Jejak Di Balik Kabut 9
Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 9
http://www.mardias.mywapblog.com
Anginpun berhenti bertiup, sehingga dedaunanpun seakanakan sedang tertidur nyenyak. Wijang dan Paksi harus bertahan untuk tidak bergerak. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sangat berhatihati. Mereka sadari bahwa jika mereka bergerak dan menyentuh daun-daun perdu sehingga bergetar, maka gerak daun-daun perdu itu akan dapat mengundang perhatian, justru karena angin berhenti bertiup. Namun kedua orang anak muda itu mampu bertahan. Meskipun nyamuk dan semut merah menggigit kulit. Untuk beberapa lama Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengamati tempat itu. Merekapun kemudian telah berhenti di bawah pohon preh yang besar di sudut tempat yang terbuka itu. Pupus Rembulung bahkan kemudian telah duduk bersandar batangnya yang besar berlekuk-lekuk. Tetapi Repak Rembulung kemudian berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita masih harus mendapat keterangan, apakah pertemuan esok akan tetap berlangsung." "Kepada siapa kita akan bertanya?" "Kita akan mendapatkan keterangan itu esok." Tetapi ketika Pupus Rembulung kemudian bangkit berdiri, merekapun telah tertegun pula. Dari arah lain, seseorang tengah melangkah ke lapangan rumput yang terbuka itu. Di belakangnya, dua orang berjalan mengiringinya. Demikian orang itu melihat Repak dan Pupus Rembulung, mereka telah tertegun. "Kalian telah berada disini?" bertanya orang itu. "Gedhag Panunggul." Orang yang datang itu tertawa. Katanya, "Kaukah yang mengirimkan orang untuk mengacaukan persiapan pertemuan esok?" "Buat apa aku melakukannya?" jawab Repak Rembulung. "Mungkin kau ingin terjadi sesuatu. Mungkin tanpa alasan. Asal saja terjadi keributan. Namun lebih dari itu, dengan keributan itu, kau dapat menjajagi kemampuan orang-orang dari beberapa perguruan."
"Untuk apa aku menjajagi kemampuan tikus-tikus itu. Aku sudah dapat mengetahui tataran kemampuan mereka. Mereka baru dapat berteriak-teriak dan mewarisi kesombongan gurugurunya. Bahkan tataran kemampuan guru-guru merekapun tidak perlu kami jajagi lagi." "Repak Rembulung," berkata Gedhag Panunggul, "kaulah orang yang paling sombong yang pernah aku kenal. Di antara orang-orang berilmu tinggi, maka kau akan dapat terjebak oleh sikap dan kata-katamu sendiri." "Aku bertanggung jawab atas segala sikap dan katakataku," jawab Repak Rembulung. "Lidahmu akan dapat dipotong di hadapan banyak orang." Repak Rembulung itu tertawa. Namun Pupus Rembulungpun kemudian menyela, "Apa yang akan kau lakukan disini malam ini, Gedhag Panunggul?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku telah mendapat laporan bahwa disini telah terjadi pertempuran." "Kami terlambat datang," sahut Pupus Rembulung. "Apakah orang-orangmu ada yang menyaksikan pertempuran itu?" "Ya. Seorang di antara orang-orangku terluka." "Lalu, apakah kau datang untuk mencari orang yang melukai salah seorang pengikutmu itu?" "Ya. Mungkin mereka sudah pergi. Tetapi mungkin pula dengan sombong mereka masih tetap berada disini sambil menunggu orang yang mungkin akan dapat mereka ajak bermain dengan lebih baik." Repak Rembulung mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan rencana pertemuan esok malam?" "Menurut pendapatku, pertemuan itu harus berlangsung. Jika ada orang gila yang merunduk dan mencoba mengacaukan pertemuan kita esok, maka itu akan berarti orang itu akan menyurukkan kepalanya ke mulut seekor buaya."
"Bagus," berkata Repak Rembulung. "Orang itu harus ditangkap hidup-hidup. Kita harus tahu, siapakah mereka dan untuk apa mereka mengamati kita." Gedhag Panunggul itupun kemudian mengamati semaksemak yang berserakan. Darah yang berceceran dan keterangan dari kedua orang pengikutnya yang menyaksikan pertempuran itu. "Mereka hanya lima orang yang terdiri dari dua kelompok yang berbeda. Bahkan tidak saling mengenal," desis Gedhag Panunggul. "Gila," geram Pupus Rembulung. "Apa kerja orang-orang kalian jika menghadapi lima orang saja mereka tidak mampu" Berapa banyak orang yang sedang berada disini ketika pertempuran itu terjadi" Lima orang, enam orang atau berapa?" Gedhag Panunggul tertawa. Katanya, "Buat apa kita harus malu. Menurut laporan orang-orangku, disini berkumpul lebih dari duapuluh lima orang saat pertempuran itu terjadi." "Lebih dari duapuluh lima orang?" ulang Pupus Rembulung. "Tentu bukan karena kelima orang itu berilmu sangat tinggi. Tetapi orang-orangmu dan orang-orang dari perguruanperguruan kerdil itulah yang tidak mampu berbuat apa-apa meskipun di antara mereka terdapat murid-murid utama dan murid-murid tertua." "Jangan berkata begitu. Bagaimana dengan muridmuridmu" Kenapa tidak seorang pun di antara mereka datang untuk bersama-sama mempersiapkan tempat ini?" "Tidak perlu bagiku," jawab Repak Rembulung. "Lebih dari itu kau tentu tahu bahwa susunan perguruanku tidak sama dengan susunan perguruanmu dan perguruan-perguruan lain pada umumnya." "Aku tahu. Tetapi apapun namanya, kenapa tidak seorang pun kau kirim untuk datang dalam persiapan pertemuan tadi?" "Kami ingin datang sendiri. Tetapi sayang, kami datang terlambat."
Gedhag Panunggul tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih saja mengamati keadaan di sekitar tempat itu. Wijang dan Paksi menjadi berdebar-debar. Nampaknya orang yang disebut Gedhag Panunggul itu cukup teliti. Ia mengamati semak-semak sampai jarak beberapa langkah dari lapangan rumput yang terbuka itu. Tetapi keduanya memang tidak berada di tempat yang terlalu dekat. Jarak yang terlalu jauh bagi kebanyakan orang. Hanya karena keduanya memiliki kemampuan untuk melihat dan mendengar dari jarak yang jauh dengan Aji Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu, maka keduanya dapat mengerti apa yang telah terjadi. Sebenarnyalah Gedhag Panunggul tidak menyibak semaksemak di sekitar tempat terbuka itu sampai ke tempat Wijang dan Paksi bersembunyi. Seandainya orang itu sampai juga ke tempat Wijang dan Paksi bersembunyi, maka keduanya masih mempunyai kesempatan untuk menyingkir. Namun kemudian Gedhag Panunggul itupun telah kembali ke tengah-tengah tempat terbuka itu. "Aku besok akan datang kemari," berkata Gedhag Panunggul. "Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang tadi sempat mencerai-beraikan beberapa kelompok orang-orang dari berbagai perguruan." "Bagus," sahut Repak Rembulung, "kami besok juga akan datang." "Kami berharap orang-orang yang tadi sempat mengacaukan orang-orang dari beberapa perguruan itu datang," sambung Pupus Rembulung. Namun dalam pada itu, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itupun melangkah meninggalkan tempat itu. "Kami akan pergi," berkata Repak Rembulung. Gedhag Panunggul tidak menyahut. Dipandanginya saja kedua orang itu melangkah meninggalkan tempat terbuka itu memasuki semak-semak dan hilang di dalam kegelapan.
Yang tinggal adalah Gedhag Panunggul dan para pengikutnya. Namun merekapun kemudian telah bersiap untuk pergi. Sementara Gedhag Panunggul masih berkata, "Hubungi yang lain-lain. Besok aku akan datang ke tempat ini. Pertemuan itu harus berlangsung. Bahkan aku berharap orang-orang gila yang tadi mengacau disini itu bersedia datang lagi." Sejenak kemudian maka lapangan rumput itu menjadi sepi kembali. Malam yang gelap menukik semakin dalam. Angin masih belum berhembus. Paksi sempat menggaruk lehernya yang gatal. Sementara Wijang bangkit berdiri dan menggeliat. "Besok akan ada tontonan yang menarik," berkata Wijang. "Ya. Beberapa orang berilmu tinggi akan berkumpul. Mereka akan berbicara tentang cincin yang kau bawa." "Bukan hanya karena itu. Tetapi mereka tentu ingin menjadi orang terpenting di antara mereka. Cincin itu dapat menjadi alat untuk melakukan pendadaran." "Ya," Paksi mengangguk-angguk, "perguruan yang menemukan cincin itu adalah perguruan yang terbaik menurut penilaian mereka, sehingga pantas untuk menjadi pimpinan di antara mereka." "Tetapi perburuan itu belum akan berakhir. Setiap orang ingin memilikinya sehingga akan terjadi perebutan di antara mereka. Mereka akan menempuh segala cara, bahkan yang paling kasar dan yang paling licik sekalipun, karena mereka percaya bahwa siapa yang mengenakan cincin di jari-jari tangannya, ia akan memiliki kekuasaan di masa depan. Anak atau cucunya akan memegang kekuasaan tertinggi di tanah ini." "Perburuan itu tentu akan menimbulkan keresahan. Bagaimanapun juga benturan-benturan kekuatan di antara mereka tentu akan menepis kehidupan di sekitarnya." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata, "Paksi. Besok sebaiknya kau pergi ke pasar.
Mungkin Ki Rangga Suraniti ada di pasar itu pula. Jika saja kau dapat menangkap apa yang dikatakannya." "Baiklah," jawab Paksi. "Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pasar." Demikianlah, keduanyapun segera meninggalkan tempat itu. Ketika mereka sampai di gubuk kecil mereka, maka malampun telah mendekati ujungnya. Meskipun demikian, keduanya masih sempat berbaring sejenak. Tetapi mereka tidak dapat tidur sama sekali, karena sebelum fajar mereka harus sudah bangun untuk melakukan kewajiban mereka sehari-hari. Apalagi Paksi pagi itu akan pergi ke pasar. Ketika matahari terbit, maka Paksipun telah meninggalkan gubuk kecilnya. Wijanglah yang mencuci tempayan dan kemudian melepas gula kelapa yang dicetak dengan tempurung kelapa menjelang pagi. Legen yang sudah ditampung sejak kemarin baru sempat dipanasi pagi itu. Tetapi Paksi tidak akan kekurangan kayu bakar untuk membuat gula kelapa. Paksi telah berada di pasar saat matahari mulai memanjat naik. Kecuali melihat apakah Ki Rangga Suraniti ada di pasar, Paksi juga membeli beberapa kebutuhan sehari-hari. Terutama garam dan rempah-rempah. Bawang merah, bawang putih dan seikat daun salam dan petai. Meskipun Paksi tidak begitu senang makan petai, tetapi seperti ibunya, Paksi memberi beberapa buah petai di masakannya. Setelah keperluannya selesai, maka Paksi mulai mengelilingi pasar itu. Tetapi ia tidak melihat Ki Rangga Suraniti. Bahkan ia melihat dua orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin juga sedang berbelanja. Namun seperti biasa, mereka membayar sekehendak hati mereka tanpa menghiraukan keluhan para penjualnya. Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Paksipun menganggap bahwa Ki Rangga Suraniti memang tidak pergi ke pasar hari itu. Karena itu, maka Paksipun segera berniat kembali ke gubuknya dan memberitahukannya kepada Wijang.
Tetapi ketika ia berjalan di depan penjual dawet, maka Paksi tertegun. Ia melihat dua orang yang pernah dijumpainya membeli dawet, baru itu juga sudah duduk di depan penjual dawet itu. Paksi berharap bahwa penjual dawet itu akan menyapanya, sehingga kedua orang itu tidak mencurigainya bahwa ia sengaja duduk bersama mereka. Sebenarnyalah seperti yang diharapkan, maka penjual dawet itu memang menyapanya seperti biasanya, "He, singgah dahulu, anak muda." Paksi berhenti melangkah. Dipandanginya kedua orang yang sudah duduk lebih dahulu itu sambil tersenyum-senyum. Katanya, "Tetapi aku jadi malu kepada kedua paman ini. Bukankah Paman yang pernah membayar ketika aku minum disini?" "Kenapa malu?" sahut orang yang dikenal Paksi bernama Ki Rangga Suraniti. "Paman, kali ini Paman tidak usah membayar. Aku datang untuk berbelanja. Ibu sedang berhalangan. Karena itu, aku mendapat uang jajan dari Ibu." "Kau berbelanja apa saja?" bertanya Ki Rangga Suraniti. Paksipun kemudian duduk di dekat mereka sambil menunjukkan beberapa bungkus kebutuhan dapur yang dibelinya. "Ternyata kau pintar juga," berkata yang seorang lagi, yang menurut pengenalan Paksi adalah Ki Nukilan. Paksi tertawa. Namun kemudian iapun berkata, "Dawetnya, Paman." Ketika Paksi kemudian menghirup dawetnya, maka ia mendengar Ki Rangga itu berkata, "Baiklah. Jika kau panggil kemenakan-kemenakanmu, silahkan datang." "Tetapi apakah tontonan itu jadi dipergelarkan?" bertanya Ki Nukilan. "Mudah-mudahan. Tetapi undangan itu telah aku terima belum sepenginang ini." "Sudah pasti?"
"Ya." Keduanya terdiam. Hampir bergumam Ki Nukilan berkata, "Begitu cepat kau menerima undangan." "Aku adalah sahabat terdekat." Penjual dawet itu memandangi keduanya dengan terheranheran. Di luar sadarnya ia bertanya, "Ternyata kalian mempunyai banyak sahabat. Ketika kalian singgah kalian juga berbicara tentang undangan. Sekarang juga membicarakan undangan dan tontonan." Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Rangga menyahut, "Jangan mengatakan kepada isteriku. Aku adalah jagoan. Dimana ada perhelatan, kami selalu ada." "Jagoan apa?" bertanya penjual dawet itu. Ki Rangga tertawa semakin panjang. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Kau pernah melihat orang bermain dadu?" Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pantas kau selalu berbicara tentang undangan dan perhelatan." "Ah, kau telah membuka rahasia," desis Ki Nukilan. "Tetapi ia tidak akan mengatakan kepada isteri kita." "Aku tidak mengenal isteri kalian," sahut penjual dawet itu. Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan itupun tertawa. Namun beberapa saat kemudian, Ki Rangga Suraniti itupun berkata, "Marilah. Aku akan pulang. Kau akan pergi kemana?" "Pulang," jawab Ki Nukilan. "Marilah kita bersama-sama." Ki Nukilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil bangkit iapun berkata, "Sekarang aku yang membayar." Ki Rangga Suraniti tertawa. Katanya, "Terima kasih." Namun kemudian Ki Nukilan itupun berpaling kepada Paksi sambil berkata pula, "Aku bayar dawetmu." "Ah, aku sudah mendapat uang jajan hari ini." "Kau dapat membelikannya makanan." "Terima kasih," jawab Paksi sambil bangkit berdiri ketika kedua orang itu meninggalkan penjual dawet itu.
"Kau beruntung," berkata penjual dawet itu sambil tertawa. "Kapan lagi mereka akan datang?" bertanya Paksi. "Bagaimana aku tahu," jawab penjual dawet itu. Tertawanya telah mengguncang-guncang perutnya. Namun Paksipun kemudian telah minta diri pula. Ia ingin segera bertemu dengan Wijang untuk memberitahukan pembicaraan yang baru saja didengar. Tetapi karena Paksi sudah mengerti persoalan yang sedang dihadapi oleh Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan, maka Paksi dapat menduga, apa yang sedang mereka bicarakan itu. Demikian keluar dari pasar, maka Paksipun berjalan dengan cepat pulang ke gubuk kecilnya. Berita yang dibawanya itu tentu akan menarik bagi Wijang. Ketika Paksi sampai di gubuk kecilnya, Wijang sedang mengambil air, mengisi gentong kecil persediaan air bersih yang diletakkan di teritisan gubuk kecil itu. "Apakah kau melihat Ki Rangga Suraniti?" bertanya Wijang. "Ya," jawab Paksi. "Sendiri atau bersama satu dua orang?" "Aku menjumpai Ki Rangga Suraniti sedang membeli dawet bersama Ki Nukilan." "Kau dengar sepatah dua patah kata pembicaraan mereka?" Paksi mengangguk. Iapun kemudian mengatakan apa yang dibicarakan oleh Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan itu. Wajah Wijang menjadi tegang. Katanya, "Jadi mereka akan mengerahkan prajurit untuk menangkap atau menghancurkan beberapa perguruan yang akan bertemu di tempat terbuka itu?" "Apakah mereka akan melakukannya?" "Menurut pembicaraan itu demikian, jika tidak ada perubahan. Tetapi Ki Rangga Suraniti tentu sudah memperhitungkan sebaik-baiknya." "Ki Nukilan yang agaknya mengambil keputusan." "Tetapi bukankah Ki Rangga sudah menyetujuinya?" Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijang berkata, "Satu tugas yang sangat berat dan berbahaya. Di lapangan
rumput itu akan berkumpul beberapa orang berilmu tinggi. Para pengikut mereka tentu akan mengawasi dan melindungi para pemimpin mereka, apalagi setelah terjadi peristiwa semalam." "Tetapi begitu cepat, Ki Rangga mengetahui bahwa pertemuan itu tidak tertunda dan tidak berpindah tempat." "Petugas sandi Pajang termasuk petugas sandi yang baik. Tentu ada satu atau dua orang di antara mereka yang berhasil menyusup di antara perguruan-perguruan itu." "Tetapi apakah Pajang menganggap perguruan-perguruan itu berbahaya?" "Tentu," jawab Wijang. "Mereka sudah mengikuti perkembangan setiap perguruan itu untuk waktu yang cukup." Paksi menarik nafas panjang. Ia dapat membayangkan, jika Pajang mengambil sikap keras, tentu akan terjadi pertempuran yang sengit. Namun Paksipun kemudian bertanya, "Apakah ada waktu bagi Ki Nukilan untuk mengirimkan penghubung ke Pajang kemudian membawa sepasukan prajurit Pajang sampai kemari di hari ini?" "Ki Nukilan tentu tidak menunggu prajurit yang langsung datang dari Pajang. Tetapi Ki Nukilan tentu mempersiapkan prajurit Pajang yang berada di Jati Anom dan sudah dipersiapkan di sebelah timur Prambanan, di pinggir Kali Dengkeng." "Jadi sudah ada prajurit Pajang yang dipersiapkan di sekitar tempat ini?" "Tidak terlalu dekat. Tetapi dengan penghubung berkuda yang berangkat malam tadi, maka malam nanti prajurit Pajang yang dipersiapkan di Jati Anom sudah akan mencapai tempat ini. Tetapi aku tidak tahu, apakah jumlah prajurit Pajang itu cukup memadai. Apakah para pemimpin mereka memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan para pemimpin perguruan-perguruan yang bakal berbicara di antara mereka itu." "Tetapi para petugas sandi Pajang itu tentu sudah membuat laporan terperinci."
"Para pemimpin prajurit kadang-kadang kehilangan kecermatan mereka jika mereka mulai dikuasai oleh hasrat mereka menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap melawan kekuasaan Pajang. Meskipun demikian, aku masih berharap bahwa para prajurit itu akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik." Paksi termangu-mangu sejenak. Ia mulai membayangkan pertempuran yang sengit antara para prajurit Pajang dengan beberapa perguruan yang sedang berkumpul di lereng Gunung Merapi ini. Namun Wijangpun kemudian berdesis, "Tetapi jika orangorang dari beberapa perguruan itu menyadari, bahwa yang mengintai persiapan semalam adalah prajurit Pajang, maka mereka tentu akan berpikir dua kali untuk melangsungkan pertemuan sebagaimana mereka rencanakan." "Agaknya mereka tidak menghubungkan kehadiran orangorang yang mengintainya semalam dengan prajurit Pajang." "Nampaknya Ki Nukilan dengan sengaja mempergunakan sepasang bindi sebagai senjatanya. Kehadiranmu dengan tongkat juga menyesatkan orang-orang dari beberapa perguruan itu, karena menurut perhitungan mereka, para prajurit tidak akan mempergunakan senjata seperti itu. Para prajurit tentu akan mempergunakan senjata yang umum dipergunakan. Misalnya pedang atau tombak pendek." Paksi mengangguk sambil berdesis, "Mudah-mudahan para prajurit tidak justru terjebak." Wijang menarik nafas panjang. Sambil duduk di atas sebongkah batu padas ia memandang ke kejauhan. Hutan lereng pegunungan yang lebat memagari satu lingkungan yang terbuka di antara gumuk-gumuk kecil di kaki gunung, nampak hijau kegelapan. Cahaya matahari yang semakin terik terpantul di wajah daun-daun yang berdesakan. Tiba-tiba saja Paksi bertanya, "Apakah Ki Nukilan benarbenar sudah siap?" "Mudah-mudahan, "desis Wijang. "Aku juga sedang memikirkannya."
"Jumlah orang yang akan berkumpul tentu akan cukup banyak. Setiap pemimpin perguruan akan mempersiapkan para pengikutnya di sekitar tempat itu. Seandainya mereka tidak merasa terganggu, agaknya mereka juga akan menyiapkan orang-orangnya. Apalagi setelah mereka mempunyai alasan yang kuat." "Ya. Mereka sebenarnya juga saling mencurigai," Wijang bergumam seakan ditujukan kepada diri sendiri. "Tetapi apakah Ki Nukilan dan Ki Rangga Suraniti tidak tinggal bersama-sama di satu tempat sehingga mereka perlu bertemu dan berbicara di pasar?" "Tentu tidak. Untuk tidak menarik perhatian. Banyak orangorang dari berbagai perguruan yang berkeliaran. Tetapi juga pantas diperhatikan orang-orang padukuhan yang sudah dipengaruhi oleh orang-orang dari berbagai perguruan yang dibayangi oleh keinginan untuk menatap masa depan itu. Menurut dugaanku, selain beberapa perguruan, tentu masih ada orang yang berusaha untuk memiliki cincin itu yang datang tidak dalam kelompok-kelompok yang besar. Tetapi seorang-seorang atau dua orang yang juga merasa melihat cahaya langit yang jatuh di sekitar tempat ini atau melihat semacam teja yang bercahaya mencuat menusuk langit atau melihat isyarat apapun." Paksi mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Apa sebenarnya yang telah mereka lihat?" "Aku tidak tahu. Tetapi aku percaya bahwa memang ada benda langit yang pernah jatuh di bumi. Mungkin semacam batu bintang atau apapun namanya." "Jadi bukan cincin itu?" "Bukankah cincin itu masih tetap ada padaku?" Paksi mengangguk-angguk. Cincin itu memang masih tetap berada di tangan Wijang. Demikianlah, keduanyapun kemudian duduk merenung. Bagaimanapun juga mereka merasa cemas. Jika sekelompok prajurit Pajang itu jumlahnya tidak memadai, maka mereka justru akan mengalami kesulitan. Apalagi di tempat itu akan
berkumpul orang-orang berilmu tinggi. Para pemimpin dari beberapa perguruan itu merupakan lawan yang sangat berat bagi para pemimpin kelompok-kelompok prajurit yang akan berusaha menguasai mereka. Wijang yang kemudian bangkit sambil menggeliat berdesis, "Aku percaya kepada para petugas sandi Pajang, sehingga para prajurit itu tidak akan terjebak dalam kesulitan." "Tetapi kita akan berada dimana" Jika para prajurit itu akan datang dan mengepung tempat itu, maka pertempuran akan terjadi di luar tempat terbuka itu. Di semak-semak atau di pinggir hutan atau di lembah di sebelah bukit kecil itu." "Ya, pertempuran akan dapat terjadi dimana-mana. Tetapi kita sebaiknya tetap berada di tempat yang sudah kita pilih. Para prajurit itu tentu baru akan datang dan mengepung tempat itu setelah pertemuan itu berlangsung. Lewat tengah malam." Paksi mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Wijang. Mereka berdua harus sudah berada di tempat persembunyian mereka sebelum segalanya itu terjadi. Meskipun demikian, Paksi itupun berkata, "Aku menduga bahwa tempat itu tentu sudah diawasi oleh para murid dari berbagai perguruan itu sejak malam turun." "Ya. Aku juga memperkirakan demikian. Karena itu, kita harus sudah berada disana. Kita tidak boleh terlalu dekat dengan tempat terbuka itu. Kita akan berada di tempat pilihan kedua. Menurut perhitungan, tempat itu cukup jauh. Tetapi para prajurit yang mengepung tempat itu, akan berada pada jarak yang lebih jauh lagi dari sasaran." Paksi termangu-mangu sejenak. Ia membayangkan satu lingkungan yang rumit, yang setiap jengkal mendapat pengawasan yang teliti. Namun yang kemudian akan berada di dalam lingkaran kepungan para prajurit Pajang. Wijang seakan-akan dapat membaca perasaan Paksi. Karena itu, maka iapun berkata, "Kita akan melakukan satu pekerjaan yang berat dan rumit. Tetapi bukankah tantangan seperti itu yang membuat kita menjadi semakin dewasa?"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Dan kita ingin menjadi dewasa." Namun Wijang tersenyum sambil berkata, "Kita akan bertambah dewasa, atau kita tidak akan pernah menjadi dewasa." Paksipun tertawa. Katanya, "Pajang tidak akan kehilangan seorang pangeran." "Ah, kau," sahut Wijang. "Sejak beberapa waktu yang lalu, Pajang telah kehilangan seorang pangeran. Tetapi pangeran yang tidak berarti apa-apa bagi Pajang." "Kenapa tidak" Tentu sekarang istana Pajang menjadi muram karena Pangeran Benawa tidak berada di istana dan tidak diketahui kemana perginya." "Bukan hanya seorang pangeran. Orang yang kehilangan anaknya tentu akan mencarinya." "Tetapi aku justru dihalau untuk meninggalkan rumahku." "Sudahlah," potong Wijang. "Seandainya kau tidak pergi meninggalkan rumahmu apapun alasannya, maka kau tidak akan menjadi seorang yang berilmu seperti sekarang ini." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ternyata aku telah menemukan sesuatu di dalam pengembaraan ini." Wijang tidak mengatakan sesuatu lagi. Sementara itu, Paksipun berkata, "Apakah kita akan makan sekarang?" "Aku juga sudah lapar." Demikianlah, maka keduanyapun telah duduk menghadapi mangkuk mereka masing-masing. Nasi yang dingin dan sayur serta lauk yang sudah dingin pula. Hari itu keduanya telah memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Berbaring di bawah pepohonan yang rindang di luar gubuk mereka. Menikmati silirnya angin lereng gunung yang lembut, yang mengusap tubuh mereka. Baik Paksi maupun Wijang membiarkan dada mereka terbuka. Ketika matahari turun di sisi barat, maka keduanyapun telah mempersiapkan diri. Mereka pergi ke gerojogan untuk mandi. Mengenakan pakaian yang berwarna gelap dan mempersiapkan nalar dan budi untuk melakukan satu kerja
yang penuh dengan bahaya. Bahkan kemungkinan yang terburuk akan dapat terjadi atas mereka. Mereka akan dapat berhadapan dengan orang-orang dari beberapa perguruan itu, tetapi jika terjadi salah paham, maka merekapun akan dapat berhadapan dengan para prajurit Pajang. Demikian langit menjadi merah, maka kedua orang anak muda itu sudah siap. Paksi telah mempersiapkan tongkatnya, sementara Wijang telah mengamati pelindung pergelangan tangannya serta sepasang pisaunya yang ujudnya sederhana. Tetapi besi bajanya bukan besi yang sederhana. Pamornya bagaikan berkeredipan di bawah cahaya senja. Demikianlah, maka keduanyapun meninggalkan gubuk kecil mereka untuk melakukan beban tugas yang mereka letakkan di pundak mereka sendiri. Ketika keduanya sampai di tempat yang akan menjadi tempat pertemuan para pemimpin perguruan itu, langit sudah menjadi hitam. Tempat itu masih sepi. Belum nampak seorangpun yang berada di tempat itu. Wijang dan Paksipun segera menempatkan diri. Seperti seorang yang akan menonton wayang topeng yang datang lebih awal untuk mendapatkan tempat terbaik sebelum penonton yang lain berdatangan di tempat pertunjukan. Namun seperti yang sudah mereka duga, beberapa saat kemudian, maka kelompok-kelompok kecil orang-orang dari berbagai perguruan telah berdatangan. Mereka mengamati tempat itu sebaik-baiknya. Mereka menyibak gerumbulgerumbul perdu di sekitar tempat terbuka itu. Mereka mengamati setiap tempat yang mereka curigai dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Tetapi mereka menyibak semak-semak pada jarak tertentu. Di luar jarak itu, mereka anggap sudah terlalu jauh untuk mengintai pembicaraan orang-orang yang akan hadir di tempat yang terbuka itu. Karena itu, maka tidak seorang pun di antara mereka yang mengamati gerumbul perdu sampai ke tempat Wijang dan Paksi bersembunyi. Jarak itu terlalu panjang. Namun dengan
Aji Sapta Pangrungu dan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi akan dapat menyaksikan dan mendengarkan dengan jelas apa yang akan mereka bicarakan di lapangan rumput itu. Namun Wijang dan Paksipun yakin, bahwa tempat itu tentu sudah dilingkari kekuatan yang besar dari perguruanperguruan yang terlibat dalam pertemuan itu. Kecuali mereka berusaha untuk mengamankan lingkungan, sebenarnyalah bahwa mereka saling curiga, sehingga mereka tidak ingin pemimpin mereka mengalami kesulitan dalam pertemuan itu. Sedangkan di luar lingkaran pengamanan orang-orang dari berbagai macam perguruan itu, prajurit Pajang akan datang mengepung mereka dan berusaha menangkap para pemimpinnya. Suasana di tempat itupun menjadi sangat mencengkam. Orang-orang yang berkeliaran itu nampak tegang. Yang satu mengawasi yang lain dengan penuh kecurigaan. Wijang dan Paksipun menjadi tegang pula di tempat persembunyiannya. Mereka menyadari bahwa sebentar lagi akan terjadi pertempuran yang sengit jika Ki Rangga Suraniti tidak merubah rencananya. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri di tempat mereka bersembunyi sambil menunggu. Menjelang tengah malam, maka suasanapun telah berubah. Orang-orang dari berbagai perguruan yang berkeliaran itupun mulai menyibak. Tidak ada pertanda bunyi apapun. Namun begitu saja Gedhag Panunggul telah berada di lapangan rumput itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah mendekatinya sambil membungkuk hormat. "Kau memang dungu," bentak Gedhag Panunggul. "Sudah aku katakan, jangan ada yang berkeliaran disini. Biarlah orang-orang yang masih ingin mengintip pertemuan itu datang dan bersembunyi di sekitar tempat ini. Aku memerlukan mereka." Orang yang mengangguk hormat itu menjawab dengan ragu,
"Tetapi kawan-kawan dari perguruan lain menghendaki tempat ini diamankan. Meskipun kami tidak berbuat apa-apa disini, namun mereka telah menyibak gerumbul-gerumbul liar serta semak-semak perdu." "Mereka memang bodoh dan tidak berotak," geram Gedhag Panunggul. "Kami tidak dapat mencegah mereka." Gedhag Panunggul menggeram, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya sudah terlanjur. Katanya, "Jika orang-orang itu datang lagi, mereka tidak akan berani mendekat. Mereka akan bersembunyi di tempat yang jauh sehingga kita tidak akan dapat menangkapnya." Namun dalam pada itu, terdengar seseorang tertawa. Sambil melangkah mendekat, orang itu berkata, "Sudahlah, Gedhag Panunggul. Jangan disesali. Kita tidak memerlukan orang-orang gila itu. Bahkan aku yakin mereka tidak akan berani datang lagi. Jika mereka memang ingin datang, serta mereka berilmu tinggi, maka mereka akan dapat menghindar dari pengamatan murid-murid kita." "Sima Pracima," geram Gedhag Panunggul, "ternyata kau juga sebodoh murid-muridmu." "Jangan berkata begitu di hadapan murid-muridku. Aku adalah orang yang mereka hormati. Akupun tidak akan merendahkanmu di hadapan murid-muridmu meskipun aku tahu, bahwa otakmu adalah otak yang tumpul." "Setan kau," sahut Gedhag Panunggul. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, terdengar orang lain berkata, "Sima Pracima memang gila. Ia tidak ingin merendahkan Gedhag Panunggul di hadapan murid-muridnya. Tetapi ia sudah menyebut bahwa otak Gedhag Panunggul adalah otak yang tumpul." "Kau juga iblis," geram Gedhag Panunggul. Sementara itu Sima Pracimapun bergumam, "Wira Bangga." "Sebenarnya aku ingin pertemuan ini diselenggarakan di tempat lain. Aku curiga, bahwa orang-orang yang semalam
datang kemari adalah orang-orang Pajang. Orang-orangku pernah melihat kesiagaan prajurit Pajang di Prambanan." "Mereka terdiri dari dua kelompok yang berbeda dan tidak saling mengenal," berkata Sima Pracima. "Orang-orangku mendengar mereka saling mempertanyakan diri masingmasing. Tetapi mereka tidak mau menyebutkannya. Senjata merekapun tidak menunjukkan jenis senjata yang dipakai oleh para prajurit. Ada di antara mereka yang mempergunakan sepasang bindi ada yang mempergunakan tongkat dan pisaupisau belati." Gedhag Panunggul tertawa. Katanya, "Wira Bangga, kenapa tiba-tiba kau menjadi penakut" Seandainya mereka orang-orang Pajang, apa keberatanmu" Jika mereka datang dengan sekelompok prajurit sekalipun, kita akan melumatkan mereka. Permusuhan dengan Pajang memang sudah lama dicanangkan. Perang terbuka tidak akan menggetarkan kita. Kitapun tidak akan lama berada disini, sehingga jika datang pasukan yang lebih besar, lingkungan ini sudah sepi. Cahaya yang kita lihat turun dari langit memang belum tentu mengisyaratkan, bahwa benda itulah yang kita cari." "Tetapi apakah kita akan meyakinkannya lebih dahulu?" bertanya Wira Bangga. "Setiap malam aku berada di tempat terbuka. Aku masih belum melihat isyarat apapun yang dapat menunjukkan tempat cincin bermata tiga itu." "Jika demikian, malam ini kita akan bertahan," berkata Sima Pracima. "Tetapi untuk selanjutnya, terserah kepada kita masing-masing. Apakah kita masih akan tetap berada di sekitar tempat yang semula kita yakini menjadi tempat persemayaman cincin itu, atau ada di antara kita yang akan mencari di tempat lain. Tetapi persetujuan yang nanti akan kita capai akan tetap mengikat." Tetapi seorang perempuan yang kemudian datang menyahut dengan suara melengking, "Apakah pembicaraan sudah dimulai sebelum aku datang?"
