aku masih memerlukan mulutku, Ki Ajar" Kemarahan Ki Ajar tidak terbendung lagi. Tiba-tiba saja iapun berteriak, "Kita turun ke halaman. Kita mulai pertarungan itu. Lima orang dari perguruanku dan lima orang dari perguruan Ki Panengah. Selebihnya orang-orangku akan menjadi saksi, bahwa nama besar perguruan Ki Panengah akan runtuh. Pajang akan segera berpaling dari perguruan ini kepada perguruanku, sehingga semua bantuan, uang dan kelengkapan akan mengalir ke padepokanku"
"Istana Pajang hanya akan menghargai orang yang tahu dan patuh kepada peraturan dan paugeran. Kecuali jika kau yang menjadi raja di Pajang" "Itu tidak mustahil" sahut Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi Pangeran Benawa yang masih berbaring itu tertawa berkepanjangan. Ki Ajar itupun sekali lagi berteriak, "Kita akan segera mulai. Makin cepat makin baik" Ki Ajar tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah turun ke halaman. Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Gede Pemanahanpun telah bangkit pula. Merekapun segera turun pula ke halaman, sementara Raden Sutawijaya menghampiri Pangeran Benawa sambil berkata, "Marilah. Kita turun ke halaman. Bukankah kau menunggu saat seperti ini?" Pangeran Benawa bangkit berdiri. Katanya, "Ajar edan itu harus dipaksa untuk mengerti paugeran sebagai tatanan kehidupan yang harus dianut dan dipatuhi oleh masyarakat" "Kita akan mendapat kesempatan nanti" Pangeran Benawa tidak berkata apa-apa lagi. Tapi iapun segera turun pula ke halaman. Dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun berkata, "Kita akan memperbandingkan ilmu dari lima orang dari padepokanku dan lima orang dari padepokan Ki Panengah. Kita tidak akan menentukan siapa melawan siapa. Tetapi lima orang melawan lima orang" Ki Panengah dan Ki Waskita menarik nafas panjang. Justru sebelum mereka mengusulkan, Ki Ajar Wisesa Tunggal sudah menyebutnya. Ketika mereka berpaling kepada Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede itupun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Karena itu, maka Ki Panengahpun berkata, "Baiklah, Ki Ajar. Kita masing-masing akan turun bersama lima orang yang akan berhadapan dengan lima orang. Ini adalah satu kesepakatan" "Apa artinya kesepakatan?" bertanya Ki Ajar.
"Kita masing-masing harus tunduk pada kesepakatan itu" "Jika tiba-tiba timbul niat yang lain, kenapa kita harus terbelenggu dengan kesepakatan?" "Baik" yang menjawab adalah Pangeran Benawa yang juga sudah turun ke halaman. Kemudian iapun berkata lantang, "Ki Lurah, siapkan para prajurit. Semuanya. Jika nanti tiba-tiba aku bermimpi buruk, aku ingin kalian semuanya turun ke arena untuk membantai orang-orang yang berani datang memasuki padepokan kita" Ki Ajar mengerutkan dahinya. Katanya, "Itu pikiran gila" "Bukan pikiran gila. Hanya kalau tiba-tiba timbul niat yang lain" "Tetapi itu bukan sifat laki-laki" "Apa arti sifat seseorang dihadapkan kepada kesepakatan" Sifat laki-laki adalah berpegang pada kesepakatan, tanpa tibatiba timbul niat yang lain" jawab Pangeran Benawa. Ki Ajar Wisesa Tunggal menggeram. Ia belum pernah berhadapan dengan orang yang bersikap demikian keras terhadapnya. Namun tiba-tiba saja Ki Ajar itu membentak, "He, siapa namamu?" "Itu tidak penting. Kenapa kita harus terikat pada sebuah nama?" "Gila. Anak iblis" teriak Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Bersiaplah. Kita akan membuat arena" Para cantrik dari padepokan Ki Panengah dan para pengiringnya telah membentuk satu lingkaran bersama para prajurit yang bekerja di padepokan itu. Mereka telah menghentikan kerja mereka dan ikut menyaksikan perbandingan ilmu yang diinginkan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal yang ingin merebut kepercayaan istana Pajang dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu. Dalam pada itu, lima orang dari padepokan Ki Panengah telah berada di lingkaran arena. Ki Panengah dan Ki Waskita sendiri, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Sementara itu, dari kubu Ki Ajar Wisesa Tunggal telah turun lima orang pula. Tidak termasuk Ki Ajar Wisesa Tunggal.
"Setan tua itu tidak turun ke arena" desis Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya termangu-mangu pula. Namun ketika ia memandang Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede itupun mengangguk. "Ayah akan mengawasinya" desis Raden Sutawijaya kemudian. Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Kriyadama justru berdiri hanya beberapa langkah saja dari Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Mereka tidak akan berani berbuat gila disini" desis Raden Sutawijaya. "Mereka dikelilingi oleh prajurit Pajang. Ki Ajar Wisesa Tunggalpun tahu, bahwa Ki Gede Pemanahan ada disini pula" Pangeran Benawa masih mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Panengah yang berdiri di sebelah Paksipun berdesis, "Berhati-hatilah, Paksi. Kau akan menjadi taruhan" "Ya, Guru" "Apakah orang yang bernama Semburwangi itu ada di antara mereka?" "Tidak, Guru. Tetapi Ki Surakanda ada di antara lima orang itu" "Ya. Nampaknya orang itu sangat yakin akan dapat mengalahkan kita dan membawamu kepada Ki Semburwangi" "Tetapi bukankah Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak menyebutnyebut namaku?" "Tetapi jika mereka benar-benar menang, Surakanda tidak akan melupakan perjanjian itu, meskipun seperti sikap Pangeran Benawa, tiba-tiba saja dapat timbul niat yang lain" Paksi tersenyum. Sementara Ki Waskitapun berkata, "Itu hanya satu cara untuk menutupi kelicikan-kelicikan yang selalu dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal. Ia sengaja berbuat agar dirinya dianggap tidak mau terikat kepada segala bentuk peraturan dan paugeran" "Tepat" sahut Ki Panengah. Namun dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggalpun telah berteriak, "Bersiap-siaplah. Kalian masing-masing lima orang.
Sekali lagi aku katakan, bahwa kalian lima orang berhadapan dengan lima orang" Namun tiba-tiba seperti yang dikatakan oleh Ki Panengah, Surakanda itupun berteriak, "Jika kami menang, kami akan membawa Paksi bersama kami. Paksi tidak dapat menolak" Tetapi seperti sudah diduga pula, Pangeran Benawapun menyahut, "Persetan dengan kesepakatan. Jika tiba-tiba aku mempunyai keinginan lain, terserah kepadaku" "Itu perbuatan licik" "He, apa artinya licik" Aku tidak pernah mendengar katakata itu sehingga aku tidak tahu artinya" jawab Pangeran Benawa. Bahkan sekali lagi Pangeran Benawa itu berteriak, "Ki Lurah, siapkan prajuritmu. Aku dapat saja mengigau menurut selera mulutku" Betapapun ketegangan mencengkam arena itu, tetapi beberapa orang sempat tersenyum melihat sikap Pangeran Benawa. Ki Gede Pemanahanpun tersenyum pula. Sementara wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal justru menjadi kemerahmerahan. Ia tidak mengira bahwa pada suatu saat ia akan bertemu dengan seseorang yang telah membenturkan kebiasaannya itu dengan tingkah laku yang sangat menjengkelkan, sehingga Ki Ajar Wisesa Tunggal itu telah termakan oleh kebiasaannya sendiri. Dengan suara yang menggelegar Ki Ajar Wisesa Tunggal itupun berteriak, "Kita akan segera mulai" Beberapa orang prajurit yang berdiri di sekitar arena merasakan getar suara itu seakan-akan menghentak di dada mereka. Tetapi suara yang dilontarkan dengan kekuatan Aji Gelap Ngampar itu sama sekali tidak mempengaruhi kelima orang yang telah berdiri di arena. Kelima orang yang sudah berada di dalam lingkaran itupun segera mempersiapkan diri. Agaknya orang-orang Ki Ajar Wisesa Tunggal yang berada di dalam lingkaran itu dipimpin oleh Ki Surakanda. Beberapa kali ia melambaikan tangannya untuk memberikan isyarat kepada keempat orang kawannya. Seorang di antara kelima orang pengikut Ki Ajar Wisesa
Tunggal itu adalah seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Kepalanya botak dan sengaja tidak memakai ikat kepala. Tetapi kumisnya tumbuh lebat di bawah hidungnya, terpelihara rapi menyilang hampir sampai ke telinga meskipun sudah bercampur putih. Seorang lagi tubuhnya terhitung kecil. Tetapi sejak memasuki arena, tubuhnya selalu bergerak dengan lincahnya. Tubuhnya yang kecil itu agaknya memang terlalu sulit untuk disentuh. Rambutnya yang sudah putih, terjurai di bawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja. Yang lain adalah seorang yang umurnya separo baya. Seorang yang berwajah tampan. Kumisnya yang tipis terpelihara rapi. Pakaiannya nampak tertata dengan tertib dan berwarna cerah. Seorang lagi justru sangat menarik perhatian. Seorang tua yang bertubuh kurus dan tidak mengenakan baju, sehingga tulang-tulang iganya nampak mengambang di dadanya. Sepasang matanya yang cekung memancarkan kilatan-kilatan kemampuannya yang tinggi. Ki Panengah memperhatikan orang itu sejenak. Kemudian iapun berdesis, "Orang inilah yang harus mendapat perhatian utama" Raden Sutawijaya yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas itupun berkata, "Lintang Wora-wari" Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya. Perlahan Ki Waskita berdesis, "Raden yakin?" "Ya. Serahkan orang itu kepadaku meskipun kita akhirnya akan bekerja bersama" Tetapi Pangeran Benawa justru tertawa. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya berdesis, "Sst. Mereka sudah siap" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan malas ia melangkah menjauhi Raden Sutawijaya. Ketika ia lewat di depan Paksi, iapun berdesis, "Jangan terlalu jauh dari Kakangmas Sutawijaya. Mata orang yang tidak berbaju itu sangat berbahaya. Ia memiliki ilmu Lintang Wora-wari"
Ternyata ada juga jenis ilmu yang belum diketahuinya. Tanpa ditentukan sebelumnya, Ki Ajar Wisesa Tunggal itu telah menempatkan diri untuk memimpin perbandingan ilmu antara dua padepokan itu. Sepuluh orang yang berada di dalam arena itu sama sekali tidak bersenjata. Sementara itu, Ki Gede Pemanahanpun mengerutkan dahinya ketika ia melihat orang yang tidak berbaju itu. Di sisi lain, Ki Kriyadamapun menjadi tegang. Ternyata Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak bermain-main dengan acaranya itu. Ki Kriyadamapun menaruh perhatian terbesar kepada orang tua kurus yang tidak berbaju itu. Dalam pada itu, para prajurit yang berada di sekitar arena itupun menyadari, bahwa orang-orang yang berada di dalam arena itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Namun seperti dikatakan oleh Pangeran Benawa, merekapun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang sudah berada di arena itupun telah menyebar. Kedua belah pihak tidak ingin bertempur dalam kelompok yang menyatu, meskipun mereka akan berhadapan dalam keutuhan. Ternyata bukan hanya Pangeran Benawa yang memperingatkan Paksi, tetapi Raden Sutawijayapun berdesis di telinga Paksi sambil lalu, "Hindari orang tidak berbaju itu. Jangan terlalu jauh dari aku" Paksi mengangguk kecil. Tetapi dengan demikian ia menyadari betapa berbahayanya orang kurus yang tidak berbaju itu. Dalam pada itu, terdengar suara Ki Ajar Wisesa Tunggal berteriak nyaring. Suaranya meninggi menggetarkan arena itu, "Kenapa kalian tidak segera mulai?" Ki Surakandalah yang pertama-tama meloncat menyerang. Dendamnya benar-benar tertuju kepada Paksi. Namun dengan demikian, kedua orang guru Paksi, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa justru tidak terlalu mencemaskannya lagi. Serangan Ki Surakanda berarti bahwa untuk sementara Paksi
