Pencarian

Dendam Yang Tersisa 2

Pendekar Gagak Rimang 9 Dendam Yang Tersisa Bagian 2


waspada. Dengan hati-hati, kembali semuanya melang-
kah. Mereka semakin tegang bila ternyata yang me-
nangis itu adalah Ki Ronggo Jibus yang telah lama mereka can, manusia yang telah
berbuat keonaran dan
bertindak tidak mengenai ampun. Padahal tidak ada
sebab yang bisa dijadikan alasan yang kuat akan se-
pak terjangnya yang mengerikan.
Sebenarnya Tiga Setan Api cukup gembira ka-
rena secara tidak langsung manusia yang telah sekian lama mereka can telah
mereka temukan. Akan tetapi
mereka tidak menghendaki bila adanya pembokongan.
Meskipun demikian kesempatan ini tidak akan
pernah mereka sia-siakan. Sebisanya mereka akan
menangkap manusia jahanam itu atau membunuhnya!
Itulah sebabnya masing-masing telah siap
menggenggam hulu golok yang terselip di balik angkin yang mereka ken akan. Dan
masing-masing telah
mempersiapkan diri dengan ilmu Tangan Api masing-
masing. Semakin dekat mereka melangkah, semakin
lama suara isak itu semakin jelas terdengar.
Langkah mereka pun kini makin diperlambat,
dengan jalan melangkah perlahan. Dengan kesiagaan
yang teramat waspada. Dengan ketegangan yang mulai
memuncak. Tak jauh dari mereka ada sebuah sendang yang
cukup deras airnya. Letak sendang itu tertutup oleh rimbunnya semak belukar dan
di sekitarnya sungguh
amat gelap. Mampu membuat bulu roma berdiri. Ge-
muruh suaranya yang mengalir deras telah menerpa
telinga mereka. Semakin menambah ketegangan yang
berdetak di dada masing-masing.
Dan nampaknya suara isak itu berasal dari sa-
na. Terbawa oleh angin yang bertiup ke arah mereka
hingga mereka semua mendengarnya.
Kini mereka pun melihat sosok tubuh yang ten-
gah terduduk di tanah. Sikap sosok itu menunduk.
Kepalanya tertutup oleh rambutnya yang cukup pan-
jang. Sosok itulah yang menangis. Ini membuat hati mereka menjadi bertambah
tegang. Seorang perempuan" Gusti Allah... benarkah
dia seorang perempuan, ataukah Ki Ronggo Jibus yang sedang menyamar" Pikiran itu
melintas di benak masing-masing.
Rasa kesiagaan mereka kini berpadu dengan
rasa ketegangan.
"Hmmm... hati-hati... nampaknya kita semakin
mendekati sasaran," desis Penggoro.
"Aku kuatir ternyata gadis itu adalah Ki Ronggo Jibus, Kakang," kata Gurno.
"Demikian pula aku. Aku bukannya takut, na-
mun aku tidak menghendaki adanya jebakan atau bo-
kongan yang telah direncanakan oleh manusia busuk
itu!" "Lalu bagaimana tindakan kita, Kakang?"
"Hhh! Manusia busuk itu telah kita temukan!
Dan kita tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan
ini, bukan?"
Ketiganya terus mendekati sambil memperhati-
kan sosok tubuh itu yang semakin lama semakin jelas terlihat. Mendadak saja dari
kejauhan Penggoro mengibaskan tangannya. Dan "Wuuuutttt!" Serangkum angin deras
menderu ke arah sosok yang sedang menan-
gis itu. Dugaan Penggoro, bila benar sosok tubuh itu adalah Ki Ronggo Jibus yang
sedang menyamar, maka
pasti manusia iblis itu akan menghindari serangan itu.
Namun bila dia memang ternyata sosok tubuh belaka,
memang seorang gadis yang sedang menangis, maka
dia akan terhantam dengan derasnya.
Dan tubuh itu memang terguling dengan deras
ke belakang setelah serangkum angin besar itu mende-ru ke arahnya. Sosok itu
berguling berulangkali karena tenaga dorongan angin yang kuat sekali telah meng-
hantamnya. Penggoro terkejut. Dia tidak menyangka sosok
tubuh itu akan terguling dengan hebat.
Dan keterkejutannya semakin bertambah sete-
lah mendengar suara mengaduh kesakitan yang amat
sakit sekali. "Aaaakkkkhhhh!!" Suara seorang perempuan, yang tengah kesakitan.
Lalu tubuh itu meng-
hantam sebuah pohon yang berada di belakangnya
dengan deras dan kuat.
"Kakang!!" seru Gurno yang kalah terkejutnya.
"Sosok itu terhantam pukulan Seribu Angin mi-
lik Kakang!" seru Perwiro. "Aku tidak ingin kita salah sangka Kakang!"
Penggoro mendesah dengan keterkejutan yang
mata sangat. "Benar! Aku kuatir, aku telah melakukan kesa-
lahan yang amat fatal sekali!" serunya. "Lebih baik kita ke sana untuk melihat,
namun jangan lupa kita harus tetap berhati- hati... Karena manusia durjana itu
bisa menyamar seperti apa pun! Ayo!"
Lalu ketiganya pun berlarian untuk mendapati
sosok tubuh yang terguling tadi. Ketiganya tetap bersikap waspada. Dan mereka
masih tetap mempunyai se-
dikit keyakinan kalau sosok itu adalah Ki Ronggo Jibus yang sedang menyamar.
Sikap mereka tetap berhati-hati. Sementara so-
sok tubuh yang terhantam dorongan angin deras itu
diam tidak tergerak. Semakin dekat ketiganya dengan sosok yang terdiam itu,
semakin berhati-hati mereka melangkah.
Sosok tubuh itu berpakaian sedikit ku mal,
rambutnya panjang tergerai. Wajahnya yang terlihat
sedikit, benar-benar bercirikan seorang gadis. Hati ketiganya semakin galau dan
kebingungan. Karena hati
mereka pun kini mulai berubah. Berubah secara per-
lahan-lahan dan dibalur dengan penyesalan. Ragu.
Benarkah dia Ki Ronggo Jibus yang sedang me-
nyamar" Ataukah memang seorang gadis belaka yang
kebetulan tersasar"
Hal ini membuat ketiganya menjadi teramat ga-
lau. Namun karena Penggoro sudah melangkah, ke-
dua adik seperguruannya pun mau tak mau mengiku-
tinya. Suara langkah mereka itu perlahan, penuh ke-
raguan. * * * Sosok itu tetap tidak bergerak. Namun eran-
gannya perlahan-lahan terdengar.
"Ayah.... aduh, sakit... sakit sekali, aduh ayah...
sakit, sakit sekali...."
Rintihan itu semakin membuat mereka sema-
kin bertambah ragu dengan keyakinan itu.
Sebuah rintihan yang tidak dibuat-buat. Nam-
pak benar-benar amat kesakitan dan penuh kepedi-
han. Hati Penggoro menjadi tidak enak-mengingat dia yang membuat semua itu
terjadi. Keraguannya mulai
mengikis. Dipenuhi dengan rasa bersalah. Bila saja wani-
ta ini mati, bagaimana jadinya" Bukankah dia sedang mencari Ki Ronggo Jibus"
Bukannya malah menurunkan tangan telengas terhadap orang yang tidak bersalah.
"Kakang...." terdengar desisan Gurno, seolah mengisyaratkan kesalahan yang telah
diperbuat oleh-nya. "Lihat gadis itu... dia bisa kaku karena kedinginan...."
Penggoro hanya mendesah panjang. Lalu bergegas dia menghampiri sosok tubuh itu.
Dibalikkannya tubuh yang membelakanginya itu. Kini terlihatlah seraut wajah yang amat jelita.
Namun kening wajah itu berkerut dan berkali-kali sepasang matanya yang ter-pejam
bergerak-gerak seperti sedang menahan rasa
sakit. Sakit yang sukar ditahan rasanya.
Hati Penggoro makin teriris melihatnya. Dia
sungguh tidak mengharapkan hal ini terjadi.
"Tenang, Nyai... tenang...." desisnya mencoba
menenangkan sosok jelita yang sedang kesakitan, na-
mun dia sendiri sebenarnya tegang luar biasa. Karena dia yakin, tak seorang pun
akan mampu menahan serangan pukulan Angin Seribunya. Kecuali bila orang
itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Tetapi
apakah gadis ini memiliki tenaga dalam seperti itu"
Dan bila gadis ini masih bisa bertahan sungguh luar biasa sekali. "Tenang,
Nyai... Tenang... kau akan segera kutolong...."
"Ayah... sakit, Ayah... sakit...." erangan itu semakin kuat terdengar, semakin
membuat Penggoro
bertambah gelisah. Sementara Gurno dan Perwiro yang sudah memasukkan kembali
golok mereka ke sarung-nya, hanya mendesah panjang. Karena mereka sendiri
tidak yakin bila gadis jelita ini akan mampu bertahan lebih lama Dan karena
mereka pun tahu betapa dah-syatnya ilmu Pukulan Angin Salju milik kakak seper-
guruannya. "Tenang, Nyai... tenang...." desis Penggoro lalu dia sendiri bergerak dengan
cepat. Ditempelkannya kedua telapak tangannya ke punggung gadis itu. Lalu dia
mendesah sebelum berkonsentrasi. Lalu dikirimkan-nya tenaga dalamnya untuk
mengurangi rasa sakit pa-
da tubuh gadis itu. Dan memberi kan hawa panas un-
tuk mengembalikan suhu badannya.
