Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 31

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31


satu demi satu melemparkan senjatanya untuk menyerah.
Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi antara Ki Manuhara melawan Ki
Jayaraga serta Ki Samepa melawan Agung Sedayu menjadi semakin sengit. Keduanya
telah mencapai puncak dari kemampuan mereka masing-masing. Hampir bersamaan
waktunya mereka yang terlihat dalam pertempuran itu berusaha untuk menyelesaikan
lawan mereka. Dalam pada itu, maka Ki Manuhara yang sudah siap melontarkan ilmu puncaknya untuk
menghancurkan lawannya, Ki Jayaraga. Meskipun Ki Jayaraga sempat menghindar ketika
Ki Manuhara melepaskan ilmu puncaknya namun Ki Manuhara tidak membiarkannya
terlepas dari tangannya. Namun ketika Ki Manuhara memburunya dan siap melepaskan Aji
Guntur Manunggal maka Ki Jayaragapun telah siap
pula dengan ilmunya yang jarang dilepaskannya. Aji Sigar Bumi.
Dua ilmu yang dahsyat saling berbenturan. Dua kekuatan yang jarang ada bandingnya.
Karena itu benturan antara keduanya bagaikan benturan antara dua buah gunung yang
saling beradu. Dua ilmu yang dhasyat yang jarang ada duanya.
Dalam benturan itu, Ki Jayaraga bagaikan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan
tubuhnyapun telah terbanting jatuh hampir saja menimpa sebatang pohon yang ikut
terguncang meskipun tidak terkena langsung oleh kedua macam ilmu yang saling
berbenturan itu. Sementara itu, Ki Manuharapun telah terlempar pula dan jatuh berguling kearah pintu
regol halaman rumah A-gung Sedayu.
Ternyata akibatnya sangat pahit bagi keduanya. Ketika keduanya berusaha untuk
bangkit, maka terasa dada mereka menjadi sesak. Bahkan kemudian terasa sangat sakit.
Hampir saja keduanya tidak mampu lagi berdiri tegak. Apalagi ketika ternyata terasa
darah yang hangat mengalir dari sela-sela bibir mereka.
Ki Manuhara yang mempunyai kemampuan yang sangat tinggi itu masih sempat
membuat perhitungan sekilas. Ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Karena itu,
maka tidak ada pilihan lain kecuali menghindarkan diri dari neraka itu. Ia sadar bahwa di
halaman rumah itu terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi selain orang yang
bertempur melawannya. Karena itu dengan sisa tenaganya, Ki Manuharapun segera berlari tertatih-tatih kepintu
regol dan hilang dijalan yang membentang didepan rumah Agung Sedayu itu.
Meskipun Ki Manuhara itu terluka parah dibagian dalam tubuhnya, namun dengan sisa
tenaga yang masih ada, ia masih mampu menghilang di gelapnya malam, menyusup
diantara emak-semak di halaman-halaman rumah. Menghindari para pengawal dan
prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di padukuhan induk itu. Sisa
kemampuannya yang sangat tinggi, meskipun ia terluka parah dibagian dalam tubuhnya,
namun masih mampu mengatasi para pengawal dan prajurit yang berusaha mengejarnya.
Namun dalam pada itu, di halaman rumah Agung Sedayu, Ki Jayaraga yang juga
terluka dibagian dalam itu, berusaha mencegah orang-orang yang berusaha mengejar Ki
Manuhara. Sabungsari yang telah meloncat disusul oleh Sekar Mirah telah dipanggilnya.
" Jangan. Jangan kejar orang itu " teriak Ki Jayaraga " kemampuannya sangat
tinggi. " " Tetapi ia sudah terluka " jawab Sabungsari.
"Tetapi ia masih berbahaya. Ia sadar, bahwa Ki Jayaraga yang baru saja bertempur
melawan orang itu tentu sudah dapat menjajagi betapa tingginya kemampuan orang itu.
Karena itu, maka perhatian mereka tertuju kepada A-gung Sedayu yang masih
bertempur melawan seorang yang juga berilmu sangat tinggi.
Namun ternyata bahwa orang itu tidak mampu lagi mengatasi kecepatan gerak ujung
cambuk Agung Sedayu. Pedang pendeknya kemudian selalu terlambat mengimbangi
gelepar ujung cambuk lawannya yang masih terhitung muda itu. Karena itu, maka sebagai
seorang yang berilmu tinggi serta menyimpan beberapa jenis kemampuan ilmu, maka Ki
Samepa yang melihat Ki Manuhara melarikan diri, berusaha untuk berbuat serupa. Tetapi
ia harus berusaha mendapatkan kesempatan.
Karena itu, maka Ki Samepapun telah mengerahkan ilmu puncaknya. Dilontarkannya
pedang pendeknya kearah Agung Sedayu yang berusaha memburunya ketika Ki Samepa
mengambil jarak. Serangan yang sama sekali tidak diduganya, bahwa orang itu telah
melepaskan senjatanya yang agaknya menjadi saluran ilmunya yang menggetarkan itu.
Namun Agung Sedayu pun segera tanggap. Glagah Putihpun telah melakukan hal serupa
saat ia melemparkan pedangnya. Namun dengan demikian, maka Glagah Putih telah
mempergunakan kemampuan ilmunya untuk melawan kekuatan ilmu lawannya yang telah
melukainya. Sekilas penglihatannya atas pertempuran antara Glagah Putih dan lawannya itu, maka
iapun mampu memperhitungkan, bahwa agaknya lawannya pun akan berbuat demikian
pula. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap. Ia tidak mau dihancurkan oleh ilmu
lawannya, apapun namanya. Sehingga karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Ia akan mempergunakan kemampuan puncaknya yang didukung
oleh ilmu-ilmunya yang dimilikinya.
Namun Agung Sedayu sudah bertekad untuk melawan sampai akhir atas lawannya itu
dengan mempergunakan ilmu yang diwarisinya dari Kiai Gringsing. Apalagi Agung Sedayu
yang telah memperdalam ilmunya dari kitab Kiai Gringsing yang telah disimpannya seluruh
isinya direlung hatinya. Karena itulah, maka ketika ia melihat lawannya bersiap untuk meloncat dan
melontarkan ilmunya, Agung Sedayupun benar-benar telah bersiap pula. Dipeganginya
tangkai cambuknya kuat-kuat. Sementara itu, ia telah mengumpulkan segala kemampuan
dan ilmunya bukan saja yang diwarisinya dari Kiai Gringsing, tetapi juga unsur-unsur
kekuatan dari ilmunya yang lain. Puncak ilmu dari cabang perguruan ayahnya, Ki Sadewa,
serta tenaga dalamnya yang tersimpan didalam dirinya.
Namun semuanya itu akan tersalur lewat ilmunya yang diwarisinya dari Kiai Gringsing,
sehingga yang dilihat oleh lawannya yang ingin menghancurkan perguruan Orang
Bercambuk itu dengan membunuh murid utamanya, adalah unsur dari perguruan Orang
Bercambuk yang ingin dihancurkannya itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian maka Ki Samepa-pun telah meloncat untuk
melontarkan ilmunya yang dahsyat.
Ki Jayaraga, Sabungsari dan orang-orang yang menyaksikan serangan itu terkejut.Yang
dilakukan oleh Ki Samepa tidak ubahnya dari apa yang dilakukan oleh lawan Ki Jayaraga.
Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Samepa telah melontarkan ilmunya
Guntur Manunggal, sebagaimana ilmu Ki Manuhara.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah meloncat pula membentur kekuatan ilmu Aji
Guntur Manunggal itu. Dengan segenap Iambaran ilmu yang ada didalam dirinya. A-gung
Sedayu telah menghentakkan cambuknya. Dengan mata hatinya Agung Sedayu melihat
pusat kekuatan ilmu lawannya, sehingga iapun dapat memusatkan hentakkan ujung juntai
cambuknya ke arah puncak kekuatan Aji Guntur Manunggal yang diarahkan kepadanya.
Sekali lagi terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Ledakkan yang tidak terjadi pada
benturan ilmu Ki Manuhara dan Ki Jayaraga ternyata telah terjadi pada benturan ilmu Ki
Samepa dengan kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dilandasi oleh segala
macam kekuatan yang ada didalam dirinya.
Ternyata dalam benturan ilmu itu Agung Sedayu juga terlempar beberapa langkah
surut. Namun ternyata Agung Sedayu masih mampu mempertahankan keseimbangannya.
Meskipun terhuyung-huyung namun Agung Sedayu masih dapat mempertahankan diri
untuk tidak jatuh terbanting di-tanah.
Namun dalam pada itu, ternyata keadaan lawan Agung Sedayu menjadi sangat parah.
Ujung cambuk Agung Sedayu bukan saja mampu melontarkan getaran yang berkekuatan
sangat besar, sehingga mampu menangkal ilmu lawannya.
Tetapi ujung cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menghentak dengan
kemampuan yang sangat tinggi itu bukan saja menghamburkan getaran yang mampu
membentur dan mendorong kekuatan lawannya sehingga seakan-akan memantul, namun
juga telah menyentuh tubuh Ki Samepa. Sehingga dengan demikian maka Ki Samepapun
bukan saja terlempar dan terbanting jatuh, namun didadanya juga terdapat luka yang
menganga. Masih terdengar Ki Samepa itu mengaduh tertahan. Ketika ia menggeliat menahan
sakit, maka Agung Sedayupun telah melangkah mendekatinya.
Sabungsari dan Sekar Mirah mencoba menahannya. Namun Agung Sedayu berdesis "
Aku akan melihatnya. "
" Berhati-hatilah " desis Sekar Mirah. Namun Sekar Mirahpun melihat bahwa agaknya
Ki Samepa sudah tidak berdaya lagi.
Agung Sedayu memang berhati-hati ketika ia kemudian berjongkok disamping
lawannya yang terluka parah itu.
Diantara desah kesakitan. Ki Samepa itupun berdesis " Kau memang luar biasa. Aku
tidak mengira bahwa tataran ilmu dari perguruan Orang Bercambuk sudah demikian
tinggi, sehingga aku sama sekali tidak mampu melawan salah seorang murid utamanya. "
" Kenapa kau mendendam terhadap perguruan Orang Bercambuk" " bertanya Agung
Sedayu. Orang itu hanya memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata redup. Namun
ia berdesis " Aku hanya merasa iri atas kelebihannya. Namun ternyata bahwa aku telah
dibinasakan oleh perasaanku sendiri. "
Orang itu masih akan berbicara lagi. Namun nafasnya telah menjadi terputus-putus.
Yang kemudian terdengar adalah " Aku minta maaf kepada gurumu dan kepada saudarasaudara
seperguruanmu. Ternyata perguruan Orang Bercambuk masih merupakan
perguruan terbaik sampai saat ini. "
Agung Sedayu mendekatkan telinganya karena suara orang itu menjadi semakin lirih. Ia
masih mendengar orang itu seakan-akan mendesah " Namaku Ki Samepa. Apakah aku
belum mengatakannya sebelumnya" "
Namun nafas orang itu tiba-tiba saja telah berhenti. Namun Ki Samepa itu seakan-akan
masih sempat menempatkan dirinya dalam keadaan yang lebih baik. Sebagian dari
ganjalan didalam jantungnya telah sempat dikatakannya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia sempat memandang
berkeliling. Dilihatnya Glagah Putih yang terluka. Rara Wulan yang berdiri disebelahnya.
Namun kemudian ia terkejut ketika ia melihat Ki Jayaraga
terduduk lesu di tangga pendapa rumahnya. " Aku akan melihat Ki Jayaraga. Kau
ambil Glagah Putih dan bawa ke-pendapa pula."
Sabungsaripun kemudian telah pergi ke tempat Glagah Putih beristirahat ditunggui oleh
Rara Wulan. Dengan nada dalam ia berkata " Marilah. Kau dipanggil kakang Agung
Sedayu yang akan melihat kadaan Ki Jayaraga. "
Glagah Putih mengangguk. Sementara Sabungsari berkata " Aku bantu kau berjalan.
" Dibantu oleh Sabungsari dan Rara Wulan, Glagah Putih berjalan tertatih-tatih ke
pendapa. Pundaknya terasa sakit sekali. Rasa-rasanya pundaknya itu telah ditusuk-tusuk
dengan duri yang justru tidak tajam ujungnya.
Namun sambil berjalan Glagah Putih sempat bertanya" Bagaimana keadaan Ki
Jayaraga" " Ia terluka didalam " jawab Sabungsari " Tetapi aku belum sempat melihat
keadaannya. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Rara Wulan itupun berkata "
Kaupun terluka. Perhatikan lukamu lebih dahulu. Agaknya kau memerlukan pengobatan
segera " Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat untuk sama sekali tidak
menghiraukan Ki Jayaraga, karena Ki Jayaraga telah banyak membantunya. Ia adalah
gurunya yang telah mewariskan berbagai ilmu kepadanya.
Sementara itu Agung Sedayu yang merasa sedikit pening telah mendekati Ki Jayaraga.
Sambil duduk disebelahnya ia berkata kepada Sekar Mirah " Ambilkan minum. "
" Baik kakang " jawab Sekar Mirah. Namun ketika Sekar Mirah bergerak naik tangga
pendapa, Agung Sedayu terkejut melihat Baju Sekar Mirah bernoda darah.
" Kau terluka Mirah" " bertanya Agung Sedayu dengan cemas
Sedikit. Tidak apa-apa. " jawab Sekar Mirah. Agung Sedayu menarik nafas dalamdalam.
Namun demikian Sekar Mirah naik kependapa dan menuju ke pringgitan, Ki
Jayaraga berdesis " Lihatlah, apa yang terjadi dengan isterimu. "
" Kenapa dengan Sekar Mirah" " bertanya Agung
Sedayu. Ki Jayaraga akan menjawab. Tetapi ia justru terbatuk. Sepercik darah telah terlontar
dari mulutnya. " Ki Jayaraga " desis Agung Sedayu " bagaimana dengan kau" "
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Aku terluka
didalam. Tolong, ambil obat di kantong ikat pinggangku. "
Agung Sedayupun segera mengambilnya, sementara Sekar Mirah telah datang sambil
membawa air bening. " Minumlah Ki Jayaraga " desis Sekar Mirah.
Ki Jayaraga menerima air itu sementata Agung Sedayu telah mengambil butiran obat
dari kantong ikat pinggang Ki Jayaraga.
" Obat ini" " bertanya Agung Sedayu sambil menunjukkan obat yang diambilnya dari
kantong sebelah kanan dari ikat pinggang Ki Jayaraga.
Ki Jayaraga mengangguk sambil menerima obat itu. Katanya hampir tidak terdengar "
Obat ini hanya sekedar untuk meningkatkan daya tahan tubuhku. Tetapi obat ini belum
merupakan obat yang dapat menyembuhkan luka-luka dalamku. "
" Minumlah " berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Jayaragapun kemudian telah menelan obat itu dan minum beberapa teguk. Sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata " Mudah-mudahan keadaanku bertambah baik.
