Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 32

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 32


berdarah, Paksi justru pulang ke rumahnya. Ia tidak peduli, apakah rumahnya itu diawasi atau tidak, ia tidak lagi dapat berpikir terang. Nalarnya menjadi kabur mendengar pengakuan adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya. Bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada bukan ayahnya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran di sebuah lorong yang sepi. Orang yang tinggal di sebelah-menyebelah lorong itu mendengar pertempuran itu. Mereka mendengar teriakanteriakan dan bentakan-bentakan. Mereka mendengar desah dan keluh kesakitan. Mereka mendengar senjata beradu dan hentakan-hentakan kaki. Tetapi justru karena itu, tidak seorang pun yang berani keluar dari regol halaman rumahnya. Dengan demikian, maka mereka tidak tahu siapakah yang telah bertempur itu. Baru kemudian, ketika seorang yang lewat di lorong itu melihat dari kejauhan apa yang terjadi, maka iapun segera berlari berbalik menyusuri lorong itu. Orang itu berlari ke jalan yang lebih besar untuk menghadang para prajurit yang meronda Tetapi karena tidak ada prajurit yang segera lewat, maka iapun telah berlari ke sebuah barak prajurit. Tetapi barak itu cukup jauh. Ketika dengan nafas yang hampir putus orang itu melaporkan apa yang dilihatnya, maka penjaga yang bertugas di regol tidak segera tanggap. Kata-katanya yang dihembuskan di sela-sela nafasnya yang memburu itu memang tidak begitu jelas. Karena itu, maka oleh penjaga barak, orang itupun dibawa menghadap seorang lurah prajurit. Lurah prajurit itu berusaha menenangkannya. Kemudian dengan sabar ia mendengarkan laporan orang itu. "Jadi telah terjadi perkelahian?" "Ya, Ki Lurah" "Perkelahian yang terjadi antara orang-orang di sebelahmenyebelah lorong itu atau perkelahian antara siapa?"
"Nampaknya perkelahian antara orang-orang yang garang. Mereka bersenjata" Lurah prajurit itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Tunjukkan. Kami akan pergi kesana" Bersama lima orang prajurit, lurah itupun telah pergi ke tempat perkelahian itu terjadi. Orang yang melihat perkelahian itu diminta untuk bersedia menunjukkan tempat kejadiannya Namun ketika mereka sampai disana, yang ditemuinya adalah kerumunan banyak orang. Tiga sosok mayat terbaring. Beberapa bakul dan seekor kuda beban. Tidak seorang pun dapat memberikan keterangan. Orangorang yang berkerumun itu tidak melihat apa yang telah terjadi, karena mereka tidak berani keluar dari halaman rumahnya. Baru kemudian, setelah pertempuran itu selesai, seorang demi seorang keluar dari halaman rumahnya mendekati sosok tubuh yang terbaring diam itu Lurah prajurit itu tidak mendapatkan bahan apapun untuk mengusut, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Tetapi lurah prajurit itu menduga, bahwa yang terjadi bukanlah perkelahian antara orang-orang kebanyakan yang berselisih tentang persoalan mereka sehari-hari. Lurah prajurit itu dapat menduga, bahwa bakul, pikulan, kuda beban yang membawa gerabah itu adalah bagian dari penyamaran. Tetapi pihak-pihak yang berkelahi itu tidak segera dapat diketahuinya. Dengan seksama lurah prajurit dan para prajuritnya memeriksa tempat kejadian serta tiga sosok mayat itu. Mereka tidak menemukan ciri apapun. Pedang pendek itu juga tidak dapat dipergunakan untuk menelusuri, siapakah mereka bertiga itu. Siapa pula lawan mereka. "Kita akan membuat laporan secepatnya" berkata lurah prajurit itu. Setelah selesai dengan pemeriksaannya, serta menyimpan ketiga buah pedang pendek serta membawa kuda beban beserta gerabah yang ada di punggungnya, maka lurah prajurit dan para prajuritnya itupun kembali ke barak mereka.
Dengan cepat mereka telah membuat laporan tentang perkelahian yang mencurigakan itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah berada di tempat mereka bersepakat untuk berkumpul. Tetapi mereka harus menunggu terlalu lama. Jauh lebih lama dari waktu yang seharusnya "Apa yang terjadi dengan Paksi?" bertanya Raden Sutawijaya dengan nada kecemasan. "Kita harus mencarinya. Ia sudah terlalu lama melampaui batas waktu yang sudah ditentukan" Keduanya ternyata sepakat untuk mencari Paksi. Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri lorong yang mereka perhitungkan telah dilalui oleh Paksi, karena mereka telah membagi lingkungan yang menjadi medan pengamatan masing-masing. Ketika mereka sampai di tempat Paksi bertempur melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, mereka masih melihat beberapa orang yang sedang menimbuni lorong dengan tanah yang diambilnya dari pinggir lorong itu. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa semula ragu-ragu untuk menyibak orang-orang yang sedang sibuk itu. Namun orang-orang itu sendiri yang menyibak untuk memberi jalan kepada kedua orang yang akan lewat. Namun keduanya tertegun. Mereka melihat bahwa orangorangitu sedang sibuk menimbuni bercak-bercak darah yang menggenang di jalan itu. "Darah" desis Raden Sutawijaya di luar sadarnya. "Ya" tiba-tiba saja seorang di antara mereka yang menimbuni darah itu dengan tanah, menyahut. "Apa yang telah terjadi?" bertanya Raden Sutawijaya. "Perkelahian. Yang terlibat antara lain adalah seorang penjual gerabah. Kuda bebannya diketemukan terikat disini. Tiga sosok mayat terbaring di sekitar tempat ini" "Seorang penjual gerabah" Kenapa ia berkelahi?" "Tidak ada yang tahu" "Apakah penjual gerabah itu hidup atau mati?"
"Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu, apakah di antara ketiga sosok mayat itu terdapat penjual gerabah itu. Kami hanya menemukan tiga sosok mayat dan seekor kuda beban yang membawa gerabah" "Dimana kuda beban itu sekarang?" "Beberapa orang prajurit telah datang. Prajurit itulah yang meneliti apa yang terjadi. Kuda itupun mereka bawa pula" Jantung Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaan mereka. Sejenak kemudian, maka keduanyapun minta diri kepada orang-orang yang berkerumun itu untuk meneruskan perjalanan. Namun demikian mereka lewat, maka Pangeran Benawapun berkata, "Paksi benar-benar dalam kesulitan. Mudah-mudahan di antara ketiga sosok mayat itu tidak terdapat Paksi" "Kita tidak melihat tongkatnya" "Jika di antara mereka terdapat Paksi, mungkin tongkatnya telah dibawa oleh para prajurit pula" "Kita tidak tahu, prajurit yang manakah yang membawa Paksi" "Barak prajurit yang manakah yang terdekat dengan tempat ini?" Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Mereka berjalan sambil mengingat-ingat. Yang datang ke tempat itu tentu prajurit dari barak terdekat. Jika ada prajurit yang meronda, tentu prajurit dari barak itu pula. Keduanyapun kemudian mempercepat langkah mereka. Namun Raden Sutawijaya dengan ragu-ragu berkata, "Apakah mereka dapat menerima kita?" Pangeran Benawa termangu-mangu. Namun iapun kemudian berdesis, "Ya. Kita dapat diusir dari barak itu atau mungkin pula kita akan ditangkap" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sambil menunduk iapun bergumam, "Kenapa kita tidak bertanya apakah di antara sosok mayat itu terdapat seorang anak muda?"
"Bukankah pertanyaan itu mencurigakan?" "Ya. Memang mencurigakan" Keduanyapun terdiam lagi. Baru beberapa saat kemudian, Raden Sutawijayapun berkata lagi, "Pulang ke rumah ayah. Kita akan menanyakan melalui jalur keprajuritan, siapakah yang menangani pertempuran itu dan siapa pula yang telah membawa kuda beban Paksi yang ditinggalkan itu" Pangeran Benawa mengangguk. Dengan tergesa-gesa keduanyapun kemudian langsung pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan. Penjaga yang bertugas di halaman menghentikan mereka. Tetapi ketika mereka melihat kedua orang yang datang itu lebih jelas, maka mereka justru menyembah. "Silahkan, Raden. Silahkan, Pangeran" "Ayah ada di rumah?" bertanya Raden Sutawijaya. "Ada, Raden" Sejenak kemudian dua orang prajurit berkuda telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Ki Gede telah memerintahkan mereka untuk mendatangi barak prajurit yang terdekat dengan tempat kejadian. "Ketika kami datang, semuanya sudah lewat, Ayah" berkata Raden Sutawijaya. "Tinggal beberapa orang yang menimbuni darah yang tercecer di lorong itu" "Nampaknya Paksi bertemu dengan orang-orang penting di lingkungan para pengikut Harya Wisaka. Ia sendiri ketika ia menghadapi beberapa orang bersama-sama" Pangeran Benawa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, "Jika terjadi sesuatu atas anak itu, kamilah yang bersalah" "Pangeran tidak dapat menyalahkan diri sendiri" berkata Ki Gede Pemanahan. "Bukankah kalian sepakat untuk memencar" Menempuh jalan masing-masing?" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Sutawijayapun bertanya, "Bagaimana dengan kuda beban kita, Adimas Pangeran?"
"Biar sajalah. Nanti kita lihat. Jika ada orang yang membawanya, biarlah dibawa" Raden Sutawijaya tidak bertanya lagi. Nampaknya Pangeran Benawa benar-benar menjadi gelisah. Ia mengenal Paksi lebih dalam dari Raden Sutawijaya. Beberapa lama Pangeran Benawa pernah mengembara bersama-sama. Setelah beberapa lama mereka menunggu, maka kedua orang prajurit yang menangani perkelahian yang melibatkan seorang penjual gerabah itupun telah kembali. Ternyata mereka harus memasuki dua barak. Baru pada barak yang kedua, mereka mendapat keterangan tentang penjual gerabah itu. "Mereka sedang menyusun laporan" berkata salah seorang prajurit berkuda yang baru kembali itu. "Tetapi bukankah kau sudah mendapatkan keterangan lesan?" bertanya Pangeran Benawa tidak sabar. Ternyata dari keterangan prajurit itu, tidak seorangpun dari ketiga sosok mayat itu yang ciri-cirinya sama atau mendekati ciri-ciri tubuh Paksi. Bahkan diyakini bahwa ketiga-tiganya adalah para pengikut Harya Wisaka "Mereka bukan anak muda lagi" berkata prajurit itu kemudian. "Darimana mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa ketiganya adalah pengikut Harya Wisaka" "Melihat apa yang mereka bawa. Nampaknya mereka membawa bahan makan dan kebutuhan sehari-hari. Agaknya mereka telah berpapasan dengan petugas sandi yang membawa kuda beban berisi gerabah itu. Tetapi kami tidak menemukan prajurit sandi itu" "Senjata apa saja yang diketemukan di tempat kejadian itu?" "Pedang pendek. Sarung pedang pendek itu terdapat di dalam bakul yang berisi bahan pangan dan kebutuhan sendirisendiri itu" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka Paksi agaknya masih hidup.
"Tetapi kemana anak itu" Apakah ia tertangkap dan dibawa menghadap ayahnya" Jika demikian, maka keadaannya akan menjadi parah pula" bertanya Pangeran Benawa di dalam hatinya. "Semuanya masih belum jelas" desis Raden Sutawijaya. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itupun berkata, "Apakah mungkin Paksi justru pulang?" "Pulang kemana?" "Ke rumahnya. Bukankah ibunya masih tinggal disana" Dalam kesulitan dapat saja ia bersembunyi di rumahnya. Atau bahkan apapun yang terjadi" "Pangeran" desis Ki Gede Pemanahan yang melihat Pangeran Benawa menjadi bingung, "jika masih ada kesempatan, Paksi tentu akan menemui Pangeran dan Sutawijaya di tempat yang ditentukan" "Tetapi tidak ada salahnya kita melihat rumahnya" desis Raden Sutawijaya. "Tetapi jika Paksi tidak ada disana, maka ibunya akan menjadi sangat gelisah" Raden Sutawijaya mengangguk angguk kecil. Namun tiba-tiba Pangeran Benawa itupun berkata, "Kita lihat apakah Paksi ada di rumahnya atau tidak. Jika terjadi sesuatu, maka lambat atau cepat, ibunya justru harus mengetahuinya" "Tetapi kita akan memastikan, atau setidak-tidaknya mendekati kepastian, apakah yang terjadi dengan Paksi" "Justru semakin cepat ibunya mengetahuinya akan menjadi semakin baik" Agaknya niat Pangeran Benawa sudah bulat. Ia ingin melihat ke rumah Paksi. Bahkan Pangeran Benawa membayangkan bahwa Paksi justru telah tertangkap dan disekap di rumahnya sendiri. Orang lain tentu tidak akan menduganya Di tempat lain, akan dapat menjadi berbahaya bagi para pengikut Harya Wisaka.
