Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 30

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 30


Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, orang-orang yang berada di dalam istana Pajang itu telah dicengkam oleh perasaan kantuk yang sangat. Bahkan para prajurit yang sedang bertugaspun kehilangan kemampuan mereka untuk bertahan. Dua orang prajurit yang berdiri di sebelah-menyebelah gerbang utamapun tidak berdaya menghadapi tusukan ilmu sirep yang sangat tajam. Keduanya terduduk bersandar pintu gerbang dan tertidur dengan nyenyak. Demikian pula yang sedang berada di gardu yang terletak beberapa langkah dari pintu gerbang. Tujuh orang prajurit telah terbaring pula di luar kehendak mereka. Bukan hanya para prajurit yang berada di gerbang utama. Dua orang prajurit yang sedang meronda berkeliling halaman pun telah tertidur pula di bawah pohon sawo kecik. Demikianlah, maka istana Pajang itupun benar-benar telah tertidur. Para prajurit yang bertugas di luar dan di dalam istanapun telah tertidur pula. Dua orang pelayan dalam yang berada di longkangan istana, terbaring depan pintu serambi. Sedangkan dua orang yang bertugas di regol dalampun telah tertidur pulas. Prajurit-prajurit yang bertugas di pintu-pintu gerbang samping dan dimanapun mereka berada di istana itu telah tertidur dengan nyenyaknya. Pada saat yang demikian itulah, menjelang tengah malam, maka Resi Jalamanikpun telah melangkah memasuki pintu gerbang utama istana Pajang. Harya Wisaka, Ki Wimba Atmaka dan Wasi Lengkara merasa kagum melihat betapa kekuatan sirep Resi Jalamanik benar-benar telah mencengkam seluruh istana Pajang. Mereka menyaksikan para prajurit yang tertidur nyenyak. Bahkan seakan-akan mereka telah menjadi pingsan. Sebenarnyalah tidak seorang pun yang masih terbangun. Keempat orang itu dapat memasuki segala sudut istana jika mereka kehendaki. Ketika mereka lewat di depan bangsal pusaka, mereka melihat dua orang prajurit yang sedang tertidur.
"Disitu disimpan beberapa pusaka terbaik Mataram, kecuali pusaka-pusaka terdekat dengan Kangjeng Sultan" berkata Harya Wisaka. "Apakah cincin kerajaan itu tidak berada di bangsal ini?" "Cincin itu berada di jari-jari Pangeran Benawa" Resi Jalamanik mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Tetapi bukankah ada beberapa pusaka penting di bangsal pusaka ini?" "Ya. Apakah kita akan membuka?" Tetapi Resi Jalamanik menggeleng sambil menjawab, "Kita harus langsung ke tujuan. Kita tidak boleh berpaling sebelum kita berhasil" Harya Wisaka mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia merasa malu. Pertanyaannya yang bodoh itu tentu mengesankan ketamakannya. Tetapi ia tidak akan dapat menelan kembali kata-katanya itu. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah memasuki bagian dalam istana Pajang. Mereka langsung menuju ke bilik tidur Sultan Hadiwijaya. Harya Wisaka mengenal setiap ruang istana itu dengan baik. Isterinya yang telah menolongnya, membebaskannya dari tahanan, dapat menceriterakan lebih rinci lagi tentang ruang-ruang di dalam istana. Terutama bilik tidur Sultan Hadiwijaya. Karena itu, maka keempat orang itupun dapat langsung mengetahui pintu yang manakah pintu bilik utama Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu. Tetapi ketika mereka mencoba membuka pintu bilik utama Kangjeng Sultan, ternyata pintu itu diselarak dari dalam. "Pintu itu diselarak" desis Harya Wisaka. "Kita harus membukanya dengan paksa" sahut Resi Jalamanik. "Apakah Kangjeng Sultan tidak akan terbangun?" "Bukankah kita tidak berkeberatan jika Kangjeng Sultan itu terbangun?"
Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Di luar ruang dalam istana itu, dua orang pelayan dalam sedang tertidur nyenyak. "Apakah mereka akan terbangun juga?" Resi Jalamanik itu menggeleng. Bahkan iapun telah melangkah mendekati kedua pelayan dalam yang tertidur itu. Ditendangnya seorang di antara mereka sehingga terguling. Tetapi orang itu tidak terbangun dari tidurnya yang nyenyak. "Memang berbeda dengan Kangjeng Sultan" berkata Resi Jalamanik. "Bahkan mungkin Kangjeng Sultan sekarang masih belum tertidur karena kemampuannya melawan sirep. Tetapi kita sudah memutuskan untuk menghadapinya meskipun ilmunya seakan-akan tidak terbatas" Harya Wisaka mengangguk. "Nah, jika demikian, kita akan membuka pintu bilik itu dengan paksa" berkata Resi Jalamanik. Wasi Lengkaralah yang kemudian bergeser maju sambil berdesis, "Biarlah aku yang membukanya" Tetapi Harya Wisakapun menyahut, "Bukannya aku tidak dapat membukanya dengan paksa. Tetapi aku hanya sekedar ragu-ragu" "Aku tahu. Meskipun demikian, aku minta agar kalian membiarkan aku membukanya" "Biarlah Wasi Lengkara membukanya" desis Resi Jalamanik. Harya Wisaka mengangguk kecil. Sejenak kemudian, Wasi Lengkarapun telah bersiap. Dihimpunnya kekuatannya pada sebelah kakinya. Dengan kakinya ia ingin memecahkan pintu bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang kokoh itu. "Seandainya permaisuri ada di dalam, ia tidak akan terkejut. Bahkan ia tidak akan terbangun" berkata Resi Jalamanik. Wasi Lengkara mengangguk kecil. Iapun mengambil ancang-ancang beberapa langkah surut sambil meningkatkan tenaga dalamnya.
Tetapi sebelum Wasi Lengkara meloncat untuk memecahkan pintu itu dengan kakinya, tiba-tiba saja terdengar suara dari dalam, "Jangan pecahkan pintu itu. Pintu itu mahal sekali harganya. Ukirannya yang rumit serta sunggingannya yang dilapisi prada, sulit untuk dibuat tiruannya. Jika pintu itu rusak, maka aku akan menyesalinya untuk waktu yang lama sekali" Keempat orang yang berada di luar pintu itu terkejut. Namun Harya Wisakapun kemudian berdesis, "Itu suara Kangjeng Sultan Hadiwijaya" "Jika demikian, kita tidak mempunyai pilihan lain" sahut Ki Wimba Atmaka. "Justru kesempatan inilah yang aku tunggu" Harya Wisaka itulah kemudian yang menyahut, "Jika tidak ingin pintu itu rusak, bukalah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Kangjeng Sultan" "Ternyata kau datang sendiri untuk menyerahkan diri, Harya Wisaka?" sahut suara di dalam bilik itu. "Bukalah atau aku akan memecahkannya" "Sudah aku katakan, jangan dirusakkan" Keempat orang yang berdiri di luar bilik itupun kemudian mendengar langkah yang menuju ke pintu. Sejenak kemudian terdengar selarak pintu itu diangkat, tetapi pintu itu tidak langsung dibuka. "Buka pintunya" Harya Wisaka itu membentak. Namun yang terdengar adalah justru langkah menjauhi pintu. Tetapi kemudian terdengar suara Kangjeng Sultan, "Bukalah. Pintu itu sudah tidak diselarak" Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Suara itu terdengar begitu tenang. Tidak tersirat kegelisahan dan ketegangan sama sekali. "Begitu yakinkah Kangjeng Sultan akan ilmunya. Sehingga ia sama sekali tidak tergetar mendengar suara beberapa orang di luar pintu biliknya?" Agaknya Wasi Lengkaralah yang tidak sabar. Iapun segera mendekati pintu itu dan mendorongnya sehingga pintu itu terbuka lebar.
Namun, demikian pintu itu terbuka, jantung Harya Wisaka bagaikan berhenti berdetak. Ternyata yang berdiri di dalam bilik itu bukan saja Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi di dalam bilik itu juga terdapat Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita, yang biasanya berada di padepokan di Alas Jabung. "Ki Gede" geram Harya Wisaka. Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Selamat malam, Harya Wisaka. Aku memang menunggumu disini" "Tetapi kau pimpin pasukan kecil itu untuk memburuku" "Aku tidak sebodoh yang kau duga. Bukankah lebih mudah menunggumu disini daripada memburumu di sepanjang tlatah Pajang bagian selatan" Apakah kau kira aku percaya dengan dongeng para pengikutmu bahwa kau berhasil menyusup keluar dinding kotaraja yang tidak terlalu luas ini?" "Iblis kau, Pemanahan" "Bukankah kau juga selalu mencari aku" Kau telah mencoba membunuh Ki Tumenggung Reksapati karena kau tidak berhasil mencegat aku di perjalanan pulang dari istana. Nah, sekarang kita ketemu disini" "Darimana kau tahu bahwa kami akan datang kemari?" "Kami berdua memang bersembunyi di istana ini untuk beberapa lama. Ketika sejak wayah sepi uwong kami rasakan sentuhan ilmu sirep yang tajam, maka kami sudah menduga, bahwa kau dan beberapa orang kawanmu akan datang. Karena itu, maka kamipun telah berkumpul dan menunggumu disini" "Jadi siapakah yang memimpin pasukan kecil yang disebutsebut sebagai Ki Gede Pemanahan?" bertanya Harya Wisaka. "Jadi siapa pula yang dikatakan sebagai Harya Wisaka yang memimpin sendiri pasukannya untuk menimbulkan keresahan di luar kotaraja?" "Persetan kau, Pemanahan. Sekarang waktunya untuk membunuhmu dan membunuh Sultan Hadiwijaya" "Bagaimana dengan aku?" tiba-tiba saja Ki Waskita itu bertanya. "Apakah kau juga akan membunuhku?"
Wajah Harya Wisaka menjadi merah. Dengan geram iapun berkata, "Aku akan mengoyak mulutmu" "Kenapa kau akan membunuhku?" bertanya Sultan Hadiwijaya. "Ada beberapa persoalan yang harus aku perhitungkan dengan Kangjeng Sultan. Selain bahwa kau tidak berhak mewarisi tahta Demak, kau juga mempunyai persoalan yang lain yang harus kau pertanggung-jawabkan" "Aku adalah menantu Kangjeng Sultan Trenggana" jawab Sultan Hadiwijaya. "Trenggana juga tidak berhak. Selain itu, kau telah mencuri isteriku. Alasan yang sebenarnya kenapa aku harus ditahan di Pajang ini adalah karena kau inginkan isteriku itu" Kangjeng Sultan Hadiwijaya tersenyum. Katanya, "Kau tidak usah mengigau seperti itu. Kita sama-sama sudah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dengan kau, dengan istrimu dan ceritera tentang lurah pelayan dalam itu" "Persetan dengan semuanya itu. Sekarang waktumu untuk mati" "Kau benar-benar akan membunuh kami?" bertanya Ki Gede Pemanahan. "Jangan menyesali nasibmu" "Aku tidak menyesali nasibku. Tetapi aku harus menyesal bahwa malam ini aku harus membunuh" "Cukup" bentak Ki Wimba Atmaka. "Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti malam ini. Aku ingin menakar, seberapa tinggi ilmu Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Gede Pemanahan" "Bagus. Bersiaplah" desis Ki Gede. Ketika Ki Gede Pemanahan, Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Waskita melangkah keluar dari biliknya, maka keempat orang yang berdiri di luar pintu itu telah menyibak. Namun mereka langsung berpencar dan bersiap untuk menghadapi ketiga orang itu.
Ki Waskitalah yang kemudian berkata sambil tertawa pendek, "Sayang, bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak bersama kalian" "Kenapa?" bertanya Harya Wisaka. "Tidak apa-apa" jawab Ki Waskita. "Apakah kau mempunyai persoalan khusus dengan Tumenggung Sarpa Biwada?" "Tidak" "Kenapa kau sebut namanya?" "Hanya nama itulah yang aku ketahui di samping Harya Wisaka sendiri" Harya Wisaka menggeram. Orang dari padepokan di dekat Hutan Jabung itupun berbahaya pula. Tetapi Harya Wisaka datang berempat. Tiga orang yang bersamanya itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Sedangkan Harya Wisaka sendiri bukannya orang yang tidak berilmu. Harya Wisaka sendiri adalah orang yang berilmu tinggi pula. Dalam pada itu, maka Ki Wimba Atmaka yang tidak sabar itupun telah bergerak mendekati Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Resi Jalamanikpun berkata, "Mas Karebet, aku benci mendengar namamu. Aku benci karena kau kelabuhi orangorang Demak dengan Kebo Danumu di Banyu Biru, sehingga kau mendapat pengampunan dan diperkenankan kembali mengabdi di istana Demak. Kemudian kau berhasil meningkatkan derajatmu sehingga kau menjadi menantu Kangjeng Sultan Trenggana" "Apa hubungannya dengan kau, Ki Sanak?" "Namaku Resi Jalamanik. Ternyata kebencianku kepadamupun bertambah-tambah ketika aku mendengar ceritera Harya Wisaka, bahwa Harya Wisaka telah kau tangkap dan kau tahan karena kau inginkan isterinya" Resi Jalamanik berhenti sebentar. Lalu katanya pula, "Sebenarnya kau sudah terlalu tua untuk menyeret seorang perempuan ke dalam bilikmu. Tetapi itu masih kau lakukan juga. Kau pergunakan kekuasaanmu untuk kepuasan duniawi semata-mata tanpa menghiraukan korban yang kau timbulkan karenanya"
"Jadi menurut Harya Wisaka, aku menahannya karena aku inginkan isterinya?" "Kau akan ingkar?" Kangjeng Sultan itu tertawa. Katanya, "Bagus, Harya Wisaka. Kau ternyata memang licik. Tetapi tidak apa-apa. Aku tahu, kau anggap sah semua cara untuk mencapai tujuan" "Kau tidak usah membela dirimu, Karebet. Jika saja aku tidak mengalaminya, aku tidak akan mempercayainya" "Apa yang kau alami?" "Kau ingat seorang perempuan yang bernama Telasih. Perempuan yang kau pungut dari pinggir jalan ketika perempuan itu pulang dari pasar. Yang terjadi pada waktu itu membuatku hampir gila" "Dongeng apa pula yang kau katakan itu, Resi Jalamanik?" "Peristiwa itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu" "Banyak dongeng yang telah aku dengar. Tetapi dongeng ini agaknya memang sangat menarik" "Aku sudah mencoba untuk melupakannya. Tetapi ketika hal yang sama terjadi lagi atas Harya Wisaka, salah seorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah seketurunan dengan darahku, maka aku tidak dapat memaafkanmu lagi" "Apa hubunganmu dengan Harya Wisaka?" "Jika ia mempunyai hubungan garis keluarga dengan Harya Penangsang dari ayahnya, aku mempunyai hubungan darah seketurunan dengan ibunya" "Bagus, Resi Jalamanik. Sekarang tumpahkan dendammu kepadaku. Aku tidak akan menolak dongeng-dongengmu. Tetapi jika kau sempat hidup nanti, aku jelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Telasih itu dan apa pula yang telah terjadi dengan isteri Harya Wisaka" "Kau tidak perlu berusaha menyelamatkan dirimu" "Karena itu aku tidak mengatakannya sekarang" Dalam pada itu, Ki Wimba Atmakalah yang memotong, "Apakah kita memang menunggu pagi" Menunggu orangorang yang tertidur itu bangun?"