Bila lewat lima menit, maka tubuh gadis itu
akan menggigil karena Pukulan Angin Seribu mengan-
dung hawa dingin yang mampu membuat tubuh men-
jadi kejang dan kaku. Dan bila terlambat di berikan hawa yang cukup panas atau
guna memulihkan tenaganya, niscaya gadis itu akan berjumpa dengan maut.
Bila orang yang terkena Pukulan Angin Seribu,
dan tidak kuasa menahan akibatnya, maka niscaya
orang itu akan mampus dengan tubuh membiru kare-
na kejang kedinginan yang amat menyengat sekali.
Sebisanya Penggoro mencoba menyelamatkan
gadis itu. Separuh tenaga dalamnya telah terkuras,
namun belum ada tanda-tanda kalau gadis itu sudah
terbebas dari Pukulan Angin Seribunya. Justru yang
membuat Penggoro semakin gelisah, karena gadis itu
malah semakin kesakitan yang terlihat kalau tubuhnya mulai mengigil akibat hawa
dingin yang mulai menyengat. Pukulan Angin Seribu seakan sama dengan
ilmu Tangan Salju milik Manusia Dewa yang bermu-
kim di tepi Laut Kidul.
"Kakang... gadis itu bisa mati bila tidak cepat ditolong," kata Gurno tak kalah
gelisahnya. Hatinya sungguh cemas dan menyesal melihat kejadian itu.
"Aku tahu! Tapi sudah separuh tenaga dalamku
yang kukerahkan untuk mengurangi rasa sakitnya,
namun belum terlihat tanda-tanda sedikit pun kalau
gadis ini akan selamat. Lihatlah, dia justru semakin kesakitan!"
"Kakang... tenagamu bisa terkuras habis nanti.
Minggirlah, biar aku yang menggantikan mu," kata Gurno yang melihat tubuh
Penggoro menggigil hebat.
Penggoro pun menyingkir, Gurno menggantikan
kedudukannya. Penggoro sendiri langsung bersemedi
guna mengembalikan tenaga dalamnya lagi. Sementara
Gurno pun mulai mengalirkan tenaga dalamnya.
Namun sama halnya seperti yang dilakukan
oleh Penggoro tadi, gadis itu malah nampak kesakitan.
Terlihat Gurno sudah berkeringat. Sekujur tubuhnya
nampak mengigil. Tenaga dalamnya pun separuh su-
dah terkuras. Namun tak terlihat tanda-tanda kalau
gadis itu terobati dari sakitnya. Malah gadis itu semakin ter-erang-erang
kesakitan. Melihat kenyataan itu, Perwiro pun segera
menggantikan kedudukan Gurno, dan Gurno sendiri
pun segera bersemedi untuk memulihkan tenaganya
kembali. Namun lagi-lagi hal yang sama pun di alami
oleh Perwiro. dia tidak ubahnya merasa kedua telapak tangannya telah menempel
lekat pada tubuh gadis itu, hingga tenaga dalamnya terkuras separuh pun gadis
itu masih tetap saja dalam posisi kesakitan. Lekat dan dirasakannya tenaga
dalamnya bagaikan tersedot.
Sekujur tubuh Perwiro pun menggigil dengan
hebat. Keringat pun mengalir di seluruh tubuhnya.
Malah terlihat kini tubuhnya mulai limbung.
Rupanya dari ketiganya, hanya Perwirolah yang
memiliki tenaga dalam di bawah Penggoro dan Gurno.
Mengingat Perwirolah orang ketiga yang menggabung-
kan diri dengan Tiga Setan Api sebelum mereka bergu-ru di Hutan Halimun Jawa.
Untunglah pada saat yang kritis, Penggoro
membuka matanya. Dan begitu melihat keadaan Per-
wiro yang sudah amat parah, dengan cepat Penggoro
menggerakkan kedua tangannya ke arah Perwiro. Bila
saja dia terlambat beberapa menit, tidak mustahil nasib Perwiro akan segera
menemui Sang Penciptanya.
"Pllaaaakkk!"
Kontan tubuh Perwiro terpental ke belakang.
Bergegas Penggoro memburunya dengan hati yang ce-
mas. Dan bergegas pula dia mengalirkan tenaga da-
lamnya untuk memulihkan tenaga dalam Perwiro.
Namun baru saja dia selesai melakukan itu,
mendadak terdengar suara tertawa yang amat hebat
sekali. Keras. Bersamaan dengan turunnya hujan yang amat lebat. Membasahi
sekujur tubuh mereka, yang
cukup terkejut mendengar suara tawa yang terdengar
amat mengerikan.
"Ha-ha-ha.... Tiga Setan Api dari Utara... ru-
panya kalian manusia-manusia yang memiliki nyali!
Namun malam ini... kalian akan mampus di tangan Ki
Ronggo Jibus, karena telah lancang berani-beraninya melangkahkan kaki untuk
mencarinya.... ha-ha-ha-ha...." Ketiganya yang masih belum pulih benar tenaga
dalam, mereka celingukan bingung. Tak ada tanda-
tanda bayangan Ki Ronggo Jibus atau Manusia Beru-
bah Muka. "Ha-ha-ha... kalian benar-benar bodoh! Tak
seorang pun yang bisa mengenali siapa aku sesung-
guhnya... ha-ha-ha... kematian telah berada di ambang pintu, dan telah siap
untuk menjemput kalian bertiga... ha-ha-ha...."
"Manusia busuk! Bila kau berani, keluar dari
tempat persembunyianmu!" seru Penggoro sambil celingukan ke sekelilingnya.
Kewaspadaannya bertambah tinggi. "Ha-ha-ha... baik, baik... kalian manusia-
manusia bodoh! Ha-ha-ha...."
"Bangsat! Keluar kau!!!"
* * * 6 "He-he-he... mengapa kau nampak begitu pe-
marah sekali, Penggoro?" Suara itu terdengar amat mengejek, membuat telinga
Penggoro memerah dan
semakin bertambah penasaran. "Tidak sadarkah kau bahwa tenaga dalammu sudah


Pendekar Gagak Rimang 9 Dendam Yang Tersisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagian menghilang"
He-he-he... juga dengan dua adik seperguruanmu! Ka-
lian memang sudah sepatutnya untuk mampus! Nah,
bukankah lebih baik kalian membunuh diri saja dari-
pada harus bersusah payah mati secara mengerikan"
Apalagi di tanganku... he-he-he...."
Penggoro yang bertambah geram semakin celin-
gukan mencari sumber suara itu. Demikian pula hal-
nya dengan Gurno dan Perwiro yang juga mencari-cari sumber suara itu.
Bangsat! Siapa adanya pengintai itu"!
Namun mendadak saja Penggoro mendengus
dan berseru kaget sambil melihat pada si gadis yang masih meringkuk di tanah,
"Oh! Bangsat! Keparat! Rupanya kau, Manusia busuk!! Mampuslah kau!!!" serunya
berang dengan kegeraman yang sudah hinggap
di kepala sambil melepaskan kembali Pukulan Angin
Seribunya ke arah sosok gadis yang masih meringkuk
itu. "Wuuuuuttt...!!"
Serangkum angin dingin keras menderu me-
nerpa ke arah sosok yang masih meringkuk di tanah.
Rupanya Penggoro mengeluarkan ilmu Pukulan Angin
Seribunya dalam tingkat tinggi karena berbeda dengan dorongan angin yang
dilakukan sebelumnya. Hal ini
membuat Perwiro dan Gurno heran mengapa kakang-
nya seperti bernafsu sekali membunuh gadis itu" He, lihat! Apa yang terjadi"
Kedua terbelalak dengan mata yang seakan in-
gin melompat keluar. Karena mendadak saja dengan
satu gerakan yang amat lincahnya sosok gadis itu melesat melayang sementara
Pukulan Angin Seribu yang
telah dilepaskan oleh Penggoro menghantam sebuah
pohon besar di belakang tubuh gadis yang tadi me-
ringkuk. Keras dan pohon itu seketika tumbang. Ru-
panya Penggoro melepaskan pukulannya dengan tena-
ga penuh. Bersamaan dengan itu terdengar suara terke-
keh yang amat keras, "Heheheh... itulah kebodohan Ti-ga Setan Api dari Utara
yang telah menyia-nyiakan tenaga dalamnya untukku! Heheheh... kini ajal kalian
telah tiba!"
Lalu sosok gadis yang melayang itu hinggap di
tanah dengan tangannya dan dengan satu gerakan
yang amat cepat tangan kanan itu terangkat ke atas, dan "brettt!" rambut panjang
yang seakan menempel di kepala itu copot terbuka.
