Pencarian

Neraka Gunung Dieng 3

Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng Bagian 3


Buang gelengkan kepalanya pelan! Tetapi matanya memandang padanya tia-
da berkedip sedikitpun juga. Perlahan Sri Pamuja
bangkit dari tidurnya. Lalu tanyanya lirih!
"Apa yang kau pikirkan...?"
Yang ditanya menarik napas pendek, sesaat dia
diam seribu bahasa.
"Katakanlah, Kakang! Siapa tahu aku dapat
membantu meringankan beban batinmu!" desaknya
penuh perhatian.
"Derita ku tiada seorang pun yang tahu. Ka-
dang aku berpikir, bahwa sesungguhnya hidup ini
singkat namun panjang. Kulihat keserakahan dan
angkara murka di mana-mana. Orang-orang ingin ber-
kuasa di atas penderitaan orang lain...!" ucap si pemuda seperti pada dirinya
sendiri. "Apa maksudmu, Kakang.... Aku tak mengerti!"
kata Sri Pamuja, seraya memegang bahu si pemuda.
"Pamuja! Jauh sudah langkah yang kutempuh,
semua itu hanya dengan tujuan ingin mencari tahu di
mana sesungguhnya orang yang telah menyebabkan
ku lahir ke dunia ini. Namun sejauh itu aku masih belum berhasil mendapatkannya,
dia pergi terlalu jauh.
Mengasingkan diri di sebuah tempat yang sangat sulit untuk ku jangkau, padahal
aku begitu sangat merin-dukannya...!" Tersendat suara si pemuda, ada kepedihan
yang terasa menusuk-nusuk relung hatinya yang
paling dalam. Dan untuk pertama kali di dalam hidup-
nya. Dia menitikkan air mata di depan seorang gadis.
"Apakah orang yang kau maksud itu me-
rupakan ayah atau ibumu?" tanya si gadis ikut prihatin.
"Ah, dia bukan ibuku...!"
"Ibumu...?"
Lagi-lagi si pemuda menarik napas panjang-
panjang. "Ibuku... oh, aku tak pernah melihatnya. Dia
sudah tiada, dia telah tewas di tangan para peramal
celaka itu. Dia telah tewas ketika berusaha menyela-
matkan jiwaku, orang-orang itulah yang telah membu-
nuhnya. Aku tak mungkin membalas kasih sayangnya
yang maha besar itu. Dia telah pergi, dan aku sangat menyesalinya...!" ucap si
pemuda dengan suara ter-
sendat-sendat. "Kakang, mengapa mereka begitu tega membu-
nuh ibumu, katakanlah Kakang...!" desak si gadis semakin iba dan prihatin.
"Semua itu karena akibat ulah para peramal ce-
laka itu. Mereka telah memfitnahku bahwa kelahiran-
ku di atas dunia ini akan menyebabkan malapetaka
yang sangat besar. Jauh sebelum kelahiranku bahkan
mereka telah memberi isyarat maut itu. Kalau ibuku
tidak menghanyutkan aku ke laut, barangkali si Hina
Kelana tak pernah ada di kolong langit ini, aku adalah anak yang dibuang demi
sebuah keselamatan. Itulah
sebabnya ibuku memberi ku nama Buang Sengketa.
(Untuk lebih jelasnya baca judul Utusan Orang-orang
Sesat jilid terdahulu).
Kedua orang itu nampak saling terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Namun kesunyian segera ter-
pecah kembali dengan suara si gadis yang penuh den-
gan keingintahuan.
"Lalu, siapakah orang yang kakang cari-cari
itu...?" "Dia adalah ayahku yang kini melakukan tapa di dalam lautan yang sangat
dalam lagi luas...!" jawab Buang lirih sekali. Bukan main terkejutnya hati Sri
Pamuja demi mendengar kata-kata si pemuda. Dia
menjadi bingung sendiri. Mungkinkah orang yang dia
kasihi itu memiliki otak yang tidak waras" Mengapa
bicaranya terlalu melantur" Mungkinkah seorang ma-
nusia melakukan tapa di dalam lautan. Tak seorang-
pun orang yang maha sakti sekali pun mampu berta-
han hidup di dalam air. Mendadak Sri Pamuja menjadi
ketakutan sendiri, Dan kiranya itu sempat dilihat oleh Pendekar Hina Kelana.
Maka dengan berhati-hati dia
pun menjelaskan:
"Mungkin engkau merasa heran, atau bahkan
telah menganggap bahwa aku telah gila. Tetapi inilah kejadian yang sesungguhnya,
sebuah kenyataan yang
tak pernah bisa ku pungkiri. Bahkan engkau mungkin
tak pernah percaya, bahwa sesungguhnya ayahku ada-
lah seekor ular raksasa. Raja Piton Utara! Seorang raja dari Negeri Bunian,
suatu negeri yang tak pernah terlihat oleh kasat mata. Tetapi alam itu ada
seperti halnya alam gaib lainnya. Dia sengaja meninggalkan tahta,
karena demi cintanya terhadap seorang anak manusia
dan kini dia pergi melakukan tapa, semua itu hanya
untuk menebus kesalahannya, yang telah mengawini
seorang manusia di alam nyata. Dia seekor ular... tetapi dia tetap ayahku...!"
tukas Buang Sengketa merasa sangat sedih sekali.
Semakin besar saja simpati si gadis pada pe-
muda itu. Sedikit pun dia tiada menyangka kalau pe-
muda yang sangat menarik hatinya itu adalah anak
seorang raja ular, tiada juga pernah dia duga, kalau pemuda yang memiliki ilmu
sangat tinggi itu hidupnya penuh penderitaan. Sri Pamuja semakin terkagum-kagum,
bahkan semakin bertambah dalam kasih
sayangnya! "Kakang, janganlah engkau bersedih. Kita me-
miliki persamaan nasib, bahkan ayahku telah tiada
pula. Si Jubah Hitamlah yang telah membunuhnya,
jangan bersedih, Kakang! Aku sedih mendengarnya,
aku mencintaimu...!" desah si gadis, dan tanpa sadar kata-kata seperti itu pada
akhirnya terlepas juga dari mulutnya.
Sungguhpun hatinya sedang diliputi kegalauan,
namun demi mendengar ucapan si gadis, dia nampak
kaget. Dia tiada menyangka kalau gadis itu juga me-
mendam perasaan yang sama.
"Sungguhkah apa yang kau katakan itu...?"
tanya Buang Sengketa mencoba mencari-cari jawaban
dalam wajah yang tertunduk itu. Si gadis tersipu malu, namun tetap menganggukkan
kepalanya. Dengan lembut, jemari tangan si pemuda mencoba menengadah-
kan wajah si gadis. Begitu wajah Sri Pamuja terangkat ke atas, lewat cahaya
bulan si pemuda dapat melihat
wajah gadis itu tersipu dan kemerah-merahan. Kini
wajah kedua orang itu sudah saling berdekatan, napas keduanya terdengar dan
saling mengusap sesamanya.
Kemudian kedua bibir mereka paling mendekat,
karena pengalaman itu untuk pertama kalinya maka
tubuh mereka saling gemetaran. Dengan lembut dan
segenap perasaan kedua bibir itu saling menyatu. Sri Pamuja merengek dan
merintih, kedua wajah mereka
terus berpagut dan menyatu.
Di angkasa lepas cahaya bulan sudah mulai
kehilangan sinarnya. Tubuh mereka kini bergulung-
gulung di atas ranting dan rumput kering. Rintih man-ja dari bibir si gadis
terdengar pelan, ada sesuatu yang mendesak-desak di dalam dadanya. Pori-pori
kulitnya meremang. Rasanya ada sesuatu yang menuntut dan
ingin dipenuhi.
"Kakang...!" rengeknya.
"Hemmm...!"