"Mereka tidak akan bangun sampai esok siang" desis Resi Jalamanik. "Tetapi kita jangan membuang-buang waktu" Resi Jalamanikpun kemudian telah bersiap. Sementara Kangjeng Sultan Hadiwijayapun telah mempersiapkan dirinya pula. Ia sadar, bahwa orang yang bernama Resi Jalamanik itu datang dengan dendam di hatinya. Apalagi Harya Wisaka telah berhasil membakar jantungnya dengan dongengnya yang beracun itu. Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan mendengarkan pembicaraan antara Kangjeng Sultan Hadiwijaya dengan Resi Jalamanik itu sambil tersenyum. Ia mengenal Sultan Hadiwijaya dengan baik. Ia tahu benar, bahwa Sultan Hadiwijaya memang tidak tahan melihat senyum di bibir atau kerling di mata seorang perempuan. Tetapi agaknya yang dikatakan oleh Resi Jalamanik itu adalah dongeng yang memang sudah dipersiapkan lebih dahulu. Namun ketika Resi Jalamanikpun telah bersiap, maka tibatiba saja Ki Gede Pemanahanpun berkata, "Kalau tajam ilmu sirepmu tidak berhasil menusuk sampai ke jantung Kangjeng Sultan, maka kau berusaha menidurkannya dengan dongengdongengmu yang menarik itu, Resi" Wajah Resi Jalamanik menjadi merah. Tetapi ia tidak mau melepaskan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, iapun berkata, "Kenapa tidak kau bungkam anak petani dari Sela itu, Ki Wimba Atmaka?" Ki Wimba Atmakapun telah melangkah mendekati Ki Gede Pemanahan. Tanpa berkata apapun juga, maka iapun segera menyerang dengan garangnya. Ki Gede memang agak terkejut. Tetapi ia masih sempat meloncat menjauh. Demikianlah, keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran di ruang yang cukup luas, di istana Pajang, di depan bilik utama Kangjeng Sultan Hadiwijaya. "Tinggal kita berdua, Ki Sanak" berkata Wasi Lengkara.
Ki Waskita sempat memandang Harya Wisaka sejenak. Namun Wasi Lengkara itupun berkata, "Jangan takut bahwa kami akan berkelahi berpasangan. Aku akan menghadapimu seorang lawan seorang" Sikap Ki Waskita yang tenang itu menunjukkan keyakinannya atas dirinya. Karena itu, maka Wasi Lengkara itupun harus berhati-hati menghadapinya. Dalam pada itu, Resi Jalamanikpun telah bergeser pula. Dengan sorot mata yang membara, memancarkan dendam yang mendalam, Resi Jalamanik itupun kemudian telah menyerang Kangjeng Sultan Hadiwijaya pula. Yang masih berdiri bebas adalah justru Harya Wisaka. Ketika ia mendekati Ki Wimba Atmaka, maka Ki Wimba itupun berkata, "Jangan ganggu kami. Aku akan membunuh seorang Senapati Agung Pajang, yang namanya kawentar sampai ke daerah timur. Ki Gede Pemanahan. Dengan demikian aku akan mendapat gelar Pembunuh Senapati Agung" Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi ia justru berkata di dalam hatinya, "Biarlah mereka mencari kepuasan dari masing-masing. Aku akan menunggu. Jika terpaksa aku melepaskan keinginanku untuk membunuh Pemanahan dan Hadiwijaya dengan tanganku sendiri, apaboleh buat. Yang penting keduanya lenyap dari Pajang. Kemudian Benawa dan Sutawijaya. Selanjutnya, tidak ada lagi yang dapat menghalangi aku" Karena itu, maka Harya Wisaka itupun justru menepi, ia berdiri dengan tegang menyaksikan orang-orang berilmu tinggi itu berkelahi. Para prajurit dan pelayan dalam Pajang yang tertidur nyenyak sama sekali tidak terbangun, bahkan seandainya mereka terinjak sekalipun. Demikianlah, maka pertempuran di ruang dalam istana Pajang itu semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu tinggi itu telah meningkatkan kemampuan dan ilmu mereka.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi, telah berada di padukuhan yang akan menjadi landasan serangannya atas pasukan yang mereka sangka dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Sementara itu, orang yang disebutnya Ki Gede Pemanahan itupun masih memegang pimpinan atas pasukan kecilnya, meskipun setiap keputusan yang diambilnya adalah hasil pembicaraan antara Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Dalam kesempatan yang sangat terbatas sajalah Ki Gede Pemanahan itu berhubungan dengan para petugas sandi yang sudah mengetahui, siapakah sebenarnya orang yang disebutnya Ki Gede Pemanahan sebagaimana para prajurit yang berada di dalam pasukan itu. Namun mereka justru mendapat tugas untuk menyebarkan kesan, bahwa pemimpin pasukan kecil itu memang Ki Gede Pemanahan. Sementara itu, para prajurit yang berada di Prambanan pun telah sampai ke tempat yang ditentukan bagi mereka. Ki Lurah Sanggabaya telah memerintahkan para prajuritnya untuk beristirahat, sementara mereka yang bertugas menyiapkan makan dan minumanpun segera melakukan tugas mereka. Prajurit dari Prambanan itu menempatkan diri di banjar sebuah padukuhan yang diyakini oleh para petugas sandinya, tidak akan berkhianat. Sebenarnyalah, bahwa Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu berusaha untuk dapat membantu sejauh dapat mereka lakukan. Namun dalam pada itu, prajurit-prajurit muda yang belum berpengalaman itu menjadi gelisah. Mereka tidak setenang kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu berada di dalam lingkungan keprajuritan. Mereka langsung dapat tertidur nyenyak demikian mereka menjatuhkan diri mereka di atas tikar pandan yang digelar di pendapa dan ruang dalam banjar padukuhan. Sementara itu, Ki Lurah Sanggabaya sendiri telah mencari hubungan dan menghadap Raden Sutawijaya dan pangeran Benawa
. Merekapun kemudian telah menyusun rencana sergapan atas pasukan yang mereka duga dipimpin oleh Harya Wisaka itu sendiri. "Aku mohon Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa mengetahui, bahwa prajurit-prajuritku masih belum berpengalaman" "Bersama-sama dengan prajurit-prajurit dari pasukan ini, serta prajurit-prajuritmu yang sudah berpengalaman, mereka akan menjadi berani dan yakin akan kemampuan diri" "Mudah-mudahan, Raden" jawab Ki Lurah Sanggabaya. "Besarkan hati mereka. Katakan, bahwa mereka akan bertempur bersama-sama pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan sendiri" "Ya, Raden. Kami akan mencobanya" Ketika Ki Lurah Sanggabaya sampai di padukuhan tempat pasukannya singgah, maka ia masih melihat beberapa orang prajurit muda yang sama sekali tidak dapat tidur. Mereka berbaring dengan gelisah. Sekali-sekali miring ke kanan, namun kemudian berguling ke kiri. Ki Lurah Sanggabaya menarik nafas panjang. Namun ia berniat membesarkan hati para prajuritnya sebelum mereka berangkat ke medan. Ki Lurah sendiri masih mempunyai waktu sedikit untuk berbaring. Tetapi begitu matanya terpejam, maka iapun segera terbangun. Beberapa orang prajurit telah terbangun pula serta mempersiapkan diri mereka. Ada yang memerlukan mandi di pakiwan, tetapi ada yang berdesis, "Buat apa mandi. Tubuh kita akan menjadi kotor oleh keringat dan debu. Bahkan mungkin oleh darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh kita" Tetapi kawannya yang baru saja mandi dan membenahi pakaiannya dengan rapi berkata, "Aku tidak mau mati dengan tubuh yang kotor" Tetapi kawannya yang lain berdesis, "Jangan berkata begitu"
Namun prajurit yang baru saja mandi itu tertawa. Prajuritprajurit yang berpengalaman itu ternyata masih sempat berkelakar. Mereka masih dapat tertawa. Ketika nasi masak, mereka pun dapat makan dengan lahapnya. Tetapi prajuritprajurit muda yang baru itu nampak gelisah. Dalam pada itu, di istana Pajang, pertempuran masih berlangsung. Namun Harya Wisaka tidak lagi sekedar menonton. Ki Wimba Atmaka yang berkeras ingin bertempur seorang lawan seorang dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya atau dengan Ki Gede Pemanahan, ternyata telah terdesak. Keadaannya semakin lama menjadi semakin sulit. Ki Gede Pemanahan yang berilmu sangat tinggi itu dengan pasti, telah mendesak Ki Wimba Atmaka ke dalam kesulitan. Ki Wimba Atmaka yang semakin mengalami kesulitan itupun telah mempergunakan senjata. Sebuah luwuk yang berwarna kehitam-hitaman. Namun Ki Gede Pemanahan tidak menjadi silau. Iapun segera menarik pedang pendeknya. Dengan pedang di tangan, Ki Gede menjadi semakin berbahaya, sehingga Ki Wimba Atmaka semakin terdesak karenanya. Namun agaknya luwuk di tangan Ki Wimba Atmaka itu mempunyai arti tersendiri bagi pemiliknya. Nampaknya luwuk itu dapat memperbesar kepercayaan dirinya, sehingga dengan luwuk di tangan, Ki Wimba Atmaka menjadi sangat berbahaya. Putaran luwuk Ki Wimba Atmaka itu bagaikan taburan kabut tipis yang mengelilingi tubuhnya. Gulungan asap yang kehitam-hitaman itu bergerak perlahan-lahan mendekati Ki Gede Pemanahan yang berdiri termangu-mangu. Namun Ki Gede sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi gulungan asap yang kehitam-hitaman itu. Pedang pendeknyapun segera menyambutnya, sehingga terjadi benturan yang keras sekali. Ki Gede Pemanahan memang sempat terkejut. Ternyata ada semacam arus panas yang mengalir, bersumber dari benturan senjata yang terjadi itu lewat pedangnya, menyengat telapak tangannya.
Ki Gede meloncat surut. Dipandanginya Ki Wimba Atmaka yang sengaja tidak memburunya. Namun tiba-tiba saja terdengar ia tertawa sambil berkata, "Jangan heran, bocah dari Sela. Kau harus meyakini, betapa luasnya langit dan bumi. Mungkin selama ini kau mengira bahwa ilmumu adalah ilmu yang tertinggi di dunia di samping ilmu Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Namun sekarang kau menghadapi satu kenyataan, yang mungkin membuatmu kebingungan" "Apa yang membuat aku bingung, Ki Sanak?" Ki Pemanahan justru bertanya. "Jangan ingkar, Ki Gede Pemanahan. Kau akan segera kehilangan kesempatan" Ki Gede tidak menjawab. Namun iapun bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, gulungan asap yang kehitam-hitaman itu telah melingkari tubuh Ki Wimba Atmaka lagi. Perlahanlahan gulungan asap itu telah mendekati Ki Gede Pemanahan yang berdiri tidak terlalu jauh dari sudut ruangan. "Kau akan lari kemana, Pemanahan" terdengar suara Ki Wimba Atmaka. "Terimalah nasibmu yang buruk itu" Ki Gede Pemanahan tidak menjawab. Namun ketika gulungan asap itu seakan-akan menerjangnya, maka sekali lagi Ki Gede Pemanahan telah membenturkan senjatanya. Namun benturan yang terjadi bukan benturan yang keras. Tetapi benturan itu seakan-akan telah meredam tenaga yang dilontarkan oleh putaran luwuk Ki Wimba Atmaka. Luwuk itu justru telah melekat bagaikan jari-jari seekor burung elang yang menyentuh getah yang mencengkeram dengan kuatnya. Ki Wimba Atmakalah yang terkejut. Hampir saja ia kehilangan luwuknya. Namun kemudian dihentakkannya tenaga dalamnya, sehingga luwuknya itupun telah terlepas dari cengkaman kekuatan yang tidak dikenalnya itu. Ki Wimba Atmakalah yang meloncat surut. Namun Ki Gede Pemanahanpun tidak memburunya. Sambil tersenyum iapun berdesis, "Apa ada yang mengejutkanmu, Ki Sanak?"
"Persetan kau, Pemanahan" Ki Gede tidak bertanya lagi. Tetapi Ki Gede Pemanahanlah yang kemudian menyerang Ki Wimba Atmaka. Pertempuranpun menjadi semakin sengit. Tetapi putaran kabut yang kehitam-hitaman itu tidak lagi dapat dibanggakan oleh Ki Wimba Atmaka, karena benturan-benturan yang terjadi tidak lagi banyak berarti baginya. Ki Wimba Atmakalah yang justru telah terdesak. Bahkan pedang Ki Gede Pemanahanpun mulai dapat menyeruak putaran kabut tipis yang melingkari tubuh Ki Wimba Atmaka. Ki Wimba Atmaka yang terdesak itupun semakin meningkatkan ilmunya. Bukan hanya dalam benturan yang keras saja, getar panas seakan-akan menjalar dari benturan yang terjadi lewat pedangnya menyentuh telapak tangan Ki Gede Pemanahan, namun asap yang tipis itupun seakan-akan telah menjadi panas pula. Tetapi panas yang seakan-akan memancar dari putaran luwuk Ki Wimba Atmaka itu tidak banyak mempengaruhi perlawanan Ki Gede Pemanahan. Meskipun keringat bagaikan terperas dari tubuhnya, tetapi Ki Gede mampu mengatasi pengaruh panas itu. Bahkan ujung pedang pendek Ki Gede telah sempat menembus perisai putaran luwuk lawannya dan bahkan menyentuh kulitnya. Ki Wimba Atmaka berteriak nyaring. Kemarahannya menyala ketika ujung pedang Ki Gede sempat menggapai kulitnya. Ki Wimba Atmaka terkejut. Ternyata Ki Gede memang seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga mampu mengatasi ilmunya. Bahkan sempat melukainya. Serangan Ki Wimba Atmakapun menjadi semakin menghentak-hentak. Ujung luwuknya menyambar-nyambar dengan garangnya. Namun ternyata luwuknya itu tidak pernah menyentuh tubuh Ki Gede. Bahkan ujung senjata Ki Gede lagilah yang telah mengoyak kulit Ki Wimba Atmaka.
