Jejak Di Balik Kabut 7
Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 7
"Ki Pananggungan," berkata Paksi kemudian, "kenapa Ki Pananggungan berprasangka demikian buruknya kepadaku" Seandainya saja aku menolong Kemuning, tetapi aku tidak menyesal. Aku sudah merasa puas bahwa aku telah berhasil membebaskan gadis itu dari penderitaan yang berkepanjangan." "Jangan mengigau," potong Ki Pananggungan. "Sekarang katakan, untuk apa sebenarnya kau antarkan Kemuning kemari?" "Ki Pananggungan," sahut Paksi, "aku tidak akan dapat menjawab pertanyaanmu." "Setan kau anak muda. Aku tahu bahwa tongkat itu adalah senjatamu. Tetapi itu sama sekali tidak menggetarkan aku. Sekarang kau boleh pilih. Kau jawab pertanyaanku, atau kau tidak akan pernah keluar dari halaman rumahku." "Aku tidak akan memilih, Ki Pananggungan," jawab Paksi. "Tetapi sudah tentu aku tidak akan melepaskan nyawaku begitu saja. Seandainya aku harus mati di sini, biarlah aku mati dalam mempertahankan hidupku ini." "Bagus," sahut Ki Pananggungan, "bersiaplah. Pakailah tongkatmu. Aku akan memakai senjataku." Paksi menjadi berdebar-debar. Ia tidak pasti, apakah yang telah terjadi. Tetapi sudah tentu ia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan tidak adil. Dalam pada itu, Ki Pananggunganpun telah mengurai senjatanya pula. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang, yang nampaknya selalu dikenakannya sebagai ikat pinggangnya. Bahkan ketika ia tidur sekalipun. Nyi Pananggungan, Nyi Permati dan Kemuningpun telah berdiri di pendapa pula. Mereka menjadi sangat tegang. Lebihlebih Nyi Permati. Ia tahu benar bahwa Paksi tidak bersalah. Tetapi ia harus menghadapi Ki Pananggungan, seorang yang diketahui memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan jantung yang berdebar-debar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, cambuk Ki Pananggunganpun mulai bergetar. Satu ledakan yang tidak terlalu keras telah terdengar. Sementara itu, Ki Pananggungan itupun berkata, "Aku tidak ingin membangunkan tetanggatetanggaku karena ledakan cambukku ini." Namun telinga Paksi yang mendengar ledakan itu, serta jantung Paksi yang tersentuh getarannya, merasakan bahwa ledakan yang lunak itu justru mengandung tenaga yang sangat tinggi. Karena itu, maka iapun berkata, "Kau tidak usah mengelabuhi aku, Ki Pananggungan." "Mengelabuhi apa?" bertanya Ki Pananggungan. "Ledakan cambuk Ki Pananggungan bukan sekedar agar tidak membangunkan tetangga-tetangga." Wajah Ki Pananggungan berkerut. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, "Jadi kau dapat menangkap getar ilmu cambukku?" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi Ki Pananggungan betapapun tinggi ilmu orang itu. Ki Pananggunganpun kemudian telah mulai menyerang dengan cambuk itu tetapi tidak menggapainya. Bahkan Paksipun sempat meloncat maju pula sambil menjulurkan tongkatnya. Ki Pananggungan seakan-akan memang menunggu. Dengan cepat, Ki Pananggungan telah menghentakkan cambuknya sehingga juntainya telah membelit tongkat Paksi. Dengan sertamerta Ki Pananggungan menarik cambuknya untuk merenggut tongkat anak muda itu. Tetapi Ki Pananggungan terkejut. Tongkat itu tidak terlepas dari tangan Paksi. Anak muda itupun seakan-akan tidak goyah oleh tarikannya. Untuk beberapa saat mereka mengadu tenaga. Keduanyapun telah mulai mengerahkan kekuatan mereka, bahkan mulai merambah ke tenaga dalam mereka masingmasing. Ki Pananggungan benar-benar menjadi heran. Anak muda itu mempunyai kekuatan dan tenaga dalam yang sangat
besar. Ki Pananggungan tidak mampu merenggut tongkat di tangan Paksi, meskipun Paksi yang berusaha untuk menghentakkan cambuk Ki Pananggungan juga tidak berhasil. Namun Ki Pananggungan dengan kemampuan ilmu cambuknya terpaksa mengurai belitan ujung cambuknya pada tongkat Paksi, karena Ki Pananggungan tidak yakin bahwa ia akan dapat merampas tongkat itu. Selanjutnya, Ki Pananggunganpun telah menyerang Paksi dengan hentakan-hentakan cambuk sendal pancing. Namun kemudian juntai cambuk itu telah menebas mendatar dengan derasnya. Bahkan kemudian juntai cambuk itu mampu terjulur lurus menikam seperti ujung sebatang tombak. Paksipun menyadari, Ki Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi. Tidak seperti Bahu Langlang yang garang tetapi tidak mempunyai landasan yang cukup meyakinkan. Karena itulah, maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Tongkat Paksi berputaran dengan cepat. Namun sekali-sekali tongkat itu juga terjulur menyerang ke arah jantung. Ujung cambuk Ki Pananggungan rasa-rasanya bergerak semakin cepat pula. Tetapi tongkat Paksipun menjadi semakin berbahaya pula bagi lawannya. Dalam pada itu, Paksi dengan serta-merta telah meloncat mengambil jarak ketika terasa lengannya menjadi panas. Ternyata ujung cambuk Ki Pananggungan itu telah menyengat kulitnya. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi Paksi sudah terluka karenanya. Paksi memandang Ki Pananggungan dengan sorot mata yang membara. Di dalam hatinya iapun berkata, "Apa sebenarnya yang dikehendaki orang ini" Tetapi ia sudah benar-benar melukai lenganku. Aku tidak peduli lagi, apa yang sebenarnya dikehendaki." Dengan demikian, maka Paksipun telah menghentakkan kemampuannya pula. Sementara itu, terasa seakan-akan ujung cambuk Ki Pananggungan terdengar berdesing di telinganya. Namun tongkatnyapun sekali-sekali telah
menyentuh pakaian Ki Pananggungan pula. Bahkan ketika ujung cambuk Ki Pananggungan menggapai lambungnya, Paksi sempat meloncat menyamping. Tetapi demikian ujung cambuk itu terayun lewat, maka Paksipun segera meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan tongkatnya. Ki Pananggungan berusaha untuk menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Tetapi Ki Pananggungan ternyata telah terlambat. Meskipun ujung tongkat Paksi tidak mengenai dadanya, tetapi ujung tongkat itu telah mendorong bahunya. Ki Pananggungan berdesah tertahan. Selangkah ia terdorong surut. Namun Ki Pananggungan justru telah meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Tetapi Paksi tidak memberinya kesempatan. Dengan tangkasnya ia meloncat memburu. Tongkatnya sesekali berputar. Namun kemudian terjulur mengarah lambung. Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Keduanya telah menapak pada tataran ilmu tertinggi mereka. Cambuk Ki Pananggungan menggeliat dengan cepat, sementara tongkat Paksi berputar seperti baling-baling. Namun Ki Pananggungan tidak pernah berhasil merampas tongkat Paksi itu. Namun pengalaman dan kematangan sikap Ki Pananggungan ternyata ikut menentukan keseimbangan dari pertempuran itu. Ketika mereka benar-benar sudah sampai ke puncak, maka ternyata bahwa Paksi kadang-kadang masih terhambat oleh kelambatannya mengambil sikap. Dalam pertempuran yang keras dan cepat itu, setiap kejap dapat menentukan kelanjutannya. Kelambatan Paksi mengambil sikap dalam perkelahian itu, kadang-kadang sangat merugikannya. Lawannya memanfaatkan setiap keadaan sebaik-baiknya untuk mendesaknya. Bahkan kemudian sekali lagi ujung cambuk Ki Pananggungan telah menggores pundaknya. Paksi yang menjadi sangat marah itu masih sempat membuat pertimbangan. Ia yakin bahwa sulit baginya untuk dapat mengalahkan lawannya. Ternyata Ki Pananggungan
memiliki ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimilikinya meskipun hanya selapis tipis. Tetapi Paksi tidak akan menyerah. Ia akan dapat mengalami nasib yang sangat buruk di tangan Ki Pananggungan yang mencurigainya bahwa ia adalah pengikut Bahu Langlang. Karena itu, maka Paksi tidak mempunyai pilihan lain. Dalam keadaan yang terdesak, maka Paksi telah meloncat mengambil jarak. Diangkatnya tongkat tinggi-tinggi. Sekali berputar, kemudian tongkat itu melekat di sisi tubuhnya, lurus mendatar menghadap ke arah lawannya. Tangan kirinya yang menyilang dadanya menggenggam tongkatnya pada sisi kanan tubuhnya, sementara tangan kanannya menggenggam tongkatnya lebih ke depan. Paksi memang belum pernah mengetrapkan ilmu puncak yang disalurkan lewat tongkatnya. Tetapi ia pernah mendapatkan petunjuk dari Ki Marta Brewok yang kemudian dikembangkannya menurut ketajaman penalarannya. Dalam keadaan yang rumit dan mendesak itu, unsur gerak yang siap mengungkapkan ilmunya itu seakan-akan telah hadir dengan sendirinya, seakan-akan tangan dan kakinya yang sedikit merendah pada lututnya itu, tiba-tiba saja telah bergerak sesuai dengan seharusnya yang dilakukan. Tetapi satu hal yang dalam keadaan gawat itu tidak sempat diingatnya, Paksi memang pernah melihat lukisan di dinding gua itu, unsur geraknya sebagaimana dilakukannya itu. Ki Pananggungan yang melihat sikap Paksi itu terkejut. Tiba-tiba iapun meloncat surut untuk mengambil jarak. Sebelum Paksi melepaskan serangan yang dilandasi dengan ilmu pamungkasnya, maka Ki Pananggungan itupun berkata, "Tahan anak muda. Berhentilah. Jangan kau lanjutkan ungkapan ilmumu itu." Paksi yang sudah siap untuk meloncat menyerang, memang menjadi tertegun karenanya. Tetapi ia tetap bersiap untuk meloncat menyerang dengan landasan ilmu puncaknya itu.
"Kenapa Ki Pananggungan mencegah aku" Apakah Ki Pananggungan menganggap bahwa tidak sepantasnya aku mempergunakan ilmu puncak yang aku miliki meskipun aku sudah terdesak dan tidak mungkin lagi bertahan tanpa landasan ilmu puncak ini?" "Sabarlah, anak muda," suara Ki Pananggungan telah berubah. "Kau memang anak muda yang luar biasa. Aku sama sekali tidak mengira bahwa kau telah berdiri di atas tataran ilmu yang demikian dahsyatnya. Bahkan kau telah mampu melandasi ilmumu dengan puncak ilmu yang sangat berbahaya. Tetapi puncak ilmumu itu tidak hanya berbahaya bagi lawanmu. Landasan puncak ilmumu itu masih dapat membahayakan dirimu sendiri." "Kenapa?" "Kau telah mempelajarinya dengan tuntas. Bahkan hampir sempurna. Tetapi pada saat terakhir, kau masih berkesan sangat tergesa-gesa. Kemapanan bagian dalam tubuhmu, nampaknya masih lamban dari gejolak kemarahanmu, sehingga saatnya untuk melepaskan ilmumu masih belum tepat. Seranganmu akan menjadi sangat berbahaya bagi lawanmu. Tetapi dengan perlawanan yang mapan, maka jantungmu sendiri akan terluka. Apalagi jika lawanmu memiliki kekuatan yang seimbang dengan kekuatan ilmu puncakmu, tetapi karena pengalaman dan kematangan sikapnya lebih tinggi, maka kau mengalami kesulitan." "Kenapa Ki Pananggungan menghiraukan keadaanku. Jika Ki Pananggungan memiliki pengalaman dan kematangan ilmu lebih tinggi dari aku, kenapa Ki Pananggungan tidak mengetrapkannya dan tidak perlu mempedulikan aku, apakah aku akan menjadi debu atau adeg pengamun-amun." Ki Pananggungan tersenyum. Katanya, "Kau masih marah." Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi ia menjawab, "Ki Pananggungan telah melukai aku." Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Bukankah luka itu tidak berbahaya. Kau juga sudah menyakiti aku. Pundakku rasa-rasanya telah pecah oleh ujung tongkatmu."
"Aku tidak mengerti. Apa maksud Ki Pananggungan sebenarnya. Apakah Ki Pananggungan sekedar mempermainkan aku. Tetapi karena Ki Pananggungan melihat kemungkinan buruk, maka Ki Pananggungan lalu bersikap lain." "Aku mengerti bahwa kau akan marah. Tetapi jangan mulai menyombongkan diri. Itu sama berbahayanya dengan ketidakmapananmu untuk melepaskan ilmu pamungkasmu." Paksi tertegun sejenak. Peringatan Ki Pananggungan itu di telinganya terdengar seolah-olah gurunya, Ki Marta Brewoklah yang mengucapkannya. Jika ia terperosok ke dalam sikap sombong, maka jalannya menuju ke masa depannya akan menjadi suram. "Paksi," berkata Ki Pananggungan, "aku memang curiga, bahwa kau benar benar mampu mengalahkan Bahu Langlang. Bukan karena kau adalah salah seorang pengikutnya, tetapi aku menduga kau telah mengambil Kemuning dan bibinya dengan cara yang licik. Karena itu, aku mengujimu, apakah kau benar-benar memiliki ilmu yang pantas untuk mengalahkan Bahu Langlang. Namun ternyata ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmu yang diperlukan untuk mengalahkan Bahu Langlang, karena aku tahu tataran kemampuannya meskipun aku belum pernah berhadapan dengan orang itu. Bahkan aku sempat menjadi jengkel, karena kau ternyata mampu mengimbangi ilmuku sendiri. Tetapi ketika kau akan melepaskan ilmu pamungkasmu, aku melihat kelemahanmu. Jika aku terpaksa bertahan akan terjadi benturan, maka aku mencemaskan bagian dalam tubuhmu. Nampaknya kau masih memerlukan pengalaman dan kemapanan. Meskipun demikian, aku sudah sangat mengagumimu. Aku belum pernah bertemu ataupun mendengar, bahwa anak muda seumurmu, sudah memiliki tataran ilmu sebagaimana kau miliki." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, ketiga orang perempuan yang menyaksikan pertempuran itu berhenti, menjadi sedikit lega. Tetapi mereka tidak mengerti,
apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Pananggungan. Pembicaraan pendek itu memang sedikit membuka hati mereka, namun mereka masih memerlukan penjelasan. "Marilah, Paksi," berkata Ki Pananggungan. "Jika kau sudah tidak marah lagi, naiklah. Kita kembali duduk di ruang dalam. Barangkali ada yang perlu kita bicarakan." Paksi menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia memandang wajah Ki Pananggungan di bawah cahaya suram lampu minyak pendapa, rasa-rasanya Paksi dapat mempercayainya. Karena itu, maka Paksipun tidak menolak. Iapun kemudian naik ke pendapa dan berjalan lewat pintu pringgitan masuk ke ruang dalam. Seperti ketika Paksi bersama Nyi Permati dan Kemuning baru datang, maka merekapun duduk di ruang tengah itu. Suasana memang masih agak tegang. Paksi belum dapat melepaskan gejolak perasaannya. Apalagi lukanya masih terasa pedih. Namun Ki Pananggungan itupun berkata, "Biarkan Nyi Permati mengobati lukamu, Paksi. Barangkali kau belum mengetahui, bahwa Bibi Permati adalah seorang yang sangat menguasai ilmu obat-obatan." "Ah, tidak seperti itu. Tetapi barangkali aku dapat membantu membersihkan luka-lukamu itu," sahut Nyi Permati. Sementara Nyi Permati mengobati luka yang tidak terlalu dalam pada tubuh paksi, maka Nyi Pananggunganpun telah berada di dapur. Kemuning ikut pula membantunya. Nyi Pananggungan telah menghidangkan minuman hangat dan makanan seadanya. Sayur yang dingin telah dihangatkan. Sementara itu, beberapa butir telur di petarangan, telah digoreng pula. Setelah makan, Ki Pananggungan telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. Kepada Paksi, Ki Pananggungan itupun berkata, "Besok sajalah kau bercerita tentang macam-macam hal. Sekarang beristirahatlah. Kau dapat tidur di gandok."
Paksi kemudian telah diantar sendiri oleh Ki Pananggungan ke gandok, setelah membersihkan dirinya di pakiwan. Tetapi malam tinggal sejengkal. Demikian Paksi berbaring, maka terdengar suara ayam jantan berkokok menyambut fajar. Paksi tidak sempat tidur malam itu. Beberapa saat kemudian, iapun harus bangkit dari pembaringannya pula. Ketika matahari terbit, Ki Pananggungan telah menyiapkan sepasang lembu dan bajaknya. Pagi itu ia akan pergi ke sawah untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sedikit kemarin. Seterusnya ia tinggal meratakan sawahnya dengan garu esok pagi sebelum lusa mulai ditanami padi. Paksi yang juga sudah berbenah diri mendekati Ki Pananggungan sambil bertanya, "Ki Pananggungan melakukan kerja di sawah itu sendiri?" "Aku mengerjakan sawah yang sekeping di luar padukuhan ini. Sementara sawahku yang ada di sebelah tanggul sungai itu dikerjakan oleh orang-orang kepercayaanku. Mereka adalah pekerja-pekerja yang baik, teliti dan jujur." "Apakah aku diperkenankan ikut ke sawah?" bertanya Paksi. "Aku tidak lama berada di sawah. Aku tinggal menyelesaikan pekerjaanku kemarin yang tersisa, nanti aku segera kembali dan kita mempunyai banyak waktu untuk berbicara. Kecuali itu, apakah kau yakin bahwa Bahu Langlang benar-benar melepaskan Kemuning?" Wajah Paksi berkerut. Tetapi menurut perhitungannya Bahu Langlang tidak akan berani lagi mengejarnya, karena apapun yang dilakukan oleh Bahu Langlang, namun ia akan dapat mengalahkannya. Namun Ki Pananggungan itupun kemudian berkata, "Ingat Paksi, Bahu Langlang tidak sendiri. Ia mempunyai sebuah kelompok yang merasa terikat menjadi satu. Kecuali itu, Bahu Langlang juga mempunyai banyak kawan. Mungkin ia masih berniat untuk mengambil Kemuning. Karena itu, aku atau kau sebaiknya tinggal di rumah."
Paksi mengerti maksud Ki Pananggungan. Karena itu, maka katanya, "Baiklah, Ki Pananggungan. Aku akan berada di rumah." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Pananggunganpun telah meninggalkan halaman rumahnya sambil membawa bajak dan sepasang lembu. Sementara Paksipun telah naik ke serambi gandok. Paksipun kemudian duduk di atas sebuah amben yang panjang. Dalam kesendiriannya, Paksi sempat merenungi sikap Ki Pananggungan. Ternyata Ki Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi dalam ujudnya sehari-hari sama sekali tidak ditampakkannya. Pada saat ia memanggul bajak dan menggiring sepasang lembu, Ki Pananggungan benar-benar nampak sebagai seorang petani kebanyakan. "Apakah orang di sekitar tempat ini tidak tahu bahwa Ki Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi" Padahal Ki Pananggungan sudah tinggal di sini bertahun-tahun," bertanya Paksi dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak ingin duduk merenung di serambi gandok itu. Iapun kemudian pergi ke pakiwan. Menimba air untuk mengisi jambangan. Seorang pembantu laki-laki di rumah Ki Pananggungan itu mendekatinya sambil berkata, "Sudahlah, anak muda. Biarlah nanti aku yang melakukannya." Tetapi Paksi tersenyum sambil berkata, "Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku sudah terbiasa melakukannya." Pembantu laki-laki itu tidak dapat mencegahnya. Bahkan ketika kemudian Paksi melihatnya membelah kayu, setelah Paksi selesai mengisi jambangan di pakiwan, telah mendekatinya pula. Katanya, "Apakah masih ada kapak sebuah lagi?" Orang itu termangu-mangu. Sementara itu sambil tersenyum Paksi mengambil kapak di tangan orang itu, "Kau cari kapak yang lain." Orang itu tidak sempat mencegahnya. Ketika kemudian Paksi mengayunkan kapak itu untuk membelah kayu, maka
orang itu memang harus mencari kapak yang lain. Ia tidak sekedar menonton Paksi membelah kayu bakar itu sendiri. Paksi membelah kayu bakar itu sendiri, sementara kayu itu masih seonggok. Namun ketika mereka bersama-sama membelah balokbalok kayu sebatang pohon kayu yang tumbuh di sudut kebun belakang yang ditebang dua hari sebelumnya, orang itu menjadi heran. Orang itu tidak menyangka, bahwa Paksi dapat melakukan jauh lebih baik dan lebih cepat dari yang dilakukannya. "Kau nampak sudah terbiasa membelah kayu balok, anak muda," berkata orang itu. "Pamanku seorang belandong kayu, Ki Sanak. Meskipun tidak selalu, aku sering membantunya jika satu dua orang membantunya berhalangan." Orang itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Pantas hasil kerjamu dua kali lipat dari hasil kerjaku, anak muda." Paksi tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Tangannya sajalah yang bergerak mengangkat kapak itu tinggi-tinggi. Kemudian terayun deras. Tajam kapaknya itu menghunjam ke tengah-tengah balok kayu dan kemudian membelahnya. Di tengah hari, keduanya berhenti. Pembantu di rumah Ki Pananggungan itu berkata, "Tidak baik bekerja saat matahari tepat di atas kepala kita. Kita harus beristirahat barang sebentar." Paksi memang beristirahat. Keduanya duduk di bawah rumpun bambu yang rimbun. Sambil menyodorkan sebuah gendi berisi air dingin yang sejuk orang itu bertanya, "Kau haus?" Paksi menerima gendi itu dan meneguk air dari dalamnya. Betapa segarnya. Sambil menarik nafas panjang Paksipun menyerahkan gendi itu sambil berdesis, "Aku memang haus sekali." Paksi kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Angin yang semilir lembut membuatnya agak mengantuk, justru
karena semalam Paksi hampir tidak memejamkan matanya sama sekali. Tetapi ketika matanya menjadi redup, ia mendengar suara memanggilnya, "Kakang Paksi." Paksi berpaling. Dilihatnya Kemuning berdiri termangumangu beberapa langkah daripadanya. "O," desah Paksi sambil bangkit dengan tergesa-gesa. "Paman sudah pulang dari sawah. Paman memanggil Kakang." Paksi mengangguk kecil. Katanya, "Baik Kemuning. Aku akan menemuinya." "Paman ada di pringgitan." Ketika Kemuning kemudian meninggalkannya, maka Paksipun membenahi baju dan kainnya, keringatnya sudah mulai kering. "Aku dipanggil Ki Pananggungan," berkata Paksi kepada pembantu rumah itu. Orang itu mengangguk. Katanya, "Biasanya Ki Pananggungan belum pulang pada saat seperti ini. Jika sudah terlanjur berada di sawah, meskipun kerja sudah selesai, Ki Pananggungan terbiasa menunggui sawahnya sampai matahari turun." "Panasnya hari ini," desis Paksi, "agaknya Ki Pananggungan sudah merencanakan sejak berangkat untuk pulang agak lebih cepat dari biasanya." "Ya," berkata orang itu. "Tidak ada orang yang membawa makan dan minum ke sawah." Paksi tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah menuju ke pakiwan. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka Paksipun langsung pergi ke pringgitan menemui Ki Pananggungan yang telah duduk lebih dahulu. Dua buah mangkuk minuman ternyata sudah terhidang. Bahkan beberapa potong makanan. "Aku sengaja pulang lebih awal," berkata Ki Pananggungan. "Sisa kerja kemarin itu sudah selesai. Bahkan aku sempat memandikan sepasang lembu itu di sungai."
"Ki Pananggungan melakukan semuanya itu sendiri?" "Ya. Aku memang anak petani." "Tetapi bukan petani kebanyakan," sahut Paksi. Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Satu kebetulan bahwa aku tinggal bersama kakek. Juga bersama ayah Kemuning. Di samping mengajari kami bertani, kakek juga mempunyai kelebihan lain. Kami adalah murid-murid kakek." "Apakah sekedar kebetulan?" bertanya Paksi. Ki Pananggungan tertawa berkepanjangan. Katanya, "Tetapi ada unsur kebetulan. Namun kemudian kami menjadi bersungguh-sungguh. Kami bekerja keras bersama kakek bertahun-tahun, sehingga akhirnya kami masing-masing berumah tangga sendiri. Meskipun demikian, kami masih selalu datang ke rumah kakek untuk mematangkan ilmu yang kami warisi dari kakek itu, sehingga saatnya wadag kakek tidak mengijinkan lagi bermain-main di dalam sanggar. Tetapi dalam keadaan wadagnya yang semakin lemah, kakek masih tetap membimbing kami." Paksi mengangguk-angguk. Dengan kerja keras Ki Pananggungan akhirnya menjadi seorang yang berilmu tinggi, meskipun penampilannya sehari-hari masih tetap sederhana dan tidak lebih dari seorang petani biasa. Namun sekilas terngiang di telinganya kata-kata orang yang datang mencari ndaru yang dianggapnya jatuh di sekitar rumah kecilnya, hubungan antara ilmu dan amal. "Apakah ilmu Ki Pananggungan itu memberikan arti kepada sesamanya, jika ia tidak pernah mengamalkannya?" bertanya Paksi di dalam hatinya, namun yang kemudian dijawabnya sendiri, "Tetapi setidak-tidaknya ilmu Ki Pananggungan yang tinggi itu tidak mengganggu orang lain atau bahkan dipergunakannya untuk niat buruk." Demikianlah, maka Ki Pananggunganpun kemudian telah mempersilahkan Paksi menghirup minuman hangat dan mencicipi makanan yang dihidangkan. "Bibimu telah membuatnya sendiri," berkata Ki Pananggungan.
Sambil makan makanan yang dihidangkan, maka Ki Pananggungan masih ingin mendengarkan ceritera Paksi tentang dirinya. Namun Paksi masih tetap menyembunyikan jatidirinya yang sebenarnya. Ia tidak menyebut siapakah ayah dan ibunya. Paksi tidak mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang penjabat tinggi istana. Tetapi di luar sadarnya Paksi telah memperbandingkan kemampuan ayahnya dengan Ki Pananggungan. Meskipun Ki Pananggungan tetap seorang petani yang setiap hari bekerja di sawah, namun orang itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ayahnya. Namun tiba-tiba saja Paksi bertanya kepada diri sendiri, "Tetapi apakah ilmuku sudah lebih tinggi dari ilmu ayah?" Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mau mencari jawab atas pertanyaannya itu. Dalam pada itu, maka dalam pembicaraan selanjutnya, Ki Pananggungan tahu, bahwa pengalaman Paksi masih terlalu sempit. Ia masih belum mengenal nama-nama orang yang disegani dalam dunia olah kanuragan. "Paksi," berkata Ki Pananggungan selanjutnya, "aku yakin, bahwa sengaja atau tidak, jika pada suatu saat kau memasuki dunia olah kanuragan, maka kau tentu berada di lapisan teratas. Dalam satu dua tahun, jika ilmumu benar-benar matang, maka aku tidak akan mampu mengatasimu. Aku sudah melihat, bahwa kau sudah menyimpan ilmu andalan yang berbahaya yang akan dapat melepaskanmu dari kesulitan dalam keadaan terpaksa. Aku tidak mengatakan bahwa kau tidak dapat dikalahkan. Semua orang tentu dapat dikalahkan pada suatu saat. Aku pun tidak mengatakan bahwa tidak ada orang yang memiliki ilmu pada tataran yang sama dengan ilmumu." Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Apa yang aku miliki adalah jauh dari tataran yang pantas."