Terlihatlah seraut wajah yang cukup mengeri-
kan. Dan ala disingkapkan pakaiannya terlihatlah sosok tubuh yang kurus. Sosok
itu kira-kira berusia tu-juh puluh tiga tahun. Pakaiannya serba hitam dengan
kain pengikat kepala berwarna hitam pula. Wajahnya
menakutkan dengan raut yang tirus meruncing. Sebe-
lah matanya yang semakin membuatnya nampak men-
gerikan, karena mata itu picek. Itulah sosok asli dari Ki Ronggo Jibus yang amat
menakutkan! Semakin terbelalak mereka melihat kenyataan
itu. Penggoro yang bisa menguasai dirinya hanya mendengus, sedikit merasa
terkejut juga melihat wajah
yang amat mengerikan itu. Gurno dan Perwiro sendiri pun tidak menyangka hal itu
dan keduanya menjadi
amat geram karena merasa tertipu mentah-mentah.
Merasa tertipu karena telah membuang dan memberi-
kan separuh tenaga dalam mereka pada manusia bu-
suk itu. Penyamaran yang amat hebat telah dilakukan oleh manusia durjana itu.
Sungguh patut bila dia bergelar Manusia Berubah Muka.
"Bangsat busuk!!" geram Penggoro kalap. "Sudah kuduga engkaulah orang yang
berada di balik wa-
jah gadis yang kesakitan itu! Bangsat!"
Ki Ronggo Jibus terkekeh yang terdengar begitu
nyaring dan menyeramkan. Dingin, menebarkan hawa
kematian. Cukup mengundang rasa ngeri yang luar bi-
asa. Kala dia terkekeh mulutnya terbuka, terlihat beberapa buah gigi yang
menghitam, yang semakin me-
nambah keseraman wajahnya.
"He-he-he... salahmu sendiri, Manusia go-blok!
Mengapa kalian bisa tertipu seperti itu?" tawanya mengejek. "Kalau begini,
apakah aku bersalah" He-he-he... dasar goblok! Dan biasanya orang goblok seperti
kalian ini tidak akan pernah mau mengaku salah!
Yah... memang goblok!"
"Keparat! Sejak semula aku memang sudah cu-
riga, kalau semua ini adalah tipu muslihatmu! Hhh, terus terang penyamaranmu
begitu hebat sekali!" seru Penggoro pula dengan jiwa yang semakin geram walau
sebenarnya dia pun kagum dengan ilmu menyamar
yang begitu sempurna yang dimiliki oleh Ki Ronggo Jibus. "He-he-he... sekali
lagi itu salahmu! Salah kalian! Kalian ini memang manusia-manusia goblok, tapi
tidak mau mengakui kegoblokan kalian! Dasar seperti keledai dungu!"
Penggoro mendengus, kata-kata itu amat me-
nyakitkan sekali Di samping dia juga malu. Lebih malu lagi bila mengingat
manusia itu sejak tadi tentu men-tertawai mereka bertiga. "Keparat! Untuk
menebus ke-salahanku itu, kusarankan agar kau lebih baik mem-
bunuh diri saja!" serunya geram. "Hhh! Atau aku yang akan membunuhmu" Dan
agaknya Dewata memang
telah menakdirkan kau untuk mati di tanganku!"
"He-he-he... mati di tanganmu" Jangan asal
mengumbar bacot! Dengan apa kau hendak membu-
nuhku, Penggoro?" serunya dengan suara mengejek.
"Dengan ini, Manusia laknat!" geram Penggoro sambil mengangkat kedua tangannya
yang terkepal dengan keras menandakan kemarahan Penggoro yang
sudah pada puncaknya.
Lagi-lagi Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh. Ma-
lah sekali-sekali mengusap janggutnya yang jarang
namun panjang dan jelek itu.
"He-he-he.... hendak membunuhku dengan itu"
Jangan bermimpi di siang bolong kau! Dan jangan
menganggap ringan Ki Ronggo Jibus. Ketahuilah bah-
wa kau dengan dua cecoro mu itu yang akan mam-
pus!!" "Bangsat keparat!!" geram Penggoro dengan wajah yang memerah buas. Dia
merasa ditertawakan dan
dianggap remeh. Dia adalah seorang pendekar yang
gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tan tangan
siapapun juga. Lagipula, kali ini dia memang tengah mencari Ki Ronggo Jibus.
Maka mendengar ejekan itu
dia pun segera mengerahkan tenaga pada kedua tan-
gannya, lalu membentak nyaring. "Tahan serangan, Manusia busuk!! Ciaaaaatttt!!!"
serunya pula dan bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat menerjang
dengan cepat. Tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga
dalam yang kuat terhimpun, siap menjembol dada ke-
rempeng Ki Ronggo Jibus. Pukulan itu amat kuat seka-li dan dengan pukulan
semacam itu Penggoro akan
mampu membuat pecah sebongkah batu sebesar
kambing atau menumbangkan sebatang pohon kelapa.
Namun sosok kerempeng itu hanya tetap terke-
keh-kekeh. Dia tidak mengelak atau menangkis seran-
gan itu, melainkan diterimanya pukulan Penggoro yang mengandung tenaga dalam
yang kuat di dadanya.
"Wuuuuuuuttt... buuukkk!!"
Penggoro terkejut sekali ketika merasa betapa
tangannya seolah bertemu dengan benda kenyal dan
kuat seperti karet. Seharusnya tangan itu mental kembali karena membal, akan
tetapi yang membuatnya
makin terkejut dan dengan cepat menarik pulang tan-
gannya, karena begitu tangan kanannya menyentuh di
dada Ki Ronggo Jibus, seperti ada sebuah tenaga yang amat kuat menyedot
tenaganya. Membuatnya sejenak kaget.
"Ilmu iblis!!" geramnya sambil berjumpalitan menjauh dari sosok kerempeng itu.
Ki Ronggo Jibus terbahak ngakak.
"Tiga Setan Api yang telah malang melintang di rimba persilatan dan menjadi tuan
rumah di wilayah
Utara, rupanya tidak tahu betapa tingginya langit dan betapa dalamnya lautan!
He-he-he... kali ini baru terbuka bukan mata kalian" Bahwa Ki Ronggo Jibus ti-
dak bisa dianggap sepele dan main-main!"
"Monyet kerempeng! Ilmu apa yang telah kau
gunakan tadi"!" seru Penggoro yang masih kaget.
"He-he-he... itulah yang dinamakan ilmu Pena-
rik Jiwa Pemusnah Raga! Di muka bumi ini, hanya
akulah seorang yang memiliki ilmu itu! Jangan terkejut, karena ilmu inilah yang
akan memusnahkan ka-
lian! Menyedot darah kalian hingga kering membiru
dan memusnahkan tenaga dalam kalian!
Dan untuk mengembalikan tenaga dalam ka-
lian, kalian harus bersemedi selama sebulan... he-he-he...." "Anjing keparat!
Kita akan melihat siapa yang mati duluan menghadap Dewata! Bunuh manusia
bangsat itu!!" seru Penggoro seraya melesat menyerbu kembali, kali ini dengan
meloloskan goloknya. Begitu pula dengan Gurno dan Perwiro yang secara serempak
melompat Saling susul menyusul meloloskan golok
mereka ke arah Ki Ronggo Jibus.
Tetapi manusia kerempeng itu hanya tertawa
belaka. Lagi-lagi dia tidak berbuat apa-apa. Tetap di posisinya semula sambil
berucap ringan, "He-he-he...
kalian akan sia-sia belaka menyerang aku! Lebih baik kalian membunuh diri
saja!!" Tiga buah golok yang tajam itu pun segera ber-
gerak mencari sasaran. Berkelebat amat cepat.
"Ceeeppp!"
"Ceeeppp!!"
"Ceeeppp!!"
Tiga buah golok itu telah mencari sasarannya
Namun begitu tiga buah golok itu mengenai sasaran-
nya, bukannya membacok atau pun memotong malah
seperti melesak ke dalam dan menempel tersedot bela-ka.
"He-he-he... rupanya aku belum memberitahu
kalian secara detail tentang ilmu Penarik Jiwa Pemusnah Raga! Ketahuilah, bahwa
ilmu ini dapat pula me-
nyedot benda macam apa pun yang menempel pada
sekujur tubuhku!
Tak terkecuali golok-golok yang ada pada ka-
lian... he-he-he-he...."
Tiga Setan Api adalah jago golongan putih yang
selalu membela kebenaran dan pantang mundur. Me-
reka tidak takut menghadapi ilmu semacam yang dimi-
liki Ki Ronggo Jibus meskipun mereka tadi sedikit terkejut. Namun tak urung
mereka seakan disadarkan
oleh betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh manusia bejat durjana itu. Namun
meskipun demikian mereka
tidak gentar dengan apa yang dimiliki oleh Ki Ronggo Jibus. Sedangkan sekarang
ini mereka tengah berusaha sekuat tenaga untuk menarik golok-golok yang me-
nempel dengan ketat, seolah bagaikan terhisap. Se-
mentara Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh belaka.
