Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 11

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 11


Namun Bantardi sudah terlambat. Kasadha yang tahu keadaan lawannya telah memanfaatkan keadaan itu. Justru Kasadhalah yang memaksa Bantardi bertempur dengan keras dan jarak jangkau yang panjang. Bahkan semakin lama Kasadha bergerak semakin cepat. Seakan-akan ia memiliki tenaga rangkap yang dapat mendukungnya untuk tetap tegar.
Bantardi untuk selanjutnya tidak pernah berhasil lagi menyudutkan Kasadha. Bahkan ia menjadi makin terdesak. Serangan-serangan Kasadha yang keras telah mendorongnya beberapa kali sehingga menggoyahkan keseimbangannya.
Ki Lurah Lenggana yang tegang menjadi cemas. Ia berharap bahwa Ki Lurah Bantardi dapat memenangkan pertandingan itu, sehingga ia masih akan mempunyai peluang untuk dapat memiliki kedudukan yang sama.
Tetapi nampaknya hal itu tidak akan terjadi. Apalagi ketika Kemudian justru Ki Lurah Bantardi telah dikurung oleh Kasadha sebagaimana pernah dilakukan oleh Bantardi terhadap Kasadha. Kasadha mendesak Bantardi ke sudut arena dan memaksanya bertahan di daerah yang sempit. Beberapa kali Bantardi berusaha untuk keluar dari lingkaran sempit itu. Tetapi ia tidak berhasil. Apalagi ketika ia mencoba untuk memecahkan lingkaran itu dengan keras sebagaimana telah dilakukan oleh Kasadha. Bantardi justru terdorong surut. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa ia masih dapat berusaha untuk tetap berdiri meskipun tubuhnya telah menimpa gawar lawe di seputar arena, sehingga tiang di sudut arena itu roboh.
Wajah Bantardi menjadi merah. Apalagi ketika Kasadha justru menghentikan serangan-serangannya ketika beberapa orang prajurit sibuk menegakkan kembali tiang di sudut arena.
Ketiga orang Pandhega yang menunggui pendadaran itupun telah mendekat. Namun justru karena Kasadha memberi peluang kepada Bantardi, maka merekapun telah melangkah menjauh, sementara Kasadha telah berdiri di tengah-tengah arena.
Bantardi memang melangkah maju betapapun wajahnya terasa panas. Kemarahannya benar-benar telah mencengkam jantungnya sehingga terasa dadanya menjadi sesak.
Kasadha yang memberinya kesempatan itu telah bersiap menghadapi serangan-serangannya. Namun Bantardi telah merasa betapa kekuatan dan kemampuannya menjadi susut.
Pertandingan berikutnya sudah tidak terlalu menarik lagi. Segalanya telah menjadi jelas. Bantardi tidak lagi dapat berbuat banyak. Sekali-sekali ia memang mencoba menyerang. Namun serangannya tidak pernah sampai ke sasaran. Bahkan kadang-kadang Bantardi telah terseret oleh dorongan serangannya sendiri. Sentuhan tangan Kasadha kemudian menjadi semakin sering mengenainya.
Ketiga orang Pandhega yang mengamati pertandingan itu merasa bahwa pertandingan itu telah selesai. Meskipun Ki Lurah Bantardi masih menunjukkan niatnya untuk bertanding terus, namun ketiga orang Pandhega itu sudah tahu pasti, apa yang akan terjadi.
Ki Rangga Prangwiryawan memang merasa kecewa akan hasil pendadaran itu. Namun di hadapan para Pandhega yang lain serta di hadapan Ki Tumenggung Jayayuda, ia tidak dapat berbuat lain kecuali berbuat sebaik-baiknya dalam rangka pendadaran itu sesuai dengan pesan Ki Tumenggung Jayayuda.
Karena itu, ketika beberapa kali Ki Lurah Bantardi terhuyung-huyung tanpa dapat berbuat banyak selain mempertahankan diri agar tidak jatuh, maka para Pandhega itu telah memutuskan untuk menghentikan pendadaran.
Para prajuritpun melihat apa yang terjadi di arena. Untunglah bahwa Ki Lurah Bantardi bertanding melawan Ki Lurah Kasadha, sehingga dalam keadaan yang demikian, Ki Lurah Kasadha justru lebih banyak mengekang dirinya daripada memanfaatkan keadaan. Seandainya saja Ki Lurah Kasadha masih tetap bertempur dengan keras, maka Bantardi tentu sudah tersungkur beberapa saat sebelumnya.
Seperti Ki Lenggana, Ki Lurah Bantardipun mula-mula merasa berkeberatan untuk mengakui kekalahan. Apalagi ia masih menginginkan kedudukan yang setidak-tidaknya sama di antara mereka bertiga.
Namun ia tidak dapat membantah keputusan para Pandhega. Apalagi ketika Ki Rangga Wirayuda berkata, "Apakah kau ingin kami membiarkan pertandingan ini masih berlangsung terus?"
Ki Lurah Bantardi justru menjadi ragu-ragu. Ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang dirinya di hadapan Ki Lurah Kasadha. Jika pertandingan itu dibiarkan berlangsung terus, maka ia tentu akan jatuh terbaring di tengah-tengah arena dan bahkan mungkin pingsan.
Karena itu, maka Ki Lurah Bantardi itupun tidak mempunyai pilihan lain. Ia memang kalah dalam pertandingan itu melawan Ki Lurah Kasadha.
Demikianlah, maka Ki Rangga Prangwiryawan akhirnya telah menghentikan pertandingan itu dan menyatakan bahwa Kasadha telah memenangkannya.
Sorak yang gemuruh bagaikan hendak membelah langit. Para prajurit itu dengan serta-merta menyatakan kegembiraannya. Sebagian terbesar dari para prajurit itu memang berharap, agar Ki Lurah Kasadha memenangkan pendadaran itu. Apalagi ketika kemudian mereka melihat sikapnya serta kemampuannya menahan diri.
Ki Lurah Lenggana menjadi sangat kecewa melihat hasil pendadaran itu. Ia benar-benar berharap bahwa Ki Lurah Bantardi akan dapat memenangkannya, agar ia mendapat kesempatan untuk mencari keseimbangan lagi dengan mengalahkan Ki Lurah Bantardi. Namun sebagaimana dilihatnya, Ki Lurah Kasadha memang memiliki kelebihan dari Ki Lurah Bantardi.
Dengan demikian, mala pertandingan di hari terakhir sudah tidak akan menarik perhatian lagi. Siapapun yang menang tidak akan mendapat sebutan orang terbaik dalam barak itu dihidang olah kanuragan.
Ketika kemudian pertandingan itu dinyatakan selesai, maka beberapa orang pemimpin kelompok dalam pasukan Ki Lurah Bantardi telah membantunya keluar dari arena. Sementara itu Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega telah memberikan ucapan selamat kepada Kasadha yang kemudian sudah pasti dapat dianggap orang terbaik. Bahkan beberapa orang pemimpin kelompok dan para prajuritpun telah memberikan pernyataan yang sama. Para prajurit yang pernah men-ceriterakan kelebihan Kasadha dengan bangga berkata, "Nah, apa kataku" Ia adalah orang terbaik di barak ini. Tetapi ia lebih senang diam dan tidak menunjukkan kelebihannya. Ketika aku bersama-sama dengan Ki Lurah Kasadha, yang waktu itu masih menjadi pimpinan kelompok aku sudah memperhitungkan, bahwa ia akan menjadi seorang prajurit yang sangat baik. Apalagi ia masih sangat muda."
Namun kawannya berkata, "Tetapi seandainya Bharata masih ada disini."
"Ya," jawab prajurit yang pertama, "satu-satunya orang yang memiliki kemampuan dan keberanian yang mampu mengimbanginya adalah Bharata. Anehnya keduanya mempunyai wajah yang sangat mirip, sehingga seperti kakak beradik saja. Namun Kasadha memang nampak sedikit lebih tua dari Bharata."
Pembicaraan seperti itu memang menjalar dimana-mana. Sehingga akhirnya Kasadha sendiri mendengar seseorang yang berkata, "Hanya Bharatalah yang mampu mengimbanginya."
Namun orang lain berkata, "Keduanya seperti kakak beradik saja."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Iapun menyadari beberapa persamaan yang terdapat pada dirinya dan Bharata. Iapun menyadari, bahwa dirinya nampak sedikit lebih tua dari Bharata, meskipun yang sebenarnya Bharata itu lebih tua sedikit saja daripadanya.
Sambil mengangguk-angguk Kasadha itupun berkata di dalam hatinya, "Memang hanya Bharata yang mampu mengimbangi ilmuku seandainya ia masih berada di barak ini pula."
Tetapi setiap kali terbayang, bahwa ibunya, Warsi, dalam keadaan apapun tidak dapat mengimbangi kemampuan ibu Bharata, yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Namun Kasadha sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mempersoalkan lagi Tanah Perdikan Sembojan. Itu memang hak Bharata, sebagaimana ibunya sendiri pernah juga mengatakannya.
Tetapi adalah di luar sadarnya jika kemudian juga terbayang Riris, anak gadis Ki Rangga Dipayuda.
"Ah," Kasadha menggelengkan kepalanya.
Sementara itu, halaman barak itupun semakin lama menjadi semakin lengang. Para prajuritpun telah kembali ke tempat masing-masing. Atau pergi ke kebun dan duduk-duduk di bawah pepohonan yang rindang. Ternyata pertandingan yang hanya terdiri dari sepasang Lurah Penatus itu tidak sampai melewati tengah hari. Namun gaung kemenangan Kasadha telah menyusup ke segenap relung bangunan di barak itu.
Bahkan di sore harinya, berita kemenangan itu telah merembes keluar barak ketika beberapa orang pra jurit mendapat tugas keluar dari barak, serta mereka yang kebetulan beristirahat dan memerlukan keluar dari barak.
Ki Lurah Lenggana yang sudah tidak berpengharapan lagi, berbaring di pembaringannya. Meskipun udara terasa panas bagaikan membakar. Namun dibiarkannya keringatnya membasahi tikar dan pakaiannya. Kekecewaan yang mencengkam jantungnya rasa-rasanya tidak akan pernah dilupakannya. Bahkan iapun sama sekali tidak bergairah lagi untuk menempuh pendadaran di hari terakhir melawan Ki Lurah Bantardi. Meskipun ia mempunyai keuntungan waktu beristirahat, tetapi yang akan dicapai bukannya yang diinginkannya.
Demikian pula Ki Lurah Bantardi. Ia terbaring bukan saja merenungi kekalahannya. Tetapi tubuhnya memang terasa sakit. Tulang-tulangnya terasa nyeri sementara daging dan kulitnya bagaikan menjadi tebal dan sakit.
Seorang pemimpin kelompok dalam pasukannya telah mengolesi tubuh Ki Lurah Bantardi dengan param yang hangat, ketika senja kemudian mulai turun.
Di bangunan yang lain, Kasadha duduk di serambi bersama beberapa orang pemimpin kelompok dan prajuritnya. Mereka masih saja memperbincangkan pendadaran yang telah diselenggarakan di barak itu. Seorang di antara prajuritnya berkata, "Ternyata pendadaran itu berakibat baik sekali. Selain menimbulkan kegembiraan, dorongan untuk mengadakan latihan dan akhirnya diketemukan orang yang sebenarnya."
"Sebenarnya apa?" bertanya Kasadha.
"Orang yang sebenarnya memang terbaik di barak ini," jawab prajurit itu.
"Belum menjadi ukuran," jawab Kasadha, "kemampuan seorang prajurit dinilai dari banyak hal. Olah kanuragan, kemampuan kerja sama dalam pertempuran tetapi juga dalam tugas-tugas yang lain, kepemimpinan dan tidak kalah pentingnya kesetiaan dan kesediaan pengabdi. Nah, bukankah kelebihan dalam olah kanuragan masih dapat dikalahkan oleh jumlah lawan. Namun kesediaan pengabdi dan kesetiaan tidak akan terhapus oleh lawan berapapun juga jumlahnya, karena kekalahan secara wadag tidak akan dapat menggugurkan kesetiaan dan kesediaan pengabdi dari seorang prajurit."
Prajurit-prajuritnya yang berada di serambi itupun mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Kasadha bukan seorang yang dengan bangga menunjukkan kelebihan-kelebihannya. Sejak ia menjadi seorang prajurit bersama dengan Bharata, maka sudah nampak bahwa anak muda itu selalu mengendalikan diri.
Namun ketika malam menjadi semakin dalam, maka Kasadhapun berkata, "Aku merasa sangat letih. Aku akan beristirahat."
Kasadha memang berbaring di pembaringannya. Tetapi ia tidak segera dapat tidur. Ia mulai memikirkan, akibat dari kemenangannya itu.
"Apakah akan memberikan akibat yang baik atau sebaliknya?" pertanyaan itu justru membayanginya.
Namun dengan pertandingan yang telah dilakukan dua kali, Kasadha merasa bahwa tugas khususnya itu sudah selesai. Kalah atau menang tidak lagi penting baginya, meskipun Kasadha tidak dapat menghindar dari pertanyaan tentang kemungkinan mendatang.
Namun dalam pada itu, di ruang yang lain, Ki Rangga Prangwiryawanpun sedang berbaring pula. Iapun merasa letih oleh ketegangan yang mencengkamnya selama ia menunggui pertandingan yang berlangsung di arena.
"Aku lebih senang terjun dalam pertandingan itu sendiri," berkata Ki Rangga Prangwiryawan kepada diri sendiri.
Namun tiba-tiba saja kening Ki Rangga itu berkerut. Ia mulai mempunyai pertimbangan lain. Pertandingan di hari terakhir itu sudah tidak mempunyai banyak arti, karena orang terbaik telah ditentukan.
Sebuah pertanyaan telah muncul di dalam hatinya, "Bagaimana akibatnya jika pertandingan itu dibatalkan saja, tetapi diganti dengan pertandingan yang tentu lebih menarik lagi para prajurit?"
Ki Rangga Prangwiryawanpun kemudian telah bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya. Ia mempunyai satu rencana lain jika disetujui oleh Ki Tumenggung Jayayuda. Satu rencana yang menurut pendapatnya cukup baik.
Ki Rangga sebenarnya ingin dengan segera menyampaikan rencananya itu kepada Ki Tumenggung. Tetapi ia tidak dapat menghadap malam itu. Apalagi jika Ki Tumenggung sudah beristirahat.
