Pencarian

Tersesat Di Lembah Kematian 1

Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian Bagian 1


1 I bawah siraman cahaya matahari tampak empat
orang laki-laki bertampang seram melangkah ringan D dan mantap. Pertanda mereka
adalah orang-orang persilatan yang berilmu cukup tinggi. Pakaian yang dikenakan
keempat orang itu sangat mencolok dan menarik perhatian. Sebab masing-masing
dari mereka mempunyai wajah yag sama dengan warna pakaiannya.
Orang pertama, berjubah panjang berwarna merah
darah yang sesuai dengan warna kulit wajahnya. Tubuhnya tinggi kekar dan selalu
menyunggingkan senyum mengejek.
Sedangkan orang kedua, usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan jubah
berwarna biru gelap. Wajahnya dihiasi kumis tebal, dan mempunyai sepasang mata
yang memancarkan kelicikan hatinya. Sebuah gagang golok besar tampak tersembul
di balik punggungnya.
Sementara, orang ketiga dan keempat, masing-masing mengenakan pakaian berwarna
kuning pucat dan hijau.
Keanehan-keanehan itulah yang membuat keempat
orang itu menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Saat matahari sudah tergelincir ke arah Barat, keempat orang aneh itu telah
memasuki mulut Desa Keranggan.
Beberapa petani yang sempat melihat mereka bergegas menghindar. Tampak di wajah
mereka ada perasaan ngeri melihat orang-orang aneh dan menyeramkan itu.
Sikap para petani yang demikian, rupanya membuat keempat orang-orang aneh itu
merasa tersinggung. Salah seorang dari mereka, yang mengenakan jubah berwarna
kuning pucat, menoleh dan menatap tajam ke arah petani yang bergegas kembali ke
sawahnya. "Hei! Kemari kau...!" panggil orang yang berwajah
kuning pucat itu dengan suara parau. Sepasang matanya tampak berkilat
menyiratkan nafsu membunuh!
Keempat petani yang berpura-pura sibuk itu terkejut sekali mendengar panggilan
orang aneh tersebut. Seketika wajah mereka berubah pucat, dan dadanya berdegup
keras. "Keparat! Rupanya kalian sudah bosan hidup!" bentak laki-laki kurus berwajah
kuning pucat itu dengan nada semakin tinggi. Jelas, ia merasa marah sekali
terhadap keempat petani yang berpura-pura tidak mendengar panggilannya tadi.
"Kami...kami yang Tuan maksudkan...?" tanya salah
seorang dari petani itu dengan wajah tegang! Bahkan, nada suaranya terdengar
gemetar dan diselimuti rasa takut.
"Hm... Jangan berpura-pura bodoh kau, Orang Tua Peot!
Apakah telingamu mau dibuat tuli" Cepat, kau dan ketiga rekanmu naik kemari!"
bentak lelaki tinggi kurus berwajah kuning pucat itu sambil menunjukkan
tangannya. "Baik....baik....Tuan..." sahut lelaki setengah baya itu mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian, ia bergegas naik diikuti ketiga rekannya.
"Hm....untuk apa kau membuang-buang waktu dengan
manusia-manusia tak berguna itu, Adi Sangkuni" Kubur saja mereka di sawah," ujar
lelaki berjubah merah dengan wajah bengis dan tersenyum sinis.
Ucapan lelaki bertubuh kekar dan berjubah merah itu menyiratkan perasaan tidak
setuju dengan tindakan rekannya yang dianggap membuang-buang waktu saja.
"Sebenarnya aku ingin bermain-main sebentar dengan mereka. Sayang Kakang tidak
menyukainya. Baiklah, Kakang. Aku akan memberikan sesuatu yang nikmat buat
mereka untuk menuju ke alam kedamaian," ujar lelaki berjubah kuning pucat itu
seaya menyelinapkan tangan kanannya ke dalam jubah.
"Kalian terimalah ini sebagai hadian dariku..." ujarnya sambil mengibaskan tangan
kananya ke arah keempat orang petani yang baru saja menginjakkan kakinya di atas
jalanan lebar itu.