"Keluarkan semua tenaga dalam kalian, namun
kalian akan tetap sia-sia belaka," terkekeh dia dengan tubuh terguncang. "Karena
tak satu benda atau tenaga pun yang bisa terlepas dari ilmu yang kumiliki ini."
Semakin sadarlah Tiga Setan Api dengan kehe-
batan ilmu yang dimiliki Ki Ronggo Jibus. Dan mem-
buat mereka semakin berhati-hati.
Karena merasa sia-sia untuk menarik dan me-
lepaskan golok mereka yang bagaikan menempel di tu-
buh Ki Ronggo Jibus, dengan terpaksa mereka mele-
paskan genggaman tangan mereka dari batang golok
itu. Dan bersamaan dengan itu serentak ketiganya
bersalto ke belakang dengan gerakan yang amat ringan sekali. Ki Ronggo Jibus
terkekeh-kekeh, merasa lawan-lawannya jeri dan ketakutan dengan apa yang dimili-
kinya. Akan tetapi kekehannya itu terhenti karena matanya langsung terbelalak
melihat tiga sosok tubuh
yang bersalto ke belakang tadi kini melompat kembali ke arahnya dengan pukulan
lurus ke depan.
Namun sama seperti halnya tadi, Ki Ronggo Ji-
bus tidak berusaha untuk mengelak atau pun me-
nangkis serangan itu. Dia tetap terkekeh-kekeh mengejek. Namun mendadak
terdengar seruannya, "Hei....
hiaaaattt!!"
Sebelum ketiga pukulan itu siap menghantam
tubuhnya bagaikan melihat setan Ki Ronggo Jibus bersalto menghindar. Gerakannya
cepat dan ringan. Ka-
rena dirasakannya dorongan tenaga angin yang amat
panas yang siap hinggap di tubuhnya.
"Pukulan Tangan Api!" serunya keras sambil hinggap di tanah bagaikan sesobek
kapas dengan ringannya. Tiga Setan Api itu rupanya sudah mengelua-
rkan ilmu andalan mereka Pukulan Tangan Api. Keti-
ganya pun sudah menghentikan serangan mereka dan
kini terkekeh-kekeh melihat Ki Ronggo Jibus harus ketakutan dengan ilmu andalan
mereka. Mereka sendiri
merasa sudah tidak ada jalan lain lagi untuk menghadapi manusia busuk itu.
Hanya ilmu andalan mereka saja yang kini bisa
digunakan. Walaupun sesungguhnya tadi pun mereka
sebenarnya ragu, apakah ilmu andalan mereka itu
memang bisa diandalkan untuk menghadapi Ki Ronggo
Jibus. Namun kenyataannya membawa hasil!
"Ha-ha-ha... untung kau cepat menghindar,
Manusia busuk! Bila tidak, kau akan mampus terba-
kar dengan tubuh hangus!" bentak Penggoro keras dengan nada mengejek sementara
Gurno dan Perwiro
terbahak-bahak.
Wajah yang mengerikan itu semakin menye-
ramkan kala menyeringai. "He-he-he... memang, ilmu kalian itu mampu membuatku
sedikit jeri. Karena il-muku Penarik Jiwa Pemusnah Raga hanya bisa dika-
lahkan oleh hawa pan as. Dan aku sungguh tidak
menghendaki bila kenyataannya demikian...." Dia terkekeh lagi. "Akan tetapi
kalian tidak boleh lupa, kalau yang kalian hadapi kali ini adalah Ki Ronggo
Jibus, manusia yang memiliki berjuta ilmu yang hanya beberapa gelintir saja
dipergunakan untuk menghadapi sekaligus membunuh kalian!"
"Jangan banyak omong kau, Keparat!" geram Perwiro. "Sambut serangan....
hiiaaaattt!!" tubuh itu melesat kembali dengan gerakan yang amat cepat. Pukulan
Tangan Api telah terhimpun di kedua tangan-
nya, meluncur dari kanan kin menampar ke arah ke-
dua pelipis kepala lawan.
"Wuuuuuttt.... Plllaaaakkk!!!"
Kedua tangannya itu tertahan dengan dua
buah tangan yang cepat digerakkan oleh Ki Ronggo Jibus. Dan secepat itu pula dia
memutar kedua tangan-
nya untuk menangkap pergelangan tangan Perwiro.
Perwiro terkejut, karena kali ini Ki Ronggo Ji-
bus tidak mengelak, malah dengan santainya dia me-


Pendekar Gagak Rimang 9 Dendam Yang Tersisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mapaki pukulan Tangan Apinya. Perwiro berusaha un-
tuk melepaskan diri, kedua pergelangan tangannya terasa dijepit oleh sebuah alat
penjepit dari baja. Meskipun jari-jemari itu kurus, namun betapa kuatnya
mencengkeram pergelangan kedua tangannya. Seakan-
akan dirasakan remuk tulang pada kedua pergelangan
tangannya. Penggoro dan Gurno sendiri menjadi amat ter-
kejut sekali. Dan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, karena mendadak saja Ki
Ronggo Jibus mengge-
rakkan kedua tangannya ke belakang hingga tubuh
Perwiro mau tidak mau mengikutinya. Bersamaan tu-
buh Perwiro menghadap ke belakang, dengan cepat Ki
Ronggo Jibus menggerakkan tangannya.
"Plaaaakkk...!!!"
Tangan kerempeng namun penuh tenaga sakti
itu menghantam hingga pecah kepala Perwiro. Perwiro ambruk tanpa sempat
berteriak, dia hanya merasakan
sakit yang luar biasa. Lalu sakit itu lenyap selama-lamanya karena nyawanya
sudah melayang menemui
Sang Penciptanya.
Hanya terdengar seruan Penggoro kalap lalu
tubuhnya menerjang, "Manusia keparat! Kau harus mengganti nyawa adik
seperguruanku!"
Ki Ronggo Jibus hanya terkekeh. Namun dia
menghindari serangan dari Penggoro dan langsung
menangkis dengan kibasan tangan kanannya kala di-
rasakannya ada hawa panas menyambar dari belakang
tengkuknya, Gurno tengah bersiap hendak menghan-
tamkan pukulannya.
"He-he-he... rupanya kalian amat penasaran
sekali denganku! Baiklah, aku pun sudah jenuh den-
gan permainan ini! He-he-he... keinginanku untuk
mencari si Pengemis Suci belum terpenuhi. Dendam
yang terpendam puluhan tahun ini bangkit kemba-
li......Pengemis Suci... aku akan datang padamu dan ku
bawa kepalamu untuk ku ceburkan pada kawah Gu-
nung Merapi!" serunya sambil terus menghindari serangan-serangan dari Penggoro
dan Gurno yang terus
mencecar dengan membabi buta.
"Hhh! Rupanya urusan itulah yang telah mem-
buat kau selalu gila dan menteror manusia-manusia
yang tak berdosa!" seru Penggoro sambil terus menyerang. "He-he-he... benar,
benar! Kau pintar, Penggoro!
Tapi kau akan mampus!!"
"Bangsat! Kaulah yang akan mati di tanganku,
Ki Ronggo Jibus!"
"Hhh! Kalian adalah manusia-manusia lancang
yang tak akan pernah kuampuni! Tak akan pernah
kuampuni karena kalian telah mengganggu kerja ku!
Namun sebelum kalian mampus, yang perlu kalian ke-
tahui adalah... selama si Pengemis Suci belum muncul juga menemuiku, aku akan
tetap membuat onar dan
selalu meneror setiap desa!
Dan yang perlu kalian ketahui pula, bahwa te-
lah banyak jago-jago dari golongan putih yang telah kubunuh karena mengganggu
kerja ku! Mampuslah
kalian sekarang! Hiaaattt...!!"
Melihat kenyataan dari Ki Ronggo Jibus yang
sudah tidak menghindari serangan Pukulan Tangan
Api milik keduanya, sadarlah keduanya kalau Ki Rong-go Jibus memiliki ilmu yang
amat hebat guna menang-
kis Pukulan Tangan Api milik mereka.
Manusia durjana ini sungguh memiliki ilmu ib-
lis. Bahkan manusia itu pun dengan hebatnya ganti
mencecar, menyerang dengan hebat dan ganas. Amat
berbahaya dan mengandung tenaga sakti yang kuat.
Membuat Penggoro dan Gurno menjadi kewala-
han. Pontang-panting mereka berusaha untuk meng-
hindari serangan-serangan yang amat berbahaya dari
Ki Ronggo Jibus.
Dan sebelum keduanya dapat mengerti lebih
lanjut, mendadak saja Ki Ronggo Jibus memekik keras disusul dengan gerakan
tubuhnya bak seekor rajawali jantan yang sedang menyambar anak ayam. Keduanya
kaget. Sungguh teramat kaget, karena saat itu keduanya pun tengah melancarkan
pukulan yang hebat ke
arah kakek kerempeng itu.
Sulit untuk dihindarkan lagi, karena jarak me-
reka sedemikian dekatnya dan belum dengan gerakan
Ki Ronggo Jibus yang teramat cepat sekali. Gerakan
mereka sulit untuk dihentikan dan mau tidak mau
terpaksa mereka pun menambah tenaga pada doron-
gan tumpuan kedua kaki.
