Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 6

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6


"Jadi bagaimana menurut pendapat Ki Tumenggung jika dugaan Wulan tentang sikap Raras itu benar?" bertanya Nyi Tumenggung.
"Biarlah Teja Prabawa mendapat pengalaman yang sangat berharga bagi masa depannya yang masih panjang."
"Tetapi bagaimana jika Teja Prabawa karena itu justru kehilangan gairah hidupnya?" bertanya Nyi Tumenggung pula.
"Itulah yang harus kita lakukan. Teja Prabawa harus kita arahkan agar ia menemukan satu sikap yang sebaliknya. Ia harus bangkit dan menempuh hidupnya mendatang dengan dada tengadah."
Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang ibu ia benar-benar merasa kasihan kepada Teja Prabawa. Tetapi sebagai seorang perempuan iapun dapat mengerti sikap Raras seandainya apa yang dikatakan oleh Rara Wulan itu benar.
"Sudahlah," berkata Ki Tumenggung kemudian, "bagaimanapun juga kita akan berdoa bagi Teja Prabawa apapun yang akan dihadapinya. Tetapi ia tidak boleh kehilangan akal sebagaimana Raden Antal dan ayahnya. Tetapi iapun tidak boleh kehilangan gairah hidupnya. Setiap antukan batu dikakinya hendaknya menjadi pengalaman bagi perjalanannya yang masih sangat panjang itu."
Nyi Tumenggung hanya dapat mengangguk kecil, sementara Rara Wulan menundukkan kepalanya. Bagi kedua orang tuanya, gadis bungsu itu justru bersikap lebih dewasa dari kakaknya, seorang laki-laki.
Sementara itu, dirumah Ki Rangga Wibawa, Raras nampak menjadi semakin baik. Namun Ki Rangga dan Nyi Rangga justru mulai mengamati tingkah laku Wacana. Bagi mereka berdua sebelumnya Wacana dianggapnya sebagai kakak sendiri bagi Raras. Tetapi setelah keduanya mendengar dari Raras, bagaimana Wacana berpendapat tentang Raden Teja Prabawa, keduanya justru mulai tertarik untuk memperhatikannya. Semula mereka mengira bahwa sikap Wacana itu sekedar menunjukkan kekecewaannya kepada Raden Teja Prabawa. Tetapi agaknya ada persoalan lain yang tersembunyi pada sikapnya itu. Meskipun Wacana bersedia mengantar Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh, serta membantunya dalam beberapa hal, namun dimata kedua orang tua Raras, nampak bahwa Wacana bukan sekedar kakak sepupu bagi Raras.
Sebenarnya bahwa Wacanalah yang telah memberitahukan dan bahkan mempengaruhi jalan pikiran Raras, bahwa Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang dapat bertanggung jawab.
Dalam pembicaraan-pembicaraan dengan ayah dan ibunya, Raras terpancing untuk mengatakan bahwa pendapat Wacana tentang Teja Prabawa itu sudah dikatakannya sejak sebelum peristiwa di Tegal Wuru itu terjadi.
"Hatiku telah dikecewakan oleh kakangmas Teja Prabawa sejak sebelum aku mengalami malapetaka itu. Namun aku mencoba untuk bertahan, meskipun kakang Wacana juga mengatakan bahwa Raden Teja Prabawa bukan sosok laki-laki yang bertanggung-jawab. Tetapi ternyata akhirnya aku harus melihat kenyataan itu."
Dalam kesempatan Ki Rangga Wibawa dan Nyi Rangga duduk hanya berdua, mereka mulai membicarakan sikap Wacana.
"Wacana memang sepupu Raras," berkata Ki Rangga, "tetapi ia seorang laki-laki muda, sementara Raras adalah seorang gadis yang tumbuh dewasa."
"Aku juga mulai memperhatikan bagaimana Wacana memperhatikan Raras. Bagaimana Wacana bersikap terhadap Raras," sahut Nyi Rangga.
"Mudah-mudahan dugaan kita salah," berkata Ki Rangga.
"Tentu saja kita tidak akan dapat bertanya langsung kepada Wacana, karena dengan demikian, kita akan dapat menyinggung perasaannya. Apalagi jika hal itu sama sekali tidak ada di angan-angannya," berkata Nyi Rangga kemudian.
Keduanya memang mengalami kesulitan menanggapi sikap Wacana. Namun satu hal yang mereka yakini, apapun perasaan yang tersimpan didalam hati anak muda itu, namun anak muda itu tidak akan melakukan satu perbuatan yang bertentangan dengan tatanan kehidupan, karena mereka yakin bahwa Wacana bukan seorang anak muda yang liar.
Sementara itu, sikap Raras sendiri terhadap Wacana memang tidak ada bedanya sebagaimana sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan kadang-kadang agak manja.
Tetapi justru karena itu maka perhatian Wacana terhadap Raras menjadi berlebih-lebihan. Bahkan menurut pengamatan kedua orang tua Raras, sikap Wacana memang telah bergeser bukan saja sikap seorang kakak terhadap adiknya, tetapi sudah mulai diwarnai dengan sikap seorang anak muda kepada seorang gadis.
Namun baik Ki Rangga maupun Nyi Rangga sama sekali tidak merubah sikap mereka kepada Wacana. Meskipun beban mereka semakin terasa bertambah. Sikap Raras yang mulai menjauhi Raden Teja Prabawa itu sudah membuat Ki Rangga dan Nyi Rangga gelisah. Apalagi kemudian tumbuh persoalan baru. Sikap Wacana kepada Raras. Rasa-rasanya memang ada kesengajaan, bahwa Wacana ingin merenggangkan hubungan antara Raras dan Teja Prabawa. Apalagi karena Teja Prabawa sendiri memang mempunyai kelemahan yang pantas disesali. Terutama bagi Raras yang jika hubungannya dengan Raden Teja Prabawa diteruskan, maka ia akan menggantungkan dirinya kepada anak muda itu.
Demikianlah, dalam kegelisahan yang masih diendapkan didasar jantung kedua orang tua Raras itu terkejut, bahwa dihati berikutnya sementara matahari baru saja terbit, Glagah Putih dan Sabungsari telah datang kerumahnya.
Keterkejutan Ki Rangga dan Nyi Rangga itu dilengkapi pula dengan sikap Raras. Demikian ia lahu bahwa yang datang itu Glagah Putih dan Sabungsari, maka iapun segera berbenah diri. Tanpa diminta ia berkata kepada ibunya, "Apakah aku boleh ikut menemui mereka?"
Ibunya memang menjadi heran. Namun sebelum ia bertanya Raras telah berkata, "Ibu, aku merasa tenang jika aku berada diantara mereka. Bukankah keduanya dan Ki Lurah Agung Sedayu itulah yang menyelamatkan aku?"
Ibunya memang tidak dapat mencegahnya. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Marilah."
Namun demikian mereka keluar dari dalam biliknya, Wacana dengan tergesa-gesa mendekati mereka sambil bertanya, "Kau akan kemana, Raras?"
"Aku ingin menemui mereka," jawab Raras.
"Paman sudah ada dipendapa," berkata Wacana.
"Ya," sahut Raras, "aku akan menemani ayah dan ibu menerima mereka. Bukankah mereka orang-orang yang telah menyelamatkan aku ketika aku mendapat malapetaka?"
"Tetapi sebaiknya kau beristirahat saja. Marilah, aku temani kau didalam bilikmu." ajak Wacana.
"Tidak. Aku akan menemui mereka," jawab Raras.
"Itu kurang pantas bagimu Raras," desis Wacana.
Raras memandang Wacana dengan heran. Sambil berpaling kepada ibunya ia bertanya, "Apakah benar kurang pantas bagiku menemui orang-orang yang telah menolongku, ibu?"
Ibunya tersenyum sambil menjawab, "Marilah, bersama ibu. Lalu katanya pada Wacana, "Biarlah aku mengantarkanya. Wacana. Bukankah di pendapa ada pamanmu pula ?"
Wacana temangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat mencegah lagi. Apalagi Raras menuju kependapa bersama ibunya.
Karena itu, justru Wacanalah yang ikut bersama Raras dan ibunya ke pendapa menemui Glagah Putih dan Sabungsari.
Demikian Raras duduk di pendapa, maka jantung Sabungsari menjadi berdebar-debar. Raraspun merasa heran akan perasaannya sendiri. Jantungnya merasa berdesir tajam ketika ia melihat anak muda yang telah dengan langsung menolongnya di Tegal Waru. Bagaimana anak muda itu dengan tegar dan berani menghadapi orang-orang yang ingin menangkapnya kembali. Bahkan Raden Antal dan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih sendiri.
Meskipun agak sendat ternyata Raras juga mengucapkan selamat datang kepada kedua tamunya. Wajahnya terasa agak panas, namun dipaksanya juga untuk mengucapkanya.
Dalam pada itu Ki Rangga Wibawapun kemudian telah memberitahukan kepada Nyi Rangga, Wacana dan Raras bahwa kedua orang tamu itu telah menyampaikan pesan, agar Ki Rangga Wibawa bersama Ki Rangga Wiramijaya menghadap Ki Patih Mandaraka untuk memberikan keterangan tentang perbuatan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih yang telah mengambil Raras sebagai upaya untuk mendapatkan Rara Wulan.
"Aku akan menghadap sekarang juga," berkata Ki Rangga Wibawa.
"Aku akan singgah sebentar dirumah Rangga Wiramijaya dan membawanya menghadap. Mudah-mudahan ia belum pergi ketempat tugasnya sehingga aku harus menyusulnya."
"Apakah Ki Rangga akan pergi untuk waktu yang panjang ?" bertanya Nyi Rangga.
"Aku belum tahu," jawab Ki Rangga.
Sementara itu Glagah Putih berkata, "Kemarin kakang Agung Sedayu memerlukan waktu yang agak lama di Kepatihan," Ki Rangga Wibawa menggangguk-angguk. Katanya, "Tergantung pada persoalan yang akan adibicarakan. Tetapi mungkin juga memerlukan waktu yang agak lama sebagaimana Ki Lurah Kemarin, "Lalu katanya pula, "Tetapi para prajurit itu masih ada disini. Wacana juga ada dirumah. Bahkan jika tidak ada keperluan apapun juga, angger Glagah Putih dan angger Sabungsari dapat duduk disini beberapa lama."
Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun Wacanalah yang kemudian menyahut, "Sokurlah jika berdua mereka dapat menemani aku disini. Tetapi jika keduanya mempunyai keperluan lain, aku dapat menunggui Raras bersama para prajurit yang bertugas disini. Bukankah mereka memang ditugaskan untuk menjaga Raras?"
Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk kecil. Namun sikap Wacana itu telah melengkapi bahan pemikiran Ki Rangga tentang anak muda itu, meskipun Ki Rangga itu masih belum sampai pada batas kecemasan tentang hubungan antara Wacana dan Raras.
Tetapi Ki Rangga masih saja menjawab, "Baiklah. Sekarang biarlah aku berangkat lebih dahulu. Angger Glagah Putih dan angger Sabungsari aku persilahkan tinggal. Jika angger berdua nanti akan meninggalkan tempat ini, biarlah Wacana dan para prajurit itu menjaga Raras. Apalagi Bajang Bertangan Baja itu telah berniat meninggalkan Mataram. Aku hanya dapat mengucapakan terima kasih atas kesediaan kalian datang memberitahukan pesan dari Kepatihan itu."
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga Wibawapun telah keluar dari regol halaman rumahnya menuju kerumah Ki Rangga Wiramijaya untuk bersama-sama pergi ke Kepatihan. Merekapun tahu bahwa yang ada di Kepatihan adalah Ki Tumenggung Purbarumeksa, Ki Lurah Branjangan dan Ki Lurah Agung Sedayu.
Sementara Ki Rangga pergi, maka Glagah Putih dan Sabungsari masih tinggal dirumah Ki Rangga. Dipendapa Nyi Rangga masih menemani Raras menemui kedua orang yang telah menyelamatkanya itu. Bahkan semakin lama maka sikap wajar Raras telah mulai nampak. Ia memang seorang gadis yang ramah dan bahkan sedikit manja.
Namun ternyata Wacana nampak tidak begitu senang melihat sikap Raras yang semakin banyak berbicara dengan Glagah Putih dan Sabungsari. Tetapi Wacana tidak dapat mencegahnya, justru karena Nyi Rangga juga ada bersama mereka. Jika Nyi Rangga saja tidak berkeberatan, maka Wacana tidak akan dapat menyatakan keberatannya.
Tetapi justru karena sikap Raras, maka rasa-rasanya Sabungsari tidak ingin segera meninggalkan tempat itu. Sedangkan Glagah Putih tidak ingin membuat kawannya itu menjadi kecewa. Meskipun demikian, Glagah Putih justru mulai memikirkan sikap Sabungsari itu. Sementara ia tahu bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa.
Untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Raras bahkan telah mengajukan pertanyaan yang menurut telinga Wacana selalu diulang-ulang. Peristiwa yang terjadi didekat susukan Kali Opak itu sudah diketahuinya dengan jelas. Tetapi Raras masih saja bertanya bagaimana Sabungsari dapat melakukannya. Dari pembicaraan itu tersirat kebanggaan Raras atas keberhasilan Sabungsari yang telah menyelamatkannya.
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih dan Sabungsari tidak terlalu lama berada dirumah Ki Rangga Wibawa. Beberapa saat kemudian sepeninggal Ki Rangga, keduanya telah minta diri untuk kembali kerumah Ki Tumenggung Purbarumeksa.
Namun sebelum keduanya meninggakan tempat itu, Raras telah berpesan, "Ajaklah Wulan sering datang kemari. Ia adalah satu-satunya sahabatku yang datang kepadaku dalam segala keadaan. Selain Wulan belum pernah ada kawanku yang lain yang sudi datang kepadaku."
"Mereka bukannya tidak mau datang menengokmu Raras," sela ibunya, "tetapi mungkin mereka tidak mempunyai keberanian sebagaimana angger Rara Wulan. Karena itu mereka masih belum berani datang kemari. Apalagi disini masih nampak dijaga oleh para prajurit."