Wuuut...! Bubuk berwarna kuning dan berbau harum menyebar
seiring kibasan tangan Sangkuni. Dan langsung menerpa wajah keempat orang petani
itu. Lalu, mereka berteriak-teriak dengan tubuhnya berjumpalitan. Kemudian
teriakan itu berubah menjadi lolongan panjang yang mengerikan!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Keempat orang petani malang itu terus meraung sambil bergulingan di atas tanah
berbatu kerikil. Kedua tangannya sibuk menggaruk seluruh tubuh sambil mendesis-
desis bagai orang kesetanan! Tak lama kemudian, tubuh mereka mengejang menahan
azab. Lalu tewas dengan sekujur kulit tubuh terkelupas bagai dikuliti.
"He he he.... Kau lihatlah, Kakang. Bukankah per-
mainan itu sungguh mengasyikkan. Sayang, Kakang tidak memperkenankan aku untuk
bermain lebih lama," ujar Sangkuni sambil terkekeh memandang tubuh korbannya
dengan sinar mata yang gembira. Jelas, penderitaan keempat petani itu telah
menimbulkan rasa bahagia di dalam hatinya.
"Sudahlah. Ayo kita tinggalkan tempat ini..." ajak lelaki berjubah merah darah
yang menjadi pimpinan mereka.
Keempat orang aneh yang bersifat mengerikan itupun melangkah lebar meninggalkan
tempat tersebut. Luar biasa sekali kekejaman mereka. Hanya kesalahan kecil saja,
mereka tega membunuh empat orang petani itu secara keji.
Tak sedikitpun tersirat rasa iba di wajah keempat orang aneh itu, meski
korbannya merintih dan meraung menahan rasa perih. Justru dengan melihat
penderitaan orang itu, mereka memperoleh kepuasan hati. Semakin korbannya
kesakitan dan meraung tinggi, semakin puaslah hati mereka. Melihat kekejamannya
itu, jelas keempat orang itu merupakan tokoh-tokoh sesat dalam dunia persilatan.
"Hei, Pelayan! Cepat sediakan empat guci tuak dan penganan untuk kami!" teriak
orang aneh yang berjubah biru gelap. Padahal, saat itu ia baru saja melangkahkan
kakinya melewati pintu kedai, dan belum sempat memilih tempat duduk.
Tentu saja suara yang keras dan bernada dingin itu, membuat para pengunjung
kedai terkejut dan menolehkan kepalanya. Namun, ketika mereka melihat penampilan
lelaki berjubah biru gelap dan tiga orang lainnya, serentak pengunjung kedai itu
menundukkan kepalanya. Bahkan, beberapa pengunjung langsung beranjak
meninggalkan bangku-bangkunya.
Kening lelaki berjubah biru gelap yang baru saja menjatuhkan pantatnya di atas
kursi itu berkerut dalam.
Tindakan pengunjung yang hendak meninggalkan kedai itu membuat dirinya
tersinggung. Dengan gerakan kasar, lelaki berkumis tebal itu bangkit dan
menggebrak meja.
Brakkk...! Enam orang lelaki yang baru saja hendak melangkah keluar kedai itu merasa
terkejut. Langkah mereka terhenti dan menolehkan kepala ke arah pengunjung aneh
itu. "Dengar! Tidak seorangpun boleh meninggalkan tempat ini! Bagi siapa yang berani
membantah, maka kematianlah yang akan diterima!" ancam lelaki berjubah biru
gelap itu dengan tatapan mata tajam dan menggetarkan jantung.
Mendengar ancaman yang tegas itu, membuat mereka semua kembali duduk dengan
wajah pucat. Kegelisahan membayang jelas di wajah mereka.
Namun, tidak semua pengunjung kedai itu bernyali kecil. Dua orang lelaki
bertubuh kekar berotot, bergerak bangkit dan melangkah menuju pintu kedai.
Mereka tidak gentar sama sekali dengan ancaman lelaki berjubah biru gelap itu.
Melihat lagak dua orang bertubuh kekar berotot tersebut, lelaki berkumis tebal
itu tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka di tempat ini ada juga orang-orang bernyali harimau.
