Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


Jarak lemparan batu itupun telah dipelajari oleh Glagah Putih sebelumnya, sehingga
karena itu, tiga diantara batu yang dilemparkannya, dua tepat mengenai atap rumah itu.
Dua orang pengawal tidur dirumah itu. Bahkan keduanya telah berjanji untuk
bergantian berjaga-jaga. Karena itu, ketika terdengar lemparan batu sebagaimana
disepakati sebelumnya, merekapun segera menyadari, bahwa mereka sudah harus
bertindak. Agaknya orang yang mereka tunggu-tunggu telah datang.
Kedua orang pengawal terpilih itupun segera mempersiapkan diri. Keduanyapun telah
membagi diri untuk menghubungi dua rumah bersebelahan. Selanjutnya dua rumah lagi,
sehingga lima rumah disekitar rumah Agung Sedayu itu akan terbangun, karena
didalamnya masing-masing ditempatkan dua orang pengawal pilihan.
Demikianlah, dalam waktu dekat, sepuluh orang pengawal terpilih telah mengepung
rumah Agung Sedayu. Mereka sadar,
bahwa orang yang berada dihalaman rumah Agung Sedayu itu tidak boleh terlepas dari
tangan mereka. Justru Sabungsari dan Glagah Putih telah dijadikan umpan untuk
memancing mereka datang kerumah itu.
" Nampaknya orang-orang itu sangat diperlukan oleh Mataram. " berkata salah
seorang pengawal. " Tetapi tidak mudah untuk menangkap orang berilmu tinggi hidup-hidup. " berkata
salah seorang pengawal. " Itu adalah tugas Ki Lurah Agung Sedayu dan ki Jayaraga " jawab kawannya.
Namun mereka tidak berbicara lagi. Mereka harus mengendap-endap mendekati
dinding. Dalam pada itu, terdengar pintu pringgitan diketuk oleh Kiai Manuhara.
Agung Sedayu yang ada diruang dalampun bertanya " Siapa.
" Aku, " jawab Kiai Manuhara.
" Aku siapa" " desak Agung Sedayu.
" Nama tidak penting dalam keadaan seperti ini. Buka pintu dan serahkan dua orang
anak muda yang bernama Sabungsari dan Glagah Putih. " jawab Kiai Manuhara.
" Untuk apa" " bertanya Agung Sedayu.
Kiai Manuharapun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk mengawasi
semua pintu keluar. Pintu seketheng dan pintu dapur.
" Dengarlah, aku membutuhkan kedua orang anak muda itu. Aku tidak mau
mempersoalkannya untuk apa dan sebab apa. Waktuku tidak terlalu banyak. " berkata
kiai Manuhara. Lalu katanya pula " Karena itu. maka pintu harus segera dibuka dan
kedua anak muda itu harus segera kau serahkan kepada kami. Kalau tidak, maka kami
akan mengambil sendiri. Aku tahu bahwa kedua orang anak muda itu berilmu tinggi.
Tetapi betapapun tinggi ilmu anak itu, namun mereka masih tetap anak-anak. Karena itu,
maka bagi kebaikan anak anak itu sendiri, maka serahkan anak-anak itu kepadaku. "
" Sayang Ki Sanak " jawab Agung Sedayu dan dalam. " aku tidak dapat
menyerahkan anak-anak itu. Mereka adalah saudara sepupuku. Bagaimanapun juga. aku
wajib untuk membantunya menyelamatkan diri dari kejaran kalian. "
" Jangan mempersulit diri sendiri " geram Kiai Manuhara.
" Tetapi kenapa kalian memburu adikku sejak dirumah Ki Lurah Branjangan, kemudian
sampai mereka menyingkir ke-tempat ini" Apakah sebenarnya salah mereka" " bertanya
A-gung Sedayu. " Buka pintu, atau aku akan memecahkannya. " bentak Kiai Manuhara.
" Pintu itu adalah pintu rumahku. Aku akan marah jika pintu itu kau rusakkan. "
berkata Agung Sedayu. Tetapi Kiai Manuhara tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian telah melangkah
mundur beberapa langkah. Demikian pula para pengikutnya dan bahkan Kiai Samepa.
Perlahan-lahan Kiai Manuhara telah mengangkat tangannya. Kedua telapak tangannya
menghadap ke arah pintu. Segulung angin yang keras telah meluncur dengan derasnya menghantam daun pintu
rumah Agung Sedayu. Bahkan pecahan-pecahan kayunya telah berserakan terbang
keruang dalam. Namun Kiai Manuhara yang sudah mulai melangkah maju terkejut sehingga iapun
segera meloncat surut. Tiba-tiba dari ruang dalam lidah api telah menyembur menjilat
keluar lewat pintu yang sudah tidak berdaun lagi.
Ternyata Ki Jayaaraga yang menguasai ilmu yang tidak kalah tinggi merasa tersinggung
karenanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika kemudian Ki Jayaraga itu
telah meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi melalui pintu itu juga dan sekejap
kemudian, ia sudah berada di pendapa menghadapi beberapa orang yang telah lebih
dahulu berada di pendapa itu.
Sudah tentu Agung Sedayu tidak membiarkannya. Iapun kemudian melangkah pula
kepintu sambil berdesis kepada Sabungsari dan Glagah Putih " Berhati-hatilah. Mereka
adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Agaknya mereka bukan seorang
yang merasa perlu berbasa-basi. Pintu itu sudah dihancurkannya. "
Sabungsari dan Glagah Putih tidak menjawab Namun ketika kemudian Agung Sedayu
melangkah keluar, merekapun segera mengikutinya.
" Bagus"geram Kiai Manuhara"ternyata kalian berlindung dibelakang orang yang
mampu bermain api ini. Tetapi permainannya hanya dapat mengejutkan saja. Dalam
pertempuran yang sebenarnya, lidah api itu tidak akan berarti apa-apa.
" Apapun yang kau katakan " desis Ki Jayaraga " tetapi niatku untuk mengejutkan
kalian sudah terjadi sebagaimana kalian mengejutkan kami dengan merusak pintu. Karena
anak-anakpun akan dapat merusak pintu sebagaimana kau lakukan.
Kiai Manuhara tertawa. Katanya " Apakah aku harus mengerahkan ilmu yang
berlebihan hanya untuk membuka pintu" Baiklah. Sekarang kalian telah membawa kedua
orang anak muda itu keluar. Serahkan keduanya kepadaku, Aku tahu keduanya memiliki
ilmu yang tinggi. Tetapi betapapun tinggi tingkat ilmunya, namun dihadapan kami,
keduanya tidak berarti apa-apa. Seperti lidah api yang tidak mampu membakar itu. "
Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak kehilangan penalaran meskipun orang yang
datang itu berusaha memancing kemarahannya. Bahkan ia telah menjawab " Sebaiknya
kau bertanya langsung kepada kedua orang anak muda itu. Apakah mereka bersedia
kalian bawa atau tidak. "
" Aku tidak senang dengan lelucon ini Ki Sanak. Aku bertanya kepadamu, apakah kau
mau menyerahkan kedua o-rang anak muda itu. " desis Kiai Manuhara.
Ki Jayaraga menggeleng. Katanya"Sayang, aku tidak mau menyerahkan mereka. "
" Ketahuilah, bahwa padukuhan induk Tanah Perdikan ini telah terkepung oleh muridmurid
dari dua perguruan besar yang tentu tidak akan terlawan. Bahkan seluruh penghuni
Tanah Perdikan ini tidak akan mampu melawan mereka, karena setiap murid perguruanku
dan perguruan saudaraku ini akan sama
nilainya dengan sepuluh orang anak muda Tanah Perdikan ini, Bahkan Pasukan Khusus
Mataram di barak itupun tidak akan mampu menolong Tanah Perdikan ini. "
Ki Jayaragalah yang kemudian tertawa. Katanya " kau memang pandai membual.
Berapa jumlah murid dari dua perguruan,- sehingga kau mengaku dapat menandingi seisi
Tanah Perdikan ini, bahkan seisi barak Pasukan Khusus itu" Ceriter-amu seperti dongeng
bagi anak-anak menjelang tidur. "
" Baiklah " jawab Kiai Manuhara. " Kita akan membuktikannya. Tetapi para murid
yang dipimpin oleh beberapa orang Putut yang tidak akan terlawan oleh berapun jumlah
anak muda padukuhan ini, baru akan bergerak kemudian, jika kalian tetap keras kepala.
" " Terima kasih " jawab Ki Jayaraga.
Kiai Manuhara mengerutkan dahinya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya " kenapa kau
berterima kasih kepadaku" "
" Kau memberi waktu prajurit dari Pasukan Khusus itu datang ke padukuhan induk ini.
Bukankah baru nanti murid-muridmu bergerak. Sementara itu, kami akan mempersiapkan
isyarat yang akan dapat mengundang mereka. Dengan demikian maka kita benar-benar
bersama-sama akan membuktikan, siapakah yang akan lebur malam ini. "
Wajah Ki Manuhara berkerut semakin dalam. Katanya " Ternyata aku berhadapan
dengan seorang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi ketahanan jiwani yang
dimilikinyapun sangat tinggi. Tetapi akan senang sekali bermain-main dengan kau Ki
Sanak." Ki Jayaraga menjadi semakin bersiaga, Orang itu dapat saja dengan tiba-tiba
menyerang. Namun Ki Jayaraga masih bertaya " Siapa namamu dan untuk apa
semuanya ini kalian lakukan"
Sebut saja aku sesukamu. Dan berilah alasan yang paling baik kenapa aku ingin
mengambil dua orang anak muda yang digelari Pembunuh Lembu Jantan itu " jawab Kiai
Manuhara. " Baik. Jika demikian, kami sudah siap. " jawab Ki Jayaraga.
Namun tiba-tiba Kiai Samepa yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba bertanya " Aku
dengar salah seorang murid dari O-rang Bercambuk ada di Tanah Perdikan ini. Orang itu
tentu ikut serta berusaha melindungi kedua orang anak muda itu. "
" Tidak seperti kalian, kami tidak perlu merahasiakan diri " berkata Ki Jayaraga "
murid Orang Bercambuk itu memang ada disini. "
" Siapa" " desak Kiai Samepa.
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ki Jayaraga telah menyebutnya,
sehingga iapun menjawab " Akulah orangnya. Rumah ini memang rumahku. Anak-anak
muda yang kau cari adalah adik-adikku. "
" Bagus " desis Kiai Samepa -aku sudah bertekad untuk menghapuskan perguruan
Orang Bercambuk itu. Menurut pendengaranku, hanya ada dua orang murid utama dari
perguruan itu. Agung Sedayu tidak menanggapinya tentang jumlah murid utama perguruan Orang
Bercambuk. Namun iapun telah bergeser sambil bertanya " Kenapa kau mendendam
perguruan Orang Bercambuk. "
" Aku memang tidak mempunyai persoalan dengan Orang Bercambuk. Tetapi aku
tidak ingin murid-muridnya dihormati berlebihan. Apalagi salah seorang muridnya telah
melindungi anak-anak muda yang harus dilenyapkan pula. " jawab Kiai Samepa.
" Begitu mudahnya menentukan orang-orang yang harus dilenyapkan " desis Agung
Sedayu. " Aku memiliki kemampuan untuk melakukannya. Tidak ada orang yang akan dapat
mencegahnya. Bahkan seandainya Orang Bercambuk itu sendiri datang kemari. " geram
Kiai Samepa. Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser menepi.
Sebelum Agung Sedayu mengatakan sesuatu. Kiai Samepa-pun telah berkata " Aku
setuju. Bukankah kau ingin bertempur dihalaman rumahmu" Tidak dipendapa yang tentu
akan terasa terlalu sempit ini. "
Agung Sedayu dengan cepat melangkah turun. Namun ia sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan, karena lawannya akan dapat berbuat sesuatu yang tidak diduga-duga.
Perhitungan Agung Sedayu ternyata benar. Demikian ia turun ke halaman, maka orang
itupun telah menyambarnya dengan cepat sekali, sehingga seakan-akan orang itu terbang
dari pendapa dan kemudian menjejakkan kakinya dihalaman.
Serangan Kiai Samepa itu merupakan isyarat, bahwa pertempuran akan segera dimulai.
Kiai Manuharapun telah bersiap pula, sementara Ki Jayaraga ternyata juga lebih senang
bertempur dihalaman. Namun sikap Ki Jayaraga agak berbeda dengan sikap Agung
Sedayu. Dengan seenaknya ia berkata " Aku akan turun kehalaman. Jika kau berani
melawanku, marilah. Tetapi rasa-rasanya kau lebih senang bertempur dengan anak-anak itu.
Kiai Manuhara benar-benar tersinggung. Karena itu. maka iapun segera meloncat
menyerang pula. Karena Kiai Manuhara adalah saudara seperguruan Kiai Samepa, maka
iapun mampu terbang dan menyambar Ki Jayaraga sebagaimana dilakukan Kiai Samepa.
Namun Ki Jayaraga telah siap menghadapinya, sehingga iapun sempat mengelakkan diri.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera mulai membakar halaman rumah
Agung Sedayu. Sementara itu. beberapa orang murid terpilih dari dua perguruan itu telah
berloncatan pula menyerang. Ki Patitis dan Ki Tangkil berusaha menempatkan diri
menghadapi Sabungsari dan Glagah Putih, sementara Kiai Manuhara berteriak nyaring "
Jangan lepaskan kedua orang anak muda itu. "
Namun dalam pada itu, dari luar dinding halaman, sepuluh orang anak-anak muda,
pengawal Tanah Perdikan yang juga terpilih telah berloncatan memasuki halaman itu pula.
Pertempuranpun telah berkobar dimana-mana. Sementara itu Kiai Manuhara yang
melihat kehadiran anak-anak muda itupun berteriak " Kau memang bodoh. Kau libatkan
anak-anak muda Tanah Perdikan. Mereka akan terbantai disini. Dan kaulah yang harus
bertanggung jawab. "
" Kau mulai cemas " desis Ki Jayaraga singkat. Namun kata-kata itu membuat Kiai
Manuhara semakin tersinggung.
Karena itu, maka Kiai Manuharapun dengan cepat meningkatkan serangan-serangannya
pula. Apalagi Kiai Manuhara menyadari, bahwa lawannya memiliki ilmu yang sangat tinggi
pula. Dalam pada itu, seorang murid Kiai Manuhara dengan tangkasnya, telah melintasi
pendapa dan langsung masuk keruang dalam melalui pintu yang sudah dipecahkan itu.
