Jejak Di Balik Kabut 8
Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 8
"Baik," jawab Paksi. "Apakah cincin ini benar-benar merupakan pertanda, bahwa seseorang akan dapat melahirkan penguasa di tanah ini, aku tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi jika beberapa orang keluarga istana memerintahkan orang-orang terpercaya mencarinya, sebenarnya bukan hanya karena cincin ini. Tetapi keluarga istana itu juga mencari aku. Mereka tahu bahwa akulah yang membawa cincin ini. Tetapi di samping itu ternyata ada juga yang menganggap bahwa petugas-petugas khusus itu telah memburu cincin yang hilang." "Kenapa Pangeran meninggalkan istana." "Aku harus memperingatkan kau lagi. Panggil aku Wijang." "Ya. Kenapa kau meninggalkan istana?" "Udara di lingkungan istana menjadi sangat panas." "Maksudmu?" "Kau tahu maksudku." "Aku mengerti. Tetapi apa sebabnya?" bertanya Paksi. "Apakah kau menjadi kecewa karena pelayanan yang kurang baik, atau karena alasan-alasan lain sehingga udara di istana itu merasa panas?" "Orang-orang di dalam istana itu tidak lagi mengenal kehidupan yang sebenarnya yang terjadi di Pajang dan lingkungannya. Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar juga kecewa melihat tatanan kehidupan di istana." "Apa yang mengecewakan?" "Sama sekali bukan karena kami merasa kurang mendapat pelayanan. Tetapi justru sebaliknya. Apa yang ada di istana sama sekali bertentangan dengan kenyataan hidup di luar dinding istana. Orang-orang yang sehari-harinya hidup di dalam dinding istana tidak pernah melihat, bahwa ada juga orang yang hidup melarat. Kekurangan dan bahkan lapar. Para penjabat kahartakan di istana tidak tahu, bahwa para petugas pajak di daerah-daerah menjadi kehilangan kendali. Mereka berlomba untuk mendapatkan yang terbanyak agar mereka mendapat pujian atau naik pangkat. Tetapi mereka tidak
menghiraukan, bahwa mereka yang dipungut pajak itu merasa mendapat beban yang sangat berat." "Tetapi bukankah pajak itu merupakan salah satu pilar yang mendukung tegaknya pemerintahan, karena pajak itu merupakan salah satu sumber dana untuk menjalankan roda pemerintahan?" "Ternyata kesadaranmu sangat tinggi, Paksi. Mungkin karena kau anak seorang tumenggung. Jika orang-orang di sekitar lingkungan ini tidak mengeluh karena beban pajak yang tidak terpikul, maka aku menyatakan hormatku kepada para petugas disini." Paksi mengangguk-angguk kecil. Ia memang tidak pernah berbicara tentang pajak dengan orang-orang yang dikenalnya. Tetapi seandainya ada keluhan-keluhan itu, mereka tidak akan mengatakannya kepada setiap orang, apalagi orang yang tidak terlalu dikenal sebagaimana Paksi. Namun dalam pada itu, Wijang itupun berkata, "Bukan saja karena orang-orang di istana Pajang itu tidak mengenal kehidupan rakyat yang sebenarnya, tetapi aku juga kecewa atas sikap ayahanda Sultan Hadiwijaya." "Kenapa?" bertanya Paksi. Wijang itu tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Apakah seorang anak harus membuka rahasia dan kelemahan orang tuanya, betapapun ia menjadi kecewa?" Paksi menundukkan kepalanya. Katanya, "Memang tidak." "Bagus. Kau dapat mengerti jika aku tidak mengatakan alasannya, kenapa aku kecewa terhadap ayahanda." Paksi mengangguk kecil. "Nah, sekarang, aku minta sekali lagi untuk tinggal di gubuk ini. Setidak-tidaknya untuk sementara." "Dan aku harus meninggalkan gubuk ini?" Wijang tertawa. Katanya, "Aku takut tinggal disini sendiri." Paksipun tertawa pula. Sejak hari itu, Paksi tidak tinggal sendiri di gubuk itu. Wijang yang tinggal bersamanya, dengan cepat telah menyesuaikan dirinya. Ia telah melakukan apa yang dilakukan
oleh Paksi. Bahkan Wijangpun telah memanjat pohon kelapa pagi dan sore untuk mengambil legen. Seperti Paksi, ternyata Wijangpun melakukannya dengan tangkasnya. Di hari-hari berikutnya, Paksi tidak sendiri pergi ke pasar. Ketika ia bertemu dengan Kinong, maka Paksipun telah memperkenalkan Wijang kepadanya. "Apakah ia saudaramu?" bertanya Kinong. "Ya. Kakakku," jawab Paksi. "Tetapi baru kali ini ia pergi ke pasar ini." Paksi tertawa. Katanya, "Kakakku tinggal di tempat yang jauh. Baru kemarin ia datang menengok aku." "Dimana ia tinggal?" Pertanyaan itu agak membingungkan Paksi. Namun kemudian iapun menjawab, "Ia tinggal di Kembang Arum." Kinong mengangguk-angguk. Tetapi ia belum pernah mendengar nama padukuhan Kembang Arum. Namun Kinong tidak sempat berbincang lebih lama. Iapun segera berlari-lari membawa keranjang kecilnya. Ibunya telah melambaikan tangan memanggilnya, karena ada orang yang ingin minta bantuannya. "Anak sekecil itu harus sudah mencari makan sendiri," desis Wijang. "Salah ayahnya," desis Paksi. Wijang berpaling kepadanya dengan dahi yang berkerut. Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa dengan ayahnya?" "Ia seorang penjudi." Wijang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Dalam pada itu, setelah beberapa kali Wijang pergi ke pasar, maka iapun mulai melihat, orang-orang dari beberapa perguruan berkeliaran di pasar itu. Nampaknya orang-orang itu masih berusaha untuk saling mengekang diri, sehingga benturan di antara mereka dihindari. Benturan-benturan yang pernah terjadi, sama sekali tidak menguntungkan bagi mereka, karena kekuatan mereka hampir seimbang. Hanya
pada saat-saat yang menentukan sajalah agaknya mereka akan mengambil sikap yang tegas. Namun, perhatian Wijang dan Paksi sangat tertarik kepada pembicaraan dua orang dari Perguruan Sad yang kebetulan mereka dengar, bahwa ada di antara mereka yang seakanakan telah melihat pelangi yang berdiri tegak di kaki bukit. Pelangi itu hanya terdiri atas tiga warna. "Apakah ketajaman indera mereka mampu melihat keberadaan cincin yang aku bawa ini?" bertanya Wijang kemudian. "Entahlah. Tetapi sebelum kau datang, orang-orang itu sudah berada disini." "Aku sudah agak lama disini," berkata Wijang. "Bukankah kau baru datang beberapa hari di saat aku pergi?" Wijang menggeleng. Katanya, "Tidak. Jauh sebelum itu." "Jauh sebelum itu" Sebelum aku datang ke tempat ini?" "Tidak. Jika kau sudah setahun disini, berarti bahwa kau datang lebih dahulu. Tetapi aku bukan baru berada disini di saat kau pergi." "Jadi di mana kau selama ini?" Wijang tersenyum. Katanya, "Aku sudah berada disini kirakira sebulan yang lalu. Aku tinggal bersama Paman Marta Brewok." "Ki Marta Brewok?" bertanya Paksi. "Ya. Bukankah Ki Marta Brewok telah mengajarimu bermain loncat-loncat?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, "Siapa sebenarnya orang yang menamakan dirinya Marta Brewok" Aku menganggapnya sebagai guruku. Iapun mengakui aku sebagai muridnya. Tetapi aku tidak tahu, siapakah sebenarnya Ki Marta Brewok itu." "Bukankah kau sudah menyebutnya" Namanya Marta Brewok. Bukankah itu sudah cukup?" Paksi memandang Wijang dengan tajamnya, sehingga Wijang itupun bertanya, "Kenapa kau memandang aku seperti
itu" Kau tidak percaya kepadaku atau justru kau menjadi curiga?" "Tidak," jawab Paksi, "aku sama sekali tidak menjadi curiga. Tetapi aku tahu bahwa ada sesuatu yang kau sembunyikan." Wijang tertawa. Katanya, "Sudahlah. Jangan mempersulit perasaanmu sendiri. Sekarang, marilah kita memperhatikan pendapat orang-orang dari Perguruan Sad itu." "Maksudmu?" "Ada dua kemungkinan. Apakah orang dari Perguruan Sad itu mampu melihat cincin yang tersembunyi di balik kantong ikat pinggangku, atau memang cincin itu benar-benar memancarkan cahaya sebagaimana yang mereka lihat." Paksi mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun bergumam, "Cincin itu memang sangat menarik." "Setidak-tidaknya karena aku yang membawanya." Paksi mengerutkan dahinya. Namun Wijang itupun tertawa. Katanya, "Kau tidak usah iri." Paksipun akhirnya tertawa pula. Namun bagaimanapun juga, Wijang dan Paksi harus menjadi lebih berhati-hati. Jika ada orang yang melihat atau merasa melihat semacam pelangi yang mempunyai tiga warna berdiri tegak di kaki bukit, maka itu akan dapat berarti bahwa orang-orang yang mencari cincin itu akan menjelajahi kaki bukit. Mungkin mereka akan berkeliaran dan bersamadi di antara bebatuan, di pinggir sungai atau di goa-goa sambil menunggu isyarat. Mungkin cahaya seperti ndaru, atau seperti bintang yang jatuh dari langit, atau sinar yang memancar dari tempat-tempat yang tersembunyi atau semak-semak yang tiba-tiba terbakar. Namun satu dua hari kemudian, tidak seorangpun yang pernah memanjat kaki gunung itu lebih tinggi. Sementara itu, dalam waktu-waktu senggang, ternyata keduanya sempat pula melakukan latihan olah kanuragan bersama-sama. Mereka berdua memang tidak bersumber dari perguruan yang sama. Tetapi justru karena itu, maka latihanlatihan yang mereka lakukan dapat memperkaya ilmu mereka
masing-masing. Namun dalam pada itu, Paksi harus mengakui, bahwa Pangeran Benawa yang menamakan dirinya Wijang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun bagi Wijang, Paksi adalah kawan berlatih yang cukup memadai. Bahkan keduanya kadang telah berlatih di dalam goa di belakang air terjun. Semula Paksi tidak mengatakan kepada Wijang, bahwa di belakang air terjun itu terdapat sebuah goa. Namun ternyata Wijang sudah mengetahuinya. "Ternyata apa yang diketahuinya jauh lebih banyak dan lebih luas dari yang aku ketahui," berkata Paksi. Bahkan Wijang itu pulalah yang telah mengajak Paksi berlatih sambil berendam di dalam air. "Pada suatu ketika, mungkin sekali kita dipaksa untuk bertempur di dalam air," berkata Wijang. Paksi memang mendapat pengalaman baru. Ia dapat mengenali perbedaannya, apa yang harus dilakukan di darat dan apa yang harus dilakukan di dalam air. Ketrampilannya berenang pun semakin bertambah. Ketahanan nafasnya pun menjadi semakin panjang. Namun ketenangan kedua orang itupun akhirnya terganggu juga. Ketika keduanya sedang berlatih meningkatkan ketahanan tubuh dengan berjalan dan berlari di celah-celah bebatuan, pepohonan hutan lereng pegunungan, lembah dan tebing-tebing terjal, maka tiba-tiba saja Wijang memberi isyarat agar Paksi yang berlari di belakangnya untuk berhenti. Paksipun tertegun. Iapun kemudian bergeser ke balik gerumbul perdu ketika Wijang memberikan isyarat kepadanya. Keduanyapun kemudian melihat tiga orang perempuan berjalan menyusuri jalan setapak. Untunglah mereka tidak berjalan ke arah gubuk Paksi. Tetapi justru ke arah yang lain. "Orang-orang dari Perguruan Goa Lampin," desis Paksi. Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Pemimpin perguruan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Dengan pandangan matanya yang menembus mata seseorang, ia dapat mempengaruhi penalarannya sehingga orang itu dapat kehilangan pribadinya."
Paksi mengangguk. Katanya, "Aku pernah melihatnya." "Bukankah Paman Marta Brewok pernah memberi petunjuk kepadamu, bagaimana kau harus mengatasinya?" Paksi mengangguk. "Bagus," Wijang mengangguk-angguk. "Murid-muridnyapun ada yang sudah mencoba-coba kekuatan sihir itu. Tetapi kau tidak usah menjadi cemas. Kekuatan pribadimu akan dapat mengatasinya, sehingga kekuatan sihir itu tidak mempengaruhimu." Paksi masih mengangguk-angguk. "Nah, satu peringatan buat kita. Mereka hari ini menyusuri lorong ke arah yang lain. Tetapi mungkin besok atau lusa, mereka akan pergi menyusuri jalan setapak menuju ke gubuk kita?" "Bagaimana sikap kita jika hal itu terjadi?" "Apa yang kau lakukan jika aku tidak bersamamu?" Wijang justru bertanya. "Aku akan membiarkannya." "Merusak gubukmu, mengambil isinya dan barangkali memetik jagungmu dan mencabut ketela pohonmu?" "Bukankah aku dapat menanamnya lagi?" "Apa yang akan kau makan kemudian?" "Bukankah aku selama ini menanak nasi beras, bukan nasi jagung?" Wijang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Bukankah kau untuk sementara masih menghindari benturan dengan mereka?" "Ya," Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ketika keduanya hampir saja bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, maka keduanya terkejut pula. Mereka melihat dua orang lain yang berjalan melalui lorong sempit berbatu batu ke arah yang sama sebagaimana ketiga orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu. "Siapakah mereka?" desis Paksi. "Bukan orang-orang dari Perguruan Sad." "Jadi siapa" Apakah mereka orang-orang Tegal Arang?"
Wijang menggeleng. "Apa yang terjadi" Apakah mereka ingin menjajagi kemampuan masing-masing" Tetapi hal itu sudah pernah mereka lakukan sebelumnya." Sebelum Wijang menjawab, maka di kejauhan mereka melihat tiga orang lainnya berjalan ke arah yang sama. Bahkan kemudian ada lagi yang menyusul. "Nampaknya memang ada sesuatu yang akan terjadi," desis Wijang. "Mereka berkumpul untuk berkelahi atau untuk berbicara di antara mereka?" gumam Paksi. "Lingkungan ini cukup terlindung oleh semak-semak belukar. Bahkan pepohonan. Kita akan dapat melihat, apa yang akan terjadi kemudian." "Bukankah kita tidak akan mencampuri persoalan mereka?" "Tidak," jawab Wijang. Keduanyapun kemudian mulai beringsut. Dengan hati-hati keduanya merunduk dari balik gerumbul ke balik gerumbul. Dari balik batu-batu besar ke balik batu yang lain. "Mereka agaknya akan pergi ke balik bukit itu," berkata Paksi. "Disana ada sebuah tempat yang agak lapang, di atas hamparan rumput yang hijau." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Sebuah batu persegi yang agaknya dibuat oleh tangan seseorang, ada di tengah-tengahnya. Sebatang pohon preh tumbuh di sudut tempat yang lapang itu." "Kau pernah mengunjungi tempat itu?" "Seperti kau, aku mengenal lingkungan ini dengan baik." Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu keduanya merayap ke tempat yang mereka sebutkan itu. Dengan sangat hati-hati Paksi dan Wijang kemudian menuruni tebing yang tidak terlalu tinggi yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak yang liar, sehingga karena itu, maka keduanya tidak mudah dapat dilihat dari tebaran tempat yang agak lapang yang ditumbuhi rerumputan dan seperti
dikatakan oleh Wijang, di tengah-tengahnya terdapat sebuah batu besar persegi ampat. Batu yang nampaknya adalah bekas buatan tangan manusia. Keduanya memang tidak dapat berada terlalu dekat dengan lapangan rumput itu. Namun dari tempat mereka berlindung, mereka dapat melihat apa yang terjadi dan serba sedikit pendengaran mereka yang tajam, dapat mendengar pembicaraan dari orang-orang yang seperti mereka duga, berkumpul di lapangan rumput itu. Menurut penglihatan Wijang dan Paksi, maka di lapangan rumput itu telah berkumpul beberapa orang dari beberapa perguruan yang berbeda. Sedikitnya ada lima perguruan yang diwakili dalam pertemuan itu. Tetapi nampaknya tidak seorangpun dari para pemimpin tertinggi dari perguruan itu yang datang dalam pertemuan itu. Wijang dan Paksi mendengarkan pembicaraan orang-orang itu dengan saksama. Mula-mula masing-masing menyebut perguruan mereka serta nama mereka yang ditugaskan untuk mewakili. "Kau ikut mengingat nama mereka serta perguruan mereka," desis Wijang. "Aku akan mencoba," sahut Paksi perlahan-lahan. Baru kemudian, seorang di antara mereka, justru orang dari Perguruan Sad, berkata, "Aku mendapat perintah dari guru, menawarkan kerja sama di antara kita, permusuhan dan bahkan saling membunuh sama sekali tidak bermanfaat bagi kita semuanya dan bagi kita masing-masing." "Kerja sama yang bagaimana yang dimaksud oleh gurumu?" bertanya seorang perempuan dari Goa Lampin. "Itulah yang harus kita bicarakan," jawab orang dari Perguruan Sad itu. Namun seorang yang datang dari perguruan yang lain lagi berkata, "Katakan, apakah kau sudah mempunyai rancangan dari ujud kerja sama yang dapat kita lakukan?" Orang dari Perguruan Sad itu termangu-mangu sejenak.
Namun tiba-tiba saja orang itu menjadi gelisah. Bahkan beberapa orang yang lainpun nampak menjadi gelisah. Tiba-tiba seorang di antara mereka, seorang yang agaknya datang dari perguruan yang lain lagi berkata lantang, "Jangan bersembunyi. Marilah, datanglah jika kalian akan ikut berbicara bersama kami." Seorang yang lain, yang bertubuh raksasa yang agaknya datang dari Perguruan Tegal Arang di pinggir Kali Praga tertawa sambil berkata, "Ada dua orang yang nampaknya ingin bermain sembunyi-sembunyian." Wijang dan Paksi terkejut. Mereka merasa bahwa mereka berada di tempat yang tersembunyi. Kemampuan mereka yang seakan-akan dapat menyerap bunyi yang timbul dari setiap sentuhan tubuh mereka dengan lingkungannya, melindungi mereka dari ketajaman pendengaran orang-orang yang sedang berbicara di lapangan rumput itu. Jika orangorang itu mengetahui kehadiran mereka berdua, itu berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. "Tidak mungkin," desis Paksi. Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun berbisik, "Jika karena sesuatu hal mereka mengetahui kehadiran kita, maka apa boleh buat." Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat sesuatu yang bergerak di sisi yang lain dari padang rumput itu. Dua orang muncul dari sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. "Kenapa kalian bersembunyi?" bertanya orang dari Perguruan Sad itu. Kedua orang itu berdiri tegak memandang berkeliling seakan-akan menembus ke setiap biji mata dari orang-orang yang berada di padang rumput itu. Sementara itu Wijang berdesis, "Kenapa panggraita kita begitu tumpul, sehingga kita tidak mengetahui kehadiran kedua orang itu?" "Keduanya masih terlalu jauh dari kita berdua, karena keduanya berada di seberang lapangan rumput itu," sahut
Paksi. "Sementara itu, perhatian kita pusatkan kepada orangorang yang ada di lapangan rumput itu sendiri. Aku sudah siap mengingat-ingat nama jika salah seorang dari mereka menyebutkannya lagi. Namun yang datang ada dua orang dari sisi seberang." Namun tiba-tiba wajah Paksi menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya ia beringsut sehingga Wijang menggamitnya sambil berdesis, "Sst. Kau kenapa?" Tiba-tiba saja Paksi teringat sesuatu. Kata-katanya meluncur dengan nada datar, "Seorang laki-laki dan seorang perempuan." "Ya. Kenapa?" bertanya Wijang. "Tentu ayah dan ibu Kemuning." "Siapakah Kemuning itu?" bertanya Wijang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wijang sekilas. Namun kemudian Paksipun menjawab perlahan, "Nanti aku ceriterakan." Wijang mengangguk. Iapun ingin memperhatikan apa yang dikatakan oleh kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Sementara itu Paksipun berdesis, "Ciri-ciri keduanya tepat seperti yang dikatakan Ki Pananggungan." Wijang tidak menyahut. Tetapi ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung kakinya sampai ke kepalanya. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap. Wajahnya keras, berkumis lebat. Hidungnya seakan-akan tenggelam dalam kelebatan kumis itu. Matanya sipit, tetapi alisnya hampir setebal kumisnya. Sedangkan perempuan yang bersamanya itu terhitung perempuan yang bertubuh tinggi semampai mengenakan pakaian yang khusus. Sepasang pedang tergantung di kedua lambungnya. Selempang kulit menyilang di dadanya menahan berat pedangnya yang menggantung pada ikat pinggang kulitnya. Dalam pada itu, laki-laki itupun kemudian berkata, "Kalian mengira bahwa kami mendekati tempat ini sambil bersembunyi" Buat apa aku bersembunyi jika yang datang
kemari hanya tikus-tikus kecil seperti kalian. He, di manakah guru kalian" Kenapa mereka tidak datang?" "Sejak semula guru memang tidak akan datang ke tempat ini. Justru kami baru mempersiapkan kemungkinan, agar guruguru kami dapat bertemu." Laki-laki berkumis tebal itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat iapun kemudian berkata, "Aku ingin bertemu dan berbicara dengan guru-guru kalian." "Aku tidak tahu, apakah guru menganggap penting kalian berdua ikut berbicara tentang persoalan yang teramat penting. Mungkin guru bersedia menerima kalian untuk menghadap. Tetapi tidak untuk membicarakan sesuatu." "Jangan menghina aku. Mungkin kalian merasa kokoh karena kalian adalah bagian dari sebuah perguruan. Kalian menganggap guru kalian masing-masing adalah orang-orang terkuat di dunia kanuragan. Tetapi sebenarnyalah perguruan kalian tidak ada artinya apa-apa bagi kami." Tetapi seorang yang bertubuh raksasa dari perguruan Tegal Arang itupun berkata, "Kiai Repak Rembulung. Selama ini kami memang menganggap kau berilmu sangat tinggi. Tetapi bahwa kehadiranmu yang diam-diam itu justru menimbulkan suara seperti lampor, maka kemampuanmu kami ragukan. Demikian pula Nyi Pupus Rembulung yang menurut pendengaran kami memiliki kemampuan yang jarang ada duanya, ternyata juga sangat mengecewakan. Kalian berdua yang digelari sepasang Alap-alap Elar Perak, ternyata telah mengejutkan kami. Bukan karena ketinggian ilmu tetapi justru sebaliknya." "Menurut cirimu, kau adalah murid dari Perguruan Tegal Arang di tepi Kali Praga. Terima kasih atas pengenalanmu terhadap kami berdua serta gelar yang kami sandang. Tetapi jangan mencoba kemampuan kami. Kami memang tidak pernah berniat untuk mendekat dengan diam-diam. Itulah sebabnya kami datang seperti lampor. Tetapi jika ada yang meragukan kemampuan kami, silahkan untuk mengatakannya berterus-terang."
"Aku meragukan tataran ilmumu, Ki Repak Rembulung." Namun tiba-tiba saja orang itu menjerit. Ia tidak melihat dengan jelas apa yang dilakukan oleh Ki Repak Rembulung. Namun tiba-tiba saja dari dahinya telah mengucur darah. Sebuah batu sebesar telur puyuh telah mengenai dahinya itu. "Jika kau anggap aku curang karena aku menyerang dengan tiba-tiba, maka marilah, siapa yang akan menjajagi ilmu dengan cara apapun yang ingin kalian lakukan. Atau barangkali ada yang meragukan kemampuan isteriku, Pupus Rembulung." Orang-orang yang ada di lapangan rumput itu berdiri dengan tegang. Sementara Repak Rembulung yang digelari Alap-alap Elar Perak itu melangkah dengan tenangnya mengelilingi batu persegi yang ada di tengah-tengah lapangan rumput itu. "Aku tidak sering menyombongkan diri. Tetapi jika perlu, aku memang melakukannya seperti apa yang aku lakukan sekarang," berkata Repak Rembulung. Tidak seorangpun yang menyahut. Karena itu, maka Repak Rembulung itupun kemudian berkata, "Katakan kepada gurumu, aku ingin berbicara dengan mereka." Orang-orang yang berkumpul di lapangan rumput itu diam membeku ketika Repak Rembulung itu menunjuk mereka seorang-seorang. Bahkan kepada orang yang dahinya berdarah itu, iapun berkata, "Kau dapat melaporkan apa yang terjadi atas dahimu itu kepada gurumu. Selebihnya, jika kau sekali lagi menghina aku, maka sebelah matamu akan menjadi buta, karena batu itu akan menghunjam masuk ke dalam matamu. Jika kau masih mengulanginya lagi, matamu yang lain akan menjadi buta pula." Orang yang dahinya terluka itu berdiri mematung di tempatnya. Ketika darahnya mengalir ke matanya, ia sama sekali tidak mengusapnya. Setiap gerak akan dapat menimbulkan kecurigaan pada Repak Rembulung atau Pupus Rembulung sehingga mereka dapat melakukan sesuatu yang dapat membahayakannya.
"Atau kalian semuanya dari perguruan yang berbeda-beda ini ingin mencoba bersama-sama" Kami sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi untuk melawan kalian bersama-sama, sulit bagi kami untuk mengendalikan diri, sehingga jika ada yang mati di antara kalian, kami tidak bertanggung jawab." Orang-orang yang ada di lapangan itu masih berdiri mematung. Tidak seorangpun yang bergerak atau bahkan menjawab ancaman Repak Rembulung itu. Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara Pupus Rembulung, "Sudahlah, Kakang. Marilah kita pergi. Tidak ada gunanya kita berlama-lama disini." Repak Rembulung mengangguk. Katanya, "Kami akan segera pergi. Tetapi aku juga ingin semua orang yang ada di lapangan rumput ini pergi. Kalian tidak usah berbicara tentang pertemuan antara pemimpin dan barangkali guru kalian. Biarlah mereka membicarakannya langsung di antara mereka. Ingat, beritahu kami berdua, kami akan datang dalam pertemuan itu." Tiba-tiba saja dengan suara yang bergetar salah seorang dari Goa Lampin bertanya, "Bagaimana kami memberitahukannya kepada Ki Repak Rembulung?" "Pahatkan saat pertemuan itu pada beberapa batang pohon gayam yang ada di sepanjang jalan menuju ke Panjatan." "Ki Repak Rembulung tinggal di Panjatan?" "Aku tinggal dimana-mana. Tetapi ingat, jangan mencoba menipu dan membohongi aku. Jika pertemuan itu berlangsung tanpa aku ketahui, serta tidak ada pahatan waktu di beberapa pohon gayam di jalan menuju ke Panjatan, maka kalian akan menyesal." Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Mereka mengharap agar Sepasang Alap-alap Elar Perak itu segera meninggalkan tempat itu. Namun ternyata Pupus Rembulung itu berkata lantang, "Cepat, tinggalkan tempat ini. Atau aku harus mengusir kalian."
Orang-orang itupun kemudian telah beringsut meninggalkan tempat itu sebelum mereka sempat menemukan kesepakatan apa-apa tentang rencana pertemuan antara para pemimpin dan guru mereka. Sedangkan Repak dan Pupus Rembulunglah yang kemudian terakhir meninggalkan tempat itu. Sepeninggal mereka, maka Wijang dan Paksipun kemudian telah keluar dari persembunyiannya. Namun yang pertamatama dikatakan oleh Wijang bukan tentang orang-orang yang berkumpul itu, tetapi justru tentang diri mereka berdua. "Nah, bukankah kita sudah berhasil meredam suara yang timbul dari gerak-gerik kita. Geseran tubuh dan pakaian kita dengan benda-benda sekeliling kita tidak mampu menyentuh ketajaman telinga kedua orang suami isteri itu." Paksi mengangguk-angguk. Iapun kemudian menyadari bahwa iapun mampu menyerap bunyi geseran itu. Namun Paksipun kemudian berkata, "Kedua orang suami isteri itu menarik perhatian." "Yang kau sebut sebagai ayah dan ibu Kemuning itu." "Ya," jawab Paksi. "Nah, bukankah kau akan berceritera tentang Kemuning?" "Nanti di rumah aku akan menceriterakannya." Sambil bergeser Wijang itupun kemudian berkata, "Kita sudah mendengar bahwa orang yang disebut Repak Rembulung itu minta agar ia mendapat isyarat jika diselenggarakan pertemuan antara para pemimpin perguruan yang telah menurunkan orang-orangnya di daerah ini." Paksi mengangguk-angguk pula. Katanya, "Isyarat itu akan dapat kita lihat di pohon-pohon gayam di jalan yang menuju ke Panjatan. Dengan demikian, maka kitapun akan dapat hadir pula untuk melihat apa yang akan mereka bicarakan." "Mereka tentu akan berbicara tentang cincin istana yang hilang," desis Wijang. "Yang menarik, bagaimana mereka mengatur kerja sama di antara mereka itu."
