Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


"Apakah kau akan ikut campur?" bertanya Glagah Putih.
Secabawa termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat membiarkan kakak seperguruannya mengalami kesulitan. Bahkan akan dapat membawa nyawanya.
"Kau tidak usah ikut campur anak ingusan." geram Secabawa, "kau lebih baik diam untuk menjadi saksi."
"Jika kau turut campur, maka perang tanding ini tidak berarti lagi. Bahkan seandainya aku melepaskan panah sendaren inipun aku tidak berbuat curang." berkata Glagah Putih.
Secabawa termangu-mangu sejenak. Glagah Putih memang membawa panah sendaren.
Namun ternyata sekali lagi Secaprana dikenai oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Bahkan agak lebih parah, sehingga Secaprana telah terdorong beberapa langkah surut. Kulit dilambungnya telah tergores oleh luka meskipun lambungnya tidak menganga.
Secaprana menjadi gemetar oleh kemarahan yang membakar jantung. Namun ia tidak dapat menghindari kenyataan bahwa Agung Sedayu memang seorang yang berilmu tinggi. Karena itulah agaknya gurunya berpesan berulang kali, agar ia berhati-hati menghadapi murid Orang Bercambuk itu.
Tetapi yang dicemaskan oleh gurunya itu sudah terjadi. Beberapa goresan luka telah silang melintang ditubuhnya. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi darah yang mengalir semakin banyak telah menguras tenaganya.
Dalam kebimbangan, maka orang-orang yang berada ditepian itu telah dikejutkan oleh suara tertawa yang bagaikan menelusuri tebing. Ketika mereka berpaling kearah sumber suara itu,-maka mereka melihat seseorang berdiri diatas tanggul sungai itu sambil bertolak pinggang. "Kau memang luar biasa Agung Sedayu." berkata orang itu.
Agung Sedayu termangu-mangu memandang orang itu. Sementara Secaprana dan Secabawa hampir berbareng berdesis. "Guru."
"Nah Secaprana." berkata Ki Ajar Kumuda, "bukankah sudah aku peringatkan berkali-kali. Kau harus berhati-hati menghadapi murid tertua Orang Bercambuk itu. Menurut laporan setiap orang yang pernah mengenalnya, Agung Sedayu adalah orang yang berilmu tinggi. Sekarang kau sudah membuktikannya sendiri bahwa Agung Sedayu memang berilmu tinggi."
Secaprana tidak dapat menjawab lain kecuali berdesis. "Ya guru."
"Kau tidak akan dapat menang." berkata gurunya.
"Ya guru." jawab Secaprana pula.
"Meskipun kau pergunakan pedang Kiai Sungsang sekalipun." sambung gurunya.
Secaprana hanya dapat menundukkan wajahnya. Sementara itu darah masih saja mengalir dari luka-lukanya.
"Secabawa." berkata Ki Ajar Kumuda, "bantulah kakakmu mengobati luka-lukanya."
Secabawa termangu-mangu. Sekali-kali ia memandang Glagah Putih sekilas sebagaimana Secaprana berpaling pula kearah Agung Sedayu.
"Mereka akan memberimu kesempatan." berkata Ki Ajar Kumuda.
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak beranjak dari tempatnya ketika Secabawa kemudian membantu Secaprana berjalan menepi dan mengobati luka-lukanya.
Sementara itu Ki Ajar Kumuda yang masih berdiri diatas tanggul itupun bertanya, "Anak muda, apakah kau membawa panah sendaren?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya. "Ya. Aku membawa panah sendaren."
"Bagus." berkata Ki Ajar Kumuda. Lalu katanya pula, "Aku adalah Ki Ajar Kumuda. Aku datang untuk mengambil murid Orang Bercambuk itu. Aku memerlukannya sampai gurunya datang untuk mengambilnya. Namun sudah barang tentu dengan syarat. Jika ia dapat mengalahkan aku." orang itu berhenti sejenak, lalu katanya " Jika kau ingin melepaskan panah sendaren itu, lakukanlah. Mungkin kalian memang memerlukannya. Meskipun keda-tangan kawan-kawanmu tidak akan dapat membebaskan murid Orang Bercambuk itu."
"Ki Ajar." berkata Agung Sedayu, "kau tidak usah mengharapkan kedatangan Guru. Aku sendiri sanggup membebaskan diriku. Agaknya memang sudah waktunya aku tidak lagi tergantung kepada guruku. Semakin tua umur guruku, maka akupun menjadi semakin dituntut untuk mandiri."
"Bagus." geram Ki Ajar Kumuda, "aku memang sudah menduga bahwa murid Orang Bercambuk akan bersikap demikian meskipun kau masih terhitung muda dibandingkan dengan murid-muridku. Tetapi pada saatnya kau harus melihat kenyataan sebagaimana dialami oleh murid-muridku sekarang. Bahwa kau harus menyerah dan tunduk atas semua perintahku."
Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, "Ki Ajar. Kau yang sudah menjadi semakin tua tentu tidak akan dapat ingkar, bahwa dukungan wadagmu atas ilmumu sudah menjadi susut, sebagaimana juga guru. Guru telah mengajarku, bagaimana aku harus berhadapan dengan orang-orang tua sebagaimana kau. Kau masih saja mengira bahwa kau masih sebagaimana kau lima tahun yang lalu, pada saat kemampuan wadagmu masih belum susut, sementara ilmumu berada dipuncak. Tetapi sekarang. Ilmumu mungkin masih tetap pada batas tertinggi dari kemungkinan yang dapat kau gapai. Tetapi wadagmu bukan wadagmu lima tahun yang lalu."
"Kau memang anak pintar." sahut Ki Ajar Kumuda, "yang kau katakan itu memang benar. Mungkin gurumu memang mengajarimu namun aku masih tetap berada pada puncak kemampuanku, sehingga betapapun tinggi ilmu yang pernah kau warisi dari gurumu, tetapi kau masih tetap seorang anak ingusan bagiku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Jika demikian maka pertemuan itu akan sangat menguntungkan aku. Aku akan dapat menyadap ilmu Ki Ajar yang tinggi untuk menjadi bahan peningkatan ilmuku yang masih sangat rendah ini."
"Itukah cara perguruan Orang Bercambuk berbasa-basi?" bertanya Ki Ajar, yang katanya kemudian, "sudahlah. Sekarang kau tinggal memilih. Ikut bersamaku atau aku harus menangkapmu dengan kekerasan. Perlakuan atasmu sudah tentu akan berbeda."
"Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan membebaskan diriku sendiri dengan caraku." jawab Agung Sedayu.
Ki Ajar itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, "Kau memang seorang pemberani. Tetapi menurut pendapatku, kau bukannya seorang pemberani yang sebenarnya. Kau berani menghadapi aku karena aku belum mengenal aku dan tidak tahu batas kemampuanku."
"Mungkin Ki Ajar." berkata Agung Sedayu, "tetapi apapun yang sebenarnya ada pada diriku, namun aku tidak akan menerima tawaranmu. Kedua-duanya."
"Kau mulai menjengkelkan aku orang muda." berkata Ki Ajar, "tetapi agaknya kau memang memerlukan sedikit peringatan, agar kau menyadari, dengan siapa kau berhadapan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Ki Ajar Kumuda adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun iapun tidak mau merendahkan ilmu dari perguruannya. Apapun yang akan terjadi, maka ia harus berpiak pada harga dirinya sebagai murid Orang Bercambuk.
Dengan demikian maka kedua orang itu telah mempersiapkan dirinya. Ki Ajar Kumuda yang masih berada diatas tanggul itupun segera meloncat turun sambil berdesis, "Untunglah aku tidak melepaskan murid-muridku menemuimu Agung Sedayu, sehingga mereka tidak harus menjadi korban kegarangan perguruan Orang Bercambuk."
"Bukan aku yang mencarinya. Tetapi muridmulah yang mencari aku. Dan itu adalah tanggung jawabmu." jawab Agung Sedayu.
"Ya. Apa yang akan aku lakukan adalah satu pertanggungan jawab." jawab Ki Ajar Kumuda.
Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Ki Ajar Kumudapun melangkah semakin dekat sambil berkata, "Kau sudah menggenggam senjata andalan dari perguruanmu. Jangan kau simpan. Kau tentu memerlukannya. Untuk dapat memberikan sedikit pelajaran kepadamu, maka aku agaknya juga memerlukan senjata. Pertahanan cambukmu terlalu rapat. Aku tentu tidak akan dapat menembusnya tanpa senjata apapun."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Namun ia memang melihat lawannya telah menarik pedangnya. Pedang yang mirip sekali dengan pedang Secaprana.
Karena Agung Sedayu agaknya memperhatikan pedang itu, maka Ki Ajar Kumuda berkata, "Pedang ini memang mirip sekali dengan pedang muridku itu. Namanya sama, Kiai Sungsang. Pedang muridku juga bernama Kiai Sungsang. Namun karena pedang muridku itu lebih muda dari pedangku, maka pedang muridku itu mendapat nama Kiai Sungsang Anom."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Ajar Kumuda bertanya, "Apakah cambukmu itu juga mempunyai nama?"
"Tidak." jawab Agung Sedayu, "cambukku, cambuk biasa saja. Terbuat dari janget rangkap tiga dengan karahkarah baja. Tidak ada yang aneh."
"Yang aneh kau sendiri." sahut Ki Ajar Kumuda, "kenapa kau harus berlaku demikian sombong menghadapi aku" Gurumu saja mungkin tidak akan berani bersikar sebagaimana kau lakukan."
"Itulah bedanya antara aku dan guruku." jawat Agung Sedayu.
"Kau memang iblis kecil." geram Ki Ajar Kumuda Namun kemudian katanya, "Bagus. Orang-orang muda memang haus akan pengalaman dalam hidupmu. Sayang, bahwa jika kau menempuh cara yang kau lakukan sekarang. pengalamanmu akan tidak mempunyai arti lagi."
Agung Sedayu menjawab singkat, "Apapun yang akan terjadi."
Ki Ajar Kumuda merasa bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara panjang kepada orang muda itu. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan senjatanya yang mendebarkan itu. Apalagi ditangan seorang yang berilmu sangat tinggi.
"Kita akan segera mulai orang muda." desis Ki Ajar sambil memutar pedangnya.
Agung Sedayu bergeser surut. Ia seakan-akan melihat sesuatu yang tidak wajar pada putaran pedang lawannya. Pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi urutan pedang yang tersusun dalam satu putaran. Puluhan pedang, berjajar.
"Satu permainan awal." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Ki Ajar Kumuda yang melihat Agung Sedayu bergeser surut tertawa. Katanya, "Kau melihat sesuatu yang tidak kau mengerti?"
"Ya." jawab Agung Sedayu jujur.
"Bahkan gurumupun mungkin tidak dapat mengerti pula." Ki Ajar tertawa semakin keras.
Namun Agung Sedayu sudah bersiap sepenuhnya. Ia harus dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang bakal dihadapinya. Dan iapun sadar sepenuhnya, bahwa kesulitan-kesulitan itu akan beruntun datang banyak sekali.
Hampir diluar sadarnya ketika kemudian Agung Sedayu menghentakkan cambuknya sehingga ledakannya seakan-akan meruntuhkan tebing.
Tetapi Ki Ajar Kumuda sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Katanya, "Gembala di padang rumputpun dapat meledakkan cambuk mereka keras-keras. Namun sama sekali tidak berisi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia justru meledakkan cambuknya sekali lagi. Lebih keras. Tetapi justru membuat Ki Ajar tertawa semakin panjang.
Sejenak kemudian, maka Ki Ajarpun telah melangkah mendekat. la telah memutar pedangnya lebih cepat, sehingga dimata Agung Sedayu nampak pedang yang berjajar dalam lingkaran yang membentuk perisai yang kuat.
Agung Sedayu memang bergeser lagi surut. Namun ia sadar, bahwa ia harus mengetrapkan semua ilmu yang dimilikinya. Gurunya sama sekali tidak pernah merasa berkeberatan, karena ilmu yang ada didalam dirinya justru akan saling mendukung.
Karena itu, Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmu kebalnya, ilmu meringankan tubuh dan iapun kemudian telah mengetrapkan ilmunya Sapta Panggraita. Dengan demikian, maka iapun dapat melihat dengan ketajaman penggraitanya, putaran pedang yang sebenarnya ditangan Ki Ajar Kumuda itu, bukan sekedar melihat dengan ketajaman matanya meskipun berlandaskan ilmu Sapta Pandulu.
Dengan demikian. maka Agung Sedayupun mampu memperhitungkan kemungkinan untuk menembus putaran pedang itu dengan serangan-serangan cambuk berdasarkan ilmu cambuknya.
Tetapi ternyata Ki Ajar Kumuda tidak segera meloncat menyerang. Tetapi ia masih saja berusaha untuk mengacaukan penglihatan Agung Sedayu atas putaran senjatanya yang dilakukan dengan tidak sewajarnya itu. Namun Ki Ajar kurang tanggap, bahwa Agung Sedayu telah mampu mengatasi kesulitan yang pertama itu.
Beberapa saat Ki Ajar Kumuda memutar pedangnya sambil melangkah maju. Pedang yang diberinya nama Kiai Sungsang, yang memang merupakan pedang yang sangat baik, sebagaimana pedang muridnya. Bahkan justru lebih tua buatannya.
Namun Ki Ajar Kumuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja justru Agung Sedayulah yang telah menyerangnya dengan hentakan cambuknya.
Cambuk Agung Sedayu itu meledak dengan kerasnya. Namun yang mengejutkan Ki Ajar, ujung cambuk itu justru sempat menyusup diantara putaran pedangnya. Hampir saja menggapai hidungnya, sehingga Ki Ajar yang terkejut itu dengan serta merta telah meloncat surut.
Namun, demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun telah menjulurkan pedangnya lurus kedepan dengan tubuhnya yang miring. Satu kakinya merendah pada lututnya sementara kakinya yang lain ditarik sedikit kebelakang.
Agung Sedayu melangkah selangkah maju. Ia melihat sikap lawannya dengan sangat berhati-hati. Ia pernah melihat berbagai macam sikap serta unsur gerak dari berbagai macam ilmu menurut jalur perguruan masing-masing. Namun sikap ini pernah juga dilihatnya ditunjukkan oleh Ki Jayaraga.
