Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 26

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 26


Dengan diam-diam Bharata berusaha mendekati rumah yang nampaknya masih terang. Di dalamnya seseorang sedang melagukan tembang dengan suara yang lepas menggelepar di sepinya malam.
Namun firasat anak muda yang sangat peka itu telah membuatnya semakin berhati-hati. Rasa-rasanya padukuhan kecil itu tidak sesepi yang nampak oleh matanya.
Dari satu halaman, Bharata meloncati dinding ke halaman yang lain. Ia berusaha mendekati rumah itu tanpa melalui jalan padukuhan betapapun sepinya. Apalagi melewati gardu yang berisi anak-anak muda yang dengan segan berjaga-jaga.
Beberapa saat kemudian maka Bharata telah berada di halaman rumah di sebelah rumah yang menjadi sasarannya. Untuk beberapa saat ia menunggu. Namun kemudian ia telah meloncati dinding itu pula dan langsung mencari tempat menunggu yang terlindung dedaunan perdu di halaman samping.
Dengan saksama ia memperhatikan halaman itu. Ternyata halaman itu nampak sepi. Tidak terdengar suara lain kecuali suara tempat yang memancar dari dalam rumah itu.
Karena itu, maka Bharatapun telah bergeser pula mendekati dinding rumah itu.
Suara tembang itu dari kejauhan terdengar lembut dan menyentuh perasaan. Ngelangut dan melontarkan getaran yang rasa-rasanya bagaikan memukau. Tetapi ketika Bharata menjadi semakin dekat dengan dinding rumah itu, suara tembang itu terdengar terlalu keras. Agaknya orang yang melagukan tembang itu memang dengan sengaja berlagu dengan suara yang keras sekali.
Namun dengan demikian Bharata menjadi semakin ingin tahu. Apakah sekedar kebiasaan atau ada maksud-maksud tertentu dengan suara yang seakan-akan melampaui takaran orang melagukan tembang itu.
Ketika kemudian Bharata melekatkan diri pada dinding rumah itu, maka ia telah mendengar suara yang lain. Suara orang-orang yang sedang berbincang.
Menurut pengamatan Bharata, ternyata di samping orang yang melagukan tembang yang ngelangut di malam hari itu, ada beberapa orang lain yang sedang berbincang. Bahkan meskipun tidak terdengar jelas, tetapi agaknya orang-orang itu tengah berbincang tentang hal yang penting dan bersungguh-sungguh.
"Inikah isi padukuhan kecil ini?" bertanya Bharata di dalam hatinya.
Sementara itu ia menunggu orang yang membaca tembang itu sampai pada akhir bait. Ia akan berhenti sejenak sebelum memasuki bait berikutnya.
Ternyata usaha itu ada juga hasilnya. Sesaat, ketika orang itu berhenti berlagu, sementara menunggu jatuhnya irama untuk mulai dengan bait berikutnya, maka Bharata mendengar salah seorang di antara orang yang ada di dalam rumah itu berkata, "Nampaknya para pemimpin prajurit Pajang di Kademangan ini cukup sabar. Karena itu, kitapun tidak tergesa-gesa."
Tetapi Bharata tidak mendengar kata-kata berikutnya dengan jelas, karena orang yang membaca kidung itu telah mulai lagi dengan bait berikutnya. Lontaran suaranya yang memang baik dan keras itu, dari kejauhan memang sangat mengasyikkan. Tetapi dari jarak yang begitu dekat, Bharata merasa suara itu bagaikan mengguncang selaput telinganya.
Namun orang-orang yang ada di dalam rumah itu dapat juga berbicara oleh suara tembang yang keras itu.
Tetapi Bharata tidak tergesa-gesa. Ia masih mempunyai waktu sampai saatnya ayam jantan berkokok lewat tengah malam. Karena itu, maka ia justru duduk bersandar dinding meskipun tetap berhati-hati.
Ketika bait yang satu itu habis pula, maka Bharata telah mendapat kesempatan sedikit lagi untuk mendengarkan percakapan mereka. Bahkan orang yang sedang membaca kidung itupun telah ikut pula berbicara beberapa kalimat.
Bharata memang tertarik sekali. Karena itu, maka ia telah memperbaiki duduknya sehingga telinganya seakan-akan telah melekat dinding rumah itu.
Namun pembicaraan itu ternyata sudah selesai. Seorang di antara mereka berkata, "Sudahlah. Kita masih mempunyai kesempatan. Aku akan pulang."
"Aku bersamamu. Aku akan tidur di rumahmu," berkata seorang yang lain.
Bharata mengerutkan keningnya. Ketika ia mendengar orang-orang yang ada di dalam rumah itu mulai bergerak, maka iapun telah bergeser pula dan berlindung di balik pohon-pohon perdu.
Demikian terdengar gerit pinta, maka Bharatapun berusaha untuk dapat mengamati mereka. Sementara itu suara tembang itupun telah beralun pula di gelapnya malam.
Yang meninggalkan rumah itu memang agak mengejutkan Bharata. Tidak hanya dua orang seperti diduganya. Tetapi ternyata empat orang.
Dengan hati-hati Bharata bergeser dalam kegelapan. Ia telah mendahului keluar dari halaman lewat dinding di halaman samping. Kemudian berusaha mendahului keempat orang yang keluar dari dalam rumah itu dan meloncat ke seberang jalan. Dari belakang dinding di seberang jalan itulah, Bharata mengikuti keempat orang yang ternyata dengan berani menyusuri jalan tanpa ragu-ragu.
Nampaknya mereka tidak sedang melakukan tugas rahasia. Seakan-akan mereka baru pulang dari menghadiri keramaian atau orang yang sedang mempunyai keperluan.
"Mereka atau salah seorang dari mereka adalah orang-orang padukuhan ini," berkata Bharata di dalam hatinya.
Namun setangkas-tangkasnya Bharata, ternyata satu kali kakinya telah terantuk pohon perdu yang agak tinggi sehingga terguncang. Daunnya yang mencuat lebih tinggi dari batas dinding halaman agaknya telah menarik perhatian orang-orang yang sedang lewat itu, karena ternyata di antara mereka juga memiliki penglihatan yang tajam sehingga dapat melihat gerakkan itu.
Tetapi orang-orang itu tidak segera berbuat sesuatu.
Mereka masih menunggu perkembangan keadaan. Karena itu mereka masih saja berjalan dengan tenang di jalan induk padukuhan.
"Mereka mengerti benar, bahwa anak-anak muda yang meronda hanya berada di gardu saja," berkata Bharata di dalam hatinya. Tetapi kemudian, "Atau mereka memang sudah mengenal para peronda sehingga mereka tidak akan dicurigai sama sekali."
Dengan demikian Bharata berusaha untuk mengikutinya lebih jauh. Ia yakin bahwa salah seorang setidak-tidaknya adalah orang padukuhan itu.
Tetapi Bharata telah membuat kesalahan lagi. Di luar sadarnya tangannya telah berpegangan sebatang pohon yang juga lebih tinggi dari dinding halaman sehingga daunnya yang mencuat telah bergerak.
Orang-orang yang berada di jalan itu tidak menunggunya lagi. Dengan isyarat seorang di antaranya menyuruh kawan-kawannya untuk memasuki halaman itu dari sebelah menyebelah pohon yang bergerak itu, sementara seorang kawannya yang lain tetap berada di jalan, menunggu jika orang yang ada di balik dinding itu justru meloncat keluar.
Ternyata orang-orang itupun memiliki ketangkasan bergerak. Dengan cepat, tiga orang di antara mereka telah berloncatan memasuki halaman.
Bharata memang agak terkejut. Tetapi ia menyadari bahwa ia harus cepat berbuat sesuatu.
Karena itu, maka Bharatapun justru telah meloncat keluar halaman demikian orang-orang itu masuk. Namun ternyata di jalanpun masih ada seorang lagi. Karena itu, maka Bharata telah dengan tergesa-gesa berlari secepatnya ke arah yang lain.
Namun adalah di luar dugaannya. Seorang di antara mereka yang mengejarnya itu telah berteriak, "Pencuri, pencuri."
Seluruh padukuhan itupun menjadi gempar. Orang-orang yang sudah tidur nyenyak telah terbangun. Para peronda yang ada di gardupun telah berloncatan turun ke jalan.
Namun mereka tidak sempat berbuat sesuatu ketika tiba-tiba saja Bharata telah berlari cepat sekali di sebelah mereka yang sedang termangu-mangu.
"Pencuri," teriakan itu masih terdengar. Beberapa orang memang berusaha mengejar. Terutama empat orang yang keluar dari rumah orang yang sedang membaca tembang itu. Kemudian juga para peronda. Mereka telah ikut mengejar pula, sementara orang-orang lain yang baru keluar rumah mereka telah menyusul.
Tetapi Bharata yang terlatih itu mampu berlari cepat. Karena itu, maka dengan cepat Bharata telah berada di bulak.
Namun Bharatapun segera mengetahui pula bahwa empat orang yang mengejarnya di paling ujung itupun bukan orang kebanyakan. Ternyata mereka juga orang yang berilmu. Mereka mampu mengimbangi kecepatan berlari Bharata.
Sebenarnya Bharata dapat menghindari benturan kekerasan, karena ia yakin bahwa orang-orang itu tidak akan dapat mengejarnya. Tetapi hati anak muda itu telah tergelitik untuk mengetahui lebih banyak tentang orang-orang itu.
Karena itulah, maka Bharatapun telah berusaha untuk bersembunyi di balik pohon perdu. Melepas baju keprajuritannya dan memakainya dengan sengaja terbalik sehingga tidak nampak ciri-ciri keprajuritannya. Kemudian melepas ikat kepalanya dan menutupkannya di wajahnya. Ia memang mencemaskan kemungkinan bahwa seseorang akan dapat mengenalinya karena ia sering sekali berada di padukuhan itu. Bharata masih belum ingin mendapat keterangan yang lebih mendalam serta rahasia-rahasia yang tidak akan dapat diperolehnya dalam pakaian keprajuritannya.
Setelah Bharata merasa siap, maka iapun menunggu beberapa saat. Keempat orang yang merasa kehilangan buruannya itu masih saja berjalan hilir mudik.
"Ia tidak akan dapat pergi jauh dari tempat ini," berkata salah seorang dari mereka.
"Mungkin ia merangkak di pematang, sehingga kita kehilangan penglihatan kita atas orang itu," desis yang lain.
"Ia berlari sampai disini. Lalu seakan-akan hilang. Ia tentu bersembunyi di sekitar tempat ini," berkata yang lain lagi, "jika ia merangkak sekalipun, kita akan dapat melihat batang-batang padi itu berguncang. Meskipun malam hari, penglihatanku masih tetap baik."
Kawan-kawannya terdiam. Sementara itu para perondapun telah sampai ke tempat itu pula.
Bharata memang berpikir sejenak tentang orang-orangnya yang justru ada di bulak di sebelah lain dari padukuhan itu. Jika ia terlambat datang, maka mereka tentu akan mencarinya.
Tetapi Bharata tidak dapat mencegah keinginannya untuk menjajagi kekuatan yang sebenarnya dari padukuhan kecil itu. Karena itu, maka iapun dengan sengaja telah mengguncang pohon perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu agar orang-orang itu cepat menemukannya. Bharata memang yakin bahwa orang-orang itu akhirnya akan menemukannya juga setelah mereka benar-benar mencarinya di semak-semak di sekitar tempat itu. Tetapi tentu terlalu lama, sementara waktunya tidak banyak lagi.
Dengan demikian, maka hampir berbareng beberapa orang berteriak, "Ia ada disini."
Sebelum orang-orang itu sempat mengepung, maka Bharata telah meloncat dari balik semak-semak. Namun ia sudah tidak dapat dikenali lagi. Bajunya sudah terbalik dan wajahnya telah ditutupi dengan ikat kepalanya.
"Jangan biarkan orang itu lolos," geram salah seorang di antara mereka.
Tetapi Bharatapun telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, maka ketika orang-orang itu mendekatinya dari beberapa arah, maka Bharata mulai memancing serangan.
Dengan demikian, maka pertempuranpun segera telah terjadi. Sedikitnya delapan orang telah mengepung Bharata, sehingga karena itu, maka Bharata harus mempergunakan segenap ilmunya untuk melawan mereka.
Namun Bharata tahu benar kelemahan dari orang-orang yang mengepungnya itu. Yang mula-mula dijatuhkannya adalah anak-anak muda yang tentu tidak memiliki kemampuan ilmu sebagaimana Bharata yang sudah menempa diri di perguruannya.
Dalam waktu singkat, keempat orang peronda itu sudah merasa kesakitan sehingga mereka menjadi ragu-ragu untuk ikut melibatkan diri lebih jauh. Meskipun demikian, mereka masih juga berdiri termangu-mangu di seputar arena.
Yang kemudian bertempur adalah keempat orang yang semula berada di rumah orang yang sedang membaca tembang itu. Mereka ternyata memiliki kemampuan yang cukup, sehingga Bharatalah yang kemudian mulai terdesak.
"Ternyata ia bukan pencuri kebanyakan," berkata salah seorang dari mereka yang berusaha menangkapnya.
"Jangan sampai lolos," desis yang lain.
Sebenarnyalah keempat orang itu telah berhasil mendesak Bharata sehingga Bharata benar-benar mengalami kesulitan. Namun Bharata masih mengerahkan kemampuannya. Sebagai seorang yang telah dipersiapkan untuk menerima Ilmu tertinggi yang disebut Janget Kinatelon, maka Bharata ternyata masih dapat mengejutkan keempat lawannya.
"Iblis manakah kau sebenarnya he?" geram salah seorang di antara keempat orang itu.
Bharata sama sekali tidak menjawab. Ia meningkatkan ilmunya sampai ke puncak untuk melindungi dirinya yang berada dalam kesulitan.
Tetapi Bharata masih mempunyai satu cara untuk menyelamatkan diri jika terpaksa. Lari.
