Pencarian

Saat Saat Seram 2

Goosebumps - Saat-saat Seram Bagian 2


"Shamandra, kemarilah," katanya, tidak sanggup menahan senyum mengembang di
wajahnya. "Biar kutunjukkan padamu mantra melenyapkan yang luar biasa yang
sudah kupelajari." 4. NIGHTMARE INN Bayangkan sebuah penginapan New England - rumah tua indah dengan koridor-
koridor berkarpet yang tak ada habisnya dan lusinan kamar mewah. Sebuah kolam
renang, lapangan tenis, dan kebun-kebun lebat.
Tempat yang nyaman untuk berlibur, pikirku. Tapi ada sesuatu yang mengerikan
tentang tempat itu: Akulah satu-satunya tamu. Satu-satunya orang di kolam. Satu-satunya orang di
restoran. Dan ke mana-mana pergi, aku dapat merasakan mata para anggota staf
mengawasiku. Tengah malam aku berbaring terjaga di tempat tidur, mendengarkan kesunyian itu.
Aku duduk ketika mendengar anak kunci dimasukkan ke lubangnya.
Pintuku berderit membuka. Dan aku mendengar sebuah suara berbisik,
"Kamarku... kamarku..."
Pintu itu kembali menutup, tapi aku tak pernah tidur. Siapa itu tadi" Apa yang
dimauinya" Pagi berikutnya aku masih satu-satunya tamu!
Penginapan itu memberiku ide untuk kisah ini.
Tentang seorang gadis yang menemukan dirinya sendirian di penginapan tua yang
seram - selain seorang tamu lain yang tak pernah diharapkannya muncul...
ILUSTRASI OLEH GARY KELLEY
MOBIL itu menabrak jalan setapak keras yang menuju ke penginapan di puncak
bukit berbatu. Jillian mengeluh. "Ini tak mungkin, Mom. Tak mungkin. Lihat tempat ini."
Mrs. Warner menghentikan mobil itu di depan papan tua yang bergoyang-goyang
tertiup angin. Kata-kata NIGHT INN (penginapan) tergores pada papan itu. Tapi di
belakang NIGHT ada yang mencoretkan MARE dengan tinta hitam, hingga
bunyinya jadi NIGHTMARE INN (penginapan mimpi buruk).
"Kelihatannya seperti rumah berhantu dalam film horor!" gerutu Jillian.
Ibu Jillian mendesah. "Penginapan ini pernah bagus dulunya. Keluargaku datang ke
sini setiap musim gugur waktu aku masih kecil."
Ia memarkir mobil itu tidak jauh dari pintu depan.
"Mereka tak memberitahuku penginapan ini membutuhkan sedemikian banyak
perbaikan. Kuduga itulah sebabnya penginapan ini dijual dengan harga semurah
itu." Jillian memandangi atap sirap yang pecah-pecah, kerai-kerai yang miring ke sana-
sini, jendela-jendela yang retak. Seekor kucing berbulu kelabu duduk di teras
depan yang kotor. Kucing itu mengawasi Jillian dan mendesis.
Benarkah ia dan ibunya akan pindah ke sini dan mengusahakan penginapan ini"
Pikiran itu membuat Jillian bergidik ngeri. "Tempat ini bisa memunculkan kembali
mimpi-mimpi burukku," bisiknya, sambil mendorong pintu mobil membuka.
"Jangan bilang begitu!" bentak Mrs. Warner dengan tajam. "Kau sudah berbulan-
bulan tidak bermimpi buruk lagi. Sekarang kau berumur empat belas, Jilly. Kau
sudah besar. Sekarang mimpi-mimpi burukmu itu tak mungkin muncul lagi."
Pada musim semi sebelumnya, setelah kematian ayahnya, Jillian mendapat mimpi-
mimpi buruk yang mengerikan. Malam demi malam ia terbangun karena
teriakannya sendiri. Ketika mimpi-mimpi buruk itu akhirnya berhenti, Jillian
merasa seakan kembali mengawali kehidupan yang semuanya sudah berlalu.
Mrs. Warner mempererat ikatan scarf yang tersampir di sekeliling bahunya. "Aku
selalu bermimpi bisa kembali ke sini, Jillian. Selama dua puluh tahun aku
berangan-angan memiliki tempat ini."
Sepatunya menggerus kerikil di jalan setapak.
"Dengan banyak perbaikan, tempat ini akan bisa indah lagi."
Pintu depan berderak membuka, dan seorang cewek melangkah keluar. Ia tinggi
dan langsing serta cantik, wajahnya tersenyum. Rambut hitamnya diikat ekor kuda
pendek di belakang. Ia mengenakan kemeja flanel longgar merah-hitam di atas jins
denim, yang sobek di kedua lututnya.
"Mrs. Warner?" Ia berjalan cepat-cepat di sepanjang beton retak di jalan masuk
depan. "Aku Priscilla. Mungkin agen real estate memberitahumu tentang aku. Aku
penjaga tempat ini."
Penjaga" pikir Jillian. Dia kelihatannya cuma beberapa tahun lebih tua dari aku.
Apa dia tak terlalu muda jadi penjaga"
"Senang bertemu denganmu, Priscilla," kata Mrs. Warner dengan ramah. "Ini
putriku, Jillian." Priscilla menjabat tangan Jillian. Senyumnya bersahabat dan hangat. Matanya yang
cokelat bersinar-sihar ketika mengamati Jillian. "Barangkali menurutmu tempat
ini jorok," katanya, sambil mengambil tas kanvas Jillian yang sedang
ditentengnya. "Yah, kau benar. Memang jorok."
"Bagaimana kau bisa jadi penjaga?" Jillian bertanya. "Maksudku, kenapa kau di
sini" Tempat ini tutup, kan?"
Priscilla mendesah. "Sebenarnya, ayahkulah penjaga di sini selama 35 tahun. Dia
pensiun dan pergi ke Florida tahun lalu sesudah penginapan ini ditutup. Tapi si
pemilik membiarkanku tinggal di cottage di belakang, dan dia membayarku cukup
lumayan untuk mengawasi tempat ini."
Mrs. Warner menarik koper dari kursi belakang mobil. Jillian mengikuti Priscilla
ke pintu depan. "Di sini sepi sekali," Priscilla mengaku pada Jillian. "Aku senang sekali ada
yang membeli penginapan ini."
Jillian tersandung sebilah papan yang nyaris terlepas di teras. "Ow!"
"Hati-hati jalannya," Priscilla memperingatkan. "Aku pernah berniat memperbaiki
sana-sini. Tapi banyak sekali yang mesti dikerjakan, melampaui kemampuanku."
Ia mempersilakan mereka masuk. "Hati-hati. Beberapa papan lantai ini sudah
lepas." Jillian melangkah meninggalkan sinar terang matahari dan memasuki koridor yang
gelap dan suram. Sebagian besar lampu di dalam rumah itu padam.
Karpet usang itu bebercak-bercak basah dan berbau lembap.
"Apa... apakah ada tikusnya?" tanya Jillian.
Priscilla menggeleng. "Tak terlalu banyak." Ia berhenti di depan kamar 17B dan
menyelipkan anak kunci ke lubangnya di pintu. "Kamar ini kusiapkan untuk
kalian," katanya. "Tirai-tirainya dan semuanya baru." Ia berpaling pada Jillian.
"Juga kusediakan TV. Kami tak punya TV kabel, tapi kalian bisa menonton acara
beberapa stasiun." "Terima kasih," sahut Jillian ragu-ragu.
Kamar itu bersih dan indah. Tapi sangat kecil. Hanya ada satu tempat tidur. Ia
dan ibunya harus berbagi tempat tidur itu.
"Kalau perlu apa-apa, panggil aku di belakang," kata Priscilla, sambil tersenyum
pada Jillian. "Mungkin kita bisa jalan-jalan ke kota nanti. Akan kutunjukkan
pada kalian tempat-tempat di sekitar sini."
Jillian mengucapkan terima kasih padanya. Diperhatikannya Priscilla yang
berjalan ke ujung koridor. Lalu ia menutup pintu dan berpaling kepada ibunya.
"Lihat tempat ini. Kita harus keluar dari sini!" rengeknya. "Mom... ini gagasan
jelek. Sangat jelek. Kita harus pulang. SEKARANG JUGA!"
"Tenang, Jilly. Tarik napas dalam-dalam," kata ibunya. Ia mencoba tempat tidur
itu dengan tangannya. Per-pernya berderit. "Kita cuma menginap satu malam. Aku
akan pergi ke kota sekarang juga dan membereskan transaksinya. Kita bisa
berangkat pagi-pagi sekali."
"Tidak, Mom - " protes Jillian.
"Kau tak perlu melihat tempat ini lagi sampai semuanya sudah diperbaiki," Mrs.
Wamer berjanji. Ia memeriksa jam tangannya. "Aku terlambat. Mereka
menungguku di kantor real estate."
"Mom... maksudmu aku akan kautinggalkan saja di sini?"
"Jilly, tak ada yang perlu kaulakukan di kota. Selain itu, kau punya setumpuk
PR, ingat?" "Bagaimana aku bisa mengerjakan PR?" tanya Jilly. "Tak ada meja."
"Kalau begitu nonton TV saja."
Mrs. Warner meraih kunci mobil dan bergegas ke pintu. "Sudahlah, Jillian. Aku
akan kembali beberapa jam lagi, dan kita akan makan malam. Kenapa kau tak
menjelajah" Barangkali ada beberapa harta karun yang tertinggal di kamar-kamar
ini." "Ya. Tentu." Jillian memutar bola matanya dan menutup pintu kamar itu.