"Nyi Melaya Werdi," ketiga orang itu hampir berbareng berdesis. "Kenapa kalian tidak menunggu kita semua hadir?" "Kau kira, kau dapat melarang kami berbicara" Apa hakmu Nyi Melaya Werdi?" "Bukankah kita sepakat untuk berbicara dalam satu pertemuan yang akan mengikat kita semuanya?" "Apakah kami telah menghambat pertemuan itu?" bertanya Sima Pracima. "Tetapi pembicaraan yang sudah memasuki persoalan pokok dari permasalahan yang akan kita bicarakan, akan membuat pembicaraan kita tidak wajar lagi. Tidak menarik dan keputusan terakhir seakan-akan telah dipersiapkan lebih dahulu oleh beberapa orang di antara mereka." "Kau terlalu curiga," berkata Wira Bangga. "Jangan berprasangka seperti itu. Marilah, kemarilah." Perempuan yang disebut Nyi Melaya Werdi itupun melangkah mendekat. Ki Wira Bangga tersenyum sambil berdesis, "Kau masih tetap cantik, Nyi. Sudah berapa lama kita tidak bertemu. Mungkin aku sudah menjadi bertambah tua, tetapi kau tidak." "Kau masih tetap buaya," geram Nyi Melaya Werdi. "Kau masih tetap seekor burung gelatik liar." "Sudah, sudah," potong Nyi Melaya Werdi. "Aku datang untuk berbicara tentang kedudukan dan hubungan kita agar kita tidak saling membunuh." Ki Sima Pracima tertawa. Katanya, "Kedatanganmu membuat malam ini terasa segar, Nyi. Kegilaan Wira Bangga akan menyurukkan dirinya ke dalam kerangkeng-kerangkeng yang kau siapkan di padepokanmu." "Cukup," teriak Nyi Melaya Werdi. "Kau tidak usah iri, Ki Sima Pracima. Aku tidak menyiapkan kerangkeng untuk mengurung seekor harimau yang buas seperti kau." Sima Pracima tertawa semakin keras. Katanya, "Kau tidak usah menyiapkan kerangkeng itu. Aku akan membawa
kerangkengku sendiri. Yang aku perlukan hanya tempat yang khusus di dalam goamu itu." "Apakah aku harus membungkam mulut kalian?" geram Nyi Melaya Werdi. "Nyi," berkata Gedhag Panunggul, "mungkin aku akan berbicara lebih sopan. Di mana adikmu, Megar Permati?" "Ia tidak mau aku ajak kemari. Ia tahu benar sifat kalian. Tetapi malam ini ia ada disini." Gedhag Panunggul tersenyum. Katanya, "Ia mengira bahwa kami tidak tahu bahwa ia mempunyai kerangkeng khusus di padepokanmu." "Justru karena itu, ia tidak memerlukan kalian." Suara tertawapun meledak. Namun tiba-tiba terdengar seorang perempuan membentak, "Cukup. Jangan sebut lagi namaku." "Ternyata kau mendekat juga, Megar." "Tidak. Aku lebih senang berada di luar lingkaran pembicaraan ini." Megar Permati tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meninggalkan beberapa orang yang memandanginya dengan kagum. Dua orang perempuan yang lain dengan pedang di lambung menunggunya dan kemudian bersama-sama menghilang di dalam gelap. Namun tiba-tiba Melaya Werdipun bertanya, "Siapa yang kita tunggu?" "Kerbau tua itu," jawab Wira Bangga. "Masih ada lagi. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." "Apa yang akan dilakukan kedua orang yang sudah mulai rapuh itu" Mereka menyangka bahwa mereka masih tetap orang yang disegani di antara kita." "Mungkin pikirannya masih berarti bagi kita," desis Gedhag Panunggul. "Tetapi jika keduanya menuntut yang bukanbukan, kita akan melemparkannya keluar dari pembicaraan ini."
Sima Pracimapun menyahut, "Keduanya masih mampu memamerkan ilmu mereka dengan menakut-nakuti anak-anak beberapa hari yang lalu." "Aku juga mendengarnya," desis Nyi Melaya Werdi. "Sepasang iblis itu tentu merasa berhasil karena kita segera menyelenggarakan pertemuan ini." "Biar saja apapun yang mereka rasakan. Mungkin mereka merasa memiliki kelebihan dari kita semuanya," desis Wira Bangga. Mereka berhenti sejenak ketika mereka melihat seorang yang kumis dan janggutnya sudah memutih. Beberapa helai rambutnya yang tergerai mencuat dari bawah ikat kepalanya juga sudah nampak memutih. "Ki Kebo Serut sudah datang," desis Gedhag Panunggul. Ternyata bahwa para pemimpin perguruan yang menyelenggarakan pertemuan itu masih juga menaruh hormat kepada orang tua. Karena itu, merekapun serentak menyambut kedatangannya. Nyi Melaya Werdilah yang kemudian mempersilahkan, "Marilah, Paman. Kita menunggu kedatangan Paman." "Terima kasih, terima kasih Melaya Werdi. Eh, kau masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Bibirmu yang tipis itu menjadi ciri keramahanmu." "Giginya miji timun, Paman," desis Wira Bangga. "Setan kau," geram Nyi Melaya Werdi. Ki Kebo Serut itu tertawa. Meskipun rambutnya sudah putih yang menjadi ciri ketuaannya, tetapi Kebo Serut tetap seorang yang bertubuh kekar dan tegar. "Aku dengar Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan datang dalam pertemuan ini." "Ya, Paman," jawab Nyi Melaya Werdi. "Apakah mereka sudah datang?" "Belum, Paman." "Keduanya adalah orang-orang yang terlalu sombong dan berbangga diri atas kelebihan mereka. Tetapi keduanya adalah
orang yang baik. Mereka pernah menghadiahkan lima ekor lembu kepadaku." "Hanya lima ekor lembu" Bukankah kita masing-masing akan dapat mengambil lebih dari sepuluh ekor lembu semalam jika kita kehendaki." "Yang penting bukan lima ekor atau sepuluh ekor. Bahwa mereka memberikan hadiah kepadaku itulah yang aku hargai. Nampaknya mereka benar-benar ingin menghormati orang tua." Kebo Serut itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Siapa di antara kalian yang pernah memberikan hadiah kepadaku, dalam ujud apapun?" Orang-orang yang ada di sekitarnya saling berpandangan sejenak. Namun Nyi Melaya Werdilah yang menjawab, "Sebenarnya ada juga niat mengirimkan sejodang nasi gurih dengan sepuluh ingkung ayam jantan yang masih muda. Tetapi aku tidak tahu dimana Paman berada. Paman jarang sekali berada di perguruan Paman." Ki Kebo Serut tertawa. Katanya, "Lain kali aku menunggu kau mengirimkan sejodang makanan, Melaya Werdi. Kau tentu masih tangkas memasak. Aku tidak akan takut bahwa kau akan memberi guna-guna di dalam makananmu. Bahkan aku tentu akan merasa beruntung." "Ah, Paman mengada-ada." Kebo Serut tertawa. Tetapi sekali lagi ia bertanya, "Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum datang?" Sebelum ada yang menjawab, maka mereka telah melihat dua orang laki-laki dan perempuan memasuki lingkungan yang terbuka itu. Gedhag Panunggulpun berdesis, "Itulah mereka." Sebenarnyalah yang datang itu adalah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Demikian mereka mendekat, maka Repak Rembulungpun bertanya dengan nada berat, "Apakah semua sudah berkumpul?" Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka Repak Rembulungpun berkata, "Sudah tengah malam. Kita akan mulai pertemuan ini. Kita harus segera mengambil beberapa keputusan yang menguntungkan kita semua."
Kebo Serutlah yang kemudian melangkah maju mendekati Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. "Kau ini mabuk tuak atau mabuk kecubung. Kau datang terakhir. Tiba-tiba saja kau seakan-akan berhak memerintah kami." Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Kemudian sambil mengangguk hormat ia berkata, "Maaf, Paman Kebo Serut. Aku tidak memerintah. Aku hanya ingin menepati perjanjian. Pertemuan ini akan diselenggarakan di tempat ini pada tengah malam." "Lewat tengah malam," sahut Gedhag Panunggul. "Bukankah itu tidak penting," berkata Kebo Serut. "Kenapa kita harus mulai dengan ketegangan hanya karena soal-soal kecil saja?" Repak Rembulungpun tidak menyahut. Sementara yang lainpun masih berdiam diri. "Nah," berkata Kebo Serut, "jika semuanya sudah hadir, marilah kita mulai pertemuan kita ini. Tanpa ketegangan, tanpa kebanggaan diri dan kesombongan yang tidak berguna sama sekali. Kita tidak perlu mengangkat harga diri kita dengan tingkah laku yang aneh-aneh. Bukankah kita sudah saling mengenal" Sudah saling mengerti dan mengetahui pribadi kita masing-masing. Karena itu, marilah kita bersikap wajar saja." Para pemimpin perguruan yang berkumpul itu tidak ada yang menjawab. Repak Rembulung dan Pupus Rembulungpun hanya berdiam diri saja. Sementara Kebo serut itu berkata selanjutnya, "Marilah, kita duduk di sebelah batu besar itu. Tetapi aku harus mendapat tempat sehingga aku dapat bersandar. Punggungku sudah mulai terasa pegal-pegal. Aku memang sudah tua." Tiba-tiba saja Nyi Melaya Werdi menyela, "Sejak kapan Paman merasa menjadi tua?" Kebo Serut itu tertawa. Katanya, "Hanya kadang-kadang saja aku merasa menjadi tua." Nyi Melaya Werdipun tertawa pula. Namun Pupus Rembulung tiba-tiba saja berdesis, "Kau tidak pantas hadir
dalam pertemuan seperti ini, Melaya Werdi. Pikiranmu yang kotor itu selalu saja kau bawa tanpa menghiraukan suasana." Wajah Nyi Melaya Werdi menjadi merah. Dengan nada tinggi iapun menjawab, "Apa pedulimu" Kau kira hatimu bersih seputih kapas" Atau kau merasa iri karena tingkah lakumu selalu dibatasi oleh kehadiran suamimu?" "Kenapa kau tidak mempunyai seorang suami?" sahut Pupus Rembulung. Sebelum Nyi Melaya Werdi menjawab, terdengar Ki Kebo Serut tertawa pula. Katanya, "Dalam segala keadaan, dalam segala suasana, dimanapun mereka berada, perempuan tentu merasa saling bersaing. Sudahlah. Bukankah kita bertemu sekarang untuk berbicara justru menghindari benturanbenturan yang tidak berarti?" Nyi Melaya Werdipun berusaha menahan diri. Demikian pula Nyi Pupus Rembulung. "Marilah. Sudah lewat tengah malam." Para pemimpin perguruan itupun kemudian telah melangkah mendekati batu yang besar itu. Merekapun segera duduk di atas rerumputan kering, membentuk sebuah lingkaran. "Jangan terlalu tegang," berkata Kebo Serut. "Nah, sekarang siapakah yang akan memimpin pertemuan ini. Bukan berarti bahwa untuk melanjutkan kita harus mengakuinya sebagai pemimpin kita semuanya." Semuanya terdiam. Nampaknya pengaruh ketuaan Ki Kebo Serut masih mengikat mereka semuanya. Wira Banggalah yang kemudian berkata, "Biarlah yang tertua di antara kita untuk sementara kita akui sebagai pemimpin kita, sehingga ia akan memimpin pertemuan ini." "Agaknya itulah yang terbaik," sahut Gedhag Panunggul. "Aku setuju. Siapa yang tidak?" berkata Repak Rembulung. Ternyata tidak ada yang merasa berkeberatan. Merekapun kemudian telah menetapkan, Ki Kebo Serut akan memimpin pertemuan itu.
Wijang dan Paksi mengikuti semua yang terjadi itu dengan jantung yang berdebaran. Justru karena mereka memperhitungkan bahwa sebentar lagi, pasukan prajurit dari Pajang akan datang mengepung dan menyerang pertemuan itu. Dalam pada itu, tempat yang terbuka itupun telah menjadi hening. Para cantrik dari beberapa perguruan yang semula berkeliaran di sekitar tempat itu sudah bergeser menjauh. Mereka kemudian berada di luar lingkungan lapangan rumput itu. Mereka tahu, bahwa mereka tidak boleh mengganggu atau mendengarkan pembicaraan para pemimpin dan guru mereka. Tetapi baru saja Ki Kebo Serut membuka pertemuan itu, maka mereka telah dikejutkan sebuah anak panah sendaren yang meluncur ke udara. Anak panah yang meluncur dari semak-semak yang agak jauh dari tempat terbuka itu. Wijang dan Paksipun terkejut pula. Begitu cepatnya isyarat itu diberikan. "Siapakah yang telah melontarkan isyarat itu?" bertanya Paksi berbisik. "Itulah kelebihan para petugas sandi Pajang. Tentu ada diantara mereka yang sempat menyusup di antara perguruanperguruan yang sedang mengadakan pertemuan itu." "Apakah panah sendaren itu memberikan isyarat agar para prajurit itu menyerang?" "Nampaknya begitu. Tetapi petugas sandi yang dengan kelebihannya mampu menyusup di antara perguruan yang terlibat dalam pertemuan ini, agaknya terlalu tergesa-gesa. Kita belum mendengar persoalan apakah yang akan mereka bicarakan." "Tentang cincin itu?" "Mereka akan mencari jalan agar tidak terjadi benturanbenturan di antara mereka. Justru dalam pencarian. Mungkin juga setelah cincin itu mereka ketemukan," desis Wijang. Namun kemudian katanya, "Tetapi menilik sifat dan watak para pemimpin mereka itu, mereka tidak akan pernah
menemukan kesepakatan yang berumur panjang. Meskipun demikian, sebenarnya aku ingin mendengar langkah apa yang dalam waktu dekat akan mereka ambil." Wijang berhenti berbicara. Mereka melihat para pemimpin perguruan itu telah bangkit berdiri. Dua orang yang nampaknya dari perguruan yang berbeda telah berlari-lari menghampiri para pemimpin yang sedang termangu-mangu itu. "Tempat ini telah dikepung oleh sekelompok prajurit dan orang-orang yang tidak kita kenal." "Setan," geram Wira Bangga. "Aku sudah menduga." "Lalu kenapa?" bertanya Gedhag Panunggul. Katanya kemudian, "Kita akan menghancurkan mereka." "Aku sudah lama tidak berkelahi," berkata Sima Pracima. "Biarlah mereka datang. Aku ingin tahu, apakah ada di antara mereka yang berilmu tinggi." Kebo Serut tertawa. Katanya, "Prajurit-prajurit Pajang itu memang dungu. Ia telah meloncat ke dalam api yang akan dapat membakar diri mereka sendiri. Apa yang pernah dilihat oleh para cantrik Wira Bangga itu juga pernah dilihat oleh orang-orangku pula. Tetapi prajurit Pajang di Prambanan itu terlalu lemah untuk dapat menguasai kita malam ini." "Aku akan berburu malam ini," desis Nyi Melaya Werdi. "Kau memang perempuan gila yang tidak pantas berada di lingkungan kami," geram Pupus Rembulung. Nyi Melaya Werdi tertawa. Katanya, "Jangan menyesali nasibmu karena kau telah mengikat diri dengan seorang suami." "Iblis betina." Yang terdengar kemudian adalah suara Nyi Melaya Werdi yang melangkah ke dalam kegelapan, "Apakah kalian akan menunggu disitu" Aku akan mencari Megar Permati." Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang beranjak pergi. Agaknya mereka lebih senang menunggu laporan-laporan berikutnya.
Namun tiba-tiba saja Repak Rembulungpun berkata, "Marilah kita lihat, apa yang terjadi?" Tetapi jawaban Pupus Rembulung mengurungkannya, "Kau akan ikut perempuan gila itu?" "Bukan maksudku," jawab Repak Rembulung dengan sertamerta. Kebo Serut tertawa pula. Sambil menepuk bahu Pupus Rembulung, orang tua itu berkata, "Jangan cepat menjadi cemburu. Nyi Melaya Werdi memang cantik. Tetapi kau tidak kalah cantiknya. Hanya bedanya, Melaya Werdi selalu berhias diri seperti seorang pengantin. Kau tidak. Tetapi bukan berarti kewajaran ujud akan tenggelam dibandingkan dengan pulasan yang berlebihan." "Ah, Paman," desis Pupus Rembulung, "aku tidak cemburu." Orang-orang yang mendengarnya tertawa. Wira Banggapun berkata, "Tidak seorang pun di antara kami yang berani memuji kecantikan Nyi Pupus Rembulung, kecuali Paman Kebo Serut. Kami tidak ingin Ki Repak Rembulung menjadi salah paham." "Sudah. Kami bukan sekedar bahan kelakar disini," sahut Repak Rembulung. "Marilah, kita sudah menghadapi bahaya. Tetapi kita ingin menunggu disini, apa yang akan terjadi." Ternyata yang lain pun tetap berada di tempatnya. Dua orang yang telah memberikan laporan itupun masih menunggu pula. Wijang dan Paksi masih berada di tempatnya. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi. Tetapi ketajaman pendengaran mereka yang dilandasi Aji Sapta Pangrungu telah mendengar suara riuh. Bahkan kemudian terdengar sorak gemuruh di beberapa tempat di sekitar lingkungan pertemuan antara para pemimpin perguruan itu. Para pemimpin perguruan yang berdiri tidak jauh dari batu hitam yang ada di tengah-tengah tempat terbuka itupun
agaknya telah mendengar pula. Kepada dua orang yang masih berdiri di tempatnya, Kebo Serutpun berkata, "Cari keterangan yang lebih terperinci." Kedua orang itu mengangguk hormat. Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah meninggalkan para pemimpin perguruan yang berdiri termangu-mangu itu. Suara sorak dan teriakan-teriakan menjadi semakin jelas. Pertempuran agaknya benar-benar telah pecah. Sebenarnyalah panah sendaren yang dilepaskan oleh salah seorang petugas sandi itu merupakan isyarat, bahwa saat yang paling tepat sudah tiba bagi para prajurit Pajang untuk menyerang orang-orang yang sedang berkumpul di kaki Gunung Merapi itu. Beberapa saat kemudian, maka beberapa orang telah berlari-lari pula mendapatkan para pemimpin perguruan yang sedang mengadakan pembicaraan itu. "Pertempuran terjadi di segala arah, Ki Wira Bangga," salah seorang murid Wira Bangga itupun memberikan laporan dengan nafas yang terengah-engah. "Jumlah mereka cukup banyak," berkata yang lain. "Bukankah jumlah para prajurit Pajang di Prambanan tidak begitu banyak?" "Yang sebagian bukan prajurit Pajang," sahut yang lain lagi. "Siapakah mereka itu?" bertanya Ki Gedhag Panunggul. "Kami belum tahu, Ki Lurah," jawab salah seorang pengikut Gedhag Panunggul. "Bagus," geram Ki Kebo Serut, "kita akan segera mengetahui, siapakah lawan kita yang sebenarnya." "Kerahkan semua orang," berkata Sima Pracima. Lalu iapun bertanya kepada Repak Rembulung, "He, apakah kau bawa para pengikutmu." "Mereka ada disini," jawab Repak Rembulung. "Bagus. Kita akan melumatkan mereka. Aku tidak yakin, bahwa para prajurit itu bertempur atas perintah Panglima Prajurit Pajang."
"Jadi untuk siapa mereka bertempur menurut pendapatmu?" bertanya Pupus Rembulung. "Mereka bertempur untuk kepentingan sekelompok orang yang sebenarnya tidak beritikad lebih baik dari kita bagi Pajang," jawab Ki Kebo Serut. Dalam pada itu, Paksipun berdesis, "Bagaimana menurut pendapatmu, Wijang?" "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi," jawab Wijang. Paksi tidak bertanya lagi. Pertempuran itu agaknya telah menjadi semakin sengit. Dimana-mana terdengar sorak gemuruh serta teriakan-teriakan yang bagaikan mengguncang Gunung Merapi. Sebenarnyalah bahwa pertempuran telah berlangsung di sekitar tempat yang terbuka itu. Demikian anak panah sendaren itu dilepaskan, maka Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan telah memerintahkan para prajurit untuk menyerang dari segala arah. Untuk beberapa saat Wijang dan Paksi menunggu. Jika pertempuran itu merambat sampai ke tempat mereka bersembunyi, maka mereka harus dengan cepat menyingkir. Tetapi yang mereka lihat kemudian, beberapa orang justru telah menembus sampai ke lapangan rumput yang terbuka itu. Para pemimpin dari beberapa perguruan yang sedang berkumpul itupun segera mempersiapkan diri. Mereka mulai berpencar. Para cantrik serta pengikut merekapun telah mengikuti para pemimpin perguruan mereka. Sementara yang lain berusaha untuk menahan orang-orang yang datang menyerang itu memasuki lapangan rumput. Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Dengan ketajaman penglihatannya yang dilandasi Aji Sapta Pandulu, maka Wijangpun melihat bahwa sebagian dari mereka yang menyerang tempat itu bukanlah prajurit. Wijang dapat mengenali mereka dari senjata mereka, cara mereka bertempur dan sikap mereka dalam kebersamaan. Para prajurit yang sudah terlatih dalam perang gelar, akan dapat saling mengaitkan diri yang satu dengan yang lain dengan
sebaik-baiknya. Mereka tidak saja mengandalkan kemampuan pribadi, tetapi mereka mampu saling mengisi dan saling mendukung dalam kesulitan yang timbul di medan. Tetapi sekelompok orang di antara mereka bertempur benar-benar atas dasar keyakinan kemampuan pribadi mereka masing-masing. Meskipun bukan berarti tidak ada kerja sama sama sekali, tetapi kadarnya hanya kecil sekali dibandingkan dengan mengandalkan kemampuan pribadi mereka masingmasing. "Sebagian dari mereka memang bukan prajurit," desis Wijang. Ia termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kita akan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya." Paksipun terdiam. Diperhatikannya pertempuran yang terjadi di lapangan rumput itu, sementara di beberapa tempat yang lain, pertempuranpun berlangsung dengan serunya pula. Dentang senjata beradu berbaur dengan teriakan-teriakan mereka yang bertempur. Hentakan kemarahan, aduh kesakitan dan sorak kemenangan-kemenangan kecil di berbagai sudut medan yang luas itu. Gerumbul dan semak-semakpun tersibak. Ranting-ranting berpatahan dan daun-daunpun berguguran runtuh di tanah. Darah mulai mengalir membasahi lereng Gunung Merapi. Ujung-ujung senjata mulai merah dan jantungpun menjadi seakan-akan membara. Wira Bangga tidak lagi dapat menahan diri. Tiba-tiba saja iapun telah meloncat memasuki arena pertempuran. Goloknya yang besar dengan cepat telah mematuk korbannya. Tetapi seorang yang bertubuh tinggi tegap telah menyongsongnya, sehingga keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. "Siapakah orang yang bertubuh raksasa itu, Wijang?" bertanya Paksi. Wijang menggeleng. Katanya, "Aku belum mengenalnya. Tetapi nampaknya ia juga berilmu tinggi, sehingga mampu mengimbangi ilmu Wira Bangga."
