Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


Agung Sedayu dengan serta merta menyahut, "Sebut nama perguruanmu dan sebut namamu."
"Itu tidak perlu Ki Lurah," jawab orang itu.
"Jika demikian, aku tidak akan menyerah. Laporanku tentu dianggap tidak lengkap. Apakah aku hanya cukup mengatakan bahwa pasukan kecilku dibantai oleh sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berjanggut pendek yang sudah memutih ?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Baiklah. Rasa-rasanya aku memang ingin membunuhmu."
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar, bahwa lawannya tentu orang berilmu tinggi yang menyejajarkan diri dengan seorang yang disebut Ki Gede Candra Bumi dan bahkan Kangjeng Adipati Pragola sendiri.
Melihat sikap Agung Sedayu, maka orang berjanggut Putih itu berkata, "Baiklah. Agaknya kau memang seorang Lurah prajurit yang baik. Karena itu, kita akan menyelesaikan persoalan kita di arena pertempuran. Agaknya kau ingin mati sebagai seorang prajurit. Bukan sebagai seorang pengecut."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur dengan garangnya. Ketika orang berjanggut putih itu sempat melihat sekilas, maka ia-pun menggeram, "Setan prajurit-prajurit Mataram."
Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya lebih kecil dari lawannya itu mampu mengimbangi kekuatan lawannya. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu tidak mampu menguasai medan. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur sambil bergerak dengan cepat. Mereka bergeser menghindar, namun sambil menyerang.
Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu dengan cepat telah mengerahkan kemampuan mereka. Agaknya pemimpinnya itu telah memerintahkan agar mereka dengan cepat pula menguasai lawannya. Bahkan membunuh mereka sampai hanya tersisa dua orang saja.
Tetapi ternyata mereka tidak segera dapat melakukannya. Meski-pun Pasukan Elang Emas adalah mereka yang terpilih dari tataran terbaik dari perguruannya, tetapi menghadapi Pasukan Khusus yang ditempa oleh Agung Sedayu itu, para Putut dan cantrik terpilih itu tidak segera dapat menguasainya.
Sebenarnyalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya para cantrik dari sebuah Padepokan yang berlatih dengan bersungguh-sungguh tanpa mengenal jenuh. Mereka ditilik secara pribadi oleh Agung Sedayu, seorang Lurah Prajurit yang kebetulan memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi.
Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun kemudian telah menjadi semakin sengit Para Putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berusaha dengan cepat menghancurkan lawan-lawannya, sementara para prajurit dari Pasukan Khusus-pun dengan tegar mengimbanginya.
Untuk beberapa saat orang berjanggut pendek yang berwarna keputih-putihan itu sempat melihat keadaan medan. Dahinya berkerut semakin dalam. Ia tidak menduga, bahwa kemampuan prajurit Mataram itu mampu mengimbangi para Putut dan cantrik terpilihnya yang termasuk dalam pasukan Elang Emas itu.
Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun bekal mereka memang sudah cukup untuk menghadapi pasukan Elang Emas itu.
Dengan pedang keprajuritan yang dibuat khusus bagi Pasukan Khusus itu, para prajurit Mataram menghadapi tongkat-tongkat baja di tangan para Putut dan cantrik itu. Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak pendek memutar tombaknya seperti baling baling. Benturan benturan telah terjadi. Para Putut dan cantrik itu berusaha untuk mematahkan landean tombak pendek yang terbuat dari kayu itu. Tetapi tangan-tangan para prajurit yang trampil itu mampu menghindari benturan langsung. Bahkan sedap kali ujung tombak itu terayun mendatar menyambar ke arah lambung dan dada, sehingga para cantrik itu harus berloncatan mundur.
"Apa yang telah kau perbuat atas para prajuritmu, sehingga mereka memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi itu ?" bertanya orang berjanggut pendek itu.
"Bukankah setiap prajurit Mataram harus berilmu tinggi ?" jawab Agung Sedayu.
"Kau memang sombong. Tetapi sebentar lagi kau akan mati dan semua prajuritmu akan mati."
Agung Sedayu tidak mejawab. Ketika orang berjanggut pendek itu bergesar, maka Agung Sedayu-pun bergeser pula.
"Tetapi kau memang tidak akan mati lebih dahulu, Ki Lurah. Aku akan melumpuhkanmu dan memaksamu melihat satu demi satu prajurit-prajuritmu dibantai di hadapanmu, sementara kau tidak dapat melindunginya. Baru kemudian, setelah tinggal dua orang prajuritmu yang akan tersisa hidup, kau akan aku cekik sampai mati. Nah, sekarang bersiaplah."
Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dengan segala keyakinan untuk dengan cepat menguasai Lurah yang masih terhitung muda itu, orang berjanggut pendek itu mulai mengayunkan tangannya. Sekedar untuk memancing lawannya.
Tetapi Agung Sedayu-pun turun ke medan dengan keyakinan yang teguh. Tanpa merendahkan kawannya. Agung Sedayu menghadapinya dengan tenaga dan percaya diri.
Melihat sikap Ki Lurah itu, maka darah orang berjanggut pendek itu menjadi semakin panas. Karena itu maka sejenak kemudian, maka serangan-serangannya-pun mulai mengarah. Tenaganya menjadi semakin besar, dan geraknya-pun menjadi semakin cepat.
Tetapi Agung Sedayu-pun selalu mampu mengimbanginya. Agung Sedayu-pun telah meningkatkan tenaganya serta mempercepat geraknya sebagaimana lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran-pun semakin lama menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis.
Lawan Agung Sedayu yang ingin mengetahui puncak kemampuan ilmu Agung Sedayu itu mulai menjadi gelisah. Kemampuan yang ditunjukkan oleh Lurah Prajurit itu sudah lebih tinggi dari yang diduganya. Tetapi ketika orang itu meningkat kemampuannya selapis baja, ternyata Agung Sedayu masih tetap mampu bertahan.
"Darimana kau sadap ilmumu itu Ki Lurah," geram orang itu.
Agung Sedayu meloncat menghindari serangan lawannya sambil menjawab, "Aku adalah Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, aku telah mendapat latihan-latihan yang berat dari para Senapati di Mataram."
"Kau jangan membual. Setinggi-tinggi ilmu seorang Lurah prajurit, tidak akan mampu melawan aku sampai tataran ini."
"Ternyata aku dapat melakukannya. Sementara prajurit-prajuritku mampu melawan orang-orangmu yang terbaik yang kau sebut pasukan Elang Emas itu."
"Tidak ada orang Maratam yang mampu melawan aku kecuali Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati sendiri."
"Omong kosong. Nampaknya kau belum pernah bertemu dengan para pemimpin Mataram, para Tumenggung dan Senapati terpilihnya. Kau juga belum pernah bertemu dengan orang-orang tua di padepokan-padepokan dan perguruan-perguruan."
"Cukup. Aku akan membungkam mulutmu," geram orang itu.
Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, "Kenapa kau masih mengambil ancang-ancang. Bukankah kita sudah bertempur. Jika kau mampu membungkam mulutku, tentu sudah kau lakukan."
Orang itu menggeram. Wajahnya menegang dan sambil menggeretakkan gigi ia berkata, "Aku akan memaksamu merengek minta ampun atau bahkan minta aku segera membunuhmu."
"Apa lagi yang akan kau lakukan " Apa lagi yang kau tunggu Ki Sanak. ?"
Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka ia-pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.
Agung Sedayu meloncat sekali lagi mengambil jarak. Ia mulai merasakan sentuhan udara yang hangat menyambar tubuhnya sejalan dengan ayunan tangan lawannya itu.
Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu, lawannya ternyata tidak segera memburunya. Seakan-akan orang berjanggut pendek itu sengaja memberi kesempatan Agung Sedayu untuk menilai keadaan.
"Apakah kau akan berusaha melarikan diri ?" bertanya orang itu.
"Kenapa aku harus melarikan diri ?" bertanya Agung Sedayu, "aku masih utuh. Kulitku belum tergores luka dan darahku masih mengalir wajar didalam tubuhku."
"Tetapi kau mulai mencium kemampuanku," jawab orang itu.
Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, "Kua sejak tadi hanya berbicara tentang kemampuan, mengancam dan mengambil ancang-ancang. Tetapi kau tidak dapat berbuat apa-apa."
Orang berjanggut pendek dan berwarna keputih-putihan itu menggeram, ia-pun segera meloncat menyerang pula. Ayunan tangannya mendatar ke arah kening.
Namun Agung Sedayu sempat meloncat mengelakkan serangan itu.
Serangan itu memang tidak berhasil. Namun sambaran anginnya telah memancarkan udara panas, menerpa kulit Agung Sedayu.
Telah berkali-kali Agung Sedayu menjumpai ilmu seperti itu. Ia sendiri mampu melakukannya. Jika ia menghentakkan ilmu kebalnya pada puncak tertinggi, maka kekuatan ilmu kebalnya itu juga memancarkan getar panas yang memanasi udara di sekitarnya.
Karena itu, Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut.
Dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya-pun masih berlangsung dengan sengitnya. Udara panas ini tidak banyak berpengaruh atas Agung Sedayu. Loncatan-loncatan yang panjang mampu memperkecil pengaruh udara panas atas kulit Agung Sedayu.
Lawan Agung Sedayu itu masih semakin heran. Ilmunya itu seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu.
"Lurah prajurit yang masih terhitung muda ini ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi," berkata orang itu didalam hatinya. Ia memang menjadi heran, bahwa seorang Lurah prajurit dapat bertahan sampai tataran yang terhitung tinggi itu.
"Aku tidak yakin, bahwa kemampuannya itu didapatnya dari lingkaran keprajuritan, "katanya didalam hati.
Namun kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk melepaskan ilmu yang lebih tinggi lagi. Bukan saja getar sambaran angin dari ayunan serangan-serangannya terasa panas. Tetapi serangan-serangan orang itu menjadi semakin cepat.
Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya terguncang dan bahkan ia terlempar beberapa langkah surut. Lawannya sama sekali tidak menyentuh wadagnya. Tetapi rasa-rasanya sebuah pukulan yang keras telah mengenai dadanya.
Semula Agung Sedayu menduga bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang mempunyai ciri, serangan-serangannya mendahului sentuhan kewadagannya, sebagaimana yang pernah juga dihadapinya.
Tetapi ternyata tidak. Orang itu berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat. Juga tidak nampak kilat sinar atau percikan warna yang meloncat dari tangan atau sorot matanya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu memang agak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan-serangan orang itu. Beberapa kali Agung Sedayu telah terguncang. Meski-pun ia berusaha untuk menghindar, namun serangan-serangan itu masih selalu mengenainya.
Agung Sedayu hanya dapat menduga arah serangan lawannya dari sudut pandang matanya serta arah gerak tangannya. Namun kadang-kadang ia memang terlambat.
Setiap kali Agung Sedayu terguncang, maka orang itu-pun tertawa sambil berkata, "Jangan menyesal Ki Lurah. Kau akan menjadi sasaran permainan ilmuku. Kau akhirnya akan kehabisan tenaga, kesakitan dan penuh penyesalan. Dalam keadaan yang demikian, kau akan melihat prajurit-prajuritmu dibantai habis oleh orang-orangku dari pasukan Elang Emas."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia masih terguncang, jatuh berguling dan kemudian meloncat bangkit.
Suara tertawa orang berjanggut putih pendek itu terdengar berkepanjangan. Serangannya semakin lama semakin sering. Ia menjadi semakin gembira melihat Agung Sedayu jatuh dan bangun menghadapinya.
Namun akhirnya Agung Sedayu itu mengibaskan pakaiannya sambil berkata, "Maaf Ki Sanak. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara ini. Apakah kau masih mempunyai permainan lain yang lebih menyenangkan."
Orang itu terkejut. Ketika ia menyerang lagi, maka Agung Sedayu masih saja tetap berdiri meski-pun sekali-kali ia bergeser setapak.
"Iblis. Kau pakai perisai apa Ki Lurah " " bertanya orang itu hampir berteriak.
Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa sambil berkata, "Permainanmu mulai menjemukan Ki Sanak."
Beberapa kali orang itu menyerang. Tetapi serangannya sia-sia saja. Agung Sedayu telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sehingga serangan-serangan orang itu tertahan tanpa menyakitinya.
Orang berjanggut pendek itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa lawannya, seorang lurah Prajurit telah mampu mengimbangi ilmunya.
Karena itu, maka kemarahannya-pun telah membakar jantungnya, sehingga orang itu-pun telah menghentakkan ilmunya sampai ke puncak.
Serangan-serangannya memang mampu menggetarkan perisai Ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ilmunya itu tidak mampu menembusnya. Semakin meningkat kekuatan ilmunya sehingga mencapai puncaknya, maka ilmu kebal Agung Sedayu-pun menjadi semakin rapat dan semakin tebal pula.
Akhirnya, orang itu harus mengakui, bahwa ilmunya itu tidak akan mampu menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka ia-pun menggeram, "Darimana kau curi ilmu kebalmu itu, he ?"
"Kenapa harus mencuri ?" bertanya Agung Sedayu.
"Persetan dengan ilmu kebalmu. Tetapi dengan pasukanku, kau tidak akan mampu bertahan. Pusakaku akan mampu mengoyak ilmu kebalmu dan langsung menghunjam ke dalam jantungmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun jantungnya memang menjadi berdebar-debar ketika ia melihat lawannya itu mencabut sebilah keris.