Tetapi ia terkejut. Didalam rumah itu, ia sama sekali tidak menemukan perempuan
yang ketakutan. Tetapi diruang dalam seorang perempuan telah menunggunya dengan
tongkat baja putih. Namun kening murid Kiai Manuhara itu berkerut ketika ia melihat
hiasan pada tongkat baja putih itu. Sebuah tengkorak kecil yang kekuning-kuningan.
" Darimana kau temukan tongkat itu " desis orang yang memasuki ruang dalam itu.
Sekar Mirah yang telah siap pula justru bertanya " Kau pernah melihat tongkat seperti
ini" " Orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak mendapat kesempatan lebih banyak untuk
merenung. Ketika tongkat baja itu berputar, maka orang itu harus bersiap
menghadapinya. Sementara itu Rara Wulanpun telah bersiap pula. Namun ia masih berdiri disudut
dengan sebilah pedang ditangannya. Sedang anak yang membantu dirumah itupun
ternyata tidak menjadi ketakutan. Ia telah mendapatkan parang yang sering
dipergunakannya untuk membelah kayu. Bahkan ia sudah mengacu-acukan parangnya itu.
" Duduklah " desis Rara Wulan.
Tetapi anak itu tidak mau duduk. Ia berdiri di belakang Rara Wulan dengan senjata
ditangannya. Sejenak kemudian, maka Sekar Mirahpun telah menyerang orang yang memasuki
rumahnya itu. Tongkatnya berputaran, sementara ruangannya tidak cukup luas. Karena
itu, keduanya harus bergerak dengan cepat. Menangkis dan menghindar. Bahkan Sekar
Mirah telah berloncatan pula diatas amben bambunya, Namun ia sudah brlatih untuk
berbuat demikian. Didalam
sanggar rumah Agung Sedayu itu memang terdapat sebuah amben yang sudah tua,
justru sebagai tempat berlatih berloncatan dan bertempur diatasnya.
Ternyata lawannya tidak mempunyai ketangkasan seperti Sekar Mirah, sehingga jika
orang itu juga mencoba meloncat keatas amben bambu itu, maka rasa-rasanya amben
bambu itu akan berpatahan, sehingga orang itupun dengan cepat meloncat turun. Ia tidak
mampu mengatur keseimbangannya jika ia tetap berada diatas amben itu.
Dengan demikian, maka murid Kiai Manuhara itupun beberapa saat kemudian telah
mengalami kesulitan. Selain tangkas dan bergerak cepat, ternyata perempuan yang
besenjata tongkat baja putih itu juga memiliki kekuatan yang sangat besar.
Sebenarnyalah Sekar Mirah yang telah membangunkan kekuatan cadangan didalam
dirinya, seakan-akan menjadikan kekuatannya berlipat ganda. Karena itulah, maka murid
Kiai Manuhara itupun segera menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seorang
perempuan yang berilmu tinggi.
Beberapa saat kemudian, murid Kiai Manuhara itu menjadi semakin mengalami
kesulitan menghadapi tongkat baja putih itu. Jika Sekar Mirah meloncat keatas amben
bambu, maka orang itu sama sekali tidak berani menyusulnya. Bahkan ia berusaha untuk
memancing Sekar Mirah turun dari amben bambu itu.
Sambil tertawa Sekar Mirah berkata " Marilah. Kenapa kau ragu-ragu" Agaknya kau
biasanya terlalu merendahkan seorang perempuan, sehingga kau terkejut bertemu
dengan seorang perempuan yang tidak menggigil ketakutan melihat tampangmu yang
keras dan kasar itu. "
" Iblis betika kau " geram orang itu " kau akan menyesal karena kau mencoba
melawan aku. " " Jangan berkata begitu Ki Sanak " desis Sekar Mirah " siapakah yang mulai
menyesal sekarang ini" "
Orang itu menggeram. Sambil berteriak ia menyerang Sekar Mirah dengan garangnya.
Namun ketika senjatanya membentur tongkat baja putih ditangan Sekar Mirah, maka
hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya.
Karena itu, maka ia telah meloncat surut untuk memperbaiki pegangannya atas
senjatanya. Pada saat yang demikian, selagi orang itu membelakangi Rara Wulan dan anak yang
membantu dirumah Agung Sedayu itu, maka anak itu telah mengayunkan parangnya.
Hampir saja parang itu terayun dan mengenai punggung orang yang didesak oleh Sekar
Mirah dan hampir kehilangan senjatanya itu. Namun pedang Rara Wulan telah menahan
parang itu sehingga anak itulah yang justru mengaduh karena telapak tangannya menjadi
pedih. " Jangan menyerang dari belakang saat orang itu tidak menyadari kehadiran kita "
berkata Rara Wulan. Anak itu menjadi marah. Katanya " Tetapi ia telah menyerang rumah kita. "
" Kita dapat disebut licik " desis Rara Wulan.
Sekar Mirah justru tertawa. Katanya kepada anak itu " Jangan bermain api, Nanti
tangannya tersengat panasnya "
" Nah kau dengar itu " desis Rara Wulan.
Namun justru murid Kiai Manuhara itu menjadi heran. Bahkan ia telah bertanya "
Kenapa kau cegah parang itu mengenai punggungku" "
" Kami harus mengajarinya bersikap sebagai seorang laki-laki meskipun aku dan
adikku itu seorang perempuan " jawab Sekar Mirah.
" Kalian telah menghina dan mempermainkan aku " geram orang itu.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Bukan maksud kami. Kami sama sekali tidak berpikir tentang Ki Sanak. Tetapi kami
berpikir tentang anak itu. " jawab Sekar Mirah.
Orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia bersuit nyaring tiga kali.
Isyarat itu memang membuat Sekar Mirah dan Rara Wulan berdebar-debar. Mereka
tidak tahu artinya dengan pasti. Tetapi tentu akan terjadi perubahan khususnya diruang
dalam itu. Sebenarnyalah isyarat itu adalah isyarat untuk mendapatkan bantuan. Orang-orang
yang bertempur di luar rumah Agung Sedayu juga mendengar isyarat itu.
Meskipun pertempuran di halaman rumah itu rasa-rasanya masih belum dapat diketahui
siapakah yang akan menang, namun salah seorang saudara seperguruannya minta
bantuan, segera berusaha untuk meloncat kependapa dan melintas memasuki pintu yang
terbuka itu. Seorang pengawal tanah perdikan itu memang mengejarnya. Namun murid
Kiai Manuhara itu dengan cepatnya telah berada diruang dalam.
Namun perlahan-lahan ia harus bergeser kepintu butulan dan bahkan agak tersudut,
ketika sebilah pedang tiba-tiba telah bergetar dihadapannya. Rara Wulan seakan-akan
dengan sengaja telah menjemputnya dan mendesaknya kesudut.
Pengawal yang bergerak memasuki ruang dalam itu tertegun. Ia sempat meihat
bagaimana Sekar Mirah mendesak lawannya pula, sementara Rara Wulan telah
menghadapi orang yang baru saja memasuki ruangan itu, sementara anak yang tinggal
dirumah Agung Sedayu itu masih mengacu-acukan parangnya.
" Tolong, jaga anak itu " desis Rara Wulan.
" Aku tidak usah dijaga " anak itu berteriak.
" Jangan keras kepala. Nanti telingamu diputar kakang Agung Sedayu " sahut Sekar Mirah.
Saat yang pendek itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan Sekar Mirah.
Dengan hentakkan yang cepat, maka ia telah menyerang, sehingga Sekar Mirah memang
agak terkejut karenanya. Tetapi ia masih sempat dengan tangkas menghidari. Satu
loncatan kecil telah melemparkannya keatas amben bambu diruang dalam itu.
Tetapi lawan Sekar Mirah sama sekali tidak mendesaknya lagi. Ia justru
mempergunakan saat yang terbuka itu untuk menyelamatkan diri. Dengan serta merta
mereka berlari keluar dari ruang dalam itu.
Sekar Mirah tidak melapaskannya. Iapun sgera memburu keluar. Ternyata orang itu
memang tidak dapat dengan mudah melepaskan diri dari Sekar Mirah, sehingga di
pendapa, ia harus bertempur untuk melindungi dirinya lagi dari kejaran tongkat baja putih
Sekar Mirah. Diruang dalam murid Kiai Manuhara yang berhadapan dengan Rara Wulanpun telah
mulai menyerang. Demikian cepatnya sambil menghentakkan segenap kemampuannya
sehingga Rara Wulan bergeser surut. Tetapi sejenak kemudian, gadis itupun menjadi
mapan. Pedangnya segera berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali ujung pedang itu
mematuk dengan cepatnya bagaikan kepala seekor ular bandotan.
Tetapi lawannya, murid Kiai Manuhara, juga sudah menempa diri untuk beberapa lama.
Karena itu, maka iapun telah mampu menempatkan dirinya bertempur diruang yang
sempit itu. Apalagi Rara Wulan masih belum setangkas Sekar Mirah.
Karena itu, Rara Wulan tidak dapat mendesak lawannya sebagaimana dilakukan oleh
Sekar Mirah. Nampaknya murid Kiai Manuhara itu telah cukup lama berguru. Ia tentu
merupakan salah seorang murid pilihan, sehingga ia telah ditunjuk untuk menyertai
gurunya mengambil dua orang anak muda yang harus dilenyapkan itu.
Beberapa saat Rara Wulan yang belum terlalu lama berlatih dengan sungguh-sungguh
dalam olah kanuragan itu ternyata telah terdesak. Meskipun ia masih akan mampu
bertahan beberapa lama, tetapi lawannya itu memang selapis lebih tinggi daripadanya.
Ketika Rara Wulan berada dalam kesulitan, maka anak muda yang berdiri termangumangu
disebelah anak yang memegang parang itu tidak dapat berdiam diri saja. Karena
itu, maka katanya kepada anak yang memegang parang itu"hati-hatilah, yang terjadi
bukan semacam permainan binten atau mbek-mbekan. Tetapi senjata-senjata itu akan
mampu membunuhmu. Lebih baik kau lepaskan parang itu dan duduk saja di sudut. "
Tetapi anak muda itu tidak menunggu jawaban anak itu. Dengan tangkasnya, pengawal
terpilih dari tanah Perdikan itu segera meloncat bergabung dengan Rara Wulan melawan
murid Kiai Manuhara itu. Dengan demikian, maka keseimbangan beralih. Murid Kiai Manuhara itu ternyata
mengalami kesulitan untuk bertempur melawan dua orang ditempat yang sempit. Karena
itu maka iapun berusaha untuk dapat keluar dari ruang dalam itu.
Dalam pada itu, di halaman, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Kiai Samepa
benar-benar telah berhadapan dengan murid Orang Bercambuk.
" Kenapa tidak kau panggil gurumu untuk melindungi adikmu itu" " bertanya Kiai
Samepa yang menyerang Agung Sedayu dengan cepatnya. Tangannya terayun hampir
saja menyambar wajah Agung Sedayu yang sempat berpaling. Jika saja kukunya yang
tajam itu mengenai kulit wajahnya, maka Agung
- Sedayu akan mengalami kesulitan. Darah tentu akan mengalir dari kulitnya yang
terkoyak yang akan dapat menutup pandangan matanya. Selain perasaan pedih. aka luka
itu akan meninggalkan bekas, seandainya Agung Sedayu dapat lolos dari tangan Kiai
Samepa itu. Agung Sedayu bergeser selangkah surut, la sempat melihat kuku-kuku jari tangan Ki
Samepa yang mengembang. Ternyata Ki Samepa menyadari bahwa Agung Sedayu memperhatikan kuku-kukunya.
Karena itu maka iapun berkata "Jangan heran. Bukan dari jari-jariku tumbuh kuku-kuku
baja yang tajam seperti itu. Tetapi aku sempat membuatnya agar aku dapat mengoyak
wajahmu. Lihat, jari-jari tanganku yang sebelah kanan ditumbuhi kuku-kuku sewajarnya.
" " Kau tidak yakin akan kekuatan dan kemampuan tubuhnya sendiri, sehingga kau
perlu membuat kuku-kuku dari baja itu " desis Agung Sedayu.
" Hampir semua orang tidak yakin. Ternyata mereka juga bersenjata " jawab Kiai
Samepa. " Kau benar " desis Agung Sedayu " guru juga bersenjata cambuk. "
" Nah, sekali lagi aku bertanya, dimana gurumu" " desis Kiai Samepa.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia yakin bahwa Kiai Samepa memang mengenal
gurunya, meskipun nampaknya u-murnya tidak sebaya. Meskipun Kiai Samepa sudah
berangkat tua, tetapi ia masih jauh lebih muda dari Kiai Gringsing. Karena itu, maka
Agung Sedayupun bertanya " Apakah kau mengenal guru" Atau gurumu pernah
berhubungan dengan guruku" "
Kiai Samepa tertawa. Katanya " Jika ia ada, aku ingin
melawannya. Itu saja. "
Tetapi Agung Sedayu menjawab " Biar aku sajalah yang mewakilinya. Meskipun
kemampuanku belum apa-apa dibandingkan dengan guru, tetapi aku akan berbuat atas
namanya. " Kiai Samepa menggeram. Katanya dengan nada tinggi " Kau anak yang sombong.
Tetapi baiklah. Dengan membunuh murid-murid utamanya, maka perguruan Orang
Bercambuk itu akan lenyap pula pada akhirnya. "
"Seandainya guru datang kemari, bukankah kau juga akan dianggapnya masih terlalu
muda untuk melawannya" " desis Agung Sedayu kemudian.
Kiai Samepa tidak menjawabnya lagi. Kembali tangan kirinya menyambarnya. Tetapi
Agung Sedayu masih sempat juga mengelak.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit.
Ternyata Kiai Samepa memang terlalu garang. Ia berloncatan sambil menghentak-hentak.
Tangannya berputaran menyerang dengan cepatnya. Apalagi tangan kirinya, yang
diberinya semacam kuku dari baja yang runcing dan tajam.
Namun Agung Sedayu mampu bergerak cepat pula, sehingga serangan-serangan Kiai
Samepa tidak menyentuhnya. Namun sebaliknya Agung Sedayupun merasa sulit untuk
mengenainya. Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat, melampaui kecepatan gerak burung
sikatan menyambar bilalang.
Kiai Samepa yang merasa memiliki ilmu yang sangat tinggi itu memang mampu
bergerak dengan kecepatan melampaui kecepatan gerak orang lain. Tubuhnya menjadi
seakan-akan lebih ringan. Bobotnya seakan-akan menjadi susut. Tangannya seakan-akan
menjadi semakin panjang dan bahkan seolah-olah terjulur kemana Agung Sedayu
bergeser Tetapi yang menjadi gelisah bukannya Agung Sedayu. Justru Kiai Samepa yang merasa
dirinya memiliki kemampuan bergerak lebih cepat dari setiap orang. Ilmunya memang
memungkinkannya berbuat demikian, sehingga dalam setiap pertempuran, lawannya akan
mengalami kesulitan untuk menghindari
serangan-serangannya apabila ia sudah sampai pada tataran kemampuan puncaknya.
