Sayap Sayap Terkembang 5
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 5
"Aku kira, mereka hanya membutuhkan bantuan kita untuk menanggung mereka memasuki tempat ini, karena mereka tahu, tanpa ditanggung oleh orang-orang yang sudah memiliki pertanda, maka mereka tidak akan dapat masuk," sahut kawan Kiai Windu yang justru telah terluka. Namun lukanya telah hampir sembuh dan tidak terasa pedih lagi.
Dalam pada itu, Jati Wulung yang seakan-akan mabuk itu telah bangkit dan berjalan terhuyung-huyung mendekati Puguh. Sambil tertawa-tawa Jati Wulung berkata, "He, mana tuakku" Mana bumbung tuakku?"
Sambi Wulung dengan cepat menariknya dan mendorongnya untuk duduk. Katanya, "Diam kau."
Jati Wulungpun segera duduk. Lebih dekat dengan Puguh dan para pengawalnya.
Bahkan Sambi Wulung telah mendorong Jati Wulung untuk berbaring di atas rerumputan yang mulai mengering.
"Maaf Ki Sanak," berkata Sambi Wulung.
"Bawa kawanmu itu pergi," bentak salah seorang pengawal remaja yang bernama Puguh itu.
"Aku akan membawanya pergi. Tetapi biarlah nanti jika keadaannya sudah berangsur baik. Syukurlah jika ia dapat tidur disini sebentar sehingga tidak mengganggu orang lain," berkata Sambi Wulung.
"Tapi bawa ke sebelah pohon itu," bentak yang lain.
"Ia tidak akan mengganggu Ki Sanak. Aku akan menjaganya," jawab Sambi Wulung.
Pengawal Puguh itu tidak mengatakan sesuatu. Namun mereka justru memperhatikan seorang lagi yang datang ke tempat Puguh dan kawan-kawannya itu.
Ternyata orang itu juga seorang pengawal Puguh yang membeli sebungkus makanan. Jagung bakar yang hangat dan tape ketan.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung berusaha untuk mendapat kesempatan berbicara dengan mereka. Karena itu, maka Sambi Wulungpun kemudian bertanya, "Dimana kalian dapat membeli jagung bakar seperti itu."
"Di kedai itu," jawab pengawal yang membeli jagung bakar itu, "kau orang baru disini he" Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."
"Ya," jawab Sambi Wulung, "kami baru kali ini mengunjungi tempat yang sangat menarik ini. Disini kita mendapat apa yang kita inginkan, serta melepaskan semua kehendak tanpa ada yang menghalanginya."
Pengawal Puguh itu tertawa. Katanya, "Kau terlambat mengenal tempat ini."
"Aku menyesal," jawab Sambi Wulung.
Dalam pada itu pengawal Puguh yang lain berkata, "Kenapa tiba-tiba kau terlempar kemari?"
"Satu kebetulan," jawab Sambi Wulung, namun ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, "apakah kalian sudah beberapa kali datang kemari."
"Ya. Beberapa kali," jawab pengawal itu.
Sambi Wulung termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, "Anak yang masih sangat muda itu?"
Pengawal itu berpaling ke arah Puguh. Katanya, "Angger inipun sudah beberapa kali berada disini."
"Ia masih sangat remaja. Jadi seberapa besarnya ketika ia mengenali tempat ini untuk pertama kalinya?" bertanya Sambi Wulung sambil berdebar-debar. Jika anak itu anak yang kasar, maka ia tentu akan mengumpat, bahkan mungkin berbuat sesuatu.
Tetapi ternyata anak itu hanya berpaling kepadanya sambil berdesis, "Kenapa kau ingin mengetahuinya?"
"Maaf. Aku minta maaf jika pertanyaanku ini kurang berkenan di hatimu," jawab Sambi Wulung. Lalu, "Soalnya apakah para remaja sudah tahu arti segala macam permainan disini?"
"Kau mulai menghina aku," berkata Puguh.
"Tidak. Bukan maksudku," jawab Sambi Wulung, "aku juga mempunyai anak sebesar Angger ini. Maaf, siapakah nama Angger?"
"Puguh," jawab remaja itu tanpa ragu-ragu, "namaku Puguh. Kau tertarik pada nama itu?"
"Nama yang bagus," jawab Sambi Wulung.
"Mungkin. Nama itu mungkin dapat dianggap nama yang baik. Tetapi nama itu tidak berarti apa-apa bagiku," jawab Puguh.
Sambi Wulung mulai heran menghadapi sikap anak yang bernama Puguh itu. Bahkan tiba-tiba saja anak itu bertanya, "He, Ki Sanak. Kau memikirkan keadaanku" Mungkin kau bertanya di dalam hatimu, jika kanak-kanak ingusan seperti aku berada di tempat ini, apakah jadinya aku di kemudian hari."
Sambi Wulung justru berdesah. Namun anak itu berkata selanjutnya, "Tidak seorangpun yang memikirkan hari kemudianku. Apakah aku akan menjadi seorang Tumenggung atau menjadi brandal yang paling buruk atau apapun yang ingin aku lakukan. Hidupku memang di tempat oleh kekerasan dan dendam. Apalagi?"
Sambi Wulung termangu-mangu. Namun pengawalnyalah yang berkata, "Puguh memang seorang yang bekerja keras menempa ilmunya. Mungkin terlalu keras sehingga sebagian dari masa kanak-kanaknya hilang."
Hampir di luar sadarnya Sambi Wulung berkata, "Sebenarnya masa remajamu dapat kau nikmati. Tetapi justru tidak disini."
"Aku tidak mempunyai tempat yang lain yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku selain disini," jawab Puguh, "agaknya disini aku dapat berbuat apa saja dengan tanggung jawabku sendiri bersama orang-orang yang memang diserahkan kepadaku untuk mengawani aku disini."
"Tetapi beaya kesenanganmu di tempat ini terlalu mahal," berkata Sambi Wulung.
"Jika aku kalah. Tetapi jika aku menang, maka aku akan mendapatkan berlipat ganda," jawab Puguh.
"Kau pernah memenangkan permainan disini?" bertanya Sambi Wulung.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak. Aku belum pernah menang. Tetapi kalau tidak kalah aku memang pernah. Maksudku tidak kalah dan tidak menang. Aku keluar dari tempat ini membawa uang sebagaimana aku memasukinya. Tetapi akupun pernah ditipu orang disini. Memang mengherankan, bahwa di tempat seperti ini ada juga orang yang berani menipuku."
"Ditipu orang?" Sambi Wulung mengulang.
Tetapi Puguh tidak mau menjawab. Bahkan iapun berkata, "Panggil perempuan yang sedang menari itu. Berapa saja ia minta uang."
"Untuk apa kau panggil penari itu?" hampir di luar sadarnya Sambi Wulung bertanya.
Puguh tertawa. Katanya, "Kau tahu, bahwa aku sudah memasuki lingkungan ini sejak beberapa tahun sebelumnya. Sekarang umurku telah mendekati lima belas. Aku sudah dewasa sekarang."
"Belum. Kau belum dewasa," desis Sambi Wulung.
Puguh tertawa. Namun katanya kemudian, "Bawa kawanmu yang mabuk itu pergi. Aku tahu, kau tidak senang akan sikapku. Tetapi kau harus ingat, bahwa kita berada di Song Lawa. Disini tidak ada kewajiban untuk menyenangkan orang lain."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi Puguh berkata, "Bawa kawanmu yang mabuk itu pergi."
Sambi Wulung tidak mau memberikan kesan bermusuhan dengan orang yang ingin diketahui keadaannya lebih jauh itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Kami akan pergi."
Sambi Wulungpun kemudian telah mengguncang Jati Wulung yang masih terbaring. Tetapi Jati Wulung sama sekali tidak menjawabnya. Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah mengangkat dan memapah Jati Wulung untuk membawanya pergi.
Keduanya menyusuri dinding Song Lawa yang remang-remang oleh cahaya obor. Namun kemudian keduanya telah turun ke lorong yang langsung menuju ke dalam barak mereka.
"Bawa aku ke dalam bilik," berkata Jati Wulung.
"Kaulah yang ganti harus menggendongku semalam suntuk," geram Sambi Wulung, "kau kira kau tidak cukup berat."
"Pergunakan tenaga cadangan dan ilmumu untuk memapah aku," desis Jati Wulung.
"Gila kau," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung tertawa. Tetapi ia masih tergantung dipundak Sambi Wulung.
Mereka tertegun ketika mereka bertemu dengan Kiai Windu dan kawan-kawannya sebelum mereka memasuki pintu barak. Kiai Windupun telah tertawa sambil berkata, "besok, biarlah aku yang berpura-pura mabuk."
"Sst," desis Jati Wulung.
"Tidak ada orang," jawab Kiai Windu, "semua orang sudah keluar dari biliknya."
Jati Wulung tidak menyahut. Tetapi demikian mereka memasuki barak itu, maka Sambi Wulung telah mendorong Jati Wulung sambil berkata, "berjalanlah sendiri."
Jati Wulung hampir saja menimpa dinding. Namun ia tertawa sambil berkata, "besok harus dilakukan lagi jika kau ingin berbicara dengan anak muda yang lain."
Sambi Wulung menjawab, "Tidak perlu. Tanpa mabuk-mabukan dapat dicari cara lain. Aku sudah cemas bahwa orang-orang itu akan dapat mengetahui bahwa kau hanya berpura-pura."
"Aku sudah melakukan perananku dengan baik sekali," jawab Jati Wulung.
"Tetapi mulutmu sama sekali tidak berbau tuak," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung tiba-tiba saja tertawa. Namun iapun kemudian telah berjalan ke bilik mereka.
Dalam pada itu, bilik-bilik yang lain memang masih kosong. Para penghuninya masih saja melihat keramaian di sudut-sudut lingkungan Song Lawa yang merupakan dunia tersendiri.
Ketika mereka memasuki barak mereka, Jati Wulung berdesis, "Apa saja yang kemudian dilakukan oleh Puguh?"
"Jangan sebut itu. Aku tidak berani membayangkannya," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung memang tidak mengatakannya lebih lanjut, sehingga karena itu, maka iapun telah terdiam.
Tetapi dalam kediamannya Jati Wulung itupun telah berbaring di pembaringannya.
"Apakah kita tidak akan keluar lagi?" bertanya Kiai Windu.
"Aku ingin merenungi malam ini di dalam bilik ini," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Kau dengar suara gamelan itu" Semakin malam menjadi semakin panas. Penarinya berganti-ganti tanpa habis-habisnya."
"Besok kita dapat menemui mereka di Kedai," berkata Jati Wulung sambil memejamkan matanya.
"Tetapi dalam keadaan yang berbeda," jawab Kiai Windu.
"Aku sedang mabuk sekarang," jawab Jati Wulung.
Merekapun kemudian tertawa. Namun suara tertawa merekapun terputus ketika mereka mendengar suara perempuan melengking. Agaknya perempuan yang berada di bilik sebelah itupun telah kembali ke dalam biliknya.
"Perempuan-perempuan yang tidak tahu akan harga dirinya," geram perempuan itu yang terdengar dari bilik Sambi Wulung.
"Itu sudah pekerjaannya," terdengar seorang laki-laki menyahut.
"Jika kau memerlukannya, kenapa kau ikuti aku kembali ke bilik ini?" perempuan itu membentak.
"Aku sudah mengantuk. Besok aku akan ikut bertaruh pada sabung ayam," jawab laki-laki itu. Sementara itu terdengar suara laki-laki yang lain, "uangku lebih baik aku pergunakan untuk bertaruh besok daripada harus diberikan kepada tledek-tledek itu."
"Kalian berpikir tentang uang," berkata perempuan itu, "tetapi sama sekali tidak tentang kesetiaan."
"Kesetiaan" Apa maksudmu?" bertanya laki-laki itu.
"Jika kau tidak mau bersinggungan dengan perempuan itu bukannya karena kau tidak mempunyai uang, mengantuk atau alasan-alasan lain. Tetapi semata-mata karena kalian tidak mau mengkhianati isteri kalian. Mengantuk atau tidak mengantuk, tidak mempunyai uang atau menyimpan uang sepedati, kalian sama sekali tidak akan berbicara tentang tledek-tledek seperti itu," geram perempuan itu.
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa beberapa orang laki-laki. Lebih dari dua orang. Seorang di antaranya berkata, "Apa artinya kesetiaan itu bagimu" He, jawab. Berapa kali kau sudah kawin" Bercerai, kawin lagi" Bahkan sekali waktu kau mempunyai dua orang suami."
"Tutup mulutmu," tiba-tiba saja terdengar suara pedang yang ditarik dari sarungnya.
"Sudahlah," terdengar suara berat, "sejak kemarin kau selalu menarik pedangmu. Apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada marah-marah di antara sesama kita?"
Pertengkaran itu memang mereda. Bahkan kemudian tidak lagi terdengar suara seseorang. Tetapi yang terdengar adalah hentakkan-hentakkan pada barang-barang dan alat-alat yang ada di dalam bilik sebelah.
"Tledek. itu memang dapat menimbulkan persoalan antara seorang perempuan dan laki-laki yang mungkin suaminya, bahkan orang lain sekalipun," desis Jati Wulung sambil memejamkan matanya.
"Tidur sajalah," berkata Sambi Wulung.
Kiai Windu yang kemudian juga berbaring tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kita memang beristirahat. Besok kita akan melihat sesuatu yang kita tunggu. Bukankah kalian berdua belum pernah menyaksikannya?"
"Ya," sahut Sambi Wulung, "besok kita akan menyaksikannya."
Namun ternyata Jati Wulung dan Sambi Wulung tetap tidak mau tidur bersama-sama. Bagaimanapun juga mereka tetap tidak mengetahui kemungkinan yang dapat terjadi di tempat yang belum mereka ketahui dengan jelas itu. Karena itu, maka mereka masih juga tidur bergantian.
Kiai Windu yang mengetahui kesiagaan keduanya itu hanya tersenyum saja. Meskipun dalam tingkat ilmu Kiai Windu masih di bawah kemampuan Sambi Wulung dan Jati Wulung, tetapi iapun memiliki pengalaman yang luas pula.
Sampai lewat tengah malam suara gamelan masih terdengar riuh dan panas. Penari janggrung yang turun ke arena telah berganti-ganti. Beberapa orang kepalanya telah menjadi pengap karena berkelahi. Bahkan beberapa orang telah pingsan. Satu lagi jiwa telah melayang sebelum perjudian benar-benar dimulai.
*** Dalam pada itu, Kiai Badra dan Kiai Soka yang mengamati keadaan di tempat perjudian itu dari luar mencoba untuk mendekati di malam hari. Meskipun mereka tidak melihat apa yang ada di dalam dinding yang mengelilingi tempat yang disebut Song Lawa itu, namun mereka tahu, apa yang sedang berlangsung.
"Gending-gending yang menggelitik," desis Kiai Soka.
Kiai Badra tertawa. Katanya, "Kau masih juga ingat gending-gending untuk tayub?"
"Lebih panas dari tayub yang tertib," jawab Kiai Soka, "tentu sedang berlangsung tari janggrung."
Kiai Badra masih tertawa tertahan. Katanya, "Mudah-mudahan Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak tenggelam dalam dunia yang menghanyutkan itu."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Jika aku masih tiga puluh tahun lebih muda, maka aku akan berusaha untuk memasuki tempat itu tanpa mengingat bahayanya."
"Barangkali Kiai ingin mencobanya sekarang?" bertanya Kiai Badra.
Kiai Soka juga menahan tertawanya. Namun keduanya tidak bergeser terlalu dekat dengan dinding Song Lawa.
Keduanya terpaksa bersembunyi dibalik gerumbul ketika dua orang petugas dari Song Lawa itu nganglang di sekitar dinding lingkungan perjudian itu.
Demikian petugas itu menjadi semakin jauh, maka Kiai Badra dan Kiai Soka telah keluar dari persembunyiannya.
Nampaknya belum ada persoalan yang penting yang harus mereka tangani. Menurut perhitungan kedua orang tua itu, keramaian yang diselenggarakan malam itu tentu ada maksudnya.
"Mungkin besok perjudian yang ada di dalam lingkungan Song Lawa itu akan dimulai," berkata Kiai Badra.
"Mungkin," sahut Kiai Soka, "keramaian malam ini merupakan pertanda dari permulaan itu."
"Beberapa hari persiapan-persiapan telah dilakukan dengan baik. Sehingga nampaknya segala sesuatunya memang sudah siap," berkata Kiai Badra.
"Mudah-mudahan Sambi Wulung dan Jati Wulung berhasil berhubungan dengan anak muda yang bernama Puguh itu," desis Kiai Soka.
Dengan demikian maka kedua orang tua itupun berusaha untuk dapat mengelilingi lingkungan Song Lawa, untuk melihat segala sesuatunya. Mereka tidak tahu, apakah pada satu hari keduanya terpaksa memasukinya.
Menjelang dini hari, maka kedua orang itupun mulai bergeser menjauh. Suara gamelanpun sudah menjadi semakin letih. Satu dari empat arena janggrung telah menyelesaikan kegiatannya. Tledek yang menari di arena sudah tidak kelihatan seorangpun, sementara para pemukul gamelan sudah menjadi letih pula.
Beberapa saat kemudian satu lagi telah menyelesaikan permainannya pula. Dan menjelang fajar, maka suara gamelanpun telah berhenti. Para pemukul gamelan tidak beranjak dari tempatnya. Mereka langsung saja membaringkan dirinya dan tidur di antara gamelan mereka.
Ketika fajar mulai memerah di langit, maka para petugas di Song Lawa telah siap. Mereka telah membangunkan para penabuh gamelan yang belum sempat tidur puas.
"Sebentar lagi segalanya akan dimulai. Kalian harus meramaikannya dengan suara gamelan. Sabung ayam akan menjadi ramai. Demikian pula permainan dadu. Di lapangan akan dilangsungkan panahan," berkata para petugas itu.
Meskipun masih mengantuk, namun para penabuh itu telah pergi ke pakiwan, mencuci muka dan membenahi diri bersiap di belakang gamelan. Namun mereka tidak lagi akan mengiringi tari janggrung. Mereka akan sekedar membunyikan gamelan untuk meramaikan saat dimulainya musim perjudian.
Demikianlah ketika kemudian matahari mulai naik, maka segala persiapan telah selesai. Arena sabung ayampun telah dipersiapkan sebagaimana tempat bermain dadu. Di lapangan, beberapa sasaran panahanpun telah tergantung. Bahkan di sisi lapangan terdapat sasaran yang lebih kecil yang dipergunakan untuk paseran. Untuk jenis ini dipergunakan lapangan yang tidak terlalu luas. Sasarannya memang mirip dengan sasaran untuk panahan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, leher, dada dan biasanya dipergunakan jeruk bali untuk digantungkan di bawah sasaran pokok. Mereka yang mengenai jeruk itu, justru akan mendapat denda.
Demikianlah, tanpa sesorah dan penjelasan apapun, maka seorang yang bertubuh tinggi tegap sebagaimana kebanyakan raksasa yang bertugas di tempat itu telah memukul kentongan dengan nada dara muluk.
Suara kentongan itu telah disambut oleh suara gamelan yang berada di sudut-sudut lingkungan Song Lawa itu, sehingga dengan demikian maka di seluruh lingkungan Song Lawa itu, telah diriuhkan oleh suara-suara gamelan dan beberapa kentongan yang saling bersahutan.
Suara kentongan dan gamelan itu ternyata telah bergetar dan membentur lereng Gunung Kukusan, berkumandang menelusuri lembah dan tebing-tebing curam.
Kiai Badra dan Kiai Soka yang berada di gerumbul perdu di lereng Gunung Kukusan itupun mendengar pula suara yang riuh itu. Mereka yang tidak mengetahui berbagai pertanda yang ada di Song Lawa itu hanya dapat menduga, bahwa musim perjudian saat itu telah dimulai.
Sebenarnyalah, maka arena sabung ayampun telah penuh dengan orang-orang yang akan bertaruh. Mereka harus membayar untuk memasuki arena itu. Demikian pula mereka yang memasuki barak permainan dadu dan lapangan untuk panahan dan paseran yang dianggap sebagai permainan sejenis. Bedanya, bahwa pada paseran seseorang melemparkan paser dengan tangannya ke sasaran, sementara pada panahan dipergunakan busur untuk melontarkan anak panah pada sasaran yang lebih jauh dari paseran.
Demikian matahari semakin tinggi, maka Song Lawapun menjadi semakin riuh. Taruhan-taruhanpun menjadi semakin hangat dan jumlahnyapun menjadi semakin besar.
Dalam pada itu, maka Kiai Windu telah bertanya kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "Kalian akan memasuki yang mana" Taruhan sabung ayam, permainan dadu atau ikut panahan atau paseran atau hanya sekedar ikut taruhan pada panahan dan paseran?"
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Sebenarnyalah mereka tidak memikirkan sebelumnya, kemana mereka akan pergi. Namun ketika mereka teringat bahwa anak-anak muda lebih senang berada di tempat panahan, maka Sambi Wulungpun berkata, "Aku akan melihat panahan lebih dahulu. Aku harus mengerti cara bertaruh. Baru Kemudian ikut bertaruh."
"Kalian akan ikut panahan atau sekedar bertaruh?" bertanya Kiai Windu.
"Kami akan melihat suasananya lebih dahulu," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Aku pergi bersama kalian."
"Kenapa kalian akan pergi bersama kami" Apakah kalian tidak mempunyai rencana tersendiri" Atau kalian memang ingin mengawasi kami?" bertanya Sambi Wulung.
"Jangan salah mengerti Ki Sanak," jawab Kiai Windu, "aku sudah sering datang ke tempat ini. Karena itu, aku tidak merasa perlu tergesa-gesa. Aku akan melihat-lihat dan baru kemudian menentukan apa yang akan kami lakukan. Musim perjudian ini akan dilakukan untuk waktu yang cukup lama. Jika masih banyak orang yang berminat dalam waktu sepuluh hari masih belum akan ditutup. Nah, bukankah banyak tersedia waktu untuk menghabiskan uang disini dan kemudian pergi ke bilik kecil itu untuk membunuh diri."
"Baiklah," sahut Sambi Wulung, "tetapi sebenarnya kami tidak ingin membuat kalian terikat kepada kami."
"Sudah kami katakan," Jati Wulung menyambung, "setelah berada di dalam lingkungan Song Lawa kami akan bertanggung jawab atas diri kami sendiri."
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Apa salahnya jika kita pergi bersama-sama. Setelah dua atau tiga hari, kalian akan menghubungi petugas disini bersama kami untuk mendapat pertanda bahwa kalian adalah keluarga yang sah dari tempat perjudian ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun mereka tidak menjawab lagi.
Mereka berenampun kemudian telah pergi ke lapangan panahan yang agak luas. Tempat itu memang tidak terlalu berdesakan sebagaimana tempat-tempat yang lain. Juga tidak terlalu gemuruh teriakan-teriakan orang bertaruh sebagaimana di tempat sabung ayam.
Namun keenam orang itupun tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih berdiri saja menyaksikan beberapa orang yang sudah duduk di atas tikar dengan busur dan anak panah.
"Setiap orang yang ikut serta dalam panahan dan paseran harus membayar. Baru mereka mendapat tempat untuk duduk menghadapi sasaran," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun agaknya mereka baru dalam tingkat melihat-lihat.
Ketika panas menjadi semakin terik, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah duduk di bawah sebatang pohon di pinggir lapangan. Namun dari tempatnya mereka dapat menyaksikan panahan yang semakin lama memang menjadi semakin menarik.
Tetapi ternyata tidak demikian bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung, karena ternyata anak muda yang mereka cari tidak berada di tempat itu.
"Mungkin besok atau besok lusa," berkata Sambi Wulung kepada Jati Wulung hampir berbisik.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita masih mempunyai waktu. Tetapi mudah-mudahan kita tidak akan mengatakan demikian jika semuanya sudah lewat."
Sambi Wulung tersenyum meskipun hambar. Katanya, "Apakah sebaiknya kita mencarinya di tempat lain?"
"Agaknya merekapun baru melihat-lihat. Pada saat kita keluar justru mereka memasuki lapangan ini," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita menunggu disini."
Dalam pada itu Kiai Windu dan ketiga orang kawannya ternyata masih juga belum melibatkan dirinya dalam taruhan. Agaknya ia masih ingin melihat siapakah di antara para pemanah yang paling baik yang akan dapat dijadikan landasan bagi taruhannya.
Tetapi menurut penglihatan Sambi Wulung dan Jati Wulung beberapa orang berada dalam tataran yang sama, sehingga yang menang dan yang kalah terjadi silih berganti. Satu rambahan menang, namun dalam rambahan berikutnya mengalami kekalahan. Namun bagi mereka yang termasuk pemanah-pemanah terbaik, nilai mereka hanya terpaut sedikit saja.
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Windu duduk pula di dekat Sambi Wulung, maka Sambi Wulung itupun bertanya, "Anak-anak dari manakah yang menjadi cucuk dari panahan itu" Apakah orang tua mereka tidak merasa cemas, bahwa kehidupan disini akan mempengaruhi cara hidup mereka kelak."
Kiai Windu melihat anak-anak berumur sekitar sepuluh tahun berlari-lari mengambil anak panah dari mereka yang bertaruh dengan panahan itu. Anak-anak panah yang meluncur ke sasaran, yang mengenai atau tidak, setelah setiap rambahan selesai, maka anak-anak itu berlari-larian mengambil dan menyerahkan kepada para pemanah. Untuk itu anak-anak itu mendapat upah yang cukup mereka pergunakan untuk membeli makanan dan beberapa macam kesenangan mereka.
Dengan nada rendah Kiai Windu menjawab, "Mereka adalah anak-anak dari orang-orang yang bekerja disini. Mungkin pelayan di kedai, mungkin para petugas di gedogan kuda atau para penabuh gamelan. Mungkin juga anak raksasa-raksasa yang mengawasi tempat ini."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis, "Anak-anak tanpa hari depan. Mereka hanya akan menjadi orang seperti kita yang berkeliaran di tempat-tempat perjudian seperti ini."
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.
Beberapa saat mereka masih duduk di bawah rimbunnya pepohonan di pinggir lapangan. Sementara itu, maka mereka yang bertaruh di lapangan menjadi semakin kepanasan. Bukan saja oleh matahari di langit yang bagaikan membakar, tetapi juga oleh hati yang panas di dalam dada masing-masing. Yang menang ingin menang lebih banyak lagi, sementara yang kalah ingin mendapatkan kekalahan mereka kembali. Sedangkan yang pasti mendapat uang tanpa menanggung kemungkinan kalah adalah anak-anak yang diupah untuk mengambil anak panah yang dilepaskan untuk setiap rambahan.
Untuk mendorong gairah para pemanah maka anak-anak pemungut anak panah itu telah berteriak-teriak menyebut anak panah yang mereka layani masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang memberikan isyarat untuk mengarahkan anak panah agar tepat mengenai sasaran.
Dengan nada melengking seorang anak itu berteriak, "Sikatan, langkung."
Pemanah yang memiliki anak panah yang dinamai sikatan mengetahui bahwa ia memanah terlalu tinggi melampaui kepala sasaran. Namun terdengar anak yang lain berteriak "jalak sumurup." Pemanah yang memiliki anak panah yang dinamainya jalak itupun mengetahui bahwa anak panahnya terlalu rendah sehingga menyusup di bawah sasaran.
