Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


Ki Rangga Wibawa mengerutkan dahinya. Sambil menggeleng ia berdesis, "Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Kami juga belum pernah berhadapan dengan orang kerdil-kerdil itu, masih ada lagi orang yang berilmu tinggi. Namanya Ki Manuhara. Terhadap orang ini, orang-orang yang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh pernah mengenalnya dan bahkan pernah bertempur melawannya. Ki Manuhara memang jarang ada duanya. Karena itu, maka mereka berdua ditambah dengan para pengikutnya merupakan orang-orang yang sangat berbahaya."
Ki Rangga Wibawa termangu-mangu sejenak. Namun dengan ragu-ragu iapun bertanya, "Bagaimana dengan angger Rara Wulan, sehingga orang-orang itu merasa tidak mampu mengambilnya."
"Anakku berada di Tanah Perdikan Menoreh Ki Rangga," Jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan kemudian ia menawarkannya, "Bagaimana jika angger Raras untuk sementara ditempatkan juga di Tanah Perdikan Menoreh ?"
Ki Rangga Wibawa termangu-mangu sejenak. Katanya, "Anakku seorang gadis Ki Tumenggung. Agaknya ibunya akan sulit untuk melepaskannya tinggal di tempat orang lain."
"Demi keselamatannya Ki Rangga," berkata Ki Lurah Branjangan pula, "bukankah disana ada Rara Wulan."
"Tetapi kakek Rara Wulan ada di Tanah Perdikan itu pula. Bukankah Ki Lurah masih berada di barak Pasukan Khusus itu ?" bertanya Ki Rangga.
"Ya Ki Rangga," Jawab Ki Lurah. Lalu katanya pula, "Tetapi Ki Rangga dapat menitipkan Raras kepadaku."
Tetapi nampaknya Ki Rangga masih saja bimbang. Katanya kemudian, "Biarlah aku berbicara dengan ibu Raras."
"Raras sendiri sekarang ada dimana Ki Rangga," bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Ia berada dirumah pamannya. Adi Rangga Wiramijaya. Sudah agak lama ia tidak menengok paman dan bibinya yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri, karena Adi Rangga Wiramijaya sendiri tidak mempunyai anak. Baru besok Raras akan pulang. Wacana besok akan aku minta untuk menjemputnya."
Kening Ki Lurah Branjangan nampak berkerut. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Ki Tumenggung yang nampak termangu-mangu. Tetapi Ki Lurah itu tidak berkata sesuatu.
Sementara itu, Nyi Rangga telah keluar dari pintu pringgitan sambil membawa hidangan bagi tamu-tamunya. Namun setelah meletakkan hidangan, Ki Rangga berkata, "Duduklah Nyi."
Nyi Rangga tertegun sejenak. Namun iapun kemudian duduk pula bersama dengan suaminya.
Dengan singkat suaminya menceritakan kepentingan Ki Tumenggung Purbarumeksa dan Ki Lurah Branjangan datang mengunjungi mereka. Dengan sangat berhati-hati Ki Rangga juga menceritakan ancaman yang ditujukan kepada anak gadisnya dari keluarga Ki Tumenggung Wreda Sela Putih. Meskipun sebenarnya sasaran utamanya adalah Rara Wulan, namun ternyata anaknya telah diancamnya pula.
Wajah Nyi Rangga menegang. Sebagaimana seorang ibu, maka meskipun Ki Rangga sudah berusaha untuk berhati-hati, namun Nyi Rangga telah menjadi ketakutan.
"Lalu bagaimana dengan anak kita ?" bertanya Nyi Rangga.
"Itulah yang sedang kita pikirkan Nyi," sahut suaminya.
"Tetapi bukankah Raras tidak bersalah ?" bertanya Nyi Rangga pula.
"Tidak ada yang bersalah dalam hal ini Nyi," Jawab Ki Rangga. Lalu katanya pula, "Bagiku yang bersalah adalah Ki Tumenggung Wreda yang terlalu memanjakan anaknya itu. Seharusnya ia justru mencegah tingkah laku anaknya, bukan bahkan membantunya. Agaknya Ki Tumenggung Wreda mengagungkan kekayaannya sehingga ia merasa bahwa kekayaannya adalah segala-galanya. Ia dapat memenuhi segala kehendaknya dengan landasan kekayaan itu."
"Tetapi apa yang dapat kita lakukan " Bukankah hubungannya dengan angger Teja Prabawalah yang membuatnya mendapat ancaman itu " Seandainya tidak ada hubungan itu, maka Raras tentu tidak akan diancam untuk diambil sebagai ganti angger Rara Wulan."
"Tetapi bukankah hubungan itu sendiri bukan merupakan satu kesalahan " Jika Raden Antal tidak bermanja-manja, maka ancaman itu tentu tidak akan pernah ada," Jawab Ki Rangga.
"Tetapi bagaimana sekarang dengan Raras ?" bertanya Nyi Rangga, "apalagi ia tidak berada dirumah sekarang."
Ki Rangga mengerutkan dahinya. Sementara itu Ki Tumenggung berkata, "Ki Rangga. Apakah tidak sebaiknya Raras dijemput pulang atau Ki Rangga Wiramijaya diberi tahu akan ancaman itu, sehingga ia tidak membiarkan Raras berada diluar rumah tanpa pengawasan sama sekali."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, aku akan menjemput Raras. Meskipun sebenarnya masih ada waktu. Bukankah Raden Antal masih menunggu jawaban angger Teja Prabawa yang membujuk adiknya itu ?"
"Mungkin. Tetapi dapat terjadi untuk semakin menekan Teja Prabawa, Raden Antal telah mengambil langkah lebih dahulu. Apalagi ternyata Raden Antal adalah seorang anak muda yang menyukai gadis-gadis cantik."
Wajah Ki Rangga menjadi semakin tegang. Bahkan Nyi Rangga-pun dengan cemas berkata, "Tolong Ki Rangga. Jemput anakmu. Sekarang juga. Sebelum terlambat."
Ki Tumenggung Purbarumeksa memang menyesal, bahwa ia membuat Nyi Rangga sangat ketakutan. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Jika Ki Rangga tidak berkeberatan, biarlah aku menemanimu menjemput angger Raras."
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Lurah berkata, "Biarlah ia menemani Ki Rangga. Aku akan minta diri lebih dahulu. Di rumahku sedang ada ampat orang tamu."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah Ki Tumenggung, biarlah aku pergi sendiri."
"Yang penting bagiku sebenarnya bukan sekedar menemani Ki Rangga. Tetapi aku juga ingin melihat keadaan angger Raras. Agaknya memang tidak akan terjadi sesuatu karena selain Teja Prabawa belum memberikan jawaban, waktunyapun tidak menguntungkan bagi siapapun untuk mengambil Raras di siang hari seperti ini. Meskipun demikian, aku ingin ikut ke rumah Ki Rangga Wiramijaya untuk melihat Raras," sahut Ki Tumenggung.
"Bukankah tidak ada keberatannya ?" sela isterinya.
"Baiklah," berkata Ki Rangga Wibawa, "kita pergi ke rumah adi Rangga Wiramijaya."
Demikianlah maka Ki Tumenggung Purbarumeksa itupun telah pergi bersama Ki Rangga Wibawa, sementara Ki Lurah Branjangan kembali ke rumahnya sendiri, karena ia telah berjanji untuk menerima keempat orang prajurit yang menyertainya dirumahnya.
Ketika Ki Lurah kemudian sampai ke rumahnya, ternyata keempat orang prajurit itu memang sudah berada dirumahnya. Mereka telah duduk di pendapa sambil menghadapi minuman hangat, sementara kuda mereka tertambat dihalaman.
"Maaf," berkata Ki Lurah Branjangan, "aku datang kemudian. Aku kira kalian sampai petang melihat-lihat Kotaraja."
"Tidak ada yang aneh yang dapat dilihat Ki Lurah," Jawab salah seorang diantara para prajurit itu, "tetapi kelambatan Ki Lurah tidak mengganggu, sebelum Ki Lurah datang, kami sudah mendapat hidangan minuman hangat."
"Hanya air yang didalamnya dicelupkan daun sere."
"Tetapi justru segar sekali Ki Lurah," Jawab prajurit-prajurit itu hampir berbareng.
Ki Lurahpun kemudian telah pergi ke belakang. Ia minta pembantu yang menunggu rumahnya itu menyiapkan makan bagi tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sementara itu Ki Tumenggung Purbarumeksa dan Ki Rangga Wibawa dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah Ki Rangga Wiramijaya. Mereka ingin segera tahu, apakah Raras tidak mengalami gangguan selama ia berada dirumah Ki Rangga Wiramijaya. Apalagi dipagi hari, saat Ki Rangga melakukan tugasnya di istana.
Rumah Ki Rangga Wiramijaya memang agak jauh dari rumah Ki Rangga Wibawa. Rumah Ki Rangga Wiramijaya terletak agak dipinggir kota, dekat dinding kota Mataram.
Hati keduanya memang agak tenang ketika mereka melihat dari pintu regol halaman, bahwa halaman rumah itu nampak sepi. Bahkan rasa-rasanya terlalu sepi. Mereka mengira jika terjadi sesuatu, maka halaman rumah itu tentu akan menjadi ramai, sibuk atau pertanda-pertanda lain yang menggelisahkan.
Kedua orang itupun kemudian telah menuntun kuda mereka memasuki halaman rumah Ki Rangga Wiramijaya. Semakin dalam mereka berada di halaman itu, rasa-rasanya jantung mereka berdebar semakin cepat. Mereka mendengar suara tangis seseorang dari ruang dalam rumah itu.
"Itu suara Raras," desis Ki Rangga Wibawa yang segera mengenal suara anaknya. "Tetapi kenapa ia menangis ?"
Kegelisahan Ki Rangga telah tumbuh lagi. Tetapi bukan mencemaskan Raras, karena Raras jelas masih ada dirumah itu.
Ki Rangga Wibawa tersentak ketika ia mendengar suara Raras memanggil, "Paman, paman."
"Marilah Ki Tumenggung," desis Ki Rangga.
Ki Rangga itupun langsung melangkah naik melintasi pendapa menuju ke pintu pringgitan. Dengan tergesa-gesa ia mengetuk pintu pringgitan itu.
Suara tangis di dalam justru terhenti. Yang kemudian terdengar adalah suara perempuan yang lain, "Siapa ?"
"Aku," Jawab Ki Rangga Wibawa yang mengenali suara ipar perempuannya. "Rangga Wibawa."
Yang terdengar kemudian adalah langkah cepat menuju ke pintu rumah itu. Demikian pintu terbuka, maka seorang gadis telah muncul dan langsung memeluk Ki Rangga Wibawa.
"Ayah," terdengar suara Raras disela-sela isaknya.
"Apa yang telah terjadi ?" bertanya Ki Rangga Wibawa. "Paman terluka, ayah," Jawab Raras.
"Kenapa ?" bertanya Ki Rangga Wibawa. Tanpa menunggu jawab iapun langsung membimbing Raras masuk kedalam, sehingga ia lupa mempersilahkan Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun Ki Tumenggung yang tanggap akan keadaan itu, telah mengikuti Ki Rangga masuk kentang dalam.
Ki Rangga Wibawapun segera mendekati adiknya yang terbaring diamben diruang dalam. Isterinya menungguinya sambil mengusap air matanya.
"Kau kenapa ?" bertanya Ki Rangga Wibawa.
Ki Rangga Wibawa yang melihat kakaknya datang menjenguknya mencoba untuk tersenyum. Katanya, "Aku tidak apa-apa kakang."
"Kau tidak usah menutupi keadaanmu. Aku datang bersama Ki Tumenggung Purbarumeksa," berkata Ki Rangga Wibawa.
"Ki Tumenggung Purbarumeksa ?" bertanya Ki Rangga Wiramijaya dengan heran.
"Ya Ki Rangga," sahut Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Aku mohon maaf Ki Tumenggung bahwa aku tidak dapat menerima kedatangan Ki Tumenggung sebagaimana seharusnya." berkata Ki Rangga Wiramijaya dengan sekali-sekali masih menyeringai menahan sakit didadanya.
"Sudahlah Ki Rangga," Jawab Ki Tumenggung, "berbaring sajalah. Mungkin kau memang perlu beristirahat."
"Tetapi kenapa kau sebenarnya ?" bertanya Ki Rangga Wibawa.
Ki Rangga Wiramijaya termangu-mangu sejenak. Nafasnya memang nampak agak sesak.
Nyi Ranggalah yang kemudian menjawab, "Seseorang telah datang kerumah ini kakang. Dengan kasar ia mengancam akan mengambil Raras. Sudah tentu kakang Rangga Wiramijaya tidak mengijinkannya, sehingga terjadi perselisihan dan kemudian keduanya bertempur."
"Tetapi orang itu ilmunya sangat tinggi kakang," desis Ki Rangga Wiramijaya, "dengan mudah orang itu membuat aku tidak berdaya. Sentuhan tangannya pada dadaku membuat aku seakan-akan tidak dapat bernafas."
"Apakah orang itu bertubuh kecil dan pendek ?" tiba-tiba saja Ki Tumenggung Purbarumeksa bertanya.
"Darimana Ki Tumenggung tahu ?" bertanya Ki Rangga Wiramijaya dengan heran.
"Nanti akan aku ceritakan," Jawab Ki Tumenggung, "tetapi bukankah angger Raras selamat ?"
"Ya. Aku juga tidak tahu, apa yang sebenarnya dikehendaki. Demikian aku terjatuh dan sulit untuk membawa Raras. Tetapi orang itu masih mengancam, bahwa pada suatu saat ia akan mengambil Raras." sahut Ki Rangga Wiramijaya. Hampir diluar sadarnya ia berusaha untuk bangkit. Namun iapun terbaring lagi sambil berdesah menahan sakit didadanya.
"Sudahlah, jangan bangkit." minta Ki Rangga Wibawa. Ki Ranggapun berbaring lagi. Sementara Ki Rangga Wibawa berdesis, "Ternyata mereka sudah mulai."
"Apa yang sebenarnya telah terjadi ?" bertanya Nyi Rangga Wiramijaya.
Ki Rangga Wibawapun kemudian berkata, "Biarlah kita duduk."
Demikianlah, maka Nyi Ranggapun telah mempersilahkan tamunya duduk diruang dalam, sehingga sambil berbaring Ki Rangga Wiramijaya dapat ikut menemui mereka.
Dengan singkat Ki Tumenggung Purbarumeksapun telah menceriterakan persoalan yang menyangkut Raras dan hubungannya dengan Teja Prabawa.
Ki Rangga Wiramijaya yang berbaring itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Raras bergeser mendekati ayahnya sambil berdesis, "Ayah. Aku takut."
