Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


Seperti yang diduga anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, maka anak-anak dari Wadas Ireng itu benar-benar kembali lewat sungai itu pula. Bahkan mereka masih saja bertingkah laku tidak sewajarnya. Mereka melemparkan batu-batu sebesar telur ayam dan bahkan mereka berbicara yang satu dengan yang lain dengan keras tanpa menghiraukan suasana malam di sebelah menyebelah sungai itu.
Ketika anak-anak Tanah Perdikan mendengar sekelompok anak-anak Wadas Ireng itu kembali, maka mereka-pun segera berkumpul. Anak-anak Tanah Perdikan itu-pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beja dan Siwar yang telah mengalami perlakuan buruk, telah bersiap untuk membalas.
"Kau tidak boleh mendendam," desis Sukra.
"He?" Beja dan Siwar heran mendengar kata-kata itu, "maksudmu?"
"Jika mereka nanti tidak berbuat apa-apa, kita juga tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika mereka mendahului mengganggu kita, kita akan mempertahankan diri."
Beja dan Siwar mengerutkan dahinya. Sementara Beja berkata, "Ketika mereka lewat, kami hanya berdua saja. Mereka telah memukul kami. Kepalaku yang gundul telah ditamparnya."
"Kita harus berjiwa besar," Sukra menirukan nasehat Glagah Putih, "tetapi seperti yang aku katakan, jika mereka mendahului, maka kita akan mempertahankan diri. Kita tidak mau dipukuli apa-pun alasannya."
"Jika mereka tidak memukul kita lagi?" bertanya Siwar.
"Biarlah mereka lewat," jawab Sukra.
"Tetapi mereka sudah memukuli aku dan Beja," desak Siwar.
"Lupakan itu. Bukankah kita orang baik yang berjiwa besar?" jawab Sukra.
Anak-anak Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, "Ya. Kita orang baik dan berjiwa besar."
Demikianlah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam mereka melihat sekelompok anak-anak yang menyusuri sungai. Mereka sudah mendengar gemereik air yang didera oleh laki-laki kecil. Sekali-sekali mereka mendengar gemerasak pohon-pohon perdu yang terkena lemparan bebatuan di tepi sungai itu. Bahkan suara tertawa riang dan kemudian pereakapan yang simpang siur.
Anak-anak Tanah Perdikan berdiri berjajar di tepian. Nampaknya mereka tidak ingin melanggar pesan Sukra, agar mereka menjadi anak yang baik dan berjiwa besar.
Ternyata anak-anak Wadas Ireng itu menyadari, bahwa di hadapan mereka, berdiri sekelompok anak-anak Tanah Perdikan yang rata-rata sebaya dengan mereka dan jumlahnya-pun tidak terpaut banyak.
Tiba-tiba seorang yang paling berpengaruh diantara mereka tertawa. Katanya, "Bagus. Kita akan mendapat kawan bermain."
Anak-anak itu memang menjadi gembira. Berlari-lari mereka mendekati anak-anak Tanah Perdikan yang sudah bersiap.
Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Tetapi untuk beberapa saat, keduanya masih saling berdiam diri.
Namun kemudian anak yang terbesar diantara anak-anak Wadas Ireng itu bertanya, "He, apakah kalian sengaja mencegat kami?"
Yang menjawab adalah Sukra, "Tidak."
"Kenapa kalian berkumpul disini?" bertanya anak itu.
"Kami ingin melindungi kawan-kawan kami dari kenakalan anak-anak dari padukuhan yang lain. Kami tidak mau ada kawan-kawan kami yang menjadi sasaran pemukulan," jawab Sukra.
Anak itu tertawa. Katanya, "Kami sudah memukuli dua anak disini tadi. Seorang diantaranya anak gundul."
"Sekarang tidak lagi," jawab Sukra, "tidak ada yang boleh dipukuli."
"Menarik sekali memukuli anak yang kepala gundul. He, berikan anak itu. Aku ingin memukulinya lagi."
"Itu namanya menantang," jawab Sukra, "kau memang mencari persoalan."
"Kepala gundul itu menyenangkan," jawab anak itu.
"Kami sebenarnya tidak ingin berkelahi. Kami berusaha melupakan apakah kau sudah memukuli kawan kami, karena kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar. Tetapi jika kalian akan mulai lagi, maka justru aku akan menantang berkelahi seorang lawan seorang," berkata Sukra, "aku akan mewakili kawan-kawanku."
Sejenak anak-anak Kademangan Wadas Ireng itu terdiam. Namun tiba-tiba anak yang terbesar diantara mereka itu-pun tertawa. Katanya disela-sela suara tertawanya, "Agaknya kau memang suka bergurau. Aku senang mendengarnya. Tetapi itu tidak akan mengurungkan niat kami menampar kepala gundul itu."
"Aku tidak bergurau," berkata Sukra, "aku menantangmu. Itu-pun belum menjamin bahwa kau akan dapat menampar kepala gundul itu. Jika kalah, maka kawan-kawanku akan melindunginya, sehingga kalian harus berkelahi dahulu. Jika kami semua sudah kalian kalahkan, maka barulah kalian dapat memukuli kepala gundul itu."
Anak itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata, "Aku setuju. Seorang diantara kita masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang. Aku akan mewakili kawan-kawanku. Tetapi kalian harus diwakili oleh anak yang terbesar diantara kalian."
"Tidak," jawab Sukra, "aku yang akan mewakili kawan-kawanku. Kalian tidak berhak menentukan!. Siapa-pun yang akan mewakili kami, itu adalah urusan kami."
"Kau akan menyesal," berkata anak yang terbesar diantara anak-anak Wadas Ireng itu. Anak yang terbiasa bergaul dengan sekelompok kecil anak-anak muda yang mulai menempuh jalan sesat.
Tetapi Sukra menjawab, "Tidak. Aku tidak akan menyesal. Apa-pun yang terjadi, itu sudah aku kehendaki."
"Bagus," sahut anak itu, "bersiaplah."
Sukra memberi isyarat kawan-kawannya untuk mundur. Demikian pula anak Wadas Ireng yang akan mewakili kawan-kawannya itu. Kedua kelompok anak-anak itu membentuk lingkaran di tepian. Sementara Sukra dan anak yang terbesar diantara anak-anak Wadas Ireng itu berada di tengah.
"Siapa namamu?" tiba-tiba anak Wadas Ireng itu bertanya.
"Namaku Sukra. Siapa namamu?" Sukra ganti bertanya.
"Namaku lugu. Anak-anak sebayaku bahkan anak yang lebih besar dari aku, takut kepadaku. Apalagi anak seperti kau. Kau tentu akan segera berjongkok minta ampun dihadapanku."
"Bagus," jawab Sukra, "kita akan berkelahi. Jika ada seorang diantara kelompok kita masing-masing yang membantu, maka ia dianggap kalah. Jika paugeran ini dilanggar, maka kita akan berkelahi bersama-sama meski-pun sebenarnya tidak kami kehendaki, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar."
"Cukup. Bersiaplah," anak itu tiba-tiba membentak.
Sukra tidak menjawab. Tetapi itu-pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian keduanya bergeser beberapa langkah. Namun Lugu itu-pun segera meloncat menyerang dengan ayunan tangannya.
Sukra yang sudah bersiap itu-pun segera mengelak. Tangan itu terayun deras. Tetapi tidak menyentuh sasarannya.
Tetapi Lugu tidak membiarkan Sukra luput dari jangkauan serangannya. Ia-pun segera meloncat menerkam dengan kedua tangannya yang langsung mengarah ke leher.
Sukra terkejut melihat serangan itu. Serangan itu baginya tidak terlalu berbahaya. Tetapi bahwa anak itu langsung berusaha mencengkam leher adalah pertanda betapa garangnya, bahkan akibatnya akan dapat menjadi sangat mengerikan.
Sukra berkisar kesamping. namun ia sempat berkata, "Kenapa kau berkelahi dengan kasar" Jika kau berhasil mencengkam leherku, apa yang akan kau lakukan?"
"Mencekikmu," jawab Lugu.
"Aku dapat mati karenanya," berkata Sukra kemudian.
"Aku tidak peduli. Dalam satu perkelahian yang disepakati seorang lawan seorang, mati adalah akibat wajar, yang membunuh tidak dapat dianggap bersalah. Bahkan ia pantas mendapat kehormatan sebagai seorang pahlawan."
"Gila," geram Sukra, "siapa yang telah meracuni otakmu dengan sikap seperti itu?"
Lugu berhenti menyerang. Sambil bertolak pinggang ia berkata, "kau menjadi ketakutan?"
"Tidak. Kau tidak berbahaya bagiku. Tetapi kau adalah menjadi barbahaya bagi anak yang lain. Kau benar-benar dapat membunuh dengan caramu berkelahi itu. Apakah membunuh bagimu dapat menjadi satu kebanggaan, sementara seseorang yang telah membunuh sesamanya, akan selalu dikejar oleh penyesalan?"
"Para prajurit membunuh di medan perang," jawab Lugu.
"Membunuh dan membunuh itu tidak sama," jawab Sukra.
"Lidahmu yang agaknya bereabang seperti lidah ular. Tetapi aku tidak perduli. mungkin kau memang akan mati dalam perkelahian ini. Tetapi sekali lagi aku katakan, mati adalah akibat yang sangat wajar."
"Bagaimana jika kau yang mati?" bertanya Sukra.
Anak itu tertawa, katanya, "Hanya anak bintang yang turun dari langit yang dapat mengalahkan apalagi membunuh aku."
Namun jawab Sukra, "Bagus. Aku adalah anak bintang."
Lugu itu mengerutkan dahinya. Namun Sukra-pun berkata, "Bersiaplah kau anak bayangan kegelapan. Sudah saatnya anak bintang turun dari langit."
Sikap hati Lugu membuat Sukra menjadi marah. Meski-pun demikian, ia tidak pernah melupakan pesan Glagah Putih agar tidak kehilangan kendali diri.
Demikianlah maka sejenak kemudian Lugu sudah mulai menyerang lagi. Ia mengira bahwa Sukra menjadi takut melihat kedua tangannya yang terjulur mengarah kelehernya. Karena itu, maka ketika serangan kakinya tidak mengenai sasaran karena Sukra menghindar, maka Lugu itu-pun telah mengulangi serangannya dengan kedua tangannya terjulur ke arah leher Sukra.
Namun Sukra benar-benar menjadi marah melihat serangan yang berbahaya itu. Bahkan menurut pendapat Sukra, serangan itu sangat berlebihan bagi perselisihan anak-anak.
Apabila sikap Lugu bahwa ia sama sekali tidak menghargai nyawa orang lain dalam persoalan yang sebenarnya tidak berarti itu.
Karena itu, ketika Sukra melihat tangan yang terjulur itu, maka ia-pun menggeram marah. Dengan cepat ia meloncat kesamping. Namun kemudian, kakinya terayun mendatar dengan derasnya mengenai lambung.
Lugu terdorong beberapa langkah kesamping. Bahkan kemudian anak itu terjatuh diatas pasir tepian. Namun anak itu segera bangkit kembali. Lugu memang menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Namun tidak lama. Sejenak kemudian ia-pun telah bersiap untuk berkelahi lagi.
Bahkan dengan lantang.ia-pun berkata, "He, kau telah menyakiti aku. Akibatnya akan sangat buruk bagimu."
Sukra tidak menghiraukannya. Ia-pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawannya yang lebih besar daripadanya itu.
Demikianlah, maka Lugu itu telau menyerang dengan garangnya. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kerasnya.
Tetapi dengan tangkas Sukra menghindar. Namun sekali-sekali Sukra terpaksa menangkis serangan-serangan itu.
Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Sukra harus mengakui bahwa kekuatan Lugu lebih besar dari kekuatannya, sehingga kadang-kadang Sukra terdorong surut. Namun Sukra yang telah mempelajari dasar-dasar kemampuan bela diri dengan tekun, memiliki kesempatan lebih baik. Lugu kadang-kadang merasa kehilangan lawannya yang berloncatan. Namun tiba-tiba Sukra telah menyerang dengan derasnya, sehingga Lugulah yang terdorong surut.
Lugu menjadi semakin marah ketika serangan-serangan Sukra semakin lama semakin sering mengenai tubuhnya. Sekali dua kali, Lugu yang memiliki tubuh dan daya yang sangat kuat itu, tidak menghiraukannya. Tetapi semakin sering Sukra mengenainya, maka perasaan sakit itu menjadi semakin terasa menyengat tubuhnya dimana-mana.
Dalam pada itu, anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng dan anak-anak padukuhan induk Tanah Perdikan itu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Sekali-sekali anak-anak Tanah Perdikan yang bersorak, namun dikesempatan lain, anak-anak Wadas Irenglah yang bersorak-sorak.
Orang-orang yang sedang meronda di padukuhan induk, mendengar suara-suara ramai di tepian meski-pun tidak terlalu jelas. Tetapi mereka menyangka bahwa anak-anak sedang bermain sambil menutup pliridan mereka di sungai. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak di tepian itu sedang menonton Sukra dan Lugu yang sedang berkelahi.
Sementara itu Lugu masih mampu berkelahi dengan garangnya. Ia benar-benar menjadi keras dan bahkan kasar. Namun Sukra dengan tangkasnya mengimbanginya. Latihan-latihan yang berat membuatnya mampu bergerak cepat untuk mengatasi kekuatan Lugu yang sangat besar bagi anak-anak. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dibandingkan dengan Sukra.
Meski-pun demikian, ternyata semakin lama Lugu semakin mengalami kesulitan. Hanya karena daya lahannya yang tinggi serta kekuatannya yang besar sajalah yang membuatnya masih dapat bertahan terus.
Sementara itu, meski-pun Sukra lebih kecil dan lebih muda, tetapi tenaganya sudah terlatih. Sukra itu mampu memperhitungkan, agar ia tidak kehabisan tenaganya.
Dalam pada itu, semakin lama Sukra menjadi semakin sering mengenai tubuh Lugu dengan serangan-serangannya yang cepat.
Tetapi perlawanan Lugu masih belum menjadi susut. Meski-pun beberapa kali Lugu terdorong dan jatuh diatas pasir tepian, namun ia segera bangkit dan siap untuk berkelahi lagi.
Sukralah yang justru mulai merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah terlepas untuk mengimbangi kekuatan dan daya tahan lawannya yang tinggi. Karena itu, maka Sukra mulai merasa bahwa tenaganya telah menyusut.
Karena itu, maka Sukra harus mulai mempertimbangkan benar-benar tata geraknya agar ia tidak menjadi kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum Lugu dapat ditundukkannya.