Glagah Putihpun mengerutkan keningnya. Namun Ki Jayaraga tidak pernah menyatakan sikap itu sebagai sikap yang terbaik kepada Glagah Putih yang telah menjadi muridnya pula. Tetapi sebagai seorang yang pernah mengembara, maka Ki Jayaraga dapat mengambil keuntungan dari berbagai macam unsur gerak untuk memperkaya ilmunya yang kemudian diturunkannya kepada Glagah Putih.
Beberapa saat Agung Sedyu menunggu. Baru kemudian ia melihat Ki Ajar Kumuda itu bergeser.
"Ilmu cambukmu sudah memadai, orang muda." berkata Ki Ajar Kumuda, "meskipun belum berbobot, namun kau memiliki kecepatan gerak yang cukup tinggi."
"Terima kasih atas pujian ini Ki Ajar." berkata" Agung Sedayu, "mudah-mudahan tidak hanya pada langkah-langkah pertama saja aku mempu melayani Ki Ajar."
"Nampaknya kau sudah berhasil memecahkan permainanku yang pertama. Namun itu bukan berarti bahwa kau akan dapat mengatasinya." berkata Ki Ajar pula.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan berikutnya.
Namun agaknya Ki Ajar itu masih mencoba dan mencoba lagi untuk mengacaukan penglihatan Agung Sedayu atas permainan pedangnya. Karena itu, maka Ki Ajar itupun telah menggerakkan pedangnya mengembang kemudian memutarnya. Yang nampak memang jajaran pedang yang bergerak patah-patah. Seakan-akan jajaran berpuluh pedang. Bekas gerakan pedang itu. tidak segera hilang dari penglihatan dan bahkan gerakan ulang yang dilakukan Ki Ajar sempat membingungkan lawannya.
Tetapi dengan ketajaman Panggraitanya, maka Agung Sedayu dapat menangkap gerak yang sebenarnya dari pedang lawannya. Ia selalu dapat mengetahui, dimana pedang lawannya yang sebenarnya itu.
Karena itu, ketika berpuluh pedang itu berputaran, rnaka ia dapat melihat satu diantaranya, justru yang sebenarnya, menyambar lengannya.
Ki Ajar memang hanya ingin mengganggunya dengan sentuhan ujung pedang pada lengan Agung Sedayu.
Tetapi Ki Ajar itu terkejut. Ternyata Agung Sedayu dapat dengan tepat menghindarinya. Bahkan sekali lagi cambuk itu meledak dengan kerasnya memekakkan telinga.
Ki Ajar bergeser selangkah surut. Sementara Agung Sedayupun telah berusaha mengambil jarak pula. Sebenarnya Agung Sedayu ingin mencoba kemampuan ilmu kebalnya menghadapi ujung pedang lawannya yang nampaknya memang mempunyai kelebihan dari pedang kebanyakan itu. Tetapi niat itu diurungkan. Ia merasa belum perlu menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia memiliki ilmu kebal.
"Kau memang luar biasa." desis Ki Ajar, "Kau bukan saja murid yang baik dari perguruan Orang Bercambuk, tetapi kau mempunyai ketajaman penglihatan, tidak dengan mata wadagmu, sehingga kau mampu menghindari sentuhan ujung pedangku."
Agung Sedayu tidak menjawab. la berdiri saja sambil menggenggam tangkai cambuknya erat-erat, sementara tangan kirinya memegangi ujung juntainya.
Sikap Agung Sedayu memang meyakinkan sebagai murid terbaik dari perguruan Orang Bercambuk itu.
Namun dengan demikian maka Ki Ajar Kumuda menjadi lebih berhati-hati. Ternyata ia tidak dapat menganggap murid Orang Bercambuk itu sebagai orang-orang baru dalam dunia olah kanuragan yang garang, sebagaimana murid-muridnya.
Dari pengenalannya sepintas, maka ia percaya bahwa seperti dikatakan orang, Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang bahkan telah menguasai sebagian besar dari ilmu perguruan Orang Bercambuk.
"Kedudukan orang itu memang agak berbeda dengan Secaprana dalam perguruanku." berkata Ki Ajar itu didalam hatinya, "ternyata Secaprana belum menguasai kemampuan yang pantas bagi perguruan Kumuda, sedangkan Agung Sedayu ini telah mencapai tataran yang jauh lebih tinggi. Karena itulah maka ia telah yakin akan dapat membebaskan dirinya sendiri."
Namun demikian, menurut Ki Ajar Kumuda, sejauh kemampuan yang dapat disadap oleh Agung Sedayu, tentu masih jauh dari tingkat ilmu gurunya, Orang Bercambuk. Karena itu, maka Ki Ajar masih merasa yakin akan dapat menangkap Agung Sedayu dan membawanya ke padepokannya untuk memanggil gurunya agar bersedia datang.
Tetapi Ki Ajar sempat juga melihat keadaan muridnya. Meskipun Secaprana telah mengobati luka-lukanya, namun nampaknya ia masih belum dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya masih nampak lemah, sehingga kemudian Secaprana itu terduduk di atas pasir tepian, sedangkan Secabawa berdiri disampingnya sambil mengawasi pertempuran antara gurunya melawan Agung Sedayu.
Disisi lain, Glagah Putihpun telah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Tetapi ia tidak boleh lengah. Sekali-sekali ia harus memperhatikan Secabawa dan Secaprana yang meskipun sudah terluka, namun akan dapat berbuat sesuatu yang mengejutkannya.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung ditepian Ki Ajar Kumuda telah meloncat menyerang Agung Sedayu dengan pedangnya yang bergetar mengerikan. Ternyata Ki Ajar Kumuda yang tua itu telah menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Apalagi setelah ia melihat Agung Sedayu yang dengan mudah dapat mengalahkan muridnya, maka Ki Ajar itu telah merasa perlu menjajagi kemampuan lawannya yang masih terhitung muda itu dari awal.
Ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu yang bagaikan memecahkan selaput telinga itu, sama sekali tidak dihiraukannya, meskipun Ki Ajar selalu berusaha untuk menghindari sentuhan juntai cambuk itu. Dengan kemampuan ilmu pedangnya maka Ki Ajar Kumuda berusaha untuk menembus pertahanan ilmu cambuk Agung Sedayu sebagaimana Agung Sedayu juga bersaha menembus pertahanan Ki Ajar Kumuda.
Untuk beberapa saat mereka saling berloncatan, menyerang dan bertahan. Sekali-sekali mereka berputaran namun kemudian berloncatan surut untuk mengambil jarak.
Ki Ajar Kumuda mulai digelitik oleh kemampuan lawannya serta kecepatan geraknya. Betapapun tangkasnya seseorang, tetapi tanpa kemampuan ilmu yang seakan-akan mampu memperingan tubuhnya, tidak akan dapat bergerak secepat Agung Sedayu.
Namun Ki Ajar itu juga berlandaskan ilmu Tapak Prahara yang nggegirisi.
Dengan ilmunya Tapak Prahara, maka Ki Ajar Kumuda itu memang mampu bergerak cepat pula. Seperti angin prahara yang bergelora melanda sasarannya. Menghantam dan kemudian memutar dengan dahsyatnya.
Demikian pula serangan Ki ajar Kumuda dengan pedangnya yang luar biasa itu. Kilatan-kilatan yang menggertakkan jantung memancar susul menyusul memantul dari daun pedang yang berwarna kebiru-biruan.
Namun sementara itu ujung cambuk Agung Sedayu semakin sering pula meledak dengan suara yang bagaikan memecahkan langit. Tetapi ledakan-ledakan cambuk itu sama sekali tidak mencemaskan lawannya, karena bagi Ki Ajar Kumuda, ledakan-ledakan itu sama sekali tidak berarti.
Meskipun demikian Ki Ajar tidak dapat mengabaikan ujung cambuk Agung Sedayu yang akan dapat menyentuh kulitnya.
Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka Agung Sedayupun telah semakin meningkatkan kemampuannya pula. Namun justru karena itu, maka ledakan-ledakan cambuknyapun menjadi bagaikan diredam. Suaranya tidak lagi meledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Tetapi justru karena itu, maka getaran yang timbul oleh ledakan-ledakan ujung cambuk itu, bagaikan telah menghentak-hentak dada.
Ki Ajar Kumuda telah meloncat untuk mengambil jarak. Sementara Agung Sedayu tidak memburunya. Tetapi ia berdiri tegak menunggu segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Ki Ajar Kumuda berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu. Hampir diluar sadarnya Ki Ajar itupun berkata, "Luar biasa Agung Sedayu. Ternyata kau belum sampai kepuncak ilmumu. Aku kira, kau telah menyerap sampai kemamanmu yang tertinggi. Ternyata dalam keadaan yang memaksa kau masih mampu meningkatkan ilmumu. Ledakan ujung cambukmu telah memberikan isyarat kepadaku, bahwa kau memang memiliki kematangan ilmu yang kau sadap dari perguruan Orang Bercambuk. Karena itu, maka sudah sepantasnya bahwa kau merasa dirimu akan dapat membebaskanmu."
"Aku memang merasa bahwa aku tidak boleh selalu bergantung kepada guruku, Ki Ajar." jawab Agung Sedayu.
"Bagus." sahut Ki Ajar, "tetapi betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan dapat menyamai gurumu. Sedangkan gurumu sekalipun tidak akan mampu mengimbangi ilmuku sekarang ini."
"Tetapi bagaimanapun juga kau sudah terlalu tua untuk turun kemedan." jawab Agung Sedayu, "seperti guru. Walaupun sudah tidak akan dapat mendukung kemampuan ilmumu. Tulang-tulangmu sudah rapuh dan penalarannyapun sudah pikun, sehingga kau akan menjadi tumpang suh untuk mengetrapkan ilmumu, betapapun banyaknya tersimpan didalam dirimu."
Ki Ajar Kumuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang kagum melihat keyakinanmu akan dirimu sendiri. Dalam umurmu yang masih terhitung muda, kau telah mematangkan ilmumu."
"Terima kasih pujaanmu Ki Ajar." sahut Agung Sedayu, "karena itu, itu, maka sebaiknya Ki Ajar mengurungkan niatmu untuk memancing guru datang."
Tetapi Ki Ajar itu menggeleng. Katanya, "Sayang. Aku sudah bertekad bulat. Aku menginginkan gurumu datang."
"Bagus." jawab Agung Sedayu, "akupun sudah siap. Sejak semula sudah aku katakan, bahwa aku akan menyelesaikan persolanku sendiri."
"Agaknya kau memang tidak dapat diajak berbicara lebih banyak. Karena itu, maka tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan kecuali dengan kekerasan." berkata Ki Ajar Kumuda, "Sebenarnya aku merasa sayang, bahwa seorang yang masih muda dan memiliki hari depan yang cerah harus dikorbankan. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Apalagi ketika Ki Ajar Kumuda telah menggeretakkan pedang dengan ilmunya yang mendebarkan. Kilatan-kilatann cahaya yang memantul dari daun pedang itu, rasa-rasanya bukan saja menyilaukan. Tetapi memancarkan getaran yang aneh yang menyentuh jantungnya.
Demikian Agung Sedayu melihat pedang itu berputar, maka jantungnya serasa berdegup semakin keras.
Agung Sedayu termangu-mangu. Ilmu kebalnya tidak mampu menahan getaran yang langsung menusuk melalui penglihatannya menikam jantungnya. Sementara itu, ia tidak akan dapat memalingkan penglihatanya dari pedang lawannya, karena pedang itu akan dapat menembus kulitnya jika pedang itu mampu mengoyak ilmu kebalnya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah mengalami kesulitan. Sementara dengan ilmu Tapak Prahara lawannya telah melihatnya dalam pertempuran yang sengit.
Karena itulah, maka setiap kali Agung Sedayu telah meloncat surut. Setiap kali ia kehilangan penglihatannya atas pedang lawannya, maka ia selalu mengambil jarak la tidak dapat mempercayakan diri pada putaran ujung cambuknya tanpa dapat melihat sasaran dengan jelas karena silau. Ki Ajar Kumuda akan dapat memanfaatkan keadaannya untuk menembus putaran ujung cambuknya itu.
Untuk beberapa saat Agung sedayu mengalami kesulitan. Bahkan ketika kilatan cahaya matahari yang memantul dari daun pedang Ki Ajar Kumuda itu bagaikan menutup matanya, Agung Sedayu merasakan ujung pedang lawannya itu menggapai pundaknya.
Agung Sedayu terdorong surut. Terasa pundaknya terasa pedih. Ternyata ujung pedang lawannya, memang mampu menembus ilmu kebalnya meskipun tidak sepenuhnya. Tanpa ilmu kebal, ujung pedang itu tentu sudah menghunjam dalam-dalam dan bahkan mungkin telah melumpuhkan sebelah tangannya.
Namun yang terjadi, hanyalah segores tipis luka di kulitnya. Namun ujung pedang itu telah mengoyakkan bajunya dan menitikkannya darahnya pula.
Kedua-duanya telah menggeram. Agung Sedayu memang menjadi marah, karena lawannya telah melukainya. Namun Agung Sedayu masih selalu mampu mengendalikan diri, sehingga ia tidak menjadi kehilangan akal.
Sementara itu Ki Ajar Kumuda itupun menggeram marah. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jadi kau memang memiliki ilmu kebal yang luar biasa kuatnya, sehingga mampu menahan tikaman ujung pedangku. Kau memang luar biasa. Tetapi luka yang segores demi segores akan dapat membuat tubuhnya arang kranjang."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh lawannya itu akan dapat terjadi atas dirinya. Jika ia masih saja disilaukan oleh pantulan cahaya matahari pada daun pedang lawannya, yang nampaknya memang sudah diperhitungkan dan dikembangkan dengan landasan ilmu tertentu, maka ia akan tetap mengalami kesulitan.