Ki Pananggungan tersenyum. Katanya, "Semula aku mengira bahwa kau adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi dan agak sombong. Tetapi ternyata aku keliru." "Aku tidak mempunyai maksud apa-apa dengan sikapku, Ki Pananggungan." "Aku mengerti. Karena itu, aku justru mempercayaimu," berkata Ki Pananggungan kemudian. Lalu katanya pula, "Karena itu, aku justru ingin memperkenalkan kau dengan beberapa orang yang namanya mencuat di atas rata-rata dalam dunia olah kanuragan, agar kau dapat berhati-hati jika kau bertemu dengan mereka. Seperti yang kau ceriterakan, kau pernah melihat orang-orang dari Perguruan Goa Lampin dengan ciri-cirinya dan kau pun pernah melihat pemimpinnya yang juga dianggap mahagurunya. Kau juga pernah bertemu dengan orang-orang dari Perguruan Sad dan orang-orang dari Perguruan Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga. Tetapi kau belum pernah bertemu atau melihat kedua orang pemimpin tertinggi dari kedua perguruan yang terakhir itu. Juga orang lain yang nama dan ciri-cirinya pantas kau kenal." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan sangat berterima kasih, Ki Pananggungan. Mungkin dalam perjalananku mendatang, aku bertemu dengan mereka, sehingga aku dapat menghindar." Ki Pananggungan tersenyum. Menilik ilmu yang dimilikinya, Paksi tidak perlu menghindari mereka. Tetapi Ki Pananggungan tidak mengatakannya. Bagi Ki Pananggungan sendiri, menghindar bila masih mungkin, memang lebih baik dari benturan yang harus terjadi. Demikianlah, maka Ki Pananggunganpun kemudian telah menyebut beberapa nama dan ciri-cirinya. Paksi mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi sampai nama yang terakhir yang disebutnya beserta ciricirinya, Ki Pananggungan tidak menyebut Ki Marta Brewok serta ciri-cirinya. Seandainya ia dikenal dengan nama yang lain, namun ciri-ciri yang menonjol akan disebutkannya. Demikian pula orang yang telah datang kepadanya untuk
mencari cincin yang dikatakannya jatuh dari langit itu. Ciri-ciri orang itu juga tidak disebut sama sekali. Ki Pananggungan yang mengenal orang berilmu tinggi yang tersebar luas di tanah ini juga tidak menyebut seorang pengemis yang telah memberikan tongkat itu kepadanya, meskipun Ki Pananggungan sempat menyebut nama Kebo Lorog. Dengan demikian, Paksi menganggap bahwa setidaktidaknya Ki Marta Brewok bukan orang yang mengagungkan kemampuan serta namanya. Demikian pula pengemis yang berilmu tinggi yang telah memberinya tongkat itu. Bagi Paksi orang yang datang mencari cincin itu juga mengherankannya. Jika saja saat itu Ki Marta Brewok tidak datang pada saat yang bersamaan, maka Paksi akan dapat mengira bahwa orang itu adalah Ki Marta Brewok. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang. Ki Pananggungan memberikan banyak petunjuk melengkapi petunjuk-petunjuk Ki Marta Brewok. Meskipun Paksi yakin bahwa ilmu Ki Marta Brewok tentu lebih tinggi dari Ki Pananggungan, namun Ki Marta Brewok nampaknya tidak sempat memberikan banyak petunjuk tentang dunia kanuragan serta orang-orang yang menghuninya. Ki Marta Brewok tidak pernah menyebut nama-nama serta ciri-ciri orang yang dapat membahayakan dirinya. Namun pembicaraan itu terhenti. Kemuning yang keluar dari pintu pringgitan memberitahukan kepada pamannya, bahwa makan siang telah tersedia. Sejenak kemudian, maka Ki Pananggungan itupun telah berada di ruang dalam bersama Paksi. Tetapi agaknya mereka akan makan siang berdua saja. Demikian mereka selesai makan siang, maka Paksipun telah menyatakan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya. Dengan nada dalam Paksi itupun berkata, "Aku sudah cukup lama berada di rumah ini, Ki Pananggungan. Aku mengucapkan terima kasih atas segala petunjuk Ki Pananggungan."
Tetapi Ki Pananggungan itu menggeleng. Katanya, "Kau tidak boleh segera pergi. Kau akan tinggal di sini. Sedikitnya sepekan. Baru kita yakin, bahwa Bahu Langlang tidak akan menyusul Kemuning. Bukankah kau sudah menolong dan menyelamatkan Kemuning dari tangan Bahu Langlang. Nah, jika demikian, maka lakukanlah sampai tuntas." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata ia tidak dapat memaksa untuk meninggalkan tempat itu. Karena itulah, maka Paksi masih harus tetap tinggal sampai batas waktu yang diberikan oleh Ki Pananggungan sehingga kerjanya dapat disebutnya tuntas. Di hari berikutnya, Ki Pananggunganpun telah pergi ke sawah pula. Sementara Paksi telah melakukan pekerjaan sehari-hari bersama pembantu laki-laki di rumah itu. Dari pintu butulan Kemuning sering mengamati apa yang dilakukan oleh Paksi. Kepada bibinya Kemuning sudah memberitahukan, bahwa Paksi melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukannya karena ia seorang tamu di rumah itu. Tetapi baik Nyi Pananggungan maupun Nyi Permati telah memberikan jawaban yang sama, "Paksi memang menghendakinya, Kemuning. Ia tidak dapat tinggal diam." Ketika panas matahari menjadi terik, maka Kemuning yang melihat keringat Paksi bagaikan terperas dari tubuhnya di saat ia membelah balok-balok kayu dengan kapak, bahkan Paksi telah menanggalkan bajunya pula, seolah-olah merasakan betapa kering tenggorokannya. Meskipun Paksi itu dapat pergi ke sumur mengambil air jika ia tidak tahan lagi atau air gendi yang terletak tidak jauh dari onggokan kayu-kayu gelondong yang dibelahnya, jika gendi itu belum menjadi kosong, namun Kemuning telah terdorong untuk membawa bukan hanya semangkok, tetapi sebuah teko yang agak besar berisi wedang sere. "Minumlah, Kakang. Wedang sere dengan gula kelapa. Sudah dingin," Kemuning mempersilahkan sambil tersenyum.
"Terima kasih, Kemuning," sahut Paksi sambil meletakkan kapaknya. Untuk memuaskan Kemuning, maka Paksipun kemudian telah menuang wedang sere itu ke dalam mangkuk dan kemudian menghirupnya sampai mangkuknya kering. "Segar sekali, Kemuning. Terima kasih." Kemuning masih tersenyum. Namun kemudian iapun beranjak pergi dan kembali ke dapur. Sepeninggal Kemuning Paksi justru memungut gendi yang berisi air yang dingin sambil berkata, "Wedang sere membuat keringatku semakin banyak mengalir." Pembantu rumah yang bersama Paksi membelah kayu itu tertawa. Katanya, "Tentu lebih segar air dingin di dalam gendi itu." Tetapi Paksi tidak ingin mengecewakan Kemuning. Karena itu, maka ia sudah menuang lagi wedang sere itu ke dalam mangkuknya. Namun ketika ia yakin Kemuning tidak melihatnya, maka dituangnyalah wedang sere itu di tanah. Seperti yang diminta oleh Ki Pananggungan, maka Paksi masih tetap tinggal di rumah itu di hari berikutnya. Namun Paksi sendiri tidak menyadari, bahwa ia telah menjadi kerasan tinggal di rumah itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa Kemuning adalah gadis yang ramah. Yang menyapanya sambil tersenyum. Mempersilahkannya dengan kata-kata yang manis. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Kadang-kadang Paksi harus memperingatkan dirinya sendiri, "Umurmu baru delapan belas." Namun pada umur-umur itu, seorang anak muda memang sudah dapat mengenali kecantikan seorang gadis. Di hari berikutnya, maka Ki Pananggungan tidak pergi ke sawah seperti hari-hari berikutnya. Pekerjaannya sudah selesai. Sawahnya sudah diratakan dengan garu, sehingga sudah siap untuk ditanami. Karena itu, maka Nyi Pananggunganlah yang pergi ke sawah bersama beberapa orang perempuan yang akan menanam padi. Sementara pembantunya akan mempersiapkan bibit padi yang akan ditanam.
Hari itu, Ki Pananggungan dapat lebih banyak berbincang dengan Paksi. Ketika Paksi akan melakukan pekerjaan sebagai dilakukannya di hari-hari sebelumnya, Ki Pananggungan telah mencegahnya. Katanya, "Duduk sajalah di serambi gandok, Paksi. Aku ingin menikmati hari istirahatku setelah membajak dan meratakan sawahku beberapa hari ini." Keduanyapun kemudian telah duduk di serambi. Mereka berbincang tentang berbagai macam hal. Dari cara menanam padi dan palawija di sawah sampai dengan dunia olah kanuragan. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan memasuki halaman. Mereka berjalan tertatih-tatih. Agaknya laki-laki itu tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga isterinya harus menolongnya. Paksi yang kemudian bangkit berdiri berdesis, "Bahu Langlang." Ki Pananggunganpun bangkit pula. Di luar sadarnya iapun mengulang, "Bahu Langlang." Keduanyapun turun ke halaman dengan hati-hati. Namun mereka melihat Bahu Langlang tidak sebagai seorang laki-laki yang perkasa. Tetapi orang itu lebih mirip dengan laki-laki yang cacat, yang berjalan dengan bantuan orang lain. "Apa maksudmu datang kemari, Ki Bahu Langlang. Apakah kau akan mengambil Kemuning?" bertanya Paksi. "Tidak. Tidak, Ngger. Aku sama sekali tidak akan berani menyebut nama gadis kecil itu lagi." "Jadi, apa maksudmu?" bertanya Paksi. "Aku hanya ingin berceritera sedikit tentang keadaanku sepeninggalmu." "Dari mana kau tahu, bahwa kami berada di rumah ini?" "Bukankah kau mengatakan bahwa kau akan pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Aku menyusulmu ke Kembang Arum dengan harapan bahwa kau masih berada di sini." "Tetapi dari siapa kau tahu bahwa kami berada di rumah ini dan bukan rumah yang lain di Padukuhan Kembang Arum yang cukup luas ini?"
"Kami bertanya-tanya sepanjang jalan, tempat tinggal orang-orang yang baru saja datang di padukuhan ini." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang Kembang Arum sudah mengetahui, bahwa di rumah Ki Pananggungan telah tinggal orang-orang baru yang datang dari jauh. Tetapi itu tidak aneh, karena Kemuning dan Nyi Permati memang sering ikut pergi ke pasar bersama Nyi Pananggungan. "Marilah, duduklah," Ki Pananggungan mempersilahkan mereka naik ke pendapa. Bahu Langlang memandang orang itu dengan kerut di dahi. Sementara Paksipun berkata, "Ki Pananggungan ini adalah pemilik rumah ini. Paman Kemuning yang dicarinya itu." "O," Bahu Langlang mengangguk hormat. "Kami mohon maaf, bahwa kami telah menyulitkan Kemuning dan Ny Permati. Tetapi kami sudah berjanji bahwa kami tidak akan mengganggunya lagi. Apalagi setelah kami mengalami malapetaka seperti sekarang ini." "Apa yang telah terjadi?" bertanya Paksi. Namun Ki Pananggunganpun berkata, "Marilah. Silahkan naik." Mereka berempatpun kemudian telah naik ke pendapa. Dengan nada penyesalan, Bahu Langlang masih mengulangi permohonan maafnya karena tingkah lakunya terhadap Kemuning. Namun kemudian Paksipun bertanya, "Tetapi apa yang terjadi kemudian atas diri Ki Bahu Langlang?" "Peringatan yang telah kau berikan itu benar-benar terjadi, anak muda. Dua orang perempuan telah datang. Mereka mengaku dari Perguruan Goa Lampin. Tetapi karena peringatanmu, maka ketika mereka mencari Bahu Langlang, maka aku katakan bahwa Bahu Langlang tidak ada. Bahu Langlang telah pergi. Kedua orang perempuan itu telah memasuki rumahku dan melihat-lihat keadaan di dalamnya. Namun kemudian merekapun pergi sambil berpesan, agar
Bahu Langlang lain kali bersedia menemui mereka." Bahu Langlang itupun berhenti sejenak. Namun kemudian katanya selanjutnya, "Tetapi di hari berikutnya telah datang seorang laki-laki yang mengaku dari perguruan di hutan Tegal Arang, di pinggir Kali Praga. Aku juga mengatakan kepadanya, bahwa Bahu Langlang sedang pergi. Semula semua orang-orang di rumahku mengiakannya. Tetapi tiba-tiba di luar dugaan, perempuan yang aku sakiti di saat kau datang itulah yang mengatakan kepada laki-laki dari Tegal Arang itu, bahwa akulah sebenarnya Bahu Langlang. Aku memang tidak dapat menghindar lagi. Bagaimanapun juga aku merasa bahwa aku adalah seorang laki-laki. Karena itu, aku mencoba untuk melawannya. Tetapi perlawananku sama sekali tidak berarti. Aku justru berada dalam keadaan seperti ini." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Kau tentu tidak akan dapat melawan mereka. Nah, sekarang, apakah kau bermaksud mengungsi kemari?" "Tidak, Ngger. Aku hanya lewat. Aku justru ingin memperingatkanmu, bahwa orang-orang yang pernah kau sebut itu berkeliaran sampai kemana-mana. Bahkan mungkin akan ampai ke Kembang Arum ini." "Tidak, Ki Bahu Langlang," jawab Paksi. "Mereka tidak akan sampai ke Kembang Arum. Orang-orang itu mengira bahwa ndaru yang mereka duga akan membawa keberuntungan itu jatuh di sekitar lingkunganmu dan bahkan sedikit ke utara." "Ya. Nampaknya mereka memang mencari sesuatu," sahut Bahu Langlang. "Kemudian apa yang terjadi alas dirimu?" bertanya Paksi kemudian. "Aku hampir mati, Ngger. Perempuan yang mengkhianati aku itupun kemudian ikut pergi dengan laki-laki itu." Bahu Langlang berhenti sejenak. Sementara itu isterinya berkata, "Perempuan itu mendendam Kakang Bahu Langlang." "Aku dapat mengerti," jawab Paksi. "Kau telah menyakitinya dengan sewenang-wenang, Ki Bahu Langlang."
Ki Bahu Langlang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Perempuan itu telah membalas dendam. Ia merasa gembira melihat aku terbaring di halaman hampir mati. Tetapi itu bukan salahnya." "Sudahlah," berkata Paksi. "Ki Bahu Langlang sudah selamat. Lalu apa yang akan kau lakukan?" "Aku hanya ingin singgah, Ngger. Aku ingin mengungsi ke rumah salah seorang kawan baikku. Mudah-mudahan ia bersedia menerima aku." "Ki Sanak tidak usah tergesa-gesa," berkata Ki Pananggungan. "Aku sudah banyak mendengar tentang Ki Sanak dari Paksi. Nampaknya Ki Sanak benar-benar sudah berubah. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku dapat menawarkan tempat bermalam bagi Ki Sanak sebelum Ki Sanak meneruskan perjalanan." "Terima kasih, Ki Pananggungan. Bahwa Ki Pananggungan sudah memaafkan aku, aku sudah berbesar hati. Dengan demikian aku akan pergi tanpa membawa beban." "Tetapi Ki Bahu Langlang masih nampak sulit untuk berjalan. Apalagi perjalanan jauh." "Tidak, Ki Pananggungan," jawab Bahu Langlang. "Aku sudah sering mengalami kesulitan yang lebih parah dalam petualanganku. Seandainya di hari pertama ketika dua orang perempuan dari Goa Lampin itu datang, perempuan yang aku sakiti itu membuka rahasiaku, mungkin akibatnya akan lebih parah. Kedua orang perempuan itu agaknya tidak kalah garangnya dengan orang dari Tegal Arang itu. Sementara itu orang Tegal Arang itu menjadi agak lunak justru karena perempuan yang aku sakiti itu bersedia ikut bersamanya. Dengan demikian, maka laki-laki dari Tegal Arang itupun segera pergi meninggalkan rumahku. Namun ternyata aku masih hidup. Tetapi aku sadar, bahwa aku harus melarikan diri. Namaku agaknya justru menjadi beban yang tidak terusung di atas pundakku. Karena itu maka aku akan mempergunakan nama lain seperti yang Angger Paksi katakan
dan selanjutnya melupakan masa lampauku yang gelap. Aku harus mengakui, bahwa sebenarnya aku bukan apa-apa dengan kehadiran orang-orang dari beberapa perguruan yang telah mempunyai nama itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pananggunganpun berkata, "Sukurlah jika peristiwa yang terjadi pada Ki Sanak itu dapat membuka hati Ki Sanak." "Yang pertama memaksa aku mengakui bahwa aku tidak berarti apa-apa adalah Angger Paksi. Selanjutnya, peristiwa itu terjadi, sehingga rasa-rasanya aku memang tidak mempunyai pilihan lain," berkata Bahu Langlang. "Ki Sanak, aku masih ingin menawarkan, apakah Ki Sanak bersedia beristirahat di sini sebelum meneruskan perjalanan," berkata Ki Pananggungan kemudian. Tetapi Bahu Langlang itupun menyahut, "Terima kasih, Ki Pananggungan. Terima kasih. Aku akan melanjutkan perjalanan. Aku hanya sekedar singgah dan ingin mengucapkan terima kasih kepada Angger Paksi atas peringatan yang telah diberikan kepadaku sebelum ia meninggalkan rumahku. Jika aku terlalu lama di sini, maka aku akan menakut-nakuti Kemuning. Ketenangannya akan terganggu. Adalah kebetulan sekali jika Kemuning tidak tahu bahwa aku singgah kemari." "Baiklah," berkata Ki Pananggungan. "Jika Ki Sanak memang akan melanjutkan perjalanan, apa boleh buat, tetapi Kemuning tidak akan terganggu ketenangannya. Kami dapat memberitahukan kepadanya, bahwa semuanya sudah berubah." "Aku mohon diri, Ki Pananggungan. Aku akan melanjutkan perjalanan, tetapi aku masih ingin menyampaikan pesan kepada Paksi untuk berhati-hati. Nampaknya orang-orang yang berkeliaran itu memang mencari sesuatu yang mereka anggap sangat berharga. Jika mereka melihat ndaru itu jatuh di sekitar tempat itu, maka mereka tentu akan berusaha untuk menemukannya."
"Sebenarnya tidak masuk akal jika mereka mencari ndaru yang jatuh dari langit. Tetapi mereka menganggap bahwa yang jatuh itu adalah sesuatu yang sangat berharga yang cahayanya memancar seterang ndaru. Kecemerlangan cahayanya itu menunjukkan betapa tingginya nilai benda yang jatuh itu." "Apapun yang terjadi sebenarnya, namun orang-orang yang berkeliaran itu sangat berbahaya," berkata Bahu Langlang. "Angger Paksi sendiri dapat melihat sendiri apa yang terjadi pada diriku sekarang, meskipun Anggerlah yang telah memperingatkan aku lebih dahulu sebelumnya." "Terima kasih, Ki Bahu Langlang. Mudah-mudahan mereka memang tidak akan sampai di sini." Demikianlah, maka Bahu Langlang telah minta diri untuk meneruskan perjalanannya untuk menemui sahabatnya. Ki Pananggungan tidak dapat mencegahnya lagi. Bersama Paksi, Ki Pananggungan mengantar kedua orang suami istri itu sampai di regol. Bahu Langlang memang agak mengalami kesulitan untuk berjalan. Tetapi seperti dikatakannya sendiri, ia sudah terbiasa mengalami keadaan seperti itu dalam petualangannya. Bahkan kadang lebih parah lagi. Ketika Bahu Langlang menjadi semakin jauh, maka keduanyapun telah duduk. Tidak di pendapa, tetapi di serambi sebagaimana saat Bahu Langlang belum datang. Namun baru saja mereka duduk, Nyi Permati telah datang menemui Ki Pananggungan sambil berdesis, "Kemuning menjadi ketakutan. Ia tahu bahwa Bahu Langlang telah datang kemari." "Dari mana ia tahu?" bertanya Paksi. "Bukankah ia berada di belakang?" "Ketika Bahu Langlang dan isteri utamanya itu datang, Kemuning sedang berada di pintu seketheng. Dengan demikian, ia melihat keduanya memasuki pintu regol halaman." "Anak itu seharusnya sudah tidak boleh ketakutan lagi."
"Untunglah ia ikut mBokayu Pananggungan ke sawah," berkata Nyi Permati. "Kenapa?" bertanya Ki Pananggungan. "Jika di sawah ia melihat Bahu Langlang lewat, maka anak itu akan dapat lari tanpa dikendalikan lagi." Ki Pananggungan kemudian tersenyum sambil bangkit berdiri. Kepada Paksi iapun berkata, "Marilah kita temui anak itu." Paksi kemudian berdiri pula mengikut Ki Pananggungan masuk ke ruang belakang. Kemuning benar-benar menjadi ketakutan. Sambil duduk di atas amben panjang, tubuh gadis itu menjadi gemetar. Keringat dinginnya membasahi pakaiannya. "Kau tidak boleh menjadi ketakutan seperti itu, Kemuning," pamannya duduk di sebelahnya sambil tersenyum. "Kau sudah berada di rumah paman. Di sini masih ada Paksi. Apa yang kau takutkan" Sebenarnyalah Bahu Langlang memang tidak berniat buruk. Ia hanya ingin sekedar singgah menemui Paksi. Ia mengucapkan terima kasih, bahwa Paksi telah memberikan peringatan sebelumnya. Namun ia juga ingin memperingatkan Paksi apa yang dicemaskan itu benar-benar terjadi, sehingga Paksi harus berhati-hati. Hanya itu. Kemudian Bahu Langlang itu minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke rumah sahabatnya. Aku bahkan menawarkan kepadanya untuk beristirahat di sini. Tetapi Bahu Langlang itu menolaknya, ia tahu bahwa kau akan menjadi ketakutan." Kemuning tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. "Nah, untuk selanjutnya jangan lagi dibayangi oleh tingkah laku dan sikap Bahu Langlang. Ia sudah berubah dan bahkan telah meninggalkan rumahnya. Ia tidak akan berani mengganggumu lagi." "Tetapi orang itu justru sudah mengetahui rumah ini, Paman." "Itu tidak apa-apa. Ia tidak akan berbuat apa-apa lagi." "Kau dengar, Kemuning?" bertanya Nyi Permati.
"Ya, Bibi." "Percayalah kepada pamanmu," berkata Nyi Permati kemudian. Kemuning tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil. "Sudahlah. Beristirahatlah. Hari ini aku tidak pergi ke sawah. Mungkin besok aku akan melihat seberapa banyak tanah yang sudah ditanami oleh bibimu. Kalau kau mau, kau boleh ikut pergi ke sawah. Aku akan mengajak Paksi. Agaknya Paksi juga tidak akan berkeberatan." Paksi tidak menjawab lain kecuali mengangguk sambil mengiakan. Kemuningpun kemudian menjadi tenang. Ia tahu bahwa pamannya dan Paksi benar-benar akan dapat melindunginya. Karena itu, maka tubuhnya tidak akan menjadi gemetar dan keringat dinginnya tidak mengalir lebih banyak lagi. Sedikit lewat tengah hari, Nyi Pananggunganpun telah pulang. Wajahnya menjadi kehitam-hitaman oleh teriknya matahari. Tetapi Nyi Pananggungan kelihatan tetap segar setelah mencuci kaki, tangannya dan wajahnya di sungai. Nyi Permatilah yang bercerita kepadanya, bahwa Bahu Langlang telah datang ke rumah itu. "Apa yang dilakukannya?" bertanya Nyi Pananggungan. "Ia tidak berbuat apa-apa. Tubuhnya nampaknya masih kesakitan karena Bahu Langlang hampir mati berkelahi dengan orang dari Perguruan Tegal Arang." Namun kemudian dari Ki Pananggungan, isterinya mendengar cerita tentang Bahu Langlang itu lebih jelas. Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan, Ki Pananggungan yang pergi ke sawah bersama Nyi Pananggungan telah mengajak Kemuning . "Kelak kaupun harus dapat turun ke sawah," berkata Ki Pananggungan.
"Aku sudah biasa melakukannya, Bibi," jawab Kemuning. "Aku juga sering pergi ke sawah bersama ibu, sebelum tibatiba ibu dan ayah menghilang." "Bagus," berkata Nyi Pananggungan, "kau akan menjadi gadis yang terampil." Kemuning tidak menjawab. Ia berjalan saja di depan, di sebelah Nyi Pananggungan Sementara itu, Ki Pananggunganpun telah mengajak Paksi pula pergi ke sawah. Karena Kemuning tidak ada di rumah, maka Paksipun tidak perlu menunggui rumahnya. Apalagi Nyi Permati tidak menyatakan keberatan untuk berada di rumah hanya dengan para pembantu yang tinggal di rumah itu. Udara terasa segar di bulak yang luas. Matahari yang mulai memanjat langit melontarkan sinarnya yang lembut. Titik-titik embun masih menyangkut di ujung daun-daun padi yang hijau subur. Di langit sekawanan burung terbang melintas ke selatan. Segarnya udara pagi, hijaunya daun padi yang menyelimuti bulak, telah menyentuh hati Paksi. Tiba-tiba saja ia teringat gubuknya yang ditinggalkannya. Jagung dan kacang panjangnya yang tentu mendekati masanya dipetik. Paksi juga teringat pada beberapa batang pohon kelapa yang diambil niranya untuk dibuatnya menjadi gula. Jika terlalu lama pohon kelapa itu tidak dideresnya, maka ia harus mulai dari permulaan. Niranya akan menjadi sendat untuk beberapa pekan. Hari itu, untuk beberapa lama Paksi berada di sawah. Bersama Ki Pananggungan ia duduk di halaman gubuk kecil yang dibuatnya di belakang tanggul parit yang selalu mengalir di segala musim. Hampir di luar sadarnya, maka Paksipun kemudian berkata, "Aku sudah terlalu lama pergi, Ki Pananggungan." Ki Pananggungan yang sedang memperhatikan Kemuning ikut menanam benih padi berpaling. Dengan nada dalam Ki Pananggungan itu berkata, "Maksudmu?"
Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, "Ki Pananggungan, sudah saatnya aku mohon diri. Aku sudah sepekan berada di rumah Ki Pananggungan." Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, "Kau akan pergi ke mana Paksi?" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku seorang pengembara. Karena itu, maka aku ingin melanjutkan pengembaraanku." "Kemana?" bertanya Ki Pananggungan. "Aku belum dapat mengatakan. Aku akan lebih banyak menganut langkah kakiku, karena ke manapun aku pergi, agaknya tidak akan ada bedanya." "Paksi," berkata Ki Pananggungan kemudian, "bahwa kau dapat memberikan beberapa peringatan kepada Bahu Langlang tentang kehadiran banyak orang di kaki Gunung Merapi itu tentu karena kau memperhatikan mereka. Jika mereka datang untuk mencari sesuatu, maka agaknya kau menaruh perhatian pula terhadap yang mereka cari." Paksi memandang Ki Pananggungan dengan tajamnya. Namun kemudian Paksi menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Pananggungan. Jika banyak orang datang ke kaki Gunung Merapi untuk mencari sesuatu, maka aku justru akan pergi meninggalkan kaki gunung ini. Aku akan pergi ke barat, entah sampai kemana." Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Suaranya hampir tidak terdengar ketika ia bertanya, "Kau mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu?" Wajah Paksi terasa menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat menggelengkan kepalanya meskipun ia tidak ingin mengiakannya. Karena itu, maka akhirnya Paksi hanya menundukkan kepalanya saja. Terasa ada ketegangan di dalam dadanya. "Paksi," berkata Ki Pananggungan, "meskipun kau tidak mengiakannya, tetapi aku menangkap getar perasaanmu. Baiklah. Jika kau tidak berkeberatan, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."
