Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 31

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 31


Pemanahan. Bukan karena rencana itu merupakan rencana yang bodoh, tetapi mereka sadari bahwa permainan itu telah saling menguji ketajaman panggraita masing-masing. Tetapi Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi menduga, bahwa Harya Wisakapun tidak mudah dikelabuhi. Karena itu, maka untuk menemukannya, jalan lain adalah mengerahkan pasukan sandi di samping penjagaan yang semakin diperkuat. Tetapi ketiganya tidak mencegah rencana Ki Gede Pemanahan sebagai salah satu usaha untuk membuat Harya Wisaka lengah, sebagaimana pernyataan bahwa Harya Wisaka sudah mati dan dikuburkan di kuburan tua itu, ditangisi oleh isterinya serta beberapa orang pengikutnya yang setia. Meskipun demikian, Ki Gede Pemanahanpun menyadari sepenuhnya, bahwa yang dilakukannya itu tidak pasti akan berhasil sebagaimana diinginkannya. Ki Gedepun menyadari bahwa yang dilakukannya itu bahkan justru ditertawakan oleh Harya Wisaka sebagaimana Ki Gede Pemanahan menertawakan permainan Harya Wisaka. Demikianlah, seperti yang direncanakan, di keesokan harinya, Ki Gede Pemanahan telah bersiap untuk pergi ke kuburan tua itu. Sebelum Ki Gede berangkat, maka sekelompok prajurit telah mendahului untuk mengamankan kuburan tua itu dan sekitarnya dari penyerang gelap yang mungkin bersembunyi di sekitar kuburan, terutama adalah para pengikut Harya Wisaka. Kesibukan itu ternyata memang berhasil menarik perhatian beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang berkeliaran di kotaraja. Demikian mereka melihat kesibukan itu, maka merekapun segera mengamati apa yang akan terjadi. Merekapun akhirnya mengetahui, bahwa Ki Gede Pemanahan akan pergi ke kuburan tua itu untuk membuktikan, apakah Harya Wisaka benar-benar telah dikubur di kuburan itu. Karena itu, maka jaringan sandi merekapun segera bergerak, sehingga pagi itu juga, Harya Wisaka yang di persembunyiannya dalam keadaan luka cukup parah, memerintahkan para petugas sandinya untuk
mengamati apa yang akan dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan itu. "Jika ada usaha untuk membongkar kuburan itu, kalian harus berusaha untuk menimbulkan kekacauan. Jika pengamanan di kuburan itu terlalu kuat, kalian dapat melakukannya di tempat lain yang tidak jauh dari kuburan itu. Kalian dapat membakar banjar padukuhan atau menyerang pintu gerbang sebelah barat yang terletak tidak jauh dari kuburan tua itu" Para pengikut Harya Wisaka yang setiapun segera menempatkan diri. Dua orang petugas sandi berusaha mengamati, apa yang akan dilakukan oleh Ki Gede nanti di kuburan tua itu. Ketika matahari naik sepenggalah, maka sebuah iringiringan mulai bergerak. Ki Gede Pemanahan berjalan diapit dua orang pengawal. Di belakangnya Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi mengikutinya. Kemudian sekelompok prajurit pilihan. "Mereka baru datang dari perburuan yang menggelikan itu" desis seorang petugas sandi. "Jangan bodoh. Kau kira Pemanahan mudah dikelabuhi" Kau kira Pemanahan benar-benar berada di dalam pasukan yang memburu Harya Wisaka keluar kotaraja?" "Aku tahu. Tetapi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa benar-benar melakukan perburuan yang bodoh itu" "Kau yang bodoh. Gerakan itu perlu dilakukan untuk menjawab muslihat Harya Wisaka. Bukankah Harya Wisaka sendiri hampir saja terjebak di istana?" Petugas sandi itu tidak menjawab. Apa yang diketahuinya memang tidak sebanyak apa yang diketahui oleh kawannya, seorang petugas yang lebih dekat dengan para pemimpin di lingkungan para pengikut Harya Wisaka. Petugas sandi yang lebih banyak mengetahui itupun kemudian berdesis, "Kita akan melihat, apakah Pemanahan itu cukup berhati-hati dan cukup cerdik untuk menggali kuburan itu?"
Kawannya mengangguk-angguk. Namun petugas sandi yang lebih banyak mengetahui itupun berkata, "Tetapi kau pun harus berhati-hati. Di lingkungan kita sendiri, hanya orang-orang tertentu sajalah yang boleh mengetahui bahwa yang berada di dalam kubur itu bukan Harya Wisaka" "Kenapa lingkungan kita sendiri tidak boleh mengetahuinya apa yang sebenarnya terjadi atas Harya Wisaka?" "Apakah kita yakin, bahwa kesetiaan kawan-kawan kita dapat dipercaya sepenuhnya" Apakah kau tahu sebatas mana mulut itu dapat disumbat?" Kawannya itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku tahu" "Kita, para petugas sandi nampaknya sudah mendapat tempat lahir dan batin. Kita yakini apa yang kita perjuangkan. Tetapi ada pula para pengikut Harya Wisaka yang tidak tahu pasti tujuan perjuangannya. Mereka itulah yang berbahaya" Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Orang-orang yang demikian itu sebaiknya disingkirkan saja dari lingkungan kita" "Kita memerlukan mereka. Tentu saja dalam batas-batas tertentu" Kawannya tidak menjawab. Perhatiannya tertuju kepada iring-iringan yang memasuki kuburan tua. Beruntunglah mereka, bahwa selain para pengawal, beberapa orang ikut melihat pula. Mereka ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh panglima perang Pajang itu. Dengan demikian, maka para petugas sandi itu dapat membaurkan diri dengan orang-orang yang ikut berkerumun di kuburan tua itu. Namun mereka tidak dapat mendekat. Para prajurit yang menjaga kuburan itu memaksa orang-orang yang ingin tahu itu berada pada jarak tertentu dengan Ki Gede Pemanahan. Para petugas sandi yang dikirim oleh Harya Wisaka itupun dapat ikut menyaksikan dengan jelas, apa yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan di kuburan tua itu. "Jika Ki Gede memerintahkan membongkar kuburan itu, maka para petugas sandi itu harus segera memberikan isyarat
kepada para pengikut Harya Wisaka yang siap untuk menimbulkan kekacauan sehingga niat Ki Gede Pemanahan itu menjadi batal" Beberapa saat Ki Gede Pemanahan mengamati kuburan itu. Iapun berbicara dengan beberapa orang yang sejak semula dibawanya bersama dengan pasukannya. Petugas sandi itu menarik nafas panjang ketika mereka melihat Ki Gede Pemanahan itu mengangguk-angguk. Agaknya ia sudah cukup yakin berdasarkan atas keteranganketerangan yang didapatnya dari beberapa orang yang dianggapnya sebagai saksi. Setelah beberapa lama Ki Gede Pemanahan berada di kuburan itu, maka iapun memberi isyarat untuk segera meninggalkan kuburan tua itu. "Ternyata Ki Gede Pemanahan bukan seorang yang teliti. Ia tidak memerintahkan membongkar kuburan itu" desis petugas sandi yang lebih banyak mengetahui dari kawannya itu. Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa nampaknya juga tidak mengusulkannya" Kawannya terdiam. Sejenak kemudian, para prajuritpun telah membuka jalan. Mereka mendorong orang-orang yang berkerumun di pinggir kuburan tua itu untuk menjauhi jalan yang akan dilalui oleh Ki Gede Pemanahan. Demikian Ki Gede Pemanahan keluar dari kuburan, turun ke sungai, menyeberang dan naik di tebing sebelah, maka orangorang yang berkerumun itupun segera meninggalkan kuburan tua itu pula. Beberapa saat kemudian, kuburan itu menjadi sepi. Tidak ada seorangpun lagi yang tinggal. Para prajurit yang mengamankan kuburan tuapun telah meninggalkan kuburan itu pula. Namun beberapa saat kemudian, dua orang berdiri termangu-mangu di dekat gundukan tanah di dekat sebatang pohon cangkring tua. Seorang dari mereka yang kemudian
berjongkok di samping gundukan tanah itupun berdesis, "Liwung, baru setelah kau mati, kau dapat memberikan arti bagi perjuangan ini" Kawannya yang tetap berdiri itupun tertawa. Katanya, "Arti apakah yang telah diberikannya?" "Bukankah orang ini dapat berperan sebagai Harya Wisaka?" Kawannya itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Aku senang mendengar guraumu yang segar itu" "Aku tidak bergurau. Jika aku wenang, aku akan memberikan penghargaan kepadanya" "Penghargaan apa yang dapat diberikan kepada orang mati?" "Mengembalikan nama baiknya" "Itu tidak mungkin. Ia telah berkhianat. Hukuman mati itu adalah hukuman yang sangat wajar baginya" "Apakah Liwung sudah pasti berkhianat?" "Jika ia tidak bersalah, maka ia akan selamat. Ketika ia memasukkan jari tangannya ke dalam kepis yang berisi ular itu, ularnya tidak akan menggigit sampai hitungan kesepuluh. Tetapi baru sampai ke hitungan keenam, jari Liwung sudah digigit ular bandotan sehingga ia mati" "Aku tidak sependapat dengan cara Ki Lebdasarana menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak. Pembuktian dengan memasukkan jari-jari ke kepis yang berisi ular, bukan cara yang dapat memberikan kepastian. Jika ular itu sedang tidur atau malas, betapapun besar kesalahan seseorang, ular itu tidak akan mematuk. Tetapi jika ular itu sedang menjadi ganas, maka gerakan sekecil apapun akan menarik perhatiannya dan mematuknya. Bisa ular bandotan termasuk bisa yang paling tajam dari berbagai jenis ular berbisa. Karena itu, Liwung tidak akan dapat bertahan tanpa pengobatan apapun juga. Apakah kau juga akan mengatakan, seandainya Liwung tidak bersalah, bisa itu tidak akan membunuhnya?"
Kawannya mengerutkan dahinya. Katanya dengan nada tinggi, "Tetapi Harya Wisaka sudah menyetujui cara itu" "Harya Wisaka yang terluka parah itu tidak sempat membuat pertimbangan yang jernih, sehingga dengan mudah ia menyetujui saja pendapat orang yang sedang merawatnya itu. Nah, seandainya Ki Lebdasarana yang tidak bersalah apaapa itu kita minta memasukkan jari-jarinya ke kepis ular itu, apakah ia bersedia?" "Tentu tidak, karena tidak ada alasannya, kenapa ia harus memasukkan jari-jarinya ke dalam kepis itu" "Bukankah ia yakin bahwa dirinya tidak bersalah" Seharusnya ia tidak berkeberatan memasukkan jarinya jika ia yakin tidak bersalah" Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Sementara petugas sandi yang berjongkok itu berdesis, "Pada suatu saat, kita akan mendapat giliran untuk memasukkan jari-jari kita ke dalam kepis itu. Tetapi jika Harya Wisaka segera menjadi baik, maka ia akan menghapuskan cara yang tidak berlandaskan pada akal itu" Kawannya tidak menyahut lagi. Tetapi ia mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Petugas sandi yang berjongkok itu menepuk gundukan tanah itu beberapa kali sambil berkata, "Jika kau masih hidup, kau tidak akan dapat menggantikan sosok Harya Wisaka dalam kesempatan apapun juga" Demikianlah, sejenak kemudian orang itupun bangkit berdiri dan bersama-sama dengan kawannya meninggalkan kuburan yang disebut sebagai kuburan Harya Wisaka itu. Kuburan itu benar-benar menjadi sepi. Yang kemudian bergerak-gerak adalah dedaunan dari beberapa pohon raksasa yang rimbun di sekitar kuburan itu. Namun juga batang kamboja yang tumbuh di sela-sela batu nisanpun bergoyang perlahan-lahan dihembus angin. Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahanpun telah berada di rumahnya. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi berada di rumah Ki Gede itu pula.
"Kita memang tidak mempunyai pilihan lain" berkata Ki Gede. "Kita harus mencarinya di seluruh sudut kotaraja" "Bukankah itu sudah dilakukan, Paman?" sahut Pangeran Benawa. "Tetapi masih juga belum berhasil" "Tetapi kita harus mencoba terus. Kita tidak dapat membiarkan Harya Wisaka tetap berkeliaran di Pajang. Ia adalah orang yang sangat berbahaya" "Tentu, Ayah" berkata Raden Sutawijaya. "Tetapi yang dimaksud Adimas Pangeran Benawa mungkin cara yang kita tempuh yang harus berubah" "Kakangmas benar" sahut Pangeran Benawa. Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Sementara Pangeran Benawapun berkata, "Paman, sebaiknya pencaharian Paman Harya Wisaka tidak lagi ditekankan pada usaha pencaharian dari rumah ke rumah. Apalagi sekarang Harya Wisaka sudah mati. Kita harus menempuh cara lain. Kita harus mengandalkan ketajaman penglihatan para petugas sandi" "Aku setuju, Pangeran" jawab Ki Gede Pemanahan. "Kita tidak lagi dapat mencari Harya Wisaka dengan memasuki rumah-rumah yang dicurigai. Tetapi kita masih mempunyai alasan untuk melakukannya. Kita akan mencari isteri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya. Namun aku pun sependapat, bahwa pencaharian Harya Wisaka ditekankan kepada ketajaman penglihatan para petugas sandi. Namun, kitapun harus berhati-hati. Kita tidak boleh segan melihat ke dalam. Selama ini usaha kita selalu sia-sia. Kita harus berani menaruh kecurigaan, bahwa di dalam tubuh kita masih saja tersembunyi para pengikut Harya Wisaka yang setia" Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi termangumangu sejenak. Mereka memang harus mengakui, bahwa kemungkinan sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan itu masih ada.