tidak akan berhadapan langsung dengan orang yang tidak berbaju itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijayalah yang melangkah mendekati orang yang tidak berbaju itu. Sambil tersenyum Raden Sutawijayapun berdesis, "Kita belum saling mengenal, Ki Sanak" Tetapi di luar dugaan Sutawijaya, ternyata orang itu terlalu garang. Yang pertama-tama diucapkan adalah umpatan kasar. Kemudian katanya, "Kau mau apa tikus kecil?" "Ah, jangan begitu, Ki Sanak. Mungkin dalam pertemuan ini kita akan dapat saling menimba ilmu" "Aku cekik kau sampai mati. Dan itu bukan salahku" "Kenapa kau menjadi begitu garang?" Orang itu tidak menjawab. Namun Sutawijaya benar-benar harus berhati-hati. Ia melihat pada matanya yang cekung itu bayangan yang kelam, sehingga kedua mata orang itu seakanakan membenam. Namun justru matanya itulah yang harus mendapat perhatian, meskipun tidak harus ditatap. Sejenak kemudian orang bertubuh kurus itu melangkah maju sambil berdesis, "Berjongkoklah, supaya kau tidak mengalami perlakuan buruk. Biarlah empat orang kawanmu saja yang ikut bermain" "Apakah kita akan berjongkok bersama-sama?" bertanya Raden Sutawijaya. "Persetan dengan kau" Tiba-tiba tangan orang itu terayun mendatar menyambar ke arah wajah Raden Sutawijaya. Tetapi Raden Sutawijaya yang sudah siap telah memiringkan wajahnya, sehingga tangan orang kurus itu tidak menyentuhnya. Namun serangannya tidak terhenti. Iapun segera mengayunkan tangannya yang lain menyambar ke arah kening. Namun sekali lagi Raden Sutawijaya sempat menghindar. "Tikus kecil. Ternyata kau tangkas juga" Raden Sutawijaya tidak menjawab. Sementara itu, orang kurus itu mendesak terus sambil mengayunkan kedua
tangannya berganti-ganti. Tetapi Raden Sutawijaya tidak membiarkan orang itu terus-menerus menyerangnya dengan tangannya sambil melangkah maju, seakan-akan tidak akan pernah terjadi perlawanan sama sekali. Karena itu, maka tibatiba saja Raden Sutawijaya telah menyerang orang itu dengan kakinya. Dengan mudah serangan itu dilakukan. Orang itu sama sekali tidak melindungi dirinya. Tidak berusaha menghindar dan membiarkan kaki Raden Sutawijaya mengenai perutnya. Raden Sutawijaya yang menyadari bahwa orang itu berilmu sangat tinggi, telah mengerahkan sebagian besar dari kekuatan tenaga dalamnya. Raden Sutawijaya tidak ingin bahwa serangan kakinya itu justru akan menyakiti dirinya sendiri. Jika saja kekuatannya memantul oleh daya tahan tubuh lawannya, maka serangan kakinya itu akan dapat menyakiti diri sendiri. Yang menjadi sangat terkejut adalah orang yang kurus itu. Ia tidak mengira bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Lawannya yang menyerang tubuhnya dengan kakinya itu tidak terpental dan jatuh berguling serta menyeringai menahan sakit. Tetapi serangan kakinya itu mampu menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan orang tua yang tidak berbaju itu terdorong dua langkah surut. "Gila" geram orang itu, "ini adalah satu kegilaan" "Kenapa?" bertanya Raden Sutawijaya. "Kau mempunyai kekuatan yang demikian besarnya" "Aku lebih muda darimu, Kek. Bukankah wajar jika wadagku masih lebih kuat dari wadagmu" "Tetapi kekuatan seseorang tidak tergantung kepada kemampuan kewadagan saja" "Aku percaya. Seandainya ilmu kita seimbang, maka kemudaanku adalah satu kelebihan di antara kita" "Ilmu kita seimbang?" bertanya orang tua itu. "Kenapa?"
Orang tua itu tertawa berkepanjangan sehingga perutnya yang tipis itu terguncang-guncang. "Kau membuat perutku sakit, Ki Sanak" Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia sempat memandang orang-orang di seputar arena. Hampir semua orang memandang orang kurus yang sedang tertawa itu. Bahkan, orang-orang yang sedang berada di arenapun telah berpaling kepadanya. Sedangkan Ki Ajar Wisesa Tunggal, tanpa mengetahui persoalannya telah ikut tertawa pula. "Kau lucu, Ki Sanak" berkata orang itu sambil tertawa. "Ya, kawan-kawanku juga mengatakan aku lucu" jawab Raden Sutawijaya. "Tutup mulutmu" tiba-tiba orang tua kurus itu membentak. Raden Sutawijayapun terdiam. Sementara orang tua itu berkata, "Ternyata kau tidak menyadari dengan siapa kau berhadapan" "Bukankah sudah aku katakan, kita belum saling mengenal?" "Akulah yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Carangcendana" "Wah" "Kenapa?" "Tidak apa-apa. Aku senang mendengar nama Ki Ageng" -ooo00dw00oooJilid 21 WAJAH orang yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu menggeram. Dipandanginya Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Terasa angin semilir menyentuh tubuh Raden Sutawijaya. Demikian segarnya menyapu wajahnya, seakan-akan Raden Sutawijaya berada di sejuknya bayangan pohon yang rindang, di saat matahari menjadi terik. Raden Sutawijaya menarik
nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa orang yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu menjadi sangat marah. Orang itu sudah mulai menyerangnya. Angin yang segar itu dapat membuat seseorang menjadi sangat mengantuk, sehingga kehilangan pemusatan nalar budi meskipun di medan pertempuran. Tetapi Raden Sutawijaya adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas. Karena itu, maka dengan penuh kesadaran, ia telah meredam lapisan pertama ilmu Lintang Wora-wari yang tersimpan di dalam diri orang tidak berbaju itu. Lewat pandangan matanya ia mampu membuat lawannya menjadi lemah dengan seribu macam cara. Raden Sutawijaya tiba-tiba menguap. Matanya menjadi redup. Namun sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh lapisan pertama ilmu lawannya itu. "Aku sudah menyebut namaku. Siapakah namamu?" bertanya Ki Ageng Carangcendana. Raden Sutawijaya mengusap matanya. Dengan nada dalam iapun menjawab, "Namaku Sasangka. Aku adalah murid sulung perguruan Ki Panengah" Ki Ageng Carangcendana menarik nafas panjang. Katanya, "Namamu bagus. Jika kau murid sulung Ki Panengah, maka kau merasa bahwa di antara murid-muridnya yang lain, kau adalah murid yang memiliki ilmu tertinggi" Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, "Tidak. Ada dua orang saudaraku yang memiliki ilmu seimbang dengan aku. Murid kedua dan ketiga. Namanya Wijang dan Paksi. Ia juga berada di arena ini" Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Iapun kemudian memandang berkeliling. Orang-orang di sekitarnya sudah mulai bergeser dan bahkan saling menjajagi kemampuan lawan. "Kalian akan sangat menyesal dengan melayani tantangan Ki Ajar Wisesa Tunggal"
Tetapi Sutawijaya menggeleng. Katanya, "Tidak. Kami tidak menyesal. Perbandingan ilmu ini akan dapat menambah luasnya wawasan kami terhadap ilmu kanuragan" "Kau salah, Sasangka. Setelah perbandingan ilmu ini, kalian tidak akan pernah mampu menyimpan ilmu yang paling dasar sekalipun. Meskipun tubuh kalian tidak cacat, tetapi urat nadi dan simpul-simpul syaraf kalian akan rusak, sehingga kalian akan menjadi orang-orang yang dungu. Lemah ingatan dan kehilangan pribadi" "Bukankah tujuan perbandingan ilmu itu bukan begitu" Kita hanya akan melihat siapakah yang lebih unggul di antara kita. Itu saja" Orang yang mengaku bernama Carangcendana itu tertawa. Katanya, "Kau mulai menyesal" Tidak ada gunanya sekarang. Semuanya harus berjalan menurut rencana. Kalian semuanya akan mengalami nasib yang sama, kecuali anak yang bernama Paksi itu. Ia akan kami bawa ke padepokan kami. Ia akan menyesali nasibnya untuk waktu yang sangat panjang. Bahkan sepanjang hidupnya. Ia akan merintih setiap hari, tetapi ia tidak akan cepat mati meskipun ia menghendaki. Paksi telah mempermalukan salah seorang kepercayaan Ki Ajar Wisesa Tunggal yang justru bermaksud baik untuk menjemputnya atas permintaan ayahnya" "Ternyata kalian tidak jujur" desis Raden Sutawijaya. "Sebagaimana kau lihat, disini sepasukan prajurit siap untuk bertempur. Satu kata saja meluncur dari mulut Ki Gede Pemanahan, maka kalian akan menjadi debu. Apalagi jika Ki Gede Pemanahan dan Ki Kriyadama turun ke arena setelah mereka mengetahui kecurangan kalian. Niat kalian yang curang" "Bukankah dalam perkelahian dapat saja terjadi kecelakaan sehingga kalian akan menjadi orang yang tidak waras seumur hidup kalian?" "Jika itu terjadi tiba-tiba, memang tidak akan dapat dipersalahkan. Tetapi kali ini kau sudah merencanakannya"
"Tinggal kejantananmu dan kawan-kawanmu termasuk gurumu. Apakah kalian pengecut atau bukan" "Baiklah. Jika demikian, jelas bagiku, apa yang harus aku lakukan" Ki Ageng Carangcendana itupun tertawa. Kembali terasa angin berhembus semilir mengusap wajah Raden Sutawijaya. Pada saat yang demikian, Raden Sutawijaya sengaja memandang ke pusat mata Ki Ageng Carangcendana yang seakan-akan tersembunyi di dalam lubang yang sangat dalam. Pada mata itu, Raden Sutawijaya seakan-akan melihat kabut tipis yang mengepul, berhembus bersama semilirnya angin itu ke wajahnya. Raden Sutawijaya itupun menguap. Sementara itu terdengar suara Ki Ageng Carangcendana, "Jangan mengantuk, anak manis. Kita berada di tengah-tengah gelanggang pertarungan" Raden Sutawijaya tidak menjawab. Namun angin lembut itupun masih saja terasa. Tidak henti-hentinya. Sementara itu sekali lagi Raden Sutawijaya menguap. "Jika udara panas bagaikan mencekik, aku senang dapat berbicara dengan kau, Ki Ageng Carangcendana" "Kenapa?" "Terasa kesejukan berhembus mengusap tubuhku. Aku memang mengantuk. Tetapi jangan takut bahwa aku akan tertidur, karena aku sadar, kita berada di arena" "Tetapi beberapa kali kau menguap. Matamu jadi redup, tidurlah anak manis" Raden Sutawijaya merasakan sentuhan kekuatan ilmu Ki Ageng Carangcendana sejak mereka mulai. Namun Raden Sutawijaya tidak juga memejamkan matanya. "Tidurlah, Sasangka. Sudah waktunya kau tidur dan tidak akan pernah dapat bangun dengan kesadaran yang utuh" Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, "Kenapa bukan kau saja yang tidur, Ki Ageng" Aku tidak biasa tidur di arena"
Dahi Ki Ageng itupun berkerut. Ia melihat Raden Sutawijaya masih berdiri tegak. Matanya masih tetap memandangnya dengan tajamnya. "Apakah ilmuku tidak mempengaruhinya?" bertanya Ki Ageng itu di dalam hatinya. Tetapi Raden Sutawijaya itupun justru tersenyum sambil bertanya, "Ki Ageng, apakah Ki Ageng sudah terbiasa menjadi pemomong kanak-kanak sehingga mempunyai kemampuan lebih untuk dapat menidurkannya?" "Anak iblis kau. Kenapa kau menguap?" bertanya Ki Ageng. "Sudah aku katakan, anginmu terasa semilir menyejukkan. Sayang kita berada di arena pertarungan, sehingga aku tidak boleh tertidur" Ki Ageng Carangcendanapun kemudian yakin, bahwa lawannya tidak terpengaruh oleh ilmunya. Bahkan agaknya ia telah mampu menebaknya dan berpura-pura menguap. Kemarahan Ki Ageng Carangcendana itupun bagaikan membakar jantungnya. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Raden Sutawijaya. Tangannya yang terayun didahului dengan sambaran angin yang tajam, yang seakan-akan menusuk sampai ke tulang. "Agaknya orang ini memang sangat berbahaya" berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. "Ia langsung pada tataran ilmu yang tinggi seakan-akan tanpa ancang-ancang" Sebenarnyalah Ki Ageng Carangcendana tidak merasa perlu menjajagi ilmu lawannya. Demikian yakin akan kemampuannya, maka Ki Ageng berniat langsung menghancurkan lawannya dan membuatnya tidak berdaya untuk seterusnya. Kemudian Ki Ageng akan segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain, karena pertarungan itu ditentukan bukan berdasarkan atas siapa melawan siapa. Tetapi berlima melawan berlima pula. Tetapi ternyata Ki Ageng telah membentur kemampuan yang tidak diduganya sebelumnya. Ternyata lawannya yang masih terhitung muda itu tidak dapat segera dikuasainya.