"Nampaknya apa yang dilakukan oleh orang kerdil ini sekedar pernyataan bahwa ia akan dapat melakukan apa yang dikatakannya itu jika ia mau," desis Ki Rangga Wiramijaya sambil berbaring.
"Ya," sahut Ki Tumenggung, "orang kerdil itu tahu pasti, bahwa Teja Prabawa akan mendengar peristiwa yang baru saja terjadi, sehingga ia akan menjadi semakin bersungguh-sungguh mendesak adiknya agar bersedia menerima lamaran Raden Antal."
Ki Rangga Wibawapun mengangguk-angguk. Katanya pula, "Ia-pun bermaksud agar aku dan adi Wiramijayapun ikut mendesak Ki Tumenggung agar lamaran Raden Antal itu dapat diterima."
"Apakah Ki Rangga benar akan berbuat demikian ?" bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Tentu tidak Ki Tumenggung," Jawab Ki Rangga Wibawa, "aku sudah mengetahui latar belakang kehidupan Raden Antal. Meskipun dalam kehidupannya sehari-hari ia mampu menyembunyikan cacadnya itu, namun aku percaya akan keterangan Ki Tumenggung."
"Yang perlu dibicarakan kemudian adalah pengamanan angger Raras selanjutnya," Jawab Ki Rangga Wibawa, "tetapi aku justru masih mempunyai kesempatan berpikir. Setidak-tidaknya nanti malam."
"Ki Rangga," berkata Ki Tumenggung, "aku minta Ki Rangga jangan segan-segan untuk membicarakannya dengan keluarga kami. Kami sekeluarga merasa ikut bertanggung jawab, justru karena persoalan yang menyangkut Raras adalah karena hubungannya dengan anakku. Teja Prabawa."
"Baik Ki Tumenggung," Jawab Ki Rangga Wibawa, "aku mengucapkan terima kasih atas tanggung Jawab Ki Tumenggung dalam persoalan Raras. Aku merasa bahwa aku tidak sendiri."
"Lalu, bagaimana dengan angger Raras sekarang " Apakah Ki Rangga akan membawanya pulang ?"
"Ya. Aku akan membawanya pulang. Namun sementara itu, aku harus mencari seorang tabib yang akan mengobati adi Rangga Wiramijaya."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan Ki Rangga. Sementara itu biarlah aku menunggu disini. Nanti kita akan kembali bersama-sama sambil membawa angger Raras."
"Ki Tumenggung tidak usah terlalu terikat dengan persoalan Raras. Jika Ki Tumenggung mempunyai keperluan lain, aku persilahkan Ki Tumenggung mendahului. Aku hanya mohon agar Wacana dapat segera datang kemari. Ia akan dapat menemani aku membawa Raras pulang setelah adi Rangga Wiramijaya diobati."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian aku minta diri. Biarlah angger Wacana datang kemari untuk ikut menjaga angger Raras."
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Purbarumeksa telah mohon diri kepada Ki Rangga Wiramijaya suami isteri. Kemudian iapun telah meninggalkan rumah itu diantar oleh Ki Rangga Wibawa sampai keregol halaman.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun telah melarikan kudanya cepat-cepat. Ia langsung pulang ke rumahnya agar Wacana tidak terlanjur meninggalkan rumahnya.
Untunglah bahwa ternyata Wacana masih berada di rumahnya meskipun agaknya ia sudah bersiap-siap untuk pulang.
Dengan singkat Ki Tumenggung memberitahukan kepada Wacana tentang keadaan Raras yang sedang berada di rumah pamannya, Ki Rangga Wiramijaya.
"Bagaimana keadaan Raras sekarang ayah ?" Teja Prabawalah yang bertanya dengan cemas.
"Raras tidak apa-apa, meskipun ia berada di bawah ancaman. Ki Rangga Wiramijayalah yang justru terluka. Namun nampaknya lukanya tidak terlalu parah," Jawab Ki Tumenggung. Lalu kalanya pula, "Agaknya orang kerdil itu hanya ingin menunjukkan kelebihannya dan menekan agar keinginan Raden Antal dapat segera terpengaruhi."
"Jadi ayah setuju jika Wulan bersedia memenuhi kemauan Raden Antal ?" bertanya Teja Prabawa.
"Siapa yang berkata begitu ?" bertanya ayahnya.
"Jadi bagaimana maksud ayah sebenarnya ?" bertanya Teja Prabawa yang gelisah.
"Kita harus melawan kemauan iblis itu, apapun yang terjadi." jawab ayahnya.
"Tetapi bagaimana dengan Raras ?" suara Teja Prabawa menjadi bergetar oleh gejolak perasaannya.
"Dengar Teja Prabawa. Ki Rangga Wibawa, ayah Raras itupun bersikap keras. Ia tidak akan menyerah begitu saja terhadap ancaman keluarga Raden Antal. Bagaimanapun juga di Mataram ini ada tatanan. Ki Rangga Wibawa tentu dapat berhubungan dengan para Senapati yang akan mampu memberikan perlindungan kepada keluarganya."
"Tetapi tidak seorang pun yang dapat membuktikan bahwa dalam hal ini keluarga Raden Antal itu terlibat. Orang yang diminta melakukan tindak kekerasan itu tentu tidak akan dengan mudah dihubungkan dengan Ki Tumenggung Wreda seandainya ia dapat ditangkap. Apalagi orang itu orang yang berilmu tinggi yang licin seperti belut, sehingga tentu sulit untuk menangkapnya, bahkan sulit untuk menghalangi niatnya mengambil Raras."
"Sudahlah. Seharusnya kau lebih bersikap jantan. Kau harus menyadari bahwa kau adalah seorang laki-laki," Jawab ayahnya.
"Tetapi apakah tidak sebaiknya kita mempergunakan penalaran daripada sekedar bersikap jantan ?" bertanya Teja Prabawa.
"Bertanyalah kepada angger Wacana, seandainya ia mengalami," minta ayahnya.
Teja Prabawa memang berpaling ke arah Wacana. Tetapi tidak bertanya sesuatu. Namun Wacanalah yang justru berkata, "Tenanglah. Sekali lagi aku minta, kau tidak usah mengorbankan adikmu."
Raden Teja Prabawa memang tidak menjawab lagi. Tetapi ia sama sekali tidak dapat tenang mengalami perlakuan seperti itu. Sementara itu, Wacanapun segera minta diri untuk pergi ke ruman Ki Rangga Wiramijaya untuk menjemput Raras. Juga untuk melihat keadaan Ki Rangga Wiramijaya itu.
"Hati-hatilah ngger," pesan Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung. Mudah-mudahan kila akan segera dapat mengatasinya," Jawab Wacana.
Sejenak kemudian, maka Wacanapun telah melarikan kudanya langsung menuju ke rumah Ki Rangga Wiramijaya.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarumeksapun telah menyatakan kepada Nyi Tumenggung, bahwa ia akan pergi menemui Ki Lurah Branjangan di rumahnya.
"Tetapi siapa yang ada di rumah ?" bertanya Nyi Tumenggung yang juga menjadi cemas.
"Bukankah aku juga sering keluar " Bukankah di rumah ini ada beberapa orang yang aku minta ikut menjaga keselamatan keluarga kita " Sementara itu, Teja Prabawapun ada di rumah pula."
"Aku ikut ayah," sahut Teja Prabawa.
"Kau dirumah. Jaga ibumu baik-baik," Jawab Ki Tumenggung tegas, sehingga Raden Teja Prabawa tidak berani membantah lagi.
Demikianlah Ki Tumenggung langsung pergi menemui Ki Lurah Branjangan untuk memberitahukan apa yang lelah terjadi dengan Raras di rumah Ki Rangga Wiramijaya.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku akan berbicara dengan Ki Wirayuda."
Ki Tumenggung Purbarumeksa mengangguk. Katanya, "Marilah aku antar Ki Lurah menemui Ki Wirayuda."
Keempat prajurit yang ada dirumah Ki Lurah Branjangan itupun telah menawarkan diri pula untuk mengantar Ki Lurah Branjangan. Tetapi Ki Lurah Branjangan itu berkata, "Kalian beristirahat sajalah di rumahku. Kalian akan bermalam semalam, dan besok kalian akan kembali ke Tanah Perdikan. Aku, sendiri belum dapat kembali besok. Mungkin lusa atau hari berikutnya lagi."
"Karena itu, maka sekarang kami akan mempunyai kesempatan untuk mengantar Ki Lurah," berkata salah seorang diantara para prajurit itu.
Tetapi Ki Lurah berkata, "Beristirahatlah."
Para prajurit itu tidak dapat memaksa Ki Lurah agar mereka diperkenankan untuk ikut bersamanya. Karena itu, maka merekapun tidak membantah lagi.
Demikianlah sejenak kemudian Ki Lurah Branjanganpun telah pergi kerumah Ki Wirayuda diantar oleh Ki Tumenggung Purbarumeksa. Beruntunglah mereka karena kebetulan Ki Wirayuda yang jarang ada di-rumah itu, sedang tidak bepergian.
Setelah mereka dipersilahkan duduk, maka Ki Wirayudapun segera menanyakan, apakah Ki Lurah membawa berita atau bahkan yang dapat membantu pengamatan mereka terhadap orang kerdil itu.
"Kami sudah dapat memberikan keterangan, kenapa orang kerdil itu berhubungan dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih," berkata Ki Lurah.
Dengan singkat Ki Lurah Branjanganpun menceritakan persoalan yang dihadapi oleh Ki Tumenggung Purbarumeksa, Ki Rangga Wibawa, Ki Rangga Wiramijaya dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah Ki Rangga Wibawa minta bantuan para prajurit untuk menjaga anak gadisnya itu " Atau bantuan macam lain " Orang-orang yang sedang mengacaukan ketenangan Mataram itu memag orang-orang berilmu tinggi sehingga kita memang perlu berhati-hati menghadapinya."
"Ki Wirayuda," berkata Ki Lurah Branjangan, "sebenarnya aku agak segan untuk minta bantuan pengamanan kepada kekuatan prajurit Mataram. Persoalannya adalah persoalan pribadi, sehingga seharusnya kami menyelesaikannya secara pribadi pula."
"Tetapi bukankah wajar, jika seseorang minta perlindungan kepada prajurit Mataram jika hidupnya merasa terancam oleh siapapun juga ?" sahut Ki Wirayuda.
"Aku mengerti Ki Wirayuda," desis Ki Lurah kemudian, "namun sebaiknya kita menempuh jalan lain. Bagaimana dengan kekuatan Gajah Liwung ?"
Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar seberapa jauh kekuatan yang berada didalam tubuh kelompok Gajah Liwung. Namun kekuatan Gajah Liwung sudah tidak utuh lagi karena Glagah Putih dan Sabungsari tidak ada diantara mereka.
Meskipun demikian, Gajah Liwung memang akan dapat membantu memecahkan persoalan itu dengan tidak usah menimbulkan kegelisahan orang-orang disekitar rumah Ki Rangga Wibawa. Jika sekelompok prajurit berjaga-jaga di rumah itu, maka tetangga-tetangganya tentu akan bertanya-tanya dengan cemas. Apa yang telah terjadi " Dengan dasar itu, Ki Wirayudapun berkata, "Baiklah. Aku akan menghubungi anak-anak dari kelompok Gajah Liwung. Tetapi disamping itu, maka anak-anak dari petugas sandipun akan membantu mengawasi keadaan. Khususnya rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa dan rumah Ki Rangga Wibawa. Setidak-tidaknya mereka akan dapat memberikan isyarat jika terjadi sesuatu."
Demikianlah, maka Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Purbarumeksapun telah minta diri. Namun Ki Tumenggung berpesan kepada Ki Wirayuda jika terbuka kesempatan, maka hendaknya Ki Wirayuda dapat menangani langsung Ki Tumenggung Wreda Sela Putih. Sumber dari persoalan ini.
"Aku tahu bahwa Ki Tumenggung Wreda adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan mempunyai pengaruh yang besar. Tetapi bukankah ia masih juga berada dalam bingkai tatanan yang berlaku di Mataram ?" berkata Ki Tumenggung.
"Baiklah Ki Tumenggung," Jawab Ki Wirayuda, "kami memang tidak membedakan siapapun."
Demikianlah, maka Ki Lurahpun kembali pulang kerumahnya, sementara Ki Tumenggung yang menyertai Ki Lurah, langsung pulang ke rumahnya, karena Nyi Tumenggung tentu menjadi gelisah jika ia terlalu lama pergi.
Ketika Ki Tumenggung sampai dirumahnya, maka iapun menjadi terkejut ketika ia melihat Teja Prabawa dan Nyi Tumenggung berada di ruang tengah dalam keadaan ketakutan.
"Apa yang telah terjadi ?" bertanva Ki Tumenggung.
"Orang kerdil itu datang kemari," Desis Teja Prabawa.
"Apa yang dilakukannya ?" bertanya Ki Tumenggung.
"Tidak apa-apa," Jawab Teja Prabawa.
Namun Nyai Tumenggungpun melanjutkan, "Orang itu memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi ia mengancam, bahwa ia akan bertindak lebih kasar lagi jika lamaran Raden Antal ditolak. Katanya, ia telah datang menemui Raras. Jika Rara Wulan tetap menolak, maka Raras akan benar-benar diambilnya. Bahkan mungkin masih ada tindakan lain yang akan dilakukannya."
Ki Tumenggung menggeram. Ia sadar, bahwa ilmu orang kerdil itu tentu jauh lebih tinggi dari ilmunya. Namun Ki Tumenggung tidak dapat ditakut-takuti sebagaimana Ki Rangga Wibawa.
Dengan suara bergetar karena marah, ia bertanya kepada Raden Teja Prabawa, "Apakah kau tidak memanggil orang-orang yang kita minta membantu kita mengamankan rumah ini sejak kita merasa terancam?"
"Aku tidak sempat ayah," jawab Teja Prabawa, "demikian tiba-tiba ia datang. Bahkan ketika aku melihatnya, ia sudah berada dipintu pringgitan."
"Sayang aku tidak ada dirumah," desis Ki Tumenggung.
"Jika ayah ada dirumah, apakah ayah mampu mengalahkannya?" bertanya Raden Teja Prabawa.
"Aku tidak peduli apakah aku akan kalah atau menang. Tetapi aku tidak mau direndahkan oleh siapapun juga. Juga oleh orang kerdil itu," Jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat bersikap seperti ayahnya. Bahkan ia menjadi ketakutan dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat memanggil Rara Wulan agar ia mau memenuhi lamaran Raden Antal.
Jika Raden Teja Prabawa itu sedang berpikir bening, maka ia memang tidak ingin mengorbankan adiknya bagi keselamatan Raras. Tetapi disaat hatinya kecut, maka ia kehilangan penalarannya itu, sehingga ia mulai mementingkan dirinya sendiri lagi.