Mula-mula Kiai Samepa ingin mendesak Agung Sedayu untuk menunjukkan betapa
perguruan orang Bercambuk tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi ilmunya.
Ternyata Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan karenanya. Seakan-akan Agung
Sedayu hanya perlu sekedar menyesuaikan dirinya saja, sehingga pertempuran itu
menjadi semakin cepat. Kiai Samepa tidak menduga sama sekali bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan
ilmu meringankan tubuhnya, sehingga iapun seakan-akan tidak lagi diganggu oleh bobot
tubuhnya, sehingga ia tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengimbangi kecepatan
gerak Kiai Samepa. Karena itulah, maka Kiai Samepa yang memiliki tanggapan yang tajam atas ilmu
lawannya segera mengetahui bahwa kecepatan geraknya tidak akan mampu
menggoyahkan pertahanan murid utama Orang Bercambuk itu. Bahkan semakin lama Kiai
Samepa menyadari bahwa murid Orang Bercambuk itu tidak akan dapat dikalahkannya
hanya dengan kecepatan geraknya saja.
Dengan demikian maka Kiai Samepa yang memiliki senjata pada ujung jari-jari tangan
kirinya itu harus berusaha untuk mempergunakan senjata yang lain. Kuku-kuku bajanya
tidak dapat diandalkannya untuk menundukkan lawannya yang masih terhitung muda itu.
Itulah sebabnya disamping kuku-kukunya yang tajam di-tangan kiri, maka tangan
kanannyapun telah menggenggam senjata pula. Sebilah pedang yang pendek dan yang
ternyata tajam dikedua sisinya.
Namun, demikian pedang pendek itu berada ditangan Kiai Samepa, maka Agung
Sedayu menjadi berdebar-debar, karena ia melihat seutas rantai yang terkait pada tangkai
pedang pendek itu, sedangkan ujung rantai itu bergelang dan dikenakannya pada
pergelangan tangan kanannya itu.
" Pedang itu tentu dapat terbang." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka Kiai Samepa telah
menunjukkan kemampuannya mempergunakan senjatanya itu.
Hampir saja ujung pedang pendek Kiai Samepa itu menyambar wajah Agung Sedayu.
Untunglah Agung Sedayu mempunyai kemampuan bergerak cepat sekali. Demikian
pedang pendek itu terbang mematuk wajahnya, maka dengan cepat Agung Sedayu telah
bergeser kesamping. Meskipun ia dapat menduga panjang rantai yang terkait ditangkai
pedang pendek itu, namun ia masih belum tahu apa yang dapat dilakukan oleh Kiai
Samepa dengan senjatanya yang menggetarkan itu.
Namun Kiai Samepa tidak ingin melepaskan Agung Sedayu justru saat lawannya itu
belum mengenal senjatanya itu dengan baik.
Karena itu, maka pedang yang ditariknya sendal pancing itu tidak segera ditangkapnya,
tetapi pedang itu bagaikan melayang berputaran dan sekali menyambar wajah Agung
Sedayu. Agung Sedayu meloncat surut. Dengan kecepatan yang sangat tinggi karena tubuhnya
yang seakan-akan tidak berbobot, Agung Sedayu telah melenting mengambil jarak.
Agung Sedayu termangu-mangu ketika ia melihat lawannya memutar pedangnya pula
seperti baling-baling diatas kepalanya. Rantai pedangnya itu seakan-akan semakin lama
menjadi semakin pendek. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak lengah. Ia sadar, bahwa lawannya itu memiliki
kemampuan yang sangat tinggi sehingga senjatanya itu akan dapat menjadi sangat
berbahaya. Sebenarnyalah. Ketika rantai itu menjadi tinggal sejengkal, maka orang itu telah
meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi seakan-akan terbang menyambar
langsung tubuh Agung Sedayu. Sementara itu pisaunya telah meluncur mematuk kea-rah
jantung. Agung Sedayu memang agak terkejut melihat serangan itu. Karena itu, maka iapun
telah mengerahkan kemampuan ilmunya untuk meringankan tubuhnya. Dengan segenap
kemampuannya Agung Sedayu telah meloncat tinggi-tinggi dan sekali
berputar diudara justru kearah yang berlawanan. Ternyata A-gung Sedayu mampu
meloncat lebih tinggi dari Ki Samepa, sehingga karena itu maka seakan-akan kedua orang
itu telah berlaga diudara.
Tetapi ternyata bahwa baik Ki Samepa, maupun pedang pendeknya, sama sekali tidak
menyentuh Agung Sedayu . Bahkan pakaiannyapun tidak.
Ki Samepa menjadi sangat marah, sehingga diluar sadarnya ia telah berteriak nyaring.
Bahkan kemudian umpatan yang kasar telah terloncat dari mulutnya.
Ki Manuhara dan para muridnya yang telah mengenal sifat-sifatnya segera mengetahui,
bahwa kemarahan Ki Samepa telah sampai kepuncaknya. Teriakan nyaring dan umpatan
kasar, seakan-akan telah menjadi cirinya jika kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun.
Sementara itu, Agung Sedayu mulai merasa kesulitan menghadapi pedang pendek Ki
Samepa yang seakan-akan dapat terbang itu. Pedang yang mampu melayang-layang,
menyambar sambil menukik tajam bahkan kemudian mematuk secepat kepala ular
bandotan. Karena itu, maka demikian kaki Agung Sedayu menginjak tanah, maka tangannyapun
telah menggenggam sebuah cambuk. Tangkainya di tangan kanan, sedangkan ujungnya
yang berjuntai ditangan kirinya.
Ki Samepa yang dengan cepat mempersiapkan dirinya untuk menyerang, tiba-tiba saja
telah dikejutkan oleh ledakan cambuk Agung Sedayu yang bagaikan ledakan petir diudara.
Namun Ki Samepapun kemudian justru berdiri tegak sambil menimang pedang
pendeknya. Senyumnya justru nampak menghiasi bibirnya yang baru saja meneriakkan
umpatan kasar. " Ledakan cambukmu memang memekakkan telinga. Tetapi sama sekali tidak
menggetarkan jantungku. Aku juga sering mendengar gembala dipadang rumput bermainmain
dengan cambuk dan meledakkan cambuknya sekeras ledakan cambukmu. Aku juga
pernah mendengar sais pedati yang melecut lembunya dengan menghentakkan cambuk
sekeras hentakkan cambukmu. Karena itu, maka ternyata murid utama perguruan
Orang Bercambuk itu sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun. "
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu, Namun kemudian iapun tersenyum pula sambil
menjawab " Kau benar, Ki Sanak. Aku juga pernah mendengar orang lain membunyikan
cambuknya sekeras bunyi cambukku. Tetapi mudah-mudahan nanti kau dapat mengenali
perbedaan antara cambukku dan cambuk para gembala dan sais pedati. "
" Ya, ya, aku setuju"jawab Ki Samepa " tetapi apa yang selanjutnya terjadi jangan
menyakiti hatimu. Kau harus menerima kenyataan bahwa cambuk dari perguruan Orang
Bercambuk itu memang tidak lebih dari cambuk para gembala dan sais pedati. "
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Iapun dengan penuh kewaspadaan telah
memperhatikan gerak pedang pendek yang masih ditimang-timang oleh Ki Samepa.
Namun juga gerak tubuh Ki Samepa itu sendiri.
Sementara itu, Ki Samepa telah bersiap pula untuk menyerang. Dimulutnya masih
tersisa senyumnya yang mengejek kemampuan lawannya yang masih dianggapnya terlalu
muda untuk melawannya itu meskipun ia adalah murid utama dari perguruan Orang
Bercambuk. Dalam pada itu sejenak kemudian maka pedang pendek Ki Samepa telah mulai
bergerak lagi. Perlahan-lahan. Namun semakin lama menjadi semakin cepat,
Ketika Ki Samepa siap melontarkan pedang pendeknya, maka Agung Sedayupun telah
menghentakkan cambuknya pula. Sekali lagi terdengar ledakan yang memekakkan telinga.
Ki Samepa memang urung menyerang. Namun ia masih juga dapat tertawa sambil
berkata" Kau hanya dapat mengejutkan lawanmu. Tetapi kau tidak dapat berbuat
demikian terus-menerus. Pada suatu saat aku akan terbiasa dengan bunyi cambukmu.
Dan itu adalah pertanda bahwa perlawananmu akan berakhir.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap untuk menghadapi
pertempuran berikutnya. Namun Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa yang akan
terjadi adalah puncak dari pertarungan ilmu yang dahsyat.
Sementara itu pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Masing-masing pihak telah menunjukkan kemampuan mereka yang tinggi.
Mereka berusaha untuk mengatasi ilmu lawan-lawan mereka masing-masing dengan
meningkatkan ilmu mereka mendekati puncak kemampuan mereka. Namun pada
umumnya mereka masih ingin membuat perbandingan ilmu dengan lawan-lawan mereka
sehingga mereka tidak langsung melepaskan ilmu-ilmu puncak mereka. Namun setelah
beberapa lama mereka bertempur dan tidak dapat mengalahkan lawan-lawan mereka,
maka barulah mereka merambah ke ilmu puncak masing-masing.
Dalam pada itu, Ki Patitis dan Ki Tangkil merasa bahwa tugasnya menjadi sangat berat.
Mereka berhadapan langsung dengan anak-anak muda yang mereka cari. Dua orang anak
muda yang disebut Pembunuh Lembu Jantan itu. Kedua orang anak muda itu tidak boleh
lolos dari tangan mereka. Keduanya harus dapat ditangkap hidup atau mati.
Karena itu, maka baik Ki Patitis maupun Ki Tangkil harus mengerahkan kemampuan
mereka untuk melakukan tugas mereka itu,
Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, maka ternyata bahwa anak-anak muda itu
benar-benar anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Ki Patitis memang terkejut
ketika serangan-serangannya yang pertama sama sekali tidak berarti. Anak muda itu
dengan mudahnya menghindarkan diri dari garis serangannya. Kecepatan geraknya jauh
melampaui dugaannya. Karena itu, maka Ki Patitis tidak mau membuang waktu terlalu banyak. Ia merasa
bertanggung jawab atas keberhasilan tugas mereka dalam keseluruhan. Jika ia gagal
menangkap lawannya hidup atau mati, maka gagallah tugas seluruhnya. Apa yang mereka
lakukan dalam kelompok yang besar itu tidak berarti sama sekali selain melemparkan
beberapa korban tanpa arti.
Ki Tangkilpun menjadi tegang sejak ia mulai melangkahkan


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya dalam pertempuran yang keras itu. Lawannya masih muda. Bahkan menurut
pendapatnya masih terlalu muda. Tetapi ternyata dalam umurnya yang masih muda itu, ia
telah memiliki bekal ilmu yang tinggi. Serangan-serangannya tidak segera dapat mengenai
lawannya yang semula dianggapnya tidak akan dapat memberikan perlawanan terlalu
lama. Namun ternyata dugaannya itu keliru. Anak muda yang telah berhasil membunuh
lembu jantan itu benar-benar seorang anak muda yang mumpuni.
Namun Ki Tangkil juga orang yang berilmu tinggi. Dengan mengerahkan ilmunya ia
berusaha untuk mengatasi kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu.
Tetapi ternyata bahwa Ki Tangkil telah menemui kesulitan sebagaimana Ki Patitis.
Bahkan hampir semua orang yang datang ke rumah Agung Sedayu itu mengalami
kesulitan. Apalagi lawan Sekar Mirah. Bahkan mereka yang harus bertempur melawan
para pengawalpun mengalami kesulitan pula. Para pengawal terpilih telah bertempur
berpasangan, apalagi setelah beberapa orang pengawal yang meronda ikut memasuki
halaman rumah Agung Sedayu itu.
Ternyata Ki Manuhara yang memiliki pengalaman yang luas itu tanggap akan keadaan
yang dihadapinya. Ia sadar bahwa lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi.
Demikian pula lawan Ki Samepa. Murid Orang Bercambuk itu adalah lawan yang sangat
berat bagi Ki Samepa. Meskipun mula-mula ledakkan cambuknya hanya sekedar
memekakkan telinga, tetapi orang-orang yang berilmu tinggi itu menyadari, bahwa yang
ditampilkan anak yang dianggap masih sangat muda dalam lingkungan orang-orang
berilmu itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi.
Karena itu, maka Ki Manuhara telah mengambil satu kepu-tusan untuk memanggil
orang-orangnya yang ditinggalkannya diluar padukuhan. Sehingga dengan demikian maka
Ki Manuhara telah berniat untuk membuka satu medan yang jauh lebih besar dari
sekedarmenangkap kedua orang anak muda yang digelari Pembunuh Lembu Jantan itu.
Dengan demikian Ki Manuhara ingin mempengaruhi lawannya
dan orang-orangnya di halaman itu agar perhatian mereka terpecah karena
sergapan orang-orangnya akan mengacaukan seluruh Padukuhan Induk Tanah Perdikan.
Dengan demikian maka Ki Manuharapun tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera
memerintahkan orang-orang yang telah ditunjuknya untuk melepaskan isyarat.
Sebenarnyalah, orang-orang itupun segera melakukan tugas mereka, karena
merekapun merasa, betapa tekanan orang-orang Tanah Perdikan itu semakin lama
seakan-akan semakin tidak tertahankan lagi.
Karena itu, maka dengan serta merta maka tiga anak panah sendaren telah meloncat
ke udara susul menyusul dari sebuah busur seakan-akan menjerit diudara.
Namun isyarat yang ditujukan kepada sepasukan pengikut Ki Manuhara yang berada
diluar padukuhan induk itu, maka merekapun telah tanggap pula. Panah sendaren itu
tentu mempunyai hubungan dengan sekelompok orang yang telah diamati oleh pengawal
yang bertugas untuk itu. Sebenarnyalah, demikian panah sendaren itu menjerit, maka sekelompok pengikut Ki
Manuhara yang cukup kuat dan menunggu dengan tidak sabar diluar padukuhan segera
mulai bergerak. Tetapi bersamaan dengan itu, maka Prastawa yang selalu waspadapun telah
memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk bergerak pula.
Dengan sigapnya para pengawal yang hampir menjadi jemu setelah menunggu untuk
beberapa hari itu, segera bergerak pula. Seperti air yang mengalir mereka justru keluar
dari regol padukuhan induk menyongsong sekelompok pengikut Ki Manuhara.