"Yang lebih menarik lagi adalah kehadiran Repak Dan Pupus Rembulung itu." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja Wijang menarik Paksi sambil berkata, "Kita akan pulang. Kita akan melihat apakah ada satu dua orang yang tersesat ke gubuk kita. Selebihnya, kau akan berceritera tentang Kemuning yang kau sebut anak Repak dan Pupus Rembulung itu." Paksi tidak menjawab. Apalagi Wijang masih saja menariknya berjalan di lereng yang ditumbuhi pohon-pohon perdu itu. Ketika mereka sampai di gubuk kecil yang tersembunyi itu, merekapun berlega hati. Tidak seorangpun di antara orangorang dari berbagai perguruan itu yang tersesat sampai ke gubuk kecil mereka. Ketika mereka kemudian duduk di dalam gubuk itu sambil menghirup wedang sere yang sudah dingin, Paksipun telah berceritera tentang seorang gadis yang bernama Kemuning. Menurut pamannya, Ki Pananggungan, kedua orang tua angkat Kemuning adalah petualang pula. Menurut ciri-cirinya, orang tua angkat Kemuning itu tentu Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung itu. "Sayang," berkata Wijang, "jika saja keduanya tidak terjerumus ke dalam petualangan yang dapat mengotori namanya." "Apakah kita dapat mencoba menghubunginya?" bertanya Paksi. "Jangan tergesa-gesa. Yang terjadi mungkin justru sebaliknya dari yang kita inginkan," desis Wijang. Meskipun demikian ia melanjutkan, "Tetapi pada saat yang tepat kita akan dapat mencobanya." Paksi menarik nafas panjang. Katanya, "Rasa-rasanya masih ada kemungkinan." "Kita belum tahu sifat-sifatnya lebih jauh. Kita baru melihat ujudnya sekilas dan sedikit keterangan dari Ki Pananggungan itu," sahut Wijang.
Paksi tidak menjawab. Tetapi kepalanya mengangguk kecil. "Nah, sebaiknya kita sekarang pergi ke goa itu. Bawa tongkatmu. Kita berlatih lebih bersungguh-sungguh." Paksi tidak membantah. Iapun kemudian bangkit. Diraihnya tongkatnya yang disembunyikannya di antara kerangka gubuk kecilnya. Sementara itu, Wijangpun telah melangkah keluar dan gubuk itu. Sejenak kemudian, keduanya telah berada di dalam goa. Dengan saksama keduanya memperhatikan pahatan yang ada di dalam goa itu. Beberapa kali mereka mencobanya sehingga dengan demikian, terutama bagi Paksi, ilmunya menjadi semakin matang. Tongkatnya menjadi semakin berbahaya di tangannya Sementara itu, jiwanyapun menjadi semakin mapan. Ia sudah berhasil menguasai keseimbangan antara perasaan dan penalarannya saat-saat ia mengetrapkan ilmu puncaknya. Ternyata apa yang dilakukan Wijang, justru melengkapi apa yang pernah diwariskan oleh Ki Marta Brewok kepada Paksi. Di hari berikutnya, maka keduanya telah pergi menyusuri jalan menuruni kaki Gunung Merapi. Mereka kemudian telah memasuki sebuah jalan yang agak lebih lebar dari jalan setapak. Jalan yang menuju ke Panjatan. Memang ada beberapa batang pohon gayam. Tetapi mereka belum melihat isyarat apapun yang terpahat pada pohon gayam itu. Namun keduanya sadar, bahwa mereka harus berhati-hati, karena mereka akan dapat bertemu dengan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. "Mungkin dua atau tiga hari lagi," berkata Wijang. "Bukankah mereka harus membicarakannya lebih dahulu?" "Atau para pemimpin perguruan yang tersinggung itu sengaja tidak mau memenuhi keinginan Repak dan Pupus Rembulung," sahut Paksi. "Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Tetapi aku mengira bahwa para pemimpin perguruan itu akan
memberitahukan rencana pertemuan itu justru untuk menjebaknya." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Setiap hari kita akan melihat, apakah mereka telah memahatkan pesan itu." "Dengan kemungkinan terburuk, kita akan bertemu dengan orang yang sedang memahatkan pesan itu atau suami isteri orang tua angkat Kemuning itu." Dengan serta-merta Paksi berpaling. Dipandanginya Wijang dengan dahi berkerut. Namun Wijanglah yang bertanya, "Kenapa" Bukankah Repak dan Pupus Rembulung itu orang tua angkat Kemuning sebagaimana kau katakan." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia menjawab, "Ya. Mereka adalah orang tua angkat Kemuning." "Jadi bagaimana?" "Tidak apa-apa," jawab Paksi. Wijang tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Keduanyapun melanjutkan langkah mereka menyusuri jalan ke sebuah padukuhan. Padukuhan yang tidak terlalu besar. Bahkan letaknya agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang lain. Tetapi padukuhan itu nampak subur. Di sekitarnya sawah nampak hijau ditumbuhi batang padi yang mulai berbunga. Di belakang dinding padukuhan, pohon nyiur berdiri berjajar dari ujung sampai ke ujung. Parit-parit yang mengaliri sawah bersusun seperti sebuah tangga raksasa mengalir sepanjang musim. "Apakah kita akan pergi ke padukuhan itu?" bertanya Paksi Wijang memang agak ragu. Namun kemudian katanya, "Kau yang sudah lama tinggal di sisi selatan kaki Gunung Merapi ini agaknya sudah mengetahui isi dari padukuhan itu." Paksi menggeleng. Katanya, "Aku tahu, bahwa padukuhan itu adalah Padukuhan Panjatan. Tetapi aku belum tahu isi padukuhan itu." "Apakah di pasar kau tidak pernah bertemu dengan orang Panjatan?" "Mungkin sekali dua kali pernah. Tetapi aku tidak menyadari bahwa mereka adalah orang Panjatan."
"Baik. Jika demikian, kita pergi saja ke pasar. Tentu masih belum sepi. Kita akan mencoba mencari keterangan tentang padukuhan ini." Keduanyapun kemudian telah berbelok menyusuri jalan sempit. Mereka tidak langsung pergi ke padukuhan yang belum mereka ketahui apakah isinya. Meskipun sebelumnya mereka jarang sekali berusaha untuk mengetahui isi sebuah padukuhan apabila mereka akan memasukinya, namun justru karena padukuhan itu disebut oleh Ki Repak Rembulung, maka mereka merasa perlu untuk berhati-hati. Ketika keduanya yang berjalan cepat di sepanjang pematang dan lorong-lorong sempit sebelum mereka turun ke jalan yang lebih besar yang menuju ke pasar itu, membuat mereka menjadi haus. Karena itu, maka Paksipun mengajak Wijang untuk membeli dawet cendol sebagaimana sering dilakukannya. Ketika keduanya sedang menghirup dawet cendol yang segar itu, penjual dawet itupun bertanya, "Keringat kalian seperti terperas dari tubuh kalian. Dari mana saja kalian berdua?" Paksi tersenyum sambil menjawab, "Kami takut kalau kami kehabisan dawet cendol. Karena itu, kami berlari-lari sepanjang jalan." Penjual dawet itu tertawa. Sementara Paksi berkata selanjutnya, "Kami bangun kesiangan, sementara kami masih harus singgah di Panjatan." "Panjatan?" orang itu mengerutkan dahinya. "Ya," jawab Paksi. "Untuk apa kalian pergi ke Panjatan?" "Aku mempunyai seorang kawan di Panjatan." Orang itu termangu-mangu sejenak. Di wajahnya membayang kesan yang aneh. Bahkan penjual dawet itu kemudian bertanya, "Kau sering pergi ke Panjatan?" "Ya. Kenapa?" "Jika kau sering pergi ke Panjatan, kau tentu mengetahui keadaan padukuhan itu."
"Aku tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian di padukuhan itu." Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "Aku juga mempunyai seorang kenalan, bahkan masih terhitung kadang meskipun sudah jauh." "Paman juga sering pergi ke Panjatan?" bertanya Wijang kemudian. "Tidak," jawab orang itu. "Baru dua atau tiga kali sepanjang umurku." "Kenapa?" bertanya Wijang kemudian. Penjual dawet itu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun bertanya, "Jadi kalian benar-benar tidak tahu, kenapa Panjatan itu seakan-akan menjadi terpencil. Bukan saja letaknya, tetapi juga hubungan antar sesama." "Tidak," Paksilah yang menjawab. Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Paksi mengulurkan mangkuknya yang telah kosong sambil berkata, "Lagi, Paman. Aku haus sekali." Ternyata Wijangpun berbuat demikian pula. Sambil menyerahkan semangkuk dawet kepada keduanya, maka penjual dawet itupun berkata, "Sebenarnya orang-orang Panjatan adalah orang-orang yang ramah. Tetapi di padukuhan itu ada sebuah keluarga yang membuat nama padukuhan itu menjadi buram." "Hanya satu keluarga?" bertanya Paksi. "Mula-mula, tetapi kemudian anak dan cucunya juga mewarisi sikap dan tingkah lakunya, sehingga yang satu keluarga itu telah membuat Panjatan menjadi daerah hitam." "Orang-orang Panjatan yang lain tidak berbuat sesuatu?" "Tidak seorang pun yang berani menegur mereka. Sementara itu, keluarga itu memang tidak pernah mengganggu orang-orang Panjatan sendiri." Paksi dan Wijang mendengarkan ceritera penjual dawet itu sambil mengangguk-angguk. Sementara itu penjual dawet
itupun berkata, "Terhadap orang yang mereka anggap asing, keluarga itu tidak menyukainya. Jika ada orang yang tidak mereka kenal, mereka segera menemuinya. Jika pertanyaanpertanyaan mereka tidak dapat dijawab dengan baik dan meyakinkan, maka orang itu akan segera diusir dari padukuhan itu. Jika yang datang itu seorang tamu dari keluarga yang tinggal di padukuhan itu, mereka harus meyakinkan kebenarannya." "Apakah orang-orang Panjatan tidak pernah keluar dari padukuhannya, pergi ke pasar misalnya." "Ya. Mereka juga pergi ke pasar. Tidak ada masalah bagi mereka. Bahkan keluarga orang yang ditakuti itupun juga pergi ke pasar. Rasa-rasanya mereka sama sekali tidak mempunyai beban apapun. Namun orang-orang lainlah yang biasanya membuat jarak dengan mereka." "Apakah mereka tidak merasa tersinggung." "Itulah yang menarik. Mereka tidak merasa tersinggung. Mereka seakan-akan mengerti, kenapa orang lain bersikap demikian terhadap mereka." Ketika kemudian mangkuk Paksi dan Wijang telah menjadi kosong, maka penjual dawet itupun bertanya, "Lagi?" Paksi menggeliat sambil berkata, "Perutku sudah tidak dapat memuat lagi, Paman." Penjual dawet itupun tertawa. Katanya, "Kemarin seseorang membeli dawet ampat mangkuk sekaligus." "O, bukan main," sahut Wijang. Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Orang itu justru salah seorang di antara keluarga yang ditakuti di Panjatan. Seorang anak muda sebaya dengan Paksi." Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijangpun tertawa. Katanya, "Paksi juga dapat menelan dawet ampat mangkuk sekaligus jika kebetulan ia lapar." Paksipun kemudian tertawa pula. Demikianlah keduanyapun kemudian pergi ke pande besi di sudut pasar itu. Ketika mereka menyinggung Padukuhan Panjatan, maka seorang di antara pande besi itupun telah
menceriterakan keadaan padukuhan itu sebagaimana ceritera penjual dawet itu. Bahkan kemudian iapun berkata, "Rumahku juga Panjatan. Tetapi aku jarang-jarang pulang. Siang malam aku berada disini. Hanya kadang-kadang saja aku pulang. Sebenarnya orang yang dianggap asingpun tidak usah takut. Jika keluarga Sangga Samodra itu tidak menyenangi kehadirannya, ia akan minta orang itu dengan baik-baik pergi. Jika orang itu melawan, baru akan terjadi kekerasan." "Kenapa keluarga Sangga Samodra itu tidak menyenangi kehadiran orang yang dianggap asing?" bertanya Paksi yang sudah terbiasa duduk-duduk di tempat pande besi itu bekerja. "Mereka memang merasa curiga, bahwa orang-orang yang dianggap asing itu akan mengganggu keluarga mereka." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat Paksi dan Wijang duduk menunggui pande besi yang dengan kawan-kawannya membuat sebuah kapak kecil pembelah kayu. Namun kemudian keduanyapun minta diri. "Kau tidak memerlukan apa-apa hari ini, Paksi?" bertanya pande besi itu. "Lain kali saja," jawab Paksi sambil melangkah meninggalkan tempat itu bersama Wijang. Sambil berjalan di antara banyak orang di pasar itu, Wijangpun berdesis, "Tentu ada hubungan antara Sangga Samodra itu dengan Ki Repak Rembulung." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Ya. Akupun berpendapat begitu. Dengan dukungan orang-orang Panjatan itulah agaknya Repak dan Pupus Rembulung berani bersikap menantang orang-orang dari perguruan yang sudah punya nama itu." "Kau kenal nama pande besi yang berasal dari Panjatan itu?" bertanya Wijang. "Kenal, kenapa?" "Kita pergi ke Panjatan. Kita akan mencari pande besi itu," berkata Wijang kemudian. Namun demikian Wijang itupun
berkata selanjutnya, "Tetapi tidak sekarang. Besok atau lusa sambil melihat-lihat apakah sudah ada isyarat pada batang pohon gayam itu." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Ya. Sementara itu, kita masih mempunyai waktu untuk meyakinkan keadaan padukuhan itu." Demikianlah, keduanyapun kemudian segera kembali ke gubuk mereka. Mereka merencanakan untuk pergi ke Panjatan dua hari lagi. Mereka berharap bahwa sudah ada isyarat tentang pertemuan yang akan diadakan oleh beberapa orang pemimpin perguruan. Namun di hari berikutnya keduanya masih mendapat beberapa keterangan lagi tentang Panjatan. Tidak bertentangan dengan keterangan yang terdahulu. Namun seorang pedagang gula kelapa mengatakan bahwa di hari-hari terakhir nampaknya ada kesibukan khusus dari keluarga yang menyebut Trah Sangga Samodra itu. "Trah Sangga Samodra. Jadi Sangga Samodra itu sendiri apa masih ada?" bertanya Paksi. Pedagang gula itu menggeleng. Katanya, "Sudah lama Sangga Samodra itu meninggal. Yang ada adalah anak, cucu dan cicitnya yang meneruskan kegiatannya." "Siapakah yang sekarang menjadi pemimpinnya?" bertanya Paksi pula. "Untuk apa kau bertanya tentang pemimpin Trah Sangga Samodra itu?" "O, tidak apa-apa," jawab Paksi dengan serta-merta. "Sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu saja." Penjual gula kelapa itu tersenyum. Untunglah bahwa ia tidak menaruh perhatian lebih jauh karena pedagang gula itu segera sibuk dengan pekerjaannya. Paksi dan Wijang yang kemudian meninggalkan pedagang gula itupun telah duduk di depan penjual nasi tumpang bersama Kinong yang kebetulan sedang beristirahat. "Makanlah," berkata Paksi.
Kinong memandang Paksi dengan sepasang matanya yang bening. Dengan jujur ia berkata, "Aku memang belum makan sejak pagi. Tetapi aku sudah mendapat uang beberapa keping." "Simpanlah. Bukankah kau sedang menabung. Biarlah aku yang membayar nasi tumpang itu." Kinong memandang Paksi dan Wijang berganti-ganti. Sementara Wijang berkata, "Jangan malu. Aku juga akan membeli nasi tumpang itu. Aku juga belum makan." Ketiganyapun kemudian telah makan nasi tumpang. Tanpa menghiraukan orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Bahkan kemudian dua orang ayah dan anaknya sebesar Kinong juga duduk di sebelah mereka membeli nasi tumpang pula. Kinong terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara ibunya yang sudah berdiri di belakangnya, "Kinong, sedang apa kau di situ, he?" Kinong berpaling. Anak itupun kemudian bangkit berdiri sambil memegangi pincuk nasi tumpangnya. Sambil mengunyah anak itu menjawab, "Kakang Paksi membelikan nasi tumpang." "Setiap kali kau dibelikan nasi tumpang, dawet, bahkan makanan." Paksilah yang menjawab sambil tersenyum, "Ketika Kinong lewat, kebetulan kami sedang makan, Bibi." "Terima kasih, Ngger," jawab ibu Kinong "Bibi tidak makan?" bertanya Paksi. "Terima kasih, Ngger. Terima kasih." Ibu Kinong itupun kemudian beranjak pergi. Dihampirinya seorang perempuan yang sedang berbelanja. Tetapi dengan muka cemberut perempuan itu berkata, "Aku sudah mengajak pembantuku." Ibu Kinong itupun bergeser surut. Ia sudah terbiasa mendapat jawaban seperti itu. Namun kemudian dengan berlari-lari kecil ibu Kinong itu mendekati seorang perempuan lain yang membawa dua kereneng di kedua tangannya.
Berbeda dengan orang yang pertama, maka perempuan itu tersenyum sambil berkata, "Aku kira kau tidak ada di pasar hari ini, Yu. Tanganku sudah pedih membawa kereneng itu." "Aku kira Nyi Peni tidak berbelanja hari ini." "Aku sedang memperbaiki rumah, Yu. Di rumah yang datang untuk sambatan kira-kira lima belas orang atau bahkan lebih." Ibu Kinong itupun kemudian dengan cekatan memasukkan kedua kereneng itu ke dalam bakul yang diberinya serumbung. Kemudian iapun melangkah mengikuti perempuan yang sedang belanja itu. Kinong yang masih menghabiskan makanannya itu berkata, "Perempuan itu kalau berbelanja tentu banyak. Aku juga harus membantu ibu nanti." "Habiskan dahulu nasimu," berkata Paksi, "atau kau mau tambah lagi?" Kinong menggeleng. Katanya, "Aku sudah kenyang. Nanti aku tidak dapat bekerja membantu ibu jika aku terlalu banyak makan." "Justru kau akan menjadi kuat," berkata Wijang. Tetapi Kinong menjawab, "Aku akan mengantuk." Paksi dan Wijang tertawa. Sementara itu, Kinong telah membuang pincuknya dan berlari membawa keranjang kecilnya mendekati ibunya. "Anak yang rajin," berkata Wijang. "Aku senang kepada anak itu." "Pada suatu saat, kau dapat memanggilnya," berkata Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya iapun bergumam, "Ada berapa orang Kinong yang tersebar di pasar Pajang. Aku juga pernah melihat perempuan dan kanak-kanak berkeliaran di pasar dengan bakul dan keranjang kecilnya. Bahkan mereka bukan anak seorang pemabuk. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai cara lain untuk mencari makan. Sementara orang lain berbelanja berlebihan." Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa hal itu merupakan salah satu ungkapan
ketidakpuasan Pangeran Benawa terhadap keadaan yang berkembang semasa pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Ayahanda Pangeran Benawa itu sendiri. Setelah membayar harga nasi tumpang, maka mereka berduapun meninggalkan pasar itu. Dengan kerut di kening, Wijang sempat bertanya, "Kau mempunyai banyak uang?" "Ibuku memberi bekal saat aku berangkat." "Ayahmu?" bertanya Wijang "Ibu sudah memberi bekal. Tentu ayah tidak merasa perlu memberiku lagi." Wijang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Hari itupun kemudian telah dihabiskan oleh kedua orang itu untuk berlatih. Wijanglah yang memperingatkan Paksi, bahwa pada suatu saat mereka akan terpaksa membenturkan kemampuan mereka dengan orang-orang yang berkeliaran mencari cincin itu. Di keesokan harinya, seperti yang direncanakan, mereka berdua akan pergi ke Panjatan mencari seseorang yang bernama Lebak. Meskipun sebenarnya mereka mengetahui bahwa Lebak, seorang pande besi, jarang-jarang pulang. Pagi-pagi mereka telah bersiap-siap. Mereka menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum mereka berangkat, sebagaimana jika mereka pergi ke pasar. Legenpun telah mereka tuang ke dalam kuali. Kayu yang kering sudah disimpan di dalam gubuk. Tidak ada jemuran di luar dan pintu gubuknyapun ditutup rapat-rapat. Ketika matahari mulai memanjat langit, maka keduanyapun telah berangkat langsung menuju ke Panjatan. Ketika mereka memasuki jalan menuju ke padukuhan itu maka mereka harus mulai mengamati apakah sudah ada isyarat yang terpahat pada batang pohon gayam yang tumbuh di pinggir jalan. Tetapi keduanya harus berhati-hati. Keduanya harus menghindari kecurigaan orang sejauh dapat mereka lakukan. Karena itu, maka ketika mereka sudah berada di jalan menuju ke Panjatan, mereka tidak langsung menilik setiap
pohon gayam. Tetapi mereka mencoba melihat sambil berjalan perlahan-lahan. Baru setelah mereka melihat sesuatu yang menarik pada sebatang pohon gayam, maka merekapun melangkah menepi. "Tidak ada orang yang melihat kita disini," desis Wijang. Tetapi keduanya tidak semata-mata melihat goresan yang ada di batang pohon gayam itu. Keduanya sambil berpurapura berteduh, mencoba untuk dapat memahami isyarat yang dipahatkan pada pohon gayam itu. Sebagaimana yang mereka duga, goresan-goresan pada batang pohon gayam itu benar-benar isyarat. Wijang dan Paksi sempat membaca tulisan itu. Mereka melihat pahatan sebuah lengkungan. Di bawahnya dipahatkan angka satu. Kemudian di bawah lagi terdapat tulisan 'lewat tengah malam'. Selain itu, mereka tidak menemukan isyarat lain. Paksi dan Wijang yang kemudian meneruskan langkah merekapun telah membicarakan isyarat itu. Mereka sepakat bahwa isyarat itu menyatakan, bahwa pertemuan akan diselenggarakan pada saat bulan tanggal satu lewat tengah malam. "Tetapi dimana?" bertanya Paksi. "Kita lihat, apakah ada isyarat lain pada batang pohon gayam berikutnya." Paksi mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak menemukan petunjuk yang lain. Pada sebatang pohon gayam yang lain justru hanya terpahat sebuah lengkungan dengan tulisan angka satu. Di pohon yang lain terdapat tulisan 'lewat tengah malam'. "Jika demikian, pertemuan itu akan diselenggarakan di tempat itu juga," desis Wijang. "Di lapangan rumput itu?" "Ya." Paksi mengangguk-angguk.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Mereka masih berjalan menuju ke Panjatan yang semakin lama menjadi semakin dekat. Bagaimanapun juga kedua orang itu menjadi berdebardebar ketika mereka memasuki padukuhan. Meskipun demikian, keduanya berusaha untuk menunjukkan sikap yang wajar. Sebenarnyalah bahwa Padukuhan Panjatan tidak ada bedanya dengan padukuhan-padukuhan yang lain. Kesibukan menjelang siang juga tidak ada bedanya dengan kesibukan di padukuhan lain. Dari kejauhan terdengar suara orang menumbuk padi. Sementara itu, seorang ibu muda sedang menyuapi anaknya tanpa menghiraukan anaknya itu menangis meronta-ronta. Nasi cair yang dicampur dengan gula kelapa disuapkannya di mulut yang kecil itu. Wijang dan Paksi tertegun sejenak melihat ibu muda yang duduk di tangga regol halaman rumahnya tanpa memperhatikan orang yang lewat sambil menyuapi anaknya itu. Bukan saja anaknya yang menangis meronta-ronta yang berkeringat. Tetapi ibu muda itupun berkeringat pula. Paksi dan Wijang membatalkan niatnya untuk bertanya, di manakah letak rumah Lebak. Ibu muda itu nampak demikian sibuknya, sehingga ia tidak lagi menghiraukan apapun juga. Beberapa langkah kemudian, Paksi dan Wijang berjalan melewati sebuah gardu. Terdengar lenguh lembu dari halaman sebelah. Sedangkan dari halaman yang lain terdengar kokok bekisar yang melengking tinggi. Paksi dan Wijang tertegun ketika mereka melihat seorang laki-laki yang berdiri di regol halaman rumahnya justru turun ke jalan. Ia memberi isyarat dengan tangannya, agar Paksi dan Wijang itu berhenti. "Siapakah kalian, anak-anak muda?" bertanya orang itu. "Namaku Wijang, Ki Sanak. Sedangkan adikku ini namanya Paksi."
"Untuk apa kalian memasuki padukuhan ini?" bertanya lakilaki itu. "Kami mencari seorang sahabat kami, Ki Sanak." "Namanya siapa?" bertanya laki-laki itu. "Lebak," jawab Wijang. Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, "Lebak jarang sekali pulang. Ia bekerja di Pasar Turi, pada seorang pande besi." "Apakah hari ini ia tidak ada di rumah?" bertanya Wijang pula. "Tidak. Aku tidak melihat. Pergi sajalah ke Pasar Turi. Kau akan bertemu dengan Lebak." "Aku akan menunggu di rumahnya, Ki Sanak," jawab Wijang. Laki-laki itu menggeleng. Katanya, "Pergilah ke Pasar Turi." "Baiklah. Tetapi aku akan menemui keluarganya lebih dahulu. Aku akan memberikan beberapa pesan kepada keluarganya." Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia berkata, "Sudahlah, ia tidak akan segera pulang. Mungkin dua tiga pekan lagi. Pergilah." Wijang dan Paksi menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang dari Trah Sangga Samodra. Karena itu, jika mereka tidak ingin berselisih, maka mereka harus meninggalkan padukuhan itu. "Baik, Ki Sanak," jawab Wijang, "kami akan pergi." Namun tiba-tiba saja dari pintu regol itu keluar seorang perempuan. Wijang dan Paksi tidak segera mengenali perempuan itu. Seorang perempuan yang mengenakan kain lurik hijau dan baju lurik hijau pupus pula. Meskipun perempuan itu sudah tidak muda lagi, tetapi bekas-bekas kecantikannya masih melekat di wajahnya yang bersih. Namun Wijang dan Paksi terkejut ketika mereka menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Pupus Rembulung. Meskipun demikian, Paksi dan Wijang mampu menyembunyikan kesan itu. Bahkan keduanyapun sempat
mengangguk hormat kepada perempuan yang sama sekali tidak menunjukkan kesan kegarangannya sebagaimana ketika ia mengenakan pakaian khususnya bersama Repak Rembulung di hadapan beberapa orang murid dari perguruan yang sudah mempunyai nama. Bahkan dengan ramah Pupus Rembulung itu bertanya, "Siapakah yang kalian cari, anak muda?" "Kami mencari sahabat kami yang bernama Lebak, Bibi," jawab Wijang. "O," lalu iapun bertanya kepada laki-laki yang sudah lebih dahulu turun ke jalan. "Apakah kau tahu rumah Lebak?" "Lebak tidak ada di rumah, Bibi." "Dari mana kau tahu?" bertanya Pupus Rembulung itu. "Lebak berada di Pasar Turi. Ia bekerja sebagai pande besi disana." "O. Jika demikian, sebaiknya kalian pergi saja ke Pasar Turi. Kalian akan dapat menemuinya disana, Ngger." "Baik, Bibi," jawab Wijang sambil mengangguk hormat. Demikianlah keduanyapun meninggalkan Padukuhan Panjatan dengan kesan yang aneh. Demikian keduanya keluar dari regol padukuhan, maka Wijang itupun berkata, "Ternyata Pupus Rembulung itu mempunyai kepribadian rangkap. Ia seorang perempuan yang garang jika sepasang pedang tergantung di pinggangnya. Tetapi ia seorang perempuan yang ramah jika ia mengenakan baju dan kain lurik berwarna hijau muda." "Ya. Seperti ceritera Paman Pananggungan. Di rumah, Repak Rembulung adalah seorang ayah yang bijak, sementara Pupus Rembulung adalah seorang ibu yang lembut." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Namun Paksipun berkata, "Tetapi bukan hanya mereka berdua." "Siapa lagi?" bertanya Wijang. "Di istana ia seorang pangeran yang berwibawa, tetapi di pasar ia duduk sambil memegang pincuk nasi tumpang." Wijang tertawa. Namun iapun berkata, "Masih banyak contohnya. Kau ingin tahu?"