Paksi menjadi tegang. Ia melihat Ki Rangga Suraniti sudah terlibat dalam pertempuran melawan Ki Kebo Serut. Sementara Ki Nukilan bertempur melawan Sima Pracima. Dua orang yang tidak dikenal oleh Wijang segera terlibat dalam pertempuran melawan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sengit, keras dan bahkan kemudian menjadi kasar. Orang-orang berilmu tinggi itu telah meningkatkan ilmu mereka dengan cepat. Namun kedua belah pihak memiliki orang-orang yang dapat mereka andalkan. Dalam pada itu, di luar lapangan rumput itu pertempuran menjadi semakin meluas. Namun Wijang dan Paksi tidak beranjak dari tempat mereka bersembunyi. Nampaknya pertempuran itu tidak akan merangkak sampai ke tempat mereka. Meskipun pertempuran itu seakan-akan melingkar di seputar lapangan rumput yang terbuka itu, namun tempat persembunyian kedua orang itu tidak tersentuh. Kebo Serut yang tua itu ternyata masih memiliki tenaga yang sangat besar. Ki Rangga Suraniti yang berilmu tinggi itupun beberapa kali harus berloncatan surut. Setiap kali pedangnya membentur tongkat besi yang bercabang di ujungnya, seperti tanduk seekor kerbau jantan, meskipun jauh lebih kecil dari tanduk yang sebenarnya. Pertempuran yang semakin sengit telah membakar lapangan rumput yang terbuka itu. Bahkan di gerumbulgerumbul di sekitarnyapun terjadi pula pertempuran yang berkobar dengan serunya. Benturan senjata telah melontarkan bunga api yang memercik seperti ribuan kunang-kunang yang berterbangan, namun kemudian runtuh, jatuh di tanah. Wijang dan Paksi menjadi tegang. Beberapa orang berilmu tinggi telah mendapat musuhnya masing-masing. Namun Wijang dan Paksi tidak melihat lagi Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Tetapi keduanya yakin, bahwa kedua orang perempuan itupun telah terlibat dalam pertempuran pula.
Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka para cantrik dari setiap perguruan seakan-akan telah berkumpul di sekitar guru mereka masing-masing sambil bertempur melawan para prajurit dan orang-orang yang menyerang tempat pertemuan itu. Para pemimpin dari beberapa perguruan itupun kemudian telah memencar. Mereka tidak lagi terikat untuk tetap berada di tempat yang terbuka itu. Dalam pada itu, maka ternyata para prajurit Pajang yang bertempur bersama kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal, mulai berhasil mendesak para cantrik dari perguruanperguruan yang tengah menyelenggarakan pertemuan itu. Jumlah prajurit Pajang yang berada di Prambanan itu sendiri memang tidak mencukupi untuk menguasai para cantrik dari beberapa perguruan itu. Namun di samping para prajurit masih ada kelompok-kelompok yang ikut bersama mereka. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah menebar di arena yang semakin luas. Seolah-olah akan memenuhi lereng Gunung Merapi di sisi selatan. Di arena yang luas itu, korban telah jatuh berserakan. Ada yang terluka, tetapi ada pula yang terbunuh. Ki Kebo Serut ternyata masih cukup perkasa menghadapi Ki Rangga Suraniti. Betapapun Ki Rangga Suraniti mengerahkan ilmunya, namun Ki Rangga tidak dapat menguasai dan apalagi menangkap lawannya hidup atau mati. Bahkan sekali-sekali Ki Rangga harus berloncatan mengambil jarak, memperbaiki kedudukannya dan mencoba melawan lagi. Dalam pertempuran itu kadang-kadang masih juga terdengar teriakan Pupus Rembulung, melengking mengatasi riuhnya pertempuran. Perempuan itu benar-benar memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga lawannya kadang-kadang terkejut karenanya. Kemampuan Pupus Rembulung ternyata tidak kalah dengan ketangkasan para pemimpin perguruan yang lain. Meskipun para prajurit dan kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal itu berusaha mengepung tempat pertemuan itu,
namun mereka tidak berhasil menguasai mereka sepenuhnya. Ternyata para cantrik dari beberapa perguruan itu berhasil menembus kepungan yang merapat. Bahkan yang terjadi kemudian adalah perang brubuh yang tidak lagi dibatasi garis pertempuran. Semakin lama, maka Wijangpun menjadi semakin jelas melihat pertempuran yang memang menjadi semakin dekat dari tempat mereka bersembunyi. Wijang melihat para prajurit yang bertempur beberapa langkah di hadapannya memang mengenakan ciri-ciri keprajuritan mereka dengan lengkap. Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian keprajuritan pula. Namun semakin lama Wijang dan Paksi tidak lagi mampu melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Mereka tidak tahu lagi dimana Kebo Serut bergeser. Kemana Repak dan Pupus Rembulung bersama para pengikutnya menyingkir dan kemana pula Sima Pracima dan Wira Bangga. Gedhag Panunggul masih nampak sekilas. Tetapi kemudian segalagalanya telah menjadi kacau. "Satu usaha yang berhasil," desis Wijang. "Maksudmu?" "Para pemimpin perguruan yang terlibat dalam pertemuan ini dengan sengaja membuat medan menjadi kacau seperti itu. Mereka akan mempunyai kesempatan yang baik untuk menyingkir dari tempat ini." Paksi mengangguk-angguk. Dalam pertempuran yang kacau di daerah yang bersemak-semak dan dilingkungi oleh pepohonan perdu, agaknya memang sulit untuk dapat menguasai medan dengan baik. Sebenarnyalah kepungan prajurit Pajang dan sekelompok orang yang menyertai mereka tidak berhasil mengurung orang-orang dari beberapa perguruan yang sedang menyelenggarakan pertemuan itu. Para cantrik dari beberapa perguruan yang mempunyai pengalaman dalam benturanbenturan ilmu yang keras dan kasar, memang tidak mudah untuk dijinakkan.
Meskipun pertempuran itu menjadi semakin dekat dengan persembunyian Wijang dan Paksi, namun mereka sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka. "Sebaiknya kita tidak ikut campur," desis Wijang. Paksi mengangguk. Tetapi iapun bertanya, "Nampaknya kau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya." "Ya. Tetapi aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang tidak wajar itu. Mungkin kehadiran orang-orang yang tidak aku kenal di antara para prajurit itu." Paksi tidak menyahut. Tetapi ia mulai bersiap-siap. Pertempuran di lereng Gunung Merapi itu telah meluas sampai kemana-mana. Tetapi ternyata yang terjadi kemudian telah menyelamatkan persembunyian Paksi dan Wijang. Gelombang yang bergejolak di lereng sebelah selatan Gunung Merapi itu seakan-akan menjadi semakin mereda. Pertempuran yang bagaikan air yang mendidih di tempat terbuka itu seakan-akan menjadi semakin dingin. Dimana-mana terdengar isyarat-isyarat yang tidak dimengerti. Berbagai bunyi yang berbeda-beda menandai susutnya pertempuran yang kacau itu. Agaknya setiap perguruan dengan isyaratnya masing-masing telah memerintahkan orang-orangnya untuk menarik diri dari medan. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin surut. Tidak lagi terdengar teriakan-teriakan kemarahan dan keluhan kesakitan. Tidak pula terdengar sorak-sorak kemenangan dan bentakan-bentakan serta umpatan-umpatan kasar. Lengking teriakan Pupus Rembulungpun sudah tidak terdengar lagi. Yang kemudian dilihat oleh Wijang dan Paksi adalah beberapa orang prajurit di tempat yang terbuka itu. Namun seperti disengat lebah Wijang terkejut. Bahkan iapun telah bergeser setapak maju. "Paman Harya Wisaka."
Paksi berpaling. Ia sempat melihat ketegangan mencengkam perasaan Wijang. Di luar sadarnya Paksi bertanya, "Siapakah yang kau maksud?" "Yang berbicara dengan Ki Rangga Suraniti itu adalah Paman Harya Wisaka." "Siapakah Harya Wisaka itu?" "Salah seorang bangsawan dari Demak." "Dari Demak?" "Ya." "Jadi, apa salahnya" Bukankah mungkin saja seorang dari Demak kini berada di Pajang dan menjadi salah seorang pemimpin di Pajang" Bukankah ayahanda Pangeran juga menantu Kangjeng Sultan Demak?" "Tetapi yang satu ini agak lain. Ia mempunyai jalurnya sendiri. Bahkan aku masih menghormati Paman Harya Penangsang daripada Paman Harya Wisaka. Paman Harya Penangsang masih mempunyai alasan yang masuk akal jika ia ingin mewarisi Kerajaan Demak. Tetapi agaknya Paman Harya Wisaka ingin menangkap masa depan dengan caranya." "Cincin itu?" bertanya Paksi. "Ya. Agaknya ia sudah bekerja bersama dengan beberapa orang senapati Pajang. Antara lain adalah Ki Rangga Suraniti." Paksi mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Jadi mereka juga menganggap bahwa cincin itu ada disini?" "Aku tidak tahu. Tetapi agaknya mereka ingin menghancurkan saingannya yang dirasanya semakin lama akan menjadi semakin kuat. Sehingga akan menjadi sangat berbahaya baginya." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Namun keduanya menjadi tegang ketika mereka melihat seseorang telah diseret menghadap orang yang disebut Harya Wisaka itu. Wijang dan Paksipun kemudian mengikuti perkembangan keadaan dengan jantung yang berdebaran. "Seorang perempuan," desis Paksi. "Agaknya dari Perguruan Goa Lampin," sahut Wijang.
Paksi tidak menyahut. Perhatiannya sepenuhnya tertumpah kepada seorang perempuan yang telah tertangkap oleh para prajurit Pajang itu. "Dimana Melaya Werdi, he?" bertanya Harya Wisaka. "Ia mengenal pemimpin Perguruan Goa Lampin itu," desis Paksi. "Paman Harya Wisaka mengenali semua perguruan dan kelompok-kelompok yang ada di Pajang dan bahkan Demak, Jipang, Pati, dan daerah-daerah lain. Bahkan sampai ke daerah sebelah timur." Paksi terdiam. Yang kemudian tertangkap oleh pendengarannya yang dialasi dengan Aji Sapta Pangrungu adalah pertanyaan Harya Wisaka sekali lagi, "Dimana Melaya Werdi?" "Aku tidak tahu," jawab perempuan itu. "Megar Permati?" bentak Harya Wisaka. "Aku juga tidak tahu. Kami melarikan diri untuk mencari keselamatan kami masing-masing tanpa sempat menghiraukan yang lain." "Kau harus menunjukkan, dimana Melaya Werdi dan Megar Permati, kau harus menunjukkan persembunyian mereka." "Pekerjaan yang sia-sia. Guru tidak akan berada di tempatnya. Mungkin guru akan langsung kembali ke perguruan." Perempuan itu mengaduh tertahan. Tangan Harya Wisaka telah menyambar dagu perempuan itu sehingga wajahnya berpaling. "Kau jangan mempermainkan kami," teriak Harya Wisaka "Jika kau memaksa aku menunjukkan perguruan kami, aku akan menunjukkannya." "Diam. Aku sudah tahu dimana letak perguruanmu. Yang aku tanyakan dimana Melaya Werdi dan Megar Permati bersembunyi di lingkungan ini." "Keduanya selalu berpindah-pindah. Kau tidak akan menemukannya." "Jaga mulutmu. Kau tahu dengan siapa kau berbicara?"
Perempuan itu menggeleng. Sementara itu dengan lantang Harya Wisaka itu berkata, "Perempuan iblis. Kau sekarang berhadapan dengan Harya Wisaka." "Harya Wisaka," desis perempuan itu. "Kau sudah dengar nama itu?" Perempuan itu menggeleng sambil menjawab, "Belum. Aku belum pernah mendengar nama Harya Wisaka." Sekali lagi tangan Harya Wisaka menyambar mulut perempuan itu. Sekali lagi perempuan itu mengaduh. "Kau tentu sudah mendengar namaku. Orang di seluruh tanah ini sudah mendengar namaku. Harya Wisaka." Perempuan itu terdiam. "Katakan, bahwa kau pernah mendengar nama Harya Wisaka. Seorang prajurit yang tidak ada duanya di seluruh Demak, Kudus, Pati, Jipang dan bahkan Pajang." Ketika perempuan itu diam saja, maka tiba-tiba saja Harya Wisaka telah menggenggam rambut perempuan itu sambil berteriak, "Kau harus sudah mengenal namaku." Ketika kepala perempuan itu diguncang, maka perempuan itupun segera berteriak pula, "Ya, ya. Sekarang aku ingat. Harya Wisaka. Prajurit terbaik dari Pajang." "Setan betina," geram Harya Wisaka sambil melepaskan rambut perempuan itu. "Jika kau belum mengenal namaku, maka kau tidak pantas hidup di bumi Pajang." Perempuan itu menundukkan kepalanya. "Nah, sekarang katakan bahwa Melaya Werdi atau Megar Permati telah menyembunyikan Pangeran Benawa. Mereka menangkap Pangeran Benawa dan menyimpan di dalam sarang mereka di dalam kerangkeng-kerangkeng besi itu." Perempuan itu mengangkat wajahnya. Dengan serta-merta ia menjawab, "Tidak. Kami tidak menangkap Pangeran Benawa." "Jangan bohong. Aku dapat memenggal lehermu." Perempuan itu termangu-mangu. Sementara Wijangpun berdesis, "Sangat menarik."
"Ternyata Harya Wisaka itu berusaha membebaskan Pangeran Benawa," gumam Paksi. "Omong kosong. Paman Harya Wisaka tentu mengetahui, setidak-tidaknya menduga bahwa cincin itu memang dibawa oleh Pangeran Benawa. Yang penting bagi Paman Harya, bukannya kebebasan Pangeran Benawa, tetapi cincin itulah yang diburunya." Paksi terdiam. Sementara itu perempuan yang tertangkap itupun berkata, "Apapun yang akan terjadi padaku, tidak akan merubah keteranganku. Kami tidak menangkap Pangeran Benawa. Bahkan kami menganggap bahwa Pangeran Benawa itu berada di istana Pajang." "Tetapi orang dari perguruan lain mengatakan, bahwa orang-orang Goa Lampin telah menangkap Pangeran Benawa dan menyembunyikannya di dalam sarangnya atau di tempat lain." "Meskipun kau penggal leherku, jawabku akan sama, karena hal itu memang tidak terjadi," jawab perempuan itu, yang nampaknya tidak menjadi ketakutan. Harya Wisaka itupun menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Bawa orang itu kemari." Sejenak kemudian, maka seorang prajurit telah mendorong seorang yang bertubuh tinggi besar ke hadapan Harya Wisaka. Dengan geramnya Harya Wisaka itu bertanya, "He, bukankah kau mengatakan bahwa Pangeran Benawa sekarang ada di tangan Melaya Werdi dan Megar Permati?" Laki-laki itu memandang perempuan dari Goa Lampin itu dengan ragu-ragu. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Bukankah Pangeran Benawa ada di tangan gurumu?" "Kau tidak perlu memfitnah." "Tidak ada perguruan lain yang akan melakukannya. Ketika Harya Wisaka mempertanyakan, dimana Pangeran Benawa disembunyikan, maka aku memang mengatakan bahwa satusatunya kemungkinan Pangeran Benawa disimpan dalam kerangkeng-kerangkeng besi oleh orang-orang Goa Lampin."
Tiba-tiba saja Harya Wisaka menangkap baju orang itu dan mengguncangnya, "Kau hanya sekedar menduga-duga atau sudah pasti bahwa Pangeran Benawa berada di tangan orangorang Goa Lampin?" "Aku tidak tahu pasti. Aku hanya menduga-duga, karena sepengetahuanku, hanya orang-orang Goa Lampin sajalah yang sering menangkap dan menyimpan orang-orang tampan. Menurut pengertianku, Pangeran Benawa itu tentu seorang yang tampan." "Kau permainkan aku, he?" "Bukan maksudku." Tetapi orang itu seakan-akan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja Harya Wisaka itu telah menarik pedangnya dan menghunjamkan langsung ke dada orang itu. Orang itu tidak sempat mengaduh. Demikian Harya Wisaka menarik pedangnya, maka orang itupun segera jatuh terjerembab. -ooo00dw00oooJilid 09 ORANG-ORANG yang ada di sekitarnya menjadi tegang. Perempuan dari Goa Lampin itupun menjadi tegang pula. "Siapapun yang mempermainkan aku akan mengalami nasib yang sama dengan orang gila ini," geram Harya Wisaka. "Aku rasa, belum ada kelompok yang dapat menangkap Pangeran Benawa," berkata Ki Rangga Suraniti. "Tidak ada seorangpun yang tahu, dimana Pangeran Benawa itu sekarang berada" "Aku memerlukan anak itu," geram Harya Wisaka. "Aku harus menemukannya. Aku tidak mau ada orang lain yang mendahuluinya." "Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Aku sudah mengeluarkan banyak beaya untuk keperluan ini."
"Tetapi kami harus berhati-hati. Jika senapati Pajang di Jati Anom mengetahui apa yang kami lakukan, maka kami akan mendapat kesulitan." "Aku akan berbicara dengan senapati di Jati Anom. Ia bukannya orang yang tidak tahu nilai uang." "Tetapi hatinya sekeras baja." "Aku akan melunakkannya." "Aku sudah memperingatkan, bahwa usaha untuk menembusnya sangat sulit. Lebih baik kita bekerja di luar pengetahuannya. Aku akan dapat membuat alasan-alasan yang masuk akal tentang kegiatan yang kita lakukan, serta korban yang jatuh karenanya." Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi aku memerlukan Pangeran Benawa." Rangga Suraniti mengangguk sambil menjawab, "Pangeran Benawa itu memang seperti demit. Ia hilang begitu saja Namun tiba-tiba ia sudah berada di istana lagi." "Bagaimana dengan Mas Ngabehi Loring Pasar?" "Maksud Harya Wisaka, kita bekerja sama dengan Mas Ngabehi Loring Pasar?" "Mungkin?" "Mas Ngabehi Loring Pasar itu akan menjerit leher kita. Ia sangat sayang kepada adiknya." "Apakah tidak ada persaingan di antara mereka?" "Persaingan apa?" "Tanpa Pangeran Benawa, Mas Ngabehi Loring Pasar akan memiliki masa depan." "Bukankah masa depan itulah yang ingin kita ambil?" "Kau memang bodoh. Tetapi sudahlah. Bawa semua tawanan ke Prambanan. Aku ingin berbicara dengan mereka satu satu. Bawa perempuan ini juga ke Prambanan." "Masih ada tiga ampat orang perempuan yang tertawan." "Bawa semuanya. Laki-laki dan perempuan. Sayang, tidak seorangpun dari pemimpin mereka yang tertangkap. Sebenarnya aku ingin menangkap Repak Rembulung dan Pupus Rembulung lebih dari yang lain."
"Kenapa?" bertanya Ki Rangga Suraniti. "Mereka mempunyai landasan kekuatan di lingkungan ini. Mungkin Pangeran Benawa tersesat di tangan para pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." "Mereka memang mempunyai landasan kekuatan di daerah ini. Tetapi sangat sulit untuk dilacak." "Aku tahu," jawab Harya Wisaka. Lalu katanya, "Kita kembali ke perkemahan. Bukankah kau harus segera berada di Prambanan bersama pasukanmu." Ki Rangga Suraniti mengangguk. Katanya, "Marilah. Aku harus mempertanggung-jawabkan prajurit-prajuritku yang terbunuh." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilanpun telah mengatur para prajuritnya. Sementara itu seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan mengumpulkan kelompoknya yang bertempur bersama para prajurit itu. Agaknya orang itu diperintah langsung oleh Harya Wisaka. Selain para tawanan, maka merekapun telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan mereka yang telah terbunuh di peperangan. Tetapi mereka tidak menghiraukan tubuh-tubuh yang lain yang terbaring diam di bekas arena pertempuran itu. Beberapa orang dari beberapa perguruan telah terbunuh pula. Demikian pula orang yang telah dibunuh langsung oleh Harya Wisaka. Beberapa saat kemudian, tempat itupun menjadi sepi. Semua orang yang terlibat telah pergi. Tetapi ketika Paksi bangkit berdiri, Wijangpun bertanya, "Kau akan pergi ke mana?" "Kita lihat, apa yang tertinggal di bekas arena itu." "Jangan," sahut Wijang. "Masih akan ada orang yang datang. Orang-orang dari perguruan itu tidak akan membiarkan saudara-saudara seperguruan mereka yang terbunuh, berceceran di bekas arena pertempuran itu. Mereka akan datang kembali untuk mengambil dan kemudian menguburkan mereka. Mungkin di sekitar tempat ini pula."
Paksi mengurungkan niatnya. Sementara itu, Wijangpun berkata, "Marilah. Lebih baik kita pulang." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kita akan pulang saja. Mudah-mudahan orang-orang yang berlari cerai berai itu tidak ada yang tersesat ke gubuk kita." "Tidak. Mereka tentu akan segera berkumpul di tempat yang sudah diisyaratkan oleh masing-masing perguruan. Merekapun akan segera mengirimkan orang untuk mencari saudara-saudara mereka yang tertinggal." Paksi tidak menyahut. Namun berdua merekapun segera meninggalkan tempat itu. Sebenarnyalah, gubuk mereka masih tetap tidak disentuh oleh orang lain. Pintunya masih tertutup dan perabotperabotnya pun masih tetap berada di tempatnya. Malam itu, keduanya seakan-akan tidak sempat memejamkan mata. Beberapa saat kemudian langitpun telah dibayangi oleh cahaya fajar, sehingga merekapun harus segera bangkit. Ketika kemudian matahari terbit, keduanya duduk di dalam gubuk mereka. Setelah semalam mereka disibukkan bukan saja wadag mereka, tetapi juga ketegangan yang mencengkam jantung, maka merekapun merasa perut mereka lapar. "Aku akan makan," desis Wijang. Paksi tersenyum. Katanya, "Aku juga lapar." Keduanyapun kemudian makan nasi dingin dengan sayur yang sudah dingin pula. Tetapi mereka sudah terlalu biasa, sehingga keduanya makan dengan lahapnya. Namun sambil makan, Wijangpun sempat berkata, "Peristiwa semalam masih merupakan satu teka-teki bagiku." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Aku tidak yakin akan sikap Ki Rangga Suraniti. Ia adalah seorang prajurit yang baik. Demikian pula Ki Nukilan. Namun tiba-tiba saja mereka sudah bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka. Rasa-rasanya sulit untuk dipercaya." "Tetapi bukankah itu sudah terjadi?"
"Justru karena Ki Rangga Suraniti seorang prajurit sandi," berkata Wijang, "banyak kemungkinan dapat terjadi. Apakah Ki Rangga Suraniti telah dimanfaatkan oleh Paman Harya Wisaka atau Ki Rangga justru sedang memanfaatkan orangorang Paman Harya Wisaka untuk menghancurkan perguruanperguruan yang dicurigai akan menentang kuasa Pajang, sekaligus menjebak Paman Harya Wisaka justru dalam tugas sandinya." "Jika demikian, maka Ki Rangga Suraniti akan mendapatkan hasil ganda." "Tetapi Paman Harya Wisaka juga bukan orang yang dungu. Iapun tentu mempunyai jaringan sandi sendiri." Paksi mengangguk-angguk. katanya, "Alangkah rumitnya. Tetapi yang jelas bahwa di dalam istana Pajang sendiri telah timbul persoalan. Tetapi apakah Harya Wisaka juga sering berada di istana Pajang?" "Ya. Sampai saat-saat terakhir, Paman Harya Wisaka masih leluasa untuk berada di istana Pajang." "Apakah Kangjeng Sultan belum tahu, sifat dan watak Harya Wisaka." "Mungkin Kangjeng Sultan sudah mendapat laporan serba sedikit. Tetapi agaknya masih samar-samar dan belum ada bukti-bukti yang pasti. Tetapi Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar sudah mengetahuinya. Karena itu, setidak-tidaknya Kakangmas Sutawijaya dapat membayanginya." Wijang itupun terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Agaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun kemudian iapun berdesis, "Tetapi tidak lama lagi, Kakangmas Sutawijaya akan meninggalkan Pajang." "Kenapa?" bertanya Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. katanya, "Ki Gede Pemanahan akan mendapatkan hak atas Alas Mentaok, sebagaimana Ki Penjawi yang telah lebih dahulu menerima tanah Pati setelah mereka berhasil menyingkirkan Paman Harya Penangsang."
Paksi mengangguk-angguk pula. Namun iapun kemudian bertanya, "Tetapi kenapa Pangeran Benawa justru meninggalkan istana?" "Sudah aku katakan, suasananya sama sekali tidak menyenangkan. Di luar istana Pangeran Benawa akan dapat mengamati keadaan yang sebenarnya dari rakyat Pajang." "Tetapi kehadiran Harya Wisaka di istana Pajang?" "Untuk sementara Kakangmas Sutawijaya masih ada di istana." Paksi tidak bertanya lagi. Sementara Wijang telah menyenduk nasi semangkuk lagi. Kemudian dituangkannya pula seirus sayur di mangkuk itu pula. Sebungkus pepes ikan yang masih tersisa. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Apakah di istana Pangeran Benawa juga dapat makan sebanyak itu. Agaknya Wijang dapat membaca perasaan Paksi, sehingga karena itu, maka iapun berkata, "Aku merasa bebas disini. Aku dapat makan dengan cara ini. Tidak dikekang oleh adat dan kebiasaan yang menjerat, sehingga rasa-rasanya menelan nasipun harus mematuhi paugeran." "Tetapi di istana bagi seorang pangeran tentu disediakan makan dengan lauknya yang terpilih." "Kau kira juru madaran di istana pandai memasak" Hanya ujudnya sajalah yang menarik. Mungkin menimbulkan selera, tetapi setelah mulut mulai disuapi, rasa-rasanya semuanya hambar. Berbeda dengan masakan kita disini. Segala sesuatunya dapat disesuaikan dengan selera kita disini. Mau asin, manis, asam bahkan pahit sekalipun sebagaimana daun kates. Tetapi dengan ikan asin, lombok abang dan tempe nikmatnya bukan main." Paksi tertawa. katanya, "Akulah yang mengajarimu, Wijang." Wijangpun tertawa. Katanya, "Kau adalah juru madaran yang paling pandai di seluruh Pajang." Keduanyapun tertawa. Tetapi kemudian Wijangpun berhenti tertawa karena ia masih harus menyuapi mulutnya.