Kecuali jika Paksi itu langsung dibunuh oleh ayahnya sendiri. "Apakah Pangeran akan membawa beberapa orang prajurit?" "Tidak" Pangeran Benawa menggeleng, "aku akan pergi berdua saja dengan Kakangmas Sutawijaya" "Baiklah" sahut Raden Sutawijaya, "kita pergi ke rumah Paksi. Tetapi asal kita ingat saja, bahwa rumah itu masih selalu diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka. Tetapi juga oleh para petugas sandi" "Jika demikian, mereka tidak akan dapat menahan Paksi di rumah itu" "Mereka tentu mempunyai cara tersendiri untuk masuk dan keluar rumah itu di luar jangkauan pengamatan para petugas sandi. Tetapi mungkin pula para pengikut Harya Wisaka mampu memancing perhatian para petugas sandi itu" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Marilah kita pergi sekarang" Sejenak kemudian, keduanyapun minta diri. Ki Gede hanya dapat berpesan agar mereka berhati-hati. Apa yang terjadi atas Paksi dapat pula terjadi atas mereka berdua. "Baiklah, Paman" jawab Pangeran Benawa, "kami akan berhati-hati. Apalagi kami berdua, sementara Paksi seorang diri menghadapi kekuatan yang sangat besar" Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itupun kembali turun ke jalan. Merekapun dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang telah ditinggalkannya. Dalam pada itu, Paksi memang pergi untuk menemui ibunya. Ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali kata-kata adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya seayah. "Apakah ketika ibu menikah dengan ayah, ibu sudah melahirkan aku?" pertanyaan itu telah menggodanya, "Sehingga aku adalah anak tiri ayah Tumenggung Sarpa Biwada?" Tetapi menurut pendengaran Paksi selama ini, ibunya belum pernah menikah sebelumnya. Ki Tumenggung Sarpa
Biwada adalah satu-satunya suami ibunya. Ia sering mendengarkan ceritera ibunya, bahwa ketika ayahnya diangkat menjadi seorang pandega dengan pangkat rangga, ibunya ikut hadir dalam wisuda itu selagi Paksi masih berada di dalam kandungan. Itu berarti bahwa ketika ia lahir, ibunya telah menjadi isteri Ki Rangga Sarpa Biwada. Ketika Paksi memasuki regol halaman rumahnya, tubuhnya sudah menjadi semakin lemah. Meskipun tidak lagi terlalu deras, tetapi darahnya masih saja mengalir dari luka-lukanya Paksi tidak langsung naik ke pendapa. Tetapi lewat pintu seketeng, Paksi langsung masuk ke serambi samping. Ibunya terkejut melihat keadaan Paksi. Berlari-lari ia mendapatkannya sambil bertanya, "Paksi, kau kenapa, Paksi?" Paksi masih berdiri bertumpu pada tongkatnya. Ketika ibunya akan memapahnya masuk ke ruang dalam, Paksi menolaknya sambil berdesis, "Tidak, Ibu" "Paksi" "Aku datang untuk mendapat pengakuan, Ibu" "Pengakuan apa, Paksi?" ibunya termangu-mangu. "Apakah kau mengira bahwa ibu tahu dimana ayah bersembunyi?" "Tidak. Bukan itu" "Lalu?" "Ibu, aku ingin tahu, aku ini anak siapa?" "Paksi" Wajah ibunya menjadi tegang Dengan nada datar iapun bertanya, "Aku tidak tahu maksudmu" "Ibu" berkata Paksi yang masih berdiri bertumpu pada tongkatnya, "aku ini anak siapa" Aku mendapat keterangan bahwa aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Lalu aku anak siapa" Apakah aku anak tirinya" Apakah aku sudah ada ketika Ibu menikah dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada" Lalu bagaimanakah dengan ceritera Ibu, bahwa Ibu hadir ketika ayah diwisuda menjadi pandega dengan pangkat rangga pada hampir duapuluh tahun yang lalu itu" Bukankah Ibu menceriterakan bahwa waktu itu aku masih berada di
dalam kandungan. Atau barangkali yang Ibu maksud laki-laki yang diwisuda itu bukan Ki Sarpa Biwada?" "Paksi. Paksi. Siapakah yang mengatakannya" Pertanyaanmu aneh dan tidak aku mengerti" "Pertanyaanku sederhana, Ibu. Apakah aku anak Sarpa Biwada atau bukan?" Wajah ibunya menjadi tegang. Dipeganginya kedua lengan Paksi yang kokoh. Didorongnya Paksi perlahan-lahan sambil berkata, "Duduklah, Paksi. Duduklah" Paksi memang tidak dapat menolak. Paksipun kemudian duduk di sebuah lincak bambu tutul yang panjang. Sementara ibunya duduk di sampingnya. "Paksi" suara ibunyapun terasa bergetar, "siapakah yang mengatakan kepadamu?" Paksipun kemudian menceriterakan dengan patah-patah apa yang telah terjadi. Ia berusaha mengajak adiknya pulang. Tetapi jawab adiknya itu sangat menyakitkan hatinya. "Katakan, Ibu, apakah yang dikatakan ayah kepada adikku itu benar" Jika benar, lalu apa yang telah terjadi dengan Ibu pada waktu itu?" Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian matanya menjadi basah. Ia tidak menahan lagi tangisnya meskipun ia berusaha. Pada saat itu, adik perempuan Paksi berlari-lari masuk ke serambi. Gadis kecil itu terkejut melihat keadaan Paksi serta ibunya yang menangis. "Kakang, Kakang Paksi. Kau kenapa?" Pakaian Paksi masih berlumuran darah. Sementara ibunya berusaha mengusap matanya. Tetapi tangisnya tidak juga mereda. "Ibu, kenapa?" "Kakakmu Paksi terluka" "Siapa yang melukaimu, Kakang" Siapa?" Paksi mengusap rambut adiknya. Jika benar kata-kata adik laki-lakinya, maka adik perempuannya itupun bukan adiknya seayah. Itu sangat menyakitkan. Meskipun dengan demikian
Paksi dapat memecahkan satu teka-teki yang selama ini membebaninya, kenapa ayahnya ingin membunuhnya. "Kakang. Marilah, aku cuci luka Kakang. Luka itu harus diobati" "Nanti. Nanti saja anak manis" "Jangan ditunda-tunda lagi, Kang. Ibu, luka Kakang sangat berbahaya. Kakang Paksi akan dapat menjadi pingsan" "Ya, ya, manis" sahut ibunya. "Marilah Paksi, aku obati luka-lukamu" Paksi tidak menjawab. Ibunya itupun kemudian beranjak pergi untuk mengambil air hangat. "Lepaskan bajumu, Paksi" desis ibunya kemudian. Paksi tidak menolak ketika ibunya kemudian mencuci lukalukanya dengan air hangat. Namun ibunya itupun kemudian berkata kepada anak gadis kecilnya, "Tinggalkan kakakmu, Nduk. Tidak baik kau melihat luka-luka yang di tubuh kakakmu" "Aku akan membantu Ibu membersihkan luka-luka Kakang Paksi, Ibu" Ibunya memaksa bibirnya untuk tersenyum sambil berkata, "Tidak, Nduk. Tinggalkan kakakmu bersama ibu" Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun meninggalkan serambi itu, masuk ke ruang dalam. Setelah menutup pintu, maka ibunya mulai membersihkan lagi luka Paksi. Namun Paksi yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya itupun mendesaknya, "Ibu, aku ingin mendengar jawaban Ibu" Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sambil membersihkan luka-luka Paksi, ibunya itupun berkata, "Kau benar-benar ingin mendengarnya, Paksi?" "Ya, Ibu. Apapun bunyinya, aku ingin mendengarnya" Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun dari pelupuknya mulai menitik air matanya. "Paksi" berkata ibunya kemudian. Suaranya bergetar di sela-sela isaknya yang mulai menekan dadanya. Bagaimanapun juga ibu Paksi itu berusaha, tetapi perempuan
itupun menangis. "Kau sudah dewasa, Paksi. Umurmu sudah melampaui tujuh belas. Karena itu, biarlah kau mendengar tentang dirimu yang sebenarnya" Suara ibunya terputus oleh isaknya. Bahkan ibunya itupun kemudian duduk di sebelah Paksi. Tangannya tidak lagi kuasa bergerak membersihkan luka-luka di tubuh anak laki-lakinya itu. Paksi tidak mendesaknya. Hatinya mulai luluh mendengar tangis ibunya. Perlahan-lahan di sela-sela isaknya ibunya itupun berceritera tentang dirinya sendiri di masa gadisnya. "Laki-laki itu baik sekali, Paksi" berkata ibunya. "Jika laki-laki itu baik sekali, kenapa ia meninggalkan Ibu yang sudah menjadi hamil?" Tangis ibunya semakin menekan dadanya. Dengan susah payah ibunya mencoba menahan agar tangisnya itu tidak meledak. "Ibumu ini hampir saja dibunuh oleh kakekmu pada waktu itu. Aku sudah mencemarkan nama baik keluargaku" "Kenapa laki-laki itu pergi meninggalkan Ibu?" "Ia tidak sengaja pergi meninggalkan Ibu, Ngger. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Tiba-tiba saja ia mendapat tugas untuk membasmi sekelompok perampok yang sangat ganas. Duapuluh lima orang yang berangkat. Hanya lima belas orang yang kembali. Delapan orang diketemukan mayatnya, tetapi dua orang dinyatakan hilang, karena tubuhnya tidak diketemukan. Di antara kelima belas orang yang kembali itupun ada yang terluka bahkan parah" "Laki-laki itu termasuk yang tidak diketemukan?" "Ya. Aku tidak yakin bahwa ia meninggal. Tetapi laki-laki itu memang tidak kembali" "Kenapa laki-laki itu tidak kembali, Ibu?" Ibunya menggelengkan kepalanya. "Seandainya ia memang tidak mati, ia sengaja menghilang dari pasukannya agar ia tidak harus bertanggung jawab atas perbuatannya" desak Paksi.
"Tidak. Itu tidak benar" "Jadi?" "Ia bukan seorang pengecut. Ia seorang laki-laki sejati. Pada suatu saat, iblis memang berhasil mencengkam jiwa kami, sehingga yang terkutuk itu telah terjadi. Tetapi ia tentu tidak lari. Jika ia tidak kembali, tentu ada sebabnya. Dan akhirnya, akupun tahu apa sebabnya" "Apa sebabnya, Ibu?" Tangis ibunya mereda. Ditatapnya mata Paksi sehingga anak muda itu justru memalingkan wajahnya. "Paksi, laki-laki itu terluka parah. Bersama seorang kawannya ia memang terpisah. Tetapi keduanya justru berhasil memasuki sarang perampok itu. Meskipun lawannya terlalu banyak, namun keduanya berhasil menghancurkan sarang itu. Membunuh beberapa orang di antara mereka, sedangkan yang lain berlari bercerai-berai. Ada di antara para perampok itu yang kemudian ternyata jatuh ke tangan para prajurit. Tetapi kedua orang itu terluka parah. Pada saat terakhir, keduanya terjerumus ke dalam jurang yang dalam. Itulah sebabnya, keduanya tidak dapat diketemukan oleh kawan-kawannya" "Darimana Ibu tahu?" "Kedua prajurit yang akhirnya berhasil menyelamatkan dirinya, keduanya dirawat oleh orang padukuhan di bawah jurang yang dalam itu sehingga keduanya sembuh. Tetapi untuk itu, dibutuhkan waktu yang panjang. Sementara itu, aku tidak dapat lagi menyembunyikan keadaanku" "Laki-laki itu datang menemui Ibu?" "Ya. Kedua laki-laki itu datang menemui ibu. Tetapi sudah terlambat. Ibu sudah melahirkan seorang anak laki-laki" "Tanpa ayah?" "Ayahnya adalah Ki Rangga Sarpa Biwada" "Bagaimana itu terjadi?" "Kakekmu juga seorang prajurit. Seorang prajurit muda telah bersedia menikahi aku dengan syarat, bahwa segala warisan kakekmu akan jatuh ke tangannya"
"Prajurit muda itu Ki Rangga Sarpa Biwada?" "Ya. Tetapi ia belum rangga waktu itu" "Jadi apa yang dikatakan adikku itu benar?" Ibu Paksi itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun akhirnya tangisannya tidak terbendung lagi. "Inilah ibumu, Paksi. Selama ini aku berusaha untuk menyembunyikannya. Tetapi aku sadar, bahwa pada suatu saat kau tentu akan mengetahuinya juga. Apalagi saat ini sikapmu terhadap Pajang yang bertentangan dengan sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, sehingga kau dan Ki Tumenggung tidak akan dapat hidup bersama-sama lagi dalam satu keutuhan keluarga. Ki Tumenggung itu nampaknya benarbenar ingin membunuhmu" "Ya. Aku merasakannya" "Bahkan sejak belum pecah persoalan Harya Wisaka" "Ayah memang telah mengusirku dengan tugas yang tidak masuk akal itu" "Ayahmu merasa cemas, bahwa pada suatu saat, kau akan menuntut hakmu. Rumah ini dan segala isinya adalah milik kakekmu" "Aku tidak pernah berpikir tentang warisan" "Aku percaya. Tetapi Ki Tumenggung tidak mempercayaimu. Bahkan kau menjadi duri di dalam dagingnya. Karena itu, kau harus diungkit dan disingkirkan jauh-jauh" "Jika saja aku tahu" "Paksi" suara ibunya meninggi, "aku minta maaf kepadamu. Selama ini aku berusaha mengelabuhimu, seolah-olah aku adalah seorang ibu yang baik. Tetapi sekarang kau melihat kenyataanku. Aku memang bukan seorang bidadari yang hatinya selembut dan seputih kapas" "Cukup, Ibu" Paksipun bangkit berdiri. Wajahnya menjadi tegang. Dipandanginya wajah ibunya dengan tajamnya. Dengan suara yang memberat Paksipun bertanya, "Siapakah laki-laki itu?"
Isak ibunya menjadi semakin menyesakkan dada. Namun ia menggeleng sambil berkata, "Aku tidak dapat mengatakannya, Paksi. Laki-laki itu tidak ada lagi di Pajang" "Dimana?" "Aku tidak tahu" Paksi menggeram. Namun tiba-tiba saja tubuhnya menjadi sangat lemah. Paksipun kemudian terduduk di amben itu pula. Tubuhnya bagaikan tidak bertulang lagi. "Paksi" desis ibu Paksi itu sambil mengusap kedua pipi anaknya. "Aku tidak apa-apa, Ibu. Tetapi kenyataan ini terasa sangat pahit bagiku" "Aku mengerti, Paksi. Maafkan ibumu ini. Aku telah menyembunyikan dosa ini hampir selama dua puluh tahun" Paksi tidak menjawab. "Selama ini aku selalu berpura-pura bersih. Di hadapanmu aku bersikap seakan-akan seorang ibu yang baik, yang lembut dan tidak bersalah. Aku menjadi seolah-olah ibu yang arif yang mencintai dan mengabdikan hidupnya bagi keluarganya. Tetapi kau sekarang mengetahui, Paksi, bahwa semua itu adalah pura-pura belaka. Tidak ada yang bersih. Tidak ada yang tidak bernoda. Tidak ada pula yang arif" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Namun ketika terdengar giginya gemeretak, maka darahnya mulai mengalir lagi dari luka-lukanya. "Paksi, usahakan tenangkan hatimu. Gejolak jantungmu dapat menekan darahmu keluar dari luka-lukanya" Paksi masih tetap berdiam diri. Sementara ibunya mulai lagi mencuci luka-luka di tubuh Paksi. "Kau membawa obat untuk luka-lukamu?" Paksi tidak menjawab. Tetapi diambilnya sebuah kantong kecil di kantong ikat pinggangnya yang lebar. Ibunya tidak bertanya lagi. Ia mengerti bagaimana menggunakan obat yang berupa serbuk yang tidak begitu lembut itu.
