Api Di Bukit Menoreh 19
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19
"Meski-pun demikian, tetapi Ki Suracala adalah ayah gadis itu. Jika orang-orang itu datang kepadamu untuk berbicara tentang Kanthi, mereka selalu menyebut dirinya utusan Ki Suracala. Karena itu, maka sebaiknya kau tidak berbicara dengan orang lain kecuali Ki Suracala, siapa-pun yang ternyata kemudian mengambil alih persoalannya," berkata Ki Gede.
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata, "Paman. Besok kami akan pergi ke rumah Ki Suracala. Kami akan menyampaikan ketegasan sikap paman, bahwa paman tidak dapat menerima perlakuan mereka atas Prastawa, karena ternyata Prastawa memang tidak bersalah. Kemudian terserah, apa yang akan mereka lakukan. Kita hanya akan mengimbanginya."
"Ya," Ki Gede menyahut, "agaknya kau memang harus berbuat demikian Argajaya. Sebaiknya rencanamu diteruskan. Kau minta Ki Jayaraga pergi ke Kleringan bersama Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri. Mereka akan menjadi utusan resmi untuk menyampaikan persoalan Prastawa dan sekaligus mengambil keputusan-keputusan jika diperlukan."
Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil. Namun nampak bahwa ia masih merasa ragu. Bahkan ia-pun berkata, "Tetapi Ki Suracala adalah orang yang baik."
"Jika persoalannya diambil alih oleh adik sepupunya, maka bukankah Ki Argajaya tidak akan berselisih dengan Ki Suracala?" berkata Ki Jayaraga.
Ki Argajaya mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Kau benar Ki Jayaraga."
"Jadi, bagaimana maksud paman selanjutnya?" bertanya Swandaru.
"Baiklah. Aku akan mohon Ki Jayaraga untuk pergi ke Kleringan dua hari lagi," jawab Ki Argajaya.
"Kenapa dua hari lagi?" bertanya Swandaru, "bukankah besok kita dapat pergi ke rumah Ki Suracala?"
"Bukankah waktu yang diberikan itu tiga hari?" sahut Ki Argajaya.
"Kita tidak terikat kepada waktu yang mereka berikan. Mereka tidak berhak membatasi waktu kita. Jika kita ingin pergi besok, biarlah kita pergi. Tetapi jika kita ingin pergi tiga hari lagi atau sepekan lagi, biarlah kita pergi sesuai dengan keinginan kita," berkata Swandaru.
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Namun yang kemudian menyahut adalah Ki Gede, "Semakin cepat persoalan ini kita selesaikan akan menjadi semakin baik. Mudah-mudahan keluarga Ki Suracala, terutama adik sepupunya itu dapat mengerti."
"Kita memang harus mencoba," berkata Ki Jayaraga kemudian, "meski-pun kita tahu, bahwa segala sesuatunya nampak memang sudah dipersiapkan oleh adik sepupu Ki Suracala itu. Namun selagi kita masih mendapat kesempatan untuk berbicara, maka tentu masih ada harapan untuk dapat saling mengerti."
Ki Argajaya-pun kemudian berkata, "Baiklah. Aku serahkan pembicaraan selanjutnya kepada Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya."
Demikianlah, malam itu mereka sepakat untuk mengirimkan Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri ke Kleringan besok sore. Agung Sedayu akan pulang lebih awal dari barak Pasukan Khususnya. Sementara itu meski-pun memutuskan untuk mengurus Glagah Putih dan Rara Wulan besok pagi ke rumah Ki Suracala untuk memberitahukan bahwa utusan resmi Ki Argajaya akan datang di sore harinya tanpa mengatakan apa-pun juga mengenai persoalan Prastawa dan Kanthi.
"Kalian harus menganggap diri kalian tidak tahu apa-apa. Kalian hanya diperintahkan untuk memberitahukan bahwa sore nanti lima orang utusan Ki Argajaya akan datang. Mereka adalah Ki Jayaraga yang sudah terhitung tua, Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri. Mereka adalah sepupu Prastawa," berkata Ki Gede kemudian.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk saja. Mereka memang merasa senang dapat membantu melakukan tugas-tugas yang sedikit menegangkan.
"Hati-hatilah Glagah Putih," desis Agung Sedayu, "Kau tidak boleh melakukan sesuatu diluar kerangka tugasmu."
Glagah Putih mengangguk. Tetapi justru Rara Wulanlah yang bertanya, "Tetapi dalam keadaan yang terpaksa, bukankah kami dapat melindungi diri kami?"
"Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat terjadi. Kalian hanya akan menyampaikan bahwa nanti sore akan ada tamu di rumah Ki Suracala. Bukankah tidak ada kemungkinan apa-pun yang dapat memaksa kalian harus melindungi diri sendiri?"
"Siapa tahu bahwa dahi kami akan terantuk awan," jawab Rara Wulan.
"Ah, apa yang sebenarnya kau katakan?" sahut Sekar Mirah.
Tetapi Swandaru justru berkata sambil tertawa, "Kau benar Rara. Kau harus mempersiapkan diri."
Agung Sedayu-pun tersenyum pula. Namun ia berkata, "Mudah-mudahan tidak ada awan yang merendah. Kecuali jika awan itu sudah menjadi hujan."
Dengan demikian, sambil berbicara tentang berbagai macam kemungkinan maka para tamu Ki Argajaya itu masih duduk beberapa lama. Baru kemudian setelah malam menjadi semakin dalam, mereka-pun minta diri.
Dalam pembicaraan itu telah ditetapkan bahwa besok berlima, utusan Ki Argajaya itu akan langsung berangkat ke Kleringan tanpa harus menemui Ki Argajaya lagi.
"Jika ada persoalan yang penting, biarlah aku datang kerumah kakang Argapati," berkata Ki Argajaya kemudian.
Demikianlah, maka malam itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah memberikan pesan-pesannya agar mereka berhati-hati di Kleringan. Yang akan menjelaskan persoalannya adalah Ki Jayaraga. Sehingga kepergian mereka ke Tanah Perdikan Menoreh tidak lebih dari sekedar memberitahukan akan kedatangan utusan itu sehingga utusan itu dapat diterima oleh Ki Suracala. Tanpa pemberitahuan itu, maka mungkin sekali Ki Suracala justru sedang bepergian.
Glagah Putih dan Sekar Mirah mengangguk-angguk.
"Meski-pun demikian," berkata Agung Sedayu, "kalian harus tetap berhati-hati."
"Ya," Sekar Mirah menyambung, "aku dapat mengerti kesiapan Rara Wulan jika tiba-tiba saja harus terantuk awan. Nampaknya keluarga Ki Suracala sudah tidak menghargai lagi unggah-ungguh."
Agung Sedayu-pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku mengerti."
"Jika yang akan kalian temui besok kakangmu Agung Sedayu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu," berkata Sekar Mirah kemudian, "tetapi yang akan kalian temui besok adalah orang-orang kecewa yang kebingungan."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ternyata aku tidak termasuk orang yang kecewa dan kebingungan."
Yang lain-pun tersenyum pula. Bahkan Ki Jayaraga menyambung, "Kalau saja kau sudah menjadi kebingungan ngger, maka semua prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun akan kebingungan pula, sehingga akan menjadi sangat membahayakan lingkungannya."
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Nah, bukankah sikapku benar kakang" Jika awan itu mengambang semakin rendah, maka aku harus menghembusnya."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah-pun tertawa pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka-pun telah pergi ke bilik mereka masing-masing. Agung Sedayu minta agar Rara Wulan beristirahat sebaik-baiknya, karena besok ia akan mengemban tugas yang berat.
Ketika orang-orang lain memasuki biliknya, maka Glagah Putih telah keluar lewat pintu butulan. Ia melihat anak yang tinggal di rumah itu sudah siap untuk turun ke sungai. Demikian ia melihat Glagah Putih, maka ia-pun bertanya, "Kapan kau sempat mengajari aku berkelahi?"
"Sudah berapa kali aku mengatakan, aku tidak akan mengajarimu berkelahi. Tetapi aku akan memberikan sedikit petunjuk tentang membela diri," berkata Glagah Putih.
"Apa-pun namanya, bagiku sama saja," jawab anak itu.
"Tidak. Seharusnya bagaimana-pun tidak sama. Selama kau masih tidak dapat membedakan antara berkelahi dan membela diri, aku tidak akan mengajarimu."
Anak itu mengangguk kecil. Dengan agak terpaksa ia berkata, "Ya. Membela diri."
"Kau tidak hanya boleh sekedar mengucapkannya. Tetapi kau harus benar-benar mengerti maksudnya. Mungkin apa yang kita lakukan sama. Berlatih berkelahi dan berlatih membela diri. Namun landasan kita untuk melakukannya sudah berbeda," berkata Glagah Putih kemudian.
Anak itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih kemudian berkata, "Sudahlah. Jika kau akan turun ke sungai, pergilah. Lain kali kita akan mulai setelah aku tidak lagi sibuk."
Anak itu-pun kemudian telah melangkah pergi sambil membawa icir, kepis dan cangkul. Namun ia masih bergumam, "Apa saja yang dilakukannya sehingga ia tidak pernah tidak merasa sibuk."
Glagah Putih masih mendengar gumam anak itu. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Meski-pun demikian ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa jika ia memang mempunyai waktu luang, ia akan mengajari anak itu dalam olah kanuragan untuk kepentingan membela diri.
Sejenak Glagah Putih masih berada diluar. Udara yang semakin dingin rasa-rasanya menggigit sampai ketulang.
"Alangkah dinginnya air sungai malam ini," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Namun ternyata mereka yang sudah turun ke sungai, sama sekali tidak merasakan lagi dinginnya air sungai itu.
Jauh lewat tengah malam Glagah Putih baru dapat tidur. Namun rasa-rasanya malam menjadi demikian panjangnya sehingga ketika Glagah Putih terbangun, ternyata fajar baru mulai membayang.
Pagi itu Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera menyiapkan dirinya. Mereka tidak mengenakan pakaian sebagaimana dipakai ketika mereka mencari Kanthi. Tetapi mereka mengenakan pakaian yang lebih pantas. Tetapi sebagaimana telah dikatakannya, Rara Wulan tetap bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, dibawah pakaiannya yang nampak, ia telah mengenakan pakaian khususnya.
Glagah Putih mengetahui bahwa Rara Wulan benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih juga sependapat, sebaiknya mereka bersiap-siap. Karena orang yang ada di rumah Ki Suracala itu adalah orang yang tidak lagi menghiraukan tatanan hidup bebrayan.
Tetapi keduanya tidak berangkat terlalu pagi. Bahkan Agung Sedayu telah lebih dahulu berangkat ke baraknya. Sebelum berangkat Agung Sedayu berpesan bahwa ia akan pulang lebih awal dari biasanya.
"Katakan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa kami akan datang sore hari agar saat kami pulang tidak kemalaman di jalan." pesan Agung Sedayu.
Baru kemudian, ketika sinar matahari mulai terasa gatal dikulit, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah berangkat menuju ke Kademangan Kleringan di seberang pebukitan.
Betapa-pun Rara Wulan merasa perlu bersiap menghadapi segala kemungkinan, namun ia merasa tidak pantas untuk membawa pedang. Tetapi Rara Wulan telah meminjam selendang khusus milik Sekar Mirah. Selendang yang pada kedua ujungnya terdapat beberapa bandul timah kecil-kecil yang tidak dapat segera dilihat. Selendang itu bukan senjata khusus Sekar Mirah, karena Sekar Mirah lebih banyak mempergunakan tongkatnya jika diperlukan. Namun selendang itu telah dipergunakan oleh Rara Wulan dalam latihan-latihan, karena Sekar Mirah memberikan latihan kepadanya untuk mempergunakan segala macam senjata, termasuk tongkat, sulur-sulur pepohonan, sepotong bambu, tampar dan juga selendang.
Melihat selendang itu Glagah Putih sempat tersenyum. Sementara Rara Wulan bertanya, "Kenapa kakang tersenyum?"
"Aku jarang melihat kau mempergunakan selendang," jawab Glagah Putih, "nampaknya kali ini kau benar-benar berpakaian lengkap."
"Aku juga pasti, bahwa kau kenakan ikat pinggangmu pemberian Ki Patih Mandaraka," berkata Rara Wulan. Lalu katanya pula, "Karena itu, kau tidak memerlukan pedang."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih juga tersenyum.
Sebenarnya bahwa Glagah Putih memang memakai ikat pinggang pemberian Ki Patih itu. Seperti juga Rara Wulan, maka tidak pantas baginya untuk membawa pedang, seakan-akan ia pergi ke Kleringan untuk menantang perkelahian. Namun seperti Rara Wulan juga ia-pun merasa perlu bersiap-siap untuk mendukung kemampuannya tanpa melepaskan ilmu-ilmu puncaknya yang akan sangat menarik perhatian jika dipergunakannya. Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Beberapa saat mereka berjalan, maka mereka-pun telah sampai ke kaki pebukitan. Dengan berpakaian pantas, maka Rara Wulan justru tidak dapat berjalan secepat ketika ia berpakaian pakaian kesehariannya.
Namun kaki-kakinya yang terlatih, masih juga dapat merayap tanpa kesulitan yang berarti.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, mereka-pun telah berada di Kademangan Kleringan. Karena mereka sudah mengenal arah perjalanan mereka, maka mereka dengan cepat telah sampai ke jalan yang langsung menuju ke padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Disamping tiga tempat mereka berhenti sehari sebelumnya mereka melihat penjual dawet cendol sudah berada ditempat itu pula. Tetapi mereka justru berusaha untuk tidak dikenali.
Penjual dawet itu memang tidak tertarik sama sekali ketika Glagah Putih dan Rara Wulan lewat jalan itu memang merupakan jalan yang terhitung ramai, sehingga ada bermacam-macam ragam orang lewat. Penjual dawet yang sibuk melayani pembeli itu memang tidak pernah mempergunakan waktu khusus untuk melihat orang lewat
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan, maka langkah mereka menjadi lamban. Rara Wulan yang berkeringat itu berterus-terang, "Aku menjadi berdebar-debar."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Aku juga. Tetapi kita harus yakin, bahwa tugas kita tidak seberat tugas Ki Jayaraga, Kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru suami isteri sore nanti."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sikap Glagah Putih memang dapat mengurangi ketegangannya.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai diregol rumah Ki Suracala. Kemarin mereka melihat seorang perempuan keluar dari regol itu bersama seorang laki-laki. Tetapi laki-laki itu segera kembali masuk, sementara perempuan muda itu telah mencari Kanthi.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih telah mengetuk pintu regol yang tertutup meski-pun di siang hari.
Ternyata ketukan pintu regol itu tidak ada jawaban. Karena itu, maka Glagah Putih-pun telah mendorong pintu itu sehingga menjadi sedikit terbuka.
Sekali lagi Glagah Putih mengetuk. Agak keras.
Ketika dari sela-sela pintu yang terbuka sedikit itu Glagah Putih melihat seseorang yang sedang menjemur padi di halaman samping di depan seketheng, maka Glagah Putih mengetuk pintu itu semakin keras.
Ternyata orang itu mendengar ketukan pintu itu. Dengan tergesa-gesa orang itu berjalan menuju ke regol halaman.
Demikian ia membuka pintu, maka dahinya-pun telah berkerut. Ia merasa belum pernah melihat kedua orang yang berdiri di muka pintu regol halaman itu.
Karena itu, maka orang itu-pun segera bertanya, "Siapakah kalain berdua?"
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Pertanyaan itu memang menunjukkan, betapa orang-orang yang ada dirumah itu dibebani oleh kecurigaan yang tinggi terhadap orang lain, sehingga yang ditanyakan mula-mula adalah tentang mereka berdua. Orang itu sama sekali tidak mempersilahkannya masuk lebih dahulu atau pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Namun Glagah Putihlah segera menjawab, "Kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk bertemu dengan Ki Suracala. Apakah Ki Suracala ada di rumah?"
"Untuk apa kalian mencari Ki Suracala?" bertanya orang itu pula.
"Kami membawa pesan penting untuk Ki Suracala," jawab Glagah Putih.
"Pesan apa?" desak orang itu.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "tolong, sampaikan kepada Ki Suracala, bahwa kami berdua ingin bertemu untuk menyampaikan pesan penting."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Tunggulah. Aku akan menyampaikannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian berdiri saja di halaman rumah itu untuk menunggu. Wajah Rara Wulan mulai menjadi buram. Bahkan ia-pun berdesah, "Kenapa kami diperlakukan seperti ini" Apakah kita dianggap orang-orang yang berbahaya atau barangkali sepasang pengemis yang akan minta-minta."
"Sudahlah Rara," desis Glagah Putih, "kita harus tahu, bahwa di rumah ini nampaknya memang terjadi sedikit kekalutan. Kita harus tahu bahwa penghuni rumah ini selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap orang lain yang terutama belum dikenalnya."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Kemudian ia-pun bergumam, "Aku ingin menjadi seseorang yang penuh pengertian seperti kakang dan kakang Agung Sedayu."
"Bukan begitu Rara. Tetapi bukankah kita memang harus menunggu seperti yang diminta oleh orang itu," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia nampak gelisah. Sementara itu pintu regol sudah tertutup pula.
Sambil menunggu, Rara Wulan sempat memperhatikan pepohonan di halaman rumah itu. Buah jambu air yang bergayutan kemerahan di dahan dan bahkan diujung-ujung rantingnya. Bahkan diluar sadarnya Rara Wulan telah melangkah mendekati pohon jambu air yang buahnya tidak terhitung itu. Di halaman yang nampaknya telah disapu bersih itu, bertebaran jambu yang rontok dari tangkainya.
Nampaknya tidak seorang-pun berminat untuk memetik buahnya yang banyak itu.
Rara Wulan terkejut ketika ia mendengar suara dari pendapa rumah itu, "He, anak muda. Siapa yang kau cari?"
Rara Wulan berpaling. Ia-pun segera melangkah mendekati Glagah Putih. Dengan ragu-ragu keduanya-pun kemudian mendekati tangga pendapa. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan kekar berdiri di bibir pendapa sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan dengan tajamnya.
Sambil mengangguk hormat Glagah Putih berkata, "Kami datang untuk menemui Ki Suracala."
"Siapakah kalian?" bertanya orang itu pula.
"Kami berdua adalah utusan Ki Argayaja," jawab Glagah Putih.
"Ki Argajaya. Jadi Ki Argajaya telah mengutus anak-anak untuk mengadakan pembicaraan yang penting?" bertanya orang itu.
"Kami akan menyampaikan satu pesan kepada Ki Suracala," berkata Glagah Putih kemudian.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun di wajahnya nampak gejolak perasaannya.
Untuk beberapa saat orang itu berdiri mematung. Namun kemudian ia-pun berkata dengan nada berat, "Ki Argajaya memang sombong. Ia merasa persoalan yang sedang dihadapi oleh Ki Suracala cukup dibicarakan dengan anak-anak. Tetapi baiklah. Karena kalian anya merupakan utusan, maka biarlah Ki Suracala menerima kalian untuk mendengar pesan Ki Argajaya. Naiklah."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian telah naik pula dan duduk diatas tikar pandan yang telah terbentang di pringgitan.
Ketika orang itu masuk ke ruang dalam, maka Rara Wulan berdesis, "Suasananya memang menegangkan. Seharusnya kakang Agung Sedayu melihatnya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Beberapa saat kemudian, maka dari ruang dalam, orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah keluar lagi bersama seorang laki-laki separo baya dengan sikap yang jauh berbeda dengan sikap orang yang bertubuh tinggi besar itu. Ia mengangguk kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedang di belakangnya seorang yang sudah lebih tua lagi ikut pula menemui Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi berdebar-debar. Tetapi menilik ciri-cirinya, maka orang yang kedua itulah yang bernama Ki Suracala.
Ternyata dugaan mereka benar. Orang itulah, yang kemudian bertanya, "Angger berdua. Siapakah angger berdua ini" Apakah benar angger berdua membawa pesan dari Ki Argajaya?"
"Maaf paman. Apakah kami berhadapan dengan Ki Suracala?"
"Ya. Akulah Suracala itu."
"Terima kasih, bahwa paman sudah bersedia menerima kedatangan kami berdua."
Namun dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi kekar itu tiba-tiba saja telah membentak, "Kau belum menjawab, siapakah kau berdua?"
"Kami adalah utusan paman Argajaya," jawab Glagah Putih.
"Namamu. Siapa namamu dan siapa nama perempuan ini, he?"
"Namaku Glagah Putih dan ini adikku, Rara Wulan."
"Nama yang bagus," desis Ki Suracala. Lalu ia-pun bertanya pula, "Jadi kalian datang sebagai utusan Ki Argajaya?"
"Benar Ki Suracala," jawab Glagah Putih, "kami telah diutus oleh paman Argajaya untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Suracala."
"Katakan ngger. Apakah pesan Ki Argajaya itu," berkata Ki Suracala.
"Ki Suracala," berkata Glagah Putih yang menganggap bahwa pertemuan itu ternyata bukan satu pertemuan yang baik, "biarlah kami langsung menyampaikan pesan itu. Nanti sore, akan datang utusan paman Argajaya yang akan memberikan keterangan tentang kakang Prastawa."
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Jadi, Ki Argajaya akan mengirimkan utusan lagi?"
"Benar, Ki Suracala. Ki Argajaya berharap agar Ki Suracala sore nanti ada di rumah serta bersedia menerima utusan paman Argajaya itu," jawab Glagah Putih.
Ki Suracala mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah ngger. Nanti sore aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu kedatangan utusan resmi Ki Argajaya di rumah sampai mereka datang."
Namun sebelum Glagah Putih menyahut, orang yang bertubuh tinggi kekar itulah yang memotong lebih dahulu, "Jadi apa maksud Ki Argajaya sebenarnya" Apakah ia sengaja mempermainkan kami" Jika nanti sore ia akan mengirimkan utusan kemari, buat apa kalian datang pagi ini?"
"Kami datang untuk memberitahukan bahwa nanti sore utusan resmi Ki Argajaya akan datang," jawab Glagah Putih, "jika kami tidak datang lebih dahulu, maka mungkin sekali sore nanti Ki Suracala telah mempunyai rencana atau janji yang lain, sehingga kedatangan utusan resmi Ki Argajaya tidak dapat bertemu dengan Ki Suracala."
"Kenapa mesti harus dengan cara yang berbelit-belit seperti itu. Kau berdua tentu tahu, apa yang akan dikatakan oleh utusan Ki Argajaya berniat menyelenggarakan keramaian perkawinan anaknya dengan anak perempuan Ki Suracala. Itu saja yang kami butuhkan. Kami tidak memerlukan apakah hal itu dikatakan oleh utusan resmi atau bukan," berkata orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun sebelum anak muda itu menjawab, Ki Suracala telah mendahuluinya, "Anak muda ini tentu tidak akan dapat mengatakan apa-apa. Ia hanya diutus untuk memberitahukan, bahwa sore nanti, akan datang utusan yang memang dibekali dengan pembicaraan tentang Kanthi."
"Tetapi anak ini tentu tahu, kakang. Ia tentu mendengar pembicaraan tentang hal itu di rumah Ki Argajaya," berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
"Aku akan menunggu sampai sore nanti," berkata Ki Suracala.
Orang yang sudah lebih tua, yang sejak semula hanya berdiam diri saja itu-pun kemudian berkata, "Nah, kita lihat sekarang, betapa liciknya Ki Argajaya. Ia sengaja mengulur-ulur waktu, sementara itu, ia dapat berbuat sesuatu untuk memaksakan kehendaknya tanpa menghiraukan kesulitan orang lain yang ditimbulkan karena tingkah lakunya itu."
"Ki Argajaya tidak mengulur waktu," Ki Suracalalah yang menjawab, "bukankah kita memberikan waktu tiga hari" Hari ini baru hari kedua sejak kita memberikan batasan waktu itu. Ia masih mempunyai satu hari tersisa."
Orang yang lebih tua itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Aku tidak senang dengan permainan semacam ini."
Buku 290 "SENANG atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan, apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya."
"Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya" Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?" geram orang bertubuh tinggi kekar itu.
"Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan, bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan."
"Itulah yang sangat licik," berkata orang yang lebih tua itu, "ia ingin berlindung dibelakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali dileher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya."
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Bagaimana-pun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi."
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, "Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan kakang itu."
Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, "Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?"
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, "Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali."
"Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu," sahut Ki Suracala.
Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu-pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, "Pergilah. Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawab dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa ceritera panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, "Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?"
"Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti."
"Terima kasih, Ki Suracala," sahut Glagah Putih yang kemudian berkata selanjutnya, "Jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada paman Argajaya."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya.
Ternyata laki-laki yang berwajah garang itu masih mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka ia-pun telah menceriterakannya kepada laki-laki yang masih terhitung muda itu.
"Memang mencurigakan," berkata laki-laki muda itu, "tetapi perempuan itu cantik sekali. Menurut penghitunganku lebih cantik dari kanthi."
Orang yang bertubuh pendek itu-pun berkata, "Kau selalu mengatakan perempuan yang kau lihatnya lebih cantik dari perempuan yang sebelumnya pernah kau kenal. Kau juga mengatakan bahwa Kanthi lebih cantik dari isterimu ketika itu."
"Aku koyak mulutmu," geram laki-laki muda itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi ia pantas dicurigai jika kemarin ia sudah lewat didepan regol halaman ini. Apalagi dengan pakaian keseharian. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" bertanya orang yang berwajah garang.
"Kita harus mengetahui, apa maksud kedatangannya kemarin." berkata laki-laki muda itu, "kita akan menemui mereka di bulak pategalan."
Kedua orang yang lain tidak menjawab. Demikian laki-laki muda itu bergerak, keduanya-pun ikut pula bergerak.
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Mereka menelusuri jalan yang kemarin mereka lalui. Tetapi mereka tidak sempat sampai kesimpang tiga, tempat mereka menunggu Kanthi sambil membeli dawet cendol.
Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka mereka telah berjalan di tepi sebuah bulak yang tidak terlalu luas. Sebuah jalan simpang berbelok ke kiri. Jalan itu agaknya juga menuju ke sungai lewat pategalan yang agak luas yang sedang ditanami ketela pohon yang tumbuh disela-sela pohon buah-buahan.
Glagah Putih dan Rara Wulan mulai tertarik melihat tiga orang berdiri dimulut lorong. Nampaknya mereka memang sedang menunggu. Bahkan Glagah Putih-pun kemudian berdesis, "Kau kenal salah seorang dari mereka?"
"Ya," jawab Rara Wulan, "orang yang kemarin berada diregol halaman ketika perempuan yang mencari Kanthi keluar dari halaman rumah Ki Suracala."