Ayunan tangannya yang diharapkannya dapat mengakhiri perlawanan orang yang menyebut dirinya Sasangka itu, ternyata tidak menyentuh kening. Raden Sutawijaya masih sempat memiringkan kepalanya ketika ayunan tangan itu dengan cepatnya menyambar ke arah wajahnya. Yang terasa adalah desis angin yang membuat kulit wajah Raden Sutawijaya terasa pedih. Namun dengan demikian Raden Sutawijayapun segera meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak dapat bermain-main menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi itu. Karena itulah, maka pertarungan di antara kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu dengan cepat telah menjadi semakin sengit. Keduanya saling mendesak. Serangan dibalas dengan serangan. Ki Ageng Carangcendana menjadi semakin marah. Lawannya yang masih terhitung muda itu masih mampu mengimbangi ilmunya. Serangannya di awal pertempuran sama sekali tidak menyusutkan kesadaran dan kemampuan lawannya itu. Bahkan lawannya itu semakin lama menjadi semakin garang. Sementara itu, yang lainpun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Untuk sementara ternyata mereka terikat seorang melawan seorang. Ki Ajar Wisesa Tunggal memperhatikan pertarungan di arena yang luas itu dengan jantung yang berdebaran. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah orang yang tidak berbaju, yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu. Ki Ajar Wisesa Tunggal melihat Ki Ageng mulai mengerahkan kemampuannya. "Aneh" berkata Ki Ajar di dalam hatinya, "siapakah lawan Ki Ageng sehingga ia tidak segera dapat menundukkannya" Jika Ki Ageng ingin bermain-main, bukanlah waktunya. Ia harus segera mengurangi jumlah lawan, sehingga ia dapat membantu kawannya menghadapi lawan-lawannya. Sehingga dengan demikian, maka satu demi satu kelima orang dari
padepokan Ki Panengah itu dapat dilumpuhkan. Seperti yang direncanakan, maka orang-orang yang dikalahkan itu akan tetap hidup. Tetapi hidupnya tidak akan berarti apa-apa. Bagian dalam tubuhnya akan dirusakkannya sehingga meskipun ujud kewadagannya masih tetap utuh, tetapi ada bagian-bagian dalam tubuhnya yang tidak dapat bekerja dengan wajar. Dengan demikian, maka perguruan Ki Panengah itu dengan sendirinya akan berakhir sampai disini. Ki Gede Pemanahan yang hadir di pinggir arena itu akan dapat melihat, apa yang sebenarnya terjadi, sehingga ia akan berpaling dari perguruan ini ke perguruanku. Dengan demikian segala macam bantuan itu akan mengalir dari istana Pajang ke padepokanku. Anak-anak para pemimpin di Pajangpun akan dikirim ke padepokanku untuk berguru dalam olah kanuragan" Tetapi kenyataan itu ada di hadapannya. Ki Ageng Carangcendana harus mengerahkan kemampuannya untuk menundukkan lawannya. Bahkan ternyata Ki Ageng Carangcendana rasa-rasanya harus berpacu dengan kawankawannya yang lain. "Apa yang terjadi dengan Ki Ageng?" pertanyaan itu selalu mengganggu jantung Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi sebenarnyalah Ki Ageng mengalami kesulitan untuk dengan cepat menundukkan lawannya yang terhitung masih muda itu. Di lingkaran pertarungan yang lain, Paksi yang masih sangat muda dibandingkan dengan lawannya itu, berloncatan dengan tangkasnya. Dengan kecepatan yang tinggi Paksi menghindari setiap serangan Ki Surakanda. Namun sekali-kali Paksipun berusaha menjajagi kekuatan lawannya dengan menangkis serangannya. Benturan-benturan kecil yang terjadi, memperingatkan Ki Surakanda agar berhati-hati menghadapi Paksi. Paksi telah mempermalukan Ki Semburwangi di hadapan ayahnya yang ingin mengirimkan Paksi ke padepokannya dengan pesan khusus.
Ternyata Ki Surakanda harus mengakui tingkat kemampuan ilmu Paksi. Anak muda itu bukan saja sekedar menghindari serangan-serangannya. Tetapi kemudian anak muda itupun mampu menyerang kembali. Bahkan semakin lama tidak menjadi semakin mengendor, tetapi ketika kulitnya sudah basah oleh keringat, anak muda itu menjadi semakin garang. "Kau harus menerima hukumanmu" geram Ki Surakanda. "Kau harus berada di padepokanku untuk menjalani satu kehidupan yang tentu tidak kau senangi. Jika semula ayahmu ingin membuatmu menjadi seorang laki-laki yang tidak ada duanya di Pajang, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya" Paksi tidak menjawab. Tetapi yang sangat mengejutkan itu terjadi. Kaki Paksi ternyata berhasil menembus pertahanan Ki Surakanda mengatupkan mulutnya. Ternyata Paksi mampu menggoyahkan tubuh Ki Surakanda ketika kakinya menyentuh lambungnya. Ki Surakanda itu harus meloncat mengambil jarak dan memperbaiki kedudukannya sambil mengumpat. Paksi sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Surakanda menilai apa yang baru saja terjadi. "Kau dapat berbangga untuk sementara, Paksi. Tetapi jangan samakan aku dengan Ki Semburwangi" "Kau memang tidak sama dengan Ki Semburwangi. Kemampuanmu memang lebih tinggi. Agaknya kekuasaanmupun lebih besar pula di padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal" sahut Paksi. "Tetapi tidak ada gunanya kau melawanku. Akhirnya kau harus tunduk kepada kehendakku. Kepada keinginanku. Kau harus ikut aku ke padepokan dan menjalani satu kehidupan yang sudah kami persiapkan bagimu" "Kenapa bukan kau saja yang ikut aku dan hidup di padepokan ini" Mungkin kau akan menjalani satu kehidupan yang lebih menyenangkan dari kehidupanmu di padepokanmu itu"
Ki Surakanda menggeletakkan giginya. Paksi memang keras kepala. Ia sama sekali tidak nampak gentar menghadapi keadaan yang gawat itu. Ketika keduanya kembali bertempur, maka Ki Surakanda semakin merasakan bahwa Paksi memang berilmu tinggi. Karena itu, maka Surakanda harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat menundukkan anak muda itu. Tetapi ternyata sulit untuk dapat mengatasi Paksi. Meskipun tataran ilmu Ki Surakanda sudah hampir sampai ke puncak, namun Paksi masih tetap mampu mengimbanginya. Sekali-sekali serangan Ki Surakanda memang mampu menembus pertahanan Paksi. Kaki Ki Surakanda sempat mengenai dada Paksi sehingga Paksi terdorong beberapa langkah surut. Tetapi Paksi tidak memaksa diri untuk mempertahankan keseimbangannya. Paksi justru menjatuhkan diri dan berguling menjauhi lawannya. Ketika ia melihat lawannya meloncat memburunya, maka Paksi itupun telah melenting berdiri dan siap menghadapi lawannya. Bahkan ketika Ki Surakanda menghentikan langkahnya, Paksilah yang justru meloncat menyerang dengan cepatnya meskipun serangannya itu tidak menyentuh sasaran. Sebenarnyalah bahwa Ki Surakanda harus memperhatikan kenyataan itu dengan bersungguh-sungguh, bahwa ia tidak segera dapat mengalahkan anak muda yang bernama Paksi itu. Ketika Ki Surakanda sempat memperhatikan Ki Ageng Carangcendana sejenak, maka jantungnya berdesir. Tepat pada saat ia memperhatikan orang tua tidak berbaju itu, telapak tangan Raden Sutawijaya yang terbuka, menghantam dada Ki Ageng di arah jantungnya. Ki Ageng Carangcendana itu terdorong dua langkah surut, namun keseimbangannya sempat menjadi goyah. Tetapi lawannya tidak memburunya. Meskipun ia meloncat maju, namun lawannya yang masih terhitung muda itu telah menunda serangannya.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Ageng Carangcendana?" bertanya Ki Surakanda di dalam hatinya. Ki Ageng Carangcendana adalah salah seorang yang diharapkan dapat menyelesaikan lawannya dalam waktu singkat. Kemudian ia akan dapat membantu kawan-kawannya yang membutuhkan bantuannya. Itulah sebabnya, Ki Ajar Wisesa Tunggal menentukan untuk membuat pertarungan dalam kebulatan kelompok. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera menyelesaikan lawannya. Bahkan lawannya yang masih terhitung muda itu telah menggoyahkan pertahanannya. Sementara itu, kawan-kawan Ki Surakanda yang lainpun telah bertempur dengan garangnya. Tetapi mereka telah menjumpai lawan yang sangat tangguh. Bahkan orang yang berhadapan dengan Pangeran Benawa tidak segera mempercayai apa yang telah terjadi meskipun ia telah bertempur beberapa lama. "Apakah yang sebenarnya terjadi atas diriku?" bertanya orang itu. Lawan Pangeran Benawa adalah orang yang bertubuh kecil, tetapi sudah ubanan. Tubuh yang kecil itu selalu saja bergerak. Rasa-rasanya sulit untuk dapat menyentuhnya. Tetapi Pangeran Benawa sama sekali tidak menjadi bingung menghadapinya. Menghadapi orang yang tidak pernah berhenti bergerak itu, Pangeran Benawa justru lebih banyak diam. Ia berdiri saja tegak pada kedua kakinya. Lututnya sedikit merendah. Ia hanya bergeser saja setapak-setapak menghadapi ke arah orang bertubuh kecil yang tidak pernah berhenti bergerak itu. Ketika orang itu mulai menyerang, maka kakinya berloncatan ringan sekali. Kadang-kadang orang itu bergerak seperti seekor kera. Tetapi tiba-tiba ia menggeliat dengan kedua tangannya terjulur seperti dua buah kepala dari seekor ular yang garang sedang mematuk-matuk mengerikan.