"Jangan menyesal," geram orang itu, "kerisku akan mengakhiri kesombonganmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari, bahwa keris lawannya adalah keris yang sangat baik. Bukan saja buatannya. Bukan pula karena pamornya serta permata yang melekat pada ukirannya. Tetapi nampaknya keris itu memang pusaka yang diandalkannya, sehingga keris itu dapat meningkatkan kekuatan jiwani serta ketegaran hati orang yang memegangnya.
Ketika keris itu mulai berputar, maka Agung Sedayu-pun mulai merasakan sentuhan getaran udara panas yang seakan-akan menjadi berlipat. Apalagi ketika keris itu diayunkan. Rasa-rasanya kemampuan lawannya itu mulai menyusup ilmu kebalnya sedikit demi sedikit. Rasa-rasanya ujung-ujung dari mulai menyentuh kulitnya dibawah lapisan ilmu kebalnya.
Agung sedayu-pun menyadari, bahwa dengan keris di tangannya, orang itu menjadi semakin tegar, sehingga kemampuan ilmunya menjadi bertambah.
Bersambung Balas " On 13 Juli 2009 at 22:01 Raharga Said:
Buku 298 bagian II Tetapi Agung Sedayu-pun mengerti, jika angin yang timbul dari ayunan senjatanya saja telah mampu menyusup ilmu kebalnya, maka ujung keris itu sendiri tentu akan mampu menembus kulitnya dan mengoyakkan dagingnya.
Bahkan ujung keris itu tentu akan mampu menghunjam di dadanya dan menembus sampai ke jantung.
Karena itu, maka Agung Sedayu tidak akan membiarkan dirinya mengalami cidera. Sehingga, dengan demikian maka ia-pun harus menggapai tataran yang lebih tinggi lagi untuk melawan orang berjanggut putih itu.
Namun dalam pada itu, maka pertempuran yang terjadi di sekitarnya-pun minta perhatiannya pula. Ternyata pada prajuritnya mengalami kesulitan melawan pasukan Elang Emas yang jumlahnya memang lebih banyak itu.
Lawannya yang mengetahui bahwa perhatian Agung Sedayu sekilas tertarik kepada pertempuran di sekitarnya-pun berkata, "Ki Lurah. Pertempuran tidak akan berlangsung lama lagi. Satu-satu orang-orangmu akan mati terkapar di bulak ini. Besok pagi burung-burung gagak akan bersantap disini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayu tidak meneriakkan aba-aba. Ia mulai melihat bahwa prajurit-prajuritnya dari Pasukan Khusus itu mampu mengambil keputusan untuk mengatasi kesulitannya tanpa mendapat perintahnya.
Demikianlah, pertempuran itu-pun menjadi semakin sengit. Tongkat-tongkat baja para Putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berputaran menyambar-nyambar. Seorang prajurit yang bersenjata tombak, ternyata gagal menyelamatkan landean tombaknya. Ketika terjadi benturan yang sangat keras dengan seorang Putut yang ilmunya mulai mapan, maka landean tombaknya itu patah.
Malang bagi prajurit itu, yang terlepas dari tangannya adalah justru landean tombaknya yang di bagian ujungnya, sehingga mata tombaknya ikut terlepas pula.
Lawannya mulai menyeringai seperti hantu yang memandang sosok korbannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Tongkatnya mulai terayun-ayun siap menimpa dan memecahkan kepala prajurit yang kehilangan senjatanya itu.
Namun tiba-tiba Putut itu terpekik. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja, sebuah pisau kecil datang menyambarnya.
Sejenak Putut itu terhuyung-huyung. Namun sebuah pisau belati yang tajam yang lebih panjang telah mematuk dadanya, menghunjam sampai ke jantung.
Putut itu-pun jatuh terjerembab. Tetapi ia tidak sempat lagi mengaduh.
Dengan demikian, maka pisau pisau kecil-pun mulai berperan dalam pertempuran itu. Beberapa orang Putut dan cantrik telah jatuh menjadi korban pisau-pisau kecil yang dilontarkan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Orang berjanggut pendek itu-pun mulai melihat perubahan keseimbangan yang terjadi di medan pertempuran itu.
Tetapi orang itu tidak dapat berbuat banyak. Ia sendiri terikat dalam pertempuran dengan Lurah prajurit yang berilmu tinggi itu.
Karena itu, yang dapat dilakukan oleh orang berjanggut pendek itu adalah meneriakkan perintah-perintah untuk meningkatkan gelora perlawanan bagi para Putut dan cantrik cantriknya.
Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu semakin lama memang semakin menguasai medan. Lawannya yang lebih banyak itu mulai menyusut meski-pun perlahan-lahan.
Seorang Putut menjadi sangat marah, ketika lawannya melemparkan pisau kecil ke arah dadanya. Namun, ia sempat menggeliat sehingga pisau itu tidak tertancap di dadanya.
Namun luka di lengannya itu telah menitikkan darah. Ketika Putut itu bergerak semakin banyak, darah-pun mengalir semakin banyak pula.
"Licik kau," geram Putut itu.
"Kenapa ?" bertanya prajurit yang melukainya sambil mempersiapkan diri menghadapi Putut yang melangkah mendekatinya sambil mengayun-ayunkan tongkat bajanya.
"Kau melempar pisau-pisau kecil."
"Kenapa licik " Itu salah satu jenis senjataku," jawab prajurit itu.
"Aku akan mencabik-cabik tubuhmu sampai lumat," geram Putut itu.
"O, kau kira kau benar-benar seekor burung elang yang mampu mencabik-cabik seekor anak ayam " He, jika seekor burung wulung terbang melingkar-lingkar maka induk ayampun berkotek memberi isyarat anak-anaknya agar bersembunyi. Tetapi wulung emas seperti kalian-pun agaknya hanya dapat menakut-nakuti anak ayam."
Putut itu tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya. Getaran suaranya bagaikan mengguncang udara di seluruh medan pertempuran itu. Kemarahan yang bagaikan membakar jantung itu mencari saluran agar jantungnya tidak meledak.
Prajurit itu terkejut. Bahkan para prajurit yang lain-pun terkejut pula. Teriakan itu bagaikan membakar daun telinga.
Para Putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas yang mendengar teriakan itu, bagaikan bangkit dari cengkaman kelelahan dan kesulitan menghadapi kemampuan lawan. Tiba-tiba saja mereka bergerak lebih cepat dan kekuatan mereka yang menyusut-pun telah tumbuh kembali.
Pertempuran-pun menjadi semakin sengit. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus itu sama sekali tidak tergetar. Mereka masih tetap bertempur dengan garang. Pisau kecil mereka masih saja menyambar-nyambar.
Sementara itu, lawan Agung Sedayu itu-pun telah mengerahkan kemampuan ilmunya pula. Menurut perhitungannya, maka para Pulut dan cantrik itu lidak mau segera dapat memenangkan pertempuran. Karena itu, maka ia harus segera mampu menembus ilmu kebal lawannya itu.
Dengan demikian, maka keris itu-pun berputar semakin cepat. Sambaran udara yang panas terasa semakin menekan. Getaran gelaran yang tajam terasa menusuk-nusuk kulit, menyusup ilmu kebalnya.
Agung Sedayu yang mulai terdesak itu tidak ingin segera mempergunakan kemampuan sorot matanya. Tetapi sebagai murid utama dari perguruan Orang Bercambuk, maka Agung Sedayu-pun segera mengurai cambuknya.
Lawannya terkejut melihat cambuk Agung Sedayu. Bahkan ia bergeser selangkah surut. Dengan nada tinggi ia berdesis, "Orang Bercambuk. He, apakah kau mempunyai hubungan dengan orang Bercambuk yang pernah berkeliaran di pesisir Utara ?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia bertemu dengan gurunya pertama kali di Dukuh Pakuwon, tidak terlalu jauh dari Sangkal Pulung.
Tetapi pengembaraan Kiai Gringsing memang tidak terbatas.
"Apakah kau pernah mengenal Orang Bercambuk ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah bertemu."
"Apakah kau menyangka bahwa akulah orang bercambuk itu ?"
"Tentu tidak," jawab orang itu, "mungkin kau cucunya atau murid dari murid orang bercambuk itu."
"Siapa-pun aku, tetapi aku adalah Lurah Prajurit Mataram. Menyerahlah. Aku akan membawamu ke Prambanan. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, melawan prajurit Mataram yang sedang menjalankan tugasnya."
"Setan kau," geram orang itu.
Tiba-tiba saja serangannya datang membadai, sehinga Agung Sedayu harus berloncatan mundur beberapa langkah.
Sementara itu, terdengar lagi seorang Putut yang berteriak sekeras-kerasnya, sehingga seakan-akan dedaunan di pepohonan telah berguncang. Daun yang kering telah berguguran, berserakkan di jalan yang kotor.
Ternyata teriakan-teriakan oleh beberapa orang Pulut itu memang berpengaruh. Namun para Pulut dan cantrik dari pasukan Elang Emas telah terkejut pula, ketika tiba-tiba cambuk Agung Sedayu meledak. Getaran suara cambuk itu seakan-akan telah mengoyak selaput telinga para Putut dan cantrik itu.
Namun orang berjanggut pendek itulah yang kemudian tertawa. Katanya, "Aku salah duga. Ternyata kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan orang bercambuk itu. Agaknya kau tidak lebih dari seorang gembala kambing yang kebetulan menjadi piajurit."
Agung Sedayu memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berniat menghentikan perlawanannya dengan sorot matanya. Tetapi cambuk yang sudah ada di tangannya itu mulai bergetar lagi.
Satu ledakkan lagi lelah mengguncang malam yang hiruk pikuk oleh pertempuran itu. Para Putut dan cantrik se-makin tergetar hatinya. Suara cambuk itu terdengar lebih keras dan menghentak daripada teriakan-teriakan para Putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu.
Tetapi orang berjanggut pendek itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "ketika aku merasakan benturan ilmu kebal yang menyelimuti dirimu, aku mengira bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mendengar ledakan cambukmu yang seolah olah mengguncang bumi itu justru aku tahu, bahwa kemampuanmu tidak lebih dari perisai ilmu kebalmu yang pada puncak pengetrapannya memancarkan udara panas yang tidak banyak berpengaruhnya itu."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Ki Lurah. Jika semula aku mulai mengagumimu, maka ternyata kemudian kau tidak lebih dari dugaan sebelum kita mulai bertempur. Karena itu, maka sekali lagi aku menawarkan, menyerahlah. Kau akan tetap hidup. Justru kau akan aku beri kesempatan untuk kembali menghadap Panembahan Senapati dan memberikan laporan, bahwa semua prajuritmu telah mati dibantai oleh seorang pengikut Kangjeng Adipati Pragola."
Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Namun kemudian dihentakkannya cambuknya sendal pancing. Cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Suaranya tidak memekakkan telinga atau bahkan merontokkan isi dada. Tetapi hentakkan cambuk yang tidak mengejutkan seorang Putut dan cantrik itu ternyata telah menggetarkan jantungnya. Ilmu yang terpancar dari hentakkan cambuk itu mampu menyusup ke relung-relung didalam dadanya, sehingga diluar sadarnya orang itu telah tergetar selangkah surut.
Dalam ketegangan orang itu mendengar suara Agung Sedayu, "Kenapa Ki Sanak. Apa yang mengejutkanmu " Ketika cambuk meledak kau sama sekali tidak terkejut. Tetapi justru ketika cambukku tidak melepaskan suara, kau tersentak seperti melihat hantu."
"Kau memang iblis," geram orang itu. Tetapi orang itu tidak banyak berbicara lagi. Dengan garanggnya orang itu mulai lagi meloncat menyerang. Ayunan kerisnya yang berputar itu telah menaburkan udara yang panas dan bahkan mampu menyusup ilmu kebal Agung Sedayu.
Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran. Ia berniat untuk menangkap orang berjanggut pendek itu, karena menurut pendapatnya orang itu sangat berbahaya bagi para prajurit Mataram. Kesatuan kesatuan kecil Mataram yang bertugas di sekitar padepokannya, akan benar-benar dapat dimusnahkannya. Agaknya orang itu bukan orang yang sekedar mengancam dan menakut-nakuti.
Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itu-pun segera berputaran, menghentak dan menggeliat, memburu lawannya yang berloncatan menghindarinya. Namun sekali sekali orang itu masih juga berusaha menyerang dengan kerisnya yang jika berhasil, akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, orang berjanggut pendek itu menjadi semakin terdesak. Ujung cambuk Agung Sedayu semakin dekat menggapai-gapai tubuhnya.
Meski-pun demikian, orang itu masih sempat berkata, "Ternyata kau bukan seseorang yang menerima keturunan ilmu dari Orang Bercambuk yang berkeliaran di pasisir Utara itu. Meski-pun aku belum pernah mengenalinya, tetapi aku pernah mendengar ceritera tentang orang itu."
"Kau nampak dalam kebingungan Ki Sanak," berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan cambuknya, sehingga orang itu meloncat surut. "Tadi aku mengatakan bahwa aku memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu ketika kau dengar cambukku meledak mengatasi teriakan-teriakan orang-orangmu. Sekarang kau katakan, bahwa aku bukan orang yang menerima keturunan ilmu Orang Bercambuk itu, karena agaknya kau melihat alur dan unsur ilmu yang berbeda dari ceritera yang pernah kau dengar dari orang lain."