" Marilah. Aku bantu kau naik ke pendapa " berkata Agung Sedayu.
Ki Jayaraga tidak menjawab. Dibantu Agung Sedayu iapun kemudian berjalan tertatihtatih
naik ke pendapa dan duduk diatas tikar yang sudah dibentangkan. Sementara itu,
Sabungsari dan Rara Wulan telah membawa Glagah Putih ke pendapa itu pula.
Demikian Ki Jayaraga duduk, maka iapun berdesis " Kau juga terluka Glagah Putih" "
" Ya guru " jawab Glagah Putih " tetapi tidak apa-apa. Hanya luka pada kulitku. "
" Coba aku melihat lukamu " berkata Agung Sedayu.
Ketika Glagah Putih memperlihatkan lukanya, maka Sekar Mirahpun telah berpaling
pula sambil berdesis " Mengerikan. "
" Ia memerlukan pengobatan segera"desis Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk. Katanya " Ya. Luka luka itu tentu sakit sekali. Mudahmudahan
tidak merusakkan tulang-tulangnya --.
" Rawatlah anak itu lebih dahulu " berkata Ki Jayaraga " aku telah menelan obat
yang membuat daya tahan tubuhku semakin kuat. Karena itu, aku tidak memerlukan
pengobatan segera. "
" Tetapi guru luka didalam " berkata Glagah Putih sambil berdesis menahan sakit.
" Tidak apa-apa. Aku sudah menelan obat yang dapat membantuku bertahan
beberapa lama. " berkata Ki Jayaraga kemudian.
Glagah Putih tidak menyahut lagi. Sementara Agung Sedayu berkata " Baiklah. Aku
akan mencoba mengobati Glagah Putih. Ia telah terkena serangan senjata rahasia yang
berupa butiran-butiran lembut yang disemburkan dengan kekuatan Aji Pacar Wutah,
sehingga luka-lukanya menjadi seperti sarang lebah. Namun untunglah, bahwa serangan
itu tidak mengenai dadanya. "
Agung Sedayupun kemudian telah minta agar Sekar Mirah mengambil beberapa helai
daun sirih dan menumbuknya hingga menjadi agak halus.
Tetapi Rara Wulanlah yang bangkit sambil berkata " Biarlah aku yang mengambilnya.
Rara Wulan tidak menunggu jawaban. Iapun segera berlari ke halaman belakang lewat
longkangan samping. Namun Sekar Mirah tidak membiarkannya. Iapun segera
menyusulnya pula. Namun sekali lagi Ki Jayaraga berkata " Kaupun harus memperhatikan isterimu. Ia
terluka. Mudah-mudahan tidak parah. "
" Ya Ki Jayaraga. Aku akan melihatnya " jawab A-gung Sedayu.
Sambil menunggu daun sirih, maka Agung Sedayupun telah memerintahkan para
prajurit dan pengawal untuk merawat mereka yang terluka dan mengumpulkan orangorang
yang terbunuh dalam peperangan itu dari kedua belah pihak.
Para pengawal dan para prajuritpun telah memerintahkan kepada tawanan mereka
untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di pertempuran itu
diserambi gandok dibawah pengawasan yang ketat Sementara itu Agung Sedayupun telah
menyiapkan serbuk obat yang akan dipakai untuk mengobati Glagah Putih yang kemudian
akan dicampur dengan daun sirih yang telah ditumbuk halus.
Ketika kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan datang sambil membawa daun sirih yang
sudah ditumbuk, maka Agung Sedayupun segera mencampurnya sambil berkata " Obat
inipun hanya untuk sementara, agar luka itu tidak menjadi semakin parah. Aku harus
membuat obat khusus untuk mengeluarkan senjata rahasia yang tertanam didagingmu. "
Ketika obat itu diusapkan pada luka lukanya, Glagah Putih mengatupkan giginya rapatrapat
untuk menahan pedih. Namun ia tahu bahwa dengan demikian obat itu telah
langsung mulai bekerja pada luka-lukanya.
Dalam pada itu, ketika orang-orang dihalaman itu menjadi sibuk, maka langitpun
menjadi semakin terang. Cahaya fajar telah menjadi semakin cerah mewarnai langit.
Sementara itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih duduk dipendapa bersandar tiang.
Mereka tidak bersedia untuk dibawa kedalam bilik mereka masing-masing. Ki Jayaraga
yang nampak sangat lemah, duduk sambil menyaksikan kesibukan di halaman. Beberapa
sosok tubuh yang telah membeku telah dibawa naik kependapa itu pula Mereka adalah
para pengawal dan prajurit yang gugu dalam pertempuran itu.
Glagah Putih yang juga menyaksikan tubuh-tubuh yang membeku itu hanya dapat
mengusap dadanya. Ia merasa bahwa yang terjadi itu adalah akibat kehadirannya
bersama Sabungsari di Tanah Perdikan itu.
Di halaman, Sabungsari ikut sibuk pula. Namun setiap kali ia ikut mengangkat mereka
yang terluka apalagi yang telah gugur, maka jantungnya terasa berdesir tajam. Seperti
Glagah Putih, iapun juga merasa bersalah. Usahanya bersama Glagah Putih untuk
memancing orang-orang yang memburunya itu, ternyata telah menimbulkan korban yang
besar di Tanah Perdikan Menoreh.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi diluar halaman itupun telah terjadi pertempuran pula. Bahkan rumah-rumah
yang terbakar. Satu dua orang yang tidak tahu menahu tentu ada yang menjadi korban
pula. Bahkan mungkin anak-anak dan perempuan.
Sabungsari memang menjadi gelisah. Tetapi semuaya sudah terjadi, sehingga apa yang
terjadi di Tanah Perdikan itu harus diterimanya sebagai satu kenyataan.
Ketika matahari mulai naik, maka keadaan padukuhan induk Tanah Perdikan itu benarbenar
menjadi tenang. Namun masih terdengar satu dua orang yang menangisi rumahnya
terbakar bersama segala isinya. Bahkan kemudian, bukan saja menangisi rumahnya dan
harta bendanya yang terbakar, tetapi kematian dihalaman rumah Agung Sedayu telah
memeras air mata pula. Perempuan yang kehilangan anak-anaknya dan bahkan suaminya
serta gadis-gadis yang kehilangan kekasih.
" Akibat dari peperangan selalu pahit " desis Sabungsari sambil mengangkat sesosok
tubuh yang membeku. Seorang anak muda yang menurut pendapatnya masih terlalu
muda untuk mati. Jantung Sabungsari berdesir lembut ketika ia melihat wajah anak muda
yang sudah memutih itu. Ia melihat bibirnya tersenyum meskipun luka didadanya
menganga sampai ke jantung.
Namun dalam pada itu, ternyata keadaan Ki Jayaraga justru mencemaskan. Meskipun
ia sudah menelan obat untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, namun keadaan justru
menjadi semakin lemah. Dengan demikian maka Agung Sedayu harus segera berbuat sesuatu. Sebagai murid
Kiai Gringsing yang memahami obat-obatan maka Agung Sedayupun telah
mempelajarinya pula. Bahkan ternyata bahwa Ki Jayaraga sendiri juga mampu diajak
berbicara tentang obat yang paling baik baginya. " Sebaiknya Ki Jayaraga berbaring
didalam bilik " desisnya.
Ki Jayaraga tidak menolak lagi. Ia memang merasa sangat lemah. Sehingga ketika
kemudian Agung Sedayu membantunya berjalan ke biliknya, maka Ki Jayaraga itu
menurut saja. Namun Glagah putih masih tetap duduk dipendapa. Ketika perasaan pedih dilukanya
menyusut, maka ia merasa menjadi lebih baik. Namun ia tahu, bahwa obat yang
diusapkan pada lukanya itu hanya sekedar untuk mengatasi keadaan sementara. Ia tahu
bahwa Agung Sedayu tentu masih akan membuat obat lain untuk mengeluarkan senjata
rahasia dari dalam dagingnya. Dan Glagah Putihpun tahu bahwa pekerjaan itu adalah
pekerjaan yang sulit. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Gede diikuti oleh Prastawa dan
beberapa orang pengawal tela datang pula ke rumah Agung Sedayu. Dengan wajah yang
muram Ki Gede melihat Ki Jayaraga yang terbaring lemah, sementara Glagah Putih terluka
dipundaknya. Ki Gede terkejut ketika ia mendengar Glagah Putih berdesis lemah " Aku mohon beribu
maaf Ki Gede. " " Kenapa" " bertanya Ki Gede sambil mengerutkan dahinya " Bukankah kau tidak
bersalah" " Agung Sedayu yang dapat mengerti perasaan Glagah Putih hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam, sementara Glagah Putih berkata " Akulah yang menyebabkan semuanya ini
terjadi. " " Tidak " sahut Ki Gede " kita semuanya sudah
sepakat akan rencana ini. Karena itu, setelah rencana ini dilaksanakan, adalah
tanggung jawab kita semuanya. Tentu kita tidak dapat saling menyalahkan. "
" Tetapi aku tidak mengira bahwa seperti inilah yang terjadi di Padukuhan Induk
Tanah Perdikan Menoreh ini. Keributan, kebakaran dan bahkan kematian dari para
pengawal terbaik di Tanah Perdikan ini. Bahkan mungkin juga perempuan dan kanakkanak
yang menghindarkan diri dari kobaran api itu, " desis Glagah Putih dengan nada
dalam. " Sudahlah " berkata Ki Gede " yang penting, apa yang harus segera kita lakukan
sekarang. Merawat mereka yang terluka dan mengubur mereka yang telah gugur di
pertempuran ini. Kita memang tidak dapat ingkar, bahwa untuk kepentingan yang lebih
besar, kita harus merelakan korban yang jatuh. Namun sudah barang tentu bahwa kita
tidak boleh melupakan korban yang telah kita berikan itu. "
Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak dapat benarbenar
menyingkirkan perasaan itu. Agaknya demikian pula Sabungsari. Meskipun ia tidak
mengatakan apa-apa, namun pada wajahnya nampak betapa ia menyesali peristiwa yang
telah terjadi itu. Namun ternyata Ki Gede dengan hati yang lapang menerima kenyataan itu. Ia memang
tidak menyalahkan siapapun juga. Bahkan ia kemudian berkata " Apapun yang terjadi,
kita dapat merasa bangga bahwa kita telah dapat memberikan sedikit sumbangan bagi
Mataram. Bukankah orang-orang itu telah datang untuk mengacaukan Mataram apapun
alasan mereka. Apa yang telah mereka lakukan di Mataram merupakan pernyataan yang
jelas, siapakah sebenarnya mereka, meskipun secara pribadi kita tidak dapat mengenal
mereka. Yang mendengarkan keterangan Ki Gede itu mengangguk-angguk. Namun terdengar
Agung Sedayu berdesis "Sayang. Pemimpin tertinggi mereka sempat meloloskan diri. "
"Ya"sahut Ki Gede"aku sudah mendapat laporan.
Namun sendiri, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Seandainya ia masih akan
menghimpun kekuatan kembali, maka ia harus berpikir dua kali. Ternyata Mataram tidak
selunak lumpur disawah. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Mudah-mudahan apa yang terjadi di
Tanah Perdikan ini akan cukup berarti bagi Mataram. "
"Tentu " sahut Ki Gede " Pengorbanan ini tentu ada artinya. Karena menurut
perhitunganku, mereka datang ke Mataram tentu mempunyai latar belakang persoalan
yang kuat. Bahkan tidak mustahil bahwa mereka datang untuk kepentingan pihak-pihak
tertentu. Jika kedatangan mereka merupakan satu penjajagan, maka kita orang-orang
Mataram, telah memberikan jawabannya. "
" Ya Ki Gede " berkata Agung Sedayu kemudian " mudah-mudahan hasil penjajagan
yang mereka dapatkan, dapat mereka perhitungkan sebaik-baiknya dengan niat mereka
selanjutnya. " Ki Gedelah yang kemudian mengangguk-angguk. Namun ternyata Ki Gede tidak terlalu
lama berada di halaman itu. Iapun segera minta diri untuk melihat keadaan Padukuhan
Induk itu dalam keseluruhan.
"Nanti aku akan datang kembali"berkata Ki Gede" aku ingin melihat rumah-rumah
yang terbakar dan barangkali ada peristiwa yang masih luput dari pengamatan kita
sekarang. " Demikianlah, Tanah Perdikan Menoreh, terutama Padukuhan Induknya telah mengalami
satu bencana yang menggetarkan setiap jantung. Bukan saja penghuninya, tetapi juga
orang-orang Tanah Perdikan yang tinggal di padukuhan-padukuhan lain. Sejak matahari
naik, maka terutama anak-anak mudanya telah berduyun-duyun pergi ke Padukuhan
Induk itu. Bahkan orang-orang tua, terutama yang mempunyai sanak kadang tinggal di
Padukuhan Induk, telah dengan tergesa-gesa pula menengok, apakah sanak kadang
mereka itu tidak mengalami sesuatu.
Namun banyak diantara mereka yang harus melihat kenyataan, bahwa sanak kadang
mereka telah mengalami bencana. Jika bukan rumahnya terbakar, maka ada diantara
keluarganya yang terluka, bahkan ada pula yang gugur di pertempuran.
Mendung yang kelabu telah menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, terutama di
Padukuhan Induknya. Hari itu juga, Agung Sedayu telah mengirimkan penghubung untuk memberi laporan
kepada para pemimpin di Mataram. Mereka akan memberikan laporan selengkapnya
tentang apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
" Jangan ada yang terlampaui " pesan Agung Sedayu " jangan lupa untuk
melaporkan, bahwa justru pemimpin mereka telah berhasil meloloskan diri. Meskipun ia
terluka di dalam, tetapi orang itu tetap merupakan orang yang sangat berbahaya. Karena
itu, maka hendaknya Mataram tetap waspada.
Para penghubung itu mengangguk hormat. Seorang diantara mereka menyahut"Kami
akan menyampaikan pesan Ki Lurah selengkapnya. "
" Jika kau kembali dari Mataram, kau harus segera lapor kepadaku. " pesan Agung
Sedayu pula. " Baik Ki Lurah " jawab keduanya hampir berbareng.
Dalam pada itu, maka seari penuh Tanah Perdikan menjadi sibuk. Selain memakamkan
anak-anak muda dan para pengawal yang gugur, maka orang-orang yang terlukapun
memerlukan perawatan secepatnya. Apalagi mereka yang terluka parah. Sedangkan
beberapa orang prajurit yang gugur, telah dibawa kembali keluarganya di barak Pasukan
Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh tanpa kehadiran Agung Sedayu.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah sibuk menyiapkan obat untuk Ki Jayaraga dan
Glagah putih, sementara tabib yang ada di Tanah Perdikan Menoreh telah dikerahkan
untuk merawat mereka yang terluka. Bahkan juga para tawanan, pengikut Ki Manuhara.