Paksi memandang Ki Pananggungan dengan tajamnya. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan mendengarkannya, Ki Pananggungan." Ki Pananggungan itu terdiam sejenak. Namun kemudian iapun mulai berceritera, "Paksi, justru karena aku percaya kepadamu, aku ingin mengatakan kepadamu bahwa sebelum pergi meninggalkan rumahnya, ayah Kemuning pernah datang kepadaku. Ia berceritera tentang cincin istana yang hilang. Iapun berceritera bahwa siapa yang memiliki cincin itu, keturunannya akan dapat memegang kendali kekuasaan di tanah ini apapun sebabnya. Mungkin karena perkawinan dengan para bangsawan, mungkin karena sebuah perjuangan yang gigih dan tidak mengenal menyerah, mungkin karena keajaiban dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Karena itu, maka cincin itu seakan-akan telah menjadi rebutan. Banyak orang yang mencarinya, termasuk kau, Paksi." Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi Ki Pananggungan itupun dengan serta-merta menyambung, "Tetapi aku tahu bahwa kau mencari cincin itu bukan karena ketamakanmu." Paksi menarik nafas panjang, hampir saja ia mengatakan, bahwa ia mendapat perintah untuk mencari cincin itu. Tetapi niatnya diurungkannya. Sementara itu, Ki Pananggungan berkata, "Aku yakin bahwa ayah dan ibu Kemuning tentu juga sedang mencari cincin itu." "Tetapi kenapa mereka sampai hati meninggalkan Kemuning sendiri." "Tidak sendiri. Tetapi bersama Nyi Permati." "Namun yang terjadi kemudian, hampir sebuah malapetaka," berkata Paksi. "Itu agaknya tidak terpikirkan oleh orang tua Kemuning. Namun akupun tidak ingin menyalahkan Nyi Permati. Ia sangat mencintai Kemuning. Karena itu, maka ia ingin membawa Kemuning kemari sepeninggal ayah dan ibunya." Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Pananggunganpun berkata, "Sebenarnyalah Kemuning bukan
anak kedua orang yang dikenalnya sebagai ayah dan ibunya itu." Paksi mengerutkan dahinya. Dengan serta-merta iapun bertanya, "Jadi, anak siapa?" "Anak Nyi Permati itu sendiri." "O," Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru tidak dapat mengatakan sesuatu. "Anak itu tidak pernah melihat ayahnya yang sebenarnya, yang meninggal sebelum Kemuning dilahirkan." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah Ki Pananggungan tahu, siapa ayah Kemuning yang sebenarnya?" "Ya, aku tahu. Ayahnya seorang perwira prajurit. Tetapi ia gugur dalam tugasnya bersama-sama dengan orang yang harus diburunya. Seorang yang berilmu tinggi namun yang telah menyalahgunakan kemampuannya itu. Sedangkan ayah Kemuning juga seorang prajurit yang mumpuni, sehingga keduanya sampyuh, mati bersama-sama. Bedanya, tubuh ayah Kemuning mendapat perlakukan baik dan terhormat, sedangkan lawannya tidak." -ooo00dw00oooJilid 07 PAKSI mendengarkan keterangan Ki Pananggungan dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Pananggungan berkata seterusnya, "Kau tentu tahu, kenapa aku menceriterakan hal ini kepadamu. Kau adalah seorang yang telah membebaskan Kemuning dari kemungkinan yang paling buruk yang hampir saja dialaminya. Selebihnya aku percaya kepadamu, bahwa kau tidak akan mengatakan hal ini kepada Kemuning itu sendiri. Ia tidak mengenal susunan keluarga yang lain kecuali sebagaimana diketahuinya sekarang." Paksipun menjawab dengan sungguh-sungguh, "Tentu Ki Pananggungan, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya.
Aku tahu bahwa hal itu akan dapat membuatnya menjadi gelisah. Tidak hanya untuk satu bulan, tetapi tentu untuk waktu yang sangat panjang, sepanjang umur Kemuning sendiri." "Nah, sebenarnyalah aku masih mempunyai maksud lain bahwa aku berceritera tentang Kemuning. Jika pada suatu saat kau bertemu dengan tidak sengaja dengan kedua orang tua Kemuning, sementara kedua orang itu melakukan tindakan yang tidak terpuji, Kemuning jangan kau kaitkan dengan tingkah laku kedua orang yang dianggapnya orang tuanya itu. Karena sebenarnyalah aku tahu bahwa kedua orang tua Kemuning itu, kadang-kadang memang terdorong untuk melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain." "Tetapi aku belum pernah melihat orang tua itu, Ki Pananggungan." "Kau mungkin akan melihatnya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk-angguk pula sambil berkata, "Aku akan mengingatnya jika aku bertemu sengaja atau tidak sengaja. Tetapi aku belum mengenal ciri-ciri kedua orang tua Kemuning itu." Ki Pananggunganpun kemudian telah menceriterakan ciriciri dari kedua orang suami isteri itu, sehingga jika Paksi bertemu dengan mereka, maka setidak-tidaknya ia akan dapat menduga, bahwa keduanya adalah orang yang disebut sebagai orang tua Kemuning. Namun Paksi itupun bertanya pula, "Tetapi Ki Pananggungan, apakah Kemuning mengetahui bahwa kedua orang yang dianggap orang tuanya itu sering melakukan tindakan-tindakan yang menurut tatanan kehidupan dianggap tidak baik?" "Aku kira tidak, Paksi." "Bagaimana dengan Nyi Permati?" "Aku kira Nyi Permati sudah mengetahuinya. Tetapi sikap kedua orang yang dianggap orang tua Kemuning itu di rumah cukup pantas. Di rumah mereka tidak menunjukkan sifat-
sifatnya yang kurang baik. Ia mengajari Kemuning untuk menjadi orang yang baik, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Sehingga sifat-sifatnya yang tercela itu tidak nampak sama sekali. Tetapi jika keduanya sudah keluar dari rumah mereka dan apalagi menempuh petualangan panjang seperti sekarang ini, maka sifat-sifat itu akan nampak dimanamana." "Tetapi apakah orang tua Kemuning itu berilmu tinggi?" "Ya. Tetapi aku yakin, bahwa kemampuan mereka tidak akan dapat mengimbangi ilmumu, Ngger. Apalagi jika gejolak jiwamu sudah mapan dan dapat kau kendalikan, sehingga tidak akan terjadi bahwa ilmu itu sudah kau lontarkan pada saatnya kesiapan wadagmu belum sampai ke puncak." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih atas peringatan ini, Ki Pananggungan." "Jika pada suatu saat kau bertemu dengan gurumu, cobalah kau perbincangkan hal itu. Namun agaknya tanpa orang lain kau akan mampu melakukannya, membuat keseimbangan itu." Sementara itu, mataharipun menjadi semakin tinggi. Paksi mengulangi menyampaikan niatnya untuk mohon diri. "Berhati-hatilah. Besok kau akan merambah jalan yang terjal, berbatu-batu runcing, dan beronak duri-duri dengan kaki telanjang. Mungkin kau akan menginjak tajamnya batu padas, atau menginjak ujung eri kemarung atau tunggak bambu yang patah." "Aku mohon doa restu, Ki Pananggungan." "Tetapi aku tidak akan mencemaskanmu. Ilmumu dapat dipercaya, apalagi bagi anak muda seumurmu. Dalam waktu singkat ilmumu akan berkembang semakin tinggi, sehingga orang-orang setua aku ini akan segera kau tinggalkan. Bahkan pada suatu saat kau akan menjadi orang yang sulit untuk dicari duanya." "Ki Pananggungan memuji aku. Tetapi jika aku tidak kuat menyangga pujian, maka aku justru akan runtuh."
"Aku tidak memuji. Aku mengatakan apa yang sebenarnya. Tetapi kau tidak boleh memberi arti yang salah. Kau tidak boleh menjadi sombong dan besar kepala. Jika hal itu terjadi, maka kau benar-benar akan runtuh." Paksi mengangguk. Ia sama sekali tidak merasa tersinggung. Ki Pananggungan berkata dengan jujur kepadanya. Karena itu, Paksi itu justru menjawab, "Aku akan selalu mengingatnya, Ki Pananggungan." "Nah, aku tidak akan menahanmu lagi. Orang lain justru datang ke kaki Gunung Merapi, namun akupun yakin, bahwa yang mereka cari itu tidak berada di sini. Kaupun jangan berharap untuk dapat menemukan cincin itu. Bukankah kau dapat memperhitungkan kemungkinan seperti itu" Bagaimana seseorang dapat menemukan cincin yang kecil itu di luasnya tanah ini" Mungkin memang terjadi satu kebetulan. Tetapi kau tidak perlu terlalu berharap. Menurunkan penguasa tanah ini bukannya satu-satunya kebahagiaan yang dapat menyertai hidup kita." Paksi mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Pananggungan, bahwa masih terdapat banyak kemungkinan untuk menemukan kebahagiaan lahir dan batin. Hari itu adalah hari terakhir Paksi berada di rumah Ki Pananggungan. Menjelang malam, Paksi duduk bersama seluruh keluarga Ki Pananggungan, termasuk Nyi Permati dan Kemuning. Kepada mereka Paksi minta diri, bahwa esok pagi ia akan meninggalkan rumah itu. Terasa sesuatu bergetar di jantung Kemuning. Serasa sesuatu akan terlepas dari ikatannya. Tetapi Kemuning masih terlalu muda untuk dapat mengatakannya. Dalam pada itu, dengan suara yang berat Nyi Permatipun berkata, "Aku tidak dapat membalas kebaikan hatimu, Ngger. Demikian pula Kemuning. "Hanya Yang Maha Agunglah yang akan memberikan imbalan sepantasnya kepadamu." "Apa yang aku lakukan tidak lebih dari apa yang seharusnya aku lakukan, Bibi," jawab Paksi. "Karena itu, lupakan saja."
"Kau juga akan melupakan kami?" bertanya Nyi Permati. "Tidak," jawab Paksi dengan serta-merta. "Aku akan selalu ingat kepada keluarga disini. Bukankah aku pernah tinggal disini meskipun hanya beberapa hari?" "Sukurlah jika demikian," berkata Ki Pananggungan. "Aku harap pada suatu saat kau akan menginjak halaman rumah ini lagi, Paksi." "Aku akan berusaha untuk datang lagi ke rumah ini, Ki Pananggungan." "Terima kasih. Kami akan selalu menunggu kehadiranmu." Rasa-rasanya Kemuningpun akan berpesan agar Paksi sering datang untuk menengok rumah itu. Tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dengan bibirnya. Tetapi ketika Paksi sekilas memandang matanya, rasa-rasanya harapan Kemuning itu sudah terucapkan. Malam itu Paksi berbaring di dalam biliknya, di gandok rumah Ki Pananggungan dengan gelisah. Ada dua dorongan yang kuat yang saling bertentangan menggetar di hatinya. Ada kerinduan terhadap gubuk kecilnya serta lingkungannya. Tetapi rumah Ki Pananggungan rasa-rasanya mempunyai jarijari yang mencengkamnya. "Mata Kemuning itu demikian jernihnya," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, "Umurku baru delapan belas. Sedangkan gadis kecil itu umurnya tentu baru sekitar lima belas." Karena itu, maka Paksipun berusaha untuk menghapus perasaannya itu. Ia masih terlalu muda untuk menambatkan hatinya di pelabuhan cinta. Lewat tengah malam Paksi baru dapat tidur. Tetapi juga tidak terlalu lama. Ayam jantan yang berkokok di dini hari telah membangunkannya. Paksipun kemudian pergi ke pakiwan. Mandi dan berbenah diri. Ia benar-benar akan meninggalkan rumah itu di saat matahari terbit nanti. Sebelum Paksi berangkat, Nyi Pananggungan masih sempat menyediakan minuman hangat dan makan pagi seadanya.
Sekali lagi seisi rumah itu berharap agar Paksi sering datang mengunjungi rumah itu. Menjelang matahari terbit, Paksi sudah siap untuk berangkat. Sambil menjinjing tongkat kayunya, Paksi berdiri di pintu regol. Ki Pananggungan, Nyi Pananggungan, Nyi Permati dan Kemuning berdiri berjajar untuk melepasnya. Adalah di luar dugaan, bahwa Kemuning tiba-tiba berdesis lirih, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum, "Itu adalah kewajibanku bagi sesama, Kemuning." Kemuning sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup rapat. Demikianlah, maka sejenak kemudian Paksipun telah meninggalkan rumah itu. Ia menempuh perjalanan yang sebaliknya dari yang pernah dilakukannya untuk mengantar Kemuning ke Padukuhan Kembang Arum. Sebagai seorang pengembara, maka Paksi dapat mengenali dengan baik jalan yang telah ditempuhnya, meskipun dilakukan di malam hari. Dengan langkah-langkah langkah panjang Paksi menyusuri bulak-bulak yang masih basah oleh embun. Di ujung daun padi, butir-butir air yang menggantung berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi. Paksi mengayunkan tongkat kayunya. Di pepohonan burung-burung bernyanyi tumpang tindih berebut nada tinggi. Perjalanan Paksi memang menjadi jauh lebih cepat dari perjalanannya bersama Kemuning dan Nyi Permati. Kecuali kedua orang perempuan itu menjadi letih dan kakinya terasa pedih, gelapnya malam semakin menghambat langkah mereka. Namun, sendiri, Paksi rasa-rasanya dapat berlenggang tanpa beban apapun. Bulak demi bulak sudah dilaluinya. Sungai yang harus diseberangi dan jalan menyusur pinggir hutan. Tidak ada yang menghambat perjalanan Paksi. Di perjalanan kembali itupun Paksi telah memilih jalan melewati rumah Bahu Langlang. Tentu sudah berubah
sepeninggal Bahu Langlang. Ia tidak tahu, siapakah yang kemudian menguasai atau yang diserahi untuk memelihara rumah yang terhitung besar itu. Mataharipun memanjat semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin panas. Ketika matahari sampai di puncak langit, maka Paksi telah berada di depan regol halaman rumah Bahu Langlang. Halaman rumah itu nampak sepi. Lewat pintu regol yang terbuka, Paksi dapat melihat halaman dan pendapa rumah yang sepi. Ia tidak melihat seseorang. Tidak pula ada yang menjemur gabah. Tetapi Paksi masih mendengar lenguh seekor lembu di dalam lingkungan dinding rumah Bahu Langlang. Tetapi Paksi tidak ingin singgah. Jika ada orang yang mengawasi rumah itu dengan diam-diam dan tersembunyi, maka kehadirannya akan dapat menarik perhatian. Sementara itu Paksi masih belum ingin bersentuhan dengan orang-orang yang datang dari beberapa perguruan yang sudah mempunyai nama. Karena itu, maka Paksipun telah berjalan terus. Dari rumah Bahu Langlang, Paksi berjalan menuju ke pasar. Di pasar itulah ia bertemu dengan Nyi Permati yang ingin menjual kain luriknya untuk memberi makan Kemuning. Setidak-tidaknya untuk menunda derita yang akan dialami gadis itu. Tetapi ternyata Yang Maha Agung telah membebaskannya dari tangan Bahu Langlang dengan lantaran tangan Paksi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bersukur, bahwa Yang Maha Agung telah mempergunakannya membebaskan gadis yang masih sangat muda itu dari tangan Bahu Langlang yang garang. Ketika Paksi sampai di pasar itu, maka pasar telah menjadi sepi. Tidak lagi ada orang yang berjual beli. Tidak ada pedati yang akan mengangkut kelapa. Yang ada di pasar itu hanya dua orang yang sedang membersihkan sampah dengan sapu lidi yang bertangkai panjang.
Paksi memandang berkeliling. Sebuah kedai masih separo terbuka. Dua orang sedang sibuk membenahinya. Namun ketika Paksi mendekat, pemilik kedai itu bertanya, "Apakah kau akan singgah, anak muda?" "Bukankah kedai ini sudah akan ditutup?" bertanya Paksi. "Aku masih menunggumu. Silahkan. Masih ada nasi, pecel lele dan ayung-ayung." Paksi mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan singgah." Paksipun kemudian telah masuk ke dalam kedai itu. Pintunya kembali terbuka lebar. Tetapi beberapa jenis makanan yang tinggal sedikit memang sudah dibenahi, dimasukkan ke dalam tenong bambu dan siap untuk dibawa pulang. Namun ketika Paksi duduk di sebuah lincak panjang, tenong itu telah dibuka kembali dan diletakkan di sebuah geledeg rendah di depan Paksi duduk. "Pasar itu sudah sepi," desis Paksi. "Matahari sudah turun ke barat," jawab pemilik kedai. Paksi mengangguk-angguk. Pembantu di kedai itupun telah menghidangkan semangkuk minuman. "Wedang sere," desis pemilik kedai itu. Paksi mengangguk sambil berdesis, "Terima kasih." "Anak muda akan makan?" bertanya pemilik kedai itu pula. "Ya," Paksi mengangguk. Sambil menghidangkan nasi dan lauk-pauknya, pemilik kedai itu berkata, "Pasar memang agak sepi hari ini. Bahkan ketika matahari sampai ke puncak, para pedagang sudah menyimpan dagangannya. Para pedagang kelapa pun meninggalkan pasar ini lebih awal." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Ada orang-orang yang kami anggap asing berkeliaran kemarin. Kija, yang oleh Ki Bekel mendapat tugas untuk menjaga ketertiban pasar ini hampir mati dianiaya." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Tidak apa-apa. Kija hanya bertanya, siapakah mereka itu. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka telah memukulnya. Sebagai seorang yang diserahi tanggung jawab oleh Ki Bekel,
maka Kija berusaha menangkap orang itu. Tetapi ia justru menjadi korban." "Kija dikeroyok oleh beberapa orang?" "Tidak. Ia berkelahi melawan seorang di antara mereka. Tetapi ternyata Kija sama sekali tidak berdaya." "Kasihan," desis Paksi. "Lalu bagaimana keadaannya sekarang ini" Apakah ia menjadi berangsur baik atau sebaliknya?" "Seorang dukun yang pandai tengah mengobatinya. Dukun itu mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipergunakan untuk mengobati bagian luarnya, tetapi juga membuat obat-obat yang diminumnya." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Jika ia nampak memperhatikan persoalan itu, maka pemilik kedai itu justru akan merasakan sesuatu yang lain padanya, sehingga ia akan menjadi semakin ingin lebih banyak mengetahui tentang dirinya atau bahkan dirinya akan dihitungnya sebagai orang-orang asing itu pula. Tetapi di luar dugaan Paksi, pemilik kedai itulah yang kemudian berceritera atas kehendaknya sendiri, "Tetapi sebenarnya bukan hanya kemarin saja pasar ini didatangi oleh orang-orang yang tidak dikenal. Tidak seperti kau, anak muda Meskipun aku belum pernah melihatmu sebelumnya, tetapi kau nampak wajar seperti orang lain. Bedanya, kau yang masih muda itu membawa tongkat. Jarang anak-anak muda membawa tongkat kemana-mana. Hanya orang-orang tua yang susah berjalan yang membawa tongkat." "Tongkat ini tongkat wasiat, Ki Sanak," sahut Paksi sambil tersenyum. "Tongkat wasiat?" pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. "Maksudku, tongkat ini tongkat kakekku yang karena sudah terlalu tua, sehingga susah berjalan. Ketika kakekku meninggal, maka tongkat ini selalu aku bawa kemana-mana. Kakek adalah orang yang sangat baik kepadaku."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira tongkat wasiatmu adalah tongkat yang memiliki kekuatan yang luar biasa." "Ah, tidak Ki Sanak. Bagiku, dengan membawa tongkat ini, rasa-rasanya aku selalu dekat dengan kakekku yang sudah tidak ada lagi itu." Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, benda-benda yang khusus memang dapat menjadi lantaran untuk merasa selalu dekat dengan pemiliknya." Paksi mengangguk-angguk pula. Namun kemudian mulutnya sibuk mengunyah sehingga ia tidak berkata apa-apa lagi. Pemilik kedai itu tidak mengganggunya pula. Dibiarkannya anak muda itu menikmati makan dan minum di kedainya. Namun dalam pada itu, apa yang terjadi di pasar itu merupakan pertanda bagi Paksi, bahwa orang-orang dari berbagai perguruan itu telah semakin tersebar. Bukan saja nama Bahu Langlang yang telah memancing mereka, tetapi mereka memang telah merayap kemana-mana untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik yang mereka perkirakan jatuh di sekitar tempat itu setelah terbang mengarungi langit dengan memancarkan cahayanya yang terang seperti cahaya ndaru. "Satu pertanda buruk bagi daerah ini," berkata Paksi di dalam hatinya. Tetapi Paksipun telah teringat pula kepada rumah gubuknya. Jika orang-orang yang mencari cincin itu berkeliaran semakin jauh, maka ada kemungkinan satu dua orang sampai ke gubuknya. Jika demikian, maka mungkin sekali mereka akan melakukan sesuatu yang dapat merugikannya. Mungkin gubuknya, perabot-perabot dapurnya atau mungkin tanamannya akan rusak. Karena itu, maka rasa-rasanya Paksi ingin segera sampai ke rumah gubuknya yang masih terhitung jauh. Demikianlah, maka Paksipun kemudian telah melanjutkan perjalanannya. Keinginannya untuk segera sampai di
gubuknya, telah mendorongnya untuk berjalan terus, meskipun kemudian matahari tenggelam ditelan cakrawala. Paksi yang memiliki ketahanan tubuh yang tinggi itu melangkah di dalam kegelapan. Ia tidak berjalan terlalu cepat. Tetapi seakan-akan tidak berhenti sama sekali. Bulak demi bulak dilewatinya. Ia berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan. Dalam keadaan yang menggelisahkan akan dapat timbul salah paham dengan para peronda. Karena itu, maka kadang-kadang Paksi berjalan di atas pematang, tanggul, parit atau menyelusuri sungai-sungai kecil. Tetapi suatu ketika Paksi memang ingin berjalan lewat sebuah padukuhan yang besar. Mungkin ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia sudah menyiapkan jawaban-jawaban jika para peronda menghentikannya dan bertanya banyak hal tentang dirinya. Tetapi ternyata di padukuhan itu tidak terdapat seorangpun yang meronda. Gardu-gardu nampak sepi. Bahkan oncorpun tidak dinyalakan. Paksi mencoba untuk mengerti, apa yang telah terjadi. Agaknya orang-orang asing itupun telah mulai berkeliaran di padukuhan itu, siang atau malam. Karena itu, maka orangorang padukuhan itu, terutama di malam hari, tidak ada yang berani keluar dari rumahnya. Dengan demikian, maka laki-laki di padukuhan itu tidak pula berani pergi ke gardu. "Tentu pernah terjadi sesuatu yang membuat para penghuni padukuhan ini ketakutan," berkata Paksi di dalam hatinya. Di malam yang sepi itu Paksi melangkah lewat di depan regol yang satu ke regol yang lain. Semuanya tertutup rapat. Dari celah-celah dinding rumah Paksi melihat cahaya lampu minyak yang suram. Tetapi rumah-rumah di pinggir jalan itu rasa-rasanya telah membeku. Mungkin satu dua penghuninya masih belum tidur. Namun padukuhan itu telah benar-benar dicengkam oleh kesepian.
Paksi berjalan terus. Ia tidak mau mengusik kediaman padukuhan itu. Ketika ia melewati sebuah gardu, maka ia melihat kentongan yang tergantung pada emper gardu itu. Tetapi kentongan itu seakan akan sedang beristirahat panjang dari tugas-tugas yang harus dipikulnya. Ketika Paksi sempat meraba kentongan itu, maka jari-jari tangannya merasakan debu yang tebal melekat pada kentongan itu. "Sudah beberapa lama kentongan ini tidak dibunyikan?" bertanya Paksi kepada diri sendiri. Tetapi Paksi tidak dapat menyalahkan para penghuni padukuhan itu. Mereka memang tidak akan dapat melawan orang-orang dari beberapa perguruan yang berkeliaran di padukuhan itu. Sehingga karena itu, maka jalan yang dapat mereka tempuh adalah sekedar menghindar, menutup pintu rumah dan regol halaman. Paksi melangkah terus. Angin malam yang dingin mengusap wajahnya yang berkerut. Di sebelah menyebelah jalan, pepohonan berdiri tegak dengan kokohnya. Daundaunnya bergerak lembut disentuh angin. Paksi berjalan terus menapak di atas jalan padukuhan yang gelap dan sepi. Paksi benar-benar berjalan terus malam itu. Hanya sekalisekali ia berhenti sejenak, duduk sambil memandangi langit yang ditaburi bintang-bintang yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi Paksi tidak membiarkan angan-angannya menjadi ngelangut melihat luasnya langit. Sekali-sekali Paksi melihat bintang yang meluncur menembus lengkung langit. Kecil saja dan sinarnya tidak sampai menguak malam seperti ndaru. Seleret, lalu hilang lagi. "Apa sebenarnya yang ada di balik birunya langit itu?" bertanya Paksi kepada diri sendiri. Tetapi Paksi tidak pernah menemukan jawabnya. Yang ia tahu adalah sifat dari beberapa bintang. Ki Marta Brewok pernah memberitahukan kepadanya tentang beberapa macam bintang yang ada di langit. Ada di antara bintang-bintang itu
yang dapat menunjukkan arah, musim dan bahkan petunjuk bagi petani untuk mengerjakan sawahnya. Alangkah besarnya ciptaan Yang Maha Agung. Namun Paksi tidak terlalu lama merenungi langit. Iapun kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanan. Rasa-rasanya ia ingin segera sampai ke gubuk kecilnya. Ketahanan tubuh Paksi memang sangat tinggi. Ia berjalan terus memanjat kaki Gunung Merapi setelah melewati pasar yang sering dikunjungi. Tetapi pasar itu sepi. Bahkan tempat pemberhentian pedati dan penginapan dari para pedagang yang mencari dan menjual dagangannya di pasar itu nampak sepi pula, meskipun ada juga satu dua pedati di halaman yang becek berkubangan dan kotor. Para pemilik pedati itu mencuci pedatinya di halaman itu juga kemudian membersihkan sisasisa kotoran yang ada di dalamnya dan membuangnya di sembarang tempat. Sementara itu, halaman itu sendiri tidak terlalu sering dibersihkan. Meskipun angin malam yang dingin terasa berhembus semakin deras di kaki gunung, tetapi pakaian Paksi menjadi basah oleh keringat. Semakin dekat dengan gubuk kecilnya, Paksi justru berjalan semakin cepat, sementara malam menjadi semakin dalam. Bahkan telah melampaui pertengahannya. Dari padukuhan-padukuhan terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Padukuhan-padukuhan yang telah dikenal dengan baik oleh Paksi. Semakin tinggi Paksi memanjat kaki gunung, maka udarapun terasa menjadi semakin dingin. Tetapi Paksi sudah terbiasa dengan dinginnya udara pegunungan. Apalagi malam itu ia telah berjalan panjang, sehingga keringatnya membuat tubuhnya menjadi hangat Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia memasuki jalan setapak. Semakin jauh, jalan itu menjadi semakin sempit dan berbatu-batu padas yang sekali-sekali terasa menusuk telapak kaki. Jalan yang jarang sekali disentuh oleh kaki manusia.
Setelah melewati gumuk-gumuk kecil, maka Paksipun menjadi semakin dekat dengan gubuk kecilnya. Rasa-rasanya malam menjadi sangat gelap. Tetapi pandangan mata Paksi yang sangat tajam dapat melihat benda-benda yang ada di sekitarnya meskipun berada di kegelapan. Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia melangkah mendekati gubuknya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia melihat cahaya di dalam gubuk kecilnya. Cahaya lampu minyak sebagaimana ia sering menyalakannya. Paksi berhenti beberapa langkah dari gubuknya. Ia mulai menduga-duga, siapakah yang telah menyalakan lampu minyak itu. "Mungkin Guru," desis Paksi di dalam hatinya. Namun akhirnya Paksipun telah memaksa dirinya untuk mendekati gubuk itu. Paksi terkejut ketika ia mendengar suara seseorang dari dalam gubuk itu, "Marilah. Jangan berhenti di situ. Pintunya tidak aku selarak." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian didorongnya pintu gubuknya sehingga terbuka. Paksi memang terkejut ketika ia melihat seorang yang masih terhitung muda duduk di dalam gubuknya. Di atas ajugajug, lampu minyaknya menyala menerangi ruangan yang tidak terlalu luas itu. "Siapakah kau?" bertanya Paksi kepada orang yang duduk di dalam gubuknya itu. Orang itu dengan pandangan mata yang tajam memandang Paksi yang berdiri di depan pintu. Dengan tenangnya iapun mempersilahkan Paksi, "Masuklah. Duduklah." "Siapakah kau?" Paksi mengulang. "Duduklah. Kita akan berbicara." Suara orang itu mengandung wibawa yang besar, sehingga Paksi seakan-akan telah dicengkamnya tanpa dapat menolak.
