Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


Anak-anak yang datang itu termangu-mangu. Namun nampaknya mereka mengerti keterangan Sabungsari itu. Meskipun anak-anak itu tidak mau disebut penakut, tetapi kenyataan yang pernah terjadi atas salah seorang dari mereka memang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Setelah menunggu beberapa saat, maka kedua anak itupun minta diri untuk pulang kerumah masing-masing.
Sementara itu Glagah Putih, Sabungsari dan anak yang tinggal bersamanya dirumah Agung Sedayu itu masih menyelesaikan pekerjaan mereka memperbaiki pliridan itu. Namun dalam pada itu, Glagah Putih dan Sabungsari tidak melihat lagi kedua orang yang mengawasi mereka.
Tetapi justru karena itu, maka Glagah Putihpun telah mendekati Sabungsari sambil berkata, "Kedua orang itu telah pergi."
"Mungkin," jawab Sabungsari, "tetapi mungkin mereka hanya bersembunyi dibalik gerumbul atau di sebelah sudut padukuhan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi kemungkinan yang lain, mereka telah memanggil orang kerdil atau Ki Manuhara untuk menemui kita disini."
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Apakah mereka akan berani berbuat sesuatu di siang hari" Betapapun tinggi ilmu mereka, tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka harus melawan orang se Tanah Perdikan. Apalagi para pengawal sudah dibekali cara untuk melawan mereka dengan mempergunakan senjata jarak jauh."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya memang demikian. Namun kita harus tetap berhati-hati. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mereka tentu dapat mempergunakan cara apapun untuk dapat mencapai niatnya."
Sabungsari mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Kita memang harus berhati-hati menghadapi mereka."
Demikianlah Glagah Putihpun telah melanjutkan kerjanya, memperbiki pliridan itu. Ketika matahari menjadi semakin tinggi maka pematang pliridan itupun sudah selesai. Demikian pula bendungan kecil yang menyilang sebagian aliran sungai untuk mengalirkan air ke pliridan di malam hari. Sedangkan tempat icirpun sudah disediakan sesuai dengan besar icir yang ada.
"Nah," berkata Glagah Putih kemudian, "pliridanmu sudah pulih kembali seperti sediakala."
Anak itu mengangguk-angguk. Wajahnya nampak gembira. Tetapi ia masih berkata, "Kita akan melihat, apakah pliridan ini cukup baik dan dapat menyerap ikan sebagaimana sebelumnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap ragu membiarkan anak itu turun kesungai. Karena itu, maka katanya, "Kaupun harus berhati-hati. Sebaiknya jangan tergesa-gesa turun ke sungai. Bukankah setelah diperbaiki, pliridanmu tidak akan diambil alih oleh orang lain."
"Jadi untuk apa kita memperbaiki pliridan jika kita tidak akan turun untuk membuka dan menutupnya?"
"Sekedar agar pliridan ini tidak diaku orang lain," jawab Glagah Putih.
Wajah anak itu menjadi muram. Kegembiraannya lenyap bagaikan hanyut diarus sungai yang gemercik dibawah kakinya.
"Dengarlah," berkata Glagah Putih sambil menepuk pundak anak itu, "bukankah anak-anak yang lain dapat mengerti bahwa sangat berbahaya untuk turun kesungai di malam hari" Setidak-tidaknya untuk sementara. Nampaknya kau termasuk anak yang akan dapat menjadi sasaran karena mereka mengira bahwa kau mengetahui apa yang terjadi di belakang dinding halaman rumah kakang Agung Sedayu. Karena itu, aku harap kau dan tentu juga anak-anak yang lain, bersabar sedikit. Bukankah orang itu bukan saja dapat menyakitimu, tetapi mungkin akan membunuhmu."
Nampaknya anak itu dapat mengerti. Meskipun wajahnya masih nampak muram, namun ia mengangguk kecil.
"Bagus," berkata Glagah Putih, "jika aku tidak terlalu sibuk, maka pada satu malam aku akan dapat mengantarmu."
"Kau tidak usah berjanji," jawab anak itu.
Glagah Putih tertawa kecil. Sabungsaripun tersenyum sambil berkata, "Jika Glagah Putih tidak menepati janjinya, biarlah aku saja yang berjanji."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Demikianlah, setelah membersihkan diri dan membersihkan alat-alat yang dipergunakannya, maka merekapun telah bersiap-siap untuk pulang. Seorang anak muda yang sebaya dengan Glagah Putih yang lewat sambil memanggul cangkul sempat bertanya, "He, kau sudah akan turun ke sungai lagi?"
Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, "Hanya sekedar memperbaiki saja. Entahlah, kapan aku turun ke sungai."
Anak muda yang agaknya baru pulang dari sawahnya itu tidak berhenti. Ia berjalan terus menyusuri arus sungai, karena rumahnya memang ditepi sungai.
Namun dalam pada itu, ketika Glagah Putih, Sabungsari dan anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu siap meninggalkan pliridannya, maka mereka meliht dua orang yang melintas menyeberangi sungai. Dua orang yang dikenali oleh Glagah Putih dan Sabungsari sebagai orang-orang yang tengah mengawasinya.
Namun jaraknya memang tidak terlalu dekat, sehingga Glagah Putih dan Sabungsari tidak dapat menyapanya.
Tetapi jelas bagi mereka, bahwa kedua orang itu adalah orang yang asing bagi Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh.
"Mereka tidak meninggalkan kita," desis Sabungsari.
"Ya. Mereka memang mengawasi kita," jawab Glagah Putih.
Keduanya tidak banyak memperhatikan orang-orang itu lagi ketika mereka kemudian memanjat tebing meninggalkan tepian sungai itu.
Namun bukan berarti bahwa keduanya tidak bersikap terhadap kedua orang itu. Sabungsari dan Glagah Putih dis pan jang jalan kembali ternyata telah berbicara tentang kedua orang itu.
"Kita akan melihat, apakah besok mereka masih mengawasi kita," berkata Glagah Putih.
Disore hari setelah Agung Sedayu pulang dari barak, maka bersama Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari mereka duduk diserambi samping. Glagah Putih dan Sabungsari telah menceritakan kedua orang yang mengawasinya.
Sambil mengangguk-angguk Agung Sedayu berkata, "Perhatikan mereka. Apakah mereka besok masih mengawasi kalian berdua."
"Baiklah," desis Glagah Putih, "besok kami akan memancing mereka dan kalau mungkin menangkapnya."
"Jangan tergesa-gesa menangkap mereka. Kita akan memancing ikan yang lebih besar dari kedua orang yang sedang mengawasi kalian. Dibelakang mereka tentu berdiri orang-orang yang selama ini diawasi baik di Mataram maupun di Tanah Perdikan ini," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, "Jika demikian, kita masih harus membiarkan mereka menikuti kita untuk beberapa lama."
"Kita akan melihat perkembangan keadaan," jawab Agung Sedayu, "jika saja kita dapat menangkap Ki Manuhara atau Bajang Engkrek itu."
Sejenak kemudian maka Sekar Mirah dan Rara Wulahpun telah ikut duduk pula diserambi itu sambil menghidangkan minuman hangat dengan gula kelapa. Wedang jahe yang sedap bresama gandos ketan.
Sambil menghirup minuman hangat, maka Agung Sedayu telah menceritakan pula bahwa Ki Lurah Branjangan tengah berada di Mataram.
"Untuk apa kakek pergi ke Mataram ?" bertanya Rara Wulan.
"Sekedar melihat keadaan rumahnya yang sudah agak lama ditinggalkannya," jawab Agung Sedayu, "tidak ada maksud yang lain. Tetapi Ki Lurah akan singgah barang sebentar, dirumah ayah dan ibu Rara Wulan sekedar menengok keselamatan mereka."
Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Ia tidak ingin mempresoalkan kepergian kakeknya ke Mataram karena ia tahu bahwa kakeknya tidak akan mempersoalkan pula keberadaannya di Tanah Perdikan itu.
Namun selagi mereka berincang menjelang senja, tiba-tiba saja anak yang tinggal di rumah itu datang memberitahukan, "Ada tamu dihalaman depan"
"Siapa ?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Sebenarnya bukan persoalan baru. Tetapi justru persoalan yang kita anggap sudah selesai."
"Persoalan apa lagi Ki Lurah ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kedua orang tua wulan masih menerima ancaman dari Raden Antal. Ternyata ia masih mendendam," jawab Ki Lurah.
"Raden Antal," hampir dilaur sadarnya Rara Wulan berdesis.
Sekar Mirahpun berpaling kepada gadis itu. Dilihatnya wajah Rara Wulan yang berkerut menegang.
Ki Lurah Branjangan mengangguk. Katanya selanjutnya, "Mereka masih mengancam orang tua Rara Wulan."
"Mereka siapa ?" bertanya Rara Wulan.
"Raden Antal dan kedua orang tuanya," jawab Ki Lurah Branjangan, "mereka telah mengatkan kepada kedua orang tua Rara Wulan, bahwa mereka tidak akan menerima penghinaan yang pernah mereka terima dari keluarga Rara Wulan."
"Penghinaan apa ?" bertanya Rara Wulan, "bukankah waktu itu kita sekedar mempertahankan harga diri kita " Jika akibatnya dapat dianggap sebagai penghinaan atas keluarga Raden Antal bukankah itu kesalahan mereka sendiri ?"
"Mereka tidak mempergunakan penalaran, "jawab Ki Lurah Branjangan. "Tetapi mereka mengikuti arus perasaan mereka yang dibakar oleh dendam dan kemarahan."
"Tetapi apa yang kira-kira akan mereka lakukan ?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan. Namun sampai saat ini nampaknya tidak terjadi apa-apa dengan kedua orang tua Rara Wulan. Tetapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. "
"Bagaimana dengan kakangmas Teja Prabawa ?" bertanya Rara Wulan dengan cemas.
"Juga tidak terjadi sesuatu dengan Teja Prabawa. Tetapi entahlah besok atau lusa. Namun kedua orang tua Rara Wulan berpesan agar Rara Wulan berhati-hati disini. Mungkin sasaran dendam mereka akan tertuju kepada Rara Wulan," jawab Ki Lurah.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayulah yang menjawab, "Baiklah Ki Lurah. Sebenarnyalah kita disini memang sedang berlindung dari ancaman orang kerdil yang menurut dugaan kita telah menolong Ki Manuhara dan membawa keluar dari Tanah Perdikan. Namun ternyata keduanya kini telah berada di Tanah Perdikan ini lagi. Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka."
"Tetapi aku percaya kepada kalian yang tinggal di rumah ini. Tetapi jika sekali-sekali Rara Wulan keluar dari rumah ini, harus sangat berhati-hati. Kita memang tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh keluarga Raden Antal itu."
Demikianlah pembicaraan mereka tentang dendam Raden Antal dan kemungkinan-kemungkinannya itupun telah berlangsung sampai malam turun. Mereka berhenti ketika kemudian Sekar Mirah mempersilahkan mereka yang duduk dipendapa untuk makan malam di ruang dalam. Namun diruang dalam sambil makan, mereka masih juga berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dan tentang keadaan Tanah Perdikan itu.
Malam itu, Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Lurah untuk bermalam dirumahnya. Karena tidak ada tugas khusus yang harus dilakukan oleh Ki Lurah, maka Agung Sedayupun berkata, "Daripada Ki Lurah masih harus menempuh perjalanan di gelapnya malam ke barak, lebih baik Ki Lurah tidur disini. Besok kita bersama-sama pergi ke barak."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun Ki Jayaragapun memersilahkan pula, "Kita dapat berbincang semalam suntuk."
"Baiklah," berkata Ki Lurah kemudian, "sudah lama kita tidak menyempatkan diri untuk berbincang. Biarlah malam ini aku tidur disini."
Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, maka malam itu mereka tidak segera masuk ke bilik mereka masing-masing. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah menyiapkan lagi minuman panas bagi mereka yang masih duduk dan berbincang diruang dalam.
Ki Lurah Branjangan dan ki Jayaraga yang menjadi semakin tua itu, ternyata masih juga betah berbincang berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang mereka membicarakan masa lalu mereka dengan riuhnya. Pengalaman mereka yang menarik dan bahkan perjalanan hidup mereka yang kadang-kadang telah memancing gejolak perasaan mereka. Namun merekapun telah mengenang pula kenangan-kenangan manis yang pernah mereka lalui.
Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih mendengarkan pembicaraan orang tua-tua itu sambil mengangguk-angguk.
Kadang-kadang perasaan kagum telah bergejolak didalam jantung mereka atas orang-orang tua itu. Namun kadang-kadang mereka terpaksa menahan tawa mereka yang meledak.
Sekar Mirah dan Rara Wulan ternyata tertarik juga untuk mendengarkan. Meskipun ia sering mendengar kakeknya berceritera tentang masa lampaunya, juga masa-masa mudanya, namun ada-ada saja ceritera yang terasa baru ditelinga Rara Wulan.
Baru setelah lewat tengah malam orang-orang tua itu merasa letih berbicara. Agung Sedayu yang juga ingin beristirahat kemudian berkata, "Hari telah larut malam. Jika Ki Lurah Branjangan ingin beristirahat, biarlah Glagah Putih mengantar Ki Lurah ke gandok."
"Baiklah," berkata Ki Lurah Branjanan, "kita tidak jadi berbincang semalam suntuk."
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, "Ternyata mata tua ini terasa mengantuk juga."
Namun, demikian mereka bangkit, mereka terkejut oleh keributan yang terjadi. Bahkan kemudian terdengar suara kentongan di gardu yang tidak terlalu jauh dari rumah Agung Sedayu itu. Gardu yang berada didepan mulut lorong.
Agung Sedayupun segera bersiap. Katanya kepada Ki Jayaraga, "Aku harap Ki Jayaraga dan Ki Lurah tinggal dirumah bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan. Aku, Sabungsari dan Glagah Putih akan melihat, apa yang telah terjadi diluar."
Ki Jayaraga mengangguk. Ia sadar, bahwa harus ada orang yang menjaga rumah itu. Mungkin keributan itu hanya sekedar pancingan untuk menghisap penghuni rumah ini keluar.
Karena itu maka katanya, "Baiklah. Aku akan tinggal dirumah. Hati-hatilah."
