Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 10

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 10


"Ya Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga, "mungkin tiga hari. Mungkin lebih. Kita berharap bahwa permainan akan menjadi meriah dan menggembirakan para prajurit. Selebihnya kita akan dapat mengetahui kekuatan, nyata dari para Lurah dan beberapa orang pemimpin kelompok sebagai satu penilaian rata-rata karena kita tidak akan dapat mengikut sertakan semua pemimpin kelompok yang jumlahnya seratus orang itu."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Aku akan berbicara dengan semua Pandhega."
Ki Rangga Prangwiryawanpun kemudian telah memanggil para Pandhega yang dua. Ki Rangga Dipayuda dan Ki Rangga Wirayuda.
Ki Tumenggung Jayayudapun kemudian telah memberitahukan kepada kedua Pandhega itu, bahwa rencana Ki Rangga Prangwiryawan sebagaimana pernah dibicarakan sebelumnya akan dilaksanakan.
"Apakah keuntungannya?" bertanya Ki Rangga Wirayuda.
"Banyak sekali," jawab Ki Rangga Prangwiryawan yang kemudian telah menguraikan alasan-alasan sebagaimana dikatakannya kepada Ki Tumenggung Jayayuda.
Ki Rangga Wirayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Kenapa tidak diadakan semacam perlombaan ketrampilan saja?"
"Misalnya?" desak Ki Rangga Prangwiryawan.
"Misalnya lomba kemampuan membidik dengan panah dan dengan lembing. Atau sodoran atau melakukan gerakan-gerakan menarik di sanggar terbuka," jawab Ki Rangga Prangwiryawan.
"Rasa-rasanya seperti kanak-kanak," jawab Ki Rangga Prangwiryawan.
Ki Rangga Dipayuda ternyata ikut menyahut, "Tentu tidak. Justru dengan demikian, setiap kekalahan akan dapat diakui dengan tanpa tersinggung harga dirinya. Jika diadakan penilaian langsung pada tingkat kemampuan dan ilmu kanuragan dalam pertarungan yang menentukan, maka akibatnya akan dapat menjadi kurang baik."
"Kita tidak boleh cengeng seperti itu. Kita adalah prajurit yang harus bersikap kesatria. Kita harus mengaku kalah jika kita kalah. Seperti sudah aku katakan, penilaian atas seorang prajurit tidak semata-mata dinilai dari kemampuan mereka dalam olah kanuragan, sehingga yang kalah tidak perlu merasa cemas bahwa pangkat dan kedudukannya akan digeser," jawab Ki Rangga Prangwiryawan.
Nampaknya Ki Rangga Dipayuda dan Ki Rangga Wirayuda merasa segan untuk berbantah. Karena itu, maka merekapun kemudian hanya mengangguk-angguk saja.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayayudapun berkata, "Baiklah. Meskipun menurut pendapatku, kedua orang Pandhega yang lain agak berkeberatan dengan cara yang diusulkan oleh Ki Rangga Prangwiryawan, nampaknya keduanya memang ingin memberikan kesempatan kepada Ki Rangga Prangwiryawan. Karena itu maka aku mengulangi perintahku. Laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ki Rangga Prangwiryawan bertanggung jawab bukan saja pelaksanaannya, tetapi juga akibat yang dapat ditimbulkannya."
"Terima kasih Ki Tumenggung. Tetapi dalam pelaksanaannya aku harus minta bantuan dari kedua Pandhega yang lain, bahkan Ki Tumenggung sendiri," jawab Ki Rangga Prangwiryawan.
"Kami tentu akan membantu Ki Rangga," jawab Ki Rangga Dipayuda.
Demikianlah, maka rencana itupun telah menjadi keputusan pimpinan barak itu. Keputusan yang mereka tentukan bersama adalah mengikat. Karena itu, meskipun yang bertanggung jawab adalah Ki Rangga Prangwiryawan, namun beban tugas itu harus dipikul bersama-sama.
Dengan demikian, maka di hari berikutnya, seisi barak itu telah menjadi ribut dengan pengumuman tentang akan diselenggarakannya pendadaran olah kanuragan.
Kasadha yang mendengar pula pengumuman itu berdesis kepada pemimpin kelompok tertua, "Sebenarnya aku tidak sependapat."
"Kenapa Ki Lurah," bertanya pemimpin kelompok itu, "bukankah dengan demikian akan berlangsung permainan yang sangat meriah yang akan memberikan kegembiraan kepada semua penghuni barak ini?"
"Kita memang menjadi gembira. Tetapi apakah kita memikirkan perasaan mereka yang dikalahkan di hadapan banyak orang seperti itu?" bertanya Kasadha.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin akan dapat menanamkan dendam. Tetapi jika sejak semula dinyatakan bahwa yang kalah tidak boleh mendendam, mungkin akibatnya tidak separah yang kita bayangkan."
"Mudah-mudahan," berkata Ki Lurah Kasadha.
Pemimpin kelompok itu tidak menyahut lagi. Jika pada saatnya pendadaran itu dilaksanakan, mudah-mudahan Ki Lurah Kasadha sudah berubah pikiran. Bagaimana juga, pemimpin kelompok itu sudah meyakini, bahwa Ki Lurah Kasadha adalah Lurah yang terbaik. Bahkan dibandingkan dengan kedua orang Lurah Penatus yang baru itu.
Sebenarnyalah Kasadhapun tidak dapat menolak perintah itu. Iapun mulai berbenah diri, meskipun ia tidak tahu, kapan lomba itu akan diselenggarakan. Lomba yang memang sangat mendebarkan. Sepanjang ia menjadi prajurit, ia belum pernah mengalami pendadaran seperti yang akan dilakukan itu.
Yang kemudian agak membingungkan Kasadha adalah menunjuk dua orang pemimpin kelompok untuk mewakili pasukannya yang terdiri dari sepuluh kelompok itu.
Untuk memilih dua orang di antara sepuluh orang pemimpin kelompok, telah dilakukan bermacam-macam cara oleh setiap pasukan. Ada di antara para Lurah Penatus yang telah memilih dengan cara sebagaimana yang akan dilakukan terhadap para Lurah Penatus. Di antara para pemimpin kelompok yang sepuluh orang itu telah diselenggarakan semacam pendadaran sehingga terpilih dua orang terbaik. Tetapi ada pula yang tidak melakukannya. Seorang Lurah Penatus telah mengetahui dengan pasti dua orang terbaik di antara para pemimpin kelompoknya, sehingga ia tidak perlu memilih lagi.
Kasadha mempunyai cara tersendiri, ia menganggap kemampuan para pemimpin kelompoknya seimbang.
Karena itu, maka iapun telah mengumpulkan kesepuluh orang pemimpin kelompok dan menyerahkan kepada mereka, siapa yang harus mewakilinya.
Namun dalam keseluruhan, perintah Ki Rangga Prangwiryawan itu memang menumbuhkan kegembiraan para prajurit. Terutama beberapa orang Lurah Penatus yang merasa diri mereka terbaik. Bahkan para pemimpin kelompok yang akan mewakili setiap pasukanpun merasa bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka.
"Nah," berkata Ki Rangga Prangwiryawan kepada kedua orang Rangga yang lain, "bukankah rencana pendadaran itu memberikan kesegaran kepada para prajurit setelah lama mereka tidak melakukan kegiatan apapun selain latihan dan latihan" Bukankah dengan cara ini mereka dapat menyalurkan luapan darah mereka yang mendidih?"
Kedua Rangga yang lain mengangguk-angguk saja.
Ketika hal yang sama disampaikan kepada Ki Tumenggung Jayayuda, maka Ki Tumenggungpun berkata, "Mudah-mudahan berlangsung dengan baik sampai selesai."
"Ketika beberapa Lurah Penatus menyelenggarakan pendadaran serupa untuk memilih dua di antara para pemimpin kelompoknya, juga tidak terjadi sesuatu. Pendadaran di antara lingkungan pasukan Seratus orang itu merupakan semacam percobaan dari penyelenggaraan seutuhnya nanti," berkata Ki Rangga Prangwiryawan itu.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk.
Ketika para Lurah Penatus telah mengajukan nama para pemimpin kelompok yang akan mewakili setiap pasukan, maka Ki Rangga Prangwiryawanpun mengumumkan, bahwa pendadaran yang bersifat lomba itu akan diselenggarakan pekan depan.
"Ada duapuluh orang pemimpin kelompok yang akan ikut serta," berkata Ki Rangga. "Kita akan memilih dua di antaranya."
Dalam pada itu, Ki Rangga Prangwiryawanpun telah menyusun paugeran dari pendadaran itu. Seperti pesan Ki Tumenggung Jayayuda, jangan ada kesempatan untuk berbuat curang. Karena sebenarnyalah, Ki Rangga ingin memilih orang yang benar-benar terbaik, namun yang kemudian akan ditundukkannya pula, sehingga seisi barak itu akan mengetahui bahwa ia adalah orang yang terbaik di barak itu.
Bahkan di dalam hati iapun berkata, "Jika saja Ki Tumenggung bersedia mencobai aku kelak."
Atas persetujuan para Pandhega dan Ki Tumenggung Jayayuda sendiri atas isi paugeran yang telah disusun dengan beberapa perubahan disana-sini, maka paugeran itupun segera diumumkan kepada mereka yang akan melakukan pendadaran itu.
Sambil menunggu hari-hari yang ditentukan, maka para pemimpin kelompok yang terpilih, telah melakukan persiapan sebaik-baiknya. Mereka telah mempergunakan sanggar terbuka untuk berlatih. Pada umumnya, para Lurah Penatus telah mendampingi para pemimpin kelompoknya di saat mereka melakukan latihan-latihan.
Atas ijin Ki Rangga Dipayuda, maka setiap pagi Kasadha telah membawa keluar dua orang pemimpin kelompoknya yang ditunjuk oleh kawan-kawannya untuk mewakili pasukannya dalam pendadaran itu. Orang lain memang tidak tahu, apa yang dilakukan Kasadha. Namun sebenarnyalah Kasadha secara khusus telah menempa kedua orang itu.
Kedua orang itu, yang tahu benar bahwa Kasadha memiliki kelebihan dari setiap Lurah Penatus yang ada, telah berbuat sebaik-baiknya sebagaimana ditunjukkan oleh Kasadha.
Seorang di antaranya adalah pemimpin kelompok tertua yang selalu memperhatikan Kasadha bukan saja sebagai atasannya, tetapi justru sebagai seorang yang lebih muda daripadanya di dalam gejolak kehidupan pribadinya. Sedangkan seorang yang lain adalah pemimpin kelompok yang lebih muda, tetapi yang juga mengetahui dengan pasti kelebihan Kasadha.
Setiap hari, sebelum dini keduanya telah berada di lereng pebukitan. Berlari-lari mereka mendaki. Kemudian mereka telah melakukan gerakan-gerakan ringan. Baru kemudian keduanya telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Dengan beberapa petunjuk Ki Lurah Kasadha, mereka telah mematangkan beberapa macam unsur gerak pilihan yang sebelumnya tidak mereka kuasai dengan baik. Namun dengan petunjuk Kasadha unsur-unsur gerak itu akan dapat dijadikan senjata untuk mengakhiri perlawanan lawan-lawan mereka.
Dalam waktu yang singkat, Kasadha telah menuntun mereka untuk menguasai pernafasan mereka. Kasadha telah menganjurkan kepada kedua orang pemimpin kelompoknya untuk berlatih setiap saat ada waktu.
"Dimana saja kalian dapat melatih diri menguasai jalannya pernafasan dengan baik. Dengan demikian akan dapat menjaga kemantapan tenaga kalian. Kalian tidak tahu berapa lama kalian akan bertarung di arena. Jika kalian tidak menguasai pernafasan dengan baik, maka kalian akan dengan cepat menjadi letih. Sementara lawan kalian masih tetap segar. Meskipun kalian memiliki kelebihan ilmu kanuragan, tetapi mungkin kalian akan dapat dikalahkan karena tenaga kalian telah habis setengah jalan," berkata Kasadha yang meskipun masih muda tetapi memiliki pengalaman yang luas.
Ternyata kedua orang pemimpin kelompoknya itu menurut dan mengikuti setiap petunjuk. Sehingga dalam waktu yang singkat keduanya telah mampu meningkatkan bukan saja kemampuan olah kanuragan, tetapi juga daya tahan tubuh mereka. Bahkan dalam pemusatan nalar budi, Kasadha telah memberikan petunjuk meskipun baru dalam tataran permulaan, untuk membangunkan tenaga di dalam diri mereka.
Ketika sepekan telah berlalu, maka kedua orang pemimpin kelompok itu benar-benar telah siap. Ketika mereka melakukan latihan di malam hari di udara terbuka, maka Kasadha telah merasa puas atas kemajuan dari kedua pemimpin kelompoknya itu.
Di barak, ada di antara para pemimpin kelompok yang dengan sengaja menunjukkan kelebihan-kelebihan mereka selagi mereka melakukan latihan. Dengan demikian, maka bakal lawan-lawannya telah merasa kecil sebelum pendadaran yang sebenarnya dimulai. Para pemimpin kelompok dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi ternyata juga melakukan latihan-latihan tersendiri. Merekapun telah mendapat beberapa petunjuk dan tuntunan dari Lurah Penatus mereka masing-masing sebagaimana yang lain.
Sehari sebelum pendadaran dimulai, maka latihan-latihan khusus itu telah dihentikan. Para pemimpin kelompok yang akan ikut serta harus memusatkan perhatian mereka terhadap pendadaran yang akan berlangsung. Mereka harus mempelajari paugeran sebaik-baiknya.
"Kita harus menjunjung tinggi kejujuran," berkata Ki Rangga Prangwiryawan, "siapa berbuat curang, maka dengan serta-merta mereka ia akan dinyatakan kalah."
Hari-hari istirahat itu memang diwarnai dengan ketenangan. Tidak ada gerak yang melonjak sebagaimana hari-hari sebelumnya. Semuanya seakan-akan benar-benar beristirahat. Bahkan mereka yang tidak akan ikut dalam pendadaran pun telah beristirahat pula.
Namun, kedua orang pemimpin kelompok di bawah pimpinan Kasadha tidak demikian. Mereka memang tidak melakukan apa-apa yang dapat dilihat oleh para prajurit yang lain. Namun keduanya duduk di pembaringan masing-masing untuk melakukan latihan pernafasan sebaik-baiknya.
