Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 27

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 27


Ki Lurah Dipayuda yang bertempur melawan Ki Lurah Tapajaya itu memang sudah memperhitungkan, bahwa akhirnya orang-orang yang berilmu tinggi itu tentu akan berusaha meninggalkan arena. Karena itu, maka iapun berkata, "Apakah mungkin keduanya dapat melepaskan diri Ki Lurah. Sebagaimana kau yang tidak akan dapat lepas dari tanganku meskipun aku tidak akan dapat mengalahkanmu."
"Aku masih memiliki kelebihan dari kau Ki Lurah," berkata Ki Lurah Tapajaya.
"Apa?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Kecepatan berlari," jawab Ki Lurah Tapajaya.
Ki Lurah Dipayuda tertawa. Namun sebenarnyalah, Ki Lurah Tapajaya yang tidak ingin tertangkap itu telah meloncat meninggalkan arena.
Dalam pada itu, Ki Lurah Dipayuda menjadi ragu-ragu untuk mengejarnya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Ki Lurah Tapajaya tentu tidak ingin menjadi tawanan di Pajang yang hampir semua orang dikenalnya. Jika ia mengejarnya dan berusaha menangkapnya, maka Ki Lurah tentu akan melawan sampai mati. Sementara itu sisa-sisa persahabatan di antara mereka telah menentukan sikap Ki Lurah Dipayuda.
Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantalapun ternyata tidak dapat mengingkari kenyataan. Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Tapajaya, maka keduanya tidak akan membiarkan dirinya tertangkap. Apapun yang terjadi, maka mereka harus terlepas dari tangan orang-orang Pajang, atau mati sama sekali.
Tetapi sikap Bharata dan Kasadha berbeda dari sikap Ki Lurah Dipayuda. Justru karena Kasadha dan Bharata adalah orang-orang baru di kalangan keprajuritan Pajang. Karena itu, maka mereka berdua tidak begitu saja melepaskan kedua orang perwira prajurit Mataram itu.
Namun Ki Lurah Dipayuda telah memberikan isyarat kepada keduanya. Dengan bertepuk sambil menyebut nama keduanya, maka Ki Lurah telah menghentikan Bharata dan Kasadha yang telah siap untuk mengejar kedua lawan mereka.
Bharata dan Kasadha tidak berani melanggar isyarat itu. Tetapi dengan tergesa-gesa keduanya telah mendekati Ki Lurah.
"Kenapa Ki Lurah?" bertanya Bharata, "jika kita berkeras untuk melakukannya, maka kita tentu akan dapat menangkap mereka. Seandainya aku tidak dapat melakukannya sendiri, maka beberapa orang prajurit dapat dipanggil untuk membantuku."
"Ki Lurah," Kasadha menyambung, "lawanku adalah Ki Rangga Sanggabantala. Ia tentu seorang perwira yang akan dapat banyak memberikan keterangan."
"Ya," Ki Lurah mengangguk-angguk, "lawan Bharata adalah Ki Rangga Selamarta sedang lawanku adalah Ki Lurah Tapajaya, yang aku kenal dengan baik sebelumnya. Keduanya memang perwira Pajang yang menyeberang ke Mataram dengan keyakinan yang berbeda dengan keyakinan kita, seperti juga lawanku, Ki Lurah Tapajaya. Tetapi sulit bagi kita untuk dapat menangkap mereka. Mereka adalah perwira-perwira yang keras hati, sehingga mereka tentu akan memilih mati daripada ditangkap oleh prajurit Pajang. Namun dengan demikian mereka akan sangat berbahaya. Kitapun tidak tahu pasti, apakah di luar dinding halaman ini tidak terdapat orang-orang yang sedang bersembunyi, yang akan dapat membahayakan kita masing-masing jika kita mengejar mereka sampai keluar batas halaman."
Bharata dan Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun pada keduanya masih nampak perasaan kecewa, bahwa Ki Lurah Dipayuda justru memberikan kesempatan mereka untuk melepaskan diri.
Tetapi kedua anak muda itu dapat mengerti pula alasan Ki Lurah Dipayuda agar mereka tidak mengejar kedua orang itu sampai keluar halaman. Karena mereka memang tidak tahu apa yang terdapat di dalam kegelapan itu. Para prajurit Mataram yang berpengalaman itu tentu memiliki banyak cara untuk membebaskan dirinya.
Sementara itu, orang-orang Mataram yang ditinggalkan sudah tidak berdaya sama sekali. Mereka dengan segera menyerah sehingga sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah dapat diselesaikan.
Orang-orang Mataram itupun kemudian telah dikumpulkan terpisah dari orang-orang padukuhan yang akan ditangani oleh Ki Demang sendiri. Bahkan di antara mereka terdapat beberapa orang anak muda dan bahkan para pengawal.
"Kita bawa mereka ke Kademangan," perintah Ki Demang kepada beberapa orang bebahu yang menyusulnya setelah mereka mendengar bahwa telah terjadi pertempuran.
Dibantu oleh sekelompok prajurit, maka Ki Demang telah menggiring orang-orang Kademangan yang berada di tempat janggrung. Lima orang tledek itupun telah dibawa pula ke Kademangan.
Sebuah iring-iringan menyusuri jalan-jalan padukuhan. Sementara orang-orang se Kademangan ternyata telah mendengar kabar tentang pertempuran, sehingga seakan-akan seluruh Kademangan telah terbangun. Mereka menunggu perkembangan dengan cemas, karena mereka tidak segera mendapat berita apa yang sebenarnya telah terjadi. Merekapun tidak mendengar kentongan dalam nada apapun juga.
Tetapi orang-orang padukuhan yang dilewati iring-iringan itu justru menjadi heran, bahwa yang digiring oleh para prajurit Pajang serta para bebahu Kademangan itu, adalah justru orang-orang Kademangan itu sendiri.
Sementara itu, di bekas arena pertempuran itu, para prajurit Pajang yang lain masih menangani orang-orang Mataram yang tertangkap. Mereka juga merawat kawan-kawan mereka serta orang-orang Mataram yang terluka. Dua orang Mataram terluka parah. Beberapa orang yang lain hanya tergores saja ujung senjata. Sedangkan para prajurit Pajang tidak ada yang terluka sangat parah. Beberapa orang memang terkena ujung senjata. Tetapi mereka masih mampu bergerak sendiri setelah mendapat pertolongan, mengobati luka-luka mereka.
Dalam pada itu, Bharata dan Kasadha masih berusaha menemukan orang yang telah menyamar dengan tahi lalat palsu di hidungnya. Orang yang pernah tinggal di Kademangan itu serta sering membaca kidung di malam hari. Namun yang kemudian menghilang dan datang kembali ke padukuhan itu bersama rombongan penari janggrung dengan sedikit penyamaran, namun yang tidak akan segera dapat dikenali oleh orang lain.
Tetapi keduanya tidak mendapatkan orang itu di antara para prajurit Mataram.
"Dimana orang itu?" bertanya Bharata hampir berbisik kepada Kasadha.
"Seperti hantu," jawab Kasadha, "tempat ini dikepung rapat. Baru setelah pertempuran terjadi serta orang-orang Mataram itu berhasil didesak maka para prajurit yang mengepung tempat ini turun ke medan. Itupun sambil mengawasi kemungkinan seseorang melarikan diri. Perintah yang kita terima, tidak seorangpun boleh lolos."
"Apakah orang itu sempat melakukan penyamaran dengan ujud yang lain lagi" Kita belum begitu mengenalnya. Jika orang itu menghapus tahi lalatnya, menambah kumis palsu dan mengenakan ikat kepala dengan gaya yang lain, maka kita sudah tidak akan dapat mengenalinya lagi," berkata Bharata.
"Malam ini kita tidak dapat mengenalinya. Tetapi besok, kita tentu akan dapat melakukannya. Kita akan mendengar pendapat beberapa orang yang pernah berhubungan dengan orang itu. Para pengawal yang sering datang ke rumahnya," berkata Kasadha.
"Tetapi kita tidak akan dapat minta pendapat pembantunya. Ia akan dapat memberikan kesan yang menyesatkan kita. Agaknya ia adalah jenis orang yang setia kepada tuannya," desis Bharata.
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara itu, para prajurit telah selesai dengan tugas mereka. Semua orang telah terkumpul. Beberapa orang prajurit yang masih mengamati halaman depan, halaman samping dan kebun belakang telah yakin bahwa tidak seorangpun lagi yang masih bersembunyi.
"Apakah orang disebut Ki Tapajaya itulah yang kita cari?" desis Kasadha.
Tetapi Bharata menggeleng. Katanya, "Jika benar orang itu, maka ia tidak akan berani berada di Kademangan ini ketika pasukan Pajang datang. Orang itu tentu tahu bahwa yang memimpin pasukan ini adalah Ki Lurah Dipayuda yang sudah dikenalnya dengan baik. Ia melarikan diri karena ia merasa curiga atas kehadiranku pada salah seorang kawannya yang juga sering membaca kidung di padukuhan yang lain, bukan karena kedatangan Ki Lurah."
Kasadha mengangguk-angguk. Desisnya, "Ya. Jika orang itu pernah mengenal Ki Lurah, ia akan pergi begitu Ki Lurah datang."
Namun anak-anak muda itu tidak kehilangan harapan untuk menemukannya. Di siang hari mereka akan dapat lebih cermat mengamati mereka seorang demi seorang.
Ketika semuanya sudah selesai dibenahi, maka Ki Lurah memutuskan untuk membawa para prajurit Mataram itu ke padukuhan induk. Dengan demikian maka para prajurit Pajang itu akan dapat mengawasi mereka dengan lebih cermat.
Di Kademangan malam itu telah terjadi kesibukan yang luar biasa. Para bebahu dan beberapa orang prajurit Pajang, telah membawa orang-orang padukuhan yang berada di arena janggrung ke halaman rumah Ki Demang.
Para prajurit yang bertugas di Kademangan itupun menjadi sibuk pula. Para prajurit yang ikut menggiring orang-orang dari arena janggrung itupun telah memberikan keterangan selengkapnya kepada kawan-kawan mereka, sehingga merekapun mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Ki Demang dengan sengaja belum memberikan keterangan apa-apa. Orang-orang itu dibiarkan berada di halaman semalam suntuk di udara terbuka. Dinginnya malam serta titik-titik embun membuat mereka kedinginan. Namun Ki Demang telah memerintahkan agar mereka tetap menunggu.
Sementara itu, para prajurit Pajangpun telah membawa tawanan mereka pula. Tetapi para tawanan itu tidak dibawa ke Kademangan, tetapi ke rumah di sebelah, yang dihuni oleh para prajurit Pajang. Yang terluka telah dibaringkan di pendapa. Sementara itu yang parah telah diusung oleh kawan-kawannya yang tidak mengalami cidera dan mendapat perawatan khusus oleh seorang yang dianggap mumpuni dalam soal pengobatan dalam pasukan Pajang yang ditempatkan di Kademangan Randukerep.
Di padukuhan induk itu Bharata dan Kasadha masih saja berusaha mencari orang yang sebelumnya memukul gendang dengan wajah yang dengan sengaja disamarkan. Namun ternyata mereka tidak menemukannya, sehingga rasa-rasanya darah kedua anak muda itu menjadi semakin panas di dalam tubuh mereka.
"Apaboleh buat," berkata Bharata.
"Agaknya orang itu tentu orang yang disebut Ki Tapajaya. Hanya ada tiga orang yang dapat melarikan diri dari halaman arena janggrung itu. Ki Rangga Selamarta, Ki Rangga Sanggabantala dan Ki Lurah Tapajaya. Kedua orang Rangga itu tentu bukan orang yang kita cari. Satu-satunya kemungkinan adalah lawan Ki Lurah Dipayuda. Ketiganya dengan tiba-tiba saja telah melarikan diri, sehingga para prajurit Pajang yang menjadi lengah karena kemenangan yang sudah di hadapan hidung, tidak lagi sempat mencegah mereka. Apalagi Ki Dipayuda sendiri telah mencegah kita mengejar mereka karena pertimbangan-pertimbangan tertentu," berkata Kasadha.
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin juga meskipun kemungkinan yang tipis. Agaknya Ki Lurah Tapajaya yang mengetahui bahwa Ki Dipayuda ada di Kademangan ini, telah memutuskan untuk tidak akan keluar dari rumahnya. Sementara ia memperhitungkan, bahwa Ki Lurah itu tidak akan masuk ke dalam rumahnya."
Namun keduanya tetap menunggu sampai siang. Keduanya masih berusaha untuk berbicara dengan beberapa orang pengawal yang telah mengenal orang yang sering membaca kidung di padukuhan induk itu.
Dalam pada itu, ketika matahari terbit, maka Ki Demang telah berdiri di tangga pendapa memandangi orang-orangnya yang kedinginan di halaman. Di sampingnya berdiri Ki Lurah Dipayuda beserta para bebahu. Agak ke samping berdiri sepuluh orang pemimpin kelompok prajurit Pajang yang berada di Kademangan itu.
Dalam pada itu, seorang Bekel yang telah menjelang hari tuanya, ternyata telah berteriak, "Ki Demang. Apa Ki Demang berwenang memperlakukan aku seperti ini" Aku adalah seorang Bekel yang bertugas memimpin sebuah padukuhan."
"Kenapa kau berada di situ?" bertanya Ki Demang.
"Kenapa" Jadi Ki Demang justru bertanya" Bukankah kau dan para prajurit Pajang telah menangkap kami yang tidak bersalah dengan kelakuan yang sewenang-wenang?" geram Ki Bekel.
"O, jadi kau menganggap aku berbuat sewenang-wenang" Tetapi di mana Ki Bekel saat aku mengepung arena janggrung itu?" bertanya Ki Demang.
Ki Bekel tidak segera menjawab. Tetapi Ki Demanglah yang berkata lebih lanjut, "Bukankah kau seorang Bekel yang telah berambut putih, tetapi di setiap malam masih juga membawa dua di antara para tledek itu pulang ke rumah tanpa menghiraukan perasaan Nyi Demang yang telah tua itu pula?"