Namun yang dilakukan oleh Agung Sedayu mula-mula adalah meningkatkan ilmu kebalnya sampai tataran ter-tinggi. Dengan demikian maka ia akan dapat mengurangi kemungkinan buruk pada tubuhnya karena ujung pedang lawannya tentu akan semakin sulit untuk dapat menembus-nya. Tanpa mengerahkan segenap kekuatan yang ada, maka ujung pedang itu tentu tidak akan dapat menembus ilmu kebalnya sehingga tidak dapat menyentuh kulitnya.
Sejenak kemudian pertempuranpun telah meningkat semakin sengit. Ilmu kebal Agung Sedayu yang sampai ke puncak itu telah menggetarkan udara dan menimbulkan panas yang seakan-akan memancar dari dalam dirinya.
Tetapi pedang lawannya yang berputar dipanasnya matahari itu masih saja menyilaukannya. Sekali-sekali bahwa seleret kilat yang tajam, membuat mata Agung Sedayu bagaikan menjadi gelap.
Namun Agung Sedayu yang memiliki kemampuan mengetrapkan ilmu Sapta Panggraita itu masih saja mampu serba sedidkit meraba gerak dan sikap lawannya tanpa melihatnya. Dengan demikian maka pertempuran itu masihsaja berlangsung menggetarkan jantung mereka yang menyaksikannya.
Glagah Putih yang melihat segores luka dipundak Agung Sedayu memang menjadi sangat gelisah. Agaknya ujung pedang lawannya mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu yang tentu sudah ditrapkannya. Tanpa ilmu kebal, maka ujung pedang itu agaknya tentu sudah akan menembus sampai kepunggung.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka Agung Sedayu beberapa kali harus berloncatan surut. Ia dapat mengetahui arah serangan lawannya, tetapi dengan ilmu Tapak Prahara, maka Agung Sedayu sulit memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dilakukan oleh lawannya itu. Namun lawannyapun setiap kali memang mengumpat. Orang yang masih terlalu muda itu masih saja mampu mengatasi setiap kesulitan yang timbul sejak pertempuran itu dimulai. Meskipun Ki Ajar Kumuda mampu melukainya, tetapi luka itu sama sekali tidak berpengaruh. Bahkan ketika ujung pedang Ki Ajar itu sekali lagi menyentuh tubuh Agung Sedayu, maka ujung senjata itu hanya mampu mengoyakkan bajunya dan goresan yang semakin tipis.
Jilid 253 KI AJAR KUMUDA itupun mengerti, bahwa Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya. Bahkan Ki Ajarpun mulai merasakan sentuhan udara panas disekitar tubuh lawannya dalam jarak tertentu.
Ki Ajar Kumuda itupun menjadi semakin marah. Ketika ia meningkatkan ilmunya, maka kilatan-kilatan pantulan cahaya matahari pada daun pedangnya itu terasa menjadi semakin tajam menusuk mata dan menggetarkan jantung Agung Sedayu tidak saja menjadi silau, tetapi getaran yang bagaikan menusuk matanya bersama cahaya matahari yang terpantul pada daun pedang itu rasa-rasanya benar-benar telah mencengkam jantungnya. Meskipun dengan meningkatkan ilmu kebalnya, Agung Sedayu dapat mengurangi akibat sentuhan pedang lawannya, namun dengan ilmunya yang lain, Ki Ajar Kumuda mampu menyerang langsung bagian dalam tubuhnya.
Agung Sedayu memang menjadi semakin sulit. Namun Agung Sedayu tidak tenggelam dalam kegelisahan. Ia masih selalu berusaha untuk mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya sebagaimana selalu dilakukannya.
Ketika Agung Sedayu menyadari, bahwa ia pernah bertempur melawan orang yang tidak dilihatnya, sama sekali hanya dengan pengamatan Panggraitanya yang dilandasi ilmunya Sapta Panggraita, maka hatinya justru menjadi semakin mapan. Ia tidak lagi mempercayakan diri pada penglihatannya yang setiap kali menjadi silau dan bahkan gelap dan tidak berhasil melihat lawannya pada saat-saat tertentu, sementara getaran yang keras semakin lama semakin terasa mencengkam jantungnya, maka Agung Sedayupun telah memilih untuk tidak mempergunakan penglihatannya sama sekali. Tetapi ia mulai mempercayakan diri pada penggraitanya yang didukung oleh ilmunya Sapta Panggraita, serta pende-ngarannya yang dilandasi ilmu Sapta Pangrungu.
Dengan demikian maka Agung Sedayu bertempur tanpa berusaha memandang kearah lawannya, terlebih-lebih senjatanya. Dengan penggraitanya dan pendengarannya yang dipertajam oleh ilmunya, maka Agung Sedayu dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu akan mampu melindungi dirinya dengan putaran juntai cambuknya. Hanya kadang-kadang saja Agung Sedayu sempat mengamati keadaan lawannya dengan matanya, kemudian memburunya menyerang dengan hentakan cambuknya, justru tidak lagi meledak-ledak. Bahkan semakin tinggi Agung Sedayu mengetrapkan ilmunya, maka suara cambuknya itu seakan-akan menjadi semakin lunak.
"Anak iblis." geram Ki Ajar Kumuda.
Tetapi Ki Ajar Kemuda yang berilmu sangat tinggi itupun mengerti apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun telah mengurangi kemungkinan perlawanan Agung Sedayu dengan mengetrapkan ilmunya menyerap bunyi yang keluar dari getaran antara tubuhnya dengan sekelilingnya. Dengan demikian maka Agung Sedyu mempergunakan pendengarannya itu telah kehilangan jejak, karena ia tidak lagi mendengar langkah kaki lawannya, sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu hanya mempergunakan penggraitanya saja.
Memang terasa ada kesulitan bagi Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian, kilatan cahaya matahari yang memantul dari daun pedang lawannya yang telah dikembangkan dengan ilmunya, tidak lagi menusuk lewat penglihatannya dan mengguncang jantungnya, sehingga semakin lama rasa-rasanya jantungnya akan terlepas dari tangkainya.
Namun kesulitan karena Agung Sedayu tidak dapat mempergunakan pendengarannya memang sangat mengganggu.
Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa ketika sekilas-sekilas Agung Sedayu memandang pedang lawannya, pantulan cahaya matahari itu, bagaikan telah padam. Ketika Agung Sedayu terdesak beberapa langkah surut, maka penglihatannya bagaikan terbuka sepenuhnya.
Baru kemudian Agung Sedayu menyadari, bahwa ia telah berada dibawah bayangan sebatang pohon cangkring tua yang besar, yang tumbuh di tanggul sungai.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Agung Sedayu. Selagi pedang lawannya tidak memantulkan cahaya matahari karena bayangan rimbunnya daun cangkring yang besar itu, maka Agung Sedayu telah melanda lawannya dengan ilmu cambuknya yang telah hampir sampai ke puncak.
Lawannya meloncat beberapa langkah surut, ketika terasa ujung cambuk Agung Sedayu menggapai kulitnya. Meskipun hanya sentuhan tipis, tetapi bukan saja pakaiannya yang dikoyakkan, tetapi juga kulit lengannya.
Ki Ajar Kumuda mengumpat kasar. Namun ketika ia siap untuk menyerang, maka ia sempat menengadahkan wajahnya. Dilihatnya, batang cangkring raksasa yang rimbun menutup cahaya matahari.
"Licik kau." geram Ki Ajar Kumuda.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau bersembunyi di bawah rimbunnya batang cangkring." jawab Ki Ajar.
"Kenapa bersembunyi. Aku ada disini. Bukankah kau melihat aku?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Kemarilah, kita bertempur dibawah teriknya sinar matahari." jawab Ki Ajar Kumuda.
"Kenapa" Kita bertempur disini. Disini udara terasa lebih segar. Kita akan dapat menghemat tenaga kita, sehingga kita akan mampu membenturkan segala macam ilmu yang kita miliki." jawab Agung Sedayu.
"Persetan. Kemarilah." geram orang itu.
"Kau perlu bantuan sinar matahari untuk menyilaukan mataku?" bertanya Agung Sedayu.
"Apapun yang aku lakukan." jawab orang itu.
"Lakukanlah disini." jawab Agung Sedayu, yang kemudian bertanya, "Jadi bagaimana jika kita bertempur dimalam hari?"
"Sinar bintang, apalagi bulan, cukup kuat untuk dikembangkan dengan ilmuku." jawab orang itu.
"Dibawah awan kelabu?" bertanya Agung Sedyu.
"Persetan." geram orang itu sambil meloncat menyerang.
Tetapi tanpa sinar matahari, maka Agung Sedayu dapat mengamati gerak lawannya sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian, maka bukan Agung Sedayu yang mengalami kesulitan. Tetapi ilmu cambuk Agung Sedayu pada tatarn tertinggi telah mampu mengacaukan pertahanan lawannya tanpa pantulan sinar matahari. Bahkan sekali lagi ujung cambuknya telah mampu mengenai tubuh Ki Ajar Kumuda, meskipun Ki Ajar mampu melihat Agung Sedayu bagaikan prahara.
Sekali lagi Ki Ajar Kumuda mengumpat kasar. Dengan serta merta ia meloncat keluar dari bayangan rimbunnya daun cangkring sambil memutar pedangnya.
Agung Sedayu sama sekali tidak memperhatikan pedang itu, karena jaraknya masih cukup jauh. Sambil memandang kearah lain, Agung Sedayu berkata, "marilah. Jangan menghindar."
Namun Ki Ajar Kumuda itu telah benar-benar marah. Anak ingusan itu telah mampu melukainya meskipun tidak parah. Tetapi sentuhan ujung cambuknya itu telah menghinanya, sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, yang bahkan telah menantang orang bercambuk sendiri.
Karena itu, maka Ki Ajar Kumuda memang tidak mempunyai pilihan lain daripada mengakhiri pertempuran itu.
Tetapi Ki Ajar Kumuda yang sudah terlanjur menjadi sangat marah itu tidak lagi berusaha untuk menangkap Agung sedayu hidup-hidup. Baginya, asal saja ia mengakhiri pertempuran biarpun Agung Sedayu itu mati, karena untuk menangkapnya hidup-hidup tentu akan menjadi sangat sulit.
Namun Ki Ajar Kumuda tidak ingin membunuh Agung Sedayu dengan serta merta. Ia masih ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu kelebihan-kelebihan perguruan Kumuda dibanding dengan perguruan Orang Bercambuk.
Karena itu, maka Ki Ajar itu ingin membuat Agung Sedayu menjadi bingung, kecemasan dan kemudian putus asa sebelum saat-saat matinya.
Disaat Agung Sedayu menunggunya dibawah pohon Cangakring raksasa itu, maka Ki Ajar Kumuda telah memperlihatkan kelebihannya. Dengan mengetrapkan ilmunya, puncak dari ilmu Tapak Prahara, maka Ki Ajar itu telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka kearah rimbunnya daun cangkring raksasa itu.
Tiba-tiba seleret sinar telah memancar. Kemudian meluncur dengan cepat menyusup diantara daun cangkring yang rimbun itu.
Agung Sedayu sempat mengamati sinar itu yang tentu merupakan salah satu kekuatan ilmu lawannya. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya, kenapa serangan itu justru tidak diarahkan langsung kepadanya.
Ternyata Agung Sedayu melihat perbedaan kekuatan ilmu itu dengan beberapa jenis ilmu yang pernah dilihatnya. Sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang dan dirinya sendiri, maka setiap serangan berjarak itu akan membentur sasarannya dengan dahsyatnya, sehingga seakan-akan telah terjadi satu ledakan. Namun serangan yang diluncurkan oleh Ki Ajar Kumuda itu tidak demikian. Menurut penglihatan Agung Sedayu, maka serangan itu meluncur dan menyusup kedalam rimbunnya dedaunan.
Namun baru sesaat kemudian, setelah berputaran sekejap diantara dedaunan, segumpal sinar itu bagaikan meledak dengan sendirinya.
Akibatnya memang dahsyat sekali. Tiba-tiba diantara rimbunnya daun cangakring itu telah terjadi putaran angin prahara yang sangat besar. Dahan dan rantingnya berputaran menggetarkan jantung. Ketika ranting-rantingnya berpatahan dan dahan-dahannya runtuh, maka mau tidak mau Agung Sedayu harus berloncatan menghindar dan akhirnya harus keluar dari bayangan daun cangkring raksasa itu. Namun sebenarnyalah daun cangkring raksasa yang rimbun itupun telah ikut berguguran dipasir tepian.
Glagah Putih yang menyaksikan dahsyatnya ilmu yang tentu inti dari Tapak Prahara itu, menjadi tegang. Jantungnya berdegup semakin cepat.
Sementara itu, Secaprana dan Secabawa, murid dari Ki Ajar Kumuda itupun bagaikan membeku ditempatnya. Mereka telah mempelajari ilmu Tapak Prahara, namun ketika mereka melihat inti dari ilmu itu, maka merekapun menjadi bagaikan bermimpi.
"Alangkah dahsyatanya." desis Secaprana.
Secabawa tidak menyahut. Namun ia melihat dahan yang berpatahan dan runtuh satu persatu.
Jantung Agung Sedayu yang melihat kekuatan ilmu itu memang tergetar. Darah mudanya tiba-tiba saja menggelegak. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan dari kekuatan ilmu Orang Bercambuk. Ia harus menunjukkan bahwa kekuatan ilmu Orang Bercambuk tidak kalah dahsyatnya. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu tidak lagi ingat pesan gurunya, bahwa ia sebaiknya tidak akan merasa perlu mempergunakan puncak ilmu yang telah dipelajarinya.
Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah membangunkan gejolak yang sangat dahsyat di dalam dirinya. Karena itu, ketika satu-satu daun masih berguguran, maka Agung Sedayu yang telah meloncat keluar dari bayangan rimbunnya pohon cangkring raksasa itu telah memutar cambuknya serta menghentakkannya pula. Tiba-tiba saja telah meluncur kekuatan inti dari ilmu cambuk perguruan Orang Bercambuk menghantam batang cangkring yang tersisa.
Ternyata kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu itu tidak kalah dahsyatnya, pohon itu telah terguncang dengan dahsyatnya. Dahan-dahan yang tidak terpatahkan oleh kekuatan ilmu Ki Ajar Kumuda telah berderak berpatahan, sehingga pohon cangkring itu seakan-akan telah menjadi gundul karenanya.
