Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 4

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


Kedua orang lawan Glagah Putih justru mulai menjadi cemas. Mereka mulai bertanya-tanya, "Siapakah sebenarnya lawannya itu."
Dengan demikian maka pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Orang yang mengaku Senapati itu benar-benar telah mengerahkan ilmu pedangnya. Sedangkan seorang kawannya yang bertepatan bersamanya, juga sudah sampai kepuncak kemampuannya.
Tetapi memang sulit untuk dengan cepat mengalahkan Glagah Putih dalam bermain pedang Glagah Putih memang bukan seorang prajurit, biasa. Ia telah menjadi mantap justru diluar dunia keprajuritan.
Karena itu, maka kemampuannya bertempur dalam ilmu pedang sangat mengagumkan bagi lawannya. Bahkan kedua orang lawannya itu merasakan bahwa mereka belum pernah bertemu dengan seorang anak muda yang memiliki kemampuan ilmu pedang sejauh dan sedalam lawannya itu.
Sementara itu, seorang yang lain, yang harus bertempur seorang melawan seorang dengan prajurit Mataram itupun mengalami kesulitan untuk segera mengalahkannya. Prajurit Mataram itua memang mampu mengimbangi kemampuan lawannya betapapun lawannya mengerahkan kemampuannya.
Dalam pada itu, langitpun semakin lama menjadi semakin merah. Cahaya fajar perlahan-lahan mulai nampak di ujung langit.
Dengan demikian kedua orang lawan Glagah Putih itupun menjadi semakin gelisah. Sementara itu, Glagah Putih yang justru telah menghentakkan ilmu pedangnya, menjadi semakin garang.
Kedua lawannya benar-benar kehilangan harapan untuk dapat menundukkannya. Betapapun mereka berusaha, bahkan dengan cara apapun juga sesuai dengan pengalaman mereka yang luas dan panjang, namun mereka benar-benar tidak mampu mengalahkannya.
Bahkan lawannya yang bertempur seorang melawan seorang itupun semakin lama menjadi semakin terdesak.
Karena itu, maka Senapati itu .tidak mempunyai pilihan lain. Ketika lengannya tiba-tiba saja telah tergores ujung pedang Glagah Putih, maka iapun telah mengambil keputusan.
Senapati itu telah bersuit nyaring. Serentak, ketiga orang itu telah meloncat mengambil jarak. Kemudian sebelum Glagah Putih dan Prajaurit Mataram itu sempat berbuat sesuatu, maka mereka bertiga telah berlari secepat-cepatnya mencapai tanggul. Dengan sigapnya merekapun kemudian meloncat keatas tanggul dan hilang dalam keremangan cahaya fajar.
Hampir saja Glagah Putih mempergunakan ilmunya untuk mencegah ketiga orang itu melarikan diri dengan pukulan jarak jauhnya. Namun pada saat terakhir, Glagah Putih menjadi ragu-ragu justru karena ia tidak begitu jelas, siapakah yang telah dihadapinya.
Keragu-raguan yang sejenak itu telah memberi kesempatan kepada ketiga orang itu meninggalkan arena.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menyarungkan pedangnya ia berkata, "Marilah. Kita harus segera melaporkannya. Mungkin ada perubahan sikap dari para prajurit yang berkumpul di Madiun. Pertentangan yang terjadi diantara mereka nampaknya berkembang semakin memburuk."
Prajurit yang bersama Glagah Putih ditepian itupun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Sebelum kawan-kawan turun kesungai jika fajar datang."
Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa pula kembali keperkemahan.
Seperti yang mereka duga, maka beberapa orang yang lain telah keluar pula dari perkemahan. Namun Glagah Putih dan kawannya sempat memperingatkan agar mereka membawa senjata mereka dan berhati-hati.
"Kanapa?" bertanya seorang diantara mereka.
Prajurit yang bersama Glagah Putih turun kesungai itupun sempat menjelaskan bahwa mereka telah diserang oleh tiga orang, yang justru mengaku bukan prajurit Madiun. Mereka justru merasa kecewa atas sikap Madiun.
Ternyata peringatan itu mendapat perhatian luas. Para prajurit yang pergi ke sungai telah membawa senjata mereka dan bersiap untuk menghadapi kemungkinan apapun.
Demikian Glagah Putih sampai di perkemahan , maka ia tidak menemukan Ki Gede dan Agung Sedayu. Namun Prastawalah yang memberikan keterangan kepada mereka, bahwa Ki Gede dan Agung Sedayu sedang menghadap Pangeran Mangkubumi.
"Ada apa?" bertanya Glagah Putih.
"Kami tidak mengetahuinya. Seperti biasa Pangeran Mangkubumi memanggil semua pimpinan kesatuan yang ada di sayap kiri." jawab Prastawa.
"Tetapi tentu tidak sepagi ini." desis Glagah Putih.
"Ya. Kamipun sudah menduga, bahwa tentu ada sesuatu yang penting." jawab Prastawa.
"Tetapi para prajurit dan pengawal justru pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Bahkan mungkin mandi." berkata Glagah Putih.
"Paman tidak berkeberatan. Tetapi semuanya sudah diperingatkan agar mereka segera kembali . Sebelum matahari terbit, semuanya harus sudah siap." sahut Prastawa.
"Terlambat." desis Glagah Putih.
"Apa yang terlambat?" bertanya Prastawa .
"Jika saat matahari-terbit kita baru mulai bergerak, maka gerakan itu sudah terlampau siang." berkata Glagah Putih kemudian.
Prastawa termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Tidak akan ada gerakan pasukan pagi ini. Tetapi seandainya ada sesuatu yang tiba-tiba, maka gerakan pasukan itu dapat saja dimulai di saat yang tidak biasa dipergunakan untuk mulai satu gerakan. Misalnya menjelang tengah hari atau bahkan sore hari."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin. Semuanya memang dipengaruhi oleh keadaan."
"Agaknya kita memang harus mengunggu untuk mendapat keterangan yang lebih jelas." beikata Prastawa.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun telah membenahi dirinya sambil menceritakan apa yang dialaminya di sungai.
"Mungkin ada hubungannya." berkata Glagah Putih.
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ya. Mungkin memang ada hubungannya."
Namun Ki Gede dan Agung Sedayu tidak segera kembali. Bahkan kemudian Prastawa mendapat laporan, bahwa para pemimpin sedang pergi ke induk pasukan. Panembahan Senapati ingin memberikan keterangan langsung kepada mereka.
Sebenarnyalah, saat itu telah diadakan satu pertemuan yang agak besar untuk mendengarkan penjelasan Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Keduanya menyatakan bahwa keberhasilan seorang utusan yang sempat membuat para pemimpin di Madiun berbeda pendirian. Bahkan demikian tajamnya, sehingga menurut pengamatan para petugas sandi, sebagian dari pasukan hahkan telah meninggalkan Madiun.
"Utusan itu benar seorang perempuan sebagaimana yang pernah kalian dengar." berkata Ki Juru Martani.
Terasa berbagai perasaan bergejolak didalam setiap dada. Tanggapan para pemimpin itu memang tidak sama. Namun perhatian mereka kemudian tertuju kepada keterangan Panembahan Senapati.
"Tetapi ingat bahwa satu pasukan yang kuat telah siap menyerang kita. Justru tanpa pasukan pasukan dari Madiun. Kita masing belum tahu, pasukan dari manakah yang telah siap itu. Mereka telah menanggalkan segala macam pertanda, rontek dan umbul-umbul dan bahkan tunggul dan kelebet. Dengan demikian sulit bagi kita untuk dapat dengan cepat mengerti asal dari pasukan itu."
"Apakah serangan akan datang pagi ini?" bertanya Pangeran Mangkubumi.
"Semula kita memang menduga seperti itu." jawab Ki Patih Mandaraka, "tetapi sekarang masih pagi. Kemungkinan itu masih ada."
"Jadi apa yang harus kita lakukan paman?" bertanya Pangeran Singasari.
"Menurut laporan terakhir, pasukan lawan yang keluar dari kota memang mengarahkan sasarannya kepada kita. Pasukan itu cukup besar. Bahkan mungkin sedikit-sedikit lebih besar dari pasukan ini. Karena itu, persiapan pertahanan sebaik-baiknya. Kita akan menyambut mereka jika mereka menyerang perkemahan kita. Malam tadi para pengamat melihat gerakan yang mencurigakan. Tetapi sampai saat ini, masih belum nampak gerakan berikutnya."
Tetapi pembicaraan ini terputus ketika datang laporan, bahwa pasukan yang nampak sejak semalam, mulai bergerak.
Panembahan Senapati pun dengan cepat mengambil sikap, katanya, "Para pemimpin pasukan segera kembali ke pasukan masing-masing. Tidak akan ada isyarat bende. Kita akan mempergunakan panah sendaren. Segera persiapkan pasukan masing-masing untuk pertempuran yang barangkali akan mengarahkan semua tenaga. Tetapi kita tidak akan sangat tergesa-gesa. Matahari masih akan terbit sebentar lagi. Serangan itu tentu sebentar lagi. Serangan itu tentu agak mundur sedikit waktunya untuk menunggu matahari naik, karena dengan demikian serangan dari arah matahari terbit itu akan dapat dibantu oleh silaunya cahaya matahari pagi." Namun kamudian Panembahan Senapati minta Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari untuk tinggal sebentar.
Demikianlah, maka para pemimpin pasukanpun segera kembali ke pasukan masing-masing. Semua orang didalam pasukan mereka segera dipersiapkan. Semuanya harus makan lebih dahulu secukupnya. Mungkin pertempuran yang akan datang akan menguras seluruh tenaga.
Seperti perintah Ki Gede, maka menjelang matahari terbit, maka semuanya sudah siap. Mereka menunggu perintah terakhir dari induk pasukan yang akan dibawa oleh para pemimpin tertinggi di sayap masing-masing.
Dalam pada itu, sepasukan berkuda telah berderap meninggalkan induk pasukan. Membuat putaran yang luas melingkar untuk menyeberang Kali Dagung. Satu gerakan yang agak khusus dan mengandung berbagai macam kemungkinan, juga kemungkinan yang sangat pahit. Tetapi hal itu dilakukan juga disesuaikan dengan seluruh gerakan pasukan.
Bersama dengan itu, maka Pangeran Mangkubumi dan pangeran Singasari telah berada di sayap mereka kembali dengan perincian tugas yang harus mereka trapkan dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu bagian dari keseluruhan pasukan itu tergelincir dari perincian tugas itu, maka keseimbangan pasukan akan terganggu. Bahkan mungkin akan dapat membahayakan pasukan berkuda yang telah mengambil satu tuigas yang sangat berbahaya itu.
Seperti perhitungan Panembahan Senapati, maka pasukan yang datang menyerang itu itu memang menungu matahari terbit dan memancarkan sinarnya dari arah Timur, sehingga sinarnya akan dapat menyilaukan pasukan Mataram itu.
Di sayap kiri, Glagah Putih sempat memberikan laporan kepada Agung Sedayu tentang tiga orang yang mengamati perkemahan mereka. Namun Glagah Putih gagal menangkap mereka dan juga menjadi ragu-ragu untuk melumpuhkan mereka.
"Sekarang sudah menjadi agak jelas." berkata Agung Sedayu, "sebagian dari pasukan yang besar sekali yang berada di Madiun tidak sabar menunggu. Bahkan Ki Patih Mandaraka telah mengirimkan seorang perempuan untuk berbicara dengan para pemimpin di Madiun, telah berhasil menimbulkan perbedaan sikap diantara mereka, sehingga pasukan yang besar yang sulit masuk diakal untuk dilawan begitu saja, telah terpecah."
"Apakah cara itu baik untuk dipergunakan kakang?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang masih terdapat penilaian yang berbeda atas hasil usaha seorang perempuan yang telah dikirim oleh Ki Patih Mandaraka itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu hanya menjawab, "Glagah Putih. Coba bayangkan. Menurut perhitungan kasar dari para petugas sandi, Madiun berhasil menyiapkan pasukan lebih dari delapan kali dari jumlah pasukan Mataram seluruhnya."
Glagah Putih menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi bukankah kita yakin bahwa yang sekian banyaknya itu tidak ada seperempatnya yang harus diperhitungkan sebagai prajurit" Bukankah yang lain Madiun para Adipati dari daerah Timur telah mengumpulkan hampir semua laki-laki untuk dibawa ke medan?"
"Apakah kita tidak berbuat seperti itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Namun hampir setiap anak muda yang bersama dengan kita adalah pengawal dan mereka yang pernah serba sedikit mendapat latihan-latihan keprajuritan." jawab Glagah Putih pula.
"Itu adalah pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh. Apakah pasukan dari tempat lain juga demikian" Dari Demak, Pajang dan daerah seberang Gunung Kendeng yang lain termasuk Pati. Bahkan katakan pasukan Mataram sendiri."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Memang berat bagi Mataram untuk menghadapi kekuatan yang sangat besar, bahkan sekitar delapan atau sembilan kali. Namun yang kemudian ternyata telah berhasil dipecah belah, sehingga yang datang menyerang pagi itu, hanya sebagian saja tanpa prajurit Madiun sendiri. Namun yang sudah tentu jumlahnya masih lebih besar dari pasukan Mataram sendiri.
Dalam pada itu, maka Pangeran Mangkubumi yang memimpin sayap kiri itupun telah memerintahkan semua pasukan bersiap. Bahkan Pangeran Mangkubumi telah membagi sayap itu menjadi tiga bagian. Induk sayap kiri, sayap kanan pada sayap kiri dan sayap kiri pasa sayap kiri.
Pasukan dari Pegunungan Kidul yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang, yang dianggap tidak sekuat pasukan Tanah Perdikan Menoreh, telah diletakkan di bagian kanan dari sayap kiri itu, sehingga menjadi lebih dekat dengan induk pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka. Sedangkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh ada di bagian ujung dari seluruh gelar pasukan Mataram.
Sementara itu, matahari memang sudah mulai memancarkan sinarnya yang menyilaukan. Perhitungan pasukan yang datang menyerang pasukan Mataram itu memang tepat, karena orang-orang Mataram telah menjadi silau.