Bagus... bagus.... Benar-benar sangat menyenangkan!" ujar laki-laki itu sambil
bangkit dari duduknya.
"He... he he...! Hati-hati Kakang Gumilang. Siapa tahu kedua orang itu benar-benar
harimau buas....!" Cetus lelaki berjubah hijau dengan suara mengejek.
"Ha... ha... ha...! Justru itu yang kuharapkan, Sura Lejang. Jika mereka betul-
betul harimau buas, senang sekali hatiku," ujar lelaki berjubah biru gelap yang
ternyata bernama Gumilang.
Dia melangkah lebar menghampiri kedua lelaki bertubuh kekar itu. Sikapnya
terlihat angkuh dan sangat menghina sekali. Tanpa memperdulikan kedua orang itu,
ia berdiri di ambang pintu dan menghalangi jalan keluar.
"Maaf, Kisanak. Berilah jalan untuk kami lewat..." pinta salah seorang yang
berwajah keras dengan bulu-bulu hitam menghias sisi wajahnya. Nada suaranya yang
sopan itu mengandung ketegasan.
Lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak meng-
indahkan permintaanya. Sepasang matanya menatap
dingin ke arah dua orang lelaki yang berniat meninggalkan kedai itu.
Setelah beberapa kali mengulang permintaanya, tapi selalu diabaikan, lelaki
berwajah keras itu mulai naik pitam. Dengan tatapan mata yang menyiratkan
kemarahan, ia melangkah maju dua tindak ke depan.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan dari kami,
Kisanak" Mengapa kau menghalangi jalan keluar"
Bukankah diantara kita tidak ada persoalan?" tegur lelaki kekar berwajah keras
itu dengan suara penasaran.
Sepasang matanya dikepalkan hingga terdengar suara gemeretak. Melihat dari sikap
dan tingkahnya, tampak lelaki itu bukanlah seorang sembarangan.
"Hm.... Aku tidak akan menghalangimu jika per-
mintaanku kau turuti," ujar Gumilang dengan suara perlahan, namun terasa
menggetarkan hati. Sedang sepasang matanya yang dingin dan setajam mata pisau
itu, tetap tidak beralih dari wajah lawan.
"Apa permintaanmu, Kisanak" Selagi masih dalam
batas-batas wajar tentu akan kupenuhi. Katakanlah!" sahut lelaki berwajah keras
itu dengan menentang pandangan mata Gumilang. Jelas, ia ingin memperlihatkan
bahwa dirinya tidak takut berhadapan dengan lelaki berjubah biru gelap.
Mendengar ucapan lawan bicaranya, Gumilang
memperlihatkan senyum iblis yang sempat membuat hati lelaki berwajah keras itu
bergetar. Karena senyumnya merupakan senyum licik yang mengandung banyak arti.
"Permintaanku tidak banyak dan gampang dipenuhi.
Kalau kalian ingin meninggalkan kedai ini, tinggalkan nyawa kalian berdua
untukku. Setelah itu kalian boleh pergi tanpa kuganggu," ucap Gumilang dengan
suara dingin dan menantang.
"Bangsat! Rupanya kau sengaja mencari persoalan
dengan kami! Kuperingatkan agar kau segera menarik ucapanmu itu. Kalau tidak,
tubuhmu akan kulumat habis!"
bentak lelaki bertubuh kekar itu dengan wajah merah padam.
"Kisanak. Sadarkan kau, saat ini tengah berhadapan dengan Sepasang Macan
Kumbang" Dan perlu kau ketahui tak seorangpun bisa menghalangi keinginan kami.
Maka, menyingkirlah kau sebelum kesabaran kami habis!" ancam lelaki yang satunya
lagi. Wajahnya yang kehitaman dengan sebaris kumis tebal melintang, tampak
semakin gelap. Nama Sepasang Macan Kumbang memang cukup
dikenal dan ditakuti penduduk Desa Keranggan. Tindakan mereka pun sukar ditebak.