Untuk beberapa saat Bharata masih mencoba untuk bertempur. Tiga orang lawannya bagi Bharata dianggap memiliki ilmu yang cukup. Tetapi seorang di antara mereka berempat itulah yang membuat Bharata kadang-kadang menjadi sangat sulit. Meskipun Bharata yakin, jika ia harus bertempur seorang melawan seorang dengan orang yang terbaik di antara keempat orang itu, ia tidak akan dapat dikalahkan.
Sementara itu Bharatapun harus berlomba dengan waktu. Apalagi di saat-saat terakhir, Bharata memang nampaknya menjadi semakin terdesak. Bahkan untuk lolospun rasa-rasanya menjadi semakin sulit.
Namun dalam kesulitan itu, tiba-tiba seorang yang berpakaian serba hitam telah meloncat dari dalam kegelapan di balik gerumbul-gerumbul di pinggir jalan. Dengan serta-merta orang itu telah melibatkan diri ke dalam pertempuran, justru berada di pihak Bharata.
Keempat orang itu terkejut. Orang yang berkain hitam, berbaju hitam dan bertutup wajah hitam itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula. Dengan tangkasnya orang itu telah berloncatan di antara lawan-lawan Bharata, sehingga dengan demikian maka keseimbangan dari pertempuran itupun segera berubah.
Berdua maka Bharata dapat menahan keempat lawan-lawannya, sementara keempat orang peronda yang menyaksikan pertempuran itu bagaikan membeku.
Namun dalam pada itu, Bharata mulai terdesak oleh waktu. Sementara itu orang yang datang itu sempat berbisik, "Kita akan segera menundukkan mereka."
Bharata segera mengetahui bahwa orang yang datang itu adalah Kasadha. Bukan saja dari unsur-unsur geraknya, tetapi juga suaranya ketika ia berbisik di telinganya.
Namun pada kesempatan lain Bharata berkata perlahan, "Aku ditunggu oleh anak buahku."
"Aku melihat mereka," jawab Kasadha.
"Kita tinggalkan saja orang-orang ini," desis Bharata kemudian.
Kasadha belum sempat menjawab. Tetapi ia harus menghindari serangan seorang lawannya. Baru kemudian ia dapat mendekati Bharata sambil bertanya, "Kenapa kita tinggalkan mereka?"
"Apa artinya jika kita mengalahkan mereka" Bukankah kita akan pergi juga tanpa memperkenalkan diri" Sementara itu, waktu yang aku berikan kepada orang-orangku hampir habis," berkata Bharata.
Kasadha mengerti keberatan Bharata. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk meninggalkan mereka.
Tetapi nampaknya Kasadha ingin meninggalkan kesan, bahwa mereka berdua tidak kalah dari keempat orang itu. Karena itu maka iapun telah mengerahkan kemampuannya. Demikian juga Bharata yang juga mengerti maksud Kasadha.
Baru ketika keempat orang itu semakin terdesak dan hampir kehilangan kesempatan, maka Bharata telah memberikan isyarat kepada Kasadha.
Pada saat itulah, maka beberapa orang padukuhan telah datang sambil membawa beberapa buah obor. Suaranya riuh sekali. Bahkan beberapa orang masih saja berteriak-teriak, "Tangkap pencurinya. Tangkap."
Tetapi Bharata dan Kasadha tidak lagi menghiraukannya. Merekapun telah meloncat meninggalkan arena.
Keempat orang itu ragu-ragu untuk mengejar mereka. Mereka menduga bahwa kedua orang itu telah memancingnya semakin jauh dari padukuhan. Kemudian mereka mungkin sekali akan dapat jatuh ke dalam jebakan.
Karena itu, maka niat mereka itupun diurungkan. Mereka berempat sama sekali tidak mengejarnya. Dua di antara mereka memang sudah melangkah untuk berlari menyusul kedua orang yang lari itu. Tetapi kawannya telah mencegahnya.
"Kita berempat tidak akan dapat mengalahkan mereka," berkata orang yang terkuat di antara keempat orang itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Merekapun menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa seandainya mereka dapat mengejar kedua orang itu.
Namun dalam pada itu, seorang di antara keempat orang itu bertanya, "Siapakah mereka?"
"Satu teka-teki yang sulit untuk dijawab. Mungkin orang-orang Pajang dalam tugas sandi," berkata yang lain.
"Tetapi pasukan Pajang sudah ada disini," sahut orang yang lain.
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu orang-orang padukuhan yang membawa beberapa obor telah datang. Seorang di antara mereka bertanya, "Dimana pencuri itu?"
"Kami tidak berhasil menangkap?" jawab salah seorang anak muda yang meronda.
"Kenapa kalian tidak berhasil" Bukankah yang kalian tangkap hanya seorang?" desak orang itu.
"Ternyata ada dua orang," jawab peronda itu.
Orang yang kecewa itu tiba-tiba saja telah merebut kentongan kecil di tangan seorang kawannya yang sejak tadi masih belum dipukul, karena mereka mengira bahwa pencuri itu tentu akan tertangkap sehingga tidak perlu membangunkan dan membuat padukuhan lain gelisah.
Tetapi pada saat mereka menyadari, bahwa pencuri itu tidak tertangkap, maka mereka merasa perlu untuk segera membunyikan isyarat juga bagi padukuhan yang lain.
Sejenak kemudian maka telah terdengar suara kentongan dengan irama dua kali berturut-turut berkepanjangan tanpa batas. Ternyata sejenak kemudian, suara itu sudah disahut oleh suara kentongan yang ada di padukuhan. Bukan hanya satu padukuhan. Nampaknya para peronda di gardu-gardu telah mendengarnya dan kemudian menyambutnya.
Dalam pada itu, Bharata dan Kasadha telah menjadi semakin jauh dan hilang dalam kegelapan. Namun beberapa saat kemudian merekapun mendengar suara kentongan yang sahut-menyahut.
Namun dalam pada itu, beberapa saat kemudian, sekelompok prajurit Pajang yang berkuda telah memasuki padukuhan yang pertama kali memberikan isyarat kentongan dipimpin oleh Bharata. Dengan cepat kelompok itu mendapat laporan dari orang-orang yang tidak ikut mengejar orang yang disebut pencuri itu, bahwa pencuri itu telah berlari meninggalkan padukuhan ke arah yang berlawanan dengan arah datangnya prajurit Pajang itu.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu telah berderap menuju ke tempat yang ditunjuk oleh orang-orang padukuhan itu. Namun betapapun mereka tergesa-gesa, tetapi kuda mereka tidak dapat berpacu cepat.
Tetapi akhirnya Bharata dan prajuritnya telah berada di antara orang-orang yang sibuk karena buruan mereka telah hilang.
"Mereka lari kemana?" bertanya Bharata.
"Mereka berlari di sepanjang pematang memasuki kegelapan," jawab salah seorang pengawal yang sedang meronda di gardu.
Bharatapun telah memecah prajuritnya menjadi tiga kelompok. Mereka harus berusaha memburu pencuri-pencuri itu sambil berpencar.
Dengan sigap para prajurit itu telah berpacu untuk mencari pencuri yang hilang di kegelapan malam itu.
Seperti perintah pimpinan kelompok mereka, maka para prajurit itu sudah berpencar dan masing-masing mencari jalan mereka sendiri-sendiri.
Dalam pada itu, Bharata telah menemui orang-orang padukuhan itu, terutama mereka yang sedang meronda. Namun seorang pengawal yang sedang meronda itu berkata, "Mereka berempatlah yang mula-mula melihat pencuri itu."
Bharata yang telah membalik bajunya lagi sehingga nampak ciri-ciri keprajuritannya itu sempat berbincang dengan keempat orang yang disebut oleh para peronda itu. Dari percakapan itu Bharata mengetahui, bahwa seorang di antara mereka adalah orang padukuhan itu. Sedangkan orang yang ilmunya tertinggi di antara mereka adalah justru bukan orang dari padukuhan itu.
"Terima kasih atas bantuan kalian," berkata Bharata. Lalu katanya pula, "mudah-mudahan pencuri itu tertangkap. Dalam suasana seperti ini, nampaknya mereka ingin memanfaatkan keadaan. Agaknya orang itu benar-benar tidak berperasaan."
Beberapa saat mereka masih menunggu. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa pencuri itu masih berada di sekitar tempat itu. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu, termasuk para peronda dan keempat orang yang mampu mendesak pencuri itu telah berjalan beriringan kembali ke padukuhan. Mereka merasa sangat kecewa bahwa mereka tidak mampu menangkap pencuri itu. Bahkan ternyata telah datang pula beberapa orang dari padukuhan tetangga. Merekapun merasa kecewa pula, karena pencuri itu tidak tertangkap.
"Lain kali mereka akan menyentuh padukuhan kami," berkata orang padukuhan sebelah.
"Berhati-hatilah," sahut orang dari padukuhan yang merasa kehilangan pencuri itu, "kalian harus berjaga-jaga dengan sebaik-baiknya. Terutama justru menghadapi pencuri-pencuri itu."
Bharata hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang padukuhan itu perhatiannya lebih banyak tertarik kepada pencuri-pencuri daripada kemungkinan hadirnya orang-orang dari Mataram.
Namun Bharata hampir mendapat kepastian, bahwa keempat orang itu telah bekerja untuk kepentingan Mataram. Sudah barang tentu juga orang yang sering membaca kidung itu. Suaranya yang keras itu disengaja untuk membuat agar pembicaraan di rumahnya menjadi kabur dan tidak mudah didengar oleh orang lain.
Sejenak kemudian, maka orang-orang padukuhan itu, termasuk keempat orang yang berilmu cukup itu serta Bharata telah berada di banjar padukuhan. Mereka masih sibuk berbicara tentang pencuri yang berhasil lepas dari tangan mereka itu.
Dalam kesibukan itu Bharata melihat, beberapa orang pengawal yang tinggal di padukuhan itu telah berada di banjar pula. Demikian pula anak-anak muda dan bahkan hampir semua orang laki-laki.
Tetapi Bharata tidak yakin, apakah mereka juga akan berkumpul seperti itu jika mereka dihadapkan kepada prajurit Mataram.
Beberapa saat kemudian, para prajurit yang mengejar pencuri itu dengan berkuda, telah datang pula. Mereka tidak berhasil menemukan jejaknya. Bahkan mereka telah sampai ke padukuhan sebelah yang nampaknya juga sudah bersiaga karena suara kentongan itu.
"Memang sulit," berkata orang yang berilmu paling tinggi di antara keempat orang yang telah bertempur dengan orang yang disebutnya pencuri itu, "dengan berkuda, maka para prajurit itu tidak akan dapat menemukan pencurinya."
"Kenapa?" Bharata pura-pura bertanya.
"Pencuri itu tentu tidak akan berlari melalui jalan bulak. Mereka tentu akan meniti pematang dan jalan-jalan setapak yang jarang dilalui orang," jawab orang itu.
Bharata mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Agaknya memang begitu."
Orang itu agaknya telah bersungut-sungut. Ketika Bharata kemudian beringsut, orang itu berbisik kepada kawan-kawannya yang ketiga orang itu, "Pajang memang bodoh. Anak semuda itu telah dipasang menjadi seorang pemimpin kelompok. Ternyata pengalamannya masih sedikit sekali. Bahkan nampaknya anak ini tidak tahu apa-apa. Mengejar pencuripun nampaknya ia tidak mampu. Apalagi pencuri yang satu ini, tentu bukan pencuri biasa."
"Memang mungkin, ia seorang petugas sandi Pajang," berkata seorang kawannya.
"Jika kerja sama mereka dengan para prajurit itu tidak baik, maka akan dapat terjadi benturan. Pemimpin kelompok yang muda ini memang dapat bergerak cepat. Dalam waktu singkat mereka telah berada di padukuhan ini demikian kita membunyikan isyarat. Tetapi ini adalah hasil latihan mereka di barak-barak keprajuritan yang cepat dapat dikuasai. Namun entahlah tentang olah kanuragan. Seandainya tiga orang prajurit berkuda itu bertemu dengan dua orang pencuri itu, maka tiga orang prajurit itu akan dapat menjadi mayat, seandainya pencuri itu bukan petugas sandi Pajang sendiri," berkata orang yang berilmu tertinggi di antara mereka berempat.
Beberapa saat kemudian Bharata telah mengumpulkan prajurit-prajuritnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku menyesal sekali bahwa kami telah datang terlambat, sehingga kami tidak dapat membantu kalian. Kami berjanji bahwa lain kali kami akan berusaha berbuat lebih baik. Tetapi ini juga merupakan satu cambuk bagi padukuhan ini untuk lebih bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Sekarang kita baru berhadapan dengan dua orang pencuri. Lain kali kita mungkin berhadapan dengan prajurit Mataram yang tidak hanya satu atau dua. Tetapi mungkin empat atau lebih."
Keempat orang yang berilmu tinggi itu merasa berdebar-debar. Bahwa Bharata menyebutkan angka empat itu telah membuat mereka melihat ke dalam lingkungan mereka. Bahkan ada di antara mereka yang bertanya kepada diri sendiri, "Apakah pemimpin kelompok yang muda ini sudah mengetahui kehadiran kami" Nampaknya ia adalah anak muda yang sangat cerdas, meskipun barangkali pengalamannya masih terlalu sedikit."
Tetapi yang lain telah menghibur diri sendiri, "Satu angka kebetulan saja disebut. Empat atau lebih. Tentu tidak ada hubungannya dengan jumlah kami yang empat sekarang ini."
Sementara itu Bharatapun melanjutkan kata-katanya, "Sekarang kami akan melanjutkan tugas kami. Jika kami bertemu dengan orang yang kami curigai, maka orang itu akan kami bawa kemari untuk dicoba dikenali. Beberapa saat sebelum terjadi keributan di padukuhan ini, kami sekelompok ini telah lewat jalan induk ini pula. Kami memang tidak berhenti di banjar, tetapi kami berbicara dengan para peronda. Mudah-mudahan padukuhan ini akan menjadi tenang untuk selanjutnya."
Sejenak kemudian, maka sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Bharata itupun telah meninggalkan banjar. Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka Bharatapun telah berkata kepada orang-orangnya, "Kita ternyata harus berhati-hati menghadapi padukuhan kecil ini."