"Persetan dengan igauanmu," geram orang itu.
"Menyerahlah," berkata Agung Sedayu kemudian, kau tidak boleh berkeliaran lagi. Kau sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit Mataram."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu bertempur semakin garang.
Agung Sedayu memang tidak melihat kemungkinan untuk memaksa orang itu menyerah. Ia tidak akan melakukannya di hadapan murid-muridnya yang terpilih. Sementara itu keadaan murid muridnya-pun tidak menjadi lebih baik. Para prajurit dari pasukan Khusus itu ternyata mampu mengatasi perlawanan pasukan Elang Emas yang jumlahnya semula lebih banyak dari pasukan kecil prajurit Mataram yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu.
Dari waktu ke waktu, maka kemampuan perlawanan pasukan Elang Emas itu semakin menyusut, sehingga merekapun menjadi semakin terdesak pula.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berhasil menyusut jumlah lawannya. Meski-pun ada juga korban diantara para prajurit, tetapi para Putut dan cantrik yang tergabung dalam pasukan Elang Emas itu menyusut lebih cepat. Pisau-pisau kecil yang lepas dari tangan para prajurit itu hinggap di dada lambung dan bahkan di leher mereka.
Sementara itu, pedang dan ujung-ujung tombak para prajurit-pun terayun-ayun menebas, mematuk dan menyambar-nyambar.
Tidak ada kesempatan lagi baik pasukan Elang Emas itu untuk dapat memenangkan pertempuran.
Sementara itu, pemimpin perguruan yang berjanggut pendek itu-pun semakin mengalami kesulitan pula. Meski-pun kerisnya itu sekali sekali mampu mengejutkan Agung Sedayu, namun setiap kali ujung cambuknya selalu dapat menghalau lawannya.
Orang berjanggut pendek itu-pun menjadi sangat marah. Tetapi ia terbentur pada suatu kenyataan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Bahkan orang berjanggut putih itu mencoba untuk memutuskan ujung cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya.
Namun orang itu tidak berhasil. Ia memang berhasil menebas ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat, tetapi ujung cambuk itu tidak terputus karenanya. Bahkan hampir saja keris itu terlepas dari tangannya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah benar-benar berniat mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka ia-pun meningkatkan serangan-serangan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya.
Ketika ujung cambuknya mulai menyentuh kulit lawannya, maka terdengar umpatan yang kasar meledak dari mulut orang berjanggut putih itu. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Meski-pun ia mengerahkan ilmunya sampai ke puncak kemampuannya, tetapi ternyata bahwa ia menjadi semakin terdesak.
Goresan ujung cambuk Agung Sedayu itu bukan sekedar meninggalkan goresan merah di kulitnya. Tetapi kulit itu benar-benar telah terkoyak. Darah-pun mulai mengalir dari lukanya itu.
"Aku memberikan kesempatan terakhir kepadamu, Ki Sanak," berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan ujung cambuknya sehingga getarannya mengguncang selaput telinganya.
Tetapi lawannya justru menggeram, "Aku bunuh kau anak yang sombong."
Bagi Agung Sedayu, rasa-rasanya sudah cukup memberi lawannya itu kesempatan untuk menyerah. Tetapi agaknya lawannya itu seorang yang keras hati. Apalagi ia berada di hadapan murid-muridnya yang terbaik, sehingga ia tidak mau mengorbankan harga dirinya.
Sementara itu, Agung Sedayu-pun tidak ingin melepaskan lawannya yang sangat berbahaya itu, karena pada kesempatan lain, ia tentu benar-benar akan menyulitkan prajurit Mataram.
Karena itu, maka tidak ada pilihan bagi Agung Sedayu. Ia harus menghentikan perlawanan orang berjanggut itu untuk selamanya, agar ia tidak membuat kesulitan lagi di kemudian hari.
Demikianlah, Agung Sedayu-pun telah sampai ke puncak ilmu cambuknya, ilmu yang diwarisinya dari gurunya. Sebagai murid utama, maka Agung Sedayu benar-benar telah menguasai kemampuan ilmu cambuk sebagaimana gurunya sendiri. Apalagi Agung Sedayu memang sudah benar-benar menguasai berbagai macam ilmu yang dapat mendukung ilmu cambuknya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, maka cambuk Agung Sedayu-pun bergerak semakin cepat. Ujungnya menggapai dari segala arah, seakan-akan juntai cambuk Agung Sedayu itu telah bercabang menjadi berpuluh-puluh juntai yang bergerak bersama-sama.
Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Ujung cambuk itu telah menyentuh dan menyentuh lagi. Sehingga lukanya-pun menganga dimana-mana.
Meski-pun demikian orang berjanggut pendek itu masih tetap mengadakan perlawanan. Kerisnya masih saja berputar. Angin yang menyambar-nyambar tubuhnya, masih saja mampu menyusup menembus ilmu kebalnya.
Namun semakin lama sentuhan itu-pun menjadi semakin lemah. Ayunan keris itu-pun menjadi semakin lamban pula.
"Kau memang anak iblis," geramnya ketika tubuhnya telah dibasahi oleh darahnya yang mengalir dari beberapa buah lukanya, "di Mataram hanya ada dua orang yang dapat mengalahkan aku. Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi kau hanya seorang Lurah prajurit."
Suaranya terputus ketika ujung cambuk Agung Sedayu menyambar dadanya.
Segores luka menganga di dadanya. Orang berjanggut pendek itu terhuyung-huyung. Namun ia masih dapat bertahan untuk berdiri. Dengan suara yang menghentak-hentak ia berkata, "Hanya ada tiga orang yang aku takuti di Pati. Kangjeng Adipati, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi."
"Ki Gede Candra Bumi telah tidak berdaya lagi sekarang. Mungkin ia masih hidup. Tetapi ia terluka parah. Di medan pertempuran aku telah bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi sebagai Senapati Pengapit."
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia-pun mengumpat, "Gila kau. Tidak ada orang yang dapat mengalahkannya."
"Aku mengalahkannya," berkata Agung Sedayu, "bukan maksudku menyombongkan diri. Aku hanya ingin agar kau menyadari, dengan siapa kau berhadapan. Kau tidak boleh menantang kenyataan."
"Persetan," geram orang itu. Namun ia-pun kemudian telah berteriak nyaring. Dihempaskannya segala kemampuan, kekuatan dan ilmunya lewat telapak tangannya. Dilemparkannya kerisnya mengarah ke dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut. Dengan serta merta ia menggeliat. Namun karena hal itu tidak diduganya sama sekali, maka ia sedikit terlambat. Keris itu telah menembus ilmu kebalnya menggores lengannya.
Namun dalam pada itu, dengan gerak naluriah Agung Sedayu-pun telah menghentakkan cambuknya. Demikian derasnya, dilambari dengan puncak ilmu cambuknya.
Terdengar orang berjanggut pendek itu berteriak sekali lagi. Tetapi nadanya sangat berbeda. Cambuk yang dihentakkan oleh Agung Sedayu itu telah mengoyak lambungnya.
Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian ia-pun terhuyung-huyung. Ia ternyata tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian ia-pun jatuh terguling.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sempat mengamati seluruh medan. Namun ia-pun segera yakin, bahwa prajurit-prajuritnya akan mampu menguasai lawan lawannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu itu-pun kemudian melangkah mendekati orang berjanggut pendek itu. Meski-pun masih tetap berhati-hati, Agung Sedayu berjongkok di sisinya.
Orang itu sudah terluka terlalu parah. Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata, "Kau jangan merasa dirimu menang. Ki Lurah."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Kau-pun tentu akan mati. Bisa yang melekat pada kerisku tidak akan dapat dilawan dengan obat apa-pun juga."
Senyum kemenangan tersungging di bibirnya.
Agung Sedayu yang tawar akan segala bisa itu memang tidak mencemaskan dirinya. Bisa itu tidak akan berarti apa-apa bagi tubuhnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau mengecewakan orang itu. Karena itu Agung Sedayu itu hanya berdiam diri saja.
Disaat-saat yang gawat itu orang berjanggut pendek itu masih sempat berkata dengan penuh dendam dan kebencian, "Aku akan mati bersamamu. Bisa itu akan bekerja dengan cepat."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia tidak sampai hati mengatakan, bahwa bisa pada keris orang itu tidak akan membunuhnya, justru pada saat terakhir dari hidupnya, karena orang itu akan menjadi sangat kecewa.
Namun orang itu menjadi tidak sabar. Keadaannya menjadi semakin parah, sementara Agung Sedayu masih tetap berjongkok di sampingnya.
"He, kenapa kau tidak mati " " orang itu mencoba menggeliat.
Namun justru pada saat yang paling gawat itu ia mencoba menghentakkan badannya, sehingga karena itu, maka sisa tenaganya telah dihabiskannya.
Orang itu-pun kemudian terkulai dengan lemahnya. Matanya menjadi kabur, sehingga akhirnya semuanya menjadi pekat.
Agung Sedayu meraba dada orang itu. Namun dada itu sudah tidak bergerak lagi. Nafasnya-pun telah berhenti sama sekali.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia bangkit berdiri, maka pertempuran memang sudah selesai. Beberapa orang cantrik telah menyerah. Sedangkah beberapa orang sempat melarikan diri. Namun para prajurit itu tidak mengejar mereka, justru karena mereka tidak menguasai medan dengan baik.
"Kalian sudah mengambil langkah yang benar," berkata Agung Sedayu.
Tanpa perintahnya maka para prajuritnya-pun sudah mengambil keputusan sebagaimana dikehendakinya.
Namun peristiwa itu ternyata menghambat perjalanan pulang pasukan kecil prajurit Mataram itu. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah serta mereka yang gugur di pertempuran.
Namun para prajurit itu harus segera bergerak. Para cantrik yang melarikan diri akan dapat memanggil kawan-kawan mereka. Mungkin pasukan Elang Perak dan bahkan mungkin pasukan yang disebutnya Elang Tembaga.
Karena itu, maka para prajurit Mataram itu telah membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka untuk sekedar menghindar dari bekas medan pertempuran.
Disisa malam itu, pasukan kecil itu bergerak dengan sendat. Mereka harus mengwasi para tawanan, membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sementara itu, mereka telah melepaskan dua orang tawanan untuk memanggil kawan-kawan mereka agar mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan.
Menjelang fajar, pasukan kecil itu telah berada di sebuah padukuhan. Mereka terpaksa mengubur kawan-kawan mereka di sebuah kuburan yang terdapat di padukuhan itu dengan tanda-tanda khusus.
Hari itu, Agung Sedayu terpaksa menunda perjalanannya. Agung Sedayu memberi kesempatan para prajuritnya untuk beristirahat. Sementara itu sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga memerlukan waktu untuk beristirahat. Meski-pun tubuhnya tidak banyak terganggu oleh lukanya yang terhitung tidak berbahaya itu, namun ternyata bahwa sapuan udara yang tajam yang sempat menyusup ilmu kebalnya itu membuat Agung Sedayu merasa sangat letih.
Namun demikian, Agung Sedayu tetap mengatur pengawasan di sekitar padukuhan itu. Mungkin sekali para pengikut orang berjanggut pendek itu masih tetap mendendam dan ingin membalas para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu.
Setelah beristirahat sehari, maka keadaan pasukan kecil itu nampak menjadi segar kembali. Namun ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka, terasa bahwa sebagian dari mereka tertinggal di padukuhan itu.
Agung Sedayu memandangi beberapa onggok tanah yang masih merah. Disitulah beberapa prajuritnya yang menjadi korban di kuburkan.
Perjalanan prajurit Mataram itu memang menjadi lamban. Kecuali mereka harus mengawasi beberapa orang tawanan, mereka-pun membawa kawan kawan mereka yang terluka. Bahkan juga orang-orang dari pasukan Elang Emas itu.
Ternyata perjalanan kembali ke Prambanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam satu hari. Sedap kali iring-iringan itu harus berhenti, beristirahat dan mengobati orang-orang yang terluka dengan obat-obatan yang ada. Untunglah bahwa Agung Sedayu sendiri memiliki kemampuan ilmu obat-obatan yang diwarisi dari gurunya, langsung dan yang diketemukannya didalam kitab yang ditinggalkan gurunya itu.
Dengan obat-obatan yang sederhana itu, Agung Sedayu dapat membantu keadaan mereka yang terluka dan memberikan sedikit kesegaran sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan.
Ketika pasukan kecil itu beristirahat di sebuah padukuhan yang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Prambanan, Agung Sedayu telah memerintahkan dua orang prajuritnya untuk mendahului dan memberikan laporan bahwa pasukan kecil itu sudah dalam perjalanan kembali.
Namun kedua orang prajurit itu menjadi kecewa. Perkembangan di Prambanan itu telah kosong. Panembahan Senapati dan para prajurit Mataram telah kembali ke Mataram. Yang tinggal adalah sebagian dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, serta sebagian lagi para pengawal dari Sangkal Putung.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Swandaru masih menunggunya di Prambanan.
Agung Sedayu tidak pernah merasa tidak senang terhadap adik seperguruannya yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Tetapi kadang-kadang Agung Sedayu merasa jenuh mendengar nasehat-nasehatnya. Apalagi jika Agung Sedayu sendiri sedang letih atau gelisah atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan hatinya. Maka mendengarkan nasehat-nasehat Swandaru rasa-rasanya menambah kelelahan jiwanya saja.