Dengan mengerahkan segenap pengetahuannya tentang obat-obatan serta pemusatan
nalar budi untuk mengingat dan menggali pengetahuan tentang obat-obatan itu dari kitab
Kiai Gringsing, maka Agung Sedayu telah menyiapkan obat bagi Ki Jayaraga. Dengan
berbagai macam daun dan akar-akar berbagai jenis tanaman yang memang ditanam di
kebun belakang rumah Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun telah membuat reramuan
bagi Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
Seisi rumah itu kemudian mengucap sukur ketika ternyata keadaan Ki Jayaraga
berangsur baik. Wajahnya tidak lagi terlalu pucat, sementara darahnya telah mengalir
dengan teratur. Ki Jayaraga telah tidak terbatuk-batuk lagi dan darah-pun tidak memercik
lagi dari sela-sela bibirnya.
Namun dalam pada itu, justru keadaan Glagah Putih yang membuat seisi rumah itu
berdebar-debar. Agung Sedayu dan Sekar Mirah sendiri hampir tidak sempat mengobati
lukanya. Hanya karena Ki Jayaraga beberapa kali memperingatkannya, maka Sekar Mirah
telah menyempatkan diri untuk diobati lukanya oleh Agung Sedayu sendiri.
Glagah Putih berbaring di pembaringannya sambil menyeringai menahan sakit di
pundaknya. Obat yang diberikan oleh Agung Sedayu membuat pundaknya itu seakan-akan
membara. Panas dan pedih berbaur menjadi satu. Butiran-butiran lembut yang menusuk
menyusup kedalam dagingnya seakan-akan telah bergerak-gerak bahkan menggigit
bagian dalam urat-urat nadinya.
Beberapa orang menungguinya dengan gelisah. Sementara Agung Sedayu belum
mempunyai keyakinan sebagaimana Kiai Gringsing atas kemampuannya memberikan
pengobatan. Namun Agung Sedayu hanya dapat menyerahkan hasil pengobatannya
kepada perkenan Yang Maha Agung. Namun dengan demikian, maka Agung Sedayu justru
merasa bawa ia selalu mendapat tuntunan dan petunjuk daripada-Nya. Seakan-akan nalar
budinya serta tangannya telah melakukan pengobatan itu dengan sangat baik dan berhasil.
Rara Wulan menjadi sangat tegang. Sekar Mirah berusaha untuk menghiburnya. Namun
Sekar Mirah sendiri tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Disudut ruangan Sabungsari duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Iapun merasa sangat gelisah melihat keadaan Glagah Putih. Namun ia berusaha untuk
tetap tenang dan tidak membuat suasana menjadi semakin buram.
Semua yang berada dibalik itu bangkit serentak dan bergeser mendekati pembaringan
Glagah Putih ketika mereka mendengar Glagah Putih itu berdesis menahan kesakitan yang
sangat. Pundaknya bagaikan terbakar oleh perasaan pedih, sakit dan panas. Bahkan Rara
Wulan dengan cemas bertanya " Kakang Agung Sedayu, bagaimana keadaannya" "
Agung Sedayupun mendekati Glagah Putih. Dirabanya dahinya yang berkerut. Namun
dahi itu tidak panas, sehingga sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu berkata"
Tenanglah. Kita berdoa bersama-sama didalam hati kita, mudah-mudahan Yang Maha
Agung berkenan memberkati obat-obatan yang aku berikan dan berkenan pula
mempergunakannya sebagai lantaran kesembuhannya. "
Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Hampir saja ia tidak dapat menahan air
matanya. Namun Rara Wulan bertahan untuk tidak menangis.
Sebenarnyalah beberapa saat kemudian perasaan sakit dan panas yang sudah sampai
kepuncaknya itu mulai menurun. Glagah Putih mulai menjadi tenang. Namun keringat
yang mengalir dari kening dan dahinya, telah membasahi seluruh wajahnya. Bahkan
pakaiannya telah menjadi basah pula, seakan-akan Glagah Putih itu baru saja mandi
dengan seluruh pakaiannya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu justru berkata" Aku minta Sekar Mirah dan
Rara Wulan untuk keluar sesaat. Aku akan melihat luka Glagah Putih. "
Keduanya memang ragu-ragu. Namun kemudian Sekar Mirahlah yang membimbing
Rara Wulan keluar dari bilik itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu memang membuka luka Glagah Putih ditunggui oleh
Sabungsari. Namun betapa tabahnya Sabungsari ketika ia melihat luka Glagah Putih,
jantungnya terasa berdesir pula,
Namun Sabungsari itu kemudian mendengar Agung Sedayu berdesis " Terpujilah Yang
Maha Agung. " Sabungsari bergeser mendekat. Ia melihat luka Glagah Putih dengan tengkuk yang
terasa meremang. Luka Glagah Putih yang seperti sarang lebah itu nampak seakan-akan
berbuih. "Apa yang terjadi Agung Sedayu" " bertanya Sabungsari.
" Senjata rahasia itu sebagian telah keluar dari lubang-lubang luka dipundak Glagah
Putih. " jawab Agung Sedayu sambil mengusap luka itu dengan kain putih yang telah
dipersiapkan serta telah dipanasi dengan air yang telah mendidih."
" Untunglah tidak beracun " desis Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putih sendiri justru menjadi kesakitan. Bahkan ia sempat mengaduh meskipun
bertahan. Agung Sedayupun telah memberikan sesobek kain putih yang telah dipanasinya pula
sambil berkata " Gigit kain itu setelah kau lipat. Aku akan menekan lukamu agar senjata
rahasia yang tersisa dapat keluar pula dari lubang luka-lukamu.
Bukan saja Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar. Namun Sabungsaripun ikut
berdebar-debar pula. Betapa Glagah Putih menahan sakit yang amat sangat ketika Agung Sedayu menekan
luka-lukanya dengan kain yang masih hangat sehingga senjata rahasia yang tertinggal
terperas keluar. Beberapa kali terdengar Glagah Putih mengaduh. Namun Agung Sedayu
seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja menekan luka-luka itu sehingga butiranbutiran
senjata rahasia yang tersisa terperas keluar bercampur dengan darah.
Diluar bilik Rara Wulan berdebar-debar menjadi gelisah. Hampir saja ia menjadi tidak
tahan dan mendorong pintu yang tertutup itu. Namun Sekar Mirah masih dapat
menahannya meskipun ia tidak berhasil menenangkannya sepenuhnya.
Ketika pintu kemudian terbuka, Rara Wulan memang
terpekik melihat beberapa potong kain yang merah oleh darah, Namun Agung Sedayu
tidak nampak tegang seperti sebelumnya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata " Aku
sudah mengganti bajunya yang koyak dan basah oleh keringat dan darah. Ia sudah
menjadi lebih tenang meskipun masih selalu ditekan oleh rasa sakitnya. Tetapi semuanya
akan segera menjadi baik. "
"Apakah kami boleh masuk?"bertanya Sekar Mirah.
" Masuklah"jawab Agung Sedayu " Sabungsari menungguinya. Namun beri
kesempatan Glagah Putih untuk beristirahat. "
" Tetapi kain itu" Biarlah aku membawanya kebela-kang " minta Sekar Mirah.
" Biarlah aku saja " jawab Agung Sedayu " temani Rara Wulan. Aku juga akan
menengok Ki Jayaraga di biliknya " jawab Agung Sedayu kemudian.
Sebenarnyalah Rara Wulan memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah berkata "
Marilah. Keadaan Glagah Putih sudah menjadi semakin baik. Kau tidak usah cemas. "
Meskipun masih juga dengan ragu-ragu, namun Rara Wulan pun telah masuk kedalam
bilik. Ia melihat Sabungsari yang sudah dapat tersenyum. Bahkan kemudian Rara Wulanpun
melihat bahwa Glagah Putihpun telah tersenyum pula. Ia sudah memakai baju yang
lain. Keringatnyapun sudah kering. Meskipun masih nampak ia menahan sakit, namun
keadaannya sudah jauh berbeda.
" Luka-lukanya masih ditutup dengan obat yang dibuat oleh Agung Sedayu " berkata
Sabungsari " agaknya masih ada senjata rahasia yang tertinggal didalam dagingnya.
Namun sudah dapat dikatakan hampir bersih seluruhnya. "
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih sendiri berkata " Aku
sudah menjadi baik. "
Dalam pada itu, setelah meredam kain-kain putih yang dipergunakan untuk
membersihkan luka Glagah Putih, maka Agung Sedayupun telah masuk ke bilik Ki
Jayaraga untuk melihat akibat dari obat yang telah diberikannnya.
Agung Sedayu menarik nafas panjang ketika ia melihat anak yang tinggal serta
membantu dirumah Agung Sedayu itu duduk sambil memegangi mangkuk minuman Ki
Jayaraga. Anak itupun kemudian meletakkan mangkuk itu serta beringsut kesudut ruang ketika ia
melihat Agung Sedayu datang._
" Duduk sajalah " berkata Agung Sedayu.
" Anak itu membantu aku minum " desis Ki Jayaraga " ia menunggui aku sejak tadi.
" "Bagus"sahut Agung Sedayu sambil mengusap kepala anak itu. " Nampaknya kau
merasa kehilangan kawan untuk mengairi sawah. Jika Ki Jayaraga sakit, maka tidak ada
orang yang kau kirim makan dan minuman disawah menjelang matahari turun ke Barat.
" Anak itu tidak menjawab. Sementara Ki Jayaragalah yang meneruskan " Apa lagi
Glagah Putih juga terluka sehingga dimalam hari ia tidak dapat mengajaknya menutup
dan membuka pliridan. "
Namun diluar dugaan anak itu menjawab " Sudah lama Glagah Putih tidak turun ke
sungai. " Agung Sedayu tertawa, sementara Ki Jayaragapun sempat tersenyum.
Sebenarnyalah bahwa keadaan Ki Jayaraga memang sudah menjadi semakin baik.
Ternyata bahwa Agung Sedyu, salah seorang murid utama Kiai Gringsing itu mampu juga
mewarisi ilmu pengobatan sebagaimana dimiliki oleh gurunya meskipun ia masih
memerlukan pengalaman lebih banyak dan lebih luas lagi.
Ketika Agung Sedayu kemudian duduk dibibir pembaringan ki Jayaraga, maka Ki


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jayaraga itupun berdesis"Aku mengucapkan terima kasih kepadamu ngger. "
"Sudahlah Ki Jayaraga"sahut Agung Sedayu"Yang Maha Agung telah mendengarkan
permohonan kita, sehingga keadaan Ki Jayaraga menjadi semakin baik. "
" Tetapi kau telah menjadi lantarannya " desis Ki Jayaraga.
" Kita akan bersama-sama berdoa, semoga Ki Jayaraga akan segera sembuh " sahut
Agung Sedayu kemudian. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Jayaraga itupun berkata "
Aku semakin mengagumimu ngger. Selain pengetahuanmu tentang obat-obatan yang
dengan cepat kau kuasai, ilmumupun ternyata benar-benar telah sampai kepuncak. Kau
telah sepenuhnya mampu menguasai ilmu cambuk dari gurumu, sehingga dengan
kemampuan ilmu cambukmu kau dapat melawan kekuatan ilmu lawanmu yang sejenis
dan setingkat dengan ilmu lawanku yang ternyata bernama Ki Manuhara itu. "
"Ki Jayaragapun mampu melawannya"jawab Agung Sedayu.
"Tetapi akibatnya jauh berbeda. Kau mampu melawan dan mengatasinya. Sedang aku
mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhku. Bahkan kau pulalah yang dapat
mengobatinya. " berkata Ki Jayaraga.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Segala puji bagi yang Maha
Agung. Hanya kuasanya sajalah yang dapat membantuku mengatasi ilmu itu. Agung
Sedayu berhenti sejenak. Namun katanya kemudian " Tetapi menurut Sabungsari, ilmu
yang dahsyat yang Ki Jayaraga pergunakan untuk melawan Ki Manuhara itu belum
nampak Ki Jayaraga pergunakan saat melawan Podang Abang. "
"Aku dapat menyelesaikannya tanpa ilmu itu."jawab Ki Jayaraga.
" Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata" Sebaiknya Ki Jayaraga banyak
beristirahat. Tidurlah. Ki Jayaraga akan menjadi bertambah baik. "
" Terima kasih " jawab Ki Jayaraga. Namun katanya kemudian"Tetapi kau jangan
lupa mengobati luka isterimu dan luka-lukamu sendiri. "
" Luka Sekar Mirah dan luka-lukaku sendiri tidak berbahaya Ki Jayaraga. Aku sudah
mengobatinya. " jawab Agung Sedayu. "
" Lawanmu itu ternyata mampu menembus ilmu kebalmu, la tentu orang yang berilmu
sangat tinggi. Namun orang itu kau akhiri juga dengan kemampuan ilmu cambukmu. "
desis Ki Jayaraga. " Sudahlah. Tidurlah. Biar anak itu menemani Ki Jayaraga" berkata Agung Sedayu
kemudian sambil bangkit berdiri. Katanya kemudian " Sudahlah. Beristirahatlah. "
Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Sementara Agung Sedayu pun kemudian
meninggalkannya. Diruang dalam ia terhenti sejenak. Ki Jayaraga telah mengingatkannya
untuk memperhatikan luka-lukanya sendiri. Karena itu, maka iapun melangkah menuju
kebiliknya untuk minum beberapa teguk reramuan yang telah disiapkan sendiri untuk
meningkatkan daya tahannya. Sementara luka-lukanya sudah dita-burinya dengan obat
pula sebagaimana Sekar Mirah. Namun lukanya dan luka Sekar Mirah memang hanya
pada kulitnya saja. Ketika langit menjadi kelabu, maka kesibukan di Padukuhan Induk Tanah Perdikan
itupun telah mereda. Orang-orang yang sedang mengungsi di banjar dan di rumah Ki
Gede sudah mulai mapan. Sementara orang-orang yang gugur di pertempuran sudah
dimakamkan sedang yang terluka sudah dirawat.
Namun para pengawal Tanah Perdikan masih saja bersiaga untuk menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan Pras-tawapun telah memerintahkan semua padukuhan bersiap-siap
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih mungkin dapat terjadi. Apalagi
mereka menyadari bahwa pimpinan dari orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu
sempat meloloskan diri. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Manuhara tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Ketika ia
membenturkan ilmunya melawan ilmu Ki Jayaraga, maka rasa-rasanya jantungnya akan
meledak karenanya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa darah telah memercik dari sela-sela bibirnya, Maka Ki
Manuhara itu merasa bahwa ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melakukan perlawanan
setelah orang-orang yang menjadi kepercayaannya terbunuh di pertempuran.