Namun dalam pada itu, Paksi telah teringat kepada ayahnya. Apakah ayahnya juga tersangkut dengan usaha Harya Wisaka. Atau ayahnya telah memberitahukan beberapa orang, bahkan termasuk dirinya, mencari cincin itu untuk mengangkat derajatnya sehingga ia akan mendapat kenaikan pangkat dan jabatan. Atau ayahnya sendiri memang menginginkan cincin itu untuk dipakainya sendiri. Tetapi Paksi tetap mendekap pertanyaan-pertanyaan itu di dalam dadanya. Ia tidak ingin Wijang ikut mempertanyakannya pula. Beberapa saat kemudian keduanya saling berdiam diri. Nampaknya keduanya sedang berangan-angan sejalan dengan persoalan mereka masing-masing. Tiba-tiba saja Wijang berhenti mengunyah nasinya. Dengan kerut di dahi iapun berdesis, "Paksi, kau tahu sekarang bahwa orang-orang itu akan mencariku. Jika Paman Harya Wisaka sudah mulai menyatakan dengan terbuka mencari Pangeran Benawa, maka semua orang tentu akan mencari Pangeran Benawa itu." Wijangpun berhenti berbicara untuk menelan nasi yang masih tersisa di mulutnya. Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Dengan demikian, maka kau harus berhati-hati." "Paksi," berkata Wijang kemudian, "menurut pendapatku, maka akan segera tersebar ceritera bahwa Harya Wisaka sedang mencari Pangeran Benawa yang diduga telah membawa cincin itu keluar dari istana." "Bukankah Harya Wisaka tidak menyebarkan ceritera itu" Harya Wisaka tentu berusaha untuk tetap merahasiakannya bagi kepentingannya sendiri. Jika ceritera itu diketahui oleh banyak orang, bukankah itu berarti bahwa ia akan mempunyai banyak saingan?" "Tentu. Tetapi aku yakin bahwa ceritera itu tentu akan merembes keluar. Tidak semua pengikut Paman Harya Wisaka dan tidak semua prajurit mampu menyimpan rahasia serapatrapatnya."
"Apakah menurut pendapatmu, kita harus meninggalkan tempat ini?" "Maksudku bukan kita. Tetapi aku. Sebaiknya kita memang berpisah. Jika akan terjadi sesuatu padaku, biarlah itu terjadi. Tetapi aku tidak ingin kau ikut terperosok ke dalam kesulitan karena aku." Paksi memandang Wijang dengan tajamnya. Dengan mantap iapun berkata, "Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkeberatan." "Jangan Paksi. Kau harus menempuh jalanmu sendiri, Bukankah kau mengemban tugas?" "Kau tahu, tugas apa yang harus aku lakukan?" "Cincin itu?" bertanya Wijang. "Ya." "Kau akan mengambil dari tanganku?" "Kau tahu bahwa itu tidak akan dapat aku lakukan. Ilmumu lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi bukan hanya karena itu, cincin itu sudah berada di tangan orang yang berhak." "Aku tidak memerlukannya. Aku hanya ingin mengamankannya." "Tetapi ijinkan aku pergi bersamamu. Bukankah aku juga tidak akan tetap berada disini sampai rambutku ubanan" Bukankah aku juga harus mempersiapkan sesuatu yang lebih besar bagi masa depanku" Bukan sekedar gula kelapa dan kebun pisang di pinggir kali itu?" Wijang mengangguk-angguk. katanya, "Ya. Aku mengerti. Tetapi jika kau pergi bersamaku, maka mungkin sekali masa depanmu itu akan hilang sama sekali. Kita berdua tidak akan pernah disebut-sebut lagi untuk selamanya." "Sudah aku katakan, apa yang akan terjadi, aku tidak berkeberatan." "Tetapi apakah kau yakin, bahwa sikap yang kau ambil ini dapat diterima oleh ayahmu" Atau barangkali ayahmu justru telah bekerja bersama dengan Harya Wisaka."
"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi aku berhak menempuh jalanku sendiri. Umurku sudah delapan belas lebih sekarang." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau akan meninggalkan tempat ini?" "Aku harus meninggalkan tempat ini pada suatu saat. Jika tidak besok atau lusa, tentu sebulan atau setahun lagi. Aku masih membayangkan pada suatu saat aku akan kembali kepada keluargaku. Betapa kerasnya ayahku, tetapi ia adalah ayahku. Di rumah itu ada ibuku yang sangat mengasihiku serta adik-adikku." "Jika kau pergi bersamaku, mungkin kau tidak akan pernah sampai kepada mereka lagi." "Jika itu yang harus terjadi, maka biarlah terjadi." "Baiklah, Paksi. Jika kau benar-benar sudah mantap. Kau sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap." "Aku bertanggung-jawab atas sikapku ini, Wijang." "Baiklah. Kita harus merencanakan, kapan kita meninggalkan tempat ini." "Kapan saja kau kehendaki." Wijang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Satu hal yang harus kita perhitungkan, Paksi. Para pemimpin perguruan yang gagal mengadakan pertemuan itu, tentu akan berpencar. Mereka tidak akan merencanakan pertemuan lagi disini. Apalagi setelah berita tentang kepergian Pangeran Benawa yang membawa cincin yang mereka cari itu sampai ke telinga mereka. Maka tempat ini akan mereka tinggalkan. Bagi para pemimpin perguruan itu merasa bahwa kehadiran mereka disini sudah diketahui oleh petugas sandi Pajang siapapun yang mengendalikan para petugas sandi itu. Selanjutnya, karena cincin itu dibawa oleh seseorang, maka orang itu dapat merayap dari satu tempat ke tempat lain. Agak berbeda dari gambaran mereka, bahwa cincin itu jatuh dari langit di antara bebatuan dan semak-semak, sehingga mereka menunggu isyarat. Mungkin cahaya, mungkin lidah api, mungkin semak-semak yang menjadi hangus tanpa sebab
atau pertanda-pertanda lain. Tetapi jika cincin itu ada di tangan seseorang, maka keberadaannya tergantung kepada orang yang membawanya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, "Yang akan terjadi kemudian adalah, para pemimpin perguruan yang tamak itu akan sibuk mencari Pangeran Benawa." "Ya." "Kenapa Pangeran Benawa itu tidak bersembunyi saja di istana Pajang sehingga mendapat perlindungan yang rapat." Wijang tersenyum. Katanya, "Sudah aku katakan, bahwa Pangeran Benawa tidak merasa tenang berada di istana, karena sikap beberapa orang di sekitar Kanjeng Sultan. Selebihnya, salah sekali jika Pangeran Benawa itu aman berada di istana. Setidak-tidaknya, Paman Harya Wisaka akan mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan apa yang dicarinya dengan akal liciknya. Akal yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh orang lain." Paksi mendengarkan keterangan Wijang itu dengan bersungguh-sungguh. Beberapa saat ia terdiam. Sementara Wijang menghabiskan sisa nasi yang masih di mangkuknya. Setelah Wijang selesai makan, maka Paksipun segera mengumpulkan mangkuk-mangkuknya yang kotor, membawa keluar dan mencucinya, sementara Wijang pergi ke belik mengambil air. "Aku akan pergi ke pasar," berkata Paksi kemudian. "Aku ingin melihat, apakah ada sesuatu isyarat yang dapat ditangkap di pasar atau di sepanjang jalan." Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, "Baiklah, tetapi berhati-hatilah. Mungkin sesuatu dapat terjadi. Tetapi sebaiknya kau tetap tidak dikenal. Apalagi terlibat jika terjadi sesuatu di antara para cantrik dari berbagai perguruan atau bahkan dengan prajurit Pajang." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti."
Sejenak kemudian, maka Paksipun telah berjalan menyusuri jalan setapak. Kemudian turun ke jalan yang langsung menuju ke pasar. Matahari telah menjadi agak tinggi. Panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Ketika Paksi sampai di pasar, maka penjual nasi tumpang di dekat pintu gerbang sudah mulai membenahi sisa dagangannya. Nasinya sudah hampir habis. Sayursayurnyapun tinggal sedikit. Sementara bumbu kelapanya sudah habis sama sekali. Kinong masih duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu. Keranjang kecilnya diletakkannya tidak jauh dari tempat duduknya. Sambil tersenyum Paksi mendekatinya. Dengan nada tinggi Paksi bertanya, "Apakah kau sudah tidak kebagian nasi tumpang?" "Baru saja aku makan. Aku adalah pembeli yang terakhir pagi ini, sehingga aku mendapat dua kali lipat dari yang seharusnya. Perutku menjadi kenyang sekali." Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, "Ya. Ia memang pembeli terakhir hari ini. Jika kau juga lapar anak muda, sayang sekali, bumbu kelapanya sudah habis sama sekali." "Bagaimana kalau nasi dengan sambal bubuk dele saja" Atau barangkali masih ada besengek tempe?" "Apakah kau lapar sekali?" bertanya penjual nasi tumpang itu. Penjual nasi itu tertawa pula. katanya, "Masih ada kedai yang buka." "Kalau aku makan di kedai itu, maka aku tidak jadi berbelanja. Uangnya habis untuk semangkuk nasi rawon dengan sebutir telur pindang." Penjual nasi itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau dapat beli pondoh jagung dengan tempe bacem." "Atau ketela pohung yang direbus pakai legen." "Beli, Kang. Manis sekali," tiba-tiba Kinong menyambung.
"Kau masih belum kenyang?" bertanya penjual nasi itu. "Sudah, Bi. Tetapi ketela pohung yang direbus pakai legen itu manis sekali." Paksi tertawa. Katanya, "Marilah kita cari kalau masih ada." "Perutmu, Kinong," sahut penjual nasi itu di sela-sela tertawanya, "nampaknya hanya kecil saja, tetapi ternyata isinya lebih dari dua pincuk." Kinong bangkit sambil memegangi perutnya yang penuh. Diraihnya keranjang kecil. Lalu ia mengikuti Paksi yang melangkah meninggalkan penjual nasi tumpang yang sudah siap untuk pulang. Seperti yang dikatakan, maka Paksipun telah mengajak Kinong untuk membeli ketela pohung yang direbus di dalam legen. Diberikannya sebungkus ketela itu kepada Kinong sambil berkata, "Ambil." "Semua untuk aku?" bertanya Kinong. "Ya." "Aku sudah kenyang." "Kau tidak perlu makan ketela itu sampai habis. Bawa saja. Barangkali nanti setelah kau merasa lapar lagi." Kinong mengerutkan dahinya. Namun Kinong itu berpaling ketika ia mendengar namanya dipanggil. "Tolong bantu aku," berkata seorang perempuan yang membawa beberapa kreneng sayuran. Nampaknya ia mendapat kesulitan untuk membawanya. Kinong sudah mengenal orang itu dengan baik. Karena itu, maka iapun segera berlari-lari setelah meletakkan sebungkus ketela pohung yang direbus dengan legen itu ke dalam keranjang kecilnya. "Dimana biyungmu?" bertanya perempuan itu. "Sedang membantu membawakan seperangkat alat dapur ke padukuhan sebelah." "Siapa yang membeli seperangkat alat dapur?" bertanya perempuan itu. "Yu Milah."
"O, pantas. Baru sepekan yang lalu ia menikah. Agaknya Milah ingin berumah tangga sendiri terpisah dari orang tua dan mertuanya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Kinong dengan cekatan menempatkan kreneng itu ke dalam keranjang kecilnya. Namun perempuan itu berkata, "Dua saja, Kinong. Biarlah yang satu aku bawa sendiri. Terlalu berat buatmu jika kau bawa ketiga kreneng itu sekaligus dalam keranjang kecilmu." "Tetapi aku kuat," sahut Kinong. Perempuan itu tertawa. Sambil menepuk bahu Kinong ia berkata, "Jika membawa beban terlalu berat di atas kepalamu, maka kau tidak akan bertambah tinggi." Kinong mengerutkan dahinya. Namun kemudian satu dari ketiga kreneng itu diletakkan kembali di luar keranjang kecilnya. Paksipun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat di depan penjual dawet itu, ia melihat beberapa orang sedang meneguk dawetnya. Tetapi tidak ada di antara mereka Ki Rangga Suraniti atau Ki Nukilan. Seperti biasanya, penjual dawet itu menyapa Paksi dan mempersilahkannya singgah. Paksipun kemudian duduk di sebelah penjual dawet itu sambil bertanya, "Apakah dua orang pembeli yang selalu berbicara tentang undangan itu tidak datang?" Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Jika mereka ada di sini, kau tidak perlu membayar dawet yang kau minum." Paksi tersenyum. Sementara penjual dawet itu berkata selanjutnya, "Mereka belum nampak sejak pagi." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi itu berarti aku harus membayar sendiri." "Bagaimana kalau hari ini aku yang membayar?" bertanya penjual dawet itu. Tertawa Paksipun meledak. Sementara penjual dawet itupun tertawa pula sehingga orang-orang yang sedang
membeli dawet itu memandangi mereka dengan terheranheran. Ketika penjual dawet itu menyadari, maka iapun berkata kepada para pembelinya, "Kemenakanku ini kerjanya hanya berkelakar dan mengganggu orang saja." Para pembeli dawet itu mengangguk-angguk. Ada di antara mereka yang tersenyum. Tetapi ada yang justru merasa terganggu. Dalam pada itu, menurut pengamatan Paksi, tidak ada sesuatu yang terjadi di pasar itu. Mungkin di antara orangorang yang berjalan hilir mudik di pasar itu ada beberapa orang dari perguruan yang tidak dikenali cirinya. Namun mereka tidak berbuat apa-apa. Paksipun tidak melihat Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan. Ia juga tidak melihat prajurit yang masuk ke dalam pasar dalam tugas keprajuritan mereka. Seandainya ada, maka mereka tentu prajurit dalam tugas sandi. Namun agaknya prajurit Pajang yang datang ke kaki Gunung Merapi itu mampu membatasi gerak mereka. Tidak ada seorang pun di pasar itu yang berceritera tentang kehadiran sepasukan prajurit Pajang. Tidak seorang pula yang berbicara tentang pertempuran yang terjadi. Menurut dugaan Paksi, setelah pertempuran itu terjadi, maka orang-orang dari beberapa perguruan itu justru akan menyebar. Seperti yang diperhitungkan oleh Wijang, maka ceritera tentang Pangeran Benawa itupun akan menyebar pula, sehingga mereka akan berebut dahulu menemukan Pangeran Benawa. Jika mereka menemukan Pangeran Benawa, maka mereka akan menemukan cincin yang mereka cari itu. "Jika mereka pergi menyebar, bukankah Wijang justru akan lebih aman berada disini," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun Paksi tertegun ketika ia melihat dua orang suami istri yang sedang berbelanja di pasar itu. Menilik pakaiannya, keduanya bukan orang kebanyakan sebagaimana yang ada di
pasar itu. Sikap merekapun agak berbeda. Keduanya nampak dan bersikap baik. Namun Paksi justru berusaha untuk menghindarinya. Perempuan yang memakai baju hijau pupus dan kain hijau selapis lebih tua dari bajunya pernah ditemuinya di Panjatan. Perempuan itu adalah Pupus Rembulung dalam sikapnya sebagai seorang perempuan yang lembut. Sedang suaminya, Repak Rembulung pun sama sekali tidak menunjukkan sikap garangnya. Sikapnya yang ramah tidak memberikan kesan sebagaimana pernah dilihat Paksi di antara hiruk-pikuknya pertempuran. Beberapa saat lamanya, keduanya berada di pasar. Namun kemudian keduanyapun melangkah ke pintu gerbang dan meninggalkan pasar itu. Paksi mencoba untuk melihat keduanya berjalan menyusuri jalan menjauhi pasar itu. Tetapi Paksi tidak tahu kemana keduanya akan pergi. Mungkin ke Panjatan. Tetapi mungkin pula tidak. Tetapi Paksipun kemudian melihat dua orang yang mengawasi Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu. Kedua orang yang tidak mengenal Paksi itu mulai membicarakan kedua orang suami isteri yang berjalan menjauh. "Siapa yang menduga bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang paling garang di daerah ini." "Orang-orang Pajang tidak berhasil menangkap mereka." "Tidak seorang pun dari antara para pemimpin yang tertangkap. Jika ada satu dua orang yang dibawa oleh para prajurit, mereka adalah cantrik-cantrik kecil." Paksi mencoba memperhatikan kedua orang itu. Tetapi Paksi sama sekali tidak dapat mengenali ciri-cirinya. Namun Paksi yakin, bahwa kedua orang itu tentu terlibat dalam pertempuran antara beberapa perguruan yang sedang berusaha untuk bertemu dan menyesuaikan sikap mereka itu melawan para prajurit Pajang.
"Mungkin keduanya murid dari perguruan-perguruan yang mengadakan pertemuan itu. Namun mungkin pula mereka petugas sandi dari Pajang atau pengikut Harya Wisaka." Paksipun kemudian tidak terlalu lama lagi berada di pasar. Iapun segera membeli keperluannya sehari-hari dan sejenak kemudian Paksipun telah berada di luar pasar. Matahari telah sampai ke puncak langit. Pasar itupun menjadi semakin sepi. Orang-orang yang berjualan di pasar itu telah membenahi sisa-sisa dagangan mereka. Ketika Paksi sampai di gubuk kecilnya, Wijang sedang berbaring di bawah sebatang pohon yang rindang di atas ketepe yang baru saja dianyamnya. "Kau membeli apa?" bertanya Wijang. "Garam, terasi dan ikan asin. Bukankah kau sudah memetik daun kates gerandel?" "Makanan maksudku?" Paksi tertawa. katanya, "Aku lupa membeli kelepon. Tetapi bukankah kita dapat membuat makanan sendiri" Ketela pohung yang kita rebus dengan legen" Di pasar aku juga membelinya. Tetapi aku berikan kepada Kinong." "Kau lebih sayang kepada Kinong daripada kepadaku." "Kita mempunyai pohon ketela pohung. Kita mempunyai legen. Bukankah kita dapat membuat sendiri seberapa saja kita mau?" "Tetapi kita harus menunggu nanti malam. Kau tidak mau terlalu sering mengepulkan asap dari gubuk ini di siang hari." Paksi tertawa. Sementara Wijang masih saja berbaring di bawah pohon itu. katanya, "Ceriterakan, apa yang kau temui di pasar." "Repak Rembulung dan Pupus Rembulung," jawab Paksi. Wijangpun segera bangkit dan duduk di atas ketepenya. Katanya, "Duduklah." Paksipun kemudian duduk di sebelahnya. Diceriterakannya, apa yang dilihatnya di pasar. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam ujud dan sikapnya sebagai sepasang suamiisteri yang baik. Dengan pakaian dan sikap yang tertib
keduanya berada di pasar. Nampaknya keduanya sedang berbelanja. Sementara itu, dua orang memperhatikan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu. "Tetapi aku tidak berhasil melihat ciri-ciri kedua orang itu," berkata Paksi kemudian. "Apa yang akan dilakukan oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu?" desis Wijang. "Entahlah," sahut Paksi. "Agaknya keduanya sudah siap meninggalkan daerah ini," desis Wijang. "Agaknya bukan hanya mereka berdua." "Ya." "Jika demikian, bukankah kau justru akan merasa aman disini daripada di tempat lain" Jika orang-orang yang mencarimu itu menyebar, maka kau justru akan dapat dengan leluasa tinggal disini tanpa diganggu orang lagi sampai saatnya kau ingin kembali Pajang." "Disini aku hanya sekedar bersembunyi. Tetapi aku tidak dapat melihat kehidupan yang sebenarnya." "Pasar adalah lingkungan kecil yang mencerminkan satu lingkungan yang luas. Kita dapat melihat kehidupan itu di pasar. Mendengarkan pembicaraan orang-orang dari berbagai lapisan dan lingkungan." "Tetapi banyak orang yang tidak sempat pergi ke pasar. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai uang sama sekali. Mereka yang tidak mempunyai hasil sawah untuk dijual. Mereka yang hanya dapat makan dengan mengais di kebun mereka yang sempit." "Tetapi pasar itu dapat memberikan kehidupan kepada Kinong, kepada keluarganya, karena ibunya juga menjual tenaganya di pasar itu." "Mereka yang rumahnya jauh dari pasar tidak akan tahu, bahwa pasar itu dapat memberinya makan." Paksi terdiam. Namun kepalanya terangguk-angguk kecil. Meskipun demikian, nampaknya Wijang tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Agaknya tanaman ketela pohung,
jagung yang baru tumbuh setelah tanaman yang terdahulu dipetik. Padi gaga, kebun pisang, beberapa batang pohon kelapa dan rumpun-rumpun bambu tutul dan pering cendani, sempat menghambatnya. Ada perasaan sayang untuk meninggalkan itu semuanya. Apalagi Paksi. Ia sudah lebih dari setahun berada di tempat itu. Sudah dua kali ia memetik jagung. Sekali menuai padi gaga. Tidak terhitung, berapa kali ia menebang batang pisang dan mengambil buahnya. Ketela pohon yang ditanamnya sejak lebih dari enam bulan yang lalu, yang dapat dicabut kapan saja ia inginkan, sebatang dua batang atau berapa saja. Keduanyapun terdiam untuk beberapa saat lamanya. Nampaknya keduanya sedang merenungi apa yang sebaiknya mereka lakukan. Namun tiba-tiba saja Wijang telah menggamit Paksi. Ketika ia memandang Paksi, maka Paksi itupun mengangguk kecil. Wajah mereka nampak menegang. Namun Paksipun kemudian bangkit berdiri. Menggeliat. Kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk kecilnya. Sejenak kemudian, maka Wijangpun telah menyusulnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu gubuknya. Namun kemudian iapun telah masuk pula ke dalam. Demikian Wijang berada di dalam gubuknya serta setelah menutup pintunya, maka iapun segera mempersiapkan dirinya. Dikenakannya pelindung bagian atas pergelangan tangannya, menyelipkan senjatanya di bawah bajunya serta mempersiapkan dirinya. Sementara itu, Paksipun telah memungut tongkatnya pula. "Agaknya karena orang-orang itu sekarang berkeliaran di kaki gunung ini sebelum mereka pergi menjelajahi daerah yang luas untuk menemukan Pangeran Benawa, maka ada juga orang yang tersesat sampai ke tempat ini." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata rumah kita sudah tidak terlindung lagi." "Kau dengar langkah mereka" Tidak hanya satu orang. Tetapi beberapa orang."
"Ya. Aku masih berharap mereka tidak melihat gubuk kita ini." "Mereka menjadi semakin dekat. Kau dengar desir kaki mereka di sela-sela pepohonan itu?" Paksi mengangguk. "Sebaiknya kita berada di luar saja," desis Paksi. Wijang mengangguk. Tetapi iapun berkata, "Mereka sudah ada di depan hidung kita." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah mengikatkan tali kampilnya di atas ikat pinggangnya. Jika ia terpaksa meninggalkan gubuknya saat itu juga, maka bekal yang dibawanya dari rumah, serta perhiasan yang diberikan ibunya kepadanya, tidak akan tertinggal di gubuknya itu. Paksi belum tahu siapa yang datang. Karena itu, maka ia harus sangat berhati-hati. Bahwa yang datang itu tidak berusaha untuk menyerap bunyi sentuhan tubuhnya pada dedaunan yang runtuh di tanah, bukan berarti bahwa mereka tidak mampu melakukannya. Mungkin mereka menganggap hal itu tidak perlu mereka lakukan. Namun sebelum membuka pintu, Wijang nampak raguragu. Katanya hampir berbisik, "Jika mereka prajurit Pajang, dan bahkan Ki Rangga Suraniti sendiri, maka ia akan dapat mengenali aku." "Baiklah. Aku akan keluar lebih dahulu. Jika aku tidak memberi isyarat apa-apa, maka orang itu bukan Ki Rangga Suraniti dan bukan pula Ki Nukilan. Tetapi aku tidak mengenal prajurit Pajang yang lain yang akan dapat mengenalimu." "Baiklah. Keluarlah. Aku akan mengintip dari belakang pintu." Tetapi sebelum Paksi melangkah keluar, Wijang itupun berkata, "Kau juga harus melindungi ujudmu." "Mereka sudah ada di luar." "Biar sajalah." Paksi tidak membantah. Ketika kemudian Wijang membuat garis-garis di wajahnya dengan jelaga yang dicoleknya dari pantat kuali, Paksi tidak mengelak. Bahkan kemudian, Wijangpun telah membuat garis-garis hitam pula di wajahnya
sendiri. Di kening, di dahi, di pipi dan di dagunya. Kemudian keduanya telah mengenakan caping bambu yang lebar di kepalanya. Keduanyapun kemudian telah mendengar orang yang bercakap-cakap sambil melangkah mendekati gubuk itu. Yang kemudian lebih dahulu keluar dari gubuk itu adalah Paksi. Wajahnya nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Caping bambu yang lebar membuat wajahnya semakin tidak jelas. Di luar berdiri ampat orang yang berwajah garang. Mereka tidak mengenakan ciri-ciri apapun, sehingga Paksi tidak dapat mengenali, siapakah mereka dan dari perguruan yang mana. Ketika mereka berempat melihat Paksi keluar dari gubuknya, maka orang-orang itupun tertegun. Namun tibatiba saja seorang di antara mereka bertanya, "He, apakah kau pemilik gubuk ini?" "Ya, Ki Sanak," jawab Paksi. Suaranyapun bergetar sehingga tidak seperti suara aslinya. Keempat orang itu memperhatikan wajah Paksi dengan seksama. Hampir serentak mereka tertawa. "He, untuk apa sebenarnya kau samarkan wajahmu" Apa kau kira bahwa kau orang yang penting, sehingga kau merasa perlu menyamarkan wajahmu agar tidak mudah dikenali" Atau kau kira bahwa kau adalah seorang putera raja yang menghilang dari istana dan hidup menyendiri di kaki Gunung Merapi" Atau justru karena kau seorang penjahat yang sedang diburu, sehingga kau berusaha menghilangkan jejak dengan menyamarkan wajahmu?" bertanya salah seorang dari mereka. Paksi tidak menjawab. Tetapi dahinya yang tercoreng jelaga itu berkerut. Orang itu telah menyebut seorang pangeran yang hilang dari istana. Apakah itu hanya satu kebetulan, atau ia memang sudah mendengar bahwa memang ada seorang pangeran telah menghilang dari istana. Karena itu, hampir di luar sadarnya ia menyahut, "Akulah pangeran yang hilang dari istana itu."