Ki Ajar Kumuda yang sama sekali tidak menduga, telah meloncat surut. Ternyata murid Orang Bercambuk itu benar-benar telah menguasai ilmu cambuk yang dahsyat itu.
Sekali lagi Secaprana dan Secabawa bagaikan membeku ditempatnya. Jantungnya benar-benar tergoncang. Yang menunjukkan kemampuannya kemudian adalah lawan gurunya itu. Seorang yang masih terhitung muda. Ternyata iapun mampu melontarkan kekuatan ilmu yang dapat mengimbangi kekuatan inti ilmu Tapak Prahara. Bahkan ilmu lawannya itu nampak lebih garang dan mencengkam.
Ki Ajar Kumuda yang memiliki pengetahuan yang sangat luas itu langsung dapat menilai, bahwa ilmu cambuk yang mencapai puncak kemampuannya itu benar-benar dahsyat. Jika semula ia ingin menghancurkan kesombongan Agung Sedayu, meruntuhkan gairah serta keberaniannya dan kemudian membunuhnya dalam keadaan putus asa, maka Ki Ajar Kumuda harus melihat kenyataan itu. Agung Sedayu tidak menjadi ketakutan dan berputus asa. Tetapi ia justru telah menunjukkan kelebihannya.
Karena itu, maka Ki Ajar Kumuda tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempergunakan kesempatan yang ada untuk menyerang langsung kearah sasaran.
Ki Ajar Kumuda yang menjadi semakin marah itu, telah menggerakkan pedangnya yang berkilat-kilat mematukkan cahaya matahari. Namun kemudian mengayunkannya mengarah kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut. Tentu inti dari Tapak Prahara yang dilontarkan tidak saja dengan telapak tangannya yang terbuka, tetapi dengan ujung pedang pilihan yang dimilikinya.
Sebenarnyalah seleret cahaya telah meluncur kearah Agung Sedayu. Demikian cepatnya. Namun Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi pula, serta ilmu meringankan tubuh. Karena itu, maka ketika Agung Sedayu mengerahkannya, maka telah mampu menghindari serangan itu sambil meloncat menjauh.
Gumpalan sinar yang menyilaukan telah hinggap di tempat Agung Sedayu semula berdiri. Kemudian bagaikan meledak dengan menimbulkan putaran angin prahara yang dahsyat, mengangkat pasir dan menghamburkannya.
Jika saja Agung Sedayu tidak sempat menghindar, maka tubuhnya akan dilumatkan oleh ledakan itu, kemudian kepingan tubuhnya akan diangkat pula oleh angin prahara dan disebarkan ditepian menjadi makanan burung pemakan bangkai. Tetapi hal itu ternyata tidak terjadi.
Namun Agung Sedayupun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia sudah memperhitungkan bahwa kekuatan ilmu orang itu tentu akan dapat menembus ilmu kebalnya, sehingga karena itu, maka ia harus berusaha menghindari setiap serangan yang datang ke arahnya.
Dalam pada itu, lawannya yang melihat Agung Sedayu menghindar, ternyata tidak melepaskannya. Sekali lagi ia mengangkat pedangnya, memutarnya seakan-akan mengambil ancang-ancang, dan kemudian mengayunkannya kearah Agung Sedayu.
Sekali lagi Agung Sedayu sempat mengelak. Ketika serangan berikutnya datang, maka sekali lagi dan sekali lagi Agung Sedayu harus berloncatan menghindari serangan-serangan itu.
Tetapi sekali datang saatnya, bahwa Agung Sedayu tidak boleh membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah mempersiapkan dirinya.
Demikian ia meloncat menghindar, maka iapun segera memutar cambuknya sebagaimana dilakukan lawannya dengan pedangnya. Namun lawannya ternyata memiliki kelebihan waktu sekejap dari Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu masih sempat melepaskan ilmunya membentur gumpalan cahaya yang terbang kearahnya.
Dua kekuatan ilmu yang pilih tanding telah saling berbenturan. Langsung pada garis serangan masing-masing.
Ternyata benturan itu telah berpengaruh pula pada mereka yang telah melontarkannya. Dua gumpalan cahaya itu seakan-akan meledak dengan dahsyatnya. Getarannya langsung memantul kembali kearah sumbernya. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan sulit baginya untuk tetap mempertahankan keseimbangannya, sehingga hampir saja Agung Sedayu jatuh terguling. Hanya dengan susah payah saja ia dapat bertahan untuk tetap berdiri.
Sementara itu, Agung Sedayu harus mengakui bahwa lawannya memiliki pengalaman lebih banyak. Sebagai seorang yang telah mencapai tingkat ilmu serta umur yang lebih dari setengah abad, maka pengenalannya atas dunia kanuragan telah lebih luas.
Meskipun demikian orang itu juga terguncang, bahkan hampir saja ia terlempar. Hanya dengan ketangkasannya, maka ia dapat menggeliat bahkan meloncat beberapa langkah untuk mencapai keseimbangannya kembali. Tetapi dengan menahan nyeri didadanya ia sempat berkata, "Beruntunglah bahwa kau memiliki ilmu kebal, Agung Sedayu. Getaran yang memantul karena benturan itu yang bersifat wadag telah tertahan oleh ilmu kebalmu. Tetapi kau tidak akan mempu menahan getaran yang langsung terpantul kebagian dalam tubuhmu, sebagaimana kilatan cahaya matahari yang terpantul oleh daun pedangku lewat penglihatan matamu."
Agung Sedayu yang sudah berhasil tegak kembali berdiri termangu-mangu. Beruntunglah bahwa ia memiliki ilmu kebal yang dapat membantunya sehingga ia tidak mengalami kesulitan yang parah. Namun seperti yang dikatakan oleh lawannya, bahwa pantulan kekuatan yang terjadi karena benturan itu, yang langsung menyusup kebagian dalam tubuhnya telah membuat nalarnya memang menjadi agak sesak.
Namun beberapa saat kemudian, keduanya telah tegak berdiri saling berhadapan pada jarak belasan langkah. Keduanya telah bersiap untuk menghadapi pertempuran yang menentukan.
Dalam pada itu, dedaunan yang rimbun dari sebatang cangkring raksasa itupun telah berguguran ditanah bersama ranting dan dahan-dahannya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak lagi berada ditempat yang terlindung. Dengan demikian, maka ketika lawannya itu memutar pedangnya, maka kilatan-kilatan cahaya matahari mulai lagi menusuk kematanya dan langsung menyusup menggetarkan jantungnya.
AgungSedayulah yang kemudian memutuskan bahwa pertempuran itu harus segera berakhir, apapun yang terjadi.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah berniat untuk menyerang dengan mempergunakan puncak kemampuannya dalam ilmu cambuk untuk menyelesaikan pertempuran itu, meskipun ia sadar, bahwa Ki Ajar Kumuda itupun memiliki ilmu yang tinggi pula.
Karena itu, maka sebelum jantungnya menjadi hangus, maka Agung Sedayu telah memutar cambuknya mengambil ancang-ancang, untuk melontarkan ilmunya yang jarang ada duanya. Namun sikapnya itu segera dikenal oleh lawannya, sehingga lawannyapun telah melakukan pula. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya.
Namun Agung Sedayu tidak mau didahului. Dengan mengerahkan kemampuan ilmu cambuknya yang hampir mencapai tataran tertinggi itu, maka ia telah menyerang lawannya.
Tetapi pada saat yang bersamaan, maka Ki Ajar Kumudapun telah melakukannya pula. Menyerang Agung Sedayu dengan inti kekuatan ilmu Tapak Prahara.
Sekali lagi dua kekuatan ilmu raksasa telah berbenturan. Getarannya yang memantul ternyata cukup dahsyat. Dua kekuatan yang dilambari dengan pengerahan kemampuan itu, telah menghantam kembali sumbernya dengan gelombang getaran kekuatan yang sangat besar.
Dalam puncak ilmu masing-masing, maka Ki Ajar Kumuda memang selapis lebih tinggi dari kekuatan ilmu Agung Sedayu. Meskipun ilmu Agung Sedayu sudah merambah sampai kepuncak, tetapi Ki Ajar Kumuda telah lebih dahulu mencapainya pada inti kekuatan ilmu Tapak prahara. Sementara Agung Sedayu masih harus menjalani laku terakhir dari puncak ilmunya.
Namun Agung Sedayu mempunyai perisai yang dapat membantunya melindungi dirinya dari gelombang getaran yang memantul dari benturan itu. Pantulan yang bersifat wadag telah tertahan oleh ilmu kebalnya. Namun yang langsung menyusup kedalam tubuhnya telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut. Ternyata Ki Ajar Kumuda telah mengerahkan segala yang ada dalam dirinya melampaui serangannya yang terdahulu.
Agung Sedayu memang jatuh terguling di pasir tepian. Betapa jantungnya serasa menjadi sakit oleh goncangan yang terjadi karena benturan itu.
Tetapi ternyata bahwa Ki Ajar Kumuda yang tidak mempergunakan ilmu kebal selain daya dalam tubuhnya yang tinggi itu, telah terlempar pula sebagaimana Agung Sedayu. Iapun telah terjatuh berguling dipasir tepian, sementara isi dadanya bagaikan runtuh dari tangkainya.
Namun keduanya masih juga bangkit berdiri. Hampir bersamaan, pula keduanya telah bersiap untuk melepaskan serangan dengan kekuatan terakhir mereka.
Sebenarnyalah bahwa keduanya sudah tidak lagi mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Keduanya harus melakukan yang terbaik yang dapat mereka lakukan. Jika mereka gagal, maka yang gagal itu tidak akan pernah dapat naik ketanggul sungai itu untuk selama-lamanya.
Karena itu, maka sesaat kemudian, keduanya telah menhentakkan sisa kemampuan dan kekuatan mereka. Dalam hentakan yang tidak lagi ada pilihan, ternyata keduanya masih mampu mengerahkan puncak dari kekuatan dan kemampuan mereka dilambari dengan ilmu raksasa yang jarang ada duanya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah menghempaskan serangannya sekali lagi. Sementara itu, Ki Ajar Kumuda sama sekali sudah tidak tertarik lagi untuk meloncat menghindari serangan itu. Tetapi iapun telah melemparkan serangannya dengan puncak kemampuannya.
Sekali lagi benturan itu terjadi. Agung Sedayu sama sekali tidak berusaha untuk menahan dirinya yang sekali lagi terlempar beberapa langkah. Dibiarkannya dirinya terdorong dan kemudian jatuh berguling tanpa bertahan sama sekali selain mengetrapkan ilmu kebalnya. Namun dengan demikian Agung Sedayu telah sempat mengetrapkan ilmunya yang lain.
Pada saat yang bersamaan maka Ki Ajar Kumuda yang ilmunya selapis lebih tinggi dari Agung Sedayu itu telah mengalami keadaan yang sama sebagaimana terjadi atas Agung Sedayu. Namun Ki Ajar Kumuda dengan daya tahannya yang tinggi telah berusaha untuk segera bangkit.
Tetapi pada saat itulah, maka Agung Sedayu yang membiarkan dirinya pada saat jatuh itu, tanpa berusaha bangkit lebih dahulu telah menyerang Ki Ajar Kumuda. Tidak dengan kemampuan ilmu cambuknya yang jarang ada duanya itu. Namun sebagaimana dikatakan oleh gurunya, bahwa ilmunya yang lain akan dapat mendukung kemampuannya dalam olah kanuragan, sehingga Agung Sedayu tidak saja terpancang pada ilmu cambuknya.
Ki Ajar Kumuda sama sekali tidak menduga bahwa serangan berikutnya telah datang begitu cepat. Ternyata Agung Sedayu yang masih terbaring dipasir tepian itu telah menyerang lawannya dengan kekuatan sorot matanya.
Ki Ajar Kumuda terkejut. Tetapi ia terlambat. Serangan itu sama sekali tidak sempat dibenturnya dengan kekuatan ilmunya, inti Tapak Prahara. Karena itu, maka yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Serangan Agung Sedayu yang tiba-tiba itu telah melemparkan Ki Ajar Kumuda sekali lagi, sehingga Ki Ajar jatuh berguling ditanah.
Serangan itu memang tidak sedahsyat kekuatan puncak ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk. Namun ilmu itupun merupakan ilmu yang jarang ada duanya. Kekuatan serangan Agung Sedayu itu bagaikan jarum-jarum sinar yang menembus kedalam tubuhnya dan meremas segala isinya.
Tetapi Ki Ajar Kumuda tidak menyerah. Ia masih berusaha untuk bangkit berdiri sebagaimana Agung Sedayu kemudian juga berusaha bangkit. Dalam keadaan yang sulit, Ki Ajar Kumuda masih juga berusaha memutar pedangnya dengan kilatan pantulan cahaya matahari yang menyusup langsung lewat mata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak lagi mau berpaling apapun yang terjadi. Iapun telah memutar cambuknya untuk dengan kekuatan terakhir melontarkan serangannya sebagaimana akan dilakukan oleh Ki Ajar Kumuda.
Dalam waktu yang hampir bersamaan keduanya telah melontarkan ilmunya. Keduanya sudah tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan yang rumit karena keadaan mereka. Mereka hanya mampu membuat perhitungan terakhir, menang atau mati.
Namun kedaan Ki Ajar Kumuda sudah jauh lebih buruk dari keadaan Agung Sedayu. Serangan Agung Sedyu yang dilontarkannya dengan sorot matanya dan seakan-akan meremas isi dada Ki Ajar Kumuda, telah membuat orang tua itu kehilangan sebagian besar dari tenaganya.
Karena itulah, maka lontaran ilmunyapun telah menjadi semakin lemah. Sementara Agung Sedayu masih sempat menghentakkan sisa tenaganya untuk terakhir dalam pertempuran yang mendebarkan itu.
Yang terjadi kemudian memang sebuah benturan ilmu. Namun akibatnya sudah sangat berlainan. Pantulan getaran kekuatan ilmu itu menjadi berat sebelah. Kekuatan ilmu Agung Sedayu yang lebih besar telah mendorong gelombang getaran kekuatan ilmunya karena perlawanan ilmu Ki Ajar Kumuda tidak mampu lagi menghentikannya.