Dengan diiringi pekikan yang amat keras.
"Manusia busuk! Mampuslah kau!!!!" seruan itu keluar bersamaan dari mulut
Penggoro dan Gurno.
Dan... Wuuuuutttt... Plaaakkk! Dessss!!!"
Benturan itu pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Penggoro dan Gurno merasa bagaikan menghantam
benda kosong melompong seperti balon gas saja. Na-
mun belum lagi keduanya sadar dari kekagetannya,
mendadak saja sebuah tenaga besar bergerak cepat
menderu dan menghantam mereka.
Tak bisa disangsikan lagi kalau tubuh kedua-
nya terpental dengan derasnya ke belakang. Melayang bagaikan sebuah kapas yang
dihembus oleh angin.
Tepat di belakang keduanya berdiri tegak seba-
tang pohon besar dan tubuh keduanya pun dengan de-
ras melayang menghantam pohon itu.
"Braaaakkk!!!"
Terpental kembali sejenak ke depan, lalu am-
bruk tak bernyawa dengan dada yang robek bagaikan
terkena cakaran tangan harimau lapar. Sementara di
tempatnya Ki Ronggo Jibus terkekeh.
Hebat, amat hebat. Karena dia tidak kurang
suatu apa. Bahkan sikapnya seolah tidak pernah ter-
jadi apa-apa. Santai saja dengan tubuhnya yang ke-
rempeng. "he-he-he... tak seorang pun akan ku biarkan
hidup... bagi yang berani menentang segala keinginan ku! He-he-he... tak ada
seorang pun...."
Lalu kakinya yang kurus bagaikan orang pesa-
kitan melangkah mendekati dua sosok mayat itu. Dia
terkekeh kembali sebelum kemudian meludahi wajah
Penggoro dan Gurno yang telah menjadi mayat.
"Ciiih! Manusia lancang seperti kalian ini me-
mang lebih baik mampus! Tapi... he-he-he... aku tak akan pernah berhenti membuat
onar sebelum kute-mukan si Pengemis Suci. Dendam yang terpatri di da-
da selama sekian tahun lamanya, harus segera diluna-si... he-he-he...
Pengemis Suci.... kau tak akan bisa lari dariku!
He-he-he... selama ini kau belum muncul juga, padah-al aku sudah seringkali
membuat onar! Banyak pen-
duduk yang tak berdosa kubunuh! Padahal sebenar-
nya itu kulakukan semata-mata untuk memancing
kemunculanmu! Namun kau bagaikan anjing penge-
cut! Yang hingga sekarang belum muncul-muncul ju-
ga! Kalau begitu baiklah, Pengemis Suci... perbua-
tan onar ku ini tak akan pernah kuhentikan sebelum kau muncul! He-he-he... kau
akan mampus di tanganku, Pengemis Suci! Dendam sekian tahun akan tuntas!
He-he-he...."
Ki Ronggo Jibus terkekeh berbalik ke belakang.
Lalu tangannya bergerak ke arah wajah dan rambut-
nya. Lama tangan itu menekap wajah dan rambutnya.
Kemudian kala tangan itu sudah lepas dari sana, terlihat seraut wajah muda yang
gagah dan tampan.
Manusia itu telah menyamar kembali. Sungguh
hebat ilmu yang dimilikinya.
Masih dengan terkekeh yang menggema di hu-
tan itu, dia pun berkelebat dengan cepat dari sana.
Hanya kekehannya yang cempreng dan nyaring yang
masih terdengar.
* * * 7 Malam gulita. Desa Jajar Sawah diselimuti oleh
rembulan yang pekat. Langit gelap. Awan hitam yang
terus bergerak berupaya untuk menghalangi sinar
rembulan yang berpayung di atasnya. Namun rembu-
lan pun tak mampu lagi untuk menahan dan menem-
buskan sinarnya guna memayungi desa Jajar Sawah.
Tiba-tiba saja alam yang sepi dan penduduk
yang sedang terlelap dikejutkan oleh jeritan yang amat keras dari sebuah rumah,
lalu disusul dengan berla-riannya orang-orang yang tinggal di rumah itu. Karena
di atap rumah mereka, api berkobar dengan ganasnya.
"Tolong....!! Api...! Tolong...!!"
Malam yang sunyi senyap itu pun harus ber-
ganti bagaikan pagi atau siang ban. Semua penduduk
berlarian keluar rumah. Sebagian segera membantu
warga yang rumahnya terbakar itu. Namun baru saja
api berhasil dipadamkan, tiba-tiba kembali api me-
nyambar beberapa rumah. Kali ini lebih dahsyat dan
cepat, karena langsung sekaligus membakar beberapa
rumah penduduk. Kepanikan itu semakin menjadi-
jadi. Suara ramai pun terdengar.
"Cepat...! Padamkan api!! Cepat...!!"
"Air!! Ambil air...!!"
Ramai dan gegap gempita.
Dalam lintasan pikiran mereka Radunglah yang
melakukan semua ini, namun sejak dibuat malu oleh
pengemis tua yang sakti itu, pemuda bengal itu tidak pernah lagi membuat onar.
Bahkan dia pun kini ikut
terlibat dengan penduduk.
Tak ketinggalan Radu Rukmo yang dulu hanya
memeras tenaga rakyat untuk mendapatkan keuntun-
gan yang berlipat ganda, kini malah dengan suka rela menambah upah mereka.
Mungkinkah keduanya yang melakukan hal
ini" Begitu pertanyaan yang timbul di hati para penduduk. Namun mereka tidak
bisa menuduh begitu sa-
ja, bahkan mereka malu dengan tuduhan mereka itu
sendiri. Lagi pula, Radung sendiri bersama tukang pukulnya yang telah insyaf
pula, berada di tengah-tengah mereka dan sibuk pula membantu. Bahkan Radung
sendiri turun tangan untuk mengambil air penyiram
api. Selagi mereka sibuk dengan api yang terus ber-
kobar, tiba-tiba terdengar ringkikkan kuda yang amat keras sekali disusul dengan
derap kuda yang menuju
ke arah mereka. Jelas dan terdengar keras.
Belum lagi mereka memperhatikan dengan je-
las, sosok yang mengenakan caping dengan golok di
punggung itu bersalto dari kuda hitamnya. Lalu menggerakkan kedua tangannya ke
arah api yang berkobar
dengan kuat. "Wuuuut...! Wuuuut...!"
Hampir lima kali dia melakukan hal itu. Dan
mendadak saja api yang berkobar itu pun padam. Ru-
panya dari kedua tangannya yang dikibaskan ke arah
api yang berkobar itu meluncurlah serangkum angin
dingin yang cukup kuat hingga mampu membuat api
menjadi padam. Dan kali ini barulah para penduduk memperha-
tikannya. Radung mengambil inisiatif lebih dulu. "Ki Sa-
nak... siapakah Ki Sanak ini adanya?"
Pemuda yang wajahnya sebagian tertutup oleh
caping itu tersenyum. "Hmmm... maafkanlah aku, Ki Sanak... tentunya kalian
terkejut dan bertanya-tanya siapakah diriku ini" Baiklah... aku hanyalah pemuda
pengembara yang berasal dari Gunung Kidul atau te-patnya dari Bukit Paringin,
yang secara tidak sengaja dan kebetulan sekali singgah di desa ini. Sekali lagi
maafkan kelancanganku karena tanpa seizin kalian telah berani-beraninya membantu
kalian memadamkan
api. Maafkan kelancanganku.... Namaku Pandu... Sa-
lam kenal dariku untuk kalian semua...."
Melihat sikap pemuda bercaping yang sopan itu
rasa simpati di hati mereka pun timbul. Pemuda yang tak lain Pandu atau Pendekar
Gagak Rimang itu pun
tersenyum. Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng yang
secara tidak sengaja tiba dan membantu memadamkan
api itu merasa bersyukur karena sambutan para pen-
duduk begitu hangat.
Namun keakraban yang mulai timbul itu men-
jadi kacau balau, karena tiba-tiba terdengar jeritan keras yang menyayat hati,
disusul dengan ambruknya
dua sosok tubuh ke bumi dan meregang nyawa.
"Aaaaakkkh...!!"
"Aaaaaakkkh...!!"
Mereka terkejut, beberapa orang berlarian
mendapatkan dua sosok mayat itu.
"Subali!"
"Wiro!!"
Namun dua sosok itu tak akan pernah menya-
hut lagi karena nyawa mereka telah lepas dari jasad.
Pendekar Gagak Rimang mendengus, hidung-
nya yang tajam akan kejahatan telah mencium satu
tindak kejahatan yang berlebihan. "Keparat! Siapa manusia yang berani membokong
secara kejam ini"!" den-gusnya dalam hati.
Keadaan pun menjadi gempar. Orang-orang
menjadi panik. Belum lagi mereka bisa tenang dari ke-bakaran yang mendadak saja
terjadi, kini mereka di-
hadapkan dengan satu kenyataan, bahwa kedua teman
kalian telah mati secara mendadak.
