Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 6

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 6


"Terserah saja kepadamu," berkata Ki Marta Brewok kemudian. "Tetapi jika kita tidak bertemu lagi, maka kau tidak akan mempunyai kesempatan menyebutku guru." "Bukankah aku harus datang ke alun-alun Pajang jika aku sudah menemukan cincin itu?" Ki Marta Brewok tertawa pula. Katanya, "Terserah saja kepadamu, aku tidak berkeberatan." "Terima kasih, Guru," berkata Paksi kemudian. "Tetapi jika aku boleh bertanya, ke mana guru akan pergi selanjutnya?" "Aku tidak dapat mengatakan kepadamu, Paksi. Tetapi aku masih mengemban berbagai tugas yang penting. Meskipun demikian, jika ada kesempatan aku masih akan berusaha menemuimu meskipun aku tidak tahu, kau pergi ke mana jika kau pada suatu saat meninggalkan tempat ini." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang masih akan mengembara. Mungkin untuk waktu yang masih panjang." "Hati-hatilah. Jangan sampai tersesat ke mulut Batara Kala yang selalu menganga menunggu mangsa. Padahal apapun akan ditelannya, terutama mereka yang memang sudah termasuk dalam kumpulan orang-orang yang mempunyai ciri tertentu." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku pernah mendengar dongeng itu." "Kau harus menerjemahkan dengan benar." Paksi mengangguk-angguk. "Nah, aku kira pekerjaan di sini sebagian besar sudah selesai. Karena itu, aku akan minta diri karena mungkin aku tidak akan kembali lagi kemari." "Kenapa sebagian besar, Guru." "Memang belum tuntas. Kau sendirilah yang akan menuntaskannya," jawab Ki Marta Brewok. "Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih. Semoga Yang Maha Agung selalu menyertai Guru."
Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Kita akan selalu berdoa. Jika kita bersungguh-sungguh, maka doa kita akan didengar-Nya." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi bagaimanapun juga, terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Kepergian Ki Marta Brewok tentu akan membekas di dalam hatinya, meskipun di hari-hari terakhir Ki Marta Brewok sudah jarangjarang mengunjunginya. Demikianlah Ki Marta Brewokpun telah minta diri sekali lagi. Ia benar-benar akan meninggalkan Paksi di gubuk kecilnya, jauh dari rumahnya, jauh dari sanak-kadangnya. Ketika Ki Marta Brewok menepuk bahu anak muda itu, terasa mata Paksi menjadi panas. Demikianlah, maka malam itu Ki Marta Brewok telah meninggalkan Paksi seorang diri. Paksi yang melepaskan kepergian Ki Marta Brewok itu di depan gubuknya, memandanginya sampai orang itu hilang dalam kegelapan. Sudah puluhan kali, bahkan ratusan kali ia memandangi punggung Ki Marta Brewok. Namun malam itu rasa-rasanya ia telah kehilangan orang yang dianggap sebagai gurunya. Dua kali Paksi terpisah dari guru yang membimbingnya. Tetapi sejenak kemudian, Paksi teringat pesan Ki Marta Brewok. Karena umurnya sudah delapan belas, maka ia harus sudah mendudukkan dirinya pada tiga alas. Di antaranya adalah kemandirian. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Ki Marta Brewok hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam kegelapan, maka Paksipun masuk kembali ke dalam gubuk kecilnya. Paksi bahkan telah memadamkan lampu minyaknya. Kemudian berbaring di atas ketepenya di dalam gelap. Tetapi ternyata sampai dini hari Paksi tidak dapat tidur sama sekali. Ia sempat mengenang pertemuannya dengan orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu. Waktu itu, lebih dari setahun yang lalu, seleret sinar seakan-akan jatuh
dari langit. Dan Ki Marta Brewok itu menggiringnya untuk datang ke tempat terpencil itu. Di dini hari Paksi sudah bangun. Ia masih mempunyai sedikit waktu untuk menyalakan perapian. Sementara itu, Paksipun segera berbenah diri seperti kebiasaannya setiap hari. Ketika fajar menyingsing, Paksi telah memadamkan apinya. Air yang dijerangnya sudah mendidih. Sebelum pergi ke sungai, Paksi sempat meneguk minuman hangatnya. Nasinya masih utuh. Biasanya Ki Marta Brewok ikut makan bersamanya. Tetapi malam itu, Ki Marta Brewok datang hanya untuk minta diri. Hari yang kemudian terbentang di hadapannya terasa menjadi sepi. Meskipun sebelumnya, selama lebih dari setahun ia berada di tempat itu, Ki Marta Brewok belum pernah datang mengunjunginya di siang hari, namun Paksi masih berpengharapan, bahwa di malam hari, orang itu akan datang. Tetapi Paksipun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat tenggelam dalam perasaan sepinya. Hari-hari yang bakal datang masih banyak yang harus dilakukannya. Karena itu, maka Paksi tidak ingin merenung terusmenerus. Ia harus menerima kepergian Ki Marta Brewok sebagai satu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya. Karena itu, maka Paksipun segera mengambil bumbung legennya. Ia harus memanjat beberapa batang pohon kelapa. Ketika kemudian pekerjaannya di gubuk kecilnya sudah selesai, maka untuk mengisi waktunya Paksi telah turun ke dalam goa. Hari itu Paksi merasa malas untuk pergi ke pasar. Apalagi ia masih mempunyai garam cukup, sehingga ia masih belum memerlukannya. Ketika ia berada di dalam ruang yang cukup luas di dalam goa itu, maka ia telah merenungi lagi lukisan-lukisan yang ada di dinding goa yang datar itu. Tetapi semua garis telah dilihat dan dipelajarinya dengan saksama. Karena itu, maka Paksipun memiliki berbagai macam kemampuan mempergunakan beberapa jenis senjata dengan baik. Di rumahnya Paksi
mempunyai sebilah parang yang dibelinya pada seorang pande besi. Parang yang biasanya dipergunakan untuk membelah kayu. Namun di tangan Paksi, parang itu telah dipergunakannya untuk mematangkan ilmu pedangnya. Dengan tongkat kayunya, Paksi juga berusaha untuk berlatih mempergunakan tombak pendek. Sementara itu, ia telah mempelajari pula mempergunakan berbagai macam senjata yang lain. Di antaranya Paksi juga memiliki ketrampilan mempergunakan cambuk dan cemeti. Untuk beberapa saat lamanya, Paksi berlatih seorang diri di dalam ruangan itu. Namun ketika keringatnya telah terperas dari tubuhnya, maka Paksipun menghentikan latihannya itu, sementara pakaiannya yang telah basah ketika ia menerobos air terjun, telah menjadi semakin basah pula oleh keringat. Di luar sadarnya, Paksipun telah duduk di tempat ia menjalani laku. Dicobanya mengingat lagi, apakah yang pernah terjadi pada dirinya. Ketika ketajaman angan-angannya membayangkan kembali apa yang dilakukannya, maka serasa ia mendapatkan sandaran baru pada inderanya. Ada kekuatan yang belum pernah diungkapkannya. Kekuatan yang khusus bekerja pada inderanya itu. Ketika Paksipun kemudian membuka matanya dan keluar dari dunia angan-angannya, maka dengan penuh kesadaran akan kemampuannya, maka Paksipun telah mengungkapkan kekuatan yang membuat inderanya menjadi semakin tajam. Dengan demikian, maka penglihatan Paksipun menjadi semakin tajam pula di dalam gelap di goa itu. Paksi seakanakan melihat segalanya semakin jelas. Jauh lebih jelas dari sekedar ketajaman penglihatannya. Demikian pula Paksi mampu mendengar lebih jelas. Gemuruh air terjun. Namun juga siul burung-burung di luar goa itu. Gemerisik daun yang bergoyang disentuh angin pegunungan yang semilir lembut. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu sadar, bahwa ia telah mampu membangun Aji Sapta Pandulu dan Aji
Sapta Pangrungu. Dengan demikian, maka Paksipun sadar pula, bahwa ia juga akan dapat membangunkan ilmunya untuk mempertajam inderanya yang lain jika diperlukannya. Setiap kali Paksi menyadari kelebihan yang ada di dalam dirinya, maka Paksi selalu merasa betapa ia berhutang budi kepada Ki Marta Brewok. Tetapi sejalan dengan itu, iapun selalu ingat akan pesan-pesannya, bahwa setiap yang dimiliki itu adalah kurnia. Apalagi kelebihan dari sesamanya. Karena itu maka iapun harus menempatkan dirinya di jalan yang dikehendakiNya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di dalam kegelapan ia menengadahkan wajahnya. di dalam hati Paksi memohon agar nalar budinya tidak terlepas dari kendali kesadaran diri akan keberadaannya, kelebihannya serta sangkan paraning dumadi, sehingga dapat tercermin pada sikap dan tingkah lakunya. Tiba-tiba saja terngiang di telinganya kata-kata orang yang datang untuk mencari ndaru itu, hubungan antara ilmu dan amal. Sejenak Paksi merenung. Namun kemudian Paksi itupun melangkah ke mulut goa. Sejenak kemudian Paksi sudah berada di gubuk kecilnya. Ia sudah berganti pakaian Pakaiannya yang basah sudah dicucinya. Ternyata hari-harinya kemudian terasa menjadi semakin sepi sejak Ki Marta Brewok menyatakan bahwa dirinya tidak akan datang lagi ke tempat itu. Bahkan Paksipun kemudian merasa, bahwa keberadaannya di tempat itu tidak lagi mengikatnya. Tetapi Paksi masih menunggu jagungnya menjadi tua. Rasa-rasanya ia akan mendapatkan kepuasan tersendiri untuk memetiknya, sementara padi gaga yang ditanamnya juga sudah mulai berbunga, sehingga ia merasa masih ada keterikatan dengan tempat itu. Di hari-hari mendatang, Paksi mengisi hari-harinya yang sepi dengan berkeliaran di pasar. Bercanda dengan Kinong, bergurau dengan penjual dawet dan sekali-sekali berbicara
bersungguh-sungguh dengan pande besi yang sedang membuat parang. Tetapi kegelisahan masih saja membayang di pasar itu. Ketika Paksi datang ke pasar agak siang, ia berpapasan dengan orang-orang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan pasar. "Ada apa?" bertanya Paksi ketika ia bertemu dengan seorang yang sudah dikenalnya. "Keributan telah terjadi," jawab orang itu. "Pulang sajalah anak muda." Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi Paksi tidak segera berbalik arah. Ia masih saja melangkah ke arah pasar. Paksi itupun berhenti ketika ia bertemu Kinong dan ibunya berjalan tergesa-gesa pula. Bahkan Kinong yang digandeng ibunya itu berlari-lari kecil sambil menjinjing keranjang kecilnya. "Kinong, ada apa?" bertanya Paksi. Kinong memang berhenti. Ibunya juga berhenti. "Jangan pergi ke pasar, Ngger. Agaknya akan terjadi keributan lagi." Paksi mengerutkan dahinya, sementara Kinongpun berkata selanjutnya, "Ada dua orang berkuda yang datang ke pasar itu. Tetapi selain mereka telah ada pula dua orang yang sudah berada di sekitar tempat ini beberapa hari yang lalu. Orang yang sering makan tetapi tidak membayar penuh itu." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah aku ingin melihat apa yang akan terjadi." "Jangan, Ngger," cegah ibu Kinong. "Nanti kau akan terjerat dalam peristiwa yang tidak kau ketahui ujung pangkalnya. Bahkan mungkin kau akan cidera karenanya, sementara kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku akan melihat dari kejauhan. Aku tentu tidak akan berani mendekat."
"Tetapi kau harus berhati-hati, Ngger. Sebenarnya kau tidak menuruti keinginantahumu itu. Yang terjadi nampaknya bukan sekedar main-main." "Terima kasih," desis Paksi. "Aku akan berhati-hati." Kinong dan ibunyapun kemudian meninggalkan Paksi yang termangu-mangu, mengikuti arus orang-orang yang menyingkir menjauhi pasar. Dengan hati-hati Paksi melangkah mendekati pasar yang sudah menjadi sepi. Bahkan para pande besipun telah meninggalkan perapian mereka. Meskipun beberapa orang laki-laki yang memiliki sedikit keberanian masih berada di pasar, tetapi mereka sudah membenahi dagangan mereka. Namun demikian, pada jarak yang agak jauh, beberapa orang juga masih menunggu. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi. Paksi mendekati seorang laki-laki yang berjongkok di belakang sebatang pohon, beberapa puluh langkah dari pintu gerbang pasar. Ketika Paksi kemudian berjongkok di sebelahnya, orang itu terkejut bukan buatan, sehingga terlonjak dan bergeser setapak. Orang itu menarik nafas dalam-dalam setelah ia melihat seorang anak muda berjongkok di sebelahnya. "Kau mengejutkan aku anak muda." "Maaf, Paman. Aku tidak berniat mengejutkan Paman. Tetapi aku ingin bertanya, apa yang terjadi?" "Lihat," desis orang itu. Paksi melihat bukan hanya dua orang berkuda, tetapi ampat orang berkuda mendekati regol pasar. Ampat orang yang berwajah garang. Menilik sikap dan pakaiannya, maka mereka adalah orang-orang yang mengembara di dunia olah kanuragan. "Siapakah mereka itu?" bertanya Paksi. "Aku tidak tahu. Tetapi seorang di pasar ini telah mendengar bahwa sekelompok orang akan datang mencari musuhnya yang berada di pasar ini."