Itulah sebabnya, maka Sukra mulai memperhitungkan benar-benar sasaran serangannya. Sukra mulai mengarahkan serangan-serangannya pada bagian tubuh lawannya yang lemah. Tetapi tidak membahayakannya.
Dengan demikian, maka Sukra semakin sering berusaha menyerang dan mengenai lambung lawannya. Tidak saja dengan tumit kakinya, tetapi dengan jari-jarinya yang terbuka dan merapat.
Pada kesempatan itu, sisi telapak tangan Sukra telah menghantam pundak Lugu sehingga sebelah tangan anak itu rasa-rasanya untuk beberapa saat, telah melemah.
Pada kesempatan itu, Sukra telah mengarahkan serangannya pada sisi yang lemah itu. Beberapa kali kakinya terjulur mengenai lengan dan bahu yang rasa-rasanya menjadi semakin kesakitan.
Lugu mengumpat dengan kasar. Namun serangan-serangan Sukra datang beruntun seperti banjir yang mengalir tidak putus-putusnya. Serangan disusul dengan serangan, sehingga Lugu tidak sempat menangkis dan menghindar.
Karena itu, maka Lugu itu-pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian kawan-kawannya yang melingkarinya harus menyibak ketika Lugu terhuyung-huyung beberapa langkah mundur.
Sukra tidak mensia-siakan kesempatan itu. Sebelum Lugu sempat memperbaiki kedudukannya, Sukra itu melenting menyerang dada Lugu dengan kakinya yang terjulur menyimpang.
Serangan Sukra cukup keras meski-pun sebenarnya tenaganya sudah mulai menyusut. Apalagi pada saat-saat terakhir, Sukra harus mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perlawanan Lugu sebelum ia sendiri kehabisan tenaga.
Sukra memang menyadari, jika usahanya terakhir itu gagal, sementara ia sudah kehabisan tenaga, maka Lugulah yang akan menguasainya dan ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk.
Tetapi dengan perhitungan yang baik, Sukra yakin akan dapat menundukkan lawannya itu sebelum tenaganya habis.
Serangan kaki Sukra itu ternyata telah melemparkan Lugu beberapa langkah. Serangan yang cukup keras itu membuat Lugu kehilangan keseimbangannya. Karena itu, maka tubuh Lugu itu telah terdorong dan jatuh menggelepar di dalam air.
Lugu memang berusaha untuk bangkit agar air sungai itu tidak terlalu banyak masuk kedalam mulut dan hidungnya. Meski-pun kemudian Lugu itu berhasil untuk berdiri, tetapi hanya sesaat. Tubuhnya yang merasa sakit dimana-mana, nafasnya yang menjadi sesak demikian dadanya terkena serangan kaki Sukra, serta tenaganya yang juga terkuras, membuat Lugu benar-benar tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia mencoba melangkah ke tepian, ia-pun telah terjatuh lagi. Tetapi Lugu telah berhasil keluar dari air sungai yang mengalir tidak terlalu deras itu.
Sukra berdiri termangu-mangu. Kawan-kawannya lelah bersorak meneriakkan kemenangan.
Beberapa orang kawan Lugu telah berlari memburunya. Mereka berusaha untuk menolong Lugu dengan mengangkat tubuhnya dan membantunya berdiri.
Lugu kemudian memang dapat berdiri. Tetapi dua orang kawannya harus membantunya.
Namun Lugu masih belum mengakui kekalahannya. Dengan lantang ia berkata kepada kawan-kawannya, "Kita tidak kalah. Kita akan membuat anak-anak yang licik itu menjadi jera. Kita akan berkelahi bersama-sama."
Sukra yang nafasnya masih terengah-engah itu menjadi berdebar-debar. Meski-pun menurut perhitungannya, anak-anak Padukuhan induk Tanah Perdikan itu tidak kalah, namun ia sendiri memerlukan untuk beristirahat barang beberapa saat. Karena itu, maka Sukra itu-pun kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, "He, apakah kalian akan berkelahi beramai-ramai?"
"Kalian akan dihancurkan," geram Lugu yang masih belum dapat berdiri tegak.
"Kalau tanpa Lugu tidak akan berarti apa-apa bagi kami. Sementara itu, kalian lihat, bahwa Lugu sudah tidak berdaya. Jika aku mempunyai landasan pikiran seperti Lugu, maka aku sudah mencekiknya. Menurut Lugu, jika dalam perkelahian seseorang terlanjur mati, maka yang membunuh tidak dapat dipersalahkan."
Anak-anak Wadas Ireng itu terdiam. Ternyata ketika ancaman itu ditujukan kepada mereka, maka mereka-pun menjadi sangat ngeri. Bahkan Lugu sendiri merasa ngeri mendengarnya.
Namun ternyata Lugu itu masih belum juga mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka ia-pun berkata, "Kau tidak perlu menakut-nakuti kami. Kau kira aku tidak dapat berkelahi lagi" Sebentar lagi tenagaku akan pulih. Aku akan memilin leher anak-anak padukuhan ini. Seorang demi seorang. Dan kau adalah anak yang pertama akan kuhancurkan."
Tetapi Sukra tertawa. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam, pernafasannya sangat membantu memulihkan kekuatannya.
"Kau masih juga mengigau, Lugu. Berdiri-pun kau sudah tidak mampu lagi. Apalagi memilin leher kami."
"Persetan kau," geram Lugu. Tetapi ketika ia melangkahkan kakinya, maka ia masih saja terhuyung-huyung. Kawan-kawannya yang membantunya berdiri dengan cepat menahannya agar Lugu itu tidak terjatuh.
Meski-pun demikian, ia masih berteriak, "Ayo kawan-kawan, kita hancurkan anak-anak yang licik itu."
Tetapi sekali lagi Sukra tertawa keras-keras. Katanya, "Sebenarnya kau mau apa, Lugu" Melangkah-pun kau sudah tidak mampu lagi."
"Anak-anak Wadas Ireng bukan anak-anak cengeng," bentak Lugu. Lalu katanya sekali lagi kepada kavan-kawannya, "Cepat. Selesaikan mereka."
Namun tiba-tiba Sukra itu-pun menggeram, "Mari. Siapa yang ingin aku patahkan lengannya" Kau lihat, aku berkata sebenarnya. Dan aku-pun mampu melakukannya. Berbeda dengan Lugu. Ia hanya dapat berteriak-teriak dan membentak-bentak. Tetapi ia tidak dapat berbual apa-apa."
Anak-anak Wadas Ireng itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Lugu itu membentak lagi, "Cepat. Siapa yang tidak mau melakukannya, aku besok akan menghukumnya. Hukuman yang belum pernah aku berikan kepada kalian sebelumnya."
Anak-anak Wadas Ireng itu menjadi bingung. Mereka merasa ngeri untuk berkelahi, apalagi melawan Sukra. Tetapi mereka-pun menjadi ketakutan mendengar ancaman Lugu.
Jika mereka menolak untuk melakukan perintah Lugu, maka nasib mereka akan menjadi buruk untuk waktu yang lama. Kemarahan Lugu tidak hanya akan terbatas dalam satu dua hari. Tetapi ia adalah pendendam yang berkepanjangan.
Sukra yang melihat anak-anak Wadas Ireng itu ragu-ragu berkata lantang, "He, apakah kalian merasa sulit untuk memilih" Berkelahi melawan kami, atau dimusuhi Lugu dan bahkan menerima hukumannya?"
"Cukup. Aku koyak mulutmu," teriak Lugu.
Tiba-tiba saja darah Sukra naik sampai kekepala. Dengan kecepatan yang tinggi ia meloncat kearah Lugu. Satu ayunan tangannya telah menampar mulut yang baru saja terkatub itu.
Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya menjadi pecah dan darah mulai mengalir duri luka dibibirnya itu.
"Ayo, berteriaklah sekali lagi," bentak Sukra.
Lugu memang bergeser mundur. Dua orang yang membantunya berdiri ikut bergeser pula. Tetapi keduanya menjadi gemetar melihat sikap Sukra. Bahkan Sukra itu berkata selanjutnya dengan nada marah, "Aku dapat mencekikmu, Lugu. Mengerti. Mulutmu jangan kau buka sekali lagi. Aku akan memukulmu sampai kau terdiam."
Namun ternyata harga diri Lugu itu cukup linggi. Meski-pun mulutnya terasa sakit dan bibirnya rasa-rasanya-menjadi semakin tebal bergayut di mulutnya, namun ia masih menjawab, "Kau tidak berhak memerintah aku."
Ternyata Sukra tidak hanya menggertak. Karena anak itu membuka mulutnya lagi, maka Sukra-pun benar-benar memukul mulut Lugu.
Sekali lagi Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya yang berdarah menjadi semakin berdarah. Bahkan hampir saja Lugu tidak dapat menahan tangisnya.
Kedua kawannya yang membantunya berdiri menjadi semakin gemetar. Tetapi Lugu benar-benar terdiam.
"Jika kau tidak mau diam, maka kedua anak yang membantumu berdiri itu-pun akan aku pukuli, supaya melepaskanmu. Aku akan membenamkan kepalamu kedalam air sehingga perutmu menjadi kembung. Aku tidak peduli apakah kau akan mati atau tidak."
Lugu benar-benar terdiam. Sementara Sukra berkata sambil melangkah hilir mudik. Tangannya bergerak-gerak mengikuti irama kata-katanya yang meluncur dari mulutnya. Sukra memang sengaja menirukan sikap Agung Sedayu, yang dianggapnya lebih tua dari Glagah Putih, "Aku bersungguh-sungguh sekarang."
Tidak seorang-pun yang menyahut.
Namun tiba-tiba Sukra itu berhasil melangkah. Dipandanginya anak-anak Wadas Ireng yang masih berkerumun disekitar Lugu yang kesakitan. Dipandanginya anak-anak itu dengan tatapan mata yang tajam. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa kalian menjadi demikian takut kepada Lugu?"
Anak-anak itu masih tetap berdiam diri.
"Seharusnya kalian tidak takut. Mungkin kalian seorang-seorang tidak berani melawan Lugu. Tidak seorang-pun diantara kalian yang dapat mengalahkannya. Tetapi jika kalian bersepakat untuk melawannya, batapa-pun kuatnya anak itu, tetapi kekuatannya tidak akan melebihi ampat orang anak diantara kalian. Atau barangkali lima orang. Jika jumlah kalian sepuluh atau lebih, maka Lugu bukan apa-apa bagi kalian," berkata Sukra.
Anak-anak itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mengucapkan sepatah katapun.
Yang kemudian bertanya adalah justru anak padukuhan induk itu, "Bagaimana kalau Lugu mengancam anak-anak Wadas Ireng seorang demi seorang?"
"Anak-anak Wadas Ireng itu bersama-sama mengancam Lugu. Jika ada satu saja diantara kawan-kawannya yang disakiti Lugu, maka Lugu akan dihajar beramai-ramai tanpa ampun. Nah, dengan demikian, Lugu tidak akan pernah mengancam siapa-pun di Kademangan Wadas Ireng."
Anak-anak Wadas Ireng itu saling berpandangan. Kata-kata Sukra itu nampaknya dapat mereka pahami. Namun seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, "bagaimana jika ada yang berkhianat" Mungkin karena keuntungan yang didapatinya, mungkin Lugu memberinya uang atau makanan atau apa saja, sehingga beberapa orang justru membantunya?"
"Jumlah anak-anak yang baik temu berlipat," jawab Sukra.
Seorang anak padukuhan induk yang lain berteriak, "yang berkhianat akan dihukum lebih berat dari Lugu sendiri."
Wajah Lugu menjadi merah padam. Hampir saja ia berteriak oleh kemarahan yang menyesakkan dadanya. Namun baru saja ia bergeser, maka Sukra berkata, "Ingat Lugu. Jika sepatah kata saja keluar dari mulutmu, maka kedua bibirmu akan rontok."
Lugu benar-benar menjadi ketakutan oleh ancaman Sukra yang nampaknya memang tidak main-main.
Namun tiba-tiba seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, "Bagaimana jika Lugu minta bantuan anak-anak yang lebih besar yang agaknya menjadi latar belakang pengaruh Lugu?"
"Di Kademangan Wadas Ireng terdapat banyak sekali anak-anak muda yang baik. Jauh lebih banyak dari mereka yang bertabiat buruk. Jika mereka segan turut campur, maka ada Ki Bekel disetiap padukuhan. Ada Ki Demang, para bebahu, terutama Ki Jagabaya."
Anak-anak Wadas Ireng itu mulai mengangguk-angguk. Sukra yang merasa bahwa kata-katanya mulai mengusik perasaan anak-anak Wadas Ireng itu-pun kemudian berkata, "Pulanglah. Bawa Lugu pulang. Tetapi jangan dipukuli sepanjang jalan. Tetapi jika pada suatu saat ia mulai melakukan perbuatan yang buruk lagi, kalian dapat mencegahnya. Jangan takut. Ia bukan anak yang tidak terkalahkan. Kau lihat, ia tidak berdaya sekarang."
Anak-anak Wadas Ireng itu berpaling kepada Lugu yang masih sangat lemah. Pandangan mata mereka telah berubah. Anak-anak itu tidak lagi menganggap Lugu sebagai panutan yang harus diikuti segala perbuatan dan tingkah lakunya."
"Pulang," tiba-tiba Sukra membentak, "ingat kata-kataku. Dalam keadaan yang paling sulit bagi kalian, datanglah mengadu kepada Ki Jagabaya. Lugu dan kawan-kawannya tentu akan mendapat peringatan dan bahkan jika perlu hukuman."
Anak-anak Wadas Ireng itu mulai beranjak. Dua orang anak yang membantu Lugu hampir saja melepaskannya. Tetapi Sukra berkata, "Bantu ia berjalan. Hati-hati."
Sejenak kemudian, maka anak-anak Wadas Ireng itu-pun beringsut meninggalkan tepian. Dua orang anak masih membantu Lugu berjalan di tepian berpasir.
Namun Sukra yakin bahwa kata-katanya berpengaruh terhadap anak-anak Wadas Ireng, sehingga mereka akan berani menentang setiap niat buruk Lugu yang sebelumnya sangat berpengaruh atas anak-anak Wadas Ireng itu.
Demikian anak-anak Wadas Ireng itu meninggalkan tepian, maka anak-anak padukuhan induk itu menarik nafas panjang. Mereka tidak perlu berkelahi untuk mengusir anak-anak nakal itu.