Raras tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih dan Sabungsari telah meninggalkan rumah Ki Rangga Wibawa. Kembali Glagah Putih merasakan sesuatu yang lain pada Sabungsari. Anak muda itu justru lebih banyak merenung dari pada berbicara dengannya.
Tetapi Glagah Putih masih menahan diri untuk tidak bertanya sesuatu kepada Sabungsari meskipun didalam hati Glagah Putih mulai memikirkan kemungkinan bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Bahkan bukan hanya Sabungsari yang telah tertarik kepada gadis yang pernah ditolongnya itu, agaknya Raraspun menjadi kagum atas kelebihan Sabungsari.
"Tetapi bagaimana dengan Raden Teja Prabawa?" pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Glagah Putih.
Dalam pada itu, perasaan Wacanapun semakin terguncang karenanya. Ia melihat sikap Raras yang semakin menggelisahkan. Wacana memang tidak dapat mengingkari perasaannya sendiri. Ia sadar, bahwa Raras adalah adik sepupunya. Tetapi sebagai seorang anak muda, maka Raras baginya adalah seorang gadis yang cantik. Bahkan Wacana merasa bahwa tidak semestinya bahwa Raras kelak menjadi isteri Raden Teja Prabawa yang tidak akan dapat melindunginya. Dan itupun kemudian telah ternyata bahwa Raden Teja Prabawa tidak mampu berbuat apa-apa ketika Raras hilang.
Wacana memang merasa kecewa, bahwa orang lainlah yang telah menyelamatkan Raras. Bukan dirinya, sehingga kebanggaan Raras justru tertuju kepada orang lain.
Perasaan wacana menjadi semakin pahit ketika ia melihat perubahan pada diri Raras. Ia berangsur mampu mengatasi ketakutannya. Bahkan kemudian ia sudah berani berada didalam biliknya sendiri, asal di rumah itu ada orang lain disamping para prajurit yang untuk sementara masih berjaga-jaga.
Dalam pada itu, persoalan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih memang sudah berada bukan saja ditangan Ki Patih Mandaraka. Tetapi hal itu telah dilaporkan kepada Panembahan Senopati sendiri. Panembahan Senopati memang menyerahkan persoalan itu kepada Ki Patih Mandarka untuk menyelesaikan bersama beberapa orang yang telah ditunjuk.
Dihari berikutnya, yang menjadi pusat perhatian Agung Sedayu nampaknya telah bergeser. Ketika ia bertemu dengan Ki Wirayuda, maka Ki Wirayuda telah memberitahukan, bahwa Bajang Bertangan Baja memang tidak pernah dijumpai lagi di Kotaraja, meskipun belum dapat diambil kesimpulan bahwa Bajang Bertangan Baja itu benar-benar telah pergi. Namun yang kemudian dipersoalkan oleh Ki Wirayuda adalah orang yang bernama Resi Belahan.
"Orang itu perlu mendapat perhatian khusus. Adalah kurang meyakinkan bahwa Resi Belahan itu begitu saja pergi meninggalkan Mataram sebagaimana Bajang Bertangan Baja. Mereka berada di Mataram dengan landasan kepentingan yang berbeda. Bajang adalah semata-mata orang upahan. Sementara Resi Belahan, sebagaimana Ki Manuhara, tentu membawa kepentingan yang lebih berarti baginya dari pada sekedar upah.
Terbukti bahwa Resi belahan tidak mau membantu Bajang Bertangan Baja disaat-saat terakhir. Bahkan Resi Belahan telah menyalahkan Ki Manuhara yang telah terlibat dalam pekerjaan Bajang yang sama sekali tidak tersangkut paut dengan kepentingan Ki Manuhara," berkata Ki Wirayuda.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya Ki Manuhara terjerat oleh hutang budi kepada Bajang Bertangan Baja sehingga Ki Manuhara tidak dapat menghindari permintaan Bajang Bertangan Baja untuk membantunya."
"Ya. Justru hal itu telah menyeretnya kedalam maut," desis Ki Wirayuda.
"Baiklah Ki Wirayuda," berkata Agung Sedayu, "jika pada saatnya aku kembali ke Tanah Perdikan, maka aku selalu bersiap untuk membantu jika tenagaku diperlukan. Sementara itu anak-anak termasuk Ki Ajar Gurawa yang menyatakan diri begabung dengan kelompok Gajah Liwung selalu siap memberikan bantuan jika diperlukan."
"Jika demikian," berkata Ki Wirayuda, "apakah Glagah Putih dan Sabungsari dapat ditinggalkan di Mataram ?" bertanya Ki Wirayuda.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Mereka sudah menyatakan untuk ikut aku ke Tanah Perdikan."
"Bagaimana jika Ki Lurah menugaskan keduanya untuk tinggal di Kotaraja " Bahkan di Tanah Perdikan selain Ki Lurah Agung Sedayu sendiri ada Ki Jayaraga dan Ki Gede serta pasukanya disamping Pasukan Khusus Ki Lurah ?"
Buku 280 AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, "Aku akan berbicara dengan keduanya. Teatapi bukankah Martaram nampaknya juga dalam keadaan tenang?"
Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, "Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian mendung yang mengalir dari Pati masih tetap memungkinkan untuk mencurahkan hujan angin dan prahara."
Karena itulah, maka ketika Agung Sedayu kemudian berada dirumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka iapun segera menemui Glagah Putih dan Sabungsari.
Ketika Agung Sedayu menanyakan kepada kedua orang anak muda itu, maka baik Glagah Putih maupun Sabungsari menyatakan keinginan mereka untuk pergi ketanah Perdikan. Ternyata keduanya mempunyai alasan mereka masing-masing. Justru karena Rara Wulan akan kembai ke Tanah Perdikan maka Glagah Putihpun ingin untuk sementara tetap berada di Tanah Perdikan. Sementara Sabungsari yang masih dikuasai oleh penalaranya, maka ia memang berniat untuk meninggalkan Mataram agar ia tidak memasuki satu lingkaran hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Meskipun dengan jujur ia harus mengakui, setidaknya kepada diri sendiri, bahwa ia memang tetarik kepada gadis yang bernama Raras itu. Tetapi justru karena itu, maka nalarnya telah mendesaknya untuk meninggalkan Mataram dan menjauhi Raras.
Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, "Keculai jika Mataram memerlukan tenaga kami. Kami tidak akan ingkar, seandainya kami harus berada diantara anak-anak Gajah Liwung."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "aku akan memberitahukan kepada Ki Wirayuda, bahwa kalian berdua untuk sementara akan berada ditanah Perdikan. Tetapi jika diperlukan akan kembali ke Mataram."
"Ya," Sabungsarilah yang menyahut, "bukankah sekarang keadaan Mataram sedang tenang" Sepeninggal Ki Manuhara agaknya orang yang disebut Resi Belahan itu tidak lagi berniat untuk melanjutkan tugas-tugasnya di Mataram. Tetapi seperti kata Glagah Putih jika diperlukan kami akan berada di Mataram kembali."
Glagah Putih memang sempat menjadi heran. Ia mengira bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Namun ia berkeras untuk pergi bersama Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sudah barang tentu Glagah Putih tidak dapat langsung bertanya kepada Sabungsari. Tetapi Glagah Putih harus menyimpanya sebagai teka-teki yang belum terjawab.
Dengan demikian maka untuk sementara Agung Sedayu telah mengambil kesimpulan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setiap saat jika diperlukan mereka akan segera berada kembali di Mataram yang memang tidak terlalu jauh itu.
Demikinlah, maka niat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan itupun segera disampaikan kepada Ki Tumenggung Perbarumeksa sekeluarga. Agung Sedayu memang tidak dapat terlalu lama meninggalkan tugasnya.
Ternyata Ki Lurah Branjangan sependapat. Katanya, "Pasukan Khusus itu memang tidak dapat telalu lama ditinggalkan."
Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung memang tidak dapat terlalu lama menahan mereka di Mataram. Mereka menyadari tugas Agung Sedayu sebagai seorang Lurah Prajurit. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Baiklah Ki Lurah. Kami mengerti akan tugas Ki Lurah yang berat. Karena itu, maka kami tidak dapat menahan Ki Lurah lebih lama lagi, meskipun kami merasa aman dengan kehadiran Ki Lurah, Ki Jayaraga dan anak-anak muda itu."
"Aku sudah berhubungan dengan Ki Wirayuda. Ki Wirayuda akan berusaha untuk mengamati keadaan sebaik-baiknya. Bukan saja tentang Bajang Bertangan Baja yang menerima upah untuk mengambil Rara Wulan. Tetapi juga mengamati seorang yang bernama Resi Belahan. Jika perlu, maka Ki Wirayuda akan dengan segera menghubungi kami."
"Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada persoalan baru lagi yang dapat menyulitkan kami sekeluarga dan bahkan telah menjerat Ki Lurah dalam persoalan ini sehingga Ki Lurah terpaksa meninggalkan tugas Ki Lurah."
"Aku memang sulit untuk membedakan tugasku sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan keluarga yang besar serta tugasku sebagai prajurit, karena pada keduanya terdapat persamaan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini harus terpancar kasih sayang Yang Maha Agung. Yang mempunyai kelebihan harta benda, harus ikut menanggung beban mereka yang miskin, yang kaya akan ilmu harus mengaliri mereka yang hidup dalam kebodohan, yang kuat harus melindungi yang lemah. Sebagaimana air dibelumbang yang penuh akan tumpah dan mengalir ketempat yang lebih rendah serta akan membasahi tempat yang kering."
Ki Tumenggung Purbarumeksa hanya mengangguk-angguk saja. Namun hatinya ternyata tergetar juga mendengar kata-kata Agung Sedayu yang masih jauh lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi nampaknya pengalaman hidupnya yang luas telah membuat jiwanya menjadi matang.
Namun demikian Ki Tumenggung itu masih juga berdesis, "Benar Ki Lurah. Tetapi diantara citra seorang yang tepilih itu masih terdapat orang yang berbuat sebaliknya."
"Ya Ki Tumenggung. Kita memang tidak mengingkari kenyataan itu. Mudah-mudahan orang yang demikian itu semakin lama kan menjadi semakin menyusut."
"Mudah-mudahan Ki Lurah. Tetapi sampai saat ini kita masih melihat kesewenang-wenangan terjadi diantara sesama. Yang kaya justru menghisap yang kekurangan. Sementara yang kuat justru berdiri diatas tubuh-tubuh yang tak berdaya. Aku tidak dapat mengatakan di-mana keluargaku berdiri sekarang ini."
Agung Sedayu menari nafas dalam-dalam. Pembicaraan mereka ternyata jauh merambat kepersoalan yang lebih luas. Namun Agung Sedayu itupun kemudian berkata, "Asal kita masih berpegang kepada Sumber Hidup kita, maka kita tidak akan terlalu jauh tersesat seandainya pada suatu saat kita kehilangan jalan. Setiap kali kita akan mendapat peringatan dan lebih dari itu bimbingan untuk menemukan jalan kita kembali,"
Ki Tumenggung masih saja mengangguk-anguk. Meskipun umurnya lebih tua dan kedudukan serta pangkatnya pada dasarnya lebih tinggi dari Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia justru bersikap seperti seorang cantrik yang berbicara sesamanya.
Demikianlah, maka agung Sedayupun telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dikeesokan harinya. Demikian pula Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Glagah Putih, Sabungsari, Rara Wulan dan Sekar Mirah. Namun esok pagi-pagi mereka masih akan minta diri kepada Raras dan Bagi Agung Sedayu, ia masih akan bertemu lagi dengan Ki Wirayuda.
Malam itu Teja Prabawa sempat berbicara dengan Rara Wulan. Dengan memelas Raden Teja Prabawa minta agar Rara Wulan bersedia membujuk Raras untuk tidak menilainya sebagai seorang laki-laki yang lemah dan tidak bertanggung jawab.
"Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiannya," berkata Teja Prabawa.
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku akan mencobanya kakangmas. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa kau akan berubah. Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada Raras sendiri."
"Katakan kepadanya, bahwa aku akan berguru dan akan menjadi seorang yang berilmu tinggi." berkata Teja Prabawa.
"Bagi seorang perempuan, yang penting bukan laki-laki yang berilmu tinggi. Tetapi seorang laki-laki yang bertanggung jawab menurut keadaannya. Meskipun demikian ilmu memang merupakan bekal yang sangat berarti bagi kehidupan keluarga kakangmas kemudian. Karena itu maka biarlah aku mengatakan kesediaan kakangmas untuk mencari bekal bagi masa depan kakangmas." jawab Rara Wulan.
"Terima kasih Wulan," jawab Teja Prabawa.
"Tetapi kenapa kakangmas tidak pergi menengok Raras di hari-hari terakhir ini?" bertanya Rara Wulan.
"Kau tahu bahwa jalan-jalan menjadi tidak aman. Bukankah kau juga bertemu dengan Bajang Bertangan Baja itu ketika kau akan pergi mengunjungi Raras" Untunglah bahwa kau pergi bersama orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga Bajang Bertangan Baja itu tidak berani berbuat sesuatu atasmu. Coba bayangkan bagaimana akibatnya jika akulah yang bertemu dengan Bajang kedil itu." berkata Raden Teja Prabawa.
"Tetapi Bajang itu telah pergi," jawab Rara Wulan.
"Bukankah ada sebuah nama lagi yang perlu mendapat perhatian?" Raden Teja Prabawa justru bertanya.
"Tetapi orang sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raras dan dengan kita secara pribadi. Orang itu tentu membawa beban tugas yang lebih luas dari sekedar menculik gadis-gadis. Ternyata ia telah menolak bekerjasama dengan Bajang Bertangan Baja."
"Tetapi aku tidak berani, Wulan," Teja Prabawa akhirnya mengaku terus terang.