"Aku mencintaimu, Kakang! Jangan kau ting-
galkan aku...!" desah si gadis di sela-sela rintihannya.
"Tidak akan, dan tidak pernah...!" kata si pemuda pasti.
"Lakukanlah sesuatu untukku, Kakang?" ren-
geknya. Begitu mendengar bisikan seperti itu, si pemu-da langsung melepaskan
pelukannya. "Ada apa, Kakang?" Sri Pamuja tersentak kaget.
"Aku tak ingin melakukannya. Sang Hyang Widi
pasti akan mengutuk kita, aku sangat menghormati-
mu, Pamuja, sebagaimana aku menghargai diriku sen-
diri. Aku tak ingin masa depanmu menjadi hitam dan
dipenuhi dosa...!" ujar Buang Sengketa penuh wibawa.
Mendengar Ucapan kekasihnya, Pamuja menjadi tersi-
pu malu. Sungguh agung hati pemuda ini! Batin Sri
Pamuja. "Maafkan aku, Kakang...!" desahnya, seraya kembali rebah di sisi Pendekar Hina
Kelana. "Engkau tak bersalah, Pamuja, tak ada yang
perlu dimaafkan. Tidurlah, malam sudah sangat larut.
Aku akan menjaga mu...!" katanya sambil mengecup kening Pamuja lembut.
"Tapi mengapa kakang menjagaku! Bukankah
kakang juga butuh istirahat?"
"Jangan pikirkan aku! Seorang gadis yang baik,
adalah gadis yang selalu menurut apa yang dikatakan
oleh orang yang paling dekat dengannya. Selama hal
itu tidak menyimpang dari keinginan hati nurani...!"
"Malah aku mengkhawatirkan kesehatanmu,
Kakang! Besok kita sudah harus meneruskan perjala-
nan, pula sudah beberapa hari ini kita memang kurang istirahat...!" Sri Pamuja
mengingatkan. "Jadi engkau tak mau menuruti perintahku...?"
kata si pemuda menegur.
"Selama kakang sendiri tidak mau menuruti ka-
ta-kataku...!"
Buang Sengketa geleng-gelengkan kepalanya.
"Engkau benar-benar gadis bandel...!"
"Engkau juga pemuda tampan yang nakal...!"
kilah Sri Pamuja, seraya menggenggam erat tangan
Pendekar Hina Kelana. Demikianlah, kedua anak ma-
nusia itu terus terlihat perbincangan. Namun kata-
kata mesra yang terdengar, tiada kekerasan, apalagi saling membentak. Namanya
juga pendekar yang lagi
dimabuk cinta. Siapa sangka dia bisa selembut dewa.
*** 10 Setelah menempuh perjalanan berhari-hari,
akhirnya Aki Kilik Rogo dan murid-muridnya di pagi
itu telah sampai di perbatasan antara Gunung Dieng
dan Gunung Perahu. Embun masih menempel di rant-
ing-ranting, tanah lembab yang mereka lalui menebar-
kan aroma kegersangan. Di barisan paling depan nam-
paklah murid-murid Aki Kilik Rogo berjalan dengan
langkah ayal-ayalan. Sementara laki-laki pendek yang menjadi guru mereka, nampak
berada di bagian paling
belakang menunggang seekor kuda putih pula. Se-
dangkan di kanan kiri mereka, mengapit dua tebing
bukit kapur yang menjulang tinggi. Kalau keadaan hu-
jan. Tebing curam yang terdiri dari tanah kapur tersebut selalu mengalami
longsor, tetapi kalau hujan me-
reda kembali. Maka jalan di sela-sela tebing itu akan berubah seperti sediakala.
Hal inilah yang merupakan salah satu keanehan yang terjadi di daerah Gunung
Perahu. Tetapi mengapa Aki Kilik Rogo sampai memba-
wa murid-muridnya ke Gunung Dieng" Seperti telah
diketahui, murid-murid Aki Kilik Rogo sebagian besar telah terkena pengaruh ilmu
hitam milik si Jubah Hitam atau yang dikenal sebagai Batari Murti. Manusia
setengah iblis itu dengan sengaja telah memperguna-
kan Racun Linglung Raga untuk mempergunakan mu-
rid-murid Aki Kilik Rogo. Demi tercapainya maksud
dan keinginannya dalam menghadapi Empu Wesi Laya.
Seperti telah diketahui pula, si Jubah Hitam telah melarikan sebuah Kitab Pusaka
Bendil Dieng milik gu-
runya sendiri. Tetapi karena usaha untuk memecah-
kan rahasia kitab tersebut selalu mengalami jalan bun-tu, maka mau tak mau dia
harus memperalat murid-
murid Aki Kilik Rogo yang juga masih merupakan sau-
dara seperguruannya sendiri. Sebab dia sadar bahwa
sesungguhnya Kunci Kitab Bendil Dieng tentunya ada
di tangan gurunya. Berhadapan secara langsung de-
ngan ilmu kepandaian yang sama, dia sudah merasa
pasti tidak bakalan menang. Tetapi dia berharap den-
gan bantuan murid-murid Aki Kilik Rogo yang tak
mengetahui bahwa murid-muridnya telah berada da-
lam kekuasaannya. Sudah barang tentu, urusan untuk
merampas kunci kitab rahasia itu akan terbuka lebar.
Namun seperti diketahui pula kiranya Empu Wesi Laya
telah meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Itu makanya si Jubah Hitam
tidak muncul di tempat itu,
ketika Aki Kilik Rogo membawa murid-muridnya ke
Gunung Dieng dengan maksud meminta kesembuhan
dari gurunya yang terkenal sangat sakti itu.
Sungguhpun begitu, bukan berarti Aki Kilik
Rogo dan murid-muridnya dapat terlepas dari anca-
man bahaya. Masih ada bahaya lain yang mengintai di-
rinya. Hal itu terbukti dengan adanya dua sosok
bayangan yang berkelebat di antara gundukan-
gundukan batu besar. Tak lama setelahnya, begitu dua orang itu telah sampai di
atas tebing yang curam itu.
Salah seorang di antaranya dengan gerakan yang san-
gat ringan segera menghela beberapa buah batu sebe-
sar kerbau ke arah jalan yang terapit tebing tersebut.
Terdengar bunyi selaksa gempa, begitu batu-batu ter-
sebut menggelinding dan meluncur deras menuruni ja-
lan yang sempit itu. Murid-murid Aki Kilik Rogo begitu mendengar suara gaduh
langsung saja melongokkan
kepala mereka ke atas tebing. Begitu pun Aki Kilik Ro-go. Mereka nampak sangat
terkejut sekali.
"Hoi.... Ada batu besar.... Ada gempa.... Cepat selamatkan diri...!" teriak
mereka sembari menghambur ke segala arah. Dasar murid-murid pesakitan, be-
berapa orang di antaranya malah berlari-lari menyongsong datangnya batu-batu
tersebut. Otomatis empat
orang di antara murid-murid itu, menemui ajal secara mengerikan. Tubuh mereka
tertimpa batu yang sangat
sulit diukur beratnya. Tubuh mereka ringsek, kepala
mereka remuk, darah dan cairan otak muncrat ke ma-
na-mana. Bukan main murkanya Aki Kilik Rogo me-
nyaksikan semua kejadian ini. Serta merta dia kembali mendongakkan kepalanya di
atas tebing. Baginya sudah sangat jelas bahwa kejadian itu adalah akibat ulah
seseorang. Maka sesaat kemudian laki-laki pendek di
atas kuda itu sudah membentak
"Manusia iblis yang berada di atas tebing, cepat tunjukkan muka! Atau aku harus
menyeret mu dari
atas situ...?"
