Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 17

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 17


Sementara itu, kelompok-kelompok yang memang sudah dipersiapkan oleh orang-orang dari balik bukit itupun mulai bergerak. Oleh beberapa orang penghubung mereka telah dibawa menghadapi orang-orang tua dari Tanah Perdikan Sembojan.
Oleh kemampuan Ki Sumbaga mengatur orang-orangnya, maka tiba-tiba saja Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka telah dikurung oleh sekelompok orang yang telah dipersiapkan. Demikian pula Iswari.
Demikianlah maka pertempuran di pasukan induk itupun menjadi semakin sengit. Warsi dengan sengaja memang tidak segera berusaha menemui Iswari. Ketika ia berada di medan, maka tiba-tiba saja ingin memanaskan darahnya lebih dahulu dengan membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Ternyata yang dilakukan oleh Warsi itu tidak dilakukan oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.
Mereka sama sekali tidak mempunyai niat sebagaimana dilakukan oleh Warsi. Karena itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan itupun bertempur dengan sikap seorang Senapati.
Meskipun di dalam peperangan mereka tidak mempunyai pilihan lain daripada menyingkirkan lawan-lawannya, tetapi dada mereka tidak dibakar oleh nafsu yang tidak terkendali. Orang-orang Tanah Perdikan masih mengendalikan diri menghindari kematian sejauh dapat dilakukan, meskipun merekapun berusaha untuk menghentikan perlawanan lawan-lawannya.
Namun akhirnya laporan tentang tingkah laku Warsi dan Ki Rangga itu sampai juga ke telinga Iswari. Ketika seorang penghubung dengan susah payah menerobos kepungan dan bertempur di sisi Iswari sambil berkata, "Setan betina itu ada di sisi kanan induk pasukan ini. Sementara itu, Ki Rangga bertempur tidak jauh daripadanya."
"Apakah mereka memimpin induk pasukan ini?" bertanya Iswari. Sambil bertempur.
"Tidak. Orang lain memimpin pasukan induk ini," jawab penghubung itu.
Iswari terdiam sejenak. Sementara penghubung itupun melaporkan bahaya yang gawat, yang ditimbulkan oleh Warsi dan Ki Rangga yang sama sekali tidak mengekang diri.
Iswari mengangguk kecil. Sambil bertempur ia berkata, "Bawa aku menemui mereka."
"Bagaimana dengan orang-orang ini?" bertanya penghubung itu.
Iswari tidak menjawab. Namun dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka sepasang pedangnya tiba-tiba saja berputar semakin cepat, Beberapa orang yang mengepungnya tiba-tiba terdorong surut. Dua orang kehilangan pedangnya, sementara seorang yang lain mengaduh kesakitan karena dadanya tergores tajamnya senjata. Ketika dua orang lagi menyerang bersama-sama, maka keduanyapun harus berloncatan mundur. Seorang di antaranya pundaknya telah tertusuk ujung senjata Iswari. Sedang yang lain senjatanya telah terlempar. Namun hampir tidak dengan sengaja, bahwa penghubung yang bertempur di sebelah Iswari itu telah mengacukan pedangnya lurus ke dada orang itu.
"Kenapa kau bunuh orang itu?" bertanya Iswari.
"Aku tidak sengaja membunuhnya," jawab penghubung itu.
Iswari tidak menjawab lagi. Iapun kemudian dengan sepasang pedangnya menyibak pertempuran itu. Namun ia sempat memberikan isyarat kepada orang-orang tua yang juga bertempur dalam kepungan, bahwa ia akan menemui Warsi di sisi kanan induk pasukan.
Kiai Badra yang mengetahui bahwa Warsi datang bersama Ki Rangga tidak ingin membiarkan Iswari pergi sendiri. Sementara Kiai Soka dan Nyai Sokapun ingin melihat, apa yang akan terjadi dengan murid mereka itu.
Karena itu, maka sambil bertempur merekapun telah bergeser pula. Orang-orang yang telah disusun dalam kelompok-kelompok tertentu berusaha untuk menahan mereka. Tetapi meskipun kelompok-kelompok itu terdiri dari orang-orang pilihan, namun Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka tidak mengalami kesulitan sama sekali untuk bergeser mengikuti Iswari.
Kelompok-kelompok yang sudah dipersiapkan itu, memang berusaha untuk mencegah orang-orang terpenting dari Tanah Perdikan itu. Namun mereka tidak berdaya untuk melakukannya. Bahkan ketika orang-orang itu menjadi semakin keras bertempur, maka satu persatu mereka terpelanting dari medan, sehingga orang-orang baru telah tampil untuk menggantikannya. Bahkan kelompok-kelompok itu menjadi semakin besar. Tetapi bagi orang-orang tua itu, semakin banyak jumlah orang yang mengepung mereka, bukan berarti semakin sulit bagi mereka. Kecuali mereka memang berilmu tinggi, tetapi para pengawal Tanah Perdikanpun tidak membiarkan hal itu terjadi. Karena orang-orang dari balik bukit itu semakin banyak yang mengerumuni orang-orang tua dari Tanah Perdikan, maka para pengawalpun semakin banyak mendapat kesempatan untuk memecah kepungan itu, karena mereka telah kehilangan lawan.
Sementara itu, di medan perang yang semakin sengit itu, para pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mempergunakan akal mereka pula. Dalam gelar Wulan Tumanggal itu, para pengawal yang berada di pasukan induk itu telah mempergunakan anak gelar pula. Gelar Jurang Grawah.
Ketika orang-orang dari balik bukit dengan marah dan mengerahkan segenap kemampuan mereka, maka para pengawal di lapisan pertama telah menyibak, sehingga orang-orang itu menganggap mereka telah berhasil menguakkan pasukan induk dari Tanah Perdikan itu.
Tetapi demikian mereka memasuki lapisan berikutnya, maka para pengawal di lapisan pertama itu telah mengatup kembali, sementara para pengawal yang telah berpengalaman di lapisan kedua dengan cepat mengambil alih orang-orang yang terjerumus masuk itu.
Dengan demikian maka beberapa kali orang-orang dari balik bukit itu terjebak juga. Jika mereka dengan garangnya berhasil menembus pertahanan di lapisan kedua, maka mereka masih harus berhadapan dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan di lapisan ketiga yang bertempur berpasangan. Bahkan ada di antara mereka orang-orang yang justru terpilih, sehingga orang-orang dari balik bukit itu akan kehabisan kesempatan untuk mempertahankan dirinya.
Ketika satu dua orang di antara mereka dilepaskan oleh lapisan terakhir, maka mereka justru merasa terkurung di belakang gelar dari Tanah Perdikan itu. Sehingga ketika beberapa orang pengawal mendekatinya, maka dengan gemetar mereka telah melemparkan senjatanya dan menyerah.
Untuk menjaga segala kemungkinan, maka para pengawal Tanah Perdikan itu telah mengikat tangan dan kaki orang-orang yang menyerah dan meletakkan mereka di pematang. Beberapa orang duduk berjajar tanpa dapat menyingkir dari basahnya lumpur. Bahkan beberapa orang menjadi kebingungan karena semut-semut merah telah menggigit kulit mereka. Tetapi ikatan pada tangan dan kaki mereka sama sekali tidak akan dilepas.
Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda telah mendapat tugas untuk menjaga para tawanan itu, sementara perang masih berlangsung dengan garangnya.
Untuk beberapa saat lamanya, garis perang itu masih belum bergeser dari tempatnya. Ujung-ujung gelar Wulan Tumanggal itu masih belum pula berhasil meremas pasukan lawan dengan kemampuan pasukan di sayap-sayapnya. Ternyata bahwa orang-orang dari balik bukit yang memiliki pengalaman yang keras dan kasar serta tangan yang memang sudah direndam di dalam darah itu, tidak mudah ditundukkan.
Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung yang memimpin pasukan pada sayap gelar, telah berusaha untuk dengan cepat menyelesaikan lawan-lawan mereka. Keduanya masih terbatas pada kemampuan ilmu pedang mereka yang didukung oleh tenaga cadangan yang semakin besar.
Namun ternyata bahwa lawan-lawan merekapun memiliki kemampuan yang tinggi dan kekuatan yang sangat besar. Merekapun ternyata begitu akrab dengan senjata mereka, sehingga seakan-akan anggota badan mereka sendiri.
Pertempuran di kedua sayap itupun menjadi semakin sengit. Karena orang-orang dari balik bukit itu tidak mempergunakan gelar yang mapan, maka mereka seakan-akan justru mempergunakan gelar Emprit Neba. Namun di induk pasukan gelar itu ternyata telah merugikan mereka sendiri, karena para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan di induk pasukan justru mempergunakan anak gelar Jurang Grawah.
Orang-orang dari balik bukit, terutama yang berada di sayap yang dipimpin oleh Ki Kala Sembung, ternyata telah membentur kekuatan yang tidak diduganya. Orang-orang kasar yang memiliki pengalaman yang sangat luas, serta dapat membunuh lawannya dengan jantung yang sama sekali tidak berdebar itu, menjadi semakin marah karena orang-orang Tanah Perdikan tidak dapat diperlakukan seperti orang-orang padukuhan yang pernah mereka rampok sebelumnya. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak menjadi ketakutan dan gemetar. Bahkan mereka sempat mengangkat wajah mereka sambil menepuk dada dan berkata lantang, "Inilah para pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Sedumuk bathuk, senyari bumi, taruhannya mati."
Orang-orang dari balik bukit itu menggeram. Mereka mengumpat dan memaki dengan kata-kata kotor. Namun orang-orang Tanah Perdikan itupun telah berteriak pula untuk mengatasi kegelisahan mereka mendengar kata-kata kotor, "Memakilah. Makianmu tidak akan dapat membunuhku. Jika kau merasa puas memaki-maki sebelum mati, lakukanlah."
Orang-orang kasar itu menjadi semakin marah. Namun semakin mereka menjadi marah, maka merekapun menjadi semakin liar dan buas. Tetapi juga mereka menjadi semakin bermata gelap sehingga mereka tidak sempat mempergunakan otak mereka lagi. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak lagi membuat perhitungan-perhitungan yang mapan. Mereka bertempur asal saja mempergunakan kekuatan dan kemampuan mereka tanpa akal dan penalaran.
Para pengawal Tanah Perdikan memang sudah mendapat pesan sebelumnya, bahwa mungkin sekali mereka akan berhadapan dengan orang sebagaimana dihadapinya itu. Karena itu, mereka sudah mempersiapkan diri mereka baik-baik. Bahkan mereka sudah mempersiapkan perlawanan yang paling baik menghadapi orang-orang yang bagaikan menjadi mabuk itu.
Dalam pada itu, Iswari yang bergeser perlahan-lahan sambil menyibak pertempuran yang sengit di induk pasukan, memang menjadi semakin dekat dengan lingkaran pertempuran antara Warsi dengan sekelompok pengawal. Karena itu, maka ia mulai melihat kegelisahan pada pasukannya. Nampaknya Warsi masih saja berbuat kasar dan keras.
Ketika orang-orang Tanah Perdikan ini melihat kehadiran Iswari, maka tiba-tiba saja dengan serta-merta orang-orang Tanah Perdikan itu telah bersorak. Mereka yang mengalami tekanan oleh kekasaran dan kekerasan sikap Warsi, merasa bahwa seorang pelindung telah datang.
Orang-orang dari balik bukit itu terkejut. Sorak yang bagaikan hendak meruntuhkan langit itu telah menggetarkan jantung mereka. Karena sesuatu tentu telah terjadi.
Baru kemudian mereka menyadari, bahwa Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah hadir di arena pertempuran itu.
Iswari bergeser terus. Yang mula-mula ditemuinya adalah justru putaran pertempuran melawan Ki Rangga Gupita. Menurut perhitungan Iswari, agaknya Warsi tentu lebih berbahaya dari Ki Rangga. Karena itu, maka Iswari itupun telah meninggalkan Ki Rangga untuk mencari Warsi.
Ternyata jarak mereka memang tidak terlalu jauh. Sebentar kemudian, maka orang-orang di seputar Warsilah yang bersorak kegirangan. Rasa-rasanya, nyawa mereka yang sudah berada di ujung ubun-ubun itu telah mantap kembali di dalam tubuh mereka.
Iswari dengan jantung yang berdebaran mendapat laporan dari seorang penghubung yang lain yang mengikuti terus tingkah laku Warsi. Beberapa orang memang sudah terbunuh dan terluka, sehingga mereka telah diangkat dan disingkirkan keluar arena.
"Jika Nyi Wiradana tidak segera datang, maka di putaran pertempuran ini, orang-orang kita akan dilumatkan. Pasukan kita tentu akan koyak dan gelar Wulan Tumanggal ini akan kehilangan arti," berkata penghubung itu.
Iswari mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia telah mengangkat wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat memancar di langit yang bersih.
Tetapi Iswari itupun telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia tidak percaya bahwa cahaya bulan itu akan dapat membuat seseorang semakin tinggi tingkat ilmunya selain sebagaimana pernah dikatakan oleh gurunya, bahwa pengaruhnya justru ada dalam sikap kajiwan. Kepercayaan dan keyakinan yang mendalam akan membuat seseorang berjiwa teguh dan penuh harapan.
Agaknya Warsipun akan bersikap demikian. Justru di bawah siraman cahaya bulan yang penuh.
Beberapa saat kemudian, maka Iswari telah melihat, bagaimana kekasaran Warsi di medan itu. Ia mulai melihat orang-orang Tanah Perdikan harus memeras kemampuannya dalam kelompok yang cukup besar untuk menahan agar Warsi tidak berloncatan di medan pertempuran itu sambil menyebarkan maut. Untuk menahan kebebasan geraknya, maka beberapa orang pengawal telah berusaha untuk menahannya dengan senjata bertangkai panjang dari beberapa arah. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang mampu menyentuh tubuhnya.
Apalagi ketika Warsi kemudian telah mempergunakan senjatanya yang mendebarkan. Seutas rantai yang kadang-kadang terjulur panjang, namun kadang-kadang rantai itu digulungnya, sehingga juntainya hanya pendek saja. Namun juntai yang pendek itu di tangan Warsi justru menjadi sangat berbahaya, karena rantai itu seakan-akan dapat berubah menjadi tongkat baja yang kuat yang bukan saja dapat dipergunakan untuk menebas, tetapi juga untuk menusuk.