Namun kaki orang bertubuh kecil itu mampu melontarkan tubuhnya dengan sangat ringan, seakan-akan tubuhnya itu sama sekali tidak berbobot. Meskipun demikian, serangan-serangannya tidak segera dapat menyentuh tubuh Pangeran Benawa yang nampaknya seakan-akan tidak bergerak. Serangan-serangan orang bertubuh kecil itu selalu membentur pertahanan Pangeran Benawa yang agaknya tidak ingin menghindar. Namun setelah benturan-benturan itu terjadi beberapa kali, Pangeran Benawa semakin yakin, bahwa ia mampu mengimbangi kekuatan dan kemampuan orang bertubuh kecil yang sangat cekatan dan tangkas itu. Tekanan pertahanan Pangeran Benawa justru pada kecepatan gerak dalam kediamannya, karena lawannyapun mengandalkan kecepatan geraknya pula. Orang bertubuh kecil itulah yang kemudian menjadi heran. Serangan-serangannya selalu saja membentur pertahanan lawannya yang nampaknya tidak terlalu banyak bergerak. Tetapi ternyata lawannya itu mampu bergerak mengimbangi kecepatan geraknya, sehingga setiap serangannya tidak mampu menembus pertahanannya. Dalam pada itu, dua orang yang lain, yang harus berhadapan dengan Ki Panengah dan Ki Waskita, yang tidak memakai ikat kepala itu, segera mengalami kesulitan. Lawannya, Ki Panengah sendiri, dengan cepat mendesaknya. "Kau tentu sudah mengetahui namaku, Ki Sanak" berkata Ki Panengah ketika orang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak itu meloncat surut mengambil jarak, "tetapi aku belum mengetahui namamu" "Apakah itu penting?" "Aku kira memang penting" jawab Ki Panengah. "Mungkin waktu selanjutnya kita akan selalu berhubungan. Siapa tahu, dalam perbandingan ilmu semacam ini, kita akan dapat mengambil manfaatnya. Kita akan dapat saling mengasah sehingga kemampuan kita akan bersama-sama meningkat semakin tajam"
"Jangan bermimpi. Kau tidak sedang tidur, Ki Panengah. Kita berada di arena pertarungan. Meskipun kita tidak berniat saling membunuh, tetapi mungkin saja tanganku di luar sadarnya, melubangi dadamu di arah jantung, karena jarijariku tidak kalah tajamnya dengan ujung pedang" "Jangan terlalu garang, Ki Sanak. Bukankah kita tidak mempunyai alasan yang kuat untuk saling bermusuhan?" "Muridmu yang bernama Paksi itu adalah sumber dari permusuhan di antara kita" "Persoalan anak-anak itu akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa melibatkan orang-orang tua seperti sekarang ini" "Kau tentu melindungi muridmu yang sombong dan keras kepala itu" Ki Panengah tertawa. Katanya, "Sebenarnya aku malu kepada para prajurit yang menonton permainan ini. Orangorang tua masih harus menari-nari di gelanggang seperti anak-anak bermain jamuran di saat bulan terang" "Itulah sebabnya murid-muridmu juga menjadi orang-orang sombong, karena kau sendiri juga seorang yang sangat sombong" "Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, Ki Sanak. Tetapi baiklah, aku hanya ingin tahu, siapa namamu" Orang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak itu menggeram. Serangan-serangannya menjadi semakin garang. Ayunan tangan dan kakinya seakan-akan telah menggetarkan udara di seluruh arena yang luas itu. Tetapi seranganserangannya yang garang, getar udara dan pusaran angin yang timbul karena serangan-serangannya itu sama sekali tidak berarti bagi Ki Panengah. "Kau belum menyebut namamu" desis Ki Panengah sambil meloncat menghindari serangan orang berkepala botak itu. Namun tiba-tiba saja tubuhnya berputar dengan cepat. Tangannya terayun menyambar kening lawannya, sehingga lawannya itu tergetar selangkah surut. Pandangan matanya menjadi baur sesaat.
Orang itu justru meloncat surut untuk mengambil jarak. Sedangkan Ki Panengah sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu memperbaiki kedudukannya. Namun terdengar Ki Panengah yang melangkah mendekatinya berdesis, "Sebut namamu, Ki Sanak. Jangan takut, bahwa aku akan menenungmu" "Tidak ada seorang juru tenungpun yang dapat menenungku" geram orang itu. "Karena itu, sebut namamu" Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang bergetar iapun kemudian berkata, "Namaku Suradirga" "Nama yang bagus" berkata Ki Panengah. "Sayang jika nama itu menjadi cacat karena tingkah laku pemiliknya" "Persetan. Kau tidak akan dapat mencoba mempengaruhi aku dengan cara itu. Aku akan tetap menghancurkanmu sekarang" Ki Panengah tidak menjawab. Tetapi ia mendesak terus, sehingga Suradirga itu seakan-akan tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang. Dalam pada itu, seorang yang berwajah tampan dengan kumis tipis di bawah hidungnya, harus berhadapan dengan Ki Waskita yang berewok. Namun yang berewoknya sudah nampak berwarna rangkap sebagaimana rambutnya yang ubanan. Orang yang berwajah tampan itu ternyata seorang yang berilmu sangat tinggi. Ketika ia meningkatkan ilmunya hampir sampai ke puncak, maka telapak tangan orang itu seakanakan nampak berasap. Asap yang memancarkan udara panas itu sempat beberapa kali menyentuh kulit Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita tidak menjadi gagap. Sebangsal pengalamannya dilambari dengan ilmunya yang sangat tinggi, menempatkannya pada kedudukan yang lebih mapan dari lawannya yang berwajah tampan itu. Bahkan lawannya yang tampan itu sempat menjadi gelisah. Apapun yang dilakukan, orang tua yang bernama Ki Waskita itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan
beberapa kali tangan orang tua berewok itu sempat menyentuh tubuhnya. Ketika tangan Ki Waskita menyentuh bahunya, rasarasanya di bahunya itu telah diletakkan sepikul beban yang sangat berat, sehingga tubuh orang berwajah tampan itu tertekan dan lututnya sedikit merendah. Tetapi dengan cepat orang itu meloncat surut untuk mempersiapkan dirinya serta mengambil ancang-ancang. Dengan cepat orang itupun kemudian melenting sambil menjulurkan kakinya ke arah dada Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak berusaha menghindar. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, sehingga kaki orang berwajah tampan itu telah membentur kedua tangan Ki Waskita yang bersilang itu. Akibatnya sangat buruk bagi orang berwajah tampan itu. Dengan keras orang itu terlempar surut. Tubuhnya terbanting di tanah seperti sebatang dahan yang patah dari batangnya. Meskipun orang itu dengan cepat mencoba melenting berdiri, namun demikian ia tegak, mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit pada punggungnya. "Gila kau iblis tua" geramnya. Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Kenapa?" "Kau akan menyesali nasibmu yang buruk" "Apakah nasibku buruk?" "Tulang-tulangmu akan aku remas hingga remuk dan tidak akan pernah dapat pulih kembali" "Jangan begitu. Kita tidak akan saling menghancurkan. Kita hanya sekedar melakukan penjajagan" Orang berwajah tampan itu tidak menjawab. Tetapi sambil menggeram ia melangkah setapak demi setapak. "Kau nampak semakin garang" desis Ki Waskita. Orang itu tetap berdiam diri. Sambil bergeser selangkah. Ki Waskitapun bertanya, "Siapa namamu?" "Sumirat" desis orang itu.
"Nama yang bagus. Sayang, bahwa kau berada di tempat yang salah, sehingga tempatmu berdiri tidak sebagus namamu" "Persetan dengan igauanmu" geram orang itu kemudian. Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita akan menyelesaikan penjajagan ilmu ini sampai tuntas. Tetapi jangan takut, aku tidak akan bersungguh-sungguh" "Aku akan membunuhmu" Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, "Jangan dipengaruhi oleh pikiran buruk itu. Kita tidak akan saling membunuh" "Jangan menyesali nasibmu" Ki Waskita tidak menjawab. Ketika orang itu meloncat menyerang, maka Ki Waskita hanya bergeser selangkah ke samping. Tetapi serangan itu tidak mengenai sasaran. Bahkan asap tipis yang memancarkan panas yang mengepul dari telapak tangan orang berwajah tampan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap lawannya yang berewok itu. Dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi sangat tegang. Ia berharap Ki Ageng Carangcendana dapat mengalahkan lawannya dalam sekejap. Kemudian ia membantu kawan-kawannya, menghancurkan lawannya seorang demi seorang. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang mengaku bernama Sasangka itu. Bahkan pertempuran di antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. "Kenapa dengan Ki Ageng Carangcendana itu?" pertanyaan itu semakin bergejolak di dalam dada Ki Ajar Wisesa Tunggal. Hampir saja Ki Ajar itu meloncat memasuki arena. Tetapi ketika terpandang olehnya Ki Gede Pemanahan, maka iapun menjadi ragu-ragu. Ia menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah seorang yang sulit dicari tandingannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal hanya sekedar menggeram menahan kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya.
Bahkan Ki Ajar pun harus menahan kebiasaannya untuk tidak mematuhi segala macam peraturan, paugeran dan apalagi sekedar kesepakatan. Di dalam arena itu terdapat seorang yang masih terhitung muda yang dapat melakukan hal yang sama. Orang yang masih terhitung muda itu telah mengancamnya akan menggerakkan para prajurit yang ada di sekitar arena itu jika Ki Ajar Wisesa Tunggal melanggar kesepakatan. "Orang gila itu sangat mengganggu perasaanku" berkata Ki Ajar di dalam hatinya. "Gila. Semua orang sudah menjadi gila" geram Ki Ajar Wisesa Tunggal yang hanya dapat didengarnya sendiri. Sebenarnyalah bahwa Ki Ageng Carangcendana tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan lawannya yang mengaku bernama Sasangka itu telah berani menatap matanya tanpa terpengaruh sama sekali. Tetapi Ki Ageng Carangcendana belum benar-benar sampai ke puncak ilmunya meskipun tataran demi tataran ilmu itu terus meningkat. Tetapi Ki Ageng Carangcendana sendiri sempat tidak percaya atas kenyataan yang dihadapinya, bahwa meskipun ilmunya sudah hampir sampai ke puncak, namun lawannya itu sama sekali masih belum dapat ditundukkan. Bahkan serangan-serangan orang yang masih terhitung muda itu semakin lama menjadi semakin berbahaya. Dalam pada itu, kegelisahan merambah jantung Ki Ageng Carangcendana. Apalagi ketika ia adalah orang yang mendapat kepercayaan untuk menjadi tumpuan kekuatan kelima orang dari perguruan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera mampu menyelesaikan lawannya itu. Sementara itu, Ki Surakanda yang bertempur melawan Paksipun ternyata tidak mampu menguasai lawannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Tenaga dan kemampuannya yang tinggi, sekali-sekali membuat Ki Surakanda harus berloncatan surut.
"Gila, anak ini" geram Ki Surakanda. Ternyata yang dikatakan oleh Semburwangi tidak berlebihan dan tidak dibuat-buat sekedar untuk menutupi kekalahannya. Namun Ki Surakanda memiliki kelebihan dari Ki Semburwangi. Karena itu, Ki Surakanda yakin, bahwa ia akan dapat mengalahkan dan menguasai Paksi. Menawannya dan membawanya ke padepokannya. Tetapi kegelisahannyapun menjadi semakin besar ketika ia menyadari, bahwa orang yang diandalkannya, Ki Ageng Carangcendana masih belum mampu menguasai lawannya. Bukan karena Ki Ageng dengan sengaja mengulur waktu. Tetapi ia benar-benar dalam kesulitan. Jika ia mengulur waktu, maka Ki Ageng benar-benar tidak bijaksana karena beberapa orang yang lain justru mulai terdesak. Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal menentukan bahwa penjajagan ilmu itu dilakukan dalam keutuhan dari kelima orang yang turun ke arena dari masing-masing pihak, adalah karena Ki Ajar berharap bahwa Ki Ageng akan dapat menyelesaikan masalah jika yang lain mengalami kesulitan. Tetapi ternyata Ki Ageng sendiri yang dianggap memiliki ilmu tanpa tanding, tidak dapat segera mengalahkan lawannya. Dengan demikian, maka semua gambaran dan anganangan yang telah memenuhi kepala Ki Ajar Wisesa Tunggal dan orang-orangnya itu mulai menjadi kabur. Mereka mulai menjadi ragu, bahwa Pajang akan berpaling ke padepokan mereka, bahwa para senapati akan mengirimkan anak-anak mereka bergabung dengan perguruan mereka. Angan-angan mereka bahwa bantuan Pajang bagi padepokan Ki Panengah akan beralih ke padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggalpun semakin buram. Dalam pada itu, Ki Ageng Carangcendanapun menjadi gelisah pula. Ia menyadari, bahwa kawan-kawannya mengalami kesulitan. Mereka sangat mengharap bantuan Ki Ageng Carangcendana. Tetapi Ki Ageng sendiri masih terikat dalam pertempuran yang tidak segera dapat dimenangkan.