"Bagaimana ia dapat mendengarnya?" "Orang itu hanya mendengar seorang berkata kepada kawannya agar kawannya itu memanggil kawan-kawannya yang lain. Ketika hal ini tersebar, maka orang-orang seisi pasarpun telah meninggalkan pasar." "Paman tidak pergi?" bertanya Paksi. "Aku ingin membuktikan apa yang terjadi. Apakah ceritera itu benar atau orang yang sekedar ingin melihat kekisruhan terjadi di pasar ini." "Ternyata orang-orang itu benar-benar datang." "Ya. Orang-orang itu benar-benar datang. Tetapi yang dicarinya tentu sudah pergi." Baru saja mulut orang itu terdiam, tiba-tiba saja mereka mendengar suara seorang perempuan tertawa. Suaranya melengking tinggi. Sementara itu, dua orang perempuan yang berpakaian asing itu telah keluar dari sebuah kedai yang terletak tidak jauh dari pintu gerbang pasar itu. "Siapa yang kalian cari?" bertanya salah seorang dari kedua orang perempuan itu. Keempat orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara merekapun meloncat turun sambil menjawab, "Kalian perempuan-perempuan Goa Lampin?" "Ya," jawab salah seorang perempuan itu. "Siapakah di antara kalian yang telah melukai adikku?" "Bukan kami. Tetapi saudara kami. Bukankah kalian datang dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga?" "Ya." "Saudara kami telah melukainya karena adik seperguruanmu itu tidak mau mendengarkannya. Seharusnya adikmu tidak berkeliaran di tempat ini. Daerah ini tertutup bagi orang asing, karena daerah ini menjadi daerah perburuan kami. Meskipun demikian, kami tidak akan mengelakkan tanggung jawab. Meskipun yang melukai saudaramu itu bukan kami, tetapi kami akan mempertanggungjawabkannya."
"Bagus," berkata orang yang telah turun dari kudanya. "Kami ingin orang yang melukai adik seperguruanku itu menyerahkan diri. Kami akan membawanya ke hutan Tegal Arang di pinggir Kali Praga." Kedua orang perempuan itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, "Kau kira kami gila" Kau kira kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika salah seorang di antara kami berada di lingkunganmu?" "Bukankah kau katakan bahwa kalian akan bertanggung jawab?" "Maksudku, kami akan bertanggung jawab jika kalian menuntut. Seharusnya kalian berterima kasih karena saudaraku itu tidak membunuh adikmu. Seandainya wajah adikmu tidak terlalu kotor, mungkin adikmu akan mendapat kehormatan menjadi penghuni Goa Lampin bersama beberapa orang laki-laki tampan yang lain." Orang yang sudah turun dari kudanya itu tersinggung. Katanya, "Kami adalah laki-laki yang mempunyai harga diri. Kami sudah tahu apa yang dilakukan oleh perempuanperempuan Goa Lampin. Sebenarnya kami lebih senang menjauhi kalian, bahkan lebih baik bahwa seumur hidup kami tidak bertemu dengan perempuan Goa Lampin. Namun kali ini kami ingin membalas sakit hati adikku itu." "Jangan sesali. Jika adikmu mau mendengar peringatan kami, maka tidak akan terjadi bencana itu." "Kalian tidak berhak mengusir adikku dari tempat ini. Apa hakmu menyebut daerah ini sebagai daerah perburuan. Aku tahu, yang kalian maksud tentu perburuan atas ndaru yang jatuh di tempat ini, yang mungkin sekali adalah cincin yang hilang itu, karena sinar ndaru itu memang agak berbeda dari ndaru yang lain. Ada tiga pancaran sinar yang nampak, sehingga orang menduga bahwa tiga sinar itu mengisyaratkan tiga butir mata batu akik." "Ya. Kami adalah orang yang pertama datang ke tempat ini."
"Omong kosong. Kau kira daerah ini sama sekali tidak berpenghuni atau kau kira bahwa tidak ada orang lain yang sedang melakukan samadi di sekitar tempat ini termasuk adikku itu?" Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, "Jangan mengigau. Berterima kasihlah bahwa adikmu hanya menjadi cacat. Tidak mati. Itu sudah cukup." Sementara itu seorang lagi dari orang-orang berkuda itu meloncat turun. Dengan geram orang itu berkata, "Kita tidak perlu terlalu banyak bicara. Kita minta yang melukai saudara kita itu untuk menyerah. Jika tidak maka mereka berdua akan kita bawa." Kedua perempuan itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, "Kalian berempat. Karena itu, jangan hanya membawa dua orang. Aku masih mempunyai dua orang kawan lagi, sehingga kita masing-masing berempat." Laki-laki yang turun kemudian dari kudanya itu menggeram. Katanya, "Cukup. Panggil semua kawan-kawanmu. Semakin banyak semakin baik. Kalian akan berguna di perguruan kami." Salah seorang dari kedua orang perempuan itu meletakkan jari-jarinya di mulutnya. Kemudian terdengar suitan nyaring. Getarannya merambat sampai ke telinga dua orang kawannya yang berada di sebuah kedai yang lain. Beberapa saat kemudian, maka kedua orang perempuan dengan ciri-ciri pakaian yang serupa, ikat kepala hitam dengan pertanda merah, telah keluar dari kedai itu dan melangkah mendekati kedua kawannya yang telah lebih dahulu berhadapan dengan orang-orang berkuda itu. Demikian kedua orang perempuan itu mendekat, maka dua orang penunggang kuda yang lainpun telah meloncat turun pula. Mereka kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon waru yang tumbuh di seberang jalan.
"Mereka juga berempat," desis salah seorang dari orangorang berkuda itu. "Kita hanya membutuhkan orang yang melukai saudara kita," geram orang yang tertua di antara mereka. Tetapi perempuan-perempuan itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan seorang di antara mereka yang baru saja keluar dari kedai itu berkata, "Inikah mereka yang sedang mencari saudara kita?" "Ya," jawab kawannya. Perempuan itu meredupkan matanya. Kemudian katanya, "Urungkan saja niatmu. Jika kalian tidak meninggalkan tempat ini dengan segera, maka kalian pun akan menjadi cacat seumur hidup atau bahkan mati di sini." Paksi yang menyaksikan pembicaraan itu menarik nafas panjang. Ternyata perempuan-perempuan dari Goa Lampin itu benar-benar perempuan yang garang. "Berapa orang kekuatan perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu?" bertanya Paksi di dalam dirinya. Laki-laki tertua di antara keempat orang berkuda itu berkata, "Sebenarnya kami tidak ingin bermusuhan dengan Perguruan Goa Lampin. Tetapi kamipun tidak dapat membiarkan saudara kami mengalami nasib buruk tanpa menuntut balas." Perempuan-perempuan itu tertawa. Suaranya melengkinglengking tinggi. Tiba-tiba saja tengkuk Paksi terasa meremang. Suara tertawa perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu terdengar seperti ringkik hantu perempuan yang bangkit dari balik kubur. Namun kedua belah pihakpun telah bersiap. Mereka mulai memencar. Seorang akan bertempur melawan seorang. Sejenak kemudian, maka kedua belah pihak telah mulai bergeser. Nampaknya kedua belah tidak ingin kehilangan kesempatan. Karena itu, maka orang-orang yang terlibat dalam pertempuran itu telah menggenggam senjata mereka masing-masing.
Keempat orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu telah memegang pedang mereka masing-masing. Sementara itu, dua di antara orang-orang berkuda itu bersenjata golok yang besar dan panjang, seorang bersenjata kapak dan seorang lagi bersenjata bindi yang bergerigi seperti buah blimbing lingir. Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu sama sekali tidak bergetar melihat jenis-jenis senjata yang khusus itu. Seorang perempuan yang bertubuh tinggi tegap sengaja menghadapi orang yang bersenjata kapak itu sambil berkata, "Senjatamu bagus, Ki Sanak. Mungkin kau memang seorang blandong kayu yang setiap hari bergaul dengan kapak." "Ya," jawab orang yang bersenjata kapak itu, "aku memang seorang blandong kayu. Tetapi aku sanggup untuk membelah bukan saja balok-balok kayu. Tetapi tubuh orang-orang yang telah menghina aku atau perguruanku." Perempuan yang bertubuh tinggi tegap itu tertawa. Katanya, "Sudahlah, jangan membual. Bersiaplah. Kalian akan mengalami nasib yang sama seperti saudaramu itu. Bahkan siapapun yang berani mengganggu tugas kami di sini mencari cincin pusaka yang hilang itu, akan kami singkirkan." "Tidak seorangpun yang pantas mendapat hak seperti itu. Jika kau sedang mencarinya, lakukanlah. Tetapi biarlah orang lain juga melakukan." "Tidak. Aku peringatkan sekali lagi. Tidak ada orang lain yang dapat melakukannya di sini." Laki-laki yang lain ternyata tidak sabar lagi. Dengan geram seorang berkata, "Kita akan menyelesaikan mereka secepatnya." Perempuan-perempuan itu tertawa. Namun suara tertawa merekapun segera terputus ketika seorang di antara laki-laki berkuda itu mulai memutar senjata dan bergeser maju. Bahkan seorang yang lain telah menjulurkan senjatanya pula menggapai tubuh perempuan yang sangat menjengkelkannya itu.
Tetapi perempuan-perempuan dari Goa Lampin itupun dengan cepat mengelak. Bahkan merekapun segera bergeser saling menjauh. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuranpun telah terjadi antara orang-orang dari Perguruan Goa Lampin dan orang-orang yang datang dari Alas Tegal Arang. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang agak jauh menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang dari berbagai perguruan telah terlibat dalam usaha pencarian cincin yang bermata tiga butir batu akik itu. "Semakin lama tentu akan menjadi semakin banyak," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun Paksi justru yakin, bahwa cincin itu tidak akan jatuh dari langit. Seandainya cincin itu ada di sekitar tempat itu, keberadaannya tentu bukan bersamaan dengan jatuhnya ndaru yang dilihat oleh beberapa orang itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ndaru itu bercahaya dalam tiga warna. Namun benturan-benturan itu telah benar-benar terjadi. Orang yang berjongkok di samping Paksi menyaksikan pertempuran itu dengan tubuh gemetar. Bahkan kemudian iapun beringsut sambil berkata perlahan, "Aku akan pergi saja. Aku takut." Paksi tidak dapat menghalanginya jika orang itu memang takut melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit. Senjatapun mulai beradu. Bunga apipun telah memercik di setiap benturan senjata yang terjadi. Namun ternyata masih juga ada beberapa orang yang bertahan untuk menyaksikan pertempuran itu. Paksipun kemudian memperhatikan orang-orang yang bertempur itu dengan saksama. Namun ternyata Paksi yang mampu menilai ilmu dari orang-orang yang bertempur itu masih dapat menengadahkan dadanya. Paksi masih meyakini, bahwa ilmu dan kemampuannya masih jauh lebih tinggi dari orang-orang Goa Lampin maupun dari Alas Tegal Arang.
Namun Paksipun menyadari, bahwa ia tidak boleh menyombongkan dirinya. Karena betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi orang itu tentu masih mempunyai kelemahan. Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak. Namun beberapa saat kemudian, maka Paksipun melihat bahwa orang-orang dari Alas Tegal Arang itu memiliki kekuatan yang pada dasarnya lebih besar dari orang-orang Goa Lampin. Karena itu, maka perlahan-lahan orang-orang Goa Lampinpun mulai terdesak. Meskipun mereka mampu bergerak cepat, namun ternyata sulit bagi mereka untuk mengatasi kemampuan orang-orang dari Alas Tegal Arang. Orang dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga yang bersenjata kapak itupun telah mendesak lawannya pula. Sulit bagi lawannya untuk menahan ayunan kapak yang besar itu. Jika perempuan dari Goa Lampin itu mencoba membentur ayunan kapak lawannya, maka ia harus mengerahkan tenaganya untuk menahan agar senjatanya tidak terlepas. Kawan-kawannya yang lainpun harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka untuk menahan arus serangan lawannya. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu mengerutkan dahinya. Orang-orang dari Alas Tegal Arang itu semakin mendesak lawannya. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu menjerit. Namun kemudian perempuan itu berteriak marah, "Aku bunuh kau." Ternyata senjata lawannya mampu menggapai kulitnya, sehingga segores luka telah menganga di lengannya. Namun justru karena darah telah mulai menitik dari lukanya, maka lawannya berusaha untuk semakin menekannya. Ternyata orang-orang Goa Lampin itu semakin mengalami kesulitan. Sementara itu, Paksi yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan menduga, bahwa dalam
keadaan yang rumit, perempuan yang pernah dilihatnya dengan mengenakan baju coklat itu akan datang lagi menolong murid-muridnya. Tetapi Paksi salah duga. Dalam keadaan yang sulit, salah seorang perempuan dari Goa Lampin itu telah membunyikan isyarat. Suitan nyaring telah terdengar lagi dengan irama yang berbeda. Namun dalam pada itu, seorang lagi dari antara mereka telah berteriak kesakitan. Namun kemudian mengumpat kasar meskipun ia seorang perempuan. Ternyata ujung senjata lawannya telah menyentuh pundaknya. Tetapi lawannya tidak membiarkannya mengambil jarak. Ketika perempuan itu meloncat menjauh, lawannya telah memburunya. Sekali lagi senjatanya terjulur lurus menggapai lambung. Perempuan itu terdorong surut. Darah mengalir dengan derasnya dari luka di lambungnya. Sementara itu, lawannya menjadi semakin garang. Sambil menggeram ia siap untuk meloncat dengan senjata terayun. Namun orang itulah yang kemudian berteriak. Sebuah pisau belati tiba-tiba saja telah menancap di punggungnya. Orang itu masih sempat berpaling. Dilihatnya seorang perempuan berdiri beberapa langkah di belakangnya. Orang yang di punggungnya tertancap pisau belati itu masih sempat mengumpat, "Pengecut kau. Kenapa kau serang aku dari belakang" Apakah kau tidak berani bertempur berhadapan?" Tetapi perempuan yang melempar pisau belati itu tertawa. Ia masih menggenggam sebilah pisau lagi di tangan kirinya. Namun pisau itu tidak dilemparkannya. Laki-laki dari Alas Tegal Arang yang sudah terluka itu tidak lagi dapat berbicara lagi. Lawannya, perempuan yang sudah dilukainya, justru dengan dendam yang membara telah mengayunkan senjatanya dengan sisa tenaganya menebas lambung.