Ketika Iswari mendekati lingkaran pertempuran itu, tiba-tiba saja debar jantungnya serasa semakin cepat. Ia mulai dibayangi oleh perasaannya sendiri. Seolah-olah beberapa orang di medan itu telah memandanginya dengan bibir yang mencibir. Seolah-olah beberapa orang tidak yakin, bahwa ia telah menempatkan dirinya untuk melawan Warsi itu karena tanggung jawabnya atas Tanah Perdikan Sembojan. Namun menurut perasaan Iswari, ada saja orang yang menganggapnya Iswari bertempur menghadapi Warsi karena sakit hati, bahwa suaminya telah diambil oleh perempuan itu. Seolah-olah yang dilakukan Iswari itu adalah persoalan antara dua orang perempuan yang pernah dimadu oleh Ki Wiradana, sehingga kesempatan itu tidak lebih dari kesempatan melepaskan dendam seorang yang kehilangan suaminya.
Iswari terkejut ketika ia mendengar teriak kesakitan. Seorang pengawal telah terlempar dari arena sehingga terguling beberapa kali, justru jatuh di kaki pengikut Warsi.
Iswari terkejut melihat pengikut Warsi itu masih juga mengangkat senjata untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya itu.
Adalah di luar sadarnya, bahwa dengan kecepatan seekor burung sikatan, Iswari meloncat dan ujung pedangnya tiba-tiba telah mengoyak pundak orang yang akan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya itu.
Baru kemudian, dua orang Tanah Perdikan sempat berlari mendekat menolong orang yang terluka oleh ujung rantai Warsi itu. Namun seorang dari orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itupun jatuh berguling-guling sambil menahan sakit, karena pundaknya yang koyak.
Dengan demikian maka Iswaripun semakin menyadari, apa yang telah terjadi di sekitar Warsi. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk segera memasuki arena pertempuran melawan perempuan iblis itu.
Orang-orang Tanah Perdikan yang melihatnya telah bersorak lagi, sementara mereka menyibak memberikan jalan kepada Iswari untuk memasuki arena, sementara yang lain berusaha menahan orang-orang dari balik bukit yang ingin menyerang Iswari itu.
"Kau anak manis," tiba-tiba saja Warsi menggeram.
"Kita bertemu lagi di malam terang bulan seperti ini. Aku sengaja menunggumu sampai kau menemukan satu waktu yang dapat memberimu sedikit dukungan jiwani karena sinar bulan itu kau sangka akan dapat membantumu," berkata Iswari.
Warsi mengerutkan keningnya. Namun kemudian terdengar ia tertawa berkepanjangan. Namun yang sama sekali tidak diduga oleh Iswari, perempuan itu telah bertanya, "jadi kau masih sakit hati karena suamimu kemudian meninggalkanmu dan mengawini aku, sehingga kau perlukan malam ini mencariku?"
Telinga Iswari menjadi merah. Namun ia berusaha agar jiwanya tidak menjadi lemah dan terpengaruh oleh kata-kata perempuan itu. Karena itu Iswari justru menjawab, "Agaknya pertanyaan itu sudah lama kau persiapkan. Kau ingin mempengaruhi perasaanku dengan pertanyaan-pertanyaan cengeng seperti itu."
"Kau memang selalu berprasangka buruk. Memang agak bertentangan dengan wajahmu yang cantik itu. Setelah umurmu bertambah dengan kurang lebih sepuluh tahun, kau justru nampak lebih cantik dan muda. He, apakah kau tidak ingin kawin lagi" Tentu ada segerobag laki-laki yang akan bersedia menjadi suamimu. Kau cantik, berilmu dan seorang yang kini mendapat kesempatan untuk menguasai Tanah Perdikan ini," berkata Warsi.
Tetapi Warsipun terkejut ketika Iswari bertanya, "Apakah kau juga kawin lagi" Atau sekedar mencari kepuasan dari segerobag laki-laki yang kau kuasai lahir dan batinnya?"
Warsi memang tidak mengira bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti itu dari mulut Iswari. Seorang perempuan yang dianggapnya lebih banyak diam dan menunggu itu. Seorang perempuan yang meskipun berilmu tinggi tetapi tetap cengeng dan menutup diri.
Namun justru karena itu, maka kemarahan Warsi menjadi semakin terungkat. Dengan garang ia menjawab, "Mulutmu ternyata tajamnya melampaui ujung tombak. Aku tidak mengira. Tetapi baiklah. Mulutmu itu akan segera tertutup rapat untuk selamanya. Mulutmu yang mungil, Serasi dengan bentuk hidung dan matamu, sehingga membuat kau menjadi seorang perempuan yang cantik itu, tidak akan dapat mengucapkan kata-kata lagi, karena kau akan mati."
Iswari tersenyum. Katanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau menjadi sangat marah" Apakah aku telah menyinggung perasaanmu" Tetapi kau memang menjadi semakin cantik jika kau marah. Apalagi di bawah sinar bulan purnama."
"Cukup," bentak Warsi, "bukankah kita datang ke tempat ini tidak untuk berbicara tentang diri kita masing-masing, tentang suami kita yang sudah mati dan tentang kecantikan kita?"
"Bukan aku yang mendahuluinya," jawab Iswari, "kaulah yang pertama-tama menyinggung hal itu. Aku kira aku memang masih berminat untuk sedikit mengenang masa lalu. Sebagai perempuan maka kita tidak dapat ingkar. Yang cengeng itu kadang-kadang memang muncul di hati kita."
"Baiklah," berkata Warsi, "sekarang kita akan bertempur. Apapun alasannya. Apakah itu karena kita pernah menjadi madu, atau karena kita menjadi kehilangan akal setelah suami kita mati, atau karena Tanah Perdikan Sembojan yang seharusnya jatuh ke tangan anakku. Terbuka atau tidak, kau tentu mengakui, bahwa sebenarnya kau sudah tidak lagi berarti bagi Ki Wiradana, orang yang paling berhak atas Tanah Perdikan ini. Anakmu lahir sesudah kau disingkirkan, bahkan sudah dicoba untuk membunuhmu. Jika kau mempunyai sedikit harga diri, maka kau tentu tidak akan mau menyentuh lagi semua warisan orang yang telah berusaha membunuhmu itu. Karena anakmu lahir setelah kau disingkirkan, maka anakmu sudah tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan ini. Anakkulah yang berhak memimpin Tanah Perdikan ini."
"Sesudah kau membunuh Ki Wiradana?" bertanya Iswari.
"Omong kosong itu tidak akan dipercaya oleh siapapun," jawab Warsi, "kami adalah pasangan yang serasi. Dalam pertempuran, Kakang Wiradana menjadi lengah."
Sebenarnyalah bahwa kata-kata Warsi bagaikan bara yang menyentuh telinganya. Hampir saja Iswari kehilangan pengendalian diri. Namun latihan yang mantap serta penderitaan lahir batin yang lama, telah menempanya, sehingga ia memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan perasaannya dan mempergunakan penalarannya. Tetapi katanya kemudian, "Ingat, kau pernah mengakui membunuhnya."
Namun Warsilah yang membentak, "Cukup. Apapun yang terjadi, kau akan mati sekarang ini. Lihat, cahaya bulan yang bulat, sedangkan langit bersih tanpa selembar awanpun. Pertanda bahwa aku mendapat perlindungan sepenuhnya dari Dewi Penguasa Langit yang cantik itu. Ilmuku ada di puncak malam ini dan selanjutnya cahaya bulan yang cantik ini akan membuat aku tetap muda dan segera serta menambah kecantikanku sehingga aku akan dapat menguasai semua laki-laki di muka bumi ini. Tanah Perdikan Sembojan akan aku kuasai dan akan menjadi landasan perjuangan selanjutnya untuk memecah Pajang yang kini sedang disaput awan karena Alas Mentaok itu. Tetapi Alas Mentaok itu sendiri tidak akan pernah dapat bangkit menjadi satu pusat pemerintahan sesudah Pajang, karena pimpinan Tanah ini akan dikendalikan dari Tanah Perdikan Sembojan."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "jangkauanmu memang cukup jauh. Sayang, kau telah menempuh jalan yang sesat."
"Kau tahu apa yang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya, ketika ia berusaha mendapatkan kekuasaan di Pajang?" bertanya Warsi.
"Apa hubungannya dengan jalan yang kau tempuh?" bertanya Iswari.
"Sultan Hadiwijaya adalah seorang gembala di masa kecilnya. Namun akhirnya ia berhasil menguasai tahta Pajang. Nah, setiap orang ternyata akan dapat melakukan hal sama" Kau pernah mendengar dongeng tentang seorang penyamun, perampok dan pembunuh yang dapat menjadi Raja di Singasari?" bertanya Warsi.
"Alangkah nyamannya, dongeng menjelang tidur di bulan terang," desis Iswari.
Warsi menggeram. Katanya kasar, "Kau memang harus dibunuh dengan cara yang paling buruk."
"Kita sudah siap untuk saling membunuh. Marilah selagi bulanmu masih ada di langit. Jika kau terlambat sehingga saatnya bulan tenggelam besok pagi, maka kau menjadi lampu yang kehabisan minyak. Semakin surut dan akhirnya padam sama sekali," jawab Iswari.
"Tutup mulutmu. Bersiaplah untuk mati. Tetapi kau tidak perlu menangisi nasibmu yang buruk sekarang ini. Berikan pesan terakhir kepada pengawalmu untuk disampaikan kepada anakmu yang akan menjadi yatim piatu," geram Warsi.
Tetapi Iswari tidak menjawab lagi. Ia sudah bersiap dengan sepasang pedangnya menghadapi Warsi yang mulai mengayun-ayunkan rantainya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya mulai bergesek Dendam memang membayang di wajah kedua orang perempuan itu. Tetapi mereka memang mempunyai ungkapan yang berbeda. Warsi adalah orang yang tidak lagi terikat dengan paugeran dan unggah-ungguh apapun, sementara Iswari masih tetap seorang perempuan yang utuh. Perasaannya maupun penalarannya.
Warsi yang telah menahan kemarahan beberapa saat lamanya itupun tiba-tiba telah mengayunkan rantainya menyambar ke arah kening lawannya. Namun Iswari dengan tangkasnya mengelak. Bahkan ia masih sempat berkata, "Rasa-rasanya gerak tanganmu seperti gerak tangan seorang penari yang seblak sonder. Jari-jarimu yang lentik mampu mengibas rantai seperti mengibaskan sonder di saat kau menari di pinggir-pinggir jalan di waktu gadismu."
"Tutup mulutmu," Warsi berteriak, "kita bertempur. Bukan berbicara berkepanjangan."
Iswari justru tersenyum. Namun serangan Warsi kemudian telah datang membadai. Rantainya terayun-ayun dan berputaran dengan cepatnya.
Iswari memang sudah bersiap sepenuhnya. Kedua pedang di kedua tangannyapun telah bergetar pula. Kakinya dengan cepat bergerak melontarkan tubuhnya yang berloncatan menghindari serangan lawannya.
Meskipun keduanya pernah bertempur bahkan justru berperang tanding, namun itu sudah terjadi di waktu yang telah lama berlalu. Keduanya tentu sudah meningkatkan ilmu mereka masing-masing, sehingga keduanya merasa perlu untuk kembali saling menjajagi.
Sementara itu, pertempuran di seluruh medan itu menjadi semakin sengit. Bulan yang menjadi semakin tinggi memancarkan cahayanya yang kekuning-kuningan. Seakan-akan bulan itu tengah mengerahkan segala kemampuan cahayanya untuk menerangi bumi yang mulai basah bukan saja oleh embun, tetapi oleh darah.
Pertempuran yang liar telah terjadi di sayap-sayap gelar yang tidak merata itu. Meskipun gelar pasukan pengawal Tanah Perdikan mapan, tetapi lawannya tidak mempergunakan gelar yang baik. Mereka asal saja menebar dan bertempur dengan garang dan kasar. Lebih-lebih lagi para pengikut Ki Kala Sembung. Sedangkan pasukan yang ada di sayap yang dipimpin oleh Ki Ajar Tulakpun rasa-rasanya tidak, mungkin lagi dikuasai oleh pangeran atau tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan baik oleh seluruh kekuatan di sayap itu, oleh kelompok-kelompok yang berada di sayap itu, ataupun secara pribadi. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang dari balik bukit itu, di kedua sayapnya, telah bertempur dengan liar dan tidak terkekang.
Namun orang-orang Tanah Perdikan ternyata mampu mempertahankan gelar mereka. Apalagi di induk pasukan yang berhasil memanfaatkan anak gelar Jurang Grawah.
Ki Ajar Tulak yang tidak mampu menguasai seluruh gerak orang-orangnya itupun telah membiarkan mereka. Bahkan tiba-tiba saja ia berteriak, "Kita mempergunakan gelar Samodra Rob. Pasukan kita akan menghantam tebing beruntun terus-menerus. Tidak ada jemu-jemunya sampai tebing itu runtuh dan pasukan kita akan naik melanda gelar lawan dan menggulungnya, seperti ombak lautan yang sedang naik didorong oleh prahara yang tidak terkekang oleh kekuatan apapun."
Teriakan Ki Ajar Tulak itu justru semakin membakar jantung para pengikutnya serta orang-orang yang ada di dalam kelompoknya. Yang kasar menjadi semakin kasar. Yang buas menjadi semakin buas. Bagi mereka sama sekali tidak ada lagi yang mengekang tingkah laku mereka.
Tetapi aba-aba Ki Ajar Tulak itu juga merupakan aba-aba bagi para pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Mereka yang mendengarnya segera mempersiapkan diri menghadapi apa yang disebut gelar Samodra Rob itu. Bahkan di pangkal sayap yang bertempur pada garis pertempuran, para pengawal Tanah Perdikan Sembojan mempergunakan anak gelar seperti yang dilakukan di induk pasukan. Menghadapi Gelar Samodra Rob, maka para pengawal itu telah mempergunakan anak gelar Jurang Grawah. Gelombang yang datang menghantam tebing itu tidak dilawan dengan kerasnya batu padas yang semakin lama akan dapat menjadi semakin aus. Tetapi gelombang yang beruntun datang membadai itu telah menimpa tebing yang terbuka dan meluncur masuk ke dalam jurang yang dalam. Jurang yang tidak akan penuh betapapun juga gelombang yang ganas meluap ke dalamnya, karena air yang masuk ke dalam jurang itu langsung dihisap ke dalam bumi.