Paksi, yang tidak dapat ingkar, bahwa ayahnya adalah salah seorang pengikut Harya Wisaka menundukkan kepalanya. Bahkan sebuah pertanyaan tumbuh di dalam hatinya, "Apakah Ki Gede Pemanahan itu mencurigai aku?" Namun dalam pada itu, Raden Sutawijayapun berkata, "Aku sependapat, Ayah. Tetapi kecurigaan itu tidak boleh berlebihlebihan sehingga akan dapat membuat kita sendiri saling mencurigai" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar, Sutawijaya. Keseimbangan itulah yang harus kita ciptakan. Karena itu, persoalan ini merupakan persoalan bagi orang-orang yang terbatas saja. Orang-orang yang benarbenar dapat dipercaya" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Benawapun berkata, "Kita harus segera mulai, Paman. Kita harus memperhitungkan waktu. Paman Harya Wisaka yang terluka cukup parah itu tentu memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. Jika Paman Harya Wisaka itu sudah sembuh, maka ia akan menjadi semakin sulit dicari" "Baiklah. Aku akan segera mengatur pencaharian itu" "Ayah" berkata Raden Sutawijaya, "kami mohon ijin untuk mencari Paman Harya Wisaka menurut cara kami. Mungkin kami akan bergerak di luar jaringan yang akan Ayah susun" Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Ia nampak menjadi ragu-ragu. Namun Raden Sutawijaya itupun menjelaskan, "Kami akan selalu menyesuaikan diri. Maksudku kami tidak akan mengganggu tugas para petugas sandi dan para prajurit yang menurut gelarnya mencari Bibi Sekarsari itu" Ki Gede Pemanahan akhirnya menganggukkan kepalanya sambil berdesis, "Baiklah. Tetapi kalian harus sangat berhatihati. Kalianpun harus selalu memperhitungkan jejak penyelidikan kalian. Mungkin saja orang-orang yang sengaja dipasang oleh Harya Wisaka di antara kita memberikan
keterangan-keterangan yang sangat penting, sehingga kalian justru akan terjebak. Bagaimanapun juga kalian harus menyadari, bahwa di antara para pendukung Harya Wisaka masih juga terdapat orang-orang berilmu tinggi. Harya Wisaka berhasil mempengaruhi beberapa orang yang berpengaruh di Jipang dan Demak yang tidak sependapat dengan keputusan untuk menetapkan Kangjeng Sultan Hadiwijaya ini menduduki tahta Pajang" Paksi menjadi semakin menunduk. Jika Ki Gede Pemanahan meragukan salah seorang dari ketiga orang yang disebut Raden Sutawijaya untuk melakukan penyelidikan terpisah itu, tentulah dirinya. Adalah mustahil bahwa yang dimaksud adalah Raden Sutawijaya atau bahkan Pangeran Benawa. Namun Raden Sutawijayapun menjawab, "Kami akan melakukan sendiri. Kami tidak akan berhubungan apalagi memanfaatkan para petugas yang lain dalam penyelidikan kami. Karena itu, tidak ada yang harus diragukan. Berhasil atau tidak berhasil, kami akan melakukannya bertiga" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Apakah kalian tidak akan segera kembali ke padepokan di Hutan Jabung itu?" Raden Sutawijaya mengangguk sambil menjawab, "Ya, Ayah. Setelah batas waktu tinggal di barak itu habis, kami akan segera kembali ke padepokan. Tetapi kami akan segera menentukan cara yang akan kami tempuh untuk ikut mencari Paman Harya Wisaka. Mungkin Ki Panengah dan Ki Waskita akan dapat membantu memberikan jalan kepada kami" "Ki Waskita masih berada di istana sekarang" "Ya. Ki Waskita sudah mengisyaratkan kepada kami untuk bersama-sama kembali ke padepokan" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Marilah kita lihat apa yang akan terjadi kemudian. Aku menghargai setiap usaha untuk membantu menangkap Harya Wisaka. Selama Harya Wisaka masih belum tertangkap, maka ia akan menjadi duri di dalam daging pemerintahan di Pajang"
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah minta diri untuk kembali ke barak. Ia masih harus tinggal sehari lagi di barak itu, sebelum seluruh pasukan itu kembali ke kesatuan mereka setelah menjalankan tugas khusus bersama Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan telah memerintahkan para prajurit untuk tetap mencari Sekarsari dan para pengikut Harya Wisaka dari rumah ke rumah. Namun di samping mereka, Ki Gede Juga memerintahkan para petugas sandi untuk lebih berperan. Namun hanya beberapa orang sajalah yang secara khusus masih mendapat perintah untuk mencari Harya Wisaka. "Harya Wisaka itu terluka parah. Ia tentu belum sembuh benar" pesan Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu, ketika Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sudah berada di dalam baraknya, maka Paksipun minta diri untuk mengunjungi ibunya. Bagaimanapun juga ibunya tentu memikirkannya. "Hati-hatilah, Paksi" pesan Raden Sutawijaya. "Ya, Raden" Namun Pangeran Benawa justru menawarkan diri, "Aku akan menemanimu, Paksi" "Terima kasih, Pangeran. Biarlah aku pergi sendiri" Pangeran Benawa tidak memaksanya. Tetapi seperti Raden Sutawijaya iapun berpesan, "Berhati-hatilah. Para pengikut Harya Wisaka tentu ada yang dapat mengenalimu. Bukan saja karena kau anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada, tetapi kau tentu lebih dikenal sebagai salah seorang di antara pemburu Harya Wisaka itu" "Aku akan berhati-hati, Pangeran" sahut Paksi. Demikianlah, maka Paksipun telah meninggalkan baraknya untuk menengok ibu dan adik perempuannya. Kedatangan Paksi disambut dengan gembira sekali oleh ibunya. Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil menitikkan air
matanya. Demikian pula adik perempuan Paksi. Sambil berjongkok Paksipun memeluk adik perempuannya pula. "Sudah agak lama Kakang tidak menengok kami" berkata adik perempuannya itu. "Kakang sedang bertugas" jawab Paksi. "Itulah yang aku cemaskan, Paksi. Tetapi ketika aku tahu bahwa kau selamat, rasa-rasanya hatiku yang membeku itupun telah mencair kembali" Paksipun kemudian dipersilahkan duduk di ruang dalam. Adiknyapun kemudian telah pergi ke belakang, minta kepada seorang pembantunya untuk menyiapkan minuman bagi kakaknya. Ketika kemudian Paksi menanyakan tentang adik lakilakinya, maka ibunyapun berkata, "Aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi" "Apakah ayah belum pernah pulang lagi, Ibu?" Ibunya menggeleng. Katanya, "Aku juga belum pernah mendengar kabarnya lagi. Sebenarnyalah aku menjadi cemas. Perburuan atas Harya Wisaka dan para pengikutnya menjadi semakin bersungguh-sungguh. Bahkan meskipun Harya Wisaka sudah terbunuh, namun perburuan terhadap para pengikutnya dan terutama isteri Harya Wisaka masih berlanjut" "Ibu mengetahuinya?" "Sudah tiga kali rumah ini didatangi oleh para prajurit dan petugas sandi" "Tiga kali?" Ibunya mengangguk. Katanya, "Mereka mencari ayahmu atau mungkin para pengikut Harya Wisaka yang lain. bahkan mereka juga mencari Sekarsari di rumah ini. Seorang perempuan yang tidak aku kenal dengan baik, meskipun aku tahu bahwa Sekarsari itu adalah isteri Harya Wisaka" "Mereka menggeledah rumah ini?" Ibunya mengangguk. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tentunya para prajurit dan apalagi para petugas sandi itu tahu apa yang
dilakukannya selama ini. Ia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk membantu mencari Harya Wisaka dan para pengikutnya. Tetapi keluarganya masih saja dicurigai. Tetapi Paksipun berusaha untuk dapat mengerti dan tidak membebankan semua kesalahan kepada para prajurit dan para petugas sandi. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa ayahnya memang seorang pengikut Harya Wisaka yang setia. Bahkan bukan sekedar pengikut, tetapi ayahnya termasuk salah seorang pemimpin yang dekat dengan Harya Wisaka. Harya Wisaka yang diburu itu memang pernah bersembunyi di rumahnya, sehingga jika kecurigaan itu berkepanjangan, adalah satu hal yang dapat dimengerti. Tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan di hati Paksi adalah, apakah dirinya masih juga dicurigai" Namun dalam pada itu, ibunya berkata, "Sudahlah, Paksi. Jangan kau risaukan. Ini adalah akibat ulah ayahmu" Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, "Bukankah para prajurit dan petugas sandi yang menggeledah rumah ini memperlakukan Ibu dengan baik?" "Ya. Mereka memperlakukan aku dan adikmu dengan baik. Mereka benar-benar hanya mencari ayahmu atau orang lain yang mungkin bersembunyi di rumah ini" "Sukurlah" desis Paksi kemudian. "Mudah-mudahan untuk selanjutnya mereka tidak akan datang lagi" "Mudah-mudahan, Paksi. Apalagi sepeninggal Harya Wisaka" "Tetapi apakah Ibu sama sekali tidak mengetahui kemana adikku laki-laki itu dibawa oleh ayah?" Ibunya menggeleng. Katanya, "Aku benar-benar tidak tahu, Paksi. Bahkan waktu itu aku mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku gagal" "Jika keadaan sudah menjadi semakin baik, Ibu, aku berjanji untuk mencarinya" "Sebaiknya tidak usah kau lakukan, Paksi. Kau tahu, bagaimana sikap ayahmu terhadapmu. Apalagi sekarang. Sikapmu berlawanan dengan sikap ayahmu terhadap Pajang"
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Aku kasihan terhadap adikku itu. Mungkin ia berada di satu lingkungan yang sesat. Jika adikku itu terpengaruh, maka aku cemaskan masa depannya" "Tetapi aku tidak mau kehilangan semuanya. Ayahmu, adikmu laki-laki dan kemudian kau sendiri" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja Paksi itupun berkata kepada adik perempuannya yang duduk di sebelah ibunya, "Aku haus. Apakah kau dapat memberiku semangkuk minuman?" Ibunya seakan-akan tersadar. Karena itu iapun berkata, "Bukankah aku tadi sudah minta dibuatkan minuman untuk kakakmu?" "Ya, Ibu. Mungkin airnya belum mendidih" "Tolong anak manis" berkata Paksi, "aku haus" "Lihatlah" berkata ibunya, "apakah air sudah mendidih" Adik perempuan Paksi itupun kemudian telah meninggalkan ruang dalam, menghambur berlari ke dapur. Demikian adiknya pergi, maka Paksi itupun kemudian bertanya, "Ibu, apakah sebabnya ayah begitu benci kepadaku" Bahkan ayah sudah benar-benar siap membunuhku. Seandainya aku anak yang sangat nakal sekalipun, apakah sudah sepantasnya seorang ayah menghendaki kematian anaknya" Padahal aku sudah berusaha untuk patuh. Untuk menjalankan segala perintahnya" Ibu menundukkan kepalanya. Katanya dengan suara sendat, "Aku tidak tahu, Paksi. Kenapa ayahmu begitu membencimu" "Apakah ada yang Ibu sembunyikan?" "Tidak, Paksi. Tidak" tetapi mata ibunya menjadi basah lagi. Dengan lengan bajunya ibunya mengusap air matanya yang meleleh di pipinya. Namun Paksi tidak mendesaknya. Apalagi kemudian adik perempuannyapun telah kembali masuk ke ruangan dalam sambil membawa minuman yang masih mengepul.
"Minuman baru saja dituang, Kakang" berkata adik perempuannya. "Terima kasih" "Masih panas" "O" Paksipun mengangguk-angguk, "aku harus menunggu sampai menjadi lebih dingin" Adiknya kembali duduk di sebelah ibunya. Gadis kecil itupun kemudian mulai bertanya tentang banyak hal. Ketika minuman sudah menjadi agak dingin, maka Paksipun mulai menghirupnya. Segar sekali. "Kau bermalam disini, Paksi?" "Tidak, Ibu" jawab Paksi. "Aku masih harus berada di barak sampai esok. Tetapi esok sore, mungkin sekali aku harus sudah berada di padepokan bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Kami sudah terlalu lama meninggalkan padepokan kami" "Apakah aku boleh ikut, Kakang?" Paksi tersenyum. Katanya, "Kau seorang gadis. Apalagi kau masih terlalu kecil" "Terlalu kecil" Aku masih terlalu kecil menurut Kakang?" "Maksudku terlalu kecil untuk berguru di sebuah padepokan. Apalagi di padepokan kami, tidak ada seorang mentrikpun, yang ada hanyalah para cantrik" "Mungkin aku adalah mentrik yang pertama. Setelah itu akan ada beberapa orang gadis sebayaku yang ikut berguru" Paksi tertawa. Katanya, "Mungkin saja. Tetapi tentu tidak sekarang" "Jika kau pergi, ibu nanti sendiri" desis ibunya. Adik perempuan Paksi itu memandang ibunya dengan mata yang redup. Katanya dengan nada merendah, "Ya. Kalau aku pergi, nanti Ibu sendiri" Ibunya mengusap rambutnya sambil berkata, "Tetapi pada suatu saat, jika diperlukan, ibu akan sendiri di rumah" "Aku akan tinggal bersama Ibu di rumah" Ibunya tersenyum. Tetapi matanya menjadi panas. Namun ia bertahan untuk tidak menitikkan air matanya lagi.
