Api Di Bukit Menoreh 5
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5
"Apakah Panembahan Senapati akan mempergunakan gelar Gedong Minep untuk menggulung Madiun?" desis seorang Senapati ditelinga kawannya.
"Tentu tidak. Bukan watak Panembahan Senapati mempergunakan gelar Gedong Minep. Mungking gejar lain yang mirip, tetapi tidak memberikan kesan, bahwa pimpinan tertingginya memerlukan perlindungan seluruh pasukan. Mungkin Cakra Byuha atau bahkan Dirada Meta." jawab kawannya.
Tetapi dengan penuh kebimbangan para prajurit sehari penuh menunggu perintah berikutnya, namun seakan-akan mereka telah dibiarkannya saja. Tidak ada perintah dan tidak ada pemberitahuan apapun juga.
Di induk pasukan, Agung Sedayu telah menemui Swandaru yang ternyata pulih kembali. Luka-lukanya memang belum sembuh benar. Tetapi sudah nampak mengering dan tidak akan terbuka lagi meskipun Swandaru harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi sentuhan-sentuhan yang keras memang akan segera membuat luka itu kambuh lagi.
"Kau harus minum obat itu sampai dua tiga hari lagi." berkata Agung Sedayu.
"Aku sudah sembuh benar." berkata Swandaru.
"Kulitmu yang sedang tumbuh pada bekas luka itu memerlukan obat pemacu sehingga akan segera pulih kembali tanpa menimbulkan noda. Tidak akan berwarna kehitam-hitaman atau bahkan kerut-kerut yang dapat membuat kulitmu cacat." berkata Agung Sedayu.
"Aku seorang laki-laki kakang." berkata Swandaru, "jika"aku seorang perempuan, mungkin aku memerlukannya untuk menjaga agar aku berkulit halus."
"Kau mengajak aku bertaruh lagi?" bertanya Agung Sedayu.
Pertanyaan itu telah menyentuh perasaan Swandaru. Tetapi ia memang tidak dapati mengingkari kenyataan itu. Bahkan ia sadari bahwa ia akan dapat mati jika saat luka-luka itu terbuka lagi ia berada di tengah-tengah pertempuran.
Karena itu, maka Swandaru tidak menjawab lagi. Namun demikian, didalam hati tersimpan niatnya untuk pada satu kesempatan dimanapun juga, menunjukkan kelebihannya kepada kakak seperguruannya itu.
"Kakang Agung Sedayu harus melihat satu kenyataan tentang perbandingan ilmu kedua orang murid Orang Bercambuk. Ia tidak boleh sakit hati, bahwa meskipun ia lebih tua dalam susunan perguruan, tetapi ilmuku jauh lebih baik daripadanya." katanya didalam hati.
Ketika kemudian gelap malam turun, maka para prajurit dan para pengawal telah bertebaran di induk pasukan. Mereka seakan-akan dipersilahkan mencari tempat sendiri-sendiri kelompok demi kelompok, sementara pasukan yang telah lebih dahulu berada diinduk pasukan sama sekali tidak bergeser dari tempat mereka.
Balas " On 7 Agustus 2009 at 09:15 Mahesa Said:
Bagian II Beberapa kelompok prajurit Mataram memang tidak senang dengan perlakuan itu. Demikian juga para pengawal. Tetapi justru karena mereka menghormati para prajurit dan pengawal yang datang dari jauh, maka merekapun tidak menunjukkan perasaan mereka itu. Para Senapati dan para pemimpin kelompok berhasil meyakinkan para prajurit dan para pengawal agar mereka tetap menghormati para prajurit dan pengawal tamu bagi Mataram.
Ketika malam menjadi semakin gelap, maka para prajurit itupun telah berbaring diperkemahan mereka masing-masing. Mereka yang datang dari sayap kiri dan sayap kanan telah berbaring pula ditempat-tempat yang telah mereka persiapkan dengan tergesa-gesa. Bahkan mereka telah menebar sampai agak jauh dari perkemahan sehingga cahaya obor tidak dapat menggapai mereka lagi.
Tetapi ditengah malam, seluruh pasukan telah dibangunkan. Para Panglima dan Senapati telah memberikan perintah menurut tataran keprajuritan sehingga dalam waktu yang singkat, semua prajurit telah siap.
Maka para prajurit dan pengawal itupun segera menyadari, bahwa mereka akan bergerak di malam hari.
Tetapi masih juga ada pertanyaan, "Apakah pasukan ini akan kembali ke Mataram atau menuju ke Madiun yang telah berada didepan hidung mereka?"
Namun akhirnya mereka mengerti, mereka akan menyerang Madiun yang nampaknya tertidur lelap.
Demikianlah, maka pasukan Mataran itu bergerak dengan seluruh kekuatan yang ada. Hanya beberapa kelompok prajurit yang ditinggalkan sebagai kelompok-kelompok cadangan jika diperlukan sekali, merangkap menjaga perkemahan dan peralatan yang masih tertinggal.
Dengan sangat berhati-hati, pasukan Mataram itu menyeberangi Kali Dadung. Kemudian merekapun telah merayap mendekati dinding kota Madiun.
Meskipun jarakanya tidak jauh, tetapi gerakan itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Pimpinan tertinggi pasukan Mataram ternyata telah membagi seluruh kekuatan menjadi dua bagian. Masing-masing akan memasuki kota Madiun dari arah yang berbeda.
Madiun sementara itu nampaknya memang sedang lelap. Ada beberapa petugas yang berjaga-jaga. Tetapi karena sebagian besar para pemimpin mereka menduga bahwa Mataram sedang bersiap-siap untuk kembali ke Mataram, maka mereka memang menjadi lengah. Apalagi sebagian para prajurit yang berkumpul di Madiun telah meninggalkan Kota, karena diantara mereka terdapat ketidak sesuaian. Dengan demikian maka ada bagian dari pasukan itu yang tidak sabar dan dengan serta merta menyerang pasukan Mataram. Namun ternyata Mataram berhasil memukul mundur mereka dan bahkan pasukan itu telah meninggalkan Madiun tanpa singgah lagi ke kota.
Dalam pada itu, maka seluruh pasukan yang telah terbagi itu perlahan-lahan merayap dalam kegelapan mendekati dinding kota.
Pasukan pertama yang akan memasuki Madiun dari arah Utara dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati. Kemudian pasukan yang lain dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka. Adipati Pati dengan pasukannya yang kuat akan berada di pasukan kedua bersama Ki Patih didampingi oleh Pangeran Singasari. Sedangkan Adipati Pajang akan bersama dengan Panembahan Senapati dan Pangeran Mangkubumi, serta para pemimpin yang lain.
Dengan demikian maka seluruh pasukan dari sayap kanan telah berada di pasukan kedua, sedangkan pasukan dari sayap kiri berada di pasukan pertama.
Sebenarnyalah bahwa Swandaru merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat berada dalam satu lingkungan bersama Agung Sedayu. Ia masih ingin mencari kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya.
"Jika aku belum melakukannya, maka kakang Agung Sedayu masih saja bersikap seperti seorang guru kepada muridnya." berkata Swandaru didalam hatinya, "ia memang dapat bertindak atas nama Guru karena ia adalah saudara tua dalam susunan keluarga perguruan, meskipun ia suami adikku. Tetapi jika ia melihat langsung kelebihan ilmuku, maka sikapnya tentu akan lain."
Tetapi Swandaru tidak mempunyai kesempatan untuk memilih. Ia harus berada dipasukan yang berbeda dengan Agung Sedayu.
Demikianlah, maka kedua pasukan itu merayap .dengan sangat berhati-hati. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka telah melingkar melalui daerah yang terbuka, tetapi terdiri dari bulak-bulak yang sangat luas. Mereka jarang sekali menemui padukuhan. Jika satu dua ditemuinya, maka padukuhan itu pada umumnya sudah kosong. Penghuninya mengungsi menjauhi kemungkinan buruk jika perang pecah.
Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Senapati menempuh jarak yang lebih pendek. Tetapi justru karena itu, mereka harus lebih berhati-hati. Jalan yang dilalui adalah jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang disisi Utara. Karena itu, jalan itu tentu berada dibawah pengawasan. Betapapun lengah penjagaan di Madiun, namun pintu gerbang kota tentu tidak akan terbuka begitu saja tanpa penjagaan.
Karena itu, maka Panembahan Senapati telah menunjuk empat orang prajurit dari pasukan khusus untuk mendahului pasukan. Keempat orang itu harus memberikan isyarat, tanda dan jika perlu melumpuhkan penjagaan disepanjang jalan yang akan dilalui.
Ternyata bahwa perhitungan kedua pimpinan pasukan itu terpaut tepat seperti yang direncanakan. Pasukan Panembahan Senapati yang merayap perlahan-lahan, mendekati pintu gerbang disaat dini hari. Demikian pula pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka yang mendekati pintu gerbang disisi selat-an.
Kedua pasukan itu segera mempersiapkan segala peralatan yang diperlukan. Mereka yakin bahwa tidak mudah untuk me-mecahpintu gerbang. Karena itu, maka mereka telah mempersiapkan beberapa tangga dan bambu yang akan dipergunakan untuk memanjat.
Ternyata Panembahan Senapati sebagaimana diusulkan oleh Ki Patih Mandaraka telah mempergunakan cara yang lunak untuk memasuki dinding kota. Pasukan Mataram tidak akan dengan keras menggempur pasukan Madiun yang menjaga pintu gerbang yang tertutup dan diselarak dengan balok-balok yang besar, sehingga akan dengan serta merta membangunkan seluruh pasukan. Dengan memanfaatkan kelengahan para petugas di Madiun, maka orang-orang Mataram akan menugaskan prajurit-prajurit dari pasukan khususnya untuk memasukidiri ding kota dengan tangga dan dengan diam-diam.
Demikianlah sebelum matahari terbit, maka Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang mendapat tugas untuk memasuki dinding, segera bergerak. Justru pada saat ayam jantan terdengar berkokok bersahutan. Suara ayam jantan itu adalah pertanda yang disepakati oleh Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Karena itu, maka pada saat yang bersamaan, maka pasukan khusus dari pasukan keduapun telah bergerak pula.
Dengan sangat berhati-hati kedua pasukan itu telah melekatkan dua buah tangga di pasukan masing-masing. Mereka telah memilih tempat yang berada di bayangan pepohonan yang rimbun.
Dengan sangat berhati-hati, beberapa orang prajurit pilihan dari pasukan khusus telah memanjat naik. Seorang yang pertama mencapai bibir dinding sempat memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu. Ternyata mereka tidak melihat pasukan yang bersiap-siap meskipun mereka melihat beberapa orang yang berjaga-jaga dipintu gerbang.
Karena itulah, maka seorang demi seorang para prajurit pilihan itu berloncatan masuk. Mereka harus bergerak cepat menyergap para petugas dipintu gerbang. Kemudian membuka selarak-selarak pintu.
Para prajurit Mataram yang berada di luar dinding mengambil tempat tidak terlalu dekat. Mereka berusaha untuk menyamarkan diri diantara pohon-pohon perdu dalam kegelapan sisa malam. Masih ada kemungkinan peronda dari Madiun akan lewat di hadapan mereka. Berkuda atau berjalan kaki.
Demikianlah, ternyata para prajurit pilihan dari Mataram itu telah berhasil memasuki benteng sesuai dengan jumlah yang diperhitungkan.
Ketika segalanya telah siap, maka berdasarkan atas perhitungan waktu, maka pasukan Mataram itupun hampir bersamaan telah menyerang para petugas yang berada diregol gapura kota Madiun disisi Selatan dan disisi Utara.
Serangan itu datang begitu tiba-tiba. Meskipun jumlah prajurit Mataram itu tidak terlalu banyak, namun para prajurit Madiun tidak sempat mengadakan perlawanan. Namun sebagian dari mereka sempat menarik diri dan membunyikan isyarat, Suara kentongan segera telah memecahkan kesenyapan fajar. Beberapa kentongan kecil telah berbunyi hampir berbareng dibelakang gerbang disisi Selatan dan Utara. Beberapa orang ternyata telah membunyikan kentongan sambil berlari.
Beberapa gardu di jalan-jalan kota yang kebetulan berisi beberapa orang peronda telah mendengarnya. Suara isyarat kentongan dengan nada titir itupun segera telah disahut. Bahkan kemudian bersahut-sahutan. Suara kentongan yang menjalar diseluruh kota itulah yang kemudian telah mengejutkan para prajurit Madiun di barak mereka masing-masing. Dengan cepat mereka bersiaga di halaman barak untuk menunggu perintah selanjutnya.
Isyarat itu memang agak membingungkan. Namun dengan, cepat para pemimpin dan Senapati di Madiun menyadari apa yang terjadi. Tetapi para Senapati dan pemimpin Madiun itu terlambat.
Ketika terdengar suara bende yang bergaung di tengah-tengah kota, disusul dengan beberapa orang penghubung berkuda yang berderap di jalan-jalan yang lengang menjelang pagi, maka para prajurit pilihan dari Mataram telah berhasil menggapai selarak pintu gerbang disisi Selatan dan Utara.
Dengan demikian, ketika para prajurit Madiun bersiap untuk menyongsong prajurit lawan, maka pintu gerbang itupun perlahan-lahan telah terbuka.
Kelompok-kelompok kecil prajurit Madiun memang lebih cepat mencapai pintu gerbang yang sedang dibuka itu. Namun pasukan pilinan Mataram dari kesatuan pasukan khusus yang sudah berada didalam dinding kota sempat menahan mereka. Pada saat yang demikian itu, satu-satu para prajurit Mataram mulai berlari-lari memasuki pintu gerbang yang terbuka semakin lama semakin lebar bahkan kemudian tidak saja seorang demi seorang, tetapi seperti bendungan yang pecah, maka prajurit Mataram yang berada diluar dinding telah berlarian memasuki dinding kota Madiun.
Para Senapati Madiun baru menyadari, bahwa mereka benar-benar telah menjadi lengah.Mereka telah dikelabui oleh sikap prajurit Mataram di perkemahan yang seakan-akan telah siap untuk meninggalkan perbatasan kota di sebelah Kali Dadung itu.
Tetapi kini para prajurit Mataram itu telah memasuki pintu -gerbang kota dari sisi Selatan dan Utara.
Prajurit Mataram yang mengalir memasuki kota itupun kemudian telah menjalar mengikuti alur jalan-jalan kota. Beberapa orang penunjuk jalan yang telah mengenal kota Madiun dengan baik, telah membawa pasukan Mataram itu langsung menuju kepusat kota.
Namun dengan demikian. Madiun itu telah terbangun. Di wajah langit telah membayang cahaya pagi. Beberapa orang yang memang telah bangun dan menyapu halaman menjadi terkejut karenanya. Mereka justru telah kembali masuk kedalam rumah sambil menutup pintu rapat-rapat.
Beberapa orang telah berteriak, "Perang, perang. Perang telah pecah."
Orang-orang Madiun tidak sempat lagi mengungsi. Mereka tidak tahu pula kemana mereka harus mengungsi.
Sementara itu, para prajurit Madiunpun telah menghambur kejalan-jalan raya. Sepasukan terpilih dari pasukan pengawal telah berkumpul di istana. Mereka telah menutup dinding halaman istana. Beberapa orang telah berada dipanggung di dalam dinding halaman dengan senjata telanjang. Sebagian dari mereka telah mempersiapkan busur dan anak panah yang banyaknya tanpa hitungan.
Diluar dinding prajurit Madiun bersusun beberapa lapis dialun-alun. Sementara pasukan pilihan telah berada pula didepan istana yang siap turun ke alun-alun apabila musuh berhasil menerobos sampai ke alun-alun itu.
Jumlah prajurit yang masih tinggal di Madiun memang masih cukup banyak. Tetapi mereka tidak tahu, kemana mereka harus memusatkan pertahanan mereka. Karena itulah, maka pasukan Madiun memang untuk sementara terbagi dalam kelompok-kelompo yang terlalu banyak jumlahnya.
Sementara itu, para prajurit Mataram yang memasuki pintu gerbang dari sisi Utara telah memusatkan serangannya kearah istana lewat alun-alun. Namun pasukan Mataram yang memasuki pintu gerbang kota lewat Selatan, telah membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk mengabur-kan para Senapati Madiun. Bahkan kelompok-kelompok prajurit Mataram yang memasuki pintu gerbang disisi Selatan, ada yang telah berada di bagian Timur Kota Madiun.
Dengan demikian, maka pertempuran di dalam kota Madiun telah terjadi dengan sengitnya. Namun kelengahan prajurit Madiun adalah awal dari kesulitan yang untuk selanjutnya dialaminya meskipun sebenarnya jumlah mereka masih lebih banyak.
Ketika laporan itu sampai kepada Panembahan Mas, maka Panembahan Mas itu terkejut bukan buatan. Ia tidak menduga, bahwa Panembahan Senapati telah menjebaknya dalam satu kekalutan yang sulit untuk diatasinya.
Namun demikian, sebagai seorang prajurit Panembahan Mas tidak mudah kehilangan getar perjuangannya untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka beberapa perintah telah dijatuhkan kepada para pemimpin prajurit Madiun yang tersisa.
"Kita memang lengah." berkata Panembahan Madiun, "kita telah terbius oleh sikap Panembahan Senapati yang agaknya telah diperhitungkan dengan masak."
Sejenak kemudian, maka para Senapati Madiun itupun telah berada di medan pertempuran. Namun serangan Mataram benar-benar bagaikan banjir bandang yang melanda seluruh kota.
Meskipun demikian, jalan menuju ke istana madiun ternyata tidak selancar yang diharapkan oleh pasukan Mataram. Dengan gagah berani para prajurit Madiun yang telah menemukan kembali keseimbangannya telah menahan arus banjir itu.
Tetapi prajurit Mataram telah berada di mana-mana. Bahkan dijalan-jalan kecil diantara rumah-rumah disudut-sudut kota, prajurit Mataram telah menyusup kedalamnya.
Karena itulah, maka pertempuranpun, telah terjadi dimana-mana. Namun bentrokan yang telah dilakukan oleh prajurit Mataram itu ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar. Karena itu, betapapun lambatnya, namun prajurit Mataram dari segala arah memang telah maju mendekati istana.
Para pemimpin Madiun memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Setiap saat, para penghubung telah memberikan laporan tentang perkembangan keadaan. Disisi Barat, prajurit madiun mengalami kesulitan yang paling parah. Namun Madiun tidak dapat dengan mudah memindahkan kekuatan yang ada untuk menuju ke medan disebelah Barat, karena dengan demikian maka pasukan itu harus menembus medan yang terserak. Karena itu, maka para pemimpin Madiun telah memusatkan kekuatan disekitar istana.
Namun setiap pasukan pengawal khusus yang memang berada didalam dinding istana, maka pasukan khusus Madiun telah maju mengambil jarak untuk menyongsong pasukan Mataram yang merambat mendekat.
Pertempuran yang garang itu telah memberikan kesempatan kepada para Senapati dan prajurit serta pengawal dalam pasukan Mataram untuk menunjukkan kemampuan mereka, karena pertempuran yang terjadi lebih banyak bergantung kepada kemampuan kelompok-kelompok kecil daripada kesatuan-kesatuan yang lebih besar.
Tidak ada gelar yang dipasang. Namun demikian, pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri masih tetap merupakan pasukan yang besar. Pasukan yang dipersiapkan untuk merebut istana Madiun yang tentu akan dipertahankan oleh pasukan pilihan serta pasukan khusus pengawal istana.
Meskipun demikian, Panembahan Senapati telah melepaskan beberapa kelompok pasukannya untuk membayangi gerak pasukannya.
Dengan seorang penunjuk jalan, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah dipisahkan dari seluruh pasukan yang menuju ke istana. Pasukan itu harus mengambil jalan tersendiri yang kemudian akan sampai juga ke alun-alun dari arah Barat. Sementara induk pasukan akan memasuki alun-alun dari arah utara.
Pasukan Tanah Perdikan itu memang mungkin akan bertemu dengan pasukan kedua yang memang terpecah-pecah dan akan bersama-sama menuju ke alun-alun.
Ki Gede Menoreh yang memimpin pasukan Tanah Perdikan itu merasa diserahi satu tanggung jawab yang besar. Namun didalam pasukannya terdapat AgungSedayudan Glagah Putih yang telah ditunjuknya menjadi pengapitnya, sementara pasukan Tanah Perdikan telah diserahkan pemimpinnya kepada Prastawa.
Demikianlah, maka pasukan itu telah mengambil jalan sendiri dengan beberapa petunjuk langsung dari Pangeran Mangkubumi. Mereka telah mengambil jalan yang lebih kecil, bahkan memasuki lingkungan yang berpenduduk padat.
Ki Gede memberi isyarat untuk berhati-hati. Sementara penunjuk jalan itu telah memberikan perlindungan pula, bahwa mereka akan sampai kesebuah lingkungan yang tentu akan dipertahankan oleh pasukan Madiun.
"Kita memasuki daerah yang berada dibawah pengaruh Ki Gede Kebo Lungit." berkata penunjuk jalan itu, "meskipun tidak merupakan satu padepokan, tetapi rumah Ki Gede yang besar itu memang dihuni oleh beberapa orang murid yang terpercaya. Adalah mungkin sekali bahwa sepasukan prajurit Madiun ikut berjaga-jaga di rumah Ki Gede, yang dalam keadaan kalut ini siap untuk menyergap pasukan Mataram yang lewat. Karena jalan ini memang jalan yang menuju ke alun-alun dari arah Barat."
Ki Gede mengangguk-angguk. Peringatan itu telah diteruskannya kepada Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa. Bersambung Prastawa telah memberitahukan pula kepada semua pemimpin kelompok yang ada di dalam pasukannya itu.
Ketika mereka mendekati tempat yang ditunjuk, maka penunjuk jalan itu telah menganjurkan untuk tidak berjalan dilorong yang sempit berurutan dalam barisan yang panjang. Tetapi sebagian akan melalui halaman-halaman rumah meskipun harus meloncati dinding-dinding halaman.
Ki Gede segera mengerti. Jika mereka berada di lorong memanjang ke belakang, maka mereka akan dapat disergap dari sebelah-menyebelah dengan kesempatan yang sangat kecil untuk mengadakan perlawanan.
Karena itu, maka Ki Gedepun telah memberikan isyarat dengan mengangkat, kemudian mengembangkan tangannya. Isyarat yang sudah dikenal baik oleh Prastawa yang meneruskan isyarat itu kepada para pemimpin kelompok dengan isyarat pula.
Para pemimpin kelompok sudah tahu siapa diantara mereka yang harus bergeser kesebelah kiri dan siapa yang kesebelah kanan. Mereka telah terbiasa memasang gelar bagi pasukan kecil itu, sehingga para pemimpin kelompok telah mampu menyesuaikan dirinya.
Karena itu, sejenak kemudian maka beberapa kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah meloncat dinding dan memasuki halaman disebelah kiri sedangkan yang lain memasuki halaman sebelah kanan.
Dengan berkiblat pada induk pasukan yang ditandai dengan tunggul tanda kebesaran Tanah Perdikan, maka pasukan itu berjalan maju mendekati daerah pengaruh Ki Gede Kebo Lungit.
Penunjuk jalan yang berada didepan Ki Gede itu telah memberikan pertanda agar pasukan berhenti. Agak menjorok dihadapan mereka terdapat sebuah regol.
"Yang kita lihat itu adalah simpang tiga," berkata penunjuk jalan itu, "satu kekiri dan satu kekanan. Yang tampak itu adalah regol halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit yang besar."
Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun telah memberikan perintah agar pasukan itu menjadi semakin berhati-hati. Dengan jelas Ki Gedepun kemudian memberikan perintah kepada Prastawa, agar pasukan mereka maju dengan sangat berhati-hati. Disetiap rumah didepan rumah besar Ki Gede Kebo Lungit itu, mungkin menjadi persembunyian murid-muridnya atau justru prajurit Madiun.
Prastawapun telah memberikan perintah kepada tiga orang pemimpin kelompok yang bertugas untuk menyebarkan perintah itu beranting di induk pasukan, di sayap kiri dan disayap kanan.
Baru kemudian, ketika Prastawa menganggap bahwa perintah itu telah sampai keujung, pasukan itu meneruskan perjalanannya menuju ke regol yang diketahui adalah rumah Ki Gede Kebo Lungit yang berhalaman luas.
Tetapi ternyata bahwa peringatan penunjuk jalan itu yang kemudian telah ditegaskan oleh Ki Gede agar pasukannya berhati-hati, telah terbukti. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian maju perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati itu, ternyata telah melihat sesuatu yang kurang wajar. Pasukan pada sayap kiri telah melihat, bayangan seseorang yang hilang disudut rumah. Dengan cepat, pengawal itu telah melaporkan kepada pemimpin kelompoknya, sehingga pemimpin kelompok itu telah memberikan isyarat, agar kelompok itu menjadi lebih berhati-hati jika mereka melalui sudut rumah di depan mereka.
Sebenarnyalah, kelompok itu tidak langsung melaju disudut rumah itu. Tetapi beberapa orang diantaranya telah mengambil jarak dan berjalan dengan hati-hati sambil mempersiapkan senjata mereka.
Demikian orang pertama muncul, maka tiba-tiba memang telah meloncat seseorang untuk menikamnya. Namun jarak yang diambil oleh pengawal Tanah Perdikan itu cukup jauh, sehingga serangan itu sempat dilihatnya. Dengan demikian maka pengawal itu sempat menangkisnya dan justru membalas menyerang.
Namun beberapa orang telah berlari-larian pula menyerang parapengawal. Tetapi pengawal itupun tidak sendiri. Sehingga sejenak kemudian, seluruh kelompok telah terlibat dalam pertempuran.
Ternyata dibeberapa rumah, sebelum mereka sampai keha-laman rumah Ki Gede Kebo Lungit memang telah terisi oleh beberapa orang prajurit. Sepasukan prajurit Madiun memang sudah memperhitungkan, bahwa tentu akan ada pasukan Mataram yang melintasi jalan itu. Demikian mereka sampai ke simpang tiga, maka mereka tinggal berbelok ke timur untuk mencapai alun-alun istana Madiun. Karena itu, sebelum mereka mencapai batas alun-alun, maka mereka akan disergap disimpang tiga, didepan rumah Ki Gede Kebo Lungit. Sementara itu, para murid Ki Gede Kebo Lungitputi telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantu para prajurit Madiun jika Mataram benar-benar memasuki kota Madiun.
Pertempuran segera menjalar dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Bukan saja di sayap kiri, tetapi pertempuranpun telah terjadi pula di sayap kanan. Dari beberapa rumah yang tersebar telah berloncatan para prajurit Madiun yang bersembunyi dan siap menyergap pasukan Mataram yang lewat.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Sementara itu, Ki Gede yang memperhitungkan bahwa induk pasukan Madiun tentu berada di rumah Ki Gede Kebo Lungit telah dengan cepat maju bersama induk pasukannya. Demikian mereka turun disimpang tiga, maka Ki Gede telah memberikan perintah pula bagi pasukan induk itu untuk menebar.
Sementara itu penunjuk jalan itupun telah memberikan peringatan. "Hati-hati Ki Gede. Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ia memang tidak ikut bergerak keluar Madiun. Tetapi ia berjanji, jika Mataram memasuki kota Madiun, maka ia akan ikut menyapu bersih pasukan Mataram."
"Kita akan memasuki regol halaman rumahnya." berkata Ki Gede Menoreh.