Karena itu, maka Ki Rangga harus menunggu sampai esok pagi.
Rasa-rasanya malam memang menjadi terlalu panjang. Ki Rangga yang kemudian berbaring kembali dan tertidur karena keletihan itu merasa seakan-akan pagi hari tidak juga kunjung datang. Ketika ia terbangun, maka didengarnya suara kenthongan berbunyi dengan nada dara muluk.
"Baru tengah malam," desisnya.
Ki Rangga memang mengalami kesulitan untuk dapat tidur lagi. Namun akhirnya, menjelang dini, iapun berhasil mengosongkan dirinya dan tidur kembali, meskipun hanya beberapa saat, karena menjelang fajar, Ki Rangga telah terbangun pula.
Pagi itu Ki Rangga telah menghadap Ki Tumenggung mendahului kedua orang Pandhega yang lain. Ki Rangga tergesa-gesa ingin menyampaikan gagasannya, yang barangkali lebih bermanfaat bagi para prajurit.
"Apa yang akan kau katakan Ki Rangga?" bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung. Pertandingan di hari terakhir besok, agaknya tidak akan menarik lagi. Bukan saja bagi prajurit yang akan menyaksikannya, tetapi juga bagi kedua orang yang akan turun ke arena. Mereka menyadari, bahwa orang terbaik telah terpilih," jawab Ki Rangga.
"Jadi, apalagi yang akan kita lakukan?" bertanya Ki Tumenggung pula, "Apakah menurut Ki Rangga pertandingan itu akan dibatalkan saja?"
"Bagaimana jika pertandingan itu dibatalkan?" Ki Rangga itu justru bertanya meskipun dengan ragu-ragu.
"Barangkali Ki Rangga sudah mempunyai rencana" Katakan," minta Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung. Aku ingin menghubungi kedua orang yang akan turun ke arena besok. Apakah mereka memilih pertandingan itu diteruskan tanpa perhatian dari para prajurit, atau dibatalkan saja," desis Ki Rangga.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah kepada Ki Rangga. Tetapi mungkin kedua orang itu masih mempunyai keinginan untuk saling menguji."
"Tetapi Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga kemudian, "aku justru mempunyai satu gagasan, bahwa pertandingan ini ditingkatkan."
"Maksud Ki Rangga?" bertanya Ki Tumenggung.
"Bukan hanya sampai kepada para Lurah Penatus. Bagaimana jika para Pandhega juga ikut serta bermain-main bersama Lurah yang terbaik itu?" bertanya Ki Rangga.
Namun dengan serta-merta Ki Tumenggung menjawab, "Tidak. Hal itu akan menyangkut soal kewibawaan. Jika dalam pertandingan itu, seorang Pandhega dikalahkan oleh seorang Lurah, maka akibatnya akan buruk sekali. Padahal sudah kita sepakati, kelebihan seorang prajurit tidak hanya terletak pada kemampuan olah kanuragan."
"Justru karena itu, bukankah kekalahan dalam pertandingan itu tidak akan banyak berpengaruh?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.
"Tetapi aku tidak sependapat," jawab Ki Tumenggung.
"Bukankah persoalannya akan sama saja dengan pendadaran bersama antara pemimpin kelompok terbaik yang ikut serta dalam pendadaran di antara para Lurah?" desak Ki Rangga Prangwiryawan.
"Ada sepuluh Lurah Penatus. Tetapi hanya ada tiga Pandhega disini. Bagaimana jika Ki Rangga Prangwiryawan dikalahkan oleh Ki Lurah Kasadha?" Ki Tumenggung justru bertanya.
"Itulah soalnya Ki Tumenggung. Apakah para Pandhega yakin akan kemampuannya" Tentang aku secara pribadi, aku sama sekali tidak akan cemas, karena aku yakin, bahwa bukan saja para Lurah tetapi para Pandhega tidak akan mengalahkan aku dalam pertandingan seperti itu. Sebelum aku memasuki barak ini, maka aku telah mengikuti beberapa kali pertandingan seperti ini. Ternyata aku tidak pernah dikalahkan. Juga di antara beberapa orang Rangga dan bahkan aku pernah mengalahkan dua orang Tumenggung dalam pertandingan serupa. Dua orang Tumenggung yang seorang dari Demak dan yang seorang dari Pajang ini sendiri," berkata Ki Rangga.
"Aku bangga akan kelebihanmu, Ki Rangga. Tetapi aku tidak sependapat. Aku tidak mengijinkan permainan yang diselenggarakan di antara para Pandhega. Apalagi diikut-sertakannya Lurah terbaik dalam barak ini. Aku yakin bahwa Kasadha yang muda itu masih akan dapat meningkatkan kemampuannya jika ia mendapat lawan yang lebih tangguh," berkata Ki Tumenggung.
"Biarlah aku yang melawannya," sahut Ki Rangga Prangwiryawan, "sementara kedua Pandhega yang lain biarlah bertanding. Yang menang kemudian akan melawan aku pula. Tidak dalam perang tanding Ki Tumenggung. Hanya dalam semacam pendadaran saja."
"Tidak. Aku tidak mengijinkan. Tetapi aku tidak berkeberatan jika Ki Rangga akan menggantikan permainan yang kurang menarik besok dengan menjajagi kemampuan Ki Lurah Kasadha. Namun jika kedua Lurah Penatus itu masih juga ingin bertanding, maka Ki Rangga dapat memilih kesempatan lain. Tetapi dengan mengingat, apakah Kasadha bersedia atau tidak. Berbeda dengan pendadaran yang telah diselenggarakan, yang seakan-akan merupakan keharusan," berkata Ki Tumenggung yang semakin kurang senang terhadap sikap Ki Rangga Prangwiryawan.
Ki Rangga Prangwiryawan termangu-mangu. Namun kesempatan itu sudah cukup memadai. Ia sudah mendapat kesempatan untuk turun ke arena. Mempertunjukkan kemampuannya sehingga para prajurit di barak itu yakin, bahwa ia adalah orang terbaik.
Karena itu, maka Ki Ranggapun kemudian berkata, "Baiklah Ki Tumenggung. Aku akan menjajagi kemungkinan itu. Aku akan bertemu dengan Ki Lurah Lenggana, Ki Lurah Bantardi dan Ki Lurah Kasadha."
"Tetapi Ki Rangga hanya dapat membicarakannya. Bukan memerintahkannya, karena sebelumnya sudah dibuat satu ketentuan sebagai paugeran dalam pertandingan pendadaran ini," pesan Ki Tumenggung yang tahu, bahwa sebenarnya Ki Rangga, hanya ingin menunjukkan kelebihannya. Ki Tumenggungpun tahu, bahwa dalam pertandingan nanti, Ki Rangga tentu akan menunjukkan berbagai macam kemampuannya untuk sekedar dikagumi.
Demikianlah, hari itu, Ki Rangga benar-benar mengadakan pendekatan di antara ketiga orang Lurah Penatus itu. Dengan beberapa penjelasan, maka Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi telah dapat dibujuknya, agar mereka tidak melanjutkan pendadaran karena sudah tidak akan menentukan tataran yang diinginkan. Mereka sama sekali memang tidak berminat untuk disebut orang terbaik kedua atau ketiga.
Karena itu, maka ketika Ki Rangga Prangwiryawan datang kepadanya untuk minta agar pertandingan itu diurungkan, ia tidak banyak menemui kesulitan.
Namun ketika ia menghubungi Ki Lurah Kasadha, maka persoalannya tidak berjalan selancar sebelumnya. Ki Lurah Kasadha tidak dengan serta-merta menerima tawaran untuk melakukan pertandingan pendadaran dengan Ki Rangga Prangwiryawan.
"Aku tidak berani Ki Rangga," jawab Kasadha.
"Kenapa" Bukankah kau Lurah terbaik di barak ini?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.
"Mungkin hanya satu kebetulan. Tetapi sudah tentu untuk melakukan satu pertandingan pendadaran dalam olah kanuragan dengan Ki Rangga, tentu aku tidak dapat melakukannya," jawab Kasadha.
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ada dua kemungkinan. Kau benar-benar tidak berani atau kau memang menaruh belas kasihan kepadaku, seandainya aku dapat kau kalahkan. Jika kemungkinan kedua ini yang bergejolak di dadamu, maka kau justru telah menghina aku."
Wajah Kasadha memang menjadi tegang. Ia sadar, bahwa Ki Rangga benar-benar ingin menyudutkannya sehingga ia bersedia melakukan pertandingan pendadaran melawannya.
Namun Kasadha masih mencoba untuk mengelak, "Ki Rangga. Apakah artinya pendadaran yang melibatkan seorang Pandhega bagi seorang Lurah seperti aku ini" Sudahlah, biarlah aku merasa puas dengan kemungkinan yang telah aku dapatkan. Aku sudah disebut Lurah terbaik sekarang ini. Tetapi bukankah itu terjadi dalam satu saat saja yang lebih banyak dipengaruhi oleh unsur kebetulan" Karena itu, aku tentu tidak akan cukup berharga untuk memasuki arena bersama seorang Pandhega."
"Ki Lurah Kasadha," berkata Ki Rangga Prangwiryawan, "kau jangan terlalu berbangga dengan kemenanganmu. Kau nampaknya tidak ingin gelarmu sebagai Lurah terbaik itu ternoda oleh kekalahan yang menyusul kemudian. Tetapi kau harus menyadari, bahwa pertandingan yang demikian akan sangat bermanfaat bagi para prajurit. Mereka akan melihat dan tentu akan mendorong kemauan mereka untuk menempa diri, satu ilmu yang baru disebut pantas bagi seorang prajurit. Aku tidak akan dapat melepaskan ilmu yang akan sangat berarti itu tanpa seorang lawan yang memadai. Dalam hal ini, lurah terbaik di barak ini."
Ki Lurah Kasadha memang menjadi bingung. Namun tiba-tiba saja telah terngiang pesan Ki Rangga Dipayuda. Bahwa ia harus bersikap tegas. Jika ia ingin kalah, kalahlah di benturan pertama. Jika ia memang ingin menang, ia harus menang sampai putaran terakhir. Bahkan seandainya ia harus melawan Ki Rangga Prangwiryawan sekalipun.
"Kau tidak pantas untuk menjadi ragu-ragu," berkata Ki Rangga Prangwiryawan kemudian, "kau tentu menyadari, bahwa gelar yang kau sandang itu merupakan beban. Kau jangan begitu saja tanpa tanggung jawab meletakkan bebanmu."
Kasadha mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun kemudian tiba-tiba saja ia menjawab, "Baiklah Ki Rangga. Jika aku memang tidak dapat mengelak lagi, maka aku menerima tawaran ini sekedar sebagai seseorang yang memancing agar Ki Rangga dapat menunjukkan ketrampilan olah kanuragan yang terbaik bagi para prajurit."
"Tetapi setelah kita berada di arena, maka yang ada adalah pertandingan pendadaran," jawab Ki Rangga.
"Baiklah. Aku akan mencoba melakukannya sebaik-baiknya," jawab Kasadha, "meskipun aku sudah dua kali turun ke arena, besok aku akan turun sekali lagi."
"Beristirahatlah dengan baik. Bahkan jika perlu, aku akan mengundur waktu pertandingan agar kau mempunyai kesempatan untuk memulihkan kekuatanmu, agar tidak dapat kau pergunakan sebagai alasan apapun juga."
"Ki Rangga," jawab Kasadha, "jika aku kalah dalam pertandingan itu, aku tidak akan berdalih apapun. Aku akan menerima kekalahan itu dengan senang hati. Apalagi aku hanya seorang Lurah Penatus."
"Kau jangan mengucapkan kepangkatan itu setiap kali," berkata Ki Rangga. "Ki Tumenggung telah berkali-kali mengatakan, bahwa pangkat dan kedudukan seorang prajurit tidak semata-mata ditentukan oleh tataran kemampuan olah kanuragan."
Kasadha mengangguk hormat. Katanya, "Baiklah Ki Rangga."
"Nah, apakah kau akan minta pertandingan itu diundur waktunya?" bertanya Ki Rangga.
"Tidak. Besok atau kapan saja, kemampuanku tidak akan dengan serta-merta meningkat," jawab Kasadha.
"Nah, jika demikian, beristirahatlah dengan baik. Kau suruh seseorang memijit urat-urat nadimu. Kau parami tubuhmu dengan reramuan yang terbaik agar besok kau dapat turun ke arena dengan segar, utuh dan bergairah untuk menang."
Kesediaan Ki Lurah Kasadha untuk turun ke arena, serta niat Lenggana dan Bantardi untuk mengurungkan pertandingan itupun segera tersebar, sementara Ki Rangga telah melaporkannya kepada Ki Tumenggung serta kedua Pandhega yang lain.
Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena Ki Tumenggung telah memberikan ijinnya, maka keduanya tidak mengatakan sesuatu tentang rencana itu.
Barak itu memang menjadi riuh oleh pembicaraan tentang perubahan acara pertandingan di keesokan harinya. Sebenarnyalah pertandingan antara Ki Lurah Lenggana dan Ki Lurah Bantardi sudah tidak begitu menarik lagi. Namun perubahan itu telah menumbuhkan gairah bagi para prajurit. Bahkan pertandingan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya itu bagaikan letupan kegembiraan para prajurit menyambut acara pertandingan pendadaran yang telah berlangsung cukup lama itu.
"Kali ini Ki Lurah Kasadha akan mengalami kesulitan dari lawannya," berkata para prajurit.
Namun sebagian besar mereka masih berharap bahwa Ki Lurah Kasadha setidak-tidaknya akan mampu memberikan perlawanan yang memadai bagi Ki Rangga Prangwiryawan yang namanya telah mengumandang sebagai seorang prajurit yang tangguh-tanggon.
Tetapi dalam penjelasannya, Ki Rangga sudah menyatakan, bahwa yang terpenting adalah satu contoh dari ungkapan kemampuan Ki Rangga Prangwiryawan yang terbaik untuk dapat dipelajari oleh para prajurit. Kasadha adalah sekedar alat untuk memancing unsur-unsur gerak itu.
Demikian Ki Rangga Prangwiryawan mengumumkan perubahan acara itu dengan resmi, maka Kasadha telah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk menyampaikan persoalannya itu.
Ternyata Ki Rangga Dipayuda mengulangi pesannya sebagaimana pernah dikatakannya sebelumnya. Jika Kasadha memang sudah mulai dengan kemenangan, maka iapun harus mengakhiri dengan kemenangan jika ia mampu melakukannya.