Ketika bubuk ramuan obat untuk luka baru itu ditaburkan di luka-luka Paksi, maka Paksipun harus mengatupkan giginya rapat-rapat. Luka-lukanya terasa sangat pedih. Tetapi Paksi sudah tahu, bahwa akibat sentuhan obat itu, luka-lukanya tentu akan terasa pedih dan panas, bahkan seperti tersentuh bara. Namun dalam pada itu, selagi luka-luka Paksi sedang diobati, pintu serambi samping yang ditutup itu diketuk perlahan-lahan. "Ibu, Ibu" suara adik perempuan Paksi. "Apa, Nduk?" "Ada dua orang tamu, Ibu. Rasa-rasanya aku mengenal mereka berdua. Kawan Kakang Paksi" Paksipun segera bangkit. Dikenakannya baju dan disambarnya tongkatnya. "Hati-hati, Paksi" Paksi dan ibunyapun kemudian pergi ke pintu pringgitan yang sedikit terbuka. Ketika adik perempuan Paksi masuk ke dalam, pintu itu tidak ditutupnya dengan rapat. Jantung Paksi berdesir. Dari celah-celah pintu itu ia melihat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri di depan tangga pendapa. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Paksipun keluar lewat pintu yang sedikit terbuka itu. "Marilah, Pangeran. Marilah, Raden" Paksi mempersilahkan. Ibunya, yang matanya masih pengab, telah menyusul Paksi dan mempersilahkan pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya untuk naik. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa terkejut melihat keadaan Paksi. Baju yang dipakai Paksi dengan tergesa-gesa itu adalah bajunya yang bernoda darah. Karena itu, dengan tergesa-gesa keduanya mendekati Paksi. Dengan serta-merta Pangeran Benawapun bertanya, "Kau kenapa, Paksi?" "Silahkan duduk, Pangeran. Silahkan duduk, Raden" Keduanyapun kemudian duduk di pringgitan. Sementara ibu Paksi itupun berkata, "Silahkan, Raden. Aku mohon diri ke belakang. Silahkan, Pangeran"
"Silahkan, Bibi. Tetapi Bibi tidak usah menjadi sibuk karena kedatangan kami" "Tidak, Pangeran. Tidak" Demikian ibu Paksi itu hilang di balik pintu pringgitan, maka Pangeran Benawapun mengulangi pertanyaannya, "Kau kenapa, Paksi?" Sebelum Paksi menjawab, Raden Sutawijayapun berkata, "Kami menjadi sangat cemas, bahwa kau tidak datang pada waktunya. Ketika kami menelusuri jalan yang mungkin kau lalui, kami mendapat keterangan bahwa telah terjadi pertempuran antara beberapa orang yang tidak dikenal. Di antara mereka adalah seorang penjual gerabah yang kuda serta dagangannya diketemukan. Tetapi penjual gerabahnya tidak ada di sekitar tempat itu. Yang mereka ketemukan hanyalah tiga sosok mayat" "Yang Maha Agung masih melindungi hamba" berkata Paksi, "tetapi hamba terluka" "Kaukah yang membunuh ketiga orang itu?" bertanya Pangeran Benawa. Paksi menundukkan kepalanya. Katanya, "Hamba tidak mempunyai pilihan lain" "Kau memang tidak mempunyai pilihan lain, Paksi. Nampaknya kau terluka cukup parah" berkata Raden Sutawijaya. "Itulah sebabnya aku tidak kembali ke tempat yang kita tentukan. Aku tidak akan dapat menghindari perhatian orang kepadaku. Baju yang berbercak darah, tubuh yang lemah dan seluruh keadaanku yang nampak parah. Tetapi aku dapat menyelinap lewat lorong-lorong sempit mencapai rumah ini. Baru kemudian aku akan pergi menemui Raden dan Pangeran Benawa" Pangeran Benawapun kemudian sempat melihat luka-luka Paksi yang sudah diobati oleh ibunya. Namun masih jelas, betapa parahnya luka-luka di tubuh Paksi. Namun sebenarnyalah bahwa pedih luka di tubuh Paksi itu tidak sepedih luka di hati Paksi. Tetapi Paksi tidak
mengatakannya kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya seutuhnya. Paksipun kemudian hanya menceriterakan, bahwa ia telah bertemu dengan tiga orang pengikut ayahnya yang tentu pengikut Harya Wisaka pula. "Mereka dapat mengenali aku" berkata Paksi. "Ternyata kau mampu mengatasinya" "Yang Maha Agung masih melindungi aku" Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian Pangeran Benawa itupun bertanya, "Sekarang, apa yang akan kau lakukan" Apakah kita akan kembali ke barak?" Paksi tidak segera menjawab. Wajahnya membayangkan keragu-raguan. Tubuhnya masih terasa lemah sekali. Sedangkan jika mereka kembali ke barak, mereka harus berjalan kaki. Dalam pada itu, Raden Sutawijayapun berkata, "Menurut pendapatku, kita bermalam saja di rumahku. Biarlah beberapa orang prajurit pergi ke padepokan, memberitahukan bahwa kita bermalam di kotaraja, agar seisi padepokan tidak menjadi gelisah menunggu. Nampaknya kau masih perlu beristirahat" "Aku dapat bermalam disini" berkata Paksi. "Kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa para pengikut Harya Wisaka masih berkeliaran. Jika kau bermalam disini, kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Kecuali jika ayah mengirimkan sekelompok petugas untuk mengawasi langsung rumah ini" Paksi menarik nafas panjang. Tentu ia tidak ingin menyibukkan beberapa orang prajurit untuk menjaganya. Sementara itu, tubuhnya masih terasa sangat lemah. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Baiklah, Raden. Aku akan mengikuti Raden" Namun Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak tergesa-gesa. Mereka masih berada di rumah Paksi itu untuk beberapa lama. Sementara itu adik perempuan Paksi
menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan bagi tamu-tamu Paksi itu. "Biarlah aku berganti pakaian agar tidak menarik perhatian orang di sepanjang jalan" berkata paksi kemudian. Setelah mempersilahkan tamunya minum dan makan makanan yang dihidangkan maka Paksipun masuk ke ruang dalam. Kepada ibunya Paksi minta pakaian yang bersih untuk dipakainya. "Kau akan kemana, Paksi?" bertanya ibunya. "Aku akan pergi ke rumah Raden Sutawijaya" "Kau akan bermalam disana?" "Ya. Besok aku akan kembali ke padepokan" "Kapan kau datang lagi menemui ibu?" "Aku tidak dapat mengatakan" "Masih ada yang ingin aku jelaskan, Paksi" "Tidak. Semuanya sudah jelas. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan" "Aku mohon kau bersedia mendengarkannya, Paksi" "Tidak perlu. Aku sudah mengerti seluruhnya apa yang terjadi. Untuk seterusnya Ibu tidak usah memikirkan aku" "Paksi. Kau jangan menambah beban di hatiku" "Tidak. Aku justru ingin mengurangi beban Ibu. Jangan pikirkan aku lagi. Aku orang yang tidak dikehendaki berada di dalam lingkungan keluarga ini" "Paksi" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia berkata, "Beri aku pakaian yang ada, Ibu" Ibunya memang masih menyimpan pakaian Paksi. Karena itu, maka ibunyapun telah memberikan sepengadeg pakaian yang terbaik. Tetapi Paksi menolak. Katanya, "Ibu lihat pakaian Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya" Pantaskah aku, Paksi anak tidak berayah, ini memakai pakaian seperti ini?" "Paksi. Berhentilah menusuk perasaan ibumu dengan katakatamu. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bersalah. Aku telah hidup dalam kepura-puraan selama hampir duapuluh
tahun. Aku sudah mengaku, betapa kotornya hati ibu ini. Aku sudah mengatakan bahwa hampir saja kakekmu membunuhku" Paksi tidak menjawab, sementara ibunya berkata selanjutnya, "Aku menyesal kenapa kakekmu tidak jadi membunuhku. Aku menyesal bahwa ada juga seorang anak muda seperti Sarpa Biwada yang bersedia menjual dirinya menikahi aku seharga harta warisan kakekmu. Paksi, jika aku mati saat itu, aku tidak akan mengalami perlakuan sekeji ini dari anakku sendiri" Ibunya menangis lagi. Ditutupnya wajahnya dengan pakaian Paksi yang dikembalikan kepadanya itu. Diusapnya matanya yang basah dan diciumnya pakaian Paksi sambil berkata di sela-sela isaknya, "Paksi, sekarang aku tidak berhak lagi menciummu, Ngger. Tetapi aku akan menerima kenyataan ini betapapun pahitnya. Dosa yang sudah aku jalani memang harus mendapat hukuman" Jantung Paksipun bergetar. Tiba-tiba saja ia berjongkok di depan ibunya sambil memeluk kakinya, "Maafkan aku, Ibu" "Paksi. Paksi" Didekapnya kepala anaknya. Sementara tangisnya menjadi semakin keras. Adik perempuan Paksi bukan lagi kanak-kanak. Ia sudah menjadi remaja, sehingga anak itu sudah dapat menangkap getar kepahitan hidup ibu dan kakaknya. Meskipun ia tidak tahu sebab yang sebenarnya, namun ia ikut mengusap air matanya ketika ia melihat ibunya memeluk kepala kakaknya. Beberapa saat kemudian Paksipun bangkit berdiri sambil berdesis, "Ibu, aku minta pakaian yang sesuai dengan pakaian Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa" Ibunya mengangguk. Ketika ibunya masuk ke dalam biliknya, maka adik perempuan Paksi itupun mendekatinya. Tetapi ia tidak bertanya apa yang sebenarnya terjadi, karena ia tahu, bahwa Paksi tentu tidak akan mengatakannya.
Paksi mengusap rambut adiknya yang lembut hitam lekam. Katanya dengan nada lembut, "Jaga Ibu baik-baik" Adik perempuannya mengangguk kecil. Namun iapun bertanya, "Apakah sekarang Kakang akan pergi?" "Aku akan ikut Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa" "Bukankah Kakang akan sering pulang?" "Tentu. Tentu. Kakang akan sering pulang" Sejenak kemudian, maka Paksipun telah berganti pakaian. Kepada ibunya, Paksi berpesan, agar pakaiannya yang bernoda darah itu dibuang saja. "Biarlah Karsa menguburnya di kebun belakang" jawab ibunya. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah minta diri. Demikian pula Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. "Dalam kesempatan pertama, aku akan datang lagi, Ibu" berkata Paksi kepada ibunya. Kemudian kepada adik perempuannya Paksi berpesan, "Jangan nakal. Bantu Ibu, ya" Adik perempuannya mengangguk. Ibu dan adik perempuan Paksi itupun melepas Paksi, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa di regol halaman rumahnya. Meskipun luka-lukanya sudah mampat, namun Paksi masih kelihatan letih. Kadang kadang ia masih bertumpu pada tongkatnya. "Kau masih lemah, Paksi" berkata Pangeran Benawa. Paksi mengangguk. Namun jawabnya, "Tetapi setelah minum dan makan keadaan hamba sudah menjadi semakin baik" "Kita tidak tergesa-gesa" sahut Raden Sutawijaya. "Kita akan singgah untuk melihat apakah kuda-kuda beban kita masih ada" "Tetapi kuda-kuda beban yang bermuatan gerabah akan dapat menarik perhatian, Raden" berkata Paksi. "Mungkin para pengikut Harya Wisaka. Tetapi mungkin para prajurit yang datang ke tempat pertempuran itu"
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar, Paksi. Jadi apakah sebaiknya kita tinggalkan saja kuda itu disana?" "Ya, Raden. Menurut pendapatku, kita tinggalkan saja kuda-kuda beban itu" "Aku sependapat" sahut Pangeran Benawa. "Tetapi tidak ada salahnya jika kita lewat dan melihat apakah kuda-kuda beban itu masih disana" Ketiganyapun kemudian berjalan melewati tempat mereka bertiga sepakat untuk bertemu. Di tempat itu Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menunggu Paksi. Tetapi Paksi tidak kunjung datang, karena Paksi langsung pulang ke rumahnya. Namun Paksi tidak mengatakan kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, dorongan apakah yang memaksanya langsung pulang menemui ibunya. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menduga, bahwa Paksi pulang untuk segera mengobati luka-lukanya yang parah serta mencari pakaian yang lain yang tidak koyak-koyak dan bernoda darah. Namun langkah mereka tertahan ketika mereka mendekati tempat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa meninggalkan kuda-kuda beban mereka. "Ada sekelompok prajurit" desis Raden Sutawijaya. Pangeran Benawapun menyahut, "Kita melihat dari tempat ini. Apa yang dilakukan oleh para prajurit itu" Ketiga orang itupun kemudian berhenti. Raden Sutawijaya berdiri di sisi lain, sedangkan Pangeran Benawa dan Paksi berdiri bersandar dinding halaman rumah di pinggir jalan itu. Ternyata para prajurit itu telah membawa kedua kuda beban yang ditinggalkan oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. "Kita tidak akan dapat membawa kuda beban berkeliling lewat lorong-lorong sempit lagi" berkata Pangeran Benawa. "Ya" Paksi mengangguk-angguk, "ketika para prajurit itu menemukan tiga sosok mayat dan kuda beban yang aku tinggalkan, maka merekapun mencurigai setiap kuda beban"
Namun beberapa saat kemudian, para prajurit itupun pergi sambil membawa kuda beban yang membawa gerabah itu. Sedangkan beberapa orang yang mengerumuninya telah pergi pula seorang demi seorang. Demikian para prajurit itu pergi, maka Raden Sutawijaya telah mengajak Pangeran Benawa dan Paksi melanjutkan perjalanan. "Kau tidak apa-apa, Paksi?" bertanya Pangeran Benawa. "Tidak, Pangeran" jawab Paksi. Bertiga merekapun melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Ki Gede Pemanahan. Ketika mereka sampai di rumah itu, maka merekapun segera memberikan laporan kepada Ki Gede tentang peristiwa yang dialami oleh Paksi ketika ia menjajakan gerabah dengan kuda bebannya. "Sukurlah bahwa kau berhasil mengatasi mereka bertiga, Paksi" "Ya, Ki Gede. Aku mengucap sukur atas perlindungan Yang Maha Agung" "Apakah mereka bertiga mengenalimu?" "Ya, Ki Gede. Mereka mengenali aku, anak Tumenggung Sarpa Biwada" "Apakah mereka akan menangkapmu atau membunuhmu?" "Agaknya perintah yang mereka terima adalah membunuhku di tempat. Tidak menangkapku" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam iapun berkata, "Bagaimana mungkin Ki Tumenggung itu memerintahkan untuk membunuh anaknya?" "Tetapi itulah yang terjadi, Ki Gede" sahut Paksi. "Baiklah. Kau beristirahat disini. Biarlah nanti prajurit penghubung pergi ke padepokan di Hutan Jabung untuk memberitahukan bahwa kalian bertiga tidak pulang malam ini, sehingga Ki Panengah dan Ki Waskita tidak menjadi gelisah" Demikianlah, maka malam itu Paksi berada di rumah Ki Gede Pemanahan. Di rumah Ki Gede, Paksi mendapat pengobatan yang lebih baik. Bukan sekedar obat yang
ditaburkan di atas luka-lukanya saja, tetapi iapun mendapat minuman yang dapat memacu pulihnya kekuatannya. "Kau harus makan yang banyak" berkata Raden Sutawijaya ketika mereka makan malam, "dengan demikian kekuatanmu akan segera pulih kembali" Paksi tersenyum. Sambil menyenduk nasi ke mangkuknya ia berkata, "Aku berani bertaruh, siapkah yang terbanyak makan di antara kita" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tertawa. Tetapi sebenarnyalah mereka bertiga makan dengan lahapnya. Malam itu mereka bertiga dapat tidur dengan nyenyak. Meskipun Paksi beberapa kali terbangun oleh perasaan pedih yang masih terasa di luka-lukanya, namun kemudian iapun segera tertidur lagi. Ketika mereka bangun di pagi-pagi sekali, keadaan Paksi sudah menjadi semakin baik. Tenaganya serasa telah tumbuh kembali, meskipun belum utuh. Namun Paksi tidak lagi merasa dirinya terlalu lemah. Tetapi ternyata Raden Sutawijaya minta agar mereka tidak segera kembali ke padepokan hari itu juga. Ia masih memikirkan keadaan Paksi yang masih belum pulih sepenuhnya. "Tetapi Hutan Jabung itu tidak terlalu jauh" berkata Paksi kepada Raden Sutawijaya. "Bukan jaraknya, tetapi kita bisa bertemu dengan para pengikut Harya Wisaka. Jika mereka tahu kaulah yang membunuh ketiga orang pengikutnya, maka mereka tentu sangat mendendammu" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih sempat berkata, "Jika saja aku dapat menangkap mereka hidup-hidup atau salah seorang dari mereka" "Jangan kau sesali" berkata Pangeran Benawa. "Sulit bagimu untuk melakukannya. Jika sedikit saja kau salah hitung, maka kaulah yang akan menjadi korban" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia tidak memaksa untuk kembali ke padepokan.
