Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 20

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 20


Tetapi sebenarnyalah bahwa ketiganya telah memperhatikan perkembangan ilmu Risang dengan saksama. Bahkan Kiai Badrapun melihat perkembangan ilmu anak itu, meskipun tidak terlepas dari pengaruh orang-orang terdekatnya.
Dengan demikian, maka latihan itupun telah berakhir. Risang yang kemudian beristirahat duduk di sebelah Kiai Badra yang bertanya kepadanya, "Kau masih meningkatkan kemampuan bidikmu?"
"Masih Kek," jawab Risang.
"Beristirahatlah sejenak. Kita akan berlatih lagi. Aku ingin mengetahui kemampuan bidikmu," berkata Kiai Badra.
Risang tidak menjawab. Tetapi ia masih berusaha mengatur pernafasannya yang mulai terasa berdesakan.
Beberapa saat dibiarkannya Risang beristirahat. Namun sementara itu Kiai Badra telah mengatur sasaran yang akan dikenai oleh Risang. Dua sasaran telah disiapkan. Sasaran bidik bagi lemparan tombak dan sasaran anak panah yang kecil.
Setelah siap, maka Kiai Badrapun mengambil busur dan anak panahnya serta sebuah tombak pendek.
"Berdirilah," berkata Kiai Badra kemudian setelah Risang cukup beristirahat.
Risangpun kemudian telah bersiap. Di tangannya tergenggam sebuah tombak pendek. Ia terbiasa berlatih melontarkan tombak itu pada sasaran yang telah disiapkan. Bahkan dari punggung kuda.
Hampir melekat dinding yang dilapisi dengan onggokan jerami telah dipersiapkan sebuah tonggak yang dibalut dengan serabut kelapa. Tonggak yang akan menjadi sasaran lontaran tombak Risang.
Karena ruang yang tidak seluas sebuah padang rumput, maka Risang tidak dapat mempergunakan ancang-ancang yang cukup. Ia hanya sempat melangkah dua tiga langkah sebelum tangannya terayun melontarkan tombak di tangannya.
Namun Risang memang memiliki kemampuan bidik yang tinggi. Tombak yang meluncur dari tangannya telah mengenai sasarannya. Tonggak yang dibalut dengan serabut kelapa.
"Bagus Risang," berkata Kiai Badra, "untuk meyakinkan bahwa itu bukan satu kebetulan sebaiknya kau mengulangi lagi."
Risangpun kemudian mengulanginya. Ia telah melontarkan tombak itu sampai tiga kali. Dan ia telah dapat mengenainya dengan baik, sehingga orang-orang yang menyaksikannya tidak akan dapat menganggapnya sebagai satu kebetulan.
Demikian pula kemampuan bidiknya dengan mempergunakan busur dan anak panah. Sebuah sasaran yang kecil bergantung pada sebuah tali yang menyilang. Juga terbuat dari sabut kelapa sebesar jeruk peras.
Ternyata bahwa kemampuan Risang memang mengagumkan. Ia mampu mengenai sasarannya dengan baik.
Namun Kiai Badra masih juga berkata, "Kita akan melihat kemampuan bidikmu di sebuah padang yang agak luas. Disini jaraknya terlalu pendek, sehingga kemampuanmu itu masih belum meyakinkan."
Risang tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk dalam-dalam.
Demikianlah, maka nampaknya orang-orang tua beserta ibunya telah puas dengan latihan-latihan itu. Mereka telah mendapat gambaran seberapa jauh tataran kemampuan Risang, yang menurut mereka nampaknya telah cukup. Kemampuan Risang telah berada pada lapisan yang lebih tinggi dari kemungkinan yang dapat dicapai oleh anak muda seumurnya. Bahkan ketahanan tubuh Risang agaknya lebih baik dari yang diharapkan oleh ibunya. Ia mampu bertempur pada jarak waktu yang cukup panjang sebelum kekuatan dan kemampuannya mulai menyusut.
Sejenak kemudian, maka Risang dan ibunya serta ketiga orang-orang tua itupun telah keluar dari sanggar. Ternyata matahari telah jauh turun di arah Barat. Ternyata mereka sudah cukup lama berada di sanggar tanpa terasa. Lebih dari setengah hari. Bahkan sampai lewat sore hari.
Setelah membenahi diri dan mandi di pakiwan, maka merekapun telah berada di ruang dalam untuk makan bersama-sama. Sementara yang lain agaknya telah makan lebih dahulu.
Sambil makan mereka sempat mengurai latihan-latihan yang dilakukan oleh Risang di dalam sanggar. Namun mereka tidak hanya melakukannya sekali saja. Tetapi mereka masih akan melakukannya beberapa kali. Orang-orang tua itu bersama Iswari masih ingin mendapatkan keterangan dari Sambi Wulung dan Jati Wulung.
*** Sementara itu di tempat yang jauh, Puguh telah dipanggil oleh gurunya. Menjelang senja, Puguh yang telah mandi dan berbenah diri setelah melakukan latihan-latihan bersama gurunya di dalam sanggar, telah pergi menghadap.
Puguh terkejut ketika ia melihat Ki Randukeling duduk bersama gurunya di padepokan kedua.
"Kemarilah Puguh," berkata gurunya.
Puguh bergeser semakin mendekat. Sementara itu gurunya berkata, "Dengarlah, kakekmu akan mengatakan sesuatu. Tetapi kau sudah cukup besar untuk menerima persoalan-persoalan dengan sewajarnya dan mempertimbangkannya dengan nalar, bukan sekedar perasaan."
Puguh mengangguk. Katanya, "Aku akan berusaha, Guru."
"Dengarlah Puguh," berkata kakeknya, "aku diminta oleh orang tuamu untuk memanggilmu. Mereka ingin berbicara denganmu."
"Kenapa ayah dan ibu sudah agak lama tidak datang ke padepokan ini, Kek?" bertanya Puguh.
"Kau akan mengetahuinya nanti. Sebaiknya kau bersiap-siap untuk pergi bersamaku," berkata Ki Randukeling.
"Kapan?" bertanya Puguh.
"Sekarang." jawab kakeknya.
Puguhpun kemudian berpaling kepada gurunya. Meskipun ia tidak mengucapkan pertanyaan apapun, namun gurunya seakan-akan dapat membaca isi hatinya. Karena itu maka gurunyapun berkata, "Aku juga akan pergi Puguh."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa segan untuk pergi sendiri menghadap ayah dan ibunya. Jika ia pergi bersama gurunya, maka rasa-rasanya ia selalu dibayangi oleh perlindungannya. Rasa-rasanya ia merasa aman untuk bernaung padanya.
"Berbenahlah. Apa yang akan kau bawa siapkanlah," berkata gurunya.
"Aku tidak akan membawa apa-apa," jawab Puguh.
"Mungkin selembar dua lembar pakaian," berkata Ki Randukeling.
"Aku akan segera kembali," jawab Puguh.
"Jika orang tua berpendirian lain?" bertanya gurunya.
"Tempatku disini bersama guru. Bahkan sebaiknya ayah menghapus saja padepokan kedua yang dibayangi oleh topeng-topeng maut ini. Apa sebenarnya gunanya?" berkata Puguh yang hatinya selalu gelisah.
"Kau tidak usah mengatakannya di hadapan ayah dan ibumu. Sebaiknya kau mencoba mengerti perasaan mereka," berkata Ki Randukeling.
"Sedangkan ayah dan ibu tidak pernah mau mengerti perasaanku," jawab Puguh.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Sementara gurunya berkata, "Sudahlah Puguh. Kau harus menjalani laku ini. Dengan demikian maka kau akan memiliki satu landasan hidup yang kokoh. Yang tidak akan mudah diguncang oleh siapapun. Bukan saja secara wadag. Tetapi juga secara jiwani."
Puguh tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah di dalam hatinya tumbuh perlawanan yang keras terhadap tata kehidupan di sekitarnya yang dirasakannya tidak wajar. Keras dan kedua orang tuanya serta alat-alatnya selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain tanpa menghiraukan perasaan orang itu. Bahkan kepada dirinya, anak laki-lakinya sendiri.
Sementara itu Ki Randukeling berkata, "Ibumu dalam keadaan yang kurang baik Puguh. Ia terluka parah. Meskipun luka-lukanya sudah menjadi semakin sembuh, tetapi agaknya ada sesuatu yang tidak menguntungkan baginya. Ilmu lawannya ternyata terlalu kuat sehingga nampaknya luka-luka ibumu telah menghunjam kebagian dalam tubuhnya, sehingga ia memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan kembali kekuatan dan kemampuan ke tataran puncak yang pernah dicapainya. Karena itu kau harus melihatnya. Mudah-mudahan kehadiranmu akan dapat sedikit menyejukkan hatinya. Bagaimanapun juga, kau adalah anak laki-lakinya."
"Kedua orang tuaku sudah mempunyai anak yang lain kecuali aku," berkata Puguh, "mungkin harapan kedua orang tuaku akan dapat dipenuhi oleh adikku. Tidak oleh aku."
"Jangan berkata begitu," sahut gurunya, "kau harus dapat memberikan harapan kepada orang tuamu."
"Aku tahu Guru. Jika ayah dan ibu karena sesuatu hal tidak kuasa lagi memaksakan kehendaknya kepada orang lain, maka aku akan dipaksanya tanpa menghiraukan perasaanku sendiri untuk melakukannya. Memaksa orang lain. Bahkan jika perlu dibunuh," berkata Puguh.
"Puguh," potong Ki Randukeling, "sebaiknya kau jaga mulutmu. Kau dapat membuat ayah dan ibumu marah sekali sehingga mereka dapat berbuat sesuatu yang tidak kau duga sebelumnya."
"Aku sudah menduga kakek. Orang yang tidak mau menuruti keinginan mereka akan disingkirkan. Termasuk aku. Bukankah kakek akan berkata begitu?" bertanya Puguh.
"Cukup Puguh," gurunya membentak, "jika kau masih mengakui aku sebagai gurumu, kau tidak akan berlaku seperti itu di hadapan kedua orang tuamu. Bagaimanapun juga mereka adalah orang tuamu. Ayah dan ibumu."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terbayang apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah dilakukannya. Apa pula yang pernah dikatakan dan diajarkan oleh gurunya tentang laku baik dan buruk. Namun ayahnya telah mendorongnya untuk pergi ke Song Lawa atau pergi ke tempat-tempat gelap yang lain. Sekali-sekali mengganggu ketenangan padukuhan dan menakut-nakuti orang yang sadar atau tidak sadar memasuki lingkungan terlarang, menurut batasan yang diberikan oleh kedua orang tuanya itu sendiri.
Tetapi perlakuan kasar kedua orang tuanya terhadap Puguh sendiri membuat anak itu menentang meskipun hanya di dalam hati.
Namun dalam pada itu, kakeknyapun berkata, "Puguh. Aku akan bermalam di padepokanmu ini semalam. Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat bersama-sama menjumpai kedua orang tuamu."
"Dimana ayah dan ibu sekarang Kek. Ada di rumah kakek?" bertanya Puguh.
"Mereka berada di satu tempat," jawab Ki Randukeling, "besok kau akan mengetahuinya."
"Kenapa ayah dan ibu hidup dalam suasana yang kacau seperti itu" Bersembunyi dan rasa-rasanya sama sekali tidak wajar," berkata Puguh. Lalu, "Kenapa orang lain dapat hidup wajar. Tinggal di satu tempat tanpa takut menyatakan dirinya. Tidak selalu dikejar-kejar oleh pertentangan dan permusuhan. Di sore hari dapat duduk bersama keluarganya di serambi rumahnya sambil mendengarkan suara burung perkutut atau burung dari jenis yang lain. Atau berkelakar dengan gembira tanpa kerut-merut di dahi. Kenapa keluargaku tidak dapat berbuat seperti itu?"
"Sudahlah Puguh," potong gurunya, "aku ulangi lagi kata-kataku. Jangan kau memancing persoalan di hadapan orang tuamu. Jika demikian, maka itu berarti kau tidak mengakui aku lagi sebagai gurumu. Jika ayahmu kecewa terhadapmu, maka ia tentu akan kecewa kepadaku. Mungkin kau akan diserahkan kepada guru yang lain. Meskipun mungkin gurumu yang baru itu lebih sesuai bagi kedua orang tuamu dan bagimu, karena orang baru itu akan mengajarimu cara membunuh yang paling baik tanpa menggetarkan jantung. Bagaimana mencelakai orang lain tanpa merasa bersalah. Dan bagaimana menghancurkan tata kehidupan tanpa ragu-ragu."
Puguh menundukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin terjadi. Karena itu, maka ia memang berusaha untuk tidak melakukannya di hadapan ayah dan ibunya nanti.
"Mudah-mudahan aku mampu menahan diri untuk tidak berkata sesuatu tentang gejolak perasaanku ini," berkata Puguh di dalam dirinya sendiri.
"Sudahlah," berkata gurunya, "sekarang tidurlah. Besok kita akan berangkat pagi-pagi sekali."
"Aku akan tidur di padepokan pertama guru," berkata Puguh.
"Baik. Tetapi pesanlah kepada peronda malam ini agar kau dibangunkan di dini hari," berkata gurunya.
"Ya Guru," jawab Puguh.
"Sekarang pergilah ke padepokan pertama," berkata gurunya.
Puguhpun telah minta diri pula kepada gurunya. Kemudian meninggalkan tempat itu dan berjalan menyusuri jalan sempit yang menghubungkan kedua bagian dari padepokan itu.
Ketika Puguh berbaring di biliknya, maka terbayang kembali keterangan gurunya tentang ibunya yang luka parah dalam satu perang tanding. Pada saat purnama penuh ibunya telah bertempur melawan seorang perempuan yang ternyata ilmunya melampaui ilmu ibunya.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, "Seperti kata guru. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun pada suatu saat tentu ada orang lain yang mampu mengatasinya. Bahkan seorang yang ilmunya seakan-akan tidak terkalahkan, akan dapat ditundukkan oleh orang yang dianggap tidak berilmu sama sekali."
Ternyata Puguh tidak segera dapat tidur. Ia mulai membayangkan apa yang akan dikatakan oleh kedua orang tuanya tentang dirinya.