Terkadang mereka bertindak kasar hanya karena persoalan sepele. Bahkan, tidak
jarang mereka membunuh orang yang tidak disukainya, meski tanpa sebab yang
jelas. Tapi kedua, orang lelaki kekar berkulit hitam itu, kerap juga menolong
penduduk yang ditimpa kesulitan, atau mengusir perampok-perampok yang mengganggu
ketentraman Desa Keranggan. Sehingga, Kepala Desa Keranggan pun enggan berurusan
dengan Sepasang Macan Kumbang itu.
Selama bertahun-tahun malang melintang di Desa
Keranggan tak seorangpun mampu mengalahkannya,
membuat mereka menjadi tinggi hati. Semula kedua orang itu tidak mau ambil
perduli dengan tingkah empat orang aneh tersebut. Namun karena orang-orang itu
seperti sengaja mencari keributan, maka kedua orang itupun tak dapat membiarkan
mereka. Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, sudah hilang kesabarannya
ketika mendengar permintaan gila Gumilang. Namun karena saat itu hati mereka
sedang gembira, sengaja dia bersikap mengalah. Lain halnya dengan Juwana, orang
kedua dari Sepasang Macan
Kumbang itu. Dari tatapan matanya yang garang, jelas dia tidak dapat menerima
perlakuan Gumilang. Begitu tiba di hadapan lelaki berjubah biru gelap yang
berdiri di ambang pintu kedai, Juwana mengulurkan tangannya dengan maksud
menyingkirkan orang aneh itu dari ambang pintu.
Tindakan Juwana itu sama sekali tidak diperdulikan Gumilang. Lelaki berusia
empat puluh tahun yang bermata licik itu tetap mematung dan menghalangi jalan.
Padahal, saat itu cengkeraman Juwana sudah menyentuh pangkal lengan kanannya.
Tapi, ia tidak mengindahkan sama sekali.
Melihat sikap lelaki berjubah biru gelap itu memandang rendah kepadanya, tentu
saja Juwana semakin geram.
Dicekalnya pangkal lengan lelaki berjubah biru gelap itu.
Lalu, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Juwana membetot tubuh lelaki berjubah
birru gelap itu sambil mengeluarkan bentakan nyaring!
"Haaah...!"
Sentakan tangannya yang mampu melemparkan tubuh
lelaki dewasa itu, kali ini tidak mampu menghempaskan tubuh lawannya. Meskipun
dia yakin tenaga sentakannya cukup kuat, tapi tubuh Gumilang tetap saja tak
bergeser dari tempatnya.
"Bangsat! Hiaaah...!"
Bentakan nyaring terlontar dari mulut Juwana. Dengan mengerahkan tenaga yang
lebih kuat, tangannya kembali menyentuh tubuh lelaki berjubah biru gelap itu.
"Ha... ha... ha...!"
Gumilang tertawa mengejek, setelah melihat wajah Juwana bersimbah peluh. Tubuh
lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak bergeming, walaupun Juwana telah
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Kenyataan itu membuat Juwana makin penasaran!
Sadar usahanya sia-sia, dia segera melepaskan cekalan tangannya. Begitu
cekalannya ditarik pulang, dia langsung mengirm tamparan keras ke wajah
Gumilang. Wuuut...! "Aiiih... hati-hati dengan tamparan itu, Kisanak. Nanti kepalaku bisa pecah..." ejek
Gumilang yang segera
merundukkan kepalanya dan lenyap dari hadapan lawan.
"Ehhh...!?"
Heran bukan main hati orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu. Tampaknya
orang berjubah biru gelap itu sengaja mempermainkan Juwana di depan orang
banyak. Dicabut golok besar yang terselip di pingganngya.
Lalu, diedarkan pandangannya mencari-cari lawannya yang lenyap tanpa bekas itu.
"Apa yang kau cari, Kisanak...?"
Mendengar suara teguran dari belakangnya, Juwana segera membalikkan tubuh dan
membabatkan golok
besarnya dengan kecepatan tinggi. Kemarahannya telah memuncak, sehingga dia
tidak peduli lagi dengan keadaan di sekitarnya. Dalam benaknya hanya satu yang
diinginkan, yakni membunuh lelaki berjubah biru gelap yang telah mempermalukan
dirirnya di depan orang banyak. Maka, gerakan goloknya pun tidak main-main lagi.