Ketika mereka selesai dengan tugas mereka dan kembali ke tempat mereka, maka setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada yang bertugas untuk dibersihkan dan dirawat dengan baik, sebelum dipergunakan lagi di hari berikutnya, Bharata langsung mengumpulkan prajurit-prajuritnya. Meskipun masih ada yang dirahasiakan, tetapi Bharata telah memberikan peringatan kepada prajurit-prajuritnya, bahwa di padukuhan itu terdapat beberapa orang yang berilmu cukup tinggi.
"Kita harus berhati-hati menghadapi mereka," berkata Bharata.
Prajurit-prajuritnya yang telah mendapat gambaran itu memang menjadi lebih berhati-hati menghadapi padukuhan yang menjadi medan pembinaan mereka bersama kelompok yang dipimpin oleh Kasadha.
Sementara itu, ketika anak buahnya sedang beristirahat setelah mendapat tugas di malam hari, maka Bharata telah menemui Kasadha.
Dengan nada rendah ia berkata, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
"Pertolongan apa?" bertanya Kasadha.
"Semalam. Jika kau tidak datang, mungkin aku tidak lagi dapat melihat matahari terbit," berkata Bharata.
"Begitu mudahnya kau mati?" Kasadha justru tertawa, "tentu tidak. Kau masih mempunyai banyak kesempatan."
"Saat itu aku benar-benar terjepit. Untuk lolospun, rasa-rasanya sangat sulit bagiku," berkata Bharata, "seorang di antara mereka mempunyai ilmu yang cukup tinggi."
"Ya. Tetapi bagaimanapun juga, tanpa aku, kau akan dapat mengatasinya. Sementara itu, aku memang merasa cemas, bahwa kau telah pergi sendiri ke padukuhan itu. Agaknya di padukuhan itu perhatian kita sama-sama tertuju kepada orang yang membaca kidung dengan suara yang sangat keras itu," berkata Kasadha.
"Kau juga ada di sana?" bertanya Bharata.
"Tetapi aku tidak sempat memasuki halamannya. Aku yakin kau ada di dalam. Karena itu, aku mengawasi saja dari luar. Akhirnya, beberapa orang telah keluar juga sementara kau berusaha untuk mengikuti mereka," berkata Kasadha.
"Jadi kau tidak mendengar pembicaraan di rumah itu?" bertanya Bharata.
"Tentu tidak," jawab Kasadha.
Dengan singkat Bharata menceriterakan apa yang telah didengarnya. Sehingga dengan demikian maka mereka berdua yakin, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang Mataram. Setidak-tidaknya orang-orang yang telah dipengaruhi dan bahkan bekerja untuk Mataram.
"Apakah kita akan melaporkan kepada Ki Lurah?" bertanya Kasadha.
"Kita tunggu saja perkembangannya," berkata Bharata, "jika keadaan benar-benar tidak teratasi, kita akan melaporkannya. Tetapi bagaimana jika kita mencoba untuk mengatasinya?"
"Mereka tentu sadar bahwa ada sesuatu yang harus mereka perhatikan. Mereka tentu akan menjadi semakin berhati-hati," berkata Kasadha.
"Ya. Sebagaimana kita berhati-hati," jawab Bharata.
Namun akhirnya Kasadhapun setuju, bahwa hal itu tidak akan cepat-cepat dilaporkan kepada Ki Lurah. Bharatapun telah memerintahkan kepada para prajuritnya, bahwa persoalan di padukuhan itu adalah rahasia seorang prajurit yang ditekankan untuk disimpan sebaik-baiknya sesuai dengan sumpah mereka selagi mereka diwisuda menjadi prajurit.
"Tidak boleh ada orang lain yang mendengarnya," perintah Bharata tegas.
Kasadhapun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Untuk selanjutnya kita akan dapat selalu berhubungan untuk memperbincangkan persoalan yang mungkin mendesak. Tetapi apakah menurut pertimbanganmu aku boleh memberitahukan hal ini kepada orang-orangku?"
"Aku tidak berkeberatan," berkata Bharata.
"Mereka akan berhati-hati," desis Kasadha kemudian.
Dengan sedikit mengetahui isi padukuhan itu, maka Bharata dan Kasadha dapat menjadi lebih berhati-hati. Mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka mengetahui serba sedikit rahasia yang tersimpan di padukuhan itu. Apa yang mereka lakukan sama sekali tidak mengalami perubahan. Bharata dan Kasadha masih saja mengatur kesiagaan di ketiga padukuhan kecil yang letaknya berdekatan itu.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, maka Kasadha dan Bharata telah merencanakan untuk mengadakan latihan-latihan bagi para pengawal terutama dari ketiga padukuhan itu ditambah dengan beberapa orang anak muda yang dianggap memiliki kemampuan dan kemungkinan jasmani yang memadai.
Ternyata usaha Bharata dan Kasadha sedikit demi sedikit mulai nampak hasilnya. Ikatan-ikatan paugeran mulai ditaati serta peraturan-peraturanpun mulai berlaku.
Namun keadaan itu tidak luput dari perhatian orang-orang yang oleh Mataram memang ditempatkan di padukuhan-padukuhan itu untuk mengamati bukan hanya padukuhan itu, tetapi seluruh Kademangan Randukerep.
"Kita tidak boleh gagal," berkata salah seorang petugas dari Mataram, "Kademangan ini tidak boleh tunduk taat sepenuhnya kepada Pajang. Kita harus menjadikan padukuhan ini ajang pertentangan, seperti beberapa Kademangan yang telah direncanakan. Pada saatnya Kademangan ini akan berpihak sepenuhnya kepada Mataram."
"Tetapi kita harus berhati-hati. Nampaknya Ki Lurah Dipayuda cukup bijaksana. Para pemimpin kelompoknya termasuk prajurit-prajurit yang berpandangan terang. Bahkan yang muda-mudapun nampak cerdas dan cekatan," sahut yang lain.
Ternyata orang-orang yang bekerja untuk Mataram itu sepakat. Tetapi seperti yang mereka perhitungkan, mereka harus bekerja dengan baik, teliti dan tidak tergesa-gesa. Namun bukan berarti lamban.
*** JILID 24 NAMUN dalam pada itu, tiba-tiba saja tidak lagi terdengar orang membaca kidung di malam hari. Biasanya suara kidung itu terdengar sampai ke barak sementara para prajurit Pajang. Tetapi beberapa hari kemudian rasa-rasanya malam terlalu sepi.
Hal itu tidak luput dari perhatian Bharata dan Kasadha. Dengan ragu-ragu Bharata berkata, "Nampaknya mereka memang curiga atas peristiwa yang terjadi malam itu, ketika aku hampir saja tertangkap oleh orang-orang padukuhan itu, yang sudah barang tentu terdapat prajurit sandi dari Mataram."
"Ya, dan mereka menghentikan kegiatan mereka dengan cara itu. Mereka tidak lagi melakukan hubungan sandi dengan kidung-kidung yang menyentuh perasaan di malam hari. Bukan saja di padukuhan itu. Tetapi nampaknya di seluruh Kademangan ini," sahut Kasadha.
"Kita harus mengetahui, siapa yang sering membawa kidung di padukuhan induk ini," desis Bharata.
Tetapi Bharata dan Kasadha memang sangat berhati-hati. Mereka tidak dengan serta-merta bertanya tentang orang yang membaca kidung itu. Tetapi ketika ia sempat berada di gardu di antara para pengawal, Bharata sempat memancing pembicaraan tentang malam yang sepi.
Tiba-tiba saja Bharata berkata seakan-akan di luar sadarnya, "Kenapa tidak terdengar orang membaca Kidung?"
Dengan serta-merta pula salah seorang di antara para pengawal menjawab, "Orang yang sering membaca kidung itu sedang pergi mengunjungi sanak kadangnya di Pajang."
Bharata seakan-akan tidak banyak tertarik pada keterangan itu selain mengangguk-angguk. Dan bahkan ia berkata, "Apakah di antara kalian tidak ada yang pandai membaca kidung" Sebaiknya kalian mencoba untuk mengisi heningnya malam agar tidak terasa terlalu sepi."
Tetapi para pengawal itu hanya dapat tertawa saja sambil saling memandang. Bahkan seorang telah menunjuk yang lain, sementara yang ditunjuk mengelak dan menunjuk orang lain lagi.
Bharata dan Kasadha tertawa. Tetapi mereka kemudian telah meninggalkan gardu itu.
"Sudah semakin jelas," berkata Kasadha.
"Aku menyesal, bahwa kehadiranku malam itu ternyata diketahui oleh mereka meskipun mereka menyebutku pencuri. Tetapi panggraita merekapun sangat tajam, sehingga seakan-akan mereka mendapat satu keyakinan bahwa cara yang mereka tempuh telah kita ketahui," desis Bharata.
"Besok kita akan menelusuri kepergian orang yang sering membaca kidung itu. Mungkin keluarganya," berkata Kasadha.
"Tetapi kita dapat dengan terang-terangan datang ke rumahnya," jawab Bharata.
"Tentu tidak," desis Kasadha, "kita memang tidak perlu datang ke rumahnya."
Sebenarnyalah, dari seorang pesuruh di rumah Ki Demang, Bharata dan Kasadha mengetahui, bahwa orang yang sering membaca kidung di padukuhan induk itu bukan penghuni padukuhan itu.
"Ia datang belum terlalu lama. Menurut keterangannya, ia tertarik tinggal di padukuhan ini karena leluhurnya berasal dari padukuhan ini. Nampaknya ia memang orang berada. Ia telah membeli sepotong pekarangan dan memagarinya sekaligus. Mendirikan sebuah rumah kecil tetapi cantik, Dan tinggal di rumah itu seorang diri. Hanya dengan seorang pembantu. Anak-anak muda sering berdatangan ke rumahnya, belajar tembang dan berbincang-bincang. Kadang-kadang sampai jauh malam," jawab pesuruh itu. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Nampaknya Ki Sanak tertarik kepada kehidupan orang itu?"
"Bukan kehidupannya," jawab Bharata, "tetapi selama ia tidak ada, maka malam rasa-rasanya menjadi sepi."
"Ya. Anak-anak muda di gardupun merasa sepi," jawab pesuruh itu.
"Kapan ia kembali?" bertanya Kasadha.
"Tidak tahu. Seorang pembantunyapun agaknya juga tidak tahu. Beberapa orang telah bertanya kepadanya, tetapi ia tidak tahu," jawab pesuruh itu.
"Jadi rumah seisinya itu ditinggalkannya kepada pembantunya itu?" bertanya Bharata.
"Ya. Orang itu terlalu percaya kepada pembantunya. Tetapi pembantunya memang orang yang sebenarnya dapat dipercaya," jawab pesuruh itu.
Bharata dan Kasadha tidak bertanya terlalu banyak tentang orang itu. Tetapi ketika mereka duduk berdua, maka mereka telah mengambil satu kesimpulan bahwa orang itu memang dikirim oleh Mataram untuk berada di padukuhan itu. Bukan saja sekedar mengamati Kademangan, tetapi telah melakukan langkah-langkah untuk mempengaruhi sikap penghuninya dalam kemelut antara Pajang dan Mataram.
Namun demikian, maka mereka berniat untuk memulai penelusuran mereka dari pembantu rumah orang itu. Tetapi keduanya harus berhati-hati. Sementara itu keduanya masih juga belum memberikan laporan kepada pimpinan mereka, karena mereka belum dapat meyakinkan dan melengkapi keterangan-keterangan mereka.
Melalui beberapa kesempatan yang mereka dapatkan, maka Bharata dan Kasadha akhirnya mendapat keterangan, bahwa pembantunya tidak mendapat pesan apapun dari orang yang sering membaca kidung itu. Ia pergi begitu tanpa mengatakan pergi kemana dan untuk berapa hari.
Bharata dan Kasadha merasa gagal untuk mendapat keterangan lebih lanjut. Tetapi merekapun telah yakin bahwa orang itu termasuk petugas sandi dari Mataram.
Ternyata dalam penyelidikan mereka lebih jauh ada empat padukuhan yang mempunyai seorang yang sering membaca kidung di malam hari. Namun keempat orang itu telah tidak ada di rumah mereka masing-masing, karena keempat orang itu adalah pendatang sebagaimana yang ada di padukuhan induk.
Namun Bharata dan Kasadha yakin, bahwa petugas-petugas sandi seperti itu masih banyak terdapat di seluruh Kademangan. Namun sulit bagi mereka untuk mengetahuinya.
Yang dapat dilakukan oleh Bharata dari Kasadha adalah mengetahui siapa saja orang-orang Kademangan itu yang termasuk orang baru. Bersama beberapa orang prajurit yang dapat dipercaya dan memiliki kecerdasan yang tinggi, maka keduanya berusaha untuk mengamati orang-orang yang termasuk orang baru apapun alasan mereka tinggal di Kademangan itu.
Namun dalam pada itu, rencana Bharata dan Kasadha berjalan semakin mapan. Latihan-latihan yang mereka adakan sesuai dengan tugas keprajuritan mereka, mulai menarik perhatian anak-anak muda. Bukan saja para pengawal dari padukuhan itu sebagaimana telah ditetapkan.
Tetapi Bharata dan Kasadha terkejut, bahwa di padukuhan yang menjadi tanggung jawab mereka telah timbul sekelompok orang yang sering membuat kalangan sabung ayam. Agaknya kalangan sabung ayam itu semakin lama menjadi semakin menarik. Bahkan kemudian anak-anak mudapun telah mulai tertarik pada sabung ayam itu.
Untuk beberapa lama Bharata dan Kasadha tidak mengambil langkah-langkah. Mereka memang menghubungi Ki Bekel dari padukuhan kecil itu. Tetapi menurut Ki Bekel, tidak ada paugeran yang melarang sabung ayam.
"Di Pajang justru di rumah para bangsawan telah dilakukan sabung ayam. Bahkan dengan taruhan yang sangat besar," berkata Ki Bekel.
Bharata dan Kasadha tidak dapat membantah. Sabung ayam, sabung gemak, bahkan sabung cengkerikpun telah dilakukan dengan taruhan yang tinggi di samping akibat-akibat sampingan yang buruk lainnya.