Tetapi sebelum Ki Gede melakukannya, tiba-tiba terdengar sorak yang bagaikan meruntuhkan langit. Dari balik dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit, telah berloncatan para prajurit Madiun dan para murid Ki Gede Kebo Lungit.
Namun Ki Gede Menoreh tidak segera menjadi bingung, karena sebagian dari merekapun memang sudah terlihat dalam pertempuran.
Bahkan Ki Gede telah mengambil keputusan yang sangat menarik dan tidak diduga-duga oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mendampinginya. Juga Prastawa semula terkejut. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan kekuatan beberapa orang prajurit, Ki Gede telah memerintahkan untuk memecahkan regol yang tidak dibuat terlalu kuat, karena regol itu bukan regol untuk menahan arus perang sebagaimana yang ternyata terjadi. Ki Gede Kebo Lungit tidak memperhitungkan sama sekali ketika ia membuat regol rumahnya, bahwa pada suatu ketika perang akan terjadi di halaman rumahnya.
Karena itu, dengan beberapa orang, Ki Gede Menoreh telah dengan kekerasan memecahkan pintu regol itu, sehingga terbuka. Dengan kekuatan dorongan para prajurit dari luar, maka selarak pintu yang memang tidak bepitu besar itu telah patah.
Pada saat para prajurit Madiun berloncatan memasuki jalan didepan rumah Ki Gede Kebo Lungit, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagian telah memasuki halaman.
Mereka telah menyerang prajurit Madiun yang tersisa, yang masih belum sempat meloncat dinding.
Justru prajurit Madiun itulah yang menjadi agak kebingungan. Namun beberapa orang pemimpin kelompok mereka telah dengan cepat menanggapi keadaan. Mereka yang masih tinggal di dalam halaman telah mengurungkan niatnya untuk meloncat keluar. Tetapi mereka telah menghadapi para pengawal Tanah Perdikan yang justru telah mengalir memasuki halaman.
Ketika pertempuran itu semakin garang, maka sekelompok orang masih berada di pendapa rumah Ki Gede Kebo Lungit yang besar.
Seorang diantara mereka adalah Ki Gede Kebo Lungit sendiri. Seorang Senapati dari Madiun. Seorang Putut terpercaya diantara murid-murid Ki Gede Kebo Lungit dan beberapa muridnya yang lain.
Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi menilik sikap dan sorot matanya. Karena itu, maka iapun telah berdesis kepada KiGede Menoreh. "Maaf Ki Gede. Ijinkanlah aku menghadapi orang yang barangkah disebut Ki Gede Kebo Lungit itu."
"Itu adalah kuwajibanku." jawab Ki Gede.
"Bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi biarlah aku saja yang menghadapinya." jawab Agung Sedayu.
Ki Gede termangu-mangu. Meskipun ia menyadari, bahwa Agung Sedayu yang jauh lebih muda dari dirinya itu memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi daripadanya. Namun ia adalah orang yang bertanggung jawab atas keseluruhan Pasukan Tanah Perdikan itu.
Namun selagi Ki Gede temangu-mangu, maka Agung Sedayu berkata, "Seorang diantara mereka tentu Senapati dari Madiun."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Katanya, "Baiklah. Aku akan menghadapi Senapati itu."
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berdiri di pendapa itu melangkah menepi dan bahkan kemudianberdiri di tangga. Dengan suara lantang Senapati prajurit Madiun itu bertanya, "Siapakah kalian yang telah berani memasuki kota Madiun" Kalian tentu termasuk kesatuan dari Mataram. Tetapi kalian agaknya bukan prajurit Mataram menilik pakaian kalian."
Ki Gedelah yang melangkah maju mendekati orang-orang yang berdiri di tangga pendapa itu, sementara pertempuran telah menebar didalam dan diluar halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit.
"Siapa kau?" bertanya Senapati itu.
"Kami memang bukan prajurit Mataram. Tetapi kami adalah bagian dari keluarga besar Mataram." Jawab Ki Gede Menoreh.
"Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh." jawab Ki Gede.
"Dimanakah letak Menoreh?" bertanya Senapati itu.
"Diseberang kali Praga, disebelah Barat Mataram." jawab Ki Gede Menoreh.
"Dan kau korbankan nyawamu untuk Panembahan Senapati yang sombong itu?" bertanya Senapati itu pula.
"Kenapa aku harus mengorbankan nyawaku. Aku akan memasuki istana Madiun dalam keadaan hidup dan kembali lagi ke Tanah Perdikan Menoreh membawa kemenangan bagi Mataram." jawab Ki Gede.
"Mataram akan kami hancurkan. Meskipun Mataram telah berbuat licik, tetapi Mataram tidak akan dapat menguasai keadaan." berkata senapati itu.
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Bukankah kau seorang Senapati prajurit Madiun?"
"Ya" jawab Senapati itu, "aku mendapat tugas menghancurkan pasukan Mataram yang tentu akan melalui jalan ini menuju ke alun-alun. Jika aku tidak berhasil, maka pasukan yang ada disekitar alun-alun itulah yang akan menyempurnakan kehancuran kalian."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Siapakah yang ada disebelahmu dan yang lain?"
"Ini adalah Ki Gede Kebo Lungit. Kalian akan menyesal bahwa kalian telah memasuki halaman rumahnya tanpa ijinnya. Yang disisinya lagi itu adalah muridnya yang terpercaya Putut Jalak Werit. Putut yang telah memihki segala ilmu gurunya. Nah, yang lain adalah murid-muridnya pula. Sekarang, jangan menyesal bahwa tidak ada jalan keluar dari halaman rumah ini."
Ki Gede belum sempat menjawab, ketika orang-orang itu kemudian meloncat turun ke halaman.
Ki Gede menarik inafas dalam-dalam. Namun ia sempat memperhatikan pertempuran di halaman. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak banyak mengalami kesulitan meskipun masih belum dapat dipastikan bahwa mereka akan dapat menguasai keadaan. Tetapi Ki Gede masih belum mendapat laporan apa yang terjadi diluar dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit. Ki Gedepun belum tahu keadaan medan dalam keseluruhan. Namun ia menjunjung perintah untuk menuju ke alun-alun lewat jalan yang dilaluinya itu.
"Nah." berkata Senapati itu, "bersiaplah untuk mati."
Ki Gede Menoreh telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan Bahkan seandainya ia harus menghadapi Ki Gede Kebo Lungit.
Namun Agung Sedayu dengan cepat telah mengurai cambuknya dan berkata, "Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat aku benar-benar dapat bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit."
"Siapa kau?" bertanya Ki Gede Kebo Lungit.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia harus berusaha memancingnya. Menurut perhitungan Agung Sedayu, Ki Gede Menoreh akan sulit menghadapi seorang lawan pada tataran ilmu tertinggi. Apalagi cacat kakinya yang setiap kali mengganggunya. Jika Ki Gede Menoreh itu bertempur dengan mengerahkan tenaganya, maka kakinya akan segera kambuh lagi.
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengurai cambuknya dan memutarnya perlahan-lahan, "Aku adalah murid Orang Bercambuk."
Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu menggeleng sambil berkata, "Aku tidak mengenal Orang Bercambuk itu."
"Mungkin. Tetapi jika sekali tubuhmu tersentuh ujung cambuk ini, maka kau akan segera teringat, orang yang pernah kau kenal sebelumnya." berkata Agung Sedayu.
"Anak iblis." geram Ki Gede Kebo Lungit, "kau anak ingusan menganggap dirimu pantas untuk menghadapi aku" Biarlah Pututku menyelesaikanmu."
Tetapi Glagah Putih cepat melangkah maju, "Aku sudah terlalu sering berburu burung jalak. Sekali ini aku akan mendapatkan jalak terbesar yang pernah aku lihat. Putut Jalak Werit."
"Iblis kau." Geram Putut Jalak Werit. Ternyata ia bukan orang yang mampu menahan diri. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang Glagah Putih sambil berteriak lebih keras. "Dalam sekejap kau akan mati."
Glagah Putih memang terkejut, ia tidak mengira bahwa serangan itu datang demikian cepatnya. Bahkan sebelum orang lain melakukannya.
Namun Glagah Putih cepat tanggap karena itu, demikian serangan itu datang, maka Glagah Putihpun telah bergeser dari tempatnya. Bahkan kemudian Glagah Putih telah berloncatan mengambil jarak. Karena halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit itu cukup luas, maka Glagah Putih sengaja menjauhi orang-orang lain.
Ki Gede Kebo Lungit termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Senapati dari Madiun itupun berkata, "Siapakah pemimpin dari sekelompok pasukan yang lewat jalan ini?"
"Aku Ki Sanak." jawab Ki Gede, "aku bertanggung jawab atas seluruh pasukan ini. Karena itu, kita sama-sama mempunyai tanggung jawab atas tugas kita masing-masing."
Senapati itu melangkah mendekat. Katanya, "Aku tidak perlu lagi mengatur prajurit-prajuritku. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka tugasku terutama adalah menangkapmu."
Ki Gede Menoreh menyadari, bahwa iapun akan segera terlibat dalam pertempuran, sementara Ki Gede Kebo Lungit berkata, "Baiklah. Aku akan menyelesaikan anak ingusan ini lebih dahulu. Baru kemudian aku akan menghancurkan bukan saja satu dua orang pengawal, termasuk para pemimpinnya, tetapi aku akan dapat menyapu seluruh pasukan."
Agung Sedayulah yang menyahut, "Bagus Ki GedeKebo Lungit. Kita akan melihat, apakah ilmu Orang Bercambuk tidak akan mampu mengendalikan pertempuran ini."
Ki Gede Lungitpun tidak menunggu lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Agung Sedayu yang telah bergeser surut mengambil jarak.
Sementara itu pertempuran dihalaman itupun menjadi semakin sengit. Dimana-mana para prajurit Madiun, para murid Ki Gede KeboLungit dan para pengawal Tanah PerdikaniMeno-rehtelahbertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka, karena mereka masih mengemban tugas tugas selanjutnya.
Sementara itu, Ki Gedepun telah mempersiapkan senjata andalannya. Tombak pendeknya yang menemaninya hampir disetiap medan pertempuran sejak masa mudanya.
Ketika kedua orang Senapati itu muilai menggerakkan senjata mereka, maka Prastawapun telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menjaga agar para murid Ki Gede Kebo Lungit tidak mengganggu pertempuran antara Ki Gede melawan senapati Madiun itu serta Agung Sedayu melawan Ki Gede Kebo Lungit.
Prastawa sendiri kemudian telah terlibat pula dalam pertempuran melawan seorang diantara para murid Ki Gede Kebo Lungit yang tiba-tiba saja menyerang, sementara beberapa orang yang lain, harus bertempur melawan para pengawal Tanah Perdikan menoreh yang semakin lama semakin banyak memasuki halaman itu.
Ki Gede Menoreh masih sempat memperhatikan hal itu. Dengan demikian ia berharap bahwa pertempuran yang terjadi di luar dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit itupun akan menguntungkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun Ki Gede tidak sempat untuk memperhatikan mereka lebih lama, karena Senapati prajurit Madiun itu telah mulai menyerangnya sambil berkata, "Menyerahlah. Kau tidak akan mempunyai banyak kesempatan."
Tetapi Ki Gede bergeser menjauhi pendapa sambil menjawab. "Kami datang dari jauh untuk menyelesaikan tugas kami." berkata Ki Gede Menoreh.
Dengan demikian maka Senapati itupun telah mulai menggerakkan senjatanya, sebuah pedang yang panjang. Namun tombak pendek Ki Gede Menorehpun telah menunduk pula. Bahkan sejenak kemudian tombak itu mulai bergerak-gerak.
Ketika Senapati itu mulai meloncat menyerang, maka tombak Ki Gedepun mulai berputar. Sambil bergeser selangkah, maka ujung tombaknya telah mematuk kearah tubuh lawannya. Namun lawannyapun dengan tangkasnya telah meloncat kesamping.
Sementara itu, masih terdengar Prastawa yang telah bertempur itu meneriakkan aba-aba, yang disambut oleh beberapa orang pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Pasukanmu cukup baik Ki Sanak." berkata Senapati itu, "bagi satu kelompok yang bukan prajurit, maka pasukanmu memiliki bekal yang tinggi."
"Pasukan inilah yang akan memecahkan pertahananmu." berkata Ki Gede Menoreh sambil bergeser karena ayunan pedang lawannya.
Senapati itu tidak menjawab. Namun serangannya semakin lama menjadi semakin cepat, Sementara Ki Gede Menoreh yang menyadari keadaan kakinya, telah bertempur dengan penuh perhitungan. Namun Ki Gede itupun telah berhasil mengembangkan ilmunya disesuaikan dengan kemampuan kakinya yang terbatas.
Sefnentara itu Agung Sedayu yang berhadapan dengan Ki Gede Kebo Lungitpun telah mulai bertempur. Meskipun demikian, Ki Gede Kebo Lungit itupun masih juga bertanya, "Kenapa kau bersedia membantu Senapati yang dengan licik telah menyerang Madiun?"
"Pertanyaan yang sama dapat aku berikan kepadamu, kenapa kau telah membantu Panembahan Mas di Madiun?" justru Agung Sedayu berganti bertanya.
"Kau kira aku tunduk kepada perintah Panembahan Madiun" Aku tidak pernah mengirimkan orang-orangku bergabung dengan Panembahan. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat membiarkan orang lain mengganggu perguruanku. Bukan akulah yang diperalat oleh Panembahan Madiun. Tetapi sekarang sebaliknyalah yang terjadi."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia telah menghindarkan serangan Ki Gede Kebo Lungit yang datang dengan cepatnya. Namun Agung Sedayupun telah bergerak dengan cepat pula sehingga serangan itu tidak mengenainya.
Namun Ki Gede tertawa sambil berkata, "Kau kira aku tidak mampu mengenaimu" Aku memang masih belum bersungguh-sungguh. Aku masih ingin berbicara sedikit. He, kau lihat bahwa prajurit Madiun sekarang ikut mempertahankan perguruanku dari serangan orang-orang Mataram Betapa besar martabatku sebagai seorang guru dan betapa luasnya pengaruhku sehingga prajurit Madiun harus ikut mempertahankan perguruanku."
"Kau terlalu sombong Ki Gede." sahut Agung Sedayu, "mereka berada ditempatmu untuk menolong gerak pasukan Mataram."
Ki Gede Kebo Lungit tertawa. Katanya, "Apapun tujuan mereka, namun sekarang mereka harus mempertahankan perguruanku. Aku tidak peduli perang antara Madiun dan Mataram."
"Kau telah berkhianat kepada pemimpin pemerintahanmu." berkata Agung Sedayu.
Tetapi Ki Gede Kebo Lungit tertawa semakin keras. Katanya, "Madiun memang akan hancur. Tetapi Mataramapun akan hancur disini. Perguruanku akan bangkit dan berdiri diatas reruntuhan itu."
Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia mencari kesempatan untuk berkata, "Jadi itukah hasil akhir yang kau inginkan?"
Ki Gede Kebo Lungit juga tidak tergesa-gesa memburunya. Katanya, "Ya. Tetapi rahasia ini akan terkubur bersama mayatmu. Sebentar lagi kau akan mati meskipun kau mengaku murid Orang Bercambuk. Adalah kebetulan bahwa aku belum mengenal orang yang disebut Orang Bercambuk itu."
Balas " On 7 Agustus 2009 at 09:28 Mahesa Said:
Tamat Demikian orang itu berhenti berbicara, maka AgungSedayu telah menghentakkan cambuknya. Suaranya bagaikan membelah langit, sehingga bukan saja orang yang bertempur di halaman itu yang terkejut mendengarnya, tetapi orang-orang yang berada di luar halaman itupun terkejut pula mendengarnya.
Tetapi Ki Gede Kebo Lungit mengerutkan keningnya sambil berdesis, "Suaranya memang memekakkan telinga. Tetapi aku tidak tahu, dimana letak kekuatan ilmumu. Apakah kau kira dengan mengejutkan lawan, kau dapat menemukan kesempatan untuk memenangkan satu pertempuran" Kami bukan sejenis lembu penarik pedati. Atau kau ingin menghinaku karena aku bernama Kebo Lungit, sehingga kau mempergunakan senjata cambuk?"
"Ini memang senjataku. Sudah aku katakan, aku adalah murid Orang Bercambuk." jawab Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun mengetahui bahwa Ki Gede Kebo Lungit merasakan bahwa ledakan cambuknya yang keras itu justru tidak berisi kekuatan yang memadai untuk melawannya.
"Baiklah." berkata Ki Gede Kebo Lungit kemudian, "aku memang memberikan sedikit waktuku untukmu. Jika pimpinan pasukan ini berhasil membunuh Senapati Madiun itu, maka ia akan menjadi korbanku berikutnya. Setelah itu, maka semuanya yang ada di halaman rumahku ini aku sapu bersih. Bukan saja orang-orang Mataram, tetapi juga orang-orang Madiun. Selanjutnya, besok aku akan membersihkan seluruh Madiun. Benturan kekuatan antara Madiun dan Mataran tentu akan menimbulkan luka yang parah dikedua belah pihak. Menurut perhitunganku, perang antara keduanya tentu merupakan peranghabis-habisan yang akan berlangsung sampai orang terakhir."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Ular berkepala dua pada suatu saat akan saling menggigit. Kau akan mati karena tingkah lakumu sendiri Ki Gede, betapapun tinggi ilmu yang kau miliki."
Ki Gede itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah menggerakkan senjatanya lagi. Sebuah tongkat baja putih. Mirip senjata Sekar Mirah yang diterimanya dari Ki Sumekar. Namun tongkat itu tidak berkepala tengkorak. Tetapi pada pangkal tongkat itu terdapat kepala kerbau yang bertanduk panjang yang nampaknya benar-benar terbuat dari emas. Bukan hanya sekedar berwarna kuning.
"Ingat anak muda." berkata Ki Gede Kebo Lungit, "jangan menyesali nasibmu yang buruk. Jika tanduk kecil di tongkatnya ini melukaimu, maka kau akan mati. Demikian pula ujung tongkatku ini."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja pada ujung tongkat itu telah mencuat sebilah pisau kecil berujung runcing.
Ketika Ki Gede itu bergerak mendekatinya, maka Agung Sedayupun telah bergeser surut sambil memutar cambuknya. Sekali lagi cambuk itu meledak. Namun Ki Gede Kebo Lungit hanya tertawa saja sambil berkata, "Sepantasnya senjatamu itu dipergunakan saja untuk menggembala itik."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, sekejap kemudian, Ki Gede Kebo Lungit telah memutar tongkatnya. Dengan garangnya, tubuhnya bagaikan melayang menyergap Agung Sedayu. Demikian cepat, sehingga Agung Sedayu tidak sempat menyongsongnya dengan cambuknya. Namun Agung Sedayu sempat meloncat menghindarinya.
"Bagus orang muda." desis Ki Gede Kebo Lungit, "ternyata kau memang memiliki sedikit bekal untuk melawanku. Barangkali kau akan mempunyai waktu sepenginang."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia merasa bahwa ia harus benar-benar bersiap dengan semua ilmu yang dimilikinya.
Yang mula-mula ditrapkan oleh Agung Sedayu adalah ilmu kebalnya. Ia tahu bahwa kemampuan dan ilmu orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi bagaimanapun juga ilmu kebalnya itu akan menahan kekuatan ilmu lawannya, setidak-tidaknya sebagian, sehingga dengan demikian maka ilmu itu tidak sepenuhnya mencengkamnya.
Namun ketika kemudian tongkat baja lawannya yang berujung runcing itu hampir saja menyambarnya, maka Agung Sedayu yang masih belum bertumpu pada ilmu kebalnya itu telah mengetrapkan pula ilmunya memperingan tubuhnya, sehingga Agung Sedayu itu mampu bergerak semakin cepat.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Gede Kebo Lungitpun telah menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat. Serangan-serangan Kebo Lungit bagaikan hempasan angin prahara yang semakin dahsyat.
Tetapi Ki Gede Kebo Lungitpun masih juga berkata, "Gila kau orang muda. Kenapa kau belum mati setelah lewat sepenginang?"
"Siapa yang ingin mati?" sahut Agung Sedayu sambil menyerang dengan ujung cambuknya. Namun cambuk itu tidak mengenai sasarannya. Sementara ledakannya masih saja memekakkan telinga.
Ternyata Agung Sedayu tidak dengan serta merta sampai ke puncak kemampuannya. Meskipun ia yakin bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi, tetapi ia masih juga ingin menjajagi tataran kemampuannya.
Namun Agung Sedayu kemudian terpaksa berloncatan surut. Serangan Ki Gede Kebo Lungit tidak diduga-duganya melihatnya dengan sangat dahsyatnya. Tongkatnya tiba-tiba seakan-akan telah berubah menjadi lima buah tongkat yang menyerangnya dan ilmu arah.
"Kau mulai menjadi bingung." berkata Ki Gede Kebo Lungit. Lalu katanya pula, "Tetapi bahwa kau telah melampaui waktu sepenginang adalah pertanda bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi kesempatan untuk keluar dari halaman ini sama sekali tidak ada bagimu orang muda. Waktumu tinggal sedikit."
Tiba-tiba saja Ki Gede Kebo Lungit itu berloncatan bagaikan terbang mengitari Agung Sedayu. Tongkatnya yang seolah-olah telah menjadi lima buah itu menyerangnya semakin cepat dari segala arah.
Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu untuk mempertajam penglihatan wadagnya, sekaligus ilmu Sapta Panggraita untuk mempertajam penglihatan batinnya. Dengan demikian maka Agung Sedayupun akhirnya dapat memecahkan kebingungannya atas serangan lawannya itu. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dengan mempergunakan ilmunya meringankan tubuhnya, sempat keluar dari putaran serangan lawannya.
Ki Gede Kebo Lungit menggeram sambil berteriak, "Gila. Kau mencoba melepaskan diri lagi" Tidak ada waktu lagi yang dapat aku lakukan bagimu."
Ki Gede Kebo Lungit itupun segera meloncat dengan tangan kiri mengembang, sementara tangan kanannya terjulur lurus kedepan. Tiba-tiba saja tongkatnya itu bagaikan terjulur memanjang menggapai tubuh Agung Sedayu.
Tetapi dengan ilmu Sapta Panggraita Agung Sedayu kemudian melihat, bahwa penglihatan wadagnya itu ternyata telah mengelabuinya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun sempat menggerakkan cambuknya. dengan hentakan sendai pancing. Tidak sekedar untuk melontarkan ledakan yang bagaikan membelah langit. Tetapi hentakan juntai cambuk Agung Sedayu telah menimbulkan getar yang mengguncang isi dada.
Ki Gede Kebo Lungit terkejut. Namun ia benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Dalam keadaan yang sulit itu, ia sempat menggeliat, sehingga seakan-akan ia mampu berhenti di udara. Sehingga dengan demikian, maka ayunan cambuk Agung Sedayu yang dilandasi dengan kekuatan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi itu tidak mengenainya.
Meskipun demikian Ki Gede Kebo Lungit itu merasa bahwa dadanya telah diguncang oleh getaran ujung cambuk Agung Sedayu dalam hentakan sendai panciing itu.
Agung Sedayu memang tidak mengira bahwa Ki Gede itu mampu berhenti di udara di saat ia meluncur menyerangnya dengan tongkat bajanya yang bagaikan menjulur memanjang. Namun Agung Sedayu yang berhati-hati itu tidak memburunya. Ia masih belum mengerti sepenuhnya apa yang dapat dilakukan oleh lawannya.
Tetapi sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit itupun berkata, "Bukan main. Jadi itulah kenyataan dari seorang yang mengaku murid Orang Bercambuk" Aku kira cambukmu tidak lebih dari cambuk seorang penggembala itik. Ternyata dalam keadaan yang gawat, kau harus menghentakkannya tidak untuk sekedar menakut-nakuti di semak-semak dan hutan perdu. Kau telah menyakiti isi dadaku dengan getaran ilmu cambukmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya. "Karena itulah, maka kau mampu bertahan lewat sepenginang. Bahkan agaknya juga kau akan bertempur lebih lama lagi karena dengan keyakinanmu atas dirimu sendiri, kau akan mampu mengerahkan lebih besar kemampuan yang sebenarnya kau miliki."
"Bagaimanapun penilaianmu, Ki Gede." berkataAgung Sedayu, "aku sudah mendapat kepercayaan dari guruku untuk bertemu denganmu."
"Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak mengenal gurumu dan perguruanmu." geram Ki Gede Kebo Lungit.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah iapun sama sekali tidak mengenal Ki Gede Kebo Lungit. Gurunya agaknya juga belum mengenalnya. Tetapi ia berhasil memancing Ki Gede untuk menghadapinya, sehingga Ki Gede Menoreh dapat mengambil lawan yang lain.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh telah bertempur melawan Senapati dari Madiun yang bertugas untuk menahan arus pasukan Mataram yang datang dari Barat. Agaknya Senapati itupun cukup garang sehingga Ki Gede harus mengerahkan kemampuannya untuk mempertahankan diri. Namun perkembangan ilmu Ki Gede yang memang sudah disesuaikan dengan kemungkinan yang dapat terjadi pada kakinya, sangat menolongnya. Ki Gede Menoreh telah memusatkan kemampuannya pada kecepatan gerak tangannya, sehingga dengan tombak pendeknya, Ki Gede selalu dapat menyapu serangan-serangan yang datang dari lawannya. Bahkan sekali-sekali Ki Gede telah melompat pula menyerang dengan ujung tombaknya yang terjulur mematuk tubuh lawan.
Ternyata kedua orang itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi, sehingga setelah bertempur beberapa lama, sama sekali belum nampak kelebihan yang satu dari yang lain. Di bagian halaman lain dari halaman yang luas itu, Prastawa bersama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tengah bertempur dengan sengitnya pula. Kedua belah pihak saling menyerang dan bertahan. Ternyata bahwa didalam pertempuran yang sebenarnya, para pengawal Tanah Perdikan mampu menempatkan diri sejajar dengan para prajurit. Sebagaimana saat Tanah Perdikan mendapat serangan, maka para pengawal telah menunjukkan ketrampilan mereka menggerakkan senjata.
Selebihnya para pengawal Tanah Perdikan sama sekali tidak gugup menghadapi pertempuran yang semakin dahsyat. Mereka telah cukup berpengalaman, sehingga tidak seorangpun diantara mereka yang kehilangan akal.
Para prajurit Madiun memang menjadi heran, bahwa para pengawal itu ternyata mampu mengimbangi kemampuan mereka.
Ditempat lain yang agak terpisah, Glagah Putih bertempur dengan sengitnya melawan Putut Jalak Werit. Putut itu seperti gurunya, mengira akan dapat menyelesaikan anak muda itu dalam waktu yang singkat.
Tetapi sebagaimana juga gurunya, ternyata Putut Jalak Werit harus menghadapi kenyataan bahwa adalah anak muda. yang berilmu tinggi.
Putut Jalak Werit yang bersenjata tongkat baja namun tidak memakai kepala kerbau bertanduk panjang berwarna kuning, telah melibat Glagah Putih dengan serangan-serangannya yang keras.
Ujung tongkat baja itupun sama berbahayanya dengan tongkat baja Ki Gede Kebo Lungit, karena dari ujung tongkat itu dapat seakan akan sebuah pisau yang sangat tajam.