Wuuuk... Crakg...!
Terdengar suara berderak ribut ketika golok besarnya membabat tiang penyangga
kedai makan itu.
Tentu saja runtuhnya atap kedai membuat pengunjung kalang kabut! Serentak mereka
berlarian keluar, tanpa memperdulikan keempat orang aneh yang duduk tenang di
mejanya. Kraaagh...! Juwana dan Jakula pun bergegas melompat keluar dari kedai yang akan roboh itu.
Sebab, mereka tidak ingin terkubur hidup-hidup.
"He.... he... he.... Menyenangkan sekali dapat bermain-main denganmu, Kisanak. Ayo
kita lanjutkan permainan yang menarik tadi...." Ujar lelaki berjubah biru gelap
dengan wajah berwarna kebiruan.
Entah kapan datanngya orang itu yang jelas, dia telah berada di belakang
Sepasang Macan Kumbang. Hal ini membuat Juwana dan Jakula tersentak seperti
melihat hantu di siang bolong!
Aneh! Ternyata tidak hanya lelaki berjubah biru gelap itu saja yang telah berada
di luar kedai, melainkan ketiga rekannya sudah berdiri di belakang Gumilang.
Padahal ketika atap kedai itu runtuh, mereka masih tetap tenang duduk menikmati
hidangannya. Tentu saja kenyataan ini membuat hati Sepasang Macan Kumbang
terkejut sekaligus gentar!
Jakula dan Juwana sadar kalau lawan yang di
hadapinya adalah tokoh-tokoh sakti kalangan persilatan.
Keduanya cepat melompat mundur sambil menghunus
senjatanya. Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk Hantu Laut itu, tertawa
tergelak melihat tingkah Sepasang Macan Kumbang. Di muka Gumilang tingkah kedua
orang jago-jago itu terasa lucu dan menggelitik perutnya.


Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga ia terkekeh-kekeh berkepanjangan.
*** 2 EPASANG Macan Kumbang bergerak mundur satu
setengah tombak. Golok besar yang bagian belakang-S nya bergerigi tergenggam di
tangan mereka dan
digerak-gerakkan menyilang di depan dada. Keduanya bersiap-siap menghadapi lawan
yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu.
"Hm.... Meski kau memiliki kepandaian seperti iblis neraka, jangan harap kami akan
gentar! Majulah, biar kucincang tubuhmu!" bentak Juwana sambil mengobat-abitkan
senjatanya. Sementara Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, bergerak merenggang.
Maksudnya untuk
memecah perhatian lawan.
Wuuuk...! Wuuuk...!
Golok besar di tangan Jakula diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara
angin menderu-deru.
Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk Hantu Laut itu, sama sekali
tidak memperdulikan tingkah Sepasang Macan Kumbang. Ia malah melangkah ke depan,
tanpa peduli dengan golok besar yang berkilat tajam di tangan lawan.
"He he he...! Mengapa kalian tidak langsung maju
berdua" Ayolah, janga ragu-ragu," tantang Gumilang sambil memperdengarkan suara
tawanya yang serak.
"Bangsat! Kalau itu memang kemauanmu, terimalah
ini! Hiaaat...!"
Teriakan nyaring yang dilontarkan orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu
diiringi sabetan golok besarnya ke arah leher Gumilang.
Wueeet...! "Hmh...!"
Sambil mengeram dingin, Hantu Laut merundukkan
kepalanya disertai geseran kaki kanannya selangkah ke belakang. Secepat kaki itu
ditarik, serentak Gumilang melesat kembali ke depan dengan tendangan kilat yang
mengejutkan! Zebbb....! Tendangan kilat yang mengandung kekuatan hebat itu luput, ketika Juwana
memiringkan tubuhnya dengan gerakan berputar. Orang termuda dari Sepasang Macan
Kumbang itu ternyata cukup sigap. Langsung membarengi gerakannya dengan sambaran
golok besarnya. Golok besar yang bergerak menyilang dari bawah ke atas itu,
membuat Gumilang berseru memujinya. Wajah lelaki berwajah kebiruann ini makin
berseri melihat kegesitan lawannya.