Wajah Ki Bekel itu menjadi merah. Tetapi ia masih juga menjawab sebagaimana pernah diucapkan, "Bukankah itu sudah kelebihan, Ki Demang."
Orang-orang yang kedinginan itu ternyata ada juga yang sempat tertawa. Namun Ki Demang berkata, "Kalian harus mendapat peringatan lebih keras daripada sekedar menunggu semalam suntuk. Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan itu sama sekali tidak menguntungkan keadaan kita sekarang ini. Nah, sekarang kalian melihat sendiri, bahwa janggrung itu dengan sengaja telah disusupkan oleh orang-orang Mataram. Bahkan para pengiring gamelan itu adalah para prajurit Mataram."
Orang itu berdiam. Sementara Ki Demang berkata, "Kalian seharusnya menjadi sadar hari ini bahwa kalian telah terjebak."
Orang-orang itu justru menunduk, sementara Ki Demang telah memberikan penjelasan panjang.
Akhirnya Ki Demang itupun berkata, "Semua orang boleh pulang kecuali para pengawal yang ada di antara kalian."
Orang-orang yang ada di halaman itu menarik nafas lega. Setelah semalam suntuk mereka berada di halaman di bawah titik-titik embun serta di hembus oleh angin basah yang dingin, maka mereka diperkenankan meninggalkan halaman itu.
Namun ketika mereka melangkah keluar regol halaman, mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang prajurit Pajang dan beberapa bebahu termasuk Ki Jagabaya telah bersiap mengamati mereka. Para pengawal yang ada di antara mereka ternyata tidak mungkin lagi untuk lolos bersembunyi di antara orang-orang padukuhan itu. Satu-satu mereka yang berusaha untuk keluar dalam desakan tetangga-tetangganya, telah dihentikan dan ditarik keluar dengan keras oleh para prajurit.
Para pengawal itu tidak berani menentang. Para prajurit yang baru saja bertempur itu kelihatan menjadi lebih garang dari hari-hari yang lewat.
Sementara itu, maka Ki Lurah Dipayudapun telah memerintahkan memanggil semua kelompok pengawal dari semua padukuhan di Kademangan itu beserta semua bekel dan bebahu.
Namun bersamaan dengan itu, Ki Lurah Dipayuda pun telah melepaskan kelompok cadangan untuk mengadakan pengamatan di sekeliling Kademangan. Dengan kuda yang ada kelompok itu telah meninggalkan Kademangan untuk meronda terutama di arah orang-orang Mataram diperhitungkan mempersiapkan landasan.
Ternyata Ki Demang yang sabar itu, sempat juga marah dan berbicara dengan keras dan tegas kepada para pemimpin kelompok pengawal Kademangan itu.
"Yang terjadi semalam hendaknya menjadi peringatan bagi kita," berkata Ki Lurah Dipayuda dengan lantang, "beberapa orang prajurit telah terluka. Tetapi kita dapat menangkap beberapa orang yang memang dikirim oleh Mataram untuk membius kita disini."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Lurah berkata selanjutnya, "Disini ada beberapa orang pengawal yang ikut tergiring di antara mereka yang mengelilingi rombongan penari janggrung itu dengan tidak mengingat lagi tugas mereka. Bahkan ada di antara mereka yang seharusnya malam itu bertugas menjaga padukuhannya di gardu induk di padukuhan itu, ternyata sibuk menunggui para penari janggrung."
Beberapa orang pemimpin kelompok merasa bersalah, bahwa mereka kurang cermat mengamati anak buah mereka.
Namun kemudian Ki Lurah Dipayuda berkata, "Tetapi sudahlah. Pengalaman ini kita jadikan dorongan untuk berbuat lebih baik. Aku berani bertaruh bahwa dalam waktu dekat, Mataram akan menyerang Kademangan ini dengan terbuka. Tidak lagi dengan cara seperti yang dilakukan itu."
Keterangan Ki Lurah Dipayuda itu memang menarik perhatian. Bahkan beberapa orang memang menjadi berdebar-debar.
"Karena itu," Ki Lurah meneruskan, "kita semuanya harus bersiap menghadapinya. Kita harus bangun dari mimpi buruk yang memang dihembuskan oleh Mataram itu."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Sementara itu beberapa orang bekel yang memang sejak semula bertekad untuk mempertahankan Kademangannya menjadi semakin mantap. Ki Bekel yang bertubuh tinggi kekar yang disegani oleh para bekel yang lain itupun berkata, "Sedumuk bathuk senyari bumi Ki Lurah."
"Bagus," sahut Ki Lurah Dipayuda, "seharusnya kita semuanya bersikap seperti itu."
Dengan menunjuk beberapa orang pengawal yang terlibat dalam judi, sabung ayam dan tari janggrung, Ki Lurahpun kemudian telah memerintahkan para pengawal berbenah diri. Ki Lurah akan segera menurunkan prajurit-prajuritnya untuk memberikan goncangan agar para pengawal itu benar-benar bangun dari mimpi buruknya itu.
"Kita harus bersiap sebelum mereka benar-benar datang. Kita tidak tahu apakah mereka akan membawa pasukan sejumlah seratus orang seperti jumlah yang tentu telah mereka ketahui dari para prajurit Pajang disini, atau lipat dua atau tiga. Tetapi aku yakin bahwa di Matarampun tidak akan mudah untuk mengumpulkan orang dan sudah tentu tidak semua prajurit Mataram memiliki kemampuan sebagaimana yang telah mereka kirim sebagai pengiring tari janggrung itu. Kebanyakan prajurit Mataram tidak akan lebih baik dari para pengawal kita. Apalagi orang-orang yang baru saja mereka panggil memasuki tugas keprajuritan dari antara orang-orang yang biasanya hanya bekerja di sawah. Bahkan tanpa sempat memberikan latihan-latihan perang kepada mereka," berkata Ki Lurah selanjutnya.
Ternyata bahwa sesorah Ki Lurah itu mampu menyentuh hati para pemimpin kelompok pengawal Kademangan Randukerep itu, sehingga merekapun berjanji kepada diri sendiri untuk berbuat lebih baik dari waktu-waktu yang lampau.
Dengan terperinci Ki Demang telah memberikan penjelasan tentang keadaan Kademangan itu dengan orang-orang yang telah membaca kidung sebelumnya.
"Seharusnya aku mendapat keterangan dari kalian," berkata Ki Lurah, "tetapi sekarang, akulah yang memberi keterangan kepada kalian."
Para pemimpin kelompok pengawal itu menundukkan kepalanya.
Sementara itu Ki Demangpun telah memberikan beberapa petunjuk kepada para bekel dan bebahu Kademangan sehubungan dengan meningkatnya pertentangan antara Mataram dan Pajang.
"Kita akan bekerja keras," berkata Ki Demang, "karena kita merupakan bagian dari dua kekuatan yang sedang bertentangan. Kita harus menentukan sikap. Jika kita tidak menentukan sikap yang pasti, maka justru kita akan terinjak-injak di tengahnya."
Beberapa saat Ki Demang dan Ki Lurah masih memberikan pesan-pesan. Namun kemudian Ki Lurah berkata kepada para pemimpin kelompok, "Kembalilah kepada kelompok kalian. Mereka harus berkumpul hari ini untuk mendapatkan beberapa petunjuk dari para prajurit yang akan turun kesemua padukuhan."
Sejenak kemudian maka pertemuan itupun telah dibubarkan. Namun Ki Demang masih minta para bebahu tinggal di Kademangan. Mereka akan mendapat tugas untuk bersama-sama pengawal yang akan bergiliran menjaga para tawanan serta merawat mereka yang terluka di bawah pengawasan para prajurit. Namun sebagian besar para prajurit akan tersebar di padukuhan-padukuhan untuk mempersiapkan para pengawal sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang menjadi semakin panas.
Para prajurit Pajang tidak menunggu sampai besok. Hari itu juga segala-galanya telah dimulai. Para pengawal yang telah tertangkap di arena janggrung telah langsung mendapat hukuman di lapangan tempat para pengawal itu dikumpulkan untuk mendapat penjelasan-penjelasan khusus. Hukuman yang sebelumnya tidak pernah dikenakan kepada para pengawal di Kademangan itu. Mereka harus melakukan unsur-unsur gerak yang pernah diajarkan oleh para prajurit kepada para pengawal dalam pertempuran gelar dan secara pribadi.
Sikap para prajurit Pajang pada umumnya nampak berubah. Mereka tidak lagi tersenyum-senyum dan menegur dengan kata-kata terpilih sebagaimana sebelumnya, jika para pengawal melakukan kesalahan dalam latihan-latihan. Tetapi wajah-wajah para prajurit itu menjadi keras seperti batu padas. Mereka berkata dengan kalimat-kalimat pendek dan tegas. Geraknyapun menjadi semakin keras.
Sikap para prajurit itu memang berpengaruh atas para pengawal. Ada di antara mereka memang merasa bersalah atau merasa lambat berbuat, karena mereka tidak dapat berbuat sesuatu pada saat pertempuran terjadi antara para prajurit Pajang dengan orang-orang Mataram yang datang dalam rombongan janggrung itu.
Dengan demikian maka para pemimpin kelompok pengawal telah berusaha untuk selanjutnya berbuat lebih baik. Merekapun telah mendengar dari para prajurit, sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Dipayuda, bahwa prajurit Mataram tentu akan segera menyerang. Karena itu, maka Kademangan itu harus membangun gardu-gardu lebih banyak di lorong-lorong masuk setiap padukuhan. Melengkapi dengan kentongan serta melakukan pengawasan jauh di luar Kademangan. Beberapa orang pengawal setiap saat harus berada di bulak-bulak panjang di tempat yang tidak langsung dapat dilihat orang, mengawasi setiap gerakan yang mungkin akan membahayakan Kademangan itu.
"Kita dapat memperhitungkan, jika pasukan Mataram bergerak, mereka akan menempuh jalan tertentu. Ada tiga jalur jalan utama yang harus diawasi, meskipun kita juga harus memperhitungkan kemungkinan mereka menempuh jalan setapak. Karena itu, maka selain pengawasan di tempat yang tetap, perlu orang-orang yang meronda siang dan malam. Mereka dapat melakukannya dengan cara yang sedikit terselubung. Misalnya anak-anak muda yang berpura-pura menyabit rumput namun tidak dengan segera memenuhi keranjangnya. Orang-orang yang bekerja di sawah. Menunggui air atau kerja-kerja lain yang tidak menarik perhatian. Namun mereka harus dengan cepat memberikan isyarat jika mereka melihat gerakan yang mencurigakan. Bukan saja gerakan pasukan, tetapi juga gerakan para petugas sandi," Bharatapun memberikan penjelasan pula kepada para pengawal dari ketiga padukuhan yang menjadi tanggung jawabnya bersama Kasadha.
Kedua pemimpin kelompok yang masih muda itu telah memilih beberapa orang di antara para pengawal yang menyatakan dirinya dengan suka rela untuk mengawasi gerakan pasukan Mataram di luar padukuhan. Mereka berdua telah memberikan beberapa petunjuk yang harus dilakukan dalam keadaan yang paling gawat.
Bharata dan Kasadha telah merencanakan membuat jalur tali yang panjang menyusuri pematang. Para pengawas di bulak-bulak yang luas atau di gubuk-gubuk di tengah sawah atau mereka yang menyabit rumput dapat menarik tali-tali itu jika mereka melihat bahaya mengancam Kademangannya.
"Adalah kebetulan bahwa padukuhan kita terletak di hadapan kemungkinan datangnya prajurit Mataram," berkata Kasadha kepada para pengawal yang telah terpilih untuk menjadi pengawas itu.
Di malam hari berikutnya, maka tali-tali itu sudah terentang dari berbagai tempat di bulak panjang membelit beberapa patok bambu yang langsung terkait pada genta yang tidak begitu besar, sehingga bunyinyapun tidak terlalu keras, yang sekedar dapat didengar oleh orang-orang yang bertugas.
Demikianlah maka Kademangan itu telah mengadakan persiapan yang sebaik-baiknya. Para prajurit Pajangpun telah memberikan petunjuk-petunjuk terperinci kepada para pengawal.
Di hari-hari berikutnya para pengawal telah mendapat latihan-latihan yang lebih berat dari sebelumnya. Tetapi para prajurit Pajang condong memberikan petunjuk-petunjuk dan latihan-latihan yang berhubungan langsung dengan pertahanan yang harus disusun sebaik-baiknya di Kademangan itu.
Namun prajurit Pajang memang tidak mempunyai cukup waktu. Ternyata pengaruh buruk dari perjudian, sabung ayam, tari janggrung dan kemalasan yang timbul karenanya, pertentangan di antara keluarga, telah menghilangkan gairah perjuangan. Bahkan keluarga yang pecah karena kehadiran para penari janggrung serta karena kekalahan di perjudian dan sabung ayam, telah membuat ketahanan di Kademangan itu menjadi rapuh.
Dengan usaha yang tidak mengenal lelah, prajurit Pajang telah berusaha membangunkan mereka. Menyingkirkan segala persoalan dan memusatkan segala perhatian bagi pertahanan Kademangan itu, sebagaimana pernah diucapkan oleh seorang bekel, "Sedumuk bathuk, senyari bumi."
Namun ternyata bahwa prajurit Pajang tidak dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Sebagian dari para pengawal benar-benar bangkit. Tetapi yang lain justru menjadi acuh tidak acuh. Mereka seakan-akan melakukannya dengan terpaksa dan bahkan mereka merasa telah diperlakukan tidak adil oleh para prajurit Pajang yang menjadi semakin keras.
Ternyata bahwa Matarampun telah membuat perhitungan tersendiri. Kekalahan orang-orang Mataram telah menimbulkan kemarahan pada pimpinan keprajuritan. Mereka menganggap bahwa peristiwa itu merupakan tamparan yang tidak akan dapat mereka biarkan saja.