Tetapi Paksi menggeleng. Katanya, "Tidak." Keduanyapun tertawa. Namun keduanyapun segera menghentikan tawa mereka ketika mereka melihat dua orang yang berjalan ke arah yang berlawanan. Meskipun kedua orang itu berpakaian seperti petani kebanyakan, namun Paksi dan Wijang harus berhati-hati, justru karena mereka berada di jalur keluarga Sangga Samodra. Seandainya keduanya bukan Trah Sangga Samodra, dapat saja terjadi, keduanya adalah murid dari perguruan yang terlibat dalam pertemuan yang bakal datang. Tetapi karena kedua orang itu nampaknya berjalan dengan mantap menuju ke Padukuhan Panjatan, maka Paksi dan Wijang menduga bahwa keduanya tentu orang Panjatan. Trah atau bukan Trah Sangga Samodra. Ketika mereka berpapasan, maka kedua orang itu memandang Wijang dan Paksi dengan tajamnya. Namun kedua orang itu tidak menegur mereka. Wijang dan Paksi menarik nafas panjang. Keduanya berjalan terus tanpa menoleh sama sekali. Ketika keduanya kemudian berjalan semakin jauh, maka Wijangpun berkata, "Nah, kita sudah tahu, kapan mereka akan bertemu. Kita pun harus benar-benar mempersiapkan diri untuk menonton pertemuan itu. Yang akan bertemu bukan sekedar para murid dari perguruan-perguruan itu. Tetapi justru para pemimpinnya. Tentu termasuk Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung." "Pertemuan itu akan berlangsung beberapa hari lagi," desis Paksi. "Mereka justru memilih malam yang paling gelap." "Tentu bukannya tanpa maksud," sahut Wijang. "Apakah mereka akan bersikap jujur?" "Seandainya mereka tidak berniat jujur, namun mereka harus memperhitungkan banyak kemungkinan." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi."
Dengan demikian, maka Paksi dan Wijang itu benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pertemuan yang mereka anggap penting itu. Mereka harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang paling buruk. "Kita harus mengenal medan dengan sebaik-baiknya," berkata Wijang. "Maksudmu?" bertanya Paksi. "Mungkin kita harus menghindar dari kemungkinan yang paling buruk, jika mereka mengetahui kehadiran kita. Kita harus tahu, kemana kita akan pergi. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berilmu tinggi." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun berkata, "Jika pertemuan itu dilakukan di tempat lain?" "Kita akan kehilangan jejak," jawab Wijang. "Tetapi tidak ada isyarat lain yang menunjukkan tempat pertemuan itu." Paksi mengangguk-angguk. Iapun kemudian bergumam, "Kita akan memanfaatkan waktu menjelang pertemuan itu untuk mengenali medan sebaik-baiknya sebagaimana kau katakan." Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu langkah mereka tanpa persepakatan justru telah berbelok menuju ke pasar. Keduanya saling berpandangan sejenak. Kemudian keduanyapun tertawa. "Kita pergi ke pasar?" bertanya Paksi. "Kau yang berbelok lebih dahulu ke kanan," sahut Wijang. "Sebenarnya aku akan berbelok ke kiri." Keduanya masih tertawa, sementara langkah mereka menjadi semakin cepat. Tanpa berjanji pula keduanya telah pergi ke sudut pasar, tempat beberapa orang pande besi membuka tempat kerja mereka. Keduanyapun kemudian telah menemui Lebak yang sedang mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa sebatang besi
panjang. Agaknya Lebak dan seorang kawannya sedang membuat sebuah parang pemotong kayu. Ketika Lebak kemudian beristirahat, maka Paksipun berkata, "Aku baru saja pergi ke Panjatan." "Untuk apa?" bertanya Lebak. "Ceriteramu menarik," jawab Paksi. "Karena itu, aku ingin membuktikannya." "Apa yang kau temui disana?" "Aku memang diminta meninggalkan Panjatan. Alasanku untuk mencarimu tidak dapat diterima karena kau tidak ada di rumah. Aku tidak tahu siapa yang telah mengusirku. Tetapi di rumah orang itu tinggal pula seorang perempuan cantik meskipun umurnya sudah tidak dapat disebut muda lagi. Saat itu ia mengenakan kain dan baju lurik hijau muda." "Perempuan cantik itu?" desis Lebak. "Ya. Siapakah perempuan itu?" Lebak menggeleng. Katanya, "Aku tidak mengenalnya. Ia jarang berada di Panjatan. Hanya sekali-sekali saja. Apalagi aku sendiri jarang sekali ada di rumah." "Nah, aku hanya memberitahukan hal ini kepadamu agar jika pada suatu saat kau pulang, kau mengaku mengenal kami berdua." Lebak mengangguk kecil. Tetapi iapun bergeremang, "Untuk apa sebenarnya kau datang ke Panjatan" Jika kau manjakan sifat ingin tahumu, maka kau akan dapat mengalami kesulitan." Paksi tertawa. Sementara Wijang berkata, "Kami tidak akan mengulanginya." Namun dalam pada itu, Wijang itupun tiba-tiba saja memutar tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di selasela kedua lututnya. Semula Paksi tidak menghiraukannya. Ia mengira bahwa Wijang sekedar bergurau atau menyembunyikan tawanya. Namun ternyata Wijang itupun berkata, "Marilah, Paksi. Kita tinggalkan tempat ini." "Kenapa?" bertanya Paksi.
"Lebak. Kami minta diri," berkata Wijang singkat. "Besok kami akan datang lagi." Lebak mengangguk kecil sambil menjawab, "Datanglah besok. Aku besok akan membuat sebuah pedang. Bukan sekedar parang pembelah kayu." Wijangpun kemudian telah menarik Paksi meninggalkan Lebak. "Ada apa?" bertanya Paksi kemudian. Wijang berjalan semakin cepat. Kemudian iapun berkata kepada Paksi, "Kau lihat laki-laki berbaju lurik hitam dengan berikat kepala wulung itu?" Paksi memperhatikan orang itu. Tetapi orang itu membelakanginya, sehingga Paksi tidak melihat wajahnya. "Kau tentu belum mengenal orang itu. Tetapi tolong, sejauh dapat kau kenali ujudnya atau kepentingannya datang ke pasar ini. Tetapi ingat, jangan sampai orang itu menyadari bahwa kau memperhatikannya." "Siapakah orang itu?" "Kau akan mengetahuinya, atau jika tidak, nanti aku akan memberitahukanmu. Aku akan berada di luar pasar. Nampaknya aku harus menempatkan diri sebaik-baiknya." -ooo00dw00oooJilid 08 PAKSI mengerutkan dahinya. Tentu ada sesuatu yang dianggap sangat penting oleh Wijang. Karena itu, maka ia tidak bertanya lebih jauh. Diusahakannya mendekati orang yang berbaju lurik hitam dan berikat kepala wulung. Dengan kemampuannya, Paksi berusaha untuk dapat mengetahui tentang orang itu sebanyak-banyaknya. Namun Paksipun juga memperhitungkan seandainya orang itu juga berilmu tinggi. Namun Paksipun kemudian melihat orang itu berhenti di depan penjual dawet. Sambil duduk ia telah memesan
semangkuk dawet cendol. Namun sejenak kemudian orang lain pun telah mendekat dan duduk pula di sebelahnya. Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berjalan saja di depan penjual dawet itu. "He, Ngger. Kau tidak haus?" Paksi sudah mengira bahwa penjual dawet itu akan menyapanya. Karena itu, maka tanpa menghiraukan kedua orang itu, Paksi telah duduk justru di sebelah penjual dawet itu. "Kau sendiri" Di mana kakakmu?" bertanya penjual dawet itu. "Kakak sedang sibuk, Paman. Tolong dawetnya semangkuk saja," minta Paksi. Sekilas ia memandang kedua orang yang duduk di depan penjual dawet itu. Agaknya keduanya memang sudah saling mengenal. Bahkan kemudian keduanya terlibat dalam sebuah pembicaraan. "Aku sudah menerima undangan itu," berkata seorang di antara mereka. "Menarik sekali. Tamu-tamunya tentu orang-orang terhormat," jawab yang lain. "Ya. Justru para demang. Mungkin ada satu dua orang bekel yang akan ikut bersama demangnya menghadiri perhelatan itu." "Kita akan mengajak anak-anak kita." "Tetapi mereka tentu orang-orang kaya. Kita tidak akan mampu menyaingi mereka." Paksi sama sekali tidak menghiraukan itu. Bahkan penjual dawet itulah yang bertanya, "Di mana akan ada perhelatan yang nampaknya besar-besaran itu, Ki Sanak?" Salah seorang di antara mereka tersenyum sambil menjawab, "Ki Lurah Pancaniti. Seorang lurah prajurit yang kaya raya." Tetapi agaknya penjual dawet itu belum mengenal Lurah Pancaniti. Meskipun dahinya nampak berkerut, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sementara itu seorang di antara keduanya bertanya, "Kau akan kemana sekarang?" "Pulang. Anakku sudah menunggu. Kau?" "Aku juga akan pulang." "Aku harus mempersiapkan sumbangan yang pantas." "Jangan memaksakan diri. Jika kau memang tidak punya uang, apaboleh buat." Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Hal seperti itu memang banyak terjadi. Untuk menjaga harga diri seseorang kadang-kadang harus mencari pinjaman kemana-mana sekedar untuk memberikan sumbangan. Apalagi jika yang mengadakan perhelatan seorang yang berpengaruh." Kedua orang yang sedang membeli dawet itu tersenyum. Seorang di antara mereka kemudian berkata, "Marilah. Aku akan pulang. Jika sempat suruh anakmu bermain ke rumahku." "Baiklah. Aku juga akan segera pulang." Orang yang pertama itupun segera membayar harga dawet sambil berkata, "Kebetulan ada uang. Aku bayar dawetmu." Kawannya tertawa. Katanya, "Terima kasih." Namun tiba-tiba saja Paksi berkata, "Untukku sekalian, Paman." Orang itu memandang Paksi sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Baiklah, anak muda. Tetapi sekali ini saja." "Terima kasih, terima kasih," desis Paksi. Orang itupun tertawa. Namun kemudian iapun melangkah pergi meninggalkan kawannya yang masih duduk di tempatnya. Namun iapun kemudian bangkit pula sambil berkata, "Kawanku itu tentu baru saja menjual hasil panennya yang melimpah di musim ini, sehingga ia mempunyai uang berlebihan." Paksipun menyahut, "Paman itu nampaknya murah hati." "Kadang-kadang," jawab kawannya itu. "Tetapi jika ia kehabisan uang, maka iapun tidak segan-segan datang untuk meminjam uang, tetapi tidak akan dikembalikan."
Paksi tertawa. Penjual dawet itupun tertawa pula. Demikianlah, maka orang itupun telah minta diri pula. Kepada Paksi, ia justru bertanya, "Kau sering datang kemari, anak muda?" "Ya, Paman," jawab Paksi. "Hampir tiap hari." Orang itu tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kau pergunakan waktumu dengan baik. Mumpung kau masih muda. Jangan banyak kau buang tanpa arti. Atau kau mempunyai kegiatan dagang di pasar ini sehingga kau setiap hari harus datang kemari?" "Tidak, Paman," jawab Paksi. "Nah, jika demikian, manfaatkan masa mudamu sebaikbaiknya. Meskipun semua kebutuhanmu dicukupi oleh orang tuamu, tetapi pada suatu ketika kau harus berdiri sendiri." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Baik, Paman." "Ah. Hanya sekedar pesan, anak muda. Jika tidak sesuai dengan perasaanmu, lupakan saja. Tetapi menurut pendapatku, anak-anak muda lebih baik mempergunakan waktunya bagi kegiatan yang berarti." "Terima kasih atas peringatan ini, Paman." Orang itu mengangguk kecil. Namun kemudian iapun melangkah meninggalkan penjual dawet dan Paksi yang termangu-mangu. Sepeninggal orang itu, maka Paksipun telah berdiri pula sambil berkata, "Aku akan pulang." Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Apakah benar kau siasiakan hari-harimu, anak muda." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Sebagian memang. Tetapi sebagian tidak." Penjual dawet itu tertawa berkepanjangan. Paksipun akhirnya tertawa pula. Namun kemudian iapun melangkah pergi meninggalkan penjual dawet itu. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah keluar dari pintu gerbang pasar. Ia harus segera memberitahukan kepada Wijang, karena Paksi mengetahui pembicaraan kedua orang
itu tentu merupakan pembicaraan sandi. Mungkin Wijang akan dapat mengurai maksud dari pembicaraan itu, sehingga Wijang dapat mengambil kesimpulannya. Tetapi Paksi tidak tahu, dimana Wijang menunggunya. Karena itu, maka Paksipun kemudian melangkah perlahanlahan meninggalkan pasar itu. Ia berharap bahwa Wijang melihatnya dan menemuinya sambil berjalan pulang. Sebenarnya, setelah beberapa puluh patok dari pasar, ia melihat Wijang duduk di bawah sebatang pohon lamtara yang tumbuh di atas tanggul parit di pinggir jalan. "Kenapa kau menunggu aku disini?" "Jadi aku harus menunggu di mana?" "Jika orang itu lewat jalan ini?" "Dari kejauhan aku sudah melihatnya. Aku dapat menghindarinya dengan meniti pematang itu." Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijangpun segera bangkit dan berjalan di sebelah Paksi. Sambil berjalan Paksipun telah berceritera tentang kedua orang yang sedang membeli dawet cendol. Seorang di antaranya adalah orang yang berbaju lurik hitam dan mengenakan ikat kepala wulung itu. Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi mereka juga sudah tahu bahwa para pemimpin perguruan itu akan mengadakan pertemuan di tempat itu." "Apakah mereka sedang membicarakan hal itu?" "Agaknya memang demikian." Paksi mengangguk-angguk. Dengan sedikit merenung, maka Paksipun menemukan hubungan antara pembicaraan kedua orang itu dengan rencana pertemuan para pemimpin perguruan sebagaimana mereka ketahui pula dari isyarat yang terpahat pada batang gayam yang tumbuh di pinggir jalan menuju ke Panjatan. "Tetapi siapakah mereka itu" Apakah kau mengenal mereka dan mereka mengenalmu?" Wijang mengangguk. Katanya, "Mereka adalah para petugas sandi dari Pajang. Yang berbaju hitam dengan ikat
kepala wulung itu adalah seorang rangga. Namanya Rangga Suraniti. Ia adalah seorang rangga yang berilmu tinggi. Bahkan melampaui sesamanya. Ia termasuk salah seorang kepercayaan para pemimpin prajurit dari Pajang." "Yang seorang lagi?" bertanya Paksi. "Aku tidak melihat orang itu," jawab Wijang. "Bagaimana aku dapat mengenalinya. Jika saja kau mempunyai ilmu yang dapat memantulkan bayangan yang pernah kau tangkap lewat penglihatanmu, aku tentu akan dapat menyebutnya." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku akan mempelajari ilmu itu. Pangeran Benawa tentu menguasainya. Aku akan mohon untuk diajarinya." "Kau kira ia memiliki ilmu itu" Iapun tidak memilikinya. Aku pernah bertanya kepadanya." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, "Seandainya Pangeran Benawa mempunyainya, ia tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu." Wijangpun tertawa pula. Katanya, "Kau memang keras kepala." Keduanyapun melangkah terus memanjat kaki Gunung Merapi. Di langit yang bersih nampak asap putih mengepul tinggi, menyatu dengan selembar awan tipis yang mengalir lambat. "Nah," berkata Wijang selanjutnya, "kita akan melanjutkan rencana kita untuk mengenali medan sebaik-baiknya." "Sekarang saja. Kita akan mengulanginya malam nanti. Mungkin besok siang dan besok malam lagi." Paksi mengangguk kecil. Namun ia tidak membantah. Keduanyapun kemudian telah pergi ke lapangan rumput yang agaknya akan dipergunakan sebagai tempat untuk sebuah pertemuan yang penting. Pertemuan dari para pemimpin perguruan yang bersama-sama ingin memiliki sebuah cincin yang mereka percaya dapat mempengaruhi perjalanan hidup mereka, atau keturunan mereka.
Namun mereka sadar, bahwa mereka harus berhati-hati. Apalagi di siang hari. Mereka harus memperhitungkan kemungkinan bahwa ada di antara orang-orang perguruan yang berkeliaran di tempat itu pula. Keduanyapun kemudian telah menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu di lereng Gunung Merapi. Semakin lama semakin dekat dengan lapangan rumput itu. Ketika keduanya sampai di tempat itu, ternyata tidak seorangpun berada di sekitar tempat itu. Wijang dan Paksi telah mengelilingi tempat itu pula sehingga mereka yakin, bahwa memang tidak ada orang yang berada disana. Dengan demikian, maka keduanyapun telah memasuki lapangan rumput itu. Mereka memperhatikan batu persegi yang ada di tengah-tengahnya. Batu besar persegi ampat itu agaknya memang telah dibuat oleh seseorang untuk kepentingan tertentu. Wijang dan Paksi tidak dapat menduga untuk apa batu itu dibentuk menjadi seperti itu. Beberapa saat kemudian, merekapun telah memperhatikan lingkungan di sekitar lapangan rumput itu. Mereka memperhatikan sebatang pohon preh yang besar tumbuh di salah satu sudutnya. Di sekitar pohon itu, tumbuh semak-semak yang rimbun, sehingga akan dapat menjadi tempat bersembunyi yang baik. "Tetapi tempat ini terlalu dekat, sehingga orang-orang berilmu tinggi itu akan dapat mendengar desir yang lembut sekalipun," berkata Paksi. "Jika kita memiliki kemampuan menyerap bunyi karena sentuhan tubuh kita, maka mereka tidak akan mendengarnya betapapun tajam pendengaran mereka," jawab Wijang. Paksi mengangguk. Iapun sudah terlatih dengan baik, serta telah menguasai kemampuan untuk menyerap bunyi sebagaimana dimaksud oleh Wijang. Tetapi bagaimanapun juga, mereka harus menjadi sangat berhati-hati jika mereka ingin berada di sekitar pohon preh itu saat mereka akan
menyaksikan pertemuan orang-orang dari berbagai perguruan itu. Tetapi Wijangpun kemudian berkata, "Kita akan melihat keadaan di sekitar tempat ini. Mungkin kita akan menemukan tempat yang lain. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh." Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata pula, "Ingat. Mereka memilih malam yang paling gelap. Tetapi bukankah kau telah memiliki ilmu Sapta Pandulu?" "Ya. Aku menerima ilmu itu dari Ki Marta Brewok." "Sapta Pangrungu?" "Ya." "Bagus. Dengan demikian, kita tidak perlu berada di tempat yang terlalu dekat. Kita akan dapat menyadap pembicaraan mereka dari jarak yang agak jauh." Demikianlah, maka keduanyapun telah melihat semua sisi lapangan rumput itu serta sekitarnya. Mereka telah melihat dan mempelajari lingkungan itu sebaik-baiknya. Mereka sudah mengetahui, sisi manakah yang paling baik mereka pilih. Bukan saja tempatnya yang mapan, tetapi jika terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan, mereka akan dapat segera menemukan jalan untuk menyingkir. Bahkan seandainya mereka dikejar oleh beberapa orang berilmu tinggi, memungkinkan mereka untuk melepaskan diri. "Apakah kita masih akan kembali nanti malam atau besok atau kapan lagi," bertanya Paksi. "Nanti malam kita akan melihat tempat ini dan meyakinkannya sekali lagi," jawab Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Sekarang, kita akan pulang." Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi seperti yang mereka katakan, maka ketika malam turun, keduanyapun sekali lagi telah datang ke tempat itu. Mereka ingin melihat keadaan tempat itu dan sekitarnya dalam suasana malam yang gelap, karena pertemuan itu sendiri akan dilangsungkan di malam yang paling gelap.
Beberapa saat lamanya mereka berkeliling tempat itu. Mereka berusaha untuk mengenali lingkungan itu sebaikbaiknya. "Tidak seorangpun akan dapat menangkap kita," berkata Wijang. "Kita tahu medannya dengan sangat baik." "Bagaimana jika mereka juga sudah mengenali medan ini justru lebih baik dari kita." "Tetapi kita akan mempunyai kesempatan lebih dahulu," jawab Wijang. Paksi tidak menyahut lagi. Tetapi iapun sependapat dengan Wijang. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah kembali ke dalam gubuk kecil yang terlindung oleh gumuk-gumuk padas. Seperti biasanya, maka Paksi membuat perapian di malam hari untuk menanak nasi. Malam itu Paksi telah membuat sayur jantung pisang kepok kuning. Sambil menunggui nasi dan sayur mereka masak, keduanyapun masih saja berbincang tentang pertemuan itu. Pertemuan yang tentu akan sangat menarik perhatian. Namun yang tidak kalah menariknya bagi Wijang adalah kehadiran para petugas sandi dari Pajang. Meskipun seorang di antara mereka mengisyaratkan, agar mereka tidak memaksa diri jika keadaannya memang sangat berbahaya karena kekuatan mereka sangat kecil. "Tetapi aku kira mereka tentu akan datang. Aku percaya akan kemampuan Ki Rangga Suraniti. Tetapi entahlah, apakah kawannya itu mampu mengimbanginya. Jika keadaan berkembang menjadi sangat buruk bagi mereka, Ki Rangga Suraniti tentu memerlukan kawan yang pantas untuk berhadapan dengan para pemimpin padepokan itu," berkata Wijang seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri. Sedikit lewat tengah malam, semuanya sudah selesai. Paksi membiarkan nasinya tetap berada di atas api yang sudah disusut menjadi sangat kecil. Sementara itu, setelah mencuci kaki dan tangan mereka, maka Paksi dan Wijang itupun segera beristirahat di dalam gubuk mereka.
Keduanya tidak memerlukan waktu yang panjang. Beberapa saat saja mereka berbaring, maka merekapun segera tertidur dengan nyenyaknya. Di hari berikutnya, maka keduanya tidak turun ke pasar. Keduanya benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menyongsong pertemuan para pemimpin perguruan yang nampaknya akan menjadi sangat menarik. Justru karena mereka mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Waktupun telah meloncat dari hari ke hari. Paksi dan Wijang mengisi hari-harinya di dalam goa di belakang air terjun. Dalam waktu sempit yang tersisa mereka berusaha untuk semakin mematangkan ilmu mereka. Paksi menjadi semakin mengenal tongkatnya, sedangkan Wijang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu membiasakan diri menguasai ruang yang rumpil. Wijang berlatih di antara batubatu yang menjorok seakan-akan mencuat dari dalam tanah, namun juga yang menggantung di langit-langit goa. Dengan tangkasnya, Wijang bergerak-gerak di antara ujung-ujung batu yang runcing, seakan-akan ia sedang bertempur di antara beberapa orang lawannya. Bahkan Wijangpun kemudian telah minta Paksi juga melakukannya. Bukan saja di siang hari saat matahari menembus masuk lewat lubang di atas goa itu, tetapi Wijangpun telah mengajak Paksi berlatih bersama di malam hari. Mereka berlatih bertempur di dalam kegelapan di selasela ujung-ujung batu yang runcing. "Hati-hati," pesan Wijang. "Jika dahimu membentur ujung batu runcing yang bergayut di langit-langit goa ini, maka kau akan terluka. Kau juga tidak boleh terjatuh menimpa ujungujung batu yang mencuat dari lantai goa ini." Paksi mengangguk. Ia menyadari bahaya yang dapat mencengkamnya. Tetapi berlatih di tempat yang berbahaya itu menjadi sangat menarik bagi Paksi. Ia rasa-rasanya memang sudah jenuh berlatih di ruang yang terhitung luas di dalam goa itu, yang pada dindingnya terdapat lukisan unsur-unsur
gerak yang dapat menuntunnya untuk mencapai tataran tertinggi dari ilmunya. Dengan demikian, maka ketrampilan Paksipun menjadi semakin meningkat. Berlandaskan ilmunya yang tinggi, maka Paksi benar-benar menjadi anak muda yang mumpuni. Seperti yang dikatakan Wijang, maka latihan di tempat yang rumpil itu merupakan latihan yang baik baginya jika pada suatu saat ia harus bertempur menghadapi lawan yang tidak hanya seorang. Ujung-ujung batu yang runcing, yang mencuat dari lantai goa serta yang bergayut di langit-langit seakan-akan merupakan ujung-ujung senjata dari beberapa orang lawannya yang bertempur bersama-sama. Namun demikian Wijang masih juga memperingatkan, "Ujung bebatuan itu tetap di tempatnya Paksi, sedangkan senjata lawan dapat bergerak dengan cepat. Mungkin memburumu, tetapi mungkin menghadang gerakmu sendiri." Paksi mengangguk-angguk. Ia juga menyadari akan hal itu. Dalam pada itu, maka haripun telah merambat sampai ke akhir bulan. Paksi dan Wijang yang di malam itu tidak berlatih, duduk di depan gubuk kecil mereka. Sinar lampu minyak yang menyala di dalam gubuk, menembus melalui pintu yang terbuka, menusuk kegelapan malam. Angin lembut yang berhembus menggoyang lidah api lampu minyak itu sehingga kadang-kadang sinarnya menjadi redup. Sambil makan jagung bakar, Paksi dan Wijang telah membicarakan rencana yang akan mereka lakukan esok malam. "Besok hari pertama bulan mendatang," desis Wijang. "Kita sudah mengenal semuanya dengan baik," desis Paksi. "Kita akan melihat-lihat tempat itu pula malam ini. Mungkin ada sesuatu yang menarik." "Mungkin sudah ada di antara orang-orang dari perguruan yang terlibat dalam pertemuan itu mengawasi tempat itu." "Tentu sudah ada. Kita akan mencoba, apakah kita mampu menempatkan diri kita di luar tangkapan pengamatan mereka.