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Seorang di antara mereka berkata kepada kawan-kawannya, "Ternyata kita menemui orang gila disini." Seorang yang lain, menyahut, "Tetapi nampaknya ia bukan orang gila yang berbahaya." "Aku memang tidak berbahaya bagi orang yang tidak menggangguku," berkata Paksi dengan suara yang masih bergetar. "Baiklah, Ki Sanak," berkata seorang yang berkumis lebat, bermata kemerah-merahan. Nampaknya ia seorang yang lebih senang berbicara langsung sebagaimana dipikirkannya. "Aku tidak akan mengganggumu. Aku akan segera pergi. Tetapi katakan, apakah kau sudah menemukan cincin yang telah berada di sekitar tempat ini. Apakah cincin itu jatuh dari langit, atau dibawa dan disimpan oleh seseorang atau apapun sebabnya berada di tempat ini. Menilik ujud gubukmu, kau tentu sudah cukup lama berada disini. Kami juga melihat tanamanmu yang terpelihara serta beberapa jenis kelengkapan yang lain." Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun bertanya," Cincin apa yang kau maksud?" "Kau tidak usah berpura-pura. Kau berada disini tentu karena cincin itu pula." "Aku tidak tahu maksudmu." "Jangan banyak bicara. Aku akan masuk ke dalam rumahmu untuk melihat, apakah cincin itu ada disini atau tidak." Ketika orang itu melangkah maju, Paksi berkata, "Tunggu, Ki Sanak. Kau tidak dapat masuk ke dalam rumah seseorang begitu saja. Kita belum saling mengenal. Nah, katakan siapakah kalian. Mungkin dengan mengenal kalian, aku akan mempersilahkan kalian masuk ke dalam gubukku." "Kami para murid utama dari sebuah perguruan yang terbesar di negeri ini. Tidak ada orang yang dapat menahan keinginan kami. Boleh atau tidak boleh, aku harus masuk ke
Cover Boy 1 Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Neraka Gunung Dieng 3
http://www.mardias.mywapblog.com
Anginpun berhenti bertiup, sehingga dedaunanpun seakanakan sedang tertidur nyenyak. Wijang dan Paksi harus bertahan untuk tidak bergerak. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sangat berhatihati. Mereka sadari bahwa jika mereka bergerak dan menyentuh daun-daun perdu sehingga bergetar, maka gerak daun-daun perdu itu akan dapat mengundang perhatian, justru karena angin berhenti bertiup. Namun kedua orang anak muda itu mampu bertahan. Meskipun nyamuk dan semut merah menggigit kulit. Untuk beberapa lama Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengamati tempat itu. Merekapun kemudian telah berhenti di bawah pohon preh yang besar di sudut tempat yang terbuka itu. Pupus Rembulung bahkan kemudian telah duduk bersandar batangnya yang besar berlekuk-lekuk. Tetapi Repak Rembulung kemudian berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita masih harus mendapat keterangan, apakah pertemuan esok akan tetap berlangsung." "Kepada siapa kita akan bertanya?" "Kita akan mendapatkan keterangan itu esok." Tetapi ketika Pupus Rembulung kemudian bangkit berdiri, merekapun telah tertegun pula. Dari arah lain, seseorang tengah melangkah ke lapangan rumput yang terbuka itu. Di belakangnya, dua orang berjalan mengiringinya. Demikian orang itu melihat Repak dan Pupus Rembulung, mereka telah tertegun. "Kalian telah berada disini?" bertanya orang itu. "Gedhag Panunggul." Orang yang datang itu tertawa. Katanya, "Kaukah yang mengirimkan orang untuk mengacaukan persiapan pertemuan esok?" "Buat apa aku melakukannya?" jawab Repak Rembulung. "Mungkin kau ingin terjadi sesuatu. Mungkin tanpa alasan. Asal saja terjadi keributan. Namun lebih dari itu, dengan keributan itu, kau dapat menjajagi kemampuan orang-orang dari beberapa perguruan."
"Untuk apa aku menjajagi kemampuan tikus-tikus itu. Aku sudah dapat mengetahui tataran kemampuan mereka. Mereka baru dapat berteriak-teriak dan mewarisi kesombongan gurugurunya. Bahkan tataran kemampuan guru-guru merekapun tidak perlu kami jajagi lagi." "Repak Rembulung," berkata Gedhag Panunggul, "kaulah orang yang paling sombong yang pernah aku kenal. Di antara orang-orang berilmu tinggi, maka kau akan dapat terjebak oleh sikap dan kata-katamu sendiri." "Aku bertanggung jawab atas segala sikap dan katakataku," jawab Repak Rembulung. "Lidahmu akan dapat dipotong di hadapan banyak orang." Repak Rembulung itu tertawa. Namun Pupus Rembulungpun kemudian menyela, "Apa yang akan kau lakukan disini malam ini, Gedhag Panunggul?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku telah mendapat laporan bahwa disini telah terjadi pertempuran." "Kami terlambat datang," sahut Pupus Rembulung. "Apakah orang-orangmu ada yang menyaksikan pertempuran itu?" "Ya. Seorang di antara orang-orangku terluka." "Lalu, apakah kau datang untuk mencari orang yang melukai salah seorang pengikutmu itu?" "Ya. Mungkin mereka sudah pergi. Tetapi mungkin pula dengan sombong mereka masih tetap berada disini sambil menunggu orang yang mungkin akan dapat mereka ajak bermain dengan lebih baik." Repak Rembulung mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan rencana pertemuan esok malam?" "Menurut pendapatku, pertemuan itu harus berlangsung. Jika ada orang gila yang merunduk dan mencoba mengacaukan pertemuan kita esok, maka itu akan berarti orang itu akan menyurukkan kepalanya ke mulut seekor buaya."
"Bagus," berkata Repak Rembulung. "Orang itu harus ditangkap hidup-hidup. Kita harus tahu, siapakah mereka dan untuk apa mereka mengamati kita." Gedhag Panunggul itupun kemudian mengamati semaksemak yang berserakan. Darah yang berceceran dan keterangan dari kedua orang pengikutnya yang menyaksikan pertempuran itu. "Mereka hanya lima orang yang terdiri dari dua kelompok yang berbeda. Bahkan tidak saling mengenal," desis Gedhag Panunggul. "Gila," geram Pupus Rembulung. "Apa kerja orang-orang kalian jika menghadapi lima orang saja mereka tidak mampu" Berapa banyak orang yang sedang berada disini ketika pertempuran itu terjadi" Lima orang, enam orang atau berapa?" Gedhag Panunggul tertawa. Katanya, "Buat apa kita harus malu. Menurut laporan orang-orangku, disini berkumpul lebih dari duapuluh lima orang saat pertempuran itu terjadi." "Lebih dari duapuluh lima orang?" ulang Pupus Rembulung. "Tentu bukan karena kelima orang itu berilmu sangat tinggi. Tetapi orang-orangmu dan orang-orang dari perguruanperguruan kerdil itulah yang tidak mampu berbuat apa-apa meskipun di antara mereka terdapat murid-murid utama dan murid-murid tertua." "Jangan berkata begitu. Bagaimana dengan muridmuridmu" Kenapa tidak seorang pun di antara mereka datang untuk bersama-sama mempersiapkan tempat ini?" "Tidak perlu bagiku," jawab Repak Rembulung. "Lebih dari itu kau tentu tahu bahwa susunan perguruanku tidak sama dengan susunan perguruanmu dan perguruan-perguruan lain pada umumnya." "Aku tahu. Tetapi apapun namanya, kenapa tidak seorang pun kau kirim untuk datang dalam persiapan pertemuan tadi?" "Kami ingin datang sendiri. Tetapi sayang, kami datang terlambat."
Gedhag Panunggul tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih saja mengamati keadaan di sekitar tempat itu. Wijang dan Paksi menjadi berdebar-debar. Nampaknya orang yang disebut Gedhag Panunggul itu cukup teliti. Ia mengamati semak-semak sampai jarak beberapa langkah dari lapangan rumput yang terbuka itu. Tetapi keduanya memang tidak berada di tempat yang terlalu dekat. Jarak yang terlalu jauh bagi kebanyakan orang. Hanya karena keduanya memiliki kemampuan untuk melihat dan mendengar dari jarak yang jauh dengan Aji Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu, maka keduanya dapat mengerti apa yang telah terjadi. Sebenarnyalah Gedhag Panunggul tidak menyibak semaksemak di sekitar tempat terbuka itu sampai ke tempat Wijang dan Paksi bersembunyi. Seandainya orang itu sampai juga ke tempat Wijang dan Paksi bersembunyi, maka keduanya masih mempunyai kesempatan untuk menyingkir. Namun kemudian Gedhag Panunggul itupun telah kembali ke tengah-tengah tempat terbuka itu. "Aku besok akan datang kemari," berkata Gedhag Panunggul. "Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang tadi sempat mencerai-beraikan beberapa kelompok orang-orang dari berbagai perguruan." "Bagus," sahut Repak Rembulung, "kami besok juga akan datang." "Kami berharap orang-orang yang tadi sempat mengacaukan orang-orang dari beberapa perguruan itu datang," sambung Pupus Rembulung. Namun dalam pada itu, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itupun melangkah meninggalkan tempat itu. "Kami akan pergi," berkata Repak Rembulung. Gedhag Panunggul tidak menyahut. Dipandanginya saja kedua orang itu melangkah meninggalkan tempat terbuka itu memasuki semak-semak dan hilang di dalam kegelapan.
Yang tinggal adalah Gedhag Panunggul dan para pengikutnya. Namun merekapun kemudian telah bersiap untuk pergi. Sementara Gedhag Panunggul masih berkata, "Hubungi yang lain-lain. Besok aku akan datang ke tempat ini. Pertemuan itu harus berlangsung. Bahkan aku berharap orang-orang gila yang tadi mengacau disini itu bersedia datang lagi." Sejenak kemudian maka lapangan rumput itu menjadi sepi kembali. Malam yang gelap menukik semakin dalam. Angin masih belum berhembus. Paksi sempat menggaruk lehernya yang gatal. Sementara Wijang bangkit berdiri dan menggeliat. "Besok akan ada tontonan yang menarik," berkata Wijang. "Ya. Beberapa orang berilmu tinggi akan berkumpul. Mereka akan berbicara tentang cincin yang kau bawa." "Bukan hanya karena itu. Tetapi mereka tentu ingin menjadi orang terpenting di antara mereka. Cincin itu dapat menjadi alat untuk melakukan pendadaran." "Ya," Paksi mengangguk-angguk, "perguruan yang menemukan cincin itu adalah perguruan yang terbaik menurut penilaian mereka, sehingga pantas untuk menjadi pimpinan di antara mereka." "Tetapi perburuan itu belum akan berakhir. Setiap orang ingin memilikinya sehingga akan terjadi perebutan di antara mereka. Mereka akan menempuh segala cara, bahkan yang paling kasar dan yang paling licik sekalipun, karena mereka percaya bahwa siapa yang mengenakan cincin di jari-jari tangannya, ia akan memiliki kekuasaan di masa depan. Anak atau cucunya akan memegang kekuasaan tertinggi di tanah ini." "Perburuan itu tentu akan menimbulkan keresahan. Bagaimanapun juga benturan-benturan kekuatan di antara mereka tentu akan menepis kehidupan di sekitarnya." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata, "Paksi. Besok sebaiknya kau pergi ke pasar.
Mungkin Ki Rangga Suraniti ada di pasar itu pula. Jika saja kau dapat menangkap apa yang dikatakannya." "Baiklah," jawab Paksi. "Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pasar." Demikianlah, keduanyapun segera meninggalkan tempat itu. Ketika mereka sampai di gubuk kecil mereka, maka malampun telah mendekati ujungnya. Meskipun demikian, keduanya masih sempat berbaring sejenak. Tetapi mereka tidak dapat tidur sama sekali, karena sebelum fajar mereka harus sudah bangun untuk melakukan kewajiban mereka sehari-hari. Apalagi Paksi pagi itu akan pergi ke pasar. Ketika matahari terbit, maka Paksipun telah meninggalkan gubuk kecilnya. Wijanglah yang mencuci tempayan dan kemudian melepas gula kelapa yang dicetak dengan tempurung kelapa menjelang pagi. Legen yang sudah ditampung sejak kemarin baru sempat dipanasi pagi itu. Tetapi Paksi tidak akan kekurangan kayu bakar untuk membuat gula kelapa. Paksi telah berada di pasar saat matahari mulai memanjat naik. Kecuali melihat apakah Ki Rangga Suraniti ada di pasar, Paksi juga membeli beberapa kebutuhan sehari-hari. Terutama garam dan rempah-rempah. Bawang merah, bawang putih dan seikat daun salam dan petai. Meskipun Paksi tidak begitu senang makan petai, tetapi seperti ibunya, Paksi memberi beberapa buah petai di masakannya. Setelah keperluannya selesai, maka Paksi mulai mengelilingi pasar itu. Tetapi ia tidak melihat Ki Rangga Suraniti. Bahkan ia melihat dua orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin juga sedang berbelanja. Namun seperti biasa, mereka membayar sekehendak hati mereka tanpa menghiraukan keluhan para penjualnya. Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Paksipun menganggap bahwa Ki Rangga Suraniti memang tidak pergi ke pasar hari itu. Karena itu, maka Paksipun segera berniat kembali ke gubuknya dan memberitahukannya kepada Wijang.
Tetapi ketika ia berjalan di depan penjual dawet, maka Paksi tertegun. Ia melihat dua orang yang pernah dijumpainya membeli dawet, baru itu juga sudah duduk di depan penjual dawet itu. Paksi berharap bahwa penjual dawet itu akan menyapanya, sehingga kedua orang itu tidak mencurigainya bahwa ia sengaja duduk bersama mereka. Sebenarnyalah seperti yang diharapkan, maka penjual dawet itu memang menyapanya seperti biasanya, "He, singgah dahulu, anak muda." Paksi berhenti melangkah. Dipandanginya kedua orang yang sudah duduk lebih dahulu itu sambil tersenyum-senyum. Katanya, "Tetapi aku jadi malu kepada kedua paman ini. Bukankah Paman yang pernah membayar ketika aku minum disini?" "Kenapa malu?" sahut orang yang dikenal Paksi bernama Ki Rangga Suraniti. "Paman, kali ini Paman tidak usah membayar. Aku datang untuk berbelanja. Ibu sedang berhalangan. Karena itu, aku mendapat uang jajan dari Ibu." "Kau berbelanja apa saja?" bertanya Ki Rangga Suraniti. Paksipun kemudian duduk di dekat mereka sambil menunjukkan beberapa bungkus kebutuhan dapur yang dibelinya. "Ternyata kau pintar juga," berkata yang seorang lagi, yang menurut pengenalan Paksi adalah Ki Nukilan. Paksi tertawa. Namun kemudian iapun berkata, "Dawetnya, Paman." Ketika Paksi kemudian menghirup dawetnya, maka ia mendengar Ki Rangga itu berkata, "Baiklah. Jika kau panggil kemenakan-kemenakanmu, silahkan datang." "Tetapi apakah tontonan itu jadi dipergelarkan?" bertanya Ki Nukilan. "Mudah-mudahan. Tetapi undangan itu telah aku terima belum sepenginang ini." "Sudah pasti?"
"Ya." Keduanya terdiam. Hampir bergumam Ki Nukilan berkata, "Begitu cepat kau menerima undangan." "Aku adalah sahabat terdekat." Penjual dawet itu memandangi keduanya dengan terheranheran. Di luar sadarnya ia bertanya, "Ternyata kalian mempunyai banyak sahabat. Ketika kalian singgah kalian juga berbicara tentang undangan. Sekarang juga membicarakan undangan dan tontonan." Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Rangga menyahut, "Jangan mengatakan kepada isteriku. Aku adalah jagoan. Dimana ada perhelatan, kami selalu ada." "Jagoan apa?" bertanya penjual dawet itu. Ki Rangga tertawa semakin panjang. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Kau pernah melihat orang bermain dadu?" Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pantas kau selalu berbicara tentang undangan dan perhelatan." "Ah, kau telah membuka rahasia," desis Ki Nukilan. "Tetapi ia tidak akan mengatakan kepada isteri kita." "Aku tidak mengenal isteri kalian," sahut penjual dawet itu. Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan itupun tertawa. Namun beberapa saat kemudian, Ki Rangga Suraniti itupun berkata, "Marilah. Aku akan pulang. Kau akan pergi kemana?" "Pulang," jawab Ki Nukilan. "Marilah kita bersama-sama." Ki Nukilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil bangkit iapun berkata, "Sekarang aku yang membayar." Ki Rangga Suraniti tertawa. Katanya, "Terima kasih." Namun kemudian Ki Nukilan itupun berpaling kepada Paksi sambil berkata pula, "Aku bayar dawetmu." "Ah, aku sudah mendapat uang jajan hari ini." "Kau dapat membelikannya makanan." "Terima kasih," jawab Paksi sambil bangkit berdiri ketika kedua orang itu meninggalkan penjual dawet itu.
"Kau beruntung," berkata penjual dawet itu sambil tertawa. "Kapan lagi mereka akan datang?" bertanya Paksi. "Bagaimana aku tahu," jawab penjual dawet itu. Tertawanya telah mengguncang-guncang perutnya. Namun Paksipun kemudian telah minta diri pula. Ia ingin segera bertemu dengan Wijang untuk memberitahukan pembicaraan yang baru saja didengar. Tetapi karena Paksi sudah mengerti persoalan yang sedang dihadapi oleh Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan, maka Paksi dapat menduga, apa yang sedang mereka bicarakan itu. Demikian keluar dari pasar, maka Paksipun berjalan dengan cepat pulang ke gubuk kecilnya. Berita yang dibawanya itu tentu akan menarik bagi Wijang. Ketika Paksi sampai di gubuk kecilnya, Wijang sedang mengambil air, mengisi gentong kecil persediaan air bersih yang diletakkan di teritisan gubuk kecil itu. "Apakah kau melihat Ki Rangga Suraniti?" bertanya Wijang. "Ya," jawab Paksi. "Sendiri atau bersama satu dua orang?" "Aku menjumpai Ki Rangga Suraniti sedang membeli dawet bersama Ki Nukilan." "Kau dengar sepatah dua patah kata pembicaraan mereka?" Paksi mengangguk. Iapun kemudian mengatakan apa yang dibicarakan oleh Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan itu. Wajah Wijang menjadi tegang. Katanya, "Jadi mereka akan mengerahkan prajurit untuk menangkap atau menghancurkan beberapa perguruan yang akan bertemu di tempat terbuka itu?" "Apakah mereka akan melakukannya?" "Menurut pembicaraan itu demikian, jika tidak ada perubahan. Tetapi Ki Rangga Suraniti tentu sudah memperhitungkan sebaik-baiknya." "Ki Nukilan yang agaknya mengambil keputusan." "Tetapi bukankah Ki Rangga sudah menyetujuinya?" Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijang berkata, "Satu tugas yang sangat berat dan berbahaya. Di lapangan
rumput itu akan berkumpul beberapa orang berilmu tinggi. Para pengikut mereka tentu akan mengawasi dan melindungi para pemimpin mereka, apalagi setelah terjadi peristiwa semalam." "Tetapi begitu cepat, Ki Rangga mengetahui bahwa pertemuan itu tidak tertunda dan tidak berpindah tempat." "Petugas sandi Pajang termasuk petugas sandi yang baik. Tentu ada satu atau dua orang di antara mereka yang berhasil menyusup di antara perguruan-perguruan itu." "Tetapi apakah Pajang menganggap perguruan-perguruan itu berbahaya?" "Tentu," jawab Wijang. "Mereka sudah mengikuti perkembangan setiap perguruan itu untuk waktu yang cukup." Paksi menarik nafas panjang. Ia dapat membayangkan, jika Pajang mengambil sikap keras, tentu akan terjadi pertempuran yang sengit. Namun Paksipun kemudian bertanya, "Apakah ada waktu bagi Ki Nukilan untuk mengirimkan penghubung ke Pajang kemudian membawa sepasukan prajurit Pajang sampai kemari di hari ini?" "Ki Nukilan tentu tidak menunggu prajurit yang langsung datang dari Pajang. Tetapi Ki Nukilan tentu mempersiapkan prajurit Pajang yang berada di Jati Anom dan sudah dipersiapkan di sebelah timur Prambanan, di pinggir Kali Dengkeng." "Jadi sudah ada prajurit Pajang yang dipersiapkan di sekitar tempat ini?" "Tidak terlalu dekat. Tetapi dengan penghubung berkuda yang berangkat malam tadi, maka malam nanti prajurit Pajang yang dipersiapkan di Jati Anom sudah akan mencapai tempat ini. Tetapi aku tidak tahu, apakah jumlah prajurit Pajang itu cukup memadai. Apakah para pemimpin mereka memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan para pemimpin perguruan-perguruan yang bakal berbicara di antara mereka itu." "Tetapi para petugas sandi Pajang itu tentu sudah membuat laporan terperinci."
"Para pemimpin prajurit kadang-kadang kehilangan kecermatan mereka jika mereka mulai dikuasai oleh hasrat mereka menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap melawan kekuasaan Pajang. Meskipun demikian, aku masih berharap bahwa para prajurit itu akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik." Paksi termangu-mangu sejenak. Ia mulai membayangkan pertempuran yang sengit antara para prajurit Pajang dengan beberapa perguruan yang sedang berkumpul di lereng Gunung Merapi ini. Namun Wijangpun kemudian berdesis, "Tetapi jika orangorang dari beberapa perguruan itu menyadari, bahwa yang mengintai persiapan semalam adalah prajurit Pajang, maka mereka tentu akan berpikir dua kali untuk melangsungkan pertemuan sebagaimana mereka rencanakan." "Agaknya mereka tidak menghubungkan kehadiran orangorang yang mengintainya semalam dengan prajurit Pajang." "Nampaknya Ki Nukilan dengan sengaja mempergunakan sepasang bindi sebagai senjatanya. Kehadiranmu dengan tongkat juga menyesatkan orang-orang dari beberapa perguruan itu, karena menurut perhitungan mereka, para prajurit tidak akan mempergunakan senjata seperti itu. Para prajurit tentu akan mempergunakan senjata yang umum dipergunakan. Misalnya pedang atau tombak pendek." Paksi mengangguk sambil berdesis, "Mudah-mudahan para prajurit tidak justru terjebak." Wijang menarik nafas panjang. Sambil duduk di atas sebongkah batu padas ia memandang ke kejauhan. Hutan lereng pegunungan yang lebat memagari satu lingkungan yang terbuka di antara gumuk-gumuk kecil di kaki gunung, nampak hijau kegelapan. Cahaya matahari yang semakin terik terpantul di wajah daun-daun yang berdesakan. Tiba-tiba saja Paksi bertanya, "Apakah Ki Nukilan benarbenar sudah siap?" "Mudah-mudahan, "desis Wijang. "Aku juga sedang memikirkannya."
"Jumlah orang yang akan berkumpul tentu akan cukup banyak. Setiap pemimpin perguruan akan mempersiapkan para pengikutnya di sekitar tempat itu. Seandainya mereka tidak merasa terganggu, agaknya mereka juga akan menyiapkan orang-orangnya. Apalagi setelah mereka mempunyai alasan yang kuat." "Ya. Mereka sebenarnya juga saling mencurigai," Wijang bergumam seakan ditujukan kepada diri sendiri. "Tetapi apakah Ki Nukilan dan Ki Rangga Suraniti tidak tinggal bersama-sama di satu tempat sehingga mereka perlu bertemu dan berbicara di pasar?" "Tentu tidak. Untuk tidak menarik perhatian. Banyak orangorang dari berbagai perguruan yang berkeliaran. Tetapi juga pantas diperhatikan orang-orang padukuhan yang sudah dipengaruhi oleh orang-orang dari berbagai perguruan yang dibayangi oleh keinginan untuk menatap masa depan itu. Menurut dugaanku, selain beberapa perguruan, tentu masih ada orang yang berusaha untuk memiliki cincin itu yang datang tidak dalam kelompok-kelompok yang besar. Tetapi seorang-seorang atau dua orang yang juga merasa melihat cahaya langit yang jatuh di sekitar tempat ini atau melihat semacam teja yang bercahaya mencuat menusuk langit atau melihat isyarat apapun." Paksi mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Apa sebenarnya yang telah mereka lihat?" "Aku tidak tahu. Tetapi aku percaya bahwa memang ada benda langit yang pernah jatuh di bumi. Mungkin semacam batu bintang atau apapun namanya." "Jadi bukan cincin itu?" "Bukankah cincin itu masih tetap ada padaku?" Paksi mengangguk-angguk. Cincin itu memang masih tetap berada di tangan Wijang. Demikianlah, keduanyapun kemudian duduk merenung. Bagaimanapun juga mereka merasa cemas. Jika sekelompok prajurit Pajang itu jumlahnya tidak memadai, maka mereka justru akan mengalami kesulitan. Apalagi di tempat itu akan
berkumpul orang-orang berilmu tinggi. Para pemimpin dari beberapa perguruan itu merupakan lawan yang sangat berat bagi para pemimpin kelompok-kelompok prajurit yang akan berusaha menguasai mereka. Wijang yang kemudian bangkit sambil menggeliat berdesis, "Aku percaya kepada para petugas sandi Pajang, sehingga para prajurit itu tidak akan terjebak dalam kesulitan." "Tetapi kita akan berada dimana" Jika para prajurit itu akan datang dan mengepung tempat itu, maka pertempuran akan terjadi di luar tempat terbuka itu. Di semak-semak atau di pinggir hutan atau di lembah di sebelah bukit kecil itu." "Ya, pertempuran akan dapat terjadi dimana-mana. Tetapi kita sebaiknya tetap berada di tempat yang sudah kita pilih. Para prajurit itu tentu baru akan datang dan mengepung tempat itu setelah pertemuan itu berlangsung. Lewat tengah malam." Paksi mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Wijang. Mereka berdua harus sudah berada di tempat persembunyian mereka sebelum segalanya itu terjadi. Meskipun demikian, Paksi itupun berkata, "Aku menduga bahwa tempat itu tentu sudah diawasi oleh para murid dari berbagai perguruan itu sejak malam turun." "Ya. Aku juga memperkirakan demikian. Karena itu, kita harus sudah berada disana. Kita tidak boleh terlalu dekat dengan tempat terbuka itu. Kita akan berada di tempat pilihan kedua. Menurut perhitungan, tempat itu cukup jauh. Tetapi para prajurit yang mengepung tempat itu, akan berada pada jarak yang lebih jauh lagi dari sasaran." Paksi termangu-mangu sejenak. Ia membayangkan satu lingkungan yang rumit, yang setiap jengkal mendapat pengawasan yang teliti. Namun yang kemudian akan berada di dalam lingkaran kepungan para prajurit Pajang. Wijang seakan-akan dapat membaca perasaan Paksi. Karena itu, maka iapun berkata, "Kita akan melakukan satu pekerjaan yang berat dan rumit. Tetapi bukankah tantangan seperti itu yang membuat kita menjadi semakin dewasa?"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Dan kita ingin menjadi dewasa." Namun Wijang tersenyum sambil berkata, "Kita akan bertambah dewasa, atau kita tidak akan pernah menjadi dewasa." Paksipun tertawa. Katanya, "Pajang tidak akan kehilangan seorang pangeran." "Ah, kau," sahut Wijang. "Sejak beberapa waktu yang lalu, Pajang telah kehilangan seorang pangeran. Tetapi pangeran yang tidak berarti apa-apa bagi Pajang." "Kenapa tidak" Tentu sekarang istana Pajang menjadi muram karena Pangeran Benawa tidak berada di istana dan tidak diketahui kemana perginya." "Bukan hanya seorang pangeran. Orang yang kehilangan anaknya tentu akan mencarinya." "Tetapi aku justru dihalau untuk meninggalkan rumahku." "Sudahlah," potong Wijang. "Seandainya kau tidak pergi meninggalkan rumahmu apapun alasannya, maka kau tidak akan menjadi seorang yang berilmu seperti sekarang ini." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ternyata aku telah menemukan sesuatu di dalam pengembaraan ini." Wijang tidak mengatakan sesuatu lagi. Sementara itu, Paksipun berkata, "Apakah kita akan makan sekarang?" "Aku juga sudah lapar." Demikianlah, maka keduanyapun telah duduk menghadapi mangkuk mereka masing-masing. Nasi yang dingin dan sayur serta lauk yang sudah dingin pula. Hari itu keduanya telah memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Berbaring di bawah pepohonan yang rindang di luar gubuk mereka. Menikmati silirnya angin lereng gunung yang lembut, yang mengusap tubuh mereka. Baik Paksi maupun Wijang membiarkan dada mereka terbuka. Ketika matahari turun di sisi barat, maka keduanyapun telah mempersiapkan diri. Mereka pergi ke gerojogan untuk mandi. Mengenakan pakaian yang berwarna gelap dan mempersiapkan nalar dan budi untuk melakukan satu kerja
yang penuh dengan bahaya. Bahkan kemungkinan yang terburuk akan dapat terjadi atas mereka. Mereka akan dapat berhadapan dengan orang-orang dari beberapa perguruan itu, tetapi jika terjadi salah paham, maka merekapun akan dapat berhadapan dengan para prajurit Pajang. Demikian langit menjadi merah, maka kedua orang anak muda itu sudah siap. Paksi telah mempersiapkan tongkatnya, sementara Wijang telah mengamati pelindung pergelangan tangannya serta sepasang pisaunya yang ujudnya sederhana. Tetapi besi bajanya bukan besi yang sederhana. Pamornya bagaikan berkeredipan di bawah cahaya senja. Demikianlah, maka keduanyapun meninggalkan gubuk kecil mereka untuk melakukan beban tugas yang mereka letakkan di pundak mereka sendiri. Ketika keduanya sampai di tempat yang akan menjadi tempat pertemuan para pemimpin perguruan itu, langit sudah menjadi hitam. Tempat itu masih sepi. Belum nampak seorangpun yang berada di tempat itu. Wijang dan Paksipun segera menempatkan diri. Seperti seorang yang akan menonton wayang topeng yang datang lebih awal untuk mendapatkan tempat terbaik sebelum penonton yang lain berdatangan di tempat pertunjukan. Namun seperti yang sudah mereka duga, beberapa saat kemudian, maka kelompok-kelompok kecil orang-orang dari berbagai perguruan telah berdatangan. Mereka mengamati tempat itu sebaik-baiknya. Mereka menyibak gerumbulgerumbul perdu di sekitar tempat terbuka itu. Mereka mengamati setiap tempat yang mereka curigai dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Tetapi mereka menyibak semak-semak pada jarak tertentu. Di luar jarak itu, mereka anggap sudah terlalu jauh untuk mengintai pembicaraan orang-orang yang akan hadir di tempat yang terbuka itu. Karena itu, maka tidak seorang pun di antara mereka yang mengamati gerumbul perdu sampai ke tempat Wijang dan Paksi bersembunyi. Jarak itu terlalu panjang. Namun dengan
Aji Sapta Pangrungu dan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi akan dapat menyaksikan dan mendengarkan dengan jelas apa yang akan mereka bicarakan di lapangan rumput itu. Namun Wijang dan Paksipun yakin, bahwa tempat itu tentu sudah dilingkari kekuatan yang besar dari perguruanperguruan yang terlibat dalam pertemuan itu. Kecuali mereka berusaha untuk mengamankan lingkungan, sebenarnyalah bahwa mereka saling curiga, sehingga mereka tidak ingin pemimpin mereka mengalami kesulitan dalam pertemuan itu. Sedangkan di luar lingkaran pengamanan orang-orang dari berbagai macam perguruan itu, prajurit Pajang akan datang mengepung mereka dan berusaha menangkap para pemimpinnya. Suasana di tempat itupun menjadi sangat mencengkam. Orang-orang yang berkeliaran itu nampak tegang. Yang satu mengawasi yang lain dengan penuh kecurigaan. Wijang dan Paksipun menjadi tegang pula di tempat persembunyiannya. Mereka menyadari bahwa sebentar lagi akan terjadi pertempuran yang sengit jika Ki Rangga Suraniti tidak merubah rencananya. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri di tempat mereka bersembunyi sambil menunggu. Menjelang tengah malam, maka suasanapun telah berubah. Orang-orang dari berbagai perguruan yang berkeliaran itupun mulai menyibak. Tidak ada pertanda bunyi apapun. Namun begitu saja Gedhag Panunggul telah berada di lapangan rumput itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah mendekatinya sambil membungkuk hormat. "Kau memang dungu," bentak Gedhag Panunggul. "Sudah aku katakan, jangan ada yang berkeliaran disini. Biarlah orang-orang yang masih ingin mengintip pertemuan itu datang dan bersembunyi di sekitar tempat ini. Aku memerlukan mereka." Orang yang mengangguk hormat itu menjawab dengan ragu,
"Tetapi kawan-kawan dari perguruan lain menghendaki tempat ini diamankan. Meskipun kami tidak berbuat apa-apa disini, namun mereka telah menyibak gerumbul-gerumbul liar serta semak-semak perdu." "Mereka memang bodoh dan tidak berotak," geram Gedhag Panunggul. "Kami tidak dapat mencegah mereka." Gedhag Panunggul menggeram, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya sudah terlanjur. Katanya, "Jika orang-orang itu datang lagi, mereka tidak akan berani mendekat. Mereka akan bersembunyi di tempat yang jauh sehingga kita tidak akan dapat menangkapnya." Namun dalam pada itu, terdengar seseorang tertawa. Sambil melangkah mendekat, orang itu berkata, "Sudahlah, Gedhag Panunggul. Jangan disesali. Kita tidak memerlukan orang-orang gila itu. Bahkan aku yakin mereka tidak akan berani datang lagi. Jika mereka memang ingin datang, serta mereka berilmu tinggi, maka mereka akan dapat menghindar dari pengamatan murid-murid kita." "Sima Pracima," geram Gedhag Panunggul, "ternyata kau juga sebodoh murid-muridmu." "Jangan berkata begitu di hadapan murid-muridku. Aku adalah orang yang mereka hormati. Akupun tidak akan merendahkanmu di hadapan murid-muridmu meskipun aku tahu, bahwa otakmu adalah otak yang tumpul." "Setan kau," sahut Gedhag Panunggul. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, terdengar orang lain berkata, "Sima Pracima memang gila. Ia tidak ingin merendahkan Gedhag Panunggul di hadapan murid-muridnya. Tetapi ia sudah menyebut bahwa otak Gedhag Panunggul adalah otak yang tumpul." "Kau juga iblis," geram Gedhag Panunggul. Sementara itu Sima Pracimapun bergumam, "Wira Bangga." "Sebenarnya aku ingin pertemuan ini diselenggarakan di tempat lain. Aku curiga, bahwa orang-orang yang semalam
datang kemari adalah orang-orang Pajang. Orang-orangku pernah melihat kesiagaan prajurit Pajang di Prambanan." "Mereka terdiri dari dua kelompok yang berbeda dan tidak saling mengenal," berkata Sima Pracima. "Orang-orangku mendengar mereka saling mempertanyakan diri masingmasing. Tetapi mereka tidak mau menyebutkannya. Senjata merekapun tidak menunjukkan jenis senjata yang dipakai oleh para prajurit. Ada di antara mereka yang mempergunakan sepasang bindi ada yang mempergunakan tongkat dan pisaupisau belati." Gedhag Panunggul tertawa. Katanya, "Wira Bangga, kenapa tiba-tiba kau menjadi penakut" Seandainya mereka orang-orang Pajang, apa keberatanmu" Jika mereka datang dengan sekelompok prajurit sekalipun, kita akan melumatkan mereka. Permusuhan dengan Pajang memang sudah lama dicanangkan. Perang terbuka tidak akan menggetarkan kita. Kitapun tidak akan lama berada disini, sehingga jika datang pasukan yang lebih besar, lingkungan ini sudah sepi. Cahaya yang kita lihat turun dari langit memang belum tentu mengisyaratkan, bahwa benda itulah yang kita cari." "Tetapi apakah kita akan meyakinkannya lebih dahulu?" bertanya Wira Bangga. "Setiap malam aku berada di tempat terbuka. Aku masih belum melihat isyarat apapun yang dapat menunjukkan tempat cincin bermata tiga itu." "Jika demikian, malam ini kita akan bertahan," berkata Sima Pracima. "Tetapi untuk selanjutnya, terserah kepada kita masing-masing. Apakah kita masih akan tetap berada di sekitar tempat yang semula kita yakini menjadi tempat persemayaman cincin itu, atau ada di antara kita yang akan mencari di tempat lain. Tetapi persetujuan yang nanti akan kita capai akan tetap mengikat." Tetapi seorang perempuan yang kemudian datang menyahut dengan suara melengking, "Apakah pembicaraan sudah dimulai sebelum aku datang?"