"Itulah yang membuat Raras kecewa terhadap kakangmas. Kenapa kakangmas tidak berani" Bukankah menurut perhitungan, kakangmas tidak akan mendapatkan hambatan di perjalanan" Seandainya Bajang itu masih ada, maka kemungkinan bertemu dengan orang itupun sangat kecil. Kakangmas tidak bisa menempuh jalan yang kakangmas tidak bisa kakangmas lalui atau kakangmas memilih jalan yang paling ramai. Bukankah dalam keadaan terakhir ini banyak prajurit yang meronda?"
Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi memang ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk pergi kerumah Raras. Bahkan ia berfikir, bahwa jika ia akan pergi juga, artinya sama saja dengan jika ia membunuh diri.
Ketika kemudian matahari terbit dihari berikutnya, maka mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itupun telah bersiap-siap. Namun mereka masih akan pergi, kerumah Ki Rangga Wibawa. Tetapi Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari akan meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan dirumah Ki Rangga Wibawa sementara mereka pergi ke rumah Ki Wirayuda. Baru kemudian mereka akan singgah kembali untuk mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Kedatangan Rara Wulan dan Sekar Mirah membuat Raras merasa semakin segar meskipun ia nampak sedikit kecewa bahwa yang lain tidak singgah lebih dahulu dirumahnya.
Tetapi Rara Wulan segera memberitahukan bahwa mereka nanti akan segera kembali dan singgah di rumah Raras.
"Mereka sedang pergi menemui Ki Wirayuda untuk memohon diri," berkata Rara Wulan kemudian.
"Mohon diri" Mereka akan pergi kemana?" bertanya Raras yang menemui tamu-tamunya ditemani oleh ayah dan ibunya serta Wacana.
"Mereka dan kami berdua hari ini akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh," jawab Rara Wulan.
Wajah Raras tampak berkerut sejenak. Terbayang betapa jantungnya bergejolak mendengar jawab Rara Wulan itu. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Semuanya kalian akan kembali ke Tanah Perdikan?"
"Ya," jawab Rara Wulan.
Sementara Sekar Mirahpun menyambung, "Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah kami. Apalagi kakang Agung sedayu juga sudah terlalu lama meninggalkan tugasnya dibarak Pasukan Khusus itu."
Raras menjadi termangu-mangu sejenak, dengan ragu iapun berkata, "Tetapi bukankah yang lain tidak bertugas dilingkungan keprajuritan?"
Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dan kemudian Sekar Mirah menjawab, "Ya. Tetapi mereka mempunyai kewajibannya masing-masing di Tanah Perdikan."
Pada wajah Raras memang membayang kekcewaan hatinya, sambil memandang kekejauhan ia berkata seakan-akan kepada diri sendiri, "Siapakah yang kemudian akan melindungi aku" "
Yang menjawab adalah justru Wacana, "Raras. Disini ada Paman dan Prajurit. Bahkan akupun bersedia dan sanggup melindungimu. Siapaun yang akan mengganggumu."
Raras berpaling kepada Wacana sejenak. Dengan ragu ia mengangguk kecil. Sementara ayahnyapun berkata, "Sudah berkali-kali aku katakan Raras. Para Prajurit itu masih ada disini, sementara Ki Wirayuda meyakinkan, bahwa Bajang Bertangan Baja itu memang sudah tidak terlihat lagi di Mataram. Para petugas sandi melakukan tugas mereka dengan baik dan bersungguh-sungguh sehinga kita dapat mempercayainya. Jika kita kehilangan kepercayaan kepada para prajurit, maka hidup kita memang tidak akan dapat tenang. Kita akan selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran tentang kejahatan. Bukan saja sebagaimana kau alami, tetapi juga perampokan dan kekerasan-kekerasan lainnya."
Raras mengangguk pula meskpun pandangan matanya menjadi kosong. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan hilang daripadanya. Sesuatu yang justru belum pernah dimilikinya.
Dengan demikian, jiwanya yang hampir tenang itu telah diguncang lagi oleh perasaan kecewa meskipun dalam bentuk yang berbeda. Meskipun Raras mengeluh karena kehilangan perlindungan, namun sebenarnyalah ia merasa betapa cepatnya orang yang datang kepadanya untuk menyelamatkannya itu pergi meninggalkannya.
Tetapi Raras tidak dapat mengatakanya kepada kedua orang tua bahwa sebenarnya ia memang merasa kehilangan. Teruatama orang yang telah langsung melidunginya di Tegal Waru.
Sikap Raraspun kemudian memang berubah. Betapapun gadis itu berusaha untuk menghilangkan kesan yang muncul kepermukaan, namun nmng-orang yang duduk bersamanya itu mampu menangkapnya. Justru karena itu, maka merekapun telah menjadi gelisah pula.
Sementara itu, maka Rara Wulan yang membawa pesan kakaknya, memang ingin menyampaikan kepada Raras. Tetapi rasa-rasanya ia menjadi ragu. Apakah jika hal itu dikatakannya, Raras tidak justru menjadi semakin gelisah.
Meskipun demikian, Rara Wulan memang mencobanya meskipun hanya menyinggung-nyinggung serba sedikit.
Ketika ia berkesempatan, maka Rara Wulanpun berkata, "Raras kakangmas Teja Prabawa mengirimkan salam buatmu. Ia belum dapat datang karena sesuatu hal."
Dahi Raras berkerut. Tanpa sengaja Raras telah berpaling kepada Wacana yang mendengar pesan itu sambil termangu-mangu. Baru sejenak kemudian Raras menjawab, "Terima kasih Wulan. Tetapi kenapa Raden Teja Prabawa tidak berani datang kemari" Bukankah mereka tidak harus melewati bulak-bulak panjang yang sepi yang dihuni oleh kelompok-kelompok penyamun."
"Raras," potong ayahnya yang duduk disebelahnya.
Raras berpaling kepada ayahnya. Jawabnya, "Benar ayah. Raden Teja Prabawa tidak memiliki keberanian untuk datang kerumah ini. Bukannya rumah ini yang menakut-nakutinya. Tetapi ia tidak berani menempuh perjalanan yang hanya beberapa pathok itu. Apalagi di siang hari di jalan-jalan ternyata ramai di Kota Mataram."
"Jangan berkata begitu Raras," tiba-tiba saja Wacana berdesis, "Mungkin raden Teja Prabawa lagi sibuk."
Raras memandang Wacana dengan tajamnya. Pandangan matanya yang aneh. Ia mendengar hal itu dari Wacana. Tetapi Wacanalah yang kemudian justru menolak anggapan itu.
Rara Wulan dan Sekar Mirah memang tidak mengerti, apa yang tersirat disorot mata tajam Raras yang menusuk langsung kemata Wacana. Tetapi Ki Rangga Wibawa segera mengerti dan tanggap akan sikap Wacana itu. Karena itu, maka katanya kemudian, "Sudahlah Raras. Sikapmu akan dapat menimbulkan salah faham." Lalu katanya kepada Rara Wulan, "Aku yang memintakan maaf bagi Raras, ngger."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak apa-apa Ki Rangga. Kami dapat mengerti perasaan Raras yang sangat kecewa disaat ia benar-benar dicekam ketakutan."
Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa keluarganya berhadapan dengan orang-orang yang mampu berpikir dewasa meskipun diantara mereka termasuk orang-orang yang masih muda. Bahkan adik dari Raden Teja Prabawa itu sendiri.
Sementara itu, Raras yang sudah nampak semakin cerah, tiba-tiba telah menjadi murung lagi. Matanya menjadi redup. Ia kecewa bahwa orang-orang yang telah menolongnya itu akan meninggalkan Mataram. Tetapi iapun menjadi gelisah bahwa Wacana sikapnya terasa goyah, khusunya terhadap Raden Teja Prabawa.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari telah bertemu dan minta diri kepada Ki Wirayuda. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengulangi kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Demikian pula mereka yang lain. Terutama Glagah Putih dan Sabungsari yang selalu siap untuk berada diantara anak-anak Gajah Liwung.
"Baiklah," berkata Ki Wirayuda, "mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi di Mataram dalam hubungannya dengan Bajang Bertangan Baja dan Resi Belahan."
"Yang masih tetap menjadi teka-teki adalah Resi Belahan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Kami akan berhati-hati menanganinya," berkata Ki Wirayuda, "Bahkan Ki Patih Mandaraka sendiri sudah memberikan isyarat untuk meningkatkan kewaspadaan."
Dengan demikian maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsaripun segera minta diri. Mereka masih harus singgah di Rumah Ki Rangga Wibawa untuk minta diri dan mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Kepada Ki Wirayuda, Sabungsari sempat menitipkan anak-anak Gajah Liwung yang untuk sementara masih harus ditinggakannya.
"Seandainya," berkata Ki Wirayuda, "seandainya tidak ada masalah lagi di Tanah Perdikan Menoreh, bukankah Sabungsari dan Glagah Putih dapat segera kembali ke Mataram tanpa harus menunggu timbulnya persoalan disini?"
Sabungsari tersenyum. Katanya, "Tentu Ki Wirayuda. Kami akan merasa lebih tenang berada diantara anak-anak Gajah Liwung."
Tetapi dalam pada itu, didalam hatinya Sabungsari mengeluh. Perkenalan dengan Raras telah membuatnya seperti orang yang kebingungan. Ia harus mempertentangkan perasaannya dengan penalarannya. Sabungsari tidak dapat ingkar bahwa ia tertarik kepada Raras. Tetapi iapun mengerti bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa.
Ketika keempat orang itu memasuki regol halaman rumah Ki Rangga Wibawa, maka wajah Raras yang murung itu lelah menjadi sedikit terang. Bahkan tanpa disadari, Raras telah ikut bersama ayah dan ibunya, bangkit berdiri dan menyongsong tamu mereka ditangga pendapa.
Wacana yang semula masih saja duduk bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah, telah bangkit pula untuk ikut menyambut keempat orang tamu itu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsaripun telah duduk pula dipendapa, sementara Nyi Rangga beringsut dan pergi kedapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya.
Nyi Rangga bahkan terkejut ketika ternyata Raras menyusulnya kedapur dan berkata, "Biarlah aku yang menyuguhkan hidangan itu, ibu."
"Kau tidak apa-apa?" bertanya ibunya.
"Tidak ibu. Aku tidak apa-apa," jawab Raras.
Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Anak gadisnya itu memang sulit dimengerti. Mungkin karena jiwanya itu belum tenang benar, atau mungkin karena persoalan lain. Baru saja wajahnya yang mulai cerah telah menjadi murung kembali. Namun tiba-tiba saja Raras menjadi seakan-akan tidak sedang dipengaruhi oleh ketidak keseimbangan jiwanya.
"Atau justru ketidak seimbangan jiwa itu Raras menjadi semakin sulit dimengerti?" pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Nyi Rangga.
Tetapi Nyi Rangga tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada Raras untuk menyuguhkan hidangan-hidangan bagi tamu-tamunya yang ada dipendapa.
Ketika kemudian Raras dan Nyi Rangga telah duduk kembali dipendapa, maka Agung Sedayu mewakili mereka yang datang bersamanya, mohon diri kepada Ki Rangga dan keluarganya untuk hari itu juga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Rencana itu sudah didengarnya sebelumnya dari Rara Wulan. Dengan nada dalam Ki Rangga Wibawa berkata, "Seandainya aku mempunyai wewenang untuk menahan kalian, maka aku akan mencoba untuk memperpanjang keberadaan kalian di Mataram. Tetapi karena aku tidak mempunyai wewenang itu, maka aku tidak dapat berbuat apa-apa."
"Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh Ki Rangga," berkata Agung Sedayu, "kami tentu akan selalu mondar-mandir antara tanah Perdikan dan Mataram," jawab Agung Sedayu.
"Kami berharap bahwa kalian akan selalu singgah dirumah ini dalam setiap kesempatan," minta Ki Rangga.
"Ya Ki Rangga. Rumah ini sudah menjadi bagian dari lingkungan kekeluargaan kami. Karena itu kami akan selalu berusaha untuk dapat selalu singgah meskipun sebentar."
Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, "Terima kasih Ki Lurah, terima kasih. Aku kira meskipun setiap kejap aku mengucapkan terima kasih, namun tentu masih belum cukup."
"Itu sudah berlebihan Ki Rangga. Berkali-kali aku katakan, bahwa apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami.," jawab Agung Sedayu.
Demikianlah setelah mereka berbincang sejenak, maka Agung Sedayu dan yang lainpun telah minta diri. Bukan saja untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, tetapi mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Wajah Raras telah menjadi murung kembali. Seperti langit yang tiba-tiba saja disaput oleh mendung. Semakin lama menjadi semakin kelabu.
Ketika Rara Wulan kemudian turun ketangga pendapa dan disisinya Raras berdiri termangu-mangu, Rara Wulan sempat berdesis, "Kakangmas Teja Prabawa tentu akan segera datang. Ia akan mengatasi perasaan takutnya."
Tetapi jawab Raras dingin, "Mudah-mudahan. Tetapi maafkan aku Wulan. Aku sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa."
"Ia berjanji akan berubah," sahut Wulan perlahan.
"Sampai kapan aku harus menunggu perubahan itu" Aku sudah terlalu tua untuk menunggu ia berguru lagi," jawab Raras.
Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa kasihan kepada kakaknya. Tetapi ia juga merasa kasihan kepada Raras. Namun ternyata Rara Wulan ternyata telah melemparkan sebab dari segala kerumitan itu pada Raden Antal, sehingga ia semakin benci kepada anak muda itu.
Sejenak kemudian maka kelompok kecil tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan regol rumahnya. Seisi rumah itu telah mengantar mereka sampai keregol. Sabungsari yang ada diantara mereka tidak terlalu banyak berbicara. Bahkan ia justru sering menundukkan kepalanya saja. Hanya sekali-sekali ia menyambung pembicaraan. Selebihnya ia hanya diam saja.
Tetapi beberapa langkah dari regol, ternyata Sabungsari berpaling. Diluar niatnya, maka Raraspun sedang memandanginya pula, sehingga tiba-tiba saja keduanya telah menunduk.