Dada Sukra-pun menjadi lapang. Sebenarnya ia masih merasa letih. Lugu ternyata seorang anak yang memiliki kekuatan dan daya tahan yang sangat besar. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dari Sukra.
Namun dalam pada itu, Sukra itu-pun berkata kepada kawan-kawannya, "Kita tidak perlu berkelahi. Bukankah kita orang baik dan berjiwa besar?"
Tetapi seorang anak bertanya, "Tetapi kau sendiri berkelahi, Sukra."
Sukra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Jika aku tidak berkelahi, maka kalian semua akan berkelahi. Maka menurut pendapatku, lebih baik aku berkelahi seorang diri daripada kalian semuanya."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, "Apakah pekerjaan kita memperbaiki pliridan sudah selesai?"
"Hampir," jawab seseorang.
"Kita akan menyelesaikannya sebentar. Kemudian kita akan pulang. Kita tentu tidak akan dapat menutup pliridan di dini hari ini." berkata Sukra.
Anak-anak itu-pun kemudian melakukan sebagaimana dikatakan oleh Sukra. Baru setelah pekerjaan itu selesai, maka anak-anak itu-pun meninggalkan tepian naik memanjat tebing dah melintasi tanggul, pulang ke rumah masing-masing.
Beberapa diantara orang tua mereka bertanya, kenapa mereka terlalu lama bermain-main di sungai.
Seorang ayah dengan marah bertanya, "Apa yang kalian lakukan sampai dini hari" Bagi mereka yang mempunyai pliridan, masih dapat dimengerti seandainya mereka menunggui pliridannya atau sengaja menutup pliridannya sekali lagi. Tetapi kau tidak mempunyai pliridan lagi."
"Kami membantu memperbaiki pliridan kawan-kawan, ayah," jawab anak-anak itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka hampir saja terlibat dalam perkelahian melawan anak-anak Wadas Ireng.
Sukra yang kemudian dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan yang langsung menuju ke biliknya, memang tidak perlu membangunkan siapa-pun juga. Justru karena anak itu sering pergi ke sungai, maka Agung Sadayu sengaja membuat bilik baginya dengan pintu butulan tersendiri.
Ketika kemudian fajar menyingsing, anak itu sudah sibuk sebagaimana biasanya. Ia-pun tidak mengatakan kepada Glagah Putih, apa yang telah terjadi di tepian.
Namun ternyata kemudian, peristiwa itu tersebar juga diantara anak-anak dan bahkan akhirnya terdengar juga oleh orang-orang tua.
Satu dua orang pengawal yang meronda, yang mendengar suara riuh di tepian, mengira bahwa suara itu sekedar suara anak-anak yang bermain dengan pliridan di sungai. Namun baru kemudian mereka ketahui, bahwa hampir saja terjadi perkelahian antara anak-anak padukuhan induk itu dengan anak-anak Kademangan Wadas Ireng.
Glagah Putih yang kemudian juga mendengarnya ketika ia berada diantara para pengawal, telah memanggil Sukra demikian ia pulang dari banjar.
"Kau berkelahi?" bertanya Glagah Putih.
Jawab anak itu tegas, "Ya. Tetapi jika aku tidak berkelahi, maka anak-anak yang berkumpul di tepian itu akan berkelahi semuanya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Tetapi jika kau masih melihat kemungkinan yang lain, maka kau tidak boleh berkelahi."
Sukra mengangguk. Tetapi sikapnya terhadap Glagah Putih memang sudah berubah.
Dengan urut Sukra kemudian bereerita tentang apa yang telah terjadi di tepian. Menurut pendapatnya, jika Lugu telah dikalahkan, maka yang masih akan mungkin dicegah.
Glagah Putih menepuk bahunya sambil berkata, "Baiklah. Kau memang mempunyai alasan yang kuat, kenapa kau harus berkelahi."
Sukra mengangguk kecil. Sukra memang merasa lega bahwa ia tidak dianggap bersalah.
Ternyata peristiwa itu telah mendorong Sukra untuk berlatih lebih bersungguh-sungguh. Ia merasa bahwa ilmunya akan berarti justru untuk mencegah kekerasan yang lebih luas.
Sementara itu, pada hari itu Kanthi nampak lebih banyak merenung. Ia memang sedang mengangkat beban baru didalam hatinya. Ia harus menjawab pernyataan Wacana yang disampaikan lewat Rara Wulan.
Meski-pun Kanthi berusaha untuk tetap bersikap wajar sebagaimana sikapnya sehari-hari, namun orang lain masih dapat menangkap betapa Kanthi sedang mencari-cari jawab.
Wacana sendiri juga merasa tegang. Hari itu Wacana berusaha untuk tidak bertemu dengan Kanthi. Dilakukannya pekerjaan apa saja di kebun belakang. Kemudian ikut Ki Jayaraga ke sawah dan demikian ia pulang, maka ia telah menenggelamkan dirinya didalam sanggar.
Namun Kanthi sempat juga melihat kegelisahan dan ketegangan yang mencengkam perasaan anak muda itu. Karena itu, ia sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu lama memberikan jawaban.
Dimalam hari, setelah makan malam, sementara Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk-duduk di pendapa dan Wacana bersama Glagah Putih berada di serambi gandok, Sekar Mirah dan Rara Wulan setelah membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor serta membersihkan ruang dalam, telah duduk pula sambil berbincang.
Dengan hati-hati Rara Wulan memang mencoba memancing apakah Kanthi sudah mempunyai jawaban atas pernyataan Wacana.
"Tentu Wacana tidak tergesa-gesa, Kanthi, karena ia tidak akan pergi kemana-mana. Tetapi nampaknya Wacana selalu dibayangi oleh kegelisahannya menunggu jawabmu," berkata Rara Wulan kemudian meski-pun dengan agak ragu.
Sementara itu Sekar Mirah bertanya pula, "Apakah masih ada yang harus dipikirkan" Kanthi. Jika kau sudah mengiakannya, maka sudah tentu Wacana akan melamarmu kepada orang tuamu. Bukan harus Wacana sendiri yang datang, tetapi bukankah ada kakang Agung Sedayu. Ada pula Ki Jayaraga yang agaknya mempunyai pekerjaan baru, melibatkan diri dalam persoalan anak-ahak muda dalam hubungannya dengan gadis-gadis."
Rara Wulan tersenyum, sementara Kanthi-pun berusaha menyembunyikan senyumnya itu.
Namun desakan-desakan Rara Wulan dan Sekar Mirah itu memang mempereepat perenungan Kanthi menanggapi pesan Wacana itu. Karena itu, maka Kanthi tidak merasa perlu lagi menunda-nunda jawabannya, karena ia-pun kemudian sadar, bahwa semakin cepat persoalan itu selesai dengan tuntas, akan semakin baik baginya.
Karena itu, sambil menundukkan wajahnya, Kanthi akhirnya mengangguk kecil sambil berdesis, "Aku akan menganggap baik mana yang mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan menganggap baik."
Wajah Rara Wulanlah yang tiba-tiba menjadi ceria. Namun Sekar Mirah masih mendesaknya, "Aku ingin mendengar jawabmu Kanthi. Bukankah kau menerima Wacana untuk kelak bersama-sama memasuki dunia kekeluargaan?"
Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. Sambil mengangguk pula ia menjawab, "Ya, mbokayu."
Tiba-tiba saja Rara Wulan memeluknya. Ternyata gadis itulah yang lebih dahulu menitikkan air mata. Namun titik-titik air mata itu telah memancing air mata Kanthi pula.
Sekar Mirahlah yang kemudian tersenyum sambil berkata, "Kau telah menapak maju menjelang hari depanmu yang lebih baik, Kanthi."
Kanthi masih menunduk, sementara Rara Wulan mengguncangnya, "Tersenyumlah Kanthi. Kau akan menjadi semakin cantik."
Kanthi memang mencoba tersenyum. Tetapi justru titik air di mata Rara Wulan menjadi semakin deras, sehingga Kanthi-pun tidak dapat menahan isaknya lagi.
"Sudahlah," berkata Sekar Mirah, "kita memang harus memandang hari depan dengan tengadah."
"Nanti aku akan menyampaikannya kepada kakang Glagah Putih. Wacana harus segera mendengar jawaban ini. Aku sendiri yang akan mengatakannya kepada Wacana," berkata Rara Wulan.
Kanthi mengangguk kecil. Sementara Sekar Mirah berkata, "Katakanlah dengan hati-hati Rara."
Rara Wulan yang kemudian melepaskan Kanthi-pun telah mengusap matanya. Kemudian ia-pun bangkit sambil berkata, "Aku akan menemui kakang Glagah Putih. Ia tentu berada di serambi gandok."
"Atau disanggar," desis Sekar Mirah.
"Agaknya belum, mbokayu. Bukankah kakang Glagah Putih baru saja selesai makan bersama kita?" sahut Rara Wulan.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya memang belum."
Rara Wulan-pun kemudian segera beranjak dari tempatnya. Ia tidak keluar lewat pringgitan, karena ia tahu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sedang duduk-duduk di pendapa untuk mendapatkan udara yang sejuk.
Lewat pintu seketheng Rara Wulan langsung menuju ke serambi gandok.
Ketika Rara Wulan melihat Glagah Putih sedang duduk bersama Wacana, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk langsung menyampaikan jawaban Kanthi saat itu juga.
Tetapi lebih dahulu, Rara Wulan ingin berbicara dengan Glagah Putih. Karena itu, maka ketika ia turun dari pintu seketheng, maka ia-pun kemudian mendekati kedua orang itu sambil berkata, "Kakang Glagah Putih, mBokayu Sekar Mirah ingin berbicara sebentar. Hanya sebentar."
Glagah Putih-pun kemudian bangkit berdiri. Namun Rara Wulan kemudian berkata kepada Wacana, "Kakang Wacana. Jangan pergi."
Wacana mengerutkan dahinya. Namun ia-pun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan menunggu."
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan hilang dibalik seketheng, maka Wacana-pun menjadi gelisah, ia sudah menduga, bahwa Rara Wulan akan memberikan pesan-pesan Kanlhi kepada Glagah Putih.
Di dalam seketheng, Rara Wulan tidak mengajak Glagah Putih menemui Sekar Mirah. Tetapi ia langsung mengatakannya, bahwa Kanthi telah memberikan jawaban.
"Apakah kau sependapat, jika aku sekarang menyampaikan jawaban Kanthi itu langsung kepada Wacana?" bertanya Rara Wulan.
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia kemudian berdesis, "apakah tidak ada keseganan pada Wacana jika kau langsung mengatakan kepadanya."
"Bukankah itu lebih baik daripada harus lewat orang lain. Aku dapat menjelaskan pancaran perasaan Kanthi pada saat ia mengatakan jawabannya. Jika Wacana bertanya tentang Kanthi, maka aku akan dapat menyampaikannya langsung kepadanya."
Glagah Putih mengangguk-angguk lagi. Katanya, "Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau harus menjaga perasaannya."
"Perasaan Wacana tentu lebih mapan dari.perasaan Kanthi," sahut Rara Wulan.
"Agaknya memang demikian," desis Glagah Putih. Demikianlah, maka keduanya telah kembali keluar lewat seketheng. Rara Wulan memang berniat langsung bertemu dan berbicara dengan Wacana.
Di pendapa Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk menghirup udara segar di ujung malam. Lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri membeku.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melihat Rara Wulan kemudian duduk bertiga bersama Glagah Putih lan Wacana. Mereka-pun melihat Rara Wulan berbicara dengan bersungguh-sungguh. Sementara Wacana yang mendengarkannya nampak menjadi tegang.
Sementara itu, Rara Wulan, atas persetujuan Glagah Putih telah menyampaikan langsung jawaban Kanthi atas pesan Wacana. Ternyata Kanthi dapat menerima Wacana untuk kelak mengarungi gelombang kehidupan keluarga bersama-sama."
Namun Rara Wulan itu-pun berkata, "Tetapi kau harus menerimanya dengan ikhlas seperti apa adanya, kakang Wacana. Kau sudah mengetahui sejak semula bahwa Kanthi sudah mengandung. Hendaknya hal ini tidak menjadi persoalan kelak jika pada suatu saat sedang terjadi sedikit singgungan pada hati kalian berdua."
"Aku mengerti, Rara. Ketika tumbuh niatku untuk melamarnya, aku memang sudah mengetahuinya. Sehingga persoalan ini tidak akan menjadi sebab pertengkaran sehingga akan selalu diungkit-ungkit kembali jika sedikit terjadi masalah diantara kami."
"Sokurlah," Rara Wulan mengangguk-angguk, "jika kedua belah pihak sudah mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing, maka masing-masing akan dapat mengendalikan dirinya."
Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, "Aku mengucapkan selamat Wacana. Tetapi kesempatan ini bukan merupakan bagian akhir dari kehidupan masa depanmu, sehingga jalan yang akan kalian lalui berdua selanjutnya, tidak selalu jalan datar yang halus dan rata. Tempo kau dan Kanthi akan memasuki gejolak gelombang yang mengguncang hari-harimu."
"Ah, kau," desis Rara Wulan, "darimana kau ketahui hal itu, kakang?"
Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berdesis, "Aku pernah menghadiri upacara pernikahan. Seorang yang berambut dan berjanggut putih telah memberikan nasehat kepada sepasang pengantin. Nah, sebagian aku tirukan nasehat itu."
Rara Wulan tertawa. Wacana yang tegang itu-pun sempat tersenyum pula.
"Jika hanya menirukan saja, semua orang dapat juga mengucapkannya," desis Rara Wulan kemudian.
Wacana yang sudah tersenyum itu justru berkata, "Baiklah Glagah Putih. Aku akan mengingat nasenat itu baik-baik. Pada saatnya, aku akan menasehatkannya kepadamu kelak."
Ketiga orang itu tertawa hampir tidak tertahankan.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang duduk di pendapa melihat ketiga orang yang tertawa di serambi itu. Sambil tersenyum Agung Sedayu berdesis, "Apa saja yang mereka bicarakan itu?"
Ki Jayaraga tersenyum pula. Katanya, "Tentu persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Agaknya mereka telah mendapatkan kesepakatan."
"Mudah-mudahan," sahut Agung Sedayu, "jika benar-benar keduanya sepakat, maka jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi Wacana dan Kanthi."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita ikut mengucapkan sokur. Dua hati yang terluka, semoga dapat sembuh bersama-sama."
Agung Sedayu-pun mengangguk-angguk pula. Nampaknya keduanya ikut merasa berbahagia menyertai Wacana dan Kanthi yang hampir saja kehilangan jalan ke masa depanya.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga itu-pun kemudian berkata, "Tetapi dalam waktu yang dekat ini, angger Agung Sedayu akan disibukkan oleh pernikahan beberapa orang. Angger Prastawa, angger Sabungsari dan kemudian angger Wacana."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan tidak bersamaan waktunya dengan waktu yang diperlukan oleh Pati."
Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya, "Semuanya harus dilakukan segera. Jika tidak, maka waktunya memang akan diambil Kanjeng Adipati Pati."
Sementara itu, maka Wacana yang sudah mendapat jawaban dari Kanthi itu hatinya mulai mekar. Sekali-sekali memang terlintas wajah Raras yang menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Betapa ia merasa hatinya yang sesat karena ia telah menginginkan Raras untuk menjadi sisihannya.
Tetapi semuanya itu sudah lewat. Kini hatinya telah hinggap pada seorang gadis yang pernah mengalami nasib yang buruk.
Namun dalam pada itu, Wacana yang masih duduk di serambi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan itu berkata, "Tetapi siapakah yang akan pergi melamar kepada orang tua Kanthi" Keluargaku tinggal di tempat yang jauh. Ada pamanku di Mataram. Tetapi bukankah bagi keluarga Kanthi akan sama saja artinya, jika yang datang melamar itu bukan orang tuaku dan bukan pula pamanku. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, misalnya?"
"Aku kira sama saja, apalagi bagi Kanthi yang memerlukan waktu yang tidak terlalu panjang karena keadaannya," jawab Glagah Putih.
"Ya," sahut Rara Wulan, "semakin cepat, semakin baik."
"Apakah kalian tahu, kapan Prastawa akan menikah?" bertanya Wacana.
"Belum," jawab Glagah Putih, "keluarga Angrenilah yang akan menentukannya. Kakang Swandaru juga menunggu sampai kabar itu datang. Agaknya dalam dua tiga hari ini keluarga Angreni akan memberikan ketentuan waktu itu."
"Apakah kau akan mengambil ancar-ancar dari hari pernikahan Prastawa?" bertanya Rara Wulan.
"Tentunya jangan sampai terjadi pada hari yang bersamaan meski-pun dalam suasana yang jauh berbeda," jawab Wacana.
"Maksudmu?" bertanya Rara Wulan.
"Prastawa adalah kemanakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan aku adalah orang kabur kanginan. Mungkin pernikahan Prastawa akan dilaksanakan dengan upacara adat selengkapnya serta keramaian yang meriah. Tetapi sudah tentu aku tidak akan demikian. Aku akan datang kerumah Kanthi hanya dengan membawa tubuhku saja. Seperti kau lihat, disini aku tidak mempunyai apa-apa."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada hal yang dapat dipertentangkan pada Wacana, ia harus dengan cepat menyelesaikan ikatan pernikahannya dengan Kanthi. Tetapi sesudah itu, apa yang akan dilakukannya" Bagaimana Wacana akan dapat hidup dan menghidupi keluarganya, meski-pun keluarga baru.
Agaknya Wacana dapat membaca persoalan yang tumbuh di hati Glagah Putih itu. Karena itu, maka ia-pun berkata, "Glagah Putih. Sudah tentu setelah pernikahan aku tidak dapat berada disini sebagaimana sekarang ini tanpa mempunyai landasan penghidupan sama sekali. Tetapi orang tuaku mempunyai beberapa kotak sawah yang dapat aku kerjakan untuk alas sebuah keluarga kecil yang sederhana."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan lain justru timbul didalam hatinya, "Lalu aku sendiri bagaimana" Apakah aku juga harus menyebut beberapa kotak sawah ayah di Banyu Asri jika saatnya aku berkeluarga sementara ayah sendiri berada di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing"
Namun pertanyaan yang timbul itu segera diredamnya didalam hati.
Demikianlah, maka Glagah Putih itu-pun kemudian berkata pada Rara Wulan," Rara. Temuilah Kanthi, katakan apa yang telah kita bicarakan disini."
Rara Wulan mengangguk. Sementara itu Wacana berkata, "Segala sesuatunya akan aku serahkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Setelah semuanya selesai, aku akan segera pergi menemui keluargaku. Aku yakin bahwa tidak akan timbul masalah."
"Apakah aku juga harus menyampaikan kepada kakang Agung Sedayu?" bertanya Glagah Putih.
"Bagaimana menurut pertimbanganmu?" Wacana justru bertanya pula.
"Sebaiknya besok kita bersama-sama menemuinya," berkata Glagah Putih kemudian.
Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Besok kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan segala-galanya kepada Ki Lurah."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, maka Rara Wulan-pun kemudian telah meninggalkan serambi gandok masuk keruang dalam tidak lewat pringgitan, tetapi masuk seketheng melewati longkangan dan masuk melalui pintu bululan untuk menemui Kanthi.
Ternyata Kanthi masih duduk di ruang dalam bersama Sekar Mirah. Wajah Kanthi tidak lagi nampak muram. Sekali-sekali sebuah senyuman telah menghiasi bibirnya.
Buku 294 RARA WULAN yang melihat Kanthi tersenyum itu-pun ikut tersenyum pula. Bahkan diluar sadarnya Rara Wulan berkata, "Jika kau tersenyum, maka kau menjadi sangat cantik Kanthi."
"Ah, kau Rara," Kanthi menjulurkan tangannya untuk mencubit lengan Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan bergeser sambil berkata, "Aku berkata sesungguhnya."
Sekar Mirah-pun tertawa. Namun Sekar Mirah tahu bahwa ada sesuatu yang meledak di hati Rara Wulan.
Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan itu berkata didalam hatinya, "Jika Kanthi tersenyum, maka ia tidak akan kalah cantik dari Angreni."
Ternyata hal itu dikatakannya kepada Sekar Mirah ketika Kanthi pergi ke dapur untuk mengambil sirih.
"Apakah kau sudah pernah bertemu dengan Angreni?" bertanya Sekar Mirah.
"Belum," jawab Rara Wulan sambil tersenyum.
"Mungkin kau pernah bertemu dengan gadis itu dimanapun. Tetapi agaknya kau belum pernah mengenalnya secara pribadi. Tetapi kenapa justru kau yang menjadi cemburu jika seseorang menyebut Angreni itu cantik dan bibirnya selalu dihiasi dengan Senyum?"
"Ah, tidak," sahut Rara Wulan sambil menggeleng.
Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku tahu, bahwa kau merasa sangat prihatin melihat nasib Kanthi, sebelumnya. Sehingga kau merasa bahwa kau sendirilah yang telah mengalami peristiwa yang pahit itu."
"Ya. Agaknya memang demikian," jawab Rara Wulan.
Namun Rara Wulan-pun terdiam ketika kemudian Kanthi datang sambil membawa seberkas sirih dan kelengkapannya. Ternyata meski-pun masih muda, Kanthi telah terbiasa makan sirih.
"Semula aku hanya mencoba-coba jika ibu makan sirih," berkata Kanthi, "namun kemudian aku sendiri menjadi pemakan sirih."
Demikianlah maka persoalan Kanthi itu-pun Agung Sedayu untuk minta tolong agar Agung Sedayu-pun telah menyanggupinya.
"Aku juga mohon Ki Jayaraga untuk bersedia datang ke Kleringan sebagai orang yang dituakan disini."
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "Tentu ngger. Aku akan pergi Ke Kleringan dengan senang hati. Tentu berbeda dengan nafas kepergianku beberapa waktu yang lalu."
Ketika hal itu disampaikan kepada Kanthi, maka Kanthi hanya menundukkan kepalanya saja. Ia tidak tahu bagaimana tanggapan orang tuanya terhadap permintaan Wacana itu. Bahkan Kanthi justru merasa cemas, bahwa ayah dan ibunya telah mempunyai rencana yang lain.
Tetapi Sekar Mirah berkata kepada Kanthi, "Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku yakin bahwa kedua orang tuamu tentu tidak akan berkeberatan, Kanthi. Bahkan mereka akan mengucap sokur bahwa akhirnya kau menemukan jalan yang terbaik bagi masa depanmu."
Kanthi mengangguk-angguk. Ia-pun berharap bahwa kedua orang tuanya dapat menerima permintaan Wacana yang bagi Kanthi memang merupakan jalan keluar yang terbaik.
Demikianlah, maka hati Wacana rasa-rasanya telah menjadi mapan. Yang dapat dilakukan adalah menunggu kepergian Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan tentu saja bersama dengan Sekar Mirah ke Kademangan Kleringan, menemui kedua orang tua Kanthi.
Malam itu maka baik Wacana mau-pun Kanthi sebelum terlena sempat berangan-angan tentang masa depannya. Langkah yang mereka ambil mereka harapkan akan menjadi alas bagi hari depan mereka yang terang setelah mereka mengalami masa-masa yang sangat suram dan bahkan hampir saja membuat mereka berputus asa.
Ketika Ki Jayaraga dan Agung Sedayu menyatakan kesediaan mereka pergi ke Kleringan esok sore, maka kedua orang yang sedang dibayangi oleh harapan-harapan itu merasa sangat berterima kasih, karena keadaan Kanthi memang menuntut segala sesuatunya diselesaikan dengan cepat.
Bahkan Rara Wulan-pun merasa sangat bergembira pula atas tanggapan Ki Jayaraga dan Agung Sedayu.
Namun ketika matahari dikeesokan harinya terbit, serta Agung Sedayu sudah bersiap-siap untuk pergi ke barak, maka datang utusan Ki Gede ke rumah Agung Sedayu membawa pesan, agar sebelum berangkat ke baraknya, Agung Sedayu sempat singgah barang sebentar di rumahnya.
"Apakah ada yang penting?" bertanya Agung Sedayu yang memang sedikit menjadi berdebar-debar.
"Aku tidak tahu Ki Lurah. Ki Gede hanya berpesan, agar Ki Lurah bersedia singgah barang sebentar," jawab utusan Ki Gede.
"Baiklah," jawab Agung Sedayu, "aku akan singgah nanti jika aku pergi berangkat ke barak."
"Terima kasih Ki Lurah. Kesediaan Ki Lurah akan aku sampaikan kepada Ki Gede."
Pesan Ki Gede itu memang menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Sekar Mirah sendiri memang menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka ia-pun kemudian berpesan kepada Agung Sedayu ketika ia akan berangkat ke rumah Ki Gede, "Nanti, setelah kakang menemui Ki Gede, aku harap kakang singgah barang sebentar di rumah. Aku ingin tahu, apakah yang ingin dibicarakan Ki Gede. Jika Kakang langsung pergi kebarak, aku akan gelisah sepanjang hari sampai kakang pulang."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku tentu akan pulang dahulu. Bukankah aku masih harus mengambil kudaku jika aku pergi ke barak."
"Kakang tidak berkuda sekarang?" bertanya Sekar Mirah.
"Bukankah rumah Ki Gede Hanya beberapa langkah saja dari sini?"
"Mungkin kakang ingin cepat berangkat ke barak."
"Tidak. Hari masih pagi."
Demikianlah, maka Agung Sedayu-pun segera berangkat ke rumah Ki Gede memenuhi panggilannya.
Ketika Agung Sedayu sampai di rumah Ki Gede, dilihatnya Ki Gede telah duduk di pringgitan bersama Swandaru.
"Marilah ngger," Ki Gede mempersilahkan, "silahkan duduk."
Agung Sedayu-pun kemudian duduk pula bersama mereka. Sementara itu, maka Pandan Wangi-pun menghidangkan minuman hangat kepada mereka yang duduk di pendapa itu. Tetapi Pandan Wangi sendiri tidak ikut duduk diantara mereka.
Ketika mereka sudah minum seteguk, maka Ki Gedepun berkata, "Angger Agung Sedayu. Aku mendapat pesan dari Prastawa, bahwa sore nanti keluarga Angreni akan mengirimkan utusan menemui Adi Argajaya untuk menyampaikan keputusan keluarga Angreni, kapan pernikahan Prastawa dan Angreni itu akan dilaksanakan."
Dahi Agung Sedayu-pun segera berkerut, ia sudah terlanjur menyanggupi Wacana untuk pergi ke Kleringan sore nanti bersama Ki Jayaraga. Sementara itu, Ki Gede tentu juga akan minta Ki Jayaraga pergi ke rumah Ki Argajaya untuk menerima utusan keluarga Angreni.
Melihat wajah Agung Sedayu serta keragu-raguannya, maka Ki Gedepun bertanya, "Apakah nanti sore angger Agung Sedayu ada tugas penting?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Ki Gede. Sebenarnya aku sudah menyanggupi Wacana untuk pergi ke Kleringan sore nanti bersama Ki Jayaraga."
"Untuk apa?" Swandarulah yang bertanya.
"Nampaknya Kanthi telah mendapat jalan keluar dari kesulitannya. Wacana, anak muda yang untuk sementara tinggal di rumahku itu, ternyata bersedia menjadi suami Kanthi. Bukan sekedar menutup malu keluarga Kanthi atau karena ia mengasihani Kanthi serta untuk memberikan satu keadaan yang lebih baik bagi anak yang bakal hadir. Namun agaknya Wacana dan Kanthi telah menemukan persesuaian untuk dapai hidup bersama."
"Sokurlah," Swandaru mengangguk-angguk, "Tetapi apakah Wacana itu tidak akan menjadi sangat kecewa terhadap anak yang bukan anaknya itu?"
"Wacana mengetahui keadaan Kanthi dengan pasti. Karena itu, maka ia tentu tidak akan menjadi kecewa," jawab Agung Sedayu.
Swandaru tersenyum. Katanya, "Tetapi kepergian kakang ke Kleringan dapat ditunda kapan saja. Kanthi tidak boleh menjadi terlalu manja, bahwa apa yang diingini harus dipenuhi. Sementara itu, keluarga kita sendiri mempunyai keperluan yang lebih penting. Selain itu, Prastawa berhak mendapat perhatian lebih besar dari Kanthi."
"Bukan begitu, ngger," sahut Ki Gede, "kita harus mencari kemungkinan yang terbaik."
"Bukankah Kanthi orang lain sama sekali bagi kita?" sahut Swandaru, "apalagi Kanthi bukan seorang yang berkedudukan. Bahkan seorang yang telah melanggar tatanan kehidupan lingkungannya sehingga kedudukannya menjadi sulit."
"Semuanya itu benar," berkata Agung Sedayu, "Jika aku kemukakan bahwa aku sudah terlanjur menyatakan kesanggupanku, itu aku berharap dapat dipertimbangkan. Bukan karena siapakah Kanthi itu dan siapa pula Wacana. Kedua-duanya memang hanya orang menumpang di rumahku. Keduanya juga orang-orang kecil yang tidak berkedudukan. Tetapi yang berharga bagiku adalah kesanggupanku. Janjiku."