Demikianlah, maka untuk beberapa lama Paksi masih berbincang dengan ibunya dan bergurau dengan adik perempuannya. Namun kemudian Paksipun minta diri untuk kembali ke baraknya. "Hati-hatilah, Paksi" pesan ibunya. "Rumah ini masih diawasi terus. Baik oleh para petugas sandi Pajang, maupun oleh para pengikut Harya Wisaka. Meskipun Harya Wisaka sudah tidak ada, tetapi rasa-rasanya gerakan mereka masih saja terdengar gemanya di kotaraja" "Ya, Ibu. Aku akan berhati-hati" Demikianlah, Paksipun minta diri kepada ibu dan adik perempuannya. "Aku besok langsung kembali ke padepokan, Ibu" berkata Paksi kemudian. "Sering-seringlah datang, Paksi. Jika kau mempunyai kesempatan, agar aku tidak menjadi kesepian" "Ya, Ibu. Aku akan berusaha" "Tetapi tidak hanya sebentar, Kakang. Seharusnya Kakang berada di rumah dua atau tiga hari" "Jika keadaan sudah menjadi tenang lagi aku akan tinggal di rumah dua atau tiga hari" "Kapan keadaan menjadi tenang?" Paksi menyentuh pipi adiknya sambil berkata, "Mudahmudahan secepatnya. Nah, jaga Ibu baik-baik" Adik perempuan Paksi itu mengangguk. Demikianlah, sejenak kemudian Paksipun telah meninggalkan rumahnya. Ia harus segera kembali ke baraknya untuk ikut mengatur penyerahan kembali para prajurit yang dipimpinnya ke kesatuannya besok. Tetapi di luar sadarnya, seperti yang dikatakan oleh ibunya, rumah itu memang masih diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka. Mereka sudah tahu, bahwa salah seorang anak lakilaki Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah ikut serta memburu Harya Wisaka dan bahkan juga memburu Ki Tumenggung itu sendiri.
Merekapun telah meyakini kemantapan perintah Ki Tumenggung Sarpa Biwada sendiri untuk membunuh anak laki-lakinya itu. Ketika Paksi menyusuri jalan menuju ke baraknya, maka dua orang telah mengikutinya dengan hati-hati. Namun akhirnya Paksipun mengetahui, bahwa dua orang telah mengikutinya. Ia tidak tahu, apakah kedua orang itu prajurit sandi Pajang atau mereka adalah para pengikut Harya Wisaka sebagaimana dikatakan oleh ibunya. Karena itu, maka Paksipun justru telah memperlambat langkahnya. Paksipun justru memilih jalan yang panjang dan sepi. Ketika Paksi berbelok di sebuah kelokan, maka kedua orang yang mengikutinya itupun telah berbelok pula. Namun keduanya termangu-mangu. Paksi tidak lagi nampak berjalan di depan mereka. "Dimana anak itu?" desis yang seorang. "Tidak mungkin ia begitu saja hilang seperti ditelan bumi" "Jadi, dimana?" "Mungkin anak itu memasuki salah satu regol halaman di sebelah menyebelah jalan ini" "Apakah kita harus memasuki setiap regol halaman?" Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara di belakang sebatang pohon gayam yang besar, yang tumbuh di pinggir jalan itu, "Kalian mencari siapa, Ki Sanak?" Kedua orang itu terkejut. Seseorang tiba-tiba saja muncul dari balik pohon gayam itu. Paksi. "Anak setan" geram salah seorang dari kedua orang itu. "Siapakah kalian berdua" Kenapa kalian mengikuti aku?" "Kau harus dibunuh" geram salah seorang dari mereka. "Kenapa aku harus dibunuh" Kita belum berkenalan. Tibatiba saja kalian ingin membunuh aku" "Kami prajurit sandi Pajang. Kami mendapat perintah untuk membunuhmu?" "Kenapa?" "Itu bukan persoalanku. Perintah itu harus kami jalankan"
"Kalian berada di bawah perintah siapa" Ki Gede Pemanahan atau Ki Panengah?" Kedua orang itu nampak ragu-ragu. Tetapi mereka tahu, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah panglima prajurit Pajang, sehingga tentu ada orang lain yang secara khusus memimpin prajurit sandi Pajang. Dalam keragu-raguan itu, Paksipun berkata, "Kalian tentu prajurit sandi yang langsung berada di bawah Ki Gede Pemanahan" Seorang di antara mereka tiba-tiba saja menjawab, "Tidak, kami tidak berada di bawah pimpinan langsung panglima prajurit Pajang itu. Tetapi kami berada di bawah perintah Ki Panengah" Paksi tersenyum. Ia tahu pasti, bahwa kedua orang itu bukan prajurit sandi Pajang. Selain keduanya tidak tahu, bahwa Ki Panengah sama sekali tidak ada hubungannya dengan prajurit sandi dalam tatanan keprajuritan, prajurit sandi Pajang tidak akan berusaha untuk langsung membunuhnya. Tetapi prajurit sandi Pajang tentu hanya mengamatinya atau sejauh-jauhnya, mereka akan menangkapnya apabila mereka mencurigainya, karena ia adalah anak Tumenggung Sarpa Biwada. Karena itu, maka sikap Paksipun sudah pasti. Ia ingin menangkap kedua orang itu atau setidak-tidaknya seorang di antara mereka. Orang itu akan dapat dipergunakan sebagai rambatan untuk melacak persembunyian Harya Wisaka. Sejenak Paksi memandang sekitarnya. Jalan itu adalah jalan yang terhitung sepi meskipun berada di kotaraja. "Kau tidak akan sempat menunggu orang lain yang akan dapat membantumu. Kau akan langsung mati sehingga jika ada orang yang lewat, mereka hanya akan menemukan mayatmu" "Aku dapat berteriak" berkata Paksi. "Kau tidak mempunyai kesempatan"
Ternyata orang itu memang tidak memberi kesempatan. Dengan cepat, seorang di antaranya mencabut kerisnya dan langsung menikam Paksi di arah jantung. Namun orang itu terkejut. Kerisnya tidak menyentuh tubuh Paksi. Tetapi keris itu telah menancap di batang pohon gayam yang semula berada di belakang Paksi. Paksi sendiri sudah bergeser selangkah ke samping. "Menyerahlah" desis Paksi kemudian, "aku adalah prajurit sandi Pajang yang langsung berada di bawah perintah Ki Gede Pemanahan" Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Keris yang menancap pada batang pohon gayam itu harus dicabut. Tetapi tidak terlalu mudah. "Tidak ada gunanya kalian melawan" berkata Paksi kemudian. "Persetan" geram seorang di antara kedua orang itu. "Bahwa kau berhasil menghindar itu bukan pertanda bahwa kau akan dapat mengalahkan kami" Paksi tertawa. Katanya, "Kalian tentu tidak ingin mati disini" Keduanya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja keduanya menyerang dengan garangnya. Seorang di antara merekapun telah mencabut kerisnya pula. Paksi mundur selangkah. Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang yang lain untuk mencabut kerisnya yang tertancap di pohon gayam itu. Paksi tertawa lebih keras ketika ia melihat orang yang mencabut keris dengan mengerahkan tenaganya itu justru hampir jatuh terlentang. Dengan susah payah ia berusaha mempertahankan keseimbangannya. "Hati-hatilah" berkata Paksi, "kau akan dapat terjatuh nanti" "Aku koyak mulutmu" geram orang itu. Keduanyapun kemudian telah menyerang Paksi dengan garangnya. Masing-masing dengan keris di tangannya. Paksi yang kebetulan tidak membawa tongkatnya itupun telah mencabut kerisnya pula. Namun iapun berkata, "Aku
tidak ingin membunuh kalian. Aku minta kalian menyerah saja" Tetapi keduanya tidak menghiraukannya. Keduanya justru meningkatkan serangan-serangan mereka. Pertempuranpun menjadi semakin sengit. Paksi memang tidak ingin membunuh kedua orang itu. Ia merasa perlu untuk menangkap mereka hidup-hidup. Namun dengan demikian, maka Paksipun harus berhatihati. Kerisnya tidak boleh menikam kedua lawannya sehingga dapat membunuh mereka. Seandainya ia berhasil melukainya dengan kerisnya, iapun harus segera menaburkan obat pada luka itu, karena kerisnya adalah keris yang mengandung warangan yang keras. Jika ia terlambat, maka orang yang terluka oleh kerisnya itupun akan mati. Ternyata kedua orang pengikut Harya Wisaka yang ditugaskan mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu juga bukan orang kebanyakan. Keduanya juga memiliki kemampuan olah kanuragan, sehingga dengan demikian, maka Paksipun tidak mudah menundukkan mereka tanpa membunuh. Tetapi Paksipun tidak mau terbunuh pula. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Namun kedua orang pengikut Harya Wisaka itupun segera terdesak. Sulit bagi mereka untuk dapat mengimbangi kemampuan Paksi. Dalam pada itu, ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, maka orang yang tinggal di rumah sebelah mulai mendengar keributan itu. Kedua orang yang akan membunuh Paksi itu kadang-kadang memang berteriak untuk menghentakkan tenaganya. Mula-mula orang yang tinggal di rumah sebelah mendengarkan dari balik dinding halaman rumahnya, suara apakah yang terdengar ribut di pinggir jalan di depan rumahnya itu. Kemudian iapun mulai menjenguk dari balik pintu regol halaman rumahnya. Orang itupun terkejut. Di pinggir jalan di depan rumahnya itu, tiga orang tengah terlibat dalam perkelahian.
Pada saat yang hampir bersamaan, orang yang tinggal di seberang jalan telah menjenguknya pula. Bahkan orang itu telah melangkah keluar pintu regolnya. Orang itu juga terkejut. Ketika ia melihat tetangganya di seberang jalan menjenguk, maka iapun segera berlari melintasi jalan. "Orang-orang itu berkelahi" katanya. "Apakah kita harus melerai?" "Mereka bersenjata" Keadaan mulai menjadi gaduh. Dua orang yang kebetulan berjalan lewat jalan itupun berhenti pula. Beberapa saat kemudian, maka para penghuni rumah di pinggir jalan itupun telah keluar pula dari rumah mereka. Sementara beberapa orang yang berjalanpun telah tertahan. Dalam pada itu, kedua orang yang akan membunuh Paksi itupun menjadi sangat gelisah. Mereka mengira, bahwa membunuh Paksi dapat dilakukan dalam sekejap. Jika tiba-tiba saja mereka menusukkan kerisnya, maka anak muda itu tentu akan segera terkapar. Tetapi perhitungan mereka itu keliru. Tusukan mereka tidak menyentuh sasarannya. Bahkan yang terjadi adalah perkelahian yang sengit. Namun Paksipun kemudian terkejut ketika tiba-tiba seorang di antara kedua orang yang akan membunuhnya itu berteriak, "Tangkap orang ini. Anak muda ini telah berusaha melarikan anak gadisku dengan paksa" Yang seorang lagi, yang langsung tanggap terhadap sikap kawannya berteriak pula, "Kemenakanku itu telah disembunyikannya sejak tiga hari yang lalu" Beberapa orang yang mulai mengerumuni perkelahian itu menjadi ragu. Namun orang itu berteriak lagi, "Tangkap orang ini. Ia harus mengatakan dimana anak gadisku disembunyikannya" Beberapa orang yang berkerumun itu di luar sadar telah mengepung arena perkelahian itu. Karena kedua orang itu
berteriak-teriak terus, maka orang-orang mulai percaya, bahwa anak muda yang berkelahi itu telah melarikan anak gadis dan kemenakan kedua orang lawannya. Tetapi Paksipun berusaha untuk menjelaskan, "Tidak. Mereka mencoba untuk membunuhku" "Jangan dengarkan kata-katanya. Ia telah mencuri anakku" Orang-orang yang berkerumun itu memang menjadi bingung. Sementara itu Paksipun berkata, "Biarkan aku menangkap keduanya. Nanti, aku akan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi disini. Ada persoalan yang jauh lebih penting dari sekedar melarikan seorang gadis" Orang-orang yang berkerumun memang menjadi bingung. Karena kedua orang lawan Paksi itu selalu berteriak-teriak, bahwa anak muda itu telah menculik anak gadis mereka, maka hampir saja orang-orang yang berkerumun itu termakan. Namun di antara mereka ternyata masih ada orang yang sempat mempergunakan nalarnya. Katanya, "Jangan bertindak sendiri-sendiri. Kita mencoba untuk menghentikan perkelahian itu" Orang-orang yang hampir saja beramai-ramai menangkap Paksi itu tertegun. Sementara orang yang masih mempergunakan nalarnya itu berteriak, "Berhentilah berkelahi. Kita akan berbicara. Yang salah akan ditangkap. Tetapi kita akan sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang benar" Tetapi seorang di antara lawan Paksi itu berteriak, "Anak ini harus ditangkap. Ia licik dan pintar berbicara. Anak perempuanku telah dilarikannya" Teriakannya hampir saja berhasil. Namun Paksipun berkata, "Aku bersedia berhenti berkelahi. Tetapi aku minta agar kami bertiga tidak boleh meninggalkan tempat ini. Kami bertiga harus dihadapkan kepada petugas atau kepada prajurit di barak terdekat. Mereka akan segera dapat mengenali aku, sehingga kalian akan yakin, bahwa aku bukan pencuri" "Omong kosong. Ia pandai berbicara. Jangan hiraukan"
"Bawa kami bertiga. Kedua orang itu tidak akan dapat mengelak atas kejahatan yang pernah mereka lakukan" berkata Paksi. Orang yang masih mempergunakan nalarnya itu mengangguk-angguk. Jika anak muda itu bersalah, ia tidak akan bersedia dan bahkan mengusulkan agar ditangkap dan dibawa ke barak prajurit terdekat. "Baiklah" berkata orang itu, "kami akan menangkap kalian bertiga dan membawa ke barak prajurit terdekat" Paksi meloncat mengambil jarak dari kedua lawannya sambil berkata, "Aku akan menyerahkan diriku" Tetapi kedua orang lawannya itu nampak ragu-ragu. Bahkan keduanyapun kemudian saling memberikan isyarat. Paksi curiga atas isyarat itu. Namun sebelum Paksi mengambil langkah, keduanyapun telah meloncat melarikan diri ke arah yang berbeda. Sambil mengayun-ayunkan kerisnya, mereka menyibak orang yang berkerumun semakin banyak. Paksi terkejut. Ia tidak mau kehilangan kedua orang lawannya. Karena itu, maka Paksipun segera meloncat mengejar salah seorang dari mereka sambil berteriak, "Tangkap yang seorang lagi. Mereka bukan sekedar penjahat. Tetapi mereka adalah pengkhianat" Beberapa orang memang berusaha mengejar seorang di antara lawan Paksi. Tetapi karena orang itu mengacu-acukan kerisnya, sementara orang-orang yang mengejarnya tidak bersenjata, maka akhirnya orang itu berhasil meloloskan dirinya. Tetapi seorang lagi yang dikejar oleh Paksi sendiri, tidak mampu melepaskan diri dari tangan Paksi. Perkelahian masih terjadi. Tetapi Paksi yang telah menyarungkan kerisnya, justru sulit untuk dihindarinya. Ketika orang itu berusaha mengayunkan kerisnya menusuk ke arah lambung, Paksi mampu mengelak. Sambil meloncat ke samping, maka Paksipun kemudian berhasil menendang pergelangan tangan orang itu sehingga kerisnya terlepas dan jatuh di tanah.