Perlahan-lahan Paksi melangkah memasuki gubuk itu. Ia menjadi sangat berhati-hati. Ia belum mengenal orang itu. Karena itu, Paksipun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi menilik wajah dan pandangan matanya, orang yang masih terhitung muda itu bukan orang yang licik. Ketika Paksi duduk dua langkah di hadapannya orang itu beringsut setapak. "Siapakah kau, Ki Sanak?" bertanya orang itu. "Akulah yang berhak bertanya kepadamu. Rumah ini rumahku." "O," orang itu mengerutkan dahinya. "Jadi rumah ini rumahmu" Maaf, aku tidak tahu. Dalam pengembaraanku aku menemukan rumah ini kosong, sementara ada beberapa macam perkakas dapur yang tertata rapi. Rumah ini sangat menarik bagiku. Aku menunggu pemiliknya sampai seharisemalam. Tetapi tidak ada seorangpun yang datang. Bahkan sampai dua hari, tiga hari. Karena itu, akulah yang kemudian merasa diriku menjadi tuan rumah di gubuk ini." "Jadi, siapakah kau?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata, "Namaku Wijang. Aku seorang pengembara yang menjelajahi satu tempat ke tempat yang lain." "Apakah yang kau cari dalam penjelajahanmu itu?" Orang yang menyebut dirinya Wijang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tidak ada." Tetapi tiba-tiba saja Paksi menebak, "Kau juga mencari sebentuk cincin bermata tiga butir batu akik?" Orang itu nampak terkejut. Dipandanginya Paksi dengan kerut di dahinya. Tetapi yang meloncat dari mulutnya adalah sebuah pertanyaan, "Siapa namamu?" "Namaku Paksi." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi cincin itu ada padamu sekarang?"
"Aku sama sekali tidak tertarik pada cincin itu," jawab Paksi. "Jangan ingkar," berkata orang yang mengaku bernama Wijang itu. "Cincin itu tentu ada padamu." Paksilah yang kemudian memandang wajah orang yang mengaku bernama Wijang itu. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap. Wajahnya bersih dan bahkan seakan-akan memancarkan sinar. Kedua matanya yang tajam, tetapi jernih itu nampak berkilat-kilat di bawah cahaya lampu minyak di ajug-ajug. "Ada beberapa orang yang berkeliaran di sekitar tempat ini untuk mencari sebuah cincin," berkata Paksi, "tentu termasuk kau, Ki Sanak." "Namaku Wijang," desis orang itu. "Ya," Paksi mengangguk-angguk, "tetapi aku sendiri tidak merasa memerlukannya." "Kau bohong. Menilik lingkungan kecilmu, kau tentu sudah lama berada di sini. Kau tentu tidak hanya sekali ini saja siap memanen jagung dan bahkan padi gaga. Tanaman-tanaman yang lain memastikan keyakinanku itu." "Ya. Aku sudah setahun disini. Tetapi aku sama sekali tidak menginginkan cincin itu. Kehadiranku disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha untuk menemukan cincin itu. Aku baru mendengar bahwa ada sebuah cincin yang sedang diburu, justru dari orang-orang yang berdatangan disini." "Kau dapat berkata apa saja. Tetapi aku yakin, kaulah yang menyimpan cincin itu." "Terserah kepadamu. Tetapi aku melihat cincin itupun belum pernah. Apalagi memilikinya." "Kebetulan sekali kau datang, Paksi," berkata orang itu. "Kau tidak usah ingkar. Berikan cincin itu kepadaku. Kemudian aku tidak akan mengganggumu lagi." "Aku katakan sekali lagi Wijang, aku tidak membawa cincin itu." "Jika kau tidak mau menyerahkan cincin itu, maka aku akan mengambil sendiri."
"Dimana akan kau ambil?" "Aku akan mencarinya. Tentu ada padamu. Mungkin di kantong ikat pinggangmu, mungkin di kampilmu atau justru kau sembunyikan di dalam tongkatmu itu. He, kenapa kau membawa tongkat?" Dahi Paksi itupun berkerut. Menilik ujudnya, orang itu tentu berbeda dengan orang-orang yang sering berkeliaran untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu. Seandainya orang ini juga mencarinya, tentu tidak dengan cara sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dari berbagai perguruan itu. Dalam pada itu, maka orang itupun kemudian berkata, "Paksi. Sebaiknya kita berbaik hati, supaya kita tidak usah berselisih. Berikan saja cincin itu kepadaku. Mungkin kau memerlukan imbalan yang pantas. Aku akan berusaha memenuhinya." "Wijang," berkata Paksi, "aku tidak perlu mengatakan dua tiga kali lagi. Cincin itu tidak ada padaku." Tetapi orang yang menyebut dirinya Wijang itu berkata, "Jangan mempersulit dirimu sendiri." Paksipun kemudian bangkit berdiri. Ia melangkah mendekati lampu minyaknya untuk menarik sumbunya yang sudah hampir terbenam ke dalam minyak sehingga nyalanya terlalu kecil. Kemudian sambil berdiri di sebelah lampu minyak itu ia berkata, "Aku atau kau yang mempersulit diri." Wijang memandang Paksi dengan kerut di kening. Namun dengan demikian, maka Wijang itu telah menghadap ke arah lampu minyak. Jika semula wajahnya tidak nampak jelas karena ia tidak menghadap ke arah lampu, maka kemudian Paksi dapat melihat wajah itu. Apalagi nyala lampunya telah dibesarkannya. Sebenarnyalah Paksi terkejut. Ia merasa sudah pernah mengenal wajah itu meskipun ia belum pernah mengenalnya. Sebagai anak seorang tumenggung, maka sekali-sekali Paksi pernah berada di lingkungan istana.
Ketika di istana diselenggarakan satu upacara, ia pernah mendapat kesempatan untuk ikut bersama ayahnya. Beberapa orang kawannya juga ikut bersama ayah mereka. Tetapi anak para tumenggung itu tidak diijinkan masuk ke paseban. Mereka berada di halaman dalam istana sambil menunggu ayah mereka yang berada di paseban. Anak-anak itu akan menyaksikan keramaian yang khusus diselenggarakan. Pada saat itu Paksi melihat seorang anak muda menunggang kuda lewat di halaman dalam istana tanpa harus turun dari kudanya. Menurut ingatan Paksi, anak muda yang naik kuda itulah orang yang berada di dalam gubuknya itu. Tetapi satu hal yang Paksi tahu, bahwa orang itu tentu tidak mengenalnya. Meskipun Paksi yakin bahwa ia tidak keliru, namun ia purapura tidak mengenalinya. Karena itu, maka iapun kembali duduk. Meskipun demikian ia berusaha untuk sedikit membelakangi lampu minyak, sehingga orang yang ada di dalam gubuknya itu lebih banyak menghadap ke arah lampu minyak. Semakin lama Paksi memandanginya, maka iapun menjadi semakin yakin. Bahwa orang yang berkuda di halaman istana itulah orang yang sekarang duduk di hadapannya itu. Untuk beberapa saat Paksi berdiam diri. Orang itulah yang kemudian berkata, "Paksi. Aku memberimu kesempatan untuk berpikir. Besok pagi-pagi aku ingin mendengar, apakah kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak." "Jika tidak," jawab Paksi. "Sudah aku katakan, aku akan mengambilnya sendiri." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang itupun berkata, "Baiklah. Karena rumah ini rumahmu, maka aku akan keluar. Aku akan tidur di luar sambil menunggu matahari terbit. Aku akan mendengar jawabmu tentang cincin itu."
"Sebenarnya kau tidak usah menunggu sampai esok. Sekarang aku sudah dapat memberi jawaban. Cincin itu tidak ada padaku." Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Kau masih didera oleh gejolak perasaanmu. Kau masih terlalu muda untuk dapat menimbang langkah-langkahmu dengan jernih. Karena itu, aku menunggu sampai esok." Tetapi ketika orang itu bangkit, Paksipun bertanya, "Kau akan pergi ke mana?" "Aku akan tidur di luar," jawab orang itu. "Udara dingin di sini. Tidur sajalah di dalam. Aku tidak akan membunuhmu selagi kau tidur." Orang itu tertawa. Katanya, "Aku percaya kepadamu, Paksi. Tetapi jika aku tidur di dalam, maka gubukmu ini akan terasa terlalu sempit." "Tidak," jawab Paksi. "Aku akan mengatur perkakas dapur itu, agar ruangan ini dapat kita pergunakan untuk tidur berdua." "Kau tidak takut bahwa akulah yang membunuhmu?" bertanya orang yang mengaku bernama Wijang itu. "Tidak. Kau tidak akan melakukannya." "Ternyata kau telah membuat satu kesalahan yang besar. Kau terlalu percaya kepada orang yang sebenarnya belum kau kenal. Dari mana kau mendapatkan satu keyakinan bahwa aku tidak akan membunuhmu?" "Aku mencoba untuk menilai ujud, sikap dan tingkah lakumu." "Ujud seseorang tidak selalu mencerminkan sikap, tingkah laku dan wataknya, karena sikap dan tingkah laku itu dapat dibuat-buat, justru sangat bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya." "Tetapi kenapa kau juga mempercayai aku, sedangkan kau juga belum mengenal aku yang sebenarnya." "Menurut nalarku, aku percaya kepadamu. Tetapi aku sadar, bahwa aku harus berhati-hati. Mungkin kau termasuk orang yang berpura-pura dapat dipercaya. Karena itu, aku
akan tidur di luar. Kau tidur di dalam. Pintu harus kau selarak, sehingga aku tidak akan dapat masuk dengan diam-diam." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegah orang itu lagi ketika ia melangkah keluar pintu gubuknya. Demikianlah, maka orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu benar-benar tidur di luar gubuk dalam cuaca yang dingin. Sedang Paksipun telah menyelarak pintu. Bagaimanapun juga, ia memang harus berhati-hati. Seperti yang dikatakan sendiri oleh orang yang datang ke gubuknya itu, ia memang belum mengenal orang itu seutuhnya. Meskipun orang itu benar yang dilihatnya berkuda di halaman istana, namun ia tidak tahu pasti tentang sifat dan wataknya. Malam itu Paksi tidur dalam gelap. Ia memadamkan lampu minyaknya, sehingga rasa-rasanya di dalam gubuk itu lebih gelap daripada di luarnya. Tetapi mata Paksi yang tajam, apalagi jika ia mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, akan mampu melihat dalam kegelapan tidak terlalu jauh berbeda dengan penglihatannya di dalam terang. Malam itu Paksi dapat tidur nyenyak. Pendengarannya yang tajam akan membangunkannya jika orang itu membuka pintu gubuknya dengan paksa, atau bahkan merusak dindingnya. Sebenarnyalah malam itu tidak terjadi sesuatu. Orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu tidak berbuat curang sebagaimana Paksi juga tetap berada di gubuknya. Menjelang pagi, seperti biasanya Paksi telah bangun. Setelah menyalakan lampu minyaknya, maka iapun membuka pintu gubuknya dan melangkah keluar. Langit masih nampak hitam. Tetapi suara burung liar telah menggema di hutan-hutan lereng pegunungan. Seperti biasanya pula Paksipun menyalakan perapian, menjerang air sebelum langit menjadi terang. Ketika ia melihat simpanan berasnya, ternyata sisanya masih tetap utuh. Karena itu, maka iapun telah mencuci beras pula dan menanak nasi.
Sementara itu, maka Paksipun telah pergi ke sungai untuk mandi dan kemudian berbenah diri. Ketika cahaya fajar nampak di langit, maka Paksipun telah memadamkan perapiannya. Nasi sudah masak dan airpun sudah mendidih. Paksi telah membuat wedang jahe yang dapat menghangatkan tubuhnya di dinginnya udara pegunungan. Ketika kemudian Paksi keluar lagi dari gubuknya, ia melihat orang yang menyebut dirinya Wijang itu sudah duduk di atas sebuah batu yang besar. Di batu itu pulalah, Ki Marta Brewok sering duduk jika ia mengunjungi Paksi. "Kau ternyata termasuk anak muda yang rajin. Kau bangun pagi-pagi sekali. Melakukan segala kewajibanmu dengan baik." "Dimana kau tidur semalam?" bertanya Paksi. "Aku tidur di ladang jagungmu. Nampaknya kau hampir panen. Ketela pohonmu juga sudah cukup umur untuk dicabut. Kau dapat membuat geplek yang tahan lama disimpan." Paksi mengangguk. Katanya, "Ya. Dua tiga pekan lagi aku akan mencabutnya dan menjemurnya setelah dikuliti." "Nah, sekarang waktu yang aku berikan sudah sampai pada batasnya. Kau harus menjawab, apakah kau bersedia memberikan cincin itu kepadaku atau tidak." "Jangan tergesa-gesa. Aku akan pergi ke sungai untuk menangkap ikan. Kita akan memanggang ikan itu untuk makan pagi. Kita akan membicarakan persoalan kita setelah kita makan pagi. Kau dapat duduk sambil minum wedang jahe hangat sambil menunggu aku kembali dari sungai." "Sampai kapan kau akan menangkap ikan?" bertanya Wijang. "Tidak terlalu lama. Di kedung kecil terdapat cukup banyak ikan yang mudah ditangkap." Wijang termangu-mangu sejenak. Sementara itu Paksipun mempersilahkannya, "Masuklah. Kau tahu dimana letaknya mangkuk. Kau dapat menuang wedang jahe itu sendiri." "Kau akan pergi ke sungai?" bertanya Wijang.
"Ya," jawab Paksi. "Jika demikian, biarlah aku ikut." Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, "Silahkan jika kau inginkan." Keduanyapun kemudian telah pergi ke sungai. Di tikungan sungai itu terdapat sebuah kedung kecil. Di kedung kecil itu memang terdapat cukup banyak ikan, sehingga Paksi tidak memerlukan waktu yang lama untuk menangkapnya. Di tebing kedung kecil itu Paksi menyimpan sebuah lembing kecil yang panjang. Dengan lembing itu Paksi menangkap beberapa ekor ikan. "Menyenangkan sekali," berkata Wijang. "Berikan lembing itu. Aku juga akan menangkap ikan seperti kau lakukan." Paksi memberikan lembing itu. Wijang yang berdiri di bibir kedung itupun kemudian telah menangkap ikan dengan lembing sebagaimana dilakukan oleh Paksi. Namun selagi Wijang sibuk menangkap ikan, maka di luar sadarnya, seekor ular yang merambat di tebing telah mematuk kakinya. Wijang terkejut. Paksipun terkejut pula. Ia melihat ular itu dengan cepat menjalar dan hilang di dalam lebatnya rerumputan dan ilalang. "Wijang," berkata Paksi dengan cemas, "aku mempunyai obat penawar racun. Kau dapat mengobatinya untuk menawarkan racun ular itu jika tidak terlambat." Tetapi Wijang sendiri tersenyum. Sambil membidik seekor ikan kakap yang besar Wijang berkata, "Jangan hiraukan. Ular itu tidak akan menyakiti aku." Paksi mengerutkan keningnya. Sementara itu, Wijang telah melemparkan lembingnya tepat mengenai sasarannya. Paksi masih berdiri termangu-mangu. Ternyata Wijang itu sama sekali tidak menghiraukan patukan ular belang yang racunnya sangat tajam itu. Namun setelah memungut ikan kakap yang besar itu, Wijang duduk di atas rerumputan. Dipijitnya luka di kakinya itu. Darah yang hitam kebiru-biruan mengembun dari lukanya
itu. Namun kemudian disusul dengan titik-titik darah merah yang segar. Wijang tersenyum. Diusapkan darahnya yang merah itu. Katanya, "Racun itu tidak akan menggangguku." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Wijang berdiri, Paksipun bertanya, "Kau juga mempunyai obat penawar racun?" Wijang mengangguk. Katanya, "Aku harus melengkapi bekal dalam pengembaraanku yang panjang ini." Paksi mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba Wijang itupun berkata, "Bukankah kita sudah mendapat ikan cukup banyak untuk makan pagi?" Paksi memandang seonggok ikan di tepi kedung kecil itu. Jawabnya, "Ya. Marilah kita pulang." Keduanyapun kemudian kembali ke gubuk Paksi. Wijanglah yang kemudian membersihkan ikan itu, sementara Paksi membuat api. "Di siang hari jarang sekali aku membuat api. Jika aku membuat api untuk memanggang ikan, maka aku mempergunakan arang agar asapnya tidak terlalu banyak. Asap akan dapat mengundang perhatian orang atas tempat ini. Tempat yang selama ini tidak pernah dikunjungi orang lain kecuali kau," berkata Paksi kemudian. "Jika aku tidak tersesat, maka aku tidak akan sampai kemari," berkata Wijang kemudian. Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah asyik memanggang beberapa ekor ikan yang telah digarami. Kemudian, selagi ikan itu masih hangat, serta nasinyapun ternyata masih hangat pula, mereka telah makan pagi. "Aku belum pernah makan senikmat ini," berkata Wijang. "Meskipun dihidangkan berbagai macam lauk, namun semuanya selalu terasa hambar. Baru sekarang aku benarbenar mendapat lauk yang sesuai dengan seleraku." Paksi mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah bagimu selalu dihidangkan berbagai macam lauk?"
Wijang terkejut. Tetapi dengan serta-merta iapun menyahut, "Seandainya. Tetapi sekali-sekali aku memang pernah menghadapi beberapa macam lauk di saat aku bertamu." Paksi tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Beberapa saat keduanya makan sambil berbincang tentang ikan gurami, kakap, bader dan bahkan wader bang dan wader pari. Rasa-rasanya mereka lupa, seberapa banyak nasi yang sudah mereka makan serta wedang jahe yang sudah mereka hirup. Tiba-tiba saja Wijang menarik nafas dalam-dalam. Diletakkannya mangkuknya yang telah kosong sambil berdesah, "Aku terlalu banyak makan pagi ini." Paksi tertawa. Katanya, "Aku makan lebih banyak. Tetapi aku tidak merasa terlalu kenyang." "Kau makan berapa ekor ikan" Aku makan lebih dari tiga ekor ikan kakap yang besar itu." "Aku sudah sering makan ikan panggang." "Kau juga berburu rusa atau kijang di hutan itu?" bertanya Wijang. "Kadang-kadang," jawab Paksi. "Menarik sekali. Aku menyenangi cara hidupmu," berkata Wijang kemudian. "Kau tidak akan dapat bertahan lama." "Apakah kau sama sekali tidak bergaul dengan orang lain?" bertanya Wijang. "Tentu. Aku sering pergi ke pasar. Aku mempunyai beberapa orang sahabat di pasar. Di antaranya seorang anak kecil. Namanya Kinong." "Bagaimana kau tetap merahasiakan tempat tinggalmu terhadap sahabat-sahabatmu itu?" "Ternyata aku dapat melakukannya. Tidak seorang pun di antara mereka yang tahu, bahwa aku tinggal disini." Wijang mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan tinggal disini. Aku akan mengusirmu setelah kau
serahkan cincin itu. Aku akan memiliki rumah ini, kebun jagung dan padi gaga." "Masih ada yang lain," Paksi justru menambahkan, "kebun pisang, pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang tepian sungai, rumpun pring cendani dan pring tutul." "Kau mempunyai rumpun pring tutul" Kenapa kau tidak membuat perabot gubukmu ini dengan pring tutul" Lincak panjang atau geledeg." "Aku lebih senang tidur dengan ketepe." "Bagus. Jika demikian, aku akan mengambil alih gubuk ini. Tetapi aku memberi kesempatan kepadamu sampai kau memetik jagung yang sudah hampir waktunya itu." "Kau akan berhenti bertualangan?" bertanya Paksi. "Aku akan bertualang dari tempat ini. Maksudku, setiap kali aku akan kembali kemari. Beristirahat untuk dua tiga hari, lalu pergi bertualang lagi." Tetapi jawab Paksi mengejutkan, "Ambillah." Dahi Wijang berkerut. Dengan ragu ia bertanya, "Kau tidak mempertahankan hakmu?" "Aku tahu kau tidak akan kerasan tinggal disini sampai setengah musim. Jika hujan turun, maka segala-galanya akan berubah." Wijang memandang Paksi dengan tajamnya. Katanya, "Aku tahu bahwa kau sekedar menakut-nakuti aku, agar aku mengurungkan niatku." "Tidak. Aku tidak ingin mengurungkan niatmu. Sudah aku katakan, kau tidak akan bertahan setengah musim. Kau tentu merasa lebih senang tinggal di istana." Wijang terkejut. Dengan serta-merta iapun bertanya, "Istana yang mana?" Paksi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah aku terlalu cepat untuk berterus-terang?" Paksi memandang Wijang sejenak. Wajahnya nampak tegang. Sementara Paksi yang sudah terlanjur menyinggung kenyataan tentang Wijang itupun berkata selanjutnya, "Aku
tidak tahu siapakah kau sebenarnya. Tetapi aku sudah mengenalmu sebelumnya." "Dimana?" bertanya Wijang. "Aku sudah beberapa kali harus berkelahi dengan orangorang yang tidak benar-benar ingin berkelahi. Meskipun dengan perkelahian itu aku selalu mendapat pengalaman baru serta petunjuk-petunjuk yang berharga. Namun sekarang aku tidak ingin berkelahi dengan kau. Sekali lagi, aku tidak tahu siapa sebenarnya kau ini. Tetapi jika aku salah menyebutmu dan aku keliru mengetrapkan unggah-ungguh, itu bukan karena aku bersikap deksura. Tetapi karena kebodohanku dan ketidak-tahuanku." "Kenapa kau tiba-tiba mengigau" Bangkit. Kita akan berkelahi. Sudah waktunya kau berikan cincin itu kepadaku." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku baru saja makan. Dan kau merasa terlalu kenyang. Tidak baik untuk banyak bergerak." "Kau memang iblis kecil," geram Wijang. Tetapi wajahnya tidak menunjukkan gejolak kemarahan di dadanya. Paksi menggeleng. Katanya, "Aku sedang malas untuk berkelahi sekarang." "Baik. Melawan atau tidak melawan, aku akan berkelahi." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia justru mengumpulkan mangkuk-mangkuknya yang kotor sambil berkata, "Aku sudah terlalu lama menahan diri untuk mengatakan, bahwa aku pernah melihat kau di istana. Hanya orang-orang berkedudukan tinggi atau bahkan hanya keluarga istana saja yang tetap duduk di punggung kudanya di halaman istana." Wajah Wijang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menjawab, "Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Aku belum pernah pergi ke istana. Bahkan aku belum pernah memasuki kotaraja. Aku pengembara yang menelusuri jalanjalan pegunungan, lembah dan ngarai yang panjang. Berjalan seurut pantai berpasir, berendam di sungai, kedung dan rawa-
rawa. Menyusup di antara semak-semak berduri di hutanhutan yang lebat." "Aku percaya. Tetapi keluarga istana pun ada yang melakukannya pula. Sebelum naik tahta Pajang, Kangjeng Sultan juga seorang pengembara." "Siapa yang mengatakannya kepadamu" Apakah kau mengenal Kangjeng Sultan?" "Tidak. Tetapi banyak orang yang mengatakannya." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Paksi berkata, "Aku tidak ingin berteka-teki. Aku harus bersikap benar. Karena itu, aku ingin tahu, dengan siapa aku berhadapan." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata aku juga terkelabuhi. Aku kira hanya aku sajalah yang telah mengetahui bahwa aku berhadapan dengan Paksi Pamekas, putera Ki Tumenggung yang hanya aku kenal dengan gelar Tumenggung Sarpa Biwada." Paksilah yang menjadi sangat terkejut. Dengan suara yang bergetar iapun berkata, "Dari mana kau tahu namaku dan bahkan keluargaku?" Wijang tersenyum. Katanya, "Seorang pengemis tua berceritera kepadaku tentang seorang anak muda yang sedang mengembara. Ia sempat memberikan tongkat pusakanya kepada anak muda itu. Sementara itu orang yang wajahnya dikotori oleh rambut, jambang, kumis dan janggut, juga berceritera tentang Paksi Pamekas, anak seorang tumenggung yang mengembara karena mendapat perintah dari ayahnya untuk mencari sebuah cincin bermata tiga butir batu akik." "Aku tidak pernah berceritera kepada mereka, bahwa aku adalah anak seorang tumenggung. Aku adalah anak dari Padukuhan Banyuanyar." Orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu tertawa. Katanya, "Mungkin mereka bermimpi bertemu dengan ayahmu yang berkedudukan tinggi itu."
Paksi memang menjadi bingung. Namun kemudian, Paksi itupun bertanya, "Baiklah. Aku tidak ingkar. Nampaknya segala sesuatunya sudah nampak terang di pandanganmu. Sekarang, siapakah kau sebenarnya, yang tetap duduk di atas punggung kuda di halaman dalam istana Pajang." Orang yang masih terhitung muda itu tiba-tiba membuka kantong ikat pinggangnya. Paksi terkejut bukan kepalang ketika ia melihat orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu telah mengeluarkan sebentuk cincin. Cincin mas dengan tiga butir batu akik. "Cincin itu," Paksi hampir berteriak. Orang yang menyebut dirinya Wijang itu tersenyum. Katanya, "Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari cincin ini?" "Ya," jawab Paksi. "Ambil cincin ini dari tanganku. Kau yang sudah ditempa oleh Ki Marta Brewok serta mendapat senjata yang tidak ada duanya itu tentu akan dapat mengalahkan aku." Wajah Paksi menjadi tegang. Ketika ia memandang wajah orang yang menyebut dirinya Wijang itu, ia melihat bibir yang tersenyum. Sama sekali bukan greget seorang yang sedang menantang untuk berkelahi. "Tolong," berkata Paksi, "sebutkan siapakah kau sebenarnya. Aku tidak ingin berteka-teki lebih lama lagi." Orang itu masih tersenyum. Dengan nada rendah iapun berkata, "Namaku Benawa." Paksi terkejut sekali. Rasa-rasanya ia mendengar suara petir yang meledak di telinganya. Ia pernah mendengar nama itu. Benawa adalah putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri. "Ampun, Pangeran," Paksi membungkukkan kepalanya dalam-dalam, "hamba tidak tahu, bahwa hamba berhadapan dengan Pangeran Benawa. Yang hamba ketahui, bahwa orang yang menyebut dirinya Wijang ini adalah tentu keluarga istana dan berkedudukan tinggi, sehingga dapat tetap duduk di punggung kudanya di halaman dalam istana. Tetapi hamba
tidak mengira bahwa Wijang itu adalah Pangeran Benawa itu sendiri." Pangeran Benawa tertawa pendek. Katanya, "Jangan panggil aku pangeran. Panggil aku Wijang. Kau tidak usah merubah sikapmu. Anggap aku kakakmu sendiri." "Tetapi Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan." Wijang mengangguk. Tetapi katanya, "Siapapun aku. Panggil aku Wijang." "Hamba, Pangeran," Paksi mengangguk hormat. Namun kemudian Wijang itupun bertanya, "Kau percaya bahwa akulah Pangeran Benawa" Setiap orang dapat menyebut dirinya Pangeran Benawa. Apakah hanya karena kau melihat aku berkuda di halaman dalam istana, dan aku menyebut namaku Benawa kau langsung mempercayainya?" "Pangeran membawa cincin yang sedang dicari itu. Selebihnya hamba mendengarkan kata nurani hamba." "Baiklah. Tetapi sekali lagi aku minta, panggil aku Wijang. Aku adalah kakakmu dalam pengembaraan ini. Atau jika kau tidak berkeberatan, aku akan ikut tinggal di gubuk ini untuk sementara sebelum aku memutuskan meneruskan pengembaraan ini." "Tetapi orang-orang yang mencari cincin itu berkeliaran disini, Pangeran." "Panggil aku Wijang." Paksi hanya menarik nafas panjang. Tetapi bibirnya tidak bergerak. Wijanglah yang kemudian berkata, "Aku justru ingin melihat, apa saja yang mereka lakukan disini." "Tetapi jika mereka mengetahui bahwa cincin itu ada di tangan Pangeran, maka mereka akan menempuh segala cara untuk merebutnya, karena mereka menganggap bahwa cincin itu memiliki tuah. Siapa yang memiliki dan mengenakan cincin itu di jarinya, maka ia akan menurunkan penguasa di tanah ini." "Kau masih belum dapat menyebut namaku Wijang. Cobalah. Kau akan terbiasa."