Laki-laki yang sudah terluka itu berteriak. Kemarahan dan dendam meledak di dadanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Tubuhnyapun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Perempuan yang melemparkan pisau belati itu tertawa semakin keras. Ia menyaksikan orang Alas Tegal Arang itu jatuh tersungkur dan sama sekali tidak bergerak lagi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan menyaksikan pertempuran itu ia dapat mengenali watak perempuanperempuan dari Goa Lampin lebih banyak lagi. Ternyata mereka sangat licik di medan. Dalam pada itu, beberapa orang perempuan dari Goa Lampin telah muncul. Ternyata mereka tidak hanya berempat. Tetapi agaknya mereka ingin menjajagi kemampuan orangorang Alas Tegal Arang, sehingga mereka telah turun ke medan, seorang melawan seorang. Tetapi dalam keadaan yang terdesak, maka hadirlah cara-cara yang terbiasa mereka lakukan. Tiga orang dari Alas Tegal Arang harus melihat kenyataan itu. Karena itu, maka seorang di antaranya telah memberikan isyarat, sehingga ketiga orang itu berusaha untuk meninggalkan arena. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawan mereka yang menjadi terlalu banyak itu tidak dapat mereka imbangi lagi. Sejenak kemudian, maka ketiga orang dari Alas Tegal Arang itu berusaha untuk melarikan diri dari pertempuran. Orang-orang dari Goa Lampin itu memang berusaha untuk mengejar mereka. Tetapi ketiga orang itu berlari demikian cepatnya meninggalkan arena. Dengan tangkasnya mereka meloncat ke punggung kuda mereka yang tertambat pada pohon waru. Namun dengan satu hentakkan, maka tambang yang memang tidak terlalu kuat itu telah terlepas. Sejenak kemudian maka tiga orang penunggang kuda itu memacu kudanya meninggalkan pasar itu. Tetapi seorang perempuan dari Goa Lampin yang sudah hampir berhasil memburu seorang di antara ketiga orang itu tidak
melepaskannya begitu saja. Demikian kuda itu berlari, perempuan dari Goa Lampin itu telah melemparkan pisaunya. Pisau itu tidak menancap di punggung orang berkuda itu. Tetapi pisau itu sempat menggores pundaknya. Laki-laki di punggung kuda itu mengumpat. Namun ia tidak berhenti. Dipacunya kudanya semakin cepat. Sejenak kemudian, pertempuranpun sudah selesai. Perempuan-perempuan dari Goa Lampin yang jumlahnya ternyata tujuh orang itu telah berkumpul. Tiga orang di antara mereka terluka. Seorang mengalami luka yang agak parah. "Kita tidak akan tinggal diam," berkata salah seorang dari mereka. "Guru akan menentukan, apa yang harus kita lakukan kemudian menghadapi orang-orang dari Alas Tegal Arang." "Marilah kita kembali ke penginapan," desis yang lain. Beberapa di antara mereka sempat berpaling memandang tubuh orang Alas Tegal Arang yang terkapar di tanah. Namun seorang dari mereka berkata, "Jangan hiraukan tubuh itu. Biarlah orang-orang pasar itu mengurusnya." Sejenak kemudian, maka perempuan-perempuan itupun telah meninggalkan pasar itu. Beberapa saat kemudian, pasar itu benar-benar menjadi sepi. Beberapa orang yang melihat pertempuran itu dari kejauhan masih tetap bersembunyi di tempatnya. Belum seorangpun yang berani keluar dari persembunyiannya. Paksipun masih berada di belakang pohon. Sebenarnya Paksi ingin segera mendekati bekas arena pertempuran itu. Tetapi ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang. Baru kemudian, ketika sudah ada satu dua orang yang keluar dari persembunyian mereka, Paksipun telah keluar pula dan melangkah mendekat. Beberapa orang mengerumuni tubuh yang terbujur diam. Darah mengalir membasah tanah di seputarnya. Ketika seorang akan menyentuhnya, seorang yang lain berkata, "Nanti kawan-kawannya menyangka, kita yang melakukannya."
"Tentu tidak," jawab yang lain. "Kawan-kawannya mengetahui dengan pasti, siapakah yang telah membunuhnya. Kita akan menguburkannya meskipun kita tidak mengenal orang ini sebelumnya." "Ya," sahut yang lain lagi. "Kita tidak dapat membiarkannya terbujur di situ." Beberapa orangpun kemudian telah menghubungi orangorang yang tinggal di sekitar pasar itu. Merekapun kemudian sepakat membawa tubuh itu akan dikubur di sebuah kuburan yang terletak di ujung padukuhan. "Kita akan menyelenggarakan dengan sewajarnya," berkata seorang bebahu padukuhan itu. Namun dalam pada itu, paksi sendiri diam-diam sibuk mencari sesuatu yang dapat memberikan arti padanya. Ketika ia menemukan sebuah pisau belati yang menggores salah seorang dari orang-orang berkuda itu, maka dengan diamdiam pisau itu disembunyikannya di bawah bajunya. Beberapa saat kemudian, maka tubuh salah seorang korban dari pertempuran itupun telah diusung dibawa ke banjar sebelum dikuburkan secara wajar. Ketika Paksi kemudian beringsut meninggalkan pasar itu, maka ia masih melihat dua orang yang dikenalnya dari Perguruan Sad. Mereka mengenakan ciri-ciri mereka sebagaimana pernah dilihat oleh Paksi sebelumnya. Tetapi kedua orang itu tidak berbuat sesuatu. Bahkan ketika keduanya lewat di sebelah Paksi yang berdiri termangumangu, Paksi mendengar salah seorang dari mereka berdesis, "Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu memang keterlaluan. Mereka merasa terlalu kuat, sehingga mereka berbuat sesuka hati mereka tanpa menghormati perguruan-perguruan yang lain." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya orang-orang dari Perguruan Sad juga menganggap orang-orang dari Perguruan Goa Lampin itu berbuat tanpa menghiraukan dan apalagi menghormati kehadiran perguruan yang lain. Bahkan sejak semula sudah menunjukkan sikap bermusuhan.
Tetapi Paksi tidak menunggui perkembangan keadaan di pasar itu lebih jauh. Menurut pendapatnya tidak ada lagi yang penting yang bakal terjadi. Sehingga karena itu, maka Paksi itupun segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke gubuk kecilnya. Di gubuknya Paksi sempat merenungi pisau belati yang dibawanya itu. Pada daun pisau itu masih nampak membekas darah yang sudah mengering. Ternyata pada senjata orang-orang dari Goa Lampinpun tidak terdapat ciri-ciri perguruan itu. Tidak ada lingkaran yang dibelah dengan garis tegak berwarna merah. Tetapi Paksi memakluminya. Jika sesuatu terjadi sehingga senjata itu diketemukan oleh orang lain, maka mereka tidak segera menghubungkannya dengan Perguruan Goa Lampin. "Tetapi mereka berbangga dengan ciri-ciri perguruan mereka," berkata Paksi di dalam hatinya. "Sehingga karena itu, maka ciri-ciri perguruan mereka itu selalu melekat pada setiap orang dari Perguruan Goa Lampin itu." Selagi Paksi merenungi senjata itu, maka sebuah pertanyaan telah terbersit di dalam hatinya, "Untuk apa sebenarnya orang-orang Goa Lampin itu mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu" Apakah salah seorang di antara mereka akan memakainya dan berharap untuk dapat menurunkan penguasa di atas bumi ini?" Namun Paksipun kemudian berdesis, "Semakin banyak orang yang mencarinya, maka harganyapun tentu menjadi semakin mahal. Mungkin seseorang, sekelompok orang atau sebuah perguruan mencari cincin itu untuk dapat dijualnya dengan harga mahal. Atau seseorang telah mengupah mereka untuk mendapatkan cincin itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya adalah salah seorang yang ingin mendapatkan cincin itu. Bahkan ayahnya juga telah memerintahkan beberapa orang mencarinya selain Paksi itu sendiri. Tetapi apa yang dapat dilakukan Paksi setahun yang lalu. Sementara orang-orang berilmu tinggi, bahkan sekelompok
orang dan perguruan-perguruan menurunkan orang-orangnya untuk melakukannya pula. Seandainya Paksi tidak bertemu dengan Ki Marta Brewok, maka Paksi tidak akan lebih beruntung dari seekor serangga yang menyurukkan diri ke dalam api. "Kenapa ayah telah memerintahkan aku untuk mencarinya?" bertanya Paksi di dalam hatinya sebagaimana pertanyaan yang sudah muncul setahun yang lalu di kepalanya. Bahkan ibunyapun pernah berkata, mungkin di luar sadarnya, bahwa ayahnya sengaja mengusirnya dari rumah. "Kenapa ayah berbuat seperti itu?" Tetapi Paksi mencoba menenteramkan hatinya sendiri, "Mungkin waktu itu ayah benar-benar kebingungan. Ayah ingin segera mendapatkan cincin itu mendahului yang lain." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Diselipkannya pisau itu di dinding gubuk kecilnya. Kemudian Paksipun melangkah keluar untuk melihat tanaman jagungnya. Hari itu Paksi lebih banyak merenungi ciri-ciri dari beberapa perguruan yang telah dikenalnya. Bukan saja ciri-ciri ujudnya. Tetapi juga ciri-ciri sifat dan wataknya. Paksi juga mencoba untuk mengenali unsur-unsur gerak yang khusus nampak pada setiap perguruan itu. Perguruan Goa Lampin, Perguruan Sad dan perguruan di Alas Tegal Arang. Namun yang pernah dikenalnya hanyalah murid-murid dari perguruan itu. Ia belum pernah melihat kemampuan para pemimpin dari perguruan perguruan itu. Apalagi pemimpin tertinggi mereka. Jika perempuan berbaju lurik coklat itu adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Goa Lampin, maka ia baru melihat orangnya. Belum kemampuannya. Namun dengan demikian, maka Paksipun telah terdorong untuk lebih mematangkan ilmunya. Ia harus meyakinkan dirinya, bahwa ia pantas untuk turun ke gelanggang perburuan cincin bermata tiga butir batu akik itu. Ketika malam turun, Paksi duduk di atas sebuah batu yang besar memandang ke arah yang jauh. Langit bersih dan bintang-bintangpun menghambur sampai ke ujung cakrawala.
Di sejuknya semilirnya angin, maka Paksi telah mengambil satu keputusan untuk menempuh satu perjalanan pendek di kaki Gunung Merapi itu. Ia dapat menempuh perjalanan dua atau tiga hari untuk melihat-lihat keadaan yang lebih luas dari sekedar menyusuri jalan singkat dari gubuknya ke pasar dan sebaliknya. Namun Paksipun menyadari, bahwa di sekitar tempat itu sudah bertebaran orang-orang yang sedang mencari cincin bermata tiga butir batu akik. Mereka merasa dituntun oleh cahaya ndaru yang turun dari langit di sekitar tempat itu. Malam itu paksi telah mempersiapkan dirinya. Ia sudah membenahi gubuk kecilnya yang akan ditinggalkannya untuk beberapa hari. Paksi sudah mencuci alat-alat dapurnya dan menumpuknya di sudut. Selebihnya, rumah itu tidak berisi apa-apa lagi. Malam itu Paksi tidak membuat perapian. Ia tidak menyiapkan makannya buat esok, karena esok ia tidak akan berada di gubuknya. Ketika malam beredar sampai menjelang fajar, maka Paksipun telah bangun. Berbenah diri dan bersiap untuk menempuh perjalanan untuk dua atau tiga hari. Ketika Paksi sudah siap untuk berangkat, maka rasarasanya sesuatu telah bergayut di hatinya. Ia sudah lama tinggal di gubuk itu. Ketika ia akan meninggalkannya, meskipun hanya untuk dua tiga hari, hatinya menjadi berat. Gubuk itu tentu akan menjadi kesepian. Tidak akan terdengar derit pintu. Tidak ada asap mengepul di malam hari. Tidak akan ada lampu dlupak kecil menyala di dalamnya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian kakinya telah melangkah meninggalkan gubuknya itu. Tangannya menjinjing tongkat yang diberikan oleh pengemis tua itu kepadanya. Paksi menyentuh kampil berisi bekal uang yang dibawanya dari rumahnya. Masih cukup banyak. Selama tinggal di gubuknya, Paksi seakan-akan telah mencukupi kebutuhannya. Hanya bahan-bahan pokoknya sajalah yang dibelinya di pasar.