Karena itu, maka seperti yang diperhitungkan oleh orang-orang Pajang di Kademangan Randukerep, orang-orang Mataram telah menyusun kekuatan yang jauh lebih besar dari perhitungan mereka atas kekuatan yang ada di Kademangan itu, meskipun tidak terdiri dari prajurit-prajurit.
Sementara itu keputusan Panembahan Senapati di Mataram telah mempengaruhi sikap para prajurit Mataram pula. Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk maju dan membuat pesanggrahan di sebelah Barat Kali Opak, karena pada saat itu pula Pajang telah mengadakan perkemahan pula di Prambanan, di sebelah Timur Kali Opak.
Agaknya gerakan yang dilakukan oleh Pajang itu telah menyita segala perhatian para pemimpin keprajuritan Pajang, sehingga mereka kurang memperhatikan kemungkinan benturan-benturan yang terjadi di beberapa tempat, karena pasukan Mataram telah menyusup memasuki daerah Pajang jauh mendahului pasukan induknya yang akan berhadapan langsung dengan kekuatan Pajang.
Demikianlah, di Prambanan kedua kekuatan itu telah saling berhadapan.
Bersama pasukan Pajang telah datang pula pasukan yang dibawa oleh para Adipati Tuban, Demak dan bahkan Banten. Sementara itu Panembahan Senapati di Mataram hanya dapat mengumpulkan prajurit dalam jumlah yang lebih kecil.
Tetapi seperti diperhitungkan oleh prajurit Pajang, yang berada di Kademangan Randukerep, bahwa Mataram telah mengerahkan hampir semua laki-laki yang dapat di kirim ke medan dari Kademangan-kademangan yang telah dapat dipengaruhinya. Namun di antara mereka memang terdapat prajurit-prajurit pilihan.
Ki Rangga Selamarta, Ki Rangga Sanggabantala dan Ki Lurah Tapajaya telah berhasil pula menghimpun kekuatan yang sangat besar jumlahnya dibanding dengan kekuatan Pajang di Kademangan Randukerep, meskipun sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda dari beberapa Kademangan. Namun dengan sedikit petunjuk cara mempergunakan senjata serta bertempur dalam ikatan gelar maka mereka tetap merupakan ancaman yang sangat berbahaya.
Ternyata Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala atas pertimbangan Ki Lurah Tapajaya berpendapat, bahwa Randukerep harus segera direbut, mendahului pertempuran besar yang akan segera terjadi di Prambanan.
"Jangan beri kesempatan para pengawal dan anak-anak muda Randukerep bangkit dari kemalasannya," berkata Ki Lurah Tapajaya.
Dengan demikian, maka Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantalapun dengan cepat pula telah menyusun kekuatan yang akan segera diberangkatkan ke Kademangan Randukerep.
"Jika Kademangan itu telah jatuh, maka akan terbukalah jalan ke Utara. Jika pasukan Panembahan Senapati berhasil maju dari arah Barat, maka kita akan maju dari arah Selatan," berkata Ki Tapajaya.
Kedua orang Rangga yang memimpin usaha untuk membuat ketahanan orang-orang Kademangan Randukerep itu rapuh, telah sekaligus mendapat tugas untuk memimpin pasukan yang harus membuka pintu serangan dari arah Selatan menuju ke Pajang.
Demikianlah, maka tanpa menunggu perkembangan keadaan di Prambanan, pasukan yang dipimpin kedua orang Rangga itu telah bergerak. Mereka telah mempergunakan perhitungan yang rumit pula. Sebagian dari pasukan itu akan menyerang dari arah yang memang seharusnya ditempuh. Tetapi sebagian dari pasukan mereka justru telah melingkari jalan sempit, memanjat kaki bukit dan turun dari arah yang tidak diperkirakan sama sekali oleh orang-orang Randukerep dan para prajurit Pajang yang ada di Kademangan itu.
Jumlah mereka memang tidak begitu banyak. Tidak lebih dari limapuluh orang. Tetapi mereka adalah orang-orang terpilih di bawah pimpinan Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala, sementara Ki Lurah Tapajaya akan membawa sepasukan yang jumlahnya lebih besar dari arah yang memang diperhitungkan oleh para prajurit Pajang.
Kedatangan serangan itu ternyata memang terlalu cepat menurut perhitungan Ki Lurah Dipayuda. Tetapi segala persiapan sudah dilakukan. Pengawasan telah diatur dengan tertib, serta alat-alat untuk memberikan isyaratpun telah siap.
Karena itu, maka sebelum orang-orang Mataram itu mendekati padukuhan pertama dari Kademangan, mereka tentu sudah dapat dilihat oleh para pengawas di Kademangan Randukerep.
Dalam pada itu, maka pada malam yang sudah ditentukan, maka pasukan Mataram itu sudah bersiap sepenuhnya di landasan serangan mereka. Mereka sempat menyusun diri sehingga jika perintah datang, mereka tinggal bangkit dan berangkat.
Tetapi para pemimpin dari Mataram itu masih memberi kesempatan mereka untuk beristirahat.
"Besok, menjelang dini kita berangkat. Kita harus memasuki Kademangan Randukerep sebelum matahari terbit, sehingga kita tidak akan menjadi silau dalam benturan pertama yang terjadi," perintah Ki Lurah Tapajaya.
Namun dalam pada itu, limapuluh orang terpilih telah mulai merayap memanjat lereng pegunungan. Mereka melintasi medan yang berat sebelum mereka mencapai tempat peristirahatan yang telah mereka tentukan sebelumnya.
"Pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Tapayuda akan menyerang menjelang matahari terbit," berkata Ki Rangga Selamarta, "kita akan menyusul sesaat kemudian. Kita tidak akan menjadi silau oleh terbitnya matahari sebagaimana jika kita datang dari arah Barat."
"Mudah-mudahan orang-orang Pajang itu tidak memperhitungkan kemungkinan yang kita tempuh," berkata Ki Rangga Sanggabantala.
"Ternyata Pajang memiliki anak-anak muda yang tangguh," desis Ki Rangga Selamarta.
"Sungguh di luar perhitunganku. Tetapi kali ini, kita tidak akan gagal," sahut Ki Rangga Sanggabantala.
Meskipun hanya sebentar, namun orang-orang terpilih yang jumlahnya hanya lima puluh orang itu sempat beristirahat.
Namun Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala tidak dapat beristirahat sama sekali. Keduanya digelisahkan oleh kemungkinan yang dapat terjadi di Kademangan Randukerep.
Dalam pada itu Ki Rangga Selamarta berkata, "Tetapi nampaknya di antara orang-orang Pajang itu hanya dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi, selain Ki Lurah Dipayuda sendiri."
"Mudah-mudahan tidak ada orang lain," sahut Ki Rangga Sanggabantala, "tetapi nampaknya prajurit-prajurit muda dari Pajang itu pada umumnya memiliki bekal ilmu yang cukup."
"Kita harus dengan segera menyelesaikan Kademangan ini. Menurut seorang penghubung, pasukan Pajang di Prambanan jumlahnya lebih banyak dari pasukan Mataram. Jika kita dapat menyesuaikan diri dan menyerang dari sisi Selatan Pajang, maka mungkin akan mempengaruhi keseimbangan jumlah pasukan di Prambanan, karena Pajang tentu akan menarik sebagian dari pasukannya. Sayang bahwa Kademangan Randukerep nampaknya luput dari tangan kita, sehingga kita tidak dapat memanfaatkan anak-anak mudanya," berkata Ki Rangga Sanggabantala.
"Apakah kita akan dapat memasuki Pajang?" bertanya Ki Rangga Selamarta.
"Kita tidak akan memasuki kota Pajang yang tentu akan banyak mengalami kesulitan meskipun hampir seluruh kekuatan Pajang dan bantuan yang datang dari luar Pajang dikerahkan di Prambanan. Namun jika kita mengganggu langsung kota Pajang sendiri, maka sebagian dari kekuatan itu tentu akan benar-benar akan ditarik," berkata Ki Rangga Sanggabantala.
Ki Rangga Selamarta mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu malam rasa-rasanya terlalu panjang. Meskipun ia sudah menempuh perjalanan yang sulit di lereng pebukitan untuk memasuki Kademangan Randukerep dari sisi Selatan, namun agaknya fajar masih belum akan segera menyingsing.
Namun dalam pada itu, selagi mereka berdua merenungi kemampuan lawan mereka, maka seorang penghubung telah datang menemui mereka.
"Ada apa?" bertanya Ki Rangga Selamarta, "apakah Ki Lurah Tapajaya merubah rencananya, atau timbul persoalan baru?"
"Tidak Ki Rangga," jawab penghubung itu, "tetapi baru saja datang utusan dari Ki Tumenggung Purbarana."
"Ki Tumenggung Purbarana?" Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala hampir berbareng mengulang. Keduanya memang terkejut bahwa tiba-tiba saja ada utusan dari Senapati Mataram yang telah memerintahkan mereka untuk menguasai sisi Selatan Pajang.
Perintah Ki Tumenggung, "Jika tidak dapat kau kuasai secara kewadagan, maka kau harus menguasainya dengan memperlemah ketahanan jiwani, sehingga sisi Selatan akan menjadi pintu kedua memasuki Pajang setelah pasukan induk yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri."
Dalam pada itu, penghubung itu menjawab, "Ya Ki Rangga. Utusan itu telah membawa perintah baru dari Ki Tumenggung."
"Perintah apa?" bertanya Ki Rangga Selamarta tidak sabar.
"Perintah untuk menarik pasukan, terutama dua-puluh lima orang prajurit Mataram terpilih dan para pengawal yang ada didaerah ini," jawab penghubung itu.
"Disini memang hanya ada duapuluh lima prajurit itu. Yang lain adalah para pengawal yang juga harus kita pilih. Selebihnya adalah orang-orang dan anak-anak muda dari Kademangan-kademangan yang telah kita himpun selama ini," jawab Ki Rangga Sanggabantala.
"Para prajurit dan para pengawal itu diperlukan di Prambanan segera. Laporan kegagalan kita beberapa hari yang lalu telah sampai ke telinga Ki Tumenggung," berkata penghubung itu.
Ki Rangga Selamarta menggeram. Tetapi ia masih bertanya, "Bagaimana dengan Ki Lurah Tapajaya?"
"Pesan Ki Lurah, kita akan menyelesaikan Randukerep lebih dahulu. Baru kita menarik diri untuk kembali dan bergabung dengan Ki Tumenggung Purbarana," jawab penghubung itu. Lalu, "Nah, keputusan terakhir terserah kepada Ki Rangga berdua. Jika Ki Rangga berdua memutuskan untuk menarik pasukan sekarang ini, maka Ki Lurah akan melakukannya."
"Tidak," jawab Ki Rangga Sanggabantala, "kita akan memasuki Kademangan itu lebih dahulu."
"Aku sependapat," sahut Ki Rangga Selamarta, "jika kita menarik pasukan yang sudah siap untuk bertempur ini, maka secara jiwani pasukan ini akan kehilangan gairah perjuangannya. Kekecewaan itu akan mereka bawa meskipun kita sudah berada di Prambanan, di sebelah Barat Kali Opak."
Penghubung itu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Rangga Selamarta membentaknya, "He, bagaimana pendapatmu" Kau malah mengantuk."
"Tidak Ki Rangga," orang itu tergagap, "tetapi aku hanya sekedar menjalankan perintah."
"Kenapa utusan Ki Tumenggung itu tidak kau ajak kemari?" bertanya Ki Rangga Selamarta.
"Menurut Ki Lurah Tapajaya, cukup aku saja yang menyampaikan perintah ini," jawab penghubung itu.
Ki Rangga Sanggabantala tiba-tiba tertawa pendek. Katanya, "Agaknya Ki Lurah ingin mencegah pembicaraan antara kita disini dengan utusan itu. Ki Lurah merasa cemas bahwa kita disini akan menyetujui untuk dengan segera menarik pasukan."
Penghubung itu tidak menjawab. Sementara itu Ki Rangga Selamarta berkata, "Cepat kembali kepada Ki Lurah yang tentu sudah mulai bersiap-siap. Aku sependapat untuk menyelesaikan Kademangan ini lebih dahulu."
Penghubung itupun kemudian telah minta diri untuk kembali kepada Ki Lurah. Jarak di antara mereka memang agak jauh, sementara malampun telah semakin dekat dengan dini hari.
Tetapi penghubung itu tidak terlambat. Ia sampai ke landasan pasukan induk Mataram itu tepat pada saat Ki Tapajaya mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Kademangan Randukerep.
Utusan yang datang itupun memaklumi. Jika pasukan itu dicegah mengayunkan langkah terakhir, maka akibatnya akan memukul bagian dalam tubuh pasukan itu sendiri.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Tapajaya telah membawa pasukannya mendekati Kademangan. Dengan hati-hati Ki Tapajaya maju. Ia sengaja memberikan kesan bahwa jumlah pasukannya jauh lebih besar dari jumlah prajurit Pajang yang ada di Kademangan Randukerep. Dengan demikian, maka Ki Tapajaya berusaha untuk menyembunyikan kelemahannya. Yang berjumlah banyak itu sebagian adalah anak-anak muda yang begitu saja dihimpun dari Kademangan-kademangan yang berada di bawah pengaruh Mataram. Hanya beberapa bagian kecil saja di antara mereka adalah para pengawal yang sudah terlatih. Beberapa orang bekas prajurit yang umurnya telah merambat ke setengah abad, yang menganggap Mataram akan menjadi satu kekuatan yang lebih baik dari Pajang. Sedangkan lainnya adalah orang-orang yang sekedar mendapat beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata serta perang dalam kesatuan pasukan. Sedangkan prajurit yang sesungguhnya hanya mereka yang memimpin kelompok-kelompok tertentu saja, karena sebagian besar di antara mereka berada bersama Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala bersama beberapa orang pengawal pilihan.