Dengan demikian maka kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedyu itu telah menghantam tubuh Ki Ajar Kumuda yang memang sudah menjadi lemah itu.
Akibatnya memang sangat menentukan. Ki Ajar Kumuda telah terlempar sekali lagi jatuh terbanting membentur batu padas ditebing.
Agung Sedayu yang sempat menghentakkan kekuatannya yang terasa itu masih berdiri tegak. Pantulan getaran ilmunya hanya menyentuhnya lemah. Namun karena kekuatan yang ada di dalam dirinya telah dihentakkannya sampai tuntas, maka sentuhan kekuatan pantulan ilmu yang lemah itupun telah mendorongnya jatuh terbaring. Bahkan untuk beberapa saat Agung Sedayu masih belum sempat bangkit.
Glagah Putih terkejut melihat keadaan Agung Sedayu. Iapun segera berlari mendekat. Dilihatnya wajah Agung Sedayu yang pucat. Darah yang masih meleleh dari luka meskipun tidak terlalu deras.
"Kakang." desis Glagah Putih.
Agung Sedayu memang berusaha untuk bangkit. Namun ia hanya mampu untuk duduk bersandar pada kedua tangannya dibantu oleh Glagah Putih yang berjongkok disampingnya.
"Bagaimana dengan Ki Ajar?" desis Agung Sedayu.
Glagah Putih berpaling. Ia melihat murid Ki Ajar itupun telah berjongkok didekat gurunya.
Sebenarnyalah keadaan Ki Ajar jauh lebih parah dari keadaan Agung Sedayu. Bahkan dadanya rasa-rasanya sudah menjadi pecah dan tulang-tulangnya berpatahan.
"Aku akan melihatnya kakang." berkata Glagah Putih kemudian. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Aku juga akan melihatnya."
"Tetapi keadaan kakang?" desis Glagah Putih.
Balas " On 4 Agustus 2009 at 10:57 Mahesa Said:
Bagian II Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk duduk bersila sambil menyilangkan tangan dihadapannya. Dengan demikian Agung Sedayu berusaha untuk mengatur pernafasannya agar keadaan tubuhnya menjadi lebih baik sehingga ia tidak kehilangan seluruh tenaganya yang tersisa.
Namun ketika Agung Sedayu mulai memejamkan matanya sambil memusatkan nalar budinya, maka tiba-tiba saja terdengar Secabawa berteriak, "Kau bunuh guruku. Kaupun harus mati."
Seperti orang kehilangan akal Secabawa telah berdiri menyerang Agung Sedayu yang sedang melakukan pemusatan nalar budinya mengatur pernafasannya untuk mendapatkan tingkat keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun telah meloncat dan berteriak tidak kalah lantangnya, "Jangan menjadi gila. Berhenti ditempatmu."
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Secabawa telah meloncat langsung menyerang Glagah Putih yang telah melangakah beberapa langkah maju.
Glagah Putih memang tidak sempat berbuat sesuatu kecuali mempertaruhkan segenap ilmu yang dimilikinya. Kekuatan ilmu yang diwarisinya dari perguruan Ki Sadewa serta peningkatan alas kekuatan dan kemampuannya oleh pengaruh kekuatan ilmu Raden Rangga dan yang terakhir adalah gurunya Ki Jayaraga, telah dengan cepat dipersiapkan untuk membentur ilmu Secabawa yang menurut perhitungan Glagah Putih tentu sudah memiliki ilmu Tapak Prahara.
Sejenak kemudian, maka serangan Secabawa yang memang dilambari dengan ilmu Tapak Prahara pada tingkat pertama itu telah membentur kekuatan ilmu Glagah Putih yang lebih mantap. Karena Glagah Putih tidak tahu pasti tingkat kemampuan ilmu lawannya, maka Glagah Putih telah melindungi dirinya dengan ilmunya dengan segenap kekuatan dan kemampuannya.
Karena itu, yang terjadi adalah benturan yang kurang seimbang. Secabawa telah terlempar beberapa langkah surut dan terbanting di pasir tepian langsung menjadi pingsan.
Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak berniat membuat lawannya pingsan. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan-perhitungan yang cermat sehingga hanya mempergunakan kekuatan ilmu yang diperlukan saja.
Sejenak Glagah Putih justru termangu-mangu. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedyu, maka dilihatnya Agung Sedayu masih memejamkan matanya mengatur pernafasannya.
Dalam keadaan yang demikian yang terdengar adalah teriakan Secaprana, "He, kau apakan adikku?" Namun suaranya kemudian melemah, "Bunuh aku sama sekali."
Glagah Putih menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah membuka matanya, mengurai tangannya dan berdesis, "Glagah Putih."
Glagah Putih dengan tergesa-gesa mendekati kakak sepupunya yang juga gurunya.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang telah terjadi?" bertanya Agung Sedayu.
"Orang itu dengan tiba-tiba saja telah menyerang kakang yang sedang berusaha mengatur pernafasan. Aku telah membenturnya. Tetapi akibatnya diluar dugaanku." jawab Glagah Putih.
"Sebenarnya aku masih memerlukan waktu." berkata Agung Sedayu, "tetapi keadaanku sudah berangsur baik. Karena itu, bantu aku melihat keadaan Ki Ajar."
Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian berusaha memapah Agung Sedayu yang berjalan tertatih-tatih mendekati tempat Ki Ajar berbaring.
Namun Agung Sedayu sempat berhenti sebentar melihat keadaan Secabawa. Katanya, "Ia hanya pingsan. Mudah-mudahan ia dapat segera baik kembali. Sehingga ia dapat membantu mengurus gurunya."
Meskipun agak sulit, namun akhirnya Agung Sedayupun telah sampai juga ke tempat Ki Ajar berbaring. Ternyata Ki Ajar Kumuda masih hidup. Bahkan ia masih membuka matanya dan berdesis, "Kau tidak mati Agung Sedayu?"
Agung Sedayu berdiri tidak terlalu dekat dibantu oleh Glagah Putih. Sementara Secaprana yang terluka itu berjongkok disisi gurunya yang terbaring.
"Sebagaimana kau lihat Ki Ajar." jawab Agung Sedayu.
"Kau memang luar biasa." jawab Ki Ajar dengan suara sangat lemah, "aku salah menilaimu. Aku kira kau hanya memiliki bekal tunggal ilmu Orang Bercambuk. Namun ternyata kau memiliki seribu macam ilmu didalam dirimu. Aku yakin belum semua ilmumu kau gelar di arena kecil ini. jadi yang aku kira dongeng itu agaknya benar-benar terjadi bahwa kau adalah sahabat dan sekaligus bersama-sama menyadap ilmu bersama dengan Panembahan Senapati dan sekali-sekali bersama Pangeran Benawa."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Jika kau bertemu dengan gurumu, katakan, bahwa aku mengaku kalah. Ilmu cambuk gurumu tentu masih lebih baik dari ilmumu, sehingga sudah pasti aku tidak akan dapat mengimbanginya menilik dari tingkat kemampuan muridnya. Ternyata yang kau katakan benar bahwa kau dapat membebaskan dirimu sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya sendiri masih saja sakit. Tulang-tulang iganya bagaikan menjadi retak.
Namun keadaan Ki Ajar Kumuda itu tiba-tiba nampak menjadi sangat buruk. Ketika itu ia ingin berbicara lagi, maka darah nampak meleleh di bibirnya.
"Ki Ajar." desis Agung Sedayu.
Ki Ajar mencoba untuk tersenyum. Katanya, "Aku mengucapkan selamat."
Wajah Ki Ajar yang pucat itu menjadi semakin pucat. Sementara itu, Secaprana yang luka itu menjadi cemas melihat keadaan gurunya.
Ketika gurunya itu berpesan kepadanya dengan suara yang sangat lemah, maka Secaprana itu telah mendekatkan telinganya ke mulut Ki Ajar.
"Kau harus melihat kenyataan ini." berkata Ki Ajar, "aku tidak mampu mengalahkan murid Orang Bercambuk yang berilmu rangkap seribu itu. Karena itu, jangan bermimpi untuk melakukan sesuatu atasnya."
Secaprana mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya guru"
"Bagus." jawab Ki Ajar, "akupun harus mengakui kenyataan yang akan terjadi atas diriku." Ki Ajar itu berhenti sejenak, lalu dengan sisa tenaga yang ada didalam dirinya ia berkata, "Agung Sedayu. Aku minta maaf."
"Kau tidak bersalah Ki Ajar." jawab Agung Sedayu.
"Nampaknya kau melakukan kebiasaan dari orang-orang yang bergumul dalam kehidupan olah kanuragan. Dibumbui oleh ketamakanku justru karena aku ingin memanfaatkan hubungan buruk antara madiun dan Mataram." desis Ki Ajar Kumuda.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun dilihatnya keadaan Ki Ajar menjadi semakin buruk. Bahkan sejenak kemudian orang tua itu berdesis, "Aku tidak siap menghadapi keadaan ini. Karena itu pesanku kepada murid-muridku, berhati-hatilah. Cari jalan yang lebih baik dari yang pernah kita tempuh."
"Guru." desis Secaprana yang menjadi sangat cemas. KI Ajar tidak menjawab. Tetapi, ia mencoba tersenyum sekali lagi.
Namun orang-orang yang ada di sekitarnya itu tidak mampu berbuat apa-apa ketika orang itu kemudian memejamkan matanya. Nafasnyapun kemudian perlahan-lahan terhenti untuk selamanya.
Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam. Sambil memalingkan wajahnya ia berkata kepada Glagah Putih, "Glagah Putih. Beri isyarat kepada Ki Gede dengan panah sendarenku. Kita memerlukan mereka."
"Jangan serahkan aku kepada prajurit Mataram." berkata Secaprana yang diluar sadarnya telah berpaling kepada saudara seperguruannya yang pingsan. Namun Secabawa telah berusaha untuk bangkit setelah ia menyadari keadaannya.
Agung Sedayu memang berpikir tentang kemungkinan itu. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, "Apakah kau dan saudara seperguruanmu yang baru sadar itu akan dapat mengurus gurumu?"
Secaprana memandang gurunya yang terbaring diam dengan tatapan mata yang sayu. Harapannya bagi masa depannya seakan-akan telah pudar bersamaan dengan gurunya itu.
Namun Secaprana itupun berkata, "Aku akan mengurus guru bagaimanapun juga keadaanku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Secabawa telah berusaha untuk bangkit meskipun keadaannya sangat buruk.
"Sebentar lagi keadaannya akan membaik." berkata Secaprana kemudian.
Agung Sedayu yang lemah itu mengangguk, katanya, "Baiklah. Jika demikian maka Glagah Putih tidak akan melepaskan isyarat itu."
"Bagaimana dengan keadaanmu sendiri?" bertanya Secaprana.
"Aku masih akan mampu berjalan sampai ke perkemahan." jawab Agung Sedayu.
Iapun kemudian telah minta diri kepada Secaprana sambil berkata, "Aku tidak berniat membunuh. Aku hanya ingin melepaskan diriku sendiri dan rencananya untuk mempergunakan aku memancing Guru."
"Aku mengerti." sahut Secaprana.
Dengan demikian maka Agung Sedayupun telah meninggalkan tempat itu, menyusuri tepian menuju ke perkemahan. Beberapa lama mereka menyusuri tepian, karena Agung Sedayu yang lemah itu tidak mampu lagi berjalan sewajarnya.
Bahkan Agung sedayu mengalami kesulitan ketika ia berusaha memanjat tebing yang tidak terlalu tinggi. Namun akhirnya atas bantuan Glagah Putih, maka keduanyapun kemudian telah berada di atas tanggul.
Tetapi justru karena keadaan Agung Sedayu, maka keduanya memerlukan waktu sejenak untuk beristirahat. Rasa-rasanya tenaga Agung sedayu telah habis terhisap oleh pertempuran yang sengit itu, serta usahanya untuk menghentakkan kekuatannya yang terakhir masih tersisa didalam dirinya.
Namun ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih telah, bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan, maka mereka telah melihat beberapa orang pengawal berkuda melintas di hadapan mereka. Ternyata para pengawal itu telah melihatnya pula sehingga karena itu, maka merekapun telah melarikan kuda mereka mendekat.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Para peronda berkuda itu bukan pengawal dari tanah Perdikan menoreh. Karena itu, maka Agung Sedayupun berdesis, "Kita jangan membuat mereka melibatkan diri dalam persoalan ini."
"Jadi apa jawab kita jika mereka bertanya kepada kita, terutama keadaan kakang Agung Sedayu" bertanya kepada kita, terutama keadaan kakang Agung Sedayu?" bertanya Glagah Putih.
"Kita katakan, bahwa aku tergelincir dari tanggul yang kebetulan berbatu padas." jawab Agung Sedayu.
"Apakah mereka akan percaya?" sahut Glagah Putih.
"Percaya atau tidak percaya, tetapi itu lebih baik." desis Agung Sedayu pula.
Glagah Putih tidak sempat bertanya apapun lagi. Para peronda itu telah begitu dekat. Pemimpin kelompok dari para peronda itupun kemudian telah menyebut kata sandi yang dijawab pula oleh Glagah Putih.
"Kalian dari pasukan siapa?" jawab Glagah Putih, "kalian dari mana?"
"Dari Pegunungan Sewu." jawab pemimpin kelompok itu yang kemudian bertanya, "Kenapa kalian ada di sini?"
"Tidak apa-apa." jawab Agung Sedayu, "sekedar melihat-lihat keadaan."
"Kenapa dengan pakaianmu?" bertanya pemimpin peronda itu pula.
"O" Agung Sedayu yang duduk diatas tanggul itu mencoba tersenyum, "aku telah tergelincir diatas batu-batu padas ditikungan. Aku terjatuh kebawah dan bajuku telah koyak. Bahkan kulitku."
Pengawal itu termangu-mangu. Namun hampir diluar sadarnya pemimpin peronda itu bertanya, "Siapa nama kalian?"
"Agung Sedayu dan ini adalah sepupuku, Glagah Putih." jawab Agung Sedayu.
"Agung Sedayu" Pembantu utama Ki Gede Menoreh?" bertanya pemimpin kelompok peronda itu.