Tetapi seperti biasa Puguh telah siap mendengar makian yang kasar. Umpatan yang tidak pantas diucapkan dan bahkan kadang-kadang ujung telunjuk ibu atau ayahnya menyentuh hidung atau matanya dengan gemetar dalam kemarahan yang tidak diketahui sebabnya.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, Puguh itu akhirnya tertidur juga meskipun dengan mimpi yang buruk, setelah ia berpesan kepada orang yang bertugas meronda untuk membangunkannya menjelang dini hari.
Sebenarnyalah di dini hari tiga orang telah meninggalkan padepokan kedua untuk menuju ke satu tempat yang tidak diketahui oleh Puguh untuk menemui kedua orang tuanya. Tempat yang memang dirahasiakan, karena Ki Randukeling sudah memperhitungkan bahwa orang-orang yang telah bekerja bersama dengan Ki Rangga itu akan dapat menuntut keduanya.
Ki Randukeling dengan ketajaman panggraitanya dapat membayangkan apa yang terjadi di medan itu setelah ia mendengarkan ceritera dari Ki Rangga dan Warsi sendiri serta apa yang disaksikannya dari jarak yang tidak terlalu dekat.
Ki Rangga dan Warsi saat itu telah meninggalkan pasukannya dan melakukan perang tanding tanpa menghiraukan orang-orang lain yang bekerja bersamanya atau orang-orang yang justru telah dibawanya.
Mungkin para pengikut Kalamerta tidak akan berani menuntut apapun juga. Tetapi tentu lain dengan para bekas prajurit Jipang. Mereka tentu mempunyai sikap yang lain sebagaimana sikap Ki Sumbaga.
Karena itu, selagi Warsi belum siap menghadapi mereka, maka ia perlu bersembunyi di satu tempat yang rahasia sehingga tidak seorangpun dapat menemuinya untuk kepentingan apapun juga. Termasuk orang-orangnya.
Pada saat matahari terbit, mereka bertiga sudah berada cukup jauh dari padepokan mereka. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit dan bahkan kadang-kadang menyusuri pematang yang panjang.
Puguh sudah sering menempuh perjalanan panjang. Karena itu maka perjalanan yang dilakukannya tidak banyak menarik perhatiannya. Sawah, pategalan dan padukuhan-padukuhan sudah sering dilaluinya dalam perjalanan-perjalanan yang pernah dilakukan. Namun demikian, Puguh masih merasa bahwa ia belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam padukuhan-padukuhan itu, karena ia merasa bahwa hidupnya bukannya kehidupan yang wajar.
Semakin ia merasa terasing dari pergaulan hidup wajar, maka ia merasa semakin asing pula dari kedua orang tuanya, karena ia merasa bahwa orang tuanyalah yang telah mengasingkannya dari kehidupan wajar.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi dan panasnya mulai menggigit kulit, maka Puguh itupun bertanya, "Kemana kita sekarang pergi Kek?"
"Memang ke tempat yang sangat dirahasiakan," berkata Ki Randukeling, "jika orang-orang yang kecewa oleh kegagalan di Tanah Perdikan itu menemukan kedua orang tuamu, maka akan dapat timbul persoalan tersendiri. Apalagi ibumu belum pulih sama sekali."
"Jadi dimana kedua orang tuaku itu disembunyikan?" bertanya Puguh, "apakah sampai sekarang aku masih juga belum boleh mengetahuinya?"
Ki Randukeling termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Bersembunyi yang paling baik bagi kedua orang tuamu adalah justru di dalam Kota Pajang."
"Di Pajang" Jadi kita akan masuk ke Kotaraja?" bertanya Puguh.
"Ya," jawab Ki Randukeling.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ada kegembiraan di hatinya, karena ia akan mendapat kesempatan untuk tinggal di Kotaraja beberapa lama, meskipun ada juga kecemasan bahwa ia akan segera bertemu dengan kedua orang tuanya yang sangat keras dan garang terhadapnya.
Ketika matahari berada di puncak langit, maka mereka telah beristirahat di sebuah kedai yang tidak begitu besar di sebuah padukuhan. Di ujung padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang sudah menjadi semakin sepi. Bukan saja karena hari menjadi semakin siang, tetapi hari itu memang bukan hari pasaran sehingga pasar itu memang tidak begitu ramai sejak pagi.
Namun tiba-tiba yang tidak dikehendaki telah terjadi. Empat orang yang berwajah garang, yang sudah ada di dalam kedai itu, tiba-tiba memperhatikan ketiga orang itu dengan saksama.
Puguh mula-mula tidak memperhatikan mereka, sebagaimana kakek dan gurunya. Namun ketika sekali ia memandang wajah seorang di antara mereka, tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang.
Apalagi ketika orang itu telah meloncat bangkit dan berdesis, "Puguh. Bukankah kau anak Rangga Gupita dan Warsi yang tidak bertanggung jawab itu."
Kakek dan gurunyapun terkejut. Sementara dengan tangkas Puguhpun telah berdiri pula.
"Jangan ingkar," berkata orang itu, "kau tentu Puguh. Aku sudah pernah melihat kau sekali di sarang ayah dan ibumu."
Jantung Puguh semakin bergetar. Tetapi tidak ada niatnya untuk ingkar. Kemudaannya telah mendorongnya untuk menjawab, "Ya. Aku Puguh."
Kakek dan gurunya sudah menduga, bahwa Puguh tidak akan mengingkarinya. Namun dengan demikian maka mereka akan menghadapi persoalan.
Karena itu, maka gurunyapun kemudian berkata, "Puguh. Kita tinggalkan tempat ini."
Puguh termangu-mangu. Tetapi orang yang mengenalinya itulah yang berteriak, "Apa" Kau akan meninggalkan tempat ini begitu saja" Tidak. Aku memerlukan anak itu."
"Kita dapat berbicara di tempat lain Ki Sanak. Kita sebaiknya tidak mengganggu kedai ini. Jika kita berbicara disini, maka mungkin sekali orang-orang akan menjadi ketakutan untuk singgah di kedai ini. Bukankah hal itu akan sangat merugikan pemilik kedai ini."
"Persetan. Aku tidak peduli," geram orang itu.
Tetapi ketiga orang itu tidak menghiraukannya. Ki Ajar Paguhan telah menarik Puguh untuk keluar dari kedai itu diikuti oleh Ki Randukeling.
"Kenapa kita harus menghindar?" bertanya Puguh.
"Aku tidak mau pemilik kedai itu mengetahui persoalan ini. Ia akan dapat menjadi sumber keterangan tentang kau dan sudah tentu ayah dan ibumu," berkata gurunya.
"Tetapi aku tidak akan mengatakannya meskipun aku harus mati," geram Puguh.
"Kita menempuh jalan yang terbaik." jawab gurunya.
Namun dalam pada itu, empat orang yang berada di dalam kedai itu telah menyusulnya. Bahkan sambil berkata lantang, "Jangan lari."
Beberapa orang yang mendengar keributan itu di sekitar kedai telah bergegas turun ke jalan. Mereka melihat empat orang sedang berjalan tergesa-gesa menyusul tiga orang yang lebih dahulu meninggalkan kedai itu.
Namun guru Puguh telah mengajaknya berlari.
Puguh memang segan melakukannya. Tetapi gurunya telah membentaknya, "Lakukan perintahku."
Karena itu, maka merekapun menjadi saling berkejaran. Demikian ketiga orang yang dikejar itu keluar dari padukuhan, mereka segera meniti pematang yang panjang menuju ke pategalan.
Keempat orang itupun tidak mau kehilangan buruannya. Mereka telah mempercepat langkah mereka. Namun ternyata bahwa ketiga orang yang mereka kejar itupun mampu berlari cepat.
Tetapi mereka tidak harus berkejaran terlalu lama. Ketika mereka sampai di sebuah pategalan yang sepi, maka ketiga orang itupun telah berhenti.
"Apa yang harus kita lakukan Ki Randukeling?" bertanya guru Puguh sebelum keempat orang yang mengejarnya sampai ke pategalan.
Tetapi sebelum Ki Randukeling sempat menjawab, orang-orang itu telah berloncatan mengepung mereka dari empat arah.
"Kami tidak akan melarikan diri," berkata Ki Randukeling.
"Kenapa kau lari sampai ke tempat ini?" bertanya orang yang telah mengenal Puguh.
"Kami mencari tempat yang tidak akan mengganggu orang lain. Tempat ini sepi. Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?" bertanya Ki Randukeling.
"Kami ingin tahu dimana Ki Rangga Gupita dan isterinya bersembunyi. Puguh adalah anaknya. Aku akan mengambilnya. Anak itu tidak akan aku lepaskan jika bukan ayahnya sendiri yang mengambilnya," berkata orang itu.
"Kau sangka aku apa?" bertanya Puguh dengan marah, "kau kira akan membiarkan diriku kau bawa" Kau kira aku tidak akan dapat melawan dan bahkan membuat kalian menyesal."
"Anak iblis," geram prang itu, "aku harus tahu dimana ayah dan ibumu bersembunyi setelah kegagalan itu. Keduanya harus bertanggung jawab. Bukan malah bersembunyi."
"Tetapi kalian juga tidak bertanggung jawab," potong Ki Randukeling, "jika kalian tahu, isteri Ki Rangga terlibat dalam perang tanding, kenapa kalian dengan tergesa-gesa menarik diri?"
"Ah kau tahu apa orang tua," geram orang itu.
"Aku ada di medan saat semua orang terbirit-birit meninggalkan medan membiarkan Ki Rangga dan isterinya menghadapi lawan-lawan mereka," berkata Ki Randukeling.
"Salah mereka berdua," geram orang itu, "seharusnya mereka menyatukan diri pada seluruh kekuatan yang ada di medan."
"Satu perhitungan yang bodoh," sahut Ki Randukeling. "Apakah mereka harus membiarkan saja jika Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu mengamuk di antara orang-orangnya" Ketika ia menempatkan diri melawannya, maka seakan-akan telah terjadi perang tanding. Dalam keadaan yang demikian Ki Rangga memang harus melindunginya, karena para pengawal Tanah Perdikan akan dapat membunuh Warsi itu dengan diam-diam dari belakang di saat perhatiannya tertuju kepada lawannya."
"Persetan," geram orang itu, "tetapi pasukannya menjadi kacau balau dan tidak mendapat pimpinan sewajarnya."
"Kenapa kalian tidak menyalahkan para pemimpin yang diserahi pimpinan atas kelompok-kelompok besar pasukan kalian?"
"Persetan," geram orang itu, "Kami adalah empat orang Putut dari padepokan Ki Ajar Tulak. Salah seorang pimpinan sayap pada pasukan Ki Rangga. Kami adalah Putut tertua yang mendapat tugas untuk menemukan Ki Rangga dan isterinya. Adalah kebetulan kami bertemu dengan anaknya."
"Tetapi kamipun sedang mencarinya," berkata Ki Randukeling.
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Randukeling berkata selanjutnya, "Apakah kau tidak mendengar, bahwa sesaat setelah Warsi dikalahkan oleh Iswari, maka datang beberapa orang mengambilnya?"
"Hanya dua orang," jawab orang itu.
"Sayang, aku mendengarnya bahwa beberapa orang," jawab Ki Randukeling.
"Hanya dua. Ternyata kau adalah orang yang sangat dungu tetapi merasa dirimu lebih tahu dari setiap orang," geram orang itu.
"Aku tidak peduli berapa orang yang datang mengambilnya. Nah, sekarang kami berusaha untuk mencarinya," berkata Ki Randukeling pula.
"Aku tidak yakin bahwa anaknya tidak tahu dimana ayah dan ibunya berada," orang itu masih membantah.
"Bahkan aku merasa cemas, bahwa yang mengambil itu juga termasuk orang yang merasa dengki kepada mereka dan telah membunuh mereka pula," berkata Ki Randukeling.
"Aku tidak peduli. Serahkan anak itu kepadaku. Pada suatu saat ayahnyalah yang harus mengambilnya. Sementara ia belum diambil oleh ayahnya, ia akan menjadi budak kami dan bekerja keras bagi kepentingan kami, termasuk membelah kayu, mencungkil kelapa kering yang kami buat menjadi minyak serta mengambil air di sumur yang memang cukup dalam. Di musim sawah harus ikut membajak dan menanam di padepokan," berkata orang itu.
"Persetan kalian," teriak Puguh, "aku akan membunuh kalian semuanya."
Orang itu tiba-tiba saja telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Agaknya tidak akan ada pembicaraan lagi. Sementara Ki Ajar Paguhan masih bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi orang-orang itu. Orang-orang itu telah melihat Puguh sehingga orang-orang itu tentu akan berusaha untuk memanfaatkan Puguh sebagai alat menelusuri jejak ayah dan ibunya.
Ketika keempat orang itu bergeser semakin dekat, maka Puguhpun telah bersiap. Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhanpun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
"Jadi kalian akan melawan?" bertanya orang itu.
"Kami adalah laki-laki seperti kalian," jawab Puguh.
"Bagus," berkata orang itu, "aku akan membunuh kedua orang tua yang tidak tahu diri itu. Kemudian membawamu ke padepokanku. Kedua orang tuamu yang tidak dapat diketemukan di sarang mereka yang manapun itu harus mengambilmu. Jika tidak seumur hidupmu kau akan mengalami nasib sebagai budak yang malang."
Puguh tidak menjawab lagi. Namun iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun sekali lagi guru Puguh itu berdesis, "Apa yang sebaiknya kita lakukan?"
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Satu keadaan yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya. Aku tidak tahu, siapakah yang bernasib buruk sekarang ini. Kita atau orang-orang itu."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak merasa cemas melawan keempat orang itu meskipun ada kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi atas dirinya. Namun justru menjadi cemas karena ia harus mengambil penyelesaian yang barangkali tidak dikehendakinya.
Namun Ki Ajar tidak sempat merenung lebih lama lagi. Tiba-tiba saja keempat orang itu mulai bergerak sehingga karena itu, maka mereka yang ada di dalam kepungan itupun harus mempersiapkan diri.
Seorang di antara mereka telah siap melawan Puguh. Seorang yang lain menghadapi Ki Ajar, sementara orang yang telah mengenal Puguh itu bersama seorang kawannya telah siap bertempur melawan Ki Randukeling. Mereka mengira bahwa Ki Randukeling adalah orang yang menentukan segala-galanya, sehingga karena itu, jika mereka segera dapat membunuhnya, maka yang lain akan dengan mudah dapat mereka kuasai.