Ketika jagung, ketika pohon dan tanaman-tanamannya mulai berbuah, maka Paksi dapat lebih banyak menghemat. Apalagi Paksi dapat berburu binatang di hutan atau mencari ikan di kedung atau dengan kemampuan bidiknya mencari burungburung liar yang berterbangan di antara pepohonan. Agar kampil itu tidak banyak dilihat orang, maka Paksi telah mengikat kampil di bawah bajunya. Ia hanya menyiapkan uang secukupnya di kantong ikat pinggangnya. Pagi-pagi sekali Paksi sudah berada di pasar. Penjual nasi tumpang yang juga sudah berada di pasar itupun bertanya, "Kau datang lebih awal dari kebiasaanmu, anak muda?" Paksi tertawa. Dengan berbisik ia berkata, "Aku lapar sekali semalam. Karena itu, pagi-pagi aku sudah berangkat ke pasar." Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, "Jadi kau akan membeli nasi tumpang sekarang?" Paksi mengangguk sambil tersenyum. Sambil duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu Paksi makan sepincuk nasi tumpang yang masih hangat. Namun Paksi sempat juga bertanya, "Apakah Kinong belum nampak?" "Belum," jawab penjual nasi tumpang itu. "Sebentar lagi." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ketika ia sudah selesai dan membayar harga nasi yang dimakannya, Paksi berkata, "Biarlah aku titip kembalinya. Jika Kinong datang, berikan saja kepadanya." "Semuanya?" bertanya penjual nasi itu. "Tidak sekaligus. Mungkin untuk dua atau tiga hari." Penjual nasi itu mengerutkan dahinya. Sementara Paksipun bangkit sambil berkata, "Sudahlah. Aku sudah kenyang." "Kau akan pergi ke mana?" "Aku akan pergi ke rumah paman." "O, jadi bukan sekedar kelaparan?" Paksi tertawa. Katanya, "Aku akan berada di rumah paman dua atau tiga hari." Paksipun kemudian meninggalkan penjual nasi tumpang itu. Ketika di depan regol pasar ia berpapasan dengan penjual
dawet yang baru datang, maka penjual dawet itupun menyapanya, "He, masih sepagi ini kau sudah berada di sini. Bukankah biasanya kau datang setelah matahari sepenggalah?" Paksi tersenyum. Katanya, "Aku hanya singgah. Aku akan pergi ke rumah paman." "Kau tidak minum dawet?" "Masih terlalu pagi," jawab Paksi sambil tertawa. Beberapa orang yang sudah dikenalnya di pasar itu telah menyapanya pula. Dan Paksipun menjawab sebagaimana dikatakan sebelumnya, "Aku pergi ke rumah paman." Demikianlah, Paksi sudah mulai menempuh sebuah perjalanan untuk melihat keadaan di sekitar tempat tinggalnya. Sebelum ia benar-benar melanjutkan usahanya untuk mencari cincin yang hilang dalam sebuah pengembaraan yang panjang dan keras. Paksi memilih jalan ke arah selatan, melingkari kaki Gunung Merapi. Paksi tidak saja berjalan melalui jalan yang sudah banyak dilalui orang. Tetapi sesekali Paksi berjalan menyusuri jalan di pinggir hutan, menuruni lembah dan melintasi padang perdu yang berbatu-batu padas. Lewat tengah hari Paksi memasuki sebuah padukuhan yang tidak terlalu besar. Padukuhan yang agak terpencil di kaki gunung. Ketika Paksi lewat di jalan induk padukuhan itu, maka orang-orang yang kebetulan berpapasan atau sedang berada di halaman, memandanginya seperti memandang sesuatu yang sangat asing bagi mereka. Tetapi Paksi berjalan saja terus. Agaknya jarang sekali padukuhan itu dilewati oleh orang lain, sehingga jika seseorang yang tidak mereka kenal lewat, maka orang itu akan sangat menarik perhatian. Dari padukuhan yang terpencil itu Paksi berjalan terus. Jalan masih saja terasa menurun. Namun hamparanhamparan sawah menjadi semakin luas. Meskipun demikian, di
wajah cakrawala masih nampak hijaunya hutan yang menyelimuti kaki Gunung Merapi. Ketika matahari mulai turun, Paksi melewati sebuah padukuhan yang agak besar. Di ujung padukuhan terdapat sebuah pasar sudah sepi. Pasar itu memang tidak terlalu besar yang agaknya hanya menjadi ramai di setiap hari pasaran. Di sekitar pasar itu tidak terdapat sebuah kedaipun. Sedangkan pagarnya yang terbuat dari bambu sudah rusak di sana-sini. Paksi berhenti di dekat regol pasar. Agaknya memang sudah tidak ada orang lagi di pasar itu kecuali satu dua orang yang agaknya bertugas membersihkan sampah yang tertinggal. Namun Paksi masih melihat sebuah pedati berhenti di depan pasar itu. Dua orang masih sibuk memuat kelapa ke atas pedati. Nampaknya mereka adalah pedagang kelapa yang membeli kelapa di pasar itu dan membawanya ke pasar yang lain atau kepada orang-orang yang membuat minyak kelapa. Tetapi selain mereka, ternyata Paksi masih melihat seorang perempuan yang duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari pedati itu. Seorang perempuan yang menundukkan kepalanya sambil sekali-sekali mengusap matanya. Perempuan itu ternyata telah menarik perhatian Paksi. Karena itu, seakan-akan di luar sadarnya, Paksi telah melangkah mendekati perempuan itu. Perempuan yang sudah separo baya itu menengadahkan wajahnya. Ketika ia melihat Paksi, tiba-tiba saja wajahnya memancarkan harapan. Dengan serta-merta perempuan itu bangkit mendekati Paksi sambil berkata, "Anak muda. Kau tentu memerlukan selembar kain lurik. Aku menjual sehelai kain lurik. Bukan kain yang baru. Tetapi jenisnya termasuk kain yang baik." Paksi mengerutkan dahinya. Sebelum ia menjawab, perempuan itu berkata pula dengan nada meminta, "Tolong aku, anak muda. Pedagang kelapa itu tidak mau membelinya.
Orang-orang yang lain juga tidak mau. Sedangkan aku sangat membutuhkan uang." Paksi tidak dapat menolak ketika perempuan itu menyorongkan sehelai kain lurik kepadanya. "Belilah, Ngger." Paksi masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu wajah perempuan yang semula memancarkan harapan itupun kembali menjadi suram. "Bagaimana, Ngger?" bertanya perempuan itu. Sementara itu, kedua orang yang menaikkan kelapa ke dalam pedatinya itupun sudah selesai. Terdengar cambuk meledak. Dan pedati itupun mulai bergerak. "Kenapa Bibi menjual kain ini?" bertanya Paksi. "Kami memerlukan uang, Ngger." "Untuk apa?" bertanya Paksi. Perempuan itu mengerutkan dahinya. Kemudian dengan nada berat iapun menjawab, "Bukankah kami memerlukan makan." "Selama ini, apakah yang Bibi makan bersama keluarga" Hasil sawah atau apa?" Perempuan itu memandang Paksi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Paksi menjadi heran melihat sikap perempuan itu. Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Duduklah, Bibi. Mungkin kita akan berbincang agak panjang." Perempuan itupun kemudian duduk kembali di atas batu, sementara Paksipun duduk pula di sebelahnya. "Keadaan Bibi menimbulkan beberapa pertanyaan di hatiku." Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Namun kemudian iapun mulai terisak. "Apa yang terjadi, Bibi?" bertanya Paksi. Perempuan itu mencoba untuk menahan perasaannya. Sambil mengusap matanya ia berkata, "Kami telah terjerumus ke dalam kesulitan yang besar, Ngger."
"Maksud Bibi?" bertanya Paksi. Perempuan itu memandang berkeliling, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya. Sikap perempuan itu tidak luput dari pengamatan Paksi pula. "Ngger," berkata perempuan itu, "aku belum mengenal Angger sebelumnya. Tetapi entahlah, tiba-tiba saja timbul kepercayaanku kepadamu." Paksi menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya perempuan itu berkata, "Kami telah tersesat, Ngger. Sebenarnya kami akan pergi ke Kembang Arum. Tetapi kami tidak tahu, di mana kami sekarang berada." "O, jadi Bibi telah tersesat. Siapa sajakah yang Bibi maksud dengan kami" Bibi dan siapa lagi?" "Aku dan kemenakanku, Ngger. Seorang gadis. Setelah ayah dan ibunya hilang beberapa saat yang lalu, maka anak itu berniat mencari pamannya, kakak kandung ayahnya yang tinggal di Kembang Arum. Tetapi sampai di sini kami tidak tahu, ke mana kami harus pergi." Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan suara lembut, "Bibi. Jika hanya karena itu, maka Bibi tidak terjerumus ke dalam kesulitan yang besar. Aku akan bersedia mengantar Bibi mencari padukuhan yang bernama Kembang Arum." "Menurut keterangan, Kembang Arum terletak di sisi selatan kaki Gunung Merapi, Ngger." "Jika demikian, kita sudah tidak terlalu jauh lagi dari tujuan." "Tetapi persoalannya tidak hanya sampai di situ, Ngger." "Maksud Bibi?" "Ketika kami berdua kebingungan dan kehilangan jalan, kami telah bertanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat. Laki-laki itu dengan manis menjawab pertanyaanpertanyaan kami. Namun menurut laki-laki itu, Kembang Arum masih sangat jauh. Karena itu, dengan ramah laki-laki itu mempersilahkan kami singgah dan beristirahat di rumahnya.
Laki-laki itu bahkan bersedia untuk mengantar kami di keesokan harinya ke Kembang Arum." "Ada soal apa lagi yang timbul, Bibi?" "Ternyata laki-laki itu bukan seorang yang berhati manis sebagaimana wajahnya. Ia telah menahan kami di rumahnya. Bahkan orang itu memaksa kemenakanku untuk bersedia menjadi isterinya meskipun kemenakanku itu masih terlalu muda untuk menikah." "Bukankah kemenakan Bibi itu dapat menolak?" "Ya. Kemenakanku memang menolak. Tetapi ia sudah berada di tangan laki-laki yang ternyata adalah laki-laki yang garang. Bahkan isterinya juga seorang perempuan yang keras dan kasar. Isterinya juga ikut memaksa agar kemenakanku itu bersedia menjadi isteri suaminya yang garang itu." "Bagaimana hal itu dapat terjadi?" bertanya paksi. "Kemenakanku tetap menolaknya. Tetapi laki-laki itu bersama isterinya tetap berkeras. Mereka memberi waktu sebulan. Sementara itu selama kami berada di rumahnya, kami harus menyediakan makan dan minum kami sendiri. Karena itu, maka aku harus menjual apa saja yang ada pada kami." "Kenapa kalian tidak pergi saja?" bertanya Paksi. "Kami tidak dapat meninggalkan rumah itu, Ngger. Kami disekap di dalam rumah itu dengan berbagai macam ancaman. Mereka berharap jika kami sudah tidak dapat makan dan minum, maka agar kami tidak menjadi kelaparan, kemenakanku itu akan bersedia menjadi isteri laki-laki yang garang itu. Bahkan mungkin menurut sifat dan wataknya, jika ia tidak lagi dapat menahan nafsunya, sesuatu yang sangat buruk akan dapat terjadi dengan kemenakanku itu." "Bibi pernah minta bantuan kepada seseorang?" bertanya Paksi. "Tidak seorangpun berani menolong kami. Bahkan seorang yang kami harap bersedia menolong kami telah memberitahukan kepada orang itu."
"Siapakah laki-laki yang telah menyekap kemenakan Bibi di rumahnya itu?" "Ternyata ia seorang pemimpin sebuah gerombolan penjahat. Namanya Bahu Langlang. Seorang yang sangat ditakuti. Kami memang sudah tidak mempunyai harapan untuk terlepas dari tangannya," suara perempuan itu bergetar. Matanya menjadi semakin basah. Bahkan isaknya mengeras. Katanya pula, "Aku bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bangkit dan mendekati salah seorang yang sedang membersihkan pasar itu sambil bertanya, "Apakah Ki Sanak tahu, dimanakah letak Padukuhan Kembang Arum itu?" Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, "Ambil jalan ke selatan ini, anak muda. Kau akan sampai pada sebuah gumuk kecil. Kemudian kau berbelok ke kanan. Jika kau berani menempuh jalan pinggir hutan, maka Kembang Arum tidak lagi terlalu jauh. Tetapi jika mengambil jalan melingkar, maka sekitar tengah malam kau baru akan sampai." "Jadi, Kembang Arum sudah tidak terlalu jauh, Ki Sanak?" bertanya Paksi lagi. "Tidak terlalu jauh. Tadi, pedagang kelapa yang membawa pedati itu adalah orang Kembang Arum." Perempuan separo baya yang mendengar keterangan itupun tiba-tiba bangkit pula. Namun ia menjadi lemas kembali. Bagaimanapun juga, kemenakannya telah terkurung dan tidak dapat meninggalkan rumah Bahu Langlang. -ooo00dw00oooJilid 06 PAKSIPUN kemudian kembali duduk di sebelah perempuan yang sedang menahan tangisnya itu. Terdengar perempuan itu berdesis, "Apa yang dapat aku lakukan" Jika Angger
bersedia membeli kain lurik itu, maka sehari dua hari akan dapat makan. Tetapi sesudah itu, apalagi yang harus kami jual" Jika saat kelaparan itu datang, maka kemenakanku akhirnya akan pasrah. Tetapi apakah anak itu harus menjadi salah seorang dari isteri-isteri Bahu Langlang?" Selain menjadi isteri Bahu Langlang, maka kemenakannya itu akan menjadi budak isteri utamanya yang garang dan sekasar Bahu Langlang sendiri. Ia akan melayaninya seperti seorang hamba. Mencuci pakaiannya, menyediakan makan dan minumnya, memijitnya jika perempuan itu merasa letih. Bayangan-bayangan yang buruk itu telah menghantuinya. Apalagi perempuan itu telah melihat sendiri apa yang harus dilakukan oleh salah seorang isteri Bahu Langlang yang juga tinggal di rumah itu. Ia bukan saja harus bekerja keras, tetapi ia juga sering disakiti oleh isteri utama Bahu Langlang itu. Sedangkan Bahu Langlang sendiri tidak memperdulikannya apa yang terjadi atas perempuan malang itu. Baginya, asal perempuan itu tidak lari dari rumahnya, itu sudah cukup. "Kemenakanku itu akan mengalami nasib seperti itu pula nantinya," desis perempuan itu. Seperti air yang mengalir, perempuan itu menumpahkan perasaannya kepada Paksi. Meskipun Paksi masih muda, tetapi seakan-akan mampu menampung kegalauan hatinya itu. Paksi memang mendengarkannya dengan sungguhsungguh. Perasaannya tergelitik untuk berbuat sesuatu. Ia tidak dapat membiarkan gadis itu mendapat malapetaka dan mengalami penderitaan hidup yang sangat panjang. Namun Paksi sadar, untuk mengeluarkan gadis itu dari rumah Bahu Langlang memang harus ditempuh dengan jalan kekerasan. "Apa boleh buat," berkata Paksi di dalam hatinya. Bahkan kemudian iapun teringat kepada kata-kata orang yang datang kepadanya untuk mencari benda di langit yang sekiranya jatuh di sekitar gubuknya, bahwa harus ada hubungan antara ilmu dan amal.
Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata kepada perempuan itu, "Bibi, aku ingin ikut bersama Bibi menemui orang yang bernama Bahu Langlang itu." Perempuan itu terkejut. Dengan gagap iapun bertanya, "Untuk apa kau temui Bahu Langlang?" "Kemenakan Bibi itu harus dibebaskan dari tangan laki-laki itu." "Bagaimana kau akan membebaskannya?" bertanya perempuan itu. Dari wajahnya membayang keraguan dan bahkan ketidakyakinannya atas pendengarannya. "Bibi," berkata Paksi kemudian, "aku akan berusaha. Aku tidak tahu apakah usahaku akan berhasil atau tidak." "Apa yang akan kau lakukan, Ngger?" perempuan itu masih bertanya pula. "Aku akan menemui Bahu Langlang. Aku akan minta agar kemenakan Bibi itu diijinkan untuk pergi jika gadis itu tidak mau dijadikan isterinya." "Tidak akan ada artinya, Ngger. Bahkan mungkin kau akan membuatnya menjadi marah, sehingga ia akan dapat berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu." "Tetapi harus dilakukan sesuatu, Bibi," jawab Paksi. "Tanpa berbuat sesuatu, tidak akan ada perubahan yang terjadi." "Tetapi aku tidak bermaksud menyeretmu ke dalam kesulitan, Ngger. Jika segala sesuatunya aku katakan kepadamu, semata-mata sekedar untuk mengurangi beban yang menyesak di hatiku." "Aku mengerti, Bibi. Tetapi perasaanku sendirilah yang telah mendorongku untuk melakukannya." Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, "Jika terjadi sesuatu atasmu, maka beban di hatiku akan semakin bertambah. Sementara itu, gadis itu masih akan tetap berada di tangan Bahu Langlang yang garang itu." "Kita akan memohon kepada Yang Maha Agung sambil berusaha, Bibi. Semoga usaha ini akan ada artinya."
Tetapi perempuan itu menyahut, "Kau masih sangat muda, Ngger. Hari-harimu masih panjang. Jangan karena keluhanku, masa depanmu itu akan kau patahkan." Paksi tersenyum. Katanya, "Satu keyakinan terpahat di hatiku, bahwa permohonan kita untuk melakukan niat yang baik akan didengar-Nya." "Tetapi menurut perhitungan naluriahnya, maka sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari tangan Bahu Langlang. Apalagi orang itu tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan. Selama beberapa hari aku di rumahnya, aku sudah melihat Bahu Langlang membunuh dua orangnya sendiri yang dianggapnya berkhianat." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah setiap hari di rumah itu terdapat para pengikutnya?" "Tidak, Ngger. Bahkan jarang-jarang pengikutnya itu datang. Jika mereka datang tentu sesuatu yang penting. Bahkan kematian." Tiba-tiba Paksi itupun berkata, "Bibi, antarkan aku menemui Bahu Langlang." Perempuan itu menjadi tegang. Katanya, "Jangan, Ngger. Aku keberatan. Kau masih terlalu muda untuk mengalami perlakuan bengis Bahu Langlang. Tidak bermaksud mendahului kehendak Yang Maha Agung, kau masih terlalu muda untuk mati." Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya, "Mari, Bibi. Supaya aku tidak usah mencari rumah itu sendiri. Katakan, bahwa Bibi telah bertemu dengan anak Bibi yang akan mengantarkan Bibi ke padukuhan Kembang Arum." "Jangan bebani aku dengan penyesalan yang lebih dalam, Ngger. Jika kau mau membeli kain lurikku itu, aku sudah akan mengucapkan seribu kali terima kasih. Setidak-tidaknya kau akan menyelamatkan anakku untuk tiga hari." Tetapi Paksi yang telah berdiri itu berkata, "Jika Bibi tidak mau menunjukkan rumah Bahu Langlang, aku akan pergi sendiri. Tentu tidak sulit untuk mencari rumah itu."
Perempuan itu tidak berdaya untuk menolak keinginan Paksi untuk menemui Bahu Langlang. Penyesalan telah menggores jantungnya. Seakan-akan dirinyalah yang telah menjerumuskan Paksi ke dalam neraka, justru karena perempuan itu sudah beberapa hari tinggal di rumah Bahu Langlang. Tanpa dapat mengelak lagi, maka perempuan itu telah berjalan bersama Paksi menuju ke rumah Bahu Langlang. Sambil berjalan Paksi bertanya, "Bibi, siapakah nama Bibi selengkapnya?" Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia menjawab, "Orang memanggilku Nyi Permati, Ngger." "Nama kemenakan Bibi?" "Namanya Kemuning, Ngger." "Kemuning," Paksi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Bukankah kemuning itu nama sejenis bunga?" "Ya, Ngger." Hampir di luar sadarnya Paksipun berdesis, "Bibi, di halaman rumahku juga terdapat sebatang pohon kemuning. Jika pohon kemuning itu berbunga, maka aku sering memandanginya berlama-lama. Warna kuning yang anggun, bau semerbak, terasa menyentuh hati." "Tetapi kemuningku berwarna kusam. Baunya sama sekali tidak harum, apalagi semerbak." Paksipun tersenyum. Tetapi iapun kemudian terdiam. Ia mulai membayangkan orang yang bernama Bahu Langlang itu. Jika kesan yang pertama dapat menimbulkan kepercayaan Nyi Permati dan Kemuning, maka ujud itu tentu tidak menyeramkan sebagaimana namanya. Jika kemudian orang itu menjadi menyeramkan, tentu setelah Nyi Permati mengenali sifat, watak serta pamrihnya yang buruk. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berbelok mengikuti jalan yang lebih kecil. Dengan suara yang bergetar penuh dengan ketegangan jiwa, Nyi Permati berkata, "Rumah Bahu Langlang ada di ujung jalan ini, Ngger. Tetapi sekali lagi
aku mohon, urungkan niatmu. Aku mengucapkan beribu terima kasih atas kesediaanmu menolong kami. Tetapi aku mohon, jangan kau lakukan." Paksi tersenyum. Katanya, "Aku sudah sampai di sini, Bibi." Nyi Permati memandang Paksi itu sekilas. Anak muda itu bertubuh tegap. Wajahnya yang tampan dan bersih, rasarasanya mencerminkan kepribadiannya, meskipun ia baru saja terkecoh oleh ujud dan sikap manis Bahu Langlang. Namun Nyi Permati melihat perbedaan pada keduanya. Sebenarnyalah bahwa bukan saja jiwa Paksi menjadi matang setelah ia menempa diri. Tetapi ujud Paksi berubah. Tubuhnya tidak lagi tinggi, pipih dan kekurus-kurusan. Tetapi tubuh Paksi berkembang dengan baik. Paksi menjadi anak muda yang tampan, tegap, dan kekar. Nyi Permati menjadi semakin tegang ketika kakinya melangkah semakin dekat dengan pintu regol halaman rumah Bahu Langlang. "Itulah rumahnya," suara Nyi Permati menjadi gemetar. Paksi mengangguk-angguk. Rumah itu terhitung rumah yang besar dan berhalaman luas. Beberapa langkah dari pintu, Nyi Permati masih berkata, "Tolong Ngger, jangan masuk halaman rumah itu." Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan iapun berkata, "Katakan, bahwa Bibi telah bertemu dengan aku, anak Bibi. Jika Kemuning ternyata tidak mengenal aku, katakan bahwa aku sejak kecil ikut dengan paman di Kembang Arum." Nyi Permati memang tidak ingin berbuat apa-apa lagi. Justru Paksilah yang lebih dahulu melangkah memasuki halaman rumah itu. Namun langkah Paksi tertegun. Demikian ia memasuki halaman rumah itu, maka ia melihat peristiwa yang membakar jantungnya. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap sedang mencambuk perempuan yang tidak berdaya. Perempuan itu menggeliat dan berguling-guling kesakitan. Meskipun ia
berteriak dan minta ampun, tetapi laki-laki itu masih saja mencambuknya. "Siapakah perempuan itu, Bibi?" Nyi Permati sudah menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab, "Salah seorang isterinya." Perempuan yang terguling kesakitan itu memang masih muda. Agaknya ia terhitung perempuan cantik jika rambutnya tidak terurai. Berkas-berkas darah di bibir dan baju yang sudah terkoyak. "Kenapa perempuan itu dicambuk, Bibi?" bertanya Paksi. "Entahlah, Ngger. Tetapi kekasaran seperti itu sering dilakukan oleh Bahu Langlang. Sudah aku katakan, bahwa selama beberapa hari aku di rumahnya, sudah dua orang pengikutnya yang dibunuhnya. Pembunuhan itu sendiri sama sekali tidak berkesan apapun pada Bahu Langlang. Seakanakan tidak ada sesuatu yang pernah terjadi." "Perbuatan itu harus dihentikan," desis Paksi. "Tetapi bukan kau, Ngger. Biarlah orang lain yang melakukan," suara Nyi Permati bergetar. Namun segala sesuatunya sudah terlambat. Orang yang mencambuk perempuan yang tidak berdaya itu melihat Nyi Permati datang bersama seorang anak muda. Tiba-tiba wajah laki-laki itu berubah. Wajahnya yang nampak bengis itu larut dalam senyumnya yang menghiasi bibirnya. "Marilah, Bibi. Nampaknya Bibi baru saja datang dari berpergian. Kemana saja Bibi pergi?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa melihat bagaimana ia mencambuk seorang perempuan yang tidak berdaya, maka Paksi tentu menyangka bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang ramah. Wajahnya pun tidak nampak segarang orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang jahat. "Marilah, Bibi," orang itu mempersilahkan tanpa menghiraukan perempuan yang masih saja merintih kesakitan sambil merangkak menggapai tangga.
Nyi Permati tidak menjawab. Sementara laki-laki itu berkata, "Apakah Kemuning ikut dengan Bibi?" "Tidak, Ngger," jawab Nyi Permati dengan suara gemetar. "O, jadi di mana anak itu?" Bahu Langlang itu justru bertanya. Seorang perempuan lain yang kemudian berdiri di tangga menyahut, "Anak itu ada di dapur. Aku mengajarinya masak. Nampaknya anak itu akan menjadi juru masak yang pandai." "O, aku kira ia ikut bersama Bibi. Sejak pagi aku belum melihatnya." Namun Bahu Langlang itupun kemudian memandang Paksi dengan tajamnya. Namun laki-laki itu tersenyum pula sambil bertanya, "Siapakah anak ini, Bibi?" Paksi menjadi berdebar-debar. Ia berharap Nyi Permati menjawab sebagaimana dikehendakinya. Namun ternyata Nyi Permati itu menjawab, "Ia anakku, Ngger." "Anak Bibi?" Bahu Langlang terkejut. Sementara Nyi Permati berkata selanjutnya, "Ia anakku yang sejak kecil dipelihara pamannya di Kembang Arum. Bukankah Angger ingat, bahwa aku akan pergi ke Kembang Arum" Nah, adalah kebetulan bahwa anakku itu berada di pasar ikut dengan pamannya membawa dagangan kelapa." Wajah Bahu Langlang menjadi merah. Namun kemudian dengan cepat ia berusaha untuk menghapuskan kesan bahwa hatinya bergejolak mendengar pengakuan Nyi Permati itu. Bahkan kemudian iapun tersenyum pula sambil berkata, "Jika demikian, marilah, bawa anak itu naik ke pendapa, Bibi." Nyi Permatipun kemudian mengajak Paksi untuk naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang putih di pringgitan. Sementara itu, Bahu Langlang berkata kepada perempuan yang berdiri di tangga, "Biarlah perempuan keparat itu diseret ke kandang. Suruhlah orang-orang yang menjemur padi itu membawanya pergi."
Dalam pada itu, Paksi sempat berdesis, "Siapakah perempuan yang berdiri di tangga itu?" "Isterinya. Isteri utamanya. Ia adalah penguasa kedua di rumah ini. Sikap dan tabiatnya tidak berbeda dengan Bahu Langlang. Keras dan bengis," jawab Nyi Permati berbisik. Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Doakan saja, Bibi. Perbuatan mereka tidak dapat dibiarkan terus." Tetapi Paksi tidak dapat bertanya lebih banyak. Laki-laki yang baru saja mencambuk isterinya itu telah naik pula dan duduk di pringgitan menemui Nyi Permati dan Paksi. "Siapa namamu, anak muda?" bertanya Bahu Langlang. "Orang memanggilku, Paksi." "Paksi," Bahu Langlang mengulangi, "nama yang bagus. Sejak kapan kau tinggal di Kembang Arum?" bertanya Bahu Langlang. "Sejak kecil. Sekitar enam atau tujuh tahun." "Sekarang berapa umurmu?" bertanya Bahu Langlang. "Delapan belas tahun." "Kalian telah berpisah sepuluh tahun lebih. Apakah demikian kalian bertemu, kalian langsung dapat saling mengenal?" "Nampaknya Ibu agak lupa kepadaku," jawab Paksi. "Tetapi aku tidak akan pernah dapat melupakannya." Bahu Langlang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah kau akan membawa ibumu bersamamu?" "Ya. Aku akan membawa Ibu ke rumah paman. Bukankah Ibu memang sedang mencari rumah Paman?" Bahu Langlang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang sekali. Sebenarnya aku ingin mohon Bibi tinggal di sini. Aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Bibi dapat menjadi pengganti orang tuaku. Menjadi pepunden di sini. Tetapi apaboleh buat. Jika Bibi ingin pergi, aku hanya ingin mohon agar Bibi sering datang untuk menengok Kemuning. Ia tentu sekali-sekali merasa rindu kepada bibinya. Meskipun ia merasa kerasan di sini dan tidak ingin meninggalkan rumah ini, tetapi
Bibi akan tetap selalu dikenangnya, karena Bibilah yang telah membawanya kemari sehingga Kemuning menemukan satu ujud kehidupan yang didambakannya." Wajah Nyi Permati menjadi tegang. Ia tentu tidak akan dapat meninggalkan Kemuning di rumah itu meskipun seandainya ia akan menemukan kehidupan yang jauh lebih baik. Paksi melihat ketegangan itu membayang di wajah Nyi Permati. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Ki Bahu Langlang, Ibu tentu tidak akan meninggalkan Kemuning di sini. Ibu tentu akan membawa Kemuning bersamanya." Wajah Bahu Langlang berkerut. Namun kemudian iapun tersenyum, "Jangan merusak masa depan kanak-kanak. Kemuning sudah kerasan di sini. Ia sudah seolah-olah menjadi anak kandung kami sendiri. Isteriku mengasihinya dengan sepenuh hati." "Baiklah, Ki Bahu Langlang," berkata Paksi. "Jika Kemuning memang sudah merasa kerasan di sini, biarlah kelak Ibu mengantarkannya kemari. Ibu hanya ingin membawa Kemuning kepada Paman agar Paman sempat melihatnya. Paman sudah terlalu tua. Ia akan sangat menyesal bahwa jika sampai hari akhirnya ia tidak sempat melihat Kemuning." "Tentu. Pamanmu tentu akan sempat melihatnya. Aku dapat membawa Kemuning ke Kembang Arum kapan saja." "Jika demikian, kenapa kami tidak membawa Kemuning sekarang saja, dan kemudian membawanya kembali sehari dua hari kemudian" Jika Ibu tidak sempat, akulah yang akan mengantarkannya kemari, karena setiap kali aku pergi ke pasar itu untuk membeli kelapa yang akan kami jual lagi di tempat lain. Terutama kepada mereka yang membuat minyak kelapa." "Sudahlah. Jangan pikirkan Kemuning. Aku dan isteriku akan mengurusnya. Tinggalkan Kemuning dengan tenang di sini. Bibi tidak perlu menjadi gelisah. Keadaannya akan baikbaik saja."