Namun di ujung-ujung sayap gelar, para pengawal tidak mempergunakan anak gelar seperti itu. Ujung-ujung sayap gelar itu justru menusuk semakin lama semakin dalam. Meskipun kemudian para pemimpin dari sayap-sayap itu bertempur seorang melawan seorang, namun rencana yang sudah masak yang oleh orang-orang Tanah Perdikan. Beberapa pengawal terpilih, diikuti oleh para pengawal yang tidak terputus, telah berusaha untuk bertempur di dalam lingkungan lawan, di belakang garis pertahanan mereka.
Bahwa para pengawal terpilih itu berhasil menusuk masuk, maka pengaruh yang terbesar sebenarnya tidak pada imbangan kekuatan pasukan, tetapi condong pada pengaruh kejiwaan. Para pengawal yang sudah ada di dalam pasukan lawan dan bertempur di dalamnya serta hubungan yang tidak terputus dengan induk pasukan sayap itu, membuat lawan mereka menjadi sangat gelisah. Sementara itu, pasukan sayap lawan itu tidak dapat memusatkan perhatian mereka untuk menghancurkan para pengawal yang menyusup masuk itu, karena di bagian lain kekuatan sayap itu seakan-akan juga tidak terbendung. Bahkan dengan gelar Samodra Rob yang diterima oleh pasukan di sayap lawan dengan anak gelar Jurang Grawah itu, maka rasa-rasanya orang-orang dari balik bukit itu menjadi cepat susut.
Namun akhirnya para pemimpin kelompok orang-orang dari balik bukit itu menyadari, bahwa lawan mereka terlalu cerdik sehingga merekapun telah mengekang diri. Mereka tidak lagi membentur kekuatan lawan seperti gelombang samodra yang didorong oleh angin prahara, namun yang kemudian. meluap masuk ke dalam jurang yang tidak akan dapat menjadi penuh itu. Tetapi mereka telah bertempur dengan orang-orang yang langsung ada di hadapannya dan berusaha membunuhnya.
Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung masih saja bertempur dengan Ki Ajar Tulak dan Ki Kala Sembung. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak merasa perlu untuk merambah sampai ke ilmu pamungkas mereka, karena dengan kemampuan ilmu pedang mereka dengan landasan tenaga cadangan yang mampu dibangkitkannya, mereka telah dapat mengatasi kemampuan lawan-lawan mereka.
Bahkan Sambi Wulung yang bertempur melawan Ki Ajar Tulak itu telah mendesaknya sehingga Ki Ajar Tulak itu telah mengumpat-umpat. Ternyata bahwa sikap Ki Ajar itu semakin lama menjadi semakin berubah. Jika mula-mula ia masih bertahan pada sikap seorang yang berpegang pada harga dirinya, namun kemudian sikap itu menjadi semakin kabur. Ternyata Ki Ajar itupun menjadi semakin kasar pula.
"Ki Ajar," berkata Sambi Wulung kemudian sambil mendesaknya, "aku mohon Ki Ajar mampu membuat penilaian pada saat-saat yang gawat ini. Sebagai seorang Ajar, maka Ki Ajar tentu mempunyai wawasan dan pertimbangan yang sangat luas. Bukan saja berdasarkan unsur-unsur yang lebih tinggi nilainya, yaitu hubungan antara kita dengan Yang Maha Tinggi."
Tetapi Ki Ajar itu justru berteriak, "Tutup mulutmu. Aku tidak ingin mendengar sesorahmu."
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Jika kau sudah menobatkan dirimu menjadi seorang Ajar, maka tentu kau harus memikul tanggung jawab yang besar karenanya."
Tetapi Ki Ajar sama sekali tidak menjawab. Dengan garangnya ia menyerang Sambi Wulung. Namun Sambi Wulung benar-benar memiliki kemampuan ilmu pedang yang sangat tinggi.
Di sayap yang lain, Jati Wulung telah menekan Ki Kala Sembung dengan kerasnya. Karena Kala Sembung juga hanya berlandaskan pada kemampuan kewadagan serta pengalamannya yang keras, maka Jati Wulungpun telah melayaninya pula dengan landasan ilmu pedangnya pula pada alas kekuatan cadangan di dalam dirinya.
Kala Sembung yang keras dan kasar itu ternyata mendapat banyak kesulitan melawan ilmu pedang Jati Wulung. Beberapa kali ia telah terdesak. Namun setiap kali orang-orangnya telah membantunya, sehingga dua tiga orang bersama-sama memancing perhatian Jati Wulung. Tetapi sejenak kemudian, maka para pengawalpun telah hadir pula untuk mengikat orang-orang itu dalam pertempuran tersendiri, sehingga Kala Sembung harus kembali bertempur seorang melawan seorang.
Di pasukan induk, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Bulan di langit merayap semakin tinggi, sehingga akhirnya telah mencapai puncaknya. Cahayanya yang cerah kekuningan telah menerangi bukan saja seluruh medan dan seluas Tanah Perdikan Sembojan, tetapi hampir seluruh belahan bumi.
Sementara itu, Warsi yang disiram cahaya bulan penuh itu memang merasa bahwa dirinya berada di puncak kemampuannya. Rasa-rasanya cahaya bulan itu telah menusuk masuk ke dalam simpul-simpul syarafnya sehingga keseluruhannya telah terbuka. Tubuhnya serasa seringan kapas dan sampai ke ujung-ujung rambutnya mampu dikuasainya dengan mudah lewat kehendaknya.
Ketika bulan itu sampai ke puncak, maka Warsi itupun telah meningkatkan ilmunya pula. Dengan wajah tengadah ia berkata, "Lihat Iswari. Dewi langit itu telah tersenyum kepadaku. Itu pertanda yang sangat buruk bagimu."
Tetapi Iswari tertawa sambil menghindari serangan Warsi. Katanya, "Di bulan itu hanya terdapat seorang bidadari yang sedang menjalani hukuman karena kesalahannya yang sangat besar. Ia dikawani oleh seekor kucing candramawa yang setia. Kerjanya tidak lebih daripada menenun kain. He, apakah kau mengharapkan bantuan bidadari yang tidak dapat menolong dirinya sendiri itu?"
Warsi mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau telah menghinanya. Kau memang harus mati."
Putaran rantai Warsi menjadi semakin cepat. Desing yang timbul karena putaran rantai itu terdengar menyentuh telinga dengan tajamnya. Bahkan rasa-rasanya telah menusuk sampai ke pusat dada.
Tetapi Iswari tidak membiarkannya saja. Iapun telah memutar sepasang pedangnya pula. Pedang itu memang tidak berdesing terlalu keras, tetapi udara yang dihembuskannya terasa menerpa kulit Warsi.
Demikianlah kedua orang perempuan yang berilmu sangat tinggi itu bertempur dengan sengitnya. Keduanya telah meningkatkan ilmunya dengan cepat. Rasa-rasanya keduanya tidak memerlukan lagi penjajagan yang lebih dalam, karena pada dasarnya keduanya sudah mengenali ilmu mereka masing-masing.
Karena itulah, maka pertempuran di antara keduanyapun telah meningkat dengan cepat. Namun rasa-rasanya keduanya akan mendapat kepuasan yang lebih besar jika salah seorang di antara mereka dapat mengalahkan lawannya dengan ilmu dan ketrampilan tangan mereka meskipun harus dilandasi dengan tenaga cadangan yang sangat tinggi di dalam diri mereka masing-masing.
Namun nampaknya mereka masing-masing menyadari, bahwa tidak mungkin lagi mereka untuk mengalahkan mereka itu dengan ilmu kewadagan semata-mata betapapun mereka mempunyai kemampuan yang sulit diukur.
Dengan demikian maka keduanya agaknya telah mengambil kesimpulan bahwa mereka memang harus beranjak dari landasan kemampuan mereka memasuki tingkatan ilmu yang lebih tinggi. Ilmu yang mampu menyerap kekuatan dari dalam dan dari luar diri mereka masing-masing.
Beberapa langkah dari mereka, Ki Rangga bertempur dengan garangnya pula. Beberapa orang telah dilukainya. Bahkan ada di antaranya yang terbunuh.
Tetapi Ki Rangga tidak dapat berbuat sekehendaknya untuk seterusnya, karena tiba-tiba saja muncul Kiai Badra di hadapannya.
"Sudahlah Ngger," berkata Kiai Badra, "kau sudah cukup banyak menyakiti orang. Dan bahkan mungkin satu dua orang tidak tertolong lagi. Aku mohon berhentilah. Aku kira gurumu di saat mengajarimu ilmu sama sekali tidak terbayangkan, bahwa akan terjadi pembunuhan yang tidak terkendali seperti ini."
"Persetan," geram Ki Rangga. "Jangan kau kira bahwa ilmuku tidak meningkat, sehingga aku tidak mampu menghadapimu. Bagiku kau tidak lagi seorang yang menakutkan."
Kiai Badra tertawa. Katanya, "Aku percaya Ngger. Tetapi akupun mengemban tugas kemanusiaan sehingga aku wajib mencegahmu."
Ki Rangga tidak menjawab lagi. Iapun kemudian telah bersiap untuk menyerang orang tua itu.
Sementara itu, Kiai Badra memang masih harus mengimbangi beberapa orang yang selalu memburunya. Beberapa orang yang bertugas di dalam kelompok sengaja untuk mengurungnya, sebagaimana dilakukan atas Kiai Soka dan Nyai Soka.
Tetapi Kiai Badra tidak berbuat seperti yang dilakukan oleh Ki Rangga. Ia memang berusaha untuk mengurangi tekanan orang-orang yang mengepungnya. Mungkin Kiai Badra yang bersenjatakan pedang kebanyakan itu telah menggores tubuh lawannya. Namun yang dilakukan sekedar mengurangi tekanan lawan dalam keseluruhan mengurangi jumlah orang-orang dari balik bukit itu. Jika orang-orang yang terluka itu dibawa menepi, maka mereka tidak lagi berusaha untuk memasuki arena kembali. Mereka lebih senang berbaring sambil mengerang. Bahkan ada yang dengan sengaja menggoreskan darah dari lukanya kebagian tubuhnya yang lain, sehingga nampaknya lukanya menjadi sangat parah. Dengan demikian maka ia tidak akan terpaksa memasuki arena itu kembali.
Berbeda dengan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Para pengawal yang terlukapun kadang-kadang tidak mau berhenti bertempur. Bahkan pemimpin-pemimpin kelompoknya kadang-kadang terpaksa memaksa satu dua orang pengawal yang terluka untuk berhenti bertempur.
"Beristirahatlah. Nanti jika lukamu telah pempat, kau dapat bertempur kembali," bentak pimpinan kelompok itu.
Dorongan untuk bertempur di dalam hati anak-anak muda Tanah Perdikan memang berbeda dengan dorongan di hati orang-orang dari balik bukit. Ada di antara mereka yang dengan setia bertempur sampai lepas nyawanya. Tetapi ada yang lebih senang berpura-pura tidak mampu bangkit lagi karena lukanya yang parah daripada harus memasuki medan yang garang itu. Sementara itu mereka tidak meyakini apa yang sedang mereka perjuangkan.
Nampaknya gairah perjuangan dalam kadar yang berbeda itu mempunyai pengaruh pula pada pertempuran itu dalam keseluruhan. Hanya para pengikut Kala Sembung sajalah yang ternyata tidak mampu berpikir lain kecuali membunuh atau dibunuh.
Dengan demikian maka mereka benar-benar bertempur seperti seekor kerbau yang terlepas dari tali pembantaian. Mengamuk dan tidak mengenal perhitungan apapun juga.
Jati Wulung yang menghadapi Kala Sembung dan orang-orangnya yang bagaikan gila itu memang agak mengalami kesulitan. Ia terdesak oleh keadaan untuk tidak berpikir terlalu panjang. Jati Wulung tidak sempat menghitung langkah para pengawal agar mereka tidak asal saja membunuh. Namun ternyata bahwa para pengawal memang tidak dapat berbuat lain jika ia sendiri tidak ingin terbunuh dalam pertempuran itu.
Di induk pasukan Ki Sumbaga dengan sengaja tidak berada di garis pertempuran. Dengan cerdik ia telah membentengi dirinya. Namun dengan demikian ia mampu mengamati medan itu hampir secara keseluruhan. Ia masih sempat mengatur perubahan-perubahan langkah yang harus dilakukan oleh orang-orangnya. Bahkan kadang-kadang mengambil langkah yang sempat mengejutkan lawannya.
Ternyata seorang penghubung di antara para pengawal Tanah Perdikan sempat mengenalinya. Menilik dari hubungan yang dilakukan oleh beberapa orang antara seseorang yang berada di belakang garis pertempuran dengan para pemimpin kelompok. Juga sumber dari segala macam aba-aba yang dilontarkan.
Karena itu, maka penghubung itupun telah melaporkannya kepada pemimpin pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Jadi pasukan induk ini dikendalikan oleh seseorang yang bersembunyi di balik tirai orang-orangnya?" bertanya pemimpin pengawal itu.
"Ya, Ki Lurah," jawab penghubung itu.
"Baiklah. Tunjukkan kepadaku, dimana orang itu bersembunyi," berkata pemimpin pengawal itu.
"Sangat sulit untuk mencapainya. Orang itu seakan-akan telah dibentengi oleh kekuatan yang sulit tertembus. Kecuali jika Nyi Wiradana sendiri atau salah seorang dari orang tua-tua itu," jawab penghubung itu.
"Sudahlah. Bawa aku mendekati orang itu," perintah pemimpin pengawal itu.
Demikianlah, maka pemimpin pengawal itu telah bergeser dari tempatnya. Ia menuju ke arah pemimpin pasukan induk dari balik bukit itu bersembunyi di belakang para pengawal terpilihnya.