Demikianlah maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di antara mereka. Ki Randukeling tidak ingkar melawan dua orang Putut sekaligus. Putut dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Tulak, salah seorang kepercayaan Ki Rangga.
Keempat Putut dari padepokan Ki Ajar Tulak yang dengan kebetulan bertemu dengan Puguh itupun telah bertempur dengan garangnya. Mereka adalah murid-murid tertua yang telah mendapat wewenang untuk ikut memberikan latihan-latihan kepada murid-muridnya yang lain. Para Putut itu telah memiliki sebagian besar dari ilmu Ki Ajar Tulak sendiri, sehingga dengan demikian, maka merekapun memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Puguh segera mengalami kesulitan. Putut yang melawannya adalah seorang Putut yang bertubuh tinggi ke kurus-kurusan. Namun Putut itu ternyata mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Namun Puguh sama sekali tidak gentar. Ia sadar, bahwa Putut itu tentu tidak akan membunuhnya. Putut itu tentu berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup. Dengan demikian maka Puguh itu justru menjadi semakin berani menghadapinya meskipun setiap kali tubuhnya telah dikenai oleh lawannya. Terdorong surut dan bahkan beberapa kali terbanting jatuh.
Tetapi ketahanan tubuh Puguh memang sangat tinggi. Berapa kali ia terbanting jatuh. Namun iapun segera meloncat bangkit dan melawan kembali dengan kerasnya.
Lawannya memang menjadi heran melihat ketahanan tubuh anak muda itu. Namun dengan demikian, justru telah menimbulkan kegembiraan pada Putut itu. Rasa-rasanya ia telah mendapat kawan berlatih yang cukup, tangguh dari aliran perguruan yang lain.
Namun dalam pada itu, berbeda dengan Puguh yang terdesak terus, Ki Ajar Paguhan justru telah menguasai lawannya. Putut yang telah memiliki sebagian besar ilmu gurunya itu, tidak mampu untuk menempatkan dirinya sebagai lawan yang seimbang dari Ki Ajar Paguhan. Karena itulah, maka dalam waktu yang tidak lebih dari waktu yang diperlukan oleh lawan Puguh untuk menguasai medan, maka Ki Ajar Paguhanpun telah mendesak lawannya pula.
Namun sekali-sekali Ki Ajar Paguhan sempat melihat keadaan muridnya yang terdesak. Tetapi Ki Ajar Paguhan itupun menyadari, bahwa Puguh tidak akan terbunuh dalam pertempuran itu.
Ki Randukelingpun ternyata tidak terlalu mengalami kesulitan menghadapi kedua orang Putut itu meskipun ia harus mengerahkan tenaga tuanya. Namun ilmu Ki Randukeling ternyata terlalu tinggi bagi kedua Putut itu meskipun keduanya telah memiliki hampir semua ilmu dari perguruannya.
Beberapa kali kedua lawannya menjadi bingung menghadapi unsur-unsur gerak Ki Randukeling. Meskipun geraknya tidak sangat cepat, tetapi sering kali sama sekali tidak terduga-duga sehingga kedua orang lawannya itupun seakan-akan telah kehilangan kesempatan.
Meskipun demikian, namun pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Ketika kedua orang lawannya telah sampai ke puncak kemampuannya, maka Ki Randukelingpun harus mengerahkan kemampuannya pula.
Dalam pada itu, Ki Ajar Paguhan ternyata tidak dapat membiarkan muridnya semakin mengalami kesulitan. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk bergeser mendekatinya. Dengan kemampuan yang sangat tinggi, Ki Ajar telah berusaha untuk mendesak lawannya mendekati arena pertempuran antara Puguh dan seorang di antara keempat Putut itu.
Mula-mula lawan Ki Ajar itu tidak menyadari.
Namun kemudian baru ia mengerti maksud Ki Ajar itu, setelah Ki Ajar itu sempat meloncat mendekati Puguh dan berkata, "Kita bertempur bersama-sama."
Puguh mengerti maksud gurunya. Karena itu, maka iapun segera menempatkan dirinya di belakang gurunya dan menghadap ke arah yang berlawanan.
Ternyata bahwa Puguh mampu menyesuaikan diri dengan tata gerak gurunya, sehingga dengan demikian maka keduanya dapat saling mengisi.
Kedua Putut yang bertempur melawan merekapun segera mengatur diri pula. Mereka telah mengambil sikap yang lain. Karena Ki Ajar Paguhan dan Puguh saling beradu punggung, maka kedua Putut itu menghadapi mereka dari arah yang berlawanan. Keduanya berdiri pada jarak dua tiga langkah dari kedua orang yang berdiri di antara mereka.
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin seru.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Paguhan sempat pula mengamati tingkat kemampuan muridnya. Meskipun masih belum dapat mengimbangi Putut-putut murid Ki Ajar Tulak itu, namun Ki Ajar Paguhan mempunyai harapan yang besar terhadap muridnya itu. Dalam usianya yang masih sangat muda, nampak betapa ia mampu mencerna dan kemudian menuangkannya dalam benturan ilmu dengan orang yang sudah jauh lebih matang dalam olah kanuragan. Bukan saja karena umurnya, tetapi juga karena pengalamannya.
Sementara itu, Ki Randukeling benar-benar telah berusaha untuk mengakhiri pertempuran. Ketika kedua lawannya menarik senjata mereka, maka Ki Randukeling benar-benar menjadi sangat marah.
Apalagi ketika ia mulai dibayangi oleh kemungkinan buruk yang dilakukan oleh orang-orang itu. Mereka tentu akan memberikan laporan kepada Ki Ajar Tulak tentang Puguh, anak Warsi yang dianggapnya juga anak Rangga Gupita.
Dengan demikian, maka usaha mereka untuk menemukan Ki Rangga akan mereka mulai dengan usaha untuk menemukan Puguh.
Memang tidak banyak yang mengetahui siapa Puguh sebenarnya. Hanya beberapa orang tahu bahwa Ki Rangga memanfaatkan Puguh untuk menuntut hak atas Tanah Perdikan Sembojan. Namun satu-satunya jalan adalah dengan membunuh anak Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Karena itu, persoalannya kemudian bukan saja hidup dan mati dalam pertempuran itu, tetapi juga bagi Puguh untuk saat-saat mendatang. Orang-orang itu akan dapat menjadi sumber bencana bagi Puguh. Puguh untuk selanjutnya tidak akan mendapatkan ketenangan, karena ia akan diburu oleh orang-orang yang sebenarnya mencari Ki Rangga Gupita dan Warsi yang telah disembunyikannya.
Dengan demikian, maka Ki Randukeling telah sampai pada satu kesimpulan yang garang. Orang-orang itu tidak boleh meninggalkan arena pertempuran itu.
Ternyata senjata kedua orang lawan Ki Randukeling itu telah mempercepat batas perlawanan mereka sendiri. Dengan tangkasnya Ki Randukeling menghindari setiap serangan kedua lawannya. Sehingga pada suatu saat, adalah di luar perhitungan keduanya, bahwa Ki Randukeling telah menyerang mereka seperti badai. Mereka tidak segera menyadari apa yang terjadi. Tetapi rasa-rasanya segulung angin prahara telah membentur mereka sehingga keduanya telah terputar dan dengan kepala yang sangat pening mereka telah membentur pepohonan di pategalan. Bukan hanya benturan itu saja yang telah membuat mereka tidak berdaya, tetapi ternyata Ki Randukeling yang menyerang keduanya dengan putaran yang cepat sekali itu telah menghantam dada mereka, sehingga rasa-rasanya isi dada mereka telah rontok dari tangkainya.
Kedua orang itu memang tidak sempat mengadakan perlawanan. Namun merekapun tidak menyadari, bahwa mereka telah sampai pada batas terakhir perlawanan mereka, karena benturan yang sangat keras pada batang-batang pepohonan serta hantaman pada dada mereka telah merenggut nyawa mereka.
Ki Randukeling berdiri termangu-mangu. Sementara itu Ki Ajar Paguhan ternyata mempunyai kesimpulan yang sama. Bahkan sejak semula Ki Ajar Paguhan telah memikirkan kemungkinan seperti yang terjadi itu, demi ketenangan hidup Puguh. Anak itu sudah selalu digelisahkan oleh sikap kedua orang tuanya terhadap dirinya. Jika hidupnya kemudian akan mengalami kesulitan akibat kedua orang tuanya pula, maka anak itu akan semakin kehilangan kepercayaan kepada kedua orang tuanya. Bahkan anak itu akan dapat memusuhi mereka dan mengambil langkah-langkah yang tidak diharapkan.
Karena itu, maka Ki Ajar telah mendesak keragu-raguannya. Ia mencoba mengatasi perasaannya dengan penalarannya. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Randukeling. Kedua orang yang bertempur melawannya bersama Puguh telah terkapar pula di pategalan itu.
Puguh sendiri terkejut melihat sikap guru dan kakeknya. Bahkan dengan nada tinggi ia berkata, "Apakah mereka memang pantas untuk dibunuh?"
"Ya," jawab Ki Randukeling, "betapa beratnya perasaan kami untuk melakukannya, tetapi cara ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan igauan mereka tentang Puguh, anak Ki Rangga Gupita dengan Warsi. Dengan demikian, maka untuk sementara kau tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi jika mereka masih tetap hidup, maka mereka tentu akan selalu memburumu. Bukan hanya mereka berempat, tetapi seluruh padepokan dari keempat Putut itu. Bahkan mungkin kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam pertempuran di bawah bukit di Tanah Perdikan Sembojan itu."
Namun Puguh masih juga bertanya, "Bagaimana dengan pemilik kedai itu" Agaknya ia juga mendengar orang ini menyebut namaku dan nama ayah serta ibu. Bukankah ia dapat juga berceritera bahwa aku pernah nampak di daerah ini?"
"Tidak terlalu sulit untuk diatasi," berkata Ki Randukeling.
"Kakek juga akan membunuhnya?" bertanya Puguh.
"Tidak. Tetapi pemilik kedai itu bukan seorang yang memiliki keberanian seperti para Putut itu." jawab Ki Randukeling.
Puguh masih belum mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kakek dan gurunya terhadap pemilik kedai itu. Namun ia tidak bertanya lagi.
Sementara itu Ki Ajar Paguhan berkata, "Tugas kita sekarang adalah mengubur orang-orang ini. Kita tidak dapat membiarkan sosok-sosok mayat ini bertebaran begitu saja."
"Ya," Ki Randukeling mengangguk.
"Dengan apa kita menggali kubur mereka?" bertanya Puguh.
"Dengan apa saja," jawab Ki Randukeling.
Puguh mengangguk. Di luar sadarnya terbayang bagaimana ia telah membunuh pula orang-orang yang menemukannya bersama dua orang yang menyebut namanya Wanengbaya dan Wanengpati di dekat topeng-topeng kecil yang dipasang oleh orang-orang yang menjadi pengikut kedua orang tuanya, juga untuk menghilangkan jejak.
Namun selagi ketiga orang itu bersiap-siap untuk melakukannya, tiba-tiba saja mereka mendengar suara ribut di luar pategalan. Ternyata beberapa orang padukuhan yang telah melihat tiga orang yang dikejar oleh empat orang berlari-lari masuk ke pategalan.
Orang-orang padukuhan itu memang ingin tahu apa yang telah terjadi di pategalan itu. Apalagi pategalan itu adalah pategalan mereka.
"Ki Ajar," desis Ki Randukeling, "kita harus menghindar."
"Tetapi bagaimana dengan sosok mayat ini?" bertanya Ki Ajar Paguhan.
"Nanti saja, setelah orang-orang padukuhan ini pergi," jawab Ki Randukeling. "Jika orang-orang padukuhan tidak menguburkan mereka."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Iapun sependapat dengan Ki Randukeling, bahwa sebaiknya orang-orang padukuhan itu tidak melihat mereka.
Karena itulah, maka Ki Ajar Paguhan telah mengajak Puguh untuk menyingkir bersama Ki Randukeling. Mereka telah menyusup di antara pepohonan dan kemudian menghilang di tengah-tengah pategalan yang ditanami batang orok-orok yang sering dipergunakan untuk pupuk hijau.
Ketika orang-orang padukuhan itu memasuki pategalan, yang mula-mula mereka melihat adalah pepohonan yang rusak. Dahan-dahan yang berpatahan dan tanaman padi gaga yang hancur. Bahkan pohon-pohon perlindungan telah rusak sama sekali.
Orang-orang padukuhan itu mengumpat di dalam hati. Apalagi orang yang memiliki pategalan tepat di ajang pertempuran itu. Dengan marah ia berkata lantang, "Iblis-iblis itu telah merusakkan tanamanku."
Tetapi mulutnya segera terbungkam ketika ia melihat sosok mayat yang terbujur hampir terinjak kakinya.
"Lihat," orang itu berteriak, "sesosok mayat."
"Mana?" bertanya seorang di antara tetangga-tetangganya yang ada di pategalan itu.
"Ini, disini," jawab pemilik pategalan itu.
Beberapa orang telah bergeser mendekat. Tetapi seorang yang lain telah memekik karena terkejut. Kakinya telah terantuk mayat pula. Bahkan yang lainpun masih juga meneriakkan sosok-sosok mayat yang terkapar.
Ternyata semuanya ada empat sosok mayat.
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Menilik ujud dan pakaiannya, keempat orang itu tentu merupakan sekelompok orang yang sebelumnya telah mengejar tiga orang.
"Ternyata orang-orang yang mengejar itulah yang terbunuh," berkata salah seorang di antara mereka yang sempat melihat orang-orang itu berkejaran.
"Ya," sahut yang lain, "nampaknya mereka bukan orang kebanyakan. Jika demikian maka ketiga orang itu tentu orang-orang berilmu."
Orang-orang yang berada di pategalan itupun menjadi sibuk pula. Ternyata merekapun tidak dapat membiarkan empat sosok mayat itu terkapar begitu saja. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu mulai membicarakan bagaimana mereka mengubur keempat orang itu.