Dalam pada itu, Harya Wisaka yang berdiri dengan tegang, tidak dapat tinggal diam. Ia melihat beberapa gores luka di tubuh Ki Wimba Atmaka. Sementara itu, Wasi Lengkara masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Waskita. Tetapi juga Wasi Lengkara menjadi heran, bahwa lawannya itu masih mampu bertahan. Bahkan nampaknya Ki Waskita masih saja tersenyum-senyum. Agaknya Ki Waskita masih belum sampai ke puncak ilmunya. Harya Wisaka yang menjadi gelisah itu, tiba-tiba telah berdiri di sisi Ki Wimba Atmaka. Katanya, "Aku tidak berniat mengganggu Paman. Aku hanya ingin tugas kita segera selesai sebelum orang-orang yang tertidur itu terbangun" Ki Wimba Atmaka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa dirinya memang sudah terluka. Darah mengalir dari lukanya semakin lama semakin banyak. Karena itu, maka Ki Wimba Atmaka tidak menolak. Ia tidak dapat bertahan pada sikap sombongnya untuk bertempur seorang melawan seorang. Ia harus melepaskan keinginannya untuk mendapat sebutan pembunuh Senapati Agung Pajang. Demikianlah, maka Ki Wimba Atmaka dan Harya Wisaka telah bertempur berpasangan melawan Ki Gede Pemanahan. Namun Ki Wimba Atmaka telah terluka. Darahnya yang mengalir dari luka-lukanya, telah membuat tenaga dan kemampuan Ki Wimba Atmaka itu menyusut. Tetapi ketika kemudian Harya Wisaka melibatkan dirinya, maka Ki Wimba Atmaka itu sempat bernafas panjang. "Jangan menyesali nasibmu yang buruk, Pemanahan" geram Harya Wisaka. "Kelicikanmu bersama Panjawi yang didasari gagasan Juru Mertani, harus kau tanggung sekarang. Dengan licik dan curang anakmu membunuh Harya Penangsang" "Kau tidak dapat membedakan antara kelicikan dan siasat di dalam peperangan. Sementara Harya Penangsang tidak mampu mengendalikan diri dan kehilangan penalaran yang bening. Itu bukan sifat seorang senapati yang membiarkan perasaannya berbicara tanpa pertimbangan nalar"
"Persetan dengan igauanmu" geram Harya Wisaka. "Apapun yang telah terjadi dengan Harya Penangsang, maka kau akan mati sekarang" Ki Gede Pemanahan tidak menjawab lagi. Ia sadar, bahwa kedua orang yang dihadapinya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Namun seorang di antara mereka telah terluka, sehingga ia tidak lagi mampu bertempur pada puncak ilmunya. Dalam pada itu, Resi Jalamanikpun bertempur semakin sengit melawan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dendam yang menyala di hatinya telah mendorong Resi Jalamanik untuk dengan segera mengakhiri perlawanan Kangjeng Sultan. Namun Resi Jalamanik tidak dapat ingkar dari satu kenyataan, bahwa Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang di masa mudanya pernah disebut Mas Karebet itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka Resi Jalamanik tidak akan dapat memaksakan kemenangan dengan segera. Ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk dapat mengatasi tataran ilmu Kangjeng Sultan. Namun meskipun Kangjeng Sultan itu selalu meningkatkan ilmunya, namun ilmu Kangjeng Sultan itu tidak pernah sampai ke puncak, sehingga masih saja mampu ditingkatkannya. Sedangkan Wasi Lengkara yang semula tidak begitu memperhitungkan kehadiran Ki Waskita, telah dipaksa untuk menjadi sangat gelisah. Orang yang disebut Ki Waskita itu ternyata mampu mengembangkan ilmunya sampai ke tataran yang sangat tinggi. Dalam pada itu, pertempuran itupun berlangsung semakin sengit. Resi Jalamanik, Ki Wimba Atmaka, Wasi Lengkara dan Harya Wisaka ternyata menghadapi kekuatan yang jauh lebih tinggi dari yang mereka duga. Menurut perhitungan mereka, di dalam bilik utama itu hanya terdapat Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Jika ada orang lain, maka orang itu adalah tentu seorang perempuan.
Namun yang ternyata ada di dalam bilik itu adalah Ki Gede Pemanahan, yang dikira sedang berada di luar kota memburu Harya Wisaka. Ternyata bukan Ki Gede Pemanahanlah yang telah terkelabuhi. Tetapi justru Harya Wisaka sendiri. Dalam pada itu, maka malampun menjadi semakin menyusut menjelang pagi. Cahaya fajar telah membayang di langit. Sementara itu, orang-orang yang tertidur masih saja tertidur nyenyak. Meskipun demikian, Resi Jalamanik yang yakin bahwa kekuatan sirepnya akan dapat mengikat orang-orang yang tertidur itu sampai tengah hari, namun jika matahari terbit, maka akan berdatangan para abdi yang bertugas untuk membersihkan lingkungan keraton. Ada di antara mereka yang tinggal di dalam lingkungan keraton itu, sehingga merekapun tidak akan terbangun dari tidur mereka. Tetapi para abdi yang tinggal di luar keraton tentu akan keheranan melihat keadaan keraton. Jika keadaan itu didengar oleh para pemimpin Pajang yang berilmu tinggi, maka keadaan akan menjadi rumit bagi mereka. Karena itu, maka Resi Jalamanikpun tidak ingin memperpanjang pertempuran itu. Ia harus segera mengakhirinya. Demikian pula kawan-kawannya. Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita itu harus segera dihabisi. "Akulah yang harus membunuh Sultan ini lebih dahulu. Jika Karebet ini sudah mati, maka membunuh yang lain tidak ubahnya dengan memijit buah ranti" Dengan demikian, maka Resi Jalamanik itupun segera merambah pada tataran ilmu puncaknya. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi telah mulai bergerak pula. Mereka sudah bersepakat dengan Ki Lurah Sanggabaya, bahwa sebelum fajar mereka sudah harus bergerak. Sesaat menjelang matahari terbit, mereka akan mulai menyerang pasukan yang berada di
padukuhan di hadapan mereka yang dipergunakan sebagai pesanggrahan oleh Harya Wisaka dengan pasukannya yang kuat. Tidak ada masalah di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan. Tetapi agak berbeda dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya. Ki Lurah harus membesarkan hati para prajuritnya yang nampak cemas karena sebagian besar dari mereka belum berpengalaman. "Kalian akan bertempur bersama-sama dengan kawankawan kalian yang telah berpengalaman. Di samping itu kalian akan berada di medan bersama-sama dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan sendiri" Sebagian dari para prajurit yang belum berpengalaman itu memang menjadi berbesar hati. Tetapi masih ada di antara mereka yang cemas, bahwa mereka akan memasuki neraka yang bengis. Demikianlah, kedua pasukan itu merayap mendekati padukuhan yang akan menjadi sasaran serangan mereka. Mereka akan menyerang dari arah yang berbeda. Pasukan Ki Sanggabaya akan menyerang dari sisi selatan dengan pasukannya yang besar. Tetapi yang sebagian besar dari mereka belum berpengalaman. Jika benturan telah terjadi, maka pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede akan memasuki medan dari sisi utara dan menutup semua jalan agar Harya Wisaka tidak sempat melarikan diri. Pada saat langit mulai menjadi merah, maka kedua pasukan itu sudah bersiap di tempat mereka masing-masing sebagaimana ditentukan menurut kesepakatan. Mereka tidak akan saling memberikan isyarat pada saat pasukan-pasukan itu menyerang. Ki Lurah Sanggabaya harus berpegangan pada waktu yang disepakati. Saat matahari terbit, pasukannya akan menyerang padukuhan itu dari arah selatan. Sementara pasukan Ki Gede Pemanahan merayap mendekati padukuhan. Demikian
pertempuran menjadi riuh, maka pasukan kecil itu harus segera memasuki padukuhan. Pada saat yang demikian, di istana Pajang, pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi itupun telah mencapai puncaknya. Rasi Jalamanik yang ingin segera mengakhiri pertempuran, telah mengetrapkan ilmunya Gelap Ngampar. Ketika Resi Jalamanik itu berteriak nyaring, maka istana itupun telah berguncang. Benda-bendapun telah bergeser dari tempatnya. Bahkan ada guci tua yang terguling, mangkuk yang jatuh di lantai dan pecah berserakkan. Tetapi ilmu itu tidak dapat menahan ilmu Kangjeng Sultan. Bahkan Kangjeng Sultan masih juga sempat berdesis, "Ilmumu luar biasa, Ki Sanak. Bukan saja mengguncang jantung lawan, tetapi mampu menyentuh ujud kewadagan" Resi Jalamanik tidak menjawab. Ia sadar, bahwa ilmu Gelap Ngampar itu tidak berarti banyak. Bahkan Ki Gede Pemanahan dan Resi Waskita itupun tidak tergoyahkan. Karena itu, maka Resi Jalamanik itupun telah meniupkan Aji Alas Kobar. Kangjeng Sultan Hadiwijaya terkejut. Jika Aji Alas Kobar itu mempunyai sentuhan wadag, maka ruangan itu akan dapat terbakar. Bahkan istana itu seluruhnya akan dapat terbakar. Karena itu, ketika Kangjeng Sultan melihat tanda-tanda ilmu Alas Kobar akan ditrapkan, maka Kangjeng Sultanpun segera memusatkan nalar budinya. Disiapkannya Aji Ricih. Demikian Rasi Jalamanik menyemburkan api dari telapak tangannya, maka ruangan itu tiba-tiba terasa menjadi basah dan dingin. Tidak ada air setetes pun di ruangan itu. Namun semburan api itu seakan-akan telah disiram oleh guyuran air dari seribu air terjun di tebing gunung yang basah. Sesaat kemudian, apipun menjadi padam. Resi Jalamanikpun menggeram. Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Karena itu, dengan serta-merta Resi Jalamanik telah menyerang Kangjeng Sultan dengan lambaran Aji Rog-rog Asem.
Tetapi Kangjeng Sultanpun tidak tergetar karenanya. Bahkan ia masih sempat berdesis, "Rog-rog Asemmu masih belum masak benar, Ki Sanak" "Kau mengenal ilmu ini?" Kangjeng Sultan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Kangjeng Sultan itu menghadapi Resi Jalamanik yang mengetrapkan Aji Rog-rog Asem itu dengan kekuatan aji yang sama. Resi Jalamanik terkejut. Hentakan-hentakan ilmu Kangjeng Sultan itu ternyata telah menggetarkan pertahanannya. Aji Rogrog Asem Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu ternyata lebih matang dari aji yang sama yang dikuasai Resi Jalamanik. Resi Jalamanik memang menjadi gelisah. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menyelesaikan pertempuran itu, apapun akibatnya bagi dirinya. Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin merah. Bahkan cahaya yang kekuning-kuningan telah naik pula. Sebentar lagi, matahari akan segera terbit. Pada saat yang demikian itulah, Ki Lurah Sanggabaya dengan tegang, berdiri tegak memandang ke arah timur. Para prajuritnya telah bersiap untuk menerima perintahnya. Mereka tahu, sasaran yang akan mereka datangi, padukuhan yang ada di hadapan mereka. Pintu gerbang yang harus dipecahkan. Sebagian dari mereka akan meloncati dinding padukuhan dan langsung terjun ke peperangan. Tetapi Ki Lurah Sanggabaya telah memilih. Prajuritprajuritnya yang sudah berpengalaman dan mempunyai keberanian yang cukup sajalah yang akan meloncati dinding. Yang lain akan mencoba memecahkan pintu gerbang. Namun jika mereka yang meloncat dinding itu berhasil, maka mereka akan membuka pintu itu dari dalam. Dalam pada itu, Ki Lurah Sanggabayapun melihat warna semburat di atas punggung bukit. Kemudian lingkaran merah yang besar mulai terangkat perlahan-lahan naik ke langit. Pada saat yang demikian itulah, Ki Lurah Sanggabaya mengangkat tangannya.
Seorang penghubung segera meneriakkan aba-aba, agar pasukan itu dengan cepat berlari menuju ke sasaran. Tetapi kedatangan mereka telah diketahui oleh pasukan Harya Wisaka. Karena itu, maka kedatangan merekapun telah disambut dengan kesiagaan penuh. Beberapa orang telah memanjat dinding dengan busur di tangan. Tetapi itupun telah diperhitungkan oleh Ki Lurah Sanggabaya. Karena itu, yang kemudian berlari-lari di paling depan adalah para prajurit yang membawa perisai di tangan kirinya. Di belakang mereka adalah para prajurit yang juga bersenjata busur dan anak panah. Dengan busur dan anak panah, maka mereka akan melindungi para prajurit yang berusaha memecahkan pintu gerbang. Namun dalam pada itu, para prajurit yang sudah memiliki pengalaman yang luas, berusaha untuk menjauhi pintu gerbang. Mereka memperhitungkan bahwa para pemanah itu sebagian akan berkumpul di pintu gerbang. Sementara itu semakin jauh dari pintu gerbang, maka pertahanan akan menjadi semakin tipis. Beberapa orang prajurit yang berpengalaman, mampu menepis anak panah dengan senjata mereka. Dengan pedang mereka atau tombak pendek di tangan mereka. Sementara itu, ada juga di antara mereka yang telah mempersiapkan busur dan anak panah untuk membalas serangan-serangan yang dilontarkan dari atas dinding. Demikian para prajurit itu sampai ke dinding padukuhan, maka mereka segera berloncatan. Yang seorang memanjat pundak yang lain. Demikian tangan mereka menggapai bibir dinding padukuhan, maka merekapun segera meloncat naik. Sementara itu beberapa orang pemanah yang berpengalaman melindungi usaha mereka meloncati dinding. Jika mereka melihat kepala lawan yang tersembul di atas dinding, maka ujung anak panahpun akan segera menyambar dahi.