Sementara itu Nyi Tumenggungpun berkata, "Aku memang merasa cemas. Tetapi bukan berarti bahwa Rara Wulan harus dikorbankan. Kita harus berusaha mencari jalan untuk menyelamatkan semuanya. Wulan dan Raras."
"Aku telah berbicara dengan Ki Wirayuda. Ia termasuk salah seorang diantara para pemimpin prajurit sandi. Mudah-mudahan ia dapat membantu," desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Apa yang dapat dilakukan oleh Ki Wirayuda?" bertanya Teja Prabawa.
"Sudah aku katakan, ia termasuk salah seorang pemimpin prajurit sandi. Ia dapat menugaskan orang-orangnya untuk mengamati keadaan. Meskipun para prajurit sandi itu tidak akan mampu menghadapi langsung orang kerdil itu, namun mereka akan dapat memberikan isyarat sehingga kekuatan prajurit Mataram akan membantu mereka menghadapi orang kerdil dan kawan-kawannya itu."
Tetapi Raden Teja Prabawa menjawab, "Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Seandainya mereka melakukannya, agaknya hanya sekedar pasang gelar. Tetapi tidak bersungguh-sungguh."
"Teja Prabawa. Jadi kau tidak percaya kepada kesungguhan prajurit Mataram" Jikalau sudah tidak mempercayainya, lalu siapa yang kau anggap mampu melindungi rakyat Mataram" Orang kerdil itu?" desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Raden Teja Prabawa tidak menjawab. Namun hatinya memang menjadi kalut. Ia memikirkan keselamatan Raras yang bahkan akan dapat menjadi korban. Sedangkan menurut Teja Prabawa, Raras sama sekali tidak tahu menahu persoalan yang terjadi didalam keluarganya dalam hubungannya dengan keluarga Raden Antal.
Namun Raden Teja Prabawa tidak berani membantah lagi. Ia sadar, bahwa ayahnya mulai menjadi marah terhadapnya karena sikapnya itu.
"Nah Teja Prabawa," berkata ayahnya kemudian, "jika kau memang mencintai Raras, bersikaplah sebagai seorang laki-laki. Pertahankan Raras dengan segenap kemampuan yang ada padamu bersama-sama dengan ayah Raras, Ki Rangga Wibawa yang juga berkeras untuk bertahan dan Wacana, sepupu Raras itu. Jika mereka bersedia berbuat apa saja untuk melindungi Raras, kaupun akan berbuat seperti itu. Bahkan kaupun akan mempertahankan adikmu pula."
Raden Teja Prabawa tidak sempat menjawab. Ayahnya kemudian telah melangkah meninggalkannya. Ketika Teja Prabawa sempat melihat ayahnya sekilas, maka dilihatnya ayahnya itu mengambil tombak dari tempatnya. Satu diantara tiga tombak yang ditempatkan disebuah plocon diruang tengah bersama sebual songsong pertanda kedudukannya. Agaknya ayahnya telah menyiapkan sebatang diantara tombaknya itu didalam biliknya yang siap dipergunakan setiap saat diperlukan. Bahkan kemudian ayahnya telah memanggil ampat orang yang memang ditempatkannya dirumah itu untuk membantunya menjaga dan mengamankan rumah itu dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi sejak ancaman keluarga Raden Antal menghangat lagi atas keluarganya.
Dengan pendek Ki Tumenggung memberitahukan bahwa rumah itu baru saja didatangi oleh orang kerdil yang berilmu sangat tinggi untuk mengancam keluarga mereka.
"Aku sudah bertekad untuk mempertahankan harga diriku. Meskipun aku sadar, bahwa aku tidak mampu mengimbangi ilmu orang kerdil itu, tetapi aku tidak akan menyerah karena ancamannya. Karena dengan demikian akan menimbulkan kebiasaan buruk, bahwa kekerasan akan menjadi alat yang paling baik untuk memaksakan kehendak seseorang," berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Keempat orang itu mengangguk-angguk kecil. Mereka adalah orang-orang yang menerima upah untuk ikut menjaga keselamatan seluruh keluarga Ki Tumenggung yang selalu berada dalam ancaman yang nampaknya semakin bersungguh-sungguh. Untuk beberapa saat ancaman itu terasa mereda. Namun kemudian ternyata justru semakin panas.
Sementara itu Ki Tumenggung tidak segera menghubungi Ki Lurah Branjangan, karena Ki Tumenggung tahu bahwa esok Ki Lurah tentu akan datang kerumahnya.
Sementara itu, Ki Wirayudapun telah bekerja cepat Ia telah memerintahkan beberapa orang petugas sandi untuk mengawasi rumah Ki Rangga Wibawa dan Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun mereka telah mendapat pesan, bahwa mereka tidak harus menangani langsung jika mereka melihat orang kerdil memasuki rumah-rumah itu. Tetapi mereka harus memberikan isyarat sehingga kekuatan yang lebih besar akan datang yang apabila mungkin menangkap orang kerdil itu hidup atau mati.
Tetapi Ki Wirayudapun sadar, bahwa orang kerdil itu tentu cukup cerdik, sehingga sulit untuk dapat mengamatinya secara langsung.
Namun malam itu memang tidak terjadi sesuatu di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa maupun Ki Rangga Wibawa. Nampaknya orang kerdil itupun memberikan waktu bagi keluarga Ki Tumenggung.
Purbarumeksa untuk memikirkan permintaan Raden Antal.
Ketika matahari terbit dihari berikutnya, ternyata Ki Lurah Branjangan dan empat orang prajurit dari Pasukan Khusus telah datang ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Keempat prajurit itu berniat untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun ketika Ki Lurah Branjangan mendengar keterangan menantunya bahwa orang kerdil itu telah datang ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka Ki Lurahpun telah merubah niatnya. Katanya, "Jika demikian aku justru akan kembali ke Tanah Perdikan. Kita harus dapat mengambil sikap untuk mengimbangi langkah-langkah yang telah mereka lakukan, yang sudah tentu sangat menusuk perasaan."
"Aku sependapat ayah. Mungkin Ki Lurah Agung Sedayu akan dapat membantu memecahkan persoalan yang sudah sangat mendesak itu. Agaknya mereka benar-benar telah kehilangan penalaran," sahut Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Karena itulah maka Ki Lurah Branjanganpun telah minta diri untuk langsung pergi ke Tanah Perdikan. Katanya, "Aku harus segera bertemu dengan angger Agung Sedayu."
Ketika Ki Lurah kemudian turun kehalaman, maka Teja Prabawa telah menunggunya. Dengan suara bergetar ia berkata, "Tolonglah, kek. Jika tidak, maka Raras yang tidak tahu menahu persoalannya akan menjadi korban."
"Tidak ada yang harus dikorbankan," Jawab Ki Lurah Branjangan yang meskipun sudah menjadi semakin tua, namun ternyata hatinya masih tetap tegar.
Teja Prabawa tidak menjawab. Namun sorot matanya yang menuntut belas kasihan itu membuat Ki Lurah justru membentak. "Bangunlah kau anak cengeng. Bukankah kau memiliki sehelai pedang" Buat apa kau pernah berguru kepada seseorang jika dalam keadaan yang sulit kau hanya dapat meratap seperti itu" Adikmu yang seorang gadis, tidak akan merengek seperti kau."
Namun Teja Prabawa memang benar-benar menjadi cemas menghadapi keadaan yang terasa semakin keruh itu.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Ki Lurah Branjangan telah meninggalkan rumah anaknya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan para prajurit dari Pasukan Khusus yang menyertainya. Mereka telah memacu kudanya demikian mereka keluar dari pintu gerbang kota.
Ketika mereka sampai di tepian, kemudian naik keatas rakit, rasa-rasanya rakit itu berenang sangat lamban.
Namun akhirnya mereka sampai ke seberang dan sejenak kemudian kelima ekor kuda itu telah berpacu lagi menuju langsung ke barak Pasukan Khusus, karena Ki Lurah Branjangan memperhitungkan bahwa Agung Sedayu tentu masih berada di barak.
Sebenarnyalah Agung Sedayu memang masih berada di barak. Ia memang agak terkejut melihat sikap Ki Lurah demikian ia bersama para prajurit itu datang dengan tergesa-gesa.
"Aku perlu bicara dengan angger," berkata Ki Lurah.
"Tentang apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentang orang kerdil itu," Jawab Ki Lurah.
Mereka berduapun kemudian telah pergi ke sanggar agar dapat berbicara tanpa diganggu orang lain.
Keterangan yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan memang membuat jantung Agung Sedayu berdesir. Orang kerdil itu benar-benar telah menantang keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa dan Ki Rangga Wibawa.
"Kita memang harus berbuat sesuatu," berkata Agung Sedayu, yang biasanya sering membuat pertimbangan untuk mengambil satu sikap. Namun menghadapi tindakan orang kerdil itu, Agung Sedayu nampaknya tidak perlu lagi ragu-ragu. Karena itu maka katanya kemudian, "Marilah, kita pulang. Kita berbicara dengan Glagah Putih."
Agung Sedayupun kemudian memberikan beberapa pesan kepada beberapa orang kepercayaannya, sementara itu ia memberitahukan bahwa ia akan pulang lebih cepat dari biasanya.
"Ada persoalan penting yang harus aku selesaikan," berkata Agung Sedayu, "Jika hari ini belum selesai, maka besok aku tidak datang ke barak. Selesaikan semua tugas dengan baik."
Demikianlah maka Agung Sedayu bersama Ki Lurah Branjangan itupun segera meninggalkan barak, sementara keempat prajurit yang menyertai Ki Lurah telah dikembalikan ke pasukannya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjanganpun telah menyusuri jalan ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Agung Sedayu ingin berbicara lebih dahulu dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, apa yang sebaiknya dilakukannya.
Berita yang dibawa oleh Ki Lurah Brangangan tentang perilaku orang kerdil itu memang membuat telinga Glagah Putih menjadi panas. Seperti Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun menganggap bahwa sebaiknya mereka menunjukkan sesuatu yang akan dapat menunjukkan bahwa orang kerdil itu tidak dapat berbuat sekehendak hatinya.
"Kita semuanya pergi ke Mataram," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Siapakah yang kakang maksud semuanya?" bertanya Sekar Mirah, "termasuk aku" Rara Wulan" Atau siapa?"
"Ya," jawab Agung Sedayu, "kita akan mengumumkan perang melawan orang kerdil, Ki Manuhara dan kawan-kawannya."
"Apakah hal ini tidak akan menyinggung kewenangan Ki Wirayuda?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Aku akan berbicara dengan Ki Wirayuda," Jawab Agung Sedayu yang jarang sekali menentukan sikap setegas itu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sudah cukup lama ia mengenal Agung Sedayu. Sejak Agung Sedayu itu masih mengikuti gurunya kemana-mana bersama dengan murid utama Kiai Gringsing yang seorang lagi, Swandaru Geni. Namun sikap Agung Sedayu itu ternyata telah menggetarkan jantungnya.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirahpun bertanya, "lalu, bagaimana dengan rumah itu?"
"Biarlah anak itu mengurusnya. Tanpa kita berada dirumah ini, maka orang kerdil itu tidak akan mengganggunya."
Sekar Mirah termangu mangu sejenak. Tetapi iapun merasa heran akan sikap yang keras dari suaminya itu. Agaknya menurut suaminya, sikap orang kerdil itu sudah keterlaluan.
Demikianlah, maka seisi rumah itupun segera bersiap-siap. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi menemui Ki Gede untuk mohon pamit.
Ki Gede memang merasa heran, bahwa mereka bersama-sama akan pergi ke Mataram. Namun Agung Sedayupun telah menjelaskannya pula. Apa sebabnya mereka bersama-sama akan pergi ke Mataram.
"Selain tugas yang berat, kami tidak sampai hati meninggalkan Rara Wulan dirumah, Ki Gede. Jika terjadi sesuatu, maka kami harus mempertanggung jawabkannya kedua orang tuanya. Sementara itu, Rara Wulan memang menjadi sasaran utama orang kerdil itu," berkata Agung Sedayu.
"Bagaimana dengan angger Sekar Mirah?" bertanya Ki Gede.
"Biarlah ia ikut pula untuk menemani Rara Wulan," jawab Agung Sedayu, "keikut sertaan Sekar Mirah merupakan salah satu cara untuk memberikan ketenangan bagi ibu Rara Wulan, karena dengan demikian maka Rara Wulan bukan satu-satunya perempuan diamani beberapa orang laki-laki. Apalagi diantara kami ada Glagah Putih."
Ki Gede tersenyum, sementara Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja.
"Baiklah ngger," berkata Ki Gede, "biarlah Prastawa mempersiapkan para pengawal sebaik-baiknya. Selebihnya, jika terjadi sesuatu biarlah aku berhubungan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus. Bukankah angger Agung Sedayu telah memberikan pesan kepada mereka."
"Sudah Ki Gede. Jika Ki Gede memerlukan para prajurit dari Pasukan Khusus itu, kami mohon Ki Gede berhubungan dengan Sanggatnya. Salah seorang pemimpin kelompok yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Apalagi Sanggabaya berasal dari Tanah Perdikan ini pula."
"Baiklah," Jawab Ki Gede, "aku mengenal anak itu."
Demikianlah, atas nama seluruh keluarganya. Agung Sedayu minta diri kepada Ki Gede untuk beberapa hari berada di Mataram karena ada sesuatu yang penting.
Bahkan Agung Sedayu itupun telah berkata pula, "Ki Gede. Persoalannya tentu tidak terbatas sepanjang persoalan Rara Wulan dan Raras, anak gadis Ki Rangga Wibawa. Tetapi orang kerdil itu telah bekerja bersama dengan Ki Manuhara, yang tentu mempunyai kepentingan terhadap Mataram, menilik tindakan-tindakan yang telah diambilnya. Antara lain ketika diadakan pertandingan ketangkasan oleh anak-anak muda di Mataram."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tindakan yang telah diambilnya di Tanah Perdikan ini juga menunjukkan bahwa kelompok itu adalah kelompok yang sangat berbahaya."
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan keluarganya telah meninggalkan rumahnya. Tetapi mereka tidak beriringan dalam satu kelompok bersama-sama, agar tidak terlalu menarik perhatian.
Rara Wulan, Sekar Mirah mendahului yang lain disertai Glagah Putih dan Agung Sedayu, sementara Sabuangsari dan Ki Jayaraga menyusul kemudian bersama Ki Lurah Branjangan.
Anak yang tinggal bersama Agung Sedayu, hanya dapat bersungut-sungut. Namun Agung Sedayu memberikan uang sambil berkata, "Kami tidak akan terlalu lama. Bukankah kau seorang laki-laki" Kau tentu tidak akan pernah ketakutan. Tetapi ingat kau tidak usah turun kesungai."