Kasadha tahu akibat buruk yang dapat terjadi, karena ia telah sering mengunjungi tempat perjudian yang termasuk besar, Song Lawa, yang telah dihancurkan oleh para prajurit Pajang. Tetapi ternyata bahwa perjudian dalam kelompok-kelompok kecil justru telah tumbuh di tempat yang dianggap rawan itu.
Bharata dan Kasadha ternyata langsung dapat melihat akibat dari perjudian yang ada di padukuhan-padukuhan itu. Di siang hari mereka menyabung ayam. Sementara di malam hari, perjudian rasa-rasanya seperti memang dikembangkan.
Dengan demikian maka ketentuan yang telah ditegakkannya mulai goyah lagi. Di malam hari, gardu-gardu mulai menjadi sepi, karena anak-anak muda lebih senang berada di tempat-tempat judi. Bukan saja mereka yang berjudi, tetapi yang lainpun agaknya lebih senang berada di tempat itu daripada di gardu-gardu. Di tempat-tempat perjudian, mereka mendapatkan minuman hangat serta beberapa potong makanan. Tetapi di gardu mereka harus menjerang air sendiri jika mereka mau minum minuman yang hangat menjelang dini hari.
Bahkan latihan-latihanpun nampaknya menjadi sangat mundur. Anak-anak muda, bahkan para pengawal rasa-rasanya tidak bertenaga lagi, karena mereka lebih banyak berada di tempat perjudian bahkan semalam suntuk. Dan hal seperti itu berlangsung bermalam-malam.
Bharata dan Kasadha yang tidak dapat menembus kekuasaan Ki Bekel memang telah terpaksa melaporkannya kepada pimpinannya. Ki Lurah Dipayuda. Namun keduanya sama sekali belum menyinggung kecurigaan mereka, bahwa yang terjadi itu termasuk usaha yang dilakukan oleh orang-orang Mataram untuk melemahkan ketahanan di Kademangan itu.
"Apakah Ki Demang mempunyai wewenang untuk melarangnya?" bertanya Bharata kepada Ki Lurah Dipayuda.
"Aku akan berhubungan dengan Ki Demang," jawab Ki Lurah.
"Akibatnya terasa sekali," berkata Kasadha pula, "sebelumnya anak-anak muda dan terlebih-lebih para pengawal, sudah menjadi semakin menyadari keadaan Kademangan ini dalam hubungannya dengan kemelut antara Pajang dan Mataram. Tetapi pada saat-saat terakhir, perhatian mereka justru telah terampas oleh sabung ayam dan judi."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan melihat keadaan padukuhan-padukuhan itu. Aku belum menerima laporan dari padukuhan yang lain."
"Mungkin yang mereka lakukan di padukuhan yang kebetulan menjadi daerah tugas kami itu mereka lakukan dengan perhitungan-perhitungan tertentu," berkata Bharata.
"Baiklah. Persoalan ini aku anggap penting, justru dalam masa yang semakin gawat ini," berkata Ki Lurah Dipayuda, "karena itu, maka kalian harus tetap mengawasi. Tetapi jangan melanggar hak dari Ki Bekel yang tentu mendapat keuntungan pula dari perjudian itu. Jika kita memaksakan kehendak kita, sehingga Ki Bekel tersinggung, maka dengan demikian kita sudah membuat jarak yang akan dapat merugikan kita sendiri."
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk. Hampir saja terloncat dari mulut mereka tentang kemungkinan bahwa orang-orang Mataram telah dengan sengaja mengguncang tata kehidupan Kademangan itu. Tetapi ternyata mereka masih berusaha menahan diri.
Namun belum lagi diambil langkah-langkah tertentu, maka telah datang laporan dari padukuhan yang lain, bahwa telah timbul satu kebiasaan yang sebelumnya tidak dijumpai oleh para prajurit. Seorang pemimpin kelompok telah melaporkan kepada Ki Lurah, bahwa kegiatannya dengan anak-anak muda serta para pengawal telah terganggu oleh kedatangan serombongan tari janggrung yang telah merampas perhatian sebagian laki-laki termasuk anak-anak muda di padukuhan itu.
Dengan laporan itu, maka Ki Lurahpun segera telah memanggil semua pemimpin kelompok dalam pasukannya. Mereka mulai membahas perkembangan keadaan yang timbul pada saat-saat terakhir.
"Kita harus mengikuti setiap perkembangan dengan saksama," berkata Ki Lurah, "aku belum dapat mengatakan, apakah hal itu ada hubungannya dengan tingkah laku petugas sandi Mataram yang ingin mengacaukan kehidupan di Kademangan ini atau bukan."
Bharata dan Kasadha saling berpandangan. Meskipun mereka belum pernah menyinggungnya, tetapi Ki Lurah Dipayuda telah memperhitungkan kemungkinan itu.
"Aku minta semua keterangan yang dapat memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini supaya disampaikan kepadaku. Aku akan menghubungi Ki Demang. Tetapi aku belum tahu, apakah sudah waktunya aku berbicara tentang orang-orang Mataram. Jika sebelum kita hadir disini, orang-orang Mataram sering datang ke Kademangan ini dan memang dapat membuat orang-orang Kademangan ini ketakutan, maka tidak mustahil dengan kehadiran kita disini, mereka mempergunakan cara lain," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Bharata dan Kasadha masih belum memberikan laporan lebih jauh dari pengamatan mereka. Mereka masih ingin menunggu perkembangan keadaan setelah Ki Lurah Dipayuda bertemu dengan Ki Demang Randukerep.
Namun demikian, Bharata dan Kasadha merasa bahwa persoalannya akan segera menjadi semakin meruncing justru sejalan dengan kemelut yang terjadi antara Pajang dan Mataram.
Ketika Ki Lurah membubarkan pertemuan itu, maka ia masih berpesan, "Berhati-hatilah menghadapi perkembangan keadaan. Dalam keadaan seperti ini, maka segala sesuatunya dapat dengan cepat berubah. Jika kita tidak tangkas menghadapinya, maka kita tentu akan ketinggalan."
Untuk menghadapi perkembangan keadaan, maka Bharata dan Kasadha justru lebih banyak berada di padukuhan-padukuhan kecil itu. Mereka mengamati segala pergolakan yang terjadi setelah padukuhan itu dicengkam oleh demam sabung ayam. Bahkan Ki Bekel telah memberikan ijin untuk mempergunakan halaman rumah Ki Bekel yang luas untuk menjadi arena sabung ayam.
Banyak akibat sampingan telah terjadi. Banyak laki-laki yang malas pergi ke sawah. Di malam hari mereka segan pergi ke gardu. Apalagi yang mengalami kekalahan sehingga harta bendanya hanyut di arena sabung ayam. Keluarga yang berantakan karena suaminya tidak lagi berdiri tegak sebagai lanjaran keluarga. Bahkan telah menjual beberapa barang milik mereka.
Sementara itu Ki Demang yang dihubungi oleh Ki Lurah Dipayuda memang menjadi sangat prihatin. Beberapa orang bebahunya juga telah memberikan laporan tentang hal itu. Bahkan di padukuhan lain, banyak keluarga yang pecah dan banyak laki-laki menjadi saling bermusuhan karena hadirnya sekelompok penari janggrung di padukuhan itu. Ki Bekel di padukuhan itu ternyata juga tidak bertindak. Bahkan Ki Bekel memberikan ijin sekelompok pengiring tari janggrung itu untuk bermalam di serambi gandok banjar padukuhan.
Ki Bekel harus mengambil langkah-langkah yang tegas berdasarkan suasana yang panas sekarang ini karena hubungan yang semakin buruk antara Mataram dan Pajang. Berdasarkan atas hal itu, maka Ki Demang dapat mengambil satu kebijaksanaan yang barangkali dianggap agak menyimpang jika sebelumnya Ki Demang tidak berwenang melarang sabung ayam dan tari janggrung yang jelas merusak ketenangan padukuhan-padukuhan itu karena di Pajangpun hal itu telah dilakukan pula. Bukan saja padukuhan yang ditempati arena perjudian dan sabung ayam serta sekelompok pengiring dan penari janggrung. Tetapi juga padukuhan-padukuhan lain telah terpengaruh juga. Di siang hari seperti mengalir laki-laki tua muda datang ke arena sabung ayam. Bahkan yang harus melakukan tugaspun kadang-kadang menjadi malas. Sedangkan di malam hari arus orangpun berganti. Mereka pergi untuk melihat janggrung. Yang mempunyai sedikit uang telah memberanikan diri untuk memasuki arena, menari bersama tledek yang sengaja menggoda dengan cara yang kadang-kadang terlalu kasar bagi sikap seorang perempuan.
Sementara itu, Ki Lurah Dipayuda telah memperingatkan para prajuritnya dengan keras agar mereka tidak terperosok ke tempat-tempat yang kotor itu.
Dalam pada itu, ketika keadaan terasa menjadi semakin gawat, maka Ki Demang telah diminta oleh Ki Lurah Dipayuda untuk bertindak. Jika Ki Demang tidak berbuat apa-apa, maka keadaan Kademangan itu akan menjadi semakin buruk.
Ki Demang memang merasakan akibat buruk itu semakin menjadi-jadi. Karena itu, maka iapun telah memanggil para bekel di padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam lingkungan Kademangan Randukerep.
"Tetapi kami tidak mempunyai dasar yang kuat untuk melarangnya," berkata salah seorang di antara para bekel.
"Kami mendapat wewenang untuk mengatur kehidupan di lingkungan kami masing-masing," jawab Ki Demang.
"Tetapi tidak ada paugeran yang dapat melarang Tari Janggrung dan sabung ayam. Ki Demang tentu tahu, bahwa penari janggrung terdapat juga justru di tempat-tempat ramai di sekitar Kota Pajang. Kelompok-kelompok tari Janggrung mengadakan pertunjukan keliling dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa ada yang pernah melarang," berkata bekel yang lain.
"Aku tidak berkeberatan jika sekelompok penari janggrung sekali-sekali singgah di Kademangan ini. Tetapi tidak menetap seperti sekarang. Sekelompok pengamen yang cukup besar jumlahnya itu telah merusak sendi-sendi kehidupan. Lima orang tledek dalam satu rombongan adalah berlebihan. Biasanya hanya dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang tledek," jawab Ki Demang.
"Segala sesuatu tergantung kepada pribadi kita masing-masing," bekel yang lain lagi ikut berbicara. "Jangan menyalahkan para penari janggrung. Jika pribadi kita kuat, kita tidak akan terseret ke dalamnya."
"Tetapi kita adalah manusia biasa. Batu hitam yang keras itu akan lekuk terkena tetes air hujan yang terus menerus. Betapa kekuatan pribadi seseorang, jika setiap hari ia berada dalam suasana yang buruk itu, maka kemungkinan terbesar adalah, bahwa ia akan tergelincir pula," berkata Ki Demang.
"Itu salahnya sendiri," sahut seorang bekel.
Ki Demang memang menjadi semakin panas jantungnya oleh jawaban-jawaban itu. Karena itu maka sikapnyapun menjadi semakin keras, "Saudara-saudaraku. Nampaknya saudara-saudaraku sudah kehilangan tanggung jawab yang selama ini kita banggakan. Manakah keberanian kalian untuk membela kehidupan rakyat kalian seperti yang pernah kalian tunjukkan selama ini" Di bawah ancaman prajurit Mataram yang sering datang menakut-nakuti kita disini, saudara-saudaraku masih tetap berpegang pada tanggung jawab kalian sebagai seorang pemimpin."
"Aku masih tetap bertanggung jawab," sahut seorang bekel yang masih muda, "jika prajurit Mataram itu datang, kami akan melawan mereka. Bukankah saat ini ada sepasukan prajurit Pajang disini" Buat apa kehadiran mereka itu jika tidak bersama-sama dengan kami melawan prajurit Mataram."
"Katakan, mereka akan bertempur melawan prajurit Mataram," jawab Ki Bekel, "tetapi kita sendiri, yang memiliki kampung halaman ini dapat berbuat apa" Anak-anak muda yang selama ini mulai berlatih perang, tiba-tiba saja telah kehilangan gairah mereka karena mereka lebih senang berada di tempat sabung ayam di siang hari dan berada di arena janggrung di malam hari. Atau di tempat-tempat perjudian yang tumbuh semakin subur di Kademangan ini."
"Kita percayakan saja keselamatan kita kepada para prajurit," tiba-tiba seorang bekel yang sudah ubanan berkata.
Tetapi beberapa orang tiba-tiba saja tertawa. Hampir di luar sadar, seorang bekel yang lain berkata, "Kau lebih senang menunggui dua di antara para penari janggrung itu di rumahmu, begitu Ki Bekel?"
"Aku sudah tahu," Ki Demang sama sekali tidak tertawa, "Ki Bekel yang sudah ubanan itu sama sekali tidak melihat tengkuknya. Umurmu sudah menjelang tiga perempat abad. Tetapi setiap malam kau masih membawa dua di antara penari janggrung itu setelah mereka selesai menari di arena."
"Eh, bukankah itu satu kelebihan?" jawab Ki Bekel yang tua itu.
Ki Dipayuda yang ikut mendengarkan pembicaraan itu memang telah kehilangan kesabaran. Dengan keras ia berkata, "Inikah gambaran yang sebenarnya dari pribadi para pemimpin di Randukerep?"
Tetapi seorang bekel telah menjawab, "Jangan terkejut Ki Lurah. Kita memang lebih suka terbuka dan menunjukkan wajah kita yang sebenarnya. Kita tidak akan menutup-nutupi cacat di kening sendiri."
"Cukup," bentak Ki Demang, "kalian memang memalukan sekali. Para prajurit Pajang akan mengambil sikap tegas untuk melindungi Kademangan ini. Aku yakin, masih ada satu dua orang yang tahu diri."
Sebenarnyalah seorang di antara para bekel itu berkata, "Aku berjanji untuk membantu para prajurit dengan kemampuan yang ada di padukuhanku. Aku akan melarang segala ujud perjudian di padukuhanku dengan atau tanpa wewenang."