Namun Ki Patih Mandaraka pun telah menyampaikan perintah yang tersebar sampai keujung-ujung sayap, bahwa semua perisai, terutama perisai logam, supaya dikenakan untuk memantulkan cahaya matahari, sehingga mengimbangi gangguan sinar matahari yang menyilaukan itu.
Ternyata usaha Ki Patih Mandaraka itu cukup memadai. Terutama para prajurit Mataram dari pasukan pedang ber-perisai. Sambil dengan sengaja menggerak-gerakkan perisainya yang berkilat-kilat maka pasukan Mataram telah menunggu pasukan yang dengan marah telah datang menyerang.
Namun sebagaian pasukan Mataram telah siap menunggu ditanggul. Pada saat pasukan itu menyeberang, maka pasukan busur dan anak panah telah mendapat perintah untuk menyambut mereka.
Tetapi ternyata tidak terlalu mudah untuk menghancurkan pasukan itu meskipun mereka baru menyeberang. Pasukan yang datang itu tidak seperti pasukan Jipang yang dipimpin oleh Patih Mantaun, yang menyusul Adipati Jipang yang telah menyeberang lebih dahulu karena kemarahan yang tidak terkendali. Pasukan Jipang waktu itu begitu saja menyeberang tanpa rencana yang matang.
Berbeda dengan pasukan yang datang menyerang. Nampaknya pasukan itu sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Demikian sebagian dari pasukan itu turun ke air, maka yang lain telah melindunginya dengan anak panah pula, sehingga dengan demikian, maka diudara telah terjadi arus anak panah kedua arah. Kesebelan Barat Kalii Dadung dan dari arah Barat.
Dengan demikian, maka gerakan maju pasukan yang menyerang pasukan Mataram yang maju ketepi sungai itu, tidak terlalu banyak terhambat.
Justru pada saat pasukan Mataram itu menunggu lawannya menyeberang, maka Pangeran Mangkubumai dan Pangeran Singasari telah menjatuhkan perintah terakhir kepada para pemimpin pasukan yang ada dikedua sayap itu.
Dengan demikian, maka perintah terakhir yang akan menjadi pegangan pokok dalam pertempuran itii, tidak akan sempat sampai ke telinga orang lain selain para pemimpin pasukan dalam barisan Mataram.
Namun dalam pada itu, maka para pemimpin Mataram itu telah melihat psukan yang datang bagaikan gelombang lautan. Jumlahnya memang lebih banyak dari pasukan Mataram sendiri meskipun yang menyerang itu hanya merupakan pecahan dari seluruh kekuatan yang ada di Madiun.
Bahkan menurut laporan pasukan pasukan sandi ada sepasukan prajurit yang telah begitu saja meninggalkan Madiun tanpa melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka para pemimpin dari Mataram itu dapat membayangkan, seandainya mereka harus bertempur melawan seluruh kekuatan yang ada di Madiun, maka Mataram memang akan mengalami kesulitan.
Dengan perintah terakhir dari para pemimpin sayap, maka pasukan Mataram diujung ujung sayap memang telah menebar. Pasukan induk sendiri telah membentang semakin panjang, sehingga mendesak pasukan sayap kesebelah menyebelah.
Dalam pada itu, maka pasukan yang berada diujung sayap kiri adalah pasukan Tanah Perdikan Menoreh dibawah pimpinan Ki Gede sendiri didampingi oleh Prastawa. Sementara untuk mengatasi setiap kesulitan yang mungkin terjadi, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih justru memimpin kelompok-kelompok pasukan yang berada di paling ujung.
Sedangkan pasukan yang berada di ujung sayap kanan adalah pasukan Mataram dibawah pimpinan Senapati Untara.
Sedangkan orang yang ditugaskan untuk berada diujung pasukan untuk memimpin kelompok-kelompok prajurit Mataram adalah Sabungsari.
Beberapa saat kemudian, maka prajurit yang menyerang seperti gelombang lautan telah mendekati tanggul. Pasukan Mataram tidak dapat menahan mereka dan menghancurkan mereka sebagaimana pernah terjadi atas pasukan Jipang di Bengawan Sore maupun di Prambanan ketika pasukan Pajang menyeberangi kali Opak. Pasukan yang menyerang itu ternyata mempunyai perhitungan yang cermat, sementara prajurit Mataram tidak dapat mempergunakan bendungan sebagaimana pernah mereka lakukan di Prambanan.
Namun pasukan Matarampun telah membuat perhitungan yang cukup cermat. Semua yang terjadi itu tidak luput dari kemungkinan yang sudah diduga sebelumnya oleh Ki Patih Mandaraka, sehingga karena itu, maka Matarampun telah memiliki cara untuk mengatasinya. Justru yang akan dapat menentukan.
Ketika pasukan yang menyerang itu mulai memanjat tanggul, maka pertempuran yang sebenarnya telah terjadi. Pasukan induk Mataram telah terlibat melawan pasukan induk lawan yang kuat. Namun pasukan Mataram masih berusaha mengambil keuntungan pada saat pasukan lawan memanjat tanggul meskipun tanggul itu tidak terlalu tinggi.
Sebenarnyalah pasukan, yang datang bagaikan prahara itu agak tertahan justru ketika mereka sudah menyeberang Kali Dadung. Ditanggul para prajurit Mataram berusaha sejauh-jauh dapat mereka lakukan untuk bertahan dan tidak segera bergeser. Tetapi desakan pasukan lawan memang terlalu kuat. Pecahan pasukan yang telah menunggu dengan tidak sabar lagi di Madiun itu dengan desakan gejolak didalam dada setiap prajurit, telah berusaha mendesak pasukan Mataram yang mengambil garis pertahanan diatas tanggul Kali Dadung.
Tetapi kedudukan Mataram itu memang menguntungkan. Untuk beberapa saat psukan Mataram dapat bertahan. Tetapi akhirnya pasukan yang menyerang itu mampu membuat lubang-lubang kelemahan pada pasukan Mataram, sehingga sedikit demi sedikit pasukan itu dapat menembus pertahanan.
Dari lubang demi lubang yang tertembus, akhirnya pasukan Mataram memang harus mengambil langkah. Menarik diri dari tanggul sehingga mereka telah berada di arena yang datar.
Dalam pada itu, ternyata bentangan garis pertahanan Mataram memang lebih panjang dari lawannya, meskipun jumlahnya lebih sedikit. Namun cara itulah yang memang sudah digariskan oleh pimpinan tertinggi pasukan Mataram, Mataram memang memerlukan garis pertahanan yang demikian dari gelar yang dipasang. Namun Mataram tidak membuat satu gelar yang utuh. Ternyata Mataram telah membentuk gelar pada induk pasukan dan gelar tersendiri pada sayap-sayapnya.
Meskipun demikian, Mataram masih tetap dapat bertahan pada garis pertahanan yang bulat dan menyeluruh.
Beberapa orang pemimpin kelompok dari kedua sayap pasukan Mataram memang agak gelisah. Mereka tidak segera mendapatkan lawan. Namun karena induk pasukan mereka bergerak mundur, maka kedua sayap itupun telah bergerak mundur pula.
Namun ketika pasukan Mataram menjadi semakin jauh dari Kali Dadung, maka para pemimpin sayap di kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk membuat satu gerakan baru. Namun mereka masih harus menunggu perintah dari induk pasukan.
Tetapi Panglima dari pasukan yang menyerang itu nampaknya sudah tanggap akan keadaan. Berdasarkan laporan yang diterimanya dari ujung-ujung pasukannya, Maka demikian isyarat dari induk pasukan Mataram berdesing diuda-ra, maka iapun telah menjatuhkan perintah, "Hati-hati. Mereka akan menyerang dari lambung."
Perintah itupun segera sampai kepada para pemimpin sayap pasukan penyerang itu. Dengan cepat para pemimpin sayap itupun telah memerintahkan, agar sayap pasukan itu segera bergeser dan memperhatikan gerakan sayap pasukan Mataram.
Sebenarnyalah dengan cepat sayap-sayap pasukan Mataram itu telah bergerak menyerang dari lambung. Dengan kekuatan penuh maka serangan lambung itu sempat mendesak sayap pasukan lawan yang bertahan meskipun dengan jumlah pasukan yang cukup. Tetapi gerakan lambung yang tiba-tiba itu memang agak menyulitkan gelar pasukan lawan, karena sebagian dari para prajurit yang berada di sayap pasukan harus bergerak mundur.
Gerakan yang tidak terencana dengan baik sebelumnya ini memang menimbulkan sedikit kelemahan pada pertahanan pasukan sayap itu ketika dengan serta merta pasukan sayap dari Mataram itu menyerang. Baik sayap kiri maupun sayap kanan. Pangeran Mangkubumi yang memiliki pengamatan yang luas atas peperangan itu serta pengalamannya yang panjang dalam tugas-tugas keprajuritan telah mampu mempergunaka kesempatan itu dengan baik.
Ki Demang Selagilang yang ada dibagian dalam dari sayap kiri telah melihat lubang yang lemah pada garis pertahanan pasukan lawan disaat lawan harus mematahkan garis pertahanannya karena serangan lambung, sementara itu pasukan induknya tetap bergerak maju, karena gerak mundur induk pasukan Mataram.
Pangeran Mangkubumi yang telah memperhitungkan kemungkinan itu telah memberikan bekal kepada Ki Demang Selagilang, jika memungkinkan, maka lubang itu akan dapat dimanfaatkan.
Dengan keberanian yang sangat tinggi dari para pengawal Pegunungan Sewu yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang, maka pasukan itu sebagian telah menerobos memasuki lubang itu. Namun Ki Demang juga memperhatikan jika lubang itu kemudian tertutup, maka harus disiapkan kelompok-kelompok yang akan memecahkan katup itu dan menarik keluar pasukannya. Tetapi jika berhasil, maka pasukan itu akan dapat membuat jarak antara sayap pasukan lawan dengan pasukan induknya yang bergerak mengikuti gerak mundur induk pasukan Mataram.
Ternyata Ki Demang Selagilang berhasil setelah dari induk pasukan sayap kiri itu Pangeran Mangkubumi mengirimkan secara khusus lewat belakang garis pertempuran beberapa kelompok prajurit Mataram untuk membantu.
Dengan demikian maka gerak pasukan lawan tertahan. Sayap pasukan itu harus bertahan atas serangan sayap pasukan Mataram yang kuat. Sementara induk pasukan Mataram telah memancing induk pasukan lawan untuk bergeser.
Gerak pasukan Mataram memang tidak begitu nampak, karena menurut gelar lahiriah, prajurit Mataram memang lebih kecil dari jumlah lawannya.
Karena itu, ketika pasukan induk Mataram bergeser mundur, maka para prajurit yang telah memisahkan diri dari keseluruhan pasukan di Madiun itu menduga, bahwa mereka mulai mampu mendesak pasukan Mataram.
Karena itu, maka Panglima dari pasukan itu berkata didalam hati, "Apalagi jika Madiun dapat bersatu. Maka menghancurkan pasukan Mataram tidak akan lebih lama dari memijat buah ranti."
Tetapi para pemimpin pasukan yang melanda pasukan Mataram seperti gelombang lautan itu agaknya yakin akan kekuatan mereka, sehingga mereka kurang memperhatikan perhitungan pasukan Mataram yang rumit.
Sebenarnyalah, karena gerak maju pasukan induk, lambung pasukan itu agak mengalami kesulitan. Jika mereka ikut bergeser, maka pasukan itu akan bergerak kesamping. Tetapi justru karena mereka tidak dapat bergerak secepat pasukan induk, maka pasukan sayap yang bertahan melawan serangan lambung itu menjadi agak terpisah.
Tetapi karena jumlah mereka memang lebih banyak, maka mereka masih dapat bertahan dengan baik.
Sementara itu, pasukan Ki Demang Selagilang masih berjuang untuk memperbesar lubang antara yang memisahkan pasukan lambung yang bertahan dari serangan sayap-sayap pasukan kiri Mataram itu dengan induk pasukannya dibantu oleh beberapa kelompok prajurit Mataram.
Ternyata bahwa sedikit demi sedikit pasukan Ki Demang Selagilang itu berhasil. Pasukan Pegunungan Sewu itu berhasil menyusup semakin dalam. Sementara para prajurit Mataram telah memotong setiap katup yang akan menutup lubang itu.
Namun dalam pada itu, diujung medan pertempuran itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah bertemppur dengan keras melawan pasukan lawan. Mereka berusaha untuk mematahkan serangan sayap yang dipimpin langsung oleh Pangeran Mangkubumi itu. Dengan menghancurkan sedikit demi sedikit pasukan sayap kiri itu dari ujungnya, maka pasukan yang menyerang itulah yang akan melingkari pasukan Mataram dan kemudian menggilasnya. Menurut perhitungan mereka hal itu akan dapat dilakukan, karena jumlah mereka yang semakin banyak. Apalagi yang berada diujung pasukan di sayap kiri itu bukan prajurit Mataram itu sendiri.
Tetapi perhitungan mereka ternyata keliru. Meskipun pasukan yang ada diujung sayap itu bukan prajurit Mataram, namun teryata mereka adalah pengawal yang tangguh. Yang mampu bertempur dengan cepat dan keras. Bahkan mampu mengimbangi kegarangan para prajurit yang menyerang itu.
Seorang Senapati dari para prajurit yang menyerang itu menjadi tidak sabar menyaksikan kelambanan gerak maju para prajurit Mataram. Dalam jumlah yang lebih banyak, mereka tidak segera mampu menguasai medan. Bahkan seakan-akan pasukan sayap kiri itu justru terasa menekan semakin berat.
Akhirnya Senapati itu mendapat laporan yang dari ujung sayap, bahwa dua orang Senapati dari Mataram yang berada di ujung pasukan itu merupakan salah satu sebab sendatnya gerak maju pasukan yang menyerang pasukan Mataram itu.
"Siapa?" bertanya Senapati itu.
"Orang-orang muda." jawab penghubung itu, "kami tidak mengenal mereka."