Anak itu mengangguk sambil bergumam, "Aku tidak takut."
Demikianlah, maka iring-iringan berkuda itupun melintas dengan cepat menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang memang heran melihat iring-iringan itu. Tetapi kepada setiap orang yang bertanya disepanjang jalan Agung Sedayu selalu menjawab, "Ada sanak kadang kami mempunyai keperluan di Mataram."
Orang-orang yang bertanya itu telah menjadi puas dengan jawaban itu. Mereka telah mengartikan kepergian Agung Sedayu dan keluarganya itu untuk menghadiri sebuah peralatan.
Iring-iringan itu tidak menghiraukan langit yang menjadi suram ketika senja turun. Bahkan kemudian gelap malam mulai merambah jalan-jalan di Tanah Perdikan. Namun, mereka tidak menjadi cemas, karena biasanya sampai larut masih ada tukang satang yang bersedia menyeberang dipenyeberangan sebelah Selatan yang terhitung penyeberangan yang terbesar.
Sebenarnyalah, sebagaimana mereka perhitungkan. Ketika mereka sampai di tepian, maka masih ada dua rakit yang siap untuk melintasi Kali Praga.
Sebagaimana Agung Sedayu membagi iring-iringannya menjadi dua kelompok, maka merekapun menyeberang secara terpisah. Agung Sedayu dan kelompoknya menyeberang lebih dahulu. Baru kemudian Ki Jayaraga dengan kelompoknya.
Malam itu juga mereka langsung menuju ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Mereka sama sekali tidak merasa cemas seandainya Bajang Engkrek dan Ki Manuhara atau orang-orangnya melihat kedatangan mereka.
Namuan demikian mereka sampai di rumah itu, maka mereka melihat suasana yang muram. Begitu mereka memasuki halaman, maka orang-orang yang diminta untuk membantu mengamankan rumah itu segera menyongsong mereka dengan kesiagaan penuh. Namun merekapun menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat diantara mereka yang datang itu terdapat Rara Wulan.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan yang terdiri dari dua kelompok itu telah berkumpul di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung dan Teja Prabawa telah menemui mereka dipendapa. Kegelisahan yang nampak telah memberikan kesan yang menggelisahkan.
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Raras benar-benar telah hilang," jawab Ki Tumenggung.
"Karena kakek datang kemari dengan keempat orang pengiring itu," berkata Teja Prabawa dengan suara bergetar, "ternyata mereka melihatnya. Dengan alasan itu, maka mereka mempercepat rencananya mengambil Raras."
"Bagaimana hal itu dapat terjadi" Bukankah disekitar Raras ada orang-orang yang melindunginya?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Katanya, "Ki Rangga Wibawa tidak tahu bagaimana hal itu terjadi. Raras ada dirumah. Ki Rangga Wibawa dan Wacana juga ada dirumah. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa Raras telah hilang. Agaknya selagi Raras berada didapur seorang diri pada saat ibunya masuk kedalam untuk mengambil sesuatu."
"Apakah Raras tidak menjerit atau berteriak?" bertanya Agung Jedayu pula.
"Mungkin mulutnya dibungkam atau bahkan ia telah dibuat pingsan," jawab Ki Tumenggung.
"Dan itu terjadi disiang hari?" bertanya Ki Lurah Branjangan keheran-heranan.
"Ya. Tadi pagi. Agaknya Raras telah dibawa lewat lorong-lorong sempit yang sempit," jawab Ki Tumenggung.
Namun tiba-tiba Teja Prabawa memotong, "Kakek yang bertanggung jawab."
"Diam kau Teja Prabawa," bentak ayahnya, "jika kau tidak berani mencari Raras, kau tidak usah ikut campur."
"Apa yang sudah dilakukan oleh Ki Rangga Wibawa?" bertanya Ki Lurah Branjangan kemudian.
"Ki Rangga telah melaporkannya kepada Ki Wirayuda," Jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan menemui Ki Wirayuda. Lalu katanya kepada Glagah Putih, "Marilah. Ikut aku."
Tetapi Ki Tumenggung mencoba mencegahnya, "Nanti dulu Ki Lurah. Biarlah Ki Lurah minum lebih dahulu."
"Semakin cepat semakin baik, ayah." potong Teja Prabawa pula.
Ayahnya hampir membentaknya pula. Namun Agung Sedayu mendahuluinya, "Terima kasih Ki Tumenggung. Aku hanya sebentar."
Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpacu menuju ke rumah Ki Wirayuda, sementara malam menjadi semakin dalam.
Agung Sedayu memang tidak terlalu lama berada di rumah Ki Wirayuda. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali berada dirumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan katanya kemudian, "Aku juga sudah singgah dirumah Ki Rangga Wibawa."
Sambil minum minuman panas yang disuguhkan oleh Nyi Tumenggung, Ki Tumenggung berkata, "Mereka mengancam, jika dalam waktu tiga hari Wulan tidak diserahkan, Raras benar-benar akan menjadi korban kebiadaban Raden Antal. Satu hal yang tidak pernah dapat aku bayangakan, tentang anak muda yang kelihatannya lembut dan baik hati itu."
Agung Sedayupun mengangguk pula. Katanya, "Ki Rangga Wibawa juga mengatakannya. Ia benar-benar menjadi bingung. Lebih-lebih Nyi Rangga. Setiap kali ia menjadi pingsan."
"Apakah ayah sampai hati membiarkan hal seperti itu terjadi pada keluarga Ki Rangga Wibawa ?" bertanya Teja Prabawa.
"Jadi maksudmu bagaimana " Kita serahkan Wulan kepada iblis itu dan kemudian biar ibumu yang setiap kali pingsan bahkan untuk selama-lamanya ibumu akan mengalami goncangan jiwa ?" Ki Tumenggung justru bertanya.
Teja Prabawa terdiam. Tetapi kecemasan yang sangat telah mencekam jantungnya.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rara Wulan hari ini telah berada di sini. Biarlah besok kita ajak Rara Wulan keluar. Biarlah iblis itu atau salah seorang pengikutnya melihatnya dan menyangka bahwa kita akan menyerahkan Rara Wulan. Dengan demikian maka sebelum hari ketiga Raras masih selamat. Sementara itu kita mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita tembus," berkata Agung Sedayu.
Ki Tumenggung Purbarumeksa mengangguk-angguk. Ia memang tidak mempunyai cara yang dapat dianggap tepat untuk membantu membebaskan Raras. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu hanya dapat menyerahkan segala sesuatunya kepada Agung Sedayu yang nampaknya mempunyai ketangkasan berpikir lebih baik dari dirinya sendiri.
Malam itu, maka orang-orang yang datang bersama Agung Sedayu itu bermalam di rumah ki Tumenggung Purbarumeksa. Seperti yang direncanakan, maka dihari berikutnya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengajak Rara Wulan berkunjung kerumah Ki Rangga Wibawa. Mereka berharap bahwa kehadiran Rara Wulan akan dapat sedikit memperingan beban perasaan Nyi Rangga, karena dengan demikian ja melihat kesungguhan kelurga Ki Tumenggung untuk membantu membebaskan Raras.
Selebihnya Agung Sedayu dan Glagah Putih memang berharap bahwa para pengikut orang kerdil itu melihat bahwa Rara Wulan telah berada di Mataram, sehingga mereka tidak akan segera bertindak sesuatu atas Raras.
Ketika mereka sampai dirumah Ki Rangga, maka mereka telah disambut oleh Ki Rangga dengan hati terbuka. Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Ki Rangga memang melihat bahwa keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa memang tidak membiarkan Raras hilang tanpa melakukan sesuatu.
Namun ketika Nyi Rangga melihat Rara Wulan, maka tanggapannya justru berbeda. Tiba-tiba saja Nyi Rangga itu menangis sambil berteriak dengan gagap, "Kau, kaulah yang menyebabkan anakku mengalami bencana. Kaulah yang seharusnya menanggungnya. Bukan anakku. Bukan Raras."
Agung Sedayu memberi isyarat kepada Rara Wulan agar ia berdiam diri. Ki Ranggalah yang kemudian berusaha menenangkan isterinya dan mengajaknya masuk. Ketika ia keluar lagi menemui tamu-tamunya, maka Ki Ranggapun berkata, "Aku minta maaf ngger. Isteriku memang menjadi sangat gelisah. Ia tidak dapat lagi berpikir bening. Bahkan ia masih saja sering pingsan."
"Kami dapat mengerti perasaannya Ki Rangga," Jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Aku sengaja membawa Rara Wulan keluar dan berjalan menyusuri jalan kota agar orang-orang yang terlibat dalam pengambilan Raras atau pengikutnya dapat melihatnya, sehingga mereka mengira bahwa kami akan menyerahkan Rara Wulan. Dengan demikian setidak-tidaknya kita mempunyai waktu tiga hari untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk melepaskan adi Raras."
"Aku mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Mudah-mudahan kalian berhasil. Jika kalian memerlukan tenagaku, aku akan bersedia melakukan apa saja. Demikian pula kemenakanku, Wacana," berkata Ki Rangga.
"Dimana Wacana sekarang ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ia pergi bersama dua orang petugas sandi yang melakukan perintah Ki Wirayuda. Mereka pergi menemui Ki Tumenggung Sela Putih, untuk menanyakan apakah ia mengetahui bahwa Raden Antal, anaknya telah menculik Raras," Jawab Ki Rangga.
"Jadi Ki Wirayuda melakukan pelacakan langsung ?" bertanya Agung Sedayu dengan dahi yang berkerut.
"Ya, disamping langkah-langkah sandi yang dilakukannya," Jawab Ki Rangga Wibawa.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, ternyata Wacanapun telah kembali. Demikian ia menambatkan kudanya, maka iapun langsung naik kependapa.
"Kami telah menemui Ki Tumenggung Wreda Sela Putih," berkata Wacana sambil menyeka keringatnya.
"Apa kata Ki Tumenggung ?" bertanya Ki Rangga.
"Ki Tumenggung menjadi sangat marah. Ia menganggap itu fitnah yang keji. Menurut Ki Tumenggung, anaknya sama sekali tidak menghiraukan lagi Rara Wulan yang disebutnya sebagai perempuan berbudi rendah," Jawab Wacana.
"Apa saja yang dikatakannya tentang aku ?" bertanya Rara Wulan dengan nada tinggi.
Agung Sedayu menggamitnya sambil berdesis, "Biarlah Wacana menyelesaikan laporannya."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang diam.
Sementara itu Wacanapun berkata selanjutnya, "Ki Tumenggung yang marah itu akan melaporkan tindakan Ki Wirayuda itu langsung kepada Ki Patih Mandaraka."
Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, "Apa yang kemudian dikatakan oleh kedua orang petugas yang diperintahkan oleh Ki Wirayuda itu ?"
"Keduanya minta maaf kepada Ki Tumenggung Wreda. Jika hal itu dilakukan, karena orang yang mengambil Raras itu mengatakan bahwa hal itu dilakukan atas perintah Raden Amal dalam hubungannya dengan Rara Wulan."
"Kenapa mereka minta maaf " Bukankah Raden Antal benar-benar memerintahkan orang kerdil itu untuk mengambil Raras ?" potong Rara Wulan.
"Tetapi Raden Antal tidak mengakuinya," jawab Wacana.
"Memang sulit dibuktikan," sahut Agung Sedayu, "jika saja orang kerdil itu dapat ditangkap. Tetapi tidak mudah untuk menangkapnya. Ia seorang yang berilmu sangat tinggi."
"Agaknya memang demikian," desis Wacana. Lalu katanya pula, "Ki Tumenggung Wreda itu justru minta Ki Wirayuda datang kepadanya untuk minta maaf. Jika Ki Wirayuda itu tidak mau datang maka Ki Tumenggung benar-benar akan mengadu."
"Tetapi kau lihat Raden Antal ada dirumah itu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Raden Antal ada dirumah itu," Jawab Wacana, "sebelumnya aku belum mengenal Raden Antal. Tetapi dirumah itu aku melihat seorang anak muda yang tampan, yang ternyata adalah Raden Antal itu. Anak muda itupun marah-marah dengan kasar. Lebih kasar dari Ki Tumenggung. Kata-kata yang diucapkan sama sekali tidak sesuai dengan ujudnya yang nampak lembut dan bersih. Bahkan anak muda itu telah mengancam akan mengambil tindakan kekerasan jika dianggapnya perlu untuk menanggapi fitnah itu. Aku tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan kekerasan itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku minta diri. Aku akan mencari berbagai macam kemungkinan yang dapat dilakukan untuk membebaskan Raras."
"Terima, kasih ngger," Jawab Ki Rangga Wibawa.
"Kami mohon maaf bahwa kami telah menyusahkan keluarga Ki Rangga. Tetapi percayalah bahwa kami akan berbuat sesuatu untuk membebaskan Raras." berkata Agung Sedayu yang kemudian telah merasa cukup dan karena itu, maka iapun telah minta diri.
Diperjalanan kembali kerumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, mereka justru telah menempuh jalan yang paling ramai di Mataram. Mereka dengan sengaja memancing perhatian khususnya orang-orang yang telah mengenal Rara Wulan agar kehadirannya didengar oleh Keluarga Raden Antal atau orang-orang upahannya.
Ternyata bahwa pancingan itu mengena. Kehadiran Rara Wulan segera diketahui oleh keluarga Raden Antal, sehingga merekapun telah mengirim surat kepada keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa mengenai Rara Wulan.
Sudah tentu surat yang tidak bertanda tangan dan seakan-akan ditulis oleh kanak-kanak dengan huruf yang sulit untuk dibaca. Tidak seorangpun mengenal siapa yang lelah menyampaikan surat itu. Yang menerima surat itu, seorang pembantu dirumah Ki Tumenggung hanya mengenali anak kecil dengan kepala gundul. Demikian ia menyerahkan surat itu, maka iapun segera berlari menghambur keluar regol halaman dan hilang dikeramaian jalan di depan rumah Ki Tumenggung itu.
Setelah dengan susah payah Ki Tumenggung mencoba membaca surat itu, maka akhirnya isinyapun dapat diketahuinya.
"Besok lusa, wayah sepi uwong, Rara Wulan harus diserahkan kepada Raden Antal dipadang rumput Tegal Wuru diatas tanggul susukan Kali Opak. Pada saat yang sama Raras akan diserahkan pula kepada seseorang yang membawa Rara Wulan ketempat itu. Kesempatan itu hanya diberikan selambat-lambatnya menjelang tengah malam. Jika sampai tengah malam Rara Wulan tidak diserahkan, maka Raras tidak akan pernah kembali."