"Aku memang salah seorang pembantu Ki Gede." jawab Agung Sedayu.
"Maaf Ki sanak. Aku sudah pernah mendengar namamu. Tetapi belum begitu jelas mengenal wajahmu. Nampaknya aku memang pernah melihatmu sekali dua kali diantara pasukanmu." berkata pemimpin kelompok itu pula.
"O, begitu?" Agung Sedayu masih berusaha tersenyum.
"Tetapi kenapa kau tergelincir?" bertanya pemimpin kelompok itu pula.
"Ya begitulah. Aku memang kurang berhati-hati. Aku tidak mengira bahwa batu padas diatas tanggul dititipkan itu rapuh. Demikian aku menginjaknya, maka batu padas itupun runtuh." jawab Agung Sedayu.
Para peronda itupun kemudian bersiap untuk melanjutkan tugas mereka. Namun pemimpin peronda itu masih bertanya, "Apakah kalian memerlukan pertolongan?"
"Tidak. Aku tidak apa-apa." jawab Agung Sedayu yang masih duduk ditanggul, "hanya sedikit terkejut."
Para peronda itu mengangguk-angguk. Pemimpinnya kemudian berkata, "Baiklah. Jika demikian, biarlah aku meneruskan tugasku."
"Silahkan Ki Sanak." jawab Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka peronda itupun telah meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Semakin lama menjadi semakin jauh ke cakrawala.
Baru kemudian Agung sedayu berkata, "Marilah. Aku kira aku sudah dapat berjalan sendiri perlahan-lahan."
Sebenarnyalah Agung Sedayu sudah dapat berjalan tanpa dibantu oleh Glagah Putih. Tetapi perlahan-lahan. Tubuhnya masih terasa lemah sekali. Bahkan bagian dalam tubuhnya masih terasa sakit.
Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih telah memasuki perkemahan. Setiap orang yang bertanya telah dijawabnya, bahwa ia telah tergelincir jatuh dari tebing sungai karena kakinya menginjak padas yang rapuh.
Memang ada orang yang menjadi heran, kenapa Agung Sedayu, begitu mudah jatuh tergelincir kedalam sungai dan selain pakaiannya, tubuhnya juga terkoyak.
Namun pada umumnya mereka telah menjawabnya sendiri, bahwa Agung Sedayu tentu tidak mengetrappkan kekuatan ilmunya ketika ia berjalan-jalan di tanggul.
Sebenarnyalah keadaan Agung Sedayu telah mencemaskan Ki Gede dan beberapa orang yang mengetahui apa yang terjadi. Apalagi ketika kemudian Glagah Putih membawa Agung Sedayu berbaring diperkemahannya.
"Bagaimana keadaannya?" bertanya Ki Gede.
Glagah Putih mencoba memberikan gambaran sebenarnya tentang keadaan Agung Sedayu meskipun hanya kepa Ki Gede dan Prastawa.
"Jadi Agung Sedayu mengalami luka dalam?" bertanya Ki Gede.
"Ya Ki Gede." jawab Glagah Putih.
"Bagaimana seandainya besok terjadi perang antara Mataram dan Madiun?" desak Ki Gede.
"Mudah-mudahan keadaannya berangsur baik." jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, "Agaknya kakang Agung Sedayu telah membawa beberapa jenis obat. Mudah-mudahan ada diantaranya yang dapat membantu keadaannya sendiri."
Sebenarnyalah dibantu oleh Glagah Putih, Agung sedayu telah berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Sebagai murid Kiai Gringsing yang ahli dalam hal obat-obatan, maka serba sedikit Agung Sedayu juga mengerti tentang obat-obatan.
Beberapa butir obat telah ditelannya. Sebenarnya Agung Sedayu ingin melakukan semacam samadi untuk mengatasi kesulitan di dalam tubuhnya.
Namun nampaknya sulit baginya untuk mendapatkan tempat yang baik di perkemahan tanpa menarik perhatian orang lain, sehingga dapat menimbulkan berbagai macam pertanyaan.
"Aku akan melakukannya sambil berbaring." berkata Agung Sedayu, "tolong, agar aku tidak terlalu banyak terganggu."
Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, "Aku akan melakukannya kakang."
Dengan demikian maka Glagah Putih telah menunggui Agung Sedayu yang terbaring, seakan-akan sedang tidur. Tidak seorangpun yang mengerti apa yag sebenarnya telah dilakukannya kecuali orang-orang tertentu.
Ki Gede yang kemudian diberitahu oleh Glagah Putih-pun berkata, "baiklah. Biarlah Prastawa mengambil semua tugasnya, terutama untuk hari ini."
Meskipun bukan kebiasaannya, namun Agung Sedayu dapat melakukannya. Memperbaiki keadaan bagian dalam tubuhnya, mendorong obat-obatan yang telah ditelannya untuk bekerja lebih baik didalam dirinya, sambil berbaring. Justru satu pengalaman baru bagi Agung Sedayu.
Sementara itu, tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian pada pasukan Mataram di sayap kiri itu. Pangeran Mangkubumi memang telah memanggil para pemimpin pasukan untuk mengadakan hubungan sebagaimana dilakukan setiap hari. Tetapi tidak ada perintah yang diberikan kecuali untuk tetap memelihra kewaspadaan.
Dalam pada itu, pasukan Mataram dalam keseluruhan masih saja bertahan untuk tidak bergerak. Sedangkan pasukan Madiunpun sama sekali tidak berniat untuk menyerang kedudukan pasukan Mataram di seberang Kali Dadung. Namun sebagaimana pasukan Mataram, maka pasukan yang telah dipersiapkan di Madiun itupun tidak mengurangi kewaspadaan mereka. Setiap kali sekelompok-sekelompok pasukan telah meronda mengamati keadaan.
Agung Sedayu ternyata mengalami kesulitan yang agak bersungguh-sungguh. Luka dibagian dalam tubuhnya tidak segera dapat diatasinya. Namun obat yang telah ditelannya serta usahanya untuk mengatasinya dengan mengerahkan daya tahan di tubuhnya serta mengatur pernafasannya, dapat membantunya memperingan kesulitan dibagian dalam tubuhnya itu.
Menjelang senja, maka rasa-rasanya Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk melakukan semadi dengan sebaik-baiknya. Dalam gelapnya malam Agung Sedayu sengaja tidak menyalakan lampu di perkemahannya, sehingga perkemahannya menjadi gelap. Sementara itu, ia dapat duduk dan melakukan samadi dengan sebak-baiknya.
Udara malam yang sejuk, serta kesungguhan dalam samadinya, serta obat yang telah ditelannya lagi, maka keadaan tubuh Agung Sedayu menjadi semakin baik. Nafasnya telah menjadi longgar, sementara yang terasa pedih sudah sudah berkurang.
Lewat tengah malam, maka Agung Sedayu telah mengakhiri samadinya. Meskipun keadaannya sudah menjadi semakin baik. tetapi ia tidak dapat memacu dirinya sendiri untuk mengatasi kelemahan tubuhnya.
Bersama Glagah Putih maka Agung Sedayu berjalan-jalan diantara pasukan pengawal Tanah Perdikan yang sedang beristirahat. Mereka nampak tertidur dengan lelap. Sementara mereka yang bertugas didalam lingkungan pasukan itu sendiri telah menyapa Agung Sedayu tanpa menduga sama sekali bahwa Agung Sedayu itu masih dalam keadaan lemah.
Agung Sedayu sendiri selalu tersenyum sebagaimana kebiasaannya. Sedangkan Glagah Putih menjawab beberapa pertanyaan dari para pengawal itu.
Namun tiba-tiba Glagah Putih sendiri bertanya kepada Agung Sedayu, "bagaimana jika pertempuran terjadi besok pagi?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku masih sangat lemah. Tetapi jika terpaksa, aku telah siap turun kemedan."
"Tetapi sudah tentu tidak akan menguntungkan kakang." jawab Agung Sedayu.
"Salahku sendiri." jawab Agung Sedayu, "aku datang kemari untuk tugas tertentu. Tetapi aku telah terpancing untuk melayani kepentingan pribadi Ki Ajar Kumuda."
"Tetapi ada juga hubungannya denganpertentangan antara Mataram dan Madiun." jawab Glagah Putih.
"Terlalu sedikit." jawab Agung Sedayu. "Namun bagaimanapun juga aku merasa wajib untuk mengangkat nama perguruanku. Namun seharusnya aku dapat menunda persoalan pribadi itu sampai persoalan pokok keberangkatanku kemari selesai."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Keadaan Agung Sedayu sudah terlanjur menjadi lemah, sehingga sulit baginya untuk dengan cepat dapat memulihkan keadaannya meskipun ia mempergunakan obat yang terbaik yang dimilikinya.
Ketika kemudian mereka sampai di gerbang perkemahan, maka dilihatnya beberapa orang petugas berada di sebelah duduk dalam satu lingkaran. Mereka duduk sambil berbicara apa saja untuk mengusir kantuk. Dua orang diantara mereka memisahkan diri untuk mengamati keadaan. Sementara itu di gerbang perkemahan dua orang bertugas di sebelah menyebelah pintu gerbang dengan tombak telanjang di tangan.
Beberapa langkah dari tempat itu terdapat perkemahan khusus bagi petugas yang sedang beristirahat. Mereka tidur dengan nyenyak separo malam bergantian dengan mereka yang berjaga-jaga.
Selain mereka masih ada kelompok peronda yang mengelilingi daerah sekitar perkemahan. Dalam keadaan yang gawat, mereka harus mengirimkan isyarat dengan panah senda-ren atau panah api.
Agung Sedayu yang kemudian berjalan-jalan ke luar dari gerbang perkemahan telah dihentikan oleh mereka yang bertugas.
"Kalian akan pergi kemana?" bertanya salah seorang petugas.
"Kami tidak dapat tidur." jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
"Sebaiknya kalian tidak keluar dari perkemah. Sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di kegelapan. Mungkin orang-orang Madiun yang akan menyerang kita dari jarak jauh seerti yang pernah mereka lakukan. Dengan panah-panah api, tetapi bukannya panah api saja isyarat, sebagaimana terjadi atas pasukan Mataram di perjalanan." berkata petugas itu.
"Aku tidak kemana-mana. Aku dan Glagah Putih hanya akan duduk disitu. Sedikit mencari ketengan." jawab Agung Sedayu.
Petugas itu tahu benar, siapakah Agung Sedayu. Orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian ia masih berpesan. "Tetapi jangan memasuki kegelapan itu tanpa pengawal."
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, "Terima kasih."
Bersama Glagah Putih, maka Agung Sedayupun telah melangkah menjauhi gerbang perkemahan. Tetapi mereka tidak sampai hilang di kegelapan. Mereka berhenti dalam jarak jangkau lampu obor digerbang.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian duduk diatas rerumputan yang kering, menghadap ke gelapan malam.
Namun dengan demikian tubuh Agung Sedayu terasa menjadi segar. Angin malam yang sejuk rasa-rasanya dengan cepat mempengaruhi keadaannya. Seakan-akan membantu obat-obatan yang telah ditelannya, sehingga perlahan-lahan kekuatannya telah tumbuh kembali. Lebih cepat dari yang diduga.
Para petugas di regol perkemahan mengawasi keduanya dengan heran., Seorang diantara mereka bertanya, "Apa yang dilakukan disana?"
"Seperti yang dikatakannya. Mencari ketenangan. Mereka tidak dapat tidur diperkemahan. Agaknya kawan-kawannya telah mendengkur terlalu keras." jawab yang lain.
Kawannya tertawa kecil. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sebenarnyalah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang duduk ditempat terbuka merasakan ketenangan malam. Mereka tidak merasa bahwa mereka berada di garis perang. Mereka tidak melihat kesibukan para prajurit kecuali orang yang berdiri diregol perkemahan itu. Dihadapan mereka terbentang kegelapan yang dalam sekali tanpa batas.
Seakan-akan diluar sadarnya, Agung Sedayu pun telah semakin meningkatkan keadaan tubuhnya. Glagah Putih yang menyertainya dapat mengerti keadaan kakak sepupunya, sehingga karena itu, maka ia tidak mengganggunya.
Menjelang fajar, maka Agung Sedayu seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, "Langit akan segera menjadi merah, Glagah Putih."
"Ya kakang." jawab Glagah Putih.
"Dan kau telah duduk disitu menahan kantuk." desis Agung Sedayu pula.
"Kita bersama-sama duduk disini." jawab Glagah Putih.
"Terima kasih atas perhatianmu. Keadaanku memang berangsur baik." berkata Agung Sedayu pula.
"Syukurlah." sahut Glagah Putih, "mudah-mudahan keadaan kakang segera pulih kembali."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Meskipun masih terasa lemah, tetapi keadaan memang menjadi semakin baik pagi ini."
"Apakah memang ada pengaruh udara sejuk kakang?" bertanya Glagah Putih.
"Agaknya ketenangan malamlah yang banyak membantu memulihkan keadaan selain obat yang cukup baik." jawab Agung Sedayu.
Namun pembicaraan merekapun terhenti ketika keduanya kemudian telah mendengar ayam jantan yang berkok.
"Menjelang fajar." desis Glagah Putih.
"Kau merasakan satu keanehan?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya kakang. Kita berkemah ditempat yang tidak terlalu dekat dari padukuhan. Suara itu bukan suara ayam hutan. Apakah ada ayam yang berkeliaran disekitar tempat ini?"
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi mereka telah mendengar lagi suara kokok ayam itu. Justru bersahutan dari dua arah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "Masih ada waktu untuk beristirahat barang sejenak di perkemahan."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan kokok ayam itu?"
"Isyarat biasa. Tidak ada yang menarik perhatian. Para petugas sandi dari Madiun saling memberikan isyarat tentang tempat mereka masing-masing." jawab Agung Sedayu.
"Begitu mudahnya ditebak?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Tetapi kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Juga para peronda dan para petugas."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu sudah bangkit berdiri sambil berkata, "marilah."