Pandu sendiri segera memeriksa kedua mayat
itu. Di tempelkannya kedua telapak tangannya untuk
memeriksa Hmm, dia merasakan ada sesuatu yang
mengalir di kedua telapak tangannya, hangat dan me-
rayap perlahan-lahan.
"Gila! Ilmu iblis!!" desisnya. Selama dalam pen-gembaraannya Pandu banyak
mendapatkan pengala-
man hidup yang cukup. Dia pun dapat mengetahui je-
nis-jenis ilmu kesaktian baik dari golongan hitam
maupun golongan putih. Dan salah satu jenis pukulan dari golongan hitam adalah
Tapak Geni Sakti. Pukulan inilah yang mengenai dua warga desa Jajar Sawah.


Pendekar Gagak Rimang 9 Dendam Yang Tersisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lagi Pandu berhasil mengira-ngira siapa
yang telah membuat onar, mendadak saja dirasakan
desiran angin di belakangnya. Reflek dan dengan gerakan yang amat cepat, pemuda
bercaping itu berguling ke belakang dan kala dia berdiri serta melihat apa yang
menyerangnya, dia cukup terkejut.
Di depannya berpuluh-puluh penduduk tengah
melangkah perlahan-lahan ke arahnya dengan sikap
tidak bersahabat.
Pandu jadi gugup.
"Hei, Sobat! Ada apa ini"! Mengapa sampai be-
gini"!" serunya dan tak sadar dia mundur.
Wajah-wajah di hadapannya begitu beringas.
"Bunuh pemuda itu!!" "Jangan beri ampun!!"
"Dia hanya berkedok membantu kita memadamkan
api! Padahal dia sendiri yang membuat teror!!"
Seruan-seruan kasar disertai dengan wajah
yang beringas marah semakin ramai terdengar. Wajah-
wajah gusar dan penuh amarah semakin banyak dan
bengis. Sadarlah kini Pandu kalau orang-orang itu salah paham. Namun menghadapi
massa yang sedang
mengamuk seperti itu sulit baginya untuk mendiam-
kan. Memang tidak ada jalan lain selain menghindar, daripada harus mati konyol.
Pandu juga paham kalau semua itu hanya di-
landasi oleh rasa yang tidak bersahabat. Bagaimana
mungkin mereka bisa percaya terhadapnya, bila untuk kali ini mereka Baling
jumpa. "Saudara-saudaraku.!" serunya mencoba me-
nenangkan massa yang siap melancarkan aksi amarah
mereka. "Tenanglah kalian semua! Pikirkan semua dengan hati jernih dan jiwa yang
suci! Demi Gusti Allah, aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduh
itu! Tidak pernah melakukannya!"
Salah seorang mendengus. "Bangsat! Kau ma-
sih banyak mulut juga, Orang asing! Kau sudah sepa-
tutnya mati!"
"Tenang...."
"Apanya yang tenang, hah"! Apakah kami harus
tenang menghadapi hal seperti ini"!"
"Pikirkan baik-baik, sebelum kesalahpahaman
di antara kita ini semakin menjadi!"
"Orang asing keparat!! Bunuh dia!!"
Ternyata yang berseru itu adalah Juragan Radu
Rukmo sendiri. Pembesar desa itu yang kini sudah
menyatu dengan rakyat. Sudah tentu kata-katanya di-
dengar oleh warga yang lain.
Maka dengan serentak diiringi dengan suara
yang amat keras, mereka berlarian berusaha menda-
patkan Pandu. Bengis. Beringas dan kejam.
Pandu sendiri tidak mau menghadapi situasi
massa yang sedang marah seperti ini. Maka dia pun
segera menghindar. Namun mendadak saja terdengar
jeritan yang kuat dan keras.
Beberapa warga yang maju menyerangnya itu
mati secara mendadak. Tubuh mereka terbanting den-
gan deras ke belakang sebelum mampus.
Hal ini semakin membuat para penduduk men-
jadi bertambah geram. Keyakinan mereka kalau pemu-
da itu yang membuat onar semakin menjadi-jadi.
"Tangkap dia...!"
"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Di samping tidak mau menyakiti para pendu-
duk, Pandu juga geram sekali dengan kejadian ini.
Bangsat! Siapa sesungguhnya manusia yang telah
membuat onar itu" Dia pun berjumpalitan untuk
menghindari serangan-serangan yang terus berdatan-
gan dengan gencarnya.
Namun di saat Pandu berjumpalitan ke bela-
kang, kembali terdengar pekikan yang amat keras disusul beberapa tubuh yang
ambruk. Semakin geramlah para penduduk menyaksi-
kan hal itu. Mereka bertambah buas dan gencar me-
nyerang. Namun kali ini mendadak para penduduk itu
berpentalan ke belakang. Mereka merasakan satu do-
rongan tenaga yang amat kuat sekali menerjang
Lagi Pandu menjadi heran dan geram. Bangsat!
Siapakah orang yang telah berani menjual lagak di ha-
dapannya Dan kala dia sadar, satu sosok tubuh bungkuk
telah berdiri di sampingnya. Para penduduk yang telah bangkit pun melihat hal
itu. "Pengemis tua sakti!" berseru Radung.
Sosok yang baru datang itu memang pengemis
sakti yang telah membuat Radung menjadi sadar akan
kebandelannya. Namun orang-orang di sana tidak per-
caya kalau benar pengemis sakti yang baik hati itu
yang telah menyerang mereka.
Mereka tetap beranggapan kalau pemuda ber-
caping itulah yang telah membuat onar.
Sementara Pandu menjadi salah sangka. Di pi-
kirnya pengemis inilah yang telah membuat onar. Ma-
ka Dia pun langsung menyerangnya dengan Pukulan
Cakar Gagak Putihnya.
"Wuuuuuttt...! Plak...!!"
Serangan itu ditangkis dengan satu gerakan
yang amat cepat oleh si pengemis tua. Pandu merasa-
kan tangan kanannya bergetar, karena dia seakan
menghantam sebuah batu besar yang keras.
"Anjing keparat...!" geramnya terus mencecar.
Kali ini si pengemis tua pun menghindar. Kala
kakinya menjejak bumi dia berseru. "Tahan, Anak mu-da...!" Dengan geram Pandu
menghentikan serangannya. "Manusia busuk! Kau dengan kejinya telah memfitnah
aku, hah"!"
"Tenang, Anak muda... Kita semua berada da-
lam salah paham."
"Hhh! Kau memang pandai berucap rupanya,
Orang tua!!"
"Bersabarlah sedikit. Bila kulihat dari sikapmu, kau bukanlah orang seperti
itu...." Perlahan-lahan kemarahan di hati Pandu men-
jadi menipis. Dia lalu mendesah panjang. Hatinya
mendesis, "Maafkan aku, Eyang... ternyata aku belum mampu bersabar..."
Pengemis tua itu tersenyum sementara para
penduduk yang percaya dengan pengemis itu menung-
gu dengan hati berdebar.
"Anak muda... maafkan aku sebelumnya... Yah,
aku telah mengerti apa yang terjadi. Kau dituduh telah membunuh manusia-manusia
ini, bukan"!"
"Orang tua... mengapa kau tidak segera saja
mengaku akan dosamu itu?"
"Karena aku pun tidak melakukannya
Hmmm.... sebelumnya aku hendak bertanya padamu,
Anak muda... Kulihat tadi kau menyerang dengan Pu-
kulan Cakar Gagak Putih. Setahuku... di rimba persilatan ini hanya seorang yang
memiliki ilmu itu. Nah ada hubungan apakah kau dengan Ringkih Ireng majikan
Gunung Kidul?"
Dari balik capingnya Pandu memperhatikan
pengemis itu. Siapakah dia" Mengapa dia mengenai
guruku" Namun karena sedang di tanya maka Pandu
pun menjawab, "Orang tua... ketahuilah... yang baru saja kau tanyakan tadi adalah guruku...."
Tiba-tiba pengemis itu terkekeh. "He-he-he... tak kusangka, tak pernah ku
sangka... kalau Ringkih Ireng itu mempunyai seorang murid... He-he-he... bagus,
bagus sekali...."
"Dan kau siapa sesungguhnya, Orang tua" me-
lihat dari keadaanmu apa kau seorang pengemis?"
"Ya, ya... aku memang seorang pengemis. Ke-
banyakan orang memanggilku Pengemis Suci...."
"Nah, mengapa sekarang tidak kau jelaskan
siapakah sesungguhnya orang yang telah membuat
onar seperti ini" Biar tidak lagi terjadi kesalahpaha-
man di antara kita...."
"He-he-he... baiklah, melihat dari hasil pukulan dan akibat yang ada pada mayat-
mayat itu... aku jelas mengenali jenis pukulan yang telah menimpa mereka...."
"Katakanlah cepat....!"
"Hmm... agaknya manusia durjana itu telah
muncul di rimba persilatan ini..."
"Siapakah yang kau maksud itu, Orang tua?"