Tetapi Glagah Putih memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi. Dengan demikian, Glagah Putih tidak segera menjadi bingung menghadapi ilmu lawannya yang bersenjata tongkat baja yang berujung runcing itu.
Demikianlah keduanya telah berloncatan saling menyerang. Namun dalam benturan, ternyata Glagah Putih segera menunjukkan kelebihannya. Dorongan kekuatan yang diberikan oleh Raden Rangga dan gurunya, benar-benar mampu meningkatkan alas kemampuannya, sehingga ketika senjata kedua orang itu saling berbenturan dengan kekuatan penuh, Putut Jalak Werit benar-benar telah terkejut.
"Anak ini mempunyai kekuatan yang sangat besar." berkata Putut Jalak Werit didalam hatinya. Sementara itu, Jalak Werit pun masih belum memiliki kemampuan ilmu yang berkembang sebagaimana gurunya. Meskipun ilmu Putut Jalak Werit sudah meliputi semua ajaran gurunya, namun masih terbatas pada tataran kemampuan dasar ilmu itu sendiri sehingga masih harus dikembangkan.
Dengan demikian, maka Putut Jalak Werit yang menganggap bahwa lawannya yang masih muda itu akan segera dapat dikalahkan, ternyata sudah salah hitung.
Dengan tenaga yang sangat besar, maka Glagah Putih telah memutar pedangnya. Kemudian menyerang dalam ayunan yang deras mendatar. Ketika ujung pedangnya tidak menyentuh lawannya, maka iapun telah meloncat dengan pedang terjulur, sehingga ujung pedangnya itu seakan-akan menembus putaran tongkat baja lawannya mengarah ke dada.
Tetapi tidak mudah bagi Glagah Putih untuk menjangkau kulit lawannya. Karena itu, maka Glagah Putih harus bertempur dengan keras menghadapi lawannya yang semakin lama menjadi semakin kasar.
Sekali-sekali senjata keduanya telah beradu, sehingga bunga apipun telah berloncatan diudara, menghambur berguguran. Sementara itu suaranya yang berdentang telah menggetarkan jantung mereka yang sedang bertempur dengan garang dan keras itu.
Kemampuan Glagah Putih yang tidak terduga oleh Putut Jalak Werit, ternyata telah membuatnya gelisah. Seranganserangannya sama sekali tidak mampu mengenai lawannya, bahkan menggores pakaiannyapun tidak.
Namun Putut Jalak Werit belum benar-benar sampai ke ujung tertinggi ilmunya. Itulah sebabnya, maka ia masih saja merasa akan dapat menyelesaikan lawannya itu.
Tetapi Putut Jalak Werit mulai gelisah ketika untuk beberapa saat kemudian, ia masih belum mampu menguasai anak muda itu. Setiap kali ia meningkatkan ilmunya, rasa-rasanya anak muda itupun telah melakukan hal yang sama.
Dengan demikian, maka Putut itu mulai memperhatikan kemampuan lawannya dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ketika ia mencoba menyerang dengan satu hentakan yang cepat, ternyata bahwa anak muda itu sama sekali tidak menjadi bingung dan kehilangan pengamatan diri. Serangan tongkat Putut Jalak Werit itu justru tidak menyentuh sasaran.
Kegagalan itu telah membuat Putut Jalak Werit menilai kembali kemampuan lawannya. Ia mulai percaya bahwa lawannya yang muda itu memiliki ilmu yang tinggi pula.
Karena itui, maka Putut itupun telah semakin meningkatkan ilmunya. Tongkatnya berputar semakin cepat, sehingga serangan-serangannyapun menjadi semakin deras mengarah ke tubuh Glagah Putih, seakan-akan dari segala arah.
Tetapi Glagah Putihpun kemudian telah mengimbanginya. Ia bukan saja meningkatkan kecepatannya bergerak oleh dorongan tenaga cadangan didalam dirinya, tetapi ia juga telah meningkatkan kekuatannya.
Karena itulah, maka Glagah Putih tidak saja berusaha menghindari serangan-serangan yang datang membadai, tetapi sekali-sekali juga membentur serangan itu dengan kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan lawannya.
Putut Jalak Werit semakin lama menjadi semakin gelisah. Ia benar-benar telah bertemu dengan kekuatan yang tidak diduganya. Anak yang masih sangat muda menurut penglihatannya itu ternyata telah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Memiliki ketrampilan yang mengagumkan serta kecepatan gerak yang kadang-kadang sempat membingungkan.
Apalagi ketika Putut Jalak Werit itu sempat mengamati sekilas pertempuran antara gurunya dan orang yang bersenjata cambuk itu. Putut itupun menjadi semakin gelisah. Ternyata gurunya sudah melampaui beberapa batasan waktu yang sering diberikan kepada lawan-lawannya. Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu masih belum dapat menguasai lawannya yang terhitung masih muda.
"Siapakah sebenarnya mereka?" pertanyaan itu telah timbul dihati Jalak Werit.
Sementara itu, Glagah Putihlah yang kemudian tidak lagi terlalu mengekang diri. Ia sadar, bahwa tugasnya masih menunggu, karena pasukan Tanah Perdikan itu harus dengan segera memasuki alun-alun dari arah Barat.
Ketika Glagah Putih kemudian semakin mempercepat serangan-serangannya, maka justru Putut itulah yang bukan saja harus bekerja keras, tetapi iapun menjadi semakin marah. Benturan-benturan senjata mereka menunjukkan bahwa kekuatan Glagah Putih telah meningkat semakin tinggi.
Sementara itu, Ki Gede Menorehpun telah meningkatkan ilmunya pula. Ki Gede yang bertanggung jawab terhadap gerakan pasukannya berusaha untuk mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu. Dengan ketangguhan yang mapan, sesuai dengan keadaan tubuhnya, maka Ki Gede mampu menunjukkan kelebihannya atas Senapati yang memimpin para prajurit dari Madiun itu. Bahkan beberapa saat kemudian, Senapati itupun telah mulai terdesak tanpa menyadari bahwa kaki lawannya telah menjadi cacat, sehingga Senapati itu tidak berusaha memancing Ki Gede untuk bergerak lebih banyak dan bertempur pada jarak yang panjang.
Di bagian lain dari halaman perguruan Ki Gede Kebo Lungit itu, serta menebar diluar dinding halaman, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menekan pasukan Madiun. Bahkan mereka telah sempat mendesak pasukan lawan untuk bergeser ke arah alun-alun untuk bergabung dengan pasukan yang bertahan pada garis pertahanan berikutnya.
Tetapi agaknya Senapati yang memimpin prajurit Madiun itu masih berusaha untuk menahan pasukan Mataram itu dan menghalaunya menjauhi alun-alun.
Namun sulit bagi kekuatan pasukan Madiun itu untuk bertahan. Sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit masih juga harus meningkatkan kemampuannya melawan Agung Sedayu.
Sebenarnyalah, Ki Gede Kebo Lungit tidak bermimpi bahwa perguruannya akan kedatangan seorang yang memiliki ilmu demikian tinggi. Menurut perhitungannya, maka orang-orang yang berilmu tinggi tentu akan berada di induk pasukan dan langsung menuju ke alun-alun untuk berhadapan dengan para pemimpin tertinggi Madiun.
Ki Gede Kebo Lungit sudah ingkar untuk tidak bergabung dengan para pemimpin di Madiun dengan dalih untuk mempertahankan perguruannya serta membantu prajurit Madiun menghentikan! gerak pasukan Mataram yang datang dari Barat, tiba-tiba telah bertemu dengan pasukan yang datang dari sebuah Tanah Perdikan dibawah pimpinan orang-orang muda yang berilmu tinggi.
Ki Gede Kebo Lungitpun menjadi heran melihat Putut kepercayaannya itu masih harus meningkatkan ilmunya bahkan sampai ketingkat tertinggi sekedar untuk melayani anak-anak.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika orang-orang dari lingkungan kecil di Mataram memiliki kemampuan yang demikian tinggi, lalu apa saja yang dapat dilakukan oleh para Senapati tertinggi dari Mataram. Bahkan Panembahan Senapati sendiri?" pertanyaan itu telah timbul didalam hati Ki Gede Kebo Lungit itu.
Namun adalah satu kenyataan yang dihadapi oleh Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya, bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata telah mampu mendesaknya. Para prajurit Madiunpun harus mengakui kenyataan, bahwa kekuatan para pengawal Tanah Perdikan itu sulit dibendung. Ternyata bahwa jumlah prajurit Madiun yang ditempatkan dilingkungan perguruan itu memang lebih sedikit dibanding dengan jumlah pasukan Tanah Perdikan. Tetapi bersama dengan para murid perguruan ki Gede Kebo Lungit sebenarnya jumlahnya cukup memadai.
Tetapi yang tidak diduga oleh para prajurit Madiun, murid Ki Gede Kebo Lungit tidak bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Agaknya mereka terlalu cepat menarik diri kebelakang garis pertempuran.
Yang terjadi itu memang tidak diperhitungkan oleh Ki Gede Kebo Lungit, Ia memang sudah berpesan, agar murid-muridnya tidak perlu dengan tanpa pertimbangan lain, bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ki Gede Kebo Lungit telah berpesan kepada murid-muridnya, biarlah korban yang terbanyak jatuh dari antara prajurit Madiun sendiri.
Keadaan yang kurang wajar itu memang terbaca oleh para prajurit Madiun. Tetapi mereka tidak dapat berbuiat apa-apa. Mereka tidak dapat memaksa para murid perguruan KiGedeKebo Lungit untuk bertempur semakin gigih.
Senapati Madiun yang bertempur di halaman rumah Ki Gedepun segera mendapat laporan. Namun untuk dapat mendekatinya, maka penghubung itu harus membawa sekelompok prajurit. Meskipun kemudian sekelompok pengawal berusaha untuk menahan mereka dan melindungi Ki Gede, namun Senapati Madiun itu mempunyai kesempatan untuk mendengarkan laporan.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Aku akan berada diluar dinding halaman."
Sebenarnyalah dengan gerak yang menghentak, maka Senapati itu berusaha memisahkan diri dari pertempuran itu. Dengan serta merta maka Senapati dari Madiun itu telah berlari keluar melalui regol halaman bersama dengan pengawalnya.
Senapati itu memang terkejut melihat kekisruhan yang timbul diantara para prajurit Madiun. Dengan demikian maka ia tidak berniat lagi untuk kembali menghadapi Ki Gede Menoreh. Ia harus mencari jalan untuk menyelamatkan prajurit-prajuritnya sehingga tidak tertumpas karenanya.
Apalagi ia memegang perintah dari para pemimpin prajurit Madiun, bahwa jika perlu, maka pasukan itu dapat ditarik dan bergabung dengan pasukan yang bertahan pada garis pertahanan pertama diluar lingkungan istana.
"Jangan menunggu pasukanmu ditumpas habis, Jika kau bawa mereka ke garis pertahanan pertama, maka pasukan itu masih akan dapat berarti bagi pertahanan. Jika pasukan yang tersebar dan karena tidak dapat bertahan itu kemudian berkumpul pada garis pertahanan pertama diluar istana, maka kekuatan itu akan dapat ikut membendung arus pasukan Mataram. Tetapi jika para prajurit Madiun yang ditugaskan menghambat pasukan Mataram mampu, memang sebaliknya pasukan itu dihancurkan sebelum sampai ke garis pertahanan pertama."
Memang ada kelompok-kelompok prajurit Mataram yang tertahan dan harus menarik diri untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang lain. Tetapi sebagian besar dari pasukan Mataram berhasil mendesak pasukan Madiun sehingga pasukan itu harus bergeser surut dan berada dalam garis pertahanan pertama diluar istana.
Demikianlah, pasukan Madiun yang berada di perguruan Ki Gede Kebo Lungitpun telah mengalami banyak kesulitan. Apalagi karena murid-murid Ki Gede Kebo Lungit yang jumlahnya cukup banyak itu tidak membantu mereka dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat, sehingga prajurit Madiun itupun dengah sigapnya, menyusun diri agar mereka tidak dihancurkan disaat mereka mundur. Karena itu, maka dengan ketangkasan seorang prajurit, maka prajurit-prajurit Madiun itupun segera berloncatan, silang menyilang diantara rumah dan halaman menyusuri dinding-dinding kebun dan pekarangan, bergeser mundur ke garis pertahanan pertama.
Ki Gede yang telah terlepas dari lingkaran pertempuran melawan Senapati Madiun itupun bergegas untuk keluar halaman. Ia melihat gerakan mundur pasukan Madiun. Tetapi ternyata para murid Kebo Lungit tidak melakukannya sebagaimana para prajurit Madiun. Meskipun sebelumnya Senapati Madiun itu telah memberikan pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, bahkan seakan-akan mereka telah menyatakan satu persetujuan dengan berjanji untuk saling mentaati, agar jika perlu seluruh pasukan akan ditarik, namun ternyata Ki Gede Kebo lungit telah mengingkarinya.
Demikian prajurit Madiun memberikan isyarat untuk ditarik, maka Ki Gede Kebo Lungitpun telah memberikan isyarat tersendiri bagi murid-muridnya.
Para pengawal Tanah Perdikan memang menjadi agak bingung. Mereka menyadari, bahwa prajurit Madiun telah menarik diri. Merekapun tahu bahwa pasukan yang terdiri dari murid-murid dan para cantrik dan pengikut Ki Gede Kebo Lungit juga akan mengundurkan diri.
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ki Gede Menoreh sadar, bahwa pengenalan dan penguasaan medan, baik para prajurit Madiun, maupun para murid Ki Gede Kebo Lungit, tentu lebih baik dari para pengawal Tanafi Perdikan yang disertai oleh seorang penunjuk jalan. Karena itu, maka Ki Gede harus segera mengambil keputusan, apakah ia akan mengikuti pasukan Madiun atau mengikuti pasukan Ki Gede Kebo Lungit.
Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyadari usaha untuk mengundurkan diri itupun telah mengambil sikap. Mereka harus dengan segera menguasai lawan mereka masing-masing. Namun merekapun sadar, bahwa lawan mereka adalah orang orang yang berilmu tinggi.
Namun ternyata bahwa Ki Gede Kebo Lungit yang memberikan isyarat dan kemudian diteruskan kepada para murid dan pengikutnya itu telah lebih dahulu mempersiapkan diri. Dengan serta merta Ki Gede itu melihat Agung Sedayu bagaikan angin pusaran yang dahsyat sekali. Ketika ia berhasil mendesak Agung Sedayu yang meloncat menghindari libatan itu, maka Ki Gede telah meloncat surut.
Agung Sedayu yang bersiap untuk memburunya, tiba-tiba terkejut. Satu hentakan tongkat Ki Gede Kebo Lungit, maka seleret sinar telah memancar. Hampir saja meledakkan dada Agung Sedayu. Namun ia telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia sempat meloncat menghindarinya. Namun sinar itu meledak juga. Kabut yang tebal telah mengepul disekitarnya sehingga mengganggu pandangan mata Agung Sedayu. Hanya karena ia memiliki ilmu Sapta Pandulu, maka ia masih sempat melihat bayangan kabut dari Ki Gede Kebo Lungit yang meloncat memasuki celah-celah dinding bangunan perguruannya yang besar itu.
Agung Sedayu tidak mau kehilangan lawannya. lapun kemudian telah meloncat keluar dari kabut itu dan berusaha memburu lawannya. Namun demikian ia memasuki celah-celah itu, tiba-tiba saja atap bangunan sebelah-menyebelah berderak. Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melihat, dari celah-celah atap itu meluncur lurus kebawah beberapa buah lembing.
Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa meloncat mundur. Sementara itu, maka Ki Gede Kebo Lungit tentu sudah menjadi semakin jauh.
Dengan demikian, Agung Sedayu tidak lagi merasa perlu menghancurkan lembing-lembing itu dengan ilmunya dan kemudian mengejar Ki Gede Kebo Lungit.
Demikian pula Glagah Putih. Tongkat Putut Jalak Werit itu juga mampu menyemburkan asap, meskipun bukan merupakan satu loncatan sinar yang meledak sehagaimana dilontarkan oleh gurunya. Semburan asap itu terasa sangat pedih dimata Glagah Putih, sehingga untuk sesaat, ia seakan-akan tidak mampu melihat lawannya.
Karena itu, Glagah Putih justru meloncat surut, mengambil jarak untuk mengamankan dirinya. Betapapun pedihnya, namun Glagah Putihpun kemudian memaksa untuk membuka matanya. Ia tidak mau lawannya menikam dadanya dengan ujung tongkatnya yang runcing disaat ia memejamkan matanya karena pedih.
Tetapi Glagah Putih tidak melihat lawannya. Ketika kabut itu lenyap ditiup angin, maka lawannya telah tidak ada ditempatnya. Glagah Putihpun tidak mengejar lawannya.
Sementara Ki Gede Menorehpun tidak memberikan perintah kepada para pengawal untuk tidak mengejar lawan mereka ke arah manapun.
Dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan itupun justru telah dikumpulkan di halaman perguruan Ki Gede Kebo Lungit yang luas itu. Penunjuk jalan yang kemudian berbicara dengan Ki Gede telah memberitahukan bahwa Ki Gede Kebo Lungit tentu telah menarik pasukannya ke sebuah padepokan diluar kota Madiun. Padepokan itu memang milik Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi perguruan Ki Gede Kebo Lungit justru berada didalam kota untuk mendapat perhatian lebih banyak, sehingga perguruannya itupun akan lebih cepat menjadi besar.
"Untuk sementara Ki Gede Menoreh lebih baik tidak mengejar mereka." berkata penunjuk jalan itu.
"Jadi?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Ki Gede lebih baik bergerak ke alun-alun." jawab penunjuk jalan itu.
Ki Gede mengangguk. Ia memang mendapat perintah untuk bergerak menuju ke alun-alun dari arah Barat.
Namun beberapa saat Ki Gede telah membenahi pasukannya. Dalam pertempuran singkat itu ternyata ada juga korban yang jatuh. Karena itu, maka Ki Gede telah menugaskan beberapa orang pengawal untuk mengurusi korban-korban itu.
"Kita tidak tahu, dimana tempat kita hingga hari ini." berkata Ki Gede, "menurut rencana jika kita berhasil, kita memang akan menduduki kota ini."
Demikianlah, maka Ki Gede telah membawa pasukannya itu bergerak menuju ke alun-alun. Namun Ki Gedepun tahu bahwa disekitar alun-alun itu tentu terdapat pasukan Madiun yang bertahan dengan mengerahkan segenap kekuatannya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Gede telah melihat isyarat anak panah sendaren yang naik. Satu pertanda bahwa pasukan pertama yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri sudah langsung bergerak menuju ke istana yang tentu saja telah dahulu harus menembus pasukan yang bertahan di sekitar alun-alun. Jika Panembahan Senapati berhasil, maka pasukan itu masih harus memecahkan pertahanan di istana Panembahan Madiun.
Karena itu, maka Ki Gedepun telah membawa pasukannya untuk langsung menuju ke alun-alun dari arah Barat.
Demikianlah, maka pasukan itupun kemudian mulai bergerak dengan sangat barhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak memasuki lingkungan pertahanan lawan sebelum pasukan induk mulai bergerak.
Ternyata ada beberapa pasukan yang lain yang telah bergerak mendekati alun-alun pula. Para penghubung sempat mengucapkan pertanda sandi untuk meyakinkan apakah pasukan itu dari Mataram atau bukan.
Namun dalam pada itu , Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata masih memikirkan lawan-lawan yang berhasil lolos dari medan. Seperti juga para murid Ki Gede Kebo Lungit yang seperti air yang meresap ke lubang-lubang sempit didasar sebuah kebun. Lenyap begitu saja.
Sementara para prajurit Madiun mengundurkan diri dengan menghilang diantara rumah-rumah yang terhitung cukup padat, maka para murid Ki Gedepun telah lenyap pula disela-sela bangunan di perguruannya.
"Orang yang bernama Ki Gede Kebo Lungit itu cukup berbahaya." berkata Agung Sedayu, "sikapnya yang kegila-gilaan itu perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia ingin membiarkan Mataram dan Madiun hancur bersama-sama. Kemudian ia akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu di atas reruntuhan itu. Karena itu, maka di padepokannya ia tentu mempunyai persiapan yang lebih baik dari yang berada di perguruannya."
"Padepokan itu harus dihancurkan juga. Padepokan itu akan sangat berbahaya, baik bagi Mataram maupun bagi Madiun. Apapun yang kemudian akan terjadi di Madiun setelah perang ini namun ancaman Ki Gede Kebo Lungit itu tentu masih akan selalu membayanginya. Apalagi jika Ki Gede sempat berhubungan dengan pihak-pihak lain yang sejalan dengan pikiran Ki Gede Kebo Lungit meskipun kemudian mereka akan terpecah dalam sikap yang akhirnya bertumpu kepada kepentingan diri sendiri." sahut Glagah Putih.
"Kau benar Glagah Putih." jawab Agung Sedayu, "kita harus membicarakannya dengan Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede kelak mampu meyakinkan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Mangkubumi tentu akan mengijinkan sepasukan dari antara pasukan Mataram untuk datang ke padepokan itu. Aku kira pasukan Tanah Perdikan Menoreh cukup kuat untuk mematahkan perlawanan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Kebo Lungit itu."
"Namun semuanya itu tentu setelah perang dengan Madiun ini menunjukkan tanda-tanda akhir," berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mataram masih harus menyelesaikan Madiun lebih dahulu. Seperti dikatakan oleh Ki Gede Kebo Lungit, perang ini akan dapat menjadi perang habis-habisan sehingga kemudian Ki Gede Kebo Lungit akan mendapat kesempatan untuk mengambil keuntungan.
Agung Sedayu yang kemudian telah ikut bergerak itu sempat berbisik kepada Glagah Putih, "Perang ini akan dapat menjadi perang yang mengerikan. Mungkin kita harus mengetrapkan segala ilmu untuk mengatasi tekanan lawan yang sangat berat."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, "Apalagi jika Ki Patih Mandaraka tidak berusaha untuk mengurangi jumlah kematian dengan caranya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, maka pasukan Tanah Perdikan itu telah menjadi semakin dekat. Penunjuk jalan itu memberikan isyarat, bahwamenurutperhitungan, beberapa puluh patok lagi dihadapan mereka, pasukan Madiun akan bertahan.
Ketika sekali lagi para prajurit Mataram melihat isyarat panah sendaren naik keudara sahut menyahut, maka segala sesuatunyapun telah bersiap. Beberapa kelompok pasukan yang datang dari Barat telah mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain dengan isyarat sandi. Kemudian mereka telah menempatkan diri pada jalan-jalan yang akan dapat langsung menusuk ke pusat kota.
Dengan demikian maka gerak akhir dari pasukan Mataram itu telah siap dilakuakan. Sekali lagi isyarat telah naik keudara. Dengan demikian, maka pasukan Matarampun telah mulai bergerak menuju ke alun-alun.
Tetapi sementara itu dibeberapa bagian kota pertempuran masih berlangsung. Pasukan Mataram seakan-akan memang telah berada di segala sudut kota. Sementara itu induk pasukan Mataram telah bergerak langsung ke pusat pertahanan Madiun.
Namun ternyata bahwa Mataram telah melakukan satu serangan yang mengejutkan. Demikian pasukannya bergerak dari segala arah, maka sepasukan berkuda telah menyerang langsung ke induk pasukan Madiun.
Serangan itu memang tidak diduga-duga. Karena itu, maka para prajurit Madiun memang terkejut, sementara sorak yang bagaikan meruntuhkan langit terdengar dimana-mana.
Namun serangan pasukan berkuda itu begitu cepat datangnya langsung menyibak pasukan Madiun menusuk ke jantung pertahanan. Bahkan mendekati istana.
Pertempuran yang sengitpun segera terjadi. Tetapi pasukan berkuda itu mampu bergerak cepat. Menyambar dengan ujung-ujung tombak, kemudian bergeser meninggalkan mereka, berputar di alun-alun dan menyerang kembali dengan cepat. Sementara prajurit yang lain telah bergerak maju.
Serangan yang tidak diduga sebelumnya itu, memang sangat berpengaruh. Apalagi serangan yang kemudian datang dari segala arah. Sorak yang gemuruh disegala tempat itupun sangat berpengaruh pula.
Para Senapati Matarampun segera mengetahui, bahwa yang memimpin pasukan berkuda itu ternyata adalah Panembahan Senapati sendiri. Diatas kudanya yang bernama Puspa Kencana, Panembahan Senapati benar-benar bagaikan bayangan yang pancaran ilmunya benar-benar telah mengacaukan para Senapati Madiun yang berusaha untuk menahannya.
Sedangkan para prajurit berkuda pilihan yang lainpun telah bergerak dengan cepatnya seakan-akan telah mengitari segenap pertahanan pasukan Madiun justru dari belakang garis pertempuran.
Gerakan pasukan berkuda itulah yang tidak diperhitungkan oleh para pemimpin Madiun. Namun ternyata ketegaran dan kecepatan gerak pasukan berkuda itulah yang lebih banyak menyulitkan pasukan Madiun.
Pertempuran itupun kemudian telah berlangsung dengan sengitnya. Namun ternyata bahwa prajurit Madiun sulit untuk dapat menahan arus maju pasukan Mataram. Sementara itu, pasukan berkuda itu beberapa putaran telah mendekati pintu gerbang istana.
Dalam pada itu, beberapa orang penghubung telah menyampaikan kesulitan kesulitan yang dialami pasukan Madiun diluar dinding istana kepada Panembahan Madiun. Bahkan para perwira"tertinggi serta sanak kadang dan sentana yang terdekat telah menganjurkan agar Panembahan Madiun mengambil kebijaksanaan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh prajurit Madiun.
"Nampaknya sulit bagi kita untuk tetap bertahan." berkata seorang perwira penghubung, "bahkan sampai prajurit terakhirpun kita tidak akan mampu membendung gerak maju pasukan Mataram."
"Aku akan menunggu Panembahan Senapati disini. Aku adalah prajurit sebagaimana Panembahan Senapati. Aku akan memimpin sendiri pasukan Madiun mempertahankan istana ini." jawab Panembahan Madiun.
"Tetapi kekuatan Mataram bagaikan banjir bandang, Panembahan." jawab perwira penghubung itu.
"Kau kira aku tidak berani menghadapi Panembahan Senapati" Aku tahu, ia memiliki ilmu rangkap seribu. Tetapi dimasa mudaku, aku bukan orang yang sekedar tidur siang dan malam sambil makan dipembaringan. Tetapi akupun menyusuri lembah dan pegunungan serta gua-gua yang gelap untuk menempa diri. Ilmuku tidak akan berada dibawah ilmu Panembahan Senapati."
Tetapi para pemimpin yang ada di istana itu berusaha untuk mencegahnya. Dengan nada dalam seorang Senapati berkata, "Hamba akan menunggu disini Panembahan. Hamba mohon Panembahan mengambil satu kebijaksanaan. Kita sudah dijebak oleh Panembahan Senapati, sehingga sebagian besar dari kekuatan yang sudah berkumpul di Madiun ini terpecah belah. Sebagian telah meninggalkan Madiun. Sebagian telah menyerang atas kemauan sendiri, namun tidak mampu mengusik kekuatan Mataram. Dan sekarang, Mataram itu telah memasuki kota Madiun, sementara kita mengira bahwa Mataram telah ber-siap-siap untuk menarik diri."
"Jangan rendahkan harga diriku sebagai seorang prajurit." geram Panembahan Madiun.