"Dengan demikian, maka kau akan dilihat oleh setiap prajurit termasuk Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Wirayuda dan orang-orang yang belum mengenalmu sejak permulaan sebagaimana kau adanya," berkata Ki Rangga itu kemudian.
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Rangga. Aku akan melakukannya."
"Kau berada dalam keadaan yang lebih baik dari Ki Rangga. Jika kau kalah, maka kau tidak akan dicaci orang. Apalagi Ki Rangga sadar atau tidak sadar mengatakan kepada para prajurit, bahwa kehadiranmu di arena itu sekedar untuk memancing, agar Ki Rangga dapat menunjukkan unsur-unsur olah kanuragan yang akan sangat berarti bagi para prajurit," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Kasadha masih saja mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku tidak akan dibebani oleh satu keinginan apalagi keharusan apapun. Aku akan turun dengan hati yang ringan."
Ki Rangga menepuk bahu Kasadha sambil berkata, "Berbuatlah sebaik-baiknya. Kau tidak usah terlalu banyak berpikir."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam.
Namun sebelum Kasadha meninggalkan Ki Rangga, seorang prajurit telah datang untuk memberitahukan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengan Kasadha.
"Siapa?" bertanya Kasadha.
"Bharata," jawab prajurit itu.
"Bawa orang itu kemari," minta Kasadha yang wajahnya tiba-tiba saja menjadi cerah. Namun kemudian tiba-tiba pula ia sadar, bahwa ia tidak berada di biliknya sendiri. Karena itu maka iapun segera bertanya, "Apakah Ki Rangga tidak berkeberatan?"
Ki Rangga tertawa kecil. Katanya, "Ajak Bharata kemari."
Sejenak kemudian Bharata telah berada di ruang itu. Dengan gembira Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda menyambutnya.
"Kau sudah berada disini lagi," desis Ki Rangga.
"Kemarin ada seorang utusan Ki Rangga Kalokapraja memanggilku," jawab Bharata, "ada sesuatu yang masih harus aku lengkapi. Justru aku belum mencantumkan kenyataan tentang diriku sendiri di dalam surat pernyataan sebagai kelengkapan laporan dari Tanah Perdikan Sembojan," jawab Bharata.
"Apakah menimbulkan kesulitan?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Tidak Ki Rangga. Aku sudah menghadap Ki Rangga Kalokapraja. Semuanya sudah aku lengkapi," jawab Bharata, "dalam waktu yang tidak terlalu lama, Tanah Perdikan Sembojan yang pernah menimbulkan persoalan itu akan segera disahkan lagi. Bukan kekancingan baru, tetapi mensahkan kekancingan yang pernah ada. Kemudian wisuda Kepala Tanah Perdikan."
"Aku mengucapkan selamat, Bharata," desis Kasadha.
Tetapi Bharata menjawab sambil tertawa, "Tidak sekarang. Besok saja jika hal itu sudah terjadi."
Kasadhapun tertawa. Demikian pula Ki Rangga Dipayuda.
Sementara itu Ki Ranggapun bertanya, "Jadi kau sudah lama berada di Pajang?"
"Aku berangkat sebelum dini," jawab Bharata.
"Kau singgah di rumahku?" bertanya Ki Rangga.
"Tidak Ki Rangga," jawab Bharata, "aku ingin segera menyelesaikan persoalan Tanah Perdikanku. Mungkin besok dalam perjalanan kembali. Itupun tentu hanya sebentar."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Sementara Kasadhapun tiba-tiba saja menunduk. Namun Kasadha segera menghapus segala kesan apapun di wajahnya. Bahkan sambil tersenyum ia bertanya, "Kau tentu akan bermalam disini."
"Jika diijinkan," jawab Bharata.
"Kau diijinkan bermalam disini," berkata Ki Rangga Dipayuda. Lalu katanya, "Bahkan satu kebetulan. Kau besok akan dapat melihat pendadaran. Justru di hari terakhir."
"Pendadaran seperti yang pernah direncanakan dahulu sebagaimana aku dengar?" bertanya Bharata.
"Ya. Bahkan bukan sekedar mereka yang menyatakan keinginannya untuk ikut serta. Tetapi semua Lurah Penatus harus ikut serta. Tetapi semua Lurah Penatus harus ikut serta," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Jadi Kasadha juga ikut?" bertanya Bharata.
Kasadha tersenyum. Katanya, "Aku terpaksa ikut pula."
"Dan menang" Atau kalah?" bertanya Bharata.
"Kasadha adalah orang pertama di antara para Lurah Penatus," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Aku mengucapkan selamat, Kasadha," desis Bharata.
"Tidak sekarang," jawab Kasadha, "tetapi setelah pendadaran seluruhnya selesai."
Bharata tertawa. Tetapi ia bertanya, "Apakah masih belum selesai?"
"Bukankah Ki Rangga sudah mengatakan, besok adalah hari terakhir," jawab Kasadha.
"Jadi, masih belum dapat ditentukan Lurah Penatus terbaik di barak ini?" bertanya Bharata.
"Sudah," Ki Rangga Dipayudalah yang menjawab, "besok adalah pendadaran terakhir. Ki Rangga Prangwiryawan, salah seorang Pandhega, ingin menimbang kemampuan diri dengan Lurah Penatus terbaik di barak."
"Seorang Pandhega," desis Bharata.
"Itulah yang menarik," berkata Ki Rangga, "seorang Pandhega yang ingin secara tidak langsung memberikan contoh tataran yang pantas bagi seorang prajurit. Sedangkan Kasadha hanya sekedar untuk memancing agar Ki Rangga Prangwiryawan dapat melepaskan unsur-unsur kemampuan kanuragannya yang dikatakannya pantas bagi para prajurit itu."
Bharata mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Rangga Prangwiryawan. Dengan seorang lawan, maka itu akan lebih baik dan wajar daripada ia harus menunjukkan unsur-unsur gerak yang penting bagi para prajurit sebagaimana dalam latihan-latihan seorang diri.
Tetapi hal itu tentu berbahaya bagi orang yang ditunjuk menjadi lawan bermainnya.
Namun Bharatapun mencoba untuk mengerti, bahwa yang ditunjuk itu adalah orang terbaik di antara para Lurah Penatus, sehingga orang terbaik itu akan dapat memberikan perlawanan yang cukup untuk memancing kemampuannya agar dapat dilihat dan tentu saja dengan maksud untuk dapat dipelajari oleh para prajurit.
Dengan demikian, maka Bharata merasa beruntung bahwa ia datang tepat pada waktunya tanpa disengaja.
Malam itu Ki Rangga menemui Ki Tumenggung untuk melaporkan bahwa ia telah menerima tamu seorang anak muda dan mohon untuk dapat bermalam.
"Siapa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Bharata, Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga Dipayuda, "sekaligus mohon ijin, besok akan menyaksikan pendadaran pada hari terakhir."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak berkeberatan anak muda itu bermalam disini. Tetapi apakah ia datang khusus untuk menyaksikan pendadaran di hari terakhir itu?"
"Tidak Ki Tumenggung," jawab Ki Rangga Dipayuda, "hanya satu kebetulan."
Ternyata Ki Tumenggungpun tidak berkeberatan. Apalagi Bharata sendiri adalah bekas seorang prajurit pula. Bahkan langsung di bawah pimpinan Ki Rangga Dipayuda masih menjadi seorang Lurah Penatus.
Malam itu, Kasadha minta ijin kepada Ki Rangga Prangwiryawan untuk mempergunakan sanggar tertutup. Ia ingin menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi Ki Rangga esok pagi.
Ki Rangga ternyata sama sekali tidak berkeberatan. Katanya, "Aku akan berada di sanggar terbuka. Udara terlalu panas sehingga aku tentu akan kepanasan untuk berlatih di sanggar tertutup. Apalagi sudah bukan saatnya lagi untuk berlatih, kecuali sekedar untuk melemaskan tubuh."
Sebenarnyalah malam itu, Bharata menemani Kasadha berada di sanggar tertutup. Kasadha memang tidak berlatih keras. Tetapi ia sekedar memadukan irama geraknya dengan irama pernafasannya dalam satu latihan yang sangat khusus. Dengan demikian maka aliran hawa di dalam tubuhnya akan selalu serasi dengan setiap gerak urat-urat nadinya serta kerja simpul-simpul syarafnya.
Pada saat terakhir, maka Kasadha kemudian telah duduk di atas sebuah tonggak kayu yang tegak setinggi badannya.
Bharata tahu bahwa Kasadha sedang memusatkan nalar budinya dalam putaran pernafasannya yang mapan. Mengosongkan dirinya dan bertumpu pada kehendaknya. Dengan demikian maka kehendaknya telah menguasai seluruh tubuhnya sebulat-bulatnya, yang getarannya merambat kepada kemampuan tanggap nalurinya.
Bharata sendiri duduk di sebuah amben bambu yang tidak terlalu besar di dalam sanggar tertutup itu. Amben bambu yang tidak terlalu kuat buatannya. Namun sengaja dipergunakan untuk latihan meringankan tubuh bagi para prajurit, terutama para pemimpin di barak itu.
Lewat tengah malam, Kasadha baru selesai. Meskipun ia tidak melakukan latihan dengan gerak yang keras dan berat, namun keringatnya bagaikan diperas dari tubuhnya.
Sejenak kemudian, maka Kasadha telah mengajak Bharata untuk berjalan-jalan sejenak di sekeliling barak di dinginnya malam. Baru kemudian ketika keringat Kasadha telah kering, maka iapun mempersilahkan Bharata untuk menunggunya di serambi baraknya.
"Aku akan mandi dahulu. Tubuhku akan menjadi segar dan tidur nyenyak," berkata Kasadha.
"Waktumu tinggal sedikit," desis Bharata.
"Tetapi cukup panjang untuk tidur menjelang permainan yang sama sekali kurang menarik itu," sahut Kasadha sambil melangkah ke pakiwan.
Sebenarnyalah, setelah mandi dan berpakaian, maka Kasadhapun telah mengajak Bharata untuk tidur.
"Aku harus beristirahat," berkata Kasadha.
"Kita sudah memasuki dini hari," desis Bharata.
"Masih ada waktu," jawab Kasadha.
Kasadha memang segera dapat tidur. Ia benar-benar telah melepaskan segala macam beban di hatinya menjelang pendadaran itu. Apapun yang terjadi, ia adalah Lurah Penatus yang terbaik. Apalagi jika ia mampu mengalahkan Ki Rangga. Seandainya tidak, tidak ada tanggung jawab apapun kepada orang lain. Ia bertanggung jawab kepada diri sendiri.
Pernyataan Ki Rangga Prangwiryawan sadar atau tidak, bahwa ia sekedar alat untuk memancing ungkapan ilmu dan kemampuan Ki Rangga telah lebih memperingan bebannya lagi.
Bharata yang bermalam di barak itu, justru tidak segera tertidur. Ia membayangkan apa yang dilakukan oleh Kasadha esok.
Namun beberapa lama kemudian, Bharatapun telah tertidur pula di antara para prajurit di barak itu. Justru ia bekas seorang prajurit, maka iapun segera dapat menyesuaikan dirinya.
Pagi-pagi sekali para prajuritpun telah terbangun. Demikian pula Bharata. Namun ketika ia pergi ke pakiwan, Kasadha ternyata telah mandi pula.
Sebelum matahari terbit, maka Kasadha telah bersiap. Ia masih sempat memusatkan nalar budinya sejenak, mengatur pernafasannya dan menempatkan dirinya dalam bayangan kuasa Yang Maha Agung sepenuhnya.
Dengan demikian, ketika kemudian ia keluar dari baraknya bersama-sama dengan Bharata menjelang matahari terbit, maka rasa-rasanya segala-galanya menjadi cerah. Langkahnya menjadi ringan dan di hadapannya rasa-rasanya tidak ada masalah sama sekali yang harus dipecahkannya.
"Aku akan turun ke gelanggang, bertanding sebaik-baiknya dan terserah apa yang akan terjadi," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, di halaman barak itu telah berkumpul para prajurit di sekitar gawar lawe. Ternyata arena telah dibuat sedikit lebih luas lagi dari sebelumnya. Ki Rangga minta agar ia mendapat lebih banyak kesempatan untuk mempertunjukkan unsur-unsur gerak yang akan sangat berarti bagi para prajurit.
"Mudah-mudahan Ki Lurah Kasadha memiliki kemampuan cukup untuk memancing unsur-unsur gerak itu," berkata Ki Rangga kepada beberapa orang prajurit yang mengerumuninya.
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Namun merekapun menjadi cemas, bahwa Ki Lurah yang sebelumnya mereka anggap sebagai orang terbaik di barak itu akan mengalami kesulitan yang akan dapat mengecilkan namanya.
Tetapi para prajuritpun telah mempunyai penilaian sebagaimana Ki Lurah Kasadha sendiri. Jika Ki Lurah Kasadha itu kalah, maka itu adalah wajar sekali. Yang penting bagi mereka, apakah Ki Lurah Kasadha mampu menunjukkan kemampuannya sesuai dengan sebutan orang terbaik di barak itu.
Dalam pada itu, Kasadha sendiri sambil tersenyum berjalan di antara para prajurit mendekati arena. Sambil berjalan ia sempat berkata kepada Bharata, "Aku menjadi berdebar-debar justru karena kau ada disini."
"Kenapa?" bertanya Bharata.
"Seisi barak ini tidak akan mempersoalkan kekalahanku, jika aku kalah. Tetapi aku akan segan kau lihat bahwa aku kalah," desis Kasadha sambil tertawa kecil.
Bharatapun tertawa pula. Katanya, "Aku akan menyaksikan pendadaran ini sambil memejamkan mata."
"Jangan. Kau harus melihat bagaimana aku terlempar jatuh dan tidak bangun lagi. Itu lebih baik daripada saat kau membuka mata aku sudah pingsan," Kasadha tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang prajurit berpaling kepadanya.
Namun dengan demikian para prajurit itu tahu, bahwa Kasadha sama sekali tidak menjadi gemetar untuk memasuki arena pendadaran meskipun harus melawan Ki Rangga Prangwiryawan. Meskipun para prajurit itu belum pernah melihat Ki Rangga Prangwiryawan di medan yang sebenarnya, namun seakan-akan mereka telah yakin, bahwa Ki Rangga adalah seorang prajurit yang mumpuni.