Belum lagi usai Aki Kilik Rogo dengan ucapan-
nya yang begitu indahnya. Kedua orang itu menjejak-


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan kakinya dengan mulus, persis di hadapan Aki Kilik Rogo. Dari cara mereka
menjejakkan kaki, dan melihat gerakan mereka yang sangat ringan. Maka sadar-
lah si laki-laki pendek tersebut. Bahwa kedua orang ini memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Sementara murid-murid Aki Kilik Rogo nampak melongo memandangi
kehadiran kedua orang itu. Begitu dua orang yang tak dikenal itu berada di depan
Aki Kilik Rogo, kakek ini
pun kembali membentak dalam kemarahan yang me-
luap-luap: "Manusia-manusia keparat! Ada maksud apa-
kah sehingga kalian mencari urusan denganku...?"
"He... ho... hi...!" Si laki-laki gemuk yang di kepalanya mengenakan topi tanduk
kerbau nampak ter-
tawa lebar. Kemudian tukasnya. "Aki Kilik Rogo manusia dungu. Jangan kira aku
tak tahu tujuanmu ke Gu-
nung Dieng itu. Ada baiknya kalau kita bekerja sama, sebab kukira si Jubah Hitam
telah menghadangmu di
Lereng Dieng...!"
Mendengar ucapan laki-laki gemuk bertopi tan-
duk kerbau itu, Aki Kilik Rogo kerutkan alisnya, dia seperti mengenal si gemuk
suara kerbau itu. Dia terus mengingat dan mengingat, hingga pada akhirnya dia
pun berseru lantang;
"Hmmm... bukankah engkau ini yang bernama
Dulimang atau Kebo Selaksa Wisa dari Gunung Bromo
yang pinter keblinger itu...?"
Kebo Selaksa Wisa mengekeh dan tepuk-tepuk
perutnya yang gembul segendut tempayan.
"Hohoho.... Kiranya otakmu tidak sinting seper-
ti mereka, Ki...! Bagus. Hal ini akan memudahkan ka-
mi untuk mengajak bicara denganmu."
"Engkau telah membunuh muridku, masih ju-
gakah engkau hendak mengajakku bicara. Tidak... aku
tidak akan memberimu maaf...!" tukas Aki Kilik Rogo semakin bertambah berang.
Begitu pun Kebo Selaksa
Wisa masih berusaha membujuk.
"Semua itu kesalahan murid-muridmu yang
sinting itu. Si Jubah Hitamlah yang menyebabkan se-
mua itu, tahukah engkau bahwa sesungguhnya si Ju-
bah Hitam masih merupakan saudara seperguruanmu.
Dia sangat berbahaya, Aki. Ada baiknya kalau kita sa-
ma-sama membunuhnya...!"
"Apa! Batari Murti yang membuat muridku jadi
tolol semua..."!" menukas Aki Kilik Rogo dengan mata melotot bagai hendak
melompat ke luar.
"Benar, Ki.... Dan murid-muridmu juga sangat
berbahaya. Sewaktu-waktu mereka dapat membu-
nuhmu...!" kata Kebo Selaksa Wisa bersungguh-
sungguh. "Kita lebih baik bergabung sajalah, Ki...!" Laki-laki berewokan berbaju biru
yang dikenal sebagai salah seorang dari Sepasang Ular Welang ikut menyela.
Seperti diketahui Sepasang Ular Welang, salah seorang di antara mereka yang
bernama Sadaka telah tewas di
tangan Pendekar Hina Kelana. Tetapi salah seorang
yang lain sempat menyelamatkan diri dan kini berga-
bung dengan sahabatnya Kebo Selaksa Wisa. Aki Kilik
Rogo angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya cu-
riga. Lalu laki-laki pendek yang masih tetap nongkrong di atas kudanya itu pun
berkata mencibir.
"Kalau Kitab Pusaka Bendil Dieng tidak berada
di tanganku, apakah kalian masih juga ingin menga-
jakku bergabung...?" sindirnya. Memerah wajah kedua orang itu seketika itu juga.
Tetapi dasar manusia-manusia sesat. Keadaan seperti itu hanya berlangsung
sekejap. Kemudian Kebo Selaksa Wisa sudah menyela
kembali: "Cerdik juga otakmu, Ki.... Syukur sekali kalau engkau sudah mengetahui tujuan
kami...!" menyela si Jubah Biru atau Sadaki.
"Puih. Kiranya kalian hanya bangsanya tikus
pengecut, tidak sekalipun Kitab Bendil Dieng itu bera-da di tanganku! Mengapa
kalian tidak merampasnya
saja dari tangan wanita laknat itu...?" maki Aki Kilik Rogo gusar sekali. Kedua
orang itu saling mengekeh
begitu mendengar ucapan Aki Kilik Rogo.
"Engkau jangan berpura-pura, Aki...! Kalaupun
kitab tersebut memang tak ada di tanganmu, tetapi
tentu engkau tahu tempat rahasia penyimpanan Kunci
Kitab Bendil Dieng...!"
"Bangsat! Kiranya engkau juga tak jauh berbe-
da dengan perempuan busuk itu! Sial! Masih untung
aku tak pernah mengetahui tempat penyimpanan kun-
ci kitab tersebut. Pula seandainya aku mengetahuinya yang pasti tak akan
kukatakan pada pengecut-pengecut semacam kalian...!" tukas Aki Kilik Rogo tegas-
tegas. Semakin bertambah memerah wajah Kebo Se-
laksa Wisa demi mendengar ucapan Aki Kilik Rogo. Dia sangat murka sekali, lalu
timbul pula dalam pikiran-nya untuk memaksa laki-laki pendek ini.
"Aki busuk! Jadi engkau benar-benar tak ingin
bekerja sama dengan kami?"
"Tidak!"
"Tidakkah engkau sayangkan nyawa-mu...?"
menyela Sadaki.
Sampai di sini Aki Kilik Rogo tertawa menge-
keh. Tubuhnya yang pendek dan kecil itu nampak ter-
guncang-guncang di atas punggung kudanya.
"Nyawa... ha... ha...! Masalah nyawa adalah
urusan Sang Hyang Widi. Sedikit pun kalian tak punya hak apa-apa terhadap hidup
orang lain...!"
"Kentut busuk! Agaknya engkau lebih tolol dari
murid-muridmu itu, Aki Kilik Rogo! Sia-sia kau bawa
muridmu ke Gunung Dieng, penyakit muridmu tak
akan pernah sembuh dengan cara pengobatan apapun,
lebih baik engkau hela saja mereka pulang ke nera-
ka.... Haiittttt...!"
"Weeer!"
Kebo Selaksa Wisa pukulkan tangannya ke
muka, sesaat itu juga satu rangkaian gelombang sinar berwarna hitam pekat,
menderu laksana badai topan
prahara. Sinar tersebut melesat sedemikian cepatnya
mengarah pada Aki Kilik Rogo yang saat itu masih te-
tap berdiri di atas punggung kudanya. Merasakan ha-
wa pukulannya saja telah membuat Aki Kilik Rogo ter-
sentak kaget. Lalu tanpa buang waktu lagi tubuhnya
melesat meninggalkan kuda putihnya. Tak ampun lagi
kuda malang tersebut meringkik keras begitu sinar hitam dan berbau amis mendera
tubuhnya. Kuda tung-
gangan milik Aki Kilik Rogo terpental sejauh tiga tombak. Badannya ringsek
karena menabrak batu cadas
yang berada tak jauh dari tempat itu. Kuda yang ber-
warna putih itu pun mati seketika. Aki Kilik Rogo, ma-rahnya bukan alang
kepalang, dalam pada itu dia pun
langsung memerintah murid-muridnya.