Suara anak-anak itu bersahutan berganti-ganti memberikan isyarat kepada pemanahnya masing-masing, sementara rambahan demi rambahanpun telah berlangsung. Keping-keping uang berpindah dari seorang ke yang lain, namun kemudian berputar kembali kepada orang yang pertama.
"Anak itu tidak akan kemari hari ini," terdengar Jati Wulung berdesis.
"Jadi, apakah sebaiknya kita berpindah tempat?" bertanya Sambi Wulung.
Jati Wulung termangu-mangu. Namun sebelum mereka beranjak dari tempatnya, ternyata beberapa orang telah memasuki lapangan. Seorang di antaranya adalah seorang anak muda. Namun anak muda itu bukan Puguh.
"Nah, anak itu datang," desis Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat mengatakan bahwa yang mereka tunggu sebenarnya adalah Puguh. Namun mereka justru tidak dapat dengan serta-merta meninggalkan tempat itu.
Karena itu maka Sambi Wulungpun berdesis, "Kita tidak dapat pergi sekarang."
Jati Wulung mengerti. Karena itu, maka iapun mengangguk-angguk kecil.
Untuk beberapa saat anak muda itu berdiri sambil bertolak pinggang menyaksikan panahan yang sedang berlangsung itu.
Kiai Windu yang kemudian bangkit dan bergeser berkata kepada Sambi Wulung, "Wikrama adalah seorang pemanah yang sangat baik. Ia sering menang dalam panahan. Tetapi ia selalu kalah di tempat lain."
"Apakah ia akan turun hari ini?" bertanya seorang kawan Kiai Windu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 05 "AKU tidak tahu. Marilah kita mendekat," berkata Kiai Windu.
"Apakah kau masih memikirkan timang emas yang dipalsukan itu?" bertanya Sambi Wulung.
Kiai Windu justru tersenyum. Katanya, "Tidak. Aku tidak akan mempersoalkannya."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak beranjak dari tempatnya ketika Kiai Windu dan ketiga kawannya bergeser lebih dekat di belakang orang-orang yang duduk berderet mengarah ke sasaran. Ternyata bahwa setiap sasaran telah diperuntukkan bagi beberapa orang dalam kelompok mereka masing-masing, sehingga beberapa sasaran yang berjajar itupun telah dipergunakan untuk beberapa kelompok pemanah.
Untuk beberapa saat Wikrama masih belum turun. Ketika seorang yang bertubuh raksasa mendekatinya dan agaknya menawarkan kesempatan untuk ikut, anak muda itu menggeleng sambil berkata, "Nanti saja."
Orang yang menawarkan kesempatan itu tidak memaksanya. Iapun kemudian meninggalkan anak muda itu yang masih saja berdiri bertolak pinggang. Nampaknya ia berusaha untuk menilai kemampuan para peserta panahan itu, agar ia dapat meyakinkan dirinya bahwa ia akan menang.
Kiai Windu yang beringsut mendekat, sengaja menampakkan dirinya pada anak muda itu. Sebagaimana diharapkan maka anak muda itu memang terkejut. Namun Kiai Windu masih saja berpura-pura tidak menghiraukannya.
Anak muda itu memberi isyarat kepada tiga orang pengawalnya untuk mendekatinya. Merekapun kemudian saling berbisik. Namun tidak jelas apa yang mereka katakan.
Tetapi anak muda itu tidak segera beranjak. Ia nampaknya masih menunggu karena beberapa kali ia berpaling. Demikian pula ketiga orang pengawalnya.
Ternyata beberapa saat kemudian, seorang yang bertubuh tinggi agak kurus telah memasuki lapangan itu pula. Orang itu langsung mendekati Wikrama sambil menunjuk beberapa kelompok orang yang sedang mengikuti panahan.
Tetapi Wikrama menggeleng. Agaknya orang itu juga menganjurkan agar Wikrama kelapangan panahan.
Namun dalam pada itu, ternyata Wikrama telah memberitahukan kepada orang itu, bahwa di tempat itu ada seseorang yang pernah berhubungan dengan mereka sebelumnya. Tanpa berpaling Wikrama memberitahukan arah Ki Windu berdiri.
Orang yang bertubuh tinggi itulah yang kemudian memandang ke arah Kiai Windu berdiri seakan-akan belum melihat Wikrama dan kawan-kawannya.
Orang yang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Namun ketika kemudian Wikrama mengangguk, orang bertubuh tinggi itu telah melangkah mendekati Kiai Windu.
"Kiai," orang itu kemudian telah menggamit Kiai Windu.
Kiai Windu pura-pura terkejut melihat kedatangannya. Sambil tertawa ia bertanya, "He, Ki Sanak. Kau datang juga sekarang?"
"Ya Kiai. Mengantar Angger Wikrama," jawab orang itu.
"O, Angger Wikrama ada disini pula?" bertanya Kiai Windu kemudian.
Orang yang bertubuh tinggi itu menunjuk ke arah Wikrama berdiri bersama beberapa orang pengawalnya.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata kepada orang bertubuh tinggi itu, "Aku akan menunggu Angger Wikrama turun kelapangan."
"Kiai akan turun pula?" bertanya orang bertubuh tinggi itu.
Kiai Windu menggeleng. Katanya, "Tidak hari ini."
Orang bertubuh tinggi itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Apakah Kiai masih merasa mempunyai persoalan dengan Angger Wikrama?"
"O, tidak," jawab Kiai Windu. "Bukankah pinjamannya telah dibayar?"
"Timang emas itu?" bertanya yang bertubuh tinggi.
"Ya. Timang emas itu," jawab Kiai Windu.
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah timang itu Kiai jual atau masih Kiai simpan untuk dipergunakan sendiri?"
"Aku masih menyimpannya. Aku senang dengan timang itu, sehingga setiap kali aku memakainya. Terutama dalam pertemuan-pertemuan dengan orang-orang besar. Besar menurut ukuranku," Kiai Windu itu tertawa.
Orang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis, "Syukurlah jika Kiai menyukainya. Timang itu memang timang yang baik dan mahal. Memang pantas jika Kiai memakainya dalam pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang Kiai sebut orang-orang besar itu."
"Apakah Angger Wikrama juga menyukainya?" bertanya Kiai Windu.
"Ya," jawab orang itu, "Angger Wikrama menyukainya. Barang itu merupakan barang yang sangat berharga baginya. Seandainya persoalan itu tidak timbul dengan Kiai, maka ia tidak akan menyerahkan timangnya. Seandainya ia terlibat persoalan hutang dengan orang lain, ia tentu berusaha untuk membayarnya dengan barang-barang lain."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Ki Sanak. Jika demikian, apakah Angger Wikrama berhasrat untuk menebusnya kembali" Bukankah ia datang kali ini dengan uang yang banyak" Bahkan belum dipergunakannya sama sekali. Jika Angger Wikrama ingin menebusnya seharga hutangnya pada waktu itu, aku akan menyerahkannya. Sayang, jika barang itu merupakan barang kesayangannya."
"O," orang itu menjadi gagap. Namun ia menjawab juga, "tentu tidak Kiai. Sebagai seorang yang berpegang pada harga diri, maka apa yang telah dilakukannya tidak akan dicabut kembali atau disesali."
"Bukan dicabut kembali," jawab Kiai Windu, "justru akulah yang menawarkannya. Biarlah Angger sempat memakainya lagi."
"Tidak Kiai," jawab orang bertubuh tinggi itu, "biarlah benda itu ada pada Kiai. Satu kenangan yang barangkali akan berarti bagi Kiai."
Tetapi Kiai Windu tertawa. Katanya, "Ki Sanak. Ketahuilah. Bekalku kali ini tidak terlalu banyak. Jika pada satu saat aku kehabisan uang disini, maka mungkin aku akan minta tolong kepada Angger Wikrama. Kita akan sama-sama mendapat keuntungan. Aku mendapat uang, dan Angger Wikrama mendapat benda yang disenanginya itu kembali."
Orang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Angger Wikrama juga tidak membawa bekal lebih banyak dari musim judi yang lalu. Tetapi jika masih ada uang tersisa, maka aku kira hal itu dapat dibicarakan kemudian."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Baiklah. Nah, silahkanlah. Bukankah Angger Wikrama merupakan orang terbaik di lapangan panahan ini, terutama pada batas umurnya?"
Orang bertubuh tinggi itu tertawa. Katanya, "Ya. Tetapi agaknya ia masih belum ingin turun sekarang."
"Memang seumurnya masih saja dipengaruhi oleh keinginan anak-anak muda. Ia masih ingin melihat kesana kemari, sebagaimana kebiasaannya. Baru kemudian ia akan memasuki arena pilihannya," berkata Kiai Windu.
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Silahkan Kiai. Aku akan kembali kepada anak muda itu."
Kiai Windu mengangguk sambil tersenyum, "Silahkan. Tetapi jangan lupa. Katakan kepadanya, bahwa jika aku memerlukan uang, maka aku akan menyerahkan kembali timang itu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mengatakannya."
Kiai Windu kemudian melihat orang bertubuh tinggi itu kembali kepada Wikrama. Sementara Wikrama yang berdiri di tempat yang agak jauh mengangguk kepada Kiai Windu yang membalasnya sambil tersenyum.
Dari kejauhan Kiai Windu melihat, orang bertubuh tinggi itu agaknya telah memberitahukan pesannya, sehingga anak muda itu nampak mengerutkan dahinya.
Tetapi agaknya ia berusaha untuk menahan diri, agar tidak menimbulkan kesan apapun tentang pesan Kiai Windu itu.
Untuk beberapa lama Kiai Windu masih berdiri di tempatnya. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berlindung di bawah bayang-bayang dedaunan karena matahari menjadi semakin tinggi.
Ketiga orang kawan-kawannya memandanginya sambil tersenyum pula, sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sudah lebih dahulu berteduh bergeser pula mendekatinya. Dengan nada berat Sambi Wulung bertanya, "Apakah kau benar-benar akan mengembalikan timang itu?"
"Aku belum tahu," jawab Kiai Windu, "kita melihat keadaan. Sebenarnya aku merasa jengkel atas kecurangan itu. Tetapi aku belum mengambil keputusan untuk membuat persoalan dengan anak muda itu."
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Sudahlah. Bukankah kau akan menang lagi kali ini?"
"Namanya berjudi," jawab Kiai Windu, "tidak seorangpun tahu apakah kita akan menang atau kalah. Kecuali jika kita melakukannya dengan tidak jujur."
"Sulit untuk bermain panahan dengan tidak jujur, atau bahkan bermain dadupun tidak dapat dilakukan dengan tidak jujur, karena saat melontarkan dadu itu disaksikan banyak orang. Sedangkan dalam kalangan sabung ayam sebagian besar ditentukan oleh ayam yang sedang bersabung. Jika orang-orang yang bertaruh cukup berpengalaman, maka pada sabung ayampun sulit dilakukan kecurangan dengan cara apapun juga, karena orang-orang yang berpengalaman itu akan segera dapat melihatnya," berkata Jati Wulung sambil berbaring di atas rerumputan.
"He, ternyata kau benar-benar seorang pemalas," desis Kiai Windu, "dimanapun kau selalu berbaring."
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Bukankah disini kita mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan."
Kiai Windu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba terdengar beberapa orang bersorak di arena panahan. Ternyata seseorang telah berhasil mengenai kepala sasaran. Satu hasil yang gemilang, karena dengan demikian ia mendapat penilaian tertinggi untuk satu rambahan itu.
Ketika orang-orang yang berteduh itu berdiri untuk melihat siapakah yang mendapat nilai tertinggi itu, Jati Wulung masih saja tetap berbaring di tempatnya sambil berkata, "Siapapun yang mengenainya, kita tetap tidak mengenalnya."
Tetapi Sambi Wulung tiba-tiba berkata, "Bukan main. Seorang perempuan."
"He, seorang perempuan," bertanya Jati Wulung sambil bangkit dengan tergesa-gesa, "yang mana?"
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Bukankah kau tahu bahwa tidak seorang perempuan pun yang telah turun ke arena hari ini?"
"Anak setan," Jati Wulung mengumpat sambil menguak maju. Ia kemudian justru berdiri di paling depan sambil mengawasi seluruh arena.
Beberapa orang masih saja tertawa. Kawan-kawan Kiai Windupun tertawa pula.
Beberapa saat mereka masih berdiri di tempatnya. Namun Sambi Wulungpun kemudian berkata kepada Jati Wulung, "Marilah. Kita akan melihat-lihat ke tempat yang lain."
Jati Wulung mengangguk sambil bergeser. Katanya, "Marilah. Disini rasa-rasanya mataku menjadi silau melihat panahan di tempat yang panasnya semakin menyengat. Mungkin sore nanti kita akan dapat melihat panahan dengan mapan. Kita dapat memilih tempat disini sebelah Barat yang agak tinggi itu."
Tetapi ketika keduanya mulai bergerak, Kiai Windupun berkata, "Marilah. Kamipun akan ikut kalian. Kita lihat arena sambung ayam yang ramai itu."
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak menolak untuk pergi bersama-sama Kiai Windu. Apalagi Kiai Windu adalah orang yang lebih banyak mengenal lingkungan itu dari mereka berdua.
Ternyata bahwa di hari pertama itu, perjudian masih belum terlalu ramai. Seperti juga di tempat panahan. Yang bertaruh masih dapat membuat perhitungan-perhitungan dengan nalar yang jernih.
Karena itu, maka suasana di tempat perjudian itu masih nampak tertib dan tidak terlalu kasar. Jika terjadi perselisihan-perselisihan, masih mungkin mereka selesaikan dengan cara yang lebih lunak daripada menghunus pedang.
Di tempat sabung ayampun nampaknya masih belum terlalu sesak. Tetapi teriakan-teriakan di antara mereka yang bertaruh untuk ayam aduan yang dipilihnya, terdengar bagaikan menggetarkan dinding-dinding di sekitarnya.
Ketika keenam orang itu memasuki arena yang terdiri dari beberapa kalangan sabung ayam mereka memang tidak segera tertarik untuk menyaksikan, apalagi bertaruh. Yang dicari Sambi Wulung dan Jati Wulung adalah kesempatan untuk berkenalan dengan Puguh. Namun agaknya Puguh masih juga belum nampak di arena sabung ayam itu.
"Dimana anak itu," desis Jati Wulung di telinga Sambi Wulung.
"Apakah anak itu sudah berada di permainan dadu?" sahut Sambi Wulung.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi keduanya tidak dengan serta-merta meninggalkan tempat itu. Apalagi ketika ternyata kemudian dua orang kawan Kiai Windu telah mendekati salah satu kalangan untuk melihat ayam yang sedang bertempur dengan serunya.
Tiba-tiba saja Jati Wulung berdesis, "Aku haus sekali."
"Aku juga," ternyata Kiai Windupun menyahut.
"Apakah kita harus ke kedai itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak," jawab Kiai Windu. "Jika sabung ayam sudah mulai, di sebelah ini ada kedai minuman meskipun hanya sekedarnya. Tidak sebesar dari penjual di kedai induk itu."
"Kita minum," berkata Sambi Wulung.
Merekapun kemudian pergi ke kedai kecil di sebelah tempat sabung ayam itu. Seorang kawan Kiai Windu tidak segera ikut mereka, tetapi ia justru menyusul kawannya di lingkaran sabung ayam.
"Nanti, kami akan menyusul," berkata orang itu.
"Kau akan mulai bertaruh?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak," jawab kawan Kiai Windu itu. "Aku hanya ingin melihat-lihat lebih dahulu."
Demikianlah, Kiai Windu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah pergi ke kedai di sebelah tanpa ketiga orang yang lain. Namun mereka tertegun bahwa ternyata di kedai itu sudah duduk lebih dahulu seorang anak muda pula. Hanya satu dua tahun lebih tua dari Puguh. Namun nampak sikapnya jauh lebih kasar dari Puguh sendiri.
Ketika Kiai Windu sedang sibuk menikmati wedang sere panas dan mengunyah sepotong makanan, maka Jati Wulung sempat berkata, "Aku merasa agak heran. Ternyata Puguh tidak sekasar yang aku duga. Bahkan nampaknya anak-anak muda sebayanya bersikap jauh lebih buruk dari sikap Puguh itu sendiri. Wikrama yang sombong, dan anak ini yang sikapnya seperti serigala kelaparan."
"Jangan mencari perkara," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung terdiam. Tetapi ia tidak senang sama sekali melihat sikap anak muda itu. Anak muda yang agak gemuk yang nampaknya dikawani oleh orang-orang yang berilmu pula.
Namun terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Sejenak kemudian, tanpa disangka-sangka, Puguh telah datang pula ke kedai itu. Tetapi belum lagi ia duduk, anak muda yang agak gemuk itu telah berkata kasar, "Nah, monyet itu datang pula kemari."
Puguh juga agak terkejut, ia surut selangkah ketika anak muda yang agak gemuk itu meloncat dari tempat duduknya.
"Kenapa?" bertanya Puguh agak kebingungan.
"Jangan pura-pura tidak tahu he?" geram orang itu. Lalu katanya, "Kau larikan perempuan itu."
"Siapa?" nampaknya Puguh benar-benar tidak mengerti.
"Kau bawa perempuan itu tanpa kau lepaskan semalam suntuk," geram anak muda yang agak gemuk.
"Aku tidak tahu maksudmu," berkata Puguh pula.
"Jangan berpura-pura. Kau panggil penari itu dan kemudian ia hilang dari arena sampai pagi," anak muda yang kasar itu hampir berteriak.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang memanggilnya. Tetapi tidak lebih dari sekedar berbicara sambil makan makanan yang dibeli kawanku dari kedai itu. Aku memang memberi uang cukup kepadanya."
"Untuk apa uang itu?" bertanya anak muda itu dengan kasar.
"Aku senang kepada perempuan itu," jawab Puguh, "karena itu aku minta ia tidak perlu menari lagi. Aku suruh ia pergi dari arena. Karena aku tidak ingin merugikannya, maka aku beri ia uang."
"Kau beri uang untuk sekedar pergi dari arena?" bertanya anak muda yang kasar itu.
"Ya, kenapa?" bertanya Puguh.
Anak muda yang kasar itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Apakah kau sudah gila. Kau sudah sering berada di tempat ini membayar seorang tledek hanya untuk pergi dari bawah oncor dan dari sisi gamelan?"
Puguh menjadi tidak senang melihat sikapnya. Katanya, "Cari perempuan itu, dan bertanyalah kepadanya, apa yang aku lakukan. Aku baginya masih terlalu kanak-kanak."
Anak muda yang kasar itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan membalas sakit hatiku. Aku harus memukulimu sepuluh kali sekarang."
"Gila. Kau kira kau ini siapa he?" wajah Puguh menjadi merah, "sejak musim judi yang lalu, kau memang mencari persoalan saja untuk satu perkelahian. Jika kau memaksa terus seperti itu, aku terpaksa melayanimu."
"Nah, kita akan berkelahi jika kau berani," berkata anak muda itu, "tanpa orang lain. Pengawal-pengawalku tidak akan ikut campur. Tetapi jika kau takut berkelahi sendiri, biarlah pengawalmu membantumu."
"Jangan menghina aku seperti itu," berkata Puguh, "jika kau memang menantangku, aku terima tantangan itu."
Anak muda yang agak gemuk dan kasar itu tertawa. Kemudian dengan nada datar ia berkata, "Kita akan berkelahi sekarang. Kita tidak usah mencari tempat. Disini kita berkelahi. Tentu akan lebih menarik dari sabung ayam itu. Tetapi jika tanganku terlanjur mematahkan tangan atau kakimu, itu bukan salahku."
Puguh tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian memberi isyarat kepada beberapa orang pengawalnya untuk mundur. Dengan nada rendah ia berkata, "Jangan ganggu aku."
Para pengawalnya memang melangkah surut. Sementara itu, anak muda yang agak gemuk dan kasar itu melangkah satu-satu mendekati Puguh.
Ternyata seperti kebiasaan orang-orang yang sudah berada di Song Lawa, orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi sepanjang tidak menyangkut diri mereka sendiri.
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat itu, bahkan dua orang yang ada di dalam kedai kecil itu seakan-akan tidak berpaling sama sekali. Hanya Sambi Wulung, Jati Wulung sajalah yang perhatiannya benar-benar tertuju kepada mereka. Sementara Kiai Windu justru memperhatikan keduanya sambil tersenyum. Katanya, "Nampaknya kau berdua yang menjadi lebih tegang daripada mereka yang akan berkelahi."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Persoalan anak-anak muda memang menarik. Apapun yang terjadi atas mereka."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dihadapinya minuman hangatnya, sementara matahari menjadi semakin tinggi. Ketika ia meneguk mangkuk minumannya, maka keringatnya menjadi semakin banyak mengalir.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tetap duduk di tempatnya. Sementara itu kedua anak muda itupun telah mulai bergerak sambil mempersiapkan diri.
Sejenak kemudian, maka anak muda yang bertubuh agak gemuk itu dengan kasar telah menyerang. Tangannya yang terkembang telah terayun deras mengarah ke dada Puguh. Namun Puguh memang sudah siap menghadapinya. Dengan sigapnya ia mengelak. Tetapi ia bukan saja merendah sambil bergeser mundur, tetapi tiba-tiba saja ia telah melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinyalah yang terayun mendatar mengarah ke lambung.
Anak muda yang gemuk itu terkejut. Ternyata Puguh mampu bergerak sangat cepat, sehingga karena itu, maka anak muda yang gemuk itu terpaksa meloncat mundur.
Puguhlah yang kemudian tidak mau membiarkan lawannya. Dengan cepat pula ia memburunya. Tubuhnya yang bagaikan tidak berbobot itu seakan-akan terbang lurus mendatar.
Anak muda yang agak gemuk itu melihat serangan yang datang demikian cepatnya. Tidak ada kesempatan untuk melenting menghindar. Karena itu, maka ketika tumit Puguh menyambarnya, iapun dengan serta-merta telah menjatuhkan dirinya sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.
Demikian tubuh Puguh terbang melintas di atasnya, iapun segera meloncat bangkit. Dengan cepat anak yang agak gemuk itulah yang kemudian memburunya. Dengan keras pula ia telah menyerang, demikian kaki Puguh menjejak tanah.
Tetapi Puguh masih sempat melihat serangan yang datang itu. Namun waktunya tidak memungkinkannya untuk menghindar. Karena itu, maka iapun telah menyilangkan tangannya di dadanya.
Yang terjadi adalah satu benturan kekuatan yang keras. Tangan anak muda yang gemuk yang terjulur lurus ke arah dada itu telah membentur pertahanan Puguh. Ternyata benturan itu terjadi demikian kerasnya, sehingga kedua kaki Puguh yang baru saja sempat tegak itu berguncang. Selangkah ia terdorong surut. Namun ia berhasil memperbaiki keadaannya sehingga ia tetap berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.
Sementara itu lawannya yang agak gemuk dan kasar itu telah terdorong jauh lebih panjang surut. Bahkan hampir saja ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Dengan susah payah ia berhasil berdiri tegak sambil mengumpat kotor.
Puguh tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua kelompok pengawal berdiri di tempat masing-masing. Orang-orang yang mengawal anak muda yang gemuk itu nampaknya juga lebih kasar dari para pengawal Puguh, meskipun dilihat pada sorot matanya, pengawal Puguh itupun merupakan orang-orang yang keras dan kasar. Namun dari ujud lahiriahnya, mereka masih lebih baik dari pengawal-pengawal anak muda yang agak gemuk itu.
Ternyata kedua anak muda itu masih juga berkelahi dengan sengitnya. Keduanya memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan yang baik dan lengkap. Namun agaknya kekuatan dasar kewadagan Puguh yang tubuhnya lebih kecil dari lawannya itu justru lebih besar. Itulah sebabnya, maka kadang-kadang anak muda yang agak gemuk itu tergetar dalam benturan-benturan yang terjadi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memperhatikan perkelahian itu dengan saksama. Keduanya sempat menilai kemampuan Puguh yang cukup mendebarkan itu. Bahkan keduanya sempat bertanya kepada diri mereka sendiri, "Bagaimanakah imbangan kekuatan dan kemampuan anak itu dibanding dengan Risang?"
Baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung menjadi ragu-ragu. Apakah ilmu Risang lebih baik dari Puguh.
Ketika keduanya mengerutkan kening dengan sedikit tegang, Kiai Windu menggamitnya. Katanya, "Minummu menjadi dingin."
"O," Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Sambi Wulung menjawab, "Aku memang menunggu sampai agak dingin. Udara sudah terlalu panas."
Kiai Windu tersenyum. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung telah meneguk minumannya yang tidak lagi terlalu panas. Namun mereka tidak dapat memalingkan perhatian mereka dari kedua orang anak muda yang berkelahi itu. Bahkan seorang yang sedang minum di tempat itupun telah memperhatikan pula meskipun yang lain lebih senang menikmati minuman dan makanan.
"Memang menarik," desis Kiai Windu, "mereka masih kanak-kanak. Tetapi mereka sudah mampu menunjukkan tata perkelahian yang mapan. Bukan asal saja berkelahi. Wikrama tidak dapat melakukan seperti itu. Anak muda yang berbaju hitam di sabung ayam itupun tidak."
"Siapakah anak muda yang agak gemuk itu sebenarnya?" bertanya Sambi Wulung.
"Sebenarnya?" bertanya Kiai Windu. "Aku tidak tahu. Aku hanya melihat anak itu disini" Kenapa kau nampaknya menaruh perhatian lebih besar pada anak itu" Atau barangkali kau menduganya sesuatu atas anak itu?"
Sambi Wulung menggeleng. Namun yang menjawab adalah Jati Wulung. "Anak itu menjengkelkan sekali. Aku tiba-tiba saja jadi benci kepadanya tanpa sebab."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Karena itu disini jangan memperhatikan orang lain."
Jati Wulung tidak menjawab. Namun tiba-tiba katanya, "Kita salah duga terhadap anak yang bernama Puguh itu. Ia memang memanggil penari itu. Ia mengakui menyenangi penari itu. Tetapi ia hanya menyuruhnya pergi dari arena."
"Kau percaya kepada kata-katanya?" bertanya Kiai Windu.
Jati Wulung ragu-ragu. Namun Kiai Windulah yang berkata lebih lanjut, "Aku percaya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Demikian pula Sambi Wulung.
Dalam pada itu, perkelahianpun menjadi semakin keras. Anak muda yang agak gemuk itu memang menjadi kasar. Bahkan tiba-tiba saja tangannya menggenggam debu dan dilontarkan ke wajah Puguh. Untunglah bahwa Puguh melihatnya sehingga ia sempat meloncat mundur beberapa langkah sambil memalingkan wajahnya. Namun ketika anak muda yang kasar itu memburunya, Puguh telah siap untuk melawannya.
Semakin lama maka menjadi semakin jelas, bahwa Puguh akan dapat memenangkan perkelahian itu. Setiap kali serangannya berhasil mengenai tubuh lawannya, sehingga setiap kali anak muda yang kasar itu berdesis menahan sakit. Bahkan ketika Puguh dengan keras menyerangnya dengan kaki terjulur dan mengenai dada anak yang agak gemuk itu, maka anak muda itupun telah terpelanting jatuh.