"Berhati-hatilah," berkata Glagah Putih, "nampaknya mereka bukan orang yang ramah."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Untung kita tidak mengikuti jalan pikiran kakang Agung Sedayu."
"Tetapi kakang Agung Sedayu dapat mengerti bahwa kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab, karena mereka menjadi semakin dekat dengan ketiga orang itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka lewat didepan mulut lorong itu, laki-laki muda, salah seorang dari ketiga orang itu berkata dengan nada keras, "Berbeloklah. Jangan macam-macam, agar kami tidak menyakiti kalian."
"Berbelok kemana?" Rara Wulanlah yang bertanya, "kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Aku tidak peduli, kalian akan pergi ke mana. Tetapi berbeloklah. Kita akan berbicara di pategalan."
"Kami harus segera pulang, Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian.
"Aku tidak mau mendengar jawab kalian. Aku perintahkan berbelok. Lakukan, atau kami akan melakukan kekerasan."
Glagah Putih yang sudah berdiri disisi Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ketiga orang itu bersungguh-sungguh ingin memaksa mereka membelok mengikuti lorong itu.
Glagah Pulih sempat memperhatikan jalan yang dilaluinya. Beberapa orang lewat memperhatikan mereka. Agaknya mereka mengira bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu bertemu dengan kawan-kawannya sehingga keduanya berhenti sejenak untuk berbincang-bincang.
"Cepat," geram orang yang masih terhitung muda itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun ternyata Rara Wulanlah yang menjawab, "Baiklah. Kami akan berbelok. Tetapi kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami minta apa yang ingin kalian katakan, cepat katakan."
"Berbeloklah. Berbelok masuk kedalam lorong. Jangan berbicara saja disitu." Orang itu nampak tidak sabar lagi.
Rara Wulan dan Glagah Putih memang tidak berbicara lagi. Keduanya-pun kemudian berjalan memasuki lorong kecil menuju ke pategalan.
Semakin dalam mereka memasuki lorong kecil itu, terasa bahwa lingkungannya menjadi semakin sepi. Lorong itu menjadi semakin semp"t dihimpit oleh pagar pategalan.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka tahu bahwa ketiga orang itu tentu bermaksud tidak baik atas diri mereka berdua.
Sebenarnyalah, ketika mereka menjadi semakin jauh dari jalan yang cukup ramai itu, orang yang masih terhitung muda itu dengan serta merta lelah menangkap lengan Rara Wulan dan menariknya lewat pintu pagar masuk kepategalan yang sedang ditanami ketela pohon disela-sela pohon buah-buahan itu.
"Jangan ribut," geram orang itu.
Rara Wulan terkejut. Ia memang tersentak kedalam pategalan dan segera menyeruak diantara batang-batang ketela pohon yang berdaun rimbun.
Telapi Raia Wulan itu berusaha mengibaskan tangannya. Selangkah ia mundur sambil berkata lantang, "Apa artinya ini?"
Orang yang masih terhitung muda itu memandangnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang kawannya, "Kendalikan anak muda itu. Aku akan menjinakkan gadis ini."
Wajah Rara Wulan menjadi merah. Namun orang itu berkata, "Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan disini berdua."
"Kami datang untuk menyampaikan pesan paman Argajaya bahkan sore nanti paman akan mengirimkan utusannya untuk menemui Ki Suracala," jawab Rara Wulan lantang.
"Bohong," sahut orang itu, "jika demikian, kenapa kemarin kau juga dalang kemari?"
Tetapi ternyata Rara Wulan cukup tangkas untuk menjawab, "Kami belum pernah melihat rumah Ki Suracala. Karena itu, kami harus mencari dan menemukannya lebih dahulu. Baru kemudian kami datng untuk menemuinya."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, "Aku tidak percaya. Jika demikian, kenapa kemarin kau memakai pakaian yang berbeda sama sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang?"
"Bukankah kemarin kami hanya sekedar mencari untuk mengetahui letak rumah Ki Suracala" Nah, sekarang kami akan datang menemuinya. Bukankah kami harus berpakaian lebih sopan."
"Kau tidak dapat membohongi aku. Kalian berdua tentu mempunyai maksud tertentu. Nah, sebelum kau mengatakannya, maka kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan tempat ini," berkata orang itu.
"Aku tidak dapat mengatakan yang lain," jawab Rara Wulan.
Sementara itu Glagah Putih-pun berkata, "Ia berkata sebenarnya."
"Diam kau," bentak orang itu, "aku tidak bertanya kepadamu. Tetapi aku bertanya kepada gadis ini."
Glagah Putih hanya menarik nafas panjang, sementara itu dua orang yang lain bergeser mendekatinya dari kedua sisi.
Orang yang masih muda itu-pun kemudian berkata, "Marilah. Kita berbicara digubug itu."
"Tidak," sahut Rara Wulan.
"Kau tidak dapat menolak," berkata orang itu.
"Tidak ada lagi yang akan dibicarakan," jawab Rara Wulan.
"Masih banyak yang dapat kita bicarakan. Mungkin persoalan yang lain yang tidak menegangkan," berkata orang itu.
"Tetapi siapakah sebenarnya kau" Apakah kau berkepentingan dengan persoalan yang sedang dibicarakan antara keluarga paman Argajaya dan Ki Suracala."
"Tentu. Aku keluarga dekat paman Suracala," jawab orang itu.
Wajah Rara Wulan berkerut. Orang itu menyebut paman pada Ki Suracala. Karena itu tiba-tiba saja Rara Wulan teringat kepada anak sepupu Ki Suracala.
Bahkan hampir diluar sadarnya Rara Wulan bertanya, "Kau saudara misan Kanthi" Anak saudara sepupu Ki Suracala?"
Wajah orang itu menjadi merah justru karena Rara Wulan menyerbu nama Kanthi. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, "Ya. Aku saudara misan Kanthi. Karena itu, aku berkepentingan dengan persoalan yang terjadi di rumah paman Suracala."
Wajah Kara Wulan menegang. Demikian pula Glagah Putih. Ternyata mereka berhadapan dengan orang yang licik tetapi buas seperti seekor serigala.
Pertemuan yang tidak terduga itu membuat jantung Rara Wulan bergejolak, ia mulai membayangkan nasib Kanthi yang tidak menentu. Sebagai seorang gadis maka Rara Wulan dapat membayangkan derita yang disandang oleh Kanthi, sementaara Kanthi tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkannya.
Selagi Rara Wulan merenung, maka orang itu telah memegang pergelangan tangan Rara Wulan sambil berkata, "Marilah, kita berbicara di gubug itu. Kita akan dapat berbincang tanpa ketegangan serta tidak akan terganggu oleh siapa-pun juga."
Ternyata Rara Wulan tidak menolak. Ketika orang itu menarik tangannya, Rara Wulan mengikuti saja tanpa melawan.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tahu maksud Rara Wulan. Dan itulah yang dicemaskan oleh Agung Sedayu, justru Rara Wulan tidak berusaha menghindarinya.
Tetapi Glagah Putih sendiri bahkan sependapat dengan Rara Wulan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Bahkan ia-pun telah berjalan pula mengikuti Rara Wulan yang tangannya masih saja ditarik oleh orang itu.
Sambil berjalan Rara Wulan sempat berkata, "Siapa namamu, Ki Sanak."
"O," orang itu tergagap, "namaku Wiradadi. Kenapa?"
"Tidak apa-apa," jawab Rara Wulan, "aku hanya ingin tahu."
Wiradadi tidak berbicara lagi. Ia berjalan semakin cepat sambil menarik tangan Rara Wulan. Kesannya memang sangat tergesa-gesa, sehingga Rara Wulan harus berlari-lari kecil.
Beberapa puluh langkah dihadapan mereka memang terdapat sebuah gubug yang tidak terlalu kecil. Dibawah sebatang pohon belimbing lingir yang besar dan berbuah lebat. Didepan gubug itu terdapat tanah yang luang seakan-akan merupakan halaman bagi gubug itu.
"Marilah. Kita akan berbicara didalam," berkata Wiradadi.
Rara Wulan tidak menjawab. Ia berjalan saja dibelakang Wiradadi sementara orang itu masih memegang pergelangan tangannya.
Dihalaman yang sempit itu Wiradadi berhenti sejenak. Sambil berpaling ia berkata kepada kedua orang kawannya yang berjalan disebelah-menyebelah Glagah Putih, "Biarlah anak itu menungu aku diluar. Aku akan berbicara dengan gadis ini tanpa diganggu oleh siapa-pun juga."
Kedua orang itu dengan serta-merta telah memegangi lengan Glagah Putih sebelah-menyebelah pula. Orang yang berwajah garang itu berkata, "Berhenti. Kau tunggu disini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memang berhenti. Dipandanginya saja Rara Wulan yang masih saja dibimbing oleh Wiradadi menuju kepintu gubug kecil itu.
Namun ketika mereka sampai di halaman kecil di depan gubug itu, maka Rara Wulan tiba-tiba berhenti sambil mengibaskan tangannya. Demikian tiba-tiba sehingga pegangan Wiradadi-pun telah terlepas.
"Kenapa?" berkata Wiradadi.
"Kita dapat berbicara disini," berkata Rara Wulan.
"Tidak," jawab Wiradadi, "kita berbicara didalam."
"Sama saja," berkata Rara Wulan kemudian, "disini-pun kita dapat berbicara dengan tenang tanpa ketegangan. Nah, katakan, apa yang akan kau katakan."
"Tidak. Aku akan mengatakannya setelah kita duduk didalam. Didalam gubug itu ada sebuah amben bambu yang diatasnya digelari pandan yang bersih," berkata Wiradadi.
"Tidak banyak yang akan kita bicarakan. Bicaralah disini," sahut Rara Wulan.
"Tidak, anak manis. Marilah kita berbicara didalam," berkata Wiradadi sambil menggapai pergelangan tangan Rara Wulan.
Tetapi Rara Wulan melangkah surut sambil berkata, "Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan berbicara disini."
"Kau jangan keras kepala. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau hanya dapat melakukan perintahku."
"Aku dapat berteriak," berkata Rara Wulan.
Tetapi Wiradadi tertawa. Katanya, "Kita ada ditengah-tengah pategalan. Seandainya kau berteriak sekeras guntur di langit, maka tidak akan ada yang mendengarnya."
"Jika demikian, tempat ini baik sekali bagiku. Jika kau nanti berteriak-teriak minta tolong, maka tidak akan ada orang yang mendengar dan datang menolongmu," berkata Rara Wulan.
Dahi orang itu berkerut. Namun kemudian ia bertanya, "Apa yang kau katakan?"
"Tempat ini merupakan tempat yang baik untuk menghukummu. Seandainya kau berteriak-teriak memanggil orang-orangmu, maka mereka tentu tidak akan mendengar," jawab Rara Wulan.
Orang itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Rara Wulan berkata, "Wiradadi. Akulah yang akan menghukummu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasku di gubug itu. Karena itu, maka kau harus dihukum. Jaga tingkah lakumu yang tidak tahu diri."
Glagah Putih yang sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Rara Wulan justru mendahului, "Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan paman Argajaya. Itu saja. Karena itu, maka kami tidak mempunyai kepentingan yang lain disini."
Wiradadi memang menjadi bingung. Justru karena itu, untuk sesaat ia terdiam.
Sementara Wiradadi kebingungan, maka Glagah Putih-pun berkata, "Karena itu, kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa disini. Dengan demikian, maka biarkan kami pergi."
Ki Wiradadi memang seperti orang mimpi. Namun ia masih juga berkata, "Kalian tidak boleh pergi. Aku memerlukan gadis ini," lalu katanya kepada kedua pengikutnya, "jaga anak itu."
Tetapi Wiradadi itu menjadi kebingungan lagi ketika Rara Wulan berkata sambil bertolak pinggang dan menunjuk ujung ibu jari kakinya Wiradadi. Berjongkok dihadapanku. Menyembah dan memohon ampun atas perlakuan gilamu terhadapku."
Wiradadi justru terdiam. Dipandanginya wajah Rara Wulan. Gadis itu memang cantik. Tetapi Wiradadi jadi berpikir lain. Apakah mungkin gadis itu syarafnya agak terganggu"
Sementara itu Rara Wulan berkata lagi. Lebih keras, "Cepat. Berjongkok dihadapanku dan mohon ampun. Jika pikiranku berubah, aku tidak akan memberimu ampun lagi."
Wiradadi tidak mau membiarkan dirinya kebingungan. Karena itu, maka ia-pun menggeram, "Gila. Jadi kau gadis yang begitu mudah kehilangan akal dan bahkan terganggu kesadaranmu."
"Aku tidak peduli. Lakukan perintahku sebelum kau menyesal," berkata Rara Wulan.
"Persetan," geram Wiradadi. Namun kemudian ia-pun berkata, "Aku tidak peduli bahwa kau gila. Tetapi kau gadis cantik. Mari, ikut aku. Masuk kedalam gubug itu."
Namun Wiradadi terkejut. Ternyata Rara Wulan sudah menampar mulutnya.
Wiradadi mengumpat kasar. Namun ia menjadi semakin bingung ketika ia melihat Rara Wulan yang marah itu menyingsingkan kainnya sambil bergeser mendekat.
"Agaknya gadis ini benar-benar gadis gila," berkata Wiradadi didalam hatinya.
Namun Wiradadi itu kemudian menyadari, jenis gadis yang dihadapinya ketika kemudian ia melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dipakai dibawah pakaian luarnya.
Wiradadi melangkah surut. Sementara Rara Wulan berkata, "Aku memang ingin mendapat kesempatan seperti ini Wiradadi. Aku datang sekedar melakukan tugas kami, diutus oleh paman Argajaya. Namun ternyata bahwa kau bersikap seperti seekor serigala. Tingkah lakumu yang liar itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi atas Kanthi."
"Sudahlah," berkata Glagah Putih yang kedua lengannya masih dipegang oleh kedua orang pengikut Wiradadi, "kita tidak perlu memperpanjang persoalan ini," lalu katanya kepada Wiradadi, "Ki Sanak. Biarkan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita anggap bahwa tidak ada persoalan diantara kita."
Tetapi Rara Wulan menyahut, "Ia sudah menghina aku. Aku tidak mau begitu saja berlalu tanpa memberikan hukuman kepadanya sesuai dengan kesalahannya."
"Gila. Kalian memang gila," geram Wiradadi, "Kau kira kami ini, apa he" Dengar, kalian akan menyesal karena kesombongan kalian. Apa-pun yang akan terjadi kemudian atas kalian, maka itu adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri."
"Aku juga akan berkata seperti itu," jawab Rara Wulan, "Apa-pun yang akan terjadi atasmu, itu adalah akibat dari kegilaanmu sendiri."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesabaran Wiradadi benar-benar sudah sampai kebatas. Perempuan cantik itu sudah keterlaluan. Bahkan ia sudah menampar pipinya pula.
Karena itu, maka ia tidak mau lebih banyak berbicara lagi. Ia akan menundukkan gadis itu dan memperlakukannya menurut keinginannya, maka ia-pun segera bersiap untuk menangkap gadis itu. Kepada kedua |pengikutnya ia berkata, "Jaga anak muda itu. Aku akan menyelesaikan perempuan liar ini."
Kata-kata Wiradadi itu hampir tidak selesai diucapkan. Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar mulut Wiradadi.
Wiradadi tidak menunggu lagi. Ia-pun segera meloncat menyerang Rara Wulan.
Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan mengelak meski-pun agak lama ia berbaring dipembaringan dan baru satu dua kali ia berlatih di sanggar setelah ia sembuh dari lukanya, namun ternyata bahwa Rara Wulan memang memiliki kelebihan dari Wiradadi.
Meski-pun Wiradadi agaknya juga memiliki kemampuan dalam ulah kanuragan, tetapi ketika Rara Wulan, yang marah itu menyerang seperti badai yang berhembus dari arah lautan, maka Wiradadi itu-pun segera terdesak.
Rara Wulan tidak memberinya kesempatan. Ketika Wiradadi meloncat mundur menghindari serangan tangannya, maka dengan cepat Rara Wulan meloncat. Ia tidak menyerang dengan tangannya lagi. Tetapi kakinya-pun terjulur lurus menghantam dada.
Wiradadi terlempar beberapa langkah surut, sehingga punggungnya menghantam dinding gubug itu, sehingga dinding itu terkoyak.
Ketika Wiradadi berusaha untuk bangkit, maka Rara Wulan telah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, "Nah, sekarang lakukan periintahku. Berjongkok dihadapanku. Menyembah dan mohon maaf kepadaku."
Harga diri Wiradadi benar-benar tersinggung. Namun ketika ia akan meneriakkan perintah kepada kedua orang pengikutnya, ia melihat keduanya telah terbaring diam disebelah menyebelah anak muda itu. Pingsan tanpa diketahui sebabnya.
Dengan sorot mata yang aneh Wiradadi memandang Glagah Putih yang berdiri diam. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya meski-pun dua orang yang memegangi lengannya itu pingsan.
Namun Wiradadi tidak mau dihinakan oleh Rara Wulan. Karena itu. maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Demikian ia berdiri tegak maka tangannya telah menarik parangnya.
"Anak-anak iblis. Kau apakan kedua orang kawanku itu?" geram Wiradadi.
Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Entahlah. Tiba-tiba saja mereka melepaskan lenganku dan jatuh pingsan."
"Ternyata kau memiliki ilmu iblis. Tetapi kau akan menyesal karena kalian berdua akan mati di pategalan ini."
"Jangan banyak bicara," Rara Wulan, "berjongkoklah dan mohon ampun kepadaku."
Wiradadi tidak menjawab lagi. Tetapi parangnya-pun segera berputar. Katanya, "Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan memenggal kepala kalian dan menguburkan kalian disini."
Tetapi jika aku tidak pulang siang ini, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan mengetahui bahwa aku menemui bencana di Kleringan. Maka Ki Gede tidak akan mempunyai pilihan lain. Kau, orang tuamu, anak istrimu, pamanmu dan semua keluargamu akan dihancurkan oleh Ki Gede dengan pasukannya. Prastawa akan datang tidak sebagai seorang yang akan diadili disini. Tetapi ia akan membawa pasukan segelar-sepapan. Kleringan akan menjadi Karang Abang, Kemana-pun kau akan lari, maka kau akan diburu. Bahkan sampai keliang semut sekalipun."
Wajah Wiradadi menjadi tegang. Namun Rara Wulan tidak ingin Wiradadi ketakutan serta melarikan diri. Ia ingin mencoba untuk berkelahi dan mengalahkannya. Menghukumnya dan lebih dari itu mempermalukannya. Dendam Kanthi seakan-akan telah menjalar dihatinya pula.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, "Cepat, berjongkok."
"Jangan berteriak," Glagah Putih memperingatkan.
"Tidak apa-apa. Serigala licik ini mengatakan bahwa seandainya aku berteriak sekeras guntur sekalipun, tidak akan ada orang yang mendengarnya," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rara Wulan memang dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu. sulit baginya untuk mencegah perkelahian yang memang diinginkan oleh Rara Wulan.
Wiradadi yang berkali-kali merasa tersinggung harga dirinya dan bahkan dengan sengaja dihinakan oleh Rara Wulan, juga tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka ia-pun mulai menyerang dengan garangnya. Parangnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan.
Beberapa kali Rara Wulan memang berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ia telah melepas selendang yang dipinjamnya dari Sekar Merah. Wiradadi semula tidak menghiraukan selendang itu, namun ketika selendang itu berputar semakin cepat dan terdengar suaranya berdesing disertai getar angin yang menerpa wajahnya, maka hatinya mulai tergetar.
Tetapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Ujung selendang itu tiba-tiba telah mulai menyentuh kulitnya.
Wiradadi meloncat surut. Kulitnya terasa pedih oleh sentuhan ujung selendang itu. Bahkan kemudian ternyata bahwa kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman.
Baru kemudian Wiradadi sadar, bahwa selendang itu memang sejenis senjata yang sangat berbahaya.
Demikianlah, maka Wiradadi yang marah itu harus menjadi semakin berhati-hati. Sekali dua kali, ujung selendang itu lelah menyengat kulitnya. Semakin lama terasa semakin sering.
Wiradadi mulai menjadi semakin cemas. Sentuhan itu terasa semakin sakit dikulitnya. Bahkan kemudian sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering dirasakannya.
Tetapi Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Betapa-pun ia berusaha menyerang dengan ujung parangnya, tetapi usahanya selalu sia-sia saja. Rara Wulan itu baginya bagaikan bayangan yang tidak dapat disentuh sama sekali.
Ketika ujung selendang Rara Wulan semakin sering menyakitinya, maka Wiradadi menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ujung selendang yang digantungi bandul timah-timah kecil itu menyambar keningnya sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang.
Wiradadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Keningnya bukan saja menjadi sakit. Tetapi rasa-rasanya tulang pelipisnya menjadi retak
Tetapi sebelum Wiradadi sempat memperbaiki kedudukannya, maka bandul timah diujung selendang itu telah menghantam punggungnya.
Wiradadilah yang kemudian berteriak keras-keras karena kemarahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi sebelum mulutnya terkatub rapat, maka ujung selendang Rara Wulan justru telah menghantam mulutnya.
Terasa bibirnya menjadi pecah. Sebuah giginya tanggal dan darah-pun mulai mengalir dari mulutnya.
Jantung Wiradadi terasa bagaikan membara. Namun ia memang tidak dapat berbuat banyak. Parangnya seakan-akan tidak berarti sama sekali. Selendang itu memang lebih panjang dari parang ditangannya, sehingga sebelum parangnya menggapai sasaran, ujung selendang itu telah mengenai tubuhnya lagi.
Bahkan semakin lama semakin sering.
Dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri rasa-rasanya sudah menjalar diseluruh tubuhnya. Pada kulitnya terdapat noda-noda merah biru. Bahkan beberapa gores luka dan berdarah sebagaimana darah mengalir dari mulutnya.
Akhirnya Ki Wiradadi itu menjadi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa gadis itu tidak akan dapat dilawannya. Jika ia bertahan untuk bertempur terus, maka ia akan dapat menjadi pingsan seperti kedua orang pengikutnya itu.
Karena itu, maka Ki Wiradadi itu-pun dengan sisa tenaganya telah berusaha untuk melarikan diri.
Namun demikian ia berusaha meloncat berlari meninggalkan arena, maka ujung selendang Rara Wulan telah terjulur menggapai kakinya, sehingga Wiradadi itu telah jatuh terjerembab.
Wiradadi tidak sempat lagi melarikan diri. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia melihat sepasang kaki yang renggang didepan matanya. Kaki Rara Wulan.
"Bangkit dan berjongkok," perintah Rara Wulan.
Wiradadi menggeram. Namun ujung selendang Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam punggungnya.
Wiradadi mengaduh kesakitan. Namun yang didengarnya adalah suara Rara Wulan, "Berjongkok dan mohon ampun kepadaku. Tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan Kanthi. Tetapi justru karena kau telah menghina aku. Dengan demikian kau mengerti, bahkan kau-pun telah memperlakukan gadis-gadis lain sebagaimana akan kau lakukan atas aku."
"Tidak. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya," jawab Wiradadi.
"Tetapi sesudahnya?" bertanya Rara Wulan.
"Aku berjanji untuk tidak melakukannya," jawab Wiradadi.
Namun Rara Wulan dengan cepat menyahut, "Omong kosong. Orang-orang seperti kau ini tidak akan dapat dipercaya."
"Sungguh, aku bersumpah," berkata Wiradadi.
Tetapi Rara Wulan membentak, "Aku tidak memerlukan sumpahmu. Cepat berjongkok dan minta ampun kepadaku."
Tetapi Wiradadi yang masih mengingat harga dirinya tidak segera melakukannya.
Namun Rara Wulan-pun menjadi seperti orang yang telah kehilangan nalarnya. Sekali lagi selendangnya terayun dan menghantam punggung Wiradadi, sehingga terdengar Wiradadi itu mengaduh kesakitan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar Rara Wulan meninggalkan Wiradadi yang kesakitan itu.
Tetapi Rara Wulan justru menjawab lantang, "Tidak. Ia harus berjongkok dan mohon ampun. Jika tidak, maka ia akan mati disini. Dua orang yang pingsan itu akan mati juga, sehingga tidak akan ada saksi, apa yang telah aku lakukan disini."
Glagah Putih memang menjadi gelisah. Persoalannya tentu akan berkembang semakin buruk, ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sore nanti jika Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri datang ke rumah Ki Suracala.
Sementara itu, Rara Wulan masih juga mengayunkan selendangnya kepunggung Wiradadi, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau masih juga tidak mau berjongkok dan mohon ampun kepadaku, maka aku akan melecutmu dengan selendangku ini sampai kau mati. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Jika perlu, maka kakang Prastawa aku minta untuk mengerahkan pasukan menghancurkan semua isi Kademangan Kleringan. Apalagi jika Kademangan ini berusaha melindungi keluargamu.
Seperti yang dikatakan, maka Rara Wulan benar-benar mulai menghitung. Namun sampai kehitungan ketiga, maka Wiradadi-pun telah memaksa dirinya untuk berjongkok didepan Rara Wulan sambil berkata, "Baik. Baik. Aku akan minta maaf kepadamu."
"Mohon ampun. Bukan minta maaf. Cepat lakukan sebelum aku mencambukmu lagi."
"Aku mohon ampun," suara Wiradadi hampir tidak terdengar.
"Aku tidak mendengar suaramu. Ulangi," bentak Rara Wulan.
Wiradadi terpaksa mengulanginya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis yang garang dan lebih dari itu, ilmunya ternyata lebih tinggi dari ilmunya.
Karena itu, maka Wiradadi-pun terpaksa mengulangi dengan kata-kata yang lebih keras, "Aku mohon ampun."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun telah bergeser dan berkata, "Marilah, kita tinggalkan tikus-tikus celurut itu."
Glagah Putih mengangguk. Namun ia berkata, "Benahi pakaianmu."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun melangkah masuk kedalam gubug, meski-pun ia tetap berhati-hati. Ketika ia memasuki pintu gubug itu ia berhenti sejenak. Berpaling kepada Wiradadi sambil berkata, "Kau juga akan ikut masuk?"
Wiradadi tidak berani menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat didalam hati.
Rara Wulan-pun kemudian membenahi pakaiannya didalam gubug itu. Hanya beberapa saat. Ia-pun segera keluar lagi. Dikenakannya selendangnya seperti semula, sebagaimana seorang perempuan mengenakan selendang.
Kemudian tanpa mengatakan sepatah katapun, Rara Wulan melangkah meninggalkan pategalan itu diikuti oleh Glagah Putih.