Jika malam ini saja kita tidak mampu melakukannya, apalagi besok malam." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan melihat-lihat keadaan." "Kita akan mendekati tempat itu di tengah malam." Sebenarnyalah kedua orang anak muda itu menjelang tengah malam telah meninggalkan gubuk kecil mereka. Paksi telah membawa tongkatnya pula, karena sesuatu akan mungkin terjadi. Sementara itu, Wijang telah mengenakan lembaran kulit yang cukup lebar di atas pergelangan kedua tangannya di bawah lengan bajunya. Di luar sadarnya, Paksi memandangi pelindung pergelangan tangan Wijang itu dengan kerut di dahi. Ia tidak pernah melihat benda itu sebelumnya. "Kau ingin tahu, dimana aku menyembunyikan mainanku ini?" bertanya Wijang. Paksi tidak menyahut. Tetapi ia mengangguk kecil. Wijang tertawa. Katanya, "Lebarnya sama dengan lebar ikat pinggangku." Paksi mengangguk-angguk. Agaknya pelindung pergelangan tangan Wijang itu melekat pada ikat pinggangnya. Karena lebarnya sama, maka ikat pinggang Wijang itulah yang nampak lebih tebal dari ikat pinggang kulit kebanyakan. Namun Paksi tahu bahwa pelindung bagian atas pergelangan tangan Wijang itu tentu merupakan bagian dari kelengkapan Wijang menghadapi senjata jenis apapun juga. Sebuah perisai kecil, namun yang dapat dipercayainya. Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah mendekati sasaran. Karena itu keduanya menjadi sangat berhati-hati. Seperti yang telah mereka duga, maka tempat itu benarbenar sudah diamankan. Beberapa orang berkeliaran di lapangan rumput itu. Agaknya mereka berdatangan dari beberapa perguruan yang bersama-sama mengawasi tempat yang esok malam akan dipergunakan untuk
menyelenggarakan pertemuan dari beberapa orang pemimpin perguruan. Wijang dan Paksipun kemudian telah berada di tempat yang mereka pilih untuk mengamati keadaan. Dari tempatnya, ia mampu mengamati lapangan rumput itu dengan jelas. Dengan ketajaman pendengaran mereka, apalagi dengan kemampuan Aji Sapta Pangrungu, mereka akan dapat mendengar pembicaraan orang-orang yang berada di lapangan rumput itu. "Ternyata kita tidak salah hitung. Karena tidak ada isyarat apa-apa, maka pertemuan itu memang diselenggarakan disini," desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu, beberapa orang yang berada di lapangan rumput itu telah melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Mereka telah menguak gerumbul-gerumbul perdu. Mereka telah mengelilingi pohon preh yang besar itu. Mereka telah menyibak semak-semak sampai beberapa langkah di sekitar lapangan itu. Agaknya mereka mengamati tempat-tempat yang mungkin untuk bersembunyi orang-orang yang tidak berhak mengikuti pembicaraan yang akan diselenggarakan itu. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menemukan Wijang dan Paksi. Selain mereka mampu menyerap bunyi yang timbul dari geseran tubuh mereka, merekapun berada di tempat yang tidak terlalu dekat. Agaknya orang-orang yang mengamati tempat akan dilangsungkannya pertemuan itu mengira bahwa dari jarak yang tidak terlalu dekat itu, seseorang tidak akan dapat melihat dan mendengar dengan jelas pembicaraan yang akan berlangsung. Namun tiba-tiba di sisi lain dari lapangan itu telah terjadi keributan. Wijang dan Paksi melihat beberapa orang berlarilarian. Mereka dengan cepat membuat sebuah lingkaran yang rapat di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. "Apa yang terjadi disana?" desis Wijang.
Paksi tidak menyahut. Tetapi dengan wajah yang tegang ia memperhatikan apa yang terjadi di sisi lain dari lapangan rumput itu. "Mereka mengepung semak-semak itu," gumam Wijang dengan nada cemas. "Tentu ada seseorang atau lebih disana." "Nampaknya memang begitu," sahut Paksi. "Tentu bukan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung." Wijang mengangguk. Katanya, "Aku mencemaskan Ki Rangga Suraniti atau kawannya itu. Ki Rangga memang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak tahu tataran yang sebenarnya dari kemampuannya." Paksi mengangguk-angguk kecil. Wajahnya menjadi semakin tegang ketika ia mendengar seseorang berteriak, "Keluarlah. Kau sudah dikepung. Kau tidak akan dapat melepaskan diri dan tangan kami." Tidak ada jawaban. Namun sementara itu, Wijangpun berkata lirih, "Samarkan wajahmu." "Maksudmu?" "Mungkin kita harus berbuat sesuatu jika orang yang berada dalam kepungan itu mengalami kesulitan." "Maksudmu, mungkin kita akan melibatkan diri namun wajah kita tidak dikenal oleh orang-orang dari beberapa perguruan yang berada di lapangan itu?" "Yang terpenting bagiku adalah justru agar tidak dikenal oleh Ki Rangga Suraniti, seandainya ia ada disana. Aku tidak ingin keberadaanku disini diketahui oleh orang-orang istana," jawab Wijang "Tetapi bagaimana aku dapat menyamarkan wajahku?" Wijang tidak menjawab. Tetapi tangannya segera memungut tanah yang basah oleh embun. Tanah yang basah itupun kemudian telah diusapkan di wajahnya. Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian, maka wajah Wijang itupun menjadi sulit untuk dikenali. "Cepat lakukan," berkata Wijang. "Apalagi Ki Rangga telah pernah bersamamu membeli dawet cendol."
Paksipun kemudian telah melakukan sebagaimana dilakukan oleh Wijang. Dengan tanah yang basah oleh embun, maka Paksipun telah menyamarkan wajahnya. "Apakah kau sudah tidak mengenal aku?" bertanya Paksi. Wijang tertawa, "Kau menjadi tampan sekarang." Paksi tidak menjawab. Tetapi segores lagi ia mengusapkan tanah basah itu di dahi. Dalam pada itu keadaan menjadi semakin gawat. Orangorang dari beberapa perguruan yang sedang mempersiapkan tempat bagi para pemimpin mereka yang akan mengadakan pertemuan itu semakin rapat mengepung gerumbul perdu di sisi seberang lapangan rumput itu. Sementara itu, terdengar lagi seseorang berteriak, "Cepat keluar, atau kami akan merajammu dengan senjata." Namun orang-orang yang mengepung tempat itu terkejut. Di luar perhitungan mereka, tiba-tiba seseorang telah meloncat, justru dari sebuah gerumbul lain yang tidak mereka kepung. Dengan pedang di tangan orang itu langsung menyerang orang-orang yang berdiri melingkari itu. Pertempuranpun segera terjadi. Orang itu dengan tangkasnya berloncatan menyambar-nyambar. Seorang di antara mereka yang mengepung gerumbul itu telah terlempar dengan luka menyilang di dadanya. "Setan kau," terdengar seseorang berteriak. "Tangkap hidup-hidup orang ini. Kita ingin tahu siapakah orang yang sombong ini." Wijang tercenung sejenak. Ia telah memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan puncak Aji Sapta Pandulu. "Ki Rangga Suraniti," desis Wijang. "Ternyata orang yang dikepung itu orang lain. Mungkin kawan Ki Rangga atau prajurit yang menyertainya atau siapapun juga. Tetapi orangorang itu ternyata tidak mampu mengetahui kehadiran Ki Rangga itu sendiri."
Paksi mengangguk-angguk. Iapun mengamati pertempuran itu dengan saksama. Seperti Wijang, Paksipun telah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, beberapa orang telah meloncat dari gerumbul yang telah dikepung itu, justru pada saat perhatian orang-orang yang mengepungnya tertuju kepada Ki Rangga Suraniti. Kedua orang itu telah mengejutkan beberapa orang yang telah bersiap-siap untuk bergeser dan mengepung Ki Rangga Suraniti. Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Tetapi orang-orang yang datang dari beberapa perguruan itu jumlahnya jauh lebih banyak dari para petugas sandi itu. Meskipun demikian, Ki Rangga Suraniti sempat membuat lawan-lawannya menjadi cemas. Kakinya berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah. Sementara itu, pedangnya berputaran dengan cepat, sehingga yang nampak adalah segumpal awan putih di sekitar tubuhnya yang berloncatan. Dalam pada itu, dua orang kawannya yang semula telah dikepung itupun bertempur dengan garangnya pula. Seorang di antara mereka bersenjata sebilah pedang. Namun yang lain membawa dua buah bindi kecil di kedua tangannya. "Ki Nukilan," desis Wijang. "Yang mana?" bertanya Paksi. "Yang membawa sepasang bindi," sahut Wijang. "Ia juga seorang berilmu tinggi. Tetapi nampaknya ia tidak memiliki kemampuan untuk menyerap bunyi dari geseran tubuhnya, sehingga kehadirannya segera diketahui." "Yang seorang lagi?" bertanya Paksi. "Aku belum begitu mengenalnya. Tetapi nampaknya ia adalah orang yang paling lemah di antara ketiga petugas sandi itu." Paksi tidak bertanya lagi. Ia memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Setiap kali jantungnya menjadi berdebar-
debar. Ketiga orang itu harus bertempur melawan terlalu banyak orang. Ki Rangga Suraniti segera menunjukkan betapa ia memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian, karena jumlah lawannya terlalu banyak, maka ia harus bekerja sangat keras untuk melindungi dirinya sendiri. Sementara itu Ki Nukilanpun telah bertempur melawan beberapa orang pula. Demikian pula kawannya yang seorang lagi. Ternyata di antara orang-orang yang datang dari perguruan itupun terdapat orang-orang yang memiliki bekal yang cukup. Orang-orang itulah yang membuat Ki Rangga Suraniti dan kawan-kawannya harus menjadi sangat berhati-hati. Bahkan merekapun kemudian mulai berloncatan mengambil jarak serta menghindari serangan-serangan yang datang dari segala arah. Meskipun satu dua orang lawan Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan sudah terlempar dari arena, tetapi yang lainpun segera menggantikannya. Bahkan seorang yang bertubuh pendek dengan otot-otot yang mencuat dari permukaan kulitnya, berkumis kecil dan berkepala botak segera berteriak, "Beri aku kesempatan. Aku ingin tahu, seberapa tinggi ilmu orang ini." Orang-orang yang bertempur melawan Ki Rangga Suraniti memang menyibak. Orang pendek berkepala botak itu segera melangkah mendekatinya. Tetapi ternyata ia tidak sendiri. Bersama lima orang yang tubuhnya juga terhitung pendek telah mengepungnya. Tiba-tiba saja Wijangpun berdesis, "Satu pasang lengkap dari anak-anak Perguruan Sad." "Enam orang," sahut Paksi. "Dalam pasangannya yang lengkap, mereka menjadi sangat berbahaya. Jika mereka sudah sampai tataran yang mapan, maka dengan saling mengisi, kemampuan mereka akan dapat hampir menyamai kemampuan pemimpin tertinggi mereka."
"Apakah Ki Rangga Suraniti akan dapat melawan mereka?" bertanya Paksi. "Aku belum tahu. Tetapi aku tidak dapat membiarkan para petugas sandi itu mengalami malapetaka disini." "Maksudmu?" "Jika perlu kita akan melibatkan diri." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Terserah kepadamu. Aku sudah siap." Wijangpun memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ki Rangga Suraniti berusaha untuk melawan enam orang yang ternyata menjadi sangat berbahaya. Mereka mampu saling mengisi dengan baik, sehingga seakan-akan mereka digerakkan oleh satu kehendak. Sementara itu, Ki Nukilan harus bertempur melawan beberapa orang dari perguruan yang lain. Di antara mereka adalah orang-orang dari Tegal Arang. Sementara itu, tiga orang dari Perguruan Goa Lampin tengah bertempur dengan kawan Ki Nukilan yang seorang lagi. Bersama ketiga orang dari Goa Lampin itu masih ada tiga orang dari perguruan yang lain. Selain mereka yang sedang bertempur itu, masih ada beberapa orang yang belum melibatkan diri. Di antaranya dua orang perempuan yang nampaknya dari Goa Lampin. Sedangkan dua orang yang tidak diketahui oleh Wijang dan Paksi sedang menolong kawan mereka yang terluka. Kedua orang itu tentu akan menjadi sangat berbahaya jika kawannya yang terluka itu tidak tertolong jiwanya. Sementara itu seorang lagi juga sedang membantu kawannya yang terluka bergeser menjauh. Dalam pada itu, seorang yang masih belum memasuki arena berteriak, "Kami memberikan kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Kalian tidak akan dibunuh. Apalagi jika kalian bersedia bekerja bersama kami." Tidak ada jawaban. Sementara Ki Rangga Suraniti bertempur semakin garang. Tetapi keenam lawannyapun menjadi semakin garang pula. Serangan-serangan mereka datang beruntun dari arah yang berbeda-beda. Bahkan
kadang-kadang keenam orang dari Perguruan Sad itu bertempur sambil berputaran. Mereka melonjak-lonjak seperti anak-anak yang sedang kegirangan. Mereka mengacu-acukan senjata mereka. Namun tiba-tiba saja mereka menyuruk dengan pedang terjulur ke arah tubuh Ki Rangga Suraniti. Yang kemudian menjadi semakin terdesak adalah kawan Ki Rangga Suraniti yang bersenjata pedang. Keadaannya menjadi sangat berbahaya. Sehingga ia benar-benar berada di ujung bencana. Wijang tidak dapat tinggal diam. Sekali lagi ia menggoreskan tanah yang basah oleh embun menyilang di wajahnya sehingga wajah yang kotor itu memang sulit untuk dikenali. Sementara itu, Wijang sama sekali tidak mempergunakan senjata yang dapat menjadi ciri tentang dirinya. Kulit yang melindungi bagian atas pergelangannya, yang juga akan dapat menjadi perisai yang kuat, berada di bawah lengan bajunya. Sambil menggamit Paksi iapun berkata, "Marilah. Bawa tongkatmu. Mereka cukup berbahaya." Sekejap kemudian keduanyapun telah merunduk mendekati lapangan rumput. Mereka melingkari lapangan itu dan dengan serta-merta muncul tidak terlalu jauh dari pohon preh yang besar itu. Kehadiran mereka berdua telah membuat orang-orang yang berada di lapangan itu terkejut pula. Ketika Wijang dan Paksi berlari mendekati arena pertempuran, maka orang-orang yang masih belum terlibat, segera memburu mereka. Namun Wijang berlari dengan cepat dan menempatkan diri di dekat petugas sandi yang bersenjata pedang, yang bertempur tidak terlalu jauh dari Ki Nukilan. "Bertahanlah, aku berdiri di pihakmu." "Kau siapa?" bertanya orang itu. Pertanyaan itu membuat Wijang berlega hati. Orang itu ternyata tidak mengenalinya setelah wajahnya dikotorinya dengan tanah yang basah oleh embun. Namun Wijang itupun kemudian menjawab, "Namaku
Gendon. Itu adikku. Namanya Sempon." "Kenapa kau melibatkan diri," Ki Nukilan yang bertempur dengan sepasang bindi di kedua tangannya, yang mendengar pengakuan Wijang itu, bertanya pula sambil berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya. "Aku senang," jawab Wijang seenaknya. "Sudah sepekan aku tidak berkelahi. Rasa-rasanya tubuhku menjadi pegalpegal." "Kenapa kau berpihak kami," bertanya Ki Nukilan pula. "Jumlah mereka sudah terlalu banyak. Aku berpihak pada yang jumlahnya lebih sedikit." "Jangan main-main," teriak Nukilan pula, "mereka adalah orang-orang yang berbahaya." "Itulah yang menyenangkan," teriak Wijang yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran. Wijang yang semula tidak bersenjata itu telah menggenggam sepasang pisau. Bentuknya memang mirip sepasang pisau belati yang sederhana. Tetapi bilah dari sepasang pisau itulah yang tidak sederhana. Bilah yang berwarna kehitam-hitaman ini bagaikan memercikkan bunga api yang memancar di gelapnya malam. Tetapi Wijang sudah memperhitungkan dengan baik. Sepasang senjatanya itu bukan ciri senjata Pangeran Benawa, sehingga para petugas sandi itu tidak menghubungkannya dengan seorang pangeran yang menghilang dari istana. Sementara itu, Paksipun telah terlibat pula dalam pertempuran melawan beberapa orang. Tongkatnya berputaran dengan cepat melindungi tubuhnya. Namun kemudian tiba-tiba terjulur mematuk perut seorang di antara lawan-lawannya. Orang itupun terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian kedua tangannya memegangi perutnya yang berdarah. Sejenak kemudian iapun jatuh pada lututnya sambil terbungkuk-bungkuk kesakitan.
Di putaran pertempuran yang lain, dua orang di antara lawan Wijangpun telah terlempar pula. Seorang terluka di lambungnya, seorang terluka di pundaknya. Dengan demikian, pertempuranpun menjadi sengit. Beberapa orang yang sebelumnya masih belum melibatkan diri telah bertempur dengan garangnya melawan kedua orang anak muda itu. Namun karena wajah mereka disamarkan, maka orang-orang dari beberapa perguruan yang ada di tempat itu, tidak segera mengenalinya. Dalam pertempuran itu, Paksi mendapat kesempatan untuk menguji kemampuannya. Dihadapinya beberapa orang lawan. Namun Paksi berhasil melindungi dirinya dengan sebaikbaiknya. Serangan beberapa orang lawannya tidak sempat menyentuh tubuhnya. Sementara itu, seorang lagi telah tersingkir dari pertempuran ketika tongkat Paksi memukul bahunya dengan kerasnya, sehingga rasa-rasanya tulangtulangnya menjadi pecah karenanya. Sementara itu, Wijang dengan sengaja telah bertempur semakin dekat dengan petugas sandi yang bersenjata pedang itu. Wijang memang berusaha untuk membantunya. Satu dua orang yang semula bertempur bersama melawan petugas sandi itu, kemudian seakan-akan telah terhisap untuk bertempur bersama-sama melawan Wijang. Keseimbangan pertempuranpun segera berubah. Orangorang dari beberapa perguruan itu tidak lagi meyakini bahwa mereka akan dapat menangkap lawan-lawan mereka. Karena itu, tidak ada lagi di antara mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertempuran itu. Ki Rangga Suraniti yang bertempur melawan enam orang lawan dari Perguruan Sad itu harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi Ki Rangga memang seorang yang berilmu tinggi, yang memiliki kelebihan dari para prajurit dan para perwira yang lain. Karena itu, maka keenam orang murid Perguruan Sad itu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan semakin lama merekapun menjadi semakin sulit menghadapinya.
Orang-orang yang bertubuh rata-rata agak pendek itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Berenam mereka memang menjadi sangat berbahaya. Tetapi lawan merekapun sangat berbahaya pula. Keenam orang dari Perguruan Sad yang juga bersenjata pedang itu berusaha untuk mengacaukan pemusatan perhatian Ki Suraniti. Tetapi Ki Rangga sama sekali tidak menjadi bingung. Meskipun keenam orang itu kadangkadang berloncatan, berlari-lari mengelilinginya, kemudian menyerang bersama-sama atau beruntun seperti gelombang, namun pertahanan Ki Rangga Suraniti tidak dapat mereka tembus. Bahkan sekali-sekali Ki Rangga menghentakkan kemampuannya dan mengacaukan kepungan lawan-lawannya. Namun beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang bertubuh agak pendek itu telah berputaran kembali di sekelilingnya. Sementara itu, Ki Nukilanpun bertempur dengan garangnya pula. Seorang lagi jatuh terlentang dan tidak lagi mampu bangkit berdiri. Dengan susah payah orang itu merangkak menjauh, agar tidak terinjak kaki orang-orang yang sedang bertempur itu. Lawan Wijang dan Paksipun telah berkurang seorang demi seorang. Kedua orang anak muda itu telah menunjukkan kemampuan mereka yang tinggi. Ki Nukilan dan Ki Rangga Suraniti yang sekali-sekali sempat melihat betapa keduanya berloncatan dengan garang, merasa heran, bahwa dua orang yang tidak mereka kenal tiba-tiba saja telah melibatkan diri. Namun ketiga orang petugas sandi itu mengakui, tanpa kehadiran kedua orang itu, maka mereka tidak akan mampu keluar dari lingkungan itu. Betapapun tinggi kemampuan mereka, tetapi lawan terlalu banyak. Tetapi berlima mereka ternyata mampu mengatasi lawan-lawan mereka. Orang-orang dari beberapa perguruan itu akhirnya menyadari, bahwa sulit bagi mereka untuk dapat mengatasi kemampuan kelima orang itu. Apalagi ketika Ki Rangga Suraniti berhasil melukai dua orang dari Perguruan Sad itu. Ketika keutuhan mereka mulai goyah, maka merekapun
segera menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan orang yang berada di dalam kepungan itu. Seorang di antara keenam orang dari Perguruan Sad itu tiba-tiba saja berteriak nyaring sambil mengumpat kasar. Menyusul seorang lagi terpelanting jatuh. Dari dada mereka mengalir darah yang hangat. Dalam keadaan yang sulit itu, selagi mereka masih mempunyai kekuatan, maka tiba-tiba saja terdengar seseorang berteriak, "Kita akan menghindar. Tinggalkan mereka." Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi terdengar suara itu, "Kita akan bergabung dan meninggalkan tempat ini. Lemparkan isyarat panah sendaren." Tiba-tiba saja orang-orang yang sedang bertempur itu telah berloncatan meninggalkan lawan-lawan mereka. Mereka kemudian berada di dalam satu kelompok sambil bergerak mundur. Seorang di antara mereka benar-benar telah melontarkan panah sendaren. Ketiga petugas sandi itu menjadi ragu-ragu untuk mengejar mereka. Apalagi ketika salah seorang di antara mereka telah melemparkan panah sendaren. Ki Rangga Suranitilah yang kemudian berkata, "Kita tinggalkan tempat ini." "Baik," desis Wijang, "aku juga sudah lelah." "Tetapi, katakan kau siapa, Ki Sanak?" "Kita akan meninggalkan tempat ini." "Jawab dulu pertanyaanku." Wijang tertawa sambil menjawab, "Sudah aku katakan. Namaku Gendon dan itu adikku, Sempon." "Jangan main-main, Ki Sanak." Tetapi Wijang justru bertanya, "Siapakah kalian?" Ki Rangga Suraniti menggeram. Katanya, "Aku bertanya, siapakah kalian." Wijangpun kemudian menggamit Paksi sambil berkata, "Marilah, sebelum orang-orang yang menerima isyarat panah
sendaren itu datang. Jika jumlah mereka terlalu banyak, maka kita tidak akan mampu melawan." Paksi tidak menjawab. Tanpa menghiraukan ketiga orang petugas sandi itu, maka Wijang dan Paksipun melangkah meninggalkan lapangan rumput itu. Ki Rangga Suraniti tidak mau terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Jika kedua orang yang telah membantunya itu pergi, maka mereka bertiga akan mengalami kesulitan untuk bertempur melawan jumlah yang terlalu banyak, apalagi jika panah sendaren itu benar-benar telah memanggil beberapa orang lainnya. Karena itu, maka Ki Rangga Suranitipun telah mengajak kedua orang petugas sandi yang lain untuk meninggalkan tempat itu. Namun sebenarnyalah, bahwa Wijang dan Paksi tidak benar-benar meninggalkan tempat itu. Mereka masih ingin melihat, apakah ada tanggapan terhadap panah sendaren yang telah dilemparkan ke udara itu. Dengan sangat berhati-hati keduanya telah melingkar, menyusup di antara semak-semak perdu yang rimbun di sebelah lapangan rumput itu. Untuk beberapa lama mereka tidak melihat sesuatu. Orangorang yang semula berkumpul di tempat terbuka itupun sudah bergerak menjauh. Namun beberapa orang yang terluka dan bahkan mungkin ada yang sudah terbunuh, masih berada di tempat terbuka itu. "Kawan-kawannya tentu masih akan kembali," desis Wijang. Sebenarnyalah beberapa orang bersenjata telah muncul. Dua orang yang lain menyongsong mereka sambil berkata lantang, "Tidak ada yang berbuat curang." "Jadi untuk apa isyarat panah sendaren itu?" "Justru ada orang lain yang mencoba mengintip persiapan bagi pertemuan esok." "Siapa?"
"Kami belum tahu." "Dimana mereka sekarang?" "Mereka berhasil melarikan diri." "Berapa orang?" "Kami tidak menghitung." Wijang dan Paksi tersenyum. Nampaknya mereka merasa malu untuk menyebutkan, bahwa mereka bertempur melawan hanya lima orang. Orang-orang yang baru datang itu termangu-mangu. Namun kemudian orang-orang yang semula menghindar dari tempat terbuka itupun telah berada di tempat itu lagi. "Rawat orang-orang yang terluka dan kita singkirkan yang terbunuh. Besok tempat ini harus benar-benar bersih." "Tetapi tempat ini sudah diketahui oleh orang lain. Kami tidak tahu siapakah mereka itu." "Kalian tidak mengenal sama sekali unsur-unsur gerak dari ilmu mereka?" "Tidak. Tetapi seorang di antara mereka bersenjata tongkat. Yang lain wajar saja. Pedang dan seorang di antara mereka, sepasang bindi. Tetapi agaknya mereka terdiri dari dua kelompok yang berbeda." "Baiklah. Kita akan melaporkan kepada pemimpin kita masing-masing. Masih ada waktu sehari untuk saling berhubungan." "Terserah kepada mereka, apakah mereka besok masih akan berbicara di antara mereka disini." "Jika besok pertemuan itu dibatalkan, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan marah." "Bukankah besok masih ada waktu untuk memberitahukan kepada mereka bahwa pertemuan dibatalkan?" "Tidak seorang pun tahu dimana mereka tinggal sekarang." Tetapi seorang yang berambut panjang terurai menjulur dari bawah ikat kepalanya berkata, "Lurahku tahu dimana Repak Rembulung tinggal. Setidak-tidaknya lingkungannya atau orang-orang yang berhubungan dengan kedua orang suami isteri itu." "Jadi?"
"Jika para pemimpin perguruan kita memutuskan untuk menunda atau memindahkan pertemuan ini, biarlah aku yang mencari hubungan dengan Ki Repak Rembulung." "Baiklah. Besok kita akan saling berhubungan. Ada tiga tempat yang sudah kita tentukan untuk saling mendapatkan keterangan." Demikianlah, maka orang-orang yang ada di tempat terbuka itupun segera meninggalkan tempat itu. Yang terluka telah dirawat oleh kawan-kawan mereka. Wijang dan Paksi tidak dapat mengetahui, apakah di antara mereka ada yang terbunuh. Sejenak kemudian, tempat itupun menjadi sepi. Orangorang yang semula berkumpul untuk mempersiapkan pertemuan para pemimpin mereka harus memberikan pertimbangan-pertimbangan baru bagi pemimpin-pemimpin mereka itu. Wijang dan Paksipun kemudian keluar pula dari persembunyian mereka. Dengan hati-hati mereka melangkah mendekati lapangan rumput itu. Tidak seorang pun yang tinggal. Tetapi merekapun kemudian tertegun. Ketajaman telinga mereka yang masih mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu itu mendengar desir lembut langkah kaki di antara semak-semak. Tidak hanya seorang, tetapi dua orang. Agaknya kedua orang itu memang tidak berhati-hati, sehingga suara semak-semak yang tersibak semakin lama menjadi semakin jelas terdengar. Wijang dan Paksipun segera bersembunyi di antara semaksemak. Mereka berusaha untuk menahan nafas mereka ketika mereka melihat dua orang berjalan tidak terlalu jauh dari mereka. Ternyata keduanya adalah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Keduanya langsung melangkah mengelilingi tempat terbuka itu. "Besok pertemuan itu akan diselenggarakan disini," berkata Repak Rembulung.
"Terlalu sepi di malam menjelang sebuah pertemuan besar yang sudah sejak lima tahun terakhir tidak diselenggarakan." "Tidak ada kelompok-kelompok yang melihat-lihat suasana tempat ini." "Atau mungkin pertemuan itu tidak dilakukan disini?" "Tidak ada isyarat tentang hal itu." Pupus Rembulung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, "Kakang, kemarilah. Kau lihat lingkungan ini." Repak Rembulungpun melangkah mendekati isterinya. Keduanyapun kemudian mengamati semak-semak yang tersibak. Ranting-ranting yang berpatahan dan bahkan ketajaman penglihatan mereka telah melihat darah yang berceceran. Wijang dan Paksi melihat keduanya berjongkok. Meraba ujung rerumputan dan daun pohon perdu. Nampaknya mereka memperhatikan percikan darah dimana-mana. Sambil bangkit berdiri Repak Rembulung berkata, "Darah itu masih baru. Nampaknya di tempat ini baru saja terjadi pertempuran yang sengit." "Apakah ada di antara mereka yang curang atau perselisihan yang timbul?" "Kita terlambat datang," berkata Repak Rembulung. "Aku tidak mengira bahwa terjadi pertempuran. Jika tidak terjadi sesuatu, aku kira disini masih banyak orang. Tentu setiap perguruan mengirimkan orang-orangnya untuk melihat suasana dan menjajagi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi." "Tentu orang-orang bodoh yang sombong itu yang telah menyalakan api perselisihan disini." "Siapa?" Repak Rembulung menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu yang mana, karena pada dasarnya mereka semuanya adalah orang-orang sombong dan besar kepala." Pupus Rembulung termangu-mangu sambil memandang berkeliling. Tetapi penglihatannya membentur kesepian.