Namun sebenarnyalah, bahwa di depan pemimpin pasukan induk itu terdapat selapis orang terpilih yang melindungi pemimpinnya itu. Mereka adalah bekas-bekas prajurit pilihan dari Jipang. Meskipun pada umumnya mereka sudah tidak muda lagi, namun ketangguhan mereka benar-benar sulit untuk dipecahkan.
"Bagaimana kau mengetahui tentang pemimpin pasukan itu?" bertanya pemimpin pengawal itu.
"Hanya satu kebetulan. Kami berusaha mengawasi pasukan lawan secermat-cermatnya. Ketika Warsi dan Ki Rangga sudah bertempur melawan lawan yang mengikat mereka, bahkan seakan-akan tidak mampu lagi mengendalikan keadaan sekelilingnya, maka aku berpikir, tentu ada orang lain yang mengendalikan pasukan induk ini. Terbukti dengan beberapa perubahan sikap yang terjadi selagi pertempuran serasa bagaikan membakar. Dengan demikian maka aku telah bertekad untuk mencari. Akhirnya aku ketemukan orang itu. Namun aku hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Ketika setiap kali orang itu dihubungi oleh orang-orangnya, maka aku mengambil kesimpulan bahwa orang inilah pemimpin dari pasukan induk yang datang dari balik bukit. Dengan demikian maka aku mengambil kesimpulan, bahwa hal ini perlu aku sampaikan kepada Ki Lurah."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak. Dari tempat yang agak jauh ia sempat melihat orang-orangnya bertempur. Sejenak ia tertegun. Pertempuran itu ternyata pertempuran yang sangat keras.
"Bagaimana caraku untuk dapat mencapainya," desis pemimpin pasukan pengawal itu.
"Aku mohon Ki Lurah jangan kesana. Ki Lurah dapat bertempur disini. Mungkin orang itu akan terpancing keluar dari bingkai prajurit yang mengelilinginya. Baru kemudian Ki Lurah menghadapinya," berkata penghubung itu. Namun tiba-tiba penghubung itu berdesis, "Tetapi hati-hatilah Ki Lurah. Orang itu sangat berbahaya."
"Aku akan berhati-hati," berkata pemimpin pengawal itu.
Demikianlah, maka pemimpin pengawal itu telah memasuki pertempuran di tengah-tengah garis lengkung dari pasukan induk. Dengan tangkasnya ia menebaskan pedangnya mendatar. Namun kemudian pedangnya berputar mengarah leher. Tetapi sejenak ujung pedang itu mematuk dengan garangnya.
Pemimpin pengawal itu telah bertempur dengan garang. Ia memang berusaha untuk memancing Ki Sumbaga keluar dari bingkai pasukannya.
Tetapi Ki Sumbaga menganggap dirinya lebih berarti jika ia berada di belakang garis benturan. Meskipun ia kemudian mendapat laporan tentang orang yang berilmu cukup tinggi telah bertempur dengan garang di garis benturan kedua pasukan itu.
"Aku perintahkan dua atau tiga orang prajurit untuk menghadapinya. Jika aku terpancing untuk bertempur melawannya, maka pasukan ini akan kehilangan kemudi. Semua akan terserah kepada para prajurit yang akan bertindak menurut kemauan mereka sendiri-sendiri."
"Tetapi bukankah pasukan lawan juga tidak lagi perlu seorang pemimpin yang setiap kali mengatur pasukannya?" bertanya penghubung itu.
"Kau memang bodoh. Aku adalah bekas seorang perwira dari pasukan Jipang. Kaupun bekas seorang prajurit. Seharusnya kau tahu bahwa pasukan Tanah Perdikan sudah dipersiapkan sejak semula. Pasukan itu sudah berada dalam satu gelar yang mapan. Para pemimpin kelompok sudah tahu dengan pasti, apa yang harus mereka lakukan. Hanya dalam keadaan yang khusus saja maka diperlukan sekali sikap pemimpin pasukan itu. Berbeda dengan pasukan kita. Kita tidak siap dalam gelar yang mapan."
Penghubung itu mengangguk.
Sementara Ki Sumbaga itu berkata, "Ternyata bahwa orang-orang Tanah Perdikan itu cukup cerdik. Mereka tidak menunggu di padukuhan induk. Tetapi mereka telah menyongsong kita disini, sehingga mereka dapat mempergunakan kekuatan yang lebih besar dari yang dapat mereka pergunakan di padukuhan induk. Disini mereka tidak mencemaskan padukuhan lain yang mungkin akan kita jamah, sehingga para pengawal padukuhan itu sebagian besar akan dapat ditarik disini."
Penghubung itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Sumbaga tengah memperhatikan pertempuran yang terjadi di induk pasukan itu. Meskipun ia tidak dapat melihat dengan jelas dari ujung sampai ke ujung, namun naluri keprajuritannya mampu menangkap peristiwa yang sedang terjadi itu dengan melihat pertanda-pertanda yang terdapat dalam pertempuran itu.
Namun kening Ki Sumbaga itu berkerut ketika ia melihat pertahanan pasukan di induk pasukan itu goyah. Menurut pengamatan Ki Sumbaga maka pasukan yang paling mapan adalah pasukan yang dipimpinnya, karena pasukannya sebagian besar terdiri dari bekas para prajurit Jipang. Beberapa orang keluarga para bekas prajurit yang sempat dikumpulkan telah mendapat latihan keprajuritan pula secara khusus.
Tiba-tiba saja Ki Sumbaga itu berkata, "jalankan perintahku. Dua atau tiga orang terpilih agar menghadapi pemimpin pasukan induk Tanah Perdikan itu. Kemudian lihat, apa yang terjadi atas Ki Rangga dan Nyi Wiradana. Kemudian apakah kelompok-kelompok yang dipersiapkan itu dapat melakukan tugasnya dengan baik. Aku tunggu laporannya atau kawanmu yang lain."
"Baik," jawab penghubung itu.
Demikianlah maka penghubung itu telah meninggalkan Ki Sumbaga untuk menyaksikan keadaan seluruh pasukan induk itu lebih cermat lagi.
Namun dalam pada itu, Ki Sumbaga memang menjadi cemas bahwa garis benturan kedua pasukan itu telah menjadi goyah. Perlahan-lahan pasukan Tanah Perdikan mulai mendesak pasukannya. Meskipun banyak kemungkinan masih dapat terjadi, tetapi satu pertanda telah dilihatnya, bahwa keseimbangan pasukan itu memang mulai goncang.
Beberapa saat kemudian, maka seorang penghubung yang lain telah datang mendekatinya. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, "Ki Sumbaga, kita agaknya mengalami kesulitan."
"Apakah Nyi Wiradana tidak segera dapat mengalahkan lawannya" Bagaimana dengan Ki Rangga?"
"Segera Ki Sumbaga akan mendapat laporan. Seorang kawan sedang pergi untuk melihat mereka. Aku bertemu di tengah-tengah medan," jawab penghubung.
"Kau sendiri dari mana?" bertanya Ki Sumbaga.
"Aku sempat menyaksikan orang-orang tua Tanah Perdikan. Ternyata kelompok-kelompok yang disusun itu mengalami kesulitan. Orang-orang tua itu seakan-akan tidak terbatas oleh mereka, sehingga orang-orang tua itu dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendak mereka. Meskipun nampaknya orang-orang tua itu tidak terlalu bernafsu untuk membunuh, namun nampaknya merekapun tidak ingin dibatasi geraknya oleh siapapun," berkata penghubung itu.
"Bukankah mereka tentu tidak jauh dari arena pertempuran antara Nyi Wiradana melawan Iswari serta Ki Rangga Gupita," bertanya pemimpin itu.
"Agaknya aku terlalu tergesa-gesa sehingga aku tidak melihat pertempuran itu. Tetapi kawanku yang tadi menghadap Ki Sumbaga sekarang sedang menuju ke arena itu," jawab penghubung itu.
Ki Sumbaga termangu-mangu. Sebagai seorang bekas Senapati, maka ia telah dapat membayangkan kesulitan yang lebih besar yang dapat terjadi, jika Ki Rangga dan Warsi tidak segera dapat mengalahkan lawan-lawan mereka dan membantu para pengikutnya untuk menghancurkan para pengawal Tanah Perdikan.
Namun Ki Sumbaga itu tiba-tiba telah memberikan perintah, "Lihat pasukan kita pada sayap-sayapnya."
"Sayap yang mana" Kiri, atau kanan?" bertanya penghubung itu.
"Sayap yang dipimpin oleh Kala Sembung," jawab Ki Sumbaga.
Penghubung itu tidak bertanya lagi. Iapun segera meninggalkan Ki Sumbaga untuk melihat keadaan sayap pasukan itu.
Dalam pada itu penghubung yang lain tengah menyaksikan apa yang terjadi dengan Ki Rangga. Ternyata Ki Rangga tidak mampu beranjak dari tempatnya karena ia harus menghadapi Kiai Badra. Orang yang nampaknya sudah terlalu tua untuk berada di medan. Tetapi ternyata bahwa Ki Rangga tidak terlalu banyak mendapat kesempatan melawannya. Apalagi ketika sekelompok orang yang dipersiapkan untuk melawan orang tua itu sudah pecah disergap oleh para pengawal Tanah Perdikan.
*** JILID 16 "ANGGER," berkata Kiai Badra, "sebaiknya kau berhenti berperang. Perintahkan orang-orangmu untuk ditarik dari medan sebelum kematian menjadi semakin banyak. Sekali-sekali sempatkan menyaksikan apa yang telah terjadi. Kematian dan kematian. Sementara itu, kau dan orang-orangmu tidak akan mampu memenangkan perang ini."
"Kau memang sudah pikun," teriak Ki Rangga, "kaulah yang harus melihat kenyataan. Orang-orang sudah banyak yang terbunuh. Jika kau tidak mau menganjurkan agar Iswari menyerah, maka orang-orang Tanah Perdikan akan tumpas. Jika pasukanmu disini hancur, maka semua padukuhan akan tunduk kepadaku. Yang menentang pasti akan aku hancurkan sampai lumat."
"Angan-anganmu telah dibayangi oleh mimpi yang buruk itu," berkata Kiai Badra, "kau harus bangun dan mulai melihat kenyataan."
"Persetan," geram Ki Rangga yang mengerahkan kemampuannya. Tetapi Kiai Badra sama sekali tidak terguncang kedudukannya.
Di bagian lain dan medan itu, Iswari tengah bertempur dengan dahsyatnya melawan Warsi. Ilmu mereka yang dahsyat telah mulai merambah dalam pertempuran itu. Meskipun mereka masih menggenggam senjata masing-masing, namun senjata mereka bukan lagi senjata sewajarnya. Rantai di tangan Warsi telah menjadi jenis senjata yang lain. Rantai itu memang masih dapat diputar dan melentur dengan cepat. Namun rantai itu kadang-kadang justru telah menjadi tongkat baja yang menggetarkan. Ayunannya yang deras menimbulkan arus angin yang deras pula.
Namun Iswaripun menguasai senjatanya dengan baik. Kedua pedangnya telah berputaran bagaikan gumpalan-gumpalan asap di sebelah menyebelah tubuhnya.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka orang-orang dari kedua belah pihak telah menyibak. Ayunan ujung rantai Warsi benar-benar menggetarkan. Seseorang yang tersentuh ujung rantai itu, tanpa merangkapi kulitnya dengan ilmu kebal, akan segera koyak sampai ke tulang. Sedangkan ujung pedang Iswari merupakan bahaya yang sangat gawat. Jika seseorang digulung oleh gumpalan putih yang terjadi karena putaran pedang Iswari, maka tubuh orang itu tentu akan menjadi arang kranjang.
Dengan demikian, maka arena pertempuran antara Iswari dan Warsi itupun menjadi semakin lama semakin luas, Keduanya seakan-akan tidak lagi bertempur di medan perang. Tetapi mereka seakan-akan telah terlibat ke dalam perang tanding.
Tetapi sementara itu, keseimbangan pertempuran dalam keseluruhannya menjadi semakin jelas. Meskipun bulan bulat memancar terang di langit, namun sinarnya tidak mampu mempengaruhi kekuatan kedua belah pihak yang sedang bertempur itu.
Bahkan beberapa orang pengikut Warsi yang mengetahui bahwa Warsi yakin akan kekuatan cahaya bulan itu akan memberikan arti bagi ilmunya, masih harus berharap-harap cemas, karena sedemikian jauh, Warsi masih belum berhasil mendesak lawannya yang bertempur dengan pedang rangkap itu.
Tetapi Warsi sendiri sama sekali tidak merasakan kecemasan itu. Ia memang masih belum sampai pada tingkat ilmunya yang tertinggi, sehingga pengaruh cahaya bulan itu akan terasa dan bahkan ikut menentukan. Warsi masih bertempur dengan mengandalkan tenaga cadangannya dan kemampuannya bermain senjata serta ketrampilan tangan dan kakinya, ia sudah melatihnya bertahun-tahun sehingga ia ingin tahu, apakah Iswari mampu mengimbanginya pula.
Namun ternyata Iswaripun telah menempa diri pula. Itulah sebabnya, bahwa sekedar kecepatan gerak, kemampuan bermain senjata dan kekuatan yang didorong oleh tenaga cadangannya, belum cukup bagi Warsi untuk mendesak Iswari.
Meskipun demikian, Warsi masih belum tergesa-gesa. Ia masih berusaha menghisap kekuatan cahaya bulan sebanyak-banyaknya malam itu, setelah malam sebelumnya ia tidur di alam terbuka, di bawah cahaya bulan pula.
Agak berbeda dengan Warsi yang lebih asyik dengan dirinya sendiri, serta warna dendam yang mencengkam jantungnya, maka Ki Rangga harus memperhatikan keadaan seluruh medan. Sekali-sekali ia telah mengambil jarak dari lawannya untuk sekedar melihat suasana dalam keseluruhan. Namun agaknya sulit baginya untuk dapat menjangkau gambaran yang luas tentang pertempuran itu.
Tetapi dalam pada itu, lawannya agaknya dengan sengaja telah memberikan waktu kepadanya. Lawannya yang telah tua itu. "Usiamu yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, meskipun keadaan wadagnya tidak lagi mampu mendukung ilmunya sebagaimana beberapa tahun sebelumnya."