Ketika kemudian matahari mulai naik, maka segala sesuatunyapun mulai dipersiapkan. Yang akan mengamati pendadaran itu adalah Ki Tumenggung Jayayuda sendiri dibantu oleh kedua orang Pandhega yang lain. Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda.
Sejenak kemudian, maka kedua orang yang akan memasuki pendadaran itupun telah dipersilahkan. Ki Rangga Prangwiryawan adalah orang yang pertama memasuki arena itu. Sambil mengangkat tangannya ia berjalan berkeliling disambut oleh tepuk tangan dan sorak gemuruh.
Baru kemudian Kasadhapun siap untuk memasuki gelanggang. Namun ia masih berpesan kepada Bharata, "Setidak-tidaknya kau harus bertepuk tangan dan berteriak, meskipun seorang diri."
Bharata tertawa. Ditepuknya bahu Kasadha sambil berkata, "Tubuhmu masih sekeras besi baja," suara Bharata merendah, "Kau akan menang."
Kasadhapun tertawa pendek. Namun kemudian iapun telah melangkah memasuki gelanggang.
Sejenak kemudian, kedua orang yang akan melakukan pendadaran itu sudah bersiap di arena. Sementara Ki Tumenggung Jayayuda telah memperingatkan mereka akan semua paugeran yang harus ditaati.
"Kalian adalah pemimpin tertinggi di barak ini. Karena itu kalian harus mampu memberikan contoh yang baik bagi para prajurit. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga sikap dan perbuatan berhadapan dengan paugeran," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
Yang kemudian membacakan paugeran adalah Ki Rangga Wirayuda untuk mengingatkan kedua orang yang akan bertanding di arena itu.
Bharata yang bukan penghuni barak itu berdiri di antara beberapa orang yang memang sudah dikenalnya ketika ia masih menjadi prajurit. Bahkan rasa-rasanya Bharata masih juga menjadi bagian dari para prajurit itu.
Pendadaran di kesempatan terakhir itu memang membuat jantung para prajurit menjadi tegang. Hampir semuanya berharap agar Kasadha dapat menunjukkan bahwa ia memang orang terbaik di antara para Lurah Penatus, meskipun seandainya harus kalah. Para Lurah Penatus merasa, bahwa Kasadha adalah wakil dari mereka semuanya. Bahkan Lenggana dan Bantardipun menjadi berdebar-debar pula. Mereka sadar, seandainya mereka menjadi Lurah terbaik, maka mereka tentu akan melakukan sebagaimana dilakukan oleh Kasadha itu. Bagaimanapun juga mereka tentu akan menjadi gelisah jika harus turun ke gelanggang berhadapan dengan Ki Rangga Prangwiryawan.
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Jayayudapun telah memberikan isyarat, bahwa pendadaran akan segera dimulai. Ki Rangga Prangwiryawanpun kemudian mengangguk hormat sambil berkata, "Kami sudah siap."
Demikianlah, maka kedua orang yang ada di gelanggang pendadaran itupun telah bersiap. Mereka bergeser selangkah ketika sekali lagi terdengar sorak yang gemuruh.
Sementara itu, Ki Rangga Prangwiryawan masih juga sempat berkata kepada Kasadha, "Kerahkan segenap kemampuanmu agar kau dapat memancing ilmu dan kemampuanku sehingga dapat menjadi contoh dan pegangan sewajarnya bagi prajurit Pajang. Mudah-mudahan akan dapat mendorong para prajurit itu meningkatkan kemampuan mereka."
Ternyata Kasadha menjawab, "Baik Ki Rangga."
Ki Rangga tersenyum. Iapun maju selangkah mendekat. Tangannya terayun ke arah dahi Kasadha.
Namun Kasadha bergeser surut, sehingga tangan Ki Rangga tidak menyentuhnya. Tetapi Ki Ranggapun melangkah maju. Sekali lagi tangannya menggapai kening. Cepat sekali, sehingga hampir saja Kasadha terlambat menghindar.
Ketika Ki Rangga bergerak maju lagi, ia berkata, "Marilah. Jangan segan. Kau tidak usah mengekang dirimu lagi."
Kasadha termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah menyerang Ki Rangga pula meskipun masih belum bersungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka keduanya mulai saling menyerang meskipun nampaknya masih saling menjajagi. Terutama Kasadha yang belum pernah melihat tataran ilmu Ki Rangga Prangwiryawan.
"Tetapi aku tidak peduli seandainya ia memiliki kemampuan setinggi guruku," katanya di dalam hati. Namun Kasadhapun mengerti bahwa jarang sekali seseorang memiliki kemampuan setinggi Ki Ajar Paguhan atau Ki Randukeling.
Ki Tumenggung Jayayuda dan kedua orang Pandhega yang menunggui pertandingan itu mulai menjadi tegang. Ki Rangga Prangwiryawan kadang-kadang telah mulai menunjukkan kelebihannya. Meskipun belum sepenuhnya, namun kecepatan geraknya kadang-kadang memang mengejutkan Kasadha.
Selapis demi selapis Ki Rangga Prangwiryawan mulai meningkatkan kemampuannya. Kadang-kadang ia telah mendesak Kasadha sampai ke sudut arena. Namun kemudian ia telah membuka kesempatan kepada Kasadha untuk melepaskan diri dari kurungannya.
Para prajurit memang mulai menjadi cemas. Mereka akan ikut menahan nafas jika Kasadha terdesak. Para prajurit itu tidak ingin melihat Kasadha terdesak. Para prajurit itu tidak ingin melihat Kasadha sekedar menjadi bahan permainan Ki Rangga Prangwiryawan. Mereka ingin melihat Kasadha memberikan perlawanan yang pantas meskipun akhirnya harus mengakui keunggulan Ki Rangga Prangwiryawan.
Namun setiap kali mereka melihat Ki Rangga Prangwiryawan yang mendesak Kasadha justru bergeser sambil tersenyum. Dengan sengaja Ki Rangga memberikan beberapa kesempatan kepada Kasadha agar Lurah Penatus itu tidak terus-menerus terdesak mundur.
Sebenarnya Kasadha tidak mengharapkan kesempatan seperti itu. Justru karena itu, maka ia menjadi sedikit ragu. Apakah ia dapat bersungguh-sungguh menghadapi Ki Rangga Prangwiryawan yang memang seakan-akan sedang berusaha mempermainkannya itu.
Namun ketika sekali lagi Ki Rangga itu menggelitiknya dengan tajam, maka Kasadhapun seakan-akan telah bangkit untuk benar-benar melakukan sebuah pertandingan.
Dalam pada itu, Ki Ranggapun mulai menunjukkan berbagai macam unsur gerak yang manis. Sekali-sekali Ki Rangga itu justru bagaikan menari. Namun kemudian dengan tangkasnya meloncat sambil berputar. Kakinya menyambar mendatar ke arah dagu lawannya.
Kasadha memang harus berloncatan surut. Ia belum tahu seberapa tinggi kekuatan Ki Rangga Prangwiryawan sehingga ia tidak berani dengan serta-merta membentur kekuatan itu. Meskipun demikian Kasadhapun mulai mencoba untuk menyentuh gerakan-gerakan yang nampak bertenaga dari Ki Rangga Prangwiryawan.
Ketika matahari semakin tinggi, maka Ki Ranggapun berkata, "Kau sama sekali belum mampu memancing kemampuanku Kasadha. Jangan ragu-ragu. Pertandingan ini jangan sampai nampak menjemukan."
Dengan singkat Kasadhapun menjawab, "Baik Ki Rangga."
Sebenarnyalah Kasadha telah memenuhi harapan Ki Rangga Prangwiryawan. Ia mulai meningkatkan tenaga dan kecepatan geraknya. Beberapa kali ia melakukan serangan beruntun sehingga Ki Rangga memang harus bergeser surut.
Namun Ki Rangga nampaknya menjadi gembira. Peningkatan serangan-serangan Kasadha seakan-akan memberi kesempatan kepada Ki Rangga Prangwiryawan untuk semakin menunjukkan kemampuannya. Berbagai macam unsur gerak yang mendebarkan mulai terungkap. Baik untuk menghindari serangan lawan, maupun untuk menyerang.
Para prajurit memang mulai berdecak kagum melihat unsur-unsur gerak Ki Rangga Prangwiryawan. Bukan saja memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi untuk mendesak lawannya, tetapi juga merupakan tontonan yang menarik.
Namun Kasadha yang juga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari para prajurit yang lain sempat melihat, bahwa Ki Rangga Prangwiryawan masih sempat memperhatikan bentuk dan ujud penampilan unsur-unsur gerak itu juga memiliki kemampuan yang tinggi atau sekedar memiliki kelebihan dalam ujud dan penampilannya" pertanyaan itu telah menggoda hati Kasadha dan ternyata menggoda pula untuk membuktikannya.
Karena itu, sesuai dengan keinginan Ki Rangga Prangwiryawan sendiri, maka Kasadha yang mulai berkeringat di seluruh tubuhnya itu, berniat untuk segera sampai kepada tataran yang menentukan, sementara matahari telah menjadi semakin tinggi. Apalagi ternyata para prajurit mulai menjadi jemu melihat permainan yang nampaknya kurang bersungguh-sungguh.
Ki Rangga Prangwiryawan mengerutkan dahinya ketika ia merasakan tekanan serangan-serangan Kasadha menjadi semakin kuat dan semakin cepat. Bahkan Kasadha sudah mulai menahan serangan-serangannya dengan tangkisan yang mapan, sehingga beberapa kali telah terjadi benturan-benturan.
Ki Rangga Prangwiryawan kemudian telah sampai kepada rencananya untuk mempertunjukkan ilmunya yang dianggap akan dapat membuat para prajurit dan bahkan Ki Tumenggung Jayayuda dan pada Pandhega menjadi kagum.
Dengan tangkasnya Ki Ranggapun kemudian telah melenting tinggi dan kemudian tegak berdiri di atas kedua kakinya yang merenggang. Lututnya sedikit merendah dan kedua tangannya bersilang di depan dadanya. Jari-jari tangannya mengepal kuat-kuat, sementara wajahnya menghadap lurus ke arah lawannya.
Sikap itu telah membuat Kasadha berdebar-debar, ia sadar, bahwa Ki Rangga telah memanjat ke tataran yang lebih tinggi lagi, sehingga dengan demikian Kasadhapun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya pula.
Kasadhapun kemudian telah berdiri sedikit menyamping. Namun kakinya yang kokoh bahkan bagaikan telah menancap di bumi.
Ketika Ki Rangga mulai bergerak, maka Kasadha tidak menunggu lagi. Ia justru telah meloncat menyerang dengan menjulurkan kakinya ke arah dada. Sementara Ki Rangga telah bergeser dengan cepat pula menyamping. Ki Rangga masih sempat menunjukkan cara menangkis serangan Kasadha itu dengan manisnya. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Kasadha telah memutar tubuhnya. Kakinya yang lain telah terlempar mendatar menyambar pundak Ki Rangga.
Namun Ki Rangga yang menggeliat masih sempat terhindar dari serangan Kasadha. Tetapi ia tidak segera tanggap ketika Kasadha yang meletakkan kakinya itu justru meloncat sambil menjulurkan tangannya menyambar keningnya.
Ki Rangga menarik wajahnya. Tangan Kasadha terayun di depan wajah Ki Rangga. Namun bersamaan dengan itu, Kasadha yang tubuhnya memutar hampir melekat di depan tubuh Ki Rangga telah mempergunakan siku tangannya yang satu lagi. Demikian ia berdiri hampir membelakangi Ki Rangga, maka Ki Rangga itu telah tergetar surut.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 43 TIDAK banyak yang melihat ketika siku Kasadha bergerak cepat. Telapak tangan Ki Rangga sempat menahan, tetapi ternyata bahwa ayunan kekuatan Kasadha mampu menggoyahkan tangan Ki Rangga sehingga tergetar dan bahkan Ki Rangga itupun telah terdorong selangkah surut.
Dengan cepat Kasadha mempersiapkan serangan berikutnya dengan melenting sambil berputar. Sementara kakinya terayun mendatar. Namun Ki Rangga telah sempat meloncat dua langkah surut sehingga kaki Kasadha tidak mengenainya.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serangan beruntun yang kemudian seakan-akan telah mendesak Ki Rangga Prangwiryawan itu telah menghentak jantung para prajurit. Ketika kemudian Kasadha menghentikan serangannya, maka tiba-tiba saja telah meledak sorak para prajurit.
Wajah Ki Rangga Prangwiryawan memang menjadi panas. Ia terkejut mengalami serangan beruntun itu, sehingga ia tidak sempat menunjukkan kemampuannya yang dijadikan contoh bagi para prajurit di barak itu.
"Tetapi masih banyak waktu," desisnya.
Sementara itu Kasadha telah berdiri tegak siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat sikap Kasadha itu jantung Ki Rangga berdesir. Sikap itu begitu nampak meyakinkan, sehingga Ki Rangga justru tersentuh karenanya.
Namun sadar bahwa lawannya itu adalah Lurah Penatus terbaik di barak itu, maka Ki Ranggapun justru menjadi semakin berhati-hati meskipun keinginannya untuk memamerkan kelebihannya masih saja bergejolak di hatinya.
Demikianlah, maka keduanyapun segera bersiap. Kasadha sudah berniat untuk benar-benar bertanding. Apakah ia akan kalah atau akan menang bukan soal lagi baginya. Apalagi ketika ia kemudian teringat kata-kata Ki Rangga Prangwiryawan sendiri, bahwa di arena mereka akan benar-benar bertanding.
Ki Rangga benar-benar terkejut ketika kemudian ia mengalami serangan-serangan Kasadha yang cepat dan kuat. Meskipun satu dua kali Ki Rangga masih mampu memamerkan kemampuannya dan kelebihannya menguasai unsur-unsur gerak yang memiliki bentuk penampilan yang sangat menarik, namun selebihnya, Ki Rangga harus benar-benar berusaha mengimbangi Kasadha yang bergerak dengan cepat dan bahkan cenderung mendesaknya.
"Gila orang ini," berkata Ki Rangga di dalam hatinya.
Sebenarnyalah Kasadha, murid Ki Ajar Paguhan itu, telah meningkatkan ilmunya merambat ke puncak. Ia tidak lagi menahan diri dan ragu-ragu. Ia hanya ingin mengerahkan kemampuannya. Kemudian akhir dari pertandingan itu terserah kepada tataran kemampuan Ki Rangga.