Misteri Dendam Berdarah 3 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Pendekar Tongkat Dari Liongsan 3
"Ki Pananggungan," berkata Paksi kemudian, "kenapa Ki Pananggungan berprasangka demikian buruknya kepadaku" Seandainya saja aku menolong Kemuning, tetapi aku tidak menyesal. Aku sudah merasa puas bahwa aku telah berhasil membebaskan gadis itu dari penderitaan yang berkepanjangan." "Jangan mengigau," potong Ki Pananggungan. "Sekarang katakan, untuk apa sebenarnya kau antarkan Kemuning kemari?" "Ki Pananggungan," sahut Paksi, "aku tidak akan dapat menjawab pertanyaanmu." "Setan kau anak muda. Aku tahu bahwa tongkat itu adalah senjatamu. Tetapi itu sama sekali tidak menggetarkan aku. Sekarang kau boleh pilih. Kau jawab pertanyaanku, atau kau tidak akan pernah keluar dari halaman rumahku." "Aku tidak akan memilih, Ki Pananggungan," jawab Paksi. "Tetapi sudah tentu aku tidak akan melepaskan nyawaku begitu saja. Seandainya aku harus mati di sini, biarlah aku mati dalam mempertahankan hidupku ini." "Bagus," sahut Ki Pananggungan, "bersiaplah. Pakailah tongkatmu. Aku akan memakai senjataku." Paksi menjadi berdebar-debar. Ia tidak pasti, apakah yang telah terjadi. Tetapi sudah tentu ia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan tidak adil. Dalam pada itu, Ki Pananggunganpun telah mengurai senjatanya pula. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang, yang nampaknya selalu dikenakannya sebagai ikat pinggangnya. Bahkan ketika ia tidur sekalipun. Nyi Pananggungan, Nyi Permati dan Kemuningpun telah berdiri di pendapa pula. Mereka menjadi sangat tegang. Lebihlebih Nyi Permati. Ia tahu benar bahwa Paksi tidak bersalah. Tetapi ia harus menghadapi Ki Pananggungan, seorang yang diketahui memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan jantung yang berdebar-debar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, cambuk Ki Pananggunganpun mulai bergetar. Satu ledakan yang tidak terlalu keras telah terdengar. Sementara itu, Ki Pananggungan itupun berkata, "Aku tidak ingin membangunkan tetanggatetanggaku karena ledakan cambukku ini." Namun telinga Paksi yang mendengar ledakan itu, serta jantung Paksi yang tersentuh getarannya, merasakan bahwa ledakan yang lunak itu justru mengandung tenaga yang sangat tinggi. Karena itu, maka iapun berkata, "Kau tidak usah mengelabuhi aku, Ki Pananggungan." "Mengelabuhi apa?" bertanya Ki Pananggungan. "Ledakan cambuk Ki Pananggungan bukan sekedar agar tidak membangunkan tetangga-tetangga." Wajah Ki Pananggungan berkerut. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, "Jadi kau dapat menangkap getar ilmu cambukku?" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi Ki Pananggungan betapapun tinggi ilmu orang itu. Ki Pananggunganpun kemudian telah mulai menyerang dengan cambuk itu tetapi tidak menggapainya. Bahkan Paksipun sempat meloncat maju pula sambil menjulurkan tongkatnya. Ki Pananggungan seakan-akan memang menunggu. Dengan cepat, Ki Pananggungan telah menghentakkan cambuknya sehingga juntainya telah membelit tongkat Paksi. Dengan sertamerta Ki Pananggungan menarik cambuknya untuk merenggut tongkat anak muda itu. Tetapi Ki Pananggungan terkejut. Tongkat itu tidak terlepas dari tangan Paksi. Anak muda itupun seakan-akan tidak goyah oleh tarikannya. Untuk beberapa saat mereka mengadu tenaga. Keduanyapun telah mulai mengerahkan kekuatan mereka, bahkan mulai merambah ke tenaga dalam mereka masingmasing. Ki Pananggungan benar-benar menjadi heran. Anak muda itu mempunyai kekuatan dan tenaga dalam yang sangat
besar. Ki Pananggungan tidak mampu merenggut tongkat di tangan Paksi, meskipun Paksi yang berusaha untuk menghentakkan cambuk Ki Pananggungan juga tidak berhasil. Namun Ki Pananggungan dengan kemampuan ilmu cambuknya terpaksa mengurai belitan ujung cambuknya pada tongkat Paksi, karena Ki Pananggungan tidak yakin bahwa ia akan dapat merampas tongkat itu. Selanjutnya, Ki Pananggunganpun telah menyerang Paksi dengan hentakan-hentakan cambuk sendal pancing. Namun kemudian juntai cambuk itu telah menebas mendatar dengan derasnya. Bahkan kemudian juntai cambuk itu mampu terjulur lurus menikam seperti ujung sebatang tombak. Paksipun menyadari, Ki Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi. Tidak seperti Bahu Langlang yang garang tetapi tidak mempunyai landasan yang cukup meyakinkan. Karena itulah, maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Tongkat Paksi berputaran dengan cepat. Namun sekali-sekali tongkat itu juga terjulur menyerang ke arah jantung. Ujung cambuk Ki Pananggungan rasa-rasanya bergerak semakin cepat pula. Tetapi tongkat Paksipun menjadi semakin berbahaya pula bagi lawannya. Dalam pada itu, Paksi dengan serta-merta telah meloncat mengambil jarak ketika terasa lengannya menjadi panas. Ternyata ujung cambuk Ki Pananggungan itu telah menyengat kulitnya. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi Paksi sudah terluka karenanya. Paksi memandang Ki Pananggungan dengan sorot mata yang membara. Di dalam hatinya iapun berkata, "Apa sebenarnya yang dikehendaki orang ini" Tetapi ia sudah benar-benar melukai lenganku. Aku tidak peduli lagi, apa yang sebenarnya dikehendaki." Dengan demikian, maka Paksipun telah menghentakkan kemampuannya pula. Sementara itu, terasa seakan-akan ujung cambuk Ki Pananggungan terdengar berdesing di telinganya. Namun tongkatnyapun sekali-sekali telah
menyentuh pakaian Ki Pananggungan pula. Bahkan ketika ujung cambuk Ki Pananggungan menggapai lambungnya, Paksi sempat meloncat menyamping. Tetapi demikian ujung cambuk itu terayun lewat, maka Paksipun segera meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan tongkatnya. Ki Pananggungan berusaha untuk menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Tetapi Ki Pananggungan ternyata telah terlambat. Meskipun ujung tongkat Paksi tidak mengenai dadanya, tetapi ujung tongkat itu telah mendorong bahunya. Ki Pananggungan berdesah tertahan. Selangkah ia terdorong surut. Namun Ki Pananggungan justru telah meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Tetapi Paksi tidak memberinya kesempatan. Dengan tangkasnya ia meloncat memburu. Tongkatnya sesekali berputar. Namun kemudian terjulur mengarah lambung. Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Keduanya telah menapak pada tataran ilmu tertinggi mereka. Cambuk Ki Pananggungan menggeliat dengan cepat, sementara tongkat Paksi berputar seperti baling-baling. Namun Ki Pananggungan tidak pernah berhasil merampas tongkat Paksi itu. Namun pengalaman dan kematangan sikap Ki Pananggungan ternyata ikut menentukan keseimbangan dari pertempuran itu. Ketika mereka benar-benar sudah sampai ke puncak, maka ternyata bahwa Paksi kadang-kadang masih terhambat oleh kelambatannya mengambil sikap. Dalam pertempuran yang keras dan cepat itu, setiap kejap dapat menentukan kelanjutannya. Kelambatan Paksi mengambil sikap dalam perkelahian itu, kadang-kadang sangat merugikannya. Lawannya memanfaatkan setiap keadaan sebaik-baiknya untuk mendesaknya. Bahkan kemudian sekali lagi ujung cambuk Ki Pananggungan telah menggores pundaknya. Paksi yang menjadi sangat marah itu masih sempat membuat pertimbangan. Ia yakin bahwa sulit baginya untuk dapat mengalahkan lawannya. Ternyata Ki Pananggungan
memiliki ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimilikinya meskipun hanya selapis tipis. Tetapi Paksi tidak akan menyerah. Ia akan dapat mengalami nasib yang sangat buruk di tangan Ki Pananggungan yang mencurigainya bahwa ia adalah pengikut Bahu Langlang. Karena itu, maka Paksi tidak mempunyai pilihan lain. Dalam keadaan yang terdesak, maka Paksi telah meloncat mengambil jarak. Diangkatnya tongkat tinggi-tinggi. Sekali berputar, kemudian tongkat itu melekat di sisi tubuhnya, lurus mendatar menghadap ke arah lawannya. Tangan kirinya yang menyilang dadanya menggenggam tongkatnya pada sisi kanan tubuhnya, sementara tangan kanannya menggenggam tongkatnya lebih ke depan. Paksi memang belum pernah mengetrapkan ilmu puncak yang disalurkan lewat tongkatnya. Tetapi ia pernah mendapatkan petunjuk dari Ki Marta Brewok yang kemudian dikembangkannya menurut ketajaman penalarannya. Dalam keadaan yang rumit dan mendesak itu, unsur gerak yang siap mengungkapkan ilmunya itu seakan-akan telah hadir dengan sendirinya, seakan-akan tangan dan kakinya yang sedikit merendah pada lututnya itu, tiba-tiba saja telah bergerak sesuai dengan seharusnya yang dilakukan. Tetapi satu hal yang dalam keadaan gawat itu tidak sempat diingatnya, Paksi memang pernah melihat lukisan di dinding gua itu, unsur geraknya sebagaimana dilakukannya itu. Ki Pananggungan yang melihat sikap Paksi itu terkejut. Tiba-tiba iapun meloncat surut untuk mengambil jarak. Sebelum Paksi melepaskan serangan yang dilandasi dengan ilmu pamungkasnya, maka Ki Pananggungan itupun berkata, "Tahan anak muda. Berhentilah. Jangan kau lanjutkan ungkapan ilmumu itu." Paksi yang sudah siap untuk meloncat menyerang, memang menjadi tertegun karenanya. Tetapi ia tetap bersiap untuk meloncat menyerang dengan landasan ilmu puncaknya itu.
"Kenapa Ki Pananggungan mencegah aku" Apakah Ki Pananggungan menganggap bahwa tidak sepantasnya aku mempergunakan ilmu puncak yang aku miliki meskipun aku sudah terdesak dan tidak mungkin lagi bertahan tanpa landasan ilmu puncak ini?" "Sabarlah, anak muda," suara Ki Pananggungan telah berubah. "Kau memang anak muda yang luar biasa. Aku sama sekali tidak mengira bahwa kau telah berdiri di atas tataran ilmu yang demikian dahsyatnya. Bahkan kau telah mampu melandasi ilmumu dengan puncak ilmu yang sangat berbahaya. Tetapi puncak ilmumu itu tidak hanya berbahaya bagi lawanmu. Landasan puncak ilmumu itu masih dapat membahayakan dirimu sendiri." "Kenapa?" "Kau telah mempelajarinya dengan tuntas. Bahkan hampir sempurna. Tetapi pada saat terakhir, kau masih berkesan sangat tergesa-gesa. Kemapanan bagian dalam tubuhmu, nampaknya masih lamban dari gejolak kemarahanmu, sehingga saatnya untuk melepaskan ilmumu masih belum tepat. Seranganmu akan menjadi sangat berbahaya bagi lawanmu. Tetapi dengan perlawanan yang mapan, maka jantungmu sendiri akan terluka. Apalagi jika lawanmu memiliki kekuatan yang seimbang dengan kekuatan ilmu puncakmu, tetapi karena pengalaman dan kematangan sikapnya lebih tinggi, maka kau mengalami kesulitan." "Kenapa Ki Pananggungan menghiraukan keadaanku. Jika Ki Pananggungan memiliki pengalaman dan kematangan ilmu lebih tinggi dari aku, kenapa Ki Pananggungan tidak mengetrapkannya dan tidak perlu mempedulikan aku, apakah aku akan menjadi debu atau adeg pengamun-amun." Ki Pananggungan tersenyum. Katanya, "Kau masih marah." Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi ia menjawab, "Ki Pananggungan telah melukai aku." Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Bukankah luka itu tidak berbahaya. Kau juga sudah menyakiti aku. Pundakku rasa-rasanya telah pecah oleh ujung tongkatmu."
"Aku tidak mengerti. Apa maksud Ki Pananggungan sebenarnya. Apakah Ki Pananggungan sekedar mempermainkan aku. Tetapi karena Ki Pananggungan melihat kemungkinan buruk, maka Ki Pananggungan lalu bersikap lain." "Aku mengerti bahwa kau akan marah. Tetapi jangan mulai menyombongkan diri. Itu sama berbahayanya dengan ketidakmapananmu untuk melepaskan ilmu pamungkasmu." Paksi tertegun sejenak. Peringatan Ki Pananggungan itu di telinganya terdengar seolah-olah gurunya, Ki Marta Brewoklah yang mengucapkannya. Jika ia terperosok ke dalam sikap sombong, maka jalannya menuju ke masa depannya akan menjadi suram. "Paksi," berkata Ki Pananggungan, "aku memang curiga, bahwa kau benar benar mampu mengalahkan Bahu Langlang. Bukan karena kau adalah salah seorang pengikutnya, tetapi aku menduga kau telah mengambil Kemuning dan bibinya dengan cara yang licik. Karena itu, aku mengujimu, apakah kau benar-benar memiliki ilmu yang pantas untuk mengalahkan Bahu Langlang. Namun ternyata ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmu yang diperlukan untuk mengalahkan Bahu Langlang, karena aku tahu tataran kemampuannya meskipun aku belum pernah berhadapan dengan orang itu. Bahkan aku sempat menjadi jengkel, karena kau ternyata mampu mengimbangi ilmuku sendiri. Tetapi ketika kau akan melepaskan ilmu pamungkasmu, aku melihat kelemahanmu. Jika aku terpaksa bertahan akan terjadi benturan, maka aku mencemaskan bagian dalam tubuhmu. Nampaknya kau masih memerlukan pengalaman dan kemapanan. Meskipun demikian, aku sudah sangat mengagumimu. Aku belum pernah bertemu ataupun mendengar, bahwa anak muda seumurmu, sudah memiliki tataran ilmu sebagaimana kau miliki." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, ketiga orang perempuan yang menyaksikan pertempuran itu berhenti, menjadi sedikit lega. Tetapi mereka tidak mengerti,
apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Pananggungan. Pembicaraan pendek itu memang sedikit membuka hati mereka, namun mereka masih memerlukan penjelasan. "Marilah, Paksi," berkata Ki Pananggungan. "Jika kau sudah tidak marah lagi, naiklah. Kita kembali duduk di ruang dalam. Barangkali ada yang perlu kita bicarakan." Paksi menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia memandang wajah Ki Pananggungan di bawah cahaya suram lampu minyak pendapa, rasa-rasanya Paksi dapat mempercayainya. Karena itu, maka Paksipun tidak menolak. Iapun kemudian naik ke pendapa dan berjalan lewat pintu pringgitan masuk ke ruang dalam. Seperti ketika Paksi bersama Nyi Permati dan Kemuning baru datang, maka merekapun duduk di ruang tengah itu. Suasana memang masih agak tegang. Paksi belum dapat melepaskan gejolak perasaannya. Apalagi lukanya masih terasa pedih. Namun Ki Pananggungan itupun berkata, "Biarkan Nyi Permati mengobati lukamu, Paksi. Barangkali kau belum mengetahui, bahwa Bibi Permati adalah seorang yang sangat menguasai ilmu obat-obatan." "Ah, tidak seperti itu. Tetapi barangkali aku dapat membantu membersihkan luka-lukamu itu," sahut Nyi Permati. Sementara Nyi Permati mengobati luka yang tidak terlalu dalam pada tubuh paksi, maka Nyi Pananggunganpun telah berada di dapur. Kemuning ikut pula membantunya. Nyi Pananggungan telah menghidangkan minuman hangat dan makanan seadanya. Sayur yang dingin telah dihangatkan. Sementara itu, beberapa butir telur di petarangan, telah digoreng pula. Setelah makan, Ki Pananggungan telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. Kepada Paksi, Ki Pananggungan itupun berkata, "Besok sajalah kau bercerita tentang macam-macam hal. Sekarang beristirahatlah. Kau dapat tidur di gandok."
Paksi kemudian telah diantar sendiri oleh Ki Pananggungan ke gandok, setelah membersihkan dirinya di pakiwan. Tetapi malam tinggal sejengkal. Demikian Paksi berbaring, maka terdengar suara ayam jantan berkokok menyambut fajar. Paksi tidak sempat tidur malam itu. Beberapa saat kemudian, iapun harus bangkit dari pembaringannya pula. Ketika matahari terbit, Ki Pananggungan telah menyiapkan sepasang lembu dan bajaknya. Pagi itu ia akan pergi ke sawah untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sedikit kemarin. Seterusnya ia tinggal meratakan sawahnya dengan garu esok pagi sebelum lusa mulai ditanami padi. Paksi yang juga sudah berbenah diri mendekati Ki Pananggungan sambil bertanya, "Ki Pananggungan melakukan kerja di sawah itu sendiri?" "Aku mengerjakan sawah yang sekeping di luar padukuhan ini. Sementara sawahku yang ada di sebelah tanggul sungai itu dikerjakan oleh orang-orang kepercayaanku. Mereka adalah pekerja-pekerja yang baik, teliti dan jujur." "Apakah aku diperkenankan ikut ke sawah?" bertanya Paksi. "Aku tidak lama berada di sawah. Aku tinggal menyelesaikan pekerjaanku kemarin yang tersisa, nanti aku segera kembali dan kita mempunyai banyak waktu untuk berbicara. Kecuali itu, apakah kau yakin bahwa Bahu Langlang benar-benar melepaskan Kemuning?" Wajah Paksi berkerut. Tetapi menurut perhitungannya Bahu Langlang tidak akan berani lagi mengejarnya, karena apapun yang dilakukan oleh Bahu Langlang, namun ia akan dapat mengalahkannya. Namun Ki Pananggungan itupun kemudian berkata, "Ingat Paksi, Bahu Langlang tidak sendiri. Ia mempunyai sebuah kelompok yang merasa terikat menjadi satu. Kecuali itu, Bahu Langlang juga mempunyai banyak kawan. Mungkin ia masih berniat untuk mengambil Kemuning. Karena itu, aku atau kau sebaiknya tinggal di rumah."
Paksi mengerti maksud Ki Pananggungan. Karena itu, maka katanya, "Baiklah, Ki Pananggungan. Aku akan berada di rumah." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Pananggunganpun telah meninggalkan halaman rumahnya sambil membawa bajak dan sepasang lembu. Sementara Paksipun telah naik ke serambi gandok. Paksipun kemudian duduk di atas sebuah amben yang panjang. Dalam kesendiriannya, Paksi sempat merenungi sikap Ki Pananggungan. Ternyata Ki Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi dalam ujudnya sehari-hari sama sekali tidak ditampakkannya. Pada saat ia memanggul bajak dan menggiring sepasang lembu, Ki Pananggungan benar-benar nampak sebagai seorang petani kebanyakan. "Apakah orang di sekitar tempat ini tidak tahu bahwa Ki Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi" Padahal Ki Pananggungan sudah tinggal di sini bertahun-tahun," bertanya Paksi dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak ingin duduk merenung di serambi gandok itu. Iapun kemudian pergi ke pakiwan. Menimba air untuk mengisi jambangan. Seorang pembantu laki-laki di rumah Ki Pananggungan itu mendekatinya sambil berkata, "Sudahlah, anak muda. Biarlah nanti aku yang melakukannya." Tetapi Paksi tersenyum sambil berkata, "Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku sudah terbiasa melakukannya." Pembantu laki-laki itu tidak dapat mencegahnya. Bahkan ketika kemudian Paksi melihatnya membelah kayu, setelah Paksi selesai mengisi jambangan di pakiwan, telah mendekatinya pula. Katanya, "Apakah masih ada kapak sebuah lagi?" Orang itu termangu-mangu. Sementara itu sambil tersenyum Paksi mengambil kapak di tangan orang itu, "Kau cari kapak yang lain." Orang itu tidak sempat mencegahnya. Ketika kemudian Paksi mengayunkan kapak itu untuk membelah kayu, maka
orang itu memang harus mencari kapak yang lain. Ia tidak sekedar menonton Paksi membelah kayu bakar itu sendiri. Paksi membelah kayu bakar itu sendiri, sementara kayu itu masih seonggok. Namun ketika mereka bersama-sama membelah balokbalok kayu sebatang pohon kayu yang tumbuh di sudut kebun belakang yang ditebang dua hari sebelumnya, orang itu menjadi heran. Orang itu tidak menyangka, bahwa Paksi dapat melakukan jauh lebih baik dan lebih cepat dari yang dilakukannya. "Kau nampak sudah terbiasa membelah kayu balok, anak muda," berkata orang itu. "Pamanku seorang belandong kayu, Ki Sanak. Meskipun tidak selalu, aku sering membantunya jika satu dua orang membantunya berhalangan." Orang itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Pantas hasil kerjamu dua kali lipat dari hasil kerjaku, anak muda." Paksi tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Tangannya sajalah yang bergerak mengangkat kapak itu tinggi-tinggi. Kemudian terayun deras. Tajam kapaknya itu menghunjam ke tengah-tengah balok kayu dan kemudian membelahnya. Di tengah hari, keduanya berhenti. Pembantu di rumah Ki Pananggungan itu berkata, "Tidak baik bekerja saat matahari tepat di atas kepala kita. Kita harus beristirahat barang sebentar." Paksi memang beristirahat. Keduanya duduk di bawah rumpun bambu yang rimbun. Sambil menyodorkan sebuah gendi berisi air dingin yang sejuk orang itu bertanya, "Kau haus?" Paksi menerima gendi itu dan meneguk air dari dalamnya. Betapa segarnya. Sambil menarik nafas panjang Paksipun menyerahkan gendi itu sambil berdesis, "Aku memang haus sekali." Paksi kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Angin yang semilir lembut membuatnya agak mengantuk, justru
karena semalam Paksi hampir tidak memejamkan matanya sama sekali. Tetapi ketika matanya menjadi redup, ia mendengar suara memanggilnya, "Kakang Paksi." Paksi berpaling. Dilihatnya Kemuning berdiri termangumangu beberapa langkah daripadanya. "O," desah Paksi sambil bangkit dengan tergesa-gesa. "Paman sudah pulang dari sawah. Paman memanggil Kakang." Paksi mengangguk kecil. Katanya, "Baik Kemuning. Aku akan menemuinya." "Paman ada di pringgitan." Ketika Kemuning kemudian meninggalkannya, maka Paksipun membenahi baju dan kainnya, keringatnya sudah mulai kering. "Aku dipanggil Ki Pananggungan," berkata Paksi kepada pembantu rumah itu. Orang itu mengangguk. Katanya, "Biasanya Ki Pananggungan belum pulang pada saat seperti ini. Jika sudah terlanjur berada di sawah, meskipun kerja sudah selesai, Ki Pananggungan terbiasa menunggui sawahnya sampai matahari turun." "Panasnya hari ini," desis Paksi, "agaknya Ki Pananggungan sudah merencanakan sejak berangkat untuk pulang agak lebih cepat dari biasanya." "Ya," berkata orang itu. "Tidak ada orang yang membawa makan dan minum ke sawah." Paksi tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah menuju ke pakiwan. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka Paksipun langsung pergi ke pringgitan menemui Ki Pananggungan yang telah duduk lebih dahulu. Dua buah mangkuk minuman ternyata sudah terhidang. Bahkan beberapa potong makanan. "Aku sengaja pulang lebih awal," berkata Ki Pananggungan. "Sisa kerja kemarin itu sudah selesai. Bahkan aku sempat memandikan sepasang lembu itu di sungai."
"Ki Pananggungan melakukan semuanya itu sendiri?" "Ya. Aku memang anak petani." "Tetapi bukan petani kebanyakan," sahut Paksi. Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Satu kebetulan bahwa aku tinggal bersama kakek. Juga bersama ayah Kemuning. Di samping mengajari kami bertani, kakek juga mempunyai kelebihan lain. Kami adalah murid-murid kakek." "Apakah sekedar kebetulan?" bertanya Paksi. Ki Pananggungan tertawa berkepanjangan. Katanya, "Tetapi ada unsur kebetulan. Namun kemudian kami menjadi bersungguh-sungguh. Kami bekerja keras bersama kakek bertahun-tahun, sehingga akhirnya kami masing-masing berumah tangga sendiri. Meskipun demikian, kami masih selalu datang ke rumah kakek untuk mematangkan ilmu yang kami warisi dari kakek itu, sehingga saatnya wadag kakek tidak mengijinkan lagi bermain-main di dalam sanggar. Tetapi dalam keadaan wadagnya yang semakin lemah, kakek masih tetap membimbing kami." Paksi mengangguk-angguk. Dengan kerja keras Ki Pananggungan akhirnya menjadi seorang yang berilmu tinggi, meskipun penampilannya sehari-hari masih tetap sederhana dan tidak lebih dari seorang petani biasa. Namun sekilas terngiang di telinganya kata-kata orang yang datang mencari ndaru yang dianggapnya jatuh di sekitar rumah kecilnya, hubungan antara ilmu dan amal. "Apakah ilmu Ki Pananggungan itu memberikan arti kepada sesamanya, jika ia tidak pernah mengamalkannya?" bertanya Paksi di dalam hatinya, namun yang kemudian dijawabnya sendiri, "Tetapi setidak-tidaknya ilmu Ki Pananggungan yang tinggi itu tidak mengganggu orang lain atau bahkan dipergunakannya untuk niat buruk." Demikianlah, maka Ki Pananggunganpun kemudian telah mempersilahkan Paksi menghirup minuman hangat dan mencicipi makanan yang dihidangkan. "Bibimu telah membuatnya sendiri," berkata Ki Pananggungan.
Sambil makan makanan yang dihidangkan, maka Ki Pananggungan masih ingin mendengarkan ceritera Paksi tentang dirinya. Namun Paksi masih tetap menyembunyikan jatidirinya yang sebenarnya. Ia tidak menyebut siapakah ayah dan ibunya. Paksi tidak mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang penjabat tinggi istana. Tetapi di luar sadarnya Paksi telah memperbandingkan kemampuan ayahnya dengan Ki Pananggungan. Meskipun Ki Pananggungan tetap seorang petani yang setiap hari bekerja di sawah, namun orang itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ayahnya. Namun tiba-tiba saja Paksi bertanya kepada diri sendiri, "Tetapi apakah ilmuku sudah lebih tinggi dari ilmu ayah?" Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mau mencari jawab atas pertanyaannya itu. Dalam pada itu, maka dalam pembicaraan selanjutnya, Ki Pananggungan tahu, bahwa pengalaman Paksi masih terlalu sempit. Ia masih belum mengenal nama-nama orang yang disegani dalam dunia olah kanuragan. "Paksi," berkata Ki Pananggungan selanjutnya, "aku yakin, bahwa sengaja atau tidak, jika pada suatu saat kau memasuki dunia olah kanuragan, maka kau tentu berada di lapisan teratas. Dalam satu dua tahun, jika ilmumu benar-benar matang, maka aku tidak akan mampu mengatasimu. Aku sudah melihat, bahwa kau sudah menyimpan ilmu andalan yang berbahaya yang akan dapat melepaskanmu dari kesulitan dalam keadaan terpaksa. Aku tidak mengatakan bahwa kau tidak dapat dikalahkan. Semua orang tentu dapat dikalahkan pada suatu saat. Aku pun tidak mengatakan bahwa tidak ada orang yang memiliki ilmu pada tataran yang sama dengan ilmumu." Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Apa yang aku miliki adalah jauh dari tataran yang pantas."