"Maaf, Ki Bahu Langlang." berkata Paksi. "Kami mohon kemurahan hati keluarga Ki Bahu Langlang. Yakinlah, bahwa aku akan membawanya kembali kemari jika ia memang sudah kerasan tinggal di sini." Tetapi Bahu Langlang tersenyum sambil berkata, "Jangan menyakiti hati anak itu. Kasihan. Ketenangannya akan terganggu." "Ki Bahu Langlang," berkata Paksi kemudian, "biarlah ibuku berbicara sendiri dengan Kemuning. Jika Kemuning memang berkeberatan, apaboleh buat. Kami akan meninggalkannya di sini. Tetapi jika Kemuning ingin bertemu dan tinggal bersama pamannya barang satu dua hari, biarlah ia kami bawa serta." Wajah Bahu Langlangpun berkerut. Sambil menggeleng ia berkata, "Aku minta jangan ganggu Kemuning. Itu saja." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Bahu Langlangpun berkata kepada Nyi Permati, "Bibi, sebaiknya Bibi memberitahukan kepada anak Bibi itu, agar ia tidak usah ikut mencampuri persoalan Kemuning. Aku tidak berkeberatan ia singgah di sini. Tetapi jangan membuat kegelisahan seisi rumahku termasuk Kemuning." Nyi Permati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Sudahlah, Ngger. Biarlah besok atau lusa aku ajak Kemuning ke rumah pamanmu." "Tidak Ibu. Aku akan mengajak Kemuning sekarang. Alangkah senangnya hati Paman jika Kemuning tiba-tiba datang mengunjunginya. Rasa-rasanya aku tidak sabar lagi melihat, bagaimana Paman di saat-saat yang gawat itu tersenyum melihat kehadiran Kemuning." Agaknya Bahu Langlang telah kehabisan kesabaran. Pada dasarnya ia memang bukan orang yang sabar. Tetapi ia mencoba untuk memberikan kesan yang baik kepada anak Nyi Permati. Tetapi anak muda itu ternyata sangat menjengkelkannya. Karena itu, maka dengan suara yang mulai bergetar Bahu Langlang itu berkata, "Anak muda, untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu, jangan ganggu Kemuning."
"Niatku sudah tetap, Ki Bahu Langlang," jawab Paksi mantap. Bahu Langlang benar-benar tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka iapun membentak, "Cukup, anak muda. Aku minta kau meninggalkan rumahku ini. Bibi, aku mohon, sebelum aku bertindak menurut caraku." Nyi Permati menjadi semakin bingung. Dengan gelisah ia berkata, "Sudahlah. Tinggalkan rumah ini." Tetapi Paksi tetap bersikeras Katanya, "Tidak. Aku akan membawa Kemuning." Bahu Langlang benar-benar tidak lagi dapat mengekang diri. Sudah sejak semula ia berpura-pura menjadi penyabar. Tetapi ia tidak dapat bertahan terlalu lama. Karena itu, maka Bahu Langlang itupun kemudian berkata, "Aku sudah cukup memberimu kesempatan berbicara di sini. Sekarang, kau harus pergi. Jangan berbicara apapun lagi." Tetapi hati Paksipun keras seperti baja. Karena itu, maka iapun menjawab, "Aku akan pergi bersama Kemuning." "Cukup," mata Bahu Langlang mulai menyala. Sementara Nyi Permati mulai menjadi ketakutan. "Apakah aku harus memperlakukanmu seperti perempuan itu?" "Seperti itulah yang pada suatu saat akan terjadi pada Kemuning. Pada saatnya kau menjadi jemu, maka kau akan menyakitinya setiap hari." Bahu Langlang itupun bangkit berdiri sambil menggeram, "Kau memang tidak tahu diri. Jika kau terlambat keluar dari halaman rumahku, maka untuk selamanya kau tidak akan pernah dapat keluar lagi, karena tubuhmu akan terkubur di bawah rumpun bambu di kebun belakang rumah ini." "Tentu banyak tubuh yang kau kuburkan di bawah rumpun bambu itu," jawab Paksi sambil bangkit berdiri pula. Wajah Bahu Langlang menjadi merah. Dengan garang ia berkata, "Sekarang aku tahu apa yang kau maui anak muda. Kau datang dengan sengaja untuk merebut Kemuning dari tanganku. Baik. Jika kau memang sudah bersiap melakukannya, lakukan. Halaman rumahku cukup luas."
Bahu Langlang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera turun ke halaman. Ketika Paksi melangkah, Nyi Permati menggamitnya sambil berdesis, "Sudahlah, anak muda. Aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu. Tetapi jangan korbankan dirimu." Paksi tidak menghiraukannya. Iapun segera melangkah menuruni tangga. Sejenak kemudian, Paksipun telah berdiri berhadapan dengan Bahu Langlang di halaman. Beberapa orang yang ada di halaman Bahu Langlang menjadi heran melihat anak muda yang dengan beraninya menantang Bahu Langlang. "Apakah anak muda itu belum pernah mendengar nama Bahu Langlang?" Dalam pada itu, Paksi yang sudah berdiri berhadapan dengan Bahu Langlang itupun berkata, "Bahu Langlang, aku yakin bahwa kau adalah seorang laki-laki yang kata-katamu adalah kehormatan dan harga dirimu. Marilah kita membuat janji. Kita akan berkelahi sekarang ini. Jika aku kalah, maka aku sadari, bahwa aku akan terkubur di bawah rumpun bambumu. Aku sudah pernah mendengar namamu dan akupun tahu tabiatmu. Ketika aku memasuki halaman rumah ini, kau sedang menghakimi salah seorang isterimu. Tetapi jika aku menang, maka kau harus melepaskan Kemuning dan ibuku. Aku akan membawa mereka dan menyelamatkan mereka dari keganasanmu." "Iblis kau. Aku hormati kau yang berani menantangku. Aku hormati kau yang mencintai ibu dan saudara sepupunya sehingga berani mempertaruhkan nyawamu. Tetapi kau akan segera ditelan oleh kesombonganmu sendiri." "Katakanlah bahwa kau berjanji." "Baik. Aku terima syaratmu. Aku janji." Demikianlah keduanyapun kemudian telah berhadapan. Paksi telah menyandarkan tongkatnya, karena ia melihat Bahu Langlang tidak bersenjata.
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mata Bahu Langlang bagaikan memancarkan nyala api oleh kemarahan yang membakar dadanya. Bahwa seorang anak muda berani menantangnya itu sudah merupakan satu penghinaan atas dirinya. Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang itupun mulai bergerak. Tangannya terayun menggapai tubuh Paksi. Tetapi Bahu Langlang belum benar-benar menyerangnya. Namun ketika Paksi bergeser menghindari, Bahu Langlang telah mempersiapkan serangan yang sebenarnya. Ia ingin menghancurkan dan benar-benar membunuh anak itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menutup ketersinggungannya, bahwa seorang anak telah berani menantangnya. Dengan mengakhiri perlawanan anak itu secepatnya, maka penilaian orang-orangnya yang melihat peristiwa itu terhadap dirinya tidak akan terguncang oleh kesombongan anak itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, serangan Bahu Langlang itupun datang bagaikan angin prahara. Paksi memang terkejut. Ia tidak menduga sebelumnya bahwa serangan Bahu Langlang akan datang demikian cepatnya langsung dalam tataran ilmu yang tinggi. Paksi memang terdesak surut. Tetapi kemudian Paksipun telah menemukan keseimbangannya, sehingga Paksipun segera menempatkan diri pada batas kemampuan lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi seimbang. Paksi yang muda, namun yang telah menempa dirinya itu, tidak banyak mengalami kesulitan menghadapi orang yang namanya ditakuti oleh lingkungannya, Bahu Langlang. Ketika dengan hentakannya Bahu Langlang mampu mendesak lawannya, maka ia sudah memastikan akan dapat dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Anak muda itu semakin lama justru menjadi semakin mapan. Bahu Langlang tidak lagi
mendesaknya. Apa yang dilakukannya, lawannya itu mampu mengimbanginya. Karena itu, sambil menggeram marah Bahu Langlang mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas dalam petualangannya di dunia olah kanuragan, maka Bahu Langlang tidak segera tenggelam dalam kecemasan menghadapi lawannya. Dengan hentakan-hentakan yang kuat, Bahu Langlang ingin mengguncang pertahanan Paksi. Tetapi Paksi tidak segera dapat didesaknya. Semakin lama Paksi justru nampak menjadi semakin tegar. Seranganserangannya menjadi semakin cepat sementara kakinya berloncatan semakin tangkas. Bahu Langlang mulai menyadari, bahwa lawannya bukannya anak-anak muda kebanyakan. Sejak semula ia memang sudah curiga, bahwa anak muda itu bukan anak Nyi Permati. Bukan pula sepupu Kemuning. Karena itu, maka Bahu Langlangpun tidak mau menanggung akibat yang paling buruk. Dengan tangkasnya ia meloncat surut sambil berteriak, "Berikan senjataku." Beberapa orang termangu-mangu. Namun isteri utamanyalah yang dengan cepat tanggap. Iapun segera meraih sebuah kapak yang tergantung di tiang di atas tangga pendapa. Dengan cepat kapak yang besar itupun telah dilemparkan kepada Bahu Langlang yang telah mengambil jarak dari lawannya. Bahu Langlang menangkup kapak besarnya itu. Kemudian terdengar orang itu tertawa. Keramah-tamahannya sama sekali tidak nampak lagi. Tidak ada lagi senyum di bibirnya. Yang nampak adalah pandangan matanya yang bengis. Demikian Bahu Langlang memegang kapaknya, maka Paksipun telah menggapai tongkatnya pula. Meskipun ternyata ilmu Bahu Langlang yang garang itu tidak setinggi sebagaimana dibayangkannya, namun kapaknya itu nampaknya sangat berbahaya.
"Jika orang-orang dari Goa Lampin atau orang-orang dari Perguruan Sad itu datang kemari, maka Bahu Langlang akan sulit untuk dapat mengatasinya," berkata Paksi di dalam hatinya. Ternyata Bahu Langlang tidak lebih dari seorang pemimpin perampok yang garang. Tetapi kegarangannya tidak dilandasi dengan ilmu yang tinggi. Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang telah menyerang dengan kapaknya yang besar. Menilik ayunan kapaknya itu, maka tenaga Bahu Langlang memang sangat besar. Agaknya dengan tenaganya yang besar serta kegarangan sikap dan keberaniannya, Bahu Langlang menjadi seorang yang ditakuti oleh lingkungannya. Tetapi nampaknya orang-orang dari perguruanperguruan yang namanya banyak dikenal, Bahu Langlang sama sekali tidak menarik perhatian. Demikianlah, maka dengan tongkatnya Paksi telah melawan ayunan kapak Bahu Langlang yang garang itu. Getaran angin yang menampar tubuh Paksi karena ayunan kapak lawannya, memberikan peringatan kepada Paksi, bahwa tenaga lawannya memang sangat besar. Tetapi jantung Paksi sama sekali tidak tergetar oleh ayunan senjata lawannya itu. Sehingga dengan demikian, maka perlawanan Paksi sama sekali tidak menjadi goyah. Bahkan dengan tongkat kayunya, Paksi dapat menangkis serangan kapak lawannya dengan benturan langsung. Paksi memang yakin bahwa tongkatnya tidak akan patah. Meskipun ujud tongkatnya adalah tongkat kayu, tetapi tongkat itu sudah teruji kekuatannya, sehingga dalam benturan seperti apapun dengan jenis logam apapun, tongkatnya tidak akan patah. Bahu Langlang menjadi semakin heran. Anak itu benarbenar anak ajaib. Pada umurnya yang masih sangat muda, sebagaimana dikatakannya sendiri bahwa umurnya baru delapanbelas tahun, ia sudah memiliki ilmu yang tinggi, yang tidak terjangkau oleh ilmu Bahu Langlang yang namanya ditakuti oleh lingkungannya.