Namun anak itu sempat bangkit sambil mengumpat dengan kasar.
"Gila. Anak setan. Aku bunuh kau," geramnya.
Puguh tidak menjawab. Tetapi iapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun telah berlangsung lagi. Kiai Windu yang memungut sepotong makanan berkata kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "He, kalian mau makan apa?"
Sambi Wulung sempat tersenyum. Tetapi Jati Wulung sama sekali tidak berpaling. Ia benar-benar memperhatikan bagaimana Puguh kemudian benar-benar menguasai lawannya.
"Risang harus tahu, bahwa Puguhpun memiliki kemampuan yang sangat besar," berkata Jati Wulung maupun Sambi Wulung di dalam hatinya.
Sebenarnyalah baik Jati Wulung maupun Sambi Wulung sebenarnya merasa cemas melihat kemampuan Puguh yang sangat besar. Kekuatannya dan agaknya juga kekerasan hatinya. Meskipun Puguh tidak nampak sekasar lawannya, tetapi ternyata bahwa ia juga mampu berkelahi dengan keras.
Dalam pada itu, anak yang kasar itu kemudian ternyata semakin tidak mampu mengimbangi kekuatan Puguh yang besar serta ketrampilannya olah kanuragan. Karena itu, beberapa kali anak muda itu telah dikenai serangan Puguh. Bahkan beberapa kali anak muda itu terhuyung-huyung jatuh. Meskipun ia mampu bangkit lagi, namun beberapa saat kemudian serangan Puguh telah menjatuhkannya lagi.
Ketika beberapa orang pengawalnya bergeser, maka para pengawal Puguhpun telah bergerak pula.
Tetapi Puguh telah berkata lantang, "Kita sepakat untuk berkelahi tanpa orang lain."
Anak muda yang agak gemuk itu nafasnya menjadi terengah-engah. Ketika ia jatuh lagi, maka iapun telah bangkit dengan susah payah. Namun ternyata iapun masih menyadari keadaannya. Anak muda itu merasa bahwa Puguh memang memiliki kemampuan yang lebih tinggi. Karena itu, ia justru tidak menarik senjatanya. Jika Puguh kemudian juga bersenjata, maka kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka ketika Puguh melangkah maju, anak muda itu justru melangkah surut. Dengan nada berat terputus-putus karena menahan sakit di tubuhnya anak muda itu berkata, "Aku akui kelebihanmu kali ini Puguh. Tetapi di musim perjudian yang akan datang, aku akan membunuhmu."
"Besok atau lusa, sebelum musim perjudian ini selesai, aku sudah membunuhmu lebih dahulu," geram Puguh.
"Persetan," wajah anak muda itu menjadi tegang.
Namun Puguh tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja anak muda yang kasar itu pergi. Beberapa orang pengawalnya menggeretakkan giginya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
"Kau biarkan anak gila itu pergi," desis seorang pengawal Puguh.
"Lalu, apa yang baik aku lakukan" Memilin lehernya dan membunuhnya?" bertanya Puguh.
Pengawalnya tidak menjawab. Tetapi mereka masih saja memandang anak muda yang agak gemuk serta beberapa orang pengawalnya pergi.
Sejenak kemudian barulah Puguh mengibaskan debu pada pakaiannya. Ketika lawannya menaburkan debu, maka pakaiannya memang menjadi kotor. Untunglah bahwa debu itu tidak mengenai matanya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang semula memperhatikan perkelahian itupun segera telah berkisar. Mereka menghadapi minuman mereka dan mengambil sepotong makanan pula. Namun mereka berharap bahwa Puguh akan duduk pula di kedai itu. Meskipun mereka tidak akan sempat bertanya apapun, karena anak muda itu tentu masih terpengaruh oleh keadaan yang baru saja terjadi, namun jika anak muda itu berbicara bersama dengan para pengawalnya, mungkin dari pembicaraan itu mereka akan dapat menangkap sesuatu.
Sebenarnyalah Puguh yang baru saja berkelahi itu agaknya memang menjadi haus. Bersama para pengawalnya, iapun kemudian telah duduk pula di sebuah amben panjang di kedai kecil itu. Sedangkan dua orang lainnya yang sudah lebih lama berada di kedai itu telah bangkit dan meninggalkan tempatnya.
Setelah Puguh memesan minuman, maka sebenarnyalah ia masih dipengaruhi oleh gejolak perasaannya. Dengan nada geram ia berkata, "Anak itu masih saja selalu mengganggu. Apakah sebenarnya yang dimaui?"
Seorang pengawalnya menyahut, "Aku sudah berusaha untuk mendapat keterangan tentang anak muda itu. Tetapi tidak seorangpun yang dapat mengatakannya selain apa yang dapat pula kita lihat disini."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Namun pengawalnya yang lain berkata pula, "persoalannya tidak hanya terbatas kepada kita. Ia telah berkelahi pula dengan beberapa orang yang lain. Untunglah belum ada seorang yang membantainya disini."
"Pengawalnya cukup kuat," sahut Puguh, "tetapi jika ia masih saja membuat persoalan akulah yang mungkin akan membunuhnya. Mudah-mudahan ia menjadi jera."
Para pengawal Puguh itu mengangguk-angguk. Ketika mereka memandang ke arah orang-orang yang baru saja meninggalkan mereka itu, ternyata orang-orang itu berhenti dan berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi jarak mereka sudah terlalu jauh untuk mendengar pembicaraan mereka.
Baru sejenak kemudian anak muda yang agak gemuk itu hilang di balik dinding di sudut tikungan di sebelah dinding arena sabung ayam.
Puguh kemudian mulai memperhatikan minumannya. Namun ia masih juga bergeremang, "Pakaianku menjadi kotor. Ia berkelahi dengan licik."
Namun dalam pada itu pengawalnya berkata, "Tetapi kau telah menunjukkan kemampuan yang tinggi. Latihan-latihan yang kau lakukan ternyata tidak sia-sia. Dalam keadaan yang gawat, kau sendiri sudah dapat mengatasi persoalan."
"Bukan hanya aku yang mampu berkelahi. Anak yang gemuk itu juga mampu berkelahi," jawab Puguh.
"Tetapi sebagaimana kau lihat. Ia telah kau kalahkan. Sementara itu beberapa anak muda yang lain terlalu tergantung kepada para pengawalnya. Kau tidak. Kau sendiri mampu menjaga dirimu tanpa seorang pengawalpun. Namun karena nampaknya kau memang masih terlalu muda, maka sebaiknya kami menyertaimu."
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mulai meneguk minumannya.
"Jika kita kembali ke padepokan, kau harus berlatih lebih baik lagi. Siapa tahu, anak yang gemuk itu benar-benar mendendammu. Pada satu hari yang mungkin memang akan terjadi di musim perjudian yang akan datang, orang itu benar-benar berusaha membunuhmu," berkata salah seorang pengawal.
"Apakah di musim perjudian yang akan datang, kita akan berada disini pula?" bertanya Puguh.
"Itu terserah kepadamu," jawab salah seorang pengawalnya. "Tetapi sekedar untuk mendapatkan pengalaman, maka disini kita dapat melihat seribu wajah dengan seribu watak serta tingkah laku."
"Memang menarik," berkata Puguh, "tetapi rasa-rasanya menjadi jemu juga akhirnya."
Para pengawalnya termangu-mangu. Namun kemudian Puguhpun kemudian berkata, "Baru besok aku akan memasuki tempat permainan dadu."
"Apakah kita tidak melihat panahan sekarang?" bertanya seorang pengawalnya.
"Apakah Wikrama yang sombong itu akan turun?" bertanya Puguh.
Tetapi pengawalnya menggeleng. Katanya, "Aku belum tahu."
"Ia seorang pemanah yang baik," berkata pengawalnya yang lain, "tetapi ia tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Segalanya tergantung kepada para pengawalnya."
Setelah meneguk beberapa teguk, Puguhpun berkata, "Baiklah. Kita melihat panahan."
"Kau akan turun?" bertanya seorang pengawalnya.
Puguh mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Aku belum tahu. Tetapi hari ini aku belum berminat untuk ikut dalam permainan yang manapun."
Para pengawalnya tidak menjawab lagi. Sementara Puguh kemudian membayar minuman dan makanan yang telah mereka minum dan mereka makan.
Sejenak kemudian, maka Puguh dan para pengawalnya itupun segera meninggalkan kedai kecil itu. Namun mereka melangkah dengan malas, karena hari itu mereka memang masih belum berniat untuk ikut perjudian jenis yang manapun.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tiba-tiba saja menarik nafas dalam-dalam, sehingga Kiai Windu mengerutkan keningnya sambil bertanya, "Kenapa kalian seakan-akan merasa terlepas dari ketegangan?"
Keduanya memang terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian Sambi Wulung menjawab, "Aku memang terpengaruh oleh perkelahian yang baru saja terjadi antara anak-anak muda di tempat seperti ini."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Minumlah minuman kalian."
Keduanya mengangguk-angguk. Sejenak kemudian maka merekapun telah menghabiskan minuman mereka dan beberapa potong makanan.
Sambi Wulunglah yang kemudian membayarnya sambil berdesis, "Akulah sekarang yang membayar."
Kiai Windu tersenyum. Namun ia tidak menjawab.
Demikianlah merekapun kemudian meninggalkan kedai itu. Sebelum mereka melihat ke tempat yang lain, maka mereka telah singgah ke tempat sabung ayam. Ternyata tempat itu sudah menjadi semakin ramai. Mereka yang bertaruhpun sudah menjadi semakin banyak. Bahkan taruhannya pun sudah meningkat semakin tinggi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar melihat uang dalam jumlah yang besar telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Meskipun untuk memasuki tempat itu mereka juga sudah dibekali dengan uang cukup, namun mereka merasa terlalu kecil sebagai penjudi, dibanding dengan orang-orang yang telah lebih dahulu pernah datang di tempat itu di musim-musim perjudian sebelumnya.
Kiai Windupun kemudian memanggil ketiga orang kawannya yang telah menjadi sangat asyik melihat sabung ayam itu. Bahkan di luar sadar, merekapun kadang-kadang telah ikut berteriak-teriak.
"He," desis Kiai Windu, "apakah kau masih akan berada disini?"
Ketiganya termangu-mangu. Namun kemudian, "Kita akan kemana?"
Kiai Windu memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung bergantian. Lalu iapun bertanya, "Kau belum akan mulai?"
Keduanya menggeleng. Namun tiba-tiba saja Jati Wulung berkata, "Aku sudah letih berkeliling."
"Lalu kau mau apa?" bertanya Kiai Windu.
"Aku akan beristirahat saja sambil melihat panahan," jawab Jati Wulung.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita pergi ke tempat panahan."
Tetapi salah seorang dari kawannya berkata, "Aku disini saja."
"Kau sudah akan mulai?" bertanya Kiai Windu.
"Belum. Tetapi aku ingin melihat suasananya sampai nanti sore," jawab orang itu.
Ternyata kedua orang kawannya yang lain juga lebih senang berada di tempat sabung ayam itu. Sehingga karena itu mereka tidak ikut dengan Kiai Windu.
Dalam pada itu Jati Wulungpun sempat berbisik di telinga Sambi Wulung, "Kita harus mengumpulkan modal lebih besar lagi menilik taruhan orang-orang yang ikut dalam taruhan sabung ayam itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Waktu mereka kemudian telah mereka habiskan sebagian besar untuk melihat panahan dan paseran. Namun kedua orang itu sudah mengambil keputusan, bahwa mereka akan menambah modal mereka dalam panahan itu.
"Aku kira kita akan dapat mengimbangi kemampuan mereka," berkata Sambi Wulung.
"Tetapi anak-anak muda yang dianggap sebagai pemanah-pemanah yang baik itu belum turun hari ini," berkata Jati Wulung.
Keduanya kemudian mengangguk-angguk.
Demikianlah, hari itu keduanya baru sekedar melihat-lihat arena perjudian itu bersama Kiai Windu. Mereka juga singgah sejenak di barak tempat orang-orang bermain dadu. Sebuah perselisihan kecil telah terjadi antara dua orang yang ikut bertaruh dengan para petugas, sehingga hampir saja kedua orang itu dilemparkan keluar. Namun persoalan mereka ternyata dapat diatasi, sehingga kedua orang itu masih tetap diperkenankan untuk ikut dalam permainan dadu itu.
Di hari berikutnya Sambi Wulung dan Jati Wulung memang sudah berniat untuk turun ke lapangan panahan. Tetapi mereka tidak akan melakukannya dengan serta-merta. Mereka akan melihat lihat lebih dahulu. Baru kemudian mereka akan turun sebagaimana dikatakan oleh Jati Wulung, bahwa mereka berniat untuk menambah modal mereka, meskipun kemungkinan yang sebaliknya memang dapat terjadi.
Ketika malam turun, maka arena sabung ayam dan tempat panahanpun menjadi sepi. Tetapi tempat permainan dadu justru menjadi semakin ramai.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak begitu berminat untuk mulai dengan permainan itu. Karena itu, maka mereka hanya menengok sejenak. Kemudian mereka habiskan waktu mereka untuk berada di dalam bilik. Berganti-ganti mereka menyempatkan diri untuk tidur dalam waktu yang agak panjang.
Berbeda dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya berada cukup lama di arena permainan dadu. Tetapi ternyata mereka berempat pun masih belum mulai bertaruh.
Ketika lewat tengah malam mereka kembali ke dalam bilik, mereka melihat Jati Wulunglah yang sedang tidur dengan nyenyaknya sementara Sambi Wulung duduk bersila sambil menyilangkan tangannya di dada.
Ketika Kiai Windu tersenyum, Sambi Wulung berkata, "Apakah kau masih akan bertanya, kenapa aku belum tidur?"
"Tidak," berkata Kiai Windu sambil tertawa.
Sambi Wulungpun tersenyum pula. Tetapi ialah yang justru bertanya, "Nampaknya kau menang di permainan dadu itu."
"Sekepingpun aku belum ikut bertaruh," jawab Kiai Windu.
"Apakah kebiasaanmu memang begitu?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Aku baru mulai pada hari ketiga atau justru keempat, ketika orang-orang lain mulai kehilangan akal. Tetapi untuk tidak menarik perhatian, di hari kedua kadang-kadang aku juga ikut meskipun hanya sekedarnya," jawab Kiai Windu.
"Dalam tempat seperti ini, ternyata kau masih mampu juga mengendalikan diri," berkata Sambi Wulung.
"Kalianpun harus dapat berbuat seperti itu," desis Kiai Windu, "jika kita dicengkam oleh perasaan saja, maka akhirnya kita akan menjadi orang yang pertama sekali mempergunakan bilik di sudut itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu ternyata Jati Wulung telah terbangun pula. Masih sambil memejamkan matanya ia berkata, "Tidur. Ayo tidur sajalah."
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Tidurlah. Bukankah giliranmu sekarang tidur?"
Jati Wulung tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang lainpun telah berbaring pula. Ternyata seorang di antara mereka duduk di sebelah Sambi Wulung sambil berdesis, "Kita memang harus berhati-hati di tempat seperti ini. Apalagi di hari-hari ketiga, keempat dan seterusnya. Beberapa orang telah mulai kehilangan akal. Namun banyak juga yang sempat mengendalikan dirinya."
"Bagaimana dengan anak-anak muda itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Mereka hampir selalu kalah. Tetapi nampaknya kekalahan itu bukan soal bagi mereka, sehingga mereka seakan-akan tidak pernah nampak gelisah. Ketika datang musim perjudian berikutnya, mereka datang lagi dengan membawa uang cukup banyak pula," jawab kawan Kiai Windu itu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Ketika seorang kawan Kiai Windu yang lain, yang telah berbaring mendekam, maka Sambi Wulungpun tahu, bahwa orang itu agaknya ingin dapat tidur nyenyak tanpa terganggu oleh pembicaraannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian kamar itupun menjadi hening.
Ketika matahari terbit, maka segala sesuatunya mulai sibuk lagi di Song Lawa itu. Memang masih ada beberapa orang yang karena mereka bermain dadu hampir semalam suntuk masih tidur pulas.
Tetapi persiapan-persiapan di lapangan panahan telah dilakukan. Sasaran untuk kelompok-kelompok pemanah telah dipasang berderet. Demikian pula lingkaran-lingkaran untuk paseran. Sementara di arena sabung ayampun semua persiapan telah dilakukan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun sudah bersiap. Kiai Windu yang ingin menyaksikan keduanya turun di arena berkata sambil tersenyum, "Aku ingin melihat, apakah kalian akan dapat menambah modal kalian untuk turun ke permainan dadu atau justru malah sebaliknya. Jika kalian kalah dalam panahan, aku minta kalian tidak dengan cepat berputus-asa."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tertawa. Dengan nada tinggi Jati Wulung berkata, "Kiai, bukan baru kali ini aku. turun ke arena perjudian. Sudah aku katakan, bahwa aku telah mendatangi beberapa tempat perjudian yang lebih besar dari tempat ini. Tetapi tidak segila Song Lawa ini."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Sementara itu seorang kawannya berkata, "Marilah. Kita makan dahulu."
Setelah mereka makan di kedai, maka merekapun telah pergi ke lapangan panahan. Ternyata bahwa panahan telah mulai beberapa rambahan. Beberapa orang telah berkeringat, sementara pertarungan di setiap kalangan nampaknya ramai dan seimbang. Sebenarnyalah mereka yang turun ke lapangan panahan tentu orang-orang yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak segera turun ke arena. Untuk beberapa saat mereka masih melihat-lihat, arena yang manakah yang paling baik untuk dimasuki.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu sejenak, ketika mereka melihat beberapa anak muda ada di lapangan panahan. Tetapi ternyata mereka tidak berada pada kelompok yang sama. Wikrama berada di kelompok dua, sementara Puguh berada di kelompok lima. Sedangkan anak muda yang agak gemuk dan kasar itu agaknya masih melihat-lihat seperti beberapa orang lain di sekitar lapangan panahan itu.
"Nah, kapan kau akan mulai?" bertanya Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung berpaling. Tetapi mereka tidak menjawab. Keduanya hanya tersenyum saja, sementara Kiai Windu menjadi termangu-mangu.
Beberapa saat Sambi Wulung sempat menilai sekelompok pemanah pada kelompok tiga. Agaknya Sambi Wulung yakin, jika ia memasuki kelompok itu, maka ia tidak akan kalah.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah mendekati kelompok ketiga sementara Jati Wulung berdiri termangu-mangu sambil menilai orang-orang di kelompok keenam.
Kepada seorang petugas Sambi Wulung menyatakan diri untuk memasuki kelompok tiga.
"Kau tidak membawa busur dan anak panah sendiri?" bertanya petugas itu.
"Tidak. Bukankah disini ada persediaan?" bertanya Sambi Wulung.
"Memang ada. Tetapi jarang bagi para pemanah yang baik memakai busur dan anak panah dari persediaan disini. Mereka biasanya memakai busur dan anak panah mereka masing-masing, karena mereka telah mengenal benar sifat dan watak busur dan anak panah mereka," berkata petugas itu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Aku tidak mempunyai busur dan anak panah."
"He," petugas yang juga bertubuh raksasa itu heran, "jika kau tidak mempunyai busur dan anak panah, bagaimana kau dapat berlatih memanah?"
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menjawab, "Maksudku, busur dan anak panah yang pantas untuk dibawa keluar dan turun di arena seperti ini."
Petugas itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian mempersilakan Sambi Wulung yang menyebut dirinya Wanengbaya itu untuk memilih beberapa busur yang memang disediakan.
Beberapa saat Sambi Wulung itu memilih. Ketika ia kemudian mendapatkan busur dan anak panah yang dianggapnya sesuai berat dan panjangnya, maka iapun telah mempergunakannya.
Ketika ia sudah duduk di deretan para pemanah di kelompok ketiga, maka ternyata Jati Wulung masih berdiri tegak. Ternyata di kelompok keenam itu terdapat seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Seorang yang berkumis lebat, bertubuh tinggi tegap. Hampir di setiap rambahan anak panahnya ada yang hinggap di sasaran.
Ketika rambahan-rambahan berikutnya berlangsung, orang itu menjadi semakin menarik perhatian. Ketika tiba-tiba saja anak panahnya hinggap di kepala sasaran, maka beberapa orang penontonpun telah bertepuk tangan sambil bersorak. Bahkan beberapa orang pengikut di kelompok itu ikut bertepuk tangan pula.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan kenyataan itu maka iapun berkata kepada diri sendiri, "Agaknya orang inilah yang membuat kelompok ini tidak diikuti oleh terlalu banyak orang."
Sementara itu, hampir tanpa sadar, orang yang berdiri di sebelahnya berkata, "Orang itu memang gila. Hampir di setiap musim ia berada di Song Lawa. Disini ia biasanya menang, meskipun di permainan dadu ia selalu kalah."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, "Apakah tidak ada orang lain yang pernah mengimbangi kemampuannya?"
"Jarang sekali. Setinggi-tingginya. seseorang akan dapat menyamainya. Tetapi tidak melampauinya," berkata orang itu.
Jati Wulung tidak menyahut. Tetapi ia memperhatikan beberapa orang pemanah yang lain yang memang nampaknya menjadi gelisah, meskipun sekali-sekali mereka ikut bertepuk pula.
Namun dalam pada itu, sebelum Jati Wulung memasuki arena, seorang yang masih terhitung muda, berwajah tampan dan berpakaian rapi telah memasuki arena. Seorang pengawalnya membawa busur dan anak panah yang bagus sekali. Agak lebih bagus dengan busur dan anak panah para peserta yang lain.
Dengan demikian maka Jati Wulung telah menahan diri barang sejenak. Ia ingin melihat orang baru itu. Apakah ia akan dapat mengimbangi atau bahkan melampaui pemanah yang berkumis tebal itu.
Pemanah yang berpakaian rapi itupun kemudian telah mulai pula melontarkan anak panahnya. Pada ram-bahan-rambahan pertama ia masih belum menunjukkan kelebihannya. Tetapi pada rambahan-rambahan berikutnya, ternyata orang berpakaian rapi itu mampu menyaingi orang berkumis lebat itu.
Dengan demikian maka di kelompok enam itu, panahan menjadi sangat menarik. Beberapa kali terdengar sorak dan tepuk tangan di antara para penonton bagi kedua orang itu.
"Mereka memang memiliki kemampuan iblis," desis orang di sebelah Jati Wulung itu.
"Memang luar biasa," sahut Jati Wulung.
Namun Jati Wulungpun berpaling ketika seseorang menggamitnya. Ternyata seorang di antara kawan-kawan Kiai Windu.
"Wanengbaya sudah mulai. Apakah kau jadi akan turun atau tidak?" bertanya orang itu.
"Kenapa tergesa-gesa?" bertanya Jati Wulung yang dikenal dengan nama Wanengpati itu.
Kawan Kiai Windu itupun ikut pula melihat arena. Ternyata iapun berdesis, "Jangan turun di kelompok ini. Kedua orang itu telah menaruh mata di ujung anak panah mereka masing-masing."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, "Apakah keduanya belum pernah dikalahkan?"
"Hanya orang yang coba-coba saja yang berani memasuki arena ini atau orang baru seperti kau," jawab kawan Kiai Windu itu.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan saksama ia memperhatikan kedua orang itu. Ternyata sambutan atas keduanya dari para penonton menjadi demikian meriah. Bahkan beberapa orang telah berteriak-teriak sambil bertepuk tangan.
Namun tiba-tiba suasana menjadi hening. Seorang yang berkepala botak dan menyangkutkan kepalanya di lehernya telah memasuki arena sambil tertawa. Suaranya meninggi di sela-sela kata-katanya, "Luar biasa. Kalian memang pembidik-pembidik yang pantas disegani. Kalian akan dapat menghisap semua uang yang dipertaruhkan di kelompok ini." orang itu berhenti sejenak, lalu, "tetapi itu tidak pantas. Harus ada orang lain yang dapat mengimbangi kemampuan kalian. Mungkin kalian belum mengenal aku. Aku memang orang baru di Song Lawa ini."
Semua orang memandanginya. Orang berkepala botak itu telah duduk di antara para pemanah. Sesaat ditelitinya busur dan anak panahnya yang memang sangat baik dan tentu harganyapun sangat mahal.
"Silahkan mulai," berkata orang itu, "kenapa kalian menjadi seperti orang bingung."
"Tidak Ki Sanak," sahut pemanah yang pertama, "kami tidak menjadi bingung. Kami hanya ingin mengenal kau sebagai orang baru disini. Sudah sepantasnya kami menghormati tamu kami yang datang kemudian."
"Terima kasih atas perhatian Ki Sanak," jawab orang berkepala botak itu. Sementara pemanah yang berpakaian rapi itupun berkata, "Silahkan mulai Ki Sanak."
Orang-orang di dalam kelompok itupun segera mempersiapkan diri. Anak-anak yang menjadi pemungut anak panahpun telah bersiap pula. Orang berkepala botak itu tidak membiarkan anak Song Lawa itu memungut anak panahnya. Ternyata ia telah membawa sendiri.
"Anak panahku memerlukan perawatan khusus," katanya.
Demikianlah sejenak kemudian orang-orang yang ada di dalam kelompok itu mulai meluncurkan anak panah masing-masing. Susul-menyusul. Masing-masing dengan gaya dan cara mereka sendiri-sendiri.
Ternyata bahwa para penontonpun telah bersorak-sorak kembali. Orang berkepala botak itu memang mampu menempatkan dirinya sejajar dengan kedua orang pemanah terbaik sebelumnya.
Para pemanah di kelompok-kelompok yang lainpun nampaknya tertarik pada sorak-sorai itu. Tetapi mereka berusaha untuk memusatkan perhatian mereka pada sasaran di hadapan setiap kelompok masing-masing.
Wikrama yang merasa dirinya juga memiliki kemampuan yang tinggi berkata kepada diri sendiri, "besok aku akan berada di kelompok yang gila itu."
Sementara itu, orang yang berkepala botak dan merupakan orang baru itu semakin lama menjadi semakin menarik perhatian. Ia mulai menunjukkan, bahwa ia memiliki kemampuan lebih baik dari setiap orang. Bahkan sekali-sekali ia berkata dengan nada sombong, "Ternyata di Song Lawa aku tidak mendapat lawan yang memadai."
Kedua orang pemanah terbaik di kelompok itu sebelumnya memang menjadi panas. Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Setiap rambahan berlangsung, maka hampir selalu uang taruhan mengalir ke orang yang berkepala botak dan tidak memakai ikat kepalanya itu.
Orang-orang yang mula-mula bertepuk tangan untuk menyambutnya, tiba-tiba menjadi kurang senang karena sikapnya yang sombong. Setiap kali ia selalu berteriak dengan nada tinggi, memuji kemampuannya sendiri.
Namun ia dapat membuktikan bahwa ia mulai menang dalam taruhan itu. Bahkan bukan sedikit.
Ternyata Jati Wulung yang masih berdiri di pinggir arena, tidak dapat menahan diri lagi melihat sikap orang itu. Tanpa Sambi Wulung, maka tidak ada orang yang mengekangnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah mendatangi petugas dan menyatakan diri untuk masuk ke arena.