Hari itu, Paksi benar-benar beristirahat bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa bahkan tidak pergi ke istana. Ia tetap saja berada di rumah Ki Gede Pemanahan. Selain beristirahat dengan baik, Paksipun mendapat obat yang ternyata dapat bekerja dengan sangat baik bagi tubuhnya. Kekuatannya tumbuh semakin pesat sehingga rasarasanya telah pulih kembali. Setiap kali Paksi makan bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka mereka selalu mendorong Paksi untuk makan sebanyak-banyaknya. Baru pada hari berikutnya, merekapun minta diri untuk kembali ke Hutan Jabung. Ketika mereka minta diri kepada Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede itupun bertanya, "Kalian tidak membawa kuda?" "Tidak, Ayah. Kami kemarin lusa membawa kuda beban yang agaknya telah diambil oleh sekelompok prajurit" Ki Gede tersenyum, iapun kemudian bertanya kepada Raden Sutawijaya, "Apakah kalian akan membawa kuda?" "Tidak, Ayah" Raden Sutawijaya menggeleng. "Kami akan berjalan kaki saja. Bukankah Hutan Jabung tidak terlalu jauh. Bahkan mungkin kami dapat melihat sesuatu yang berarti di sepanjang perjalanan kami" "Berhati-hatilah. Mungkin kalian menjumpai sesuatu yang berarti. Tetapi mungkin pula kalian menjumpai orang-orang yang sedang mendendam itu" "Baik, Ayah" jawab Raden Sutawijaya. "Bagaimana keadaanmu, Paksi?" bertanya Ki Gede. "Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Gede" jawab Paksi. "Apakah tenagamu sudah pulih kembali?" "Meskipun belum sepenuhnya, tetapi sudah cukup memadai, Ki Gede" "Baiklah. Jika demikian, pergilah" Demikianlah beberapa saat kemudian, ketiga orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Gede Pemanahan. Mereka tidak langsung keluar gerbang kota. Tetapi dengan penyamaran mereka, ketiganya berjalan-jalan lebih dahulu di dalam kota.
Tetapi mereka tidak menjumpai sesuatu yang menarik perhatian mereka. Mereka tidak melihat laki-laki yang memikul bahan pangan atau membawa di atas kepalanya bakul berisi beras atau jagung. Nampaknya setelah ketiga orangnya terbunuh, Harya Wisaka menjadi semakin berhati-hati. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka ketiga orang itupun kemudian keluar dari pintu gerbang kota yang mendapat pengawasan yang seksama. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit yang bertugas yang dapat mengenali Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi meskipun setiap orang yang lewat, keluar atau masuk, diperhatikan oleh para penjaga pintu gerbang dengan saksama. Bahkan orang-orang yang duduk di dalam pedatipun tidak luput dari pengawasan. Namun yang ditanamkan kepada para prajurit yang bertugas itu adalah ciri-ciri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya yang terpenting. Karena itu, mereka yang tidak sesuai dan bahkan tidak mendekati ciri-ciri yang telah mereka ketahui itu, seakan-akan tidak lagi mendapat banyak perhatian. Di perjalanan kembali ke padepokannya, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu tidak mendapat hambatan yang berarti. Sementara itu, keadaan Paksipun telah menjadi benar-benar hampir pulih. Ia tidak merasa letih dalam perjalanannya kembali ke Hutan Jabung. Luka-lukanyapun sudah tidak terasa nyeri lagi, meskipun masih harus mendapat pengobatan. Kedatangan mereka disambut oleh Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama serta para penghuni padepokan itu. Bahkan dua tiga orang pemimpin prajurit yang ikut bekerja di padepokan itu telah menyambutnya pula. "Menurut prajurit penghubung yang memberitahukan bahwa kalian tidak dapat pulang. Paksi telah terluka parah" berkata Ki Panengah. "Ya, Guru" jawab Paksi. "Tetapi luka itu sudah mulai membaik. Aku mendapat obat dari Ki Gede Pemanahan"
"Sukurlah" Ki Kriyadama mengangguk-angguk. "Meskipun demikian, kau harus masih banyak beristirahat" "Ya, Ki Kriyadama" Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Waskita telah langsung melihat luka-luka Paksi. Namun katanya kemudian, "Tentu sudah jauh lebih baik dari saat kau terluka" "Ya, Guru" jawab Paksi. "Sekarang beristirahatlah. Pengobatan itu harus dilanjutkan. Apakah kau mendapat obatnya dari Ki Gede?" "Ya, Guru" "Bagus. Dalam tiga empat hari, maka segala-galanya tentu sudah akan pulih kembali. Luka-luka ini sudah akan sembuh. Mungkin masih tersisa. Tetapi sudah tidak akan berpengaruh apa-apa lagi" "Ya, Guru" Paksipun kemudian telah pergi ke biliknya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, Ki Panengah dan Kriyadama, Paksipun harus banyak beristirahat. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berada di bilik Paksi itu sejenak, namun merekapun kemudian telah keluar lagi. Pangeran Benawa masih juga sempat berpesan, agar Paksi tidak usah memikirkan apa-apa lagi. "Untuk sementara kita lupakan saja Paman Harya Wisaka" "Ya, Pangeran" "Tidur adalah salah satu pengobatan yang baik. Darahmu sudah terlalu banyak keluar. Meskipun kau merasa bahwa tenagamu sudah akan pulih kembali, tetapi karena darahmu terlalu banyak terperas dari luka-lukamu, kau masih memerlukan waktu untuk dapat pulih kembali" "Ya, Raden" Ketika Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa keluar dari bilik Paksi, maka Paksi memang membaringkan tubuhnya di amben bambu. Sebenarnya ia memang merasa letih setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh. Dalam keadaan yang wajar, ia tidak akan merasa letih meskipun harus
menempuh perjalanan sepuluh kali lipat. Tetapi pada saat darahnya telah banyak terperas, maka rasa-rasanya tenaganyapun menyusut. Karena itu, maka Paksipun sadar, bahwa ia harus banyak beristirahat untuk dapat menjadi pulih segala-galanya. Namun ketika Paksi itu tinggal berbaring sendiri di dalam biliknya, maka angan-angannyapun mulai merambah keluarganya. Ia mulai mengingat-ingat lagi bagaimana adiknya berkata kepadanya, bahwa Paksi bukanlah kakaknya. Pengakuan ibunya serasa terngiang kembali di telinganya, bahwa Paksi memang bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Ingatan itu telah membuat Paksi menjadi gelisah. Dengan susah payah ia berusaha untuk melupakannya. Setidaktidaknya untuk sementara. Ia ingin tubuhnya menjadi pulih kembali tanpa terhambat oleh kegelisahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi Paksi tidak berhasil. Bahkan ingatannya tentang kata-kata adiknya dan pengakuan ibunya itu terasa semakin dalam tertanam di dalam hatinya. "Ah" Paksipun segera bangkit. Udara terasa menjadi semakin panas. Justru karena itu, maka Paksipun telah bangkit dan melangkah keluar. Bahkan kemudian Paksipun duduk di serambi belakang. Paksi masih mendengar kesibukan orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan padepokan di dekat Hutan Jabung itu. Sebagian besar dari bangunannya sudah berdiri dengan kokohnya. Hari itu Paksi masih dapat menahan diri dan menyimpan persoalannya di dadanya. Ketika kemudian Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa minta Paksi masuk ke dalam biliknya, Paksipun berkata, "Udara terasa panas sekali di dalam bilik" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak memaksanya. Agaknya di luar udara terasa lebih sejuk. Apalagi jika angin bertiup dari arah Hutan Jabung.