Jillian membaca buku diktat pelajaran pemerintahannya sejenak. Tetapi kursi kayu
itu keras dan tidak nyaman. Dibantingnya buku itu menutup. "Aku bosan sekali,"
desahnya, sambil memanjat ke tempat tidur yang berderit. Ia berbaring dan
memejamkan mata. "Membosankan sekali... Sungguh-sungguh tak adil..."
Papan-papan lantai itu berderak di bawah sepatu Jillian ketika ia berjalan di
sepanjang koridor-koridor yang panjang dan remang-remang. Udara terasa lembap
dan berbau asap rokok yang apak.
Ia membuka pintu-pintu dan mengintip ke dalam kamar-kamar. Tapi sebagian
besar lampu tidak menyala, sehingga ia tidak dapat melihat banyak.
Sambil bersenandung sendiri, Jillian berbelok di sudut. Ia menahan napas dan
memasang telinga. Bunyi apa itu" Apakah kucing itu mengendap-endap di koridor" Jillian
mendengarkan dengan hati-hati.
Ia mendengar bunyi itu lagi. Bunyi mengepak-ngepak" Kelelawar"
Lebih baik aku kembali ke kamarku, putusnya.
Penjelajahanku sudah cukup. Tapi yang mana jalan kembalinya" Ia telah sering
sekali berbelok, menelusuri begitu banyak koridor panjang dan gelap dengan
pintu-pintu yang serupa di sepanjang kedua sisinya.
Ia mendengar bunyi mengepak-ngepak itu lagi Kali ini lebih dekat.
Bulu kuduknya berdiri. Dalam mimpi-mimpi buruknya selalu ada kelelawar-
kelelawar, terbang ke arahnya, mendesis, dengan mata merah berkilat-kilat,
mengibaskan sayap mereka ke mukanya.
Jillian berbalik dan mulai berlari di sepanjang koridor itu.
Apa aku tadi lewat sini" Benar tidak"
Ia berhenti ketika mendengar suara batuk.
Priscilla" Ya! Bagus! Dia akan menunjukkan jalan kembali ke kamarku.
Ia mendengar batuk lagi. Lalu derak papan-papan lantai. Ia berputar. "Priscilla"
Priscilla" Ini aku - Jillian Warner."
Tak ada sahutan. Lalu ia melihat seberkas sinar menyusup dari bawah pintu sebuah kamar di ujung
koridor. Bulu kuduknya kembali meremang.
"Priscilla" Kau di dalam sana?" Jillian berjalan menghampiri pintu itu dan
menempelkan telinganya ke kayu kering daun pintu.
Sepi. "Priscilla..." panggilnya lagi. Terdengar suara laki-laki, dalam dan tajam:
"PERGI!" Bukan Priscilla, dengan tersentak Jillian menya-darinya.
"Pergi! Pergilah!" teriak laki-laki itu dari sisi lain pintu itu. "Pokoknya
pergilah!" "Tapi - tapi - "
Jillian tergagap, bingung. "Siapa kau" Apa yang kaulakukan di sini?"
Ia mencondongkan badan ke pintu itu dan mendengarkan jawaban laki-laki itu.
Sekonyong-konyong pintu itu membuka. Jillian kaget sekali dan terhuyung-huyung
masuk ke kamar itu. Seorang cowok berdiri membungkuk di atas ranjang, yang tertutup rapi dengan
quilt biru tua. Kertas-kertas dan buku-buku bertebaran di atas meja kecil di
sudut. "T-tolong pergilah," bisiknya. Matanya yang kemerahan membelalak lebar.
"Siapa kau" Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Jillian lagi. Dia tampak lebih
ketakutan daripada aku, pikirnya.
Cowok itu mundur selangkah, terantuk kaki ranjang.
"Namaku - namaku James," sahutnya, dengan mengatupkan kedua tangannya
rapat-rapat. "Tolong pergilah. Demi dirimu sendiri. Tolong - sebelum terlambat."
"Aku tak mengerti," kata Julian, sambil menyilangkan kedua lengannya di depannya
agar berhenti gemetar. Dengan gugup James menyisirkan tangannya ke rambutnya yang berantakan dan
berminyak. "Dengarkan baik-baik. Aku memperingatkanmu - tinggalkan
penginapan ini sebelum besok malam!"
Ia tampak sangat ketakutan, sangat mengibakan, sehingga Jillian merasa lebih
berani. "Aku takkan ke mana-mana jika kau tak memberitahuku mengapa."
James memekik tajam dan kedua tangannya memberi isyarat dengan panik. "Kau
akan kuberitahu mengapa!" jeritnya. "Besok malam adalah bulan purnama... dan aku
adalah serigala jadi-jadian!"
Jillian tertawa sebelum dapat menghentikan dirinya sendiri.
Sekarang napas cowok itu memburu, dadanya kembang-kempis. "Aku mencoba
menyelamatkan hidupmu," katanya. "Aku serigala jadi-jadian. Setiap bulan,
sebelum malam bulan purnama, aku meninggalkan keluargaku dan bersembunyi di
sini di penginapan ini. Aku mengunci diriku di dalam kamar ini untuk memastikan
aku tak melukai siapa pun."
Jillian merasa tenggorokannya tercekik. Dia serius, ia menyadari. Dia sungguh-
sungguh meyakini apa yang sedang dikatakannya padaku.
"Aku - aku jadi binatang yang mengamuk," kata James, mengalihkan matanya ke sinar
bulan yang masuk melalui jendela. "Dan aku mungkin mencabik-cabikmu.
Aku tak bisa mencegahnya."
Sambil menelan ludah, Jillian terbelalak memandangi James.
Cowok itu mendesah panjang dan dengan sedih. Lalu ia mendorong Jillian ke
pintu. Jillian terkejut, menjauhinya.
"Pokoknya pergilah," kata James. "Demi keselamatanmu sendiri. Pukul sepuluh
besok malam bulan akan mencapai kepurnamaannya - dan aku akan berubah jadi
makhluk yang meraung-raung."
"Aku akan pergi," kata Jillian. "Kau tak perlu cemas. Besok kami akan pergi lama
sebelum pukul sepuluh. Mom dan aku akan meninggalkan tempat seram ini pagi-pagi
sekali." "Bagus," kata James. Matanya yang kemerahan menatap tajam mata Jillian.
"Pergilah. Aku benar-benar tak ingin menyakitimu."
Jillian berbalik meninggalkan cowok itu dan berlari, sepatunya berdebuk-debuk
keras di atas karpet usang. Sambil tersengal-sengal, ia membelek lalu membelok
lagi, dan akhirnya menemukan kamarnya. Ia menerobos ke dalam kamar itu,
membanting pintunya hingga tertutup, dan dengan menjerit ngeri melemparkan
tubuhnya ke atas ranjang.
"Kau tertidur sore-sore?" Suara Mrs. Warner melayang ke dalam benak Jillian.
Jillian duduk di ranjang, merasa pening, dan tidak yakin di mana ia berada.
Ibunya mengerutkan kening padanya sambil melepaskan sarung tangan. "Aku
minta maaf kalau kau bosan, Jillian. Aku khawatir aku membawa kabar buruk."
Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan waspada, Jillian mendongak. "Hah"
Kabar buruk?" "Aku tak bisa menyelesaikan urusan pembelian hari ini," jelas Mrs. Warner sambil
mendesah. "Beberapa orang lain juga mengajukan tawaran. Jadi kita tak bisa pulang. Kita
harus menginap semalam lagi."
"TIDAAAAK!" pekik Jillian. "Tak bisa! Kita tak bisa menginap! Aku sudah janji!"
Mrs. Warner duduk di sebelah Jillian dan memegang tangannya. "Jilly! Ada apa?"
"Serigala siluman," sahut Julian. "Ada orang yang bersembunyi di sini, Mom. Dia
bilang dia serigala siluman. Aku berjanji padanya - "
Mrs. Warner meremas tangan Jillian dengan lembut.
"Mimpi buruk lagi" Sori, honey. Kau ingin aku menelepon Dr. Meyer?"
"Tidak!" Jillian meloncat berdiri. "Aku tidak bermimpi. Dia ada di sini. Dia
berbahaya, Mom. Kita harus pergi. Sekarang juga!"
Ibunya mendesah. "Mimpi-mimpi burukmu selalu sangat nyata." Ia beranjak berdiri
dan bergerak ke pintu. "Tunjukkan padaku. Ayo. Tunjukkan padaku kamar itu.
Tunjukkan padaku di mana dia sembunyi." Ia mengulurkan tangan pada Jillian.
Jillian menarik kembali tangannya. Kemudian ia berubah pikiran. "Oke. Akan
kutunjukkan." Kakinya gemetar waktu ia mendului berjalan melewati koridor-koridor yangpanjang dan berkelok-kelok itu. Ia berhenti di depan kamar di ujung koridor itu.
"Kupikir yang ini. Aku - kupikir dia di dalam situ."
Mrs. Warner menatap Julian. Lalu, sambil menggigit bibir bawahnya dengan
tegang, ia melangkah maju dan mengetuk pintu itu. Tak ada sahutan.
Ia memutar kenop pintu - dan mendorong pintu itu membuka.
Kamar itu gelap. Mrs. Warner meraba-raba men-cari sakelar lampu. Ia menyalakan
lampu di langit-langit. Sambil menahan napas Jillian mengintip ke dalam kamar itu. Kosong. Di atas
ranjang terhampar kasur tanpa seprai. Satu laci lemari pakaian yang rusak
tergeletak di lantai.

Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada orang di sini. Tak ada tanda-tanda pernah ada orang di dalam kamar ini.
Jillian memejamkan matanya. Ia merasakan tangan ibunya di pundaknya. "Itu
mimpi," keluh Jillian. "Cuma mimpi."