Sementara ia sama sekali tidak bermimpi untuk ditangkap dan menjadi tawanan di Tanah
Perdikan di sebelah Kali Praa itu. Di Matarampun ia tidak akan membiarkan dirinya
tertangkap hidup-hidup dan menjadi tawanan. Ia harus melolskan diri atau mati di
pertempuran. Ketika matahari terbit, Ki Manuhara sudah berada di padang perdu yang tidak banyak
didatangi orang. Ia terbaring disemak-semak yang masih basah oleh embun. Tubuhnya
terasa sangat lemah, sementara bagian dalam dadanya terasa sakit dan nyeri.
Dengan air dari parit yang mengalirkan air yang bening, Ki Manuhara telah menelan
obat yang dibawanya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya agar ia tidak kehilangan
kekuatannya sama sekali. Namun benturan ilmu itu benar-benar telah membuatnya
seakan-akan kehilangan kesempatan untuk dapat bertahan hidup.
Tetapi Ki Manuhara tidak menyerah. Ia masih berusaha untuk beringsut semakin jauh
dari Tanah Perdikan Menoreh. Betapapun tubuhnya terasa sangat lemah.
Namun akhirnya Ki Manuhara itu terkapar dipadang perdu sebelum ia sempat mencapai
Kali Praga. Ia masih sempat bergeser untuk berlindung dibawah rimbunnya daun jarak.
Namun terik sinar matahari rasa-rasanya mampu menembus sela-sela daun jarak itu.
Panasnya terasa membakar tubuh, sehingga akhirnya mata ki Manuhara itupun menjadi
berkunang-kunang. Matahari yang bagaikan sekeping bara yang berpijar itu menjadi
semakin kabur. Betapapun tinggi ilmunya, namun Ki Manuhara harus menerima satu
kenyataan bahwa kemampuan dan ketahanan tubuhnya dicengkam oleh keterbatasan.
Ternyata Ki Manuhara menjadi pingsan.
Orang yang berilmu tinggi itu tidak tahu berapa lama ia tidak sadar akan dirinya. Ketika
terasa tubuhnya menjadi agak segar bukan saja oleh angin yang semilir, tetapi terasa
pada wajahnya usapan cairan yang membantu membuatnya sadar.
Ketika Ki Manuhara membuka matanya, maka segera ia tahu bahwa seseorang telah
menolongnya memberikan semacam cairan obat untuk menyegarkannya dan kemudian
membuatnya sadar. Namun ketika ia berusaha untuk bangkit, tubuhnya masih terasa sangat lemah. Karena
itu, maka iapun telah terbaring lagi di rerumputan yang tebal.
Dalam pada itu, selagi Ki Manuhara berusaha untuk mengenali tempat nya berbaring
serta berusaha untuk melihat seseorang yang tentu sudah membantunya menyadari
keadaannya, terdengar suara tertawa perlahan-lahan. Kemudian terdengar kata-katanya
" Kau tidak usah berusaha untuk bangkit lebih dahulu Ki Manuhara. "
Ki Manuhara yang masih terbaring itu berusaha untuk berpaling kearah suara itu.
Sementara itu ia mendengar suara itu lagi " Aku kira orang yang memiliki ilmu setinggi
kau tidak akan pernah kalah apalagi pingsan. Tetapi ternyata kau telah pingsan sehingga
seandainya aku ingin membunuhmu, maka aku tidak akan-mengalami kesulitan apa-apa.
Ilmu yang setinggi awan itu tidak akan mampu melindungimu. "
Ki Manuhara akhirnya melihat seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon kayu.
Seorang yang bertubuh kecil dan terhitung pendek dibandingkan dengan orang
kebanyakan. " Iblis kau"geram Ki Manuhara " kenapa kau berada disini" Apakah kau sengaja
mengamat-amati aku" "
" Kenapa kau tidak mebawaku bersamamu " sahut orang bertubuh kecil itu "
Samepa telah pergi ke Tanah Perdikan ini bersamamu. Bahkan Patitis dan Tangkil telah
kau bawa. Kenapa kau tidak mengajakku" Kau takut bawa orang-orang aka melihat
bahwa kemampuanku lebih tinggi dari kemampuanmu" "
Ki Manuhara menggeram. Katanya " Seandainya aku tidak sedang terluka didalam, aku
bunuh kau. " Tetapi orang itu tertawa. Katanya " Cobalah kalau kau mampu. Bahkan tanpa luka
didalampu kau belum tentu dapat membunuhku. Ilmuku sekarang tentu tidak berada
diba-wah ilmumu. Kau kira Guntur Manunggalmu dapat kau banggakan" He, kenapa kau
luka didalam" Siapakah lawanmu" Kau harus menyadari bahwa ilmu puncakmu itu belum
dapat kau andalkan. Sekarang kau tidak dapat mengingkari kenyataan. Kau ditundukkan
oleh seseorang, siapapun namanya. "
" Orang itupun tentu akan mati"geram Ki Manuhara.
Orang bertbuh kecil itu tertawa. Katanya " Tanpa berkelahi melawanmupun pada
suatu saat ia akan mati. Tetapi tidak sekarang. Ia memiliki sesuatu yang lebih baik
daripada-mu. " " Cukup. Kau tidak perlu mengigau dihadapanku. Sekarang katakan, apa yang kau
maui" membunuhku karena kau iri terhadap kemampuanku" Atau karena aku lebih dahulu
melangkah merintis jalan bagi Kangjeng Adiati Pati untuk menembus Mataram" Atau
karena alasan lain" "
"Aku tidak akan membunuhmu. Buat apa aku membunuhmu" Jika aku ingin
melakukan, aku dapat melakukannya setiap saat tanpa menunggu kau pingsan atau luka
didalam. Aku dapat membunuhmu setiap saat aku inginkan karena ilmuku memang lebih
baik dari ilmumu. " jawab orang bertubuh kecil itu.
" Tutup mulutmu. Aku tidak mau mendengar igauan-mu lebih banyak lagi " bentak Ki
Manuhara. Namun iapun harus menyeringai menahan sakit didadanya. Ketika ia terbatuk, maka
darah masih memercik dari mulutnya.
" Sudahlah " berkata orang bertubuh kecil itu " jangan membentak-bentak seperti
itu. Kau terluka didalam. Seharusnya kau dapat menguasai dirimu agar kau tidak terlalu
cepat mati. " " Aku tidak peduli " Ki Manuhara masih membentak " jika aku mati kau tidak akan
kehilangan apapun juga. "
"Kau masih mungkin untuk tidak mati sekarang. Jika kau minta tolong kepadaku,
maka akan mengobatimu. " berkata orang bertubuh kecil itu.
" Aku tidak perlu pertolonganmu. Kau akan menolong atau tidak itu persoalanmu "
jawab Ki Manuhara. " Kau tahu bahwa aku memiliki kemampuan mngobati segala macam penyakit apapun
sebabnya" Apakah orang itu terluka karena senjata tajam atau karena benturan ilmu atau
karena sakit biasa" Aku telah kau ketahui, dikenal sebagai seorang tabib bergelar Tabib
Bertangan Embun" Sedangkan gelarku sebagai seorang berilmu tinggi dalam olah
kanuragan adalah Bajang Bertangan Baja.
Namun Ki Manuhara justru membentak " Diam kau. Kau kira aku tidak tahu siapa kau
dan seberapa tingkat kemampuanmu"
" Semuanya sudah berubah. Aku memang tidak menunjukkan kepadamu peningkatan
ilmuku. Tetapi kau jangan kaget melihat aku sekarang mampu meruntuhkan gunung dan
mampu pula mengeringkan samodra. Kau tidak percaya" "
Ki Manuhara membentak semakin keras"Diam. Diam kau. "
Namun dengan demikian Ki Manuhara itu terbatuk lagi. Sepercik darah meloncat dari
sela-sela bibirnya yang sedang membentak itu, sehingga Ki Manuhara itupun telah
menyeringai menahan sakit yang meremas isi dadanya.
" Sudahlah " berkata Bajang Bertangan Baja itu. Ki Manuhara tidak menjawab,
Namun ia merasa tubuhnya menjadi semakin lemah.
"Aku akan mengobatimu"berkata Bajang Bertangan Baju itu.
" Kau akan meracunku " desis Ki Manuhara.
Orang yang bertubuh kecil dan pendek itu tertawa. Katanya " Jika aku ingin
membunuhmu, kenapa tidak aku lakukan saat kau masih pingsan" Bukankah itu lebih
mudah aku lakukan dari pada menunggumu sadar seperti sekarang ini"
" Kau ingin memperlihatkan kemenanganmu " sahut Ki Manuhara sambil menahan
sakit. "Tidak Ki Manuhara"jawab Bajang itu"aku bukan seorang pengecut yang licik. Aku
akan mengobatimu. Jika kemudian kau menjadi baik kembali dan menganggap aku
musuhmu, maka aku akan bersedia melakukan perang tanding. Jika kau merasa
keadaanmu belum pulih, maka aku siap menunggu kapan kau kehendaki. Jika aku
sekarang ingin mengobatimu karena aku tidak merasa bermusuhan denganmu. Bahkan,
jika kau percaya, sebenarnya aku ingin bersamamu mengaduk kekuasaan Panembahan
Senapati. " " Apa kepentinganmu" " bertanya Ki Manuhara.
" Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin bekerja bersamamu
sehingga pada suatu saat aku tentu akan minta pertolonganmu. " jawab Bajang itu.
" Untuk apa" " bertanya Ki Manuhara.
"Aku belum dapat mengatakan kepadamu sekarang" jawab Bajang Bertangan Baja
itu. " Merampok" Membunuh atau turun kelaut untuk membajak kapal niaga yang
berkeliaran didepan pelabuhan Bergota" " bertanya Ki Manuhara.
" Itu bukan kebiasaanku " jawab Bajang itu. Namun kemudian katanya " Tetapi
biarlah itu kita bicarakan kemudian. Kau dalam keadaan parah. Biarlah aku mengobatimu
lebih dahulu. Biarlah aku mengalah. Bukan kau minta aku mengobatimu, tetapi aku
memang berniat mengobatimu.
" Tetapi aku tidak mau bahwa pengobatan itu kau perhitungkan sebagai hutangku
padamu sehingga aku wajib membayarnya dengan keharusan membantumu apapun yang
akan kau lakukan. " berkata Ki Manuhara yang masih kesakitan.
Bajang bertangan Baja yang juga menyebut gelarnya sendiri sebagai Tabib Bertangan
Embun itu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata " Baiklah. Aku akan mengobatimu meskipun
kemudian kita harus bertempur. "
Ki Manuhara tidak segera menjawab. Ia masih berpikir sejenak. Namun ketika
jantungnya bagaikan akan pecah, maka iapun menjawab " Terserah kepadamu. "
Tabib bertangan Embun itupun kemudian telah mengeluarkan kantong-kantong kecil
yang dibuatnya dari kain putih, namun yang warnanya sudah kekuning-kuningan.
Beberapa macam obat telah diramunya. Kemudian dituangkannya air bening dari impes
yang dibawanya kemana-mana.
" Minumlah " berkata Tabib Bertangan Embun itu kemudian sambil memberikan
cairan yang telah diaduknya dalam sebuah bumbung kecil dari bambu.
Ki Manuhara masih nampak ragu-ragu. Namun ketika Tabib Bertangan Embun itu
membantunya menegakkan kepalanya, maka Ki Manuhara itupun telah meneguk cairan
itu. "Berbaring saj alah"berkata Tabib Bertangan Embun itu.
Ki Manuhara tidak menjawab, Namun ia memang masih saja berbaring diatas
rerumputan yang tebal dibawah sebatang pohon yang daunnya cukup melindunginya dari
sinar matahari. Sementara itu matahari memang sudah jauh turun. Ki Mnuhara justru telah tertidur. Ia
tidak mengetahui berapa lama ia tidur diatas rumput yang tebal dibawah pohon yang
telah melindunginya dari sinar matahari itu. Namun ketika ia membuka matanya, langit
telah menjadi gelap. Namun badan Ki Manuhara terasa menjadi lebih segar. Meskipun
dadanya masih terasa sakit, namun rasa sakit itu sudah menjadi jauh berkurang.
Tetapi ketika Ki Manuhara akan bangkit, ia mendengar suara " Jangan bangun dahulu.
Tunggu sampai tengah malam. Jika kau ingin minum, minumlah. Aku telah mengisi
impesku penuh. " Ki Manuhara tidak menjawab. Tetapi ketika Bajang itu menempelkan mulut impes itu
kebibirnya, maka Ki Manuharapun telah meneguknya.
" Itu bukan air biasa " berkata Bajang.
" Kau taruh racun didalamnya" Pantas, rasanya lain. Tidak seperti air wantah " geram
Ki Manuhara. Bajang Bertangan Baja itu tertawa pendek. Katanya " Kau masih saja merasa curiga.
Air itu sudah mengandung pengganti bahan makanan. Kau tidak akan kelaparan meskipun
kau tidak makan sehari semalam. Selanjutnya kau tidak usah merasa cemas, bahwa aku
akan membunuhmu dengan racun, karena aku memang memerlukan bantuanmu. Selain
kemampuanmu yang tinggi, perasaan dendammu juga akan sangat berarti bagi tugastugas
kita selanjutnya. " " Kau yakin aku akan membantumu" bertanya Ki Manuhara.
"Jika bukan kau yang membantuku, maka akulah yang akan membantumu
menyelesaikan anak-anak muda yang kau buru itu. " berkata Bajang Bertangan Baja itu.
" Apa kepentinganmu" " bertanya Ki Manuhara pula.
" Sudah aku katakan, bahwa aku belum dapat menyebutnya sekarang. Tetapi pada
saatnya aku akan mengatakannya kepadamu " jawab Bajang itu.
Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan tubuhnya memang menjadi
semakin segar. Perasaan sakit didadanya memang sudah berkurang. Tetapi setiap kali ia
berusaha untuk bangkit, maka masih terasa iga-iganya serasa menjadi retak.
Karena itu, maka Ki Manuhara itu masih saja berbaring diatas rerumputan, ia memang
tidak lagi berniat segera bangkit. Ia mulai percaya bahwa Bajang yang juga menyebut
dirinya Tabib Bertangan Embun itu tidak akan berbuat licik atasnya.
Sementara itu orang yang bertubuh pendek itupun duduk bersandar sebatang pohon
sambil berkata " Masih banyak kesempatan untuk beristirahat, Jika kau tidur sampai esok
pagi, maka kau akan dapat bangun dan bangkit berdiri
untuk meneruskan perjalanan. Kita sekarang masih ada di sebelah Barat Kali Praga.
Setiap saat kita masih dapat bertemu dengan para pengawal Tanah Perdikan. Seandainya
kau tidak terluka didalam, maka para pengawal itu tidak akan berarti apa-apa. Tetapi
dalam keadaan luka didalam, maka kau harus berhati-hati. "
Ki Manuhara tidak menjawab, Tetapi ia sependapat dengan orang bertubuh pendek itu.