Ketika tekanan perasaannya itu memuncak, maka Paksipun telah menemui Ki Panengah dan Ki Waskita di dalam ruang khusus mereka. "Aku ingin berbicara dengan guru berdua" berkata Paksi kemudian. "Apa yang akan kau bicarakan, Paksi?" "Tentang diriku sendiri, Guru" jawab Paksi. Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya. Sementara Paksipun berkata, "Tetapi tidak dengan orang lain. Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa sekalipun" "Apakah ada rahasia yang menyelimuti dirimu?" bertanya Ki Waskita. "Ya. Dan itu terasa sangat menyakitkan, Guru" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Malam nanti, setelah kita keluar dari sanggar" Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka yang mengerjakan padepokan itupun telah menyelesaikan pekerjaan mereka untuk hari itu. Merekapun pergi membersihkan tubuh mereka. Kemudian membenahi pakaian. Para cantrikpun telah beristirahat pula. Nanti, pada saat malam turun, mereka akan berada di dalam sanggar. Mereka berada di Hutan Jabung tidak semata-mata untuk mengerjakan padepokan yang akan mereka pergunakan itu saja. Tetapi merekapun harus meningkatkan kemampuan dan ilmu mereka. Ketika malam turun, maka seperti biasanya para cantrik telah bersiap untuk berlatih di dalam sanggar di bawah tuntunan sebagian oleh Ki Panengah dan sebagian oleh Ki Waskita. Sebagian mempergunakan sanggar tertutup dan sebagian mempergunakan sanggar terbuka di halaman padepokan yang lama. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah berada di antara mereka pula. Raden Sutawijaya berada di sanggar bersama Ki Panengah, sedangkan Pangeran Benawa berada di
dalam sanggar bersama Ki Waskita. Mereka membantu Ki Panengah dan Ki Waskita menuntun para cantrik meningkatkan ilmu mereka. Sementara itu Paksi masih belum ikut dalam latihan-latihan yang berat karena luka-lukanya serta tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya. Namun menjelang tengah malam, setelah latihan-latihan itu selesai, serta Ki Panengah dan Ki Waskita telah mandi, maka Paksipun menghadap keduanya di dalam bilik khususnya. "Paksi" berkata Ki Panengah, "apa yang akan kau sampaikan kepada kami" Nampaknya kau telah membawa beban perasaan yang sangat berat" "Ya, Guru" desis Paksi. "Aku merasa tidak kuat untuk memikulnya. Aku ingin menyampaikannya kepada guru berdua, agar beban itu terasa berkurang. Aku mohon petunjuk-petunjuk, apa yang sebaiknya aku lakukan" "Katakan, Paksi" desis Ki Panengah. Paksipun kemudian telah menceriterakan, bahwa ia telah bertemu dengan adiknya. Namun ternyata bahwa dalam pertemuan itu jantungnya telah ditikam oleh satu kenyataan yang sangat pahit. "Guru, ternyata aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada" Ki Panengah dan Ki waskita saling berpandangan. Dahi merekapun berkerut. Mereka memandang Paksi dengan dada yang berdebaran. Paksi menundukkan kepala dalam-dalam. Dadanya terasa bergetar semakin cepat. "Tenangkan hatimu, Paksi" berkata Ki Panengah. "Kenyataan ini memang sangat pahit. Tetapi bukankah lebih baik bagimu untuk mengetahui dengan pasti, siapakah dirimu, daripada selalu berteka-teki tentang sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang selalu mengancammu?" "Aku sama sekali tidak menghiraukan, apakah aku terancam atau tidak, Guru. Tetapi aku harus menerima kenyataan tentang ibuku. Selain itu, jika aku telah
memecahkan satu teka-teki yang rumit, namun aku telah menghadapi teka-teki lain yang lebih rumit lagi" "Teka-teki apa lagi, Paksi?" "Teka-teki siapakah ayahku itu. Ibu sama sekali tidak mau memberikan petunjuk. Bahkan ibu mengatakan bahwa ayahku itu sudah tidak berada di Pajang lagi" "Kemana ayahmu itu menurut ibumu, Paksi?" bertanya Ki Panengah. Paksi menarik nafas dalam sekali. Katanya, "Guru, ibu tidak mau berbicara tentang ayahku" Paksipun kemudian mengulangi kata-kata ibunya tentang laki-laki yang sebenarnya adalah ayahnya. Ki Panengah dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Waskitapun berkata, "Sudahlah, Paksi. Betapapun pahitnya, kau tidak dapat merubah kenyataan yang telah terjadi itu. Kau harus menerimanya dengan dada yang lapang" Paksi mengangguk. Katanya, "Ya, Guru. Aku harus menerima kenyataan tentang diriku sendiri dan terutama tentang ibuku. Tetapi apakah sudah sepantasnya, bahwa aku untuk selanjutnya tidak mengenal siapakah ayahku?" "Kau mendendamnya?" bertanya Ki Waskita. "Buat apa aku mendendamnya, Guru. Yang terjadi sudah terjadi, sementara ibu menganggap bahwa laki-laki itu tidak bersalah. Bahkan ibu justru menyalahkan dirinya sendiri" "Sudahlah, Paksi" "Menurut ibu, kakek hampir membunuhnya" Kakek tidak dapat menerima dengan ikhlas kenyataan tentang ibuku. Tentu saja bukan hanya kakek. Tetapi semua orang tidak dapat menerima dengan ikhlas kenyataan itu" "Aku mengerti, Paksi" berkata Ki Panengah. "Namun untuk sementara kau dapat mengesampingkan persoalan itu. Untuk sementara. Yang segera harus kau lakukan, bagaimana kau bersikap terhadap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang sebenarnya bukan ayahmu itu"
"Aku memang tidak mau dibunuhnya, Guru. Tetapi bagaimanapun juga ia sudah mengangkat ibu dari genangan lumpur. Meskipun mungkin Ki Tumenggung Sarpa Biwada mempunyai pamrih, tetapi kehadirannya dalam kehidupan ibuku telah memberikan arti tersendiri. Aku tidak dapat membayangkan apa jadinya seandainya Ki Sarpa Biwada itu tidak mau menikahi ibu pada waktu itu" "Sudahlah, Paksi. Sudahlah" potong Ki Panengah. "Seperti yang aku katakan, untuk sementara kau dapat mengesampingkan persoalan pribadimu" "Itukah yang terbaik bagiku saat ini, Guru?" Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun Ki Panengah itupun kemudian menyahut, "Untuk sementara, Paksi. Untuk sementara saja" "Tetapi, Guru. Bagaimana pendapat Guru, apakah dalam persoalan itu hanya ibu saja yang bersalah sebagaimana dikatakan oleh ibu" Apakah laki-laki yang membuat ibu hamil sebelum menikah itu tidak bersalah?" "Tentu ia juga bersalah, Paksi" sahut Ki Waskita. "Salahnya sama besarnya dengan kesalahan ibumu. Tidak seharusnya ibumu menyalahkan dirinya sendiri" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi Ki Panengah berkata, "Paksi, jangan kau biarkan dirimu tenggelam ke dalam persoalan itu. Sebaiknya kau bangkit untuk menghadapi hari-harimu saat ini. Kau, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa" Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti, Guru" "Bukan berarti bahwa kau harus menghapusnya sama sekali. Tetapi seperti yang sudah aku katakan beberapa kali, untuk sementara, Paksi" "Ya, Guru" "Tetapi untuk selanjutnya aku berjanji, bahwa aku akan membantumu" "Terima kasih, Guru" "Kau tidak sendiri, Paksi" berkata Ki Waskita. "Yakinlah itu"
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Ya, Guru" "Nah, apakah masih ada yang ingin kau sampaikan?" "Tidak, Guru. Aku sudah mengatakannya semuanya. Guru berdua tahu, beban apakah yang sekarang aku pikul. Mudahmudahan aku tidak tertimbun di dalamnya" "Sudah aku katakan, kau tidak sendiri, Paksi" "Terima kasih, Guru" Demikianlah, sejenak kemudian, Paksipun telah minta diri. Meskipun beban masih terasa sangat berat, tetapi setelah ia mengatakannya kepada kedua gurunya, maka rasa-rasanya ia mempunyai kekuatan baru untuk memikulnya. "Aku memang harus melupakan untuk sementara persoalan pribadiku" berkata Paksi di dalam hatinya. Paksipun menyadari, bahwa masih banyak persoalan yang lebih besar harus dihadapinya bersama-sama dengan Raden Sutawijaya, dengan Pangeran Benawa dan dengan banyak orang lainnya Ketika kemudian Paksi keluar dari ruangan khusus kedua gurunya, malam telah larut. Saudara-saudara seperguruannya telah tertidur. Namun ketika ia melangkah di dekat pembaringan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, keduanya ternyata masih belum tidur. Ketika Paksi melangkah ke pembaringannya, maka Pangeran Benawa itupun berdesis, "Selamat malam, Paksi" "Selamat malam, Pangeran" "Tidurlah" berkata Raden Sutawijaya kemudian, "kau harus banyak beristirahat" "Ya, Raden" Paksipun kemudian membaringkan dirinya. Tetapi ia masih saja gelisah. Berbeda dengan saat-saat ia bermalam di rumah Ki Gede Pemanahan. Justru waktu itu badannya masih terasa sakit dan sangat lemah, serta perhatian Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya atas keadaannya, Paksi justru sempat tidur nyenyak. Sekali-sekali ia terbangun karena nyeri pada lukanya. Namun kemudian ia tertidur lagi. Selain badannya masih terasa sakit, iapun merasa sangat letih pada waktu itu.
Tetapi ketika tenaga dan kekuatannya berangsur pulih kembali, maka ia justru menjadi semakin sulit dapat tidur. Tetapi akhirnya Paksi tertidur juga meskipun hanya sebentar. Dalam pada itu, setelah Paksi meninggalkan kedua gurunya, maka Ki Waskitapun berkata kepada Ki Panengah, "Aku akan mempergunakan jalan yang satu ini untuk menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Panengah" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kasihan Paksi. Tetapi menurut pendapatku, lebih baik baginya untuk segera mengetahui, bahwa ia bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada" "Tetapi ia terjerat pada teka-teki yang menurut Paksi lebih besar lagi. Paksi tentu ingin tahu, siapakah ayahnya. Siapakah laki-laki yang telah menodai ibunya semasa gadisnya dan kemudian meninggalkannya dalam keadaan hamil" Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Ki Waskita memang dapat mempergunakan cara yang satu itu sekarang" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Panengahpun berkata, "Mudah-mudahan cara ini berhasil memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada keluar dari persembunyiannya" "Apakah sebaiknya aku berhubungan dengan Ki Gede Pemanahan. Mungkin Ki Gede dapat memberikan beberapa petunjuk yang berarti" "Baiklah. Besok aku akan menemui Ki Gede Pemanahan" Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Waskitapun sudah mempersiapkan diri untuk menemui Ki Gede Pemanahan. Ketika kudanya sudah siap, maka Ki Waskitapun minta diri kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan murid-muridnya yang lain. Ki Waskita pun memberitahukan pula kepergiannya itu kepada Ki Kriyadama. "Guru akan pergi sendiri?" bertanya Paksi. "Ya, Paksi. Aku kira tidak akan ada hambatan di perjalanan. Para pengikut Harya Wisaka tidak mengenal aku kecuali Harya
Wisaka sendiri dan barangkali beberapa orang yang tentu jarang-jarang keluar dari persembunyiannya" "Jika Ki Waskita mengijinkan, biarlah aku dan Adimas Pangeran Benawa menyertai Ki Waskita" berkata Raden Sutawijaya. Tetapi Ki Waskita tersenyum Katanya, "Terima kasih. Biarlah aku pergi sendiri. Mungkin aku tidak pulang hari ini. Mungkin besok atau lusa" Raden Sutawijaya tidak mendesaknya. Namun Ki Waskita sendiri berkata, "Sudah terlalu lama Harya Wisaka menjadi buruan. Mungkin ia sudah sembuh. Mungkin tenaga dan kemampuannyapun sudah pulih pula. Karena itu, kita harus segera menangkapnya. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sudah bekerja keras. Tetapi sampai sekarang masih belum berhasil. Biarlah kemudian aku dan Ki Gede Pemanahan langsung mencobanya turun ke arena. Bagaimanapun juga, kami merasa bersalah, bahwa Harya Wisaka itu sempat luput dari tangan kami. Padahal Harya Wisaka sudah masuk ke dalam bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kesempatan yang tidak akan dapat terulang kembali" Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Panengahpun berkata, "Jika perlu, aku mohon Ki Waskita mengirimkan penghubung kemari" "Baik, Ki Panengah. Mudah-mudahan aku tidak terlalu lama berada di kotaraja" "Bukankah Ki Waskita setiap kali dapat menengok padepokan ini seandainya Ki Waskita dan Ki Gede tidak segera dapat menemukan Harya Wisaka" Bukankah jarak Hutan Jabung tidak terlalu jauh dari kotaraja?" berkata Ki Kriyadama. "Tentu" jawab Ki Waskita. "Namun segala sesuatunya juga tergantung kepada Ki Gede Pemanahan" Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Waskita sudah berpacu di atas punggung kudanya, meskipun Ki Waskita menurut ujudnya sudah semakin tua, tetapi ia masih saja sigap dan tegar.
Bahkan angin pagi yang menerpa tubuhnya yang meluncur di punggung kudanya dan berlari seperti anak panah yang terlepas dari busurnya itu, nampak seakan-akan menjadi semakin tangkas. Di padepokan, Paksipun kemudian menemui Ki Panengah. Dengan nada dalam iapun berkata, "Kenapa tiba-tiba Ki Waskita pergi ke kotaraja" Apakah ada hubungannya dengan keteranganku semalam, Guru?" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Waskita memang tersinggung atas tingkah laku Harya Wisaka dan para pengikutnya. Ki Waskita merasa ikut disakiti mendengar peristiwa yang menimpa dirimu. Untunglah Yang Maha Agung melindungimu sehingga kau selamat meskipun kau terluka parah. Ki Waskita berpendapat, bahwa gerakan Harya Wisaka itu benar-benar harus dihentikan. Karena itu, maka Ki Waskita akan menghadap Ki Gede Pemanahan. Mungkin keduanya akan dapat mengambil langkah-langkah yang lebih tajam menusuk ke dalam gerakan yang dipimpin oleh Harya Wisaka itu" Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengahpun berkata, "Di luar sikap kita terhadap Harya Wisaka, mau tidak mau kita harus memujinya. Demikian cerdiknya Harya Wisaka dan para pengikutnya mengatur persembunyiannya, sehingga para petugas sandi yang telah dikerahkan, masih juga belum mampu mencium jejaknya" "Ya, Guru. Ternyata para pengikut Harya Wisaka benarbenar setia kepadanya, sehingga sulit bagi para petugas sandi dari Pajang untuk menemukannya. Padahal segala cara sudah ditempuh. Bahkan para prajurit sudah memasuki setiap pintu rumah untuk mencarinya. Tetapi semuanya sia-sia" "Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukannya" Paksi tidak bertanya lebih jauh. Tetapi terasa di sudut hatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ki Panengah kepadanya. Namun ia tidak dapat memaksa Ki Panengah untuk mengatakannya.
Dalam pada itu, kuda Ki Waskitapun berlari dengan kencangnya menuju ke pintu gerbang kotaraja. Namun ketika kuda itu turun ke jalan yang lebih ramai, maka Ki Waskitapun telah memperlambat derap kaki kudanya. Sebenarnyalah Ki Waskita ingin segera bertemu dengan Ki Gede Pemanahan. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Ia mempunyai satu jalan yang barangkali dapat ditelusuri menuju ke persembunyian Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Jika saja Ki Tumenggung itu dapat ditangkap, mungkin mereka dapat merintis jalan menuju ke persembunyian Harya Wisaka itu. Perjalanan Ki Waskita memang tidak terlalu lama. Jarak yang tidak begitu panjang itu tidak terlalu banyak memerlukan waktu. Karena itu, maka sebelum matahari menjadi terlalu tinggi, Ki Waskita sudah memasuki pintu gerbang kotaraja. Para petugas di pintu gerbangpun memperhatikannya. Tetapi ciri-ciri orang berewok itu sama sekali tidak bersinggungan dengan ciri-ciri yang mereka kenal sebagai ciriciri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya yang terpenting. Ketika Ki Waskita sampai di rumah Ki Gede Pemanahan, ternyata Ki Gede masih berada di rumahnya. Sehingga karena itu, maka Ki Gedepun masih sempat menerimanya sebelum Ki Gede pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kepada Ki Gede Pemanahan, Ki Waskita menyampaikan rencananya untuk memancing Ki Tumenggung sehingga kemudian dapat ditelusuri jalan ke persembunyian Harya Wisaka. Ki Gede Pemanahan itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, Ki Waskita, jika cara itu yang akan Ki Waskita lakukan" "Kita sudah tidak mempunyai cara lain, Ki Gede. Segala usaha sudah dilakukan. Tetapi kita tidak berhasil menemukan persembunyian Harya Wisaka" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kasihan Paksi. Selama ini ia dibayangi oleh teka-teki, kenapa ayahnya
sampaihati untuk benar-benar berniat membunuhnya. Sekarang Paksi dibayangi oleh teka-teki yang baru, siapakah ayahnya yang sebenarnya" "Mudah-mudahan ikatannya dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada menjadi lebih longgar. Selama ini ia masih merasa terikat oleh hubungan antara anak dan ayah, sehingga langkah Paksi masih serba canggung" "Baiklah, Ki Waskita" berkata Ki Gede kemudian, "nanti kita akan membicarakan cara-cara terbaik yang dapat kita tempuh. Sekarang aku persilahkan Ki Waskita beristirahat. Aku akan menghadap Kangjeng Sultan. Sekaligus menyampaikan rencanamu untuk memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada" "Silahkan, Ki Gede. Aku akan menunggu Ki Gede. Sementara sambil menunggu, aku akan melihat-lihat keadaan kotaraja. Aku ingin pergi ke pasar" "Ke pasar?" "Aku ingin melihat-lihat. Beberapa kali Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berada di pasar dalam penyamaran. Namun mereka tidak melihat apa-apa yang mereka inginkan" "Kaupun tidak akan melihat apa-apa, Ki Waskita. Kecuali berbagai macam makanan yang barangkali menarik bagi Ki Waskita" Ki Waskita tertawa. Katanya, "Disini aku sudah mendapat suguhan makanan yang jarang aku temui" Ki Gedepun tertawa pula. Namun sejenak kemudian, Ki Gede telah meninggalkan rumahnya untuk pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Sementara itu, sambil menunggu Ki Gede pulang, Ki Waskita telah menyusuri jalan-jalan di kotaraja untuk melihat-lihat suasana. Ki Waskita itu juga berjalan melalui lorong-lorong sempit. Bahkan lorong yang telah dilalui Paksi pada saat anak muda itu bertemu dengan tiga orang pengikut Harya Wisaka, bahkan bersama dengan adik laki-lakinya yang telah mengatakan rahasia yang disimpan oleh ibunya bertahun-tahun.