Sambil menyilangkan tangan di dadanya, mereka duduk bersila. Kepala sedikit menunduk, menutup segala perhatian-lewat indera mereka.
Kawan-kawan mereka mengerti apa yang dilakukan oleh kedua pemimpin kelompok itu. Karena itu, mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan anak buah kedua pemimpin kelompok itu seakan-akan telah menjaga agar keduanya dapat melakukan dengan tenang.
Ketika malam mulai turun di hari sebelum pendadaran, di halaman barak itu sudah dibuat dua arena yang akan dipergunakan. Duapuluh orang pemimpin kelompok akan dibagi menjadi dua kelompok masing-masing sepuluh orang. Dua orang dari pasukan yang dipimpin oleh seorang Lurah Penatus akan dipisahkan kelompoknya, sehingga tidak akan terjadi pertarungan antara dua orang dari pasukan yang sama. Dari kedua kelompok itu masing-masing akan diambil seorang yang terbaik untuk ikut dalam pendadaran di antara para Lurah Penatus.
Sebelum berkumpul di antara mereka yang ikut pada pendadaran Itu, kedua pemimpin kelompok itupun telah menemui Kasadha. Meskipun Kasadha lebih muda dari mereka, tetapi mereka telah minta restunya untuk memasuki arena pendadaran.
Demikian matahari terbit, maka segala sesuatunya telah bersiap. Tidak ada tempat khusus bagi Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega. Mereka justru diminta untuk ikut mengawasi agar pendadaran itu dapat berlangsung dengan baik dan jujur.
Di arena yang satu, Ki Rangga Prangwiryawan telah disertai oleh Ki Tumenggung Jayayuda sendiri bersama seorang Lurah Penatus yang ditunjuk oleh Ki Rangga Prangwiryawan. Sedangkan di arena yang lain, Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda mengawasi pula pendadaran itu dibantu oleh seorang Lurah pula yang dianggap jujur.
Sebelum para pemimpin kelompok turun ke arena, maka telah dilakukan undian. Siapakah yang akan turun lebih dahulu dari antara mereka masing-masing.
Para Lurah Penatus sebenarnya juga ikut berdebar-debar. Setiap Lurah menempatkan pemimpin kelompoknya di arena kiri seorang dan di arena sebelah kanan seorang. Sehingga dengan demikian mereka akan mengikuti jalannya pendadaran di kedua arena itu.
Ketika pendadaran akan dimulai, maka Ki Tumenggung telah memberikan sesorah pendek dengan mengingatkan tujuan pendadaran itu.
"Kita tidak sedang mengadu ayam disini. Tetapi kita tengah mempelajari kemungkinan-kemungkinan bagi pasukan kita dalam keseluruhan. Dengan pendadaran ini, kita akan dapat melihat kemampuan rata-rata dari seluruh prajurit yang ada di barak ini. Penglihatan kita atas kemampuan itu akan dapat kita jadikan landasan peningkatan kemampuan seluruh pasukan di barak ini. Kita tidak pula sedang menanamkan dendam di hati kalian. Kalian harus jujur terhadap diri sendiri. Jika seseorang kalah, maka ia harus mengakui kekalahan itu dengan hati yang lapang. Sekali lagi aku katakan disini, bahwa pendadaran ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kedudukan kalian, baik sebagai pemimpin kelompok, maupun Lurah Penatus, karena penilaian bagi seorang pemimpin tidak semata-mata karena tingkat kemampuan olah kanuragan saja."
Masih ada beberapa petunjuk yang diberikan oleh Ki Tumenggung yang mengarahkan para prajuritnya agar menganggap pendadaran itu satu peristiwa wajar saja.
"Tidak ada maksud apa-apa," berkata Ki Tumenggung menegaskan.
Dalam pada itu, sekali lagi Ki Rangga Prangwiryawan menguraikan paugeran selengkapnya dalam pendadaran yang bersifat lomba ketangkasan olah kanuragan itu.
Sesaat kemudian, maka bendepun telah berbunyi. Para prajurit di barak itu segera mengerumuni kedua arena di halaman barak yang luas itu. Mereka memang menjadi agak bingung, arena mana yang lebih menarik untuk ditonton.
Pendadaran itupun segera dimulai sesuai dengan hasil undian yang telah dilaksanakan.
Ternyata pendadaran itu benar-benar memberikan kegembiraan kepada para prajurit. Mereka mulai berteriak-teriak untuk mendukung para pemimpin kelompok yang diharapkan akan menang.
Seperti yang diharapkan oleh Ki Tumenggung Jayayuda, maka pendadaran itu sendiri berlangsung dengan jujur. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang ikut dalam pendadaran itu berniat buruk.
Di arena sebelah kanan, seorang pemimpin kelompok yang bertubuh raksasa telah turun pertama kali di arena. Lawannya memang tidak bertubuh sebesar pemimpin kelompok itu, tetapi seorang yang bertubuh tinggi. Namun tidak terlalu besar. Meskipun demikian, orang itu tubuhnya nampaknya liat sekali.
Ketika mereka mulai bertempur, maka segera nampak bahwa keduanya nampaknya memang seimbang. Yang bertubuh raksasa memiliki kekuatan yang besar, sementara yang bertubuh tinggi mampu bergerak dengan cepat. Serangan-serangan kakinya yang mendatar, kadang-kadang terayun melingkar, memang terasa sangat berbahaya bagi lawannya.
Tetapi lawannya yang bertubuh raksasa itu bagaikan berkulit badak. Sekali dua kali tubuhnya dikenai serangan lawannya yang bertubuh tinggi itu, namun seakan-akan tidak terasa sama sekali.
Di arena yang satu lagi, dua orang pemimpin kelompok yang baik dari ujud tubuhnya, maupun kemampuannya benar-benar nampak seimbang. Keduanya kuat dan tangkas.
Sorak para prajurit yang menyaksikan pendadaran itu semakin meninggi. Bahkan ada di antara mereka yang melonjak-lonjak kegirangan. Namun yang oleh orang yang berdiri di belakang orang yang melonjak-lonjak itu digamit pundaknya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang menggamitnya itu memberi isyarat agar orang itu tidak menutupinya.
Satu demi satu pertempuran berakhir. Para Pandhega yang mengamati pertarungan itu benar-benar berpegang pada paugeran. Yang memang sudah dapat dipastikan kalah, segera dinyatakan kalah, sebelum keadaan menjadi semakin buruk.
Kasadha menjadi berdebar-debar ketika ia melihat di sisi sebelah kiri, seorang dari pemimpin kelompoknya telah memasuki arena. Pemimpin kelompoknya yang tertua.
Kasadha merasa beruntung, bahwa pada putaran pertama kedua orang pemimpin kelompoknya tidak turun ke arena dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian, ia dapat menunggui pemimpin kelompoknya yang banyak memperhatikan kehidupan pribadinya itu.
Ketika kedua orang pemimpin kelompok itu mulai bertempur di arena, maka Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat bahwa pemimpin kelompoknya itu akan mengalami kesulitan, meskipun kemungkinan apapun dapat saja terjadi. Namun Kasadha berharap bahwa orangnya itu akan dapat mengatasi lawannya.
Tetapi pemimpin kelompok di dalam pasukan Kasadha itu bukan seorang yang terbiasa membanggakan diri sendiri. Karena itu, maka iapun tidak dengan serta-merta menghancurkan lawannya. Ia masih ingin menghargai lawannya dan tidak menanamkan dendam di hatinya. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya perlahan-lahan sehingga pertempuran di antara kedua orang pemimpin kelompok itu menjadi seru.
Namun akhirnya, mulai nampak pula bahwa anak buah Kasadha itu semakin menguasai arena. Sehingga beberapa saat kemudian, maka anak buah Kasadha itu telah dinyatakan menang.
Beberapa saat berikutnya, maka di sisi lainpun telah terjadi hal yang sama. Meskipun lawan pemimpin kelompok yang seorang lagi harus berhadapan dengan seorang yang berwajah garang dan berkumis melintang. Namun akhirnya anak buah Kasadha itupun dapat memenangkan pertempuran itu.
Ketika pendadaran putaran pertama selesai, maka para pemimpin kelompok itupun mendapat waktu untuk beristirahat. Namun ternyata bahwa matahari telah mulai turun.
Di hari pertama itu, masih belum dapat dipilih siapakah yang terbaik di antara sepuluh orang di arena sebelah kiri dan sepuluh orang di arena sebelah kanan. Karena itu, maka pendadaran itu akan dilanjutkan pada hari kedua.
Ternyata di hari kedua, di sebelah kiri, pada putaran terakhir, pemimpin kelompok dari kesatuan yang dipimpin Kasadha, berhadapan dengan pemimpin kelompok di bawah pimpinan Ki Lurah Lenggana, sedang di sisi yang lain seorang pemimpin kelompok yang seorang lagi berhadapan dengan anak buah Ki Lurah Bantardi.
Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Kedua orang Lurah Penatus itu adalah orang-orang yang sangat membanggakan dirinya sehingga kenangan yang demikian itu tentu akan menjalar pula pada anak buahnya.
Demikian pertempuran di kedua arena itu dimulai maka pertempuran langsung menjadi keras. Sementara itu, para prajurit yang menyaksikannya bersorak-sorak tanpa terkendali lagi. Mereka bahkan bertepuk, berteriak, menjerit dan sekali-sekali terdengar mereka menyebut nama orang-orang yang sedang bertempur itu.
Ki Rangga Prangwiryawan yang berada di dalam arenapun ternyata ikut tegang. Ia tahu bahwa yang sedang bertempur itu adalah anak buah Ki Lurah Lenggana melawan anak buah Ki Lurah Kasadha. Ki Rangga Prangwiryawan memang berharap bahwa anak buah Ki Lurah Lenggana dapat memenangkan pertempuran itu.
Tetapi di arena itupun terdapat Ki Tumenggung Jayayuda sendiri, sehingga dengan demikian, maka Ki Rangga Prangwiryawan harus benar-benar bertindak adil.
Di arena yang lain, anak buah Ki Lurah Bantardi pun ternyata telah dijalari sifat Lurahnya. Iapun merasa seakan-akan seorang pemimpin kelompok terbaik dari antara semua pemimpin kelompok yang ada di barak itu.
Namun mereka tidak dapat memaksa lawan-lawan mereka untuk segera tunduk. Baik anak buah Ki Lurah Lenggana maupun anak buah Ki Lurah Bantardi. Mereka harus mengakui perlawanan yang kuat dan gigih dari anak buah Ki Lurah Kasadha itu.
Kasadha sendiri menyempatkan diri untuk melihat kadang-kadang di sisi sebelah kiri, kadang-kadang di sisi sebelah kanan. Namun jantung Kasadha terasa tidak terlalu cepat berdetak melihat pertarungan itu. Sebagai seorang yang berilmu, maka Kasadhapun cepat mengerti, bahwa kedua orang pemimpin kelompoknya itu memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka. Baik anak buah Ki Lurah Lenggana maupun anak buah Ki Lurah Bantardi sejak pertarungan dimulai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Nampaknya kedua orang pemimpin kelompok itu telah mendapat pesan yang sama. Mereka harus mengalahkan lawan-lawan mereka secepatnya.
Tetapi jika hal itu tidak dapat mereka lakukan, maka kekuatan merekapun akan segera menyusut. Jika demikian, maka keseimbangan akan segera berbalik.
Kasadha yang mengamati pertempuran itupun melihat kemungkinan itu. Ketika anak buah Ki Lurah Lenggana dan anak buah Ki Lurah Kasadha mulai kehilangan lapisan-lapisan kekuatan mereka, maka Ki Lurah Kasadhapun yakin, bahwa kedua orang pemimpin kelompoknya itu akan memenangkan pertarungan.
Ki Tumenggung Jayayuda menunggui arena pertarungan bersama Ki Rangga Prangwiryawan dan seorang Lurah Penatus, telah melihat pula kemungkinan itu. Demikian pula Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda.
Namun sebagai penengah mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat menentukan keputusan berdasarkan kenyataan yang terjadi di arena.
Di luar sadar, kedua orang pemimpin kelompok anak buah Kasadha itu telah ikut pula merasa kurang senang terhadap anak buah Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi. Karena itu, maka keduanya justru ingin menunjukkan kelebihan mereka dari lawan-lawan mereka itu.
Karena itulah, maka ketika kedua orang lawan mereka telah kehilangan sebagian dari tenaga mereka, maka kedua orang anak buah Kasadha itu mulai menunjukkan unsur-unsur gerak yang mendebarkan meskipun tidak mereka trapkan dengan sungguh-sungguh sehingga membahayakan nyawa lawannya.
Para prajurit yang menyaksikan pertarungan itu justru mulai mengagumi kedua pemimpin kelompok anak buah Kasadha itu. Justru karena mereka tidak dengan sungguh-sungguh mempergunakan unsur-unsur gerak yang sebenarnya sangat berbahaya, maka para prajurit itupun seakan-akan justru telah berpihak kepada mereka. Apalagi karena mereka tahu sifat Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi.
Demikianlah, akhirnya, maka pertempuran itupun berakhir. Ki Tumenggung Jayayuda di satu sisi dan Ki Tumenggung Dipayuda di sisi lain telah menentukan, bahwa pemenangnya kedua-duanya adalah pemimpin kelompok di bawah pimpinan Ki Lurah Kasadha.
Sorakpun mengguruh. Bukan hanya anak buah Kasadha, tetapi hampir semua prajurit yang menyaksikan telah menganggap bahwa sudah sepantasnya keduanya mendapat sebutan pemimpin kelompok terbaik.
Ki Tumenggung Jayayudalah yang kemudian menyatakan, bahwa keduanya adalah pemimpin kelompok terbaik dalam olah kanuragan. Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung memperingatkan, bahwa penilaian dari seorang pemimpin tidak tergantung sepenuhnya pada kemampuan olah kanuragan.
Barak itu memang menjadi ramai membicarakan kemenangan kedua orang itu. Yang menarik adalah, bahwa kedua-duanya adalah pemimpin kelompok di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha.
Dengan demikian, maka bukan saja kedua orang yang menang itu sajalah yang mendapat ucapan selamat. Tetapi juga Kasadha. Bahkan Ki Tumenggung Jayayuda telah memberikan pernyataan bergembira kepada kedua orang pemimpin kelompok itu serta juga kepada Kasadha.