Tetapi ternyata para pengikut Ki Manuhara tidak memasuki padukuhan induk lewat
regol padukuhan. Mereka dengan serta merta telah berloncatan memasuki padukuhan
induk dengan memanjat dinding padukuhan.
Dengan demikian maka para pengawal dan anak-anak muda padukuhan induk itupun
segera menyesuaikan diri. Sebagian dari mereka segera kembali masuk ke padukuhan
induk dan menyongsong orang orang yang telah berada didalam dinding padukuhan. Sedang
beberapa orang yang lain masih sempat meloncati dinding padukuhan.
Dengan demikian maka pertempuranpun telah merambat dan terjadi diluar halaman
rumah Agung Sedayu, sehingga orang-orang padukuhan induk itu menjadi sangat terkejut
karenanya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa tiba-tiba saja padukuhan mereka
telah digemparkan oleh pertempuran yang seru dilorong-lorong yang membelah
padukuhan itu. Bahkan terjadi juga di halaman-halaman rumah. Namun para pengawal
sempat meneriakkan peringatan agar orang-orang di padukuhan induk itu tidak gelisah.
" Kami, para pengawal telah bersiap melindungi kalian " teriak para pengawal.
" Jangan gelisah dan jangan takut " teriak yang lain.
Namun demikian perempuan-perempuanpun segera memeluk anak-anak mereka yang
masih kecil, sementara laki-laki yang tidak termasuk dalam pasukan pengawal dan sudah
tidak terhitung muda lagi, telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan. Jika para pengawal dan anak-anak muda padukuhan induk itu memerlukan
maka mereka tentu akan segera keluar dari rumah mereka. Apalagi mereka yang bekas
pengawal Tanah Perdikan atau bekas prajurit sebagaimana Ki Gede Menoreh sendiri.
Meskipun umurnya sudah diambang senja, namun mereka masih tetap memiliki tekad
seorang prajurit. Namun ternyata bahwa para pengawal yang cukup banyak di padukuhan induk itu telah
mampu menahan arus serangan para pengikut Ki Manuhara. Mereka sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk mencapai rumah Agung Sedayu. Hampir di setiap pintu
lorong, simpang tiga dan simpang ampat telah dijaga oleh para pengawal, sehingga
demikian mereka memasuki simpangan, maka mereka harus bertempur dengan para
pengawal yang siap dengan senjata telanjang.
Meskipun demikian, ternyata ada juga orang-orang yang tidak menuju rumah Agung
Sedayu dengan melalui lorong dan jalan-jalan sempit di padukuhan induk itu. Tetapi
mereka telah berloncatan melewati dinding dinding halaman, sehingga ada satu dua orang
yang lolos sehingga mereka dapat mencapai sasaran.
Sementara itu pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu semakin lama menjadi
semakin sengit. Orang-orang berilmu tinggi itu telah mengerahkan kemampuannya,
sementara Ki Manuhara menunggu hasil isyarat yang telah dilontarkan kepada para murid
dan pegikutnya yang berada diluar padukuhan.
Namun ternyata bahwa pengaruh itu tidak segera nampak. Hanya ada satu dua orang
saja yang memasuki halaman. Meskipun mereka berteriak-teriak untuk menyatakan
kehadiran mereka, namun sama sekali tidak mempengaruhi pertempuran itu.
Keseimbangan pertempuran itu masih saja tidak berubah. Satu dua orang pengikut Ki
Manuhara yang memasuki halaman rumah itu, selalu diikuti oleh kehadiran satu dua orang
pengawal. Ki Manuhara yang mampu memperhitungkan keadaan medan memang menjadi gelisah.
Bahkan Ki Samepa dan para pemimpin yang lainpun menjadi gelisah pula. Apa yang
mereka hadapi di halaman rumah itu sama sekali jauh lebih berat dari yang mereka
bayangkan. Ki Samepa sama sekali tidak menduga bahwa ia akhirnya benar-benar
berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari
dugaannya atas kemampuan Orang Bercambuk itu sendiri. Murid utamanya kini bahkan
telah mempergunakan kemampuan ilmu yang tidak dilihatnya pada jenis-jenis ilmu dari
Orang Bercambuk. Ki Patitis dan Ki Tangkilpun rasa-rasanya tidak mempunyai harapan untuk dapat
mengalahkan lawan-lawan mereka. Padahal mereka menyadari, bahwa kedua orang itulah
yang sebenarnya menjadi sumber persoalan sehingga Ki Manuhara dan para pengikutnya
hadir di Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka baik Ki Patitis maupun Ki Tangkil telah bertekad untuk bertempur
sampai kemungkinan yang penghabisan. Mereka sadar, bahwa mereka bertanggung
jawab atas keberhasilan tugas mereka di Tanah Perdikan Menoreh itu. Jika mereka gagal,
maka tebusannya hanyalah nyawa mereka.
Tetapi mereka masih berharap, jika pasukan yang ada diluar padukuhan induk itu
datang membantu, maka mereka masih mempunyai kemungkinan untuk berhasil.
Telapi seperli Ki Manuhara, merekapun menjadi berkecil hati, bahwa orang-orang yang
berada diluar padukuhan tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah, meskipun orang-orang yang ada di halaman itu sudah menunggu,
bahkan menurut perhitungan mereka sudah terlalu lama, namun masih belum cukup
banyak pengikut Ki Manuhara yang berhasil masuk ke halaman rumah Agung Sedayu.
Karena itu, maka Ki Manuhara telah memutuskan untuk mempergunakan cara yang
terakhir. Cara yang paling kasar yang dapat ditempuhnya.
Namun Ki Manuhara tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka tanpa ragu-ragu Ki
Manuhara telah menjatuhkan perintah kepada pengikutnya yang telah ditunjuk untuk
melontarkan isyarat bahwa pertempuran telah sampai ke babak yang paling kasar yang
akan dilakukan oleh Ki Manuhara dan para pengikutnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, beberapa anak panah telah lepas lagi keudara.
Bukan panah sendaren sebagaimana telah dilepaskan sebelumnya. Tetapi panah yang
ujungnya dibalut dengan kain berminyak dan kemudian dinyalakannya. Panah api.
Orang-orang yang sedang bertempur itupun menjadi terkejut karenanya. Mereka yakin,
bahwa yang terbang diudara itu tentu merupakan isyarat sebagaimana sebelumnya.
Tetapi mere-kapun tidak tahu, arti dari isyarat itu.
Namun kemudian terdengar Ki Manuhara berteriak " Aku terpaksa mempergunakan
cara yang terakhir, yang tidak biasa aku lakukan. Tetapi kali ini, aku akan melakukannya
karena aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak mau mengulangi kegagalan yang telah
terjadi di rumah Ki Lurah Branjang-an. "
" Apa yang akan kau lakukan" " bertanya Ki Jayaraga.
" Apapun. Namun yang penting bagi kami adalah kedua orang anak muda itu. Jika
keduanya kau serahkan kepada kami, maka Tanah Perdikan ini akan diselamatkan. Tetapi
jika tidak. maka tebusannya akan sangat mahal sekali. Padahal akhirnya keduanya akan tetap
jatuh ketanganku. "jawab Ki Manuhara.
Tetapi Ki Jayaraga menjawab tidak kalah lantangnya " Kami mempunyai kesetiakawanan
yang tinggi. Karena itu, jangan bermimpi bahwa kami akan menyerahkan anakanak
kami. Lebih baik orang-orang tua inilah yang pantas dikorbankan karena hari depan
kami tidak akan sepanjang anak-anak muda itu lagi. Namun bagaimanapun juga kami
pasti berusaha untuk menggagalkan rencanamu yang gila itu. "
" Jika itu yang kau kehendaki, maka baiklah. Tanah Perdi-kan ini akan menjadi karang
abang " teriak Ki Manuhara.
Teriakan itu memang mendebarkan. Namun mereka yang bertempur di halaman itu
sama sekali tidak menjadi gemetar oleh ancaman itu.
Sementara itu, panah api yang terbang diudara itu telah memancarkan cahaya
kemerahan kesegala arah. Panah api itu sendiri terbang ke empat penjuru, sehingga para
pengikut Ki Manuhara dimanapun dapat melihat isyarat yang dilemparkan ke udara itu.
Karena ilu, maka langkah-langkah yang mereka ambilpun menjadi jelas. Mereka harus
melakukan cara yang paling buruk untuk memaksakan kehendak mereka atas orang-orang
yang bertempur di padukuhan induk itu.
Para pengawal yang bertempur di luar dinding halaman rumah Agung Sedayu itupun
menyadari, bahwa isyarat itu tentu akan membuat pertempuran menjadi semakin sengit.
Bahkan mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak diduga sebelumnya.
Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian. Diluar dugaan para pengawal, para
pengikut Ki Manuhara seakan-akan telah beruban menjadi liar, Pertempuran menjadi tidak
menentu lagi. Bahkan beberapa orang seakan-akan telah hilang didalam kegelapan.
Namun tiba-tiba terdengar jerit dan teriakan yang menggetarkan jantung. Bukan dari
antara mereka yang bertempur. Tetapi jerit perempuan dan bahkan anak-anak.
Ternyata sejenak kemudian, nampak asap naik keudara.
Kemudian disusul lidah api mulai menjilat langit yang kehitam-hitaman.
Para pengawal terkejut melihat kenyataan itu. Ternyata telah timbul kebakaran di
padukuhan induk itu. Penghuni rumah yang terbakar itu telah berlari-lari seperti anak
ayam kehilangan induknya.
Para pengawal memang cepat tanggap. Sebagian dari mereka segera berlari kearah
api. Sementara yang lain menggapai ken-tongan dan memukulnya dengan nada titir.
Tanah Perdikan Menoreh, khususnya di padukuhan induk itu tidak lagi dapat dijaga
agar penghuninya tidak menjadi ketakutan. Apalagi ternyata tidak hanya satu dua rumah
saja yang terbakar. Tetapi beberapa rumah yang letaknya tidak terlalu berjauhan.
Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi gempar. Beberapa orang
pengawal tidak lagi dapat bertempur, karena mereka harus mengendalikan penduduk
yang berlari-larian ketakutan. Namun demikian setiap laki-laki yang semula berada
didalam rumahnya karena dianggap terlalu tua untuk ikut bertempur, telah turun pula
dengan senjata ditangan. Dengan sigap para pengawal berusaha untuk membawa orang-orang yang ketakutan
dan menjadi kalut itu ke banjar padukuhan. Beberapa pengawal telah menjaga banjar itu
dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan terjadi, bahwa banjar itupun akan ikut
terbakar pula. Namun demikian, padukuhan induk itu benar-benar telah menjadi kacau. Para
pengawal tidak lagi mampu membendung-para pengikut Ki Manuhara agar tidak mencapai
halaman rumah Agung Sedayu.
Karena itu maka beberapa orang diantara para pengikut Ki Manuhara telah berhasil
mencapai pintu gerbang rumah Agung Sedayu. Beramai-ramai mereka memasuki halaman
sambil berteriak-teriak. Dengan demikian mereka berusaha untuk mempengaruhi
ketahanan jiwani pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di halaman itu.
Sebenarnyalah, orang-orang yang bertempur di halaman
rumah Agung Sedayu itu menjadi gelisah. Mereka melihat cahaya merah menjulang
kelangit. Kemudian lidah api yang menjilat dedaunan.
" Gila " teriak Ki Jayaraga " apa yang telah kau lakukan atas padukuhan induk
Tanah Perdikan ini" "
" Bukan akulah yang bertanggung jawab. " jawab Ki Manuhara " aku sudah
memperingatkan agar kalian tidak membuat padukuhan induk ini menjadi karang abang.
Jika kalian menyerahkan kedua orang anak muda itu, maka keadaan yang sangat buruk
itu tidak akan terjadi di padukuhan induk ini.
" Aku sama sekali tidak mengira, bahwa orang yang memiliki ilmu setinggi kau ini
masih juga dapat kehilangan nalar dan bertindak dengan liar bahkan melampaui buasnya
serigala. " geram Ki Jayaraga yang dengan marah menyerang Ki Manuhara.
Tetapi Ki Manuhara masih sempat mengelak sambil berkata " Jika kau serahkan kedua
anak itu. maka aku dan orang-orangku akan segera meninggalkan padukuhan induk ini
tanpa mengganggu para penghuninya. "
" Kebiadaban itu sudah terlanjur kau lakukan. Kau harus menebusnya" geram Ki
Jayaraga yang serangan-serangannya menjadi semakin garang. Namun bagaimanapun
juga Ki Jayaraga tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya karena api yang semakin
lama menjadi semakin besar. Bahkan di beberapa tempat.
Agung Sedayupun menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membakar
jantungnya pula-. Bahkan hampir saja A-gung Sedayu kehilangan penalarannya.
" Apaboleh buat" katanya " memang tidak ada pilihan lain kecuali menghancurkan
mereka semuanya. " Dengan penuh kesadaran bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi pula,
maka Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmunya pula. Ketika cambuknya terhentak
sendai pancing justru tanpa meledakkan bunyi yang memekakkan telinga, Ki Samepa
menjadi semakin berdebar debar Getaran cambuk yang tidak lagi meledak memekakkan
telinga itu terasa telah menampar dada Ki Samepa sehingga terasa nafasnya menjadi sesak.
" Setan kau " geram Ki Samepa.
" Kita sudah sampai kebatas terakhir dari kesabaran kita masing-masing " desis
Agung Sedayu. " Kau mencoba untuk menakut-nakuti aku" " desis Ki Samepa.
" Kau sendiri menjadi gelisah. Juga orang yang kau anggap sebagai pemimpinmu,
yang telah memberikan perintah yang gila untuk membakar rumah-rumah orang yang
tidak bersalah sama sekali " geram Agung Sedayu. "
" Itu adalah tanggung jawab kalian " jawab orang itu " jika kalian serahkan kedua
orang anak muda itu. maka orang-orang yang tidak bersalah tidak akan terpercik oleh
ganasnya api pertempuran ini. "
" Kalian dapat saja melemparkan tanggang jawab. Atau barangkali memang demikian
itulah sifat para pengecut. Tetapi setiap orang akan dapat menilai apa yang terjadi di
tanah Perdikan ini. " sahut Agung Sedayu.
" Aku tidak peduli penilaian orang lain. Aku dan kawan-kawanku hanya ingin tugas
kami dapat kami lakukan dengan baik. Kami harus dapat membawa anak muda itu hidup
atau mati. " geram Ki Samepa.
" Aku beri waktu kau sejenak untuk melihat pertempuran antara orang-orangmu
dengan kedua orang anak muda yang kau cari itu. Umur mereka tidak akan lama lagi jika
orang-orangmu itu tidak mau menyerah saja. " berkata Agung Sedayu kemudian.