Beuuut...! Sambaran golok besar yang membeset dari bawah ke atas itu, dihindari Gumilang
dengan menarik tubuhnya ke belakang. Kemudian disusul dengan gerakan berputar,
sekaligus melepaskan tendangan yang mengancam batang leher lawannya.
Pada saat bersamaan, Jakula meluncur dengan disertai tebasan golok besarnya.
Kemudian senjata itu ditebaskan ke arah kaki Gumilang. Menyadari bahaya yang
akan mengancam, lelaki berjubah biru gelap itu terpaksa menarik pulang
tendangannya, karena tidak diinginkan kakinya termakan senjata lawan.
Jakula ternyata lebih gesit dari saudaranya. Begitu sambaran golonya luput,
pergelangan tangannya berputar cepat. Dan golok besar itu kembali berkelebat
menusuk dada musuh.
Melihat kedua lawannya cukup ulet, Gumilang menjadi tidak sabar. Dijepitnya
golok besar Jakula yang meluncur ke arah dada dengan merangkapkan sepasang
telapak tangannya.
Syuuut...! Kreppp! Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya seperti dijepit baja yang
amat kuat! Meskipun telah dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong
ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming.
"Heaaah...!"
Syuuut...! Kreppp! Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya seperti dijepit baja yang
amat kuat! Meskipun telah dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong
ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming.
Pada saat Jakula tengah mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong maju ujung
goloknya, tiba-tiba Gumilang menyentakkan golok itu dengan sentakan keras yang
dialiri tenaga dalam. Senjata itupun melambung terlepas dari genggaman tangan
Jakula. Sedangkan tubuhnya terjengkang ke belakang!
"Yeaaah...!"
Jakula tersentak kaget. Sebelum hilang rasa terkejutnya, Gumilang segera
melompat disertai dorongan sepasang telapak tangannya ke arah dada lawan yang
terbuka lebar! Wuuut...! Blaggg...! "Huaaakh...!"
Darah segar terlompat dari mulut Jakula, ketika
sepasang tangan lawan menghantam dadanya dengan
telak. Tubuh lelaki kekar itu terlempar bagai sehelai daun kering yang
diterbangkan angin!
Brusssh...! Tubuh Jakula meluncur dan menjebol bilik rumah
penduduk yang berada tiga tombak di belakanngya!
"Huaaakh...!"
Jakula bangkit. Dan memuntahkan darah berwarna
kehitaman. Pertanda lelaki kekar itu mengalami luka dalam yang parah!
Melihat saudaranya terluka, Juwana bertambah kalap.
Orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu,
langsung melompat seraya mengibaskan golok besarnya.
Lawan yang dihadapi Sepasang Macan Kumbang kali
ini bukanlah tokoh sembarangan. Buktinya, serangan ber-tubi-tubi yang
dilancarkan Juwana, dapat dielakkan lelaki berjubah biru gelap itu dengan
gampang. Bahkan tepisan telapak tangannya sempat membuat Juwana terbuyung
mundur. Itu terjadi setiap kali Gumilang bergeak menepis sambaran golok besar
lawannya. Melihat dari cara Gumilang yang jelas-jelas telah mempermainkan lawannya.
Sehingga membuat dada
Juwana menyadari dirinya diporak porandakan lawannya.
Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia dihina dan dipermainkan di hadapan orang
yang menonton pertarungan tersebut. Sikap lawannya itu membuat dia berang dengan
serangannya makin ganas dan berbahaya!
"Hiaaat...!"
Teriakan marah dan mengguntur itu dilontarkan
Juwana, seraya berusaha mendesak lawannya.
Bettt! Bettt! Golok besar di tangannya digerakkan dengan meng-
gunakan tenaga dalam menyambar berkali-kali. Kelebatan golok orang termuda dari
Sepasang Macan Kumbang itu diiringi suara angin berkesiutan.
Namun semakin gencar Juwana melancarkan
serangan-serangan tidak membuat lawannya terdesak.