"Hamba Panembahan. Tetapi Panembahan bukan saja seorang prajurit. Panembahan juga seorang pelindung bagi keselamatan para prajurit." berkata Senapati itu.
"Karena itu, aku harus maju ke medan. Siapkan kudaku dan prajurit berkuda berapapun yang ada." berkata Panembahan Madiun selanjutnya.
Namun seorang perwira penghubung berikutnya yang menghadap telah memberikan laporan, bahwa pasukan Madiun telah menjadi semakin terjebak. Kekuatan Mataram menjadi semakin mendekati gerbang istana.
"He, orang-orang dungu. Cepat sediakan kudaku. Kenapa kalian hanya bingung saja. Siapa yang merasa dirinya prajurit, ikut aku." Panembahan Madiun yang marah itu telah menyambar hulu keris yang terselip dilambung Kiai Gumarang.
"Ampun Panembahan." seorang sentana yang sudah berambut putih berkata dengan nada lembut, "kasihanilah para prajurit yang tersisa. Sementara itu, Panembahan sebaiknya tidak terdorong oleh perasaan Panembahan."
"Jadi, apa yang harus aku lakukan menurut kalian?" bertanya Panembahan Madiun.
"Panembahan, selagi masih ada pasukan pengawal yang kuat, sebaiknya Panembahan meninggalkan Madiun. Dengan isyarat pasukan Madiun akan ditarik dari segala medan. Yang sempat dihubungi akan mendapat perintah untuk meninggalkan kota dan bergabung dengan Panembahan. Dengan demikian, Panembahan telah menyelamatkan beratus jiwa." berkata orang tua itu.
"Kau telah menghina aku." geram Panembahan Madiun.
Namun hati Panembahan Madiun menjadi luluh ketika permaisuri Panembahan Madiun sendiri mencegah niat Panembahan untuk maju ke medan.
"Hamba memang yakin, bahwa ilmu dan tingkat kemampuan Panembahan tidak lebih rendah dari ananda Panembahan Senapati, tetapi perang memerlukan dukungan para prajurit dan pengawal. Karena itu hamba mohon, Panembahan, jangan turun ke medan."
Panembahan Madiun menjadi termangu-mangu. Sementara para pemimpin yang lain masih saja mohon.
"Sebaiknya Panembahan dan permaisuri meninggalkan istana." berkata seorang pemimpin yang sudah berjanggut putih.
Karena desakan dari segala pihak, maka akhirnya Panembahan Madiun tidak dapat mengelak lagi. Tetapi kepada putera puterinya. Panembahan Madiun.menjatuhkan perintah. "Kau tinggal disini. Kau tahu apa maksudku. Lakukan sebagaimana dilakukan oleh orang Mataram."
Puteri Panembahan Madiun itu terkejut. Tetapi Panembahan Madiun berkata selanjutnya, "Retna Jumilah, ada beberapa tugas yang dapat kau lakukan. Aku akan meninggalkan keris Kiai Gumarang. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Betapa saktinya Panembahan Senapati, tetapi jika kulitnya tergores keris Kiai Gumarang, maka ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup."
"Tetapi ayahanda." Retna Jumilah mulai menjadi gelisah dan bingung.
Namun keputusan ayahandanya tetap. Retna Jumilah harus tetap tinggal di istana menunggu Panembahan Senapati memasuki istana ini. Kemudian kewajibannya adalah kewajiban seorang putera puteri Panembahan Madiun yang terpaksa menyingkir dari istananya. Kewajiban seorang prajurit meskipun ia seorang puteri. Justru mempergunakan sifat keputriannya. Retna Jumilah harus melakukan tugas keprajuritan.
Betapapun beratnya, maka akhirnya melalui pintu gerbang butulan, Panembahan Madiun dengan pengawalan yang kuat bersama permaisuri dan seorang puteranya telah meninggalkan istana.
Sementara itu, begitu ayahanda dan ibundanya berangkat, Retna Jumilah telah jatuh pingsan.
Beberapa orang pelayan dan emban menjadi bingung. Namun akhirnya Retna Jumilah itu telah menjadi sadar kembali. Ia tidak mau mengenakan lagi pakaiannya sebagai seorang puteri, tetapi Retna Jumilah telah mengenakan pakaian seorang kesatria dengan keris Kiai Gumarang. Apapun yang terjadi ia bertekat untuk berperang tanding dengan Panembahan Senapati.
Satu cara yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh Panembahan Madiun. Karena Panembahan Madiun justru menghendaki agar puterinya mempergunakan kelemahannya sebagai seorang puteri menjadi kekuatan utamanya untuk mengalahkan Panembahan Senapati.
Dalam pada itu, dengan cepat pasukan Madiun yang melindungi Panembahan Madiun telah bergerak justru kearah Timur. Mereka menyerang diantara lorong-lorong kecil untuk mencapai pintu gerbang kota disebelah Timur, karena menurut keterangan para penghubung kekuatan Mataram lebih banyak berada disebelah Barat kota.
Pasukan Mataram yang berada di sisi Timur kota memang terkejut melihat satu gerakan pasukan yang tiba-tiba saja menembus pertempuran. Pasukan Madiun yang mengawal Panembahan Madiun ternyata adalah pasukan yang memang terpilih. Dengan gagah berani mereka menyusup dan menyibak pasukan yang menghadang di depan mereka. Sementara itu pasukan Madiun yang dilampauinya, telah bergabung dengan mereka tanpa mengetahui rencana gerakan itu.
Namun para penghubung memang berusaha untuk menyampaikan perintah kepada setiap pasukan untuk menarik diri bersama-sama dengan pasukan Madiun yang sedang bergerak itu.
Perintah itu memang segera tersebar. Tetapi tidak semua pasukan akan dapat melakukannya, apalagi pasukan yang ada di sebelah Barat. Mereka sudah terbelit oleh pertempuran-pertempuran yang rumit untuk diurai.
Karena itu, maka pasukan bagi mereka adalah, kurangi korban jiwa yang sudah tidak memberikan arti apa-apa lagi.
Ternyata Panembahan Madiun bergerak tepat pada waktunya. Pada saat yang hampir bersamaan, pasukan induk Mataram telah berhasil memecahkan pertahanan pasukan Madiun dan langsung bergerak ke istana. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati itu telah menjalani hambatan dipintu gerbang. Beberapa kelompok pasukan Madiun memang ditinggalkan di pintu gerbang utama istana untuk mengetahui pasukan Mataram, agar mereka mengira bahwa pasukan itu akan mempertahankan istana dengan segenap kemampuan yang ada.
Namun Panembahan Senapati memang terkejut. Pertahanan itu begitu cepat, sehingga dalam waktu yang sangat singkat, maka pasukan Madiun telah menyerah.
Dengan serta merta Panembahan Senapati dapat menebak, bahwa Panembahan Madiun tentu sudah meninggalkan istana.
Tetapi Panembahan Senapati belum menjatuhkan perintah apapun. Dengan serta merta bersama beberapa orang perwira Panembahan Senapati telah langsung memasuki istana diiringi oleh Pangeran Mangkubumi.
Demikian Panembahan Senapati memasuki bilik istana di istana Madiun, maka Panembahan Senapati terkejut. Seorang kesatria telah menerkamnya dengan sebilah keris yang seakan-akan memancar gemerlapan.
Panembahan Senapati tertegun. Ia tidak sempat memperhatikan orang yang menyerangnya. Dengan kemampuan seorang, prajurit linuwih maka Panembahan Senapatipun telah bergeser menghindar. Namun demikian cepatnya ia menyerang pula.
Tanpa dapat mengelak, maka Panembahan Senapati telah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya itu. Namun Panembahan itu terkejut. Ketika orang itu mengaduh, maka barulah Panembahan Senapati sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan. Baru kemudian ia merasakan lunaknya pergelangan tangan orang yang menyerangnya itu.
Meskipun demikian, Panembahan Senapati sempat merampas keris yang sangat mendebarkan hati itu, se-hingga dengan demikian, maka keris Kiai Gumarang itu telah berada di tangan Panembahan Senapati.
Baru kemudian Panembahan Senapati sempat memandang wajah perempuan yang mengenakan pakaian seorang laki-laki itu. Bahkan pakaian seorang prajurit.
Retna Jumilah tertunduk lesu. Ia telah gagal menggoreskan ujung kerisnya itu kepada lawannya.
"Kau siapa gadis cantik?" bertanya Panembahan Senapati.
"Aku baru akan menjawab, jika aku tahu, siapakah kau." jawab Retna Jumilah.
Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, "Aku adalah Panembahan Senapati."
"Jadi kau orang yang harus aku bunuh itu?" geram puteri itu.
"Kau berjanji untuk menyatakan diri?" desis Panembahan Senapati kemudian.
"Aku adalah Retna Jumilah, putera ayahanda Panembahan Madiun." jawab puteri itu.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Agaknya pertempuran telah ber-akhir. Dimana ayahanda puteri itu?"
"Apa yang kau kehendaki dari ayahanda?" bertanya Retna Jumilah.
"Aku ingin menghadap Pamanda Panembahan. Aku akan menyampaikan sembah dan baktiku." jawab Panembahan Senapati.
"Itu lagi yang kau katakan. Kau kira ayahanda masih dapat mempercayaimu?" berkata Retna Jumilah.
"Aku justru akan mohon maaf kepada ayahanda puteri." berkata Panembahan Senapati.
"Masih terangsang betapa ayahanda mengeluh karena kecewa terhadap Panembahan atas sikap yang Panembahan tempuh." jawab Retna Jumilah.
Tetapi Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, "Pamanda Panembahan tentu telah salah paham."
"Tidak." potong Retna Jumilah.
Panembahan Senapati ternyata telah menampakkan perhatiannya kepada puteri itu. sehingga seorang perwira telah menghadapnya sambil berkata, "Pangeran Mangkubumi menunggu perintah."
Panembahan Senapati bagaikan terbangun dari mimpinya. Karena itu, maka perintahnya, "Kita menduduki istana ini. Perintahkan pada pasukan kedua untuk membersihkan seluruh kota."
"Tetapi kita tidak menemukan Panembahan Madiun." jawab perwira penghubung yang menghadap itu.
Jilid 255 PANEMBAHAN Senapati memang telah menduga sebelumnya. Tetapi ia masih juga tergetar dadanya mendengar laporan itu, justru karena ia telah kehilangan waktu beberapa saat. Justru saat-saat yang paling gawat.
Namun kemudian terdengar perintahnya, "Cari Pamanda Panembahan Madiun sampai dapat diketemukan."
Penghubung itupun kemudian telah menghubungi Pangeran Mangkubumi yang berada di tengah-tengah pasukannya. Pangeran yang masih basah oleh keringat itu memang menjadi agak kesal menunggu perintah Panembahan Senapati. Demikian perintah itu diterima, maka iapun telah mulai bergerak dengan memecah pasukannya.
Perintah Pangeran Mangkubumi kepada prajurit-prajuritnya, "Carilah hubungan dengan para prajurit dari pasukan kedua. Perintah Panembahan Senapati adalah membawa Panembahan Madiun kembali ke istana."
Tetapi kelambatan perintah yang diterima Pangeran Mangkubumi ternyata telah memberi kesempatan kepada Panembahan Madiun untuk lolos. Dengan pengawalan yang kuat, maka pasukan Madiun telah menembus pasukan Mataram yang terpencar sampai ke pintu gerbang disebelah Timur. Pasukan khusus Madiun masih mampu memecahkan kekuatan pasukan Mataram yang berusaha untuk menutup regol itu, sehingga akhirnya pasukan Madiun yang mengawal Panembahan Madiun itu dapat keluar dari kota.
Bahkan beberapa kelompok pasukan yang lain sempat menyusul iring-iringan itu. Beberapa kelompok keluar dari kota tanpa melalui gerbang yang manapun. Tetapi mereka telah berusaha memanjat dinding kota dengan alat apapun yang dapat mereka ketemukan.
Namun sebagian lagi prajurit Madiun memang harus melihat kenyataan, bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan apa-apa lagi sehingga mereka telah menyerah.
Pasukan yang dipimpin Pangeran Mangkubumipun kemudian telah sampai ke regol sebelah Timur. Namun pasukan Madiun telah menjadi jauh. Beberapa kelompok kecil pasukan Mataram berusaha untuk mengikuti pasukan itu. Tetapi mereka tidak dapat bertindak apa-apa, karena pasukan pengawal itu ternyata sangat kuat.
Ketika pasukan Pangeran Mangkubumi berusaha untuk menyusul mereka, maka beberapa orang penghubung memberikan keterangan tentang jarak waktu yang sulit untuk diperintahkan kembali.
"Kami telah terlambat." desis Pangeran Mangkubumi, "kelambatan ini terletak pada Panembahan Senapati sendiri yang menjumpai persoalan yang rumit dengan tiba-tiba, diluar perhitungannya."
Tidak seorang Senapatipun yang bertanya. Namun Pangeran Mangkubumi masih menjatuhkan perintah. "Kita akan mencoba melacaknya. Kelompok-kelompok prajurit yang lebih dahulu mengikuti pasukan itu, mungkin berusaha untuk menghambat mereka."
Tetapi beberapa ribu pathok kemudian nampak oleh Pangeran Mangkubumi, bahwa kelompok-kelompok yang terdahulu justru sudah kembali.
Karena itu, ketika pasukan itu berpapasan, Pangeran Mangkubumi telah minta keterangan dari para pemimpin kelompok yang sedang dalam perjalanan kembali ke Madiun.
"Mereka sudah jauh. Kecuali itu pasukan yang mengawal Panembahan Madiun adalah pasukan yang sangat kuat." seorang pemimpin kelompok itu memberikan laporan.
Pangeran Mangkubumi mendengarkan laporan itu dengan saksama. Sementara pemimpin kelompok itu berkata selanjutnya, "Panembahan Madiun tentu menuju ke Wirasaba."
Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perintahnya, "Kita kembali ke dalam kota."
Demikianlah pasukan itu telah kembali memasuki kota Madiun. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Ki Mandaraka bersama pasukan Adipati Pragola dari Pati masih sibuk membersihkan seluruh kota dari kelompok-kelompok kecil prajurit Madiun yang tidak mau menyerahkan diri. Karena para prajurit itu berlindung diantara para penduduk kota Madiun, maka sulit bagi prajurit Mataram untuk dengan cepat menyelesaikan mereka.
Tetapi Ki Patih Mandaraka dan Adipati Pati bertekat untuk menyelesaikan tugas mereka sampai tuntas.
Dimalam hari, pasukan kedua itu masih belum memasuki istana. Sementara Pangeran Mangkubumi dengan pasukannya telah berada di alun-alun. Betapapun kecewa hati Pangeran Mangkubumi, namun kepada para Senapati ia sama sekali tidak menunjukkan kelambatan Panembahan Senapati, karena kelengahannya. Tetapi Pangeran Mangkubumi selalu mengatakan, bahwa Panembahan Senapati telah menjumpai satu persoalan yang tiba-tiba saja harus diatasi.
Namun malam itu juga, pasukan Mataram khususnya pasukan pertama telah dapat menghimpun diri. Pasukan itu telah terkumpul dan terkendali sepenuhnya. Bahkan perintah untuk berusaha merawat mereka yang terluka dan mereka yang gugur dipeperangan telah diberikan oleh Pangeran Mangkubumi. Namun masih terbatas disekitar tempat mereka kemudian menghimpun diri.
Sebaliknya pasukan kedua yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka dan Adipati Pragola dari Pati, masih harus dibenahi. Para penghubung hilir mudik diantara pasukan-pasukan yang terpecah, sementara para prajurit Madiun dalam kelompok-kelompok kecil kadang-kadang masih mereka jumpai.
Dari pasukan kedua, Pangeran Singasari telah berusaha untuk dapat bertemu langsung dengan Panembahan Senapati untuk menerima perintah-perintah selanjutnya.
Namun dalam pada itu, Adipati Pragola dari Pati telah memusatkan pasukannya disebelah Selatan istana setelah tugas yang dibebankan kepadanya bersama Ki Patih Mandaraka dapat diselesaikan. Meskipun demikian, beberapa kelompok prajurit Mataram masih juga selalu meronda diseluruh kota, karena mereka yakin, bahwa prajurit Madiun masih tersisa diantara rumah-rumah dan bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi.
Malam itu juga Pangeran Singasari telah berhasil bertemu dengan Panembahan Senapati bersama Pangeran Mangkubumi. Panembahan Senapati telah memerintahkan semua pemimpin dalam pasukan Mataram untuk berhimpun di hari berikutnya untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya.
Namun demikian Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari keluar dari ruang dalam istana, maka Pangeran Singasari telah berdesis, "Siapa perempuan itu?"
"Putera puteri pamanda Panembahan Madiun, Retna Jumilah." jawab Pangeran Mangkubumi.
"Apakah puteri itu harus dihormati sebagaimana kita menghormati permaisuri Panembahan Senapati?" bertanya Pangeran Singasari.
Tetapi Pangeran Mangkubumi justru tertawa. Katanya, "Aku tidak memikirkannya. Yang penting, langkah-langkah berikutnya yang harus kita ambil. Apakah kita akan berhenti disini, atau kita akan bergerak lagi."
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun ia tidak berbicara lagi tentang Retna Jumilah.
Perintah untuk berhimpun di keesokan harinyapun segera sampai ke telinga para pemimpin pasukan yang ikut serta bersama Panembahan Senapati menduduki Madiun. Mereka akan berbincang tentang langkah-langkah yang akan diambil dihari-hari mendatang.
Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka semua pemimpin telah berhimpun di istana Madiun. Para Pangeran dan para Adipati serta Ki Patih Mandaraka.
Namun semua orang merasa canggung melihat seorang puteri ikut serta dalam pertemuan itu. Puteri yang telah ditinggalkan oleh ayahandanya, Panembahan Mas dari Madiun.
Kepada para pemimpin yang hadir Panembahan Senapati telah memperkenalkan puteri itu bukan saja menyebut namanya Retna Jumilah, tetapi juga menyebutnya sebagai cucu Sultan Demak, yang bergelar Sultan Trenggana.
Tidak ada seorangpun yang menunjukkan sikap yang menentang kehadiran puteri itu. Bahkan ikut dalam pembicaraan yang oleh Panembahan Senapati sendiri disebut sebagai satu pembicaraan yang masih sangat rahasia.
Betapa perasaan bergetar di dalam setiap dada, tetapi mereka menunjukkan sikap yang baik justru karena Panembahan Senapati sendiri sangat menghormati puteri yang disebutnya sebagai cucu Sultan Trenggana di Demak.
Dalam pembicaraan itu maka telah terbersit satu pernyataan bahwa untuk beberapa hari pasukan Mataram akan beristirahat di Madiun. Namun kemudian pasukan itu akan langsung menuju ke Pasuruan, Panembahan Senapati ingin menundukkan Pasuruan sekaligus sebelum kembali ke Mataram.
"Para prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukan Mataram masih belum perlu mengetahui rencana ini." berkata Panembahan Senapati.
Para pemimpin itupun mengangguk-angguk mengiakan. Rencana itu memang masih harus dirahasiakan. Jika jauh-jauh sebelumnya Pasuruan mengetahui rencana itu, maka mungkin sekali kedatangan pasukan Mataram di Pasuruan tidak memberikan arti sebagaimana dikehendaki.
Namun yang menggetarkan setiap hati kemudian adalah pernyataan Panembahan Senapati, akan melang-sungkan perkawinannya dengan putera puteri Panembahan Madiun itu.
Pernyataan itu tidak mendapat tanggapan langsung dalam pertemuan itu. Semua orang mendengarkan dan berdiam diri. Apalagi ketika Panembahan Senapati mengatakan bahwa para prajurit yag telah dengan tegang menyelesaikan tugas mereka dengan baik di Madiun memerlukan sedikit perubahan suasana. Mudah-mudahan perkawinan itu akan memberikan kesegaran bagi para prajurit dan pengawal yang berada di Madiun. Memberikan satu suasana yang dapat melepaskan ketegangan-ketegangan yang mencengkam selama mereka harus menghimpun tenaga kembali untuk bergerak dalam jangkauan yang jauh, Pasuruan.
Pertemuan itu sendiri tidak berlangsung terlalu lama. Setelah semua penjelasan dan perintah diberikan oleh Panembahan Senapati, maka pertemuan itupun dinyatakan telah selesai.
Sejenak kemudian para pemimpinpun telah berada diantara pasukan mereka kembali. Namun dalam pada itu, demikian Adipati Pragola dari Pati berada diantara para Senapatinya, tiba-tiba saja telah menjatuhkan perintah, "Siapkan pasukan dari Pati. Kita akan kembali ke Pati."
Beberapa orang Senapati memang menjadi bingung. Namun perintah itu tegas, "Kita berangkat hari ini juga."
Dengan tanpa mengetahui maksud Adipati Pragola dari Pati, para Senapati memang menyiapkan pasukannya. Demikian pasukan itu siap, maka Adipati Pragola telah berusaha menghadap Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati memang menjadi heran melihat sikap Adipati Pragola, salah seorang Adipati yang sangat akrab dan mempunyai pandangan yang hampir sama dalam banyak hal. Ayah Adipati Pragola adalah saudara seperguruan ayahanda Panembahan Senapati. Keduanya pula yang telah melaksanakan perintah Sultan Hadiwijaya dari Pajang untuk membunuh Arya Penangsang dari Jipang, meskipun keduanya atas petunjuk Ki Juru Martani yang kemudian bergelar Ki Patih Mandaraka telah meminjam tangan Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu.
Namun tiba-tiba sikap Adipati Pragola tidak dapat dimengerti oleh Panembahan Senapati.
"Kenapa kau akan meninggalkan Madiun?" bertanya panembahan Senapati.
"Seorang penghubung telah datang dari Pati memberitahukan bahwa Pati ada dalam bahaya." jawab Adipati Pragola.
"Bahaya apa?" bertanya Panembahan Senapati.
"Tidak jelas. Karena itu, kami seluruh pasukan dari Pati akan kembali ke Pati, melihat keadaan dan jika perlu mengerahkan kekuatan Pati untuk menghancurkan bahaya yang datang itu." jawab Adipati Pragola.
Ternyata usaha Panembahan Senapati untuk menahan Adipati Pragola tidak berhasil. Hari itu juga Adipati Pragola telah meninggalkan Madiun. Kepada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, Adipati Pajang dan Grobogan serta para pemimpin yang lain. Adipati Pragola dari Pati sama sekali tidak minta diri. Bahkan juga tidak kepada Ki Mandaraka.
Keberangkatan pasukan Pati memang sangat menarik perhatian. Bahkan para pemimpin Pati sendiri masih saja selalu bertanya-tanya.
Namun diluar sadar, terloncat dari bibir Adipati Pragola meskipun tidak ditujukan kepada siapapun juga, "kami harus bertempur menyabung nyawa, kakangmas Panembahan Senapati tanpa menghiraukan para korban, telah berniat untuk kawin dengan puteri Panembahan Madiun."
Meskipun hal itu tidak dinyatakan kepada siapapun juga, tetapi seorang yang kebetulan mendengarnya, telah menangkap arti dari gerakan pasukan Pati. Sementara itu, apa yang didengar itu pada waktu yang singkat telah tersebar diantara para Senapati dari Pati.
Panembahan Senapati agaknya memang sudah merasa bahwa sikap Adipati Pragola itu ada hubungannya dengan niatnya untuk mengambil Retna Jumilah sebagai isterinya. Bahkan Panembahan Senapatipun dapat mengerti, bahwa dalam peperangan yang masih belum selesai, apalagi niat Panembahan Senapati untuk menjangkau kekuasaan Pasuruan, adalah tidak sewajarnya jika ia mengambil kesempatan untuk kawin.
"Tetapi dengan demikian aku berniat untuk mengendorkan ketegangan yang mencengkam para prajurit dan pengawal selama ini," berkata Panembahan Senapati kepada Ki Patih Mandaraka.
Namun Ki Patih menjadi sangat cemas. Ia mengenal sifat Adipati Pragola yang keras sebagaimana ayahandanya. Karena itu, maka menghadapi Pati, Panembahan Senapati tidak boleh menjadi lengah.
"Selembar mendung akan lewat di atas kekuasaan Mataram." berkata Ki Patih Mandaraka.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya Adimas Adipati Pragola berkata berterus terang, sehingga aku dapat memberikan penjelasan."
"Ia sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan angger lakukan." jawab Ki Patih, "karena itu, dalam ke-adaan yang tiba-tiba itu, ia tidak sempat berpikir tenang."
"Tetapi semuanya sudah terlanjur paman." desis Panembahan Senapati.
"Kita memang tidak mempunyai pilihan. Tetapi karena angger Panembahan Senapati akan pergi ke Pasuruan, maka angger sebaiknya menilai kekuatan angger kembali sepeninggal pasukan dari Pati."
"Dengan kepergian pasukan Pati, kekuatan kita tidak banyak berkurang. Apalagi untuk menghadapi Pasuruan. Kami sudah mendapat laporan terperinci dari para petugas sandi yang telah kembali dari Pasuruan berturut-turut sejak kita belum memasuki Madiun. Terakhir petugas sandi yang datang kemarin. Justru setelah diperjalanan ia mendengar berita bahwa Madiun sudah jatuh." Panembahan Senapati berhenti sejenak, lalu, "Dari petugas sandi itu kita mendapat laporan, bahwa Pasuruan ternyata tidak mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan diri sendiri." berkata Panembahan Senapati, "sementara itu sesuai dengan laporan Pangeran Mangkubumi berdasarkan laporan dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh justru disebelah Selatan Madiun terdapat satu kekuatan dari sebuah perguruan yang akan dapat mengancam kekuasaan Madiun. Sudah tentu tidak disaat pasukan Mataram berada di sini. Tetapi nanti jika pasukan Mataram telah kembali, maka kekuatan itu akan menjadi duri bagi Madiun."
"Jadi bagaimana perintah angger Panembahan?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Kita akan menyelesaikan kedua kekuatan itu sekaligus. Kita akan pergi ke Pasuruan, maka sebagian dari kita akan menghancurkan kekuatan perguruan itu. Meskipun nampaknya perguruan itu kecil sekarang, tetapi lambat laun akan dapat membahayakan. Sesuai dengan laporan, maka pemimpin perguruan itu yang bernama Ki Gede Kebo Lungit telah menyatakan, bahwa diatas reruntuhan kekuatan Mataram dan Madiun, maka ia akan membangun satu kekuatan baru. Ternyata bahwa perhitungan Ki Gede Kebo Lungit itu keliru. Mataram dan Madiun tidak hancur bersama-sama. Namun niat itu tentu masih tetap melekat pada mimpi-mimpinya kemudian." berkata Panembahan Senapati.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Sementara itu, Panembahan Senapati berkata, "Aku akan memerintahkan petugas sandi yang datang dari Pasuruan itu nanti menghadap pamanda. Sementara itu, kita dapat memerintahkan petugas sandi untuk menyelidiki kekuatan Ki Gede Kebo Lungit bersama-sama dengan penunjuk jalan yang mendapat tugas mendampingi pasukan Tanah Perdikan Menoreh saat kita merebut Madiun."
Ki Patih mengangguk-angguk. Panembahan Senapati memang tidak tergesa-gesa. Ia masih akan melangsungkan perkawinannya, meskipun dengan persiapan yang tergesa-gesa, tetapi tidak akan dapat dilakukan hari itu juga disaat keduanya menghendaki.