"Jika terjadi sesuatu yang gawat, sebaiknya Sekar Mirah membunyikan kentongan di longkangan," berkata Agung Sedayu.
"Baik kakang," jawab Sekar Mirah.
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putihpun segera berlari keluar pintu, turun ke halaman dan keluar regol halaman turun ke jalan.
Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih itupun kemudian langsung pergi ke gardu. Suara kentongan ternyata sudah tidak terdengar lagi di gardu itu. Tetapi gardu yang lain ternyata sudah menyahut suara isyarat itu, sehingga suara kentonganpun segera mengumandang diseluruh Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh.
"Apa yang terjadi ?" bertanya Agung Sedayu.
Beberapa orang anak muda yang tinggal di gardu merasa senang ketika mereka melihat Agung Sedayu datang. Seorang diantara merekapun kemudian menjawab, "Kami sedang berusaha menangkap dua orang yang mencurigakan. Dua orang anak muda yang sedang meronda melihat dua orang yang mencurigakan. Ketika keduanya disapa, maka keduanya berusaha untuk melarikan diri. Kedua peronda yang berusaha menangkap justru mendapat perlawanan. Namun ketika kami mendengar keributan itu dan berlari-lari mendekat, kedua orang yang mencurigakan itu telah melarikan diri. Beberapa orang kawan kami sedang mengejar mereka. Mudah-mudahan isyarat kentongan kami dapat menyiapkan para peronda dan membantu menangkap kedua orang yang melarikan diri itu."
"Apakah seorang diantaranya orang kerdil ?" bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
"Bukan. Keduanya orang yang mempunyai ujud tubuh wajar. Bahkan seorang diantaranya terhitung agak tinggi." jawab peronda itu yang mengetahui maksud Agung Sedayu. Bahkan katanya kemudian, "menurut dugaan kami keduanya bukan Bajang Engkrek dan Ki Manuhara sebagaimana menurut ciri-ciri yang pernah kami dengar tentang keduanya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata iapun menjadi curiga sebagaimana Ki Jayaraga, bahwa keributan itu sekedar usaha untuk memancing mereka keluar dari rumahnya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Baiklah, jika demikian, kami akan melihat, apakah orang-orang yang justru kita cari itu tidak memasuki halaman rumahku."
Sebelum Agung Sedayu beranjak, Prastawa yang juga mendengar suara kentongan yang bersumber dari gardu itu telah datang bersama empat orang pengawal. Justru karena itu, maka Agung Sedayupun telah menyerahkan persoalan kedua orang yang sedang dikejar itu kepada Prastawa dan para pengawal. Katanya kemudian, "Kami akan melihat apakah ada orang yang masuk ke halaman rumah kami."
"Silahkan," jawab Prastawa, "jika ada sesuatu yang penting disini, biarlah salah seorang diantara kami memberitahukan kerumahmu."
Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putihpun dengan tergesa-gesa telah kembali kerumah mereka.
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat halaman rumah mereka ternyata masih saja sepi. Meskipun demikian mereka segera mengetuk pintu pringgitan.
"Siapa ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Aku, Agung Sedayu."
Terdengar langkah mendekati pintu. Demikian pintu terbuka, maka Agung Sedayu melihat seisi rumah itu telah berkumpul di ruang tengah. Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khusus mereka.
"Bukankah tidak terjadi sesuatu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Belum," jawab Ki Jayaraga.
"Kenapa belum" " desak Agung Sedayu.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ada seseorang diluar dinding. Tetapi tidak ada usaha untuk memasuki rumah ini."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya, "Ternyata memang ada usaha untuk melakukan kekerasan di sini."
"Tetapi sasarannya mungkin berubah, mungkin tidak. Jika mereka yang melakukan adalah Bajang Engkrek, Ki Manuhara dan para pengikutnya, maka sasarannya adalah Sabungsari dan Glagah Putih. Tetapi mungkin juga pihak lain yang diperalat oleh Raden Antal yang masih mendendam itu," berkata Ki Jayaraga.
"Tetapi bukankah Raden Antal tidak melakukan sesuatu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Di Mataram memang tidak ada tindakan apapun terhadap keluarga Rara Wulan. Tetapi seperti yang kita perhitungkan mungkin dendam itu justru ditimpakan kepada Rara Wulan, "sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian kita memang harus berhati-hati. Karena itu, maka biarlah aku juga tinggal di rumah. Nampaknya orang-orang yang penting diantara mereka justru memusatkan perhatian mereka pada rumah ini. Biarlah Glagah Putih dan Sabungsari saja yang pergi ke gardu. Mungkin anak-anak muda itu memerlukan bantuan."
Sabungsari dan Glagah Putih tidak bertanya lebih banyak lagi. Mereka berduapun dengan cepat telah berada di gardu kembali sementara di gardu itu masih banyak anak-anak muda yang berjaga-jaga. Diantara mereka terdapat Prastawa.
Namun dalam pada itu, laporan-laporan yang datang menyatakan bahwa orang-orang yang sedang dikejar-kejar itu tidak tertangkap. Meskipun ada diantara anak-anak muda dan pengawal yang sempat melihat keduanya berlari, tetapi keduanya rasa-rasanya hilang begitu saja didalam gelap.
"Satu pancingan yang cerdik," desis Glagah Putih.
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Apakah kedua orang yang lari itu justru masuk ke halaman rumah Agung Sedayu untuk menangkap kalian berdua?"
"Memang ada orang yang memasuki halaman rumah kami. Tetapi orang itu tidak berbuat apa-apa kecuali sekedar mengintip dari luar dinding. Untung Ki Jayaraga dan Ki Lurah Branjangan ada dirumah ketika kami dan kakang Agung Sedayu sedang berada disini tadi," jawab Glagah Putih.
"Apakah mungkin orang itu masih ada disekitar rumahmu ?" bertanya Prastawa pula.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berdesis kepada Sabungsari, "Marilah. Kita lihat."
Sabungsari mengangguk kecil sambil menyahut, "Marilah. Mungkin masih ada orang di halaman rumah itu." Kemudian Glagah Putihpun berkata kepada Prastawa, "Tolong awasi lorong-lorong disekitar rumahku. Aku akan mencoba melihat apakah masih ada orang dihalaman."
Prastawapun kemudian memerintahkan beberapa pengawal untuk memencar dan mengamati rumah Agung Sedayu itu. Namun Glagah Putih berpesan, "Jika kalian melihat dua orang yang satu diantaranya orang bertubuh pendek kecil, maka kalian harus melawannya dalam kelompok. Kemudian sebaiknya kalian memberikan isyarat. Salah seorang dari kami atau kakang Agung Sedayu akan datang untuk membantu kalian."
Demikianlah maka Sabungsari dan Glagah Putih dengan sangat berhati-hati telah mendekati halaman rumah mereka dari arah belakang. Sementara seluruh Padukuhan Induk menjadi sibuk, orang-orang yang mereka cari mungkin justru bersembunyi di halaman rumahnya.
Diluar dinding halaman Glagah Putih dan Sabungsari berhenti sejenak. Mereka mencoba untuk mendengarkan, apakah ada suara dibalik dinding halaman itu. Beberapa kali mereka bergeser. Namun mereka tidak mendengarnya sama sekali.
Sementara itu dikejauhan masih terdengar suara kentong-an. Bahkan menjadi ramai lagi. Nampaknya ada beberapa orang peronda yang melihat dua orang berlari didalam kegelapan.
"Tentu masih ada sesuatu yang bakal terjadi. Nampaknya kedua orang itu masih memancing keributan disisi lain dari Padukuhan induk ini," desis Glagah Putih lirih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih memberi isyarat. Ternyata telinganya yang tajam telah mendengar sesuatu di balik dinding di halaman rumah Agung Sedayu itu.
Dengan demikian maka keduanyapun telah berusaha untuk menempatkan diri. Namun agaknya desir di balik dinding itu bergeser beberapa langkah sehingga dengan sangat berhati-hati Glagah Putih dan Sabungsari mendengar orang berisik di dalam dinding, "Jadi kita tinggalkan rumah ini ?"
"Kita tidak dapat berbuat banyak," jawab suara yang lain.
"Selain orang tua itu, Agung Sedayupun justru telah kembali."
"Baiklah. Kita mencari kesempatan lain," Glagah Putih dan Sabungsari menjadi semakin berhati-hati.
Ketika mereka mendengar langkah di belakang dinding, merekapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah sejenak kemudian mereka melihat dua o-rang muncul dari balik dinding dan hinggap diatas dinding halaman itu. Sesaat kemudian, maka bayangan itupun segera meloncat turun dihalaman rumah dibelakang rumah Agung Sedayu.
Ketajaman indera mereka menangkap bahwa ternyata di halaman itu sudah ada orang yang menunggu mereka. Karena itu, maka demikian kaki mereka menginjak tanah, maka merekapun segera bersiap.
Jantung kedua orang anak muda yang menunggu di halaman belakang rumah disebelah rumah Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Seorang diantara kedua orang itu adalah orang yang bertubuh kecil dan pendek.
"Bajang Engkrek," desis Glagah Putih.
Tetapi orang bertubuh pendek itu sempat menjawab, "Kau salah anak muda. Namaku Bajang Bertangan Baja atau jika kau lebih senang mendengar namaku yang lain adalah Bajang Bertangan Embun."
Glagah Putih dan Sabungsari segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Namun Glagah Putih yang memang telah dipersiapkan untuk menghadapi Ki Manuhara segera menempatkan diri, karena menurut pengertian Glagah Putih, orang itu adalah Ki Manuhara yang pernah bertempur melawan gurunya, Ki Jayaraga.
Ternyata Ki Manuhara itu tertawa sambil berkata, "Adalah kebetulan sekali bahwa kita bertemu disini. Bukankah kalian berdua itu anak-anak yang selama ini kami buru " Nah, kesempatan ini tidak akan aku lepaskan."
Glagah Putih dan Sabungsari tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya benar-benar telah bersiapsiap menghadapi kedua orang lawan yang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu Ki Manuhara dan Bajang Bertangan Baja itu tidak ingin membuang banyak waktu. Mereka menyadari bahwa para pengawal Tanah Perdikan akan dapat ikut campur jika mereka mengetahui bahwa dibelakang rumah Agung Sedayu itu telah terjadi pertempuran.
Meskipun kentongan masih terdengar sehingga perhatian para pengawal Tanah Perdikan itu masih tertuju kepada perhatian para pengawal itu, namun keributan yang terjadi, dapat memanggil setidak-tidaknya isi rumah Agung Sedayu yang lain.
Karena itu, maka dengan serta merta Ki Manuharapun telah menyerang Glagah Putih sambil berkata, "Hati-hatilah Bajang. Kedua anak ini telah berhasil membunuh Ki Patitis dan Ki Tangkil di halaman depan rumah ini."
Bajang Bertangan Baja itu tertawa. Katanya, "Patitis dan Tangkil memang pantas untuk mati. Mereka hanya memiliki ilmu untuk berburu kancil."
Ki Manuhara tidak menunggu jawaban Bajang Bertangan Baja itu. Dengan garangnya Ki Manuhara telah menyerang Glagah Putih.
"Nampaknya memang aku sendiri yang harus mengakhirimu," geram Ki Manuhara.
Tetapi Glagah Putih telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika Ki Manuhara menyerangnya, maka Glagah Putihpun dengan sigapnya telah bergeser menghindari. Namun Ki Manuhara yang sudah berniat untuk membunuhnya tidak melepaskannya. Dengan cepat iapun telah memburunya dengan serangan-serangan.
Tetapi Glagah Putih benar-benar telah menyiapkan diri untuk menghadapi Ki Manuhara. Karena itu maka iapun segera melenting" mengambil jarak. Namun sesaat kemudian, maka iapun telah berganti menyerang dengan tangkasnya.
Namun keduanya sadar, bahwa pertempuran itu hanya sekedar semacam pemanasan. Karena keduanyapun akan segera merambah ke puncak ilmu mereka.
Bajang Bertangan Baja itupun tidak menunggu lebih Pama lagi. Iapun segera meloncat menyerang pula. Namun Bajang Bertangan Baja itu ternyata masih ingin serba sedikit menjajagi ilmu lawannya.
Sejenak kemudian pertempuran antara Glagah Putih dan Ki Manuhara itupun telah menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan semakin cepat pula, sementara tangan mereka bergerak menyambar-nyambar. Benturan-benturan kekuatanpun telah semakin sering terjadi.
Namun dengan demikian Ki Manuharapun menyadari, bahwa anak muda itu benar-benar seorang yang telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Bajang Bertangan Bajapun harus mengakui kemampuan lawannya. Sabungsari yang telah berhasil melepaskan hambatan yang menahan kemampuannya melepaskan tenaga dalamnya sampai tuntas, ternyata telah menunjukkan kemampuannya yang sangat tinggi kepada Bajang Bertangan Baja itu.
Dengan demikian maka pertempuranpun segera meningkat semakin sengit. Kedua belah pihak telah memanjatkan ilmu mereka langsung pada tataran tertinggi. Bahkan kemudian merekapun telah bersiap-siap untuk sampai ke ilmu simpanan mereka.
Namun tiba-tiba mereka yang sedang bertempur itn telah dikejutkan oleh kehadiran bayangan yang demikian saja hinggap diatas dinding halaman rumah Agung Sedayu.
Meskipun dalam kegelapan namun Ki Manuharapun langsung dapat mengenalinya. Bahwa orang itu adalah Agung Sedayu. Demikian pula Bajang Bertangan Baja yang pernah menyaksikan bagaimana Agung Sedayu mampu membunuh Ki Samepa.
Karena itu, maka nampaknya Ki Manuhara tidak mempunyai pilihan lain. Mereka berdua tidak akan mampu menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi itu. Mungkin Agung Sedayu akan menghadapi Ki Manuhara, sementara Bajang Bertangan Baja tidak akan mampu menghadapi kedua orang anak muda yang disebutnya Pembunuh Lembu Jantan itu.
Dengan satu isyarat maka Ki Manuhara telah mengajak Bajang Bertangan Baja untuk menyingkir, sebelum Agung Sedayu melibatkan diri.