Kepada Kasadha Ki Tumenggung Jayayuda berkata, "Keduanya memang pantas disebut sebagai pemenang. Keduanya tidak sekedar mempergunakan tenaga dan kekuatannya. Bukan pula kecepatan gerak dan ketrampilan olah kanuragan. Tetapi keduanya telah mempergunakan otak mereka. Itulah sebabnya, jika keduanya kelak ikut dalam pendadaran di antara para Lurah Penatus, maka dapat diharapkan, bahwa keduanya tidak segera dapat dikalahkan."
"Terima kasih Ki Tumenggung," sahut Kasadha sambil mengangguk hormat, "mudah-mudahan keduanya dapat memberikan pengabdian yang lebih berarti bagi pasukannya dan bagi Pajang."
Namun dalam pada itu, ketika diadakan pertemuan di antara para Pandhega, maka Ki Rangga Prangwiryawan mengusulkan, agar dicegah terjadinya dua orang pemimpin kelompok dari satu kesatuan maju mewakili para pemimpin kelompok.
"Itu tidak adil," justru Ki Tumenggung Jayayuda yang menjawab, "sebelumnya hal seperti itu tidak pernah disebutkan. Karena itu, biar saja paugeran itu berlaku sesuai dengan bunyinya."
Ki Rangga Prangwiryawan tidak berani membantah. Nampaknya Ki Tumenggung Jayayuda semakin memperketat ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana telah disepakati.
Karena itu, maka kedua orang pemimpin kelompok yang sudah dinyatakan sebagai pemenang di kedua lingkungan arena pendadaran itulah yang akan ikut bertanding di putaran selanjutnya, di antara para pemimpin pasukan yang jumlahnya sepuluh orang Lurah Penatus.
Pada malam harinya, Ki Rangga Prangwiryawan telah memberikan pengumuman, bahwa pertarungan pada putaran berikutnya, akan berlangsung sepekan lagi.
Barak itupun kemudian telah menjadi ramai lagi. Para pemimpin kelompok yang baru saja memasuki arena, masih merasa sangat letih. Bahkan ada di antara mereka yang tubuhnya menjadi biru memar. Ada yang punggungnya sakit dan ada yang giginya patah.
Namun dengan pengarahan yang mapan sebelumnya, perasaan dendam memang tidak tumbuh di antara para pemimpin kelompok itu. Yang kalah memang harus mengaku kalah. Sementara dua orang yang menang boleh merasa bangga. Apalagi mereka dapat mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya, yang dapat dianggap sebagai tataran yang lebih tinggi.
Ternyata waktu yang sepekan itupun telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh para Lurah Penatus yang akan turun di arena pendadaran. Demikian pula oleh kedua orang pemimpin kelompok dalam pasukan Kasadha itu. Mereka masih saja berlatih bersama Kasadha.
Kepada Ki Rangga Dipayuda Kasadha berkata, "Ki Rangga, apakah semua Lurah Penatus harus ikut?"
"Ya. Kasadha. Nampaknya memang demikian," jawab Ki Rangga.
"Bagaimana bagi mereka yang sakit atau yang benar-benar berhalangan?" bertanya Kasadha.
"Tentu mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk menjadi pemenang," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Ki Rangga. Bagaimana jika aku termasuk dari antara orang yang tidak dapat ikut?" bertanya Kasadha.
"Kasadha, semula aku mengira bahwa pendadaran semacam ini dilakukan dengan sukarela. Siapa yang menyatakan diri untuk ikut, akan dinyatakan sebagai pengikut. Tetapi ternyata tidak. Semua orang dalam jabatan Lurah Penatus harus ikut serta."
"Tetapi aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut serta," berkata Kasadha.
"Kau tidak mempunyai pilihan," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bertanya, "Ki Rangga. Aku sebenarnya menjadi bingung. Jika aku berusaha untuk menang, maka orang-orang yang tidak menyenangi aku akan menjadi semakin tidak senang. Tetapi jika aku membiarkan diriku kalah, maka nuraniku tidak dapat menerima kekalahan itu. Mungkin aku seorang pendendam Ki Rangga. Jika aku kalah, maka aku berusaha untuk menebusnya di kesempatan lain. Namun jika orang lainpun bersikap seperti itu, bukankah akan timbul persoalan di kemudian hari?"
"Sudahlah Kasadha," berkata Ki Rangga, "kau harus menerima perlakuan ini. Jika kau memang mampu memenangkan pertandingan, menangkan itu. Bahkan menurut aku, jika kau mampu menunjukkan kemampuanmu, tunjukkanlah yang tertinggi daripadanya. Apapun akibatnya. Karena dengan demikian, maka kau sudah menyatakan dirimu sebagaimana adanya. Jika hal itu berakibat baik, syukurlah. Jika tidak, maka kau tidak akan tanggung-tanggung menghadapinya. Bahkan jika nanti pada saat terakhir kau harus berhadapan dengan Ki Rangga Prangwiryawan sendiri. Jika kau mampu mengalahkan, kalahkan orang itu secepat-cepatnya. Satu kesempatan yang baik bagimu, justru di hadapan Ki Tumenggung Jayayuda. Tetapi seandainya kau memang kalah, maka bukankah itu wajar jika seorang Lurah dapat dikalahkan oleh seorang Rangga dalam jajaran keprajuritan?"
Kasadha mengangguk-angguk. Pesan Ki Rangga Dipayuda itu benar-benar sangat berarti baginya. Meskipun ia masih harus mempertimbangkan masak-masak, namun seandainya ia berbuat demikian, maka ia tidak dianggap bersalah.
Dengan demikian, maka Kasadha telah mempergunakan waktu yang ada itu sebaik-baiknya. Ia masih berusaha untuk meningkatkan kemampuan kedua orang pemimpin kelompoknya. Namun disamping itu, Kasadhapun telah menyiapkan dirinya sendiri.
Bahkan pada saat terakhir Kasadha berkata kepada diri sendiri, "Orang-orang dalam barak itu sudah terlanjur menganggap aku sebagai Lurah Penatus yang terbaik. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Bahkan seandainya aku harus berhadapan dengan Ki Rangga Prangwiryawan."
Kedua orang pemimpin kelompoknya, yang menyaksikan bagaimana Kasadha berlatih menjadi heran. Keping-keping batu telah dipecahkannya dengan sisi telapak tangannya. Tiga jari-jari tangannya yang merapat mampu menghunjam ke batu-batu padas. Sementara serangan kakinya dapat memecahkan gumpalan-gumpalan lereng pebukitan.
Kedua orang pemimpin kelompok itu justru termangu-mangu, Mereka sudah mengetahui betapa tinggi ilmu Kasadha. Namun ketika mereka menyaksikan latihan-latihan yang bersungguh-sungguh, maka jantung mereka masih berdegup keras.
"Jika saja aku yang harus menghadapinya, maka aku akan mati berdiri," desis salah seorang dari mereka. Kawannya tersenyum. Katanya, "Batu itu tentu lebih keras dari kepala kita."
"Bedanya, batu itu tidak dapat melarikan diri," sahut kawannya yang pertama.
Keduanya menahan tertawanya. Sementara Kasadha berlatih semakin keras.
Namun dalam pada itu, pada kesempatan lain, kedua orang pemimpin kelompok itulah yang berlatih. Kasadha mengajari mereka untuk memanfaatkan pernafasannya yang teratur dalam paduan mengerahkan tenaga dalam. Penguasaan urat-urat di dalam tubuhnya serta simpul-simpul syarafnya.
Meskipun kedua orang pemimpin kelompok itu masih juga mampu meningkatkan kemampuannya, tetapi mereka merasa terlalu kecil di hadapan Kasadha yang mewarisi dasar-dasar ilmu dari Ki Ajar Paguhan.
Sekali-sekali Kasadha teringat akan ibunya yang mampu melandasi penguasaan diri dalam pengaruh terangnya bulan. Namun baginya, pengaruh itu tidak usah disadap dari terangnya bulan atau matahari atau keremangan senja dalam temaramnya siang yang beralih ke serambi malam. Tetapi pengaruh itu dapat tumbuh atas dasar kehendak yang mantap dan bulat. Itulah sebabnya, maka setiap saat Kasadha dapat membangunkan kekuatannya yang menggetarkan.
Kasadha benar-benar sudah berniat melakukan sebagaimana disarankan oleh Ki Rangga Dipayuda. Jika ia ingin mengalah, ia harus kalah pada putaran pertama. Tetapi jika ia menang pada putaran pertama, maka itu berarti ia harus menang sampai putaran terakhir.
Demikian dari hari ke hari, Kasadha menjadi semakin menggetarkan jantung kedua orang pemimpin kelompoknya. Namun mereka ikut merasa bangga dan bahkan memastikan, bahwa Kasadha memang orang terbaik di barak itu.
Namun Kasadha selalu berpesan, bahwa mereka tidak boleh membocorkan latihan-latihan itu. Biarlah mereka melihat dan menilai pada saatnya.
"Jika mungkin aku masih akan menghindari pendadaran yang aneh itu," berkata Kasadha.
Akhirnya hari yang mendebarkan itupun datang juga. Ada sepuluh orang Lurah Penatus yang harus mengikuti pendadaran untuk menentukan seorang yang terbaik dalam olah kanuragan. Sedangkan dua orang pemimpin kelompok akan ikut pula di antara para Lurah Penatus. Kedua-duanya adalah anak buah Kasadha.
Menjelang hari-hari yang ditentukan bagi pendadaran itu, maka setiap Lurah Penatus telah merasa bersiap sepenuhnya. Pertandingan itu tentu akan menjadi lebih menarik daripada sepekan yang lalu, karena yang akan turun ke arena adalah mereka yang pada umumnya lebih berpengalaman dari para pemimpin kelompok. Umur merekapun tidak lagi terlalu muda kecuali Kasadha. Namun bagi Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi, Kasadha adalah anak-anak yang baru mulai tumbuh. Betapapun besar tenaganya, namun pengalamannya tentu belum banyak dan apalagi landasan ilmunyapun tentu masih sangat tipis.
Karena itu, maka bagi kedua orang yang merasa dirinya terbaik itu, maka Kasadha tidak terlalu banyak diperhitungkan.
Namun sebenarnyalah di antara kedua orang Lurah itu telah terjadi persaingan dengan diam-diam. Meskipun keduanya nampak baik, namun keduanya merasa yang satu lebih baik dari yang lain.
"Yang akan menentukan adalah arena pertandingan," berkata Bantardi di dalam hatinya.
Namun merekapun menyadari, bahwa pertandingan yang hanya diikuti oleh dua belas orang itu tentu tidak akan dapat diselesaikan dalam sehari. Bahkan mungkin tidak dalam dua hari.
Demikian matahari terbit, maka pendadaran yang aneh itupun siap untuk dimulai. Seperti yang terdahulu, Ki Tumenggung Jayayuda telah memberikan sesorah pendek. Bahkan iapun berkata, "Nah, dengan cara ini, kita bersama-sama telah memacu diri untuk berlatih lebih baik dari hari-hari sebelumnya."
Setelah Ki Tumenggung, maka Ki Rangga Prangwiryawan telah membacakan paugeran yang harus ditaati oleh para peserta pendadaran. Semua Lurah Penatus memang harus ikut serta, sehingga sama sekali tidak ada kesempatan bagi Kasadha untuk menghindar.
Seperti yang terdahulu, maka semua peserta lebih dahulu harus mengambil undian. Siapakah yang akan turun lebih dahulu ke arena. Dan siapakah lawan mereka masing-masing.
Yang dipergunakan memang hanya satu arena pertandingan, agar dengan demikian Ki Tumenggung dan para Pandhega dapat lebih memusatkan perhatian mereka.
"Kita tidak tergesa-gesa. Jika tidak selesai hari ini, kita lanjutkan esok pagi. Jika masih juga belum selesai, kita teruskan lusa. Bukankah Pajang tidak segera akan berperang?" berkata Ki Tumenggung Jayayuda menanggapi usul Ki Rangga Prangwiryawan untuk mempergunakan dua arena.
Ketika waktunya telah tiba, serta matahari mulai beranjak naik, maka telah terdengar bende berbunyi sebagai pertanda pendadaran telah dimulai.
"Beruntunglah mereka yang bertanding terdahulu. Matahari belum begitu tinggi," berkata Ki Rangga Prangwiryawan.
Dua orang Lurah Penatus telah turun ke arena. Ternyata orang yang pertama bukan Ki Lurah Kasadha dan bukan pula salah seorang dari kedua pemimpin kelompoknya.
Kedua orang Lurah Penatus itu ternyata telah cukup matang. Keduanya tidak tergesa-gesa. Tetapi keduanya bergerak dengan sangat mapan.
Baru sejenak kemudian, serangan-seranganpun telah dilakukan. Semakin lama semakin cepat. Keduanya mulai meningkatkan kekuatan dan ilmu mereka sehingga pertempuranpun menjadi semakin seru.
Ternyata keduanya benar-benar memiliki kemampuan yang seimbang. Karena itu, maka keduanya memerlukan waktu yang cukup lama. Itulah agaknya keadaan yang menentukan kekalahan seorang di antara mereka. Bukan karena kelebihan ilmu dari yang lain. Tetapi Lurah Penatus yang lebih tua mulai kehilangan sebagian dari tenaganya. Nafasnya mulai terasa mengganggu, sehingga karena itu, maka siapakah yang akan memenangkan pertandingan itu sudah mulai terbayang.
Namun kekalahan yang terjadi adalah kekalahan yang terhormat sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Prangwiryawan.
"Unsur umur dalam hal ini agaknya memang berpengaruh," berkata Ki Rangga, "tetapi sebenarnyalah ilmu dan kemampuan kedua Lurah Penatus itu seimbang."
Ki Wirayuda dan Ki Dipayuda, seperti dalam pendadaran yang lewat, berusaha untuk berbuat seadil-adilnya. Mereka berdiri di dalam arena lingkaran bersama dengan Ki Rangga Prangwiryawan. Keduanya mengamati setiap gerak dan langkah para peserta. Lebih dari itu, mereka juga berkewajiban untuk mencegah bukan saja kecurangan, tetapi apabila keadaan menjadi berbahaya.