Seperti yang direncanakan, hari itu Agung Sedayu dengan kelompok kecilnya telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah dan Rara Wulan berkuda dipaling depan, sedangkan Sabungsari berada dipaling belakang. Ia memang lebih banyak berdiam diri dan seakan-akan menyendiri.
Rara Wulanpun nampaknya banyak merenung pula meskipun tidak disepanjang perjalanan. Namun kadang-kadang ia merenungkan kakaknya yang mulai tersisih dari hati Raras. Justru karena itu dapat mengerti perasaan Raras dan dapat pula mengerti kepahitan perasaan kakaknya, maka hatinyapun ikut merasakan kegelisahan mereka.
Dalam pada itu, sepeninggal adiknya, ternyata Teja Prabawa itu merasakan betapa rumahnya menjadi sepi. Jika adiknya itu ada dirumah, seakan-akan setiap saat mereka itu selalu bertengkar. Tetapi jika adiknya itu pergi, maka Raden Teja Prabawa itu-pun merasa semakin sendiri, justru karena sikap Raras kepadanya.
Sebelum Rara Wulan meninggalkan rumahnya, maka Rara Wulan serba sedikit telah memberitahukan kepada kakaknya itu. Tetapi Rara Wulan tidak sampai hati untuk mengatakan sebagaimana dikatakan Raras. Ia masih berusaha untuk memperlunaknya, meskipun ia tahu bahwa hal itu hanya dapat menunda kekecewaan saja.
Ki Lurah Branjangan yang berada pula didalam iring-iringan itu juga tidak banyak bicara. Sebagai seorang kakek, ia dapat merasakan betapa Teja Prabawa mengalami goncangan perasaan mirip seperti Raras sendiri.
Beberapa lama mereka berkuda, maka merekapun telah menuruni jalan yang langsung menuju ke tempat penyeberangan. Ternyata mereka memilih menyeberang dipenyeberangan sebelah Selatan yang agak lebih ramai. Beberapa buah gethek tersedia disisi sebelah Barat dan Timur Kali Praga.
Ternyata bahwa kelompok kecil orang-orang berkuda itu tidak dapat berada di satu gethek. Sebuah gethek yang siap menyeberang hanya muat tiga orang diantara mereka bersama kudanya. Selebihnya harus mempergunakan gethek yang lain. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulanlah yang lebih dahulu yang menyeberang bersama-sama dengan beberapa orang yang telah lebih dulu diatas rakit itu.
Seorang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal sempat menggerutu, "Kuda-kuda itu sangat mengganggu. Baunya aku tidak tahan."
Agung Sedayu yang duduk tidak terlalu jauh dari oprang itu berdesis, "Kami mohon maaf Ki Sanak. Kami tidak mempunyai cara lain untuk menyeberang."
"Sebaiknya kalian mempergunakan rakit khusus. Tidak bersama-sama dengan penumpang rakit yang lain."
"Aku mengerti Ki Sanak," jawab Agung Sedayu.
"Apalagi bersama denagan perempuan-perempuan yang berpakaian tidak sewajarnya itu," katanya pula.
Beberapa orang penumpang yang lain memang sedang memandangi pakaian Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang memakai pakaian khususnya, karena mereka menempuh perjalanan berkuda.
Wajah Rara Wulan menjadi gelap. Tetapi Sekar Mirah yang lebih tua hanya tersenyum saja. Ia sudah terlalu sering mendengar suara-suara sumbang seperti itu, sehingga akhirnya Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi.
Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus itu masih berkata, "Sebenarnya kedua perempuan itu cantik. Tetapi kenapa mereka berpakaian dan berias seperti perempuan yang lain?"
Agung Sedayu yang menjawab dambil tersenyum, "Sejak kecil mereka senang berpakaian seperti laki-laki. Mereka senang menunggang kuda dan bahkan melakukan perbuatan-perbuatan lain seperti seorang laki-laki. Perempuan yang lebih tua itu adalah seorang tukang blandong. Ia menerima upah untuk menebang pohon-pohon besar dimanapun. Kemudian memotong-motongnya dan membelahnya. Karena itu, maka ia memiliki kekuatan dan bentuk tubuh seorang laki-laki."
"Dan keluarganya tidak melarangnya?" bertanya orang itu.
"Aku kakaknya. Aku senang ia dapat membantu aku," jawab Agung Sedayu.
Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya dengan nada tinggi, "Aku tidak percaya. Pakaianmu bukan seorang blandong."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Tentu tidak, karena kami baru saja mengunjungi saudara kami yang sedang menyelenggarakan peralatan. Apakah dalam peralatan kami berpakaian seperti tukang blandong?"
Orang berpakaian rapi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang Rara Wulan ia bertanya, "Apakah ia juga tukang blandong?"
"Ia baru belajar. Adikku yang bungsu itu mempunyai kebiasaan seperti kakaknya juga," jawab Agung Sedayu.
Tetapi orang berpakaian rapi itu berkata, "Tukang blandong tidak akan memiliki seekor kuda seperti kudamu itu. He, kau jangan mempermainkan aku ya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah bahwa keduanya memiliki sifat sebagai laki-laki."
Orang berpakaian rapi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir tidak berkedip ia selalu memandangi Rara Wulan, sehingga Rara Wulan akhirnya menyadari pandangan mata laki-laki itu, sehingga ia harus berputar dan duduk membelakanginya.
Orang itu memang diam, meskipun ia masih saja memandang penggung Rara Wulan.
Sikap itu ternyata membuat Sekar Mirah dan Agung Sedayu berdebar-debar. Mungkin saja bahwa persoalan itu akan berkembang setelah mereka turun dari rakit diseberang.
Untuk beberapa saat mereka yang ada diatas rakit itu saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafas para tukang satang yang bekerja keras mengayuh rakit itu keseberang.
Tidak jauh dibelakang rakit itu, sebuah rakit yang lain juga tengah menyeberang. Diatas rakit itu duduk beberapa orang yang menyeberang bersama dengan kuda tunggangan mereka.
Beberapa saat kemudian rakit itupun telah merapat di tepian sebelah barat para penumpangnya segera berloncatan turun. Demkian pula Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Agung Sedayu yang telah hampir melupakan orang berpakaian rapi dan mahal itu tiba-tiba terkejut ketika orang itu menggamitnya. Hampir berbisik orang itu bertanya, "He, apakah kedua adikmu itu sudah bersuami?"
Pertanyaan itu memang mengejutkan Agung Sedayu. Ia melihata sorot mata yang liar dimata orang yang terbungkus oleh pakaian yang rapi dan dibuat dari bahan yang mahal itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak berubah sikapnya. Iapun kemudian menjawab, "Sudah Ki Sanak. Kedua-duanya sudah bersuami."
"Dimana suaminya?" bertanya orang itu pula.
"Dirumah," jawab Agung Sedayu singkat.
"Dimana rumahnya?" bertanya orang itu selanjutnya.
"Di Mataram. Keduanya istri prajurit. Lihat, lihat bagaimana ia mengenakan pakaian. Mereka meniru pakaian suami mereka.," jawab Agung Sedayu. Ia berharap dengan demikian maka orang itu tidak bertanya lebih jauh.
Tetapi ternyata perhitungan Agung Sedayu keliru. Orang itu tiba-tiba berkata, "Mumpung suami mereka tidak ada. He, aku mempunyai sepasang gelang bermata berlian. Aku akan memberikan kepada mereka berdua."
"Ki Sanak," Agung Sedayu benar-benar tersinggung, "sebaiknya Ki Sanak jangan membuat kami merasa tersinggung. Kami orang baik-baik yang sudah tentu tidak ingin mendengar kata-kata Ki Sanak seperti itu."
Tetapi orang itu tertawa. Ketika ia berpaling sambil mengangguk, maka dua orang bertubuh raksasa mendekatinya. Sambil bertolak pinggang orang itu bekata, "Aku tidak memaksa Ki Sanak. Jika kalian keberatan, apa boleh buat. Tetapi jangan menjawab kasar begitu. Kau harus tahu dengan siapa kau bebicara sekarang ini."
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu, "kami akan meneruskan perjalanan kami. Itu, kawan-kawan kami sudah turun pula dari rakit mereka."
Orang itu berpaling. Dilihatnya beberapa orang meloncat turun. Kemudian menarik kendali kuda turun dari rakit pula.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Dua orang yang bertubuh raksasa yang tadi juga berada dirakit yang sama, berdiri tegak sambil menggenggam hulu parang mereka yang besar.
Orang berpakaian rapi itu mengerutkan dahinya. Orang yang berkuda itu memang membuatnya berpikir ulang. Bahkan karena mereka menggetarkan jantungnya. Tetapi justru ia berdesis, "Apakah aku harus membunuh sekian banyak orang?"
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga, karena ia mengira bahwa orang itu tentu tidak bersungguh-sungguh. Mungkin hal itu hanya lontaran ungkapan kejengkelannya saja. Karena itu maka Agung Sedayupun kemudian telah menarik kudanya sambil berkata kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, "Marilah. Kita pergi saja. Kita sudah terlalu siang berangkat."
Tetapi Agung Sedayu justru telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan yang sangat lemah sekalipun dari orang yang berpakaian mahal itu.
Ternyata orang yang umurnya sudah separo baya telah berdiri di-sebelahnya sambil berkata, "Kau jangan berbuat sekehendakmu sendiri. Pamanmu Resi tidak senang dengan tingkah lakumu itu. Biarkan mereka pergi."
Tetapi orang berpakaian rapi itu menjawab, "Paman Resi tidak akan mengurusi persoalanku dengan perempuan."
"Tetapi kau datang bersamanya untuk kepentingan tertentu. Ingat, bahwa kakang Resi tidak senang melihat orang yang pernah datang mendahuluinya terlibat dalam persoalan pribadi. Khususnya perempuan, sehingga ia sama sekali tidak bersedia membantunya sampai orang itu terbunuh."
Pembicaraan itu memang sangat menarik perhatian Agung Sedayu yang dapat mendengarnya meskipun hanya sebagian. Tetapi jelas baginya bahwa orang itu mempunyai hubungan dengan seorang yang disebut paman Resi. Dengan cepat Agung Sedayu menghubungkan sebutan itu dengan nama seseorang yang sedang menjadi pembicaraan orang-orang Mataram. Resi Belahan.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu berbalik. Demikian cepat sehingga seseorang tidak sempat berpikir tentang sikapnya itu. Kepada orang yang separo baya itu Agung Sedayu bertanya, "Kau adik Resi Belahan."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu orang itu bertanya, "Siapakah kau?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahwa orang itu tidak menjawab dengan serta merta bahwa ia tidak mengenal Resi Belahan atau dengan tegas menolak pertanyaan Agung Sedayu itu, telah memperkuat dugaan Agung Sedayu, bahwa orang-orang itu mempunyai sangkut paut dengan Resi Belahan yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Mataram. Apalagi itu telah menyebut tentang orang yang mendahului mereka telah terbunuh. Agung Sedayu menduga bahwa yang dimaksud tentu Ki Manuhara.
Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu memandang orang-orang itu dengan tajamnya. Orang yang umurnya separo baya, orang yang berpakaian rapi dari bahan-bahan yang mahal namun matanya menyala dengan liar. Kemudian dua orang raksasa yang agaknya pengawal orang yang berpakaian rapi itu.
Agung Sedsayu yang memiliki ingatan yang sangat tajam itu seakan-akan telah mengukir wajah-wajah itu di dinding jantungnya sehingga untuk seterusnya ia tidak akan dapat melupakannya.
Baru sejenak Agung Sedayu itupun berkata, "Baiklah, aku minta diri untuk meneruskan perjalananku. Aku akan mengantarkan adik-adikku dan kawan-kawanku itu."
Orang yang berpakaian rapi itu menggamitnya sambil berkata, "Sudahlah. Jangan membuat persoalan tentang hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita tidak boleh terjebak seperti orang yang telah mati itu yang melibatkan diri dalam persoalan yang seharusnya tidak ditangani."
"Tetapi orang itu justru bertanya tentang paman Resi." berkata orang berpakaian rapi itu.
Orang yang separo baya itu baru menyadarinya. Karena itu, maka iapun berdesis, "Apa yang sebaiknya kita lakukan?"
"Sebelum orang itu sempat berbicara kepada kawan-kawannya, orang itu harus dibunuh. Mungkin ia mendengar pembicaraan kita selagi ia melangkah pergi. Agaknya kita berbicara terlalu keras sehingga ia mendengar aku atau paman menyebut paman Resi."
Orang yang sudah separo baya itu termangu-mangu. Namun katanya, "Itu tidak perlu. Mereka mempunyai beberapa orang kawan."
"Bagaimana dengan pengenalannya atas paman Resi?"
"Ia hanya menyebut nama kakang Resi Belahan. Tetapi orang itu tentu belum pernah melihat kakang Resi itu. Sedangkan orang-orang Mataram juga sudah tahu bahwa kakang Resi ada di Mataram beberapa saat yang lalu. Bahkan hampir saja kakang Resi itu terjebak."
"Jika demikian, apakah orang itu termasuk orang penting di Mataram?" Orang berpakaian Rapi itu beranya.
"Menurut pengakuannya, kedua perempuan itu adalah istri prajurit. Mungkin ia pernah mendengar dari suami kedua perempuan itu."
"Kedua perempuan itu cantik," desis orang yang berpakaian rapi dan mahal itu.
Orang yang sudah separo baya itu menggeleng kecil sambil berkata, "Jaga dirimu baik-baik dengan kelemahanmu itu. Kau dapat terjerat sebagaimana Ki Manuhara meskipun dengan maksud yang berbeda."
Orang yang berpakaian bagus dan mahal itu tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Katanya, "Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku memerlukan mereka berdua."
"Tetapi jika itu membatalkan semua rencana pamanmu Resi, maka kau tahu akibatnya."
Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya, "Apakah paman menyangsikan ilmuku?"