"Jadi, apakah maksud kakang Agung Sedayu, keluarga Angreni harus menunda rencananya untuk datang ke rumah paman Argajaya" Sementara itu, aku sendiri harus segera kembali ke Sangkal Putung dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Bukankah hubungan antara Mataram dan Pati menjadi semakin muram" Selain itu, maka anakku tentu sudah mulai mempertanyakan ayah dan ibunya."
"Sebaiknya angger Agung Sedayu berbicara lagi dengan angger Wacana. Apakah ia tidak berkeberatan jika kepergian angger Agung Sedayu dan Ki Jayaraga ditunda satu hari" Aku tidak memandang yang mana yang lebih berhak mendapat perhatian pertama. Bukan pula karena kedudukan masing-masing. Tetapi mana yang dapat ditunda, itu sajalah yang ditunda."
"Jika mereka berkeberatan?" bertanya Swandaru.
Ki Gede menarik nafas panjang. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab, "Jika Wacana berkeberatan untuk ditunda, maka aku akan pergi ke Kleringan tengah hari. Sore nanti aku sudah akan berada di rumah Ki Argajaya."
"Begitu cepat?" bertanya Swandaru.
"Kami dapat pergi berkuda," jawab Agung Sedayu.
Namun Ki Gedelah yang kemudian berkata, "Baiklah ngger. Sudah tentu kami tidak menghendaki angger Wacana dan Kanthi menjadi kecewa."
"Ki Gede," sahut Agung Sedayu, "Aku akan berusaha untuk dapat memenuhi semuanya. Aku akan berbicara dengan Ki Jayaraga. Tetapi sekarang aku dapat menyatakan kesediaanku untuk datang sore nanti. Pergi atau tidak pergi ke kademangan Kleringan."
Swandaru mengerutkan dahinya, ia memang menjadi heran. Demikian besar perhatian keluarga Agung Sedayu itu terhadap Kanthi, sehingga seakan-akan justru Agung Sedayu itu dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan Kanthi.
Namun dalam pada itu, Ki Gedepun berkata, "Baiklah. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan angger. Aku minta angger Agung Sedayu juga menyampaikan permohonan kami kepada Ki Jayaraga agar bersedia hadir di rumah Argajaya sore nanti."
"Baiklah Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "kami akan datang. Aku akan datang bersama Sekar Mirah."
Demikianlah, Agung Sedayu-pun segera minta diri. Namun ia menyadari, bahwa sulit baginya untuk menunda kepergiannya ke Kademangan Kleringan, justru karena ia sudah menyatakan kesediaannya. Bukan saja Wacana dan Kanthi akan menjadi sangat kecewa, tetapi tentu juga Rara Wulan akan menyesalinya.
"Memang sulit untuk mencabut sebuah janji," berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri diperjalanan pulang, "meski-pun janji itu diberikan kepada pidak-pedarakan sekalipun, namun harga sebuah janji adalah sangat tinggi."
Karena itu, maka Agung Sedayu memutuskan justru untuk pergi ke Kademangan Kleringan menjelang tengah hari. Ia akan pergi kebarak sebentar, mengatur tugas para prajurit, kemudian kembali pulang, sementara Ki Jayaraga sudah bersiap-siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan.
"Tidak harus dengan Sekar Mirah," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, "jika ia berkeberatan mengenakan pakaian khususnya di perjalanan ke Kleringan karena perjalanan itu harus ditempuh berkuda, maka biarlah ia tidak pergi."
Demikian, Agung Sedayu sampai di rumah, maka ia-pun segera berbicara dengan Sekar Mirah. Ternyata Sekar Mirah berpendapat, bahwa sebaiknya Agung Sedayu pergi bertiga dengan Glagah Putih saja.
"Rasa-rasanya kurang mapan untuk pergi melamar seorang perempuan dengan pakaian khusus," berkata Sekar Mirah kemudian.
Agung Sedayu tersenyum Katanya, "Apa salahnya?"
"Aku dapat menjadi tontonan di Kleringan karena agaknya di sana belum terbiasa seorang perempuan mengenakan pakaian khusus seperti pakaianku," jawab Sekar Mirah yang justru tertawa.
Agung Sedayu-pun tertawa pula. Namun kemudian suaranya merendah, "Aku tidak sampai hati untuk menunda kepergianku ke kademangan Kleringan. Wacana dan Kanthi tentu berharap agar persoalannya segera dipecahkan, sehingga keduanya tidak lagi terombang-ambing oleh ketidak pastian. Berbeda dengan keluarga Prastawa yang agaknya tinggal menetapkan hari pernikahan saja."
"Kecuali itu, Rara Wulan tentu akan marah. Diungkapkan atau tidak diungkapkan," sahut Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Biarlah aku berbicara dengan Ki Jayaraga."
"Tetapi bukankah kakang akan pergi ke barak lebih dahulu. Matahari sudah naik," berkata Sekar Mirah.
"Ya. Tetapi aku akan berbicara dengan Ki Jayaraga sebentar saja."
Agung Sedayu memang menyempatkan diri berbicara dengan Ki Jayaraga sejenak. Baru kemudian ia meninggalkan rumahnya pergi ke barak. Agung Sedayu menyerahkan kepada Ki Jayaraga agar memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa mereka akan pergi ke Kleringan menjelang tengah hari, agar di sore hari mereka telah berada di Tanah Perdikan itu kembali.
"Ki Jayaraga tidak usah pergi ke sawah," pesan Agung Sedayu sambil tersenyum.
Tetapi Ki Jayaraga menjawab, "Seandainya aku pergi, bukankah aku dapat menyesuaikan diri?"
Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu-pun telah pergi ke baraknya. Tetapi ia berniat untuk segera kembali setelah membagi tugas bagi para prajurit di barak Pasukan Khusus itu.
Di rumah Ki Jayaraga-pun telah memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa ia harus bersiap sebelum tengah hari untuk pergi ke Kademangan Kleringan.
"Kenapa sebelum tengah hari?" bertanya Glagah putih.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun karena yang ada hanya Glagah Putih, maka ia-pun telah mengatakan, apa alasannya sehingga mereka harus berangkat menjelang tengah hari sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia tidak banyak memberikan tanggapan.
Ketika Wacana dan Rara Wulan mengetahui bahwa Agung Sedayu akan berangkat lebih awal, maka mereka-pun bertanya-tanya meski-pun hanya didalam hati. Namun keduanya tidak mengemukakan pertanyaan itu kepada siapa-pun juga.
Bahkan Rara Wulan juga menjadi heran. Tetapi tidak seperti Wacana dan Kanthi, maka Rara Wulan-pun telah bertanya kepada Sekar Mirah, kenapa waktunya justru menjadi maju meski-pun hanya kurang dari setengah hari.
"Kakangmu Agung Sedayu mendapat tugas di sore hari Rara, sementara ia tidak ingin membatalkan janjinya. Karena itu, maka ia memilih untuk berangkat lebih awal bersama dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih."
"Mbokayu tidak berangkat?" bertanya Rara Wulan.
"Besok Rara. Jika persoalannya sudah menjadi jelas. Kami tentu akan datang untuk mematangkan pembicaraan," jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan memang agak kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Bahwa Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersedia pergi ke kademangan Kleringan sudah merupakan satu kemurahan hati bagi Kanthi yang menurut gelar lahiriahnya sama sekali bukan sanak kadangnya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu memang tidak terlalu lama berada di baraknya. Selelah memberikan perintah-perintah kepada para pemimpin kelompok dalam pasukannya, maka Agung Sedayu-pun telah minta diri.
"Ada sesuatu yang penting dalam keluarga kami," berkata Agung Sedayu kepada pemimpin kelompok tertua di barak Pasukan Khusus itu. Sementara itu Ki Lurah Branjangan sedang tidak ada di barak. Tetapi Ki Lurah sedang menengok anak dan cucunya di Mataram.
Nampaknya Ki Lurah Branjangan yang sudah menjadi semakin tua itu tidak lagi banyak terikat pada satu kewajiban di barak Pasukan Khusus itu.
Dengan demikian, maka sebelum tengah hari. Agung Sedayu memang sudah ada di rumahnya. Ki Jayaraga dan Glagah Putih-pun sudah siap pula. Karena itu, setelah minum beberapa teguk, serta sedikit berbenah diri, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih-pun segera berangkat ke Kademangan Kleringan.
Ketika tiga orang berderap, maka kuda Glagah Putih yang berada di paling belakang, memang nampak paling besar dan paling tegar dari kedua ekor kuda yang lain.
Kedatangan ketiga orang itu di rumah Ki Suracala sedikit lewat tengah hari itu memang mengejutkan. Ayah dan Ibu Kanthi-pun menjadi berdebar-debar. Mereka mengira sesuatu telah terjadi dengan Kanthi.
"Kenapa selama ini kami belum pernah menengoknya," keluh orang tua Kanthi didalam hatinya.
Namun menilik wajah-wajah yang terang, maka orang tua Kanthi itu memang sedikit terhibur. Agaknya mereka memang tidak membawa berita duka tentang Kanthi.
Setelah duduk sejenak, sementara Nyi Suracala pergi ke dapur serta kedua belah pihak sudah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Suracala yang nampaknya tidak sabar lagi, segera bertanya, "Kami minta maaf Ki Jayaraga, angger Agung Sedayu dan angger Glagah Putih, bahwa kami tergesa-gesa mohon keterangan, apakah kedatangan kalian membawa sesuatu yang penting tentang Kanthi atau tentang hal-hal yang lain?"
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "Aku sudah mengira. Bahwa kedatangan kami akan dapat mengejutkan keluarga ini. Tetapi sebenarnyalah kami tidak membawa berita yang dapat menimbulkan keresahan bagi keluarga ini. Sehingga karena itu, maka keluarga ini tidak perlu menjadi gelisah."
"Sokurlah," Ki Suracala mengangguk-angguk, "kami minta maaf, bahwa kami tergesa-gesa ingin mengetahuinya. Tetapi jika ternyata memang tidak ada berita yang dapat membuat kami resah, maka kami tidak akan mendesak-desak Ki Jayaraga untuk mengatakannya, meski-pun keinginan untuk mengetahui kepentingan Ki Jayaraga demikian besarnya."
Ki Jayaraga tertawa pendek, "Baiklah. Kami akan segera menyampaikannya agar pertemuan ini tidak dibayangi oleh kegelisahan. Kami tahu, bagaimana-pun juga, berita tentang Kanthi merupakan berita yang sangat penting bagi Ki Suracala sekeluarga."
"Ki Jayaraga benar," jawab Ki Suracala.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia-pun kemudian menyampaikan kepentingannya datang ke Kademangan Kleringan.
Akhirnya Ki Jayaraga itu berkata, "Ki Suracala. Menurut pendapat kami, hal itu adalah yang terbaik bagi Kanthi. Ia akan dapat menemukan kembali hari depannya yang seakan-akan telah hilang daripadanya."
Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apakah pendengaranku ini tidak salah?"
"Tidak, Ki Suracala. Ki Suracala mendengar sebagaimana aku katakan," jawab Ki Jayaraga.
Namun tiba-tiba Ki Suracala itu bangkit dan dengan tergesa-gesa melangkah ke pintu pringgitan sambil berdesis, "Aku akan memanggil Nyi Suracala."
Dengan tergesa-gesa Ki Suracala pergi ke dapur. Dengan serta-merta ditariknya tangan Nyi Suracala yang sedang membuat minuman.
"Ada apa kakang?" bertanya Nyi Suracala yang menjadi berdebar-debar.
"Marilah, ikut aku."
"Tetapi minuman ini?" bertanya Nyi Suracala.
"Tinggalkan saja dahulu. Ada suatunya yang penting buat kita," sahut Ki Suracala.
"Ada apa dengan Kanthi" Ada apa?" desak Nyi Suracala.
Ki Suracala tidak menjawab. Tetapi ditariknya Nyi Suracala ke pringgitan.
Nyi Suracala memang menjadi tegang. Tetapi ia melihat ketiga orang tamunya itu justru tersenyum.
"Apa yang terjadi?" bertanya Nyi Suracala dengan jantung yang berdebar-debar.
"Tenang, Nyi, tenang," Ki Suracala mencoba menenangkan isterinya, tetapi ia sendiri tidak segera menjadi tenang.
Ki Jayaraga tersenyum melihat sikap Ki Suracala dan Nyi Suracala. Demikian pula Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun mereka dapal mengerti gejolak perasaan di hati kedua orang suami isteri itu.
Karena itu, untuk meredakan gejolak perasaannya kedua orang tua itu, maka Ki Jayaraga telah mengulangi keterangannya tentang keinginan Wacana untuk mengambil Kanthi sebagai isterinya.
Nyi Suracala tidak dapat menahan air matanya. Perempuan itu telah menangis terisak-isak.
Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih justru terdiam beberapa saat. Mereka membiarkan Nyi Suracala menumpahkan perasaannya lewat tangisnya.
Baru kemudian, Nyi Suracala itu mulai dapat merenungi keadaan. Ia mulai dapat melihat persoalan Kanthi itu dengan hati yang bening.
Karena itu, maka ia-pun mulai bertanya, "Ki Jayaraga. Apakah laki-laki yang akan mengambil Kanthi menjadi isterinya iiu sudah mengetahui keadaan Kanthi seluruhnya?"
"Sudah, Nyi," jawab Ki Jayaraga, "orang itu bernama Wacana, ia juga pernah mengalami goncangan perasaan seperti Kanthi. Ia pernah mencintai saudara sepupunya sendiri. Sementara sepupunya menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Karena itu, maka orang itu-pun pernah merasa kehilangan dan berputus-asa. Ia menantang untuk berperang tanding seorang laki-laki yang ia ketahui memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya. Agaknya ia berharap bahwa ia akan mati dalam perang tanding itu. Tetapi ternyata tidak. Lawannya perang tanding ternyata bukan seorang pembunuh."
Nyi Suracala mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya, "Bagaimana menurut pendapat Ki Jayaraga sikap Kanthi sendiri?"
"Nampaknya Kanthi dapat menerima kenyataan tentang dirinya dan tentang laki-laki itu. Kami langsung bertanya kepada Kanthi. Dan Kanthi menyatakan kesediaannya untuk menerima laki-laki itu sebagai suaminya.
"Apakah laki-laki itu menaruh belas kasihan kepada Kanthi, sehingga ia bersedia untuk berkorban?" bertanya Ki Suracala.