Keduanya bersama-sama dengan Ki Rangga Prangwiryawan berhak memberikan peringatan, tegoran bahkan jika perlu menghentikan pertandingan.
Yang kemudian turun pada giliran kedua adalah salah seorang pemimpin kelompok anak buah Kasadha. Yang turun adalah pemimpin kelompok yang muda di antara keduanya.
Namun adalah kurang beruntung baginya, karena pada putaran pertama itu ia sudah berhadapan dengan Ki Lurah Lenggana.
Pemimpin kelompok itu tersenyum kepada Ki Lurah Kasadha ketika ia bangkit untuk memasuki arena. Justru katanya, "Jika aku kalah, aku tidak akan menyesal. Bukankah kekalahan itu wajar sekali."
"Ya," desis Kasadha, "tetapi kau harus menunjukkan permainan yang baik. Pertempuran itu harus seimbang seperti yang baru saja terjadi, meskipun akhirnya kau akan kalah."
Pemimpin kelompok itu mengangguk. Tetapi ia masih saja tersenyum. Ketika ia mulai melangkah, Kasadha telah menepuk bahunya sambil berdesis, "Hati-hatilah. Meskipun kau kalah, jangan ada yang terkilir."
Sejenak kemudian, keduanya telah memasuki arena. Ki Lurah Lenggana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Nasibku memang buruk. Undian itu menempatkan aku berhadapan dengan seorang pemimpin kelompok. Seharusnya aku berhadapan dengan seorang Lurah. Bagaimana jika kau bertukar tempat dengan Lurahmu?"
Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Ia memang merasa tersinggung. Namun sebelum ia menjawab, Ki Rangga Dipayudalah yang menyahut, "Jika demikian, apa gunanya undian?"
Ki Lurah Lenggana berpaling sekilas. Tetapi ia justru tersenyum. Meskipun tidak menjawab, tetapi seakan-akan ia berkata, "Melawan kaupun aku tidak gentar."
Sejenak kemudian, Ki Rangga Prangwiryawan telah melangkah maju. Ketika keduanya sudah bersiap, maka iapun segera memberikan isyarat, agar pertandingan itupun segera dimulai.
Keduanya mulai bergeser dari tempatnya. Ternyata pemimpin kelompok itu justru menjadi sangat tenang. Ia sama sekali tidak membawa beban apapun saat memasuki arena. Jika ia kalah sekalipun, tidak akan ada orang yang merendahkannya, karena ia berhadapan dengan seorang Lurah Penatus. Apalagi Ki Lurah Lenggana yang menganggap dirinya orang terbaik di barak itu. Tetapi jika menang, maka setiap orang akan memujinya.
Namun pemimpin kelompok itu menyadari, tidak akan mungkin dapat mengalahkan Ki Lurah Lenggana. Tetapi pemimpin kelompok itu berkata di dalam hatinya, "Mudah-mudahan pada putaran berikutnya kau bertemu dengan lurahku. Ki Lurah Kasadha."
*** JILID 42 Kasadha yang menyaksikan pertandingan itu menjadi tegang. Ia melihat Ki Lurah Lenggana dengan bersungguh-sungguh ingin segera menghentikan perlawanan seorang pemimpin kelompok yang tidak diperhitungkannya sama sekali.
Namun niat Ki Lurah Lenggana itu tidak dapat dilakukannya. Ia tidak dapat mengalahkan pemimpin kelompok itu dalam sepuluh hitungan. Bahkan sekali-sekali pemimpin kelompok itu mampu mengejutkannya. Apalagi ketika tiba-tiba saja serangan pemimpin kelompok itu sempat mengenai betisnya. Satu sapuan yang tiba-tiba. Sambil menjatuhkan dirinya, pemimpin kelompok yang menghindari serangan tangan Ki Lurah Lenggana yang terayun, sekaligus telah menyapu kaki Ki Lurah.
Hampir saja Ki Lurah kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa pemimpin kelompok itu melakukannya dengan tergesa-gesa, sehingga tidak sempat membangunkan seluruh kekuatannya.
Ki Lurah Lenggana ternyata memang seorang yang tangkas. Dengan cepat ia menguasai dirinya dan keseimbangannya kembali, sehingga iapun telah berdiri dengan kokohnya pada kedua kakinya yang renggang. Namun pada saat itu juga, lawannya telah melenting berdiri dan berdiri pula sebagaimana dilakukan oleh Ki Lurah.
Sorak yang gemuruh seakan-akan telah mengguncang langit. Para prajurit yang melihat bagaimana pemimpin kelompok itu mampu mengimbangi kemampuan seorang Lurah Penatus yang bernama Lenggana itu. Seorang yang merasa dirinya lebih baik dari semua orang. Bahkan anak buahnya sendiri ternyata telah ikut bersorak mengagumi pemimpin kelompok itu.
Hanya beberapa orang di antara anak buahnya sajalah yang tidak ikut bersorak. Termasuk pemimpin kelompok yang gagal untuk memasuki putaran yang lebih tinggi itu.
Kasadha yang tegang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, jika pemimpin kelompoknya itu kemudian dianggap kalah, namun ia telah menunjukkan sesuatu yang berarti. Ia sudah menyatakan dirinya, bahwa kemampuannya tidak terpaut terlalu banyak dengan orang yang menganggap dirinya terbaik itu.
Ki Lurah Lenggana memang menjadi sangat marah. Kecuali waktu yang dikehendaki telah jauh terlampaui, ternyata orang itu hampir saja dapat menjatuhkannya. Jika hal itu terjadi, maka ia akan merasa sangat malu meskipun kemudian ia dapat memenangkan pertandingan itu.
Dengan demikian, maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Lurah Lenggana benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Sementara pemimpin kelompok itupun telah memeras apa yang ada padanya dalam olah kanuragan.
Tetapi setiap kali masih terdengar sorak yang melonjak tinggi. Pemimpin kelompok itu masih saja mampu melakukan perlawanan yang mengejutkan. Ditumpahkannya semua kekuatan dan kemampuan. Unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dengan tuntunan Kasadha yang pada putaran pertama tidak dipergunakan dengan sepenuh tenaga, telah dihentakkannya pula. Meskipun serangan-serangannya akan menjadi berbahaya, tetapi pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa Lenggana tentu akan dapat menghindari atau menangkisnya.
Namun sekali-sekali serangan itu mampu juga mengenai tubuh Laksana yang telah membuatnya semakin marah.
Tetapi sekali-sekali serangan itu mampu juga mengenai tubuh Laksana yang telah membuatnya semakin marah.
Tetapi ternyata bahwa bagaimanapun juga Lenggana masih mempunyai kelebihan. Keinginannya untuk menjadi orang terbaik ternyata mampu mempengaruhi daya tahannya. Meskipun pemimpin kelompok itu sudah mampu memadukan pernafasannya dalam irama tata geraknya dalam keseluruhan, namun akhirnya tenaganya mulai susut sedikit demi sedikit.
Sebenarnya tenaga Ki Lurah Lengganapun mulai menyusut pula. Tetapi kemauannya yang menyala di dalam dadanya, membuatnya lebih kuat untuk bertahan.
Beberapa saat kemudian, maka pemimpin kelompok di bawah pimpinan Kasadha itupun tidak lagi memaksakan diri. Ia sudah menunjukkan kemampuannya mengimbangi kemampuan Ki Lurah Lenggana. Jika kemudian tenaganya mulai susut, maka lebih baik baginya untuk memberi kesempatan kepada Ki Lurah Lenggana untuk memenangkan perkelahian itu.
Sebenarnyalah, meskipun harus mengerahkan segenap kemampuan bahkan memeras tenaganya sampai tuntas, Ki Lurah Lenggana akhirnya memenangkannya juga. Sambil terengah-engah pemimpin kelompok yang dinyatakan kalah itu keluar dari arena. Bahkan sekali-sekali langkahnya agak menjadi sendat.
Namun pemimpin kelompok itu masih sempat tersenyum kepada kawan-kawannya yang mengucapkan selamat, meskipun hanya dengan sorot matanya karena kemampuannya untuk waktu yang cukup lama mengimbangi kemampuan Ki Lurah Lenggana.
Yang mengumpat tidak habis-habisnya, meskipun hanya didengarnya sendiri adalah Ki Lurah Lenggana. Bahkan dengan kasar ia berkata kepada salah seorang pemimpin kelompoknya, "Iblis mana yang telah membantunya, sehingga ia mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama."
Pemimpin kelompoknya tidak menjawab. Ki Lurah Lenggana itu juga terengah-engah. Nafasnya seakan-akan akan terputus di kerongkongan. Agaknya iapun telah mengerahkan kemampuannya habis-habisan. Namun pemimpin kelompoknya itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa pemimpin kelompok di bawah pimpinan Kasadha itu hanya berada selapis tipis di bawah Ki Lurah Lenggana yang merasa dirinya terbaik di seluruh isi barak itu.
Sementara itu pertarungan berikutnya telah mulai. Sepasang demi sepasang segera melaksanakan pendadaran yang bersifat semacam lomba ketangkasan olah kanuragan itu.
Dalam pada itu, pemimpin kelompok yang berada di bawah pimpinan Kasadha yang seorang lagi ternyata harus menghadapi seorang pemimpin kelompok yang memiliki tubuh raksasa. Namun raksasa itu agaknya seorang yang selalu saja tersenyum dalam keadaan apapun juga.
Perkelahian di antara keduanya terjadi dengan sangat serunya. Seperti pemimpin kelompok yang lain, maka pemimpin kelompok yang seorang inipun hampir saja dapat memenangkan pertandingan. Tetapi pemimpin kelompok itu ternyata masih dipengaruhi oleh perasaan segan dan justru karena memang tidak ada usaha untuk menang. Apalagi merasa harus menang. Itulah sebabnya, pada saat-saat terakhir, pemimpin kelompok itupun dapat dikalahkan oleh raksasa itu.
Namun demikian mereka keluar dari arena, raksasa itu menepuk bahu pemimpin kelompok itu sambil berkata, "Nampaknya kau memang mengalah."
"Ah, tidak," jawab pemimpin kelompok itu, "kau memiliki tubuh dan sudah tentu kekuatan raksasa. Kulitmu seperti kulit badak air yang tidak merasa sakit apapun yang aku lakukan."
Raksasa itu tersenyum seperti kebiasaannya. Katanya, "Nampaknya kau masih merasa segan untuk mengalahkan seorang Lurah Penatus. Kau masih mengingat harga diri orang lain. Aku harus berterima kasih kepadamu."
"Tidak. Tidak. Aku memang harus mengakui kekalahan ini dengan ikhlas," jawab pemimpin kelompok itu.
Lurah Penatus yang bertubuh raksasa itu tertawa. Namun kemudian sambil menepuk bahu pemimpin kelompok itu, ia berkata, "Aku akan berganti pakaian."
"Kau tidak menyaksikan perkelahian berikutnya" Bukankah kau akan turun di putaran kedua kelak?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Sebenarnya aku tidak berhak turun ke putaran kedua. Jika aku turun juga, agaknya hanya untuk menggenapi hitungan," orang itu tertawa lagi sambil melangkah pergi.
Kedua pemimpin kelompok itupun kemudian telah berdiri di sebelah menyebelah Kasadha sambil menyaksikan pertarungan berikutnya. Pemimpin kelompok yang berkelahi melawan Lenggana harus mengeluh menahan sakit di pundak dan lambungnya.
"Nanti, aku akan mengobatimu," berkata Kasadha, "tetapi kau sudah menunjukkan sesuatu yang sangat berarti. Semua prajurit melihat, bahwa kemampuanmu tidak terpaut banyak dengan Lenggana."
Namun demikian sambil menepuk bahu pemimpin kelompoknya yang lain Kasadha berkata sambil tersenyum, "Kau masih cukup segar. Apa kata lawanmu itu?"
"Ia mengira aku tidak bersungguh-sungguh," jawab pemimpin kelompok itu.
Kasadha tertawa kecil. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Apa jawabmu?"
"Aku mengatakan bahwa aku sudah bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak percaya," jawab pemimpin kelompoknya.
Masih sambil tertawa Kasadha berkata, "Seharusnya kau berjalan agak pincang, terbongkok-bongkok sambil mengerang sedikit."
Kedua pemimpin kelompok itupun tertawa pula.
Sementara itu, datang giliran Kasadha turun ke lingkaran. Untunglah bahwa ia tidak bertemu dengan Ki Lurah Bantardi yang juga merasa dirinya terbaik.
Sudah diperhitungkan oleh hampir semua orang bahwa Kasadha akan menenangkan pertandingan itu. Tetapi Kasadha juga tidak berbuat semena-mena. Iapun menghormati lawannya sebagaimana diajarkan kepada para pemimpin kelompoknya. Sehingga karena itu maka pertandingan itu nampak seru dan seimbang. Beberapa kali Kasadha sempat juga terlempar jatuh. Meskipun dengan serta-merta ia cepat bangkit. Demikian pula lawannya.
Lenggana dan Bantardi memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun yang mereka lihat adalah Kasadha masih juga belum pantas dikagumi. Ia masih mengalami kesulitan mengalahkan lawannya, seorang Lurah Penatus yang lebih kecil dan lebih pendek daripadanya.
Namun meskipun agak tersendat-sendat, Kasadha akhirnya dapat mengalahkan lawannya, sehingga Kasadha berhak mengikuti putaran berikutnya.
Demikian keduanya dinyatakan selesai, sambil tersenyum Kasadha menepuk lengannya sambil berkata, "Kau mempunyai daya tahan yang sangat baik."
Tetapi Lurah itu menjawab, "Kau sakiti lambungku."
"Aku tidak pernah mengenai lambungmu," desis Kasadha.
"Tanganku sendiri yang mengenai lambungku. Tetapi karena tekanan kakimu. Jika aku tidak melindungi lambungku dengan tanganku, mungkin aku akan muntah-muntah," jawab orang itu.
"Tetapi kau juga menyakiti tengkukku," desis Kasadha.
"Kau sendiri yang menyakitinya," jawab Lurah itu.
Kasadha tertawa. Katanya, "Ya. Aku mencoba berguling ke belakang. Tetapi justru leherku hampir patah."
Lawan yang dikalahkan Kasadha itupun tertawa pula.