"Siapa yang menyangsikan ilmu Ki Manuhara sebelumnya?" orang yang sudah separo baya itu bertanya pula.
Orang berpakaian rapi dan mahal itu tidak menjawab. Namun sekilas orang itu memandang Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berdiri diantara beberapa orang laki-laki yang menuntun kuda mereka masing-masing.
Adalah diluar dugaan orang yang berpakaian mahal itu ketika ternyata Rara Wulan juga berpaling kepadanya. Bahkan kemudian nampak gadis itu tertawa.
"Setan betina," geram orang yang berpakaian rapi itu, "perempuan itu memanggilku."
"Tidak. Ia tidak memanggilmu. Yang memanggilmu justru iblis yang akan menelanmu kedalam jebakannya."
Orang yang berpakaian bagus itu memang mengurungkan niatnya untuk medekati Rara Wulan. Orang itu sebenarnya tidak tahu sama sekali, bahwa Agung Sedayu sengaja minta agar Rara Wulan mengganggunya. Katanya hampir berbisik, "Pancing orang itu, agar kita dapat bertemu atau setidak-tidaknya berhubungan lagi. Orang itu akan dapat menjadi jembatan kita menuju kepada orang yang bernama Resi Belahan itu."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi wajah Glagah Putih menjadi gelap. Agaknya ia tidak sependapat dengan cara yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, "Kenapa kita tidak membuat satu persoalan agar kita dapat berselisih dengan orang itu. Bukankah akibatnya akan sama saja. Orang itu dan mungkin Resi Belahan akan mecari kita."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi perselisihan itu sendiri akan dapat berkembang. Akibatnya mungkin tidak kita duga sebelumnya. Bagaimana jika orang itu terbunuh" Bukankah kemungkinan itu dapat terjadi karena orang itu tentu juga orang berilmu tinggi?"
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi Agung Sedayupun mengerti, bahwa Glagah Pitih tidak ingin Rara Wulan dipergunakan untuk memancing orang itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Marilah. Kita meneruskan perjalanan."
Sejenak kemudian, maka sekelompok kecil orang-orang berkuda itupun segera meneruskan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara orang berpakaian bagus itu masih berdiri ditepian.
Orang itu terkejut ketika seorang tukang satang bertanya, "Apakah Ki Sanak belum mengenal mereka?"
"Belum," jawab orang itu, "apakah kau mengenalnya?" orang itu tiba-tiba berharap.
"Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang sering menyeberang."
"He," orang itu semakin tertarik, "Siapa namanya" Dan apakah kau juga mengenal kedua perempuan itu?"
"Aku tidak banyak mengenal mereka. Tetapi yang aku tahu mereka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
Orang itu tersenyum. Katanya, "Terima kasih kau sangat baik." Diluar dugaan tukang satang itu, maka orang yang berpakaian mahal itu telah mengambil beberapa keping uang dan diberikan kepada tukang satang itu, "Terima kasih atas keteranganmu."
Tukang satang itupun mengangguk hormat sambil menjawab, "Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak."
Orang yang sudah separo baya itu menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, bahwa orang yang berpakaian itu tentu akan mencari kedua perempun itu diseluruh Tanah Perdikan Menoreh. Namun iapun memperingatkan, "Kita juga bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Hati-hatilah. Jangan sampai tugas kita gagal hanya karena kedua perempuan itu. Kau dapat mencari ganti berapa saja kau ingin kelak jika tugas itu sudah selesai."
"Baik paman. Tetapi senyum perempuan itu membuat aku gila," jawab orang itu.
"Kau memang gila," berkata orang yang sudah berumur separo baya itu, "tetapi kegilaanmu itu jangan sampai merusak segala rencana yang sudah disusun oleh Resi Belahan."
Orang itu tertawa. Katanya, "Aku bukan anak-anak lagi paman. Aku akan dapat mengatur segala-galanya."
"Tetapi kegilaanmu itu kadang-kadang tidak terkendali.," berkata orang separo baya itu.
Orang berpakaian bagus dan rapi itu hanya tertawa saja.
"Marilah," berkata orang separo baya. Lalu katanya kepada kedua raksasa yang mengawal orang berpakaian bagus itu, "Kau harus ikut mencegah setiap langkahnya yang kurang menguntungkan bagi rencana kita. Kau orang-orang tua jangan hanya menurut saja seperti orang-orang dungu."
Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi pada wajah mereka memang nampak betapa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir. Yang terpancar dari matanya bukan kecerdikan mereka serta ketajaman akal budi, tetapi seperti sorot mata seekor srigala yang lapar.
Orang yang sudah separo baya itu tiba-tiba membentak, "He, kau dengar kata-kataku?"
Dengan gagap kedua orang itu menyahut hampir berbarengan, "Ya. Ya aku dengar."
Tetapi orang yang berpakaian rapi, bagus yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal itu tertawa. Katanya, "Paman masih saja menganggap aku sebagai kanak-kanak."
"Sudahlah," berkata orang yang sudah berumur separo baya.
"Orang-orang berkuda itu sudah hilang dari pandangan kita. Marilah kita harus meneruskan perjalanan. Menurut penglihatanku, orang-orang bekuda itu tentu orang-orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan. Biarlah aku mencari keterangan tentang mereka. Orang-orang kita sudah lebih dahulu berada di Mataram tentu akan dapan memberikan keterangan. Tetapi ingat, jangan merusak segala-galanya."
Orang yang bermata liar tetapi terbungkus oleh pakaian yang bagus itu tertawa berkepanjangan. Namun mereka kemudian telah meninggalkan tepian. Sementara orang separo baya itu masih berdesis, "Tanah Perdikan adalah ladang yang harus kita garap sebelum Mataram mulai dicangkul."
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kelompok kecilnya menyusuri jalan yang langsung menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Diperjalanan mereka tidak terlalu banyak berbincang. Mereka seakan akan telah tenggelam dalam persoalan mereka masing-masing.
Tetapi Sabungsari memang tidak begitu memikirkan orang-orang yang ditemui di tepian itu. Pikirannya kadang-kadang masih tersangkut di rumah Ki Rangga Wibawa. Meskipun ia sudah bertekat untuk tidak akan menemui Raras lagi, tetapi wajah gadis itu masih saja sering melintas diangan-angannya.
Tetapi sekali-kali Sabungsari itu sempat juga mengingat bahwa umurnya telah menjadi semakin tua. Meskipun ujudnya masih tidak berselisih jauh dari Glagah Putih, tetapi umurnya terpaut agak banyak.
"Meskipun demikian, tentu bukan alasan untuk mengganggu keakraban hubungan antara dua orang yang telah mengarah pada satu kehidupan berkeluarga.," kata Sabungsari kepada dirinya.
Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berkuda di paling depan masih sempat sekali-kali berbincang. Dengan senyum kecil Sekar Mirah berkata, "Rara, aku yakin bahwa orang itu akan mencarimu sampai ketemu diseluruh Tanah Perdikan ini."
Rara Wulanpun tersenyum pula. Katanya, "Bukan hanya aku, orang itu akan mencari mbokayu."
"Tetapi kakang Agung Sedayu tidak marah. Sementara nampaknya Glagah Putih tidak senang kau tersenyum dengan orang itu."
"Bukankah aku hanya tersenyum saja?" desis Rara Wulan, "biarlah kakang Agung Sedayu yang mempertanggung jawabkan."
Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Glagah Putih tentu tidak benar-benar marah. Ia hanya tidak setuju dengan cara yang dipilih orang kakang Agung Sedayu."
Rara Wulanpun tertawa. Sementara Sekar Mirahpun berkata, "Jadi, kita dapat mengerti betapa Raden Antal hampir menjadi gila karena Rara Wulan tidak menghiraukanya."
"Ah mbokayu," desis Rara Wulan. Lalu iapun bertanya, "Bagaimana dengan kakang Agung Sedayu waktu itu?"
"Tidak ada masalah," jawab Sekar Mirah sambil tertawa pula.
Ternyata Rara Wulan juga tertawa semakin keras.
Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga yang berkuda di belakangnya tidak mendengar yang mereka bicarakan. Mereka hanya melihat kedua orang itu tertawa.
Demikianlah, maka iring-iringan itupun semakin lama semakin medekati pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itulah, maka perjalanan mereka mulai tersendat. Orang-orang yang sedang berada di sawah telah menyapa mereka yang sudah beberapa lama tidak nampak di Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan ramah mereka yang baru kemali ke Tanah Perdikan itu menjawab setiap pertanyaan agar tidak mengecewakan orang-orang yang seakan-akan telah menyambut kedatangan mereka itu.
Semakin dekat dengan pedukuhan induk, maka merekapun menjadi sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dan sapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengenal mereka dengan baik. Terlebih-lebih lagi jika mereka melewati padukuhan-padukuhan yang cukup ramai.
Beberapa saat kemudian maka merekapun telah memasuki pedukuhan induk. Namun Agung Sedayu minta agar mereka langsung pergi menghadap Ki Gede untuk melaporkan kedatangan mereka.
"Daripada nanti kita harus pergi lagi setelah kita pulang.," berkata Agung Sedayu.
Ternyata yang lainpun sependapat. Jika mereka sudah sampai di-rumah, agaknya mereka akan malas untuk segera pergi lagi meskipun hanya untuk menghadap Ki Gede.
Ki Gede yang kebetulan ada dirumah, menyambut mereka dengan senang hati. Dengan kehadiran mereka kembali di Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya keadaan akan menjadi semakin tenang.
Tetapi dalam pertemuan itu pula Agung Sedayu telah melaporkan, bahwa beberapa orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Mereka orang-orang yang baru sepeninggal Ki Manuhara yang telah terbunuh di dekat susukan Kali Opak.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, "Kami mohon maaf Ki Gede. Mungkin pesoalan itu masih menyangkut keberadaan kami di Tanah Perdikan ini."
"Tidak ada yang salah dalam hal ini ngger," sahut Ki Gede, "apa yang kita lakukan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri semata-mata. Yang kita lakukan akan memberikan arti bagi kampung halaman khususnya dan Mataram pada umumnya."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Ia sudah melaporkan segala-galanya yang terjadi di Mataram, sehingga Ki Gede mempunyai pandangan yang jelas dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki Perdikan Menoreh.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Agung Sedayupun telah minta diri bersama-sama dengan sekelompok orang yang datang bersamanya.
"Kami akan beristirahat dahulu Ki Gede. Besok kami akan menghadap lagi," berkata Agung Sedayu kemudian.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gedepun telah memanggil Prastawa untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang yang harus diawasi di Tanah Perdikan.
"Perintahkan para pengawal untuk semakin berhati-hati. Yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh sepengetahuan Agung Sedayu ada ampat orang," berkata Ki Gede.
"Baik Ki Gede," jawab Prastawa.
Ki Gedepun telah memberikan beberapa ciri-ciri dari keempat orang itu sesuai dengan keterangan Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, "Kau dapat bertemu sendiri dengan angger Agung Sedayu atau Glagah Putih. Kau dapat menanyakan langsung kepada mereka ciri-ciri orang yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan niat yang kurang baik itu."
"Baik paman," jawab Prastawa, "aku akan menghubungi mereka dan para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan."
Seperti biasanya maka Prastawapun bekerja dengan cepat. Hari itu juga Prastawa telah memanggil para pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan. Bahkkan Prastawa juga memanggil Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk memberikan penjelasan langsung kepada mereka.
Sementara Tanah Perdikan Menoreh mempersiapkan diri menghadapi persoalan yang masih saja rumit, di Mataram Raras merasa hari-harinya semakin sepi. Raden Teja Prabawa sudah tidak menarik lagi baginya. Apalagi Wacana selalu berkata kepadanya, bahwa anak-anak muda itu seperti Teja Prabawa tidak dapat di harapkan untuk dapat membahagiakannya.
"Dalam keadaan yang sulit, Raden Teja Prabawa tentu akan meninggalkan tanggung-jawab," berkata Wacana tidak hanya sekali dua kali.
Namun dalam pada itu, Ki Rangga Wibawa memang menjadi semakin cemas melihat perkembangan sikap Wacana. Ia nampak hampir selalu berada didekat Raras. Bahkan ketika Raras sudah mau duduk di-serambi seorang diri, Wacana masih saja mau menemaninya. Ia tidak berusaha melatih agar Raras menemukan keberanianya kembali.
Sedang menurut penglihatan kedua orang tua Raras, persoalan yang membuat Raras sering merenung telah bergeser dari persoalan yang semula. Raras tidak lagi selalu dibayangi oleh ketakutan. Tetapi ia masih saja nampak selalu murung.
Tetapi Ki Rangga Wibawa masih belum sampai hati untuk berbicara langsung dengan Raras maupun dengan Wacana.
"Ki Rangga," desis Nyi Rangga ketika ia sempat berbincang dengan seaminya, "bagaimana menurut pertimbangan Ki Ranga tentang Raras" Aku melihat semakin jelas suatu yang lain dalam pandangan mata Wacana terhadap adiknya."
"Aku juga menjadi gelisah, Nyi," berkata Ki Rangga Wibawa, "Jika Raras mulai berpailing dari Raden Teja Prabawa, maka kita akan mengalami kesulitan lagi. Raras telah dibebaskan dari tangan-tangan orang yang menculiknya oleh keluarga atau orang-orang yang berhubungan dengan keluarga Raden Teja Prabawa. Jika benar dugaan kita, bahwa benar antara Raras dan Wacana, maka persoalannya bukan saja persoalan kecil."
"Apalagi mereka masih ada hubungan darah," berkata Nyi Rangga.
"Seandainya soal itu dapat kita kesampingkan, persoalan lebih besar akan dapat menerpa keluarga kita. Bahkan mungkin akibatnya lebih parah dari pada yang pernah terjadi dengan Raras. Orang-orang yang telah membebaskan Raras adalah orang-orang berilmu sangat tinggi. Mereka berhasil mengalahkan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara. Bayangkan, jika mereka marah dan berbuat sesuatu atas kita."
"Apakah sebaiknya kita berterus-terang kepada Raras?" bertanya Nyi Rangga.