Setelah Kau Menikahiku 1 Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa Kisah Membunuh Naga 15
"Baik," jawab Paksi. "Apakah cincin ini benar-benar merupakan pertanda, bahwa seseorang akan dapat melahirkan penguasa di tanah ini, aku tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi jika beberapa orang keluarga istana memerintahkan orang-orang terpercaya mencarinya, sebenarnya bukan hanya karena cincin ini. Tetapi keluarga istana itu juga mencari aku. Mereka tahu bahwa akulah yang membawa cincin ini. Tetapi di samping itu ternyata ada juga yang menganggap bahwa petugas-petugas khusus itu telah memburu cincin yang hilang." "Kenapa Pangeran meninggalkan istana." "Aku harus memperingatkan kau lagi. Panggil aku Wijang." "Ya. Kenapa kau meninggalkan istana?" "Udara di lingkungan istana menjadi sangat panas." "Maksudmu?" "Kau tahu maksudku." "Aku mengerti. Tetapi apa sebabnya?" bertanya Paksi. "Apakah kau menjadi kecewa karena pelayanan yang kurang baik, atau karena alasan-alasan lain sehingga udara di istana itu merasa panas?" "Orang-orang di dalam istana itu tidak lagi mengenal kehidupan yang sebenarnya yang terjadi di Pajang dan lingkungannya. Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar juga kecewa melihat tatanan kehidupan di istana." "Apa yang mengecewakan?" "Sama sekali bukan karena kami merasa kurang mendapat pelayanan. Tetapi justru sebaliknya. Apa yang ada di istana sama sekali bertentangan dengan kenyataan hidup di luar dinding istana. Orang-orang yang sehari-harinya hidup di dalam dinding istana tidak pernah melihat, bahwa ada juga orang yang hidup melarat. Kekurangan dan bahkan lapar. Para penjabat kahartakan di istana tidak tahu, bahwa para petugas pajak di daerah-daerah menjadi kehilangan kendali. Mereka berlomba untuk mendapatkan yang terbanyak agar mereka mendapat pujian atau naik pangkat. Tetapi mereka tidak
menghiraukan, bahwa mereka yang dipungut pajak itu merasa mendapat beban yang sangat berat." "Tetapi bukankah pajak itu merupakan salah satu pilar yang mendukung tegaknya pemerintahan, karena pajak itu merupakan salah satu sumber dana untuk menjalankan roda pemerintahan?" "Ternyata kesadaranmu sangat tinggi, Paksi. Mungkin karena kau anak seorang tumenggung. Jika orang-orang di sekitar lingkungan ini tidak mengeluh karena beban pajak yang tidak terpikul, maka aku menyatakan hormatku kepada para petugas disini." Paksi mengangguk-angguk kecil. Ia memang tidak pernah berbicara tentang pajak dengan orang-orang yang dikenalnya. Tetapi seandainya ada keluhan-keluhan itu, mereka tidak akan mengatakannya kepada setiap orang, apalagi orang yang tidak terlalu dikenal sebagaimana Paksi. Namun dalam pada itu, Wijang itupun berkata, "Bukan saja karena orang-orang di istana Pajang itu tidak mengenal kehidupan rakyat yang sebenarnya, tetapi aku juga kecewa atas sikap ayahanda Sultan Hadiwijaya." "Kenapa?" bertanya Paksi. Wijang itu tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Apakah seorang anak harus membuka rahasia dan kelemahan orang tuanya, betapapun ia menjadi kecewa?" Paksi menundukkan kepalanya. Katanya, "Memang tidak." "Bagus. Kau dapat mengerti jika aku tidak mengatakan alasannya, kenapa aku kecewa terhadap ayahanda." Paksi mengangguk kecil. "Nah, sekarang, aku minta sekali lagi untuk tinggal di gubuk ini. Setidak-tidaknya untuk sementara." "Dan aku harus meninggalkan gubuk ini?" Wijang tertawa. Katanya, "Aku takut tinggal disini sendiri." Paksipun tertawa pula. Sejak hari itu, Paksi tidak tinggal sendiri di gubuk itu. Wijang yang tinggal bersamanya, dengan cepat telah menyesuaikan dirinya. Ia telah melakukan apa yang dilakukan
oleh Paksi. Bahkan Wijangpun telah memanjat pohon kelapa pagi dan sore untuk mengambil legen. Seperti Paksi, ternyata Wijangpun melakukannya dengan tangkasnya. Di hari-hari berikutnya, Paksi tidak sendiri pergi ke pasar. Ketika ia bertemu dengan Kinong, maka Paksipun telah memperkenalkan Wijang kepadanya. "Apakah ia saudaramu?" bertanya Kinong. "Ya. Kakakku," jawab Paksi. "Tetapi baru kali ini ia pergi ke pasar ini." Paksi tertawa. Katanya, "Kakakku tinggal di tempat yang jauh. Baru kemarin ia datang menengok aku." "Dimana ia tinggal?" Pertanyaan itu agak membingungkan Paksi. Namun kemudian iapun menjawab, "Ia tinggal di Kembang Arum." Kinong mengangguk-angguk. Tetapi ia belum pernah mendengar nama padukuhan Kembang Arum. Namun Kinong tidak sempat berbincang lebih lama. Iapun segera berlari-lari membawa keranjang kecilnya. Ibunya telah melambaikan tangan memanggilnya, karena ada orang yang ingin minta bantuannya. "Anak sekecil itu harus sudah mencari makan sendiri," desis Wijang. "Salah ayahnya," desis Paksi. Wijang berpaling kepadanya dengan dahi yang berkerut. Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa dengan ayahnya?" "Ia seorang penjudi." Wijang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Dalam pada itu, setelah beberapa kali Wijang pergi ke pasar, maka iapun mulai melihat, orang-orang dari beberapa perguruan berkeliaran di pasar itu. Nampaknya orang-orang itu masih berusaha untuk saling mengekang diri, sehingga benturan di antara mereka dihindari. Benturan-benturan yang pernah terjadi, sama sekali tidak menguntungkan bagi mereka, karena kekuatan mereka hampir seimbang. Hanya
pada saat-saat yang menentukan sajalah agaknya mereka akan mengambil sikap yang tegas. Namun, perhatian Wijang dan Paksi sangat tertarik kepada pembicaraan dua orang dari Perguruan Sad yang kebetulan mereka dengar, bahwa ada di antara mereka yang seakanakan telah melihat pelangi yang berdiri tegak di kaki bukit. Pelangi itu hanya terdiri atas tiga warna. "Apakah ketajaman indera mereka mampu melihat keberadaan cincin yang aku bawa ini?" bertanya Wijang kemudian. "Entahlah. Tetapi sebelum kau datang, orang-orang itu sudah berada disini." "Aku sudah agak lama disini," berkata Wijang. "Bukankah kau baru datang beberapa hari di saat aku pergi?" Wijang menggeleng. Katanya, "Tidak. Jauh sebelum itu." "Jauh sebelum itu" Sebelum aku datang ke tempat ini?" "Tidak. Jika kau sudah setahun disini, berarti bahwa kau datang lebih dahulu. Tetapi aku bukan baru berada disini di saat kau pergi." "Jadi di mana kau selama ini?" Wijang tersenyum. Katanya, "Aku sudah berada disini kirakira sebulan yang lalu. Aku tinggal bersama Paman Marta Brewok." "Ki Marta Brewok?" bertanya Paksi. "Ya. Bukankah Ki Marta Brewok telah mengajarimu bermain loncat-loncat?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, "Siapa sebenarnya orang yang menamakan dirinya Marta Brewok" Aku menganggapnya sebagai guruku. Iapun mengakui aku sebagai muridnya. Tetapi aku tidak tahu, siapakah sebenarnya Ki Marta Brewok itu." "Bukankah kau sudah menyebutnya" Namanya Marta Brewok. Bukankah itu sudah cukup?" Paksi memandang Wijang dengan tajamnya, sehingga Wijang itupun bertanya, "Kenapa kau memandang aku seperti
itu" Kau tidak percaya kepadaku atau justru kau menjadi curiga?" "Tidak," jawab Paksi, "aku sama sekali tidak menjadi curiga. Tetapi aku tahu bahwa ada sesuatu yang kau sembunyikan." Wijang tertawa. Katanya, "Sudahlah. Jangan mempersulit perasaanmu sendiri. Sekarang, marilah kita memperhatikan pendapat orang-orang dari Perguruan Sad itu." "Maksudmu?" "Ada dua kemungkinan. Apakah orang dari Perguruan Sad itu mampu melihat cincin yang tersembunyi di balik kantong ikat pinggangku, atau memang cincin itu benar-benar memancarkan cahaya sebagaimana yang mereka lihat." Paksi mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun bergumam, "Cincin itu memang sangat menarik." "Setidak-tidaknya karena aku yang membawanya." Paksi mengerutkan dahinya. Namun Wijang itupun tertawa. Katanya, "Kau tidak usah iri." Paksipun akhirnya tertawa pula. Namun bagaimanapun juga, Wijang dan Paksi harus menjadi lebih berhati-hati. Jika ada orang yang melihat atau merasa melihat semacam pelangi yang mempunyai tiga warna berdiri tegak di kaki bukit, maka itu akan dapat berarti bahwa orang-orang yang mencari cincin itu akan menjelajahi kaki bukit. Mungkin mereka akan berkeliaran dan bersamadi di antara bebatuan, di pinggir sungai atau di goa-goa sambil menunggu isyarat. Mungkin cahaya seperti ndaru, atau seperti bintang yang jatuh dari langit, atau sinar yang memancar dari tempat-tempat yang tersembunyi atau semak-semak yang tiba-tiba terbakar. Namun satu dua hari kemudian, tidak seorangpun yang pernah memanjat kaki gunung itu lebih tinggi. Sementara itu, dalam waktu-waktu senggang, ternyata keduanya sempat pula melakukan latihan olah kanuragan bersama-sama. Mereka berdua memang tidak bersumber dari perguruan yang sama. Tetapi justru karena itu, maka latihanlatihan yang mereka lakukan dapat memperkaya ilmu mereka
masing-masing. Namun dalam pada itu, Paksi harus mengakui, bahwa Pangeran Benawa yang menamakan dirinya Wijang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun bagi Wijang, Paksi adalah kawan berlatih yang cukup memadai. Bahkan keduanya kadang telah berlatih di dalam goa di belakang air terjun. Semula Paksi tidak mengatakan kepada Wijang, bahwa di belakang air terjun itu terdapat sebuah goa. Namun ternyata Wijang sudah mengetahuinya. "Ternyata apa yang diketahuinya jauh lebih banyak dan lebih luas dari yang aku ketahui," berkata Paksi. Bahkan Wijang itu pulalah yang telah mengajak Paksi berlatih sambil berendam di dalam air. "Pada suatu ketika, mungkin sekali kita dipaksa untuk bertempur di dalam air," berkata Wijang. Paksi memang mendapat pengalaman baru. Ia dapat mengenali perbedaannya, apa yang harus dilakukan di darat dan apa yang harus dilakukan di dalam air. Ketrampilannya berenang pun semakin bertambah. Ketahanan nafasnya pun menjadi semakin panjang. Namun ketenangan kedua orang itupun akhirnya terganggu juga. Ketika keduanya sedang berlatih meningkatkan ketahanan tubuh dengan berjalan dan berlari di celah-celah bebatuan, pepohonan hutan lereng pegunungan, lembah dan tebing-tebing terjal, maka tiba-tiba saja Wijang memberi isyarat agar Paksi yang berlari di belakangnya untuk berhenti. Paksipun tertegun. Iapun kemudian bergeser ke balik gerumbul perdu ketika Wijang memberikan isyarat kepadanya. Keduanyapun kemudian melihat tiga orang perempuan berjalan menyusuri jalan setapak. Untunglah mereka tidak berjalan ke arah gubuk Paksi. Tetapi justru ke arah yang lain. "Orang-orang dari Perguruan Goa Lampin," desis Paksi. Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Pemimpin perguruan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Dengan pandangan matanya yang menembus mata seseorang, ia dapat mempengaruhi penalarannya sehingga orang itu dapat kehilangan pribadinya."
Paksi mengangguk. Katanya, "Aku pernah melihatnya." "Bukankah Paman Marta Brewok pernah memberi petunjuk kepadamu, bagaimana kau harus mengatasinya?" Paksi mengangguk. "Bagus," Wijang mengangguk-angguk. "Murid-muridnyapun ada yang sudah mencoba-coba kekuatan sihir itu. Tetapi kau tidak usah menjadi cemas. Kekuatan pribadimu akan dapat mengatasinya, sehingga kekuatan sihir itu tidak mempengaruhimu." Paksi masih mengangguk-angguk. "Nah, satu peringatan buat kita. Mereka hari ini menyusuri lorong ke arah yang lain. Tetapi mungkin besok atau lusa, mereka akan pergi menyusuri jalan setapak menuju ke gubuk kita?" "Bagaimana sikap kita jika hal itu terjadi?" "Apa yang kau lakukan jika aku tidak bersamamu?" Wijang justru bertanya. "Aku akan membiarkannya." "Merusak gubukmu, mengambil isinya dan barangkali memetik jagungmu dan mencabut ketela pohonmu?" "Bukankah aku dapat menanamnya lagi?" "Apa yang akan kau makan kemudian?" "Bukankah aku selama ini menanak nasi beras, bukan nasi jagung?" Wijang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Bukankah kau untuk sementara masih menghindari benturan dengan mereka?" "Ya," Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ketika keduanya hampir saja bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, maka keduanya terkejut pula. Mereka melihat dua orang lain yang berjalan melalui lorong sempit berbatu batu ke arah yang sama sebagaimana ketiga orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu. "Siapakah mereka?" desis Paksi. "Bukan orang-orang dari Perguruan Sad." "Jadi siapa" Apakah mereka orang-orang Tegal Arang?"
Wijang menggeleng. "Apa yang terjadi" Apakah mereka ingin menjajagi kemampuan masing-masing" Tetapi hal itu sudah pernah mereka lakukan sebelumnya." Sebelum Wijang menjawab, maka di kejauhan mereka melihat tiga orang lainnya berjalan ke arah yang sama. Bahkan kemudian ada lagi yang menyusul. "Nampaknya memang ada sesuatu yang akan terjadi," desis Wijang. "Mereka berkumpul untuk berkelahi atau untuk berbicara di antara mereka?" gumam Paksi. "Lingkungan ini cukup terlindung oleh semak-semak belukar. Bahkan pepohonan. Kita akan dapat melihat, apa yang akan terjadi kemudian." "Bukankah kita tidak akan mencampuri persoalan mereka?" "Tidak," jawab Wijang. Keduanyapun kemudian mulai beringsut. Dengan hati-hati keduanya merunduk dari balik gerumbul ke balik gerumbul. Dari balik batu-batu besar ke balik batu yang lain. "Mereka agaknya akan pergi ke balik bukit itu," berkata Paksi. "Disana ada sebuah tempat yang agak lapang, di atas hamparan rumput yang hijau." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Sebuah batu persegi yang agaknya dibuat oleh tangan seseorang, ada di tengah-tengahnya. Sebatang pohon preh tumbuh di sudut tempat yang lapang itu." "Kau pernah mengunjungi tempat itu?" "Seperti kau, aku mengenal lingkungan ini dengan baik." Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu keduanya merayap ke tempat yang mereka sebutkan itu. Dengan sangat hati-hati Paksi dan Wijang kemudian menuruni tebing yang tidak terlalu tinggi yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak yang liar, sehingga karena itu, maka keduanya tidak mudah dapat dilihat dari tebaran tempat yang agak lapang yang ditumbuhi rerumputan dan seperti
dikatakan oleh Wijang, di tengah-tengahnya terdapat sebuah batu besar persegi ampat. Batu yang nampaknya adalah bekas buatan tangan manusia. Keduanya memang tidak dapat berada terlalu dekat dengan lapangan rumput itu. Namun dari tempat mereka berlindung, mereka dapat melihat apa yang terjadi dan serba sedikit pendengaran mereka yang tajam, dapat mendengar pembicaraan dari orang-orang yang seperti mereka duga, berkumpul di lapangan rumput itu. Menurut penglihatan Wijang dan Paksi, maka di lapangan rumput itu telah berkumpul beberapa orang dari beberapa perguruan yang berbeda. Sedikitnya ada lima perguruan yang diwakili dalam pertemuan itu. Tetapi nampaknya tidak seorangpun dari para pemimpin tertinggi dari perguruan itu yang datang dalam pertemuan itu. Wijang dan Paksi mendengarkan pembicaraan orang-orang itu dengan saksama. Mula-mula masing-masing menyebut perguruan mereka serta nama mereka yang ditugaskan untuk mewakili. "Kau ikut mengingat nama mereka serta perguruan mereka," desis Wijang. "Aku akan mencoba," sahut Paksi perlahan-lahan. Baru kemudian, seorang di antara mereka, justru orang dari Perguruan Sad, berkata, "Aku mendapat perintah dari guru, menawarkan kerja sama di antara kita, permusuhan dan bahkan saling membunuh sama sekali tidak bermanfaat bagi kita semuanya dan bagi kita masing-masing." "Kerja sama yang bagaimana yang dimaksud oleh gurumu?" bertanya seorang perempuan dari Goa Lampin. "Itulah yang harus kita bicarakan," jawab orang dari Perguruan Sad itu. Namun seorang yang datang dari perguruan yang lain lagi berkata, "Katakan, apakah kau sudah mempunyai rancangan dari ujud kerja sama yang dapat kita lakukan?" Orang dari Perguruan Sad itu termangu-mangu sejenak.
Namun tiba-tiba saja orang itu menjadi gelisah. Bahkan beberapa orang yang lainpun nampak menjadi gelisah. Tiba-tiba seorang di antara mereka, seorang yang agaknya datang dari perguruan yang lain lagi berkata lantang, "Jangan bersembunyi. Marilah, datanglah jika kalian akan ikut berbicara bersama kami." Seorang yang lain, yang bertubuh raksasa yang agaknya datang dari Perguruan Tegal Arang di pinggir Kali Praga tertawa sambil berkata, "Ada dua orang yang nampaknya ingin bermain sembunyi-sembunyian." Wijang dan Paksi terkejut. Mereka merasa bahwa mereka berada di tempat yang tersembunyi. Kemampuan mereka yang seakan-akan dapat menyerap bunyi yang timbul dari setiap sentuhan tubuh mereka dengan lingkungannya, melindungi mereka dari ketajaman pendengaran orang-orang yang sedang berbicara di lapangan rumput itu. Jika orangorang itu mengetahui kehadiran mereka berdua, itu berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. "Tidak mungkin," desis Paksi. Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun berbisik, "Jika karena sesuatu hal mereka mengetahui kehadiran kita, maka apa boleh buat." Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat sesuatu yang bergerak di sisi yang lain dari padang rumput itu. Dua orang muncul dari sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. "Kenapa kalian bersembunyi?" bertanya orang dari Perguruan Sad itu. Kedua orang itu berdiri tegak memandang berkeliling seakan-akan menembus ke setiap biji mata dari orang-orang yang berada di padang rumput itu. Sementara itu Wijang berdesis, "Kenapa panggraita kita begitu tumpul, sehingga kita tidak mengetahui kehadiran kedua orang itu?" "Keduanya masih terlalu jauh dari kita berdua, karena keduanya berada di seberang lapangan rumput itu," sahut
Paksi. "Sementara itu, perhatian kita pusatkan kepada orangorang yang ada di lapangan rumput itu sendiri. Aku sudah siap mengingat-ingat nama jika salah seorang dari mereka menyebutkannya lagi. Namun yang datang ada dua orang dari sisi seberang." Namun tiba-tiba wajah Paksi menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya ia beringsut sehingga Wijang menggamitnya sambil berdesis, "Sst. Kau kenapa?" Tiba-tiba saja Paksi teringat sesuatu. Kata-katanya meluncur dengan nada datar, "Seorang laki-laki dan seorang perempuan." "Ya. Kenapa?" bertanya Wijang. "Tentu ayah dan ibu Kemuning." "Siapakah Kemuning itu?" bertanya Wijang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wijang sekilas. Namun kemudian Paksipun menjawab perlahan, "Nanti aku ceriterakan." Wijang mengangguk. Iapun ingin memperhatikan apa yang dikatakan oleh kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Sementara itu Paksipun berdesis, "Ciri-ciri keduanya tepat seperti yang dikatakan Ki Pananggungan." Wijang tidak menyahut. Tetapi ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung kakinya sampai ke kepalanya. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap. Wajahnya keras, berkumis lebat. Hidungnya seakan-akan tenggelam dalam kelebatan kumis itu. Matanya sipit, tetapi alisnya hampir setebal kumisnya. Sedangkan perempuan yang bersamanya itu terhitung perempuan yang bertubuh tinggi semampai mengenakan pakaian yang khusus. Sepasang pedang tergantung di kedua lambungnya. Selempang kulit menyilang di dadanya menahan berat pedangnya yang menggantung pada ikat pinggang kulitnya. Dalam pada itu, laki-laki itupun kemudian berkata, "Kalian mengira bahwa kami mendekati tempat ini sambil bersembunyi" Buat apa aku bersembunyi jika yang datang
kemari hanya tikus-tikus kecil seperti kalian. He, di manakah guru kalian" Kenapa mereka tidak datang?" "Sejak semula guru memang tidak akan datang ke tempat ini. Justru kami baru mempersiapkan kemungkinan, agar guruguru kami dapat bertemu." Laki-laki berkumis tebal itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat iapun kemudian berkata, "Aku ingin bertemu dan berbicara dengan guru-guru kalian." "Aku tidak tahu, apakah guru menganggap penting kalian berdua ikut berbicara tentang persoalan yang teramat penting. Mungkin guru bersedia menerima kalian untuk menghadap. Tetapi tidak untuk membicarakan sesuatu." "Jangan menghina aku. Mungkin kalian merasa kokoh karena kalian adalah bagian dari sebuah perguruan. Kalian menganggap guru kalian masing-masing adalah orang-orang terkuat di dunia kanuragan. Tetapi sebenarnyalah perguruan kalian tidak ada artinya apa-apa bagi kami." Tetapi seorang yang bertubuh raksasa dari perguruan Tegal Arang itupun berkata, "Kiai Repak Rembulung. Selama ini kami memang menganggap kau berilmu sangat tinggi. Tetapi bahwa kehadiranmu yang diam-diam itu justru menimbulkan suara seperti lampor, maka kemampuanmu kami ragukan. Demikian pula Nyi Pupus Rembulung yang menurut pendengaran kami memiliki kemampuan yang jarang ada duanya, ternyata juga sangat mengecewakan. Kalian berdua yang digelari sepasang Alap-alap Elar Perak, ternyata telah mengejutkan kami. Bukan karena ketinggian ilmu tetapi justru sebaliknya." "Menurut cirimu, kau adalah murid dari Perguruan Tegal Arang di tepi Kali Praga. Terima kasih atas pengenalanmu terhadap kami berdua serta gelar yang kami sandang. Tetapi jangan mencoba kemampuan kami. Kami memang tidak pernah berniat untuk mendekat dengan diam-diam. Itulah sebabnya kami datang seperti lampor. Tetapi jika ada yang meragukan kemampuan kami, silahkan untuk mengatakannya berterus-terang."
"Aku meragukan tataran ilmumu, Ki Repak Rembulung." Namun tiba-tiba saja orang itu menjerit. Ia tidak melihat dengan jelas apa yang dilakukan oleh Ki Repak Rembulung. Namun tiba-tiba saja dari dahinya telah mengucur darah. Sebuah batu sebesar telur puyuh telah mengenai dahinya itu. "Jika kau anggap aku curang karena aku menyerang dengan tiba-tiba, maka marilah, siapa yang akan menjajagi ilmu dengan cara apapun yang ingin kalian lakukan. Atau barangkali ada yang meragukan kemampuan isteriku, Pupus Rembulung." Orang-orang yang ada di lapangan rumput itu berdiri dengan tegang. Sementara Repak Rembulung yang digelari Alap-alap Elar Perak itu melangkah dengan tenangnya mengelilingi batu persegi yang ada di tengah-tengah lapangan rumput itu. "Aku tidak sering menyombongkan diri. Tetapi jika perlu, aku memang melakukannya seperti apa yang aku lakukan sekarang," berkata Repak Rembulung. Tidak seorangpun yang menyahut. Karena itu, maka Repak Rembulung itupun kemudian berkata, "Katakan kepada gurumu, aku ingin berbicara dengan mereka." Orang-orang yang berkumpul di lapangan rumput itu diam membeku ketika Repak Rembulung itu menunjuk mereka seorang-seorang. Bahkan kepada orang yang dahinya berdarah itu, iapun berkata, "Kau dapat melaporkan apa yang terjadi atas dahimu itu kepada gurumu. Selebihnya, jika kau sekali lagi menghina aku, maka sebelah matamu akan menjadi buta, karena batu itu akan menghunjam masuk ke dalam matamu. Jika kau masih mengulanginya lagi, matamu yang lain akan menjadi buta pula." Orang yang dahinya terluka itu berdiri mematung di tempatnya. Ketika darahnya mengalir ke matanya, ia sama sekali tidak mengusapnya. Setiap gerak akan dapat menimbulkan kecurigaan pada Repak Rembulung atau Pupus Rembulung sehingga mereka dapat melakukan sesuatu yang dapat membahayakannya.
"Atau kalian semuanya dari perguruan yang berbeda-beda ini ingin mencoba bersama-sama" Kami sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi untuk melawan kalian bersama-sama, sulit bagi kami untuk mengendalikan diri, sehingga jika ada yang mati di antara kalian, kami tidak bertanggung jawab." Orang-orang yang ada di lapangan itu masih berdiri mematung. Tidak seorangpun yang bergerak atau bahkan menjawab ancaman Repak Rembulung itu. Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara Pupus Rembulung, "Sudahlah, Kakang. Marilah kita pergi. Tidak ada gunanya kita berlama-lama disini." Repak Rembulung mengangguk. Katanya, "Kami akan segera pergi. Tetapi aku juga ingin semua orang yang ada di lapangan rumput ini pergi. Kalian tidak usah berbicara tentang pertemuan antara pemimpin dan barangkali guru kalian. Biarlah mereka membicarakannya langsung di antara mereka. Ingat, beritahu kami berdua, kami akan datang dalam pertemuan itu." Tiba-tiba saja dengan suara yang bergetar salah seorang dari Goa Lampin bertanya, "Bagaimana kami memberitahukannya kepada Ki Repak Rembulung?" "Pahatkan saat pertemuan itu pada beberapa batang pohon gayam yang ada di sepanjang jalan menuju ke Panjatan." "Ki Repak Rembulung tinggal di Panjatan?" "Aku tinggal dimana-mana. Tetapi ingat, jangan mencoba menipu dan membohongi aku. Jika pertemuan itu berlangsung tanpa aku ketahui, serta tidak ada pahatan waktu di beberapa pohon gayam di jalan menuju ke Panjatan, maka kalian akan menyesal." Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Mereka mengharap agar Sepasang Alap-alap Elar Perak itu segera meninggalkan tempat itu. Namun ternyata Pupus Rembulung itu berkata lantang, "Cepat, tinggalkan tempat ini. Atau aku harus mengusir kalian."
Orang-orang itupun kemudian telah beringsut meninggalkan tempat itu sebelum mereka sempat menemukan kesepakatan apa-apa tentang rencana pertemuan antara para pemimpin dan guru mereka. Sedangkan Repak dan Pupus Rembulunglah yang kemudian terakhir meninggalkan tempat itu. Sepeninggal mereka, maka Wijang dan Paksipun kemudian telah keluar dari persembunyiannya. Namun yang pertamatama dikatakan oleh Wijang bukan tentang orang-orang yang berkumpul itu, tetapi justru tentang diri mereka berdua. "Nah, bukankah kita sudah berhasil meredam suara yang timbul dari gerak-gerik kita. Geseran tubuh dan pakaian kita dengan benda-benda sekeliling kita tidak mampu menyentuh ketajaman telinga kedua orang suami isteri itu." Paksi mengangguk-angguk. Iapun kemudian menyadari bahwa iapun mampu menyerap bunyi geseran itu. Namun Paksipun kemudian berkata, "Kedua orang suami isteri itu menarik perhatian." "Yang kau sebut sebagai ayah dan ibu Kemuning itu." "Ya," jawab Paksi. "Nah, bukankah kau akan berceritera tentang Kemuning?" "Nanti di rumah aku akan menceriterakannya." Sambil bergeser Wijang itupun kemudian berkata, "Kita sudah mendengar bahwa orang yang disebut Repak Rembulung itu minta agar ia mendapat isyarat jika diselenggarakan pertemuan antara para pemimpin perguruan yang telah menurunkan orang-orangnya di daerah ini." Paksi mengangguk-angguk pula. Katanya, "Isyarat itu akan dapat kita lihat di pohon-pohon gayam di jalan yang menuju ke Panjatan. Dengan demikian, maka kitapun akan dapat hadir pula untuk melihat apa yang akan mereka bicarakan." "Mereka tentu akan berbicara tentang cincin istana yang hilang," desis Wijang. "Yang menarik, bagaimana mereka mengatur kerja sama di antara mereka itu."