Dengan cepat orang itu berusaha untuk menjangkau kerisnya. Tetapi dengan cepat kaki Paksi menyambar tubuhnya, sehingga orang itu terlempar jatuh berguling di tanah. Demikian orang itu berusaha bangkit, maka sekali lagi Paksi menyerangnya. Tangannya terayun mendatar menyambar keningnya, sehingga orang itupun terhuyung-huyung surut. Paksi yang memburunya langsung menyerang orang itu pada dadanya. Pukulan tangan Paksi yang menghantam dada orang itu terasa bagaikan hentakan batu sebesar kepala kerbau yang jatuh menghimpitnya. Sekali lagi orang itu jatuh terbanting. Namun ia tidak segera dapat bangkit. Matanya menjadi berkunang-kunang, sementara nafasnya menjadi sesak. Paksi membiarkan orang itu yang dengan kesulitan memaksa untuk berdiri tegak. Paksilah yang kemudian memungut keris orang itu. Sambil mengacukan keris itu, iapun berkata, "Kau aku tangkap" Orang itu tidak dapat mengelak lagi. Ujung keris itu hampir melekat di dadanya sebelah kiri. Jika keris itu ditekan, maka ujungnya akan segera menancap di jantung. Sementara itu beberapa orang telah berdatangan. Seorang di antara merekapun berkata, "Yang seorang tidak dapat ditangkap" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Biarlah. Yang seorang ini akan dapat menunjukkan, kemana kawannya itu melarikan diri" "Aku akan membawanya ke barak di sebelah alun-alun pungkuran. Ia akan ditahan disana" "Barak itu adalah barak pasukan khusus yang baru pulang dari perburuannya untuk mencari Harya Wisaka. Tetapi ternyata Harya Wisaka telah terbunuh justru di kotaraja" "Ya. Aku adalah salah seorang penghuni barak itu" Beberapa orang nampak ragu-ragu. Untuk memantapkan kepercayaan mereka, maka Paksipun berkata, "Marilah, kita bawa orang ini kesana"
Memang ada di antara orang-orang itu yang kurang percaya bahwa Paksi akan membawa orang yang telah ditangkapnya itu ke barak di sebelah alun-alun pungkuran. Karena itu, maka beberapa orangpun telah mengikuti Paksi yang menggiring orang itu. Di sepanjang jalan, iring-iringan kecil itu memang menarik perhatian. Tetapi tidak seorang pun di antara orang-orang yang ikut membawa orang yang ditangkap Paksi itu ke barak prajurit di sebelah alun-alun pungkuran dapat memberi penjelasan jika ada orang yang bertanya kepada mereka. "Kami kurang tahu. Orang itu akan dibawa ke barak prajurit di sebelah alun-alun pungkuran" "Orang itu tentu bukan sekedar pencopet di pasar" desis seseorang. "Kenapa?" bertanya kawannya. "Barak itu untuk sementara dihuni oleh pasukan khusus. Jika orang itu dibawa kesana, tentu ada hubungannya dengan persoalan-persoalan yang gawat yang menyangkut ketenangan Pajang" Kawannya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Paksi memang membawa orang itu ke barak pasukan khusus di sebelah alun-alun pungkuran. Namun yang tidak terduga itu telah terjadi. Ketika Paksi melewati jalan yang menuju ke alun-alun pungkuran, maka tiba-tiba saja orang itu menjerit kesakitan. Paksi memang melihat anak panah yang meluncur dengan cepat yang dilepaskan oleh seseorang yang berada di balik dinding yang memagari alunalun pungkuran itu langsung mengenai dada orang yang akan dibawa ke barak prajurit itu. Dengan sigapnya Paksi meloncat memburu ke arah asal anak panah itu. Iapun segera meloncat ke atas dinding. Namun Paksi itu tertegun. Ia tidak melihat orang yang dicarinya. Untuk beberapa saat Paksi mengamati keadaan di sekitarnya. Ia hanya melihat sebuah busur dan dua anak panah yang tidak dipergunakan. Agaknya karena satu saja
anak panah telah berhasil membunuh sasarannya, orang itu tidak melepaskan anak panah berikutnya. "Mungkin akulah yang akan menjadi sasarannya kemudian. Tetapi orang itu tergesa-gesa" geram Paksi. Dalam pada itu, beberapa orang telah mengerumuni orang yang terkena panah di dadanya itu. Namun agaknya orang itu sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Nafasnyapun tinggal satu-satu. Meskipun ia masih sempat mengerang, namun kemudian iapun terdiam. Orang-orang yang mengerumuni sama sekali tidak mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun Paksi yang kemudian kembali mendekati orang yang terkena panah itu harus menahan kemarahan yang menghentak di dadanya. Tetapi orang itu sudah mati. Paksi yang jantungnya bergejolak itupun kemudian berkata kepada orang-orang yang berkerumun, "Siapa yang mau membantu aku untuk pergi ke barak itu?" Orang-orang itu termangu-mangu. Sementara itu Paksipun berkata, "Aku tidak dapat pergi sendiri. Aku harus menunggui orang yang terbunuh ini. Meskipun ia sudah mati, tetapi tubuh ini akan menjadi bukti perbuatan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab" "Apa yang harus kami lakukan jika ada di antara kami yang bersedia pergi ke barak itu?" bertanya seorang anak muda. "Hanya melaporkan apa yang telah terjadi kepada Raden Sutawijaya atau kepada Pangeran Benawa" "Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa" Apakah salah seorang di antara kami akan dapat menghadap salah seorang dari keduanya?" "Laporkan saja kepada petugas di regol untuk menyampaikan kepada Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa. Katakan bahwa aku berada disini. Namaku Paksi" Anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan pergi ke barak itu"
Demikianlah, beberapa lama Paksi menunggu. Semakin lama semakin banyak orang yang berkerumun. Mereka bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberikan jawaban yang jelas. Namun beberapa saat kemudian, beberapa orang berkuda mendatangi tempat itu. Merekapun kemudian menyibak orang-orang yang berkerumun di sekitar tubuh yang terbaring dengan panah menancap di dadanya. Dua orang di antara mereka adalah Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. "Kita bawa tubuh ini ke barak" berkata Raden Sutawijaya. Seorang prajuritpun kemudian telah menaikkan tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu ke atas punggung seekor kuda. Kemudian menuntun kuda itu ke barak diiringi oleh beberapa orang prajurit yang lain. Paksipun kemudian berkata kepada orang-orang yang berkerumun, "Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian membantu" Orang-orang itu saling berpandangan. Ternyata anak muda itu tidak berbohong, bahwa ia memang salah seorang penghuni barak pasukan khusus. Bahkan anak muda itu nampak begitu akrab dengan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Apalagi orang-orang yang hampir saja termakan oleh teriakan-teriakan dua orang yang bertempur melawan anak muda itu. Seandainya mereka benar-benar berusaha menangkapnya dan memukulinya, maka anak muda itu tentu tidak akan berdiam diri. Beberapa orang di antara mereka tentu akan menjadi korban. Kemudian, kemarahan para prajurit dari pasukan khusus itu akan dapat menjadi bencana bagi mereka. Sejenak kemudian, maka Paksipun minta diri kepada orangorang yang masih berkerumun. Katanya kemudian, "Sekarang, aku persilahkan kalian meninggalkan tempat ini. Sekali lagi terima kasih. Jika kalian melihat atau mengalami sesuatu yang
terasa ganjil, hubungi aku, Paksi. Atau jika besok aku meninggalkan barak itu, hubungi prajurit Pajang dimanapun" Orang-orang yang berkerumun itu berdiri termangu-mangu. Mereka kemudian memandang Paksi yang meloncat ke punggung seekor kuda yang diberikan oleh seorang prajurit kepadanya. Sementara prajurit itupun berjalan kaki menyusul kawannya yang menuntun kuda yang di punggungnya diletakkan mayat orang yang terbunuh oleh panah yang dilepaskan oleh orang yang tidak dikenal. Jarak dari tempat itu ke barak pasukan khusus itu memang sudah dekat. Memang hanya bergeser beberapa puluh patok saja, sehingga sejenak kemudian Paksipun telah berada di barak itu. Demikian Paksi duduk di pendapa bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka Paksipun segera melaporkan apa yang telah terjadi. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa mendengarkan laporan Paksi dengan sungguh-sungguh. Demikian Paksi selesai menyampaikan laporannya, maka Pangeran Benawapun berkata, "Aku kagumi kesetiaan para pengikut Harya Wisaka" "Memang luar biasa" Raden Sutawijayapun menganggukangguk. "Dengan demikian, kitapun tahu, bahwa kau merupakan salah satu sasaran utama dari para pengikut Harya Wisaka, Paksi" "Tentu ada hubungannya dengan perintah ayahku sendiri" "Satu teka-teki yang rumit, kenapa ayahmu ingin membunuhmu?" desis Raden Sutawijaya. "Sementara kita tahu, bahwa persoalannya bukan karena kau memusuhi Harya Wisaka. Usaha ayahmu menyingkirkanmu sudah dilakukan sejak kau belum terlibat dalam permusuhan dengan Harya Wisaka" "Itulah yang membuat aku bersedih, Raden" "Sudahlah" berkata Raden Sutawijaya, "jangan menambah beban di hatimu. Untuk sementara batasi persoalan yang kau
hadapi. Kita sedang mencari Harya Wisaka. Jika kita berhasil, maka kita berharap untuk dapat menemukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada" Paksipun mengangguk-angguk. "Nah, sekarang kita akan menyerahkan orang yang terbunuh itu untuk dikuburkan dengan baik" "Dimana orang itu akan dikuburkan?" "Biarlah orang itu dikubur dekat kuburan orang yang disebut Harya Wisaka itu. Sementara kita harus mempersiapkan penyerahan para prajurit dari pasukan khusus ini ke kesatuan mereka masing-masing" Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, maka Paksipun segera tenggelam dalam kesibukan. Ia harus mempersiapkan kelompoknya untuk menyerahkan mereka kembali ke kesatuan mereka. Perpisahan yang segera akan terjadi itu memang tidak menyenangkan setelah beberapa lama mereka bersama-sama. Bukan sekedar bersama-sama bertamasya menyusuri lembar dan lereng-lereng pegunungan yang udaranya segar. Tetapi mereka bersama-sama bertarung dengan taruhan nyawa mereka. Beberapa orang di antara mereka benar-benar telah terbunuh sehingga untuk selamanya tidak akan bertemu lagi. Karena itu, maka hubungan Paksi dan para prajurit menjadi sangat erat. Mereka merasa menjadi sekelompok orang senasib sepenanggungan. "Apakah Ki Lurah dapat masuk ke dalam kesatuan kami?" bertanya seorang prajuritnya. Paksi tersenyum. Katanya, "Aku bukan seorang lurah prajurit yang sebenarnya. Karena itu, akupun harus kembali ke kesatuanku" "Kesatuan yang mana?" bertanya prajurit yang lain. "Bukankah aku berasal dari padepokan di Hutan Jabung?" Prajurit itu menarik nafas. Katanya, "Ki Lurah sudah putus segala macam ilmu kanuragan. Karena itu, Ki Lurah dapat meninggalkan padepokan dan benar-benar menjadi seorang
prajurit. Maka Ki Lurahpun akan benar-benar diangkat menjadi seorang lurah prajurit pada usia yang masih muda" Paksi tersenyum. Katanya, "Aku harus kembali ke padepokan. Masih banyak yang harus aku pelajari. Pada saatnya aku akan mengabdikan diriku bagi Pajang. Mungkin menjadi seorang prajurit, mungkin lewat jalur pengabdian yang lain" Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun prajurit yang lainpun berkata, "Kami berharap bahwa Ki Lurah akan sering datang ke kesatuan kami" "Ya. Aku akan berusaha untuk datang mengunjungi kalian di barak kalian" "Di barakku tidak ada seorang pemimpin yang memiliki tataran ilmu sebagaimana Ki Lurah Paksi" "Jangan membuat penilaian atas atasanmu. Mereka tentu orang-orang berilmu. Kalian adalah prajurit yang diikat oleh paugeran serta kesetiaan terhadap pengabdian" Ketika malam turun, maka di barak pasukan khusus yang jumlahnya tidak terlalu banyak itu telah diselenggarakan pertemuan khusus untuk menyelenggarakan acara perpisahan. Seorang prajurit yang lukanya masih belum sembuh, dengan haru berkata kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi, "Kami belum pernah mendapat seorang pemimpin seperti Raden, seperti Pangeran dan seperti Ki Lurah Paksi" "Tentu tidak. Tetapi karena pada saat terakhir kalian berjuang bersama kami, maka seakan-akan kami adalah orang-orang terdekat dengan kalian. Tetapi aku minta, bahwa kalian akan dapat kembali pada suasana semula di kesatuan kalian" berkata Raden Sutawijaya. Sementara itu Pangeran Benawapun berkata, "Keberadaan kami di antara kalian, jangan sampai merusakkan kesetiaan kalian kepada paugeran bagi seorang prajurit yang harus kalian taati. Aku adalah Pangeran Benawa, putera Kangjeng Sultan di Pajang. Atas nama Ayahanda, Pajang mengucapkan terima kasih kepada kalian. Tetapi tentu dengan pesan, bahwa
pada kalian masih dituntut kesediaan kalian meningkatkan perjuangan atas dasar pengabdian lebih tinggi lagi" Para prajurit itu mengangguk-angguk. "Besok akan ada upacara penyerahan kembali pasukan khusus ini. Upacara itu akan dihadiri oleh Ki Gede Pemanahan, yang secara resmi akan mewakili Ayahanda Kangjeng Sultan Hadiwijaya" Malam itu dilalui dengan suasana yang berbaur antara kegembiraan dan keharuan. Namun mereka bukanlah orangorang yang cengeng. Mereka berhadapan dengan kenyataan dan ketahanan jiwa seorang prajurit. Karena itu, maka mereka jalani tugas-tugas mereka dengan hati lapang. Demikianlah, di hari berikutnya, maka di halaman barak itu telah dilakukan penyerahan kembali para prajurit dari pasukan khusus itu kepada kesatuan mereka masing-masing. Penyerahan kembali itupun ternyata tidak luput dari perhatian para pengikut Harya Wisaka. Mereka mengartikan serah terima itu sebagai satu babak akhir dari usaha perburuan terhadap Harya Wisaka, karena Harya Wisaka sudah dinyatakan mati. "Mereka tidak akan memburunya lagi" desis seorang petugas sandi yang ditugaskan Harya Wisaka untuk mengamati para prajurit dari pasukan khusus itu. "Ternyata ketajaman penglihatan orang-orang Pajang hanya sampai sekian" Kawannya tertawa. Katanya, "Permainan Harya Wisaka kali ini benar-benar meyakinkan" "Sst. Jangan didengar orang lain, meskipun orang-orang di lingkungan kita sendiri. Orang-orang kitapun harus yakin, bahwa Harya Wisaka telah mati" "Apakah pernyataan itu tidak mengendorkan perjuangan para pengikut Harya Wisaka?" "Mungkin. Tetapi Pajang akan kehilangan kewaspadaan" Demikianlah, saat matahari sepenggalah, maka upacara itupun sudah selesai. Para prajurit mendapat kesempatan untuk beristirahat di rumah mereka masing-masing. Jika
saatnya mereka kembali, maka mereka tidak lagi kembali ke barak pasukan khusus itu. Tetapi mereka akan kembali ke barak pasukan mereka semula. Dalam pada itu, ketika Ki Gede Pemanahan yang menghadiri upacara serah terima itu sudah meninggalkan barak itu, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah bersiap-siap untuk kembali ke barak. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa serta Paksi telah mendapat ijin dari Ki Gede Pemanahan serta Kangjeng Sultan, untuk kembali ke padepokan mereka di Hutan Jabung. Namun merekapun sudah mendapat ijin pula untuk membantu mencari Harya Wisaka dengan cara mereka. "Kita akan kembali ke padepokan sore nanti bersama-sama Ki Waskita" berkata Raden Sutawijaya. Karena itu, untuk beberapa saat mereka masih harus menunggu di barak itu. Ki Waskitalah yang sudah berjanji untuk datang ke barak itu. Kemudian mereka akan berangkat bersama-sama ke padepokan di Hutan Jabung. Ketika matahari mulai turun, maka Ki Waskitapun benarbenar telah singgah di barak pasukan khusus yang telah ditinggalkan sebagian besar penghuninya. Hanya para petugas dari kesatuan lain tetap berada di barak itu. "Kapan kita akan berangkat?" bertanya Ki Waskita. "Kapan saja menurut Ki Waskita" jawab Raden Sutawijaya. "Pada dasarnya kami sudah siap. Kita tinggal menunggu Ki Waskita. Demikian Ki Waskita memerintahkan kami berangkat, maka kamipun akan berangkat" Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan segera berangkat. Tetapi beri kesempatan aku minum lebih dahulu" "O. Silahkan, Ki Waskita" jawab Raden Sutawijaya. Paksilah yang kemudian bangkit untuk mengambil minuman ke dapur Untuk beberapa saat mereka masih berada di barak itu. Paksi masih sempat berceritera tentang dua orang yang akan membunuhnya ketika ia mengunjungi ibu dan adiknya.
Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, "Kau harus bersukur bahwa kau berhasil menyelamatkan diri" "Ya, Ki Waskita" "Namun dengan demikian, kita tahu bahwa rumah itu masih tetap diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka" "Untuk apa sebenarnya Harya Wisaka mengawasi rumah Paksi, Ki Waskita" Bukankah Ki Tumenggung sudah tidak ada di rumah?" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, "Agaknya sasarannya memang Paksi" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Begitu benci ayahnya kepadanya. Apalagi setelah keduanya dengan tegas berdiri berseberangan. "Ikatan di antara para pengikut Harya Wisaka masih juga rapi" berkata Ki Waskita, "sehingga ketika kau berhasil menangkap seorang di antara mereka, maka dalam waktu singkat mereka dapat menyiapkan orang lain untuk membungkam orang yang telah kau tangkap itu" Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, setelah Ki Waskita meneguk minumannya, maka iapun berkata, "Marilah. Kita berangkat. Berhati-hatilah di jalan. Di antara kita ada dua sasaran penting. Paksi yang sudah dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya dan Pangeran Benawa yang membawa cincin kerajaan itu" Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tersenyum. Katanya, "Ya. Ada dua sasaran. Tetapi bukankah kuda kita mampu berlari kencang?" Ki Waskita tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Demikianlah, maka Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itupun segera minta diri kepada pemimpin prajurit yang bertugas di barak itu untuk kembali ke padepokan. Sejenak kemudian, maka empat orang penunggang kuda telah menyusuri jalan yang menuju ke Hutan Jabung. Jalan
yang semakin lama terasa semakin sepi. Apalagi ketika mereka sudah memasuki jalan kecil yang menuju ke hutan itu. Ternyata mereka tidak menemui hambatan di sepanjang perjalanan mereka yang memang tidak terlalu panjang itu. Dalam satu dua hari, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu menjalani kehidupan mereka di padepokan sebagaimana mereka lakukan sebelum mereka meninggalkan padepokan di pinggir Hutan Jabung itu. Namun pembangunan padepokan di bawah pimpinan Ki Kriyadama itu sudah menjadi semakin nyata. Beberapa bangunan telah berwujud. Sedangkan yang lain sudah sampai pada tahap-tahap akhir. Tinggal kemudian sampai pada tahap-tahap penyelesaian pada bagian-bagian yang rumit dan mempercantiknya. Seperti sebelum mereka meninggalkan padepokan, maka mereka pun ikut bekerja sebagaimana para cantrik yang lain. Merekapun ikut pula memasuki sanggar terbuka dan sanggar tertutup untuk mengikuti latihan-latihan yang menjadi semakin berat. Meskipun Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sudah berada pada tataran yang lebih tinggi, namun merekapun dengan tekun ikut pula mengikuti latihan-latihan bersama para cantrik lainnya. Dengan demikian, maka akan dapat menjadi pendorong bagi para cantrik yang lain. Namun demikian, Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi berada di padepokan, maka pola-pola latihanpun mulai berubah. Orang-orang berilmu tinggi itu mendapat tugas khusus untuk membimbing para cantrik itu dalam latihan-latihan khusus, sehingga dengan demikian, kemampuan para cantrik itu akan meningkat lebih cepat. Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi, tidak melupakan kesediaan mereka untuk ikut mencari Harya Wisaka dengan cara mereka. Tetapi pertanyaanpun timbul di antara mereka, "Cara yang bagaimana yang akan mereka tempuh?" Raden Sutawijaya tersenyum sendiri ketika mereka berbicara tentang maksud mereka untuk ikut mencari Harya Wisaka.
"Darimana kita akan mulai" desis Raden Sutawijaya itu. "Itulah yang sulit" sahut Pangeran Benawa. "Para petugas sandi dan para prajurit sudah melakukan sejak lama. Tetapi mereka masih belum menemukannya. Padahal Harya Wisaka itu sedang dalam keadaan luka cukup parah" "Apakah kita dapat minta petunjuk kepada Ki Waskita dan Ki Panengah" Kita memang tidak akan melibatkan orang lain. Tetapi bukankah kita dapat mendengarkan petunjuk-petunjuk orang lain yang kita percaya dan kita yakini akan membantu kita?" bertanya Paksi. "Aku tidak berkeberatan" berkata Raden Sutawijaya. Sementara itu, Pangeran Benawapun menyahut, "Aku sependapat. Kita dapat minta petunjuk mereka" Ketiganyapun sepakat untuk berbicara dengan Ki Panengah dan Ki Waskita setelah mereka selesai dengan tugas-tugas mereka. Ketika kemudian para cantrik termasuk Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi selesai berlatih, sementara malam menjadi semakin malam, Raden Sutawijayapun menemui Ki Panengah dan Ki Waskita, mohon waktu untuk menghadap. "Silahkan, silahkan Raden" "Aku, Adimas Pangeran Benawa dan Paksi ingin berbicara tentang usaha memburu Harya Wisaka" "Baiklah, Raden. Aku dan Ki Waskita menunggu di pringgitan" "Terima kasih atas perkenan Ki Panengah dan Ki Waskita. Kami akan mandi dahulu" Demikianlah, setelah Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi mandi dan mengganti pakaian mereka yang basah oleh keringat, maka merekapun segera menghadap Ki Panengah dan Ki Waskita di pringgitan. "Apa yang ingin Raden bicarakan?" bertanya Ki Panengah. Raden Sutawijaya beringsut setapak. Dengan nada datar iapun berkata, "Kami ingin berbicara tentang usaha kami untuk ikut serta mencari Harya Wisaka"
Ki Panengah itupun tersenyum. Katanya, "Aku mengerti. Kalian tentu terpanggil untuk melakukannya. Apalagi setelah kalian membawa pasukan khusus memburunya sampai jauh ke selatan. Namun ternyata Harya Wisaka itu masih berada di kotaraja" "Ki Gede memang sudah memperhitungkan" sahut Ki Waskita. "Itulah sebabnya, aku dipanggil untuk ikut menjebaknya. Tetapi kami gagal menangkap Harya Wisaka" "Rasa-rasanya Pajang tidak akan dapat tenang sebelum Harya Wisaka itu tertangkap. Selama ia masih memimpin pasukannya, maka setiap saat ia akan dapat menggerakkan pasukannya yang kuat untuk menyerang kotaraja" "Ya. Pasukannya tersebar dimana-mana. Terutama di Pegunungan Kendeng" desis Ki Waskita. "Hanya jika Harya Wisaka tertangkap, maka pasukannya akan bercerai berai" "Apakah kabar kematiannya itu tidak berpengaruh terhadap para pengikutnya?" bertanya Paksi. "Para pemimpinnya tentu tahu, bahwa Harya Wisaka tidak mati" Paksi mengangguk-angguk. "Nah, kami ingin mendapat petunjuk, darimana kami harus mulai. Apakah kami harus mengawasi setiap pintu di seluruh kotaraja, atau kami sebaiknya berkeliaran siang dan malam di jalan-jalan dan lorong-lorong sempit atau bagaimana menurut pendapat Ki Panengah dan Ki Waskita?" "Memang rumit" desis Ki Panengah. "Harya Wisaka tentu berada di satu tempat yang tersembunyi. Ia tidak akan pernah keluar dari persembunyiannya sebelum ia sembuh benar serta tenaga dan kemampuannya pulih kembali" "Para prajurit dan para petugas sandi sudah mencarinya dari rumah ke rumah. Bukan hanya rumah-rumah orang yang dicurigai, tetapi setiap rumah di kotaraja sudah dimasuki. Tetapi para prajurit itu tidak juga dapat menemukannya" Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, "Memang sulit untuk mencari seorang yang berilmu tinggi dan mempunyai pengikut yang luas. Banyak orang yang bersedia
melindunginya dan bahkan siap menanggung akibatnya jika perlindungannya itu kemudian diketahui oleh para prajurit Pajang" "Kita tidak dapat sekedar menunggu" "Aku mengerti" sahut Ki Panengah, "tetapi kalianpun tidak boleh tergesa-gesa. Apa yang terjadi pada Paksi ketika ia menengok ibu dan adiknya, memperingatkan kalian, bahwa di kotaraja bertebaran orang-orang yang memusuhi kalian. Nampaknya mereka dengan mudah mengenali kalian, sedangkan kalian sangat sulit untuk mengenali mereka" "Tetapi kamipun dapat membuat diri kami tidak mudah dikenali" berkata Pangeran Benawa. "Menyamarkan diri akan dapat menjadi salah satu cara untuk mencari jejak Harya Wisaka. Tetapi kalian tidak boleh menyesalinya jika usaha itu menjadi sia-sia" "Tetapi bukankah kita harus berusaha?" desis Pangeran Benawa. "Ya. Kita harus berusaha" Namun dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, "Kita tidak harus langsung menemukan Harya Wisaka. Mungkin kita dapat menemukan isterinya lebih dahulu. Bukankah kalian pernah mengenal wajah Sekarsari?" "Ya, Ki Waskita" sahut Raden Sutawijaya. "Mungkin juga pembantu-pembantunya yang dapat kita kenali. Ki Tumenggung Suryanata, misalnya" "Ya, Ki Waskita. Aku mengenal Ki Tumenggung Suryanata dengan baik" sahut Pangeran Benawa. "Ki Rangga Darmasasmita" "Ya" "Demang Kongas. Dan masih beberapa orang lagi" "Sebagian dari mereka tentu sudah berada di luar kotaraja" desis Raden Sutawijaya. "Ya. Bahkan mungkin mereka sempat keluar masuk pintu gerbang utama kotaraja. Mungkin sebagai penjual gula kelapa atau sebagai sais gerobag yang membawa ketela pohon" "Bukankah kami dapat melakukannya pula?"