Jantung Ki Tumenggung bagaikan meledak. Namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Besok lusa malam. Waktunya terlalu sempit. Sementara itu, langkah Ki Wirayuda tentu juga tidak akan terlalu lancar.
"Jika aku menghadap Ki Patih Mandaraka, apakah aku dapat membuktikan bahwa Ki Tumenggung Wreda Sela Putih memang bersalah " Surat ini sama sekali bukan satu bukti yang dapat diyakini. Tulisan anak-anak ini tidak akan dapat dinyatakan sebagai surat resmi Ki Tumenggung Wreda Sela Putih," gumam Ki tumenggung Purbarumeksa.
"Bagaimana jika di padang rumput Tegal Wuru itu kita membawa sepasukan prajurit ?" desis Ki Lurah Branjangan.
"Tentu akan membahayakan keselamatan Raras. Jika mereka tahu kita membawa sekelompok prajurit, maka mereka tentu tidak akan segan-segan melakukan tindakan yang licik." sahut Agung Sedayu.
"Jadi bagaimana ?" desis Ki Tumenggung Purbarumeksa. "Apakah Raden Antal itu setiap hari masih juga pergi keluar rumahnya" Apakah ia masih bertugas di istana?" bertanya Agung Sedayu.
"Nampaknya memang begitu. Tetapi aku tidak begitu jelas. Tetapi aku tahu, ia memang pernah bekerja di istana," Jawab Ki Tumenggung.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan memikirkannya masak-masak. Mungkin tidak dengan serta merta kita menemukan jalan."
"Tetapi waktunya sudah terlalu sempit," desis Ki Lurah Branjangan yang gelisah.
Sementara itu, Ki Wirayudapun menjadi pening memikirkan hilangnya Raras. Malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah datang kepadanya untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan.
"Kedua orang petugas yang dikirim Ki Wirayuda disertai dengan Wacana telah minta maaf kepada Ki Tumenggung Wreda," berkata Agung Sedayu, "sementara itu Ki Tumenggung Sela Putih minta Ki Wirayuda datang untuk minta maaf kepadanya."
"Ya," sahut Ki Wirayuda, "aku sudah datang untuk minta maaf kepadanya."
"Apakah Ki Wirayuda yakin bahwa Ki Tumenggung itu tidak bersalah ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak. Aku justru percaya bahwa Raden Antal memang telah mengupah orang untuk mengambil gadis itu," Jawab Ki Wirayuda, "tetapi bahwa aku datang untuk minta maaf, aku berharap bahwa Ki Tumenggung Sela Putih menganggap bahwa aku telah menghentikan usaha untuk mengusut persoalan ini dalam hubungannya dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih."
"Ki Wirayuda," berkata Agung Sedayu kemudian, "nampaknya memang sulit untuk mengusut perkara hilangnya Raras. Jika Ki Wirayuda tidak berkeberatan, aku minta ijin untuk bertindak menurut caraku. Nampaknya aku dan keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa tidak mempunyai pilihan lain."
"Apa yang akan Ki Lurah lakukan ?" bertanya Ki Wirayuda.
Agung Sedayu menarik nafas. Namun iapun menjawab, "Aku belum tahu Ki Wirayuda. Tetapi aku mohon ijin untuk melakukan, agar tidak setiap kali aku harus menemui Ki Wirayuda."
Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu telah menunjukkan surat yang disampaikan oleh seorang anak kepada Ki Tumenggung.
"Meskipun tulisan itu tulisan kanak-kanak, tetapi aku percaya bahwa ancaman itu benar-benar akan dilakukan jika Rara Wulan tidak diserahkan besok malam," Jawab Agung Sedayu.
Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah Ki Lurah. Tetapi apa yang Ki Lurah lakukan adalah tanggung jawab Ki Lurah sendiri. Namun aku mohon, tidak menimbulkan keributan dan keresahan rakyat Mataram. Aku justru akan menepi untuk sementara dari persoalan ini."
"Terima kasih Ki Wirayuda," Jawab Agung Sedayu, "aku hanya mohon diperkenankan menggerakkan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung meskipun tidak dengan secara terbuka, agar kemudian tidak menyulitkan anak-anak Gajah Liwung itu sendiri."
"Silahkan Ki Lurah," Jawab Ki Wirayuda, "aku tidak berkeberatan menghubungi mereka."
Ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih minta diri setelah Pembicaran mereka dianggap cukup, Ki Wirayuda masih berpesan, "Ingat Ki Lurah. Usaha Ki Lurah dan Glagah Putih ini tentu tidak luput dari pengawasan orang-orang upahan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih."
"Aku mengerti Ki Wirayuda Terima kasih," Jawab Agung Sedayu ketika ia keluar dari regol halaman rumah Ki Wirayuda. Namun Ki Wirayuda memang mempercayai kemampuan Agung Sedayu dan Glagah Putih sehingga ia tidak merasa perlu mencemaskannya.
Dihari berikutnya, ketika matahari mulai memanjat langit, ternyata Ki Ajar Gurawa dan Rumeksa telah datang menemui Agung Sedayu di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun Agung Sedayu masih belum dapat memberikan rencana yang pasti, apa yang harus dilakukan oleh kelompok Gajah Liwung itu.
Namun Agung Sedayu telah berpesan kepada Ki Ajar Gurawa, "Tolong Ki Ajar. Siapkan anak-anak Gajah Liwung. Aku harap Ki Ajar besok datang lagi kemari. Besok siang."
Ki Ajar Gurawa termangu-mangu sejenak. Dengan agak ragu iapun bertanya, "Bukankah waktunya tinggal sedikit ?"
"Masih sulit bagiku untuk mengambil satu kepastian sikap. Tetapi besok siang, segala-galanya harus sudah pasti. Waktu kita tinggal besok, karena malam harinya, sesuai dengan surat yang kami terima, Rara Wulan harus sudah diserahkan."
Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan menyiapkan anak-anak agar setiap saat diperlukan, kami dapat bertindak cepat."
"Terima kasih," Jawab Agung Sedayu.
Namun ketika Ki Ajar minta diri, Sabungsari sempat bertanya, "Kenapa Ki Ajar nampak pucat ?"
"Siapa bilang aku pucat ?" Ki Ajar justru bertanya.
"Memang sedikit pucat," Rumeksalah yang menjawab, "selama ini Ki Ajar tenggelam di dalam sanggarnya bersama kedua murid utamanya itu. Bahkan Ki Ajar telah berkenan untuk melengkapi dasar kanuragan anak-anak Gajah Liwung."
"Ah, tidak," sahut Ki Ajar, "jika aku berada disanggar, hanya ingin mendapat kesempatan untuk dapat tidur."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Ternyata Ki Ajar tidak menjadi pucat, tetapi justru bertambah kuning karena selalu menghindari panas matahari."
Agung Sedayupun tersenyum pula. Namun Ki Ajar menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Sudahlah. Aku minta diri. Aku tidak sengaja membuat diriku bertambah muda lagi."
Glagah Putihpun sempat tersenyum pula betapa kecemasan masih mencengkam perasaannya.
Sejenak kemudian, maka Ki Ajar Gurawapun telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Meskipun masih belum jelas apa yang harus dilakukan oleh anak-anak dari kelompok Gajah Liwung, namun Ki Ajar telah dapat mempersiapkan diri. Ia adalah orang tertua diantara kelompok Gajah Liwung itu, maka Ki Ajar adalah pemimpinnya.
Demikianlah sehari itu Agung Sedayu mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipergunakannya untuk membebaskan Raras. Sementara itu, Ki Wirayudapun masih belum mendapat laporan dari para petugas sandinya, dimana Raras disembunyikan.
Agung Sedayu yang kembali lagi kepadanya mendapat keterangan bahwa Raden Antal ada dirumahnya. Ia melakukan tugasnya sehari-hari seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Ki Rangga Wibawa seakan-akan telah menjadi putus-asa. Meskipun masih ada sisa waktu, namun seakan-akan ia tidak melihat kemungkinan untuk membebaskan anak gadisnya. Satu-satunya jalan adalah menyerahkan Rara Wulan. Namun penalarannya tidak memungkinkannya untuk mendesak Ki Tumenggung Purbarumeksa untuk menyerahkan anak gadisnya itu. Ia sudah merasakan betapa sakitnya kehilangan seorang gadis. Sehingga iapun tidak sampai hati untuk memaksa Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung kehilangan Rara Wulan. Meskipun sebenarnya ia juga tidak ingin kehilangan Raras.
Ketika malam terakhir sebelum malam yang diminta sebagai batasan waktu oleh orang-orang upahan Raden Antal, maka Agung Sedayu berusaha untuk mendapatkan keterangan tentang anak muda itu sebanyak-banyaknya. Agung Sedayupun mencari keterangan tentang rumah beberapa orang pembantu dan pelayan dirumah Ki Tumenggung.
Seorang dari antara para petugas sandi atas perintah Ki Wirayuda berhasil mengikuti salah seorang abdi dirumah Ki Tumenggung Wreda yang kebetulan pulang kerumahnya untuk menengok keluarganya. Kemudian dengan memberi sedikit uang, maka petugas sandi itu mendapat beberapa keterangan tentang para abdi. Terutama rumah mereka yang diketahui oleh abdi itu.
Memang ada beberapa keterangan yang didapat. Ada lima orang yang sudah dapat diketahui rumahnya.
Malam itu juga beberapa orang petugas sandi telah diperintahkan untuk melihat rumah-rumah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya, apakah Raras disembunyikan disalah satu rumah itu. Tetapi ternyata gadis itu tidak diketemukan.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya semua jalan telah menjadi buntu sama sekali. Semua pihak yang berusaha mencari Raras bagaikan telah kehilangan pegangan.
Buku 278 NAMPAKNYA memang tidak ada jalan lain kecuali menyerahkan Rara Wulan jika mereka tidak ingin Raras hilang untuk selamanya dari lingkungan keluarganya.
Bagi mereka yang tersangkut dalam persoalan hilangnya Raras, maka setiap tarikan nafas rasa-rasanya merupakan ketegangan yang semakin mencengkam sejalan dengan beredarnya waktu. Ketika malam lewat, maka pagi-pagi benar Agung Sedayu telah bersiap bersama Glagah Putih. Ia tidak mengatakan kepada siapapun juga, apa yang akan dilakukan.
Namun ia sempat berpesan kepada Ki Jayaraga dan Ki Tumenggung Purbarumeksa, agar mereka berhati-hati.
"Jangan seorangpun meninggalkan rumah ini," berkata Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh.
"Apa yang akan Ki Lurah lakukan ?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku akan mengatakannya jika aku berhasil," jawab Agung Sedayu.
Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Bahkan Sekar Mirah juga tidak. Ia tahu bahwa dalam keadaan demikian, maka suaminya benar-benar tidak akan mengatakan apa-apa.
Setelah minum dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Mereka sempat singgah di rumah Ki Wirayuda sejenak untuk membicarakan beberapa langkah terpenting yang akan diambil oleh Agung Sedayu.
"Satu langkah yang berbahaya Ki Lurah," desis Ki Wirayuda.
"Aku tidak mempunyai cara lain," jawab Agung Sedayu, "aku berharap bahwa kita akan berhasil. Setidak-tidaknya menunda batas waktu yang diberikan oleh Raden Antal."
Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah niat Agung Sedayu, karena ia sendiri belum menemukan cara yang paling baik untuk membebaskan Raras, sementara batas waktu yang diberikan tinggal hari itu.
Karena itu, maka katanya, "Tetapi Ki Lurah harus menjaga, agar Ki Tumenggung Wreda tidak mempunyai bukti-bukti dari langkah yang Ki Lurah lakukan itu."
"Aku akan berusaha ki Wirayuda," jawab Agung Sedayu, "tetapi seandainya aku tidak mampu berbuat demikian, maka aku siap mempertanggungjawabkannya."
Ki Wirayuda mengangguk kecil. Katanya, "Memang tidak ada pilihan. Orang-orangku belum menemukan tempat Raras disembunyikan. Sedangkan orang kerdil itu seakan-akan telah lenyap pula. Sementara itu, tentu sulit diterima akal untuk mengorbankan Rara Wulan."
"Baiklah Ki Wirayuda, aku minta diri. Untuk sementara aku tidak mempunyai jalan lain."
Demikianlah Agung Sedayupun telah meninggalkan rumah Ki Wirayuda. Keduanya sempat bersetuju untuk menjawab pertanyaan tentang kehadiran Agung Sedayu di rumah Ki Wirayuda, bahwa Agung Sedayu menuntut Ki Wirayuda untuk berusaha membebaskan Raras.
Sebenarnyalah bahwa pengikut Ki Manuhara atas permintaan Bajang Bertangan Baja selalu mengawasi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keduanya memang dengan sengaja tidak berusaha menghindari dari pengamatan mereka.
Ketika Ki Wirayuda kemudian pergi ke tempat tugasnya, maka dikelok jalan ia terkejut. Tiba-tiba saja ia bertemu dengan seseorang yang bertubuh pendek dan kecil.
"Orang kerdil itu," desis Ki Wirayuda.
Sambil tersenyum orang kerdil itupun telah mempersilahkan Ki Wirayuda untuk berhenti sejenak. Dengan sopan orang itu mengangguk hormat sambil berkata, "Maaf Ki Wirayuda, barangkali aku telah mengganggu."
Namun Ki Wirayudapun segera tanggap bahwa ia berhadapan dengan orang yang sangat berbahaya. Karena itu, maka iapun menjadi sangat berhati-hati.
"Ki Wirayuda," berkata orang itu kemudian, "apakah aku diperkenankan untuk bertanya tentang sesuatu?"
"Kau siapa?" bertanya Ki Wirayuda.
Orang kerdil itu tersenyum. Katanya, "Aku tahu bahwa Ki Wirayuda dapat menduga siapa aku. Tetapi baiklah. Aku akan menyebut namaku, Bajang Bertangan Baja atau barangkali Ki Wirayuda lebih senang menyebut namaku Bajang Bertangan Embun."
Ki Wirayuda mengangguk-angguk kecil. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Untuk apa kau menghentikan aku?"
"Maaf Ki Wirayuda, aku hanya ingin mengetahui, untuk apa orang Tanah Perdikan Menoreh itu sering datang kerumah Ki Wirayuda" Apa saja yang akan mereka lakukan" Bukankah kedatangannya ada hubungannya dengan hilangnya Raras, anak Ki Rangga Wibawa yang akan dipertukarkan dengan Rara Wulan?"
"Ya," jawab Ki Wirayuda, "mereka menuntut agar aku dapat membebaskan Raras, sehingga mereka tidak usah menyerahkan Rara Wulan. Tetapi ternyata aku tidak berhasil."
"Dan Ki Wirayuda telah memerintahkan prajurit sandi untuk pergi menemui dan menanyakan hubungan antara hilangnya Raras dengan Raden Antal?" bertanya orang kerdil itu.