"Kita akan menunggu beberapa saat lagi. Jika kesempatan itu datang, maka kita memang harus berterus-terang. Apapun yang akan terjadi, kita memang harus memberitahukan kepada Tumenggung Purbarumeksa. Itu tentu akan lebih baik dari pada Ki Tumenggung mendengar dari orang lain," jawab Ki Rangga meskipun ragu.
Tetapi Raras sendiri semakin lama merasa betapa dunianya menjadi semakin sunyi. Kehadiran Wacana hampir disetiap saat tidak dapat mengisi kesunyian dihatinya itu.
Hampir setiap saat Raras selalu diganggu oleh bayangan seorang laki-laki yang berilmu tinggi, yang telah melindunginya langsung di-saat ia berada didekat susukan Kali Opak. Raras merasa perasaannya menjadi sangat tenang jika ia berada didekat orang itu. Tetapi orang itu sudah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa diketahui kapan ia akan datang lagi."
Semakin lama perasaan yang bergejolak dihatinya itu terasa menekan jantungnya. Pandangannya terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar sedah berubah. Ia sependapat dengan Wacana, bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang akan dapat melindunginya.
Tetapi satu hal yang sama sekali menyimpang dari keinginan Wacana. Ia memang berhasil mempengaruhi sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa dengan perlahan-lahan. Tetapi Raras tidak bergeser dari Raden Teja Prabwa yang dinilainya tidak mampu melindunginya itu kepadanya. Kepada Wacana, meskipun setiap kali Wacana selalu menceriterakan tentang dirinya sendiri. Tentang perguruan dan tentang apa saja yang sudah diperoleh dari perguruannya itu.
Raras memang menjadi heran ketika Wacana menunjukkan kepadanya betapa besar kekuatannya. Dengan kekuatan tangannya Wacana telah membengkokkan besi gligen. Bahkan kemudian dengan tangannya pula mampu memanasi batang besi itu sehingga benar-benar menjadi panas.
Tetapi sikap Raras kepadanya tidak berubah. Sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan Wacana tidak mampu membuat wajah Raras menjadi tenang. Gadis itu masih saja tetap murung dan merasa dunianya sunyi.
"Raras," berkata Wacana pada suatu saat, "seharusnya kau sudah berubah. Aku lihat kau sudah menjadi semakin menemukan dirimu sendiri. Kau tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Kau sudah berani duduk sendiri diserambi. Bahkan kau sudah sering berada di dapur. Tetapi kenapa kau masih tetap murung. Wajahmu gelap, pandangan matamu menerawang ke tempat yang tidak pasti. Apa sebenarnya yang kau simpan didalam hatimu. Apakah kau masih berharap Raden Teja Prabawa itu datang kepadamu" Menurut penglihatanku, ketika Raden Teja Prabawa datang kemari, kau tidak lagi menanggapinya sebagaimana sebelumnya, karena agaknya kau dapat mengerti bahwa Raden Teja Prabawa tidak akan dapat kau jadikan tempat untuk berlindung."
Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, "Hidupku memang sepi kakang."
"Kenapa kau dapat mengisi hari-harimu dengan apa saja yang kau inginkan. Mungkin sekali-sekali kau ingin keluar rumah dengan perasaan tenang tanpa ketakutan," desis Wacana.
Raras memandang Wacana sejenak. Namun ia kemudian mengangguk kecil sambil berkata, "Ya kakang. Sekali-sekali aku memang ingin berjalan-jalan. Aku tidak dapat terus-menerus seperti hidup dalam penjara meskipun di rumahku sendiri."
"Kenapa tidak kau katakan sejak awal. Bukankah aku dapat menemanimu kemanapun kau ingin pergi tanpa merasa takut. Aku akan dapat melindungimu lebih dari siapa saja. Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu dan kemampuan yang tidak kalah dengan orang lain. Bahkan dengan Bajang Bertangan Baja sekalipun."
Raras mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan tatapan matanya justru menjadi semakin menerawang jauh sekali.
"Raras, apa yang sebenarnya kau pikirkan" Jika kau masih merindukan Raden Teja Prabawa, biarlah aku memanggilnya. Tetapi seperti yang sudah sering aku katakan, laki-laki seperti Raden Teja Prabawa itu tidak akan banyak berarti bagi seorang perempuan, karena dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi ayahnya masih berkuasa, mungkin Ki Tumenggung dapat memerintahkan sekelompok prajurit penjaga dan melakukan tugas-tugasnya yang seharusnya bukan tugas prajurit. Tetapi apakah selamanya ia akan menggantungkan diri pada keadaan seperti itu?"
Raras menggeleng lemah. Dengan nada dalam ia menjawab, "Tidak kakang. Aku tidak lagi memikirkan Raden Teja Prabawa."
"Nah Jika demikian tidak seharusnya kau menjadi murung seperti itu. Kau harus mulai memasuki duniamu yang wajar. Tanpa ketakutan dan kecemasan. Pergilah kemana saja yang kau ingini. Aku akan melindungimu," berkata Wacana.
Raras menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih kakang. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya. Sebenarnya aku juga ingin berbuat demikian. Tetapi aku tidak akan terlalu bergantung kepadamu untuk seterunya."
"Kenapa tidak Raras. Bukankah aku ini kakakmu. Dan lebih dari itu, aku dapat kau minta untuk melakukan apa saja." berkala Wacana.
Raras memandang Wacana sejenak. Dengan mata yang redup ia berkata, "Aku mengerti kakang. Akupun merasa bahwa aku hanya dapat mengeluh dan bahkan menyampaikan gejolak didalam hatiku kepadamu. Aku tidak dapat mengatakanya kepada ayah dan ibu, karena setiap kali ayah dan ibu masih saja menyebut nama Raden Teja Prabawa."
Jantung Wacana menjadi berdegup semakin cepat. Dengan serta merta ia berkata, "Katakan Raras. Aku mengerti sepenuhnya persaanmu."
" Kakang," berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar, "aku sudah tidak dapat memaksa diri untuk bergantung kepada Raden Teja Prabawa."
Wajah Wacanapun menegang. Dengan suara yang sedikit bergetar ia berkata, "Kau sebaiknya berterus terang Raras. Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan bersedia berbuat apa saja bagimu. Aku bukan sekedar kakakmu. Tetapi aku adalah orang yang akan bersedia melindungimu. Bahkan seterusnya."
" Terima kasih kakang," jawab Raras yang kurang menilik kata-kata Wacana kekedalaman. Ia lebih sibuk dengan angan-angan sendiri daripada mendengar dan mengerti apa yang dikatakan oleh saudara sepupunya.
Namun kemudian dengan sendat ia berkata, "Kakang. Apakah kau benar akan berbuat apa saja untukku?"
"Tentu Raras," jawab Wacana dengan serta merta.
Tetapi Raras menarik nafas dalam-dalam. Kepala tertunduk sementara mulutnya tiba-tiba saja terkatub.
"Raras. Katakan Raras," desak Wacana tidak sabar lagi.
Tetapi Raras masih saja berdiam diri.
"Raras. Bagaimana aku mengetahui perasaanmu dan apalagi maksudmu jika kau hanya diam saja seperti itu.," desis Wacana. Darahnya yang bagaikan semakin cepat mengalir itu setelah menghentak-hentak jantungnya semakin keras.
"Tidak kakang. Aku tidak dapat minta kepadamu," gumam Raras hampir tidak didengar.
"Kenapa tidak" Katakan, katakan Raras," Wacana menjadi semakin mendesak. "Jangan kau hancurkan jantungmu sendiri dengan menahan gejolak perasaanmu. Jika kau bersedia mengatakan maka hatimu tentu akan menjadi semakin lapang."
Raras masih saja nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, "Kakang. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya dapat mengatakan kepadamu. Tidak kepada orang lain. Tidak pula kepada ayah dan ibu."
"Baik Raras. Aku akan mendengarkan dan berbuat apa saja yang terbaik untukmu," jawab Wacana.
Raras memandang Wacana dengan mata yang sayu. Namun akhirnya ia berkata, "sejak peristiwa itu kakang, aku benar-benar kehilangan segala perhatianku kepada Raden Teja Prabawa. Ternyata apa yang pernah kau katakan kepadaku itu benar. Bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang yang bertangung jawab. Ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi, Raden Teja Prabawa itu memang tidak berbuat sesuatu." Raras terdiam sejenak, "karena itu kakang, maka aku tidak lagi berniat untuk menyambung hubunganku dengan Raden Teja Prabawa. Perhatianku ternyata mulai tertuju kepada orang lain."
"Kepada orang lain?" Ulang Wacana, "katakan, kepada siapa perhatianmu itu sekarang kau tujukan."
Wajah Raras menjadi tegang, suaranya semakin bergetar. Katanya, "Apakah aku pantas mengatakannya kakang. Aku adalah seorang perempuan."
"Apakah seorang perempuan tidak berhak menyatakan perasaannya" Apakah seorang perempuan harus menyimpan gejolak dalam jiwanya dan membiarkan jantungnya terbakar karenanya?" Wacana menjadi semakin tidak sabar lagi.
Tiba-tiba Raras mengangguk. Katanya, "Aku minta kau menyimpannya bagimu sendiri kakang."
"Aku berjanji Raras," jawab Wacana.
Raras masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kakang. Sejak peristiwa itu terjadi kakang. Sejak aku diselamatkan oleh beberapa orang didekat susukan Kali Opak, maka sejak itu wajah orang yang telah menolongku itu selalu terbayang. Lebih kuat dan lebih dalam sampai kedasar jantung dari pada Raden Teja Prabawa. Selain keteranganmu tentang Raden Teja Prabawa kakang, kejantanan orang yang menolongku itu telah mendesaknya jauh kebelakang. Sehingga bayangan yang nampak bukan lagi wajah, sikap dan tingakah laku Raden Teja Prabawa, tetapi wajah dan tingkah laku seorang laki-laki sejati yang bernama Sabungsari itu."
Bagaikan disambar petir Wacana mendengar pengakuan Raras itu. Raras sama sekali tidak menyebut namanya. Gadis itu masih sekali tidak berpaling kepadanya dari Raden Teja Prabawa. Tetapi gadis itu justru berpaling kepada Sabungsari.
Darah Wacana bagaikan menggelegak. Ingin rasanya saat itu juga ia menantang Sabungsari dihadapan Raras, agar Raras menjadi saksi, siapakah diantara mereka yang berilmu lebih tinggi.
Raras yang terlanjur mengatakan perasaannya itu hanya dapat menunduk dalam-dalam. Ia tidak melihat perubahan wajah Wacana yan tiba-tiba menjadi gelap seperti langit yang tertutup mendung yang tebal.
Beberapa saat suasana menjadi hening tegang. Kedua-duanya tenggelam dalam arus perasaan masing-masing.
Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar Raras justru terisak. Dengan wajah yang masih menunduk ia mengusap air matanya yang mulai mengalir dipipinya.
Wacanapun seperti terbangun dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi yang buruk. Bahkan ia berdesah didalam hatinya, "Bukan sekedar mimpi buruk. Tetapi keadaanku memang buruk sekali. Kenapa orang-orang Tanah Perdikan itu tiba-tiba hadir di Mataram dan mendahului aku bertindak menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja itu?"
Tetapi sebenarnyalah hal itu memang sudah terjadi.
Perlahan-lahan Wacana berusaha menguasai gejolak perasaanya. seandainya ia tidak mampu mengeridalikan diri, maka apa yang dikatakan oleh pamannya Ki Rangga Wibawa dan bibinya. Karena itu, betapa isi dadanya menjadi bagaikan terbakar hangus, namun Wacana masih berusaha untuk menguasai diri.
Bahkan dengan nada dalam Wacana bertanya, "Raras, jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku bertemu dengan Sabungsari untuk mengatakan isi hatimu itu kepadanya."
Tetapi dengan serta merta Raras menyahut sambil bangkit berdiri, "Jangan kakang. Jangan katakan kepada siapapun. Apalagi kepada orang itu. Bukankah kau berjanji bahwa kau tidak akan mengatakan kepada siapapun" Aku tidak ingin seorangpun kecuali kau sendiri yang mendengarnya. Karena kau adalah kakakku. Selama ini hanya kepadamulah aku dapat mengadukan perasaanku tentang anak muda yang tinggal dihatiku."
"Tetapi kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu untuk selama-lamanya Raras. Aku juga tidak ingin melihat kau menghancurkan hidupmu sendiri karena kau menyimpan perasaan yang bergejolak dihatimu itu."
"Biarlah kakang. Aku akan menyimpan rahasia ini didalam hatiku apapun yang terjadi kemudian atas diriku. Tetapi aku tidak mau menanggung malu, karena aku seorang gadis. Telah menyatakan perasaannya mendahului pernyataan seorang laki-laki. Apalagi ayah dan ibu yang sama sekali tidak mengetahui perkembangan perasaanku. Ayah dan ibu akan dapat menuduhku sebagai seorang gadis yang tidak setia."
"Jadi kepada ayah dan ibumu kau akan tetap mengatakan bahwa hatimu masih terpaut kepada Raden Teja Prabawa?" bertanya Wacana.
Raras menjadi bingung. Sekali-sekali ia pernah mengatakan kepada ayah dan ibunya tentang sikap dan perasaannya itu terhadap Raden Teja Prabawa.
"Jika demikian, maka kau tidak jujur Raras. Kau harus jujur terhadap kedua orang tuamu. Apa yang tesirat dihatimu, harus kau sampaikan kepada kedua orang tuamu agar mereka mereka mendapat gambaran yang jelas tentang kau. Tentang anak gadisnya. Dengan demikian, maka kedua orang tuamu tidak akan salah mengambil langkah. Tetapi jika mereka tidak tahu perasaanmu yang sebenarnya, maka akan dapat terjadi langkah-langkah yang diambilnya bertentangan dengan sikap hatimu."
"Kakang. Bukankah seorang gadis memang tidak dapat banyak memilih?" bertanya Raras.