"Hmmm... dia bernama Ki Ronggo Jibus atau
lebih dikenal dengan julukan Manusia Berubah Mu-
ka.... Puluhan tahun yang lalu aku pernah bentrok
dengannya karena manusia itu telah banyak membuat
onar dan kejahatan yang tak tertahankan lagi. Sebagai orang golongan putih aku
merasa berkewajiban untuk
menghentikan sepak terjangnya.
Dalam pertarungan selama tiga puluh hari tiga
puluh malam, manusia durjana itu berhasil aku ka-
lahkan.... Dan dalam keadaan luka parah manusia itu berhasil melarikan din.
sementara aku sendiri tidak bermaksud untuk membunuhnya. Aku hanya sekadar
memberi peringatan agar dia jera dan menghentikan
sepak terjangnya.
Namun manusia itu rupanya tidak terima den-
gan apa yang kulakukan. Sebelum melarikan diri dia
berseru dengan kegeraman yang luar biasa, kalau be-
berapa tahun kemudian dia akan mencariku. Manusia
itu amat mendendam padaku.
Semula kuanggap hal itu biasa. Karena tubuh-
nya yang telah terluka parah tak akan mungkin dis-
embuhkan dalam waktu beberapa tahun. Bahkan aku
menduga, manusia itu akan mampus dalam waktu
yang tidak lama.
Dan yang tidak kusangka itu kini muncul!
Membuat onar dengan sepak terjangnya yang amat ke-
jam! Dan aku yakin, keonaran yang dibuat hanyalah
semata untuk memancing kemunculanku!"
Tiba-tiba angin berdesir keras sekali. Berger-
muruh seakan hendak turun hujan. Malam pun men-
dekati pagi. Bunyi kokok ayam jantan di kejauhan
sayup-sayup telah terdengar.
Dan tiba-tiba berjumpalitan dari satu tempat
dengan gerakan yang amat cepat satu sosok tubuh.
Kala tubuh itu bergerak berdesir angin yang keras.
Dedaunan kering yang tengah menunggu jatuh pun
rontok ke bumi.
Disusul dengan suara terkekeh yang amat pan-
jang. Menyeramkan dan menebarkan hawa maut.
"He-he-he...! Pengemis Suci.... sekian lama kucari kau baru berani muncul
sekarang! He-he-he....
dendam abadi yang tersisa ini tak akan pernah lagi
gagal! Dendam ini akan terbalaskan dan kepuasan
yang selama ini kucari akan kudapatkan...!"
Kala berhentinya desir angin yang kuat itu,
nampak satu sosok tubuh gagah dengan wajah yang
amat rupawan. Wajah itu mampu membuat para gadis
akan terpana dan rela menyerahkan jiwa raganya.
Sementara Pengemis Suci cukup terkejut, na-
mun dia terbahak untuk menutupi keterkejutannya.
"Hmmm... Ki Ronggo Jibus... akhirnya kita pun
bertemu! He-he-he... apa kabar, Manusia Berubah
Muka" Hhh! Memang sudah kuduga, kalau engkaulah
yang telah membuat teror di sini" Juga di beberapa de-sa lainnya! Namun yang
lebih parah, kau melakukan
aksi mu di Utara!
Kau nampaknya semakin perkasa saja, Ki
Ronggo Jibus"!"
"Hhh! Kau agaknya masih pandai berbasa-basi!
Namun kau lupa kalau kemunculanku kembali ke
rimba persilatan ini adalah untuk mencabut nyawa-
mu!" "He-he-he... mungkin memang demikian adanya.... namun sadarkah kau kalau
tak akan mudah untuk membunuhku?" Ki Ronggo Jibus terbahak.
"Mungkin dulu aku bisa kau kalah kan, namun sekarang... hahahaha.... jangan
berharap kau akan bisa lan dariku, Pengemis Suci"!"
"Aku tak akan pernah melarikan diri! Jiwa ke-
sucian ku pun terpanggil untuk menghentikan sepak
terjang mu! Bila kau sudah muncul kembali ke rimba
persilatan ini, sudah dapat aku pastikan... bahwa dunia tak akan pernah tenang!"
"Bagus bila kau mengerti! Dan yang perlu kau
ketahui, aku pun tak akan bisa tahan hidup lebih la-ma bila mengingat kau masih
hidup! Justru itulah aku akan memusnahkan kau, Pengemis busuk yang mengaku
suci...!!"
"He-he-he... dendam kau nampaknya sudah
abadi! Bagaikan salju di puncak Jaya Wijaya! Tetapi yang harus kau ketahui, kau
tak akan begitu mudah
mengalahkan aku!
Hhh! Ki Ronggo Jibus... lebih baik kau buka sa-
ja penyamaranmu, di hadapanku jelas tak ada gu-
nanya! Atau kau tidak mau dengan keadaanmu seperti
itu" He-he-he... dengan penyamaranmu seperti itu,
kau bisa menaklukkan nenek-nenek lima orang sekali-
gus!" "Bangsat!!" manusia itu menggeram, lalu tangannya terangkat dan menghapus
mukanya. Kini terli-
hatlah satu raut wajah yang amat jelek sekali. Mengerikan, tak ubahnya bagaikan
mayat hidup belaka.
Para penduduk amat ngeri melihatnya. Apalagi
kala wajah itu menyeringai, semakin menampakkan
keseraman. Saat itu suasana masih cukup gelap
meskipun di Timur sana ufuk sudah mulai menyings-
ing "Oh, Tuhan.... sungguh mengerikan sekali wa-
jah itu!" "Iblis! Hanya iblislah yang memiliki wajah seperti itu...!"
"Pantas kelakuannya seperti iblis!"
Seruan-seruan kaget itu terdengar ramai. Na-
mun tiba-tiba berganti dengan jeritan kematian yang menyayat.
Karena dengan gerakan yang amat cepat Ki
Ronggo Jibus menggerakkan tangannya. Serangkum
angin besar menderu dan membuat tubuh mereka
tunggang langgang. Setelah berpentalan beberapa kali lalu mampus muntah darah.


Pendekar Gagak Rimang 9 Dendam Yang Tersisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Geramlah Pengemis Suci sementara Pendekar
Gagak Rimang hanya mendesah panjang. "Eyang...
nampaknya aku pun tidak bisa berpangku tangan saja!
Aku tidak pernah menerima perbuatan semena-mena
ini!" "Ronggo! Kau benar-benar durjana! Ingat, den-
dam ini hanya terjadi di antara kita! Aku tidak mau kau menurunkan tangan
telengas terhadap mereka!
Hhh! Nampaknya kau memang harus mati, dan aku
tak akan pernah memberi ampun padamu, Ronggo!"
"Pengecut! Kaulah yang akan mampus di tan-
ganku, Pengemis Suci! Bah! Aku bosan berlama-lama
jual bacot seperti ini! Lihat serangan...!!" bersamaan dengan itu, lalu melesat
menderu maju tubuh Ki
Ronggo Jibus. Di tangannya telah terhimpun pukulan
saktinya Tapak Geni Sakti.
* * * 8 Desiran angin keras yang menderu kala tubuh
itu melesat cukup dingin terasa. Namun si Pengemis
Suci hanya tersenyum saja. dua langkah di muka tu-
buh Ki Ronggo Jibus terus mendekat dengan pukulan
saktinya. Barulah saat itu, Pengemis Suci menghentak-
kan tubuhnya ke belakang.
"Huuupppp...! Hiaaaatt...!"
Lalu bersamaan dengan tubuhnya hinggap di
bumi kala pukulan Ki Ronggo Jibus luput dari sasa-
ran, dia langsung menyerang dengan pukulan tangan
kanannya. "Bagus! Bagus! Sudah lama aku menginginkan
hal seperti ini, Pengemis busuk!!"
Lalu dengan sigap Ki Ronggo Jibus menghindar
ke kiri namun belum lagi kakinya menjejak ke bumi, tangan kiri si Pengemis Suci
yang memegang tongkat
bergerak dengan cepat menyambar ke kaki Ki Ronggo
Jibus. "Wuuuuutt...!"
"Gilaaa...!" seru Ki Ronggo Jibus terkejut lalu membanting tubuhnya ke kanan
karena tak ada jalan
lain lagi baginya untuk menghindar.
Dipikirnya serangan beruntun akan dilakukan
oleh si Pengemis Suci, namun si Pengemis Suci justru menghentikan serangannya.
Dia tersenyum penuh
bersahabat. "Ronggo... lebih baik kita berdamai dan kau cepatlah tinggalkan dunia persilatan
ini!" "Bangsat! Aku tak akan pernah memenuhi
permintaanmu itu, Pengemis busuk! Aku tak akan
pernah puas bila belum membunuh mu! Tak akan
pernah puas, pengemis busuk! Lihat serangan...
hiaaaatttt."
Kembali tubuh Ki Ronggo Jibus melesat mende-
ru. Dan kembali pertarungan yang amat sengit terjadi.
Dua sosok tubuh pendekar sakti yang sama-sama tua
terlihat dalam satu pertempuran yang hebat.
Masing-masing memperlihatkan kelasnya. Mas-
ing-masing berusaha untuk secepatnya menyelesaikan
lawan. Pengemis Suci yang tadi berniat hanya membe-
rikan pelajaran pada Ki Ronggo Jibus kini tidak bisa bermain-main lagi dan
menerus kan niatnya itu. Karena Ki Ronggo Jibus menyerangnya dengan segenap ke-
saktian dan kegeramannya.