"Kita mengambil usungan di padukuhan. Kita akan membawa empat sosok mayat itu ke kuburan. Kita akan menguburkan mereka siapapun mereka," berkata seorang di antara mereka.
Yang lainpun sependapat. Karena itu maka beberapa orang telah pergi ke padukuhan untuk mengambil usungan dan memberitahukan hal itu kepada Ki Bekel.
Bersama orang-orang yang membawa usungan maka Ki Bekelpun telah menuju ke tempat kejadian. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat bekas pertempuran yang tentu sangat sengit itu. Apalagi melihat keempat sosok mayat yang terkapar di pategalan itu.
"Di tempat ini tidak pernah terjadi kekerasan seperti ini," berkata Ki Bekel, "ternyata sekarang kita harus mengalaminya."
"Tetapi mereka orang-orang asing, Ki Bekel," sahut salah seorang di antara mereka yang melihat tiga orang dikejar oleh empat orang dan berakhir seperti yang mereka saksikan di pategalan itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Bagaimanapun juga kita harus bersiap-siap. Jika menjadi kebiasaan orang-orang yang tidak kita kenal berkelahi dan mati disini, maka kita akan banyak mengalami kesulitan. Bukan saja kita setiap kali harus mengubur sosok-sosok mayat yang tidak dikenal seperti keempat sosok mayat ini. Tetapi padukuhan ini tentu akan menjadi padukuhan yang sangar. Yang tidak lagi disentuh orang lain, sehingga arus perdagangan keluar masuk padukuhan inipun akan menjadi tersendat-sendat, meskipun padukuhan ini telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Tetapi kelebihan dari hasil panen dan kerajinan bambu tidak akan dapat di pasarkan keluar. Pasar kita akan mati dan kehidupan penghuni padukuhan ini akan berubah sama sekali."
Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekel itu berkata, "Karena itu, kita harus berusaha merahasiakan peristiwa ini sejauh dapat kita lakukan. Namun akan menyadari bahwa hal itu tentu sulit sekali dilakukan."
Sejenak kemudian, maka orang-orang padukuhan itu telah menjadi sibuk dengan keempat sosok mayat itu. Beberapa orang telah mendahului pergi ke kuburan untuk menggali lubang bagi keempat sosok mayat itu. Ki Bekel berpesan agar keempatnya agak dipisahkan dari yang lain, agar lebih mudah untuk mengenalinya jika pada suatu saat ada keluarganya yang mencarinya.
"Tidak seorangpun yang mengenali mereka," berkata Ki Bekel.
"Ya," sahut salah seorang bebahu, "kitapun menyadari bahwa kematian keempat orang itu merupakan satu persoalan. Kita harus siap menghadapi persoalan itu. Setidak-tidaknya mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang mungkin akan disampaikan kepada kita."
"Bukan saja siap menjawab pertanyaan. Perselisihan ini akan dapat menimbulkan salah paham. Jika keluarganya membebankan kesalahan itu kepada kita, maka kita harus bersiap untuk menghadapinya. Meskipun dalam persoalan di antara orang-orang yang tidak kita kenal ini kita tidak berpihak, tetapi jika kita disudutkan, maka kita harus mempertahankan harga diri kita dan kehormatan padukuhan ini. Hari ini juga kita harus menyampaikannya kepada Ki Demang, agar dengan demikian kita dapat membagi tanggung jawab," berkata Ki Bekel.
Dalam pada itu, selagi orang-orang padukuhan itu sibuk dengan keempat sosok mayat itu, sementara Ki Bekel berketetapan hati untuk menemui Ki Demang sendiri bersama beberapa orang bebahu, maka Ki Randukeling telah kembali ke kedai yang telah disinggahinya sebelum pembunuhan itu terjadi.
Tiba-tiba saja tangan Ki Randukeling telah memijit pundak pemilik kedai itu kemudian menekan dengan ujung dua jari tangannya beberapa simpul syaraf di punggungnya.
Pemilik kedai itupun telah terduduk bersandar dinding dengan lemahnya. Rasa-rasanya seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi.
"Apa yang terjadi atas diriku?" bertanya pemilik kedai itu.
"Kau telah kehilangan hubungan jalur kehendak atas pusat syaraf yang mampu menguasai perintah. Karena itu, kau tidak akan bergerak sama sekali," berkata Ki Randukeling.
"Apa maksudmu dengan memperlakukan aku seperti ini?" bertanya pemilik kedai itu dengan nada suara yang sangat dalam, bahkan seakan-akan suaranya melingkar-lingkar saja di dalam perutnya.
"Kau mengenal aku?" bertanya Ki Randukeling, "aku ingin jawabanmu dengan jujur."
"Ya," jawab orang itu, "kau dan dua orang telah datang ke kedai ini. Kemudian melarikan diri karena kalian diburu oleh empat orang. Kalian memang belum terlanjur makan dan minum, tetapi keempat orang itu sama sekali tidak membayar makanan dan minuman yang dipesannya."
"Mereka tidak akan membayar untuk selamanya," berkata Ki Randukeling.
"Kenapa?" bertanya pemilik kedai itu.
"Mereka telah mati. Kami memang telah bertempur. Kami bertiga dan mereka berempat," berkata Ki Randukeling.
"Apakah kedua orang kawanmu juga mati?" bertanya pemilik kedai itu.
"Tidak. Mereka tidak mati." jawab Ki Randukeling.
"Dan sekarang, apa yang kau kehendaki?" bertanya orang itu.
"Kau mendengar salah seorang dari keempat orang itu menyebut anak muda yang datang ke kedaimu ini bersamaku?" bertanya Ki Randukeling.
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab, "Tidak. Aku tidak mendengarnya."
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tangannya meraih sebilah pisau yang tajam yang terletak di atas geledeg bambu. Pisau yang dipergunakan oleh pemilik kedai itu untuk memotong-motong daging yang telah digoreng menjadi daging goreng dalam potongan-potongan yang besar yang kemudian dipotong-potong kecil di atas telenan kayu.
Sambil menggerakkan pisau yang tajam dan runcing itu, Ki Randukeling bertanya sekali lagi, "Kau dengar atau tidak?"
Karena orang itu tidak segera menjawab, maka wajah orang itu telah menjadi pucat ketika ia merasa dinginnya daun pisau itu menyentuh lehernya.
"Kau dengan atau tidak?" geram Ki Randukeling.
Pemilik kedai itu memang menjadi bingung. Ia tidak tahu pilihan manakah yang paling baik diucapkannya menjawab pertanyaan orang yang menjadi garang itu.
"Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kau tidak menjawab, maka kau tidak akan pernah menjawab untuk selamanya," berkata Ki Randukeling.
"Baik, baik," desis orang yang menjadi semakin pucat itu, "aku memang mendengar orang itu menyebut nama anak muda yang bersamamu."
"Sebut nama itu, cepat, sebelum pisau ini memotong nadi di lehermu," berkata Ki Randukeling pula.
Orang itu mengingat-ingat. Kemudian katanya, "Pulung. Namanya Pulung."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Telingamu sangat tajam, dan ingatanmu baik. Tetapi jangan sebut nama siapapun. Yang kau dengar atau yang mirip dengan itu. Jangan kau katakan tentang kehadiran kami di kedai ini. Karena kau tahu, bahwa aku akan dapat membunuhmu seperti aku membunuh keempat orang yang akan membunuh kami itu."
Orang itu memang menjadi gemetar. Sementara Ki Randukeling berkata seterusnya, "Berjanjilah. Aku percaya kepada janjimu, karena taruhannya adalah nyawamu. Tetapi jika akibat dari pada itu sangat parah jika kau melanggar janjimu, maka taruhannya bukan sekedar nyawamu. Tetapi nyawa keluargamu."
Pemilik kedai itu benar-benar menjadi ketakutan. Dengan suara bergetar ia menjawab, "Baik, baik Ki Sanak. Aku berjanji."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Jangan membunuh diri dan jangan membunuh seluruh keluargamu."
"Baik Ki Sanak." jawabnya dengan suara yang masih saja gemetar.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang aku mohon diri," berkata Ki Randukeling.
"Tetapi bagaimana dengan keadaanku sendiri?" orang itu berdesah dengan suara memelas.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Iapun segera menyentuh pundak orang itu, menolongnya duduk tanpa bersandar dan dengan kedua ujung jarinya menyentuh simpul-simpul syaraf di punggung orang itu.
Perlahan-lahan rasa-rasanya darahnya mulai mengaliri seluruh urat-urat nadinya kembali, sementara syarafnya mulai melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Kehendaknya dapat berlaku sejalan dengan perintah dipusat syarafnya menuju ke seluruh anggota tubuhnya.
Sejenak kemudian pemilik kedai itu telah dapat bangkit berdiri kembali. Kemudian mulai menggeliat dan menggerakkan anggota badannya untuk menguji, apakah semuanya telah berjalan dengan wajar.
"Sudahlah," berkata Ki Randukeling, "bertanyalah kepada tetangga-tetanggamu, apa yang terjadi dengan keempat orang itu. Mereka akan menemukan keempat orang itu mati di pategalan, karena mereka ingin memaksakan kehendaknya atas kami."
Pemilik kedai itu tidak menjawab, sementara Ki Randukeling itupun bertanya, "Berapa keempat orang yang mati itu seharusnya membayar" Karena aku telah membunuh mereka, maka biarlah aku yang membayarnya."
"Tidak. Tidak usah Ki Sanak. Biarlah makanan dan minuman itu aku ikhlaskan," jawab pemilik kedai itu.
Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Terima kasih. Tetapi ingat, jangan membunuh diri dan apalagi membunuh seluruh keluargamu."
Pemilik kedai itu tidak menjawab. Tetapi dengan perasaan yang kacau dipandanginya orang tua yang kemudian meninggalkan kedainya itu. Namun ia tidak bertiga sebagaimana ia datang sebelumnya.
"Orang aneh," berkata pemilik kedai itu, "sesudah ia membunuh, maka ia masih juga sempat berpikir untuk membayar makanan dan minuman dari orang yang telah dibunuhnya itu."
Tetapi sebenarnyalah, beberapa saat kemudian pemilik kedai itu memang mendengar, bahwa empat orang telah terbunuh di pategalan.
"Ternyata orang tua itu berkata sebenarnya," desis pemilik kedai itu kepada diri sendiri, "Yang terbunuh adalah empat orang. Kedua orang kawan orang tua itu tentu selamat. Mungkin mereka hanya terluka dan bersembunyi di tempat yang sulit untuk diketemukan."
Namun sementara itu, ketiga orang itupun telah melanjutkan perjalanan. Mereka ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari padukuhan yang telah menjerat mereka ke dalam pertempuran, bahkan yang telah memaksa mereka untuk membunuh. Namun bagi Ki Randukeling, Ki Ajar Paguhan dan Puguh, persoalan yang baru saja mereka hadapi masih belum selesai dengan tuntas meskipun keempat orang itu sudah terbunuh, karena di belakang keempat orang Putut itu adalah sebuah perguruan yang dipimpin oleh Ki Ajar Tulak. Perguruan yang tentu sebuah perguruan yang cukup besar. Ternyata bahwa perguruan itu telah melibatkan diri dalam pertempuran di Tanah Perdikan Sembojan.
Ketiga orang itupun kemudian tidak berniat lagi untuk singgah di sebuah kedai. Mereka membeli saja makanan dan minuman di pinggir jalan. Ketika mereka berpapasan dengan penjual dawet yang dijajakan dari padukuhan ke padukuhan dengan pemanis legen kelapa, maka merekapun telah menghentikannya dan membelinya sepuas-puasnya untuk menghapus perasaan haus mereka.
Ternyata mereka masih belum mencapai pintu gerbang kota Pajang ketika malam turun. Untuk menghindarkan diri dari dugaan yang kurang menguntungkan, maka mereka telah berhenti berjalan. Tetapi mereka ternyata tidak ingin singgah dan bermalam di banjar-banjar padukuhan agar mereka tidak lagi terlibat ke dalam satu keadaan yang tidak mereka kehendaki. Karena itulah maka mereka telah memilih untuk bermalam di hutan perdu yang tidak terlalu luas.
Bergantian mereka berjaga-jaga. Mereka memang harus berhati-hati. Bukan saja menghadapi orang-orang yang mungkin mengikuti jejak mereka, tetapi mungkin juga masih ada binatang buas yang berkeliaran di hutan perdu itu.
Ketika matahari mulai membayang di Timur, ketiganya telah bersiap-siap. Mereka menemukan sebuah parit untuk membersihkan diri sebelum mereka melanjutkan perjalanan.
Sebelum tengah hari, ternyata mereka telah memasuki kota Pajang. Kota yang ramai. Namun yang pada saat-saat terakhir sedang dibayangi oleh kemelutnya gejolak seorang saudara seperguruan, sahabat dan bahkan penasehat yang paling dekat dengan Sultan Hadiwijaya sendiri. Ki Gede Pemanahan, yang telah merasa dikecewakan.
Tetapi persoalan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjalanan Ki Randukeling, Ki Ajar Paguhan dan Puguh yang menuju kesatu tempat yang memang dengan sengaja dirahasiakan dari siapapun juga.
Puguh tiba-tiba saja merasa senang berjalan-jalan di kota Pajang yang ramai. Ia memang pernah datang ke kota itu. Tetapi sudah lama sekali. Dan kedatangannya saat itu membuatnya sempat melupakan kegelisahannya.
Ketika mereka melewati jalan di sebelah pasar, maka rasa-rasanya Puguh tidak mau beranjak, Meskipun hari sudah siang, tetapi ia sempat melihat betapa ramainya pasar itu. Semuanya ada di pasar itu. Sayur-sayuran, buah-buahan, alat-alat dapur dari bambu, dari kayu dan gerabah, sampai pande besi yang membuat alat-alat pertanian yang ramai berdentangan.
Tetapi Ki Randukeling tidak ingin berhenti di kedai yang berjajar di pinggir pasar itu. Ia tidak mau mengalami kesulitan lagi. Karena itu, maka Ki Randukeling membeli saja tiga bungkus nasi yang mereka bawa ke tempat yang agak sepi.
Puguh memang tidak menghiraukan apapun juga ketika ia makan. Tetapi Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan masih juga harus melihat keadaan. Namun karena mereka berada di pinggir sebuah batas pekarangan yang berdinding tinggi di sebuah sudut padukuhan yang menghadap ke tempat terbuka, maka tidak ada orang yang sempat memperhatikannya.