"Tetapi kau harus mengatakannya. Tentang sikap kedua orang tuamu itu tergantung pada mereka. Tetapi mereka sudah tahu pasti apa yang kau inginkan."
Raras tetap menggeleng. Katanya, "Tidak kakang. Bagiku sudah cukup jika kau saja yang mengetahuinya. Kepada ayah dan ibu aku memang pernah mengatakan tentang tanggapanku atas Raden Teja Prabawa sekarang. Terserah kepada ayah dan ibu, apa yang mereka lakukan. Tetapi aku tidak akan mengatakan kepada ayah dan ibu tentang sikapku terhadap orang yang telah menolongku."
Wacana tidak menjawab lagi. Meskipun dalam kediamanya itu terasa betapa jantungnya bagaikan berputar didalam dadanya.
Meskipun demikian Wacana masih berusaha untuk menyembunyikan perasaanya.
Tetapi satu hal yang bergejolak didalam hati anak muda itu. Setahu atau tidak setahu Raras, ia harus menemui Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki ia dapat mempertaruhkan Ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan seorang gadis yang diidamkanya.
"Siapa yang lebih buruk diantara kita harus mundur. Setahu atau tidak setahu Raras," berkata Wacana didalam hatinya.
Dengan demikian, maka Wacana telah merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Menjumpai Sabungsari dan berbicara sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki.
Meskipun hal itu tidak dikatakannya kepada siapapun juga, namun Wacana berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan mencari kesempatan untuk melakukannya.
Di Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari dengan segala macam cara telah berusaha untuk melupakan Raras. Sabungsari benar-benar tidak berniat menjadi sebab terganggunya hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa.
Karena itu, begitu ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sabungsaripun telah menenggelamkan diri kedalam kegiatan-kegiatan anak muda di Tanah Perdikan bersama Glagah Putih.
Sedangkan waktu luangnya, maka Sabungsari telah menghabiskan waktunya disanggar atau ditempat-tempat terbuka yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Dengan sungguh-sungguh Sabungsari berusaha untuk mengembangkan ilmunya. Sejak ia dengan tuntunan Agung Sedayu berhasil memecahkan hambatan didalam dirinya, maka Sabungsari perlahan-lahan telah meningkatkan kemampuanya.
Agung Sedayu yang kadang-kadang sempat menungguinya, telah mengaguminya betapa tekunnya Sabungsari bergulat dengan ilmunya itu.
Tetapi diluar sadarnya, ditempat lain, Wacanapun telah mengasah tajam ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi terlalu sering berada di-dekat Raras. Tetapi Wacana lebih banyak berada disanggar pamannya atau pergi ketempat-tempat yang sunyi dan terasing untuk menempa diri.
Ada perbedaan alasan antara Wacana dan Sabungsari yang keduanya dalam waktu yang bersamaan telah menempa diri. Wacana mempersiapkan diri untuk menantang Sabungsari dalam sebuah perang tanding. Tuntas atau tidak tuntas untuk menentukan, siapakah di-antara mereka yang harus menyingkir dari sisi Raras. Sedangkan Sabungsari menenggelamkan diri dalam latihan-latihan yang berat justru karena ia ingin melupakan Raras.
Sementara Sabungsari sibuk dengan kegelisahannya sendiri, maka Glagah Putih dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah sibuk pula mengamati keadaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Agung Sedayu ketika ia kembali dari Mataram, bahwa ampat orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan tugas yang masih gelap, meskipun sudah diduga bahwa yang akan mereka lakukan itu bukan satu usaha yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi untuk beberapa saat masih belum ada tanda-tanda bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada gerakan yang dapat mengganggu ketenangan dan apalagi berusaha untuk merusak tata kehidupan.
Tetapi disamping kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri maka Sekar Mirah dan Rara Wulan juga selalu berhati-hati. Mereka menyadari, bahwa orang yang ditemui di Kali Praga itu pada suatu saat akan mencari mereka. Terutama Rara Wulan. Meskipun hal itu disengaja oleh Agung Sedayu agar orang yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal itu tidak terlepas dari satu kemungkinan untuk menjadi jembatan usaha mereka bertemu dengan orang yang disebut Resi Belahan.
Sebenarnyalah bahwa orang itu benar-benar telah mencari kedua perempuan yang dikatakan oleh Agung Sedayu sebagai istri prajurit itu.
Namun justru karena itu, maka meskipun Bajang Bertangan Baja talah menyatakan untuk meninggalkan Mataram, serta Ki Manuhara telah terbunuh, tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja harus didampingi oleh seseorang apalagi mereka pergi keluar rumahnya atau pergi kepasar.
Bahkan kadang-kadang Ki Jayaragalah yang harus mengantar mereka pergi kepasar. Apalagi Ki Jayaraga sendiri memang senang melihat-lihat pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga yang semakin tua itu minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan membeli makanan anak-anak, karena Ki Jayaraga memang menyukainya. Clorot dan klepon serta beberapa jenis makanan yang lain.
Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat mencegah jika orang tua itu tiba-tiba saja ingin membeli dawet cendol dan minuman ditempat itu juga sambil berjongkok. Tetapi sekar mirah dan Rara Wulan memang lebih senang berbelanja dengan Ki Jayaraga daripada dengan Glagah Putih atau Sabungsari yang kadang-kadang menjadi tidak telaten jika mereka sedang menawar barang-barang yang akan dibelinya.
Ternyata bahwa akhirnya yang mereka tunggu itu datang juga. Selagi Sekar Mirah dan Rara Wulan berbelanja di pasar, maka tiba-tiba seorang telah menggamit Rara Wulan.
Gadis itu terkejut. Namun demikian ia berpaling, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang pernah bertemu di-pinggir Kali Praga.
Untunglah bahwa Sekar Mirah dan Rara Wulan waktu itu berada di pasar bersama Ki jayaraga dan kebetulan tidak pergi ke sawah.
"Ah, kau," desis Rara Wulan.
"Kau masih ingat aku?" bertanya orang itu. Matanya masih tetap liar seperti waktu mereka bertemu di pinggir Kali Praga.
"Tentu," jawab Rara Wulan. "Bukankah kau yang menyeberang Kali Praga bersama kami waktu itu?"
"Ternyata ingatanmu tajam," jawab orang tua itu.
"Nah, apakah suamimu masih belum ada dirumah?"
Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ternyata orang itu berbicara langsung tentang dirinya.
Ketika ia melihat Rara Wulan ragu-ragu, maka iapun mendesak, "Jangan takut. Jika suamimu marah, aku akan menyelesaikannya."
"Suamiku ada dirumah sekarang," jawab Rara Wulan.
Orang itu mengerutkan dahinya. Iapun berpaling kepada Sekar Mirah, "Dan suamimu?"
"Ya," jawab Sekar Mirah, "Mereka pulang kemarin sore. Karena itu kami pergi berbelanja untuk suami kami masing-masing."
"Jangan hiraukan suamimu. Mari ikut aku. Nanti kalian aku antarkan pulang. Aku akan berbicara dengan suami kalian. Aku mempunyai barang-barang yang akan membuat suami kalian tidak akan marah." Orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah menjawab, "Hai, kau kira kami ini apa?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, Rara Wulanpun berkata, "Jangan menghina kami Ki Sanak. Nanti perutmu dapat dilubangi oleh suami-suami kami."
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Bukankah kalian bersikap baik ketika kalian berada di tepian Kali Praga?"
"Kami bersikap baik, karena kami mengira bahwa hatimupun baik dan sebersih pakaiamu," jawab Sekar Mirah.
Jantung orang itu berdetak semakin cepat didadanya. Wajahnya menjadi merah dan telinganya terasa panas. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan memang sengaja membuat orang itu marah untuk memancing persoalan, agar sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu, orang itu akan dapat menjadi jembatan untuk sampai kepada orang yang bernama Resi Belahan.
Sebenarnyalah orang itu bukan saja menjadi marah. Tetapi ia merasa seakan-akan kedua orang perempuan itu sedang mempermainkannya. Karena itu maka iapun menggeram, "Setan-setan betina. Kau kira kau akan dapat luput dari tanganku?"
"Kau mau apa?" tantang Rara Wulan, "kita berada dipasar. He, lihat. Berapa orang yang sudah mulai memperhatikan kita. Jika kau bertindak kasar dan aku berteriak disini, maka orang-orang akan berdatangan dan mengerumuni kita. Petugas yang menjaga pasar dan lurah pasar ini akan segera menangkapmu dan membawamu kepada Ki Gede Menoreh."
Orang itu menggeretakkan giginya. Ketika ia memandang orang-orang di sekelilingnya, satu dua orang memang tengah memperhatikannya meskipun yang dilakukannya tidak lebih dari sekedar bercakap-cakap dari kedua perempuan itu.
Tidak jauh dari Sekar Mirah dan Rara Wulan itu berbicara dengan orang yang berpakaian bagus dan rapi itu. Ki Jayaraga berjongkok sambil meneguk semelak yang segar meskipun tidak terlalu banyak orang yang menggemarinya. Ki Jayaraga seakan-akan tidak mempedulikan apa yang terjadi dengan kedua orang perempuan itu.
Ternyata memang tidak terjadi pertengkaran yang berkepanjangan. Orang yang dijumpai di Kali Praga itu segera meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun keliaran pandangannya yang telah memperingatkan agar Sekar Mirah dan Rara Wulan tetap berhati-hati.
Baru setelah orang itu pergi, maka Ki Jayaragapun bangkit dan mendekati mereka setelah membayar harga semelak yang di minumnya. Dengan nada rendah Ki Jayaraga berdesis, "Berhati-hatilah ngger. Orang itu bukan jenis orang yang mudah melepaskan sesuatu yang diingininya."
Ki Jayaragapun mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Memang satu pancingan yang berbahaya. Tetapi kita tidak mempunyai cara lain. Jika kita tempuh cara yang lebih lunak, agaknya angger Glagah Putih tidak sependapat. Bukankah itu terasa padamu Rara Wulan?"
"Ah," desah Rara Wulan.
Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Sekar Mirah justru tertawa kecil. Katanya, "Kau justru harus berbangga Rara. Jika Glagah Putih tidak mempedulikan apa saja yang harus kau lakukan, barulah kau mengeluh."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi Wajahnya menjadi merah. Yang dapat dilakukannya hanyalah menundukkan wajahnya. Meskipun demikian, seleret senyum nampak dibibirnya.
Demikianlah mereka bertigapun segera meninggalkan pasar itu setelah mereka selesai berbelanja. Tanpa meninggalkan kewaspadaan mereka menyusuri jalan-jalan yang terlindung ramai di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi disebelah tikungan mereka harus mengikuti jalan yang berkelok melalui pinggir padukuhan sebelum sampai disimpang ampat dan kembali memasuki padukuhan.
"Di sepotong jalan di pinggir desa itulah satu-satunya kemungkinan bagi orang itu untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat menghambat perjalanan kita," berkata Ki Jayaraga.
Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi sepotong jalan itu tidak cukup panjang untuk berbuat banyak. Apalagi sepotong jalan itu masih tetap melekat pada padukuhan induk.
Sebenarnya masih ada jalan lain yang lebih terlindung dari kemungkinan buruk itu jika mereka menghendaki. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang memilih jalan itu.
Sebelum mereka berbelok memasuki jalan yang menuju kepinggir padukuhan itu Ki Jayaragapun berkata, "Mereka ada di belakang kita."
"Baiklah," berkata Sekar Mirah, "satu kesempatan. Tetapi sayang bahwa kakang Agung Sedayu agaknya sudah berangkat ke barak."
"Mereka, maksudku orang yang berpakaian bagus itu dengan kedua orang pengawalnya, tidak akan mengikuti kita sampai kerumah," berkata Ki Jayaraga.
"Belum tentu, mungkin mereka ingin melihat rumah kita," jawab Rara Wulan.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. "Memang satu kemungkinan. Tetapi apakah kita berniat untuk membawa mereka sampai kerumah kita?"
"Bagaimana pendapat Ki Jayaraga?" bertanya Sekar Mirah.
"Jika demikian, maka peristiwa itu akan terulang. Seperti Ki Manuhara, maka mereka akan datang dan menyerang rumah kita."
"Bukankah itu lebih baik" Kita membatasi persoalan ini didalam dinding halaman rumah kita. Sementara itu kita akan dapat mengenali Resi Belahan jika ia datang untuk membantu orang yang menyebutnya paman itu," desis Sekar Mirah.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Jika angger Agung Sedayu setuju."
"Tetapi kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara dengan kakang Agung Sedayu sekarang," desis Rara Wulan.
"Jika demikian, biarlah kita mencoba. Tetapi justru karena kalian mengatakan bahwa suami kalian pulang, mungkin orang itu akan berbuat lain. Mungkin ia mempunyai cara lain kecuali datang kerumah kita," berkata Ki Jayaraga.
Sebenarnyalah, belum lagi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjawab, maka orang itu telah menyusul mereka dan bahkan menghentikan langkah mereka.
"Tunggu," berkata orang itu, "Aku masih ingin bicara. Tetapi tidak didalam pasar yang ramai."
Sekar Mirah dan Rara Wulan memang segera berhenti. Demikian pula Ki Jayaraga.
"He, kau orang tua. Kenapa kau juga berhenti. Pergilah. Kami bukan tontonan," berkata orang itu.
Tetapi Ki Jayaraga menjawab. "Ki Sanak. Aku adalah mertua mereka keduanya. Kedua perempuan itu adalah menantuku. Suami mereka dua orang kakak beradik."
"He?" orang itu mengerutkan dahinya, "jadi suami kalian kakak beradik dan kedua-duanya menjadi prajurit?"
"Ya," jawab Sekar Mirah dan Rara Wulan hampir berbareng.
"Aku Tidak peduli. Sekarang aku minta kalian berdua mengikuti aku," berkata orang itu.
"Untuk apa?" bertanya Sekar Mirah.
"Kalian tidak usah bertanya," jawab orang itu, "cepat Kalian harus terjun kejalan sempit itu dan berjalan kearah petegalan disebelah."