"Kau tidak membawa busur dan anak panah?" bertanya petugas itu.
"Pinjami aku," jawab Jati Wulung.
Petugas itu menjadi heran. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kau sudah melihat, siapa bakal lawan-lawanmu?"
"Sudah," jawab Jati Wulung.
Petugas itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memberikan busur dan anak panah dari persediaan yang ada. Sudah tentu bukan busur dan anak panah yang baik.
Ketika Jati Wulung memasuki arena, ternyata tidak kalah menariknya dari saat orang berkepala botak itu turun. Bukan karena sikapnya, kesombongannya atau kata-katanya yang gemuruh di sela-sela derai tertawanya. Tetapi justru karena kesederhanaannya. Apalagi busur dan anak panahnya, yang mereka ketahui, dipinjam dari persediaan yang ada di tempat itu.
Demikian Jati Wulung duduk, seorang anak telah siap untuk menjadi pemungut anak panahnya.
Namun ternyata orang berkepala botak itu telah menyapanya, "He Ki Sanak. Apakah kau memang agak kurang waras?"
Jati Wulung termangu-mangu. Sementara itu orang-orang yang telah beberapa kali berada di Song Lawa, melihat orang itu juga orang baru sebagaimana orang berkepala botak itu.
"He, apakah kau selain gila juga tuli?" orang berkepala botak itu hampir berteriak.
Jati Wulung berpaling kepada orang yang botak itu. Namun kemudian ia menunjuk ke arah sasaran sambil berkata, "Sasaran itu ada disana. Marilah, siapakah di antara kita yang dapat mengenai di bagian kepalanya."
Orang berkepala botak itu menggeram sambil berkata, "Kau benar-benar telah menjadi gila. Kau ikut dalam panahan di kelompok ini dengan busur dan anak panah buangan seperti itu."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi dipandanginya sasaran itu dengan saksama.
Di saat Jati Wulung memasuki arena dengan busur dan anak panah pinjaman, tidak terlalu banyak orang yang memperhatikan, karena kelompok yang dimasukinya tidak menjadi panas seperti kelompok enam yang kemudian diikuti oleh Jati Wulung.
Kawan Kiai Windu yang berada di dekat arena keenam itu menjadi tegang. Ia tahu pasti bahwa Jati Wulung adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia belum yakin bahwa ia adalah seorang pembidik yang akan mampu melampaui ketiga orang yang telah memanaskan arena keenam itu.
Sejenak kemudian pada rambahan berikutnya, Jati Wulung telah ikut pula melepaskan anak panahnya. Ketika ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia masih menjajagi sifat dan watak busur yang dipergunakannya. Sementara itu, menurut penilikannya, anak-panah yang akan dipergunakan meskipun ujudnya kurang baik, tetapi adalah anak panah biasa dan baik lari serta arahnya tidak terlalu buruk.
Ketika anak panahnya yang pertama tidak mengenai sasaran, maka orang berkepala botak itu berteriak, "He orang yang kurang waras. Berikan saja taruhanmu itu kepadaku tanpa bersusah payah melepaskan anak panah. Kau tidak akan dapat menyentuh sasaran yang paling buruk sekalipun. Bahkan anak panahmu akan dapat mengenai gandul yang justru kau akan didenda separo dari uang taruhanmu disamping uang taruhanmu itu seluruhnya."
Jati Wulung tidak menjawab. Ia sudah mulai memasang anak panah yang kedua.
Sementara itu, ketiga orang yang terbaik di kelompok itu ternyata telah mulai melepaskan anak panah mereka. Ternyata merekapun tidak dengan serta-merta mengenainya. Bahkan dari enam anak panah, tidak lebih dari dua di antaranya yang akan dapat mengenai sasaran, seperti di rambahan-rambahan sebelumnya. Itupun sudah merupakan hasil terbaik dari pemanah terbaik saat itu. Bahkan sekali-sekali di antara ketiga pemanah itu, dalam satu rambahan tidak lebih dari satu anak panah yang mengenainya. Sedangkan orang-orang lain, pada beberapa rambahan, barulah anak panah mereka dapat hinggap di sasaran. Tetapi pernah juga terjadi seseorang yang dapat menancapkan empat anak panah. Tetapi tentu saja itu hanya satu kebetulan dan terjadi dalam seratus rambahan sekali.
Sementara itu, hati Jati Wulung yang panas, benar-benar berniat untuk menunjukkan bahwa iapun mampu melakukan sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang itu. Meskipun ketika anak panahnya yang pertama agak jauh dari sasaran, tetapi ia yakin akan dapat melakukan jauh lebih baik. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa ketiga orang terbaik itu telah menertawakannya.
Sebenarnyalah bahwa Jati Wulung adalah seorang pemanah yang terlalu baik untuk sekedar bertaruh sebagaimana Sambi Wulung. Keduanya adalah orang-orang yang ditempa di perguruan yang bukan saja belajar membidik sasaran yang diam. Tetapi keduanya telah berlatih dengan tekun membidik sasaran yang bergerak. Dengan tepat keduanya dapat mengenai jantung seseorang yang berlari kencang. Latihan-latihan yang pernah dilakukan adalah membidik dan memanah kantung-kantung kecil berisi pasir yang dilemparkan. Bahkan kemudian sasaran-sasaran yang lebih kecil. Batang pisang yang dipotong hanya sebesar genggaman tangan dan dilemparkan ke udara, dapat dikenai sekaligus oleh tiga anak panah berurutan.
Saat itu, Jati Wulung menghadapi sasaran yang diam tergantung di hadapannya meskipun agak jauh.
Karena itu, maka iapun yakin akan dapat mengenainya kapan saja ia menghendakinya.
Ketika orang-orang lain di kelompok itu telah melepaskan anak panah mereka pula, namun belum satupun di antara anak panah itu yang mengenai sasaran yang tatarannya paling rendah sekalipun, Jati Wulung benar-benar telah membidikkan anak panahnya. Ia ingin mengenai sasaran itu pada tataran terendah, namun yang masih menghasilkan nilai. Karena jika ia mengenai gandul dari sasaran itu, maka justru ia akan didenda.
Beberapa saat Jati Wulung melihat beberapa anak panah yang meluncur ke arah sasaran. Namun anak panah itu ternyata masih belum ada yang menyentuhnya.
Bahkan tiba-tiba saja orang-orang yang menyaksikan panahan di kelompok enam itu bersorak disertai ejekan-ejekan yang menyakitkan, ketika satu di antara anak panah itu justru mengenai gandul.
Pada saat yang demikian, Jati Wulung telah melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur cepat menuju sasaran sebagaimana dikehendaki. Ternyata bahwa anak panahnya benar-benar telah mengenai badan dari tubuh sasaran itu sebagaimana ia inginkan.
Sorak itu telah terdengar lagi. Namun dalam nada yang berbeda. Orang-orang yang menonton di kelompok yang menjadi panas itupun telah bertepuk-pula bagi anak panah Jati Wulung. Apalagi kawan Kiai Windu.
Tetapi sejenak kemudian sorak itu telah disusul oleh sorak berikutnya. Satu anak panah dari orang berkepala botak itu telah mengenai badan sasaran itu pula.
Namun orang berkepala botak itu masih juga mengumpat, "Setan belang. Kau mendahului aku he?"
Jati Wulung diam saja. Sementara itu kedua orang pemanah yang lainpun telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka membidik dengan sebaik-baiknya.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sorak yang meledak telah terdengar pula. Ternyata pemanah terbaik yang pertama-tama ada di arena itu justru telah mengenai leher dari tubuh sasaran. Dengan demikian ia telah mendapat nilai lebih tinggi dari pemanah berkepala botak itu. Dan sorak itupun disusul lagi ketika pemanah yang kemudian juga memasuki arena sebelum orang berkepala botak itu juga sempat menancapkan anak panahnya, meskipun tidak lebih pada badan sasaran.
Namun arena keenam itu telah benar-benar bagaikan membara.
Sorak dan teriakan-teriakan penontonpun membuat telinga menjadi semakin merah.
Jati Wulung memang memiliki watak yang agak berbeda dari Sambi Wulung. Di dalam lingkaran arena ketiga Sambi Wulung masih sempat mengekang dirinya. Meskipun ia memenangkan taruhan untuk beberapa rambahan, namun sekali-sekali ia dengan sengaja membuat dirinya kalah. Dengan demikian maka perhatian orang-orang yang ada di kelompok itu serta beberapa penonton yang tinggal, karena yang lain terhisap di kelompok enam, tidak terlalu menaruh perhatian atas kelebihannya. Kemenangan yang didapat oleh Sambi Wulung memang tidak terlalu banyak, namun telah dapat menambah bekal jika mereka memasuki permainan judi yang lain.
Di kelompok enam Jati Wulungpun telah terbakar oleh sikap penonton dan sikap ketiga orang pemanah terbaik yang lain. Karena itu, maka iapun telah membidikkan anak panahnya pula. Dengan hati-hati dan sungguh-sungguh ia memang membidik leher sasaran.
Sebenarnyalah penonton menjadi gegap gempita ketika anak panah Jati Wulung benar-benar hinggap di leher sasaran. Sementara itu ketiga orang pemanah terbaik di kelompok itupun mengumpatinya dengan kasar. Beberapa anak panah yang meluncur kemudian justru tidak dapat mengenai sasaran, karena mereka menjadi gelisah dan bahkan marah, sehingga tangan mereka menjadi gemetar sebagaimana jantung mereka semakin keras berdetak.
Tetapi Jati Wulung tidak berhenti sampai sekian. Ia masih memiliki dua anak panah di rambahan itu. Dengan sepenuh kemampuan yang ada pada dirinya, maka Jati Wulung telah membidik kepala sasaran. Ia memang menunggu sampai anak panah terakhir, telah dilepaskan oleh para pemanah yang lain. Baru kemudian ia melepaskan anak panahnya.
Lapangan itu rasa-rasanya hampir meledak. Anak panah itu tepat mengenai kepala tubuh sasaran. Bagian yang mendapat penilaian tertinggi dari sasaran itu.
Tetapi Jati Wulung belum selesai. Ia masih mempunyai satu anak panah dari enam anak panah yang disediakan bagi setiap rambahan.
Jati Wulung memang tidak mau disebut kebetulan dengan anak-anak panahnya yang sempat hinggap di tubuh sasaran. Karena itu, maka sekali lagi ia membidik dengan sungguh-sungguh. Ia tidak melihat apapun juga di hadapannya kecuali kepala sasaran itu.
Demikianlah, ketika anak panahnya yang terakhir lari dari busurnya, maka lapangan panahan itu benar-benar telah terguncang. Anak panah yang terakhir itupun telah mengenai kepala sasaran itu pula tepat di kepalanya, sehingga bedor anak panahnya seakan-akan berimpit dengan anak panahnya yang terdahulu.
"Anak setan, demit, thethekan," orang berkepala botak itu mengumpat kasar. Tiba-tiba saja ia bangkit. Dengan kasar ia berteriak, "Kau pakai ilmu setan orang gila. Kemenanganmu kali ini tidak diakui."
Jati Wulung termangu-mangu melihat sikap orang itu. Namun ternyata dua orang pemanah terbaik yang lain hampir berbareng berkata, "Aku akui kemenangannya."
Orang berkepala botak itu berpaling kepada kedua orang itu. Namun kedua orang itu memandanginya dengan tatapan mata yang tajam, sehingga bagaimanapun juga orang berkepala botak itu harus menilai kembali sikapnya.
Perlahan-lahan ia duduk kembali. Tetapi ia masih bergeremang, "Jika demikian, semua uang yang ada disini akan diambilnya."
"Mungkin sekali," berkata salah seorang dari kedua pemanah terbaik itu, "jika salah seorang dari para peserta ini memang ingin menghindar, maka tidak ada yang akan melarangnya."
"Persetan," geram orang berkepala botak itu.
Tetapi ia merasa malu untuk meninggalkan lapangan di kelompok itu. Karena itu, maka iapun telah kembali memegangi busurnya sambil berkata, "Mungkin satu kebetulan. Kita lihat di rambahan berikutnya."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia memang ingin membuktikan, bahwa ia benar-benar mampu mengenai sasaran sebagaimana dikehendakinya. Bukan sekedar kebetulan, sebagaimana dikatakan oleh orang yang berkepala botak itu.
Sementara itu, kawan Kiai Windu ternyata telah dengan tergesa-gesa menemui Kiai Windu dan mengatakan apa yang telah dilihatnya.
"Benar-benar satu pameran kemampuan," katanya.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Aku yakin bahwa Wanengbaya inipun mampu juga melakukannya. Tetapi ia lebih mengendap dari Wanengpati, sehingga ia tidak melakukannya. Iapun agaknya menang pula. Tetapi sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan. Sekali-sekali ia dengan sengaja mengalah."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Jika sikapnya itu tidak berubah, mungkin akan dapat memancing persoalan. Seorang di antara para pengikut di kelompok enam sudah menunjukkan sikapnya yang tidak senang melihat kemampuan Wanengpati."
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Ia akan dapat mengatasi kesulitan jika timbul. Ingat, ia memiliki ilmu yang luar biasa. Demikian pula Wanengbaya."
Kawan Kiai Windu itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian kembali pergi ke kelompok enam. Ada semacam kebanggaan di dalam dirinya, bahwa seorang yang telah dikenalnya mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam arena panahan itu. Bahkan kedua orang kawannya yang lainpun telah ikut pula bersamanya melihat panahan di kelompok enam, sementara Kiai Windu berkata, "Aku berada disini."
Sambi Wulung sendiri masih belum merubah cara yang dipakainya. Ia masih juga menempatkan diri pada tataran yang tidak terlalu menyolok di antara pemanah-pemanah yang lain. Meskipun ia memang menang, namun tidak seorangpun yang tersinggung oleh kemenangannya itu.
Berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Jati Wulung. Jantungnya benar-benar telah terbakar oleh suasana yang panas di kelompok enam. Ia tidak saja ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemanah terbaik di Song Lawa. Namun ia dapat berbuat apa saja yang dikehendaki.
Pada rambahan berikutnya, maka dengan sengaja Jati Wulung telah mengenai sasaran itu dari atas ke bawah. Anak panahnya yang pertama telah hinggap di kepala. Sebelum orang lain melepaskan anak panahnya barang satupun, Jati Wulung telah melepaskan anak panahnya yang kedua yang dengan sengaja telah ditancapkan pada leher sasaran. Yang ketiga mengenai badan sasaran di bagian atas dan yang keempat mengenai badan sasaran di bagian bawah, ia tidak memberi kesempatan orang lain untuk melepaskan anak panah, karena sebagian besar dari mereka menjadi bagaikan membeku. Panah yang kelima dengan sengaja pula telah dibidikkan ke arah gandul. Meskipun ia sadar, bahwa dengan demikian akan dikenakan nilai denda, tetapi nilai seluruh anak panahnya masih juga lebih banyak dari denda itu. Sementara sebelum orang lain membidik, satu anak panah lagi telah meluncur dan tepat mengenai kepala pula.
Arena panahan di kelompok itu justru menjadi hening. Tidak seorangpun yang telah bersorak. Jantung mereka benar-benar dicengkam oleh keajaiban yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Bahkan pemanah-pemanah terbaikpun bagaikan membeku melihat cara Jati Wulung menggetarkan jantung lawan-lawan panahannya.
Sementara itu, setiap orang yang ada di arena itu mengerti sepenuhnya apa yang telah dilakukan oleh Jati Wulung. Jika ada satu di antara anak panahnya yang mengenai sasaran yang menghasilkan nilai denda, itu bukan karena ia salah bidik. Tetapi hal itu tentu dilakukan dengan sengaja.
Baru kemudian ketika orang yang mereka kenal dengan nama Wanengpati itu meletakkan busurnya, langit bagaikan menjadi runtuh. Orang-orang yang menyaksikan kemampuan Jati Wulung itu telah bersorak-sorak seperti orang kehilangan kesadaran. Kawan-kawan Kiai Windupun ikut pula bersorak seakan-akan merekalah yang telah memenangkan panahan itu. Bahkan para pemanah yang lainpun telah ikut bertepuk tangan pula melihat kemampuan Jati Wulung yang berada di luar jangkauan kemampuan mereka.
Ketika sorak yang gemuruh itu mereda, maka barulah orang-orang lain membidikkan anak panahnya. Merekapun berusaha untuk mengenai sasaran. Karena nilai-nilai yang mereka dapat akan berarti mengurangi nilai kekalahan mereka.
Orang berkepala botak itu benar-benar telah kehilangan kemampuan bidiknya oleh kegelisahan dan ketidak-senangannya terhadap Jati Wulung. Setiap kali ia mengumpat kasar dan diperlakukannya busur dan anak panahnya yang baik dan mahal itu dengan kasar pula.
Berbeda dengan orang itu, maka pemanah-pemanah yang lain, termasuk kedua orang pemanah terbaik sebelumnya, menerima kenyataan itu. Karena itu mereka justru menjadi tenang. Mereka mampu mempergunakan kesempatan mereka untuk mengurangi kekalahan mereka, sehingga mereka tidak harus membayar terlalu banyak. Apalagi dengan sengaja Wanengpati telah mengurangi kemenangannya dengan membiarkan anak panahnya mengenai sasaran yang justru dikenakan nilai denda.
Pada kedua rambahan itu, Jati Wulung sudah mendapatkan kemenangan lebih besar dari Sambi Wulung. Namun dengan demikian lawan-lawannya yang lainpun menjadi ragu-ragu. Jika mereka meneruskan permainan maka mereka tidak akan mempunyai harapan sama sekali. Berbeda dengan ketiga orang pemanah sebelumnya, yang betapapun tinggi kemampuannya, namun mereka masih belum mampu menentukan sasaran sebagaimana dikehendakinya setiap saat.
Agaknya Jati Wulung melihat hal itu. Iapun memang sudah merasa puas setelah memaksa orang botak yang sombong itu mengakui kekalahannya di hadapan sedemikian banyak saksi. Karena itu, maka Jati Wulungpun kemudian berdiri sambil berkata, "Aku tidak melanjutkan permainan ini agar ada orang lain yang sempat mendapatkan kemenangan."
"Persetan," geram orang yang botak itu.
Jati Wulung berpaling ke arahnya. Tetapi ia melihat bahwa kesombongan orang berkepala botak itu sudah runtuh. Apapun yang dilakukan, maka orang-orang yang ada di kelompok enam itu tahu, bahwa ia bukan orang yang tidak terkalahkan.
Karena itu, maka Jati Wulungpun tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian telah mengembalikan busur dan anak panah kepada petugasnya. Memberikan sedikit uang kepadanya dan bagi anak yang telah memungut anak panahnya. Kemudian Jati Wulungpun melangkah meninggalkan arena keenam itu.
Ketiga orang kawan Kiai Windupun segera mendapatkannya. Dengan nada tinggi seorang di antara mereka berkata, "Kau memang luar biasa. Aku menjadi tidak merasa sakit hati pernah kau kalahkan, karena kau memang pantas melakukannya atas kami."
"Jangan memuji seperti itu," berkata Jati Wulung, "jika kau ingin makan, marilah. Aku akan membayarnya."
"Ah kau," desis kawan kiai Windu yang lain, "hanya makan?"
"Habis. Kau mau apa?" bertanya Jati Wulung.
"Tidak apa-apa," jawab kawan Kiai Windu.
Namun kedua kawannya yang lain tersenyum sambil memandanginya. Seorang di antaranya berkata, "Kenapa kau tidak berterus terang."
"Terus terang tentang apa" Aku memang tidak menghendaki apa-apa," jawab orang itu.
"Penari itu?" desis kawannya yang lain.
"Ah kau. Omong kosong," geram orang itu sambil melangkah pergi.
Kedua kawannya tertawa. Sementara Jati Wulungpun tertawa pula.
Ketika mereka meninggalkan arena keenam itu, maka beberapa orang masih saja memperhatikannya. Namun orang-orang itu tidak mengikutinya atau meninggalkan arena itu. Bahkan kemudian merekapun mulai memperhatikan panahan yang berlangsung lebih mapan setelah diguncang oleh Jati Wulung dengan kemampuannya yang luar biasa. Bahkan kemudian orang-orang yang tidak ikut memegang busur dan anak panahpun dapat ikut bertaruh pula dengan cara mereka masing-masing.
Ketika Jati Wulung kemudian sampai ke arena pada kelompok yang diikuti oleh Sambi Wulung, maka iapun telah melihat cara yang ditempuh oleh saudara seperguruannya itu. Tiba-tiba saja jantungnya merasa berdebar-debar mengingat apa yang telah dilakukannya. Karena dengan demikian, maka seolah-olah telah tertutup kemungkinan baginya untuk ikut serta dalam permainan panahan, karena setiap orang telah mengetahui kemampuannya yang tidak terkalahkan.
Sementara itu Sambi Wulung yang mampu mengendalikan dirinya, telah mempergunakan cara yang lebih halus.
Akhirnya Jati Wulung justru telah terduduk di bawah sebatang pohon di pinggir lapangan. Keringatnya yang membasahi keningnya sekali-sekali disekanya dengan lengan bajunya.
Kiai Windulah yang kemudian mendekatinya. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Kau letih?"
"Ya," jawab Jati Wulung.
"Kau terlalu tegang," berkata Kiai Windu yang kemudian duduk di sebelahnya. "Wanengbaya tidak melakukan cara seperti yang kau lakukan. Sampai sekarang ia masih bertahan di tempatnya."
"Ya. Aku menjadi panas karena penonton yang seakan-akan menjadi gila, serta pemanah yang memang membuat jantungku seakan-akan semakin cepat bergetar," berkata Jati Wulung.
"Karena itulah kau harus berhati-hati. Terutama terhadap orang yang dianggapnya sebagai pemanah-pemanah terbaik itu. Mungkin ada yang menerima kenyataan itu. Asal kau tidak turun ke arena maka tidak ada lagi masalah baginya. Tetapi ada yang mungkin berpendirian, bahwa kau tidak boleh untuk seterusnya turun ke arena panahan di tempat yang disebut Song Lawa ini," berkata Kiai Windu kemudian.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Kiai Windu. Dengan nada berat ia berkata, "Aku akan berhati-hati Kiai. Terima kasih atas peringatan itu. Sebenarnya aku tidak berniat untuk berbuat demikian. Tetapi perasaan inilah yang rasa-rasanya telah membakar jantung."
Kiai Windu tersenyum. Ia memang serba sedikit dalam pergaulannya yang singkat, dapat mengenali watak Jati Wulung yang agak lebih panas dari Sambi Wulung.
"Beristirahatlah," berkata Kiai Windu, "aku akan melihat panahan itu lagi."
Sepeninggal Kiai Windu, Jati Wulung semakin merenungi dirinya sendiri. Iapun kemudian bersandar sebatang pohon sambil memandangi daunnya yang bergerak disentuh angin. Rasa-rasanya sejuknya bayangan dedaunan serta angin yang mengusap tubuh membuatnya mengantuk. Namun Jati Wulung tidak tertidur karena setiap kali terdengar sorak yang meledak dari para penonton yang telah ikut bertaruh di lapangan panahan.
Bagi Jati Wulung, Kiai Windu memang merupakan orang yang agak lain dengan orang-orang yang dikenalinya di Song Lawa itu. Meskipun ilmu Kiai Windu tidak mampu menyamainya, tetapi sikapnya yang mengendap dan berpandangan luas itu, membuatnya menjadi hormat kepadanya.
Ternyata Jati Wulung harus menunggu sampai menjelang matahari turun. Sambi Wulung agaknya cukup telaten ikut dalam panahan itu. Namun ketika matahari bagaikan membakar tengkuknya, serta kemenangannya untuk hari itu sudah dianggap cukup, iapun telah meninggalkan arena.
Ketika Sambi Wulung itu melihat Jati Wulung duduk bersandar sebatang pohon sambil merenung, maka iapun telah mendekatinya.
"Kenapa kau?" bertanya Sambi Wulung.
Kawan Kiai Windu yang mendekati merekalah yang menjawab, "Ia telah mabuk karena kemenangannya."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Sementara Jati Wulung sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
"Tunggulah," berkata Sambi Wulung, "aku akan mengembalikan busur dan anak panah ini."
Jati Wulung masih belum menjawab. Sementara Sambi Wulungpun kemudian telah mengembalikan busur dan anak panah, memberi sedikit uang kepada petugasnya dan juga kepada anak-anak yang menjadi pemungut anak panahnya.
"Kau menang hari ini," berkata petugas yang bertubuh raksasa itu sambil tersenyum.
Sambi Wulungpun tersenyum juga. Baginya nampak agak aneh, seorang yang bertubuh raksasa, berwajah kasar dan berkumis tebal itu tersenyum. Namun kemudian Sambi Wulung telah memberikan uang lagi kepadanya sambil berkata, "Mungkin besok aku akan meminjamnya lagi."
"Baiklah," jawab orang itu. Lalu katanya, "terima kasih. Aku doakan kau besok menang lagi."
Sambi Wulung tertawa. Namun ia tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian, maka Sambi Wulung, Jati Wulung, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya telah berjalan menuju ke kedai di sebelah lapangan itu. Ketika mereka melewati kelompok-kelompok yang lain, mereka tidak lagi melihat Wikrama di arena. Tetapi mereka masih melihat Puguh berada di tempatnya.
Ternyata mereka berhenti beberapa saat. Namun dalam waktu yang pendek itu mereka sudah dapat menduga, bahwa setidak-tidaknya Puguh tidak kalah dalam taruhan di tempat panahan itu.
Dalam pada itu, karena panasnya matahari, ternyata beberapa orang pemanah memang sudah meninggalkan arena. Tetapi ada saja orang lain yang menggantikannya, sehingga seakan-akan jumlah pesertanya tidak terlalu banyak berkurang. Apalagi menurut Kiai Windu, jika panas matahari mulai susut. Orang-orang baru akan turun pula menggantikan mereka yang telah menjadi kelelahan. Namun dalam pada itu, ketika mereka melanjutkan langkah mereka menuju ke kedai, Kiai Windu telah menceriterakan apa yang didengarnya dari kawan-kawannya tentang Jati Wulung yang ternyata telah mengguncang arena panahan di lapangan itu.
"Benar kau berbuat begitu?" bertanya Sambi Wulung.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa jika Kiai Windu menyampaikan hal itu kepada Sambi Wulung, ia sama sekali tidak berniat buruk. Bahkan sebaliknya, agar Sambi Wulung yang dikenalnya bernama Wanengbaya itu juga menjadi berhati-hati.
Dengan nada rendah Jati Wulung menjawab, "Hatiku dibakar oleh suasana yang panas serta sikap salah seorang pemanah yang sombong atas kelebihannya."
"Dan kau terpancing untuk menjadi sombong juga?" bertanya Sambi Wulung.
Jati Wulung tidak menjawab. Namun Kiai Windulah yang berkata, "Sebaiknya kau tidak memasuki arena panahan untuk satu dua hari, karena kehadiranmu akan sangat berpengaruh terhadap kelompok itu."
Jati Wulung mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti."
Sambi Wulung hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti, bahwa keterlanjuran itu mungkin akan mempunyai akibat tersendiri. Meskipun demikian Sambi Wulung berkata, "Mudah-mudahan orang-orang itu segera melupakannya."