Pada hari itu, putaran pertama memang berakhir. Besok, mereka yang berhasil menang di putaran pertama akan memasuki putaran kedua, sehingga akhirnya hanya akan ada tiga orang saja yang keluar sebagai pemenang. Ketiga orang ini akan saling berhadapan di hari-hari berikutnya. Sehari satu pasang, sehingga pertempuran di putaran terakhir itu akan berlangsung tiga hari.
Di hari kedua terjadi putaran kedua yang hanya terdiri enam orang. Terhadap mereka tidak dilakukan undian. Tetapi Ki Rangga Prangwiryawan telah menunjuk tiga orang, Kasadha, Lenggana dan Bantardi berhadapan dengan tiga orang Lurah Penatus yang lain. Nampaknya Ki Rangga dengan sengaja ingin menyisakan ketiga orang Lurah itu untuk bertemu di putaran terakhir.
Sebenarnyalah sesuai dengan perhitungan Ki Rangga, setelah putaran kedua selesai, maka yang menang adalah Ki Lurah Lenggana, Bantardi dan Kasadha. Dengan demikian maka ketiga orang itu akan saling berhadapan. Justru mereka akan diundi, siapa yang akan tampil di hari pertama. Siapa yang akan bertanding di hari kedua dan siapa yang akan mengakhiri pertandingan pada putaran ketiga itu.
Setelah dibicarakan di antara para pemimpin barak itu, maka pertandingan putaran terakhir akan berlangsung sepekan mendatang. Hari pertama dan hari kedua berselang satu hari. Demikian pula dengan hari ketiga.
Namun undian telah dilakukan, begitu putaran kedua diselesaikan.
Pada hari yang pertama di putaran terakhir itu Lenggana akan tampil melawan Kasadha. Kemudian setelah beristirahat sehari, maka Kasadha akan tampil melawan Bantardi. Di hari terakhir, berselang pula sehari, maka Bantardi akan berhadapan dengan Lenggana.
Dengan demikian Lenggana mendapat sedikit keuntungan, karena ia dapat beristirahat lebih panjang dari kedua orang kawannya yang lain. Namun kedua orang Lurah Penatus yang lain tidak dapat merasa iri, karena hal itu ditentukan oleh sebuah undian.
Ternyata saat-saat menunggu hari-hari pertandingan pada putaran terakhir itu terasa sedikit tegang. Para Lurah Penatus yang akan turun ke lingkaran pertandingan mempunyai waktu lima hari. Mereka tidak dapat meningkatkan ilmu mereka dalam waktu yang pendek itu. Tetapi ilmu itu semisal pisau, mereka akan dapat mengasahnya sehingga menjadi tajam meskipun dengan dasar benda yang sama.
Sebenarnyalah para pemimpin pasukan itu telan mengasah kemampuan mereka di tempat yang terpisah. Ki Lurah Lenggana justru mempergunakan sanggar terbuka. Hanya sekali-sekali saja ia mempergunakan sanggar tertutup. Sementara Ki Lurah Bantardi sebaliknya. Ia lebih banyak berada di sanggar tertutup. Hanya jika Ki Lurah Lenggana memerlukannya, Ki Lurah Bantardi akan berada di sanggar terbuka.
Kasadha berlatih di tempat yang terpisah sama sekali. Kedua orang pemimpin kelompoknya selalu menungguinya. Kadang-kadang berdua mereka menjadi lawan berlatih Kasadha. Namun keduanya tidak pernah dapat bertahan cukup lama.
Salah seorang pemimpin kelompoknya yang pernah bertanding melawan Lenggana berkata, "Ki Lurah. Jika Ki Lurah mau, maka Ki Lurah akan dapat mengalahkannya dalam waktu yang sangat singkat. Aku sudah pernah menjajagi ilmu Ki Lurah Lenggana, sementara ini aku sering mengikuti Ki Lurah Kasadha berlatih disini."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali masih terngiang kata-kata Ki Rangga Dipayuda. Jika ia memang ingin dianggap kalah. Maka ia harus kalah pada putaran pertama. Sedangkan ia sendiri yakin, kekalahannya pada putaran pertama akan dapat menimbulkan persoalan, karena beberapa orang tentu tidak akan mempercayainya. Sedangkan jika ia memang sudah menang, maka ia harus menang sampai putaran terakhir. Bahkan Ki Rangga Dipayuda itupun berkata, bahwa ia harus tampil sebagaimana adanya. Jika ia dapat mengalahkan lawannya pada hitungan yang pertama, maka ia harus melakukannya. Apapun akibatnya kemudian.
Pemimpin kelompoknya yang tertua itupun kemudian berkata, "Jika mereka yakin akan kekalahan mereka, maka mereka tentu tidak akan berani berbuat apapun lagi."
"Mungkin kau benar," berkata Kasadha, "aku akan mengalahkan mereka dengan cara yang meyakinkan. Apapun akibatnya."
Niat itu memang telah menjadi bulat di hati Kasadha. Dengan demikian maka iapun telah berlatih semakin keras. Dipergunakannya waktunya yang sepekan itu dengan sebaik-baiknya. Kasadha telah mengasah ilmunya sampai ketajaman yang tidak mungkin ditingkatkan lagi dalam waktu yang pendek itu.
Dari hari ke hari, ketiga orang Lurah Penatus itu telah berlatih dengan sebaik-baiknya. Sehingga ketika hari yang ditentukan tiba, maka ketiga orang itupun telah bersiap menghadapi arena yang tentu akan menjadi semakin garang.
Demikianlah, arenapun telah disiapkan. Sedikit lebih luas dari arena yang pernah dipergunakan sebelumnya. Ketiga orang Lurah Penatus itu tentu akan berjuang dengan sekuat tenaga, agar mereka dapat menjadi orang terbaik di barak itu.
Namun hal-hal yang dicemaskan itupun mulai nampak. Bukan saja para Lurah Penatus yang nampak menjadi agak asing yang satu dengan yang lain. Tetapi orang-orang di dalam pasukannyapun menjadi agak terpengaruh. Mereka mulai saling mengejek sehingga kadang-kadang menimbulkan suasana yang tidak dikehendaki.
Ki Tumenggung secara dini telah memperingatkan Ki Rangga Prangwiryawan, agar mampu membatasi perasaan para prajurit sehingga tidak terjadi salah paham.
Ketika ketiga orang yang akan memasuki putaran terakhir itu sudah siap sebelum di hari pertama Kasadha dan Ki Lurah Lenggana akan bertanding, Ki Tumenggung masih juga memberikan beberapa peringatan.
Terakhir Ki Tumenggung berkata, "Sampai hari ini tidak terjadi salah paham di antara kalian. Apalagi kalian bertiga adalah orang-orang terbaik di barak ini, sehingga pada kalianpun tentu tidak akan terjadi salah paham."
Ketiga orang yang masih akan bertanding di putaran terakhir itu mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa di hati mereka masih saja berkobar keinginan untuk disebut bukan saja tiga orang terbaik, tetapi orang yang terbaik di barak itu.
Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka sesuai dengan undian, maka yang akan turun ke arena adalah Kasadha dan Lenggana. Keduanya adalah Lurah yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka telah memenangkan pertandingan pada putaran-putaran sebelumnya.
Karena itulah, maka perhatian para prajuritpun telah tertumpah sepenuhnya pada arena pertandingan. Para prajurit yang bertugas merasa sangat kecewa bahwa mereka tidak sempat menyaksikan pertandingan puncak dari rangkaian pertandingan-pertandingan yang telah diselenggarakan di barak itu.
Ketika keduanya telah bersiap di arena, Ki Rangga Prangwiryawanpun masih juga membacakan paugeran dari pertandingan yang diselenggarakan di barak itu. Namun demikian ia selesai, maka para prajuritpun telah bersorak gemuruh. Rasa-rasanya para prajurit itu sudah tidak sabar lagi menunggu, apa yang akan terjadi di arena.
Tiga orang Pandhega bersama-sama berada di arena itu pula. Mereka akan mengawasi jalannya pertandingan. Mereka akan mengambil sikap dan kemudian menentukan siapakah yang pantas disebut pemenang. Sedangkan Ki Tumenggung Jayayuda langsung menunggui arena untuk mengamati bukan saja yang terjadi di arena, tetapi juga di luar arena.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, sejenak kemudian Kasadha dan Lengganapun telah bersiap menghadapi pertandingan yang tentu akan menjadi keras. Keduanya tentu tidak ingin kalah meskipun masing-masing masih mempunyai kesempatan sekali lagi bertanding melawan Ki Lurah Bantardi. Namun Ki Lurah Bantardi juga seorang prajurit yang merasa memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain di barak itu, sehingga tentu tidak akan mudah pula mengalahkannya.
Untuk beberapa saat Kasadha masih sempat merenungi pertandingan yang akan dilakukannya itu. Ia masih sempat mengendapkan perasaannya, memahami arti dari peringatan yang diberikan oleh Ki Tumenggung Jayaraga serta paugeran yang dibacakan oleh Ki Rangga Prangwiryawan.
Karena itu, maka ia menghadapi Ki Lurah Lenggana dengan penuh kesadaran, bahwa yang dilakukan itu adalah sekedar pendadaran. Bukan perang tanding sampai tuntas.
Ki Lurah Lengganapun menyadari pula hal itu. Namun ia masih dibebani oleh keinginannya untuk menjadi orang terbaik di barak itu. Karena itu, maka ada semacam dorongan keharusan untuk memenangkan pendadaran itu.
Namun sejak semula Ki Lurah Lenggana memang tidak menganggap Kasadha seorang yang cukup mempunyai bekal ilmu. Jika ia mendengar beberapa orang mengatakan bahwa Ki Lurah Kasadha adalah seorang prajurit yang bukan saja berani di medan perang, tetapi juga memiliki bekal ilmu yang tinggi, maka Ki Lurah Lenggana selalu tersenyum hambar.
"Seberapa tingginya ilmu Kasadha itu" Mungkin para prajurit di barak ini tidak tahu seberapa tataran ilmu bagi seorang Lurah Penatus yang sewajarnya," berkata Ki Lurah Lenggana itu di dalam hatinya. Namun iapun tidak dapat ingkar dari satu kenyataan, bahwa hampir saja ia mendapat malu di putaran pertama pendadaran itu, ketika ia berhadapan dengan salah seorang pemimpin kelompok dari pasukan Ki Lurah Kasadha itu.
"Aku terlalu merendahkannya sehingga aku menjadi lengah," Ki Lurah Lenggana masih mencoba untuk membela diri.
Dalam pada itu, maka kedua orang Lurah itupun segera mulai bergeser ketika isyarat telah diberikan. Ketika Kasadha bergerak mendekati lawannya, maka Ki Lurah Lenggana itu nampak tersenyum. Bahkan berkata meskipun lirih, "Aku ingin melihat apakah ceritera tentang kebesaran nama Kasadha bukan hanya sekedar satu khayalan."
Kasadha mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Namun Kasadha itu mulai menggerakkan kakinya mengarah ke tubuh Ki Lurah Lenggana meskipun baru sekedar untuk menggelitik lawannya.
Tetapi tidak diduga sama sekali. Justru pada saat pendadaran itu baru dimulai, Ki Lurah Lenggana telah menyiapkan serangan yang menentukan. Demikian kaki Kasadha bergerak, Ki Lurah Lenggana telah meloncat dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti pandangan mata kewadagan. Demikian cepat dan bersungguh-sungguh.
Kasadha memang terkejut sekali. Ia tidak mengira bahwa Lenggana telah melakukan serangan yang demikian dahsyatnya pada permulaan pertandingan itu.
Karena itu, maka Kasadha tidak mempunyai banyak kesempatan. Yang dapat dilakukan untuk menghindari serangan itu adalah meloncat surut. Tetapi demikian Kasadha berdiri tegak, sebuah serangan telah menyusul. Kaki Lenggana terayun dalam putaran yang cepat dan deras mendatar menggapai kening. Agaknya Lenggana sama sekali tidak ragu-ragu lagi untuk dengan cepat menghindari pendadaran itu. Pengalamannya melawan pemimpin kelompok yang hampir saja membuatnya malu di hadapan para prajurit selalu diingatnya dengan baik. Apalagi ketika ia berhadapan langsung dengan Kasadha, bukan sekedar salah seorang pemimpin kelompoknya.
Namun Lengganapun sempat berpikir, bahwa dapat saja terjadi seorang pemimpin kelompok memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Lurah Penatusnya.
Ternyata serangan yang berikutnya itu membuat Kasadha semakin sulit. Yang dapat dilakukannya adalah melindungi keningnya dengan kedua tangannya yang bersilang. Namun karena hal itu dilakukan tergesa-gesa justru pada saat ia sedang mengelakkan serangan sebelumnya, maka benturan yang terjadi telah membuatnya hampir saja kehilangan keseimbangannya. Beberapa langkah ia terdorong surut. Namun kemampuannya yang tinggi telah menolongnya sehingga Kasadha masih tetap tegak berdiri. Bahkan dengan cepat Kasadha telah bersiap untuk menghadapi kemungkinan berikutnya.
Lenggana yang hampir saja sempat mengakhiri pendadaran justru saat pendadaran itu baru mulai, memang menjadi kecewa. Benturan yang terjadi telah membuatnya tergetar pula. Meskipun Kasadha terdorong beberapa langkah surut, namun Lenggana gagal untuk dengan cepat memburunya. Ia tidak segera dapat meloncat menyerang dengan serangan berikutnya yang memang sudah diperhitungkan apabila serangan keduanya tidak dapat menjatuhkan Kasadha. Tetapi ternyata bahwa benturan itu telah mendorongnya selangkah surut, meskipun ia tidak terguncang seperti Kasadha.
Meskipun demikian, namun hati Lenggana telah menjadi semakin besar. Ia merasa bahwa dalam waktu yang singkat ia akan dapat mengakhiri perlawanan Kasadha yang oleh beberapa orang masih saja dikagumi dan disebut-sebut, meskipun pertempuran yang dilakukan dengan gagah berani menurut orang-orang yang mengaguminya itu telah dilakukan beberapa lama.
Dalam pada itu Kasadha telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Dikibaskannya keringat di keningnya, seakan-akan ia ingin mengibaskan kesan buruk pada saat pendadaran itu baru saja dimulai.
Sementara itu, para prajurit yang menyaksikan pendadaran itupun terkejut pula. Apalagi para prajurit yang langsung berada di bawah pimpinannya. Beberapa orang justru terpekik.