"Ya. Untuk apa?" desak Sekar Mirah.
"Jangan bertanya lagi supaya aku tidak menyumbat mulutmu," bentak orang itu, "aku tidak mempunyai banyak waktu. Cepat."
Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka sempat memperhatikan dua orang yang bertubuh raksasa yang mengawal orang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal itu.
"Cepat. Jangan membuat aku kehilangan kesabaran."
"Tatapi kami akan kau bawa kemana?" bertanya Sekar Mirah.
"Jangan ribut. Pada saatnya kalian akan aku lepaskan untuk pulang kerumah kalian dan mengadu kepada suami kalian." geram orang itu.
Ki Jayaraga yang berdiri termangu-mangu itupun kemudian berkata, "Pergilah. Kalian tidak mempunyai pilihan."
Sekar Mirah dan Rara Wulan temangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa mulai bergerak mendekati Sekar Mirah dan Rara Wulan.
"Pergilah," Ki Jayaraga mengulang.
Sekar Mirah dan Rara Wulanpun mulai bergerak. Tetapi orang yang berpakaian mahal itu berkata, "Kakek tua. Kau juga harus ikut bersama kami."
"Kenapa aku juga ikut?" bertanya Ki Jayaraga.
"Kau akan dapat merusakkan acara kami," jawab orang itu.
Ki Jayaraga tidak membantah lagi. Sekali ia memandang orang yang bertubuh raksasa itu. Sambil membelalakkan matanya salah seorang dari yang bertubuh raksasa itu berkata, "Tutup mulutmu. Jangan banyak bertanya."
Ki Jayaraga memang tidak bertanya. Sementara itu, orang berpakaian bagus itu berkata kepada salah seorang dari kedua pengawalnya itu, "Kau berjalan dimuka."
Orang itupun berjalan menjauhi orang-orang yang ada ditempat itu. Kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus mengikuti dibelakangnya. Baru kemudian orang yang berpakaian rapi itu, sementara Ki Jayaraga harus berjalan diiringi oleh pengawalnya yang seorang lagi.
Dua orang yang kebetulan lewat melihat iring-iringan itu berjalan menyusur jalan sempit. Dari arah yang lain, seorang yang berjalan juga merasa heran melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan bersama beberapa orang menyusuri jalan sempit itu.
Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan maka mereka tidak merasa perlu untuk dengan serta merta memberitahukannya kepada keluarga Agung Sedayu.
"Mungkin mereka mengantar tamu mereka untuk melihat-lihat Tanah Perdikan ini," berkata salah seorang diantara orang-orang yang lewat itu.
Sementara itu setelah beberapa saat mereka berjalan, maka seorang yang berpakaian rapi itu telah menggiring Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki sebuah pategalan yang ditanami dengan tanaman yang padat, sehingga demikian mereka memasuki pategalan itu, maka rasa-rasanya iring-iringan itu telah ditelan oleh dedaunan.
Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan terkejut. Ternyata ditengah pategalan itu terdapat lima ekor kuda.
"Cepat naik," bentak orang itu. "Kita harus segera menjauhi padukuhan induk. Orang-orang yang melihat kalian pergi bersama kami tentu akan memberikan laporan sehingga mereka akan mencari kalian. Tetapi kalian akan kami bawa ketempat yang tak mungkin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan meskipun tempat itu masih berada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi kami tentu tidak akan dapat naik kuda," berkata Sekar Mirah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian katanya, "Kau jangan bohong. Kau berkuda ketika kau menyeberang Kali Praga."
"Tetapi tidak dengan pakaian seperti ini," jawab Rara Wulan.
"Apa bedanya?" bertanya orang itu.
"Dengan kain panjang, bagaimana aku dapat meloncat kepunggung kuda," desis Rara Wulan.
"Aku akan mengoyakkan kain panjangmu," berkata orang itu.
"Jangan," minta Rara Wulan.
"Cepat. Kau ternyata berusaha untuk mengulur waktu. Tetapi kau tidak mau kau perbodoh seperti itu." geram orang itu.
Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata orang yang berpakaian rapi itu benar-benar akan mengoyak kain panjang Rara Wulan dan Sekar Mirah.
Tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah segera meloncat surut. Ketika kedua orang raksasa itu akan membantu untuk memegangi kedua orang perempuan yang akan dipaksa untuk naik kuda itu, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar telah mengejutkan mereka.
Justru karena sikap hati-hatinya, maka dibawah kain panjangnya Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khususnya. Karena itu, sebelum kain panjangnya dikoyak agar mereka dapat meloncat kepunggung kuda, maka keduanya telah menyingsingkan kain mereka.
Orang berpakaian rapi serta kedua raksasa itu tertegun sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, "Nah, mereka sudah siap untuk naik kuda. Tetapi kuda itu hanya lima ekor. Lalu kau harus naik yang mana?"
"Kau akan diseret dibelakang salah seekor dari kuda itu. Tubuhmu akan terkelupas dan setelah kau tidak bernyawa lagi, sosok mayatmu akan dibuang disemak-semak." geram salah seorang dari kedua orang raksasa itu.
Tetapi sebelum Ki Jayaraga menjawab, Sekar Mirahpun berkata, "Ki Sanak. Kalian tidak akan dapat memaksa aku untuk naik kepunggung kudamu meskipun aku sudah mengenakan pakaian khususku. Demikian pula adikku."
"Kau terpaksa harus mengikuti perintahku agar lehermu tidak dipatahkan oleh kedua raksasa itu." geram orang itu pula.
"Kau jangan membuat lelucon dihadapanku. Kami berdua adalah istri prajurit. Karena itu, maka kami sering melihat bagaimana mereka berlatih menjaga diri mereka sendiri."
"Iblis betina kau. Kau kira kau mampu bertahan dalam sekejap" Jangan membuat aku marah. Karena padaku batas antara kasmaran dan kemarahan tidak terlalu jauh. Kedua orang itu akan mengikatmu dan seperti yang dikatakannya, jika kalian mencoba melawan, kakek tua itu akan kami ikat dibelakang kaki kudaku dan menyeretnya sampai seluruh kulitnya terkelupas."
"Begitu mudahnya kau akan memaksa kami?" sahut Rara Wulan dengan nada tinggi. Lalu katanya, "Sudah kami putuskan bahwa kami akan melawan."
"Persetan," geram orang itu lalu katanya kepada kedua pengawalnya. "Ikat mereka pada punggung kuda. Aku tidak mempunyai waktu."
Tetapi kedua raksasa itu benar-benar terkejut. Demikian mereka mulai bergerak, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah meloncat menyerang.
Dengan sekuat tenaga Rara Wulan menyerang dagu salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu dengan tumitnya. Demikian kerasnya, sehingga terdengar giginya gemeretak.
Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa hal itu dapat terjadi. Bahkan kemudian iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri.
Sementara itu Sekar Mirahpun telah menyerang lawannya. Tidak dengan kakinya. Tetapi telapak tangannya yang terbuka telah menghantam dada raksasa yang seorang lagi. Demikian kerasnya, raksasa itu benar-benar tidak mampu tetap bertahan untuk tegak berdiri. Tubuhnya bagaikan didorong dan dilemparkan sehingga jatuh terkapar ditanah. Meskipun ia dengan cepat bangkit kembali namun wajahnya telah menjadi merah padam.
"Perempuan itu telah menjatuhkannya. Nah, hati hatilah dengan perempuan," berkata Ki Jayaraga.
Kedua raksasa itu menjadi sangat marah, seorang diantara mereka ternyata giginya telah berdarah, sementara yang lain nafasnya menjadi sesak.
Orang yang berpakaian bagus dan terbuat dari bahan yang mahal itu justru termenung untuk beberapa saat. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa perempuan-perempuan itulah yang justru lebih dahulu menyerang.
Ketika orang itu melihat pakaian kedua perempuan itu diatas rakit penyeberangan di Kali Praga, ia hanya menduga bahwa pakaian yang tidak terbiasa dipakai permpuan itu sekedar untuk memudahkan agar mereka dapat naik kuda. Tetapi ternyata perempuan yang berpakaian khusus itu memiliki kekususan pula.
Dengan marah orang itu kemudian berkata, "Kalian benar-benar membuat aku marah. Jangan menyesal jika kalian akan diperlakukan kasar oleh kedua orangku itu."
Tetapi Rara Wulan menjawab, "Aku juga dapat memperlakukan mereka dengan kasar. Tetapi jika mereka berbuat baik, akupun dapat berbuat baik pula."
Jawaban itu membuat orang berpakaian bagus itu bagaikan terbakar. Demikian pula kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka orang yang berpakaian rapi itu berkata kepada orang-orangnya.
"Terserah kepada kalian berdua. Apapun yang akan kalian lakukan untuk mengikat keduanya pada kuda-kuda itu. Kalian dapat berlaku keras. Tetapi jangan membuat mereka cacat. Aku masih menyayangkan kecantikan mereka."


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keduanya menggeram. Rasa-rasanya keduanya justru ingin menerkam wajah mereka dan menggoreskan dengan senjata mereka silang menyilang. Tetapi ternyata orang yang berpakaian rapi itu menginginkan kecantikan mereka.
Tetapi ternyata kedua orang raksasa itu tidak begitu mudah melakukan lugas mereka. Kedua perempuan itu justru telah bersiap untuk melawan mereka.
Yang terjadi kemudian memang petempuaran yang keras. Kedua orang yang bertubuh raksasa yang mendapat ijin dari orang yang mengupah mereka untuk berlaku kasar sekalipun, ternyata tidak dapat dengan mudah menangkap dan apalagi mengikat keduanya pada kuda-kuda yang telah disediakan. Bahkan pertempuran diantara mereka berdua dengan orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama justru menjadi semakin keras.
Orang yang berpakaian mahal itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran bahwa kedua orang perempuan itu dapat mengimbangi kemampuan kedua orang pengawalnya. Bahkan semakin lama maka kedua raksasa itu menjadi semakin bingung. Terutama orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah berloncatan. Bukan saja kelebihannya dalam kecepatan bergerak. Tetapi ketika sekali-sekali tangannya membentur serangan orang bertubuh raksasa itu, maka Sekar Mirah justru mampu mendorong lawannya satu dua langkah surut.
Dalam pada itu Rara Wulan sekali-sekali masih mampu menjaga keseimbangan pertempuran. Bahkan sekali-sekali Rara Wulan masih harus bergeser surut mengambil jarak. Tetapi semakin lama Rara Wulan justru menjdi semakin mapan.
Orang berpakaian mahal itu terkejut ketika ia mendengar Ki Jayaraga tertawa sambil berkata, "Nah, kau lihat bahwa kedua perempuan itu mampu menjaga dirinya. Mereka tidak perlu memanggil suaminya. Apalagi hal itu sempat mereka lakukan, maka lawan-lawan mereka itu akan segera dihancurkan."
"Setan kau kakek tua. Karena kedua orang perempuan itu berani melawan aku, maka kau akan ikut mengalami nasib buruk. Aku tidak segan-segan memperlakukan kau dengan cara yang paling buruk."
Tetapi Ki Jayaraga masih saja tertawa. Katanya, "Kau masih saja mengigau dalam keadaan seperti ini. Jika dengan menantu-menantuku saja kau tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi dengan mertuanya."
Orang berpakaian mahal menjadi marah sekali mendengar jawaban orang tua itu. Karena itu, maka dengan serta merta tangannya telah terayun menampar wajah Ki Jayaraga.
Tetapi orang tua itu tidak dapat disentuhnya. Dengan bergeser setapak dan menarik wajahnya, maka ayunan tangan orang itu tidak dapat mengenainya.
Kemarahan orang itu semakin membakar jantung. Dengan cepat ia melenting menyerang. Kakinya terjulur lurus mengarah kedada orang tua itu. Ia tidak mempedulikan seandainya tulang-tulang iga orang itu berpatahan.
Tetapi yang terjadi justru tidak seperti yang dikehendaki. Orang yang berpakaian bagus itu tidak mengerti apa yang dilakukan orang itu. Yang diketahuinya, bahwa tiba-tiba saja kakinya telah terlempar justru seakan-akan telah terangkat tinggi-tinggi.
Dengan demikian maka tubuhnyapun telah jatuh terbanting ditanah. Tulang punggungnya serasa menjadi retak karenanya.
Tetapi orang itu masih juga bangkit dengan cepat. Giginya gemeretak, sedang dari sepasang matanya begaikan memancar api kemarahan yang akan membakar Ki Jayaraga.
Tetapi Ki Jayaraga tetap bersiap sepenuhnya. Ia melihat pada mata orang itu, bahwa orang itupun memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.
"Orang tua yang tidak tahu diri," geram orang itu, "Ternyata kau masih merasa bahwa kau masih mampu melindungi dirimu. Baiklah jika cara itu yang kau kehendaki. Aku benar-benar akan membunuhmu. Aku sudah mencoba menahan diri. Tetapi kau salah mengerti. Bahkan dengan sombong kau telah menyakiti aku."
Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun mulai bersungguh-sungguh. Apalagi ketika ia melihat orang yang berpakaian mahal itu mulai mengatupkan kedua belah telapak tangannya.
Demikianlah, maka sejenak orang itu mulai bergerak. Tidak lagi asal mengayunkan tangan atau kakinya. Ia mulai benar-benar membuat perhitungan untuk melawan orang tua itu.
Tetapi Ki Jayaragapun telah bersiap pula. Ketika orang yang berpakaian mahal itu mulai bergeser, maka Ki Jayaragapun lelah melakukannya pula. Sehingga dengan demikian, maka orang yang berpakaian mahal itupun menyadari, bahwa orang tua yang dihadapinya itu bukan orang kebanyakan pula.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka keduanyapun telah benar-benar bertempur. Orang yang berpakaian bagus itu meloncat-loncat dengan tangkas, sehingga kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah.
Pendekar Pengejar Nyawa 13 Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Memburu Manusia Setan 1
^