"Hei... kalian semua. Mengapa pada bengong
seperti itu, cepat kalian keroyok dua ekor bangsat
itu...!" perintah Aki Kilik Rogo. Sementara dia sendiri kini sudah menghunus
kerisnya. Akan halnya dengan
murid-muridnya, nampak tak bereaksi, seolah-olah
mereka tak mendengar apa yang dikatakan oleh gu-
runya. Begitu-lah kehebatan Racun Linglung Raga
yang telah meracuni dan telah menyatu dalam diri me-
reka. Rasa kecewa dan kemarahan berbaur menjadi
satu, sementara Kebo Selaksa Wisa dan Sadaki nam-
pak tergelak-gelak melihat Aki Kilik Rogo yang uring-uringan.
"Aki... lihatlah betapa tololnya murid-muridmu
itu. Dua puluh tahun engkau mendidik mereka, tokh
hasilnya tetap mengecewakan mu...!"
"Bangsat kalian...!" kertak Aki Kilik Rogo, dia langsung kirimkan serangan-
serangan yang sangat ga-
nas dan mematikan. Senjata itu berkelebat, semakin
lama semakin cepat. Sungguhpun diserang dalam kea-
daan sedemikian rupa, tetapi nampaknya Sadaki mau-
pun Kebo Selaksa Wisa masih nampak tenang-tenang
saja. Bahkan Kebo Selaksa Wisa sambil mengelak ma-
sih sempat menyela:
"Aki bego.... Kalau aku yang punya murid se-
perti mereka, lebih baik kubunuhi saja satu persatu.
Buat apa murid-murid tolol tiada guna, sekarang coba perintahkan pada mereka,
Ki... Suruh menggorok leher masing-masing...!" Kebo Selaksa Wisa atau Dulimang
mengejek. "Bangsat, sialan! Penyakit mereka juga dis-
ebabkan ulah manusia-manusia setan macam kalian.
Hiaaaa...!"
Dalam makiannya itu, Aki Kilik Rogo juga ki-
rimkan satu tusukan satu babatan, namun sangat ce-
pat sekali tusukan keris berwarna kuning milik Aki Kilik Rogo dapat dikelit oleh
Dulimang dengan sangat
baik sekali. Hal ini hanya menambah kemarahan si aki semakin berkobar-kobar.
Dalam pada itu Dulimang telah memberi isyarat pada Sadaki sahabatnya. Bahkan
sekejap kemudian terdengar pula ucapannya:
"Adik Sadaki, engkau bunuhlah murid-murid
aki ini yang berkepala tuyul itu. Biar aku layani monyet pendek ini sampai merat
ke neraka...!"
Mendapat perintah, dari orang yang sangat di-
hormatinya, Sadaki tanpa membuang-buang waktu la-
gi, segera meluruk ke arah murid-murid Aki Kilik Rogo.
Yang saat itu nampak sedang memandangi gurunya
yang sedang bertempur mati-matian. Dasar murid-
murid goblok, maki Sadaki. Lalu setelah jarak antara mereka begitu dekat maka
Sadaki segera menyerang
mereka dengan serangan-serangan gencar.
11 Pedang di tangan Sadaki bergerak cepat dan
sebat sekali. Tak pelak lagi dalam waktu sekejap, jerit dan pekik kepanikan
segera terjadi di antara murid-murid itu.
"Murid-murid tolol. Daripada menonton perta-
rungan guru kalian, lebih baik kita bertarung sampai kalian pada mampus
semuanya...!" teriak Sadaki, begitu ucapannya begitu pula pedang di tangannya
berke- lebat. "Jrooos!"
"Arrrgkhh...!"
Terdengar dua jeritan, dua orang murid Aki Ki-
lik Rogo yang tak pernah bisa menguasai ilmu silat
yang diajarkan gurunya itu nampak roboh bermandi
darah. Mereka tewas seketika itu juga. Sungguh ma-
lang sekali nasib mereka. Racun Linglung Raga yang
telah mengendap dalam tubuh mereka benar-benar
mereka tak dapat mempergunakan bahkan lupa pada
ilmu silat yang mereka miliki. Akibatnya dalam waktu sekejap saja delapan orang
murid Aki Kilik Rogo telah terbantai dalam keganasan pedang milik Sadaki.
Mengetahui para murid-muridnya dapat ter-
bantai seperti keledai-keledai dungu. Bukan main
murkanya hati sang guru. Sebagai pelampiasan keke-
salannya, dia langsung menyerang Dulimang dengan
pukulan dan jurus-jurus silat yang paling sangat dia andalkan. Mau tak mau,
kalau tak ingin celaka termakan senjata lawan yang mengandung hawa membunuh
itu. Dulimang atau Kebo Selaksa Wisa harus berkele-
bat lebih cepat lagi. Dalam kesempatan itu, sambil ki-
rimkan serangan-serangan yang sangat gencar dan ga-
nas, Aki Kilik Rogo nampak berteriak-teriak bagai
orang sinting; "Murid-muridku, pergunakan senjata kalian!
Cincang Sepasang Ular Welang yang cuma tinggal satu
itu, cepat.... Siapa cepat dialah yang bakal selamat...!"
teriak Aki Kilik Rogo. Dalam kepedihan dan kesedihan.
Peringatan itu sesungguhnya tidak sembarang peringa-
tan, karena melalui jeritannya Aki Kilik Rogo telah
mengerahkan ilmu pembangkit semangat. Dan agak-
nya hal itu cukup berpengaruh pada sisa-sisa murid-
nya yang cuma tinggal tidak lebih dari enam orang itu.
Lalu bagai orang yang baru saja terjaga dari tidur yang panjang, secara serentak
mereka mencabut senjata
masing-masing. Dan pada akhirnya mereka menjadi
sangat beringas bagaikan serigala hutan begitu melihat kawan-kawannya pada tewas
bermandikan darah. Dari
posisi mendesak, kini Sadaki malah balik terdesak. Dia nampak terperangah dan
heran mengapa murid-murid
linglung Aki Kilik Rogo bisa berubah menjadi galak dan liar seperti itu, bahkan
permainan pedangnya juga
sangat ganas dan hebat. Tetapi Sadaki dapat melihat, bahwa permainan maupun
jurus-jurus pedang yang
mereka mainkan bukanlah jurus-jurus pedang milik
Aki Kilik Rogo. Jauh berbeda. Bahkan sangat lain sekali. Permainan pedang mereka
lebih tepat lagi kalau disebut sebagai permainan Ilmu Pedang Iblis. Gerakan-
gerakan yang tiada terduga itulah yang membuat Sa-
daki menamakannya demikian. Sesaat dia dapat ber-
pikir begitu, tetapi beberapa jurus berikutnya dia harus berjuang mati-matian
demi mempertahankan se-
lembar nyawanya yang tak pernah ada dijual di tukang loak manapun.
Sementara itu, karena membagi perhatian dan
membagi tenaga dalam demi menyadarkan murid-
muridnya, dengan ilmu pembangkit semangat yang dia
miliki, maka mau tak mau perhatian dan tenaganya
menjadi berkurang banyak. Serangan-serangan yang
dilancarkannya tidak sehebat dan sesebat tadi. Seba-
liknya Kebo Selaksa Wisa merasa berada di atas angin, nampak terus mendesak dan
mengumbar pukulan
mautnya yang diberi nama Kebo Gila Durhaka.
Kasihan sekali keadaan Aki Kilik Rogo demi
menyelamatkan sisa-sisa muridnya yang cuma tinggal
beberapa gelintir itu, dia pun harus pontang panting menghindari pukulan maut
yang datangnya bertubi-tubi. Sambil terus melancarkan pukulan-pukulan ga-
nas dan dahsyat, Kebo Selaksa Wisa terus saja men-
gomel tak karuan.