Beberapa orang prajurit terbaik dari Mataram itu justru telah terperangkap ketika mereka ikut menjadi pengiring tari janggrung beberapa malam sebelumnya.
Mendekati fajar maka pasukan Ki Lurah telah mendekati Kademangan. Ki Lurah telah membentang pasukannya lebar-lebar. Beberapa pertanda kebesaran telah dibawanya pula untuk memberikan wibawa pada pasukannya itu.
Namun Ki Lurah Tapajaya telah berpesan kepada orang-orangnya, agar mereka menghindari pertempuran seorang melawan seorang. Mereka harus tetap dalam ikatan kelompok-kelompok kecil.
"Kali ini jumlah kita lebih banyak. Prajurit Pajang hanya seratus orang. Para pengawal Kademangan agaknya tidak dapat diharapkan meskipun tentu ada di antara mereka yang akan ikut bertempur. Sementara itu, pada saatnya pasukan Ki Rangga keduanya akan menyerang dari lambung," berkata Ki Lurah Tapajaya untuk membesarkan hati orang-orangnya.
Sementara itu, para pengawas dari Kademangan Randukereppun telah melihat kehadiran pasukan itu. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka yang berada di gubuk-gubuk telah menarik tali-tali yang menghubungkan dengan padukuhan pertama yang ditunggui oleh para prajurit Pajang serta beberapa orang pengawal.
Demikian tali isyarat itu ditarik beberapa kali, maka para pengawas itupun segera berlari menuju ke padukuhan.
Isyarat itupun telah memanggil pasukan yang ada di Kademangan itu untuk bersiap. Para prajurit Pajangpun telah ditarik ke padukuhan itu. Delapan kelompok akan berada di padukuhan pertama, sedangkan dua kelompok yang lain akan merupakan pasukan cadangan. Meskipun para pengawal telah berkumpul pula untuk ikut menyusun pasukan, tetapi para prajurit Pajang agak kurang yakin terhadap ketahanan jiwani mereka. Apalagi setelah Kademangan itu benar-benar dalam keadaan bahaya, tidak semua orang yang menyatukan diri sebagai pengawal hadir dalam pasukan yang dipersiapkan.
Sejenak kemudian, maka pasukan yang ada di Kademangan itu telah berusaha untuk menyongsong pasukan yang datang dalam jumlah yang besar itu. Ki Dipayuda berniat untuk bertempur melawan pasukan Mataram itu justru di luar padukuhan.
"Mereka datang dari arah yang kita perhitungkan," berkata Ki Dipayuda, "agaknya mereka memang mengerahkan kekuatan mereka dalam jumlah yang besar."
Kedua orang pemimpin kelompok yang menjadi pendampingnya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab.
Sementara itu, Ki Tapajayapun telah memerintahkan untuk membakar dua buah gubuk yang ada di tengah sawah. Bukan saja untuk menakut-nakuti lawan, tetapi sebagai isyarat yang tentu akan dapat dilihat oleh Ki Rangga berdua tanpa menimbulkan kecurigaan. Jika Ki Tapajaya mempergunakan panah api atau panah sendaren, maka para prajurit Pajang akan segera mengetahui bahwa ada sekelompok pasukan lain selain yang datang dari depan. Tetapi dengan membakar gubuk di sawah kesannya tentu akan lain.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 25 BEBERAPA saat kemudian, maka apipun telah menyala. Gubuk itu memang tidak begitu besar. Tetapi karena terbuat dari bahan yang mudah terbakar, maka dalam sesaat api bagaikan melonjak menjilat langit.
Orang-orang Randukerep dan para prajurit Pajang yang melihat api itu memang menjadi marah. Mereka mengira bahwa orang-orang Mataram mulai bertindak kasar. Mulai membakar dan merusak.
"Untunglah bahwa yang mereka bakar baru dua buah gubuk di sawah," berkata salah seorang di antara orang-orang Randukerep.
"Entahlah jika mereka berhasil memasuki padukuhan-padukuhan," sahut yang lain.
"Kita akan mempertahankannya," desis orang yang pertama.
Sementara itu kedua pasukan itupun menjadi semakin dekat. Beberapa orang pengawal Mataram yang menyertai pasukan itu telah bersiap di paling depan. Mereka harus memberikan kesan, bahwa prajurit-prajurit Matarampun memiliki kemampuan seimbang dengan prajurit-prajurit Pajang. Meskipun di belakang mereka adalah orang-orang padukuhan yang telah menyatakan diri berpihak kepada Mataram dan baru sedikit sekali memiliki kemampuan olah kanuragan.
Demikianlah maka kedua pasukan itupun menjadi semakin dekat. Ki Lurah Dipayuda telah meneriakkan perintah untuk menyerang pasukan Mataram agar mereka tidak sempat mendekati padukuhan.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itupun telah berbenturan. Para pengawal Mataram yang ada di dalam pasukan itu, dalam jumlah yang kecil, telah berada di depan sambil mengacu-acukan senjata mereka. Ketika benturan terjadi, maka para pengawal itu dengan sigap memutar senjata mereka dan berusaha untuk menahan arus lawan yang marah.
Namun sejenak kemudian, mulai nampak, bahwa prajurit Pajang dalam jumlah yang lebih banyak, memiliki ketrampilan bermain senjata melampaui lawan-lawannya. Tetapi Mataram telah datang dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Meskipun demikian, maka pasukan Ki Lurah Tapajaya itu sulit untuk mengimbangi kekuatan pasukan Pajang. Dalam beberapa saat maka tekanan prajurit Pajang mulai terasa semakin berat.
Karena itu, maka Ki Lurah Tapajaya telah memanfaatkan jumlah mereka yang lebih banyak. Memang hal itu sudah diperhitungkan oleh Ki Tapajaya, sehingga ketika ia memberikan isyarat, maka orang-orang Mataram telah berusaha untuk melebar melampaui batas tebaran pasukan Pajang. Beberapa kelompok di antara mereka telah melingkar dan bertempur dari sisi gelar lawan. Meskipun Mataram dan Pajang tidak mempergunakan gelar yang jelas, namun pasukan mereka yang menebar memang mempunyai bagian-bagian sebagaimana mereka menyusun gelar.
Dengan memanfaatkan jumlah yang lebih banyak, maka Ki Lurah Tapajaya untuk beberapa saat mampu bertahan sehingga pasukannya tidak terdesak surut.
Namun dalam pada itu, ketika kedua pasukan itu sudah bertempur, maka pasukan kedua dari Mataram, yang justru terdiri dari prajurit-prajurit pilihan telah melihat isyarat yang diberikan oleh Ki Tapajaya dengan membakar dua buah gubuk di tengah-tengah sawah.
Dengan isyarat itu, maka Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala segera mulai bergerak. Mereka akan memasuki Kademangan Randukerep dari lambung.
Sebenarnyalah bahwa pasukan kedua orang Rangga itu tidak banyak mendapat perlawanan. Ketika mereka melintasi padukuhan yang pertama, maka para pengawal padukuhan itu yang jumlahnya tinggal sedikit, tidak mampu berbuat apa-apa. Namun mereka masih sempat membunyikan isyarat yang paling mudah dapat mereka capai. Kentongan.
Dengan demikian maka sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dalam nada titir ke seluruh penjuru Kademangan. Setiap padukuhanpun segera mempersiapkan diri. Namun jumlah mereka terlalu sedikit untuk menahan arus pasukan Mataram. Sebagian besar dari pengawal yang dapat dihimpun oleh Pajang telah dikerahkan ke medan di arah Barat.
Karena itu, maka limapuluh orang pilihan di antara orang-orang Mataram itu maju dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain tanpa terhambat. Mereka langsung menuju ke padukuhan induk Kademangan Randukerep.
Sementara itu, pasukan cadangan yang ada di Kademangan Mataram telah mempersiapkan diri pula. Bersama dengan para pengawal yang ada dengan keberanian yang terbatas, dua kelompok prajurit Pajang berusaha untuk mengatasi keadaan.
Dua orang penghubung telah sampai ke padukuhan induk dan memberitahukan arah kedatangan sekelompok prajurit Mataram serta kekuatan mereka.
"Sekitar empat puluh sampai enampuluh orang," jawab penghubung itu ketika pemimpin kelompok prajurit Pajang minta keterangan tentang kekuatan lawan.
Dengan cepat prajurit Pajang itu telah menyusun pasukan. Dengan cepat pula mereka bergerak menyongsong pasukan lawan, sebelum mereka memasuki padukuhan induk Kademangan.
Sementara itu, Ki Lurah Dipayuda telah terpengaruh pula oleh suara kentongan dalam nada titir itu. Apalagi ketika dua orang penghubung telah memberikan laporan pula kepadanya tentang kedatangan pasukan Mataram dari arah Selatan.
"Seberapa besar pasukan yang datang itu?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Lebih dari limapuluh orang," jawab penghubung itu mengira-ira.
Ki Lurah memang menjadi berdebar-debar. Ia hanya meninggalkan dua kelompok pasukan cadangan. Sementara itu sulit untuk menghimpun pengawal yang tersisa sampai berjumlah lebih dari limapuluh. Sementara Ki Lurah tahu dengan pasti, bahwa kekuatan yang datang dari sisi Selatan itu justru orang-orang yang terpilih.
"Ternyata Ki Lurah Tapajaya sangat cerdik. Aku telah dikelabuhinya," berkata Ki Lurah Dipayuda di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun telah memerintahkan satu kelompok prajuritnya dan satu kelompok pengawal untuk meninggalkan medan itu dan bergabung dengan kelompok cadangan. Mereka harus membawa semua pengawal yang dapat mereka jumpai di sepanjang jalan menuju ke medan di sisi Selatan itu.
Dengan demikian maka kekuatan di sisi Barat itupun menjadi berkurang. Apalagi jumlah lawan memang masih terlalu banyak. Tetapi Ki Lurah tidak akan menyerahkan padukuhan induk begitu saja kepada para prajurit Mataram.
Atas perintah Ki Lurah, maka Kasadha telah meninggalkan pertempuran di sisi Barat bersama sekelompok pengawal. Mereka bergegas mengikuti kedua orang penghubung yang memberikan laporan itu menuju ke arah kedatangan pasukan Mataram di sisi Selatan. Ketika mereka melalui sebuah padukuhan, maka pengawal yang masih ada di padukuhan itu untuk menjaga ketenangan para penghuninya telah dibawa serta. Karena semua ada tujuh orang, maka lima orang telah mengikuti Kasadha menuju ke medan. Demikian pula di medan berikutnya. Kasadha dapat mengajak tujuh orang dari sepuluh orang yang ada. Tetapi di padukuhan kecil berikutnya Kasadha hanya menemukan tiga orang pengawal, sehingga karena itu, maka tidak seorangpun yang diajaknya serta.
Sementara itu, kedua kelompok prajurit Pajang serta sejumlah pengawal telah menyongsong kedatangan limapuluh orang prajurit dan pengawal terpilih dari Mataram. Di sebuah bulak yang luas, maka kedua pasukan itu telah bertemu. Namun limapuluh orang pasukan dari Mataram itu adalah orang-orang terpilih, sementara lawannya hanya terdiri dari duapuluh orang prajurit dan sejumlah pengawal. Sedangkan seandainya jumlah kedua pasukan itu sama, maka pasukan Mataram akan segera mendesak pasukan Pajang yang dibantu oleh para pengawal Randukerep. Apalagi jumlah para prajurit dan pengawal dari Mataram yang terpilih itu lebih banyak.
Namun dalam pada itu, para prajurit Pajang dan para pengawal Kademangan itupun segera melihat sepasukan kecil prajurit dan pengawal yang berlari-lari menuju ke medan pertempuran.
Adalah di luar sadar, bahwa merekapun segera bersorak disambut oleh teriakan-teriakan yang mengguntur dari mereka yang baru datang. Para prajurit Pajang yang dipimpin oleh Kasadha itu dengan sengaja memberikan dorongan kekuatan jiwani kepada mereka yang sudah mulai bertempur, sementara para pengawal Kademangan Randukerep berteriak sekeras-kerasnya untuk mengusir kegelisahan yang mulai meraba jantung.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pasukan itupun menjadi lebih seimbang. Bahkan prajurit Pajang dan pengawal Kademangan itu jumlahnya memang lebih banyak. Tetapi lima puluh orang Mataram itu adalah orang-orang pilihan.
Karena itu, maka kekuatan kedua pasukan itupun rasa-rasanya memang menjadi seimbang.
Tetapi kekuatan pasukan Pajang dan Randukerep di sisi sebelah Baratlah yang telah terguncang. Dua kelompok telah meninggalkan pasukan mereka. Apalagi jumlah mereka sejak semula memang lebih sedikit.
Karena itu, maka para prajurit Pajang harus bekerja keras untuk bertahan agar mereka tidak terdesak semakin mendekati padukuhan.
Tetapi jumlah yang besar dari orang-orang Mataram itu memang sangat berpengaruh. Meskipun mereka bukan orang-orang yang cukup terlatih, tetapi mereka sudah belajar memegang senjata serba sedikit, sehingga dalam jumlah yang besar, mereka memang menjadi cukup berbahaya.
Dalam pada itu, mataharipun telah memanjat semakin tinggi di langit. Panasnya semakin terasa menyengat punggung. Meskipun orang-orang Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Tapajaya tidak lagi menjadi silau, namun keringat yang bagaikan terperas dari setiap tubuh telah membasahi pakaian mereka.
Namun ketika telapak tangan merekapun menjadi basah oleh keringat, maka orang-orang yang sedang bertempur itu memang menjadi semakin garang. Senjata mereka menjadi semakin cepat berputar. Benturan-benturan kekuatan dan dentang senjata beradu semakin menyala bersama dengan teriakan-teriakan kemarahan dan erang kesakitan.