Baru beberapa saat kemudian, mereka meneruskan perjalanan mereka justru ke pusat kota.
Puguh menjadi termangu-mangu ketika mereka memasuki sebuah jalan yang tidak terlalu lebar, bahkan kemudian mereka masih memasuki jalan yang lebih kecil, menuju ke tengah-tengah sebuah padukuhan di dalam kota Pajang.
Dengan ragu-ragu Puguh berdiri di depan sebuah regol halaman rumah yang tidak terlalu luas. Sambil berpaling ke arah kakeknya Puguh itupun bertanya, "Rumah inikah yang akan kita datangi?"
"Ya," kakeknya mengangguk, "kita akan memasuki rumah ini. Rumah yang kita rahasiakan selama ini bahkan untuk waktu yang barangkali masih panjang."
"Di rumah inikah ibu dan ayah disembunyikan?" bertanya Puguh.
"Hati-hatilah," desis Ki Ajar Paguhan.
Namun ketika Puguh memandangi sekitarnya, maka tidak terdapat seorangpun. Jalan sempit itu ternyata jalan yang sepi, sementara beberapa rumah yang tidak begitu baik berjajar di sepanjang jalan sempit itu.
"Bersiaplah untuk menjumpai kedua orang tuamu," berkata Ki Ajar Paguhan.
Puguh mengangguk-angguk. Namun nampaknya wajahnya mulai menjadi tegang.
Sementara itu gurunya berkata selanjutnya, "Ingat pesanku. Kau harus menjaga diri, agar tidak timbul persoalan baru atasmu. Agar aku tidak diusir oleh orang tuamu atau penghinaan-penghinaan lain yang dapat membuatku marah. Karena dalam keadaan demikian mungkin aku dapat lupa diri. Jika bukan aku yang membunuh ayahmu, maka dalam pengendalian diri yang demikian, aku tentu akan diusirnya."
Puguh menundukkan kepalanya.
"Kau dengar Puguh," desis kakeknya.
"Ya kakek," jawab Puguh, "aku mengerti."
Ki Randukeling mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka tangan Ki Randukeling perlahan-lahan telah mendorong pintu regol itu yang ternyata tidak diselarak. Yang nampak kemudian adalah halaman yang tidak begitu bersih. Demikian pula rumah yang terdapat di seberang halaman itu. Beberapa batang pohon nampak menaungi pendapa yang kecil yang agak kurang terpelihara.
Demikian mereka melangkah masuk, maka seorang perempuan separo baya datang menyongsong mereka.
"Marilah Ki Randukeling," perempuan itu mempersilahkan.
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku datang bersama anak Warsi dan guru anak itu."
"O," perempuan itu mengangguk-angguk pula. Tetapi wajahnya bagaikan membeku.
Puguh termangu-mangu melihat sikap perempuan itu. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, maka Puguh melihat perempuan itu pada sikapnya tentu bukan perempuan kebanyakan.
Adalah hampir di luar sadarnya ketika ia bertanya, "Siapakah perempuan ini Kek?"
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Randukeling menjawab, "Perempuan inilah yang selama ini merawat ibumu. Ia adalah bibimu sendiri. Saudara sepupu dengan ibumu."
"O, maafkan aku bibi," Puguhpun kemudian mengangguk.
Namun sikap perempuan itu masih saja beku. Ia memang mengangguk kecil. Tetapi wajahnya sama sekali tidak berubah.
Ki Ajar Paguhan hanya berdiri mematung saja. Tetapi nampaknya iapun kurang senang melihat sikap perempuan itu.
"Marilah Ki Randukeling," berkata perempuan itu mempersilahkan.
Ki Randukeling kemudian mengajak Ki Ajar Paguhan dan Puguh untuk naik ke pendapa dan duduk di atas sebuah tikar pandan yang sudah tidak nampak putih lagi. Sementara perempuan itu berkata, "Akan aku sampaikan kepada Ki Rangga bahwa kalian sudah datang."
Sejenak kemudian perempuan itu telah hilang di balik pintu pringgitan.
"Apakah ayah dan ibu sudah lama tinggal disini?" bertanya Puguh.
"Belum," jawab Ki Randukeling, "sejak ibumu terluka parah, sudah tiga kali berpindah tempat."
"Bibi itu pula yang selalu merawatnya?" bertanya Puguh.
"Ya. Aku panggil bibimu untuk merawatnya," berkata Ki Randukeling dalam nada rendah.
Keingintahuan Puguh ternyata tidak tertahankan lagi, sehingga iapun telah bertanya, "Apakah bibi juga seperti ibu yang juga memiliki kemampuan olah kanuragan" Menilik sikap dan geraknya, nampaknya bibi juga memiliki kemampuan seperti ibu."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi ibumu melaju lebih cepat dari saudara sepupunya itu. Meskipun demikian, ia termasuk seorang yang memiliki kemampuan tinggi."
Puguh mengangguk-angguk, sementara Ki Ajar Paguhan sempat memperhatikan keadaan tempat itu. Rumah itu adalah rumah yang sederhana, meskipun susunannya agak lengkap. Rumah itu memiliki pendapa, pringgitan namun tanpa longkangan depan, tanpa gandok dan tanpa seketheng, tetapi memiliki serambi di kanan dan kiri.
Beberapa saat kemudian, pintu pringgitan yang terbuat dari anyaman bambu yang bergerak ke samping itu telah terbuka. Yang berdiri di belakang pintu bambu anyaman itu adalah Ki Rangga, Warsi dan perempuan yang telah menerima ketiga orang memasuki halaman rumah itu.
Demikian ketiga orang itu keluar dari pintu pringgitan, terdengar Warsi berkata dengan nada keras kepada Puguh, "Kenapa kau baru datang sekarang anak dungu" Jika ibumu mati saat itu, maka kau tidak akan dapat melihat aku lagi. Atau kau memang mengharapkan agar aku mati segera" Sehingga kau sengaja tidak menampakkan diri sampai saat kematian itu datang?"
Puguh hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Warsi melangkah mendekat, duduk di tikar pandan itu pula bersama Ki Rangga Gupita dan saudara sepupunya sambil berkata selanjutnya, "Tetapi aku masih belum ingin mati. Perempuan laknat di Tanah Perdikan Sembojan itulah yang harus mati lebih dahulu."
Puguh sama sekali tidak menjawab. Ki Randukelinglah yang bertanya, "Bagaimana keadaanmu" Seharusnya kau bertanya kepada kami, keselamatan kami, perjalanan kami dan padepokan yang ditinggalkan oleh Puguh dan Ki Ajar Paguhan."
"Apakah kita masih memerlukan basa-basi itu?" bertanya Warsi.
"Kau ingin mendengar jawabku atau kau sudah mempunyai jawaban sendiri?" suara Ki Randukeling agak tajam.
Ternyata Warsi harus bergeser surut melihat sikap Ki Randukeling. Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Maaf. Aku agak terdorong oleh perasaanku melihat anak dungu itu."
"Anak yang mana" Anakmu itu?" bertanya Ki Randukeling pula.
"Ya. Tetapi bukan aku yang menurunkan kedunguan itu," sahut Warsi.
Ki Randukeling tidak bertanya lagi. Namun di luar sadarnya Puguh berpaling dan memandang Ki Rangga Gupita yang diduga adalah ayahnya sendiri.
Tetapi tiba-tiba saja Ki Ranggapun membentak, "Kenapa kau memandang aku seperti itu?"
"Bukan pula Ki Rangga," Warsi hampir berteriak.
Sementara itu Ki Randukeling berkata, "Apa sebenarnya yang ingin kalian lakukan atas anak itu" Bukankah kalian yang minta agar aku memanggilnya untuk menemui kalian bersama gurunya."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. Aku yang minta agar anak itu dibawa kemari. Ia terlalu bodoh dan hatinyapun keras seperti batu. Ia sama sekali tidak tersentuh perasaannya mendengar ibunya terluka parah. Bahkan menengokpun tidak."
"Akulah yang melarangnya datang menengokmu sebelum keadaanmu bertambah baik," berkata Ki Randukeling.
"Tetapi sampai sekian lamanya" Bukankah aku sudah baik sejak beberapa waktu yang lalu," berkata Warsi pula.
"Apakah kau sudah merasa baik" Jika demikian, tidak ada gunanya lagi aku mengobatimu," berkata Ki Randukeling, "apalagi jika kau sendiri merasa bahwa kehadiranku, kebijaksanaanku dan rencana-rencanaku tidak berarti apa-apa lagi bagimu."
"Maaf Ki Randukeling," Ki Ranggalah yang memotong, "yang kami katakan adalah sekedar luapan kejengkelan kami kepada anak kami yang sama sekali tidak tanggap atas peristiwa-peristiwa yang terjadi."
"Sudahlah," berkata Ki Randukeling, "anak itu sekarang sudah ada disini. Ia tentu ingin tahu, apakah keadaan ibunya sudah benar-benar baik atau belum. Mungkin dalam penglihatan mata kita, kau sudah baik, sudah sembuh dan tidak nampak cacat sama sekali. Tetapi kau harus berterus terang kepada anakmu, bahwa kemampuanmu dan ilmumu, masih belum dapat dipulihkan kembali."
"Apakah itu perlu," potong Warsi dengan serta-merta.
"Perlu sekali. Dengan demikian anakmu akan dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaanmu," berkata Ki Randukeling.
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku ingin mengatakan kepada anakku, agar ia benar-benar mempersiapkan dirinya untuk satu tugas yang berat. Ia memang sudah saatnya mengetahui, bahwa kami, orang tuanya, gagal merebut kembali hak kami atas Tanah Perdikan. Karena itu, maka ia harus bersiap untuk mengambil alih tugas itu."
Wajah Puguh menjadi tegang. Hampir saja ia mempertanyakan tentang hak yang disebut-sebut oleh ibunya itu. Namun Ki Ajar Paguhanlah yang segera menyahut, "Aku sudah mencoba untuk menempanya. Pada dasarnya Puguh adalah seorang anak yang memiliki tubuh yang kuat. Penalaran yang tajam dan perhitungan yang cermat. Jika ada kegagalan kemudian, bukan salah anak itu. Tetapi salah gurunya."
"Aku sudah melihat kesalahan itu sekarang," berkata Ki Rangga Gupita, "anak itu terlalu dimanjakan. Baik oleh gurunya maupun oleh kakeknya. Apakah jadinya seorang laki-laki yang menjadi hari kemudiannya" Apakah yang dapat dilakukan di umur dewasanya selain merengek dan merajuk?"
"Ya," Sambung Warsi, "anak itu harus ditempa seperti baja. Ia harus mengalami laku yang berat dan barangkali untuk waktu yang lama agar ia dapat menimba ilmu yang benar-benar berarti. Bukan sekedar seperti bajing loncat di dahan-dahan kayu. Justru sekedar melarikan diri."
Wajah Ki Ajar berkerut. Katanya, "Aku yang bertanggung jawab. Aku akan membuat anak ini bukan sekedar merengek dan merajuk. Aku akan membuat anak ini menjadi seorang laki-laki yang baik. Yang pantas disebut seorang laki-laki sejati."
"Apa yang kau maksudkan dengan laki-laki sejati?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Kau, seorang perwira dalam tugas sandi di Jipang tentu mengetahui apakah artinya seorang laki-laki sejati. Ia tidak sekedar tergantung pada kekuatan dan kemampuan ilmu, tetapi juga pada sikap dan tanggapan jiwani atas keadaan di lingkungannya. Nah, jika kau tidak sependapat, ambil anakmu kembali," berkata Ki Ajar Paguhan.
Tetapi Ki Randukeling menyahut dengan cepat, "Akulah yang menyerahkan anak itu kepadamu. Aku akan dapat menentukan apakah anak itu akan diambil kembali atau tidak."
"Tetapi anak itu adalah anakku," geram Warsi.
"Apalagi tentang anakmu. Kau seakan-akan sudah tidak mempunyai hak lagi atas nyawamu. Dua kali aku menyelamatkanmu dari maut yang sudah melilitkan tangannya ke lehermu. Kau berhasil aku selamatkan. Apa katamu?" bertanya Ki Randukeling.
"Itu bukaan kemauanku," jawab Warsi.
"Kau adalah seorang yang dialiri darah yang bersumber sama dengan darahku. Itulah sebabnya aku terdorong untuk menyelamatkan nyawamu," berkata Ki Randukeling.
Tetapi Warsi masih membantah, "Aku tidak pernah merasa berhutang, karena yang terjadi bukan atas permintaanku."
"Aku juga tidak pernah berpikir untuk menagih hutang. Jika aku melakukannya, maka itu bukannya satu tagihan atas hutang yang belum terbayar. Tetapi atas dasar satu keinginan untuk melakukannya. Ingat, aku dapat menolongmu dan menyelamatkan jiwamu. Tetapi aku juga dapat berbuat sebaliknya," berkata Ki Randukeling.
Namun Ki Rangga berkata, "Bukankah pada mulanya Ki Randukelinglah yang telah mendorong kami melakukan semua ini?"
"Sampai seberapa jauh aku mendorong kalian melakukannya pada jaman pergolakan antara Jipang dan Pajang?" bertanya Ki Randukeling, "kemudian sejak kapan pula aku menarik diri dari kegiatan-kegiatan kalian yang tidak aku setujui."
Ki Rangga menggeretakkan giginya, sementara wajah Warsi menjadi merah. Tetapi mereka memang tidak akan berani berbuat sesuatu terhadap Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan, karena mereka tahu pasti, tataran kemampuan ilmu kedua orang itu.
Karena itu, maka Warsipun mengalihkan pembicaraannya kepada anaknya, "Puguh. Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar seorang laki-laki. Aku belum ingin mengetahui kau laki-laki sejati atau bukan."
Ki Ajar Paguhan hanya dapat mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Apa yang harus dilakukannya?" bertanya Ki Randukeling.
"Kenapa anak itu tidak bertanya sehingga kakek yang harus menanyakannya" Apakah kau sekarang sudah bisu?" geram ibunya.