Karena itu, maka ia memang mencoba untuk dapat tidur lagi. Tetapi ternyata tidak mudah
baginya untuk segera dapat memejamkan matanya. Setiap kali matanya terpejam, maka
yang terlihat justru wajah anak-anak muda yang ingin diambilnya dari Tanah Perdikan
Menoreh, amun yang justru berhasil membunuh Ki Pati-tis dan Ki Tangkil.
" Kau masih belum dapat tidur" " bertanya Bajang ketika malam menjadi semakin
dalam. " Aku tidak dapat tidur " jawab Ki Manuhara.
"Tetapi kau harus tidur agar kau menjadi semakin baik dan besok pagi-pagi kita akan
meneruskan perjalanan menyeberangi Kali Praga agar untuk sementara kau tidak akan
mendapat gangguan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh " berkata Bajang yang
masih duduk bersandar sebatang pohon.
" Aku juga ingin tidur. Tetapi aku tidak dapat tidur. Itu bukan salahku. Jawab Ki


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manuhara. " Terserah kepadamu. Aku hanya memberikan jalan yang terbaik yang dapat kau
tempuh. Tentu saja aku tidak dapat memaksamu untuk tidur. "berkata Bajang Bertangan
Baja itu. Ki Manuhara tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar mencoba untuk dapat tidur.
Dicobanya untuk memejamkan matanya rapat-rapat sambil mengatur pernafasannya.
Namun ia masih saja mendengar suara angin berdesir di dedaunan. Bahkan suara bilalang
dan cengkerik di rerumputan, Di kejauhan terdengar lolong anjing lapar yang sedang
mencari mangsa. Ternyata Ki Manuhara terasa sangat sulit untuk tidur. Kerja yang sudah dilakukan sejak
ia masih didalam gendongan ibunya.
Namun justru angan-angan Ki Manuhara semakin menerawang ke masa lalunya. Masa
kecilnya yang manja. Bahkan tiba-tiba saja ia bertanya kepada diri sendiri " Apakah ayah
dan ibunya pernah berharap bahwa ia akan menjadi seorang sebagaimana dirinya saat
itu" Seorang yang berilmu tinggi. Tetapi melakukan apa saja tanpa segan-segan untuk
mencapai maksudnya. Bahkan menyebar kematian tanpa memikirkan akibatnya bagi
orang lain. Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Bajang Bertangan Baja yang juga menyebut dirinya Tabib bertangan
Embun itu masih saja duduk. Namun dalam heningnya malam,terdengar ia berdendang
perlahan-lahan. Menyusup diantara suara-suara malam yang ngelangut. Tembang yang
mengalun menyusup ketelinga Ki Manuhara yang gelisah.
Namun diluar sadarnya, Ki Manuhara telah merasa mengantuk. Sekali dua kali ia
menguap. Suara tembang itu rasa-rasanya telah membuai jantungnya, sehingga disemilirnya
angin malam yang dingin mata Ki Manuhara justru mulai terpejam di luar
kehendaknya, bahkan diluar sadarnya. Ternyata Bajang Bertangan Baja yang juga
menyebut dirinya Tabib bertangan Embun itu memiliki kemampuan mempengaruhi
kesadaran orang lain dengan suaranya. Bahkan getar suaranya yang dilandasi ilmunya itu
mampu menyusup dan mempengaruhi perasaan Ki Manuhara yang berilmu tinggi itu.
Namun Ki Manuhara yang dalam keadaan luka didalam itu memang tidak bersiap dan
berusaha menangkis pengaruh yang datang menyusup kedalam dirinya. Bahkan ia merasa
bersukur bahwa iapun kemudian telah menjadi mengantuk karenanya dan bahkan
beberapa saat kemudian, Ki Manuhara yang masih sedang berusaha menyembuhkan lukalukanya
itu telah tertidur. Sebenarnyalah malam itu, beberapa kelompok pengawal telah meronda diseluruh
wilayah Tanah Perdikan. Karena
mereka sadar bahwa orang yang berilmu sangat tinggi sempat melarikan diri, maka
para peronda itupun terdiri dari kelompok-kelompok yang dianggap cukup kuat, Bahkan
mereka telah membawa kentongan-kentongan untuk memberi isyarat kepada kawankawannya
yang ada di padukuhan-padukuhan, jika setiap saat mereka memerlukan
bantuan. Agung Sedayu dan Sabungsari juga ikut mengamati keadaan. Meskipun mereka tidak
keluar dari lingkungan Padukuhan Induk, namun mreka juga bersiap untuk setiap saat
berbuat sesuatu jika diperlukan. Bahkan Ki Gedepun selalu bersiaga bersama Prastawa
dan para pengawal. Tidak saja dirumahnya, tetapi juga melihat-lihat berkeliling.
Ki Gedepun telah menyempatkan diri untuk singgah dirumah Agung Sedayu untuk
melihat keadaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Namun agaknya keadaan mereka telah
menjadi semakin baik. Ki Jayaraga tidak lagi memercikkan darah jika ia terbatuk. Bahkan
ia sudah merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Dadanya tidak terasa lagi seperti
dihimpit gunung anakan. Sementara itu Glagah Putihpun telah dapat tidur nyenyak. Luka-lukanya tidak lagi
menggigit urat-urat nadi meskipun masih terasa sedikit pedih dan nyeri. Namun ternyata
obat yang diberikan oleh Agung Sedayu benar-benar mampu menolongnya.
Malam itu, Ki Lurah Branjangan dengan beberapa orang prajurit khusus telah berada
dirumah Agung Sedayu pula. Ia baru datang menjelang sepi orang, karena masih harus
menyelesaikan tugas-tugasnya di barak pasukan khusus justru Agung Sedayu tidak ada di
tempat. Sementara itu penghubung yang mendapat perintah dari Agung Sedayu untuk
memberikan laporan ke matarampun telah datang pula. Ternyata Mataram
menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Apalagi karena orang yang memiliki ilmu
tertinggi dari antara mereka yang datang ke rumah Agung Sedayu itu sempat melepaskan
diri. " Bagus"berkata Agung Sedayu"orang yang ternyata bernama Ki Manuhara itu tentu
tidak mempuyai ruang bergerak di Mataram dan sekitarnya. "
Namun baik Agung Sedayu maupun Ki Gede berpendapat, bahwa orang itu agaknya
masih berada di Tanah Perdi-kan Menoreh.
" Orang itu terluka seperti Ki Jayaraga " berkata A-gung Sedayu " sehingga sulit
baginya untuk dapat menempuh jarak sampai ke Kali Praga.
" Mungkin ia melarikan diri kearah lain " berkata Sa-bungsari.
" Memang mungkin " desis Ki Gede " karena itu, sebaiknya para pengawal meronda
seluruh wilayah Tanah Perdikan. Mereka harus melihat semua sudut Tanah Perdi-kan.
Mungkin Ki Manuhara itu bersembunyi di hutan atau dimana saja. Pencaharian itu tidak
akan berhenti sampai matahari terbit besok. Tetapi sampai kita yakin, bahwa orang itu
tidak berada di Tanah Perdikan ini. "
Karena itulah, maka para pengawal telah membentuk kelompok-kelompok yang kuat
yang meronda di seluruh wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menjelajahi tanahtanah
persawahan, pategalan, ladang-ladang kering dan padang-padang perdu. Bahkan
mereka mengamati bibir-bibir hutan untuk melihat seandainya mereka menemukan jejak
Ki Manuhara. " Tanpa bantuan orang lain, Ki Manuhara tidak akan lepas dari tangan kita"berkata
Prastawa yang telah menggerakkan para pengawal terpilih.
Bahkan sampai matahari terbit, maka kelompok-kelompok pengawal bergantian
menelusuri seluruh lingkungan Tanah Perdikan.
Namun tidak seorangpun menemukan Ki Manuhara.
Sementara itu, menjelang fajar Ki Manuhara telah terbangun. Tubuhnya memang
menjadi semakin baik. Ia memang tidak merasa lapar meskipun ia tidak makan seharisemalam.
Tetapi Ki Manuhara beberapa kali meneguk air dari impes yang diberikan oleh
Bajang Bertangan Baja itu.
" Sudah waktunya kita pergi " berkata Bajang itu. Ki Manuhara menarik nafas dalamdalam.
Hampir diluar sadarnya ia bertanya " Kau dapat tidur semalam" "
" Aku tidak tidur semalam " jawab Bajang itu " aku berjaga-jaga sepanjang malam.
Beberapa puluh langkah dari tempat kita bersembunyi ini, lewat sekelompok pengawal
Tanah Perdikan yang meronda. Untunglah mereka tidak lewat tempat ini dan menemukan
kau terbaring disitu. Nampaknya mereka memang sudah berjaga-jaga untuk menghadapi
seorang yang berilmu tinggi. Kelompok itu terdiri lebih dari sepuluh orang. "
" Darimana kau tahu" " bertanya Ki Manuhara.
" Aku sempat menonton mereka lewat. Ternyata pengawal Tanah Perdikan ini
memang telah dipersiapkan dengan masak untuk mengawal Tanah Perdikannya.
Selebihnya mereka membawa kentongan yang dapat mereka bunyikan jika mereka
melihatmu " jawab Bajang itu.
Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian " Marilah Kita
akan melanjutkan perjalanan. Aku kira tubuhku sudah menjadi semakin baik.
" Jadi kau rasakan kemajuan keadaan tubuhmu" " bertanya Bajang Bertangan Baja
itu. Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kau ingin menyombongkan
kemampuanmu mengobati luka dalamku" Atau kau ingin meyakinkan bahwa aku memang
berhutang budi kepadamu"
" Kenapa kau masih selalu mencurigai aku" Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri.
Bukan orang lain, bahwa aku memang memiliki kemampuan mengobati apapun juga.
" Baiklah, sampai saat ini aku percaya kepadamu. Kau memang tidak berbuat sesuatu
yang kurang baik atasku. " berkata Ki Manuhara"tetapi itu belum berarti bahwa untuk
selanjutnya kau tetap dapat dipercaya. "
Bajang Bertangan Baja itu tertawa. Katanya " Sudahlah. Kita akan melanjutkan
perjalanan. Tetapi kita harus berhati-hati. Agaknya orang-orang Tanah Perdikan itu
berkeyakinan bahwa kau tentu masih berada di daerah ini karena luka-lukamu. "
Ki Manuhara mengangguk kecil. Ia memang merasa bahwa tubuhnya memang menjadi
baik meskipun belum sembuh benar.
Demikianlah keduanyapun telah meninggalkan tempat persembunyian itu. Namun
seperti dikatakan oleh Bajang itu bahwa mereka masih harus sangat berhati-hati.
Ketika mereka mendekati sebuah lorong, maka keduanya harus bersembunyi
dibelakang semak-semak sambil menahan nafas mereka. Dari arah sebuah padukuhan
kecil mereka melihat sekelompok pengawal yang sedang bertugas mengamati lingkungan
mereka sambil mencari jejak Ki Mnu-hara yang berhasil meloloskan diri.
" Kita selesaikan saja mereka" berkata Ki Manuhara.
" Kau belum sembuh benar " desis Bajang Bertangan Baja.
" Tetapi aku merasa bahwa aku atau jika kau mau, kita berdua akan dapat dengan
mudah menyelesaikan mereka yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. " sahut Ki
Manuhara. Tetapi Bajang itu menjawab " Jangan mencari perkara. Lebih baik kita menghindari
mereka. Perjalanan mereka masih panjang. "
Ki Manuhara tidak menjawab. Sementara itu sekelompok pengawal lewat di depan
hidung mereka. Tetapi para pengawal itu tidak tahu bahwa dibelakang semak-semak dipinggir
jalan itu telah bersembunyi orang yang mereka cari.
Namun, demikian sekelompok pengawal itu lewat, Ki Manuhara berkata kesal " Kenapa
kau tidak mau membinasakan mereka" "
" Sudah aku katakan, kita jangan mencari persoalan. Jika mereka sempat
membunyikan kentongan yang mereka bawa, maka kita akan mengalami kesulitan.
Pengawal dari padukuhan sebelah akan mengalir kemari. Lebih dari itu,
isyarat dengan bunyi kentongan itu akan menjalar dari padukuhan ke padukuhan.
Suaranya tentu akan segera didengar dari padukuhan induk. Nah, kau tahu akibatnya. Kita
akan diburu seperti anak-anak memburu tupai. Diantara mereka yang memburu kita
terdapat orang-orang yang berilmu tinggi, yang telah bertempur melawanmu di halaman
rumah murid dari perguruan Orang Bercambuk itu. "
" Aku yakin bahwa orang itupun mengalami luka didalam " geram Ki Manuhara.
" Tetapi murid Orang Bercambuk itu mampu membunuh Ki Samepa meskipun Ki
Samepa juga telah melepaskan Aji Guntur manunggal yang tidak kalah bobotnya dari
ilmumu. " berkata Bajang Bertangan Baja itu.
" Darimana kau tahu" " bertanya Ki Manuhara.
" Aku sudah mengenal murid utama dari Perguruan Orang Bercambuk yang tinggal di
Tanah Perdikan ini dan menjadi Lurah Prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini
pula meskipun aku tidak berkenalan secara pribadi. Aku juga mengenal orang yang
bertempur melawanmu dan salah seorang dari kedua orang anak muda yang kau buru "
berkata Bajang Bertangan Baja itu.
" Ternyata kau mengetahui lebih banyak dari aku tentang orang-orang itu " gumam
Ki Manuhara " tetapi apakah kau sempat melihat pertempuran itu" "
" Aku melihatnya " jawab Bajang itu " tetapi aku tidak berani mendekat. Aku tahu
bahwa di Tanah Perdikan ini terdapat banyak orang berilmu tinggi, sementara aku tidak
berkepentingan dengan pertempuran itu, "
" Kenapa kau tidak membantu kami" " bertanya Ki Manuhara " jika kau dengan jujur
ingin bekerja bersama kami, kau tentu turun ke halaman itu untuk membantu kami yang
terdesak. " " Aku tidak tahu apakah kau akan berterima kasih kepadaku atau justru kau akan
menganggap aku telah menghinamu jika aku turun membantumu. Kau memang tidak
menghubungi aku sebelum kau berangkat. Itu sudah berarti bahwa kau tidak ingin
melibatkan aku apapun alasannya.
Karena itu, maka aku berniat untuk mencari kesempatan lain untuk dapat bekerja
bersamamu. " Ki Manuhara tidak menjawab. Sementara itu mereka berjalan semakin mendekati Kali
Praga. Namun mereka berusaha menghindari jalan-jalan yang ramai dan apalagi lewat
padukuhan-padukuhan. Bahkan mereka memilih berjalan lewat pematang dan tanggultanggul
susukan dan parit-parit. " Apakah tempat-tempat penyeberangan juga ditutup " desis Ki Manuhara.