Dalam pada itu, kapak Bahu Langlang hampir tidak berdaya sama sekali. Bahkan tongkat Paksi sekali-sekali sudah mulai menggapai tubuh lawannya. Ketika tongkat Paksi berhasil mendorong pundak Bahu Langlang, maka Bahu Langlang itu terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja Bahu Langlang kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah Bahu Langlang dapat menguasai dirinya sehingga ia tidak jatuh terjerembab. Dalam pada itu, isteri utama Bahu Langlang yang melihat keadaan suaminya telah menjadi marah pula. Ternyata isterinya bukan saja seorang yang garang. Tetapi ia juga seorang yang mampu turun ke medan. Karena itu, ketika Bahu Langlang mengalami kesulitan, isterinya yang garang itu telah meloncat ke gelanggang. Di tangannya digenggamnya sebilah pedang. "Kita akan membunuhnya bersama-sama," geram perempuan itu. Paksi meloncat selangkah surut. Dengan nada tinggi ia berkata, "Kita sudah membuat janji, Bahu Langlang." Bahu Langlang memang menjadi bimbang. Tetapi isterinya telah memutar pedangnya sambil berkata, "Jangan ragu-ragu. Janji dengan anak-anak tidak perlu ditepati." Bahu Langlang masih saja bimbang ketika kemudian isterinya itu meloncat menyerang Paksi. Paksi meloncat menghindar sambil berkata, "Bahu Langlang. Apa katamu jika kau tidak menepati janji, maka aku tidak akan hiraukan pula." "Persetan dengan janji itu," teriak isterinya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, tongkat Paksi telah terayun menyambar pedang perempuan itu. Tanpa dapat berbuat apaapa, pedangnya telah terlempar beberapa langkah daripadanya. "Bahu Langlang," berkata Paksi kemudian, "jika kau ingkar janji, maka aku akan membunuh isterimu, membunuhmu dan membunuh siapa saja yang akan menghalangi aku."
Bahu Langlang termangu-mangu sejenak. Tetapi ujung tongkat Paksi seakan-akan melekat di dada isterinya. Dengan satu gerakan sederhana, isterinya itu memang akan dapat diselesaikan oleh anak muda itu. Tongkat itu dapat mendorong isterinya, tetapi mengingat kemampuan anak itu, maka tongkat itu akan dapat menghunjam di dada isterinya itu. Isteri utama Bahu Langlang yang sudah kehilangan pedangnya itu baru yakin, bahwa anak muda itu memang tidak mungkin dilawannya meskipun ia bertempur bersama suaminya, seorang yang memiliki nama besar di lingkungannya dan ditakuti banyak orang. Dalam pada itu, Paksipun berkata, "Bahu Langlang, aku ingin memberimu peringatan. Jika kau mencoba berpijak pada nama besarmu, maka dalam waktu yang singkat kau akan binasa. Aku beritahukan kepadamu, bahwa di kaki Gunung Merapi ini sekarang berkumpul orang-orang dari perguruan besar yang berilmu tinggi. Bukan sekedar seorang pemimpin perampok yang merasa dirinya tidak terkalahkan karena dapat membunuh orang-orang tua dan anak-anak yang ketakutan. Atau mencegat penjual dawet atau blantik kuda yang pulang dari pasar. Di daerah ini berkeliaran orang-orang dari Perguruan Goa Lampin, orang-orang dari Perguruan Sad dan orang-orang perguruan di Alas Tegal Arang. Itu yang sudah aku lihat. Aku tidak tahu, apakah masih ada orang lain yang belum aku ketahui. Nah, camkan itu. Lihat wajahmu di permukaan kolam ikanmu. Kau tidak lebih dari seekor tikus kecil di antara sekelompok serigala yang buas." Bahu Langlang termangu-mangu mendengar kata-kata Paksi itu. Sementara Paksi itupun berkata, "Ketika aku mendengar namamu, aku kira kau juga seorang yang berilmu tinggi. Tetapi ternyata kau bukan apa-apa. Nah, sekarang tempatkan dirimu di antara segerombolan serigala yang berkeliaran di kaki Gunung Merapi ini. Menurut pendapatku, dalam waktu yang dekat, tentu ada di antara mereka yang datang kepadamu untuk menguji kebesaran namamu."
"Apakah kau tidak berbohong, anak muda?" bertanya Bahu Langlang. "Buat apa aku berbohong kepadamu" Apalagi setelah aku tahu, siapa sebenarnya kau. Meskipun kau dengan tanpa berkedip membunuh pengikut-pengikutmu sendiri, dan bahkan dengan jantung yang sama sekali tidak tergetar mencambuk seorang perempuan yang tidak berdaya, tetapi kau bukan orang yang pantas aku perhitungkan. Apalagi dalam putaran perburuan pusaka sekarang ini." Bahu Langlang menundukkan kepalanya. Ia harus melihat kenyataan itu. Betapa kecilnya dirinya di hadapan anak muda itu, atau di hadapan orang-orang dari perguruan yang telah disebutnya. Karena itu, maka Bahu Langlang itupun berkata, "Aku akan menepati janjiku, anak muda. Tetapi aku minta kau mengatakan apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang." "Bawa Kemuning keluar dan serahkan kepada bibinya." "Aku tahu. Aku akan menyerahkannya kepada bibinya. Tetapi setelah itu, apa yang sebaiknya aku lakukan" Apakah orang-orang dari perguruan besar itu benar-benar akan datang kemari?" "Menurut dugaanku, mereka akan datang." "Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Bahu Langlang. "Jangan sebut lagi namamu. Kau harus mengatakan bahwa Bahu Langlang sudah pergi. Yang ada hanyalah orang-orang yang menunggui rumahnya. Beritahu pengikut-pengikutmu, jangan sebut lagi nama Bahu Langlang itu. Kecuali itu, hentikan tingkah lakumu. Kau belum terlambat untuk memperbaiki jalan hidupmu." Bahu Langlang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diamatinya kedua telapak tangannya sambil berdesis, "Tangan ini telah bernoda darah. Berapa orang yang telah aku bunuh. Apakah aku masih pantas untuk mencari jalan baru dalam hidupku." "Selagi kau sempat, lakukan. Tetapi jika kau sudah mati, maka kesempatan itu tidak akan pernah kau dapatkan."
Bahu Langlang itu mengangguk-angguk. "Baiklah, anak muda, tetapi wawasanmu telah membuka mataku." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Paksi telah menarik tongkatnya. Sementara Bahu Langlangpun telah mempersilahkannya kembali naik ke pendapa. Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang dan isteri utamanya telah membawa seorang gadis ke pendapa itu pula. Seorang gadis yang matanya menjadi pengab. Nampaknya gadis itu tidak berhenti-henti menangis sejak ia berada di rumah itu. Paksi hanya sempat memandang gadis itu sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah memberi kesan kepadanya, bahwa gadis itu memang cantik. Kemuning masih saja selalu menunduk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Namun dalam pada itu, dengan suara yang berat, Bahu Langlang itupun berkata, "Kemuning, aku minta maaf atas perlakuan yang sudah kau alami selama ini di rumahku. Sekarang aku akan menyerahkanmu kepada bibimu. Kau akan bebas. Kami tidak akan menghalangi lagi jika kalian akan pergi ke Kembang Arum." "Aku akan mengantarkannya," desis Paksi. "Kau akan aman di bawah perlindungannya, Kemuning." Kemuning menjadi bingung. Ia merasakan satu suasana yang jauh berbeda. Sikap Bahu Langlang terasa berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Meskipun Bahu Langlang selalu bersikap manis kepadanya, tetapi setiap kali Kemuning mendengar desir langkah kakinya, jantungnya serasa akan runtuh dari tangkainya. Tetapi saat itu, sikap Bahu Langlang memang berbeda. Ia merasakan perbedaan sikap itu dan sentuhan yang paling dalam dari tekanan kata-kata Bahu Langlang itu. Sikap manis Bahu Langlang rasa-rasanya tidak dibuat-buat seperti biasanya Kemuning tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia memandang bibinya, maka dilihatnya perempuan itu berusaha menahan tangisnya.
Namun dalam pada itu, Paksipun berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Aku antarkan kalian ke Kembang Arum." Kemuning termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi Permatipun bertanya, "Apakah kami diperkenankan berbenah diri." "Tentu, Bibi," sahut Bahu Langlang dengan serta-merta. "Lakukan apa yang ingin Bibi lakukan. Bibi tahu, bahwa sekarang aku sudah tidak berdaya." Nyi Permati masih ragu-ragu. Namun Paksipun kemudian berkata, "Silahkan berbenah diri. Aku menunggu." Sejenak kemudian, maka Nyi Permati dan Kemuningpun telah selesai berbenah diri. Mereka membawa sebuah bungkusan kecil. Sebungkus barang-barang yang masih tersisa. Di antaranya adalah kain lurik yang telah ditawarkan kepada Paksi. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Paksipun telah meninggalkan rumah Bahu Langlang bersama Nyi Permati dan Kemuning. Bahu Langlang dan isterinya mengantar mereka sampai di regol halaman rumahnya. Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka Kemuning merasa seakan-akan dirinya baru menapak ke dalam sebuah mimpi. Ia sudah tidak lagi berpengharapan untuk dapat keluar dari rumah itu. Kemuning yang masih terlalu muda itu rasa-rasanya sudah berada di antara kukukuku seekor harimau yang kelaparan. Namun tiba-tiba ia sudah bergerak meninggalkan rumah itu. Tetapi Kemuning yang tidak tahu apa yang terjadi masih belum percaya sepenuhnya bahwa ia akan benar-benar lepas dari tangan Bahu Langlang. Kemuning masih membayangkan, bahwa pada suatu saat nanti, Bahu Langlang akan memburunya dan membawanya kembali ke rumahnya. Tetapi ketika mereka keluar dari padukuhan itu, Nyi Permati itupun berkata, "Kita sudah lepas dari tangan hantu yang menakutkan itu, Kemuning. Yang Maha Agung telah bermurah hati mengirimkan anak muda itu untuk
membebaskanmu." Di luar sadarnya Kemuning berpaling. Namun ketika ia menyadari bahwa Paksi juga sedang memandanginya, maka Kemuningpun segera melemparkan pandangan matanya ke kejauhan. Paksi sendiri juga menggeser pandangan matanya. Namun yang sekilas itu mempertajam kesannya, bahwa Kemuning memang gadis yang cantik. Itulah sebabnya, maka Bahu Langlang ingin menjadikan gadis yang masih belum dewasa penuh itu sebagai isterinya, meskipun landasan keinginan itu semata-mata karena nafsu. Demikianlah, maka ketiga orang itu berjalan semakin jauh. Paksi yang sudah mendapat ancar-ancar arah padukuhan Kembang Arum tidak terlalu sulit untuk menempuh perjalanan yang sudah tidak terlalu jauh itu. Paksi memang mengajak mereka untuk berjalan melewati jalan pinggir hutan. Paksi sama sekali tidak menjadi takut. Sudah setahun ia tinggal di tepi hutan. Bahkan setiap kali ia telah menyusup memasuki hutan itu untuk berburu tanpa merasa takut mendengar aum harimau sekalipun. Kemuning dan bibinya memang merasa ngeri untuk menempuh jalan sempit di pinggir hutan itu. Tetapi karena Paksi yang berjalan di depan itu sama sekali tidak nampak ragu, maka merekapun berjalan saja mengikutinya. Ketika mereka melalui jalan yang rumit, karena lereng yang menurun agak terjal dan berbatu-batu padas yang tajam, maka Paksipun berkata, "Jika kita menempuh jalan melingkar, maka jaraknya akan menjadi jauh. Pedagang kelapa itu tentu membawa pedatinya melewati jalan melingkar itu. Tetapi jaraknya dapat berlipat." Kedua orang perempuan itu tidak menyahut. Dengan susah payah dibantu oleh Paksi, akhirnya keduanya berhasil melewati jalan yang terjal itu. Paksi yang mengetahui bahwa kedua orang perempuan itu menjadi letih, telah mengajak mereka untuk beristirahat sejenak. Namun kemudian merekapun melanjutkan perjalanan mereka kembali.
Ketika mereka melewati sebuah sumber air kecil yang jernih, maka merekapun telah berhenti untuk minum beberapa teguk untuk melepaskan haus mereka. Demikianlah, maka Nyi Permati dan Kemuning telah menempuh sebuah perjalanan yang berat. Tetapi mereka memang sudah berniat melakukannya. Bahkan sebelumnya mereka juga sudah menempuh jalan yang panjang pula sebelum mereka jatuh ke tangan Bahu Langlang. Namun ketika senja turun, mereka masih belum memasuki Padukuhan Kembang Arum. Tetapi mereka masih sempat bertanya kepada seseorang yang pulang dari sawahnya, tentang letak padukuhan itu. "Sudah tidak jauh lagi, anak muda. Jika jalan ini nanti menyilang sebuah sungai kecil, maka berantara dua bulak lagi, kalian akan sampai." "Apakah kami akan sampai ke padukuhan itu wayah sepi bocah atau bahkan sebelumnya?" bertanya Paksi pula. "Tergantung sekali kepada kecepatan jalan kalian," petani itu tersenyum. Paksipun tersenyum pula. Katanya, "Ki Sanak benar." "Kau berjalan dengan dua orang perempuan yang tentu tidak akan dapat berjalan secepat jika kau sendiri," berkata petani itu. "Kau dapat bertanya kepada para peronda. Hampir di setiap padukuhan terdapat setidak-tidaknya sebuah gardu ronda di dekat banjar. Mudah-mudahan di Kembang Arum gardu itu terisi setiap malam. Atau mungkin sekali para peronda itu berada di banjar itu sendiri." "Terima kasih, Ki Sanak," Paksi mengulang. Demikianlah, maka Paksipun telah melanjutkan perjalanannya bersama Nyi Permati dan Kemuning. Seperti yang dikatakan oleh petani yang pulang dari sawahnya itu, maka beberapa saat kemudian mereka bertiga telah melintasi sebuah sungai. Dengan demikian, maka
mereka tinggal menempuh perjalanan dua bulak lagi untuk sampai ke Padukuhan Kembang Arum. "Sebenarnya aku pernah pergi ke Kembang Arum," berkata Nyi Permati, "tetapi sudah terlalu lama. Agaknya aku sudah sulit untuk mengingatnya. Bahkan jalan menuju ke padukuhan itupun aku sudah lupa, sehingga kami tersesat." "Jadi Bibi sudah pernah ke Kembang Arum?" bertanya Paksi. "Ya, Ngger. Tetapi aku memang sulit untuk mengingat sesuatu. Juga jalan ke Kembang Arum. Ketika aku berangkat mengantar Kemuning, aku kira aku dapat mengenali jalanjalannya kembali. Tetapi ternyata tidak. Bahkan kami telah tersesat ke sarang serigala itu. Bersukurlah kami, bahwa Yang Maha Agung masih berbelas kasihan, sehingga aku telah bertemu dengan Angger di pasar itu." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bertiga mereka berjalan menyusuri bulak di gelapnya malam. Nyi Permati dan Kemuning memang tidak dapat berjalan secepat Paksi. Karena itu, maka Paksi harus menyesuaikan diri. Berjalan lamban sekali. Namun akhirnya dua bulak itupun telah mereka lampaui. Tetapi mereka juga sudah melampaui wayah sepi bocah. Pada wayah sepi uwong, mereka telah memasuki sebuah padukuhan yang mereka duga adalah Padukuhan Kembang Arum. Namun tiba-tiba Nyi Permati berkata, "Ya, kita telah sampai. Aku ingat tugu yang ada di dekat regol itu. Tugu itu pernah aku lihat ketika aku datang kemari waktu itu. Tugu yang dibuat dari batu itu memang sangat menarik perhatian, karena jarang sekali ada padukuhan yang mempunyai ciri seperti itu." Tiba-tiba saja Kemuningpun bertanya, "Jadi, kita benarbenar sampai ke Kembang Arum?" "Ya, Kemuning. Kita sudah sampai di Padukuhan Kembang Arum. Yang Maha Agung telah menuntun perjalanan kita."