Ki Ranggapun harus mengimbangi kemampuan Kasadha. Bahkan kemudian Ki Rangga harus meningkatkan kemampuannya dengan cepat pula sebagaimana dilakukan oleh Kasadha.
Dengan demikian, maka irama dari pertandingan itu dengan cepat pula meningkat. Keduanya saling menyerang dan menghindar.
Ki Tumenggung Jayayuda dan kedua Pandhega yang menunggui pertandingan itupun menjadi semakin tegang pula. Mereka menyadari, bahwa Kasadha benar-benar mulai bersungguh-sungguh.
Para prajuritpun menjadi semakin tegang. Pertandingan itu benar-benar menjadi semakin keras. Kasadha dengan cepat menyerang. Namun kemudian melenting menghindari serangan-serangan yang datang dari Ki Rangga Prangwiryawan.
Dalam pertandingan yang semakin keras, ternyata sulit bagi Ki Rangga untuk sekedar memamerkan kelebihan-kelebihannya. Setiap kali ia akan melakukan, serangan Kasadha melandanya seperti badai yang datang mengguncang pepohonan. Sehingga Ki Rangga itu harus berusaha menghindar atau menangkis serangan itu serta mencari kesempatan untuk menyerang kembali.
Dengan demikian yang terjadi di arena itu adalah benar-benar pertandingan beradu ilmu. Desak mendesak dan serang menyerang. Satu keadaan yang tidak diinginkan sama sekali oleh Ki Rangga Prangwiryawan. Ia berniat mempermainkan Kasadha dengan unsur-unsur geraknya yang dapat dipamerkan kepada para prajurit di barak itu. Sebagai orang baru, maka para prajurit itu belum pernah melihat apa yang dapat dilakukannya dalam olah kanuragan.
Tetapi kesempatan itupun menjadi hilang sama sekali. Ia benar-benar harus mengerahkan kemampuannya, justru karena serangan-serangan Kasadha yang semakin berbahaya.
Ki Rangga itupun kemudian telah membuat perhitungan baru. Ia tidak lagi ingin melakukan pameran kekuatan dan kemampuannya lebih dahulu baru kemudian menghentikan perlawanan Kasadha. Tetapi ia akan menyusut kekuatan dan kemampuan Kasadha dahulu. Jika ia berhasil menyakiti Lurah Penatus yang muda itu, dan memperlemah tenaganya, maka ia tentu akan mendapat kesempatan untuk melakukan pameran ilmu itu.
Karena itu, maka Ki Ranggapun telah dengan serta-merta meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak. Ia ingin membuat Kasadha tidak mampu berbuat banyak.
Dengan demikian, maka Ki Rangga itupun telah menyerang Kasadha bagaikan banjir bandang. Susul-menyusul dengan kekuatan dan tenaga yang sangat besar.
Untuk sesaat Kasadha memang terdesak. Ia merasakan kekuatan lawannya yang menghentak mendesaknya. Bahkan ketika serangan Ki Rangga mengenai dadanya, Kasadha memang telah terdorong beberapa langkah surut, sehingga keseimbangannya menjadi goyah. Karena itu, ketika Ki Rangga menyerangnya pula, Kasadha justru telah menjatuhkan dirinya untuk menghindari serangan itu.
Arena dan sekitarnya di halaman barak itu benar-benar telah dicengkam oleh ketegangan.
Kedua orang yang berada di arena itu agaknya telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.
Dalam pada itu, ketiga orang yang mengamati pertandingan itu di dalam arena memang menjadi berdebar-debar. Ki Tumenggung Jayayuda menjadi semakin berhati-hati. Demikian pula kedua orang Pandhega yang lain. Mereka memang melihat bahwa pertandingan itu benar-benar telah menuntun keduanya untuk memperbandingkan kemampuan mereka sampai puncak. Karena itu, jika mereka tidak berhati-hati, maka akan dapat terjadi kemungkinan yang buruk pada keduanya atau salah seorang dari keduanya.
Sementara itu di luar arena Bharata menjadi tegang. Seperti para pengamat yang ada di dalam arena, maka Bharatapun melihat bahwa kedua orang yang bertanding itu telah bertekad untuk dengan cepat memenangkan pertandingan.
Ki Rangga Prangwiryawan yang berniat segera menguras tenaga Kasadha untuk mendapat kesempatan mempertunjukkan kemampuannya dengan unsur-unsur gerak yang tentu dikagumi oleh para prajurit, telah menghentakkan segenap kemampuannya. Serangan-serangannya datang meluncur tanpa berkeputusan. Setiap kesempatan telah dipergunakannya. Dengan demikian ia akan dapat menekan Kasadha sekaligus memaksanya untuk melepaskan segenap kemampuan dengan mengerahkan tenaganya habis-habisan.
Tetapi Kasadha, murid Ki Ajar Paguhan yang telah menempa diri dalam kehidupan yang garang itu ternyata masih mampu mengimbanginya. Pengalamannya di pertempuran telah membuat jiwanya semakin kokoh.
Karena itu, ketika ia menyadari bahwa Ki Rangga Prangwiryawan benar-benar sampai ke puncak, maka Kasadhapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Ia masih saja selalu ingat pesan Ki Rangga Dipayuda, bahwa jika ia ingin menang, maka ia harus menang. Tanpa ragu-ragu.
Dengan demikian maka sejenak kemudian, maka Kasadhapun telah mengimbangi serangan-serangan Ki Rangga dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya pula. Segala kemungkinan dari tingkat ilmu yang disadapnya dari Ki Ajar Paguhan telah dihentakkannya, sehingga dengan demikian, maka dua ilmu yang tinggi telah berbenturan di arena pertandingan.
Ki Tumenggung Jayayuda melihat dua kekuatan yang sangat besar itu. Tetapi ia tidak dapat menghentikan pertandingan itu, karena kedua belah pihak tidak melanggar paugeran. Keduanya telah melakukan hal-hal yang tidak diperkenankan dalam pertandingan itu.
Namun yang terjadi benar-benar benturan dua kekuatan yang dilandasi dengan ilmu yang tinggi dan jantung yang agaknya sedang memanas, sehingga memang mungkin sekali terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Tetapi menilik kemampuan keduanya, maka masing-masing agaknya akan mampu menjaga dirinya untuk tidak mengalami keadaan yang gawat.
Namun dalam pada itu, keinginan Ki Rangga untuk mempertunjukkan permainan unsur-unsur gerak yang tentu akan memukau, tidak lagi diingatnya. Apalagi ketika kekuatan Kasadha bagaikan berlipat mendesaknya dalam tatanan unsur gerak yang semakin rumit dan berbahaya.
Ki Rangga Prangwiryawan mengumpat di dalam hati. Ia sadar, bahwa justru karena ia mengerahkan kemampuannya, seakan-akan telah memancing Kasadha untuk berbuat serupa. Yang ternyata bahwa anak muda itu justru memiliki kelebihan atas Ki Rangga itu.
Umurnya yang masih muda, gejolak jantungnya yang nampaknya telah terlalu lama ditahankan, membuat Kasadha menjadi sangat garang.
Ki Rangga Prangwiryawan memang agak terdesak. Serangan-serangan Kasadha menjadi semakin cepat dan kuat. Apalagi ketika Ki Rangga Prangwiryawan yang ingin mematahkan perlawanan Kasadha dan kemudian mempermainkannya sekaligus memamerkan penguasaannya atas beberapa unsur gerak yang belum pernah dilihat oleh para prajurit, telah mengerahkan kemampuannya.
Bharata memang menjadi semakin tegang. Ia melihat wajah Kasadha yang seakan-akan memancarkan api yang menyala di dadanya. Sehingga dengan demikian maka Kasadha itupun tidak lagi mengekang diri serta tidak lagi mengingat dengan siapa ia berhadapan.
Pertandingan itupun menjadi semakin garang. ke duanya telah benar-benar sampai ke puncak kemampuan mereka. Ki Rangga Prangwiryawan tidak sempat lagi memikirkan pameran kemampuan. Tetapi jika saja ia dapat bertahan maka ia telah merasa beruntung. Sementara Kasadhapun tidak lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Unsur-unsur gerak dari perguruannya yang untuk beberapa lama disimpannya, telah terurai semuanya untuk mengatasi desakan ilmu Ki Rangga Prangwiryawan.
Para prajurit untuk beberapa saat justru bagaikan membeku. Mereka melihat pertandingan itu menjadi semakin sengit. Beberapa kali kedua belah pihak mampu mengenai lawan mereka dengan serangan-serangan mereka yang cepat dan kuat. Beberapa kali keduanya saling terdorong surut satu dua langkah.
Namun akhirnya, kemudian Kasadha mulai menunjukkan kelebihannya dari Ki Rangga Prangwiryawan.
Murid Ki Ajar Paguhan itu telah menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya, sehingga dengan demikian, maka seluruh isi barak itu akhirnya mengetahui, bahwa Kasadha memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Bukan sekedar desas-desus atau sanjungan para prajurit di bawah pimpinannya. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kasadha adalah seorang prajurit yang baik.
Ketika tubuhnya mulai disakiti oleh Ki Rangga Prangwiryawan karena serangan-serangannya yang keras dan kuat, maka Kasadha benar-benar telah mengambil ke putusan. Ia ingin menang dalam pertandingan itu sebagaimana dipesankan oleh Ki Rangga Dipayuda.
Ki Tumenggung Jayayuda, Ki Rangga Surayuda dan Ki Rangga Dipayuda benar-benar melihat satu pertandingan yang mendebarkan. Namun mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika Ki Rangga Prangwiryawan benar-benar telah terdesak. Ki Rangga kemudian hanya mampu bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan Ki Lurah Kasadha. Jika sekali-sekali ia mendapat kesempatan untuk menyerang, maka serangannya tidak lagi terarah dengan baik karena kecepatan gerakan Kasadha.
Bahkan ketika ketahanan tubuh Ki Rangga Prangwiryawan mulai susut, maka Kasadha justru nampak menjadi semakin tegar. Serangan-serangannya menjadi semakin mantap dan menjadi semakin sering mengenai tubuh Ki Rangga.
Ki Tumenggung Jayayuda menjadi agak cemas melihat keadaan itu. Pertandingan itu akan dapat menjadi arena perkelahian yang sebenarnya. Ki Rangga Prangwiryawan yang ditugaskan untuk mengatur pertandingan itu, nampaknya tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri, sehingga ia sendiri justru terlibat dalam perkelahian yang keras dan berbahaya.
Karena itu, maka Ki Jayayuda telah memberi isyarat kepada kedua orang Rangga yang membantunya mengawasi pertandingan itu untuk mendekat. Dengan singkat dan cepat keduanya mendengar niat Ki Tumenggung untuk menghentikan pertandingan.
Keduanya mengangguk. Niat Ki Tumenggung itu mereka anggap penyelesaian yang terbaik. Keduanya dinyatakan telah bermain dengan sangat baik dan di antara keduanya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Bagaimanapun juga mereka masih harus mempertahankan kewibawaan seorang Pandhega, meskipun sebelumnya berkali-kali telah dinyatakan, bahwa kepemimpinan seorang prajurit tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan olah kanuragan.
Tetapi ternyata Ki Tumenggung terlambat. Demikian ia mendapat persetujuan dari kedua orang Pandheganya, maka pertandingan itu telah sampai pada puncaknya.
Ternyata Ki Rangga Prangwiryawan yang tersudut, berusaha memecahkan tekanan Ki Lurah Kasadha. Satu serangan yang keras dilontarkan oleh Ki Rangga dengan kakinya yang terjulur lurus ke arah dada. Namun Kasadha sempat menangkis serangan itu dengan menepisnya menyamping. Tetapi demikian kaki itu jatuh di tanah, maka Ki Rangga telah memutar tubuhnya. Kakinya yang lain terayun deras mengarah ke pelipis Kasadha.
Dengan tangkasnya Kasadha mengelakkan serangan itu. Bahkan demikian Ki Rangga berputar, Kasadha yang sedikit merendah, telah maju selangkah ke depan dengan menjulurkan serangan ke bagian bawah dadanya. Tangan Kasadha yang terbuka dengan keempat jarinya merapat, telah menusuk arah ulu hati Ki Rangga Prangwiryawan.
Ki Rangga mengaduh tertahan. Namun di luar sadarnya Ki Rangga telah terbungkuk kesakitan.
Kasadha mendapat kesempatan terakhir untuk memenangkan pertandingan itu. Ia dapat menghantam tengkuk Ki Rangga atau menyerang wajah Ki Rangga yang menunduk itu dengan lututnya.
Namun tangannya yang terayun ke arah tengkuk Ki Rangga ternyata masih sempat ditahannya. Sejengkal dari sasaran, Kasadha membatalkan serangannya. Bahkan iapun telah meloncat surut dua langkah.
Ki Rangga masih saja kesakitan. Serangan jari-jari tangan Kasadha yang merapat, seakan-akan telah menghentikan pernafasan Ki Rangga Prangwiryawan selain perasaan sakit yang menyengat sampai ke jantung.
Pada saat itu Ki Tumenggung Jayayuda telah bergeser dengan cepat mendekati Ki Rangga Prangwiryawan. Sementara Ki Rangga Dipayuda telah mendekati Ki Lurah Kasadha. Tetapi sebelum Ki Rangga Dipayuda menghentikannya, Kasadha memang sudah berhenti dengan sendirinya.
Ketika kemudian Ki Rangga Prangwiryawan berdiri tegak sambil mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit, maka Ki Tumenggung berkata, "Sudah cukup. Kalian berdua memiliki tingkat kemampuan yang sama."
Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Ketika ia memandang Kasadha, maka di wajah anak muda itu sama sekali tidak terbayang sikapnya terhadap keputusan Ki Jayayuda itu.
Kasadha juga mendengar keputusan Ki Tumenggung Jayayuda. Dipandanginya pula Ki Rangga Prangwiryawan sejenak. Namun Kasadha nampaknya tidak ingin menyatakan pendapatnya atas keputusan itu.
Ki Rangga masih saja berdiam diri. Namun kemudian ia menggeleng lemah, "tidak," katanya.
Ki Tumenggung Jayayuda mengerutkan keningnya. Dengan nada ragu ia bertanya, "Jadi, bagaimana maksudmu?"
"Kami tidak mempunyai kemampuan yang sama," desis Ki Rangga.