Agaknya Bajang Bertangan Baja itupun segera tanggap. Karena itu, maka keduanyapun tiba-tiba saja telah meloncat menghambur ke kegelapan.
Sabungsari dan Glagah Putih tidak membiarkan keduanya lepas begitu saja. Karena itu, maka keduanyapun segera berusaha mengejarnya.
Agung Sedayu yang berdiri di atas dinding tidak meloncat turun. Dibiarkannya Glagah Putih dan Sabungsari berusaha mengejar kedua orang yang melarikan diri itu.
Tetapi yang dijumpai oleh Sabungsari dan Glagah Putih kemudian adalah justru para pengawal yang mengawasi lorong-lorong dis"kitar rumah Agung Sedayu sebagaimana mereka diminta.
Sementara itu Agung Sedayu sendiri justru telah berada di halaman belakang rumahnya kembali, la tidak mau meninggalkan rumahnya, karena orang-orang yang berilmu tinggi itu akan mampu mengelabuhi anak-anak muda yang mengejarnya itu dan justru kembali ke halaman rumah itu.
Tetapi ternyata bahwa Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara itu seakan-akan telah hilang begitu saja. Tidak seorang pengawalpun yang melihat mereka, sementara Glagah Putih dan Sabungsari juga kehilangan jejak.
"Mereka lenyap seperti iblis," desis Sabungsari diantara para pengawal.
"Kedua orang yang dikejar-kejar para peronda itupun telah hilang pula," desis Prastawa.
Buku 277 NAMUN peristiwa itu merupakan satu peringatan bagi Tanah Perdikan Menoreh, bahwa sebenarnyalah bahaya masih ada diantara mereka. Orang-orang berilmu tinggi dan pengikutnya itu masih tetap mendendam Sabungsari dan Glagah Putih. Apalagi setelah beberapa orang diantara mereka, justru terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat.
Malam itu seisi rumah Agung Sedayu seakan-akan tidak sempat untuk tidur. Sesaat-sesaat saja mereka terlena. Namun Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sama sekali tidak memejamkan matanya sekejap-pun sementara Glagah Putih dan Sabungsari berada diantara para pengawal dan anak-anak muda bersama Prastawa.
Ki Lurah Branjangan yang berada dirumah Agung Sedayu juga tidak sempat tidur semalaman. Meskipun Agung Sedayu dan Ki Jayaraga mempersilahkannya berada didalam bilik diruang dalam. Hanya kadang-kadang saja mata Ki Lurah terpejam sekejap. Tetapi kemudian iapun telah terbangun lagi.
Di pagi harinya, maka Ki Gede telah memanggil beberapa orang terpenting di Tanah Perdikan serta beberapa orang bebahu. Kepada mereka, Ki Gede memerintahkan untuk tetap berhati-hati, karena usaha untuk membalas dendam dari beberapa orang berilmu tinggi masih dilakukan.
"Para pemimpin pengawal disetiap padukuhan harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan," berkata Ki Gede, "meskipun di-siang hari, para pengawal tidak boleh lengah. Harus ada sekelompok kecil pengawal yang siap di banjar selain para pengawal yang lain harus selalu siap pula menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Meskipun mereka berada di sawah, di ladang dan pategalan atau dirumah. Setiap saat diperlukan mereka sudah siap untuk menjalankan perintah," berkata Ki Gede.
Agung Sedayu yang juga hadir sebelum ia pergi ke barak, sempat memberitahukan, bahwa dua orang berilmu tinggi telah memasuki halaman rumahnya.
"Masih dalam rangka usaha mereka menangkap Glagah Putih dan Sabungsari," berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka seluruh Tanah Perdikanpun masih tetap dalam keadaan siaga penuh. Bahkan ketika Agung Sedayu sampai dibarak bersama Ki Lurah Branjangan, maka kepada para pemimpin kelompok prajurit dari pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayupun memerintahkan agar mereka bersiaga.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun tidak dapat mengabaikan peringatan Ki Lurah Branjangan, bahwa keluarga Rara Wulan masih tetap berada dalam ancaman, meskipun masih belum diketahui apa yang akan dilakukan oleh Keluarga Raden Antal itu.
Tetapi dihari berikutnya, menjelang senja, di rumah Agung Sedayu telah datang utusan dari Mataram.
Dua orang utusan Ki Wirayuda itupun kemudian telah dipersilah-kan duduk dipendapa.
"Nampaknya ada sesuatu yang penting," desis Agung Sedayu kemudian setelah ia menanyakan keselamatan Ki Wirayuda dan keluarganya di Mataram.
"Ya Ki Lurah," jawab salah seorang dari utusan itu. "Ki Wirayuda memerintahkan kami untuk datang dan memberitahukan Ki Lurah tentang orang kerdil itu."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya, "Apa yang terjadi dengan orang kerdil itu?"
"Ki Lurah," berkata salah seorang dari utusan itu, "salah seorang diantara petugas sandi telah melihat orang kerdil itu keluar dari rumah seorang Tumenggung Wreda."
"Seorang Tumenggung Wreda?" bertanya Agung Sedayu, "siapa nama Tumenggung itu?"
"Memang hanya satu kebetulan, karena para petugas sandi tidak pernah menghubungkan orang kerdil itu dengan Ki Tumenggung yang lebih sering dipanggil Tumenggung Selasih."
"Tumenggung Selasih," Agung Sedayu mengulang, "aku belum begitu mengenalnya."
"Juga disebut Tumenggung Wreda Sela Putih."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Meskipun ia juga seorang prajurit, tetapi hubungannya dengan para pemimpin di Mataram agak kurang dekat. Apalagi ia termasuk orang baru dan ditempatkan diluar lingkungan Kotaraja.
Namun Agung Sedayu itupun kemudian bertanya, "Apa yang diketahui oleh Ki Wirayuda tentang Ki Tumenggung Wreda itu?"
"Tidak ada yang dapat dicurigai pada Ki Tumenggung Wreda itu." jawab utusan itu.
"Tentu satu teka-teki yang perlu dipecahkan." desis Agung Sedayu. Namun demikian ia masih bertanya, "Tetapi apakah orang kerdil itu keluar dari halaman rumah Ki Tumenggung Wreda dengan bersembunyi-sembunyi atau tidak?"
"Nampaknya tidak Ki Lurah," jawab utusan itu, "menurut petugas sandi yang kebetulan melihat, orang kerdil itu keluar lewat regol halaman rumah Ki Tumenggung sebagaimana sewajarnya. Sehingga kesannya, orang kerdil itu tidak merasa perlu menyembunyikan diri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara utusan itu berkata seterusnya, "Ki Wirayuda memang menjadi bingung menghadapi teka-teki itu. Tetapi justru karena itu, maka Ki Wirayuda telah memerintahkan pengamatan secara khusus atas rumah Ki Tumenggung Wreda itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun bertanya, "Dimana tempat tinggal Ki Tumenggung Wreda itu?"
Utusan itupun kemudian menjelaskan, ancar-ancar rumah orang yang disebutnya Ki Tumenggung Wreda itu.
Tiba-tiba saja, hampir diluar sadarnya, Glagah Putih yang ikut menemui utusan itu berkata, "Jika demikian, Tumenggung itu adalah ayah anak muda yang disebut Raden Antal."
"Raden Antal?" Agung Sedayu mengulangi.
"Ya. Raden Antal." Glagah Putih menjawab tegas.
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Dengan cepat ia menghubungkan orang kerdil itu dengan ancaman keluarga Raden Antal terhadap keluarga Rara Wulan sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
Hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Darimana keluarga Raden Antal dapat mengenal orang kerdil itu."
"Siapa yang Ki Lurah maksudkan?" bertanya utusan itu.
"Tolong sampaikan kepada Ki Wirayuda yang barangkali dapat dipergunakan sebagai bahan bagi pengamatannya atas orang kerdil itu," berkata Agung Sedayu kemudian. Diceritakannya persoalan yang pernah terjadi antara keluarga Ki Tumenggung Wreda itu dengan orang tua Rara Wulan yang kini berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara keluarga Rara Wulan menganggap bahwa persoalannya telah selesai. Namun ternyata belum. Bahkan keluarga Raden Antal telah berhubungan dengan Bajang Engkrek yang mengaku bernama Bajang Bertangan Baja sebagaimana dikatakan kepada Glagah Pulih dan Sabungsari.
"Ki Lurah Branjangan pernah memberitahukan, bahwa keluarga Raden Antal yang merasa tersinggung itu ternyata masih mendendam," berkata Agung Sedayu. Lalu katanya selanjutnya, "Nampaknya Bajang Engkrek itu akan dipergunakannya untuk melepaskan dendam. Namun Bajang itu bertemu dengan Ki Manuhara yang juga mendendam, sehingga dua kepentingan dapat bergabung. Kedua orang berilmu tinggi itu ternyata telah bekerja bersama. Seorang berurusan dengan Sabungsari dan Glagah Putih, seorang yang lain dengan Rara Wulan."
Kedua utusan itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Bahan yang akan dapat dipergunakan sebagai landasan pengamatan kami atas tingkah laku Bajang Engkrek itu."
"Tetapi berhati-hatilah," pesan Agung Sedayu, "Bajang Engkrek itu termasuk orang yang berilmu sangat tinggi sebagaimana Ki Manuhara. Karena itu, untuk menghadapi orang itu, para prajurit Mataram harus benar-benar dipersiapkan."
Utusan Ki Wirayuda itu mendengarkan pesan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh. Mereka memang sudah mendengar bahwa kedua orang yang sedang dicari itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Tetapi ketika hal itu juga dikatakan oleh Agung Sedayu yang juga dianggap orang berilmu sangat tinggi, maka kedua orang utusan itu menjadi semakin yakin karenanya.
"Kami akan segera melaporkannya kepada Ki Wirayuda," berkata kedua orang utusan itu.
"Tetapi bukankah malam itu kalian akan bermalam di sini?" bertanya Agung Sedayu.
Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang diantara merekapun berkata, "Baiklah. Kami akan bermalam di-sini. Tetapi besok pagi-pagi sekali, kami berdua harus kembali ke Mataram."
Demikianlah sejenak kemudian, maka makan malampun telah dipersiapkan. Sementara itu, Agung Sedayupun minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk bersama mereka diruang dalam bersama kedua orang tamu dari Mataram itu. Agung Sedayu telah mengulang laporan utusan Ki Wirayuda dan memperingatkan kepada Rara Wulan untuk semakin berhati-hati.
"Ternyata keluarga Raden Antal telah menghubungi Bajang Bertangan Baja itu," berkata Agung Sedayu.
Rara Wulan menundukkan wajahnya. Namun sebenarnyalah jantungnya tengah bergejolak. Kemarahannya terasa membakar isi dadanya sehingga darahnyapun serasa telah mendidih.
Tetapi Rara Wulan tidak dapat berbuat sesuatu. Ia sadar, bahwa orang-orang yang mengancam keselamatannya dan keselamatan Sabungsari dan Glagah Putih adalah orang-orang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, Ki Jayaragapun kemudian berkata, "Jadi kedatangan Bajang Engkrek itu kerumah ini tentu ada hubungannya dengan kehadiran Rara Wulan disini. Namun bahwa hal ini kita ketahui sebelumnya, merupakan hal yang lebih baik, karena kita dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
"Ya," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "tetapi aku minta Rara Wulan jangan terlalu berkecil hati. Kita di rumah ini, dan seluruh pengawal Tanah Perdikan sudah bersiap. Kita bukan sasaran yang tidak berdaya bagi mereka. Yang perlu kita waspadai justru kelicikan mereka. Sebagaimana Ki Manuhara telah sampai hati membakar rumah dan membunuh orang-orang yang tidak tahu-menahu persoalannya. Mungkin Bajang itupun akan berbuat kasar seperti itu pula."
"Namun dengan demikian kita tahu bahwa Bajang itu mondar-mandir di antara Mataram dan Tanah Perdikan ini," desis Ki Jayaraga kemudian.
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. Bajang itu tentu mondar-mandir dari Tanah Perdikan ini ke Mataram dan sebaliknya."
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku akan berhubungan dengan tukang-tukang satang, apakah mereka sering melihat orang kerdil yang menyeberang."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, "Satu langkah yang mungkin dapat ditempuh. Namun cukup berbahaya bagi kita. Jika kita pergi ke tepian Kali Praga, maka rumah ini akan menjadi kosong. Jika kedua orang itu datang kemari, maka akan sangat berbahaya bagi Rara Wulan."
"Kita harus membagi diri," berkata Ki Jayaraga.
"Ya," desis Agung Sedayu, "setidak-tidaknya kita mengetahui kebiasaan orang kerdil itu."
Ternyata Ki Jayaraga dan Agung Sedayu kemudian sepakat, bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putihlah yang akan pergi ke tepian Kali Praga untuk menghubungi beberapa orang tukang satang.
"Besok jangan pergi ke barak sebelum kami datang," berkata Ki Jayaraga.
"Ki Jayaraga akan pergi sekarang?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya," Jawab Ki Jayaraga, "sekedar mengamati keadaan. Aku berharap akan dapat bertemu dengan Bajang dan Ki Manuhara. Aku ingin mengulangi permainan buruk yang pernah aku lakukan bersamanya. Mudah-mudahan Glagah Putih dapat ikut bermain bersama orang kerdil itu."
"Tetapi tidak hanya satu jalur jalan dari Tanah Perdikan ke Mataram dan sebaliknya," berkata Sabungsari.
"Tetapi kita tahu jalan yang disukai oleh orang kerdil itu. Tetapi seandainya ia memilih jalan lain, maka pada kesempatan lain kami dapat menelusurinya satu demi satu," Jawab Ki Jayaraga sambil tersenyum.
Agung Sedayu tidak mencegahnya lagi. Tentu ada maksud lain dari Ki Jayaraga yang mengajak muridnya. Mungkin Ki Jayaraga memang ingin melihat hasil pewarisan Aji Sigar Bumi. Meskipun akibatnya dapat sangat berbahaya jika benar-benar Glagah Putih harus bertempur dengan orang kerdil itu. Tetapi tentu Ki Jayaraga sudah memperhitungkannya dengan cermat.