Senapati itu menggeram. Katanya, "Kenapa tidak kalian lawan dengan kelompok-kelompok kecil" Bukankah kalian tahu bahwa hal itu harus kalian lakukan?"
"Kelompok-kelompok kecil itu tidak berdaya." jawab penghubung itu.
Senapati itu menggeram. Lalu katanya, "Baiklah. Aku akan melihatnya dan membunuhnya. Kemudian seluruh sayap ini akan dihancurkan sampai lumat. Madiun juga harus mengetahui kemampuan kami, sehingga tanpa Madiun, kami dapat menghancurkan Mataram."
Senapati itupun kemudian segera bergerak keujung. Dengan hati-hati ia mendekati pusaran pertempuran yang agak lain dari garis pertempuran di sekitarnya. Karena itu, maka iapun segera mengenali, bahwa orang yang dimaksud oleh penghubung itu tentu orang yang bertempur dalam kisaran, yang keras itu.
Sebenernyalah, dari antara prajurit-prajuritnya yang bertempur itu, dilihatnya seorang anak muda yang bertempur dengan sebilah pedang ditangan. Dengan cepat ia berloncatan sambil memutar pedangnya. Dengan tangkasnya pedangnya menyambar kesegenap arah. Sekali-sekali pedangnya menembus pertahanan lawan dengan cepat. Apalagi jika para pengawal Tanah Perdikan ikut campur tangan pada setiap kesempatan. Satu dua orang pengawal kadang-kadang telah ikut menyerbu kedalam lingkaran dari sekelompok prajurit yang mengepung orang yang disebut Senapati Mataram itu. Dalam keadaan yang demikian, maka pedang anak muda itu selalu sempat menyambar dan melukai lawan-lawannya.
"Anak muda itu memang harus dihentikan." berkata Senapati itu.
Karena itu, maka dengan serta merta, Senapati itupun telah menyibak lingkaran yang mengepung anak muda itu dan berkata. "Minggir. Aku akan segera menyelesaikannya. Tugas kita masih banyak. Jika kita terpancang untuk bermain dengan seseorang, maka tugas kita tidak akan dapat terselesaikan hari ini."
Para prajurit itupun telah menyibak, sementara itu Senapati itupun dengan cepat telah berdiri berhadapan dengan anak muda itu.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Ketika para prajurit yang mengepung anak muda itu menyibak, maka pertempuran di lingkaran itupun seakan-akan telah berhenti. Beberapa orang masih tetap berdiri dengan ujung senjata teracu. Namun yang lain harus segera menghadapi hiruk pikuk pertempuran.
"Siapa kau?" geram Senapati itu.
"Namaku Glagah Putih." anak muda itu menjawab.
"Nampaknya kau bukan prajurit Mataram?" bertanya Senapati itu.
"Kami memang bukan prajurit Mataram. Aku adalah seorang dari antara para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun kami merasa bahwa kami adalah anggota keluarga besar dari Mataram. Dengan demikian maka kami merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu bagi Mataram." jawab Glagah Putih, yang kemudian bertanya, "Tetapi siapakah kau Ki Sanak. Akupun yakin bahwa kau bukan prajurit Madiun."
"Kau tidak perlu tahu darimana kami datang. Tetapi namaku adalah Rangga Wirataruna. Aku adalah Senapati yang menjadi salah seorang pemimpin dari sayap yang harus bertahan pada pertahanan lambung ini." jawab orang itu.
"Bagus, Ki Rangga." Desis Glagah Putih, "agaknya kita memang harus bertempur untuk kepentingan kita masing-masing."
"Itu adalah tugas seorang prajurit." Jawab Ki Rangga Wirataruna, "dalam pertempuran seperti ini, maka kita tidak mempunyai pilihan selain dibunuh atau membunuh."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia harus bertempur melawan Senapati itu yang bernama Ki Rangga Wirataruna. Karena itu, maka ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena ia belum mengetahui landasan kemampuan orang itu.
Sejenak kemudian, maka Senapati itupun telah menggenggam pedang pula ditangan. Pedang yang lebih besar lebih panjang dari pedang Glagah Putih. Dengan demikian maka Glagah Putih dapat memperhitungkan, bahwa orang itu tentu memiliki kekuatan yang lebih besar dari orang kebanyakan.
Dengan hati-hati kedua orang itu telah saling menggerakkan pedangnya. Tetapi para prajurit yang lain telah kehilangan kesempatan untuk membantu kedua orang Senapati yang akan bertempur itu, karena masing-masing harus mempertahankan diri dari serangan-serangan yang kemudian berbaur.
Namun mereka yang bertempur itu seakan-akan dengan sengaja telah memberikan tempat yang lebih luas kepada para Senapatinya, sehingga Glagah Putih dan Ki Rangga Wi-Dengan demikian maka pertempuran diantara Senapati itu dengan Glagah Putih telah menjadi benar-benar menyala. Kedua orang itu saling berloncatan dan saling menyerang.
Sesaat kemudian, maka Ki Rangga itu mulai bergeser maju sambil mengacukan pedangnya. Sementara Glagah Putih pun telah bergeser kesamping.
Namun tiba-tiba orang itu menggeram. "Sebut nama itu bapakmu. Sebentar lagi kau akan mati di medan ini."
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukannya. Iapun kemudian telah menggerakkan pedangnya pula. Bahkan kemudian ia meloncat selangkah maju sambil menjulurkan pedangnya itu kearah jantung.
Namun Ki Rangga telah bergeser pula., Bahkan tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya mendatar.
Dengan demikian maka pertempuran diantara Senapati itu dengan Glagah Putih telah menjadi benar-benar menyala. Kedua orang itu saling berloncatan dan saling menyerang. Pedang-pedang ditangan mereka telah berputaran. Saling mematuk dan saling menyambar.
Namun kedua orang itu ternyata cukup tangkas sehingga keduanya mampu saling menangkis dan menghindari serangan-serangan itu.
Tetapi ternyata keduanya adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Dalam benturan-benturan yang kemudian terjadi, maka keduanya dapat saling menjajagi. Bukan saja kecepatan gerak mereka masing-masing, tetapi juga kekuatan mereka.
Sementara itu, disayap yang sama, Agung Sedayu masih harus menghadapi selingkar prajurit yang bertempur dalam satu kelompok. Namun Agung Sedayu memang bukan seorang yang garang. Tetapi hal itu juga disebabkan akan keyakinan Agung Sedayu atas kemampuannya. Demikian ia mengetrapkan ilmu kebalnya, maka ia telah bertempur dengan tenangnya. Justru karena ia yakin, bahwa lawan-lawannya itu tidak akan dapat melukainya.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kebal atas segala macam senjata. Meskipun ia mengetrapkan ilmu kebal, namun ia telah bertempur melawan kelompok orang dengan ketangkasan yang sangat tinggi sehingga lawan-lawannya tidak mampu menyentuh tubuhnya. Namun seandainya terjadi sentuhan-sentuhan ujung senjata tidak akan dapat melukai tubuhnya, sehingga sama sekali tidak merasa gelisah meskipun lawannya menjadi semakin banyak.
Tetapi bukan berarti bahwa Agung Sedayu membiarkan pertempuran itu berkepanjangan tanpa ujung pangkal. Atau membiarkan para prajurit Mataram mengalami kesulitan. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi itu, maka setiap kali Agung Sedayu telah mengurangi lawannya dengan goresan-goresan pedang ditubuhnya. Agung Sedayu tidak pernah berniat langsung membunuh lawannya. Namun iapun merasa wajib untuk menyusut kekuatan pasukan lawannya.
Tetapi dalam pada itu, masih ada sesuatu yang terasa kurang mapan didalam hatinya. Sambil bertempur, Agung Sedayu masih berusaha untuk mengetahui, pasukan manakah ayang telah memisahkan diri dari kesatuan pasukan Madiun dan menyerang pasukan Mataram dengan tanpa pertanda apapun juga.
Tetapi tidak seorangpun diantara lawan yang menjawab setiap pertanyaan tentang diri mereka dan kesatuan mereka. Meskipun dari logat pembicaraan mereka, Agung Sedayu dapat menduga, tetapi ia tidak pernah berani menetapkan apakah dugaannya itu benar. Seandainya benar, maka kesatuan itu tentu tidak menyerang Mataram atas nama kekuasaan di tanah mereka. Tetapi justru karena kejemuan, kemarahan dan pendapat yang berbeda disaat mereka menanggapi kehadiran seorang utusan yang dikirim oleh Ki Patih Mandaraka. Justru seorang perempuan.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu bagi lawan-lawannya merupakan seorang yang sangat berbahaya. Ia harus dihadapi oleh seorang yang berilmu tinggi. Meskipun sekelompok prajurit telah mencoba menahannya dalam satu lingkaran pertempuran, namun ternyata bahwa mereka tidak mampu mencegah orang muda itu berkeliaran kemana saja ia suka.
Sementara itu, di sayap yang lain, yang dipimpin oleh Pangeran Singasari, pertempuran telah terjadi dengan sengitnya pula. Pangeran Singasari yang keras itu telah membuat pasukannya menjadi keras pula. Di ujung sayap, prajurit Mataram yang berada dibawah pimpinan Untara telah menyerang lawan mereka dengan garangnya. Sabungsari yang berada diantara kelompok-kelompok diujung sayap, dengan keras telah menekan lawan mereka. Dengan kemampuannya yang jarang ada bandingnya, Sabungsari telah memutar pedangnya. Menghancurkan setiap prajurit lawan yang datang mendekatinya. Meskiun dua atau tiga orang datang bersama-sama, namun Sabungsari benar-benar merupakan hantu yang sangat ditakuti oleh para prajurit yang datang menyerang pasukan Mataram itu, sehingga akhirnya seorang yang bertubuh raksasa datang mendekatinya.
"Inikah yang kalian anggap hantu itu." geram orang yang bertubuh raksasa itu.
"Ya kakang." jawab yang ditanya, "tidak seorangpun yang mampu menahannya."
Orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Orang ini berilmu sangat tinggi. Karena itu, biarlah, aku mencobanya meskipun aku tidak memiliki ilmu yang cukup tinggi."
Sabungsari yang mendengar kata-kata itu, justru menjadi berdebar-debar. Orang bertubuh raksasa itu mempunyai sikap yang menarik. Ia bukan orang yang sombong dan bahkan tidak membanggakan tubuhnya yang besar dan kuat itu. Dengan demikian, maka Sabungsaripun menjadi semakin, berhati-hati ketika orang bertubuh raksasa itu mendekatinya.
"Kau ternyata telah menakut-nakuti kawan-kawanku Ki Sanak." berkata orang bertubuh raksasa itu, "dengan demikian kau tentu orang yang luar biasa. Kawan-kawanku adalah prajurit yang tidak pernah gentar menghadapi apapun juga. Mereka adalah sekelompok harimau yang garang di hutan yang lebat. Mereka tidak akan gentar melihat iring-iringan gajah sekalipun. Namun ternyata mereka telah kehi-langan keberaniannya itu ketika mereka bertemu dengan kau."
"Jangan terlalu memuji Ki Sanak." berkata Sabungsari, "aku sekedar melakukan kewajibanku sebagai seorang prajurit."
"Aku mengerti. Adalah tugasku pula untuk datang kemari. Aku akan mencoba menahanmu." desis raksasa itu pula.
"Kita akan melihat,siapakah yang akan berhasil dalam perjuangan ini." sahut Sabungsari.
Orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Kemudian ia mulai mengangkat bindinya. Sejenis pemukul yang bergirigi. Meskipun nampaknya bindi itu cukup besar, tetapi ditangan raksasa itu, nampakna tidak lebih berat dari sepotong besi sepanjang beberapa jengkal saja.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia harus menghadapi kekuatan yang sangat besar. Namun Sabungsari masih percaya kepada kemampuannya bergerak cepat. Karena itu, maka ia tidak tergesa-gesa mempergunakan ilmunya yang menggetarkan, yang dapat dipancarkannya lewat sorot matanya.
Untuk sementara Sabungsari akan mempercayakan diri kepada kecepatan gerak dan kekuatan tenaga cadangannya. Jika ia gagal, maka apaboleh buat. Ia harus mempergunakan puncak ilmu yang dimilikinya.
"Ki Sanak." berkata raksasa itu. Suaranya justru terdengar lunak dan tidak menunjukkan kekerasan sikap, "kita terpaksa akan mempertaruhkan nyawa kita, karena kita sudah berada dimedan seperti ini."
"Aku mengerti Ki Sanak." jawab Sabungsari.
Demikianah keduanya telah bersiap. Namun Sabungsari masih juga bertanya, "Ki Sanak, pasukan manakah sebenarnya yang telah menyerang Mataram ini.?"
Raksasa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku pasukan asal dari sebuah padepokan kecil yang tergabung dalam pasukan yang berkumpul di Madiun. Tetapi aku tidak telaten menunggu, sehingga ketika pasukan ini siap menyerang Mataram, aku menyatakan diri untuk bergabung bersama mereka. Ternyata aku diterima dan ditempatkan di sayap ini."
"Yang aku maksudkan adalah pasukan ini." desis Sabungsari kemudian.
Orang bertubuh raksasa itu menarik nafas dalam-dalam, Namun iapun menggeleng, "Aku tidak berhak memberikan keterangan apa-apa. Katakanlah bahwa kami adalah pasukan yang telah bergabung dengan banyak pasukan dari beberapa Kadipaten di daerah Timur ini, termasuk Madiun. Juga beberapa buah padepokan besar dan kecil. Kami bersama-sama tidak lagi mengakui kuasa Mataram atas daerah Timur, bahkan kami ingin menghancurkan kekuatan Mataram bukan saja disini. Tetapi di Mataram itu sendiri. Pada saatnya kami akan datang untuk menghapuskan Mataram dari muka bumi."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Orang bertubuh raksasa itu mulai menunjukkan sikapnya terhadap Mataram. Namun orang itu berkata selanjutnya, "Sayang sekali bahwa hal seperti itu harus terjadi. Tetapi apaboleh buat. Jika tidak terjadi sekarang, maka pada suatu saat akan terjadi, Karena itu, maka agaknya akan lebih baik dapat ditentukan lebih cepat."