Dalam pada itu, lawan Pangeran Benawa yang bertubuh kecil itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Ia tidak mungkin mampu menembus pertahanan Pangeran Benawa. Bahkan jika ia mengerahkan tenaga dan kekuatannya menyerang Pangeran Benawa, maka Pangeran Benawa justru akan membenturnya. Orang bertubuh kecil itulah yang akan terlempar dan kehilangan keseimbangannya. Dalam kesulitan itu, maka orang bertubuh kecil itupun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Ia tidak menghiraukan lagi akibat yang bakal terjadi. Jika lawannya terbunuh oleh ilmu puncaknya, maka itu adalah satu kecelakaan. "Seharusnya aku tidak membunuhnya. Tetapi membuatnya tidak berdaya untuk selamanya" berkata orang bertubuh kecil itu di dalam hatinya. Namun ia tidak mampu melakukannya. Karena itu, maka tanpa menghiraukan akibatnya, bahkan tanpa menghiraukan sepasukan prajurit yang seakan-akan mengepung arena itu, maka orang bertubuh kecil itu tiba-tiba menggeliat. Kedua tangannyapun menggeliat di depan dadanya. Kelima ujung jarinya merapat sementara itu mulutnya berdesis seperti desis ular bandotan yang marah. Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah sampai pada puncak ilmu pamungkasnya. Karena itu, maka Pangeran Benawa itupun harus menjadi semakin berhati-hati. Apalagi ketika ia melihat sejenis cairan yang berwarna putih gelap memercik dari ujung-ujung jarinya yang kuncup itu. Pangeran Benawapun bergeser selangkah surut. Ia yakin, bahwa cairan yang berwarna putih gelap itu adalah racun. Karena itu, maka Pangeran Benawapun dengan cepat menghisap ibu jarinya seperti kebiasaan seorang bayi yang kehausan. Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur lagi dengan sengitnya. Kedua tangan orang bertubuh kecil itu mematuk-matuk seperti kepala seekor ular liar yang sangat garang.
Pangeran Benawa harus menyesuaikan dirinya dengan gerak lawannya. Iapun telah berloncatan pula menghindari sentuhan tangan lawannya. Namun akhirnya, tangan orang bertubuh kecil itu sempat pula mematuk lengan Pangeran Benawa. Ternyata kuku-kuku orang bertubuh kecil itu sangat tajam, sehingga sentuhan ujung jarinya yang kuncup menyatu itu telah melukai lengan Pangeran Benawa itu. Pangeran Benawa meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Namun orang bertubuh kecil itu tidak memburunya. Ketika Pangeran Benawa berdiri termangumangu, maka orang bertubuh kecil itu tertawa sambil berdesis, "Aku tidak peduli apa yang terjadi atas dirimu. Dalam perbandingan ilmu seperti ini, dapat saja seseorang mati terbunuh. Tetapi itu adalah satu kecelakaan. Aku tidak sengaja membunuhmu" Pangeran Benawa berdiri tegak sambil memandang orang itu. Sementara orang bertubuh kecil itu berkata, "Jika racun itu merasuk ke dalam urat darahmu, itu karena kelemahanmu sendiri. Racun itu memang sudah ada di dalam kantung racun di kuku-kukuku. Itu bukan senjata. Karena itu, aku tidak menyalahi ketentuan, karena aku tidak bersenjata" Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian Pangeran Benawa itupun berkata, "Tidak ada orang yang menuduhmu menyalahi ketentuan. Kau sudah berpegang kepada ketentuan itu. Karena itu, jangan gelisah. Tidak ada yang akan menghukummu karena menyalahi ketentuan itu" Orang bertubuh kecil itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, "Sayang, bahwa kau akan mati. Sebaiknya kau minta diri kepada saudara-saudara seperguruanmu. Kepada gurumu dan kepada semua orang di sekitar arena ini" "Untuk apa aku minta diri" Siapa yang mengatakan bahwa aku akan mati?" "Racun itu?" "Racun yang memercik dari ujung-ujung jarimu?"
"Ya. Racun itu setajam bisa ular" "Aku sudah terlalu sering digigit ular jenis apapun. Ular dakgrama, ular gadung, ular welang, weling, dan bahkan ular kendang dan ular bandotan. Tetapi tidak apa-apa. Jika racunmu hanya setajam bisa ular, maka jangan cemas. Racunmu tidak akan membunuhku" Wajah orang bertubuh kecil itu tiba-tiba menegang. Dipandanginya Pangeran Benawa dengan tajamnya. Namun luka di lengan Pangeran Benawa itu kemudian telah mengalirkan darah. Semula biru kehitam-hitaman. Namun kemudian darah itu menjadi merah segar. Namun kemudian darah itupun menjadi pampat kembali. "Anak iblis kau. Kau kebal terhadap racun dan bisa?" "Mungkin, Ki Sanak" jawab Pangeran Benawa. Orang bertubuh kecil itupun menggeram. Tiba-tiba saja iapun meloncat menerkam. Kedua tangannya terjulur menggapai leher Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa telah bersiap menghadapi serangan itu. Serangan yang dilakukan dengan tergesa-gesa karena kemarahan yang menghentak-hentak di dalam dada orang bertubuh kecil itu. Kegagalan racunnya seakan-akan telah membuat nalarnya menjadi gelap. Demikian kedua tangan orang bertubuh kecil itu terjulur, maka dengan sikapnya Pangeran Benawa telah menangkap pergelangan tangan itu, langsung diputarkannya seperti baling-baling. Orang bertubuh kecil itu berteriak. Namun suaranyapun kemudian terputus ketika Pangeran Benawa melepaskan orang itu dan melemparkannya ke arah Ki Ajar Tunggal Wisesa. Kekalahan orang bertubuh kecil itu membuat darah Ki Ajar menggelegak. Karena itu, ketika tubuh orang itu terpelanting menimpanya, maka Ki Ajar justru telah membentur tubuh itu dengan kedua belah tangannya. Terdengar orang bertubuh kecil itu berteriak lagi. Jauh lebih keras. Namun kemudian tubuhnya terbanting jatuh di
tanah tanpa sempat menggeliat. Orang bertubuh kecil itu mati justru karena membentur tangan Ki Ajar yang marah. "Kau bunuh orangmu sendiri" teriak Pangeran Benawa. "Orang itu pantas mati" geram Ki Ajar. Kemudian katanya, "Aku akan menggantikannya" "Tidak" Ki Kriyadamalah yang menyahut. "Kedudukannya tidak dapat digantikan oleh siapapun juga" "Diam kau" bentak Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Akulah yang memimpin pertarungan ini" "Siapa yang menentukan bahwa kau pemimpin dari pertarungan di arena ini?" "Aku. Segala sesuatunya akulah yang menentukan" "Tidak. Aku mengambil alih pimpinan perbandingan ilmu ini. Minggir. Aku akan berdiri di tengah-tengah arena" "Apa hakmu mengambil alih pimpinan pertarungan ini?" "Sekehendakku. Aku akan berbuat menurut kehendakku sendiri. Jika kau tidak senang, pergilah" "Setan tua. Apakah kau ingin mati?" Tiba-tiba saja terdengar Pangeran Benawa berteriak, "He, Ki Lurah, siapkan prajuritmu. Perintahkan mereka menarik senjata mereka. Jika aku memberi isyarat, perintahkan prajuritmu mencincang orang-orang gila ini. Mereka hanya mengotori padepokan ini saja" "Kau tidak dapat berbuat demikian" geram Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Tergantung kepada sikapmu" Ki Ajar Wisesa Tunggal mengumpat kasar. Sementara itu, orang-orang yang bertempur di arena itu seakan-akan telah mendapat perintah untuk berhenti. Ki Ageng Carangcendanapun telah bergeser mengambil jarak. Demikian pula orang yang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak. Orang yang berwajah tampan dan Ki Surakanda. Bahkan Ki Carangcendanapun telah melangkah mendekati orang yang bertubuh kecil yang terbaring diam di sebelah kaki Ki Ajar Wisesa Tunggal.
"Kenapa kau bunuh orang ini" desis Ki Ageng Carangcendana. "Ia tidak berarti lagi bagiku" jawab Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Orang ini sangat setia kepadamu" "Tetapi ia sudah mempermalukan padepokan kita. Ia sudah dikalahkan oleh bocah edan itu" "Kita memang dihadapkan pada satu kenyataan pahit sekarang ini. Orang-orang dari padepokan ini adalah orangorang berilmu tinggi. Kau lihat, apakah ada seorang pun di antara kami yang turun di arena dapat menguasai lawan?" "Kita akan memastikan diri bahwa padepokan kita lebih berarti dari padepokan buruk ini" "Kita tidak dapat bersikap kekanak-kanakan seperti itu" berkata Ki Ageng Carangcendana. "Kita harus mengakui kenyataan ini. Bahkan aku yakin bahwa Surakanda akan dapat dikalahkan oleh anak itu. Dan aku bahkan tidak yakin bahwa aku akan dapat memenangkan pertarungan ini dengan lawanku yang masih terhitung muda itu" "Ki Ageng, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut?" "Aku bukan pengecut. Tetapi aku adalah orang yang berdiri di atas kenyataan yang kita hadapi" Kita tidak dapat bermimpi indah, tetapi kemudian terpelanting jatuh ke dalam kenyataan pahit" Ki Ajar Wisesa Tunggal memperhatikan orang-orangnya yang termangu-mangu. Sebenarnyalah ia melihat, bahwa orang-orangnya tidak akan mampu mengalahkan orang-orang pertama di padepokan Ki Panengah itu. Bahkan Ki Ageng Carangcendana sudah mengakui pula, bahwa ia tidak yakin akan dapat menang atas lawannya itu. "Lalu apa katamu?" suara Ki Ajar Wisesa Tunggal itu merendah. "Kita pulang. Lupakan keinginanmu untuk merebut pengaruh padepokan ini. Lupakan Paksi yang telah menghajar Semburwangi yang hanya dapat menyombongkan dirinya tetapi kemampuannya sama sekali tidak berarti. Lupakan semuanya"
Wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi tegang. Dipandanginya orang-orangnya yang masih berdiri termangumangu. Sementara itu Ki Panengahpun melangkah mendekatinya sambil berkata, "Segala sesuatunya terserah kepadamu, Ki Ajar Wisesa Tunggal. Apakah kita anggap bahwa permainan ini sudah selesai, atau kita akan meneruskannya berdasarkan atas kesepakatan kita atau apa saja" "Kalian telah memenangkan pertandingan ini" Ki Ageng Carangcendanalah yang menyahut. Lalu katanya, "Seorang korban telah cukup. Tetapi kau harus menyadari Ki Panengah, bahwa kemenanganmu tidak berlaku untuk selamanya. Roda pedati yang berputar, bagian-bagiannya sekali tersuruk ke dalam lumpur, namun pada kesempatan lain akan naik ke atas. Sedangkan yang di atas kemudian akan membenam di dalam lumpur" "Aku mengerti" desis Ki Panengah. "Apa katamu, Ki Ajar?" bertanya Ki Ageng Carangcendana kemudian. "Kita pulang. Tetapi persoalan antara kedua padepokan ini masih belum tuntas" Ki Panengah tertawa. Katanya, "Terserah kepadamu, Ki Ajar" Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, maka Ki Ajar itupun telah berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke kudanya. Para pengikutnyapun telah mengikutinya pula. Sementara itu Ki Ageng Carangcendana justru melangkah mendekati Raden Sutawijaya sambil berdesis, "Kau luar biasa, Sasangka. Tetapi yang kau lihat belum segala-galanya" "Aku tahu. Kau belum sampai ke puncak ilmu Lintang Wora-warimu" Ki Ageng Carangcendana mengerutkan dahinya, sementara Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Aku pernah menghadapi ilmu Lintang Wora-wari yang mengerikan itu. Bahkan sampai ke puncaknya" "Kau jangan membual, anak muda"
"Tidak. Aku tidak membual" "Siapakah yang pernah kau hadapi" Hanya ada beberapa orang yang memiliki ilmu Lintang Wora-wari" "Seorang pertapa dari Tlagaima" "Kakang Resi Wiguna?" "Ya. Telah terjadi salah paham di antara kami" "Kau bunuh orang itu?" "Tidak. Tiga hari kami bertempur. Di malam hari kami berhenti. Akhirnya Resi Wiguna menghentikan pertempuran itu" Wajah Ki Ageng Carangcendana terasa panas. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Kau mengembara sampai ke Tlagaima?" "Ya" Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah sebabnya, kau menghadapi ilmu Lintang Wora-wari kali ini dengan tabah. Tanpa kesan kecemasan sedikit pun. Jika kau mampu menghadapi Kakang Resi Wiguna sampai tiga hari, maka aku harus mengaku bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu" "Entahlah. Tetapi aku siap untuk mencobanya" Ki Ageng Carangcendana itu tersenyum. Katanya, "Jika demikian kau bukan murid Ki Panengah" "Aku murid Ki Panengah. Kau kenali unsur-unsur gerak padepokan ini" "Mungkin kau memang murid Ki Panengah. Tetapi Ki Panengah bukan satu-satunya gurumu" Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun justru bertanya, "Apa bedanya?" "Selamat, Ki Sanak" berkata Ki Ageng Carangcendana. Sementara itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal dan para pengiringnya sudah meninggalkan halaman. Ki Ageng Carangcendana tertinggal seorang diri. Tetapi iapun kemudian minta diri dengan unggah-ungguh yang utuh. Ditemuinya Ki Gede Pemanahan untuk minta maaf atas tingkah lakunya.