" Omong kosong " teriak Ki Samepa sambil menyerang. Pedangnya berputar diatas
kepalanya. Namun kemudian melayang langsung menebas kearah leher Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu terlalu tangkas bagi putaran pedang Ki Samepa. Karena itu,
pedang Ki Samepa terbang tanpa menyentuh sasarannya sama sekali. Bahkan Ki Samepa
harus dengan tergesa-gesa meloncat mengambil jarak, karena tangan Agung Sedayu
mulai menggerakkan cambuknya.
Sebenarnyalah cambuk Agung Sedayu telah menggelepar.
Suaranya sama sekali tidak mengejutkan lagi. Tidak pula memekik tinggi. Namun
getarannya bagaikan menerpa dada Ki Samepa sehingga terasa nafasnya menjadi sesak
sesaat. Ki Samepa memang menjadi berdebar-debar. Getaran cambuk itu sudah cukup
membuat jantungnya berdegup semakin keras. Apalagi jika ujung cambuk itu sempat
menyentuh kulitnya. " Bagus, " teriak Ki Samepa untuk menyembunyikan kegelisahannya. Lalu katanya
pula sambil memutar pedang pendeknya " Tetapi kau tidak akan dapat mengalahkan aku
sebelum rumah-rumah di padukuhan induk ini habis menjadi abu. "
Wajah Agung Sedayu memenang menegang, ia tidak mampu menyembunyikan
kegelisahannya.

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara kekacauan di padukuhan induk itu masih berlangsung terus. Orang-orang
berlarian kesana kemari kebingungan. Sementara itu para pengawal harus bekerja keras
untuk memenangkan mereka sambil bertempur dengan garangnya.
Dengan demikian maka kesempatan para pengikut Ki Manuhara untuk mencapai
halaman rumah Agung Sedayu menjadi lebih besar. Beberapa orang sambil berteriakteriak
telah berebut dahulu menyusup regol halaman dan langsung terjun ke
pertempuran. Melihat kehadiran mereka Ki Manuhara memang menjadi lebih tenang. Bagaimanapun
juga orang-orang terpenting Tanah Perdikan yang berilmu tinggi tidak dapat menutup
mata. bahwa kehadiran orang-orang itu memang mempengaruhi pertempuran. Apalagi
diantara mereka tentu akan mengganggu pula para pemimpin dan orang-orang berilmu
tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun kemampuan mereka tidak banyak berarti,
tetapi gangguan-gangguan itu akan memberi peluang kepada lawan-lawan mereka yang
berilmu tinggi untuk menyerang.
Sementara itu, diluar halaman rumah Agung Sedayu, para pengawal memang menjadi
sangat gelisah. Mereka tidak dapat memusatkan perhatian mereka kepada para pengikut
Ki Manuhara yang semakin banyak yang berhasil menembus pertahanan para pengawal.
Dalam pada itu, maka peristiwa itu telah didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang
tetap tinggal dirumahnya sepanjang keadaan masih dapat dikuasai. Namun laporan
tentang orang-orang yang membakar rumah serta kehadiran para pengungsi dirumahnya,
membuat wajah Ki Gede menjadi merah. Darahnya serasa mendidih dijantungnya,
sehingga karena itu, maka iapun telah berteriak memerintahkan menyiapkan kudanya.
Prastawa yang ada dipendapa rumah Ki Gede segera menghampirinya serta bertanya "
Paman akan pergi kemana" "
" Kau dengar laporan itu, bahwa para perampok itu telah membakari rumah orang
orang yang tidak tahu menahu persoalannya sama sekali" "
" Sebaiknya paman tinggal dirumah saja. Aku akan mengatasinya. " berkata
Prastawa. Tetapi Ki Gede yang telah memegang tombak pendeknya itu berkata " Aku akan pergi.
" Prastawa tahu benar sifat Ki Gede. Karena itu, maka ia tidak berusaha mencegah lagi.
Tetapi iapun dengan serta merta telah menyiapkan kudanya pula bersama dua orang
pengawal terpilih. Sejenak kemudian, maka ampat ekor kuda telah berderap berlarian menyusuri jalan
padukuhan. Ternyata Ki Gede yang usianya sudah semakin tua itu masih tetap garang. Jika
dijumpainya para pengikut Ki Manuhara, maka tombak pendeknya segera berputar dan
mematuk dengan garangnya tanpa ampun lagi.
Tetapi Ki Gede pun tidak dapat-menutup mata terhadap para pengungsi, Dalam
keadaan yang kalut itu, maka Ki Gede-pun telah membantu para mengungsi untuk pergi
ke banjar atau kerumahnya.
Sementara itu, apipun berkobar dimana-mana. Para pengikut Ki Manuhara benar-benar
tidak be r jantung lagi. Mereka sama sekali tidak terpengaruh mendengar jerit dan tangis
perempuan dan anak-anak. Sementara itu, pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu memang telah menjadi
kalut pula. Orang-orang yang menjadi liar dan buas itu menjadi tidak terkendali lagi.
Namun dalam pada itu, selain Ki Gede bersama Prastawa yang marah yang telah turun
ke medan, maka nyala api telah nampak pula dari barak pasukan khusus Mataram yang
ada di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan prajurit yang bertugas telah melihat pula panah
api yang naik keudara. " Bukan isyarat dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh " berkata prajurit yang
bertugas itu kepada kawannya.
" Jadi" " desis yang pertama. "
" Justru isyarat dari orang-orang lain yang agaknya orang-orang yang dipancing ke
rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Prajurit itupun segera melaporkan kepada perwira yang bertugas malam itu. Perwira
yang sudah mendapat berbagai pesan dari Agung Sedayu itu segera mengeluarkan
perintah kepada sekelompok prajurit khusus yang telah dipersiapkan.
Sejenak kemudian, maka kaki-kaki kudapun telah berderap-berpacu dari barak pasukan
khusus menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Apalagi ketika nampak api mulai
menjilat langit. Maka kuda-kuda itupun segera berpacu semakin cepat.
" Agaknya telah terjadi kebakaran di Tanah Perdikan " berkata perwira yang
memimpin sekelompok pasukan itu.
" Tetapi tidak terdengar kentongan bernada tiga ganda. Yang terdengar adalah nada
titir. " sahut seorang prajurit.
" Ya. Bukan kebakaran, tetapi rumah-rumah yang dibakar " desis perwira itu. "
Karena itu, maka para prajurit itupun berusaha secepatnya sampai ke padukuhan induk
Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu kekalutan di padukuhan induk semakin menjadi-jadi. Para pengikut Ki
Manuhara yang telah berhasil memasuki halaman rumah Agung Sedayu menjadi semakin
garang. Para pengawal justru mulai terdesak, karena sebagian para pengawal masih sibuk
berjaga-jaga di banjar, yang lain di rumah Ki Gede, sedang yang lain lagi masih berusaha
menenangkan kekalutan yang terjadi.
Hanya sebagian kecil saja dari para pengawal yang memasuki halaman rumah Agung
Sedayu untuk membantu kawan-kawannya yang terdesk. Sehingga dengan demikian
maka pertempuranpun telah memenuhi halaman rumah Agung Sedayu dan melebar sampai ke
halaman samping dan kebun di belakang rumah. Bahkan kemudian di jalan di depan
rumah Agung Sedayu. Dengan demikian maka usaha Ki Manuhara untuk mengacaukan pemusatan sasaran
orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil. Agung Sedayu, Ki Jayaraga bahkan
Sabungsari dan Glagah Putih menjadi gelisah melihat pertempuran yang menjadi semakin
kisruh. Beberapa orang pengikut Ki Manuhara yang merasa memiliki sedikit kelebihan, telah
mulai mengganggu Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Pulih. Orangorang
itu berusaha mengacaukan perlawanan mereka agar Ki Manuhara dan orang-orang
terpenting diantara mereka sempat membingungkan serangan-serangan yang berbahaya
atas lawan-lawan mereka. Ki Jayaraga dan Agung Sedayu masih sempat mempertimbangkan sasaran kemampuan
ilmunya. Namun Sabungsari dan Glagah Putih agaknya telah mengambil sikap yang lain.
Mereka masih lebih mudah dibakar oleh panas yang menyala di dadanya, sehingga karena
itu. maka Sabungsari dan Glagah Putih telah mengerahkan kemampuannya untuk
menghancurkan lawan -lawannya. Apalagi mereka menyadari, bahwa para pengawal
memerlukan bantuan mereka serta keadaan di seluruh padukuhan induk itupun perlu
mendapat penanganan yang cepat.
Dua tiga orang yang mendekat, telah langsung disapu oleh Sabungsari dan Glagah
Putih dengan kemampuan mereka yang tinggi. -Tanpa mempergunakan puncak
kemampuan mereka. Sabungsari dan Glagah Putih yang bersenjata pedang ternyata telah
berhasil menggoreskan senjatanya ke tubuh para pengikut Ki Manuhara yang mencoba
melibatkan diri untuk melawan mereka. Ujung-ujung senjata mereka telah menjadi merah
oleh darah lawan-lawannya, meskipun mereka belum mampu melukai Ki Patitis dan Ki
Tangkil. Sementara itu Ki Jayaraga dan Agung Sedayupun merasa terganggu pula oleh muridmurid
Ki Manuhara yang mencoba untuk mengaburkan pemusatan perhatian mereka atas
lawan-lawan mereka. Dengan terpaksa, maka keduanya memang harus mengakhiri
gangguan itu. Ujung cambuk Agung Sedayupun telah beberapa kali mengoyak tubuh
orang-orang yang mengganggunya. Setiap kali cambuk Agung Sedayu bergetar, maka
terdengar pekik kesakitan atau keluhan tertahan. Sambil menghindari tajamnya pedang
lawannya, yang bagaikan berterbangan di sekitarnya sambil menyambar-nyambar, maka
cambuk Agung Sedayu pun berputaran dan sekali-sekali menghentak. Meskipun cambuk
itu tidak meledak memekakkan telinga, tetapi getarannya telah membuat orang-orang
yang berada di sekitarnya menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang tergores ujung
cambuk itu. Maka lukapun telah menganga mengoyak kulit daging.
Namun bagaimanapun juga, orang-orang Ki Manuhara yang telah mengalir ke halaman
itu telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran itu. Sementara masih juga ada
sebagian pengikut Ki Manuhara yang tetap membuat kekacauan di padukuhan induk itu.
Namun dalam ada itu, sejalan dengan derap kaki kuda Ki Gede Menoreh yang
menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk dengan ujung tombak pendeknya yang telah
basah oleh darah, maka sekelompok prajurit dari pasukan khusus telah berderap
memasuki padukuhan induk itu.
Kehadiran para prajurit itu ternyata telah berhasil merubah keadaan. Sebagian dari
mereka telah menggabungkan diri dengan Ki Gede dan Prastawa. Sebagian memencar
dan sebagian lagi atas petunjuk para pengawal langsung menuju ke halaman rumah
Agung Sedayu. Ki Manuhara dan para pengikutnyalah yang kemudian terkejut melihat kehadiran para
prajurit itu. Demikian para prajurit itu berloncatan dari punggung kudanya serta
menyerahkan kuda-kuda itu kepada kawan-kawannya yang bertugas untuk itu, maka
merekapun segera terjun ke medan. Untuk beberapa saat mereka mengamati keadaan.
Namun merekapun segera tanggap atas medan yang mereka hadapi. Karena itu, maka
sekelompok prajurit itupun segera menebar ke halaman samping dan kebun di belakang
rumah Agung Sedayu. Kehadiran para prajurit itu benar-benar telah menggelisahkan Ki Manuhara dan
pengikutnya. Baru saja mereka mendapat kesempatan untuk bernafas. Namun ternyata
bahwa kesempatan itu hanya berlangsung dalam waktu yang terlalu singkat. Belum lagi
mereka sempat mempergunakan perubahan keseimbangan itu telah berubah lagi. Karena
demikian para prajurit itu memasuki halaman, maka para pengikut Ki Manuharalah yang
kemudian harus bertahan mati-matian.
Ki Manuharalah yang kemudian menjadi gelisah. Ia tidak mempunyai cara yang lain lagi
untuk menggetarkan halaman rumah Agung Sedayu itu. Cara yang terakhir dan paling
kasar itupun telah ditempuhnya. Namun ternyata bahwa Tanah Perdikan Menoreh
memang memiliki kekuatan yang cukup besar. Apalagi kehadiran pasukan khusus itu
benar-benar mengacaukan rencananya.
Namun ibarat orang yang menyeberang sungai. Pakaiannya telah terlanjur basah
kuyub. Karena itu, maka Ki Manuharapun tidak segera mengambil keputusan untuk
mengurungkan niatnya mengambil kedua orang anak muda yang disebutnya Pembunuh
Lembu Jantan itu. Bahkan dengan suara lantang iapun berkata " Cepat, selesaikan kedua orang anak
muda itu. Jika kita tidak dapat membawa mayatnya maka kita sudah merasa puas bahwa
keduanya telah berhasil kita selesaikan. Mereka tidak akan dapat lagi menjadi lambang
kejantanan anak-anak muda Mataram lagi. Pembunuh Lembu Jantan itu telah terbunuh .
Anak-anak muda Mataram sama sekali memang tidak berarti bagi kita. "
Ki Patitis dan Ki Tangkil yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Tugas
untuk membunuh kedua orang yang dimaksudkan tentu tertompang dipundaknya.
Namun keduanya merasa ragu, apakah mereka dapat mela-kukannya atau tidak.
Apalagi ketika para pengikut Ki Manuhara yang ikut membantu mereka, mengganggu
pemusatan nalar budi lawan-lawan mereka telah meninggalkannya, karena mereka sudah
mendapat lawan-lawan mereka sendiri demikian sepasukan prajurit khusus datang
memasuki halaman rumah itu.
Tetapi keduanya memang tidak dapat ingkar. Mereka harus berusaha sampai
kemungkinan terakhir untuk menangkap hidup atau mati kedua orang yang dianggap
sebagai lambang kejantanan anak-anak muda di Mataram itu.
Karena itulah, maka Ki Patitis yang bertempur melawan Sabungsari itu telah
mengerahkan segenap ilmunya. Bahkan kemudian ia telah merambah sampai ke ilmu
puncaknya. Dengan mengerahkan kemampuan serta tenaga didalam dirinya, maka Ki Patitis telah
menyerang Sabungsari dengan ilmu puncaknya justru saat Sabungsari meloncat sambil
mengayunkan tangannya. Ternyata bahwa Ki Patitis yang melihat serangan itu, tanggap
akan kekuatan yang sangat besar pada ayunan tangan Sabungsari. Berbareng dengan itu,
maka Ki Patitis telah menyongsongnya dengan ilmunya yang mendebarkan.