Keduanyapun kemudian telah melangkah ke gedung perkemahan. Sementara itu Agung Sedayu merasakan bahwa keadaan tubuhnya telah menjadi semakin baik. Namun ketika ia teringat akan pertanyaan Glagah Putih, bagaimana jika besok terjadi pertempuran antara madiun dan Mataram, maka Agung Sedayu masih merasa bahwa masih banyak terdapat kesulitan didalam dirinya.
Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah berada di perkemahan. Keduanya sempat berbaring dan mempergunakan sisa malam itu untuk tidur barang sejenak.
Sebelum matahari terbit keduanya telah bersiap-siap pula dan berbenah diri. Apapun yang terjadi atas diri Agung Sedayu, namun ia sama sekali tidak memperlihatkan keadaannya yang sebenarnya kepada para pengawal. Hanya Ki Gede dan Prastawa sajalah yang merasa cemas, bahwa pada saatnya pertempuran yang besar terjadi, Agung Sedayu masih belum memiliki tenaga dan kemampuannya seutuhnya kembali.
Meskipun tidak terucapkan, Ki Gede sebenarnya juga menyalahkan Agung Sedayu bahwa ia tidak menunda persoalannya setelah tugasnya ke Madiun itu dapat diselesaikan. Namun Ki Gede tidak ingin membuat Agung Sedayu semakin kecewa.
Namun ketika kemudian matahari terbit, para prajurit dan pengawal mengerti, bahwa hari itu mereka masih belum akan turun ke medan. Mereka masih sempat beristirahat, bermain macanan, jika tidak bertugas dan tidur. Pada saatnya makan dan minum minuman panas.
"Bagaimana jika persoalan pangan itu habis, sementara belum terjadi sesuatu." seorang petugas didapur bertanya kepada seorang kawannya.
"Bukan urusan kita." jawab kawannya.
"Tetapi jika para prajurit itu lapar, mereka tidak mau tidur lagi salah siapa." jawab orang yang pertama, "mereka tentu akan datang menyerbu ke dapur."
"Itu adalah tanggung jawab para pemimpin." jawab kawannya.
Orang yang pertama itu tidak bertanya lagi. Namun sebelum ia meninggalkan tempatnya, maka mereka telah melihat beberapa buah pedati yang datang membawa beras dikawal oleh sepasukan prajurit dari Pajang, yang berada di induk pasukan.
"Kau masih cemas tentang persediaan bahan makanan?" bertanya kawannya.
"Apakah kau kira hanya akan makan beras?" sahut orang yang pertama.
Kawannya tertawa. Tetapi dibiarkannya orang itu pergi meninggalkan tempatnya.
Namun sebelum tengah hari, maka para pemimpin pasukan telah dupanggil oleh Pangeran Mangkubumi, termasuk Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang.
"Belum ada perintah." berkata Pangeran Mangkubumi. Namun kemudian katanya, "Tetapi ada satu berita penting yang hanya boleh diketahui oleh para pemimpin. Tidak seorangpun di antara para prajurit dan pengawal boleh mendengar. Rahasia ini adalah rahasia puncak dan keberhasilan pasukan Mataram, jika rahasia ini tembus ke telinga orang Madiun, maka kita akan dihancurkan di sini, karena jumlah pasukan Madiun berlipat ganda jumlahnya dan jumlah pasukan yang datang dari Mataram."
Para pemimpin pasukan dan pengawal itu termangu-mangu. Namun nampaknya Pangeran mangkubumi bersungguh-sungguh. Katanya kemudian, "Kita harus mempersiapkan seluruh pasukan yang ada untuk bertindak setiap saat. Kita harus berada dalam kesiapan tertinggi serta mampu menggerakkan pasukan dengan kekuatan terbesar."
Para pemimpin itu mengangguk-angguk. Nampaknya mereka sudah sampai pada batas tertentu untuk menunggu.
Namun Pangeran Mangkubumi itu kemudian berkata, "Pamanda Adipati Mandaraka, Ki Patih di Mataram, telah mengirimkan seorang perempuan ke Madiun."
"Seorang perempuan," hampir berbareng beberapa orang telah mengulang.
"Ya. Seorang perempuan." jawab Pangeran Mangkubumi.
"Untuk apa?" bertanya seorang Senapati Mataram.
"Aku kurang tahu apa maksud pamanda Patih mandaraka." jawab Pangeran Mangkubumi. Lalu katanya, "Tetapi rencana pamanda Patih Adipati Mandaraka ini telah disetujui oleh Panembahan Senapati meskipun telah terjadi perdebatan yang lama. Panembahan Senapati semula menolak rencana itu. Tetapi akhirnya atas nasehat beberapa orang pemimpin yang sudah berpengalaman, Panembahan Senapati telah menerimanya dan memberikan wewenang kepada Ki Patih untuk melakukannya."
"Apa artinya sikap ini Pangeran?" bertanya seorang Senapati dari prajurit Mataram yang bertubuh tinggi besar berkumis lebat.
"Aku belum dapat menjawab pertanyaanmu." jawab Pangeran Mangkubumi, "aku harus menunggu keterangan berikutnya."
Para pemimpin dan Senapati memang menjadi agak bingung atas sikap yang diambil oleh Ki Patih Mandaraka. Mereka tidak tahu tujuan dari pengiriman seorang perempuan ke madiun untuk menemui Panembahan Mas.
Namun para pemimpin dan para Senapati itu hanya dapat menduga-duga saja. Tidak seorangpun yang tahu pasti, apa yang akan dilakukan oleh seorang perempuan yang mewakili sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur.
Namun dalam pada itu, mereka harus tetap menyimpan bebannya di dalam hati mereka masing-masing. Mereka tidak dapat membicarakannya dengan orang lain, karena hal itu merupakan rahasia bagi Mataram.
Tetapi dalam pada itu, semua pemimpin dan Senapati telah mendapat perintah untuk berjaga-jaga. Semua pasukan harus siap digerakkan setiap saat, siang dan malam.
Dengan demikian maka para pemimpin prajurit Mataram yang hampir menjadi jemu ia harus membawa beban lagi didalam hati mereka. Memang tidak masuk diakal mereka, bahwa Mataram malahan mengutus perempuan untuk menjumpai Adipati Madiun justru disaat semua ujung senjata telah menjadi setajam pisau pencukur.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu justru merasa mendapat kesempatan untuk memulihkan keadaannya. Diha-ri berikutnya, Agung Sedayu benar-benar telah merasa menjadi baik. Di malam hari Agung Sedayu lebih banyak berada tempat terbuka, sehingga segarnya malam seakan-akan mendorong tenaganya yang semakin pulih kembali.
Glagah Putih yang selalu bersamanya, adalah salah seorang yang mendapat kesempatan untuk mendengar rahasia besar Mataram itu. Karena itu, maka iapun bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kira-kira yang dilakukan oleh utusan itu kakang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sulit untuk ditebak. Bahkan sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bahwa hal seperti itu akan dapat terjadi. Karena itu, sulit bagiku untuk menebak-nebak, apakah yang kira-kira dilakukan oleh perempuan itu. Mereka sekedar menyampaikan surat, pesan atau bahkan ancaman-ancaman. Jika yang dikirim adalah seorang perempuan mungkin bermaksud bahwa Mataram masih ingin bersikap lunak. Atau bahkan sebaliknya, Mataram sudah tidak sabar lagi menunggu penyelesaian yang tidak menentu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jawaban Agung Sedayu masih mengandung serba pertanyaan sebagaimana ditanyakannya. Sehingga karena itu, maka jawaban Agung Sedayu, bukanlah jawaban yang sudah siap.
Ketegangan memang telah meliputi perkembangan para prajurit Mataram. Tidak apa di sayap-sayap pasukan, tetapi juga di pasukan induk.
Para prajurit dan pengawal yang telah mendapat perintah untuk beberapa sepenuhnya, selalu bertanya-tanya diantara mereka. Untuk apa mereka harus bersiaga penuh siang dan malam"
Tetapi tidak seorangpun yang mampu memberikan jawaban. Bahkan para pemimpin yang setiap kali bertanya kepada Panglima mereka di sayap-sayap pasukan, juga tidak menerima jawaban yang memuaskan. Baik Pangeran Mangkubumi, maupun pangeran Singasari masih tetap tidak mengatakan yang sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh Ki Patih Mandaraka dengan mengirimkan seorang perempuan kepada Adipati Madiun.
Namun dihari berikutnya, dalam kejemuan menunggu, Agung Sedayu telah merasa pulih kembali kekuatannya. Luka-luka dikulitnyapun telah tidak membekas lagi, kecuali sebuah garis yang kehitam-hitaman.
Ketika keduanya kemudian berjalan-jalan di tempat terbuka diluar perkemahan, maka keduanya telah turun ke sungai. Mereka telah mencari tempat yang tersembunyi untuk melihat, apakah kekuatan dan ilmu Agung Sedayu benar-benar telah pulih.
Tanpa disaksikan orang lain, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membuktikan, bahwa kekuatan dan ilmu Agung Sedayu memang telah pulih seutuhnya kembali.
"Kita dapat mengucap syukur kepada Yang Maha Agung. Glagah Putih, bahwa segalanya telah pulih seperti sediakala." berkata Agung Sedayu.
"Ya kakang. Nampaknya benturan kekerasan Mataram dan Madiun telah tertunda untuk memberi kesempatan kepada kakang, agar kekuatan kakang dapat pulih kembali dahulu." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Ia memang agak berbeda dengan orang lain yang mengalami kejemuan. Agung Sedayu yang menjadi sangat lemah itu memang berharap bahwa segala sesuatunya agar terjadi setelah ia memiliki tenaga dan ilmunya utuh kembali.
Ketika Ki Gede mendapat laporan bahwa ia telah memiliki segenap kemampuannya kembali, maka Ki Gedepun tersenyum sambil berkata, "Nah, sekarang terjadilah perang itu jika memang akan terjadi."
Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah tersenyum pula.
Demikianlah dihari berikutnya, maka para pemimpin pasukan telah dipanggil sekali lagi dalam pertemuan yang khusus. Dengan sunguh-sungguh Pangeran Mangkubumi berkata, "Kita sudah hampir memasuki tugas kita yang sebenarnya."
"Apa yang terjadi Pangeran?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Nampaknya perempuan yang ditugaskan oleh Ki Patih Mandaraka itu berhasil." jawab Pangeran Mangkubumi.
"Berhasil apa?" bertanya seorang Senapati.
"Perempuan itu berhasil menimbulkan ketidak sepakatan diantara para pemimpin yang berkumpul di Madiun." jawab Pangeran Mangkubumi.
"Apa yang dilakukannya." bertanya seorang Senapati.
"Aku tidak tahu." jawab Pangeran Mangkubumi. "Tetapi menurut petugas sandi yang setiap saat menghubungi pimpinan tertinggi pasukan Mataram melaporkan, bahwa justru ada diantara para Adipati yang ingin menarik diri dari himpunan kekuatan di Madiun itu."
"Jangan-jangan, Ki Patih Mandaraka telah mempergunakan satu cara yang katakanlah, terlalu amat sangat bijaksana bagi satu tugas keprajuritan sehingga menimbulkan kesan yang kurang mapan bagi seorang prajurit." berkata seorang Senapati.
Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku juga tidak ingin hal seperti itu dilakukan. Tetapi apabila itu merupakan kesepakatan para pemimpin tertinggi, maka apaboleh buat."
Yang lainpun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak akan dapat melakukan satu langkah yang bertentangan dengan kebijaksanaan yang diambil oleh para pemimpin tertinggi Mataram.
Ketidak puasan itu ternyata tidak saja mencengkam para pemimpin prajurit di sayap kiri. Disayap kanan Pangeran Singasari yang keras hampir saja menolak keputusan yang diambil oleh para pemimpin tertinggi Mataram untuk menggantungkan diri pada keberhasilan utusan Ki Patih Mandaraka. Untara, seorang Senapati perang yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup, tidak dapat mengerti, apa hubungannya antara perang yang tertunda-tunda, dengan keberangkatan seorang perempuan ke Madiun. Ketika perempuan itu dinyatakan hampir berhasil, maka Untara sempat berdesah, "Jika demikian, marilah kita serahkan senjata-senjata kita untuk diikat dengan selendang perempuan itu jika memang perempuan itu memiliki kelebihan dari kita."
Tetapi baik Pangeran Mangkubumi maupun Pangeran Singasari harus tunduk pada perintah Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah para petugas sandi telah memberikan laporan, bahwa ada ketidak sepakatan yang telah terjadi di Madiun setelah seorang perempuan berhasil memasuki pintu gerbang istana dan menghadap Panembahan Mas di Madiun.
Bahkan sebenarnyalah memang ada diantara para Adipati yang mengancam lebih baik meninggalkan Madiun daripada harus memenuhi perintah Panembahan Mas yang telah dipengaruhi oleh kehadiran perempuan itu.
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari yang berada disayap dengan sungguh-sungguh telah mengikuti perkembangan keadaan dengan hati yang cemas.
Tetapi dihari itu tidak terjadi sesuatu. Bahkan dimalam harinya, suasana nampaknya begitu sepi. Di perkemahan orang-orang Mataram masih saja terdengar perintah untuk setiap saat bergerak. Bahkan mungkin di malam hari.
Agung Sedayu yang sudah benar-benar pulih kembali, selalu berada diantara pasukannya. Prastawa tidak pernah jauh dari Ki Gede. Jika setiap saat jatuh perintah maka Prastawa akan dapat bergerak cepat. Bahkan seluruh pasukanpun dapat digerakkan dengan cepat meskipun mereka sedang tertidur nyenyak. Namun mereka telah mengenakan segala kelengkapam perang yang diperlukan. Senjata mereka telah ada dilambung. Yang bersenjata tombak sudah siap tersandar dinding perkemahan. Demikian pengawal itu bangkit, maka tombak itu tentu akan disambarnya.
Sampai tengah malam Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di tempat para petugas yang berjaga-jaga malam itu di kelompok mereka. Namun kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah minta diri untuk beristirahat. Baru menjelang fajar keduanya terbangun. Namun keduanya tidak segera bangkit.
Meskipun demikian, Agung Sedayu berdesis, "Rasa-rasanya ada sesuatu akan terjadi."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Aku tidak tahu. Tetapi jantung ini menjadi berdebar-debar. Inilah yang disebut panggraita." jawab Agung Sedayu.