Demikianlah, malam itu juga Ki Jayaraga telah mengajak Glagah Putih untuk pergi ke tepian. Mereka memilih jalan yang pernah diduga dilalui oleh Bajang Engkrek ketika ia menolong Ki Manuhara dan membawanya keluar dari Tanah Perdikan.
Rara Wulan nampak menjadi cemas. Ia sempat berpesan, "Hati-hatilah kakang."
Namun Sekar Mirah berdesis, "Ia pergi bersama gurunya."
Rara Wulan mengangguk kecil.
Sepeninggal Ki Jayaraga dan Glagah Putih, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan kedua orang utusan Ki Wirayuda itu beristirahat di gandok. Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan masih sibuk membenahi mangkuk dan sisa makan minum mereka.
Dalam pada itu, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pengawal dan anak-anak muda yang ada di gardu disudut lorong sempat bertanya ketika mereka melihat Glagah Putih dan Ki Jayaraga lewat.
"Kami hanya ingin melihat-lihat," sahut Glagah Putih.
Demikian Glagah Putih dan Ki Jayaraga lewat, maka seorang anak muda berdesis, "Mereka hanya berdua saja."
"Orang kerdil itu masih berkeliaran." sahut yang lain.
Namun seorang pengawal menjawab, "Tetapi kita tahu siapa mereka. Seandainya keduanya bertemu dengan orang kerdil itu sekaligus dengan Ki Manuhara, maka keduanya tentu akan mampu mengimbanginya."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Ya. Mereka akan mampu menjaga diri mereka."
Sementara itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih langsung pergi menuju ke tepian. Mereka memilih jalan yang memang jarang dilalui orang. Mereka sadar, bahwa jalur itu tidak cukup ramai sehingga di malam hari tidak akan ada rakit yang menyeberang.
Tetapi menurut perhitungan Ki Jayaraga, maka kadang-kadang tukang satang itu tidur ditepian, karena kadang-kadang dimalam hari ada orang yang terpaksa menyeberang dengan kesanggupan membayar tinggi.
Ketika Ki Jayaraga sampai ketepian, maka yang dilihatnya tidak lebih dari sebuah rakit yang tertambat disebelah Barat sungai dan disisi sebelah Timur sebuah.
"Tidak ada seorangpun tukang satang yang menunggui rakitnya," desis Ki Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, "Jalan ini sangat sepi."
"Ya," Jawab Ki Jayaraga, "apalagi di malam hari."
"Apakah kita akan melihat ketempat penyeberangan yang lain yang lebih ramai?" bertanya Glagah Putih.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kita tunggu sebentar. Mungkin ada orang lewat atau ada seorang yang dapat kita ajak bercakap-cakap disini."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia mengikuti saja gurunya yang kemudian duduk ditepian.
Namun dalam pada itu, mereka justru melihat sesuatu bergerak diseberang. Beberapa orang naik keatas rakit. Kemudian rakit itupun mulai bergerak menyeberang Kali Praga.
Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun kemudian telah bergeser ketempat yang lebih gelap dibawah beberapa batang pohon pandan eri. Mereka menunggu rakit yang menyeberang. Mungkin tukang satang dari rakit itu dapat memberikan beberapa keterangan tentang orang kerdil yang sering melintasi Kali Praga.
Beberapa saat keduanya menunggu. Rasa-rasanya rakit itu berjalan sangat lambat
Namun akhirnya rakit itu merapat ketepi. Tiga orang penumpang turun dan memberikan upah kepada salah seorang dari kedua tukang satang. Seorang diantara mereka adalah perempuan.
"Kapan kalian kembali?" bertanya salah seorang diantara tukang satang itu yang nampaknya sudah mengenal ketiga penumpangnya.
"Belum pasti," jawab perempuan satu-satunya itu, "kapan saja jika keadaan paman menjadi baik, baru aku kembali."
"Jadi mungkin sehari, dua hari atau lebih?" bertanya tukang satang itu pula.
"Ya. Bahkan mungkin sepekan," jawab perempuan itu, "sudahlah Kang. Aku titip anak-anak."
"Bukankah anak-anakmu sudah besar?" sahut tukang satang yang seorang lagi.
"Ya. Justru sudah besar itulah mereka memerlukan pengawasan yang lebih baik. Sekarang banyak anak-anak yang tumbuh remaja sering melakukan hal-hal yang aneh-aneh," berkata perempuan itu.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan anak-anakmu tidak berbuat aneh-aneh. Nampaknya anak-anak cukup baik," Jawab tukang satang itu.
Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang mendengar pembicaraan itu saling berpandangan sejenak. Mereka nampaknya orang-orang yang akan mengunjungi sanak kadangnya yang sedang sakit. Jika tidak gawat, maka mereka tidak akan menyeberang dimalam yang gelap dan dingin itu.
Namun dengan demikian, Ki Jayaraga dan Glagah Putih akan dapat berbicara dengan kedua tukang satang itu.
Karena itu ketika ketiga orang penumpang itu meninggalkan tepian, dan tukang satang itu sudah bersiap-siap untuk mengayuh rakitnya menyeberang kembali, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah bangkit dan melangkah mendekati rakit itu.
Kedua orang tukang satang itu terkejut. Namun kemudian merekapun telah menarik nafas panjang ketika mereka melihat semakin jelas atas kedua orang itu.
"Ki Sanak," berkata Ki Jayaraga, "sudah lama aku menunggu disini. Baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk menyeberang ke Timur."
Kedua tukang satang itu menghentikan rakitnya yang mulai bergerak. Dengan ramah salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah Ki Sanak akan menyeberang?"
"Ya. Aku hampir tertidur disini," jawab Ki Jayaraga.
"Apakah Kerti tidak ada?" bertanya tukang satang itu.
"Siapakah yang kau maksud dengan Kerti?" Ki Jayaraga justru bertanya.
"Tukang satang. Itu rakitnya ada. Aku kira Kerti menungguinya dan tidur ditepian," jawab tukang satang itu.
"Tidak ada seorangpun," Jawab Ki Jayaraga.
"Jika demikian, marilah. Silahkan naik. Kami memang harus kembali ke seberang," berkata tukang satang itu.
Ki Jayaraga dan Glagah Putih segera naik keatas rakit. Meskipun mereka tidak berniat untuk menyeberang, tetapi dengan demikian mereka akan mendapat kesempatan untuk berbincang dengan kedua orang tukang satang itu.
Namun, demikian rakit itu bergerak, sebelum Ki Jayaraga bertanya tentang sesuatu, maka salah seorang tukang satang itu berkata, "Aku tadi terkejut sekali melihat kalian muncul dari kegelapan."
"Kenapa?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ada dua orang yang sering mondar-mandir menyeberang Kali Praga. Mereka orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka tidak pernah mau membayar upah penyeberangan," jawab tukang satang itu sambil melihat ketepian. Tetapi tepian itu sudah menjadi semakin jauh.
"Tetapi bukankah kedua orang itu bukan kami?" bertanya Ki Jayaraga sambil tertawa.
"Semula aku memang menduga bahwa dua orang yang muncul dari kegelapan itu adalah kedua orang yang sering menyeberang tanpa mau mengupah itu. Tetapi ketika kami melihat kalian berdua, maka kami merasa lega, karena kalian bukan kedua orang itu."
Keterangan tukang satang itu memang sangat menarik perhatian Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Dengan nada tinggi Ki Jayaraga bertanya, "Kenapa orang-orang itu masih diberi kesempatan untuk naik rakit" Jika kalian tahu orang-orang itu tidak mau memberi upah saat mereka menyeberang, sebaiknya mereka tidak boleh ikut menyeberang. Bukankah itu wajar?"
"Tidak seorangpun yang berani menolak mereka," Jawab tukang satang itu.
"Sst, jangan keras-keras kang," desis tukang satang yang seorang lagi.
Tetapi Ki Jayaraga masih bertanya lagi, "Kenapa kalian tidak berani melarang orang itu naik kerakit?"
Kedua tukang satang itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantaranya kemudian berkata, "Apakah tidak ada orang lain disini sekarang?"
"Tentu tidak, selain kalian berdua dan kami berdua," Jawab Ki Jayaraga.
"Hati-hati bicara, kang," gumam yang seorang lagi.
"Tetapi bukankah memang tidak ada orang?" sahut Ki Jayaraga pula.
"Tetapi kalianpun harus menjaga diri," desis tukang satang yang pertama, "aku memang sesekali ingin mengatakan kepada seseorang untuk mengurangi beban kejengkelanku."
"Kami tidak akan mengatakan kepada siapapun juga," berkata Ki Jayaraga kemudian.
"Ya," desis tukang satang itu, "jika kau mengatakannya juga, maka kalianlah yang kena laknat."
"Aku berjanji untuk menahan diri," berkata Ki Jayaraga.
Tukang satang itu terdiam sejenak, sementara rakitnya bergerak melintasi Kali Praga.
"Kedua orang itu ternyata orang-orang sakti," berkata tukang satang itu.
"Orang sakti?" bertanya Ki Jayaraga, "apa tandanya bahwa mereka orang-orang sakti?"
"Mereka sering menunjukkan tingkah laku dan perbuatan yang tidak masuk akal. Pernah salah seorang diantara mereka melempar penumpang lainnya ke sungai. Begitu kuatnya orang itu, sehingga orang yang dilemparkannya itu seakan-akan hanya seringan kapuk randu. Kemudian, pernah orang itu menghentakkan rakit ini ketika ia sedang menumpang sehingga rakit ini berguncang seperti dilanda ombak di laut Selatan. Semua penumpang terlempar jatuh kedalam sungai. Untung mereka dapat tertolong semua oleh rakit yang sedang tertambat itu, karena penumpangnya memang hanya beberapa orang yang kebetulan sebagian besar dapat berenang sedangkan rakit itu cepat dikayuh ketengah. Namun hampir saja rakit itu akan ditenggelamkan karena menolong orang-orang yang terlempar ke sungai itu. Namun niatnya diurungkan. Ia justru tertawa melihat beberapa orang yang dengan susah payah merayap naik keatas rakit."
"Apakah orangnya segagah raksasa?" bertanya Ki Jayaraga.
"Tidak. Orangnya justru kerdil," Jawab tukang satang itu. Namun tiba-tiba kawannya memotong, "Kang, hati-hati berbicara kang. Siapa tahu telinga orang itu ada disini."
Wajah tukang satang itu menegang, sehingga tiba-tiba saja ia berhenti mengayuhkan satangnya. Katanya dengan ragu, "Tetapi bukankah kalian berdua bukan kawan-kawan orang kerdil itu?"
"Tentu bukan," Jawab Ki Jayaraga, "tetapi ceritera Ki Sanak itu membuat kami ketakutan. Orang kerdil bertenaga raksasa. He, apakah ia manusia biasa atau sebangsa lelembut?"
"Nampaknya manusia biasa. Hanya ukuran tubuhnya yang tidak biasa. Kecil dan pendek. Namun tenaganya luar biasa."
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi bukankah ia hanya menyeberang disiang hari?"
"Tidak tentu. Kadang-kadang, bahkan lebih sering dimalam hari. Memang satu dua kali ia menyeberang disiang hari. Tetapi jarang sekali terjadi," Jawab tukang satang itu.
"Apakah ia sering menyeberang?" bertanya Ki Jayaraga pula, meskipun agak ragu.
"Ya. Ia memang sering menyeberang meskipun tidak tentu waktunya. Kadang-kadang sehari dua kali pulang balik. Tetapi kadang-kadang dua tiga hari ia tidak nampak batang hidungnya," Jawab tukang satang itu pula.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun berkata, "Jika demikian Ki Sanak, aku urungkan niatku ke sisi Timur Kali Praga. Keperluankupun tidak sangat penting. Aku minta agar kami berdua dibawa kembali ke sisi Barat."
Tetapi- tukang satang itu tertegun.
"Aku akan membayar dua kali lipat," sahut Ki Jayaraga.
Tukang satang itu menjadi ragu-ragu. Namun Ki Jayaraga berkata pula, "Aku bayar lipat tiga."
"Baiklah," jawab tukang satang itu, "mudah-mudahan orang itu tidak sedang menunggu disisi Barat Kali Praga."
"Tidak. Jangan," desis Ki Jayaraga.
Tukang satang itu tidak menyahut lagi. Merekapun berusaha untuk memutar rakit dan mendorongnya kembali ke sisi sebelah Barai Kali Praga.
Namun Ki Jayaraga memenuhi janjinya. Ia membayar lipat liga sehingga tukang-tukang satang itu merasa beruntung juga. Namun seorang diantara mereka masih berdesis, "Agaknya itu sebabnya Kerti tidak pernah turun dimalam hari."
Ki Jayaraga dan Glagah Pulihpun segera melintasi tepian berpasir dan hilang dikegelapan bayangan gerumbul-gerumbul liar ditepian Kali Praga.
Sementara itu rakit yang ditumpangi mereka itupun telah bergerak dengan cepat menyeberang kembali kesisi sebelah Timur.
Tetapi dalam pada itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak dengan segera meninggalkan tepian. Mereka berhenti dikegelapan, sementara Ki Jayaraga berkata, "Ternyata mereka memang sering mempergunakan jalan ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya guru. Tetapi sayang kita tidak dapat menentukan waktunya. Sudah tentu kita tidak dapat terus-menerus berada disini."
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya arus Kali Praga yang deras dengan bentangan permukaan yang cukup lebar. Airnya yang berwarna lumpur nampak bergejolak memantulkan cahaya bintang-bintang dilangit.
"Satu-satunya kemungkinan untuk menemuinya adalah, bahwa kita harus sering berada di tepian ini," berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih tanggap akan maksud gurunya. Jawabnya, "Ya guru. Pada suatu saat, kita tentu akan dapat bertemu dengan mereka disini."
"Kita memang harus bekerja sama dengan para pengawal," berkata Ki Jayaraga.
"Maksud guru, jalur ini akan selalu diawasi oleh para pengawal Tanah Perdikan?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Tentu akan sangat membahayakan para pengawal itu, meskipun mereka sudah dilatih secara khusus untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Karena segala sesuatunya akan dapat terjadi diluar batas kemampuan para pengawal. Apalagi jika justru kedua orang itulah yang menyergap para pengawal dengan tiba-tiba."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan demikian maka satu-satunya jalan adalah mereka berdua harus sering berada di tepian.