Setiap kali Agung Sedayu juga merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat menunjukkan tataran kemampuan adik seperguruannya yang sebenarnya dibandingkan dengan kemampuannya.
Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk menunjukkan tataran kemampuan adik seperguruannya yang sebenarnya dibandingkan dengan kemampuannya.
Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk menunjukkan kebenaran tentang perbandingan ilmu mereka itu.
Mereka-pun demikian Agung Sedayu menyadari, jika perbandingan ilmunya itu tidak juga segera diketahui oleh adik sepergurnannya itu, maka nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk itu masih akan didengarnya terus. Bahkan sekali sekali Agung Sedayu itu memang harus mengusap dadanya jika Swandaru itu seakan-akan marah kepadanya, karena Agung Sedayu itu dinilainya malas dan tidak merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya.
Tetapi setiap kali Agung Sedayu gagal untuk memaksa perasaannya, agar ia menunjukkan kepada Swandaru bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu adik seperguruannya yang kebetulan adalah kakak iparnya itu.
Demikianlah, sebagaimana diduganya, ketika Agung Sedayu memasuki perkemahan di Prambanan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, ternyata bahwa Untara dan Swandaru masih berada di perkemahan itu.
Demikian Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka Agung Sedayu-pun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang telah dialaminya sepanjang perjalanan.
"Kau terluka ?" bertanya Untara kemudian.
"Sedikit kakang," berkata Agung Sedayu.
"Apakah senjata lawanmu itu tidak berbisa ?" bertanya Untara kemudian.
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Menurut pemiliknya, senjatanya itu memang sangat berbisa."
Untara mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa adiknya memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam bisa, bahkan bisa yang paling kuat sekalipun.
"Serahkan para tawanan itu kepada kelompok yang bertugas, sementara kau dan prajurit-prajuritmu dapat beristirahat, orang-orang yang terluka akan segera mendapat perawatan dan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kembali ke Mataram."
Agung Sedayu-pun kemudian membawa para prajuritnya untuk beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk menggeliat setelah beberapa hari mengalami ketegangan dalam tugas. Mereka dapat mandi sepuas-puasnya, tidur dan makan sebanyak-banyaknya. Sabungsari yang juga berada di perkemahan itu sempat menemuinya. Tetapi keduanya tidak dapat lama berbincang-bincang, karena Sabungsari-pun harus bertugas.
Agung Sedayu yang sedang melepaskan segala ketegangan itu menarik nafas dalam-dalam ketika Swandaru datang menemuinya.
"Aku dengar kau terluka, kakang ?" bertanya Swandaru.
"Siapa yang mengatakan kepadamu " " Agung Sedayu justru bertanya.
"Sabungsari. Baru saja aku bertemu ketika Sabungsari membawa sekelompok prajuritnya keluar perkemahan."
Agung Sedayu menarik nafas. Kepada Sabungsari ia memang mengaku bahwa ia terluka. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali.
"Bagaimana dengan luka itu ?" bertanya Swandaru pula.
Agung Sedayu menunjukkan luka di lengannya sambil berkata, "Segores kecil. Tidak apa-apa."
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, "Untunglah bahwa senjata lawanmu itu tidak beracun. Jika senjata lawanmu itu termasuk senjata yang baik dengan warangan yang baik pula, maka sentuhan segores kecil itu akan dapat berakibat sangat buruk."
Namun Agung Sedayu menjawab, "Bukankah didalam kitab guru disebut, bagaimana kita melawan racun ?"
"Jika kita kebetulan tidak membawa obat itu ?"
"Aku selalu membawanya. Obat itu bukan saja dapat kita pergunakan untuk kita sendiri, tetapi juga untuk menolong orang lain yang terkena bisa atau racun," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi ada jenis racun dan bisa yang tidak dapat ditangkal dengan obat apa-pun kecuali dengan obat penangkalnya yang khusus dibuat untuk jenis racun itu."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Ya. Memang ada."
"Karena itu, maka agaknya lebih baik jika kita tidak terluka sama sekali," berkata Swandaru kemudian.
"Ya. Ya. Tentu lebih baik," sahut Agung Sedayu.
"Berkali-kali aku katakan, kita harus berusaha untuk tidak terluka di pertempuran," berkata Swandaru dengan bersungguh-sungguh.
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Swandaru itu.
Meski-pun demikian, Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Itu adalah yang terbaik. Tetapi suatu ketika kita dapat bertemu dengan lawan yang berilmu lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki. Dalam keadaan yang demikian, bukan saja kita dapat terluka, tetapi kita dapat mati. Kita sudah mendapat banyak contoh bahwa orang berilmu tinggi dapat juga mati di pertempuran. Mungkin kita kita memiliki kelebihan secara pribadi dengan lawan yang kita temui di medan. Tetapi penguasaan medan, kerja sama diantara kelompok dan perang gelar akan dapat menjebak kita dalam kesulitan."
"Memang kakang. Tetapi maksudku, semakin siap kita memasuki medan pertempuran, maka kita akan merasa lebih mantap. Keselamatan kita akan lebih terjamin."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku mengerti. Aku sependapat."
Swandaru-pun kemudian telah menanyakan apa yang dialami Agung Sedayu sepanjang perjalanannya mengikuti pasukan Pati yang sedang ditarik mundur.
"Sebuah pertempuran kecil," berkata Agung Sedayu, "justru pada saat kami akan kembali ke Prambanan ini."
Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang telah dialaminya. Ia tidak banyak bercerita tentang lawannya yang berjanggut pendek itu.
"Kau masih beruntung kakang," berkata Swandaru, "orang-orang yang mencegatmu agaknya merasa diri mereka berkemampuan sangat tinggi. Namun ternyata kemampuan mereka tidak lebih dari kemampuan para prajurit Mataram dan para pengawal Sangkal Putung. Barangkali juga para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan pemimpinnya tidak mampu menilai pasukan yang sedang dihadapinya."
"Agaknya memang demikian," berkata Agung Sedayu.
"Baiklah, kakang. Bukankah sekarang kau mendapat kesempatan untuk beristirahat " Beristirahatlah. Kapan kakang akan kembali ke Tanah Perdikat " Jika kakang mempunyai kesempatan, aku minta kakang singgah barang sehari di Sangkal Putung."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Besok aku akan kembali ke Mataram. Mungkin pada kesempatan lain saja aku singgah di Sangkal Putung."
"Besok ?" bertanya Swandaru, "begitu cepat" Bukankah pasukan kecil kakang itu perlu beristirahat ?"
"Kakang Untara menganggap bahwa waktu istirahat sampai esok sudah cukup. Kami akan mendapat kesepatan berisirahat lebih lama. Atau bahkan kesempatan beristirahat itu kami dapatkan setelah kami berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku akan meninggalkan perkemahan ini bersama pasukan kakang Untara."
"Kapan ?" bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menggeleng. Katanya, "Aku belum tahu, kakang. Tetapi kakang Untara telah memerintahkan kepadaku, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih ada di pasanggrahan ini akan meninggalkan pasanggrahan bersama pasukan Mataram yang ada di Jati Anom. Yang kemudian akan ditinggalkan di pasanggrahan ini sampai waktunya pasanggrahan ini dibongkar adalah sekelompok prajurit saja."
"Tetapi aku kira memang sudah tidak akan lama lagi. Pasanggrahan ini agaknya memang akan dibongkar. Demikian pula bekas pasanggrahan Kangjeng Adipati Pati."
"Ya. Pasanggrahan itu sekarang ditunggui pula oleh sekelompok prajuritnya kakang Untara. Agaknya kedua pesanggrahan itu memang akan segera dibongkar."
Demikianlah, maka Swandaru-pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke baraknya. Namun sambil melangkah pergi ia-pun berkata, "Besok sebelum kakang berangkat aku akan menemui kakang. Agaknya seisi perkemahan ini akan mengetahui kapan kakang akan berangkat besok."
Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu menarik nafas panjang. Rasa-rasanya ia sudah meletakkan beban yang cukup berat. Meski-pun ia tidak berusaha untuk menghindarinya, tetapi jika beban itu diletakkan, maka dadanya merasa menjadi longgar.
Agung Sedayu-pun kemudian benar-benar merasa beristirahat. Ketika ia berjalan-jalan diluar perkemahan. Beberapa ratus langkah dari perkemahan, Agung Sedayu telah berdiri diatas tanggul Kali Opak. Air Kali Opak memang tidak begitu deras dan tidak pula dalam. Hanya di beberapa tempat saja harus di seberangi dengan rakit. Tetapi ada bagian yang landai nyeberangi Kali Opak harus berjalan di tepian berpasir yang terhitung luas.
Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu berdiri seorang diri memandangi aliran Kali Opak. Namun kemudian ia-pun melangkah menelusuri tanggul.
Angin bertiup mengusap tubuhnya yang basah oleh keringat, Terasa sentuhan yang segar di kulit wajahnya.
Didataran yang membentang di hadapannya nampak tanaman di sawah yang rusak terinjak injak kaki. Ketika prajurit Mataram dan Pati bergerak dalam gelar, maka di sawah itu tidak lagi nampak daun batang padi atau jagung yang hijau segar. Tetapi yang nampak adalah daun pedang dan tombak yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanah itu tentu masih membekas darah. Dedaunan yang berserakkan terinjak kaki prajurit itu tentu diperciki oleh warna darah yang tumpah.
Beberapa saat itu merenung. Sudah beberapa kali ia berada di medan pertempuran atau bertempur seorang melawan seorang. Tetapi setiap kali hatinya masih saja menjadi resah jika ia mengenang tubuh yang berserakan terbujur lintang di medan pertempuran.
Kemenangan memang memberikan kebanggaan bagi seorang prajurit. Tetapi apakah kematian dan kehancuran juga memberikan kebanggaan ?"
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itu-pun melangkah meninggalkan tanggul Kali Opak itu kembali ke perkemahan. Langkahnya Satu-satu seakan-akan tanpa disadari karena angan-angannya masih saja tersangkut pada bayangan-bayangan yang mengerikan yang terjadi di peperangan.
Didalam perkembangan Agung Sedayu mendapat perintah resmi dari Untara yang mendapat kuasa untuk memimpin semua pasukan yang ada di perkemahan itu, besok saat matahari naik sepenggalah, bersama pasukan kecilnya berangkat kembali ke Mataram. Para tawanan dan orang-orang yang terluka parah sajalah yang akan tetap tinggal di perkemahan sampai saatnya perkemahan itu dibongkar.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu-pun segera mempersiapkan diri. Ia telah memerintahkan pasukannya pula untuk bersiap. Esok mereka akan berangkat kembali ke Mataram.
Karena itu, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah mempergunakan waktu beristirahat mereka sebaik-baiknya. Mereka besok akan menempuh sebuah perjalanan lagi. Meski-pun tidak terlalu jauh, tetapi sisa-sisa kelelahan mereka tentu masih akan terasa.
Tetapi mereka merasa senang atas perintah itu. Mereka tentu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sehingga bergiliran mereka akan mendapat kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka.
Demikianlah, ketika saat sudah mendekat di keesokan harinya, maka Swandaru benar-benar menyempatkan diri menemui Agung Sedayu untuk mengucapkan selamat jalan. Namun ia-pun masih juga berdesis, "Biarlah kitab guru ada pada kakang lebih dahulu. Tetapi aku minta kakang lebih menekuni bidang kanuragan daripada bidang pengobatan."
"Baiklah. Aku akan mencoba," jawab Agung Sedayu.
"Jangan sekedar mencoba," sahut Swandaru.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Swandaru berkata, "Kakang harus bersungguh-sungguh. Jika kakang sekedar mencoba, maka hasilnya tidak akan pernah menjadi baik."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Aku memang harus bersungguh-sungguh."
Swandaru melihat kesungguhan di wajah kakak seperguruannya itu. Namun kemudian ia-pun berkata, "Selamat jalan kakang. Pada kesempatan lain aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika kakang sempat, justru karena persoalan antara Mataram dan Pati telah selesai, kami berharap kakang dan Sekar Mirah dapat mengunjungi Sangkal Putung."
"Baiklah," Agung Sedayu mengangguk angguk, "kami akan memerlukan datang ke Sangkal Putung. Sekar Mirah tentu akan senang menengok keluarga yang sudah agak lama tidak bertemu."
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian para prajurit dari pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu-pun sudah mulai bergerak meninggalkan perkemahan yang tidak lama lagi akan dibongkar sebagaimana pesanggrahan pasukan Pati.
Sambil melepas para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu, Untara sempat berpesan, "Hati-hatilah Agung Sedayu. Mungkin masih ada orang yang akan memburumu sampai ke Tanah Perdikan. Keluarga orang berjanggut pendek yang kau bunuh itu, atau saudara-saudara seperguruannya akan dapat mendendammu, justru karena pertempuran itu terjadi diluar arena perang antara Mataram dan Pati."
Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menjawab, "Ya, kakang. Aku akan berhati-hati."
"Kau harus segera melaporkan diri kepada Ki Tumenggung Yudapamungkas atau langsung ke Ki Patih Mandaraka jika kau dapat menghadap."