"Aku sependapat dengan kau Ki Sanak." jawab Sabungsari.
Raksasa itu terkejut. Katanya, "Aku tidak mengira bahwa kau sependapat dengan aku."
"Aku sependapat bahwa persoalan diantara kita, maksudku antara Mataram dan Madiun diselesaikan dengan cepat. Semakin cepat semakin baik." sahut Sabungsari.
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Hampir saja aku salah paham. Aku kira kau sependapat bahwa Mataram harus dihapuskan dari permukaan bumi. Tetapi baiklah. Marilah kita melakukan tugas kita masing-masing. Tetapi percayalah bahwa diantara kita secara pribadi tidak ada persoalan apa-apa."
Sabungsari memang merasa heran atas sikap raksasa itu. Ia semula menduga bahwa sikap itu adalah sikap yang dibuat-buat. Tetapi agaknya tidak. Orang itu memang bukan orang yang kasar sebagaimana ujud tubuhnya dan senjatanya yang mengerikan.
Sejenak kemudian orang itu telah bersiap. Kemudian katanya, "Bersiaplah anak muda. Kita akan bertempur sesuai dengan janji seorang prajurit atau yang menyatakan diri sebagai seorang prajurit."
Sabungsari mengangguk kecil. Katanya, "Marilah. Pertempuran disekitar kita masih berlangsung."
Kedua orang itupun segera bersiap. Ketika orang bertubuh raksasa itu memutar bindinya, maka terdengar angin yang berdesing menampar telinga Sabungsari.
"Bukan main." berkata Sabungsari didalam hatinya.
Namun ia adalah seorang prajurit pilihan. Ia bukan saja mempelajari ilmu perang setelah ia menjadi seorang prajurit. Tetapi ia memasuki dunia keprajuritan dengan bekal yang lebih dari cukup bagi seorang prajurit.
Karena itu, maka Sabungsaripun segera memutar pe-dangnyapula. Ia sadar, bahwa benturan yang terjadi antara dua senjata itu agaknya akan dapat melukai tajam senjatanya. Karena itu, maka ia harus sangat berhati-hati, agar senjatanya tidak pecah pada tajamnya atau patah sama sekali.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Semakin lama semakin sengit. Orang bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Namun Sanbungsaripun kemudian semakin yakin, bahwa ia memiliki kelebihan dari orang itu. Sabungsari ternyata mampu bergerak lebih cepat.
Dengan demikian, maka keduanya telah mempergunakan kelebihan masing-masing untuk dengan segera berusaha mengatasi lawannya. Tetapi ternyata hal itu tidak terlalu mudah dilakukan.
Sementara itu, disayap. itu juga para pengawal Kade-mangan Sangkal Putung telah bertempur dengan gigihnya pula. Mereka adalah pengawal yang memiliki pengalaman yang luas. Sejak berpuluh tahun yang lalu, pengawal Kademangan Sangkal Putung telah ditempa oleh keadaan. Bahkan mereica yang muda-muda yang tumbuh kemudian pun telah memiliki pengalaman yang memadai pula.
Namun ketika mereka berada disebuah medan pertempuran yang besar, yang melibatkan puluhan ribu orang, maka mereka merasa bahwa mereka hanya merupakan bagian kecil dari satu gejolak yang sangat besar.
Tetapi Swandaru tidak ingin mengecewakan Pangeran Singasari yang berada disayap kanan itu. Karena itu, maka Swandaru sendiri dengan cambuknya telah berloncatan di medan. Cambuknya meledak-ledak dengan kerasnya, sehingga memang mampu menggetarkan para prajurit yang berdiri berseragam. Sentuhan-sentuhan ujung cambuknya juga mampu mengoyak kulit daging lawan-lawannya, sehingga justru karena itu, maka Swandaru telah mendapat perhatian khusus dari para prajurit di pasukan lawan.
Untara yang sempat memperhatikan sekilas, bergumam didalam dirinya, "Murid-murid Kiai Gringsing memang memiliki kemampuan yang menonjol diantara para prajurit kawan dan lawan."
Namun kadang-kadang perasaan Untara tidak sejalan dengan Swandaru. Anak Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi terlalu garang, sehingga kadang-kadang lepas dari garis perang dan terlalu menyusup masuk kedaerah lawan sehingga akan dapat membahayakan dirinya sendiri.
Tetapi beberapa orang pengawal nampaknya sudah terbiasa dengan sifat pimpinannya sehingga merekapun dengan cepat mengimbangi gerakan Swandaru, sehingga Swandaru tidak terjepit diantara para prajurit lawan.
Namun hal itu nampaknya mencemaskan bagi Untara. Karena itu, maka Untara yang tidak dapat meng-hampiri Swandaru karena tugas-tugasnya, telah mengirimkan pesan lewat seorang penghubung, agar Swandaru tidak medahului dan berada di depan garis perang.
"Itu akan sangat berbahaya." pesan Untara.
Tetapi Swandaru justru berpendirian lain. Ia memang ingin menunjukkan kelebihannya, bahwa ia, anak Demang Sangkal Putung, memiliki kelebihan dari para prajurit Mataram itu sendiri.
Untara yang harus bergeser setiap kali untuk memperhatikan seluruh medan di ujung sayap itu termasuk para pengawal dari Sangkal Putung tidak dapat selalu mengawasi keadaan Swandaru. Karena itu, maka ketika ia bergeser ke ujung sayap untuk melihat apa yang terjadi dengan Sabungsari, maka iapun telah berpesan kepada sekelompok prajurit Mataram untuk mengambil langkah-langkah pengamanan jika perlu.
Pangeran Singasari yang memimpin seluruh kekuatan yang berada di sayap kanan itu, melihat juga sikap Swandaru. Tetapi Pangeran Singasari yang keras, tidak mengambil sikap khusus. Ia berpendapat, bahwa akhirnya Swandaru akan menemukan keseimbangannya jika ia mengalami tekanan yang berat dari lawan-lawannya.
Sebenarnyalah, diluar dugaan Swandaru, bahwa ia akan membentur satu kekuatan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Ia memang menganggap bahwa kemampuan lawan-lawannya tidak lebih dari kemampuan kebanyakan prajurit, sehingga dengan demikian setiap kali Swandaru dengan bangga memperhatikan lawannya yang terkapar jatuh ditanah dengan luka yang menganga ditubuhnya oleh ujung juntai cambuknya.
Sementara itu, para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah berusaha untuk mendukung setiap gerak Swandaru yang telah memberikan kebanggaan kepada para pengawal. Setiap kali para pengawal itu telah bersorak-sorak dengan riuhnya jika ujung cambuk Swandaru telah melemparkan seorang prajurit yang menyerangnya.
Namun sikap itu ternyata telah menarik perhatian seorang Putut yang tergabung dalam pasukan yang tidak sabar lagi menunggu di Madiun, sehingga bergabung dengan pasukan itu untuk menyerang Mataram.
Kepada seorang Senapati yang siap untuk mendekati Swandaru, Putut itu berkata dengan geram. "Serahkan orang itu kepadaku. Tetapi lindungi aku dari para pengawalnya yang tidak kalah garangnya dengan orang gemuk itu sendiri. Usahakan agar aku dapat melawannya seorang dengan seorang."
Tetapi Senapati itu memperingatkan, "Ia berilmu tinggi."
"Aku mengerti. Ujung cambuknya juga sangat berbahaya." jawab Putut itu.
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun Putut itu berkata, "Jangan terlalu lama membiarkan orang itu membunuh terlalu banyak orang. Aku akan menemuinya. Ingat, perintahkan beberapa prajurit secara khusus untuk ikut bersamaku. Pengawal-pengawal orang itu harus dipisahkan daripadanya."
Demikian, maka Senapati itu telah mengatur beberapa orang prajurit secara khusus untuk memisahkan orang bercambuk itu dari para pengawalnya. Senapati itu sendiri yang akan memimpinnya sehingga ia yakin rencana itu akan berhasil.
Putut itu tidak sabar lagi menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka iapun telah mendekati Swan-daru. Sementara itu, terjadi arus yang lain dalam lingkungan pasukan lawan. Sekelompok prajurit pilihan, dibawah pimpinan seorang Senapati yang memiliki kelebihan dari para prajurit kebanyakan telah menyibak kawan-kawannya dan mendekati para pengawal Sangkal Putung yang mendukung usaha Swandaru untuk menerobos pasukan lawan dan membuat lubang kelemahan dengan kelebihannya .
Semula para pengawal Sangkal Putung tidak begitu menghiraukan gerakan itu. Tetapi baru kemudian mereka merasa, bahwa kehadiran mereka di antara pasukan lawan diseberang garis pertempuran telah mendapat perhatian khusus.
Sebenarnyalah sejenak kemudian terasa tekanan yang semakin berat telah mendesak para pengawal Sangkal Putung itu. Betapapun mereka berusaha untuk bertahan, namun satu-satu prajurit lawan telah menyusup di antara mereka. Prajurit yang mendapat perintah khusus untuk mengatasi kesulitan seorang yang berilmu tinggi telah melintasi dan berada didepan garis pertempuran.
Para pengawal itu memang menjadi cemas. Seorang diantara mereka telah berusaha memperingatkan Swandaru, bahwa keseimbangan lelah berubah.
"Tidak ada orang yang dapat menahan aku." berkata Swandaru, "satu persatu mereka akan mati, dan aku akan menerobos sampai ke belakang garis pertempuran dan balikan menyeberangi kekuatan lawan."
"Tetapi telah datang kekuatan khusus untuk mencegahnya." berkata seorang pengawalnya.
"Persetan kau. Jika kau menjadi ketakutan, tinggalkan aku sendiri." geram Swandaru.
Pengawal itu memang tidak meninggalkan Swandaru. la telah bertempur dengan gigihnya disamping Swandaru yang mendapat tekanan semakin berat, tetapi Swandaru memang mampu membunuh lawannya seorang demi seorang. Namun dalam pada itu, ternyata ia sudah dipotong dari garis dukungannya, sehingga ia telah benar-benar terkepung.
Dalam keadaan yang demikian, telah muncul seorang yang memandang Swandaru dengan penuh dendam dan kebencian. Bahkan tiba-tiba saja ia menggeram, "Jadi kaulah yang telah memamerkan kelebihan kalian dengan membunuh tanpa perhitungan?"
"Persetan." geram Swandaru, "aku berada di peperangan. Siapa yang dapat menyalahkan aku, berapapun aku membunuh lawan."
"Aku tahu, dan akupun tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menyalahkan aku jika aku membunuhmu." berkata orang itu.
"Siapa kau?" bertanya Swandaru.
"Aku Putut Rambatan. Aku menjadi muak melihat tingkah laku orang-orang Mataram. Apalagi tingkah lakumu. Karena itu, aku memerlukan turun langsung menanganinya." berkata Putut itu.
"Jangan terlalu sombong. Kau tentu belum mengenal aku." geram Swandaru.
"Sebenarnya aku tidak perlu tahu siapapun yang akan aku bunuh." berkata Putut itu, "tetapi biarlah kau puas. Katakan, siapa namamu dari mana asalmu. Kau tentu bukan prajurit Mataram yang sebenarnya."
"Setan kau." geram Swandaru. Lalu katanya, "Aku hanya memberi tahukan tentang diriku kepada orang-orang yang sombong dan tidak tahu diri, agar sebelum saat matinya ia dapat melihat, bahwa dirinya sama sekali tidak berarti. Aku adalah murid Orang Bercambuk yang dikenal dan ditakuti oleh orang-orang dilingkungan dan diluar lingkungan Mataram."
"Aku belum pernah mendengar tentang Orang Bercambuk itu." berkata orang itu, "karena itu, jangan kau banggakan nama orang yang tidak pernah dikenal adanya itu."
"Persetan kau." Swandaru benar-benar menjadi marah. Dihentakkannya cambuknya sehingga suaranya meledak bagaikan memecahkan selaput telinga.
Tetapi, orang itu sama sekali tidak terkejut mendengarnya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, "Jangan menggembala lembu disini. Kau akan mati tanpa arti."
Swandaru menggeram oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya ketataran yang lebih tinggi dari kemampuannya dalam ilmu cambuk. Ia memang sudah mulai mempelajari tataran yang lebih tinggi meskipun ia belum berhasil seluruhnya. Namun Swandaru telah menguasai pokok-pokok dari landasan tataran yang lebih tinggi itu.
Karena itu, maka Swandarupun telah menghentakkan ilmunya sehingga cambuknya tidak lagi meledak dengan suara yang bagaikan memecahkan selaput telinga. Tetapi suaranya telah berubah menjadi lebih lunak. Namun ditelinga Putut itu, maka getarannya menjadi semakin tajam menusuk kedalam dadanya.
Putut yang menyebut dirinya Putut Rambatan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ternyata lawannya yang menyebut dirinya murid Orang Bercambuk itu memang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun harus berhati-hati menghadapinya.
Nampaknya orang itu sudah tidak berminat untuk mengetahui lebih banyak tentang lawannya atau menyebut dirinya sendiri serta latar belakangnya.
Yang dilakukannya kemudian adalah bersiap-siap untuk segera menyelesaikan pertempuran itu sehingga orang bercambuk itu tidak lagi mampu merusakkannya barisan.
"Bersiaplah untuk mati." geram Putut itu kemudian.
Swandaru memang sudah bersiaga. Jawabnya, "Aku sudah siap sejak semula hanya untuk membunuh."
Orang itu tidak berbicara lagi. Tiba-tiba tangannya telah menggenggam sepasang trisula.
Demikianlah, keduanyapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Agaknya keduanya mengakui bahwa mereka akan memasuki satu pertempuran yang rumit dan keras.
Sebenarnyalah ketika Swandaru telah siap bertempur, maka pengawalnya sekali lagi mencoba memperingatkan dengan isyarat sandi bahwa Swandaru telah kehilangan pendukungnya dalam pertempuran itu, karena didesak secara khusus oleh pasukan pilihan lawan.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia justru mulai memutar ujung cambuknya dan menyerang lawannya yang bersenjata trisula.