Ketika mereka keluar dan mulut lorong, maka Glagah Putih berdesis, "Kau bersikap terlalu keras Rara."
"Kau dapat berkata begitu karena kau tidak mengalami penghinaan yang mendasar. Kau tahu apa yang akan dilakukan atas diriku" Tidak ada ampun bagi siapa yang demikian. Untung aku masih mampu mengendalikan diri dan tidak membunuhnya."
"Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?" bertanya Glagah Putih.
"Tetapi itu sudah terjadi di kepala orang itu. Itu satu kenyataan bagi angan-angannya. Dan itu sudah sepantasnya ia menerima hukuman yang seharusnya jauh lebih berat dari yang aku lakukan," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti."
"Aku akan ikut. Jika aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku, aku akan melakukannya," jawab Rara Wulan.
"Kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru tentu tidak akan mengijinkan kau ikut sore nanti."
"Kenapa" Bukankah yang terjadi tadi harus dipertanggungjawabkan" Bukankah aku akan dapat menjadi saksi atas sifat dan watak orang itu?" sahut Rara Wulan.
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa perasaan Rara Wulan sudah menjadi gelap, sehingga sulit baginya untuk dapat berbicara dengan tenang. Namun dalam pada itu, Glagah Putih-pun berkata, "Kita akan mengambil jalan lain. Bukan jalan yang paling baik yang menuju ke Tanah Perdikan."
"Kenapa?" bertanya Rara Wulan.
"Wiradadi dapat menjadi gila. Ia akan dapat mengerahkan banyak orang untuk memburu kita dan mencegat kita sebelum kita memasuki Tanah Perdikan. Karena itu, kita memilih jalan yang lain, sehingga jika ada sekelompok orang yang menyusul kila, mereka tidak akan segera menemukan kita, sehingga kita mencapai batas Tanah Perdikanl Di Tanah Perdikan, kita akan dapat berbuat lebih banyak."
"Apa salahnya jika sekelompok orang dungu itu menyusul kita?" bertanya Rara Wulan
"Bukankah lebih baik jika kita tidak bertemu dengan mereka yang sudah dapat kita bayangkan akibatnya?" bertanya Glagah Putih dengan kata-kata yang berat menekan.
Rara Wulan tidak menjawab. Namun ketika Glagah Putih mengajaknya berbelok melalui jalan kecil, mereka-pun berbelok.
Meski-pun Glagah Putih belum pernah melalui jalan-jalan sempit di Kademangan Kleringan, namun dengan mengenali arah perjalanannya, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke perbatasan Tanah Perdikan Menoreh di lereng pegunungan.
Untunglah bahwa kawan perjalanannya bukan seorang gadis sebagaimana gadis kebanyakan. Ketika mereka melewat jalan berbatu padas dan bahkan kemudian mulai miring di kaki pegunungan, maka Rara Wulan tidak lagi menghiraukan pakaiannya. Ia telah menyingsingkan lagi kain panjangnya, sehingga pakaian khususnyalah yang nampak dikenakannya.
Namun ternyata bahwa Wiradadi tidak mengerahkan orang-orangnya untuk mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Tubuhnya terasa nyeri sedangkan tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Dua orang pengikutnya yang pingsan itu-pun mulai menjadi sadar kembali. Perlahan-lahan mereka mulai menemukan ingatannya, apa yang telah terjadi atas diri mereka. Namun mereka tetap tidak mengetahui, apa yang diperbuat oleh anak muda itu. Ketika mereka siap untuk memaksa anak muda itu agar tidak berbuat sesuatu, tiba-tiba saja mata mereka menjadi berkunang-kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap.
Demikian kedua orang itu melihat Wiradadi yang kesakitan, maka mereka menjadi gugup. Orang yang bertubuh pendek itu bertanya dengan kata-kata yang terbata-bata, "Apa yang terjadi?"
Mata Wiradadi menjadi merah oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Sambil menyeringai menahan sakit Wiradadi yang masih merasa sakit untuk berdiri tegak itu berkata, "Ternyata kalian memang tikus celurut seperti yang dikatakan perempuan liar itu. Apa yang kalian lakukan, sehingga tiba-tiba saja kalian berdua pingsan?"
"Anak itu mempunyai ilmu iblis," desis orang yang berwajah garang.
"Omong kosong. Kalian mencoba untuk menutupi kedunguan kalian, "bentak Wiradadi.
"Kami benar-benar tidak mempunyai kesempatan," berkata orang yang bertubuh pendek. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Tetapi apa yang terjadi dengan Ki Wiradadi?"
"Tutup mulutmu," bentak Wiradadi. Ia mencoba untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia menggerakkan kakinya, maka terasa nyeri yang sangat telah menyengat punggungnya.
Meski-pun demikian, Wiradadi memaksa dirinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak segera kembali. Untuk mengurangi kesan buruk atas dirinya, maka Wiradadi telah turun ke sungai untuk mandi. Ia harus menghapus titik-titik darah yang meleleh dari mulutnya, serta balur-balur luka di tubuhnya. Jika ia mandi, maka tubuhnya akan nampak segar kembali, meski-pun mula-mula tentu terasa perih.
Namun Wiradadi tetap saja merasa ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atau tidak.
Tetapi rasa-rasanya dendam telah membuat jantungnya membara.
Ketika Wiradadi kemudian pulang ke rumah Suracala, maka keadaannya memang nampak lebih baik. Bekas-bekas perkelahiannya tidak lagi nampak jelas. Dengan demikian maka orang-orang yang bertemu di jalan pulang, tidak mengetahui bahwa Wiradadi baru saja mengalami kesulitan menghadapi seorang gadis yang garang.
Namun Wiradadi ingin memberitahukan apa yang telah terjadi atas dirinya kepada ayahnya. Kepada pamannya dan kepada orang-orang lain yang ada di rumahnya, meski-pun harus dibumbuinya dengan kebohongan. Jika sore nanti benar-benar utusan Ki Argajaya datang, maka mereka harus mengalami perlakuan yang sama sebagaimana gadis itu memerlakukan dirinya. Sebenarnyalah, ketika Wiradadi itu sampai di rumah, ia-pun langsung bertemu dengan ayahnya, dengan Ki Suracala dan dengan seorang pamannya yang lain. Ki Suradipa.
"Apa yang terjadi atas dirimu?" bertanya Ki Suratapa, ayahnya. Ia adalah sepupu Ki Suracala, yang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Umurnya memang lebih tua dari Ki Suracala, meski-pun tidak terpaut terlalu banyak. Sedangkan seorang lagi sepupu Ki Suracala adalah orang yang bertubuh tinggi kekar yang sikapnya justru sangat keras terhadap keluarga Ki Argajaya.
Wiradadi memang ragu-ragu menceriterakan, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu terutama kepada Ki Suracala sendiri.
Karena itu, ketika ia berjalan pulang, dua orang pengikutnya telah dibekalinya dengan ceritera dusta, sebagaimana diceriterakannya kepada ayah dan paman-pamannya.
"Kami tahu bahwa kedua orang itu kemarin sudah mengamati rumah ini," berkata Wiradadi, "karena itu, maka aku berniat untuk bertanya kepada mereka, untuk apa mereka kemarin datang kemari dan kemudian hari ini mereka datang pula. Ketika kami menemui mereka diluar padukuhan, ternyata mereka membawa beberapa orang kawan."
"Jadi mereka tidak hanya berdua?" bertanya Ki Suratapa.
"Ya. Lebih dari lima orang. Mereka membawa aku ke pategalan. Dan mereka telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang."
"Dan kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?" bertanya Suratapa.
"Aku, maksudmu kami bertiga, telah melawan. Tetapi jumlah mereka lebih banyak, sehingga kami berada dalam kesulitan," jawab Wiradadi.
"Kenapa salah seorang dari kalian tidak memberitahukan kepada kami?" bertanya Suradipa.
"Ternyata bahwa kami tidak perlu melakukannya, paman," jawab Wiradadi, "mereka telah melarikan diri."
"Dan kalian tidak mengejarnya dan menangkap seorang dari mereka?" bertanya Suradipa.
"Mereka telah berlari memencar. Sementara itu, kami memang tidak ingin membuat padukuhan ini dan apalagi kademangan ini menjadi gaduh," jawab Wiradadi.
"Tetapi bukankah ada diantara mereka seorang perempuan?" bertanya Ki Suratapa.
"Ketika terjadi perkelahian, maka perempuan dan anak muda yang datang kemari itu sudah pergi. Mereka meninggalkan kawan-kawannya sehingga sulit bagi kami untuk melacak jejaknya."
Suratapa itu-pun menggeram. Dengan nada garang ia berkata, "iblis yang tidak tahu diri. Tentu siasat Argajaya yang licik."
"Siapa yang licik diantara kita dan keluarga Ki Argajaya," bertanya Ki Suracala.
"Kau juga gila," geram Suratapa, "kita sudah sepakat untuk memilih jalan terbaik. Kenapa kau masih ragu-ragu?"
"Apakah benar kita sudah sepakat?" bertanya Ki Suracala.
"Jadi kau mau apa" Kau akan membiarkan cucumu lahir tanpa ayah?" bertanya Ki Suratapa.
"Bukankah aku mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik daripada menyangkutkan keluarga Ki Argajaya?"
"Kau masih saja dungu," geram Ki Suratapa, "aku bermaksud baik. Jika Prastawa kawin dengan anakmu, maka kau akan dapat berharap ikut berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh. Anak Argapati itu tentu akan lebih senang mengikuti suaminya di Sangkal Putung dan akan mengabaikan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, hanya tinggal Prastawa yang ada diantara keluarga Ki Argapati."
"Tetapi Ki Argajaya bukan sejenis lembu perahan yang akan menurut saja diperas tanpa berbuat sesuatu" Ia akan dapat berbuat banyak sebagai adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Menoreh tidak akan mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Jika demikian maka mereka akan berhadap dengan Kademangan Kleringan. Kau kira Tanah Perdikan berani menghadapi Kademangan Kleringan" Aku yakin, bahwa aku akan dapat mempengaruhi Ki Demang Klering jika Argajaya berniat menggerakkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh untuk kepentingan pribadinya. Aku-pun mengira, bahwa Ki Argapati tidak akan memberikan kesempatan Ki Argajaya berbuat demikian. Nama Argajaya itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh sudah tersisih sejak ia memberontak melawan kakaknya. Namun ternyata bahwa anaknya masih dianggap seorang pemimpin yang baik di Tanah Perdikan."
"Ternyata kau tidak dapat membaca keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau kira Ki Demang Kleringan berani melawan Tanah Perdikan Menoreh" Kecuali jika Ki Demang ingin melebur Kademangan ini menjadi debu," berkata Ki Suracala.
"Kami akan membatasi persoalan ini sebagai persoalan keluarga. Kami akan menyinggung harga diri keluarga Ki Argajaya agar tidak mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Nah, kita akan mencobanya sore nanti." desis Suradipa.
Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Apa yang akan kalian lakukan sore nanti?"
"Kita akan melihat, apakah keterangan mereka memuaskan atau tidak. Jika mereka masih berbelit-belit dan tidak mau dengan tangan terbuka menerima tawaran kita agar Prastawa segera menikah dengan Kanthi, maka kita akan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang Argajaya memperlakukan Wiradadi," berkata Ki Suratapa.
"Itu tidak adil," berkata Ki Suracala.
"Apa yang tidak adil" Bukankah itu justru adil sekali?" Suradipa justru bertanya.
"Terus terang, aku tidak yakin akan kebenaran ceritera Wiradadi," berkata Ki Suracala.
"Kau selalu berprasangka buruk," geram Ki Suratapa, "aku peringatkan, bahwa kau tidak mempunyai kesempatan apa-pun untuk menentukan sikap. Kau berada dibawah kekuasaan kami. Kau harus mengakui kenyataan buruk tentang anakmu. Ia telah menjerat Wiradadi yang sudah beristeri. Seharusnya ia tahu, bahwa tingkah lakunya sangat tercela bagi seorang gadis. Lebih dari itu, maka anakmu harus mengetahui bahwa tidak boleh terjadi perkawinan diantara saudara pada keturunan ketiga. Sedangkan keturunan kedua justru tidak ada keberatannya. Perkawinan antara saudara sepupu tidak menjadi pantangan bagi kita." Ki Suratapa itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada berat, "Suracala. Kau harus mempertimbangkan satu kemungkinan bahwa sebenarnya Kanthi memang sudah merasa mulai mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Baru kemudian karena Prastawa ingkar, maka ia telah menjebak Wiradadi, kakangnya sendiri. Namun sayang, justru pada keturunan ketiga."
"Tidak. Bohong. Itu fitnah. Anakku tidak pernah berhubungan dengan Prastawa lebih dari hubungan persahabatan sebagaimana aku dengan adi Prastawa," jawab Ki Suracala.
"Apakah kau tidak pernah mendengar pengakuan kanthi, bahwa ia memang mencintai Prastawa?" bertanya Suradipa.
"Seandainya demikian, mereka tentu tidak akan melakukan larangan itu," jawab Suracala
Suratapa dan Suradipa tertawa. Dengan nada tinggi Suratapa berkata, "Kau memang keras kepala. Karena itu, kami akan menentukan kehendak kami tanpa minta persetujuanmu. Ingat, kau tidak akan dapat melawan kehendak kami. karena kami bermaksud baik terhadap Kanthi. Kami memang merasa kasihan kepadanya."
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak mempunyai kekuatan apa-pun untuk mendukung sikapnya. Tetapi ia yakin bahwa Prastawa memang tidak bersalah.
Namun Suracala memang menjadi cemas, bahwa sore nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Utusan Ki Argajaya akan dapat mengalami kesulitan. Bahkan mungkin bencana.
"Wiradadi memang iblis," geram Ki Suracala didalam hatinya.
Namun Ki Suracala-pun memperhitungkan bahwa Ki Argajaya tidak akan dapat berbuat banyak. Seandainya ia mengalami kesulitan, maka kakaknya, Ki Argapati belum tentu akan mau ikut campur, meski-pun Prastawa terhitung salah seorang diantara para pemimpin pengawal di Tanah Perdikan. Ki Argajaya yang sudah bertahun-tahun tersisih, agaknya tidak akan dapat menggerakkan hati Ki Gede. Bahkan mungkin Prastawa justru akan dapat disisihkan karena timah yang dilemparkan oleh keluarga Wiradadi yang menyangkut anak gadisnya, Kanthi.
Ki Suracala memang menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras, melontarkan gejolak didalam hatinya. Ingin rasa-rasanya ia meneriakkan kebenaran yang terjadi atas anak gadisnya yang ternyata memang sedang mengandung itu. Tetapi suaranya tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya.
Yang dapat dilakukan memang hanya menunggu dengan berdebar-debar, apa yang akan terjadi sore nanti jika utusan Ki Argajaya benar-benar datang ke rumahnya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Suratapa telah mempersiapkan sekelompok orang dapat membalas sakit hati anaknya. Tetapi Ki Suratapa sudah berpesan, agar mereka tidak bertindak lebih dahulu sebelum ada perintahnya. Ia harus mendengar lebih dahulu, hasil pembicaraan yang akan dilakukan.
"Jika hasilnya baik, sehingga perkawinan itu akan segera dapat dilaksanakan, maka kita akan melupakan kesalahan mereka atas Wiradadi. Tetapi jika mereka masih menunda-nunda mengalami nasib buruk," berkata Ki Suratapa.
Orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban, namun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar menjawab, "Kami sudah cukup sabar menunggu. Jangan kecewakan cantrik-cantrikku."
"Aku mengerti," jawab Ki Suratapa, "tetapi ingat, bahwa di Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu mereka, karena sudah agak lama aku meninggalkan Kleringan. Jika sekarang aku kembali itu adalah karena ada persoalan yang menyangkut anakku disini."
"Kemana kau pergi selama ini" Bukankah kau hanya bergeser sedikit ke Barat dan tinggal di Pringsurat."
"Ya," jawab Suratapa, "meski-pun tidak terlalu jauh, tetapi perhatianku sama sekali tidak pernah lagi tertuju pada Kademangan ini, apalagi Tanah Perdikan Menoreh."
"Jangan cemas. Padepokanku tidak akan mengecewakanmu. Terserah kepadamu, percaya atau tidak."
Ki Suratapa mengangguk-angguk. Tetapi ia-pun kemudian berkata, "Bagaimana-pun juga, menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kita harus berhati-hati. Seandainya mata kita buta, tetapi kuping kita tentu mendengar. Sebaliknya seandainya kuping kita tuli, kita-pun dapat melihat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang berilmu tinggi."
"Apakah kau memperkirakan bahwa Ki Argajaya akan memanfaatkan kedudukan kakaknya?" bertanya orang itu.
"Aku kira tidak. Bagaimana-pun juga ia masih mempunyai harga diri. Kecuali itu, Ki Gede tidak akan mudah melupakan pengkhianatan adiknya itu, sehingga mungkin justru Prastawalah yang akan disingkirkan," jawab Suratapa.
"Segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi satu hal yang sudah pernah aku katakan dan masih tetap berlaku. Aku tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan mengerahkan pasukan pengawalnya. Padepokanku bahkan bergabung dengan Kademangan Kleringan sekali-pun tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi jika hanya sekelompok orang, apalagi keluarga dekat Ki Argajaya atau orang-orang upahannya, aku akan menghancurkan mereka."
"Tetapi jika benar kata-kata Wiradadi, agaknya Argajaya sudah benar-benar menjadi gila," berkata Suratapa.
"Jika hanya kelompok-kelompok kecil seperti itu, maka persoalannya akan mudah diatasi. Bahkan jika perlu, kita ambil saja Argajaya itu sendiri untuk memaksa Prastawa memenuhi keinginanmu serta keluarga Suracala."
"Kakang Suracala juga hampir menjadi gila," geram Suratapa.
"Suracala bukan apa-apa," jawab orang itu.
"Nah, hati-hatilah. Bersiaplah. Aku tidak tahu berapa jumlah utusan Ki Argajaya. Tetapi sudah tentu tidak sejumlah pengawal di Tanah Perdikan Menoreh," berkata Suratapa.
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau nampak sangat cemas."
"Kita harus membuat perhitungan yang cermat. Argajaya tidak akan berani berbuat gila dengan mengirimkan orang kemari dan menyerang Wiradadi jika ia tidak merasa memiliki kekuatan."
"Kenapa ia menyerang Wiradadi" Apakah ia mengetahui persoalan yang menyangkut Wiradadi?" bertanya kawan Suratapa itu.
"Seharusnya tidak. Tetapi mungkin justru Wiradadilah yang dijumpainya, sehingga secara kebetulan ia menjadi sasaran kegilaan Argajaya atau bahkan Prastawa."
"Apakah mungkin mereka termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh" Justru Pengawal terpilih yang dikirim oleh Prastawa untuk menakut-nakuti kalian karena kalian telah menakut-nakuti ayahnya. Sementara itu Prastawa merasa pasti bahwa ia tidak bersalah?"
"Nah, bukan aku yang menjadi cemas. Tetapi kau sudah menjadi ragu-ragu pula," berkata Suratapa.
"Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bebanku ringan. Jika persoalannya kemudian melibatkan Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak bertanggung jawab. Aku dapat pergi begitu saja dan membiarkan Kademangan ini digilas oleh kekuatan Tanah Perdikan."
"Setan kau," geram Suratapa.
Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, "Jangan cemas. Jika utusannya sore nanti tidak membuat persoalannya menjadi jernih, maka kami akan melakukan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami telah menyiapkan sepuluh orang berilmu tinggi. Lima orang dari perguruanku sendiri. Sedangkan lima orang dari perguruan lain. Bukan karena aku tidak mempunyai orang cukup, tetapi melibatkan perguruan lain akan mempunyai pengaruh yang baik jika terjadi permusuhan yang panjang dikemudian hari. Setidak-tidaknya ada kawan untuk memanggul beban. Nanti sore aku akan melibatkan tiga perguruan yang besar dari Barat."
Suratapa mengangguk-angguk.
Namun orang itu kemudian berkata, "Tetapi seperti yang kau janjikan. Kami akan mendapat imbalan yang cukup."
Suratapa mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mempunyai berpuluh-puluh ekor lembu dan kerbau. Kau tahu itu. Sementara itu keluarga Wiradadi perlu diselamatkan." Suratapa itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Bukankah kau tahu, siapakah mertua Wiradadi itu?"
"Ya. Tetapi kenapa ia tidak kau libatkan sekarang?" bertanya orang itu.
"Untuk sementara mereka tidak usah mengetahui apa yang terjadi disini. Tetapi jika perlu, maka kami dapat membohonginya sebagaimana kami membohongi Argajaya. Jika. mertua Wiradadi sudah termakan, maka persoalannya akan meluas."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia-pun mengerti, kenapa Suratapa belum melibatkan mertua Wiradadi. Agaknya jika mungkin persoalan antara Wiradadi dan Kanthi akan disembunyikan saja. Namun jika tidak mungkin, maka fitnah atas Prastawa akan diperluas lagi.
Demikianlah, maka semua persiapan dilakukan seandainya pembicaraan Ki Suracala dengan utusan Ki Argajaya itu gagal. Mereka akan memperlakukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tindak kekerasan sebagaimana mereka lakukan atas Wiradadi sesuai dengan laporan Wiradadi itu sendiri.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Mereka telah memberitahukan apa yang terjadi di Kademangan Kleringan itu kepada Ki Jayaraga.
"Nanti sore aku akan ikut," berkata Rara Wulan dengan tegas.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah yang ikut mendengarkan laporan Rara Wulan dan Glagah Putih itu-pun menjadi berdebar-debar. Ternyata persoalannya menjadi semakin rumit.
"Tetapi itu bukan salah kami, mbokayu," berkata Rara Wulan kemudian kepada Sekar Mirah. "Mereka mencegat kami."
Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. Memang bukan salah kalian."
"Karena itu, nanti sore aku harus ikut. Aku akan menjelaskan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa orang yang bernama Wiradadi itu memang serigala."
"Tetapi kita tidak akan dapat mengatakan bahwa kau telah bertemu dengan Kanthi," berkata Sekar Mirah.
"Kenapa" Aku tidak takut. Biarlah hal itu dikatakan. Jika mereka mendendam kami berdua, kami tidak keberatan," jawab Rara Wulan.
"Aku percaya. Tetapi yang juga akan mengalami kesulitan adalah Kanthi itu sendiri. Bukankah ayahnya tidak lagi mampu melindunginya karena tingkah laku saudara sepupunya itu?" sahut Sekar Mirah.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, "mBokayumu benar, Rara. Kau dan angger Glagah Putih dan berangkali kita semuanya akan dapat meninggalkan mereka dan kembali ke Tanah Perdikan ini. Tetapi bagaimana dengan Kanthi" Bagaimana pula dengan Ki Suracala?"
Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, "Memang, kasihan Kanthi."
"Karena itu, kami tidak dapat membawa-bawa nama Kanthi. Tetapi kita sudah mengetahui kebenaran dari persoalan yang kami hadapi. Jelasnya, Prastawa tidak bersalah," berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, "Tentang apakah kau dapat ikut atau tidak, sebaiknya kita bicarakan nanti dengan kakangmu Agung Sedayu dan kakang Swandaru."
"Tetapi bagaimana dengan pendapat mbokayu sendiri" Dan bagaimana dengan Ki Jayaraga?" bertanya Rara Wulan. "Apa sebenarnya keberatannya jika aku ikut" Aku tidak akan mengganggu pembicaraan Ki Jayaraga. Tetapi jika mereka berdusta, aku dapat menjadi saksi."
"Berdusta tentang apa" Tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau tentang Prastawa?" bekerja Sekar Mirah.
Rara Wulan memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tentang semuanya. Tentang semuanya."
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Rara Wulan nampaknya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Wiradadi atasnya, sehingga kemarahannya masih saja melonjak-lonjak.
Sambil mengangguk-angguk Sekar Mirah-pun berkata, "Baiklah. Kita menunggu kakang Agung Sedayu. Kakang sudah mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal agar kita tidak terlalu malam sampai di Kleringan."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya masih nampak gelap. Sementara itu Sekar Mirah berkata, "Sekarang, beristirahatlah Rara. Kau tentu letih."
Rara Wulan mengangguk kecil. Ia-pun kemudian telah pergi ke biliknya. Namun Rara Wulan sama sekali tidak beristirahat, justru memasuki sanggar seorang diri.
Tetapi Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Mereka tahu bahwa Rara Wulan ingin melepaskan gejolak yang menghimpit jantung di dadanya.
Sebenarnyalah Rara Wulan-pun telah melakukan latihan-latihan berat seorang diri. Seakan-akan ia ingin tahu, puncak kemampuannya selama ia berguru kepada Sekar Mirah. Bahkan kemudian, ia-pun telah berlatih dengan selendang yang masih belum dikembalikan kepada Sekar Mirah, karena ia tahu, bahwa Sekar Mirah tidak hanya memiliki selembar.
Seperti yang dikatakan, ternyata Agung Sedayu pulang lebih awal dari biasanya. Ia-pun segera minta agar Glagah Putih pergi menemui Swandaru untuk menatakan, bahwa Agung Sedayu telah berada di rumah.
"Sebentar lagi, kami akan datang. Kita akan segera berangkat ke Kleringan," pesan Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Karena itu, kami minta Swandaru berdua mempersiapkan diri."
Demikian Glagah Pulih berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru, maka Sekar Mirah-pun telah memberitahukan persoalan yang dihadapi Rara Wulan dan Glagah Putih diperjalanan.
"Orang itu memang keterlaluan, "desis Agung Sedayu.
"Sore ini Rara Wulan memaksa untuk ikut," berkata Sekar Mirah pula, "nampaknya kemarahannya masih memanasi jantungnya."
"Dimana ia sekarang," bertanya Agung Sedayu.
"Ia berada di sanggar. Sudah cukup lama," jawab Sekar Mirah.
Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu-pun minta pertimbangan, bagaimana sebaiknya dengan Rara Wulan.
"Seandainya kita melarangnya, mungkin ia akan menyusul meski-pun hanya sendiri," berkata Ki Jayaraga.
"Apakah Glagah Putih tidak dapat mencegahnya?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Agaknya terlalu sulit untuk menahan agar anak tidak pergi," jawab Ki Jayaraga.
Agung Sedayu memang menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Jayaraga, "Apakah lebih baik anak itu kita bawa daripada ia berbuat sesuatu diluar pengetahuan kita?"
Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, "Aku kira memang demikian. Tetapi ia harus berjanji, bahwa ia akan menurut perintah kita. Gadis itu tidak boleh berbuat menurut kehendaknya sendiri."
Namun Sekar Mirah-pun berkata, "Nampaknya pembicaraan akan menjadi keras."