"Tidak. Meski-pun unsur-unsur itu ada pula. Tetapi bukan itu dasarnya. Sebelum keduanya berterus terang, keduanya sudah saling mengenal. Mereka sudah mencoba untuk saling mengetahui sifat dan watak masing-masing."
"Sokurlah," berkata Ki Suracala, "kami hanya dapat mengucap sokur kepada Yang Maha Agung."
"Baiklah Ki Suracala. Kanthi tentu akan sangat bergembira jika ayah dan ibunya merestuinya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang baik yang akan dapat menjadi seorang suami yang mengerti tentang dirinya," berkata Ki Jayaraga.
"Nah. Nyi," berkata Ki Suracala kemudian," Sekarang kau dapat kembali ke dapur. Tamu kita tentu sudah merasa sangat haus setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang."
Nyi Suracala-pun kemudian mempersilahkan tamunya untuk duduk bersama Ki Suracala, sementara ia sendiri akan pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangannya.
Baru sejenak kemudian, Nyi Suracala sempat duduk lagi di pendapa bersama suaminya dan tamu-tamunya.
Sambil minum-minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka mereka telah berbicara tentang langkah-langkah berikutnya setelah pada dasarnya kedua orang tua Kanthi tidak berkeberatan.
"Dengan demikian, Kanthi akan kami minta kembali. Baru kemudian kita akan membicarakan pelaksanaan dari pernikahan itu." berkata Ki Suracala kemudian.
"Sebaiknya memang demikian," berkata Ki Jayaraga, "kami akan mengantarkan Kanthi dalam sepekan ini. Sementara kita dapat menyiapkan segala sesuatunya. Kami akan mewakili orang tua Wacana untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya, justru waktunya sudah menjadi semakin sempit bagi Kanthi. Baru kemudian, persoalannya akan dibawa Wacana kepada orang tuanya. Tetapi menurut Wacana, tentu tidak akan ada kesulitan apa-pun juga. Apalagi Wacana sendiri sudah cukup dewasa. Sebagai seorang laki-laki, setelah ia dewasa, maka ia akan dapat bertindak atas namanya sendiri."
Kedua orang tua Kanthi mengangguk-angguk. Sementara itu, di hati mereka telah tumbuh harapan yang semula telah pupus. Mereka sebelumnya sama sekali tidak melihat, jalan yang terang yang akan dapat dilalui oleh Kanthi dalam keadaannya itu.
Dalam pada itu, setelah beberapa lama ketiga orang tamu dari Tanah Perdikan Menoreh itu duduk ditemui oleh Ki Suracala, maka mereka-pun segera minta diri. Namun Ki Suracala dan Nyi Suracala masih menahan mereka untuk makan lebih dahulu.
Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak dapat menolak. Namun demikian mereka beristirahat sejenak setelah makan, maka mereka-pun segera minta diri.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Suracala.
"Masih ada pekerjaan yang menunggu sore nanti, Ki Suracala." jawab Ki Jayaraga.
Ki Suracala dan Nyi Suracala memang tidak dapat menolak ketika ketiga orang itu kemudian minta diri.
Demikian sejenak kemudian, maka ketiga orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu sudah berderap diatas punggung kudanya. Sepanjang jalan, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berbicara tentang keluarga Kanthi yang menerima berita tentang Kanthi dengan gembira itu.
"Mudah-mudahan untuk selanjutnya Kanthi dapat mengalami kehidupan yang baik. Tidak usah berlebihan, asal keluarganya itu dapat hidup tenang dan tenteram," berkata Ki Jayaraga kemudian.
"Mudah-mudahan," sahut Agung Sedayu, "pengalaman pahit yang pernah mereka lalui itu akan dapat memberikan banyak ajaran tentang hidup dan kehidupan."
Namun kemudian Agung Sedayu itu-pun berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata, "Glagah Putih, kau yang masih muda, perlu banyak belajar dari pengalaman orang lain. Kau dapat memetik nilai-nilai yang berarti dalam kehidupanmu kelak."
Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya, kakang. Dengan demikian kau tidak akan terjerumus kedalam kesalahan yang sama," berkata Agung Sedayu kemudian.
Terdengar Glagah Putih menjawab lagi, "Ya, kakang."
Sementara itu, kuda mereka-pun berlari semakin cepat. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga harus segera berada di rumah Ki Argajaya. Agung Sedayu juga sudah berjanji untuk datang ke rumah Ki Argajaya, menerima utusan dari keluarga Angreni.
Perjalanan dari Kademangan Kleringan memang tidak terlalu lama ditempuh berkuda. Karena itu, maka sebelum waktu yang ditentukan, maka Ki Jayaraga dan Agung Sedayu sudah berada di rumah Ki Gede untuk bersama-sama pergi ke rumah Ki Argajaya, bersama dengan sekar Mirah.
Sementara yang sudah diduga, tidak ada masalah lagi dalam pembicaraan dengan keluarga Angreni. Mereka hanya membawa ketetapan waktu yang paling baik bagi saat pernikahan Prastawa dan Angreni.
Dengan kesadaran bahwa mereka tidak akan dapat menunggu terlalu lama, justru karena mendung yang menggelantung diatas hubungan antara Mataram dan Pati, maka pernikahan Prastawa dengan Angreni itu-pun akan diselenggarakan secepat mungkin, tetapi tidak meninggalkan perhitungan.
Menurut pendapat orang-orang tua dilingkungan keluarga Angreni maka pernikahan itu dapat dilangsungkan pekan kedua bulan berikutnya. Tepat pada hari lahir Angreni sendiri.
"Dihitung sejak sekarang, masih ada waktu kira-kira satu bulan lagi," berkata orang tertua dari utusan keluarga Angreni itu.
Ternyata keluarga Ki Argajaya tidak berkeberatan. Apalagi kesibukan akan lebih banyak dilakukan di rumah keluarga Angreni itu sendiri.
Sebenarnyalah bahwa memang tidak ada masalah lagi pada pembicaraan antara keluarga Angreni dan keluarga Prastawa. Hampir semua persoalan dapat disetujui oleh kedua belah pihak.
Setelah dijamu minuman, makanan dan bahkan kemudian makan, maka utusan keluarga Angreni itu-pun telah minta diri.
Sementara itu, Ki Jayaraga, Agung Sedayu suami isteri dan Ki Gede serta Swandaru suami isteri masih tinggal untuk beberapa saat di rumah Ki Argajaya. Mereka masih berbicara tentang rencana hari pernikahan. Mereka membicarakan apa saja yang harus mereka persiapkan.
"Aku besok lusa akan kembali ke Sangkal Putung," berkata Swandaru, "dua atau tiga hari sebelum hari pernikahan, aku akan datang lagi kemari. Kecuali jika ada perinlah khusus dari Mataram dalam hubungannya dengan Pati."
"Jangan terlalu dekat," sahut Ki Gede, "aku memerlukan kawan untuk ikut membicarakan upacara pernikahan itu selain ayah Prastawa karena Prastawa kebetulan juga seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, sehingga secara resmi Tanah Perdikan juga terlibat dalam kerja ini."
Swandaru tertawa. Katanya, "Bukankah disini sudah ada beberapa orang yang dapat diajak berbincang" Disini ada Ki Jayaraga, ada kakang Agung Sedayu dan beberapa orang tua yang lain."
"Tetapi rasa-rasanya aku memerlukan kalian berdua," jawab Ki Gede.
"Baiklah," desis Swandaru, "jika saja tidak ada persoalan yang sangat penting. Kami akan datang sebelumnya."
Namun ketika kemudian Prastawa datang dan duduk diantara mereka, maka tiba-tiba ia-pun bertanya, "Bagaimana dengan hasil pembicaraan Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu di Kademangan Kleringan?"
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Ternyata Prastawa masih juga mensisakan perhatiannya kepada Kanthi.
Dengan nada dalam Ki Jayaraga berkata, "Nampaknya tidak akan ada hambatan yang berarti. Kedua orang tua Kanthi menyerahkan segala sesuatunya kepada Kanthi sendiri untuk mengambil keputusan. Karena Kanthi-pun yang paling mengetahui kemungkinan yang terbaik baginya."
"Sokurlah," berkata Prastawa, "bagaimana-pun juga, aku merasa terkait dalam persoalannya yang kemudian menjadi rumit itu."
"Kau tidak usah menambah beban perasaanmu dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak perlu kau pikirkan," Swandaru-pun telah menyahut pula.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Tetapi, ia tidak menjawab. Sementara Prastawa-pun berkata, "Nalarku memang mengatakan demikian kakang. Tetapi perasaanku ternyata tidak sejalan. Setiap kali aku teringat Kanthi. maka aku ikut menjadi berdebar-debar."
Swandaru tertawa. Dengan nada tinggi berkata, "Jika demikian, maka segala sesuatu akan tersangkut didalam hatimu. Sedikit demi sedikit akan bertumpuk, sehingga akhirnya akan menjadi beban yang tidak terangkat."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan dikatakan. Tetapi Prastawa masih harus menahan diri."
Mereka ternyata tidak terlalu lama lagi berada dirumah Ki Argajaya. Berulang kali Ki Argajaya mengucapkan terima kasih ketika tamu-tamunya minta diri.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih akan singgah di rumah Ki Gede, sementara Ki Jayaraga langsung pulang ke rumah Agung Sedayu.
Di rumah Ki Gede, Swandaru sekali lagi memberitahukan kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah, bahwa besok lusa Swandaru dan Pandan Wangi akan kembali akan ke Sangkal Putung.
"Besok lusa kami akan berangkat pagi-pagi sekali," berkata Swandaru, "kecuali aku sudah terlalu lama meninggalkan tugas-tugasku, agaknya anakku tentu sudah selalu mempertanyakan ayah dan ibunya."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Agung Sedayu-pun berkata, "Besok lusa, pagi-pagi sekali, aku akan datang kemari."
"Terima kasih," jawab Swandaru, "bahkan aku berharap kakang berdua pergi ke Sangkal Putung barang satu dua hari. Ayah selalu menanyakan Sekar Mirah."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil Sekar Mirah itu berkata, "Aku sebenarnya juga merasa rindu untuk menemui keluarga di Sangkal Putung. Tetapi entahlah, kapan aku akan dapat sampai ke sana."
"Kalau kau dapat pulang sekitar dua pekan sebelum hari pernikahan Prastawa, maka kita akan dapat bersama-sama menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan ini," berkata Swandaru.
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Tetapi agaknya para prajurit harus bersiaga di barak masing-masing."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tetapi mudah-mudahan kakang Agung Sedayu sempat meninggalkan baraknya barang satu dua hari."
Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia menyahut, "Mudah-mudahan kami mendapatkan waktu itu."
Hari-pun kemudian menjadi gelap. Ketika lampu-lampu telah menyala, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah-pun minta diri untuk pulang.
Dalam pada itu, perasaan Wacana dan Kanthi rasa-rasanya tidak lagi dibebani oleh ketegangan. Mereka berdua rasa-rasanya telah melihat sebuah pintu yang terbuka, setelah beberapa lama mereka terkungkung didalam ruangan yang gelap. Seberkas cahaya rasa-rasanya telah terlempar jatuh kedalam, menembus kegelapan.
Agung Sedayu yang secara khusus berbicara dengan Sekar Mirah dan Ki Jayaraga, berkesimpulan, bahwa sebaiknya hari pernikahan Wacana dilangsungkan lebih dahulu dari Prastawa, karena mereka menyadari, bahwa upacara pernikahan itu tentu akan jauh berbeda. Pernikahan Wacana dan Kanthi akan dilangsungkan dalam keadaan yang jauh lebih sederhana.
"Aku akan berbicara dengan Prastawa sendiri," berkata Agung Sedayu, "aku harap ia dapat mengerti, kenapa justru pernikahan Wacana dan Kanthi sebaiknya diselenggarakan lebih dahulu. Jika pernikahan Wacana dan Kanthi yang diselenggarakan dengan cara yang sederhana itu dilakukan kemudian, maka rasa-rasanya suasana pernikahan yang diselenggarakan jauh lebih besar dan lengkap."
"Prastawa tentu dapat mengerti," desis Ki Jayaraga.
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Wacana, maka anak muda itu berkata, "Aku menyerahkan segala sesuatunya kepada keluarga disini. Aku sangat merasa berhutang budi kepada seisi rumah ini."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau tidak perlu merasa berhutang budi. Bukankah kita memang berkewajiban saling menolong?"
Wacana menundukkan kepalanya. Terbayang kembali di dalam angan-angannya, saat ia datang ke Tanah Perdikan itu. Ia datang untuk melepaskan dendamnya kepada Sabungsari yang dianggapnya telah menjadi penghalang niatnya untuk mendapatkan seorang gadis yang masih sanak kadangnya sendiri. Wacana masih ingat jelas, bagaimana ia dikalahkan oleh Sabungsari dengan cara yang khusus.
"Jika saja Sabungsari itu seorang pembunuh," katanya didalam hati, "aku tentu tidak akan pernah bertemu dengan Kanthi."
"Bukan saja Sabungsari telah membiarkannya hidup, tetapi seisi rumah itu-pun bersikap baik kepadanya."
Dengan demikian, maka mereka-pun telah memutuskan bahwa pernikahan Wacana dengan Kanthi akan dilakukan sebelum pernikanan Prastawa dengan Angreni. Namun segala sesuatunya tentu masih juga tergantung keluarga Kanthi sendiri.
Dalam pada itu, ketika saatnya tiba, maka pagi pagi sekali Agung Sedayu, Sekar Mirah, bahkan Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede. Hari ini, Swandaru dan Pandan Wangi akan kembali ke Kademangan Sangkal Putung setelah beberapa lama mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam kesempatan itu, Swandaru masih sempat berkata kepada Agung Sedayu, "Kakang, sebagai murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk, maka kakang mempunyai hak untuk menentukan, dimana kitab guru itu harus disimpan. Mungkin kakang masih memerlukannya, sehingga terserah kepada kakang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia sudah terbiasa dengan sifat adik seperguruannya itu. Karena itu, maka tanpa timbul kesan apa-pun didalam hatinya, ia menjawab, "Guru memberi kesempatan yang sama kepada kita untuk mempelajari isi kitab itu. Sebaiknya kapan kita masing-masing memerlukan, maka ia akan menyimpan kitab itu."
"Aku setuju. Tetapi nampaknya kakang lebih memerlukan daripada aku. Karena itu, maka biarlah kakang menyimpan kitab itu. Jika pada saatnya aku memerlukannya, maka aku akan mengatakannya kepada kakang," berkata Swandaru kemudian.