"Uh, kasihan sekali engkau ini! Jadi guru, tapi muridnya pada geblek. Agaknya
kau lebih tolol daripada yang diajari...!" gerutu Dulimang, tanpa sedikit pun
lengah dari pukulan-pukulan maut yang berhawa dingin luar biasa itu. Tiada
sahutan maupun bantahan
yang keluar dari mulut Aki Kilik Rogo. Kebo Selaksa
Wisa kembali nyeletuk!
"Ah, mengapa engkau tak mau membalas, Mo-
nyet pendek. Mana pukulan maut warisan Empu Wesi
Laya gurumu..." Ternyata engkau orang tolol. Manusia dungu tiada guna, mampus
sajalah...!"


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wuuuus!"
Satu gelombang berwarna hitam pekat kembali
menderu, dan menebarkan hawa dingin dan bau yang
sangat menusuk. Celaka-lah bagi Aki Kilik Rogo yang
sudah banyak kehilangan tenaga dalam karena telah
ter-bagi-bagi buat muridnya. Lebih dari itu dia kurang begitu menyadari akan
datangnya sinar maut yang
bernama Kebo Gila Durhaka tersebut. Dia tengah ber-
konsentrasi dalam menggerakkan semangat murid-
muridnya yang saat itu sudah mulai berhasil mende-
sak Sadaki atau yang dikenal dengan Sepasang Ular
Welang. Dan manakalah, dia merasakan adanya satu
sambaran angin dingin yang luar biasa, Aki Kilik Rogo nampak tersentak dan
terkejut sekali. Tetapi dia sudah tak punya waktu lagi buat mengelak. Maka tanpa
ampun lagi, pukulan Kebo Gila Durhaka melabrak tubuh-
nya! "Buuum!"
Tubuh Aki Kilik Rogo yang kurus dan pendek
itu, nampak mental terbawa pukulan maut yang dile-
paskan oleh Kebo Selaksa Wisa. Tubuh Aki Kilik Rogo
terguling-guling bagai titiran. Seandainya tiada batu besar yang menghalangi
tubuhnya sudah barang pasti
tubuh Aki Kilik Rogo sudah tercampak ke dalam ju-
rang yang tak terukur dalamnya.
Aki Kilik Rogo pucat wajahnya tak lama ke-
mudian darah kental berwarna hitam pekat nampak
menggelogok dari mulutnya. Begitu pun laki-laki ini
segera bangkit. Tubuhnya meliuk-liuk dan limbung.
Kaki gemetaran, nyatalah sudah bahwa Aki Kilik Rogo
terluka dalam cukup serius.
Dalam pada itu terjadi pula keanehan. Murid-
murid Aki Kilik Rogo yang sudah terlepas kontrol kare-na gurunya terluka. Tiba-
tiba saja berubah brutal dan liar, Racun Linglung Raga kini sudah mulai bereaksi
sebagaimana yang diharapkan oleh si Jubah Hitam.
Namun hanya saja tidak tepat pada tempatnya. Maka
celakalah Sadaka dibuatnya, karena dia harus tung-
gang langgang menghindari terjangan enam senjata
maut dari enam sumber kekuatan yang sedang meng-
gila. Sementara itu Kebo Selaksa Wisa demi menge-
tahui Aki Kilik Rogo sudah terluka dalam cukup parah.
Maka dia segera memburu kembali, dan bersiap-siap
dengan pukulan mautnya.
"Wuuuussss!"
Kembali pukulan yang dahsyat itu melesat dari
jemari tangan Kebo Selaksa Wisa. Aki Kilik Rogo nam-
pak berjumpalitan menghindari terjangan pukulan Ke-
bo Gila Durhaka. Namun celakanya ke manapun dia
pergi dan menghindar. Pukulan itu bagai bermata saja layaknya nampak mengejar
Aki Kilik Rogo tanpa ampun lagi. Namun pada saat yang sangat mengenaskan
itu, mendadak dari atas tebing melesat pula selarik sinar Ultra Violet
menyongsong datangnya sinar beracun berwarna hitam pekat tersebut. Sinar yang
datang dari atas tebing itu menderu keras bahkan timbulkan suara menggaung bagaikan suara badai puting beliung. Segera saja udara
panas menyelimuti suasana sekitar-
nya. Secara perlahan udara dingin yang menggigit se-
bagai akibat pukulan Kebo Gila Durhaka. Semakin la-
ma semakin berkurang sampai akhirnya lenyap sama
sekali. Saat itu tanpa dapat dicegah lagi, dua pukulan sakti itu pun saling
bertemu. "Buuummm!"
Bumi laksana runtuh, langit bagai tercabik-
cabik, Aki Kilik Rogo nampak terhindar dari kematian.
Tubuh Kebo Selaksa Wisa terjengkang, sementara ba-
gian punggungnya terasa sakit teramat sangat. Darah
kental meleleh dari hidung dan bibirnya. Laki-laki berbadan gemuk itu berusaha
bangkit dan tertatih-tatih.
Wajahnya yang bundar itu nampak pucat dan pias,
agaknya dia berusaha menghimpun hawa murninya.
Lalu setelah menelan sesuatu, maka kulit mukanya
kembali kemerah-merahan.
Baik Aki Kilik Rogo maupun Kebo Selaksa Wisa
nampak terperanjat sekali begitu ada seseorang yang
berusaha menyelamatkan Aki Kilik Rogo. Sejenak me-
reka memandang ke arah tebing. Belum lagi mereka
kembali kepada keadaannya, maka dari atas bukit itu
nampak melayang dua sosok tubuh seorang laki-laki
dan seorang wanita. Begitu kedua orang itu telah be-
rada di tengah-tengah mereka. Aki Kilik Rogo nampak
tersenyum, setengah mengeluh karena memang da-
danya masih terasa sakit. Sebab kiranya orang yang
baru saja hadir di antara mereka itu tak lain adalah Buang Sengketa dan Sri
Pamuja, seorang gadis berbaju putih yang pernah dikenal oleh Aki Kilik Rogo.
Lain lagi halnya dengan Kebo Selaksa Wisa, begitu menyadari
pukulan Kebo Gila Durhaka ada yang menggagalkan-
nya maka dia meskipun sudah terluka menjadi marah
dan gusar. Dan pada saat itu, Sadaki sudah mulai terluka dihajar senjata murid-
murid Aki Kilik Rogo yang sudah setengah gila semuanya. Di saat yang sama Ke-bo
Selaksa Wisa membentak:
"Bocah keparat...! Melihat tampangmu agaknya
engkau ini seorang gembel yang sengaja mencari uru-
san dengan Kebo Selaksa Wisa...!" makinya berang sekali. "Segala macam kebo
dungu sepertimu, masih pantaskah untuk diberi izin tinggal di kolong langit ini
lebih lama lagi...?" tukas Pendekar Hina Kelana mencemooh.
"Manusia sial! Engkau benar-benar akan me-
nyesal sampai ke liang kubur. Karena telah begitu lancang mencampuri
urusanku...!" bentak Dulimang
sambil kertakkan rahang.
"Urusan gila siapa mau campur! Engkau tak
perlu berpura-pura, Aki Kilik Rogo itu merupakan sa-
habatku. Karena engkau bermaksud memaksanya
hanya demi kitab terkutuk itu, dan bahkan engkau
malah hampir membuatnya celaka. Maka hari ini aku
terpaksa menggusur mu ke liang kubur." ancam Pendekar Hina Kelana begitu
tegasnya. "Keparat...!" maki Dulimang. Dan kini dia sudah bersiap-siap dengan pukulan yang
lebih ampuh lagi, yaitu Kebo Binal Mencari Pasangan. Buang juga
sudah siap siaga dengan pukulan mautnya si Hina Ke-
lana Merana. Sungguh begitu dia masih sempat mem-
beri isyarat pada Pamuja dan Aki Kilik Rogo untuk
menyudahi sepak terjang Sadaki, yang dulu sempat lo-
los dari tangannya.