Dengan demikian, maka para prajurit itu berurutan berloncatan naik ke atas dinding dan langsung terjun ke dalam. Meskipun jumlah mereka yang berhasil masuk tidak berlalu banyak, tetapi mereka sudah berhasil mengacaukan pertahanan para pengikut Harya Wisaka. Apalagi ketika para prajurit berusaha memecahkan pintu gerbang dengan hentakan-hentakan bersama-sama. Bahkan kemudian beberapa orang telah mengusung balok kayu yang cukup besar, kemudian mereka mengambil ancang-ancang untuk membenturkan balok kayu itu ke pintu gerbang padukuhan, sementara yang lain melindungi dengan lontaranlontaran anak panah yang mengarah. Dengan demikian, maka pertempuranpun segera menjadi seru. Para prajurit yang belum berpengalaman telah dibawa oleh kawan-kawan mereka yang telah beberapa kali turun ke medan perang yang besar, bersiap memasuki padukuhan demikian pintu terbuka. "Jika pintu itu tidak segera terbuka, nasib kawan-kawan kita yang sudah ada di dalam akan menjadi sangat buruk" berkata salah seorang di antara para prajurit yang berpengalaman. Demikianlah, maka hentakan balok kayu yang diusung oleh beberapa orang itu diulang sekali, dua kali dan kemudian tiga kali. Selarak pintu gerbang padukuhan itupun patah, sehingga pintu telah terbuka. Para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya itupun segera menerobos masuk. Para prajurit yang berpengalamanlah yang lebih dahulu berlari memasuki padukuhan. Mereka berusaha untuk dapat menerobos langsung dan masuk ke dalam padukuhan itu sedalamdalamnya. Pertempuranpun telah terjadi di belakang pintu gerbang. Beberapa orang prajurit terhadang oleh para pengikut Harya Wisaka. Namun yang lain sempat menyusup menembus pertahanan itu.
Para prajurit Pajang itupun dengan cepat menebar. Pertempuran segera meluas di jalan-jalan padukuhan. Sebagian dari para prajurit yang belum berpengalaman telah mengikuti saja kawan-kawan mereka. Sementara yang lain bertempur dengan sengitnya di sekitar pintu gerbang. Dalam pada itu, mataharipun telah terbit. Di istana pajang, Ki Gede Pemanahan mendesak kedua lawannya. Harya Wisakapun telah terluka parah. Bahkan lebih parah dari Ki Wimba Atmaka. Dalam keadaan yang hampir tidak berdaya, maka Resi Jalamanik yang juga sudah mengalami kesulitan sempat berteriak, "Harya Wisaka. Tinggalkan tempat ini" Kata-kata itu diulang oleh Ki Wimba Atmaka, "Cepat, pergilah. Selagi kami masih dapat bertahan" Harya Wisaka memang menjadi ragu-ragu. Tetapi sekali lagi terdengar suara Resi Jalamanik dan Ki Wimba Atmaka hampir bersamaan, "Pergilah" Harya Wisaka memang tidak mempunyai pilihan lain. Tubuhnya penuh dengan darah. Sebenarnya Harya Wisaka merasa berat meninggalkan ketiga orang yang sedang bertempur itu. Ia yakin, bahwa ketiganya tidak akan memenangkan pertempuran. Namun Harya Wisaka juga tidak ingin tertangkap lagi. Demikianlah, maka Harya Wisaka itupun segera menyelinap. Keluar dari ruangan itu. Ki Gede Pemanahan memang berusaha mencegahnya. Tetapi Ki Wimba Atmaka tiba-tiba seperti menjadi gila. Dihentakkannya segenap ilmunya, ditumpahkannya dalam serangan yang membadai. Ki Gede Pemanahan memang tertahan. Ia harus melayani Ki Wimba Atmaka yang seakan-akan sudah kehilangan akal itu. Sementara itu, Sultan Hadiwijaya yang melihat Harya Wisaka berusaha melarikan diri, telah menyerang Resi Jalamanik dengan puncak ilmunya. Bukan hanya Aji Rog-rog
Asem, tetapi Kangjeng Sultan Hadiwijaya telah melepaskan Aji Bajra Geni. Resi Jalamanik ternyata tidak mampu melawan ilmu yang dahsyat itu. Meskipun Resi Jalamanik sempat bertahan beberapa lama dengan Aji Rog-rog Asem yang didukung oleh beberapa jenis ilmu yang lain, namun akhirnya Aji Bajra Geni itu telah menghanguskan isi dadanya. Kemarahan Kangjeng Sultan tidak tertahankan lagi ketika ia tidak melihat Harya Wisaka berada di ruang itu lagi. Karena itulah, maka Aji Bajra Geni yang jarang sekali dipergunakan, telah dipergunakannya untuk mengakhiri perlawanan Jalamanik. Hampir bersamaan saatnya, ketika Ki Gede Pemanahan menghentikan perlawanan Wimba Atmaka dan Ki Waskita menyelesaikan orang yang nampaknya memiliki Aji Welut Putih itu. Namun akhirnya Wasi Lengkara itupun kehilangan kesempatannya untuk mempertahankan hidupnya. Ki Waskitapun berusaha mengakhiri perlawanannya dengan cepat agar ia dapat segera memburu Harya Wisaka. Ketiga orang itupun kemudian berpencar. Kangjeng Sultan Hadiwijaya, Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita. Mula-mula mereka masih dapat melacak titik-titik darah Harya Wisaka yang keluar dari bilik itu langsung pergi ke longkangan. Tetapi demikian Harya Wisaka itu keluar lewat pintu seketeng, jejak titik-titik darah itupun telah hilang. Ketiga orang yang memburunya itupun kemudian mencarinya di arah yang berbeda-beda. Namun akhirnya Ki Gede Pemanahan sampai ke gardu para penghubung yang bertugas. Beberapa orang prajurit masih tertidur dengan nyenyak. Seekor kuda terikat di tiang. Tetapi kuda itu tidak tidur. Jejak kaki kuda yang baru telah mengisyaratkan, bahwa Harya Wisaka telah berhasil mencapai tempat itu dan kemudian melarikan diri dengan seekor kuda.
Ketika hal itu dilaporkannya kepada Kangjeng Sultan, maka Kangjeng Sultanpun menghentakkan tangannya. Katanya, "Kita kehilangan lagi" "Aku akan memerintahkan para prajurit untuk mencarinya di seluruh kota. Mereka akan mendatangi semua pintu rumah untuk menemukan Harya Wisaka" "Kita terburu nafsu. Jika saja kita dapat menangkap ketiga orang itu atau salah satu saja di antara mereka hidup-hidup" berkata Ki Waskita. "Ya. Kita tidak dapat mengendalikan gejolak perasaan kita. Nah, Apa bedanya kita dengan kakang Harya Penangsang?" Ki Gede Pemanahan tidak menanggapinya. Tetapi iapun berkata, "Hamba akan menemui Ki Tumenggung Reksapati" Kangjeng Sultan itupun mengangguk sambil berdesis, "Pergilah, Kakang" Ki Gedepun kemudian telah mempergunakan kuda penghubung yang selalu siap untuk dipergunakan setiap saat itu. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda melintasi pintu gerbang istana, turun ke jalan yang masih agak sepi, meskipun beberapa orang sudah nampak berjalan sambil menggendong bakul pergi ke pasar. Ada di antara mereka yang membawa hasil kebun mereka untuk dijual. Tetapi ada juga yang membawa hasil kerajinan tangan mereka berupa barang-barang dari anyaman bambu untuk keperluan dapur. Irig, tampah, tambir, kalo dan sebagainya. Orang-orang itu terkejut ketika mereka melihat seorang penunggang kuda melarikan kudanya kencang sekali. Meskipun demikian, Ki Gede Pemanahan masih juga berusaha mengamati jalan yang dilewatinya, jika saja ia berhasil menemukan titik-titik darah. Tetapi sia-sia. Kedatangan Ki Gede Pemanahan memang mengejutkan Ki Tumenggung Reksapati. Namun kemudian perintah Ki Gede itu jelas, hari itu juga para prajurit Pajang harus mendatangi setiap rumah, dari pintu ke pintu, untuk menemukan Harya Wisaka. "Baik, Ki Gede. Aku akan segera memberikan perintah itu"
Sebenarnyalah, pagi itu, kotaraja menjadi gempar. Dalam waktu singkat, para prajurit telah memenuhi jalan-jalan. Bukan hanya jalan-jalan besar, tetapi juga lorong-lorong di padukuhan-padukuhan. Para prajurit itu mendatangi setiap rumah, masuk ke dalamnya mencari seseorang yang bernama Harya Wisaka yang terluka. Tetapi usaha untuk menemukan Harya Wisaka itu tidak mudah. Ki Tumenggung Reksapati hanya dapat menemukan seekor kuda. Di punggung kuda itu memang nampak tetesan darah yang sudah mengering. Kuda itu adalah kuda yang selalu siap dipergunakan oleh para penghubung di istana jika ada persoalan-persoalan yang penting dan mendadak. Dalam pada itu, di istana, Ki Waskita dan Kangjeng Sultan sendiri telah membangunkan dua orang pelayan dalam yang masih tidur di ruang dalam, tempat Kangjeng Sultan, Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita bertempur. Nampaknya pengaruh sirep yang tajam itu masih terasa, sehingga kedua orang itu memang agak sulit dibangunkan. Meskipun keduanya diguncang-guncang, namun keduanya hanya membuka mata mereka saja untuk sesaat. Mata itupun kemudian telah mengatup kembali. Kangjeng Sultan itu menarik nafas panjang. Tetapi Kangjeng Sultan tidak marah. Ia sadar, bahwa hal itu terjadi bukan karena kesalahan para pelayan dalam. Mereka memang tidak mampu melawan pengaruh sirep yang demikian tajamnya tanpa mendapat bantuan. "Aku akan membantu anak ini" desis Kangjeng Sultan yang kemudian berjongkok di sebelah salah seorang pelayan dalam itu. Dipeganginya pergelangan tangannya sejenak dan dibangunkannya pelayan dalam itu lewat getar darahnya. Pelayan dalam itupun kemudian menggeliat. Tetapi ketika ia melihat Kangjeng Sultan berjongkok di sampingnya, dengan serta-merta iapun meloncat bangkit. Pelayan dalam itu duduk bersila sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Kangjeng Sultan tidak segera bertanya. Ia memberi kesempatan kepada pelayan dalam itu untuk mengingat-ingat, apakah yang telah terjadi atas dirinya. "Ampun, Kangjeng Sultan. Hamba tertidur. Hamba bersalah. Hamba siap untuk menerima hukuman karena kesalahan hamba itu" "Baik" berkata Kangjeng Sultan yang bangkit berdiri. "Kau aku hukum untuk membangunkan kawan-kawanmu yang tertidur. Semua petugas di istana ini tertidur" Pelayan dalam itu mengangkat wajahnya. Namun iapun kemudian menunduk lagi. Dengan ragu iapun berdesis, "Apa yang terjadi?" "Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, karena kau yang bertugas disini" "Hamba, Tuanku. Hamba bersalah" "Nah, sekarang lakukan, bangunkan mereka. Aku akan memberimu seorang kawan" Dengan cara yang sama Kangjeng Sultanpun telah membangunkan pelayan dalam yang seorang lagi. Seperti kawannya iapun menjadi kebingungan. Namun kemudian mereka menyadari, apakah yang telah terjadi. "Bawalah air. Kawan-kawanmu tentu sulit kau bangunkan. Celupkan tanganmu di dalam air dan tempelkan tanganmu yang basah itu di leher mereka. Mudah-mudahan mereka terbangun" "Hamba, Tuanku" sahut pelayan dalam itu berbareng. Demikianlah, kedua orang pelayanan dalam itupun berusaha untuk membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur nyenyak. Mereka membawa air sebagaimana dipesankan oleh Kangjeng Sultan di dalam sebuah kelenting kecil. Dengan membasahi tangan dan menempelkan tangan yang basah di leher orang-orang yang tertidur nyenyak, maka sebagian dari mereka memang segera terbangun. Namun ada juga yang nampaknya masih tetap bermalas-malas, sehingga yang dibasahi bukan hanya tangan orang yang
membangunkannya, tetapi air itupun telah diteteskan di dahi mereka. Seorang yang kepalanya menjadi basah, terbangun sambil marah. Namun kawannyapun berkata, "Kau akan dihukum karena kau tertidur pada saat kau bertugas" "He, dimana aku sekarang" Apakah aku sedang bertugas?" "Ya. Kau sedang bertugas" Prajurit itu mulai mengingat-ingat. Namun akhirnya iapun menyadari kesalahannya, bahwa ia memang telah tertidur selagi bertugas. "Apakah aku akan dihukum?" "Tentu" jawab kawannya yang membangunkannya. "Kenapa hal ini dapat terjadi" Sepanjang ingatanku, aku belum pernah tertidur selagi aku bertugas" Kawannya yang mengetahui bahwa istana itu semalam telah dicengkam oleh sirep yang tajam, tidak memberitahukannya. Ia sengaja mengganggu kawannya, agar dicengkam oleh kegelisahan. Ketika matahari menjadi semakin terang, maka abdi yang tinggal di luar istana telah berdatangan. Tetapi mereka menemukan para petugas telah berada di tempat tugas mereka masing-masing. Yang berjaga-jaga di pintu gerbang telah berada di pintu gerbang itu pula sambil membawa tombak. Meskipun mata mereka masih terasa berat, namun mereka telah memaksa diri untuk menjalankan tugas mereka dengan baik. Yang berjaga-jaga di pintu gerbang, justru berjalan hilir mudik di depan gerbang untuk melawan perasaan kantuk. Para abdi yang memasuki keraton itu memang sempat menjadi heran menyaksikan para prajurit dan pelayan dalam yang tidak begitu bergairah pada tugas mereka. Tetapi para abdi itu pun tidak bertanya. Ketika para prajurit yang baru menggantikan prajurit yang bertugas malam, maka sisa-sisa sirep itupun hampir tidak nampak lagi.
Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan telah berada di istana. Bersama-sama dengan Kangjeng Sultan dan Ki Waskita mereka menunggu laporan dari Ki Tumenggung Reksapati atas hasil kerja para prajuritnya. Sementara itu, jauh dari kotaraja, pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Para Prajurit yang belum berpengalaman itu harus menghadapi lawan mereka yang tidak mengenali mereka, apakah mereka berpengalaman atau tidak. Dalam keadaan yang demikian, maka para prajurit itu telah dipaksa untuk bertempur, setidak-tidaknya untuk melindungi diri sendiri. Namun dengan demikian, maka mereka benar-benar merasa bahwa mereka adalah prajurit. Beberapa orang masih merasa takut melihat senjata yang terayun-ayun mengerikan. Hati mereka menjadi semakin kecut jika mereka mendengar seseorang berteriak kesakitan atau merintih menahan nyeri yang menyengat. Dalam keadaan yang demikian, mereka mulai bertanya kepada diri sendiri, kenapa mereka memasuki dunia yang keras itu" Tetapi selain mereka yang hatinya menyusut sampai sebesar biji sawi, ada juga prajurit yang belum berpengalaman itu hatinya justru mengembang. Mereka merasa mendapat kepercayaan untuk menegakkan kewibawaan Pajang. Mereka merasa mendapat beban tugas yang berat untuk menghancurkan sekelompok pemberontak. Dalam pada itu, sebagaimana sudah disepakati, setelah pasukan Ki Lurah Sanggabaya itu bertempur, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun mulai menggerakkan kelompok-kelompok mereka masing-masing. Mereka memasuki padukuhan itu dari arah yang lain. Dari arah yang tidak mendapat pengawasan yang ketat. Pertempuran singkat memang terjadi dengan para pengikut Harya Wisaka. Tetapi pasukan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang datang meskipun jumlahnya kecil itu, segera menguasai keadaan. Merekapun segera menerobos
masuk ke dalam padukuhan dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran. Kedatangan pasukan kecil itu memang mengejutkan. Ketiga kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itupun telah memisahkan diri. Mereka memasuki arena di sudut padukuhan yang berbeda. Getar kedatangan pasukan kecil itu segera terasa oleh pasukan yang dipimpin Ki Lurah Sanggabaya. Sambil tersenyum Ki Lurah itupun berkata, "Mereka telah datang" "Ya" sahut seorang prajurit pengawal Ki Lurah. "Kita tingkatkan kekuatan kita agar pertempuran ini segera berakhir" Pengawal Ki Lurah itupun segera memerintahkan kepada para penghubung untuk menyampaikan perintah Ki Lurah itu kepada setiap pemimpin kelompok. Sebenarnyalah bahwa pertempuran itupun menjadi semakin seru. Tetapi dengan kehadiran pasukan yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu, maka pertahanan para pengikut Harya Wisaka itupun terasa mulai mengendor. Sebagian dari mereka harus segera ditarik untuk menghadapi pasukan kecil yang terbelah menjadi tiga itu. Namun mereka itu terdiri dari prajurit-prajurit yang tangguh. Sehingga meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi pengaruhnya ternyata cukup besar bagi para pengikut Harya Wisaka. Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan atas persetujuan Kangjeng Sultan telah mengirimkan tiga orang petugas sandi untuk mencari hubungan dengan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Ki Gede memerintahkan agar pasukan itu ditarik kembali. Mereka tidak perlu memburu Harya Wisaka, karena seperti yang diduga oleh Ki Gede Pemanahan, Harya Wisaka masih berada di dalam kota.
Namun pada saat itu, pertempuran yang sengit telah terjadi. Pertempuran yang melibatkan pasukan Ki Lurah Sanggabaya dari Prambanan. Para pengikut Harya Wisaka yang semula berpengharapan untuk menghancurkan prajurit yang datang dari Prambanan itu telah mulai menjadi cemas. Kedatangan pasukan kecil itu benar-benar telah menggetarkan jantung mereka. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keringat dan darah telah menitik jatuh di atas bumi yang kering. Beberapa orang dari kedua belah pihak, setiap kali meneriakkan kemenangan-kemenangan kecil yang terjadi. Namun teriakan-teriakan itu kemudian telah tenggelam di sela-sela dentang senjata beradu. Pertempuran itupun kemudian telah menjalar hampir ke seluruh padukuhan. Rumah-rumah di padukuhan itu tidak ada yang membuka pintu. Yang sudah terlanjur terbuka dan pemiliknya mulai menyapu halaman di pagi hari, telah menutup pintunya kembali. Perang yang terjadi itu sangat menakutkan mereka. Penghuni padukuhan itu sadar, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa kecuali bersembunyi. Mereka tidak dapat berpihak kepada siapa kecuali bersembunyi. Jika mereka mulai berpihak, maka nasib mereka kemudian akan menjadi sangat buruk. Karena itu, para penghuni padukuhan itu merasa lebih baik tinggal di dalam rumah mereka masingmasing, menutup pintu dan menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Sementara itu para pengikut Harya Wisaka yang tinggal di banjar padukuhan dan di rumah Ki Bekel, telah turun semuanya ke medan. Bahkan mereka yang sehari-hari bertugas di dapur atau tugas-tugas lain, harus ikut serta masuk ke dalam kancah pertempuran. Para prajurit yang belum berpengalaman dan hatinya tidak sebesar kawan-kawannya, masih saja bertempur dengan hati yang selalu cemas. Namun ketika satu dua prajurit yang
dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu sempat menyusup dan bertempur bersama mereka, maka terasa hati mereka menjadi tenang. Apalagi ketika para prajurit yang belum berpengalaman itu melihat bagaimana mereka bertempur, maka mereka seakanakan telah mendapat dorongan untuk berbuat sebagaimana mereka lakukan. Sebenarnyalah kehadiran pasukan khusus itu sangat berpengaruh atas kawan dan lawan. Para pengikut Harya Wisakapun menjadi cemas melihat kehadiran pasukan kecil itu. Raden Sutawijaya yang membawa pasukannya langsung ke induk pasukan lawan, telah berhasil menguasai jalan induk padukuhan itu. Sementara itu. Pangeran Benawa telah membawa pasukannya ke banjar padukuhan. Sedangkan Paksi mencoba menerobos memasuki rumah Ki Bekel yang juga dipergunakan oleh pasukan Harya Wisaka itu. Ternyata bahwa para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu mempertahankan tempat-tempat yang mereka pergunakan selama mereka berada di padukuhan itu. Pasukan Pangeran Benawa telah berhasil memasuki banjar padukuhan dan menguasai semua barang-barang milik para pengikut Harya Wisaka yang ada di banjar. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Paksipun telah menguasai pula rumah Ki Bekel. Ternyata Ki Bekel dan keluarganya sudah tidak ada di rumah itu. Paksi yang memasuki rumah itu sampai ke dapur, menemukan seorang perempuan yang duduk ketakutan. "Kau siapa, Bibi?" bertanya Paksi. "Aku semula adalah pembantu Ki Bekel" jawab perempuan tua itu. "Dimana sekarang Ki Bekel?" "Ki Bekel telah diusir dari rumah ini oleh para pemimpin pasukan yang menduduki padukuhan ini. Ki Bekel sekarang tinggal di rumah adiknya, di ujung padukuhan"
Paksi mengangguk-angguk. Dari perempuan tua itu Paksi dapat mengetahui dimana Ki Bekel itu tinggal. Karena itu, maka Paksipun segera berusaha untuk menemuinya. Ditinggalkannya beberapa orang prajuritnya di rumah Ki Bekel, sementara itu ia membawa prajuritnya yang lain ke rumah adik Ki Bekel itu. "Jika para pengikut Harya Wisaka itu datang untuk menguasai kembali rumah ini, pertahankan. Tetapi jika kekuatan mereka jauh melampaui kekuatan kalian, lepaskan. Beritahu aku dan kita bersama-sama akan mengambil kembali rumah ini" pesan Paksi kepada prajurit-prajuritnya. Demikianlah, maka Paksipun telah membawa prajurit prajuritnya ke rumah di ujung padukuhan. Namun di sepanjang jalan yang ditempuhnya, pasukannya masih saja telah berbenturan dengan kekuatan Harya Wisaka yang masih berkeliaran di padukuhan itu. Tetapi Paksi berhasil menerobos menuju ke rumah di ujung padukuhan. Ketika Paksi dan dua orang prajuritnya memasuki regol halaman, maka prajurit-prajuritnyapun telah menebar. Setiap kali pertempuran masih saja terjadi. Apalagi ketika pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya mulai mendesak lawannya yang banyak kehilangan setelah pasukan Raden Sutawijaya menguasai jalan induk padukuhan itu. Pintu rumah di ujung padukuhan itupun tertutup rapat seperti rumah-rumah yang lain. Perlahan-lahan Paksi mengetuk pintunya. Tetapi pintu tidak segera dibuka. "Tolong, bukakan pintunya" berkata Paksi. Tetapi tidak seorang pun yang membukakan. Bahkan tidak seorang pun yang menjawab. "Atas nama kekuasaan Pajang, bukalah pintunya" Nampaknya sebutan itu menyentuh hati orang-orang yang ada di dalam. Ternyata kemudian terdengar seseorang bertanya, "Siapakah kau, Ki Sanak?" "Kami prajurit Pajang yang datang untuk membebaskan padukuhan ini" "Prajurit Pajang?"
"Ya" "Benarkah?" "Ya. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang" Terdengar langkah mendekati pintu. Kemudian terdengar seseorang mengangkat selarak pintu itu. Demikian pintu itu terbuka, maka Paksipun telah berdiri di depan pintu. "Apakah aku berhadapan dengan Ki Bekel?" "Tidak, Ki Sanak. Aku adiknya. Siapakah Ki Sanak ini?" "Aku prajurit dari Pajang. Pasukan Pajang yang ada di Prambanan serta tiga kelompok kecil pasukan khusus telah memasuki padukuhan ini" "Jadi Ki Sanak prajurit Pajang?" Paksipun menyahut, "Kalian kenal pakaian kami" Jika kalian ragu, kalian kenal pertanda ini?" Paksipun kemudian telah menunjukkan timang pada ikat pinggangnya. Timang yang dibuat khusus dengan bentuk yang khusus pula, yang dikenakan oleh para prajurit Pajang. "Ki Sanak masih ragu-ragu" Memang mungkin timang seperti ini dipalsukan. Tetapi kau harus yakin, bahwa kami adalah prajurit Pajang. Aku ingin berbicara dengan Ki Bekel" Seorang laki-laki separo baya melangkah mendekati mereka sambil berkata, "Marilah. Silahkan masuk, anak muda. Akulah bekel di padukuhan ini" Paksi dan kedua orang pengawalnyapun masuk ke ruang dalam. Merekapun dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar. "Kami harus meninggalkan rumah kami" berkata Ki Bekel. "Anak isteriku sekarang berada disini" "Aku sudah menguasai rumah Ki Bekel. Seorang perempuan tua memberitahukan kepadaku, bahwa Ki Bekel ada disini" "O" "Aku hanya ingin tahu, apakah selama pasukan itu ada disini, Harya Wisaka juga berada disini?"
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam iapun menjawab, "Aku tidak mungkin dapat mengetahuinya, Ki Sanak. Aku sudah diusir dari rumahku" "Menurut pendengaran Ki Bekel?" "Hanya menurut pendengaran, Harya wisaka memang berada disini. Tetapi aku belum pernah melihat, yang manakah yang bernama Harya Wisaka itu" Paksi mengangguk-angguk. Ia tidak dapat memaksa orang itu untuk mengetahui dengan pasti. Agaknya Ki Bekel itu sudah berbicara dengan jujur. "Baiklah, Ki Bekel. Jika demikian, biarlah aku mencari di antara para pengikutnya. Kami, para prajurit Pajang akan berusaha mengenalinya. Mungkin ia justru berada di antara para pengikutnya. Bahkan mungkin di antara para petugas dapur atau orang-orang yang tidak mendapat banyak perhatian" "Maaf, Ki Sanak. Aku tidak dapat banyak membantu" "Ki Bekel" berkata Paksi kemudian, "rumahmu sudah aku bebaskan. Jika kau ingin pulang, pulanglah. Tetapi jika kau merasa bahwa kemungkinan buruk dapat terjadi atasmu, silahkan untuk tinggal lebih lama disini" "Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi aku belum berani pulang sebelum keadaan menjadi jelas" Paksipun kemudian minta diri. Iapun meninggalkan empat orang prajuritnya di halaman rumah itu. Iapun berpesan sebagaimana pesannya kepada prajurit-prajuritnya yang ditinggal di rumah Ki Bekel, "Jangan mati untuk mempertahankan rumah ini. Jika kalian tidak kuat menahan arus, lepaskan. Kita akan melakukan bersama-sama" Paksipun kemudian telah membawa prajuritnya yang lain untuk turun ke jalan, menutup regol samping padukuhan. Beberapa orang pengikut Harya Wisaka sampai pula ke tempat itu, sehingga telah terjadi pertempuran di beberapa tempat. Bahkan beberapa orang benar-benar telah datang ke rumah Ki Bekel yang kosong. Tetapi para prajurit yang
ditinggalkan oleh Paksi berusaha mencegah mereka. Pertempuran yang pendek telah terjadi. Beberapa orang pengikut Harya Wisaka itupun kemudian telah meninggalkan rumah itu. Dalam pada itu, Paksipun telah meninggalkan pula beberapa orang di regol samping. Paksi sendiri kemudian telah bergerak memasuki arena pertempuran yang seru yang masih saja terjadi di beberapa tempat di padukuhan itu. Dalam pada itu, sebagian besar prajurit dari kelompok yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya telah berbaur dengan para prajurit dari Prambanan. Mereka ternyata menjadi panutan dari para prajurit yang masih belum berpengalaman. Rasarasanya mereka pun akan mampu memiliki kelebihan sebagaimana para prajurit dari pasukan khusus itu. Dalam pada itu, semakin lama para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya itupun semakin menguasai keadaan. Mereka menebar semakin luas. Sebagian telah bergabung dengan para prajurit di bawah pimpinan Pangeran Benawa. Sedang yang lain mengalir sampai di rumah Ki Bekel yang telah dikuasai oleh Paksi. Menjelang sore hari, maka kekuatan para pengikut Harya Wisaka telah menyusut jauh sekali. Dimana-mana telah dikuasai oleh para prajurit dari Prambanan dan para prajurit dari pasukan khusus. Mereka berada di simpang-simpang empat dan simpang-simpang tiga. Mereka berada di banjar padukuhan, di rumah Ki Bekel dan di tempat Ki Bekel tinggal. Bahkan beberapa rumah bebahu telah dijaga pula oleh para prajurit. Para pengikut Harya Wisaka benar-benar telah kehilangan kesempatan. Mereka tidak mempunyai lagi ruang gerak. Bahkan jalan-jalanpun seakan-akan telah tertutup. Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun telah meneriakkan peringatan kepada para pengikut Harya Wisaka itu dari regol rumah seorang saudagar yang kaya. Raden Sutawijaya tahu, bahwa di halaman di depan rumah itu
terdapat beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang masih berkumpul. "Menyerahlah sebelum kami kehabisan kesabaran. Kami akan menerima penyerahan di halaman banjar. Letakkan senjata dan berbaris teratur. Kami menunggu sampai matahari rendah menjelang senja. Jika kalian tidak menyerah, maka kami akan membersihkan padukuhan ini. Kami akan menghancurkan kalian. Tidak akan ada jalan keluar" Suara Raden Sutawijaya memang dapat didengar oleh beberapa orang di antara para pengikut Harya Wisaka. Namun sama sekali tidak terdengar tanggapan. "Kami menunggu sampai menjelang senja. Setelah itu, tidak seorangpun akan mendapat kesempatan lagi" Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya memang memusatkan kekuatannya di sekitar banjar. Para pengikut Harya Wisaka itu dapat saja berbuat aneh-aneh. Mereka dapat saja berpura-pura menyerah. Namun tiba-tiba mereka menyerang. Karena itu, maka baik di luar banjar, maupun di halaman banjar, para prajurit Pajang siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara beberapa kelompok prajurit bertugas untuk mengawasi semua regol padukuhan. Bahkan setiap jengkal dinding padukuhan itu. Ketika matahari menjadi semakin rendah, ternyata ada beberapa orang yang datang untuk menyerahkan diri. Agaknya kesempatan yang diucapkan oleh Raden Sutawijaya itu telah tersebar di antara para pengikut Hara Wisaka. Namun ternyata yang datang menyerah tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, maka pasukan para pengikut Harya Wisaka itu tentu sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Selain yang terbunuh, terluka parah dan menyerah, maka sisanya sudah tidak begitu banyak lagi. Para pengikut Harya Wisaka yang menyerah itupun telah ditempatkan di ruang dalam pendapa banjar setelah ruangan itu dibersihkan. Barang-barang para pengikut Harya Wisaka telah ditimbun di ruang belakang banjar itu.