"Baiklah," jawab Agung Sedayu, "aku akan menyimpannya dengan baik."
Glagah Putih mendengar pembicaraan itu. Nampaknya dahinya berkerut. Tetapi ia tidak berani dan merasa tidak berhak untuk menyatakan pendapatnya. Bahkan Pandan Wangi dan Sekar Mirah-pun tidak mencampuri pembicaraan kedua orang saudara seperguruan itu.
Meski-pun demikian, Sekar Mirah dan bahkan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar mendengarnya.
Dalam pada itu, maka Swandaru dan Pandan Wangi-pun kemudian telah minta diri kepada semua orang yang datang untuk melepaskan keberangkatannya. Diantara mereka terdapat pula Ki Argajaya dan Prastawa.
Kepada Sekar Mirah, Pandan Wangi sempat berdesis, "Salamku buat Rara Wulan. Aku kira ia akan ikut bersamamu datang kemari pagi ini."
"Ia harus menemani Kanthi di rumah," jawab Sekar Mirah.
Mendengar jawab Sekar Mirah itu, Swandaru berpaling, ia sudah terlalu banyak mendengar nama Kanthi disebut-sebut. Namun Pandan Wangilah yang mendahuluinya, "Ya. Bagaimana juga Kanthi masih memerlukan seseorang yang dapat menjadi kawan untuk membantunya membawa beban."
Swandaru menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Demikianlah, maka menjelang matahari terbit, Swandaru dan Sekar Mirah meninggalkan rumah Ki Gede kembali ke Sangkal Putung. Dengan penuh kepereayaan kepada diri sendiri, maka Swandaru akan menempuh berjalanannya yang cukup panjang.
Ketika mereka keluar dari regol di mulut jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, langit sudah menjadi semakin cerah. Berkas-berkas cahaya matahari yang kekuning-kuningan telah menusuk awan yang selembar-selembar dihanyutkan angin pagi.
Swandaru dan Pandan Wangi mulai melarikan kuda mereka, meski-pun tidak terlalu kencang.
Keduanya telah memilih menyeberang di penyeberangan sisi Selatan. Mereka berniat untuk menempuh perjalanan melewati Mataram. Hanya untuk sekedar melihat-lihat. Karena itu, maka Pandan Wangi telah menyesuaikan pakaiannya dengan perjalanan yang ingin ditempuhnya, sehingga Pandan Wangi menurut ujudnya tidak ubahnya sebagai seorang laki-laki. Baju lurik ketan ireng yang longgar serta rambut yang rapi disanggul dibawah ikat kepalanya sebagaimana juga Swandaru yang rambutnya terhitung panjang meski-pun tidak sepanjang rambut Pandan Wangi.
Swandaru dan Pandan Wangi memang tidak menarik perhatian di sepanjang perjalanan mereka. Setiap orang yang berpapasan atau yang kebetulan melihat keduanya saat keduanya mendahului mereka, tidak seorang-pun yang mengira bahwa seorang diantara keduanya adalah seorang perempuan.
Namun Pandan Wangi memang harus menjaga diri jika ia berbicara sehingga tidak didengar oleh orang lain kecuali Swandaru, karena suara Pandan Wangi akan dapat menarik perhatian orang lain jika mereka mendengarnya.
Ketika keduanya menyeberangi Kali Praga dengan rakit bersama-sama dengan beberapa orang yang lain, maka pandan wangi benar-benar harus memandangi wajah Swandaru yang berkerut. Bahkan kadang-kadang Pandan Wangi hampir tidak dapat menahan tertawanya justru mentertawakan dirinya sendiri.
Untunglah bahwa orang-orang yang kebetulan bersama mereka dialas rakit yang sama, sama sekali tidak menghiraukan keduanya. Sehingga keduanya kemudian meninggalkan tepian tanpa hambatan apa-pun juga.
Demikian pula perjalanan mereka sampai di Mataram.
Demikian mereka memasuki gerbang kota, maka Swandaru-pun segera merasakan kesiagaan Mataram yang tinggi. Beberapa orang prajurit bersiaga di sebuah gardu dekat pintu gerbang. Demikian pula para prajurit yang meronda di jalan-jalan. Bukan saja di jalan-jalan utama, tetapi bahkan di jalan-jalan kecil-pun rasa-rasanya tidak luput dari pengamatan para prajurit yang meronda.
Terasa betapa udara yang panas yang berhembus dari Pati telah menghangatkan suasana di Mataram.
Dengan demikian maka Swandaru-pun menduga bahwa para pemimpin di Mataram telah memperhitungkan bahwa kemungkinan yang terbesar akan terjadi perang. Nampaknya segala usaha yang ditempuh selama ini tidak menemukan jalan keluar. Agaknya kedua belah pihak tetap berpegang pada sikap mereka masing-masing.
"Seharusnya Mataram tidak perlu menunda-nunda lagi," berkata Swandaru.
"Agaknya selama ini Mataram masih melihat satu kemungkinan betapa-pun kecilnya untuk mencari penyelesaian tanpa kekerasan," sahut Pandan Wangi.
Tetapi Swanrjaru itu menggeleng sambil berdesis, "Yang betapa-pun kecilnya itu ternyata hanya sebuah mimpi buruk saja."
"Tetapi bagaimana-pun juga, para pemimpin di Mataram dan di Pati tentu tidak akan menutup mata tentang satu kemungkinan yang pahit jika perang pecah," berkata Pandan Wangi.
"Jika demikian, maka kedua belah pihak harus bersedia mengorbankan kepentingan mereka masing-masing meski-pun serba sedikit. Bukankah wajar, jika kedua belah pihak berkeras untuk mempertahankan sikap masing-masing, kemudian timbul perang" Perang memang sama artinya dengan pembunuhan, kekerasan, kekejian dan tingkah laku lainnya yang dibenci orang. Tetapi bukankah kita tahu bahwa untuk menghindari perang harus ada satu persetujuan" Bagaimana mungkin kita ingin menghindari perang sekaligus ingin menghindari satu persetujuan karena masing-masing berpijak pada sikapnya. Betapa-pun masing-masing pihak meneriakkan usaha menghindari perang dan menuduh pihak yang lain memaksakan kekerasan, tetapi tanpa disertai kesediaan untuk memberi dan menerima, bagaimana mungkin perang itu dapat dihindari" Di satu pihak dengan melanggar paugeran beberayan agung telah menuduh pihak yang lain melanggar paugeran beberayan agung itu. Bukankah ini tidak lebih pikiran yang menyimpang dari penalaran wajar?"
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia mengangguk. Memang apa yang terjadi antara Pati dan Mataram adalah sikap keras dari masing-masing pihak.
Dalam pada itu, Swandaru-pun berdesis pula, "Menurut pendapatku, akan terjadi perang antara Pati dan Mataram."
"Dengan menunda terjadinya perang, masih ada kemungkinan untuk menemukan titik temu itu, kakang. Mungkin sesuatu tiba-tiba mencuat dari satu pihak. Satu gagasan yang memungkinkan dicapainya satu persetujuan. Tetapi jika perang itu sudah terjadi, maka kemungkinan seperti itu tidak akan ada," desis Pandan Wangi.
Swandaru tertawa. Katanya, "Aku dapat mengerti jalan pikiranmu. Tetapi dalam persoalan Mataram dan Pati, nampaknya kesempatan seperti itu tidak akan pernah ada."
"Doa dari mereka yang membenci dan ketakutan menghadapi peperangan mungkin akan dapat berpengaruh," desis Pandan Wangi.
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah keduanya-pun telah melintasi jalan-jalan kota Mataram. Beberapa saat kemudian, mereka telah keluar dari pintu gerbang di sisi yang lain. Apa yang mereka lihat di Mataram, menunjukkan kepada mereka, bahwa Mataram telah sampai pada satu kesiagaan tertinggi untuk menghadapi Pati.
Demikian Swandaru dan Pandan Wangi lepas dari pintu gerbang kota, maka kuda mereka -pun berlari semakin cepat menuju ke Sangkal Putung.
Keduanya tidak mengalami hambatan yang berarti di perjalanan. Mereka memang harus berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat. Juga memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Di dalam kedai itu, Pandan Wangi harus benar-benar menjaga diri, agar suaranya tidak didengar dan menarik perhatian orang lain.
Namun kemudian, mereka telah meneruskan perjalanan mereka dengan selamat sampai ke Sangkal Putung.
Betapa rindunya Pandan Wangi kepada anaknya, sehingga begitu ia meloncat turun dari kudanya, maka ia-pun segera berlari-lari mencari anaknya yang tidak menyongsongnya.
Di Tanah Perdikan Menoreh, ketika senja turun, Agung Sedayu telah menemui Prastawa yang kebetulan sedang berada di banjar. Dengan berterus-terang Agung Sedayu minta pengertian Prastawa, bahwa keluarganya merencanakan untuk mengadakan upacara pernikahan Wacana dan Kanthi sebelum hari pernikahan Prastawa.
Tidak ada maksud apa-apa, Prastawa. Kecuali sekedar memberikan sedikit kesan kepada pernikahan itu. Jika pernikahanmu dilaksanakan lebih dahulu, maka pernikahan Wacana dan Kanthi akan tenggelam. Setidak-tidaknya kesannya bagi Wacana sendiri.
Ternyata Prastawa dengan hati terbuka menjawab, "Silahkan Ki Lurah. Aku sama sekali tidak mempunyai keberatan apa-apa. Bahkan aku akan mendapat kesempatan untuk membantu terselenggaranya pernikahan itu."
"Terima kasih," desis Agung Sedayu sambil mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Bagaimana dengan Ki Gede dan Ki Argajaya?"
"Tidak akan ada masalah pada keduanya. Aku sendiri akan menyampaikan hal itu kepada mereka. Ayah dan paman tentu akan ikut merestuinya," jawab Prastawa.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya sudah tidak akan ada hambatan yang berarti lagi. Nampaknya segala pihak telah memberikan isyarat bahwa pernikahan itu akan dapat berlangsung dengan lancar.
Demikianlah, maka melalui pembicaraan-pembicaraan yang terus-menerus, maka telah ditentukan waktunya pula untuk mengantarkan Kanthi pulang. Seperti saat mereka pergi ke Tanah Perdikan, maka Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan akan mengantar Kanthi pulang ke rumahnya.
Sementara itu, Glagah Putihlah yang hilir mudik menjadi penghubung antara keluarga Kanthi dengan keluarga Ki Lurah Agung Sedayu, yang mengambil alih kedudukan orang tua Wacana yang masih belum sempat dihubungi.
Namun menurut Wacana, mereka tidak usah memikirkannya, karena menurut pendapat Wacana tidak akan ada persoalan dari orang tuanya mau-pun pamannya di Mataram.
Ketika sampai pada waktunya Kanthi harus pulang ke rumahnya, maka terasa betapa beratnya meninggalkan rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu. Bukan karena di rumah itu ada Wacana, tetapi justru karena ia merasa di rumah itu mendapat perlindungan, sehingga ia menemukan ketenangan. Bahkan kemudian di rumah itu pula ia menemukan kembali hari depanya yang rasa-rasanya sudah hilang.
Tetapi Kanthi-pun menyadari, bahwa ia memang harus pulang. Semakin dekat saatnya hari pernikahannya, maka ia harus sudah berada di rumahnya.
Seperti saat Kanthi pergi ke Tanah Perdikan, maka perjalanan kembali ke Kademangan Kleringan itu-pun Kanthi diantar oleh Ki Jayaraga, Rara Wulan dan Glagah Putih. Juga seperti saat Kanthi pergi, maka Kanthi-pun minta diantar pulang di malam hari.
Justru karena Kanthi semakin mengenali siapakah Ki Jayaraga, Rara Wulan dan Glagah Putih, maka ia-pun sama sekali tidak merasa gentar berjalan di malam hari. Seandainya mereka bertemu dengan binatang buas sekalipun, Kanthi tidak perlu menjadi ketakutan.
Perjalanan kembali itu-pun ditempuh Kanthi dalam waktu yang terhitung panjang. Selain jalan yang naik dan turun di lereng pegunungan, maka gelap malampun merupakan hambatan yang harus diatasi.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski-pun demikian, perjalanan kembali ke Kademangan Kleringan itu ternyata lebih cepat dari saat Kanthi pergi ke Tanah Perdikan. Meski-pun iring-iringan kecil itu juga harus berhenti beberapa kali sepanjang perjalanan, namun didini hari, sebelum fajar, maka sudah sampai di rumah Ki Suracala.
Kedatangan Kanthi memang mengejutkan. Tetapi juga menggembirakan. Ibunya yang masih belum sempat membenahi dirinya, telah memeluk Kanthi sambil menangis. Demikian pula kakak perempuannya yang juga tidak dapat menahan air matanya.
Ki Suracala-pun kemudian telah mempersilahkan Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan naik pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.
Didini hari itu, maka dapur rumah Ki Suracala telah mulai berasap. Sementara Ki Suracala dan Nyi Suracala mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kebaikan dari Ki Jayaraga dan keluarga Ki Lurah Agung Sedayu itu.
"Bukan apa-apa, Ki Suracala," sahut Ki Jayaraga, "bukankah itu sudah menjadi kewajiban kita semuanya?"
"Tetapi jarang sekali dijumpai seseorang atau sebuah keluarga yang demikian baik seperti keluarga Ki Lurah Agung Sedayu," desis Ki Suracala.
Demikianlah, maka menjelang fajar, telah dihidangkan minuman hangat untuk menyegarkan badan mereka yang baru saja menempuh perjalanan dalam dinginnya malam.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga bukan saja menyerahkan Kanthi kepada kedua orang tuanya, tetapi ia juga berbicara dengan Ki Suracala tentang pelaksanaan pernikahan antara Wacana dan Kanthi. Ki Jayaraga dan Ki Suracala kemudian telah mendapatkan kesepakatan waktu, bahwa pernikahan itu akan dilakukan sepuluh hari sebelum pernikahan Prastawa.
Waktunya memang sudah terlalu sempit. Tetapi bagi Kanthi dan keluarganya, semakin cepat pernikahan itu diselenggarakan, tentu akan menjadi semakin baik.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mendapatkan perintah-perintah baru dari Mataram. Ia benar-benar harus mempersiapkan prajurit-prajuritnya untuk setiap saat menghadapi perang yang kemungkinan besar akan pecah.
Dengan demikian Agung Sedayu hampir setiap hari mempersiapkan latihan-latihan yang semakin sering dilakukan oleh para prajurit dari Pasukan Khususnya. Bahkan sudah datang perintah, bahwa para prajurit tidak boleh minta ijin meninggalkan barak sama sekali.