Sedangkan Ki Rangga Dipayuda, yang ada di dalam arena untuk mengawasi pendadaran itu, terkejut pula. Bahkan menjadi tegang sejenak.
Yang juga menjadi tersenyum karena hentakkan yang menyulitkan Kasadha itu adalah Ki Rangga Prangwiryawan. Sambil bergeser mendekati Lurah Penatus muda itu, ia sempat berdesis, "Hati-hati sedikit Ki Lurah Kasadha."
Kasadha sempat berpaling kepadanya meskipun tidak menjawab. Sementara itu, kedua Pandhega yang lainpun telah memandanginya sekilas.
Ki Rangga Prangwiryawan menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia memandang berkeliling, mencari dimana Ki Tumenggung Jayayuda berdiri. Ternyata Ki Tumenggung itu berdiri tepat di belakangnya, meskipun di luar gawar arena.
Sejenak kemudian, maka kedua orang Lurah Penatus itu telah bersiap. Ki Tumenggung Jayayuda sempat melihat, bahwa Ki Lurah Lenggana nampaknya memang bersungguh-sungguh. Wajahnya membayangkan gelora di dalam dadanya sebagaimana seseorang yang memasuki arena perang tanding. Bukan sekedar pendadaran sebagaimana dimaksud oleh kegiatan yang diselenggarakan di barak itu.
Meskipun demikian, Lenggana masih belum melanggar paugeran dari pendadaran itu. Ia masih dalam batas-batas kemungkinan yang dapat dilakukan dalam pendadaran itu, meskipun sudah mendekati batas tertinggi.
Beberapa saat kemudian maka kedua orang itu masih bergerak selangkah-selangkah kecil. Kasadha memang menjadi lebih berhati-hati. Ternyata Ki Lurah Lenggana sama sekali tidak mengekang diri lagi. Bahkan seandainya serangannya yang sepenuh tenaga itu mengenai bagian-bagian yang paling lemah di tubuhnya, sehingga dapat benar-benar berbahaya bagi jiwanya.
Namun perlakuan Ki Lurah Lenggana itu memang telah menggugah kemarahan Kasadha. Meskipun demikian, Kasadha masih tetap menyadari, bahwa ia berada dalam arena pendadaran, meskipun dilakukan secara khusus.
Sejenak kemudian, maka Kasadha telah mengulangi pancingannya. Tetapi ia tidak akan terkejut lagi seandainya Ki Lurah Lenggana itu dengan tiba-tiba menyerangnya. Bahkan Ki Lurah Kasadha yang telah tersinggung oleh perlakuan Ki Lurah Lenggana pada benturan permulaan itu, telah bersiap secara khusus pula.
Seperti yang terdahulu Kasadha telah menggerakkan kakinya dengan serangan kecil mengarah ke perut Ki Lurah Lenggana. Bukan serangan yang sebenarnya.
Orang-orang yang melihat tata gerak Kasadha itu berdesah di dalam hati. Kenapa Kasadha yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi itu telah mengulangi kesalahannya. Bahkan para prajurit itu sempat berdecak dan bertanya di dalam hati, "Kenapa seperti itu lagi yang dilakukan oleh Ki Lurah Kasadha" Apakah ia tidak belajar dari pengalaman yang baru saja dialaminya."
Namun semua orang menjadi tegang melihat peristiwa yang menyusul kemudian. Ki Lurah Lenggana memang terpancing untuk mengulangi keberhasilannya. Sebelum kaki Kasadha yang terjulur itu menyentuh tanah, maka Ki Lurah Lenggana telah melenting dengan cepat sekali sambil berputar. Sekali lagi kakinya menyapu dalam putaran setinggi kening Kasadha.
Tetap Kasadha tidak terkejut lagi. Ia justru mengharapkan satu serangan yang keras dari Ki Lurah Lenggana. Ternyata Ki Lurah Lenggana tidak mengayunkan kakinya mendatar mengarah ke dadanya. Tetapi putaran yang deras mengarah ke kening seperti serangan yang kedua sebelumnya.
Kasadhapun ternyata mampu memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Sambil mengerahkan tenaga dan kemampuannya yang sudah terlatih dengan baik, maka Kasadha dengan sengaja telah membentur serangan itu dengan cara sebagaimana sebelum ia melindungi keningnya dengan tangannya yang bersilang.
Semua jantung bagaikan berhenti berdetak. Juga Ki Rangga Prangwiryawan. Serangan Lenggana terasa lebih berat dan lebih keras dari serangannya sebelumnya dengan gaya yang sama. Sementara itu, mereka melihat sikap Kasadha masih juga seperti sikapnya sebelumnya, saat ia terdorong beberapa langkah surut.
Seorang pemimpin kelompoknya, pemimpin kelompoknya yang tertua yang selama itu mengagumi Kasadha dalam latihan-latihan yang dilakukan, di luar sadarnya berdesah, "Ki Lurah."
Sejenak kemudian sebuah benturan yang sangat keras telah terjadi. Kaki Ki Lurah Lenggana yang terayun berputar dalam loncatan yang dilakukan berlandasan segenap kekuatan dan kemampuannya itu tepat mengarah ke kening Kasadha. Tetapi kaki Ki Lurah Lenggana itu telah membentur tangan Kasadha yang bersilang di depan keningnya. Namun yang bukan sekedar melindungi sebagaimana sebelumnya. Kedua tangan yang bersilang itu mengandung tenaga yang kuat sekali. Bahkan kedua tangan itu telah menghentak keras ketika benturan sedang terjadi.
Para prajurit dari segala tataran tergetar jantungnya ketika mereka menyaksikan benturan yang terjadi. Ki Lurah Kasadha memang terdorong lagi dua langkah surut. Namun sama sekali tidak terganggu keseimbangannya. Jika ia surut dua langkah, semata-mata untuk meredam tekanan yang terjadi dalam benturan itu.
Namun sebaliknya, yang terjadi pada Ki Lurah Lenggana benar-benar di luar dugaan. Ki Lurah Lenggana bukan saja tergetar surut dan terganggu keseimbangannya. Tetapi Ki Lurah Lenggana telah terlempar dan terbanting jatuh. Beberapa kali ia harus terguling untuk menjauhi lawannya. Baru kemudian berusaha untuk bangkit.
Tetapi ketika ia berdiri tegak, terasa tulang-tulangnya menjadi sakit. Terutama tulang-tulang kakinya. Sendi-sendinya bagaikan menjadi retak, sehingga setiap kali kakinya bergerak ia harus menyeringai menahan sakit.
Ki Lurah Kasadha sendiri menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat dianggap tidak mengendalikan diri, karena ia sekedar melindungi dirinya. Ki Lurah Lenggana sendirilah yang telah menyerang dengan sepenuh kekuatan dan kemampuannya.
Sorak gemuruh yang meledak dengan serta-merta seakan-akan telah mengguncang setiap bangunan di barak itu. Para prajurit yang menyimpan ketidak-senangan terhadap sikap Ki Lurah Lenggana seakan-akan melihat bagaimana orang itu dibenturkan pada satu kenyataan tentang dirinya. Bahkan sebagian dari prajurit di bawah pimpinannyapun telah bersorak pula.
Ki Tumenggung Jayayuda yang menyaksikan benturan itu mengerutkan keningnya. Semula iapun menjadi tegang melihat sikap Kasadha. Namun kemudian, di luar sadarnya, ia merasa bersyukur bahwa Kasadha tidak terbanting jatuh. Bahkan sebaliknya.
Ki Tumenggung yang berdiri di luar arena itu menunggu, apa yang akan terjadi kemudian. Namun ia menjadi semakin bersungguh-sungguh mengamati keadaan meskipun telah ada tiga orang Pandhega yang berada di dalam lingkaran pertempuran itu. Ki Tumenggung ternyata telah melihat gejala yang kurang baik yang meliputi pendadaran itu. Ki Lurah Lenggana agaknya benar-benar telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Bahkan tentu juga ilmu yang dimilikinya, ditumpahkannya sampai tuntas. Sebagai seorang yang merasa dirinya terbaik. Ia tentu tidak akan pernah bermimpi untuk dapat ditundukkan oleh Kasadha.
Ki Rangga Prangwiryawan juga terkejut melihat akibat dari benturan itu. Bukan Kasadha yang terlempar, tetapi justru Ki Lurah Lenggana.
Tetapi setiap orang di sekitar dan di dalam arena itu harus mengakui satu kenyataan yang terjadi. Ki Lurah Lengganalah yang telah terguncang keseimbangannya dan bahkan terjatuh meskipun dengan cepat mampu bangkit kembali. Tetapi setiap kali Ki Lurah Lenggana masih harus berdesis oleh gigitan nyeri di tubuhnya.
Ternyata Kasadha benar-benar tahu diri. Ia tidak meloncat memburu dan memanfaatkan keadaan yang sulit bagi Ki Lurah Lenggana itu untuk segera mengakhiri pendadaran. Bahkan Ki Lurah Kasadha seakan-akan dengan sengaja telah memberi kesempatan kepada Ki Lurah Lenggana untuk memperbaiki keadaannya.
Karena itu, maka Ki Lurah tidak segera meloncat menyerang. Tetapi ia justru bergeser di pinggir arena, berputar mengelilingi lawannya.
Ki Lurah Lenggana mengumpat di dalam hati. Sekilas ia melihat para Pandhega yang berdiri mematung. Kemudian Ki Tumenggung Jayayuda serta wajah-wajah para prajurit yang semuanya seakan-akan memandanginya sambil mencibirkan bibirnya.
Tetapi Ki Lurah Lenggana itu telah menggeretakkan giginya. Dihentakkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakitnya. Kemudian dengan garang telah bersikap kembali menghadapi Ki Lurah Kasadha.
Para Pandhega memang belum menentukan bahwa ia telah dikalahkan oleh Kasadha. Apalagi Ki Rangga Prangwiryawan. Ia ingin memberikan kesempatan kepada Lenggana untuk memenangkan pendadaran itu. Meskipun pada akhirnya Ki Rangga itu ingin menunjukkan bahwa dirinya sendirilah yang terbesar, namun kemenangan Kasadha memang tidak diinginkannya.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah saling berhadapan pula. Kasadha tidak lagi memancing agar lawannya dengan serta-merta menyerangnya. Ki Lurah Lenggana tentu tidak akan sebodoh seekor keledai sehingga ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama menghadapinya.
Justru Kasadhalah yang kemudian menunggu. Tetapi ia cukup berhati-hati.
Sesaat kemudian, ketika Ki Lurah Lenggana melihat satu kesempatan, iapun telah meloncat menyerang. Tetapi Lenggana menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang yang tidak disukainya itu.
Kasadha dengan cepat menghindarinya. Namun serangan Lenggana beruntun memburunya, meskipun setiap kali, nampak orang itu harus menahan sakit. Tetapi perasaan sakit itu lambat laun dapat diatasinya dengan daya tahannya dan pemusatan perhatian terhadap lawannya.
Sesaat kemudian, pertandinganpun berlangsung lagi dengan serunya. Namun para pemimpin di barak itu telah dapat melihat, tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Lurah Lenggana. Setiap kali serangan Kasadha dapat mengenainya. Namun Kasadha tidak lagi merasa perlu untuk menghentakkan kekuatan dan kemampuannya sampai puncak.
Sekali-sekali serangan Lenggana masih juga sempat mengenai tubuh Kasadha. Tetapi tenaga Lenggana telah jauh susut, sehingga serangan-serangannya sudah tidak berbahaya sama sekali.
Pertandingan menjadi kurang menarik. Namun Lenggana yang tidak pernah merasa lebih rendah kemampuannya dari Kasadha masih memaksa Kasadha lebih banyak sekedar melayaninya. Memaksa Lenggana mengerahkan kemampuannya, namun kemudian membiarkan Lenggana merasa mendapat beberapa kesempatan baru.
Ki Lurah Bantardi memperhatikan pertandingan itu dengan saksama. Setelah beristirahat sehari, Kasadha itu akan menghadapinya sesuai dengan undian yang telah dilakukan. Karena itu maka dengan saksama Ki Lurah Bantardi mempelajari kelebihan pada kedua orang yang sedang bertanding itu, terutama Kasadha. Seperti Lenggana iapun merasa harus menang atas Kasadha. Namun bukan hanya itu, iapun harus menang atas Lenggana. Baru ia dapat disebut Lurah terbaik dalam olah kanuragan di barak itu.
Semula Bantardi memang menganggap Lenggana sebagai saingannya yang terberat. Tetapi setelah melihat kenyataan yang terjadi di arena, maka iapun menyadari sepenuhnya, bahwa Kasadha adalah orang yang paling menentukan.
"Jika aku dapat menang atas Kasadha, akupun yakin, bahwa di hari terakhir, aku akan menang pula atas Ki Lurah Lenggana. Dengan demikian maka aku adalah Lurah Penatus terbaik di barak ini," berkata Bantardi di dalam hatinya.
Sementara itu pertandingan berlangsung terus. Semakin lama maka kekuatan Ki Lurah Lenggana menjadi semakin susut. Setiap kali Kasadha memancingnya untuk bertempur dengan langkah-langkah panjang. Sekali dua kali dikenainya. Kemudian seakan-akan ia telah membuka diri sehingga Ki Lurah Lenggana dapat mengenainya, meskipun tidak banyak pengaruhnya atas ketahanan tubuhnya.
Dengan demikian, maka para Pandhega segera dapat mengambil kesimpulan. Ki Lurah Kasadha tentu akan memenangkan pertandingan itu.
Namun baik Ki Rangga Dipayuda maupun Ki Rangga Wirayuda lebih banyak menunggu sikap Ki Rangga Prangwiryawan yang dibebani tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pertandingan itu.
Namun Ki Rangga Prangwiryawanpun akhirnya harus melihat kenyataan itu. Iapun akhirnya mengambil sikap lain. Siapapun yang menang, maka tidak ada soal baginya. Ia akan mengalahkan orang terbaik itu. Meski pun sebenarnya ia mulai memperhitungkan kemampuan Kasadha.
"Apakah ia benar-benar seorang yang berani dan pilih tanding sebagaimana dikatakan oleh para prajurit yang pernah bersamanya dalam perang yang sebenarnya?" pertanyaan itu mulai tumbuh di hatinya.