"Aku terseret arus, Ki Gede" berkata Ki Ageng Carangcendana. "Tergantung kepadamu. Jika kau memiliki keteguhan hati, maka kepribadianmu tidak akan tenggelam" Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Kemudian iapun telah minta diri pula kepada Ki Panengah, Ki Waskita, Ki Kriyadama dan orang-orang yang berada di arena. Bahkan sambil menepuk bahu Paksi iapun berkata, "Kau harapan bagi masa datang" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Terima kasih, Ki Ageng" Ki Ageng Carangcendana tersenyum. Kepada Pangeran Benawa, Ki Ageng itupun bertanya, "Darimana kau sadap ilmumu" Dengan begitu mudahnya kau kalahkan Ricik yang licin seperti belut, tetapi licik seperti ular itu" "Ia memang ular, Ki Ageng" "Ya. Dan kau memiliki kekebalan yang sangat tinggi terhadap bisa dan racun" Pangeran Benawa tidak menjawab. Demikianlah sejenak kemudian Ki Ageng Carangcendana itupun telah meninggalkan padepokan itu pula. Orang tua itu berkuda sendiri, menyusuri jalan panjang menjauhi Alas Jabung. Sekali ia masih sempat berpaling. Kemudian kudanya dipacunya lebih cepat. Namun dalam pada itu, hatinya telah digelitik oleh sebuah pertanyaan, "Untuk apa aku ikuti jejak Ki Ajar Wisesa Tunggal" Aku hampir kehilangan wawasan luasnya bumi. Ternyata ada orang yang masih terhitung muda yang dapat mengimbangi ilmu Lintang Wora-wari. Membebaskan diri dari cengkaman kuasa ilmu itu" Meskipun demikian, kaki kuda Ki Ageng Carangcendana itupun masih juga mengikuti jejak kaki-kaki kuda yang berlari lebih dahulu menjauhi Hutan Jabung itu. Dalam pada itu, yang ditinggalkan di Hutan Jabungpun telah bernafas lega. Para prajurit yang berada di sekitar arena itupun telah berkumpul di halaman barak mereka. Sedangkan
para cantrik telah naik ke pendapa bangunan induk padepokan sementara di pinggir Hutan Jabung itu. "Kita sudah menyelesaikan persoalan dengan padepokan Ki Ajar itu" berkata Ki Panengah. "Ya" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk, "mereka meninggalkan seorang kawannya yang terbunuh begitu saja" "Kita akan mengurusnya" desis Pangeran Benawa. "Ya, kita akan mengurusnya" "Untuk sementara mereka tidak akan mengganggu kita" berkata Raden Sutawijaya. "Belum tentu" sahut Pangeran Benawa. "Mereka adalah orang-orang gila. Mereka dapat berbuat di luar penalaran yang waras. Mereka tinggalkan begitu saja seorang kawannya tanpa berpaling sama sekali. Kematian kawannya itu sama sekali tidak berbekas di hati mereka" "Ya" Ki Waskita mengangguk-angguk, "mereka memang tidak waras. Mereka dapat berbuat apa saja di luar dugaan. Tetapi sikap Ki Ageng Carangcendana nampaknya mengisyaratkan, bahwa mereka tidak akan bertindak tergesagesa" "Agaknya ia adalah satu-satunya orang yang waras di lingkungan padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal" desis Pangeran Benawa. "Tetapi kita tidak boleh lengah terhadapnya" sahut Raden Sutawijaya. Pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. Para cantrik setelah mendapat beberapa pesan, diminta untuk meninggalkan pendapa dan membantu mengurus penguburan orang yang bertubuh pendek dan kecil yang terbunuh oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal sendiri ketika orang itu dilemparkan oleh Pangeran Benawa. Dalam pada itu, pada hari itu, para prajurit tidak diminta kembali ke pekerjaan mereka. Ketegangan yang telah mencengkam jantung mereka harus dilepaskan. Karena itu, maka para prajurit itupun justru diminta untuk beristirahat.
Di pendapa, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan Ki Panengah, Ki Waskita, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi. Ki Gede masih memberikan beberapa pesan kepada mereka, jika sesuatu yang tidak diduga telah terjadi. Namun beberapa saat kemudian, Ki Gede itupun minta diri untuk kembali ke Pajang. Ki Kriyadama yang berada di antara para prajurit telah datang pula ikut melepas Ki Gede di halaman padepokan sementara itu. Demikianlah, Ki Gede dan para pengawalnya telah meninggalkan Hutan Jabung. Sementara para cantrik sibuk menyelenggarakan penguburan pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal yang ditinggalkan begitu saja di padepokan itu. Hutan Jabung memang tidak terlalu jauh dari Pajang. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahanpun tidak terlalu lama berada di perjalanan. Sementara itu, di istana Pajang, Sekarsari menjadi semakin bebas keluar dan masuk istana. Para prajurit pengawal dan para pelayan dalam tidak lagi menghentikannya dan bertanya apa keperluannya masuk ke dalam istana. Sekarsari seakanakan mendapat ijin khusus untuk keluar dan masuk menemui Kangjeng Sultan. Bahkan Kangjeng Sultanpun telah menentukan dimana Sekarsari dapat menemuinya setiap saat. Kebebasan Sekarsari keluar masuk istana itu juga membuat Ki Gede Pemanahan semakin prihatin. Namun kebebasan Sekarsari keluar masuk istana itu tidak dipergunakannya untuk menemui Harya Wisaka. Bahkan rasarasanya Sekarsari menjadi semakin jarang menengok suaminya yang berada di dalam bilik tahanan khusus di istana Pajang. Tetapi ia justru lebih banyak bertemu dengan Kangjeng Sultan. Tidak seorangpun yang dapat mencegahnya. Ketika seorang prajurit masih juga menghentikan Sekarsari dan bertanya untuk apa ia masuk ke dalam istana, maka demikian Sekarsari melaporkannya, prajurit itu langsung dipecatnya.
"Ia tidak pantas menjadi prajurit yang bertugas di istana Pajang" berkata Kangjeng Sultan. Setiap kali Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berbicara dengan prajurit yang bertugas untuk menjaga Harya Wisaka, maka prajurit itupun berkata, "Perempuan itu menjadi semakin jarang mengunjungi Harya Wisaka" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Yang aku cemaskan, Sekarsari justru akan memanfaatkan kebebasannya itu untuk kepentingan Harya Wisaka" "Perempuan itu hampir melupakan suaminya. Bahkan nampaknya Harya Wisaka mulai menjadi curiga. Kami sering mendengar keduanya bertengkar jika Sekarsari datang menengoknya" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata, "Namun bagaimanapun juga, jangan menjadi lengah. Harya Wisaka adalah orang yang sangat berbahaya" "Ya, Ki Gede" prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi yang kemudian didengar oleh Ki Gede Pemanahan bukan hanya kebebasan Sekarsari masuk keluar istana serta pertengkaran yang sering terjadi antara Sekarsari dan suaminya jika ia datang berkunjung. Tetapi seperti yang pernah didengarnya, seorang petugas sandi telah melaporkan kepada Ki Gede Pemanahan bahwa Sekarsari menjadi semakin sering berdua dengan seorang lurah prajurit, justru seorang pelayan dalam. "Sampai sekarang, Kangjeng Sultan dan petugas-petugas sandinya masih belum mengetahuinya" desis Ki Gede. "Jika saja Kangjeng Sultan mengetahuinya, maka lurah pelayan dalam yang masih muda itu tidak akan berumur panjang" "Ternyata perempuan itu bukan seorang perempuan yang setia. Agaknya ia berpaling dari Harya Wisaka yang ada di penjara itu bukan karena Kangjeng Sultan. Tetapi karena lurah pelayan dalam itu"
"Perempuan bodoh" desis Ki Gede Pemanahan. "Apa artinya seorang lurah pelayan dalam baginya. Harya Wisaka adalah seorang yang memiliki wibawa dan pengaruh yang besar di lingkungannya. Apalagi kemudian Sekarsari itu seakan-akan sudah seperti seorang selir yang sangat dikasihi oleh Kangjeng Sultan. Tetapi kenapa ia masih berhubungan dengan seorang lurah prajurit?" "Tetapi lurah pelayan dalam itu memang tampan, Ki Gede. Tubuhnya yang kokoh kekar tetapi tidak nampak gemuk. Kulitnya yang kuning keputih-putihan, kumisnya yang tipis, senyumnya, kemudaannya" "Sekarsari telah dibakar oleh berbagai macam nafsu sehingga ia dapat melekat pada Kangjeng Sultan, tetapi juga pada prajurit muda itu" "Agaknya memang demikian, Ki Gede" "Baiklah. Tetapi ikut awasi Harya Wisaka. Para prajurit yang bertugas menjaganya, langsung berada di bawah perintah Kangjeng Sultan sehingga aku tidak dapat memberikan perintah langsung kepada mereka. Yang dapat aku lakukan hanya memberikan peringatan kepada mereka untuk berhatihati" "Baik, Ki Gede. Tetapi gerak kami sangat terbatas. Para pelayan dalam akan merasa wewenangnya dilanggar jika kami mencampuri tugas-tugas mereka" "Berhati-hati sajalah" Petugas sandi kepercayaan Ki Gede itupun kemudian telah minta diri. Kebebasan Sekarsari di istana benar-benar tidak dapat diganggu lagi. Ki Gede Pemanahan harus menerima kenyataan itu dengan gelisah. Seperti biasanya, jika Kangjeng Sultan sedang terikat dengan seorang perempuan, maka tidak seorangpun yang dapat memperingatkannya. Tetapi kali ini, perempuan itu mempunyai hubungan dengan seorang yang sangat berbahaya, Harya Wisaka. Namun Kangjeng Sultan sendiri nampaknya tidak menghiraukan Harya Wisaka lagi. Sementara itu Harya
Wisakapun menjadi keras kepala. Ia tidak mau berbicara jika tidak dengan Kangjeng Sultan sendiri. Kadang-kadang timbul niat Ki Gede untuk berbicara dengan Pangeran Benawa. Kadang-kadang Kangjeng Sultan merasa segan kepada puteranya yang sudah dewasa itu, sehingga Kangjeng Sultan itu harus membatasi tingkah lakunya sendiri. Tetapi nampaknya kehangatan Sekarsari benar-benar telah membuat Kangjeng Sultan kehilangan kesempatan untuk mempergunakan penalarannya. Bahkan Pangeran Benawapun tidak akan dapat mengusiknya. Karena itu niatnya itupun telah diurungkannya. Persoalan itu justru hanya akan mengganggu ketenangan Pangeran Benawa saja. Tetapi pertengkaran yang sering terjadi antara Sekarsari dan Harya Wisaka nampaknya menjauhkan kekhawatiran Ki Gede Pemanahan terhadap kelicikan Sekarsari. Meskipun demikian, setiap kali Ki Gede memperingatkan agar para prajurit yang bertugas tidak menjadi lengah. Di hadapan Ki Gede Pemanahan para prajurit yang bertugas itu menyatakan kesiapan mereka. Namun jika Ki Gede pergi, maka merekapun telah melupakannya. "Kita tidak berada di bawah perintah Ki Gede" berkata salah seorang dari mereka. "Aku sudah menyampaikan kepada Ki Gede, bahwa Sekarsari tidak lagi menghiraukan suaminya. Jika ia datang tentu hanya sekedar memenuhi kewajiban seorang isteri. Namun kemudian disini mereka bertengkar. Hampir saja Sekarsari itu dicekiknya sampai mati. Jika saja kita tidak melerainya" "Ya. Perempuan itu tentu lebih senang jika suaminya tetap berada di penjara. Ia akan dapat berbuat sesuka hatinya" Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan terkejut ketika Kangjeng Sultan tiba-tiba memanggilnya untuk berbicara langsung hanya berdua saja, tanpa ada orang lain yang ikut serta.