"Ya, kakang," jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketika matahari memanjat semakin tinggi, Pasukan Khusus itu berjalan beriringan menuju ke Mataram. Jalan yang dilalui oleh pasukan kecil itu masih nampak sepi. Gema perang yang terjadi di Prambanan masih belum hilang, sehingga masih banyak orang yang tidak berani turun ke jalan. Bahkan padukuhan-padukuhan di sebelah menyebelah jalan itu masih nampak lengang. Orang-orang padukuhan yang dekat degan jalan itu memang ada yang mengungsi menjauh. Jika pasukan Pati mampu menembus pertahanan Mataram di Prambanan, maka jalan itu akan dilalui oleh pasukan Pati segelar-sepapan, sehingga nasib orang yang tinggal di sebelah menyebelah jalan itu akan dapat menjadi sangat buruk.
Perjalanan dari Prambanan ke Mataram memang merupakan jalan yang cukup panjang. Namun karena perjalanan yang mereka tempuh bukan jalan yang rawan, maka rasa-rasanya perjalanan itu tidak melelahkan.
Meski-pun demikian, ketika matahari sampai ke puncak langit, terasa betapa panasnya membakar ubun-ubun.
Disore hari, pasukan kecil itu mendekati gerbang kota. Pasukan kecil itu mulai mengatur diri dan menyusun barisan sebaik-baiknya. Ciri-ciri khusus Pasukan Khusus itu-pun telah dipasang. Kelebet berujung runcing telah dipasang pada tunggulnya.
Agung Sedayu tidak menduga, bahwa pasukan kecilnya mendapat sambutan yang memberikan kebanggaan di setiap dada para prajuritnya. Agaknya di Mataram telah tersiar berita, bahwa pasukan Khusus yang baraknya berada di Tanah Perdikan Menoreh dan dipimpin oleh Agung Sedayu itu termasuk salah satu diantara beberapa kelompok pasukan Mataram yang terbaik. Karena itu, maka Pasukan Khusus itu pulalah yang mendapat perintah untuk mengikuti gerak mundur pasukan Pati sampai ke sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Orang-orang yang tinggal di Kota Raja, yang mendengar berita kehadiran Pasukan Khusus itu telah turun ke jalan, memberikan penghormatan dan bahkan terdengar mereka bersorak untuk menyatakan kekaguman mereka.
Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Jantungnya terasa berdentang lebih cepat dan lebih keras daripada saat ia memasuki perang gelar melawan Pati. Bahkan saat ia berada di sisi Panembahan Senapati sebagai Senapati Pengapitnya.
Kakinya merasa menjadi berat, demikian pula para prajurit. Mereka seakan-akan bergerak sangat lamban meski-pun mereka sudah berjalan cepat.
Namun jalan menjadi terhambat oleh orang-orang yang ingin menyaksikan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Di Mataram, para prajurit itu langsung menuju ke alun-alun. Dua orang penghubung telah menghubungi Tumenggung Yudapamungkas.
Sebelum matahari turun ke punggung bukit, pasukan itu telah memasuki sebuah barak yang memang sudah disediakan. Ki Tumenggung Yudapamungkas sendiri yang menerima pasukan kecil itu dan kemudian langsung menerima laporan dari Agung Sedayu.
"Kalian dapat beristirahat disini sampai besok lusa," berkata Ki Tumenggung, "selanjutnya, kalian tentu ingin segera pulang ke barak kalian di Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya menunggu giliran pulang menemui keluarga."
Demikianlah, maka para prajurit itu telah beristirahat sebaik-baiknya di barak itu. Di keesokan harinya, Ki Patih Mandaraka telah datang bukan saja menemui Agung Sedayu, tetapi Ki Mandaraka berniat menemui seluruh prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk menyatakan terima kasihnya.
"Kalian akan mendapat kesempatan cukup untuk bergantian mengunjungi keluarga kalian," berkata Ki Patih Mandaraka.
Namun kebanggaan para prajurit semakin bertambah-tambah ketika Ki Patih Mandaraka berkata, "Nanti malam. Panembahan Senapati berkenan untuk mengunjungi kalian."
Sebenarnyalah, ketika malam turun, sekelompok pasukan Pengawal istana telah datang ke barak itu mempersiapkan kedatangan Panembahan Senapati di barak itu.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu menjadi sangat berbesar hati ketika Panembahan Senapati sendiri langsung mengucapkan terima kasih kepada mereka. Panembahan Senapati juga menyatakan bela sungkawa. bahwa beberapa orang terbaik diantara mereka terpaksa ditinggalkan dan diserahkan kepangkuan bumi.
"Mataram berhutang budi kepada kalian. Juga kepada para keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang gugur di medan," berkata Panembahan Senapati kemudian. Lalu katanya pula, "Tidak seorang-pun di bumi Mataram yang menginginkan terjadinya perang. Tetapi perang itu ternyata tidak dapat kita elakkan dengan penuh kesadaran bahwa perang itu akan menimbulkan bencana. Tetapi jika kita tidak memaksa diri untuk perang, maka bencana yang akan menimpa Mataram menjadi jauh lebih besar. Karena itu, maka kita terpaksa memilih sesuatu yang sangat kita benci, yaitu perang."
Jantung para prajurit itu memang tergetar. Mereka memang tidak dapat menyingkir dari peperangan. Bukan karena para prajurit Mataram itu selalu bermimpi untuk membunuh.
Panembahan Senapati memang tidak lama berada di barak itu. Beberapa saat kemudian. Panembahan Senapati langsung meninggalkan barak itu diatas punggung kudanya, dikawal oleh beberapa kelompok pasukan Pengawal Istana. Pasukan pilihan diantara prajurit terbaik Mataram. Namun kebanggaan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak kalah dari kebanggaan para prajurit dari pasukan pengawal itu.
Dikeesokan harinya, maka Ki Yudhapamungkas telah melepas para prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya, bergantian para prajurit itu akan mendapat kesempatan untuk menengok keluarga mereka masing-masing untuk waktu yang terhitung panjang.
"Tetapi dengan demikian, kalian harus berbicara dengan para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian juga turut mempertahankan keberadaan Mataram dari serangan prajurit Pati, terutama yang datang dari arah Utara." pesan Ki Tumenggung Yudapamungkas namun mereka telah mendapat kesempatan untuk mendahului kembali ke Tanah Perdikan. Pada saat para prajurit bergantian meninggalkan barak, para pengawal harus berada dalam kesiagaan yang tinggi. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin ada sekelompok orang yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri. Tetapi mungkin sekelompok orang yang membawa dendam ke Tanah Perdikan Menoreh.
Demikianlah, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun telah meninggalkan barak tempat tinggal dan landasan segala kegiatan mereka. Disitu pula mereka telah ditempa oleh Agung Sedayu sehingga mereka benar-benar menjadi prajurit pilihan yang mendapat kehormatan langsung dari Panembahan Senapati sendiri, sehingga kedudukan mereka setingkat dengan kesatuan-kesatuan terbaik di Mataram.
Di sepanjang perjalanan, iring-iringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang padukuhan-padukuhan sepanjang jalan menuju ke Tanah Perdikan melihat kesatuan kecil itu dengan bangga. Satu dua orang yang mengetahui bahwa pasukan itu adalah Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, telah memberitahu tetangga-tetangga mereka.
"Pasukan itu baru pulang dari Prambanan. Mereka telah berhasil mengusir pasukan dari Pati," berkata seseorang dengan bangga seakan-akan dirinya sendirilah yang telah memenangkan perang itu.
Ketika mereka menyeberang Kali Praga dengan beberapa buah rakit yang harus mondar-mandir, maka tukang tukang rakit itu tidak mau menerima upah yang seharusnya memang menjadi hak mereka, karena mereka itu merasa bangga atas pasukan itu.
"Ceritera tentang Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu sudah lewat mendahului pasukan ini sendiri," berkata salah seorang dari tukang satang itu.
"Ah, tidak ada yang pantas dipuji," desis salah seorang pemimpin kelompok.
"Kemarin orang-orang yang menyeberang mengatakan bahwa Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh sudah berada di Kota Raja. Mereka akan segera menuju ke Tanah Perdikan," sahut tukang satang itu.
Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, "Terima kasih atas pujian itu."
"Kami mengatakan sebagaimana dikatakan orang tentang Pasukan Khusus ini," berkata tukang, satang yang lain.
Para prajurit yang mendengar pujian itu-pun tertawa. Namun mereka tidak dapat melupakan bahwa sebagian dari mereka harus tertinggal di perjalanan kembali ke Prambanan dari menjalankan tugas yang cukup berat.
Agung Sedayu yang memimpin pasukan itu tidak sampai hati untuk benar-benar tidak membayar upah para tukang satang yang sudah bekerja keras itu. Meski-pun semula tukang tukang satang itu menolak, namun Agung Sedayu berkata, "Ki Sanak. Uang ini bukan uangku pribadi. Kami sudah mendapat beaya penyeberangan ini. Uang ini kami terima dari pimpinan kami di Mataram. Jadi uang ini berasal dari Ki Sanak pula. Bukankah Ki Sanak setiap kali telah dipungut pajak ?"
Akhirnya tukang-tukang satang itu menerima juga. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu memasuki Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka melihat bahwa perang yang terjadi di Prambanan itu hampir tidak ada pengaruhnya. Kehidupan di Tanah Perdikan itu berjalan seperti biasa. Kesibukan orang yang bekerja sehari-hari. Jalan-jalan yang tidak menjadi sepi.
Namun Agung Sedayu mengetahui, bahwa beberapa saat yang lalu, ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan kembali dari Mataram, air mata-pun telah menitik. Beberapa orang anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini telah gugur di medan pertempuran.
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak mendapat sambutan yang berlebihan ketika mereka kembali memasuki barak mereka. Tetapi Ki Gede Menoreh, Prastawa, Glagah Putih dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan sudah menunggu. Mereka memang sudah mendapat pemberitahuan lebih dahulu, bahwa hari itu para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan kembali ke barak.
Upacara-pun hanya berlangsung seperlunya. Kemudian, Ki Gede Menoreh sebagai Kepala Tanah Perdikan telah mempersiapkan penyambutan kedatangan para prajurit itu dengan acara makan bersama.
Dengan bekerja bersama para prajurit yang bertugas di dapur, Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan hidangan khusus untuk menyambut kedatangan para prajurit dari medan tugas mereka.
Meski-pun tidak berlebihan, tetapi sambutan itu memberikan kegembiraan bagi para prajurit yang baru saja menempuh perjalanan itu. Memang bukan perjalanan yang panjang. Tetapi sisa sisa kelelahan yang masih melekat didalam diri mereka masing-masing, menjadi sedikit terobati dengan sambutan yang menggembirakan itu.
Demikianlah, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu merasa telah berada di rumah mereka kembali. Sementara itu, mereka-pun mulai menunggu giliran untuk dapat pulang mengunjungi keluarga mereka.
Hari itu Agung Sedayu sendiri juga belum pulang ke rumahnya. Bersama para pemimpin kelompok Agung Sedayu telah mempersiapkan susunan giliran bagi para prajuritnya yang baru pulang dari medan perang untuk beristirahat bersama keluarga mereka masing-masing.
Baru di hari berikutnya. Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khususnya.
Keluarga Agung Sedayu tiba-tiba telah menjadi cerah. Seperti lampu yang semula kekurangan minyak, tiba-tiba telah dituang lagi sampai penuh. Bukan saja isterinya, Sekar Mirah, yang menyambut kedatangan Agung Sedayu, tetapi juga Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan juga Wacana dan isterinya, Kanthi, yang khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang baru saja menjalankan tugasnya yang berat itu, rasa-rasanya telah mendapat kesempatan untuk meletakkan segala macam beban di pundaknya. Ia benar-benar merasa lepas dari segala ikatan tanggung jawab dalam tugasnya.
Hari itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi sibuk di dapur. Glagah Putih telah memotong tidak hanya seekor ayam. Tetapi untuk menjamu tamu tamunya yang berdatangan, maka Glagah Putih telah memotong beberapa ekor ayam.
Di hari berikutnya, Agung Sedayu masih juga beristirahat di rumah. Ia sengaja tidak pergi ke barak sebagaimana sudah diberitahukannya kepada para pembantunya. Para pembantunyalah yang kemudian mengatur pelaksanaan pemberian waktu beristirahat bagi para prajuritnya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak sempat menikmati waktu istirahatnya sampai tuntas sebagaimana direncanakannya. Ketika kemudian matahari condong di sisi Barat langit, dua orang perwira prajurit Pengawai Istana diantara oleh Ki Lurah Branjangan telah datang ke rumah Agung Sedayu.
Dengan jantung berdebar debar Agung Sedayu mempersilahkan tamu tamunya untuk naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.
Setelah mempertanyakan keselamatan perjalanan mereka, maka Agung Sedayu-pun berkata, "Kedatangan Ki Lurah Branjangan serta Ki Sanak berdua telah mengejutkan aku."
"Aku hanya akan bertemu dengan Wulan saja, sekaligus menunjukkan jalan kedua orang perwira dari Pasukan Pengawal Istana yang ingin menemui Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak berada di barak, karena sedang beristirahat."
"Kami memang mempunyai keperluan dengan Ki Lurah," berkata salah seorang dari kedua orang perwira itu.
"Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara salah seorang tamunya itu berkata, "Kami membawa perintah langsung dari Panembahan Senapati bagi Ki Lurah Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Perintah apakah yang harus aku jalankan ?"