Darah memang telah mulai mengalir menitik di atas bumi Kademangan Randukerep. Betapapun kedua belah pihak merasa bahwa mereka adalah keluarga, bahkan ada di antara mereka adalah bekas kawan berbincang, namun di medan mereka saling mengintai kelemahan masing-masing.
Di sisi Barat, jumlah orang-orang Mataram memang jauh lebih banyak dari orang-orang Pajang dan Randukerep. Meskipun prajurit Pajang yang berjumlah tujuh-puluh orang itu bertempur dengan gigihnya, namun jumlah orang Mataram yang dua kali lipat itu sangat menyulitkan. Sedangkan para pengawal dan anak-anak muda Kademangan Randukerep sendiri tidak terlalu banyak dapat diharapkan.
Namun dalam pada itu, maka di sisi Selatan, keadaan Pajang ternyata lebih parah lagi. Lima puluh terpilih dari prajurit dan pengawal Mataram itu benar-benar bagaikan arus banjir yang sulit untuk dibendung.
Seperti di sisi Barat, maka para pengawal dan anak-anak muda Kademangan Randukerep yang telah mendapat sedikit latihan itu, kurang menunjukkan ketabahan hati untuk mempertahankan kampung halamannya.
Apalagi untuk waktu yang agak lama, mereka telah terpengaruh oleh orang-orang yang memang dikirim oleh Mataram untuk memperlemah ketahanan jiwani orang-orang Randukerep. Bahkan pernyataan yang setiap kali dilontarkan oleh orang-orang Mataram tiba-tiba telah mencuat kembali di hati orang-orang Randukerep, "Tidak ada bedanya. Apakah berada di bawah kuasa Pajang atau Mataram. Bahkan jika ada di antara mereka yang tetap ingin bertahan untuk kepentingan Pajang, maka mereka tentu akan menyesal. Sebentar lagi Pajang akan ditundukkan oleh Mataram. Mereka yang berpihak Pajang sudah barang tentu tidak akan mendapat tempat."
Dengan demikian maka para pengawal dan orang-orang Randukerep memang tidak dapat memusatkan kemampuan sepenuhnya. Keragu-raguan itu semakin lama menjadi semakin mencengkam ketika mereka melihat bagaimana orang-orang Mataram itu bertempur. Apalagi mereka yang ada di sisi Selatan. Mereka harus menghadapi lima puluh orang yang berilmu tinggi menurut penilaian mereka, karena limapuluh orang itu adalah para prajurit dan pengawal terpilih dari Mataram.
Untuk beberapa lama kedua pasukan itu bertempur dengan garangnya. Para prajurit Pajang di sisi Barat masih mampu mengimbangi kekuatan lawannya yang jumlahnya jauh lebih banyak, meskipun orang-orang Randukerep sendiri tidak menunjukkan tingkat perjuangan yang tinggi. Beberapa orang justru menjadi kehilangan keberanian dan berusaha untuk berlindung di belakang para prajurit. Sementara itu, orang-orang Mataram seakan-akan telah berniat untuk menelan lawan-lawannya hidup-hidup.
Untunglah bahwa Ki Lurah Dipayuda telah membawa sebagian besar prajurit-prajuritnya di sisi Barat, sehingga dengan jumlah yang jauh lebih kecil, ia masih juga bertahan. Namun hampir setiap orang harus melawan lebih dari seorang lawan. Sementara itu, di antara orang-orang Mataram itu juga terdapat para pengawal yang terlatih dari Kademangan-kademangan yang telah menyatakan diri berpihak kepada Mataram.
Di sisi Selatan, pasukan Mataram semakin lama semakin nampak menguasai pertempuran. Agak lebih cepat dibanding dengan pasukan di sisi Barat. Perlahan-lahan prajurit Pajang dan para pengawal dari Randukerep telah terdesak. Ki Rangga Selamarta langsung berhadapan dengan Kasadha, sementara Ki Rangga Sanggabantala telah menghadapi dua orang pemimpin kelompok prajurit Pajang yang lain.
Namun ternyata para prajurit Pajang dan para pengawal yang lain tidak mampu untuk bertahan di tempat. Mereka semakin lama semakin terdesak surut. Para pengawal Kademangan Randukerep yang kurang berpengalaman, apalagi menghadapi para prajurit dan pengawal pilihan dari Mataram itu, bukan saja menjadi gentar. Tetapi perasaan takut mulai merayapi jantung mereka.
Prajurit Pajang yang sudah terlatih itu berusaha untuk berbuat sejauh dapat mereka lakukan. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa lawannya terlalu kuat untuk ditahan. Seperti menahan arus banjir bandang.
Di sisi sebelah Baratpun keseimbangan mulai berubah, ketika para pengawal Kademangan Randukerep telah kehilangan kemampuan mereka. Ketika matahari mencapai puncak langit, maka sebagian dari mereka tidak lagi mempunyai sisa tenaga untuk bertempur. Meskipun orang-orang Mataram sebagian juga telah tidak bertenaga pula, tetapi dalam jumlah yang lebih banyak, mereka justru mulai menguasai medan.
Sementara itu para prajurit Pajang yang mengerahkan segenap kekuatan sejak benturan pertama terjadi, harus mengakui, bahwa tugas mereka menjadi sangat berat. Keringat mereka bagaikan telah terperas habis, sementara panas matahari bagaikan membakar kulit.
Ki Lurah Dipayuda sendiri telah bertempur melawan Ki Lurah Tapajaya. Keduanya memang memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga rasa-rasanya keduanya tidak akan pernah dapat mengalahkan yang satu atas yang lain.
Dalam keadaan yang gawat itulah, maka Ki Dipayuda mendapat laporan dari dua orang penghubung. Sementara tiga orang prajurit Pajang menggantikan kedudukan Ki Lurah Dipayuda, maka Ki Lurah itu telah mendengarkan laporan yang dibawa oleh kedua orang penghubung itu tentang pertempuran di sisi Selatan.
Wajah Ki Lurah memang menjadi tegang. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ia dapat memaksa pasukannya untuk bertempur terus. Tetapi yang akan terjadi adalah penyerahan korban yang tidak berarti. Sementara orang-orang Kademangan Randukerep sendiri tidak banyak memberikan bantuan.
Meskipun demikian, Ki Lurah Dipayuda masih memberikan perintah, "usahakan untuk bertahan. Laporkan kepada Ki Demang, bahwa keadaan menjadi gawat. Kirimkan semua pengawal yang ada untuk mengatasi kesulitan di medan di sisi Selatan. Secepatnya sebelum orang-orang kita dibantai sampai habis."
Penghubung itu segera berlari menuju ke padukuhan induk. Mereka langsung menuju ke Kademangan untuk menyampaikan pesan Ki Lurah Dipayuda.
Sementara itu, keadaan prajurit Pajang di kedua medan menjadi semakin sulit. Tetapi mereka yang berada di sisi Selatan mengalami kesulitan yang lebih parah.
Ketika matahari mulai turun ke sisi Barat, maka telah datang laporan yang sangat menyakitkan hati Ki Lurah Dipayuda. Dua orang penghubung telah datang berlari-lari. Dengan wajah yang sangat tegang, maka orang itu telah menghadap Ki Dipayuda yang meninggalkan lawannya, sementara tiga orang prajurit berusaha untuk menahan Ki Lurah Tapayuda.
Namun agaknya Ki Lurah Tapajaya memang memberi kesempatan kepada Ki Lurah Dipayuda untuk mendengarkan laporan yang menyesakkan dadanya.
"Ki Demang sudah tidak berpengharapan lagi. Bahkan Ki Demang sudah menganjurkan untuk menyerah saja," berkata penghubung itu.
"Gila," geram Ki Lurah Dipayuda, "apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Demang itu?"
"Menurut Ki Demang, sudah tidak ada lagi pengawal yang tersisa. Ia tidak ingin orang-orangnya terlalu banyak terbunuh di medan perang ini. Agaknya Ki Demang telah mendapat laporan keadaan medan yang mulai berat sebelah," berkata penghubung itu.
"Inikah tekad Ki Demang yang nampaknya memberikan harapan sebagai seorang pahlawan itu" Begitu mudah kehilangan gairah perjuangannya?" Ki Lurah Dipayuda menjadi sangat marah.
Tetapi penghubung itu berkata, "Ki Demang tidak lagi mau berbuat sesuatu."
"Persetan dengan Ki Demang," geram Ki Lurah, "kita akan menghancurkan lawan kita tanpa bantuan Ki Demang."
Namun suara Ki Lurah merendah, "Bagaimana medan di sisi Selatan itu?"
Kedua penghubung itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, "Kami baru saja datang dari padukuhan induk."
"Pergilah ke medan sisi Selatan. Hubungi Kasadha. Jika keadaan memaksa, biarlah ia mencari jalan untuk membebaskan diri dari medan bersama para prajurit Pajang. Kita akan membuat satu tempat untuk mengadakan hubungan lagi. Alas Kecil Trawangan di sebelah gumuk kecil itu," berkata Ki Lurah Dipayuda yang tidak dapat ingkar dari kenyataan serta tidak ingin membiarkan prajuritnya ditumpas oleh kekuatan dari Mataram. Lalu katanya selanjutnya, "Jika aku tidak datang ke tempat itu, maka artinya aku tidak mampu keluar dari lingkaran pertempuran ini. Hidup atau mati."
Kedua penghubung itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Mereka sadar, bahwa keadaan menjadi semakin gawat. Karena itu maka merekapun segera berangkat ke medan di sisi Selatan. Bahkan kemudian mereka telah berlari-lari tanpa merasakan betapa tubuh mereka menjadi sangat letih. Bahkan kaki-kaki merekapun menjadi semakin lemah.
Namun keduanya masih sempat mencapai medan. Ternyata medan pertempuran itu telah bergeser agak jauh. Beberapa orang terbaring diam di sepanjang geseran pertempuran itu.
Keadaan pasukan Pajang dan para pengawal Kademangan itu memang menjadi kian parah.
Karena itu, maka orang itupun dengan serta-merta telah mencari kesempatan untuk berbicara dengan Kasadha.
Kasadha memang berusaha untuk dapat berbicara dengan penghubung itu. Karena itu, maka iapun telah memanggil dua orang prajuritnya. Sementara seorang di antara penghubung itu telah berusaha membantu kedua orang prajurit itu.
"Tahanlah orang itu sejenak," berkata Kasadha, "aku akan mendengarkan pesan dari Ki Lurah."
Penghubung itu dengan singkat telah menyampaikan pesan Ki Lurah. Mereka akan dapat saling berhubungan lagi di Alas kecil yang bernama Alas Trawangan.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kecuali jika Ki Lurah Dipayuda tidak dapat keluar dari arena," berkata penghubung itu.
Wajah Kasadha memang menjadi merah. Ia tidak dapat menerima keadaan yang dihadapinya. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Ia tidak dapat karena dorongan perasaannya membiarkan para prajurit Pajang itu terbunuh dengan sia-sia.
Namun Kasadha itu berkata di dalam hatinya, "Lebih baik menyingkir dari medan daripada harus menyerah."
Keputusan itu tiba-tiba telah mengental di dalam hatinya, sehingga iapun telah bertekad dengan bulat.
Menurut perhitungan Kasadha, mereka tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk menyingkir jika mereka justru terlambat. Selagi mereka masih mempunyai kekuatan, maka mereka akan dapat meninggalkan medan sambil mempertahankan diri.
Demikianlah maka sejenak kemudian Kasadha itupun telah berloncatan menghubungi beberapa orang prajurit dari kelompok yang lain untuk dapat disampaikan kepada pimpinannya yang masih bertempur. Sementara itu, maka iapun telah berbisik pula kepada beberapa orang pengawal yang sempat dihubungi, "Menyerah bagi kalian akan lebih baik pada saat kami meninggalkan medan. Orang-orang Mataram tentu tidak akan berbuat kasar kepada kalian, karena mereka masih memerlukan bantuan kalian."
Para pengawal itu mula-mula tidak tahu maksudnya. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar isyarat yang diberikan oleh Kasadha.
Medan itu dengan cepat telah bergejolak. Para prajurit Pajang telah berusaha mengacaukan arena pertempuran itu. Kemudian merekapun segera berusaha untuk menghindar.
Dengan perhitungan dan sikap prajurit yang terlatih, maka para prajurit Pajang itu telah berusaha menarik diri dan mendekati sebuah pategalan yang menjadi rimbun oleh pepohonan.
Prajurit Mataram tidak dapat membiarkan pasukan lawan itu menjauh. Namun dengan kesadaran bahwa pasukan itu tentu akan meninggalkan medan, maka pasukan Mataram telah berusaha untuk mengurungnya.
Namun para prajurit Pajang lebih dahulu mencapai pategalan itu. Demikian mereka memasuki dinding pategalan yang terbuat dari bambu yang mudah dikoyakkan, maka pasukan itupun segera tertebar dan seakan-akan telah ditelan oleh pepohonan.
Prajurit Mataram memang berusaha untuk memburunya. Tetapi prajurit Pajang telah memanfaatkan selain pepohonan juga gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman palawija yang tumbuh di pategalan itu.
Dengan demikian, maka para prajurit Pajang itu dengan latihan-latihannya yang mapan telah berhasil melepaskan diri dari lawan-lawan mereka. Sementara orang-orang Mataram agaknya telah dikacaukan oleh para pengawal Kademangan Randukerep yang juga menjadi kebingungan.
Untuk beberapa saat para prajurit Pajang masih menyusuri pategalan yang panjang itu sambil berlari-lari untuk menyelamatkan diri. Kemudian, mereka telah memencar dan seakan-akan hilang begitu saja. Sebuah parit yang agak besar, ternyata telah memberikan jalan kepada para prajurit Pajang. Parit yang terletak di antara tanggul yang agak dalam itu, memanjang menyilang pategalan. Di sebelah menyebelahnya ditumbuhi oleh pring ori yang lebat. Sedikit celah-celah di antara rumpun-rumpun pring ori itu merupakan pintu yang banyak menyelamatkan para prajurit Pajang. Mereka terjun ke balik tanggul kemudian memencar ke kedua arah. Sementara yang lain meloncat naik tanggul di seberang.