"Aku juga menduga demikian. Bahkan seandainya Rara Wulan tidak terlibat dalam perkelahian sekalipun, persoalannya akan menjadi rumit. Mereka menghendaki kita memberikan jawaban hanya soal waktu. Kapan pernikahan dilaksanakan, akan menikahinya karena ia memang tidak seharusnya bertanggung jawab."
"Memang nampaknya tidak ada pilihan lain. Kita tidak tahu, apakah mereka sudah mempersiapkan sekelompok orang untuk menyambut kedatangan kita dengan caranya," berkata Ki Jayaraga.
"Kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya," berkata Agung Sedayu kemudian.
Agung Sedayu-pun kemudian minta agar Sekar Mirah memanggil Rara Wulan. Jika ia memang akan ikut, sebaiknya ia mandi dan berbenah diri.
"Kita akan segera berangkat. Jika kita terlalu lama, maka Swandaru akan terlalu lama menunggu," berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Sekar Mirah-pun segera memanggil Rara Wulan yang berada didalam sanggar. Ketika Sekar Mirah memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah datang, maka Rara Wulan-pun segera akan berlari.
"Kau mau kemana, Rara?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku akan minta kepada Kakang Agung Sedayu agar diperkenankan untuk ikut pergi ke Klering," jawab Rara Wulan.
"Aku sudah mengatakannya," jawab Sekar Mirah.
"Lalu?" wajah Rara Wulan menadi tegang.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kakangmu tidak berkeberatan."
"Jadi aku boleh ikut?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Kau boleh ikut," jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan-pun segera meloncat memeluk Sekar Mirah dan menciumnya sambil berkata, "Terima kasih. Aku akan berkemas."
"Tetapi ada syaratnya, Rara," berkata Sekar Mirah kemudian.
"Syaratnya apa?" bertanya Rara Wulan dengan dahi berkerut.
"Rara harus menurut segala perintah Ki Jayaraga," jawab sekar Mirah, "karena Ki Jayaraga adalah orang yang diserahi memimpin kita semuanya sebagai utusan Ki Argajaya."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Ya. Aku berjanji."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah-pun telah berpakaian rapi pula. Karena Rara Wulan akan ikut, maka Glagah Putih-pun akan ikut pula.
Kepada anak yang tinggal di rumahnya, Agung Sedayu berpesan agar ia melayani Wacana sebaik-baiknya.
"Bantulah jika diperlukan, keadaannya sudah berangsur baik," berkata Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu minta diri, Wacana yang sudah dapat duduk dan bahkan berjalan selangkah-selangkah itu bertanya, "Apakah kalian akan pergi ke sebuah peralatan?"
"Tidak," jawab Agung Sedayu. " Kami sedang diutus oleh Ki Argajaya untuk membicarakan anaknya, Prastawa."
"Melamar?" bertanya Wacana pula.
"Juga tidak," jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
"Jadi?" desak Wacana yang keheranan.
"Justru membatalkan satu pembicaraan tentang pernikahan Prastawa. Tetapi sejak pertama, pembicaraan tentang pernikahan itu sudah tidak wajar," jawab Agung Sedayu.
Wacana hanya mengangguk-angguk saja. Persoalan yang dibawa oleh Agung Sedayu itu tentu berbelit, sehingga untuk menjelaskannya diperlukan waktu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, seisi rumah itu-pun telah berangkat. Mereka lebih dahulu singgah di rumah Ki Gede. Kemudian bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi, mereka berangkat ke Kademangan Kleringan.
Namun sebelum mereka berangkat, maka Agung Sedayu telah memberikan sedikit cerita tentang peristiwa yang terjadi atas Rara Wulan sehingga mereka-pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, "Pandan Wangi telah bersiap menghadapinya. Karena persoalannya telah jelas. Kita tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Sementara itu, bagi mereka sikap ini berarti kekerasan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi betapa-pun beban itu memberati keberangkatan kita, tetapi kita harus berusaha. Sejauh dapat kita lakukan."
Swandaru justru tertawa. Katanya, "Satu harapan yang sia-sia. Sebaiknya kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Meski-pun demikian tidak ada diantara kita yang menunjukkan sikap seperti itu. Kita semuanya tidak ada yang semata-mata membawa senjata."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Senjata Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak nampak karena berada dibawah baju mereka. Sementara itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan membawa selendang, Sedangkan Pandan Wangi membawa sepasang pisau belati di lambung dibawah bajunya yang longgar.
Pisau belati memang hanya pendek saja, sehingga sama sekali tidak nampak justru karena Pandan Wangi memakai baju yang longgar.
Ada-pun Glagah Putih telah mengenakan ikat pinggang kulitnya yang juga merupakan senjatanya yang diandalkannya.
Hanya Ki Jayaraga sajalah yang memang tidak membawa senjata, tetapi ia memiliki kemampuan untuk mempergunakan ikat kepalanya. Baik sebagai perisai mau-pun sebagai senjata jika diperlukan, meski-pun Ki Jayaraga tidak memiliki ikat kepala khusus sebagaimana Ki Waskita.
Ki Gede yang sudah mendapat penjelasan tentang keadaan yang akan dihadapi oleh sekelompok orang yang pergi ke Kademangan Kleringan itu memang menjadi berdebar-debar. Namun Ki Gede memang tidak menawarkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya menurut Ki Gede memang persoalan pribadi.
"Berhati-hatilah," pesan Ki Gede, "namun bagaimana-pun juga kalian harus berusaha untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mempergunakan kekerasan. Mungkin angger Swandaru benar bahwa harapan itu akan sia-sia. Tetapi segala sesuatunya yang belum terjadi itu tidak lebih dari satu kemungkinan yang masih dipengaruhi oleh keadaan terakhir dari persoalan itu sendiri. Tetapi juga mungkin sekali pengaruh lain."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena yang mengatakannya adalah mertuanya, maka ia tidak mengatakan sesuatu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajaya itu telah berangkat. Prastawa sendiri tidak ikut bersama utusan itu. Namun ketika ia berdiri diregol saat utusan itu berangkat, Prastawa sempat bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah aku harus mempersiapkan sekelompok pengawal terpilih dan memasuki Kademangan Kleringan?"
"Jangan," berkata Agung Sedayu, "jika hal itu kau lakukan, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ki Demang Kleringan akan dapat tersinggung."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika Ki Demang Kleringan tersinggung, ia mau apa" Jika ia melibatkan diri dalam persoalan ini, maka aku akan menggilas Kleringan dengan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh."
"Tidak. Itu tidak perlu. Serahkan segala-galanya kepada kami. Kami akan berusaha membuat penyelesaian terbaik."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimana-pun juga, ia merasa cemas atas keselamatan orang-orang yang telah dipilih menjadi utusan ayahnya untuk pergi ke Kleringan itu.
Namun Prastawa berusaha untuk meyakini bahwa yang pergi ke Kademangan Kleringan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu menurut perhitungannya, Ki Demang Kleringan tentu tidak akan melibatkan dirinya. Bahkan mungkin Ki Demang tidak tahu menahu persoalan yang menyangkut dirinya itu.
Keberangkatan beberapa orang ke Kademangan Kleringan memang menarik perhatian. Orang-orang yang berpapasan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana.
"Kami akan pergi ke Kleringan," jawab Agung Sedayu, "ada persoalan sedikit menyangkut hubungan Kleringan dan Tanah Perdikan setelah orang-orang diperkemahan itu terusir."
"Apakah orang-orang Kleringan akan membuat persoalan?" bertanya seorang anak muda.
"Tidak. Bukan itu. Tetapi bagaimana kita akan bersama-sama menangani perkemahan yang ditinggalkan oleh para penghuninya, karena sebagian dari perkemahan itu berada di Tanah Perdikan. Tetapi ada pula yang berada di Kademangan Kleringan."
"Kenapa Ki Gede tidak memanggil saja Ki Demang Kleringan, sehingga beberapa orang Tanah Perdikan harus pergi kesana?" bertanya anak muda yang lain.
"Karena selain pembicaraan yang sungguh-sungguh, kami akan melihat keadaannya," jawab Agung Sedayu pula.
Jawaban itu agaknya dapat memberi kepuasan sedikit kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan itu.
Sementara itu. Ki Suratapa benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak di kehendakinya. Kawannya sudah mempersiapkan sepuluh orang berilmu tinggi untuk melakukan tindak kekerasan jika pembicaraan yang akan dilakukan itu gagal.
Dengan kesadaran bahwa di Tanah Perdikan ada orang-orang yang berilmu tinggi, maka sepuluh orang yang dipilih adalah orang-orang yang menurut perhitungan mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Mereka bukan sekelompok orang dari satu perguruan. Tetapi kawan Ki Suratapa itu telah membawa orang-orang terbaik dari tiga perguruan yang lain.
"Seandainya yang datang sebagai utusan Ki Argajaya itu berjumlah duapuluh orang sekalipun, maka kami tentu akan dapat mengatasinya," berkata kawan Ki Suratapa itu.
"Aku dan Suradipa tentu tidak hanya akan tinggal diam," berkata Ki Suratapa. "Hanya Suracala sajalah yang tidak dapat kami harapkan. Wiradadi dan kedua orang kawannya, yang tadi siang sudah harus menghalau sekelompok orang dari Tanah Perdikan tentu masih mendendam."
"Kalian tidak perlu turut campur," berkata kawan Ki Suradipa itu, namun katanya selanjutnya, "kecuali jika kalian sendiri menginginkan untuk membalas dendam dengan tangan kalian sendiri."
"Ya," jawab Suratapa, "Wiradadi tentu ingin menangkap orang yang siang tadi telah memperlakukannya dengan kasar atau salah seorang dari mereka, jika nanti ikut datang kemari."
Kawan Ki Suratapa itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan berada diluar padukuhan. Jika kami harus bertindak, maka kami akan lebih bebas melakukannya. Karena itu maka apa-pun yang harus kami lakukan, kau harus mengirimkan orangmu menemui kami di bulak diluar padukuhan."
"Sekali lagi aku ingatkan meski-pun kalian sudah mengerti, bahwa di Tanah Perdikan banyak terdapat orang berilmu tinggi."
"Ya. Tetapi kami sudah siap. Meski-pun demikian, kami tetap ragu-ragu bahwa Ki Gede akan membantu adiknya yang telah mengkhianatinya. Meski-pun demikian, aku-pun ingin mengingatkanmu, bahwa kami tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan langsung melibatkan pasukan pengawalnya."
"Menurut perhitunganku, hal itu tidak mungkin dilakukan," jawab Ki Suratapa.
"Baiklah. Ada-pun yang akan terjadi kemudian adalah tanggung jawabmu Suratapa. Tetapi jangan cemaskan tentang orang-orang yang bakal datang sore ini."
Dengan demikian, maka sepuluh orang yang sudah dipersiapkan itu telah mengambil tempat diluar padukuhan. Mereka berada dipategalan. Namun dua orang diantara mereka duduk di pinggir jalan untuk melihat siapa saja yang bakal datang ke rumah Ki Suracala.
Ketika matahari menjadi semakin rendah disisi Barat, maka seorang yang ditugaskan oleh Ki Suratapa untuk melihat-lihat keadaan dengan bergegas lewat jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu. Ketika kedua orang yang menunggu itu melihatnya, maka orang itu-pun dihentikannya.
"Apakah mereka sudah datang?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Ya, aku sudah melihat mereka," jawab orang itu.
"Berapa orang?"
"Belum jelas. Tetapi kurang dari sepuluh. Separo dari mereka adalah perempuan," jawab orang itu.
"Perempuan?" "Ya. Mereka nampaknya utusan resmi Ki Argajaya. Menilik pakaiannya mereka seperti orang yang sedang pergi melamar. Resmi sekali."
"Licik. Ki Argajaya bersembunyi di belakang punggung perempuan. Tadi pagi ia mengutus anak-anak. Bahkan seorang diantaranya juga perempuan. Agaknya ia tidak mempunyai cara yang lebih jantan untuk membuat penyelesaian masalahnya."
"Sudahlah," berkata orang itu, "aku akan menyampaikan kabar ini kepada Ki Suratapa."
Kedua orang itu tidak mencegahnya, sehingga orang itu-pun segera berlari-lari kecil menujuke padukuhan.
Kedua orang itu-pun segera memberitahukan kedatangan orang-orang Tanah Perdikan itu kepada kawan-kawannya. Mereka memang menjadi sangat kecewa, bahkan ada yang mengumpat-umpat ketika mereka tahu bahwa yang datang separo diantaranya adalah perempuan, sehingga dengan demikian, maka kemungkinan terjadinya kekerasan menjadi kecil.
"Aku sudah kehilangan banyak waktu. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa disini, lalu waktu yang hilang itu benar-benar tidak berarti lagi."
"Kita masih menunggu. Jika perlu, maka perempuan-perempuan itu justru akan dapat menjadi bahan taruhan jika Ki Argajaya menjadi keras kepala."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang berkumis lebat berkata dengan suaranya yang mengguntur, "Sudah aku katakan, bahwa aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku. Jika mereka membawa perempuan kepadaku, itu salah mereka."
"Apa-pun yang dapat kita lakukan, tetapi kita masih tetap terikat pada tugas yang sudah kita bicarakan dengan Suratapa. Karena itu, maka kita harus menunggu, apa saja yang dapat kita lakukan atas orang-orang yang datang ke padukuhan itu."
"Jika aku berbuat atas tanggung jawabku sendiri, maka tidak seorang-pun yang mampu mencegah aku," jawab orang berkumis lebat itu.
"Kau dapat melakukannya setelah tugas pokok kita selesai. Ingat, yang menentukan adalah Suratapa."
Orang itu tidak menjawab. Sementara orang yang berkepala botak berkata, "Kita lihat, siapa saja yang lewat."
"Jika kita semuanya turun ke jalan, maka mereka tentu akan membuat perhitungan tentang kehadiran kita."
"Tetapi mereka sudah ada disini. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka akan kembali, kita justru akan menggiring mereka, agar mereka berjalan terus."
Ternyata yang lain-pun sependapat. Karena itu, maka sepuluh orang itu-pun telah pergi ke pinggir jalan. Namun mereka masih juga berusaha untuk tidak semata-mata berkumpul sepuluh orang. Tetapi mereka berusaha untuk menebar.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, maka lewat sebuah iring-iringan kecil. Mereka adalah Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Swandaru, Glagah Putih, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan.
Ketika mereka melewati beberapa orang yang duduk di pinggir jalan meski-pun menebar, panggraita mereka sudah tersentuh. Nampaknya orang-orang yang duduk di pinggir jalan itu bukan para petani yang memiliki kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan itu.
Tetapi sepanjang orang-orang itu tidak berbuat sesuatu, maka Ki Jayaraga dan para pengiringnya sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dengan tenangnya orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu melintasi mereka, orang-orang yang menebar di pinggir jalan sambil memperhatikan sekelompok orang yang lewat itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Diantara utusan Ki Argajaya itu terdapat tiga orang perempuan. Seorang diantaranya masih terlalu muda. Sedangkan yang dua orang, adalah perempuan yang mulai menjadi masak.
Yang sangat menarik perhatian, ketiganya adalah perempuan-perempuan yang cantik. Justru mereka menggunakan pakaian yang terpilih. Sehingga dengan demikian maka utusan Ki Argajaya itu nampaknya benar-benar utusan yang resmi.
Demikian iring-iringan itu lewat, maka sepuluh orang yang menebar itu telah berkumpul kembali. Orang yang berkumis lebat itu berkata, "Aku dapat dibuat gila karenanya."
"Ki Argajaya memang cerdik sekali. Ia mengirim utusan resmi yang separo diantaranya adalah perempuan. Dengan demikian, maka sulit bagi Ki Suratapa untuk bertindak dengan kekerasan jika ia masih mempunyai harga diri," berkata kawan Ki Suratapa.
"Kenapa?" bertanya orang yang berkumis lebat, "bukankah itu salah Argajaya sendiri" Bagiku, kita tidak akan peduli siapa-pun yang datang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan Ki Suracala, maka mereka akan dibereskan disini."
"Tentu tidak semudah itu, meski-pun Ki Suratapa sudah berjanji bahwa akibat yang timbul dari rencananya ini bukan tanggungjawab kita, tetapi apakah kita akan melakukan kekerasan terhadap sekelompok utusan resmi yang separonya terdiri dari perempuan."
"Aku berpikir sebaliknya," berkata seorang yang bertubuh agak pendek tetapi sedikit gemuk, "perempuan itu akan dapat menjadi taruhan. Jika Argajaya tidak memenuhi tuntutan Suratapa, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pulang ke rumah mereka."
"Jika demikian, maka harga diri Tanah Perdikan Menorehlah yang tersinggung. Keluarga Suratapa akan dapat digilas sampai lumat. Bahkan keluarganya yang berada di Pringsurat sekalipun."
"Bukankah jika terjadi demikian bukan tanggungjawab kita" -bertanya orang yang berkumis lebat.
"Itu menyalahi pembicaraan kita dengan Ki Suratapa. Kecuali jika Ki Suratapa menghendaki demikian."
Orang berkumis lebat itu tidak menjawab. Tetapi agaknya ia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Tiga orang perempuan yang ada didalam iring-iringan itu adalah perempuan-perempuan yang sangat cantik. Bahkan seandainya ia diberi hak untuk memilih, maka ia akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu sudah mendekati padukuhan. Ketika mereka kemudian memasuki regol, maka dari belakang dinding halaman disudut padukuhan, Wiradadi dan kedua orang pengikutnya ternyata telah mengintip mereka dari balik rumpun bambu.
Jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda dan gadis yang pagi tadi datang ke padukuhan itu, telah ikut pula bersama sekelompok utusan Ki Argajaya.
"Setan anak itu," geram Wiradadi.
"Bukankah satu kebetulan," berkata orang yang berwajah garang itu, "kita akan dapat membalas dendam."
"Apakah kau masih berani bertempur melawan mereka?" bertanya Wiradadi.
"Ada sepuluh orang dibulak. Kita bergabung dengan mereka." jawab orang yang berwajah garang itu.
Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Perempuan yang telah mempermalukan aku itu harus menyesali perbuatannya. Ia tidak akan terlepas dari tanganku."
Sementara itu ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu telah mendekati rumah Ki Suracala. Glagah Putih yang sudah mengetahui letak rumah itu berjalan didepan.
Dalam pada itu. Ki Suracala sudah mendapat pemberitahuan bahwa utusan dari Tanah Perdikan sudah datang. Karena itu, maka ia-pun telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka.
Untuk menghormati tamunya, maka Ki Suracala telah mengenakan pakaian yang pantas. Bagaimana-pun juga, ia tidak ingin dianggap seorang yang tidak mengenal unggah-ungguh.
"Buat apa kau memakai pakaian lengkap seperti itu?" bertanya Suratapa.
"Bukankah utusan Ki Argajaya juga mengenakan pakaian yang baik dan pantas" Bahkan kedua orang anak yang datang pagi tadi-pun berpakaian rapi sesuai dengan tugas mereka."
"Aku tidak peduli," berkata Suradipa.
"Itu terserah kepadamu," jawab Ki Suracala, "tetapi aku peduli atas kedatangan mereka."
"Tetapi ingat Suracala," geram Suratapa, "aku harus tahu diri. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu sekarang ini. Apalagi jika mertua Wiradadi mengetahui apa yang terjadi. Mungkin seluruh keluargamu sudah dibunuhnya karena ia tentu tidak mau nama keluarga anaknya tercemar karena tingkah laku gadis liarmu itu."
"Tidak, itu fitnah," geram Ki Suracala.
"Sekali lagi aku peringatkan. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu. Hidup mati Kanthi berada diujung lidahmu," berkata Ki Suratapa.
Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa keselamatan Kanthi dan bahkan seluruh keluarganya tergantung pada sikapnya. Ki Suracala memang mempercayainya bahkan mertua Wiradadi yang garang akan dapat berbuat apa saja atas Kanthi yang dianggapnya dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga anaknya itu. Saudara sepupunya yang bengis itu, untuk melindungi keselamatan anaknya, akan dapat saja melemparkan fitnah, seakan-akan Kanthi sengaja menggodanya sehingga perbuatan yang tercela itu telah terjadi.
Namun demikian, sebenarnya hati Ki Suracala tidak membenarkan langkah yang diambil oleh sepupunya itu dengan mengorbankan Prastawa, anak Ki Argajaya, justru karena Ki Argajaya sejak lama tersisih dari keluarga Tanah Perdikan Menoreh karena pengkhianatannya yang menelan banyak korban itu.
Namun bagaimana-pun juga Ki Suracala harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Suratapa sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka utusan Ki Argajaya dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai kedepan reggol halaman rumahnya. Seseorang yang diperintahkan oleh Ki Suracala menunggu, segera mempersilahkan mereka masuk.
Ki Suracala sudah mempersiapkan diri untuk menerima Suradipa juga sudah berada di pendapa pula.
Dengan ramah dan dengan unggah-ungguh yang utuh, Ki Suracala menerima utusan Ki Argajaya. Mereka-pun kemudian dipersilakan untuk naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Suratapa dan Ki Suradipa juga ikut menerima tamu-tamu itu.
Ki Suracala-pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan tamunya diperjalanan serta keluarga yang mereka tinggalkan.
Baru kemudian Ki Suracala telah memperkenalkan kedua orang saudara sepupunya itu.
Ki Jayaraga yang ditugaskan untuk memimpin utusan itu-pun telah memperkenalkan diri pula. Disebutnya dirinya sendiri sebagai saudara sepupu Ki Argajaya. Kemudian diperkenalkannya orang-orang yang menyertainya seorang demi seorang.
Ketika Ki Jayaraga menyebut nama Pandan Wangi istri Swandaru sebagai puteri Ki Gede Menoreh, maka Ki Suratapa, Suradipa dan bawahan Ki Suracala sendiri menjadi berdebar-debar. Bagaimana-pun juga anak Ki Gede Menoreh itu tentu datang atas sepengetahuan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atas anak perempuannya sudah tentu Ki Gede tidak akan tinggal diam.
Ki Suratapa sudah mulai merasa, bahwa perhitungannya tidak seluruhnya benar. Ia mengira bahwa Ki Gede dan keluarganya tidak akan mempedulikan nasib Ki Argajaya dan bahkan nasib Prastawa.
Namun ternyata bahwa anak perempuan Ki Gede itu sendiri telah datang ke rumah Ki Suracala.
Kedatangan Pandan Wangi agaknya benar-benar berpengaruh. Bagaimana-pun juga mereka harus memperhitungkan sikap Ki Gede dibelakang utusan yang datang itu.
Tetapi Ki Suratapa masih mempunyai satu jalan. Mengungkit harga diri keluarga Ki Argajaya, sehingga tidak berlindung dibawah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya sangat terbatas pada persoalan pribadi dan harga diri sebuah keluarga.
Beberapa saat Ki Suracala masih belum menyinggung persoalan yang sebenarnya. Ia masih saja berbicara tentang berbagai hal di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Bahkan mereka juga berbicara tentang orang-orang yang ada diperkemahan yang terusir oleh kekuatan dari Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan-pun telah dihidangkan, sehingga pembicaraan-pun terputus untuk beberapa saat.
Baru kemudian, setelah minuman beberapa teguk, maka Ki Suracala-pun telah bertanya, "Ki Sanak. Sebagaimana-pun Ki Sanak katakan tadi, bahwa kedatangan Ki Sanak adalah mengemban tugas dari Ki Argajaya. Nah, barangkali Ki Sanak dapat menguraikan pesan dari Ki Argajaya itu."
Ki Jayaraga yang rambutnya sudah ubanan itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, "Ki Suracala. Kami sudah menerima pesan-pesan Ki Suracala. Jika hari ini kami datang sebagai utusan Ki Argajaya, maka persoalan yang pernah Ki Suracala sampaikan kepada Ki Argajaya itulah yang ingin kami bicarakan sekarang ini."
Sebelum Ki Suracala menjawab, maka Ki Suratapa sudah menyahut, "Lalu, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan itu" Tetapi tidak terlalu lama lagi, karena keadaan Kanthi sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersembunyi lebih lama."
"Maaf, Ki Suratapa," jawab Ki Jayaraga, "bukan maksud kami menunda-nunda persoalan. Tetapi sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Ki Suracala sendiri. Bahkan masih tersisa satu hari lagi."
"Ya. Memang masih ada waktu," sahut Ki Suracala.
Tetapi Ki Suradipa segera memotong, "Tugas Ki Sanak tinggal menyampaikan keputusan Ki Argajaya, kapan ia akan melangsungkan pernikahan Kanthi dengan Prastawa. Bukankah tinggal menyebut hari, pasaran dan tanggal. Kenapa ragu-ragu?"
Ternyata orang berwajah garang itu memang licik. Sementara Ki Jayaraga belum menjawab, Ki Suradipa sudah mendahului, "Tentu saja semakin cepat akan menjadi semakin baik."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun mengangguk pula sambil menjawab, "Ya. Semakin cepat persoalan ini selesai, tentu semakin baik."
Ki Suradipa mengangguk-angguk sambil berkata, "Bagus. Jika demikian, sebut saja, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan anaknya. Nanti setelah persoalan pokok yang kita bicarakan selesai, kita dapat berbicara tentang apa saja. Mungkin tentang pelaksanaannya atau tentang hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan pernikahan itu. Beaya, misalnya."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya yang ditujukan kepada Ki Suracala, "Maaf. Ki Suracala. Sebelumnya, baiklah aku menyampaikan pesan Ki Argajaya lebih dahulu. Bukan tentang hari-hari pernikahan, tetapi tentang kebenaran persoalan itu sendiri."
"Cukup," potong Ki Suratapa, "sudah aku katakan bahwa kami hanya mau mendengar pesan Ki Argajaya tentang saat pernikahan. Yang lain tidak."
"Tentu kita akan sampai kepada persoalan pernikahannya itu sendiri. Tetapi bukankah pernikahan itu bukan satu persoalan yang berdiri sendiri?" berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, "Karena itu. maka jika kita berbicara tentang pernikahan itu, maka kita tentu akan berbicara tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan itu sendiri. Misalnya siapa orangnya, bagaimana sikap keluarganya dan kenapa pernikahan itu harus berlangsung. Tanpa kejelasan tentang hal itu, maka pernikahan itu akan menjadi kabur. Siapa yang akan menikah, apakah orang tuanya sependapat atau apakah kedua orang yang akan menikah itu sudah setuju atau bahkan menolak."