"Bagus," sahut Ki Lurah Dipayuda, "aku memang yakin, bahwa tidak semua orang disini kehilangan akal melihat bedak penari janggrung itu. Sebenarnya Ki Demang dapat melarang segala macam bentuk perjudian berdasarkan kenyataan yang telah dilakukan oleh Pajang terhadap tempat perjudian yang disebut Song Lawa. Aku tahu pasti, bahwa tempat itu telah dihancurkan karena seorang kawanku dalam kedudukannya sebagai seorang Lurah Prajurit ikut memasuki tempat itu. Dengan demikian maka Ki Demang tentu dapat melakukannya pula di wilayah kekuasaan Ki Demang ini."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Ia mengangguk-angguk sambil bergumam, "Baik. Aku akan mempertimbangkannya."
Namun sementara itu, Kasadha yang hadir bersama-sama sepuluh orang pemimpin kelompok prajurit Pajang di Kademangan Randukerep menjadi berdebar-debar. Ia berada di Song Lawa saat itu. Namun iapun kemudian yakin, bahwa tidak ada prajurit Pajang yang akan dapat mengenalinya karena keadaan kemudian telah menjadi demikian kisruhnya.
Sementara itu Ki Lurah Dipayuda yang hampir kehilangan kesabarannya berkata, "Tetapi jangan terlalu lama Ki Demang. Waktu sudah mendesak, sementara prajurit Mataram tentu sudah berada di depan hidung kita."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya dengan suara lantang, "Siapakah di antara kalian yang sependapat, bahwa permainan yang merusak sendi-sendi kehidupan itu harus dilarang?"
"Aku sependapat dengan Ki Demang," berkata seorang bekel yang bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat. Seorang bekel yang dianggap berpengaruh atas para bekel yang lain. Kemudian beberapa orang bekel juga menyatakan kesediaannya membantu Ki Demang. Namun ternyata beberapa orang yang lain telah menjadi keras kepala.
Tetapi Ki Lurah Dipayuda menjadi berbesar hati. Dengan demikian ia sudah dapat melihat dimana ia harus bertumpu. Sementara itu dengan telaten dan bersungguh-sungguh ia harus memperbaiki keadaan di Kademangan itu.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun dalam kenyataannya, memang tidak begitu mudah untuk mengatasi keadaan. Ternyata para bekel yang bersedia membantu Ki Demang itupun menghadapi kesulitan. Anak-anak mudanya telah terhisap pula ke padukuhan-padukuhan yang lain untuk ikut memasuki arena sabung ayam serta di malam hari ikut mengerumuni lima tledek yang masih muda, cantik dan dengan tingkah laku yang dibuat-buat.
Sementara itu, Bharata dan Kasadha masih berusaha untuk mencari keterangan. Di padukuhan-padukuhan yang menjadi lingkungan tugasnya, ia masih mendapatkan beberapa orang anak muda yang dapat dipercaya. Beberapa pengawal telah dapat diajak berbicara dengan baik.
Dari seorang pengawal, akhirnya Bharata dan Kasadha telah mendapat keterangan yang memberikan kejelasan dari dugaan-dugaannya selama ini. Seorang pengawal telah melaporkan kepada kedua pemimpin pengawal yang masih muda itu, bahwa ia telah melihat orang yang sering membaca kidung ada di antara para penabuh gamelan dari serombongan penari janggrung itu.
"Ah," desis Bharata, "apakah kau tidak salah" Bukankah orang itu termasuk orang berada, sehingga ia mampu membeli tanah, membuat rumah dan hidup kecukupan?"
"Tidak seorangpun yang mengenalnya. Ia memakai pakaian lusuh. Ikat kepala yang asal saja membalut kepalanya. Rambutnya diurai sampai ke bahu dan sebuah tahi lalat yang besar terdapat di hidungnya. Tentu tahi lalat buatan," berkata pengawal itu.
"Kau dapat keliru," berkata Kasadha, "harus ada petunjuk lain yang lebih meyakinkan."
"Aku memang tidak mengenalinya. Tetapi pembantu rumahnya tidak dapat dikelabuhinya. Orang itu terlalu mengenal tuannya sehingga dalam keadaan apapun ia masih dapat mengenalinya. Caranya berjalan, bagaimana ia melakukan kebiasaannya meraba-raba kupingnya dan kebiasaannya mengusap kumisnya. Meskipun kumisnya telah dicukur untuk menyempurnakan penyamarannya, tetapi tangannya masih tetap sering meraba bibirnya," berkata pengawal itu.
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk. Namun Kasadha masih bertanya, "Apakah pembantunya itu mengatakannya kepadamu, bahwa orang itu tuannya?"
"Dengan tiba-tiba memang begitu. Tetapi kemudian justru ia menjadi ingkar. Sehari setelah itu pembantunya mengatakan secara khusus kepadaku bahkan datang ke rumahku, bahwa orang itu sama sekali bukan tuannya. Jika ia tidak menganggap penting sekali maka ia tidak akan datang ke rumah hanya untuk mengatakan bahwa orang itu adalah orang lain," berkata pengawal itu.
"Terima kasih. Kami akan berusaha untuk membuktikannya," berkata Bharata.
Sejak itu, maka setiap malam Bharata dan Kasadha selalu mengawasi rumah itu. Jika kelompoknya mendapat tugas meronda, maka mereka telah mempercayakannya kepada prajuritnya yang tertua, sementara keduanya berada di sekitar rumah orang yang disebut oleh pengawal itu.
"Jika dugaannya benar, maka sekali-sekali ia tentu akan melihat rumahnya yang masih berisi perabot yang cukup lengkap itu," berkata Bharata.
Sebenarnyalah, bahwa pada suatu malam mendekati dini hari, Bharata dan Kasadha melihat seseorang menyelinap memasuki regol rumah itu. Nampaknya orang itu sangat tergesa-gesa. Namun kedua anak muda itu berhasil melihat orang itu menyeberangi halaman dan masuk ke dalam rumah itu melalui pintu butulan.
Orang itu tidak terlalu lama berada di dalam rumah. Iapun segera keluar lagi. Pembantu rumah itu mengantar sampai ke pintu. Namun orang itu berdesis, "Masuk sajalah."
Sejenak kemudian pintu itupun telah tertutup lagi. Namun sekilas cahaya lampu telah menerangi wajah orang itu sebelum pintu itu tertutup rapat.
Bharata dan Kasadha yang memiliki pandangan yang tajam dan pengenalan yang cepat dan seakan-akan melekat di ingatannya akan dapat mengenalinya kembali seandainya mereka sempat melihatnya lagi.
Malam itu keduanya berusaha untuk mengikuti orang itu. Namun ketika orang itu keluar dari padukuhan dengan memanjat dinding agak jauh dari regol, maka keduanya agak mengalami kesulitan. Orang itu telah berlari-lari kecil di pematang, sementara tanamannya masih terlalu rendah untuk melindungi tubuh anak-anak muda itu.
Tetapi satu hal yang mereka ketahui, bahwa orang itu telah menuju ke arah padukuhan tempat serombongan penari janggrung beserta pengiringnya bermalam.
Kedua anak muda itu rasa-rasanya telah mendapat kepastian. Tetapi mereka akan meyakinkannya. Besok malam mereka akan melihat tari janggrung itu.
Tanpa memberitahukan pengamatannya itu kepada orang lain, maka Bharata dan Kasadha benar-benar telah melihat tari janggrung di malam berikutnya. Ternyata kehadirannya tidak menarik perhatian karena keduanya tidak memakai pakaian keprajuritan mereka. Bahkan mereka berusaha untuk berada di tempat yang kegelapan.
Tetapi perhatian mereka sama sekali tidak tertuju kepada lima orang tledek yang menari dengan solah bawa yang berlebihan itu. Tetapi perhatian kedua orang anak muda itu justru tertuju kepada pengendangnya.
Bharata memberikan isyarat bahwa orang itu benar-benar orang yang mereka lihat semalam.
"Ya. Tahi lalat itu memang tahi lalat buatan," desis Kasadha.
"Kita harus cepat bertindak," berkata Bharata.
"Kita menemui Ki Lurah. Kita mohon wewenang untuk menangkapnya," berkata Kasadha.
Keduanyapun dengan diam-diam telah meninggalkan tempat pertunjukkan yang menjadi semakin ramai itu. Bahkan anak-anakpun sulit untuk dicegah melihat adegan-adegan yang menggetarkan jantung di antara para tledek dan laki-laki yang bagaikan kehilangan nalarnya dan menari-nari tanpa irama di arena menjadi tontonan orang banyak, yang tanpa mereka sadari, maka uang mereka keping demi keping telah mengalir dari kantong ikat pinggang mereka yang lebar dan terbuat dari kulit ke tangan tledek-tledek yang telah mempesona mereka itu.
Bharata dan Kasadha dengan tergesa-gesa telah berusaha menemui Ki Lurah. Mereka telah mempunyai keterangan yang agak lengkap untuk mengambil langkah.
"Seluruh rombongan penari janggrung itu harus ditangkap Ki Lurah," berkata Bharata.
"Kami yakin mereka adalah orang-orang Mataram atau setidak-tidaknya mereka telah dikirim oleh Mataram sengaja untuk membuat ketahanan di Kademangan ini menjadi rapuh." sambung Kasadha.
"Kenapa kalian baru memberikan laporan sekarang?" bertanya Ki Lurah.
"Kami baru mendapat kepastian sekarang," jawab Bharata, "selama ini kami memang berusaha untuk mengumpulkan kenyataan-kenyataan tentang kemungkinan orang-orang Mataram yang telah memasukkan racunnya ke dalam padukuhan-padukuhan di Kademangan ini. Namun baru sekarang kami berani mengambil kesimpulan."
Dengan singkat Kasadha memang memberikan uraian tentang langkah-langkah yang telah diambilnya. Sehingga akhirnya mereka sampai pada suatu kesimpulan.
"Baiklah," berkata Ki Lurah, "tetapi kalian harus memperhitungkan kemungkinan, bahwa para pengiring tari janggrung itu bukan pengamen kebanyakan. Mungkin mereka adalah prajurit-prajurit yang justru terpilih, sehingga mereka akan dapat mempertahankan diri jika kalian ingin menangkap mereka. Bahkan mungkin ada pula di antara orang-orang yang menonton yang kebanyakan kurang saling mengenal karena mereka berdatangan dari banyak padukuhan, bahkan padukuhan-padukuhan di luar Kademangan ini, maka kalian harus memperhitungkannya."
"Kami akan bersiap sebaik-baiknya menghadapi mereka Ki Lurah," jawab Bharata.
"Berapa kelompok pasukan yang kalian perlukan?" bertanya Ki Lurah.
"Paling sedikit tiga kelompok Ki Lurah," jawab Bharata, "pengiring tari itu jumlahnya kira-kira sebelas sampai tiga belas orang. Mungkin ada di antara para penonton yang sebenarnya adalah pengikut mereka."
"Aku akan memerintahkan lima kelompok prajurit bersama dengan kalian."
Dengan sikap seorang prajurit, maka Ki Lurah Dipayudapun segera memanggil delapan orang pemimpin kelompok saat itu juga. Dengan jelas Ki Lurah memberikan perintah kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan. Sementara seorang di antara para pemimpin kelompok itu dengan kelompoknya sedang bertugas di Kademangan dan sekitarnya dan seorang lagi bersama kelompoknya sedang meronda.
Dua orang dari kelompok yang tidak ikut serta dalam tugas itu harus mencari dan menghubungi kelompok yang sedang meronda, sedangkan dua orang pemimpin kelompok yang lain harus mempersiapkan prajuritnya di Kademangan, bergabung dengan mereka yang bertugas. Satu kelompok lagi adalah kelompok cadangan yang mungkin justru harus bergerak cepat jika perintah jatuh.
"Aku akan berada di antara kelima kelompok yang akan menangkap rombongan tari janggrung itu," berkata Ki Lurah, "Aku akan mengajak Ki Demang serta sebagai saksi bahwa yang kami lakukan dibatasi oleh paugeran bagi seorang prajurit, sehingga kami tidak akan melakukan apapun yang dapat dianggap merugikan Kademangan ini." Ki Lurah berhenti sejenak, lalu iapun memberikan perintah, "Siapkan para prajurit di halaman. Aku akan membangunkan Ki Demang sebentar."
Para pemimpin kelompokpun kemudian telah membangunkan semua prajurit yang sedang tidur dan dengan cepat menyiapkan mereka di halaman.
"Periksa semua senjata," perintah para pemimpin kelompok.
Sementara para prajurit bersiap-siap, Ki Lurah Dipayudapun telah membangunkan Ki Demang untuk diajak bersama mereka melakukan tugas sehingga ia akan dapat menjadi saksi atas apa yang telah dilakukan mewakili seisi Kademangan itu selain kewajibannya sebagai seorang Demang.
Sejenak kemudian pasukan itu bergerak dengan cepat. Ki Lurah Dipayuda telah memberikan perintah untuk memecah pasukan yang lima kelompok itu menjadi dua. Tiga kelompok akan memasuki padukuhan yang menjadi arena permainan janggrung itu dari satu arah, sementara dua kelompok yang lain, akan memasukinya melalui pintu gerbang induk yang lain. Keduanya akan dengan cepat mengepung arena dari jarak yang tidak terlalu dekat.
"Jika terjadi perlawanan ada tempat bagi orang-orang tidak terlibat dalam perlawanan itu," perintah Ki Lurah. Tetapi perintahnya yang lain, "Jangan seorangpun yang dibiarkan lolos, termasuk semua penontonnya."
Demikianlah, maka dengan diam-diam arena janggrung itu telah terkepung rapat dari jarak satu halaman. Lima kelompok prajurit yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Dipayuda telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Ki Lurah Dipayuda sendiri bersama Ki Demang ada di antara para prajurit dari dua kelompok yang mendapat tugas langsung memasuki arena. Kelompok yang dipimpin oleh Bharata dan Kasadha, yang oleh Ki Lurah dianggap paling banyak mengetahui persoalan yang mereka hadapi.
Namun meskipun orang-orang yang ada di arena itu mencurahkan segala perhatiannya kepada para penari di arena serta beberapa orang laki-laki yang ikut menari bersama mereka, beberapa orang sempat juga melihat kehadiran para prajurit Pajang. Bahkan agaknya pemimpin dari rombongan tari janggrung itulah yang telah memasang beberapa orang untuk mengawasi keadaan.