Para pengawal Kademangan Randukerep tidak dapat berbuat setangkas itu. Karena itu, maka sebagian besar dari mereka tidak sempat melepaskan diri dari tangan para prajurit Mataram.
Namun seperti yang dikatakan oleh Kasadha, prajurit dan pengawal dari Mataram itu, masih berusaha untuk berbuat lebih baik atas para pengawal Kademangan Randukerep.
Dalam pada itu, dengan susah payah para prajurit Pajang telah menghilang. Prajurit Mataram yang mengejar merekapun menjadi ragu-ragu. Mereka sama sekali kurang menguasai medan. Orang-orang Pajang yang pernah berada di Kademangan itu untuk beberapa lama nampaknya lebih mengenal lingkungan itu sehingga mereka mendapat kesempatan lebih baik dari orang-orang yang mengejarnya.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa Pajang tidak kehilangan prajurit-prajuritnya yang menjadi korban di medan perang atau tertangkap saat mereka melarikan diri. Namun jumlah itu agaknya terhitung tidak terlalu besar dibandingkan dengan kesulitan yang dialami oleh para prajurit Pajang itu.
Sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, maka Matarampun telah memanggil prajurit dan para pengawalnya. Dengan geram Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala telah memerintahkan prajuritnya untuk berkumpul. Namun Ki Rangga keduanya telah memerintahkan sebagian dari prajuritnya untuk mengawasi para tawanan, yang sebagian besar adalah para pengawal Kademangan, sedangkan yang lain meneliti keadaan medan.
"Aku dan Adi Rangga Sanggabantala akan mencoba melacak jejak mereka," berkata Ki Rangga Selamarta sambil menunjuk duapuluh lima orang di antara mereka. Lalu katanya, "Rawat mereka yang terluka dan kumpulkan mereka yang gugur di peperangan itu."
Sejenak kemudian kedua orang perwira dari Mataram itu telah meninggalkan pategalan. Mereka mencoba meneliti jejak orang-orang Pajang yang semula berlari bercerai berai. Namun akhirnya beberapa orang di antara mereka telah berkumpul. Nampaknya mereka menjadi sangat tergesa-gesa, karena mereka tidak sempat menghindari hadirnya jejak mereka atau berusaha menghapusnya.
Karena itu, maka dengan hati-hati prajurit Mataram itu telah maju terus.
Dalam pada itu, mataharipun menjadi semakin rendah. Kedua orang perwira Mataram itu agaknya telah melupakan perintah untuk segera pergi ke Prambanan karena Mataram ternyata tidak mampu mengimbangi jumlah prajurit yang dipersiapkan oleh Pajang di sebelah menyebelah Kali Opak itu.
"Jika matahari turun dan hilang di balik bukit, maka kita akan kehilangan orang-orang Pajang itu," berkata Ki Rangga Selamarta.
Karena itu, maka usaha untuk mengikuti jejak itupun semakin dipercepat.
Tetapi mereka tidak segera menemukan orang-orang yang mereka cari. Jejak yang nampaknya telah menjadi semakin jelas itupun telah menjadi kabur lagi. Sehingga mereka harus meneliti untuk beberapa lama agar mereka tidak menemukan arah yang salah.
Beberapa orang prajurit Mataram justru telah menjadi jemu mencari jejak orang-orang Pajang itu. Tetapi ketika harapan untuk menemukan mereka itu menjadi menipis, tiba-tiba saja mereka telah menemukan jejak yang lebih jelas lagi, sehingga para prajurit Mataram itu telah terpancing untuk meneruskan usaha mereka menemukan para prajurit Pajang.
Tetapi mereka memang tidak dapat mencegah matahari turun semakin rendah. Langitpun menjadi semakin merah. Meskipun tidak selembar awanpun yang terbang, namun cahaya senja akhirnya mulai turun pula.
"Kita kehilangan kesempatan," berkata Ki Lurah Sanggabantala.
Ki Lurah Selamarta menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berkata, "Lihat, ranting-ranting patah."
"Mereka ada di sekitar tempat ini, Mereka tentu menuju ke Alas Trawangan di sebelah gumuk itu. Jika saja kita menemukan mereka di luar hutan," berkata Ki Rangga Selamarta.
"Bagaimana jika mereka telah masuk hutan?" bertanya salah seorang prajurit Mataram.
"Kita tidak dapat menyusulnya. Dalam gelapnya malam di dalam hutan, sulit bagi kita untuk dapat bertempur dengan baik. Karena itu, maka selagi masih belum terlalu gelap, kita susul mereka. Mungkin mereka masih ada di balik bukit kecil itu sebelum mereka menghilang di balik gumuk masuk ke Alas Trawangan," berkata Ki Rangga Selamarta.
Dengan hati-hati prajurit Mataram itu telah bergerak melingkari bukit kecil. Mereka tidak ingin kehilangan sekelompok prajurit Pajang yang akan dapat memperkuat kedudukan Pajang di Prambanan, atau mengganggu kedudukan mereka di Kademangan itu, meskipun mereka mendapat perintah untuk bergabung dengan para prajurit Mataram di seberang sebelah Barat Kali Opak.
Sementara itu di balik bukit, sekelompok prajurit Pajang memang sedang beristirahat. Mereka sedang menunggu beberapa orang kawan mereka yang belum datang. Dari tiga kelompok prajurit Pajang, baru terkumpul dua puluh orang.
"Mungkin mereka sudah tertangkap atau telah terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki di medan. Gugur misalnya," berkata salah seorang pemimpin kelompok.
"Baiklah," berkata Kasadha, "jika demikian, maka kita akan masuk saja ke dalam hutan. Menurut keterangan Ki Lurah Dipayuda, kawan-kawan akan berusaha untuk memasuki Alas Trawangan. Jika kita berhasil berhubungan dengan Ki Lurah Dipayuda, maka kita akan segera dapat menentukan langkah lebih jauh."
"Marilah. Sebaiknya kita menunggu beberapa lama," berkata pemimpin kelompok yang seorang lagi.
Kasadha mengangguk-angguk. Di depan mereka memang terdapat hutan yang disebut-sebut. Alas Trawangan. Hutan yang tidak begitu lebat dan tidak begitu besar.
Kasadha dan prajurit-prajurit Pajang yang lainpun telah bersiap-siap untuk memasuki hutan itu. Mereka dengan letih melangkah berurutan melintasi padang perdu yang sempit.
Tetapi mereka terkejut ketika dalam keremangan senja mereka melihat sekelompok prajurit muncul dari balik bukit. Sekelompok prajurit yang ternyata bukan prajurit Ki Lurah Dipayuda. Tetapi mereka adalah prajurit Mataram yang dipimpin oleh Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala.
Kasadha tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus berusaha untuk mempertahankan diri. Bertempur sambil menarik diri mendekati hutan yang sudah berada di hadapan mereka.
Tetapi dengan demikian mereka justru berada di padang perdu. Meskipun tidak terlalu luas, namun dengan demikian maka para prajurit Mataram akan mendapat banyak kesempatan untuk menghancurkan mereka.
Namun para prajurit Pajang itu tidak mempunyai pilihan. Dengan sisa tenaga yang ada maka mereka telah bersiap menghadapi prajurit Mataram yang berlari-lari dan berusaha memotong jalan antara para prajurit Pajang itu dengan Alas Trawangan. Meskipun demikian Kasadha dan para prajurit itupun masih juga berusaha untuk bergeser semakin mendekati hutan itu.
Ki Rangga Selamarta yang semakin berada di ujung prajurit-prajurit Mataram itupun kemudian berkata, "Menyerahlah. Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi. Seandainya kalian tidak menyerah sekarang, maka akan datang saatnya Pajang dihancurkan oleh Mataram. Dan kalian akan mengenali nasib buruk untuk yang kedua kalinya."
Tetapi Kasadha menjawab dengan tegas, "Kami adalah prajurit-prajurit yang telah mengucapkan prasetya. Karena itu, seandainya kami harus mengalami nasib buruk seribu kalipun kami tidak akan mengeluh."
"Bagus," berkata Ki Rangga Selamarta, "kau memang benar-benar prajurit pilihan. Kau masih sangat muda. Namun kau telah memiliki ilmu yang tinggi, melampaui lurahmu Ki Dipayuda. Prajurit-prajurit seperti kalian itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh Mataram."
"Jangan membujuk. Hatiku tidak selemah batang ilalang yang tunduk kemana angin bertiup," jawab Kasadha.
Tetapi Ki Rangga Selamarta tertawa. Katanya, "Aku tidak membujukmu. Tetapi aku memujimu dengan tulus sebagai sesama prajurit. Akupun harus mengaku bahwa aku sendiri tidak akan dapat mengalahkanmu. Tetapi sebagaimana kau lihat, orang-orangku lebih banyak dari orang-orangmu."
"Jumlah kita hampir sama," jawab Kasadha, "sementara itu hati kami telah tertempa oleh keadaan terakhir dalam hubungannya dengan hadirnya Mataram. Karena itu, jangan mimpi untuk dapat memaksa kami menyerah."
"Kalian akan melarikan diri ke dalam hutan menjelang malam hari" Kalian lepas dari tangan kami, tetapi segera di antara kalian akan mati dipatuk ular dan diterkam binatang buas," berkata Ki Rangga Selamarta.
Tetapi jawab Kasadha, "saat aku mengikuti pendadaran, maka syaratnya adalah menangkap seekor harimau seorang diri hanya dengan senjata pisau belati. Demikian juga kawan-kawanku yang lain sehingga dengan demikian, harimau sama sekali bukan hantu bagi kami."
"Bagus," geram Ki Rangga, "bersiaplah. Agaknya korban masih harus jatuh disini."
Kasadha dan para prajurit Pajangpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mereka sadar, bahwa mereka akan menghadapi perjuangan yang sangat berat untuk mempertahankan hidup mereka.
Tetapi mereka telah menyadari bahwa kemungkinan yang demikian dapat terjadi sejak mereka memasuki dunia keprajuritan. Bahkan orang-orang yang melakukan pendadaran atas merekapun berulang kali bertanya, apakah mereka berani menghadapinya.
Kini mereka benar-benar dihadapkan pada kemungkinan yang paling pahit dalam perjuangan mereka sebagai seorang prajurit dan sebagai seseorang yang sedang mempertahankan hidupnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran telah terjadi lagi. Sekali lagi Kasadha harus melawan salah seorang perwira Mataram yang berilmu tinggi. Sekali lagi Kasadha menunjukkan bahwa iapun memiliki ilmu yang, mampu mengimbangi kemampuan ilmu Ki Rangga Selamarta.
Namun Ki Rangga Sanggabantala tidak mempunyai lawan yang seorang diri mampu melawannya. Karena itu, maka ia telah mengikat tiga orang lawan sekaligus.
Dengan demikian maka keseimbanganpun menjadi semakin berat sebelah. Selain jumlahnya memang lebih sedikit, Mataram mempunyai dua orang yang berilmu tinggi.
Tetapi prajurit-prajurit Pajang yang terlatih itu telah membuat gerakan-gerakan yang memang agak mengacaukan medan untuk mengurangi tekanan yang semakin terasa berat. Sementara itu Kasadha telah memimpin kawan-kawannya untuk mendekati Alas Trawangan.
Namun agaknya orang-orang Mataram berusaha untuk mendesak para prajurit Pajang justru menjauhi Alas Trawangan itu.
Dengan demikian maka keadaannya menjadi semakin sulit bagi para prajurit Pajang. Untunglah bahwa malam segera turun, sehingga pertempuran menjadi sedikit lamban. Para prajurit Pajang berkesempatan untuk membuat geseran-geseran yang menyulitkan lawan-lawan mereka, karena masing-masing tidak terikat dengan lawan tertentu kecuali Kasadha dan tiga orang prajurit Pajang yang harus menahan Ki Rangga Sanggabantala.
Tetapi beberapa saat kemudian tekanan prajurit-prajurit Mataram benar-benar sulit untuk ditahan. Sementara itu para prajurit Pajang pun tidak mampu lagi mencari jalan untuk memasuki Alas Trawangan.
Kasadha memang menjadi cemas. Bukan tentang dirinya sendiri. Ia masih merasa sanggup menghadapi lawannya, bahkan seandainya ia harus bertempur sampai pagi. Tetapi kawan-kawannya, bahkan kedua pimpinan kelompok yang lain, akan dapat mengalami kesulitan yang parah.
Ternyata bahwa Ki Rangga Selamarta sendiri tidak mau terlalu lama bertempur melawan Kasadha. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan anak muda itu. Karena itu, maka Ki Rangga itupun telah memberikan isyarat kepada seorang prajurit pilihan untuk membantunya melawan prajurit muda dari Pajang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Kasadha menggeram ketika lawannya bertempur berpasangan. Tetapi ia tidak akan menyerah apapun yang terjadi atasnya.
Perlahan-lahan Kasadha semakin terhimpit oleh pertempuran itu. Ia terdesak oleh gabungan kekuatan dan kemampuan kedua lawannya, sementara kawan-kawannyapun tidak lagi mampu menahan serangan-serangan yang semakin menekan.
Beberapa orang prajurit Pajang bahkan seakan-akan telah menjadi putus-asa. Namun karena itu, maka merekapun telah mengerahkan sisa tenaga yang ada untuk melawan setiap serangan. Bahkan rasa-rasanya mereka tidak lagi mengekang diri, sehingga dengan demikian kesannya justru menjadi semakin garang.
Namun para pemimpin prajurit Mataram dapat membaca gejolak hati orang-orang itu. Karena itu, maka Ki Rangga Sanggabantalapun kemudian berteriak, "Masih ada kesempatan untuk menyerah. Kalian tidak perlu menjadi putus asa dan kehilangan pertimbangan nalar. Menyerahlah."
"Tidak," terdengar seorang prajurit Pajang berteriak, "bunuh kami semuanya."