Bahkan Kiai Badra itupun kemudian berkata, "Sulit Ngger untuk dapat melihat keseluruhan medan meskipun cahaya bulan sangat terang, hampir seperti siang hari. Sebaiknya Angger mempergunakan penghubung untuk mendapatkan laporan yang lebih jelas."
"Persetan," geram Ki Rangga yang kemudian menyerang Kiai Badra seperti badai. Namun Kiai Badra memang sulit untuk dikuasainya. Bahkan setiap kali Ki Rangga merasa betapa orang tua itu mampu menekannya dengan kekuatan yang sangat besar, apalagi dibanding dengan umurnya yang tua itu.
Namun akhirnya, Ki Rangga langsung atau tidak langsung telah menyetujui pendapat Kiai Badra. Dalam satu kesempatan yang terbuka, yang seolah-olah dengan sengaja memang diberikan oleh lawannya, Ki Rangga telah memerintahkan kepada seorang prajuritnya untuk mencari hubungan dengan Ki Sumbaga.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Badra memang membiarkan Ki Rangga itu melakukannya. Dengan demikian Kiai Badra berharap bahwa Ki Rangga akan mengetahui keadaan medan yang sebenarnya. Kiai Badra berharap bahwa Ki Rangga akan dapat menerima laporan, bahwa pasukannya perlahan-lahan mulai terdesak.
Sebenarnyalah, setelah menerima laporan yang mendekati lengkap dari para penghubung, maka para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan telah menentukan langkah terakhir. Iswari sendiri tidak dapat berhubungan dengan Pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Sembojan, karena semakin lama pertempuran antara Iswari dan Warsi itu menjadi semakin sengit, sehingga Iswari itu tidak mendapat kesempatan sama sekali berhubungan dengan seorang penghubung.
Namun karena pasukan itu telah dipersiapkan dengan masak, maka gerak pasukan itu memang tidak tergantung kepada Iswari atau guru-gurunya.
Karena itulah, maka pemimpin pasukan pengawal pada saatnya telah memberikan isyarat. Seorang penghubung telah melepaskan anak panah sendaren ke udara. Panah sendaren itu telah diarahkan ke kedua sayap pasukan Tanah Perdikan itu.
Ki Sumbaga, Ki Ajar Tulak dan Ki Kala Sembung yang juga mendengar suara panah sendaren itupun menjadi berdebar-debar. Sambil bertempur mereka mencoba untuk mengerti, apakah yang akan terjadi. Satu langkah yang bagaimana yang akan diambil oleh para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung yang memimpin pasukan Tanah Perdikan pada sayap-sayapnya telah menangkap isyarat itu. Karena itu, maka sebagaimana telah disepakati, ujung-ujung sayap dari gelar Wulan Tumanggal itu harus berkerut. Pada saat kekuatan pasukan lawan menjadi susut adalah kesempatan untuk mempersempit medan. Perlahan-lahan sejalan dengan tingkat turunnya kemampuan lawan, sehingga di kedua belah pihak, terutama pada pasukan Tanah Perdikan Sembojan sendiri, tidak terlalu banyak jatuh korban.
Karena itulah, maka perlahan-lahan rasa-rasanya medan itu memang telah berkerut. Pasukan Tanah Perdikan mulai mendesak dari kedua ujung gelarnya. Kedua orang yang memimpin kedua sayap gelar pasukan Tanah Perdikan Sembojan itupun segera mengerahkan kemampuan mereka untuk mengatasi lawan-lawan mereka.
Namun Ki Kala Sembung dan Ki Ajar Tulak memang orang berilmu tinggi. Merekapun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk menahan gerak pasukan Tanah Perdikan. Jika gelar itu berhasil berkerut, maka gelar itu seakan-akan meremas pasukan dari balik bukit itu.
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin keras, Orang-orang Tanah Perdikan telah mengerahkan segenap kekuatan untuk memenuhi isyarat yang telah diberikan oleh para pemimpinnya sesuai dengan ketentuan.
Justru pada saat-saat daya tahan orang-orang dari balik bukit itu mulai susut, maka orang-orang Tanah Perdikan telah mengerahkan kekuatan mereka yang tersisa.
Tetapi tanpa dukungan para pemimpin di sayap, maka orang-orang dari balik bukit yang menjadi bagaikan putus asa itu justru membuat orang-orang Tanah Perdikan menjadi ngeri. Tingkah laku mereka bahkan tidak terkendali lagi. Mereka tidak saja bertempur dengan keras dan kasar, tetapi mereka benar-benar telah menjadi seperti orang gila.
Untuk meyakinkan bahwa sayap-sayap itu akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka Jati Wulung dan Sambi Wulunglah yang akan dapat ikut menentukan.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah berusaha untuk mendesak Ki Ajar. Namun ia masih berusaha memperingatkan, "Saatnya hampir tiba Ki Ajar, Sadarilah akan keadaan. Kau tidak akan dapat lari dari kenyataan."
"Persetan kau," geram Ki Ajar.
Sambi Wulung masih akan menjawab. Tetapi keris Ki Ajar yang besar itu hampir saja menyambar wajahnya.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulungpun menyadari, bahwa Ki Ajar itu tidak lagi sekedar mempergunakan ilmu pedangnya yang nampak mengerikan dalam ungkapan sebilah keris yang besar. Tetapi Ki Ajar itu telah merambah pada ilmunya yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka di bawah cahaya bulan, Sambi Wulung kadang-kadang melihat keris itu tidak hanya sebuah. Pada gerakannya yang cepat, kadang-kadang nampak bayangan keris itu menjadi beberapa buah.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ilmu lawannya memang dapat membingungkannya. Kadang-kadang ia salah memperhitungkan gerak senjata lawannya.
Sementara itu, orang-orang dari balik bukit itu masih berpengharapan, Apalagi ketika mereka melihat di cahaya bulan, keris Ki Ajar itu bagaikan berubah menjadi semakin banyak. Jika lawan Ki Ajar itu sudah dibinasakan, maka sayap pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu akan segera dapat dihancurkan. Ki Ajar itu akan dapat membunuh lawan-lawannya seperti menebas batang ilalang.
Namun pemimpin sayap pasukan Tanah Perdikan itu ternyata tidak mudah untuk dihancurkan.
Apalagi ketika Sambi Wulung menyadari, bahwa lawannya telah merambah pada ilmunya yang tinggi, maka Sambi Wulungpun tidak dapat berbuat lain. Iapun telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan dengan ilmu yang hampir tidak pernah dipergunakannya jika keadaan tidak sangat memaksa.
Namun untuk melawan permainan keris lawannya yang besar yang dilandasi dengan ilmu yang tinggi, sehingga kadang-kadang Sambi Wulung menjadi bingung itu, maka Sambi Wulungpun telah mulai melepaskan ilmunya pula. Tetapi Sambi Wulung tidak ingin membunuh membabi buta. Jika ia melontarkan ilmunya dalam pertempuran yang hampir berdesakan itu, maka korbannya tentu bukan saja lawan-lawannya. Tetapi tentu akan dapat menyentuh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan sendiri.
Karena itu, maka Sambi Wulung telah melawan ilmu lawannya dengan ilmu yang khusus pula, namun masih berkisar pada kekuatan panasnya api.
Pedang Sambi Wulung bukannya pedang yang terpilih. Pedangnya adalah pedang seorang prajurit atau pengawal. Namun di tangannya pedang itu memang memiliki kekuatan yang khusus.
Jika keris lawannya yang besar itu di bawah cahaya bulan dapat berubah seolah-olah menjadi lebih banyak sehingga dapat membingungkannya, seakan-akan Ki Ajar itu memanfaatkan cahaya bulan yang kekuning-kuningan itu, maka Sambi Wulung justru mengatasi cahaya bulan itu. Daun pedangnya yang terbuat dari baja yang biasa saja itu, tiba-tiba telah berubah warnanya. Daun pedang itu menjadi kemerah-merahan seperti membara. Namun ketika pedang itu berputar semakin keras, maka warna yang kemerah-merahan mengatasi cahaya bulan itupun telah berubah lagi menjadi kebiru-biruan.
Ki Ajar terkejut melihat perubahan ujud senjata lawannya. Apalagi ketika senjata itu kemudian berputar dengan cepat. Yang nampak tidak lebih dari segulung kabut yang berwarna kebiru-biruan.
Ki Ajar memang tidak mengira, bahwa ia akan bertemu dengan kekuatan yang ternyata bukan saja mampu mengimbanginya. Bahkan kemudian terasa oleh Ki Ajar, bahwa ia benar-benar harus berjuang mati-matian untuk melawan pemimpin sayap pasukan Tanah Perdikan itu.
Pertempuran antara kedua orang pemimpin di sayap itupun menjadi semakin sengit. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan yang telah mendapat latihan dengan saksama dalam perang gelarpun telah mengetahui tugas-tugas mereka.
Tanpa perintah dari pemimpin sayapnya, yang diketahui sedang bertempur dengan sengitnya, bahkan antara hidup dan mati, maka mereka telah mengambil sikap sebagaimana harus mereka lakukan.
Dengan kekuatan yang ada pada mereka, maka para pengawal dan anak-anak muda yang berada pada sayap itu telah berusaha untuk menekan lawannya sehingga arena pertempuran itu berkerut.
Sejenak kemudian, maka keadaanpun menjadi semakin jelas. Meskipun Sambi Wulung tidak mempergunakan ilmunya yang tertinggi, untuk menjaga agar ilmunya itu tidak justru menyentuh para pengawal Tanah Perdikan sendiri, namun ilmu yang dipergunakannya ternyata telah mampu mengatasi ilmu puncak lawannya.
Jika semula Sambi Wulung kadang-kadang dibingungkan oleh ujud senjata lawannya yang seakan-akan menjadi lebih dari satu, maka kemudian lawannyalah yang dibingungkan oleh gulungan kabut yang berwarna kebiru-biruan. Meskipun Ki Ajar tahu, bahwa yang seakan-akan gulungan kabut itu adalah bayangan putaran pedang lawannya, tetapi setiap kali ia mencoba untuk menyerang, maka senjatanya telah membentur pedang lawannya. Sehingga karena itu, maka sulit bagi Ki Ajar untuk dapat menyusupkan senjatanya apalagi mengenai tubuh lawannya itu.
Bahkan dalam serangan-serangan yang cepat silih berganti, ternyata bahwa ujung pedang Sambi Wulung telah menyentuh lengan Ki Ajar sehingga segores luka telah menganga.
Ki Ajar mengumpat kasar. Terasa betapa lukanya bukan saja menjadi pedih. Tetapi luka itu menjadi panas seperti dikoyak api.
Ki Ajar yang terluka itu harus segera mengambil jarak. Sementara itu Sambi Wulung ternyata juga dengan sengaja memberinya kesempatan. Karena dengan demikian Ki Ajar itu dapat merasa betapa pasukannya telah mendapat tekanan yang berat sekali yang memaksa seluruh gelar itu berkerut.
Sementara itu, di sayap yang lain Kala Sembung bertempur seperti orang kehilangan akal. Seperti sayap yang dipimpin oleh Sambi Wulung, maka sayap yang dipimpin oleh Jati Wulung itupun telah memaksa orang-orang dari balik bukit untuk mempersempit arena pertempuran.
Pada saat yang demikian, maka keseimbangan kekuatan antara kedua kekuatan itu menjadi semakin jelas. Apalagi ketika orang-orang dan balik bukit itu tidak lagi dapat mengharapkan pemimpin-pemimpin mereka untuk mengatasi kesulitan. Ternyata mereka tidak mampu melawan para pemimpin dari Tanah Perdikan dan kemudian bertempur seperti menebas ilalang. Bahkan para pemimpin dari para pengikut Ki Rangga itu telah terluka. Kala Sembungpun ternyata tidak lagi mampu menghindari semua serangan Jati Wulung yang semakin lama semakin garang, apalagi ketika Jati Wulung mulai merambah kemampuan ilmunya yang tinggi.
Ternyata Kala Sembung tidak mampu mengimbangi kegarangan Jati Wulung, meskipun Kala Sembung jauh lebih kasar dari lawannya. Betapapun ia mengumpat-umpat dan berteriak-teriak dengan liarnya, namun justru senjata Jati Wulunglah yang telah mengenai tubuhnya. Bukan sebaliknya.
Dengan demikian maka perlahan-lahan medan itu memang berkerut. Sayap-sayap gelar Wulan Tumanggal yang berkerut itu telah memaksakan arena pertempuran menjadi semakin sempit. Sementara itu kekuatan dan kemampuan orang-orang dari balik bukit itupun menyusut.
Ki Sumbaga, bekas seorang perwira pasukan Jipang, mengetahui dengan pasti apa yang terjadi. Selain naluri keprajuritannya maka laporan-laporan yang sampai kepadanyapun telah mengatakan apa yang telah terjadi di arena pertempuran itu.
Tetapi Ki Sumbaga tidak mempunyai cara yang dapat dipergunakan untuk merubah keadaan. Dalam gelar yang utuh, maka pasukan tentu menyediakan kelompok cadangan yang akan dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan. Tetapi pasukannya sama sekali tidak mempunyai kekuatan cadangan yang dapat dipanggilnya untuk mengatasi kesulitan.
Karena itu, maka jalan satu-satunya yang dapat dilihat oleh Ki Sumbaga untuk menyelamatkan pasukannya adalah menarik diri sebelum kedua ujung sayap lawan terkatup di belakang garis pertempuran. Jika demikian, maka berarti pasukan dari balik bukit itu telah terkepung rapat.
Namun tidak mudah untuk melakukannya. Ada banyak perimbangan yang harus dilakukan. Terutama bahwa Ki Sumbaga harus berhubungan lebih dahulu dengan Ki Rangga dan Warsi.
Ketika seorang penghubung dikirim oleh Ki Rangga, Ki Sumbaga sama sekali belum sampai pada satu kesimpulan untuk menarik pasukannya. Bahkan terlintaspun sama sekali belum.