" Memang satu kemungkinan. Tetapi kita tidak akan menyeberang lewat
penyeberangan. Kita akan menelusuri Kali Praga sampai kita menemukah kemungkinan
untuk menyeberang atau kita akan menelusuri Kali Praga sampai ke ujung " jawab
Bajang itu. Ki Manuhara tidak menjawab. Ia sudah tidak mempunyai seorang kawanpun lagi di
Tanah Perdikan Menoreh. Ia tahu bahwa kawan-kawannya serta pengikutnya yang masih
hidup tentu telah tertangkap. Apalagi menurut Bajang Bertangan Baja itu, Ki Samepapun
telah terbunuh. Tetapi di Mataram Ki Manuhara masih mempunyai satu dua orang yang dapat diajaknya
berbicara. Karena itu, ia berkata kepada Bajang Bertangan Baja " Aku masih akan
singgah di Mataram. "Untuk apa?"bertanya Bajang Bertangan Baja itu" apakah masih ada yang ingin kau
lakukan di Mataram" Seharusnya kau belajar dari pengalaman. Orang-orang yang
menyerang istana Kepatihan itupun telah dihancurkan. Kemudian kau digelisahkan oleh
dua orang anak muda yang membunuh lembu jantan yang kau lepaskan di alun-alun.
Kawan-kawanmu sudah dipermalukan dirumah Ki Lurah Branjangan. Kemudian kau sendiri
di Tanah Perdikan Menoreh ini. Seharusnya kau menyadari, bahwa Mataram dan
lingkungan pendukungnya bukan tempat bermain untuk anak-anak nakal seperti orangorangmu.
Mataram memiliki orang-orang kuat yang ternyata tidak dapat ditembus. "
" Aku bukan orang yang mudah putus asa " sahut Ki Manuhara.
" Aku tahu. Tetapi kaupun bukan orang yang tidak mempunyai perhitungan sehingga
kau dapat berbuat apapun tanpa memperhitungkan untung dan ruginya. "
" Aku tidak menghitung untung rugi dalam satu perjuangan " berkata Ki Manuhara "
tetapi akupun tidak mengenal berhenti sebelum usahaku berhasil. "
" Apakah kau akan melakukannya terus jika kau tahu bahwa usahamu itu pasti tidak
berhasil" Bukankah itu sama saja dengan usaha untuk membunuh diri" " desis Bajang
Bertangan Baja " sehingga akan lebih baik jika tenaga, pikiran dan kemampuanmu kau
pergunakan untuk melakukan pekerjaan yang lebih berarti dari pada mati sia-sia. "
Ki Manuhara tidak menjawab. Dengan mata redup dipandanginya jalan yang sempit
memanjang dihadapannya. Jalan yang berkelok-kelok dan berbatu-batu. Jalan yang jarang
dilalui orang lain. Namun tiba-tiba Bajang Bertangan Baja itu berkata " Marilah, kita mengambil jalan ini.
Kita akan sampai ke jalan yang lebih besar. Jika kita berhati-hati, agaknya kita akan
sampai ke penyeberangan yang tidak terlalu ramai. Tetapi tentu ada satu dua rakit yang
menunggu. Bukankah kau masih akan singgah di Mataram" "
Ki Manuhara menjadi ragu-ragu. Namun Bajang itu berkata "Jika kita berhati-hati, kita
tidak akan ditemukan oleh para pengawal yang mencarimu. Apalagi penyeberangan itu
terlalu kecil untuk diperhatikan.
" Tetapi justru karena itu, penyeberangan itu diawasi oleh para pengawal Tanah
Perdikan"jawab Ki Manuhara.
" Marilah. Kita akan melihat " berkata Bajang Bertangan Baja itu sambil berbelok
tanpa menunggu persetujuan Ki Manuhara.
Ki Manuhara pun tidak menolak. Iapun berjalan mengiringi Bajang Bertangan Baja itu
meskipun ia masih juga merasa ragu-ragu, Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi.
Beberapa saat kemudian, mereka memang sampai ke jalan yang lebih ramai. Tetapi
tidak terlalu banyak orang yang lewat. Meskipun demikian Bajang itu cukup berhati-hati.
Ia mendahului Ki Manuhara meloncati tanggul parit dan berdiri dipinggir jalan itu.
Diamatinya sebelah menyebelah. Baru setelah ia tidak melihat apa-apa yang dapat
membahayakan ia berkata " Marilah. Kau tentu sudah mampu meloncat parit itu. "
" Meloncatimupun aku sudah mampu " geram Ki Manuhara.
Bajang itu tertawa. Katanya " Kau masih mudah tersinggung. "
Ki Manuhara tidak menjawab. Namun iapun segera meloncati parit dan berdiri di pinggir
jalan itu pula. Sambil menarik nafas panjang ia berkata " Mudah-mudahan kita tidk
terjebak. " " Kau mulai menyadari kedudukan kita sekarang, sehingga kau tidak lagi berniat untuk
menghancurkan sekelompok pengawal yang lewat. " berkata Bajang Bertangan Baja itu.
" Kau memang gila " geram Ki Manuhara"jika kau masih saja berceloteh begitu, aku
benar-benar bernafsu membunuhmu. "
Bajang itu tertawa. Katanya " Jangan berkata begitu. Lebih baik kita berbicara tentang
rakit yang dapat membawa kita. "
Ki Manuhara tidak menjawab. Namun mereka berjalan menelusuri jalan yang memang
tidak terlalu ramai. Jalan pintas yang tidak banyak dilalui orang, apalagi para pedagang
yang membawa barang-barang dagangan mereka.
Beberapa saat kemudian mereka memang sampai ke pinggir Kali Praga. Seperti yang
dikatakan oleh Bajang Ber tangan Baja, dipinggir Kali Praga memang terdapa rakit kecil.
Satu disisi Barat dan satu disisi Timur.
" Cepat, mumpung masih ada rakit yang menunggu. Dua tiga orang sudah ada
diatasnya. Rakit itu hanya memuat sedikit penumpang, tidak seperti di jalan
penyeberangan Selatan dan Utara " berkata Bajang Bertangan Baja.
" Darimana kau tahu bahwa disini ada tempat penyeberangan meskipun kecil" "
bertanya Ki Manuhara. "Aku banyak mengetahui tentang Tanah Perdikan Menoreh. Jauh lebih banyak dari
yang kau ketahui " jawab Bajang Bertangan Baja itu.
Ki Manuhara memandang sekilas. Namun Bajang itu tidak memperhatikannya lagi.
Bajang itu justru berlari-lari kecil menuju kerakit yang masih tertambat dipinggir Kali
Praga. Tiga orang memang sudah duduk diatasnya sambil menunggu penumpang yang
lain, yang masih akan naik ke rakit kecil itu. Baru setelah enam atau tujuh orang
penumpang, rakit itu akan menyeberang ke sisi sebelah timur.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Manuhara memang juga harus cepat-cepat menuju kerakit. Ternyata ada
sekelompok kecil pengawal yang mengawasi penyeberangan itu dari atas tebing.
Namun agaknya sekelompok pengawal itu tidak memperhatikan kedua orang yang
berjalan menuju kerakit, Mereka membayangkan, bahwa Ki Manuhara itu terluka parah
dan seorang diri. Sementara itu yang mereka lihat adalah dua orang nampaknya sama
sekali tidak mengalami apapun pada tubuhnya. Mereka berjalan, bahkan berlari-lari kecil,
menuju ke rakit. Namun nampaknya pemimpin sekelompok pengawal itu ingin tahu juga, apakah kedua
orang yang sedang menuju ke rakit itu.
Karena itu, maka pemimpin pengawal itu telah memerintahkan dua orang- pengawal
menuju ke rakit setelah Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara naik pula ke atas rakit.
Namun Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara yang melihat kedua orang pengawal
yang turun dari tebing itu hampir berbareng berkata kepada tukang satang rakit itu "
Cepatlah kita berangkat. Aku tergesa-gesa. "
Tetapi tukang satang itu menjawab " Kami masih menunggu dua tiga orang lagi. "
" Itu terlalu lama. Biarlah aku membayar rangkap.
Demikian juga kawanku ini. " berkata Bajang Bertangan Baja itu.
Tukang satang itu ragu-ragu. Sementara itu kedua orang pengawal yang turun dari
tebing itu sudah berada dijalan dan sedang melangkah ketepian.
"Cepat"Bajang itu membentak" kami berdua membayar rangkap tiga. "
Tukang satang itu tidak berpikir lagi. Iapun memberi isyarat kepada kawannya yang
ada ditepian untuk mengangkat tali yang menambat rakit itu pada patok di tepian.
Kawannya segera melepas tali itu dan meloncat pula keatas rakit. Kedua orang tukang
satang itupun segera mengangkat satang mereka dan dengan satang itu mereka
mendorong rakit itu bergerak ketengah.
Namun dalam pada itu, kedua pengawal yang sudah menjadi semakin dekat dengan
rakit itu berteriak"Tunggu.
Tukang satang yang seorang berdesis " Mereka juga akan naik. Kita akan menunggu
sejenak. " Tetapi Bajang itu dengan cepat berkata " Jika kalian menunggu mereka aku tidak akan
membayar lebih dari sewajarnya. "
Tukang satang itu berpikir sejenak. Namun rakit itu bergerak terus semakin ketengah.
Sementara itu menurut perhitungan tukang satang, maka dengan meninggalkan kedua
orang yang diduganya akan naik pula itu, mereka masih mendapat upah lebih banyak,
sehingga rakit itu sama sekali tidak berhenti apalagi bergeser kembali ketepian.
Namun dalam pada itu pengawal itu berteriak lagi " Berhenti. Atas nama Ki Gede
Menoreh, aku perintahkan rakit itu dibawa kembali ketepian. "
Kedua orang tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka
berkata " Agaknya mereka pengawal yang bertugas. Bukan akan menyeberang. "
" Sejak tadi aku memang melihat beberapa orang diatas tebing tepian itu. " sahut
yang seorang lagi. " Kalau begitu, marilah. Kita kembali ke tepian. "
" Tidak " berkata Bajang Bertangan Baja " kalian harus menyeberang terus. Kalian
tidak boleh kembali. "
" Mereka-adalah para pengawal. Mereka memanggil kita " jawab salah seorang
tukang satang itu. " Siapapun mereka, aku tidak mau kembali. " jawab Bajang yang menjadi marah.
" Tetapi mereka adalah para pengawal. Kami dapat dihukum jika kami tidak menurut
perintah mereka. "berkata tukang satang yang seorang lagi.
" Tutup mulutmu" bentak Bajang Bertangan Baja itu. Namun tukang satang itu justru
menjadi marah. Tanpa menghiraukan Bajang itu lagi, maka keduanya berusaha untuk mendorong rakit mereka
untuk menepi lagi. Tetapi Bajang itu tidak membiarkannya. Iapun segera bangkit. Tetapi ketika ia
melangkah mendekati tukang satang itu, seorang penumpang yang lain telah menarik
lengannya dengan kasar dan berkata " Kau mau apa orang kerdil" "
Namun belum lagi mulutnya terkatub, orang itu sudah terlempar kedalam arus Sungai
Praga. Untunglah, bahwa orang itu agaknya pandai berenang, sehingga karena itu, maka
iapun telah berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berenang ketepian.
Orang-orang diatas rakit itu terkejut melihat kekuatan orang kerdil itu. Namun serentak
mereka ketakutan ketika Ki Manuhara berkata " Bajang itu dapat membunuh kalian
bersma-sama dalam sekejap. Nah, siapa yang pertama" " Kedua orang tukang satang
itupun ketakutan pula, Karena itu, maka mereka tidak berani membantah lagi.
Dengan demikian rakit itu meluncur terus menyeberang ke arah Timur. Sementara itu
para pengawal sudah berloncatan dari atas tebing dan berlari-larian ke tepian.
Namun merekapun menjadi berdebar-debar melihat salah seorang penumpang rakit itu
telah dilemparkan ke sungai oleh seorang yang bertubuh kecil.
Karena itu, maka para pengawal itupun segera mengambil
kesimpulan, bahwa tukang tukang satang itupun tentu sudah diancam pula oleh
orang kerdil itu agar rakit itu tidak didorong kembali ke tepian.
" Tentu bukan orang itu yang dimaksud dengan Ki Manuhara " desis pemimpin
pengawal itu. " Ki Manuhara tidak bertubuh pendek dan kecil seperti orang kerdil itu " sahut salah
seorang pengawal. Namun seorang diantara para pengawal itu berdesis " Mungkin yang seorang lagi. "
Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu rakit itupun telah meluncur
semakin jauh, sehingga perlahan-lahan rakit itu merapat ke tepian sebelah Timur.
Ki Manuhara dan Bajang Bertangan Baja itupun segera meloncat ke darat bersama para
penumpang yang lain, yang menjadi gemetar ketakutan. Demikian mereka sampai ke
tepian maka rasa-rasanya mereka telah terbebas dari plataran sarang serigala.
Namun Ki Manuhara dan Bajang sama sekali tidak ingin membayar upah menyeberang.
Apalagi rangkap tiga. Hampir diluar sadar tukang satang itu bertanya " Bukankah kalian
akan memberi upah rangkap tiga" "
" Setan kau " geram Bajang Bertangan Baja " kau akan menyerahkan kami kepada
para pengawal. Sekarang kau masih berani minta upah menyeberang. Kau kira aku dapat
memaafkan pengkhianatanmu itu" "
Kedua tukang satang itu menjadi ketakutan. Keduanya sama sekali tidak berani
membuka mulutnya lagi, sementara Bajang itu berkata kepada Ki Manuhara " Marilah.
Hari ini aku tidak ingin membunuh. Tetapi jika terpaksa apa boleh buat. "
Kedua tukang satang itu hanya dapat menyaksikan kedua orang penumpangnya
meninggalkan mereka dan melangkah menjauh.
"Sudahlah"berkata salah seorang dari mereka sambil melangkah ke rakitnya.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Untunglah, kita masih tetap hidup. "
Dua orang tukang satang yang rakitnya masih berada disisi Timur mendekati mereka.
Seorang diantara mereka bertanya " Ada apa dengan penumpangmu itu" "
" Mereka tidak mau membayar sebagaimana dijanjikan " jawab tukang satang yang
kecewa itu. " Apalagi seperti yang dijanjikan, upah sewajarnyapun tidak " sahut kawannya.
Kedua tukang satang yang berada disisi Timur itu mengangguk-angguk. Seorang
diantara mereka berkata " Orang kerdil itu telah melemparkan seorang penumpangmu ke
sungai. " " Ya. Dan kami tidak berani menolongnya " jawab tukang satang yang membawa
Bajang itu"tetapi untunglah bahwa agaknya orang itu dapat berenang. "
" Aku melihat orang itu sudh sampai ke tepian. Tetapi agak jauh dibawah " berkata
tukang satang yang ada disisi Timur itu.
Sebenarnyalah orang itu memang telah selamat sampai ke tepian di sebelah barat.