Ki Rangga Sanggabantala tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur terus. Agaknya prajurit-prajurit Pajang adalah prajurit yang tidak saja terlatih kewadagannya. Merekapun bersikap keras sebagaimana seorang prajurit.
Bagaimanapun juga kedua orang Rangga itu harus mengakui, bahwa prajurit-prajurit muda dari Pajang itu justru lebih berbahaya dari prajurit-prajurit yang telah berpengalaman. Darah muda di dalam tubuh para prajurit itu, sangat mempengaruhi keputusan yang mereka ambil.
Namun dalam pada itu, selagi mereka berada dalam kesulitan yang memuncak, tiba-tiba saja dari balik bukit, dalam keremangan ujung malam, muncul sekelompok kecil prajurit. Ternyata mereka adalah prajurit Pajang yang berhasil menyingkir dari medan di sisi Barat dan seperti yang dipesankan, mereka akan berkumpul di Alas Trawangan.
Demikian sekelompok prajurit itu melihat pertempuran, maka dengan serta-merta merekapun telah mempercepat langkah mereka.
"Setan manakah yang hadir itu?" Ki Rangga Selamarta menggeram.
Ketika kelompok itu menjadi semakin dekat, maka semakin jelaslah bagi mereka yang sedang bertempur, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Pajang.
"Kasadha," terdengar pemimpin kelompok yang baru datang itu menyebut nama.
"Kau, Bharata," Kasadha menjawab.
Bharata tidak membuang waktu lagi. Ia datang bersama tujuh orang prajuritnya. Di medan di sisi Barat ia telah kehilangan dua orang prajurit, yang belum jelas keadaannya. Apakah mereka terbunuh di pertempuran, atau mereka terluka dan tidak sempat menghindar atau tertangkap.
"Bertahanlah Kasadha," teriak Bharata.
Para prajurit Pajang yang telah menjadi putus asa itupun serasa telah bangkit kembali. Mereka melihat se cercah harapan bersama kehadiran sekelompok kawan-kawannya. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, namun kehadiran mereka tentu akan dapat membantu meringankan tekanan yang semakin terasa menghimpit. Bahkan satu dua orang di antara mereka telah tersentuh senjata orang-orang Mataram.
Sejenak kemudian, maka Bharatapun telah bergabung dengan ketiga kelompok yang lain, tetapi yang sudah kehilangan hampir sepuluh orang. Bharata dengan cepat telah menempatkan diri melawan Ki Rangga Sanggabantala. Anak muda itu ternyata sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan sekali lagi Ki Rangga membentur kemampuan yang tidak teratasi.
Kedua belah pihak kemudian telah mengerahkan kemampuan mereka. Para prajurit Pajang betapapun letihnya, namun mereka masih mampu mengimbangi kekuatan prajurit pilihan dari Mataram itu. Para prajurit Pajang tidak lagi harus bertempur dalam kelompok-kelompok kecil untuk menghindari kemungkinan bertempur melawan dua atau bahkan tiga orang sebagaimana sebelumnya.
Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala menjadi sangat marah atas kehadiran sekelompok pasukan Pajang. Namun keduanyapun dengan cepat menangkap kemungkinan berikutnya. Agaknya orang-orang Pajang memang telah bersepakat untuk berkumpul di Alas Trawangan.
Karena itu, maka orang-orang Mataram itu tidak ingin terjebak oleh kedatangan-kedatangan prajurit Pajang berikutnya. Ki Rangga tidak mau lagi melihat kegagalan sebagaimana pernah terjadi di Kademangan Randukerep, karena beberapa orangnya telah tertangkap.
Kedua orang Rangga itu tidak tahu, apa yang segera dilakukan oleh Ki Tapajaya. Jika Ki Lurah Tapajaya langsung memasuki induk Kademangan, maka masih ada kemungkinan mereka menemukan kawan-kawan mereka yang telah tertangkap bersama beberapa orang tledek.
Tetapi mungkin Ki Tapajaya sedang memburu orang-orang Pajang yang meninggalkan medan di sisi Barat.
Karena itu, maka Ki Rangga Selamarta telah mengambil keputusan tersendiri. Sebelum orang-orang Pajang yang lain datang ke Alas Trawangan, maka Ki Rangga berniat untuk menghindari pertempuran yang lebih sulit. Ia tidak tahu pasti, apakah Ki Tapajaya dan pasukannya juga akan datang ke hutan itu.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Ki Rangga Selamarta telah memberikan isyarat. Yang kemudian menghindari medan adalah pasukan Mataram.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, para prajurit Mataram itu telah berusaha melepaskan diri dari pertempuran. Merekalah yang kemudian bergeser mendekati hutan, dan kemudian menghilang ke dalamnya.
Karena kekuatan kedua pasukan itu tidak berselisih banyak, maka para prajurit Mataram itu tidak banyak mengalami kesulitan untuk menarik diri. Namun sebelum mereka menghilang, Ki Rangga Selamarta sempat meneriakkan beberapa perintah sandi yang diulang oleh Ki Rangga Sanggabantala.
Para prajurit Pajang sama sekali tidak mengerti bunyi perintah sandi itu. Hanya prajurit Mataram sajalah yang mengetahui maksudnya sehingga mereka akan dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, Kasadha dan Bharata telah memerintahkan agar para prajuritnya tidak memburu lawan-lawan mereka ke dalam Alas Trawangan. Meskipun mereka sebagaimana perintah dan pesan Ki Lurah Dipayuda untuk bertemu kembali di Alas Trawangan di belakang gumuk kecil, namun ternyata bahwa orang-orang Mataram itu justru telah lebih dahulu masuk ke dalamnya.
"Kita tidak dapat mengejar mereka," berkata Bharata, "banyak kesulitan akan dapat kita alami. Merekalah yang menunggu kita di dalam, sehingga setiap langkah kita akan dapat mereka ketahui lebih dahulu. Dengan demikian maka mereka mendapat kesempatan pertama untuk menyerang kita di dalam kegelapan dan dari balik pepohonan."
"Ya," sahut Kasadha, "kita harus mengambil langkah lain."
"Kita akan berada di sebelah gumuk itu. Kita harus memberitahukan kepada orang-orang yang datang kemudian, bahwa tempat ini sudah diketahui oleh prajurit Mataram," berkata Bharata.
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Namun dengan nada rendah ia berkata, "Kau sudah menyelamatkan jiwa kami Bharata."
"Ah, tidak. Kita bersama-sama bertempur menghadapi lawan. Kita saling menyelamatkan, saling melindungi dan kita saling tergantung yang satu dengan yang lain dalam keadaan seperti ini."
"Jika kau tidak datang bersama kelompokmu, maka kami tentu sudah dibantai oleh orang-orang Mataram itu," desis Kasadha.
"Jika kalian tidak lebih dahulu berada di tempat ini, maka kamilah yang akan terbantai disini," jawab Bharata. Tetapi katanya kemudian, "Sudahlah. Sekarang kita memperhitungkan langkah kita selanjutnya. Apakah yang sebaiknya harus kita lakukan dalam keadaan seperti ini."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, kedua orang pemimpin kelompok yang lainpun telah berdiri pula termangu-mangu. Seorang di antara mereka masih harus berdesis menahan sakit, karena ujung senjata lawan telah menyentuh kulitnya.
Sejenak kemudian, maka para prajurit Pajang itu telah bergeser justru ke sebelah bukit kecil. Bharata telah memerintahkan dua orang prajuritnya untuk mengawasi di sebelah gumuk yang lain. Sementara Kasadhapun telah memerintahkan dua orangnya pula untuk bersama-sama dengan kedua orang prajurit Bharata.
"Kalian hanya mengawasi keadaan. Jika datang bahaya, kalian agar segera memberitahukan kepada kami. Tetapi jika yang datang kawan-kawan kami, maka kalian harus mengarahkan mereka agar mereka tidak terjerumus masuk ke dalam hutan. Kita tidak tahu, apakah para prajurit Mataram akan tetap berada di hutan itu atau tidak," berkata Bharata.
Dengan demikian maka empat orang telah bergeser melingkari bukit kecil itu. Kemudian mereka mencari tempat terlindung untuk mengamati keadaan.
"Kita dapat melakukan bergantian," berkata salah seorang di antara mereka.
"Ya. Siapakah yang akan melakukannya dahulu" Seorang dari kelompokku, seorang kelompokmu. Nanti kita akan berganti tugas," berkata yang lain.
Keempat orang itu sependapat. Mereka memang sangat letih, sehingga kemudian dua orang di antara mereka beristirahat. Mereka tidak akan tidur atau tertidur. Tetapi mereka hanya ingin mengendorkan ketegangan dengan meletakkan tanggung jawab kepada kedua orang yang lain bergantian.
Dengan demikian, maka bergantian mereka dapat melupakan mimpi buruk yang baru saja mereka alami. Sambil bersandar batu-batu padas dua orang di antara mereka duduk untuk melepaskan ketegangan syaraf mereka. Mereka sempat melihat bintang-bintang yang bergayutan di langit. Merekapun sempat menarik nafas dalam-dalam menghirup udara yang sejuk.
Tetapi ternyata gangguan lain mulai menyentuh mereka justru karena mereka beristirahat. Perut mereka mulai merasa lapar.
"Tetapi aku tidak dapat menangkap dan menelan seekor katak hidup-hidup," berkata seorang di antara mereka tiba-tiba saja.
"Apa?" bertanya kawannya.
"Lapar," jawabnya terus-terang.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berdesis sambil tersenyum, "Aku juga lapar. Tetapi aku malu mengatakannya."
Orang yang pertama mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa. Berdua mereka akhirnya tertawa pula.
Dua orang kawannya yang bertugas mengamati keadaan berpaling mendengar keduanya tertawa. Seorang di antaranya berkata, "Kenapa kalian tertawa?"
Salah seorang dari keduanya menjawab di sela-sela suara tertawanya yang tertahan, "Kami lapar."
Kedua orang yang sedang bertugas itu saling berpandangan. Namun akhirnya keduanyapun tertawa pula.
Namun, demikian mereka terdiam, maka merekapun segera melihat sesuatu di padang perdu di hadapan mereka dalam kegelapan malam. Namun karena udara terbuka dan langit yang cerah, maka nampak remang-remang sebuah iring-iringan.
"Apakah mereka orang-orang Pajang atau orang-orang Mataram yang mencari kawan-kawannya," desis seorang di antara mereka yang berjaga-jaga itu.
Bukan hanya dua orang yang kemudian memperhatikan iring-iringan itu. Tetapi keempat orang itu bersama-sama berjongkok di balik gerumbul untuk mengawasi orang-orang yang baru datang itu.
Namun ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka mereka yakin, bahwa mereka adalah orang-orang Pajang yang terdesak dari medan sehingga mereka berusaha untuk melepaskan diri sebagaimana perintah Ki Lurah Dipayuda.
Karena itu, maka orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul itupun telah bangkit berdiri dan melangkah keluar dari persembunyian mereka.
Iring-iringan itu terkejut. Beberapa orang segera meloncat sambil mengacukan senjata mereka.
Namun seorang di antara empat orang itupun segera mengucapkan kata-kata sandi.
"Kalian sudah disini?" bertanya salah seorang-pemimpin kelompok.
Orang yang bertugas itupun segera memberitahukan dengan singkat, apa yang telah terjadi dan mempersilahkan iring-iringan itu menemui Kasadha atau Bharata.
"Mereka ada di sebelah gumuk ini. Biarlah dua orang kawan kita mengantarkan," berkata prajurit itu.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah diantar untuk menyatukan diri dengan prajurit-prajurit yang lain. Namun yang datang itu baru sebagian-sebagian. Sementara Ki Lurah Dipayuda sendiri masih belum ada di antara mereka.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan Pajang yang terkoyak di peperangan itu sudah mulai berkumpul lagi sedikit demi sedikit. Bharata yang menyambut kawan-kawannya yang baru datang itu bertanya, "Bukankah kalian sudah lebih dahulu meninggalkan medan dari kami?"
"Ya. Tetapi kami tidak segera menemukan jalur jalan yang langsung menuju ke tempat ini," jawab kawannya itu.
Bharata mengangguk-angguk. Dalam gelapnya malam, maka kadang-kadang seseorang memang mengalami kesulitan menelusuri jalan yang masih belum terlalu biasa dilaluinya. Karena itu, maka agaknya para prajurit Pajang yang lainpun mengalami kesulitan yang serupa. Mungkin saat-saat mereka menghindar dari medan justru menuju ke arah yang lebih jauh dari Alas Trawangan.
"Baiklah," berkata Bharata kemudian, "sebaiknya kita menunggu disini. Tetapi ingat, sepasukan prajurit Mataram memasuki Alas Trawangan. Kita tidak tahu apakah mereka masih ada di dalam atau sudah bergeser dan keluar dari arah lain."
"Tetapi tentu bukan pasukan induk yang dipimpin oleh Ki Lurah Tapajaya," desis salah seorang prajurit.
Bharata menggeleng. Katanya, "Tidak. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang dipimpin langsung oleh Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala."
Prajurit-prajurit Pajang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa Ki Rangga berdua adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian maka merekapun harus mengakui bahwa Kasadha dan Bharata yang muda itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi pula, karena beberapa orang telah menyaksikan langsung bahwa keduanya mampu bertempur melawan Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala.
Untuk beberapa saat maka Bharata dan Kasadha telah memutuskan untuk tetap berada di tempat itu. Jika perlu, maka mereka akan berbicara dengan pemimpin-pemimpin kelompok yang ada untuk menentukan langkah berikutnya.
"Mudah-mudahan Ki Lurah Dipayuda segera datang," berkata Bharata.
Para prajurit Pajang itupun kemudian telah berpencar untuk beristirahat. Lima orang bertugas mengamati keadaan selain empat orang yang berada di balik bukit.