Demikianlah maka mereka berdua masih berada di tepian uniuk beberapa lama. Namun didini hari mereka yakin bahwa Bajang Eng-krek tidak akan lewat sehingga keduanyapun memutuskan untuk pulang saja.
Ketika mereka sampai di rumah, maka suasana telah menjadi sepi. Nampaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula kedua orang utusan Ki Wirayuda.
Karena itu, maka keduanya tidak ingin membangunkan mereka yang sedang tidur nyenyak, sehingga keduanya memilih tidur diserambi. Di lincak bambu.
Namun ketika Glagah Putih terbangun di pagi hari menjelang fajar, maka barulah ia mengetahui, bahwa ternyata Agung Sedayu tahu kapan ia dan Ki Jayaraga pulang.
"Aku ingin mempersilahkan kalian masuk. Tetapi nampaknya kalian langsung berbaring dilincak bambu itu. Akupun rasa-rasanya malas juga untuk bangun dan membuka pintu."
Glagah Putih hanya tersenyum saja. Namun ia masih belum memberikan laporan tentang kepergiannya ke tepian. Glagah Putih berharap bahwa Ki Jayaraga sendiri yang akan berbicara dengan Agung Sedayu.
Sebenarnyalah, ketika mereka makan pagi, bersama kedua orang utusan Ki Wirayuda, maka Ki Jayaragapun telah menceritakan apa yang didengarnya dari tukang satang itu.
"Kami memang harus sering berada di tepian," berkata Ki Jayaraga, "karena hanya dengan demikian kemungkinan untuk bertemu dengan mereka menjadi lebih besar."
"Kita memang harus telaten," berkata Agung Sedayu, "namun selain Ki Jayaraga dan Glagah Putih sering pergi ke tepian Kali Praga, para pengawalpun masih tetap harus bersiap-siap. Ternyata Bajang itu tidak hanya berdua dengan Ki Manuhara. Mungkin orang-orang yang membantunya itu pengikut Bajang Engkrek, tetapi juga mungkin sisa-sisa pengikut Ki Manuhara, karena para pengikut Ki Manuhara tentu masih ada yang tertinggal di Mataram."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka kedua orang utusan Ki Wirayuda itupun minta diri. Keduanya harus segera memberikan laporan bahwa mereka telah bertemu langsung dengan Ki Lurah Agung Sedayu.
"Baiklah," Jawab Agung Sedayu, "hati-hatilah diperjalanan. Aku nanti akan menyampaikan berita ini kepada Ki Lurah Branjangan di barak Pasukan Khusus."
Namun Agung Sedayupun berpesan, bahwa apa yang didengar Ki Jayaraga di tepian, agar disampaikan pula kepada Ki Wirayuda.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sedangkan Agung Sedayupun telah bersiap-siap untuk pergi ke barak Pasukan Khusus.
Sementara itu Glagah Putih dan Sabungsaripun telah pergi menemui Prastawa di rumah Ki Gede untuk memberikan laporan tentang kedua orang yang mondar-mandir antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram.
"Apakah para pengawal harus mengawasi lintasan penyeberangan itu?" bertanya Prastawa.
"Aku kira hal itu akan sangat membahayakan para pengawal." jawab Glagah Putih, "karena itu, biarlah kami saja yang akan mengawasinya."
"Lalu apa yang harus kami lakukan?" bertanya Prastawa.
"Aku minta para pengawal tetap berjaga-jaga. Setiap saat akan dapat terjadi sesuatu di Tanah Perdikan ini," jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, "Sebagaimana yang baru saja terjadi, maka kelicikan-kelicikan seperti itu masih akan berlangsung."
"Baiklah," berkata Prastawa, "kami akan selalu siap kapanpun diperlukan."
"Terima kasih," Jawab Glagah Putih, "persoalannya nampaknya justru akan berkembang."
Demikianlah, dari rumah Ki Gede, Glagah Putih bersama Sabungsari telah pergi ketempat penyeberangan yang sering dilalui oleh Bajang Engkrek dan Ki Manuhara. Namun setelah mereka beberapa saat menunggu, mereka tidak melihat orang bertubuh pendek dan kecil menyeberang.
"Mereka lebih sering menyeberang dimalam hari," berkata Glagah Putih.
Dengan demikian maka mereka berduapun telah meninggalkan tepian itu dan berjalan melintasi bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan Menoreh. Di padukuhan-padukuhan, mereka memang melihat sekelompok pengawal bersiap-siap di banjar. Beberapa kali Glagah Putih dan Sabungsari singgah di banjar padukuhan. Dengan para pengawal yang bertugas, mereka berdua sempat memberikan pesan-pesan khusus.
Dalam pada itu, ketika keduanya sampai kerumah, mereka terkejut ketika mereka melihat dua ekor kuda tertambat di halaman.
"Agaknya ada dua orang tamu," desis Glagah Putih.
"Ya," sahut Sabungsari, "Agaknya Ki Jayaraga yang menemui mereka dipendapa."
"Kakang Agung Sedayu tentu sudah berangkat ke barak," desis Glagah Putih kemudian.
Demikianlah maka keduanyapun telah naik kependapa pula. Ki Jayaraga yang melihat keduanya datang itupun berkata, "Marilah. Kita mendapat dua orang tamu."
Ketika kedua orang tamu itu berpaling, maka Glagah Putih terkejut. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Raden Teja Prabawa."
"Ya," sahut Ki Jayaraga, "mereka belum lama datang.
Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Namun bersama Sabungsari iapun duduk pula bersama Ki Jayaraga.
"Selamat datang Raden," desis Glagah Putih sambil mengangguk hormat.
Namun nampaknya Raden Teja Prabawa tidak begitu tertarik pada basa-basi itu. Iapun langsung berkata. "Sebenarnya aku sudah agak lama ingin datang kemari. Tetapi aku tidak sempat. Ada satu hal yang sangat penting yang harus aku sampaikan kepada kalian disini. Kepada Wulan dan kepada kakek."
"Baiklah Raden," yang menyahut adalah Ki Jayaraga, "aku akan memanggil Rara Wulan. Ia sudah tahu kalau Raden datang. Tetapi aku kira Rara Wulan sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi Raden."
Raden Teja Prabawa mengangguk sambil menyahut, "Baiklah, aku tidak akan terlalu lama disini."
Namun Sabungsari dengan cepat berkata, "Biarlah aku saja yang memanggilnya."
Tetapi yang sudah beringsut dan kemudian bangkit berdiri adalah Glagah Putih.
Sabungsari dan Ki Jayaraga tersenyum. Tetapi ternyata Raden Teja Prabawa tidak memberikan tanggapan apapun. Bahkan wajahnya masih saja nampak gelap. Sementara kawannya hanya diam saja seakan-akan membeku sebagaimana tatapan matanya.
Tetapi Glagah Putih ternyata tidak perlu masuk keruang dalam. Ketika ia membuka pintu pringgitan, Rara Wulanpun telah membawa nampan berisi mangkuk minuman dan makanan.
Sejenak kemudian maka Rara Wulanpun telah duduk pula dipendapa menemui kakaknya. Karena Agung Sedayu tidak ada, maka Sekar Mirahpun diminta untuk duduk pula menemui tamunya.
"Aku juga ingin berbicara dengan kakek," berkata Teja Prabawa kemudian.
"Ki Lurah berada di barak Pasukan Khusus," sahut Glagah Putih.
"Aku minta kakek dipanggil kemari," berkata Teja Prabawa pula tanpa segan-segan.
Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata, "Mungkin Ki Lurah sedang sibuk."
"Katakan bahwa aku ingin berbicara dengannya," desak Raden Teja Prabawa.
"Ngger, sebaiknya angger sajalah yang pergi ke barak. Bukankah tidak pantas jika anak muda itu memanggil agar kakeknya datang menemuinya" Sebaiknya Raden sajalah nanti pergi ke barak. Bukankah itu lebih pantas?"
"Tetapi persoalannya penting sekali," sahut Raden Teja Prabawa.
"Justru karena itu, maka sebaiknya Raden pergi menghadap kakek Raden itu," berkata Ki Jayaraga.
"Tidak. Biar kakek datang kemari. Aku tidak mempunyai waktu untuk mondar-mandir di Tanah Perdikan ini."
"Bukankah waktunya sama saja" Bukankah angger juga harus menunggu Ki Lurah itu datang seandainya ia dipanggil" Sementara itu jika Raden pergi ke barak. Raden akan dapat langsung bertemu dengan Ki Lurah," Jawab Ki Jayaraga.
Sebelum Raden Teja Prabawa menjawab, Rara Wulan telah mendahuluinya, "Sekarang, katakan apa yang penting itu. Kemudian kakangmas pergi ke barak untuk menemui kakek. Itu memang lebih pantas daripada kau memanggil kakek kemari, seakan-akan kau berhak berbuat demikian."
Raden Teja Prabawa itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Rara Wulan dan Ki Jayaraga berganti-ganti. Namun katanya kemudian, "Baiklah. Jika tidak ada seorangpun yang mau memanggil kakek kemari. Aku akan pergi ke barak."
"Bukan tidak mau Raden," Jawab Glagah Putih, "tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga dan Rara Wulan, sebaiknya Raden pergi ke barak sebagaimana seorang cucu menghadap kakeknya. Bukan sebaliknya."
"Cukup," bentak Raden Teja Prabawa, "kau tidak usah menggurui aku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."
Glagah Putih menjadi heran. Menurut penilaiannya sifat Raden Teja Prabawa sudah berubah. Namun tiba-tiba ia menjadi kasar kembali. Bahkan kesombongannya telah kambuh lagi.
Belum lagi keheranannya mereda, maka Raden Teja Prabawa itu telah berkata, "Jika demikian aku akan segera mengatakan kepentinganku datang kemari. Setelah itu aku akan pergi ke barak."
"Tetapi kami persilahkan Raden untuk minum dahulu," Sekar Mirah menyela.
Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menghirup minuman hangat yang dihidangkan oleh Rara Wulan. Demikian pula seorang kawannya yang menyertainya.
Namun demikian ia meletakkan mangkuknya, maka iapun berkata, "Wulan. Aku datang untuk memberitahukan kepadamu, bahwa Raden Antal telah memintamu kembali. Ia sudah menceraikan perempuan yang telah dinikahinya beberapa waktu yang lalu. Karena itu, aku datang untuk menyampaikan hal ini kepadamu."
"Apa yang sebenarnya terjadi atasmu kakangmas?" bertanya Rara Wulan.
"Kenapa dengan aku?" Raden Teja Prabawa justru bertanya.
"Bukankah persoalan ini sudah kita anggap selesai?"
"Kau yang menganggap persoalan ini selesai. Tetapi tidak dengan Raden Antal. Ia masih tetap menghendaki kau menjadi isterinya," jawab Raden Teja Prabawa.
"Mungkin benar, bahwa Raden Antal menganggap persoalan ini belum selesai. Tetapi bagaimana dengan kakangmas sendiri?" bertanya Rara Wulan, "apakah aku harus menerima permintaan itu atau tidak?"
"Kau tidak mempunyai pilihan Wulan. Kau harus menerimanya. Ia benar-benar menghendakinya. Apalagi ia sudah menceraikan isterinya yang kau jadikan alasan penolakanmu waktu itu," Jawab Raden Teja Prabawa.
Rara Wulan memandang kakaknya dengan kening yang berkerut. Katanya kemudian, "Aku tidak mengerti sikapmu kakangmas. Bukankah kau waktu itu ikut menyelamatkan aku dari kekasaran Raden Antal dan orang tuanya?"
"Tetapi waktu itu Raden Antal akan menikahi perempuan lain. Sekarang, keadaannya adalah sebaliknya, ia akan menceraikan perempuan itu," jawab Raden Teja Prabawa.
"Jadi begitu mudahnya orang menikahi seorang perempuan dan begitu mudahnya pula ia menceraikannya" Apakah kau juga menghargai seorang perempuan sebagaimana Raden Antal" Apakah kau juga begitu saja menerima seandainya besok aku dijadikan isterinya namun sebulan lagi aku diceraikannya begitu saja" Mungkin bagi seorang laki-laki perkawinan berikutnya masih dapat dilakukannya tanpa kesulitan. Tetapi bagi seorang perempuan?" bertanya Rara Wulan.
Wajah Raden Teja Prabawa menjadi tegang. Sementara Rara Wulan berkata selanjutnya, "Aku tidak yakin bahwa ayah dan ibu akan sependapat dengan kau?"
Raden Teja Prabawa terdiam sejenak. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Aku mendapat perintah dari ayah dan ibu untuk memanggilmu pulang."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi katanya kemudian, "Sikapmu tidak meyakinkan aku, kakangmas. Tetapi ada juga baiknya jika aku menghubungi ayah dan ibu."
Wajah Raden Teja Prabawa menjadi semakin tegang, sementara Rara Wulan berkata selanjutnya, "Jika ayah dan ibu benar-benar merubah sikapnya, maka akupun dapat merubah sikapku. Maksudku, aku dapat melepaskan diri dari ikatan keluargaku karena aku merasa sudah dewasa. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi kemudian, namun aku tidak mau dikorbankan kepada ketamakan orang yang tidak tahu diri itu. Tidak seorangpun dapat memaksa aku, bahkan tidak ada kekerasan yang berarti bagiku, karena aku akan melawan kekerasan dengan kekerasan."
"Wulan," potong Raden Teja Prabawa, "kau sadar akan kata-katamu itu?"
"Aku sadar sepenuhnya. Justru aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau sadari akan sikapmu itu?" Rara Wulan justru bertanya lantang.
Raden Teja Prabawa memang menjadi ragu-ragu. Wajahnya memang menjadi semakin tegang. Namun nampak betapa sebuah pergolakan terjadi di dadanya.
Sementara itu Sekar Mirahpun mencoba untuk menengahi, "Sudahlah Rara. Masih ada waktu untuk membicarakannya. Persoalannya nampaknya memang sangat penting. Biarlah kakang Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan ikut campur."