"Tetapi bagaimanapun juga ada bedanya" desis Ki Waskita. "Apa bedanya?" "Kita adalah orang-orang yang mencari dan mereka adalah orang-orang yang dicari" Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Raden Sutawijayapun berkata, "Mereka hanya berkepentingan untuk menyamarkan diri. Sedangkan kita, selain menyamarkan diri juga harus menemukan orang-orang yang sedang menyamar" "Tetapi cara itu dapat ditempuh. Salah satu usaha yang dapat kalian lakukan. Bukankah para petugas sandi juga berusaha menemukan mereka dengan cara yang hampir sama. Mereka bahkan mempunyai keuntungan, bahwa mereka bukan orang-orang yang sudah banyak dikenal sebagaimana Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi" "Ya" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara itu Paksi justru menundukkan kepalanya. Terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat. "Bagaimana menurut pendapatmu, Paksi?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sedang berpikir tentang ayahku. Ia adalah salah seorang dari para pengikut Harya Wisaka. Aku akan dapat mengenalinya dengan baik, meskipun seandainya ayahku berpakaian dan berlaku seperti seorang pengemis. Tetapi ayahkupun akan dengan mudah mengenali aku, meskipun aku bertingkah laku seperti orang gila sekalipun" "Namun bagaimanapun juga kita harus berusaha" desis Raden Sutawijaya. "Ya" Paksi mengangguk. "Mungkin yang akan kita lakukan akan mirip dengan apa yang akan dilakukan oleh para petugas sandi sebelum kita menemukan cara lain yang lebih baik" "Ya" desis Paksi. "Kita sudah berpengalaman dalam pengembaraan kita di lereng selatan Gunung Merapi" berkata Pangeran Benawa.
"Aku sama sekali tidak menyamar sebagai siapa-siapa. Aku mengembara sebagai aku sendiri. Sementara itu, Pangeran memang tidak dikenal oleh orang-orang padesan itu" "Kau benar, Paksi" berkata Pangeran Benawa. "Tetapi kita untuk sementara tidak mempunyai cara lain. Kitapun tidak dapat menjamin bahwa kita tidak akan bertemu dan berhadapan dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada" "Paksi" berkata Ki Waskita, "jika kau kemudian harus berselisih dengan ayahmu, itu bukan karena kau seorang anak yang tidak tahu diri. Bukan seorang anak durhaka yang tidak tahu kebaikan orang tua. Tetapi kau tahu, bahwa ayahmu itu adalah seorang yang telah melawan Pajang. Seorang yang telah memberontak. Sehingga persoalannya menjadi jelas" Paksi hanya menundukkan kepalanya. Jantungnya berdesir ketika Raden Sutawijaya itupun berkata, "Kau tidak berdosa jika kau melawan ayahmu itu, Paksi. Selain kau mengemban tugas negara, kau juga sekedar mempertahankan hidupmu, karena pada suatu saat, akhirnya kau harus memilih, kau atau ayahmu yang harus mati" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya, cara itupun akan dipergunakan untuk sementara sebelum mereka menemukan cara yang lebih baik. Pada hari-hari tertentu, terutama pada hari-hari pasaran di pasar gedhe, mereka akan memasuki kota dengan membawa segerobag kelapa ke pasar. Mungkin mereka akan bertemu dengan pengikut Harya Wisaka yang dapat mereka kenali, atau bahkan orang-orang terpenting di antara mereka. Sebenarnyalah, pada hari pasaran di pasar gedhe, ketiga orang itu membawa segerobag ketela pohon memasuki kotaraja. Merekapun langsung membawa gerobag mereka ke pasar. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi ternyata tidak canggung-canggung lagi menjual hasil bumi itu. Sebelumnya mereka sudah mempelajari apa yang harus mereka lakukan, jika mereka membawa segerobag ketela pohon.
Di pasar itu, beberapa orang pedagang sudah menunggu. Mereka membeli ketela pohon dari manapun untuk mereka jadikan gaplek yang dapat tahan lama. Di masa paceklik di daerah pegunungan yang tanahnya tidak subur, gaplek akan menjadi makanan pokok pengganti beras dan jagung. Setelah gerobag mereka kosong, maka mereka bertiga tidak segera pergi meninggalkan pasar. Mereka masih dudukduduk di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar itu sambil mengamati orang-orang yang hilir mudik. Tetapi mereka tidak melihat seorangpun yang dapat mereka kenali. Ketika seorang perempuan cantik dalam pakaian yang kusut lewat, Pangeran Benawa bergeser setapak. Namun kemudian dengan nada rendah iapun berdesis, "Aku kira Bibi Sekarsari" "Memang mirip" sahut Raden Sutawijaya. "Tetapi Bibi Sekarsari tentu akan nampak lebih tua tanpa merias wajahnya" Namun setelah mereka melakukannya tiga empat kali, dan bahkan mereka bertiga sudah mencoba memasuki dan ikut berdesakan di pasar, mereka tidak menemukan seorangpun yang mereka yakini sebagai pengikut Harya Wisaka. "Beberapa orang petugas sandi tentu berkeliaran pula di pasar ini" desis Raden Sutawijaya. "Tetapi mereka tidak akan dapat langsung mengenali para pemimpin yang menjadi pengikut Harya Wisaka" sahut Pangeran Benawa. "Belum tentu. Mungkin mereka sudah mengenal Ki Tumenggung Suryanata, atau Ki Rangga Darmasasmita atau Sarpa Biwada" sambung Paksi. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Tetapi mereka tidak menyahut. Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita selalu mengikuti usaha Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu dengan saksama. Meskipun beberapa kali mereka tidak menemukan apa-apa, tetapi mereka tidak segera menjadi jemu. Bahkan merekapun telah mengambil cara lain.
Mereka membawa gerabah dengan kuda-kuda beban berkeliling lewat lorong-lorong kecil. Tetapi mereka tidak pernah bertemu atau melihat orangorang yang mereka cari. Bahkan ketika mereka dengan sengaja membawa gerabah dengan kuda beban lewat di depan rumah Paksi, mereka tidak melihat seorang di dekat atau di sekitar regol halaman rumah itu. Meskipun mereka tetap menduga, bahwa rumah itu masih selalu diawasi, tetapi mereka tidak menemukan orang yang pantas dicurigai mengawasi rumah itu. Namun dalam pada itu, ternyata Ki Waskitapun menjadi prihatin pula melihat Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi bekerja dengan tabah dan tanpa mengenal lelah untuk menelusuri jejak Harya Wisaka atau orang-orang terdekatnya. Tetapi Ki Waskita sendiri seakan-akan berdiri di jalan simpang. Jika ia ikut langsung mencari jejak, akan dapat menimbulkan salah paham. "Yang paling mungkin aku pancing adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Panengah" berkata Ki Waskita. "Tetapi apa kata orang yang mengetahui atau akhirnya mengetahui persoalannya?" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. "Aku mengerti, Ki Waskita. Kita pun harus menjaga perasaan Paksi. Bagaimanapun juga Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah ayahnya. Sampai saat ini, Paksi seakan-akan masih bingung. Apa yang harus dilakukannya menghadapi sikap ayahnya, meskipun ia mempunyai dua alasan terpenting untuk melawan ayahnya" Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Paksi sadar sepenuhnya bahwa ayahnya akan membunuhnya. Kemudian Paksipun sadar bahwa ayahnya telah memberontak. Tetapi ternyata bagi Paksi kedua alasan itu masih belum cukup untuk melupakan hubungan keluarga di antara mereka, sehingga Paksi masih tetap ragu-ragu" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari kesulitan yang dihadapi oleh Ki Waskita jika ia akan langsung
melibatkan diri dalam perburuan jejak Harya Wisaka melalui para pengikutnya. Namun Ki Panengah itupun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan adik laki-laki Paksi itu?" "Kita belum tahu anak itu akan dibawa kemana. Aku tidak yakin bahwa anak itu dibawa ke perguruan Ki Ajar Wisesa Tunggal. Meskipun Ki Tumenggung pernah ingin menyerahkan Paksi ke perguruan itu, tetapi bahkan sebaliknya Paksi telah mengalahkan orang yang bernama Semburwangi, namun adik laki-laki Paksi itu tidak akan dibawa kesana. Jika anak itu dibawa kesana, maka orang-orang yang memburunya akan dengan mudah melacaknya" "Ya" jawab Ki Panengah, "tetapi apakah kita tidak mencobanya menghubungi Ki Ajar Wisesa Tunggal?" "Apakah Ki Ajar akan bersedia membantu kita?" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Menemui Ki Ajar Wisesa Tunggal mungkin memang adalah usaha yang sia-sia. Tetapi kita dapat mencobanya" Tetapi Ki Waskitapun berkata, "Aku ingin memperingatkan sifat-sifat Ki Ajar Wisesa Tunggal, Ki Panengah. Apakah kirakira ia akan dapat diajak bekerja bersama" Ia akan menganggap kita orang-orang yang tidak berarti dan memperlakukan kita sesuka hatinya sendiri. Tetapi pada batas kesabaran itu, akan dapat terjadi hal-hal yang justru tidak kita inginkan" Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti, Ki Waskita" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. "Jadi, bagaimana kita dapat melacak anak itu?" "Sulit, Ki Panengah. Sesulit melacak jejak ayahnya itu sendiri. Tetapi kita memang harus mencari jalan" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita itupun berkata, "Ki Panengah, jika tidak ada jalan lain, maka aku akan menempuh jalan yang satu itu, apapun akibatnya. Mungkin kemudian jantung Paksi akan teriris. Tetapi mungkin pula ia akan bersukur" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam.
Namun ternyata Ki Waskita masih juga belum dapat mengambil keputusan. Sementara itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi masih juga berusaha untuk melacak jejak Harya Wisaka dengan caranya. Tetapi setelah beberapa lama mereka lakukan, namun masih juga belum terdapat kemajuan apa-apa. Dalam pada itu, hari-hari Ki Waskita selanjutnya dilewatinya dengan penuh kebimbangan. Ia melihat satu jalan yang dapat ditempuhnya. Tetapi jalan itu akan dapat membawa akibat yang kurang baik bagi Paksi. Bukan hanya karena jalan yang satu itu memungkinkan ayahnya dapat tertangkap, tetapi ada sisi-sisi lain yang akan dapat menghentak ketenangan jiwa Paksi. Dengan demikian, maka Ki Waskita itu seakan-akan telah berubah menjadi seseorang perenung. Kebimbangan yang sangat telah mengguncang perasaannya siang dan malam, sehingga terasa pengaruhnya terhadap kehidupan Ki Waskita itu sehari-hari. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang akrab dengan Ki Panengah dan Ki Waskita, ternyata menangkap perubahan sikap Ki Waskita itu. "Apa yang terjadi dengan Ki Waskita, Ki Panengah?" bertanya Raden Sutawijaya. "Aku tidak dapat mengatakannya, Raden" "Apakah sebaiknya kami bertanya langsung kepada Ki Waskita saja?" "Biarlah Paksi yang bertanya" "Aku?" desis Paksi. "Ya, kau, Paksi" Paksi justru menjadi berdebar-debar. Kenapa harus dirinya yang bertanya kepada Ki Waskita" Namun Ki Panengah itupun mengulanginya, "Sebaiknya kau sajalah yang bertanya, Paksi, meskipun itu juga tidak menjamin bahwa jawab Ki Waskita itu akan memuaskanmu. Mungkin kau justru menjadi bingung. Tetapi mungkin pula sebaliknya"
"Aku menjadi berdebar-debar, Guru" "Tetapi mungkin Ki Waskita tidak akan menjawab sama sekali" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencobanya" "Jangan tergesa-gesa. Kau dapat menemuinya nanti malam atau esok. Bukankah kau besok tidak akan memasuki kotaraja dengan penyamaran?" "Tidak, Ki Panengah. Mungkin pekan depan, jika pasar gedhe itu sedang pasaran" "Jika demikian, temuilah Ki Waskita itu esok. Pagi atau siang atau sore" "Baik, Ki Panengah" Hari itu Paksipun telah mempersiapkan diri untuk menemui dan bertanya langsung kepada Ki Waskita, kenapa Ki Waskita nampak menjadi murung. Besok ia akan menemuinya dan berbicara dengan gurunya itu. Namun sebelum Paksi benar-benar menghadap, anak muda itu sudah menjadi berdebar-debar. Jantungnya serasa berdetak semakin cepat. "Tetapi aku harus berbicara dengan guru untuk mendapat gambaran yang jelas tentang keadaannya" Di hari berikutnya, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi tidak pergi ke kotaraja. Mereka telah ikut terjun ke dalam kesibukan menyelesaikan pembangunan padepokan di Hutan Jabung itu. Namun Paksipun nampak gelisah. Ia mendapat tugas untuk menemui Ki Waskita yang di hari-hari terakhir nampak murung. Tetapi Paksi tidak melakukannya secara khusus. Ia tidak ingin datang menemui gurunya dan mohon waktu untuk berbicara bersungguh-sungguh. Namun Paksi ingin menemui dan berbicara dengan Ki Waskita itu justru pada saat mereka beristirahat. Sebenarnyalah, ketika matahari sampai di puncak, maka mereka yang bekerja menyelesaikan padepokan itupun
beristirahat. Mereka mendapat sebungkus nasi dengan laukpauknya bagi makan siang mereka. Seperti biasanya, Ki Waskita memang lebih senang ikut makan bersama mereka yang bekerja menyelesaikan padepokan itu. Ki Panengah juga sering melakukannya, tetapi tidak sesering Ki Waskita. Namun ketika Ki Waskita mendekati Ki Kriyadama yang juga sedang makan bersama mereka yang sedang beristirahat itu, Paksi mendekatinya sambil berdesis, "Guru. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan" "He?" Ki Waskita memandang Paksi dengan kerut di kening. "Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, Guru" "Kita akan makan siang dan beristirahat" "Sambil makan siang, Guru. Persoalannya bukan persoalan yang penting" Ki Waskita itupun kemudian duduk di sebatang balok kayu yang terbujur di belakang bangunan yang sedang dikenakan bersama Paksi sambil memegang sebungkus nasi bagi makan siang mereka. "Apa yang ingin kau tanyakan, Paksi?" "Maaf, Guru. Bukan maksudku mengusik perasaan Guru" Ki Waskita memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan nada dalam iapun berkata, "Katakanlah. Jika saja aku dapat menjawab, maka aku akan menjawabnya" Paksi memang masih saja ragu-ragu. Tetapi rasa-rasanya ia mengemban tugas dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Paksi dipercaya untuk berbicara dengan gurunya, kenapa pada hari-hari terakhir Ki Waskita nampak murung dan bahkan gelisah. "Guru" berkata Paksi kemudian, "sebelumnya aku mohon maaf. Mudah-mudahan tangkapan kami atas penglihatan kami pada hari-hari terakhir ini tidak benar" Ternyata Ki Waskita segera tanggap. Karena itu, iapun tersenyum sambil bertanya, "Siapakah yang kau maksud dengan kami?"