"Jadi?" desak Ki Jayayuda yang berdebar-debar sebagaimana juga Ki Rangga Surayuda dan Ki Rangga Dipayuda.
Dua orang Lurah yang pernah dikalahkan oleh Ki Lurah Kasadha juga tidak dengan serta-merta menerima kekalahannya.
Namun Ki Rangga itu menjawab, "Aku harus mengakui kelebihan Ki Lurah Kasadha. Aku ternyata dikalahkannya."
Ki Jayayuda terkejut mendengar pengakuan itu. Demikian pula Ki Rangga Surayuda dan Ki Rangga Dipayuda. Mereka tidak mengira bahwa Ki Rangga Prangwiryawan yang sebelumnya menunjukkan sikap yang terlalu yakin akan kemampuan diri itu, dengan dada yang lapang mengakui kelebihan Kasadha.
Bahkan kemudian Ki Rangga Prangwiryawan itu berkata, "Aku tidak merasa perlu untuk berpura-pura. Semua prajurit tahu bahwa aku tidak mampu mengimbangi kemampuan Ki Lurah Kasadha betapapun aku berusaha. Satu-satunya cara untuk mempertahankan harga diri yang tersisa padaku adalah dengan mengaku kalah. Dengan demikian aku masih merasa bahwa aku bertindak jujur."
Ki Jayayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang seakan-akan tersangkut di kerongkongan Ki Tumenggung berkata, "Ki Rangga. Ternyata kau adalah seorang prajurit yang baik."
"Terima kasih Ki Tumenggung. Agaknya Ki Tumenggung dapat mengumumkan, bahwa yang memenangkan pertandingan ini adalah Ki Lurah Kasadha," berkata Ki Rangga.
Ki Tumenggung mengangguk. Namun dalam pada itu Kasadhapun berdesis, "Aku kira pengumuman itu tidak perlu. Ki Tumenggung sudah menyatakan keputusannya. Karena itu, agaknya tidak perlu dirubah lagi."
"Tentu perlu," berkata Ki Rangga, "aku akan selalu diusik oleh keputusan yang tidak sewajarnya itu untuk seterusnya. Aku akan merasa bahwa setiap mata akan memandangku dengan curiga. Wibawa yang maksudnya untuk dipertahankan, justru akan terjadi sebaliknya."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Kemudian iapun berdiri tegak sambil memandang berkeliling. Setiap orang yang tersapu oleh tatapan mata Ki Tumenggung itupun terdiam mematung.
Sejenak kemudian, setelah suasana di sekitar arena itu menjadi tenang, maka Ki Tumenggungpun berkata, "Para prajurit yang menyaksikan pertandingan ini. Setelah kita mengetahui, siapakah orang yang dianggap terbaik dalam olah kanuragan di antara para Lurah, maka hari ini diadakan semacam penjajagan yang dilakukan oleh Lurah terbaik dengan Ki Rangga Prangwiryawan. Sebagaimana kita lihat bersama, bahwa ternyata Ki Lurah Kasadha mampu mempertahankan gelar yang pernah disandangnya sebagai Lurah terbaik, sehingga dalam pertandingan ini dinyatakan bahwa Ki Lurah Kasadha telah memenangkan pertandingan ini."
Demikian Ki Tumenggung selesai berbicara, maka halaman barak itu bagaikan meledak. Suaranya bergetar sampai keluar dinding halaman. Beberapa orang yang lewat di depan barak itu termangu-mangu sejenak. Dua orang yang sempat berhenti di depan regol telah bertanya kepada prajurit yang bertugas, "Apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa. Para prajurit sedang bergembira," jawab prajurit yang bertugas itu.
"Kenapa para prajurit bergembira sampai berteriak-teriak seperti itu?" bertanya orang itu.
"Biasa saja. Bukankah orang yang bergembira kadang-kadang mempergunakan cara seperti itu untuk menyatakan kegembiraannya" Bersorak, berteriak dan mungkin melonjak-lonjak seperti anak-anak yang melihat biyungnya pulang dari pasar dengan membawa oleh-oleh?" jawab prajurit itu.
"Apakah mereka sedang mabuk?" bertanya orang itu lagi.
"Tentu tidak. Apakah kebiasaan prajurit Pajang menjadi mabuk dan kemudian berteriak-teriak tidak keruan?" prajurit itu ganti bertanya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia masih berusaha melihat ke dalam lewat lubang pintu gerbang yang terbuka. Tetapi yang nampak adalah prajurit-prajurit yang ada di halaman, dan tidak terlalu dekat dengan regol itu.
Sejenak kemudian maka orang itupun telah melanjutkan perjalanannya.
Dalam pada itu, di arena Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega telah memberikan ucapan selamat kepada Ki Lurah Kasadha. Bahkan, ternyata Ki Rangga Prangwiryawan sendiri telah memberikan ucapan selamat pula kepada lawannya yang telah mengalahkannya dalam pertandingan itu.
Baru kemudian, beberapa orang Lurah dan pemimpin kelompok telah menyatakan pula kekagumannya serta ucapan selamat atas kemenangannya.
Bharata ikut berbangga atas kemenangan Kasadha. Meskipun ia tidak segera mendapat kesempatan untuk mengucapkan selamat, namun ia masih saja berdiri sambil tersenyum-senyum. Pada kesempatan terakhir, Bharata telah mendekatinya sambil berkata, "Kau memang luar biasa, Kasadha."
"Ah," desis Kasadha, "hanya satu kebetulan. Ki Rangga Prangwiryawan nampaknya ingin memberikan sedikit kebanggaan kepadaku."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berdesis perlahan sehingga hanya didengar oleh Kasadha, "Tidak. Kau memang lebih baik dari Ki Rangga. Kau jangan lupa, bahwa aku mampu menilai kemampuan seseorang dalam olah kanuragan."
Kasadha mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menjawab, "Apakah kau menganggap bahwa Ki Rangga Prangwiryawan sudah bersungguh-sungguh."
"Sudah. Kau tentu tahu itu," jawab Bharata.
Keduanyapun kemudian berjalan di antara para prajurit yang masih berada di halaman, berdiri berkelompok-kelompok. Sementara Ki Tumenggung Jayayuda dan Para Pandhega telah meninggalkan halaman.
Ki Tumenggung Jayayuda masih sempat berkata kepada para prajurit sebelum meninggalkan halaman, "Tetapi sekali lagi aku ingatkan, bahwa kemampuan olah kanuragan, bukan satu-satunya syarat untuk menjadi seorang pemimpin."
Hari itu, Kasadha minta agar Bharata tidak meninggalkan barak itu lebih dahulu. Kasadha mendengar dari Ki Rangga Dipayuda, bahwa justru Ki Tumenggung Jayayuda akan menyelenggarakan semacam syukuran bagi para prajurit di barak itu. Ternyata rencana besar mereka untuk menyelenggarakan pertandingan antara para prajurit di barak itu telah selesai dengan selamat.
"Kapan hal itu diselenggarakan?" bertanya Bharata.
"Besok pagi," jawab Kasadha.
"Besok pagi?" ulang Bharata.
"Ya," jawab Kasadha, "baru saja aku mendengar dari Ki Rangga Dipayuda. Bahkan Ki Rangga juga berpesan, agar kau jangan pulang dahulu. Besok siang, kita berjalan bersama-sama."
"Bersama-sama?" bertanya Bharata.
"Aku mendapat waktu beristirahat dua hari," jawab Kasadha.
"O," Bharata mengangguk-angguk, "kau akan pergi ke Tanah Perdikan" Ibu tentu senang sekali menerimamu."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Aku akan bermalam semalam. Kemudian kembali dari Tanah Perdikan aku akan singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda yang pada hari itu akan mengambil istirahat satu atau dua hari."
Bharata tiba-tiba saja mengerutkan dahinya. Namun dengan cepat ia berkata, "Kenapa kau tidak bermalam di Tanah Perdikan Sembojan dua malam?"
Kasadha tersenyum. Katanya, "Lain kali aku akan bermalam lebih lama di Tanah Perdikan Sembojan. Jika persoalanmu dengan Rangga Kalokapraja telah selesai, itu berarti bahwa saat-saat wisudamu sudah dekat. Nah, pada saat kau diwisuda menjadi Kepala Tanah Sembojan itulah aku akan berada di Tanah Perdikan itu lebih lama lagi."
Bharata mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja terasa sesuatu yang bersangkut di perasaannya, sejak ia mendengar bahwa Kasadha akan singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda. Namun Bharata telah menyembunyikan perasaannya itu jauh-jauh di dalam dasar hatinya.
Karena Bharata nampaknya masih bimbang, Kasadha berkata pula, "Nah, bukankah kau bersedia menunda perjalananmu pulang ke Tanah Perdikan sampai besok?"
Bharata akhirnya mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Tetapi malam nanti ibu akan menjadi sedikit gelisah bahwa aku masih belum pulang."
"Tetapi besok kau sudah akan pulang bersamaku," sahut Kasadha.
Demikianlah, maka Bharata telah bermalam semalam lagi di barak itu.
Seperti direncanakan, maka di hari berikutnya, di barak itu telah diselenggarakan keramaian kecil. Para petugas di dapur telah menyediakan makan dan minum agak berbeda dengan hari-hari lainnya. Beberapa ekor kambing telah disembelih untuk membuat acara pernyataan syukur bahwa acara-acara yang mereka selenggarakan telah berlangsung dengan selamat.
Namun demikian acara itu selesai, maka Kasadha bersama Bharata telah menghadap Ki Rangga Dipayuda untuk minta diri.
"Aku akan beristirahat di Tanah Perdikan Sembojan Ki Rangga. Besok, jika aku kembali, maka aku akan singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda," berkata Kasadha.
"Aku besok ada di rumah," berkata Ki Rangga, "tetapi baru besok pagi-pagi aku meninggalkan barak ini."
"Besok pagi-pagi aku berangkat dari Tanah Perdikan Sembojan," sahut Kasadha.
"Baiklah," jawab Ki Rangga Dipayuda, "tetapi kau harus menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Pada dasarnya kau sudah diperkenankan untuk beristirahat. Tetapi jika kau akan meninggalkan barak hari ini, sebaiknya kau minta diri."
"Ya Ki Rangga. Aku akan menghadap Ki Tumenggung," jawab Kasadha yang sekaligus minta diri kepada Ki Rangga untuk meninggalkan barak itu bersama Bharata menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Demikian pula dengan Bharata. Iapun telah minta diri kepada Ki Rangga Dipayuda.
Ketika keduanya keluar dari bilik khusus bagi para Pandhega, maka mereka telah bertemu dengan Ki Rangga Prangwiryawan. Bagaimanapun juga, terasa jantung Kasadha berdesir. Apalagi ketika ia melihat Ki Rangga itu seakan-akan dengan serta-merta mendekatinya.
Namun ternyata sambil tersenyum Ki Rangga itu berkata, "Aku dengar kau akan beristirahat barang dua tiga hari"
"Ya Ki Rangga," jawab Kasadha.
"Beristirahatlah dengan baik. Sekali lagi aku mengucapkan selamat. Kau memang pantas untuk menjadi orang terbaik di barak ini," berkata Ki Rangga.
"Ah sudahlah Ki Rangga. Aku sudah melupakannya," jawab Kasadha.
"Tidak, bukan begitu. Aku adalah seorang prajurit. Aku harus bersikap jujur. Apalagi mengenai tingkat kemampuan di antara kita," berkata Ki Rangga. Lalu katanya, "Selain itu, aku merasa berkewajiban untuk minta maaf kepadamu."
"Kenapa?" bertanya Kasadha.
"Selama ini aku merasa diriku lebih baik dari kau," jawab Ki Rangga.
"Ah. Tidak. Aku tidak mempunyai perasaan apa-apa," jawab Kasadha.
Ki Rangga menepuk bahu Kasadha sambil berkata, "Apapun tanggapanmu, tetapi aku sudah merasa meletakkan beban perasaanku. Kau ternyata orang yang baik."
"Ki Rangga terlalu memuji," desis Kasadha.
"Biarlah kawanmu ini menjadi saksi, bahwa aku berkata sebenarnya. Aku bukan sekedar memuji. Meskipun aku memang memuji, tetapi aku benar-benar menyatakannya dari dasar perasaanku," jawab Ki Rangga.
"Terima kasih Ki Rangga," jawab Kasadha.
"Baiklah. Beristirahatlah dengan baik," berkata Ki Rangga.
Ki Rangga itupun kemudian telah melangkah pergi. Iapun telah menepuk bahu Bharata sambil berkata, "Melihat ujudmu, kaupun tentu benar-benar memiliki kemampuan seperti Kasadha."
Bharatapun mengangguk dalam-dalam sambil menyahut, "Terimakasih Ki Rangga."
Namun setelah Ki Rangga melangkah menjauh, Bharata itu bertanya, "Kenapa Ki Rangga tiba-tiba saja mengatakan bahwa aku benar-benar memiliki kemampuan seperti kau?"
Kasadhapun tersenyum sambil melangkah untuk menghadap Ki Tumenggung Jayayuda. Katanya, "Sebelum pertandingan ini dilaksanakan, beberapa orang prajurit pernah berceritera tentang kau dan aku dalam perang antara Pajang dan Mataram yang pertama. Mereka, maksudku para prajurit itu, mengatakan bahwa kau dan aku memiliki ilmu yang lebih baik dari rata-rata prajurit Pajang. Agaknya rerasan itu telah didengar oleh Ki Rangga Prangwiryawan."
Bharatapun tersenyum sambil berkata, "Dan agaknya Ki Rangga memperhatikan rerasan itu."
Kasadha tertawa. Namun ia tidak menjawab lagi. Demikianlah keduanyapun kemudian telah minta diri kepada Ki Tumenggung untuk meninggalkan barak itu.
"Sering-seringlah datang kemari," berkata Ki Tumenggung kepada Bharata.
"Tentu Ki Tumenggung," jawab Bharata, "aku kadang-kadang masih merindukan satu kehidupan di barak seperti ini."
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Jika saja kau tidak akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan, aku minta kau menjadi seorang prajurit lagi," Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lalu katanya, "Tetapi pengabdian dapat dilakukan dimana saja. Sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan kaupun dapat mengabdi sebagaimana seorang prajurit."
"Ya Ki Tumenggung," jawab Bharata, "mudah-mudahan aku dapat melakukannya dengan baik."