Sementara itu Ki Jayaraga nampak mengangguk-angguk. Ia menghubungkan perubahan sikap Raden Teja Prabawa itu dengan kehadiran Bajang Engkrek dirumah keluarga Raden Antal.
Karena itu maka Ki Jayaraga itupun kemudian berkata, "Jika demikian maka memang seharusnya Raden berbicara dengan Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu. Persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Bukan sekedar memaksa angger Rara Wulan untuk menerima seseorang untuk menjadi suaminya. Tetapi latar belakang dari persoalan itu sendiri harus dicermati."
Wajah Raden Teja Prabawa memang menjadi keruh. Kegelisahan hatinyapun mulai muncul dipermukaan. Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, Raden Teja Prabawa hanya berdiam diri saja. Nah, berkata Ki Jayaraga, "nampaknya Raden memang letih. Karena itu, setelah minum dan makan makanan sekedarnya, sebaiknya Raden beristirahat di gandok, sambil menunggu Agung Sedayu kembali dari barak. Namun sebelumnya biarlah seseorang memberitahukan kehadiran Raden di rumah ini. Karena persoalannya memang penting, maka biarlah Ki Lurah datang bersama Agung Sedayu nanti."
Kegelisahan yang mencekam memang terbayang di wajah Raden Teja Prabawa. Namun ia masih helum menjawab.
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Jika demikian biarlah aku dan kakang Sabungsari pergi ke barak untuk memberi tahukan kedatangan Raden di rumah ini."
Raden Teja Prabawa itu memandang kawannya sejenak. Baru kemudian ia berkata, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Terserah kepada Raden," jawab kawannya.
"Jika aku menunggu kakek dan Agung Sedayu disini, apakah kita akan dapat kembali hari ini?" bertanya Raden Teja Prabawa kepada kawannya itu pula.
"Jadi kapan mereka datang?" kawannya justru bertanya.
Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya kepada Ki Jayaraga, "Kapan Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khusus itu" "
"Disore hari saat matahari berada diatas punggung pegunungan sebelah. Tetapi jika ada persoalan penting yang harus diselesaikan, maka kadang-kadang ia pulang menjelang senja atau bahkan lebih lama lagi," Jawab Ki Jayaraga.
"Dan aku harus menunggu?" bertanya Raden Teja Prabawa.
"Sudah tentu. Tetapi jika Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan mengetahui bahwa Raden ada disini, mereka tentu akan lebih cepat datang," jawab Ki Jayaraga.
"Jika demikian, biarlah aku dan Sabungsari pergi sekarang," berkata Glagah Putih.
Ki Jayaragapun kemudian berpaling kepada Sekar Mirah. Agak ragu ia bertanya, "Apakah sebaiknya ia pergi sekarang?"
Sekar Mirahpun ragu-ragu. Bahkan ia bertanya kepada Glagah Putih, "Bagaimana sebaiknya menurutmu, Glagah Putih?"
"Kami akan pergi sekarang jika mbokayu tidak berkeberatan," jawab Glagah Putih.
"Baiklah. Tetapi hati-hati, jangan terlalu lama," pesan Sekar Mirah.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah berpacu menuju ke barak Pasukan Khusus. Namun ketika mereka lewat banjar padukuhan, maka Glagah Putih sempat berpesan kepada para pengawal untuk berhati-hati.
"Ki Jayaraga sendiri dirumah," berkata Glagah Putih, "jika dua atau tiga orang berilmu tinggi datang bersama-sama, ia memang memerlukan bantuan."
"Tetapai disiang hari nampaknya Bajang Engkrek itu tidak bergerak. Ia menyadari bahwa dirinya terlalu mudah untuk dikenal karena kelainannya itu." sahut Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Orang kerdil itu tentu menyadari bahwa ia sudah dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Anak yang bermain pliridan itu tentu telah menceriterakannya kepada keluarganya tentang orang bertubuh kecil dan pendek.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Glagah Putih dan Sabungsari telah sampai ke barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu. Karena orang-orang yang bertugas berjaga-jaga telah mengenalnya dengan baik, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah dipersilahkan untuk langsung menemui Ki Lurah Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang terkejut. Jika keduanya menyusulnya, tentu ada hal yang penting disampaikan kepadanya.
Karena itu, maka Agung Sedayu itupun segera mempersilahkan keduanya duduk dan bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
"Tidak ada apa-apa kakang," Jawab Glagah Putih yang menyadari kegelisahan Agung Sedayu. Namun iapun kemudian menceritakan bahwa Raden Teja Prabawa telah datang ke rumah.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Untuk apa" Apakah sekedar menengok keselamatan adiknya atau ada kepentingan lain?"
"Ia ingin berbicara dengan Ki Lurah Branjangan dan kakang Agung Sedayu," jawab Glagah Putih.
"Kenapa tidak kau bawa saja anak itu kemari," bertanya Agung Sedayu pula.
"Agaknya dalam pembicaraan itu Rara Wulan juga harus hadir," jawab Glagah Putih pula, yang dengan ringkas menyampaikan pernyataan yang telah dikatakan oleh Raden Teja Prabawa.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jadi persoalan itu masih akan berkepanjangan" Tentu ada hubungannya dengan orang kerdil itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Mungkin sekali. Raden Teja Prabawa tidak akan meru bah sikapnya tanpa sebab. Apalagi jika benar orang tua Rara Wulan juga berubah pendiriannya."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita akan berbicara dengan Ki Lurah Branjangan."
Ketika kemudian hal itu disampaikan kepada Ki Lurah Branjangan, maka Ki Lurah itupun terkejut. Ia tidak mengira bahwa Teja Prabawa akan bersikap sekasar itu terhadap adiknya. Karena itu, maka iapun berkata, "Aku sependapat bahwa tentu ada sebabnya. Jika benar-benar orang kerdil itu pernah berhubungan dengan keluarga Raden Antal, maka mungkin sekali telah terjadi kekerasan terhadap keluarga anakku itu. Bukankah aku pernah mengatakan bahwa ancaman itu masih tetap ada?"
"Apakah ancaman itu menurut Ki Lurah benar-benar telah dilakukan?" bertanya Agung Sedayu.
"Baiklah. Aku akan berbicara dengan Teja Prabawa," berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.
Ternyata Agung Sedayu dan Ki Lurah tidak menunggu saatnya Agung Sedayu pulang seperti hari-hari biasa. Setelah memberikan beberapa pesan kepada beberapa orang pimpinan di barak itu. maka Agung Sedyupun segera berpacu kembali ke rumahnya bersama Ki Lurah Branjangan serta Sabungsari dan Glagah Putih.
Ketika mereka sampai dirumah, maka Raden Teja Prabawa masih berada di gandok untuk beristirahat. Namun sebenarnyalah Raden Teja Prabawa yang gelisah itu hanya berjalan saja mondar-mandir di-dalam bilik gandok. Sehingga demikian mereka mendengar derap kaki kuda, maka Raden Teja Prabawa itupun segera melangkah keluar diikuti oleh kawannya yang juga menjadi gelisah.
"Mereka telah datang," desis Raden Teja Prabawa.
"Siapa?" bertanya kawannya.
"Kakek dan Agung Sedayu," jawab Raden Teja Prabawa. Kawannya tidak bertanya lagi. Namun diikutinya Raden Teja Prabawa yang menyongsong kakeknya di halaman.
Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan Raden Teja Prabawa, kawannya dan Ki Lurah Branjangan untuk naik kependapa. Sementara itu Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun telah dipanggil pula untuk menemui dan berbicara dengan Raden Teja Prabawa.
Kepada Ki Lurah Branjangan, Raden Teja Prabawa mengulangi permintaannya, agar Rara Wulan tidak menolak lamaran Raden Antal yang telah berniat untuk menceraikan isterinya.
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Namun sebagai orang yang telah menyimpan pengalaman sebangsat didalam dirinya maka iapun segera dapat meraba, apakah yang telah terjadi di Mataram.
Karena itu, maka Ki Lurah Branjanganpun dengan serta meria bertanya, "Siapa yang menggerakkanmu datang kemari dan mengajukan permintaan itu kepada Wulan?"
Pertanyaan itu memang membingungkan Teja Prabawa. Namun kemudian iapun menjawab, "Ayah dan ibu."
Namun Ki Lurah itu menyahut, "Pantaskah kau berbohong kepada kakekmu" Kau tahu, aku belum lama berselang telah berada di Mataram menemui ayah dan ibumu. Kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku?"
Wajah Raden Teja Prabawa menegang. Dengan bimbang ia menjawab, "Tidak kek."
"Jika kau tidak tahu, baiklah aku memberitahukan kepadamu, bahwa ayah dan ibumu masih terasa terancam oleh keluarga Raden Antal. Nah, dalam hubungan inilah tentu kau datang kemari."
Kegelisahan yang sangat telah menerpa jantung Raden Teja Prabawa, sehingga untuk beberapa saat ia telah terdiam. Namun nampaknya Ki Lurah Branjangan tidak mau kehilangan jejak pembicaraannya, sehingga karena itu, maka Ki Lurah itu masih berbicara selanjutnya, "Katakan ngger. Apa yang sebenarnya terjadi di rumahmu sepeninggalku. Tetapi aku yakin, bahwa ayah dan ibumu tidak akan berubah sikap dan pendiriannya terhadap Raden Antal tanpa sebab-sebab yang tidak teratasi yang datang dari luar diri mereka."
Raden Teja Prabawa menjadi semakin gelisah. Wajahnya menjadi semakin tegang, sehingga nafasnyapun terasa sesak didadanya.
Namun Ki Lurah masih mendesaknya, "Katakan, kenapa kau datang kemari untuk memaksa adikmu melakukan satu hal yang dapat menyakiti badan dan jiwanya" Kenapa kau sampai hati memaksa adikmu satu-satunya menerima lamaran seseorang yang dengan mudah menikahi seorang perempuan dan kemudian dengan mudah pula mencerainya" Kenapa?"
Pertanyaan itu terasa begitu mendesaknya, menghimpitnya sehingga seakan-akan tidak ada ruang lagi untuk bergerak. Sementara Ki Lurah masih memburunya dengan pertanyaan-pertanyaan, "Teja Prabawa. Bukankah kau tidak sedang mabuk sekarang" Atau kau merasa bahwa di lehermu telah dikalungkan tali yang dapat menjeratmu?"
Tiba-tiba saja Raden Teja Prabawa menjadi pucat. Dipandanginya kawannya itu sejenak.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir bergumam, "Sebaiknya kau berterus terang Raden."
Raden Teja Prabawa menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian iapun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata Raden Teja Prabawa itu telah menangis.
Mereka yang hadir dipendapa itupun tercenung sejenak. Mereka mengerti bahwa telah terjadi sesuatu pada anak muda itu atau keluarganya. Namun Rara Wulanlah yang kemudian berkata, "Kakang mas. Kenapa kakangmas menangis seperti perempuan " Bukankah kau seorang laki-laki yang utuh " Sebaiknya kau katakan saja apa yang telah terjadi, sehingga kita bersama-sama akan mencari jalan keluar."
" Sudahlah ngger," desis Ki Lurah Branjangan, "kami tahu bahwa kau tentu mengalami tekanan yang sangat berat. Mungkin secara wadag, tetapi mungkin juga jiwamu. Seperti kata-kata adikmu, maka sebaiknya sebut saja persoalannya, sehingga kita berusaha untuk memecahkannya. Seperu kau ketahui, bahwa kau, ayah dan ibumu, tidak sendiri. Kami lakukan. Bahkan di Matarampun kita mempunyai sahabat-sahabat yang akan dapat membantu kita. Mungkin keluarga Raden Antal yang kaya itu akan dapat mengupah orang-orang upahan untuk melakukan kekerasan. Tetapi meskipun kita tidak mempunyai uang untuk mengupah orang, tetapi kita yang berdiri dipihak yang benar mempunyai sahabat-sahabat yang tentu bersedia membantu kita dengan niat yang bersih sehingga hasilnya tentu melebihi orang-orang upahan itu, karena bantuan mereka bersandar kepada kesetia-kawanan."
Raden Teja Prabawa memang berusaha menguasai perasaannya. Sementara kawannya itupun berkata, "Sudahlah Raden. Berterusteranglah. Tidak ada gunanya Raden mempergunakan cara yang ingin Raden lakukan itu, karena dengan demikian Raden akan mengorbankan adik Raden sendiri."
"Apa sebenarnya yang telah terjadi ?" desak Rara Wulan.
"Aku minta maaf kepadamu Wulan," desis Raden Teja Prabawa.
"Tetapi apa yang telah terjadi itu ?" desak Rara Wulan.
"Aku minta maaf kepadamu Wulan," desis Raden Teja Prabawa.
"Tetapi apa yang telah terjadi itu ?" desak Rara Wulan.
Raden Teja Prabawa memang masih ragu-ragu. Tetapi kemudian pun menjawab, "Kami telah mendapat ancaman Wulan."
"Kami siapa ?" bertanya Rara Wulan. "Kau, ibu, ayah ?"
Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Aku dan Raras."
"Raras," ulang Rara Wulan.
Raden Teja Prabawa mengangguk. Namun Rara Wulan masih bertanya, "Apa hubungannya dengan Raras " Maksudmu Raras anak perempuan paman Rangga Wibawa?"
Raden Teja Prabawa mengangguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan masih saja terasa matanya membasah.
Tetapi Ki Lurah Branjanganlah yang segera tanggap. Katanya, "Aku mengerti maksudmu ngger. Bukankah kau sering mengunjungi rumah Ki Rangga Wibawa ?"
Raden Teja Prabawa mengangguk. Dengan demikian maka yang lain, yang ada di pendapa itupun segera tanggap pula. Tentu ada hubungan khusus antara Raden Teja Prabawa dengan gadis yang bernama Raras itu. Apalagi Wulan yang sudah mengenal Raras sejak lama.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjanganpun bertanya, "Ancaman apakah yang pernah kalian terima dan dari siapa ?"
"Raden Antal telah menemui aku. Ia minta Wulan bersedia menjadi isterinya. Jika tidak, maka Raraslah yang akan diambilnya karena mereka merasa sulit untuk dapat mengambil Wulan," Jawab Raden Teja Prabawa.
"Kau pernah menyampaikan ancaman itu kepada Ki Rangga Wibawa?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Belum," Jawab Raden Teja Prabawa.