Mrs. Warner meremas bahunya dengan lembut. "Dr. Meyer bilang kau mungkin
masih mendapat mimpi buruk dari waktu ke waktu. Lupakanlah. Singkirkan dari
pikiranmu. Ayo kita makan malam."
Pagi hari berikutnya Jillian membantu Priscilla memasang kertas dinding di jalan
masuk depan. Kemudian Priscilla mengantarkan mereka dengan mobil ke kota.
Mereka makan siang di restoran sup kental New England yang antik. Lalu mereka
berkeliling keluar-masuk toko-toko barang antik di kota kecil itu.
Dalam perjalanan kembali mereka ke penginapan itu, Priscilla menoleh pada
Jillian. "Kudengar kau mendapat mimpi buruk tadi malam."
Jillian bergidik. "Kadang-kadang aku bermimpi buruk yang seram. Tapi
sebenarnya aku tak ingin membicarakannya."
Priscilla mengangguk. "Sori."
Berjam-jam kemudian, kembali berada di kamarnya, Jillian melihat sekilas ke jam
radio. Hampir pukul sembilan.
Pandangannya menerawang he luar jendela. Sekarang di luar gelap. Bulan kuning
pucat melayang rendah di langit ungu. Bulan purnama...
"Mom... di mana kau?" panggil Jill dengan keras. "Kembalilah. Aku tak suka di
sini. Tempat ini membuatku ngeri setengah mati."
Sambil mengembuskan napas ia menyalakan pesawat TV. Tidak ada gambar yang
tampak, ada gangguan siaran. Ia meringkuk di ranjang. Cahaya bulan yang dingin
menyinarinya. Ia memejamkan matanya....
Apakah itu bunyi langkah kaki" Batuk" Dari koridor di luar" Apakah aku sedang
bermimpi buruk lagi"
Ia mendengar seseorang berlari melewati depan pintunya, di sepanjang koridor
itu. Seolah sedang terhipnotis ia berdiri, melangkah keluar kamar, dan mengikuti
bunyi itu. Setelah berbelok di sudut iamenemukan James sedang membuka salah satu
pintu kamar. "James! Apa yang sedang kaulakukan di sini?" panggil Jillian.
James menatap kebingungan. Rambutnya berantakan, mencuat ke sana-sini.
"Sekarang waktunya!" jeritnya panik. "Sekarang!"
Dengan teriakan binatang ia mengulurkan tangan dan menyambar bahu Jillian
dengan kasar. "LEPASKAN AKU!" jerit Jillian.
Tapi James menahannya dan mendorongnya ke dinding.
"Sekarang! Sekarang! Kau sudah kuperingatkan!"
Saat Jillian berjuang melepaskan diri, otot-otot di wajah James bertonjolan dan
terpilin-pilin. Matanya menyipit hingga hanya berupa celah dan tertarik ke
belakang saat moncong panjang terbentuk di bawahnya. Gumpalan-gumpalan air
liur yang ber-kilauan menetes-netes keluar dari bibir hitamnya yang menebal.
Jillian terbelalak melihat deretan gigi kuning dan bergerigi. Bulu hitam kaku
tumbuh di pipi dan kening James.
Ini cuma mimpi. Jantung Jillian berdegup kencang. Cuma mimpi buruk...
Tapi ia tidak dapat membangunkan dirinya sendiri keluar dari mimpi ini.
Serigala jadi-jadian yang menggeram-geram itu menurunkan giginya ke lehernya.
Dengan menjerit ngeri Jillian melepaskan diri. Ia berputar menjauh, bingung dan
pusing. Terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu mulai berlari.
"Tolong!" teriaknya ketika melihat Priscilla melompat cepat ke arah mereka di
koridor panjang itu. "Priscilla! Oh... tolong!"
Tapi saat Priscilla masuk ke cahaya lampu, Jillian terdiam. Ia melihat bulu
tebal tumbuh di wajah dan tangan Priscilla. Bibir Priscilla tertarik ke belakang
sambil menggeram galak, menampakkan deretan gigi runcing dan bergerigi.
"Dua serigala siluman!" jerit Jillian ngeri.
Priscilla mengangkat kedua lengannya yang tertutup bulu. Kuku-kuku hewan
mencuat dari telapak kaki serigalanya yang berbantalan. Ia melompat ke arah
Jillian dengan menggeram-geram.
Jillian menjerit-jerit ketakutan sambil terhuyung-huyung mundur ke dinding.
"Dia PUNYAKU!" raung James. "Pergi!"
Priscilla mengangakan rahang serigalanya yang berbusa sambil menggeram bengis.
"Tidak - dia PUNYAKU!"
Dengan murka Priscilla meloncat ke atas dada James dan merobohkannya ke
lantai. Saat terjatuh, James menyambarkan cakarnya ke pipi Priscilla, dan melukai
dagingnya hingga dalam. Priscilla meraung. Empat sungai darah merah me-luap dan mengaliri bulu hitam
tebal di pipinya. Jillian merapat ke dinding saat kedua serigala jadi-jadian itu bertarung,
berguling-guling dan ber-gumul di atas karpet, saling memukul, menusuk,
mencabik. Ia menarik napas dalam-dalam sambil bergidik ngeri. Lalu ia melesat menyingkir dari
din ding dan memaksa kakinya untuk berlari.
Geraman serigala yang marah terdengar di telinganya sementara ia berlari
menyusuri koridor. Lari, Jillian. Jangan menoleh ke belakang. Pokoknya lari!
Akhirnya ia sampai di dalam kamarnya. Diempaskannya pintu menutup dengan
keras dan dikuncinya. Geraman hewan yang mengamuk itu bergema di sepanjang koridor.
Jillian melemparkan dirinya ke atas ranjang. Seluruh rubuhnya gemetar, ia
menutupi kedua telinganya dan memejamkan matanya.
Ketika Jillian membuka matanya, Priscilla sedang membungkuk di atasnya. Seulas
senyum mengembang di wajah cantik Priscilla saat Jillian pelan-pelan mengangkat
kepalanya. "Apa?" gumam Jillian, tenggorokannya kering, lidahnya tebal. "Di mana aku?"
Dikerjap-kerjapkannya matanya dengan susah payah. Ternyata ia berada di bawah
selimut, di atas ranjang, di dalam kamar.
"Aku mendengar kau menjerit-jerit," sahut Priscilla. "Aku sedang melewati
kamarmu dan mendengar kau menjerit-jerit. Jadi aku melihat ke dalam."
Jillian menghela napas dalam-dalam dan mencoba menjernihkan pikirannya.
Priscilla menepuk-nepuk tangannya. "Pasti mimpi buruk yang benar-benar seram,"
katanya pelan. "Kadang-kadang orang bermimpi buruk ketika menginap di sini.
Mungkin itulah sebabnya mereka menyebut tempat ini Nightmare Inn."
Jillian mendengar seruan di pintu dan melihat ibunya menerobos masuk. "Jillian,
ada apa" Kenapa kau teriak-teriak?"
Priscilla berpaling dan melemparkan senyum yang menenangkan pada Mrs.
Warner. "Semuanya baik-baik saja. Jillian mendapat mimpi buruk. Tapi dia tak
apa-apa sekarang." Mrs. Warner tersentak. "Mimpi buruk lagi" Oh, Jilly, maafkan aku."
"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, Mom," kata Jillian, sambil duduk. Ia
mendesah. "Cuma mimpi konyol lagi."
"Terima kasih kau menengoknya, Priscilla," Mrs. Warner berkata. "Kau memang baik
sekali. Oh - kenapa pipimu" Kelihatannya seperti luka."
Jillian melihat sekilas pada wajah Priscilla dan tersentak.
Priscilla mengusapkan jarinya pelan-pelan ke empat garis gelap di pipinya.
"Pasti kucing itu." Ia menyipitkan matanya pada Jillian. "kucing... ya, kan?"
5. AKU BUKAN MARTIN Di mana kau mendapatkan. gagasanmu" Itulah pertanyaan yang diajukan setiap
orang padaku. Sebenarnya, apa saja bisa memberiku gagasan cerita.
Kisah ini berasal dari satu kalimat yang kudengar sambil lalu. Satu kalimat yang
kuperlukan untuk membayangkan cerita yang menurutku mungkin yang paling
mengaduk-aduk perut. Kalimat itu" Secara tak sengaja aku mendengarnya di atas bus kota. Dua anak
laki-laki sedang ngobrol di kursi di depanku, dan kudengar yang bernama Nate
berkata, "Aku harus operasi amandel pada Hari Halloween."
Hanya itulah yang perlu kudengar. Pikiranku langsung beraksi. Rumah sakit bisa
jadi tempat yang mengerikan, pikirku. Tapi di Malam Halloween"
Aku buru-buru pulang untuk menulis cerita itu.
Jika kau terpaksa pergi ke rumah sakit, ingat - ini hanya cerita. Tak mungkin
pernah benar-benar terjadi... Atau mungkin saja"
ILUSTRASI OLEH CLAY PATRICK MCBRIDE
HAL pertama yang kuperhatikan tentang rumah sakit adalah dinding-dinding hijau
yang memuakkan. Warna pudar yang membosankan. Nyaris kelabu. Warna langit
ketika terjadi badai hebat.
Ada yang menggantungkan pita-pita oranye dan hitam dari langit-langit karena
sekarang Halloween. Beberapa pintu ditempeli penyihir-penyihir dari karton dan lentera-lentera jack-
o'. Tapi dekorasi-dekorasi itu tak membantu. Bahkan jika kau gembira, warna muram
dinding-dinding itu akan mengubah suasana hatimu menjadi sedih, cemas, dan
takut. Tentu saja aku tidak gembira ketika berjalan diapit kedua orangtuaku menyusuri
koridor hijau panjang itu menuju ke kamarku di rumah sakit.