Namun mereka tidak perlu berjaga-jaga dengan berdiri tegak dan berjalan mondar-mandir. Mereka dapat saja duduk di belakang perdu. Namun mereka tidak boleh lengah.
Ternyata para prajurit Pajang itu memang menjadi letih dan lapar. Tetapi mereka sudah terlatih untuk mengalami kesulitan di medan sehingga karena itu, maka mereka masih mampu mengatasi keadaan itu.
Tetapi satu hal yang kemudian mereka yakini adalah, Kademangan Randukerep tentu sudah jatuh ke tangan orang-orang Mataram.
Namun malam itu, prajurit Pajang yang sempat meninggalkan medan telah berkumpul di sebelah bukit di depan Alas Trawangan itu.
Sebagian besar dari para prajurit yang beristirahat itu memang sempat tertidur selain mereka yang bertugas. Tetapi para pemimpin kelompok justru menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak dapat melarang para prajuritnya yang letih itu tidur di udara terbuka karena mereka menyadari, bahwa para prajurit itu telah menjadi letih dan lapar. Tetapi merekapun mengerti, bahwa di Alas Trawangan itu terdapat beberapa orang prajurit Mataram.
Para pemimpin kelompok itu memang menjadi cemas bahwa Ki Lurah masih juga belum datang. Selain Ki Lurah, masih ada juga pemimpin kelompok yang tertinggal bersama anak buahnya. Namun mereka menduga bahwa para prajurit yang belum datang itu tentu dalam kesibukan mengawal Ki Lurah Dipayuda.
"Kami bersama-sama meninggalkan medan," berkata Bharata, "bahkan aku termasuk yang terakhir. Aku masih sempat memancing beberapa kelompok lawan. Namun aku memang meninggalkan medan langsung ke arah bukit kecil itu. Sementara yang lain memencar ke arah yang berbeda-beda. Mungkin mereka harus melingkar agar tidak bertemu dengan Prajurit Mataram atau mereka telah melakukan satu perlawanan khusus terhadap orang-orang yang berhasil mengejar mereka."
Kasadha mengangguk-angguk. Memang banyak kemungkinan dapat terjadi dalam pertempuran seperti itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, maka seorang di antara mereka yang bertugas mengawasi keadaan di sebelah bukit telah melihat sekelompok prajurit yang datang. Mereka yakin bahwa mereka juga prajurit Pajang.
Beberapa orang pemimpin kelompok segera menyongsong mereka. Mereka berharap bahwa Ki Lurah Dipayuda ada di antara orang-orang itu.
Sebenarnyalah yang datang itu adalah sekelompok prajurit Pajang bersama Ki Lurah Dipayuda. Namun ternyata Ki Lurah Dipayuda telah terluka. Meskipun tidak terlalu parah, tetapi darah yang mengalir dari tubuhnya sudah terlalu banyak, sehingga karena itu, Ki Lurah memang menjadi lemah.
Dengan dibantu oleh beberapa orang prajurit, maka Ki Lurah telah dibawa ke sebelah bukit, di antara para prajurit yang letih. Namun kehadiran Ki Lurah ternyata telah membangunkan mereka yang sedang tertidur nyenyak.
Seorang yang memiliki kemampuan pengobatan dari antara prajurit Pajang, yang memang telah dipersiapkan mengikuti pasukan di Kademangan Randukerep itu, berusaha untuk segera memampatkan darah yang mengalir dari luka Ki Lurah Dipayuda itu.
Untuk beberapa saat orang yang mengobati Ki Lurah itu sibuk, sementara Ki Lurah telah memanggil para pemimpin kelompok untuk berkumpul. Di antara sepuluh orang pemimpin kelompok empat orang telah terluka. Seorang di antaranya parah. Namun oleh anak buahnya ia sempat diselamatkan dan tidak berselisih banyak waktunya dengan kedatangan Ki Lurah, pemimpin kelompok itupun telah sampai di tempat itu pula, serta mendapat pertolongan seperlunya.
"Kita menunggu perintah Ki Lurah," berkata Kasadha dengan nada berat, "apakah kita harus memasuki Alas Trawangan untuk mencari jejak prajurit-prajurit Mataram itu?"
Ki Lurah Dipayuda menggeleng. Katanya, "Tidak perlu. Kita tidak akan menemukan mereka. Mereka tentu sudah pergi. Aku tidak tahu apakah mereka akan kembali dengan pasukan yang lebih banyak atau tidak. Tetapi menurut perhitunganku, Ki Lurah Tapajaya tidak akan melakukannya."
"Kenapa?" bertanya Kasadha.
"Ternyata ia memang memberi kesempatan kepadaku untuk meninggalkan medan," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Tetapi Ki Tapajaya telah melukai Ki Lurah," desis Bharata.
"Bukan Ki Tapajaya," jawab Ki Lurah, "tetapi seorang pengawal dari Mataram yang lain. Ketika aku sedang bertempur dengan Ki Lurah Tapajaya, orang itu telah menyerang dengan serta-merta sehingga aku tidak sempat mengelak. Tetapi justru Ki Tapajaya telah memukul tengkuk orang itu sehingga pingsan. Aku memang tidak melihat isyarat. Tetapi dalam gerak mundur, aku masih sempat melihat Ki Lurah itu mencegah anak buahnya memburuku."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun ia berdesis, "Aku tidak melihat gerak mundur Ki Lurah."
"Kau memang berada di sisi lain," sahut Ki Lurah.
Bharata, Kasadha dahi para pemimpin kelompok itu memang menjadi bingung mendengar keterangan Ki Lurah Dipayuda tentang Ki Lurah Tapajaya. Namun Ki Lurah Dipayuda kemudian berkata, "Tapajaya adalah seorang perwira Pajang yang aku kenal dengan baik. Tetapi keadaan segera berubah, ketika Ki Lurah Tapajaya menyatakan diri menyeberang ke Mataram, karena ia memang tidak puas dengan keadaan Pajang di saat-saat terakhir. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat melupakan kehadiran kami bersama di Pajang. Itulah sebabnya, maka ia tidak sampai hati melihat aku terbunuh di saat aku menarik perhatian para prajurit Mataram di saat para prajurit Pajang menghindar dari medan yang menjadi semakin berat sebelah itu."
Para pemimpin kelompok dari prajurit Pajang itu termangu-mangu sejenak. Ternyata dengan jujur Ki Lurah Dipayuda mengakui bahwa justru Ki Lurah Tapajayalah yang telah menyelamatkannya.
Dengan nada rendah Ki Lurah Dipayuda berkata, "Tetapi aku tidak tahu apakah ia akan dapat berbuat seperti itu jika Ki Lurah Tapajaya berada bersama Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala."
Kasadhalah yang kemudian berdesis, "Kedua orang Rangga itu ada di dalam hutan sebelah. Tetapi kita tidak tahu apakah mereka sudah bergeser atau belum. Bahkan mungkin mereka akan datang dengan pasukan yang lebih besar lagi."
Ki Lurah Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita tidak akan dapat kembali memasuki Kademangan Randukerep. Di sisa malam ini kita harus menarik diri ke Kademangan yang masih kukuh berpihak kepada Pajang. Mungkin Kademangan itu sekarang justru terancam kekuatan Mataram di Randukerep, karena nampaknya kekuatan Mataram disini akan membuka jalur jalan dari arah Selatan."
"Jadi kita harus kemana Ki Lurah?" bertanya Bharata.
"Kita akan mundur dan membuat landasan baru di Kademangan Nglawang," jawab Ki Lurah Dipayuda.
"Kenapa di Nglawang?" bertanya salah seorang pemimpin kelompok, "kenapa tidak di Kademangan yang lebih dekat, misalnya Kademangan Traju?"
"Kita belum tahu pasti apa yang telah terjadi di Kademangan Traju selama ini. Mungkin pengaruh Mataram sudah terasa di Traju sebagaimana di Randukerep. Tetapi kita akan dapat meyakinkan diri bahwa Kademangan Nglawang masih tetap teguh berdiri di belakang Pajang. Kecuali jika Nglawang ditempuh dengan kekerasan oleh Ki Lurah Tapajaya dan kedua orang Rangga itu," berkata Ki Lurah.
Namun Bharata kemudian berdesis, "Tetapi keadaan Ki Lurah sendiri bagaimana?"
"Aku akan berjalan di antara kalian. Tolong, aku minta dibantu. Darahku sudah mulai pampat setelah mendapat pengobatan," sahut Ki Lurah.
Tetapi beberapa orang prajurit berkata, "Bagaimana jika kita buat usungan sederhana. Kita dapat memotong dahan-dahan pepohonan perdu. Barangkali dengan lulup batangnya kita dapat membuat tali."
Ki Lurah menggeleng sambil berdesis, "Tidak usah. Aku masih dapat berjalan. Kita akan mencari jalan yang paling aman menuju ke Kademangan Nglawang."
Ternyata Ki Lurah tidak menunggu terlalu lama. Setelah beristirahat sejenak setelah ia mendapat pengobatan sementara, maka ia telah memerintahkan pasukan itu untuk berangkat.
"Kita tidak dapat menunggu kawan-kawan kita yang lain. Mungkin mereka gugur di pertempuran, mungkin mereka terluka atau tertangkap," berkata Ki Dipayuda, "kita memang menyesal bahwa kita tidak dapat membantu mereka. Tetapi kita memang harus memilih yang terbaik yang dapat kita lakukan sekarang."
Para pemimpin kelompok memang sependapat. Karena itu, maka dalam keadaan yang letih, lapar dan beberapa orang terluka termasuk Ki Dipayuda, prajurit-prajurit Pajang itu seakan-akan merayap menyusuri jalan-jalan sempit menuju ke Kademangan Nglawang.
Mereka menyadari, bahwa perjalanan ke Nglawang cukup jauh, sehingga saat matahari terbit, mereka tentu masih belum dapat mencapai tujuan. Namun mereka tentu sudah berada di daerah yang masih dikuasai Pajang seutuhnya.
Ki Lurah Dipayuda memang menghindari Kademangan Traju yang diragukan, setelah Ki Lurah melihat keadaan Randukerep. Mereka justru telah melingkar dan menempuh jalan yang agak jauh.
Daya tahan Ki Lurah Dipayuda memang luar biasa. Beberapa orang yang terluka tidak separah Ki Lurah, hampir-hampir tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan meskipun mereka dibantu oleh dua orang. Tetapi Ki Lurah memerintahkan pasukan itu berjalan terus.
Ketika kemudian matahari terbit, maka segarnya sinar matahari pagi terasa menghangatkan tubuh mereka. Namun bagi beberapa orang di antara mereka sinar yang kemerah-merahan itu membuat mata mereka menjadi silau dan kemudian sakit. Justru karena mereka terlalu letih dan lemah.
Suasana padukuhan-padukuhan memang terasa sepi. Gema tentang pertempuran-pertempuran di Kademangan Randukerep nampaknya sudah menyebar sampai ke daerah yang luas, sehingga Kademangan-kademangan yang lainpun rasa-rasanya juga berada dalam suasana perang. Para penghuninya telah mempersiapkan diri untuk mengungsi jika memang diperlukan. Mereka sudah mengumpulkan harta mereka yang paling berharga, sehingga jika mereka setiap saat harus meninggalkan rumahnya, maka barang-barang yang paling berharga itu tidak tertinggal.
Dengan demikian, maka sawah-sawahpun dibiarkan terbengkalai. Mereka yang mendapat giliran air pada hari itu, tidak lagi dimanfaatkannya karena mereka menjadi ngeri dibayangi oleh peperangan yang mungkin akan dapat sampai ke Kademangan mereka.
Ternyata hal itu dianggap menguntungkan oleh para prajurit Pajang, karena tidak terlalu banyak orang yang melihat, bagaimana mereka mundur dari medan dalam keadaan yang parah.
Namun betapapun letih dan laparnya orang-orang Pajang itu, tetapi Ki Lurah Dipayuda memerintahkan agar mereka berhenti nanti di induk padukuhan di Kademangan Nglawang.
Beberapa orang prajurit yang terluka melangkah dengan kaki yang bagaikan digantungi timah. Satu dua orang tertinggal beberapa langkah dari kawan-kawannya. Sementara Bharata dan Kasadha membantu Ki Lurah Dipayuda yang lemah. Namun ternyata hati Ki Lurah itu benar-benar bagaikan baja.
Ketika matahari naik sepenggalah, maka mereka telah memasuki jalur jalan panjang yang menuju langsung ke Kademangan Nglawang tanpa melalui Kademangan yang lain lagi. Bulak di hadapan mereka demikian luasnya sehingga seakan-akan mereka tidak dapat melihat tujuan mereka yang berada di seberang bulak itu. Sementara itu panas matahari semakin lama terasa semakin panas menggigit kulit.
Tetapi mereka harus menempuh jalan panjang itu.
Untunglah bahwa di sebelah menyebelah jalan, di atas tanggul parit, banyak terdapat pepohonan yang dapat menjadi pelindung bagi mereka yang berjalan menyusuri bulak itu. Beberapa jenis pohon tumbuh. Terbanyak di antaranya adalah pohon-pohon turi. Di beberapa tempat memang tumbuh pohon gayam yang lebih besar dari pohon-pohon turi. Bahkan nampak dua batang pohon randu alas raksasa yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan di tengah-tengah bulak itu.
Beberapa orang yang hampir tidak mampu lagi berjalan, telah minta ijin untuk membasahi kepala mereka dengan air yang mengalir di parit di pinggir jalan itu. Air parit yang ternyata sangat jernih itu.
Ki Lurah Dipayuda tidak melarangnya. Namun ia memerintahkan untuk dilakukannya dengan cepat, agar mereka segera sampai di Kademangan yang dituju.
"Jika pasukan Mataram berhasil menyusul kita di tengah-tengah bulak ini, maka kita semuanya akan ditumpas atau harus menyerah," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Rahasia Kincir Hantu 2 Pendekar Rajawali Sakti 154 Pangeran Dari Kegelapan Bloon Cari Jodoh 21
^