Dengan demikian maka pertempuranpun telah terjadi. Semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Rambatan yang marah dan didorong oleh kebencian yang meluap-luap didadanya telah berusaha untuk segera menembus putaran ujung cambuk Swandaru. Namun Swandaru yang merasa terhinapun telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit.
Namun Swandaru memang mulai merasa, bahwa beberapa orang prajurit telah mengganggunya. Kadang-kadang satu dua orang tiba-tiba saja telah menyerangnya pula.
Seorang pengawal Swandaru yang setia telah berusaha untuk mengenyahkan orang-orang yang tiba-tiba saja melibatkan diri mengganggu Swandaru yang sedang memusatkan perhatiannya terhadap Putut Rambatan.
Tetapi ia hanya seorang diri. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanya terbatas sekali.
Setiap kali Swandaru hanya dapat menggeram. Dalam pertempuran ia tidak dapat mengelakkan kenyataan itu, bahwa setiap orang yang berdiri berseberangan wenang dan berhak saling menyerang.
Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Rambatan telah meningkatkan kemampuannya pula, sementara beberapa orang prajurit dise-kitarnya justru telah membantunya. Seorang pengawal yang masih saja berusaha untuk membantu Swandaru telah mengalami banyak kesulitan. Justru ia harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus diluar kemampuannya.
Ketika ujung pedang lawannya menyentuhnya, maka orang itu masih berkata lantang, "Swandaru. Lihat medan disekitarmu."
"Diam kau." bentak Swandaru.
Tetapi orang itu tidak mau diam. Ia masih berkata, "Jangan kehilangan perhitungan."
Swandaru menggeram. Namun sebelum ia menjawab, ia sempat melihat ujung tombak mengoyak kulit pengawalnya dilengannya. sehingga pengawalnya itu meloncat kesamping.
"Dengar kata-kataku." teriak orang itu.
Swandaru yang mulai berpikir melihat orang itu mengelakkan serangan yang mengarah ke lambungnya. Tetapi ia tidak menyadari, bahwa seorang yang lain telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya.
Swandaru sempat berteriak, "Hati-hati."
Dengan garangnya Swandaru mengayunkan ujung cambuknya justru menggapai orang yang hampir saja menebas pengawalnya itu. Demikian ketatnya ayunan ujung cambuk Swandaru dengan tataran ilmu yang lebih tinggi, maka ujung cambuk itu bagaikan telah mengoyak lehernya sehingga menganga.
Orang itu tidak sempat menjerit. Ia terlempar dan jatuh terkapar. Mati.
Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, kawannya yang marah telah menyerang pengawal Swandaru itu. Dengan garangnya ujung pedangnya telah menikam punggung. Tembus menyentuh jantung.
Pengawal Swandaru itupun tidak sempat mengaduh. Ketika lawannya menarik ujung pedangnya, maka pengawal itupun telah terjatuh terkulai ditanah. Darah memancar dari luka-luka. Namun ia tidak tahu lagi apa yang telah terjadi atas dirinya sendiri.
Swandaru menyaksikan kematian pengawalnya itu dengan darah yang mendidih. Tetapi saat itu pula Putut Rambatan telah meloncat menyerangnya. Sepasang trisula di tangannya berputaran sehingga seakan-akan telah menjadi gumpalan awan yang kehitam-hitaman.
Swandaru telah mengerahkan kemampuannya. Meskipun belum sempurna, ia telah mulai mempelajari ilmu cambuk pada tataran yang lebih tinggi, sehingga karena itu, maka Swandaru memang telah menjadi semakin garang.
Tetapi Putut Rambatan tidak kalah garangnya. Ia yang telah merasa jemu berada di Medan, serta menjadi muak melihat pasukan Mataram telah mengerahkan kemampuannya pula. Baginya bukan saja prajurit Mataram diseberang Kali Dadung itu saja yang harus dihancurkan, tetapi bahkan Mataram harus dihancurkan pada pusat kedudukannya.
Tetapi ia telah membentur kemampuan Swandaru yang sangat besar. Seorang yang mengaku murid Orang Bercambuk yang sulit untuk dapat didekatinya.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid 254 NAMUN Purut Rambatan tidak ingin berperang tanding. Para prajurit yang ada di sekitarnya, yang datang membantunya ternyata dibiarkannya saja, sehingga dengan demikian, maka Swandaru benar-benar telah terperosok kedalam kubu lawan.
Ia memang menyesal kenapa ia tidak mendengarkan pesan pengawalnya selagi sempat. Namun semuanya sudah lewat. Karena itu Swandaru tidak mau terpengaruh oleh penyesalannya. Apapun yang terjadi, ia merasa bahwa ia adalah seorang yang berilmu tinggi.
Namun akhirnya Swandaru harus mengakui, bahwa ia memang mengalami kesulitan menghadapi lawan, justru karena tenggelam dalam putaran gelombang prajurit lawan.
Swandaru yang terpisah dari garis perang itu tidak dapat menunggu bantuan dari siapapun lagi. Ia harus mempercayakan dirinya kepada kemampuannya.
Dalam pada itu, pasukan di sayap kanan itu memang mengalami kemajuan. Diujung sayap, Sabungsari dengan beberapa kelompok terpilih mampu mendesak pasukan lawan. Semakin lama semakin kuat.
Namun Sabungsari sendiri justru telah tertahan oleh orang bertubuh raksasa itu. Keduanya telah bertempur dengan garangnya. Bindi orang bertubuh raksasa itu terayun-ayun dengan garangnya. Suaranya berdesing menerpa selaput telinga. Namun sementara itu pedang Sabungsari dengan cepatnya telah bergetar dan ber putar menyusup diantara ayunan bindi yang mendebarkan itu.
Orang bertubuh raksasa itu menggeram ketika ia melihat kelompok-kelompok terpilih pasukan Mataram semakin mendesak kekuatan yang ada disayap itu. Pangeran Singosari ternyata tidak hanya sekedar memberikan aba-aba. Tetapi sekali-sekali ia juga turun kemedan, langsung menghadapi lawan dengan kemampuannya yang sangat tinggi. Namun beberapa saat kemudian ia telah menghilang lagi. Bergeser, memberikan petunjuk dan tiba-tiba pula telah muncul diarena yang lain.
Bahkan Pangeran Singasari itu telah mempercayakan kepada setiap pemimpin pasukan untuk mengatur kelompoknya masing-masing dalam derap kesatuan yang bulat Pangeran Singasari telah memerintahkan Untara memiliki keahlian untuk mengatur segala-galanya, karena Pangeran Singasari nampaknya lebih tertarik untuk turun langsung dimedan pertempuran. Sementara Pangeran Singasari tahu benar bahwa Untara memiliki keahlian untuk mengatur pasukan yang besar sekalipun.
Namun dalam pada itu induk pasukan Mataram ternyata masih juga bergeser mundur. Pemimpin tertinggi yang berada diinduk pasukan sama sekali tidak membuat gerakan-gerakan yang akan dapat merubah keseimbagan. Mereka seakan-akan hanya sekedar bertahan agar tidak terdesak semakin jauh.
Tetapi dalam gerak mundur, ternyata prajurit Mataram mampu menahan dan bahkan mengurangi kekuatan lawan sedikit demi sedikit. Meskipun kekuatan Mataram juga berkurang, tetapi dalam gerak mundur, Mataram dapat mengambil keuntungan. Pasukan dari Pati yang keras itupun telah menunjukkan kegarangannya meskipun pasukan itu harus menyesuaikan diri dengan perintah pimpinan tertingi. Pajang dan Grobogan sekali-sekali memang membuat gejolak tersendiri. Namun pada umumnya, kekuatan induk Mataram telah bergeser mundur.
Berbeda dengan pasukan induk, baik sayap kiri, maupun sayap kanan pasukan Mataram justru mengalami kemajuan betapapun lambatnya. Mereka tidak lagi bertempur dalam bentangan melebar sebagaimana, sayap dari satu gelar yang utuh. Tetapi serangan pasukan sayap kanan dan kiri dari pasukan Mataram telah menjadi sepasukan yang menyerang dari sisi dan seakan-akan telah dengan sengaja mematahkan tebaran gelar pasukan lawan.
Disayap kiri, Glagah Putih bertempur dengan gigihnya. Agung Sedayu yang berada diujung telah mengimbangi pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mendesak pasukan lawan semakin kuat. Agung Sedayu yang harus bertempur beberapa orang sekaligus, sama sekali tidak terdesak surut. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan kadang-kadang justru berhasil mengurai kepungan itu dan membebaskan Agung Sedayu sehingga Agung Sedayu menjadi lebih leluasa bertempur. Namun dalam kepunganpun Agung Sedayu tidak banyak mengalami kesulitan. Lawannyalah yang seorang demi seorang harus diangkat keluar dari arena karena luka-lukanya. Bahkan meskipun Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk membunuh, namun sekali-sekali ujung cambuknya telah mengoyak tubuh lawan sehingga membuat luka yang sangat parah.
"Aku tidak dapat menghindari kemungkinan seperti itu Ki Sanak." berkata Agung Sedayu dengan suara rendah.
Sementara itu, Ki Rangga Wirataruna yang bertempur melawan Glagah Putih telah berusaha untuk menekan anak muda itu. Pedangnya yang lebih panjang dan lebih besar dari pedang Glagah Putih berusaha untuk menggapai tubuh lawannya. Namun Glagah Putih mampu bergerak sangat cepat.
Dengan demikian maka Ki Rangga Wirataruna tidak segera berhasil menyentuhnya. Betapun ia berusaha, namun Glagah Putih yang meloncat berputaran, merupakan sasaran yang tidak mudah untuk dikenainya.
Sebaliknya Glagah Putihpun tidak mudah menggores kulit lawannya. Pedangnya yang panjang dan besar, terayun berputaran dibandingkan dengan pedangnya yang lebih pendek.
Namun Glagah Putih tidak dapat membiarkan pertempuran itu berlangsung berkepanjangan, sementara pasukan sayap kiri itu maju dengan lamban sekali. Bahkan kadang-kadang pasukan lawan yang masih sedikit lebih banyak dari pasukan Mataram itu mampu mengguncang garis pertahanan, sehingga gerak maju pasukan Mataram terhambat bahkan terhenti untuk beberapa lama.
Karena itu, maka Glagah Putihpun segera berusaha untuk mencapai puncak ilmunya. Dari Agung Sedayu ia telah mewarisi ilmu Ki Sadewa yang mapan, sementara dari Ki Jayaraga ia telah melengkapi dengan ilmu yang meskipun berbeda sumbernya namun dapat saling mengisi. Bahkan dari Ki Jayaraga Glagah putih telah mendapatkan hentakkan tingkat alas kemampuannya sebagai mana pernah dilakukan oleh Raden Rangga. Dengan demikian, maka Glagah Putih yang muda itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dalam keadaan yang gawat itu, maka Glagah Putihpun telah mengerahkan kemampuannya untuk melawan seorang Senapati yang berilmu tinggi.
Demikianlah pada saat pasukan Mataram tidak dapat maju lagi bahkan garis perang mulai berguncang setelah lawan yang lebih banyak itu mapan, maka Glagah Putih telah menghentakkan ilmunya. Ia tidak menyerang Ki Rangga dengan serangan berjarak, karena dengan demikian ia akan dapat membantai terlalu banyak oiang dengan cara yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kesatria. Hanya dalam keadaan yang tidak terelakkan ia dapat mempergunakannya ilmu yang nggegirisi itu, atau pada saat-saat ia berperang tanding.
Ketika Ki Rangga Wirataruna merasakan bahwa gerak mundur pasukannya berhenti, bahkan terjadi guncangan pada garis perang, maka iapun menjadi semakin garang. Pedangnya terayun semakin cepat dan keras sehingga suaranya berdesing memekakkan telinga.
Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun telah sampai ke-puncak ilmunya. Ia berloncatan semakin cepat bagaikan berter-bangan. Sementara itu kekuatannya yang dilandasi tenaga cadangannya pada alas ilmunya menjadi semakin besar, sehingga ketika terjadi benturan kekuatan, maka Ki Rangga Wirataruna terkejut bukan buatan. Ia menyadari bahwa pedangnya lebih besar dari pedang anak muda itu. Bahkan juga lebih panjang. Namun ketika terjadi benturan terasa pedangnya bergetar.
"Anak ini memang anak yang luar biasa." geramnya. Apalagi kemudian ketika Glagah Putih berloncatan dengan cepatnya, menyambar-nyambar.
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Sementara itu pertempuran masih terjadi dengan sengitnya disebelah menyebelah.
Namun akhirnya Ki Rangga tidak dapat mengakhiri kenyataan tentang kemampuan anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Selagi ia mengayunkan pedangnya mengarah ke leher Glagah Putih, maka dengan sigap anak muda itu menghindari. Demikian ayunan pedang itu meluncur deras dengan sambaran yang tiba-tiba itu. Iapun sudah berusaha meloncat surut. Tetapi ujung pedang Glagah Putih ternyata masih mampu menggapainya. Pundak Ki Rangga itupun telah tergores tajam ditabuhnya, Glagah Putih meloncat maju dengan pedang terjulur. Ki Rangga melihat serangan yang tiba-tiba itu. Iapun sudah berusaha meloncat surut. Tetapi ujung pedang Glagah Putih ternyata masih mampu menggapainya. Pundak Ki Rangga itupun telah tergores ujung pedang Glagah Putih. Lukanya tidak terlalu dalam. Namun ketika darah meleleh melalui bajunya yang koyak, maka Ki Rangga itu mengumpat sambil menggeram.
Namun Glagah Putih sudah bersiap. Ketika kemudian Ki Rangga yang marah itu melihatnya seperti angin prahara, maka Glagah Putipun benar-benar mampu mengimbanginya. Ia tidak terdesak atau apalagi terlempar oleh hentakkan angin yang keras. Tetapi Glagah Putih menjadi sekokoh batu karang yang tidak terguncang sama sekali. Bahkan Glagah Putihpun kemudian telah mengimbangi lawannya dan menyerangnya seperti badai diluasnya samodra.