Tetapi Ki Waskita tidak bertemu dengan orang-orang yang mencurigakan. Tidak bertemu dengan orang-orang yang membawa bahan pangan atau keperluan sehari-hari lainnya. Tetapi Ki Waskita mencoba mengamati arah perjalanan adik Paksi bersama ketiga orang yang membawa bahan pangan itu. Jika mereka berjalan dari pasar, maka mereka tentu telah menempuh jalan yang agak melingkar. Tetapi mungkin mereka memang tidak dari pasar. Tetapi mereka tinggal mengambil ke tempat yang sudah ditentukan. Orang lain lagi, mungkin perempuan, yang telah pergi berbelanja ke pasar. Pada saat matahari mulai turun, maka Ki Waskitapun telah kembali ke rumah Ki Gede Pemanahan. Ternyata Ki Gedepun telah kembali pula dari istana. "Aku sudah mengatakan rencana Ki Waskita kepada Kangjeng Sultan sekaligus" berkata Ki Gede Pemanahan. "Bagaimana tanggapan Kangjeng Sultan?" bertanya Ki Waskita. "Kangjeng Sultan menyetujuinya. Kita tinggal membicarakan perincian dari rencana ini termasuk pengamanannya" Ki Waskita mengangguk-angguk. Setelah keduanya makan dan beristirahat sejenak, maka Ki Gedepun berkata, "Kita dapat membicarakannya sekarang, Ki Waskita. Mudah-mudahan usaha ini berhasil" Ki Waskitapun mengangguk hormat sambil berkata, "Mudah-mudahan, Ki Gede. Kita memang harus mencoba beberapa jalan untuk mencapai sasaran" Demikianlah keduanyapun mulai berbicara tentang rencana mereka untuk menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun Ki Gedepun kemudian berkata, "Tetapi Ki Waskita harus sangat berhati-hati. Jika rencana ini meleset sedikit saja, maka Ki Waskita akan benar-benar dapat menjadi korban" "Aku mengerti, Ki Gede. Tetapi kita tidak mempunyai jalan lain"
"Baiklah. Aku minta Ki Waskita benar-benar bersiap. Aku akan bersiap pula. Tetapi Ki Waskita harus bersiap-siap pula mengambil langkah-langkah yang tepat apabila ada perkembangan baru yang terjadi pada rencana ini yang sebelumnya tidak kita perhitungkan" "Baik, Ki Gede. Aku sudah siap, bahkan akupun siap mengalami akibat yang paling buruk dari rencana ini. Jika ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih cerdik dari kita, maka akulah yang akan menjadi korban" Ki Gedepun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita akan mencobanya" "Tetapi kita harus melakukannya dengan sabar. Mungkin kita memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berhasil, atau tidak sama sekali" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Waskita harus mempunyai tempat tersendiri di dalam kota ini. Ki Waskita tidak dapat hilir-mudik ke rumahku, karena dengan demikian, maka para pengikut Harya Wisaka akan mengetahui, bahwa yang Ki Waskita lakukan adalah satu jebakan" "Ya, Ki Gede. Selama kita melakukan rencana ini, maka aku akan berada di rumah Ki Panengah yang pernah dijadikannya padepokan. Rumah itu sekarang kosong, hanya ditunggui oleh seorang pembantunya" "Baiklah, Ki Waskita. Kita akan segera melakukan tugas kita masing-masing" "Besok kita akan mulai dengan rencana ini, Ki Gede" "Ya, besok. Lewat tengah hari. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya" Sejenak kemudian, maka Ki Waskitapun telah minta diri. Ki Waskita itupun langsung pergi ke rumah Ki Panengah yang pernah dipergunakannya sebagai padepokan sementara sebelum pindah ke Hutan Jabung. Penunggu rumah itu sudah mengenal Ki Waskita dengan baik. Karena itu, maka Ki Waskita tidak menemui kesulitan untuk berada di rumah itu dalam tiga empat hari. Dari rumah
itulah, Ki Waskita akan melakukan usahanya untuk menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun sementara itu, ternyata Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar pula atas rencananya. Kemungkinan berhasil atau gagal sama besarnya. Demikian pula kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya. Nasib baik dan nasib buruk menunggu di kedua sisi rencananya itu. Dalam pada itu, sebelum Ki Waskita memasuki rencananya, di sisa hari itu, ia masih juga berjalan-jalan melihat-lihat suasana. Menjelang senja, Ki Waskita itu duduk di pinggir alun-alun Pajang. Ia masih sempat melihat beberapa orang prajurit berlatih sodoran. Beberapa di antaranya nampak terampil mempermainkan tombaknya sambil menunggang kuda. Namun ada di antara mereka yang nampaknya baru mulai. Namun begitu senja turun, maka latihan itupun segera berakhir. Alun-alun itupun menjadi sepi. Sedangkan Ki Waskitapun kembali pula ke rumah Ki Panengah. Di malam hari, Ki Waskita tidak segera dapat tidur. Iapun keluar pula berjalan-jalan. Namun Ki Waskita itu tidak menemukan apa-apa. Yang dijumpainya adalah beberapa orang prajurit yang meronda. Dijumpainya empat orang prajurit berkuda yang mengelilingi kota. Namun ditemuinya pula empat orang prajurit yang meronda dengan berjalan kaki. Tetapi setiap kali Ki Waskita selalu bersembunyi di balik pepohonan, karena berjalan seorang diri di malam hari akan dapat dicurigai. Setidak-tidaknya ia harus menjawab beberapa pertanyaan. Jika jawabnya tidak memuaskan, maka ia akan dapat dibawa ke barak prajurit itu. Di hari berikutnya, maka Ki Waskita benar-benar harus mempersiapkan dirinya. Bukan saja mempersiapkan unsur kewadagannya, tetapi juga unsur ketahanan jiwanya. Sebagai orang yang berilmu sangat tinggi, Ki Waskita mempunyai kepercayaan yang besar terhadap dirinya sendiri. Selain berpihak kepadanya, karena ia menjalankan tugas bagi keselamatan banyak orang.
Meskipun demikian, Ki Waskita masih saja merasa gelisah. Yang dilakukannya kali ini adalah tugas khusus yang sangat rumit. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Cara yang ditempuhnya itu adalah satu-satunya cara yang diketahuinya. Meskipun perbandingan antara berhasil dan gagal, sama besarnya. Dengan gelisah Ki Waskita menunggu matahari naik sampai ke puncak. Namun rasa-rasanya matahari begitu malasnya merangkak di langit, sehingga waktu terasa berjalan sangat lambat. Namun akhirnya mataharipun melewati titik puncaknya. Ki Waskita yang sudah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya itupun meninggalkan rumah Ki Panengah, menuju ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Waskita sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari pengawasan para pengikut Harya Wisaka yang dipercayanya masih tetap mengawasi rumah itu. Ki Waskitapun berjalan melalui jalan depan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Masuk lewat regol halaman yang sedikit terbuka. Kemudian menutupnya kembali, tetapi seperti semula, tidak terlalu rapat. Kedatangan Ki Waskita mengejutkan seisi rumah itu. Adik perempuan Paksi yang melihat kedatangannya, segera memberitahukan kepada ibunya. "Siapa, Nduk?" bertanya Nyi Tumenggung Sarpa Biwada. "Entah, Ibu. Tetapi rasa-rasanya ia pernah datang kemari ketika Kakang Paksi pulang dan kemudian ditangkap" Nyi Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah keluar pintu pringgitan. Nyi Tumenggung terkejut melihat Ki Waskita berdiri termangu-mangu di halaman. Sesaat Nyi Tumenggung berdiri membeku di depan pintu pringgitan. Namun Ki Waskita itupun kemudian berkata sambil membungkuk hormat, "Aku, Nyi. Orang menyebutku Ki Waskita. Aku adalah salah seorang dari guru Paksi, anak Nyi Tumenggung"
"O" Nyi Tumenggung menjadi gagap. Sementara itu adik perempuan Paksipun berdesis, "Guru Kakang Paksi, Ibu?" "Ya, ya, Nduk" jawab ibunya. Kemudian Nyi Tumenggung itupun mempersilahkan, "Silakan duduk. Ki Waskita" Ki Waskitapun kemudian naik ke pendapa dan duduk di pringgitan ditemui oleh Nyi Tumenggung. Kepada adik perempuan Paksi, Nyi Tumenggung itupun berkata, "Pergilah ke dapur, Nduk. Kau dapat menyiapkan minuman, bukan?" "Sudahlah, Nyi. Tidak usah" Tetapi Nyi Tumenggungpun berkata, "Tidak apa-apa, Ki Waskita. Hanya air" Adik perempuan Paksipun kemudian pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman dan makanan. Kepada pembantunya, adik Paksi itupun berkata, "Aku yang diminta ibu untuk membuat minuman" Pembantunya hanya tersenyum saja. Gadis kecil itu memang sudah trampil membuat minuman dan kemudian membawanya ke pringgitan. Dalam pada itu, di pringgitan, Nyi Tumenggungpun bertanya dengan suara yang bergetar, "Apa yang Ki Waskita kehendaki?" "Nyi" berkata Ki Waskita, "aku ingin mendapat bantuanmu" "Bantuan apa, Ki Waskita" Apakah masih ada yang dapat aku lakukan?" "Nyi" berkata Ki Waskita, "maaf jika aku minta bantuanmu untuk menangkap Ki Tumenggung" Wajah Nyi Tumenggung menjadi merah. Dengan nada tinggi iapun berkata, "Kau mempergunakan kesempatan ini?" "Jangan salah paham, Nyi. Kau tahu bahwa Ki Tumenggung telah menjadi pengikut Harya Wisaka. Sementara itu Harya Wisaka telah memberontak. Bukankah itu berarti bahwa Ki Tumenggung telah memberontak pula?" "Apakah Ki Waskita termasuk salah seorang yang bertugas untuk menangkap para pemberontak atau sekedar memanfaatkan keadaan bagi dendam pribadi?"