"Ki Lurah dipanggil menghadap. Ki Lurah melaporkan dari kepada Ki Patih mandaraka, kemudian Ki Lurah akan dibawa manghadap oleh Ki Patih."
"Apakah yang harus aku lakukan kemudian ?" bertanya Agung Sedayu diluar sadarnya.
"Kami tidak mengetahuinya Ki Lurah. Kami hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah. Besok sebelum matahari terbenam Ki Lurah harus sudah berada di Kepatihan."
Demikianlah, setelah mendapat hidangan minum dan makan, maka kedua orang perwira dari Pasukan Pengawal Istana itu minta diri untuk kembali ke Mataram."
"Kami tidak singgah di barak, Ki Lurah Branjangan."
"Silahkan. Aku juga masih akan berada disini. Bahkan mungkin sampai besok. Cucuku ada disini," jawab Ki Lurah Branjangan.
Sepeninggal kedua orang prajurit dari Pasukan Pengawal Istana itu, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang sekar Mirah. Wajah Sekar Mirah yang baru saja menjadi terang itu redup kembali.
Tetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian ia-pun telah tersenyum kembali sambil mempersilahkan Ki Lurah Branjangan, "Marilah Ki Lurah. Silahkan melanjutkan menikmati hidangan seadanya ini."
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menangkap getar perasaan Sekar Mirah yang hanya sesaat itu. Sekar Mirah tentu merasa kecewa bahwa demikian suaminya pulang, maka telah datang perintah kepadanya untuk tugas-tugas berikutnya. Meski-pun mereka belum tahu, tugas apa yang akan diemban, tetapi tugas itu tentu termasuk tugas yang penting, karena perintah itu datang langsung dari Panembahan Senapati.
Namun justru karena itu, maka Agung Sedayu telah benar-benar mempergunakan hari-harinya yang pendek itu untuk beristirahat. Bersama Sekar Mirah mereka sempat mengunjungi Prastawa. Singgah di rumah Ki Gede dan pergi melihat sawahnya yang ditumbuhi batang batang padi yang subur.
"Aku tidak dapat menghindari perintah, apalagi yang datang langsung dari Panembahan Senapati, Mirah," berkata Agung Sedayu.
"Aku mengerti, kakang," jawab Sekar Mirah, "tetapi aku akan ikut menjadi bangga, justru karena kakang mendapat kesempatan untuk melakukan tugas-tugas penting itu."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Terima kasih atas pengertianmu Mirah. Aku berharap bahwa pada kesempatan lain, aku akan dapat beristirahat lebih lama lagi."
"Kau sudah cukup memberikan waktumu kepada keluarga kakang. Bukankah di hari-hari biasa, kau setiap hari dapat pulang ?"
"Hari-hari yang benar-benar terlepas dari bayangan tugas-tugas yang melelahkan."
"Tetapi kita sudah memiliki untuk tinggal di dalam duniamu sekarang ini kakang."
"Ya. Dengan pengertian dan doronganmu, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas-tugasku sebaik-baiknya."
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah berusaha untuk mengerti bahwa suaminya bukan harus sekedar memenuhi keinginannya. Justru suaminya selalu berada didalam bayang-bayang tugasnya sebagai seorang prajurit.
Dikeesokan harinya, Agung Sedayu harus pergi ke baraknya untuk memberitahukan dengan resmi, bahwa hari itu pula ia harus pergi ke Mataram. Karena itu, maka Agung Sedayu harus membagi dan menyerahkan tugas-tugas kepemimpinannya di barak itu kepada pembantu-pembantunya.
Hari itu, Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan lagi menuju ke Mataram. Dibawanya Glagah Putih besertanya untuk kawan berbincang di perjalanan.
"Kenapa kau tidak membawa satu dua orang pengawal ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Biarlah mereka menikmati saat-saat istirahat mereka," jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, maka seperti yang diperintahkan kepadanya, sebelum matahari terbenam Agung Sedayu sudah berada di Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.
Ketika ia menyampaikan permohonan untuk menghadap, maka Ki Lurah Agung Sedayu itu-pun langsung dapat diterima, karena Ki Patih memang sudah menunggu kedatangan Agung Sedayu.
"Kita akan langsung menghadap Panembahan Senapati," berkata Ki Patih kemudian. Namun katanya pula, "Tetapi biarlah adik sepupumu itu menunggumu disini."
"Baik Ki Patih," jawab Agung Sedayu yang kemudian memberitahukan kepada Clagah Putih agar ia tinggal di Kepatihan.
Glagah Putih Menyadari bahwa ia tidak berwenang untuk ikut mendengar perintah Panembahan Senapati kepada kakaknya, seorang prajurit. Karena itu, maka katanya, "Baik kakang. Aku akan menunggu kakang di Kepatihan."
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih telah mengenal beberapa orang Abdi Dalem Kepatihan, sehingga ia tidak merasa canggung.
Ketika Raden Rangga masih ada, Glagah Putih sering berada di Kepatihan itu bersamanya. Setelah Raden Rangga tidak ada, Glagah Putih-pun sekali-kali masih juga berada di Kepatihan untuk tugas-tugas tertentu.
Sementara ini, Ki Patih Mandaraka bersama Agung Sedayu telah menghadap langsung Panembahan Senapati.
"Ada tugas yang penting, Agung Sedayu," berkata Panembahan Senapati kemudian.
"Hamba Panembahan," sahut Agung Sedayu.
"Aku tidak dapat mempercayakannya kepada orang lain. Apalagi adik-adikku. Beberapa orang Pangeran telah dikenal baik oleh orang-orang Pati," berkata Panembahan Senapati kemudian.
Jantung Agung Sedayu menjadi berdebar. Ia sudah dapat menduga, tugas apa yang kan dibebankan kepadanya.
Sebanarnyalah Panembahan Senapati itu-pun berkata, "Agung Sedayu. Menurut laporan beberapa orang yang belum dipastikannya sampai ke sebelah Utara pegunungan Kendeng, tetapi justru telah berada di Pati. Tetapi kekalahannya yang terjadi di Prambanan tidak membuatnya jera. Adimas Pragola dari Pati justru menyusun kekuatan kembali untuk menghantam Mataram."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Perintah yang bakal diterima menjadi semakin terang di angan-angannya. Satu perjalanan jauh harus ditempuhnya.
Sebenarnyalah Panemahan Senapati itu-pun berkata, "Agung Sedayu. Aku ingin kau pergi ke Pati untuk memastikan, apakah benar Adimas Adipati Pragola telah menyusun kekuatan kembali. Aku minta kau dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat memberikan laporan. Aku minta kau berada di Pati untuk beberapa hari. Sudah tentu kau tidak perlu sendiri. Kau dapat membawa kawan untuk berbincang di perjalanan. Aku tidak menunjuk siapakah yang akan kau bawa. Terserah kepadamu. Atau seandainya kau tidak mau seorang kawan-pun yang justru akan dapat mengganggumu."
Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, "Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan."
"Kau tidak perlu berangkat besok. Mungkin kau masih ingin beristirahat satu dua hari lagi."
"Terima kasih Panembahan. Jika demikian hamba masih dapat pulang dan bermalam satu malam di rumah hamba."
"Tentu," jawab Panembahan Senapati, "selanjutnya, kau dapat memilih kawan. Prajurit atau bukan prajurit."
"Apakah hamba boleh membawa Glagah Putih bersama hamba ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu. Aku juga sudah tahu tataran ilmu anak itu. Jauh lebih tinggi dari kewajaran anak-anak muda. Apalagi yang seumurnya," jawab Panembahan Senapati.
"Ampun Panembahan. Glagah Putih tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain kenakalannya," berkata Agung Sedayu agak ragu.
Tetapi Panembahan Senapati itu-pun berkata, "Kau-pun tentu akan mengatakan bahwa kau-pun tidak mempunyai kelebihan apa-apa meski-pun kau tentu tidak akan lupa bahwa kita pernah menjadi pengembara bersama."
Agung Sedayu yang tersenyum itu tidak menjawab, sementara Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Patih, "Bagaimana pendapat paman Mandaraka."
Ki Patih Mandaraka-pun tertawa pula. Katanya, "Aku sependapat dengan angger Panembahan. Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa itu biarlah pergi ke Pati untuk melihat apa yang sekarang ini berkembang di Pati dalam hubungannya dengan ceritera beberapa orang petualang bahwa Pati yang gagal menyerang Mataram itu telah mempersiapkan kekuatan baru untuk menentang Mataram."
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masih saja tertawa.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, setelah memberikan beberapa pesan lagi. Panembahan Senapati-pun telah memperkenankan Agung Sedayu meninggalkan Istana.
"Jika kau akan berangkat ke Pati, kau sudah tidak perlu menemui aku lagi, Agung Sedayu. Pesanku sudah cukup banyak dan kau-pun sudah mengetahui apa yang sebaiknya kau kerjakan."
"Hamba Panembahan," jawab Agung Sedayu sambil mengangguk hormat.
"Nah, selamat malam. Aku kira kau akan bermalam di Kepatihan," berkata Panembahan Senapati kemudian.
"Hamba Panembahan, jika Ki Patih Mandaraka memperkenankan."
"Ia datang bersama adik sepupunya," berkata Ki Patih.
"Maksud paman. Agung Sedayu datang bersama Glagah Putih ?"
"Ya, ngger." "Kenapa anak itu tidak kau ajak kemari ?" bertanya Panembahan Senapati kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Patihlah yang menjawab, "Aku minta Glagah Putih tinggal di Kepatihan."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah Agung Sedayu yang memberitahukan kepadanya."
Demikianlah, maka Ki Patih Mandaraka-pun telah mohon diri bersama Agung Sedayu meninggalkan istana untuk pergi ke Kepatihan, karena Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam disana.
Di Kepatihan, Agung Sedayu masih mendapat beberapa pesan dari Ki Patih Mandaraka. Bukan saja sebagai Patih di Mataram, tetapi juga sebagai orang tua.
"Kau jangan merasa berkecil hati, bahwa kau telah ditunjuk untuk menjalankan tugas ini, Agung Sedayu," berkata Ki Patih Mandaraka.
"Tidak Ki Patih, Kami berdua tentu akan merasa bangga jika kami dapat menjalankan tugas ini dengan baik."
"Jika tiba-tiba saja kau yang teringat oleh angger Panembahan Senapati untuk menjalankan tugas ini, justru kau adalah terhitung orang terakhir yang menjalankan tugas yang berat untuk mengikuti gerak mundur Pasukan Pati, itu adalah karena Panembahan Senapati tidak dapat melupakan kau selama pengembaraanmu bersamanya, sebagaimana Panembahan Senapati mempercayaimu untuk menjadi Senapati pengapitnya. Bagi Panembahan Senapati, kau adalah orang yang khusus. Meski-pun kedudukanmu tidak lebih dari seorang lurah Prajurit, tetapi ternyata kau mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Panembahan Senapati."
"Satu kebanggaan tersendiri, Ki Patih," desis Agung Sedayu.
Ki Patih Mandaraka tersenyum. Kemudian katanya, "Nah, sudahlah. Kita akan makan bersama. Kemudian kau dan Glagah Putih dapat beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi kalian berdua."
Agung Sedayu dan apalagi Glagah Putih memang merasa canggung untuk makan bersama Ki Patih mandaraka. Tetapi Ki Patih telah memerintahkannya.
Malam itu, didalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka, Agung Sedayu telah menyampaikan perintah Panembahan Senapati itu kepada Glagah Putih. Kemudian Agung Sedayu-pun telah memberitahukan pula, bahwa Agung Sedayu diperkenankan mengajak Glagah Putih untuk menjalankan tugas itu.
Ternyata Glagah Putih menjadi gembira atas kesempatan itu. Katanya, "Terima kasih kakang. Dengan demikian, maka pengalamanku akan bertambah."
"Besok lusa kita berangkat. Apakah kau akan singgah di Jati Anom untuk bertemu dengan paman Widura ?"
"Baik kakang. Kita akan singgah jika itu tidak menghambat perjalanan kita," jawab Glagah Putih.
"Apakah kakang juga akan singgah di Jati Anom ?" bertanya Glagah Putih kemudian.
"Tentu. Jika kau singgah, aku-pun akan singgah."
"Maksudku menemui kakang Untara. Atau bahkan singgah di Sangkal Putung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam kesibukan tugas dan ketegangan yang masih dialaminya dalam tugas-tugas barunya, Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum ingin bertemu dengan Swandaru. Karena itu, meski-pun ia tidak tahu apakah Swandaru masih berada di bekas perkemahan pasukan Mataram atau tidak, maka ia-pun menjawab, "Swandaru masih berada di perkemahan bersama kakang Untara. Mereka bertugas sampai perkemahan itu dibongkar. Juga perkemahan orang-orang Pati."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih-pun merasa segan untuk bertemu dengan Swandaru, meski-pun Swandaru tidak pernah menilainya sebagaimana ia menilai kemampuan Agung Sedayu.
Malam itu ternyata Glagah Putih tidak segera dapat tidur. Ia masih saja memikirkan tugas yang dibebankan kepada Agung Sedayu dan yang kemudian melimpahpula kepadanya. Ia merasa bangga, bahwa Panembahan Senapati memberikan ijin langsung ketika Agung Sedayu menyebut namanya untuk menyertai tugasnya yang berat itu, meski-pun ia bukan seorang prajurit.