Benturan-benturan yang terjadi memang telah mendesak Ki Rangga Wirataruna semakin lama semakin dalam membenamkan dipasukannya.
Glagah Putih tidak memburunya mendahuluinya garis pe-rangsebagaimana dilakukan oleh Swandaru. Namun ketika Ki Rangga untuk sementara berada di antara pasukannya, maka Galagah Putih seakan-akan telah menyapu prajurit-prajurit lawan yang menyerangnya. Pengaruh Agung Sedayu nampak sekali pada anak muda itu. Ia tidak sengaja ingin membunuh. Tetapi jika kematian itu datang pada lawannya, maka itu adalah satu kecelakaan yang terbiasa terjadi di peperangan.
Sebenarnyalah jika Glagah Putih sekedar ingin membantai orang, maka ia dapat menyerang dengan tenaga apinya, inti kekuatan air yang melampaui dinginnya minyak yang beku atau getar udara yang merontokkan isi dada. Tetapi Glagah Putih tidak menyerang mereka dari jarak jauh. Tetapi ia telah memu-tar pedangnya dengan dahsyatnya namun dalam pertempuran yang wajar dalam sikap seorang prajurit yang tanggon.
Kelebihan para pemimpin dari Mataram hampir dise-gala medan di sayap kiri dan kanan itulah yang telah membuat pasukan Mataram berhasil mendesak lawan-lawannya di sayap betapapun lambatnya. Sementara itu, pasukan, induk Mataramlah yang masih saja mundur sambil mempertahankan diri.
Dalam keadaan yang masih belum pasti itu, sepasukan prajurit berkuda Mataram yang berputar melingkar dan menyeberangi Kali Dadung, tiba-tiba saja telah berderap dengan lajunya di sebelah Timur Kali Dadung itu. Dengan kecepatan yang sangat tinggi, pasukan berkuda itu justru telah menyeberang ke Barat, memasuki arena pertempuran yang sangat riuh itu.
Kedatangan pasukan berkuda itu agaknya tidak diperhitungkan oleh pasukan yang menyerang para prajurit Mataram itu. Karena itu ketika pasukan itu langsung menyerang induk pasukan lawan yang semula merasa mampu mendesak prajurit Mataram itu, mereka telah terkejut.
Kedatangan pasukan itu demikian cepatnya sehingga pasukan lawan itu tidak sempat mengatur diri.
Dengan demikian, maka pasukan lawan itu telah terjebak pada gerak maju mereka. Pasukan sayap mereka yang kemudian harus bertahan atas serangan lambung, tidak dengan cepat dapat membantu, karena kekuatan pasukan sayap Mataram yang justru semakin mendesak mereka.
Namun dalam pada itu, Swandaru benar-benar telah mengalami kesulitan. Ia telah terjebak dalam kubu pertahanan lawan. Karena itu, maka keduahyapun telah menjadi semakin rumit.
Ketika Untara mendengar laporan itu, maka iapun telah menggeram. Ia memang menjadi marah terhadap Swandaru yang tidak memenuhi paugeran keprajuritan. Namun ia tidak dapat membiarkannya diseret oleh arus kekuatan lawan.
Karena itu, maka diperintahkannya sekelompok prajurit Mataram yang memang sedang membayanginya untuk bersama-sama dengan sekelompok pengawal Tanah Perdikan untuk mengambilnya.
Kekisruhan di induk pasukan, sorak sorai yang hampir meruntuhkan langit, agaknya membantu suasana. Para prajurit yang sedang menyerang itu memang telah terpengaruh oleh keadaan induk pasukan mereka yang menjadi kacau karena serangan sekelompok pasukan berkuda yang tiba-tiba saja muncul, justru dari sebelah Timur Kali Dadung.
Dengan gerak yang cepat dan keberanian yang tinggi, sekelompok pasukan pilihan Mataram serta sekelompok pengawal dari Sangkal Putung telah menembus memasuki pertahanan lawan, mendahului garis perang yang memang bergeser. Gerakan yang tiba-tiba itu ternyata telah mampu menembus dan membuat celah-celah diantara pasukan lawan.
Para pengawal yang semula ikut mendukung gerak maju Swandaru mampu menunjukkan tempat Swandaru yang bertempur diantara lawan-lawannya meskipun memerlukan waktu, karena Swandaru telah bergeser dari tempatnya.
Seorang pengawal Sangkal Putung yang kebetulan menyentuh tubuh kawannya yang terbunuh terkejut. Iapun tiba-tiba telah berteriak tentang kawannya yang terbunuh itu.
Dua orang mencoba mengangkat tubuh itu dibawah perlindungan para pengawal yang lain dan sekelompok prajurit pilihan dari Mataram.
Ternyata dua kelompok prajurit itu datang tepat pada waktunya. Keadaan Swandaru telah menjadi sangat parah. Meskipun ia masih mampu memutar cambuknya pada tataran Ilmu cambuk yang tinggi, namun Swandaru sendiri telah terluka dibeberapa tempat.
Dua orang pengawal berteriak menyebut namanya ketika keduanya mendekatinya, sementara yang lain telah menyibak setiap prajurit lawan yang mendekat.
"Swandaru." panggil seorang pengawal, "cepat, tinggalkan tempat itu."
"Persetan." geram Swandaru. Meskipun tenaganya sudah mulai susut oleh darah yang mengalir dari luka-lukanya, justru membuatnya seperti orang yang kehilangan akal karena kemarahannya.
"Dengar perintah Pangeran Singasari." terdengar Senapati prajurit Mataram yang datang untuk membebaskannya, "jika kau tidak mau mendengaar, maka kau tidak lagi terhitung seseorang yang berada dibawah perintahnya. Dengan sendirirrya kau tidak lagi berbuat sesusatu bagi Panembahan Senapati."
Perintah Senapati ternyata telah menyentuh hati Swandaru. Karena itu, ketika Senapati itu memerintahkannya sekali lagi, maka Swandaru memang mulai bergerak menyesuaikan diri.
Dengan cepat sekelompok prajurit Mataram pilihan itu bersama sekelompok pasukan pengawal telah membawa Swandaru bergeser mundur. Sementara dua orang pengawal telah membawa seorang pengawal yang terbunuh ke belakang garis pertempuran.
Beberapa saat medan itu memang bergejolak. Namun ketika Swandaru berhasil diselamatkan, maka terasa betapa ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Tenaganya seakan-akan tiba-tiba telah menyusut, sementara darah masih saja meleleh dari luka-lukanya.
"Bawa ke belakang garis pertempuran." perintah Untara.
Ketika Swandaru akan membantah, suara Untara menjadi berat. "Dengan perintahku."
Dibantu oleh beberapa orang Swandaru telah dibawa kebelakang garis pertempuran. Namun sebenarnayalah, ia telah berhasil mengurangi jumlah lawan cukup banyak.
Dalam pada itu,keseimbanganpertempuranpuntelahbenar-benar berubah. Terutama di induk pasukan, Kedatangan pasukan berkuda justru dari belakang pasukan lawan, benar-benar telah memecah perhatian. Bukan saja pada saat benturan kekerasan terjadi antara pasukan itu dengan para prajurit berkuda pilihan dengan tombak panjang ditangan, namun para prajurit Mataram yang berada di induk pasukan itu telah bangkit pula. Mereka seakan-akan telah dijalari oleh kekuatan baru sehingga mereka bukan saja sekedar bertahan dengan bergerak surut. Tetapi merekapun dengan tangkasnya telah mengoyak garis perang.
Para Senapati tidak saja berada di belakang pasukannya dengan meneriakkan aba-aba. Tetapi mereka langsung turun ke medan dengan garangnya.
Pasukan yang menyerang Mataram terlepas dari kendali Panembahan Mas di Madiun itu benar-benar mengalami kesulitan. Dalam waktu dekat, mereka telah banyak kehilangan.
Karena itu, maka para pemimpin pasukan itupun tidak dapat meneruskan niatnya menghancurkan pasukan Mataram. Perhitungan mereka ternyata tidak sebagaimana kenyataan yang mereka hadapi. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun hentakkan yang dilakukan Mataram telah membuat kekuatan mereka terpecah dan kehilangan keutuhan.
Dengan demikian, maka untuk menyelamatkan prajurit yang tersisa, maka tidak ada pilihan lain dari para prajurit itu daripada menarik pasukannya meskipun senja masih belum turun.
Terdengar isyarat yang bersahutan. Sejenak kemudian pasukan yang masih cukup kuat itu, telah bergerak mundur, mereka harus menyibak pasukan berkuda yang bergerak dengan cepatnya, menyambar-nyambar dari segala arah.
Tetapi ketika pasukan lawan itu bergerak mundur, maka terdengar isyarat dari Mataram, agar mereka tidak mengejar terus. Beberapa panah sendaren telah naik ke udara, menghentikan gerak maju pasukan Mataram yang membantu lawan.
Para pemimpin Mataram memang tidak membiarkan prajuritnya mengambil keuntungan saat pasukan lawan itu mundur dan turun dari tanggul Kali Dadung.
"Kita harus bersikap kesatria." berkata para Pemimpin pasukan yang berada di Mataram. "Karena itu jangan membidik punggung dengan anak panah selagi mereka menarik diri."
Memang tidak dapat dihindarkan benturan-benturan kecil yang masih terjadi. Tetapi pasukan Mataram itu berhenti di tanggul kali Dadung sambil menyaksikan pasukan lawan yang bergerak mundur. Namun menurut pengamatan para petugas sandi mereka tidak kembali memasuki kota Madiun.
Dengan demikian, maka para prajurit Mataram menjadi semakin pasti, bahwa telah terjadi selisih pendapat yang sangat tajam diantara para pemimpin yang berada di Madiun.
Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itupun telah selesai. Para prajurit yang menyerang pasukan Mataram itupun seluruhnya telah ditarik.
Namun mereka ternyata telahmeninggalkankawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah. Memang ada beberapa orang yang sempat mereka bawa. Tetapi dalam keadaan yang tergesa-gesa, maka lebih banyak diantara mereka yang tertinggal.
Panembahan Senapati yang ternyata berada diantara mereka yang datang berkuda telah memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka dan mereka yang telah gugur dari kedua belah pihak. Baik para prajurit Mataram maupun para prajurit yang menyerang menyeberangi Kali Dadung itu.
Tetapi persoalan yang dihadapi Mataram masih belum selesai. Persoalan mereka dengan Madiun masih tetap dapat meledak setiap saat, Karena itu, maka Mataram harus tetap berada dalam kesiagaan tertinggi.
Menjelang senja, para prajurit Mataram justru menjadi sibuk merawat mereka yang terluka dari kedua belah pihak serta mengumpulkan mereka yang telah gugur. Mereka tidak berkesempatan membawa kawan-kawan mereka yang gugur kembali ke Mataram pada jarak yang demikian jauh. Karena itu, maka besok mereka harusmembukatanah kuburan baru yang cukup luas. Namun juga sebuah barak darurat yang panjang untuk menampung mereka yang terluka apalagi yang parah.
Ternyata sampai gelap, para prajurit Mataram masih belum selesai. Dengan berpuluh-puluh obor mereka mencari kawan-kawan dan bahkan lawan, terutama yang luka. Mereka tidak ingin setiap kesempatan untuk tetap dapat hidup, luput dari perhatian mereka.
Sementara itu, Agung Sedayu telah mendapat pemberitahuan bahwa adik seperguruannya telah terluka. Bahkan beberapa goresan telah mengoyak kulit dagingnya. Karena itu, bersama Glagah Putih atas ijin Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu telah menyeberang dari sayap kiri ke sayap kanan.
Dengan cemas, Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian telah duduk disisi Swandaru yang terbaring. Namun Swandaru sama sekali tidak mengeluh. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan keadaannya yang sulit oleh luka-lukanya itu.
Untara yang juga menunggu Swandaru sempat berceritera kepada Agung Sedayu apa yang terjadi. Swandaru ternyata telah melanggar gerak pasukan sehingga melampaui garis perang dan berada didalam lingkungan lawan.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sifat Swandaru, sehingga ia tidak menolak keterangan Untara. Bahkan ia cenderung untuk yakin, bahwa Swandaru memang melakukannya.
Namun dalam pada itu, Swandaru berkata, "Lukaku tidak seberapa."
"Kau sudah mendapat perawatan sehingga darahmu sudah pampat." sahut Untara, "meskipun demikian kau masih tampak pucat. Karena itu kau memerlukan waktu untuk beristirahat satu dua hari. Dengan demikian maka kekuatanmu akan menjadi pulih kembali."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi hatinya menolak keterangan Untara itu. Ia merasa sanggup untuk bangkit dan memasuki medan hari itu juga seandainya diperlukan.
Ketika kemudian Untara meninggalkannya, maka Swandaru berkata kepada Agung Sedayu sambil tersenyum, "Kau percaya kepada ceriteranya?"
Tetapi jawaban Agung Sedayu membuat Swandaru kecewa. Katanya, "Ya aku percaya."
"Kau percaya bahwa aku harus beristirahat satu dua hari hanya dengan goresan-goresan luka seperti goresan ujung lidi itu" Apakah kau percaya bahwa sekarang aku tidak dapat bangkit dan menguji kekuatanku melawan siapapun juga?" geram Swandaru itu.
"Aku percaya bahwa kau harus beristirahat." berkata Agung Sedayu, "kau pucat dan lemah. Kau harus mengerti apa yang sedang terjadi atas dirimu."
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mendengar Agung Sedayu berbicara sekeras itu. Bahkan Agung Sedayupun berkata selanjutnya, "Adi Swandaru. Kau berada dalam satu kesatuan pasukan yang besar. Kau tidak boleh bertindak sendiri tanpa menghiraukan keseluruhan medan. Kau terbiasa bergerak dalam kelompok-kelompok kecil dan benturan-benturan kekerasan yang terjadi antara beberapa orang. Tetapi dalam sebuah pasukan yang besar, kau harus menyesuaikan diri, karena kesalahan seseorang akan dapat berakibat jauh bagi seluruh kesatuan."