"Bukankah kakang dapat mempertajam panggraita itu?" bertanya Glagah Putih.
"Dalam batas tertentu. Aku sudah mencobanya demikian aku bangun dari tidur dan merasakan sesuatu yang kurang mapan. Agaknya hari ini tidak seperti hari-hari sebelumnya." jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, aku akan bersiaga." sahut Glagah Putih.
Agung Sedayu tidak mencegahnya. Bahkan Agung Sedayu sendiri telah membenahi pakaiannya dan mempersiapkan senjatanya, meskipun ia tidak berniat pergi ke sungai untuk mandi. Tetapi Glagah Putihpun yang kemudian berkata, "Aku akan pergi ke sungai sebentar kakang."
"Masih terlalu pagi." desis Agung Sedayu.
"Tidak apa-apa." jawab Glagah Putih, "justru aku orang pertama."
Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Namun sejalan dengan debar jantungnya, maka Agung Sedayu berpesan, "Berhati-hatilah."
"Aku akan berhati-hati." jawab Glagah Putih.
Demikianlah, maka Glagah Putih telah meninggalkan perkemahan setelah ia melaporkan diri kepada para prajurit yang bertugas di regol. Namun seorang diantara para prajurit yang melihatnya tiba-tiba saja berlari menyusulnya sambil berkata, "Aku juga akan pergi ke sungai."
Namun Glagah Putih kemudian berkata kepadanya, "Berhati-hatailah. Nampaknya keadaan menjadi gawat. Bawa senjata selengkapnya."
Balas " On 4 Agustus 2009 at 14:39 Mahesa Said:
Tamat "Kenapa harus membawa senjata selengkapnya" Aku sudah membawa pisau belati."
"Bukankah kau dengar, bahwa setiap saat kita harus bersiaga penuh?" desis Glagah Putih.
Prajurit itu termangu-mangu. Namun iapun telah kembali keperkemahan untuk mengambil pedangnya dan sekali lagi mengangguk di pintu gerbang kepada petugas berjaga-jaga.
Keduanya kemudian telah melintasi tempat terbuka yang gelap diantara pohon-pohon perdu menuju ke sungai.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih memperlambat langkahnya. Telinganya yang tajam telah mendengar sesuatu di balik gerumbul perdu.
Karena itu, maka iapun telah berdesis kepada prajurit yang pergi bersamanya ke sungai, "Hati-hatilah. Kita tidak hanya berdua."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tanggap akan sikap Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya sambil berbisik, "Apa yang kau ketahui?"
"Ada seseorang atau lebih yang memperhatikan kita." jawab Glagah Putih, "tetapi bersikap wajar sajalah. Biar mereka menganggap bahwa kita tidak mengetahui kehadiran mereka."
"Lalu, apakah kita jadi ke sungai?" bertanya prajurit itu.
"Ya. Kita akan mencuci muka saja. Kemudian membersihkan diri di belik di tepian. Bukankah langit sudah merah?" jawab Glagah Putih.
Keduanya berjalan terus tanpa menghiraukan kehadiran orang lain dibalik gerumbul perdu, turun ke tepian. Namun sebenarnyalah keduanya tetap berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Ketika mereka menelusuri tebing yang rendah ke tepian, Glagah Putih berbisik, "Tiga orang ada di tanggul. Mungkin masih ada yang lain."
Prajurit itu mengangguk. Katanya perlahan sekali. "Untung aku mengambil pedangku."
"Kita sudah tidak mempunyai pilihan lain." desis Glagah Putih kemudian.
Prajurit itu mengangguk. Namun bagaimanapun juga hatinya memang menjadi berdebar-debar. Selama pasukan ini berkemah, mereka belum pernah mengalami kehadiran orang-orang yang tidak dikenal seperti itu. Namun mereka telah menebak bahwa orang-orang itu tentu orang-orang dari Madiun.
Tetapi berita tentang perubahan yang terjadi di Madiun agaknya memang membawa perubahan sikap dibidang keprajuritan. Agaknya Madiun tidak sekedar menunggu, tetapi Madiun telah mengambil langkah yang alebih jelas dalam permusuhan itu.
Glagah Putih dan prajurit itu memang pergi ke sebuah belik yang sudah diketahui sebelumnya. Mereka telah mencuci kaki dan tangan. Namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan sama sekali.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah berloncatan tiga orang dari tanggul disisi Barat. Dengan garangnya seorang diantara mereka berkata, "Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematianmu."
Glagah Putih dan prajurit yang menyertainya itu tidak terkejut sama sekali. Bahkan dengan tenang Glagah Putih bertanya, "Siapakah kau dan apakah keperluanmu?"
"Dengar perintahku. Kalian berdua harus menyerah. Kami akan membawa kalian menghadap pimpinan kami." bentak orang itu.
"Untuk apa?" bertanya Glagah Putih.
"Nanti, pada saatnya kalian akan tahu. Sementara ini kalian lebih baik tidak menyulitkan kalian sendiri." berkata oranga itu pula.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Ki Sanak. Aku adalah prajurit. Barangkali kalian juga prajurit. Kalian tentu tahu, bahwa kami tidak akan begitu saja menyerahkan diri untuk kalian bawa kepada atasan kalian. Aku tahu, bahwa kalian tentu ingin mendapat ketenangan tentang pasukan Mataram, khususnya sayap kiri ini. Cara yang paling baik adalah dengan menangkap satu dua orang dari sayap itu dan dibawa ke pasukan kalian untuk diperas keterangannya."
"Persetan." geram orang itu, "jika kau sudah tahu, sebaiknya kau tidak usah bertanya lagi. Ikut kami bertiga atau kalian akan mengalami kesulitan dan bahkan keadaan yang tidak akan pernah kalian bayangkan."
"Sudahlah Ki Sanak." berkata Glagah Putih, "aku minta kalian kembali, meskipun aku dapat berbuat sebaliknya. Menangkap kalian dan memaksa kalian bicara tentang kalian dan pasukan kalian."
"Cukup." geram orang itu, "semakin lama kata-katamu membuat telingaku semakin sakit. Dengar, aku adalah Senapati pilihan. Kedua orang ini adalah prajurit-prajurit pilihan pula. Seandainya kalian orang yang paling baik dari Mataram, mungkin kita akan dapat bermain seimbang. Tetapi jika kalian sekedar prajurit sekalipun dari pasukan khusus, maka kalian lebih baik menyerah."
"Bagaimana jika aku juga berkata sebagaimana kau katakan" menyerah sajalah. Jika kau sekedar Senapatia prajaurit Madiun, maka sebaiknya kau mengikuti kami." jawab Glagah Putih.
"Aku bukan Senapati dari Madiun." geram orang itu, "Madiun ternyata tidak berpendirian teguh. Jika angin bertiup ke Utara, maka Panembahan Madiun itu mengangguk ke Utara. Jika angin bertiup ke Selatan, Panembahan Madiun itu mengangguk ke Selatan. Karena itu, maka lebih baik bagi kami untuk mengambil langkah sendiri. Menghancurkan Mataram tanpa mengikutsertakan Madiun."
"Jika kalian tidak dari Madiun, dari mana?" bertanya Glagah Putih.
"Kamilah yang ingin banyak mengetahui tentang kalian. Bukan kalian yang sedang memeras keterangan kami." bentak orang yang mengaku Senapati itu.
Glagah Putih dan prajurit yang bersamanya itu menyadari, bahwa di Madiun memang terjadi perbedaan sikap dan pendirin.
Namun dalam pada itu Glagah Putih menjawab, "Sekali lagi aku katakan kepadamu, jangan ganggu kami. Kami akan memberi kesempatan kalian meninggalkan tempat ini."
"Kau ingin mengambil hati kami, setelah dengan licik Madiun kalian tundukkan dengan curang." berkata Senapati itu, "tetapi bukan watak kami. Karena itu menyerahlah."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya memang menjadi agak bingung. Langkah apa yang harus diambil menghadapi keadaan seperti itu. Apakah Mataram akan bersikap keras atau tidak.
Sebenarnyalah Glagah Putih takut melakukan kesalahan. Jika ia bersungguh-sungguh dan diluar kesengajaannya, ia telah membunuh prajurit itu, apakah langkah itu dapat dibenarkan dan sesuai dengan sikap Mataram dalam keseluruhan.
Selagi Glagah Putih termangu-mangu, maka orang yang menyebut dirinya Senapati itupun melangkah mendekati sambil berkata, "Menyerahlah. Cepat. Letakkan senjata-senjata kalian dan ikut kami."


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Betapapun ia ragu-ragu, namun sudah tentu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya ditangkap dan diseret kehadapan pimpinan pasukan lawan.
Karena itu, maka Glagah Putih itupun berkata, "Jangan harapkan kami meletakkan senjata."
"Kalian hanya berdua." geram Senapati itu. Tetapi jawaban Glagah Putih telah menusuk jantungnya setajam duri, "Kalian hanya bertiga."
Ketiga orang itu dengan tiba-tiba saja telah menggenggam pedang ditangan mereka, ketika Senapati itu memberikan isyarat.
Glagah Putih dan prajurit Mataram yang menyertainya itupun tidak menjadi lengah.Merekapun segera telah menggenggam pedang pula ditangan.
Karena sikap Glagah Putih yang masih muda itu nampak lebih meyakinkan dari kawannya, maka dua orang diantara ketiga orang itu telah menghadapinya, termasuk orang yang menyebut dirinya Senapati itu. Sedangkan seorang lagi telah berhadapan dengan prajurit yang bersama Glagah Putih turun ke sungai.
"Sekali lagi aku beri kesempatan." berkata Senapati itu, "ikut bersama kami dan aku jamin keselamatanmu, atau mati ditepian ini."
"Kedua-duanya aku tidak mau." jawab Glagah Putih, "yang aku mau, menangkap kalian dan membawa kalian menghadap pimpinan di sayap kiri. Pangeran Mangkubumi."
"Kami akan bersyukur dapat berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi. Tetapi tidak sebagai tawanan. Kami ingin berhadapan seperti kita sekarang ini. Agaknya hanya Pangeran Mangkubumi sajalah yang akan dapat mengimbangi aku." berkata Senapati itu.
Pertanyaan itu justru membuat Glagah Putih tertawa. Katanya, "Kau belum mengenal Pangeran Mangkubumi. Itulah sebabnya kau berkata seperti itu."
"Persetan." geramnya, "bersiaplah untuk mati."
Glagah Putih segera bersiap. Ketika serangan pertama datang, maka dengan tangkasnya iapun telah meloncat menghindar sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.
Namun lawannya memang sekedar menjajagi ketangkasan gerak anak muda itu. Karena itu, maka demikin serangan itu tidak menyentuh lawannya, maka Senapati itupun tidak dengan tergesa-gesa memburunya.
Dalam pada itu prajurit yang bersama Glagah Putuh turun ke sungai itupun telah mulai bertempur pula.
Rasa-rasanya memang ada kegembiraan dihati prajurit itu meskipun bercampur dengan ketegangan dan bahkan kadang-kadang perasaan cemas. Setelah beberapa hari ia merasakan kejemuan berada di perkemahan itu, maka ia adalah orang yang pertama mendapat kesempatan untuk bertempur meskipun melawan prajurit yang menurut pengakuannya bukan prajurit Madiun.
Sejenak kemudian maka kedua orang prajurit itupun telah bertempur dengan garangnya. Keduanya memiliki kemampuan tertinggi bagi seorang prajurit, sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun segera meningkat sampai kepuncak kemampuan mereka dalam ilmu pedang.
Sementara itu kedua orang lawan Glagah Putihpun telah bersiap menyerang. Namun senapati itu masih juga bergumam, "Nampaknya kau lebih muda. Tetapi kau lebih berpengalaman dari orang itu."
"Tidak." jawab Glagah Putih, "kedudukan kami sama. Tetapi barangkali aku lebih senang berbicara dari pendiam itu. Kami adalah prajurit-prajurit biasa saja."
Senapati itu menggeram. Iapun dengan cepat telah meloncat menyerang sambil berkata lantang, "Kau akan mati lebih dahulu. Kawannya itu tentu akan bersedia ikut bersama kami."
Glagah Putih masih juga sempat mengelak. Bahkan sambil menjawab, "Sekali lagi kau salah duga tentang kami."
Demikianlah, maka pertempuranpun telah menjadi semakin sengit. Kedua orang prajurit itu bertempur dengan garangnya. Keduanya ternyata memiliki ilmu gedang yang mapan. Sehingga dengan demikian nampaknya sulit bagi salah satu pihak untuk dapat mengalahkan lawannya.
Sementara keduanya bertempur, Senapati yang menyerang Glagah Putih justru mulai menilai lawannya yang masih muda itu. Dengan segenap kemampuannya, maka iapun berniat untuk segera mengakhiri pertempuran. Langit akan segera menjadi merah dan fajarpun akan segera turun.
Sebelum kawan-kawan prajurit itu datang maka anak muda itu harus sudah dapat ditangkapnya atau dibunuhnya sama sekali.
Namun ternyata bahwa tidak mudah menundukkan Glagah Putih. Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, Dorongan tenaga cadangannya benar-benar tidak terduga. Ketika terjadi sentuhan senjata diantara Glagah Putih dan lawan-lawannya, maka mereka merasa betapa besarnya tenaga cadangan anak muda itu.
"Anak ini agaknya memiliki ilmu iblis." desis Senapati itu didalam hatinya.
Namun Senapati itu adalah Senapati yang berpengalaman. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya telah berusaha untuk bersama-sama dengan seorang kawannya. Mereka ternyata mampu saling mengisi dengan baik, sehingga keduanya kadang-kadang mampu menempatkan diri pada arah yang berlawanan dan menyerang bersama-sama, sehingga Glagah Putih harus melenting mengambil jarak untuk melepaskan diri dari garis serangan kedua lawannya itu.
Namun demikian, kedua lawan Glagah Putih benar-benar menjadi heran mengalami perlawanan yang sangat berat itu. Bahkan semakin lama, anak muda itu justru menjadi semakin cepat bergerak. Pedangnya berputaran mengerikan.
Bulan Sabit Bukit Patah 1 Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 6
^