Ki Pananggungan tersenyum. Katanya, "Semula aku mengira bahwa kau adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi dan agak sombong. Tetapi ternyata aku keliru." "Aku tidak mempunyai maksud apa-apa dengan sikapku, Ki Pananggungan." "Aku mengerti. Karena itu, aku justru mempercayaimu," berkata Ki Pananggungan kemudian. Lalu katanya pula, "Karena itu, aku justru ingin memperkenalkan kau dengan beberapa orang yang namanya mencuat di atas rata-rata dalam dunia olah kanuragan, agar kau dapat berhati-hati jika kau bertemu dengan mereka. Seperti yang kau ceriterakan, kau pernah melihat orang-orang dari Perguruan Goa Lampin dengan ciri-cirinya dan kau pun pernah melihat pemimpinnya yang juga dianggap mahagurunya. Kau juga pernah bertemu dengan orang-orang dari Perguruan Sad dan orang-orang dari Perguruan Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga. Tetapi kau belum pernah bertemu atau melihat kedua orang pemimpin tertinggi dari kedua perguruan yang terakhir itu. Juga orang lain yang nama dan ciri-cirinya pantas kau kenal." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan sangat berterima kasih, Ki Pananggungan. Mungkin dalam perjalananku mendatang, aku bertemu dengan mereka, sehingga aku dapat menghindar." Ki Pananggungan tersenyum. Menilik ilmu yang dimilikinya, Paksi tidak perlu menghindari mereka. Tetapi Ki Pananggungan tidak mengatakannya. Bagi Ki Pananggungan sendiri, menghindar bila masih mungkin, memang lebih baik dari benturan yang harus terjadi. Demikianlah, maka Ki Pananggunganpun kemudian telah menyebut beberapa nama dan ciri-cirinya. Paksi mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi sampai nama yang terakhir yang disebutnya beserta ciricirinya, Ki Pananggungan tidak menyebut Ki Marta Brewok serta ciri-cirinya. Seandainya ia dikenal dengan nama yang lain, namun ciri-ciri yang menonjol akan disebutkannya. Demikian pula orang yang telah datang kepadanya untuk
mencari cincin yang dikatakannya jatuh dari langit itu. Ciri-ciri orang itu juga tidak disebut sama sekali. Ki Pananggungan yang mengenal orang berilmu tinggi yang tersebar luas di tanah ini juga tidak menyebut seorang pengemis yang telah memberikan tongkat itu kepadanya, meskipun Ki Pananggungan sempat menyebut nama Kebo Lorog. Dengan demikian, Paksi menganggap bahwa setidaktidaknya Ki Marta Brewok bukan orang yang mengagungkan kemampuan serta namanya. Demikian pula pengemis yang berilmu tinggi yang telah memberinya tongkat itu. Bagi Paksi orang yang datang mencari cincin itu juga mengherankannya. Jika saja saat itu Ki Marta Brewok tidak datang pada saat yang bersamaan, maka Paksi akan dapat mengira bahwa orang itu adalah Ki Marta Brewok. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang. Ki Pananggungan memberikan banyak petunjuk melengkapi petunjuk-petunjuk Ki Marta Brewok. Meskipun Paksi yakin bahwa ilmu Ki Marta Brewok tentu lebih tinggi dari Ki Pananggungan, namun Ki Marta Brewok nampaknya tidak sempat memberikan banyak petunjuk tentang dunia kanuragan serta orang-orang yang menghuninya. Ki Marta Brewok tidak pernah menyebut nama-nama serta ciri-ciri orang yang dapat membahayakan dirinya. Namun pembicaraan itu terhenti. Kemuning yang keluar dari pintu pringgitan memberitahukan kepada pamannya, bahwa makan siang telah tersedia. Sejenak kemudian, maka Ki Pananggungan itupun telah berada di ruang dalam bersama Paksi. Tetapi agaknya mereka akan makan siang berdua saja. Demikian mereka selesai makan siang, maka Paksipun telah menyatakan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya. Dengan nada dalam Paksi itupun berkata, "Aku sudah cukup lama berada di rumah ini, Ki Pananggungan. Aku mengucapkan terima kasih atas segala petunjuk Ki Pananggungan."
Tetapi Ki Pananggungan itu menggeleng. Katanya, "Kau tidak boleh segera pergi. Kau akan tinggal di sini. Sedikitnya sepekan. Baru kita yakin, bahwa Bahu Langlang tidak akan menyusul Kemuning. Bukankah kau sudah menolong dan menyelamatkan Kemuning dari tangan Bahu Langlang. Nah, jika demikian, maka lakukanlah sampai tuntas." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata ia tidak dapat memaksa untuk meninggalkan tempat itu. Karena itulah, maka Paksi masih harus tetap tinggal sampai batas waktu yang diberikan oleh Ki Pananggungan sehingga kerjanya dapat disebutnya tuntas. Di hari berikutnya, Ki Pananggunganpun telah pergi ke sawah pula. Sementara Paksi telah melakukan pekerjaan sehari-hari bersama pembantu laki-laki di rumah itu. Dari pintu butulan Kemuning sering mengamati apa yang dilakukan oleh Paksi. Kepada bibinya Kemuning sudah memberitahukan, bahwa Paksi melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukannya karena ia seorang tamu di rumah itu. Tetapi baik Nyi Pananggungan maupun Nyi Permati telah memberikan jawaban yang sama, "Paksi memang menghendakinya, Kemuning. Ia tidak dapat tinggal diam." Ketika panas matahari menjadi terik, maka Kemuning yang melihat keringat Paksi bagaikan terperas dari tubuhnya di saat ia membelah balok-balok kayu dengan kapak, bahkan Paksi telah menanggalkan bajunya pula, seolah-olah merasakan betapa kering tenggorokannya. Meskipun Paksi itu dapat pergi ke sumur mengambil air jika ia tidak tahan lagi atau air gendi yang terletak tidak jauh dari onggokan kayu-kayu gelondong yang dibelahnya, jika gendi itu belum menjadi kosong, namun Kemuning telah terdorong untuk membawa bukan hanya semangkok, tetapi sebuah teko yang agak besar berisi wedang sere. "Minumlah, Kakang. Wedang sere dengan gula kelapa. Sudah dingin," Kemuning mempersilahkan sambil tersenyum.
"Terima kasih, Kemuning," sahut Paksi sambil meletakkan kapaknya. Untuk memuaskan Kemuning, maka Paksipun kemudian telah menuang wedang sere itu ke dalam mangkuk dan kemudian menghirupnya sampai mangkuknya kering. "Segar sekali, Kemuning. Terima kasih." Kemuning masih tersenyum. Namun kemudian iapun beranjak pergi dan kembali ke dapur. Sepeninggal Kemuning Paksi justru memungut gendi yang berisi air yang dingin sambil berkata, "Wedang sere membuat keringatku semakin banyak mengalir." Pembantu rumah yang bersama Paksi membelah kayu itu tertawa. Katanya, "Tentu lebih segar air dingin di dalam gendi itu." Tetapi Paksi tidak ingin mengecewakan Kemuning. Karena itu, maka ia sudah menuang lagi wedang sere itu ke dalam mangkuknya. Namun ketika ia yakin Kemuning tidak melihatnya, maka dituangnyalah wedang sere itu di tanah. Seperti yang diminta oleh Ki Pananggungan, maka Paksi masih tetap tinggal di rumah itu di hari berikutnya. Namun Paksi sendiri tidak menyadari, bahwa ia telah menjadi kerasan tinggal di rumah itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa Kemuning adalah gadis yang ramah. Yang menyapanya sambil tersenyum. Mempersilahkannya dengan kata-kata yang manis. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Kadang-kadang Paksi harus memperingatkan dirinya sendiri, "Umurmu baru delapan belas." Namun pada umur-umur itu, seorang anak muda memang sudah dapat mengenali kecantikan seorang gadis. Di hari berikutnya, maka Ki Pananggungan tidak pergi ke sawah seperti hari-hari berikutnya. Pekerjaannya sudah selesai. Sawahnya sudah diratakan dengan garu, sehingga sudah siap untuk ditanami. Karena itu, maka Nyi Pananggunganlah yang pergi ke sawah bersama beberapa orang perempuan yang akan menanam padi. Sementara pembantunya akan mempersiapkan bibit padi yang akan ditanam.
Hari itu, Ki Pananggungan dapat lebih banyak berbincang dengan Paksi. Ketika Paksi akan melakukan pekerjaan sebagai dilakukannya di hari-hari sebelumnya, Ki Pananggungan telah mencegahnya. Katanya, "Duduk sajalah di serambi gandok, Paksi. Aku ingin menikmati hari istirahatku setelah membajak dan meratakan sawahku beberapa hari ini." Keduanyapun kemudian telah duduk di serambi. Mereka berbincang tentang berbagai macam hal. Dari cara menanam padi dan palawija di sawah sampai dengan dunia olah kanuragan. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan memasuki halaman. Mereka berjalan tertatih-tatih. Agaknya laki-laki itu tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga isterinya harus menolongnya. Paksi yang kemudian bangkit berdiri berdesis, "Bahu Langlang." Ki Pananggunganpun bangkit pula. Di luar sadarnya iapun mengulang, "Bahu Langlang." Keduanyapun turun ke halaman dengan hati-hati. Namun mereka melihat Bahu Langlang tidak sebagai seorang laki-laki yang perkasa. Tetapi orang itu lebih mirip dengan laki-laki yang cacat, yang berjalan dengan bantuan orang lain. "Apa maksudmu datang kemari, Ki Bahu Langlang. Apakah kau akan mengambil Kemuning?" bertanya Paksi. "Tidak. Tidak, Ngger. Aku sama sekali tidak akan berani menyebut nama gadis kecil itu lagi." "Jadi, apa maksudmu?" bertanya Paksi. "Aku hanya ingin berceritera sedikit tentang keadaanku sepeninggalmu." "Dari mana kau tahu, bahwa kami berada di rumah ini?" "Bukankah kau mengatakan bahwa kau akan pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Aku menyusulmu ke Kembang Arum dengan harapan bahwa kau masih berada di sini." "Tetapi dari siapa kau tahu bahwa kami berada di rumah ini dan bukan rumah yang lain di Padukuhan Kembang Arum yang cukup luas ini?"
"Kami bertanya-tanya sepanjang jalan, tempat tinggal orang-orang yang baru saja datang di padukuhan ini." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang Kembang Arum sudah mengetahui, bahwa di rumah Ki Pananggungan telah tinggal orang-orang baru yang datang dari jauh. Tetapi itu tidak aneh, karena Kemuning dan Nyi Permati memang sering ikut pergi ke pasar bersama Nyi Pananggungan. "Marilah, duduklah," Ki Pananggungan mempersilahkan mereka naik ke pendapa. Bahu Langlang memandang orang itu dengan kerut di dahi. Sementara Paksipun berkata, "Ki Pananggungan ini adalah pemilik rumah ini. Paman Kemuning yang dicarinya itu." "O," Bahu Langlang mengangguk hormat. "Kami mohon maaf, bahwa kami telah menyulitkan Kemuning dan Ny Permati. Tetapi kami sudah berjanji bahwa kami tidak akan mengganggunya lagi. Apalagi setelah kami mengalami malapetaka seperti sekarang ini." "Apa yang telah terjadi?" bertanya Paksi. Namun Ki Pananggunganpun berkata, "Marilah. Silahkan naik." Mereka berempatpun kemudian telah naik ke pendapa. Dengan nada penyesalan, Bahu Langlang masih mengulangi permohonan maafnya karena tingkah lakunya terhadap Kemuning. Namun kemudian Paksipun bertanya, "Tetapi apa yang terjadi kemudian atas diri Ki Bahu Langlang?" "Peringatan yang telah kau berikan itu benar-benar terjadi, anak muda. Dua orang perempuan telah datang. Mereka mengaku dari Perguruan Goa Lampin. Tetapi karena peringatanmu, maka ketika mereka mencari Bahu Langlang, maka aku katakan bahwa Bahu Langlang tidak ada. Bahu Langlang telah pergi. Kedua orang perempuan itu telah memasuki rumahku dan melihat-lihat keadaan di dalamnya. Namun kemudian merekapun pergi sambil berpesan, agar
Bahu Langlang lain kali bersedia menemui mereka." Bahu Langlang itupun berhenti sejenak. Namun kemudian katanya selanjutnya, "Tetapi di hari berikutnya telah datang seorang laki-laki yang mengaku dari perguruan di hutan Tegal Arang, di pinggir Kali Praga. Aku juga mengatakan kepadanya, bahwa Bahu Langlang sedang pergi. Semula semua orang-orang di rumahku mengiakannya. Tetapi tiba-tiba di luar dugaan, perempuan yang aku sakiti di saat kau datang itulah yang mengatakan kepada laki-laki dari Tegal Arang itu, bahwa akulah sebenarnya Bahu Langlang. Aku memang tidak dapat menghindar lagi. Bagaimanapun juga aku merasa bahwa aku adalah seorang laki-laki. Karena itu, aku mencoba untuk melawannya. Tetapi perlawananku sama sekali tidak berarti. Aku justru berada dalam keadaan seperti ini." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Kau tentu tidak akan dapat melawan mereka. Nah, sekarang, apakah kau bermaksud mengungsi kemari?" "Tidak, Ngger. Aku hanya lewat. Aku justru ingin memperingatkanmu, bahwa orang-orang yang pernah kau sebut itu berkeliaran sampai kemana-mana. Bahkan mungkin akan ampai ke Kembang Arum ini." "Tidak, Ki Bahu Langlang," jawab Paksi. "Mereka tidak akan sampai ke Kembang Arum. Orang-orang itu mengira bahwa ndaru yang mereka duga akan membawa keberuntungan itu jatuh di sekitar lingkunganmu dan bahkan sedikit ke utara." "Ya. Nampaknya mereka memang mencari sesuatu," sahut Bahu Langlang. "Kemudian apa yang terjadi alas dirimu?" bertanya Paksi kemudian. "Aku hampir mati, Ngger. Perempuan yang mengkhianati aku itupun kemudian ikut pergi dengan laki-laki itu." Bahu Langlang berhenti sejenak. Sementara itu isterinya berkata, "Perempuan itu mendendam Kakang Bahu Langlang." "Aku dapat mengerti," jawab Paksi. "Kau telah menyakitinya dengan sewenang-wenang, Ki Bahu Langlang."
Ki Bahu Langlang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Perempuan itu telah membalas dendam. Ia merasa gembira melihat aku terbaring di halaman hampir mati. Tetapi itu bukan salahnya." "Sudahlah," berkata Paksi. "Ki Bahu Langlang sudah selamat. Lalu apa yang akan kau lakukan?" "Aku hanya ingin singgah, Ngger. Aku ingin mengungsi ke rumah salah seorang kawan baikku. Mudah-mudahan ia bersedia menerima aku." "Ki Sanak tidak usah tergesa-gesa," berkata Ki Pananggungan. "Aku sudah banyak mendengar tentang Ki Sanak dari Paksi. Nampaknya Ki Sanak benar-benar sudah berubah. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku dapat menawarkan tempat bermalam bagi Ki Sanak sebelum Ki Sanak meneruskan perjalanan." "Terima kasih, Ki Pananggungan. Bahwa Ki Pananggungan sudah memaafkan aku, aku sudah berbesar hati. Dengan demikian aku akan pergi tanpa membawa beban." "Tetapi Ki Bahu Langlang masih nampak sulit untuk berjalan. Apalagi perjalanan jauh." "Tidak, Ki Pananggungan," jawab Bahu Langlang. "Aku sudah sering mengalami kesulitan yang lebih parah dalam petualanganku. Seandainya di hari pertama ketika dua orang perempuan dari Goa Lampin itu datang, perempuan yang aku sakiti itu membuka rahasiaku, mungkin akibatnya akan lebih parah. Kedua orang perempuan itu agaknya tidak kalah garangnya dengan orang dari Tegal Arang itu. Sementara itu orang Tegal Arang itu menjadi agak lunak justru karena perempuan yang aku sakiti itu bersedia ikut bersamanya. Dengan demikian, maka laki-laki dari Tegal Arang itupun segera pergi meninggalkan rumahku. Namun ternyata aku masih hidup. Tetapi aku sadar, bahwa aku harus melarikan diri. Namaku agaknya justru menjadi beban yang tidak terusung di atas pundakku. Karena itu maka aku akan mempergunakan nama lain seperti yang Angger Paksi katakan
dan selanjutnya melupakan masa lampauku yang gelap. Aku harus mengakui, bahwa sebenarnya aku bukan apa-apa dengan kehadiran orang-orang dari beberapa perguruan yang telah mempunyai nama itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pananggunganpun berkata, "Sukurlah jika peristiwa yang terjadi pada Ki Sanak itu dapat membuka hati Ki Sanak." "Yang pertama memaksa aku mengakui bahwa aku tidak berarti apa-apa adalah Angger Paksi. Selanjutnya, peristiwa itu terjadi, sehingga rasa-rasanya aku memang tidak mempunyai pilihan lain," berkata Bahu Langlang. "Ki Sanak, aku masih ingin menawarkan, apakah Ki Sanak bersedia beristirahat di sini sebelum meneruskan perjalanan," berkata Ki Pananggungan kemudian. Tetapi Bahu Langlang itupun menyahut, "Terima kasih, Ki Pananggungan. Terima kasih. Aku akan melanjutkan perjalanan. Aku hanya sekedar singgah dan ingin mengucapkan terima kasih kepada Angger Paksi atas peringatan yang telah diberikan kepadaku sebelum ia meninggalkan rumahku. Jika aku terlalu lama di sini, maka aku akan menakut-nakuti Kemuning. Ketenangannya akan terganggu. Adalah kebetulan sekali jika Kemuning tidak tahu bahwa aku singgah kemari." "Baiklah," berkata Ki Pananggungan. "Jika Ki Sanak memang akan melanjutkan perjalanan, apa boleh buat, tetapi Kemuning tidak akan terganggu ketenangannya. Kami dapat memberitahukan kepadanya, bahwa semuanya sudah berubah." "Aku mohon diri, Ki Pananggungan. Aku akan melanjutkan perjalanan, tetapi aku masih ingin menyampaikan pesan kepada Paksi untuk berhati-hati. Nampaknya orang-orang yang berkeliaran itu memang mencari sesuatu yang mereka anggap sangat berharga. Jika mereka melihat ndaru itu jatuh di sekitar tempat itu, maka mereka tentu akan berusaha untuk menemukannya."
"Sebenarnya tidak masuk akal jika mereka mencari ndaru yang jatuh dari langit. Tetapi mereka menganggap bahwa yang jatuh itu adalah sesuatu yang sangat berharga yang cahayanya memancar seterang ndaru. Kecemerlangan cahayanya itu menunjukkan betapa tingginya nilai benda yang jatuh itu." "Apapun yang terjadi sebenarnya, namun orang-orang yang berkeliaran itu sangat berbahaya," berkata Bahu Langlang. "Angger Paksi sendiri dapat melihat sendiri apa yang terjadi pada diriku sekarang, meskipun Anggerlah yang telah memperingatkan aku lebih dahulu sebelumnya." "Terima kasih, Ki Bahu Langlang. Mudah-mudahan mereka memang tidak akan sampai di sini." Demikianlah, maka Bahu Langlang telah minta diri untuk meneruskan perjalanannya untuk menemui sahabatnya. Ki Pananggungan tidak dapat mencegahnya lagi. Bersama Paksi, Ki Pananggungan mengantar kedua orang suami istri itu sampai di regol. Bahu Langlang memang agak mengalami kesulitan untuk berjalan. Tetapi seperti dikatakannya sendiri, ia sudah terbiasa mengalami keadaan seperti itu dalam petualangannya. Bahkan kadang lebih parah lagi. Ketika Bahu Langlang menjadi semakin jauh, maka keduanyapun telah duduk. Tidak di pendapa, tetapi di serambi sebagaimana saat Bahu Langlang belum datang. Namun baru saja mereka duduk, Nyi Permati telah datang menemui Ki Pananggungan sambil berdesis, "Kemuning menjadi ketakutan. Ia tahu bahwa Bahu Langlang telah datang kemari." "Dari mana ia tahu?" bertanya Paksi. "Bukankah ia berada di belakang?" "Ketika Bahu Langlang dan isteri utamanya itu datang, Kemuning sedang berada di pintu seketheng. Dengan demikian, ia melihat keduanya memasuki pintu regol halaman." "Anak itu seharusnya sudah tidak boleh ketakutan lagi."
"Untunglah ia ikut mBokayu Pananggungan ke sawah," berkata Nyi Permati. "Kenapa?" bertanya Ki Pananggungan. "Jika di sawah ia melihat Bahu Langlang lewat, maka anak itu akan dapat lari tanpa dikendalikan lagi." Ki Pananggungan kemudian tersenyum sambil bangkit berdiri. Kepada Paksi iapun berkata, "Marilah kita temui anak itu." Paksi kemudian berdiri pula mengikut Ki Pananggungan masuk ke ruang belakang. Kemuning benar-benar menjadi ketakutan. Sambil duduk di atas amben panjang, tubuh gadis itu menjadi gemetar. Keringat dinginnya membasahi pakaiannya. "Kau tidak boleh menjadi ketakutan seperti itu, Kemuning," pamannya duduk di sebelahnya sambil tersenyum. "Kau sudah berada di rumah paman. Di sini masih ada Paksi. Apa yang kau takutkan" Sebenarnyalah Bahu Langlang memang tidak berniat buruk. Ia hanya ingin sekedar singgah menemui Paksi. Ia mengucapkan terima kasih, bahwa Paksi telah memberikan peringatan sebelumnya. Namun ia juga ingin memperingatkan Paksi apa yang dicemaskan itu benar-benar terjadi, sehingga Paksi harus berhati-hati. Hanya itu. Kemudian Bahu Langlang itu minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke rumah sahabatnya. Aku bahkan menawarkan kepadanya untuk beristirahat di sini. Tetapi Bahu Langlang itu menolaknya, ia tahu bahwa kau akan menjadi ketakutan." Kemuning tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. "Nah, untuk selanjutnya jangan lagi dibayangi oleh tingkah laku dan sikap Bahu Langlang. Ia sudah berubah dan bahkan telah meninggalkan rumahnya. Ia tidak akan berani mengganggumu lagi." "Tetapi orang itu justru sudah mengetahui rumah ini, Paman." "Itu tidak apa-apa. Ia tidak akan berbuat apa-apa lagi." "Kau dengar, Kemuning?" bertanya Nyi Permati.
"Ya, Bibi." "Percayalah kepada pamanmu," berkata Nyi Permati kemudian. Kemuning tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil. "Sudahlah. Beristirahatlah. Hari ini aku tidak pergi ke sawah. Mungkin besok aku akan melihat seberapa banyak tanah yang sudah ditanami oleh bibimu. Kalau kau mau, kau boleh ikut pergi ke sawah. Aku akan mengajak Paksi. Agaknya Paksi juga tidak akan berkeberatan." Paksi tidak menjawab lain kecuali mengangguk sambil mengiakan. Kemuningpun kemudian menjadi tenang. Ia tahu bahwa pamannya dan Paksi benar-benar akan dapat melindunginya. Karena itu, maka tubuhnya tidak akan menjadi gemetar dan keringat dinginnya tidak mengalir lebih banyak lagi. Sedikit lewat tengah hari, Nyi Pananggunganpun telah pulang. Wajahnya menjadi kehitam-hitaman oleh teriknya matahari. Tetapi Nyi Pananggungan kelihatan tetap segar setelah mencuci kaki, tangannya dan wajahnya di sungai. Nyi Permatilah yang bercerita kepadanya, bahwa Bahu Langlang telah datang ke rumah itu. "Apa yang dilakukannya?" bertanya Nyi Pananggungan. "Ia tidak berbuat apa-apa. Tubuhnya nampaknya masih kesakitan karena Bahu Langlang hampir mati berkelahi dengan orang dari Perguruan Tegal Arang." Namun kemudian dari Ki Pananggungan, isterinya mendengar cerita tentang Bahu Langlang itu lebih jelas. Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan, Ki Pananggungan yang pergi ke sawah bersama Nyi Pananggungan telah mengajak Kemuning . "Kelak kaupun harus dapat turun ke sawah," berkata Ki Pananggungan.
"Aku sudah biasa melakukannya, Bibi," jawab Kemuning. "Aku juga sering pergi ke sawah bersama ibu, sebelum tibatiba ibu dan ayah menghilang." "Bagus," berkata Nyi Pananggungan, "kau akan menjadi gadis yang terampil." Kemuning tidak menjawab. Ia berjalan saja di depan, di sebelah Nyi Pananggungan Sementara itu, Ki Pananggunganpun telah mengajak Paksi pula pergi ke sawah. Karena Kemuning tidak ada di rumah, maka Paksipun tidak perlu menunggui rumahnya. Apalagi Nyi Permati tidak menyatakan keberatan untuk berada di rumah hanya dengan para pembantu yang tinggal di rumah itu. Udara terasa segar di bulak yang luas. Matahari yang mulai memanjat langit melontarkan sinarnya yang lembut. Titik-titik embun masih menyangkut di ujung daun-daun padi yang hijau subur. Di langit sekawanan burung terbang melintas ke selatan. Segarnya udara pagi, hijaunya daun padi yang menyelimuti bulak, telah menyentuh hati Paksi. Tiba-tiba saja ia teringat gubuknya yang ditinggalkannya. Jagung dan kacang panjangnya yang tentu mendekati masanya dipetik. Paksi juga teringat pada beberapa batang pohon kelapa yang diambil niranya untuk dibuatnya menjadi gula. Jika terlalu lama pohon kelapa itu tidak dideresnya, maka ia harus mulai dari permulaan. Niranya akan menjadi sendat untuk beberapa pekan. Hari itu, untuk beberapa lama Paksi berada di sawah. Bersama Ki Pananggungan ia duduk di halaman gubuk kecil yang dibuatnya di belakang tanggul parit yang selalu mengalir di segala musim. Hampir di luar sadarnya, maka Paksipun kemudian berkata, "Aku sudah terlalu lama pergi, Ki Pananggungan." Ki Pananggungan yang sedang memperhatikan Kemuning ikut menanam benih padi berpaling. Dengan nada dalam Ki Pananggungan itu berkata, "Maksudmu?"
Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, "Ki Pananggungan, sudah saatnya aku mohon diri. Aku sudah sepekan berada di rumah Ki Pananggungan." Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, "Kau akan pergi ke mana Paksi?" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku seorang pengembara. Karena itu, maka aku ingin melanjutkan pengembaraanku." "Kemana?" bertanya Ki Pananggungan. "Aku belum dapat mengatakan. Aku akan lebih banyak menganut langkah kakiku, karena ke manapun aku pergi, agaknya tidak akan ada bedanya." "Paksi," berkata Ki Pananggungan kemudian, "bahwa kau dapat memberikan beberapa peringatan kepada Bahu Langlang tentang kehadiran banyak orang di kaki Gunung Merapi itu tentu karena kau memperhatikan mereka. Jika mereka datang untuk mencari sesuatu, maka agaknya kau menaruh perhatian pula terhadap yang mereka cari." Paksi memandang Ki Pananggungan dengan tajamnya. Namun kemudian Paksi menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Pananggungan. Jika banyak orang datang ke kaki Gunung Merapi untuk mencari sesuatu, maka aku justru akan pergi meninggalkan kaki gunung ini. Aku akan pergi ke barat, entah sampai kemana." Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Suaranya hampir tidak terdengar ketika ia bertanya, "Kau mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu?" Wajah Paksi terasa menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat menggelengkan kepalanya meskipun ia tidak ingin mengiakannya. Karena itu, maka akhirnya Paksi hanya menundukkan kepalanya saja. Terasa ada ketegangan di dalam dadanya. "Paksi," berkata Ki Pananggungan, "meskipun kau tidak mengiakannya, tetapi aku menangkap getar perasaanmu. Baiklah. Jika kau tidak berkeberatan, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."