"Apakah artinya, bahwa sekarang aku berbicara tentang dendam pribadi?" desis Ki Waskita. "Tetapi jika yang kau maksud dengan dendam pribadi itu adalah dendam karena muridku telah menjadi luka parah karena harus bertempur melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, maka aku tidak mengelak. Bahkan seharusnya Nyi Tumenggungpun mendendam pula, karena Paksi adalah anak Nyi Tumenggung" Pembicaraan merekapun terputus karena adik perempuan Paksi menghidangkan minuman dan makanan. "Terima kasih, anak manis" desis Ki Waskita sambil tersenyum. Adik perempuan Paksipun tersenyum pula. Tetapi ia tidak memandang wajah tamu ibunya itu. Bahkan wajahnyapun menunduk dalam-dalam. Demikian ia meletakkan mangkuk minuman dan makanan, maka adik Paksipun itupun segera beringsut meninggalkan pringgitan. "Nyi Tumenggung" berkata Ki Waskita kemudian, "sekali lagi aku mengulangi permohonanku agar Nyi Tumenggung bersedia membantuku" "Apa yang dapat aku lakukan?" "Mengijinkan aku bermalam disini. Biarlah aku tidur di dapur atau di kandang atau dimana saja" Terasa dada Nyi Tumenggung bergetar. Dengan suara yang patah-patah Nyi Tumenggung itupun berkata, "Kau minta aku membantumu untuk menangkap suamiku?" "Nyi, sasaran utamanya sebenarnya bukan Ki Tumenggung. Tetapi Harya Wisaka. Jika Ki Tumenggung bersedia bekerja sama untuk menangkap Harya Wisaka, maka ia tentu akan mendapat banyak keringanan hukuman" "Kau ingin melihat harga diri suamiku tersuruk semakin dalam di lumpur yang kotor?" "Kenapa?" "Jika suamiku memang memberontak, biarlah ia menjadi seorang pemberontak yang baik. Yang menengadahkan dadanya menghadapi akibat dari jalan yang dipilihnya. Aku
tidak ingin bahwa suamiku melakukan pengkhianatan ganda. Berkhianat kepada negaranya dan kemudian berkhianat atas keyakinan yang dipilihnya" "Aku sependapat, Nyi. Tetapi apakah Nyi Tumenggung tidak mempunyai pertimbangan yang lebih jauh" Jika pemberontakan ini berlangsung lebih lama lagi, maka bayangkan, berapa banyaknya korban yang akan jatuh. Kematian demi kematian akan saling susul-menyusul" "Adalah wajar seorang laki-laki mempertaruhkan nyawanya demi keyakinannya. Mereka yang yakin, bahwa Harya Wisaka bersalah akan berdiri di satu pihak. Sementara mereka yang dengan setia berdiri di belakang Harya Wisaka, akan berada di pihak lain. Jika kedua belah pihak itu berbenturan, bukankah wajar jika jatuh korban?" "Kau yakin, bahwa yang berdiri di kedua belah pihak itu berlandaskan pada keyakinan" Tidakkah mungkin mereka berdiri di atas janji-janji kosong atau bahkan lebih buruk ancaman-ancaman yang memaksa mereka menjalankan pekerjaan suka atau tidak suka karena tidak mempunyai pilihan. Mungkin anak dan isterinya berada di bawah ancaman. Mungkin ayah atau ibunya atau bahkan dirinya sendiri" "Alangkah beragamnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat Ki Waskita sebutkan. Tetapi jangan memperalat aku untuk menangkap suamiku sendiri, kemudian memaksanya berkhianat" "Jika demikian, sejalan dengan pendapatmu itu, Nyi, kau akan membiarkan Paksi saling membunuh dengan ayahnya. Atau lebih buruk lagi, Paksi akan berhadapan dengan adik lakilakinya yang sudah terpengaruh oleh ayahnya. Jika sikapmu teguh, Nyi, aku sanggup untuk membuat Paksi kehilangan nuraninya menghadapi adik laki-lakinya sekaligus ayahnya. Paksi akan dapat memburu adik laki-lakinya itu, karena ia sudah menemukan jejaknya. Paksi akan dapat memburunya dengan sekelompok prajurit sebagaimana dibawanya saat ia
berpura-pura memburu Harya Wisaka keluar kota, karena kami tahu, bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota" Terasa jantung Nyi Tumenggung itu bagaikan tertusuk sembilu. Terasa dadanya mulai menjadi pepat. Matanya menjadi panas. Namun Nyi Tumenggung bertahan untuk tidak menangis. "Jangan adu domba anak-anakku" "Jika Harya Wisaka dapat ditangkap, maka permusuhanpun akan dapat diredam. Paksi dan adik laki-lakinya tidak perlu saling mengancam" "Jangan campuri persoalan anak-anakku dengan licik. Biarlah mereka menentukan langkah mereka sendiri" "Untuk memecahkan kekalutan yang terjadi di Pajang memang diperlukan pengorbanan. Tetapi kita harus berusaha, agar korban yang jatuh tidak berlebihan. Biarlah mereka yang terlibat dan meyakini perjuangannya mempertaruhkan nyawanya sebagai laki-laki. Tetapi jangan menyurukkan korban di luar bingkai permasalahannya" "Ki Waskita" berkata Nyi Tumenggung kemudian, "sayang, aku tidak dapat membantumu" Ki Waskita memandang Nyi Tumenggung dengan tajamnya. Katanya, "Baiklah, Nyi. Jika demikian aku memang harus mencari jalan lain. Aku harus membius Paksi agar ia dapat bersikap tegar menghadapi kenyataan. Paksi yang sudah tahu hubungannya dengan ayahnya dan adiknya, akan menjadi lebih mudah untuk mengarahkan sikapnya" "Apa yang akan kau lakukan, Ki Waskita?" "Seperti yang Nyi katakan. Kami akan berpegang atas keyakinan kami dengan teguh. Paksi akan membawa sekelompok prajurit untuk menemukan adik laki-lakinya. Akupun tidak peduli terhadap anak itu. Tetapi aku tidak ingin Paksi mati di tangan para pengikut ayahnya yang sudah terbius oleh janji-janji Harya Wisaka, karena aku sangsi, bahwa mereka benar-benar berpegang atas satu keyakinan" "Ki Waskita" "Dari adik laki-lakinya itu, Paksi akan dapat mengetahui dimana ayahnya bersembunyi. Ayahnya yang telah dengan
sungguh-sungguh berniat membunuhnya. Dari mereka akan ditelusuri tempat persembunyian Harya Wisaka" "Tetapi anakku itu tidak bersalah. Ia tidak bersikap atas dasar keyakinannya" "Ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah lewat remaja. Karena itu ayahnya telah menyuapinya dengan satu keyakinan kebenaran perjuangan Harya Wisaka. Kebenaran untuk satu pencapaian atau kebenaran tentang kedudukan yang tinggi, aku tidak tahu. Tetapi itulah yang dilakukannya" "Ternyata kau manfaatkan peristiwa ini untuk kepentingan pribadimu. Jika Ki Tumenggung bersungguh-sungguh untuk membunuh Paksi, maka kaupun akan bersungguh-sungguh berusaha membunuh adik Paksi. Bahkan kau tidak segansegan mengadu kedua kakak beradik itu" "Ya. Aku tidak mau kehilangan muridku tanpa berbuat apaapa" "Kau licik sekali, Ki Waskita" "Mungkin aku adalah orang yang paling licik di seluruh Pajang. Tetapi aku masih berbangga bahwa aku akan ikut berusaha menangkap Harya Wisaka, seorang pemberontak yang sekarang menjadi buruan. Termasuk para pengikutnya" Nyi Tumenggung itu mengusap matanya. Tetapi ia tidak mau menangis. Ia bukan seorang perempuan yang cengeng. Sejenak keduanya saling berdiam diri. Gejolak di jantung Nyi Tumenggung Sarpa Biwada rasa-rasanya akan memecahkan dadanya. Nyi Tumenggung itu merasa berdiri di jalan simpang. Jalan yang manapun yang dipilihnya akan berujung pada kegetiran yang tajam menusuk sampai ke pusat jantung. "Nyi" berkata Ki Waskita kemudian, "agaknya memang nasib Paksi yang buruk. Dalam ancaman maut dari seorang yang sebelumnya dianggapnya ayahnya sendiri, yang memberikan perintah tidak masuk akal kepadanya untuk mencari sebuah cincin kerajaan yang belum pernah dilihatnya, bahkan dalam mimpi, namun dijalaninya dengan ikhlas, kini sama sekali tidak mendapat perlindungan. Bukan perlindungan
kewadagan, tetapi perlindungan atas ketenangan jiwanya" Ki Waskita itupun berhenti sebentar. Lalu katanya pula, "Baiklah. Agaknya kau juga ingin menyingkirkan Paksi yang kau anggap menjadi penghalang atas hubunganmu dengan suamimu. Baik, Nyi. Jika demikian, memang tidak ada orang lain yang harus berbuat apapun baginya selain gurunya" "Ki Waskita" "Nyi, jika aku atau Ki Panengah menemukan mayat Paksi yang berhasil dibunuh oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada, maka kami akan membawanya kemari. Kau tentu puas melihat anak muda yang dianggap duri di dalam keluarga ini mati dengan luka arang keranjang di tubuhnya" "Ki Waskita" "Tetapi Paksi dan kami berdua tentu tidak akan menyerah dan membiarkan hal itu terjadi. Kami akan melindungi Paksi dengan cara apapun juga. Kasar atau halus. Agar Paksi tidak terbunuh, maka kami akan membunuh" "Cukup, cukup, Ki Waskita" suara Nyi Tumenggung itu bergetar oleh getar jiwanya. Katanya kemudian, "Sampai hati kau berkata seperti itu kepadaku. Sampai hati kau menuduh aku ingin menyingkirkan Paksi" "Jadi apa yang harus aku katakan" Kau menolak untuk bekerja sama menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang jelas ingin membunuh Paksi. Bukankah itu berarti bahwa kau lebih senang Paksi terbunuh" Jika Ki Tumenggung itu tertangkap dan bersedia bekerja sama, maka ia tidak akan mati. Jika ia masih juga harus dihukum, maka hutangnya kepada Pajangpun akan lunas. Pada suatu saat ia akan menghirup udara bebas dan kembali kepadamu sebagai orang yang merdeka. Tetapi apakah Paksi akan dapat kembali kepadamu jika ia mati?" Nyi Tumenggung mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia masih bertahan untuk tidak menangis. Tetapi ia benar-benar dihadapkan pada satu pilihan yang amat sulit.
Karena Nyi Tumenggung tidak segera menjawab, maka Ki Waskita itupun berkata selanjutnya, "Jika kau tetap pada pendirianmu, Nyi, aku memang tidak mempunyai pilihan lain" Namun dengan suara sendat dan patah-patah Nyi Tumenggung itupun berkata, "Baiklah, Ki Waskita. Aku akan membiarkan diriku kau peralat untuk menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Aku tidak tahu, apakah alasanmu sebenarnya. Bahkan seandainya kau mempunyai dendam pribadi" "Sudah aku katakan, Nyi. Aku tidak mau Paksi dibunuh. Paksi adalah harapan perguruan kami bagi masa depan. Pada saatnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa akan meninggalkan perguruan kami karena kedudukan mereka. Tetapi Paksi tidak. Ia akan berada bersama kami untuk seterusnya" "Selanjutnya, silahkan apa saja yang ingin kau lakukan Ki Waskita. Jika kau akan bermalam disini, silahkan. Dimana kau akan tidur, terserah saja kepadamu. Aku dan anak perempuanku akan berada di bilik bersama pembantuku di dapur" "Aku tidak bermaksud seperti itu, Nyi. Aku tidak akan merampas hakmu. Aku hanya ingin memancing agar Ki Tumenggung Sarpa Biwada atau orang-orangnya datang ke rumah ini. Itu saja. Karena itu, yang aku perlukan adalah kesan bahwa aku berada di rumah ini" Nyi Tumenggung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Matanya memang menjadi basah. Tetapi Nyi Tumenggung tetap tidak menangis. Dengan nada rendah, Ki Waskitapun kemudian berkata, "Aku mohon maaf, Nyi. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti hatimu. Aku juga tidak ingin membalas dendam pribadi. Aku hanya ingin ikut membantu menenangkan gejolak yang terjadi di Pajang sekarang ini. Tetapi jika hal ini dianggap sebagai satu sikap yang berlebihan, maka biarlah aku mengatakan, bahwa aku hanya ingin menyelamatkan Paksi"
Nyi Tumenggung mengangguk kecil. Sementara itu Ki Waskitapun berkata selanjutnya, "Biarlah aku tidur dimana saja. Aku sudah terbiasa tidur di udara terbuka, di pategalan atau di dalam semak-semak. Bahkan di dahan-dahan pohon di hutan" Nyi Tumenggung menunduk semakin dalam. Katanya, "Biarlah pembantuku menjadi saksi, bahwa kehadiran Ki Waskita di rumah ini semata-mata untuk kepentingan tugastugas yang kau emban. Apakah tugas-tugas bagi Pajang atau beban kewajiban yang harus kau pikul untuk menyelamatkan Paksi" "Karena itu, kehadiranku jangan mengganggu kegiatanmu sehari-hari, Nyi. Aku tahu, bahwa ada ruang di sebelah lumbung padi. Aku akan berada disana" "Tidak ada ruang di lumbung padiku, Ki Waskita" "Bukankah biasanya ada lumpang dan lesung yang ditempatkan di sisi lumbung?" "Sekedar di serambi yang terbuka" "Itu sudah cukup, Nyi. Aku akan tidur di sebelah lesung. Tentu akan terasa hangat" "Tidak, Ki Waskita. Aku tidak dapat membiarkan kau tidur di serambi lumbung yang kotor itu. Kau akan merasa gatalgatal di seluruh tubuhmu" "Sudahlah. Jangan menjadi masalah. Jika Nyi Tumenggung mengijinkan, aku akan keluar masuk halaman rumah ini untuk selanjutnya tidur dimanapun tanpa mengganggumu" Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak akan dapat mengelak, ia harus memilih. Namun semua pilihan akan sangat menyakitkan hatinya. Justru karena Nyi Tumenggung itu sadar sepenuhnya, bahwa ia akan menjadi alat untuk menjebak suaminya sendiri, maka hatinyapun menjadi sangat pedih. Tetapi Nyi Tumenggung tidak dapat membiarkan Paksi mati dibunuh oleh suaminya itu, karena Paksi adalah anaknya. Akhirnya, Nyi Tumenggung harus membiarkan Ki Waskita keluar masuk regol halaman rumahnya. Tetapi Ki Waskita
tidak pernah naik pendapa atau masuk lewat pintu butulan yang menghadap ke longkangan. Jika Ki Waskita datang ke rumah itu, maka iapun langsung pergi ke belakang. Kadangkadang duduk di bawah sebatang pohon kemiri yang rindang, kadang-kadang di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat. Sekali-sekali adik Paksipun bertanya kepada ibunya, untuk apa orang tua itu berada di rumahnya. Nyi Tumenggung memang sulit untuk menjawab. Namun kemudian katanya, "Ia mempunyai tugas untuk mengawasi rumah ini, Nduk" "Kenapa dengan rumah ini" Apakah orang itu menunggu ayah disini?" "Sudahlah, jangan pikirkan. Bukankah ia tidak mengganggu kita?" Adik perempuan Paksi itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Waskita masih saja hilir-mudik antara rumah Ki Panengah yang kosong dan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Bahkan jika senja mulai turun, Ki Waskita itupun memasuki regol halaman rumah Nyi Tumenggung. Tetapi Ki Waskita tidak pernah menemui Nyi Tumenggung lagi. Ia langsung pergi ke halaman belakang. Bahkan jika Ki Waskita berada di rumah itu di siang hari, ia tidak segan-segan membantu membersihkan kandang dan lumbung padi. Nyi Tumenggungpun tidak pernah pula menyapanya. Dibiarkan saja Ki Waskita berkeliaran di kebun belakang rumahnya. Nyi Tumenggungpun tidak pernah menyediakan minuman apalagi makan bagi Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita memang tidak memerlukannya. -ooo00dw00oooJilid 27 SEHARI, dua hari, tiga hari telah berlalu. Namun tidak ada terjadi apapun di rumah Nyi Tumenggung Sarpa Biwada. Kehidupan di rumah itu berjalan seperti biasanya tanpa
terpengaruh oleh kehadiran Ki Waskita. Meskipun demikian, para pembantu di rumah itu menjadi heran. Apa yang dilakukan oleh Ki Waskita di rumah itu tidak dapat mereka mengerti. Sedangkan Nyi Tumenggung sendiri tidak pernah mengatakan apa-apa kepada mereka tentang orang yang kadang-kadang berada di halaman belakang rumah itu. Sebenarnyalah Ki Waskita sendiri merasa sudah terlalu lama mondar-mandir dari rumah Ki Panengah ke rumah Nyi Tumenggung. Tetapi usahanya untuk memancing Ki Tumenggung masih juga belum berhasil. Namun dalam pada itu, lewat seorang penghubung, Ki Waskita masih selalu berhubungan dengan Ki Gede Pemanahan. Mereka tidak boleh terlepas yang satu dengan yang lain untuk melaksanakan rencana mereka. Ternyata baik Ki Waskita maupun Ki Gede cukup sabar. Meskipun hari-hari berlalu, sehingga menginjak sepekan, mereka tidak segera menjadi jemu. Sebenarnyalah kehadiran Ki Waskita di rumah Nyi Tumenggung itu tidak lepas dari pengawasan para pengikut Harya Wisaka. Di hari-hari pertama, mereka hanya sekedar mengawasi dan memperhatikan kehadiran laki-laki itu. Tetapi karena Ki Waskita setiap kali bahkan hampir setiap senja datang ke rumah itu, maka kehadirannyapun segera dilaporkan kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Jadi laki-laki itu datang setiap hari?" "Ya, Ki Tumenggung. Setiap senja ia datang. Bahkan kadang-kadang juga pagi dan siang hari ia datang pula" Ki Tumenggung Sarpa Biwada menggeretakkan giginya. Katanya, "Nanti aku akan melihat sendiri, siapakah orang itu" Di sore hari, sebelum senja turun, Ki Tumenggung Sarpa Biwada sudah berada di halaman rumah yang beradu sudut dengan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Halaman rumah yang tidak seluas halaman rumah Ki Tumenggung. Rumahnya pun lebih sederhana dari rumah Ki Tumenggung.