Setelah menyusup diantara batang-batang ilalang dan pohon-pohon perdu, maka orang
itu akhirnya sampai kepada para pengawal dan melaporkan apa yang telah terjadi.
" Aku tidak tahu apa yang dilakukannya " berkata orang itu " tiba-tiba saja aku telah
terlempar ke sungai. Untung arusnya tidak begitu deras dan aku memang dapat berenang
dengan baik. " " Apakah kau mendengar namanya disebut-sebut" " bertanya salah seorang
pengawal itu. "Tidak"jawab orang itu"yang seorang lebih banyak diam, tetapi nampaknya ia tidak
kalah berbahayanya dari orang kerdil itu. "
Para pengawal itu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka tidak dapat
membayangkan bahwa orang itu adalah orang yang sedang mereka cari. Orang itu sama
sekali tidak mengesankan orang yang sedang terluka didalam.
Namun peristiwa itu akan menjadi laporan mereka kepada pimpinan pengawal di
padukuhan mereka agar disampaikan kepada Prastawa atau Ki Gede Menoreh sendiri.
Ternyata laporan itu memang menarik perhatian. Ketika Prastawa menyampaikannya
kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu telah membicarakannya dengan Sabungsari
dan Sekar Mirah. " Mungkin seseorang telah mengobatinya " desis A-gung Sedayu.
" Mungkin " sahut Prastawa " Agaknya orang kerdil itulah yang telah menolong Ki
Manuhara, mengobatinya dan membawanya menyeberang.
Sementara itu Sekar Mirahpun menyela"Bukankah Ki Jaayaraga juga sudah berangsur
baik" Jika terpaksa Ki Jayaragapun tentu sudah mampu berjalan ke tepian Kali Praga
seperti dilakukan oleh Ki Manuhara. "
" Atau Ki Manuhara mendapat tabib yang lebih baik dari orang yang mengobati Ki
Jayaraga " desis Agung Sedayu.
" Bukan begitu " potong Prastawa " mungkin daya tahan Ki Manuhara itu lebih tinggi
dari Ki Jayaraga, atau ilmunya yang selapis lebih baik. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang ada banyak kemungkinan. Namun belum
berarti bahwa Ki Manuhara memiliki daya tahan atau kemampuan lebih baik dari Ki
Jayaraga. Namun Agung Sedayu tidak membantah karena kemungkinan seperti itu
memang dapat terjadi. Namun dalam pada itu memang tidak ada laporan lain tentang Ki Manuhara itu. Semua
kelompok pengawal tidak menjumpai jejaknya, selain laporan tentang kedua orang yang
menyeberangi Kali Praga dengan rakit. Seorang dian-taranya yang bertubuh kerdil justru
telah melemparkan seorang penumpang dari atas rakit itu.
Dengan demikian maka para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh cenderung untuk
menganggap bahwa kemungkinan terbesar orang itulah Ki Manuhara yang telah
mendapat pertolongan dari seseorang. Dan agaknya orang kerdil itulah yang kemudian
membawanya keluar dari Tanah Perdikan, menyeberangi Kali Praga.
Meskipun demikian, Prastawa masih memerintahkan para pengawal Tanah Perdikan
untuk berusaha mencari jejak barang satu dua hari. Demikian pula para prajurit dari
Pasukan Khusus juga mendapat perintah dari Agung Sedayu untuk meronda dan
mengamati kemungkinan menemukan orang yang mereka cari itu.
Ketika kemudian Agung Sedayu menyampaikan hal itu kepada Ki Jayaraga, maka iapun
tiba-tiba bertanya " Orang Kerdil yang memiliki kekampuan pengobatan yang tinggi yang
kau maksud" " " Aku tidak dapat mengatakannya Ki Jayaraga. Kami hanya mendapat laporan tentang
seorang kerdil yang menyeberangi Kali Praga bersama seseorang yang lebih banyak diam
saja. Sekali tukang satang mendengar orang kerdil itu disebut Bajang. Hanya itu. Tidak
lebih. " Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Jadi Bajang itu ada
disini juga. " " Apakah Ki Jayaraga mengenalnya" " bertanya A-gung Sedayu.
" Sudah lama sekali. Aku mengenalnya saat aku memburu murid-muridku yang telah
menodai nama perguruannya dengan tingkah lakunya. Mereka menjadi bajak laut yang
ditakuti di pantai Utara. Nah saat itulah aku bertemu dengan seorang Kerdil yang disebut
Bajang Engkrek. Ia memiliki kemampuan pengobatan yang tinggi. Jika orang itu
menemukan Ki Manuhara, maka memang ada kemungkinan orang itu dapat
mengobatinya dan membawanya menyeberang Kali Praga."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Baginya justru sudah menjadi semakin jelas,
bahwa agaknya kedua orang yang
menyeberang Kali Praga dengan rakit kecil itu adalah Bajang Engkrek bersama dengan
Ki Manuhara yang telah diobatinya. Meskipun belum sembuh benar, tetapi Ki Manuhara itu
tentu sudah mampu berjalan sampai ke Kali Praga, menyeberang dan pergi menjauh.
Dalam pada itu Ki Jayaraga yang juga menjadi semakin baik itu berkata hampir kepada
diri sendiri " Jika Bajang itu ada disini, apapula kepentingannya" Apakah ia mengenal
orang yang menamakan dirinya Ki Manuhara itu atau bahkan bekerja bersamanya" "
Namun Agung Sedayupun kemudian menyahut " Jika ia bekerja bersama Ki Manuhara,
kenapa ia tidak membantunya disaat Ki Manuhara dan pengikutnya mengalami kesulitan"
Bukankah orang yang disebut Bajang itu juga seorang yang berilmu tinggi" "
" Agaknya memang demikian. Ia tentu juga berilmu tinggi sekarang. Saat aku bertemu
dengan Bajang itu, ilmunya memang sudah lebih baik dari murid-muridku. Dalam waktu
yang sudah sekian tahun itu, ilmunya tentu sudah meningkat karena aku tahu bahwa
Bajang itu memiliki keinginan yang sangat besar untuk dapat menggapai ilmu yang
setinggi-tingginya. " berkata Ki Jayaraga. " Karena itu aku yakin bahwa ia telah
menempa diri untuk waktu yang lama.
" Apakah Bajang itu juga mengenal Ki Jayaraga" " bertanya Agung Sedayu.
" Aku tidak tahu, apakah ia masih dapat mengenalku sekarang karena aku tidak
mempunyai ciri yang khusus sebagaimana orang Kerdil itu. Akupun tidak yakin apakah ia
dapat mengenali ciri-ciri ilmuku. " jawab Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, ia memang harus
semakin berhati-hati. Jika benar kedua orang itu adalah Ki Manuhara dan Bajang yang
disebut Bajang Engkrek itu, maka orang-orang Tanah Perdikan harus menjadi lebih
berhati-hati. Bagaimanapun juga maka Ki Manuhara tentu tidak akan menerima
kekalahannya itu. Bahkan mutlak.
Agaknya Ki Jayaraga pun memperhatikan juga kemungkinan itu. Karena itu, maka
iapun berkata " Siapapun keduanya, tetapi kedua orang yang menyeberang dengan rakit
itu pantas kita perhatikan. Mungkin pada suatu saat mereka akan muncul kembali di
Tanah Perdikan ini. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya " Aku harus berbicara dengan Ki
Gede. Namun akupun harus memberikan laporan terperinci kepada para pemimpin di
Mataram, karena kedatangan Ki Manuhara di Mataram tentu membawa maksud tertentu.
Tetapi agaknya ia telah tergelincir dalam persoalan kedua orang anak muda yang disebut
Pembunuh Lembu jantan itu. "
Sementara itu, keadaan Glagah Putih pun telah berangsur baik. Luka-lukanya sudah
mulai merapat meskipun kadang-kadang masih terasa nyeri.
Sekali-sekali Glagah Putih sudah turun ke halaman ditemani oleh Sabungsari. Bahkan
Glagah Putih telah berjalan-jalan menyusuri jalan induk melihat-lihat keadaan padukuhan
induk Tanah Perdikan yang telah dikacaukan oleh para pengikut Ki Manuhara.
Bahkan Glagah Putih sudah melihat-lihat pula bekas rumah yang terbakar yang sedang
sibuk dibangun kembali oleh orang-orang Tanah Perdikan itu. Mereka beramai-ramai
membangun beberapa rumah sekaligus. Kayu, bambu dan ijuk serta batu untuk bebatur
telah datang sendiri. Puluhan orang datang untuk membantu menegakkan kembali rumah
yang telah runtuh menjadi arang itu.
Ki Gedepun setiap kali berada diantara rakyatnya yang sedang sibuk itu. Bahkan Ki Ged
telah memberikan petunjuk-petunjuk langsung kepada rakyatnya yang sedang sibuk
membangun kembali rumah-rumah yang terbakar itu.
Namun dalam pada itu, maka usaha untuk mencari jejak Ki Manuhara itupun telah
dihentikan setelah beberapa hari usaha itu tidak berhasil. Agung Sedayu untuk sementara
mengambil kesimpulan bahwa Ki Manuhara telah berhasil
keluar dari Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana kesimpulan beberapa orang
pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang lain, yang telah mendengar laporan tentang
seseorang yang bersama seorang kerdil menyeberangi Kali Praga dengan rakit.
Sementara itu, Agung Sedayu telah membawa para tawanan ke barak pasukan khusus.
Setiap kali Agung Sedayu atau para pemimpin prajurit Mataram dari pasukan khusus itu
telah memeriksa para tawanan itu seorang demi seorang. Namun dari mereka tidak
banyak mendapat keterangan tentang Ki Manuhara. Bahkan para pengikutnya itu tidak
tahu sama sekali, untuk apa mereka pergi ke Mataram. Mereka hanya menjalankan setiap
perintah yang diberikan kepada mereka oleh Ki Manuhara serta kepercayaannya termasuk
Ki Patitis dan Ki Tangkil yang terbunuh.
Namun dari mereka, Agung Sedayu mendapat keterangan tentang tempat-tempat yang
pernah disinggahi di Mataram. Meskipun mereka tidak tahu dimana Ki Manuhara dan Ki
Samepa tinggal selama mereka berada di Mataram.
Setiap kali Agung Sedayu dengan cepat menghubungi para perwira di Mataram apabila
ia mendapat keterangan baru dari para tawanan. Bahkan ia secara khusus telah
mengirimkan penghubung untuk menyampaikan keterangan kepada Ki Wirayuda. Namun
Ki Wirayuda yang juga bergerak dengan cepat, belum juga mendapatkan keterangan
tentang orang-orang yang menyusup ke Mataram. Setiap kali Ki Wirayuda dengan
sekelompok prajurit pilihan mendatangi rumah-rumah yang disebut-sebut oleh para
tawanan yang segera diberitahukan oleh Agung Sedayu, rumah itu tentu sudah kosong.
Bahkan pemiliknyapun telah tidak ada di rumah itu pula. Sehingga beberapa kali hal itu
dilakukan, Ki Wirayuda belum menemukan seorangpun dari mereka yang dapat
memberikan keterangan. Bahkan para tetangga yang terdekatpun sama sekali tidak tahu
menahu apa yang terjadi dirumah yang telah kosong itu. Mereka tidak pernah melihat
atau mendengar suara gaduh atau kesibukan yang dapat menarik perhatian.
" Rumah itu nampaknya sepi-sepi saja " berkata seorang tetangga yang menjawab
beberapa pertanyaan Ki Wi-rayuda " aku juga tidak pernah melihat orang-orang yang
keluar masuk regol halaman rumah itu. "
" Kau kenal dengan penghuninya" " bertanya Ki Wi-rayuda.
" Kenal " jawab tetangganya itu " tetapi aku tidak melihat kapan ia dan keluarganya
meninggalkan rumahnya itu. "
Karena itu, maka untuk beberapa saat Ki Wirayuda masih belum menemukan sesuatu
yang dapat dipergunakannya untuk menelusuri persoalan yang sedang dihadapinya itu.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun setelah terjadi pertempuran di Tanah Perdikan itu Agung Sedayu dan Ki
Wirayuda belum pernah bertemu langsung, namun mereka sependapat bahwa Ki
Manuhara telah kembali ke Mataram dan mengatur gerakan mereka selanjutnya, sehingga
orang-orangnya yang tertinggal luput dari penangkapan.
" Orang itu memang licin"berkata Ki Wirayuda kepada dua orang penghubung yang
dikirim oleh Agung Sedayu. Kedua orang prajurit dari pasukan khusus itu telah hilir mudik
antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram.
" Yang lebih mudah dikenali adalah orang kerdil itu " berkata salah seorang prajurit
penghubung itu. " Ya. Kita memang harus memperhatikan setiap orang kerdil " jawab Ki Wirayuda.
Namun penghubung itu telah memberikan sedikit keterangan tentang ciri-ciri orang
kerdil itu sesuai dengan, keterangan yang diberikan oleh kedua orang tukang satang yang
sempat melihat orang kerdil itu dengan jelas. Juga keterangan tentang bagaimana orang
kerdil itu melemparkan seorang penumpang rakit ke arus Kali Praga.
Namun sampai eberapa hari kemudian, Ki Wirayuda juga tidak berhasil menemukan
orang kerdil sesuai dengan ciri-ciri dari Bajang Bertangan Baja yang disebut oleh Ki
Jayaraga, Bajang Engkrek dari pesisir Utara itu.
Namun Ki Wirayuda dan para perwira di Mataram tidak menjadi jemu untuk mencari
orang yang dianggap sangat berbahaya itu.
Sementara itu, sambil mencari jejak, maka Agung Sedayu masih selalu memberikan
pengobatan kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih, sementara luka-lukanya sendiri serta
luka Sekar Mirah telah sembuh sama sekali.
Sejalan dengan kesembuhan Ki Jayaraga, maka Agung Sedayupun memperhitungkan
bahwa Ki Manuharapun telah sembuh pula. Bahkan mungkin telah mulai lagi dengan
langkah-langkahnya yang berbahaya. Mungkin ditujukan kepada Mataram, tetapi mungkin
pula ditujukan kepada Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu Matarampun telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Para pemimpinpun telah mempersiapkan kekuatan Mataram sepenuhnya. Bukan saja
untuk menghadapi gerakan Ki Manuhara. Namun nampaknya hubungan Mataram dengan
Pati justru menjadi semakin buram. Orang-orang yang berusaha mengail di air keruh telah
berusaha untuk membuat persoalan-persoalan yang membuat hubungan antara
Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pati semakin dibayangi oleh kecurigaan.