Karena itu, maka kehadiran para prajurit itupun segera diketahui oleh orang-orang yang termasuk dalam rombongan tari janggrung itu.
Ternyata mereka telah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka dengan satu isyarat, tiba-tiba semua oncor telah dipadamkan. Beberapa orang telah bergerak dengan cepat, memadamkan oncor-oncor yang menerangi arena serta sekitarnya.
Dengan demikian, maka segera telah terjadi kekacauan. Orang-orang yang mengerumuni arena itu saling berlari-larian. Mereka saling melanggar yang satu dengan yang lain karena arena itu telah menjadi gelap.
Tetapi para prajurit Pajangpun telah bersiap pula. Dengan isyarat, maka dua kelompok telah memasuki arena, sementara yang lainpun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Dalam kegelapan itu tiba-tiba saja telah terdengar aba-aba, "Semua orang tinggal di tempat. Yang tidak merasa dirinya terlibat dalam satu gerakan sandi, supaya tidak mencampuri persoalan yang akan timbul, atau menanggung akibat yang parah."
Suara itu mengumandang di halaman yang memang agak luas itu. Tetapi sulit untuk mengendalikan orang-orang yang ketakutan itu. Apalagi dalam kegelapan.
Namun satu-satu oncorpun mulai menyala. Beberapa orang prajurit ternyata telah membawa oncor dari regol dan menyalakan oncor yang ada di halaman. Bahkan beberapa orang prajurit telah mengambil oncor dari regol-regol yang lain dan menempatkannya di seputar halaman yang agak luas itu.
Para pengiring tari janggrung itu ternyata sudah tidak ada di belakang gamelan yang masih berjajar di halaman. Namun para prajurit telah berhasil menangkap para penari yang memakai pakaian khusus sehingga mudah dikenali dan membawa mereka menepi. Di bawah penjagaan beberapa orang prajurit, maka mereka diperintahkan untuk tetap berada di tempatnya.
"Jika ada di antara kalian yang berbuat aneh-aneh, maka kami akan mengambil tindakan tegas," geram seorang prajurit.
Ternyata para penari janggrung itu bukan penari kebanyakan. Meskipun mereka diancam dengan senjata, namun mereka tetap tenang. Nampaknya ketika mereka menerima tugas itu, mereka telah mendapat petunjuk-petunjuk yang lengkap tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka.
"Hati-hati dengan mereka," perintah salah seorang pemimpin kelompok kepada prajurit-prajuritnya.
Tetapi ketika pemimpin kelompok itu pergi, terdengar penari-penari janggrung itu justru tertawa tertahan-tahan.
"Diam," geram seorang prajurit.
Seorang penari justru mendekatinya. Meraba lengannya sambil tersenyum. Katanya, "Jangan terlalu galak begitu Kakang. Kita sama-sama sedang bekerja mencari nafkah. Namun cara kita yang berbeda. Kakang menjadi seorang prajurit, aku menjadi seorang penari."
"Tutup mulutmu," bentak prajurit itu, "kau kira aku menjadi seorang prajurit sekedar mencari makan" Ayahku mempunyai sawah lebih dari tujuh bahu. Ibuku seorang pedagang kain tenun yang berhasil. Aku tidak membutuhkan uang jika hanya itu yang aku inginkan."
Tledek itu justru mencubitnya sambil berkata, "Jadi kau anak seorang kaya" Menarik sekali. Kau tampan, kaya dan penuh pengabdian."
Tetapi tledek itu terkejut. Prajurit itu sama sekali tidak terpengaruh oleh sikapnya. Bahkan ia telah didorong sehingga hampir terjatuh.
Dengan marah tledek itu berkata, "Kau hanya berani berbuat begitu terhadap seorang perempuan."
Tetapi kawan-kawannya justru tertawa kecil. Seorang di antara keempat kawannya berkata, "Jangan marah. Kau akan cepat menjadi tua."
Tledek yang marah itu tiba-tiba saja ikut tertawa. Bahkan katanya, "Kakang, marilah sekali-sekali kita menari bersama. Jika perlu, bukan kau yang membayar. Tetapi akulah yang akan membayar jika kau mampu mengimbangi tarianku."
Prajurit itu menjadi sangat marah. Tetapi ia harus menahan diri. Betapapun dadanya serasa sesak, tetapi sebagai seorang prajurit ia tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Namun demikian ia merasa berhak untuk menjaga kehormatannya.
Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba saja kawannya, seorang prajurit yang lain justru telah tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata sambil mencibir, "Apapun yang kau lakukan perempuan cantik, namun kita semua tahu, bahwa kau adalah seorang tledek. Seorang yang tidak akan dapat dipercaya apapun yang kau katakan. Kau mencoba membujuk kawanku dengan kata-kata manis dan tingkah laku yang berlebih-lebihan. Tetapi justru itulah yang membuat kami menjadi muak."
Penari itu mencoba untuk tetap tersenyum. Katanya, "Kau iri hati" Baiklah, aku akan mengelus keningmu dengan jari-jari penariku."
"Tanganmu tentu tidak sehalus yang diduga orang. Di dalam kehidupanmu yang tidak menentu, kau tentu pernah melakukan kerja kasar. Bahkan mungkin menjadi orang upahan membawakan barang-barang di pasar saat orang kaya berbelanja. Atau kau justru melakukan pekerjaan yang paling kasar yang pernah dilakukan oleh seorang perempuan. Pekerjaanmu sebagai seorang tledek memang memungkinkan. Pekerjaan yang terkutuk." suara prajurit itu menjadi semakin tinggi.
"Kau gila," perempuan itu menjadi marah sekali. Kawan-kawannya tidak tertawa lagi. Merekapun ikut menjadi marah.
Tetapi prajurit itu berkata selanjutnya, "Kau tidak pantas singgah di kehidupan laki-laki yang manapun juga."
Seorang di antara para tledek itu melangkah maju. Tangannya sudah siap memukul mulut prajurit itu. Tetapi prajurit itu berkata, "Nah, inilah yang aku tunggu. Kau membuat kawanku marah sekali. Tetapi tidak ada alasan baginya untuk memukulmu. Jika kau mau memukul aku sekali saja, maka aku mendapat alasan untuk memukulimu meskipun kau seorang perempuan, karena kau sudah memukul lebih dahulu seorang prajurit yang sedang bertugas apalagi dalam keadaan yang gawat seperti sekarang."
Tledek itu mengurungkan niatnya. Ia melihat prajurit itu bersungguh-sungguh, sehingga jika ia memukulnya, maka agaknya prajurit itu benar-benar akan membalasnya. Karena itu, maka niatnya telah diurungkan. Ia berhasil berdiri bersama keempat kawannya yang lain sambil mengumpat-umpat kotor meskipun diucapkan oleh seorang perempuan.
Tetapi prajurit-prajurit itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka melakukan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab menghadapi keadaan yang gawat itu.
Sementara itu, para prajurit yang lain telah mulai berusaha mengatur orang-orang yang masih kacau balau. Mereka telah digiring untuk menuju ke pendapa.
"Semua duduk di tangga mengelilingi pendapa. Cepat. Siapa yang tidak melakukannya, akan dipaksa dengan kekerasan," teriak Bharata.
Tetapi para penabuh gamelan dari rombongan penari janggrung itu ingin mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Tetapi mereka terhalang oleh para prajurit yang mengepung halaman itu. Tiba-tiba saja mereka telah berloncatan masuk dan berdiri di seputar halaman dan kebun melekat dinding.
Dengan demikian, maka orang-orang yang termasuk pengiring gamelan dari para penari janggrung itu tidak lagi mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. Mereka menyadari bahwa mereka telah terkepung. Para prajurit Pajang nampaknya telah membuat rencana yang sangat rapi dan tiba-tiba sehingga mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa hal itu akan dilakukannya. Justru tanpa mengikut sertakan para pengawal. Menurut perhitungan pimpinan rombongan tari janggrung itu, setiap langkah, Ki Lurah Dipayuda tentu akan mengikut sertakan para pengawal. Jika demikian, maka para pengiring tari janggrung itu tentu akan segera mengetahuinya.
Namun yang terjadi itu begitu tiba-tiba, sehingga pimpinan rombongan itu tidak sempat memberikan isyarat apapun keluar Kademangan.
Tetapi mereka tidak dapat tinggal diam. Dalam keadaan yang demikian, maka mereka harus mengambil sikap.
Karena itulah, maka pimpinan rombongan itupun telah bersuit nyaring. Satu perintah untuk melakukan perlawanan sejauh dapat dilakukan dan menghilang jika mungkin.
Sementara itu, beberapa orang telah berhasil dipaksa duduk di tangga pendapa. Namun sementara itu, para prajurit yang lain telah menghadapi sikap orang-orang yang ingin mereka tangkap. Karena itu, maka para prajurit itupun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Beberapa saat kemudian, telah terjadi pertempuran di antara para prajurit Pajang dengan orang-orang yang memang dengan sengaja ingin mengacaukan tata kehidupan di Kademangan Randukerep.
Para prajurit Pajang yang jumlahnya lebih banyak itu, telah mampu membatasi gerak lawan-lawannya. Beberapa orang telah dapat dipisahkan dari orang-orang yang tidak tahu menahu tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.
Namun ternyata orang-orang yang menjadi penabuh gamelan para penari janggrung itu adalah orang-orang yang berilmu melampaui kemampuan para prajurit kebanyakan. Karena itu, maka para prajurit kemudian di antara mereka yang menjadi penabuh gamelan itu mampu melawan dua atau tiga orang prajurit dalam pertempuran yang menentukan.
Untuk beberapa saat Ki Lurah Dipayuda mengamati keadaan. Bersama Ki Demang ia menyaksikan, bagaimana para prajurit Pajang berusaha mengatasi keadaan yang rumit itu. Ki Demangpun melihat, bahwa para prajurit itu bertindak dengan hati-hati sehingga mereka tidak menyeret orang-orang Kademangan itu ke dalam keadaan yang riuh itu, maka Ki Demang tentu akan dapat memakluminya.
Demikianlah, maka beberapa lama kemudian, para prajurit Pajang berhasil memisahkan orang-orang padukuhan yang datang untuk melihat tari janggrung dengan rombongan tari janggrung itu sendiri. Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin seru. Masing-masing dengan jelas mampu melihat lawan-lawan mereka.
Para prajurit Pajang memang harus mengakui, bahwa para penabuh gamelan dari serombongan penari janggrung itu adalah tentu prajurit-prajurit yang justru terpilih. Dengan tangkas mereka mempertahankan diri menghadapi prajurit Pajang yang jumlahnya berlipat itu.
"Menyerahlah," terdengar suara Kasadha lantang, "kalian telah terkepung. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi."
Tetapi suara Kasadha bagaikan hilang saja ditelan dentang senjata beradu. Teriakan-teriakan para prajurit yang bertempur serta aba-aba dari para pemimpin kelompok yang lain.
Namun Kasadha berteriak lebih keras lagi sehingga suaranya bagaikan menggetarkan udara malam, "Menyerahlah."
Tetapi pertempuran masih berlangsung. Para prajurit Pajang yang mengepung tempat itupun telah terlibat pula dalam pertempuran yang semakin sengit.
Ki Lurah Dipayuda yang melihat kelebihan orang-orang Mataram memang menjadi berdebar-debar. Bahwa orang-orang Mataram itu mampu melawan dua atau tiga orang sekaligus, segera mempengaruhi ketabahan hati para prajurit Pajang.
Karena itu, maka Ki Lurah Dipayuda itupun telah berdesis, "Ki Demang, usahakan untuk menguasai orang-orang Kademangan ini. Kami akan menangkap orang-orang itu. Mereka akan dapat menjadi sumber keterangan tentang gerakan pasukan Mataram di sekitar Kademangan ini."
Ki Demang mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki Lurah. Aku akan mengusahakannya."
"Beberapa orang prajurit akan membantu Ki Demang," berkata Ki Lurah.
Demikianlah, maka Ki Lurah Dipayudapun kemudian telah langsung turun ke medan. Ketika ia melihat seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi bertempur melawan tiga orang prajurit, maka iapun telah mendekatinya.
Tetapi sebelum ia ikut campur, seseorang telah mendekatinya sambil berdesis, "Ki Lurah Dipayuda."
Ki Lurah Dipayuda berpaling. Sambil mengerutkan keningnya ia mencoba mengenali orang yang menyapanya itu.
"Apakah kau sudah terlalu pikun sehingga tidak dapat mengenali aku lagi?" bertanya orang itu.
"Siapa?" desis Ki Lurah Dipayuda.
Cahaya oncor di kejauhan memang tidak terlalu terang, sehingga wajah orang itu tidak begitu jelas nampak. Namun Ki Lurah rasa-rasanya memang pernah mengenal orang itu.
"Aku, Ki Lurah," berkata orang itu, "bukankah kita sering mendapat kesempatan untuk berlatih sodoran di atas punggung kuda" Aku tahu, Ki Lurah memiliki kemampuan yang tinggi dalam sodoran. Tetapi sayang, Ki Lurah tidak begitu cepat bergerak dalam pertempuran di atas kaki kita sendiri."
"O," Ki Lurah mengangguk-angguk, "aku ingat sekarang. Kau Ki Lurah Tapajaya yang digelari orang Macan Gupuh."
Orang itu tertawa. Katanya, "Nah, akhirnya Ki Lurah teringat pula."
"Jadi kau berada di Mataram sekarang?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Ya, Ki Lurah. Apaboleh buat. Bukankah sejak di Pajang aku adalah seorang kepercayaan Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar" Bukan kepercayaan di medan perang, tetapi sekedar kepercayaan memelihara kudanya," berkata Ki Lurah Tapajaya.
"Jadi kaukah yang memimpin gerombolan yang dengan sengaja telah merusak tata kehidupan di Kademangan Randukerep ini?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Bukan Ki Lurah," jawab Ki Lurah Tapajaya, "aku hanya ditunjuk sebagai salah seorang pengiring. Aku kebetulan memiliki kemampuan menabuh gamelan."