Pendekar Sadis 17 Satria Lonceng Dewa 6 Sri Maharaja Ke Delapan Saat Saat Seram 2
"Meski-pun demikian, tetapi Ki Suracala adalah ayah gadis itu. Jika orang-orang itu datang kepadamu untuk berbicara tentang Kanthi, mereka selalu menyebut dirinya utusan Ki Suracala. Karena itu, maka sebaiknya kau tidak berbicara dengan orang lain kecuali Ki Suracala, siapa-pun yang ternyata kemudian mengambil alih persoalannya," berkata Ki Gede.
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata, "Paman. Besok kami akan pergi ke rumah Ki Suracala. Kami akan menyampaikan ketegasan sikap paman, bahwa paman tidak dapat menerima perlakuan mereka atas Prastawa, karena ternyata Prastawa memang tidak bersalah. Kemudian terserah, apa yang akan mereka lakukan. Kita hanya akan mengimbanginya."
"Ya," Ki Gede menyahut, "agaknya kau memang harus berbuat demikian Argajaya. Sebaiknya rencanamu diteruskan. Kau minta Ki Jayaraga pergi ke Kleringan bersama Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri. Mereka akan menjadi utusan resmi untuk menyampaikan persoalan Prastawa dan sekaligus mengambil keputusan-keputusan jika diperlukan."
Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil. Namun nampak bahwa ia masih merasa ragu. Bahkan ia-pun berkata, "Tetapi Ki Suracala adalah orang yang baik."
"Jika persoalannya diambil alih oleh adik sepupunya, maka bukankah Ki Argajaya tidak akan berselisih dengan Ki Suracala?" berkata Ki Jayaraga.
Ki Argajaya mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Kau benar Ki Jayaraga."
"Jadi, bagaimana maksud paman selanjutnya?" bertanya Swandaru.
"Baiklah. Aku akan mohon Ki Jayaraga untuk pergi ke Kleringan dua hari lagi," jawab Ki Argajaya.
"Kenapa dua hari lagi?" bertanya Swandaru, "bukankah besok kita dapat pergi ke rumah Ki Suracala?"
"Bukankah waktu yang diberikan itu tiga hari?" sahut Ki Argajaya.
"Kita tidak terikat kepada waktu yang mereka berikan. Mereka tidak berhak membatasi waktu kita. Jika kita ingin pergi besok, biarlah kita pergi. Tetapi jika kita ingin pergi tiga hari lagi atau sepekan lagi, biarlah kita pergi sesuai dengan keinginan kita," berkata Swandaru.
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Namun yang kemudian menyahut adalah Ki Gede, "Semakin cepat persoalan ini kita selesaikan akan menjadi semakin baik. Mudah-mudahan keluarga Ki Suracala, terutama adik sepupunya itu dapat mengerti."
"Kita memang harus mencoba," berkata Ki Jayaraga kemudian, "meski-pun kita tahu, bahwa segala sesuatunya nampak memang sudah dipersiapkan oleh adik sepupu Ki Suracala itu. Namun selagi kita masih mendapat kesempatan untuk berbicara, maka tentu masih ada harapan untuk dapat saling mengerti."
Ki Argajaya-pun kemudian berkata, "Baiklah. Aku serahkan pembicaraan selanjutnya kepada Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya."
Demikianlah, malam itu mereka sepakat untuk mengirimkan Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri ke Kleringan besok sore. Agung Sedayu akan pulang lebih awal dari barak Pasukan Khususnya. Sementara itu meski-pun memutuskan untuk mengurus Glagah Putih dan Rara Wulan besok pagi ke rumah Ki Suracala untuk memberitahukan bahwa utusan resmi Ki Argajaya akan datang di sore harinya tanpa mengatakan apa-pun juga mengenai persoalan Prastawa dan Kanthi.
"Kalian harus menganggap diri kalian tidak tahu apa-apa. Kalian hanya diperintahkan untuk memberitahukan bahwa sore nanti lima orang utusan Ki Argajaya akan datang. Mereka adalah Ki Jayaraga yang sudah terhitung tua, Agung Sedayu dan Swandaru suami isteri. Mereka adalah sepupu Prastawa," berkata Ki Gede kemudian.
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk saja. Mereka memang merasa senang dapat membantu melakukan tugas-tugas yang sedikit menegangkan.
"Hati-hatilah Glagah Putih," desis Agung Sedayu, "Kau tidak boleh melakukan sesuatu diluar kerangka tugasmu."
Glagah Putih mengangguk. Tetapi justru Rara Wulanlah yang bertanya, "Tetapi dalam keadaan yang terpaksa, bukankah kami dapat melindungi diri kami?"
"Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat terjadi. Kalian hanya akan menyampaikan bahwa nanti sore akan ada tamu di rumah Ki Suracala. Bukankah tidak ada kemungkinan apa-pun yang dapat memaksa kalian harus melindungi diri sendiri?"
"Siapa tahu bahwa dahi kami akan terantuk awan," jawab Rara Wulan.
"Ah, apa yang sebenarnya kau katakan?" sahut Sekar Mirah.
Tetapi Swandaru justru berkata sambil tertawa, "Kau benar Rara. Kau harus mempersiapkan diri."
Agung Sedayu-pun tersenyum pula. Namun ia berkata, "Mudah-mudahan tidak ada awan yang merendah. Kecuali jika awan itu sudah menjadi hujan."
Dengan demikian, sambil berbicara tentang berbagai macam kemungkinan maka para tamu Ki Argajaya itu masih duduk beberapa lama. Baru kemudian setelah malam menjadi semakin dalam, mereka-pun minta diri.
Dalam pembicaraan itu telah ditetapkan bahwa besok berlima, utusan Ki Argajaya itu akan langsung berangkat ke Kleringan tanpa harus menemui Ki Argajaya lagi.
"Jika ada persoalan yang penting, biarlah aku datang kerumah kakang Argapati," berkata Ki Argajaya kemudian.
Demikianlah, maka malam itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah memberikan pesan-pesannya agar mereka berhati-hati di Kleringan. Yang akan menjelaskan persoalannya adalah Ki Jayaraga. Sehingga kepergian mereka ke Tanah Perdikan Menoreh tidak lebih dari sekedar memberitahukan akan kedatangan utusan itu sehingga utusan itu dapat diterima oleh Ki Suracala. Tanpa pemberitahuan itu, maka mungkin sekali Ki Suracala justru sedang bepergian.
Glagah Putih dan Sekar Mirah mengangguk-angguk.
"Meski-pun demikian," berkata Agung Sedayu, "kalian harus tetap berhati-hati."
"Ya," Sekar Mirah menyambung, "aku dapat mengerti kesiapan Rara Wulan jika tiba-tiba saja harus terantuk awan. Nampaknya keluarga Ki Suracala sudah tidak menghargai lagi unggah-ungguh."
Agung Sedayu-pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku mengerti."
"Jika yang akan kalian temui besok kakangmu Agung Sedayu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu," berkata Sekar Mirah kemudian, "tetapi yang akan kalian temui besok adalah orang-orang kecewa yang kebingungan."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ternyata aku tidak termasuk orang yang kecewa dan kebingungan."
Yang lain-pun tersenyum pula. Bahkan Ki Jayaraga menyambung, "Kalau saja kau sudah menjadi kebingungan ngger, maka semua prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun akan kebingungan pula, sehingga akan menjadi sangat membahayakan lingkungannya."
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Nah, bukankah sikapku benar kakang" Jika awan itu mengambang semakin rendah, maka aku harus menghembusnya."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah-pun tertawa pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka-pun telah pergi ke bilik mereka masing-masing. Agung Sedayu minta agar Rara Wulan beristirahat sebaik-baiknya, karena besok ia akan mengemban tugas yang berat.
Ketika orang-orang lain memasuki biliknya, maka Glagah Putih telah keluar lewat pintu butulan. Ia melihat anak yang tinggal di rumah itu sudah siap untuk turun ke sungai. Demikian ia melihat Glagah Putih, maka ia-pun bertanya, "Kapan kau sempat mengajari aku berkelahi?"
"Sudah berapa kali aku mengatakan, aku tidak akan mengajarimu berkelahi. Tetapi aku akan memberikan sedikit petunjuk tentang membela diri," berkata Glagah Putih.
"Apa-pun namanya, bagiku sama saja," jawab anak itu.
"Tidak. Seharusnya bagaimana-pun tidak sama. Selama kau masih tidak dapat membedakan antara berkelahi dan membela diri, aku tidak akan mengajarimu."
Anak itu mengangguk kecil. Dengan agak terpaksa ia berkata, "Ya. Membela diri."
"Kau tidak hanya boleh sekedar mengucapkannya. Tetapi kau harus benar-benar mengerti maksudnya. Mungkin apa yang kita lakukan sama. Berlatih berkelahi dan berlatih membela diri. Namun landasan kita untuk melakukannya sudah berbeda," berkata Glagah Putih kemudian.
Anak itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih kemudian berkata, "Sudahlah. Jika kau akan turun ke sungai, pergilah. Lain kali kita akan mulai setelah aku tidak lagi sibuk."
Anak itu-pun kemudian telah melangkah pergi sambil membawa icir, kepis dan cangkul. Namun ia masih bergumam, "Apa saja yang dilakukannya sehingga ia tidak pernah tidak merasa sibuk."
Glagah Putih masih mendengar gumam anak itu. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Meski-pun demikian ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa jika ia memang mempunyai waktu luang, ia akan mengajari anak itu dalam olah kanuragan untuk kepentingan membela diri.
Sejenak Glagah Putih masih berada diluar. Udara yang semakin dingin rasa-rasanya menggigit sampai ketulang.
"Alangkah dinginnya air sungai malam ini," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Namun ternyata mereka yang sudah turun ke sungai, sama sekali tidak merasakan lagi dinginnya air sungai itu.
Jauh lewat tengah malam Glagah Putih baru dapat tidur. Namun rasa-rasanya malam menjadi demikian panjangnya sehingga ketika Glagah Putih terbangun, ternyata fajar baru mulai membayang.
Pagi itu Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera menyiapkan dirinya. Mereka tidak mengenakan pakaian sebagaimana dipakai ketika mereka mencari Kanthi. Tetapi mereka mengenakan pakaian yang lebih pantas. Tetapi sebagaimana telah dikatakannya, Rara Wulan tetap bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, dibawah pakaiannya yang nampak, ia telah mengenakan pakaian khususnya.
Glagah Putih mengetahui bahwa Rara Wulan benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih juga sependapat, sebaiknya mereka bersiap-siap. Karena orang yang ada di rumah Ki Suracala itu adalah orang yang tidak lagi menghiraukan tatanan hidup bebrayan.
Tetapi keduanya tidak berangkat terlalu pagi. Bahkan Agung Sedayu telah lebih dahulu berangkat ke baraknya. Sebelum berangkat Agung Sedayu berpesan bahwa ia akan pulang lebih awal dari biasanya.
"Katakan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa kami akan datang sore hari agar saat kami pulang tidak kemalaman di jalan." pesan Agung Sedayu.
Baru kemudian, ketika sinar matahari mulai terasa gatal dikulit, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah berangkat menuju ke Kademangan Kleringan di seberang pebukitan.
Betapa-pun Rara Wulan merasa perlu bersiap menghadapi segala kemungkinan, namun ia merasa tidak pantas untuk membawa pedang. Tetapi Rara Wulan telah meminjam selendang khusus milik Sekar Mirah. Selendang yang pada kedua ujungnya terdapat beberapa bandul timah kecil-kecil yang tidak dapat segera dilihat. Selendang itu bukan senjata khusus Sekar Mirah, karena Sekar Mirah lebih banyak mempergunakan tongkatnya jika diperlukan. Namun selendang itu telah dipergunakan oleh Rara Wulan dalam latihan-latihan, karena Sekar Mirah memberikan latihan kepadanya untuk mempergunakan segala macam senjata, termasuk tongkat, sulur-sulur pepohonan, sepotong bambu, tampar dan juga selendang.
Melihat selendang itu Glagah Putih sempat tersenyum. Sementara Rara Wulan bertanya, "Kenapa kakang tersenyum?"
"Aku jarang melihat kau mempergunakan selendang," jawab Glagah Putih, "nampaknya kali ini kau benar-benar berpakaian lengkap."
"Aku juga pasti, bahwa kau kenakan ikat pinggangmu pemberian Ki Patih Mandaraka," berkata Rara Wulan. Lalu katanya pula, "Karena itu, kau tidak memerlukan pedang."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih juga tersenyum.
Sebenarnya bahwa Glagah Putih memang memakai ikat pinggang pemberian Ki Patih itu. Seperti juga Rara Wulan, maka tidak pantas baginya untuk membawa pedang, seakan-akan ia pergi ke Kleringan untuk menantang perkelahian. Namun seperti Rara Wulan juga ia-pun merasa perlu bersiap-siap untuk mendukung kemampuannya tanpa melepaskan ilmu-ilmu puncaknya yang akan sangat menarik perhatian jika dipergunakannya. Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Beberapa saat mereka berjalan, maka mereka-pun telah sampai ke kaki pebukitan. Dengan berpakaian pantas, maka Rara Wulan justru tidak dapat berjalan secepat ketika ia berpakaian pakaian kesehariannya.
Namun kaki-kakinya yang terlatih, masih juga dapat merayap tanpa kesulitan yang berarti.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, mereka-pun telah berada di Kademangan Kleringan. Karena mereka sudah mengenal arah perjalanan mereka, maka mereka dengan cepat telah sampai ke jalan yang langsung menuju ke padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Disamping tiga tempat mereka berhenti sehari sebelumnya mereka melihat penjual dawet cendol sudah berada ditempat itu pula. Tetapi mereka justru berusaha untuk tidak dikenali.
Penjual dawet itu memang tidak tertarik sama sekali ketika Glagah Putih dan Rara Wulan lewat jalan itu memang merupakan jalan yang terhitung ramai, sehingga ada bermacam-macam ragam orang lewat. Penjual dawet yang sibuk melayani pembeli itu memang tidak pernah mempergunakan waktu khusus untuk melihat orang lewat
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan, maka langkah mereka menjadi lamban. Rara Wulan yang berkeringat itu berterus-terang, "Aku menjadi berdebar-debar."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Aku juga. Tetapi kita harus yakin, bahwa tugas kita tidak seberat tugas Ki Jayaraga, Kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru suami isteri sore nanti."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sikap Glagah Putih memang dapat mengurangi ketegangannya.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai diregol rumah Ki Suracala. Kemarin mereka melihat seorang perempuan keluar dari regol itu bersama seorang laki-laki. Tetapi laki-laki itu segera kembali masuk, sementara perempuan muda itu telah mencari Kanthi.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih telah mengetuk pintu regol yang tertutup meski-pun di siang hari.
Ternyata ketukan pintu regol itu tidak ada jawaban. Karena itu, maka Glagah Putih-pun telah mendorong pintu itu sehingga menjadi sedikit terbuka.
Sekali lagi Glagah Putih mengetuk. Agak keras.
Ketika dari sela-sela pintu yang terbuka sedikit itu Glagah Putih melihat seseorang yang sedang menjemur padi di halaman samping di depan seketheng, maka Glagah Putih mengetuk pintu itu semakin keras.
Ternyata orang itu mendengar ketukan pintu itu. Dengan tergesa-gesa orang itu berjalan menuju ke regol halaman.
Demikian ia membuka pintu, maka dahinya-pun telah berkerut. Ia merasa belum pernah melihat kedua orang yang berdiri di muka pintu regol halaman itu.
Karena itu, maka orang itu-pun segera bertanya, "Siapakah kalain berdua?"
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Pertanyaan itu memang menunjukkan, betapa orang-orang yang ada dirumah itu dibebani oleh kecurigaan yang tinggi terhadap orang lain, sehingga yang ditanyakan mula-mula adalah tentang mereka berdua. Orang itu sama sekali tidak mempersilahkannya masuk lebih dahulu atau pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Namun Glagah Putihlah segera menjawab, "Kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk bertemu dengan Ki Suracala. Apakah Ki Suracala ada di rumah?"
"Untuk apa kalian mencari Ki Suracala?" bertanya orang itu pula.
"Kami membawa pesan penting untuk Ki Suracala," jawab Glagah Putih.
"Pesan apa?" desak orang itu.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "tolong, sampaikan kepada Ki Suracala, bahwa kami berdua ingin bertemu untuk menyampaikan pesan penting."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Tunggulah. Aku akan menyampaikannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian berdiri saja di halaman rumah itu untuk menunggu. Wajah Rara Wulan mulai menjadi buram. Bahkan ia-pun berdesah, "Kenapa kami diperlakukan seperti ini" Apakah kita dianggap orang-orang yang berbahaya atau barangkali sepasang pengemis yang akan minta-minta."
"Sudahlah Rara," desis Glagah Putih, "kita harus tahu, bahwa di rumah ini nampaknya memang terjadi sedikit kekalutan. Kita harus tahu bahwa penghuni rumah ini selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap orang lain yang terutama belum dikenalnya."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Kemudian ia-pun bergumam, "Aku ingin menjadi seseorang yang penuh pengertian seperti kakang dan kakang Agung Sedayu."
"Bukan begitu Rara. Tetapi bukankah kita memang harus menunggu seperti yang diminta oleh orang itu," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia nampak gelisah. Sementara itu pintu regol sudah tertutup pula.
Sambil menunggu, Rara Wulan sempat memperhatikan pepohonan di halaman rumah itu. Buah jambu air yang bergayutan kemerahan di dahan dan bahkan diujung-ujung rantingnya. Bahkan diluar sadarnya Rara Wulan telah melangkah mendekati pohon jambu air yang buahnya tidak terhitung itu. Di halaman yang nampaknya telah disapu bersih itu, bertebaran jambu yang rontok dari tangkainya.
Nampaknya tidak seorang-pun berminat untuk memetik buahnya yang banyak itu.
Rara Wulan terkejut ketika ia mendengar suara dari pendapa rumah itu, "He, anak muda. Siapa yang kau cari?"
Rara Wulan berpaling. Ia-pun segera melangkah mendekati Glagah Putih. Dengan ragu-ragu keduanya-pun kemudian mendekati tangga pendapa. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan kekar berdiri di bibir pendapa sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan dengan tajamnya.
Sambil mengangguk hormat Glagah Putih berkata, "Kami datang untuk menemui Ki Suracala."
"Siapakah kalian?" bertanya orang itu pula.
"Kami berdua adalah utusan Ki Argayaja," jawab Glagah Putih.
"Ki Argajaya. Jadi Ki Argajaya telah mengutus anak-anak untuk mengadakan pembicaraan yang penting?" bertanya orang itu.
"Kami akan menyampaikan satu pesan kepada Ki Suracala," berkata Glagah Putih kemudian.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun di wajahnya nampak gejolak perasaannya.
Untuk beberapa saat orang itu berdiri mematung. Namun kemudian ia-pun berkata dengan nada berat, "Ki Argajaya memang sombong. Ia merasa persoalan yang sedang dihadapi oleh Ki Suracala cukup dibicarakan dengan anak-anak. Tetapi baiklah. Karena kalian anya merupakan utusan, maka biarlah Ki Suracala menerima kalian untuk mendengar pesan Ki Argajaya. Naiklah."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian telah naik pula dan duduk diatas tikar pandan yang telah terbentang di pringgitan.
Ketika orang itu masuk ke ruang dalam, maka Rara Wulan berdesis, "Suasananya memang menegangkan. Seharusnya kakang Agung Sedayu melihatnya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Beberapa saat kemudian, maka dari ruang dalam, orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah keluar lagi bersama seorang laki-laki separo baya dengan sikap yang jauh berbeda dengan sikap orang yang bertubuh tinggi besar itu. Ia mengangguk kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedang di belakangnya seorang yang sudah lebih tua lagi ikut pula menemui Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi berdebar-debar. Tetapi menilik ciri-cirinya, maka orang yang kedua itulah yang bernama Ki Suracala.
Ternyata dugaan mereka benar. Orang itulah, yang kemudian bertanya, "Angger berdua. Siapakah angger berdua ini" Apakah benar angger berdua membawa pesan dari Ki Argajaya?"
"Maaf paman. Apakah kami berhadapan dengan Ki Suracala?"
"Ya. Akulah Suracala itu."
"Terima kasih, bahwa paman sudah bersedia menerima kedatangan kami berdua."
Namun dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi kekar itu tiba-tiba saja telah membentak, "Kau belum menjawab, siapakah kau berdua?"
"Kami adalah utusan paman Argajaya," jawab Glagah Putih.
"Namamu. Siapa namamu dan siapa nama perempuan ini, he?"
"Namaku Glagah Putih dan ini adikku, Rara Wulan."
"Nama yang bagus," desis Ki Suracala. Lalu ia-pun bertanya pula, "Jadi kalian datang sebagai utusan Ki Argajaya?"
"Benar Ki Suracala," jawab Glagah Putih, "kami telah diutus oleh paman Argajaya untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Suracala."
"Katakan ngger. Apakah pesan Ki Argajaya itu," berkata Ki Suracala.
"Ki Suracala," berkata Glagah Putih yang menganggap bahwa pertemuan itu ternyata bukan satu pertemuan yang baik, "biarlah kami langsung menyampaikan pesan itu. Nanti sore, akan datang utusan paman Argajaya yang akan memberikan keterangan tentang kakang Prastawa."
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Jadi, Ki Argajaya akan mengirimkan utusan lagi?"
"Benar, Ki Suracala. Ki Argajaya berharap agar Ki Suracala sore nanti ada di rumah serta bersedia menerima utusan paman Argajaya itu," jawab Glagah Putih.
Ki Suracala mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah ngger. Nanti sore aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu kedatangan utusan resmi Ki Argajaya di rumah sampai mereka datang."
Namun sebelum Glagah Putih menyahut, orang yang bertubuh tinggi kekar itulah yang memotong lebih dahulu, "Jadi apa maksud Ki Argajaya sebenarnya" Apakah ia sengaja mempermainkan kami" Jika nanti sore ia akan mengirimkan utusan kemari, buat apa kalian datang pagi ini?"
"Kami datang untuk memberitahukan bahwa nanti sore utusan resmi Ki Argajaya akan datang," jawab Glagah Putih, "jika kami tidak datang lebih dahulu, maka mungkin sekali sore nanti Ki Suracala telah mempunyai rencana atau janji yang lain, sehingga kedatangan utusan resmi Ki Argajaya tidak dapat bertemu dengan Ki Suracala."
"Kenapa mesti harus dengan cara yang berbelit-belit seperti itu. Kau berdua tentu tahu, apa yang akan dikatakan oleh utusan Ki Argajaya berniat menyelenggarakan keramaian perkawinan anaknya dengan anak perempuan Ki Suracala. Itu saja yang kami butuhkan. Kami tidak memerlukan apakah hal itu dikatakan oleh utusan resmi atau bukan," berkata orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun sebelum anak muda itu menjawab, Ki Suracala telah mendahuluinya, "Anak muda ini tentu tidak akan dapat mengatakan apa-apa. Ia hanya diutus untuk memberitahukan, bahwa sore nanti, akan datang utusan yang memang dibekali dengan pembicaraan tentang Kanthi."
"Tetapi anak ini tentu tahu, kakang. Ia tentu mendengar pembicaraan tentang hal itu di rumah Ki Argajaya," berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
"Aku akan menunggu sampai sore nanti," berkata Ki Suracala.
Orang yang sudah lebih tua, yang sejak semula hanya berdiam diri saja itu-pun kemudian berkata, "Nah, kita lihat sekarang, betapa liciknya Ki Argajaya. Ia sengaja mengulur-ulur waktu, sementara itu, ia dapat berbuat sesuatu untuk memaksakan kehendaknya tanpa menghiraukan kesulitan orang lain yang ditimbulkan karena tingkah lakunya itu."
"Ki Argajaya tidak mengulur waktu," Ki Suracalalah yang menjawab, "bukankah kita memberikan waktu tiga hari" Hari ini baru hari kedua sejak kita memberikan batasan waktu itu. Ia masih mempunyai satu hari tersisa."
Orang yang lebih tua itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Aku tidak senang dengan permainan semacam ini."
Buku 290 "SENANG atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan, apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya."
"Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya" Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?" geram orang bertubuh tinggi kekar itu.
"Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan, bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan."
"Itulah yang sangat licik," berkata orang yang lebih tua itu, "ia ingin berlindung dibelakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali dileher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya."
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Bagaimana-pun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi."
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, "Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan kakang itu."
Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, "Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?"
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, "Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali."
"Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu," sahut Ki Suracala.
Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu-pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, "Pergilah. Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawab dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa ceritera panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, "Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?"
"Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti."
"Terima kasih, Ki Suracala," sahut Glagah Putih yang kemudian berkata selanjutnya, "Jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada paman Argajaya."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya.
Ternyata laki-laki yang berwajah garang itu masih mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka ia-pun telah menceriterakannya kepada laki-laki yang masih terhitung muda itu.
"Memang mencurigakan," berkata laki-laki muda itu, "tetapi perempuan itu cantik sekali. Menurut penghitunganku lebih cantik dari kanthi."
Orang yang bertubuh pendek itu-pun berkata, "Kau selalu mengatakan perempuan yang kau lihatnya lebih cantik dari perempuan yang sebelumnya pernah kau kenal. Kau juga mengatakan bahwa Kanthi lebih cantik dari isterimu ketika itu."
"Aku koyak mulutmu," geram laki-laki muda itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi ia pantas dicurigai jika kemarin ia sudah lewat didepan regol halaman ini. Apalagi dengan pakaian keseharian. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" bertanya orang yang berwajah garang.
"Kita harus mengetahui, apa maksud kedatangannya kemarin." berkata laki-laki muda itu, "kita akan menemui mereka di bulak pategalan."
Kedua orang yang lain tidak menjawab. Demikian laki-laki muda itu bergerak, keduanya-pun ikut pula bergerak.
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Mereka menelusuri jalan yang kemarin mereka lalui. Tetapi mereka tidak sempat sampai kesimpang tiga, tempat mereka menunggu Kanthi sambil membeli dawet cendol.
Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka mereka telah berjalan di tepi sebuah bulak yang tidak terlalu luas. Sebuah jalan simpang berbelok ke kiri. Jalan itu agaknya juga menuju ke sungai lewat pategalan yang agak luas yang sedang ditanami ketela pohon yang tumbuh disela-sela pohon buah-buahan.
Glagah Putih dan Rara Wulan mulai tertarik melihat tiga orang berdiri dimulut lorong. Nampaknya mereka memang sedang menunggu. Bahkan Glagah Putih-pun kemudian berdesis, "Kau kenal salah seorang dari mereka?"
"Ya," jawab Rara Wulan, "orang yang kemarin berada diregol halaman ketika perempuan yang mencari Kanthi keluar dari halaman rumah Ki Suracala."