Mom meremas tanganku. Tangannya hangat. Tanganku dingin dan lembap.
"Tak ada yang perlu kaucemaskan, Sean," katanya pelan. Tatapannya lurus ke
depan. Sepatunya berdetak-detak di lantai ubin yang keras.
Sambil berbisik Dad membaca nomor-nomor ka-mar setiap kali kami melewati
pintu hijau. "B-dua belas... B-empat belas... B-enam belas..."
"Mengeluarkan amandel itu cuma operasi kecil," kata Mom. Ia sudah seratus kali
mengatakannya. "Tenggorokanmu akan sakit beberapa hari. Lalu sesudah itu kau akan sembuh."
Klik klik klik. Bunyi sepatu Mom bergema di sepanjang koridor panjang mirip
detik jarum jam. Sebuah jam sedang berdetik pada saat-saat menuju ke kiamat...
"Tapi kenapa aku mesti dioperasi?" rengekku. "Selama ini aku kan tumbuh bersama
amandel itu!" Mom dan Dad tertawa. Aku selalu bisa membuat mereka tertawa. Bakat yang jadi
berguna setiap kali mereka marah padaku. Tentu saja, hari ini mereka tidak
marah. Tapi aku selalu bercanda di saat cemas.
"Bayangkan saja. Kau tak lagi menderita sakit tenggorokan tiap kali kedinginan,"
kata Dad, tatapannya tetap terpancang ke nomor-nomor pintu.
"Kelenjarmu tak bengkak lagi."
"Whoop-de-doo," gerutuku. "Tak ada temanku yang operasi amandel. Kenapa aku
harus mengalaminya" Dan di Hari Halloween lagi?"
"Cuma karena kau beruntung," sahut Dad. Dia jagoan bercanda juga.
"Tapi Halloween hari favoritku!" kataku.
Aku suka sekali menakut-nakuti orang dan ditakut-takuti. Dan sekarang aku
kehilangan semuanya. Aku tak tahu bahwa ini akan berubah jadi Halloween-ku
yang paling menyeramkan. Ketika kami berbelok di sudut, aku mendengar serang anak sedang menangis
keras. Mom mendesah. "Begitu banyak anak di rumah sakit ini, Sean. Anak-anak yang memang sakit. Kau
seharusnya ingat betapa beruntung dirimu. Begitu banyak anak di sini yang sakit
parah." Beberapa saat kemudian kami menemukan seorang anak yang sakit parah.
Namanya Martin Charles. Kubaca namanya di bagian atas catatan yang digantung
di bagian kaki ranjangnya.
Aku melihat Martin ketika kami berdiri di pintu kamar B-22 yang terbuka. Ranjang
Martin di samping jendela. Sebuah ranjang kosong - ranjangku - berseberangan
dengan ranjangnya, menempel ke dinding hijau suram.
Kupandangi teman sekamarku yang baru. Ia pendek, matanya hitam, dan rambut
cokelatnya sangat pendek Ia duduk di tepi ranjangnya, mengayun-ayunkan
kakinya, melotot pada dua perawat yang berseragam putih.
"Aku bukan Martin!" serunya.
Salah satu perawat memegang jarum sunuk. Perawat satunya bersusah payah
menyingkap lengan pakaian rumah sakit Martin yang berwarna hijau.
"Martin, sudahlah..." ia memohon.
"Aku bukan Martin!" teriak anak itu lagi. Ia merenggutkan lengannya dari
pegangan si perawat. Si perawat berseru kaget dan melangkah mundur.
"Martin, kami cuma memerlukan contoh darah," kata perawat yang satunya.
"Aku bukan Martin! Aku bukan Martin!" jerit anak itu, sambil memukul-mukui
ranjangnya dengan kedua tinjunya.
"Ya, ya. Kami berdua sudah mendengarnya," gerutu si perawat.
Lalu perawat itu berbalik dan melihat kami berdiri di pintu. Ia menurunkan jarum
suntiknya dan melangkah beberapa kali menghampiri kami. "Kau Sean Daly?"
tanyanya. Aku mengangguk. "Ranjangmu di sebelah sana, Sean," kata perawat itu. "Bagaimana rasanya
tenggorokanmu?" "Agak sakit." aku mengaku. "Sakit kali dipakai menelan."
Ia tersenyum pada kedua orangtuaku. "Silakan menaruh barang-barang Sean di
sana. Kau bisa berbenah. Gunakan lemari yang dekat ranjang itu."
Aku mengikuti Mom dan Dad melintasi kamar itu.
"Kenapa sih anak itu?" tanyaku.
Mom mengangkat jarinya ke bibirnya. "Ssshhhh. Kelihatannya dia sangat
ketakutan." Aku ingin melihat apa yang dilakukan para perawat itu padanya. Tapi salah satu
perawat menarik tirai di antara ranjang-ranjang.
Sekarang suaranya sulit didengar. Tapi saat aku membongkar isi tasku, aku masih
dapat mendengar anak itu protes. "Aku bukan Martin! Jangan ganggu aku! Aku
bukan Martin!" Beberapa menit kemudian tirai itu terbuka beberapa kaki, dan salah satu perawat
melangkah ke tempat kami. Ia menggeleng-geleng. "Anak malang," katanya pelan.
"Ada apa dengannya?" tanyaku.
Perawat itu menyodorkan pakaian rumah sakit yang berwarna hijau. "Martin akan
menjalani operasi besar besok pagi," sahutnya, sambil melirik ke arah tirai.
"Dia sangat ketakutan, kukira dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia adalah
orang lain." "Maksudmu - ?" aku mulai.
Ia menarik kembali penutup ranjangku. "Anak malang itu mencoba menipu kami
sejak datang ke rumah sakit ini. Dia bersikeras dia bukan Martin. Dia ingin kami
mengira telah mendapatkan anak yang salah."
"Itu memprmatinkan," kata Mom dengan sedih, sambil menggeleng-geleng.
"Dikiranya kalau dia bisa meyakinkan kami bahwa dia bukan Martin, dia takkan
dioperasi." "Apakah kau yakin tak salah anak?" tanya Dad.
Perawat itu mengangguk dengan muram. "Ya, kami merasa pasti. Dia Martin
Charles. Tak peduli berapa kali pun dia menyangkalnya."
"Operasi apa yang akan dijalaninya?" tanyaku padanya.
Ia mendekatkan mukanya ke telingaku dan berbisik, "Kaki kirinya harus
diamputasi." Para dokter dan perawat keluar-masuk kamar itu sepanjang sore. Mereka
menjelaskan untuk keseratus kalinya tentang bagaimana operasi amandel
dilakukan dan memberitahuku apa yang diharapkan.
Mom dan Dad tinggal sampai waktu makan malam.
Sulit mencari bahan pembicaraan. Aku tak bisa berhenti memikirkan Martin.
Bayangan mempunyai kaki yang dipotong saja membuat kakiku gatal sekali dan
perutku tegang. Tidak heran ia sangat ketakutan.
Setelah makan malam suasana menjadi sunyi sekali. Aku dapat mendengar bayi
menangis jauh di koridor sana. Kudengar telepon berdering dan perawat-perawat
bercakap-cakap lirih di luar pintu.
Aku mencoba berani. Tetapi aku merasa benar-benar sendirian sesudah Mom dan
Dad pergi. Sekarang Halloween, pikirku. Seharusnya aku tak di sini. Aku mulai
membayangkan hantu-hantu, mumi-mumi, dan vampir-vampir diam-diam
melayang turun ke lorong-lorong rumah sakit itu.
Aku mengambil buku dan berusaha membaca. Tetapi aku tidak dapat
berkonsentrasi. Kupingku waspada mendengar setiap suara rumah sakit. Kudengar
kereta-kereta berderik melewati lorong. Suara-suara berbisik. Bunyi blip blip
blip seram yang berasal dari sejenis mesin.
Buku itu kututup. Aku tak bisa membaca. Aku harus bicara dengan seseorang,
putusku. Aku menarik napas dalam-dalam, menarik tirai membuka, dan menyapa teman
sekamarku. "Aku Sean Daly," kataku. "Besok aku operasi amandel."


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia sedang duduk di tempat tidur, membaca komik. Ia membalik halamannya, lalu
memandangku. Ada noda spageti di dagunya dari makan malam.
"Kau Martin, kan?" tanyaku pelan.
Ia membuka mulut dan berteriak, "Aku bukan Martin!"
"Oh. Maaf." Aku meloncat mundur.
Kenapa aku jadi menyebalkan" tanyaku dalam hati. Kenapa aku ngomong begitu"
Aku duduk di tepi ranjangku. Pakaian rumah sakit tersingkap hingga ke atas
lututku. Aku menariknya ke bawah. Aku tidak terbiasa memakai pakaian sekonyol
itu. "Kau suka membaca komik?" tanyaku.
"Sesungguhnya tidak," sahutnya. Dilemparkannya komik itu ke lantai. "Martin yang
suka membaca komik. Tapi aku tidak."
"Oh." Aku menelan ludah. Anak ini memang aneh sekali, pikirku.
Aku tidak dapat menahan perasaan ingin tahuku.
Berkali-kali aku melihat sekilas ke kakinya. Tapi kedua kakinya di balik
selimut. Aku tak dapat melihat apa-apa.
"Uh... sekolahmu di mana?" tanyaku.
"Aku tak sekolah di sekolah Martin," sahutnya, menatapku dengan aneh. "Aku ke
sekolah yang lain" Ih, seram. Aku menyesal telah mengajaknya bicara.
Tapi terlambat. "Di mana?" tanyaku.
"Middle Valley," jawabnya. "Lumayan." Ia berhenti memandangiku dan mulai santai.