Ular Kobra Dari Utara 1 Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi Rahasia 2
"Apakah Panembahan Senapati akan mempergunakan gelar Gedong Minep untuk menggulung Madiun?" desis seorang Senapati ditelinga kawannya.
"Tentu tidak. Bukan watak Panembahan Senapati mempergunakan gelar Gedong Minep. Mungking gejar lain yang mirip, tetapi tidak memberikan kesan, bahwa pimpinan tertingginya memerlukan perlindungan seluruh pasukan. Mungkin Cakra Byuha atau bahkan Dirada Meta." jawab kawannya.
Tetapi dengan penuh kebimbangan para prajurit sehari penuh menunggu perintah berikutnya, namun seakan-akan mereka telah dibiarkannya saja. Tidak ada perintah dan tidak ada pemberitahuan apapun juga.
Di induk pasukan, Agung Sedayu telah menemui Swandaru yang ternyata pulih kembali. Luka-lukanya memang belum sembuh benar. Tetapi sudah nampak mengering dan tidak akan terbuka lagi meskipun Swandaru harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi sentuhan-sentuhan yang keras memang akan segera membuat luka itu kambuh lagi.
"Kau harus minum obat itu sampai dua tiga hari lagi." berkata Agung Sedayu.
"Aku sudah sembuh benar." berkata Swandaru.
"Kulitmu yang sedang tumbuh pada bekas luka itu memerlukan obat pemacu sehingga akan segera pulih kembali tanpa menimbulkan noda. Tidak akan berwarna kehitam-hitaman atau bahkan kerut-kerut yang dapat membuat kulitmu cacat." berkata Agung Sedayu.
"Aku seorang laki-laki kakang." berkata Swandaru, "jika"aku seorang perempuan, mungkin aku memerlukannya untuk menjaga agar aku berkulit halus."
"Kau mengajak aku bertaruh lagi?" bertanya Agung Sedayu.
Pertanyaan itu telah menyentuh perasaan Swandaru. Tetapi ia memang tidak dapati mengingkari kenyataan itu. Bahkan ia sadari bahwa ia akan dapat mati jika saat luka-luka itu terbuka lagi ia berada di tengah-tengah pertempuran.
Karena itu, maka Swandaru tidak menjawab lagi. Namun demikian, didalam hati tersimpan niatnya untuk pada satu kesempatan dimanapun juga, menunjukkan kelebihannya kepada kakak seperguruannya itu.
"Kakang Agung Sedayu harus melihat satu kenyataan tentang perbandingan ilmu kedua orang murid Orang Bercambuk. Ia tidak boleh sakit hati, bahwa meskipun ia lebih tua dalam susunan perguruan, tetapi ilmuku jauh lebih baik daripadanya." katanya didalam hati.
Ketika kemudian gelap malam turun, maka para prajurit dan para pengawal telah bertebaran di induk pasukan. Mereka seakan-akan dipersilahkan mencari tempat sendiri-sendiri kelompok demi kelompok, sementara pasukan yang telah lebih dahulu berada diinduk pasukan sama sekali tidak bergeser dari tempat mereka.
Balas " On 7 Agustus 2009 at 09:15 Mahesa Said:
Bagian II Beberapa kelompok prajurit Mataram memang tidak senang dengan perlakuan itu. Demikian juga para pengawal. Tetapi justru karena mereka menghormati para prajurit dan pengawal yang datang dari jauh, maka merekapun tidak menunjukkan perasaan mereka itu. Para Senapati dan para pemimpin kelompok berhasil meyakinkan para prajurit dan para pengawal agar mereka tetap menghormati para prajurit dan pengawal tamu bagi Mataram.
Ketika malam menjadi semakin gelap, maka para prajurit itupun telah berbaring diperkemahan mereka masing-masing. Mereka yang datang dari sayap kiri dan sayap kanan telah berbaring pula ditempat-tempat yang telah mereka persiapkan dengan tergesa-gesa. Bahkan mereka telah menebar sampai agak jauh dari perkemahan sehingga cahaya obor tidak dapat menggapai mereka lagi.
Tetapi ditengah malam, seluruh pasukan telah dibangunkan. Para Panglima dan Senapati telah memberikan perintah menurut tataran keprajuritan sehingga dalam waktu yang singkat, semua prajurit telah siap.
Maka para prajurit dan pengawal itupun segera menyadari, bahwa mereka akan bergerak di malam hari.
Tetapi masih juga ada pertanyaan, "Apakah pasukan ini akan kembali ke Mataram atau menuju ke Madiun yang telah berada didepan hidung mereka?"
Namun akhirnya mereka mengerti, mereka akan menyerang Madiun yang nampaknya tertidur lelap.
Demikianlah, maka pasukan Mataran itu bergerak dengan seluruh kekuatan yang ada. Hanya beberapa kelompok prajurit yang ditinggalkan sebagai kelompok-kelompok cadangan jika diperlukan sekali, merangkap menjaga perkemahan dan peralatan yang masih tertinggal.
Dengan sangat berhati-hati, pasukan Mataram itu menyeberangi Kali Dadung. Kemudian merekapun telah merayap mendekati dinding kota Madiun.
Meskipun jarakanya tidak jauh, tetapi gerakan itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Pimpinan tertinggi pasukan Mataram ternyata telah membagi seluruh kekuatan menjadi dua bagian. Masing-masing akan memasuki kota Madiun dari arah yang berbeda.
Madiun sementara itu nampaknya memang sedang lelap. Ada beberapa petugas yang berjaga-jaga. Tetapi karena sebagian besar para pemimpin mereka menduga bahwa Mataram sedang bersiap-siap untuk kembali ke Mataram, maka mereka memang menjadi lengah. Apalagi sebagian para prajurit yang berkumpul di Madiun telah meninggalkan Kota, karena diantara mereka terdapat ketidak sesuaian. Dengan demikian maka ada bagian dari pasukan itu yang tidak sabar dan dengan serta merta menyerang pasukan Mataram. Namun ternyata Mataram berhasil memukul mundur mereka dan bahkan pasukan itu telah meninggalkan Madiun tanpa singgah lagi ke kota.
Dalam pada itu, maka seluruh pasukan yang telah terbagi itu perlahan-lahan merayap dalam kegelapan mendekati dinding kota.
Pasukan pertama yang akan memasuki Madiun dari arah Utara dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati. Kemudian pasukan yang lain dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka. Adipati Pati dengan pasukannya yang kuat akan berada di pasukan kedua bersama Ki Patih didampingi oleh Pangeran Singasari. Sedangkan Adipati Pajang akan bersama dengan Panembahan Senapati dan Pangeran Mangkubumi, serta para pemimpin yang lain.
Dengan demikian maka seluruh pasukan dari sayap kanan telah berada di pasukan kedua, sedangkan pasukan dari sayap kiri berada di pasukan pertama.
Sebenarnyalah bahwa Swandaru merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat berada dalam satu lingkungan bersama Agung Sedayu. Ia masih ingin mencari kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya.
"Jika aku belum melakukannya, maka kakang Agung Sedayu masih saja bersikap seperti seorang guru kepada muridnya." berkata Swandaru didalam hatinya, "ia memang dapat bertindak atas nama Guru karena ia adalah saudara tua dalam susunan keluarga perguruan, meskipun ia suami adikku. Tetapi jika ia melihat langsung kelebihan ilmuku, maka sikapnya tentu akan lain."
Tetapi Swandaru tidak mempunyai kesempatan untuk memilih. Ia harus berada dipasukan yang berbeda dengan Agung Sedayu.
Demikianlah, maka kedua pasukan itu merayap .dengan sangat berhati-hati. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka telah melingkar melalui daerah yang terbuka, tetapi terdiri dari bulak-bulak yang sangat luas. Mereka jarang sekali menemui padukuhan. Jika satu dua ditemuinya, maka padukuhan itu pada umumnya sudah kosong. Penghuninya mengungsi menjauhi kemungkinan buruk jika perang pecah.
Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Senapati menempuh jarak yang lebih pendek. Tetapi justru karena itu, mereka harus lebih berhati-hati. Jalan yang dilalui adalah jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang disisi Utara. Karena itu, jalan itu tentu berada dibawah pengawasan. Betapapun lengah penjagaan di Madiun, namun pintu gerbang kota tentu tidak akan terbuka begitu saja tanpa penjagaan.
Karena itu, maka Panembahan Senapati telah menunjuk empat orang prajurit dari pasukan khusus untuk mendahului pasukan. Keempat orang itu harus memberikan isyarat, tanda dan jika perlu melumpuhkan penjagaan disepanjang jalan yang akan dilalui.
Ternyata bahwa perhitungan kedua pimpinan pasukan itu terpaut tepat seperti yang direncanakan. Pasukan Panembahan Senapati yang merayap perlahan-lahan, mendekati pintu gerbang disaat dini hari. Demikian pula pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka yang mendekati pintu gerbang disisi selat-an.
Kedua pasukan itu segera mempersiapkan segala peralatan yang diperlukan. Mereka yakin bahwa tidak mudah untuk me-mecahpintu gerbang. Karena itu, maka mereka telah mempersiapkan beberapa tangga dan bambu yang akan dipergunakan untuk memanjat.
Ternyata Panembahan Senapati sebagaimana diusulkan oleh Ki Patih Mandaraka telah mempergunakan cara yang lunak untuk memasuki dinding kota. Pasukan Mataram tidak akan dengan keras menggempur pasukan Madiun yang menjaga pintu gerbang yang tertutup dan diselarak dengan balok-balok yang besar, sehingga akan dengan serta merta membangunkan seluruh pasukan. Dengan memanfaatkan kelengahan para petugas di Madiun, maka orang-orang Mataram akan menugaskan prajurit-prajurit dari pasukan khususnya untuk memasukidiri ding kota dengan tangga dan dengan diam-diam.
Demikianlah sebelum matahari terbit, maka Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang mendapat tugas untuk memasuki dinding, segera bergerak. Justru pada saat ayam jantan terdengar berkokok bersahutan. Suara ayam jantan itu adalah pertanda yang disepakati oleh Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Karena itu, maka pada saat yang bersamaan, maka pasukan khusus dari pasukan keduapun telah bergerak pula.
Dengan sangat berhati-hati kedua pasukan itu telah melekatkan dua buah tangga di pasukan masing-masing. Mereka telah memilih tempat yang berada di bayangan pepohonan yang rimbun.
Dengan sangat berhati-hati, beberapa orang prajurit pilihan dari pasukan khusus telah memanjat naik. Seorang yang pertama mencapai bibir dinding sempat memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu. Ternyata mereka tidak melihat pasukan yang bersiap-siap meskipun mereka melihat beberapa orang yang berjaga-jaga dipintu gerbang.
Karena itulah, maka seorang demi seorang para prajurit pilihan itu berloncatan masuk. Mereka harus bergerak cepat menyergap para petugas dipintu gerbang. Kemudian membuka selarak-selarak pintu.
Para prajurit Mataram yang berada di luar dinding mengambil tempat tidak terlalu dekat. Mereka berusaha untuk menyamarkan diri diantara pohon-pohon perdu dalam kegelapan sisa malam. Masih ada kemungkinan peronda dari Madiun akan lewat di hadapan mereka. Berkuda atau berjalan kaki.
Demikianlah, ternyata para prajurit pilihan dari Mataram itu telah berhasil memasuki benteng sesuai dengan jumlah yang diperhitungkan.
Ketika segalanya telah siap, maka berdasarkan atas perhitungan waktu, maka pasukan Mataram itupun hampir bersamaan telah menyerang para petugas yang berada diregol gapura kota Madiun disisi Selatan dan disisi Utara.
Serangan itu datang begitu tiba-tiba. Meskipun jumlah prajurit Mataram itu tidak terlalu banyak, namun para prajurit Madiun tidak sempat mengadakan perlawanan. Namun sebagian dari mereka sempat menarik diri dan membunyikan isyarat, Suara kentongan segera telah memecahkan kesenyapan fajar. Beberapa kentongan kecil telah berbunyi hampir berbareng dibelakang gerbang disisi Selatan dan Utara. Beberapa orang ternyata telah membunyikan kentongan sambil berlari.
Beberapa gardu di jalan-jalan kota yang kebetulan berisi beberapa orang peronda telah mendengarnya. Suara isyarat kentongan dengan nada titir itupun segera telah disahut. Bahkan kemudian bersahut-sahutan. Suara kentongan yang menjalar diseluruh kota itulah yang kemudian telah mengejutkan para prajurit Madiun di barak mereka masing-masing. Dengan cepat mereka bersiaga di halaman barak untuk menunggu perintah selanjutnya.
Isyarat itu memang agak membingungkan. Namun dengan, cepat para pemimpin dan Senapati di Madiun menyadari apa yang terjadi. Tetapi para Senapati dan pemimpin Madiun itu terlambat.
Ketika terdengar suara bende yang bergaung di tengah-tengah kota, disusul dengan beberapa orang penghubung berkuda yang berderap di jalan-jalan yang lengang menjelang pagi, maka para prajurit pilihan dari Mataram telah berhasil menggapai selarak pintu gerbang disisi Selatan dan Utara.
Dengan demikian, ketika para prajurit Madiun bersiap untuk menyongsong prajurit lawan, maka pintu gerbang itupun perlahan-lahan telah terbuka.
Kelompok-kelompok kecil prajurit Madiun memang lebih cepat mencapai pintu gerbang yang sedang dibuka itu. Namun pasukan pilinan Mataram dari kesatuan pasukan khusus yang sudah berada didalam dinding kota sempat menahan mereka. Pada saat yang demikian itu, satu-satu para prajurit Mataram mulai berlari-lari memasuki pintu gerbang yang terbuka semakin lama semakin lebar bahkan kemudian tidak saja seorang demi seorang, tetapi seperti bendungan yang pecah, maka prajurit Mataram yang berada diluar dinding telah berlarian memasuki dinding kota Madiun.
Para Senapati Madiun baru menyadari, bahwa mereka benar-benar telah menjadi lengah.Mereka telah dikelabui oleh sikap prajurit Mataram di perkemahan yang seakan-akan telah siap untuk meninggalkan perbatasan kota di sebelah Kali Dadung itu.
Tetapi kini para prajurit Mataram itu telah memasuki pintu -gerbang kota dari sisi Selatan dan Utara.
Prajurit Mataram yang mengalir memasuki kota itupun kemudian telah menjalar mengikuti alur jalan-jalan kota. Beberapa orang penunjuk jalan yang telah mengenal kota Madiun dengan baik, telah membawa pasukan Mataram itu langsung menuju kepusat kota.
Namun dengan demikian. Madiun itu telah terbangun. Di wajah langit telah membayang cahaya pagi. Beberapa orang yang memang telah bangun dan menyapu halaman menjadi terkejut karenanya. Mereka justru telah kembali masuk kedalam rumah sambil menutup pintu rapat-rapat.
Beberapa orang telah berteriak, "Perang, perang. Perang telah pecah."
Orang-orang Madiun tidak sempat lagi mengungsi. Mereka tidak tahu pula kemana mereka harus mengungsi.
Sementara itu, para prajurit Madiunpun telah menghambur kejalan-jalan raya. Sepasukan terpilih dari pasukan pengawal telah berkumpul di istana. Mereka telah menutup dinding halaman istana. Beberapa orang telah berada dipanggung di dalam dinding halaman dengan senjata telanjang. Sebagian dari mereka telah mempersiapkan busur dan anak panah yang banyaknya tanpa hitungan.
Diluar dinding prajurit Madiun bersusun beberapa lapis dialun-alun. Sementara pasukan pilihan telah berada pula didepan istana yang siap turun ke alun-alun apabila musuh berhasil menerobos sampai ke alun-alun itu.
Jumlah prajurit yang masih tinggal di Madiun memang masih cukup banyak. Tetapi mereka tidak tahu, kemana mereka harus memusatkan pertahanan mereka. Karena itulah, maka pasukan Madiun memang untuk sementara terbagi dalam kelompok-kelompo yang terlalu banyak jumlahnya.
Sementara itu, para prajurit Mataram yang memasuki pintu gerbang dari sisi Utara telah memusatkan serangannya kearah istana lewat alun-alun. Namun pasukan Mataram yang memasuki pintu gerbang kota lewat Selatan, telah membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk mengabur-kan para Senapati Madiun. Bahkan kelompok-kelompok prajurit Mataram yang memasuki pintu gerbang disisi Selatan, ada yang telah berada di bagian Timur Kota Madiun.
Dengan demikian, maka pertempuran di dalam kota Madiun telah terjadi dengan sengitnya. Namun kelengahan prajurit Madiun adalah awal dari kesulitan yang untuk selanjutnya dialaminya meskipun sebenarnya jumlah mereka masih lebih banyak.
Ketika laporan itu sampai kepada Panembahan Mas, maka Panembahan Mas itu terkejut bukan buatan. Ia tidak menduga, bahwa Panembahan Senapati telah menjebaknya dalam satu kekalutan yang sulit untuk diatasinya.
Namun demikian, sebagai seorang prajurit Panembahan Mas tidak mudah kehilangan getar perjuangannya untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka beberapa perintah telah dijatuhkan kepada para pemimpin prajurit Madiun yang tersisa.
"Kita memang lengah." berkata Panembahan Madiun, "kita telah terbius oleh sikap Panembahan Senapati yang agaknya telah diperhitungkan dengan masak."
Sejenak kemudian, maka para Senapati Madiun itupun telah berada di medan pertempuran. Namun serangan Mataram benar-benar bagaikan banjir bandang yang melanda seluruh kota.
Meskipun demikian, jalan menuju ke istana madiun ternyata tidak selancar yang diharapkan oleh pasukan Mataram. Dengan gagah berani para prajurit Madiun yang telah menemukan kembali keseimbangannya telah menahan arus banjir itu.
Tetapi prajurit Mataram telah berada di mana-mana. Bahkan dijalan-jalan kecil diantara rumah-rumah disudut-sudut kota, prajurit Mataram telah menyusup kedalamnya.
Karena itulah, maka pertempuranpun, telah terjadi dimana-mana. Namun bentrokan yang telah dilakukan oleh prajurit Mataram itu ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar. Karena itu, betapapun lambatnya, namun prajurit Mataram dari segala arah memang telah maju mendekati istana.
Para pemimpin Madiun memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Setiap saat, para penghubung telah memberikan laporan tentang perkembangan keadaan. Disisi Barat, prajurit madiun mengalami kesulitan yang paling parah. Namun Madiun tidak dapat dengan mudah memindahkan kekuatan yang ada untuk menuju ke medan disebelah Barat, karena dengan demikian maka pasukan itu harus menembus medan yang terserak. Karena itu, maka para pemimpin Madiun telah memusatkan kekuatan disekitar istana.
Namun setiap pasukan pengawal khusus yang memang berada didalam dinding istana, maka pasukan khusus Madiun telah maju mengambil jarak untuk menyongsong pasukan Mataram yang merambat mendekat.
Pertempuran yang garang itu telah memberikan kesempatan kepada para Senapati dan prajurit serta pengawal dalam pasukan Mataram untuk menunjukkan kemampuan mereka, karena pertempuran yang terjadi lebih banyak bergantung kepada kemampuan kelompok-kelompok kecil daripada kesatuan-kesatuan yang lebih besar.
Tidak ada gelar yang dipasang. Namun demikian, pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri masih tetap merupakan pasukan yang besar. Pasukan yang dipersiapkan untuk merebut istana Madiun yang tentu akan dipertahankan oleh pasukan pilihan serta pasukan khusus pengawal istana.
Meskipun demikian, Panembahan Senapati telah melepaskan beberapa kelompok pasukannya untuk membayangi gerak pasukannya.
Dengan seorang penunjuk jalan, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah dipisahkan dari seluruh pasukan yang menuju ke istana. Pasukan itu harus mengambil jalan tersendiri yang kemudian akan sampai juga ke alun-alun dari arah Barat. Sementara induk pasukan akan memasuki alun-alun dari arah utara.
Pasukan Tanah Perdikan itu memang mungkin akan bertemu dengan pasukan kedua yang memang terpecah-pecah dan akan bersama-sama menuju ke alun-alun.
Ki Gede Menoreh yang memimpin pasukan Tanah Perdikan itu merasa diserahi satu tanggung jawab yang besar. Namun didalam pasukannya terdapat AgungSedayudan Glagah Putih yang telah ditunjuknya menjadi pengapitnya, sementara pasukan Tanah Perdikan telah diserahkan pemimpinnya kepada Prastawa.
Demikianlah, maka pasukan itu telah mengambil jalan sendiri dengan beberapa petunjuk langsung dari Pangeran Mangkubumi. Mereka telah mengambil jalan yang lebih kecil, bahkan memasuki lingkungan yang berpenduduk padat.
Ki Gede memberi isyarat untuk berhati-hati. Sementara penunjuk jalan itu telah memberikan perlindungan pula, bahwa mereka akan sampai kesebuah lingkungan yang tentu akan dipertahankan oleh pasukan Madiun.
"Kita memasuki daerah yang berada dibawah pengaruh Ki Gede Kebo Lungit." berkata penunjuk jalan itu, "meskipun tidak merupakan satu padepokan, tetapi rumah Ki Gede yang besar itu memang dihuni oleh beberapa orang murid yang terpercaya. Adalah mungkin sekali bahwa sepasukan prajurit Madiun ikut berjaga-jaga di rumah Ki Gede, yang dalam keadaan kalut ini siap untuk menyergap pasukan Mataram yang lewat. Karena jalan ini memang jalan yang menuju ke alun-alun dari arah Barat."
Ki Gede mengangguk-angguk. Peringatan itu telah diteruskannya kepada Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa. Bersambung Prastawa telah memberitahukan pula kepada semua pemimpin kelompok yang ada di dalam pasukannya itu.
Ketika mereka mendekati tempat yang ditunjuk, maka penunjuk jalan itu telah menganjurkan untuk tidak berjalan dilorong yang sempit berurutan dalam barisan yang panjang. Tetapi sebagian akan melalui halaman-halaman rumah meskipun harus meloncati dinding-dinding halaman.
Ki Gede segera mengerti. Jika mereka berada di lorong memanjang ke belakang, maka mereka akan dapat disergap dari sebelah-menyebelah dengan kesempatan yang sangat kecil untuk mengadakan perlawanan.
Karena itu, maka Ki Gedepun telah memberikan isyarat dengan mengangkat, kemudian mengembangkan tangannya. Isyarat yang sudah dikenal baik oleh Prastawa yang meneruskan isyarat itu kepada para pemimpin kelompok dengan isyarat pula.
Para pemimpin kelompok sudah tahu siapa diantara mereka yang harus bergeser kesebelah kiri dan siapa yang kesebelah kanan. Mereka telah terbiasa memasang gelar bagi pasukan kecil itu, sehingga para pemimpin kelompok telah mampu menyesuaikan dirinya.
Karena itu, sejenak kemudian maka beberapa kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah meloncat dinding dan memasuki halaman disebelah kiri sedangkan yang lain memasuki halaman sebelah kanan.
Dengan berkiblat pada induk pasukan yang ditandai dengan tunggul tanda kebesaran Tanah Perdikan, maka pasukan itu berjalan maju mendekati daerah pengaruh Ki Gede Kebo Lungit.
Penunjuk jalan yang berada didepan Ki Gede itu telah memberikan pertanda agar pasukan berhenti. Agak menjorok dihadapan mereka terdapat sebuah regol.
"Yang kita lihat itu adalah simpang tiga," berkata penunjuk jalan itu, "satu kekiri dan satu kekanan. Yang tampak itu adalah regol halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit yang besar."
Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun telah memberikan perintah agar pasukan itu menjadi semakin berhati-hati. Dengan jelas Ki Gedepun kemudian memberikan perintah kepada Prastawa, agar pasukan mereka maju dengan sangat berhati-hati. Disetiap rumah didepan rumah besar Ki Gede Kebo Lungit itu, mungkin menjadi persembunyian murid-muridnya atau justru prajurit Madiun.
Prastawapun telah memberikan perintah kepada tiga orang pemimpin kelompok yang bertugas untuk menyebarkan perintah itu beranting di induk pasukan, di sayap kiri dan disayap kanan.
Baru kemudian, ketika Prastawa menganggap bahwa perintah itu telah sampai keujung, pasukan itu meneruskan perjalanannya menuju ke regol yang diketahui adalah rumah Ki Gede Kebo Lungit yang berhalaman luas.
Tetapi ternyata bahwa peringatan penunjuk jalan itu yang kemudian telah ditegaskan oleh Ki Gede agar pasukannya berhati-hati, telah terbukti. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian maju perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati itu, ternyata telah melihat sesuatu yang kurang wajar. Pasukan pada sayap kiri telah melihat, bayangan seseorang yang hilang disudut rumah. Dengan cepat, pengawal itu telah melaporkan kepada pemimpin kelompoknya, sehingga pemimpin kelompok itu telah memberikan isyarat, agar kelompok itu menjadi lebih berhati-hati jika mereka melalui sudut rumah di depan mereka.
Sebenarnyalah, kelompok itu tidak langsung melaju disudut rumah itu. Tetapi beberapa orang diantaranya telah mengambil jarak dan berjalan dengan hati-hati sambil mempersiapkan senjata mereka.
Demikian orang pertama muncul, maka tiba-tiba memang telah meloncat seseorang untuk menikamnya. Namun jarak yang diambil oleh pengawal Tanah Perdikan itu cukup jauh, sehingga serangan itu sempat dilihatnya. Dengan demikian maka pengawal itu sempat menangkisnya dan justru membalas menyerang.
Namun beberapa orang telah berlari-larian pula menyerang parapengawal. Tetapi pengawal itupun tidak sendiri. Sehingga sejenak kemudian, seluruh kelompok telah terlibat dalam pertempuran.
Ternyata dibeberapa rumah, sebelum mereka sampai keha-laman rumah Ki Gede Kebo Lungit memang telah terisi oleh beberapa orang prajurit. Sepasukan prajurit Madiun memang sudah memperhitungkan, bahwa tentu akan ada pasukan Mataram yang melintasi jalan itu. Demikian mereka sampai ke simpang tiga, maka mereka tinggal berbelok ke timur untuk mencapai alun-alun istana Madiun. Karena itu, sebelum mereka mencapai batas alun-alun, maka mereka akan disergap disimpang tiga, didepan rumah Ki Gede Kebo Lungit. Sementara itu, para murid Ki Gede Kebo Lungitputi telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantu para prajurit Madiun jika Mataram benar-benar memasuki kota Madiun.
Pertempuran segera menjalar dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Bukan saja di sayap kiri, tetapi pertempuranpun telah terjadi pula di sayap kanan. Dari beberapa rumah yang tersebar telah berloncatan para prajurit Madiun yang bersembunyi dan siap menyergap pasukan Mataram yang lewat.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Sementara itu, Ki Gede yang memperhitungkan bahwa induk pasukan Madiun tentu berada di rumah Ki Gede Kebo Lungit telah dengan cepat maju bersama induk pasukannya. Demikian mereka turun disimpang tiga, maka Ki Gede telah memberikan perintah pula bagi pasukan induk itu untuk menebar.
Sementara itu penunjuk jalan itupun telah memberikan peringatan. "Hati-hati Ki Gede. Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ia memang tidak ikut bergerak keluar Madiun. Tetapi ia berjanji, jika Mataram memasuki kota Madiun, maka ia akan ikut menyapu bersih pasukan Mataram."
"Kita akan memasuki regol halaman rumahnya." berkata Ki Gede Menoreh.