Paksi mengerutkan dahinya. Katanya, "Aku, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa" "O. Terima kasih atas perhatian kalian. Tetapi apakah yang telah kalian lihat?" "Menurut penglihatan kami, Guru pada hari-hari terakhir ini nampak murung" Ki Waskita tertawa. Katanya, "Apakah aku menjadi murung" Atau bahkan seperti seorang gadis yang merajuk?" "Tidak. Tidak, Guru. Dalam pengamatan kami, nampaknya ada sesuatu yang Guru pikirkan. Justru masalah yang agaknya sangat rumit" -ooo00dw00oooJilid 26 KI WASKITA masih tertawa. Katanya, "Kau benar, Paksi. Ada sesuatu yang sedang aku pikirkan. Seperti juga yang kau pikirkan. Aku merasa gelisah seperti orang lain, bahwa Harya Wisaka masih juga belum dapat dilacak jejaknya. Jika aku nampak murung, karena aku sedang memikirkan satu cara yang mungkin dapat ditempuh. Tetapi cara itu akan mempunyai akibat yang tidak dapat aku perhitungkan sebelumnya" "Maksud Guru?" Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Katanya, "Mungkin aku dapat mencari jalan untuk melacak Harya Wisaka. Tetapi tidak langsung. Aku mungkin dapat melacak salah seorang pembantu Harya Wisaka yang terhitung dekat. Dari sana akan kita dapatkan jejak Harya Wisaka itu" "Jika jalan itu memungkinkan kita sampai kepada Harya Wisaka, bukankah jalan itu dapat dicoba?" "Tetapi tebusannya akan dapat menjadi mahal sekali, Paksi" "Maksud, Guru"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Paksi dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja Ki Waskita itu berkata, "Paksi, bukankah kita belum mulai makan" Makanlah sebelum waktu untuk beristirahat usai" "Aku tidak lapar, Guru" "Kau tentu lapar. Bukankah kita akan berbicara sambil makan. Sekarang makanlah" Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian membuka pula sebungkus nasi dan mulai makan bersama Ki Waskita dan Ki Kriyadama. Sementara itu, Ki Waskitapun mulai berbicara dengan Ki Kriyadama tentang pembangunan padepokan yang mendekati tahap-tahap akhir itu. Semakin lama semakin asyik sehingga Paksi tidak mendapat waktu untuk berbicara lagi. Meskipun demikian, bahwa lontaran pertanyaan yang pernah disampaikan kepada Ki Waskita itu dianggapnya cukup untuk mengusik perasaan Ki Waskita. Paksi sudah merasa cukup untuk menyentuh hati orang tua itu, sehingga ia mengerti, bahwa ada yang memperhatikan perubahan sikapnya di saat-saat terakhir. Sebenarnyalah, sejak Paksi datang menemuinya dan bertanya tentang masalah yang sedang direnunginya, Ki Waskita justru menjadi semakin memikirkannya. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengambil sikap. Namun sementara itu, usaha untuk menemukan Harya Wisaka seakan-akan telah mengalami jalan buntu. Usaha Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sama sekali belum menunjukkan kemajuan sama sekali. Sementara itu, usaha untuk menemukan adik Paksipun masih meragukannya, apakah sudah sepantasnya adiknya menjadi rambatan untuk menemukan ayahnya. "Adikku tidak bersalah sama sekali" berkata Paksi kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. "Adikmu memang tidak bersalah. Bahkan iapun merasa terpaksa untuk meninggalkan rumahnya mengikut ayahnya. Bukankah kita tidak memburunya dan akan menghukumnya"
Kita hanya ingin membuatnya membuka jalan untuk menemukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada" jawab Raden Sutawijaya. "Tetapi Seandainya adikku itu diketemukan, maka ia akan dipaksa untuk menunjukkan, dimana ayah bersembunyi. Bahkan seandainya adikku itu benar-benar tidak mengetahuinya, maka ia akan diperas sampai darahnya kering untuk mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya" Pangeran Benawa tersenyum sambil menggeleng, "Bukankah kita tidak akan berbuat sejauh itu, Paksi" Seandainya adikmu itu kami ketemukan, bukankah dengan demikian kita telah membebaskan adikmu dari satu keadaan yang tidak disukainya?" Paksi menggeleng sambil berdesis, "Mungkin, jika anak itu jatuh ke tangan kita. Tetapi jika anak itu jatuh ke tangan orang lain, maka tujuan penangkapan itu tentu untuk memeras keterangan anak itu agar menunjukkan dimana ayah bersembunyi" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak membantah. Paksi memang dapat menduga sebagaimana dikatakannya itu. Jika adik Paksi itu jatuh ke tangan prajurit sandi tanpa diketahui oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa atau Paksi sendiri, maka akibat yang buruk memang akan dapat terjadi. Prajurit sandi itu memang dapat memaksa anak itu untuk menunjukkan dimana ayahnya bersembunyi. Untuk mendapat keterangan, seseorang kadang-kadang memaksa orang lain untuk menjawab sesuai dengan keinginannya, sehingga kadang-kadang seseorang justru harus berbohong untuk memenuhi keinginan orang-orang yang memaksanya mengatakan sesuai dengan kebenaran. Sedangkan orang-orang yang menginginkan kebenaran itu justru menjadi puas oleh kebohongan itu. Paksipun kemudian tidak lagi berbicara tentang adiknya. Karena setiap kali ia mendengar usaha untuk mencarinya sebagai salah satu pintu untuk sampai kepada ayahnya, terasa jantungnya menjadi berdebar-debar.
Ketika hari pasaran di pasar gedhe itu tiba, maka seperti yang pernah dilakukan, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah berada di pasar. Tetapi hari itu, mereka merencanakan tidak saja membawa gerabah ke pasar, tetapi juga akan membawa gerabah yang diusung di atas punggung kuda beban itu berkeliling. Pada saat matahari menjadi semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah memisahkan diri. Mereka menuntun kuda masing-masing dengan muatan gerabah berkeliling dari lorong ke lorong. Jalan di kotaraja masih nampak ramai. Orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar masih berlalu-lalang. Sekalisekaliseorang berkuda melintas. Pada kesempatan lain, tiga orang prajurit yang meronda lewat menyusuri jalan. Paksi menuntun kudanya memasuki lorong yang lebih sempit. Ia menawarkan gerabahnya dari pintu ke pintu rumah. Namun tiba-tiba Paksi itu terkejut. Ia melihat tiga orang berjalan berlawanan arah. Nampaknya mereka juga baru pulang dari pasar lewat jalan lain. Seorang di antara mereka membawa dua bakul yang dipikulnya. Agaknya isinya berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dua orang yang lain membawa bakul di atas kepala mereka. Mungkin berisi beras atau jagung. Yang menarik perhatian Paksi adalah seorang remaja yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka. Seorang remaja dengan pakaian yang kumuh seperti pakaian yang dipakai oleh Paksi sendiri. Mengenakan caping bambu yang lebar sambil menjinjing sebuah keba dari pandan yang kasar. Semakin dekat Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan jantungnya serasa menjadi semakin cepat dan semakin keras berdegup. Sementara itu, remaja itu masih belum memperhatikannya. Mungkin remaja itu sudah melihatnya. Tetapi ia tentu mengira bahwa Paksi adalah seorang penjual gerabah yang membawa dagangannya di atas punggung seekor kuda beban yang dituntunnya menyusuri lorong-lorong.
Akhirnya Paksipun yakin, bahwa remaja itu adalah adiknya. Adiknya yang dicarinya dan yang agaknya juga dicari oleh para petugas sandi. Paksipun kemudian berhenti dan mengikat kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan sambil menunggu remaja itu lewat. Sementara remaja itu sama sekali tidak memperhatikannya dan tidak mengenalnya. Demikian remaja itu melangkah di sebelah Paksi, maka Paksipun menangkap tangannya sambil berdesis, "Kau tidak mengenal aku?" Remaja itu terkejut. Dipandanginya Paksi dengan tajamnya. Remaja itu memang adik Paksi. "Kakang Paksi" desis remaja itu. "Ya, aku kakakmu. Paksi" Remaja itu masih saja menatap Paksi. Namun tiba-tiba ia mendorong Paksi sambil berdesis, "Kau bukan kakakku" "Aku Paksi, kau kenal aku, kan?" "Aku tahu, kau Kakang Paksi. Tetapi kau bukan kakakku" Paksi tidak sempat bertanya lebih jauh. Tiga orang yang berjalan mendahului remaja itupun berhenti. Mereka meletakkan pikulan serta bakul yang mereka bawa di atas kepala mereka. "Siapakah orang ini?" bertanya seorang di antara mereka. "Paksi" "Inikah anak muda yang bernama Paksi itu?" "Ya" Orang itu menggeram. Dengan suara yang berat iapun berkata, "Nasibmu buruk, anak muda. Kau termasuk salah seorang yang harus disingkirkan" "Maksudmu?" "Kau harus dibunuh" Namun adik Paksi itupun berkata, "Biarkan orang itu pergi" "Tidak mungkin. Ia sudah melihat dan dapat mengenalimu. Karena itu, maka ia harus dibunuh" "Biarkan ia pergi" "Sayang. Ia telah masuk ke dalam lubang kuburnya. Kita tinggal menimbuninya saja"
Paksi bergeser selangkah surut. Sementara laki-laki yang bertubuh pendek tetapi berbadan kekar itupun menggeram, "Aku akan mencincangmu" Kawannya yang lain, yang berwajah tampan dan berkumis tipis berkata, "Sebaiknya kau tidak usah membuat ulah. Itu hanya akan memperpendek umurmu dan mempersulit jalan kematianmu" "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?" "Kau harus menyerahkan diri. Dengan demikian, maka kau akan mati dengan tanpa mengalami penderitaan" Paksi memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Menurut penglihatannya, ketiganya adalah orang-orang yang memiliki ketrampilan mempermainkan senjatanya. Apalagi ketika ketiganya telah mencabut pedang pendeknya yang mereka sembunyikan di dalam bakul mereka. "Jangan bunuh orang itu. Biarlah mereka pergi" berkata adik Paksi itu. Tetapi ketiga orang itu tidak menghiraukannya. Merekapun telah mulai memutar pedang pendek mereka. "Kita harus segera menghabisinya sebelum kehadiran kita disini diketahui orang dan dilaporkannya kepada para prajurit" Paksi tidak dapat mengelak, iapun segera melangkah surut dan menggapai tongkatnya yang disangkutkannya pada kuda bebannya. Demikian ia menarik tongkatnya itu, maka seorang di antara ketiga orang yang hendak membunuhnya itu sudah menyerangnya. Namun Paksipun sudah siap. Dengan tangkasnya iapun menangkis serangan itu. Bahkan dengan satu putaran, tongkatnya telah mematuk ke arah perut orang yang menyerangnya itu. Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Paksi mampu bergerak demikian cepatnya. Dengan serta-merta iapun segera meloncat ke samping. Namun tongkat Paksipun telah menggeliat dan terayun mendatar. Orang itu tidak sempat menangkis ketika tongkat itu
menyambar lengannya Orang itu terhuyung-huyung ke samping. Namun dengan cepat kawannya datang membantunya. Orang yang berwajah tampan dengan berkumis tipis itu telah meloncat sambil menebas langsung ke arah leher Paksi. Tetapi Paksi sempat merendah. Tongkatnya justru menyambar kaki orang itu, sehingga orang itu tidak mampu menyelamatkan keseimbangannya. Dengan kerasnya orang itu terbanting di tanah. Namun ketika Paksi siap mengayunkan tongkatnya untuk mengakhiri perlawanan orang berwajah tampan itu, yang lainpun telah menyerangnya pula. Karena itu, maka Paksipun harus meloncat menghindari serangan itu. Sambil memutar tongkatnya Paksi harus berloncatan mengelak dari serangan kedua orang lawannya bersama-sama. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketiga orang yang tentu para pengikut Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bertempur dengan keras dan kasar. Mereka langsung meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Mereka ingin dengan cepat membunuh Paksi, karena jika kehadiran mereka diketahui orang dan dilaporkan kepada para prajurit, maka mereka akan mendapatkan kesulitan. Tetapi, ternyata tidak mudah membunuh Paksi. Anak muda itu mampu berloncatan seperti sikatan menyambar bilalang. Tongkatnya berputaran, terayun mendatar dan kemudian mematuk dengan derasnya. Orang yang bertubuh pendek itu terdorong beberapa langkah surut. Perutnya menjadi sakit dan mual karena tongkat Paksi menghentaknya. Bahkan perutnya itupun telah terluka dan berdarah. Sementara itu, orang yang berkumis tipis itu jatuh tersungkur ketika ayunan tongkat Paksi berhasil mengenai tengkuknya. Tetapi ketiga orang itu masih saja bertempur dengan garangnya. Berkali-kali mereka terlempar. Namun setiap kali mereka telah meloncat kembali ke arena. Pedang pendek mereka terayun-ayun mengerikan.