Dia memang berniat untuk menghabisi Penge-
mis Suci. Dendam yang tersisa itu penuh ambisi men-
gerikan. Sementara itu para penduduk mulai bergeser
menjauh dari kalangan dan secara tidak disadari ka-
langan itu memang telah terbentuk bagaikan lingka-
ran. Mereka ngeri karena kuatir terhantam oleh pu-
kulan atau tendangan sakti yang tengah dilancarkan
oleh dua pendekar tua itu.
Juga karena debu-debu yang beterbangan dan
dedaunan yang gugur. Bahkan dua buah pohon warn
telah tumbang terhantam oleh dorongan tenaga sakti.
Sedangkan Pendekar Gagak Rimang hanya
memperhatikan dengan seksama. Dia tidak pernah
menyangka kalau di muka bumi ini banyak tersimpan
ilmu-ilmu yang amat hebat dan tangguh. Pandu men-
desah. "Eyang keangkaramurkaan kini berada lagi di depan mataku, dan aku tak
pernah bisa tinggal diam
untuk menghadapi hal yang seperti ini! Tak akan pernah, Eyang.... sudah tentu
pilihan ku untuk membela Pengemis Suci karena dial ah yang mengemban tugas
mulia untuk mengalahkan keangkaramurkaan...."
Kembali dia memperhatikan pertarungan yang
amat hebat itu. Semakin lama semakin kacau balau
nampaknya. Di mata orang awam pertarungan itu
nampak bagaikan asal-asalan belaka. Namun di mata
Pandu jelas dia melihat kalau Pengemis Suci itu terde-sak hebat oleh ilmu Ki
Ronggo Jibus. "He-he-he... Pengemis Busuk! Nyawamu tak
akan pernah lagi melekat di jasad mu!"
Dan tiba-tiba Ki Ronggo Jibus menderu sambil
bersalto ke belakang dan dengan mendadak tubuhnya
bergerak bagaikan ikan cucut.
"Hiaaaattt...!! Plaaakkk !! Des!!!" Satu pukulan yang keras telah mengenai tubuh
Pengemis Suci. Tubuh bongkok itu langsung menderu ke belakang.
Dan menghantam sebuah pohon besar hingga
roboh. Suaranya menggelegar.
Berdebam dengan keras.
Pandu menahan nafas.
Dan nafasnya bagaikan terhenti ketika tiba-tiba
terdengar seruan keras, lalu meluncur satu sosok tubuh dengan kecepatan yang
luar biasa. Ki Ronggo Jibus siap untuk menghabisi si Pen-
gemis Suci yang sudah tak berdaya.
"Hiaaaatttt...!!" seruan itu terdengar. Namun,
"Hei...!! Plaaakkk...!!"
Mendadak Ki Ronggo Jibus bersalto ke bela-
kang karena merasa serangannya terhalang oleh se-
buah gerakan yang cepat dan sebuah tenaga yang
amat besar. "Hei...!!"
Kala dia berdiri dengan pandangan geram, ter-
lihat di matanya sosok bercaping dengan golok di
punggung berdiri di hadapannya dengan gagah. Pandu
yang telah menghentikan serangan itu karena dia tidak
ingin si Pengemis Suci mati konyol.
"Bangsat! Siapa kau, hah"!"
"Hmm... nama ku Pandu, Ki Ronggo Jibus...."
"Pemuda keparat! Lebih baik kau menyingkir
dari sini!"
"Maafkan aku, Ki.... aku tak pernah menyukai
sikapmu yang ugal-ugalan itu!"
"Bangsat! Minggir kau dari situ! Atau kubuat
mampus kau rata dengan bumi!"
"Tidak, Ki... aku tidak akan pernah pindah dari tempatku berdiri sekarang ini!
Namun bila kau pergi, maka dengan senang hati aku akan pergi pula dari si-ni!"
"Keparat...!! Mampuslah kau!!"
Tubuh itu menderu dengan penuh kegeraman.
Pandu yang sudah tahu kehebatan dari Ki Ronggo Ji-
bus segera mengibaskan tangannya.
"Wuuuuuttt...!!"
Selarik sinar putih menderu melesat ke arah
tubuh Ki Ronggo Jibus. Cepat dan membuat manusia
itu terkejut. Dengan cepat pula dia menghindar.
"Keparat! Rupanya kau punya kelebihan juga!!"
"Untuk menghadapi manusia busuk seperti
kau, anak kecil pun mampu! Hhh! Lebih baik kau pergi saja dari sini!!"
"Anjing! Mampuslah kau...!"
Pertarungan kali ini berlangsung dengan sen-
gitnya. Masing-masing melakukan serangan yang amat
cepat. Memperlihatkan kelasnya. Pandu sendiri sebe-
narnya mau tidak mau mengakui keunggulan dari Ki
Ronggo Jibus yang begitu hebat.
"Kau tak akan pernah lolos dari tanganku, Pe-
muda bandel!"
"Kita lihat siapa yang unggul di antara kita, Ki!"
Pertarungan itu semakin bertambah sengit. Ki
Ronggo Jibus sudah mengeluarkan ilmu Penarik Jiwa
Pemusnah Raganya. Sementara Pandu sendiri sudah
menggunakan ilmu Cakar Gagak Rimang. Ilmu pa-
mungkas yang diajarkan oleh gurunya, Eyang Ringkih
Ireng. Hingga suatu saat keduanya melesat menderu
dan masing-masing menjerit keras. Orang-orang yang
menyaksikan di sana menjadi ngeri. Sementara si Pengemis Suci sendiri tidak
menyangka akan hal itu. Semula saja dia terkejut melihat pemuda bercaping itu
menolongnya dan kini lebih terkejut lagi melihat pemuda itu dengan nekad
menyongsong serangan Ki
Ronggo Jibus. "Anak muda....!! Hati-hatilah dengan ilmu yang dimilikinya!!" serunya
memperingatkan.
Namun kedua tenaga sakti itu telah menderu
dan kini bertemu dengan hebatnya. Terdengar ledakan dahsyat yang amat hebat
sekali. Menggelegar. Bagaikan ada gempa bumi mendadak yang ti-
ba-tiba dan menimbulkan getaran yang amat kuat.
"Duuuuuuaaarrrr...!!"
Ledakan itu sungguh dahsyat. Keadaan di seke-
liling mereka menjadi bergemuruh. Debu-debu berter-
bangan dan dedaunan berguguran.
Dari benturan tenaga dalam sakti itu debu
mengepul menyelimuti keduanya. Dan mendadak terli-
hat dua sosok tubuh terpental beberapa tombak.
Pandu terpelanting dengan hebat dan merasa-
kan dadanya teramat sakit. Sementara Ki Ronggo Ji-
bus langsung bersalto dan berdiri sigap.
Tidak kurang suatu apa!
"He-he-he... mampuslah kau sekarang!" se-
runya dan langsung menyerang tidak mau membuang
tempo lagi. Orang-orang menjerit dan Pandu sendiri mera-
sa tidak mampu untuk menahan serangan itu.
Tubuhnya telah lemah. Dadanya terasa sakit.
Sosok tubuh yang menderu itu semakin dekat. Namun
meskipun demikian Pandu tidak mau mati konyol.
Dengan kecepatan persekian detik, dia mencabut golok saktinya, Go lok
Cindarbuana yang diberikan oleh gurunya. "Hiaaatt...!"
"Wuuuutttt...! Aaaaakhhhhhh!!!"
Golok itu berkelebat dengan cepat. Ki Ronggo
Jibus yang tidak menyangka akan hal itu tak kuasa
menghindar. Dan lehernya tersambar hingga buntung!
Putusan kepala itu menggelinding ke bumi dan
dari tubuh yang tanpa kepala itu bersimbah darah
yang amat banyak.
Pandu mendesah panjang, "Tak kusangka golok
ini sedemikian ampuh, Eyang...."
Sementara orang-orang yang menyaksikan hal
itu mendesah lega. Kengerian yang mereka alarm su-
dah menghilang perlahan-lahan. Begitu pula dengan si Pengemis Suci yang nampak
sedikit lega. Dia pun bangkit perlahan-lahan setelah bebe-
rapa warga desa memapahnya. Namun yang membuat
mereka terkejut, karena sosok Pandu sudah tidak ada di tempatnya.
Yang terdengar hanya ringkikkan kuda dari ke-
jauhan. Hal ini semakin membuat mereka bertambah
kagum dan penasaran. Siapakah sesungguhnya pe-
muda bercaping itu"
Namun Pandu terus melarikan kudanya sambil
menahan rasa sakit di dadanya. Dia mendesah pada
angin, "Eyang... engkau benar, Eyang.... keangkaramurkaan ini akan terus ada dan
tetap berlanjut hingga kapan pun di muka bumi ini...."
Kudanya terus dipacu.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Abu Keisel
Kaki Tiga Menjangan 28 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Misteri Kapal Layar Pancawarna 18
^