"Siapa yang memimpin gerombolan ini?" bertanya Ki Lurah.
"Ah, kau tidak usah mencarinya, meskipun barangkali kau juga pernah mendengar namanya," jawab Ki Lurah Tapajaya.
"Siapa?" desak Ki Lurah Dipayuda.
"Ki Rangga Selamarta," jawab Ki Lurah Tapajaya.
"Ki Rangga Selamarta?" Ki Lurah Dipayuda terkejut.
"Ya. Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala," jawab Ki Lurah Tapajaya.
"Bukan main," geram Ki Lurah Dipayuda, "jadi semuanya orang-orang yang pernah memiliki nama besar di Pajang. Orang-orang yang sulit dicari bandingnya."
"Itulah sebabnya kita tidak mudah untuk melakukan seperti yang kalian minta. Nampaknya kami memang tidak akan menyerah."
Ki Dipayuda memang menjadi cemas. Orang-orang yang disebut namanya, serta Ki Lurah Tapajaya sendiri adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka para prajuritnya harus bekerja keras untuk mengatasi mereka.
"Nah Ki Lurah," berkata Ki Lurah Tapajaya, "pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas prajurit-prajuritmu. Kedua orang itu sulit untuk ditundukkan. Apalagi sebagian dari prajurit-prajuritmu adalah orang-orang baru."
Ki Lurah Dipayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kau tidak usah menakut-nakuti aku. Kau dapat menyebut nama-nama orang berilmu tinggi. Tetapi tentu hanya namanya saja yang ada di sini, karena orangnya tentu tidak akan sempat melakukannya."
"Jadi kau tidak percaya bahwa Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala ada disini?" bertanya Ki Lurah Tapajaya.
Ki Lurah memang ragu-ragu. Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya.
"Untunglah, aku telah mengirim lima kelompok prajurit," berkata Ki Lurah Dipayuda di dalam hatinya, "jika kurang dari itu, maka para prajurit Pajanglah yang akan mengalami kesulitan menghadapi orang-orang yang telah menyamar menjadi penabuh gamelan dalam rombongan penari janggrung itu."
Karena itu, maka Ki Lurah Dipayuda itu berkata, "Orangku jauh lebih banyak dari orang-orangmu."
"Apakah jumlah itu sangat menentukan" Ki Lurah Dipayuda. Kau adalah seorang prajurit yang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Kau dalam sekilas tentu dapat menilai, apa yang akan terjadi jika pertempuran ini diteruskan." Ki Lurah Tapajaya berhenti sejenak, lalu, "karena itu, beri kesempatan saja kami meningkatkan arena ini."
Tetapi Ki Lurah Dipayuda menjawab, "Seandainya kau yang mendapat tugas sebagaimana aku lakukan ini, apakah kau akan melepaskan lawan-lawanmu meskipun mereka pernah menjadi sahabatmu?"
"Aku kira aku cukup bijaksana untuk melakukan hal itu, karena aku tidak mau disebut pembunuh yang kejam bagi prajurit-prajuritku sendiri," jawab Ki Lurah Tapajaya.
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Kematian demi kematian akan terjadi disini. Lawan-lawan Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala akan mati seorang demi seorang. Itu adalah tanggung jawabmu karena kau tidak berusaha mencegahnya," berkata Ki Lurah Tapajaya.
"Aku tahu jalan pikiranmu," sahut Ki Lurah Dipayuda, "tetapi itu bukan jalan pikiran prajurit Pajang. Mungkin itu jalan pikiran baru yang berkembang di antara para prajurit Mataram."
Ki Lurah Tapajaya tertawa pendek. Katanya, "Tetapi pertimbangkan baik-baik Ki Lurah."
"Aku sudah mempertimbangkannya. Aku sudah dibekali sikap prajurit Pajang, sehingga aku yakin bahwa keputusanku tidak akan salah," jawab Ki Lurah Dipayuda.
"Baiklah," berkata Ki Lurah Tapajaya, "kita akan mulai. Kita adalah orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok yang memang harus bertempur."
Ki Lurah Dipayuda tidak menjawab. Iapun segera bersiap. Namun rasa-rasanya sulit baginya untuk memusatkan perhatiannya kepada lawannya, karena mau tidak mau ia harus memikirkan kehadiran dua orang perwira yang namanya telah banyak dikenal di Pajang sebelumnya.
Namun sebelum keduanya mulai, Ki Tapajaya sempat berdesis, "Nah, apakah kau tidak yakin bahwa Ki Rangga Selamarta ada disini?"
Ki Dipayuda berpaling ke arah sudut pandangan Ki Lurah Tapajaya. Seorang yang berpakaian lusuh seperti Ki Tapajaya tengah bertempur dengan garangnya. Ketika keduanya berloncatan tidak terlalu jauh dari sebuah oncor, maka Ki Lurah Dipayudapun segera mengenalinya. Orang itu memang Ki Rangga Selamarta.
Tetapi kedua orang itu justru diam mematung. Orang yang disebut memiliki ilmu yang tinggi dan sulit untuk ditundukkan itu ternyata tengah bertempur dengan seorang prajurit Pajang yang ternyata mampu mengimbanginya. Justru seorang prajurit yang masih muda. Bharata.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Ki Dipayuda sendiri tidak yakin akan penglihatannya. Namun ternyata pertempuran itupun berlangsung dengan sengitnya. Prajurit Pajang yang muda itu mampu mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan ilmu Ki Rangga Selamarta.
"Iblis manakah yang telah mampu melawan Ki Rangga itu?" bertanya Ki Lurah Tapajaya di luar sadarnya.
Ki Lurah Dipayuda yang kemudian yakin bahwa prajurit Pajang itu adalah Bharata menjawab, "Itulah kenyataannya Ki Lurah."
Ki Lurah Tapajaya seakan-akan tidak percaya pada penglihatannya. Bahkan iapun kemudian berkata, "Kita akan melihat, apa yang dilakukan oleh Ki Rangga Sanggabantala."
"Jadi, kita tidak akan bertempur?" bertanya Ki Lurah Dipayuda.
"Bukan begitu. Aku hanya minta waktu," jawab Ki Lurah Tapajaya.
Keduanyapun kemudian telah menyelinap di antara pohon-pohon perdu di halaman samping. Ketika mereka sampai ke sudut rumah, maka mereka melihat dua orang yang sedang bertempur dengan keras dan garang.
Seorang di antara mereka adalah Ki Rangga Sanggabantala, yang juga dalam pakaian penyamarannya.
Namun ternyata bahwa Ki Rangga juga mendapat seorang lawan yang mampu mengimbangi ilmunya. Ki Lurah Dipayuda segera dapat mengenalinya pula, Kasadha, salah seorang pemimpin kelompok yang masih muda, sebagaimana Bharata, meskipun Ki Lurah menganggap bahwa Kasadha sedikit lebih tua dari Bharata.
"Kau lihat Ki Lurah," desis Ki Lurah Dipayuda yang sebelumnya tidak pernah menduga bahwa kedua anak muda itu akan mampu mengimbangi kemampuan kedua orang perwira Pajang yang telah berpihak kepada Mataram itu.
Ki Lurah Dipayuda memang sudah mendapat keterangan tentang kelebihan kedua orang anak muda itu dari pelatih mereka. Tetapi Ki Lurah Dipayuda belum pernah melihat puncak dari kemampuan kedua anak muda itu. Sementara itu Kasadha dan Bharata sendiri memang tidak pernah dengan sengaja memamerkan kemampuan mereka. Bahkan dalam setiap kesempatan keduanya seakan-akan sepakat untuk membatasi tataran kemampuan mereka yang mereka perlihatkan, agar mereka tidak terlalu menarik perhatian.
Tetapi ketika mereka berada di pertempuran dengan taruhan nyawa mereka dan nyawa para prajurit mereka, keduanya memang tidak mengekang diri lagi. Ketika keduanya melihat orang-orang Mataram yang dengan mudah mendesak para prajurit Pajang yang bertempur berpasangan, maka keduanya benar-benar telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka.
Sebenarnyalah Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala terkejut menghadapi prajurit-prajurit muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan mampu mengimbangi kemampuan mereka.
"Ini tidak mungkin," geram Ki Rangga Selamarta.
Tetapi adalah satu kenyataan, ia telah bertempur dengan seorang prajurit yang masih sangat muda.
Ki Lurah Tapajaya tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Prajurit Pajang memiliki tenaga-tenaga muda yang kemampuannya di luar perhitungan mereka.
Sejenak kemudian maka Ki Tapajaya itupun berkata kepada Ki Lurah Dipayuda, "Ki Lurah, ternyata Pajang yang sudah menghadapi masa senjanya itu masih mampu menunjukkan pangeram-eramnya dengan melahirkan prajurit-prajurit muda yang pilih tanding."
"Kau harus mengakuinya, Ki Lurah," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Ya. Aku harus mengakui. Anak-anak muda itu akan segera mendapat kedudukan dalam tatanan keprajuritan Pajang. Sementara itu orang-orang tua seperti Ki Lurah Dipayuda akan segera tersingkir," berkata Ki Lurah Tapajaya.
Ki Lurah Dipayuda tersenyum. Katanya, "Aku tidak tahu, apakah memang sudah menjadi ciri orang-orang Mataram untuk mengadu domba, mempengaruhi dengan licik serta merusak tatanan kehidupan sebagaimana kalian lakukan?"
"Ki Lurah," jawab Ki Tapajaya, "seharusnya para pemimpin Pajang tanggap akan keadaan. Kami sama sekali tidak berniat dengan licik memenangkan perang. Tetapi adalah wajar bahwa di dalam perang telah dilakukan cara-cara yang akan dapat menguntungkan apalagi mampu mengurangi korban. Kami memang memperlemah ketahanan orang-orang Pajang sehingga tidak akan terjadi benturan yang keras sehingga korban di kedua belah pihak tidak akan terlalu banyak."
"Tetapi kau telah merusakkan tata kehidupan disini. Banyak keluarga yang hancur dan banyak orang-orang yang tiba-tiba saja menjadi miskin," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Kami memang berusaha mengalihkan perhatian mereka dari latihan-latihan perang yang kalian lakukan. Dengan demikian maka yang kemudian akan berhadapan adalah pasukan prajurit Pajang dan prajurit Mataram tanpa menyeret orang-orang padukuhan ini ke medan."
"Tetapi mereka harus diajari untuk mencintai kampung halaman mereka. Mereka harus menyadari bahwa mereka bertanggung jawab atas keselamatan lingkungannya," jawab Ki Lurah Dipayuda.
"Sebenarnya mereka dapat melakukan hal yang sama bagi Mataram jika mereka dapat merasakan diri mereka keluarga besar dari Mataram," jawab Ki Lurah Tapajaya. Lalu katanya, "Karena sebenarnyalah bahwa pulung keraton telah berpindah ke Mataram sesuai dengan ramalan seorang yang memiliki ketajaman penglihatan dari daerah Timur. Namun sebenarnyalah bahan restu Kanjeng Sultan Pajang memang telah diberikan kepada puteranya yang sangat dikasihinya itu."
"Satu dongeng ngayawara," desis Ki Lurah Dipayuda.
Ki Lurah Tapajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita berpijak pada sudut pandangan yang berbeda."
"Ya," jawab Ki Lurah Dipayuda, "kepentingan kitapun berbeda."
Tanpa disepakati bersama, keduanya tiba-tiba saja telah bersiap. Mereka menyadari, bahwa pembicaraan mereka memang tidak akan dapat bertemu.
"Biarlah Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala menyelesaikan tugas mereka. Aku juga akan menyelesaikan tugasku disini," berkata Ki Lurah Tapajaya.
Ki Lurah Dipayuda tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah saling menyerang. Keduanya adalah Lurah prajurit yang tangguh yang memiliki kelebihan masing-masing, sehingga Ki Lurah Tapajaya digelari Macan Gupuh.
Tetapi Ki Lurah Dipayudapun seorang yang tangkas trengginas. Kakinya memang tidak dapat bergerak secepat Ki Lurah Tapajaya. Tetapi tangannya menyambar-nyambar dengan garangnya, sehingga seakan-akan orang itu memiliki lebih dari satu pasangan tangan.
Pertempuran antara kedua Lurah prajurit itu menjadi semakin lama semakin garang. Keduanyapun telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Agaknya kedua orang yang pernah saling mengenal sebelumnya itu tidak lagi berniat untuk saling menghindari permusuhan.
Sementara itu, para prajurit Pajangpun telah bertempur dengan garangnya pula menghadapi orang-orang Mataram yang menyamar sebagai penabuh gamelan dari sekelompok penari janggrung. Namun karena jumlah para prajurit Pajang lebih banyak dari lawan-lawannya, maka merekapun telah berhasil mendesak mereka.
Para penabuh gamelan yang sebenarnya adalah prajurit-prajurit Mataram itu memang tidak banyak mempunyai harapan. Bukan karena para prajurit Pajang memiliki kemampuan lebih baik dari mereka. Tetapi para prajurit Pajang itu jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah mereka. Harapan mereka kemudian tertumpu kepada tiga orang yang dianggap memiliki ilmu tertinggi di antara mereka. Ki Lurah Tapajaya serta dua orang piyandel mereka, Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala.
Tetapi mereka bertiga ternyata telah menemukan lawan yang seimbang sehingga sulit diharapkan, bahwa mereka akan dapat membantu, apalagi mengusir para prajurit Pajang.
Di pendapa, Ki Demang dan beberapa orang prajurit tengah mengawasi orang-orang Kademangan yang tidak sempat menyingkir dari tempat itu. Tetapi orang-orang Kademangan yang datang dari berbagai padukuhan itu telah benar-benar dapat dikuasai. Mereka duduk dengan gemetar menyaksikan pertempuran yang terjadi di halaman. Di sekitar tempat mereka duduk. Sementara di sudut halaman lima orang tledek dikuasai sepenuhnya oleh beberapa orang prajurit.