Paksi memandang Ki Pananggungan dengan tajamnya. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan mendengarkannya, Ki Pananggungan." Ki Pananggungan itu terdiam sejenak. Namun kemudian iapun mulai berceritera, "Paksi, justru karena aku percaya kepadamu, aku ingin mengatakan kepadamu bahwa sebelum pergi meninggalkan rumahnya, ayah Kemuning pernah datang kepadaku. Ia berceritera tentang cincin istana yang hilang. Iapun berceritera bahwa siapa yang memiliki cincin itu, keturunannya akan dapat memegang kendali kekuasaan di tanah ini apapun sebabnya. Mungkin karena perkawinan dengan para bangsawan, mungkin karena sebuah perjuangan yang gigih dan tidak mengenal menyerah, mungkin karena keajaiban dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Karena itu, maka cincin itu seakan-akan telah menjadi rebutan. Banyak orang yang mencarinya, termasuk kau, Paksi." Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi Ki Pananggungan itupun dengan serta-merta menyambung, "Tetapi aku tahu bahwa kau mencari cincin itu bukan karena ketamakanmu." Paksi menarik nafas panjang, hampir saja ia mengatakan, bahwa ia mendapat perintah untuk mencari cincin itu. Tetapi niatnya diurungkannya. Sementara itu, Ki Pananggungan berkata, "Aku yakin bahwa ayah dan ibu Kemuning tentu juga sedang mencari cincin itu." "Tetapi kenapa mereka sampai hati meninggalkan Kemuning sendiri." "Tidak sendiri. Tetapi bersama Nyi Permati." "Namun yang terjadi kemudian, hampir sebuah malapetaka," berkata Paksi. "Itu agaknya tidak terpikirkan oleh orang tua Kemuning. Namun akupun tidak ingin menyalahkan Nyi Permati. Ia sangat mencintai Kemuning. Karena itu, maka ia ingin membawa Kemuning kemari sepeninggal ayah dan ibunya." Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Pananggunganpun berkata, "Sebenarnyalah Kemuning bukan
anak kedua orang yang dikenalnya sebagai ayah dan ibunya itu." Paksi mengerutkan dahinya. Dengan serta-merta iapun bertanya, "Jadi, anak siapa?" "Anak Nyi Permati itu sendiri." "O," Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru tidak dapat mengatakan sesuatu. "Anak itu tidak pernah melihat ayahnya yang sebenarnya, yang meninggal sebelum Kemuning dilahirkan." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah Ki Pananggungan tahu, siapa ayah Kemuning yang sebenarnya?" "Ya, aku tahu. Ayahnya seorang perwira prajurit. Tetapi ia gugur dalam tugasnya bersama-sama dengan orang yang harus diburunya. Seorang yang berilmu tinggi namun yang telah menyalahgunakan kemampuannya itu. Sedangkan ayah Kemuning juga seorang prajurit yang mumpuni, sehingga keduanya sampyuh, mati bersama-sama. Bedanya, tubuh ayah Kemuning mendapat perlakukan baik dan terhormat, sedangkan lawannya tidak." -ooo00dw00oooJilid 07 PAKSI mendengarkan keterangan Ki Pananggungan dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Pananggungan berkata seterusnya, "Kau tentu tahu, kenapa aku menceriterakan hal ini kepadamu. Kau adalah seorang yang telah membebaskan Kemuning dari kemungkinan yang paling buruk yang hampir saja dialaminya. Selebihnya aku percaya kepadamu, bahwa kau tidak akan mengatakan hal ini kepada Kemuning itu sendiri. Ia tidak mengenal susunan keluarga yang lain kecuali sebagaimana diketahuinya sekarang." Paksipun menjawab dengan sungguh-sungguh, "Tentu Ki Pananggungan, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya.
Aku tahu bahwa hal itu akan dapat membuatnya menjadi gelisah. Tidak hanya untuk satu bulan, tetapi tentu untuk waktu yang sangat panjang, sepanjang umur Kemuning sendiri." "Nah, sebenarnyalah aku masih mempunyai maksud lain bahwa aku berceritera tentang Kemuning. Jika pada suatu saat kau bertemu dengan tidak sengaja dengan kedua orang tua Kemuning, sementara kedua orang itu melakukan tindakan yang tidak terpuji, Kemuning jangan kau kaitkan dengan tingkah laku kedua orang yang dianggapnya orang tuanya itu. Karena sebenarnyalah aku tahu bahwa kedua orang tua Kemuning itu, kadang-kadang memang terdorong untuk melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain." "Tetapi aku belum pernah melihat orang tua itu, Ki Pananggungan." "Kau mungkin akan melihatnya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk-angguk pula sambil berkata, "Aku akan mengingatnya jika aku bertemu sengaja atau tidak sengaja. Tetapi aku belum mengenal ciri-ciri kedua orang tua Kemuning itu." Ki Pananggunganpun kemudian telah menceriterakan ciriciri dari kedua orang suami isteri itu, sehingga jika Paksi bertemu dengan mereka, maka setidak-tidaknya ia akan dapat menduga, bahwa keduanya adalah orang yang disebut sebagai orang tua Kemuning. Namun Paksi itupun bertanya pula, "Tetapi Ki Pananggungan, apakah Kemuning mengetahui bahwa kedua orang yang dianggap orang tuanya itu sering melakukan tindakan-tindakan yang menurut tatanan kehidupan dianggap tidak baik?" "Aku kira tidak, Paksi." "Bagaimana dengan Nyi Permati?" "Aku kira Nyi Permati sudah mengetahuinya. Tetapi sikap kedua orang yang dianggap orang tua Kemuning itu di rumah cukup pantas. Di rumah mereka tidak menunjukkan sifat-
sifatnya yang kurang baik. Ia mengajari Kemuning untuk menjadi orang yang baik, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Sehingga sifat-sifatnya yang tercela itu tidak nampak sama sekali. Tetapi jika keduanya sudah keluar dari rumah mereka dan apalagi menempuh petualangan panjang seperti sekarang ini, maka sifat-sifat itu akan nampak dimanamana." "Tetapi apakah orang tua Kemuning itu berilmu tinggi?" "Ya. Tetapi aku yakin, bahwa kemampuan mereka tidak akan dapat mengimbangi ilmumu, Ngger. Apalagi jika gejolak jiwamu sudah mapan dan dapat kau kendalikan, sehingga tidak akan terjadi bahwa ilmu itu sudah kau lontarkan pada saatnya kesiapan wadagmu belum sampai ke puncak." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih atas peringatan ini, Ki Pananggungan." "Jika pada suatu saat kau bertemu dengan gurumu, cobalah kau perbincangkan hal itu. Namun agaknya tanpa orang lain kau akan mampu melakukannya, membuat keseimbangan itu." Sementara itu, mataharipun menjadi semakin tinggi. Paksi mengulangi menyampaikan niatnya untuk mohon diri. "Berhati-hatilah. Besok kau akan merambah jalan yang terjal, berbatu-batu runcing, dan beronak duri-duri dengan kaki telanjang. Mungkin kau akan menginjak tajamnya batu padas, atau menginjak ujung eri kemarung atau tunggak bambu yang patah." "Aku mohon doa restu, Ki Pananggungan." "Tetapi aku tidak akan mencemaskanmu. Ilmumu dapat dipercaya, apalagi bagi anak muda seumurmu. Dalam waktu singkat ilmumu akan berkembang semakin tinggi, sehingga orang-orang setua aku ini akan segera kau tinggalkan. Bahkan pada suatu saat kau akan menjadi orang yang sulit untuk dicari duanya." "Ki Pananggungan memuji aku. Tetapi jika aku tidak kuat menyangga pujian, maka aku justru akan runtuh."
"Aku tidak memuji. Aku mengatakan apa yang sebenarnya. Tetapi kau tidak boleh memberi arti yang salah. Kau tidak boleh menjadi sombong dan besar kepala. Jika hal itu terjadi, maka kau benar-benar akan runtuh." Paksi mengangguk. Ia sama sekali tidak merasa tersinggung. Ki Pananggungan berkata dengan jujur kepadanya. Karena itu, Paksi itu justru menjawab, "Aku akan selalu mengingatnya, Ki Pananggungan." "Nah, aku tidak akan menahanmu lagi. Orang lain justru datang ke kaki Gunung Merapi, namun akupun yakin, bahwa yang mereka cari itu tidak berada di sini. Kaupun jangan berharap untuk dapat menemukan cincin itu. Bukankah kau dapat memperhitungkan kemungkinan seperti itu" Bagaimana seseorang dapat menemukan cincin yang kecil itu di luasnya tanah ini" Mungkin memang terjadi satu kebetulan. Tetapi kau tidak perlu terlalu berharap. Menurunkan penguasa tanah ini bukannya satu-satunya kebahagiaan yang dapat menyertai hidup kita." Paksi mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Pananggungan, bahwa masih terdapat banyak kemungkinan untuk menemukan kebahagiaan lahir dan batin. Hari itu adalah hari terakhir Paksi berada di rumah Ki Pananggungan. Menjelang malam, Paksi duduk bersama seluruh keluarga Ki Pananggungan, termasuk Nyi Permati dan Kemuning. Kepada mereka Paksi minta diri, bahwa esok pagi ia akan meninggalkan rumah itu. Terasa sesuatu bergetar di jantung Kemuning. Serasa sesuatu akan terlepas dari ikatannya. Tetapi Kemuning masih terlalu muda untuk dapat mengatakannya. Dalam pada itu, dengan suara yang berat Nyi Permatipun berkata, "Aku tidak dapat membalas kebaikan hatimu, Ngger. Demikian pula Kemuning. "Hanya Yang Maha Agunglah yang akan memberikan imbalan sepantasnya kepadamu." "Apa yang aku lakukan tidak lebih dari apa yang seharusnya aku lakukan, Bibi," jawab Paksi. "Karena itu, lupakan saja."
"Kau juga akan melupakan kami?" bertanya Nyi Permati. "Tidak," jawab Paksi dengan serta-merta. "Aku akan selalu ingat kepada keluarga disini. Bukankah aku pernah tinggal disini meskipun hanya beberapa hari?" "Sukurlah jika demikian," berkata Ki Pananggungan. "Aku harap pada suatu saat kau akan menginjak halaman rumah ini lagi, Paksi." "Aku akan berusaha untuk datang lagi ke rumah ini, Ki Pananggungan." "Terima kasih. Kami akan selalu menunggu kehadiranmu." Rasa-rasanya Kemuningpun akan berpesan agar Paksi sering datang untuk menengok rumah itu. Tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dengan bibirnya. Tetapi ketika Paksi sekilas memandang matanya, rasa-rasanya harapan Kemuning itu sudah terucapkan. Malam itu Paksi berbaring di dalam biliknya, di gandok rumah Ki Pananggungan dengan gelisah. Ada dua dorongan yang kuat yang saling bertentangan menggetar di hatinya. Ada kerinduan terhadap gubuk kecilnya serta lingkungannya. Tetapi rumah Ki Pananggungan rasa-rasanya mempunyai jarijari yang mencengkamnya. "Mata Kemuning itu demikian jernihnya," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, "Umurku baru delapan belas. Sedangkan gadis kecil itu umurnya tentu baru sekitar lima belas." Karena itu, maka Paksipun berusaha untuk menghapus perasaannya itu. Ia masih terlalu muda untuk menambatkan hatinya di pelabuhan cinta. Lewat tengah malam Paksi baru dapat tidur. Tetapi juga tidak terlalu lama. Ayam jantan yang berkokok di dini hari telah membangunkannya. Paksipun kemudian pergi ke pakiwan. Mandi dan berbenah diri. Ia benar-benar akan meninggalkan rumah itu di saat matahari terbit nanti. Sebelum Paksi berangkat, Nyi Pananggungan masih sempat menyediakan minuman hangat dan makan pagi seadanya.
Sekali lagi seisi rumah itu berharap agar Paksi sering datang mengunjungi rumah itu. Menjelang matahari terbit, Paksi sudah siap untuk berangkat. Sambil menjinjing tongkat kayunya, Paksi berdiri di pintu regol. Ki Pananggungan, Nyi Pananggungan, Nyi Permati dan Kemuning berdiri berjajar untuk melepasnya. Adalah di luar dugaan, bahwa Kemuning tiba-tiba berdesis lirih, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum, "Itu adalah kewajibanku bagi sesama, Kemuning." Kemuning sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup rapat. Demikianlah, maka sejenak kemudian Paksipun telah meninggalkan rumah itu. Ia menempuh perjalanan yang sebaliknya dari yang pernah dilakukannya untuk mengantar Kemuning ke Padukuhan Kembang Arum. Sebagai seorang pengembara, maka Paksi dapat mengenali dengan baik jalan yang telah ditempuhnya, meskipun dilakukan di malam hari. Dengan langkah-langkah langkah panjang Paksi menyusuri bulak-bulak yang masih basah oleh embun. Di ujung daun padi, butir-butir air yang menggantung berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi. Paksi mengayunkan tongkat kayunya. Di pepohonan burung-burung bernyanyi tumpang tindih berebut nada tinggi. Perjalanan Paksi memang menjadi jauh lebih cepat dari perjalanannya bersama Kemuning dan Nyi Permati. Kecuali kedua orang perempuan itu menjadi letih dan kakinya terasa pedih, gelapnya malam semakin menghambat langkah mereka. Namun, sendiri, Paksi rasa-rasanya dapat berlenggang tanpa beban apapun. Bulak demi bulak sudah dilaluinya. Sungai yang harus diseberangi dan jalan menyusur pinggir hutan. Tidak ada yang menghambat perjalanan Paksi. Di perjalanan kembali itupun Paksi telah memilih jalan melewati rumah Bahu Langlang. Tentu sudah berubah
sepeninggal Bahu Langlang. Ia tidak tahu, siapakah yang kemudian menguasai atau yang diserahi untuk memelihara rumah yang terhitung besar itu. Mataharipun memanjat semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin panas. Ketika matahari sampai di puncak langit, maka Paksi telah berada di depan regol halaman rumah Bahu Langlang. Halaman rumah itu nampak sepi. Lewat pintu regol yang terbuka, Paksi dapat melihat halaman dan pendapa rumah yang sepi. Ia tidak melihat seseorang. Tidak pula ada yang menjemur gabah. Tetapi Paksi masih mendengar lenguh seekor lembu di dalam lingkungan dinding rumah Bahu Langlang. Tetapi Paksi tidak ingin singgah. Jika ada orang yang mengawasi rumah itu dengan diam-diam dan tersembunyi, maka kehadirannya akan dapat menarik perhatian. Sementara itu Paksi masih belum ingin bersentuhan dengan orang-orang yang datang dari beberapa perguruan yang sudah mempunyai nama. Karena itu, maka Paksipun telah berjalan terus. Dari rumah Bahu Langlang, Paksi berjalan menuju ke pasar. Di pasar itulah ia bertemu dengan Nyi Permati yang ingin menjual kain luriknya untuk memberi makan Kemuning. Setidak-tidaknya untuk menunda derita yang akan dialami gadis itu. Tetapi ternyata Yang Maha Agung telah membebaskannya dari tangan Bahu Langlang dengan lantaran tangan Paksi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bersukur, bahwa Yang Maha Agung telah mempergunakannya membebaskan gadis yang masih sangat muda itu dari tangan Bahu Langlang yang garang. Ketika Paksi sampai di pasar itu, maka pasar telah menjadi sepi. Tidak lagi ada orang yang berjual beli. Tidak ada pedati yang akan mengangkut kelapa. Yang ada di pasar itu hanya dua orang yang sedang membersihkan sampah dengan sapu lidi yang bertangkai panjang.
Paksi memandang berkeliling. Sebuah kedai masih separo terbuka. Dua orang sedang sibuk membenahinya. Namun ketika Paksi mendekat, pemilik kedai itu bertanya, "Apakah kau akan singgah, anak muda?" "Bukankah kedai ini sudah akan ditutup?" bertanya Paksi. "Aku masih menunggumu. Silahkan. Masih ada nasi, pecel lele dan ayung-ayung." Paksi mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan singgah." Paksipun kemudian telah masuk ke dalam kedai itu. Pintunya kembali terbuka lebar. Tetapi beberapa jenis makanan yang tinggal sedikit memang sudah dibenahi, dimasukkan ke dalam tenong bambu dan siap untuk dibawa pulang. Namun ketika Paksi duduk di sebuah lincak panjang, tenong itu telah dibuka kembali dan diletakkan di sebuah geledeg rendah di depan Paksi duduk. "Pasar itu sudah sepi," desis Paksi. "Matahari sudah turun ke barat," jawab pemilik kedai. Paksi mengangguk-angguk. Pembantu di kedai itupun telah menghidangkan semangkuk minuman. "Wedang sere," desis pemilik kedai itu. Paksi mengangguk sambil berdesis, "Terima kasih." "Anak muda akan makan?" bertanya pemilik kedai itu pula. "Ya," Paksi mengangguk. Sambil menghidangkan nasi dan lauk-pauknya, pemilik kedai itu berkata, "Pasar memang agak sepi hari ini. Bahkan ketika matahari sampai ke puncak, para pedagang sudah menyimpan dagangannya. Para pedagang kelapa pun meninggalkan pasar ini lebih awal." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Ada orang-orang yang kami anggap asing berkeliaran kemarin. Kija, yang oleh Ki Bekel mendapat tugas untuk menjaga ketertiban pasar ini hampir mati dianiaya." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Tidak apa-apa. Kija hanya bertanya, siapakah mereka itu. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka telah memukulnya. Sebagai seorang yang diserahi tanggung jawab oleh Ki Bekel,
maka Kija berusaha menangkap orang itu. Tetapi ia justru menjadi korban." "Kija dikeroyok oleh beberapa orang?" "Tidak. Ia berkelahi melawan seorang di antara mereka. Tetapi ternyata Kija sama sekali tidak berdaya." "Kasihan," desis Paksi. "Lalu bagaimana keadaannya sekarang ini" Apakah ia menjadi berangsur baik atau sebaliknya?" "Seorang dukun yang pandai tengah mengobatinya. Dukun itu mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipergunakan untuk mengobati bagian luarnya, tetapi juga membuat obat-obat yang diminumnya." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Jika ia nampak memperhatikan persoalan itu, maka pemilik kedai itu justru akan merasakan sesuatu yang lain padanya, sehingga ia akan menjadi semakin ingin lebih banyak mengetahui tentang dirinya atau bahkan dirinya akan dihitungnya sebagai orang-orang asing itu pula. Tetapi di luar dugaan Paksi, pemilik kedai itulah yang kemudian berceritera atas kehendaknya sendiri, "Tetapi sebenarnya bukan hanya kemarin saja pasar ini didatangi oleh orang-orang yang tidak dikenal. Tidak seperti kau, anak muda Meskipun aku belum pernah melihatmu sebelumnya, tetapi kau nampak wajar seperti orang lain. Bedanya, kau yang masih muda itu membawa tongkat. Jarang anak-anak muda membawa tongkat kemana-mana. Hanya orang-orang tua yang susah berjalan yang membawa tongkat." "Tongkat ini tongkat wasiat, Ki Sanak," sahut Paksi sambil tersenyum. "Tongkat wasiat?" pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. "Maksudku, tongkat ini tongkat kakekku yang karena sudah terlalu tua, sehingga susah berjalan. Ketika kakekku meninggal, maka tongkat ini selalu aku bawa kemana-mana. Kakek adalah orang yang sangat baik kepadaku."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira tongkat wasiatmu adalah tongkat yang memiliki kekuatan yang luar biasa." "Ah, tidak Ki Sanak. Bagiku, dengan membawa tongkat ini, rasa-rasanya aku selalu dekat dengan kakekku yang sudah tidak ada lagi itu." Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, benda-benda yang khusus memang dapat menjadi lantaran untuk merasa selalu dekat dengan pemiliknya." Paksi mengangguk-angguk pula. Namun kemudian mulutnya sibuk mengunyah sehingga ia tidak berkata apa-apa lagi. Pemilik kedai itu tidak mengganggunya pula. Dibiarkannya anak muda itu menikmati makan dan minum di kedainya. Namun dalam pada itu, apa yang terjadi di pasar itu merupakan pertanda bagi Paksi, bahwa orang-orang dari berbagai perguruan itu telah semakin tersebar. Bukan saja nama Bahu Langlang yang telah memancing mereka, tetapi mereka memang telah merayap kemana-mana untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik yang mereka perkirakan jatuh di sekitar tempat itu setelah terbang mengarungi langit dengan memancarkan cahayanya yang terang seperti cahaya ndaru. "Satu pertanda buruk bagi daerah ini," berkata Paksi di dalam hatinya. Tetapi Paksipun telah teringat pula kepada rumah gubuknya. Jika orang-orang yang mencari cincin itu berkeliaran semakin jauh, maka ada kemungkinan satu dua orang sampai ke gubuknya. Jika demikian, maka mungkin sekali mereka akan melakukan sesuatu yang dapat merugikannya. Mungkin gubuknya, perabot-perabot dapurnya atau mungkin tanamannya akan rusak. Karena itu, maka rasa-rasanya Paksi ingin segera sampai ke rumah gubuknya yang masih terhitung jauh. Demikianlah, maka Paksipun kemudian telah melanjutkan perjalanannya. Keinginannya untuk segera sampai di
gubuknya, telah mendorongnya untuk berjalan terus, meskipun kemudian matahari tenggelam ditelan cakrawala. Paksi yang memiliki ketahanan tubuh yang tinggi itu melangkah di dalam kegelapan. Ia tidak berjalan terlalu cepat. Tetapi seakan-akan tidak berhenti sama sekali. Bulak demi bulak dilewatinya. Ia berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan. Dalam keadaan yang menggelisahkan akan dapat timbul salah paham dengan para peronda. Karena itu, maka kadang-kadang Paksi berjalan di atas pematang, tanggul, parit atau menyelusuri sungai-sungai kecil. Tetapi suatu ketika Paksi memang ingin berjalan lewat sebuah padukuhan yang besar. Mungkin ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia sudah menyiapkan jawaban-jawaban jika para peronda menghentikannya dan bertanya banyak hal tentang dirinya. Tetapi ternyata di padukuhan itu tidak terdapat seorangpun yang meronda. Gardu-gardu nampak sepi. Bahkan oncorpun tidak dinyalakan. Paksi mencoba untuk mengerti, apa yang telah terjadi. Agaknya orang-orang asing itupun telah mulai berkeliaran di padukuhan itu, siang atau malam. Karena itu, maka orangorang padukuhan itu, terutama di malam hari, tidak ada yang berani keluar dari rumahnya. Dengan demikian, maka laki-laki di padukuhan itu tidak pula berani pergi ke gardu. "Tentu pernah terjadi sesuatu yang membuat para penghuni padukuhan ini ketakutan," berkata Paksi di dalam hatinya. Di malam yang sepi itu Paksi melangkah lewat di depan regol yang satu ke regol yang lain. Semuanya tertutup rapat. Dari celah-celah dinding rumah Paksi melihat cahaya lampu minyak yang suram. Tetapi rumah-rumah di pinggir jalan itu rasa-rasanya telah membeku. Mungkin satu dua penghuninya masih belum tidur. Namun padukuhan itu telah benar-benar dicengkam oleh kesepian.
Paksi berjalan terus. Ia tidak mau mengusik kediaman padukuhan itu. Ketika ia melewati sebuah gardu, maka ia melihat kentongan yang tergantung pada emper gardu itu. Tetapi kentongan itu seakan akan sedang beristirahat panjang dari tugas-tugas yang harus dipikulnya. Ketika Paksi sempat meraba kentongan itu, maka jari-jari tangannya merasakan debu yang tebal melekat pada kentongan itu. "Sudah beberapa lama kentongan ini tidak dibunyikan?" bertanya Paksi kepada diri sendiri. Tetapi Paksi tidak dapat menyalahkan para penghuni padukuhan itu. Mereka memang tidak akan dapat melawan orang-orang dari beberapa perguruan yang berkeliaran di padukuhan itu. Sehingga karena itu, maka jalan yang dapat mereka tempuh adalah sekedar menghindar, menutup pintu rumah dan regol halaman. Paksi melangkah terus. Angin malam yang dingin mengusap wajahnya yang berkerut. Di sebelah menyebelah jalan, pepohonan berdiri tegak dengan kokohnya. Daundaunnya bergerak lembut disentuh angin. Paksi berjalan terus menapak di atas jalan padukuhan yang gelap dan sepi. Paksi benar-benar berjalan terus malam itu. Hanya sekalisekali ia berhenti sejenak, duduk sambil memandangi langit yang ditaburi bintang-bintang yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi Paksi tidak membiarkan angan-angannya menjadi ngelangut melihat luasnya langit. Sekali-sekali Paksi melihat bintang yang meluncur menembus lengkung langit. Kecil saja dan sinarnya tidak sampai menguak malam seperti ndaru. Seleret, lalu hilang lagi. "Apa sebenarnya yang ada di balik birunya langit itu?" bertanya Paksi kepada diri sendiri. Tetapi Paksi tidak pernah menemukan jawabnya. Yang ia tahu adalah sifat dari beberapa bintang. Ki Marta Brewok pernah memberitahukan kepadanya tentang beberapa macam bintang yang ada di langit. Ada di antara bintang-bintang itu
yang dapat menunjukkan arah, musim dan bahkan petunjuk bagi petani untuk mengerjakan sawahnya. Alangkah besarnya ciptaan Yang Maha Agung. Namun Paksi tidak terlalu lama merenungi langit. Iapun kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanan. Rasa-rasanya ia ingin segera sampai ke gubuk kecilnya. Ketahanan tubuh Paksi memang sangat tinggi. Ia berjalan terus memanjat kaki Gunung Merapi setelah melewati pasar yang sering dikunjungi. Tetapi pasar itu sepi. Bahkan tempat pemberhentian pedati dan penginapan dari para pedagang yang mencari dan menjual dagangannya di pasar itu nampak sepi pula, meskipun ada juga satu dua pedati di halaman yang becek berkubangan dan kotor. Para pemilik pedati itu mencuci pedatinya di halaman itu juga kemudian membersihkan sisasisa kotoran yang ada di dalamnya dan membuangnya di sembarang tempat. Sementara itu, halaman itu sendiri tidak terlalu sering dibersihkan. Meskipun angin malam yang dingin terasa berhembus semakin deras di kaki gunung, tetapi pakaian Paksi menjadi basah oleh keringat. Semakin dekat dengan gubuk kecilnya, Paksi justru berjalan semakin cepat, sementara malam menjadi semakin dalam. Bahkan telah melampaui pertengahannya. Dari padukuhan-padukuhan terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Padukuhan-padukuhan yang telah dikenal dengan baik oleh Paksi. Semakin tinggi Paksi memanjat kaki gunung, maka udarapun terasa menjadi semakin dingin. Tetapi Paksi sudah terbiasa dengan dinginnya udara pegunungan. Apalagi malam itu ia telah berjalan panjang, sehingga keringatnya membuat tubuhnya menjadi hangat Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia memasuki jalan setapak. Semakin jauh, jalan itu menjadi semakin sempit dan berbatu-batu padas yang sekali-sekali terasa menusuk telapak kaki. Jalan yang jarang sekali disentuh oleh kaki manusia.
Setelah melewati gumuk-gumuk kecil, maka Paksipun menjadi semakin dekat dengan gubuk kecilnya. Rasa-rasanya malam menjadi sangat gelap. Tetapi pandangan mata Paksi yang sangat tajam dapat melihat benda-benda yang ada di sekitarnya meskipun berada di kegelapan. Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia melangkah mendekati gubuknya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia melihat cahaya di dalam gubuk kecilnya. Cahaya lampu minyak sebagaimana ia sering menyalakannya. Paksi berhenti beberapa langkah dari gubuknya. Ia mulai menduga-duga, siapakah yang telah menyalakan lampu minyak itu. "Mungkin Guru," desis Paksi di dalam hatinya. Namun akhirnya Paksipun telah memaksa dirinya untuk mendekati gubuk itu. Paksi terkejut ketika ia mendengar suara seseorang dari dalam gubuk itu, "Marilah. Jangan berhenti di situ. Pintunya tidak aku selarak." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian didorongnya pintu gubuknya sehingga terbuka. Paksi memang terkejut ketika ia melihat seorang yang masih terhitung muda duduk di dalam gubuknya. Di atas ajugajug, lampu minyaknya menyala menerangi ruangan yang tidak terlalu luas itu. "Siapakah kau?" bertanya Paksi kepada orang yang duduk di dalam gubuknya itu. Orang itu dengan pandangan mata yang tajam memandang Paksi yang berdiri di depan pintu. Dengan tenangnya iapun mempersilahkan Paksi, "Masuklah. Duduklah." "Siapakah kau?" Paksi mengulang. "Duduklah. Kita akan berbicara." Suara orang itu mengandung wibawa yang besar, sehingga Paksi seakan-akan telah dicengkamnya tanpa dapat menolak.