Kekuatan ilmu Ki Patitis ternyata telah menghentakkan Sabungsari. Hembusan yang
sangat kuat telah menghantam tubuh Sabungsari yang sedang meloncat menyerang.
Sabungsari terkejut melihat serangan itu. Ia mencoba menggeliat. Namun serangan Ki
Patitis itu masih juga mengenai bagian tubuhnya sehingga Sabugsari itu terputar diudara.
Tubuhnya melayang dan terlempar beberapa langkah surut. Untunglah bahwa serangan
itu tidak seutuhnya menghantam tubuhnya sehingga Sabungsari masih dapat
memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya.
Sabungsari jatuh terguling di tanah. Tetapi Sabungsari masih sempat menempatkan
dirinya. Demikian ia jatuh berguling, maka Sabungsari justru berguling beberapa kali
mengambil jarak. Baru kemudian dengan tangkasnya Sabungsari telah meloncat berdiri.
Tetapi demikian Sabungsari meloncat, maka serangan Ki Patitis telah memburunya
pula. Sergapan angin yang sangat kencang, bagai dihembuskan lewat sebuah lubang yang
mengarah ke kepalanya. Sabungsaripun segera meloncat menghindar. Ia berhasil luput dari serangan itu,
Meskipun ia merasa sapuan angin pada kulit tubhnya, namun kekuatan angin itu tidak
mendorongnya dengan sepenuh tenaga.
Tetapi serangan Ki Patitis tidak terhenti sampai sekian. Ia ingin memaksa lawannya
kehilangan kesempatan untuk menghindar, apalagi menyerang. Karena itu, maka
serangannyapun datang beruntun, mengejar kemana saja Sabungsari bergeser.
Tetapi Sabungsari tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya tanpa
berbuat sesuatu. Karena itu,maka Sabungsari ingin mencari kesempatan untuk
melakukannya. Karena itu, ketika serangan-serangan Ki Patitis masih mem burunya, maka Sabungsari
pun telah berusaha untuk menghindari serangan-serangan itu sambil bergeser mendekat.
Ketika ia merasa jaraknya cukup, tiba-tiba saja Sabungsari yang berloncatan dan berguling
besama pedangnya itu, telah dengan serta merta melemparkan pedangnya.
Ki Patitis memang terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia berusaha menghindar.
Meskipun hampir saja pedang itu menyentuh kulitnya, namun Ki Patitis masih sempat
tertawa. Bahkan sambil berkata lantang"Anak dungu. Sekarang kau sudah tidak
bersenjata lagi. Akhirnya kau harus menerima kenyataan, bahwa umurmu tidak akan lebih
samai hari ini. Berikut kau akan mengalami siksaan yang tidak pernah kau bayangkan. Aku
akan menyerangmu dengan ilmu puncakku. Mungkin sekali dua kali, bahkan mungkin
sepuluh kali kau mampu menghindar. Namun akhirnya kau tentu akan kehilangan
kesempatan itu. Kau akan terlempar, terbanting dan berputaran diudara, sehingga tulangKang
tulangmu akan berpatahan. Kulitmu akan terkelupas dan akhirnya, kau akan melepaskan
nyawamu dalam keadaan yang paling pahit.
Sabungsari sama sekali tidak menjawab. Namun ia telah mempersiapkan diri dengan
puncak ilmunya pula. Karena itu, demikian Ki Patitis selesai berbicara, maka Sabungsaripun bertanya "
Apakah kau sudah cukup puas mengigau" "
Pertanyaan itu memang mendebarkan, ia tidak melihat Sabungsari menjadi cemas atau
ketakutan. Bahkan suaranya masih tetap menantang.
Sejenak Ki Patitis justru menjadi ragu-ragu melihat sikap Sabungsari itu.
Apalagi ketika Sabungsari itu bertanya sekali lagi " Apakah kau sudah selesai bicara"
Jika sudah, maka kita akan sampai pada ilmu puncak kita masing-masing. Mungkin kau
ingin melihat aku terlempar ke udara, terbanting dan jatuh berguling-guling sehingga
kulitku terkelupas sebelum aku mati. Tetapi kau tentu akan merasa kecewa, bahwa
mimpimu itu tidak akan pernah terjadi sama sekali. "
Wajah Ki Patitispun menjadi tegang. Namun ia masih menggeram " Anak dungu yang
sombong. Baiklah. Kau memang harus mengalami perlakuan kasar dan menyakitkan itu.
Karena itu, bersiaplah. Kau akan segera menyesal menjelang saat terakhirmu, "
Sabungsaripun segera bersiap. Ia tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa Ki Patitispun
akan segera menyerangnya.
Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Patitispun telah mulai menggerakkan tangannya.
Namun Sabungsari tidak mau menjadi bulan-bulanan lagi. Pada saat itu pula, maka iapun
telah menghentakkan ilmunya lewat sorot matanya.
Demikianlah, pada saat Ki Patitis siap melepaskan ilmunya, maka iapun terkejut. Ia
melihat seleret sinar meloncat dari sepasang mata anak muda yang akan dibunuhnya itu,
meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Ki Patitis yang tidak mengira akan mendapat serangan ilmu yang mendebarkan itu,
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Seleret sinar itu meluncur
seakan-akan langsung menghunjam kedadanya, menusuk menembus kulit dagingnya,
mematahkan tulang-tulang iganya dan meremas seluruh isi dadanya.
Ki Patitis itupun mengaduh tertahan. Sesaat kemudian, maka iapun telah jatuh
berguling. Namun ia tidak sempat lagi mengaduh, karena kekuatan ilmu Sabungsari itu
telah menghancurkan kesombongannya.
Ki Patitis itu ternyata tidak mampu melawan kekuatan ilmu Sabungsari.
Beberapa orang pengikut Ki Manuhara dan bahkan Ki Manuhara dan Ki Samepa
melihat, bagaimana Ki Patitis terlempar
jatuh dan tidak mampu untuk bangkit kembali. Demikian pula Ki Tangkil yang masih
bertempur melawan Glagah Putih. Jantungnya seakan-akan telah berhenti berdetak. Tidak
seorangpun mengira, bahwa Ki Patitis yang memiliki ilmu yang tinggi itu demikian
cepatnya harus mengakhiri perlawanannya.
Sementara itu Ki Tangkilpun menjadi berdebar-debar pula. Ia sadar bahwa anak yang
dianggapnya masih terlalu muda itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Beberapa
orang yang membantunya bertempur melawan Glagah Putih telah terhisap karena
kehadiran prajurit khusus yang memasuki halaman rumah itu. Sementara yang lain telah
dilumpuhkan oleh pedang Glagah Putih itu sendiri.
Tetapi ia tidak dapat bergeser surut. Ki Patitis telah terbunuh. Berarti seorang dari
kedua orang anak muda yang harus ditangkap hidup atau mati sudah terlepas dari tangan
mereka. Karena itu, maka Ki Tangkilpun merasa bahwa ia tidak boleh gagal, Ia harus


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menangkap anak muda yang disebut Pembunuh Lembu jantan itu.
Tetapi setiap kali ia masih digelisahkan oleh kematian Ki Patitis. Dengan demikian maka
lawan Ki Patitis itu tidak terikat lagi dengan siapapun sehingga ia akan dapat bergabung
dengan anak yang masih terlalu muda yang menjadi lawannya itu.
Tetapi ternyata Sabungsari yang telah terbebas dari lawannya, Ki Patitis, tidak segera
datang membantu Glagah Putih. Tetapi ia masih saja berdiri termangu-mangu meskipun
beberapa kali ia memang berpaling kearah Glagah Putih.
Namun Sabungsari itu masih sempat mendekati tubuh Ki Patitis yang terbaring. Meraba
tubuhnya yang terbaring diam. Tetapi tubuh itu benar-benar sudah tidak bernafas lagi.
" Aku tidak mempunyai pilihan lain " desis Sabungsari.
Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Namun kematian Ki
Patitis adalah satu isyarat yang sangat buruk bagi Ki Manuhara dan para pengikutnya.
Dalam pada itu, Ki Tangkil tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu, maka iapun
telah mengerahkan segenap kemam-puannya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi maka
Ki Tangkilpun juga mempunyai ilmu andalan yang hanya dilepaskan disaat-saat yang
paling gawat. Agaknya saat itu sudah menganggap bahwa keadaan menjadi sangat gawat setelah
kematian Ki Patitis. Itulah sebabnya, maka Ki Tangkilpun merasa perlu untuk mengerahkan kemampuannya
yang tertinggi untuk secepatnya mengakhiri perlawanan anak yang dianggapnya masih
terlalu muda itu. Namun Glagah Putihpun telah mempersiapkan diri pula untuk menghadapi lawannya.
Menilik sikapnya, Glagah Putih dapat membaca, bahwa lawannya tentu sudah
mempersiapkan diri untuk secepatnya mengakhiri pertempuran itu. Tetapi Glagah Putih
masih belum tahu apa yang akan dihadapinya kemudian.
Sementara itu, Ki Tangkil berusaha untuk menekan lawannya dengan kemampuannya
bergerak cepat. Tetapi Glagah Putihpun mampu mengimbanginya. Tetapi ketika Ki Tangkil
itu menyerang dengan hentakkan yang tiba-tiba, maka Glagah Putih memang agak
terdesak surut. Tetapi Ki Tangkil tidak memburunya, la justru meloncat surut untuk mengambil jarak.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Tangkil telah mempersiapkan diri
untuk segera berusaha menghabisi perlawanan Glagah Putih.
Ketika Glagah Putih bersiap untuk menyerang, maka ia melihat Ki Tangkil memasukkan
sesuatu kedalam mulutnya, sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun dengan seksama
memperhatikan, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tangkil dengan mulutnya itu.
Namun Ki Tangkil tidak segera menyerangnya dengan serangan yang menentukan. Ia
masih berusaha untuk melangkah mendekat dan menyerang dengan senjatanya.
Glagah Putih menangkis serangan itu dengan pedangnya. Namun perhatiannya
memang sudah terbagi. Sambil memperhatikan senjata Ki Tangkil, ia masih harus
memperhatikan mulutnya yang setiap saat akan dapat dipergunakan untuk
menyerangnya. Namun Glagah Putih tidak mau berlama-lama dalam kegeli-. sahan. Untuk memaksa
lawannya segera mempergunakan kemampuan puncaknya maka Glagah Putih telah
berusaha untuk menekan Ki Tangkil dengan ujung pedangnya.
Sebenarnyalah, ketika ujung pedang Glagah Putih seakan-akan memburunya dan
bahkan seakan-akan telah menyentuh kulitnya, Ki Tangkil tidak menunda-nunda lagi.
Ketika ia terdesak beberapa langkah surut, maka iapun telah menghembuskan senjata
rahasianya kearah tubuh Glagah Putih.
Benar-benar satu serangan yang mengejutkan. Meskipun Glagah Putih telah
menduganya, tetapi rasanya serangan itu datang begitu cepatnya, seperti anak panah
yang meloncat dari busurnya pada jarak yang terlalu pendek.
Glagah Putih melihat butiran-butiran lembut terhambur dari mulut lawannya.
Namun Glagah Putih menyadari, bahwa butiran lembut itu tentu bukan sekedar
dihembuskan lewat mulut lawannya dengan dorongan kekuatan wajarnya. Tentu senjata
rahasia itu telah dihembuskan dengan kekuatan ilmu yang tinggi.
"Aji Pacar Wutah " desis Glagah Putih didalam hatinya, sementara itu iapun telah
berusaha dengan segenap kemampuan-nya untuk menghindari serangan itu.
Namun Glagah Putih tidak mampu bergerak secepat terbang butiran-butiran senjata
rahasia yang dilontarkan dari mulut KiTangkil itu. Aji Pacar Wutah itu benar-benar telah
menyentuh tubuh Glagah Putih. Meskipun hanya pada pundaknya, karena Glagah Putih
yang dengan cepat menggeliat.
Namun butiran-butiran kecil itu bagaikan telah menembus masuk sampai ketulang,
Glagah Putih telah mengaduh tertahan. Perasaan pedih yang sangat telah menyengat
pundaknya yang terluka itu,
Dengan demikian Glagah Putih tidak sempat berpikir panjang. Ia sadar, bahwa lukanya
itu akan dapat mengurangi kemampuannya sehingga perlawanannya akan menjadi
semakin lemah. Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak mempunyai pilihan lain. Selagi ia
masih mampu melakukannya.
Karena itulah, maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan terakhir itu untuk
menyelesaikan lawannya. Tanpa menghiraukan luka-lukanya, maka Glagah Putih telah menghentakkan segenap
kemampuan serta ilmu puncaknya. Dengan memusatkan nalar budinya, tanpa
menghiraukan perasaan sakit yang mencengkamnya, maka Glagah Putih telah
menghentakkan ilmunya dilambari oleh kemarahan yang membakar jantungnya.
Pada saat lawannya, Ki Tangkil siap menyemburkan butiran-butiran senjata rahasianya,
maka Glagah Putih yang sudah siap lahir dan batinnya itu telah mengangkat tangannya
dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya. Satu gerakan yang khusus
dilakukan oleh Glagah Putih ternyata telah mengejutkan lawannya yang memiliki ilmu
Pacar Wutah itu. Seleret sinar telah memancar langsung menyambar kearah Ki Tangkil
yang hampir saja sempat melepaskan senjata rahasianya dengan kemampuan Aji Pacar
Wutah. Namun Ki Tangkil telah mengurungkan serangannya. Dengan tangkas pula Ki Tangkil
itu meloncat menghindarkan dirinya. Ketika ia terjatuh, maka iapun segera berguling
beberapa kali karena serangan Glagah Putih berikutnya telah memburunya.
Namun Glagah Putih tidak menyerangnya lagi ketika ia sempat meloncat bangkit.
Bahkan seakan-akan Glagah Putih tidak lagi sempat menyerangnya, ketika Ki Tangkil
merasa mempunyai kesempatan untuk menyemburkan senjata rahasianya dengan
lambaran Aji Pacar Wutah.
Namun agaknya Glagah Putih memang menunggu. Dengan penuh keyakinan dan
percaya diri, maka Glagah Putih berusaha untuk membenturkan ilmu Pacar Wutah itu
dengan lontaran ilmunya. Namun dengan doa dan pasrah diri didalam hati kepada Maha
Penciptanya. Dengan demikian, maka kedua ilmu yang menggetarkan telah berbenturan. Ternyata
bahwa kepercayaan diri Glagah Putih dalam kepasrahannya itu tidak sia-sia. Ilmu Glagah
Putih yang muda itu ternyata memang selapis lebih tinggi dari ilmu lawannya, sehingga
karena itu, maka benturan ilmu itu telah
menentukan akhir dari pertempuran antara Glagah Putih melawan Ki Tangkil.