Sepasang Walet Merah 3 Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Jodoh Si Mata Keranjang 12
"Aku kira, mereka hanya membutuhkan bantuan kita untuk menanggung mereka memasuki tempat ini, karena mereka tahu, tanpa ditanggung oleh orang-orang yang sudah memiliki pertanda, maka mereka tidak akan dapat masuk," sahut kawan Kiai Windu yang justru telah terluka. Namun lukanya telah hampir sembuh dan tidak terasa pedih lagi.
Dalam pada itu, Jati Wulung yang seakan-akan mabuk itu telah bangkit dan berjalan terhuyung-huyung mendekati Puguh. Sambil tertawa-tawa Jati Wulung berkata, "He, mana tuakku" Mana bumbung tuakku?"
Sambi Wulung dengan cepat menariknya dan mendorongnya untuk duduk. Katanya, "Diam kau."
Jati Wulungpun segera duduk. Lebih dekat dengan Puguh dan para pengawalnya.
Bahkan Sambi Wulung telah mendorong Jati Wulung untuk berbaring di atas rerumputan yang mulai mengering.
"Maaf Ki Sanak," berkata Sambi Wulung.
"Bawa kawanmu itu pergi," bentak salah seorang pengawal remaja yang bernama Puguh itu.
"Aku akan membawanya pergi. Tetapi biarlah nanti jika keadaannya sudah berangsur baik. Syukurlah jika ia dapat tidur disini sebentar sehingga tidak mengganggu orang lain," berkata Sambi Wulung.
"Tapi bawa ke sebelah pohon itu," bentak yang lain.
"Ia tidak akan mengganggu Ki Sanak. Aku akan menjaganya," jawab Sambi Wulung.
Pengawal Puguh itu tidak mengatakan sesuatu. Namun mereka justru memperhatikan seorang lagi yang datang ke tempat Puguh dan kawan-kawannya itu.
Ternyata orang itu juga seorang pengawal Puguh yang membeli sebungkus makanan. Jagung bakar yang hangat dan tape ketan.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung berusaha untuk mendapat kesempatan berbicara dengan mereka. Karena itu, maka Sambi Wulungpun kemudian bertanya, "Dimana kalian dapat membeli jagung bakar seperti itu."
"Di kedai itu," jawab pengawal yang membeli jagung bakar itu, "kau orang baru disini he" Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."
"Ya," jawab Sambi Wulung, "kami baru kali ini mengunjungi tempat yang sangat menarik ini. Disini kita mendapat apa yang kita inginkan, serta melepaskan semua kehendak tanpa ada yang menghalanginya."
Pengawal Puguh itu tertawa. Katanya, "Kau terlambat mengenal tempat ini."
"Aku menyesal," jawab Sambi Wulung.
Dalam pada itu pengawal Puguh yang lain berkata, "Kenapa tiba-tiba kau terlempar kemari?"
"Satu kebetulan," jawab Sambi Wulung, namun ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, "apakah kalian sudah beberapa kali datang kemari."
"Ya. Beberapa kali," jawab pengawal itu.
Sambi Wulung termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, "Anak yang masih sangat muda itu?"
Pengawal itu berpaling ke arah Puguh. Katanya, "Angger inipun sudah beberapa kali berada disini."
"Ia masih sangat remaja. Jadi seberapa besarnya ketika ia mengenali tempat ini untuk pertama kalinya?" bertanya Sambi Wulung sambil berdebar-debar. Jika anak itu anak yang kasar, maka ia tentu akan mengumpat, bahkan mungkin berbuat sesuatu.
Tetapi ternyata anak itu hanya berpaling kepadanya sambil berdesis, "Kenapa kau ingin mengetahuinya?"
"Maaf. Aku minta maaf jika pertanyaanku ini kurang berkenan di hatimu," jawab Sambi Wulung. Lalu, "Soalnya apakah para remaja sudah tahu arti segala macam permainan disini?"
"Kau mulai menghina aku," berkata Puguh.
"Tidak. Bukan maksudku," jawab Sambi Wulung, "aku juga mempunyai anak sebesar Angger ini. Maaf, siapakah nama Angger?"
"Puguh," jawab remaja itu tanpa ragu-ragu, "namaku Puguh. Kau tertarik pada nama itu?"
"Nama yang bagus," jawab Sambi Wulung.
"Mungkin. Nama itu mungkin dapat dianggap nama yang baik. Tetapi nama itu tidak berarti apa-apa bagiku," jawab Puguh.
Sambi Wulung mulai heran menghadapi sikap anak yang bernama Puguh itu. Bahkan tiba-tiba saja anak itu bertanya, "He, Ki Sanak. Kau memikirkan keadaanku" Mungkin kau bertanya di dalam hatimu, jika kanak-kanak ingusan seperti aku berada di tempat ini, apakah jadinya aku di kemudian hari."
Sambi Wulung justru berdesah. Namun anak itu berkata selanjutnya, "Tidak seorangpun yang memikirkan hari kemudianku. Apakah aku akan menjadi seorang Tumenggung atau menjadi brandal yang paling buruk atau apapun yang ingin aku lakukan. Hidupku memang di tempat oleh kekerasan dan dendam. Apalagi?"
Sambi Wulung termangu-mangu. Namun pengawalnyalah yang berkata, "Puguh memang seorang yang bekerja keras menempa ilmunya. Mungkin terlalu keras sehingga sebagian dari masa kanak-kanaknya hilang."
Hampir di luar sadarnya Sambi Wulung berkata, "Sebenarnya masa remajamu dapat kau nikmati. Tetapi justru tidak disini."
"Aku tidak mempunyai tempat yang lain yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku selain disini," jawab Puguh, "agaknya disini aku dapat berbuat apa saja dengan tanggung jawabku sendiri bersama orang-orang yang memang diserahkan kepadaku untuk mengawani aku disini."
"Tetapi beaya kesenanganmu di tempat ini terlalu mahal," berkata Sambi Wulung.
"Jika aku kalah. Tetapi jika aku menang, maka aku akan mendapatkan berlipat ganda," jawab Puguh.
"Kau pernah memenangkan permainan disini?" bertanya Sambi Wulung.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak. Aku belum pernah menang. Tetapi kalau tidak kalah aku memang pernah. Maksudku tidak kalah dan tidak menang. Aku keluar dari tempat ini membawa uang sebagaimana aku memasukinya. Tetapi akupun pernah ditipu orang disini. Memang mengherankan, bahwa di tempat seperti ini ada juga orang yang berani menipuku."
"Ditipu orang?" Sambi Wulung mengulang.
Tetapi Puguh tidak mau menjawab. Bahkan iapun berkata, "Panggil perempuan yang sedang menari itu. Berapa saja ia minta uang."
"Untuk apa kau panggil penari itu?" hampir di luar sadarnya Sambi Wulung bertanya.
Puguh tertawa. Katanya, "Kau tahu, bahwa aku sudah memasuki lingkungan ini sejak beberapa tahun sebelumnya. Sekarang umurku telah mendekati lima belas. Aku sudah dewasa sekarang."
"Belum. Kau belum dewasa," desis Sambi Wulung.
Puguh tertawa. Namun katanya kemudian, "Bawa kawanmu yang mabuk itu pergi. Aku tahu, kau tidak senang akan sikapku. Tetapi kau harus ingat, bahwa kita berada di Song Lawa. Disini tidak ada kewajiban untuk menyenangkan orang lain."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi Puguh berkata, "Bawa kawanmu yang mabuk itu pergi."
Sambi Wulung tidak mau memberikan kesan bermusuhan dengan orang yang ingin diketahui keadaannya lebih jauh itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Kami akan pergi."
Sambi Wulungpun kemudian telah mengguncang Jati Wulung yang masih terbaring. Tetapi Jati Wulung sama sekali tidak menjawabnya. Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah mengangkat dan memapah Jati Wulung untuk membawanya pergi.
Keduanya menyusuri dinding Song Lawa yang remang-remang oleh cahaya obor. Namun kemudian keduanya telah turun ke lorong yang langsung menuju ke dalam barak mereka.
"Bawa aku ke dalam bilik," berkata Jati Wulung.
"Kaulah yang ganti harus menggendongku semalam suntuk," geram Sambi Wulung, "kau kira kau tidak cukup berat."
"Pergunakan tenaga cadangan dan ilmumu untuk memapah aku," desis Jati Wulung.
"Gila kau," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung tertawa. Tetapi ia masih tergantung dipundak Sambi Wulung.
Mereka tertegun ketika mereka bertemu dengan Kiai Windu dan kawan-kawannya sebelum mereka memasuki pintu barak. Kiai Windupun telah tertawa sambil berkata, "besok, biarlah aku yang berpura-pura mabuk."
"Sst," desis Jati Wulung.
"Tidak ada orang," jawab Kiai Windu, "semua orang sudah keluar dari biliknya."
Jati Wulung tidak menyahut. Tetapi demikian mereka memasuki barak itu, maka Sambi Wulung telah mendorong Jati Wulung sambil berkata, "berjalanlah sendiri."
Jati Wulung hampir saja menimpa dinding. Namun ia tertawa sambil berkata, "besok harus dilakukan lagi jika kau ingin berbicara dengan anak muda yang lain."
Sambi Wulung menjawab, "Tidak perlu. Tanpa mabuk-mabukan dapat dicari cara lain. Aku sudah cemas bahwa orang-orang itu akan dapat mengetahui bahwa kau hanya berpura-pura."
"Aku sudah melakukan perananku dengan baik sekali," jawab Jati Wulung.
"Tetapi mulutmu sama sekali tidak berbau tuak," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung tiba-tiba saja tertawa. Namun iapun kemudian telah berjalan ke bilik mereka.
Dalam pada itu, bilik-bilik yang lain memang masih kosong. Para penghuninya masih saja melihat keramaian di sudut-sudut lingkungan Song Lawa yang merupakan dunia tersendiri.
Ketika mereka memasuki barak mereka, Jati Wulung berdesis, "Apa saja yang kemudian dilakukan oleh Puguh?"
"Jangan sebut itu. Aku tidak berani membayangkannya," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung memang tidak mengatakannya lebih lanjut, sehingga karena itu, maka iapun telah terdiam.
Tetapi dalam kediamannya Jati Wulung itupun telah berbaring di pembaringannya.
"Apakah kita tidak akan keluar lagi?" bertanya Kiai Windu.
"Aku ingin merenungi malam ini di dalam bilik ini," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Kau dengar suara gamelan itu" Semakin malam menjadi semakin panas. Penarinya berganti-ganti tanpa habis-habisnya."
"Besok kita dapat menemui mereka di Kedai," berkata Jati Wulung sambil memejamkan matanya.
"Tetapi dalam keadaan yang berbeda," jawab Kiai Windu.
"Aku sedang mabuk sekarang," jawab Jati Wulung.
Merekapun kemudian tertawa. Namun suara tertawa merekapun terputus ketika mereka mendengar suara perempuan melengking. Agaknya perempuan yang berada di bilik sebelah itupun telah kembali ke dalam biliknya.
"Perempuan-perempuan yang tidak tahu akan harga dirinya," geram perempuan itu yang terdengar dari bilik Sambi Wulung.
"Itu sudah pekerjaannya," terdengar seorang laki-laki menyahut.
"Jika kau memerlukannya, kenapa kau ikuti aku kembali ke bilik ini?" perempuan itu membentak.
"Aku sudah mengantuk. Besok aku akan ikut bertaruh pada sabung ayam," jawab laki-laki itu. Sementara itu terdengar suara laki-laki yang lain, "uangku lebih baik aku pergunakan untuk bertaruh besok daripada harus diberikan kepada tledek-tledek itu."
"Kalian berpikir tentang uang," berkata perempuan itu, "tetapi sama sekali tidak tentang kesetiaan."
"Kesetiaan" Apa maksudmu?" bertanya laki-laki itu.
"Jika kau tidak mau bersinggungan dengan perempuan itu bukannya karena kau tidak mempunyai uang, mengantuk atau alasan-alasan lain. Tetapi semata-mata karena kalian tidak mau mengkhianati isteri kalian. Mengantuk atau tidak mengantuk, tidak mempunyai uang atau menyimpan uang sepedati, kalian sama sekali tidak akan berbicara tentang tledek-tledek seperti itu," geram perempuan itu.
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa beberapa orang laki-laki. Lebih dari dua orang. Seorang di antaranya berkata, "Apa artinya kesetiaan itu bagimu" He, jawab. Berapa kali kau sudah kawin" Bercerai, kawin lagi" Bahkan sekali waktu kau mempunyai dua orang suami."
"Tutup mulutmu," tiba-tiba saja terdengar suara pedang yang ditarik dari sarungnya.
"Sudahlah," terdengar suara berat, "sejak kemarin kau selalu menarik pedangmu. Apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada marah-marah di antara sesama kita?"
Pertengkaran itu memang mereda. Bahkan kemudian tidak lagi terdengar suara seseorang. Tetapi yang terdengar adalah hentakkan-hentakkan pada barang-barang dan alat-alat yang ada di dalam bilik sebelah.
"Tledek. itu memang dapat menimbulkan persoalan antara seorang perempuan dan laki-laki yang mungkin suaminya, bahkan orang lain sekalipun," desis Jati Wulung sambil memejamkan matanya.
"Tidur sajalah," berkata Sambi Wulung.
Kiai Windu yang kemudian juga berbaring tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kita memang beristirahat. Besok kita akan melihat sesuatu yang kita tunggu. Bukankah kalian berdua belum pernah menyaksikannya?"
"Ya," sahut Sambi Wulung, "besok kita akan menyaksikannya."
Namun ternyata Jati Wulung dan Sambi Wulung tetap tidak mau tidur bersama-sama. Bagaimanapun juga mereka tetap tidak mengetahui kemungkinan yang dapat terjadi di tempat yang belum mereka ketahui dengan jelas itu. Karena itu, maka mereka masih juga tidur bergantian.
Kiai Windu yang mengetahui kesiagaan keduanya itu hanya tersenyum saja. Meskipun dalam tingkat ilmu Kiai Windu masih di bawah kemampuan Sambi Wulung dan Jati Wulung, tetapi iapun memiliki pengalaman yang luas pula.
Sampai lewat tengah malam suara gamelan masih terdengar riuh dan panas. Penari janggrung yang turun ke arena telah berganti-ganti. Beberapa orang kepalanya telah menjadi pengap karena berkelahi. Bahkan beberapa orang telah pingsan. Satu lagi jiwa telah melayang sebelum perjudian benar-benar dimulai.
*** Dalam pada itu, Kiai Badra dan Kiai Soka yang mengamati keadaan di tempat perjudian itu dari luar mencoba untuk mendekati di malam hari. Meskipun mereka tidak melihat apa yang ada di dalam dinding yang mengelilingi tempat yang disebut Song Lawa itu, namun mereka tahu, apa yang sedang berlangsung.
"Gending-gending yang menggelitik," desis Kiai Soka.
Kiai Badra tertawa. Katanya, "Kau masih juga ingat gending-gending untuk tayub?"
"Lebih panas dari tayub yang tertib," jawab Kiai Soka, "tentu sedang berlangsung tari janggrung."
Kiai Badra masih tertawa tertahan. Katanya, "Mudah-mudahan Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak tenggelam dalam dunia yang menghanyutkan itu."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Jika aku masih tiga puluh tahun lebih muda, maka aku akan berusaha untuk memasuki tempat itu tanpa mengingat bahayanya."
"Barangkali Kiai ingin mencobanya sekarang?" bertanya Kiai Badra.
Kiai Soka juga menahan tertawanya. Namun keduanya tidak bergeser terlalu dekat dengan dinding Song Lawa.
Keduanya terpaksa bersembunyi dibalik gerumbul ketika dua orang petugas dari Song Lawa itu nganglang di sekitar dinding lingkungan perjudian itu.
Demikian petugas itu menjadi semakin jauh, maka Kiai Badra dan Kiai Soka telah keluar dari persembunyiannya.
Nampaknya belum ada persoalan yang penting yang harus mereka tangani. Menurut perhitungan kedua orang tua itu, keramaian yang diselenggarakan malam itu tentu ada maksudnya.
"Mungkin besok perjudian yang ada di dalam lingkungan Song Lawa itu akan dimulai," berkata Kiai Badra.
"Mungkin," sahut Kiai Soka, "keramaian malam ini merupakan pertanda dari permulaan itu."
"Beberapa hari persiapan-persiapan telah dilakukan dengan baik. Sehingga nampaknya segala sesuatunya memang sudah siap," berkata Kiai Badra.
"Mudah-mudahan Sambi Wulung dan Jati Wulung berhasil berhubungan dengan anak muda yang bernama Puguh itu," desis Kiai Soka.
Dengan demikian maka kedua orang tua itupun berusaha untuk dapat mengelilingi lingkungan Song Lawa, untuk melihat segala sesuatunya. Mereka tidak tahu, apakah pada satu hari keduanya terpaksa memasukinya.
Menjelang dini hari, maka kedua orang itupun mulai bergeser menjauh. Suara gamelanpun sudah menjadi semakin letih. Satu dari empat arena janggrung telah menyelesaikan kegiatannya. Tledek yang menari di arena sudah tidak kelihatan seorangpun, sementara para pemukul gamelan sudah menjadi letih pula.
Beberapa saat kemudian satu lagi telah menyelesaikan permainannya pula. Dan menjelang fajar, maka suara gamelanpun telah berhenti. Para pemukul gamelan tidak beranjak dari tempatnya. Mereka langsung saja membaringkan dirinya dan tidur di antara gamelan mereka.
Ketika fajar mulai memerah di langit, maka para petugas di Song Lawa telah siap. Mereka telah membangunkan para penabuh gamelan yang belum sempat tidur puas.
"Sebentar lagi segalanya akan dimulai. Kalian harus meramaikannya dengan suara gamelan. Sabung ayam akan menjadi ramai. Demikian pula permainan dadu. Di lapangan akan dilangsungkan panahan," berkata para petugas itu.
Meskipun masih mengantuk, namun para penabuh itu telah pergi ke pakiwan, mencuci muka dan membenahi diri bersiap di belakang gamelan. Namun mereka tidak lagi akan mengiringi tari janggrung. Mereka akan sekedar membunyikan gamelan untuk meramaikan saat dimulainya musim perjudian.
Demikianlah ketika kemudian matahari mulai naik, maka segala persiapan telah selesai. Arena sabung ayampun telah dipersiapkan sebagaimana tempat bermain dadu. Di lapangan, beberapa sasaran panahanpun telah tergantung. Bahkan di sisi lapangan terdapat sasaran yang lebih kecil yang dipergunakan untuk paseran. Untuk jenis ini dipergunakan lapangan yang tidak terlalu luas. Sasarannya memang mirip dengan sasaran untuk panahan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, leher, dada dan biasanya dipergunakan jeruk bali untuk digantungkan di bawah sasaran pokok. Mereka yang mengenai jeruk itu, justru akan mendapat denda.
Demikianlah, tanpa sesorah dan penjelasan apapun, maka seorang yang bertubuh tinggi tegap sebagaimana kebanyakan raksasa yang bertugas di tempat itu telah memukul kentongan dengan nada dara muluk.
Suara kentongan itu telah disambut oleh suara gamelan yang berada di sudut-sudut lingkungan Song Lawa itu, sehingga dengan demikian maka di seluruh lingkungan Song Lawa itu, telah diriuhkan oleh suara-suara gamelan dan beberapa kentongan yang saling bersahutan.
Suara kentongan dan gamelan itu ternyata telah bergetar dan membentur lereng Gunung Kukusan, berkumandang menelusuri lembah dan tebing-tebing curam.
Kiai Badra dan Kiai Soka yang berada di gerumbul perdu di lereng Gunung Kukusan itupun mendengar pula suara yang riuh itu. Mereka yang tidak mengetahui berbagai pertanda yang ada di Song Lawa itu hanya dapat menduga, bahwa musim perjudian saat itu telah dimulai.
Sebenarnyalah, maka arena sabung ayampun telah penuh dengan orang-orang yang akan bertaruh. Mereka harus membayar untuk memasuki arena itu. Demikian pula mereka yang memasuki barak permainan dadu dan lapangan untuk panahan dan paseran yang dianggap sebagai permainan sejenis. Bedanya, bahwa pada paseran seseorang melemparkan paser dengan tangannya ke sasaran, sementara pada panahan dipergunakan busur untuk melontarkan anak panah pada sasaran yang lebih jauh dari paseran.
Demikian matahari semakin tinggi, maka Song Lawapun menjadi semakin riuh. Taruhan-taruhanpun menjadi semakin hangat dan jumlahnyapun menjadi semakin besar.
Dalam pada itu, maka Kiai Windu telah bertanya kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "Kalian akan memasuki yang mana" Taruhan sabung ayam, permainan dadu atau ikut panahan atau paseran atau hanya sekedar ikut taruhan pada panahan dan paseran?"
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Sebenarnyalah mereka tidak memikirkan sebelumnya, kemana mereka akan pergi. Namun ketika mereka teringat bahwa anak-anak muda lebih senang berada di tempat panahan, maka Sambi Wulungpun berkata, "Aku akan melihat panahan lebih dahulu. Aku harus mengerti cara bertaruh. Baru Kemudian ikut bertaruh."
"Kalian akan ikut panahan atau sekedar bertaruh?" bertanya Kiai Windu.
"Kami akan melihat suasananya lebih dahulu," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Aku pergi bersama kalian."
"Kenapa kalian akan pergi bersama kami" Apakah kalian tidak mempunyai rencana tersendiri" Atau kalian memang ingin mengawasi kami?" bertanya Sambi Wulung.
"Jangan salah mengerti Ki Sanak," jawab Kiai Windu, "aku sudah sering datang ke tempat ini. Karena itu, aku tidak merasa perlu tergesa-gesa. Aku akan melihat-lihat dan baru kemudian menentukan apa yang akan kami lakukan. Musim perjudian ini akan dilakukan untuk waktu yang cukup lama. Jika masih banyak orang yang berminat dalam waktu sepuluh hari masih belum akan ditutup. Nah, bukankah banyak tersedia waktu untuk menghabiskan uang disini dan kemudian pergi ke bilik kecil itu untuk membunuh diri."
"Baiklah," sahut Sambi Wulung, "tetapi sebenarnya kami tidak ingin membuat kalian terikat kepada kami."
"Sudah kami katakan," Jati Wulung menyambung, "setelah berada di dalam lingkungan Song Lawa kami akan bertanggung jawab atas diri kami sendiri."
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Apa salahnya jika kita pergi bersama-sama. Setelah dua atau tiga hari, kalian akan menghubungi petugas disini bersama kami untuk mendapat pertanda bahwa kalian adalah keluarga yang sah dari tempat perjudian ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun mereka tidak menjawab lagi.
Mereka berenampun kemudian telah pergi ke lapangan panahan yang agak luas. Tempat itu memang tidak terlalu berdesakan sebagaimana tempat-tempat yang lain. Juga tidak terlalu gemuruh teriakan-teriakan orang bertaruh sebagaimana di tempat sabung ayam.
Namun keenam orang itupun tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih berdiri saja menyaksikan beberapa orang yang sudah duduk di atas tikar dengan busur dan anak panah.
"Setiap orang yang ikut serta dalam panahan dan paseran harus membayar. Baru mereka mendapat tempat untuk duduk menghadapi sasaran," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun agaknya mereka baru dalam tingkat melihat-lihat.
Ketika panas menjadi semakin terik, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah duduk di bawah sebatang pohon di pinggir lapangan. Namun dari tempatnya mereka dapat menyaksikan panahan yang semakin lama memang menjadi semakin menarik.
Tetapi ternyata tidak demikian bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung, karena ternyata anak muda yang mereka cari tidak berada di tempat itu.
"Mungkin besok atau besok lusa," berkata Sambi Wulung kepada Jati Wulung hampir berbisik.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita masih mempunyai waktu. Tetapi mudah-mudahan kita tidak akan mengatakan demikian jika semuanya sudah lewat."
Sambi Wulung tersenyum meskipun hambar. Katanya, "Apakah sebaiknya kita mencarinya di tempat lain?"
"Agaknya merekapun baru melihat-lihat. Pada saat kita keluar justru mereka memasuki lapangan ini," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita menunggu disini."
Dalam pada itu Kiai Windu dan ketiga orang kawannya ternyata masih juga belum melibatkan dirinya dalam taruhan. Agaknya ia masih ingin melihat siapakah di antara para pemanah yang paling baik yang akan dapat dijadikan landasan bagi taruhannya.
Tetapi menurut penglihatan Sambi Wulung dan Jati Wulung beberapa orang berada dalam tataran yang sama, sehingga yang menang dan yang kalah terjadi silih berganti. Satu rambahan menang, namun dalam rambahan berikutnya mengalami kekalahan. Namun bagi mereka yang termasuk pemanah-pemanah terbaik, nilai mereka hanya terpaut sedikit saja.
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Windu duduk pula di dekat Sambi Wulung, maka Sambi Wulung itupun bertanya, "Anak-anak dari manakah yang menjadi cucuk dari panahan itu" Apakah orang tua mereka tidak merasa cemas, bahwa kehidupan disini akan mempengaruhi cara hidup mereka kelak."
Kiai Windu melihat anak-anak berumur sekitar sepuluh tahun berlari-lari mengambil anak panah dari mereka yang bertaruh dengan panahan itu. Anak-anak panah yang meluncur ke sasaran, yang mengenai atau tidak, setelah setiap rambahan selesai, maka anak-anak itu berlari-larian mengambil dan menyerahkan kepada para pemanah. Untuk itu anak-anak itu mendapat upah yang cukup mereka pergunakan untuk membeli makanan dan beberapa macam kesenangan mereka.
Dengan nada rendah Kiai Windu menjawab, "Mereka adalah anak-anak dari orang-orang yang bekerja disini. Mungkin pelayan di kedai, mungkin para petugas di gedogan kuda atau para penabuh gamelan. Mungkin juga anak raksasa-raksasa yang mengawasi tempat ini."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis, "Anak-anak tanpa hari depan. Mereka hanya akan menjadi orang seperti kita yang berkeliaran di tempat-tempat perjudian seperti ini."
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.
Beberapa saat mereka masih duduk di bawah rimbunnya pepohonan di pinggir lapangan. Sementara itu, maka mereka yang bertaruh di lapangan menjadi semakin kepanasan. Bukan saja oleh matahari di langit yang bagaikan membakar, tetapi juga oleh hati yang panas di dalam dada masing-masing. Yang menang ingin menang lebih banyak lagi, sementara yang kalah ingin mendapatkan kekalahan mereka kembali. Sedangkan yang pasti mendapat uang tanpa menanggung kemungkinan kalah adalah anak-anak yang diupah untuk mengambil anak panah yang dilepaskan untuk setiap rambahan.
Untuk mendorong gairah para pemanah maka anak-anak pemungut anak panah itu telah berteriak-teriak menyebut anak panah yang mereka layani masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang memberikan isyarat untuk mengarahkan anak panah agar tepat mengenai sasaran.
Dengan nada melengking seorang anak itu berteriak, "Sikatan, langkung."
Pemanah yang memiliki anak panah yang dinamai sikatan mengetahui bahwa ia memanah terlalu tinggi melampaui kepala sasaran. Namun terdengar anak yang lain berteriak "jalak sumurup." Pemanah yang memiliki anak panah yang dinamainya jalak itupun mengetahui bahwa anak panahnya terlalu rendah sehingga menyusup di bawah sasaran.