"Ya," jawab Ki Wirayuda.
"Ternyata Ki Wirayuda telah mengambil langkah yang salah. Ki Tumenggung Wreda Sela Putih tentu tidak tahu menahu tentang hilangnya Raras. Demikian pula Raden Antal. Seandainya mereka tahu dan bahkan mengupah aku untuk melakukannya, tidak ada seorangpun yang dapat membuktikannya. Kecuali jika Ki Wirayuda sempat menangkap aku dan memeras keteranganku. Itupun aku akan dapat dituduh memfitnah Ki Tumenggung Wreda Sela Putih."
"Sekarang apa maumu?" bertanya Ki Wirayuda.
Orang itu tertawa kecil. Katanya, "Aku hanya akan bertanya tentang orang-orang Tanah Perdikan itu. Apa yang akan mereka lakukan untuk mencari Raras," jawab orang kerdil itu.
"Mereka tidak mengatakan akan berbuat apa saja. Tetapi mereka minta aku bertanggung jawab atas hilangnya Raras agar Rara Wulan tidak usah diserahkan. Tetapi sejauh mana tanggung jawabku atas hilangnya seseorang?"
"Tetapi orang-orang Tanah Perdikan itu tentu tidak akan tinggal diam," desis orang kerdil itu.
"Itu urusan mereka. Tetapi kami mempunyai keterbatasan. Kecuali jika kau bersedia mengembalikan Raras," berkata Ki Wirayuda.
Bajang Bertangan Baja itu tertawa. Katanya, "Ki Wirayuda tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Malam nanti adalah batas terakhir yang aku berikan kepada keluarga Rara Wulan."
Ki Wirayuda termangu-mangu sejenak. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menangkap Bajang itu, karena kemampuan Bajang itu sangat tinggi. Sementara itu, ia tidak melihat kemungkinan untuk mendapat bantuan dari siapapun juga.
Namun Ki Wirayuda kemudian bertanya, "Berapa kau diupah oleh Ki Tumenggung Wreda Sela Putih untuk mendapatkan Rara Wulan" Bukankah Raras hanya sekedar sasaran sementara?"
Bajang itu tertawa. Katanya, "Ki Wirayuda tentu akan mencoba mencarikan upah yang lebih besar bagiku agar aku menyerahkan kembali Raras dan mengurungkan niatku mengambil Rara Wulan."
"Ya," jawab Ki Wirayuda.
"Itu tidak mungkin Ki Wirayuda," jawab Bajang Bertangan Baja, "Ki Tumenggung Wreda memberikan upah tidak terbatas. Semua kekayaan Ki Wirayuda tidak akan cukup untuk menebus niatku mengambil Rara Wulan."
"Tentu bukan aku yang akan memberikan uang itu. Tetapi Ki Tumenggung Purbarumeksa dan barangkali bersama-sama dengan Ki Rangga Wibawa," berkata Ki Wirayuda kemudian.
"Mereka bukan orang-orang kaya. Aku tidak mau membicarakannya," jawab Bajang Bertangan Baja itu sambil tertawa. Namun katanya kemudian, "Sudahlah Ki Wirayuda. Sebaiknya Ki Wirayuda menganjurkan kepada Ki Rangga Wibawa agar mendesak dan memaksa Ki Tumenggung Purbarumeksa untuk menyerahkan Rara Wulan. Karena jika tidak demikian, maka Raraslah yang akan menjadi korban. Itu juga berarti bahwa Tumenggung Purbarumeksa harus berhadapan dengan anak laki-lakinya sendiri, Raden Teja Prabawa, karena Raras adalah gadis pilihan Teja Prabawa itu."
Ki Wirayuda tidak menjawab. Keningnya sajalah yang berkerut. Sementara Bajang itu berkata, "Baiklah. Aku minta diri Ki Wirayuda. Tetapi jangan mencoba mencampuri persoalan kami malam nanti, karena hal itu akan membahayakan jiwa Raras."
Ki Wirayuda hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi penalarannya telah mencegahnya untuk melakukan tindakan yang hanya akan dapat merugikan dirinya sendiri.
Karena itu, ia tidak berbuat apa-apa ketika Bajang Bertangan Embun itu mengangguk-angguk hormat. Kemudian melangkah meninggalkannya berdiri termangau-mangu.
"Iblis kerdil," geram Ki Wirayuda.
Ketika kemudian orang kerdil itu tidak dilihatnya lagi, hilang ditikungan, maka Ki Wirayuda itupun melanjutkan langkahnya menuju ketempat tugasnya. Namun hatinya menjadi semakin gelisah. Selain memikirkan Raras yang hilang, Ki Wirayuda juga merasa dihina oleh Bajang Bertangan Baja itu.
Rasa-rasanya ia ingin menemui Agung Sedayu seketika itu juga untuk memberitahukan bahwa ia baru saja justru ditemui oleh Bajang Bertangan Baja itu.
Namun ia telah mengurungkan niatnya. Jika hal itu dilakukan, mungkin akan dapat mempengaruhi sikap orang kerdil itu terhadap Raras. Atau sikap-sikap lain yang justru merugikan usaha Agung Sedayu untuk membebaskan Raras.
Karena itu, maka Ki Wirayudapun meneruskan langkahnya menuju ketempat tugasnya.
Sampai saat terakhir, maka para prajurit sandi tidak dapat menemukan jejak hilangnya Raras. Sementara Ki Tumenggung Wreda dan Raden Antal nampaknya seperti orang yang tidak bersalah dan bahkan tidak bersangkut paut dengan hilangnya Raras.
Mereka melakukan tugas-tugas mereka sehari-hari tanpa ada kesan apapun juga. Sementara para petugas sandi juga tidak pernah lagi melihat orang kerdil datang ke rumah Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
Dalam pada itu, hari merambat juga setapak demi setapak. Di-siang hari seperti yang dipesankan oleh Agung Sedayu, Ki Ajar Gurawa telah datang ke rumah Tumenggung Wreda.
"Aku belum dapat berbuat sesuatu," berkata Agung Sedayu. Namun iapun kemudian minta kepada Ki Ajar Gurawa untuk menyiapkan anak-anak Gajah Liwung tidak terlalu jauh dari padang rumput Tegal Wuru.
"Aku mohon Ki Ajar bersiap-siap. Jika diperlukan, kami akan memberikan isyarat dengan panah sendaren," pesan Agung Sedayu.
"Bukankah isyarat itu merupakan isyarat terbuka, karena suara panah sendaren itu akan didengar pula oleh mereka," sahut Ki Ajar Gurawa.
"Isyarat itu akan kami berikan pada kesempatan terakhir saja," jawab Agung Sedayu.
Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dimaksud Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Aku akan berada disisi Utara dari padang rumput Tegal Wuru. Anak-anak akan tersebar disekitar tempat itu. Jika kau memberikan isyarat kepada kami, lontarkan panah sendaren kearah Utara."
Demikian, setelah Agung Sedayu memberikan beberapa pesan, maka Ki Ajar Gurawapun segera minta diri.
Suasanapun semakin lama menjadi semakin tegang sejalan dengan beredarnya waktu. Namun menjelang sore hari, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun minta diri untuk meninggalkan rumah itu.
"Kalian akan kemana?" bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Kami harus berbuat sesuatu. Malam nanti kita harus pergi ke tanggul Kali Opak, dipadang rumput Tegal Wuru. Sebelum tengah malam maka akan terjadi tukar menukar antara Raras dan Rara Wulan." berkata Agung Sedayu.
"Jadi apa yang akan kau lakukan?" desak Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Nanti aku akan kembali, setelah aku yakin akan langkah yang akan aku ambil," jawab Agung Sedayu.
Seisi rumah itu memang menjadi gelisah. Ki Lurah Branjanganpun bagaikan berdiri diatas bara. Namun ia membentak ketika ia melihat Raden Teja Prabawa merengek kepada ayahnya, "Ayah. Kita harus menyelamatkan Raras."
"Masuk kebilikmu anak cengeng. Menangislah sambil menelungkup diatas bantal seperti perempuan," bentak Ki Lurah.
Tetapi Teja Prabawa masih akan berbicara lagi.
"Diamlah kau. Kau hanya dapat membuat hati kami semakin bingung," bentak ayahnya pula.
Ibunya memandangnya sambil mengusap air matanya. Kegelisahannyapun telah memuncak. Sementara Rara Wulan sendiri duduk sambil mererung disamping Sekar Mirah.
Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi lagi. Yang ada di rumah saja menunggu dengan gelisah. Namun tidak seorangpun yang mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.
Ternyata Agung Sedayu sempat singgah dirumah Ki Wirayuda untuk berbicara tentang rencananya. Ki Wirayuda yang sudah kembali dari tenpat tugasnya hanya dapat mengangguk-angguk saja, karena ia merasa bahwa ia tidak dapat memecahkan persoalan itu.
"Baiklah," berkata Ki Wirayuda, "aku siapkan semuanya. Akupun akan menghadap Ki Patih Mandaraka untuk melaporkan langkah-langkah yang kau ambil agar jika datang laporan kepada Ki Patih dari pihak Ki Tumenggung Wreda, Ki Patih dapat mengatur pemecahannya."
Agung Sedayu tenyyata sependapat dengan Ki Wirayuda. Karena itu maka katanya, "Terima kasih Ki Wirayuda. Kita akan dapat membagi tugas. Mudah-mudahan kita bukan sekedar bulan-bulanan Bajang Bertangan Baja itu."
Demikianlah waktupun merambat semakin jauh, sehingga waktu itupun menjadi semakin sempit.
Ketika matahari menjadi semakin rendah di ujung langit sebelah Barat, maka keteganganpun telah memuncak. Ki Rangga Wibawa rasa-rasanya telah berputus asa. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan anak gadisnya. Nyi Rangga hanya dapat menangis dan bahkan kadang-kadang menjadi pingsan.
Wacana yang juga merasa tegang itu memang pernah berkata kepada Ki Rangga Wibawa, "Apakah kita benar-benar tidak berhak mendesak agar Rara Wulan diserahkan" Kemudian persoalannya adalah terbatas antara keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih."
Namun Ki Rangga Wibawa dengan nada rendah menjawab, "Aku tidak dapat melakukannya, Wacana."
"Dan paman justru mengorbankan Raras?" bertanya Wacana.
Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdesis, "Apakah aku sudah mengorbankan anakku?"
Wacana terdiam. Ia tidak bertanya lebih jauh, karena setiap pertanyaannya hanya akan menanamkan kekecewaan Ki Rangga Wibawa.
Namun Ki Rangga Wibawa itu terkejut, ketika senja turun, sekelompok prajurit sandi tidak datang. Atas perintah Ki Wirayuda mereka akan berada dirumah Ki Rangga malam itu.
"Apa yang akan terjadi?" bertanya Ki Rangga Wibawa. "Kami mendapat perintah untuk melindungi tempat ini, Ki Rangga," jawab pemimpin kelompok prajurit itu.
"Ya, tetapi kenapa?" desak Ki Rangga.
"Kami tidak mendapat penjelasan lebih jauh Ki Rangga. Tetapi kami harus melindungi rumah ini jika terjadi sesuatu," jawab pemimpin sekelompok petugas sandi itu.
"Tetapi yang penting adalah membebaskan anak gadisku. Bukan menjaga rumahku," berkata Ki Rangga kemudian.
"Aku tidak tahu Ki Rangga. Mungkin tugas itu telah dilakukan oleh orang lain. Tugasku adalah menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi disini," jawab pemimpin kelompok itu.
Kedatangan sekelompok prajurit itu tidak dapat menghapus kegelisahan Ki Rangga Wibawa. Namun ia tidak menolak kehadiran sekelompok petugas sandi yang sedang menjalankan tugas itu.
Pada waktu yang sama, Ki Tumenggung Purbarumeksapun terkejut pula. Bahkan juga orang-orang yang sedang ada dirumah itu. Sekelompok prajurit telah datang dan menyatakan bahwa mereka mendapat tugas untuk melindungi rumah itu jika terjadi sesuatu.
Teja Prabawa yang kegelisahannya sudah sampai ke ubun-ubun tiba-tiba saja membentak, "Kenapa kalian tidak pergi ke padang rumput Tegal Wuru di dekat tanggul Kali Opak" Kenapa kalian justru datang kemari" Mereka tidak akan mengambil Wulan disini malam ini. Tetapi mereka membawa Raras ke Tegal Wuru. Kalian harus membebaskannya. Ditukar atau tidak ditukar dengan Wulan."
Tetapi ayahnya membentak, "Kau tidak dapat berkata begitu. Mereka sedang menjalankan tugas yang diperintahkan kepada mereka."
Pemimpin sekelompok prajurit yang berada di rumah Ki Tumenggung itupun berdesis, "Kami tidak tahu apa hubungannya perintah yang kami jalankan ini dengan padang rumput Tegal Wuru."
"Ya, ya. Aku mengerti," berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa pula. Yang kemudian telah mempersilahkan sekelompok prajurit itu untuk berada di gandok. Namun sebagian dari mereka justru telah mulai berjaga-jaga di halaman belakang rumah yang terhitung agak besar itu.
Namun dalam pada itu, dengan tidak diduga-duga yang datang meloncat lewat dinding bagian belakang adalah justru Glagah Putih. Hampir saja terjadi salah paham dengan dua orang prajurit yang bertugas. Namun Glagah Putih meskipun tergesa-gesa sempat menjelaskan bahwa ia berkepentingan dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa. Ia memang tidak mempunyai cara lain untuk memasuki rumah itu selain meloncati dinding bagian belakang rumah itu.
"Aku sekarang harus melepaskan diri dari pengawasan setiap orang," berkata Glagah Putih.
Glagah Putih datang untuk mengajak Sabungsari pergi sambil membawa panah sendaren.
"Untuk apa?" bertanya Sabungsari.
"Marilah," jawab Glagah Putih, "nanti kau akan mengetahuinya. Aku tidak mempunyai waktu sekarang."
Sabungsari tidak bertanya lebih jauh. Untunglah bahwa Ki Tumenggung Purbarumeksa mempunyai beberapa panah sendaren yang dapat dibawa oleh Sabungsari.
"Apa yang akan terjadi?" bertanya Rara Wulan.
"Perang kecil-kecilan," jawab Glagah Putih.
"Ah kau," desis Rara Wulan.
Namun Glagah Putih telah berpesan agar seisi rumah berhati-hati. Kepada Ki Jayaraga dan Ki Tumengung Purbarumeksa ia berkata, "Kami titipkan Rara Wulan kepada guru dan Ki Tumenggung. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu disini."
"Dimana Ki Lurah Agung Sedayu sekarang?" bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.