"Adik Pamuja, cepat mampusin si bangsat Sa-
daki yang dulu terluput itu...!" perintah Pendekar Hina Kelana pada Sri Pamuja.
Gadis ini tanpa menjawab segera melesat ke tengah-tengah kalangan, begitu pun
Aki Kilik Rogo yang sudah sangat gusar karena banyak murid-muridnya yang
terbunuh di tangan Sadaki.
Tanpa diperintah dia pun sudah masuk ke kalangan
pertempuran. Semakin menjadi kelabakan Sadaki demi
menghadapi keroyokan tersebut. Menghadapi keroyo-
kan enam orang murid-murid Aki Kilik Rogo yang su-
dah berubah liar dan ganas saja dia sudah kalang ka-
but tunggang langgang. Apalagi kini ditambah lagi
dengan kehadiran dua orang ini yang ilmu kepan-
daiannya saja jelas-jelas berada di atasnya. Baginya untuk bersurut langkah
ataupun melarikan diri rasanya sudah sangat terlambat, nasi sudah menjadi
ampas, tak ada pilihan lagi kecuali menempur kedela-
pan orang itu sampai titik darah yang terakhir. Maka bertarunglah dia bagai
setan gila. Pedang diputar ke segala penjuru. Sekejap tubuhnya berkelebat lenyap
tergulung perisai pedang yang melindungi sekaligus
merupakan pertahanan dirinya.
Tetapi betapapun hebatnya permainan pedang
dan kecepatan gerak yang dia miliki, menghadapi dua
orang berilmu tinggi ditambah lagi dengan tenaga
enam orang murid Aki Kilik Rogo yang kini sedang di rasuki setan iblis, maka tak
dapat dihindari. Dalam beberapa jurus di muka dia sudah nampak terdesak
hebat. Aki Kilik Rogo sabetkan kerisnya, sementara
pada saat yang sama Sri Pamuja, juga membabatkan
pedangnya yang sangat tajam. Dari arah belakangnya
menyerang pula keenam murid Aki Kilik Rogo. Maka
tak dapat terelakkan lagi.
"Jroook! Croooot! Krook!"
Sadaki yang malang itu melolong setinggi lan-
git, tubuhnya limbung terbabat senjata di tangan lawan-lawannya. Namun murid-
murid Aki Kilik Rogo te-
rus membabatkan senjatanya pada tubuh yang sudah
tercacah-cacah itu (namanya juga murid-murid kurang
waras). Murid-murid berkepala botak itu terus mencincang-cincang tubuh Sadaki
sambil terus tertawa-tawa.
Bagai mencincang seekor babi saja layaknya. Dan su-
dah barang tentu kejadian ini membuat Sri Pamuja
menjadi kecut hatinya, lalu segera memberi isyarat pa-da Aki Kilik Rogo, untuk
menghentikan pekerjaan yang gila-gilaan
"Murid-muridku berhenti. Orang itu sudah ma-
ti, kalian tak perlu menghukumnya sedemikian ru-
pa...!" perintah Aki Kilik Rogo. Memang benar, murid-murid sinting itu mematuhi
perintah gurunya, tetapi
sebagai akibatnya keenam murid itu nampak berubah
memerah matanya. Dipandanginya Aki Kilik Rogo ba-
gai memandangi seorang musuh besar saja layaknya.
Lalu tanpa terduga-duga keenam murid itu berbalik
dan langsung menyerang Aki Kilik Rogo dan Sri Pamu-
ja. Aki Kilik Rogo yang sebelumnya tiada pernah me-
nyangka kalau murid-murid akan berbuat seperti itu,
nampak terkejut dan langsung berteriak.
"Murid-murid guoooblok! Mengapa kalian ma-
lah menyerangku" Hentikan, hentikan...!" teriaknya sangat marah sekali.
Namun nampaknya murid-murid Aki Kilik Rogo
yang linglung itu sudah tidak memperdulikan benta-
kan-bentakan guru mereka. Tetap saja murid-murid
berkepala botak itu menyerang sang guru dan Sri Pa-
muja. "Murid-murid goblok, tolol...! Setan-setan dari manakah yang telah
merasuki jiwa kalian...?" maki si Kilik Rogo seraya putar-putar kerisnya untuk
melindungi diri.
"Aki.... Tiada guna aki berteriak-teriak.... Racun Linglung Raga yang mengendap
dalam tubuh mereka
kini telah mulai bekerja. Lebih baik kita bunuh saja mereka, Ki...!" tukas Sri
Pamuja sambil melindungi diri dengan putaran pedang di tangannya.
"Apa aku harus membunuh muridku...?"
"Kalau tidak mereka akan membunuh kita,
Ki...!" teriak Sri Pamuja mengingatkan.
"Aku tak sampai hati.... Argkh...!" Belum habis ucapannya tahu-tahu Aki Kilik
Rogo sudah menjerit.
Bagian bahunya kena dibacok oleh muridnya sendiri.
Meskipun tidak begitu dalam, tetapi telah cukup untuk menguras banyak darah.
Bekas bacokan pedang itu
membuat robek besar pakaiannya. Aki Kilik Rogo
menggerendeng dia nampak sangat gusar sekali.
"Murid-murid pada gila, si Jubah Hitam kepa-
rat... muridku juga keparat.... Kubunuh kalian se-
mua..... Cah ayu, mari kita cincang murid-murid tolol ini beramai-ramai...!"
Maka tanpa menunggu perintah dua kali, ke-
dua orang ini bagai kesetanan membabat orang-
orangnya sendiri.
Sementara itu pertempuran antara Kebo Selak-
sa Wisa dan Pendekar Hina Kelana sudah mencapai
puncak-puncaknya. Tubuh Selaksa Wisa atau yang le-
bih dikenal sebagai Dulimang sudah nampak kotor tak
karuan. Laki-laki gemuk itu benar-benar tak jauh be-
danya dengan seekor kerbau. Bagaimana tidak, setelah dia selalu gagal
mempergunakan pukulan-pukulan
mautnya untuk merobohkan pihak lawan tak pernah
membawa hasil. Laki-laki gemuk dengan kumis dan
jenggot jarang-jarang itu nampak seperti putus asa.
Dia sudah keluarkan semua pukulan andalan, tetapi
selalu saja pihak lawan berhasil mematahkan puku-
lan-pukulan mautnya. Padahal selama hidup dia tak
pernah mempergunakan senjata apa pun terkecuali
pukulan maut dan serudukan bagai seekor banteng.
Pukulan beracun sudah tak banyak berarti bagi la-
wannya, maka kini tinggal serudukan-serudukan
mautnya. Tetapi itu pun berulang kali dia harus rela tersungkur ke tanah karena
pihak lawan berhasil
mengkelit serudukan yang sangat mirip dengan ban-
teng. Sekali waktu serudukan itu juga tepat mengena
pada sasarannya. Sehingga membuat mules perut
Buang Sengketa. Tetapi beberapa saat kemudian pe-
muda itu bersurut tujuh langkah, maka dia pun lang-
sung membentak.
*** 12 "Kerbau celaka! Bisa mu cuma seruduk-
seruduk melulu, serudukan mu hanya membuat pe-
rutku mules. Aku tak ingin mengulur-ulur waktu. Ka-
lau engkau punya senjata yang kau andalkan, cabut-
lah..... Sebelum kau benar-benar akan menyesal...!"
Kebo Selaksa Wisa melengos, lalu mencemooh.
"Kepalaku cukup bisa menjadi senjata, engkau
tak perlu jual lagak di depanku...!"