Kami mengobrol tentang sekolah kami, saudara-saudara kami, bios-kop,
dan olahraga. Lalu kami bercakap-cakap tentang betapa kami kehilangan Halloween, terkurung
di rumah sakit yang mengerikan ini. Itu membawa kami mulai membicarakan
jenis-jenis permen kesukaan kami.
Kami masih ngobrol ketika perawat masuk pukul 22.00.
"Ini kesempatan terakhirmu untuk minum air, Martin," kata si perawat.
Martin meninju ranjangnya. "Aku bukan Martin!" serunya. "Aku tak perlu
dioperasi!" "Sudahlah - " Perawat itu memandangnya dengan marah.
"Itu sudah cukup, oke, Martin?" "Aku bukan Martin! Aku bukan Martin!"
"Apa pun katamu," kata si perawat, sambil memutar bola matanya. Ia berbalik
padaku. "Bagaimana keadaanmu, Sean?"
"Baik, terima kasih," sahutku pelan.
Ia mengucapkan selamat malam dan melangkah keluar.
Kudengarkan langkahnya di sepanjang koridor.
Kemudian aku berbalik ke Martin. Ternyata ia sedang memandangiku tanpa
berkedip. "Apakah kau ngorok?" tanyanya.
"Maaf, apa?" Pertanyaannya mengagetkanku.
"Kau ngorok tidak kalau tidur?" tanyanya. "Uh... rasanya aku ngorok."
Ia kembali mengawasiku sesaat. Lalu ia meraih tirai dan menariknya menutup.
"Sekarang aku capek," katanya dingin.
Rasanya aku tidak akan pernah bisa tidur. Para perawat bercakap-cakap di koridor
luar sana, dan kudengar seorang anak perempuan terbatuk-batuk terus di kamar
dekat situ. Tetapi di luar dugaanku, aku terlelap dengan cepat ke dalam tidur
yang nyenyak. Aku bermimpi banyak dan seram-seram.
Dalam salah satu mimpi aku sedang dikejar di sepanjang lorong hijau panjang oleh
seseorang yang tak dapat kulihat. Dalam mimpi lainnya anjingku lebih besar
daripada aku. Ia menggigitku dan me-nyeretku berkelding-keliling. Lalu aku
berubah jadi lentera jack-o' yang meringis dan menggelinding.
Tapi dalam mimpiku yang paling jelas, aku sedang berada di rumah sakit. Aku
melihat seorang anak laki-laki di kaki ranjangku. Ia memegang dua papan pencatat
dengan catatan-catatan medis. Aku hanya bisa membaca nama di bagian atas satu
catatan medis: MARTIN CHARLES.
Anak itu menggantung catatan medis itu di ranjangku. Lalu, sambil tersenyum ia
mengendap-endap pergi, dengan mengempit catatan medis lainnya.
Ketika bangun, aku merasa tidak pasti apakah aku masih bermimpi atau tidak.
Dua laki-laki dalam jas lab putih berdiri di samping ranjangku. Mereka mendorong
kereta panjang ke arahku.
Salah satu dari mereka mengambil catatan medis dari ujung ranjangku. "Ini dia,"
katanya kepada partnernya.
"Hah?" Aku menatap mereka, masih setengah tidur.
Apa yang terjadi" tanyaku dalam hati.
Mereka mengangkatku pelan-pelan dan memindahkanku ke atas kereta itu.
"Tenang saja, Martin," kata salah satu dari mereka sambil melepaskan selimut
dari peganganku. "Tidak - tunggu - " semburku. Aku berusaha duduk "Aku bukan Martin!"
Salah satu dari mereka menahanku tetap berbaring.
Yang satunya memeriksa catatan medis itu lagi, sambil membaca nama itu keras-
keras, "Martin Charles." "Ayo kita pergi," kata partnernya.
Mereka mendorongku ke pintu. "Tidak - berhenti!" jeritku. "Aku bukan Martin!
Sungguh! Kalian salah besar! Dia - dia yang Martin!" Aku menunjuk ke kamar.
Mereka mendorong kereta itu di sepanjang lorong kosong. Roda-roda berderik
keras di atas lantai ubin
"Kami sudah diperingatkan bahwa kau akan bilang begitu," kata yang Jebih tinggi.
"Kata mereka kau selalu berbohong tentang namamu sejak da-tang"
"Mereka bilang kami tak usah menggubrismu," tamah partnernya.
"Tapi aku bukan Martin!" jeritku sekuat tenaga.
"Tolong - kalian harus mendengarkanku! Aku bukan Martin! Aku bukan Martin!
Aku bukan Martin!" Mereka mendorong kereta itu ke dalam lift yang terbuka.
Di ujung lorong itu Martin melongokkan kepala ke luar kamar kami. Tangannya
melambai, mukanya menyeringai lebar. Kemudian pintu itu menutup di
belakangku. 6. TOPENG HITAM KAU tak bisa tidur. Kau berbaring dengan mata tak mau terpicing dan
memandangi langit-langit. Jantungmu berdegup-degup kencang. Tanganmu dingin
dan kaku. Dengan bergidik kau turun dari tempat tidur. Kau mulai mondar-mandir.
Pikiranmu berputar-putar.
Aku sering sekali mengalami hal seperti itu. Kalau kau"
Kau tahu sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Kau tak hanya merasakannya -
kau dapat melihatnya dalam benakmu. Kau harus melakukan sesuatu. Tapi apa"
Waktumu sangat sedikit. Dan tidak ada orang yang bisa kauajak bicara. Tak ada
bantuan yang bisa diharapkan. Kau tak punya kekuatan. Kau ketakutan.... Bagus.
Tahan perasaan itu. Kau sudah siap untuk membaca kisah ini. Kau sudah siap
memakai Topeng Hitam,. ILUSTRASI OLEH MARK SUMMERS
SETELAH keluargaku pindah ke rumah baru kami, teman-temanku mulai suka
kumpul-kumpul di basement. Tempat itu besar, berantakan karena banyak
tumpukan barang-barang peninggalan pemilik rumah sebelumnya. Tetapi Dad
sudah membuat salah satu sudut tempat itu menjadi seperti ruangan rekreasi.
Kami meletakkan meja pingpong di bawah sana, kulkas kecil yang berisi soda, dan
TV yang kuhubungkan dengan video game vlayer-hi.
Hampir setiap sore Bill, Julie, Valerie, dan aku berada di sana.
Bill berbadan besar, berambut pirang, dan berwajah bintik-bintik. Ia berlatih di
gym Dad. Ia suka pamer betapa kuat dirinya. Tapi cowok malang itu alergi terhadap banyak
hal. Ia mulai bersin-bersin ketika kami turun.
Julie dan Valerie hampir mirip saudara. Keduanya tinggi dan kurus, berambut
cokelat pendek, dan bermata cokelat. Valeri memakai kacamata, sedangkan Julie
tidak. Itu bukan satu-satunya perbedaan mereka. Julie pemalu, suaranya lirih berbisik-
bisik. Ia adalah otak kelompok ini. Ia selalu membawa buku atau majalah.
Valerie tidak pernah dapat duduk anteng cukup lama untuk membaca buku. Ia
selalu bicara dan tertawa, selalu merancang rencana, selalu mengajukan pada kami
rencana gila untuk menghasilkan berton-ton uang.
Aku" Aku adalah si cebol dalam kelompok, satu-satunya yang bertubuh pendek.
Rambutku cokelat yang dipangkas cepak; mukaku tirus, serius, dan muram. Orang-
orang selalu menyuruhku gembira, bahkan ketika aku sedang senang.
Bill dan aku menghabiskan sebagian besar waktu kami di basement dengan
bermain video game. Julie suka membaca-baca di antara tumpukan-tumpukan
buku tua dan majalah-majalah yang bertimbun di mana-mana.
Valerie suka menelepon teman-temannya memakai pesawat telepon hitam kuno
di.samping sofa dan menyusun rencana. Lucu. Valerie menghabiskan waktu begitu
banyak menyusun rencana, tapi tidak pernah sempat mewujudkannya satu pun.
Kalau sudah bosan, kami menjelajahi gudang-gudang dan lemari-lemari dinding.
Kau akan tercengang pada barang-barang hebat yang kami temukan.
Suatu sore kami membongkar-bongkar setumpuk menu restoran kuno.
"Robb, apa yang akan dilakukan ayahmu dengan gundukan-gundukan rongsokan
ini?" Valerie bertanya.
"Dad ingin memilah-milah semuanya," kataku padanya. "Dia ingin melihat-lihat
kalau-kalau ada yang berguna. Tapi akan butuh waktu lama. Umur rumah ini lebih
dari seratus tahun. Dan kupikir orang-orang yang tinggal di sini aneh. Mereka
tak pernah membuang apa pun"
Di sofa di belakang kami, Julie sedang membaca-baca di antara tumpukan majalah
film yang sudah menguning. "Ini sangat kuno," katanya. "Siapa orang-orang ini"
George Brent" Robert Taylor" Seperti membaca buku sejarah saja."
"Hei - lihat ini!" teriak Bill.
Ia membungkuk di atas peti kayu dan menyodorkan setumpuk kotak karton persegi
empat. "Permainan kuno. Steeplechase - kuda melewati rintangan. Jenis permainan
apa itu" Dan yang ini dinamakan Pah-Cheesi. Aneh."
Ia meniup debu di atas kotak itu dan langsung mulai bersin-bersin. Bersinnya
semakin keras. Ia tidak berhenti bersin sampai Valerie mengambil permainan itu
dan menjauhkannya darinya.
"Mungkin ada beberapa dari ini yang mahal nilainya," kata Valerie menggebu-gebu.
"Aku berani taruhan permainan-permainan ini paling tidak berumur seratus tahun."