"Kami telah siap pergi ke Tegal Wuru," jawab Glagah Putih. Tetapi katanya kemudian, "Namun kami tidak akan membawa Rara Wulan."
Yang tidak disangka-sangka adalah pertanyaan Raden Teja Prabawa, "Kenapa Rara Wulan tidak kalian bawa?"
"Apa maksudmu?" bentak ayahnya, "kau ingin Rara Wulan diserahkan kepada Raden Antal?"
"Tetapi bagaimana dengan Raras?" bertanya Teja Prabawa.
"Pergilah, cari dan selamatkan gadis itu," bentak ayahnya pula dengan marah.
Teja Prabawa tidak berani bertanya lagi meskipun jantungnya bagaikan akan pecah.
Glagah Putihpun kemudian telah minta diri kepada orang-orang yang tinggal di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Kami mohon agar kalian berdoa. Semoga usaha kami berhasil."
"Hati-hatilah ngger," desis Ki Lurah Branjangan.
Glagah Putih dan Sabungsaripun kemudian telah melangkah ke halaman belakang. Mereka tidak melewati regol depan karena mereka sedang menghindari pengamatan orang-orang yang barangkali masih berkeliaran disekitar rumah itu.
Ketika mereka akan meloncati dinding Glagah Putih masih sempat berpesan kepada Ki Jayaraga seandainya terjadi sesuatu di rumah ini.
Demikianlah, sejenak kemudian maka Glagah Putihpun telah meninggalkan halaman belakang rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa yang juga mendapat perlindungan dari sekelompok prajurit.
Dalam pada itu, maka malampun mulai turun. Teja Prabawa benar-benar menjadi sangat gelisah. Setiap kali ia memandang adiknya dengan wajah yang geram. Bahkan tiba-tiba saja dia berkata, "Kau telah membuat Raras menderita."
"Kau kira aku sengaja melakukannya?" jawab adiknya yang semakin jengkel melihat sikap kakaknya.
"Seharusnyalah kau tahu diri," bentak Teja Prabawa.
"Bagaimana aku harus tahu diri" Menyerahkan diriku sendiri kepada iblis itu?" bertanya Rara Wulan.
"Tetapi kaulah yang dikehendakinya, bukan Raras. Seharusnya Raras tidak bersangkut paut dengan persoalanmu," jawab Teja Prabawa.
"Kau membuat aku jengkel," jawab Rara Wulan, "sebenarnya aku kasihan kepada Raras dan kepadamu. Tetapi sikapmu membuat aku justru kehilangan perasaan itu."
"Kau hanya mementingkan dirimu sendiri," geram Teja Prabawa.
"Kau yang mementingkan dirimu sendiri, tetapi kau hanya dapat merengek seperti perempuan. Kenapa kau tidak berusaha menolongnya" Kenapa harus kakang Agung Sedayu, kakang Glagah Putih dan kakang Sabungsari" Sementara kau hanya bingung dan kehabisan akal, putus asa dan menangis."
"Diam," Teja Prabawa membentaknya, "jika kau tidak mau diam aku tampar mulutmu."
"Kau" Kau berani menampar aku" Lakukan. Tetapi jika wajahmu menjadi biru bengkak, bukan salahku," jawab Rara Wulan.
Raden Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa Rara Wulan memiliki ilmu kanuragan meskipun ia seorang gadis. Namun sementara itu ayahnya telah mendekati mereka sambil membentak, "Apa pula yang kalian lakukan" Selagi kita dicengkam oleh kebingungan, kalian justru bertengkar?"
Keduanya terdiam. Teja Prabawa menundukkan kepalanya, sementara Rara Wulanpun beranjak pergi. Sekar Mirah yang melihatnya segera membimbingnya untuk menyingkir sambil berkata, "Sudahlah Rara. Kakakmu benar-benar sedang gelisah. Bahkan putus asa."
"Tetapi ia membebankan kesalahannya kepadaku. Seolah-olah akulah sumber malapetaka bagi Raras," jawab Rara Wulan.
"Sudahlah," desis Sekar Mirah, "kita berdoa, semoga Yang Maha Agung menolong menyelamatkan Raras. Bukankah kakang Agung Sedayu, Glagah Putih dan kakang Sabungsari sedang berusaha?"
Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, malampun bertambah malam. Sementara itu, yang tidak diketahui oleh mereka yang ada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa adalah kegelisahan yang ternyata juga terjadi di rumah Ki Tumenggung Wreda Sela Putih. Menjelang malam, bahkan sampai gelap turun, ternyata Raden Antal masih belum pulang. Kepada seorang pengikut Ki Manuhara yang ada di rumah itu, Ki Tumenggung Wreda telah menanyakannya, dimana Raden Antal.
"Bukankah kau harus mengantarnya ke tanggul Kali Opak?" bertanya Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
"Ya," jawab pengikut Ki Manuhara itu, "seharusnya kami sudah berangkat sekarang."
"Apakah mungkin ia langsung ke tanggul Kali Opak dari tempat tugasnya?" bertanya Ki Tumenggung.
"Seharusnya tidak. Aku dan kawanku itu akan membawanya ke tanggul Kali Opak untuk menerima Rara Wulan atau membawa Raras," jawab orang itu. Katanya selanjutnya, "Jika Rara Wulan tidak diserahkan, maka Raraslah yang akan menjadi gantinya."
Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba seseorang telah bergegas masuk. Ditangannya digenggamnya sebatang panah.
"Ada apa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku berada di pendapa ketika tiba-tiba saja anak panah ini hampir saja mengenai kepalaku, langsung hinggap di sebuah tiang." jawab orang itu.
Ternyata pada anak panah itu terikat sehelai surat. Sehingga dengan tergesa-gesa Ki Tumenggung membukanya. Adapun bunyi surat itu seakan-akan telah membuat jantungnya meledak.
Orang yang membawa anak panah itu dan menyerahkannya kepada Ki Tumenggung Wreda serta pengikut Ki Manuhara yang ada di rumah itu memandang wajah Ki Tumenggung dengan cemas. Seorang diantara mereka bertanya, "Ada apa Ki Tumenggung?"
"Anak iblis," geramnya.
"Siapa dan kenapa?" bertanya pengikut Ki Manuhara.
"Antal telah diculiknya," geram Ki Tumenggung Wreda.
"Siapa yang melakukannya?" wajah pengikut Ki Manuhara menjadi merah.
"Tentu orang-orang Purbarumeksa. Surat ini mengatakan, bahwa nanti di tanggul Kali Opak, Raras akan ditukarkan dengan Antal. Mereka sama sekali tidak berbicara tentang Rara Wulan. Jika Raras tidak diserahkan, maka untuk selamanya Antal tidak akan pulang."
Wajah orang-orang yang mendengar keterangan itu menjadi tegang. Mereka tidak menyangka bahwa orang-orang Tumenggung Purbarumeksa akan bertindak kasar pula.
Namun seorang di antara mereka berkata, "Tidak. Mereka tidak akan berani melakukannya. Raras akan hilang dan mereka dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas gadis itu. Yang mereka lakukan itu tentu hanya sekedar mengancam."
"Tetapi akupun dapat membayangkan apa yang dapat terjadi dengan Antal ditangan mereka. Semua yang aku lakukan adalah untuk Antal. Jika ia hilang dari lingkungan keluarga kami, untuk apa semua itu kami lakukan?"
"Jadi bagaimana menurut Ki Tumenggung Wreda?" bertanya orang itu.
"Antal harus kembali," jawab Ki Tumenggung.
"Maksud Ki Tumenggung, kita tukar Raras dengan Raden Antal di tanggul Kali Opak?" bertanya pengikut Ki Manuhara.
"Lalu apa artinya kerja yang selama ini kami lakukan" Jika kami mengambil Raras itu maksud kami untuk memancing Rara Wulan karena Ki Tumenggung akan memberikan upah kepada kami jika Rara Wulan sudah ada ditangan Ki Tumenggung," berkata orang yang lain.
"Tetapi tidak dengan mengorbankan Antal. Buat apa aku mendapatkan Rara Wulan jika Antal tidak ada" Yang ingin memiliki Wulan dan sekaligus membalas sakit hatinya adalan Antal."
"Tetapi kita tidak pernah berbicara tentang Raden Antal. Raden Antal adalah urusan Ki Tumenggung sendiri," berkata orang itu dengan wajah yang tegang.
"Tidak. Aku akan berbicara dengan Bajang dan Ki Manuhara. Aku akan pergi ke tanggul Kali Opak. Antal harus kembali. Kita dapat mencari jalan lain untuk mengambil Rara Wulan kemudian," jawab Ki Tumenggung yang kebingungan
Orang-orang yang ada di rumah Ki Tumenggung memang tidak dapat mengambil keputusan. Ki Tumenggung Wreda Sela Putih memang harus bertemu dengan Bajang Bertangan Baja atau Ki Manuhara sendiri. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain, bahwa Ki Tumenggung Wreda memang harus pergi ke Tegal Wuru di tanggul Kali Opak untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara.
Dengan demikian, maka merekapun segera bersiap, sementara malam menjadi semakin malam.
Kedatangan Ki Tumenggung tanpa Raden Antal memang mengejutkan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara. Apalagi setelah Ki Tumenggung mengatakan bahwa Raden Antal telah hilang.
"Bagaimana hal itu dapat terjadi?" desis Bajang Bertangan Baja yang menjadi tegang.
"Tidak seorangpaun tahu. Antal pergi ke tempat tugasnya seperti biasa. Namun ia tidak kembali." sahut Ki Tumenggung Wreda.
Ki Manuhara mengumpat kasar. Sementara Bajang Bertangan Baja itu menggeram, "Kita memang menjadi lengah. Kita sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu."
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Selama ini kita tidak berbicara tentang Raden Antal," berkata Bajang Bertangan Embun, "tetapi ternyata mereka tidak akan menyerahkan Rara Wulan."
"Aku memerlukan Antal," jawab Ki Tumenggung, "segala-galanya tidak akan berarti apa-apa tanpa Antal."
"Tetapi kami tidak dapat melepaskan Raras. Raras adalah umpan yang paling baik. Bahkan Rara Wulanpun telah dibawa ke Mataram dari Tanah Perdikan. Kami tidak mau permainan yang sudah kami atur sebaik-baiknya ini gagal karena Raden Antal," geram Bajang Bertangan Baja.
"Aku tidak peduli. Aku minta Antal kembali," berkata Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.
"Ini merupakan persoalan tersendiri," jawab Ki Manuhara.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ambil Antal. Persoalan Rara Wulan akan kami bicarakan lagi," berkata Ki Tumenggung.
"Lalu apa artinya kerja kami sampai saat ini jika Rara Wulan tidak kami dapatkan?" bertanya Bajang Bertangan Baja.
"Aku akan menepati semua perjanjian yang telah kami buat," jawab Ki Tumenggung Wreda.
Bajang dan Ki Manuhara mengumpat-umpat. Mereka memang tetap akan menerima upah. Tetapi harga diri mereka ternyata telah tersinggung. Sekali lagi mereka dikalahkan bukan dimedan pertempuran, tetapi dalam permainan yang mendebarkan itu.
Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara tidak dapat menerima kekalahan itu begitu saja. Meskipun Ki Tumenggung Wreda sudah mengatakan bahwa upahnya akan tetap diterima jika Raden Antal kembali kepadanya meskipun tanpa Rara Wulan, namun bahwa mereka telah gagal merupakan persoalan tersendiri. Dendam dijantung Ki Manuhara telah bertumpuk sejak kekalahannya di alun-alun. Lembu jantan yang dilepasnya tidak sempat mengacaukan dan membunuh sebanyak-banyaknya disaat orang-orang Mataram berkumpul di alun-alun karena dua orang anak muda yang telah berhasil membunuhnya. Kemudian kekalahan Ki Manuhara dirumah Ki Lurah Branjangan. Kekalahan yang menyakitkan, karena orang-orang terbaiknyalah yang diserahi tugas saat itu. Dan kekalahan yang paling pahit adalah kekalahan Ki Manuhara di Tanah Perdikan Menoreh. Hampir saja ia kehilangan nyawanya jika Bajang Bertangan Embun tidak sempat menolongnya.
Tetapi Ki Manuhara itu masih harus mengalami kegagalan lagi, justru saat ia bekerja bersama Bajang Bertangan Embun itu sendiri. Mereka telah gagal untuk mendapatkan Rara Wulan.
Untuk sementara Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara itu terpaksa menerima permintaan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih untuk menukarkan Raras dengan Raden Antal, karena mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Bajang Bertangan Baja, Ki Manuhara, Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan beberapa orang pengikut Ki Manuhara yang tersembunyi telah menyiapkan Raras di Tegal Wuru, dekat tanggul susukan Kali Opak. Ditempat yang terhitung agak jauh dan sepi itu, tukar-menukar akan dilaksanakan sebelum tengah malam.
Pada saat mereka hampir tidak sabar menunggu menjelang tengah malam, maka mereka telah mendengar derap kaki kuda. Tiga orang dan besar, telah memasuki padang rumput Tegal Wuru.
Tetapi semakin dekat, mereka yang sudah ada di Tegal Wuru itu melihat, bahwa seekor kuda diantaranya, seekor kuda yang tegar dan besar, telah membawa dua orang dipunggungnya.
Tiga ekor kuda itu berhenti di tengah-tengah padang rumput Tegal Wuru itu. Empat orang penunggangny apun segera meloncat turun. Namun seorang di antara mereka ternyata tidak memiliki kebebasan sebagaimana tiga orang yang lain.
Jantung Ki Tumenggung Wreda berdenyut semakin cepat. Ia dapat menduga bahwa orang yang nampaknya dikuasai oleh ketiga orang yang lain itu adalah anaknya. Raden Antal.
Demikianlah, Ki Tumenggung Wreda yang tidak sabar lagi itu telah mengajak Bajang Bertangan Baja membawa Raras ke tengah-tengah padang rumput Tegal Wuru itu.
Suasana di dekat tanggul susukan Kali Opak itu menjadi tegang. Seakan-akan Tegal Wuru itu terbagi menjadi dua ujung. Yang satu sekelompok anak-anak muda yang membawa Raden Antal, sedangkan yang lain orang-orang tua yang berilmu sangat tinggi berdiri tegang sambil membawa seorang gadis yang hampir tidak lagi dapat menyadari apa yang terjadi. Raras yang menangis terus-menerus itu airmatanya rasa-rasanya telah menjadi kering dalam keputus-asaan. Ia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi atas dirinya.
Beberapa saat kemudian, Agung Sedayulah yang memulai memecahkan keheningan malam yang tegang didckat tanggul susukan Kali Opak itu. Katanya, "Aku telah membawa Raden Antal."
"Licik kau," geram Bajang Bertangan Baja.
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau masih juga bertanya ?" geram Bajang Bertangan Baja dengan suara bergetar menahan kemarahan.