Namun pada saat itu ia harus segera mengambil keputusan. Keadaan Ki Lurah Lenggana menjadi semakin buruk. Jika pertandingan itu tidak dihentikan, maka Ki Lurah Lenggana akan menjadi semakin lemah. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga pandangan para prajurit terhadapnya meskipun ia telah memenangkan pertandingan di putaran-putaran sebelumnya.
Karena itu, maka Ki Rangga Prangwiryawanpun telah memberikan isyarat kepada Ki Rangga Wirayuda dan Dipayuda. Hampir berbareng kedua orang Pandhega itu mengangguk mengiakan setelah mereka mengerti maksud Ki Rangga Prangwiryawan.
Demikianlah, maka Ki Rangga Prangwiryawan itupun melangkah mendekati kedua orang yang sedang bertempur. Iapun segera memberikan isyarat kepada keduanya dengan mengangkat tangannya sambil berdiri di antara keduanya.
"Kami, para Pandhega yang mengamati pendadaran ini telah mengambil kesimpulan," berkata Ki Rangga Prangwiryawan.
Keduanya menjadi tegang. Sementara para prajuritpun diam mendengarkan meskipun mereka sudah tahu apa yang akan diucapkan oleh Ki Rangga Prangwiryawan itu.
"Sebenarnyalah, setelah menyaksikan dan mempertimbangkan kenyataan di arena ini, maka bersama-sama dengan kedua orang Pandhega yang lain, kami menyatakan untuk menghentikan pertandingan ini, karena menurut penilaian kami, Ki Lenggana telah menjadi semakin lemah dan tidak akan mungkin memenangkannya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Lurah Kasadha telah dianggap memenangkan pendadaran kali ini. Jika ada di antara para Pandhega yang berkeberatan, kami mohon pertimbangannya."
Ternyata kedua orang Pandhega yang lainpun tidak memberikan pernyataan apa-apa. Bahkan keduanya mengangguk kecil untuk menyatakan persetujuan mereka.
Yang terdengar kemudian adalah sorak yang gemuruh. Semua orang memang sependapat. Seandainya pertandingan itu diteruskan, keadaannya tidak akan menguntungkan Ki Lurah Lenggana.
Tetapi Ki Lurah Lenggana ternyata terkejut mendengar pernyataan Ki Rangga Prangwiryawan. Dengan lantang ia berkata, "Aku belum kalah. Bahkan aku masih sanggup untuk memenangkan pertandingan ini."
Namun Ki Rangga Prangwiryawan menggeleng. Katanya, "Tidak. Kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kau sudah menjadi semakin lemah, sementara Ki Lurah Kasadha masih tegar."
"Tidak. Aku tidak akan meninggalkan arena. Aku memerlukan beberapa waktu lagi untuk mengalahkannya. Tetapi aku minta kesempatan," minta Ki Lurah Lenggana yang memang tidak percaya akan kenyataan yang dihadapinya.
Tetapi Ki Rangga Prangwiryawan berkata, "Kau akan mengalami kesulitan yang lebih parah," Lalu iapun berdesis lirih, "Wibawamu akan runtuh jika kau harus terbaring pingsan di arena ini."
Ki Lurah Lenggana termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia melihat Kasadha, maka akhirnya iapun harus menerima kenyataan itu. Kasadha, maka akhirnya iapun harus menerima kenyataan itu. Kasadha memang masih tegar. Ia masih dapat berbuat apa saja yang dikehendaki. Sementara itu, tenaganya memang terasa sudah menjadi jauh susut.
Yang menjadi kecewa adalah Ki Lurah Bantardi. Ia ingin pertandingan itu berlangsung lebih lama lagi, sehingga keadaan keduanya akan menjadi lebih parah. Ia ingin baik Ki Lurah Lenggana maupun Kasadha mengalami kesulitan dengan tubuhnya.
"Tetapi aku tidak boleh kehilangan kepercayaan diri," berkata Ki Lurah Bantardi kepada diri sendiri.
Demikianlah, akhirnya pertandingan itu dianggap selesai. Meskipun kekalahan Ki Lurah Lenggana tidak mutlak, tetapi ia sudah dinyatakan kalah.
Ki Tumenggung Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sependapat bahwa pertandingan itu dihentikan, justru untuk menjaga wibawa Ki Lurah Lenggana sendiri. Bahwa ia tidak jatuh terlentang dan tidak bangkit kembali karena pingsan. Atau keadaan tubuhnya yang mengalami kesulitan karena tulangnya retak atau sendi-sendinya terkilir.
Sementara itu, Ki Rangga Prangwiryawan berbisik, "Kau masih mempunyai kesempatan. Kau akan bertanding melawan Ki Lurah Bantardi di hari terakhir. Jika keadaanmu menjadi sangat buruk sekarang, maka di hari terakhir kau tidak akan mampu berbuat banyak, sehingga kau akan kalah dua kali berturut-turut."
Ki Lurah Lenggana mencoba untuk mengerti. Namun bagaimanapun juga, kekalahannya dari Ki Lurah Kasadha merupakan satu pukulan yang pahit sekali.
Hari itu, para prajurit di barak itu telah mendapatkan kepastian, bahwa ternyata Ki Lurah Kasadha memang lebih baik dari Ki Lurah Lenggana. Ada semacam kebanggaan, justru karena Ki Lurah Kasadha adalah seorang Lurah Penatus yang sejak semula berada di barak itu, sedangkan Ki Lurah Lenggana dan juga Ki Lurah Bantardi adalah dua orang yang memang ditempatkan di barak itu kemudian. Dengan demikian maka citra dari para prajurit di barak itupun ikut terangkat. Tidak ada lagi anggapan bahwa kemampuan para prajurit di barak itu sebenarnya terlalu rendah. Bahkan para Lurahnyapun tidak dapat dipertanggung-jawabkan kemampuannya.
Kemenangan Kasadha telah membuktikan, bahwa nilai kemampuan para prajurit di barak itu tidak kalah dengan kemampuan para prajurit Pajang yang lain.
Kemenangan Kasadha menjadi bahan pembicaraan di antara para prajurit di barak itu. Setiap ada sekelompok orang berbincang, mereka membicarakan kelebihan Ki Lurah Kasadha. Bahkan juga sikapnya yang hati-hati. Ia tidak dengan sengaja menunjukkan kelebihannya dengan menghancurkan lawannya, meskipun sebenarnya ia mampu melakukannya.
Di hari berikutnya halaman barak itu terasa sepi. Tidak ada kegiatan apapun juga. Para prajurit seakan-akan mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sejak mulai diselenggarakan pendadaran, maka kegiatan barak itu seakan-akan memang terhenti. Namun para prajurit memang merasa mendapatkan kesegaran baru.
Kasadhapun mempergunakan waktu itu untuk beristirahat. Pagi-pagi sekali ia masih melakukan sedikit kegiatan di sanggar tertutup. Namun ketika kemudian Ki Lurah Bantardi akan mempergunakan untuk berlatih, Kasadha telah memilih untuk melakukannya di luar, Apalagi ia hanya sekedar melakukan gerakan-gerakan ringan. Namun cukup lama. Baru kemudian ketika matahari mulai naik, Kasadha menghentikan latihan-latihannya. Kemudian di seluruh hari itu, ia benar-benar beristirahat. Ia hanya duduk-duduk saja berbincang-bincang dengan beberapa orang prajurit. Baru menjelang sore hari, Kasadha berada di dalam baraknya untuk melakukan latihan pernafasan. Seperti saat ia melakukan latihan-latihan ringan, maka iapun memerlukan waktu yang cukup panjang. Baru ketika barak itu kemudian menjadi gelap dan lampu-lampu minyak dinyalakan, Kasadha menghentikan latihan pernafasannya.
Meskipun ia hanya duduk saja sambil menempatkan kedua telapak tangannya di atas lututnya, namun ternyata bahwa Kasadha telah melakukan sesuatu bagi ketahanan tubuh dan jiwanya.
Namun kemudian setelah makan malam dan berbincang-bincang sejenak dengan para prajuritnya, maka Kasadhapun berkata, "Aku harus benar-benar beristirahat malam ini. Besok aku harus turun lagi ke gelanggang yang sama sekali tidak aku sukai itu. Tetapi apa boleh buat. Rasa-rasanya turun ke gelanggang itu menjadi kewajiban dalam pasukan yang ada di barak ini."
"Tetapi kita memang melihat manfaatnya," berkata pemimpin kelompoknya yang tertua.
"Aku tidak ingkar. Memberikan kesegaran baru kepada para prajurit di barak ini. Juga memberikan dorongan kepada para pemimpin kelompok dan para Lurah untuk berlatih," jawab Kasadha, "tetapi semula aku mengira bahwa pertandingan itu dilakukan atas dasar pernyataan dari mereka yang ingin mengikutinya. Tetapi ternyata setiap orang yang ditunjuk harus turun pula ke gelanggang."
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Tetapi kita memang akan melihat siapakah yang terbaik di antara kita."
"Aku masih menganggap bahwa penilaian ini belum cukup," jawab Kasadha, "bagaimana jika di antara para prajurit ada yang memiliki kelebihan" Seandainya ada di antara mereka yang pernah ditempa di sebuah perguruan kemudian menyatakan diri sebagai seorang prajurit" Apalagi jika orang itu bukan seorang yang sombong. Maka agaknya orang itu masih tetap tersembunyi."
Tetapi pemimpin kelompok itu masih juga menjawab, "Bagaimana jika prajurit yang demikian itu tidak menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran?"
Kasadha mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Kau benar. Seandainya ada orang yang demikian, maka ia akan tetap juga tersembunyi."
Pemimpin kelompok itupun tersenyum pula.
Namun Kasadhapun kemudian berkata, "Sudahlah. Aku ingin tidur lebih awal. Dengan demikian aku akan mendapatkan kesegaran penuh esok pagi."
"Tetapi orang yang terlalu lama tidur, justru sebaliknya. Apalagi tidak terbiasa melakukannya," desis pemimpin kelompoknya.
Kasadha tersenyum pula. Katanya, "Untungnya aku terbiasa tidur nyenyak di malam hari."
Pemimpin kelompok itu tidak berkata apa-apa lagi. Kasadhapun kemudian bangkit dan melangkah menuju ke pembaringannya, yang disekat dinding untuk membatasi ruangannya dengan ruang yang luas memanjang bagi sebagian prajurit-prajuritnya.
Kasadhapun kemudian telah membaringkan dirinya. Beberapa di antara pembaringan di ruang yang disekat dengan ruangan bagi Kasadha itupun sudah banyak terisi. Bahkan ada di antara mereka yang sudah mulai tidur mendekur.
Meskipun Kasadha tidak segera dapat tidur, namun ia sudah benar-benar berniat untuk beristirahat. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah mengosongkan dirinya sendiri, sehingga sejenak kemudian Kasadhapun telah tertidur nyenyak.
Ketika fajar menyingsing di hari berikutnya, Kasadha sudah mempersiapkan dirinya. Setelah mandi dan membenahi dirinya, Kasadha telah berjalan-jalan mengelilingi baraknya, seakan-akan ingin mengendorkan urat-uratnya yang tegang.
Demikian matahari terbit, maka segala persiapanpun telah dilakukan. Hari itu yang akan memasuki arena pertandingan adalah Ki Lurah Kasadha dan Ki Lurah Bantardi.
Seperti Ki Lurah Lenggana, maka Ki Lurah Bantardi justru telah dibebani keinginan untuk memenangkan pendadaran itu. Ia harus mengalahkan Kasadha dan di hari terakhir mengalahkan Ki Lurah Lenggana. Dengan demikian, maka ia akan menjadi orang terbaik di barak itu.
Ki Rangga Prangwiryawanpun masih juga berharap bahwa Ki Lurah Bantardi memenangkan pertandingan itu. Jika demikian, maka pertandingan di hari terakhir akan menjadi sangat seru. Jika Ki Lurah Lenggana menang, maka ketiganya mempunyai kedudukan yang sama, sehingga harus diambil satu cara untuk menentukan hasil akhir dari pendadaran itu.
"Aku akan merupakan penentu. Atau ketiga-tiganya akan aku kalahkan berturut-turut," berkata Ki Rangga Prangwiryawan di dalam hatinya meskipun setelah ia menyaksikan kemampuan Kasadha menghadapi Ki Lurah Lenggana, ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh.
Sebelum pertandingan dimulai Ki Rangga Prangwiryawan masih harus membacakan paugeran bagi pertandingan itu, agar kedua-duanya teringat kembali dan sama sekali tidak berniat melanggarnya.
Baru kemudian, maka kedua orang Lurah Penatus itu bersiap untuk bertanding di dalam arena yang dikerumuni oleh hampir semua prajurit di barak itu, kecuali yang bertugas.
Berbeda dengan pertandingan dua hari sebelumnya, maka Ki Lurah Bantardi tidak dengan serta-merta ingin mengalahkan Kasadha. Tetapi ia berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya dari permulaan, sehingga jika kemungkinan terbaik telah terbuka, barulah ia akan mengalahkannya.
Kasadha yang memiliki pengalaman yang luas dalam usianya yang muda itu, menanggapi sikap Bantardi dengan sangat berhati-hati. Justru Kasadha menganggap Bantardi lebih matang dari Lenggana yang tiba-tiba saja telah menyerangnya dengan segenap kekuatan dan kemampuannya.
Dengan demikian, maka pada ujung pertandingan itu terasa kedua-duanya menjadi lamban. Terlalu berhati-hati dan tidak berkesan bersungguh-sungguh.
Tetapi semakin lama, maka pertandingan itu memang menjadi semakin cepat. Bantardi telah meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis. Sementara Kasadhapun menanggapinya. Iapun harus meningkatkan ilmunya pula untuk mengimbangi lawannya.
Bantardipun menyadari, bahwa Kasadha memang seorang yang mempunyai perhitungan yang luas. Ia tidak saja bertempur sebagaimana kebanyakan orang-orang muda. Tetapi Kasadha benar-benar mampu menguasai dirinya dan mempergunakan penalaran yang terang.