"Raras sendiri ?" desak Rara Wulan.
"Juga belum," Jawab Raden Teja Prabawa.
"Tetapi apakah Ki Rangga Wibawa sudah mengetahui hubunganmu dengan Raras," bertanya Ki Lurah Branjangan pula.
"Sudah," Jawab Raden Teja Prabawa, "nampaknya Ki Rangga Wibawa tidak menaruh keberatan. Tetapi entahlah jika ia tahu, bahwa Raras terancam keselamatannya. Bahkan seluruh keluarganya sebagaimana keluarga kita."
"Tetapi kenapa kau menjadi begitu cemas " Bukankah ayahmu juga seorang yang berilmu. Kau sendiri telah berguru dan ada beberapa orang yang membantu menjaga rumahmu," berkata Ki Lurah Branjangan selanjutnya.
"Tetapi bukankah kami tidak selalu berada dirumah " Raras juga tidak selalu dirumah. Mungkin ke pasar atau pergi kemana saja menurut keperluannya," Jawab Raden Teja Prabawa.
Sementara itu kawan Raden Teja Prabawa itupun berkata, "Kami memang sudah berusaha untuk melindungi Raras. Tetapi kemampuan kami tidak seimbang dengan besarnya ancaman yang kami terima. Seorang diantara mereka yang mengancam kami telah menunjukkan kelebihannya dihadapan kami."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Teja Prabawa berkata, "Kawanku ini adalah saudara sepupu Raras. Tetapi ia tinggal dirumah Ki Rangga Wibawa."
"Tetapi aku belum pernah melihatnya," desis Rara Wulan, "padahal aku beberapa kali datang kerumah paman Rangga Wibawa untuk menemui Raras."
"Aku belum lama berada di rumah paman Rangga Wibawa," Jawab kawan Raden Teja Prabawa itu.
"Nama Ki Sanak ?" bertanya Agung Sedayu.
"Wacana," Jawab orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, "Persoalannya justru akan berkembang. Kita memang harus semakin berhati-hati."
Sementara itu Ki Jayaragapun berkata, "Apakah memang ada kemungkinan bahwa angger Raras benar-benar diambil oleh orang upahan Raden Antal itu ?"
"Memang mungkin," Jawab Raden Teja Prabawa.
"Jika demikian, ayah gadis itu harus segera mengetahuinya. Mungkin ada satu cara untuk menyelamatkan gadis itu," desis Ki Jayaraga.
"Kenapa Raras tidak kau ajak saja kemari dan berada disini untuk sementara ?" bertanya Rara Wulan.
Namun yang menjawab adalah Wacana, "Paman Rangga Wibawa tentu berkeberatan. Bukankah tidak pantas jika seorang gadis meninggalkan rumahnya dibawa oleh seorang anak muda, apapun alasannya."
"Juga alasan keselamatannya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Alasan apapun," Jawab Wacana.
Adalah diluar dugaan jika Rara Wulan tiba-tiba berkata, "Aku juga berada disini. Ayah dan ibu tidak berkeberatan. Tentang apa yang terjadi disini, tergantung sekali kepada kesiapan jiwani orang yang bersangkutan."
Wacana itu termangu-mangu sejenak. Namun ia sama sekali tidak menjawab lagi.
Namun dalam pada itu Ki Lurah Branjanganpuh berkata, "Jika demikian, aku tidak dapat berdiam diri menghadapi ancaman Raden Antal terhadap keluarga Rara Wulan dan keluarga Raras. Aku harus menemui Ki Rangga Wibawa dan menyampaikan persoalan yang menyangkut hubungan antara Teja Prabawa dengan Raras dan ancaman yang ditujukan kepada Raras. Apapun sikap Ki Rangga Wibawa dapat kita bicarakan kemudian."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat Ki Lurah. Tetapi Ki Lurah jangan pergi sendiri ke Mataram. Jika terjadi sesuatu maka persoalannya akan bertambah rumit."
"Kami berdua dapat pergi bersama Ki Lurah," berkata Wacana.
"Tetapi kita harus memperhitungkan orang yang ada di belakang keluarga Raden Antal. Bukan orang kebanyakan. Tetapi orang yang berilmu sangat tinggi." Agung Sedayu memperingatkan.
Wacana termangu-mangu sejenak. Namun yang kemudian menyahut adalah Teja Prabawa, "Wacana adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia akan dapat melindungi kakek di perjalanan."
Diluar sadar, semua orang telah berpaling ke arah Wacana. Namun sambil menunduk Wacana sendiri berkata, "Tidak. Sama sekali tidak. Aku baru memasuki sebuah perguruan sehingga aku baru mulai dengan ilmu dasar."
Sambil mengangguk-angguk Ki Jayaraga berkata, "Bagaimana pun juga tetapi Ki Sanak telah memiliki bekal ilmu. Namun orang yang diupah Raden Antal adalah orang yang sulit dijajagi kemampuannya. Karena itu, maka lebih baik bagi kita untuk tetap berhati-hati."
"Jadi bagaimana menurut kakek," desis Raden Teja Prabawa kemudian. Namun katanya pula, "Ketika kami datang kemari, ternyata juga tidak terjadi apa-apa."
"Baiklah. Biarlah kami bertiga saja pergi ke Mataram. Bukankah orang-orang yang berbahaya tidak selalu berada di sepanjang jalan ?" desis Ki Lurah Branjangan.
Namun Agung Sedayu ternyata tidak mau melepas mereka hanya bertiga. Jika orang-orang Ki Manuhara atau para pengikut Bajang Engkrek itu mengetahui mereka berada di tempat ini, maka mereka tentu akan dapat berbuat apa saja. Karena itu, maka iapun berkata, "Biarlah aku mempersiapkan ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus untuk menemani kalian pergi ke Mataram. Tetapi sudah tentu agar tidak menarik perhatian, mereka tidak usah berpakaian prajurit. Meskipun para prajurit itu juga tidak akan mampu melawan orang-orang berilmu sangat tinggi itu, namun setidak-tidaknya mereka akan dapat memberikan perlawanan, sementara Ki Lurah dapat mengambil kebijaksanaan penyelamatan."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas panjang. Katanya, "Angger Agung Sedayu terlalu berhati-hati. Tetapi baiklah. Memang lebih baik berhati-hati daripada menyesal di kemudian hari."
Demikianlah, maka telah diambil keputusan bahwa Ki Lurah Branjangan akan pergi ke Mataram. Tetapi tidak hari itu. Esok pagi mereka akan berangkat dari barak Pasukan Khusus bersama dengan keempat prajurit.
Namun dalam pada itu, maka dalam pembicaraan yang khusus Agung Sedayu telah minta agar Ki Lurah Branjangan berhubungan dengan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi merekapun harus sangat berhati-hati. Bajang Engkrek dan Ki Manuhara adalah orang-orang yang bukan saja berilmu tinggi."
Sabungsari dan Glagah Putih yang ikut dalam pembicaraan ilu tidak berkeberatan. Namun seperti pesan Agung Sedayu, anak-anak Gajah Liwung memang harus sangat berhati-hati menghadapi orang-orang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga sangat licik.
" Kalau mungkin Ki Lurah dapat berbicara langsung dengan Ki Ajar Gurawa melalui Ki Wirayuda," berkata Glagah Putih.
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Nampaknya persoalannya memang akan menjadi semakin luas. Khususnya yang berhubungan dengan keluarga Wulan dan Raras."
Demikianlah maka malam itu Raden Teja Prabawa, Wacana dan bahkan Ki Lurah Branjangan bermalam di rumah Agung Sedayu. Sementara malam itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih juga pergi ke tempat penyeberangan. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai orang yang dicarinya. Ketika menjelang tengah malam rakit dari sisi Timur menyeberang ke Barat, dengan membawa dua penumpang ternyata keduanya adalah suami isteri yang harus menengok kakeknya yang sakit keras.
Di tengah malam, maka Ki Jayaraga telah mengajak Glagah Pulih pulang.
Tetapi ternyata Glagah Putih telah minta agar mereka singgah di pliridan. Mungkin ada orang yang mengawasinya setelah pliridan itu diperbaiki.
"Mereka akan mengira bahwa anak itu sudah mulai turun lagi ke sungai untuk membuka dan menutup pliridan," berkata Glagah Pulih.
Ki Jayaraga tidak berkeberatan. Mereka berdua tidak langsung kembali ke rumah Agung Sedayu, tetapi langsung menuju ke sungai untuk melihat keadaan.
Ternyata pliridan itu masih saja terbuka sebagaimana saat pliridan itu diperbaiki. Anak yang tinggal dirumah Agung Sedayu itu ternyata mematuhi petunjuk Glagah Pulih agar tidak turun lebih dahulu ke sungai. Bahkan nampaknya anak-anak yang lain pun masih belum ada yang turun pula.
"Nampaknya kegiatan Bajang Engkrek dan Ki Manuhara lebih banyak dilakukan di Mataram," desis Glagah Putih.
"Ya," Jawab Ki Jayaraga, "karena itu maka orang tua Raras memang harus segera diberitahu. Ki Rangga Wibawa tentu sama sekali tidak mengira bahwa anaknya akan terlibat dalam kesulitan. Bahkan dengan orang-orang berilmu tinggi."
"Mudah-mudahan Wacana itu dapat benar-benar melindungi." berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, iapun telah turun dan berdiri di aliran air di pliridan yang terbuka itu.
Tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar gemericik air yang tersibak. Karena itu, maka iapun berdesis lemah, "Ada orang menyeberang."
Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun memperhatikan keadaan disekelilingnya. Di kejauhan, disela-sela gelapnya bayangan pepohonan di malam hari, Ki Jayaraga memang melihat sesuatu yang bergerak.
Namun hanya sekilas, karena bayangan yang bergerak itu segera menghilang.
"Ketika orang itu melihat bahwa yang ada disini bukan anak yang sering membuka dan menutup pliridan itu, maka agaknya ia mengurungkan niatnya untuk turun ke sungai," desis Ki Jayarga perlahan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Tentu bukan orang kerdil itu sendiri atau Ki Manuhara."
"Ya. Geraknya terlalu sederhana dan kasar. Tetapi karena itu maka orang itu lebih baik menjauh."
"Apakah orang itu mengenal kita ?" bertanya Glagah Putih.
"Mengenal atau tidak, tetapi ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak," jawab Ki Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berdiri diair yang mengalir lewat bagian dalam pliridan yang terbuka itu.
Namun ketika Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah meyakinkan bahwa orang itu benar-benar telah pergi maka merekapun meninggalkan tepian sungai itu pula.
Seperti malam sebelumnya, mereka tidak membangunkan orang-orang yang sudah tertidur nyenyak. Tetapi keduanyapun berbaring saja diamben bambu diserambi setelah mereka mencuci kaki dan tangan mereka.
Pagi-pagi benar Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah bangun. Ketika Glagah Putih mulai menimba air, anak yang tinggal dirumah itu-pun telah bangun pula. Dengan kelenting ia mengambil air untuk dibawa kedapur, sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berada didapur pula. Sekar Mirah mulai menyalakan api, sedangkan Rara Wulan mencuci mangkuk-mangkuk yang masih kotor.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga sempat berbicara dengan Agung Sedayu yang sedang menghangatkan tubuhnya. Katanya, "Para tukang satang tidak melihat Bajang Engkrek itu beberapa hari terakhir. Mereka melihat Bajang itu terakhir justru menyeberang ke Timur. Agaknya kegiatan mereka lebih banyak ditujukan kepada sasaran yang ada di Mataram."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Hari ini Ki Lurah Branjangan akan menghubungi keluarga Raras."
"Semakin cepat semakin baik," berkata Ki Jayaraga. Namun ia juga menceritakan tentang seseorang yang nampaknya masih saja mengamati pliridan yang sudah diperbaiki itu.
"Nampaknya mereka memang menunggu anak itu membuka atau menutup pliridan," desis Ki Jayaraga kemudian.
"Kita masih belum dapat mengetahui gerakan orang-orang itu," berkata Agung Sedayu, "tetapi agaknya mereka bergerak dalam jaringan yang semakin luas, meskipun sasarannya menjadi kabur."
Ki Jayaragapun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu dan pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Sementara Glagah Putih telah mengisi jambangan penuh.
Beberapa saat kemudian maka para tamu di rumah itupun telah terbangun pula, sementara langit menjadi merah.
Ketika matahari mulai memanjat langit, maka Ki Lurah Branjangan, cucunya dan Wacana telah bersiap untuk pergi ke barak bersama Agung Sedayu. Dari barak mereka akan langsung pergi ke Mataram melewati jalur penyeberangan sebelah selatan.
Namun Sekar Mirah masih mempersilahkan mereka untuk makan pagi lebih dahulu.
Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan, cucunya dan Wacana-pun kemudian telah siap meninggalkan rumah itu bersama Agung Sedayu Ki Jayaraga masih sempat berpesan, agar mereka berhati-hati menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi namun licik itu.
"Orang-orang berilmu tinggi itu lebih sering berada di Mataram," berkata Ki Jayaraga, "karena itu, kalian harus sangat berhati-hati. Demikian pula anak-anak Gajah Liwung. Mereka harus juga sangat berhati-hati menghadapi keadaan."
"Aku minta Ki Lurah berhubungan langsung dengan Ki Ajar Gurawa. Meskipun ilmunya mungkin masih belum setingkat dengan Ki Manuhara namun ia memiliki kemampuan yang tinggi. Jika ia bersama dengan kedua muridnya mungkin ia akan dapat setidak-tidaknya mengganggu kebebasan Ki Manuhara," berkata Glagah Putih meskipun agak ragu.
Namun Sabungsaripun berkata pula, "Memang orang terbaik saat ini pada kelompok Gajah Liwung adalah Ki Ajar Gurawa. Mungkin adi Wacana akan dapat melengkapinya sehingga kekuatan kelompok Gajah Liwung akan menjadi semakin kokoh jika ia berkenan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berbicara dengan Ki Wirayuda."
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, empat ekor kuda telah berlari meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh menuju ke barak Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya Ki Lurah Branjangan, cucunya. Wacana dan beberapa orang prajurit yang dipersiapkan oleh Agung Sedayu akan langsung menuju ke Mataram.