Namun setelah laporan-laporan terakhir sampai kepadanya, juga tentang kesulitan kedua pemimpin di ujung sayap, maka Ki Sumbaga tidak melihat kemungkinan lain sebelum pasukannya benar-benar hancur. Selagi mereka masih mempunyai kekuatan, maka sambil bergeser ke kaki bukit untuk seterusnya menghindar, mereka dapat mengurangi korban sebanyak-banyaknya.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian justru Ki Sumbagalah yang telah mengirimkan pesan kepada Ki Rangga, apa yang paling baik dilakukan.
Namun ternyata Ki Rangga berpendirian lain. Ia berharap bahwa Warsi dapat menyelesaikan lawannya lebih dahulu, baru mereka akan mengambil sikap bagi seluruh pasukan. Mungkin mereka memang harus menarik diri. Namun mungkin mereka justru akan dapat menghancur-lumatkan para pengawal Tanah Perdikan sepeninggal Iswari.
Ketika sikap itu kemudian diberitahukan kepada Ki Sumbaga, maka agaknya telah terjadi perbedaan sikap di antara kedua pemimpin itu.
Untuk beberapa saat Ki Sumbaga masih berusaha bertahan. Namun akhirnya ia tidak melihat keuntungan apapun lagi untuk tetap bertahan. Apalagi ketika ia mendapat laporan bahwa pertempuran antara Warsi dan Iswari ternyata tidak segera dapat diketahui siapakah yang akan menang.
Karena itu, maka menurut perhitungan Ki Sumbaga sebagai seorang yang memahami tentang keseimbangan pertempuran serta perhitungan kekuatan, pasukannya tidak akan mungkin dapat bertahan lagi. Sehingga karena itu, maka ia telah mengirimkan lagi seorang penghubung untuk memberitahukan kepada Ki Rangga, bahwa seharusnya pasukannya menarik diri.
"Katakan kepada Ki Rangga. Kita tidak boleh menjadi gila dan kehilangan pertimbangan. Perjuangan kita dipersiapkan untuk waktu yang panjang. Bukan hanya sekedar hari ini," pesan Ki Sumbaga. Lalu, "Karena itu maka kita harus menarik diri dan menyelamatkan yang masih mungkin kita selamatkan. Warsipun harus menyadari keadaan ini. Ia tidak boleh tenggelam pada dendam pribadinya sehingga mengorbankan seluruh pasukan ini. Katakan kepada Ki Rangga, jika Ki Rangga berkeberatan, maka kita akan menarik diri tanpa menghiraukan ia lagi. Mungkin orang-orang sisa gerombolan Kalamerta akan tinggal. Tetapi orang-orangku akan aku selamatkan."
Demikianlah ketika pesan itu sampai kepada Ki Rangga, ia benar-benar menjadi bingung. Sementara itu, lawannya nampaknya dengan sengaja membiarkannya mendengar pesan-pesan itu tanpa diganggunya meskipun Kiai Badra sendiri tidak dapat ikut mendengarkannya. Namun ketajaman panggraita Kiai Badra dapat menduga, apakah yang disampaikan oleh penghubung itu kepadanya.
Tetapi Ki Rangga tidak akan dapat menyampaikannya kepada Warsi. Ia sadar, dalam keadaan demikian, maka sulit bagi Warsi untuk mendengarkan pendapat orang lain. Ia telah tenggelam ke dalam arus perasaannya yang sulit untuk dikekang lagi.
Untuk mengatasi kesulitannya, maka Ki Rangga telah berkata kepada penghubung itu, "beri tanda yang pertama. Tunggu sampai aku sependapat untuk memberikan isyarat berikutnya."
Penghubung itu agaknya tanggap akan kesulitan Ki Rangga. Demikian pula Ki Sumbaga, Karena itu, untuk mengatasinya maka Ki Sumbaga yang ada di induk pasukannya itu telah memberikan isyarat pertama kepada seluruh pasukannya.
Tiga buah anak panah berapi telah naik ke udara.
Demikianlah anak panah itu memancar di langit, maka terdengar aba-aba sandi yang memang sudah dipersiapkan oleh para pemimpin pasukan dari balik bukit itu.
Ternyata semua orang di dalam pasukan dari balik bukit itu telah mendengar aba-aba itu. Mereka menyadari bahwa mereka harus bersiap-siap untuk menarik diri dari medan.
Warsipun telah mendengar pula aba-aba itu. Tetapi tanggapannya sebagai diduga oleh Ki Rangga Gupita. Yang terdengar adalah suitan nyaring dari mulut Warsi yang sedang bertempur mati-matian itu. Satu isyarat, bahwa pasukannya harus tetap bertahan.
Ki Sumbaga yang telah bergeser semakin dekat dengan Ki Rangga akhirnya tidak dapat menerima kebijaksanaan itu. Ia tidak mau mengorbankan orang-orangnya, bekas para prajurit Jipang, hanya karena dendam pribadi Warsi yang bergejolak.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka ia sama sekali tidak menghiraukan isyarat yang diberikan oleh Warsi.
Dengan demikian maka sesaat kemudian, Ki Sumbaga telah melepaskan isyarat kedua. Sehingga seluruh pasukannya, terutama bekas para prajurit Jipang serta sanak keluarga mereka yang telah dibina dan dipersiapkan untuk pertempuran itu, menjadi semakin bersiaga untuk mengundurkan diri sebaik-baiknya tanpa meninggalkan korban terlalu banyak di saat penarikan itu terjadi. Ki Sumbaga tidak mau tetap berada di medan dalam keadaan seperti itu, sehingga mereka seakan-akan telah dengan sengaja membunuh diri bersama-sama.
Tetapi Warsi yang mendengar isyarat itu menjadi sangat marah. Ia merasa dikhianati oleh orang-orang yang telah sepakat berjuang bersamanya. Karena itu, maka iapun telah bersuit pula dengan nyaringnya untuk mencoba mencegah agar pasukannya itu tidak menarik diri.
Namun Ki Sumbaga sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Keadaan menjadi semakin mendesak. Sehingga dengan demikian, maka sekali lagi anak panah berapi telah melambung ke udara disusul oleh teriakan-teriakan para pemimpin kelompok yang memberikan isyarat kepada pasukannya untuk menarik diri.
Isyarat itu memang dapat ditangkap sampai ke ujung sayap. Karena itu, maka Ki Ajarpun telah berusaha menyesuaikan dirinya. Tetapi agaknya Sambi Wulung sama sekali tidak memberinya kesempatan. Sehingga dengan demikian, maka Sambi Wulung itu sama sekali tidak membiarkan lawannya itu mengambil jarak sejengkalpun. Orang yang berilmu tinggi seperti Ki Ajar itupun ternyata mengalami juga kesulitan. Tetapi ia telah memerintahkan orang-orangnya untuk menarik diri sebagaimana isyarat yang diterimanya.
Namun bahwa para pengikut Ki Ajar ternyata adalah orang-orang yang setia. Beberapa orang yang melihat kesulitan Ki Ajar melepaskan diri dari lawannya, maka mereka telah menyergap Sambi Wulung tanpa menghiraukan keselamatannya mereka sendiri meskipun mereka melihat seakan-akan gumpalan asap yang berwarna kebiru-biruan di sekitar tubuh Sambi Wulung.
Sambi Wulung terkejut. Namun ia justru bergeser surut. Ia tidak bersiap menghadapi keadaan seperti itu.
Memang terbersit niat di dalam dirinya untuk dengan serta-merta menyergap mereka dan membantainya tanpa ampun. Namun ada sesuatu yang menahan di dalam dadanya. Orang-orang itu memang bukan lawannya. Jika ia berniat, maka lima bahkan sepuluh orang sekalipun akan dapat ditembusnya dengan menghunjamkan pedangnya ke tubuh mereka. Atau bahwa jika ia berniat melepaskan ilmu pamungkasnya, maka orang-orang itu akan dengan segera dapat dibinasakannya.
Tetapi justru melihat kesetiaan mereka, Sambi Wulung menjadi terpesona sesaat.
Kesempatan itu agaknya telah dipergunakan oleh Ki Ajar yang telah tergores ujung senjata Sambi Wulung. Dengan cepat ia menyelinap di antara para pengikutnya dan hilang di antara mereka.
Sambi Wulung memang menjadi marah. Pedangnya tiba-tiba berputar semakin cepat. Tetapi ketika dua sosok terlempar dan jatuh di antara kaki-kaki kawan-kawan mereka sendiri, sekali lagi terasa sesuatu telah menghambatnya. Pedangnya tidak lagi berputar sehingga seakan-akan telah menimbulkan kabut di sekitar tubuhnya. Bahkan kebiru-biruan pada daun pedangnya itupun seakan-akan telah memudar, sehingga Sambi Wulung harus mengkaji kenyataan, bahwa ia telah kehilangan lawannya.
Sementara itu, pasukan dari balik bukit itu telah mulai bergerak surut. Perlahan-lahan. Beberapa orang bekas prajurit telah memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya mereka menarik diri.
Tetapi agak berbeda dengan Ki Ajar, maka di sayap lain telah terjadi sikap yang berbeda dari Ki Kala Sembung.
Semula ia memang melihat isyarat panah api yang melambung di udara. Tetapi di saat-saat ia mempersiapkan diri, maka Ki Kala Sembungpun telah mendengar isyarat yang diberikan oleh Warsi. Isyarat yang dikenalnya sebaik-baiknya, sehingga karena itu, maka sayap yang dipimpinnya ternyata telah mengambil sikap sendiri.
Dengan garang Ki Kala Sembung memerintahkan kepada orang-orangnya untuk tidak menarik diri.
"Pemimpin kita sedang menyabung nyawa. Isyarat itu adalah perintah. Kita tidak akan menarik diri sebagaimana dilakukan oleh para pengecut yang justru berada di induk pasukan." teriak Ki Kala Sembung sambil mengayun-ayunkan senjatanya yang berat.
Para pengikutnya, yang sebagian besar adalah bekas para pengikut Kalamerta ternyata sependapat dengan Kala Sembung. Mereka telah ditempa oleh keadaan, bahwa mereka adalah landasan tempat para pemimpin mereka berdiri. Karena itu, ketika mereka mendengar isyarat dari Warsi, mereka telah bertekad untuk tetap berada di medan.
Dengan demikian, maka para pengikut Kalamerta yang keras dan kasar itu, justru menjadi semakin buas. Mereka bertempur dengan cara apapun juga untuk membinasakan lawan-lawan mereka.
Namun dalam pada itu, sebagian dari pasukan dari balik bukit itu telah mulai bergerak menarik diri dari medan. Sebelum ujung sayap gelar Wulan Tumanggal yang berkerut itu sempat mengurung pasukan lawan, maka pasukan lawan itu sudah bergeser.
Namun tidak keseimbangan pada gerak lawan, memang telah menimbulkan persoalan bagi gelar Wulan Tumanggal yang utuh itu. Sehingga dengan demikian, maka para pemimpin dalam gelar itu harus mengambil kebijaksanaan dengan segera.
Di sayap yang dipimpin Sambi Wulung, maka telah diperintahkan usaha untuk bergerak melingkar. Tetapi gerak itu ternyata terlalu lamban karena para pengikut Ki Ajarpun telah bergeser surut.
Sementara di induk pasukan, sebagian besar pasukan dari balik bukit itu telah bergerak mundur.
Tetapi ternyata bahwa Warsi sama sekali tidak menghiraukan keadaan medan. Ia merasa bahwa kesempatan itu adalah kesempatan yang paling baik baginya. Meskipun ia masih belum dapat menentukan siapakah yang akan menang, namun pertempuran antara dirinya dan Iswari saat itu akan dapat menjadi arena takaran, siapakah di antara mereka yang terbaik.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Warsi dan Iswari itu sama sekali tidak terpengaruh oleh arus pasukan yang mengalir. Bahkan Ki Ranggapun telah terjebak pula di dalamnya sehingga ia tidak akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri, karena ia telah berada di antara para pengawal Tanah Perdikan bersama Warsi yang sedang bertempur itu.
Namun justru karena itu, Kiai Badra tidak lagi mengikat Ki Rangga itu dalam pertempuran. Dibiarkannya saja Ki Rangga itu berdiri termangu-mangu mengamati pertempuran antara Warsi dan Iswari.
Untuk beberapa saat lamanya memang terjadi gejolak di medan pertempuran itu. Pasukan pengawal Tanah Perdikan memang berusaha untuk memburu lawan mereka yang menarik diri. Namun pasukan lawan yang sebagian terdiri dari bekas para prajurit serta keluarga mereka yang telah mendapat latihan-latihan dan petunjuk-petunjuk khusus itu tidak mudah untuk melakukannya.
Untuk beberapa saat memang terjadi kekisruhan. Apalagi karena orang-orang yang dipimpin oleh Kala Sembung mengamuk dengan garangnya. Bahkan dalam kekisruhan itu, mereka telah berhasil menyusup mendekati arena pertempuran antara Warsi dan Iswari.
Hampir saja terjadi kelengahan di dalam induk pasukan Tanah Perdikan ketika sebagian besar dari mereka sibuk mengejar lawan yang menarik diri. Untunglah di antara sejumlah kecil pengawal terdapat orang-orang tua dari Tanah Perdikan, sehingga mereka dapat ikut membantu menahan arus orang-orang yang sedang mengamuk itu.
Namun ketika seorang di antara mereka sempat mendekati Warsi dan berusaha untuk membantunya, maka Warsi itu berteriak nyaring, "Pergi. Jangan ganggu kami. Kami sedang berperang tanding."
Pernyataan itu begitu saja terlontar dari mulut Warsi. Namun Iswaripun mempunyai harga diri. Karena itu, maka iapun telah menyahut, "Bagus. Kita memang sedang berperang tanding."
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Ranggapun merasa beruntung, bahwa keduanya telah bersepakat untuk memasuki perang tanding, sehingga tidak ada orang lain yang akan dapat membantunya.
Medan pertempuran itu untuk sementara memang menjadi tidak menentu. Sebagian dari para pengawal Tanah Perdikan memang berusaha memburu lawan-lawan mereka yang melarikan diri. Tetapi ternyata hal itu tidak mudah mereka lakukan. Dengan pengalaman yang luas bekas prajurit-prajurit Jipang itu ternyata mampu menarik pasukannya menuju ke tebing, sehingga akhirnya mereka berpencar sambil memanjat naik. Mereka menyelinap di antara gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh liar di lereng di antara batu-batu padas dan lekuk-lekuk tanah berkapur.