"Kakang, menurut Kakang, hukuman apakah yang paling baik aku berikan kepada Harya Wisaka" "Tetapi selama ini, hamba masih belum dapat berbicara dengan Harya Wisaka, Sinuhun" "Apa yang akan Kakang bicarakan dengan Harya Wisaka?" "Bukankah kita wajib mengetahui, bobot kesalahan Harya Wisaka. Apakah alasan-alasan yang telah mendorongnya untuk melawan Kangjeng Sultan. Apa pula yang pernah dilakukan, direncanakan tetapi belum sempat dilakukan. Orang-orang yang bekerja bersamanya dan mungkin hal-hal lain yang perlu kita dengar" "Harya Wisaka bukan pencuri yang dapat dipaksa untuk mengaku sudah berapa kali ia mencuri, Kakang. Jika ia tidak mau berbicara, maka kematianpun tidak akan dapat membuka mulutnya" "Tetapi pembicaraan kita dengan Harya Wisaka akan dapat menentukan, setidak-tidaknya memberikan batasan tentang bobot kesalahannya" "Itu tidak perlu. Harya Wisaka telah memberontak melawan kekuasaanku. Kita tahu, apakah hukuman yang paling pantas untuk seorang pemberontak" Wajah Ki Gede menjadi tegang. "Kakang, hukuman yang paling pantas bagi Harya Wisaka adalah hukuman mati" Ki Gede terkejut sehingga dipandanginya wajah Kangjeng Sultan dengan tajamnya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Kangjeng Sultan, setiap orang sampai sekarang menyebut Kangjeng Sultan sebagai seorang raja yang pengampun. Dua orang utusan Harya Penangsang yang tertangkap basah di bilik peraduan Kangjeng Sultan dengan keris Kiai Setan Kober yang sudah terhunus itu tidak menerima hukuman mati. Bahkan Kangjeng Sultan telah membebaskan mereka dan membiarkan mereka kembali ke Jipang" "Persoalannya tentu lain, Kakang. Waktu itu, aku sengaja berniat untuk mengguncang ketahanan jiwani Harya Penangsang"
"Paduka juga sudah mengampuni Surengjurit yang menyerang paduka selagi paduka mencoba beberapa ekor kuda terbaik yang ingin Paduka ambil menjadi kuda tunggangan Paduka" "Persoalannya lain lagi, Kakang. Surengjurit marah karena aku mengambil anak perempuannya tanpa setahu orang lain. Namun akhirnya ia sama sekali tidak berkeberatan dan membiarkan anak perempuannya berada di istana" "Kangjeng Sultan" berkata Ki Gede Pemanahan, "hamba adalah orang yang paling membenci Harya Wisaka. Tetapi hamba mohon Kangjeng Sultan memerintahkan Harya Wisaka untuk bersedia berbicara dengan hamba. Baru kemudian hamba dapat menyampaikan pertimbangan hamba tentang hukuman yang pantas bagi Harya Wisaka" "Harya Wisaka sudah bersalah dua kali. Ia telah memberontak dan kedua ia menolak berbicara dengan Kakang. Karena itu, maka hukuman yang paling pantas baginya adalah hukuman mati" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Keputusan hukuman itu tentu dipengaruhi oleh hubungan Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Kematian Harya Wisaka adalah satu kepastian, bahwa Sekarsari tidak akan lari lagi dari sisi Kangjeng Sultan. Tetapi sampai kapan Sekarsari mampu mengikat Kangjeng Sultan dengan kehangatan sikapnya" Pada saatnya, Sekarsari akan tidak lagi diperkenankan melewati pintu gerbang istana. Para prajurit akan mendapat perintah untuk mencegah Sekarsari masuk. Tetapi mungkin keputusan itu justru dikehendaki oleh Sekarsari sendiri yang ingin membebaskan diri dari tangan Harya Wisaka. Mungkin Sekarsari juga sadar, bahwa pada suatu saat ia akan terlempar dari istana. Tetapi ia sudah mempunyai seorang lurah prajurit yang muda dan tampan. Karena Ki Gede tidak segera menjawab, maka Kangjeng Sultan itu telah mendesaknya, "Bagaimana pendapat Kakang?" "Beri hamba waktu, Kangjeng Sultan"
"Kau akan berbicara dengan Harya Wisaka?" "Hamba mohon, Kangjeng Sultan memerintahkannya" Kangjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kangjeng Sultan itupun berkata, "Aku akan memanggilnya" Ki Gede Pemanahan tidak sempat menjawab. Kangjeng Sultan itupun telah memberi isyarat kepada seorang prajurit pengawal yang bertugas di luar ruangan. Demikian prajurit itu masuk, maka Kangjeng Sultan itupun memberikan perintah, "Perintahkan kepada para prajurit pelayan dalam yang bertugas menjaga Harya Wisaka untuk membawanya menghadap sekarang. Hati-hati. Jika orang itu terlepas maka semuanya akan aku gantung di alun-alun sebagai gantinya" Demikianlah, maka prajurit itupun telah menyampaikan perintah itu kepada para prajurit yang bertugas. Lurah prajurit yang memimpin sekelompok petugas itupun menerima perintah itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka menyadari bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kemungkinan buruk dapat saja terjadi. Karena itu, maka ketika Harya Wisaka dibawa menghadap, maka pengawalannyapun dilakukan dengan seluruh kekuatan yang ada. Namun Harya Wisaka tidak berusaha untuk melarikan diri. Harya Wisaka pun sadar, bahwa jika ia mencobanya, maka Kangjeng Sultan sendiri tentu akan turun tangan jika Ki Gede Pemanahan tidak sedang berada di istana. Ketika ia memasuki bilik khusus dan melihat Kangjeng Sultan dan Ki Gede Pemanahan sudah berada di dalam, maka dipandanginya Ki Gede Pemanahan sambil tersenyum. Meskipun tidak terucapkan, tetapi Harya Wisaka itu menyatakan kemenangannya. Akhirnya, ia dapat berbicara langsung dengan Kangjeng Sultan. Tidak hanya dengan Ki Gede Pemanahan.
Harya Wisaka itupun kemudian duduk menyilangkan kakinya sambil menyembah, "Hamba menghadap, Kangjeng Sultan" Kangjeng Sultan memandanginya sejenak. Namun kemudian Kangjeng Sultan itupun berkata lantang, "Dengar Harya Wisaka, Ki Gede Pemanahan akan berbicara dengan kau. Jawab semua pertanyaannya dengan jujur. Hasil pembicaraanmu akan menentukan berat ringannya hukumanmu. Semakin berbelit-belit kau menjawab pertanyaannya, maka hukumanmu akan menjadi semakin berat. Hukumanmu dapat lebih berat melampaui hukuman mati" Harya Wisaka memandang Kangjeng Sultan dengan tegang. Sementara Kangjeng Sultan berkata, "Di Pajang masih berlaku bagi mereka yang mempunyai kesalahan yang sangat besar hukuman picis. Atau hukuman-hukuman jenis lain yang akhirnya terhukum juga akan mati" "Kangjeng Sultan" potong Harya Wisaka, "hamba akan mengatakan dengan jujur apa yang telah terjadi kepada Kangjeng Sultan. Hamba tidak mau berbicara dengan anak petani seperti Ki Gede Pemanahan. Derajatnya terlalu rendah bagiku untuk berbicara dengan aku" "Harya Wisaka. Aku rendahkan derajatmu. Aku cabut kedudukan kebangsawananmu. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan akan mewakili aku sehingga kedudukannya di hadapanmu sama dengan kedudukanku" Wajah Harya Wisaka menjadi tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka Kangjeng Sultan itu telah bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. "Kangjeng Sultan" Harya Wisaka itu memanggil. Tetapi Kangjeng Sultan sama sekali tidak berpaling. Harya Wisaka itu kemudian memandang Ki Gede Pemanahan dengan tajamnya. Dengan geram iapun berkata, "Kau kira aku akan tunduk kepada perintah ini. Tidak. Aku tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu"
Namun Ki Gede Pemanahan itu menjawab, "Jawabanjawabanmu itu penting artinya bagimu. Tidak bagiku. Terserah, apakah kau akan menjawab pertanyaanpertanyaanku atau tidak. Bagiku sama saja, karena aku tidak akan dirugikan. Aku tidak akan digantung atau bahkan dihukum picis atau dihukum yang lebih berat atau lebih ringan. Aku adalah orang yang bebas. Aku tidak akan dikembalikan ke penjara" "Persetan kau, Pemanahan. Akan datang saatnya aku membunuhmu kelak" Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Kau tidak akan sempat melakukannya, Harya Wisaka. Tetapi jika kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku, kau masih mempunyai waktu" "Aku tidak akan menjilat ludah sendiri meskipun aku akan dihukum picis" "Aku hargai kekerasan hatimu. Tetapi aku cela kebodohanmu" "Setan kau, Pemanahan. Aku tantang kau berperang tanding" Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Bagaimana mungkin aku melayani tantangan seorang yang sedang dalam tahanan dan menghadapi hukuman mati?" "Aku bunuh kau sekarang" Harya Wisaka itupun tiba-tiba telah bangkit berdiri. Tetapi beberapa ujung senjata dari para pengawal dengan cepat telah terarah ke tubuhnya. "Kau kira senjata-senjatamu itu berarti bagiku?" Para prajurit itu termangu-mangu. Sementara Ki Gede Pemanahanpun telah bangkit pula sambil berkata, "Bawa Harya Wisaka kembali ke bilik tahanannya. Ia ingin berada di dalamnya sampai hari terakhirnya" "Persetan kau, Pemanahan" Para prajurit itupun kemudian telah menggiring Harya Wisaka kembali ke bilik tahanannya. Ki Gedepun mengikutinya
pula. Jika Harya Wisaka itu kehilangan akal, maka para prajurit itu tentu akan mengalami kesulitan. Demikian Harya Wisaka berada di dalam bilik tahanannya, maka Ki Gedepun kembali menghadap Kangjeng Sultan untuk memberikan laporan tentang sikap Harya Wisaka itu. "Jika demikian, sepantasnya Harya Wisaka dihukum mati" geram Kangjeng Sultan. "Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Sultan. Tetapi hamba mohon pelaksanaannya tidak dilakukan dengan segera, sehingga masih mungkin terjadi perubahan" "Jika aku sudah menjatuhkan keputusan, maka tidak akan ada perubahan" "Jika demikian, hamba mohon Kangjeng Sultan tidak tergesa-gesa menjatuhkan keputusan" "Aku akan memberikan keputusan itu dalam dua tiga hari ini, Kakang" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat terlalu banyak memohon, karena hal itu akan dapat membuat Kangjeng Sultan justru menjadi semakin marah. Karena itu, maka Ki Gedepun justru telah mohon diri. Katanya, "Hamba menunggu titah Paduka. Hamba mohon diri" "Baik, Kakang" Ki Gede Pemanahanpun segera kembali ke rumahnya. Namun rasa-rasanya sikap Harya Wisaka itu tidak segera dapat dilupakannya. Harya Wisaka yang sudah menjadi tahanan itu masih sempat merendahkannya. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak ingkar akan dirinya. Ia tidak pernah menolak jika orang menyebutnya sebagai keturunan pidak pedarakan. Keturunan rakyat kebanyakan. Namun sebenarnyalah Ki Gede Pemanahan ingin menghapus kesan buruk jika Kangjeng Sultan menjatuhkan hukuman mati kepada Harya Wisaka. Orang banyak tentu akan segera menghubungkan hukuman mati itu dengan hubungan antara Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Sehingga hukuman itu tentu akan mendapat penilaian tersendiri