Ternyata tidak ada hambatan diperjalanan Ki Lurah Branjangan dan orang-orang yang bersamanya sampai di Mataram. Ki Lurah Branjangan yang disertai cucunya dan Wacana itu tidak langsung menuju kerumahKi Lurah. Tetapi mereka singgah lebih dahulu dirumah orang tua Teja Prabawa. Namun keempat orang prajurit yang menyertainya itu justru telah minta ijin untuk mempergunakan waktu yang sempit itu untuk melihat-lihat Kotaraja. Kesempatan yang jarang mereka dapat Ki Lurah Branjangan tidak berkeberatan. Namun kemudian Ki Lurah minta agar mereka nanti langsung menuju ke rumah Ki Lurah.
"Tetapi kami belum mengetahui letak rumah Ki Lurah," berkata orang yang tertua diantara mereka.
Ki Lurahpun kemudian telah memberikan ancar-ancar. Katanya kemudian, "Akupun akan segera berada dirumah itu. Bukankah kalian telah mengenal jalan-jalan di Kotaraja dengan baik ?"
"Mudah-mudahan kami tidak tersesat," Jawab salah seorang dari mereka.
Namun kawannyapun berkata, "Ia memang anak Mataram dan tumbuh bersama pertumbuhan kota ini."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi berhati-hatilah. Kita sedang mengemban tugas yang masih samar-samar."
"Baik Ki Lurah," Jawab prajurit itu, "sebelum matahari merendah di Barat, aku sudah akan berada di rumah Ki Lurah."
Demikianlah, ketika keempat prajurit itu meninggalkan regol rumah Teja Prabawa untuk melihat-lihat keadaan Kotaraja, maka Ki Lurahpun telah mengajak Teja Prabawa dan Wacana masuk.
"Ayah biasanya tidak ada dirumah pada saat begini," berkata Teja Prabawa.
"Tetapi bukankah tidak lama lagi ayahmu pulang ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Ya. Biasanya demikian," Jawab Teja Prabawa.
Namun ternyata hari itu agak berbeda dengan hari-hari yang lain. Ketika mereka menuntun kuda mereka dihalaman, ternyata ayah Teja Prabawa itu ada dirumahnya. Bahkan Ki Tumenggung itulah yang pertama-tama melihat kehadiran Ki Lurah Branjangan, Teja Prabawa dan Wacana.
Demikian mereka menambatkan kudanya, maka Ki Tumenggung itupun segera memanggil ibu Teja Prabawa. Katanya, "Inilah anak itu. Ia datang bersama ayah."
Ibunyapun segera menghambur keluar. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia berkata, "Kau membuat kami cemas Teja. Apakah kau menyusul kakekmu ke Tanah Perdikan ?"
Yang menjawab adalah Ki Lurah Branjangan, "Ya. Teja Prabawa telah pergi ke Tanah Perdikan."
Ki Tumenggung kemudian telah mempersilahkan Ki Lurah dan seorang anak muda yang belum dikenalnya itu untuk naik kependapa. Ketika Teja Prabawa melangkah ke pintu pringgitan, ayahnya itupun berkata, "Kau juga duduk disini Teja. Aku ingin tahu, kenapa kau tiba-tiba saja pergi ke Tanah Perdikan tanpa memberi tahu lebih dahulu."
Teja Prabawa itu hanya menunduk, sementara Ki Lurah bertanya, "Jadi ia pergi tanpa sepengetahuanmu ?"
Ki Tumenggung Purbarumeksa mengerutkan dahinya. Dengan nada dalam ia menjawab, "Teja Prabawa tidak pernah mengatakannya, bahwa ia akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Kau dengar itu Teja Prabawa," desis Ki Lurah Branjangan, "ternyata kau tidak minta ijin lebih dahulu dari ayahmu, apalagi mendapat pesan dari ayah dan ibumu."
Wajah Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung Purbarumeksa nampak berkerut. Dengan ragu Ki Tumenggung bertanya, "Pesan apa yang dibawanya ke Tanah Perdikan ?"
"Ayah," tiba-tiba Raden Teja Prabawa menyela, "aku telah menjadi sangat gelisah, sehingga aku telah mengambil langkah sendiri yang barangkali mendahului kehendak ayah."
"Apa yang sudah kau katakan kepada kakekmu ?" bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Raden Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Namun Ki Lurah yang justru iba melihat cucunya kebingungan berkata, "Jika demikian, maka biarlah aku yang menceriterakannya, apa yang telah terjadi dengan anakmu dan apa yang telah dilakukannya dalam kebingungannya. Agaknya ia memang tidak dapat berbuat lain pada waktu itu karena nalarnya yang menjadi pepat."
Ki Tumenggung dan isterinya menjadi semakin bersungguh-sungguh mendengarkan keterangan Ki Lurah. Sementara itu Ki Lurahpun telah menyampaikan persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga Ki Tumenggung dan hubungannya dengan ancaman atas Raras, seorang gadis anak Ki Rangga Wibawa. Kemudian Ki Lurah Branjangan itupun berkata, "Anak muda ini adalah Wacana, kemenakan Ki Rangga Wibawa yang belum lama tinggal dirumah Ki Rangga itu."
Berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan itu ternyata telah membuat hati Ki Tumenggung menjadi semakin gelisah, Dipandanginya wajah anaknya itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Apaboleh buat. Tidak ada jalan lain kecuali mempertahankan diri dari kekasaran keluarga Raden Antal. Nampaknya Ki Tumnggung Wreda itu masih belum mampu mengurai persoalan ini dengan hati yang bening. Sebagai seorang yang usianya sudah menjadi semakin tua, serta kedudukannya yang semakin tinggi, seharusnya hatinyapun menjadi semakin mengendap. Namun yang terjadi ternyata lain sekali."
Raden Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ayahnya tidak menjadi marah kepadanya, Namun demikian, ibunyapun berkata, "Tetapi sebaiknya kau tidak mengambil langkah sendiri seperi itu Teja Prabawa. Kau tidak dapat mengorbankan adikmu begitu saja. Persoalannya harus dilihat secara menyeluruh."
"Teja Prabawa sudah minta maaf kepada adiknya," sahut Ki Lurah Branjangan.
"Untunglah, bahwa sesuatunya masih belum terlanjur," berkata Ki Tumenggung kemudian. Namun katanya pula, "Tetapi dengan demikian, maka kau menjadi semakin yakin, bahwa niat Raden Antal bukanlah niat yang baik. Karena itu, maka kitapun harus berusaha untuk bertahan."
"Tetapi persoalannya akan menyangkut Ki Rangga Wibawa," berkata Ki Lurah Branjangan.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya kepada Wacana, "Bagaimana sikap Ki Rangga Wibawa, menurut angger Wacana ?"
"Paman belum mengetahui persoalan ini," Jawab Wacana, "namun nampaknya hubungan antara Teja Prabawa dan Raras sudah diketahuinya. Bahkan agaknya paman tidak berkeberatan."
Ki Tumenggung Purbarumeksa itupun termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata, "Kita harus menghubungi Ki Rangga Wibawa."
"Jadi, apakah kita menemui Ki Rangga sekarang ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Baiklah. Kita akan berbicara dengan Ki Rangga," Jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Tetapi Nyi Tumenggung telah minta agar Ki Lurah dan Wacana minum lebih dahulu.
"Ayah dan angger Wacana tentu haus," berkata Nyi Tumenggung.
Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumengung Purbarumeksa telah pergi kerumah Ki Rangga Wibawa. Mereka menganggap persoalannya memang persoalan yang harus ditanganinya dengan bersungguh-sungguh.
Ketika mereka sampai dirumah Ki Rangga, ternyata Ki Rangga baru saja pulang dari tugasnya. Dengan ramah diterimanya tamunya di pendapa rumahnya.
Namun ketika Ki Rangga memberitahukan kedatangan tamu-tamunya kepada isterinya, Nyi Rangga sempat terkejut dan bertanya, "Apakah keperluan mereka " Apakah ada hubungannya dengan Raras. Atau ada persoalan lain ?"
"Jika mereka akan membicarakan Raras, tentu mereka datang dengan pemberitahuan lebih dahulu. Tentu juga tidak pada saat seperti ini," Jawab suaminya.
"Apakah Ki Tumenggung tidak setuju hubungan anaknya dengan Raras ?" tiba-tiba saja isterinya bertanya.
"Entahlah," Jawab Ki Rangga, "sediakan saja minuman. Mereka nanti akan mengatakan juga, untuk apa mereka datang."
Nyi Rangga tidak menyahut lagi. Tetapi iapun segera pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi kedua orang tamunya, sementara Ki Rangga segera menemui tamunya di pendapa.
Dengan jantung yang berdebam Ki Rangga menanyakan keselamatan keluarga Ki Tumenggug dan Ki Lurah Branjangan yang kedatangannya agak mengejutkan itu.
"Kami semua dalam keadaan baik Ki Rangga," Jawab Ki Lurah Branjangan. Lalu katanya pula, "Kami mohon maaf, bahwa kami telah mengejutkan Ki Rangga karena kedatangan kami yang tiba-tiba ini."
"Apakah ada sesuatu yang penting Ki Lurah, atau Ki Lurah dan Ki Tumenggung sekedar melihat keadaan kami sekeluarga ?" bertanya Ki Rangga agak ragu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun Ki Tumenggungpun berdesis "Silahkan ayah."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Ki Lurahpun berkata, "Ki Rangga. Aku minta maaf, bahwa aku datang dengan membawa persoalan yang barangkali tidak begitu menyenangkan bagi Ki Rangga dan keluarga Ki Rangga."
Wajah Ki Rangga memang menjadi tegang. Sejenak ia memandang Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan kemudian dengan penuh kebimbangan ia bertanya, "Persoalan tentang apa Ki Lurah."
Ki Lurah Branjangan memang menjadi agak ragu. Namun ia harus mengatakannya justru karena keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan Raras.
"Ki Rangga. Kami datang untuk berbicara secara terbuka dengan keluarga Ki Rangga. Aku tidak tahu apakah Ki Rangga pernah mendengar atau belum," berkata Ki Lurah kemudian.
Ki Rangga Wibawa menjadi semakin gelisah. Karena itu iapun mendesak, "Apakah sebenarnya yang telah terjadi ?"
Ki Lurah Branjanganpun kemudian telah menguraikan persoalan yang dibawanya dengan singkat. Namun berurutan dengan jelas, sehingga Ki Rangga Wibawa itupun mendapat gambaran yang utuh tentang persoalan yang menyangkut anak gadisnya, Raras.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah itupun berkata, "Barangkali keluarga Teja Prabawa perlu minta maaf kepada Ki Rangga, bahwa selama ini kami belum pernah datang untuk membicarakan hubungan antara Teja Prabawa dengan Raras. Namun tiba-tiba saja kami telah datang dengan membawa persoalan yang mungkin dapat menyulitkan Ki Rangga Wibawa.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku justru mengucapkan terima kasih Ki Lurah. Persoalan yang menyangkut hubungan antara angger Teja Prabawa dengan Raras sebenarnya memang sudah kami amati. Kami melihat hubungan antara keduanya telah mengarah kepada hubungan yang khusus. Namun kami masih menunggu kebenaran dugaan kami. Apakah benar keduanya telah mengikat diri dalam pertalian, batin yang lebih erat dari sekedar dua orang sahabat. Selebihnya, sebenarnyalah kami memang menunggu sikap Ki Tumenggung Purbarumeksa sebagai orang tua angger Teja Prabawa. Namun kami sama sekali tidak mengetahui bahwa telah timbul ancaman dari keluarga Ki Tumenggung Wreda Sela Putih atas anak gadisku, Raras."
"Sebenarnya persoalannya tidak berpusar pada Raras. Yang menjadi sasaran utamanya adalah Rara Wulan, adik Teja Prabawa. Tetapi karena keluarga Raden Antal itu tidak mampu mengambil Rara Wulan dengan paksa, maka ia mencoba untuk memeras Teja Prabawa agar ia mau memaksa adiknya untuk bersedia memenuhi keinginan Raden Antal, anak Ki Tumenggung Wreda Sela Putih itu."
Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk kecil. Namun nampak di wajahnya kegelisahan yang mencengkam.
Dengan ragu-ragu Ki Rangga berkata, "Tetapi bukankah kita dapat mempertahankan diri, sebagaimana angger Wulan yang tidak dapat diambil oleh keluarga Ki Tumenggung Wreda, maka Raraspun akan dapat dilindungi. Kemenakanku telah berada dirumah ini pula sekarang."
"Angger Wacana," desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Ya Ki Tumenggung. Apakah Ki Tumenggung telah mengenal anak itu ?" justru Ki Rangga bertanya.
"Ia berada dirumahku sekarang," Jawab Ki Tumenggung.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya pula, "Ia memang minta ijin untuk pergi bersama angger Teja Prabawa."
"Mereka telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Rara Wulan dan Ki Lurah Branjangan," sahut Ki Tumenggung Purbarumeksa. Lalu katanya pula, "Teja Prabawa mencoba untuk membujuk adiknya agar bersedia menuruti keinginan Raden Antal.
"Jangan," sahut Ki Rangga Wibawa, "seharusnya angger Rara Rulan menolaknya."
"Tetapi yang dicemaskan oleh Teja Prabawa adalah angger Raras," berkata Ki Tumenggung kemudian.
"Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga, "bukankah kita juga seorang prajurit " Meskipun tugas kita sekarang tidak lagi memimpin sepasukan prajurit yang turun kemedan perang secara langsung, namun kita masih tetap seorang prajurit. Karena itu, maka kita akan mempertahankan diri sejauh dapat kita lakukan."
Tetapi Ki Lurahpun yang menjawab, "Ki Rangga Wibawa. Kami ingin memberikan sedikit keterangan tentang orang-orang yang telah diupah oleh Ki Tumenggung Sela Putih. Seorang diantaranya adalah orang kerdil yang dikenal oleh salah seorang yang berilmu yang berada di Tanah Perdikan Menoreh dengan nama Bajang Engkrek."
Pendekar Muka Buruk 14 Sakura Wish Karya Harumi Kawaii Tujuh Pembunuh 3
^