Ternyata bahwa tidak terlalu mudah untuk mengejar mereka. Meskipun satu dua orang memang dapat ditangkap, namun sebagian besar dari mereka berhasil lolos dan hilang di tebing yang liar itu.
Berbeda dengan mereka, maka orang-orang yang dipimpin oleh Kala Sembung telah bertempur tanpa perhitungan. Mereka menyerang membabi buta, sementara sebagian besar para pengawal meninggalkan gelar.
Sementara itu Ki Ranggalah yang masih sempat membuat perhitungan tersendiri. Ketika Warsi dan Iswari sudah jelas memasuki perang tanding, maka Ki Rangga itu pun telah memberi isyarat kepada para pengikut Kala Sembung itu. Selagi orang-orang yang mengejar pasukan yang mundur itu belum kembali, maka Ki Rangga ingin juga menyelamatkan sisa-sisa orang yang masih ada.
Karena itu, maka terdengar isyarat yang diberikan oleh Ki Rangga. Suitan nyaring telah menggetarkan udara.
Warsi sendiri, yang memang sudah menyatakan dirinya berperang tanding, tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi di medan pertempuran itu. Ia hanya berniat untuk membunuh Iswari. Semua yang pernah diangan-angankan telah dilupakannya. Tentang Tanah Perdikan Sembojan, tentang anak-anaknya yang harus merebut kekuatan di Tanah Perdikan itu, landasan bagi langkah berikutnya untuk mencapai Pajang dan angan-angan yang lain telah tenggelam dalam arus dendamnya yang membara.
Kala Sembung memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika isyarat itu diulangi lagi, maka Kala Sembung tidak dapat berbuat lain. Iapun telah mengulangi isyarat itu pula sehingga para pengikutnya menjadi yakin, bahwa para pemimpin mereka menghendaki mereka meninggalkan medan.
Kala Sembung tidak sempat berusaha mengetahui apa yang terjadi dengan Warsi dan Ki Rangga. Tetapi ia yakin bahwa isyarat itu telah diberikan oleh Ki Rangga Gupita sendiri.
Karena itu, maka sebelum orang-orang yang mengejar pasukan yang menarik diri terdahulu kembali, maka Kala Sembung berusaha membawa orang-orangnya untuk menyelamatkan diri.
Namun ternyata nasibnyalah yang malang. Jati Wulung benar-benar tidak mau melepaskannya. Ternyata Jati Wulung yang menjadi sangat marah karena sikap Kala Sembung dan orang-orangnya yang menjadi gila dan hampir saja sempat menerobos arena pertempuran antara Warsi dan Iswari justru di induk pasukan di saat para pengawal mengejar lawan-lawannya, benar-benar tidak mau membiarkannya lari.
Kala Sembung sendiri memang berusaha untuk membawa orang-orangnya meninggalkan medan. Tetapi karena Jati Wulung sama sekali tidak memberinya kesempatan lagi, maka sambil menarik diri Kala Sembung harus bertempur terus. Sekali-sekali ia sempat melepaskan pertempuran itu dan berloncatan menjauh dengan loncatan-loncatan panjang didorong oleh kemampuan ilmunya. Namun Jati Wulungpun mampu pula menyusulnya dan langsung melibatnya kembali dalam pertempuran yang sengit.
Beberapa orang pengikut Kala Sembung memang berusaha untuk membantunya. Tetapi para pengawal yang semula berada di sayap yang dipimpin oleh Jati Wulung itupun telah menyusul mereka pula, sehingga mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membantu pemimpinnya.
Bagaimanapun juga liarnya, ternyata Kala Sembung termasuk orang yang bertanggung jawab. Meskipun ia sendiri berada dalam kesulitan, namun ia masih juga sempat memberikan isyarat agar orang-orangnya berusaha menyelamatkan diri dari medan yang garang itu.
Tetapi Kala Sembung sendiri harus bertempur menghadapi Jati Wulung yang marah itu.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Kala Sembung memutar bindinya. Bindi bergerigi yang mendebarkan. Meskipun bindi itu cukup berat, tetapi di tangan Kala Sembung nampaknya tidak lebih berat dari sebatang lidi.
Tetapi Jati Wulung memiliki banyak kelebihan dari Kala Sembung. Karena itu ketika kemarahannya tidak terbendung lagi, maka Jati Wulungpun tidak lagi mempunyai pertimbangan lain. Dengan mengerahkan kecepatan geraknya didasari dengan kemampuan ilmu dan tenaga cadangannya, maka ujung pedang Jati Wulungpun telah mampu menyusup di antara bindi Kala Sembung.
Kala Sembung terkejut, ia merasa kulitnya tergores oleh ujung pedang Jati Wulung. Karena itu, maka iapun memutar bindinya yang bergerigi itu lebih cepat. Diayunkannya bindi itu mengarah langsung ke kepala lawannya, ketika sekali lagi Jati Wulung berusaha menembus pertahanannya.
Namun Jati Wulung cukup tangkas. Dengan bergeser ke samping ia berhasil membebaskan kepalanya dari ayunan bindi itu, meskipun terasa angin ayunannya menampar wajahnya.
Namun tepat pada saat itu, Jati Wulung telah berputar bertumpu pada satu kakinya, sementara tangannya terjulur lurus sambil menggenggam pedangnya.
Terdengar Kala Sembung mengumpat kasar. Ujung pedang Jati Wulung sekali lagi tergores di dadanya, sehingga Kala Sembung itu terdorong beberapa langkah surut.
Ternyata Jati Wulung tidak membiarkan lawannya itu memperbaiki keadaannya. Dengan loncatan yang cepat serta pedang terjulur lurus ke depan, Jati Wulung telah memburunya.
Tidak ada kesempatan sama sekali bagi Kala Sembung untuk berbuat sesuatu. Ia memang mencoba untuk menangkis dengan bindinya yang berat. Tetapi ternyata Kala Sembung itu terlambat, sehingga pedang Jati Wulung telah menghunjam jantungnya.
Kala Sembung mengerang kesakitan. Dengan penuh kebencian itu memandang Jati Wulung yang marah itu.
Namun Kala Sembung tidak sempat berbuat apapun juga. Ketika Jati Wulung kemudian menarik pedangnya, maka Kala Sembung itupun kemudian telah jatuh terjerembab di tanah.
Jati Wulung berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang di sekelilingnya, maka dilihatnya para pengawal masih berusaha mengejar orang-orang yang melarikan diri. Namun agaknya orang-orang yang melarikan diri itu telah memanfaatkan setiap pepohonan, batang-batang perdu dan tanaman di sawah untuk menyelamatkan diri.
Sejenak Jati Wulung bagaikan membeku. Namun kemudian iapun telah berpaling ke arena pertempuran antara Warsi dan Iswari yang dikelilingi oleh beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Sementara para pengikut Kala Sembung yang berhasil menyusup ke induk gelar telah dilumpuhkan.
Selangkah demi selangkah Jati Wulung mendekati arena itu. Di bawah cahaya bulan ia melihat orang-orang tua Tanah Perdikan berada di dalam arena. Demikian pula Ki Rangga. Menilik sikap kedua orang yang bertempur itu, maka Jati Wulung mengambil kesimpulan, bahwa mereka agaknya telah bersepakat untuk berperang tanding.
Sejenak Jati Wulung mengamati orang-orang lain di keliling arena itu. Beberapa kali ia harus bergeser untuk dapat melihat dengan jelas siapa saja yang berada di antara mereka. Namun Jati Wulung tidak menemukan Sambi Wulung.
Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Menurut pendapatnya, Sambi Wulung tentu sedang ikut bersama para pengawal mengejar orang-orang dari balik bukit yang melarikan diri. Namun bagaimanapun juga ia merasa cemas, bahwa lawan Sambi Wulung adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Untuk beberapa saat lamanya, Jati Wulung tidak menghiraukan pertempuran di arena itu. Menurut pendapatnya di tempat itu sudah terdapat orang-orang tua yang berilmu sangat tinggi, sehingga segala sesuatunya akan dapat mereka selesaikan. Tetapi yang kemudian menjadi perhatiannya adalah Sambi Wulung.
Karena itu, maka Jati Wulungpun telah melangkah justru menjauhi arena itu menuju ke bukit. Ia bergeser melintasi arah pasukan induk ke arah sayap yang lain. Kemudian mengikuti jejak dari pasukan lawan yang menarik diri disusul oleh pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Sambil melangkah, Jati Wulung mengamati tubuh-tubuh yang terkapar. Meskipun ia yakin akan kemampuan saudara seperguruannya, namun dalam pertempuran segala sesuatu dapat saja terjadi.
Dalam siraman cahaya bulan Jati Wulung melangkah selangkah demi selangkah dengan pedang masih tetap di tangannya.
Jati Wulung terkejut ketika ia melihat dua sosok tubuh yang bergerak di antara batang padi. Nampaknya kedua sosok tubuh itu berusaha untuk bangkit. Kebencian dan dendam masih menyala di dalam hati keduanya. Meskipun keduanya sudah terluka parah, namun keduanya masih berusaha menyerang Jati Wulung.
Betapapun kemarahan masih saja terasa panas di dadanya, tetapi menghadapi kedua orang yang sudah tidak berdaya itu Jati Wulung memang tidak melawan. Ia hanya bergeser saja selangkah-selangkah menghindari serangan keduanya yang sudah hampir tidak bertenaga sama sekali itu.
Namun dari mereka Jati Wulung dapat menangkap betapa dendam itu mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga mampu menunjukkan kelebihan dari kewajaran.
Tetapi itupun tidak lama. Kedua orang itupun kemudian telah terjatuh lagi di sawah berlumpur.
Dengan demikian, maka tiba-tiba saja Jati Wulung teringat akan pertempuran antara dua orang yang saling mendendam di arena. Antara Warsi dan Iswari. Apapun alasan mereka bertempur, namun keduanya benar-benar telah dicengkam oleh dendam yang tiada taranya.
Karena itu, maka Jati Wulungpun menjadi ragu-ragu sesaat. Namun akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke lingkaran pertempuran yang nampaknya masih berlangsung dengan dahsyatnya.
Jati Wulung tidak menyibak dan berdiri di paling depan. Ia masih memperhitungkan kemungkinan, bahwa ada di antara orang-orang yang dibawa oleh Warsi atau Ki Rangga Gupita dari padepokan yang dihuni oleh Puguh, sehingga orang itu dapat mengenalinya. Karena itu, maka ia justru telah berusaha untuk bersembunyi di bayangan orang-orang yang berkerumun di sekeliling arena itu.
Namun dalam pada itu, ternyata orang-orang yang mengelilingi arena pertempuran itu menjadi bingung melihat apa yang telah terjadi. Ternyata Warsi dan Iswari masih ingin memperlihatkan kemampuan mereka mempergunakan senjata. Warsi masih bertempur dengan rantainya, sementara Iswari menggenggam sepasang pedang di sepasang tangannya.
Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dilandasi dengan kemampuan mereka bermain senjata yang didukung oleh tingkat tenaga cadangan mereka yang tinggi pula, maka pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sulit untuk dimengerti oleh kebanyakan para pengawal Tanah Perdikan.
Mereka menganggap rantai di tangan Warsi sebagai senjata yang ajaib. Bahkan mereka yang telah pernah mendengar bahwa Warsi telah menghubungkan kemampuannya dengan cahaya bulan, sekali-sekali telah menengadahkan wajahnya ke langit, menatap bulan yang bulat kekuning-kuningan dengan cahayanya yang cantik. Beberapa orang justru menjadi cemas. Mereka menganggap bahwa pengaruh cahaya bulanlah yang telah membuat senjata Warsi menjadi aneh. Rantai yang lentur itu kadang-kadang justru menjadi tongkat yang panjang dan kuat yang terayun-ayun mengerikan. Namun tiba-tiba saja rantai itu telah menjadi lentur kembali dan bahkan bergerak melingkar-lingkar seperti juntai sebuah cambuk.
Tetapi Iswari sendiri sama sekali tidak menjadi bingung menghadapinya. Ia mengenali watak senjata sebagaimana dipergunakan oleh Warsi. Senjata itu sendiri bukannya benda yang aneh. Namun kemampuan ilmu Warsi yang dapat disalurkan pada senjatanya itulah yang mempunyai kekuatan dan sifat yang tidak sewajarnya.
Namun Iswari yang juga berilmu tinggi itu memiliki kemampuan ilmu pedang yang sulit dicari bandingnya.
Sementara itu, orang-orang yang mengejar lawan sampai ke bukit merasa bahwa mereka tidak akan banyak berhasil jika mereka naik ke lereng. Banyak tempat yang dapat dipergunakan untuk menyelinap dan menghilang. Sehingga karena itu, maka mengejar lawan di antara gerumbul-gerumbul perdu, pepohonan dan batu-batu padas serta lekuk-lekuk batu berkapur adalah berbahaya sekali.
Sambi Wulung serta pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikanpun kemudian memberikan isyarat agar pengejaran dihentikan. Kemudian diperintahkannya para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan untuk kembali ke medan.
Sedangkan para pengawal yang mengejar sisa-sisa pengikut Kala Sembungpun memutuskan untuk tidak melanjutkan pengejaran. Para pemimpin kelompok telah memerintahkan mereka kembali ketika mereka kemudian menyadari bahwa induk pasukan merekapun telah turun pula dari lereng. Sementara sisa-sisa pengikut Kala Sembung itu telah berlari cerai berai.
Ketika mereka kembali ke bekas medan, maka mereka masih melihat sebuah arena pertempuran. Baru kemudian mereka mendengar, bahwa Warsi memang telah menempatkan diri dalam perang tanding dengan Iswari, sementara Iswari juga tidak menolak.
Sambi Wulung yang ternyata kemudian bergeser mendekati Jati Wulung sempat bertanya, "Bagaimana dengan lawan-lawanmu?"
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sempat membunuh pemimpin sayap yang bagaikan orang kehilangan akal. Bersenjata bindi yang besar dan bergerigi. Namun ternyata ia bertanggung jawab atas orang-orangnya."