Namun akhirnya, Glagah Putih-pun telah terlelap pula.
Pagi-pagi keduanya sudah bangun dan berbenah diri. Kemudian, ketika matahari terbit, keduanya bermaksud mohon diri untuk segera berangkat kembali ke Tanah Perdikan.
Tetapi Ki Patih Mandaraka masih mempersilahkan keduanya untuk makan pagi.
Selagi mereka makan, Ki Patih masih sempat bertanya kepada Glagah Putih, "Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu ?"
Glagah Putih menyingkapkan bajunya sambil berkata, "Tentu, Ki Patih."
Ki Patih tersenyum. Katanya, "Bagus. Semakin lama ikat pinggang itu akan menjadi semakin akrab denganmu."
"Ya, Ki Patih," jawab Glagah Putih sambil mengangguk-angguk kecil.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun lelah meninggalkan Kepatihan. Keduanya-pun kemudian melarikan kuda mereka di sepanjang jalan kota, meski-pun tidak terlalu kencang. Baru kemudian, ketika mereka keluar dari pintu gerbang, maka keduanya telah melecut kuda mereka, sehingga sejenak kemudian kuda-kuda itu telah berderap semakin cepat.
Angin yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah mereka. Di langit selembar awan terapung hanyut ke arah Gunung Merapi.
Pepohonan di sebelah-menyebelah jalan seakan-akan terbang ke belakang, sementara pematang sawah bagaikan berputar bersama padukuhan-padukuhan di tengah-tengah bulak persawahan yang luas.
Orang-orang yang berpapasan dengan cepat berusaha menepi.
Ketika matahari naik semakin tinggi, maka keduanya telah sampai ke tepian kali Progo. Keduanya-pun langsung membawa kuda mereka naik keatas sebuah rakit yang cukup besar bersama beberapa orang penumpang yang lain.
Setiap kali kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu masih saja menarik perhatian banyak orang. Seorang pedagang yang nampaknya cukup berhasil telah menanyakan dari mana Glagah Putih mendapatkan kuda itu.
"Dari seorang sahabat, Ki Sanak. Sahabatku memiliki beberapa ekor kuda yang baik. Aku telah menanyakan dari mana Glagah Putih mendapatkannya seekor," jawab Glagah Putih.
"Jika ada orang yang menjual kuda sebaik itu, aku mau membeli dengan harga berapa-pun juga," berkata orang itu.
Glagah Putih mengetahui maksudnya. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapinya.
Namun orang itu kemudian berkata selanjutnya, "Apakah kau tidak ingin menukarkan kudamu, Ki Sanak. Jika kau sudah terlalu lama memiliki dan barangkali sudah menjadi jemu."
Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, "Tidak Ki Sanak. Aku tidak merasa jemu dengan kudaku ini."
Tiba-tiba saja Agung Sedayulah yang menyahut, "Barangkali Ki Sanak juga tertarik pada kudaku " Akulah sudah merasa jemu dengan kudaku. Aku ingin menggantinya dengan kuda setegar kuda adikku itu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Sambil memandang kuda Agung Sedayu ia berkata, "Kudamu biasa biasa saja Ki Sanak."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "justru karena itu, aku ingin kuda yang tidak bisa."
Pedagang ituputi tertawa pula.
Demikianlah, rakit mereka-pun bergerak semakin dekat dengan tepian di seberang. Pedang itu tidak habis-habisnya mengagumi kuda Glagah Putih.
Ketika kemudian mereka turun selelah membayar upah penyeberangan, pedagang itu masih juga berkata, "Jika kapan-kapan kau menjadi jemu dengan kudamu, katakan kepadaku, Ki Sanak."
"Kemana aku mencari Ki Sanak ?" berkata Glagah Putih.
"Aku tinggal di padukuhan Karanggayam kademangan Kleri-ngan, Ki Sanak. Namaku Wirakerti."
"Jadi Ki Sanak orang Kleringan ?" bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi.
"Ya. Apakah kalian pernah pergi ke Kleringan ?" bertanya orang itu.
"Aku orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku banyak mengenal orang-orang Kleringan. Aku juga mengenal Ki Demang," jawab Glagah Putih.
"O," Pedagang itu mengangguk-angguk, katanya kemudian, "sokurlah jika demikian. Datang saja ke rumahku meski-pun kau tidak ingin mejual kudamu. Aku sudah merasa senang mendapat kesempatan mengamatinya."
"Terima kasih, Ki Sanak," jawab Glagah Putih.
Namun mereka-pun kemudian berpisah. Glagah Putih dan Agung Sedayu mengambil jalan yang langsung menuju ke padukuhan induk Tanah perdikan, sementara orang itu menuju ke Kleringan.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk.
Ketika mereka sampai di rumah, ternyata Ki Lurah Branjangan masih ada di rumah itu pula.
Setelah beristirahat sejenak sambil minum-minuman hangat, maka Sekar Mirah yang segera ingin mengetahui tugas apa yang harus diemban oleh suaminya, telah bertanya, "Perintah apakah yang akan terima dari Panembahan Senapati ?"
Agung Sedayu-pun telah menceriterakan dengan singkat tugas yang harus dilakukannya. Ia memilih berangkat bersama Glagah Putih daripada mengajak satu dua orang prajurit dari Pasukan Khususnya yang sedang menikmati masa-masa istirahat mereka.
"Jadi kakang Glagah Putih akan ikut bersama kakang Agung Sedayu dalam tugas ini ?" bertanya Rara Wulan
"Ya. Ia akan pergi bersamaku untuk beberapa hari lamanya."
"Tetapi kakang harus membawanya pulang seutuhnya," berkata Rara Wulan.
Agung Sedaya tersenyum. Tetapi ia masih bertanya, "Apa yang kau maksudkan " Apakah aku harus membawanya pulang tanpa cacat, tanpa segores luka-pun di tubuhnya, atau aku harus membawanya pulang dengan hatinya yang masih utuh tanpa dilukai oleh gadis-gadis Pati ?"
"Ah, kakang. Pokoknya utuh semuanya," jawab Rara Wulan.
Yang mendengar jawaban itu tertawa. Wajah Rara Wulan tiba-tiba saja menjadi panas. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesah beberapa kali.
"Jangan cemas, Wulan," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku akan membawanya pulang dengan tanpa cacat. Tubuh dan hatinya."
Rara Wulan masih saja berdesah.
Tetapi bahwa Agung Sedayu masih mempunyai waktu satu dua hari sebelum berangkat telah membuat Sekar Mirah agak terhibur, ia masih sempat berbincang panjang dengan suaminya yang baru saja pulang dari medan perang dengan mempertaruhkan jiwanya.
Namun Sekar Mirah-pun menyadari bahwa tugas yang diemban oleh Agung Sedayu itu-pun bukan tugas yang ringan. Ia akan berada di tempat yang asing dalam tugas sandi.
Namun akhirnya, sampai pula saatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih harus berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih akan singgah di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing. Padepokan orang bercambuk yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura.
Semalam menjelang keberangkatan Agung Sedayu dan Glagah Putih, keduanya sempat mengunjungi dan minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan untuk sementara Agung Sedayu minta agar Ki Lurah Branjangan berada di barak pasukan khususnya. Meski-pun ia sudah mengatur tugas bagi para pembantunya, namun Ki Lurah Branjangan masih tetap mempunyai pengaruh di barak Pasukan Khusus itu.
Meski-pun Sekar Mirah mengerti sepenuhnya bahwa suaminya menjalankan tugasnya, namun rasa-rasanya berat juga melepaskannya pergi tanpa mengetahui kapan ia akan kembali.
Demikian pula Rara Wulan. Meski-pun kedudukan Rara Wulan masih belum sama seperti Sekar Mirah yang melepas Agung Sedayu, namun hati Rara Wulan-pun terasa bergejolak pula.
Berkuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, mereka melarikan kuda mereka menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek.
Keduanya sama sekali tidak singgah di Mataram. Mereka justru menghindari agar perjalanan mereka tidak terhambat.
Di perjalanan keduanya harus berhenti untuk beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka istirahat pula.
Sebagaimana mereka menghindari Kotaraja, maka mereka-pun telah menghindari bekas perkemahan pasukan Mataram dan pasukan Pati di Prambanan. Mereka menyeberangi kali Opak dan kali Deng-keng beberapa ratus patok dari perkemahan. Kemudian keduanya melarikan kuda mereka langsung menuju Jati Anom melingkar di kaki Gunung Merapi.
Tidak ada hambatan yang mereka temui di perjalanan. Meski-pun ada beberapa padukuhan yang masih nampak sepi, namun pada umumnya orang-orang yang mengungsi dari sekitar jalur jalan yang diperkirakan-akan dilalui pasukan Pati, telah kembali. Padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom-pun telah mulai terisi. Pada umumnya orang-orang laki-laki telah kembali ke rumah mereka untuk mempersiapkan tempat bagi keluarganya. Bahkan ada juga satu dua keluarga yang seluruhnya telah kembali ke rumah mereka masing-masing.
Sementara itu beberapa kelompok prajurit telah berada di Jati Anom untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi, jika ada sekelompok orang yang ingin mencari kesempatan bagi kepentingan mereka sendiri" Bahkan kemungkinan timbulnya kejahatan terhadap orang-orang yang pulang dari pengungsian. Sementara barang-barang yang berharga masih terkumpul di satu tempat khusus sebagaimana mereka simapn selama mereka mengungsi.
Dalam pada itu Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak singgah dimana-mana. Tetapi kadang-kadang keduanya memang harus berhenti jika mereka berpapasan dengan sekelompok prajurit yang sedang meronda.
Kepada para prajurit yang menghentikan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menjawab beberapa pertanyaan sebelum mereka diperkenankan melanjutkan perjalanan.
Tetapi sekali-kali keduanya menyatakan-akan pergi ke padepokan kecil di Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Widura, maka merka dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah disambut dengan gembira sekali oleh Ki Widura. Selain mereka memang sudah lama tidak bertemu, Widura juga selalu berdebar-debar jika ia mengingat anaknya yang berada didalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Widura mengira bahwa Glagah Putih dan apalagi Agung Sedayu tentu terlibat dalam perang antara Mataram dan Pati.
Namun ternyata bahwa di padepokan kecil itu terdapat ampat orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Ki Widura-pun segera memperkenalkan mereka, bahwa mereka adalah para pengungsi yang menyingkir dari para prajurit Pati yang kadang-kadang bersikap bermusuhan dengan orang yang tidak bersedia membantu mereka memusuhi Mataram.
"Siapakah angger berdua ini ?" bertanya Ki Lurah Wiranata salah seorang dari keempat orang pengungsi itu.
Ternyata Agung Serayu tetap bersikap berhati-hati justru karena tugasnya. Karena itu, maka ia-pun menjawab, "Aku kemanakan Ki Widura, Ki Sanak. Sedang adik sepupuku ini adalah putera paman Widura sendiri."
"O," orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya pula, "Sekarang angger tinggal dimana ?"
"Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Istriku orang Tanah Perdikan itu. Sementara ini akulah yang menggarap sawah dan ladangnya, warisan dari orang tuanya."
Ternyata Ki Widura tanggap akan sikap Agung Sedayu. Ia-pun sudah menduga bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengemban tugas, penting sehingga ia tidak dapat menyebut kenyataan tentang dirinya kepada orang yang memang belum begitu dikenalnya.
Karena itu, maka justru ia-pun berkata, "Sementara ini anakku ikut bersamanya untuk membantunya."
Orang-orang mengangguk-angguk. Meski-pun agaknya meski-pun tersimpan beberapa pertanyaan lagi, namun orang itu sudah tidak bertanya lebih jauh.
Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam satu malam di padepokan kecil itu. Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ki Widura sendiri, maka keduanya telah mengatakan tugas apa yang sebenarnya sedang mereka pikul itu.
"Hati-hatilah," pesan Ki Widura, "dalam suasana dan persiapan perang, maka para prajurit kadang-kadang menjadi kehilangan kesempatan untuk merenungi langkah-langkah yang mereka ambil. Mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan, justru karena mereka sendiri selalu merasa terancam."
"Ya, paman," jawab Agung Sedayu. Namun dalam pada itu Glagah Putih bertanya, "Dimana kuda-kuda kita akan kita tinggalkan selama kita pergi ke Pati. Rencana kita kuda-kuda itu akan kami tinggalkan disini. Tetapi dengan demikian tentu akan menimbulkan pertanyaan pada keempat orang itu."
"Memang mungkin. Sementara itu aku juga masih belum dapat mengatakan, apakah mereka benar-benar dapat dipercaya. Mereka nampaknya memang benar-benar menyingkir dari tekanan para prajurit Pati. Sementara itu, selama mereka disini, mereka juga tidak berbuat sesuatu."
"Meski-pun demikian bukankah kita harus berhati-hati, ayah."
"Ya," Ki Widura mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi biarlah kuda-kuda itu disini. Mereka tidak akan tahu kemana kalian pergi."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah, paman. Kami akan meninggalkan kuda-kuda kami disini. Kami berharap bahwa orang-orang itu benar-benar orang yang sedang mengungsi sehingga tidak mempunyai niat buruk, terutama kepada Mataram. Kemudian kami-pun yakin bahwa mereka tidak akan tahu, kemana kami akan pergi."