"Nyi Melaya Werdi," ketiga orang itu hampir berbareng berdesis. "Kenapa kalian tidak menunggu kita semua hadir?" "Kau kira, kau dapat melarang kami berbicara" Apa hakmu Nyi Melaya Werdi?" "Bukankah kita sepakat untuk berbicara dalam satu pertemuan yang akan mengikat kita semuanya?" "Apakah kami telah menghambat pertemuan itu?" bertanya Sima Pracima. "Tetapi pembicaraan yang sudah memasuki persoalan pokok dari permasalahan yang akan kita bicarakan, akan membuat pembicaraan kita tidak wajar lagi. Tidak menarik dan keputusan terakhir seakan-akan telah dipersiapkan lebih dahulu oleh beberapa orang di antara mereka." "Kau terlalu curiga," berkata Wira Bangga. "Jangan berprasangka seperti itu. Marilah, kemarilah." Perempuan yang disebut Nyi Melaya Werdi itupun melangkah mendekat. Ki Wira Bangga tersenyum sambil berdesis, "Kau masih tetap cantik, Nyi. Sudah berapa lama kita tidak bertemu. Mungkin aku sudah menjadi bertambah tua, tetapi kau tidak." "Kau masih tetap buaya," geram Nyi Melaya Werdi. "Kau masih tetap seekor burung gelatik liar." "Sudah, sudah," potong Nyi Melaya Werdi. "Aku datang untuk berbicara tentang kedudukan dan hubungan kita agar kita tidak saling membunuh." Ki Sima Pracima tertawa. Katanya, "Kedatanganmu membuat malam ini terasa segar, Nyi. Kegilaan Wira Bangga akan menyurukkan dirinya ke dalam kerangkeng-kerangkeng yang kau siapkan di padepokanmu." "Cukup," teriak Nyi Melaya Werdi. "Kau tidak usah iri, Ki Sima Pracima. Aku tidak menyiapkan kerangkeng untuk mengurung seekor harimau yang buas seperti kau." Sima Pracima tertawa semakin keras. Katanya, "Kau tidak usah menyiapkan kerangkeng itu. Aku akan membawa
kerangkengku sendiri. Yang aku perlukan hanya tempat yang khusus di dalam goamu itu." "Apakah aku harus membungkam mulut kalian?" geram Nyi Melaya Werdi. "Nyi," berkata Gedhag Panunggul, "mungkin aku akan berbicara lebih sopan. Di mana adikmu, Megar Permati?" "Ia tidak mau aku ajak kemari. Ia tahu benar sifat kalian. Tetapi malam ini ia ada disini." Gedhag Panunggul tersenyum. Katanya, "Ia mengira bahwa kami tidak tahu bahwa ia mempunyai kerangkeng khusus di padepokanmu." "Justru karena itu, ia tidak memerlukan kalian." Suara tertawapun meledak. Namun tiba-tiba terdengar seorang perempuan membentak, "Cukup. Jangan sebut lagi namaku." "Ternyata kau mendekat juga, Megar." "Tidak. Aku lebih senang berada di luar lingkaran pembicaraan ini." Megar Permati tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meninggalkan beberapa orang yang memandanginya dengan kagum. Dua orang perempuan yang lain dengan pedang di lambung menunggunya dan kemudian bersama-sama menghilang di dalam gelap. Namun tiba-tiba Melaya Werdipun bertanya, "Siapa yang kita tunggu?" "Kerbau tua itu," jawab Wira Bangga. "Masih ada lagi. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." "Apa yang akan dilakukan kedua orang yang sudah mulai rapuh itu" Mereka menyangka bahwa mereka masih tetap orang yang disegani di antara kita." "Mungkin pikirannya masih berarti bagi kita," desis Gedhag Panunggul. "Tetapi jika keduanya menuntut yang bukanbukan, kita akan melemparkannya keluar dari pembicaraan ini."
Sima Pracimapun menyahut, "Keduanya masih mampu memamerkan ilmu mereka dengan menakut-nakuti anak-anak beberapa hari yang lalu." "Aku juga mendengarnya," desis Nyi Melaya Werdi. "Sepasang iblis itu tentu merasa berhasil karena kita segera menyelenggarakan pertemuan ini." "Biar saja apapun yang mereka rasakan. Mungkin mereka merasa memiliki kelebihan dari kita semuanya," desis Wira Bangga. Mereka berhenti sejenak ketika mereka melihat seorang yang kumis dan janggutnya sudah memutih. Beberapa helai rambutnya yang tergerai mencuat dari bawah ikat kepalanya juga sudah nampak memutih. "Ki Kebo Serut sudah datang," desis Gedhag Panunggul. Ternyata bahwa para pemimpin perguruan yang menyelenggarakan pertemuan itu masih juga menaruh hormat kepada orang tua. Karena itu, merekapun serentak menyambut kedatangannya. Nyi Melaya Werdilah yang kemudian mempersilahkan, "Marilah, Paman. Kita menunggu kedatangan Paman." "Terima kasih, terima kasih Melaya Werdi. Eh, kau masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Bibirmu yang tipis itu menjadi ciri keramahanmu." "Giginya miji timun, Paman," desis Wira Bangga. "Setan kau," geram Nyi Melaya Werdi. Ki Kebo Serut itu tertawa. Meskipun rambutnya sudah putih yang menjadi ciri ketuaannya, tetapi Kebo Serut tetap seorang yang bertubuh kekar dan tegar. "Aku dengar Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan datang dalam pertemuan ini." "Ya, Paman," jawab Nyi Melaya Werdi. "Apakah mereka sudah datang?" "Belum, Paman." "Keduanya adalah orang-orang yang terlalu sombong dan berbangga diri atas kelebihan mereka. Tetapi keduanya adalah
orang yang baik. Mereka pernah menghadiahkan lima ekor lembu kepadaku." "Hanya lima ekor lembu" Bukankah kita masing-masing akan dapat mengambil lebih dari sepuluh ekor lembu semalam jika kita kehendaki." "Yang penting bukan lima ekor atau sepuluh ekor. Bahwa mereka memberikan hadiah kepadaku itulah yang aku hargai. Nampaknya mereka benar-benar ingin menghormati orang tua." Kebo Serut itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Siapa di antara kalian yang pernah memberikan hadiah kepadaku, dalam ujud apapun?" Orang-orang yang ada di sekitarnya saling berpandangan sejenak. Namun Nyi Melaya Werdilah yang menjawab, "Sebenarnya ada juga niat mengirimkan sejodang nasi gurih dengan sepuluh ingkung ayam jantan yang masih muda. Tetapi aku tidak tahu dimana Paman berada. Paman jarang sekali berada di perguruan Paman." Ki Kebo Serut tertawa. Katanya, "Lain kali aku menunggu kau mengirimkan sejodang makanan, Melaya Werdi. Kau tentu masih tangkas memasak. Aku tidak akan takut bahwa kau akan memberi guna-guna di dalam makananmu. Bahkan aku tentu akan merasa beruntung." "Ah, Paman mengada-ada." Kebo Serut tertawa. Tetapi sekali lagi ia bertanya, "Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum datang?" Sebelum ada yang menjawab, maka mereka telah melihat dua orang laki-laki dan perempuan memasuki lingkungan yang terbuka itu. Gedhag Panunggulpun berdesis, "Itulah mereka." Sebenarnyalah yang datang itu adalah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Demikian mereka mendekat, maka Repak Rembulungpun bertanya dengan nada berat, "Apakah semua sudah berkumpul?" Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka Repak Rembulungpun berkata, "Sudah tengah malam. Kita akan mulai pertemuan ini. Kita harus segera mengambil beberapa keputusan yang menguntungkan kita semua."
Kebo Serutlah yang kemudian melangkah maju mendekati Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. "Kau ini mabuk tuak atau mabuk kecubung. Kau datang terakhir. Tiba-tiba saja kau seakan-akan berhak memerintah kami." Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Kemudian sambil mengangguk hormat ia berkata, "Maaf, Paman Kebo Serut. Aku tidak memerintah. Aku hanya ingin menepati perjanjian. Pertemuan ini akan diselenggarakan di tempat ini pada tengah malam." "Lewat tengah malam," sahut Gedhag Panunggul. "Bukankah itu tidak penting," berkata Kebo Serut. "Kenapa kita harus mulai dengan ketegangan hanya karena soal-soal kecil saja?" Repak Rembulungpun tidak menyahut. Sementara yang lainpun masih berdiam diri. "Nah," berkata Kebo Serut, "jika semuanya sudah hadir, marilah kita mulai pertemuan kita ini. Tanpa ketegangan, tanpa kebanggaan diri dan kesombongan yang tidak berguna sama sekali. Kita tidak perlu mengangkat harga diri kita dengan tingkah laku yang aneh-aneh. Bukankah kita sudah saling mengenal" Sudah saling mengerti dan mengetahui pribadi kita masing-masing. Karena itu, marilah kita bersikap wajar saja." Para pemimpin perguruan yang berkumpul itu tidak ada yang menjawab. Repak Rembulung dan Pupus Rembulungpun hanya berdiam diri saja. Sementara Kebo serut itu berkata selanjutnya, "Marilah, kita duduk di sebelah batu besar itu. Tetapi aku harus mendapat tempat sehingga aku dapat bersandar. Punggungku sudah mulai terasa pegal-pegal. Aku memang sudah tua." Tiba-tiba saja Nyi Melaya Werdi menyela, "Sejak kapan Paman merasa menjadi tua?" Kebo Serut itu tertawa. Katanya, "Hanya kadang-kadang saja aku merasa menjadi tua." Nyi Melaya Werdipun tertawa pula. Namun Pupus Rembulung tiba-tiba saja berdesis, "Kau tidak pantas hadir
dalam pertemuan seperti ini, Melaya Werdi. Pikiranmu yang kotor itu selalu saja kau bawa tanpa menghiraukan suasana." Wajah Nyi Melaya Werdi menjadi merah. Dengan nada tinggi iapun menjawab, "Apa pedulimu" Kau kira hatimu bersih seputih kapas" Atau kau merasa iri karena tingkah lakumu selalu dibatasi oleh kehadiran suamimu?" "Kenapa kau tidak mempunyai seorang suami?" sahut Pupus Rembulung. Sebelum Nyi Melaya Werdi menjawab, terdengar Ki Kebo Serut tertawa pula. Katanya, "Dalam segala keadaan, dalam segala suasana, dimanapun mereka berada, perempuan tentu merasa saling bersaing. Sudahlah. Bukankah kita bertemu sekarang untuk berbicara justru menghindari benturanbenturan yang tidak berarti?" Nyi Melaya Werdipun berusaha menahan diri. Demikian pula Nyi Pupus Rembulung. "Marilah. Sudah lewat tengah malam." Para pemimpin perguruan itupun kemudian telah melangkah mendekati batu yang besar itu. Merekapun segera duduk di atas rerumputan kering, membentuk sebuah lingkaran. "Jangan terlalu tegang," berkata Kebo Serut. "Nah, sekarang siapakah yang akan memimpin pertemuan ini. Bukan berarti bahwa untuk melanjutkan kita harus mengakuinya sebagai pemimpin kita semuanya." Semuanya terdiam. Nampaknya pengaruh ketuaan Ki Kebo Serut masih mengikat mereka semuanya. Wira Banggalah yang kemudian berkata, "Biarlah yang tertua di antara kita untuk sementara kita akui sebagai pemimpin kita, sehingga ia akan memimpin pertemuan ini." "Agaknya itulah yang terbaik," sahut Gedhag Panunggul. "Aku setuju. Siapa yang tidak?" berkata Repak Rembulung. Ternyata tidak ada yang merasa berkeberatan. Merekapun kemudian telah menetapkan, Ki Kebo Serut akan memimpin pertemuan itu.
Wijang dan Paksi mengikuti semua yang terjadi itu dengan jantung yang berdebaran. Justru karena mereka memperhitungkan bahwa sebentar lagi, pasukan prajurit dari Pajang akan datang mengepung dan menyerang pertemuan itu. Dalam pada itu, tempat yang terbuka itupun telah menjadi hening. Para cantrik dari beberapa perguruan yang semula berkeliaran di sekitar tempat itu sudah bergeser menjauh. Mereka kemudian berada di luar lingkungan lapangan rumput itu. Mereka tahu, bahwa mereka tidak boleh mengganggu atau mendengarkan pembicaraan para pemimpin dan guru mereka. Tetapi baru saja Ki Kebo Serut membuka pertemuan itu, maka mereka telah dikejutkan sebuah anak panah sendaren yang meluncur ke udara. Anak panah yang meluncur dari semak-semak yang agak jauh dari tempat terbuka itu. Wijang dan Paksipun terkejut pula. Begitu cepatnya isyarat itu diberikan. "Siapakah yang telah melontarkan isyarat itu?" bertanya Paksi berbisik. "Itulah kelebihan para petugas sandi Pajang. Tentu ada diantara mereka yang sempat menyusup di antara perguruanperguruan yang sedang mengadakan pertemuan itu." "Apakah panah sendaren itu memberikan isyarat agar para prajurit itu menyerang?" "Nampaknya begitu. Tetapi petugas sandi yang dengan kelebihannya mampu menyusup di antara perguruan yang terlibat dalam pertemuan ini, agaknya terlalu tergesa-gesa. Kita belum mendengar persoalan apakah yang akan mereka bicarakan." "Tentang cincin itu?" "Mereka akan mencari jalan agar tidak terjadi benturanbenturan di antara mereka. Justru dalam pencarian. Mungkin juga setelah cincin itu mereka ketemukan," desis Wijang. Namun kemudian katanya, "Tetapi menilik sifat dan watak para pemimpin mereka itu, mereka tidak akan pernah
menemukan kesepakatan yang berumur panjang. Meskipun demikian, sebenarnya aku ingin mendengar langkah apa yang dalam waktu dekat akan mereka ambil." Wijang berhenti berbicara. Mereka melihat para pemimpin perguruan itu telah bangkit berdiri. Dua orang yang nampaknya dari perguruan yang berbeda telah berlari-lari menghampiri para pemimpin yang sedang termangu-mangu itu. "Tempat ini telah dikepung oleh sekelompok prajurit dan orang-orang yang tidak kita kenal." "Setan," geram Wira Bangga. "Aku sudah menduga." "Lalu kenapa?" bertanya Gedhag Panunggul. Katanya kemudian, "Kita akan menghancurkan mereka." "Aku sudah lama tidak berkelahi," berkata Sima Pracima. "Biarlah mereka datang. Aku ingin tahu, apakah ada di antara mereka yang berilmu tinggi." Kebo Serut tertawa. Katanya, "Prajurit-prajurit Pajang itu memang dungu. Ia telah meloncat ke dalam api yang akan dapat membakar diri mereka sendiri. Apa yang pernah dilihat oleh para cantrik Wira Bangga itu juga pernah dilihat oleh orang-orangku pula. Tetapi prajurit Pajang di Prambanan itu terlalu lemah untuk dapat menguasai kita malam ini." "Aku akan berburu malam ini," desis Nyi Melaya Werdi. "Kau memang perempuan gila yang tidak pantas berada di lingkungan kami," geram Pupus Rembulung. Nyi Melaya Werdi tertawa. Katanya, "Jangan menyesali nasibmu karena kau telah mengikat diri dengan seorang suami." "Iblis betina." Yang terdengar kemudian adalah suara Nyi Melaya Werdi yang melangkah ke dalam kegelapan, "Apakah kalian akan menunggu disitu" Aku akan mencari Megar Permati." Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang beranjak pergi. Agaknya mereka lebih senang menunggu laporan-laporan berikutnya.
Namun tiba-tiba saja Repak Rembulungpun berkata, "Marilah kita lihat, apa yang terjadi?" Tetapi jawaban Pupus Rembulung mengurungkannya, "Kau akan ikut perempuan gila itu?" "Bukan maksudku," jawab Repak Rembulung dengan sertamerta. Kebo Serut tertawa pula. Sambil menepuk bahu Pupus Rembulung, orang tua itu berkata, "Jangan cepat menjadi cemburu. Nyi Melaya Werdi memang cantik. Tetapi kau tidak kalah cantiknya. Hanya bedanya, Melaya Werdi selalu berhias diri seperti seorang pengantin. Kau tidak. Tetapi bukan berarti kewajaran ujud akan tenggelam dibandingkan dengan pulasan yang berlebihan." "Ah, Paman," desis Pupus Rembulung, "aku tidak cemburu." Orang-orang yang mendengarnya tertawa. Wira Banggapun berkata, "Tidak seorang pun di antara kami yang berani memuji kecantikan Nyi Pupus Rembulung, kecuali Paman Kebo Serut. Kami tidak ingin Ki Repak Rembulung menjadi salah paham." "Sudah. Kami bukan sekedar bahan kelakar disini," sahut Repak Rembulung. "Marilah, kita sudah menghadapi bahaya. Tetapi kita ingin menunggu disini, apa yang akan terjadi." Ternyata yang lain pun tetap berada di tempatnya. Dua orang yang telah memberikan laporan itupun masih menunggu pula. Wijang dan Paksi masih berada di tempatnya. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi. Tetapi ketajaman pendengaran mereka yang dilandasi Aji Sapta Pangrungu telah mendengar suara riuh. Bahkan kemudian terdengar sorak gemuruh di beberapa tempat di sekitar lingkungan pertemuan antara para pemimpin perguruan itu. Para pemimpin perguruan yang berdiri tidak jauh dari batu hitam yang ada di tengah-tengah tempat terbuka itupun
agaknya telah mendengar pula. Kepada dua orang yang masih berdiri di tempatnya, Kebo Serutpun berkata, "Cari keterangan yang lebih terperinci." Kedua orang itu mengangguk hormat. Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah meninggalkan para pemimpin perguruan yang berdiri termangu-mangu itu. Suara sorak dan teriakan-teriakan menjadi semakin jelas. Pertempuran agaknya benar-benar telah pecah. Sebenarnyalah panah sendaren yang dilepaskan oleh salah seorang petugas sandi itu merupakan isyarat, bahwa saat yang paling tepat sudah tiba bagi para prajurit Pajang untuk menyerang orang-orang yang sedang berkumpul di kaki Gunung Merapi itu. Beberapa saat kemudian, maka beberapa orang telah berlari-lari pula mendapatkan para pemimpin perguruan yang sedang mengadakan pembicaraan itu. "Pertempuran terjadi di segala arah, Ki Wira Bangga," salah seorang murid Wira Bangga itupun memberikan laporan dengan nafas yang terengah-engah. "Jumlah mereka cukup banyak," berkata yang lain. "Bukankah jumlah para prajurit Pajang di Prambanan tidak begitu banyak?" "Yang sebagian bukan prajurit Pajang," sahut yang lain lagi. "Siapakah mereka itu?" bertanya Ki Gedhag Panunggul. "Kami belum tahu, Ki Lurah," jawab salah seorang pengikut Gedhag Panunggul. "Bagus," geram Ki Kebo Serut, "kita akan segera mengetahui, siapakah lawan kita yang sebenarnya." "Kerahkan semua orang," berkata Sima Pracima. Lalu iapun bertanya kepada Repak Rembulung, "He, apakah kau bawa para pengikutmu." "Mereka ada disini," jawab Repak Rembulung. "Bagus. Kita akan melumatkan mereka. Aku tidak yakin, bahwa para prajurit itu bertempur atas perintah Panglima Prajurit Pajang."
"Jadi untuk siapa mereka bertempur menurut pendapatmu?" bertanya Pupus Rembulung. "Mereka bertempur untuk kepentingan sekelompok orang yang sebenarnya tidak beritikad lebih baik dari kita bagi Pajang," jawab Ki Kebo Serut. Dalam pada itu, Paksipun berdesis, "Bagaimana menurut pendapatmu, Wijang?" "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi," jawab Wijang. Paksi tidak bertanya lagi. Pertempuran itu agaknya telah menjadi semakin sengit. Dimana-mana terdengar sorak gemuruh serta teriakan-teriakan yang bagaikan mengguncang Gunung Merapi. Sebenarnyalah bahwa pertempuran telah berlangsung di sekitar tempat yang terbuka itu. Demikian anak panah sendaren itu dilepaskan, maka Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan telah memerintahkan para prajurit untuk menyerang dari segala arah. Untuk beberapa saat Wijang dan Paksi menunggu. Jika pertempuran itu merambat sampai ke tempat mereka bersembunyi, maka mereka harus dengan cepat menyingkir. Tetapi yang mereka lihat kemudian, beberapa orang justru telah menembus sampai ke lapangan rumput yang terbuka itu. Para pemimpin dari beberapa perguruan yang sedang berkumpul itupun segera mempersiapkan diri. Mereka mulai berpencar. Para cantrik serta pengikut merekapun telah mengikuti para pemimpin perguruan mereka. Sementara yang lain berusaha untuk menahan orang-orang yang datang menyerang itu memasuki lapangan rumput. Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Dengan ketajaman penglihatannya yang dilandasi Aji Sapta Pandulu, maka Wijangpun melihat bahwa sebagian dari mereka yang menyerang tempat itu bukanlah prajurit. Wijang dapat mengenali mereka dari senjata mereka, cara mereka bertempur dan sikap mereka dalam kebersamaan. Para prajurit yang sudah terlatih dalam perang gelar, akan dapat saling mengaitkan diri yang satu dengan yang lain dengan
sebaik-baiknya. Mereka tidak saja mengandalkan kemampuan pribadi, tetapi mereka mampu saling mengisi dan saling mendukung dalam kesulitan yang timbul di medan. Tetapi sekelompok orang di antara mereka bertempur benar-benar atas dasar keyakinan kemampuan pribadi mereka masing-masing. Meskipun bukan berarti tidak ada kerja sama sama sekali, tetapi kadarnya hanya kecil sekali dibandingkan dengan mengandalkan kemampuan pribadi mereka masingmasing. "Sebagian dari mereka memang bukan prajurit," desis Wijang. Ia termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kita akan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya." Paksipun terdiam. Diperhatikannya pertempuran yang terjadi di lapangan rumput itu, sementara di beberapa tempat yang lain, pertempuranpun berlangsung dengan serunya pula. Dentang senjata beradu berbaur dengan teriakan-teriakan mereka yang bertempur. Hentakan kemarahan, aduh kesakitan dan sorak kemenangan-kemenangan kecil di berbagai sudut medan yang luas itu. Gerumbul dan semak-semakpun tersibak. Ranting-ranting berpatahan dan daun-daunpun berguguran runtuh di tanah. Darah mulai mengalir membasahi lereng Gunung Merapi. Ujung-ujung senjata mulai merah dan jantungpun menjadi seakan-akan membara. Wira Bangga tidak lagi dapat menahan diri. Tiba-tiba saja iapun telah meloncat memasuki arena pertempuran. Goloknya yang besar dengan cepat telah mematuk korbannya. Tetapi seorang yang bertubuh tinggi tegap telah menyongsongnya, sehingga keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. "Siapakah orang yang bertubuh raksasa itu, Wijang?" bertanya Paksi. Wijang menggeleng. Katanya, "Aku belum mengenalnya. Tetapi nampaknya ia juga berilmu tinggi, sehingga mampu mengimbangi ilmu Wira Bangga."