Tetapi sebelum Ki Gede melakukannya, tiba-tiba terdengar sorak yang bagaikan meruntuhkan langit. Dari balik dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit, telah berloncatan para prajurit Madiun dan para murid Ki Gede Kebo Lungit.
Namun Ki Gede Menoreh tidak segera menjadi bingung, karena sebagian dari merekapun memang sudah terlihat dalam pertempuran.
Bahkan Ki Gede telah mengambil keputusan yang sangat menarik dan tidak diduga-duga oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mendampinginya. Juga Prastawa semula terkejut. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan kekuatan beberapa orang prajurit, Ki Gede telah memerintahkan untuk memecahkan regol yang tidak dibuat terlalu kuat, karena regol itu bukan regol untuk menahan arus perang sebagaimana yang ternyata terjadi. Ki Gede Kebo Lungit tidak memperhitungkan sama sekali ketika ia membuat regol rumahnya, bahwa pada suatu ketika perang akan terjadi di halaman rumahnya.
Karena itu, dengan beberapa orang, Ki Gede Menoreh telah dengan kekerasan memecahkan pintu regol itu, sehingga terbuka. Dengan kekuatan dorongan para prajurit dari luar, maka selarak pintu yang memang tidak bepitu besar itu telah patah.
Pada saat para prajurit Madiun berloncatan memasuki jalan didepan rumah Ki Gede Kebo Lungit, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagian telah memasuki halaman.
Mereka telah menyerang prajurit Madiun yang tersisa, yang masih belum sempat meloncat dinding.
Justru prajurit Madiun itulah yang menjadi agak kebingungan. Namun beberapa orang pemimpin kelompok mereka telah dengan cepat menanggapi keadaan. Mereka yang masih tinggal di dalam halaman telah mengurungkan niatnya untuk meloncat keluar. Tetapi mereka telah menghadapi para pengawal Tanah Perdikan yang justru telah mengalir memasuki halaman.
Ketika pertempuran itu semakin garang, maka sekelompok orang masih berada di pendapa rumah Ki Gede Kebo Lungit yang besar.
Seorang diantara mereka adalah Ki Gede Kebo Lungit sendiri. Seorang Senapati dari Madiun. Seorang Putut terpercaya diantara murid-murid Ki Gede Kebo Lungit dan beberapa muridnya yang lain.
Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi menilik sikap dan sorot matanya. Karena itu, maka iapun telah berdesis kepada KiGede Menoreh. "Maaf Ki Gede. Ijinkanlah aku menghadapi orang yang barangkah disebut Ki Gede Kebo Lungit itu."
"Itu adalah kuwajibanku." jawab Ki Gede.
"Bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi biarlah aku saja yang menghadapinya." jawab Agung Sedayu.
Ki Gede termangu-mangu. Meskipun ia menyadari, bahwa Agung Sedayu yang jauh lebih muda dari dirinya itu memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi daripadanya. Namun ia adalah orang yang bertanggung jawab atas keseluruhan Pasukan Tanah Perdikan itu.
Namun selagi Ki Gede temangu-mangu, maka Agung Sedayu berkata, "Seorang diantara mereka tentu Senapati dari Madiun."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Katanya, "Baiklah. Aku akan menghadapi Senapati itu."
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berdiri di pendapa itu melangkah menepi dan bahkan kemudianberdiri di tangga. Dengan suara lantang Senapati prajurit Madiun itu bertanya, "Siapakah kalian yang telah berani memasuki kota Madiun" Kalian tentu termasuk kesatuan dari Mataram. Tetapi kalian agaknya bukan prajurit Mataram menilik pakaian kalian."
Ki Gedelah yang melangkah maju mendekati orang-orang yang berdiri di tangga pendapa itu, sementara pertempuran telah menebar didalam dan diluar halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit.
"Siapa kau?" bertanya Senapati itu.
"Kami memang bukan prajurit Mataram. Tetapi kami adalah bagian dari keluarga besar Mataram." Jawab Ki Gede Menoreh.
"Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh." jawab Ki Gede.
"Dimanakah letak Menoreh?" bertanya Senapati itu.
"Diseberang kali Praga, disebelah Barat Mataram." jawab Ki Gede Menoreh.
"Dan kau korbankan nyawamu untuk Panembahan Senapati yang sombong itu?" bertanya Senapati itu pula.
"Kenapa aku harus mengorbankan nyawaku. Aku akan memasuki istana Madiun dalam keadaan hidup dan kembali lagi ke Tanah Perdikan Menoreh membawa kemenangan bagi Mataram." jawab Ki Gede.
"Mataram akan kami hancurkan. Meskipun Mataram telah berbuat licik, tetapi Mataram tidak akan dapat menguasai keadaan." berkata senapati itu.
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Bukankah kau seorang Senapati prajurit Madiun?"
"Ya" jawab Senapati itu, "aku mendapat tugas menghancurkan pasukan Mataram yang tentu akan melalui jalan ini menuju ke alun-alun. Jika aku tidak berhasil, maka pasukan yang ada disekitar alun-alun itulah yang akan menyempurnakan kehancuran kalian."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Siapakah yang ada disebelahmu dan yang lain?"
"Ini adalah Ki Gede Kebo Lungit. Kalian akan menyesal bahwa kalian telah memasuki halaman rumahnya tanpa ijinnya. Yang disisinya lagi itu adalah muridnya yang terpercaya Putut Jalak Werit. Putut yang telah memihki segala ilmu gurunya. Nah, yang lain adalah murid-muridnya pula. Sekarang, jangan menyesal bahwa tidak ada jalan keluar dari halaman rumah ini."
Ki Gede belum sempat menjawab, ketika orang-orang itu kemudian meloncat turun ke halaman.
Ki Gede menarik inafas dalam-dalam. Namun ia sempat memperhatikan pertempuran di halaman. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak banyak mengalami kesulitan meskipun masih belum dapat dipastikan bahwa mereka akan dapat menguasai keadaan. Tetapi Ki Gede masih belum mendapat laporan apa yang terjadi diluar dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit. Ki Gedepun belum tahu keadaan medan dalam keseluruhan. Namun ia menjunjung perintah untuk menuju ke alun-alun lewat jalan yang dilaluinya itu.
"Nah." berkata Senapati itu, "bersiaplah untuk mati."
Ki Gede Menoreh telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan Bahkan seandainya ia harus menghadapi Ki Gede Kebo Lungit.
Namun Agung Sedayu dengan cepat telah mengurai cambuknya dan berkata, "Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat aku benar-benar dapat bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit."
"Siapa kau?" bertanya Ki Gede Kebo Lungit.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia harus berusaha memancingnya. Menurut perhitungan Agung Sedayu, Ki Gede Menoreh akan sulit menghadapi seorang lawan pada tataran ilmu tertinggi. Apalagi cacat kakinya yang setiap kali mengganggunya. Jika Ki Gede Menoreh itu bertempur dengan mengerahkan tenaganya, maka kakinya akan segera kambuh lagi.
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengurai cambuknya dan memutarnya perlahan-lahan, "Aku adalah murid Orang Bercambuk."
Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu menggeleng sambil berkata, "Aku tidak mengenal Orang Bercambuk itu."
"Mungkin. Tetapi jika sekali tubuhmu tersentuh ujung cambuk ini, maka kau akan segera teringat, orang yang pernah kau kenal sebelumnya." berkata Agung Sedayu.
"Anak iblis." geram Ki Gede Kebo Lungit, "kau anak ingusan menganggap dirimu pantas untuk menghadapi aku" Biarlah Pututku menyelesaikanmu."
Tetapi Glagah Putih cepat melangkah maju, "Aku sudah terlalu sering berburu burung jalak. Sekali ini aku akan mendapatkan jalak terbesar yang pernah aku lihat. Putut Jalak Werit."
"Iblis kau." Geram Putut Jalak Werit. Ternyata ia bukan orang yang mampu menahan diri. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang Glagah Putih sambil berteriak lebih keras. "Dalam sekejap kau akan mati."
Glagah Putih memang terkejut, ia tidak mengira bahwa serangan itu datang demikian cepatnya. Bahkan sebelum orang lain melakukannya.
Namun Glagah Putih cepat tanggap karena itu, demikian serangan itu datang, maka Glagah Putihpun telah bergeser dari tempatnya. Bahkan kemudian Glagah Putih telah berloncatan mengambil jarak. Karena halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit itu cukup luas, maka Glagah Putih sengaja menjauhi orang-orang lain.
Ki Gede Kebo Lungit termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Senapati dari Madiun itupun berkata, "Siapakah pemimpin dari sekelompok pasukan yang lewat jalan ini?"
"Aku Ki Sanak." jawab Ki Gede, "aku bertanggung jawab atas seluruh pasukan ini. Karena itu, kita sama-sama mempunyai tanggung jawab atas tugas kita masing-masing."
Senapati itu melangkah mendekat. Katanya, "Aku tidak perlu lagi mengatur prajurit-prajuritku. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka tugasku terutama adalah menangkapmu."
Ki Gede Menoreh menyadari, bahwa iapun akan segera terlibat dalam pertempuran, sementara Ki Gede Kebo Lungit berkata, "Baiklah. Aku akan menyelesaikan anak ingusan ini lebih dahulu. Baru kemudian aku akan menghancurkan bukan saja satu dua orang pengawal, termasuk para pemimpinnya, tetapi aku akan dapat menyapu seluruh pasukan."
Agung Sedayulah yang menyahut, "Bagus Ki GedeKebo Lungit. Kita akan melihat, apakah ilmu Orang Bercambuk tidak akan mampu mengendalikan pertempuran ini."
Ki Gede Lungitpun tidak menunggu lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Agung Sedayu yang telah bergeser surut mengambil jarak.
Sementara itu pertempuran dihalaman itupun menjadi semakin sengit. Dimana-mana para prajurit Madiun, para murid Ki Gede KeboLungit dan para pengawal Tanah PerdikaniMeno-rehtelahbertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka, karena mereka masih mengemban tugas tugas selanjutnya.
Sementara itu, Ki Gedepun telah mempersiapkan senjata andalannya. Tombak pendeknya yang menemaninya hampir disetiap medan pertempuran sejak masa mudanya.
Ketika kedua orang Senapati itu muilai menggerakkan senjata mereka, maka Prastawapun telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menjaga agar para murid Ki Gede Kebo Lungit tidak mengganggu pertempuran antara Ki Gede melawan senapati Madiun itu serta Agung Sedayu melawan Ki Gede Kebo Lungit.
Prastawa sendiri kemudian telah terlibat pula dalam pertempuran melawan seorang diantara para murid Ki Gede Kebo Lungit yang tiba-tiba saja menyerang, sementara beberapa orang yang lain, harus bertempur melawan para pengawal Tanah Perdikan menoreh yang semakin lama semakin banyak memasuki halaman itu.
Ki Gede Menoreh masih sempat memperhatikan hal itu. Dengan demikian ia berharap bahwa pertempuran yang terjadi di luar dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit itupun akan menguntungkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun Ki Gede tidak sempat untuk memperhatikan mereka lebih lama, karena Senapati prajurit Madiun itu telah mulai menyerangnya sambil berkata, "Menyerahlah. Kau tidak akan mempunyai banyak kesempatan."
Tetapi Ki Gede bergeser menjauhi pendapa sambil menjawab. "Kami datang dari jauh untuk menyelesaikan tugas kami." berkata Ki Gede Menoreh.
Dengan demikian maka Senapati itupun telah mulai menggerakkan senjatanya, sebuah pedang yang panjang. Namun tombak pendek Ki Gede Menorehpun telah menunduk pula. Bahkan sejenak kemudian tombak itu mulai bergerak-gerak.
Ketika Senapati itu mulai meloncat menyerang, maka tombak Ki Gedepun mulai berputar. Sambil bergeser selangkah, maka ujung tombaknya telah mematuk kearah tubuh lawannya. Namun lawannyapun dengan tangkasnya telah meloncat kesamping.
Sementara itu, masih terdengar Prastawa yang telah bertempur itu meneriakkan aba-aba, yang disambut oleh beberapa orang pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Pasukanmu cukup baik Ki Sanak." berkata Senapati itu, "bagi satu kelompok yang bukan prajurit, maka pasukanmu memiliki bekal yang tinggi."
"Pasukan inilah yang akan memecahkan pertahananmu." berkata Ki Gede Menoreh sambil bergeser karena ayunan pedang lawannya.
Senapati itu tidak menjawab. Namun serangannya semakin lama menjadi semakin cepat, Sementara Ki Gede Menoreh yang menyadari keadaan kakinya, telah bertempur dengan penuh perhitungan. Namun Ki Gede itupun telah berhasil mengembangkan ilmunya disesuaikan dengan kemampuan kakinya yang terbatas.
Sefnentara itu Agung Sedayu yang berhadapan dengan Ki Gede Kebo Lungitpun telah mulai bertempur. Meskipun demikian, Ki Gede Kebo Lungit itupun masih juga bertanya, "Kenapa kau bersedia membantu Senapati yang dengan licik telah menyerang Madiun?"
"Pertanyaan yang sama dapat aku berikan kepadamu, kenapa kau telah membantu Panembahan Mas di Madiun?" justru Agung Sedayu berganti bertanya.
"Kau kira aku tunduk kepada perintah Panembahan Madiun" Aku tidak pernah mengirimkan orang-orangku bergabung dengan Panembahan. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat membiarkan orang lain mengganggu perguruanku. Bukan akulah yang diperalat oleh Panembahan Madiun. Tetapi sekarang sebaliknyalah yang terjadi."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia telah menghindarkan serangan Ki Gede Kebo Lungit yang datang dengan cepatnya. Namun Agung Sedayupun telah bergerak dengan cepat pula sehingga serangan itu tidak mengenainya.
Namun Ki Gede tertawa sambil berkata, "Kau kira aku tidak mampu mengenaimu" Aku memang masih belum bersungguh-sungguh. Aku masih ingin berbicara sedikit. He, kau lihat bahwa prajurit Madiun sekarang ikut mempertahankan perguruanku dari serangan orang-orang Mataram Betapa besar martabatku sebagai seorang guru dan betapa luasnya pengaruhku sehingga prajurit Madiun harus ikut mempertahankan perguruanku."
"Kau terlalu sombong Ki Gede." sahut Agung Sedayu, "mereka berada ditempatmu untuk menolong gerak pasukan Mataram."
Ki Gede Kebo Lungit tertawa. Katanya, "Apapun tujuan mereka, namun sekarang mereka harus mempertahankan perguruanku. Aku tidak peduli perang antara Madiun dan Mataram."
"Kau telah berkhianat kepada pemimpin pemerintahanmu." berkata Agung Sedayu.
Tetapi Ki Gede Kebo Lungit tertawa semakin keras. Katanya, "Madiun memang akan hancur. Tetapi Mataramapun akan hancur disini. Perguruanku akan bangkit dan berdiri diatas reruntuhan itu."
Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia mencari kesempatan untuk berkata, "Jadi itukah hasil akhir yang kau inginkan?"
Ki Gede Kebo Lungit juga tidak tergesa-gesa memburunya. Katanya, "Ya. Tetapi rahasia ini akan terkubur bersama mayatmu. Sebentar lagi kau akan mati meskipun kau mengaku murid Orang Bercambuk. Adalah kebetulan bahwa aku belum mengenal orang yang disebut Orang Bercambuk itu."
Balas " On 7 Agustus 2009 at 09:28 Mahesa Said:
Tamat Demikian orang itu berhenti berbicara, maka AgungSedayu telah menghentakkan cambuknya. Suaranya bagaikan membelah langit, sehingga bukan saja orang yang bertempur di halaman itu yang terkejut mendengarnya, tetapi orang-orang yang berada di luar halaman itupun terkejut pula mendengarnya.
Tetapi Ki Gede Kebo Lungit mengerutkan keningnya sambil berdesis, "Suaranya memang memekakkan telinga. Tetapi aku tidak tahu, dimana letak kekuatan ilmumu. Apakah kau kira dengan mengejutkan lawan, kau dapat menemukan kesempatan untuk memenangkan satu pertempuran" Kami bukan sejenis lembu penarik pedati. Atau kau ingin menghinaku karena aku bernama Kebo Lungit, sehingga kau mempergunakan senjata cambuk?"
"Ini memang senjataku. Sudah aku katakan, aku adalah murid Orang Bercambuk." jawab Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun mengetahui bahwa Ki Gede Kebo Lungit merasakan bahwa ledakan cambuknya yang keras itu justru tidak berisi kekuatan yang memadai untuk melawannya.
"Baiklah." berkata Ki Gede Kebo Lungit kemudian, "aku memang memberikan sedikit waktuku untukmu. Jika pimpinan pasukan ini berhasil membunuh Senapati Madiun itu, maka ia akan menjadi korbanku berikutnya. Setelah itu, maka semuanya yang ada di halaman rumahku ini aku sapu bersih. Bukan saja orang-orang Mataram, tetapi juga orang-orang Madiun. Selanjutnya, besok aku akan membersihkan seluruh Madiun. Benturan kekuatan antara Madiun dan Mataran tentu akan menimbulkan luka yang parah dikedua belah pihak. Menurut perhitunganku, perang antara keduanya tentu merupakan peranghabis-habisan yang akan berlangsung sampai orang terakhir."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Ular berkepala dua pada suatu saat akan saling menggigit. Kau akan mati karena tingkah lakumu sendiri Ki Gede, betapapun tinggi ilmu yang kau miliki."
Ki Gede itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah menggerakkan senjatanya lagi. Sebuah tongkat baja putih. Mirip senjata Sekar Mirah yang diterimanya dari Ki Sumekar. Namun tongkat itu tidak berkepala tengkorak. Tetapi pada pangkal tongkat itu terdapat kepala kerbau yang bertanduk panjang yang nampaknya benar-benar terbuat dari emas. Bukan hanya sekedar berwarna kuning.
"Ingat anak muda." berkata Ki Gede Kebo Lungit, "jangan menyesali nasibmu yang buruk. Jika tanduk kecil di tongkatnya ini melukaimu, maka kau akan mati. Demikian pula ujung tongkatku ini."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja pada ujung tongkat itu telah mencuat sebilah pisau kecil berujung runcing.
Ketika Ki Gede itu bergerak mendekatinya, maka Agung Sedayupun telah bergeser surut sambil memutar cambuknya. Sekali lagi cambuk itu meledak. Namun Ki Gede Kebo Lungit hanya tertawa saja sambil berkata, "Sepantasnya senjatamu itu dipergunakan saja untuk menggembala itik."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, sekejap kemudian, Ki Gede Kebo Lungit telah memutar tongkatnya. Dengan garangnya, tubuhnya bagaikan melayang menyergap Agung Sedayu. Demikian cepat, sehingga Agung Sedayu tidak sempat menyongsongnya dengan cambuknya. Namun Agung Sedayu sempat meloncat menghindarinya.
"Bagus orang muda." desis Ki Gede Kebo Lungit, "ternyata kau memang memiliki sedikit bekal untuk melawanku. Barangkali kau akan mempunyai waktu sepenginang."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia merasa bahwa ia harus benar-benar bersiap dengan semua ilmu yang dimilikinya.
Yang mula-mula ditrapkan oleh Agung Sedayu adalah ilmu kebalnya. Ia tahu bahwa kemampuan dan ilmu orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi bagaimanapun juga ilmu kebalnya itu akan menahan kekuatan ilmu lawannya, setidak-tidaknya sebagian, sehingga dengan demikian maka ilmu itu tidak sepenuhnya mencengkamnya.
Namun ketika kemudian tongkat baja lawannya yang berujung runcing itu hampir saja menyambarnya, maka Agung Sedayu yang masih belum bertumpu pada ilmu kebalnya itu telah mengetrapkan pula ilmunya memperingan tubuhnya, sehingga Agung Sedayu itu mampu bergerak semakin cepat.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Gede Kebo Lungitpun telah menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat. Serangan-serangan Kebo Lungit bagaikan hempasan angin prahara yang semakin dahsyat.
Tetapi Ki Gede Kebo Lungitpun masih juga berkata, "Gila kau orang muda. Kenapa kau belum mati setelah lewat sepenginang?"
"Siapa yang ingin mati?" sahut Agung Sedayu sambil menyerang dengan ujung cambuknya. Namun cambuk itu tidak mengenai sasarannya. Sementara ledakannya masih saja memekakkan telinga.
Ternyata Agung Sedayu tidak dengan serta merta sampai ke puncak kemampuannya. Meskipun ia yakin bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi, tetapi ia masih juga ingin menjajagi tataran kemampuannya.
Namun Agung Sedayu kemudian terpaksa berloncatan surut. Serangan Ki Gede Kebo Lungit tidak diduga-duganya melihatnya dengan sangat dahsyatnya. Tongkatnya tiba-tiba seakan-akan telah berubah menjadi lima buah tongkat yang menyerangnya dan ilmu arah.
"Kau mulai menjadi bingung." berkata Ki Gede Kebo Lungit. Lalu katanya pula, "Tetapi bahwa kau telah melampaui waktu sepenginang adalah pertanda bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi kesempatan untuk keluar dari halaman ini sama sekali tidak ada bagimu orang muda. Waktumu tinggal sedikit."
Tiba-tiba saja Ki Gede Kebo Lungit itu berloncatan bagaikan terbang mengitari Agung Sedayu. Tongkatnya yang seolah-olah telah menjadi lima buah itu menyerangnya semakin cepat dari segala arah.
Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu untuk mempertajam penglihatan wadagnya, sekaligus ilmu Sapta Panggraita untuk mempertajam penglihatan batinnya. Dengan demikian maka Agung Sedayupun akhirnya dapat memecahkan kebingungannya atas serangan lawannya itu. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dengan mempergunakan ilmunya meringankan tubuhnya, sempat keluar dari putaran serangan lawannya.
Ki Gede Kebo Lungit menggeram sambil berteriak, "Gila. Kau mencoba melepaskan diri lagi" Tidak ada waktu lagi yang dapat aku lakukan bagimu."
Ki Gede Kebo Lungit itupun segera meloncat dengan tangan kiri mengembang, sementara tangan kanannya terjulur lurus kedepan. Tiba-tiba saja tongkatnya itu bagaikan terjulur memanjang menggapai tubuh Agung Sedayu.
Tetapi dengan ilmu Sapta Panggraita Agung Sedayu kemudian melihat, bahwa penglihatan wadagnya itu ternyata telah mengelabuinya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun sempat menggerakkan cambuknya. dengan hentakan sendai pancing. Tidak sekedar untuk melontarkan ledakan yang bagaikan membelah langit. Tetapi hentakan juntai cambuk Agung Sedayu telah menimbulkan getar yang mengguncang isi dada.
Ki Gede Kebo Lungit terkejut. Namun ia benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Dalam keadaan yang sulit itu, ia sempat menggeliat, sehingga seakan-akan ia mampu berhenti di udara. Sehingga dengan demikian, maka ayunan cambuk Agung Sedayu yang dilandasi dengan kekuatan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi itu tidak mengenainya.
Meskipun demikian Ki Gede Kebo Lungit itu merasa bahwa dadanya telah diguncang oleh getaran ujung cambuk Agung Sedayu dalam hentakan sendai panciing itu.
Agung Sedayu memang tidak mengira bahwa Ki Gede itu mampu berhenti di udara di saat ia meluncur menyerangnya dengan tongkat bajanya yang bagaikan menjulur memanjang. Namun Agung Sedayu yang berhati-hati itu tidak memburunya. Ia masih belum mengerti sepenuhnya apa yang dapat dilakukan oleh lawannya.
Tetapi sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit itupun berkata, "Bukan main. Jadi itulah kenyataan dari seorang yang mengaku murid Orang Bercambuk" Aku kira cambukmu tidak lebih dari cambuk seorang penggembala itik. Ternyata dalam keadaan yang gawat, kau harus menghentakkannya tidak untuk sekedar menakut-nakuti di semak-semak dan hutan perdu. Kau telah menyakiti isi dadaku dengan getaran ilmu cambukmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya. "Karena itulah, maka kau mampu bertahan lewat sepenginang. Bahkan agaknya juga kau akan bertempur lebih lama lagi karena dengan keyakinanmu atas dirimu sendiri, kau akan mampu mengerahkan lebih besar kemampuan yang sebenarnya kau miliki."
"Bagaimanapun penilaianmu, Ki Gede." berkataAgung Sedayu, "aku sudah mendapat kepercayaan dari guruku untuk bertemu denganmu."
"Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak mengenal gurumu dan perguruanmu." geram Ki Gede Kebo Lungit.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah iapun sama sekali tidak mengenal Ki Gede Kebo Lungit. Gurunya agaknya juga belum mengenalnya. Tetapi ia berhasil memancing Ki Gede untuk menghadapinya, sehingga Ki Gede Menoreh dapat mengambil lawan yang lain.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh telah bertempur melawan Senapati dari Madiun yang bertugas untuk menahan arus pasukan Mataram yang datang dari Barat. Agaknya Senapati itupun cukup garang sehingga Ki Gede harus mengerahkan kemampuannya untuk mempertahankan diri. Namun perkembangan ilmu Ki Gede yang memang sudah disesuaikan dengan kemungkinan yang dapat terjadi pada kakinya, sangat menolongnya. Ki Gede Menoreh telah memusatkan kemampuannya pada kecepatan gerak tangannya, sehingga dengan tombak pendeknya, Ki Gede selalu dapat menyapu serangan-serangan yang datang dari lawannya. Bahkan sekali-sekali Ki Gede telah melompat pula menyerang dengan ujung tombaknya yang terjulur mematuk tubuh lawan.
Ternyata kedua orang itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi, sehingga setelah bertempur beberapa lama, sama sekali belum nampak kelebihan yang satu dari yang lain. Di bagian halaman lain dari halaman yang luas itu, Prastawa bersama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tengah bertempur dengan sengitnya pula. Kedua belah pihak saling menyerang dan bertahan. Ternyata bahwa didalam pertempuran yang sebenarnya, para pengawal Tanah Perdikan mampu menempatkan diri sejajar dengan para prajurit. Sebagaimana saat Tanah Perdikan mendapat serangan, maka para pengawal telah menunjukkan ketrampilan mereka menggerakkan senjata.
Selebihnya para pengawal Tanah Perdikan sama sekali tidak gugup menghadapi pertempuran yang semakin dahsyat. Mereka telah cukup berpengalaman, sehingga tidak seorangpun diantara mereka yang kehilangan akal.
Para prajurit Madiun memang menjadi heran, bahwa para pengawal itu ternyata mampu mengimbangi kemampuan mereka.
Ditempat lain yang agak terpisah, Glagah Putih bertempur dengan sengitnya melawan Putut Jalak Werit. Putut itu seperti gurunya, mengira akan dapat menyelesaikan anak muda itu dalam waktu yang singkat.
Tetapi sebagaimana juga gurunya, ternyata Putut Jalak Werit harus menghadapi kenyataan bahwa adalah anak muda. yang berilmu tinggi.
Putut Jalak Werit yang bersenjata tongkat baja namun tidak memakai kepala kerbau bertanduk panjang berwarna kuning, telah melibat Glagah Putih dengan serangan-serangannya yang keras.
Ujung tongkat baja itupun sama berbahayanya dengan tongkat baja Ki Gede Kebo Lungit, karena dari ujung tongkat itu dapat seakan akan sebuah pisau yang sangat tajam.