"Ih." Bill mengelap hidungnya dengan tisu. "Baunya seratus tahun. Aku benci bau
lembap." "Itu bukan bau permainan-permainan ini - tapi kausmu!" kataku.
Julie dan Valerie tertawa. Bill bergegas maju dan pura-pura mencekikku. Ia suka
berkelahi dan memukul orang-orang serta anak-anak di sekitarnya.
Tapi aku jauh lebih kecil daripada dia, takkan pernah seimbang kalau berkelahi.
Valerie sudah menghampiri sebuah lemari dinding.
"Wow. Ini luar biasa! Lihat!"
Kami semua berbalik untuk melihat harta karun yang ditemukannya, sebuah
kamera yang besar sekali.
"Kau mungkin bisa mendapatkan seratus dolar untuk ini," katanya, mengangkat
kamera itu ke mukanya, menekan tombolnya. "Robb, sebaiknya ayahmu
menunjukkan barang ini pada orangtuaku. Bisa dijual di toko barang antik mereka.
Kau mendapatkan keberuntungan di bawah sini!"
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling basement ini. Setidaknya ada selusin
lemari dinding dan gudang, semuanya penuh dengan barang kuno. Dan ada sebuah
lemari yang terkunci dengan gembok berkarat yang belum pernah kami buka.
Aku membungkuk di atas kotak besar yang sebelumnya tempat menyimpan papan-
papan permainan kuno itu dan sekilas melihat sesuatu yang hitam di dasarnya.
Syal rusa" Bukan. Topeng. Aku mengambilnya, mengibas-ngibaskannya, dan memasangnya di wajahku.
"Lihat - aku Zorro!"
"Zorro" No way?" seru Bill dari seberang ruangan. "Kau mirip perampok bank."
Aku membetulkan letak topeng itu supaya dapat melihat dengan jelas lewat lubang
matanya dan tersentak kaget.
Teman-temanku! Di mana ketiga temanku" Mereka lenyap.
Lewat topeng itu aku melihat empat anak lainnya.
Mereka duduk melingkar di lantai. Dua cewek dan dua cowok, semuanya memakai
pakaian kuno berwarna gelap. Mereka sedang memainkan salah satu permainan
itu. Aku tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Sosok mereka tersembunyi di
balik cahaya terang berkilauan.
Salah satu cowok memakai setelan hitam. Cowok di seberangnya memakai kemeja
putih berkerah kaku dan celana wol cokelat yang panjangnya hanya sampai di
bawah lututnya. Sepatu kulitnya cokelat, besar, dan berdetak. Bahunya turun
dengan sedih. Ketiga anak lainnya tampak gembira. Kedua cewek itu berambut hitam yang diikat
dan disanggul di puncak kepala mereka. Yang satu memakai jumper hitam panjang
di atas blus putih tipis. Yang lainnya memakai rok berlipit-lipit abu-abu. Ia
tampaknya sedang menceritakan lelucon, sambil melambai-lambaikan tangannya
dan tertawa. "Hei! Apa yang terjadi?" seruku. "Siapa kalian!"
Keempat anak kuno itu tidak membalikkan badan ataupun mendongak. Aku tak
bisa mendengar cerita cewek itu. Cowok yang bersetelan hitam meraih dadu di atas
papan permainan itu. "Hei!" aku kembali berteriak pada mereka. "Kalian bisa mendengarku" Hei! Kalian
bisa melihatku?" Mereka tetap tidak berbalik. Hanya duduk di sana dalam pakaian kuno kaku itu,
bercakap-cakap dan bermain.
Napasku sesak, jantungku berdegup kencang. Kutanggalkan topeng itu dari
wajahku. "Tak mungkin!" teriakku.
"Robb, kau kenapa?" Bill bertanya. Ia mengguncang-guncangkan bahuku. "Ada apa
denganmu" Kau oke?"
Aku mengejap-ngejapkan mata beberapa kali. Dan memandang ketiga temanku -
Julie, Valerie, dan Bill, kembali di basement, kembali dari mana pun mereka
menghilang. "Kau cuma tertegun, lalu teriak-teriak," kata Valerie. "Apa sih yang kaulihat
tadi?" Aku menelan hidah dengan susah payah. "Aku mencoba pakai topeng ini," kataku
pada Bill. "Baru saja kulihat sesuatu... seram sekali."
"Apa kau melihat ke dalam cermin?" guraunya. Ia menyodok perutku sangat keras,
hingga aku sempoyongan. Ia tidak pernah tahu kekuatannya sendiri.
Ia mengerutkan kening melihat topeng itu. "Topeng ini membuatku bersin."
Kujejalkan topeng itu ke dalam tangannya. "Please. Coba pakai ini."
Direntangkannya topeng kain itu dan dipasangnya ke wajahnya. Kulihat matanya
di balik kedua lubang mata itu.
Ia memandang ke luar pada kami dari balik topeng itu. "Hei - whoa!" serunya.
"Siapa kalian" Bagaimana kalian bisa ke sini?"
Aku berjongkok di samping Bill. "Kau melihat anak-anak asing itu juga?" tanyaku.
"Ya, kan?". Bill tidak menjawab. Kukira ia tidak mendengarku. Mulutnya menganga dan
matanya membelalak di balik topeng.
"Siapa kalian?" Bill bertanya lagi, sekarang berteriak. "Siapa kalian" Jawab
aku!" Ia menarik lepas topeng itu. Mukanya merah padam. Ia menggeleng-geleng keras
seolah mencoba menjernihkan pikirannya.
Kuraih pundaknya. "Tadi kaulihat keempat anak itu" Empat anak yang
kelihatannya kuno?" Bill mengangguk, mulutnya masih menganga. "Ya," sahutnya akhirnya. "Anak-anak
yang kelihatannya berasal dari abad lain. Aku - aku tak bisa melihat muka
mereka dengan jelas...."
Julie mengawasi kami dengan membisu, ekspresinya serius, agak ngeri.
Valerie memutar bola matanya. "Dan kapan kalian berdua merencanakan lelucon
kecil ini?" tanyanya. "Pikir kalian Julie dan aku akan bisa kalian kibuli?"
"Tidak Ini... ini sungguhan," kata Bill. "Begitu topeng itu kaupakai, kau akan
melihat keempat anak itu."
Valerie mendengus. "Ya. Tentu."
Kusambar topeng itu dari tangan Bill dan kusodorkan ke kepala Valerie. "Ayo.
Pakai ini." Ia ragu-ragu, matanya yang hitam mengawasiku dari balik kacamatanya.
"Ayo," desakku. "Kami nggak bercanda."
Valerie mencoba topeng itu. Lalu giliran Julie.
Mereka berdua melihat anak-anak yang sama dalam pakaian kuno itu, sedang
duduk dalamlingkaran di tempat kami duduk, ngobrol, bermain-main.
Julie mengembalikan topeng itu padaku. Kami saling memandang. Tak ada yang
bicara. Kuangkat topeng itu ke dekat wajahku dan mengamatinya, membaliknya.


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya topeng kain. Tak ada istimewanya. Tak ada yang ganjil.
"Kau tahu apa yang kita lihat lewat topeng ini, kan?" Julie bertanya dengan
suara gemetar. "Kita melihat anak-anak dari zaman dulu. Mungkin anak-anak yang
tinggal di basement ini seratus tahun lalu."
Pesawat telepon hitam yang kuno itu berdering. Aku memandanginya. Apakah
kami menerima telepon dari zaman dulu"
Ternyata ibu Julie, menyuruh Julie pulang. Bill dan Valerie memutuskan pulang
juga. Aku mengantarkan teman-temanku itu naik ke pintu depan, sambil masih
memegang topeng itu erat-erat.
"Kau mau pakai topeng itu lagi?" tanya Bill sambil berjalan ke pintu.
Aku bergidik. "Nggak," sahutku. "No way."
Tapi aku tak tahan godaan.
Setelah makan malam seharusnya aku mengerjakan PR, tapi aku malahan
mengendap-endap turun basement.
Kukeluarkan topeng hitam itu dari tempat persembunyiannya, laci bawah meja
kabinet kuno. Lalu aku duduk di ujung sofa.
Dadaku mulai berdegup kencang saat topeng itu hipasang di mukaku.
Tiba-tiba aku melihat mereka. Keempat anak itu. Mereka duduk bersila di lantai,
mengenakan pakaian berat dan kaku, bermain papan permainan kuno.
"Hei! Kalian bisa mendengarku?" panggilku. "Berbaliklah!"
Mereka tetap bermain terus.
"Halo!" seruku. "Halo?"
Tak ada reaksi. Cowok pirang itu mengocok dadu dalam tangannya,
menggelindingkannya, dan menggerakkan buahnya di papan permainan. Perhatian
mereka terpusat ke permainan itu.
Aku mengatupkan tanganku ke sekeliling mulutku dan berteriak sekeras-kerasnya.
"Hei! Dengarkan aku! Kalian bisa - "
Aku berhenti ketika kulihat ada seseorang lagi di basement itu. Satu sosok
tinggi berbayang-bayang di belakang perapian.
Seorang laki-laki. Bersembunyi di balik perapian.
Apa yang sedang dilakukannya di sana" Apakah keempat anak itu tahu ia sedang
sembunyi di sana, menguitip mereka, tetap berada di tempat gelap itu"
Tidak. Mereka tidak mengangkat kepala dari permainan mereka itu. "Hei! Lihat!"