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun bersiap-siap untuk meninggalkan barak. Kasadha masih memberikan beberapa pesan kepada para pemimpin kelompoknya dan menunjuk seorang yang tertua di antara mereka untuk mewakilinya.
"Hanya dua atau tiga hari," berkata Kasadha. Beberapa saat kemudian, maka kedua orang anak muda itu sudah berada di luar barak. Kuda mereka berlari-lari kecil menyusuri jalan yang cukup ramai.
Ternyata Bharata masih sempat berhenti sejenak di depan sebuah kedai di dekat pasar untuk membeli beberapa potong makanan.
"Bibi sering menanyakan, apakah aku membawa oleh-oleh," berkata Bharata sambil tersenyum.
Kasadhapun tersenyum pula. Katanya, "Ternyata kau seorang anak muda yang tahu diri. Bibi itu tentu akan senang sekali menerima oleh-olehmu."
"Bibi sudah mulai merajuk sekarang. Beberapa tahun lagi, Bibi akan menjadi kanak-kanak kembali," jawab Bharata.
"Bukankah itu wajar sekali. Seorang yang mulai memasuki hari-hari tuanya sering bertingkah seperti kanak-kanak," sahut Kasadha.
Sambil menyimpan bungkusan makanannya, Bharatapun telah meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula Kasadha telah siap pula untuk meneruskan perjalanannya.
Ketika keduanya keluar dari Kotaraja, maka mereka berpacu lebih cepat. Jalanpun tidak lagi terlalu ramai. Namun demikian keduanya tidak berpacu seperti dalam arena pacuan kuda.
Sepanjang perjalanan keduanya nampak gembira. Langit yang bersih dan batang-batang padi yang hijau. Air di parit yang mengalir jernih berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi. Semuanya terasa cerah secerah suara kicau burung di pepohonan.
Kasadha dan Bharata masih saja berbincang sambil menempuh perjalanan. Mereka terutama berbicara tentang masa depan Tanah Perdikan Sembojan. Ternyata Kasadha juga menaruh banyak perhatian tentang Tanah Perdikan peninggalan kakeknya itu. Namun tercermin dalam pembicaraannya, bahwa hati Kasadha memang bersih, ia sama sekali tidak berniat untuk menuntut meskipun hanya sekeping kecil sawah atau ladang di Tanah Perdikan. Kedudukan Kasadha sendiri, meskipun masih sedang merambat, namun seorang Penatus yang menjabat dihidang pemerintahan telah mendapat tanah pelungguh seluas seratus Karya, sehingga hasilnya cukup untuk hidup dan menghidupi satu keluarga yang sudah tentu tidak berlebih-lebihan.
Dalam pada itu, maka Bharatapun telah menceriterakan bahwa persoalannya dengan Ki Rangga Kalokapraja memang sudah selesai. Semua kekurangan dari laporannya telah dipenuhi. Sementara itu Ki Rangga sendiri telah melihat kenyataan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga Ki Rangga Kalokapraja yakin bahwa seisi Tanah Perdikan akan menerima kehadiran Bharata sebagai Kepala Tanah Perdikan.
Tanpa singgah dimanapun keduanya langsung menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh keluarga di Tanah Perdikan. Seperti dugaan Bharata, ibunya memang sempat menjadi cemas, bahwa Bharata tidak pulang sebagaimana waktu yang direncanakan.
Ketika Bharata kemudian memberikan oleh-olehnya kepada Bibi, maka Bibi benar-benar menjadi gembira. Baginya bukan makanan yang diterimanya itulah yang sangat membesarkan hatinya, tetapi ternyata Bharata selalu mengingatnya sebagai seorang yang ikut menumpang mengakunya sebagai anaknya.
"Aku akan menyimpannya," berkata Bibi sambil membawa makan itu ke belakang. Sementara Iswari hanya tersenyum saja memandanginya.
Namun Bibi bukan sekedar memindahkan makanan itu dari bungkusnya ke sebuah mangkuk. Tetapi beberapa kali ia telah mengusap air yang mengembun di pelupuknya.
Di pendapa, Iswari menemui Kasadha yang datang bersama anaknya itu ditemani oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Setelah menanyakan keselamatannya, maka Iswaripun telah berbincang dengan Kasadha dalam suasana yang akrab. Nampaknya kebesaran jiwa dari keduanya telah menghapuskan pagar yang membatasi hubungan mereka.
Bahkan Bharata telah sempat pula berceritera bahwa ia telah menyaksikan, bagaimana Kasadha mampu menjadi orang terbaik di baraknya dalam olah kanuragan.
"Bagus sekali, Kasadha," sahut Iswari, "mudah-mudahan kemenanganmu itu akan memberikan arti bagimu, khususnya kedudukanmu sebagai seorang prajurit. Bagaimanapun juga, pimpinan barakmu telah mencatat, bahwa kau adalah seorang prajurit yang baik dalam olah kanuragan. Jika kau kemudian mampu melengkapi kelebihanmu dengan unsur-unsur yang lain, maka tentu kau mempunyai harapan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik."
"Ada unsur yang tidak mungkin dapat aku paksakan ibu," jawab Kasadha.
"Unsur apa?" bertanya Iswari.
"Umur," jawab Kasadha, "nampaknya umur juga diperhitungkan. Tentu saja dalam umur yang masih terlalu muda, seseorang tidak akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi, karena tentu dinilai pengalamannya masih belum cukup."
Iswari tersenyum sambil mengangguk. Namun kemudian iapun berkata, "Tetapi umur adalah syarat pelengkap, meskipun memang diperhitungkan."
Kasadhapun tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan. Tetapi nampaknya ujudku memang lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Ternyata bahwa hampir semua orang mengatakan bahwa umurku tentu lebih tua dari Risang."
"Bukan kau yang nampak terlalu tua dari umurmu. Tetapi agaknya aku yang memang awet muda," sahut Risang.
Kasadha tertawa. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tertawa pula.
Ketika kemudian Bibi keluar lagi sambil membawa hidangan, maka pertemuan itu menjadi semakin ramai. Ternyata Bibi telah menghidangkan pula makanan yang dibeli oleh Risang di Pajang. Jenang dodol dan sejenis makanan yang jarang ada di Tanah Perdikan Sembojan, jenang pelok.
Setelah beberapa saat mereka berbincang di pendapa, maka Bharata, yang di Tanah Perdikan dikenal dengan nama Risang, telah membawa Kasadha ke gandok. Sebuah bilik telah disiapkan baginya.
Di sore hari, setelah keduanya mandi, maka keduanya telah menyiapkan kuda-kuda mereka. Risang akan mengajak Kasadha untuk melihat-lihat perkembangan Tanah Perdikan Sembojan. Tanah Perdikan yang pernah menjadi sumber sengketa antara ibu Risang dan ibu Kasadha, yang kedua-duanya adalah isteri Ki Wiradana, yang seharusnya mewarisi Tanah Perdikan Sembojan itu dari Ki Gede Sembojan yang terbunuh setelah Ki Gede mengalahkan pimpinan gerombolan Kalamerta.
Ketika matahari semakin rendah, maka keduanya telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Mereka berkuda di antara kotak-kotak sawah dan hijaunya dedaunan. Matahari yang tidak lagi terasa teriknya menyengat kulit, sinarnya masih mewarnai puncak-puncak pebukitan yang membujur panjang menyusuri sisi Selatan Tanah Perdikan Sembojan.
"Tanah ini telah menjanjikan kesejahteraan bagi masa depan," berkata Kasadha sambil memandangi hijaunya hutan lereng pegunungan.
"Kami masih bekerja keras untuk mengatasi tanah-tanah yang gersang di lereng pegunungan. Kami sedang mencoba untuk membuat teras-teras di tanah yang miring itu. Kami sedang berusaha untuk menemukan pepohonan yang paling sesuai untuk lereng-lereng kering seperti itu," berkata Bharata sambil menunjuk ke lereng-lereng yang masih belum berhasil ditanami.
"Tetapi tanah yang gersang itu sudah tidak begitu banyak lagi," sahut Kasadha, "dalam waktu lima sampai sepuluh tahun lagi, semuanya tentu sudah menjadi hijau. Padukuhan di bawah lereng tidak lagi takut tertimpa tanah yang longsor jika hujan turun."
"Mudah-mudahan," desis Bharata, "kami memang sedang bekerja keras untuk itu."
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara itu kuda mereka meluncur terus menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan yang termasuk cukup terpelihara. Parit-paritpun mengalir dengan lancar membelah kotak-kotak sawah yang terbentang di bulak yang luas.
"Aku yakin, kau akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang baik, Bharata," desis Kasadha.
"Bukan aku. Tetapi seluruh rakyat Tanah Perdikan inilah yang telah membuat Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang diharapkan menjadi gemah ripah lohjinawi," jawab Kasadha.
"Tetapi mereka memerlukan seorang yang berwibawa untuk mengikat mereka dalam satu keutuhan keluarga besar yang tertib, rukun, damai tetapi hidup dan berkembang," gumam Kasadha sambil memandang jauh ke bibir cakrawala. Bahkan kemudian seakan-akan ia berkata kepada dirinya sendiri, "Sawah dan ladang seluas ini tentu akan dapat menjadi sumber kesejahteraan hidup bagi rakyat Tanah Perdikan ini."
"Kita akan saling berdoa, semoga kita dapat berhasil dalam tugas kita masing-masing," berkata Bharata kemudian.
Setelah mengelilingi beberapa bagian Tanah Perdikan, maka Bharata telah mengajak Kasadha kembali ke rumahnya.
Ketika kemudian malam turun, setelah makan, Kasadha dan Bharata masih berbincang-bincang di serambi gandok. Cahaya lampu minyak menggapai-gapai menerangi serambi itu. Sementara di gardu, para peronda duduk melawan kantuk.
Ada saja yang dibicarakan oleh Kasadha dan Bharata. Rasa-rasanya pembicaraan itu tidak akan ada habisnya.
Namun ketika malam sampai ke pertengahannya, maka Bharatapun berkata, "Sudahlah. Kau tentu juga ingin beristirahat."
Kasadha tersenyum. Katanya, "Aku sudah terbiasa tidur lewat tengah malam."
Tetapi Bharatapun kemudian telah masuk ke ruang dalam langsung ke dalam biliknya karena ruang dalam rumahnya itupun telah menjadi sepi. Agaknya ibunyapun telah berada di biliknya pula.
Pagi-pagi sekali Kasadha telah bangun. Namun ketika ia pergi ke pakiwan, maka Bharatapun telah mulai menimba air.
"Kau masih melakukannya sendiri?" bertanya Kasadha.
"Aku sengaja melakukannya. Pagi dan biasanya juga sore hari," jawab Bharata.
Kasadha tersenyum. Katanya, "Satu cara untuk melemaskan urat-urat darah."
Bharatapun tertawa. Katanya, "Ya. Baru kemudian setelah berkeringat, bersiap-siap untuk mandi. Cara ini juga dapat untuk mengusir dingin."
Kasadhapun tertawa. Katanya, "Jika demikian sisakan jambangan itu. Jangan diisi sampai penuh. Aku juga ingin mengusir dingin."
Demikianlah keduanyapun segera bergantian mandi. Kemudian Kasadhapun segera berkemas. Ia akan meninggalkan Tanah Perdikan itu untuk kembali ke Pajang, namun ia akan singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda yang hari itu juga akan pulang ke rumahnya.
Setelah makan pagi, maka seperti yang direncanakan, Kasadha telah minta diri kepada seluruh keluarga di Tanah Perdikan. Kehadirannya di Tanah Perdikan itu telah memberikan kesegaran baru setelah untuk beberapa lama ia tenggelam dalam bukan saja pertandingan, tetapi bahkan semacam pendadaran baginya.
Ketika Kasadha kemudian meninggalkan rumah Bharata, maka Bharata berkata, "Aku akan mengantarmu sampai ke batas Tanah Perdikan ini."
"O," Kasadha mengangguk-angguk, "terima kasih. Kita masih akan sempat berbincang-bincang untuk beberapa lama."
Bharata tertawa. Katanya, "Seharusnya kau berada di Tanah Perdikan ini lebih lama lagi."
"Hati-hatilah di perjalanan," pesan Iswari.
"Ya ibu, aku mohon restu," sahut Kasadha.
Iswari tersenyum. Kebenciannya kepada anak itu benar-benar telah larut. Apalagi ketika ia mendengar bahwa anak itu merupakan orang terbaik di baraknya. Jika anak muda itu mendapat tempat yang baik dan mapan, maka tidak akan ada iblis yang manapun yang akan dapat membujuknya untuk mengganggu Tanah Perdikan Sembojan.
Sejenak kemudian, maka Kasadha dan Bharata telah berkuda menyusuri jalan-jalan bulak di Tanah Perdikan Sembojan. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan yang pada umumnya nampak bersih. Kemudian muncul lagi di bulak berikutnya.
Ketika keduanya kemudian sampai di perbatasan, maka Bharata pun berkata, "Sudahlah Kasadha. Aku tidak dapat mengantarmu sampai ke Pajang. Aku kira seorang Lurah terbaik dari satu pasukan akan berani berkuda sendiri sampai ke Pajang."
Kasadha tertawa. Katanya, "Antarkan aku sampai ke Pajang. Nanti jika kau tidak berani kembali ke Tanah Perdikan, aku antar kau pulang."
Bharatapun tertawa. Namun kemudian katanya, "Hati-hati. Masih ada orang yang berkeliaran mencari seorang anak muda yang bernama Puguh."
Kasadha tertawa semakin keras. Katanya, "Bukankah kau yang bernama Puguh?"
Keduanyapun tertawa berkepanjangan. Mereka rasa-rasanya melihat kembali peristiwa yang aneh itu. Kedua-duanya pada satu saat bersama-sama dianggap seorang anak muda yang bernama Puguh justru karena wajah mereka yang mirip.
Namun sesaat kemudian, Kasadha telah minta diri. Ia harus melanjutkan perjalanannya kembali ke Pajang. Namun kepada Bharata ia berkata, "Aku sudah berjanji untuk singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda."
Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian Kasadha telah meninggalkan Bharata yang termangu-mangu di perbatasan. Beberapa saat kemudian, Kasadha masih berpaling sambil melambaikan tangannya. Namun kemudian kudanyapun berlari semakin cepat meninggalkan Bharata yang termangu-mangu.