Semburan senjata rahasia Ki Tangkil yang memancar keaah tubuh Glagah Putih itu
ternyata telah disapu oleh kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Glagah Putih demikian
meloncat dari mulut Ki Tangkil.
Terdengar Ki Tangkil itu terpekik kesakitan. Sambil menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya, maka Ki Tangkil itu jatuh berguling-guling ditanah.
Glagah Putih sendiri ternyata terkejut melihat akibat dari benturan itu. Ia tidak mengira
bahwa senjata rahasia yang dilontarkan dari mulut Ki Tangkil itu telah berbalik, justru
mengenai wajahnya sendiri. Namun karena kekuatan Aji Pacar Wutah itu, hentakkan balik
karena benturan dengan kekuatan ilmu Glagah Putih maka kekuatannyapun melemah.
Baik ilmu Glagah Putih sendiri, apalagi ilmu Ki Tangkil yang telah terhempas oleh
kekuatan ilmu Glagah Putih itu. Namun dengan demikian maka senjata rahasia Ki Tangkil
itu tidak didorong oleh kekuatan yang cukup untuk menghancurkan dan membunuh Ki
Tangkil. Sehingga dengan demikian, maka butiran-butiran lembut yang terhempas oleh
ilmu Glagah Putih yang melemah karena benturan ilmu itu justru hanya melukai wajah Ki
Tangkil. Namun luka itu agaknya cukup parah.
Bahkan Glagah Putih menjadi ngeri melihat akibat dari benturan itu. Apalagi ketika Ki
Tangkil masih juga berusaha untuk membalasnya.
Dengan sisa kekuatannya, ternyata Ki Tangkil telah bangkit dan berdiri pada lututnya.
Ketika ia membuka kedua tangannya yang menutup wajahnya, maka jantung Glagah Putih
telah tergetar. Karena itu, maka Glagah Putih benar-benar ingin dengan cepat mengakhiri lawannya.
Namun ternyata Glagah Putih agak terlambat justru karena ia termangu-mangu melihat
sasarannya. Karena itu, Glagah Putih justru harus meloncat menghindari lawannya lebih
dahulu. Lawannya dengan wajah yang mengerikan itu. Wajah yang penuh
dibasahi dengan darah karena luka-lukanya.
Namun demikian Glagah Putih menghindar, maka iapun dengan cepat telah
melontarkan serangannya pula.
Serangan yang dilontarkan dengan kekuatan ilmu puncaknya dari jarak beberapa
langkah itu telah meluncur kearah Ki Tangkil yang terluka diwajahnya itu. Serangan yang
tepat mengenai sasarannya.
Sekali lagi Ki Tangkil berteriak. Bukan saja karena kesakitan. Tetapi justru karena
kemarahan, kekecewaan dan kebencian yang menghentak-hentak didadanya sementara ia
merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. karena ia sadar, bahwa serangan
anak yang masih terlalu muda itu akan menghabisi perlawanannya.
Sebenarnyalah bahwa tusukan ilmu Glagah Putih yang tepat mengenainya, telah
melemparkannya. Demikian teriakannya terhenti sesaat ia jatuh berguling, maka Ki
Tangkil itupun terdiam untuk selama-lamanya.
Dengan demikian maka ketahanan jiwani para pengikut Ki Manuhara menjadi goncang.
Orang-orang yang ditugaskan secara langsung untuk menangkap hidup atau mati sasaran
utama mereka datang ke Tnah Perdikan Menoreh itu justru sudah terbunuh oleh anakanak
muda yang akan mereka tangkap itu sendiri. Sementara Ki Manuhara dan Ki Samepa
telah mendapat lawan yang berilmu sangat tinggi,sehingga mampu mengimbangi ilmu Ki
Manuhara dan Ki Samepa yang dianggap oleh para pengikutnya sebagai orang yang tidak
terkalahkan. Ki Manuhara sendiri tidak dapat menutup kenyataan itu. Dua orang yang dianggap
memiliki kemampuan terbaik diantara para pengikutnya itu telah terbunuh.
Tetapi Ki Manhara sendiri bukan orang yang mudah menyerah. Demikian pula Ki
Samepa yang memang ingin mematahkan jalur perguruan Orang Bercambuk disamping
tugasnya mendampingi Ki Manuhara yang datang ke Mataram dengan satu niat yang
matang. Kedua orang itu masih berharap untuk menghancurkan lawan-lawan mereka, Jika
mereka berhasil, maka yang lain tidak akan sulit untuk menyelesaikannya.
Namun kenyataan yang terjadi memang menggelisahkannya. Para pengikutnya
mengalami kesulitan untuk menghadapi para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus
yang memasuki halaman rumah itu. Sementara itu pengikut Ki Manuhara sendiri, agaknya
telah seluruhnya yang tinggal berada dihalaman itu. Tidak ada lagi lidah api yang baru
melonjak menggapai langit. Meskipun api masih berkobar, tetapi Ki Manuhara menduga,
bahwa diluar halaman rumah itu, para pengawal dan prajuri dari Pasukan Khusus itu
sudah dapat menguasai keadaan.
Sebenarnyalah, Ki Gede Menoreh, Prastawa dan para pengawal dibantu oleh beberapa
orang prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di tanah Perdikan Menoreh itu
sudah menguasai keadaan. Orang-orang yang menjadi ketakutan dan mengungsi ke
banjar atau ke rumah Ki Gede sudah mulai ditenangkan, meskipun diantara mereka masih
ada yang seakan-akan kehilangan akal. Tetapi mereka telah berada di tempat yang aman,
dibawah pengawasan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang laki-laki yang memiliki keberanian, dibantu oleh para pengawal
berusaha untuk memadaman api yang masih menyala menelan beberapa rumah. Tetapi
mereka memang mengalami kesulitan karena tidak hanya sebuah rumah yang terbakar,
sehingga api menjadi sulit untuk dikuasai. Yang kemudian dilakukan oleh orang orang
pedukuhan induk Tanah Perdikan itu adalah mencegah menjalarnya api ke bangunanbangunan
yang masih belum terbakar, tetapi terlalu dekat dengan api.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung di halaman rumah Agung Sedayu. Ki
Manuhara dan Ki Samepa yang gelisah telah memanjatkan ilmunya menuju ke
kemampuan puncak. Sementara itu, mereka masih menunggu, apakah kedua orang anak
muda yang menjadi sasaran utama kehadiran mereka di Tanah Perdikan Menoreh namun
justru telah membunuh orang-orang yang ditugaskannya untuk menangkap mereka itu
akan melibatkan diri dalam pertempuran antara orang-orang berilmu sangat tinggi itu.
Namun ternyata bahwa Sabungsari justru telah mendekati Glagah Putih yang terduduk.
Luka-luka dipundaknya justru menjadi semakin menggigit. Perasaan sakit yang sangat
telah menusuk-nusuk sampai ketulang.
Agung Sedayu yang menjadi cemas ketika ia melihat Glagah Putih telah dipapah oleh
Sabungsari ke serambi gandok, sementara pertempuran masih berlangsung terus.
Yang kemudian juga berlari-lari mendekat adalah Rara Wulan. Setelah berusaha
melepaskan diri dari lawannya, maka iapun segera berlari demikian ia melihat Glagah
Putih nampaknya terluka dipertempuran itu, sementara seorang prajurit telah menahan
seorang yang berusaha memburunya.
" Kau kenapa kakang" " bertanya Rara Wulan dengan nafas yang terengah-engah.
Sebenarnyalah ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menundukkan
lawannya, dan kemudian berlari menghampur kearah Glagah Putih yang disangkanya
terluka parah. Namun luka dipundak Glagah Putih memang cukup parah Darah memang tidak terlalu
banyak mengalir dari luka lukanya itu. Namun baik Sabungsari maupun Rara Wulan
mengetahui, bahwa luka-luka Glagah Putih cukup berbahaya. Butiran-butiran yang lembut
telah menyusup kulit dan dagingnya. Tidak hanya satu dua tetapi lebih dari sepuluh
bahkan dua puluh luka terdapat dipundaknya itu. Sehingga pundak Glagah Putih itu
menjadi seperti sarang lebah.
Namun Glagah Putih masih mencoba untuk tersenyum sambil menjawab " Tidak apaapa Rara. "
Ketika Rara Wulan melihat luka itu, iapun segera memalingkan wajahnya sambil
berkata " Luka itu cukup berbahaya bagimu kakang. "
" Biarlah ia beristirahat " berkata Sabungsari.
" Tetapi luka-lukanya itu" " bertanya Rara Wulan.
" Memang perlu segera diobati. Tetapi aku tidak dapat melakukannya. Nanti kita
serahkan kepada kakang Agung Sedayu yang serba sedikit telah memiliki pengetahuan
tentang obat-obatan yang diwarisinya dari Kiai Gringsing " jawab Sabungsari yang juga
menjadi gelisah. " Tetapi kapan kakang Agung Sedayu selesai" " bertanya Rara Wulan.
Diluar sadarnya Sabungsari berpaling ke halaman. Namun justru jantungnya menjadi
semakin cepat bergetar. Ia melihat lawan Agung Sedayu telah mengerahkan ilmunya
sehingga nampaknya ia berhasil mendesak Agung Sedayu.
Bahkan Rara Wulan yang juga sempat memandang ke arena berdesis " Kakang,
turunlah ke arena. Biar aku menjaga kakang Glagah Putih.
Tetapi Sabungsari yang memiliki kemampuan lebih tinggi dari Rara Wulan tidak segera
bergeser. Ia memang melihat pedang pendek ditangan lawan Agung Sedayu itu telah
menjadi merah membara. Agaknya bukan saja pedang itu menjadi panas, tetapi udara
yang bergetar oleh ayunan pedang pendek itupun menjadi panas pula, sehingga beberapa
kali Agung Sedayu terdesak surut. Meskipun ujung cambuk Agung Sedayu masih tetep
menggelepar, namun agaknya senjata lawannya itu telah terpengaruh pula atas medan
pertempuran itu. Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu telah menge-trapkan ilmu kebalnya,
sehingga panas yang terpancar dari pedang pendek yang berpuraran menyambar dan
mematuk itu tidak terlalu berpengaruh terhadap Agung Sedayu.
Meskipun beberapa kali Agung Sedayu memang bergeser surut, namun sebenarnyalah
bahwa ujung cambuknya masih juga sangat berbahaya bagi lawannya. Meskipun ujung
cambuk itu belum berhasil menggores kulit Ki Samepa, namun getarannya yang sangat
kuat itu setiap kali memang terasa bagaikan menekan jantung, sehingga Ki Samepa itu
kadang-kadang harus menahan diri justru saat-saat ia mendapat kesempatan untuk
menyerang. Karena itu, maka Ki Samepapun tidak menunggu lagi. Meskipun ia juga melihat bahwa
seorang diantara anak-anak muda yang diburunya itu terluka, namun iapun masih saja
digelisahkan oleh pertempuran itu dalam keseluruhan,
Apalagi ketika ia menyadari, bahwa sentuhan-sentuhan panas senjatanya tidak begitu
berpengaruh terhadap lawannya, bahkan ketika ia merasakan sentuhan pedang
pendeknya atas kulit lawannya tidak menimbulkan luka, maka orang itupun sadar, bahwa
lawannya itu tentu memiliki ilmu kebal.
Karena itu, maka tidak ada cara lain untuk menundukkan lawannya selain dengan
mengerahkan ilmu puncaknya.
Sabungsari, Rara Wulan dan bahkan Glagah Putihpun menjadi gelisah. Ia melihat
pedang pendek yang membara itu seakan-akan menjadi semakin panas. Cahaya yang
kemerah-merahan itu telah menjadi semakin merah bagaikan besi baja diperapian
seorang pande besi. Ketika pedang itu menjadi kebiru-biruan, maka Sabungsaripun
dengan tidak sengaja telah bergeser selangkah maju.
Glagah Putih yang terluka sempat berdesis " Kakang Sabungsari. Nampaknya lawan
kakang Agung Sedayu itu sudah sampai kepuncak ilmunya. "
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang,
" Mendekatlah " Rara Wulan hampir berteriak.
" Kakang Agung Sedayu nampaknya masih belum mempergunakan ilmu
pamungkasnya " desis Glagah Putih.
" Tetapi mendekatlah " ulang Rara Wulan
" Agung Sedayu mempunyai harga diri yang tinggi. Jika aku mencampuri pertempuran
itu, aku tidak yakin apakah Agung Sedayu tidak justru marah kepadaku " sahut Sabungsari.
Namun Sabungsari ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika ia melihat Sekar
Mirah mendekati Agung Sedayu, maka Sabungsaripun telah mendekatinya pula. Ia tidak
mencemaskan Agung Sedayu, apalagi Agung Sedayu masih belum mempergunakan ilmu


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puncaknya. Tetapi ia justru mencemaskan Sekar Mirah jika tiba-tiba saja ia mendapat
serangan dari lawan Agung Sedayu itu. Meskipun ilmu Sekar Mirah juga telah
berkembang, namun ilmu lawan Agung Sedayu itu agaknya memang sangat tinggi.
Yang kemudian menunggui Glagah Putih adalah Rara Wulan. Dengan penuh
kewaspadaan ia memperhatikan pertempuran yang terjadi di halaman rumah itu. Namun
agaknya orang-orang yang menyerang rumah itu untuk menangkap Sabungsari dan
Glagah Putih telah menjadi semakin terdesak.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Samepa dan Agung Sedayu memang menjadi
semakin sengit. Pedang pendek Ki Samepa menjadi semakin cepat berputaran. Panas
yang dilontarkannya menjadi semakin tajam sehingga mampu menembus perisai ilmu
kebal Agung Sedayu. Dengan demikian maka Agung Sedayu itu setiap kali memang harus
berloncatan surut menghindari lingkaran udara panas yang seakan-akan dihamburkan
oleh pedang pendek yang beterbangan itu.
Dengan cambuknya Agung Sedayu berusaha menahan getaran udara panas serta
serangan pedang pendek lawannya. Namun semakin lama terasa tekanan Ki Samepa itu
menjadi semakin berat. Rasa-rasanya, kemana ia pergi dan menghindar, ujung pedang itu
selalu memburunya. Kadang-kadang terasa sentuhan-sentuhan tajamnya pedang yang
membara bahkan sampai kebiru-biruan itu.
Dengan demikian Agung Sedayupun menyadari, bahwa pedang pendek lawannya itu
telah mampu menggetarkan perisai ilmu kebalnya. Jika Ki Samepa sempat meningkatkan
selapis lagi ilmunya, maka ilmu kebalnya tentu akan tertembus oleh pedang pendek yang
membara kebiru-biruan itu.
Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak lagi menunggu. Namun Agung Sedayu
memang berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan mempergunakan
cambuknya. Ia sudah berada pada tataran yang lebih tinggi dari ilmu yang diwarisinya
dari gurunya, Kiai Gringsing berdasarkan kitab yang dipelajarinya.
Sementara itu Sabungsari dan Sekar Mirah menjadi cemas. Mereka seakan-akan
melihat bahwa Agung Sedayu tidak sempat, mengambil jarak untuk melontarkan ilmu
pamungkasnya lewat sorot matanya, sebagaimana dilakukan oleh Sabungsari. Bahkan
beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan menghindari serangan pedang lawannya
yang bagaikan terbang mengitarinya
Apalagi ketika mereka melihat ujung pedang itu sempat menyentuh lengan Agung
Sedayu. Bukan saja mengoyakkan pakaiannya, tetapi juga mengoyakkan kulit dagingnya.
Lukanya bukan saja karena kulitnya terkoyak. Tetapi luka itu juga bagaikan luka bakar
yang menghanguskan pakaian dan kulitnya.
Agung Sedayu berdesis menahan pedih. Namun Sekar Mirahlah yang terpekik kecil. Ia
sadar bahwa lawan Agung Sedayu itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi, yang
mampu memecahkan ketahanan ilmu kebal Agung Sedayu. Bahkan lawan Agung Sedayu
itu juga mampu bergerak secepat Agung Sedayu pula.
Luka itu membuat Agung Sedayu semakin mantap mengerah kan kemampuannya.
Cambunya berputar semakin cepat Hentakan-hentakannya tidak lagi bersuara. Namun
getarannya bagaikan memukul dinding dada lawannya. Tulang-tulang iganya seakan-akan
menjadi retak karenanya. Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin sengit Ujung pedang pendek Ki
Samepa yang membara hingga kebiru-biruan itu telah menyentuh tubuh Agung Sedayu
sekali lagi. Meskipun hanya goresan tipis karena Agung Sedayu sempat menggelia
menghindar, namun lambungnya terasa digigit oleh perasan pedih.
Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia sudah dilukai oleh lawannya dilengan dan
lambungnya. Seandainya ia tidak mempergunakan ilmu kebal, maka luka itu tentu akan
menganga lebar bahkan mungkin akan sampai ke tulang.
Namun demikian, Agung Sedayu tidak lagi dapat membiar kan lawannya mengenai
tubuhnya lagi. Cambuknya pun semakin cepat bergetar, menyusup disela-sela putaran
pedang pendek lawannya yang membara.
Ternyata ilmu Agung Sedayu yang telah meningkat itu benar benar dahsyat. Ia sengaja
tidak mempergunakan serangan lewat sorot matanya. Namun putaran cambuknya,
ternjata kemudian mampu mengatasi kecepatan putaran pedang lawannya
*** JILID 275 KETIKA pedang pendek Ki Samepa menyambar kearah leher Agung Sedayu, ia sempat
menghindar sambil merendahkan tubuhnya. Dengan tangkasnya. Agung Sedayu
menghentakkan juntai cambuk. Tidak menebas sendal pancing, tetapi juntai cambuk
Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi sebatang tombak kecil yang tajam. Juntai itu
menusuk lurus kearah lambung ki Samepa.
Ki Samepa memang terkejut. Ia berusaha untuk menghindar, Namun tiba-tiba saja
Agung Sedayu telah melecutkan ujung cambuknya itu mendatar.
Ki Samepa yang mengendalikan pedang pendeknya itu terkejut sekali lagi. Tetapi ujung
juntai cambuk Agung Sedayu itu benar-benar telah menggapai tubuhnya. Sentuhan kecil
justru menggores dadanya melintang.
Ki Samepa meloncat mengambil jarak. Giginya gemeretak menahan kemarahan yang
bergejolak didadanya yang terluka itu. Meskipun tidak terlalu dalam, namun dadanya
memang sudah terluka. Darah telah mengalir dari lukanya itu. Ketika keringatnya
menyentuh luka didadanya itu, maka iapun merasa luka-lukanya itu menjadi semakin
pedih. Ketika keduanya sudah terluka. maka pertempuran itu benar-benar mencapai
puncaknya. Keduanya telah mengerahkan kemampuan puncak mereka. Pedang pendek Ki
Samepa yang menjadi kebiru-biruan itu berputar semakin cepat. Menggelepar seperti ular
yang bergumul dengan mangsanya. Namun kemudian mematuk lurus ke sasaran. Namun
pedang itu sempat pula melayang menyambar seperti burung Srigunting diudara.
Tetapi juntai cambuk Agung Sedayupun tidak kalah berbahayanya. Meskipun tidak lagi
mledak memekakkan telinga, namun juntai cambuk itu mampu menebas mendatar seperti
mata pedang, namun kemudian menusuk seperti ujung tombak. Jika juntai cambuk itu
berputar di sekitar tubuhnya melindungi diri, maka putaran nya bagaikan kabut putih di
kegelapan malam. Dengan demikian pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Ketika sekali
lagi tajamnya pedang pendek itu tergores ditubuh Agung Sedayu, maka dengan
kemampuannya yang semakin meningkat, ujung cambuknya telah memburu lawannya.
Dua kali ujung cambuk itu tergores ditubuh Ki Samepa. Dipun-daknya dan dilambungnya
pula. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu tidak memberi banyak kesempatan lagi kepada
lawannya. Selagi keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas, serta para prajurit
dan pengawal hampir menguasai keadaan seluruhnya, maka Agung Sedayupun telah
menghentakkan segenap kemampuan dan ilmunya. Kemampuannya bermain cambuk
sebagai seorang murid utama dari perguruan Orang Bercambuk telah benar-benar
ditunjukkan kepada lawannya yang ingin berhadapan dengan Orang Bercambuk itu
sendiri. Namun agaknya Sabungsari dan Sekar Mirah tidak mengerti maksud Agung Sedayu,
bahwa ia ingin menunjukkan kepada lawannya, orang yang ingin menghancurkan
perguruan Orang Bercambuk bahwa ia tidak akan mungkin melakukannya. Bahkan
terhadap salah seorang murid perguruan Orang Bercambuk itupun ia tidak mampu
mengatasinya. Sebenarnyalah Ki Samepa memang menjadi heran bahwa lawannya, salah seorang
murid utama dari perguruan Orang Bercambuk itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Meskipun kadang kadang ia melihat unsur lain dari perguruan Orang Bercambuk itu
namun pada saat terakhir murid utama itu benar-benar telah meng etrapkan kemampuan
tertinggi dari ilmu yang mengalir lewat per guruan Orang Bercambuk itu.
Ditempat yang agak jauh, Glagah Putih dan Rara Wulanpun memperhatikan
pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali mereka sempat juga memperhatikan Ki Jayaraga yang bertempur dengan
pimpinan tertinggi dari orang-orang yang sedang memburu Sabungsari dan Glagah Putih
itu. Namun mereka sama sekali tidak merasa cemas. Mereka masih melihat keduanya
dalam keadaan yang seimbang, Baik Ki Jayaraga maupun lawannya, sekali-sekali terdesak.
Namun pada kesempataan lain telah mendesak lawannya.
" Untuk sementara keduanya masih dalam keadaan seimbang " berkata Glagah Putih
didalam hatinya. Karena itu maka perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan terutama tertuju pada
pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya yang mampu mengendalikan pedang
pendeknya sehingga menjadi seperti seekor burung yang hidup yang dikendalikan oleh
kehendak orang itu. Namun sampai ketegangan rasa-rasanya mencekik leher Glagah Putih, Agung Sedayu
masih belum mempergunakan ilmu puncaknya.
Meskipun demikian, namun pertempuran itu memang nampak menjadi semakin cepat
dan semakin keras. Bahkan kemudian yang disaksikan oleh Sabungsari dan Sekar Mirah,
yang berdiri lebih dekat dari arena pertempuran itu, keduanya telah saling melukai.
Tetapi disaat-saat terakhir, ketika darah semakin banyak mengalir pada keduanya,
Agung Sedayu telah mengetrapkan beberapa macam ilmunya bersama-sama. Pengetrapan
ilmu kebal yang semakin tajam membuat pancaran ilmunya itu menimbulkan udara panas,
mengimbangi udara panas yang dilepaskan oleh lawannya lewat getaran pedang
pendeknya yang beterbangan. Kemudian puncak dari ilmunya meringankan tubuh, puncak
dari kekuatan tenaga cadangannya, dan puncak dari kemampuan ilmu cambuknya
Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba saja serangan Agung Sedayu telah
membingungkan lawannya. Cambuknya yang berputaran membuat lawannya menjadi
gelisah. Hampir bersamaan waktunya, maka Ki Jayaragapun harus mengerahkan
kemampuannya. Ki Manuhara yang tanggap akan keadaan, berniat untuk menghancurkan
Ki Jayaraga dengan cepat, agar ia dapat segera ikut menyelesaikan para pengawal dan prajurit
dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh yang telah ikut membantu
melindungi kedua orang anak muda yang akan diambilnya, namun yang justru telah
membunuh dua orang kepercayaannya.
Namun demikian Ki Manuhara meningkatkan ilmunya, maka Ki Jayaragapun
melakukannya pula. Bahkan ternyata bahwa Ki Jayaraga yang memiliki kemampuan
berpegang kepada kekuatan yang disadapnya dari kekuatan bumi, tidak lagi dengan
mudah diguncangnya dengan hembusan praharanya.
Namun Ki Manuhara yang memiliki ilmu yang tinggi itu, bukan saja mampu
menghembus lawannya dengan kekuatan ilmu Sapta Prahara, namun ternyata Ki
Manuhara juga memiliki ilmu yang lain yang tidak kalah dengan ilmunya yang tidak lagi
dapat mengguncang Ki Jayaraga.
Ki Jayaraga memang masih terguncang ketika Ki Manuhara mengetrapkan ilmu Rog-rog
Asem. Getaran yang menghentak-hentak dadanya, rasa-rasanya akan memecahkan
tulang-tulang iganya. Namun Ki Jayaraga selain memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi, iapun memiliki
kemampuan bergerak dengan cepat. Bahkan untuk menghentikan serangan lawannya, Ki
Jayaragapun telah menyerang dengan ilmunya yang dahsyat pula. Hembusan lidah api
yang menjilat dengan garangnya didorong oleh hembusan udara yang keras telah
membuat malam menjadi sangat mengerikan.
Namun api itu bagaikan luluh terhisap oleh ilmu Ki Manuhara yang sempat membuat Ki
Jayaraga berdebar-debar. Api yang dihembuskan itu seolah-olah telah menyusup kedalam
kabut putih sedingin embun di dini hari. Terdengar desis yang mendebarkan jantung,
seakan-akan lidah api yang tersiram air.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang berilmu sangat tinggi itu
menjadi semakin sengit. Mereka tidak lagi berloncatan menghindar dan menyerang. Tetapi
benturan-benturan ilmulah yang telah terjadi.
Keringat telah membasahi seluruh pakaian dan tubuh kedua orang itu bagaikan baru
saja menyelam di belumbang.
Meskipun keduanya masih belum terkelupas kulitnya, apalagi terluka, namun keduanya
telah merasa betapa pertempuran itu telah sangat meletihkan. Mereka telah menghentakhentakkan
ilmu mereka. Namun keduanya masih mampu menghindar, menangkis dengan
membenturkan ilmu mereka yang tinggi.
Namun sebenarnyalah getaran dari hentakkan-hentakkan ilmu mereka telah
mengguncang isi dada mereka, sehingga nafas mereka pun menjadi semakin lama
semakin terengah-engah. Perasaan sakit terasa menusuk-nusuk seperti ujung duri yang
terperosok kedalam jantung mereka. Da-rahpun serasa semakin cepat mengalir memanasi
daging dan tulang. Kedua orang yang berilmu tinggi itu semakin lama menjadi semakin letih. Mereka saling
membenturkan ilmu mereka yang terbaik mereka miliki. Ilmu Rog-rog Asem didukung oleh
kemampuan dan tenaga dalam yang tinggi. Bahkan kemudian ilmu jarang ada duanya,
Guntur Manunggal. Untuk sesaat Ki Jayaraga memang terdesak. Tetapi untuk mengatasi kemampuan ilmu
lawannya, maka Ki Jayaraga tidak dapat berbuat lain. Guntur Manunggal memang tidak
dapat dilawan tanpa ilmu yang memiliki kemampuan setingkat. Karena itu, maka Ki
Jayaragapun telah menghentakkan ilmu simpanannya. Ilmu yang hampir tidak pernah
dipergunakannya, karena ilmu itu adalah ilmu pemusna. Jarang ada orang yang mampu
bertahan dalam keadaan yang tetap utuh menghadapi ilmunya itu. Ilmu yang sudah
hampir hilang dari antara orang-orang berilmu tinggi, Aji Sigar Bumi.
Sementara itu, pertempuran di halaman itu memang sudah mulai menyusut. Para
pengikut Ki Manuhara tidak berdaya lagi menghadapi para pengawal dan para prajurit
Mataram. Mereka menjadi semakin tersudut. Yang terluka sudah tidak berdaya lagi.
Sementara yang lain terbaring silang melintang.
Sedangkan keadaan diluar halaman rumah Agung Sedayu itupun menjadi tenang.
Meskipun api masih nampak menyala, namun sudah menjadi semakin redup, sehingga
tidak lagi membuat seisi padukuhan induk itu kebingungan meskipun orang-orang
padukuhan induk itu masih sibuk berusaha untuk memadamkannya sama sekali.
Beberapa pengikut Ki Manuhara yang tertangkap diluar halaman rumah Agung Sedayu
telah digiring ke halaman rumah Ki Gede. Hampir saja orang-orang padukuhan induk
Tanah Perdikan itu kehilangan kendali, sehingga membunuh semua pengikut Ki Manuhara
meskipun mereka telah menyerah. Untunglah, betapapun darah Ki Gede mendidih dijantungnya,
namun ia masih dapat mencegah agar orang-orang Tanah Perdikan itu masih
tetap dikendalikan oleh penalarannya yang bening.
Karena itulah, maka mereka yang telah menyerah dan tertangkap hidup masih
mendapat kesempatan untuk menunggu terbitnya matahari di keesokan harinya, karena
nampaknya langit sudah menjadi semburat merah.
Sementara itu, pertempuran di halaman rumah Agung Sedayupun hampir mencapai
puncaknya. Para pengikut Ki Manuharapun telah dilumpuhkan. Yang masih tetap segar
Alap Alap Laut Kidul 3 Dewa Arak 27 Kembalinya Raja Tengkorak Panji Sakti 3
^