Swandaru tiba-tiba saja telah bangkit. Agung Sedayu mencoba menahannya untuk tetap berbaring. Tetapi Swandaru kemudian duduk sambil berkata, "Kakang, aku ingin menunjukkan kepada kakang bahwa aku tidak apa-apa. Aku dapat bangkit berdiri dan bahkan bertempur sekarang juga."
"Tidak." jawab Agung Sedayu, "kau tidak dapat melakukannya. Luka-lukamu akan dapat berdarah lagi."
"Lukaku tidak seberapa. Kenapa semua orang ribut tentang lukaku?" justru Swandaru bertanya, "aku sendiri tidak pernah mempersoalkannya."
"Karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya atasmu." berkata Agung Sedayu.
"Kau jangan memperbodoh aku kakang." berkata Swandaru.
"Tidak." jawab Agung Sedayu, "sebenarnya kau tidak boleh terlalu banyak bergerak. Tetapi jika kau tidak percaya, dan kau ingin membuktikannya, apaboleh buat."
Wajah Swandaru menjadi merah. Ia merasa asing berhadapan dengan Agung Sedayu saat itu. Agung Sedayu itu rasa-rasanya bukan Agung Sedayu yang dikenalnya selama itu.
Tetapi Agung Sedayu memang tidak dapat berbuat lain. Sebagai saudara tua ia merasa bertanggung jawab atas tingkah laku Swandaru. Ia bukan saja segan terhadap Untara, kakaknya, tetapi juga kepada Singasari.
Dalam pada itu, dengan geram Swandaru bertanya, "Apa maksudmu kakang."
"Aku ingin kau membuktikannya. Jika tidak percaya, bahwa gerak yang terlalu banyak akan dapat membuka lagi lukamu, maka kau dapat mencobanya. Kau dapat melakukan gerakan-gerakan dengan mengerahkan tenagamu. Meloncat-loncat berputaran dan apa saja ditempat ini. Maka dalam waktu singkat, maka luka-lukamu akan berdarah lagi." berkata Agung Sedayu.
Swandaru memandang Agung Sedayu sejenak. Ia memang ragu-ragu. Tetapi Swandaru nampaknya segan menarik perkataan yang sudah diucapkan. Karena itu, maka katanya, "Baik. Aku akan membuktikannya."
Tetapi Agung Sedayu benar-benar bersikap lain dari kebiasaannya. Katanya, "Lakukan. Aku menjadi saksi."
Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun tanpa menghiraukan apapun juga, tiba-tiba saja ia telah meloncat bangkit berdiri. Kemudian Swandaru telah berloncat dengan garangnya. Dengan tangkasnya ia menggerakkan tangan dan kakinya. Dikerahkannya tenaganya yang tersisa untuk menunjukkan bahwa ia bukan orang kebanyakan.
"Seharusnya kakang Agung Sedayu mengetahui." berkata Swandaru didalam hatinya.
Beberapa saat kemudian Swandaru telah mengerahkan tenaganya yang tersisa. Keringatnya dengan cepat terperas dari tubuhnya. Bukan saja karena geraknya yang mengerahkan tenaga dan kekuatannya, tetapi Swandaru mulai bertahan terhadap perasaan nyeri dan pedih yang menyengat tubuhnya.
Dalam pada itu, selagi Swandaru mengerahkan tenaganya disaksikan oleh beberapa pengawal Sangkal Putung yang tidak berani menegurnya, Untara telah datang kembali sambil berkata lantang, "Apa artinya ini. He Agung Sedayu. Apakah kau sudah kehilangan akal dengan membiarkan Swandaru bergerak dengan sepenuh tenaga?"
"Swandaru ingin membuktikan bahwa dengan demikian tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya." jawab Agung Sedayu.
"Hentikan permainan gila itu." geram Untara, "kau dengar permintaanku Agung Sedayu."
"Aku akan menghentikannya setelah ia berhasil meyakinkan aku." jawab Agung Sedayu.
Wajah Untara menjadi sangat tegang. Ia kenal Agung Sedayu sejak masa kanak-kanaknya, karena Agung Sedayu adalah adiknya. Tetapi Agung Sedayu tidak pernah berbuat demikian. Apalagi menyangkut keselamatan orang lain. karena itu, maka iapun telah berkata lantang, "Swandaru, hentikan. Agung Se-dayu, aku perintahkan agar kau menghentikan adik seperguruanmu."
"Tidak ada gunanya." berkata Agung Sedayu, "ia tidak akan berhenti."
"Tetapi, lihat. Darah itu makin mengalir dari lukanya." berkata Untara.
"Itulah yang ingin aku buktikan kepadanya. Kita berselisih pendapat. Ternyata akulah yang benar. Bahkan gerakan yang mengerahkan tenaga akan dapat membuka lukanya kembali. Tetapi ia tidak percaya." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi sekarang berhenti. Berhenti. Darah itu telah mengalir lagi. Justru lebih banyak dari semula." Untara hampir berteriak.
Swandarupun mulai menyadari, bahwa darah telah meleleh lagi dari luka-lukanya. Semakin lama semakin banyak. Sementara itu Agung Sedayu berdiri dengan wajah tegang.
Swandaru yang masih lemah itu, akhirnya mulai kehabisan tenaga. Sementara darah mengalir semakin banyak dari luka-lukanya yang membuka lagi. Bahkan tenaga Swandarupun semakin lama menjadi semakin lemah sehingga akhirnya, iapun tidak lagi dapat berdiri tegak.
Untara yang marah sekali itu justru seakan-akan terbungkam melihat keadaan Swandaru. Namun ketika orang itu terhuyung-huyung tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, Agung Sedayu telah menangkapnya dan perlahan-lahan membaringkannya.
"Kita sudah membuktikannya." berkata Agung Sedayu.
Swandaru tidak dapat menjawab lagi. Darah memang telah meleleh dari lukanya.
Dengan cepat Agung Sedayu kemudian telah membersihkan darah dari tubuh Swandaru. Bajunya telah dibuka dan dengan cekatan Agung Sedayu telah mengobati luka-luka yang membuka lagi itu dengan obat-obat yang dibawanya. Sebagai murid Kiai Gringsing yang ahli dalam hal obat-obatan, maka Agung Sedayupun mempunyai kemampuan yang cukup baik. Apalagi Agung Sedayu nampaknya juga berminat untuk mempelajari ilmu obat-obatan.
Swandaru terbaring dengan lemahnya. Ketika obat Agung Sedayu ditaburkan di luka-lukanya, maka luka-luka yang membuka lagi itu terasa panas. Namun kemudian perlahan-lahan menjadi sejuk dan bahkan tidak lagi terlalu nyeri.
"Kita sudah membuktikan." berkata Agung Sedayu pula. Swandaru tidak menjawab. Namun Untaralah yang bergumam, "Satu cara yang sangat berbahaya."
"Aku tidak mempunyai cara lain kakang." jawab Agung Sedayu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengira bahwa pada suatu saat adiknya dapat berbuat demikian kerasnya. Namun justru karena ia lebih banyak dibayangi oleh keragu-raguan itulah, maka pada suatu saat, jantungnya menjadi bagaikan tidak terkendali lagi.
Sementara itu, selain obat yang ditaburkan, Agung Sedayupun telah memberikan serbuk obat yang dicairkannya dengan air. Dengan nada dalam Agung Sedayu itupun berkata, "Obat ini akan membantu memulihkan kekuatanmu. Tetapi dengan tingkah lakumu baru-baru saja ini, kau tidak hanya harus beristi-rahat satu dua hari. Tetapi kau harus beristirahat kira-kira sepekan. Itupun aku harus selalu memberikan obat cair seperti ini untuk membantu mempercepat pulihnya tenagamu."
"Sepekan?" bertanya Swandaru. Namun bagaimanapun juga, suaranya telah menjadi lemah.
"Ya. Kau telah memaksa dirimu untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuan wadagmu." berkata Agung Sedayu.
"Tetapi sebelumnya aku tidak merasa apa-apa." berkata Swandaru.
"Jika benar demikian, maka penggraitamulah yang kurang tajam. Seharusnya kau dapat menilai dirimu sendiri. Tetapi kemampuan itu, maka kau akan mengalami kesulitan seperti ini. Kaupun tidak mengerti, bahwa kedudukannya diantara prajurit lawan itu mengalami kesulitan, sehingga kau harus dipaksa untuk mundur dengan prajurit Pangeran Singasari. Sebenarnya itu tidak perlu. Kau bukan melakukan sesuatu yang berarti bagi seluruh pasukan, tetapi kau justru telah merepotkannya. Sekelompok prajurit yang seharusnya dapat melakukan tugas lain, harus menyabung nyawanya, menerobos memasuki pasukan la-wan untuk mengambilmu." berkata Agung Sedayu.
Swandaru tidak menjawab. Ia memang merasa tubuhnya terlalu lemah. Tetapai bagaimanapun juga, ia tidak dapat begitu saja menerima kata-kata itu.
Meskipun demikian, ia telah kalah bertaruh dengan Agung Sedayu. Ketika ia bergerak mengerahkan tenaganya, maka lukanya benar-benar telah terbuka dan darah telah mengalir lagi. Sementara tubuhnya cepat menjadi lemah dan tidak bertenaga. Seandainya hal itu terjadi dimedan pertempuran, maka agaknya ia tidak akan mampu lagi melindungi dirinya sendiri meskipun dengan ilmu cambuk yang sempurna sekalipun.
Saat itu Swandaru memang tidak menjawab. Namun di dalam hatinya telah mengeras tekad, bahwa ia harus membuktikan bahwa ia lebih baik dari Agung Sedayu dalam segala hal. Ia menghormati Agung Sedayu karena Agung Sedayu telah hadir dalan keadaan demikian sebagai kakak seperguruannya. Sebagai saudara muda, Swandaru memang tidak dapat berbuat lain kecuali menerimanya senang atau tidak senang.
Apalagi saat itu Agung Sedayu ada disamping kakaknya, yang kebetulan adalah seorang Senapati Mataram yang mendaat kepercayaan dari Pangeran Singasari. Panglima pasukan fataram di sayap kiri.
"Kali ini aku memang harus diam." berkata Swandaru didalam hatinya, "jika aku membantah, keadaanku akan semakin sulit. Selain Agung Sedayu dan Untara dapat melaporkan kepada Panglima di sayap ini, merekapun dapat melaporkan kepada guru, sehingga guru akan menilai bahwa aku tidak patuh terhadap pimpinan pasukan. Tetapi pada saatnya kakang Agung Sedayu harus melihat kenyataan bahwa aku memang memiliki kemampuan dan ilmu yang lebih baik dari saudara tuaku itu."
Dalam pada itu, untuk beberapa lama Agung Sedayu telah berniat untuk menunggu adik seperguruannya. Karena itu, ia minta Glagah Putih untuk kembali ke sayap kiri, memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa ia masih belum dapat kembali.
Glagah Putih yang kembali ke sayap kiri, telah melaporkan apa yang terjadi atas Swandaru. Bahkan Swandaru menurut keterangan Untara, telah melanggar garis pertempuran sehingga terjebak kedalam pasukan lawan.
"Untunglah bahwa kakang Untara sempat memerintahkan sekelompok prajurit yang telah siap untuk mengambilnya bersama sekelompok pengawal dari Sangkal Putung." berkata Glagah Putih.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk menguasai Swandaru. Apalagi Swandaru memang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga apabila ia sudah menentukan niatnya untuk berbuat sesuatu, maka sulit bagi orang lain untuk mencegahnya, kecuali kakak seperguruannya.
Ketika Glagah Putih menceriterakan sikap Agung Sedayu atas adik seperguruannya itu, maka Ki Gedepun menjadi heran pula, bahwa Agung Sedayu dapat juga bersikap keras pada suatu saat terhadap adik seperguruannya itu.
Namun Ki Gede yang kaya dengan pengalaman itu merasa cemas juga, bahwa sikapnya itu membuat Swandaru menjadi tidak senang dan pada suatu saat ingin membuktikan kelebihannya dari Agung Sedayu.
"Tetapi bukankah kakang Agung Sedayu mempunyai banyak kelebihan dari kakang Swandaru yang sebenarnya masih belum dapat diperbandingkan itu?" bertanya Glagah Putih.
"Tetapi kakakmu Agung Sedayu tentu akan selalu mengelak jika Swandaru memaksanya untuk melakukan perbandingan ilmu." berkata Ki Gede.
"Jika kakang Agung Sedayu menolak, biarlah aku saja yang melakukannya." jawab Glagah Putih.
"Kau tidak dapat berbuat begitu." berkata Ki Gede dengan nada rendah. Lalu katanya pula, "Jika demikian akan dapat terjadi persoalan lain."
"Tetapi kadang-kadang jantung ini tidak tahan lagi ketika telingaku mendengar kata-katanya." sahut Glagah Putih.
"Hari ini ia mendapat sedikit peringatan dari sikap Agung Sedayu, meskipun Swandaru harus menghukum dirinya sendiri dengan keangkuhannya." gumam Ki Gede, "tetapi biarlah kedua orang saudara seperguruan itu menyelesaikan persoalan mereka. Apalagi guru mereka masih ada. Kiai Gringsing tentu akan dapat mencari jalan yang sebaik-baiknya bagi kedua muridnya yang ternyata memiliki sikap yang sangat berbeda itu."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia menyadari kebenaran keterangan Ki Gede. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah minta diri kepada Ki Gede untuk bergabung dengan Prastawa dan para pengawal.
"Kau tidak pergi ke sayap kanan lagi?" bertanya Ki Gede.
"Kakang Agung Sedayu tidak berpesan demikian Ki Gede." Jawab Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa iapun merasa sangat segan untuk pergi ke sayap kanan. Ia merasa bahwa jika ia melihat Swandaru, jantungnya terasa berdenyut semakin cepat. Karena itu, jika ia terlalu lama berbincang dengan anak Demang Sangkal Putung itu, maka pada suatu saat ia akan dapat kehilangan kendali perasaannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih telah berada diantara para pengawal Tanah Perdikan. Mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan menghadapi perkembangan keadaan, karena merekapun menyadari, bahwa persoalan yang sebenarnya antara Mataram dan Madiun masih belum terpecahkan.