Ketika hal itu disampaikan kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah-pun menjadi berdebar-debar. Pada suatu saat, tentu terjadi, bahwa Agung Sedayu sendiri tidak keluar pula dari baraknya. Itu berarti bahwa Agung Sedayu akan tidur didalam barak itu pula, sehingga tidak setiap hari dapat pulang sebagaimana dilakukannya sehari-hari.
Tetapi untuk sementara Agung Sedayu masih dapat menangani pasukannya sebagaimana hari-hari biasa. Ia datang ke baraknya pagi-pagi. Kemudian menjelang sore hari, Agung Sedayu pulang ke rumah. Namun pada saat-saat terakhir, Agung Sedayu berangkat lebih pagi dan pulang lebih lambat.
Dengan sungguh-sungguh, para prajurit dari Pasukan Khusus itu berlatih dari hari ke hari. Setiap hari, secara khusus Agung Sedayu memberikan latihan-latihan yang berat kepada para pemimpin kelompoknya. Bahkan Agung Sedayu selalu melakukan penilikan pribadi atas para pemimpin kelompoknya itu.
Dalam pada itu, usaha yang dilakukan oleh Mataram untuk mencari penyelesaian yang lebih baik dari perang, masih belum berhasil. Utusan-utusan yang dikirim oleh Panembahan Senapati selalu kembali dengan tangan hampa. Sehingga para pemimpin Mataram akhirnya telah kehilangan kesabaran. Para Pangeran tidak lagi telaten menghadapi sikap Panembahan Senapati yang masih saja mencari jalan untuk memecahkan persoalan yang timbul antara Mataram dan Pati.
Dengan mengingat bahwa ayahnya, Ki Gede Pemanahan, yang kemudian juga disebut Ki Gede Mataram dengan Ki Penjawi, ayah Kangjeng Adipati Pati adalah saudara seperguruan yang bahkan sudah seperti saudara kandung sendiri, maka Panembahan Senapati masih berusaha untuk menyabarkan para pemimpin di Mataram.
Tetapi nampaknya sejak Kangjeng Adipati meninggalkan Madiun dengan tergesa-gesa setelah perang Madiun berakhir, hatinya tidak pernah dapat dilunakkan kembali.
Utusan yang mondar-mandir mencari kemungkinan-kemungkinan untujk membuat penyelesaian yang paling baik tanpa mempergunakan tajamnya senjata, nampaknya tidak ada artinya sama sekali.
Justru para pemimpin di Mataram terkejut ketika datang utusan dari Pati untuk menghadap Panembahan Senapati langsung tanpa pemberitahuan lebih dahulu.
Tetapi Panembahan Senapati tidak menolak. Panembahan Senapati telah memberi kesempatan utusan itu menemuinya.
Beberapa orang Pangeran serta Ki Patih Mandaraka ikut menemui utusan itu.
Apa yang dikemukakan utusan itu sangat mengejutkan pula. Dengan tanpa segan-segan utusan itu berkata, "Ampun Panembahan. Hamba menyampaikan permohonan Kangjeng Adipati Pati, agar Kangjeng Adipati mendapat pengesahan atas kuasanya di sebelah Utara Pegunungan Kendeng."
"Apa?" diluar sadarnya Pangeran Singasari yang merasa tersinggung sebagaimana para pemimpin Mataram.yang lain menyahut, "Apakah Kangjeng Adipati Pati sedang sakit panas dan mengigau tanpa kendali nalarnya?"
Utusan itu tersenyum. Katanya, "Satu permohonan yang sangat wajar, karena pada dasarnya sebelah Utara Pegunungan Kendeng adalah daerah Pati."
"Tidak," sahut Pangeran Mangkubumi.
Namun Panembahan Senapati-pun kemudian menengahi, "Biarlah aku yang mengambil keputusan."
Para Pangeran itu-pun menundukkan wajah mereka. Sementara Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam.
"Bagaimana pendapat paman Patih Mandaraka, jika aku memenuhi permintaan Adimas Adipati Pati."
"Tidak mungkin," berbareng beberapa orang Pangeran menyahut.
Ki Mandaraka memandang beberapa orang Pangeran itu. Namun kemudian katanya, "terserah kepada kebijaksanaan Panembahan."
Panembahan Senapati tahu, bahwa Ki Patih Mandaraka dengan demikian menyetujui kebijaksanaannya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada utusan itu, "Kembalilah ke Pati. Salamku buat Adimas Adipati Pati. Aku tidak berkeberatan dengan permohonannya. Daerah di sebelah Utara Pegunungan Kendeng aku lepaskan untuk menjadi lingkungan kuasa Pati."
Wajah para pemimpin Mataram menjadi tegang. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu setelah keputusan itu diucapkan oleh Panembahan Senapati. Tidak seorang-pun yang akan mampu mengoyahkannya lagi.
Tetapi utusan itu masih berkata lagi, "Terima kasih Panembahan. Tetapi masih ada permohonan Kangjeng Adipati Pati."
"Apa lagi" Leher para pemimpin di Mataram?" geram pangeran Singasari.
Utusan itu tertawa. Katanya, "Pangeran ternyata senang bergurau."
Wajah Pangerah Singasari menjadi merah. Tetapi sekali lagi Panembahan Senapati menengahi, "Aku akan memberikan keputusan."
Pangeran Singasari terdiam. Sementara Panembahan Senapati bertanya, "Apalagi yang diminta oleh Adimas Adipati di Pati?"
"Ampun Panembahan, Kangjeng Adipati mohon, sudilah kiranya Panembahan menghadiahkan seratus batang tombak bagi para prajurit di Pati."
Wajah Panembahan Senapatilah yang kemudian menjadi tegang. Ia sadar, bahwa sulit bagi Mataram untuk menghindari perang antara Mataram dan Pati. Permohonan itu bagi Panembahan Senapati terdengar bagaikan bunyi genderang perang yang sengaja ditabuh di depan telinga Panembahan Senapati.
Namun Panembahan Senapati masih menahan diri. Dicobanya untuk tersenyum sambil menjawab, "Aku tidak berkeberatan. Tetapi yang akan aku berikan hanya mata tombaknya saja. Bawalah seratus mata tombak dan landean dalam keutuhannya merupakan senjata yang banyak dipergunakan di medan perang gelar."
Utusan itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata, "Panembahan. Kangjeng Adipati Pati sangat mengagumi tombak dan landean buatan Mataram, itulah sebabnya, maka Kangjeng Adipati memohon untuk mendapat hadiah tombak yang utuh sebanyak seratus batang."
"Sayang," jawab Panembahan Senapati, "landean tombak yang ada di Mataram masih akan kami pergunakan sendiri. Jika terjadi perang, maka landean itu akan sangat berarti bagi para prajurit. Landean kayu berlian bagi Mataram lebih berharga dari mata tombak yang tertimbun di bangsal senjata."
Dahi utusan dari Pati itu berkerut. Namun kemudian ia berkata, "Apaboleh buat. Kami akan membawa mata tombak itu dan kami akan menyampaikan pesan Panembahan kepada Kangjeng Adipati Pati, bahwa Mataram sendiri kekurangan landean tombak jika terjadi perang."
Panembahan Senapati menarik nafas panjang. Tetapi ia justru mengangguk sambil berkata, "Ya. Kami memang kekurangan landean tombak yang baik. Tetapi terhadap musuh yang tidak berarti, kami dapat mempergunakan landean dengan pring cendani yang menghutan di Mataram."
Wajah utusan itulah yang menjadi merah. Tetapi utusan itu mencoba juga tersenyum sebagaimana Panembahan Senapati.
"Terima kasih Panembahan," berkata utusan itu kemudian, "mata tombak yang hanya seratus itu akan berarti bagi kami meski-pun prajurit Pati jumlahnya beribu-ribu."
Panembahan Senapati tersenyum saja. Namun seorang Pangeran justru berkata, "Jika mata tombak itu hanya seratus, tetapi jumlah prajurit Pati beribu-ribu, apakah yang lain cukup bersenjata lembing bambu dengan bedor besi?"
Telinga utusan itu terasa menjadi panas. Tetapi ia harus tetap menyadari bahwa ia sedang berada di Mataram, dihadapan Panembahan Senapati, Ki Patih Mandaraka, para Pangeran dan para pemimpin Mataram yang lain.
Karena itu, maka utusan itu hanya dapat mengatupkan giginya rapat-rapat. Justru karena gejolak jantungnya yang menghentak-hentak, maka utusan itu bagaikan terbungkam.
"Sudahlah," berkata Panembahan Senapati, "pulanglah. Serahkan mata tombak itu kepada Adimas Adipati. Katakan pula kepadanya, bahwa Mataram masih memiliki mata tombak sebangsal penuh."
"Hamba, Panembahan," jawab utusan itu, yang kemudian segera mohon diri untuk meninggalkan istana dan meninggalkan Mataram.
Di sepanjang jalan pulang, utusan itu sempat berkata kepada kawan-kawannya, "Panembahan Senapati nampaknya ingin memberitahukan kepada Kangjeng Adipati Pati, bahwa Matarampun sudah siap menghadapi segala kemungkinan."
Seorang kawannya yang rambutnya sudah memutih menyahut dengan nada dalam, "Aku tidak tahu, kenapa Panembahan Senapati begitu mudahnya menyerahkan kuasa di sebelah Utara Pegunungan Kendeng kepada Kangjeng Adipati."
Seorang yang lain-pun menyahut, "Nampaknya ikatan persaudaraan antara Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati masih tetap ingin dipertahankan oleh Panembahan Senapati."
"Ya Bagaimana-pun juga sebagai kakak ipar, Panembahan Senapati masih berusaha untuk mengekang diri," desis orang yang rambutnya sudah menjadi putih itu.
Para utusan itu hanya dapat mengangguk-angguk. Mereka memang sulit untuk menjajagi jalan pikiran Panembahan Senapati. Sikapnya kadang-kadang terasa lunak. Namun terbayang juga kesiagaan Mataram menghadapi keadaan yang paling buruk sekalipun.
Di Mataram, beberapa orang Pangeran dan Senapati prajurit memang merasa kecewa. Mereka menganggap bahwa Panembahan Senapati masih saja memanjakan Kangjeng Adipati Pati yang nampaknya sudah mengirimkan tantangan langsung kepada Mataram dengan permintaannya yang aneh itu.
Di Kepatihan, Ki Patih Mandaraka yang berbincang dengan seorang Tumenggung berkata, "Nampaknya Kangjeng Adipati Pati benar-benar tidak dapat melihat kenyataan bahwa Panembahan Senapati, kakang iparnya itu, mengambil puteri Madiun sebagai isterinya. Ada beberapa alasan. Mungkin Kangjeng Adipati yang bertempur mempertaruhkan nyawa merasa sangat kecewa, bahwa perang Madiun hanya diakhiri dengan kisah asmara antara pemimpin tertinggi Mataram dengan puteri Madiun. Ada orang yang menduga bahwa sebenarnya Kangjeng Adipati Pati sendiri mengiginkan puteri Madiun itu. Tetapi menurut pendapatku, yang paling mungkin adalah justru karena Kangjeng Adipati menjadi sangat kecewa, bahwa kakak perempuannya telah diperbandingkan dengan puteri dari Madiun ini. Sudah tentu Kangjeng Adipati Pati tidak ingin kedudukan kakak perempuannya didesak oleh puteri dari Madiun, putera Panembahan Mas, yang masih dialiri darah Sultan Demak."
Tumenggung itu mengangguk-angguk mengiakan. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Demikianlah, maka kedatangan utusan dari Pati itu merupakan isyarat bagi Mataram untuk meningkatkan kesiagaan. Panembahan Senapati telah mengulangi perintahnya, agar setiap kesatuan bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Berita tentang kehadiran para utusan dari Pati itu segera telah tersebar. Terutama dilingkuiigan para prajurit. Para Senapati yang saat itu melihat langsung kehadiran utusan itu dipenghadapan Panembahan Senapati telah mempertegas perintah Panembahan Senapati. Mereka seakan-akan telah memastikan, bahwa perang tidak akan mungkin dihindari.
Seperti juga para prajurit yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, berada di Ganjur, di Pagunungan Kidul dan yang lain-lain, maka Untara-pun telah mendapat perintah untuk menempatkan pasukannya dalam kesiagaan tertinggi. Perintah itu harus disampaikan pula kepada para Demang di sekitar barak-barak pasukan, terutama Kademangan-kademangan yang memiliki kekuatan yang besar seperti Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka Swandaru-pun telah menerima perintah serupa pula.
Kepada Pandan Wangi, Swandaru itu-pun berkata, "Aku jadi ragu, apakah pada saatnya kita dapat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menunggui pernikahan Prastawa."
"Jika keadaan menjadi semakin panas, mungkin kita memang tidak akan sempat pergi. Tetapi jika masih memungkinkan, meski-pun hanya dua atau tiga malam, kita perlukan menunggui pernikahan Prastawa itu."
Swandaru mengangguk-angguk. Masih dengan ragu ia berdesis, "Mudah-mudahan. Sebaiknya untuk itu aku akan berbicara dengan kakang Untara langsung, ia adalah seseorang yang mendapat tugas sebagai pengikat kekuatan yang ada di Jati Anom dan sekitarnya."
"Aku kira memang ada baiknya, kakang Swandaru menemui kakang Untara, Karena kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan, tentu kakang Untara akan memberikan perhatian lebih besar terhadap pernikahan Prastawa itu."
Sementara itu, seperti di Tanah Perdikan Menoreh, maka Untara telah meningkatkan latihan-latihan bagi prajurit-prajuritnya untuk menghadapi keadaan yang semakin memanas itu.
Setiap hari kelompok-kelompok prajurit berada di tempat-tempat terbuka untuk berlatih. Bukan saja latihan-latihan perang gelar, tetapi juga ketrampilan dan kemampuan setiap orang dalam olah senjata.
Disamping latihan-latihan di tempat terbuka, maka beberapa sanggar prajurit di Jati Anom setiap saat terisi oleh pemimpin-pemimpin kelompok yang mendapat latihan-latihan khusus menghadapi keadaan yang paling gawat serta peningkatan kemampuan secara pribadi.
Latihan-latihan yang terasa semakin banyak dan bahkan semakin keras itu telah berpengaruh pula kepada tatanan kehidupan di sekitarnya. Orang-orang padesan mulai berbicara tentang kemungkinan perang yang dapat terjadi antara Mataram dan Pati.
Seruling Kematian 2 Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni Godfather Terakhir 3
^