Perlahan-lahan Paksi melangkah memasuki gubuk itu. Ia menjadi sangat berhati-hati. Ia belum mengenal orang itu. Karena itu, Paksipun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi menilik wajah dan pandangan matanya, orang yang masih terhitung muda itu bukan orang yang licik. Ketika Paksi duduk dua langkah di hadapannya orang itu beringsut setapak. "Siapakah kau, Ki Sanak?" bertanya orang itu. "Akulah yang berhak bertanya kepadamu. Rumah ini rumahku." "O," orang itu mengerutkan dahinya. "Jadi rumah ini rumahmu" Maaf, aku tidak tahu. Dalam pengembaraanku aku menemukan rumah ini kosong, sementara ada beberapa macam perkakas dapur yang tertata rapi. Rumah ini sangat menarik bagiku. Aku menunggu pemiliknya sampai seharisemalam. Tetapi tidak ada seorangpun yang datang. Bahkan sampai dua hari, tiga hari. Karena itu, akulah yang kemudian merasa diriku menjadi tuan rumah di gubuk ini." "Jadi, siapakah kau?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata, "Namaku Wijang. Aku seorang pengembara yang menjelajahi satu tempat ke tempat yang lain." "Apakah yang kau cari dalam penjelajahanmu itu?" Orang yang menyebut dirinya Wijang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tidak ada." Tetapi tiba-tiba saja Paksi menebak, "Kau juga mencari sebentuk cincin bermata tiga butir batu akik?" Orang itu nampak terkejut. Dipandanginya Paksi dengan kerut di dahinya. Tetapi yang meloncat dari mulutnya adalah sebuah pertanyaan, "Siapa namamu?" "Namaku Paksi." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi cincin itu ada padamu sekarang?"
"Aku sama sekali tidak tertarik pada cincin itu," jawab Paksi. "Jangan ingkar," berkata orang yang mengaku bernama Wijang itu. "Cincin itu tentu ada padamu." Paksilah yang kemudian memandang wajah orang yang mengaku bernama Wijang itu. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap. Wajahnya bersih dan bahkan seakan-akan memancarkan sinar. Kedua matanya yang tajam, tetapi jernih itu nampak berkilat-kilat di bawah cahaya lampu minyak di ajug-ajug. "Ada beberapa orang yang berkeliaran di sekitar tempat ini untuk mencari sebuah cincin," berkata Paksi, "tentu termasuk kau, Ki Sanak." "Namaku Wijang," desis orang itu. "Ya," Paksi mengangguk-angguk, "tetapi aku sendiri tidak merasa memerlukannya." "Kau bohong. Menilik lingkungan kecilmu, kau tentu sudah lama berada di sini. Kau tentu tidak hanya sekali ini saja siap memanen jagung dan bahkan padi gaga. Tanaman-tanaman yang lain memastikan keyakinanku itu." "Ya. Aku sudah setahun disini. Tetapi aku sama sekali tidak menginginkan cincin itu. Kehadiranku disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha untuk menemukan cincin itu. Aku baru mendengar bahwa ada sebuah cincin yang sedang diburu, justru dari orang-orang yang berdatangan disini." "Kau dapat berkata apa saja. Tetapi aku yakin, kaulah yang menyimpan cincin itu." "Terserah kepadamu. Tetapi aku melihat cincin itupun belum pernah. Apalagi memilikinya." "Kebetulan sekali kau datang, Paksi," berkata orang itu. "Kau tidak usah ingkar. Berikan cincin itu kepadaku. Kemudian aku tidak akan mengganggumu lagi." "Aku katakan sekali lagi Wijang, aku tidak membawa cincin itu." "Jika kau tidak mau menyerahkan cincin itu, maka aku akan mengambil sendiri."
"Dimana akan kau ambil?" "Aku akan mencarinya. Tentu ada padamu. Mungkin di kantong ikat pinggangmu, mungkin di kampilmu atau justru kau sembunyikan di dalam tongkatmu itu. He, kenapa kau membawa tongkat?" Dahi Paksi itupun berkerut. Menilik ujudnya, orang itu tentu berbeda dengan orang-orang yang sering berkeliaran untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu. Seandainya orang ini juga mencarinya, tentu tidak dengan cara sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dari berbagai perguruan itu. Dalam pada itu, maka orang itupun kemudian berkata, "Paksi. Sebaiknya kita berbaik hati, supaya kita tidak usah berselisih. Berikan saja cincin itu kepadaku. Mungkin kau memerlukan imbalan yang pantas. Aku akan berusaha memenuhinya." "Wijang," berkata Paksi, "aku tidak perlu mengatakan dua tiga kali lagi. Cincin itu tidak ada padaku." Tetapi orang yang menyebut dirinya Wijang itu berkata, "Jangan mempersulit dirimu sendiri." Paksipun kemudian bangkit berdiri. Ia melangkah mendekati lampu minyaknya untuk menarik sumbunya yang sudah hampir terbenam ke dalam minyak sehingga nyalanya terlalu kecil. Kemudian sambil berdiri di sebelah lampu minyak itu ia berkata, "Aku atau kau yang mempersulit diri." Wijang memandang Paksi dengan kerut di kening. Namun dengan demikian, maka Wijang itu telah menghadap ke arah lampu minyak. Jika semula wajahnya tidak nampak jelas karena ia tidak menghadap ke arah lampu, maka kemudian Paksi dapat melihat wajah itu. Apalagi nyala lampunya telah dibesarkannya. Sebenarnyalah Paksi terkejut. Ia merasa sudah pernah mengenal wajah itu meskipun ia belum pernah mengenalnya. Sebagai anak seorang tumenggung, maka sekali-sekali Paksi pernah berada di lingkungan istana.
Ketika di istana diselenggarakan satu upacara, ia pernah mendapat kesempatan untuk ikut bersama ayahnya. Beberapa orang kawannya juga ikut bersama ayah mereka. Tetapi anak para tumenggung itu tidak diijinkan masuk ke paseban. Mereka berada di halaman dalam istana sambil menunggu ayah mereka yang berada di paseban. Anak-anak itu akan menyaksikan keramaian yang khusus diselenggarakan. Pada saat itu Paksi melihat seorang anak muda menunggang kuda lewat di halaman dalam istana tanpa harus turun dari kudanya. Menurut ingatan Paksi, anak muda yang naik kuda itulah orang yang berada di dalam gubuknya itu. Tetapi satu hal yang Paksi tahu, bahwa orang itu tentu tidak mengenalnya. Meskipun Paksi yakin bahwa ia tidak keliru, namun ia purapura tidak mengenalinya. Karena itu, maka iapun kembali duduk. Meskipun demikian ia berusaha untuk sedikit membelakangi lampu minyak, sehingga orang yang ada di dalam gubuknya itu lebih banyak menghadap ke arah lampu minyak. Semakin lama Paksi memandanginya, maka iapun menjadi semakin yakin. Bahwa orang yang berkuda di halaman istana itulah orang yang sekarang duduk di hadapannya itu. Untuk beberapa saat Paksi berdiam diri. Orang itulah yang kemudian berkata, "Paksi. Aku memberimu kesempatan untuk berpikir. Besok pagi-pagi aku ingin mendengar, apakah kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak." "Jika tidak," jawab Paksi. "Sudah aku katakan, aku akan mengambilnya sendiri." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang itupun berkata, "Baiklah. Karena rumah ini rumahmu, maka aku akan keluar. Aku akan tidur di luar sambil menunggu matahari terbit. Aku akan mendengar jawabmu tentang cincin itu."
"Sebenarnya kau tidak usah menunggu sampai esok. Sekarang aku sudah dapat memberi jawaban. Cincin itu tidak ada padaku." Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Kau masih didera oleh gejolak perasaanmu. Kau masih terlalu muda untuk dapat menimbang langkah-langkahmu dengan jernih. Karena itu, aku menunggu sampai esok." Tetapi ketika orang itu bangkit, Paksipun bertanya, "Kau akan pergi ke mana?" "Aku akan tidur di luar," jawab orang itu. "Udara dingin di sini. Tidur sajalah di dalam. Aku tidak akan membunuhmu selagi kau tidur." Orang itu tertawa. Katanya, "Aku percaya kepadamu, Paksi. Tetapi jika aku tidur di dalam, maka gubukmu ini akan terasa terlalu sempit." "Tidak," jawab Paksi. "Aku akan mengatur perkakas dapur itu, agar ruangan ini dapat kita pergunakan untuk tidur berdua." "Kau tidak takut bahwa akulah yang membunuhmu?" bertanya orang yang mengaku bernama Wijang itu. "Tidak. Kau tidak akan melakukannya." "Ternyata kau telah membuat satu kesalahan yang besar. Kau terlalu percaya kepada orang yang sebenarnya belum kau kenal. Dari mana kau mendapatkan satu keyakinan bahwa aku tidak akan membunuhmu?" "Aku mencoba untuk menilai ujud, sikap dan tingkah lakumu." "Ujud seseorang tidak selalu mencerminkan sikap, tingkah laku dan wataknya, karena sikap dan tingkah laku itu dapat dibuat-buat, justru sangat bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya." "Tetapi kenapa kau juga mempercayai aku, sedangkan kau juga belum mengenal aku yang sebenarnya." "Menurut nalarku, aku percaya kepadamu. Tetapi aku sadar, bahwa aku harus berhati-hati. Mungkin kau termasuk orang yang berpura-pura dapat dipercaya. Karena itu, aku
akan tidur di luar. Kau tidur di dalam. Pintu harus kau selarak, sehingga aku tidak akan dapat masuk dengan diam-diam." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegah orang itu lagi ketika ia melangkah keluar pintu gubuknya. Demikianlah, maka orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu benar-benar tidur di luar gubuk dalam cuaca yang dingin. Sedang Paksipun telah menyelarak pintu. Bagaimanapun juga, ia memang harus berhati-hati. Seperti yang dikatakan sendiri oleh orang yang datang ke gubuknya itu, ia memang belum mengenal orang itu seutuhnya. Meskipun orang itu benar yang dilihatnya berkuda di halaman istana, namun ia tidak tahu pasti tentang sifat dan wataknya. Malam itu Paksi tidur dalam gelap. Ia memadamkan lampu minyaknya, sehingga rasa-rasanya di dalam gubuk itu lebih gelap daripada di luarnya. Tetapi mata Paksi yang tajam, apalagi jika ia mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, akan mampu melihat dalam kegelapan tidak terlalu jauh berbeda dengan penglihatannya di dalam terang. Malam itu Paksi dapat tidur nyenyak. Pendengarannya yang tajam akan membangunkannya jika orang itu membuka pintu gubuknya dengan paksa, atau bahkan merusak dindingnya. Sebenarnyalah malam itu tidak terjadi sesuatu. Orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu tidak berbuat curang sebagaimana Paksi juga tetap berada di gubuknya. Menjelang pagi, seperti biasanya Paksi telah bangun. Setelah menyalakan lampu minyaknya, maka iapun membuka pintu gubuknya dan melangkah keluar. Langit masih nampak hitam. Tetapi suara burung liar telah menggema di hutan-hutan lereng pegunungan. Seperti biasanya pula Paksipun menyalakan perapian, menjerang air sebelum langit menjadi terang. Ketika ia melihat simpanan berasnya, ternyata sisanya masih tetap utuh. Karena itu, maka iapun telah mencuci beras pula dan menanak nasi.
Sementara itu, maka Paksipun telah pergi ke sungai untuk mandi dan kemudian berbenah diri. Ketika cahaya fajar nampak di langit, maka Paksipun telah memadamkan perapiannya. Nasi sudah masak dan airpun sudah mendidih. Paksi telah membuat wedang jahe yang dapat menghangatkan tubuhnya di dinginnya udara pegunungan. Ketika kemudian Paksi keluar lagi dari gubuknya, ia melihat orang yang menyebut dirinya Wijang itu sudah duduk di atas sebuah batu yang besar. Di batu itu pulalah, Ki Marta Brewok sering duduk jika ia mengunjungi Paksi. "Kau ternyata termasuk anak muda yang rajin. Kau bangun pagi-pagi sekali. Melakukan segala kewajibanmu dengan baik." "Dimana kau tidur semalam?" bertanya Paksi. "Aku tidur di ladang jagungmu. Nampaknya kau hampir panen. Ketela pohonmu juga sudah cukup umur untuk dicabut. Kau dapat membuat geplek yang tahan lama disimpan." Paksi mengangguk. Katanya, "Ya. Dua tiga pekan lagi aku akan mencabutnya dan menjemurnya setelah dikuliti." "Nah, sekarang waktu yang aku berikan sudah sampai pada batasnya. Kau harus menjawab, apakah kau bersedia memberikan cincin itu kepadaku atau tidak." "Jangan tergesa-gesa. Aku akan pergi ke sungai untuk menangkap ikan. Kita akan memanggang ikan itu untuk makan pagi. Kita akan membicarakan persoalan kita setelah kita makan pagi. Kau dapat duduk sambil minum wedang jahe hangat sambil menunggu aku kembali dari sungai." "Sampai kapan kau akan menangkap ikan?" bertanya Wijang. "Tidak terlalu lama. Di kedung kecil terdapat cukup banyak ikan yang mudah ditangkap." Wijang termangu-mangu sejenak. Sementara itu Paksipun mempersilahkannya, "Masuklah. Kau tahu dimana letaknya mangkuk. Kau dapat menuang wedang jahe itu sendiri." "Kau akan pergi ke sungai?" bertanya Wijang.
"Ya," jawab Paksi. "Jika demikian, biarlah aku ikut." Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, "Silahkan jika kau inginkan." Keduanyapun kemudian telah pergi ke sungai. Di tikungan sungai itu terdapat sebuah kedung kecil. Di kedung kecil itu memang terdapat cukup banyak ikan, sehingga Paksi tidak memerlukan waktu yang lama untuk menangkapnya. Di tebing kedung kecil itu Paksi menyimpan sebuah lembing kecil yang panjang. Dengan lembing itu Paksi menangkap beberapa ekor ikan. "Menyenangkan sekali," berkata Wijang. "Berikan lembing itu. Aku juga akan menangkap ikan seperti kau lakukan." Paksi memberikan lembing itu. Wijang yang berdiri di bibir kedung itupun kemudian telah menangkap ikan dengan lembing sebagaimana dilakukan oleh Paksi. Namun selagi Wijang sibuk menangkap ikan, maka di luar sadarnya, seekor ular yang merambat di tebing telah mematuk kakinya. Wijang terkejut. Paksipun terkejut pula. Ia melihat ular itu dengan cepat menjalar dan hilang di dalam lebatnya rerumputan dan ilalang. "Wijang," berkata Paksi dengan cemas, "aku mempunyai obat penawar racun. Kau dapat mengobatinya untuk menawarkan racun ular itu jika tidak terlambat." Tetapi Wijang sendiri tersenyum. Sambil membidik seekor ikan kakap yang besar Wijang berkata, "Jangan hiraukan. Ular itu tidak akan menyakiti aku." Paksi mengerutkan keningnya. Sementara itu, Wijang telah melemparkan lembingnya tepat mengenai sasarannya. Paksi masih berdiri termangu-mangu. Ternyata Wijang itu sama sekali tidak menghiraukan patukan ular belang yang racunnya sangat tajam itu. Namun setelah memungut ikan kakap yang besar itu, Wijang duduk di atas rerumputan. Dipijitnya luka di kakinya itu. Darah yang hitam kebiru-biruan mengembun dari lukanya
itu. Namun kemudian disusul dengan titik-titik darah merah yang segar. Wijang tersenyum. Diusapkan darahnya yang merah itu. Katanya, "Racun itu tidak akan menggangguku." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Wijang berdiri, Paksipun bertanya, "Kau juga mempunyai obat penawar racun?" Wijang mengangguk. Katanya, "Aku harus melengkapi bekal dalam pengembaraanku yang panjang ini." Paksi mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba Wijang itupun berkata, "Bukankah kita sudah mendapat ikan cukup banyak untuk makan pagi?" Paksi memandang seonggok ikan di tepi kedung kecil itu. Jawabnya, "Ya. Marilah kita pulang." Keduanyapun kemudian kembali ke gubuk Paksi. Wijanglah yang kemudian membersihkan ikan itu, sementara Paksi membuat api. "Di siang hari jarang sekali aku membuat api. Jika aku membuat api untuk memanggang ikan, maka aku mempergunakan arang agar asapnya tidak terlalu banyak. Asap akan dapat mengundang perhatian orang atas tempat ini. Tempat yang selama ini tidak pernah dikunjungi orang lain kecuali kau," berkata Paksi kemudian. "Jika aku tidak tersesat, maka aku tidak akan sampai kemari," berkata Wijang kemudian. Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah asyik memanggang beberapa ekor ikan yang telah digarami. Kemudian, selagi ikan itu masih hangat, serta nasinyapun ternyata masih hangat pula, mereka telah makan pagi. "Aku belum pernah makan senikmat ini," berkata Wijang. "Meskipun dihidangkan berbagai macam lauk, namun semuanya selalu terasa hambar. Baru sekarang aku benarbenar mendapat lauk yang sesuai dengan seleraku." Paksi mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah bagimu selalu dihidangkan berbagai macam lauk?"
Wijang terkejut. Tetapi dengan serta-merta iapun menyahut, "Seandainya. Tetapi sekali-sekali aku memang pernah menghadapi beberapa macam lauk di saat aku bertamu." Paksi tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Beberapa saat keduanya makan sambil berbincang tentang ikan gurami, kakap, bader dan bahkan wader bang dan wader pari. Rasa-rasanya mereka lupa, seberapa banyak nasi yang sudah mereka makan serta wedang jahe yang sudah mereka hirup. Tiba-tiba saja Wijang menarik nafas dalam-dalam. Diletakkannya mangkuknya yang telah kosong sambil berdesah, "Aku terlalu banyak makan pagi ini." Paksi tertawa. Katanya, "Aku makan lebih banyak. Tetapi aku tidak merasa terlalu kenyang." "Kau makan berapa ekor ikan" Aku makan lebih dari tiga ekor ikan kakap yang besar itu." "Aku sudah sering makan ikan panggang." "Kau juga berburu rusa atau kijang di hutan itu?" bertanya Wijang. "Kadang-kadang," jawab Paksi. "Menarik sekali. Aku menyenangi cara hidupmu," berkata Wijang kemudian. "Kau tidak akan dapat bertahan lama." "Apakah kau sama sekali tidak bergaul dengan orang lain?" bertanya Wijang. "Tentu. Aku sering pergi ke pasar. Aku mempunyai beberapa orang sahabat di pasar. Di antaranya seorang anak kecil. Namanya Kinong." "Bagaimana kau tetap merahasiakan tempat tinggalmu terhadap sahabat-sahabatmu itu?" "Ternyata aku dapat melakukannya. Tidak seorang pun di antara mereka yang tahu, bahwa aku tinggal disini." Wijang mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan tinggal disini. Aku akan mengusirmu setelah kau
serahkan cincin itu. Aku akan memiliki rumah ini, kebun jagung dan padi gaga." "Masih ada yang lain," Paksi justru menambahkan, "kebun pisang, pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang tepian sungai, rumpun pring cendani dan pring tutul." "Kau mempunyai rumpun pring tutul" Kenapa kau tidak membuat perabot gubukmu ini dengan pring tutul" Lincak panjang atau geledeg." "Aku lebih senang tidur dengan ketepe." "Bagus. Jika demikian, aku akan mengambil alih gubuk ini. Tetapi aku memberi kesempatan kepadamu sampai kau memetik jagung yang sudah hampir waktunya itu." "Kau akan berhenti bertualangan?" bertanya Paksi. "Aku akan bertualang dari tempat ini. Maksudku, setiap kali aku akan kembali kemari. Beristirahat untuk dua tiga hari, lalu pergi bertualang lagi." Tetapi jawab Paksi mengejutkan, "Ambillah." Dahi Wijang berkerut. Dengan ragu ia bertanya, "Kau tidak mempertahankan hakmu?" "Aku tahu kau tidak akan kerasan tinggal disini sampai setengah musim. Jika hujan turun, maka segala-galanya akan berubah." Wijang memandang Paksi dengan tajamnya. Katanya, "Aku tahu bahwa kau sekedar menakut-nakuti aku, agar aku mengurungkan niatku." "Tidak. Aku tidak ingin mengurungkan niatmu. Sudah aku katakan, kau tidak akan bertahan setengah musim. Kau tentu merasa lebih senang tinggal di istana." Wijang terkejut. Dengan serta-merta iapun bertanya, "Istana yang mana?" Paksi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah aku terlalu cepat untuk berterus-terang?" Paksi memandang Wijang sejenak. Wajahnya nampak tegang. Sementara Paksi yang sudah terlanjur menyinggung kenyataan tentang Wijang itupun berkata selanjutnya, "Aku
tidak tahu siapakah kau sebenarnya. Tetapi aku sudah mengenalmu sebelumnya." "Dimana?" bertanya Wijang. "Aku sudah beberapa kali harus berkelahi dengan orangorang yang tidak benar-benar ingin berkelahi. Meskipun dengan perkelahian itu aku selalu mendapat pengalaman baru serta petunjuk-petunjuk yang berharga. Namun sekarang aku tidak ingin berkelahi dengan kau. Sekali lagi, aku tidak tahu siapa sebenarnya kau ini. Tetapi jika aku salah menyebutmu dan aku keliru mengetrapkan unggah-ungguh, itu bukan karena aku bersikap deksura. Tetapi karena kebodohanku dan ketidak-tahuanku." "Kenapa kau tiba-tiba mengigau" Bangkit. Kita akan berkelahi. Sudah waktunya kau berikan cincin itu kepadaku." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku baru saja makan. Dan kau merasa terlalu kenyang. Tidak baik untuk banyak bergerak." "Kau memang iblis kecil," geram Wijang. Tetapi wajahnya tidak menunjukkan gejolak kemarahan di dadanya. Paksi menggeleng. Katanya, "Aku sedang malas untuk berkelahi sekarang." "Baik. Melawan atau tidak melawan, aku akan berkelahi." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia justru mengumpulkan mangkuk-mangkuknya yang kotor sambil berkata, "Aku sudah terlalu lama menahan diri untuk mengatakan, bahwa aku pernah melihat kau di istana. Hanya orang-orang berkedudukan tinggi atau bahkan hanya keluarga istana saja yang tetap duduk di punggung kudanya di halaman istana." Wajah Wijang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menjawab, "Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Aku belum pernah pergi ke istana. Bahkan aku belum pernah memasuki kotaraja. Aku pengembara yang menelusuri jalanjalan pegunungan, lembah dan ngarai yang panjang. Berjalan seurut pantai berpasir, berendam di sungai, kedung dan rawa-
rawa. Menyusup di antara semak-semak berduri di hutanhutan yang lebat." "Aku percaya. Tetapi keluarga istana pun ada yang melakukannya pula. Sebelum naik tahta Pajang, Kangjeng Sultan juga seorang pengembara." "Siapa yang mengatakannya kepadamu" Apakah kau mengenal Kangjeng Sultan?" "Tidak. Tetapi banyak orang yang mengatakannya." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Paksi berkata, "Aku tidak ingin berteka-teki. Aku harus bersikap benar. Karena itu, aku ingin tahu, dengan siapa aku berhadapan." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata aku juga terkelabuhi. Aku kira hanya aku sajalah yang telah mengetahui bahwa aku berhadapan dengan Paksi Pamekas, putera Ki Tumenggung yang hanya aku kenal dengan gelar Tumenggung Sarpa Biwada." Paksilah yang menjadi sangat terkejut. Dengan suara yang bergetar iapun berkata, "Dari mana kau tahu namaku dan bahkan keluargaku?" Wijang tersenyum. Katanya, "Seorang pengemis tua berceritera kepadaku tentang seorang anak muda yang sedang mengembara. Ia sempat memberikan tongkat pusakanya kepada anak muda itu. Sementara itu orang yang wajahnya dikotori oleh rambut, jambang, kumis dan janggut, juga berceritera tentang Paksi Pamekas, anak seorang tumenggung yang mengembara karena mendapat perintah dari ayahnya untuk mencari sebuah cincin bermata tiga butir batu akik." "Aku tidak pernah berceritera kepada mereka, bahwa aku adalah anak seorang tumenggung. Aku adalah anak dari Padukuhan Banyuanyar." Orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu tertawa. Katanya, "Mungkin mereka bermimpi bertemu dengan ayahmu yang berkedudukan tinggi itu."
Paksi memang menjadi bingung. Namun kemudian, Paksi itupun bertanya, "Baiklah. Aku tidak ingkar. Nampaknya segala sesuatunya sudah nampak terang di pandanganmu. Sekarang, siapakah kau sebenarnya, yang tetap duduk di atas punggung kuda di halaman dalam istana Pajang." Orang yang masih terhitung muda itu tiba-tiba membuka kantong ikat pinggangnya. Paksi terkejut bukan kepalang ketika ia melihat orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu telah mengeluarkan sebentuk cincin. Cincin mas dengan tiga butir batu akik. "Cincin itu," Paksi hampir berteriak. Orang yang menyebut dirinya Wijang itu tersenyum. Katanya, "Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari cincin ini?" "Ya," jawab Paksi. "Ambil cincin ini dari tanganku. Kau yang sudah ditempa oleh Ki Marta Brewok serta mendapat senjata yang tidak ada duanya itu tentu akan dapat mengalahkan aku." Wajah Paksi menjadi tegang. Ketika ia memandang wajah orang yang menyebut dirinya Wijang itu, ia melihat bibir yang tersenyum. Sama sekali bukan greget seorang yang sedang menantang untuk berkelahi. "Tolong," berkata Paksi, "sebutkan siapakah kau sebenarnya. Aku tidak ingin berteka-teki lebih lama lagi." Orang itu masih tersenyum. Dengan nada rendah iapun berkata, "Namaku Benawa." Paksi terkejut sekali. Rasa-rasanya ia mendengar suara petir yang meledak di telinganya. Ia pernah mendengar nama itu. Benawa adalah putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri. "Ampun, Pangeran," Paksi membungkukkan kepalanya dalam-dalam, "hamba tidak tahu, bahwa hamba berhadapan dengan Pangeran Benawa. Yang hamba ketahui, bahwa orang yang menyebut dirinya Wijang ini adalah tentu keluarga istana dan berkedudukan tinggi, sehingga dapat tetap duduk di punggung kudanya di halaman dalam istana. Tetapi hamba
tidak mengira bahwa Wijang itu adalah Pangeran Benawa itu sendiri." Pangeran Benawa tertawa pendek. Katanya, "Jangan panggil aku pangeran. Panggil aku Wijang. Kau tidak usah merubah sikapmu. Anggap aku kakakmu sendiri." "Tetapi Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan." Wijang mengangguk. Tetapi katanya, "Siapapun aku. Panggil aku Wijang." "Hamba, Pangeran," Paksi mengangguk hormat. Namun kemudian Wijang itupun bertanya, "Kau percaya bahwa akulah Pangeran Benawa" Setiap orang dapat menyebut dirinya Pangeran Benawa. Apakah hanya karena kau melihat aku berkuda di halaman dalam istana, dan aku menyebut namaku Benawa kau langsung mempercayainya?" "Pangeran membawa cincin yang sedang dicari itu. Selebihnya hamba mendengarkan kata nurani hamba." "Baiklah. Tetapi sekali lagi aku minta, panggil aku Wijang. Aku adalah kakakmu dalam pengembaraan ini. Atau jika kau tidak berkeberatan, aku akan ikut tinggal di gubuk ini untuk sementara sebelum aku memutuskan meneruskan pengembaraan ini." "Tetapi orang-orang yang mencari cincin itu berkeliaran disini, Pangeran." "Panggil aku Wijang." Paksi hanya menarik nafas panjang. Tetapi bibirnya tidak bergerak. Wijanglah yang kemudian berkata, "Aku justru ingin melihat, apa saja yang mereka lakukan disini." "Tetapi jika mereka mengetahui bahwa cincin itu ada di tangan Pangeran, maka mereka akan menempuh segala cara untuk merebutnya, karena mereka menganggap bahwa cincin itu memiliki tuah. Siapa yang memiliki dan mengenakan cincin itu di jarinya, maka ia akan menurunkan penguasa di tanah ini." "Kau masih belum dapat menyebut namaku Wijang. Cobalah. Kau akan terbiasa."
Misteri Dendam Berdarah 3 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Pendekar Tongkat Dari Liongsan 3