"Yang lebih menarik lagi adalah kehadiran Repak Dan Pupus Rembulung itu." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja Wijang menarik Paksi sambil berkata, "Kita akan pulang. Kita akan melihat apakah ada satu dua orang yang tersesat ke gubuk kita. Selebihnya, kau akan berceritera tentang Kemuning yang kau sebut anak Repak dan Pupus Rembulung itu." Paksi tidak menjawab. Apalagi Wijang masih saja menariknya berjalan di lereng yang ditumbuhi pohon-pohon perdu itu. Ketika mereka sampai di gubuk kecil yang tersembunyi itu, merekapun berlega hati. Tidak seorangpun di antara orangorang dari berbagai perguruan itu yang tersesat sampai ke gubuk kecil mereka. Ketika mereka kemudian duduk di dalam gubuk itu sambil menghirup wedang sere yang sudah dingin, Paksipun telah berceritera tentang seorang gadis yang bernama Kemuning. Menurut pamannya, Ki Pananggungan, kedua orang tua angkat Kemuning adalah petualang pula. Menurut ciri-cirinya, orang tua angkat Kemuning itu tentu Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung itu. "Sayang," berkata Wijang, "jika saja keduanya tidak terjerumus ke dalam petualangan yang dapat mengotori namanya." "Apakah kita dapat mencoba menghubunginya?" bertanya Paksi. "Jangan tergesa-gesa. Yang terjadi mungkin justru sebaliknya dari yang kita inginkan," desis Wijang. Meskipun demikian ia melanjutkan, "Tetapi pada saat yang tepat kita akan dapat mencobanya." Paksi menarik nafas panjang. Katanya, "Rasa-rasanya masih ada kemungkinan." "Kita belum tahu sifat-sifatnya lebih jauh. Kita baru melihat ujudnya sekilas dan sedikit keterangan dari Ki Pananggungan itu," sahut Wijang.
Paksi tidak menjawab. Tetapi kepalanya mengangguk kecil. "Nah, sebaiknya kita sekarang pergi ke goa itu. Bawa tongkatmu. Kita berlatih lebih bersungguh-sungguh." Paksi tidak membantah. Iapun kemudian bangkit. Diraihnya tongkatnya yang disembunyikannya di antara kerangka gubuk kecilnya. Sementara itu, Wijangpun telah melangkah keluar dan gubuk itu. Sejenak kemudian, keduanya telah berada di dalam goa. Dengan saksama keduanya memperhatikan pahatan yang ada di dalam goa itu. Beberapa kali mereka mencobanya sehingga dengan demikian, terutama bagi Paksi, ilmunya menjadi semakin matang. Tongkatnya menjadi semakin berbahaya di tangannya Sementara itu, jiwanyapun menjadi semakin mapan. Ia sudah berhasil menguasai keseimbangan antara perasaan dan penalarannya saat-saat ia mengetrapkan ilmu puncaknya. Ternyata apa yang dilakukan Wijang, justru melengkapi apa yang pernah diwariskan oleh Ki Marta Brewok kepada Paksi. Di hari berikutnya, maka keduanya telah pergi menyusuri jalan menuruni kaki Gunung Merapi. Mereka kemudian telah memasuki sebuah jalan yang agak lebih lebar dari jalan setapak. Jalan yang menuju ke Panjatan. Memang ada beberapa batang pohon gayam. Tetapi mereka belum melihat isyarat apapun yang terpahat pada pohon gayam itu. Namun keduanya sadar, bahwa mereka harus berhati-hati, karena mereka akan dapat bertemu dengan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. "Mungkin dua atau tiga hari lagi," berkata Wijang. "Bukankah mereka harus membicarakannya lebih dahulu?" "Atau para pemimpin perguruan yang tersinggung itu sengaja tidak mau memenuhi keinginan Repak dan Pupus Rembulung," sahut Paksi. "Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Tetapi aku mengira bahwa para pemimpin perguruan itu akan
memberitahukan rencana pertemuan itu justru untuk menjebaknya." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Setiap hari kita akan melihat, apakah mereka telah memahatkan pesan itu." "Dengan kemungkinan terburuk, kita akan bertemu dengan orang yang sedang memahatkan pesan itu atau suami isteri orang tua angkat Kemuning itu." Dengan serta-merta Paksi berpaling. Dipandanginya Wijang dengan dahi berkerut. Namun Wijanglah yang bertanya, "Kenapa" Bukankah Repak dan Pupus Rembulung itu orang tua angkat Kemuning sebagaimana kau katakan." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia menjawab, "Ya. Mereka adalah orang tua angkat Kemuning." "Jadi bagaimana?" "Tidak apa-apa," jawab Paksi. Wijang tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Keduanyapun melanjutkan langkah mereka menyusuri jalan ke sebuah padukuhan. Padukuhan yang tidak terlalu besar. Bahkan letaknya agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang lain. Tetapi padukuhan itu nampak subur. Di sekitarnya sawah nampak hijau ditumbuhi batang padi yang mulai berbunga. Di belakang dinding padukuhan, pohon nyiur berdiri berjajar dari ujung sampai ke ujung. Parit-parit yang mengaliri sawah bersusun seperti sebuah tangga raksasa mengalir sepanjang musim. "Apakah kita akan pergi ke padukuhan itu?" bertanya Paksi Wijang memang agak ragu. Namun kemudian katanya, "Kau yang sudah lama tinggal di sisi selatan kaki Gunung Merapi ini agaknya sudah mengetahui isi dari padukuhan itu." Paksi menggeleng. Katanya, "Aku tahu, bahwa padukuhan itu adalah Padukuhan Panjatan. Tetapi aku belum tahu isi padukuhan itu." "Apakah di pasar kau tidak pernah bertemu dengan orang Panjatan?" "Mungkin sekali dua kali pernah. Tetapi aku tidak menyadari bahwa mereka adalah orang Panjatan."
"Baik. Jika demikian, kita pergi saja ke pasar. Tentu masih belum sepi. Kita akan mencoba mencari keterangan tentang padukuhan ini." Keduanyapun kemudian telah berbelok menyusuri jalan sempit. Mereka tidak langsung pergi ke padukuhan yang belum mereka ketahui apakah isinya. Meskipun sebelumnya mereka jarang sekali berusaha untuk mengetahui isi sebuah padukuhan apabila mereka akan memasukinya, namun justru karena padukuhan itu disebut oleh Ki Repak Rembulung, maka mereka merasa perlu untuk berhati-hati. Ketika keduanya yang berjalan cepat di sepanjang pematang dan lorong-lorong sempit sebelum mereka turun ke jalan yang lebih besar yang menuju ke pasar itu, membuat mereka menjadi haus. Karena itu, maka Paksipun mengajak Wijang untuk membeli dawet cendol sebagaimana sering dilakukannya. Ketika keduanya sedang menghirup dawet cendol yang segar itu, penjual dawet itupun bertanya, "Keringat kalian seperti terperas dari tubuh kalian. Dari mana saja kalian berdua?" Paksi tersenyum sambil menjawab, "Kami takut kalau kami kehabisan dawet cendol. Karena itu, kami berlari-lari sepanjang jalan." Penjual dawet itu tertawa. Sementara Paksi berkata selanjutnya, "Kami bangun kesiangan, sementara kami masih harus singgah di Panjatan." "Panjatan?" orang itu mengerutkan dahinya. "Ya," jawab Paksi. "Untuk apa kalian pergi ke Panjatan?" "Aku mempunyai seorang kawan di Panjatan." Orang itu termangu-mangu sejenak. Di wajahnya membayang kesan yang aneh. Bahkan penjual dawet itu kemudian bertanya, "Kau sering pergi ke Panjatan?" "Ya. Kenapa?" "Jika kau sering pergi ke Panjatan, kau tentu mengetahui keadaan padukuhan itu."
"Aku tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian di padukuhan itu." Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "Aku juga mempunyai seorang kenalan, bahkan masih terhitung kadang meskipun sudah jauh." "Paman juga sering pergi ke Panjatan?" bertanya Wijang kemudian. "Tidak," jawab orang itu. "Baru dua atau tiga kali sepanjang umurku." "Kenapa?" bertanya Wijang kemudian. Penjual dawet itu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun bertanya, "Jadi kalian benar-benar tidak tahu, kenapa Panjatan itu seakan-akan menjadi terpencil. Bukan saja letaknya, tetapi juga hubungan antar sesama." "Tidak," Paksilah yang menjawab. Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Paksi mengulurkan mangkuknya yang telah kosong sambil berkata, "Lagi, Paman. Aku haus sekali." Ternyata Wijangpun berbuat demikian pula. Sambil menyerahkan semangkuk dawet kepada keduanya, maka penjual dawet itupun berkata, "Sebenarnya orang-orang Panjatan adalah orang-orang yang ramah. Tetapi di padukuhan itu ada sebuah keluarga yang membuat nama padukuhan itu menjadi buram." "Hanya satu keluarga?" bertanya Paksi. "Mula-mula, tetapi kemudian anak dan cucunya juga mewarisi sikap dan tingkah lakunya, sehingga yang satu keluarga itu telah membuat Panjatan menjadi daerah hitam." "Orang-orang Panjatan yang lain tidak berbuat sesuatu?" "Tidak seorang pun yang berani menegur mereka. Sementara itu, keluarga itu memang tidak pernah mengganggu orang-orang Panjatan sendiri." Paksi dan Wijang mendengarkan ceritera penjual dawet itu sambil mengangguk-angguk. Sementara itu penjual dawet
itupun berkata, "Terhadap orang yang mereka anggap asing, keluarga itu tidak menyukainya. Jika ada orang yang tidak mereka kenal, mereka segera menemuinya. Jika pertanyaanpertanyaan mereka tidak dapat dijawab dengan baik dan meyakinkan, maka orang itu akan segera diusir dari padukuhan itu. Jika yang datang itu seorang tamu dari keluarga yang tinggal di padukuhan itu, mereka harus meyakinkan kebenarannya." "Apakah orang-orang Panjatan tidak pernah keluar dari padukuhannya, pergi ke pasar misalnya." "Ya. Mereka juga pergi ke pasar. Tidak ada masalah bagi mereka. Bahkan keluarga orang yang ditakuti itupun juga pergi ke pasar. Rasa-rasanya mereka sama sekali tidak mempunyai beban apapun. Namun orang-orang lainlah yang biasanya membuat jarak dengan mereka." "Apakah mereka tidak merasa tersinggung." "Itulah yang menarik. Mereka tidak merasa tersinggung. Mereka seakan-akan mengerti, kenapa orang lain bersikap demikian terhadap mereka." Ketika kemudian mangkuk Paksi dan Wijang telah menjadi kosong, maka penjual dawet itupun bertanya, "Lagi?" Paksi menggeliat sambil berkata, "Perutku sudah tidak dapat memuat lagi, Paman." Penjual dawet itupun tertawa. Katanya, "Kemarin seseorang membeli dawet ampat mangkuk sekaligus." "O, bukan main," sahut Wijang. Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Orang itu justru salah seorang di antara keluarga yang ditakuti di Panjatan. Seorang anak muda sebaya dengan Paksi." Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijangpun tertawa. Katanya, "Paksi juga dapat menelan dawet ampat mangkuk sekaligus jika kebetulan ia lapar." Paksipun kemudian tertawa pula. Demikianlah keduanyapun kemudian pergi ke pande besi di sudut pasar itu. Ketika mereka menyinggung Padukuhan Panjatan, maka seorang di antara pande besi itupun telah
menceriterakan keadaan padukuhan itu sebagaimana ceritera penjual dawet itu. Bahkan kemudian iapun berkata, "Rumahku juga Panjatan. Tetapi aku jarang-jarang pulang. Siang malam aku berada disini. Hanya kadang-kadang saja aku pulang. Sebenarnya orang yang dianggap asingpun tidak usah takut. Jika keluarga Sangga Samodra itu tidak menyenangi kehadirannya, ia akan minta orang itu dengan baik-baik pergi. Jika orang itu melawan, baru akan terjadi kekerasan." "Kenapa keluarga Sangga Samodra itu tidak menyenangi kehadiran orang yang dianggap asing?" bertanya Paksi yang sudah terbiasa duduk-duduk di tempat pande besi itu bekerja. "Mereka memang merasa curiga, bahwa orang-orang yang dianggap asing itu akan mengganggu keluarga mereka." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat Paksi dan Wijang duduk menunggui pande besi yang dengan kawan-kawannya membuat sebuah kapak kecil pembelah kayu. Namun kemudian keduanyapun minta diri. "Kau tidak memerlukan apa-apa hari ini, Paksi?" bertanya pande besi itu. "Lain kali saja," jawab Paksi sambil melangkah meninggalkan tempat itu bersama Wijang. Sambil berjalan di antara banyak orang di pasar itu, Wijangpun berdesis, "Tentu ada hubungan antara Sangga Samodra itu dengan Ki Repak Rembulung." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Ya. Akupun berpendapat begitu. Dengan dukungan orang-orang Panjatan itulah agaknya Repak dan Pupus Rembulung berani bersikap menantang orang-orang dari perguruan yang sudah punya nama itu." "Kau kenal nama pande besi yang berasal dari Panjatan itu?" bertanya Wijang. "Kenal, kenapa?" "Kita pergi ke Panjatan. Kita akan mencari pande besi itu," berkata Wijang kemudian. Namun demikian Wijang itupun
berkata selanjutnya, "Tetapi tidak sekarang. Besok atau lusa sambil melihat-lihat apakah sudah ada isyarat pada batang pohon gayam itu." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Ya. Sementara itu, kita masih mempunyai waktu untuk meyakinkan keadaan padukuhan itu." Demikianlah, keduanyapun kemudian segera kembali ke gubuk mereka. Mereka merencanakan untuk pergi ke Panjatan dua hari lagi. Mereka berharap bahwa sudah ada isyarat tentang pertemuan yang akan diadakan oleh beberapa orang pemimpin perguruan. Namun di hari berikutnya keduanya masih mendapat beberapa keterangan lagi tentang Panjatan. Tidak bertentangan dengan keterangan yang terdahulu. Namun seorang pedagang gula kelapa mengatakan bahwa di hari-hari terakhir nampaknya ada kesibukan khusus dari keluarga yang menyebut Trah Sangga Samodra itu. "Trah Sangga Samodra. Jadi Sangga Samodra itu sendiri apa masih ada?" bertanya Paksi. Pedagang gula itu menggeleng. Katanya, "Sudah lama Sangga Samodra itu meninggal. Yang ada adalah anak, cucu dan cicitnya yang meneruskan kegiatannya." "Siapakah yang sekarang menjadi pemimpinnya?" bertanya Paksi pula. "Untuk apa kau bertanya tentang pemimpin Trah Sangga Samodra itu?" "O, tidak apa-apa," jawab Paksi dengan serta-merta. "Sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu saja." Penjual gula kelapa itu tersenyum. Untunglah bahwa ia tidak menaruh perhatian lebih jauh karena pedagang gula itu segera sibuk dengan pekerjaannya. Paksi dan Wijang yang kemudian meninggalkan pedagang gula itupun telah duduk di depan penjual nasi tumpang bersama Kinong yang kebetulan sedang beristirahat. "Makanlah," berkata Paksi.
Kinong memandang Paksi dengan sepasang matanya yang bening. Dengan jujur ia berkata, "Aku memang belum makan sejak pagi. Tetapi aku sudah mendapat uang beberapa keping." "Simpanlah. Bukankah kau sedang menabung. Biarlah aku yang membayar nasi tumpang itu." Kinong memandang Paksi dan Wijang berganti-ganti. Sementara Wijang berkata, "Jangan malu. Aku juga akan membeli nasi tumpang itu. Aku juga belum makan." Ketiganyapun kemudian telah makan nasi tumpang. Tanpa menghiraukan orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Bahkan kemudian dua orang ayah dan anaknya sebesar Kinong juga duduk di sebelah mereka membeli nasi tumpang pula. Kinong terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara ibunya yang sudah berdiri di belakangnya, "Kinong, sedang apa kau di situ, he?" Kinong berpaling. Anak itupun kemudian bangkit berdiri sambil memegangi pincuk nasi tumpangnya. Sambil mengunyah anak itu menjawab, "Kakang Paksi membelikan nasi tumpang." "Setiap kali kau dibelikan nasi tumpang, dawet, bahkan makanan." Paksilah yang menjawab sambil tersenyum, "Ketika Kinong lewat, kebetulan kami sedang makan, Bibi." "Terima kasih, Ngger," jawab ibu Kinong "Bibi tidak makan?" bertanya Paksi. "Terima kasih, Ngger. Terima kasih." Ibu Kinong itupun kemudian beranjak pergi. Dihampirinya seorang perempuan yang sedang berbelanja. Tetapi dengan muka cemberut perempuan itu berkata, "Aku sudah mengajak pembantuku." Ibu Kinong itupun bergeser surut. Ia sudah terbiasa mendapat jawaban seperti itu. Namun kemudian dengan berlari-lari kecil ibu Kinong itu mendekati seorang perempuan lain yang membawa dua kereneng di kedua tangannya.
Berbeda dengan orang yang pertama, maka perempuan itu tersenyum sambil berkata, "Aku kira kau tidak ada di pasar hari ini, Yu. Tanganku sudah pedih membawa kereneng itu." "Aku kira Nyi Peni tidak berbelanja hari ini." "Aku sedang memperbaiki rumah, Yu. Di rumah yang datang untuk sambatan kira-kira lima belas orang atau bahkan lebih." Ibu Kinong itupun kemudian dengan cekatan memasukkan kedua kereneng itu ke dalam bakul yang diberinya serumbung. Kemudian iapun melangkah mengikuti perempuan yang sedang belanja itu. Kinong yang masih menghabiskan makanannya itu berkata, "Perempuan itu kalau berbelanja tentu banyak. Aku juga harus membantu ibu nanti." "Habiskan dahulu nasimu," berkata Paksi, "atau kau mau tambah lagi?" Kinong menggeleng. Katanya, "Aku sudah kenyang. Nanti aku tidak dapat bekerja membantu ibu jika aku terlalu banyak makan." "Justru kau akan menjadi kuat," berkata Wijang. Tetapi Kinong menjawab, "Aku akan mengantuk." Paksi dan Wijang tertawa. Sementara itu, Kinong telah membuang pincuknya dan berlari membawa keranjang kecilnya mendekati ibunya. "Anak yang rajin," berkata Wijang. "Aku senang kepada anak itu." "Pada suatu saat, kau dapat memanggilnya," berkata Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya iapun bergumam, "Ada berapa orang Kinong yang tersebar di pasar Pajang. Aku juga pernah melihat perempuan dan kanak-kanak berkeliaran di pasar dengan bakul dan keranjang kecilnya. Bahkan mereka bukan anak seorang pemabuk. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai cara lain untuk mencari makan. Sementara orang lain berbelanja berlebihan." Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa hal itu merupakan salah satu ungkapan
ketidakpuasan Pangeran Benawa terhadap keadaan yang berkembang semasa pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Ayahanda Pangeran Benawa itu sendiri. Setelah membayar harga nasi tumpang, maka mereka berduapun meninggalkan pasar itu. Dengan kerut di kening, Wijang sempat bertanya, "Kau mempunyai banyak uang?" "Ibuku memberi bekal saat aku berangkat." "Ayahmu?" bertanya Wijang "Ibu sudah memberi bekal. Tentu ayah tidak merasa perlu memberiku lagi." Wijang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Hari itupun kemudian telah dihabiskan oleh kedua orang itu untuk berlatih. Wijanglah yang memperingatkan Paksi, bahwa pada suatu saat mereka akan terpaksa membenturkan kemampuan mereka dengan orang-orang yang berkeliaran mencari cincin itu. Di keesokan harinya, seperti yang direncanakan, mereka berdua akan pergi ke Panjatan mencari seseorang yang bernama Lebak. Meskipun sebenarnya mereka mengetahui bahwa Lebak, seorang pande besi, jarang-jarang pulang. Pagi-pagi mereka telah bersiap-siap. Mereka menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum mereka berangkat, sebagaimana jika mereka pergi ke pasar. Legenpun telah mereka tuang ke dalam kuali. Kayu yang kering sudah disimpan di dalam gubuk. Tidak ada jemuran di luar dan pintu gubuknyapun ditutup rapat-rapat. Ketika matahari mulai memanjat langit, maka keduanyapun telah berangkat langsung menuju ke Panjatan. Ketika mereka memasuki jalan menuju ke padukuhan itu maka mereka harus mulai mengamati apakah sudah ada isyarat yang terpahat pada batang pohon gayam yang tumbuh di pinggir jalan. Tetapi keduanya harus berhati-hati. Keduanya harus menghindari kecurigaan orang sejauh dapat mereka lakukan. Karena itu, maka ketika mereka sudah berada di jalan menuju ke Panjatan, mereka tidak langsung menilik setiap
pohon gayam. Tetapi mereka mencoba melihat sambil berjalan perlahan-lahan. Baru setelah mereka melihat sesuatu yang menarik pada sebatang pohon gayam, maka merekapun melangkah menepi. "Tidak ada orang yang melihat kita disini," desis Wijang. Tetapi keduanya tidak semata-mata melihat goresan yang ada di batang pohon gayam itu. Keduanya sambil berpurapura berteduh, mencoba untuk dapat memahami isyarat yang dipahatkan pada pohon gayam itu. Sebagaimana yang mereka duga, goresan-goresan pada batang pohon gayam itu benar-benar isyarat. Wijang dan Paksi sempat membaca tulisan itu. Mereka melihat pahatan sebuah lengkungan. Di bawahnya dipahatkan angka satu. Kemudian di bawah lagi terdapat tulisan 'lewat tengah malam'. Selain itu, mereka tidak menemukan isyarat lain. Paksi dan Wijang yang kemudian meneruskan langkah merekapun telah membicarakan isyarat itu. Mereka sepakat bahwa isyarat itu menyatakan, bahwa pertemuan akan diselenggarakan pada saat bulan tanggal satu lewat tengah malam. "Tetapi dimana?" bertanya Paksi. "Kita lihat, apakah ada isyarat lain pada batang pohon gayam berikutnya." Paksi mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak menemukan petunjuk yang lain. Pada sebatang pohon gayam yang lain justru hanya terpahat sebuah lengkungan dengan tulisan angka satu. Di pohon yang lain terdapat tulisan 'lewat tengah malam'. "Jika demikian, pertemuan itu akan diselenggarakan di tempat itu juga," desis Wijang. "Di lapangan rumput itu?" "Ya." Paksi mengangguk-angguk.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Mereka masih berjalan menuju ke Panjatan yang semakin lama menjadi semakin dekat. Bagaimanapun juga kedua orang itu menjadi berdebardebar ketika mereka memasuki padukuhan. Meskipun demikian, keduanya berusaha untuk menunjukkan sikap yang wajar. Sebenarnyalah bahwa Padukuhan Panjatan tidak ada bedanya dengan padukuhan-padukuhan yang lain. Kesibukan menjelang siang juga tidak ada bedanya dengan kesibukan di padukuhan lain. Dari kejauhan terdengar suara orang menumbuk padi. Sementara itu, seorang ibu muda sedang menyuapi anaknya tanpa menghiraukan anaknya itu menangis meronta-ronta. Nasi cair yang dicampur dengan gula kelapa disuapkannya di mulut yang kecil itu. Wijang dan Paksi tertegun sejenak melihat ibu muda yang duduk di tangga regol halaman rumahnya tanpa memperhatikan orang yang lewat sambil menyuapi anaknya itu. Bukan saja anaknya yang menangis meronta-ronta yang berkeringat. Tetapi ibu muda itupun berkeringat pula. Paksi dan Wijang membatalkan niatnya untuk bertanya, di manakah letak rumah Lebak. Ibu muda itu nampak demikian sibuknya, sehingga ia tidak lagi menghiraukan apapun juga. Beberapa langkah kemudian, Paksi dan Wijang berjalan melewati sebuah gardu. Terdengar lenguh lembu dari halaman sebelah. Sedangkan dari halaman yang lain terdengar kokok bekisar yang melengking tinggi. Paksi dan Wijang tertegun ketika mereka melihat seorang laki-laki yang berdiri di regol halaman rumahnya justru turun ke jalan. Ia memberi isyarat dengan tangannya, agar Paksi dan Wijang itu berhenti. "Siapakah kalian, anak-anak muda?" bertanya orang itu. "Namaku Wijang, Ki Sanak. Sedangkan adikku ini namanya Paksi."
"Untuk apa kalian memasuki padukuhan ini?" bertanya lakilaki itu. "Kami mencari seorang sahabat kami, Ki Sanak." "Namanya siapa?" bertanya laki-laki itu. "Lebak," jawab Wijang. Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, "Lebak jarang sekali pulang. Ia bekerja di Pasar Turi, pada seorang pande besi." "Apakah hari ini ia tidak ada di rumah?" bertanya Wijang pula. "Tidak. Aku tidak melihat. Pergi sajalah ke Pasar Turi. Kau akan bertemu dengan Lebak." "Aku akan menunggu di rumahnya, Ki Sanak," jawab Wijang. Laki-laki itu menggeleng. Katanya, "Pergilah ke Pasar Turi." "Baiklah. Tetapi aku akan menemui keluarganya lebih dahulu. Aku akan memberikan beberapa pesan kepada keluarganya." Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia berkata, "Sudahlah, ia tidak akan segera pulang. Mungkin dua tiga pekan lagi. Pergilah." Wijang dan Paksi menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang dari Trah Sangga Samodra. Karena itu, jika mereka tidak ingin berselisih, maka mereka harus meninggalkan padukuhan itu. "Baik, Ki Sanak," jawab Wijang, "kami akan pergi." Namun tiba-tiba saja dari pintu regol itu keluar seorang perempuan. Wijang dan Paksi tidak segera mengenali perempuan itu. Seorang perempuan yang mengenakan kain lurik hijau dan baju lurik hijau pupus pula. Meskipun perempuan itu sudah tidak muda lagi, tetapi bekas-bekas kecantikannya masih melekat di wajahnya yang bersih. Namun Wijang dan Paksi terkejut ketika mereka menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Pupus Rembulung. Meskipun demikian, Paksi dan Wijang mampu menyembunyikan kesan itu. Bahkan keduanyapun sempat
mengangguk hormat kepada perempuan yang sama sekali tidak menunjukkan kesan kegarangannya sebagaimana ketika ia mengenakan pakaian khususnya bersama Repak Rembulung di hadapan beberapa orang murid dari perguruan yang sudah mempunyai nama. Bahkan dengan ramah Pupus Rembulung itu bertanya, "Siapakah yang kalian cari, anak muda?" "Kami mencari sahabat kami yang bernama Lebak, Bibi," jawab Wijang. "O," lalu iapun bertanya kepada laki-laki yang sudah lebih dahulu turun ke jalan. "Apakah kau tahu rumah Lebak?" "Lebak tidak ada di rumah, Bibi." "Dari mana kau tahu?" bertanya Pupus Rembulung itu. "Lebak berada di Pasar Turi. Ia bekerja sebagai pande besi disana." "O. Jika demikian, sebaiknya kalian pergi saja ke Pasar Turi. Kalian akan dapat menemuinya disana, Ngger." "Baik, Bibi," jawab Wijang sambil mengangguk hormat. Demikianlah keduanyapun meninggalkan Padukuhan Panjatan dengan kesan yang aneh. Demikian keduanya keluar dari regol padukuhan, maka Wijang itupun berkata, "Ternyata Pupus Rembulung itu mempunyai kepribadian rangkap. Ia seorang perempuan yang garang jika sepasang pedang tergantung di pinggangnya. Tetapi ia seorang perempuan yang ramah jika ia mengenakan baju dan kain lurik berwarna hijau muda." "Ya. Seperti ceritera Paman Pananggungan. Di rumah, Repak Rembulung adalah seorang ayah yang bijak, sementara Pupus Rembulung adalah seorang ibu yang lembut." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Namun Paksipun berkata, "Tetapi bukan hanya mereka berdua." "Siapa lagi?" bertanya Wijang. "Di istana ia seorang pangeran yang berwibawa, tetapi di pasar ia duduk sambil memegang pincuk nasi tumpang." Wijang tertawa. Namun iapun berkata, "Masih banyak contohnya. Kau ingin tahu?"