Kemuning itupun tiba-tiba saja telah memeluk bibinya. Ia tidak dapat menahan tangisnya. Sambil terisak ia berkata, "Aku hampir tidak percaya Bibi. Semua harapanku seakan akan telah pupus." "Sudahlah. Doa kita didengar-Nya. Kita wajib mengucap sukur bahwa akhirnya kita sampai juga di padukuhan ini." Paksilah yang kemudian berkata, "Baiklah. Marilah kita berjalan terus. Kita baru menemukan Padukuhan Kembang Arum. Kita masih harus menemukan rumah orang yang Bibi cari." "Setelah sampai di sini, mudah-mudahan aku dapat mengingat letak rumah itu, Ngger." "Marilah kita coba," ajak Paksi. Merekapun kemudian melangkah memasuki padukuhan. Gelap malam memang agak membingungkan Nyi Permati. Namun demikian, perempuan itu masih dapat mengenali beberapa ciri yang masih ada di padukuhan itu. Ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di dalam padukuhan itu, Nyi Permatipun berkata, "Aku masih ingat, pohon beringin yang dipagari ini. Aku ingat benar. Kita harus berbelok ke kanan." Mereka bertigapun telah berbelok ke kanan. Jalan menjadi lebih kecil dari jalan yang mereka lalui semula. Namun Nyi Permati semakin mengenali lingkungan di sekitarnya meskipun gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pekat di dalam padukuhan. Tetapi beberapa oncor yang ada di regol-regol halaman membantu Nyi Permati mengamati jalan yang dilaluinya itu. Ketika mereka sampai di sebuah regol halaman rumah yang terhitung besar dan berhalaman cukup luas, Nyi Permati itu berhenti. Di sebelah regol terdapat sebuah gendi berisi air. Sebuah siwur tergantung pada sebuah patok di dekat gendi itu. Ketika ia mengunjungi rumah saudaranya beberapa tahun yang lalu, ia juga melihat sebuah gentong air di dekat regol halaman.
Beberapa saat ia mengingat-ingat. Namun kemudian katanya, "Aku yakin, bahwa rumah inilah rumah pamanmu, Kemuning." "Bibi benar-benar yakin?" bertanya Kemuning. "Ya. Aku yakin. Rasa-rasanya aku memang mengenali lingkungan ini, karena aku berada di sini agak lama waktu itu." Ketika Kemuning nampak ragu-ragu, bibinya berkata, "Semuanya belum berubah, Kemuning. Aku masih mengenalinya, karena waktu itu aku berada beberapa pekan disini." "Jika Bibi yakin, marilah," berkata Paksi kemudian. Ketika Paksi kemudian menyentuh pintu regol, ternyata pintu itu tidak diselarak dari dalam. Demikian pintu itu terbuka, maka perlahan-lahan mereka melangkah memasuki halaman itu. Demikian mereka berada di halaman, maka Nyi Permati itupun berdesis, "Ya. Aku semakin yakin. Rumah inilah rumah pamanmu, Kemuning. Rumah Kakang Pananggungan." Kemuning berdiri termangu-mangu di halaman. Dipandanginya rumah yang terhitung besar itu. Lampu minyak yang menyala di pendapa bergetar disentuh angin, seolaholah menyampaikan selamat datang kepada Kemuning dan bibinya. Selangkah-selangkah mereka mendekati pendapa yang sepi. Namun kemudian Paksi telah melihat pintu seketeng. Ternyata pintu seketeng tertutup dan selarak dari dalam. Sementara itu gandok kanan dan kiri nampak sepi. "Jika demikian, Bibi harus mengetuk pintu pringgitan," berkata Paksi. Nyi Permati mengangguk kecil. Namun ketika kakinya menyentuh tangga pendapa, perempuan itu nampak menjadi ragu. Kemuning berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Namun akhirnya Nyi Permati itu telah memaksa diri naik ke pendapa dan melangkah ke pringgitan. Perlahan-lahan Nyi Permati mengetuk pintu pringgitan itu.
Sejenak Nyi Permati menunggu. Karena agaknya belum seorangpun yang mendengarnya, maka Nyi Permati telah mengulanginya kembali. Baru kemudian terdengar suara seseorang dari dalam, "Siapa di luar?" "Aku," jawab Nyi Permati. "Aku siapa?" "Permati." "Permati?" terdengar suara itu menghentak. Nampaknya orang di dalam rumah itu terkejut mendengar nama Permati. "Kau benar Permati?" bertanya orang yang di dalam. Nyi Permatipun mengenali suara itu. Dengan suara bergetar ia menjawab, "Ya, Kakang. Aku Permati." Terdengar langkah tergesa-gesa. Tidak hanya seorang. Tetapi dua orang. Sejenak kemudian, pintupun terbuka. Dua orang suami isteri berdiri di pintu pringgitan yang terbuka itu. "Permati. Permati, kenapa kau?" Nyi Permati hampir tidak dapat mengatakan sesuatu. Terasa matanya menjadi panas dan tenggorokannya bagaikan tersumbat. "Mbokayu," desis Nyi Permati. Nyi Pananggunganpun melangkah mendekatinya. Kedua orang perempuan yang mendekati usia tuanya itu berpelukan. Dengan suara sendat Nyi Permati itupun berkata, "Aku datang dengan kemenakanmu, Kemuning." "Kemuning" Kau bawa Kemuning kemari?" Nyi Permati yang melepaskan pelukan Nyi Pananggungan itupun kemudian berpaling. Sambil melambaikan tangannya ia berkata, "Kemarilah Kemuning. Ini pamanmu. Ia tidak akan lupa kepadamu, meskipun ketika paman dan bibimu mengunjungimu, kau masih kanak-kanak." "Kaukah itu Kemuning?" bertanya Nyi Pananggungan. Kemuningpun melangkah naik ke pendapa dan langsung pergi ke pringgitan. Bibinyapun menyongsongnya pula. Dalam pelukan bibinya, rasa-rasanya Kemuning menemukan ketenangan dan kedamaian hati. Karena itu,
maka air matanya yang meleleh dari pelupuknya tidak terbendung lagi, bagaimanapun juga ia berusaha menahannya. "Marilah. Masuklah," Ki Pananggungan mempersilahkan. Namun kemudian iapun bertanya, "Siapakah anak muda itu?" "Anak itu telah menolong kami, Kakang. Tanpa anak muda itu, kami tidak akan sampai di sini." Ki Pananggungan memandang Paksi dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, "Jika demikian, marilah. Naiklah anak muda." Paksipun naik pula ke pendapa. Demikianlah, sejenak kemudian mereka sudah duduk di ruang dalam rumah Ki Pananggungan. Tanpa tertahan-tahan lagi, Nyi Permati telah menceriterakan apa yang telah dialami oleh Kemuning di rumahnya dan di perjalanan menuju ke Kembang Arum. "Apa sebenarnya yang terjadi dengan ayah dan ibu Kemuning?" bertanya Ki Pananggungan. "Tidak ada yang tahu, Kakang. Tiba-tiba saja keduanya telah hilang." "Dan Kemuning jadi sendiri di rumah?" bertanya Nyi Pananggungan. "Ya. Itulah sebabnya, kenapa aku mempunyai gagasan untuk membawanya kemari. Namun hampir saja Kemuning terjerumus ke dalam kenistaan sepanjang umurnya. Jika itu terjadi, maka aku adalah orang yang paling bersalah." "Ayah dan ibu Kemuning memang suka bertualang. Tetapi jika mereka sudah mempunyai seorang anak gadis, maka mereka tidak boleh memikirkan diri mereka sendiri," "Yang aku cemaskan, jika terjadi sesuatu atas mereka. Mungkin mereka pergi bukan karena niat mereka akan pergi. Tetapi ada sesuatu yang memaksa mereka. Jika hal itu tidak membahayakan mereka, sukurlah. Tetapi jika kepergian mereka itu justru karena mereka tidak dapat mengelakkannya, maka itu akan sangat memprihatinkannya."
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Ki Pananggungan itupun kemudian telah berpaling kepada Paksi sambil berkata, "Jadi kau sudah mengalahkan Bahu Langlang?" "Mungkin satu kebetulan saja, Ki Pananggungan," jawab Paksi. Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah mendengar nama Bahu Langlang. Ia seorang pemimpin perampok yang ditakuti di lingkungan sekitarnya. Apakah kau yang masih semuda itu mampu mengalahkannya?" "Sudah aku katakan, Ki Pananggungan, mungkin satu kebetulan saja." "Anak muda, aku justru menjadi curiga kepadamu." Paksi terkejut. Nyi Permati dan Kemuningpun terkejut pula. Hampir di luar sadarnya, Nyi Permati berkata, "Anak muda itu sudah membebaskan kami dari tangan Bahu Langlang." "Kau memang melihat seakan-akan peristiwa seperti itu sudah terjadi. Tetapi ini adalah sebuah permainan. Anak muda ini adalah salah seorang dari orang-orang Bahu Langlang itu sendiri." Wajah Permati menjadi berkerut. Namun iapun bertanya, "Lalu, apakah keuntungannya dengan permainan itu" Apapun yang mereka lakukan, tetapi kami sudah bebas dari tangan Bahu Langlang." "Kita memang tidak tahu, apa maksud yang sebenarnya. Tetapi aku menjadi tidak percaya kepada anak ini, bahwa ia telah dapat mengalahkan Bahu Langlang." Paksi menjadi bingung. Demikian pula Nyi Permati dan Kemuning. "Anak muda," berkata Ki Pananggungan sambil berdiri dan melangkah ke pintu. Kemudian Ki Pananggungan itupun telah membuka pintu itu sambil berkata, "Pergilah. Katakan kepada Bahu Langlang, jika ia ingin mengambil Kemuning, maka ia harus melangkahi mayatku lebih dahulu." Paksi benar-benar tidak mengerti. Namun demikian iapun telah bangkit pula sambil berkata, "Ki Pananggungan, aku
tidak berkeberatan sama sekali jika aku harus pergi. Tetapi aku masih ingin menjelaskan, bahwa aku tidak mempunyai niat buruk, apalagi merupakan sebuah permainan yang digerakkan oleh Bahu Langlang itu sendiri." "Pergilah. Gerak bibirmu membuat darahku menjadi panas. Bau nafasmu membuat aku mual." Telinga Paksi menjadi panas. Tetapi ketika ia berpaling kepada Nyi Permati dan Kemuning, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Paksi mencoba untuk menenangkan perasaannya yang bergejolak di dadanya. Dengan nada rendah, Paksipun kemudian berkata, "Baiklah. Aku mohon diri, Ki Pananggungan." Lalu katanya, "Aku mohon diri Bibi dan juga kau Kemuning. Aku mohon maaf, jika kalian juga menganggap aku bersalah." "Sudahlah, pergilah. Jangan terlalu banyak bicara." Paksipun kemudian melangkah keluar pintu. Ki Pananggungan bergeser mundur selangkah. Sementara itu Nyi Permati dan Kemuning menjadi kebingungan. Bahkan Nyi Pananggunganpun terheran-heran melihat sikap suaminya. Tetapi ternyata kemarahan Ki Pananggungan tidak terhenti sampai sekian. Ketika kemudian Paksi turun ke halaman, Ki Pananggungan justru telah menyusulnya sambil berkata, "Anak muda, kau kira kau dapat pergi begitu saja?" Paksi berhenti melangkah. Ia mundur setapak ketika Ki Pananggungan itu menyusulnya turun ke halaman. "Aku tidak tahu maksud ki Pananggungan." "Kau adalah anak buah Bahu Langlang yang ganas itu. Kau telah melakukan satu permainan yang tidak aku ketahui maksudnya. Nah, sekarang, untuk apa kau berpura-pura dapat mengalahkan Bahu Langlang dan kemudian membawa Kemuning kemari" Apakah dengan demikian kau mendapat tugas dari Bahu Langlang untuk mengetahui rumahku, sehingga pada suatu saat ia akan datang untuk merampok Kemuning dan seluruh harta bendaku, karena Bahu Langlang mengetahui bahwa aku adalah seorang yang kaya."
Badai Di Laut Arafuru 2 Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Pendekar Empat Serangkai 1
^