"Serahkan Raras. Aku akan menyerahkan Raden Antal,"berkata Agung Sedayu kemudian.
Bajang Bertangan Baja menggeram. Tetapi Ki Tumenggung Wreda itupun berdesis, "Serahkan perempuan itu."
"Aku tidak mau menerima penghinaan ini," berkata Ki Manuhara. Suaranya tertahan-tahan dikerongkongannya.
Namun Ki Tumenggung berkata, "Kita akan membuat perhitungan kemudian. Tetapi selamatkan dahulu anakku," berkata Ki Tumenggung itu pula.
Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara memang tidak mempunyai pilihan lain saat itu. Betapa mereka menyesal, bahwa mereka sama sekali tidak mengawasi keselamatan Raden Antal. Namun segalanya telah terjadi. Mereka memang harus mengalah malam itu.
Demikianlah Bajang Bertangan Baja itu telah mendorong Raras maju selangkah. Kemudian, katanya, "Biarlah gadis ini berjalan menuju kearah kalian. Lepaskan Raden Antal. Biarlah ia berjalan kemari."
Agung Sedayu ternyata setuju. Namun ia berpesan kepada Glagah Putih dan Sabungsari yang menyertainya, "Berhati-hatilah."
Agung Sedayupun kemudian mendorong Raden Antal pula sambil berkata, "Jangan berjalan terlalu cepat. Kami membawa busur dan anak panah. Jika kau berjalan terlalu cepat, maka punggungmu akan berlubang. Kau tahu, bahwa aku mampu membidik burung yang sedang terbang atau seekor tikus yang berlari di pematang. Apalagi punggungmu."
Raden Antal tidak menjawab. Tetapi ia memang melihat Sabungsari membawa busur dan anak panah.
Demikianlah, maka Bajangpun telah mendorong Raras sambil berkata, "Pergi ke orang-orang yang menyelamatkanmu itu. Tetapi ingat, bahwa kemungkinan buruk masih akan dapat terjadi atasmu. Mungkin besok, mungkin lusa atau kapan saja."
Perasaan Raras rasa-rasanya sudah tidak mampu lagi menanggapi kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun ia masih merasa dorongan tangan yang kuat, sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab.
"Cepat. Pergi kepada mereka, atau kau akan aku cekik sampai mati disini," bentak Bajang Bertangan Baja.
Raras memang berjalan kearah yang ditunjuk oleh Bajang Bertangan Embun itu. Dalam keremangan malam ia melihat beberapa orang berdiri pada jarak beberapa puluh langkah. Tetapi ketika kakinya terayun, maka ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi atas dirinya. Apakah nasibnya akan bertambah baik atau justru sebaliknya.
Namun setelah beberapa langkah Raras berjalan, serta merasa semakin jauh dari orang-orang yang telah membuatnya seakan-akan kehilangan dirinya sendiri, maka nalarnya mulai bergetar di kepalanya.
Ia mulai mempertanyakan didalam hatinya, apa yang sedang dihadapinya. Dan apa pula yang akan terjadi pada dirinya.
Namun ternyata bahwa Raras tetap tidak mengerti apa yang sedang terjadi itu. Kenapa ia harus berjalan menuju ke bayang-bayang yang nampak dalam kegelapan malam dihadapannya. Siapa pula mereka dan apa pula yang akan diperlakukan atas dirinya.
Sementara itu dari arah lain Raden Antal berjalan perlahan-lahan. Berbeda dari Raras, maka Raden Antal sadar sepenuhnya apa yang terjadi pada dirinya. Iapun sadar penuh bahwa orang yang berjalan berlawanan arah dengan dirinya itu adalah Raras. Dan iapun tahu bahwa orang-orang yang berdiri diujung yang lain itu tentu Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara, orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Meskipun ia tidak tahu siapakah yang seorang lagi, namun Raden Antal memperhitungkan bahwa orang itu tentu juga orang yang berilmu tinggi pula.
Sambil berjalan, tiba-tiba timbul satu pikiran dikepalanya. Ia tidak mau menyerah begitu saja atas peristiwa yang terjadi pada dirinya. Iapun tidak mau gagal sama sekali tanpa mendapatkan orang-orang yang berilmu tinggi itu, maka Raden Antal ingin berbuat sesuatu.
Selangkah demi selangkah Raden Antal berjalan maju berlawanan arah dengan Raras. Sekali-sekali Raden Antal memang berpaling kepada orang-orang yang melepaskannya. Selangkah demi selangkah ia menjadi semakin jauh sementara malam terasa cukup gelap meskipun mereka berada ditempat terbuka.
Semakin lama Raden Antal itu menjadi semakin dekat dengan Raras. Sementara itu, Raras yang getaran kesadarannya menjadi semakin menguasai penalarannya, tiba-tiba saja merasa perlu untuk mengambil jarak dari orang yang berjalan berlawanan arah itu, meskipun Raras tidak begitu mengerti artinya.
Tetapi Raras telah terlambat Raden Antal itu sudah begitu dekat berdiri beberapa langkah saja dihadapannya.
Karena itu, ketika ia melihat Raras melangkah menjauhi arah langkahnya, maka tiba-tiba saja Raden Antal itu meloncat menerkam Raras yang tidak mampu berbuat apa-apa. Yang terjadi itu begitu tiba-tiba dan tidak diduga sebelumnya. Apalagi Raras adalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana Rara Wulan.
Karena itu, maka keduanya telah jatuh bergulingan. Sementara Raden Antal berteriak, "Aku telah mendapatkannya. Tahanlah anak-anak yang telah berbuat licik itu."
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari terkejut. Bahkan Bajang Bertangan Baja, Ki Manuhara dan Ki Tumenggung Wredapun terkejut pula. Namun teriakan Raden Antal itu telah menyadarkan mereka. Dengan cepat mereka tanggap, bahwa dengan demikian masih ada kemungkinan untuk mendapatkan Raras Kembali. Dan bahkan apabila mungkin menghancurkan anak-anak muda yang sombong dari Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun mereka tahu bahwa di antara mereka terdapat Agung Sedayu.
Karena itu, maka dengan cepat Bajang Bertangan Baja itu berkata, "Kita selamatkan Raden Antal. Kitapun akan merebut Raras kembali."
"Ya, sekarang," geram Ki Manuhara sambil bergerak.
Namun Bajang Bertangan Baja sempat berkata sambil berlari, "Panggil orang-orangmu."
Sambil berlari pula Ki Manuhara telah bersuit nyaring. Ia telah memberikan isyarat untuk memanggil orang-orangnya yang tersembunyi. Dengan mereka, maka ia berharap akan dapat mengatasi orang-orang yang telah menculik Raden Antal itu betapapun tinggi ilmu mereka, karena Ki Manuhara sendiri dan Bajang Bertangan Baja juga merasa memiliki ilmu yang tinggi. Ki Tumenggung Wreda yang pernah memimpin sepasukan prajuritpun tentu akan mampu terjun di gelanggang pertempuran untuk membantu anaknya itu.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsaripun segera menyadari pula apa yang terjadi. Karena itu, maka merekapun segera meloncat pula menyusul Raden Antal.
Namun dalam pada itu Sabungsari yang mendengar seseorang bersuit nyaring, segera tanggap. Tentu satu isyarat. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan panah sendarennya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, ia mendengar aba-aba, "Kepung tempat ini. Jangan biarkan gadis itu terlepas."
Dalam sekejap beberapa orang telah berlari-larian dari dalam kegelapan bayangan pepohonan dipinggir padang rumput Tegal Wuru didekat tanggul susukan Kali Opak itu. Beberapa orang meloncat dari balik gerumbul-gerumbul perdu. Dengan sigapnya mereka berlari-larian berusaha mengepung ketiga orang yang telah membawa Raden Antal. Namun merekapun harus mengepung dan menahan agar Raras tidak lepas dari tangan mereka.
Karena itulah, maka Sabungsari tidak berpikir terlalu panjang serta merasa tidak perlu minta pendapat Agung Sedayu dan Glagah Putih lagi. Dengan cepat iapun memasang panah sendaren dan melepaskannya kearah Utara. Bukan hanya satu kali, tetapi tiga anak panah sendaren yang dibawanya telah dilepaskannya semuanya.
Suara anak panah sendaren itu memang mengejutkan. Bahkan hampir diluar sadar, Bajang Bertangan Baja berteriak, "Licik. Kalian telah berbuat curang."
"Siapa yang curang ?" teriak Sabungsari, "lihat, siapa yang lebih dahulu memanggil orang-orangnya."
Bajang Bertangan Baja memang tidak menjawab lagi. Ia meloncat untuk membantu Raden Antal yang masih berguling-guling bersama Raras yang berusaha meronta dan melawan.
Tetapi Glagah Putih telah menghampirinya. Dengan serta merta Glagah Putih telah menyerang Bajang Bertangan Baja.
Sementara itu, ketika Ki Manuhara sampai ketempat pergumulan antara Raden Antal dan Raras, Agung Sedayupun telah sampai pula ketempat itu, sehingga dengan demikian, maka Ki Manuharapun telah langsung bertempur melawan Agung Sedayu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa tenaga Raras memang tidak seimbang dengan tenaga Raden Antal. Karena itu, maka Raraspun tidak lagi mampu melawan Raden Antal yang berusaha menangkapnya dan mempergunakan sebagai jaminan agar orang-orang yang telah menculiknya tidak lagi berusaha melawan. Jika ia mengancam Raras untuk membunuhnya, maka orang-orang yang menculiknya itu tentu akan menghentikan perlawanan mereka.
Namaun sebelum Raden Antal berhasil sepenuhnya, maka ia terkejut. Jari-jari yang kuat telah mencengkam pundaknya. Dengan satu hentakan yang kuat tubuhnya justru terangkat. Namun kemudian sebuah pukulan yang dahsyat telah menghantam dagunya.
Raden Antal seakan-akan telah terputar dan berguling beberapa langkah. Ketika ia berdiri dengan tertatih-tatih, maka dilihatnya seseorang telah berdiri dihadapan Raras.
Namun Raden Antal tidak mempunyai banyak kesempatan. Ternyata orang yang dihadapinya adalah Sabungsari, yang dengan cepat telah menyerangnya.
Raden Antal sama sekali tidak mengira bahwa serangan itu akan datang demikian cepatnya dan demikian derasnya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Apalagi Raden Antal masih sedang berusaha untuk berdiri tegak.
Ternyata sebuah pukulan yang keras telah menghantam sisi kening Raden Antal, sehingga kepalanya terangkat. Demikian kerasnya pukulan tangan Sabungsari itu sehingga sekali lagi Raden Antal terlempar. Malam yang gelap itu menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya Raden Antal itu kehilangan kesadarannya. Pingsan.
Ki Tumenggung Wreda yang sudah ada diantara mereka itupun dengan cepat berusaha membantu. Namun terlambat, sehingga hampir saja tubuh Raden Antal itu menimpanya. Tetapi Ki Tumenggung gagal mencoba menangkap tubuh anaknya yang terlempar oleh serangan Sabungsari.
Ki Tumenggung itu menggeram. Ia masih sempat memperhatikan tubuh anaknya yang terguling. Namun kemarahannya justru mendorongnya untuk menyerang Sabungsari.
Namun Sabungsari telah bersiap untuk menghadapinya. Dengan tangkasnya ia berusaha untuk menghindar.
Ki Tumenggung yang pernah menjadi seorang Senapati perang itu tidak membiarkan lawannya. Dengan cepat ia memburunya dengan serangan-serangan yang datang beruntun.
Tetapi Sabungsari tidak segera mengalami kesulitan. Ia memang berusaha untuk agak menjauhi Raras yang masih kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan sehingga untuk beberapa saat ia masih saja terbaring direrumputan.
Dalam pada itu, Ki Manuhara yang licik itu masih sempat meneriakkan perintah, "He, Rana Sampar. Tinggalkan tempat ini. Ambil orang-orangmu dimana saja dapat kau temui. Ambil Rara Wulan dirumahnya. Orang-orang berilmu tinggi yang melindunginya ada disini. Tetapi hati-hati. Ajak Resi Belahan yang baru datang kemarin dari Pati bersamamu."
Orang yang disebut Rana Sampar menyahut, "Baik Ki Lurah."
Agung Sedayu melihat orang itu berlari dan menghilang dalam gelap. Kemudian terdengar seekor kuda yang meringkik dan berlari kencang meninggalkan tempat itu, menyusup dibelakang pepohonan dan gerumbul-gerumbul liar ditanggul susukan Kali Opak.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak memberikan perintah apapun juga. Ia tahu bahwa Ki Manuhara sengaja berteriak-teriak untuk mempengaruhi ketahanan jiwani Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang datang di padang rumput Tegal Wuru itu.
Tetapi Ki Manuhara tidak tahu bahwa rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa telah dijaga oleh sekelompok prajurit Mataram yang disiapkan oleh Ki Wirayuda.
Namun, sejenak kemudian, maka para pengikut Ki Manuhara telah mengepung semakin rapat dan semakin sempit.
Beberapa saat lagi mereka tentu akan ikut memasuki arena pertempuran itu.
Sementara itu Agung Sedayu, Glagah dan Sabungsari, masing-masing telah mendapat lawan.
Yang masih membuat ketiganya gelisah adalah Raras. Ia sudah berusaha untuk bangkit dan duduk di rerumputan. Tetapi jika orang-orang yang mengepung lingkaran pertempuran itu mendekat, dan memasuki gelanggang, maka mereka memang akan dapat menangkap kembali Raras dan melarikannya atau dipergunakannya untuk memaksa Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari menghentikan perlawanan.
Namun dalam kegelisahan itu, tiba-tiba saja mereka sempat menarik nafas panjang. Dari arah Utara mereka melihai beberapa orang berlari-larian menuju ke arena pertempuran itu.
"Anak-anak Gajah Liwung," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah yang datang itu adalah sekelompok anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung. Seorang diantaranya memang sudah nampak jauh lebih tua. Ki Ajar Gurawa. Namun dalam olah kanuragan, Ki Ajar adalah orang terbaik diantara mereka.
Orang-orang yang mengepung arena pertempuran itu terkejut. Mereka melihat sekelompok orang berlari-larian. Bahkan ada diantara mereka yang berteriak-teriak seperti kanak-kanak yang mendapatkan mainan.
Perhatian orang-orang yang mengepung gelanggang itu memang terpecah. Mereka tidak sempat mengambil sikap terhadap Raras yang tidak berdaya.
Namun orang-orang yang mengepung arena pertempuran itu tidak menjadi gelisah karena yang datang itu jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah mereka.
Badai Awan Angin 35 Ario Bledek Petir Di Mahameru 04 Dendam Yang Tersisa 2
^