Beberapa orang pemimpin mereka telah dipisahkan, dan ditempatkan di gandok sebelah kiri. Sampai batas waktu yang ditentukan, ternyata tidak terlalu banyak para pengikut Harya Wisaka yang menyerahkan diri. Ternyata mereka memang sudah tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Pangeran Benawa berbicara dengan salah seorang dari mereka yang menyerah, maka orang yang menyerah itu berkata, "Kami sudah merasa sangat letih. Kami merayap dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa melihat harapan masa depan yang lebih baik" "Dimana kawan-kawanmu yang lain, yang tidak menyerah?" "Mereka terbunuh, terluka dan yang lain lagi menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa jika mereka menyerah, maka mereka akan hidup di dalam neraka tanpa berkesudahan" -ooo00dw00ooo Jilid 25 NAMUN Raden Sutawijayapun menyahut, "Kau aku beri kesempatan untuk menemui kawan-kawanmu yang masih bersembunyi. Katakan kepada mereka, bahwa mereka akan diperlakukan wajar oleh para prajurit Pajang. Tetapi jika mereka tidak segera datang, sementara kami menjadi sangat buruk, maka tidak akan ada kesempatan untuk melarikan diri. Meskipun malam turun, semua jalan akan tertutup. Bahkan dinding yang melingkari padukuhan ini pun akan diawasi dari sejengkal ke sejengkal" Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Sutawijayapun mengulanginya, "Pergi kepada kawankawanmu. Katakan kepada mereka, bahwa ini adalah kesempatan terakhir sampai saatnya kami bergerak. Malam nanti, padukuhan ini harus sudah bersih"
Orang itu mengangguk kecil. Meskipun dengan agak ragu, iapun kemudian meninggalkan banjar untuk mencari kawankawannya. Ternyata orang itu berhasil membujuk sekelompok pengikut Harya Wisaka untuk datang menyerah di banjar. Ketika kemudian malam turun, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi bersama Ki Lurah Sanggabaya telah menggerakkan lagi pasukannya untuk membersihkan padukuhan itu. Dengan obor di tangan, mereka menyisiri setiap jengkal tanah. Selain mereka membersihkan padukuhan itu dari sisa-sisa para pengikut Harya Wisaka yang masih bersembunyi, maka mereka pun mencari kawan-kawan mereka yang terluka parah dan terbunuh untuk dibawa ke rumah Ki Bekel. Para prajurit itupun telah menyertakan pula para pengikut Harya Wisaka yang menyerah untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka dan membawanya ke banjar. Ternyata para prajurit Pajang itu masih menemukan beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang berusaha bersembunyi. Bahkan ada di antara mereka yang bersembunyi di atas dahan-dahan kayu. Seorang di antara mereka mencoba untuk melayang dengan pelepah kelapa sebagaimana pernah didengarnya dongeng naik pelepah kelapa. Tetapi orang itu telah terjatuh menghunjam di tanah dan mati seketika. Malam itu Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan Ki Lurah Sanggabaya telah membersihkan padukuhan itu dan menawan sisa-sisa para pengikut Harya Wisaka. Memang ada di antara mereka yang berhasil menyusup keluar dan melarikan diri. Namun jumlahnya hanya kecil sekali dibandingkan dengan jumlah mereka seluruhnya. Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya tidak menjadi lengah. Meskipun para prajurit Pajang masih sibuk di dalam padukuhan itu, tetapi Raden Sutawijaya telah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk mengawasi keadaan di luar padukuhan. Raden Sutawijaya dan para pemimpin prajurit Pajang itu sudah mendapat laporan, bahwa telah berkeliaran segerombolan orang yang tidak dikenal. Mungkin mereka
adalah orang-orang yang masih bermimpi untuk mendapatkan cincin kerajaan yang mereka ketahui dibawa oleh Pangeran Benawa. "Kita tidak boleh lengah, sehingga segerombolan orang itu memanfaatkan kesibukan kita sekarang ini atau mengira bahwa pasukan kita sudah tidak berdaya setelah terjadi pertempuran yang keras melawan para pengikut Harya Wisaka" Dengan demikian, maka beberapa orang prajurit telah bertugas beberapa puluh patok di luar padukuhan itu. Baru setelah tengah malam, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan Ki Lurah Sanggabaya sempat beristirahat meskipun mereka masih harus tetap berhati-hati. Dalam pada itu, menjelang dini hari, para prajurit yang bertugas mengawasi jalan yang langsung menuju ke gerbang padukuhan telah menghentikan tiga orang berkuda yang berpacu menuju ke padukuhan itu. "Siapakah kalian?" bertanya pemimpin kelompok prajurit yang bertugas itu. Ketiga orang itupun telah menunjukkan timang keprajuritan mereka, sehingga para petugas itupun segera mengenali mereka sebagai petugas sandi prajurit Pajang. "Kalian para prajurit yang berada di Prambanan?" bertanya prajurit yang bertugas. "Tidak. Kami diperintahkan langsung oleh Ki Gede Pemanahan untuk menemui Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya" "Baiklah. Silahkan. Temui prajurit yang bertugas di regol padukuhan" Ketiga orang itu adalah petugas sandi yang ditugaskan oleh Ki Gede Pemanahan untuk menemui Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya untuk menyampaikan perintah Ki Gede, bahwa pasukan mereka harus ditarik kembali ke kotaraja. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksipun menerima mereka di rumah Ki Bekel.
"Darimana kalian mendengar bahwa kami ada disini?" bertanya Raden Sutawijaya. "Kami telah pergi ke Prambanan" jawab salah seorang dari para petugas sandi itu. "Prambanan?" "Kami sudah menduga, bahwa Raden telah membuat hubungan dengan pasukan Pajang yang berada di Prambanan ketika kami mendapat keterangan bahwa pasukan Raden menuju ke selatan. Beberapa tempat yang kami singgahi memang menuntun kami untuk pergi ke Prambanan. Dari para prajurit yang bertugas di barak, kami mendapat keterangan tentang pasukan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, karena pasukan Pajang di Prambanan yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Sanggabaya telah terlibat" "Perintah apa yang kalian bawa?" bertanya Raden Sutawijaya kemudian. Seorang di antara ketiga orang prajurit itu menjawab, "Ki Gede memerintahkan pasukan Raden kembali ke kotaraja" "He" Bagaimana dengan tugas kami untuk memburu Paman Harya Wisaka?" sahut Pangeran Benawa. "Kami yang menyerang para pengikutnya disini ternyata tidak menemukannya. Kami masih harus bergerak lagi untuk mencarinya. Pada saatnya kami akan kembali sambil membawa Paman Harya Wisaka. Pasukannya yang kuat telah kami hancurkan disini bersama-sama dengan pasukan Pajang yang berada di Prambanan" "Pangeran tidak perlu memburu Harya Wisaka sampai ke tempat yang lebih jauh lagi" "Maksudmu?" "Harya Wisaka ada di kotaraja" "Jadi Paman Harya Wisaka sudah tertangkap?" "Belum, Pangeran" "Jadi Bagaimana?" bertanya Raden Sutawijaya. "Harya Wisaka sama sekali tidak lari keluar kota" "Jadi ayah benar" desis Raden Sutawijaya.
"Ya. Ki Gede Pemanahan benar" "Apa yang telah terjadi di kotaraja?" bertanya Pangeran Benawa. Prajurit itupun kemudian menceriterakan apa yang pernah terjadi di kotaraja. Apa pula yang telah dilakukan oleh Harya Wisaka dan beberapa orang kepercayaannya. Bagaimana mereka menebarkan sirep yang amat tajam. Kemudian menyerang langsung ke dalam bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya. "Harya Wisaka itu sangat terkejut ketika ia melihat Ki Gede berada di dalam bilik itu pula" "Jadi, Paman Harya Wisaka itu sudah tertangkap?" bertanya Raden Sutawijaya. "Belum, Raden" "Belum" Jadi?" Prajurit itupun kemudian melanjutkan ceritanya tentang Harya Wisaka yang berhasil meloloskan dirinya meskipun ia sudah terluka. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa menggeram, "Licik juga Harya Wisaka. Ia berhasil lolos dari tangan tiga orang berilmu sangat tinggi. Ayahanda Sultan, Paman Pemanahan dan Ki Waskita" "Ya. Tetapi ketiga orang itupun tertahan oleh tiga orang berilmu tinggi pula. Meskipun akhirnya ketiganya dapat dibinasakan, tetapi mereka sudah memberikan waktu kepada Harya Wisaka untuk melepaskan diri" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ketiga orang itu ternyata sangat setia kepada Harya Wisaka, sehingga mereka bersedia mengorbankan jiwa mereka" "Harya Wisaka memang memiliki pengaruh yang ajaib" berkata Raden Sutawijaya. "Para pengikutnya yang bergerak di luar kotapun sebagian merelakan hidup mereka bagi apa yang mereka sebut perjuangan untuk meluruskan mengalirnya kekuasaan dari tahta Majapahit"
Pangeran Benawa tertawa pendek. Katanya, "Apa yang dikatakan perjuangan oleh Paman Harya Wisaka itu ternyata telah menelan banyak sekali korban" "Paman Harya Wisaka tidak pernah menghiraukannya" sahut Raden Sutawijaya. "Paman Harya Wisaka membenarkan segala cara untuk mencapai tujuannya, sehingga jiwa seseorang tidak berarti apa-apa baginya" Pangeran Benawa mengangguk-angguk Namun kemudian iapun bertanya, "Jadi, apa yang akan kita kerjakan?" "Kembali ke Pajang" jawab Raden Sutawijaya. "Besok pagi?" "Tidak. Kita terpaksa kembali besok lusa. Besok kita selesaikan segala masalah disini. Kemudian kita akan kembali menelusuri jalan yang pernah kita tempuh untuk mengambil kawan-kawan kita yang kita titipkan di padukuhan-padukuhan. Perjalanan kita memerlukan waktu yang lama. Sementara itu, kita masih harus berhati-hati terhadap pasukan yang tidak dikenal itu" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita tidak dapat begitu saja meninggalkan padukuhan ini meskipun disini ada pasukan dari Prambanan" Karena itu, maka Raden Sutawijayapun berkata kepada para petugas sandi itu, "Jika kalian telah cukup beristirahat, besok sebaiknya kalian mendahului kami. Kalian dapat melaporkan keberadaan kami disini. Mungkin kami memerlukan dua hari perjalanan pulang, karena kami harus singgah di beberapa padukuhan" "Baiklah Raden. Besok pagi-pagi kami akan kembali ke Pajang" "Kalian tidak perlu berangkat pagi-pagi. Kalian memerlukan waktu istirahat" "Bukankah sekarang kami beristirahat?" "Jangan paksakan diri kecuali keadaan juga memaksa" Ketiga orang itu saling berpandangan. Seorang di antara merekapun kemudian berkata, "Baiklah. Kami akan beristirahat sebentar, Raden"
Seorang prajurit kemudian membawa ketiga orang itu ke serambi samping rumah Ki Bekel. Merekapun kemudian telah dipersilahkan untuk beristirahat di sebuah amben bambu yang cukup besar bagi mereka bertiga. Ternyata ketiganya sempat juga tidur beberapa lama di dini hari. Namun justru karena itu, maka mereka terbangun pada saat bayangan cahaya fajar yang kekuning-kuningan telah nampak di lubang-lubang dinding. Dengan tergesa-gesa mereka bangun. Kemudian membersihkan dan berbenah diri sebelum mereka bersiap untuk berangkat. "Kalian belum cukup beristirahat" berkata Raden Sutawijaya yang juga sudah duduk di pringgitan sambil minum minuman hangat bersama Pangeran Benawa dan Paksi. "Ternyata kami terlambat bangun. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi telah bangun lebih dahulu" "Kami tidak letih seperti kalian yang menempuh perjalanan panjang sehingga seakan-akan dalam sehari semalam kalian tidak berhenti" "Tetapi kami terlalu sering berhenti. Jika bukan kuda-kuda kami yang letih, kami bertigalah yang letih dan perlu beristirahat. Bagi kami tidak ada masalah untuk beristirahat kapan saja kami inginkan. Tetapi pasukan yang berada disini harus bertempur tanpa dapat beristirahat, karena beristirahat akan dapat merubah segala-galanya dalam pertempuran" Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Sebenarnya kita sama-sama merasa letih. Tetapi kami pun menyadari, bahwa kewajiban telah mendorong kami untuk menjalankan tugas" Ketiga orang prajurit dalam tugas sandi itupun tertawa pula sebagaimana Raden Sutawijaya dan Paksi. Dalam pada itu, setelah makan pagi, minum minuman hangat dan beristirahat sejenak, maka ketiga orang prajurit itupun mohon diri untuk segera kembali ke Pajang dan memberikan laporan hasil perjalanan mereka.