Puguh memang menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Namun dalam pada itu, ibunya berkata, "Sudah sekian lama kau bergurau. Tetapi aku belum pernah tahu dengan pasti tataran kemampuanmu. Karena itu, sudah datang saatnya aku menilik kemampuanmu itu, karena kau sudah mendekati saatnya dewasa penuh. Bahwa kau mampu melepaskan diri dari para prajurit Pajang di Song Lawa bukan ukuran tingkat kemampuanmu yang tinggi, karena mungkin satu kebetulan telah terjadi pada saat itu, sehingga kau dapat menerobos kepungan para prajurit Pajang."
Puguh menjadi tegang. Sementara itu ibunya berkata, "Kau hari ini dapat beristirahat. Tetapi besok, dalam waktu satu hari satu malam kau akan menjalani pendadaran itu."
"Baik ibu," jawab Puguh, "aku akan melakukan segala perintah ibu."
"Bagus," jawab Warsi. Lalu katanya, "Kau boleh beristirahat. Tetapi kau harus bersiap-siap untuk menghadapi saat pendadaranmu. Besok kau harus pergi ke hutan yang tidak terlalu jauh dari sini. Sehari semalam kau akan berada di hutan itu. Pada pagi hari berikutnya kau harus kembali dengan membawa seekor harimau jenis apapun juga. Harimau belang, ireng atau harimau kumbang. Tetapi bukan jenis harimau kerdil seperti blacan."
Puguh mengangkat wajahnya. Dipandanginya ibunya sekilas, kemudian kakek dan gurunya.
"Jangan merengek untuk minta tolong," berkata ibunya, "aku akan mengujimu dengan cara itu. Jika kau pada saatnya tidak mendapatkan seekor harimau, maka kau tidak usah kembali lagi kepadaku. Kau bukan lagi anakku yang akan menerima hak atas Tanah Perdikan Sembojan yang kini sedang aku perjuangkan itu."
"Anak itu tidak merengek," berkata Ki Ajar Paguhan, "ia akan melakukannya sebagaimana kau kehendaki. Aku tahu, bahwa kau menghendaki aku dan Ki Randukeling tinggal disini dan tidak perlu mengawasi anak itu. Kami berdua memang tidak akan melakukannya. Kau yang penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada siapapun juga tentu mengira, bahwa kami akan membantu anakmu." Ki Ajar berhenti sejenak, lalu, "tetapi aku tidak peduli. Jika anak itu mati diterkam harimau, ia bukan anakku. Jika anak itu ternyata gagal mempertahankan diri dari serangan seekor ular yang besar dan bahkan ditelannya, ia bukan anakku. Jika tubuhnya hancur dikoyak-koyak buaya di rawa-rawa di hutan itu, ia bukan pula anakku."
Warsi termangu-mangu sejenak. Tetapi kekerasan hatinya kemudian telah mendorongnya berkata, "Akupun tidak peduli. Hanya laki-laki yang dapat mempertahankan hidupnya adalah anakku. Yang tidak dapat mempertahankan hidupnya sendiri, ia bukan anakku."
"Dan kaupun ternyata telah gagal mempertahankan hidupmu sendiri," berkata Ki Ajar Paguhan.
"Aku tidak menghindar dari kematian," jawab Warsi.
"Baiklah," Ki Randukelinglah yang berkata, "Kami akan beristirahat. Jika hanya itu yang ingin kau lakukan atas anakmu yang telah memenuhi panggilanmu, apaboleh buat. Nah, dimana kami dapat beristirahat?"
Ternyata ketiga orang itu telah ditempatkan di serambi samping. Rumah yang tidak mempunyai gandok itu, hanya mempunyai serambi yang bagaikan sayap-sayap di sebelah kiri dan kanan.
Di serambi itu telah dibuat sebuah bilik yang sempit tetapi memanjang. Di bilik itulah ketiga orang itu ditempatkan.
Ki Randukeling tidak menolak. Meskipun ialah yang membawa kedua orang itu disertai sepupu Warsi ke rumah itu, dan bahkan menyembunyikan di situ, tetapi sikap orang-orang itu kadang-kadang membuat Ki Randukeling marah.
Sejak ketiga orang itu memasuki serambi, Ki Rangga Gupita dan Warsi tidak menemui mereka lagi. Hanya saudara sepupunya sajalah yang datang untuk menghidangkan makanan dan minuman.
Ki Randukeling juga tidak begitu menghiraukan sikap orang-orang yang disembunyikannya di rumah itu. Bahkan Ki Randukeling yang sebelum sampai ke rumah itu ingin memperingatkan Ki Rangga untuk berhati-hati karena orang-orang Ki Ajar Tulak selalu mencarinya menjadi segan berbicara.
"Aku akan mengatakannya jika Puguh berhasil menyelesaikan pendadarannya. Jika Puguh gagal, aku tidak akan mempedulikan kedua orang itu lagi," geram Ki Randukeling di telinga Ki Ajar Paguhan pada saat Puguh pergi ke pakiwan.
"Warsi memang gila," berkata Ki Ajar Paguhan, "kebenciannya kepada Ki Wiradana telah menurun kepada anak kandungnya sendiri yang dilahirkannya dengan Ki Wiradana itu. Puguh sebenarnya tidak tahu apa-apa. Ia tidak bersalah."
"Kadang-kadang aku memang menyesal menyelamatkannya. Tetapi aku tidak dapat melupakan garis keturunannya. Ia keluargaku sendiri, sehingga bagaimanapun juga aku wajib menolongnya," desis Ki Randukeling.
Ki Ajar Paguhan hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak berbicara lagi.
Ketika Puguh masuk ke dalam bilik itu lagi dari pakiwan, maka iapun bertanya, "Dimana letak hutan itu Kek" Apakah di dalam kota ini ada juga hutan?"
"Tentu tidak Puguh. Hutan itu ada di luar kota. Di sebelah selatan kota ini memang terdapat jalan menuju ke sebuah hutan. Hutan yang masih cukup lebat. Di dalam hutan itu tentu masih banyak terdapat harimau. Yang terbanyak tentu harimau loreng, karena jenis harimau itulah yang hidup di hutan-hutan didaerah ini. Meskipun ada juga jenis macan kumbang." jawab kakeknya.
"Besok aku harus pergi ke hutan itu Kek. Tetapi apakah besok lusa aku harus membawa hasil buruanku itu kemari melalui jalan-jalan kota?" bertanya Puguh.
"Tentu tidak," jawab kakeknya, "itu satu sikap yang bodoh. Bukankah dengan demikian kau akan menarik perhatian" Orang yang tidak memperhatikan meskipun ia sudah mengenalimu seperti salah seorang Putut itu, akan tertarik perhatiannya karena kau membawa seekor harimau hasil buruan. Meskipun kadang-kadang ada juga pemburu yang berbuat seperti itu, bahkan dilakukan dengan penuh kebanggaan, tetapi pemburu itu bukan kau yang masih mempunyai persoalan."
"Itulah Kek," desis Puguh, "aku tidak pernah dapat melakukan sesuatu yang dapat dilakukan oleh orang lain tanpa ragu, tanpa sembunyi-sembunyi. Kenapa harus begitu?"
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Untuk sementara kau masih harus menerima keadaan itu. Anggaplah hal itu sebagai laku. Jika kau memang berniat, maka pada suatu saat kau tentu akan terlepas dari laku ini."
Puguh mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Aku belum pernah masuk ke dalam hutan itu Kek. Bagaimana jika aku gagal mendapatkan seekor harimau?"
"Jika kau gagal, maka sebaiknya kau tidak kembali ke tempat ini sebagaimana dikatakan oleh ibumu. Setidak-tidaknya untuk sementara kau memang harus berpisah. Jika kemarahan dan kekecewaan mereka sudah mereda, maka kau tentu akan dapat menemuinya kembali," berkata kakeknya.
"Jadi, jika aku gagal, aku harus kemana?" bertanya Puguh, "membunuh diri?"
"Hatimu tidak hanya sepanjang tangkai sapu lidi," berkata kakeknya.
"Jika kau gagal, aku akan datang ke hutan itu," berkata gurunya, "kemudian kita akan pergi kemanapun."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Bahkan iapun berkata, "Jadi pendadaran yang dilakukan oleh orang tuamu itu jangan kau anggap terlalu bersungguh-sungguh sehingga hatimu menjadi tegang."
Puguh mengangguk-angguk. Hatinya merasa sejuk. Ternyata di dunia ini masih ada orang yang dengan ikhlas melindunginya.
Ki Randukeling bukan saja memberikan beberapa pesan, tetapi juga obat penawar bisa. Karena di hutan itu, selain binatang buas, maka ularpun akan dapat menjadi musuh yang sangat berbahaya. Bahkan beberapa jenis serangga yang berbisa. Meskipun tidak langsung membunuh, tetapi beberapa jenis serangga akan dapat membuat seseorang kadang-kadang seperti lumpuh dan membengkak.
"Bawalah pisau belati rangkap. Jika disini ada busur dan anak panah, maka aku akan minta kau diberi bekal busur dan anak panah itu," berkata Ki Randukeling, "jika tidak, maka pisau belati rangkap itu akan merupakan senjata yang paling baik untuk menghadapi seekor harimau."
Puguhpun mengangguk-angguk. Gurunya masih juga sempat memberitahukan kelemahan-kelemahan pada seekor harimau pada umumnya, sehingga titik-titik kelemahan itulah yang harus menjadi sasarannya yang pertama.
Menjelang malam Ki Randukeling sempat berbicara dengan Ki Rangga Gupita. Ternyata Ki Rangga berkeberatan memberikan busur dan anak panahnya.
"Aku memerlukan setiap saat jika ada orang yang berniat jahat mendekati rumah ini," berkata Ki Rangga.
"Kau seperti berbicara dengan anak-anak," sahut Ki Randukeling, "apakah selama kalian aku sembunyikan disini pernah ada orang datang mencarimu" Bukankah aku telah menempatkan kalian di tempat yang tidak diketahui orang lain yang sengaja mencarimu" Seandainya ada orang datang kemari untuk menangkapmu, apakah kau dapat mempergunakan busur dan anak panah itu dengan baik?"
Tetapi Ki Rangga berkata, "Anak itu sedang menempuh pendadaran. Jika ia membawa busur dan anak panah, apakah artinya" Ia tidak lebih dari seseorang yang sedang berburu."
"Jawabanmu yang terakhir ini agak masuk akal," berkata Ki Randukeling, "tetapi pendadaran macam apa yang kalian lakukan atas anak itu" Menangkap atau membunuh seekor harimau tidak sejalan dengan kemampuan dalam olah kanuragan. Membunuh seekor harimau memerlukan ketrampilan tersendiri. Berbeda dengan ketangkasan dalam olah kanuragan yang bukan saja memerlukan ketrampilan, tetapi juga pengetahuan tentang unsur-unsur gerak, kelemahan-kelemahan pada tubuh seseorang dan watak dari setiap langkah yang dilakukan. Kau adalah seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Apakah kau melihat kesamaan antara olah kanuragan dan ketrampilan menangkap seekor harimau?"
"Kemampuan olah kanuragan akan dapat menjadi bekal yang baik. Seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan mempunyai kelebihan dari mereka yang tidak memilikinya. Menurut pendapatku ada kesamaan, bahkan banyak kesamaannya. Olah tubuh, kelenturan anggota badan dan bahkan seluruh badan, kecepatan gerak dan kekuatan." jawab Ki Rangga.
"Tetapi sebaliknya, seorang yang mampu membunuh seekor harimau dengan tangannya, belum tentu akan mampu menghadapi kemampuan olah kanuragan yang lebih rendah dari kemampuan yang dimiliki Puguh," berkata Ki Randukeling, "Karena membunuh seekor binatang memerlukan pengenalan khusus. Para pemburu dapat mengenali dengan baik watak-watak seekor binatang. Mereka tahu pasti kelemahan binatang buruannya, sebagaimana Puguh mengenali kelemahan seseorang. Ki Ajar Paguhan, memang tidak secara khusus mengajari Puguh untuk berkelahi dengan binatang buas, karena ia tidak menduga, bahwa pada suatu saat Puguh harus menghadapi pendadaran dengan cara ini. Tetapi Ki Ajar yakin, bahwa Puguh akan berhasil."
"Kita akan melihat besok lusa," berkata Ki Rangga.
Ki Randukelingpun kemudian minta agar Puguh tidak membawa harimau yang diburunya itu ke dalam kota agar tidak menarik perhatian.
"Apa salahnya," berkata Ki Rangga.
"Ki Rangga adalah bekas seorang perwira dalam tugas sandi. Apakah Ki Rangga yang bersembunyi disini tidak melihat kelemahannya, jika Puguh membawa seekor harimau hasil buruannya kemari?" Ki Randukeling justru bertanya.
Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah ia sependapat dengan Ki Randukeling. Tetapi agaknya Ki Rangga tidak mau memutuskan sendiri. Karena itu, maka Ki Rangga itupun telah berbincang dengan Warsi.
"Mungkin ada orang yang perhatiannya mulai tertarik kepada rumah ini," berkata Ki Rangga.
Warsi mengangguk-angguk. Iapun dapat mengerti. Di rumah itu mereka berdua masih bersembunyi, karena keadaan Warsi. Lukanya belum sembuh sepenuhnya sementara kekuatan dan kemampuannyapun belum pulih kembali.
"Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya Warsi.
"Biarlah anak itu meletakkan harimau itu di satu tempat," jawab Ki Rangga, "aku akan pergi ke tempat itu bersama Ki Randukeling atau bersama Ki Paguhan. Salah seorang di antara keduanya akan berada di rumah ini."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Pergilah bersama gurunya. Aku tidak begitu senang kepada orang itu. Nampaknya ia bukan orang yang kita maksudkan, yang dapat membentuk Puguh menjadi seorang laki-laki."
"Ia cukup keras," jawab Ki Rangga, "tetapi agak sombong dan harga dirinya terlalu besar sebagaimana juga Ki Randukeling. Tetapi apa salahnya Puguh tidak menjadi seorang laki-laki yang baik menurut kita. Biar saja ia menjadi cengeng dan perajuk yang tidak berarti apa-apa, meskipun pada satu saat kita dapat mempergunakannya. Tetapi tidak perlu kekuatan dan kemampuannya. Kita hanya memerlukan namanya, ujudnya dan justru kerapuhan sikapnya. Ia akan menjadi semacam golek kayu yang duduk di atas kedudukan seorang kepala Tanah Perdikan tanpa mampu memerintah. Ia hanya akan menjalankan perintah kita."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Jika perang terjadi dan Pajang kehilangan kesempatan untuk mengamati daerah kuasanya, maka kesempatan itu akan menjadi sangat baik."