meskipun pada kenyataannya Harya Wisaka memang sudah memberontak melawan kekuasaan Kangjeng Sultan. Keinginannya untuk menguasai cincin kerajaan itu adalah satu ujud dari niatnya menentang kuasa Kangjeng Sultan dan membangun kekuasaan bagi dirinya sendiri. Berhasil atau tidak berhasil, dengan atau tanpa cincin kerajaan itu, sebenarnyalah bahwa Harya Wisaka menolak kuasa Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Tetapi justru karena Sekarsari sering berada di istana, maka terutama orang-orang yang menentang kuasa Kangjeng Sultan akan dapat mempergunakan peristiwa itu untuk menjatuhkan wibawanya. Ketika malam turun, Ki Gede Pemanahan tidak segera dapat tidur. Meskipun Ki Gede sudah berbaring di dalam biliknya, namun rasa-rasanya matanya tidak mau dipejamkannya. Bahkan sampai ayam jantan berkokok di tengah malam, Ki Gede masih tetap belum dapat tidur sekejappun. Rasa-rasanya bayangan hukuman mati itu tidak dapat dilepaskannya dari angan-angannya. Seakan-akan Ki Gede melihat Harya Wisaka itu berayun di tiang gantungan di alun-alun, disaksikan oleh rakyat Pajang. Namun yang kemudian berteriak-teriak meneriakkan ketamakan Kangjeng Sultan yang ingin mengambil isteri orang yang mati di tiang gantungan itu. Ketika lewat tengah malam, Ki Gede terlena sesaat, bayangan itu menjadi semakin jelas. Dalam sekejap itu Ki Gede telah bermimpi bahwa hukuman mati itu sudah dilaksanakan. Tidak hanya seorang Harya Wisaka. Beberapa orang Harya Wisaka telah dihukum mati. Seorang digantung, seorang dipancung, yang lain dihukum picis sedang yang lain lagi disapu sampai mati. Kangjeng Sultan dan Sekarsari menonton di pinggir alunalun sambil tertawa berkepanjangan. Tetapi Ki Gede tidak dapat berbuat apa-apa. Namun dalam pada itu, Ki Gede yang terlena sesaat itu terkejut. Di dalam mimpi, Ki Gede melihat orang-orang
berkuda memasuki alun-alun dan langsung mengacaukan suasana. Mereka mengayun-ayunkan pedang mereka sambil berteriak-teriak. Tidak seorangpun tahu, siapakah orang-orang berkuda itu. Mereka hanya memakai kain panjang dan tidak berbaju. Ikat kepala mereka berwarna gelap sebagaimana kain panjang mereka. Wajah-wajah mereka tidak nampak jelas, seakanakan berada di belakang tirai tipis berwarna kehitam-hitaman. Dalam pada itu, terdengar pintu butulan diketuk orang sehingga Ki Gede dengan serta-merta telah bangkit langsung berdiri di sisi pembaringannya. Ki Gede mengusap matanya. Namun ketukan di pintu butulan itu masih terdengar. "Siapa?" bertanya Ki Gede. "Aku, Ki Gede. Lumintu" Ki Gede mengenal suara itu. Salah seorang pengawal yang bertugas malam itu di rumahnya. Setelah membenahi pakaiannya Ki Gedepun melangkah ke pintu butulan, mengangkat selaraknya dan membuka pintu. "Ada apa Lumintu?" Ki Gede sudah menduga, tentu ada hal yang sangat penting, sehingga ia dibangunkan lewat tengah malam. "Ada utusan dari istana, Ki Gede" "Utusan dari istana" Dimana orang itu?" "Sudah aku persilahkan duduk di pendapa. Tetapi mereka tidak mau. Katanya, mereka hanya ingin menyampaikan perintah kepada Ki Gede" Ki Gede mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan menemui mereka" Ki Gedepun kemudian masuk kembali ke pembaringannya. Dikenakannya kerisnya di punggung, kemudian Ki Gede itupun telah keluar lewat pintu pringgitan. Tiga orang berdiri di halaman memegangi kuda masingmasing, sehingga Ki Gede itupun berkata di dalam hatinya, "Aku bukan sekedar bermimpi. Aku benar-benar mendengar derap kaki kuda meskipun tidak sebanyak dalam mimpi"
Ki Gede itupun turun ke halaman dengan jantung yang berdebaran. Sebelum Ki Gede bertanya, seorang di antara ketiga orang itupun berkata, "Aku, Ki Gede. Lurah Wirasana" "O, kau Ki Lurah Wirasana. Ada apa?" "Kangjeng Sultan memanggil Ki Gede untuk menghadap sekarang juga" "Sekarang" Apakah ada sesuatu yang sangat penting telah terjadi di istana?" "Ya, Ki Gede" "Apa yang telah terjadi itu?" "Harya Wisaka melarikan diri" "Harya Wisaka berhasil melarikan diri" Bagaimana hal itu terjadi" Harya Wisaka berada di dalam tahanan di lingkungan istana. Dijaga kuat oleh sekelompok prajurit yang langsung berada di bawah perintah Kangjeng Sultan" "Pelayan dalam yang bertugas telah terbunuh, Ki Gede. Bahkan bukan hanya mereka, tetapi beberapa orang yang lain yang telah berkhianat" Wajah Ki Gede Pemanahan menjadi tegang. Kepada seorang pengawalnya Ki Gede berkata, "Siapkan kudaku" Sementara pengawal itu mempersiapkan kudanya, maka Ki Gedepun telah berganti pakaian. Sejenak kemudian, Ki Gede dan beberapa orang pengawalnya telah berpacu ke istana bersama ketiga orang utusan dari istana itu. Demikian Ki Gede memasuki paseban dalam, maka beberapa orang pemimpin Pajang telah menghadap. "Duduklah, Kakang" suara Kangjeng Sultan berat menekan. Ki Gede itupun segera duduk di antara para pemimpin yang telah menghadap itu. "Jika saja kau tidak menghambat keputusanku, aku sudah menghukum mati Harya Wisaka" berkata Kangjeng Sultan selanjutnya. "Sekarang ternyata Harya Wisaka itu melarikan diri" "Hamba mohon ampun, Paduka"
"Sekarang, apa katamu?" "Kangjeng Sultan" berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, "bagaimana hal itu dapat terjadi. Harya Wisaka berada di sebuah ruangan yang sangat kuat. Dijaga oleh sekelompok prajurit yang langsung berada di bawah perintah paduka" "Kau akan membebankan tanggung jawab hilangnya Harya Wisaka kepadaku?" "Tidak, bukan Sinuhun. Hamba hanya ingin tahu bagaimana hal itu dapat terjadi" "Tumenggung Reksapati, kau yang telah berbicara langsung dengan seorang pelayan dalam yang terluka parah itu, ceriterakan kepada Kakang Pemanahan, apa yang telah terjadi" Tumenggung Reksapatipun beringsut sejengkal. Setelah menyembah, maka iapun berkata, "Atas ijin paduka" "Katakan" "Ki Gede" berkata Ki Tumenggung Reksapati, "Putri Sekarsari" "Sekarsari?" bertanya Ki Gede Pemanahan. "Memang di luar dugaan. Putri Sekarsari telah memperalat seorang lurah pelayan dalam" "Siapa?" "Ki Lurah Citrasemu" "Citrasemu" ulang Ki Gede. "Seorang lurah muda yang tampan" "Apa maksudmu?" Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Sementara Kangjeng Sultanpun berkata, "Ceriterakan apa yang terjadi. Untuk apa kau katakan lurah muda itu tampan?" "Hamba, Paduka" sahut Ki Tumenggung sambil menyembah. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lurah muda dan tampan itu tentu lurah pelayan dalam yang pernah dilaporkan kepadanya. Ceritera Tumenggung itupun tidak meleset dari dugaan Ki Gede Pemanahan. Lurah pelayan dalam yang muda dan tampan itu telah dimanfaatkan habis-habisan oleh
Sekarsari. Kemudaannya, ketampanannya, gairahnya, tetapi juga tenaga dan kekuasaannya. Bahkan yang terakhir adalah nyawanya. Sekarsari berhasil membujuk lurah muda itu untuk membawa beberapa orang bawahannya menyerang para petugas yang menjaga Harya Wisaka di bilik tahanannya. "Betapa bodohnya lurah itu" desis Ki Gede. "Jika ia membantu membebaskan Harya Wisaka berarti peranannya sudah habis. Sekarsari akan kembali kepada Harya Wisaka" "Menurut seorang prajuritnya yang masih hidup meskipun terluka parah, Sekarsari berjanji untuk tetap setia kepada lurah muda itu, karena setelah dibebaskan Harya Wisaka akan melarikan diri keluar Pajang seorang diri. Hubungannya dengan Harya Wisaka telah menjadi sangat renggang. Harya Wisaka sudah tidak menghendaki Sekarsari lagi karena Harya Wisaka tahu bahwa Sekarsari tidak setia lagi kepadanya" "Ya" sambung Kangjeng Sultan, "agaknya Sekarsari sudah tidak setia lagi kepada Harya Wisaka, karena ia telah berhubungan dengan lurah itu" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa Ki Tumenggung tidak menyebut bahwa selain dengan lurah muda itu, Sekarsari telah mendapat kebebasan keluar masuk istana. Ternyata bahwa Sekarsari adalah seorang perempuan yang sangat cerdik. Ia dapat memainkan peranannya dengan sempurna. Sekarsari telah mengelabuhi banyak orang, termasuk Ki Gede Pemanahan sendiri. Pertengkarannya dengan Harya Wisaka setiap kali ia mengunjunginya tentu bagian dari peran yang sedang dimainkan. Kebenciannya kepada Harya Wisaka nampak meyakinkan. Demikian pula sikap Harya Wisaka, yang bahkan pernah mencoba mencekik istrinya itu. Permainan Sekarsari yang meyakinkan itulah yang membuatnya berhasil melepaskan Harya Wisaka. "Setelah Harya Wisaka lepas dari bilik tahanannya, maka lurah muda yang tampan itu dengan orangnya yang tersisa
telah dibunuh pula oleh Harya Wisaka" berkata Ki Tumenggung kemudian. "Apakah gejolak itu tidak sempat diketahui oleh para petugas yang lain?" bertanya Ki Gede Pemanahan. "Tidak, Ki Gede. Tidak ada yang mengetahui bahwa Harya Wisaka telah berhasil membebaskan diri. Prajurit yang masih hidup itu melihat Harya Wisaka melarikan diri bersama Sekarsari. Sementara itu diketemukan di pintu belakang, dua orang prajurit terbunuh. Dua orang lagi di gerbang halaman belakang istana. Demikian keluar dari halaman istana, maka jejak Harya Wisaka dan Sekarsaripun telah hilang" Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi. Dua orang prajurit yang bertugas di pintu belakang dan di gerbang halaman istana memang tidak akan mampu menahan Harya Wisaka. Apalagi Harya Wisaka sedang dalam keadaan terjepit. "Kakang Pemanahan" berkata Kangjeng Sultan kemudian, "aku menyesal bahwa aku telah mendengar permintaan Kakang untuk menunda hukum mati itu. Bahkan sebelumnya aku sudah berniat untuk menangkap dan menganggap Sekarsari ikut bersalah, sehingga iapun harus dihukum. Tetapi Kakang minta aku menundanya. Akibatnya, Harya Wisaka dapat melepaskan dirinya" Ki Gede memandang Kangjeng Sultan sejenak. Tetapi kepalanyapun telah menunduk kembali. "Karena itu Kakang, aku minta kau memimpin perburuan ini. Aku minta Harya Wisaka dapat ditangkap, hidup atau mati. Kakang dapat mempergunakan prajurit berapapun Kakang perlukan. Kakang dapat mengangkat siapapun untuk menjadi senapati dalam pasukan Kakang itu. Dua atau tiga orang atau bahkan tidak terbatas" "Baik, Kangjeng Sultan. Hamba akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya. Hamba akan mempergunakan pasukan seperlunya dan mengangkat beberapa orang senapati pada saatnya nanti"
Asmara Maut 2 Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai Pengasuh Setan 2
^