Dalam pada itu, pasukan Pajang yang kecil serta pasukan Pajang yang berada di Prambanan itu masih sibuk mengurusi kawan-kawan mereka yang cidera, terluka dan yang gugur. Demikian pula mereka harus mengurusi para pengikut Harya Wisaka. Sehingga dengan demikian maka pada hari itu para prajurit dan para tawanannya itupun masih harus bekerja keras. Namun kerja itu mereka akhiri hari itu juga. Ketika matahari turun ke barat, maka semuanya telah mereka selesaikan. Para prajurit, baik yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa serta membawa seseorang yang mereka sebut Ki Gede Pemanahan itu, maupun para prajurit dari Prambanan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya itupun menyempatkan diri untuk beristirahat sebelum esok pagi mereka akan kembali ke arah berlawanan. Dalam pada itu, para prajurit yang belum berpengalaman itupun mulai menyadari kedudukan mereka yang sebenarnya. Pertempuran yang telah terjadi itupun merupakan tempaan bagi jiwa keprajuritan mereka. Memang ada kawan mereka yang gugur. Tetapi apa yang mereka lihat pada kawan-kawan mereka yang sudah berpengalaman apalagi pada pasukan khusus yang datang dari Pajang itu, telah menimbulkan kepercayaan pada diri mereka, bahwa merekapun akan dapat menjadi prajurit yang dapat dibanggakan seperti para prajurit yang lebih matang itu. Pada kesempatan yang sempit itu, maka Ki Lurah Sanggabayapun telah mengetahui apa yang telah terjadi di kotaraja. Karena itu, maka tidak akan ada gunanya lagi memburu Harya Wisaka di luar kota. Mereka tidak akan dapat menemukannya. "Meskipun demikian, kemungkinan Harya Wisaka lolos itu masih ada. Terakhir ternyata Harya Wisaka juga tidak tertangkap lagi. Meskipun dalam keadaan terluka, orang yang licin itu masih tetap berbahaya" berkata Raden Sutawijaya.
"Karena itu, jangan lengah" pesan Pangeran Benawa pula, "jika tiba-tiba Harya Wisaka muncul di tengah-tengah barakmu" Ki Lurah Sanggabaya tertawa. Tetapi ia menyadari, bahwa pesan itu tidak berlebih-lebihan. Harya Wisaka yang licik itu akan dapat berbuat apa saja yang sebelumnya tidak terdugaduga. Ketika malam turun, maka kedua pasukan yang masih ada di padukuhan itupun segera bersiap-siap. Para pemimpinnyapun telah menemui Ki Bekel yang sudah pulang ke rumahnya yang harus mereka tinggalkan. "Besok kami akan mohon diri, Ki Bekel" berkata Raden Sutawijaya. "Kami juga, Ki Bekel" sambung Ki Lurah Sanggabaya. "Kenapa begitu tergesa-gesa?" "Masih banyak yang harus kami kerjakan di Pajang, Ki Bekel" "Kami mengucapkan terima kasih, bahwa kami telah terlepas dari kuasa pasukan yang ganas itu" "Nampaknya sebagian besar kekuatan Harya Wisaka telah dihancurkan, Ki Bekel. Terutama di daerah ini. Meskipun mungkin di daerah utara para pendukungnya masih kuat, namun agaknya mereka tidak akan berkeliaran sampai kemari" Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kami dapat hidup tenteram seperti sediakala" "Jika terjadi sesuatu yang terasa gawat, Ki Bekel dapat memerintahkan dua tiga orang bebahu menghubungi aku di Prambanan" berkata Ki Sanggabaya. "Agaknya Prambanan lebih dekat daripada Ki Bekel harus pergi ke Pajang" "Baik, Ki Lurah. Jika perlu, aku akan menghubungi Ki Lurah di Prambanan" Malam itu, para bebahupun telah mengucapkan terima kasih dan selamat jalan pula kepada para pemimpin pasukan yang akan kembali sebagian ke Pajang dan sebagian lagi ke Prambanan. Pasukan yang ke Prambanan yang lebih besar dari pasukan yang akan kembali ke Pajang, akan membawa
para tawanan dalam keadaan terikat tangannya. Para prajurit dari Prambanan tidak mau mengalami akibat buruk jika terjadi kelengahan sehingga para tawanan itu melakukan tindakan yang dapat mengacaukan pasukan yang kembali ke Prambanan itu. Demikianlah, malam itu adalah malam terakhir bagi pasukan khusus yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa itu. Besok mereka akan kembali ke Pajang, karena orang yang mereka buru itu ternyata masih berada di kotaraja. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka para prajurit dan para pemimpinnya itupun telah beristirahat kecuali mereka yang bertugas. Besok pagi-pagi benar mereka akan berangkat meninggalkan padukuhan itu ke arah yang berbeda-beda. Dari Ki Bekel, Raden Sutawijaya meminjam beberapa ekor kuda untuk keperluan yang sangat khusus, terutama untuk mengangkut mereka yang terluka sangat parah dan tidak mungkin untuk berjalan kaki. Dengan kuda, pasukan itu akan dapat berjalan lebih cepat daripada mereka mempergunakan pedati. Sementara itu, di dini hari, beberapa orang yang bertugas di dapur telah bangun. Ki Bekel ingin menghidangkan makan yang terakhir kalinya bagi para prajurit yang telah membebaskan padukuhannya dari kerusuhan dan kekacauan yang ditimbulkan oleh para pengikut Harya Wisaka. Karena itu, maka Ki Bekel telah menugaskan beberapa orang menyediakan makan yang khusus. Beberapa ekor kambing telah disembelih di samping ikan air yang ditangkap dengan mengeringkan dua buah belumbang milik Ki Bekel. Beberapa kepis ikan gurameh dan tambra, ikan mas dan bader. "Sebelum terang tanah, semuanya harus sudah masak" berkata Ki Bekel kepada orang-orang yang ditugaskan menyediakan makanan pagi bagi para prajurit yang akan meninggalkan padukuhan itu.
Ketika para prajurit terbangun, maka mereka tersentak oleh bau yang sedap yang menyengat hidung mereka. Beberapa orang prajurit justru merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar. "Marilah kita segera mandi. Bau itu tidak tertahankan lagi. Siapa yang lebih cepat mandi dan berbenah diri, maka ia akan makan mendahului yang lain. Siapa yang lambat, mungkin tidak akan mendapat bagian lagi" Tetapi seorang prajurit yang lain menyahut, "Aku tidak akan mandi. Aku akan mencuci muka, langsung pergi ke dapur" Terdengar kawan-kawannya tertawa. Seorang berkata, "He, pemalas. Jika kau masuk ke dapur, kau tentu akan diusir. Ki Bekel sendiri menunggui orangnya yang sedang masak" "He?" Yang terdengar adalah suara tertawa. Demikianlah, maka para pemimpin kelompokpun segera memerintahkan pasukan masing-masing untuk segera bersiap. Ki Lurah Sanggabaya memerintahkan untuk berangkat meninggalkan padukuhan itu sebelum matahari naik. Ketika langit kemudian menjadi merah, maka nasi dan lauk serta sayurnyapun telah siap. Ki Bekelpun kemudian menemui Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Ki Lurah Sanggabaya untuk mempersilahkan para prajurit itu makan. "Nasi, lauk serta sayurnya telah kami sediakan di beberapa tempat. Di pendapa, di ruang dalam" "Terima kasih, Ki Bekel" jawab Raden Sutawijaya yang kemudian memerintahkan para prajurit untuk makan pagi, kecuali yang bertugas. Suasananya terasa menjadi gembira. Disana-sini terdengar gurau dan kelakar yang segar, disusul oleh suara tertawa yang meledak. Sementara itu, yang lain sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka lebih sibuk dengan daging kambing dan ikan gurameh bakar. Bahkan mereka yang terlukapun dapat melupakan perasaan nyeri yang menggigit.
"He, kau tidak boleh makan daging kambing sebelum lukamu sembuh" desis seorang prajurit. "Aku makan mangut lele" "Juga tidak boleh. Ikan air akan dapat membuat lukalukamu gatal dan semakin parah" "Jika aku harus mati karena luka-lukaku, aku tidak akan menyesal setelah aku makan daging kambing dan mangut lele" Terdengar suara tertawa berkepanjangan. Menjelang matahari terbit, maka kedua pasukan itupun sudah bersiap. Mereka yang semula bertugas sudah berada di dapur untuk makan pagi. Sedangkan sekelompok prajurit yang lain menggantikan tugas mereka di gerbang padukuhan. Sejenak kemudian, maka semuanyapun telah bersiap. Para prajurit yang baru saja makan, masih berada di dapur. Mereka masih beristirahat sejenak sebelum berangkat menempuh perjalanan panjang, agar lambung mereka tidak terasa sakit. Tepat pada saat matahari terbit, maka kedua pasukanpun segera meninggalkan padukuhan itu. Pasukan yang besar bersama para tawanan pergi ke Prambanan, sementara pasukan yang lebih kecil yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi berjalan menuju ke Pajang. Orang yang sebelumnya disebut Ki Gede Pemanahan telah memilih untuk menanggalkan sebutan itu setelah ia mengetahui bahwa Harya Wisaka tidak berada di luar kotaraja. Demikianlah, pasukan kecil itu telah menempuh perjalanan sebagaimana mereka lalui ketika mereka berangkat. Selain menjemput kawan-kawan mereka yang terluka dan ditinggalkan di padukuhan-padukuhan yang dilewati, pasukan itu juga ingin singgah dan mengucapkan terima kasih kepada penghuni padukuhan yang telah menopang tugas mereka. Seperti yang diperhitungkan, maka perjalanan mereka akan memakan waktu dua hari dua malam dengan waktu istirahat yang terhitung pendek.
Ketika pasukan itu berada di pintu gerbang kota, maka Raden Sutawijaya telah mengirimkan dua orang penghubung untuk memberikan laporan, bahwa pasukan itu telah datang. Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita bersama beberapa orang senapati menyambut langsung kehadiran pasukan itu di sebuah barak yang disediakan khusus bagi mereka, sebelum mereka dikembalikan ke dalam kesatuan mereka masingmasing. "Kalian akan berada di barak ini selama tiga hari" berkata Ki Gede Pemanahan setelah mengadakan sesorah penyambutan. "Dalam kesempatan itu, kalian boleh pulang untuk menengok keluarga. Tetapi baru setelah itu, kalian mendapat waktu beristirahat sepekan. Namun sebelum kalian menengok keluarga kalian, lebih dahulu keluarga mereka yang gugur di dalam tugas akan mendapat pemberitahuan dan diundang untuk bertemu langsung dengan aku sendiri" Para prajurit itupun mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan, betapa sedihnya keluarga yang kehilangan itu. Mereka melepaskan suami atau anak atau saudara laki-laki dalam keadaan segar bugar bersama kawan-kawan dalam satu pasukan, namun ternyata ketika pasukan itu kembali, keluarga mereka tidak ada di antara para prajurit yang lain dalam pasukan itu. Demikianlah, ketika para prajurit itu. beristirahat, maka beberapa orang penghubung telah mendapat perintah khusus kepada keluarga para korban untuk bertemu dengan Ki Gede Pemanahan di tempat yang lain. Tidak di dalam barak itu. Bahkan Ki Gede telah minta mereka datang ke rumah Ki Gede Pemanahan sendiri. Bersama mereka telah diundang pula untuk hadir Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi, yang memimpin tiga kelompok prajurit khusus yang menjalankan tugas yang khusus pula. "Aku persilahkan mereka datang besok pagi" berkata Ki Gede Pemanahan kepada para penghubung.