Paksi menjadi tegang. Ia melihat Ki Rangga Suraniti sudah terlibat dalam pertempuran melawan Ki Kebo Serut. Sementara Ki Nukilan bertempur melawan Sima Pracima. Dua orang yang tidak dikenal oleh Wijang segera terlibat dalam pertempuran melawan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sengit, keras dan bahkan kemudian menjadi kasar. Orang-orang berilmu tinggi itu telah meningkatkan ilmu mereka dengan cepat. Namun kedua belah pihak memiliki orang-orang yang dapat mereka andalkan. Dalam pada itu, di luar lapangan rumput itu pertempuran menjadi semakin meluas. Namun Wijang dan Paksi tidak beranjak dari tempat mereka bersembunyi. Nampaknya pertempuran itu tidak akan merangkak sampai ke tempat mereka. Meskipun pertempuran itu seakan-akan melingkar di seputar lapangan rumput yang terbuka itu, namun tempat persembunyian kedua orang itu tidak tersentuh. Kebo Serut yang tua itu ternyata masih memiliki tenaga yang sangat besar. Ki Rangga Suraniti yang berilmu tinggi itupun beberapa kali harus berloncatan surut. Setiap kali pedangnya membentur tongkat besi yang bercabang di ujungnya, seperti tanduk seekor kerbau jantan, meskipun jauh lebih kecil dari tanduk yang sebenarnya. Pertempuran yang semakin sengit telah membakar lapangan rumput yang terbuka itu. Bahkan di gerumbulgerumbul di sekitarnyapun terjadi pula pertempuran yang berkobar dengan serunya. Benturan senjata telah melontarkan bunga api yang memercik seperti ribuan kunang-kunang yang berterbangan, namun kemudian runtuh, jatuh di tanah. Wijang dan Paksi menjadi tegang. Beberapa orang berilmu tinggi telah mendapat musuhnya masing-masing. Namun Wijang dan Paksi tidak melihat lagi Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Tetapi keduanya yakin, bahwa kedua orang perempuan itupun telah terlibat dalam pertempuran pula.
Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka para cantrik dari setiap perguruan seakan-akan telah berkumpul di sekitar guru mereka masing-masing sambil bertempur melawan para prajurit dan orang-orang yang menyerang tempat pertemuan itu. Para pemimpin dari beberapa perguruan itupun kemudian telah memencar. Mereka tidak lagi terikat untuk tetap berada di tempat yang terbuka itu. Dalam pada itu, maka ternyata para prajurit Pajang yang bertempur bersama kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal, mulai berhasil mendesak para cantrik dari perguruanperguruan yang tengah menyelenggarakan pertemuan itu. Jumlah prajurit Pajang yang berada di Prambanan itu sendiri memang tidak mencukupi untuk menguasai para cantrik dari beberapa perguruan itu. Namun di samping para prajurit masih ada kelompok-kelompok yang ikut bersama mereka. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah menebar di arena yang semakin luas. Seolah-olah akan memenuhi lereng Gunung Merapi di sisi selatan. Di arena yang luas itu, korban telah jatuh berserakan. Ada yang terluka, tetapi ada pula yang terbunuh. Ki Kebo Serut ternyata masih cukup perkasa menghadapi Ki Rangga Suraniti. Betapapun Ki Rangga Suraniti mengerahkan ilmunya, namun Ki Rangga tidak dapat menguasai dan apalagi menangkap lawannya hidup atau mati. Bahkan sekali-sekali Ki Rangga harus berloncatan mengambil jarak, memperbaiki kedudukannya dan mencoba melawan lagi. Dalam pertempuran itu kadang-kadang masih juga terdengar teriakan Pupus Rembulung, melengking mengatasi riuhnya pertempuran. Perempuan itu benar-benar memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga lawannya kadang-kadang terkejut karenanya. Kemampuan Pupus Rembulung ternyata tidak kalah dengan ketangkasan para pemimpin perguruan yang lain. Meskipun para prajurit dan kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal itu berusaha mengepung tempat pertemuan itu,
namun mereka tidak berhasil menguasai mereka sepenuhnya. Ternyata para cantrik dari beberapa perguruan itu berhasil menembus kepungan yang merapat. Bahkan yang terjadi kemudian adalah perang brubuh yang tidak lagi dibatasi garis pertempuran. Semakin lama, maka Wijangpun menjadi semakin jelas melihat pertempuran yang memang menjadi semakin dekat dari tempat mereka bersembunyi. Wijang melihat para prajurit yang bertempur beberapa langkah di hadapannya memang mengenakan ciri-ciri keprajuritan mereka dengan lengkap. Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian keprajuritan pula. Namun semakin lama Wijang dan Paksi tidak lagi mampu melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Mereka tidak tahu lagi dimana Kebo Serut bergeser. Kemana Repak dan Pupus Rembulung bersama para pengikutnya menyingkir dan kemana pula Sima Pracima dan Wira Bangga. Gedhag Panunggul masih nampak sekilas. Tetapi kemudian segalagalanya telah menjadi kacau. "Satu usaha yang berhasil," desis Wijang. "Maksudmu?" "Para pemimpin perguruan yang terlibat dalam pertemuan ini dengan sengaja membuat medan menjadi kacau seperti itu. Mereka akan mempunyai kesempatan yang baik untuk menyingkir dari tempat ini." Paksi mengangguk-angguk. Dalam pertempuran yang kacau di daerah yang bersemak-semak dan dilingkungi oleh pepohonan perdu, agaknya memang sulit untuk dapat menguasai medan dengan baik. Sebenarnyalah kepungan prajurit Pajang dan sekelompok orang yang menyertai mereka tidak berhasil mengurung orang-orang dari beberapa perguruan yang sedang menyelenggarakan pertemuan itu. Para cantrik dari beberapa perguruan yang mempunyai pengalaman dalam benturanbenturan ilmu yang keras dan kasar, memang tidak mudah untuk dijinakkan.
Meskipun pertempuran itu menjadi semakin dekat dengan persembunyian Wijang dan Paksi, namun mereka sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka. "Sebaiknya kita tidak ikut campur," desis Wijang. Paksi mengangguk. Tetapi iapun bertanya, "Nampaknya kau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya." "Ya. Tetapi aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang tidak wajar itu. Mungkin kehadiran orang-orang yang tidak aku kenal di antara para prajurit itu." Paksi tidak menyahut. Tetapi ia mulai bersiap-siap. Pertempuran di lereng Gunung Merapi itu telah meluas sampai kemana-mana. Tetapi ternyata yang terjadi kemudian telah menyelamatkan persembunyian Paksi dan Wijang. Gelombang yang bergejolak di lereng sebelah selatan Gunung Merapi itu seakan-akan menjadi semakin mereda. Pertempuran yang bagaikan air yang mendidih di tempat terbuka itu seakan-akan menjadi semakin dingin. Dimana-mana terdengar isyarat-isyarat yang tidak dimengerti. Berbagai bunyi yang berbeda-beda menandai susutnya pertempuran yang kacau itu. Agaknya setiap perguruan dengan isyaratnya masing-masing telah memerintahkan orang-orangnya untuk menarik diri dari medan. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin surut. Tidak lagi terdengar teriakan-teriakan kemarahan dan keluhan kesakitan. Tidak pula terdengar sorak-sorak kemenangan dan bentakan-bentakan serta umpatan-umpatan kasar. Lengking teriakan Pupus Rembulungpun sudah tidak terdengar lagi. Yang kemudian dilihat oleh Wijang dan Paksi adalah beberapa orang prajurit di tempat yang terbuka itu. Namun seperti disengat lebah Wijang terkejut. Bahkan iapun telah bergeser setapak maju. "Paman Harya Wisaka."
Paksi berpaling. Ia sempat melihat ketegangan mencengkam perasaan Wijang. Di luar sadarnya Paksi bertanya, "Siapakah yang kau maksud?" "Yang berbicara dengan Ki Rangga Suraniti itu adalah Paman Harya Wisaka." "Siapakah Harya Wisaka itu?" "Salah seorang bangsawan dari Demak." "Dari Demak?" "Ya." "Jadi, apa salahnya" Bukankah mungkin saja seorang dari Demak kini berada di Pajang dan menjadi salah seorang pemimpin di Pajang" Bukankah ayahanda Pangeran juga menantu Kangjeng Sultan Demak?" "Tetapi yang satu ini agak lain. Ia mempunyai jalurnya sendiri. Bahkan aku masih menghormati Paman Harya Penangsang daripada Paman Harya Wisaka. Paman Harya Penangsang masih mempunyai alasan yang masuk akal jika ia ingin mewarisi Kerajaan Demak. Tetapi agaknya Paman Harya Wisaka ingin menangkap masa depan dengan caranya." "Cincin itu?" bertanya Paksi. "Ya. Agaknya ia sudah bekerja bersama dengan beberapa orang senapati Pajang. Antara lain adalah Ki Rangga Suraniti." Paksi mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Jadi mereka juga menganggap bahwa cincin itu ada disini?" "Aku tidak tahu. Tetapi agaknya mereka ingin menghancurkan saingannya yang dirasanya semakin lama akan menjadi semakin kuat. Sehingga akan menjadi sangat berbahaya baginya." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Namun keduanya menjadi tegang ketika mereka melihat seseorang telah diseret menghadap orang yang disebut Harya Wisaka itu. Wijang dan Paksipun kemudian mengikuti perkembangan keadaan dengan jantung yang berdebaran. "Seorang perempuan," desis Paksi. "Agaknya dari Perguruan Goa Lampin," sahut Wijang.
Paksi tidak menyahut. Perhatiannya sepenuhnya tertumpah kepada seorang perempuan yang telah tertangkap oleh para prajurit Pajang itu. "Dimana Melaya Werdi, he?" bertanya Harya Wisaka. "Ia mengenal pemimpin Perguruan Goa Lampin itu," desis Paksi. "Paman Harya Wisaka mengenali semua perguruan dan kelompok-kelompok yang ada di Pajang dan bahkan Demak, Jipang, Pati, dan daerah-daerah lain. Bahkan sampai ke daerah sebelah timur." Paksi terdiam. Yang kemudian tertangkap oleh pendengarannya yang dialasi dengan Aji Sapta Pangrungu adalah pertanyaan Harya Wisaka sekali lagi, "Dimana Melaya Werdi?" "Aku tidak tahu," jawab perempuan itu. "Megar Permati?" bentak Harya Wisaka. "Aku juga tidak tahu. Kami melarikan diri untuk mencari keselamatan kami masing-masing tanpa sempat menghiraukan yang lain." "Kau harus menunjukkan, dimana Melaya Werdi dan Megar Permati, kau harus menunjukkan persembunyian mereka." "Pekerjaan yang sia-sia. Guru tidak akan berada di tempatnya. Mungkin guru akan langsung kembali ke perguruan." Perempuan itu mengaduh tertahan. Tangan Harya Wisaka telah menyambar dagu perempuan itu sehingga wajahnya berpaling. "Kau jangan mempermainkan kami," teriak Harya Wisaka "Jika kau memaksa aku menunjukkan perguruan kami, aku akan menunjukkannya." "Diam. Aku sudah tahu dimana letak perguruanmu. Yang aku tanyakan dimana Melaya Werdi dan Megar Permati bersembunyi di lingkungan ini." "Keduanya selalu berpindah-pindah. Kau tidak akan menemukannya." "Jaga mulutmu. Kau tahu dengan siapa kau berbicara?"
Perempuan itu menggeleng. Sementara itu dengan lantang Harya Wisaka itu berkata, "Perempuan iblis. Kau sekarang berhadapan dengan Harya Wisaka." "Harya Wisaka," desis perempuan itu. "Kau sudah dengar nama itu?" Perempuan itu menggeleng sambil menjawab, "Belum. Aku belum pernah mendengar nama Harya Wisaka." Sekali lagi tangan Harya Wisaka menyambar mulut perempuan itu. Sekali lagi perempuan itu mengaduh. "Kau tentu sudah mendengar namaku. Orang di seluruh tanah ini sudah mendengar namaku. Harya Wisaka." Perempuan itu terdiam. "Katakan, bahwa kau pernah mendengar nama Harya Wisaka. Seorang prajurit yang tidak ada duanya di seluruh Demak, Kudus, Pati, Jipang dan bahkan Pajang." Ketika perempuan itu diam saja, maka tiba-tiba saja Harya Wisaka telah menggenggam rambut perempuan itu sambil berteriak, "Kau harus sudah mengenal namaku." Ketika kepala perempuan itu diguncang, maka perempuan itupun segera berteriak pula, "Ya, ya. Sekarang aku ingat. Harya Wisaka. Prajurit terbaik dari Pajang." "Setan betina," geram Harya Wisaka sambil melepaskan rambut perempuan itu. "Jika kau belum mengenal namaku, maka kau tidak pantas hidup di bumi Pajang." Perempuan itu menundukkan kepalanya. "Nah, sekarang katakan bahwa Melaya Werdi atau Megar Permati telah menyembunyikan Pangeran Benawa. Mereka menangkap Pangeran Benawa dan menyimpan di dalam sarang mereka di dalam kerangkeng-kerangkeng besi itu." Perempuan itu mengangkat wajahnya. Dengan serta-merta ia menjawab, "Tidak. Kami tidak menangkap Pangeran Benawa." "Jangan bohong. Aku dapat memenggal lehermu." Perempuan itu termangu-mangu. Sementara Wijangpun berdesis, "Sangat menarik."
"Ternyata Harya Wisaka itu berusaha membebaskan Pangeran Benawa," gumam Paksi. "Omong kosong. Paman Harya Wisaka tentu mengetahui, setidak-tidaknya menduga bahwa cincin itu memang dibawa oleh Pangeran Benawa. Yang penting bagi Paman Harya, bukannya kebebasan Pangeran Benawa, tetapi cincin itulah yang diburunya." Paksi terdiam. Sementara itu perempuan yang tertangkap itupun berkata, "Apapun yang akan terjadi padaku, tidak akan merubah keteranganku. Kami tidak menangkap Pangeran Benawa. Bahkan kami menganggap bahwa Pangeran Benawa itu berada di istana Pajang." "Tetapi orang dari perguruan lain mengatakan, bahwa orang-orang Goa Lampin telah menangkap Pangeran Benawa dan menyembunyikannya di dalam sarangnya atau di tempat lain." "Meskipun kau penggal leherku, jawabku akan sama, karena hal itu memang tidak terjadi," jawab perempuan itu, yang nampaknya tidak menjadi ketakutan. Harya Wisaka itupun menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Bawa orang itu kemari." Sejenak kemudian, maka seorang prajurit telah mendorong seorang yang bertubuh tinggi besar ke hadapan Harya Wisaka. Dengan geramnya Harya Wisaka itu bertanya, "He, bukankah kau mengatakan bahwa Pangeran Benawa sekarang ada di tangan Melaya Werdi dan Megar Permati?" Laki-laki itu memandang perempuan dari Goa Lampin itu dengan ragu-ragu. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Bukankah Pangeran Benawa ada di tangan gurumu?" "Kau tidak perlu memfitnah." "Tidak ada perguruan lain yang akan melakukannya. Ketika Harya Wisaka mempertanyakan, dimana Pangeran Benawa disembunyikan, maka aku memang mengatakan bahwa satusatunya kemungkinan Pangeran Benawa disimpan dalam kerangkeng-kerangkeng besi oleh orang-orang Goa Lampin."
Tiba-tiba saja Harya Wisaka menangkap baju orang itu dan mengguncangnya, "Kau hanya sekedar menduga-duga atau sudah pasti bahwa Pangeran Benawa berada di tangan orangorang Goa Lampin?" "Aku tidak tahu pasti. Aku hanya menduga-duga, karena sepengetahuanku, hanya orang-orang Goa Lampin sajalah yang sering menangkap dan menyimpan orang-orang tampan. Menurut pengertianku, Pangeran Benawa itu tentu seorang yang tampan." "Kau permainkan aku, he?" "Bukan maksudku." Tetapi orang itu seakan-akan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja Harya Wisaka itu telah menarik pedangnya dan menghunjamkan langsung ke dada orang itu. Orang itu tidak sempat mengaduh. Demikian Harya Wisaka menarik pedangnya, maka orang itupun segera jatuh terjerembab. -ooo00dw00oooJilid 09 ORANG-ORANG yang ada di sekitarnya menjadi tegang. Perempuan dari Goa Lampin itupun menjadi tegang pula. "Siapapun yang mempermainkan aku akan mengalami nasib yang sama dengan orang gila ini," geram Harya Wisaka. "Aku rasa, belum ada kelompok yang dapat menangkap Pangeran Benawa," berkata Ki Rangga Suraniti. "Tidak ada seorangpun yang tahu, dimana Pangeran Benawa itu sekarang berada" "Aku memerlukan anak itu," geram Harya Wisaka. "Aku harus menemukannya. Aku tidak mau ada orang lain yang mendahuluinya." "Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Aku sudah mengeluarkan banyak beaya untuk keperluan ini."
"Tetapi kami harus berhati-hati. Jika senapati Pajang di Jati Anom mengetahui apa yang kami lakukan, maka kami akan mendapat kesulitan." "Aku akan berbicara dengan senapati di Jati Anom. Ia bukannya orang yang tidak tahu nilai uang." "Tetapi hatinya sekeras baja." "Aku akan melunakkannya." "Aku sudah memperingatkan, bahwa usaha untuk menembusnya sangat sulit. Lebih baik kita bekerja di luar pengetahuannya. Aku akan dapat membuat alasan-alasan yang masuk akal tentang kegiatan yang kita lakukan, serta korban yang jatuh karenanya." Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi aku memerlukan Pangeran Benawa." Rangga Suraniti mengangguk sambil menjawab, "Pangeran Benawa itu memang seperti demit. Ia hilang begitu saja Namun tiba-tiba ia sudah berada di istana lagi." "Bagaimana dengan Mas Ngabehi Loring Pasar?" "Maksud Harya Wisaka, kita bekerja sama dengan Mas Ngabehi Loring Pasar?" "Mungkin?" "Mas Ngabehi Loring Pasar itu akan menjerit leher kita. Ia sangat sayang kepada adiknya." "Apakah tidak ada persaingan di antara mereka?" "Persaingan apa?" "Tanpa Pangeran Benawa, Mas Ngabehi Loring Pasar akan memiliki masa depan." "Bukankah masa depan itulah yang ingin kita ambil?" "Kau memang bodoh. Tetapi sudahlah. Bawa semua tawanan ke Prambanan. Aku ingin berbicara dengan mereka satu satu. Bawa perempuan ini juga ke Prambanan." "Masih ada tiga ampat orang perempuan yang tertawan." "Bawa semuanya. Laki-laki dan perempuan. Sayang, tidak seorangpun dari pemimpin mereka yang tertangkap. Sebenarnya aku ingin menangkap Repak Rembulung dan Pupus Rembulung lebih dari yang lain."
"Kenapa?" bertanya Ki Rangga Suraniti. "Mereka mempunyai landasan kekuatan di lingkungan ini. Mungkin Pangeran Benawa tersesat di tangan para pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung." "Mereka memang mempunyai landasan kekuatan di daerah ini. Tetapi sangat sulit untuk dilacak." "Aku tahu," jawab Harya Wisaka. Lalu katanya, "Kita kembali ke perkemahan. Bukankah kau harus segera berada di Prambanan bersama pasukanmu." Ki Rangga Suraniti mengangguk. Katanya, "Marilah. Aku harus mempertanggung-jawabkan prajurit-prajuritku yang terbunuh." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilanpun telah mengatur para prajuritnya. Sementara itu seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan mengumpulkan kelompoknya yang bertempur bersama para prajurit itu. Agaknya orang itu diperintah langsung oleh Harya Wisaka. Selain para tawanan, maka merekapun telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan mereka yang telah terbunuh di peperangan. Tetapi mereka tidak menghiraukan tubuh-tubuh yang lain yang terbaring diam di bekas arena pertempuran itu. Beberapa orang dari beberapa perguruan telah terbunuh pula. Demikian pula orang yang telah dibunuh langsung oleh Harya Wisaka. Beberapa saat kemudian, tempat itupun menjadi sepi. Semua orang yang terlibat telah pergi. Tetapi ketika Paksi bangkit berdiri, Wijangpun bertanya, "Kau akan pergi ke mana?" "Kita lihat, apa yang tertinggal di bekas arena itu." "Jangan," sahut Wijang. "Masih akan ada orang yang datang. Orang-orang dari perguruan itu tidak akan membiarkan saudara-saudara seperguruan mereka yang terbunuh, berceceran di bekas arena pertempuran itu. Mereka akan datang kembali untuk mengambil dan kemudian menguburkan mereka. Mungkin di sekitar tempat ini pula."
Paksi mengurungkan niatnya. Sementara itu, Wijangpun berkata, "Marilah. Lebih baik kita pulang." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kita akan pulang saja. Mudah-mudahan orang-orang yang berlari cerai berai itu tidak ada yang tersesat ke gubuk kita." "Tidak. Mereka tentu akan segera berkumpul di tempat yang sudah diisyaratkan oleh masing-masing perguruan. Merekapun akan segera mengirimkan orang untuk mencari saudara-saudara mereka yang tertinggal." Paksi tidak menyahut. Namun berdua merekapun segera meninggalkan tempat itu. Sebenarnyalah, gubuk mereka masih tetap tidak disentuh oleh orang lain. Pintunya masih tertutup dan perabotperabotnya pun masih tetap berada di tempatnya. Malam itu, keduanya seakan-akan tidak sempat memejamkan mata. Beberapa saat kemudian langitpun telah dibayangi oleh cahaya fajar, sehingga merekapun harus segera bangkit. Ketika kemudian matahari terbit, keduanya duduk di dalam gubuk mereka. Setelah semalam mereka disibukkan bukan saja wadag mereka, tetapi juga ketegangan yang mencengkam jantung, maka merekapun merasa perut mereka lapar. "Aku akan makan," desis Wijang. Paksi tersenyum. Katanya, "Aku juga lapar." Keduanyapun kemudian makan nasi dingin dengan sayur yang sudah dingin pula. Tetapi mereka sudah terlalu biasa, sehingga keduanya makan dengan lahapnya. Namun sambil makan, Wijangpun sempat berkata, "Peristiwa semalam masih merupakan satu teka-teki bagiku." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Aku tidak yakin akan sikap Ki Rangga Suraniti. Ia adalah seorang prajurit yang baik. Demikian pula Ki Nukilan. Namun tiba-tiba saja mereka sudah bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka. Rasa-rasanya sulit untuk dipercaya." "Tetapi bukankah itu sudah terjadi?"
"Justru karena Ki Rangga Suraniti seorang prajurit sandi," berkata Wijang, "banyak kemungkinan dapat terjadi. Apakah Ki Rangga Suraniti telah dimanfaatkan oleh Paman Harya Wisaka atau Ki Rangga justru sedang memanfaatkan orangorang Paman Harya Wisaka untuk menghancurkan perguruanperguruan yang dicurigai akan menentang kuasa Pajang, sekaligus menjebak Paman Harya Wisaka justru dalam tugas sandinya." "Jika demikian, maka Ki Rangga Suraniti akan mendapatkan hasil ganda." "Tetapi Paman Harya Wisaka juga bukan orang yang dungu. Iapun tentu mempunyai jaringan sandi sendiri." Paksi mengangguk-angguk. katanya, "Alangkah rumitnya. Tetapi yang jelas bahwa di dalam istana Pajang sendiri telah timbul persoalan. Tetapi apakah Harya Wisaka juga sering berada di istana Pajang?" "Ya. Sampai saat-saat terakhir, Paman Harya Wisaka masih leluasa untuk berada di istana Pajang." "Apakah Kangjeng Sultan belum tahu, sifat dan watak Harya Wisaka." "Mungkin Kangjeng Sultan sudah mendapat laporan serba sedikit. Tetapi agaknya masih samar-samar dan belum ada bukti-bukti yang pasti. Tetapi Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar sudah mengetahuinya. Karena itu, setidak-tidaknya Kakangmas Sutawijaya dapat membayanginya." Wijang itupun terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Agaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun kemudian iapun berdesis, "Tetapi tidak lama lagi, Kakangmas Sutawijaya akan meninggalkan Pajang." "Kenapa?" bertanya Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. katanya, "Ki Gede Pemanahan akan mendapatkan hak atas Alas Mentaok, sebagaimana Ki Penjawi yang telah lebih dahulu menerima tanah Pati setelah mereka berhasil menyingkirkan Paman Harya Penangsang."
Paksi mengangguk-angguk pula. Namun iapun kemudian bertanya, "Tetapi kenapa Pangeran Benawa justru meninggalkan istana?" "Sudah aku katakan, suasananya sama sekali tidak menyenangkan. Di luar istana Pangeran Benawa akan dapat mengamati keadaan yang sebenarnya dari rakyat Pajang." "Tetapi kehadiran Harya Wisaka di istana Pajang?" "Untuk sementara Kakangmas Sutawijaya masih ada di istana." Paksi tidak bertanya lagi. Sementara Wijang telah menyenduk nasi semangkuk lagi. Kemudian dituangkannya pula seirus sayur di mangkuk itu pula. Sebungkus pepes ikan yang masih tersisa. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Apakah di istana Pangeran Benawa juga dapat makan sebanyak itu. Agaknya Wijang dapat membaca perasaan Paksi, sehingga karena itu, maka iapun berkata, "Aku merasa bebas disini. Aku dapat makan dengan cara ini. Tidak dikekang oleh adat dan kebiasaan yang menjerat, sehingga rasa-rasanya menelan nasipun harus mematuhi paugeran." "Tetapi di istana bagi seorang pangeran tentu disediakan makan dengan lauknya yang terpilih." "Kau kira juru madaran di istana pandai memasak" Hanya ujudnya sajalah yang menarik. Mungkin menimbulkan selera, tetapi setelah mulut mulai disuapi, rasa-rasanya semuanya hambar. Berbeda dengan masakan kita disini. Segala sesuatunya dapat disesuaikan dengan selera kita disini. Mau asin, manis, asam bahkan pahit sekalipun sebagaimana daun kates. Tetapi dengan ikan asin, lombok abang dan tempe nikmatnya bukan main." Paksi tertawa. katanya, "Akulah yang mengajarimu, Wijang." Wijangpun tertawa. Katanya, "Kau adalah juru madaran yang paling pandai di seluruh Pajang." Keduanyapun tertawa. Tetapi kemudian Wijangpun berhenti tertawa karena ia masih harus menyuapi mulutnya.