Tetapi Paksi menggeleng. Katanya, "Tidak." Keduanyapun tertawa. Namun keduanyapun segera menghentikan tawa mereka ketika mereka melihat dua orang yang berjalan ke arah yang berlawanan. Meskipun kedua orang itu berpakaian seperti petani kebanyakan, namun Paksi dan Wijang harus berhati-hati, justru karena mereka berada di jalur keluarga Sangga Samodra. Seandainya keduanya bukan Trah Sangga Samodra, dapat saja terjadi, keduanya adalah murid dari perguruan yang terlibat dalam pertemuan yang bakal datang. Tetapi karena kedua orang itu nampaknya berjalan dengan mantap menuju ke Padukuhan Panjatan, maka Paksi dan Wijang menduga bahwa keduanya tentu orang Panjatan. Trah atau bukan Trah Sangga Samodra. Ketika mereka berpapasan, maka kedua orang itu memandang Wijang dan Paksi dengan tajamnya. Namun kedua orang itu tidak menegur mereka. Wijang dan Paksi menarik nafas panjang. Keduanya berjalan terus tanpa menoleh sama sekali. Ketika keduanya kemudian berjalan semakin jauh, maka Wijangpun berkata, "Nah, kita sudah tahu, kapan mereka akan bertemu. Kita pun harus benar-benar mempersiapkan diri untuk menonton pertemuan itu. Yang akan bertemu bukan sekedar para murid dari perguruan-perguruan itu. Tetapi justru para pemimpinnya. Tentu termasuk Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung." "Pertemuan itu akan berlangsung beberapa hari lagi," desis Paksi. "Mereka justru memilih malam yang paling gelap." "Tentu bukannya tanpa maksud," sahut Wijang. "Apakah mereka akan bersikap jujur?" "Seandainya mereka tidak berniat jujur, namun mereka harus memperhitungkan banyak kemungkinan." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi."
Dengan demikian, maka Paksi dan Wijang itu benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pertemuan yang mereka anggap penting itu. Mereka harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang paling buruk. "Kita harus mengenal medan dengan sebaik-baiknya," berkata Wijang. "Maksudmu?" bertanya Paksi. "Mungkin kita harus menghindar dari kemungkinan yang paling buruk, jika mereka mengetahui kehadiran kita. Kita harus tahu, kemana kita akan pergi. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berilmu tinggi." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun berkata, "Jika pertemuan itu dilakukan di tempat lain?" "Kita akan kehilangan jejak," jawab Wijang. "Tetapi tidak ada isyarat lain yang menunjukkan tempat pertemuan itu." Paksi mengangguk-angguk. Iapun kemudian bergumam, "Kita akan memanfaatkan waktu menjelang pertemuan itu untuk mengenali medan sebaik-baiknya sebagaimana kau katakan." Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu langkah mereka tanpa persepakatan justru telah berbelok menuju ke pasar. Keduanya saling berpandangan sejenak. Kemudian keduanyapun tertawa. "Kita pergi ke pasar?" bertanya Paksi. "Kau yang berbelok lebih dahulu ke kanan," sahut Wijang. "Sebenarnya aku akan berbelok ke kiri." Keduanya masih tertawa, sementara langkah mereka menjadi semakin cepat. Tanpa berjanji pula keduanya telah pergi ke sudut pasar, tempat beberapa orang pande besi membuka tempat kerja mereka. Keduanyapun kemudian telah menemui Lebak yang sedang mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa sebatang besi
panjang. Agaknya Lebak dan seorang kawannya sedang membuat sebuah parang pemotong kayu. Ketika Lebak kemudian beristirahat, maka Paksipun berkata, "Aku baru saja pergi ke Panjatan." "Untuk apa?" bertanya Lebak. "Ceriteramu menarik," jawab Paksi. "Karena itu, aku ingin membuktikannya." "Apa yang kau temui disana?" "Aku memang diminta meninggalkan Panjatan. Alasanku untuk mencarimu tidak dapat diterima karena kau tidak ada di rumah. Aku tidak tahu siapa yang telah mengusirku. Tetapi di rumah orang itu tinggal pula seorang perempuan cantik meskipun umurnya sudah tidak dapat disebut muda lagi. Saat itu ia mengenakan kain dan baju lurik hijau muda." "Perempuan cantik itu?" desis Lebak. "Ya. Siapakah perempuan itu?" Lebak menggeleng. Katanya, "Aku tidak mengenalnya. Ia jarang berada di Panjatan. Hanya sekali-sekali saja. Apalagi aku sendiri jarang sekali ada di rumah." "Nah, aku hanya memberitahukan hal ini kepadamu agar jika pada suatu saat kau pulang, kau mengaku mengenal kami berdua." Lebak mengangguk kecil. Tetapi iapun bergeremang, "Untuk apa sebenarnya kau datang ke Panjatan" Jika kau manjakan sifat ingin tahumu, maka kau akan dapat mengalami kesulitan." Paksi tertawa. Sementara Wijang berkata, "Kami tidak akan mengulanginya." Namun dalam pada itu, Wijang itupun tiba-tiba saja memutar tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di selasela kedua lututnya. Semula Paksi tidak menghiraukannya. Ia mengira bahwa Wijang sekedar bergurau atau menyembunyikan tawanya. Namun ternyata Wijang itupun berkata, "Marilah, Paksi. Kita tinggalkan tempat ini." "Kenapa?" bertanya Paksi.
"Lebak. Kami minta diri," berkata Wijang singkat. "Besok kami akan datang lagi." Lebak mengangguk kecil sambil menjawab, "Datanglah besok. Aku besok akan membuat sebuah pedang. Bukan sekedar parang pembelah kayu." Wijangpun kemudian telah menarik Paksi meninggalkan Lebak. "Ada apa?" bertanya Paksi kemudian. Wijang berjalan semakin cepat. Kemudian iapun berkata kepada Paksi, "Kau lihat laki-laki berbaju lurik hitam dengan berikat kepala wulung itu?" Paksi memperhatikan orang itu. Tetapi orang itu membelakanginya, sehingga Paksi tidak melihat wajahnya. "Kau tentu belum mengenal orang itu. Tetapi tolong, sejauh dapat kau kenali ujudnya atau kepentingannya datang ke pasar ini. Tetapi ingat, jangan sampai orang itu menyadari bahwa kau memperhatikannya." "Siapakah orang itu?" "Kau akan mengetahuinya, atau jika tidak, nanti aku akan memberitahukanmu. Aku akan berada di luar pasar. Nampaknya aku harus menempatkan diri sebaik-baiknya." -ooo00dw00oooJilid 08 PAKSI mengerutkan dahinya. Tentu ada sesuatu yang dianggap sangat penting oleh Wijang. Karena itu, maka ia tidak bertanya lebih jauh. Diusahakannya mendekati orang yang berbaju lurik hitam dan berikat kepala wulung. Dengan kemampuannya, Paksi berusaha untuk dapat mengetahui tentang orang itu sebanyak-banyaknya. Namun Paksipun juga memperhitungkan seandainya orang itu juga berilmu tinggi. Namun Paksipun kemudian melihat orang itu berhenti di depan penjual dawet. Sambil duduk ia telah memesan
semangkuk dawet cendol. Namun sejenak kemudian orang lain pun telah mendekat dan duduk pula di sebelahnya. Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berjalan saja di depan penjual dawet itu. "He, Ngger. Kau tidak haus?" Paksi sudah mengira bahwa penjual dawet itu akan menyapanya. Karena itu, maka tanpa menghiraukan kedua orang itu, Paksi telah duduk justru di sebelah penjual dawet itu. "Kau sendiri" Di mana kakakmu?" bertanya penjual dawet itu. "Kakak sedang sibuk, Paman. Tolong dawetnya semangkuk saja," minta Paksi. Sekilas ia memandang kedua orang yang duduk di depan penjual dawet itu. Agaknya keduanya memang sudah saling mengenal. Bahkan kemudian keduanya terlibat dalam sebuah pembicaraan. "Aku sudah menerima undangan itu," berkata seorang di antara mereka. "Menarik sekali. Tamu-tamunya tentu orang-orang terhormat," jawab yang lain. "Ya. Justru para demang. Mungkin ada satu dua orang bekel yang akan ikut bersama demangnya menghadiri perhelatan itu." "Kita akan mengajak anak-anak kita." "Tetapi mereka tentu orang-orang kaya. Kita tidak akan mampu menyaingi mereka." Paksi sama sekali tidak menghiraukan itu. Bahkan penjual dawet itulah yang bertanya, "Di mana akan ada perhelatan yang nampaknya besar-besaran itu, Ki Sanak?" Salah seorang di antara mereka tersenyum sambil menjawab, "Ki Lurah Pancaniti. Seorang lurah prajurit yang kaya raya." Tetapi agaknya penjual dawet itu belum mengenal Lurah Pancaniti. Meskipun dahinya nampak berkerut, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sementara itu seorang di antara keduanya bertanya, "Kau akan kemana sekarang?" "Pulang. Anakku sudah menunggu. Kau?" "Aku juga akan pulang." "Aku harus mempersiapkan sumbangan yang pantas." "Jangan memaksakan diri. Jika kau memang tidak punya uang, apaboleh buat." Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Hal seperti itu memang banyak terjadi. Untuk menjaga harga diri seseorang kadang-kadang harus mencari pinjaman kemana-mana sekedar untuk memberikan sumbangan. Apalagi jika yang mengadakan perhelatan seorang yang berpengaruh." Kedua orang yang sedang membeli dawet itu tersenyum. Seorang di antara mereka kemudian berkata, "Marilah. Aku akan pulang. Jika sempat suruh anakmu bermain ke rumahku." "Baiklah. Aku juga akan segera pulang." Orang yang pertama itupun segera membayar harga dawet sambil berkata, "Kebetulan ada uang. Aku bayar dawetmu." Kawannya tertawa. Katanya, "Terima kasih." Namun tiba-tiba saja Paksi berkata, "Untukku sekalian, Paman." Orang itu memandang Paksi sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Baiklah, anak muda. Tetapi sekali ini saja." "Terima kasih, terima kasih," desis Paksi. Orang itupun tertawa. Namun kemudian iapun melangkah pergi meninggalkan kawannya yang masih duduk di tempatnya. Namun iapun kemudian bangkit pula sambil berkata, "Kawanku itu tentu baru saja menjual hasil panennya yang melimpah di musim ini, sehingga ia mempunyai uang berlebihan." Paksipun menyahut, "Paman itu nampaknya murah hati." "Kadang-kadang," jawab kawannya itu. "Tetapi jika ia kehabisan uang, maka iapun tidak segan-segan datang untuk meminjam uang, tetapi tidak akan dikembalikan."
Paksi tertawa. Penjual dawet itupun tertawa pula. Demikianlah, maka orang itupun telah minta diri pula. Kepada Paksi, ia justru bertanya, "Kau sering datang kemari, anak muda?" "Ya, Paman," jawab Paksi. "Hampir tiap hari." Orang itu tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kau pergunakan waktumu dengan baik. Mumpung kau masih muda. Jangan banyak kau buang tanpa arti. Atau kau mempunyai kegiatan dagang di pasar ini sehingga kau setiap hari harus datang kemari?" "Tidak, Paman," jawab Paksi. "Nah, jika demikian, manfaatkan masa mudamu sebaikbaiknya. Meskipun semua kebutuhanmu dicukupi oleh orang tuamu, tetapi pada suatu ketika kau harus berdiri sendiri." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Baik, Paman." "Ah. Hanya sekedar pesan, anak muda. Jika tidak sesuai dengan perasaanmu, lupakan saja. Tetapi menurut pendapatku, anak-anak muda lebih baik mempergunakan waktunya bagi kegiatan yang berarti." "Terima kasih atas peringatan ini, Paman." Orang itu mengangguk kecil. Namun kemudian iapun melangkah meninggalkan penjual dawet dan Paksi yang termangu-mangu. Sepeninggal orang itu, maka Paksipun telah berdiri pula sambil berkata, "Aku akan pulang." Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Apakah benar kau siasiakan hari-harimu, anak muda." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Sebagian memang. Tetapi sebagian tidak." Penjual dawet itu tertawa berkepanjangan. Paksipun akhirnya tertawa pula. Namun kemudian iapun melangkah pergi meninggalkan penjual dawet itu. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah keluar dari pintu gerbang pasar. Ia harus segera memberitahukan kepada Wijang, karena Paksi mengetahui pembicaraan kedua orang
itu tentu merupakan pembicaraan sandi. Mungkin Wijang akan dapat mengurai maksud dari pembicaraan itu, sehingga Wijang dapat mengambil kesimpulannya. Tetapi Paksi tidak tahu, dimana Wijang menunggunya. Karena itu, maka Paksipun kemudian melangkah perlahanlahan meninggalkan pasar itu. Ia berharap bahwa Wijang melihatnya dan menemuinya sambil berjalan pulang. Sebenarnya, setelah beberapa puluh patok dari pasar, ia melihat Wijang duduk di bawah sebatang pohon lamtara yang tumbuh di atas tanggul parit di pinggir jalan. "Kenapa kau menunggu aku disini?" "Jadi aku harus menunggu di mana?" "Jika orang itu lewat jalan ini?" "Dari kejauhan aku sudah melihatnya. Aku dapat menghindarinya dengan meniti pematang itu." Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijangpun segera bangkit dan berjalan di sebelah Paksi. Sambil berjalan Paksipun telah berceritera tentang kedua orang yang sedang membeli dawet cendol. Seorang di antaranya adalah orang yang berbaju lurik hitam dan mengenakan ikat kepala wulung itu. Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi mereka juga sudah tahu bahwa para pemimpin perguruan itu akan mengadakan pertemuan di tempat itu." "Apakah mereka sedang membicarakan hal itu?" "Agaknya memang demikian." Paksi mengangguk-angguk. Dengan sedikit merenung, maka Paksipun menemukan hubungan antara pembicaraan kedua orang itu dengan rencana pertemuan para pemimpin perguruan sebagaimana mereka ketahui pula dari isyarat yang terpahat pada batang gayam yang tumbuh di pinggir jalan menuju ke Panjatan. "Tetapi siapakah mereka itu" Apakah kau mengenal mereka dan mereka mengenalmu?" Wijang mengangguk. Katanya, "Mereka adalah para petugas sandi dari Pajang. Yang berbaju hitam dengan ikat
kepala wulung itu adalah seorang rangga. Namanya Rangga Suraniti. Ia adalah seorang rangga yang berilmu tinggi. Bahkan melampaui sesamanya. Ia termasuk salah seorang kepercayaan para pemimpin prajurit dari Pajang." "Yang seorang lagi?" bertanya Paksi. "Aku tidak melihat orang itu," jawab Wijang. "Bagaimana aku dapat mengenalinya. Jika saja kau mempunyai ilmu yang dapat memantulkan bayangan yang pernah kau tangkap lewat penglihatanmu, aku tentu akan dapat menyebutnya." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku akan mempelajari ilmu itu. Pangeran Benawa tentu menguasainya. Aku akan mohon untuk diajarinya." "Kau kira ia memiliki ilmu itu" Iapun tidak memilikinya. Aku pernah bertanya kepadanya." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, "Seandainya Pangeran Benawa mempunyainya, ia tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu." Wijangpun tertawa pula. Katanya, "Kau memang keras kepala." Keduanyapun melangkah terus memanjat kaki Gunung Merapi. Di langit yang bersih nampak asap putih mengepul tinggi, menyatu dengan selembar awan tipis yang mengalir lambat. "Nah," berkata Wijang selanjutnya, "kita akan melanjutkan rencana kita untuk mengenali medan sebaik-baiknya." "Sekarang saja. Kita akan mengulanginya malam nanti. Mungkin besok siang dan besok malam lagi." Paksi mengangguk kecil. Namun ia tidak membantah. Keduanyapun kemudian telah pergi ke lapangan rumput yang agaknya akan dipergunakan sebagai tempat untuk sebuah pertemuan yang penting. Pertemuan dari para pemimpin perguruan yang bersama-sama ingin memiliki sebuah cincin yang mereka percaya dapat mempengaruhi perjalanan hidup mereka, atau keturunan mereka.
Namun mereka sadar, bahwa mereka harus berhati-hati. Apalagi di siang hari. Mereka harus memperhitungkan kemungkinan bahwa ada di antara orang-orang perguruan yang berkeliaran di tempat itu pula. Keduanyapun kemudian telah menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu di lereng Gunung Merapi. Semakin lama semakin dekat dengan lapangan rumput itu. Ketika keduanya sampai di tempat itu, ternyata tidak seorangpun berada di sekitar tempat itu. Wijang dan Paksi telah mengelilingi tempat itu pula sehingga mereka yakin, bahwa memang tidak ada orang yang berada disana. Dengan demikian, maka keduanyapun telah memasuki lapangan rumput itu. Mereka memperhatikan batu persegi yang ada di tengah-tengahnya. Batu besar persegi ampat itu agaknya memang telah dibuat oleh seseorang untuk kepentingan tertentu. Wijang dan Paksi tidak dapat menduga untuk apa batu itu dibentuk menjadi seperti itu. Beberapa saat kemudian, merekapun telah memperhatikan lingkungan di sekitar lapangan rumput itu. Mereka memperhatikan sebatang pohon preh yang besar tumbuh di salah satu sudutnya. Di sekitar pohon itu, tumbuh semak-semak yang rimbun, sehingga akan dapat menjadi tempat bersembunyi yang baik. "Tetapi tempat ini terlalu dekat, sehingga orang-orang berilmu tinggi itu akan dapat mendengar desir yang lembut sekalipun," berkata Paksi. "Jika kita memiliki kemampuan menyerap bunyi karena sentuhan tubuh kita, maka mereka tidak akan mendengarnya betapapun tajam pendengaran mereka," jawab Wijang. Paksi mengangguk. Iapun sudah terlatih dengan baik, serta telah menguasai kemampuan untuk menyerap bunyi sebagaimana dimaksud oleh Wijang. Tetapi bagaimanapun juga, mereka harus menjadi sangat berhati-hati jika mereka ingin berada di sekitar pohon preh itu saat mereka akan
menyaksikan pertemuan orang-orang dari berbagai perguruan itu. Tetapi Wijangpun kemudian berkata, "Kita akan melihat keadaan di sekitar tempat ini. Mungkin kita akan menemukan tempat yang lain. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh." Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata pula, "Ingat. Mereka memilih malam yang paling gelap. Tetapi bukankah kau telah memiliki ilmu Sapta Pandulu?" "Ya. Aku menerima ilmu itu dari Ki Marta Brewok." "Sapta Pangrungu?" "Ya." "Bagus. Dengan demikian, kita tidak perlu berada di tempat yang terlalu dekat. Kita akan dapat menyadap pembicaraan mereka dari jarak yang agak jauh." Demikianlah, maka keduanyapun telah melihat semua sisi lapangan rumput itu serta sekitarnya. Mereka telah melihat dan mempelajari lingkungan itu sebaik-baiknya. Mereka sudah mengetahui, sisi manakah yang paling baik mereka pilih. Bukan saja tempatnya yang mapan, tetapi jika terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan, mereka akan dapat segera menemukan jalan untuk menyingkir. Bahkan seandainya mereka dikejar oleh beberapa orang berilmu tinggi, memungkinkan mereka untuk melepaskan diri. "Apakah kita masih akan kembali nanti malam atau besok atau kapan lagi," bertanya Paksi. "Nanti malam kita akan melihat tempat ini dan meyakinkannya sekali lagi," jawab Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Sekarang, kita akan pulang." Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi seperti yang mereka katakan, maka ketika malam turun, keduanyapun sekali lagi telah datang ke tempat itu. Mereka ingin melihat keadaan tempat itu dan sekitarnya dalam suasana malam yang gelap, karena pertemuan itu sendiri akan dilangsungkan di malam yang paling gelap.
Beberapa saat lamanya mereka berkeliling tempat itu. Mereka berusaha untuk mengenali lingkungan itu sebaikbaiknya. "Tidak seorangpun akan dapat menangkap kita," berkata Wijang. "Kita tahu medannya dengan sangat baik." "Bagaimana jika mereka juga sudah mengenali medan ini justru lebih baik dari kita." "Tetapi kita akan mempunyai kesempatan lebih dahulu," jawab Wijang. Paksi tidak menyahut lagi. Tetapi iapun sependapat dengan Wijang. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah kembali ke dalam gubuk kecil yang terlindung oleh gumuk-gumuk padas. Seperti biasanya, maka Paksi membuat perapian di malam hari untuk menanak nasi. Malam itu Paksi telah membuat sayur jantung pisang kepok kuning. Sambil menunggui nasi dan sayur mereka masak, keduanyapun masih saja berbincang tentang pertemuan itu. Pertemuan yang tentu akan sangat menarik perhatian. Namun yang tidak kalah menariknya bagi Wijang adalah kehadiran para petugas sandi dari Pajang. Meskipun seorang di antara mereka mengisyaratkan, agar mereka tidak memaksa diri jika keadaannya memang sangat berbahaya karena kekuatan mereka sangat kecil. "Tetapi aku kira mereka tentu akan datang. Aku percaya akan kemampuan Ki Rangga Suraniti. Tetapi entahlah, apakah kawannya itu mampu mengimbanginya. Jika keadaan berkembang menjadi sangat buruk bagi mereka, Ki Rangga Suraniti tentu memerlukan kawan yang pantas untuk berhadapan dengan para pemimpin padepokan itu," berkata Wijang seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri. Sedikit lewat tengah malam, semuanya sudah selesai. Paksi membiarkan nasinya tetap berada di atas api yang sudah disusut menjadi sangat kecil. Sementara itu, setelah mencuci kaki dan tangan mereka, maka Paksi dan Wijang itupun segera beristirahat di dalam gubuk mereka.
Keduanya tidak memerlukan waktu yang panjang. Beberapa saat saja mereka berbaring, maka merekapun segera tertidur dengan nyenyaknya. Di hari berikutnya, maka keduanya tidak turun ke pasar. Keduanya benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menyongsong pertemuan para pemimpin perguruan yang nampaknya akan menjadi sangat menarik. Justru karena mereka mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Waktupun telah meloncat dari hari ke hari. Paksi dan Wijang mengisi hari-harinya di dalam goa di belakang air terjun. Dalam waktu sempit yang tersisa mereka berusaha untuk semakin mematangkan ilmu mereka. Paksi menjadi semakin mengenal tongkatnya, sedangkan Wijang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu membiasakan diri menguasai ruang yang rumpil. Wijang berlatih di antara batubatu yang menjorok seakan-akan mencuat dari dalam tanah, namun juga yang menggantung di langit-langit goa. Dengan tangkasnya, Wijang bergerak-gerak di antara ujung-ujung batu yang runcing, seakan-akan ia sedang bertempur di antara beberapa orang lawannya. Bahkan Wijangpun kemudian telah minta Paksi juga melakukannya. Bukan saja di siang hari saat matahari menembus masuk lewat lubang di atas goa itu, tetapi Wijangpun telah mengajak Paksi berlatih bersama di malam hari. Mereka berlatih bertempur di dalam kegelapan di selasela ujung-ujung batu yang runcing. "Hati-hati," pesan Wijang. "Jika dahimu membentur ujung batu runcing yang bergayut di langit-langit goa ini, maka kau akan terluka. Kau juga tidak boleh terjatuh menimpa ujungujung batu yang mencuat dari lantai goa ini." Paksi mengangguk. Ia menyadari bahaya yang dapat mencengkamnya. Tetapi berlatih di tempat yang berbahaya itu menjadi sangat menarik bagi Paksi. Ia rasa-rasanya memang sudah jenuh berlatih di ruang yang terhitung luas di dalam goa itu, yang pada dindingnya terdapat lukisan unsur-unsur
gerak yang dapat menuntunnya untuk mencapai tataran tertinggi dari ilmunya. Dengan demikian, maka ketrampilan Paksipun menjadi semakin meningkat. Berlandaskan ilmunya yang tinggi, maka Paksi benar-benar menjadi anak muda yang mumpuni. Seperti yang dikatakan Wijang, maka latihan di tempat yang rumpil itu merupakan latihan yang baik baginya jika pada suatu saat ia harus bertempur menghadapi lawan yang tidak hanya seorang. Ujung-ujung batu yang runcing, yang mencuat dari lantai goa serta yang bergayut di langit-langit seakan-akan merupakan ujung-ujung senjata dari beberapa orang lawannya yang bertempur bersama-sama. Namun demikian Wijang masih juga memperingatkan, "Ujung bebatuan itu tetap di tempatnya Paksi, sedangkan senjata lawan dapat bergerak dengan cepat. Mungkin memburumu, tetapi mungkin menghadang gerakmu sendiri." Paksi mengangguk-angguk. Ia juga menyadari akan hal itu. Dalam pada itu, maka haripun telah merambat sampai ke akhir bulan. Paksi dan Wijang yang di malam itu tidak berlatih, duduk di depan gubuk kecil mereka. Sinar lampu minyak yang menyala di dalam gubuk, menembus melalui pintu yang terbuka, menusuk kegelapan malam. Angin lembut yang berhembus menggoyang lidah api lampu minyak itu sehingga kadang-kadang sinarnya menjadi redup. Sambil makan jagung bakar, Paksi dan Wijang telah membicarakan rencana yang akan mereka lakukan esok malam. "Besok hari pertama bulan mendatang," desis Wijang. "Kita sudah mengenal semuanya dengan baik," desis Paksi. "Kita akan melihat-lihat tempat itu pula malam ini. Mungkin ada sesuatu yang menarik." "Mungkin sudah ada di antara orang-orang dari perguruan yang terlibat dalam pertemuan itu mengawasi tempat itu." "Tentu sudah ada. Kita akan mencoba, apakah kita mampu menempatkan diri kita di luar tangkapan pengamatan mereka.