"Bagus.... Akan kupenggal kepalamu itu...!"
menggerendeng Pendekar Hina Kelana. Kemudian den-
gan diawali satu jeritan tinggi melengking, tubuh
Buang Sengketa sudah berkelebat lenyap. Namun be-
berapa saat kemudian sudah nampak pula berkelebat-
nya sinar merah menyala. Udara di sekitar tempat itu mendadak menjadi dingin
luar biasa. Namun hanya
hal itu pun hanya sekedipan mata saja dapat dirasa-
kan oleh si Dulimang, karena begitu sinar merah itu
berkelebat, maka tak ayal lagi.
"Jrooos!"
Sinar merah yang tak lain merupakan Pusaka
Golok Buntung itu, membabat leher Kebo Selaksa Wi-
sa. Leher yang kekar itu hampir putus, darah me-
nyembur bagai mata air yang tersendat. Luka yang
menganga dan bahkan hampir membuat putus antara
kepala dengan badannya itu membuat tubuh Kebo Se-
laksa Wisa terhuyung-huyung, Kepala miring ke kiri
bagai hendak menggelinding ke tanah. Tak lama sete-
lahnya tubuh di Dulimang itu pun tersungkur tanpa
dapat bangun-bangun lagi untuk selamanya.
Sementara pada saat itu, terdengar pula jerit
melolong. Begitu Buang Sengketa menoleh, tampak


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olehnya murid Aki Kilik Rogo termakan kerisnya sendi-ri. Keadaan kembali sepi.
Mereka nampak saling ber-
pandangan. Tetapi kemudian suasana itu dipecahkan
oleh suara Aki Kilik Rogo yang merasa lega namun
menyesal. "Muridku sudah pada mati semua, ah sia-sia
saja dua puluh tahun...!"
"Semua itu bukan salahmu, Aki...!" gumam Sri Pamuja. Tiba-tiba Aki Kilik Rogo
seperti tersentak. Lalu diulang-ulangnya apa yang baru saja diucapkan oleh
Sri Pamuja. Seperti orang sinting, bagai orang pikun!
"Bukan salahku.... Bukan salahku.... Hhh.... Ya bukan salahku....! Tapi salah
siapa, Cah ayu...?"
"Si Jubah Hitamlah yang bersalah, Aki.... Kita
harus ke sana secepatnya...!"
Bagai orang yang sedang senewen Aki Kilik Ro-
go tersenyum dan tertawa-tawa. Tetapi kemudian dia
telah menangis, menggeram!
"Brengsek sialan! Jubah Hitam memang yang
telah meracuni murid-muridku. Dia harus bertang-
gung jawab.... Harus.... Manusia setengah iblis...!"
Sambil berteriak-teriak Aki Kilik Rogo berkelebat pergi menuju Gunung Dieng.
Cepat sekali gerakan laki-laki
pendek itu, hingga dalam waktu sekejap tubuhnya su-
dah tidak tampak lagi. Baik Buang Sengketa maupun
Sri Pamuja merasa sangat kasihan sekali melihat kea-
daan Aki Kilik Rogo yang agaknya setengah sinting itu.
Diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatannya.
Maka akhirnya tanpa menyia-nyiakan waktu lagi orang
itu pun bergerak menyusul Aki Kilik Rogo yang sudah
terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
* * * Ketika Pendekar Hina Kelana dan Sri Pamuja
telah sampai di Gunung Dieng tampaklah oleh mereka
dua orang yang sedang bertarung, pertempuran itu
nampaknya berlangsung dengan sangat tidak seim-
bang. Laki-laki pendek, si Jubah Hitam.
"Hmmm, siapa lagi kalau bukan Aki Kilik Rogo
dengan Batari Murti, dua orang bekas kakak dan adik
seperguruan."
Di lain pihak nampaklah pertarungan tingkat
tinggi itu berlangsung sedemikian cepat, sehingga debu dan pasir berhamburan.
Bahkan angin pukulan sakti
yang mereka lepaskan menderu-deru dan menerbang-
kan debu-debu di sekitarnya hingga sampai membum-
bung tinggi ke atas. Suasana menjadi terang dan gelap.
Satu kesempatan Aki Kilik Rogo berusaha menusuk-
kan kerisnya pada bagian rusuk lawan. Angin keras
menderu menyertai sabetan senjata yang sangat berbi-
sa tersebut. Tetapi walau bagaimanapun hebatnya ke-
pandaian yang dimiliki oleh Aki Kilik Rogo. Kepan-
daiannya yang dia miliki tak ada separohnya bila di-bandingkan kepandaian yang
dimiliki oleh Si Jubah
Hitam bekas murid terkasih. Sekejap kemudian begitu
tusukan keris itu hampir mencapai rusuknya. Si Ju-
bah Hitam lambaikan ujung jubahnya. Menderu, sege-
lombang sinar kuning keperakan yang sangat dahsyat.
Buang Sengketa yang berdiri tidak begitu jauh dari
tempat itu menyadari bahwa maut sedang mengintai
Aki Kilik Rogo. Pukulan itu bukan saja dapat dirasa-
kan oleh si pemuda sebagai pukulan yang cepat dan
ganas. Namun juga berhawa keji dan mematikan. Dia
sangat tidak rela andai Aki Kilik Rogo sampai menemui ajalnya di tangan si Jubah
Hitam. Maka tak ayal lagi dia sudah memutuskan untuk memapaki pukulan tersebut
dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Si Hi-
na Kelana Merana, nampak melesak serangkaian sinar
merah menyala begitu jemari tangan Pendekar Hina
Kelana terpentang ke atas. Sinar merah membara itu
pun menderu. Laksana sedang terjadi selaksa gempa,
suara bergemuruh pun terdengar dan berkepanjangan.
Tatkala sesaat kemudian, begitu sinar maut itu saling bertubrukan di udara. Bumi
tempat kaki mereka berpijak bagai hendak runtuh, debu mengepul dan mem-
bumbung tinggi. Bahkan kawah di dalam kepundan
yang berada tidak begitu jauh dari tempat pertarungan itu, nampak muncrat ke
udara. Buang Sengketa terlempar sepuluh tombak. Tubuhnya nyaris terperosok
ke dalam kawah Dieng yang sedang menggelegak. Se-
mentara darah segera mengalir dari celah hidung dan
kupingnya. Dia merasakan dadanya sesak luar biasa.
Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni. Sementara
si Jubah Hitam yang hanya tergetar saja itu kini nampak tertawa tinggi
melengking. Pada saat itu Sri Pamu-ja demi melihat keadaan Buang Sengketa nampak
menjerit lalu bermaksud memburu ke arah kekasih-
nya. Namun baru saja beberapa tindak dia berlari-lari.
Si Jubah Hitam melepaskan satu pukulan mengarah
gadis itu. "Wuuut!"
Aki Kilik Rogo yang mengetahui bahaya nam-
pak mengancam si gadis lepaskan satu pukulan selak-
sa perak, Sinar putih itu berkelebat laksana kilat. Ben-turan pun tak terhindar
lagi. "Blaaam!"
Aki Kilik Rogo tubuhnya terguling-guling, darah
langsung menggelogok dari bibirnya. Dia merasakan
sekujur tubuhnya bagai remuk, tiada mampu bangkit.
Sungguhpun begitu Sri Pamuja dapat selamat dari an-
caman maut. Dan kini dia setelah menolong Buang
Sengketa, secara bersama-sama segera melakukan pe-
nyerangan. Dengan pedang terhunus Sri Pamuja men-
cecar lawannya dengan jurus-jurus pedang yang diberi
nama Bidadari Menyongsong Rembulan. Gerakannya
sebat luar biasa, sejauh itu menghadapi keroyokan
dua orang ini, si Jubah Hitam semakin tergelak-gelak.
Sambil berkelebat-kelebat menghindari serangan, si
Jubah Hitam berucap:
"Bagus, agaknya engkaulah kunyuknya yang
sengaja didatangkan oleh Empu Wesi Laya untuk men-
jatuhkan kutuk padaku! Huh.... Mana bisa, kalian se-
mua harus mati, ya harus mati sebagaimana Empu
Wesi Laya yang telah menjatuhkan kutuk padaku.....