"Berhati-hatilah," berkata Glagah Putih, "nampaknya mereka bukan orang yang ramah."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Untung kita tidak mengikuti jalan pikiran kakang Agung Sedayu."
"Tetapi kakang Agung Sedayu dapat mengerti bahwa kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan."
Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab, karena mereka menjadi semakin dekat dengan ketiga orang itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka lewat didepan mulut lorong itu, laki-laki muda, salah seorang dari ketiga orang itu berkata dengan nada keras, "Berbeloklah. Jangan macam-macam, agar kami tidak menyakiti kalian."
"Berbelok kemana?" Rara Wulanlah yang bertanya, "kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Aku tidak peduli, kalian akan pergi ke mana. Tetapi berbeloklah. Kita akan berbicara di pategalan."
"Kami harus segera pulang, Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian.
"Aku tidak mau mendengar jawab kalian. Aku perintahkan berbelok. Lakukan, atau kami akan melakukan kekerasan."
Glagah Putih yang sudah berdiri disisi Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ketiga orang itu bersungguh-sungguh ingin memaksa mereka membelok mengikuti lorong itu.
Glagah Pulih sempat memperhatikan jalan yang dilaluinya. Beberapa orang lewat memperhatikan mereka. Agaknya mereka mengira bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu bertemu dengan kawan-kawannya sehingga keduanya berhenti sejenak untuk berbincang-bincang.
"Cepat," geram orang yang masih terhitung muda itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun ternyata Rara Wulanlah yang menjawab, "Baiklah. Kami akan berbelok. Tetapi kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami minta apa yang ingin kalian katakan, cepat katakan."
"Berbeloklah. Berbelok masuk kedalam lorong. Jangan berbicara saja disitu." Orang itu nampak tidak sabar lagi.
Rara Wulan dan Glagah Putih memang tidak berbicara lagi. Keduanya-pun kemudian berjalan memasuki lorong kecil menuju ke pategalan.
Semakin dalam mereka memasuki lorong kecil itu, terasa bahwa lingkungannya menjadi semakin sepi. Lorong itu menjadi semakin semp"t dihimpit oleh pagar pategalan.
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka tahu bahwa ketiga orang itu tentu bermaksud tidak baik atas diri mereka berdua.
Sebenarnyalah, ketika mereka menjadi semakin jauh dari jalan yang cukup ramai itu, orang yang masih terhitung muda itu dengan serta merta lelah menangkap lengan Rara Wulan dan menariknya lewat pintu pagar masuk kepategalan yang sedang ditanami ketela pohon disela-sela pohon buah-buahan itu.
"Jangan ribut," geram orang itu.
Rara Wulan terkejut. Ia memang tersentak kedalam pategalan dan segera menyeruak diantara batang-batang ketela pohon yang berdaun rimbun.
Telapi Raia Wulan itu berusaha mengibaskan tangannya. Selangkah ia mundur sambil berkata lantang, "Apa artinya ini?"
Orang yang masih terhitung muda itu memandangnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang kawannya, "Kendalikan anak muda itu. Aku akan menjinakkan gadis ini."
Wajah Rara Wulan menjadi merah. Namun orang itu berkata, "Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan disini berdua."
"Kami datang untuk menyampaikan pesan paman Argajaya bahkan sore nanti paman akan mengirimkan utusannya untuk menemui Ki Suracala," jawab Rara Wulan lantang.
"Bohong," sahut orang itu, "jika demikian, kenapa kemarin kau juga dalang kemari?"
Tetapi ternyata Rara Wulan cukup tangkas untuk menjawab, "Kami belum pernah melihat rumah Ki Suracala. Karena itu, kami harus mencari dan menemukannya lebih dahulu. Baru kemudian kami datng untuk menemuinya."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, "Aku tidak percaya. Jika demikian, kenapa kemarin kau memakai pakaian yang berbeda sama sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang?"
"Bukankah kemarin kami hanya sekedar mencari untuk mengetahui letak rumah Ki Suracala" Nah, sekarang kami akan datang menemuinya. Bukankah kami harus berpakaian lebih sopan."
"Kau tidak dapat membohongi aku. Kalian berdua tentu mempunyai maksud tertentu. Nah, sebelum kau mengatakannya, maka kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan tempat ini," berkata orang itu.
"Aku tidak dapat mengatakan yang lain," jawab Rara Wulan.
Sementara itu Glagah Putih-pun berkata, "Ia berkata sebenarnya."
"Diam kau," bentak orang itu, "aku tidak bertanya kepadamu. Tetapi aku bertanya kepada gadis ini."
Glagah Putih hanya menarik nafas panjang, sementara itu dua orang yang lain bergeser mendekatinya dari kedua sisi.
Orang yang masih muda itu-pun kemudian berkata, "Marilah. Kita berbicara digubug itu."
"Tidak," sahut Rara Wulan.
"Kau tidak dapat menolak," berkata orang itu.
"Tidak ada lagi yang akan dibicarakan," jawab Rara Wulan.
"Masih banyak yang dapat kita bicarakan. Mungkin persoalan yang lain yang tidak menegangkan," berkata orang itu.
"Tetapi siapakah sebenarnya kau" Apakah kau berkepentingan dengan persoalan yang sedang dibicarakan antara keluarga paman Argajaya dan Ki Suracala."
"Tentu. Aku keluarga dekat paman Suracala," jawab orang itu.
Wajah Rara Wulan berkerut. Orang itu menyebut paman pada Ki Suracala. Karena itu tiba-tiba saja Rara Wulan teringat kepada anak sepupu Ki Suracala.
Bahkan hampir diluar sadarnya Rara Wulan bertanya, "Kau saudara misan Kanthi" Anak saudara sepupu Ki Suracala?"
Wajah orang itu menjadi merah justru karena Rara Wulan menyerbu nama Kanthi. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, "Ya. Aku saudara misan Kanthi. Karena itu, aku berkepentingan dengan persoalan yang terjadi di rumah paman Suracala."
Wajah Kara Wulan menegang. Demikian pula Glagah Putih. Ternyata mereka berhadapan dengan orang yang licik tetapi buas seperti seekor serigala.
Pertemuan yang tidak terduga itu membuat jantung Rara Wulan bergejolak, ia mulai membayangkan nasib Kanthi yang tidak menentu. Sebagai seorang gadis maka Rara Wulan dapat membayangkan derita yang disandang oleh Kanthi, sementaara Kanthi tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkannya.
Selagi Rara Wulan merenung, maka orang itu telah memegang pergelangan tangan Rara Wulan sambil berkata, "Marilah, kita berbicara di gubug itu. Kita akan dapat berbincang tanpa ketegangan serta tidak akan terganggu oleh siapa-pun juga."
Ternyata Rara Wulan tidak menolak. Ketika orang itu menarik tangannya, Rara Wulan mengikuti saja tanpa melawan.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tahu maksud Rara Wulan. Dan itulah yang dicemaskan oleh Agung Sedayu, justru Rara Wulan tidak berusaha menghindarinya.
Tetapi Glagah Putih sendiri bahkan sependapat dengan Rara Wulan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Bahkan ia-pun telah berjalan pula mengikuti Rara Wulan yang tangannya masih saja ditarik oleh orang itu.
Sambil berjalan Rara Wulan sempat berkata, "Siapa namamu, Ki Sanak."
"O," orang itu tergagap, "namaku Wiradadi. Kenapa?"
"Tidak apa-apa," jawab Rara Wulan, "aku hanya ingin tahu."
Wiradadi tidak berbicara lagi. Ia berjalan semakin cepat sambil menarik tangan Rara Wulan. Kesannya memang sangat tergesa-gesa, sehingga Rara Wulan harus berlari-lari kecil.
Beberapa puluh langkah dihadapan mereka memang terdapat sebuah gubug yang tidak terlalu kecil. Dibawah sebatang pohon belimbing lingir yang besar dan berbuah lebat. Didepan gubug itu terdapat tanah yang luang seakan-akan merupakan halaman bagi gubug itu.
"Marilah. Kita akan berbicara didalam," berkata Wiradadi.
Rara Wulan tidak menjawab. Ia berjalan saja dibelakang Wiradadi sementara orang itu masih memegang pergelangan tangannya.
Dihalaman yang sempit itu Wiradadi berhenti sejenak. Sambil berpaling ia berkata kepada kedua orang kawannya yang berjalan disebelah-menyebelah Glagah Putih, "Biarlah anak itu menungu aku diluar. Aku akan berbicara dengan gadis ini tanpa diganggu oleh siapa-pun juga."
Kedua orang itu dengan serta-merta telah memegangi lengan Glagah Putih sebelah-menyebelah pula. Orang yang berwajah garang itu berkata, "Berhenti. Kau tunggu disini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memang berhenti. Dipandanginya saja Rara Wulan yang masih saja dibimbing oleh Wiradadi menuju kepintu gubug kecil itu.
Namun ketika mereka sampai di halaman kecil di depan gubug itu, maka Rara Wulan tiba-tiba berhenti sambil mengibaskan tangannya. Demikian tiba-tiba sehingga pegangan Wiradadi-pun telah terlepas.
"Kenapa?" berkata Wiradadi.
"Kita dapat berbicara disini," berkata Rara Wulan.
"Tidak," jawab Wiradadi, "kita berbicara didalam."
"Sama saja," berkata Rara Wulan kemudian, "disini-pun kita dapat berbicara dengan tenang tanpa ketegangan. Nah, katakan, apa yang akan kau katakan."
"Tidak. Aku akan mengatakannya setelah kita duduk didalam. Didalam gubug itu ada sebuah amben bambu yang diatasnya digelari pandan yang bersih," berkata Wiradadi.
"Tidak banyak yang akan kita bicarakan. Bicaralah disini," sahut Rara Wulan.
"Tidak, anak manis. Marilah kita berbicara didalam," berkata Wiradadi sambil menggapai pergelangan tangan Rara Wulan.
Tetapi Rara Wulan melangkah surut sambil berkata, "Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan berbicara disini."
"Kau jangan keras kepala. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau hanya dapat melakukan perintahku."
"Aku dapat berteriak," berkata Rara Wulan.
Tetapi Wiradadi tertawa. Katanya, "Kita ada ditengah-tengah pategalan. Seandainya kau berteriak sekeras guntur di langit, maka tidak akan ada yang mendengarnya."
"Jika demikian, tempat ini baik sekali bagiku. Jika kau nanti berteriak-teriak minta tolong, maka tidak akan ada orang yang mendengar dan datang menolongmu," berkata Rara Wulan.
Dahi orang itu berkerut. Namun kemudian ia bertanya, "Apa yang kau katakan?"
"Tempat ini merupakan tempat yang baik untuk menghukummu. Seandainya kau berteriak-teriak memanggil orang-orangmu, maka mereka tentu tidak akan mendengar," jawab Rara Wulan.
Orang itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Rara Wulan berkata, "Wiradadi. Akulah yang akan menghukummu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasku di gubug itu. Karena itu, maka kau harus dihukum. Jaga tingkah lakumu yang tidak tahu diri."
Glagah Putih yang sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Rara Wulan justru mendahului, "Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan paman Argajaya. Itu saja. Karena itu, maka kami tidak mempunyai kepentingan yang lain disini."
Wiradadi memang menjadi bingung. Justru karena itu, untuk sesaat ia terdiam.
Sementara Wiradadi kebingungan, maka Glagah Putih-pun berkata, "Karena itu, kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa disini. Dengan demikian, maka biarkan kami pergi."
Ki Wiradadi memang seperti orang mimpi. Namun ia masih juga berkata, "Kalian tidak boleh pergi. Aku memerlukan gadis ini," lalu katanya kepada kedua pengikutnya, "jaga anak itu."
Tetapi Wiradadi itu menjadi kebingungan lagi ketika Rara Wulan berkata sambil bertolak pinggang dan menunjuk ujung ibu jari kakinya Wiradadi. Berjongkok dihadapanku. Menyembah dan memohon ampun atas perlakuan gilamu terhadapku."
Wiradadi justru terdiam. Dipandanginya wajah Rara Wulan. Gadis itu memang cantik. Tetapi Wiradadi jadi berpikir lain. Apakah mungkin gadis itu syarafnya agak terganggu"
Sementara itu Rara Wulan berkata lagi. Lebih keras, "Cepat. Berjongkok dihadapanku dan mohon ampun. Jika pikiranku berubah, aku tidak akan memberimu ampun lagi."
Wiradadi tidak mau membiarkan dirinya kebingungan. Karena itu, maka ia-pun menggeram, "Gila. Jadi kau gadis yang begitu mudah kehilangan akal dan bahkan terganggu kesadaranmu."
"Aku tidak peduli. Lakukan perintahku sebelum kau menyesal," berkata Rara Wulan.
"Persetan," geram Wiradadi. Namun kemudian ia-pun berkata, "Aku tidak peduli bahwa kau gila. Tetapi kau gadis cantik. Mari, ikut aku. Masuk kedalam gubug itu."
Namun Wiradadi terkejut. Ternyata Rara Wulan sudah menampar mulutnya.
Wiradadi mengumpat kasar. Namun ia menjadi semakin bingung ketika ia melihat Rara Wulan yang marah itu menyingsingkan kainnya sambil bergeser mendekat.
"Agaknya gadis ini benar-benar gadis gila," berkata Wiradadi didalam hatinya.
Namun Wiradadi itu kemudian menyadari, jenis gadis yang dihadapinya ketika kemudian ia melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dipakai dibawah pakaian luarnya.
Wiradadi melangkah surut. Sementara Rara Wulan berkata, "Aku memang ingin mendapat kesempatan seperti ini Wiradadi. Aku datang sekedar melakukan tugas kami, diutus oleh paman Argajaya. Namun ternyata bahwa kau bersikap seperti seekor serigala. Tingkah lakumu yang liar itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi atas Kanthi."
"Sudahlah," berkata Glagah Putih yang kedua lengannya masih dipegang oleh kedua orang pengikut Wiradadi, "kita tidak perlu memperpanjang persoalan ini," lalu katanya kepada Wiradadi, "Ki Sanak. Biarkan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita anggap bahwa tidak ada persoalan diantara kita."
Tetapi Rara Wulan menyahut, "Ia sudah menghina aku. Aku tidak mau begitu saja berlalu tanpa memberikan hukuman kepadanya sesuai dengan kesalahannya."
"Gila. Kalian memang gila," geram Wiradadi, "Kau kira kami ini, apa he" Dengar, kalian akan menyesal karena kesombongan kalian. Apa-pun yang akan terjadi kemudian atas kalian, maka itu adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri."
"Aku juga akan berkata seperti itu," jawab Rara Wulan, "Apa-pun yang akan terjadi atasmu, itu adalah akibat dari kegilaanmu sendiri."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesabaran Wiradadi benar-benar sudah sampai kebatas. Perempuan cantik itu sudah keterlaluan. Bahkan ia sudah menampar pipinya pula.
Karena itu, maka ia tidak mau lebih banyak berbicara lagi. Ia akan menundukkan gadis itu dan memperlakukannya menurut keinginannya, maka ia-pun segera bersiap untuk menangkap gadis itu. Kepada kedua |pengikutnya ia berkata, "Jaga anak muda itu. Aku akan menyelesaikan perempuan liar ini."
Kata-kata Wiradadi itu hampir tidak selesai diucapkan. Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar mulut Wiradadi.
Wiradadi tidak menunggu lagi. Ia-pun segera meloncat menyerang Rara Wulan.
Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan mengelak meski-pun agak lama ia berbaring dipembaringan dan baru satu dua kali ia berlatih di sanggar setelah ia sembuh dari lukanya, namun ternyata bahwa Rara Wulan memang memiliki kelebihan dari Wiradadi.
Meski-pun Wiradadi agaknya juga memiliki kemampuan dalam ulah kanuragan, tetapi ketika Rara Wulan, yang marah itu menyerang seperti badai yang berhembus dari arah lautan, maka Wiradadi itu-pun segera terdesak.
Rara Wulan tidak memberinya kesempatan. Ketika Wiradadi meloncat mundur menghindari serangan tangannya, maka dengan cepat Rara Wulan meloncat. Ia tidak menyerang dengan tangannya lagi. Tetapi kakinya-pun terjulur lurus menghantam dada.
Wiradadi terlempar beberapa langkah surut, sehingga punggungnya menghantam dinding gubug itu, sehingga dinding itu terkoyak.
Ketika Wiradadi berusaha untuk bangkit, maka Rara Wulan telah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, "Nah, sekarang lakukan periintahku. Berjongkok dihadapanku. Menyembah dan mohon maaf kepadaku."
Harga diri Wiradadi benar-benar tersinggung. Namun ketika ia akan meneriakkan perintah kepada kedua orang pengikutnya, ia melihat keduanya telah terbaring diam disebelah menyebelah anak muda itu. Pingsan tanpa diketahui sebabnya.
Dengan sorot mata yang aneh Wiradadi memandang Glagah Putih yang berdiri diam. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya meski-pun dua orang yang memegangi lengannya itu pingsan.
Namun Wiradadi tidak mau dihinakan oleh Rara Wulan. Karena itu. maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Demikian ia berdiri tegak maka tangannya telah menarik parangnya.
"Anak-anak iblis. Kau apakan kedua orang kawanku itu?" geram Wiradadi.
Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Entahlah. Tiba-tiba saja mereka melepaskan lenganku dan jatuh pingsan."
"Ternyata kau memiliki ilmu iblis. Tetapi kau akan menyesal karena kalian berdua akan mati di pategalan ini."
"Jangan banyak bicara," Rara Wulan, "berjongkoklah dan mohon ampun kepadaku."
Wiradadi tidak menjawab lagi. Tetapi parangnya-pun segera berputar. Katanya, "Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan memenggal kepala kalian dan menguburkan kalian disini."
Tetapi jika aku tidak pulang siang ini, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan mengetahui bahwa aku menemui bencana di Kleringan. Maka Ki Gede tidak akan mempunyai pilihan lain. Kau, orang tuamu, anak istrimu, pamanmu dan semua keluargamu akan dihancurkan oleh Ki Gede dengan pasukannya. Prastawa akan datang tidak sebagai seorang yang akan diadili disini. Tetapi ia akan membawa pasukan segelar-sepapan. Kleringan akan menjadi Karang Abang, Kemana-pun kau akan lari, maka kau akan diburu. Bahkan sampai keliang semut sekalipun."
Wajah Wiradadi menjadi tegang. Namun Rara Wulan tidak ingin Wiradadi ketakutan serta melarikan diri. Ia ingin mencoba untuk berkelahi dan mengalahkannya. Menghukumnya dan lebih dari itu mempermalukannya. Dendam Kanthi seakan-akan telah menjalar dihatinya pula.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, "Cepat, berjongkok."
"Jangan berteriak," Glagah Putih memperingatkan.
"Tidak apa-apa. Serigala licik ini mengatakan bahwa seandainya aku berteriak sekeras guntur sekalipun, tidak akan ada orang yang mendengarnya," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rara Wulan memang dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu. sulit baginya untuk mencegah perkelahian yang memang diinginkan oleh Rara Wulan.
Wiradadi yang berkali-kali merasa tersinggung harga dirinya dan bahkan dengan sengaja dihinakan oleh Rara Wulan, juga tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka ia-pun mulai menyerang dengan garangnya. Parangnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan.
Beberapa kali Rara Wulan memang berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ia telah melepas selendang yang dipinjamnya dari Sekar Merah. Wiradadi semula tidak menghiraukan selendang itu, namun ketika selendang itu berputar semakin cepat dan terdengar suaranya berdesing disertai getar angin yang menerpa wajahnya, maka hatinya mulai tergetar.
Tetapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Ujung selendang itu tiba-tiba telah mulai menyentuh kulitnya.
Wiradadi meloncat surut. Kulitnya terasa pedih oleh sentuhan ujung selendang itu. Bahkan kemudian ternyata bahwa kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman.
Baru kemudian Wiradadi sadar, bahwa selendang itu memang sejenis senjata yang sangat berbahaya.
Demikianlah, maka Wiradadi yang marah itu harus menjadi semakin berhati-hati. Sekali dua kali, ujung selendang itu lelah menyengat kulitnya. Semakin lama terasa semakin sering.
Wiradadi mulai menjadi semakin cemas. Sentuhan itu terasa semakin sakit dikulitnya. Bahkan kemudian sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering dirasakannya.
Tetapi Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Betapa-pun ia berusaha menyerang dengan ujung parangnya, tetapi usahanya selalu sia-sia saja. Rara Wulan itu baginya bagaikan bayangan yang tidak dapat disentuh sama sekali.
Ketika ujung selendang Rara Wulan semakin sering menyakitinya, maka Wiradadi menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ujung selendang yang digantungi bandul timah-timah kecil itu menyambar keningnya sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang.
Wiradadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Keningnya bukan saja menjadi sakit. Tetapi rasa-rasanya tulang pelipisnya menjadi retak
Tetapi sebelum Wiradadi sempat memperbaiki kedudukannya, maka bandul timah diujung selendang itu telah menghantam punggungnya.
Wiradadilah yang kemudian berteriak keras-keras karena kemarahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi sebelum mulutnya terkatub rapat, maka ujung selendang Rara Wulan justru telah menghantam mulutnya.
Terasa bibirnya menjadi pecah. Sebuah giginya tanggal dan darah-pun mulai mengalir dari mulutnya.
Jantung Wiradadi terasa bagaikan membara. Namun ia memang tidak dapat berbuat banyak. Parangnya seakan-akan tidak berarti sama sekali. Selendang itu memang lebih panjang dari parang ditangannya, sehingga sebelum parangnya menggapai sasaran, ujung selendang itu telah mengenai tubuhnya lagi.
Bahkan semakin lama semakin sering.
Dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri rasa-rasanya sudah menjalar diseluruh tubuhnya. Pada kulitnya terdapat noda-noda merah biru. Bahkan beberapa gores luka dan berdarah sebagaimana darah mengalir dari mulutnya.
Akhirnya Ki Wiradadi itu menjadi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa gadis itu tidak akan dapat dilawannya. Jika ia bertahan untuk bertempur terus, maka ia akan dapat menjadi pingsan seperti kedua orang pengikutnya itu.
Karena itu, maka Ki Wiradadi itu-pun dengan sisa tenaganya telah berusaha untuk melarikan diri.
Namun demikian ia berusaha meloncat berlari meninggalkan arena, maka ujung selendang Rara Wulan telah terjulur menggapai kakinya, sehingga Wiradadi itu telah jatuh terjerembab.
Wiradadi tidak sempat lagi melarikan diri. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia melihat sepasang kaki yang renggang didepan matanya. Kaki Rara Wulan.
"Bangkit dan berjongkok," perintah Rara Wulan.
Wiradadi menggeram. Namun ujung selendang Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam punggungnya.
Wiradadi mengaduh kesakitan. Namun yang didengarnya adalah suara Rara Wulan, "Berjongkok dan mohon ampun kepadaku. Tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan Kanthi. Tetapi justru karena kau telah menghina aku. Dengan demikian kau mengerti, bahkan kau-pun telah memperlakukan gadis-gadis lain sebagaimana akan kau lakukan atas aku."
"Tidak. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya," jawab Wiradadi.
"Tetapi sesudahnya?" bertanya Rara Wulan.
"Aku berjanji untuk tidak melakukannya," jawab Wiradadi.
Namun Rara Wulan dengan cepat menyahut, "Omong kosong. Orang-orang seperti kau ini tidak akan dapat dipercaya."
"Sungguh, aku bersumpah," berkata Wiradadi.
Tetapi Rara Wulan membentak, "Aku tidak memerlukan sumpahmu. Cepat berjongkok dan minta ampun kepadaku."
Tetapi Wiradadi yang masih mengingat harga dirinya tidak segera melakukannya.
Namun Rara Wulan-pun menjadi seperti orang yang telah kehilangan nalarnya. Sekali lagi selendangnya terayun dan menghantam punggung Wiradadi, sehingga terdengar Wiradadi itu mengaduh kesakitan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar Rara Wulan meninggalkan Wiradadi yang kesakitan itu.
Tetapi Rara Wulan justru menjawab lantang, "Tidak. Ia harus berjongkok dan mohon ampun. Jika tidak, maka ia akan mati disini. Dua orang yang pingsan itu akan mati juga, sehingga tidak akan ada saksi, apa yang telah aku lakukan disini."
Glagah Putih memang menjadi gelisah. Persoalannya tentu akan berkembang semakin buruk, ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sore nanti jika Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri datang ke rumah Ki Suracala.
Sementara itu, Rara Wulan masih juga mengayunkan selendangnya kepunggung Wiradadi, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau masih juga tidak mau berjongkok dan mohon ampun kepadaku, maka aku akan melecutmu dengan selendangku ini sampai kau mati. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Jika perlu, maka kakang Prastawa aku minta untuk mengerahkan pasukan menghancurkan semua isi Kademangan Kleringan. Apalagi jika Kademangan ini berusaha melindungi keluargamu.
Seperti yang dikatakan, maka Rara Wulan benar-benar mulai menghitung. Namun sampai kehitungan ketiga, maka Wiradadi-pun telah memaksa dirinya untuk berjongkok didepan Rara Wulan sambil berkata, "Baik. Baik. Aku akan minta maaf kepadamu."
"Mohon ampun. Bukan minta maaf. Cepat lakukan sebelum aku mencambukmu lagi."
"Aku mohon ampun," suara Wiradadi hampir tidak terdengar.
"Aku tidak mendengar suaramu. Ulangi," bentak Rara Wulan.
Wiradadi terpaksa mengulanginya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis yang garang dan lebih dari itu, ilmunya ternyata lebih tinggi dari ilmunya.
Karena itu, maka Wiradadi-pun terpaksa mengulangi dengan kata-kata yang lebih keras, "Aku mohon ampun."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun telah bergeser dan berkata, "Marilah, kita tinggalkan tikus-tikus celurut itu."
Glagah Putih mengangguk. Namun ia berkata, "Benahi pakaianmu."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun melangkah masuk kedalam gubug, meski-pun ia tetap berhati-hati. Ketika ia memasuki pintu gubug itu ia berhenti sejenak. Berpaling kepada Wiradadi sambil berkata, "Kau juga akan ikut masuk?"
Wiradadi tidak berani menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat didalam hati.
Rara Wulan-pun kemudian membenahi pakaiannya didalam gubug itu. Hanya beberapa saat. Ia-pun segera keluar lagi. Dikenakannya selendangnya seperti semula, sebagaimana seorang perempuan mengenakan selendang.
Kemudian tanpa mengatakan sepatah katapun, Rara Wulan melangkah meninggalkan pategalan itu diikuti oleh Glagah Putih.