Namun dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Kita memerlukan pengikut yang baik, setia dan cukup banyak. Sementara itu, aku tidak tahu, apakah Ki Sumbaga, Ki Ajar Tulak dan sisa-sisa kekuatan Kalamerta masih tetap dapat kita pergunakan kelak."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Berkatalah kepada Ki Randukeling. Biarlah Puguh membawa hasil tangkapannya itu ke tempat yang ditentukan. Atau Puguh sendirilah yang akan mati. Aku tidak peduli."
"Kita masih memerlukan anak itu," berkata Ki Rangga.
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Kadang-kadang aku telah kehilangan niat untuk menempuh jalan lewat Tanah Perdikan Sembojan."
"Maksudmu?" bertanya Ki Rangga.
"Kenapa kita terikat pada Tanah Perdikan itu?" bertanya Warsi.
"Aku masih mempunyai harapan. Betapapun kecilnya. Lewat Tanah Perdikan itulah jalan yang paling dekat yang dapat kita tempuh. Kecuali jika kita sudah melepaskan segala macam mimpi yang manapun," berkata Ki Rangga.
"Baiklah. Kita masih akan mempergunakan Tanah Perdikan. itu sebagai batu pijakan atau kita hanya akan sampai ke Tanah Perdikan itu sendiri," berkata Warsi.
"Itu lebih baik daripada berkeliaran tanpa tempat untuk hinggap," berkata Ki Rangga, "tetapi sebagai seorang yang bercita-cita, kita harus tetap memegang teguh pada ujung dari cita-cita itu. Kita sudah terlanjur basah. Karena itu kita harus menyeberang."
Warsi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ranggapun telah menemui Ki Randukeling dan menyatakan persetujuannya untuk bertemu di satu tempat.
"Sebaiknya Ki Randukeling memberikan ancar-ancar tempat kepada Puguh. Besok, aku dan guru anak itu akan melihat, apakah Puguh berhasil atau tidak." jawab Ki Rangga.
"Besok kau dan aku saja yang pergi," berkata Ki Randukeling.
Tetapi Ki Rangga menggeleng. Katanya, "Aku tidak akan membiarkan orang lain berdua saja di rumah ini dengan Warsi."
"Kau gila. Kau kira Warsi masih muda belia" Lihat, wajahnya yang mulai berkeriput melampaui aku. Sementara Ki Ajarpun sudah menjadi semakin tua pula," geram Ki Randukeling.
"Biarlah Warsi bersama Ki Randukeling di rumah ini. Aku besok akan pergi bersama Ki Ajar Paguhan," berkata Ki Rangga.
"Terserah saja kepadamu," berkata Ki Randukeling, "tetapi jangan menyesal jika kau mati di hutan itu. Jika terjadi sedikit saja persoalan, maka kau tidak akan diampuni."
"Apakah Ki Randukeling mengira bahwa aku sama sekali tidak bertenaga" Aku adalah seorang perwira dalam tugas sandi Jipang. Aku memiliki kemampuan sebagaimana para perwira Jipang yang lain," geram Ki Rangga.
Tetapi Ki Randukeling tertawa. Katanya, "Kemampuanmu tidak lebih dari debu yang berhamburan bagi Ki Ajar Paguhan. Tetapi jika kau ingin pergi bersamanya, pergilah. Aku akan menunggui Warsi disini."
Ki Rangga tidak menjawab. Sementara Ki Randukeling telah meninggalkannya dan kembali ke serambi. Dengan singkat telah dikatakannya kepada Ki Ajar, bahwa Puguh memang tidak akan membawa hasil buruannya ke rumah itu. Karena itu, merekapun harus menentukan ancar-ancar tempat dimana Puguh akan menunggu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 19 PUGUH mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar telah merasa bersiap lahir dan batin untuk menjalani pendadaran itu, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu, ketika Ki Randukeling dan gurunya Ki Ajar Paguhan menyuruhnya beristirahat, maka Puguhpun telah berbaring di pembaringan dan sesaat kemudian maka telah terdengar tarikan nafasnya yang teratur. Puguh telah tertidur.
Ki Randukeling masih duduk dan berbincang dengan Ki Ajar. Ketika mereka melihat Puguh tertidur nyenyak, maka Ki Ajarpun berkata, "Syukurlah, bahwa ia tidak menjadi gelisah menghadapi pendadaran yang harus ditempuhnya. Bahkan seolah-olah ia tidak menghiraukan apa yang akan terjadi."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata anak itu justru menjadi kuat lahir dan batin. Bahwa anak itu sempat beristirahat dengan baik, agaknya akan dapat membantu meningkatkan kekuatan wadagnya besok, karena besok dalam waktu sehari-semalam ia akan berjuang mengatasi kesulitan di saat pendadaran yang berlebih-lebihan itu. Sayang bahwa pendadaran itu dilakukan atas perintah ibunya. Jika orang lain yang memaksanya untuk menjalankannya, maka aku akan mencegahnya."
"Ya," sahut Ki Ajar, "anak itu memang memerlukan perlindungan. Tetapi nampaknya ibunya menjadi sangat benci kepada anak yang tidak bersalah itu."
"Jika kebencian itu ditunjukkan oleh Ki Rangga, hal itu masih dapat dimengerti. Tetapi oleh ibu yang melahirkannya dengan susah payah, bahwa kemungkinan melepaskan nyawanya," desis Ki Randukeling.
Keduanyapun kemudian terdiam ketika malam menjadi semakin larut. Bahkan sejenak kemudian keduanyapun telah berbaring pula untuk tidur setelah pintu diselarak.
Keduanya terbangun pagi-pagi benar menjelang dini hari. Ki Randukelinglah yang ternyata selalu merasa gelisah. Ki Ajar agaknya lebih menaruh kepercayaan kepada Puguh, karena Ki Ajar tahu pasti tingkat kekuatan, kemampuan dan ketrampilan gerak Puguh. Ki Ajar berharap bahwa dalam keadaan wajar, Puguh tidak akan di bunuh oleh seekor harimau yang diburunya. Ia tentu akan dapat mengatasinya.
Untuk beberapa saat mereka masih membiarkan Puguh tidur nyenyak. Pada saatnya Puguh tentu akan bangun dengan sendirinya tanpa mereka bangunkan.
Bahkan bergantian kedua orang tua itu pergi ke pakiwan.
Ketika Puguh terbangun, ia menjadi gelisah, bukan karena harimau yang harus diburunya. Tetapi ia merasa bangun agak terlalu siang.
"Matahari belum terbit," berkata Ki Randukeling, "pergilah ke pakiwan."
Puguhpun kemudian berbenah diri. Setelah mandi, maka iapun mempersiapkan segala keperluannya. Ia telah menyelipkan sepasang pisau belati. Ia tidak memerlukan pedang untuk melawan seekor harimau.
Ternyata pagi itu Puguh sempat mendapat makan pagi dari perempuan yang merawat Warsi. Kemudian tanpa diketahui oleh perempuan itu Ki Randukeling telah minta Puguh mencairkan obat penawar bisa yang diberikannya dalam minumannya dan kemudian meminumnya.
"Obat itu akan dapat bertahan kurang lebih sehari-semalam. Dalam waktu sehari-semalam kau akan tawar dari segala macam bisa dan racun. Sesudah itu perlahan-lahan obat itu akan kehilangan kekuatannya," berkata Ki Randukeling.
"Terima kasih kakek," jawab Puguh yang kemudian berkata kepada kakek dan gurunya, "aku mohon restu kakek dan guru. Mudah-mudahan aku dapat mengatasi kesulitan pada saat pendadaran sehingga aku berhasil memenuhi keinginan ibuku."
"Ya Puguh," sahut gurunya, "kau harus dapat membuktikan bahwa kau memang seorang laki-laki."
"Tetapi jika kau memang tidak menemukan seekor harimaupun dalam waktu yang telah ditentukan, sehari-semalam, maka kau tidak perlu merasa dirimu kecil. Ilmumu tidak akan susut seujung rambutpun. Kau masih tetap seperti Puguh ketika berangkat memasuki hutan itu," berkata kakeknya.
Puguh mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud kakeknya. Jika ia gagal, maka ia tidak perlu merasa bahwa hidupnya memang telah gagal. Agaknya memang masih banyak yang dapat dilakukan. Meskipun hari itu tidak dapat memenuhi keinginan ibunya untuk menyatakan dirinya sebagai seorang laki-laki, tetapi ia masih mempunyai banyak waktu untuk membuktikannya.
Setelah ia bersiap maka Puguhpun bersama dengan guru dan kakeknya menemui Warsi dan Ki Rangga untuk minta diri.
"Pergilah," berkata Warsi, "besok, pagi-pagi benar, kau harus sudah berada di tempat yang telah ditentukan dengan seekor harimau hasil buruanmu. Jika kau gagal, maka aku tidak lagi mempunyai anak yang bernama Puguh."
Puguh mengangguk hormat sambil berkata, "Aku akan berusaha membuktikan kepada ibu dan ayah, bahwa aku mampu melakukannya. Aku juga ingin membuktikan kepada guru dan kakek, bahwa tidak sia-sia jerih payah guru dan kakek selama ini."
"Pergilah mumpung masih pagi," berkata ibunya kemudian.
Puguhpun mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Aku mohon diri."
"Ya. Dan kau harus pergi sendiri. Kakek dan gurumu tentu sudah memberikan ancar-ancar arah yang harus kau tempuh menuju ke hutan itu. Besok pagi-pagi ayahmu dan gurumu akan berada di tempat yang sudah ditentukan itu untuk melihat hasil pendadaranmu," berkata ibunya.
Puguh tidak menjawab lagi. Namun iapun kemudian telah beringsut meninggalkan ruangan itu.
Guru dan kakeknya mengantar Puguh sampai ke regol halaman yang tidak begitu bersih itu. Sebenarnyalah bahwa mereka merasa berat juga untuk melepas anak itu pergi memasuki hutan di sebelah Kotaraja Pajang. Hutan yang memang dibiarkan liar dan garang, yang sering dipergunakan bagi para keluarga istana untuk melupakan kesibukan mereka sehari-hari dengan berburu.
Yang tidak diketahui oleh Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan adalah, apakah orang lain kecuali keluarga istana juga diperkenankan berburu di hutan itu.
"Aku sudah berpesan kepada Puguh," berkata kakeknya, "jika ia melihat gawar di pinggir hutan itu adalah pertanda bahwa hutan itu sedang ditutup, karena sekelompok bangsawan dan pengiringnya akan berburu. Tetapi jika tidak ada gawar lawe atau janur, maka hutan itu sedang terbuka bagi siapapun juga."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Sementara Puguh melangkah dengan tanpa ragu-ragu menyusuri jalan kecil itu semakin lama semakin jauh.
Ki Rangga dan Warsi yang ada di halamanpun kemudian beringsut pergi. Namun Ki Rangga sempat berkata, "Hutan itu sekarang jarang sekali ditutup. Para bangsawan sedang pusing memikirkan perkembangan Mataram. Mereka tidak sempat pergi berburu."
Ki Randukeling dan Ki Ajar mengangguk-angguk. Tetapi mereka sama sekali tidak menjawab.
Demikianlah Puguh telah memasuki jalan yang lebih besar di kota Pajang. Tiba-tiba saja Puguh didesak oleh keinginannya untuk melihat pasar. Ketika ia datang, hari sudah terlalu siang. Namun pasar itu masih nampak ramai. Apalagi jika hari masih pagi.
Sebenarnyalah pasar itu penuh sesak sampai meluap ke jalan-jalan di sekitar pasar itu. Rasa-rasanya Puguh ingin tinggal di pasar itu untuk waktu yang lama. Bahkan sampai siang hari. Ia tertarik kepada beberapa gubuk di pinggir pasar tempat beberapa orang pandai besi melakukan tugasnya dan menjajakan hasil pekerjaan mereka. Alat-alat pertanian dan alat-alat dari besi yang lain.
Pekerjaan itu terasa sangat menarik. Apalagi melihat di antara mereka juga ada yang membuat semacam senjata meskipun sederhana atau bahkan maksudnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekerasan antara sesama. Jika mereka membuat parang, kapak dan sebagainya, semata-mata dibuat untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Membelah kayu atau memotong dahan-dahan yang berlebihan.
Tetapi Puguh tidak dapat mengabaikan tugas yang harus dilakukan dalam pendadaran. Puguh sadar, bahwa ayah dan ibunya adalah orang-orang yang sangat keras terhadapnya. Bahkan ada kesan seakan-akan ayah dan ibunya itu telah membencinya.
"Apa sebenarnya salahku?" pertanyaan itu berulang kali muncul di hati anak muda itu.
Namun sebenarnyalah Puguh tidak tahu bahwa kesalahannya adalah, karena ia adalah anak Wiradana. Sementara itu, ayah dan ibunya selalu gagal untuk memanfaatkannya mengambil Tanah Perdikan Sembojan dari tangan Warsi.
Sejenak kemudian, setelah Puguh mengelilingi pasar itu dan melihat berbagai macam barang yang dijual di dalamnya, bahkan sempat membeli makanan untuk bekal perjalanannya dan saat-saat ia berada di hutan, maka Puguh itupun telah melanjutkan perjalanannya.
Bagi Puguh, hutan yang lebat itu tidak akan terasa lebih garang dari Song Lawa. Meskipun di Song Lawa tidak ada binatang buas, tetapi bagi Puguh, orang-orang yang ada di Song Lawa itu tidak kalah buasnya dari seekor harimau bahkan kadang-kadang dijumpainya sekelompok orang yang ganas dan licik seperti sekelompok serigala.
"Lebih mudah menghindarkan diri dari sekelompok serigala," berkata Puguh di dalam hatinya, "cukup dengan memanjat sebatang pohon kemudian terkantuk-kantuk di atas dahan. Asal tidak tergelincir jatuh ke bawah."