Dalam keadaan yang demikian maka Agung Sedayu sebagai pimpinan pasukan khusus
di Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menghindar dari percikan suasana yang semakin
hangat itu. Namun Agung Sedayupun harus memperhatikan kemungkinan hadirnya
kembali Ki Manuhara dan bahkan mungkin bersama Bajang Engkrek itu ke Tanah
Perdikan. Karena itu, maka Agung Sedayu merasa wajib untuk mempersiapkan Tanah Perdikan
Menoreh untuk menghadapi kemungkinan itu. Karena menurut perhitungan Agung
Sedayu, Ki Manuhara yang telah sampai hati melakukan pembakaran dan pembunuhan
dengan semena-mena itu akan dapat melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya
meskipun itu bertentangan dengan martabat kemanusiaannya.
Sementara itu atas pendapat Agung Sedayu, maka Ki Wirayuda di Mataram telah
memerintahkan agar kelompok Gajah Liwung tidak melakukan kegiatan apapun juga
untuk sementara. Apabila Ki Manuhara mengetahui bahwa kelompok itu langsung
mempunyai hubungan dengan Glagah Putih dan Sabungsari, maka kelompok itupun akan
mengalami kesulitan. Meskipun didalam kelompok itu kemudian terdapat Ki Ajar Gurawa,
namun nampaknya Ki Manuhara masih memiliki beberapa kelebihan dari Ki Ajar itu.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sudah menjadi semakin baik telah berada di sanggar
kembali. Ia berusaha untuk mengetahui tingkat kesembuhannya dengan sekali-sekali
mencoba kemampuan ilmunya disanggar. Pada saat-saat tertentu Agung Sedayu sempat
juga menunggui untuk menyesuaikan tingkat pengobatannya.
Bagi Agung Sedayu, pengobatan atas Glagah Putih agak lebih mudah dari Ki Jayaraga,
karena Glagah Putih hanya terluka diluarnya, luka pada kulit dan dagingnya, sementara Ki
Jayaraga telah terluka di bagian dalam.
Setapak demi setapak Ki Jayaraga telah mengalami banyak kemajuan. Bahkan ia telah
mampu mempergunakan wadagnya untuk mendukung kemampuan serta ilmunya
meskipun belum sepenuhnya. Namun Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yakin bahwa dalam
beberapa hari lagi, keadaan Ki Jayaraga akan pulih sepenuhnya.
Untuk mempercepat penyembuhan luka di bagian dalamnya, Ki Jayaraga menjadi
semakin sering berada didalam sanggar. Memusatkan nalar budinya, mengatur
pernafasannya serta getar didalam dirinya sehingga segala bagian tubuhnya bergerak
dengan irama yang seimbang. Sementara itu, obat-obat yang diberikan oleh Agung
Sedayu atas pertimbangan Ki Jayaraga sendiri telah membantunya, mempercepat
penyembuhannya. Selain perkembangan yang menggembirakan atas Ki Jayaraga, maka keadaan Glagah
Putihpun telah menjadi semakin baik pula. Luka-lukanya telah sembuh. Kekuatannyapun
telah berangsur pulih kembali. Di lereng pegunungan, bersama Sabungsari,
kadang-kadang Glagah Putih juga men-jajagi ilmu puncaknya. Sekali-sekali ia telah
menghantam batu-batu padas ditebing, sehingga berguguran.
" Kau telah menemukan kekuatan dan kemampuanmu kembali Glagah Putih "
berkata Sabungsari. Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya"Namun jika aku bertemu dengan Ki
Manuhara, maka aku tentu akan dilumatkan. Sementara guru yang memiliki ilmu yang
tangguh tanggon itupun telah dilukainya.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya " Ternyata ilmu yang kita miliki masih
terlalu kecil jika kita benar-benar memasuki belantara olah kanuragan. Orang-orang tua
yang masih dikendalikan oleh nafsu dan ketamakan itu telah mempergunakan kelebihankelebihan
mereka untuk memaksakan kehendak mereka. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada lemah ia berkata " Bukankah itu
merupakan tantangan bagi kita.
" Ya. Dan beruntunglah kita bahwa pada masa seperti ini ternyata kita masih
mempunyai orang-orang tua yang dapat mempersiapkan kita menghadapi masa depan,
karena orang-orang yang masih dikekang nafsu dan ketamakan itu tentu akan melahirkan
angkatan yang sejalan dengan pandangan hidup mereka. Tanpa mempersiapkan diri kita
akan mengalami kesulitan untuk menghadapi mereka. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Betapa kekalutan masih membayangi
kehidupan. Namun Glagah Putih sadar, bahwa tantangan itu harus ditanggapinya sebagaimana
nyala obor di kelamnya malam.
Karena itu, maka iapun telah membulatkan tekadnya, untuk menempa diri lebih tekun
lagi. Ia harus semakin mematangkan ilmu yang telah dimilikinya agar dalam keadaan yang
paling gawat ia akan dapat menyelesaikan tugasnya di tengah-tengah kehidupan
sesamanya, Jika ia berniat untuk menjadi
obor, maka cahayanya harus terasa oleh lingkungannya, seperti nyala obor yang
menembus gelapnya malam. Bukan seperti obor yang meskipun menyala tetapi berada
ditengah-tengah sekat yang tertutup rapat.
Namun setiap kali terbersit dihatinya pertanyaan " Apakah hanya kekerasan dan
kemampuan sajalah yang paling baik dipergunakan untuk memerangi kejahatan" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Ketika Glagah Putih melangkah kembali ke padukuhan induk lewat jalan setapak
dilereng bukit, maka keduanya tanpa sadar, telah menyusuri lingkaran perbatasan Tanah
Perdikan Menoreh. Justru karena itu, maka keduanya ingin memanjat punggung pebukitan
dan melihat-lihat kehidupan dilembah seberang bukit, yang meskipun masih termasuk
lingkungan Tanah Perdikan , namun sudah merupakan batas disisi Barat.
Beberapa saat mereka berjalan diantara pepohonan hutan yang memang tidak terlalu
lebat. Namun cukup kuat mencengkeram tanah yang miring di lereng perbukitan.
Namun beberapa saat kemudian, keduanya mendengar suara gaduh di sebelah
seonggok batu padas yang menjorok. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa keduanya
berlompatan memanjat batu-batu padas itu dan meloncat turun ke sebelah batu padas itu.
Mereka ternyata melihat beberapa orang laki-laki yang nampak bertubuh kekar sedang
memukuli dua orang anak yang masih remaja, yang umurnya sedikit dibawah Glagah
Putih. Kedua orang anak yang masih sangat muda itu sama sekali tidak melawan. Mereka
hanya berusaha melindungi wajah mereka dari amukan beberapa orang laki-laki kasar itu.
"Tunggu " teriak Glagah Putih"apa yang terjadi?" Beberapa orang laki-laki itu
memang berhenti. Mereka memang agak terkejut mendengar suara Glagah Putih yang
menghentak itu. " Kenapa anak itu dipukuli" " bertanya Glagah Putih.
Beberapa orang laki-laki kasar itu memandang Glagah Putih dengan wajah yang
tegang. Bahkan seorang diantara merekapun berkata kasar " Apakah kau termasuk
diantara ereka sehingga aku dan kawan-kawanku harus menghancurkan kepalamu juga"
" " Sabarlah Ki Sanak"desis Glagah Putih yang melangkah mendekat. Katanya
kemudian " Aku belum mengenal anak-anak ini. Tetapi aku ingin tahu apakah salah
mereka?" " Kau tidak perlu ikut campur, anak muda " geram seorang diantara laki-laki itu.
" Ki Sanak " berkata Sabungsari menyela " apakah kau belum mengenal anak muda
ini" " Beberapa orang laki-laki itu termangu-mangu. Mereka memandang Glagah Putih
dengan tajamnya. Namun laki-laki kasar itu merasa belum pernah mengenal anak muda
itu sebagaimana Glagah Putih juga belum mengenal mereka.
Karena itu, seorang diantara mereka berkata " Aku belum mengenal anak itu. "
" Anak muda itu adalah salah seorang dari beberapa orang pemimpin dari para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh " berkata Sabungsari. Ia berharap bahwa kedudukan
Glagah Putih itu dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa orang laki-laki itu.
Namun ternyata seorang diantaranya menggeram " Aku bukan orang Tanah Perdikan
Menoreh. " Sabungsari mengerutkan keningnya. Sementara Glagah Putih bertanya dengan nada
dalam " Jadi siapakah kalian itu" "
" Kau tidak perlu tahu siapa kami. Kami adalah orang-orang yang tidak diperintah oleh
siapapun juga. " jawab salah seorang dari mereka.
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya " Jadi apa
yang telah terjadi disini" Kenapa kalian memukuli anak-nak yang tidak sempat melawan
sama sekali itu" Apakah salah mereka" "
" Aku tidak perlu campur tangan kalian. Minggir atau kalian berdua kami perlakukan
seperti anak-anak itu. " geram salah seorang diantara laki-laki kasar itu.
Namun Sabungsaripun kemudian bertanya kepada kedua orang anak-anak remaja itu
" Kenapa kau dipukuli" "
"Aku mencoba untuk memperingatkan, mereka menebangi hutan ini dengan semenamena.
"jawab salah seorang dari mereka.
" Tutup mulutmu atau aku bunuh kau" " geram salah seorang laki-laki kasar itu.
" Sabar Ki Sanak " cegah Sabungsari. Lalu iapun bertanya pula"Siapakah kalian.
Kenapa kalian tidak melarikan diri saja atau berteriak atau apapun juga" "
Anak-anak remaja itu termangu-mangu. Namun seorang diantaranya berkata " Kenapa
kami harus lari dan berteriak" " Kami berniat baik dan kami sudah berusaha untuk
melakukan sesuatu yang kami yakini benar. "
" Siapakah kalian dan siapakah orang tua kalian" " bertanya Sabungsari kemudian.
" Kami berduaadalah anak-anak. yatim piatu " jawab salah seorang dari mereka
berdua. " Yatim piatu" Jadi dengan siapa kalian tinggal" " bertanya Sabungsari kemudian.
Kedua anak remaja itu termangu-mangu. Sekilas dipandanginya beberapa orang lakilaki
yang kasar dan yang telah memukuli mereka. Namun orang-orang itu justru terdiam.
Mereka seakan-akan juga ingin tahu, siapakah kedua orang anak yang telah mereka
pukuli itu. Baru sejenak kemudian yang tua diantara mereka berdua menjawab " Aku tinggal
bersama bapak. " " Bapak siapa" " Desak Glagah Putih.
" Bapak Rudita " jawab anak itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu pasti, siapakah Rudita itu. Itulah
agaknya, maka kedua orang anak remaja itu seakan-akan membiarkan saja dirinya
dipukuli tanpa berusaha untuk menghindar apalagi melawan.
Glagah Putihpun kemudian mendekati kedua orang a-nak itu sambil bertanya " Jadi,
apa yang telah terjadi disini"
Kedua anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seseorang diantaranya
menjawab " Sudah kami katakan, kami berusaha mencegah mereka menebangi hutan
dengan semena-mena. Tetapi mereka menjadi marah. "
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat beberapa batang pohon
yang roboh serta tonggak-tonggak kayu yang mulai mengering.
Sementara itu salah seorang laki-laki yang kasar itu berkata " Apa haknya melarang
kami menebangi hutan yang tidak bertuan ini" Kami dapat menebang pohon berapa saja
yang kami perlukan tanpa ada orang yang dapat melarang. "
" Ki Sanak " berkata Glagah Putih " untuk apa sebenarnya kalian menebangi
pepohonan di hutan ini" "
" Apakah kau juga ingin mendapat perlakuan seperti anak-anak itu" " bentak seorang
diantara mereka. Namun Sabungsari segera menyahut " Sudah aku katakan. Anak muda ini adalah salah
seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan hutan ini masih berada
dilingkungan Tanah Perdikan. Karena itu, maka kalian tidak menebangi pepohonan
menurut kehendakmu saja. "
" Aku bukan orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak tahu batas Tanah Perdikan.
Hutan ini tumbuh dengan sendirinya dilereng pegunungan. Tidak ada orang yang
menanam pepohonan ini yang berhak mengaku bahwa pepohonan ini miliknya, " teriak
seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berjambang lebat. Rambutnya tergerai
dibawah ikat kepalanya yang hanya sekedar membalut kepalanya.
" Untuk apa sebenarnya kekayuan itu" " bertanya Sabungsari kemudian.
" Kau tak perlu mempersoalkan ini " bentak orang yang bertubuh tinggi besar itu "
apapun yang kami lakukan, jangan ikut campur. "
Namun salah seorang dari kedua orang anak itulah yang menyahut " Mereka
membuka padukuhan baru dibawah lereng pegunungan ini. Karena itu mereka
memerlukan kayu untuk membuat tempat tinggal dan menjadikan padang perdu untuk
daerah persawahan dan pategalan. "
" Jadi mereka membuka tempat pemukiman baru dibawah lereng pegunungan ini" "
sahut Sabungsari " jika demikian kenapa mereka justru menebangi pepohonan dilereng
ini" " " Cukup " bentak orang bertubuh tinggi besar itu " sudah aku katakan, bahwa kalian
tidak usah ikut campur. "
"Tetapi bukankah itu justru akan sangat berbahaya?" berkata salah seorang dari
kedua remaja itu " jika hujan turun dengan derasnya dan apalagi untuk waktu yang
lama, maka lereng ini akan dapat longsor dan tempat pemukiman baru itu akan menjadi
kuburan yang luas. "
" Diam, diam kau cucurut " bentak seorang laki-laki yang berwajah kasar. Meskipun
tidak sebesar kawannya yang berubuh raksasa itu, namun ia nampak kasar dan matanya
justru liar. Sabungsari dan Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata kedua orang anak yang
masih sangat muda, yang menjadi asuhan Rudita itu berusaha untuk mencegah beberapa
orang laki-laki kasar itu. Bahkan ketika mereka dipukuli, mereka tidak mau beranjak pergi,
karena mereka merasa berkewajiban untuk menyatakan keyakinannya, bahwa hal itu
sangat berbahaya. Sabungsari dan Glagah Putih memang tersentuh hatinya. Sebagai anak-anak asuhan
Rudita nampaknya mereka tidak mau beranjak dari kebenaran yang mereka yakini.
Namun agaknya karena mereka masih terlalu muda, maka mereka agak kurang dapat
menempatkan diri menghadapi kenyataan.
Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata " Baiklah anak-anak muda. Biarlah aku
mengambil alih persoalan ini. Aku sependapat dengan kalian, bahwa sebaiknya mereka
tidak melakukannya. Karena itu, biarlah aku mencoba mencegahnya. Aku akan
meyakinkan mereka bahwa yang mereka lakukan itu tidak benar. "
" Kau j angan mencari kesulitan"bentak salah seorang laki-laki kasar itu. " Apapun
yang kau katakan, tidak berarti apa-apa bagi kami. "
" Ki Sanak " berkata Glagah Putih " dengarlah. Aku berbicara atas nama Ki Gede
Menoreh yang sekarang memerintah Tanah Perdikan ini. Sebaiknya kalian hentikan uhasa
Dendam Gila Dari Kubur 1 Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis Kutukan Empu Bharata 2
^