Suara anak-anak itu bersahutan berganti-ganti memberikan isyarat kepada pemanahnya masing-masing, sementara rambahan demi rambahanpun telah berlangsung. Keping-keping uang berpindah dari seorang ke yang lain, namun kemudian berputar kembali kepada orang yang pertama.
"Anak itu tidak akan kemari hari ini," terdengar Jati Wulung berdesis.
"Jadi, apakah sebaiknya kita berpindah tempat?" bertanya Sambi Wulung.
Jati Wulung termangu-mangu. Namun sebelum mereka beranjak dari tempatnya, ternyata beberapa orang telah memasuki lapangan. Seorang di antaranya adalah seorang anak muda. Namun anak muda itu bukan Puguh.
"Nah, anak itu datang," desis Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat mengatakan bahwa yang mereka tunggu sebenarnya adalah Puguh. Namun mereka justru tidak dapat dengan serta-merta meninggalkan tempat itu.
Karena itu maka Sambi Wulungpun berdesis, "Kita tidak dapat pergi sekarang."
Jati Wulung mengerti. Karena itu, maka iapun mengangguk-angguk kecil.
Untuk beberapa saat anak muda itu berdiri sambil bertolak pinggang menyaksikan panahan yang sedang berlangsung itu.
Kiai Windu yang kemudian bangkit dan bergeser berkata kepada Sambi Wulung, "Wikrama adalah seorang pemanah yang sangat baik. Ia sering menang dalam panahan. Tetapi ia selalu kalah di tempat lain."
"Apakah ia akan turun hari ini?" bertanya seorang kawan Kiai Windu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 05 "AKU tidak tahu. Marilah kita mendekat," berkata Kiai Windu.
"Apakah kau masih memikirkan timang emas yang dipalsukan itu?" bertanya Sambi Wulung.
Kiai Windu justru tersenyum. Katanya, "Tidak. Aku tidak akan mempersoalkannya."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak beranjak dari tempatnya ketika Kiai Windu dan ketiga kawannya bergeser lebih dekat di belakang orang-orang yang duduk berderet mengarah ke sasaran. Ternyata bahwa setiap sasaran telah diperuntukkan bagi beberapa orang dalam kelompok mereka masing-masing, sehingga beberapa sasaran yang berjajar itupun telah dipergunakan untuk beberapa kelompok pemanah.
Untuk beberapa saat Wikrama masih belum turun. Ketika seorang yang bertubuh raksasa mendekatinya dan agaknya menawarkan kesempatan untuk ikut, anak muda itu menggeleng sambil berkata, "Nanti saja."
Orang yang menawarkan kesempatan itu tidak memaksanya. Iapun kemudian meninggalkan anak muda itu yang masih saja berdiri bertolak pinggang. Nampaknya ia berusaha untuk menilai kemampuan para peserta panahan itu, agar ia dapat meyakinkan dirinya bahwa ia akan menang.
Kiai Windu yang beringsut mendekat, sengaja menampakkan dirinya pada anak muda itu. Sebagaimana diharapkan maka anak muda itu memang terkejut. Namun Kiai Windu masih saja berpura-pura tidak menghiraukannya.
Anak muda itu memberi isyarat kepada tiga orang pengawalnya untuk mendekatinya. Merekapun kemudian saling berbisik. Namun tidak jelas apa yang mereka katakan.
Tetapi anak muda itu tidak segera beranjak. Ia nampaknya masih menunggu karena beberapa kali ia berpaling. Demikian pula ketiga orang pengawalnya.
Ternyata beberapa saat kemudian, seorang yang bertubuh tinggi agak kurus telah memasuki lapangan itu pula. Orang itu langsung mendekati Wikrama sambil menunjuk beberapa kelompok orang yang sedang mengikuti panahan.
Tetapi Wikrama menggeleng. Agaknya orang itu juga menganjurkan agar Wikrama kelapangan panahan.
Namun dalam pada itu, ternyata Wikrama telah memberitahukan kepada orang itu, bahwa di tempat itu ada seseorang yang pernah berhubungan dengan mereka sebelumnya. Tanpa berpaling Wikrama memberitahukan arah Ki Windu berdiri.
Orang yang bertubuh tinggi itulah yang kemudian memandang ke arah Kiai Windu berdiri seakan-akan belum melihat Wikrama dan kawan-kawannya.
Orang yang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Namun ketika kemudian Wikrama mengangguk, orang bertubuh tinggi itu telah melangkah mendekati Kiai Windu.
"Kiai," orang itu kemudian telah menggamit Kiai Windu.
Kiai Windu pura-pura terkejut melihat kedatangannya. Sambil tertawa ia bertanya, "He, Ki Sanak. Kau datang juga sekarang?"
"Ya Kiai. Mengantar Angger Wikrama," jawab orang itu.
"O, Angger Wikrama ada disini pula?" bertanya Kiai Windu kemudian.
Orang yang bertubuh tinggi itu menunjuk ke arah Wikrama berdiri bersama beberapa orang pengawalnya.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata kepada orang bertubuh tinggi itu, "Aku akan menunggu Angger Wikrama turun kelapangan."
"Kiai akan turun pula?" bertanya orang bertubuh tinggi itu.
Kiai Windu menggeleng. Katanya, "Tidak hari ini."
Orang bertubuh tinggi itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Apakah Kiai masih merasa mempunyai persoalan dengan Angger Wikrama?"
"O, tidak," jawab Kiai Windu. "Bukankah pinjamannya telah dibayar?"
"Timang emas itu?" bertanya yang bertubuh tinggi.
"Ya. Timang emas itu," jawab Kiai Windu.
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah timang itu Kiai jual atau masih Kiai simpan untuk dipergunakan sendiri?"
"Aku masih menyimpannya. Aku senang dengan timang itu, sehingga setiap kali aku memakainya. Terutama dalam pertemuan-pertemuan dengan orang-orang besar. Besar menurut ukuranku," Kiai Windu itu tertawa.
Orang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis, "Syukurlah jika Kiai menyukainya. Timang itu memang timang yang baik dan mahal. Memang pantas jika Kiai memakainya dalam pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang Kiai sebut orang-orang besar itu."
"Apakah Angger Wikrama juga menyukainya?" bertanya Kiai Windu.
"Ya," jawab orang itu, "Angger Wikrama menyukainya. Barang itu merupakan barang yang sangat berharga baginya. Seandainya persoalan itu tidak timbul dengan Kiai, maka ia tidak akan menyerahkan timangnya. Seandainya ia terlibat persoalan hutang dengan orang lain, ia tentu berusaha untuk membayarnya dengan barang-barang lain."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Ki Sanak. Jika demikian, apakah Angger Wikrama berhasrat untuk menebusnya kembali" Bukankah ia datang kali ini dengan uang yang banyak" Bahkan belum dipergunakannya sama sekali. Jika Angger Wikrama ingin menebusnya seharga hutangnya pada waktu itu, aku akan menyerahkannya. Sayang, jika barang itu merupakan barang kesayangannya."
"O," orang itu menjadi gagap. Namun ia menjawab juga, "tentu tidak Kiai. Sebagai seorang yang berpegang pada harga diri, maka apa yang telah dilakukannya tidak akan dicabut kembali atau disesali."
"Bukan dicabut kembali," jawab Kiai Windu, "justru akulah yang menawarkannya. Biarlah Angger sempat memakainya lagi."
"Tidak Kiai," jawab orang bertubuh tinggi itu, "biarlah benda itu ada pada Kiai. Satu kenangan yang barangkali akan berarti bagi Kiai."
Tetapi Kiai Windu tertawa. Katanya, "Ki Sanak. Ketahuilah. Bekalku kali ini tidak terlalu banyak. Jika pada satu saat aku kehabisan uang disini, maka mungkin aku akan minta tolong kepada Angger Wikrama. Kita akan sama-sama mendapat keuntungan. Aku mendapat uang, dan Angger Wikrama mendapat benda yang disenanginya itu kembali."
Orang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Angger Wikrama juga tidak membawa bekal lebih banyak dari musim judi yang lalu. Tetapi jika masih ada uang tersisa, maka aku kira hal itu dapat dibicarakan kemudian."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Baiklah. Nah, silahkanlah. Bukankah Angger Wikrama merupakan orang terbaik di lapangan panahan ini, terutama pada batas umurnya?"
Orang bertubuh tinggi itu tertawa. Katanya, "Ya. Tetapi agaknya ia masih belum ingin turun sekarang."
"Memang seumurnya masih saja dipengaruhi oleh keinginan anak-anak muda. Ia masih ingin melihat kesana kemari, sebagaimana kebiasaannya. Baru kemudian ia akan memasuki arena pilihannya," berkata Kiai Windu.
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Silahkan Kiai. Aku akan kembali kepada anak muda itu."
Kiai Windu mengangguk sambil tersenyum, "Silahkan. Tetapi jangan lupa. Katakan kepadanya, bahwa jika aku memerlukan uang, maka aku akan menyerahkan kembali timang itu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mengatakannya."
Kiai Windu kemudian melihat orang bertubuh tinggi itu kembali kepada Wikrama. Sementara Wikrama yang berdiri di tempat yang agak jauh mengangguk kepada Kiai Windu yang membalasnya sambil tersenyum.
Dari kejauhan Kiai Windu melihat, orang bertubuh tinggi itu agaknya telah memberitahukan pesannya, sehingga anak muda itu nampak mengerutkan dahinya.
Tetapi agaknya ia berusaha untuk menahan diri, agar tidak menimbulkan kesan apapun tentang pesan Kiai Windu itu.
Untuk beberapa lama Kiai Windu masih berdiri di tempatnya. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berlindung di bawah bayang-bayang dedaunan karena matahari menjadi semakin tinggi.
Ketiga orang kawan-kawannya memandanginya sambil tersenyum pula, sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sudah lebih dahulu berteduh bergeser pula mendekatinya. Dengan nada berat Sambi Wulung bertanya, "Apakah kau benar-benar akan mengembalikan timang itu?"
"Aku belum tahu," jawab Kiai Windu, "kita melihat keadaan. Sebenarnya aku merasa jengkel atas kecurangan itu. Tetapi aku belum mengambil keputusan untuk membuat persoalan dengan anak muda itu."
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Sudahlah. Bukankah kau akan menang lagi kali ini?"
"Namanya berjudi," jawab Kiai Windu, "tidak seorangpun tahu apakah kita akan menang atau kalah. Kecuali jika kita melakukannya dengan tidak jujur."
"Sulit untuk bermain panahan dengan tidak jujur, atau bahkan bermain dadupun tidak dapat dilakukan dengan tidak jujur, karena saat melontarkan dadu itu disaksikan banyak orang. Sedangkan dalam kalangan sabung ayam sebagian besar ditentukan oleh ayam yang sedang bersabung. Jika orang-orang yang bertaruh cukup berpengalaman, maka pada sabung ayampun sulit dilakukan kecurangan dengan cara apapun juga, karena orang-orang yang berpengalaman itu akan segera dapat melihatnya," berkata Jati Wulung sambil berbaring di atas rerumputan.
"He, ternyata kau benar-benar seorang pemalas," desis Kiai Windu, "dimanapun kau selalu berbaring."
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Bukankah disini kita mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan."
Kiai Windu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba terdengar beberapa orang bersorak di arena panahan. Ternyata seseorang telah berhasil mengenai kepala sasaran. Satu hasil yang gemilang, karena dengan demikian ia mendapat penilaian tertinggi untuk satu rambahan itu.
Ketika orang-orang yang berteduh itu berdiri untuk melihat siapakah yang mendapat nilai tertinggi itu, Jati Wulung masih saja tetap berbaring di tempatnya sambil berkata, "Siapapun yang mengenainya, kita tetap tidak mengenalnya."
Tetapi Sambi Wulung tiba-tiba berkata, "Bukan main. Seorang perempuan."
"He, seorang perempuan," bertanya Jati Wulung sambil bangkit dengan tergesa-gesa, "yang mana?"
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Bukankah kau tahu bahwa tidak seorang perempuan pun yang telah turun ke arena hari ini?"
"Anak setan," Jati Wulung mengumpat sambil menguak maju. Ia kemudian justru berdiri di paling depan sambil mengawasi seluruh arena.
Beberapa orang masih saja tertawa. Kawan-kawan Kiai Windupun tertawa pula.
Beberapa saat mereka masih berdiri di tempatnya. Namun Sambi Wulungpun kemudian berkata kepada Jati Wulung, "Marilah. Kita akan melihat-lihat ke tempat yang lain."
Jati Wulung mengangguk sambil bergeser. Katanya, "Marilah. Disini rasa-rasanya mataku menjadi silau melihat panahan di tempat yang panasnya semakin menyengat. Mungkin sore nanti kita akan dapat melihat panahan dengan mapan. Kita dapat memilih tempat disini sebelah Barat yang agak tinggi itu."
Tetapi ketika keduanya mulai bergerak, Kiai Windupun berkata, "Marilah. Kamipun akan ikut kalian. Kita lihat arena sambung ayam yang ramai itu."
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak menolak untuk pergi bersama-sama Kiai Windu. Apalagi Kiai Windu adalah orang yang lebih banyak mengenal lingkungan itu dari mereka berdua.
Ternyata bahwa di hari pertama itu, perjudian masih belum terlalu ramai. Seperti juga di tempat panahan. Yang bertaruh masih dapat membuat perhitungan-perhitungan dengan nalar yang jernih.
Karena itu, maka suasana di tempat perjudian itu masih nampak tertib dan tidak terlalu kasar. Jika terjadi perselisihan-perselisihan, masih mungkin mereka selesaikan dengan cara yang lebih lunak daripada menghunus pedang.
Di tempat sabung ayampun nampaknya masih belum terlalu sesak. Tetapi teriakan-teriakan di antara mereka yang bertaruh untuk ayam aduan yang dipilihnya, terdengar bagaikan menggetarkan dinding-dinding di sekitarnya.
Ketika keenam orang itu memasuki arena yang terdiri dari beberapa kalangan sabung ayam mereka memang tidak segera tertarik untuk menyaksikan, apalagi bertaruh. Yang dicari Sambi Wulung dan Jati Wulung adalah kesempatan untuk berkenalan dengan Puguh. Namun agaknya Puguh masih juga belum nampak di arena sabung ayam itu.
"Dimana anak itu," desis Jati Wulung di telinga Sambi Wulung.
"Apakah anak itu sudah berada di permainan dadu?" sahut Sambi Wulung.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi keduanya tidak dengan serta-merta meninggalkan tempat itu. Apalagi ketika ternyata kemudian dua orang kawan Kiai Windu telah mendekati salah satu kalangan untuk melihat ayam yang sedang bertempur dengan serunya.
Tiba-tiba saja Jati Wulung berdesis, "Aku haus sekali."
"Aku juga," ternyata Kiai Windupun menyahut.
"Apakah kita harus ke kedai itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak," jawab Kiai Windu. "Jika sabung ayam sudah mulai, di sebelah ini ada kedai minuman meskipun hanya sekedarnya. Tidak sebesar dari penjual di kedai induk itu."
"Kita minum," berkata Sambi Wulung.
Merekapun kemudian pergi ke kedai kecil di sebelah tempat sabung ayam itu. Seorang kawan Kiai Windu tidak segera ikut mereka, tetapi ia justru menyusul kawannya di lingkaran sabung ayam.
"Nanti, kami akan menyusul," berkata orang itu.
"Kau akan mulai bertaruh?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak," jawab kawan Kiai Windu itu. "Aku hanya ingin melihat-lihat lebih dahulu."
Demikianlah, Kiai Windu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah pergi ke kedai di sebelah tanpa ketiga orang yang lain. Namun mereka tertegun bahwa ternyata di kedai itu sudah duduk lebih dahulu seorang anak muda pula. Hanya satu dua tahun lebih tua dari Puguh. Namun nampak sikapnya jauh lebih kasar dari Puguh sendiri.
Ketika Kiai Windu sedang sibuk menikmati wedang sere panas dan mengunyah sepotong makanan, maka Jati Wulung sempat berkata, "Aku merasa agak heran. Ternyata Puguh tidak sekasar yang aku duga. Bahkan nampaknya anak-anak muda sebayanya bersikap jauh lebih buruk dari sikap Puguh itu sendiri. Wikrama yang sombong, dan anak ini yang sikapnya seperti serigala kelaparan."
"Jangan mencari perkara," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung terdiam. Tetapi ia tidak senang sama sekali melihat sikap anak muda itu. Anak muda yang agak gemuk yang nampaknya dikawani oleh orang-orang yang berilmu pula.
Namun terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Sejenak kemudian, tanpa disangka-sangka, Puguh telah datang pula ke kedai itu. Tetapi belum lagi ia duduk, anak muda yang agak gemuk itu telah berkata kasar, "Nah, monyet itu datang pula kemari."
Puguh juga agak terkejut, ia surut selangkah ketika anak muda yang agak gemuk itu meloncat dari tempat duduknya.
"Kenapa?" bertanya Puguh agak kebingungan.
"Jangan pura-pura tidak tahu he?" geram orang itu. Lalu katanya, "Kau larikan perempuan itu."
"Siapa?" nampaknya Puguh benar-benar tidak mengerti.
"Kau bawa perempuan itu tanpa kau lepaskan semalam suntuk," geram anak muda yang agak gemuk.
"Aku tidak tahu maksudmu," berkata Puguh pula.
"Jangan berpura-pura. Kau panggil penari itu dan kemudian ia hilang dari arena sampai pagi," anak muda yang kasar itu hampir berteriak.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang memanggilnya. Tetapi tidak lebih dari sekedar berbicara sambil makan makanan yang dibeli kawanku dari kedai itu. Aku memang memberi uang cukup kepadanya."
"Untuk apa uang itu?" bertanya anak muda itu dengan kasar.
"Aku senang kepada perempuan itu," jawab Puguh, "karena itu aku minta ia tidak perlu menari lagi. Aku suruh ia pergi dari arena. Karena aku tidak ingin merugikannya, maka aku beri ia uang."
"Kau beri uang untuk sekedar pergi dari arena?" bertanya anak muda yang kasar itu.
"Ya, kenapa?" bertanya Puguh.
Anak muda yang kasar itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Apakah kau sudah gila. Kau sudah sering berada di tempat ini membayar seorang tledek hanya untuk pergi dari bawah oncor dan dari sisi gamelan?"
Puguh menjadi tidak senang melihat sikapnya. Katanya, "Cari perempuan itu, dan bertanyalah kepadanya, apa yang aku lakukan. Aku baginya masih terlalu kanak-kanak."
Anak muda yang kasar itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan membalas sakit hatiku. Aku harus memukulimu sepuluh kali sekarang."
"Gila. Kau kira kau ini siapa he?" wajah Puguh menjadi merah, "sejak musim judi yang lalu, kau memang mencari persoalan saja untuk satu perkelahian. Jika kau memaksa terus seperti itu, aku terpaksa melayanimu."
"Nah, kita akan berkelahi jika kau berani," berkata anak muda itu, "tanpa orang lain. Pengawal-pengawalku tidak akan ikut campur. Tetapi jika kau takut berkelahi sendiri, biarlah pengawalmu membantumu."
"Jangan menghina aku seperti itu," berkata Puguh, "jika kau memang menantangku, aku terima tantangan itu."
Anak muda yang agak gemuk dan kasar itu tertawa. Kemudian dengan nada datar ia berkata, "Kita akan berkelahi sekarang. Kita tidak usah mencari tempat. Disini kita berkelahi. Tentu akan lebih menarik dari sabung ayam itu. Tetapi jika tanganku terlanjur mematahkan tangan atau kakimu, itu bukan salahku."
Puguh tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian memberi isyarat kepada beberapa orang pengawalnya untuk mundur. Dengan nada rendah ia berkata, "Jangan ganggu aku."
Para pengawalnya memang melangkah surut. Sementara itu, anak muda yang agak gemuk dan kasar itu melangkah satu-satu mendekati Puguh.
Ternyata seperti kebiasaan orang-orang yang sudah berada di Song Lawa, orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi sepanjang tidak menyangkut diri mereka sendiri.
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat itu, bahkan dua orang yang ada di dalam kedai kecil itu seakan-akan tidak berpaling sama sekali. Hanya Sambi Wulung, Jati Wulung sajalah yang perhatiannya benar-benar tertuju kepada mereka. Sementara Kiai Windu justru memperhatikan keduanya sambil tersenyum. Katanya, "Nampaknya kau berdua yang menjadi lebih tegang daripada mereka yang akan berkelahi."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Persoalan anak-anak muda memang menarik. Apapun yang terjadi atas mereka."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dihadapinya minuman hangatnya, sementara matahari menjadi semakin tinggi. Ketika ia meneguk mangkuk minumannya, maka keringatnya menjadi semakin banyak mengalir.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tetap duduk di tempatnya. Sementara itu kedua anak muda itupun telah mulai bergerak sambil mempersiapkan diri.
Sejenak kemudian, maka anak muda yang bertubuh agak gemuk itu dengan kasar telah menyerang. Tangannya yang terkembang telah terayun deras mengarah ke dada Puguh. Namun Puguh memang sudah siap menghadapinya. Dengan sigapnya ia mengelak. Tetapi ia bukan saja merendah sambil bergeser mundur, tetapi tiba-tiba saja ia telah melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinyalah yang terayun mendatar mengarah ke lambung.
Anak muda yang gemuk itu terkejut. Ternyata Puguh mampu bergerak sangat cepat, sehingga karena itu, maka anak muda yang gemuk itu terpaksa meloncat mundur.
Puguhlah yang kemudian tidak mau membiarkan lawannya. Dengan cepat pula ia memburunya. Tubuhnya yang bagaikan tidak berbobot itu seakan-akan terbang lurus mendatar.
Anak muda yang agak gemuk itu melihat serangan yang datang demikian cepatnya. Tidak ada kesempatan untuk melenting menghindar. Karena itu, maka ketika tumit Puguh menyambarnya, iapun dengan serta-merta telah menjatuhkan dirinya sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.
Demikian tubuh Puguh terbang melintas di atasnya, iapun segera meloncat bangkit. Dengan cepat anak yang agak gemuk itulah yang kemudian memburunya. Dengan keras pula ia telah menyerang, demikian kaki Puguh menjejak tanah.
Tetapi Puguh masih sempat melihat serangan yang datang itu. Namun waktunya tidak memungkinkannya untuk menghindar. Karena itu, maka iapun telah menyilangkan tangannya di dadanya.
Yang terjadi adalah satu benturan kekuatan yang keras. Tangan anak muda yang gemuk yang terjulur lurus ke arah dada itu telah membentur pertahanan Puguh. Ternyata benturan itu terjadi demikian kerasnya, sehingga kedua kaki Puguh yang baru saja sempat tegak itu berguncang. Selangkah ia terdorong surut. Namun ia berhasil memperbaiki keadaannya sehingga ia tetap berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.
Sementara itu lawannya yang agak gemuk dan kasar itu telah terdorong jauh lebih panjang surut. Bahkan hampir saja ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Dengan susah payah ia berhasil berdiri tegak sambil mengumpat kotor.
Puguh tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua kelompok pengawal berdiri di tempat masing-masing. Orang-orang yang mengawal anak muda yang gemuk itu nampaknya juga lebih kasar dari para pengawal Puguh, meskipun dilihat pada sorot matanya, pengawal Puguh itupun merupakan orang-orang yang keras dan kasar. Namun dari ujud lahiriahnya, mereka masih lebih baik dari pengawal-pengawal anak muda yang agak gemuk itu.
Ternyata kedua anak muda itu masih juga berkelahi dengan sengitnya. Keduanya memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan yang baik dan lengkap. Namun agaknya kekuatan dasar kewadagan Puguh yang tubuhnya lebih kecil dari lawannya itu justru lebih besar. Itulah sebabnya, maka kadang-kadang anak muda yang agak gemuk itu tergetar dalam benturan-benturan yang terjadi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memperhatikan perkelahian itu dengan saksama. Keduanya sempat menilai kemampuan Puguh yang cukup mendebarkan itu. Bahkan keduanya sempat bertanya kepada diri mereka sendiri, "Bagaimanakah imbangan kekuatan dan kemampuan anak itu dibanding dengan Risang?"
Baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung menjadi ragu-ragu. Apakah ilmu Risang lebih baik dari Puguh.
Ketika keduanya mengerutkan kening dengan sedikit tegang, Kiai Windu menggamitnya. Katanya, "Minummu menjadi dingin."
"O," Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Sambi Wulung menjawab, "Aku memang menunggu sampai agak dingin. Udara sudah terlalu panas."
Kiai Windu tersenyum. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung telah meneguk minumannya yang tidak lagi terlalu panas. Namun mereka tidak dapat memalingkan perhatian mereka dari kedua orang anak muda yang berkelahi itu. Bahkan seorang yang sedang minum di tempat itupun telah memperhatikan pula meskipun yang lain lebih senang menikmati minuman dan makanan.
"Memang menarik," desis Kiai Windu, "mereka masih kanak-kanak. Tetapi mereka sudah mampu menunjukkan tata perkelahian yang mapan. Bukan asal saja berkelahi. Wikrama tidak dapat melakukan seperti itu. Anak muda yang berbaju hitam di sabung ayam itupun tidak."
"Siapakah anak muda yang agak gemuk itu sebenarnya?" bertanya Sambi Wulung.
"Sebenarnya?" bertanya Kiai Windu. "Aku tidak tahu. Aku hanya melihat anak itu disini" Kenapa kau nampaknya menaruh perhatian lebih besar pada anak itu" Atau barangkali kau menduganya sesuatu atas anak itu?"
Sambi Wulung menggeleng. Namun yang menjawab adalah Jati Wulung. "Anak itu menjengkelkan sekali. Aku tiba-tiba saja jadi benci kepadanya tanpa sebab."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Karena itu disini jangan memperhatikan orang lain."
Jati Wulung tidak menjawab. Namun tiba-tiba katanya, "Kita salah duga terhadap anak yang bernama Puguh itu. Ia memang memanggil penari itu. Ia mengakui menyenangi penari itu. Tetapi ia hanya menyuruhnya pergi dari arena."
"Kau percaya kepada kata-katanya?" bertanya Kiai Windu.
Jati Wulung ragu-ragu. Namun Kiai Windulah yang berkata lebih lanjut, "Aku percaya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Demikian pula Sambi Wulung.
Dalam pada itu, perkelahianpun menjadi semakin keras. Anak muda yang agak gemuk itu memang menjadi kasar. Bahkan tiba-tiba saja tangannya menggenggam debu dan dilontarkan ke wajah Puguh. Untunglah bahwa Puguh melihatnya sehingga ia sempat meloncat mundur beberapa langkah sambil memalingkan wajahnya. Namun ketika anak muda yang kasar itu memburunya, Puguh telah siap untuk melawannya.
Semakin lama maka menjadi semakin jelas, bahwa Puguh akan dapat memenangkan perkelahian itu. Setiap kali serangannya berhasil mengenai tubuh lawannya, sehingga setiap kali anak muda yang kasar itu berdesis menahan sakit. Bahkan ketika Puguh dengan keras menyerangnya dengan kaki terjulur dan mengenai dada anak yang agak gemuk itu, maka anak muda itupun telah terpelanting jatuh.