Menjelang pertemuan itu, Paksi merasa sangat gelisah. Ia harus menyaksikan betapa mereka yang hadir itu akan menumpahkan kesedihan. Betapapun tabahnya hati mereka, tetapi mereka tentu akan merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga. "Yang terjadi itu adalah satu keharusan, Paksi" berkata Raden Sutawijaya. "Untuk menegakkan wibawa serta kekuasaan, maka setiap pemberontakan harus dipadamkan. Untuk memadamkan pemberontakan, kita harus melepaskan korban. Korban itu mungkin para prajurit, mungkin kau, mungkin aku atau Adimas Pangeran Benawa. Dan bahkan mungkin orang-orang yang tidak tahu-menahu sama sekali tentang terjadinya sebuah pemberontakan" Paksi mengangguk kecil. Namun ketika ia benar-benar berada di tengah-tengah pertemuan yang berlangsung di pendapa rumah Ki Gede Pemanahan, maka jantung Paksi benar-benar terguncang. Meskipun Ki Gede Pemanahan telah memberikan pengantar dengan hati-hati, namun ketika nama para korban disebutkan, tangispun tidak tertahankan lagi. Ada yang tangisnya meledak. Tetapi ada yang mencoba menahan diri. Beberapa orang yang tabahpun harus mengusap air matanya yang meleleh di pelupuk matanya. Paksi tidak ikut menangis. Tetapi jantungnya terasa pedih. Ia membayangkan, apa yang terjadi pada ibunya, jika ia hadir di tempat itu dan mendengar nama Paksi disebut sebagai salah seorang korban yang harus diserahkan untuk menegakkan wibawa Pajang. Betapapun beratnya, Ki Gede Pemanahan memang harus segera menyampaikan berita duka itu sebelum mereka mendengar dari desas-desus atau sumber-sumber lain yang tidak jelas. Demikianlah, setelah pertemuan itu selesai, maka para prajurit yang lain telah diperkenankan untuk menampakkan diri pada keluarga mereka. Namun waktu istirahat yang diberikan kepada mereka, baru tiga hari kemudian. Di dalam
tiga hari itu, mungkin masih ada persoalan yang harus diselesaikan. Perintah-perintah khusus serta persoalan penempatan kembali mereka di kesatuan mereka semula harus diselesaikan. Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahanpun telah memerintahkan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi untuk menghadap Kangjeng Sultan bersamanya. Selain untuk memberikan laporan langsung tentang tugas yang mereka lakukan, juga untuk menerima perintah-perintah mirunggan bagi mereka bertiga. Pada waktu yang telah ditentukan, keempatnya telah pergi menghadap ke istana. Kangjeng Sultan memang sudah siap menerima mereka, sehingga keempat orang itupun langsung diterima di paseban dalam. "Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian. Kalian telah mengemban tugas dengan sepenuh hati dan bahkan mempertaruhkan nyawa kalian untuk menegakkan wibawa Pajang" Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi masih menundukkan kepala mereka. Sementara Kangjeng Sultanpun berkata, "Namun ternyata orang yang kalian cari itu masih berada di kotaraja sebagaimana perhitungan Kakang Pemanahan. Bahkan Harya Wisaka itu telah datang sendiri ke istana ini. Namun kamilah yang gagal untuk menangkapnya. Ternyata kemampuan orang-orang tua ini masih juga dalam keterbatasan" Pangeran Benawalah yang kemudian bertanya, "Bukankah Harya Wisaka itu terluka?" "Ya. Kami telah berusaha memburunya. Tetapi kami telah gagal pula. Kami tidak dapat menemukan Harya Wisaka" "Ayahanda" berkata Raden Sutawijaya kemudian, "jika saja belum menemukannya. Mudah-mudahan Paman Harya Wisaka masih berada di kotaraja" Kangjeng Sultan Hadiwijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Kita tidak akan dapat menemukannya"
"Kenapa, Ayahanda?" bertanya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa hampir bersamaan. "Harya Wisaka telah meninggal" "Meninggal?" "Ya" Kangjeng Sultan mengangguk angguk, "lukanya terlalu parah. Meskipun ia berhasil melarikan diri, tetapi darahnya terlalu banyak mengalir, sehingga Harya Wisaka tidak dapat bertahan lagi" "Darimana Ayahanda tahu bahwa Paman Harya Wisaka sudah meninggal?" "Seorang petugas sandi berhasil mencium upacara sederhana pemakamannya. Petugas sandi itu melihat isteri Harya Wisaka menangisinya saat tubuhnya dimasukkan ke dalam kubur dan yang kemudian ditimbun dengan tanah. Petugas sandi itu dengan cepat melaporkan kehadiran isteri Harya Wisaka. Perempuan itu ikut bersalah karena ia telah berusaha membebaskan suaminya dari penjara dan yang kemudian ternyata berhasil" "Perempuan itu kemudian tertangkap?" Kangjeng Sultan menggeleng. Katanya, "Ketika sekelompok prajurit datang menyergap, kuburan itu sudah sepi. Tidak ada seorang pun yang tinggal. Petugas sandi itu pun tidak tahu, kemana mereka pergi" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Licin juga mereka. Tetapi menurut Ayahanda, apakah sepeninggal Harya Wisaka, perlawanan para pengikutnya akan berhenti?" "Jika tidak ada orang kuat yang tampil, perlawanan mereka memang akan berhenti. Para pengikut Harya Wisaka yang berada di sisi selatan menurut laporan telah kalian hancurkan. Tetapi masih ada pengikut Harya Wisaka di sisi utara yang cukup besar. Meskipun demikian, tanpa Harya Wisaka, mereka tidak akan bergerak lagi" "Belum tentu, Ayahanda" sahut Pangeran Benawa. "Para pembantu Harya Wisaka yang sudah terlanjur basah tidak
akan dengan mudah menyerah. Mereka tidak akan bersedia menyerahkan kedua pergelangan tangan mereka untuk diikat" "Aku mengerti" berkata Kangjeng Sultan. "Tetapi perjuangan mereka akan terpecah-pecah. Kecuali jika tampil seseorang yang mampu mengikat mereka menjadi satu kesatuan yang utuh" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Tetapi Pangeran Benawa tidak bertanya lebih jauh. Raden Sutawijayalah yang kemudian bertanya, "Apakah dengan demikian berarti bahwa penjagaan di jalan-jalan keluar kotaraja telah terbuka?" "Tidak. Kami tidak akan membiarkan para pengikutnya yang ada di kotaraja melarikan diri keluar atau sebaliknya yang berada di luar kemudian justru masuk ke dalam. Terutama isteri Harya Wisaka itu sendiri" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu memang sangat berbahaya. Perempuan itu tidak boleh menjadi pengganti Harya Wisaka, menjadi pengikat kesatuan pasukan para pengikutnya. Tetapi perempuan itu juga seorang perempuan yang amat cantik di mata Kangjeng Sultan. Tetapi Pangeran Benawa tidak berkata apa-apa lagi tentang perempuan itu. Demikianlah, beberapa saat kemudian Kangjeng Sultan menganggap bahwa pertemuan itu sudah cukup. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi diperkenankan untuk mengundurkan diri bersama Ki Gede Pemanahan. Di barak, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi telah sepakat untuk melihat keadaan kuburan Harya Wisaka itu. Dari Ki Gede Pemanahan mereka tahu, dimana letak kuburan yang disebut sebagai kuburan Harya Wisaka. "Paman adalah orang yang sangat licik" berkata Raden Sutawijaya. "Apakah kita percaya begitu saja, bahwa yang dikubur itu Paman Harya Wisaka?" "Lalu" Maksud Kakangmas?" "Nanti malam kita akan melihatnya" "Maksud Kakangmas kita akan membongkar kubur itu?"
"Ya. Mumpung belum terlalu lama. Kita masih akan dapat mengenali tubuh yang terkubur itu, seandainya benar Paman Harya Wisaka" "Nampaknya Ki Gede Pemanahan juga meragukannya. Dari sikap dan kata-katanya, Ki Gede menduga, bahwa yang dikuburkan itu tentu bukan Harya Wisaka" berkata Paksi kemudian. "Ya. Karena itu, kita benar-benar akan membongkarnya" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi apakah tidak akan ada orang yang mengamati kuburan itu?" "Jika kuburan itu benar-benar kuburan Harya Wisaka, tentu akan ada pengikutnya yang menungguinya. Jika bukan, mereka tidak akan menganggap perlu untuk mengawasinya" "Belum tentu. Mungkin merekapun memperhitungkan kemungkinan bahwa kuburan itu akan dibongkar" "Memang mungkin. Karena itu, kita harus berhati-hati" desis Raden Sutawijaya kemudian. Ketika kemudian malam turun, ketiga orang itupun benarbenar mencari kuburan Harya Wisaka sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan. Kuburan itu berada di kuburan tua di pinggir sebuah sungai kecil. Beberapa batang pohon besar tumbuh di sekitar kuburan tua itu, sehingga suasananya memang agak menyeramkan. Tetapi ketiga orang itu tidak mengurungkan niatnya. Mereka menuruni tebing sungai kecil yang agak curam itu. Kemudian menyeberang dan memanjat naik di sisi seberang. "Kita harus berhati-hati, apakah ada orang yang mengawasi kuburan itu atau tidak" desis Raden Sutawijaya. Ketiganya telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu dan Sapta Pandulu. Mereka dapat melihat dengan lebih terang dan mendengar lebih jelas. Namun ketiganya sepakat, bahwa tidak ada orang di kuburan itu. Demikianlah, maka merekapun telah berusaha menemukan kuburan yang disebut kuburan Harya Wisaka itu. "Tentu inilah kuburan itu" desis Raden Sutawijaya.
"Ya. Di dekat sebatang pohon cangkring tua ini" sahut Paksi. "Kita akan membongkarnya?" "Ya" sahut Raden Sutawijaya dengan tegas. Ketiga orang itu memang sudah membawa cangkul yang akan mereka pergunakan untuk menggali kuburan itu. Beberapa saat kemudian, maka ketiganya telah sibuk menggali gundukan tanah yang masih merah itu bergantiganti. "Hati-hati, jangan melukai sosok mayat yang ada di dalamnya, siapapun orangnya" Ketika mereka sampai pada potongan-potongan bambu yang melintang di atas tubuh yang terkubur itu, ketiga orang yang menggali kubur itupun menjadi semakin berhati-hati. Memang terdapat sosok mayat di kuburan itu. Tetapi ketiganya segera meyakini, bahwa sosok tubuh yang terbujur itu bukan Harya Wisaka. Meskipun mayat itu sudah hampir rusak, tetapi ketiganyapun segera memastikan, bahwa tubuh itu terlalu besar dan terlalu panjang. Meskipun ketiganya tidak menyalakan obor, tetapi Aji Sapta Pandulu yang mereka trapkan membantu mereka melihat dengan jelas wajah orang yang terbujur itu. Apalagi orang itu sama sekali tidak terluka di tubuhnya. "Mayat siapakah ini?" desis Pangeran Benawa. "Apakah mereka sengaja mengorbankan seseorang, atau kebetulan seseorang telah meninggal?" Pangeran Benawa menggelengkan kepalanya. Katanya, "Mudah-mudahan orang ini memang sudah meninggal. Kemudian menimbulkan gagasan untuk menyebut mayat itu adalah Harya Wisaka. Dengan demikian mereka berharap, bahwa Harya Wisaka tidak akan dikejar-kejar lagi" "Satu usaha untuk menghilangkan jejak" gumam Paksi. "Cara yang cerdik dan licik sekaligus" Ketiganyapun kemudian sepakat untuk menimbun kembali kuburan itu. Mengembalikan sebagaimana sediakala tanpa menimbulkan kecurigaan. Merekapun kemudian
menyingkirkan cangkul mereka jauh-jauh. Baru kemudian merekapun membersihkan tubuh mereka di sungai di sebelah kuburan itu. Namun itu belum cukup. Ketiganyapun segera kembali ke barak untuk berganti pakaian. Di luar pengetahuan para prajurit, ketiganyapun telah berada di dalam barak itu. Tidak seorang pun yang mengetahui bahwa ketiganya telah keluar dari barak, menggali kuburan dan kembali ke dalam bilik mereka masing-masing. Namun merekapun telah sepakat, esok pagi-pagi mereka akan pergi menghadap Ki Gede Pemanahan untuk memberikan laporan bahwa yang dikubur itu sama sekali bukan Harya Wisaka. Laporan itu tidak mengejutkan Ki Gede Pemanahan. Ketika Raden Sutawijaya menceriterakan apa yang dikerjakannya bersama Pangeran Benawa dan Paksi, maka Ki Gede Pemanahanpun berkata, "Yang kalian kerjakan telah memastikan dugaanku. Itulah sebabnya maka penjagaan di sekeliling kota ini tidak mengendor meskipun diberitakan bahwa Harya Wisaka telah meninggal. Penjagaan ini kami nyatakan ditujukan kepada para pengikut Harya Wisaka dan terutama isteri Harya Wisaka itu" "Selanjutnya apa yang harus kami lakukan, Ayah?" bertanya Raden Sutawijaya. "Aku akan memberikan pernyataan, bahwa aku akan pergi membuktikan keberadaan kuburan Harya Wisaka itu" "Maksud Ayah, Ayah akan pergi ke kuburan tua itu?" "Ya. Mudah-mudahan ada pengikut Harya Wisaka yang melihat kehadiranku. Aku harus bersikap seakan-akan aku mempercayainya bahwa Harya Wisaka memang sudah meninggal" Pangeran Benawa tertawa pendek. Katanya, "Permainan Paman dengan Paman Harya Wisaka akan diulang kembali. Ketika Harya Wisaka lari keluar kotaraja, maka Paman telah memburunya. Namun akhirnya Paman telah berjumpa langsung dengan Paman Harya Wisaka justru di istana"
Raden Sutawijaya dan Paksipun tertawa. Bahkan Ki Gede Pemanahanpun tertawa pula. Sementara itu Pangeran Benawapun bertanya, "Apakah Harya Wisaka percaya seandainya Paman bersikap seakanakan Paman mempercayai bahwa Harya Wisaka telah mati" Harya Wisaka juga mempunyai pengalaman bahwa Paman Harya Wisaka telah Paman kelabuhi, sehingga hampir saja ia terjebak di istana" "Kita sedang bermain macanan, Pangeran. Jika aku berhasil, maka aku akan dapat menangkap macannya. Tetapi jika macan itu lebih cerdik dan kuat, maka orang-orangku akan diterkamnya seorang demi seorang, sehingga akhirnya aku harus menyerah" Raden Sutawijayapun tertawa pula. Katanya, "Ayah tidak sedang bermain macanan atau bas-basan. Ayah sedang bermain binten. Permainan keras yang memerlukan pengerahan segenap akal dan kemampuan. Bahkan kekuatan tenaga dan ilmu" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Permainan ini adalah permainan yang keras. Nah, Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi, besok kita pergi ke kuburan itu. Aku akan membawa sekelompok prajurit. Sebelumnya sekelompok prajurit yang lain harus membersihkan kuburan tua itu dari para pengikut Harya Wisaka. Kemudian menjaga agar kehadiranku tidak diganggu oleh para pengikut Harya Wisaka itu" Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun mengangguk-angguk. Mereka mengetahui bahwa Ki Gede Pemanahan bukan seorang penakut yang harus mendapat perlindungan sekian banyak orang. Tetapi gelar itu dibuat untuk memancing agar para pengikut Harya Wisaka mengetahui, setidak-tidaknya satu dua orang petugas sandinya, bahwa Ki Gede membuktikan keberadaan makam Harya Wisaka di kuburan tua itu. Ketika Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi kembali ke barak, mereka sempat meragukan rencana Ki Gede
Persekutuan Pedang Sakti 14 Dewa Arak 76 Penjara Langit Lembah Tiga Malaikat 24
^