Namun dalam pada itu, Paksi telah teringat kepada ayahnya. Apakah ayahnya juga tersangkut dengan usaha Harya Wisaka. Atau ayahnya telah memberitahukan beberapa orang, bahkan termasuk dirinya, mencari cincin itu untuk mengangkat derajatnya sehingga ia akan mendapat kenaikan pangkat dan jabatan. Atau ayahnya sendiri memang menginginkan cincin itu untuk dipakainya sendiri. Tetapi Paksi tetap mendekap pertanyaan-pertanyaan itu di dalam dadanya. Ia tidak ingin Wijang ikut mempertanyakannya pula. Beberapa saat kemudian keduanya saling berdiam diri. Nampaknya keduanya sedang berangan-angan sejalan dengan persoalan mereka masing-masing. Tiba-tiba saja Wijang berhenti mengunyah nasinya. Dengan kerut di dahi iapun berdesis, "Paksi, kau tahu sekarang bahwa orang-orang itu akan mencariku. Jika Paman Harya Wisaka sudah mulai menyatakan dengan terbuka mencari Pangeran Benawa, maka semua orang tentu akan mencari Pangeran Benawa itu." Wijangpun berhenti berbicara untuk menelan nasi yang masih tersisa di mulutnya. Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Dengan demikian, maka kau harus berhati-hati." "Paksi," berkata Wijang kemudian, "menurut pendapatku, maka akan segera tersebar ceritera bahwa Harya Wisaka sedang mencari Pangeran Benawa yang diduga telah membawa cincin itu keluar dari istana." "Bukankah Harya Wisaka tidak menyebarkan ceritera itu" Harya Wisaka tentu berusaha untuk tetap merahasiakannya bagi kepentingannya sendiri. Jika ceritera itu diketahui oleh banyak orang, bukankah itu berarti bahwa ia akan mempunyai banyak saingan?" "Tentu. Tetapi aku yakin bahwa ceritera itu tentu akan merembes keluar. Tidak semua pengikut Paman Harya Wisaka dan tidak semua prajurit mampu menyimpan rahasia serapatrapatnya."
"Apakah menurut pendapatmu, kita harus meninggalkan tempat ini?" "Maksudku bukan kita. Tetapi aku. Sebaiknya kita memang berpisah. Jika akan terjadi sesuatu padaku, biarlah itu terjadi. Tetapi aku tidak ingin kau ikut terperosok ke dalam kesulitan karena aku." Paksi memandang Wijang dengan tajamnya. Dengan mantap iapun berkata, "Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkeberatan." "Jangan Paksi. Kau harus menempuh jalanmu sendiri, Bukankah kau mengemban tugas?" "Kau tahu, tugas apa yang harus aku lakukan?" "Cincin itu?" bertanya Wijang. "Ya." "Kau akan mengambil dari tanganku?" "Kau tahu bahwa itu tidak akan dapat aku lakukan. Ilmumu lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi bukan hanya karena itu, cincin itu sudah berada di tangan orang yang berhak." "Aku tidak memerlukannya. Aku hanya ingin mengamankannya." "Tetapi ijinkan aku pergi bersamamu. Bukankah aku juga tidak akan tetap berada disini sampai rambutku ubanan" Bukankah aku juga harus mempersiapkan sesuatu yang lebih besar bagi masa depanku" Bukan sekedar gula kelapa dan kebun pisang di pinggir kali itu?" Wijang mengangguk-angguk. katanya, "Ya. Aku mengerti. Tetapi jika kau pergi bersamaku, maka mungkin sekali masa depanmu itu akan hilang sama sekali. Kita berdua tidak akan pernah disebut-sebut lagi untuk selamanya." "Sudah aku katakan, apa yang akan terjadi, aku tidak berkeberatan." "Tetapi apakah kau yakin, bahwa sikap yang kau ambil ini dapat diterima oleh ayahmu" Atau barangkali ayahmu justru telah bekerja bersama dengan Harya Wisaka."
"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi aku berhak menempuh jalanku sendiri. Umurku sudah delapan belas lebih sekarang." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau akan meninggalkan tempat ini?" "Aku harus meninggalkan tempat ini pada suatu saat. Jika tidak besok atau lusa, tentu sebulan atau setahun lagi. Aku masih membayangkan pada suatu saat aku akan kembali kepada keluargaku. Betapa kerasnya ayahku, tetapi ia adalah ayahku. Di rumah itu ada ibuku yang sangat mengasihiku serta adik-adikku." "Jika kau pergi bersamaku, mungkin kau tidak akan pernah sampai kepada mereka lagi." "Jika itu yang harus terjadi, maka biarlah terjadi." "Baiklah, Paksi. Jika kau benar-benar sudah mantap. Kau sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap." "Aku bertanggung-jawab atas sikapku ini, Wijang." "Baiklah. Kita harus merencanakan, kapan kita meninggalkan tempat ini." "Kapan saja kau kehendaki." Wijang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Satu hal yang harus kita perhitungkan, Paksi. Para pemimpin perguruan yang gagal mengadakan pertemuan itu, tentu akan berpencar. Mereka tidak akan merencanakan pertemuan lagi disini. Apalagi setelah berita tentang kepergian Pangeran Benawa yang membawa cincin yang mereka cari itu sampai ke telinga mereka. Maka tempat ini akan mereka tinggalkan. Bagi para pemimpin perguruan itu merasa bahwa kehadiran mereka disini sudah diketahui oleh petugas sandi Pajang siapapun yang mengendalikan para petugas sandi itu. Selanjutnya, karena cincin itu dibawa oleh seseorang, maka orang itu dapat merayap dari satu tempat ke tempat lain. Agak berbeda dari gambaran mereka, bahwa cincin itu jatuh dari langit di antara bebatuan dan semak-semak, sehingga mereka menunggu isyarat. Mungkin cahaya, mungkin lidah api, mungkin semak-semak yang menjadi hangus tanpa sebab
atau pertanda-pertanda lain. Tetapi jika cincin itu ada di tangan seseorang, maka keberadaannya tergantung kepada orang yang membawanya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, "Yang akan terjadi kemudian adalah, para pemimpin perguruan yang tamak itu akan sibuk mencari Pangeran Benawa." "Ya." "Kenapa Pangeran Benawa itu tidak bersembunyi saja di istana Pajang sehingga mendapat perlindungan yang rapat." Wijang tersenyum. Katanya, "Sudah aku katakan, bahwa Pangeran Benawa tidak merasa tenang berada di istana, karena sikap beberapa orang di sekitar Kanjeng Sultan. Selebihnya, salah sekali jika Pangeran Benawa itu aman berada di istana. Setidak-tidaknya, Paman Harya Wisaka akan mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan apa yang dicarinya dengan akal liciknya. Akal yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh orang lain." Paksi mendengarkan keterangan Wijang itu dengan bersungguh-sungguh. Beberapa saat ia terdiam. Sementara Wijang menghabiskan sisa nasi yang masih di mangkuknya. Setelah Wijang selesai makan, maka Paksipun segera mengumpulkan mangkuk-mangkuknya yang kotor, membawa keluar dan mencucinya, sementara Wijang pergi ke belik mengambil air. "Aku akan pergi ke pasar," berkata Paksi kemudian. "Aku ingin melihat, apakah ada sesuatu isyarat yang dapat ditangkap di pasar atau di sepanjang jalan." Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, "Baiklah, tetapi berhati-hatilah. Mungkin sesuatu dapat terjadi. Tetapi sebaiknya kau tetap tidak dikenal. Apalagi terlibat jika terjadi sesuatu di antara para cantrik dari berbagai perguruan atau bahkan dengan prajurit Pajang." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti."
Sejenak kemudian, maka Paksipun telah berjalan menyusuri jalan setapak. Kemudian turun ke jalan yang langsung menuju ke pasar. Matahari telah menjadi agak tinggi. Panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Ketika Paksi sampai di pasar, maka penjual nasi tumpang di dekat pintu gerbang sudah mulai membenahi sisa dagangannya. Nasinya sudah hampir habis. Sayursayurnyapun tinggal sedikit. Sementara bumbu kelapanya sudah habis sama sekali. Kinong masih duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu. Keranjang kecilnya diletakkannya tidak jauh dari tempat duduknya. Sambil tersenyum Paksi mendekatinya. Dengan nada tinggi Paksi bertanya, "Apakah kau sudah tidak kebagian nasi tumpang?" "Baru saja aku makan. Aku adalah pembeli yang terakhir pagi ini, sehingga aku mendapat dua kali lipat dari yang seharusnya. Perutku menjadi kenyang sekali." Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, "Ya. Ia memang pembeli terakhir hari ini. Jika kau juga lapar anak muda, sayang sekali, bumbu kelapanya sudah habis sama sekali." "Bagaimana kalau nasi dengan sambal bubuk dele saja" Atau barangkali masih ada besengek tempe?" "Apakah kau lapar sekali?" bertanya penjual nasi tumpang itu. Penjual nasi itu tertawa pula. katanya, "Masih ada kedai yang buka." "Kalau aku makan di kedai itu, maka aku tidak jadi berbelanja. Uangnya habis untuk semangkuk nasi rawon dengan sebutir telur pindang." Penjual nasi itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau dapat beli pondoh jagung dengan tempe bacem." "Atau ketela pohung yang direbus pakai legen." "Beli, Kang. Manis sekali," tiba-tiba Kinong menyambung.
"Kau masih belum kenyang?" bertanya penjual nasi itu. "Sudah, Bi. Tetapi ketela pohung yang direbus pakai legen itu manis sekali." Paksi tertawa. Katanya, "Marilah kita cari kalau masih ada." "Perutmu, Kinong," sahut penjual nasi itu di sela-sela tertawanya, "nampaknya hanya kecil saja, tetapi ternyata isinya lebih dari dua pincuk." Kinong bangkit sambil memegangi perutnya yang penuh. Diraihnya keranjang kecil. Lalu ia mengikuti Paksi yang melangkah meninggalkan penjual nasi tumpang yang sudah siap untuk pulang. Seperti yang dikatakan, maka Paksipun telah mengajak Kinong untuk membeli ketela pohung yang direbus di dalam legen. Diberikannya sebungkus ketela itu kepada Kinong sambil berkata, "Ambil." "Semua untuk aku?" bertanya Kinong. "Ya." "Aku sudah kenyang." "Kau tidak perlu makan ketela itu sampai habis. Bawa saja. Barangkali nanti setelah kau merasa lapar lagi." Kinong mengerutkan dahinya. Namun Kinong itu berpaling ketika ia mendengar namanya dipanggil. "Tolong bantu aku," berkata seorang perempuan yang membawa beberapa kreneng sayuran. Nampaknya ia mendapat kesulitan untuk membawanya. Kinong sudah mengenal orang itu dengan baik. Karena itu, maka iapun segera berlari-lari setelah meletakkan sebungkus ketela pohung yang direbus dengan legen itu ke dalam keranjang kecilnya. "Dimana biyungmu?" bertanya perempuan itu. "Sedang membantu membawakan seperangkat alat dapur ke padukuhan sebelah." "Siapa yang membeli seperangkat alat dapur?" bertanya perempuan itu. "Yu Milah."
"O, pantas. Baru sepekan yang lalu ia menikah. Agaknya Milah ingin berumah tangga sendiri terpisah dari orang tua dan mertuanya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Kinong dengan cekatan menempatkan kreneng itu ke dalam keranjang kecilnya. Namun perempuan itu berkata, "Dua saja, Kinong. Biarlah yang satu aku bawa sendiri. Terlalu berat buatmu jika kau bawa ketiga kreneng itu sekaligus dalam keranjang kecilmu." "Tetapi aku kuat," sahut Kinong. Perempuan itu tertawa. Sambil menepuk bahu Kinong ia berkata, "Jika membawa beban terlalu berat di atas kepalamu, maka kau tidak akan bertambah tinggi." Kinong mengerutkan dahinya. Namun kemudian satu dari ketiga kreneng itu diletakkan kembali di luar keranjang kecilnya. Paksipun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat di depan penjual dawet itu, ia melihat beberapa orang sedang meneguk dawetnya. Tetapi tidak ada di antara mereka Ki Rangga Suraniti atau Ki Nukilan. Seperti biasanya, penjual dawet itu menyapa Paksi dan mempersilahkannya singgah. Paksipun kemudian duduk di sebelah penjual dawet itu sambil bertanya, "Apakah dua orang pembeli yang selalu berbicara tentang undangan itu tidak datang?" Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Jika mereka ada di sini, kau tidak perlu membayar dawet yang kau minum." Paksi tersenyum. Sementara penjual dawet itu berkata selanjutnya, "Mereka belum nampak sejak pagi." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi itu berarti aku harus membayar sendiri." "Bagaimana kalau hari ini aku yang membayar?" bertanya penjual dawet itu. Tertawa Paksipun meledak. Sementara penjual dawet itupun tertawa pula sehingga orang-orang yang sedang
membeli dawet itu memandangi mereka dengan terheranheran. Ketika penjual dawet itu menyadari, maka iapun berkata kepada para pembelinya, "Kemenakanku ini kerjanya hanya berkelakar dan mengganggu orang saja." Para pembeli dawet itu mengangguk-angguk. Ada di antara mereka yang tersenyum. Tetapi ada yang justru merasa terganggu. Dalam pada itu, menurut pengamatan Paksi, tidak ada sesuatu yang terjadi di pasar itu. Mungkin di antara orangorang yang berjalan hilir mudik di pasar itu ada beberapa orang dari perguruan yang tidak dikenali cirinya. Namun mereka tidak berbuat apa-apa. Paksipun tidak melihat Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan. Ia juga tidak melihat prajurit yang masuk ke dalam pasar dalam tugas keprajuritan mereka. Seandainya ada, maka mereka tentu prajurit dalam tugas sandi. Namun agaknya prajurit Pajang yang datang ke kaki Gunung Merapi itu mampu membatasi gerak mereka. Tidak ada seorang pun di pasar itu yang berceritera tentang kehadiran sepasukan prajurit Pajang. Tidak seorang pula yang berbicara tentang pertempuran yang terjadi. Menurut dugaan Paksi, setelah pertempuran itu terjadi, maka orang-orang dari beberapa perguruan itu justru akan menyebar. Seperti yang diperhitungkan oleh Wijang, maka ceritera tentang Pangeran Benawa itupun akan menyebar pula, sehingga mereka akan berebut dahulu menemukan Pangeran Benawa. Jika mereka menemukan Pangeran Benawa, maka mereka akan menemukan cincin yang mereka cari itu. "Jika mereka pergi menyebar, bukankah Wijang justru akan lebih aman berada disini," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun Paksi tertegun ketika ia melihat dua orang suami istri yang sedang berbelanja di pasar itu. Menilik pakaiannya, keduanya bukan orang kebanyakan sebagaimana yang ada di
pasar itu. Sikap merekapun agak berbeda. Keduanya nampak dan bersikap baik. Namun Paksi justru berusaha untuk menghindarinya. Perempuan yang memakai baju hijau pupus dan kain hijau selapis lebih tua dari bajunya pernah ditemuinya di Panjatan. Perempuan itu adalah Pupus Rembulung dalam sikapnya sebagai seorang perempuan yang lembut. Sedang suaminya, Repak Rembulung pun sama sekali tidak menunjukkan sikap garangnya. Sikapnya yang ramah tidak memberikan kesan sebagaimana pernah dilihat Paksi di antara hiruk-pikuknya pertempuran. Beberapa saat lamanya, keduanya berada di pasar. Namun kemudian keduanyapun melangkah ke pintu gerbang dan meninggalkan pasar itu. Paksi mencoba untuk melihat keduanya berjalan menyusuri jalan menjauhi pasar itu. Tetapi Paksi tidak tahu kemana keduanya akan pergi. Mungkin ke Panjatan. Tetapi mungkin pula tidak. Tetapi Paksipun kemudian melihat dua orang yang mengawasi Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu. Kedua orang yang tidak mengenal Paksi itu mulai membicarakan kedua orang suami isteri yang berjalan menjauh. "Siapa yang menduga bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang paling garang di daerah ini." "Orang-orang Pajang tidak berhasil menangkap mereka." "Tidak seorang pun dari antara para pemimpin yang tertangkap. Jika ada satu dua orang yang dibawa oleh para prajurit, mereka adalah cantrik-cantrik kecil." Paksi mencoba memperhatikan kedua orang itu. Tetapi Paksi sama sekali tidak dapat mengenali ciri-cirinya. Namun Paksi yakin, bahwa kedua orang itu tentu terlibat dalam pertempuran antara beberapa perguruan yang sedang berusaha untuk bertemu dan menyesuaikan sikap mereka itu melawan para prajurit Pajang.
"Mungkin keduanya murid dari perguruan-perguruan yang mengadakan pertemuan itu. Namun mungkin pula mereka petugas sandi dari Pajang atau pengikut Harya Wisaka." Paksipun kemudian tidak terlalu lama lagi berada di pasar. Iapun segera membeli keperluannya sehari-hari dan sejenak kemudian Paksipun telah berada di luar pasar. Matahari telah sampai ke puncak langit. Pasar itupun menjadi semakin sepi. Orang-orang yang berjualan di pasar itu telah membenahi sisa-sisa dagangan mereka. Ketika Paksi sampai di gubuk kecilnya, Wijang sedang berbaring di bawah sebatang pohon yang rindang di atas ketepe yang baru saja dianyamnya. "Kau membeli apa?" bertanya Wijang. "Garam, terasi dan ikan asin. Bukankah kau sudah memetik daun kates gerandel?" "Makanan maksudku?" Paksi tertawa. katanya, "Aku lupa membeli kelepon. Tetapi bukankah kita dapat membuat makanan sendiri" Ketela pohung yang kita rebus dengan legen" Di pasar aku juga membelinya. Tetapi aku berikan kepada Kinong." "Kau lebih sayang kepada Kinong daripada kepadaku." "Kita mempunyai pohon ketela pohung. Kita mempunyai legen. Bukankah kita dapat membuat sendiri seberapa saja kita mau?" "Tetapi kita harus menunggu nanti malam. Kau tidak mau terlalu sering mengepulkan asap dari gubuk ini di siang hari." Paksi tertawa. Sementara Wijang masih saja berbaring di bawah pohon itu. katanya, "Ceriterakan, apa yang kau temui di pasar." "Repak Rembulung dan Pupus Rembulung," jawab Paksi. Wijangpun segera bangkit dan duduk di atas ketepenya. Katanya, "Duduklah." Paksipun kemudian duduk di sebelahnya. Diceriterakannya, apa yang dilihatnya di pasar. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam ujud dan sikapnya sebagai sepasang suamiisteri yang baik. Dengan pakaian dan sikap yang tertib
keduanya berada di pasar. Nampaknya keduanya sedang berbelanja. Sementara itu, dua orang memperhatikan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu. "Tetapi aku tidak berhasil melihat ciri-ciri kedua orang itu," berkata Paksi kemudian. "Apa yang akan dilakukan oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu?" desis Wijang. "Entahlah," sahut Paksi. "Agaknya keduanya sudah siap meninggalkan daerah ini," desis Wijang. "Agaknya bukan hanya mereka berdua." "Ya." "Jika demikian, bukankah kau justru akan merasa aman disini daripada di tempat lain" Jika orang-orang yang mencarimu itu menyebar, maka kau justru akan dapat dengan leluasa tinggal disini tanpa diganggu orang lagi sampai saatnya kau ingin kembali Pajang." "Disini aku hanya sekedar bersembunyi. Tetapi aku tidak dapat melihat kehidupan yang sebenarnya." "Pasar adalah lingkungan kecil yang mencerminkan satu lingkungan yang luas. Kita dapat melihat kehidupan itu di pasar. Mendengarkan pembicaraan orang-orang dari berbagai lapisan dan lingkungan." "Tetapi banyak orang yang tidak sempat pergi ke pasar. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai uang sama sekali. Mereka yang tidak mempunyai hasil sawah untuk dijual. Mereka yang hanya dapat makan dengan mengais di kebun mereka yang sempit." "Tetapi pasar itu dapat memberikan kehidupan kepada Kinong, kepada keluarganya, karena ibunya juga menjual tenaganya di pasar itu." "Mereka yang rumahnya jauh dari pasar tidak akan tahu, bahwa pasar itu dapat memberinya makan." Paksi terdiam. Namun kepalanya terangguk-angguk kecil. Meskipun demikian, nampaknya Wijang tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Agaknya tanaman ketela pohung,
jagung yang baru tumbuh setelah tanaman yang terdahulu dipetik. Padi gaga, kebun pisang, beberapa batang pohon kelapa dan rumpun-rumpun bambu tutul dan pering cendani, sempat menghambatnya. Ada perasaan sayang untuk meninggalkan itu semuanya. Apalagi Paksi. Ia sudah lebih dari setahun berada di tempat itu. Sudah dua kali ia memetik jagung. Sekali menuai padi gaga. Tidak terhitung, berapa kali ia menebang batang pisang dan mengambil buahnya. Ketela pohon yang ditanamnya sejak lebih dari enam bulan yang lalu, yang dapat dicabut kapan saja ia inginkan, sebatang dua batang atau berapa saja. Keduanyapun terdiam untuk beberapa saat lamanya. Nampaknya keduanya sedang merenungi apa yang sebaiknya mereka lakukan. Namun tiba-tiba saja Wijang telah menggamit Paksi. Ketika ia memandang Paksi, maka Paksi itupun mengangguk kecil. Wajah mereka nampak menegang. Namun Paksipun kemudian bangkit berdiri. Menggeliat. Kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk kecilnya. Sejenak kemudian, maka Wijangpun telah menyusulnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu gubuknya. Namun kemudian iapun telah masuk pula ke dalam. Demikian Wijang berada di dalam gubuknya serta setelah menutup pintunya, maka iapun segera mempersiapkan dirinya. Dikenakannya pelindung bagian atas pergelangan tangannya, menyelipkan senjatanya di bawah bajunya serta mempersiapkan dirinya. Sementara itu, Paksipun telah memungut tongkatnya pula. "Agaknya karena orang-orang itu sekarang berkeliaran di kaki gunung ini sebelum mereka pergi menjelajahi daerah yang luas untuk menemukan Pangeran Benawa, maka ada juga orang yang tersesat sampai ke tempat ini." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata rumah kita sudah tidak terlindung lagi." "Kau dengar langkah mereka" Tidak hanya satu orang. Tetapi beberapa orang."
"Ya. Aku masih berharap mereka tidak melihat gubuk kita ini." "Mereka menjadi semakin dekat. Kau dengar desir kaki mereka di sela-sela pepohonan itu?" Paksi mengangguk. "Sebaiknya kita berada di luar saja," desis Paksi. Wijang mengangguk. Tetapi iapun berkata, "Mereka sudah ada di depan hidung kita." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah mengikatkan tali kampilnya di atas ikat pinggangnya. Jika ia terpaksa meninggalkan gubuknya saat itu juga, maka bekal yang dibawanya dari rumah, serta perhiasan yang diberikan ibunya kepadanya, tidak akan tertinggal di gubuknya itu. Paksi belum tahu siapa yang datang. Karena itu, maka ia harus sangat berhati-hati. Bahwa yang datang itu tidak berusaha untuk menyerap bunyi sentuhan tubuhnya pada dedaunan yang runtuh di tanah, bukan berarti bahwa mereka tidak mampu melakukannya. Mungkin mereka menganggap hal itu tidak perlu mereka lakukan. Namun sebelum membuka pintu, Wijang nampak raguragu. Katanya hampir berbisik, "Jika mereka prajurit Pajang, dan bahkan Ki Rangga Suraniti sendiri, maka ia akan dapat mengenali aku." "Baiklah. Aku akan keluar lebih dahulu. Jika aku tidak memberi isyarat apa-apa, maka orang itu bukan Ki Rangga Suraniti dan bukan pula Ki Nukilan. Tetapi aku tidak mengenal prajurit Pajang yang lain yang akan dapat mengenalimu." "Baiklah. Keluarlah. Aku akan mengintip dari belakang pintu." Tetapi sebelum Paksi melangkah keluar, Wijang itupun berkata, "Kau juga harus melindungi ujudmu." "Mereka sudah ada di luar." "Biar sajalah." Paksi tidak membantah. Ketika kemudian Wijang membuat garis-garis di wajahnya dengan jelaga yang dicoleknya dari pantat kuali, Paksi tidak mengelak. Bahkan kemudian, Wijangpun telah membuat garis-garis hitam pula di wajahnya
sendiri. Di kening, di dahi, di pipi dan di dagunya. Kemudian keduanya telah mengenakan caping bambu yang lebar di kepalanya. Keduanyapun kemudian telah mendengar orang yang bercakap-cakap sambil melangkah mendekati gubuk itu. Yang kemudian lebih dahulu keluar dari gubuk itu adalah Paksi. Wajahnya nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Caping bambu yang lebar membuat wajahnya semakin tidak jelas. Di luar berdiri ampat orang yang berwajah garang. Mereka tidak mengenakan ciri-ciri apapun, sehingga Paksi tidak dapat mengenali, siapakah mereka dan dari perguruan yang mana. Ketika mereka berempat melihat Paksi keluar dari gubuknya, maka orang-orang itupun tertegun. Namun tibatiba saja seorang di antara mereka bertanya, "He, apakah kau pemilik gubuk ini?" "Ya, Ki Sanak," jawab Paksi. Suaranyapun bergetar sehingga tidak seperti suara aslinya. Keempat orang itu memperhatikan wajah Paksi dengan seksama. Hampir serentak mereka tertawa. "He, untuk apa sebenarnya kau samarkan wajahmu" Apa kau kira bahwa kau orang yang penting, sehingga kau merasa perlu menyamarkan wajahmu agar tidak mudah dikenali" Atau kau kira bahwa kau adalah seorang putera raja yang menghilang dari istana dan hidup menyendiri di kaki Gunung Merapi" Atau justru karena kau seorang penjahat yang sedang diburu, sehingga kau berusaha menghilangkan jejak dengan menyamarkan wajahmu?" bertanya salah seorang dari mereka. Paksi tidak menjawab. Tetapi dahinya yang tercoreng jelaga itu berkerut. Orang itu telah menyebut seorang pangeran yang hilang dari istana. Apakah itu hanya satu kebetulan, atau ia memang sudah mendengar bahwa memang ada seorang pangeran telah menghilang dari istana. Karena itu, hampir di luar sadarnya ia menyahut, "Akulah pangeran yang hilang dari istana itu."
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Seorang di antara mereka berkata kepada kawan-kawannya, "Ternyata kita menemui orang gila disini." Seorang yang lain, menyahut, "Tetapi nampaknya ia bukan orang gila yang berbahaya." "Aku memang tidak berbahaya bagi orang yang tidak menggangguku," berkata Paksi dengan suara yang masih bergetar. "Baiklah, Ki Sanak," berkata seorang yang berkumis lebat, bermata kemerah-merahan. Nampaknya ia seorang yang lebih senang berbicara langsung sebagaimana dipikirkannya. "Aku tidak akan mengganggumu. Aku akan segera pergi. Tetapi katakan, apakah kau sudah menemukan cincin yang telah berada di sekitar tempat ini. Apakah cincin itu jatuh dari langit, atau dibawa dan disimpan oleh seseorang atau apapun sebabnya berada di tempat ini. Menilik ujud gubukmu, kau tentu sudah cukup lama berada disini. Kami juga melihat tanamanmu yang terpelihara serta beberapa jenis kelengkapan yang lain." Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun bertanya," Cincin apa yang kau maksud?" "Kau tidak usah berpura-pura. Kau berada disini tentu karena cincin itu pula." "Aku tidak tahu maksudmu." "Jangan banyak bicara. Aku akan masuk ke dalam rumahmu untuk melihat, apakah cincin itu ada disini atau tidak." Ketika orang itu melangkah maju, Paksi berkata, "Tunggu, Ki Sanak. Kau tidak dapat masuk ke dalam rumah seseorang begitu saja. Kita belum saling mengenal. Nah, katakan siapakah kalian. Mungkin dengan mengenal kalian, aku akan mempersilahkan kalian masuk ke dalam gubukku." "Kami para murid utama dari sebuah perguruan yang terbesar di negeri ini. Tidak ada orang yang dapat menahan keinginan kami. Boleh atau tidak boleh, aku harus masuk ke
Cover Boy 1 Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Neraka Gunung Dieng 3