Tetapi Glagah Putih memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi. Dengan demikian, Glagah Putih tidak segera menjadi bingung menghadapi ilmu lawannya yang bersenjata tongkat baja yang berujung runcing itu.
Demikianlah keduanya telah berloncatan saling menyerang. Namun dalam benturan, ternyata Glagah Putih segera menunjukkan kelebihannya. Dorongan kekuatan yang diberikan oleh Raden Rangga dan gurunya, benar-benar mampu meningkatkan alas kemampuannya, sehingga ketika senjata kedua orang itu saling berbenturan dengan kekuatan penuh, Putut Jalak Werit benar-benar telah terkejut.
"Anak ini mempunyai kekuatan yang sangat besar." berkata Putut Jalak Werit didalam hatinya. Sementara itu, Jalak Werit pun masih belum memiliki kemampuan ilmu yang berkembang sebagaimana gurunya. Meskipun ilmu Putut Jalak Werit sudah meliputi semua ajaran gurunya, namun masih terbatas pada tataran kemampuan dasar ilmu itu sendiri sehingga masih harus dikembangkan.
Dengan demikian, maka Putut Jalak Werit yang menganggap bahwa lawannya yang masih muda itu akan segera dapat dikalahkan, ternyata sudah salah hitung.
Dengan tenaga yang sangat besar, maka Glagah Putih telah memutar pedangnya. Kemudian menyerang dalam ayunan yang deras mendatar. Ketika ujung pedangnya tidak menyentuh lawannya, maka iapun telah meloncat dengan pedang terjulur, sehingga ujung pedangnya itu seakan-akan menembus putaran tongkat baja lawannya mengarah ke dada.
Tetapi tidak mudah bagi Glagah Putih untuk menjangkau kulit lawannya. Karena itu, maka Glagah Putih harus bertempur dengan keras menghadapi lawannya yang semakin lama menjadi semakin kasar.
Sekali-sekali senjata keduanya telah beradu, sehingga bunga apipun telah berloncatan diudara, menghambur berguguran. Sementara itu suaranya yang berdentang telah menggetarkan jantung mereka yang sedang bertempur dengan garang dan keras itu.
Kemampuan Glagah Putih yang tidak terduga oleh Putut Jalak Werit, ternyata telah membuatnya gelisah. Seranganserangannya sama sekali tidak mampu mengenai lawannya, bahkan menggores pakaiannyapun tidak.
Namun Putut Jalak Werit belum benar-benar sampai ke ujung tertinggi ilmunya. Itulah sebabnya, maka ia masih saja merasa akan dapat menyelesaikan lawannya itu.
Tetapi Putut Jalak Werit mulai gelisah ketika untuk beberapa saat kemudian, ia masih belum mampu menguasai anak muda itu. Setiap kali ia meningkatkan ilmunya, rasa-rasanya anak muda itupun telah melakukan hal yang sama.
Dengan demikian, maka Putut itu mulai memperhatikan kemampuan lawannya dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ketika ia mencoba menyerang dengan satu hentakan yang cepat, ternyata bahwa anak muda itu sama sekali tidak menjadi bingung dan kehilangan pengamatan diri. Serangan tongkat Putut Jalak Werit itu justru tidak menyentuh sasaran.
Kegagalan itu telah membuat Putut Jalak Werit menilai kembali kemampuan lawannya. Ia mulai percaya bahwa lawannya yang muda itu memiliki ilmu yang tinggi pula.
Karena itui, maka Putut itupun telah semakin meningkatkan ilmunya. Tongkatnya berputar semakin cepat, sehingga serangan-serangannyapun menjadi semakin deras mengarah ke tubuh Glagah Putih, seakan-akan dari segala arah.
Tetapi Glagah Putihpun kemudian telah mengimbanginya. Ia bukan saja meningkatkan kecepatannya bergerak oleh dorongan tenaga cadangan didalam dirinya, tetapi ia juga telah meningkatkan kekuatannya.
Karena itulah, maka Glagah Putih tidak saja berusaha menghindari serangan-serangan yang datang membadai, tetapi sekali-sekali juga membentur serangan itu dengan kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan lawannya.
Putut Jalak Werit semakin lama menjadi semakin gelisah. Ia benar-benar telah bertemu dengan kekuatan yang tidak diduganya. Anak yang masih sangat muda menurut penglihatannya itu ternyata telah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Memiliki ketrampilan yang mengagumkan serta kecepatan gerak yang kadang-kadang sempat membingungkan.
Apalagi ketika Putut Jalak Werit itu sempat mengamati sekilas pertempuran antara gurunya dan orang yang bersenjata cambuk itu. Putut itupun menjadi semakin gelisah. Ternyata gurunya sudah melampaui beberapa batasan waktu yang sering diberikan kepada lawan-lawannya. Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu masih belum dapat menguasai lawannya yang terhitung masih muda.
"Siapakah sebenarnya mereka?" pertanyaan itu telah timbul dihati Jalak Werit.
Sementara itu, Glagah Putihlah yang kemudian tidak lagi terlalu mengekang diri. Ia sadar, bahwa tugasnya masih menunggu, karena pasukan Tanah Perdikan itu harus dengan segera memasuki alun-alun dari arah Barat.
Ketika Glagah Putih kemudian semakin mempercepat serangan-serangannya, maka justru Putut itulah yang bukan saja harus bekerja keras, tetapi iapun menjadi semakin marah. Benturan-benturan senjata mereka menunjukkan bahwa kekuatan Glagah Putih telah meningkat semakin tinggi.
Sementara itu, Ki Gede Menorehpun telah meningkatkan ilmunya pula. Ki Gede yang bertanggung jawab terhadap gerakan pasukannya berusaha untuk mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu. Dengan ketangguhan yang mapan, sesuai dengan keadaan tubuhnya, maka Ki Gede mampu menunjukkan kelebihannya atas Senapati yang memimpin para prajurit dari Madiun itu. Bahkan beberapa saat kemudian, Senapati itupun telah mulai terdesak tanpa menyadari bahwa kaki lawannya telah menjadi cacat, sehingga Senapati itu tidak berusaha memancing Ki Gede untuk bergerak lebih banyak dan bertempur pada jarak yang panjang.
Di bagian lain dari halaman perguruan Ki Gede Kebo Lungit itu, serta menebar diluar dinding halaman, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menekan pasukan Madiun. Bahkan mereka telah sempat mendesak pasukan lawan untuk bergeser ke arah alun-alun untuk bergabung dengan pasukan yang bertahan pada garis pertahanan berikutnya.
Tetapi agaknya Senapati yang memimpin prajurit Madiun itu masih berusaha untuk menahan pasukan Mataram itu dan menghalaunya menjauhi alun-alun.
Namun sulit bagi kekuatan pasukan Madiun itu untuk bertahan. Sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit masih juga harus meningkatkan kemampuannya melawan Agung Sedayu.
Sebenarnyalah, Ki Gede Kebo Lungit tidak bermimpi bahwa perguruannya akan kedatangan seorang yang memiliki ilmu demikian tinggi. Menurut perhitungannya, maka orang-orang yang berilmu tinggi tentu akan berada di induk pasukan dan langsung menuju ke alun-alun untuk berhadapan dengan para pemimpin tertinggi Madiun.
Ki Gede Kebo Lungit sudah ingkar untuk tidak bergabung dengan para pemimpin di Madiun dengan dalih untuk mempertahankan perguruannya serta membantu prajurit Madiun menghentikan! gerak pasukan Mataram yang datang dari Barat, tiba-tiba telah bertemu dengan pasukan yang datang dari sebuah Tanah Perdikan dibawah pimpinan orang-orang muda yang berilmu tinggi.
Ki Gede Kebo Lungitpun menjadi heran melihat Putut kepercayaannya itu masih harus meningkatkan ilmunya bahkan sampai ketingkat tertinggi sekedar untuk melayani anak-anak.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika orang-orang dari lingkungan kecil di Mataram memiliki kemampuan yang demikian tinggi, lalu apa saja yang dapat dilakukan oleh para Senapati tertinggi dari Mataram. Bahkan Panembahan Senapati sendiri?" pertanyaan itu telah timbul didalam hati Ki Gede Kebo Lungit itu.
Namun adalah satu kenyataan yang dihadapi oleh Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya, bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata telah mampu mendesaknya. Para prajurit Madiunpun harus mengakui kenyataan, bahwa kekuatan para pengawal Tanah Perdikan itu sulit dibendung. Ternyata bahwa jumlah prajurit Madiun yang ditempatkan dilingkungan perguruan itu memang lebih sedikit dibanding dengan jumlah pasukan Tanah Perdikan. Tetapi bersama dengan para murid perguruan ki Gede Kebo Lungit sebenarnya jumlahnya cukup memadai.
Tetapi yang tidak diduga oleh para prajurit Madiun, murid Ki Gede Kebo Lungit tidak bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Agaknya mereka terlalu cepat menarik diri kebelakang garis pertempuran.
Yang terjadi itu memang tidak diperhitungkan oleh Ki Gede Kebo Lungit, Ia memang sudah berpesan, agar murid-muridnya tidak perlu dengan tanpa pertimbangan lain, bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ki Gede Kebo Lungit telah berpesan kepada murid-muridnya, biarlah korban yang terbanyak jatuh dari antara prajurit Madiun sendiri.
Keadaan yang kurang wajar itu memang terbaca oleh para prajurit Madiun. Tetapi mereka tidak dapat berbuiat apa-apa. Mereka tidak dapat memaksa para murid perguruan KiGedeKebo Lungit untuk bertempur semakin gigih.
Senapati Madiun yang bertempur di halaman rumah Ki Gedepun segera mendapat laporan. Namun untuk dapat mendekatinya, maka penghubung itu harus membawa sekelompok prajurit. Meskipun kemudian sekelompok pengawal berusaha untuk menahan mereka dan melindungi Ki Gede, namun Senapati Madiun itu mempunyai kesempatan untuk mendengarkan laporan.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Aku akan berada diluar dinding halaman."
Sebenarnyalah dengan gerak yang menghentak, maka Senapati itu berusaha memisahkan diri dari pertempuran itu. Dengan serta merta maka Senapati dari Madiun itu telah berlari keluar melalui regol halaman bersama dengan pengawalnya.
Senapati itu memang terkejut melihat kekisruhan yang timbul diantara para prajurit Madiun. Dengan demikian maka ia tidak berniat lagi untuk kembali menghadapi Ki Gede Menoreh. Ia harus mencari jalan untuk menyelamatkan prajurit-prajuritnya sehingga tidak tertumpas karenanya.
Apalagi ia memegang perintah dari para pemimpin prajurit Madiun, bahwa jika perlu, maka pasukan itu dapat ditarik dan bergabung dengan pasukan yang bertahan pada garis pertahanan pertama diluar lingkungan istana.
"Jangan menunggu pasukanmu ditumpas habis, Jika kau bawa mereka ke garis pertahanan pertama, maka pasukan itu masih akan dapat berarti bagi pertahanan. Jika pasukan yang tersebar dan karena tidak dapat bertahan itu kemudian berkumpul pada garis pertahanan pertama diluar istana, maka kekuatan itu akan dapat ikut membendung arus pasukan Mataram. Tetapi jika para prajurit Madiun yang ditugaskan menghambat pasukan Mataram mampu, memang sebaliknya pasukan itu dihancurkan sebelum sampai ke garis pertahanan pertama."
Memang ada kelompok-kelompok prajurit Mataram yang tertahan dan harus menarik diri untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang lain. Tetapi sebagian besar dari pasukan Mataram berhasil mendesak pasukan Madiun sehingga pasukan itu harus bergeser surut dan berada dalam garis pertahanan pertama diluar istana.
Demikianlah, pasukan Madiun yang berada di perguruan Ki Gede Kebo Lungitpun telah mengalami banyak kesulitan. Apalagi karena murid-murid Ki Gede Kebo Lungit yang jumlahnya cukup banyak itu tidak membantu mereka dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat, sehingga prajurit Madiun itupun dengah sigapnya, menyusun diri agar mereka tidak dihancurkan disaat mereka mundur. Karena itu, maka dengan ketangkasan seorang prajurit, maka prajurit-prajurit Madiun itupun segera berloncatan, silang menyilang diantara rumah dan halaman menyusuri dinding-dinding kebun dan pekarangan, bergeser mundur ke garis pertahanan pertama.
Ki Gede yang telah terlepas dari lingkaran pertempuran melawan Senapati Madiun itupun bergegas untuk keluar halaman. Ia melihat gerakan mundur pasukan Madiun. Tetapi ternyata para murid Kebo Lungit tidak melakukannya sebagaimana para prajurit Madiun. Meskipun sebelumnya Senapati Madiun itu telah memberikan pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, bahkan seakan-akan mereka telah menyatakan satu persetujuan dengan berjanji untuk saling mentaati, agar jika perlu seluruh pasukan akan ditarik, namun ternyata Ki Gede Kebo lungit telah mengingkarinya.
Demikian prajurit Madiun memberikan isyarat untuk ditarik, maka Ki Gede Kebo Lungitpun telah memberikan isyarat tersendiri bagi murid-muridnya.
Para pengawal Tanah Perdikan memang menjadi agak bingung. Mereka menyadari, bahwa prajurit Madiun telah menarik diri. Merekapun tahu bahwa pasukan yang terdiri dari murid-murid dan para cantrik dan pengikut Ki Gede Kebo Lungit juga akan mengundurkan diri.
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ki Gede Menoreh sadar, bahwa pengenalan dan penguasaan medan, baik para prajurit Madiun, maupun para murid Ki Gede Kebo Lungit, tentu lebih baik dari para pengawal Tanafi Perdikan yang disertai oleh seorang penunjuk jalan. Karena itu, maka Ki Gede harus segera mengambil keputusan, apakah ia akan mengikuti pasukan Madiun atau mengikuti pasukan Ki Gede Kebo Lungit.
Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyadari usaha untuk mengundurkan diri itupun telah mengambil sikap. Mereka harus dengan segera menguasai lawan mereka masing-masing. Namun merekapun sadar, bahwa lawan mereka adalah orang orang yang berilmu tinggi.
Namun ternyata bahwa Ki Gede Kebo Lungit yang memberikan isyarat dan kemudian diteruskan kepada para murid dan pengikutnya itu telah lebih dahulu mempersiapkan diri. Dengan serta merta Ki Gede itu melihat Agung Sedayu bagaikan angin pusaran yang dahsyat sekali. Ketika ia berhasil mendesak Agung Sedayu yang meloncat menghindari libatan itu, maka Ki Gede telah meloncat surut.
Agung Sedayu yang bersiap untuk memburunya, tiba-tiba terkejut. Satu hentakan tongkat Ki Gede Kebo Lungit, maka seleret sinar telah memancar. Hampir saja meledakkan dada Agung Sedayu. Namun ia telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia sempat meloncat menghindarinya. Namun sinar itu meledak juga. Kabut yang tebal telah mengepul disekitarnya sehingga mengganggu pandangan mata Agung Sedayu. Hanya karena ia memiliki ilmu Sapta Pandulu, maka ia masih sempat melihat bayangan kabut dari Ki Gede Kebo Lungit yang meloncat memasuki celah-celah dinding bangunan perguruannya yang besar itu.
Agung Sedayu tidak mau kehilangan lawannya. lapun kemudian telah meloncat keluar dari kabut itu dan berusaha memburu lawannya. Namun demikian ia memasuki celah-celah itu, tiba-tiba saja atap bangunan sebelah-menyebelah berderak. Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melihat, dari celah-celah atap itu meluncur lurus kebawah beberapa buah lembing.
Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa meloncat mundur. Sementara itu, maka Ki Gede Kebo Lungit tentu sudah menjadi semakin jauh.
Dengan demikian, Agung Sedayu tidak lagi merasa perlu menghancurkan lembing-lembing itu dengan ilmunya dan kemudian mengejar Ki Gede Kebo Lungit.
Demikian pula Glagah Putih. Tongkat Putut Jalak Werit itu juga mampu menyemburkan asap, meskipun bukan merupakan satu loncatan sinar yang meledak sehagaimana dilontarkan oleh gurunya. Semburan asap itu terasa sangat pedih dimata Glagah Putih, sehingga untuk sesaat, ia seakan-akan tidak mampu melihat lawannya.
Karena itu, Glagah Putih justru meloncat surut, mengambil jarak untuk mengamankan dirinya. Betapapun pedihnya, namun Glagah Putihpun kemudian memaksa untuk membuka matanya. Ia tidak mau lawannya menikam dadanya dengan ujung tongkatnya yang runcing disaat ia memejamkan matanya karena pedih.
Tetapi Glagah Putih tidak melihat lawannya. Ketika kabut itu lenyap ditiup angin, maka lawannya telah tidak ada ditempatnya. Glagah Putihpun tidak mengejar lawannya.
Sementara Ki Gede Menorehpun tidak memberikan perintah kepada para pengawal untuk tidak mengejar lawan mereka ke arah manapun.
Dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan itupun justru telah dikumpulkan di halaman perguruan Ki Gede Kebo Lungit yang luas itu. Penunjuk jalan yang kemudian berbicara dengan Ki Gede telah memberitahukan bahwa Ki Gede Kebo Lungit tentu telah menarik pasukannya ke sebuah padepokan diluar kota Madiun. Padepokan itu memang milik Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi perguruan Ki Gede Kebo Lungit justru berada didalam kota untuk mendapat perhatian lebih banyak, sehingga perguruannya itupun akan lebih cepat menjadi besar.
"Untuk sementara Ki Gede Menoreh lebih baik tidak mengejar mereka." berkata penunjuk jalan itu.
"Jadi?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Ki Gede lebih baik bergerak ke alun-alun." jawab penunjuk jalan itu.
Ki Gede mengangguk. Ia memang mendapat perintah untuk bergerak menuju ke alun-alun dari arah Barat.
Namun beberapa saat Ki Gede telah membenahi pasukannya. Dalam pertempuran singkat itu ternyata ada juga korban yang jatuh. Karena itu, maka Ki Gede telah menugaskan beberapa orang pengawal untuk mengurusi korban-korban itu.
"Kita tidak tahu, dimana tempat kita hingga hari ini." berkata Ki Gede, "menurut rencana jika kita berhasil, kita memang akan menduduki kota ini."
Demikianlah, maka Ki Gede telah membawa pasukannya itu bergerak menuju ke alun-alun. Namun Ki Gedepun tahu bahwa disekitar alun-alun itu tentu terdapat pasukan Madiun yang bertahan dengan mengerahkan segenap kekuatannya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Gede telah melihat isyarat anak panah sendaren yang naik. Satu pertanda bahwa pasukan pertama yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri sudah langsung bergerak menuju ke istana yang tentu saja telah dahulu harus menembus pasukan yang bertahan di sekitar alun-alun. Jika Panembahan Senapati berhasil, maka pasukan itu masih harus memecahkan pertahanan di istana Panembahan Madiun.
Karena itu, maka Ki Gedepun telah membawa pasukannya untuk langsung menuju ke alun-alun dari arah Barat.
Demikianlah, maka pasukan itupun kemudian mulai bergerak dengan sangat barhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak memasuki lingkungan pertahanan lawan sebelum pasukan induk mulai bergerak.
Ternyata ada beberapa pasukan yang lain yang telah bergerak mendekati alun-alun pula. Para penghubung sempat mengucapkan pertanda sandi untuk meyakinkan apakah pasukan itu dari Mataram atau bukan.
Namun dalam pada itu , Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata masih memikirkan lawan-lawan yang berhasil lolos dari medan. Seperti juga para murid Ki Gede Kebo Lungit yang seperti air yang meresap ke lubang-lubang sempit didasar sebuah kebun. Lenyap begitu saja.
Sementara para prajurit Madiun mengundurkan diri dengan menghilang diantara rumah-rumah yang terhitung cukup padat, maka para murid Ki Gedepun telah lenyap pula disela-sela bangunan di perguruannya.
"Orang yang bernama Ki Gede Kebo Lungit itu cukup berbahaya." berkata Agung Sedayu, "sikapnya yang kegila-gilaan itu perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia ingin membiarkan Mataram dan Madiun hancur bersama-sama. Kemudian ia akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu di atas reruntuhan itu. Karena itu, maka di padepokannya ia tentu mempunyai persiapan yang lebih baik dari yang berada di perguruannya."
"Padepokan itu harus dihancurkan juga. Padepokan itu akan sangat berbahaya, baik bagi Mataram maupun bagi Madiun. Apapun yang kemudian akan terjadi di Madiun setelah perang ini namun ancaman Ki Gede Kebo Lungit itu tentu masih akan selalu membayanginya. Apalagi jika Ki Gede sempat berhubungan dengan pihak-pihak lain yang sejalan dengan pikiran Ki Gede Kebo Lungit meskipun kemudian mereka akan terpecah dalam sikap yang akhirnya bertumpu kepada kepentingan diri sendiri." sahut Glagah Putih.
"Kau benar Glagah Putih." jawab Agung Sedayu, "kita harus membicarakannya dengan Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede kelak mampu meyakinkan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Mangkubumi tentu akan mengijinkan sepasukan dari antara pasukan Mataram untuk datang ke padepokan itu. Aku kira pasukan Tanah Perdikan Menoreh cukup kuat untuk mematahkan perlawanan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Kebo Lungit itu."
"Namun semuanya itu tentu setelah perang dengan Madiun ini menunjukkan tanda-tanda akhir," berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mataram masih harus menyelesaikan Madiun lebih dahulu. Seperti dikatakan oleh Ki Gede Kebo Lungit, perang ini akan dapat menjadi perang habis-habisan sehingga kemudian Ki Gede Kebo Lungit akan mendapat kesempatan untuk mengambil keuntungan.
Agung Sedayu yang kemudian telah ikut bergerak itu sempat berbisik kepada Glagah Putih, "Perang ini akan dapat menjadi perang yang mengerikan. Mungkin kita harus mengetrapkan segala ilmu untuk mengatasi tekanan lawan yang sangat berat."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, "Apalagi jika Ki Patih Mandaraka tidak berusaha untuk mengurangi jumlah kematian dengan caranya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, maka pasukan Tanah Perdikan itu telah menjadi semakin dekat. Penunjuk jalan itu memberikan isyarat, bahwamenurutperhitungan, beberapa puluh patok lagi dihadapan mereka, pasukan Madiun akan bertahan.
Ketika sekali lagi para prajurit Mataram melihat isyarat panah sendaren naik keudara sahut menyahut, maka segala sesuatunyapun telah bersiap. Beberapa kelompok pasukan yang datang dari Barat telah mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain dengan isyarat sandi. Kemudian mereka telah menempatkan diri pada jalan-jalan yang akan dapat langsung menusuk ke pusat kota.
Dengan demikian maka gerak akhir dari pasukan Mataram itu telah siap dilakuakan. Sekali lagi isyarat telah naik keudara. Dengan demikian, maka pasukan Matarampun telah mulai bergerak menuju ke alun-alun.
Tetapi sementara itu dibeberapa bagian kota pertempuran masih berlangsung. Pasukan Mataram seakan-akan memang telah berada di segala sudut kota. Sementara itu induk pasukan Mataram telah bergerak langsung ke pusat pertahanan Madiun.
Namun ternyata bahwa Mataram telah melakukan satu serangan yang mengejutkan. Demikian pasukannya bergerak dari segala arah, maka sepasukan berkuda telah menyerang langsung ke induk pasukan Madiun.
Serangan itu memang tidak diduga-duga. Karena itu, maka para prajurit Madiun memang terkejut, sementara sorak yang bagaikan meruntuhkan langit terdengar dimana-mana.
Namun serangan pasukan berkuda itu begitu cepat datangnya langsung menyibak pasukan Madiun menusuk ke jantung pertahanan. Bahkan mendekati istana.
Pertempuran yang sengitpun segera terjadi. Tetapi pasukan berkuda itu mampu bergerak cepat. Menyambar dengan ujung-ujung tombak, kemudian bergeser meninggalkan mereka, berputar di alun-alun dan menyerang kembali dengan cepat. Sementara prajurit yang lain telah bergerak maju.
Serangan yang tidak diduga sebelumnya itu, memang sangat berpengaruh. Apalagi serangan yang kemudian datang dari segala arah. Sorak yang gemuruh disegala tempat itupun sangat berpengaruh pula.
Para Senapati Matarampun segera mengetahui, bahwa yang memimpin pasukan berkuda itu ternyata adalah Panembahan Senapati sendiri. Diatas kudanya yang bernama Puspa Kencana, Panembahan Senapati benar-benar bagaikan bayangan yang pancaran ilmunya benar-benar telah mengacaukan para Senapati Madiun yang berusaha untuk menahannya.
Sedangkan para prajurit berkuda pilihan yang lainpun telah bergerak dengan cepatnya seakan-akan telah mengitari segenap pertahanan pasukan Madiun justru dari belakang garis pertempuran.
Gerakan pasukan berkuda itulah yang tidak diperhitungkan oleh para pemimpin Madiun. Namun ternyata ketegaran dan kecepatan gerak pasukan berkuda itulah yang lebih banyak menyulitkan pasukan Madiun.
Pertempuran itupun kemudian telah berlangsung dengan sengitnya. Namun ternyata bahwa prajurit Madiun sulit untuk dapat menahan arus maju pasukan Mataram. Sementara itu, pasukan berkuda itu beberapa putaran telah mendekati pintu gerbang istana.
Dalam pada itu, beberapa orang penghubung telah menyampaikan kesulitan kesulitan yang dialami pasukan Madiun diluar dinding istana kepada Panembahan Madiun. Bahkan para perwira"tertinggi serta sanak kadang dan sentana yang terdekat telah menganjurkan agar Panembahan Madiun mengambil kebijaksanaan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh prajurit Madiun.
"Nampaknya sulit bagi kita untuk tetap bertahan." berkata seorang perwira penghubung, "bahkan sampai prajurit terakhirpun kita tidak akan mampu membendung gerak maju pasukan Mataram."
"Aku akan menunggu Panembahan Senapati disini. Aku adalah prajurit sebagaimana Panembahan Senapati. Aku akan memimpin sendiri pasukan Madiun mempertahankan istana ini." jawab Panembahan Madiun.
"Tetapi kekuatan Mataram bagaikan banjir bandang, Panembahan." jawab perwira penghubung itu.
"Kau kira aku tidak berani menghadapi Panembahan Senapati" Aku tahu, ia memiliki ilmu rangkap seribu. Tetapi dimasa mudaku, aku bukan orang yang sekedar tidur siang dan malam sambil makan dipembaringan. Tetapi akupun menyusuri lembah dan pegunungan serta gua-gua yang gelap untuk menempa diri. Ilmuku tidak akan berada dibawah ilmu Panembahan Senapati."
Tetapi para pemimpin yang ada di istana itu berusaha untuk mencegahnya. Dengan nada dalam seorang Senapati berkata, "Hamba akan menunggu disini Panembahan. Hamba mohon Panembahan mengambil satu kebijaksanaan. Kita sudah dijebak oleh Panembahan Senapati, sehingga sebagian besar dari kekuatan yang sudah berkumpul di Madiun ini terpecah belah. Sebagian telah meninggalkan Madiun. Sebagian telah menyerang atas kemauan sendiri, namun tidak mampu mengusik kekuatan Mataram. Dan sekarang, Mataram itu telah memasuki kota Madiun, sementara kita mengira bahwa Mataram telah ber-siap-siap untuk menarik diri."
"Jangan rendahkan harga diriku sebagai seorang prajurit." geram Panembahan Madiun.