Bahkan ketika Bantardi telah sampai ke tataran yang tinggi dari penguasaan ilmunya, ternyata bahwa Kasadhapun telah mengimbanginya tanpa kesulitan.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu memang merasa lesu. Tidak menghentak seperti Ki Lurah Lenggana. Namun semakin lama merekapun semakin tegang pula. Meskipun untuk beberapa lama tidak terdengar sorak yang gemuruh, namun ketegangan justru semakin mencengkam jantung mereka.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega justru menjadi berdebar-debar. Mereka melihat bagaimana kedua orang yang ada di arena itu mempersiapkan diri untuk sampai ke puncak ilmu mereka. Dengan demikian, maka pertandingan itu akan menjadi keras dan berkesan bersungguh-sungguh.
Karena itu, maka mereka mengamati pertandingan itu semakin cermat.
Ki Lurah Lenggana yang tulang-tulangnya masih terasa sakit, menyaksikan pertempuran itu dengan saksama. Ia lebih memperhatikan Ki Lurah Bantardi daripada Kasadha. Ia sudah terlanjur dikalahkan oleh Kasadha. Jika Ki Lurah Bantardi dapat mengalahkan Kasadha, dan ia kemudian dapat mengalahkan Bantardi, maka kedudukan mereka akan menjadi sama. Mereka tinggal menunggu kesempatan berikutnya atau pendadaran itu dianggap selesai. Namun dengan demikian, ia akan dapat menebus kekalahannya. Tetapi jika Ki Lurah Bantardi juga dikalahkan oleh Kasadha, maka Kasadhalah yang akan dianggap orang terbaik di barak itu. Kemenangannya atas Ki Lurah Bantardi tidak akan berarti apa-apa lagi.
Ki Lurah Lenggana yang mengamati pertandingan itu dengan saksama memang menjadi berdebar-debar pula. Tingkat kemampuan kedua orang yang berada di arena itu merambat perlahan-lahan, namun mendebarkan. Keduanya meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis.
Dengan demikian maka pertandingan itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketika ilmu mereka sudah sampai ke tataran yang tinggi, maka mulailah para prajurit yang menyaksikan pertandingan itu bergejolak. Hentakan-hentakan yang keras mulai disambut dengan teriakan-teriakan yang riuh. Namun sekali-sekali para prajurit yang menyaksikan itu justru terdiam. Ketegangan telah mencengkam jantung mereka pula.
Dengan demikian, maka para Pandhegapun menjadi semakin bersungguh-sungguh mengamati pertandingan itu. Agaknya kedua orang Lurah Penatus itu telah memasuki satu tataran yang menentukan.
Ki Lurah Bantardi yang merasa memiliki kemampuan yang tinggi, berusaha menekan Ki Lurah Kasadha di tataran puncak ilmunya. Dengan cepat Ki Lurah Bantardi telah mendesak dan kemudian mengurung Ki Lurah Kasadha di sudut arena. Serangan-serangan Ki Lurah Bantardi menjadi berbahaya, sementara ruang bergerak Ki Lurah Kasadha menjadi semakin sempit.
Para prajurit yang menyaksikan pertandingan itu sempat menahan nafas ketika serangan Ki Lurah Bantardi menjadi semakin deras. Seperti gelombang yang datang beruntun serangan-serangan itu semakin menyudutkan Ki Lurah Kasadha. Usaha Ki Lurah Kasadha untuk menerobos keluar dari kurungan itu terasa sulit. Bantardi mampu bergerak cepat dan membatasi ruang gerak Kasadha di sudut arena.
Kasadha memang mengalami kesulitan karena ruang geraknya yang sangat terbatas. Beberapa kali Kasadha harus menangkis serangan Bantardi karena tidak mempunyai ruang untuk menghindar.
Para Pandhega memperhatikan pertempuran itu semakin bersungguh-sungguh. Bertiga para Pandhega itu seakan-akan berkerumun mendekati sudut arena. Bahkan Ki Rangga Dipayuda menjadi berdebar-debar melihat kedudukan Kasadha yang seakan-akan terjepit oleh kecepatan gerak Bantardi yang tidak memberinya jalan keluar dari lingkaran yang semakin sempit itu.
Kasadhapun merasa bahwa ia hampir kehilangan ruang gerak sama sekali. Beberapa kali ia mencoba untuk bergeser, namun Bantardi nampaknya tidak mau memberinya peluang. Tetapi justru karena itu, maka Kasadhapun telah berniat untuk membuat jalan sendiri.
"Apaboleh buat," desis Kasadha.
Sejenak kemudian, ketika ternyata Bantardi justru berusaha mengurungnya lebih ketat, Kasadha justru telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Dibangunkannya kekuatan atas landasan tenaga dalamnya. Sejenak ia mengambil ancang-ancang sambil memusatkan nalar budinya.
Ketika Bantardi merasa telah berhasil menyudutkan Kasadha di sudut arena sehingga tidak mungkin bergeser lagi, maka Bantardipun telah berniat untuk mengakhiri pertandingan itu. Ia harus menghancurkan Kasadha pada kesempatan itu. Sehingga karena itu, maka Bantardipun telah bersiap untuk melakukan serangan habis-habisnya. Serangan yang bagaikan banjir bandang menghantam bendungan yang mulai retak sehingga akhirnya harus pecah dan hancur berserakkan.
Para prajurit menjadi semakin tegang. Tidak ada lagi sorak yang membahana. Semuanya justru diam sambil memandang pertandingan itu tanpa berkedip. Sementara Ki Tumenggung Jayayudapun ikut menahan nafas pula.
Para pemimpin kelompok di bawah pimpinan Kasadha benar-benar dicengkam oleh kecemasan. Kasadha seakan-akan memang sudah kehilangan kesempatan untuk keluar dari sudut arena itu, sehingga saat-saat terakhir dari pertandingan itu sudah mulai terbayang. Jika Bantardi menerjangnya tidak berkeputusan maka akhirnya Kasadha tentu akan kehilangan kesempatan.
Namun yang terjadi justru di luar dugaan mereka. Kasadha yang terjepit di sudut arena itu, telah menghentakkan serangan yang dilandasi oleh segenap kekuatan dan kemampuannya didukung oleh kekuatan tenaga dalamnya.
Sebelum Bantardi melancarkan serangan beruntun yang akan menghabisi kesempatan perlawanan Kasadha, maka justru Kasadhalah yang telah meloncat menyerang Bantardi. Kakinya berputar mendatar terayun deras sekali mengarah langsung ke kening Lurah Penatus yang sudah berniat mengakhiri perlawanan Kasadha itu.
Serangan Kasadha memang demikian tiba-tiba. Bantardi terkejut melihat gerakan kaki Kasadha, justru pada saat ia bersiap untuk menyerang.
Karena itu, maka ia tidak sempat untuk mengelakkan serangan itu. Yang dilakukannya adalah melindungi sasaran serangan Kasadha itu dengan kedua belah tangannya yang bersilang.
Sejenak kemudian, telah terjadi benturan yang sangat keras. Putaran kaki Kasadha yang dilambari dengan segenap kekuatan dan tenaga dalamnya ternyata tidak mampu ditahan oleh Ki Lurah Bantardi. Dengan demikian maka benturan itu telah mendorong Ki Lurah Bantardi beberapa langkah surut meskipun Ki Lurah Bantardi masih mampu memperbaiki keseimbangannya yang goyah, yang hampir saja membuatnya terjatuh. Sedangkan kaki Kasadha memang tergetar karena benturan itu. Tetapi Kasadha tidak terdorong surut dan menimpa gawar arena. Meskipun tubuhnya memang telah menyentuh gawar, namun Kasadha justru dengan cepat memanfaatkan kesempatan itu untuk membuka jalan keluar dari himpitan lawannya itu lebih lebar lagi. Karena itu maka sekali lagi Kasadha melenting demikian kakinya menyentuh tanah.
Serangan berikutnyapun cukup kuat dan keras. Kaki Kasadha terjulur mendatar. Bantardi yang masih berusaha memperbaiki keseimbangannya, tidak sempat mengelak dan juga tidak sempat menangkis serangan itu. Karena itu, maka kaki Kasadha yang terjulur itu telah mengenai dada Ki Lurah Bantardi.
Ki Lurah Bantardi benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Serangannya yang kedua telah mendorongnya beberapa langkah surut dan bahkan iapun telah jatuh terlentang.
Meskipun dengan sigapnya Ki Lurah Bantardi itu melenting berdiri, namun wajahnya menjadi merah. Ia benar-benar telah terjatuh oleh serangan Kasadha.
Kasadha ternyata sudah tidak lagi berada di sudut arena. Dengan hati-hati Kasadha bergerak memutar. Ketika Bantardi kemudian berdiri tegak menghadap kepadanya, maka Kasadha telah berada hampir di tengah-tengah arena.
Keberhasilan Kasadha melepaskan diri dari kurungan itu telah disambut dengan sorak gemuruh. Bukan saja para prajurit di bawah pimpinan Kasadha. Tetapi hampir semua prajurit yang mengelilingi arena itu bersorak. Suaranya menjadi gegap gempita seakan-akan hendak meledakkan barak itu.
Bantardi yang terdesak itu benar-benar merasa tersinggung oleh sorak yang gemuruh itu. Karena itu, tiba-tiba ia telah kehilangan pengamatan diri, sehingga ke pada para prajurit yang berada dikeliling arena itu, ia berteriak, "Diam, diam. Apakah kalian sudah menjadi gila" Kalian telah mempengaruhi pendadaran ini sehingga hasilnya tidak lagi dapat dianggap murni."
Beberapa orang prajurit yang berdiri di bagian depan memang telah terdiam. Apalagi para prajurit yang berada di bawah pimpinan Ki Lurah Bantardi itu sendiri, yang seakan-akan telah hanyut oleh suasana di arena sehingga mereka ikut bersorak ketika mereka melihat Kasadha terlepas dari himpitan tekanan Ki Lurah Bantardi.
Ketiga orang Pandhega yang ada di arena hampir bersamaan telah mendekatinya. Ki Rangga Prangwiryawanlah yang berkata, "Itu adalah hak mereka. Sebelum ini, kita tidak pernah menghiraukan, apakah para penonton itu bersorak-sorak, diam atau mengumpat-umpat."
Bantardi mengerutkan keningnya. Tetapi karena yang berbicara itu Ki Rangga Prangwiryawan, maka Bantardi tidak membantah. Apalagi Ki Rangga itu berkata, "Kau pusatkan saja perhatianmu kepada lawanmu. Kau mempunyai kemampuan untuk itu."
Ki Lurah Bantardi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian terdengar giginya gemeretak. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya.
Sejenak kemudian, maka iapun telah berdiri lagi berhadapan dengan Kasadha. Kasadhapun menyadari, bahwa Bantardi telah menjadi benar-benar marah. Karena itu maka iapun segera bersiap-siap menghadapi bagian akhir dari pendadaran itu. Bahkan sikap Bantardi itu telah mendorong Kasadha untuk segera mengakhiri pendadaran itu.
Demikianlah, maka kedua orang Lurah Penatus yang menjalani pendadaran itu telah mulai bergeser.
Keduanya berniat untuk dengan cepat mengakhiri pertandingan itu. Bantardi yang merasa memiliki ilmu yang lebih baik dari Kasadha sulit untuk dengan serta-merta mengakui kenyataan yang dihadapinya.
Apalagi Ki Lurah Bantardipun sadar, jika ia kalah pada pendadaran itu, maka Kasadha akan langsung dapat dianggap sebagai orang terbaik di barak itu tanpa menunggu pertandingan terakhir antara dirinya dan Ki Lurah Lenggana. Tetapi jika Ki Lurah Bantardi dapat memenangkan pertandingan itu, maka beberapa kemungkinan masih dapat terjadi. Jika ia kemudian dapat menang atas Ki Lurah Lenggana, maka ia adalah orang terbaik. Seandainya ia akan kalah, maka kedudukannya akan menjadi sama.
Karena itu, maka Ki Lurah Bantardi menganggap bahwa kemenangannya saat itu akan menentukan.
"Ki Lurah Kasadha telah memeras tenaganya pada hari yang pertama," berkata Ki Bantardi, "jika saja aku dapat memaksanya untuk bertanding dengan keras, maka ia tentu akan menjadi lebih cepat letih."
Karena itu, maka Ki Lurah Bantardipun telah bersiap-siap untuk memancing Kasadha bertempur dengan keras dan dalam jarak jangkau yang panjang, agar Kasadha lebih banyak memeras tenaganya. Bantardi mempunyai perhitungan, bahwa pengerahan tenaga di pertandingan sebelumnya tentu akan berpengaruh atas lawannya itu.
Dengan demikian, maka pertandinganpun telah berlangsung lagi dengan serunya. Ternyata Kasadha sadar, bahwa lawannya berusaha untuk memancingnya bertempur dengan keras dan loncatan-loncatan panjang.
Ternyata Kasadha sama sekali tidak berkeberatan. Ia merasa memiliki daya tahan yang panjang karena latihan-latihan yang pernah dilakukan dengan baik dengan keras. Karena itu, maka ia mempunyai perhitungan, bahwa jika ia dapat mengatur irama pernafasannya maka ia tidak akan lebih dahulu kehabisan nafas.
Kasadhapun sebenarnya juga sadar, bahwa perhitungan lawannya tentu didasarkan pada pertandingannya yang pernah dilakukan melawan Ki Lurah Lenggana dua hari yang lalu. Jika saja kekuatannya belum pulih seluruhnya, maka ia tentu akan menjadi cepat lelah.
Dengan demikian maka kedua orang yang berada di arena itu bertempur semakin keras dan loncatan-loncatan panjang. Bantardi dengan cepat berusaha mengurung Kasadha seperti yang pernah terjadi jika ia melihat kesempatan itu. Tetapi jika ia gagal, maka kembali ia memancing gerakan-gerakan panjang dan keras.
Kasadha mengimbanginya dengan keras pula. Iapun berloncatan dengan cepat dan tangkas. Serangan-serangannya justru mengalir berurutan, sehingga kadang-kadang Ki Lurah Bantardi harus bergeser surut.
Semula Ki Lurah Bantardi merasa pancingannya berhasil. Namun ternyata kemudian, ia mulai gelisah. Justru saat kekuatan dan kemampuannya sendiri mulai goyah, Kasadha masih tetap tegar menghadapinya.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, justru Bantardilah yang menjadi cemas. Ia tidak lagi berloncatan dengan garang. Bahkan ia mulai memperhitungkan keadaannya.
Rahasia Peti Wasiat 5 Kisah Kino Karya Crazy Guy Tersesat Di Lembah Kematian 1
^