Ketika mereka keluar dan mulut lorong, maka Glagah Putih berdesis, "Kau bersikap terlalu keras Rara."
"Kau dapat berkata begitu karena kau tidak mengalami penghinaan yang mendasar. Kau tahu apa yang akan dilakukan atas diriku" Tidak ada ampun bagi siapa yang demikian. Untung aku masih mampu mengendalikan diri dan tidak membunuhnya."
"Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?" bertanya Glagah Putih.
"Tetapi itu sudah terjadi di kepala orang itu. Itu satu kenyataan bagi angan-angannya. Dan itu sudah sepantasnya ia menerima hukuman yang seharusnya jauh lebih berat dari yang aku lakukan," jawab Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti."
"Aku akan ikut. Jika aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku, aku akan melakukannya," jawab Rara Wulan.
"Kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru tentu tidak akan mengijinkan kau ikut sore nanti."
"Kenapa" Bukankah yang terjadi tadi harus dipertanggungjawabkan" Bukankah aku akan dapat menjadi saksi atas sifat dan watak orang itu?" sahut Rara Wulan.
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa perasaan Rara Wulan sudah menjadi gelap, sehingga sulit baginya untuk dapat berbicara dengan tenang. Namun dalam pada itu, Glagah Putih-pun berkata, "Kita akan mengambil jalan lain. Bukan jalan yang paling baik yang menuju ke Tanah Perdikan."
"Kenapa?" bertanya Rara Wulan.
"Wiradadi dapat menjadi gila. Ia akan dapat mengerahkan banyak orang untuk memburu kita dan mencegat kita sebelum kita memasuki Tanah Perdikan. Karena itu, kita memilih jalan yang lain, sehingga jika ada sekelompok orang yang menyusul kila, mereka tidak akan segera menemukan kita, sehingga kita mencapai batas Tanah Perdikanl Di Tanah Perdikan, kita akan dapat berbuat lebih banyak."
"Apa salahnya jika sekelompok orang dungu itu menyusul kita?" bertanya Rara Wulan
"Bukankah lebih baik jika kita tidak bertemu dengan mereka yang sudah dapat kita bayangkan akibatnya?" bertanya Glagah Putih dengan kata-kata yang berat menekan.
Rara Wulan tidak menjawab. Namun ketika Glagah Putih mengajaknya berbelok melalui jalan kecil, mereka-pun berbelok.
Meski-pun Glagah Putih belum pernah melalui jalan-jalan sempit di Kademangan Kleringan, namun dengan mengenali arah perjalanannya, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke perbatasan Tanah Perdikan Menoreh di lereng pegunungan.
Untunglah bahwa kawan perjalanannya bukan seorang gadis sebagaimana gadis kebanyakan. Ketika mereka melewat jalan berbatu padas dan bahkan kemudian mulai miring di kaki pegunungan, maka Rara Wulan tidak lagi menghiraukan pakaiannya. Ia telah menyingsingkan lagi kain panjangnya, sehingga pakaian khususnyalah yang nampak dikenakannya.
Namun ternyata bahwa Wiradadi tidak mengerahkan orang-orangnya untuk mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Tubuhnya terasa nyeri sedangkan tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Dua orang pengikutnya yang pingsan itu-pun mulai menjadi sadar kembali. Perlahan-lahan mereka mulai menemukan ingatannya, apa yang telah terjadi atas diri mereka. Namun mereka tetap tidak mengetahui, apa yang diperbuat oleh anak muda itu. Ketika mereka siap untuk memaksa anak muda itu agar tidak berbuat sesuatu, tiba-tiba saja mata mereka menjadi berkunang-kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap.
Demikian kedua orang itu melihat Wiradadi yang kesakitan, maka mereka menjadi gugup. Orang yang bertubuh pendek itu bertanya dengan kata-kata yang terbata-bata, "Apa yang terjadi?"
Mata Wiradadi menjadi merah oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Sambil menyeringai menahan sakit Wiradadi yang masih merasa sakit untuk berdiri tegak itu berkata, "Ternyata kalian memang tikus celurut seperti yang dikatakan perempuan liar itu. Apa yang kalian lakukan, sehingga tiba-tiba saja kalian berdua pingsan?"
"Anak itu mempunyai ilmu iblis," desis orang yang berwajah garang.
"Omong kosong. Kalian mencoba untuk menutupi kedunguan kalian, "bentak Wiradadi.
"Kami benar-benar tidak mempunyai kesempatan," berkata orang yang bertubuh pendek. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Tetapi apa yang terjadi dengan Ki Wiradadi?"
"Tutup mulutmu," bentak Wiradadi. Ia mencoba untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia menggerakkan kakinya, maka terasa nyeri yang sangat telah menyengat punggungnya.
Meski-pun demikian, Wiradadi memaksa dirinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak segera kembali. Untuk mengurangi kesan buruk atas dirinya, maka Wiradadi telah turun ke sungai untuk mandi. Ia harus menghapus titik-titik darah yang meleleh dari mulutnya, serta balur-balur luka di tubuhnya. Jika ia mandi, maka tubuhnya akan nampak segar kembali, meski-pun mula-mula tentu terasa perih.
Namun Wiradadi tetap saja merasa ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atau tidak.
Tetapi rasa-rasanya dendam telah membuat jantungnya membara.
Ketika Wiradadi kemudian pulang ke rumah Suracala, maka keadaannya memang nampak lebih baik. Bekas-bekas perkelahiannya tidak lagi nampak jelas. Dengan demikian maka orang-orang yang bertemu di jalan pulang, tidak mengetahui bahwa Wiradadi baru saja mengalami kesulitan menghadapi seorang gadis yang garang.
Namun Wiradadi ingin memberitahukan apa yang telah terjadi atas dirinya kepada ayahnya. Kepada pamannya dan kepada orang-orang lain yang ada di rumahnya, meski-pun harus dibumbuinya dengan kebohongan. Jika sore nanti benar-benar utusan Ki Argajaya datang, maka mereka harus mengalami perlakuan yang sama sebagaimana gadis itu memerlakukan dirinya. Sebenarnyalah, ketika Wiradadi itu sampai di rumah, ia-pun langsung bertemu dengan ayahnya, dengan Ki Suracala dan dengan seorang pamannya yang lain. Ki Suradipa.
"Apa yang terjadi atas dirimu?" bertanya Ki Suratapa, ayahnya. Ia adalah sepupu Ki Suracala, yang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Umurnya memang lebih tua dari Ki Suracala, meski-pun tidak terpaut terlalu banyak. Sedangkan seorang lagi sepupu Ki Suracala adalah orang yang bertubuh tinggi kekar yang sikapnya justru sangat keras terhadap keluarga Ki Argajaya.
Wiradadi memang ragu-ragu menceriterakan, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu terutama kepada Ki Suracala sendiri.
Karena itu, ketika ia berjalan pulang, dua orang pengikutnya telah dibekalinya dengan ceritera dusta, sebagaimana diceriterakannya kepada ayah dan paman-pamannya.
"Kami tahu bahwa kedua orang itu kemarin sudah mengamati rumah ini," berkata Wiradadi, "karena itu, maka aku berniat untuk bertanya kepada mereka, untuk apa mereka kemarin datang kemari dan kemudian hari ini mereka datang pula. Ketika kami menemui mereka diluar padukuhan, ternyata mereka membawa beberapa orang kawan."
"Jadi mereka tidak hanya berdua?" bertanya Ki Suratapa.
"Ya. Lebih dari lima orang. Mereka membawa aku ke pategalan. Dan mereka telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang."
"Dan kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?" bertanya Suratapa.
"Aku, maksudmu kami bertiga, telah melawan. Tetapi jumlah mereka lebih banyak, sehingga kami berada dalam kesulitan," jawab Wiradadi.
"Kenapa salah seorang dari kalian tidak memberitahukan kepada kami?" bertanya Suradipa.
"Ternyata bahwa kami tidak perlu melakukannya, paman," jawab Wiradadi, "mereka telah melarikan diri."
"Dan kalian tidak mengejarnya dan menangkap seorang dari mereka?" bertanya Suradipa.
"Mereka telah berlari memencar. Sementara itu, kami memang tidak ingin membuat padukuhan ini dan apalagi kademangan ini menjadi gaduh," jawab Wiradadi.
"Tetapi bukankah ada diantara mereka seorang perempuan?" bertanya Ki Suratapa.
"Ketika terjadi perkelahian, maka perempuan dan anak muda yang datang kemari itu sudah pergi. Mereka meninggalkan kawan-kawannya sehingga sulit bagi kami untuk melacak jejaknya."
Suratapa itu-pun menggeram. Dengan nada garang ia berkata, "iblis yang tidak tahu diri. Tentu siasat Argajaya yang licik."
"Siapa yang licik diantara kita dan keluarga Ki Argajaya," bertanya Ki Suracala.
"Kau juga gila," geram Suratapa, "kita sudah sepakat untuk memilih jalan terbaik. Kenapa kau masih ragu-ragu?"
"Apakah benar kita sudah sepakat?" bertanya Ki Suracala.
"Jadi kau mau apa" Kau akan membiarkan cucumu lahir tanpa ayah?" bertanya Ki Suratapa.
"Bukankah aku mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik daripada menyangkutkan keluarga Ki Argajaya?"
"Kau masih saja dungu," geram Ki Suratapa, "aku bermaksud baik. Jika Prastawa kawin dengan anakmu, maka kau akan dapat berharap ikut berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh. Anak Argapati itu tentu akan lebih senang mengikuti suaminya di Sangkal Putung dan akan mengabaikan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, hanya tinggal Prastawa yang ada diantara keluarga Ki Argapati."
"Tetapi Ki Argajaya bukan sejenis lembu perahan yang akan menurut saja diperas tanpa berbuat sesuatu" Ia akan dapat berbuat banyak sebagai adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Menoreh tidak akan mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Jika demikian maka mereka akan berhadap dengan Kademangan Kleringan. Kau kira Tanah Perdikan berani menghadapi Kademangan Kleringan" Aku yakin, bahwa aku akan dapat mempengaruhi Ki Demang Klering jika Argajaya berniat menggerakkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh untuk kepentingan pribadinya. Aku-pun mengira, bahwa Ki Argapati tidak akan memberikan kesempatan Ki Argajaya berbuat demikian. Nama Argajaya itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh sudah tersisih sejak ia memberontak melawan kakaknya. Namun ternyata bahwa anaknya masih dianggap seorang pemimpin yang baik di Tanah Perdikan."
"Ternyata kau tidak dapat membaca keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau kira Ki Demang Kleringan berani melawan Tanah Perdikan Menoreh" Kecuali jika Ki Demang ingin melebur Kademangan ini menjadi debu," berkata Ki Suracala.
"Kami akan membatasi persoalan ini sebagai persoalan keluarga. Kami akan menyinggung harga diri keluarga Ki Argajaya agar tidak mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Nah, kita akan mencobanya sore nanti." desis Suradipa.
Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Apa yang akan kalian lakukan sore nanti?"
"Kita akan melihat, apakah keterangan mereka memuaskan atau tidak. Jika mereka masih berbelit-belit dan tidak mau dengan tangan terbuka menerima tawaran kita agar Prastawa segera menikah dengan Kanthi, maka kita akan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang Argajaya memperlakukan Wiradadi," berkata Ki Suratapa.
"Itu tidak adil," berkata Ki Suracala.
"Apa yang tidak adil" Bukankah itu justru adil sekali?" Suradipa justru bertanya.
"Terus terang, aku tidak yakin akan kebenaran ceritera Wiradadi," berkata Ki Suracala.
"Kau selalu berprasangka buruk," geram Ki Suratapa, "aku peringatkan, bahwa kau tidak mempunyai kesempatan apa-pun untuk menentukan sikap. Kau berada dibawah kekuasaan kami. Kau harus mengakui kenyataan buruk tentang anakmu. Ia telah menjerat Wiradadi yang sudah beristeri. Seharusnya ia tahu, bahwa tingkah lakunya sangat tercela bagi seorang gadis. Lebih dari itu, maka anakmu harus mengetahui bahwa tidak boleh terjadi perkawinan diantara saudara pada keturunan ketiga. Sedangkan keturunan kedua justru tidak ada keberatannya. Perkawinan antara saudara sepupu tidak menjadi pantangan bagi kita." Ki Suratapa itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada berat, "Suracala. Kau harus mempertimbangkan satu kemungkinan bahwa sebenarnya Kanthi memang sudah merasa mulai mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Baru kemudian karena Prastawa ingkar, maka ia telah menjebak Wiradadi, kakangnya sendiri. Namun sayang, justru pada keturunan ketiga."
"Tidak. Bohong. Itu fitnah. Anakku tidak pernah berhubungan dengan Prastawa lebih dari hubungan persahabatan sebagaimana aku dengan adi Prastawa," jawab Ki Suracala.
"Apakah kau tidak pernah mendengar pengakuan kanthi, bahwa ia memang mencintai Prastawa?" bertanya Suradipa.
"Seandainya demikian, mereka tentu tidak akan melakukan larangan itu," jawab Suracala
Suratapa dan Suradipa tertawa. Dengan nada tinggi Suratapa berkata, "Kau memang keras kepala. Karena itu, kami akan menentukan kehendak kami tanpa minta persetujuanmu. Ingat, kau tidak akan dapat melawan kehendak kami. karena kami bermaksud baik terhadap Kanthi. Kami memang merasa kasihan kepadanya."
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak mempunyai kekuatan apa-pun untuk mendukung sikapnya. Tetapi ia yakin bahwa Prastawa memang tidak bersalah.
Namun Suracala memang menjadi cemas, bahwa sore nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Utusan Ki Argajaya akan dapat mengalami kesulitan. Bahkan mungkin bencana.
"Wiradadi memang iblis," geram Ki Suracala didalam hatinya.
Namun Ki Suracala-pun memperhitungkan bahwa Ki Argajaya tidak akan dapat berbuat banyak. Seandainya ia mengalami kesulitan, maka kakaknya, Ki Argapati belum tentu akan mau ikut campur, meski-pun Prastawa terhitung salah seorang diantara para pemimpin pengawal di Tanah Perdikan. Ki Argajaya yang sudah bertahun-tahun tersisih, agaknya tidak akan dapat menggerakkan hati Ki Gede. Bahkan mungkin Prastawa justru akan dapat disisihkan karena timah yang dilemparkan oleh keluarga Wiradadi yang menyangkut anak gadisnya, Kanthi.
Ki Suracala memang menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras, melontarkan gejolak didalam hatinya. Ingin rasa-rasanya ia meneriakkan kebenaran yang terjadi atas anak gadisnya yang ternyata memang sedang mengandung itu. Tetapi suaranya tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya.
Yang dapat dilakukan memang hanya menunggu dengan berdebar-debar, apa yang akan terjadi sore nanti jika utusan Ki Argajaya benar-benar datang ke rumahnya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Suratapa telah mempersiapkan sekelompok orang dapat membalas sakit hati anaknya. Tetapi Ki Suratapa sudah berpesan, agar mereka tidak bertindak lebih dahulu sebelum ada perintahnya. Ia harus mendengar lebih dahulu, hasil pembicaraan yang akan dilakukan.
"Jika hasilnya baik, sehingga perkawinan itu akan segera dapat dilaksanakan, maka kita akan melupakan kesalahan mereka atas Wiradadi. Tetapi jika mereka masih menunda-nunda mengalami nasib buruk," berkata Ki Suratapa.
Orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban, namun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar menjawab, "Kami sudah cukup sabar menunggu. Jangan kecewakan cantrik-cantrikku."
"Aku mengerti," jawab Ki Suratapa, "tetapi ingat, bahwa di Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu mereka, karena sudah agak lama aku meninggalkan Kleringan. Jika sekarang aku kembali itu adalah karena ada persoalan yang menyangkut anakku disini."
"Kemana kau pergi selama ini" Bukankah kau hanya bergeser sedikit ke Barat dan tinggal di Pringsurat."
"Ya," jawab Suratapa, "meski-pun tidak terlalu jauh, tetapi perhatianku sama sekali tidak pernah lagi tertuju pada Kademangan ini, apalagi Tanah Perdikan Menoreh."
"Jangan cemas. Padepokanku tidak akan mengecewakanmu. Terserah kepadamu, percaya atau tidak."
Ki Suratapa mengangguk-angguk. Tetapi ia-pun kemudian berkata, "Bagaimana-pun juga, menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kita harus berhati-hati. Seandainya mata kita buta, tetapi kuping kita tentu mendengar. Sebaliknya seandainya kuping kita tuli, kita-pun dapat melihat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang berilmu tinggi."
"Apakah kau memperkirakan bahwa Ki Argajaya akan memanfaatkan kedudukan kakaknya?" bertanya orang itu.
"Aku kira tidak. Bagaimana-pun juga ia masih mempunyai harga diri. Kecuali itu, Ki Gede tidak akan mudah melupakan pengkhianatan adiknya itu, sehingga mungkin justru Prastawalah yang akan disingkirkan," jawab Suratapa.
"Segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi satu hal yang sudah pernah aku katakan dan masih tetap berlaku. Aku tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan mengerahkan pasukan pengawalnya. Padepokanku bahkan bergabung dengan Kademangan Kleringan sekali-pun tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi jika hanya sekelompok orang, apalagi keluarga dekat Ki Argajaya atau orang-orang upahannya, aku akan menghancurkan mereka."
"Tetapi jika benar kata-kata Wiradadi, agaknya Argajaya sudah benar-benar menjadi gila," berkata Suratapa.
"Jika hanya kelompok-kelompok kecil seperti itu, maka persoalannya akan mudah diatasi. Bahkan jika perlu, kita ambil saja Argajaya itu sendiri untuk memaksa Prastawa memenuhi keinginanmu serta keluarga Suracala."
"Kakang Suracala juga hampir menjadi gila," geram Suratapa.
"Suracala bukan apa-apa," jawab orang itu.
"Nah, hati-hatilah. Bersiaplah. Aku tidak tahu berapa jumlah utusan Ki Argajaya. Tetapi sudah tentu tidak sejumlah pengawal di Tanah Perdikan Menoreh," berkata Suratapa.
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau nampak sangat cemas."
"Kita harus membuat perhitungan yang cermat. Argajaya tidak akan berani berbuat gila dengan mengirimkan orang kemari dan menyerang Wiradadi jika ia tidak merasa memiliki kekuatan."
"Kenapa ia menyerang Wiradadi" Apakah ia mengetahui persoalan yang menyangkut Wiradadi?" bertanya kawan Suratapa itu.
"Seharusnya tidak. Tetapi mungkin justru Wiradadilah yang dijumpainya, sehingga secara kebetulan ia menjadi sasaran kegilaan Argajaya atau bahkan Prastawa."
"Apakah mungkin mereka termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh" Justru Pengawal terpilih yang dikirim oleh Prastawa untuk menakut-nakuti kalian karena kalian telah menakut-nakuti ayahnya. Sementara itu Prastawa merasa pasti bahwa ia tidak bersalah?"
"Nah, bukan aku yang menjadi cemas. Tetapi kau sudah menjadi ragu-ragu pula," berkata Suratapa.
"Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bebanku ringan. Jika persoalannya kemudian melibatkan Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak bertanggung jawab. Aku dapat pergi begitu saja dan membiarkan Kademangan ini digilas oleh kekuatan Tanah Perdikan."
"Setan kau," geram Suratapa.
Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, "Jangan cemas. Jika utusannya sore nanti tidak membuat persoalannya menjadi jernih, maka kami akan melakukan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami telah menyiapkan sepuluh orang berilmu tinggi. Lima orang dari perguruanku sendiri. Sedangkan lima orang dari perguruan lain. Bukan karena aku tidak mempunyai orang cukup, tetapi melibatkan perguruan lain akan mempunyai pengaruh yang baik jika terjadi permusuhan yang panjang dikemudian hari. Setidak-tidaknya ada kawan untuk memanggul beban. Nanti sore aku akan melibatkan tiga perguruan yang besar dari Barat."
Suratapa mengangguk-angguk.
Namun orang itu kemudian berkata, "Tetapi seperti yang kau janjikan. Kami akan mendapat imbalan yang cukup."
Suratapa mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mempunyai berpuluh-puluh ekor lembu dan kerbau. Kau tahu itu. Sementara itu keluarga Wiradadi perlu diselamatkan." Suratapa itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Bukankah kau tahu, siapakah mertua Wiradadi itu?"
"Ya. Tetapi kenapa ia tidak kau libatkan sekarang?" bertanya orang itu.
"Untuk sementara mereka tidak usah mengetahui apa yang terjadi disini. Tetapi jika perlu, maka kami dapat membohonginya sebagaimana kami membohongi Argajaya. Jika. mertua Wiradadi sudah termakan, maka persoalannya akan meluas."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia-pun mengerti, kenapa Suratapa belum melibatkan mertua Wiradadi. Agaknya jika mungkin persoalan antara Wiradadi dan Kanthi akan disembunyikan saja. Namun jika tidak mungkin, maka fitnah atas Prastawa akan diperluas lagi.
Demikianlah, maka semua persiapan dilakukan seandainya pembicaraan Ki Suracala dengan utusan Ki Argajaya itu gagal. Mereka akan memperlakukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tindak kekerasan sebagaimana mereka lakukan atas Wiradadi sesuai dengan laporan Wiradadi itu sendiri.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Mereka telah memberitahukan apa yang terjadi di Kademangan Kleringan itu kepada Ki Jayaraga.
"Nanti sore aku akan ikut," berkata Rara Wulan dengan tegas.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah yang ikut mendengarkan laporan Rara Wulan dan Glagah Putih itu-pun menjadi berdebar-debar. Ternyata persoalannya menjadi semakin rumit.
"Tetapi itu bukan salah kami, mbokayu," berkata Rara Wulan kemudian kepada Sekar Mirah. "Mereka mencegat kami."
Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. Memang bukan salah kalian."
"Karena itu, nanti sore aku harus ikut. Aku akan menjelaskan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa orang yang bernama Wiradadi itu memang serigala."
"Tetapi kita tidak akan dapat mengatakan bahwa kau telah bertemu dengan Kanthi," berkata Sekar Mirah.
"Kenapa" Aku tidak takut. Biarlah hal itu dikatakan. Jika mereka mendendam kami berdua, kami tidak keberatan," jawab Rara Wulan.
"Aku percaya. Tetapi yang juga akan mengalami kesulitan adalah Kanthi itu sendiri. Bukankah ayahnya tidak lagi mampu melindunginya karena tingkah laku saudara sepupunya itu?" sahut Sekar Mirah.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, "mBokayumu benar, Rara. Kau dan angger Glagah Putih dan berangkali kita semuanya akan dapat meninggalkan mereka dan kembali ke Tanah Perdikan ini. Tetapi bagaimana dengan Kanthi" Bagaimana pula dengan Ki Suracala?"
Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, "Memang, kasihan Kanthi."
"Karena itu, kami tidak dapat membawa-bawa nama Kanthi. Tetapi kita sudah mengetahui kebenaran dari persoalan yang kami hadapi. Jelasnya, Prastawa tidak bersalah," berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, "Tentang apakah kau dapat ikut atau tidak, sebaiknya kita bicarakan nanti dengan kakangmu Agung Sedayu dan kakang Swandaru."
"Tetapi bagaimana dengan pendapat mbokayu sendiri" Dan bagaimana dengan Ki Jayaraga?" bertanya Rara Wulan. "Apa sebenarnya keberatannya jika aku ikut" Aku tidak akan mengganggu pembicaraan Ki Jayaraga. Tetapi jika mereka berdusta, aku dapat menjadi saksi."
"Berdusta tentang apa" Tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau tentang Prastawa?" bekerja Sekar Mirah.
Rara Wulan memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tentang semuanya. Tentang semuanya."
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Rara Wulan nampaknya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Wiradadi atasnya, sehingga kemarahannya masih saja melonjak-lonjak.
Sambil mengangguk-angguk Sekar Mirah-pun berkata, "Baiklah. Kita menunggu kakang Agung Sedayu. Kakang sudah mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal agar kita tidak terlalu malam sampai di Kleringan."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya masih nampak gelap. Sementara itu Sekar Mirah berkata, "Sekarang, beristirahatlah Rara. Kau tentu letih."
Rara Wulan mengangguk kecil. Ia-pun kemudian telah pergi ke biliknya. Namun Rara Wulan sama sekali tidak beristirahat, justru memasuki sanggar seorang diri.
Tetapi Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Mereka tahu bahwa Rara Wulan ingin melepaskan gejolak yang menghimpit jantung di dadanya.
Sebenarnyalah Rara Wulan-pun telah melakukan latihan-latihan berat seorang diri. Seakan-akan ia ingin tahu, puncak kemampuannya selama ia berguru kepada Sekar Mirah. Bahkan kemudian, ia-pun telah berlatih dengan selendang yang masih belum dikembalikan kepada Sekar Mirah, karena ia tahu, bahwa Sekar Mirah tidak hanya memiliki selembar.
Seperti yang dikatakan, ternyata Agung Sedayu pulang lebih awal dari biasanya. Ia-pun segera minta agar Glagah Putih pergi menemui Swandaru untuk menatakan, bahwa Agung Sedayu telah berada di rumah.
"Sebentar lagi, kami akan datang. Kita akan segera berangkat ke Kleringan," pesan Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Karena itu, kami minta Swandaru berdua mempersiapkan diri."
Demikian Glagah Pulih berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru, maka Sekar Mirah-pun telah memberitahukan persoalan yang dihadapi Rara Wulan dan Glagah Putih diperjalanan.
"Orang itu memang keterlaluan, "desis Agung Sedayu.
"Sore ini Rara Wulan memaksa untuk ikut," berkata Sekar Mirah pula, "nampaknya kemarahannya masih memanasi jantungnya."
"Dimana ia sekarang," bertanya Agung Sedayu.
"Ia berada di sanggar. Sudah cukup lama," jawab Sekar Mirah.
Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu-pun minta pertimbangan, bagaimana sebaiknya dengan Rara Wulan.
"Seandainya kita melarangnya, mungkin ia akan menyusul meski-pun hanya sendiri," berkata Ki Jayaraga.
"Apakah Glagah Putih tidak dapat mencegahnya?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Agaknya terlalu sulit untuk menahan agar anak tidak pergi," jawab Ki Jayaraga.
Agung Sedayu memang menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Jayaraga, "Apakah lebih baik anak itu kita bawa daripada ia berbuat sesuatu diluar pengetahuan kita?"
Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, "Aku kira memang demikian. Tetapi ia harus berjanji, bahwa ia akan menurut perintah kita. Gadis itu tidak boleh berbuat menurut kehendaknya sendiri."
Namun Sekar Mirah-pun berkata, "Nampaknya pembicaraan akan menjadi keras."