"Hamba Panembahan. Tetapi Panembahan bukan saja seorang prajurit. Panembahan juga seorang pelindung bagi keselamatan para prajurit." berkata Senapati itu.
"Karena itu, aku harus maju ke medan. Siapkan kudaku dan prajurit berkuda berapapun yang ada." berkata Panembahan Madiun selanjutnya.
Namun seorang perwira penghubung berikutnya yang menghadap telah memberikan laporan, bahwa pasukan Madiun telah menjadi semakin terjebak. Kekuatan Mataram menjadi semakin mendekati gerbang istana.
"He, orang-orang dungu. Cepat sediakan kudaku. Kenapa kalian hanya bingung saja. Siapa yang merasa dirinya prajurit, ikut aku." Panembahan Madiun yang marah itu telah menyambar hulu keris yang terselip dilambung Kiai Gumarang.
"Ampun Panembahan." seorang sentana yang sudah berambut putih berkata dengan nada lembut, "kasihanilah para prajurit yang tersisa. Sementara itu, Panembahan sebaiknya tidak terdorong oleh perasaan Panembahan."
"Jadi, apa yang harus aku lakukan menurut kalian?" bertanya Panembahan Madiun.
"Panembahan, selagi masih ada pasukan pengawal yang kuat, sebaiknya Panembahan meninggalkan Madiun. Dengan isyarat pasukan Madiun akan ditarik dari segala medan. Yang sempat dihubungi akan mendapat perintah untuk meninggalkan kota dan bergabung dengan Panembahan. Dengan demikian, Panembahan telah menyelamatkan beratus jiwa." berkata orang tua itu.
"Kau telah menghina aku." geram Panembahan Madiun.
Namun hati Panembahan Madiun menjadi luluh ketika permaisuri Panembahan Madiun sendiri mencegah niat Panembahan untuk maju ke medan.
"Hamba memang yakin, bahwa ilmu dan tingkat kemampuan Panembahan tidak lebih rendah dari ananda Panembahan Senapati, tetapi perang memerlukan dukungan para prajurit dan pengawal. Karena itu hamba mohon, Panembahan, jangan turun ke medan."
Panembahan Madiun menjadi termangu-mangu. Sementara para pemimpin yang lain masih saja mohon.
"Sebaiknya Panembahan dan permaisuri meninggalkan istana." berkata seorang pemimpin yang sudah berjanggut putih.
Karena desakan dari segala pihak, maka akhirnya Panembahan Madiun tidak dapat mengelak lagi. Tetapi kepada putera puterinya. Panembahan Madiun.menjatuhkan perintah. "Kau tinggal disini. Kau tahu apa maksudku. Lakukan sebagaimana dilakukan oleh orang Mataram."
Puteri Panembahan Madiun itu terkejut. Tetapi Panembahan Madiun berkata selanjutnya, "Retna Jumilah, ada beberapa tugas yang dapat kau lakukan. Aku akan meninggalkan keris Kiai Gumarang. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Betapa saktinya Panembahan Senapati, tetapi jika kulitnya tergores keris Kiai Gumarang, maka ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup."
"Tetapi ayahanda." Retna Jumilah mulai menjadi gelisah dan bingung.
Namun keputusan ayahandanya tetap. Retna Jumilah harus tetap tinggal di istana menunggu Panembahan Senapati memasuki istana ini. Kemudian kewajibannya adalah kewajiban seorang putera puteri Panembahan Madiun yang terpaksa menyingkir dari istananya. Kewajiban seorang prajurit meskipun ia seorang puteri. Justru mempergunakan sifat keputriannya. Retna Jumilah harus melakukan tugas keprajuritan.
Betapapun beratnya, maka akhirnya melalui pintu gerbang butulan, Panembahan Madiun dengan pengawalan yang kuat bersama permaisuri dan seorang puteranya telah meninggalkan istana.
Sementara itu, begitu ayahanda dan ibundanya berangkat, Retna Jumilah telah jatuh pingsan.
Beberapa orang pelayan dan emban menjadi bingung. Namun akhirnya Retna Jumilah itu telah menjadi sadar kembali. Ia tidak mau mengenakan lagi pakaiannya sebagai seorang puteri, tetapi Retna Jumilah telah mengenakan pakaian seorang kesatria dengan keris Kiai Gumarang. Apapun yang terjadi ia bertekat untuk berperang tanding dengan Panembahan Senapati.
Satu cara yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh Panembahan Madiun. Karena Panembahan Madiun justru menghendaki agar puterinya mempergunakan kelemahannya sebagai seorang puteri menjadi kekuatan utamanya untuk mengalahkan Panembahan Senapati.
Dalam pada itu, dengan cepat pasukan Madiun yang melindungi Panembahan Madiun telah bergerak justru kearah Timur. Mereka menyerang diantara lorong-lorong kecil untuk mencapai pintu gerbang kota disebelah Timur, karena menurut keterangan para penghubung kekuatan Mataram lebih banyak berada disebelah Barat kota.
Pasukan Mataram yang berada di sisi Timur kota memang terkejut melihat satu gerakan pasukan yang tiba-tiba saja menembus pertempuran. Pasukan Madiun yang mengawal Panembahan Madiun ternyata adalah pasukan yang memang terpilih. Dengan gagah berani mereka menyusup dan menyibak pasukan yang menghadang di depan mereka. Sementara itu pasukan Madiun yang dilampauinya, telah bergabung dengan mereka tanpa mengetahui rencana gerakan itu.
Namun para penghubung memang berusaha untuk menyampaikan perintah kepada setiap pasukan untuk menarik diri bersama-sama dengan pasukan Madiun yang sedang bergerak itu.
Perintah itu memang segera tersebar. Tetapi tidak semua pasukan akan dapat melakukannya, apalagi pasukan yang ada di sebelah Barat. Mereka sudah terbelit oleh pertempuran-pertempuran yang rumit untuk diurai.
Karena itu, maka pasukan bagi mereka adalah, kurangi korban jiwa yang sudah tidak memberikan arti apa-apa lagi.
Ternyata Panembahan Madiun bergerak tepat pada waktunya. Pada saat yang hampir bersamaan, pasukan induk Mataram telah berhasil memecahkan pertahanan pasukan Madiun dan langsung bergerak ke istana. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati itu telah menjalani hambatan dipintu gerbang. Beberapa kelompok pasukan Madiun memang ditinggalkan di pintu gerbang utama istana untuk mengetahui pasukan Mataram, agar mereka mengira bahwa pasukan itu akan mempertahankan istana dengan segenap kemampuan yang ada.
Namun Panembahan Senapati memang terkejut. Pertahanan itu begitu cepat, sehingga dalam waktu yang sangat singkat, maka pasukan Madiun telah menyerah.
Dengan serta merta Panembahan Senapati dapat menebak, bahwa Panembahan Madiun tentu sudah meninggalkan istana.
Tetapi Panembahan Senapati belum menjatuhkan perintah apapun. Dengan serta merta bersama beberapa orang perwira Panembahan Senapati telah langsung memasuki istana diiringi oleh Pangeran Mangkubumi.
Demikian Panembahan Senapati memasuki bilik istana di istana Madiun, maka Panembahan Senapati terkejut. Seorang kesatria telah menerkamnya dengan sebilah keris yang seakan-akan memancar gemerlapan.
Panembahan Senapati tertegun. Ia tidak sempat memperhatikan orang yang menyerangnya. Dengan kemampuan seorang, prajurit linuwih maka Panembahan Senapatipun telah bergeser menghindar. Namun demikian cepatnya ia menyerang pula.
Tanpa dapat mengelak, maka Panembahan Senapati telah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya itu. Namun Panembahan itu terkejut. Ketika orang itu mengaduh, maka barulah Panembahan Senapati sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan. Baru kemudian ia merasakan lunaknya pergelangan tangan orang yang menyerangnya itu.
Meskipun demikian, Panembahan Senapati sempat merampas keris yang sangat mendebarkan hati itu, se-hingga dengan demikian, maka keris Kiai Gumarang itu telah berada di tangan Panembahan Senapati.
Baru kemudian Panembahan Senapati sempat memandang wajah perempuan yang mengenakan pakaian seorang laki-laki itu. Bahkan pakaian seorang prajurit.
Retna Jumilah tertunduk lesu. Ia telah gagal menggoreskan ujung kerisnya itu kepada lawannya.
"Kau siapa gadis cantik?" bertanya Panembahan Senapati.
"Aku baru akan menjawab, jika aku tahu, siapakah kau." jawab Retna Jumilah.
Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, "Aku adalah Panembahan Senapati."
"Jadi kau orang yang harus aku bunuh itu?" geram puteri itu.
"Kau berjanji untuk menyatakan diri?" desis Panembahan Senapati kemudian.
"Aku adalah Retna Jumilah, putera ayahanda Panembahan Madiun." jawab puteri itu.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Agaknya pertempuran telah ber-akhir. Dimana ayahanda puteri itu?"
"Apa yang kau kehendaki dari ayahanda?" bertanya Retna Jumilah.
"Aku ingin menghadap Pamanda Panembahan. Aku akan menyampaikan sembah dan baktiku." jawab Panembahan Senapati.
"Itu lagi yang kau katakan. Kau kira ayahanda masih dapat mempercayaimu?" berkata Retna Jumilah.
"Aku justru akan mohon maaf kepada ayahanda puteri." berkata Panembahan Senapati.
"Masih terangsang betapa ayahanda mengeluh karena kecewa terhadap Panembahan atas sikap yang Panembahan tempuh." jawab Retna Jumilah.
Tetapi Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, "Pamanda Panembahan tentu telah salah paham."
"Tidak." potong Retna Jumilah.
Panembahan Senapati ternyata telah menampakkan perhatiannya kepada puteri itu. sehingga seorang perwira telah menghadapnya sambil berkata, "Pangeran Mangkubumi menunggu perintah."
Panembahan Senapati bagaikan terbangun dari mimpinya. Karena itu, maka perintahnya, "Kita menduduki istana ini. Perintahkan pada pasukan kedua untuk membersihkan seluruh kota."
"Tetapi kita tidak menemukan Panembahan Madiun." jawab perwira penghubung yang menghadap itu.
Jilid 255 PANEMBAHAN Senapati memang telah menduga sebelumnya. Tetapi ia masih juga tergetar dadanya mendengar laporan itu, justru karena ia telah kehilangan waktu beberapa saat. Justru saat-saat yang paling gawat.
Namun kemudian terdengar perintahnya, "Cari Pamanda Panembahan Madiun sampai dapat diketemukan."
Penghubung itupun kemudian telah menghubungi Pangeran Mangkubumi yang berada di tengah-tengah pasukannya. Pangeran yang masih basah oleh keringat itu memang menjadi agak kesal menunggu perintah Panembahan Senapati. Demikian perintah itu diterima, maka iapun telah mulai bergerak dengan memecah pasukannya.
Perintah Pangeran Mangkubumi kepada prajurit-prajuritnya, "Carilah hubungan dengan para prajurit dari pasukan kedua. Perintah Panembahan Senapati adalah membawa Panembahan Madiun kembali ke istana."
Tetapi kelambatan perintah yang diterima Pangeran Mangkubumi ternyata telah memberi kesempatan kepada Panembahan Madiun untuk lolos. Dengan pengawalan yang kuat, maka pasukan Madiun telah menembus pasukan Mataram yang terpencar sampai ke pintu gerbang disebelah Timur. Pasukan khusus Madiun masih mampu memecahkan kekuatan pasukan Mataram yang berusaha untuk menutup regol itu, sehingga akhirnya pasukan Madiun yang mengawal Panembahan Madiun itu dapat keluar dari kota.
Bahkan beberapa kelompok pasukan yang lain sempat menyusul iring-iringan itu. Beberapa kelompok keluar dari kota tanpa melalui gerbang yang manapun. Tetapi mereka telah berusaha memanjat dinding kota dengan alat apapun yang dapat mereka ketemukan.
Namun sebagian lagi prajurit Madiun memang harus melihat kenyataan, bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan apa-apa lagi sehingga mereka telah menyerah.
Pasukan yang dipimpin Pangeran Mangkubumipun kemudian telah sampai ke regol sebelah Timur. Namun pasukan Madiun telah menjadi jauh. Beberapa kelompok kecil pasukan Mataram berusaha untuk mengikuti pasukan itu. Tetapi mereka tidak dapat bertindak apa-apa, karena pasukan pengawal itu ternyata sangat kuat.
Ketika pasukan Pangeran Mangkubumi berusaha untuk menyusul mereka, maka beberapa orang penghubung memberikan keterangan tentang jarak waktu yang sulit untuk diperintahkan kembali.
"Kami telah terlambat." desis Pangeran Mangkubumi, "kelambatan ini terletak pada Panembahan Senapati sendiri yang menjumpai persoalan yang rumit dengan tiba-tiba, diluar perhitungannya."
Tidak seorang Senapatipun yang bertanya. Namun Pangeran Mangkubumi masih menjatuhkan perintah. "Kita akan mencoba melacaknya. Kelompok-kelompok prajurit yang lebih dahulu mengikuti pasukan itu, mungkin berusaha untuk menghambat mereka."
Tetapi beberapa ribu pathok kemudian nampak oleh Pangeran Mangkubumi, bahwa kelompok-kelompok yang terdahulu justru sudah kembali.
Karena itu, ketika pasukan itu berpapasan, Pangeran Mangkubumi telah minta keterangan dari para pemimpin kelompok yang sedang dalam perjalanan kembali ke Madiun.
"Mereka sudah jauh. Kecuali itu pasukan yang mengawal Panembahan Madiun adalah pasukan yang sangat kuat." seorang pemimpin kelompok itu memberikan laporan.
Pangeran Mangkubumi mendengarkan laporan itu dengan saksama. Sementara pemimpin kelompok itu berkata selanjutnya, "Panembahan Madiun tentu menuju ke Wirasaba."
Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perintahnya, "Kita kembali ke dalam kota."
Demikianlah pasukan itu telah kembali memasuki kota Madiun. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Ki Mandaraka bersama pasukan Adipati Pragola dari Pati masih sibuk membersihkan seluruh kota dari kelompok-kelompok kecil prajurit Madiun yang tidak mau menyerahkan diri. Karena para prajurit itu berlindung diantara para penduduk kota Madiun, maka sulit bagi prajurit Mataram untuk dengan cepat menyelesaikan mereka.
Tetapi Ki Patih Mandaraka dan Adipati Pati bertekat untuk menyelesaikan tugas mereka sampai tuntas.
Dimalam hari, pasukan kedua itu masih belum memasuki istana. Sementara Pangeran Mangkubumi dengan pasukannya telah berada di alun-alun. Betapapun kecewa hati Pangeran Mangkubumi, namun kepada para Senapati ia sama sekali tidak menunjukkan kelambatan Panembahan Senapati, karena kelengahannya. Tetapi Pangeran Mangkubumi selalu mengatakan, bahwa Panembahan Senapati telah menjumpai satu persoalan yang tiba-tiba saja harus diatasi.
Namun malam itu juga, pasukan Mataram khususnya pasukan pertama telah dapat menghimpun diri. Pasukan itu telah terkumpul dan terkendali sepenuhnya. Bahkan perintah untuk berusaha merawat mereka yang terluka dan mereka yang gugur dipeperangan telah diberikan oleh Pangeran Mangkubumi. Namun masih terbatas disekitar tempat mereka kemudian menghimpun diri.
Sebaliknya pasukan kedua yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka dan Adipati Pragola dari Pati, masih harus dibenahi. Para penghubung hilir mudik diantara pasukan-pasukan yang terpecah, sementara para prajurit Madiun dalam kelompok-kelompok kecil kadang-kadang masih mereka jumpai.
Dari pasukan kedua, Pangeran Singasari telah berusaha untuk dapat bertemu langsung dengan Panembahan Senapati untuk menerima perintah-perintah selanjutnya.
Namun dalam pada itu, Adipati Pragola dari Pati telah memusatkan pasukannya disebelah Selatan istana setelah tugas yang dibebankan kepadanya bersama Ki Patih Mandaraka dapat diselesaikan. Meskipun demikian, beberapa kelompok prajurit Mataram masih juga selalu meronda diseluruh kota, karena mereka yakin, bahwa prajurit Madiun masih tersisa diantara rumah-rumah dan bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi.
Malam itu juga Pangeran Singasari telah berhasil bertemu dengan Panembahan Senapati bersama Pangeran Mangkubumi. Panembahan Senapati telah memerintahkan semua pemimpin dalam pasukan Mataram untuk berhimpun di hari berikutnya untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya.
Namun demikian Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari keluar dari ruang dalam istana, maka Pangeran Singasari telah berdesis, "Siapa perempuan itu?"
"Putera puteri pamanda Panembahan Madiun, Retna Jumilah." jawab Pangeran Mangkubumi.
"Apakah puteri itu harus dihormati sebagaimana kita menghormati permaisuri Panembahan Senapati?" bertanya Pangeran Singasari.
Tetapi Pangeran Mangkubumi justru tertawa. Katanya, "Aku tidak memikirkannya. Yang penting, langkah-langkah berikutnya yang harus kita ambil. Apakah kita akan berhenti disini, atau kita akan bergerak lagi."
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun ia tidak berbicara lagi tentang Retna Jumilah.
Perintah untuk berhimpun di keesokan harinyapun segera sampai ke telinga para pemimpin pasukan yang ikut serta bersama Panembahan Senapati menduduki Madiun. Mereka akan berbincang tentang langkah-langkah yang akan diambil dihari-hari mendatang.
Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka semua pemimpin telah berhimpun di istana Madiun. Para Pangeran dan para Adipati serta Ki Patih Mandaraka.
Namun semua orang merasa canggung melihat seorang puteri ikut serta dalam pertemuan itu. Puteri yang telah ditinggalkan oleh ayahandanya, Panembahan Mas dari Madiun.
Kepada para pemimpin yang hadir Panembahan Senapati telah memperkenalkan puteri itu bukan saja menyebut namanya Retna Jumilah, tetapi juga menyebutnya sebagai cucu Sultan Demak, yang bergelar Sultan Trenggana.
Tidak ada seorangpun yang menunjukkan sikap yang menentang kehadiran puteri itu. Bahkan ikut dalam pembicaraan yang oleh Panembahan Senapati sendiri disebut sebagai satu pembicaraan yang masih sangat rahasia.
Betapa perasaan bergetar di dalam setiap dada, tetapi mereka menunjukkan sikap yang baik justru karena Panembahan Senapati sendiri sangat menghormati puteri yang disebutnya sebagai cucu Sultan Trenggana di Demak.
Dalam pembicaraan itu maka telah terbersit satu pernyataan bahwa untuk beberapa hari pasukan Mataram akan beristirahat di Madiun. Namun kemudian pasukan itu akan langsung menuju ke Pasuruan, Panembahan Senapati ingin menundukkan Pasuruan sekaligus sebelum kembali ke Mataram.
"Para prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukan Mataram masih belum perlu mengetahui rencana ini." berkata Panembahan Senapati.
Para pemimpin itupun mengangguk-angguk mengiakan. Rencana itu memang masih harus dirahasiakan. Jika jauh-jauh sebelumnya Pasuruan mengetahui rencana itu, maka mungkin sekali kedatangan pasukan Mataram di Pasuruan tidak memberikan arti sebagaimana dikehendaki.
Namun yang menggetarkan setiap hati kemudian adalah pernyataan Panembahan Senapati, akan melang-sungkan perkawinannya dengan putera puteri Panembahan Madiun itu.
Pernyataan itu tidak mendapat tanggapan langsung dalam pertemuan itu. Semua orang mendengarkan dan berdiam diri. Apalagi ketika Panembahan Senapati mengatakan bahwa para prajurit yag telah dengan tegang menyelesaikan tugas mereka dengan baik di Madiun memerlukan sedikit perubahan suasana. Mudah-mudahan perkawinan itu akan memberikan kesegaran bagi para prajurit dan pengawal yang berada di Madiun. Memberikan satu suasana yang dapat melepaskan ketegangan-ketegangan yang mencengkam selama mereka harus menghimpun tenaga kembali untuk bergerak dalam jangkauan yang jauh, Pasuruan.
Pertemuan itu sendiri tidak berlangsung terlalu lama. Setelah semua penjelasan dan perintah diberikan oleh Panembahan Senapati, maka pertemuan itupun dinyatakan telah selesai.
Sejenak kemudian para pemimpinpun telah berada diantara pasukan mereka kembali. Namun dalam pada itu, demikian Adipati Pragola dari Pati berada diantara para Senapatinya, tiba-tiba saja telah menjatuhkan perintah, "Siapkan pasukan dari Pati. Kita akan kembali ke Pati."
Beberapa orang Senapati memang menjadi bingung. Namun perintah itu tegas, "Kita berangkat hari ini juga."
Dengan tanpa mengetahui maksud Adipati Pragola dari Pati, para Senapati memang menyiapkan pasukannya. Demikian pasukan itu siap, maka Adipati Pragola telah berusaha menghadap Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati memang menjadi heran melihat sikap Adipati Pragola, salah seorang Adipati yang sangat akrab dan mempunyai pandangan yang hampir sama dalam banyak hal. Ayah Adipati Pragola adalah saudara seperguruan ayahanda Panembahan Senapati. Keduanya pula yang telah melaksanakan perintah Sultan Hadiwijaya dari Pajang untuk membunuh Arya Penangsang dari Jipang, meskipun keduanya atas petunjuk Ki Juru Martani yang kemudian bergelar Ki Patih Mandaraka telah meminjam tangan Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu.
Namun tiba-tiba sikap Adipati Pragola tidak dapat dimengerti oleh Panembahan Senapati.
"Kenapa kau akan meninggalkan Madiun?" bertanya panembahan Senapati.
"Seorang penghubung telah datang dari Pati memberitahukan bahwa Pati ada dalam bahaya." jawab Adipati Pragola.
"Bahaya apa?" bertanya Panembahan Senapati.
"Tidak jelas. Karena itu, kami seluruh pasukan dari Pati akan kembali ke Pati, melihat keadaan dan jika perlu mengerahkan kekuatan Pati untuk menghancurkan bahaya yang datang itu." jawab Adipati Pragola.
Ternyata usaha Panembahan Senapati untuk menahan Adipati Pragola tidak berhasil. Hari itu juga Adipati Pragola telah meninggalkan Madiun. Kepada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, Adipati Pajang dan Grobogan serta para pemimpin yang lain. Adipati Pragola dari Pati sama sekali tidak minta diri. Bahkan juga tidak kepada Ki Mandaraka.
Keberangkatan pasukan Pati memang sangat menarik perhatian. Bahkan para pemimpin Pati sendiri masih saja selalu bertanya-tanya.
Namun diluar sadar, terloncat dari bibir Adipati Pragola meskipun tidak ditujukan kepada siapapun juga, "kami harus bertempur menyabung nyawa, kakangmas Panembahan Senapati tanpa menghiraukan para korban, telah berniat untuk kawin dengan puteri Panembahan Madiun."
Meskipun hal itu tidak dinyatakan kepada siapapun juga, tetapi seorang yang kebetulan mendengarnya, telah menangkap arti dari gerakan pasukan Pati. Sementara itu, apa yang didengar itu pada waktu yang singkat telah tersebar diantara para Senapati dari Pati.
Panembahan Senapati agaknya memang sudah merasa bahwa sikap Adipati Pragola itu ada hubungannya dengan niatnya untuk mengambil Retna Jumilah sebagai isterinya. Bahkan Panembahan Senapatipun dapat mengerti, bahwa dalam peperangan yang masih belum selesai, apalagi niat Panembahan Senapati untuk menjangkau kekuasaan Pasuruan, adalah tidak sewajarnya jika ia mengambil kesempatan untuk kawin.
"Tetapi dengan demikian aku berniat untuk mengendorkan ketegangan yang mencengkam para prajurit dan pengawal selama ini," berkata Panembahan Senapati kepada Ki Patih Mandaraka.
Namun Ki Patih menjadi sangat cemas. Ia mengenal sifat Adipati Pragola yang keras sebagaimana ayahandanya. Karena itu, maka menghadapi Pati, Panembahan Senapati tidak boleh menjadi lengah.
"Selembar mendung akan lewat di atas kekuasaan Mataram." berkata Ki Patih Mandaraka.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya Adimas Adipati Pragola berkata berterus terang, sehingga aku dapat memberikan penjelasan."
"Ia sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan angger lakukan." jawab Ki Patih, "karena itu, dalam ke-adaan yang tiba-tiba itu, ia tidak sempat berpikir tenang."
"Tetapi semuanya sudah terlanjur paman." desis Panembahan Senapati.
"Kita memang tidak mempunyai pilihan. Tetapi karena angger Panembahan Senapati akan pergi ke Pasuruan, maka angger sebaiknya menilai kekuatan angger kembali sepeninggal pasukan dari Pati."
"Dengan kepergian pasukan Pati, kekuatan kita tidak banyak berkurang. Apalagi untuk menghadapi Pasuruan. Kami sudah mendapat laporan terperinci dari para petugas sandi yang telah kembali dari Pasuruan berturut-turut sejak kita belum memasuki Madiun. Terakhir petugas sandi yang datang kemarin. Justru setelah diperjalanan ia mendengar berita bahwa Madiun sudah jatuh." Panembahan Senapati berhenti sejenak, lalu, "Dari petugas sandi itu kita mendapat laporan, bahwa Pasuruan ternyata tidak mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan diri sendiri." berkata Panembahan Senapati, "sementara itu sesuai dengan laporan Pangeran Mangkubumi berdasarkan laporan dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh justru disebelah Selatan Madiun terdapat satu kekuatan dari sebuah perguruan yang akan dapat mengancam kekuasaan Madiun. Sudah tentu tidak disaat pasukan Mataram berada di sini. Tetapi nanti jika pasukan Mataram telah kembali, maka kekuatan itu akan menjadi duri bagi Madiun."
"Jadi bagaimana perintah angger Panembahan?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Kita akan menyelesaikan kedua kekuatan itu sekaligus. Kita akan pergi ke Pasuruan, maka sebagian dari kita akan menghancurkan kekuatan perguruan itu. Meskipun nampaknya perguruan itu kecil sekarang, tetapi lambat laun akan dapat membahayakan. Sesuai dengan laporan, maka pemimpin perguruan itu yang bernama Ki Gede Kebo Lungit telah menyatakan, bahwa diatas reruntuhan kekuatan Mataram dan Madiun, maka ia akan membangun satu kekuatan baru. Ternyata bahwa perhitungan Ki Gede Kebo Lungit itu keliru. Mataram dan Madiun tidak hancur bersama-sama. Namun niat itu tentu masih tetap melekat pada mimpi-mimpinya kemudian." berkata Panembahan Senapati.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Sementara itu, Panembahan Senapati berkata, "Aku akan memerintahkan petugas sandi yang datang dari Pasuruan itu nanti menghadap pamanda. Sementara itu, kita dapat memerintahkan petugas sandi untuk menyelidiki kekuatan Ki Gede Kebo Lungit bersama-sama dengan penunjuk jalan yang mendapat tugas mendampingi pasukan Tanah Perdikan Menoreh saat kita merebut Madiun."
Ki Patih mengangguk-angguk. Panembahan Senapati memang tidak tergesa-gesa. Ia masih akan melangsungkan perkawinannya, meskipun dengan persiapan yang tergesa-gesa, tetapi tidak akan dapat dilakukan hari itu juga disaat keduanya menghendaki.
Ular Kobra Dari Utara 1 Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi Rahasia 2