Keesokan harinya, ketika keduanya minta diri untuk meneruskan perjalanan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih mengatakan bahwa mereka hanya akan melihat-lihat rumah mereka di Jati Anom dan Banyu Asri.
Demikianlah, maka Agung Sedayu-pun sudah mulai menempuh perjalanan mereka yang panjang dengan tugas yang berat pula.
Glagah Putih menganggap bahwa perjalanan itu merupakan bagian dari laku yang harus ditempuhnya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia akan mendapatkan banyak pengalaman yang akan berani dalam hidupnya kelak.
Karena itu, maka Glagah Putih Justru merasa bahwa tugas itu merupakan satu keberuntungan baginya.
Langit yang bersih dan sinar matahari pagi yang menyiram batang padi di sawah, membuat pagi itu menjadi cerah. Embun yang bergayutan di ujung-ujung daun mulai menguap ketika panas matahari menyentuhnya.
Meski-pun perang setelah selesai, tetapi sawah yang terbentang luas itu masih belum digarap dengan baik. Masih ada kotak-kotak sawah yang masih belum dibersihkan dari rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batang padi.
Di jalan-jalan masih belum nampak banyak orang yang berjalan hilir mudik. Baru satu dua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa melintasi bulak yang panjang.
Dengan demikian, maka jalan bulak yang panjang itu masih terasa sangat lengang.
Ketika seorang laki-laki yang sudah separo baya lewat mendahului mereka berdua, maka Agung Sedayu-pun berusaha berjalan di sampingnya, sementara Glagah Putih-pun melangkah dengan langkah-langkah panjang di belakangnya.
Ternyata orang yang sudah separo baya itu nampak menjadi sangat gelisah. Beberapa kali ia berpaling. Kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Sanak," sapa Agung Sedayu kemudian, "apakah aku boleh bertanya serba sedikit sambil berjalan bersama ?"
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun ketika beberapa kali ia memandang wajah Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka agaknya telah terjadi perubahan sikap batinnya terhadap kedua orang yang berjalan di sebelahnya itu.
Meski-pun masih dengan ragu, tetapi orang itu justru bertanya, "apa yang akan kau tanyakan ?"
"Kenapa jalan yang cukup lebar, rata dan nampaknya terpelihara ini menjadi demikian sepi dan lengangnya ?"
"Banyak orang yang pergi mengungsi Ki Sanak," jawab orang yang sudah separo baya itu.
"Bukankah perang sudah selesai " Apakah mereka masih belum kembali dari pengungsian ?"
"Sebagian memang sudah. Tetapi sebagian memang belum. Sawah itu-pun nampak, ada yang sudah nampak dipelihara dengan tertib, tetapi masih ada yang belum dijamah sejak kami pergi mengungsi."
"Kenapa masih ada yang belum bersedia kembali " Bukankah sudah tidak ada yang ditakuti lagi ?"
"Segala-galanya belum mapan disini, Ki Sanak. Memang sebagian prajurit telah kembali. Tetapi jumlahnya nampaknya masih belum memadai. Karena itu, masih ada orang-orang jahat yang berani memanfaatkan keadaan ini untuk mencari kekayaan buat diri sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa setelah perang, akan banyak persoalan yang timbul. Orang-orang yang pada dasarnya mempunyai watak dan sifat yang kurang baik, suasana setelah perang akan dapat mendorongnya untuk melakukannya lagi. Apalagi jika orang-orang itu menjadi kekurangan atau pada dasarnya memang belum menghentikan kegiatannya itu.
Dalam pada itu, setelah beberapa saat mereka berjalan bersama, maka orang itu-pun kemudian berkata, "Rumahku di padukuhan yang nampak itu. Karena itu, di simpang tiga itu aku akan berbelok ke kanan."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "silahkan Ki Sanak. Aku akan berjalan terus."
Ketika orang itu berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan terus. Namun orang itu sempat berpesan, "berhati-hati. Semakin jauh Ki Sanak berjalan, maka jalan-jalan akan menjadi semakin sepi. Banyak padukuhan masih kosong. Bahkan agak jauh ke Utara, keadaan masih terlalu gawat."
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Para prajurit Pati yang terdesak mundur, nampaknya mengalami kesulitan di sepanjang perjalanan mereka. Kakakku yang datang dari Utara mengatakan, bahwa masih ada kelompok-kelompok kecil prajurit Pati yang menelusuri jalan kembali. Di sepanjang jalan mereka harus mendapatkan makanan dan minuman. Tetapi kadang-kadang mereka tidak sekedar ingin makanan dan minuman, tetapi juga perhiasan dan barang-barang berharga lainnya."
"Mereka tentu bukan prajurit Pati," jawab Agung Sedayu.
"Lalu, bagaimana aku harus menyebut jika mereka pergi ke Selatan bersama pasukan yang dipimpin sendiri oleh Kangjeng Adipati Pragola ?"
"Prajurit Pati yang sebenarnya jumlahnya tidak mencukupi. Karena itu, Kangjeng Adipati telah mengumpulkan orang laki-laki yang tinggal di sebelah Utara Gunung Kendeng. Nah, laki-laki yang berasal dari daerah yang demikian luasnya itu tentu ada diantaranya yang kehilangan pegangan ketika mereka mengalami kesulitan."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil melangkah melanjutkan perjalanan lewat jalan yang lebih sempit, "Namun bagaimana-pun juga, kalian harus berhati-hati."
"Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas peringatan Ki Sanak," jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun telah meneruskan perjalanan mereka. Ketika mereka lapar dan haus, ternyata mereka sangat sulit untuk menemukan sebuah kedai yang membuka pintunya.
Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil menemukan sebuah kedai yang meski-pun kecil, namun agaknya mencukupi kebutuhan sekedar untuk mengobati haus dan lapar. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Puth telah terbiasa makan sederhana.
Sementara itu, matahari telah mulai turun. Sinarnya bagaikan membakar ikat kepala. Di kejauhan nampak bayangan ndeg amun-amun sejuk jika matahari menjadi semakin rendah.
Tetapi demikian keduanya memasuki kedai itu, maka terasa satu suasana yang lain. Beberapa orang sudah duduk didalam kedai itu. Di hadapan mereka sudah dihidangkan mangkuk-mangkuk minuman. Namun agaknya mereka sudah cukup lama duduk di kedai itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Keduanya hanya ingin makan dan minum. Tidak lebih.
Seorang yang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan jambang, kumis dan janggut yang pendek tetapi tebal, melangkah mendekati keduanya. Bajunya yang terbuka memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Sebuah luka goresan menyilang diantara bulu-bulu dadanya itu.
Dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan seorang yang berjualan makanan dan minuman, orang itu bertanya, "Kalian mau minum dan makan apa ?"
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Digamitnya Glagah Putih yang hampir saja bangkit. Anak itu nampak tersinggung melihat sikap penjual di kedai itu.
Agung Sedayulah yang kemudian menjawab, "Kami minta wedang sere saja Ki Sanak. Kemudian nasi dua mangkuk."
Orang itu tidak menjawab. Ia-pun kemudian menuang wedang sere ke dalam dua buah mangkuk. Menyenduk nasi dengan jangan lodeh keluwih dan sepotong ikan ayam dan sebungkus botok mlandingan.
Tanpa berkala apa-apa pula, orang itu menyodorkan pesan itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Minum dan makanlah," desis Agung Sedayu kepada Glagah Putih yang menjadi semakin tidak senang terhadap sikap penjual di kedai itu.
Tetapi ia tidak membantah. Sebagaimana Agung Sedayu, maka Glagah Putih-pun menghirup minumannya. Wedang sere dan gula kelapa, sehingga tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar.
Namun ketika Glagah Putih dan mulai makan nasi dengan sayur lodehnya, Agung Sedayu memegang pergelangan tangan Glagah Putih.
"Kau tidak usah makan. Biar aku saja yang makan." bisik Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Agung Sedayu itu mengangguk kecil.
Glagah Putih-pun segera tanggap. Tentu ada sesuatu yang gawat sehingga kakak sepupunya itu melarangnya makan.
Yang segera terkilas di kepalanya adalah racun. Nasi itu tentu mengandung racun, sementara kakak sepupunya itu tawar akan segala macam racun dan bisa.
Pemilik kedai yang bertubuh tegap gelisah karena Glagah Putih tidak ikut makan nasi lodeh yang telah dihidangkan. Karena itu, orang itu-pun kemudian melangkah medekati Glagah Putih sambil bertanya, "Kenapa kau tidak makan anak muda."
"Aku masih kenyang, Ki Sanak," jawab Glagah Putih.
"Tetapi kenapa kalian memesan dua mangkuk nasi jika kau masih kenyang ?"
"Kakakku ini terbiasa makan terlalu banyak. Ia akan menghabiskan dua mangkuk nasi dengan sayur lodeh itu."
"Kau jangan menyinggung perasaanku. Masakan kami sudah terkenal di seluruh daerah ini. Jika kau tidak mau makan, maka kau telah menghina kami."
"Maaf, Ki Sanak. Aku memang tidak lapar."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seseorang yang ada di kedai itu memberinya isyarat untuk mendekat.
Orang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan bulu-bulu lebat di dadanya itu-pun mendekati orang yang memanggilnya itu.
Agung Sedayu yang curiga, segera mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu meski-pun diucapkan sangat perlahan-lahan.
Seorang yang berwajah gelap berdesis lemah, "Biarkan saja. Jika yang seorang mati, anak itu tidak akan berdaya."
Namun seorang yang lain berdesis, "Kita juga tidak yakin keduanya membawa barang-barang berharga. Apa yang ada pada mereka, tidak cukup untuk mengupah menggali dua lubang kubur."
Mereka-pun kemudian terdiam. Sementara orang yang bertubuh tegap dan berdada bidang itu kembali ke tempatnya tanpa bertanya apa-apa lagi kepada Glagah Putih.
Sementara itu Agung Sedayu telah selesai makan. Ia sadar sepenuhnya, bahwa nasi itu memang mengandung racun. Namun kekebalan tubuhnya terhadap bisa dapat mengatasinya, sehingga racun itu sama sekali tidak menimbulkan akibat apa-pun bagi tubuhnya.
Meski-pun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus semakin berhati-hati. Jika racun itu tidak berhasil membunuh mereka, maka orang-orang itu tentu akan mempergunakan kekerasan untuk membunuh keduanya.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu-pun telah selesai makan. Tetapi masih ada semangkuk nasi yang belum dimakan. Semangkuk nasi yang seharusnya dipesan bagi Glagah Putih.
Orang-orang lain yang ada di kedai itu mulai menjadi gelisah. Orang yang makan dan menghabiskan semangkuk nasi itu masih tetap duduk di tempatnya. Ketika ia meneguk wedang serenya, ia masih tetap kelihatan segar. Racun yang tertelan bersama nasi yang dihidangkannya, nampaknya masih belum berpengaruh atasnya.
Pemilik kedai itu mulai berkeringat. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan penjual nasi dan orang-orang lain yang ada di kedai itu.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu-pun berkata, "Ternyata aku tidak dapat menghabiskan dua mangkuk nasi ini. Ketika aku memesan dua mangkuk, aku kira setiap mangkuk nasi tidak sebanyak ini."
Penjual nasi itu tidak sabar lagi. Racun di nasi yang dihidangkan ternyata tidak membunuh orang itu.
Meski-pun demikian orang itu sempat menjadi ragu. Tetapi ia merasa yakin bahwa ia sudah menaburkan racun itu diatas nasi sebelum diberinya sayur lodeh dan lauk-pauknya.
"Apakah orang ini kebal racun ?" orang itu bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi ia mempunyai alasan untuk memulai dengan pertengkaran. Karena itu, maka ia-pun melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Pulih. Dengan kasar ia berkata, "Kalian atau salah seorang dari kalian harus menelan nasi yang sudah kalian pesan."
"Bukankah itu tidak perlu, Ki Sanak," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi aku akan menderita rugi. Jika kalian tidak makan nasi itu, lalu buat apa ?"
"Jangan merasa dirugikan. Aku akan membayar harganya," jawab Agung Sedayu pula.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kalian sudah menghina kami. Sudah aku katakan, bahwa masakanku dan isteriku telah dikenal di daerah ini. Jika kalian memesannya dan tidak memakannya, itu berarti bahwa kalian telah merendahkan kemampuan kami."
"Ki Sanak. Aku bukannya baru sekali ini masuk ke dalam sebuah kedai. Tetapi aku tidak pernah mengalami perlakuan seperu ini," berkata Agung Sedayu.
"Aku tidak peduli. Tetapi aku benar-benar merasa tersinggung dengan tingkah laku kalian."
"Sudahlan. Jangan berputar-putar. Apa sebenarnya yang kalian kehendaki ?"
Wajah orang itu menjadi tegang, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, "Kau tentu mempunyai maksud buruk terhadap kami. Bahkan mungkin terhadap banyak orang yang telah singgah di kedaimu ini. Mungkin di belakang kedai ini terdapat sebuah kuburan yang luas tanpa pertanda apa-pun juga. Orang-orang yang mati karena kau racun, akan kau kubur di belakang kedai ini atau di tempat lain yang jarang dikunjungi orang."
"Setan kau. Apa yang kau bicarakan itu ?" geram orang bertubuh tegap dan berbulu di dadanya itu.
Kaki Tiga Menjangan 44 Trio Detektif 08 Misteri Labah Labah Perak Pahlawan Padang Rumput 1
^