Namun anak itu sempat bangkit sambil mengumpat dengan kasar.
"Gila. Anak setan. Aku bunuh kau," geramnya.
Puguh tidak menjawab. Tetapi iapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun telah berlangsung lagi. Kiai Windu yang memungut sepotong makanan berkata kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "He, kalian mau makan apa?"
Sambi Wulung sempat tersenyum. Tetapi Jati Wulung sama sekali tidak berpaling. Ia benar-benar memperhatikan bagaimana Puguh kemudian benar-benar menguasai lawannya.
"Risang harus tahu, bahwa Puguhpun memiliki kemampuan yang sangat besar," berkata Jati Wulung maupun Sambi Wulung di dalam hatinya.
Sebenarnyalah baik Jati Wulung maupun Sambi Wulung sebenarnya merasa cemas melihat kemampuan Puguh yang sangat besar. Kekuatannya dan agaknya juga kekerasan hatinya. Meskipun Puguh tidak nampak sekasar lawannya, tetapi ternyata bahwa ia juga mampu berkelahi dengan keras.
Dalam pada itu, anak yang kasar itu kemudian ternyata semakin tidak mampu mengimbangi kekuatan Puguh yang besar serta ketrampilannya olah kanuragan. Karena itu, beberapa kali anak muda itu telah dikenai serangan Puguh. Bahkan beberapa kali anak muda itu terhuyung-huyung jatuh. Meskipun ia mampu bangkit lagi, namun beberapa saat kemudian serangan Puguh telah menjatuhkannya lagi.
Ketika beberapa orang pengawalnya bergeser, maka para pengawal Puguhpun telah bergerak pula.
Tetapi Puguh telah berkata lantang, "Kita sepakat untuk berkelahi tanpa orang lain."
Anak muda yang agak gemuk itu nafasnya menjadi terengah-engah. Ketika ia jatuh lagi, maka iapun telah bangkit dengan susah payah. Namun ternyata iapun masih menyadari keadaannya. Anak muda itu merasa bahwa Puguh memang memiliki kemampuan yang lebih tinggi. Karena itu, ia justru tidak menarik senjatanya. Jika Puguh kemudian juga bersenjata, maka kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka ketika Puguh melangkah maju, anak muda itu justru melangkah surut. Dengan nada berat terputus-putus karena menahan sakit di tubuhnya anak muda itu berkata, "Aku akui kelebihanmu kali ini Puguh. Tetapi di musim perjudian yang akan datang, aku akan membunuhmu."
"Besok atau lusa, sebelum musim perjudian ini selesai, aku sudah membunuhmu lebih dahulu," geram Puguh.
"Persetan," wajah anak muda itu menjadi tegang.
Namun Puguh tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja anak muda yang kasar itu pergi. Beberapa orang pengawalnya menggeretakkan giginya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
"Kau biarkan anak gila itu pergi," desis seorang pengawal Puguh.
"Lalu, apa yang baik aku lakukan" Memilin lehernya dan membunuhnya?" bertanya Puguh.
Pengawalnya tidak menjawab. Tetapi mereka masih saja memandang anak muda yang agak gemuk serta beberapa orang pengawalnya pergi.
Sejenak kemudian barulah Puguh mengibaskan debu pada pakaiannya. Ketika lawannya menaburkan debu, maka pakaiannya memang menjadi kotor. Untunglah bahwa debu itu tidak mengenai matanya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang semula memperhatikan perkelahian itupun segera telah berkisar. Mereka menghadapi minuman mereka dan mengambil sepotong makanan pula. Namun mereka berharap bahwa Puguh akan duduk pula di kedai itu. Meskipun mereka tidak akan sempat bertanya apapun, karena anak muda itu tentu masih terpengaruh oleh keadaan yang baru saja terjadi, namun jika anak muda itu berbicara bersama dengan para pengawalnya, mungkin dari pembicaraan itu mereka akan dapat menangkap sesuatu.
Sebenarnyalah Puguh yang baru saja berkelahi itu agaknya memang menjadi haus. Bersama para pengawalnya, iapun kemudian telah duduk pula di sebuah amben panjang di kedai kecil itu. Sedangkan dua orang lainnya yang sudah lebih lama berada di kedai itu telah bangkit dan meninggalkan tempatnya.
Setelah Puguh memesan minuman, maka sebenarnyalah ia masih dipengaruhi oleh gejolak perasaannya. Dengan nada geram ia berkata, "Anak itu masih saja selalu mengganggu. Apakah sebenarnya yang dimaui?"
Seorang pengawalnya menyahut, "Aku sudah berusaha untuk mendapat keterangan tentang anak muda itu. Tetapi tidak seorangpun yang dapat mengatakannya selain apa yang dapat pula kita lihat disini."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Namun pengawalnya yang lain berkata pula, "persoalannya tidak hanya terbatas kepada kita. Ia telah berkelahi pula dengan beberapa orang yang lain. Untunglah belum ada seorang yang membantainya disini."
"Pengawalnya cukup kuat," sahut Puguh, "tetapi jika ia masih saja membuat persoalan akulah yang mungkin akan membunuhnya. Mudah-mudahan ia menjadi jera."
Para pengawal Puguh itu mengangguk-angguk. Ketika mereka memandang ke arah orang-orang yang baru saja meninggalkan mereka itu, ternyata orang-orang itu berhenti dan berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi jarak mereka sudah terlalu jauh untuk mendengar pembicaraan mereka.
Baru sejenak kemudian anak muda yang agak gemuk itu hilang di balik dinding di sudut tikungan di sebelah dinding arena sabung ayam.
Puguh kemudian mulai memperhatikan minumannya. Namun ia masih juga bergeremang, "Pakaianku menjadi kotor. Ia berkelahi dengan licik."
Namun dalam pada itu pengawalnya berkata, "Tetapi kau telah menunjukkan kemampuan yang tinggi. Latihan-latihan yang kau lakukan ternyata tidak sia-sia. Dalam keadaan yang gawat, kau sendiri sudah dapat mengatasi persoalan."
"Bukan hanya aku yang mampu berkelahi. Anak yang gemuk itu juga mampu berkelahi," jawab Puguh.
"Tetapi sebagaimana kau lihat. Ia telah kau kalahkan. Sementara itu beberapa anak muda yang lain terlalu tergantung kepada para pengawalnya. Kau tidak. Kau sendiri mampu menjaga dirimu tanpa seorang pengawalpun. Namun karena nampaknya kau memang masih terlalu muda, maka sebaiknya kami menyertaimu."
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mulai meneguk minumannya.
"Jika kita kembali ke padepokan, kau harus berlatih lebih baik lagi. Siapa tahu, anak yang gemuk itu benar-benar mendendammu. Pada satu hari yang mungkin memang akan terjadi di musim perjudian yang akan datang, orang itu benar-benar berusaha membunuhmu," berkata salah seorang pengawal.
"Apakah di musim perjudian yang akan datang, kita akan berada disini pula?" bertanya Puguh.
"Itu terserah kepadamu," jawab salah seorang pengawalnya. "Tetapi sekedar untuk mendapatkan pengalaman, maka disini kita dapat melihat seribu wajah dengan seribu watak serta tingkah laku."
"Memang menarik," berkata Puguh, "tetapi rasa-rasanya menjadi jemu juga akhirnya."
Para pengawalnya termangu-mangu. Namun kemudian Puguhpun kemudian berkata, "Baru besok aku akan memasuki tempat permainan dadu."
"Apakah kita tidak melihat panahan sekarang?" bertanya seorang pengawalnya.
"Apakah Wikrama yang sombong itu akan turun?" bertanya Puguh.
Tetapi pengawalnya menggeleng. Katanya, "Aku belum tahu."
"Ia seorang pemanah yang baik," berkata pengawalnya yang lain, "tetapi ia tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Segalanya tergantung kepada para pengawalnya."
Setelah meneguk beberapa teguk, Puguhpun berkata, "Baiklah. Kita melihat panahan."
"Kau akan turun?" bertanya seorang pengawalnya.
Puguh mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Aku belum tahu. Tetapi hari ini aku belum berminat untuk ikut dalam permainan yang manapun."
Para pengawalnya tidak menjawab lagi. Sementara Puguh kemudian membayar minuman dan makanan yang telah mereka minum dan mereka makan.
Sejenak kemudian, maka Puguh dan para pengawalnya itupun segera meninggalkan kedai kecil itu. Namun mereka melangkah dengan malas, karena hari itu mereka memang masih belum berniat untuk ikut perjudian jenis yang manapun.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tiba-tiba saja menarik nafas dalam-dalam, sehingga Kiai Windu mengerutkan keningnya sambil bertanya, "Kenapa kalian seakan-akan merasa terlepas dari ketegangan?"
Keduanya memang terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian Sambi Wulung menjawab, "Aku memang terpengaruh oleh perkelahian yang baru saja terjadi antara anak-anak muda di tempat seperti ini."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Minumlah minuman kalian."
Keduanya mengangguk-angguk. Sejenak kemudian maka merekapun telah menghabiskan minuman mereka dan beberapa potong makanan.
Sambi Wulunglah yang kemudian membayarnya sambil berdesis, "Akulah sekarang yang membayar."
Kiai Windu tersenyum. Namun ia tidak menjawab.
Demikianlah merekapun kemudian meninggalkan kedai itu. Sebelum mereka melihat ke tempat yang lain, maka mereka telah singgah ke tempat sabung ayam. Ternyata tempat itu sudah menjadi semakin ramai. Mereka yang bertaruhpun sudah menjadi semakin banyak. Bahkan taruhannya pun sudah meningkat semakin tinggi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar melihat uang dalam jumlah yang besar telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Meskipun untuk memasuki tempat itu mereka juga sudah dibekali dengan uang cukup, namun mereka merasa terlalu kecil sebagai penjudi, dibanding dengan orang-orang yang telah lebih dahulu pernah datang di tempat itu di musim-musim perjudian sebelumnya.
Kiai Windupun kemudian memanggil ketiga orang kawannya yang telah menjadi sangat asyik melihat sabung ayam itu. Bahkan di luar sadar, merekapun kadang-kadang telah ikut berteriak-teriak.
"He," desis Kiai Windu, "apakah kau masih akan berada disini?"
Ketiganya termangu-mangu. Namun kemudian, "Kita akan kemana?"
Kiai Windu memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung bergantian. Lalu iapun bertanya, "Kau belum akan mulai?"
Keduanya menggeleng. Namun tiba-tiba saja Jati Wulung berkata, "Aku sudah letih berkeliling."
"Lalu kau mau apa?" bertanya Kiai Windu.
"Aku akan beristirahat saja sambil melihat panahan," jawab Jati Wulung.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita pergi ke tempat panahan."
Tetapi salah seorang dari kawannya berkata, "Aku disini saja."
"Kau sudah akan mulai?" bertanya Kiai Windu.
"Belum. Tetapi aku ingin melihat suasananya sampai nanti sore," jawab orang itu.
Ternyata kedua orang kawannya yang lain juga lebih senang berada di tempat sabung ayam itu. Sehingga karena itu mereka tidak ikut dengan Kiai Windu.
Dalam pada itu Jati Wulungpun sempat berbisik di telinga Sambi Wulung, "Kita harus mengumpulkan modal lebih besar lagi menilik taruhan orang-orang yang ikut dalam taruhan sabung ayam itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Waktu mereka kemudian telah mereka habiskan sebagian besar untuk melihat panahan dan paseran. Namun kedua orang itu sudah mengambil keputusan, bahwa mereka akan menambah modal mereka dalam panahan itu.
"Aku kira kita akan dapat mengimbangi kemampuan mereka," berkata Sambi Wulung.
"Tetapi anak-anak muda yang dianggap sebagai pemanah-pemanah yang baik itu belum turun hari ini," berkata Jati Wulung.
Keduanya kemudian mengangguk-angguk.
Demikianlah, hari itu keduanya baru sekedar melihat-lihat arena perjudian itu bersama Kiai Windu. Mereka juga singgah sejenak di barak tempat orang-orang bermain dadu. Sebuah perselisihan kecil telah terjadi antara dua orang yang ikut bertaruh dengan para petugas, sehingga hampir saja kedua orang itu dilemparkan keluar. Namun persoalan mereka ternyata dapat diatasi, sehingga kedua orang itu masih tetap diperkenankan untuk ikut dalam permainan dadu itu.
Di hari berikutnya Sambi Wulung dan Jati Wulung memang sudah berniat untuk turun ke lapangan panahan. Tetapi mereka tidak akan melakukannya dengan serta-merta. Mereka akan melihat lihat lebih dahulu. Baru kemudian mereka akan turun sebagaimana dikatakan oleh Jati Wulung, bahwa mereka berniat untuk menambah modal mereka, meskipun kemungkinan yang sebaliknya memang dapat terjadi.
Ketika malam turun, maka arena sabung ayam dan tempat panahanpun menjadi sepi. Tetapi tempat permainan dadu justru menjadi semakin ramai.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak begitu berminat untuk mulai dengan permainan itu. Karena itu, maka mereka hanya menengok sejenak. Kemudian mereka habiskan waktu mereka untuk berada di dalam bilik. Berganti-ganti mereka menyempatkan diri untuk tidur dalam waktu yang agak panjang.
Berbeda dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya berada cukup lama di arena permainan dadu. Tetapi ternyata mereka berempat pun masih belum mulai bertaruh.
Ketika lewat tengah malam mereka kembali ke dalam bilik, mereka melihat Jati Wulunglah yang sedang tidur dengan nyenyaknya sementara Sambi Wulung duduk bersila sambil menyilangkan tangannya di dada.
Ketika Kiai Windu tersenyum, Sambi Wulung berkata, "Apakah kau masih akan bertanya, kenapa aku belum tidur?"
"Tidak," berkata Kiai Windu sambil tertawa.
Sambi Wulungpun tersenyum pula. Tetapi ialah yang justru bertanya, "Nampaknya kau menang di permainan dadu itu."
"Sekepingpun aku belum ikut bertaruh," jawab Kiai Windu.
"Apakah kebiasaanmu memang begitu?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Aku baru mulai pada hari ketiga atau justru keempat, ketika orang-orang lain mulai kehilangan akal. Tetapi untuk tidak menarik perhatian, di hari kedua kadang-kadang aku juga ikut meskipun hanya sekedarnya," jawab Kiai Windu.
"Dalam tempat seperti ini, ternyata kau masih mampu juga mengendalikan diri," berkata Sambi Wulung.
"Kalianpun harus dapat berbuat seperti itu," desis Kiai Windu, "jika kita dicengkam oleh perasaan saja, maka akhirnya kita akan menjadi orang yang pertama sekali mempergunakan bilik di sudut itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu ternyata Jati Wulung telah terbangun pula. Masih sambil memejamkan matanya ia berkata, "Tidur. Ayo tidur sajalah."
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Tidurlah. Bukankah giliranmu sekarang tidur?"
Jati Wulung tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang lainpun telah berbaring pula. Ternyata seorang di antara mereka duduk di sebelah Sambi Wulung sambil berdesis, "Kita memang harus berhati-hati di tempat seperti ini. Apalagi di hari-hari ketiga, keempat dan seterusnya. Beberapa orang telah mulai kehilangan akal. Namun banyak juga yang sempat mengendalikan dirinya."
"Bagaimana dengan anak-anak muda itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Mereka hampir selalu kalah. Tetapi nampaknya kekalahan itu bukan soal bagi mereka, sehingga mereka seakan-akan tidak pernah nampak gelisah. Ketika datang musim perjudian berikutnya, mereka datang lagi dengan membawa uang cukup banyak pula," jawab kawan Kiai Windu itu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Ketika seorang kawan Kiai Windu yang lain, yang telah berbaring mendekam, maka Sambi Wulungpun tahu, bahwa orang itu agaknya ingin dapat tidur nyenyak tanpa terganggu oleh pembicaraannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian kamar itupun menjadi hening.
Ketika matahari terbit, maka segala sesuatunya mulai sibuk lagi di Song Lawa itu. Memang masih ada beberapa orang yang karena mereka bermain dadu hampir semalam suntuk masih tidur pulas.
Tetapi persiapan-persiapan di lapangan panahan telah dilakukan. Sasaran untuk kelompok-kelompok pemanah telah dipasang berderet. Demikian pula lingkaran-lingkaran untuk paseran. Sementara di arena sabung ayampun semua persiapan telah dilakukan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun sudah bersiap. Kiai Windu yang ingin menyaksikan keduanya turun di arena berkata sambil tersenyum, "Aku ingin melihat, apakah kalian akan dapat menambah modal kalian untuk turun ke permainan dadu atau justru malah sebaliknya. Jika kalian kalah dalam panahan, aku minta kalian tidak dengan cepat berputus-asa."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tertawa. Dengan nada tinggi Jati Wulung berkata, "Kiai, bukan baru kali ini aku. turun ke arena perjudian. Sudah aku katakan, bahwa aku telah mendatangi beberapa tempat perjudian yang lebih besar dari tempat ini. Tetapi tidak segila Song Lawa ini."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Sementara itu seorang kawannya berkata, "Marilah. Kita makan dahulu."
Setelah mereka makan di kedai, maka merekapun telah pergi ke lapangan panahan. Ternyata bahwa panahan telah mulai beberapa rambahan. Beberapa orang telah berkeringat, sementara pertarungan di setiap kalangan nampaknya ramai dan seimbang. Sebenarnyalah mereka yang turun ke lapangan panahan tentu orang-orang yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak segera turun ke arena. Untuk beberapa saat mereka masih melihat-lihat, arena yang manakah yang paling baik untuk dimasuki.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu sejenak, ketika mereka melihat beberapa anak muda ada di lapangan panahan. Tetapi ternyata mereka tidak berada pada kelompok yang sama. Wikrama berada di kelompok dua, sementara Puguh berada di kelompok lima. Sedangkan anak muda yang agak gemuk dan kasar itu agaknya masih melihat-lihat seperti beberapa orang lain di sekitar lapangan panahan itu.
"Nah, kapan kau akan mulai?" bertanya Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung berpaling. Tetapi mereka tidak menjawab. Keduanya hanya tersenyum saja, sementara Kiai Windu menjadi termangu-mangu.
Beberapa saat Sambi Wulung sempat menilai sekelompok pemanah pada kelompok tiga. Agaknya Sambi Wulung yakin, jika ia memasuki kelompok itu, maka ia tidak akan kalah.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah mendekati kelompok ketiga sementara Jati Wulung berdiri termangu-mangu sambil menilai orang-orang di kelompok keenam.
Kepada seorang petugas Sambi Wulung menyatakan diri untuk memasuki kelompok tiga.
"Kau tidak membawa busur dan anak panah sendiri?" bertanya petugas itu.
"Tidak. Bukankah disini ada persediaan?" bertanya Sambi Wulung.
"Memang ada. Tetapi jarang bagi para pemanah yang baik memakai busur dan anak panah dari persediaan disini. Mereka biasanya memakai busur dan anak panah mereka masing-masing, karena mereka telah mengenal benar sifat dan watak busur dan anak panah mereka," berkata petugas itu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Aku tidak mempunyai busur dan anak panah."
"He," petugas yang juga bertubuh raksasa itu heran, "jika kau tidak mempunyai busur dan anak panah, bagaimana kau dapat berlatih memanah?"
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menjawab, "Maksudku, busur dan anak panah yang pantas untuk dibawa keluar dan turun di arena seperti ini."
Petugas itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian mempersilakan Sambi Wulung yang menyebut dirinya Wanengbaya itu untuk memilih beberapa busur yang memang disediakan.
Beberapa saat Sambi Wulung itu memilih. Ketika ia kemudian mendapatkan busur dan anak panah yang dianggapnya sesuai berat dan panjangnya, maka iapun telah mempergunakannya.
Ketika ia sudah duduk di deretan para pemanah di kelompok ketiga, maka ternyata Jati Wulung masih berdiri tegak. Ternyata di kelompok keenam itu terdapat seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Seorang yang berkumis lebat, bertubuh tinggi tegap. Hampir di setiap rambahan anak panahnya ada yang hinggap di sasaran.
Ketika rambahan-rambahan berikutnya berlangsung, orang itu menjadi semakin menarik perhatian. Ketika tiba-tiba saja anak panahnya hinggap di kepala sasaran, maka beberapa orang penontonpun telah bertepuk tangan sambil bersorak. Bahkan beberapa orang pengikut di kelompok itu ikut bertepuk tangan pula.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan kenyataan itu maka iapun berkata kepada diri sendiri, "Agaknya orang inilah yang membuat kelompok ini tidak diikuti oleh terlalu banyak orang."
Sementara itu, hampir tanpa sadar, orang yang berdiri di sebelahnya berkata, "Orang itu memang gila. Hampir di setiap musim ia berada di Song Lawa. Disini ia biasanya menang, meskipun di permainan dadu ia selalu kalah."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, "Apakah tidak ada orang lain yang pernah mengimbangi kemampuannya?"
"Jarang sekali. Setinggi-tingginya. seseorang akan dapat menyamainya. Tetapi tidak melampauinya," berkata orang itu.
Jati Wulung tidak menyahut. Tetapi ia memperhatikan beberapa orang pemanah yang lain yang memang nampaknya menjadi gelisah, meskipun sekali-sekali mereka ikut bertepuk pula.
Namun dalam pada itu, sebelum Jati Wulung memasuki arena, seorang yang masih terhitung muda, berwajah tampan dan berpakaian rapi telah memasuki arena. Seorang pengawalnya membawa busur dan anak panah yang bagus sekali. Agak lebih bagus dengan busur dan anak panah para peserta yang lain.
Dengan demikian maka Jati Wulung telah menahan diri barang sejenak. Ia ingin melihat orang baru itu. Apakah ia akan dapat mengimbangi atau bahkan melampaui pemanah yang berkumis tebal itu.
Pemanah yang berpakaian rapi itupun kemudian telah mulai pula melontarkan anak panahnya. Pada ram-bahan-rambahan pertama ia masih belum menunjukkan kelebihannya. Tetapi pada rambahan-rambahan berikutnya, ternyata orang berpakaian rapi itu mampu menyaingi orang berkumis lebat itu.
Dengan demikian maka di kelompok enam itu, panahan menjadi sangat menarik. Beberapa kali terdengar sorak dan tepuk tangan di antara para penonton bagi kedua orang itu.
"Mereka memang memiliki kemampuan iblis," desis orang di sebelah Jati Wulung itu.
"Memang luar biasa," sahut Jati Wulung.
Namun Jati Wulungpun berpaling ketika seseorang menggamitnya. Ternyata seorang di antara kawan-kawan Kiai Windu.
"Wanengbaya sudah mulai. Apakah kau jadi akan turun atau tidak?" bertanya orang itu.
"Kenapa tergesa-gesa?" bertanya Jati Wulung yang dikenal dengan nama Wanengpati itu.
Kawan Kiai Windu itupun ikut pula melihat arena. Ternyata iapun berdesis, "Jangan turun di kelompok ini. Kedua orang itu telah menaruh mata di ujung anak panah mereka masing-masing."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, "Apakah keduanya belum pernah dikalahkan?"
"Hanya orang yang coba-coba saja yang berani memasuki arena ini atau orang baru seperti kau," jawab kawan Kiai Windu itu.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan saksama ia memperhatikan kedua orang itu. Ternyata sambutan atas keduanya dari para penonton menjadi demikian meriah. Bahkan beberapa orang telah berteriak-teriak sambil bertepuk tangan.
Namun tiba-tiba suasana menjadi hening. Seorang yang berkepala botak dan menyangkutkan kepalanya di lehernya telah memasuki arena sambil tertawa. Suaranya meninggi di sela-sela kata-katanya, "Luar biasa. Kalian memang pembidik-pembidik yang pantas disegani. Kalian akan dapat menghisap semua uang yang dipertaruhkan di kelompok ini." orang itu berhenti sejenak, lalu, "tetapi itu tidak pantas. Harus ada orang lain yang dapat mengimbangi kemampuan kalian. Mungkin kalian belum mengenal aku. Aku memang orang baru di Song Lawa ini."
Semua orang memandanginya. Orang berkepala botak itu telah duduk di antara para pemanah. Sesaat ditelitinya busur dan anak panahnya yang memang sangat baik dan tentu harganyapun sangat mahal.
"Silahkan mulai," berkata orang itu, "kenapa kalian menjadi seperti orang bingung."
"Tidak Ki Sanak," sahut pemanah yang pertama, "kami tidak menjadi bingung. Kami hanya ingin mengenal kau sebagai orang baru disini. Sudah sepantasnya kami menghormati tamu kami yang datang kemudian."
"Terima kasih atas perhatian Ki Sanak," jawab orang berkepala botak itu. Sementara pemanah yang berpakaian rapi itupun berkata, "Silahkan mulai Ki Sanak."
Orang-orang di dalam kelompok itupun segera mempersiapkan diri. Anak-anak yang menjadi pemungut anak panahpun telah bersiap pula. Orang berkepala botak itu tidak membiarkan anak Song Lawa itu memungut anak panahnya. Ternyata ia telah membawa sendiri.
"Anak panahku memerlukan perawatan khusus," katanya.
Demikianlah sejenak kemudian orang-orang yang ada di dalam kelompok itu mulai meluncurkan anak panah masing-masing. Susul-menyusul. Masing-masing dengan gaya dan cara mereka sendiri-sendiri.
Ternyata bahwa para penontonpun telah bersorak-sorak kembali. Orang berkepala botak itu memang mampu menempatkan dirinya sejajar dengan kedua orang pemanah terbaik sebelumnya.
Para pemanah di kelompok-kelompok yang lainpun nampaknya tertarik pada sorak-sorai itu. Tetapi mereka berusaha untuk memusatkan perhatian mereka pada sasaran di hadapan setiap kelompok masing-masing.
Wikrama yang merasa dirinya juga memiliki kemampuan yang tinggi berkata kepada diri sendiri, "besok aku akan berada di kelompok yang gila itu."
Sementara itu, orang yang berkepala botak dan merupakan orang baru itu semakin lama menjadi semakin menarik perhatian. Ia mulai menunjukkan, bahwa ia memiliki kemampuan lebih baik dari setiap orang. Bahkan sekali-sekali ia berkata dengan nada sombong, "Ternyata di Song Lawa aku tidak mendapat lawan yang memadai."
Kedua orang pemanah terbaik di kelompok itu sebelumnya memang menjadi panas. Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Setiap rambahan berlangsung, maka hampir selalu uang taruhan mengalir ke orang yang berkepala botak dan tidak memakai ikat kepalanya itu.
Orang-orang yang mula-mula bertepuk tangan untuk menyambutnya, tiba-tiba menjadi kurang senang karena sikapnya yang sombong. Setiap kali ia selalu berteriak dengan nada tinggi, memuji kemampuannya sendiri.
Namun ia dapat membuktikan bahwa ia mulai menang dalam taruhan itu. Bahkan bukan sedikit.
Ternyata Jati Wulung yang masih berdiri di pinggir arena, tidak dapat menahan diri lagi melihat sikap orang itu. Tanpa Sambi Wulung, maka tidak ada orang yang mengekangnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah mendatangi petugas dan menyatakan diri untuk masuk ke arena.
"Kau tidak membawa busur dan anak panah?" bertanya petugas itu.