Namun dalam pada itu, diinduk pasukan memang terdapat beberapa perbedaan pendapat meskipun tidak setajam yang terjadi di Madiun. Adipati Pati setiap kali menyatakan kekecewaannya bahwa perang itu tidak sebagaimana diharapkan,. Kalah atau menang, namun seharusnya mereka turun kemedan sebagai ksatria-ksatria yang memang menyandang sifat-sifat seutuhnya. Tetapi utusan yang telah dikirim oleh Mataram sebelumnya agaknya telah membuat perjuangan itu ternoda.
"Kita tidak dapat mengorbankan terlalu banyak orang." berkata Ki Patih Mandaraka, "dengan sedikit akal, kita telah menyelamatkan beribu-ribu jiwa. Kadang-kadang kita memang dihadapkan kepada satu tantangan, seberapa tinggi kita menghargai jiwa seseorang dibandingkan dengan harga diri kita."
Panembahan Senapati sendiri sebenarnya juga merasa bahwa mereka tidak akan dapat menepuk dada dalam kemenangan yang telah dicapainya atas pecahan pasukan yang berada di Madiun.
Namun setiap kali terngiang pertanyaan Ki Patih Mandaraka tentang seberapa tinggi nilai jiwa seseorang itu. Peperangan yang akan dapat mencapai kemenangan tanpa membantai beribu-ribu orang tanpa belas kasihan.
Memang terbayang dirongga mata para pemimpin Mataram, bahwa jika seseorang didalam satu keluarga harus meninggalkan mereka untuk selama-lamanya, maka seluruh keluarga itu telah diliputi oleh kepedihan, duka dan rasa sepi. Dipeperangan beratus bahkan beribu orang mati tanpa setitik air mata-pun yang mengantar mereka. Tetapi jauh dari medan, perempuan dan anak-anak menangis sambil berguling-guling ditanah jika mereka mendengar ayah, suami atau anak mereka mati dipeperangan.
"Apakah kita telah melakukan satu dosa jika kita berusaha mengurangi kematian di medan perang?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
Pertanyaan itu memang tidak dapat dijawab. Tetapi ada sesuatu yang kurang mapan didalam hati. Tetapi perbedaan pendapat di kalangan para pemimpin Mataram itu tidak meruncing sehingga memecahkan keutuhan pasukan sebagaimana terjadi di Madiun.
Dalam pada itu. beberapa laporan petugas sandi memang memberikan keterangan tentang pasukan yang semakin susut di Madiun. Beberapa kelompok prajurit yang tidak sekuat pasukan yang telah mencoba menghancurkan pasukan Mataram tetapi gagal itu, telah meninggalkan Madiun kembali ke daerah mereka masing-masing.
Sementara itu, para pemimpin Mataram telah memerintahkan kesatuannya untuk tetap bersiaga. Tetapi dalam pada itu, telah turun pula perintah kepada para petugas di belakang garis perang untuk mengumpulkan barang-barang yang tidak dipergunakan.
"Mataram harus memberikan kesan, bahwa Mataram akan meninggalkan perkemahan ini." perintah itu merambat dari atas turun sampai ke pimpinan prajurit yang bertanggung jawab atas kelengkapan dan perlengkapan pasukan.
"Siapa yang membocorkan rahasia dapat dianggap pengkhianat." berkata Senapati yang memimpin kelompok yang bertanggung jawab atas perlengkapan pasukan Mataram.
Dengan demikian memang timbul kesan, bahwa pasukan Mataram telah memuat beberapa macam perlengkapan kedalam pedati-pedati seakan-akan pasukan Mataram memang akan meninggalkan perkemahan itu.
Kesan yang timbul dari sikap Mataram yang seakan-akan telah siap meninggalkan perkemahan itu, segera sampai ke Madiun pula. Dengan demikian maka Madiun menjadi semakin memperlonggar kesiagaannya. Bahkan beberapa orang pemimpin merasa yakin bahwa Mataram tidak akan berani mengusik Madiun.
Apalagi ketika beberapa buah pedati telah meninggalkan perkemahan itu menuju ke Barat dengan muatan penuh. Namun para petugas sandi Madiun tidak pernah melihat, apakah isi pedati-pedati itu.
Sementara itu, Agung Sedayu masih tetap berada di sayap kanan menunggu adik seperguruannya. Untuk dua hari, nampaknya tidak ada perkembangan yang menarik dalam hubungannya dengan pertentangan antara Mataram dan Madiun. Bahkan laporan ke Madiun selalu mengabarkan bahwa Mataram perlahan-lahan telah menarik pasukannya.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka keadaan Swandaru masih belum pulih dalam waktu dua hari itu. Namun dengan obat yang diberikan oleh Agung Sedayu, maka rasa-rasanya perkembangan tenaganya menjadi semakin baik.
Ketika malam mulai membayang dihari kedua, Swandaru yang telah mulai bangkit dari pembaringannya berkata, "Kakang tidak perlu menunggui aku terus menerus. Aku sudah dapat melakukan apapun sendiri. Aku jangan diperlakukan seolah-olah anak yang cengeng sebagaimana kakang diwaktu remaja."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia memang melihat bahwa keadaan Swandaru menjadi semakin baik. Asal saja ia tidak menjadi mabuk dan kehilangan akal lagi, maka ia tidak akan mengalami kesulitan lagi sampai suatu saat tenaganya pulih kembali.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Jika kau sudah merasa dirimu lebih baik. Kau memang sudah dapat melakukan kebiasaanmu sehari-hari tanpa bantuan orang lain. Tetaoi jika kau kembali kehilangan kendali atas dirimu maka kau akan mengalami hal yang sama. Dan kau harus beristirahat lagi sepekan atau lebih."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia merasa tidak sedang mendengar nasehat itu, yang hanya pantas diberikan kepada anak-anak nakal yang tidak tahu diri.
Tetapi Swandaru tidak menjawab. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia memang telah kehilangan kendali.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah minta diri kepada Untara untuk kembali ke sayap kiri.
"Aku titipkan Adi Swandaru kepada kakang Untara." berkata Agung Sedayu, "yang aku lakukan saat ini adalah atas nama perguruanku. Aku adalah saudaratuanya."
Untara mengangguk sambil menjawab, "baiklah, bukankah adi Swandaru masih harus beristirahat, dua atau tiga hari lagi?"
"Ya. Jika dalam dua atau tiga hari lagi kita semuanya sudah harus kembali ke Mataram, maka adi Swandaru tidak akan pernah berbuat apa-apa lagi disini." berkata Agung Sedayu.
Ternyata bahwa hati Untara justru menjai lebih lunak dari Agung Sedayu. Katanya, "Jika kita harus kembali dalam dua tiga hari ini, bukan saja Adi Swandaru. Tetapi kita semuanya tidak sempat berbuat apa-apa lagi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan iapun kemudian telah minta diri kepada kakaknya, "Baiklah kakang. Aku mohon diri. Mohon disampaikan pula kepada Pangeran Singasari bahwa aku kembali ke sayap kiri."
Lalu katanya Swandaru, "Beristirahatlah sebaik-baiknya agar keadaanmu segera pulih kembali. Tenaga dan kemampuanmu diperlukan oleh Mataram pada saat semacam ini. Jangan kau hambur-hamburkan tanpa arti."
Swandaru masih saja tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah kembali ke sayap kiri. Ketika ia melintasi pasukan induk, maka ia melihat pasukan-pasukan dari berbagai Kadipaten masih saja bersiaga sepenuhnya. Namun iapun melihat beberapa pedati yang telah penuh dengan muatan dan siap untuk berangkat. Tetapi Agung Sedayu tahu pasti bahwa yang dimuat oleh para prajurit Mataram dalam pedati itu bukan barang-barang penting serta perlengkapan perang prajurit Mataram.
Sejenak kemudian maka AgungSedayu telah berada di sayapnya kembali. Ia langsung menghadap Ki Gede Menoreh untuk melaporkan kehadirannya itu.
"Bagaimana dengan adik perguruanmu?" bertanya Ki Gede.
"Swandaru memerlukan peringatan yang agak keras Ki Gede." jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Ia harus mendapat tuntunan menghormati orang lain. Apalagi dalam hubungan yang berkaitan satu dengan yang lain. Ia tidak dapat bertindak atas dasar kemauan dan keinginannya sendiri."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah mendengar dari Glagah Putih, apa yang telah kau lakukan. Bahkan aku sempat bergeremang, bahwa bukan kebiasaanmu berbuat seperti itu."
"Aku mengerti Ki Gede. Tetapi aku memang harus memaksa diri. Aku tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir panjang untuk menemukan cara yang barangkali lebih baik." berkata Agung Sedayu kemudian.
"Sudahlah."berkata Ki Gede, "Tetapi bukankah keadaan adikmu sudah berangsur baik sekarang ini?"
"Ya Ki Gede." jawab Agung Sedayu, "dalam waktu dua hari lagi, maka ia tentu sudah pulih kembali. Apalagi jika Swandaru dengan rajin menata pernafasannya setiap ada kesempatan."
Ki Gede mengangguk-angguk pula sambil berkata, "Obat yang kau berikan tentu akan mempercepat kesembuhannya."
"Untuk sementara aku masih dapat berlindung dibalik nama guru. Atas nama guru karena aku adalah saudara tua seperguruannya. Tetapi yang harus aku pikirkan selanjutnya adalah keinginan Adi Swandaru untuk melakukan perbandingan ilmu. Apalagi sekarang. Jika ia tersinggung oleh sikapku, maka keinginan itu tentu akan menjadi semakin mendesak jantungnya." berkata Agung Sedayu.
"Kaulah yang harus bersabar." berkata Ki Gede, "sebagaimana sikap yang selalu kau tunjukkan sampai saat ini. Dengan demikian maka tidak akan terjadi sesuatu antara kalian bersaudara."
Agung Sedayu mengangguk. Ia memang masih tetap pada sikapnya untuk tidak melakukan perbandingan ilmu dengan Swandaru. Meskipun ia sadar, bahwa jarak yang semakin jauh antara ilmunya dengan ilmu Swandaru akan dapat pada suatu saat mematahkan gelora didada adik seperguruannya jika tiba-tiba saja ia harus melihat kenyataan itu.
Namun untuk sementara Agung Sedayu memang harus mengesampingkan persoalannya dengan persoalan adik seperguruannyaitu. Apalagi ketika ia kemudian mendengar dari Ki Gede, bahwa perintah dari pimpinan tertinggi di induk pasukan Mataram justru harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk gerakan yang mungkin tiba-tiba saja harus dilakukan.
Tetapi Agung Sedayu juga sempat melaporkannya bahwa di induk pasukan beberapa pedati telah diisi penuh dengan barang-barang. Barang-barang yang dimaksudkan untuk mengelabuhi para petugas sandi Madiun, seakan-akan pasukan Mataram benar-benar akan meninggalkan perbatasan setelah mengalami serangan yang parah.
"Karena itu, banyak hal masih akan dapat terjadi disini." berkata Ki Gede.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun kemudian telah mencari Glagah Putih yang ternyata ada diantara para pengawal bersama Prastawa. Dengan serta merta Glagah Putihpun telah bertanya tentang Swandaru dan akibat dari luka-lukanya.
"Ia sudah berangsur baik. Dalam dua hari ini ia akan pulih kembali." sahut Agung Sedayu.
"Ia telah kehilangan dua hari." desis Glagah Putih, " kakang Swandaru tidak mau mendengar pendapat orang lain, sehingga karena itu, kadang-kadang dapat merugikan diri sendiri, bahkan orang lain."
"Mudah-mudahan yang terjadi itu diingat-ingatnya." berkata Agung Sedayu, meskipun sebenarnya Agung Sedayu sendiri ragu-ragu akan kata-katanya itu.
Namun dalam pada itu, seluruh pasukan Mataram sama sekali tidak bergeser dari kesiagaannya.
Tetapi di hari berikutnya, pasukan Mataram masih belum bergerak. Tetapi lima buah pedati telah berangkat meninggalkan perkemahan dengan muatan penuh. Berbagai macam peralatan yang sengaja ditampakkan mencuat dibagian belakang pedati.
Ternyata usaha Mataram mengelabui Madiun serba sedikit berhasil. Beberapa orang Senapati Madiun menganggap bahwa Mataram benar-benar akan menarik diri dari perkemahannya. Bahkan beberapa orang pimpinan Madiunpun telah beranggapan seperti itu. Apalagi mereka yang mengerti, bahwa Panembahan Senapati yang diangkat menjadi putera Sultan Hadiwijaya di Pajang itu, dengan demikian telah menjadi kemenakan Panembahan Mas di Madiun.
Dihari berikutnya, juga tidak terjadi perubahan keadaan. Namun Madiun justru menjadi semakin lengah. Beberapa buah pedati telah dipenuhi dengan barang-barang yang lain dan beberapa perkemahan nampaknya memang menjadi kosong.
Pada hari berikutnya lagi jatuh perintah yang mengejutkan. Semua pasukan yang berada disayap kiri dan kanan akan ditarik ke induk pasukan.
"Apa yang akan terjadi?" bertanya para pemimpin sayap pasukan sebelah menyebelah.
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari tanpa perjanjian telah menghadap Panemahan Senapati untuk mendapat penjelasan perintah itu lebih jauh.
Yang boleh mendengar pembicaraan itu hanya para pemimpin tertinggi sayap kiri sayap kanan dan para Adipati. Karena itu, maka hasil pembicaraan itu tetap menjadi rahasia bagi Mataram.
Dengan tergesa-gesa, pasukan di sayap kiri dan disayap kanan telah mempersiapkan diri. Beberapa kelompok prajurit telah mendapat tugas khusus untuk melindungi barang-barang serta perlengkapan yang berada di sayap. Sedangkan yang lain telah disiapkan untuk memasuki induk pasukan. Dengan demikian maka Mataram tidak lagi mempergunakan gelar dengan sayap kiri dan kanan.
Misteri Lukisan Tengkorak 3 Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak Dewi Bunga Asmara 3
^