Rumah itu adalah rumah salah seorang pengikut setia Harya Wisaka yang luput dari pengawasan para petugas sandi, karena penghuninya adalah seorang pedagang yang nampaknya tidak pernah berhubungan dengan persoalan pemerintahan di Pajang. Orang-orang di sekitarnya pun tidak menghiraukannya ketika sebuah keseran yang membawa beberapa keranjang gula kelapa memasuki halaman rumah itu ditarik oleh seorang laki-laki bertubuh kecil dan didorong oleh laki-laki lain yang bertubuh kekar. Tidak seorang pun menyangka bahwa orang yang tidak berbaju dan mengenakan caping bambu di atas ikat kepalanya itu adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi juga tidak pula ada orang memperhatikan pedati yang hilir-mudik di halaman rumah yang lain, terpisah satu rumah dari rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Rumah itu telah dipergunakan oleh petugas sandi dari Pajang untuk mengawasi rumah Ki Tumenggung. Menurut penglihatan tetangga-tetangganya, pemilik rumah yang tidak begitu besar itu sedang membangun rumahnya. Hampir setiap hari satu dua pedati datang memasuki halaman rumah itu dengan membawa kayu, batu, pasir dan kebutuhankebutuhan lain. Beberapa orang pekerja sibuk membongkar dan membuat bahan-bahan bangunan yang datang serta menyingkirkan bahan-bahan bekas yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Namun sebenarnyalah bahwa mereka adalah para petugas sandi Pajang yang mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, yang pada saat saat terakhir telah ditingkatkan justru karena Ki Waskita sering berada di rumah itu. Namun kesabaran Ki Waskita, Ki Gede Pemanahan dan para petugas sandi pajang itu pun tidak sia-sia. Ki Tumenggung Sarpa Biwada hatinya telah terbakar oleh kehadiran laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu di rumahnya. Setiap hari. Karena itu, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada itupun telah merencanakan usaha untuk menyergap laki-laki itu. Dari
atas dahan sebatang pohon, lewat senja Ki Tumenggung Sarpa Biwada benar-benar melihat seorang laki-laki memasuki halaman rumahnya. Ketika orang itu berhenti sejenak di depan regol, Ki Tumenggung dapat melihat wajah orang itu agak jelas karena cahaya oncor yang terang yang terpancang di regol rumahnya itu. Ki Sarpa Biwada memang memerlukan waktu beberapa saat untuk mengenali orang itu. Ia pernah melihat orang itu datang ke rumahnya bersama Pangeran Benawa ketika mereka menangkap Paksi, yang kemudian disadari, bahwa yang terjadi saat itu hanyalah sekedar sebuah permainan dari Pangeran Benawa. Kini Ki Tumenggung itu ingat dan bahkan yakin, siapakah laki-laki yang datang ke rumahnya itu. Meskipun laki-laki itu sudah banyak berubah, tetapi masih ada sisa-sisa pengenalannya atas laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu. "Alangkah bodohnya aku" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya. "Kenapa aku tidak mengenalinya ketika ia mengambil Paksi demikian Paksi berhasil membawa cincin kerajaan itu pulang?" Tetapi Ki Tumenggung itu merasa bahwa ia masih belum terlambat. Ia masih mempunyai kesempatan untuk menghancurkan laki-laki keparat itu. Tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak segera bertindak. Ia menunggu malam menjadi semakin dalam. Ia ingin semakin meyakinkan diri tentang laki-laki itu. Semakin jauh malam menukik ke pusatnya, maka semakin jauh pula langkah laki-laki yang sangat dibencinya itu memasuki pagar rumah tangganya. "Siapapun laki-laki itu dahulu, tetapi perempuan di dalam rumah itu adalah istriku" geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Bagi Ki Tumenggung, rasa-rasanya malam menjadi sangat lamban. Bintang-bintang yang berkeredipan di langit seakanakan demikian asyiknya canda di antara mereka, sehingga mereka tidak beranjak dari tempatnya.
Namun akhirnya, malampun menjadi semakin senyap. Suara cengkerik dan bilalang bersahutan dengan suara angkup yang tertiup angin. Sekali-sekali terdengar derik bajang kerek yang merintih merindukan hangatnya perut ibunya. "Bersiaplah" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada kepada dua orang pengikutnya yang terpilih. "Kita akan menangkapnya dan membawanya" "Atau membunuhnya" desis seorang pengikutnya. "Kita akan melihat suasana" desis Ki Tumenggung. "Marilah" geram pengikutnya yang seorang lagi, "aku sudah tidak sabar lagi. Aku juga pernah membunuh laki-laki yang aku temukan di bilik istriku. Aku biarkan mereka tertawa seperti ringkik kuda. Namun kemudian keduanya tidak dapat lagi tertawa untuk selama-lamanya" "Kau tidak ditangkap karena membunuh?" "Aku letakkan sebilah pedang di tangannya meskipun ia masih telanjang. Kami dianggap telah berperang tanding" Wajah Ki Sarpa Biwada menjadi tegang. Namun kemudian iapun berdesis, "Marilah. Kita masuk ke rumah itu sekarang?" "Lewat regol?" "Apakah rumah itu masih diawasi petugas sandi dari Pajang sampai malam ini?" "Mungkin sekali" "Mereka justru tidak akan mengawasi regol halaman. Mereka justru akan mengawasi dinding yang mengeliling rumahku itu" Pengawal Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, "Apakah tidak ada pintu butulan masuk ke kebun di belakang?" "Tentu diselarak" "Kita akan meloncat masuk. Kita harus menjaga segala kemungkinan" Akhirnya Ki Tumenggung setuju untuk memasuki halaman rumahnya itu tidak lewat regol. Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan dua orang pengawalnya sudah berada di dalam halaman rumah Ki
Tumenggung. Dengan sangat hati-hati mereka memasuki longkangan dan mendekati dinding rumahnya. Rumah itu ternyata sepi sekali. Ki Tumenggung tidak mendengar suara seseorang. Tidak mendengar percakapan apalagi suara tertawa seperti ringkik kuda. "Bagaimana kita masuk, Ki Tumenggung?" bertanya pengawalnya. "Aku akan mengetuk pintu" "Jangan" cegah seorang pengikutnya. "Kenapa?" "Jika Ki Tumenggung mengetuk pintu, orang itu akan berkesempatan lari melalui jalan yang sudah dipersiapkan atau bersembunyi dimana saja" "Orang itu tidak akan mempersiapkan jalan untuk lari" sahut kawannya. "Kenapa?" "Ia tidak akan menyangka bahwa Ki Tumenggung akan datang malam ini" "Tetapi lebih baik kita masuk seperti seorang pencuri masuk ke dalam rumah yang menjadi sasarannya" "Kau dapat melakukannya?" Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku adalah bekas seorang pencuri ulung, sehingga namaku disebut-sebut oleh setiap perempuan karena mengagumiku dan oleh setiap laki-laki yang menjadi ketakutan karenanya. Tersebar kabar bahwa aku mempunyai Aji Penglimunan sehingga aku dapat menghilang dari pandangan mata" "Kau mampu melakukannya?" "Tentu dapat. Tetapi di dalam kegelapan dan orang-orang yang mencariku harus memejamkan matanya" Kawannya tertawa pendek. Tetapi Ki Tumenggung membentak, "Bukan saatnya untuk bergurau. Jika kau mampu, lakukan. Buka selarak pintunya dari dalam" "Baik, Ki Tumenggung" Orang itupun kemudian telah memanjat dinding bagian belakang rumah Ki Tumenggung yang berbentuk kampung.
Dibukanya tutup keyong dengan paksa. Meskipun tutup keyong itu terbuat dari kayu, namun orang itu benar-benar telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang pencuri yang ulung, sehingga tutup keyong itupun telah terbuka. Hampir tidak masuk akal, bahwa orang itu mampu menyusup di antara lubang sempit pada papan kayu yang dibukanya itu tanpa menimbulkan suara. "Ia memang seorang pencuri ulung" desis kawannya yang berdiri termangu-mangu di sebelah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Orang itu memang memiliki kelenturan tubuh yang luar biasa sehingga ia mampu menyusup di lubang-lubang yang bagi orang lain dianggap terlalu sempit" Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan seorang pengawalnya terkejut. Mereka mendengar selarak pintu diangkat. Sementara itu mereka tidak yakin bahwa pengawal yang berhasil masuk lewat tutup keyong itu sudah sampai di pintu butulan. Karena itu, maka Ki Tumenggung dan seorang pengawalnya itu segera meloncat ke samping berjongkok melekat dinding. Tetapi ketika pintu terbuka, maka yang keluar dari dalam adalah pengawal Ki Tumenggung yang memanjat lewat tutup keyong itu. Orang itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak melihat Ki Tumenggung dan seorang kawannya. Namun orang itu terkejut dan hampir saja ia menarik senjata ketika Ki Tumenggung dan pengawalnya yang seorang lagi tiba tiba bangkit berdiri. "Kenapa Ki Tumenggung harus berjongkok melekat dinding?" bertanya orang itu. "Kami ragu-ragu, apakah yang membuka pintu itu kau atau bukan. Kami baru saja melihat kau masuk lewat tutup keyong itu. Bukankah memerlukan waktu untuk sampai ke pintu?" "Sudah aku katakan. Aku adalah pencuri ulung" "Ya. Kau tentu seorang pencuri ulung" "Sekarang, silahkan Ki Tumenggung masuk"
Ki Tumenggungpun kemudian segera masuk langsung ke ruang dalam. Pintu penyekat dengan ruang dalam ternyata tidak diselarak. Sejenak kemudian, Ki Tumenggungpun berdiri dengan ragu-ragu di depan sebuah bilik. Bilik itu adalah biliknya. Ia memastikan bahwa Nyi Tumenggungpun berada di dalam bilik itu pula. "Sekarang, ketuk pintu itu Ki Tumenggung" desis pengawalnya yang pernah membunuh laki-laki dan istrinya itu. Ki Tumenggung masih saja ragu ragu. "Ki Tumenggung bimbang?" bertanya pengawalnya. Ki Tumenggung itu mengangguk kecil. "Jika demikian, biarlah aku saja yang mengetuknya" berkata pengawalnya yang masuk ke dalam rumah itu dengan membuka tutup keyong. Orang itu tidak menunggu. Perlahan lahan ia mengetuk pintu bilik yang tertutup itu. Seperti yang diduga oleh Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung memang berada di dalam bilik itu. Ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk, Nyi Tumenggung itupun segera bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Terdengar lagi pintu itu diketuk. "Siapa di luar?" bertanya Nyi Tumenggung dengan jantung berdebaran. Pengawal Ki Tumenggung itu memberi isyarat, agar Ki Tumenggung menjawab. "Aku, Nyi" Ki Tumenggung itu berdesis. "Siapa?" "Aku. Buka pintunya" Nyi Tumenggung mengenali suara itu. Karena itu, maka dengan serta-merta iapun meloncat berdiri dan berlari ke pintu biliknya. Dengan tergesa-gesa diangkatnya selarak pintunya sehingga pintu itupun segera terbuka. "Kakang Tumenggung" Wajah Nyi Tumenggung nampak tegang.
Ki Tumenggung tidak menjawab. Iapun langsung masuk ke dalam bilik itu sambil bergumam, "Siapa yang berada di dalam bilik ini?" Nyi Tumenggung mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki Tumenggung yang mendekati pembaringannya. Namun yang berbaring di pembaringan itu adalah anak perempuannya yang masih tidur dengan nyenyaknya. Sejenak Ki Tumenggung itu termangu-mangu. Kerisnya yang sudah diputarnya sehingga terselip di dadanya, sudah siap ditarik dari wrangkanya. Namun yang berada di pembaringan ituadalah anak perempuannya. Ki Tumenggung itupun kemudian membungkukkan badannya, mencium anak itu di keningnya. Sejenak Nyi Tumenggung termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Kakang, sebaiknya Kakang segera meninggalkan rumah ini" "Kenapa?" bertanya Ki Tumenggung. "Kakang telah dijebak oleh seorang laki-laki yang mengaku prajurit Pajang. Setiap hari ia datang dengan keyakinan, bahwa Kakang akan mencurigainya dan datang pulang untuk membuat perhitungan" "Kau kenal laki-laki itu?" "Ia pernah datang ketika Paksi pulang membawa cincin yang kau cari itu" "Darimana kau tahu, kalau ia menjebakku?" "Orang itu sendiri yang mengatakannya" Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Katanya, "Kenapa kau tidak mengusirnya saja?" "Aku tidak berdaya. Ia melakukannya atas nama Pajang. Ia mempunyai wewenang untuk berbuat lebih daripada yang dilakukannya sekarang" "Terkutuklah orang itu. Tetapi bukankah kau mengenalnya atau pernah mengenalnya?" "Mungkin. Tetapi kita tidak usah membicarakannya sekarang"
Penyair Cengeng 2 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Mutiara Hitam 9
^