Namun ketika Kasadha telah hilang di kelokan jalan, maka Bharatapun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan maka ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanyapun telah berputar dan berjalan kembali menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.
Seperti penunggangnya, kudanya berjalan saja sambil terangguk-angguk. Sementara Bharata mulai merenungi perjalanan Kasadha.
"Ia akan singgah di rumah Ki Rangga," desis Bharata. Lalu, "Anak muda itu akan segera bertemu dengan Riris."
Bharatapun segera teringat kepada seseorang yang ada di rumah itu. Sumbaga. Ketika ia bermalam di rumah Ki Rangga, maka ia harus berkelahi dengan Sumbaga.
Namun karena Ki Rangga malam nanti ada di rumahnya, maka Kasadha tentu tidak perlu berkelahi dengan anak muda itu.
Tetapi tiba-tiba saja Bharata menarik kekang kudanya, sehingga kudanya itu berhenti di tengah-tengah bulak. Matahari yang mulai memanjat langit mulai terasa panasnya menggatalkan kulit.
"Kenapa Kasadha kemarin pergi ke Tanah Perdikan?" Tiba-tiba pertanyaan itu timbul di hatinya, "kenapa ia tidak lebih baik pergi menemui ibunya sendiri dari pada menemui ibuku?"
Bharata di luar sadarnya telah berpaling. Tetapi ia tidak melihat Kasadha lagi yang telah menjadi semakin jauh.
Tetapi tiba-tiba saja Bharata telah diganggu oleh dugaan-dugaan yang muncul di dalam hatinya.
"Agaknya Kasadha sengaja ikut ke Tanah Perdikan agar aku tidak singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda," berkata Bharata kepada diri sendiri. Yang kemudian terbayang adalah seorang gadis yang cantik berlari-lari menyambut kedatangan Kasadha di halaman rumahnya yang bersih.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menggeleng kecil, seolah-olah ingin mengibaskan angan-angannya itu. Bahkan iapun kemudian berkata kepada diri sendiri, "Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam hati ini, sehingga aku telah berprasangka buruk terhadap Kasadha! Tidak. Ia tidak sengaja ingin menggiring aku pulang agar aku tidak singgah di rumah Riris. Ia sama sekali bukan seorang yang curang dan licik."
Bharata tiba-tiba saja telah menghentakkan kendali kudanya dan berpacu kencang-kencang menuju ke padukuhan induk.
Di bulak-bulak panjang, satu dua orang yang melihatnya menjadi heran. Bharata yang dikenal bernama Risang itu tidak pernah berpacu demikian kencangnya.
"Apakah ada sesuatu yang sangat penting sehingga anak muda itu berpacu demikian cepatnya?" seorang petani bertanya kepada diri sendiri.
Namun petani itupun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Ia kembali sibuk dengan kerjanya. Menyiangi sawahnya. Mencabut batang-batang rumput liar yang tumbuh di antara batang-batang padinya.
Ternyata Risang tidak langsung pulang. Justru ketika kudanya mendekati padukuhan induk, maka Risangpun telah menarik kekang kudanya dan berbelok ke kanan, menuju ke pebukitan yang gersang.
Akhirnya kudanya berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang. Setelah mengikat kudanya di pohon itu, maka Risangpun telah berjalan dengan cepat memanjat bukit yang kering dan keras.
Tanpa mengingat matahari yang semakin tinggi dan mulai memanasi kulitnya, Bharata naik semakin tinggi. Meskipun agak mengalami kesulitan, namun akhirnya ia berdiri di puncak sebuah bukit yang tidak begitu tinggi, kering dan tandus.
Sejenak Risang berdiri termangu-mangu, memang ada beberapa batang pohon di puncak bukit! Kemudian lapangan rumput yang tidak begitu luas. Selebihnya batu dan padas.
Tetapi melihat beberapa batang pohon yang dapat tumbuh, maka Risangpun berpendapat, bahwa batang-batang yang lainpun tentu akan dapat tumbuh pula.
Dari tempatnya Risang melihat dataran di bawah bukit yang subur. Batang padi yang hijau. Parit-parit yang berkelok seperti seekor ular yang sedang menjalar. Jalan-jalan yang membelah bulak-bulak panjang menghubungkan padukuhan dengan padukuhan.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian duduk di atas sebongkah batu padas justru di bawah panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi.
Tiba-tiba mulai terbayang di atas hamparan sawah di dataran di bawah bukit itu, arena pertandingan antara para prajurit di barak Kasadha. Terbayang bagaimana Kasadha dengan tangkasnya berhasil mengalahkan seorang Rangga, yang menjadi salah seorang Pandhega di pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda itu.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berusaha mengibaskan angan-angannya itu. Namun ia tidak berhasil. Seakan-akan ia telah berdiri lagi di luar gawar arena pertandingan antara Kasadha dan Ki Rangga Prangwiryawan. Terbayang jelas di hadapannya, bagai mana Kasadha menunjukkan sikap seorang laki-laki muda dengan ilmunya yang tinggi.
"Kenapa aku tidak mendapat kesempatan untuk melakukannya di hadapan Ki Rangga Dipayuda," geram Risang. Ketika ia mengalahkan Sumbaga yang ternyata juga memiliki kemampuan yang cukup, tidak seorangpun yang mengetahuinya. Kasadha juga tidak. Apalagi Ki Rangga Dipayuda. Sehingga dengan demikian yang akan didengar oleh Riris tentu hanya kelebihan Kasadha di arena barak pasukannya, karena Ki Rangga Dipayuda tentu akan berceritera tentang kemenangan Kasadha itu kepada keluarganya. Kepada Jangkung dan kepada Riris.
Di luar sadarnya, tiba-tiba saja Risang itupun bangkit. Dilepasnya bajunya dan diletakkannya di atas batu padas. Dengan sigapnya anak muda itu telah meloncat dan mulai menggerakkan tangannya perlahan-lahan.
Namun gerakan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Mula-mula gerakan-gerakan yang sederhana sekedar untuk memanaskan tubuhnya. Namun kemudian Risang mulai berloncatan. Tangannya berputaran dengan gerak yang cepat dan kuat. Unsur-unsur gerak yang semakin lama semakin rumit telah dilakukannya pula.
Di bawah panasnya matahari yang merambat ke puncak bukit, Risang telah berlatih seorang diri. Bukan hanya sekedar melepaskan kebekuan urat-urat darahnya. Namun ia benar-benar telah mengungkapkan segenap kemampuannya. Dasar-dasar ilmu yang tumurun dari ketiga orang yang berilmu tinggi. Ki Badra, Ki Soka dan Nyai Soka, sebagai landasan ilmu Janget Kinatelon.
Tidak ada orang yang menyaksikannya. Tidak ada satu dua orang pemimpin kelompok prajurit yang mengaguminya dan terheran-heran melihat puncak-puncak kemampuan Risang yang ternyata juga mampu memecahkan batu-batu padas sebagaimana dilakukan oleh Kasadha. Tidak pula ada sorak gemuruh para prajurit yang melihat kemenangannya atas lawannya.
Namun apa yang dilakukan Risang tidak kurang dari apa yang dapat dilakukan Kasadha. Bahkan mengalahkan Ki Rangga Prangwiryawan.
Beberapa lama Risang tenggelam dalam latihan yang ternyata cukup berat dan bersungguh-sungguh. Keringatnya kemudian mengalir bagaikan terperas dari tubuhnya. Batu-batu padaspun telah pecah berserakan.
Tetapi akhirnya, Risangpun mengurangi ungkapan ilmunya perlahan-lahan, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Perlahan-lahan ia menarik sikunya dan mengangkat telapak tangannya yang menengadah. Namun kemudian diputarnya tangannya menghadap ke depan dan bersamaan dengan itu Bharata telah melepaskan nafas panjang.
Risang itupun kemudian telah berhenti latihan. Dipandanginya lembah dan ngarai yang diterpa oleh teriknya matahari yang memanjat sampai ke puncak. Udara nampak bagaikan bergetar kepanasan.
Risang melangkah mendekati sebatang pohon yang tidak terlalu rimbun. Namun ia dapat sedikit terhindar dari panasnya sinar matahari.
Ketika sekali lagi ia memandang bulak yang terbentang luas, maka tiba-tiba saja ia menggeretakkan giginya dan berkata kepada diri sendiri, "Iblis mana lagi yang menyusup ke jantungku. Kenapa aku berpikir buruk seperti ini."
Risang membanting dirinya duduk di atas batu. Kemudian kedua telapak tangannya telah menutup wajahnya yang berkeringat.
"Tidak. Tidak. Kasadha tidak seburuk itu. Jika hatinya berbulu, maka ia tentu tidak akan melepaskan kesempatan yang pernah didapatnya untuk mengambil Tanah Perdikan ini dari tanganku."
Namun seakan-akan terdengar suara jauh di bawah relung hatinya, "Tetapi persoalannya lain Risang. Persoalannya bukan Tanah Perdikan. Persoalannya adalah seorang gadis cantik yang bernama Riris Respati, anak Ki Rangga Dipayuda."
Wajah Risang menjadi panas. Namun iapun kemudian berteriak keras-keras, "Tidak. Tidak. Hatikulah yang berbulu seperti hati iblis."
Suaranya hanyut di udara dan melontarkan gema yang bersahutan.
Untuk beberapa saat Risang mendengarkan getar gema di sela-sela puncak-puncak bukit. Namun kemudian dengan tergesa-gesa Risang telah mengambil bajunya. Mengenakannya dan kemudian berjalan tergesa-gesa menuruni lereng.
Ketika Risang sampai di kaki bukit, dilihatnya kudanya masih terikat pada sebatang pohon dan makan rerumputan yang hijau.
Risang menarik nafas dalam-dalam, ia mencoba untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba saja gelisah. Meskipun ia mencoba untuk menguasainya dengan penalarannya, namun setiap kali jantungnya terasa berdetak semakin cepat.
Selangkah demi selangkah Risang mendekati kudanya yang masih saja makan rerumputan di bawah pohon yang cukup rindang itu. Ketika tangannya menggapai tali kudanya, tiba-tiba saja Risang dikejutkan oleh suara orang tertawa.
Risang dengan tangkasnya memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu. Wajahnya berkerut ketika ia melihat seorang yang nampaknya sudah menginjak pertengahan abad.
"Siapa kau?" bertanya Risang dengan tatapan mata tajam.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu melangkah mendekatinya. Meskipun rambutnya yang nampak sedikit tersembul di bawah ikat kepalanya sudah nampak memutih, demikian pula dengan kumis dan sedikit janggutnya yang pendek, namun tubuhnya masih nampak segar. Apalagi orang itu termasuk bertubuh tinggi kekar, sehingga memberikan kesan seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
"Angger memang luar biasa," desis orang itu.
"Apa yang luar biasa?" bertanya Risang.
Orang itu tertawa pula. Katanya, "Aku melihat apa yang Angger lakukan di puncak bukit. Aku belum pernah melihat orang seumur Angger mampu melakukan sebagaimana yang Angger lakukan itu. Tentu Angger telah berguru kepada seorang guru yang sangat tinggi ilmunya."
"Ah," desah Risang. Tetapi ia tidak mau terbenam dalam pujian orang yang belum dikenalnya. Karena itu, maka sekali lagi ia bertanya, "Siapa kau?"
"Aku adalah orang yang tidak berarti apa-apa. Namaku Ki Lebdagati. Aku berasal dari daerah yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan Sembojan. ini," jawab orang itu.
"Ki Sanak berasal dari mana?" bertanya Risang mendesak.
"Aku berasal dari hutan Ketawang. Hutan yang tidak terlalu luas, termasuk Kademangan Wangon," jawab orang itu.
"Ki Lebdagati tinggal di dalam hutan itu?" bertanya Risang lebih jauh.
"Ya, begitulah. Atas ijin Ki Demang, aku memang membuat sebuah Pakuwon kecil di pinggir hutan Ketawang," jawab orang itu.
"Kenapa di pinggir hutan?" bertanya Risang pula.
"Aku tidak mempunyai sanak kadang Ngger. Aku memang ingin hidup menyepi. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berhubungan lagi dengan orang lain. Aku justru berusaha untuk lebih banyak membantu orang lain. Di pinggir hutan setiap hari aku dapat mencari dedaunan yang berguna bagi pengobatan. Aku kemudian juga mempunyai banyak kesempatan untuk merenungi kehidupan ini. Menerawang menembus batasan waktu dan ruang."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Sekarang, apakah yang Ki Sanak kehendaki?"
"Tidak apa-apa Ngger. Aku benar-benar hanya ingin menyatakan kekagumanku kepadamu. Tidak lebih," sahut orang itu.
"Terima kasih," jawab Risang, "dan sekarang, Ki Sanak akan pergi ke mana?"
"O," orang itu mengangguk-angguk kecil, "aku hanya sedang berjalan-jalan. Maaf, aku telah menjelajahi Tanah Perdikan ini tanpa memberitahukan kepada Angger sebagai calon Kepala Tanah Perdikan ini."
"Tanah Perdikan ini terbuka bagi siapapun," jawab Risang, "bukan hanya Ki Lebdagati, siapapun boleh keluar dan masuk Tanah Perdikan ini dengan bebas, asal mereka tidak mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini serta melakukan tindakan yang bertentangan dengan paugeran."
"Tentu tidak Ngger," jawab orang itu, "aku justru merasa betapa tenang dan damainya Tanah Perdikan ini."
"Nah, jika demikian silahkan. Ki Lebdagati dapat berada di Tanah Perdikan Sembojan setiap saat Ki Lebdagati menghendaki," berkata Risang.
"Dan sekarang" Angger akan pergi kemana?" bertanya Ki Lebdagati.
"Pulang," jawab Risang.
"Silahkan Ngger, silahkan," berkata Ki Lebdagati.
Risangpun kemudian telah meloncat ke punggung kudanya. Kemudian kuda itupun telah berlari meninggalkan kaki bukit. Sementara itu Ki Lebdagati memperhatikannya sampai anak itu hilang di balik pepohonan.
Orang itupun mengangguk-angguk kecil. Katanya kepada diri sendiri, "Memang luar biasa. Landasan ilmunya terlalu tinggi bagi anak-anak muda sebayanya. Jika saja anak muda itu dengan sungguh-sungguh meningkatkan ilmunya, maka ia akan menjadi seorang yang pilih tanding."
Kesatria Baju Putih 17 Roro Centil 05 Setan Cebol Penyebar Maut Kedele Maut 17
^