Paksi harus meloncat surut untuk mengambil jarak ketika ujung pedang seorang di antara ketiga lawannya itu mengenai lengannya. Segores luka membuat kulitnya telah menganga. Ketiga orang lawannya tidak memberinya kesempatan. Ketika mereka melihat darah mengalir dari luka di lengan Paksi, maka merekapun menjadi semakin bernafsu. Seperti seekor serigala yang mencium bau darah, mereka serentak memburunya. Paksi menggeletakkan giginya. Berbagai macam ilmu tersimpan di dalam dirinya. Karena itu, ketika ia terdesak, dan bahkan terluka, maka Paksipun telah menghentakkan ilmunya dengan garangnya. Darah Paksi yang masih muda itu seakan-akan telah mendidih ketika ia merasa lukanya menjadi nyeri. Sementara serangan-serangan lawannya semakin lama justru menjadi semakin menekannya. Dengan demikian, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Seorang di antara ketiga orang lawan Paksi melenting ke atas dinding halaman di pinggir jalan. Ketika Paksi sedang menghindari serangan orang berkumis tipis itu, orang yang bertengger di atas dinding halaman itupun meloncat dengan cepat sambil mengayunkan pedang pendeknya. Paksi berdesah tertahan. Punggungnya tergores luka melintang. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa pedih. Dengan cepatnya Paksi itupun meloncat mengambil jarak. Sekali tubuhnya berputar di udara. Kemudian kedua kakinya dengan lunak menyentuh tanah. Tetapi Paksi terpaksa meloncat sekali lagi, berputar di udara dan berdiri tegak di tanah, siap untuk melawan ketiga orang lawannya yang memburunya. Pertempuranpun menyala semakin sengit. Seranganserangan ketiga orang yang akan membunuh Paksi itu menjadi semakin keras dan kasar. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak nyaring. Orang yang bertubuh pendek itu jatuh tertelungkup
di tanah. Kedua tangannya memegangi perutnya yang tertembus ujung tongkat Paksi. Orang itu masih menggeliat. Tetapi kemudian iapun terdiam. Namun pada saat tongkat Paksi menikam perut orang itu, ujung pedang pendek orang yang berkumis tipis itu sempat melukai pundak Paksi. Namun Paksi yang kesakitan itu justru menjadi semakin garang. Seperti seekor banteng yang terluka, Paksi menyerang kedua orang lawannya yang tersisa dengan puncak ilmunya. Kedua lawannyapun segera terdesak. Seorang yang berkumis tipis itu masih sempat berteriak, "Lari. Larilah. Kau tidak boleh jatuh ke tangan Paksi. Kau akan menjadi tawanan. Tubuhmu akan dicincang untuk mendapatkan pengakuan" Adik Paksi mendengar teriakan itu. Tetapi rasa-rasanya kakinya menjadi beku. Karena itu, maka anak itu tidak segera meninggalkan tempatnya. Lawan Paksi yang seorang lagipun berteriak pula, "Cepat, tinggalkan tempat ini. Jangan bodoh, jika kau tidak mau tersiksa di tangan prajurit Pajang" Paksi yang muda itu tidak lagi mengekang diri. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Seorang lawannya yang meloncat sambil menjulurkan pedangnya, justru mengaduh ketika tongkat Paksi menghantam kepalanya. Orang itu terhuyung-huyung surut. Paksi yang mencoba memburunya tertahan. Orang yang berkumis tipis itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher. Tetapi Paksi sempat merendahkan dirinya. Demikian pedang itu terayun di atas kepalanya, maka Paksi itupun mengayunkan tongkatnya menyapu kaki orang berkumis tipis itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Tulang kakinya serasa telah patah, sehingga orang itu tidak lagi mampu berdiri. Tubuhnya terpelanting jatuh di atas lorong yang sepi itu. Pada saat itu, kawannya yang seorang lagi mencoba untuk mencegah serangan Paksi yang lebih menentukan. Dengan
menjulurkan pedang pendeknya ia berusaha menikam punggung Paksi. Tetapi Paksi yang mengetahui serangan itu dengan cepat mengelak ke samping. Bahkan kemudian tongkatnya sempat memukul pergelangan tangan orang itu sehingga pedangnya terpelanting dari tangannya. Orang itu tidak sempat memungut pedangnya. Darah muda Paksi yang menggelegak di jantungnya itu telah memanaskan seluruh tubuhnya, sehingga anak muda itu tidak lagi menahan dirinya. Dengan garangnya Paksi mengayunkan tongkatnya, menghantam tengkuk orang yang telah kehilangan senjatanya itu, sehingga iapun jatuh tertelungkup. Namun pada saat yang bersamaan orang berkumis tipis yang tidak lagi dapat berdiri tegak itu merayap mendekatinya. Pedangnya menebas ke arah mata kaki Paksi. Tetapi Paksi sempat menghindari. Sambil meloncat ia mengangkat tongkatnya. Namun demikian ia berpijak di tanah, maka ujung tongkatnya itupun telah menikam dada orang berkumis tipis itu. Orang itu tidak sempat mengaduh. Tiga orang lawan Paksi telah terkapar di tanah. Mati. Paksi termangu-mangu sejenak. Beberapa goresan luka mengoyak tubuhnya. Lengannya, punggungnya, pundaknya, pahanya dan beberapa goresan lagi. Dalam pada itu, ketika Paksi yakin bahwa ketiga orang lawannya tidak lagi mampu memberikan perlawanan, maka iapun melangkah menjauhinya. Perhatiannyapun kemudian tertuju kepada adiknya yang berdiri ketakutan melekat dinding halaman sebelah. Namun tiba-tiba anak itupun berteriak, "Jika kau akan membunuh aku, bunuhlah" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya. Didekatinya adiknya yang berdiri melekat dinding itu. "Marilah kita pulang. Ibu menunggumu"
"Tidak. Aku tidak mau pulang. Aku tentu akan ditangkap dan disiksa sampai mulutku mengaku, dimana ayah bersembunyi" "Aku akan melindungimu. Marilah. Ibu sangat rindu kepadamu. Adik kita juga sering bertanya, dimana kau berada" "Jangan sentuh aku. Kau bukan kakakku" Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan suara bergetar iapun bertanya, "Bagaimana mungkin aku bukan kakakmu" Kita dilahirkan oleh seorang ibu yang sama. Kita pun mempunyai ayah yang sama" "Tidak. Ayah kita tidak sama" Paksi menjadi tegang. Bahkan lebih tegang dari saat ia berhadapan dengan ketiga orang lawannya. "Siapa yang mengatakan itu kepadamu?" "Ayah. Ayah mengatakan kepadaku, bahwa ayah kita berbeda. Kau bukan anak ayah. Kau adalah benalu di rumah kami. Karena itu, kau harus disingkirkan" "Jika aku bukan anak ayah, katakan, menurut ayah, aku anak siapa?" "Kau anak orang yang tidak dikenal. Itulah kenyataannya. Karena itu, jangan sebut lagi aku adikmu" "Tetapi ibu kita?" "Aku mencintai ibu. Tetapi aku tidak dapat menemui ibu sekarang" Wajah Paksi menjadi merah. Luka di tubuhnya tidak terasa lagi. Luka di hatinya itulah yang terasa pedih dan nyeri, sehingga tubuh Paksipun bergetar. "Bawa aku kepada ayah. Aku ingin ayah menjelaskannya" "Tidak. Aku bukan pengkhianat. Karena itu, jika kau ingin membunuhku, bunuhlah" Rasa-rasanya seluruh isi dada Paksi berguncang. Ia tidak dapat mendengar keterangan adiknya itu. Dengan wajah yang tegang, Paksi melangkah mendekati adiknya dan berjongkok di hadapannya. "Menurutmu, siapa aku ini, he?"
"Kau orang asing di rumah kami. Setidak-tidaknya ayahmulah yang asing bagi kami" "Kau telah menghina ibu. Bukankah dengan demikian berarti ibu telah ternoda ketika menikah dengan ayah?" "Ya" "Diam. Diam kau kecoak kecil. Ayah itulah yang telah gila. Ia telah memfitnah ibu. Memfitnah aku. Ayah ingin memisahkan kita, karena ayah sekarang menjadi seorang pemberontak, sedangkan aku tidak. Kaupun seharusnya tidak" "Tidak ada hubungannya dengan gerakan Harya Wisaka" jawab adiknya. "Aku sudah tidak lagi kanak-kanak. Aku sudah dapat memisahkan persoalan demi persoalan. Kau bukan kakakku. Tetapi kau dapat mempergunakan keikutsertaan ayah dalam gerakan Harya Wisaka sebagai alasan untuk membunuhku, agar kau kelak dapat memiliki warisan ayah sepenuhnya meskipun itu bukan hakmu" "Diam. Diam kau" "Kau takut melihat wajahmu sendiri" Tangan Paksi tiba-tiba saja telah terjulur menampar mulut adiknya. Adiknya terkejut. Paksi yang masih terguncangguncang jantungnya itu, tidak dapat mengendalikan tenaganya dengan baik. Karena itu, maka sentuhan tangannya di mulut adiknya itu terasa sakit sekali. Bahkan ketika tangan adiknya itu meraba mulutnya, maka terasa cairan hangat meleleh dari sela-sela bibirnya. Darah. Sejenak Paksi tertegun. Ia melihat adiknya menyeringai menahan sakit. Bahkan dari mulut adiknya itu mengalir darah yang merah. Dari matanya yang mengaca terbayang gejolak jantungnya yang berdegup semakin cepat dan semakin keras. Namun tiba-tiba terdengar suara Paksi merendah, "Maafkan aku. Aku tidak sengaja menyakitimu" Namun jawab adiknya, "Itu hakmu. Kau bunuh ketiga orang kawanku. Sekarang, bunuh aku sama sekali" "Aku masih waras. Aku tidak gila. Bagaimana mungkin aku membunuh adikku sendiri"
"Aku bukan adikmu, kau dengar. Ayah mengatakan ini seribu kali kepadaku. Dan akupun akan mengatakannya seribu kali kepadamu, bahwa kau bukan kakakku" "Apakah kau juga akan mengatakannya di hadapan ibu?" Adiknya tertegun. Sejenak ia bagaikan membeku. "Jika hal ini kau katakan kepada ibu, kau akan tahu akibatnya. Selama ini kita menganggap ibu adalah seorang perempuan yang baik, seorang ibu yang bersih, seperti air yang bening keluar dari mata airnya. Selama ini kita minum air yang bening itu dengan ucapan sukur. Namun tiba-tiba kau telah membantingnya ke dalam tempat sampah yang paling kotor. Kau sebut ibu kita itu sebagai perempuan yang paling hina" Adik Paksi itu masih tercenung. Bahkan iapun kemudian menangis terisak. "Marilah kita pulang" Namun jawabnya masih tetap meskipun diucapkan dengan nada rendah, "Aku tidak mau pulang. Aku tidak dapat berkhianat kepada ayah" "Baiklah" berkata Paksi, "aku akan segera menemui ibu. Aku akan bertanya, apakah yang dikatakan ayah itu benar. Jika apa yang dikatakan ayah dan ibu tidak sama, maka aku lebih percaya kepada ibu" "Sekarang, bunuh aku sebelum aku ditangkap oleh prajuritprajurit Pajang" "Jika kau berkeras tidak mau pulang, pergilah. Kembalilah kepada ayah. Sampaikan baktiku kepadanya" "Ayah tidak akan mau menerimanya" "Itu persoalan ayah. Bukan persoalanku" Adik Paksi itu terdiam. Sementara itu Paksipun berkata, "Pergilah sebelum para prajurit itu datang. Jika ada orang yang melaporkan pertempuran ini, maka para prajurit akan segera datang. Jika mereka menemukan kau masih berada disini, maka kau akan ditangkapnya. Aku tidak tahu, apakah aku akan dapat melindungimu atau tidak. Atau bahkan aku juga dianggap telah berpihak kepadamu"
Adik Paksi itu termangu-mangu. "Pergilah. Cepat" bentak Paksi. Adiknya itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Paksipun menggeram, "Jika para prajurit itu datang, aku akan membunuhmu. Aku lebih senang melihat kau mati daripada kau jatuh ke tangan para prajurit itu" Adik Paksi itu nampak bingung. Namun Paksipun kemudian menarik tangannya dan mendorongnya. "Pergi, pergi. Katakan kepada ayahmu, bahwa aku mencarinya. Ayahku atau bukan, tetapi ia adalah musuhku, musuh Pajang. Ia harus ditangkap dan terserah kepada Kangjeng Sultan, apakah ia akan diampuni atau akan digantung di alun-alun" Adik Paksi itu mulai beranjak. Sementara Paksi itu berkata lantang, "Pergilah kepada ayahmu. Katakan, ia harus mempertangung"jawabkan ucapannya. Ia telah menghina ibuku, seorang perempuan yang sangat aku hormati" Adik Paksi itu memandang Paksi seperti memandang sesosok hantu. Ketakutan yang ditekannya di dalam dadanya ia telah terungkit. Bukan karena ia termasuk buruan sebagaimana ayahnya. Tetapi ia merasa telah membuat Paksi marah karena kebeningan hati ibunya tersentuh. Karena itu, maka adik Paksi itupun kemudian telah bergeser semakin menjauhi Paksi. Akhirnya anak itupun berlari menghilang di tikungan. Paksi berdiri termangu-mangu. Masih ada darah yang meleleh dari lukanya, meskipun tidak lagi terlalu deras. Namun pedihnya tidak sepedih luka di hatinya. Seakan-akan di luar sadarnya, Paksi melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak lagi menghiraukan kuda bebannya. Dengan bertumpu pada tongkatnya, Paksi melangkah semakin lama semakin jauh. Ia juga berbelok di tikungan. Tetapi ia tidak berjalan searah dengan adiknya. Tetapi ternyata Paksi tidak langsung menemui Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa seperti yang mereka sepakati. Dengan mengendap-endap agar tidak menarik perhatian orang karena luka-lukanya dan pakaiannya yang
Bidadari Penakluk 1 Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Pangeran Perkasa 1
^