"Pinjami aku," jawab Jati Wulung.
Petugas itu menjadi heran. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kau sudah melihat, siapa bakal lawan-lawanmu?"
"Sudah," jawab Jati Wulung.
Petugas itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memberikan busur dan anak panah dari persediaan yang ada. Sudah tentu bukan busur dan anak panah yang baik.
Ketika Jati Wulung memasuki arena, ternyata tidak kalah menariknya dari saat orang berkepala botak itu turun. Bukan karena sikapnya, kesombongannya atau kata-katanya yang gemuruh di sela-sela derai tertawanya. Tetapi justru karena kesederhanaannya. Apalagi busur dan anak panahnya, yang mereka ketahui, dipinjam dari persediaan yang ada di tempat itu.
Demikian Jati Wulung duduk, seorang anak telah siap untuk menjadi pemungut anak panahnya.
Namun ternyata orang berkepala botak itu telah menyapanya, "He Ki Sanak. Apakah kau memang agak kurang waras?"
Jati Wulung termangu-mangu. Sementara itu orang-orang yang telah beberapa kali berada di Song Lawa, melihat orang itu juga orang baru sebagaimana orang berkepala botak itu.
"He, apakah kau selain gila juga tuli?" orang berkepala botak itu hampir berteriak.
Jati Wulung berpaling kepada orang yang botak itu. Namun kemudian ia menunjuk ke arah sasaran sambil berkata, "Sasaran itu ada disana. Marilah, siapakah di antara kita yang dapat mengenai di bagian kepalanya."
Orang berkepala botak itu menggeram sambil berkata, "Kau benar-benar telah menjadi gila. Kau ikut dalam panahan di kelompok ini dengan busur dan anak panah buangan seperti itu."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi dipandanginya sasaran itu dengan saksama.
Di saat Jati Wulung memasuki arena dengan busur dan anak panah pinjaman, tidak terlalu banyak orang yang memperhatikan, karena kelompok yang dimasukinya tidak menjadi panas seperti kelompok enam yang kemudian diikuti oleh Jati Wulung.
Kawan Kiai Windu yang berada di dekat arena keenam itu menjadi tegang. Ia tahu pasti bahwa Jati Wulung adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia belum yakin bahwa ia adalah seorang pembidik yang akan mampu melampaui ketiga orang yang telah memanaskan arena keenam itu.
Sejenak kemudian pada rambahan berikutnya, Jati Wulung telah ikut pula melepaskan anak panahnya. Ketika ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia masih menjajagi sifat dan watak busur yang dipergunakannya. Sementara itu, menurut penilikannya, anak-panah yang akan dipergunakan meskipun ujudnya kurang baik, tetapi adalah anak panah biasa dan baik lari serta arahnya tidak terlalu buruk.
Ketika anak panahnya yang pertama tidak mengenai sasaran, maka orang berkepala botak itu berteriak, "He orang yang kurang waras. Berikan saja taruhanmu itu kepadaku tanpa bersusah payah melepaskan anak panah. Kau tidak akan dapat menyentuh sasaran yang paling buruk sekalipun. Bahkan anak panahmu akan dapat mengenai gandul yang justru kau akan didenda separo dari uang taruhanmu disamping uang taruhanmu itu seluruhnya."
Jati Wulung tidak menjawab. Ia sudah mulai memasang anak panah yang kedua.
Sementara itu, ketiga orang yang terbaik di kelompok itu ternyata telah mulai melepaskan anak panah mereka. Ternyata merekapun tidak dengan serta-merta mengenainya. Bahkan dari enam anak panah, tidak lebih dari dua di antaranya yang akan dapat mengenai sasaran, seperti di rambahan-rambahan sebelumnya. Itupun sudah merupakan hasil terbaik dari pemanah terbaik saat itu. Bahkan sekali-sekali di antara ketiga pemanah itu, dalam satu rambahan tidak lebih dari satu anak panah yang mengenainya. Sedangkan orang-orang lain, pada beberapa rambahan, barulah anak panah mereka dapat hinggap di sasaran. Tetapi pernah juga terjadi seseorang yang dapat menancapkan empat anak panah. Tetapi tentu saja itu hanya satu kebetulan dan terjadi dalam seratus rambahan sekali.
Sementara itu, hati Jati Wulung yang panas, benar-benar berniat untuk menunjukkan bahwa iapun mampu melakukan sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang itu. Meskipun ketika anak panahnya yang pertama agak jauh dari sasaran, tetapi ia yakin akan dapat melakukan jauh lebih baik. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa ketiga orang terbaik itu telah menertawakannya.
Sebenarnyalah bahwa Jati Wulung adalah seorang pemanah yang terlalu baik untuk sekedar bertaruh sebagaimana Sambi Wulung. Keduanya adalah orang-orang yang ditempa di perguruan yang bukan saja belajar membidik sasaran yang diam. Tetapi keduanya telah berlatih dengan tekun membidik sasaran yang bergerak. Dengan tepat keduanya dapat mengenai jantung seseorang yang berlari kencang. Latihan-latihan yang pernah dilakukan adalah membidik dan memanah kantung-kantung kecil berisi pasir yang dilemparkan. Bahkan kemudian sasaran-sasaran yang lebih kecil. Batang pisang yang dipotong hanya sebesar genggaman tangan dan dilemparkan ke udara, dapat dikenai sekaligus oleh tiga anak panah berurutan.
Saat itu, Jati Wulung menghadapi sasaran yang diam tergantung di hadapannya meskipun agak jauh.
Karena itu, maka iapun yakin akan dapat mengenainya kapan saja ia menghendakinya.
Ketika orang-orang lain di kelompok itu telah melepaskan anak panah mereka pula, namun belum satupun di antara anak panah itu yang mengenai sasaran yang tatarannya paling rendah sekalipun, Jati Wulung benar-benar telah membidikkan anak panahnya. Ia ingin mengenai sasaran itu pada tataran terendah, namun yang masih menghasilkan nilai. Karena jika ia mengenai gandul dari sasaran itu, maka justru ia akan didenda.
Beberapa saat Jati Wulung melihat beberapa anak panah yang meluncur ke arah sasaran. Namun anak panah itu ternyata masih belum ada yang menyentuhnya.
Bahkan tiba-tiba saja orang-orang yang menyaksikan panahan di kelompok enam itu bersorak disertai ejekan-ejekan yang menyakitkan, ketika satu di antara anak panah itu justru mengenai gandul.
Pada saat yang demikian, Jati Wulung telah melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur cepat menuju sasaran sebagaimana dikehendaki. Ternyata bahwa anak panahnya benar-benar telah mengenai badan dari tubuh sasaran itu sebagaimana ia inginkan.
Sorak itu telah terdengar lagi. Namun dalam nada yang berbeda. Orang-orang yang menonton di kelompok yang menjadi panas itupun telah bertepuk-pula bagi anak panah Jati Wulung. Apalagi kawan Kiai Windu.
Tetapi sejenak kemudian sorak itu telah disusul oleh sorak berikutnya. Satu anak panah dari orang berkepala botak itu telah mengenai badan sasaran itu pula.
Namun orang berkepala botak itu masih juga mengumpat, "Setan belang. Kau mendahului aku he?"
Jati Wulung diam saja. Sementara itu kedua orang pemanah yang lainpun telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka membidik dengan sebaik-baiknya.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sorak yang meledak telah terdengar pula. Ternyata pemanah terbaik yang pertama-tama ada di arena itu justru telah mengenai leher dari tubuh sasaran. Dengan demikian ia telah mendapat nilai lebih tinggi dari pemanah berkepala botak itu. Dan sorak itupun disusul lagi ketika pemanah yang kemudian juga memasuki arena sebelum orang berkepala botak itu juga sempat menancapkan anak panahnya, meskipun tidak lebih pada badan sasaran.
Namun arena keenam itu telah benar-benar bagaikan membara.
Sorak dan teriakan-teriakan penontonpun membuat telinga menjadi semakin merah.
Jati Wulung memang memiliki watak yang agak berbeda dari Sambi Wulung. Di dalam lingkaran arena ketiga Sambi Wulung masih sempat mengekang dirinya. Meskipun ia memenangkan taruhan untuk beberapa rambahan, namun sekali-sekali ia dengan sengaja membuat dirinya kalah. Dengan demikian maka perhatian orang-orang yang ada di kelompok itu serta beberapa penonton yang tinggal, karena yang lain terhisap di kelompok enam, tidak terlalu menaruh perhatian atas kelebihannya. Kemenangan yang didapat oleh Sambi Wulung memang tidak terlalu banyak, namun telah dapat menambah bekal jika mereka memasuki permainan judi yang lain.
Di kelompok enam Jati Wulungpun telah terbakar oleh sikap penonton dan sikap ketiga orang pemanah terbaik yang lain. Karena itu, maka iapun telah membidikkan anak panahnya pula. Dengan hati-hati dan sungguh-sungguh ia memang membidik leher sasaran.
Sebenarnyalah penonton menjadi gegap gempita ketika anak panah Jati Wulung benar-benar hinggap di leher sasaran. Sementara itu ketiga orang pemanah terbaik di kelompok itupun mengumpatinya dengan kasar. Beberapa anak panah yang meluncur kemudian justru tidak dapat mengenai sasaran, karena mereka menjadi gelisah dan bahkan marah, sehingga tangan mereka menjadi gemetar sebagaimana jantung mereka semakin keras berdetak.
Tetapi Jati Wulung tidak berhenti sampai sekian. Ia masih memiliki dua anak panah di rambahan itu. Dengan sepenuh kemampuan yang ada pada dirinya, maka Jati Wulung telah membidik kepala sasaran. Ia memang menunggu sampai anak panah terakhir, telah dilepaskan oleh para pemanah yang lain. Baru kemudian ia melepaskan anak panahnya.
Lapangan itu rasa-rasanya hampir meledak. Anak panah itu tepat mengenai kepala tubuh sasaran. Bagian yang mendapat penilaian tertinggi dari sasaran itu.
Tetapi Jati Wulung belum selesai. Ia masih mempunyai satu anak panah dari enam anak panah yang disediakan bagi setiap rambahan.
Jati Wulung memang tidak mau disebut kebetulan dengan anak-anak panahnya yang sempat hinggap di tubuh sasaran. Karena itu, maka sekali lagi ia membidik dengan sungguh-sungguh. Ia tidak melihat apapun juga di hadapannya kecuali kepala sasaran itu.
Demikianlah, ketika anak panahnya yang terakhir lari dari busurnya, maka lapangan panahan itu benar-benar telah terguncang. Anak panah yang terakhir itupun telah mengenai kepala sasaran itu pula tepat di kepalanya, sehingga bedor anak panahnya seakan-akan berimpit dengan anak panahnya yang terdahulu.
"Anak setan, demit, thethekan," orang berkepala botak itu mengumpat kasar. Tiba-tiba saja ia bangkit. Dengan kasar ia berteriak, "Kau pakai ilmu setan orang gila. Kemenanganmu kali ini tidak diakui."
Jati Wulung termangu-mangu melihat sikap orang itu. Namun ternyata dua orang pemanah terbaik yang lain hampir berbareng berkata, "Aku akui kemenangannya."
Orang berkepala botak itu berpaling kepada kedua orang itu. Namun kedua orang itu memandanginya dengan tatapan mata yang tajam, sehingga bagaimanapun juga orang berkepala botak itu harus menilai kembali sikapnya.
Perlahan-lahan ia duduk kembali. Tetapi ia masih bergeremang, "Jika demikian, semua uang yang ada disini akan diambilnya."
"Mungkin sekali," berkata salah seorang dari kedua pemanah terbaik itu, "jika salah seorang dari para peserta ini memang ingin menghindar, maka tidak ada yang akan melarangnya."
"Persetan," geram orang berkepala botak itu.
Tetapi ia merasa malu untuk meninggalkan lapangan di kelompok itu. Karena itu, maka iapun telah kembali memegangi busurnya sambil berkata, "Mungkin satu kebetulan. Kita lihat di rambahan berikutnya."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia memang ingin membuktikan, bahwa ia benar-benar mampu mengenai sasaran sebagaimana dikehendakinya. Bukan sekedar kebetulan, sebagaimana dikatakan oleh orang yang berkepala botak itu.
Sementara itu, kawan Kiai Windu ternyata telah dengan tergesa-gesa menemui Kiai Windu dan mengatakan apa yang telah dilihatnya.
"Benar-benar satu pameran kemampuan," katanya.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Aku yakin bahwa Wanengbaya inipun mampu juga melakukannya. Tetapi ia lebih mengendap dari Wanengpati, sehingga ia tidak melakukannya. Iapun agaknya menang pula. Tetapi sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan. Sekali-sekali ia dengan sengaja mengalah."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Jika sikapnya itu tidak berubah, mungkin akan dapat memancing persoalan. Seorang di antara para pengikut di kelompok enam sudah menunjukkan sikapnya yang tidak senang melihat kemampuan Wanengpati."
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Ia akan dapat mengatasi kesulitan jika timbul. Ingat, ia memiliki ilmu yang luar biasa. Demikian pula Wanengbaya."
Kawan Kiai Windu itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian kembali pergi ke kelompok enam. Ada semacam kebanggaan di dalam dirinya, bahwa seorang yang telah dikenalnya mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam arena panahan itu. Bahkan kedua orang kawannya yang lainpun telah ikut pula bersamanya melihat panahan di kelompok enam, sementara Kiai Windu berkata, "Aku berada disini."
Sambi Wulung sendiri masih belum merubah cara yang dipakainya. Ia masih juga menempatkan diri pada tataran yang tidak terlalu menyolok di antara pemanah-pemanah yang lain. Meskipun ia memang menang, namun tidak seorangpun yang tersinggung oleh kemenangannya itu.
Berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Jati Wulung. Jantungnya benar-benar telah terbakar oleh suasana yang panas di kelompok enam. Ia tidak saja ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemanah terbaik di Song Lawa. Namun ia dapat berbuat apa saja yang dikehendaki.
Pada rambahan berikutnya, maka dengan sengaja Jati Wulung telah mengenai sasaran itu dari atas ke bawah. Anak panahnya yang pertama telah hinggap di kepala. Sebelum orang lain melepaskan anak panahnya barang satupun, Jati Wulung telah melepaskan anak panahnya yang kedua yang dengan sengaja telah ditancapkan pada leher sasaran. Yang ketiga mengenai badan sasaran di bagian atas dan yang keempat mengenai badan sasaran di bagian bawah, ia tidak memberi kesempatan orang lain untuk melepaskan anak panah, karena sebagian besar dari mereka menjadi bagaikan membeku. Panah yang kelima dengan sengaja pula telah dibidikkan ke arah gandul. Meskipun ia sadar, bahwa dengan demikian akan dikenakan nilai denda, tetapi nilai seluruh anak panahnya masih juga lebih banyak dari denda itu. Sementara sebelum orang lain membidik, satu anak panah lagi telah meluncur dan tepat mengenai kepala pula.
Arena panahan di kelompok itu justru menjadi hening. Tidak seorangpun yang telah bersorak. Jantung mereka benar-benar dicengkam oleh keajaiban yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Bahkan pemanah-pemanah terbaikpun bagaikan membeku melihat cara Jati Wulung menggetarkan jantung lawan-lawan panahannya.
Sementara itu, setiap orang yang ada di arena itu mengerti sepenuhnya apa yang telah dilakukan oleh Jati Wulung. Jika ada satu di antara anak panahnya yang mengenai sasaran yang menghasilkan nilai denda, itu bukan karena ia salah bidik. Tetapi hal itu tentu dilakukan dengan sengaja.
Baru kemudian ketika orang yang mereka kenal dengan nama Wanengpati itu meletakkan busurnya, langit bagaikan menjadi runtuh. Orang-orang yang menyaksikan kemampuan Jati Wulung itu telah bersorak-sorak seperti orang kehilangan kesadaran. Kawan-kawan Kiai Windupun ikut pula bersorak seakan-akan merekalah yang telah memenangkan panahan itu. Bahkan para pemanah yang lainpun telah ikut bertepuk tangan pula melihat kemampuan Jati Wulung yang berada di luar jangkauan kemampuan mereka.
Ketika sorak yang gemuruh itu mereda, maka barulah orang-orang lain membidikkan anak panahnya. Merekapun berusaha untuk mengenai sasaran. Karena nilai-nilai yang mereka dapat akan berarti mengurangi nilai kekalahan mereka.
Orang berkepala botak itu benar-benar telah kehilangan kemampuan bidiknya oleh kegelisahan dan ketidak-senangannya terhadap Jati Wulung. Setiap kali ia mengumpat kasar dan diperlakukannya busur dan anak panahnya yang baik dan mahal itu dengan kasar pula.
Berbeda dengan orang itu, maka pemanah-pemanah yang lain, termasuk kedua orang pemanah terbaik sebelumnya, menerima kenyataan itu. Karena itu mereka justru menjadi tenang. Mereka mampu mempergunakan kesempatan mereka untuk mengurangi kekalahan mereka, sehingga mereka tidak harus membayar terlalu banyak. Apalagi dengan sengaja Wanengpati telah mengurangi kemenangannya dengan membiarkan anak panahnya mengenai sasaran yang justru dikenakan nilai denda.
Pada kedua rambahan itu, Jati Wulung sudah mendapatkan kemenangan lebih besar dari Sambi Wulung. Namun dengan demikian lawan-lawannya yang lainpun menjadi ragu-ragu. Jika mereka meneruskan permainan maka mereka tidak akan mempunyai harapan sama sekali. Berbeda dengan ketiga orang pemanah sebelumnya, yang betapapun tinggi kemampuannya, namun mereka masih belum mampu menentukan sasaran sebagaimana dikehendakinya setiap saat.
Agaknya Jati Wulung melihat hal itu. Iapun memang sudah merasa puas setelah memaksa orang botak yang sombong itu mengakui kekalahannya di hadapan sedemikian banyak saksi. Karena itu, maka Jati Wulungpun kemudian berdiri sambil berkata, "Aku tidak melanjutkan permainan ini agar ada orang lain yang sempat mendapatkan kemenangan."
"Persetan," geram orang yang botak itu.
Jati Wulung berpaling ke arahnya. Tetapi ia melihat bahwa kesombongan orang berkepala botak itu sudah runtuh. Apapun yang dilakukan, maka orang-orang yang ada di kelompok enam itu tahu, bahwa ia bukan orang yang tidak terkalahkan.
Karena itu, maka Jati Wulungpun tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian telah mengembalikan busur dan anak panah kepada petugasnya. Memberikan sedikit uang kepadanya dan bagi anak yang telah memungut anak panahnya. Kemudian Jati Wulungpun melangkah meninggalkan arena keenam itu.
Ketiga orang kawan Kiai Windupun segera mendapatkannya. Dengan nada tinggi seorang di antara mereka berkata, "Kau memang luar biasa. Aku menjadi tidak merasa sakit hati pernah kau kalahkan, karena kau memang pantas melakukannya atas kami."
"Jangan memuji seperti itu," berkata Jati Wulung, "jika kau ingin makan, marilah. Aku akan membayarnya."
"Ah kau," desis kawan kiai Windu yang lain, "hanya makan?"
"Habis. Kau mau apa?" bertanya Jati Wulung.
"Tidak apa-apa," jawab kawan Kiai Windu.
Namun kedua kawannya yang lain tersenyum sambil memandanginya. Seorang di antaranya berkata, "Kenapa kau tidak berterus terang."
"Terus terang tentang apa" Aku memang tidak menghendaki apa-apa," jawab orang itu.
"Penari itu?" desis kawannya yang lain.
"Ah kau. Omong kosong," geram orang itu sambil melangkah pergi.
Kedua kawannya tertawa. Sementara Jati Wulungpun tertawa pula.
Ketika mereka meninggalkan arena keenam itu, maka beberapa orang masih saja memperhatikannya. Namun orang-orang itu tidak mengikutinya atau meninggalkan arena itu. Bahkan kemudian merekapun mulai memperhatikan panahan yang berlangsung lebih mapan setelah diguncang oleh Jati Wulung dengan kemampuannya yang luar biasa. Bahkan kemudian orang-orang yang tidak ikut memegang busur dan anak panahpun dapat ikut bertaruh pula dengan cara mereka masing-masing.
Ketika Jati Wulung kemudian sampai ke arena pada kelompok yang diikuti oleh Sambi Wulung, maka iapun telah melihat cara yang ditempuh oleh saudara seperguruannya itu. Tiba-tiba saja jantungnya merasa berdebar-debar mengingat apa yang telah dilakukannya. Karena dengan demikian, maka seolah-olah telah tertutup kemungkinan baginya untuk ikut serta dalam permainan panahan, karena setiap orang telah mengetahui kemampuannya yang tidak terkalahkan.
Sementara itu Sambi Wulung yang mampu mengendalikan dirinya, telah mempergunakan cara yang lebih halus.
Akhirnya Jati Wulung justru telah terduduk di bawah sebatang pohon di pinggir lapangan. Keringatnya yang membasahi keningnya sekali-sekali disekanya dengan lengan bajunya.
Kiai Windulah yang kemudian mendekatinya. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Kau letih?"
"Ya," jawab Jati Wulung.
"Kau terlalu tegang," berkata Kiai Windu yang kemudian duduk di sebelahnya. "Wanengbaya tidak melakukan cara seperti yang kau lakukan. Sampai sekarang ia masih bertahan di tempatnya."
"Ya. Aku menjadi panas karena penonton yang seakan-akan menjadi gila, serta pemanah yang memang membuat jantungku seakan-akan semakin cepat bergetar," berkata Jati Wulung.
"Karena itulah kau harus berhati-hati. Terutama terhadap orang yang dianggapnya sebagai pemanah-pemanah terbaik itu. Mungkin ada yang menerima kenyataan itu. Asal kau tidak turun ke arena maka tidak ada lagi masalah baginya. Tetapi ada yang mungkin berpendirian, bahwa kau tidak boleh untuk seterusnya turun ke arena panahan di tempat yang disebut Song Lawa ini," berkata Kiai Windu kemudian.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Kiai Windu. Dengan nada berat ia berkata, "Aku akan berhati-hati Kiai. Terima kasih atas peringatan itu. Sebenarnya aku tidak berniat untuk berbuat demikian. Tetapi perasaan inilah yang rasa-rasanya telah membakar jantung."
Kiai Windu tersenyum. Ia memang serba sedikit dalam pergaulannya yang singkat, dapat mengenali watak Jati Wulung yang agak lebih panas dari Sambi Wulung.
"Beristirahatlah," berkata Kiai Windu, "aku akan melihat panahan itu lagi."
Sepeninggal Kiai Windu, Jati Wulung semakin merenungi dirinya sendiri. Iapun kemudian bersandar sebatang pohon sambil memandangi daunnya yang bergerak disentuh angin. Rasa-rasanya sejuknya bayangan dedaunan serta angin yang mengusap tubuh membuatnya mengantuk. Namun Jati Wulung tidak tertidur karena setiap kali terdengar sorak yang meledak dari para penonton yang telah ikut bertaruh di lapangan panahan.
Bagi Jati Wulung, Kiai Windu memang merupakan orang yang agak lain dengan orang-orang yang dikenalinya di Song Lawa itu. Meskipun ilmu Kiai Windu tidak mampu menyamainya, tetapi sikapnya yang mengendap dan berpandangan luas itu, membuatnya menjadi hormat kepadanya.
Ternyata Jati Wulung harus menunggu sampai menjelang matahari turun. Sambi Wulung agaknya cukup telaten ikut dalam panahan itu. Namun ketika matahari bagaikan membakar tengkuknya, serta kemenangannya untuk hari itu sudah dianggap cukup, iapun telah meninggalkan arena.
Ketika Sambi Wulung itu melihat Jati Wulung duduk bersandar sebatang pohon sambil merenung, maka iapun telah mendekatinya.
"Kenapa kau?" bertanya Sambi Wulung.
Kawan Kiai Windu yang mendekati merekalah yang menjawab, "Ia telah mabuk karena kemenangannya."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Sementara Jati Wulung sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
"Tunggulah," berkata Sambi Wulung, "aku akan mengembalikan busur dan anak panah ini."
Jati Wulung masih belum menjawab. Sementara Sambi Wulungpun kemudian telah mengembalikan busur dan anak panah, memberi sedikit uang kepada petugasnya dan juga kepada anak-anak yang menjadi pemungut anak panahnya.
"Kau menang hari ini," berkata petugas yang bertubuh raksasa itu sambil tersenyum.
Sambi Wulungpun tersenyum juga. Baginya nampak agak aneh, seorang yang bertubuh raksasa, berwajah kasar dan berkumis tebal itu tersenyum. Namun kemudian Sambi Wulung telah memberikan uang lagi kepadanya sambil berkata, "Mungkin besok aku akan meminjamnya lagi."
"Baiklah," jawab orang itu. Lalu katanya, "terima kasih. Aku doakan kau besok menang lagi."
Sambi Wulung tertawa. Namun ia tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian, maka Sambi Wulung, Jati Wulung, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya telah berjalan menuju ke kedai di sebelah lapangan itu. Ketika mereka melewati kelompok-kelompok yang lain, mereka tidak lagi melihat Wikrama di arena. Tetapi mereka masih melihat Puguh berada di tempatnya.
Ternyata mereka berhenti beberapa saat. Namun dalam waktu yang pendek itu mereka sudah dapat menduga, bahwa setidak-tidaknya Puguh tidak kalah dalam taruhan di tempat panahan itu.
Dalam pada itu, karena panasnya matahari, ternyata beberapa orang pemanah memang sudah meninggalkan arena. Tetapi ada saja orang lain yang menggantikannya, sehingga seakan-akan jumlah pesertanya tidak terlalu banyak berkurang. Apalagi menurut Kiai Windu, jika panas matahari mulai susut. Orang-orang baru akan turun pula menggantikan mereka yang telah menjadi kelelahan. Namun dalam pada itu, ketika mereka melanjutkan langkah mereka menuju ke kedai, Kiai Windu telah menceriterakan apa yang didengarnya dari kawan-kawannya tentang Jati Wulung yang ternyata telah mengguncang arena panahan di lapangan itu.
"Benar kau berbuat begitu?" bertanya Sambi Wulung.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa jika Kiai Windu menyampaikan hal itu kepada Sambi Wulung, ia sama sekali tidak berniat buruk. Bahkan sebaliknya, agar Sambi Wulung yang dikenalnya bernama Wanengbaya itu juga menjadi berhati-hati.
Dengan nada rendah Jati Wulung menjawab, "Hatiku dibakar oleh suasana yang panas serta sikap salah seorang pemanah yang sombong atas kelebihannya."
"Dan kau terpancing untuk menjadi sombong juga?" bertanya Sambi Wulung.
Jati Wulung tidak menjawab. Namun Kiai Windulah yang berkata, "Sebaiknya kau tidak memasuki arena panahan untuk satu dua hari, karena kehadiranmu akan sangat berpengaruh terhadap kelompok itu."
Jati Wulung mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti."
Sambi Wulung hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti, bahwa keterlanjuran itu mungkin akan mempunyai akibat tersendiri. Meskipun demikian Sambi Wulung berkata, "Mudah-mudahan orang-orang itu segera melupakannya."
Sepasang Walet Merah 3 Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Jodoh Si Mata Keranjang 12