Pertempuran antara para prajurit Pajang dengan orang-orang Mataram itu menjadi semakin sengit. Mereka menjadi semakin keras dan benturan-benturanpun menjadi semakin sering diiringi oleh teriakan-teriakan nyaring. Kemarahan, kebencian dan permusuhan telah menyala semakin tinggi bagaikan menjilat langit.
Ki Lurah Dipayuda masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Lurah Tapajaya. Keduanya telah mengenal ilmu masing-masing. Beberapa kali mereka bertemu di arena latihan-latihan besar. Bahkan sodoran di alun-alun disaksikan oleh para Senapati dan para pemimpin pemerintahan.
Tetapi kini keduanya tidak berdiri di arena latihan di alun-alun Pajang. Tetapi mereka benar-benar berada di arena untuk menyabung nyawa. Siapa yang lengah dari keduanya, maka taruhannya adalah umur mereka.
Karena itu, maka pertempuran di antara Ki Lurah Dipayuda dan Ki Lurah Tapajaya itu menjadi sangat sengit. Keduanya berada pada tataran yang sama. Sementara keduanya memiliki penalaran yang luas karena pengalaman merekapun sama-sama banyaknya. Mereka berdua tidak saja bertempur berlandaskan tenaga, kekuatan dan ilmu mereka. Tetapi juga dengan akal dan nalar mereka. Dengan tangkas mereka berloncatan. Tetapi dengan tangkas pula mereka mengambil sikap menghadapi saat-saat yang paling berbahaya. Keduanya saling menyerang, saling menghindar dan membenturkan ilmu mereka.
Tidak ada yang segera terdesak. Bahkan rasa-rasanya mereka akan dapat bertempur semalam suntuk tanpa ada yang kalah dan menang.
Di tempat lain, Ki Rangga Selamarta tengah bertempur melawan seorang prajurit muda dari Pajang. Namun sebelum Bharata memasuki tugas keprajuritan, ia telah memiliki bekal yang cukup sehingga menghadapi seorang perwira yang tangguh dan memiliki nama yang mencuat di kalangan para prajurit sejak ia masih mengabdi di Pajang, anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar.
Keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Mereka telah bergeser memilih tempat yang cukup luas di halaman samping. Bharata sama sekali tidak menjadi canggung untuk bertempur dengan jangkauan jarak yang panjang. Berloncatan dengan cepat dan dengan langkah-langkah yang lebar. Tangan dan kaki yang tangkas bergerak susul menyusul bergantian dalam serangan-serangan yang berbahaya.
Ki Rangga Selamarta yang tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan seorang prajurit muda dari tataran yang seharusnya tidak lebih baik dari kawan-kawannya yang ada di halaman itu, justru merasa tersinggung. Ki Rangga Selamarta adalah seorang prajurit yang keras, didukung oleh kemampuan ilmunya yang tinggi. Karena itu, maka ia merasakan satu kejanggalan, bahwa ia tidak segera dapat mengalahkan seorang prajurit biasa dari pasukan Pajang yang ada di Kademangan Randukerep itu.
Karena itu, maka Ki Rangga itupun tidak mengekang ilmunya lagi. Justru ia telah berusaha untuk dengan secepatnya mengalahkan anak yang masih dianggapnya ingusan itu.
"Ilmu iblis yang manakah yang telah kau kuasai sehingga kau mampu melawan aku, anak muda?" bertanya Ki Rangga Selamarta.
"Aku adalah seorang prajurit Pajang. Aku ditempa di barak prajurit oleh para pelatih terpilih," jawab Bharata.
"Omong kosong," geram Ki Rangga, "aku juga bekas prajurit Pajang. Tidak ada seorang prajurit, apalagi semuda kau mendapat latihan sampai pada tingkat kemampuanmu sekarang."
"Tetapi Ki Sanak juga mencapai tataran ini," desis Bharata, "bukankah berarti bahwa landasan dasar prajurit Pajang adalah tataran kemampuan ini."
"Jangan sombong anak muda," geram Ki Rangga, "lihat prajurit-prajurit yang lain. Ia tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Aku akan dapat menggilas dua tiga bahkan lima orang dalam waktu singkat. Tetapi ternyata kau mampu menghadapi aku sendiri."
"Kau salah menilai kemampuan prajurit Pajang, Ki Sanak. Mungkin prajurit-prajurit yang memasuki tugas keprajuritan sebelum aku. Tetapi mereka yang datang bersamaan dengan aku, telah memiliki landasan tataran seperti ini," berkata Bharata.
Ki Rangga Selamarta menjadi semakin marah. Anak muda itu rasa-rasanya justru mempermainkannya. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya sampai tuntas.
Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga memiliki ilmu yang tinggi. Ia bergerak semakin cepat, berputar-putar, sehingga kakinya seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah.
Tetapi Bharata adalah anak muda yang ditempa di sanggar oleh orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Bharata adalah anak muda yang telah dipersiapkan untuk mewarisi ilmu Janget Kinatelon, sehingga dengan demikian, maka ia adalah anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi pula.
Dengan demikian maka betapapun Ki Rangga Selamarta mengerahkan kemampuan dilandasi oleh kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya, namun ia tidak segera mampu mengalahkan anak muda itu.
Jantung Ki Rangga memang bergejolak menghadapi kenyataan itu. Apalagi ketika ia melihat sekilas, orang-orangnya telah berhasil di desak oleh prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya memang lebih banyak.
Dengan susah payah orang-orang yang mereka harapkan mampu melindungi mereka tertahan oleh lawan-lawan mereka yang seimbang, maka mereka memang menjadi sangat cemas. Meskipun kemampuan mereka seorang-seorang tidak kalah dari para prajurit Pajang, tetapi karena jumlah prajurit Pajang jauh melampaui jumlah mereka, maka mereka memang tidak dapat mengimbanginya. Setiap orang harus melawan dua atau lebih prajurit Pajang yang ternyata juga memiliki bekal kemampuan.
Yang kemudian bertempur dengan sengitnya pula adalah Ki Rangga Sanggabantala. Ki Rangga Sanggabantalapun merasa heran menghadapi anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa tangguhnya. Karena itu maka iapun telah bertanya, "Siapakah kau sebenarnya anak muda."
"Aku prajurit Pajang," jawab Kasadha.
"Aku tidak percaya. Prajurit Pajang tidak akan memiliki tataran ilmu setingkat dengan ilmumu. Bahkan pimpinanmu, Lurah Dipayuda itupun tidak akan mampu melawan aku. Apalagi kau, prajurit bawahan yang tidak berarti," geram Ki Rangga.
"Nah, bukankah kau sudah mengatakannya" Aku memang prajurit bawahan. Aku adalah seorang pemimpin kelompok yang membawahi sepuluh orang prajurit muda. Kami bersama-sama baru memasuki tugas keprajuritan beberapa saat lamanya," sahut Kasadha sambil berloncatan.
"Jadi kau prajurit baru?" bertanya Ki Rangga.
"Ya," jawab Kasadha.
"Pantas. Kau tentu sudah memiliki ilmu yang tinggi sejak kau belum memasuki tugas keprajuritan, sehingga kau mampu bertahan melawan aku," geram Ki Rangga Sanggabantala, "siapa namamu anak muda?"
"Kasadha," jawab Kasadha, "siapakah nama Ki Sanak?"
"Namaku Sanggabantala," jawab Ki Rangga.
"Sanggabantala," ulang Kasadha.
"Ya. Rangga Sanggabantala. Aku dipercaya untuk melakukan tugas ini bersama Ki Rangga Selamarta. Karena itu, maka tugas ini harus aku selesaikan dengan baik."
"Tugas apa" Apakah kau bertugas untuk menduduki Kademangan ini?" bertanya Kasadha.
"Tidak, Tetapi Kademangan ini tidak boleh menjadi landasan kekuatan prajurit Pajang," berkata Ki Rangga.
"Lalu, kalian datang untuk memperlemah ketahanan Kademangan ini secara jiwani," berkata Kasadha.
"Ya," jawab Ki Rangga.
"Tetapi bukankah kau tahu, bahwa usahamu itu tidak akan pernah dapat kau teruskan setelah peristiwa ini?" bertanya Kasadha.
"Dalam keadaan seperti ini, maka aku harus menghancurkan semua kekuatan Pajang disini," jawab Ki Rangga Sanggabantala.
Kasadha meloncat beberapa langkah surut. Ia sama sekali tidak terdesak oleh kekuatan Ki Rangga Sanggabantala. Tetapi ia memang mengambil jarak untuk berkata, "Bagaimana mungkin kau dapat menghancurkan kekuatan Pajang disini. Kau lihat Ki Rangga. Orang-orangmulah yang akan dihancurkan jika mereka tidak menyerah. Sementara itu, kita mendapat kesempatan untuk membuat perbandingan ilmu antara seorang perwira Mataram dengan seorang prajurit kebanyakan dari Pajang."
"Aku akui tingkat ilmumu," jawab Ki Rangga, "tetapi kau adalah orang yang khusus. Kau jangan membohongi aku tentang kemampuan prajurit Pajang yang sebenarnya, karena aku adalah satu di antara para prajurit Pajang itu."
"Baiklah," berkata Kasadha, "apapun yang pernah kita alami dalam tugas keprajuritan, namun sebaiknya kau perintahkan orang-orangmu sekarang ini menyerah."
Ki Rangga yang seakan-akan memang memberi kesempatan kepada Kasadha berbicara banyak, masih belum menyerangnya sejak Kasadha melangkah surut untuk mengambil jarak.
"Anak muda," tiba-tiba saja suara Ki Rangga merendah, "kau harus dapat memandang masa depanmu dengan terang. Sebaiknya kau memandang jauh ke depan. Kau harus menilai persoalan yang berkembang antara Mataram dan Jipang."
"Apa maksudmu?" bertanya Kasadha.
"Kenapa kau tidak memilih tempat untuk memberikan pengabdian dengan landasan ilmumu yang tinggi?" bertanya Ki Rangga Sanggabantala.
Kasadha mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa pendek, "Satu cara yang sangat baik untuk memperlemah kesanggupan lawan."
"Kau tidak sempat memikirnya sebelumnya," berkata Ki Rangga pula.
Tetapi Kasadha menggeleng sambil berkata, "Jangan mengada-ada."
"Tidak, Aku tidak mengada-ada. Tetapi aku berkata sebenarnya."
"Kau benar," berkata Kasadha.
"Jadi kau sependapat?" bertanya Ki Rangga.
"Kau benar bahwa aku tidak sempat memikirkannya. Karena itu jangan bermimpi bahwa aku akan melakukannya," jawab Kasadha.
"Anak yang tidak tahu diri," geram Ki Rangga, "baiklah. Aku hargai sikapmu. Kau ternyata seorang prajurit yang tegak di atas paugeran. Karena itu, maka kita akan mempertaruhkan keyakinan kita masing-masing dengan taruhan yang mahal."
Kasadhapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia sadar, bahwa dengan demikian Ki Rangga Sanggabantala agaknya akan bertempur habis-habis antara hidup dan mati.
Sebagai seorang anak muda maka Kasadha harus mengakui, bahwa pengalaman Ki Rangga Sanggabantala tentu jauh lebih banyak dari pengalamannya sendiri. Betapapun ia berbekal ilmu, tetapi ia harus sangat berhati-hati.
Sebenarnyalah sejenak kemudian Ki Rangga telah meloncat menyerang. Dengan nada geram ia berdesis, "Setinggi-tinggi ilmu yang kau miliki, namun kau tidak akan mampu bertahan sepenginang."
"Aku masih terlalu muda untuk mati Ki Rangga," sahut Kasadha.
Ki Rangga tidak menjawab. Tetapi ia bergerak semakin cepat. Serangan-serangannya langsung ke arah tempat-tempat yang paling berbahaya di tubuh lawannya.
Sedangkan Kasadhapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Meskipun masih muda, namun ternyata bahwa Kasadha telah mempunyai pengalaman yang lebih luas jika dibandingkan dengan Bharata. Tetapi Bharata mengalami tempaan yang lebih keras di perguruannya.
Ketika Kasadha bertempur semakin sengit melawan Ki Rangga Sanggabantala, maka orang-orang Mataram yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu telah menjadi semakin terdesak. Beberapa orang justru telah terluka bahkan ada di antaranya yang menjadi parah.
Ki Lurah Tapajaya kemudian harus melihat kenyataan itu. Meskipun pimpinan ada di tangan Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala, namun ia mendapat tugas untuk mendampingi keduanya. Sementara itu, ia sendiri menyadari, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan Ki Lurah Dipayuda, bagaimanapun juga ia mengerahkan ilmunya, sebagaimana Ki Lurah Dipayuda tidak akan mampu mengalahkannya.
Karena itu, maka menurut pertimbangan Ki Lurah Tapajaya, Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala sebaiknya berusaha meninggalkan tempat itu. Sementara prajurit Pajang yang mengepung tempat itu sudah terseret langsung ke dalam pertempuran.
Sekilas Ki Tapajaya masih melihat Ki Rangga Selamarta bertempur dengan sengitnya. Nampaknya Ki Rangga memang berusaha untuk menguras tenaga anak muda yang mampu mengimbanginya dengan pertempuran jarak panjang. Seperti seekor burung sikatan Ki Rangga menyambar-nyambar sehingga kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah. Tangannya yang berputaran rasa-rasanya menjadi lebih dari satu pasang.
Tetapi lawannya yang muda itupun mampu melakukannya pula, sehingga keduanya telah bertempur bagaikan dua bayangan yang sambar-menyambar di keremangan cahaya oncor di kejauhan.
Namun Ki Lurah Tapajayapun kemudian telah memberikan isyarat kepada kedua orang itu, agar keduanya lebih baik menyingkir saja. Mungkin para prajurit Mataram yang lain dapat saja ditangkap oleh para prajurit Pajang. Tetapi kedua orang perwira itu seharusnya tidak membiarkan dirinya menjadi tawanan. Mereka akan menjadi pangewan-ewan di antara para prajurit Pajang dan bahkan mungkin mereka akan dibawa menghadap para perwira Pajang yang sebelumnya adalah kawan-kawan mereka.
Hati Budha Tangan Berbisa 4 Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Warisan Berdarah 2
^