Haiiit...!"
"Hiaattt!" Dengan jurus Membendung Gelom-
bang Menimba Samudra, Pendekar Hina Kelana coba
memapaki serangan yang dilancarkan oleh si Jubah
Hitam. Namun begitu pukulan itu membentur perta-
hanannya si pemuda, kembali Buang Sengketa terpen-
tal dan kembali pula muntah darah. Keadaan itu su-
dah barang pasti membuat Sri Pamuja menjadi berang.
"Manusia setengah iblis, mampuslah kau...!" teriak Sri Pamuja seraya langsung
menyerang ke arah si Jubah Hitam. Tetapi tiada disangka-sangka.
"Hiaaatt!"
Si Jubah Hitam dorongkan tongkat berkepala
serigala ke depan.
"Buukk!"
"Wuaarrrghk...!"
Tubuh Pamuja yang terpukul tongkat berbisa
itu pun terlempar berpelantingan, untuk kemudian
terhempas pada sebuah batu cadas yang berukuran
sangat besar. "Pamujaaaaaa...!" jerit Buang Sengketa histeris begitu dilihatnya tubuh
kekasihnya tidak bangun-bangun lagi. Tanpa perduli dia memburu. Kemudian
ditubruknya tubuh gadis yang telah melemah dan tia-
da berdaya itu. "Pamuja...!" jeritnya pedih. "Jangan tinggalkan aku...!" rintih
Pendekar Hina Kelana merasa terpukul. Pada saat itulah mata yang sudah menutup
itu membuka sedikit, bibirnya tersenyum pias, tetapi gadis itu terus tersenyum.
Dia menggapai-gapai lalu
ucapnya lemah sekali.
"Kakang, maafkan aku.,.. Aku tak bisa mene-
manimu. Hati-hati, Kakang... orang itu sangat berba-
haya sekali. Tetapi aku selalu yakin engkau akan
mampu mengatasinya. Kakang Kelana, aku cinta pa-
damu...." Suara Pamuja akhirnya melemah, hingga tak terdengar sama sekali,
kepalanya terkulai dalam pang-kuan si pemuda. Bukan main hancurnya hati si pe-
muda menerima kenyataan seperti itu. Dia menangis,
meraung, meratap dan bahkan menjerit bagai harimau
terluka. "Pamuja... oh, mengapa engkau harus pergi, ti-daaaaaak...!" teriaknya
histeris. "Bocah, jangan bersedih, engkau pun akan se-
gera menyusulnya...!" Teguran yang bersifat mengejek itu membuat amarah di dalam
pemuda itu meluap-luap. Mendadak dia tegak berdiri, kedua bola matanya mencorong
merah, sementara kedua bibirnya keluarkan bunyi mendesis bagai seekor ular piton
yang se- dang marah. Lalu dengan gusar dia pun membentak:
"Manusia iblis..... Engkau telah merenggutkan
satu-satunya yang kumiliki! Aku tak akan mengampu-
nimu...!" teriak Pendekar Hina Kelana. Dalam pada itu Aki Kilik Rogo sudah
bangkit dari pingsannya. Maka
dia pun berseru,
"Pendekar.... Ikutilah petunjuk ku...!" kata Aki Kilik Rogo. Anehnya seperti
sudah mengerti saja Buang Sengketa mengiyakannya. Dalam kesempatan itu dia
sudah berpikir untuk tidak menggunakan Pecut Gelap
Sayuto, namun cukuplah mempergunakan Pusaka Go-
lok Buntung. Tanpa membuang waktu lagi maka dia
pun berkelebat, dan seiring dengan gerakannya terse-
but, menggaunglah suara selaksa ribuan tawon me-
ningkahi berkiblat-kiblat Pusaka Golok Buntung di
tangannya. "Haiiiit!"
Buang Sengketa kiblatkan goloknya, si Jubah
Hitam yang terkenal sebagai manusia sakti itu entah
mengapa jadi sering-sering tertegun, atau mungkin dia selalu dibayangi kutukan-
kutukan yang dijatuhkan
oleh Empu Wesi Laya kepadanya. Hal itu sangat
mungkin saja. Gerakannya jadi lamban, dan manakala
golok di tangan Buang Sengketa hampir mencapai sa-
sarannya, dia gerakan tongkatnya ke atas.
"Crang! Pletak...!"
Terdengar seperti suara sesuatu yang hancur.
Kenyataannya memang begitu. Tongkat di tangan si
Jubah Hitam menjadi hancur berkeping-keping dilan-
da Pusaka Golok Buntung milik si pemuda. Tidak
sampai di situ saja, dia kiblatkan senjatanya.
"Craaas!"
Kepala si Jubah Hitam menggelinding di tanah,
darah menyembur ke mana-mana. Tetapi tubuhnya
yang sudah tanpa kepala itu terus berjalan-jalan dan melakukan perlawanan. Aki
Kilik Rogo berlari-lari
mendekat kemudian memungut kepala si Jubah Hitam
itu. "Untuk apa..:?" tanya Pendekar Hina Kelana di sela-sela kesibukan dan
kengeriannya memandangi
tubuh tanpa kepala itu yang masih saja melakukan
perlawanan sengit.
"Kepala ini harus dibuang ke dalam kawah
yang mendidih itu, supaya dia tidak bisa hidup lagi."
kata Aki Kilik Rogo, seraya cepat-cepat melemparkan
kepala si Jubah Hitam ke dalam kawah Dieng yang se-
dang menggelegak.
"Dia masih melawan, Aki...!" teriak Buang
Sengketa sambil menghindari terjangan-terjangan dari tubuh yang sudah tanpa
kepala itu. "Babat kepala dan kakinya...!" Aki Kilik Rogo memberi perintah. Tanpa buang
waktu lagi. "Cress! Crees! Creees! Creees!"
Berturut-turut golok pusaka itu membabat tan-
gan dan kaki si Jubah Hitam. Berturut-turut pula Aki Kilik Rogo melemparkan
anggota tubuh itu ke arah
empat penjuru mata angin. Hingga pada akhirnya ting-
gal badannya saja yang tertinggal di situ. Buang Sengketa merasa ngeri sendiri.
Dalam pada itu Aki Kilik Ro-go segera menyambar tubuh yang sudah tanpa kepala,
kaki dan tangan itu. Tubuhnya melesat pergi sembari
berkata: "Demi baktiku pada seorang guru, supaya ma-
nusia setengah iblis ini tidak hidup kembali, maka aku akan membuangnya ke laut.
Terima kasih, Pendekar...!" Aki Kilik Rogo kemudian lenyap dari pandangan
Pendekar Hina Kelana. Dengan hati sedih, dia segera
menghampiri mayat kekasihnya Sri Pamuja, mayat itu
sudah dingin dan beku. Buang Sengketa segera me-
manggulnya di bahu kanannya. Dan dia pun sudah
bersiap-siap meninggalkan tempat itu, ketika dia mendengar suara seseorang:
"Pendekar Hina Kelana! Datang dan pergi itu
sudah biasa, engkau sebagai perantara kutuk ku, telah menjalankan tugas dengan
baik. Begitu engkau meninggalkan tempat ini, maka Gunung Dieng segera
berselimut kabut beracun. Pergilah secepatnya!"
Bersamaan dengan itu terdengar pula suara
menggemuruh. Dari pori-pori tanah bermunculan uap
putih dan tipis. Sadarlah pemuda ini bahwa mungkin
uap tersebut yang dimaksud oleh suara tadi. Maka se-
cepatnya dia pun berlalu meninggalkan tempat itu.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Medali Naga 13 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Geger Topeng Sang Pendekar 1
^