Namun tiba-tiba saja Puguh telah teringat kepada dua orang yang menyebut dirinya Wanengbaya dan Wanengpati. Puguh memang curiga atas nama itu, bahwa nama itu bukan nama kedua orang itu yang sebenarnya. Namun tingkah laku mereka telah memberikan kesan tersendiri bagi Puguh. Keduanya adalah orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Bahkan orang botak yang disebut Kepala Besi itupun dengan mudah dapat dikalahkannya. Mereka memiliki pula kemampuan bidik yang sangat tinggi, bahkan hampir di luar jangkauan nalar, sehingga Song Lawa jika masih ada akan dapat menjadi sumber penghasilan berapa saja diinginkan, terutama di arena panahan.
"Orang-orang yang aneh," berkata Puguh di dalam hatinya. Baginya kedua orang itu bukan orang-orang sebagaimana selalu dijumpainya di Song Lawa.
Dalam pada itu Puguh berjalan terus. Tidak seorang pun yang menyapanya. Di jalan atau di pasar sekalipun, karena memang belum ada seorangpun yang dikenalnya. Tetapi Puguh sempat melihat rumah-rumah yang besar dan bagus meskipun hanya dari celah-celah pintu regol yang terbuka sedikit.
Sesuai dengan ancar-ancar yang diberikan oleh gurunya dan Ki Randukeling, maka beberapa saat kemudian, Puguh telah menuju ke gerbang kota.
Ketika Puguh bertemu dengan sekelompok kecil pasukan berkuda, maka di luar sadarnya, anak muda itu telah berhenti dan berdiri tegak termangu-mangu di pinggir jalan.
"Satu kebanggaan," katanya di dalam hati, "apakah aku tidak dapat menjadi seorang prajurit?"
Tetapi Puguh hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa ia adalah seorang anak muda yang terlempar ke dalam satu kehidupan yang gelap sehingga sulit baginya untuk memasuki satu lingkungan yang wajar. Apalagi sebagai seorang prajurit.
Ketika sekelompok kecil pasukan berkuda yang sedang meronda itu menjadi semakin jauh, maka Puguhpun menyadari dirinya sendiri yang berdiri termangu-mangu di pinggir jalan.
"Akulah yang akan menjadi tontonan. Bukan prajurit itu," berkata Puguh di dalam hatinya.
Sejenak kemudian Puguhpun telah melanjutkan perjalanannya. Ia melihat di pintu gerbang berjaga-jaga dua orang prajurit meskipun prajurit itu tidak menghambat perjalanan orang-orang yang keluar masuk regol itu.
Namun nampaknya pengawasan memang meningkat di Kotaraja Pajang. Agaknya persoalan dengan Mataram benar-benar menjadi semakin bersungguh-sungguh.
Ketika Puguh sampai di luar Kotaraja, maka dilihatnya jalan panjang menuju ke hutan yang sengaja biarkan saja tetap liar dan buas. Hutan yang pada saat-saat tertentu dijadikan tempat untuk berburu para bangsawan dan bahkan Sultan Hadiwijaya sendiri.
Puguhpun kemudian telah mempercepat perjalanannya. Ia tidak mau terlalu banyak kehilangan waktu. Meskipun guru dan kakeknya tidak akan mempersoalkan apakah ia berhasil atau tidak, tetapi ia memang ingin membuktikan kepada ibunya, bahwa ia adalah seorang laki-laki yang akan dapat berdiri tegak sebagai dirinya sendiri.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak sekedar ingin memenuhi perintah ibu dan ayahnya. Tetapi terdorong pula oleh satu keinginan untuk menunjukkan kediriannya. Bahkan dalam sudut hatinya yang terdalam Puguh ingin berkata, "Tanpa kedua orang tuanya itu, Puguh akan dapat tegak berdiri."
Demikianlah Puguh telah menempuh perjalanan di jalan yang panjang. Jarak yang disebut dekat itu agaknya memang dekat jika dicapai berkuda. Tetapi dengan berjalan kaki, Puguh memerlukan waktu hampir setengah hari.
Tetapi perjalanan itu memberikan kesegaran tersendiri di hati Puguh. Di sepanjang perjalanan ia melihat padukuhan-padukuhan yang tenang. Para petani sibuk bekerja di sawah. Anak-anak menggembalakan kambing sambil bermain.
Ketika matahari melampaui batas sepenggalah, maka di sebuah padukuhan Puguh mendengar perempuan menumbuk padi. Lenguh lembu dikandang dan anak-anak mulai merengek menunggu nasi masak di atas perapian.
Puguh menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya di simpang empat sebuah padukuhan, seorang gadis kecil menggendong adiknya sambil memberinya permainan tangkai daun ketela pohon, gadis kecil yang menggendong adiknya itu seakan-akan tidak menghiraukan ketika melihat Puguh itu lewat. Ia sibuk membuat wayang dari tangkai daun ketela pohon itu.
Puguh tersenyum melihat gadis kecil yang menggendong adiknya yang hampir sama besarnya itu. Tetapi nampaknya gadis kecil itu tidak merasakan berat badan adik yang digendongnya. Nampaknya keduanya asyik bermain dengan tangkai daun ketela pohon itu.
"Ibu dan ayahnya tentu senang melihat keduanya bermain dengan rukunnya," berkata Puguh di dalam hatinya.
Tetapi Puguh berjalan terus. Rasa-rasanya ia tidak pernah sempat memperhatikan kehidupan yang manis seperti di padukuhan-padukuhan yang sedang dilaluinya itu. Yang diperhatikan selama pengembaraannya kesana-kemari adalah kekerasan dan watak-watak sebagaimana dijumpainya di Song Lawa.
Namun akhirnya Puguh menyadari bahwa ia tidak boleh kehilangan terlalu banyak waktu. Apalagi kemungkinan-kemungkinan lain yang buruk dapat terjadi. Ternyata ada juga orang yang dapat mengenalinya di perjalanan menuju ke Pajang. Jika ia bertemu lagi dengan orang seperti itu, maka ia akan mengalami kesulitan Sebelum ia berhasil menunjukkan kepada ibu dan ayahnya bahwa ia adalah seorang laki-laki menurut ukuran yang diberikan oleh ayah dan ibunya. Membunuh seekor harimau di hutan.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian Puguh keluar dari padukuhan itu, maka di kejauhan, di atas cakrawala, Puguh telah melihat bayangan hutan yang ditujunya. Namun nampaknya ia masih akan melalui beberapa padukuhan lagi. sehingga akhirnya ia akan sampai ke sebuah bulak panjang yang berbatasan dengan padang perdu yang agak luas. Padang perdu yang menjadi tempat persiapan perburuan bagi para bangsawan. Di padang perdu itu biasanya didirikan gubuk-gubuk kecil untuk menempatkan peralatan dan sekaligus dijadikan dapur untuk memasak bekal bagi para pemburu dan pengikutnya.
Ternyata pengenalan Puguh atas jalan yang dilaluinya sesuai dengan petunjuk guru dan kakeknya cukup tajam. Ia telah melalui jalan sebagaimana diberikan ancar-ancar oleh mereka. Sehingga dengan demikian maka Puguh akan memasuki jalan yang diharapkan memasuki padang.
Yang pertama-tama dilihat oleh Puguh demikian ia sampai ke padang perdu adalah sebuah tugu batu yang tidak terlalu tinggi. Ternyata Puguh tidak terlalu sulit untuk menemukan tugu batu itu, karena tugu batu itu letaknya memang tidak terlalu jauh dari jalan setapak yang memasuki padang perdu itu sebagaimana diberitahukan oleh kakeknya, yang telah mengenali tempat itu dengan baik.
Ternyata pada tugu batu itu tidak terdapat tanda apapun juga. Tidak ada lilitan benang lawe atau pertanda janur kuning. Menurut Ki Randukeling jika pada tugu itu tidak terdapat pertanda apa-apa, maka di hutan itupun tentu tidak terdapat gawar lawe atau janur kuning.
Dengan demikian maka Puguh akan dapat memasuki hutan itu tanpa melanggar paugeran.
Namun Puguh tidak segera memasuki hutan itu. Dipandanginya padang perdu itu dari ujung penglihatannya sampai ke ujung yang lain. Memang merupakan padang yang tidak terlalu luas yang memisahkan hutan dengan tanah persawahan, sehingga seakan-akan memagari binatang-binatang buas agar tidak berkeliaran ke sawah-sawah apalagi ke padukuhan terdekat.
Ketika Puguh menengadahkan wajahnya ke langit, dilihatnya matahari telah mencapai puncaknya. Agaknya Puguh terlalu lama berada di pasar atau di perjalanannya yang lamban. Apalagi di padukuhan-padukuhan menjelang tengah hari dengan suasana yang khusus, sehingga rasa-rasanya Puguh telah dapat ikut menikmati ketenangan dan ketenteraman hidup. Bukan ketenangan dan ketenteraman yang mati tanpa gerak dan riak di bawah permukaan, karena para petani itupun telah bekerja keras menggarap sawah dan berusaha memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi sawah dan ladangnya.
Baru sejenak kemudian Puguh telah melangkah mendekati hutan itu. Sepasang pohon raksasa merupakan pintu gerbang masuk ke dalam hutan itu. Pohon yang mempunyai ciri tersendiri dan bahkan kadang-kadang dianggap pohon yang sering dihuni oleh mahluk halus. Pohon randu alas.
Puguh melangkah mendekati sepasang pohon raksasa itu. Ketika ia berdiri di antara keduanya, maka Puguh seakan-akan telah berubah menjadi seorang bajang kecil di antara pepohonan.
Seperti dikatakan oleh kakeknya, maka di antara kedua pohon randu alas raksasa itu juga tidak terdapat gawar lawe atau janur kuning, sehingga hutan itu memang benar-benar sedang terbuka.
Ketika Puguh mulai menginjakkan kakinya di tanah yang lembab, ternyata ia menjadi berdebar-debar juga. Hutan itu belum pernah diinjaknya. Namun bukan berarti bahwa Puguh belum pernah keluar masuk hutan. Bersama gurunya ia pernah menempa diri di dalam hutan yang lebat. Bersama dua orang pengawalnya iapun pernah berada di hutan beberapa hari untuk menguji ketahanan tubuh dan jiwanya.
Tetapi kini ia akan memasuki hutan itu sendiri. Hutan yang lebat dan menyimpan banyak binatang buas.
Namun ketika ia benar-benar telah memasuki hutan itu, ternyata bahwa di dalam hutan itu terdapat sebuah jalan yang tidak terlalu sempit. Nampaknya jalan itu adalah jalan yang dilalui para bangsawan berkuda jika mereka pergi berburu.
Untuk beberapa saat Puguh mengikuti jalan itu. Namun ia sadar bahwa di sekitar jalan itu tentu tidak akan terdapat banyak binatang, karena jika jalan itu sering dilalui oleh sekelompok pemburu berkuda, maka binatang-binatangpun akan menjauhinya.
Karena itu, ketika Puguh telah berada semakin dalam, maka iapun telah berusaha untuk mencari jalannya sendiri. Puguh telah menyusup ke dalam hutan yang lebat, di bawah sulur-sulur yang bergayutan, melompati batang-batang yang roboh dan kadang-kadang harus meniti batu-batu padas pada tanah yang lembab berair.
Puguh tertegun ketika ia melihat seekor ular hitam yang merayap beberapa langkah di hadapannya. Seperti pesan gurunya di saat-saat ia menempa diri, maka jika ia bertemu dengan seekor ular, maka sebaiknya ia berdiam diri sampai ular itu pergi. Meskipun saat itu ia sudah minum penawar bisa, tetapi sudah tentu lebih baik tidak digigit ular daripada harus mengalami kesakitan oleh gigi-giginya yang tajam melengkung ke dalam mulutnya. Apalagi ular sebesar lengannya yang tentu akan dapat menjadi lawan yang berat jika ia harus berkelahi.
Ular itu ternyata meluncur terus dan hilang di bawah sebatang pohon kayu yang telah tumbang dan menjadi lapuk.
Puguh meneruskan langkahnya. Ia mulai merasa perlu menyiapkan pisaunya. Jika binatang di hutan itu pada umumnya mempunyai senjata yang diberikan alam kepadanya, apakah itu gigi, taring atau tanduk atau apapun, maka Puguh memiliki sepasang pisau dan senjata yang paling sulit dikalahkan oleh binatang apapun juga, akal dan penalarannya.
Ketika Puguh melihat beberapa ekor kera bergayutan di pepohonan, maka Puguhpun menyadari, bahwa ia masih jauh dari seekor harimau.
Tetapi Puguh berniat untuk mendapatkan seekor harimau hari itu juga, sebelum gelap malam turun menyelubungi hutan itu.
Dari celah-celah dedaunan Puguh dapat melihat matahari mulai condong. Agaknya bagi Puguh mendapat harimau di hutan lebat itu akan lebih mudah dilakukan di siang hari.
Dengan nalurinya sebagai pengembara, maka Puguh dapat mengetahui bahwa ia berjalan ke arah sebuah mata air di dalam hutan itu. Tanah yang semakin basah dan pepohonan yang tampak semakin rimbun dan padat.
Di tengah hari seperti itu, biasanya seekor binatang mencari minum di mata air, karena udara terasa menjadi semakin panas, meskipun di bayangan rimbunnya dedaunan dan silirnya angin hutan.
Ternyata perhitungan Puguh benar. Dengan mengenali beberapa jenis pepohonan agar ia tidak tersesat jika ia akan keluar dari hutan itu besok pagi-pagi maka Puguh, telah mendekati sebuah mata air. Mata air yang cukup besar, sehingga di dalam hutan itu terdapat sebuah belumbang yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi merupakan tempat minum yang baik bagi binatang-binatang liar di hutan itu.
Puguh berniat untuk menunggu di pinggir kolam itu. Tetapi agar ia sempat makan bekal yang dibawanya, maka iapun telah memanjat sebatang pohon yang tidak terlalu, besar. Duduk di atas sebuah dahan dan membuka sebuah bungkusan yang dibelinya di pasar.
Beberapa saat kemudian Puguh sempat menikmati istirahatnya. Namun iapun mulai memperhatikan seekor kijang yang dengan hati-hati mendekati kolam itu.
Tsabita Ilana 4 Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Perguruan Sejati 5
^