Aku berteriak, suaraku serak karenangeri. "Ada orang di sana! Di belakang
kalian! Hei!" Salah satu cewek itu menggelindingkan dadu, lalu menjalankan buahnya di papan
permainan. Aku mengerjap-ngerjapkan mata agar dapat melihat laki-laki itu lebih baik. Ia
sangat tua, badannya tinggi dan kurus. Ia memakai overall kerja baggy berwarna
biru di atas kemeja lengan panjangnya yang merah. Ia juga memakai kacamata
tebal. Kepalanya botak, dengan hanya sejumput rambut uban yang mencuat di
telinganya. Apa yang sedang dipegangnya" Apa itu"
Kunci inggris" Kunci inggris logam besar.
Apa yang akan dilakukannya dengan benda itu"
Apakah dia akan memukulkannya pada mereka"
Napasku memburu, kutekan kedua sisi wajahku. Aku harus memperingatkan
mereka! Apa yang akan terjadi jika aku melintasi ruangan dan mencoba menyentuh salah
satu dari mereka" Aku akan mencobanya. Sebelum aku beranjak, terdengar bunyi gemuruh yang memekakkan di telingaku.
Seluruh ruangan bergetar kencang sekali. Aku mencengkeram lengan sofa,
berjuang menjaga keseimbanganku.
Apa itu" Ledakan"
Kulihat keempat anak itu terbanting tertelentang.
Kudengar bunyi berderak. Bunyi kayu retak. Makin keras. Makin keras...
"Nooooooo!" jerit salah satu cewek itu dengan ketakutan.
"Tolong!" jerit yang satunya, berjuang untuk beranjak duduk.
Bunyi berderak itu menyebar ke seluruh ruangan, lalu terdengar bunyi krak keras
sekali saat tiang kayu di atas mereka patah.
Tiang berat itu jatuh menimpa mereka. Terpental satu kali. Dua kali.
Dan lalu seluruh langit-langit runtuh, kayu dan lapisan langit-langit
berguguran. Menghancurkan mereka... menghancurkan mereka semua... mengubur mereka.
"Noooooooooooo." Jeritan mengerikan terlontar dari dadaku.
Aku tak tahan melihatnya.
Kupejamkan mataku. Tanganku mencengkeram kedua sisi topeng itu.
Akhirnya topeng itu kulepaskan dan kujatuhkan ke lantai. Aku membungkuk dan
memeluk tubuhku sendiri erat-erat. Perutku bergolak. Aku berusaha keras untuk
tidak memuntahkan makan malamku.
Lama kemudian aku baru berani membuka mataku kembali. Saat itu, basement itu
tampaknya normal lagi. Semuanya baik-baik saja. Tak ada anak-anak yang mati.
Tak ada tiang patah atau langit-langit runtuh.
"Aku tahu kenapa kami melihat anak-anak itu," ucapku keras-keras, mencoba
menarik kesimpulan dari hal-hal mengerikan itu. "Seratus tahun lalu semua anak
itu mati di ruangan ini. Mereka tewas hancur tertimpa di sini...."
Kupandangi topeng itu, yang teronggok di lantai.
Lalu aku berlari ke atas, kakiku rasanya selemas agar-agar Jelly.
Mom dan Dad sudah pergi berbelanja. Aku tak suka ditinggal sendirian. Aku tak
sanggup sendirian. Aku harus menelepon Bill dan memberitahunya. Tapi ketika aku mengangkat
telepon, bel pintu berbunyi.
Aku bergegas menuruni tangga ke pintu depan, membukanya - dan menjerit. Laki-
laki dari zaman dulu itu. Laki-laki yang bersembunyi di basement, memegang
kunci inggris, mengintai anak-anak malang itu.
Laki-laki itu berasal dari seratus tahun lalu...
Ia sedang berdiri di teras depan rumahku!
"Maaf aku terlambat," katanya, sambil memandangku lewat pintu luar.
"Hah" Terlambat" T-ti..." Aku tergagap-gagap."Tidak... tidak mungkin...."
Ia menggaruk sejumput ubannya dengan tangan-nya yang bebas. "Apakah ayahmu
ada di rumah" Aku Calvin Reimer. Dia memanggilku untuk memeriksa perapian.
Tapi aku sibuk terus dan baru sempat sekarang."
Apa yang terjadi" tanyaku dalam hati. Aku melihatnya lewat topeng itu, seratus
tahun lalu. Tapi ia kelihatan persis sekali!
Hantukah dia" "Boleh aku masuk?" tanyanya. Ia mengangkat kotak perkakas. "Aku ke sini untuk
memperbaiki perapian itu."
Aku membayangkannya lagi, bersembunyi di balik perapian di sana, memegang
kunci inggris. Aku tak bisa membiarkannya masuk, pikirku. Dia orang yang sama dengan yang
kulihat lewat topeng itu!
"Orangtuaku tak ada di rumah," kataku padanya.
Ia tidak memedulikanku dan membuka pintu depan. Ia melewatiku masuk ke ruang
tamu. "Tak apa-apa," katanya. "Aku tahu jalannya." Ia mulai melangkah ke tangga
basement. Jantungku berdegup kencang. Aku membuntutinya.
"Apakah kau pernah ke sini dulu?" Suaraku bergetar.
Ia mendecak. "Kau betul, Nak. Percaya tidak, sudah hampir lima puluh tahun aku
mengurusi rumah ini."
Otakku berputar. Aku mengikutinya turun ke basement. Ia membuka perapian dan
langsung mulai bekerja. Aku berdiri mengawasinya, tanganku kuselipkan ke dalam sakuku, mencoba tetap
tenang, berusaha memahami hal ini. Aku tetap membayangkan anak-anak malang
yang hancur tertimpa langit-langit runtuh itu.
"Mr. Reimer, pernahkah... terjadi sesuatu yang mengerikan di bawah sini?"
tanyaku, suaraku serak. Ia menatapku dari balik kacamatanya yang tebal.
"Semua orang memanggilku Cal," katanya. "Kenapa kau menanyakan itu?"
Aku mengangkat bahu dan berusaha terdengar santai. "Cuma kepingin tahu."
Cal menggigit bibir bawahnya. "Sebenarnya ada tragedi mengerikan di ruangan ini,
hampir lima puluh tahun lalu terjadinya. Tapi kau umur berapa" Sebelas" Dua
belas" Kupikir kau tak ingin mendengarkannya."
"Ya!" sahutku, ketenanganku buyar. "Ceritakanlah! Aku ingin mendengarnya."
Ia menggaruk ubannya dengan ujung obengnya. "Well, waktu itu musim dingin.
Keluarga Anderson - penghuni rumah ini saat itu - masih punya perapian batu bara
yang kuno." Ia menghela napas. "Mereka pindah dari sini sesudah tragedi itu. Amelia, anak
perempuan kecil itu, berkeliaran di bawah sini. Tak ada orang yang tahu
bagaimana dia bisa terlepas dari pengawasan pengasuhnya. Tapi dia sampai di
bawah sini, pasti dia lari-lari atau apa. Dan dia jatuh."
Cal berhenti dan mengerjap-ngerjapkan matanya menatapku. "Kau yakin ingin
mendengarnya?" Aku mengangguk. "Ya. Teruskan. Teruskanlah."
Ia berdeham. "Well, singkat cerita, rupanya seseorang membiarkan pintu-pintu
perapian terbuka. Amelia jatuh ke dalam perapian, tepat ke atas nyala batu bara.
Ia terbakar. Terbakar hmgga ke tulang-tulangnya. Mungkin tak lama. Tak ada yang
mendengar jeritannya atau apa pun. Belakangan, semua orang itu menemukan
rangkanya yang sudah hangus."
Cal menggeleng-geleng. "Segera sesudah itu keluarga Anderson pindah. Tapi
beberapa orang menganggap hantu Amelia itu masih tinggal di sini. Mereka bilang
hantu anak itu akan selalu menghantui ruangan ini."
Aku menatap Cal dengan ternganga. Aku tak tahu harus berkata apa. Kisah yang
sangat mengerikan. Tapi apa hubungannya dengan keempat anak yang kulihat itu" Dan mengapa Cal
kelihatan sama saja dengan bertahun-tahun lalu"
"Semoga aku tak membuatmu ketakutan," kata Cal, sambil membanting tutup kotak
perkakasnya. "Itu cuma cerita."
"Tak apa-apa," kataku. "Tapi... apa ada kejadian mengerikan lainnya di bawah
sini?" Ia berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak. Se-ingatku tak ada yang lainnya,"
Ia mengetuk-ngetuk perapian. "Aku harus mengganti pipa di bawah sana itu. Bilang
pada ayahmu aku akan kembali besok"
Aku mengikutinya ke atas dan menutup pintu depan setelah ia keluar. Kemudian
aku bergegas menelepon teman-temanku dan menceritakan semua peristiwa itu.
Sore hari berikutnya kami berempat berkumpul di ruang tamuku. Tidak seorang
pun berminat turun ke basement.
"Orang tua dari masa seratus tahun lalu itu ada di rumahmu?" tanya Valerie,
gemetar. "Kau membiarkannya masuk?"
"Aku tak punya pilihan," jelasku. "Dia nyelonong masuk begitu saja. Katanya dia
datang untuk memperbaiki perapian. Dia akan kembali hari ini."
"Kita tak bisa kembali ke bawah sana," kata Bill, menunjuk ke pintu basement.
"Kita harus menemukan tempat main baru."
"Kita harus ke bawah sana," aku mendesak. "Kupikir mereka butuh pertolongan
kita. Jika kita entah bagaimana bisa memperingatkan mereka tentang langit-langit
itu, mereka tak perlu mati dengan cara mengerikan begitu."
"Tapi, Robb - mereka tak bisa melihat atau mendengar kita!" protes Julie. "Jadi
bagaimana kita bisa memperingatkan mereka?"
"Pasti ada caranya," aku bersikeras. "Kita harus menemukan cara untuk
berkomunikasi dengan mereka."