Jika malam ini saja kita tidak mampu melakukannya, apalagi besok malam." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan melihat-lihat keadaan." "Kita akan mendekati tempat itu di tengah malam." Sebenarnyalah kedua orang anak muda itu menjelang tengah malam telah meninggalkan gubuk kecil mereka. Paksi telah membawa tongkatnya pula, karena sesuatu akan mungkin terjadi. Sementara itu, Wijang telah mengenakan lembaran kulit yang cukup lebar di atas pergelangan kedua tangannya di bawah lengan bajunya. Di luar sadarnya, Paksi memandangi pelindung pergelangan tangan Wijang itu dengan kerut di dahi. Ia tidak pernah melihat benda itu sebelumnya. "Kau ingin tahu, dimana aku menyembunyikan mainanku ini?" bertanya Wijang. Paksi tidak menyahut. Tetapi ia mengangguk kecil. Wijang tertawa. Katanya, "Lebarnya sama dengan lebar ikat pinggangku." Paksi mengangguk-angguk. Agaknya pelindung pergelangan tangan Wijang itu melekat pada ikat pinggangnya. Karena lebarnya sama, maka ikat pinggang Wijang itulah yang nampak lebih tebal dari ikat pinggang kulit kebanyakan. Namun Paksi tahu bahwa pelindung bagian atas pergelangan tangan Wijang itu tentu merupakan bagian dari kelengkapan Wijang menghadapi senjata jenis apapun juga. Sebuah perisai kecil, namun yang dapat dipercayainya. Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah mendekati sasaran. Karena itu keduanya menjadi sangat berhati-hati. Seperti yang telah mereka duga, maka tempat itu benarbenar sudah diamankan. Beberapa orang berkeliaran di lapangan rumput itu. Agaknya mereka berdatangan dari beberapa perguruan yang bersama-sama mengawasi tempat yang esok malam akan dipergunakan untuk
menyelenggarakan pertemuan dari beberapa orang pemimpin perguruan. Wijang dan Paksipun kemudian telah berada di tempat yang mereka pilih untuk mengamati keadaan. Dari tempatnya, ia mampu mengamati lapangan rumput itu dengan jelas. Dengan ketajaman pendengaran mereka, apalagi dengan kemampuan Aji Sapta Pangrungu, mereka akan dapat mendengar pembicaraan orang-orang yang berada di lapangan rumput itu. "Ternyata kita tidak salah hitung. Karena tidak ada isyarat apa-apa, maka pertemuan itu memang diselenggarakan disini," desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu, beberapa orang yang berada di lapangan rumput itu telah melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Mereka telah menguak gerumbul-gerumbul perdu. Mereka telah mengelilingi pohon preh yang besar itu. Mereka telah menyibak semak-semak sampai beberapa langkah di sekitar lapangan itu. Agaknya mereka mengamati tempat-tempat yang mungkin untuk bersembunyi orang-orang yang tidak berhak mengikuti pembicaraan yang akan diselenggarakan itu. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menemukan Wijang dan Paksi. Selain mereka mampu menyerap bunyi yang timbul dari geseran tubuh mereka, merekapun berada di tempat yang tidak terlalu dekat. Agaknya orang-orang yang mengamati tempat akan dilangsungkannya pertemuan itu mengira bahwa dari jarak yang tidak terlalu dekat itu, seseorang tidak akan dapat melihat dan mendengar dengan jelas pembicaraan yang akan berlangsung. Namun tiba-tiba di sisi lain dari lapangan itu telah terjadi keributan. Wijang dan Paksi melihat beberapa orang berlarilarian. Mereka dengan cepat membuat sebuah lingkaran yang rapat di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. "Apa yang terjadi disana?" desis Wijang.
Paksi tidak menyahut. Tetapi dengan wajah yang tegang ia memperhatikan apa yang terjadi di sisi lain dari lapangan rumput itu. "Mereka mengepung semak-semak itu," gumam Wijang dengan nada cemas. "Tentu ada seseorang atau lebih disana." "Nampaknya memang begitu," sahut Paksi. "Tentu bukan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung." Wijang mengangguk. Katanya, "Aku mencemaskan Ki Rangga Suraniti atau kawannya itu. Ki Rangga memang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak tahu tataran yang sebenarnya dari kemampuannya." Paksi mengangguk-angguk kecil. Wajahnya menjadi semakin tegang ketika ia mendengar seseorang berteriak, "Keluarlah. Kau sudah dikepung. Kau tidak akan dapat melepaskan diri dan tangan kami." Tidak ada jawaban. Namun sementara itu, Wijangpun berkata lirih, "Samarkan wajahmu." "Maksudmu?" "Mungkin kita harus berbuat sesuatu jika orang yang berada dalam kepungan itu mengalami kesulitan." "Maksudmu, mungkin kita akan melibatkan diri namun wajah kita tidak dikenal oleh orang-orang dari beberapa perguruan yang berada di lapangan itu?" "Yang terpenting bagiku adalah justru agar tidak dikenal oleh Ki Rangga Suraniti, seandainya ia ada disana. Aku tidak ingin keberadaanku disini diketahui oleh orang-orang istana," jawab Wijang "Tetapi bagaimana aku dapat menyamarkan wajahku?" Wijang tidak menjawab. Tetapi tangannya segera memungut tanah yang basah oleh embun. Tanah yang basah itupun kemudian telah diusapkan di wajahnya. Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian, maka wajah Wijang itupun menjadi sulit untuk dikenali. "Cepat lakukan," berkata Wijang. "Apalagi Ki Rangga telah pernah bersamamu membeli dawet cendol."
Paksipun kemudian telah melakukan sebagaimana dilakukan oleh Wijang. Dengan tanah yang basah oleh embun, maka Paksipun telah menyamarkan wajahnya. "Apakah kau sudah tidak mengenal aku?" bertanya Paksi. Wijang tertawa, "Kau menjadi tampan sekarang." Paksi tidak menjawab. Tetapi segores lagi ia mengusapkan tanah basah itu di dahi. Dalam pada itu keadaan menjadi semakin gawat. Orangorang dari beberapa perguruan yang sedang mempersiapkan tempat bagi para pemimpin mereka yang akan mengadakan pertemuan itu semakin rapat mengepung gerumbul perdu di sisi seberang lapangan rumput itu. Sementara itu, terdengar lagi seseorang berteriak, "Cepat keluar, atau kami akan merajammu dengan senjata." Namun orang-orang yang mengepung tempat itu terkejut. Di luar perhitungan mereka, tiba-tiba seseorang telah meloncat, justru dari sebuah gerumbul lain yang tidak mereka kepung. Dengan pedang di tangan orang itu langsung menyerang orang-orang yang berdiri melingkari itu. Pertempuranpun segera terjadi. Orang itu dengan tangkasnya berloncatan menyambar-nyambar. Seorang di antara mereka yang mengepung gerumbul itu telah terlempar dengan luka menyilang di dadanya. "Setan kau," terdengar seseorang berteriak. "Tangkap hidup-hidup orang ini. Kita ingin tahu siapakah orang yang sombong ini." Wijang tercenung sejenak. Ia telah memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan puncak Aji Sapta Pandulu. "Ki Rangga Suraniti," desis Wijang. "Ternyata orang yang dikepung itu orang lain. Mungkin kawan Ki Rangga atau prajurit yang menyertainya atau siapapun juga. Tetapi orangorang itu ternyata tidak mampu mengetahui kehadiran Ki Rangga itu sendiri."
Paksi mengangguk-angguk. Iapun mengamati pertempuran itu dengan saksama. Seperti Wijang, Paksipun telah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, beberapa orang telah meloncat dari gerumbul yang telah dikepung itu, justru pada saat perhatian orang-orang yang mengepungnya tertuju kepada Ki Rangga Suraniti. Kedua orang itu telah mengejutkan beberapa orang yang telah bersiap-siap untuk bergeser dan mengepung Ki Rangga Suraniti. Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Tetapi orang-orang yang datang dari beberapa perguruan itu jumlahnya jauh lebih banyak dari para petugas sandi itu. Meskipun demikian, Ki Rangga Suraniti sempat membuat lawan-lawannya menjadi cemas. Kakinya berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah. Sementara itu, pedangnya berputaran dengan cepat, sehingga yang nampak adalah segumpal awan putih di sekitar tubuhnya yang berloncatan. Dalam pada itu, dua orang kawannya yang semula telah dikepung itupun bertempur dengan garangnya pula. Seorang di antara mereka bersenjata sebilah pedang. Namun yang lain membawa dua buah bindi kecil di kedua tangannya. "Ki Nukilan," desis Wijang. "Yang mana?" bertanya Paksi. "Yang membawa sepasang bindi," sahut Wijang. "Ia juga seorang berilmu tinggi. Tetapi nampaknya ia tidak memiliki kemampuan untuk menyerap bunyi dari geseran tubuhnya, sehingga kehadirannya segera diketahui." "Yang seorang lagi?" bertanya Paksi. "Aku belum begitu mengenalnya. Tetapi nampaknya ia adalah orang yang paling lemah di antara ketiga petugas sandi itu." Paksi tidak bertanya lagi. Ia memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Setiap kali jantungnya menjadi berdebar-
debar. Ketiga orang itu harus bertempur melawan terlalu banyak orang. Ki Rangga Suraniti segera menunjukkan betapa ia memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian, karena jumlah lawannya terlalu banyak, maka ia harus bekerja sangat keras untuk melindungi dirinya sendiri. Sementara itu Ki Nukilanpun telah bertempur melawan beberapa orang pula. Demikian pula kawannya yang seorang lagi. Ternyata di antara orang-orang yang datang dari perguruan itupun terdapat orang-orang yang memiliki bekal yang cukup. Orang-orang itulah yang membuat Ki Rangga Suraniti dan kawan-kawannya harus menjadi sangat berhati-hati. Bahkan merekapun kemudian mulai berloncatan mengambil jarak serta menghindari serangan-serangan yang datang dari segala arah. Meskipun satu dua orang lawan Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan sudah terlempar dari arena, tetapi yang lainpun segera menggantikannya. Bahkan seorang yang bertubuh pendek dengan otot-otot yang mencuat dari permukaan kulitnya, berkumis kecil dan berkepala botak segera berteriak, "Beri aku kesempatan. Aku ingin tahu, seberapa tinggi ilmu orang ini." Orang-orang yang bertempur melawan Ki Rangga Suraniti memang menyibak. Orang pendek berkepala botak itu segera melangkah mendekatinya. Tetapi ternyata ia tidak sendiri. Bersama lima orang yang tubuhnya juga terhitung pendek telah mengepungnya. Tiba-tiba saja Wijangpun berdesis, "Satu pasang lengkap dari anak-anak Perguruan Sad." "Enam orang," sahut Paksi. "Dalam pasangannya yang lengkap, mereka menjadi sangat berbahaya. Jika mereka sudah sampai tataran yang mapan, maka dengan saling mengisi, kemampuan mereka akan dapat hampir menyamai kemampuan pemimpin tertinggi mereka."
"Apakah Ki Rangga Suraniti akan dapat melawan mereka?" bertanya Paksi. "Aku belum tahu. Tetapi aku tidak dapat membiarkan para petugas sandi itu mengalami malapetaka disini." "Maksudmu?" "Jika perlu kita akan melibatkan diri." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Terserah kepadamu. Aku sudah siap." Wijangpun memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ki Rangga Suraniti berusaha untuk melawan enam orang yang ternyata menjadi sangat berbahaya. Mereka mampu saling mengisi dengan baik, sehingga seakan-akan mereka digerakkan oleh satu kehendak. Sementara itu, Ki Nukilan harus bertempur melawan beberapa orang dari perguruan yang lain. Di antara mereka adalah orang-orang dari Tegal Arang. Sementara itu, tiga orang dari Perguruan Goa Lampin tengah bertempur dengan kawan Ki Nukilan yang seorang lagi. Bersama ketiga orang dari Goa Lampin itu masih ada tiga orang dari perguruan yang lain. Selain mereka yang sedang bertempur itu, masih ada beberapa orang yang belum melibatkan diri. Di antaranya dua orang perempuan yang nampaknya dari Goa Lampin. Sedangkan dua orang yang tidak diketahui oleh Wijang dan Paksi sedang menolong kawan mereka yang terluka. Kedua orang itu tentu akan menjadi sangat berbahaya jika kawannya yang terluka itu tidak tertolong jiwanya. Sementara itu seorang lagi juga sedang membantu kawannya yang terluka bergeser menjauh. Dalam pada itu, seorang yang masih belum memasuki arena berteriak, "Kami memberikan kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Kalian tidak akan dibunuh. Apalagi jika kalian bersedia bekerja bersama kami." Tidak ada jawaban. Sementara Ki Rangga Suraniti bertempur semakin garang. Tetapi keenam lawannyapun menjadi semakin garang pula. Serangan-serangan mereka datang beruntun dari arah yang berbeda-beda. Bahkan
kadang-kadang keenam orang dari Perguruan Sad itu bertempur sambil berputaran. Mereka melonjak-lonjak seperti anak-anak yang sedang kegirangan. Mereka mengacu-acukan senjata mereka. Namun tiba-tiba saja mereka menyuruk dengan pedang terjulur ke arah tubuh Ki Rangga Suraniti. Yang kemudian menjadi semakin terdesak adalah kawan Ki Rangga Suraniti yang bersenjata pedang. Keadaannya menjadi sangat berbahaya. Sehingga ia benar-benar berada di ujung bencana. Wijang tidak dapat tinggal diam. Sekali lagi ia menggoreskan tanah yang basah oleh embun menyilang di wajahnya sehingga wajah yang kotor itu memang sulit untuk dikenali. Sementara itu, Wijang sama sekali tidak mempergunakan senjata yang dapat menjadi ciri tentang dirinya. Kulit yang melindungi bagian atas pergelangannya, yang juga akan dapat menjadi perisai yang kuat, berada di bawah lengan bajunya. Sambil menggamit Paksi iapun berkata, "Marilah. Bawa tongkatmu. Mereka cukup berbahaya." Sekejap kemudian keduanyapun telah merunduk mendekati lapangan rumput. Mereka melingkari lapangan itu dan dengan serta-merta muncul tidak terlalu jauh dari pohon preh yang besar itu. Kehadiran mereka berdua telah membuat orang-orang yang berada di lapangan itu terkejut pula. Ketika Wijang dan Paksi berlari mendekati arena pertempuran, maka orang-orang yang masih belum terlibat, segera memburu mereka. Namun Wijang berlari dengan cepat dan menempatkan diri di dekat petugas sandi yang bersenjata pedang, yang bertempur tidak terlalu jauh dari Ki Nukilan. "Bertahanlah, aku berdiri di pihakmu." "Kau siapa?" bertanya orang itu. Pertanyaan itu membuat Wijang berlega hati. Orang itu ternyata tidak mengenalinya setelah wajahnya dikotorinya dengan tanah yang basah oleh embun. Namun Wijang itupun kemudian menjawab, "Namaku
Gendon. Itu adikku. Namanya Sempon." "Kenapa kau melibatkan diri," Ki Nukilan yang bertempur dengan sepasang bindi di kedua tangannya, yang mendengar pengakuan Wijang itu, bertanya pula sambil berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya. "Aku senang," jawab Wijang seenaknya. "Sudah sepekan aku tidak berkelahi. Rasa-rasanya tubuhku menjadi pegalpegal." "Kenapa kau berpihak kami," bertanya Ki Nukilan pula. "Jumlah mereka sudah terlalu banyak. Aku berpihak pada yang jumlahnya lebih sedikit." "Jangan main-main," teriak Nukilan pula, "mereka adalah orang-orang yang berbahaya." "Itulah yang menyenangkan," teriak Wijang yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran. Wijang yang semula tidak bersenjata itu telah menggenggam sepasang pisau. Bentuknya memang mirip sepasang pisau belati yang sederhana. Tetapi bilah dari sepasang pisau itulah yang tidak sederhana. Bilah yang berwarna kehitam-hitaman ini bagaikan memercikkan bunga api yang memancar di gelapnya malam. Tetapi Wijang sudah memperhitungkan dengan baik. Sepasang senjatanya itu bukan ciri senjata Pangeran Benawa, sehingga para petugas sandi itu tidak menghubungkannya dengan seorang pangeran yang menghilang dari istana. Sementara itu, Paksipun telah terlibat pula dalam pertempuran melawan beberapa orang. Tongkatnya berputaran dengan cepat melindungi tubuhnya. Namun kemudian tiba-tiba terjulur mematuk perut seorang di antara lawan-lawannya. Orang itupun terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian kedua tangannya memegangi perutnya yang berdarah. Sejenak kemudian iapun jatuh pada lututnya sambil terbungkuk-bungkuk kesakitan.
Di putaran pertempuran yang lain, dua orang di antara lawan Wijangpun telah terlempar pula. Seorang terluka di lambungnya, seorang terluka di pundaknya. Dengan demikian, pertempuranpun menjadi sengit. Beberapa orang yang sebelumnya masih belum melibatkan diri telah bertempur dengan garangnya melawan kedua orang anak muda itu. Namun karena wajah mereka disamarkan, maka orang-orang dari beberapa perguruan yang ada di tempat itu, tidak segera mengenalinya. Dalam pertempuran itu, Paksi mendapat kesempatan untuk menguji kemampuannya. Dihadapinya beberapa orang lawan. Namun Paksi berhasil melindungi dirinya dengan sebaikbaiknya. Serangan beberapa orang lawannya tidak sempat menyentuh tubuhnya. Sementara itu, seorang lagi telah tersingkir dari pertempuran ketika tongkat Paksi memukul bahunya dengan kerasnya, sehingga rasa-rasanya tulangtulangnya menjadi pecah karenanya. Sementara itu, Wijang dengan sengaja telah bertempur semakin dekat dengan petugas sandi yang bersenjata pedang itu. Wijang memang berusaha untuk membantunya. Satu dua orang yang semula bertempur bersama melawan petugas sandi itu, kemudian seakan-akan telah terhisap untuk bertempur bersama-sama melawan Wijang. Keseimbangan pertempuranpun segera berubah. Orangorang dari beberapa perguruan itu tidak lagi meyakini bahwa mereka akan dapat menangkap lawan-lawan mereka. Karena itu, tidak ada lagi di antara mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertempuran itu. Ki Rangga Suraniti yang bertempur melawan enam orang lawan dari Perguruan Sad itu harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi Ki Rangga memang seorang yang berilmu tinggi, yang memiliki kelebihan dari para prajurit dan para perwira yang lain. Karena itu, maka keenam orang murid Perguruan Sad itu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan semakin lama merekapun menjadi semakin sulit menghadapinya.
Orang-orang yang bertubuh rata-rata agak pendek itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Berenam mereka memang menjadi sangat berbahaya. Tetapi lawan merekapun sangat berbahaya pula. Keenam orang dari Perguruan Sad yang juga bersenjata pedang itu berusaha untuk mengacaukan pemusatan perhatian Ki Suraniti. Tetapi Ki Rangga sama sekali tidak menjadi bingung. Meskipun keenam orang itu kadangkadang berloncatan, berlari-lari mengelilinginya, kemudian menyerang bersama-sama atau beruntun seperti gelombang, namun pertahanan Ki Rangga Suraniti tidak dapat mereka tembus. Bahkan sekali-sekali Ki Rangga menghentakkan kemampuannya dan mengacaukan kepungan lawan-lawannya. Namun beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang bertubuh agak pendek itu telah berputaran kembali di sekelilingnya. Sementara itu, Ki Nukilanpun bertempur dengan garangnya pula. Seorang lagi jatuh terlentang dan tidak lagi mampu bangkit berdiri. Dengan susah payah orang itu merangkak menjauh, agar tidak terinjak kaki orang-orang yang sedang bertempur itu. Lawan Wijang dan Paksipun telah berkurang seorang demi seorang. Kedua orang anak muda itu telah menunjukkan kemampuan mereka yang tinggi. Ki Nukilan dan Ki Rangga Suraniti yang sekali-sekali sempat melihat betapa keduanya berloncatan dengan garang, merasa heran, bahwa dua orang yang tidak mereka kenal tiba-tiba saja telah melibatkan diri. Namun ketiga orang petugas sandi itu mengakui, tanpa kehadiran kedua orang itu, maka mereka tidak akan mampu keluar dari lingkungan itu. Betapapun tinggi kemampuan mereka, tetapi lawan terlalu banyak. Tetapi berlima mereka ternyata mampu mengatasi lawan-lawan mereka. Orang-orang dari beberapa perguruan itu akhirnya menyadari, bahwa sulit bagi mereka untuk dapat mengatasi kemampuan kelima orang itu. Apalagi ketika Ki Rangga Suraniti berhasil melukai dua orang dari Perguruan Sad itu. Ketika keutuhan mereka mulai goyah, maka merekapun
segera menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan orang yang berada di dalam kepungan itu. Seorang di antara keenam orang dari Perguruan Sad itu tiba-tiba saja berteriak nyaring sambil mengumpat kasar. Menyusul seorang lagi terpelanting jatuh. Dari dada mereka mengalir darah yang hangat. Dalam keadaan yang sulit itu, selagi mereka masih mempunyai kekuatan, maka tiba-tiba saja terdengar seseorang berteriak, "Kita akan menghindar. Tinggalkan mereka." Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi terdengar suara itu, "Kita akan bergabung dan meninggalkan tempat ini. Lemparkan isyarat panah sendaren." Tiba-tiba saja orang-orang yang sedang bertempur itu telah berloncatan meninggalkan lawan-lawan mereka. Mereka kemudian berada di dalam satu kelompok sambil bergerak mundur. Seorang di antara mereka benar-benar telah melontarkan panah sendaren. Ketiga petugas sandi itu menjadi ragu-ragu untuk mengejar mereka. Apalagi ketika salah seorang di antara mereka telah melemparkan panah sendaren. Ki Rangga Suranitilah yang kemudian berkata, "Kita tinggalkan tempat ini." "Baik," desis Wijang, "aku juga sudah lelah." "Tetapi, katakan kau siapa, Ki Sanak?" "Kita akan meninggalkan tempat ini." "Jawab dulu pertanyaanku." Wijang tertawa sambil menjawab, "Sudah aku katakan. Namaku Gendon dan itu adikku, Sempon." "Jangan main-main, Ki Sanak." Tetapi Wijang justru bertanya, "Siapakah kalian?" Ki Rangga Suraniti menggeram. Katanya, "Aku bertanya, siapakah kalian." Wijangpun kemudian menggamit Paksi sambil berkata, "Marilah, sebelum orang-orang yang menerima isyarat panah
sendaren itu datang. Jika jumlah mereka terlalu banyak, maka kita tidak akan mampu melawan." Paksi tidak menjawab. Tanpa menghiraukan ketiga orang petugas sandi itu, maka Wijang dan Paksipun melangkah meninggalkan lapangan rumput itu. Ki Rangga Suraniti tidak mau terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Jika kedua orang yang telah membantunya itu pergi, maka mereka bertiga akan mengalami kesulitan untuk bertempur melawan jumlah yang terlalu banyak, apalagi jika panah sendaren itu benar-benar telah memanggil beberapa orang lainnya. Karena itu, maka Ki Rangga Suranitipun telah mengajak kedua orang petugas sandi yang lain untuk meninggalkan tempat itu. Namun sebenarnyalah, bahwa Wijang dan Paksi tidak benar-benar meninggalkan tempat itu. Mereka masih ingin melihat, apakah ada tanggapan terhadap panah sendaren yang telah dilemparkan ke udara itu. Dengan sangat berhati-hati keduanya telah melingkar, menyusup di antara semak-semak perdu yang rimbun di sebelah lapangan rumput itu. Untuk beberapa lama mereka tidak melihat sesuatu. Orangorang yang semula berkumpul di tempat terbuka itupun sudah bergerak menjauh. Namun beberapa orang yang terluka dan bahkan mungkin ada yang sudah terbunuh, masih berada di tempat terbuka itu. "Kawan-kawannya tentu masih akan kembali," desis Wijang. Sebenarnyalah beberapa orang bersenjata telah muncul. Dua orang yang lain menyongsong mereka sambil berkata lantang, "Tidak ada yang berbuat curang." "Jadi untuk apa isyarat panah sendaren itu?" "Justru ada orang lain yang mencoba mengintip persiapan bagi pertemuan esok." "Siapa?"
"Kami belum tahu." "Dimana mereka sekarang?" "Mereka berhasil melarikan diri." "Berapa orang?" "Kami tidak menghitung." Wijang dan Paksi tersenyum. Nampaknya mereka merasa malu untuk menyebutkan, bahwa mereka bertempur melawan hanya lima orang. Orang-orang yang baru datang itu termangu-mangu. Namun kemudian orang-orang yang semula menghindar dari tempat terbuka itupun telah berada di tempat itu lagi. "Rawat orang-orang yang terluka dan kita singkirkan yang terbunuh. Besok tempat ini harus benar-benar bersih." "Tetapi tempat ini sudah diketahui oleh orang lain. Kami tidak tahu siapakah mereka itu." "Kalian tidak mengenal sama sekali unsur-unsur gerak dari ilmu mereka?" "Tidak. Tetapi seorang di antara mereka bersenjata tongkat. Yang lain wajar saja. Pedang dan seorang di antara mereka, sepasang bindi. Tetapi agaknya mereka terdiri dari dua kelompok yang berbeda." "Baiklah. Kita akan melaporkan kepada pemimpin kita masing-masing. Masih ada waktu sehari untuk saling berhubungan." "Terserah kepada mereka, apakah mereka besok masih akan berbicara di antara mereka disini." "Jika besok pertemuan itu dibatalkan, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan marah." "Bukankah besok masih ada waktu untuk memberitahukan kepada mereka bahwa pertemuan dibatalkan?" "Tidak seorang pun tahu dimana mereka tinggal sekarang." Tetapi seorang yang berambut panjang terurai menjulur dari bawah ikat kepalanya berkata, "Lurahku tahu dimana Repak Rembulung tinggal. Setidak-tidaknya lingkungannya atau orang-orang yang berhubungan dengan kedua orang suami isteri itu." "Jadi?"
"Jika para pemimpin perguruan kita memutuskan untuk menunda atau memindahkan pertemuan ini, biarlah aku yang mencari hubungan dengan Ki Repak Rembulung." "Baiklah. Besok kita akan saling berhubungan. Ada tiga tempat yang sudah kita tentukan untuk saling mendapatkan keterangan." Demikianlah, maka orang-orang yang ada di tempat terbuka itupun segera meninggalkan tempat itu. Yang terluka telah dirawat oleh kawan-kawan mereka. Wijang dan Paksi tidak dapat mengetahui, apakah di antara mereka ada yang terbunuh. Sejenak kemudian, tempat itupun menjadi sepi. Orangorang yang semula berkumpul untuk mempersiapkan pertemuan para pemimpin mereka harus memberikan pertimbangan-pertimbangan baru bagi pemimpin-pemimpin mereka itu. Wijang dan Paksipun kemudian keluar pula dari persembunyian mereka. Dengan hati-hati mereka melangkah mendekati lapangan rumput itu. Tidak seorang pun yang tinggal. Tetapi merekapun kemudian tertegun. Ketajaman telinga mereka yang masih mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu itu mendengar desir lembut langkah kaki di antara semak-semak. Tidak hanya seorang, tetapi dua orang. Agaknya kedua orang itu memang tidak berhati-hati, sehingga suara semak-semak yang tersibak semakin lama menjadi semakin jelas terdengar. Wijang dan Paksipun segera bersembunyi di antara semaksemak. Mereka berusaha untuk menahan nafas mereka ketika mereka melihat dua orang berjalan tidak terlalu jauh dari mereka. Ternyata keduanya adalah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Keduanya langsung melangkah mengelilingi tempat terbuka itu. "Besok pertemuan itu akan diselenggarakan disini," berkata Repak Rembulung.
"Terlalu sepi di malam menjelang sebuah pertemuan besar yang sudah sejak lima tahun terakhir tidak diselenggarakan." "Tidak ada kelompok-kelompok yang melihat-lihat suasana tempat ini." "Atau mungkin pertemuan itu tidak dilakukan disini?" "Tidak ada isyarat tentang hal itu." Pupus Rembulung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, "Kakang, kemarilah. Kau lihat lingkungan ini." Repak Rembulungpun melangkah mendekati isterinya. Keduanyapun kemudian mengamati semak-semak yang tersibak. Ranting-ranting yang berpatahan dan bahkan ketajaman penglihatan mereka telah melihat darah yang berceceran. Wijang dan Paksi melihat keduanya berjongkok. Meraba ujung rerumputan dan daun pohon perdu. Nampaknya mereka memperhatikan percikan darah dimana-mana. Sambil bangkit berdiri Repak Rembulung berkata, "Darah itu masih baru. Nampaknya di tempat ini baru saja terjadi pertempuran yang sengit." "Apakah ada di antara mereka yang curang atau perselisihan yang timbul?" "Kita terlambat datang," berkata Repak Rembulung. "Aku tidak mengira bahwa terjadi pertempuran. Jika tidak terjadi sesuatu, aku kira disini masih banyak orang. Tentu setiap perguruan mengirimkan orang-orangnya untuk melihat suasana dan menjajagi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi." "Tentu orang-orang bodoh yang sombong itu yang telah menyalakan api perselisihan disini." "Siapa?" Repak Rembulung menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu yang mana, karena pada dasarnya mereka semuanya adalah orang-orang sombong dan besar kepala." Pupus Rembulung termangu-mangu sambil memandang berkeliling. Tetapi penglihatannya membentur kesepian.
Setelah Kau Menikahiku 1 Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa Kisah Membunuh Naga 15