"Aku juga menduga demikian. Bahkan seandainya Rara Wulan tidak terlibat dalam perkelahian sekalipun, persoalannya akan menjadi rumit. Mereka menghendaki kita memberikan jawaban hanya soal waktu. Kapan pernikahan dilaksanakan, akan menikahinya karena ia memang tidak seharusnya bertanggung jawab."
"Memang nampaknya tidak ada pilihan lain. Kita tidak tahu, apakah mereka sudah mempersiapkan sekelompok orang untuk menyambut kedatangan kita dengan caranya," berkata Ki Jayaraga.
"Kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya," berkata Agung Sedayu kemudian.
Agung Sedayu-pun kemudian minta agar Sekar Mirah memanggil Rara Wulan. Jika ia memang akan ikut, sebaiknya ia mandi dan berbenah diri.
"Kita akan segera berangkat. Jika kita terlalu lama, maka Swandaru akan terlalu lama menunggu," berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Sekar Mirah-pun segera memanggil Rara Wulan yang berada didalam sanggar. Ketika Sekar Mirah memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah datang, maka Rara Wulan-pun segera akan berlari.
"Kau mau kemana, Rara?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku akan minta kepada Kakang Agung Sedayu agar diperkenankan untuk ikut pergi ke Klering," jawab Rara Wulan.
"Aku sudah mengatakannya," jawab Sekar Mirah.
"Lalu?" wajah Rara Wulan menadi tegang.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kakangmu tidak berkeberatan."
"Jadi aku boleh ikut?" bertanya Rara Wulan.
"Ya. Kau boleh ikut," jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan-pun segera meloncat memeluk Sekar Mirah dan menciumnya sambil berkata, "Terima kasih. Aku akan berkemas."
"Tetapi ada syaratnya, Rara," berkata Sekar Mirah kemudian.
"Syaratnya apa?" bertanya Rara Wulan dengan dahi berkerut.
"Rara harus menurut segala perintah Ki Jayaraga," jawab sekar Mirah, "karena Ki Jayaraga adalah orang yang diserahi memimpin kita semuanya sebagai utusan Ki Argajaya."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Ya. Aku berjanji."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah-pun telah berpakaian rapi pula. Karena Rara Wulan akan ikut, maka Glagah Putih-pun akan ikut pula.
Kepada anak yang tinggal di rumahnya, Agung Sedayu berpesan agar ia melayani Wacana sebaik-baiknya.
"Bantulah jika diperlukan, keadaannya sudah berangsur baik," berkata Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu minta diri, Wacana yang sudah dapat duduk dan bahkan berjalan selangkah-selangkah itu bertanya, "Apakah kalian akan pergi ke sebuah peralatan?"
"Tidak," jawab Agung Sedayu. " Kami sedang diutus oleh Ki Argajaya untuk membicarakan anaknya, Prastawa."
"Melamar?" bertanya Wacana pula.
"Juga tidak," jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
"Jadi?" desak Wacana yang keheranan.
"Justru membatalkan satu pembicaraan tentang pernikahan Prastawa. Tetapi sejak pertama, pembicaraan tentang pernikahan itu sudah tidak wajar," jawab Agung Sedayu.
Wacana hanya mengangguk-angguk saja. Persoalan yang dibawa oleh Agung Sedayu itu tentu berbelit, sehingga untuk menjelaskannya diperlukan waktu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, seisi rumah itu-pun telah berangkat. Mereka lebih dahulu singgah di rumah Ki Gede. Kemudian bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi, mereka berangkat ke Kademangan Kleringan.
Namun sebelum mereka berangkat, maka Agung Sedayu telah memberikan sedikit cerita tentang peristiwa yang terjadi atas Rara Wulan sehingga mereka-pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, "Pandan Wangi telah bersiap menghadapinya. Karena persoalannya telah jelas. Kita tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Sementara itu, bagi mereka sikap ini berarti kekerasan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi betapa-pun beban itu memberati keberangkatan kita, tetapi kita harus berusaha. Sejauh dapat kita lakukan."
Swandaru justru tertawa. Katanya, "Satu harapan yang sia-sia. Sebaiknya kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Meski-pun demikian tidak ada diantara kita yang menunjukkan sikap seperti itu. Kita semuanya tidak ada yang semata-mata membawa senjata."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Senjata Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak nampak karena berada dibawah baju mereka. Sementara itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan membawa selendang, Sedangkan Pandan Wangi membawa sepasang pisau belati di lambung dibawah bajunya yang longgar.
Pisau belati memang hanya pendek saja, sehingga sama sekali tidak nampak justru karena Pandan Wangi memakai baju yang longgar.
Ada-pun Glagah Putih telah mengenakan ikat pinggang kulitnya yang juga merupakan senjatanya yang diandalkannya.
Hanya Ki Jayaraga sajalah yang memang tidak membawa senjata, tetapi ia memiliki kemampuan untuk mempergunakan ikat kepalanya. Baik sebagai perisai mau-pun sebagai senjata jika diperlukan, meski-pun Ki Jayaraga tidak memiliki ikat kepala khusus sebagaimana Ki Waskita.
Ki Gede yang sudah mendapat penjelasan tentang keadaan yang akan dihadapi oleh sekelompok orang yang pergi ke Kademangan Kleringan itu memang menjadi berdebar-debar. Namun Ki Gede memang tidak menawarkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya menurut Ki Gede memang persoalan pribadi.
"Berhati-hatilah," pesan Ki Gede, "namun bagaimana-pun juga kalian harus berusaha untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mempergunakan kekerasan. Mungkin angger Swandaru benar bahwa harapan itu akan sia-sia. Tetapi segala sesuatunya yang belum terjadi itu tidak lebih dari satu kemungkinan yang masih dipengaruhi oleh keadaan terakhir dari persoalan itu sendiri. Tetapi juga mungkin sekali pengaruh lain."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena yang mengatakannya adalah mertuanya, maka ia tidak mengatakan sesuatu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajaya itu telah berangkat. Prastawa sendiri tidak ikut bersama utusan itu. Namun ketika ia berdiri diregol saat utusan itu berangkat, Prastawa sempat bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah aku harus mempersiapkan sekelompok pengawal terpilih dan memasuki Kademangan Kleringan?"
"Jangan," berkata Agung Sedayu, "jika hal itu kau lakukan, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ki Demang Kleringan akan dapat tersinggung."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika Ki Demang Kleringan tersinggung, ia mau apa" Jika ia melibatkan diri dalam persoalan ini, maka aku akan menggilas Kleringan dengan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh."
"Tidak. Itu tidak perlu. Serahkan segala-galanya kepada kami. Kami akan berusaha membuat penyelesaian terbaik."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimana-pun juga, ia merasa cemas atas keselamatan orang-orang yang telah dipilih menjadi utusan ayahnya untuk pergi ke Kleringan itu.
Namun Prastawa berusaha untuk meyakini bahwa yang pergi ke Kademangan Kleringan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu menurut perhitungannya, Ki Demang Kleringan tentu tidak akan melibatkan dirinya. Bahkan mungkin Ki Demang tidak tahu menahu persoalan yang menyangkut dirinya itu.
Keberangkatan beberapa orang ke Kademangan Kleringan memang menarik perhatian. Orang-orang yang berpapasan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana.
"Kami akan pergi ke Kleringan," jawab Agung Sedayu, "ada persoalan sedikit menyangkut hubungan Kleringan dan Tanah Perdikan setelah orang-orang diperkemahan itu terusir."
"Apakah orang-orang Kleringan akan membuat persoalan?" bertanya seorang anak muda.
"Tidak. Bukan itu. Tetapi bagaimana kita akan bersama-sama menangani perkemahan yang ditinggalkan oleh para penghuninya, karena sebagian dari perkemahan itu berada di Tanah Perdikan. Tetapi ada pula yang berada di Kademangan Kleringan."
"Kenapa Ki Gede tidak memanggil saja Ki Demang Kleringan, sehingga beberapa orang Tanah Perdikan harus pergi kesana?" bertanya anak muda yang lain.
"Karena selain pembicaraan yang sungguh-sungguh, kami akan melihat keadaannya," jawab Agung Sedayu pula.
Jawaban itu agaknya dapat memberi kepuasan sedikit kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan itu.
Sementara itu. Ki Suratapa benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak di kehendakinya. Kawannya sudah mempersiapkan sepuluh orang berilmu tinggi untuk melakukan tindak kekerasan jika pembicaraan yang akan dilakukan itu gagal.
Dengan kesadaran bahwa di Tanah Perdikan ada orang-orang yang berilmu tinggi, maka sepuluh orang yang dipilih adalah orang-orang yang menurut perhitungan mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Mereka bukan sekelompok orang dari satu perguruan. Tetapi kawan Ki Suratapa itu telah membawa orang-orang terbaik dari tiga perguruan yang lain.
"Seandainya yang datang sebagai utusan Ki Argajaya itu berjumlah duapuluh orang sekalipun, maka kami tentu akan dapat mengatasinya," berkata kawan Ki Suratapa itu.
"Aku dan Suradipa tentu tidak hanya akan tinggal diam," berkata Ki Suratapa. "Hanya Suracala sajalah yang tidak dapat kami harapkan. Wiradadi dan kedua orang kawannya, yang tadi siang sudah harus menghalau sekelompok orang dari Tanah Perdikan tentu masih mendendam."
"Kalian tidak perlu turut campur," berkata kawan Ki Suradipa itu, namun katanya selanjutnya, "kecuali jika kalian sendiri menginginkan untuk membalas dendam dengan tangan kalian sendiri."
"Ya," jawab Suratapa, "Wiradadi tentu ingin menangkap orang yang siang tadi telah memperlakukannya dengan kasar atau salah seorang dari mereka, jika nanti ikut datang kemari."
Kawan Ki Suratapa itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan berada diluar padukuhan. Jika kami harus bertindak, maka kami akan lebih bebas melakukannya. Karena itu maka apa-pun yang harus kami lakukan, kau harus mengirimkan orangmu menemui kami di bulak diluar padukuhan."
"Sekali lagi aku ingatkan meski-pun kalian sudah mengerti, bahwa di Tanah Perdikan banyak terdapat orang berilmu tinggi."
"Ya. Tetapi kami sudah siap. Meski-pun demikian, kami tetap ragu-ragu bahwa Ki Gede akan membantu adiknya yang telah mengkhianatinya. Meski-pun demikian, aku-pun ingin mengingatkanmu, bahwa kami tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan langsung melibatkan pasukan pengawalnya."
"Menurut perhitunganku, hal itu tidak mungkin dilakukan," jawab Ki Suratapa.
"Baiklah. Ada-pun yang akan terjadi kemudian adalah tanggung jawabmu Suratapa. Tetapi jangan cemaskan tentang orang-orang yang bakal datang sore ini."
Dengan demikian, maka sepuluh orang yang sudah dipersiapkan itu telah mengambil tempat diluar padukuhan. Mereka berada dipategalan. Namun dua orang diantara mereka duduk di pinggir jalan untuk melihat siapa saja yang bakal datang ke rumah Ki Suracala.
Ketika matahari menjadi semakin rendah disisi Barat, maka seorang yang ditugaskan oleh Ki Suratapa untuk melihat-lihat keadaan dengan bergegas lewat jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu. Ketika kedua orang yang menunggu itu melihatnya, maka orang itu-pun dihentikannya.
"Apakah mereka sudah datang?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Ya, aku sudah melihat mereka," jawab orang itu.
"Berapa orang?"
"Belum jelas. Tetapi kurang dari sepuluh. Separo dari mereka adalah perempuan," jawab orang itu.
"Perempuan?" "Ya. Mereka nampaknya utusan resmi Ki Argajaya. Menilik pakaiannya mereka seperti orang yang sedang pergi melamar. Resmi sekali."
"Licik. Ki Argajaya bersembunyi di belakang punggung perempuan. Tadi pagi ia mengutus anak-anak. Bahkan seorang diantaranya juga perempuan. Agaknya ia tidak mempunyai cara yang lebih jantan untuk membuat penyelesaian masalahnya."
"Sudahlah," berkata orang itu, "aku akan menyampaikan kabar ini kepada Ki Suratapa."
Kedua orang itu tidak mencegahnya, sehingga orang itu-pun segera berlari-lari kecil menujuke padukuhan.
Kedua orang itu-pun segera memberitahukan kedatangan orang-orang Tanah Perdikan itu kepada kawan-kawannya. Mereka memang menjadi sangat kecewa, bahkan ada yang mengumpat-umpat ketika mereka tahu bahwa yang datang separo diantaranya adalah perempuan, sehingga dengan demikian, maka kemungkinan terjadinya kekerasan menjadi kecil.
"Aku sudah kehilangan banyak waktu. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa disini, lalu waktu yang hilang itu benar-benar tidak berarti lagi."
"Kita masih menunggu. Jika perlu, maka perempuan-perempuan itu justru akan dapat menjadi bahan taruhan jika Ki Argajaya menjadi keras kepala."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang berkumis lebat berkata dengan suaranya yang mengguntur, "Sudah aku katakan, bahwa aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku. Jika mereka membawa perempuan kepadaku, itu salah mereka."
"Apa-pun yang dapat kita lakukan, tetapi kita masih tetap terikat pada tugas yang sudah kita bicarakan dengan Suratapa. Karena itu, maka kita harus menunggu, apa saja yang dapat kita lakukan atas orang-orang yang datang ke padukuhan itu."
"Jika aku berbuat atas tanggung jawabku sendiri, maka tidak seorang-pun yang mampu mencegah aku," jawab orang berkumis lebat itu.
"Kau dapat melakukannya setelah tugas pokok kita selesai. Ingat, yang menentukan adalah Suratapa."
Orang itu tidak menjawab. Sementara orang yang berkepala botak berkata, "Kita lihat, siapa saja yang lewat."
"Jika kita semuanya turun ke jalan, maka mereka tentu akan membuat perhitungan tentang kehadiran kita."
"Tetapi mereka sudah ada disini. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka akan kembali, kita justru akan menggiring mereka, agar mereka berjalan terus."
Ternyata yang lain-pun sependapat. Karena itu, maka sepuluh orang itu-pun telah pergi ke pinggir jalan. Namun mereka masih juga berusaha untuk tidak semata-mata berkumpul sepuluh orang. Tetapi mereka berusaha untuk menebar.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, maka lewat sebuah iring-iringan kecil. Mereka adalah Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Swandaru, Glagah Putih, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan.
Ketika mereka melewati beberapa orang yang duduk di pinggir jalan meski-pun menebar, panggraita mereka sudah tersentuh. Nampaknya orang-orang yang duduk di pinggir jalan itu bukan para petani yang memiliki kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan itu.
Tetapi sepanjang orang-orang itu tidak berbuat sesuatu, maka Ki Jayaraga dan para pengiringnya sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dengan tenangnya orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu melintasi mereka, orang-orang yang menebar di pinggir jalan sambil memperhatikan sekelompok orang yang lewat itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Diantara utusan Ki Argajaya itu terdapat tiga orang perempuan. Seorang diantaranya masih terlalu muda. Sedangkan yang dua orang, adalah perempuan yang mulai menjadi masak.
Yang sangat menarik perhatian, ketiganya adalah perempuan-perempuan yang cantik. Justru mereka menggunakan pakaian yang terpilih. Sehingga dengan demikian maka utusan Ki Argajaya itu nampaknya benar-benar utusan yang resmi.
Demikian iring-iringan itu lewat, maka sepuluh orang yang menebar itu telah berkumpul kembali. Orang yang berkumis lebat itu berkata, "Aku dapat dibuat gila karenanya."
"Ki Argajaya memang cerdik sekali. Ia mengirim utusan resmi yang separo diantaranya adalah perempuan. Dengan demikian, maka sulit bagi Ki Suratapa untuk bertindak dengan kekerasan jika ia masih mempunyai harga diri," berkata kawan Ki Suratapa.
"Kenapa?" bertanya orang yang berkumis lebat, "bukankah itu salah Argajaya sendiri" Bagiku, kita tidak akan peduli siapa-pun yang datang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan Ki Suracala, maka mereka akan dibereskan disini."
"Tentu tidak semudah itu, meski-pun Ki Suratapa sudah berjanji bahwa akibat yang timbul dari rencananya ini bukan tanggungjawab kita, tetapi apakah kita akan melakukan kekerasan terhadap sekelompok utusan resmi yang separonya terdiri dari perempuan."
"Aku berpikir sebaliknya," berkata seorang yang bertubuh agak pendek tetapi sedikit gemuk, "perempuan itu akan dapat menjadi taruhan. Jika Argajaya tidak memenuhi tuntutan Suratapa, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pulang ke rumah mereka."
"Jika demikian, maka harga diri Tanah Perdikan Menorehlah yang tersinggung. Keluarga Suratapa akan dapat digilas sampai lumat. Bahkan keluarganya yang berada di Pringsurat sekalipun."
"Bukankah jika terjadi demikian bukan tanggungjawab kita" -bertanya orang yang berkumis lebat.
"Itu menyalahi pembicaraan kita dengan Ki Suratapa. Kecuali jika Ki Suratapa menghendaki demikian."
Orang berkumis lebat itu tidak menjawab. Tetapi agaknya ia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Tiga orang perempuan yang ada didalam iring-iringan itu adalah perempuan-perempuan yang sangat cantik. Bahkan seandainya ia diberi hak untuk memilih, maka ia akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu sudah mendekati padukuhan. Ketika mereka kemudian memasuki regol, maka dari belakang dinding halaman disudut padukuhan, Wiradadi dan kedua orang pengikutnya ternyata telah mengintip mereka dari balik rumpun bambu.
Jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda dan gadis yang pagi tadi datang ke padukuhan itu, telah ikut pula bersama sekelompok utusan Ki Argajaya.
"Setan anak itu," geram Wiradadi.
"Bukankah satu kebetulan," berkata orang yang berwajah garang itu, "kita akan dapat membalas dendam."
"Apakah kau masih berani bertempur melawan mereka?" bertanya Wiradadi.
"Ada sepuluh orang dibulak. Kita bergabung dengan mereka." jawab orang yang berwajah garang itu.
Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Perempuan yang telah mempermalukan aku itu harus menyesali perbuatannya. Ia tidak akan terlepas dari tanganku."
Sementara itu ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu telah mendekati rumah Ki Suracala. Glagah Putih yang sudah mengetahui letak rumah itu berjalan didepan.
Dalam pada itu. Ki Suracala sudah mendapat pemberitahuan bahwa utusan dari Tanah Perdikan sudah datang. Karena itu, maka ia-pun telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka.
Untuk menghormati tamunya, maka Ki Suracala telah mengenakan pakaian yang pantas. Bagaimana-pun juga, ia tidak ingin dianggap seorang yang tidak mengenal unggah-ungguh.
"Buat apa kau memakai pakaian lengkap seperti itu?" bertanya Suratapa.
"Bukankah utusan Ki Argajaya juga mengenakan pakaian yang baik dan pantas" Bahkan kedua orang anak yang datang pagi tadi-pun berpakaian rapi sesuai dengan tugas mereka."
"Aku tidak peduli," berkata Suradipa.
"Itu terserah kepadamu," jawab Ki Suracala, "tetapi aku peduli atas kedatangan mereka."
"Tetapi ingat Suracala," geram Suratapa, "aku harus tahu diri. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu sekarang ini. Apalagi jika mertua Wiradadi mengetahui apa yang terjadi. Mungkin seluruh keluargamu sudah dibunuhnya karena ia tentu tidak mau nama keluarga anaknya tercemar karena tingkah laku gadis liarmu itu."
"Tidak, itu fitnah," geram Ki Suracala.
"Sekali lagi aku peringatkan. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu. Hidup mati Kanthi berada diujung lidahmu," berkata Ki Suratapa.
Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa keselamatan Kanthi dan bahkan seluruh keluarganya tergantung pada sikapnya. Ki Suracala memang mempercayainya bahkan mertua Wiradadi yang garang akan dapat berbuat apa saja atas Kanthi yang dianggapnya dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga anaknya itu. Saudara sepupunya yang bengis itu, untuk melindungi keselamatan anaknya, akan dapat saja melemparkan fitnah, seakan-akan Kanthi sengaja menggodanya sehingga perbuatan yang tercela itu telah terjadi.
Namun demikian, sebenarnya hati Ki Suracala tidak membenarkan langkah yang diambil oleh sepupunya itu dengan mengorbankan Prastawa, anak Ki Argajaya, justru karena Ki Argajaya sejak lama tersisih dari keluarga Tanah Perdikan Menoreh karena pengkhianatannya yang menelan banyak korban itu.
Namun bagaimana-pun juga Ki Suracala harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Suratapa sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka utusan Ki Argajaya dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai kedepan reggol halaman rumahnya. Seseorang yang diperintahkan oleh Ki Suracala menunggu, segera mempersilahkan mereka masuk.
Ki Suracala sudah mempersiapkan diri untuk menerima Suradipa juga sudah berada di pendapa pula.
Dengan ramah dan dengan unggah-ungguh yang utuh, Ki Suracala menerima utusan Ki Argajaya. Mereka-pun kemudian dipersilakan untuk naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Suratapa dan Ki Suradipa juga ikut menerima tamu-tamu itu.
Ki Suracala-pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan tamunya diperjalanan serta keluarga yang mereka tinggalkan.
Baru kemudian Ki Suracala telah memperkenalkan kedua orang saudara sepupunya itu.
Ki Jayaraga yang ditugaskan untuk memimpin utusan itu-pun telah memperkenalkan diri pula. Disebutnya dirinya sendiri sebagai saudara sepupu Ki Argajaya. Kemudian diperkenalkannya orang-orang yang menyertainya seorang demi seorang.
Ketika Ki Jayaraga menyebut nama Pandan Wangi istri Swandaru sebagai puteri Ki Gede Menoreh, maka Ki Suratapa, Suradipa dan bawahan Ki Suracala sendiri menjadi berdebar-debar. Bagaimana-pun juga anak Ki Gede Menoreh itu tentu datang atas sepengetahuan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atas anak perempuannya sudah tentu Ki Gede tidak akan tinggal diam.
Ki Suratapa sudah mulai merasa, bahwa perhitungannya tidak seluruhnya benar. Ia mengira bahwa Ki Gede dan keluarganya tidak akan mempedulikan nasib Ki Argajaya dan bahkan nasib Prastawa.
Namun ternyata bahwa anak perempuan Ki Gede itu sendiri telah datang ke rumah Ki Suracala.
Kedatangan Pandan Wangi agaknya benar-benar berpengaruh. Bagaimana-pun juga mereka harus memperhitungkan sikap Ki Gede dibelakang utusan yang datang itu.
Tetapi Ki Suratapa masih mempunyai satu jalan. Mengungkit harga diri keluarga Ki Argajaya, sehingga tidak berlindung dibawah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya sangat terbatas pada persoalan pribadi dan harga diri sebuah keluarga.
Beberapa saat Ki Suracala masih belum menyinggung persoalan yang sebenarnya. Ia masih saja berbicara tentang berbagai hal di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Bahkan mereka juga berbicara tentang orang-orang yang ada diperkemahan yang terusir oleh kekuatan dari Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan-pun telah dihidangkan, sehingga pembicaraan-pun terputus untuk beberapa saat.
Baru kemudian, setelah minuman beberapa teguk, maka Ki Suracala-pun telah bertanya, "Ki Sanak. Sebagaimana-pun Ki Sanak katakan tadi, bahwa kedatangan Ki Sanak adalah mengemban tugas dari Ki Argajaya. Nah, barangkali Ki Sanak dapat menguraikan pesan dari Ki Argajaya itu."
Ki Jayaraga yang rambutnya sudah ubanan itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, "Ki Suracala. Kami sudah menerima pesan-pesan Ki Suracala. Jika hari ini kami datang sebagai utusan Ki Argajaya, maka persoalan yang pernah Ki Suracala sampaikan kepada Ki Argajaya itulah yang ingin kami bicarakan sekarang ini."
Sebelum Ki Suracala menjawab, maka Ki Suratapa sudah menyahut, "Lalu, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan itu" Tetapi tidak terlalu lama lagi, karena keadaan Kanthi sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersembunyi lebih lama."
"Maaf, Ki Suratapa," jawab Ki Jayaraga, "bukan maksud kami menunda-nunda persoalan. Tetapi sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Ki Suracala sendiri. Bahkan masih tersisa satu hari lagi."
"Ya. Memang masih ada waktu," sahut Ki Suracala.
Tetapi Ki Suradipa segera memotong, "Tugas Ki Sanak tinggal menyampaikan keputusan Ki Argajaya, kapan ia akan melangsungkan pernikahan Kanthi dengan Prastawa. Bukankah tinggal menyebut hari, pasaran dan tanggal. Kenapa ragu-ragu?"
Ternyata orang berwajah garang itu memang licik. Sementara Ki Jayaraga belum menjawab, Ki Suradipa sudah mendahului, "Tentu saja semakin cepat akan menjadi semakin baik."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun mengangguk pula sambil menjawab, "Ya. Semakin cepat persoalan ini selesai, tentu semakin baik."
Ki Suradipa mengangguk-angguk sambil berkata, "Bagus. Jika demikian, sebut saja, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan anaknya. Nanti setelah persoalan pokok yang kita bicarakan selesai, kita dapat berbicara tentang apa saja. Mungkin tentang pelaksanaannya atau tentang hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan pernikahan itu. Beaya, misalnya."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya yang ditujukan kepada Ki Suracala, "Maaf. Ki Suracala. Sebelumnya, baiklah aku menyampaikan pesan Ki Argajaya lebih dahulu. Bukan tentang hari-hari pernikahan, tetapi tentang kebenaran persoalan itu sendiri."
"Cukup," potong Ki Suratapa, "sudah aku katakan bahwa kami hanya mau mendengar pesan Ki Argajaya tentang saat pernikahan. Yang lain tidak."
"Tentu kita akan sampai kepada persoalan pernikahannya itu sendiri. Tetapi bukankah pernikahan itu bukan satu persoalan yang berdiri sendiri?" berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, "Karena itu. maka jika kita berbicara tentang pernikahan itu, maka kita tentu akan berbicara tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan itu sendiri. Misalnya siapa orangnya, bagaimana sikap keluarganya dan kenapa pernikahan itu harus berlangsung. Tanpa kejelasan tentang hal itu, maka pernikahan itu akan menjadi kabur. Siapa yang akan menikah, apakah orang tuanya sependapat atau apakah kedua orang yang akan menikah itu sudah setuju atau bahkan menolak."
Pendekar Sadis 17 Satria Lonceng Dewa 6 Sri Maharaja Ke Delapan Saat Saat Seram 2