Aku bangkit berdiri. "Come on. Kita bisa menyelamatkan mereka. Aku tahu kita
bisa." Aku nyaris harus memaksa teman-tetnanku turun, Ketika sampai di bawah, kami
berempat berhenti. Dan memasang telinga. Aku mendengar bunyi srek srek srek pelan dan lirih dari sudut yang jauh. Langkah
kaki" Srek srek... Sekarang makin keras. "Hantu anak perempuan kecil itu!" pekik Valerie.
"Oh, no." Napasku tersekat di tenggorokanku. Aku melangkah menuju ke bunyi
itu.... Dan kulihat Cal menongolkan kepalanya dari balik perapian. Ia mengencangkan
sambungan pipa dengan kunci inggris. Bunyi srek srek itu berasal dari kunci
inggris yang sedang diputar. "Semoga aku tak mengagetkan kalian," katanya. Ia
meletakkan kunci inggris itu dan melintasi ruangan mendekati kami. Ia
mengenakan pakaian yang sama dengan malam sebelumnya, overall denim baggy
dan kemeja merah. Bagaimana dia bisa sampai di bawah sini" Aku, heran, merinding ngeri.
Bagaimana dia masuk rumah ini"
"Aku harus pergi membeli klep," katanya padaku, sambil mengerutkan kening.
"Aku akan kembali kira-kira sejam lagi."
Ia memberi isyarat padaku agar mengikutinya ke tangga. "Aku merasa tak enak
gara-gara tadi malam," bisiknya. "Cerita tentang anak perempuan itu cuma
karanganku. Habis kau kelihatan kepingin sekali mendengar cerita seram, jadi - "
"Karanganmu?" seruku.
Ia mengangguk. "Memang salah satu hobiku ada-Iah mengarang cerita. Aku suka
sekali mendongeng. Mungkin suatu hari nanti aku akan memasukkanmu ke cerita
seram." Ia mengedip padaku.
Aku mengawasinya menghilang ke atas. Aku merasa lebih bingung daripada
sebelumnya. Benarkah ia hanya mengarang cerita itu" Aku berbalik ke teman-
temanku. Bill mengulurkan topeng hitam itu padaku. "Apa yang akan kita lakukan?"
tanyanya. "Mencoba berhubungan dengan anak-anak itu entah bagaimana caranya," jawabku.
"Mencoba memperingatkan mereka."
Kupasang topeng itu ke wajahku dan kubetulkan letak lubangnya tepat di atas
mataku Yes! Itu dia mereka. Keempat anak kuno itu, duduk di lantai, merrgitari
papan permainan itu. "Siapa nama kalian?" teriakku. "Halo" Bisakah kalian mendengarku" Siapa nama
kalian?" Kalau saja aku bisa melihat wajah mereka. Tapi sosok mereka samar-samar,
tersembunyi di balik sinar lampu yang suram.
"Siapa nama kalian" Bisakah kalian mendengarku?"
Tak ada sahutan. Mereka terus menggelindingkan dadu, menjalankan buah masing-
masing. Masih sambil memanggil-manggil mereka, aku berjalan melintasi ruangan.
Kuulurkan tanganku. Kucoba menyentuh bahu salah satu cowok.
Tanganku melewatinya. Ia tidak bereaksi. Kucoba menarik rambut salah satu cewek itu.
Tak ada apa-apa. Aku tak bisa memegang rambutnya, bahkan tak bisa
merasakannya. Kulepaskan topeng itu dengan jengkel.
"Aku tak berhasil menyentuh mereka," kataku pada teman-temanku.
"Sini. Coba ini," kata Julie. Ia menyodorkan secarik kertas ke tanganku.
"Kutulis pesan buat mereka. Kusuruh mereka segera keluar dari basement ini."
Kuulurkan topeng itu pada Julie. "Kau saja yang coba memberikan pesan itu pada
mereka." Ia ragu-ragu, lalu memakai topeng itu. Valerie, Bill, dan aku memperhatikan
Julie melintasi ruangan. Kami mengawasinya mencoba berkali-kali menyampaikan
catatan pesan itu. Tetapi kertas itu tetap berada di tangannya.
Akhirnya ia melepaskan topeng itu dan melemparkannya padaku. "No way,"
katanya. "Mereka tak bisa melihatnya."
"Mereka semua akan mati!" keluh Valerie. "Mengerikan!"
"Pasti ada cara untuk berkomunikasi dengan mereka," aku ngotot. "Semacam cara
rahasia. Ruangan ini menyimpan rahasia-rahasia. Aku tahu.
Cara rahasia untuk menghubungi anak-anak itu dan..."
Kupikir kami berempat memandang lemari dinding yang tergembok itu bersamaan.
Rahasia... lemari dinding rahasia itu... satu-satunya lemari di ruangan ini yang
tergembok. "Kita harus membukanya," kata Valerie. "Berani taruhan kita akan menemukan apa
yang kita cari di situ."
"Tunggu," kataku. "Perasaanku tak enak tentang ini. Mungkin sebaiknya kita tak
membuka lemari itu. Mungkin lemari itu digembok demi kebaikan."


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi terlambat. Mereka sudah sampai di muka lemari dinding itu, menarik-narik
gemboknya yang berkarat. "Please, guys" aku memohon. "Ini sangat mengerikan. Kupikir sebaiknya kita tak
membuka..." Dengan mengerahkan tenaganya, Bill menyentakkan gembok tua itu hingga
membuka. Dilepaskannya gembok itu dari gerendel dan dilemparkannya ke lantai.
Valerie mengerutkan kening padaku. "Mungkin sebaiknya kita melihat apa yang ada
di dalamnya, Robb," katanya pelan.
Ia memutar pegangan pintu lemari itu. Pintu tua yang berat itu berderak saat ia
mendorongnya membuka. Lampu lemari dinding itu menyala. Kami berempat menyusup memasukinya. Dan
tersentak kaget sekali. "Pakaian-pakaian kuno!" seru Julie, mengangkat sebuah blus berkerah renda yang
sudah lusuh. "Bertumpuk-tumpuk."
Bill bersin. "Lihat sepatu-sepatu ini." Ia mengangkat sepasang sepatu hitam
berujung tinggi. Sepatu itu memakai kancing, bukannya tali. Bill meniup debu yang menempel dan
bersin lagi. Julie memegang sebuah jumper korduroi hitam di depannya. "Wow. Sangat
mengagumkan, hah" Ini seperti pakaian yang dikenakan anak-anak itu."
Aku gemetar. "Menurutku sebaiknya kita tak menyentuh benda-benda ini."
Tetapi Julie sudah mengalungkan blus berenda itu di atas T-shirt-nya. Dan Bill
sedang mengagumi jaket hitam dengan kelepak lebar.
"Stop!" seruku. "Menurutku barang-barang ini kepunyaan anak-anak yang sudah mati
itu." "Ya! Itu betul!" kata Julie, sambil melicinkan bahan yang berat itu dengan
tangannya. "Inilah yang mereka kenakan!"
"Jadi kita harus memakainya," desak Valerie. "Kau tak mengerti ya, Robb"
Mungkin inilah rahasia yang kita cari. Mungkin jika memakai pakaian ini, kita
bisa berkomunikasi dengan mereka."
"Ya, betul!" Bill setuju. "Mungkin mereka akan bisa mendengar kita dan bicara
dengan kita kalau kita mengenakan pakaian mereka."
Aku tak yakin ini akan berhasil, tapi aku mengikuti jejak teman-temanku itu.
Kupakai kemeja yang bikin gatal dengan kerah putih kaku dan celana wd baggy
yang panjangnya hanya sampai bawah lututku.
Kami semua saling mengagumi selama beberapa menit. Valerie dan Julie kelihatan
agak aneh dengan rambut yang disisir ke atas dan disanggul.
Kami mengeluh betapa tidak nyamannya semua pakaian itu dan betapa tersiksanya
anak-anak zaman dulu. "Ayo kita coba topeng itu," Valerie mengusulkan. "Ayo kita lihat apakah kita
bisa menghubungi anak-anak itu."
"Tidak, tunggu," sela Julie. "Kita harus melakukannya dengan benar. Kita
memerlukan satu hal lagi."
Ia menemukan papan permainan tua itu dalam peti kayu dan menggelar Pah-Cheesi
itu di lantai. "Oke, duduklah, semuanya," katanya. "Come on. Ayo kita mainkan
permainan ini. Persis seperti keempat anak dari zaman dulu itu."
Dengan patuh kami duduk di lantai dan mengelilingi papan permainan itu.
"Semoga ini berhasil," kataku. "Semoga kita bisa menghubungi mereka sekarang."
Setelah kami bermain beberapa menit, aku mengambil topeng hitam itu dan mulai
memakainya, tapi aku berhenti ketika mendengar langkah-langkah berat menuruni
tangga. Langkah-langkah tetap dan pelan-pelan yang cukup berat untuk membuat
tangga berderak. Kami semua berpaling dan melihat Cal. "Main-main dengan pakaian?" katanya.
"Kalian semua kelihatan sangat anggun. Teruskan saja, jangan terganggu olehku."
Ia menghilahg ke balik perapian dan mulai mengerjakan pipa-pipa dengan kunci
inggrisnya. Sekarang ini sempurna, aku menyadari. Dengan Cal kembali ke sana, kami telah
menciptakan pemandangan yang persis sama. Tapi bisakah kami bicara pada anak-
anak malang itu" Bisakah kami memperingatkan mereka"
Topeng hitam itu kuraih kembali.
Tapi aku tak pernah sempat mengenakannya.
"Awas!" teriak Cal dari belakang kami. "Perapiannya akan meledak.
Ledakan itu mengempaskan kami semua hingga tertelentang. Napasku tersengal-
Kasih Diantara Remaja 9 Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala Kaki Tiga Menjangan 19
^