"Aku kehilangan orang yang menyebut dirinya Ki Ajar. Seorang Ajar yang agak lain. Ia berhasil menyelinap di antara orang-orangnya yang bergeser dalam kekisruhan. Ia mampu memanfaatkan gerak mundur untuk bersembunyi. Dengan demikian, orang itu termasuk orang yang harus diperhatikan bagi masa yang akan datang, karena ia juga berilmu tinggi," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Satu hal yang dikatakannya begitu tiba-tiba, "Orang itu tentu juga berbahaya bagi Risang."
"Ya." jawab Sambi Wulung. "Mudah-mudahan aku dapat mengingat wajahnya."
"Tetapi ia juga dapat mengingat wajahmu," berkata Jati Wulung.
"Mudah-mudahan tidak dengan sedikit goresan-goresan seperti wajah kita sekarang ini," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Mereka memang telah membuat sedikit penyamaran di wajah mereka. Apalagi dalam pertempuran yang sibuk dan cahaya bulan yang tidak selalu sempat menerangi wajah-wajah itu. Mereka berharap bahwa tidak seorangpun di antara para pengikut Ki Rangga dan Warsi itu akan dapat mengenali mereka pada kesempatan lain. Apalagi jika ada di antara lawan-lawan mereka itu orang-orang padepokan tempat Puguh tinggal. Dengan demikian maka hubungan mereka dengan Puguh tidak akan terputus. Karena menurut pendapat mereka, Puguh di samping Warsi adalah ancaman yang paling gawat bagi Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi ternyata bahwa Puguh memiliki kelebihan dari Risang. Meskipun umur Risang beberapa saat lebih tua dari Puguh, namun pengalaman Puguh ternyata lebih luas dari Risang. Sehingga pengalamannya itu juga mempengaruhi kemantapan berpikir dan menanggapi sesuatu.
Demikianlah keduanyapun kemudian telah menyaksikan perang tanding yang seru itu. Perang tanding antara kedua orang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu ternyata dipengaruhi juga oleh tanggapan mereka atas kepercayaan Warsi, bahwa cahaya bulan itu akan dapat mempengaruhi ilmunya. Cahaya bulan itu bagaikan tenaga baru yang akan selalu mengisi tubuh Warsi sehingga meskipun ia bertempur dengan mengerahkan tenaga namun tenaganya itu tidak akan pernah susut selama ia masih berada di bawah cahaya bulan.
Bahkan ada di antara orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang percaya bahwa hal itu memang dapat terjadi. Ada di antara mereka yang mengaku pernah bertemu dengan orang yang ilmunya dipengaruhi oleh cahaya bulan.
"Meskipun tidak setinggi ilmu perempuan itu, tetapi bahwa pengaruh cahaya bulan itu benar-benar berarti telah pernah dibuktikan oleh seseorang yang pernah aku kenal," berkata orang itu.
Tetapi kawannya bertanya, "Apakah kau tidak sekedar bermimpi?"
"Jangan begitu," jawab orang yang pertama, "kau boleh tidak percaya."
"Aku berdoa agar Nyi Wiradana dapat mengalahkan penari jalanan itu," berkata kawannya. Bahkan kemudian dengan nada berat ia berkata, "Mudah-mudahan tidak ada pengaruh sinar bulan itu."
Orang yang pertama itupun mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi.
Sementara itu pertempuran di arena itupun menjadi semakin sengit. Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka berdiri termangu-mangu di tempatnya. Sementara Ki Rangga Gupita menjadi sangat tegang. Perang tanding itu merupakan perang tanding ulangan, sebagaimana pernah mereka lakukan hampir sepuluh tahun yang lalu. Selama hampir sepuluh tahun kedua perempuan itu telah menempa diri dalam jalur ilmu mereka masing-masing. Sehingga dengan demikian, maka ilmu merekapun telah meningkat semakin jauh. Tetapi tidak seorangpun yang akan mampu menahan perubahan-perubahan jasmaniah yang terjadi dalam sepuluh tahun kemudian. Bahkan keadaan kewadagan mereka tentu sudah pula mengalami perubahan.
Meskipun demikian didukung oleh tingkat perkembangan ilmu yang tinggi, maka kedua orang perempuan itu merupakan dua raksasa ilmu yang menggetarkan jantung.
*** Dalam pada itu, jauh dari arena pertempuran, Puguh merenung di padepokannya. Ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja gurunya pergi tanpa memberi tahu tujuannya. Puguhpun sama sekali tidak diperkenankan ikut. Bahkan Puguhpun tidak tahu kapan gurunya itu berangkat.
Yang diketahuinya adalah, bahwa gurunya itu berpesan dengan sungguh-sungguh agar ia tidak meninggalkan padepokan sebelum gurunya itu kembali.
"Jika kau melanggar perintahku kali ini Puguh, maka aku tidak akan memaafkanmu," pesan gurunya.
Puguh tidak tahu apa yang dilakukan gurunya itu. Dan kenapa gurunya berkeras agar ia tidak meninggalkan padepokan sebelum gurunya datang.
Meskipun malam menjadi semakin dalam, namun rasa-rasanya Puguh sama sekali tidak mengantuk. Bahkan udara yang terasa panas di dalam biliknya telah mendorongnya untuk berjalan-jalan di halaman padepokan.
"Kau belum tidur?" bertanya salah seorang dari dua orang cantrik yang berjaga-jaga.
"Udara terasa panas di dalam," jawab Puguh.
Kedua orang cantrik itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka justru berdesis, "Udara terasa dingin sekali. Bulan bulat di langit. Udara bersih dan angin malam terasa basah."
Puguh mengangguk-angguk. Di luar sadarnya iapun telah menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit memang bersih. Selembar awan nampak di langit. Tetapi awan itu tidak melintas di depan wajah bulan yang bulat.
"Di luar memang terasa dingin," desis Puguh, "tetapi rasa-rasanya menjadi lebih nyaman untuk tinggal di luar."
Kedua cantrik itu tidak menyahut lagi. Tetapi keduanyapun kemudian mengangguk dan melangkah memutari halaman depan padepokan itu.
Puguhlah yang kemudian duduk sendiri di sudut pendapa padepokan. Rasa-rasanya ia ingin pergi ke padepokan kedua. Tetapi niat itu diurungkannya. Disana tentu akan terasa semakin sepi karena gurunya tidak ada. Puguh tidak pernah merasa kesepian meskipun ayah dan ibunya jarang sekali menengoknya Tetapi ia merasa sepi jika gurunya pergi untuk waktu yang agak lama.
Namun tiba-tiba saja terasa jantung Puguh berdesir. Ia tidak tahu kenapa. Bahkan tanpa disadarinya tiba-tiba saja Puguh itupun bangkit dan berdiri di halaman.
Puguhpun tidak tahu kenapa ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat segumpal awan lewat di langit. Bahkan kemudian awan yang agak tebal itu telah menutup bulan sehingga sinarnya menjadi suram. Namun hanya beberapa saat, karena awan itupun kemudian telah hanyut dalam arus angin.
Namun Puguh mulai melihat gumpalan-gumpalan awan yang lain meskipun tidak terlalu banyak. Gumpalan-gumpalan awan yang mengalir perlahan-lahan. Tetapi tidak semua gumpalan awan itu akan melintasi dan memotong cahaya bulan.
Puguh tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja ia tertarik oleh bulatnya bulan yang kekuning-kuningan.
Namun Puguh itu rasa-rasanya tidak ingin masuk ke dalam biliknya lagi. Bahkan iapun telah berbaring di amben panjang di serambi. Rasa-rasanya ia ingin tetap mengamati cahaya bulan itu semalam suntuk.
Di tempat yang lain, Risang yang telah berbaring di pembaringannya merasa sangat gelisah. Bahkan demikian ia tertidur, maka Gandarpun telah membangunkannya.
"Risang, apakah kau bermimpi buruk?" bertanya Gandar.
Risang terkejut. Iapun segera bangkit. Namun kemudian ia mencoba mengingat apakah ia bermimpi.
Dengan ragu-ragu iapun kemudian berkata, "Tetapi rasa-rasanya aku tidak bermimpi."
"Kau seperti orang terkejut dan bahkan mendesah agak keras. Aku kira kau bermimpi," berkata Gandar.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku merasa bahwa aku belum tidur ketika aku melihat seakan-akan banjir mengalir dari daerah perbukitan di sebelah Tanah Perdikan Sembojan."
Gandarlah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu kau telah bermimpi."
Risang mengangguk. Katanya, "Ya, menurut penalaranku, aku memang telah bermimpi, karena aku tidak akan dapat melihat hal itu selain di dalam mimpi. Tetapi rasa-rasanya aku melihat dengan jelas, bahwa dari punggung bukit itu mengalir banjir yang besar. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan, termasuk ibu, tengah sibuk membendung banjir itu agar tidak merusakkan seluruh Tanah Perdikan."
"Tidurlah," berkata Gandar, "Jangan kau pikirkan mimpimu itu. Hari sudah terlalu malam untuk merenung."
Tetapi Risang justru bangkit dan berkata, "Aku akan keluar."
"Untuk apa?" bertanya Gandar.
"Supaya nanti aku dapat tidur nyenyak." jawab Risang asal saja.
Gandar tidak mencegahnya. Tetapi diikutinya saja Risang yang melangkah keluar. Di halaman iapun telah menggeliat dengan mengangkat kedua tangannya. Namun terpandang olehnya bulan yang bulat di langit.
"Sinar bulan itu begitu silau di mataku," desis Risang.
"Kau baru saja bangun dari tidurmu," sahut Gandar.
Risang mengangguk-angguk. Katanya sambil menggosok matanya, "Ya. Mungkin karena itu." Namun kemudian iapun melangkah ke pakiwan sambil berkata, "Aku akan mencuci muka."
Risang memang mencuci mukanya. Tetapi kegelisahan hatinya ternyata tidak dapat hanyut bersama kantuk di matanya. Meskipun wajahnya yang basah terasa segar, namun jantungnya terasa berdebar semakin keras.
Ternyata di tempat yang jauh terpisah, kedua orang anak laki-laki dari dua orang ibu yang sedang bertempur itu seakan-akan tergelitik perasaannya. Keduanya tidak, melihat apa yang terjadi, tetapi keduanya tergetar oleh hentakan-hentakan kemarahan ibu mereka. Sedangkan keduanya adalah anak-anak muda yang lahir dari satu bapa.
*** Sebenarnyalah bahwa pertempuran di depan lereng pebukitan di Tanah Perdikan Sembojan itu masih berlangsung terus. Warsi yang disiram oleh cahaya bulan penuh itu merasa, bahwa ia akan berhasil mengalahkan lawannya.
Karena itu, ia sama sekali tidak merasa perlu untuk menghemat tenaganya. Ia bertempur dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Ia memang masih belum mengetrapkan ilmunya karena ia ingin mendapat kepuasan yang terbesar dengan membunuh Iswari tanpa ilmu pamungkasnya apabila ia dapat melakukannya. Hanya dalam keadaan terdesak sajalah maka Warsi akan mempergunakan ilmunya yang mampu menggetarkan pebukitan itu.
Sementara itu pasukan Tanah Perdikan Sembojan memang sudah berkumpul kembali. Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itupun segera mengumpulkan mereka dalam kelompok-kelompok mereka.
"Biarlah orang-orang tua Tanah Perdikan ini menjadi saksi. Kita harus segera mengetahui kawan-kawan kita yang menjadi korban pertempuran ini. Dengan demikian, kita akan segera dapat mencari mereka dan berusaha menolong mereka yang masih memungkinkan," berkata pemimpin pasukan pengawal itu kepada para pemimpin kelompok.
Para pemimpin kelompok memang bergerak cepat. Setiap pemimpin kelompok segera mengetahui jumlah kawan-kawan mereka yang tidak ada lagi di dalam kelompoknya.
Dengan demikian maka pemimpin pasukan pengawal itu segera memerintahkan setiap kelompok untuk mencari kawan-kawan mereka masing-masing yang ternyata tidak kembali lagi ke dalam kelompok mereka.
"Kalian tahu pasti, dimana kalian bertempur," berkata pemimpin pasukan itu.
Sejenak kemudian, maka para pengawal itupun telah membawa kelompoknya memasuki bekas medan yang garang itu.
Beberapa orang memang ingin menyaksikan pertempuran antara kedua orang perempuan itu. Namun para pemimpin kelompok telah memerintahkan mereka untuk bekerja terus.
Hanya sekelompok pengawal khusus yang biasanya mengawal rumah pemimpin Tanah Perdikan itu sajalah yang kemudian mengelilingi arena. Para penghubung dan petugas sandipun ada pula di antara mereka. Di deret yang terlindung di belakang, Sambi Wulung dan Jati Wulung mengikuti pertempuran itu dengan saksama.
Betapa Warsi yakin akan dukungan cahaya bulan nampak sekali ketika selembar awan lewat di depan wajah bulan itu. Dengan serta-merta Warsi telah meloncat surut mengambil jarak. Ia sempat mempergunakan saat yang sekejap untuk menengadahkan wajahnya. Namun iapun telah tersenyum pula ketika ia melihat awan itu lewat, sehingga sejenak kemudian, maka cahaya bulanpun telah penuh kembali menyiram tubuhnya yang berkeringat.
Namun beberapa saat kemudian, bukan sekedar awan yang-tipis yang lewat di bawah bulan bulat itu. Namun segumpal awan yang agak tebal.
Sekali lagi Warsi meloncat beberapa langkah surut untuk mendapatkan kesempatan. Ternyata Iswari cepat mengatasi perasaannya. Dibiarkan saja Warsi memandang langit. Ternyata tidak hanya segumpal awan. Namun seakan-akan dari kaki langit telah tumbuh gumpalan-gumpalan awan yang kemudian mengarungi langit.
Tetapi menurut pengamatan Warsi awan itu tidak terlalu banyak. Tentu hanya beberapa lembar saja yang akan lewat di depan bulan. Itupun hanya sesaat-sesaat. Bulan akan segera tersembul kembali dan menyiramkan cahayanya ke tubuhnya. Sehingga dengan demikian kekuatannya yang susut akan segera pulih kembali.
Pendekar Bodoh 16 Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman Sumpah Iblis Kubur 3
^