Bahkan sebaliknya ketika Gumilang mulai melancarkan serangan balasan, orang
termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu terdesak hebat!
Gerakan Gumilang yang cepat dan terlihat aneh itu, benar-benar membuat Juwana
kewalahan! Tidak sampai lima jurus, sebuah gedoran telapak tangan lawan tidak
sempat dielakkannya.
Wuuut...! Blaggg...!
"Hukhhh...!"
Hantaman telapak tangan Gumilang telah menghajar dada kanan Juwana. Lelaki kekar
itu terpekik kesakitan.
Kontan tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak ke
belakang. Brakkk...! Pohon sebesar pelukan orang dewasa yang ada di
belakang tubuh Juwana, berderak keras ketika tertimpa tubuh lelaki kekar
berkumis hitam itu.
Tubuh Juwana melorot jatuh bersamaan dengan luruhnya daun-daun pohon akibat
benturan tubuhnya. Antara sadar dan tidak, lelaki kekar itu mengeluh lirih.
Tampak di sudur bibirnya mengalir cairan kental berwarna merah!
Gumilang melangkah lebar menghampiri tubuh Jakula yang tergeletak pingsan. Tanpa
rasa kasihan sedikitpun, diseretnya tubuh orang pertama dari Sepasang Macan
Kumbang itu. Kemudian dilemparkannya disamping tubuh Juwana. Lelaki termuda dari
Sepasang Macan Kumbang itu mengerang kesakitan. Cairan berwarna merah kehitaman
kembali mengalir dari sudut mulutnya.
"Apa yang hendak kau perbuat terhadap kedua orang berkulit hitam itu, Kakang...?"
tanya lelaki berjubah hijau yang bernama Sura Lejang, seraya melangkah mendekati
Gumilang yang tengah berdiri menatapi dua sosok tubuh tak berdaya itu.
"He... he... he...! Aku akan mencoba keampuhan
ramuan racun-racun terbaruku. Kau boleh menebaknya, Adi Suro Lejang. Menurutmu,
apa yang akan dialami kedua Macan Kumbang itu, bila cairan ini kusiramkan ke
tubuh mereka?" ucap Gumilang tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun. Seolah-olah
bukan manusia yang menjadi sasaran untuk menguji keampuhan racunnya itu.
"He... he... he...! Cepatlah kau siramkan, Kakang. Aku rasa, mereka pasti
berkelojotan bagaikan ayam di-sembelih. Sebuah pertunjukan yang pasti
menggembirakan," ujar Suro Lejang dengan wajah berseri-seri.
Orang-orang berpenampilan aneh itu tampaknya sudah kehilangan perasaan
kemanusiaannya. Bagi mereka penderitaan orang lain adalah sebuah tontonan yang
menarik dan menyenangkan.
Dengan disaksikan ketia orang kawannya dan belasan orang penduduk Desa
Keranggan, Gumilang meneteskan cairan berwarna biru ke tubuh Juwana dan Jakula.
Terdengar tawa iblisnya ketika ia menyelipkan kembali botol kecil, sebesar ibu
jari ke dalam lipatan sabuk yang melilit pinggangnya.
"Aaargh....!"
Jakula dan Juwana meraung keras sekali setelah cairan itu membasahi tubuhnya.
Asap tipis berbau busuk
mengepul disertai jerit kesakitan Sepasang Macan Kumbang itu. Tubuh mreka
berkelojotan menahan rasa sakit yang luar biasa! Di raut wajahnya yang berkerut-
kerut itu, tergambar jelas siksaan yang hebat.
Cairan berwarna biru itu memang mengerikan seklai.
Bila cairan itu diteteskan ke tubuh seseorang, maka membuat pakaiannya akan
berlubang. Bahkan daging tubuhnya pun akan berlubang dan terbakar. Seperti yang
dialami Sepasang Macan Kumbang itu.
Zesss...! Terdengar suara berdesis seiring makin melebarnya cairan berwarna biru itu
menimpa tubuh mereka. Semakin lama kepulan asap tipis berbau busuk itu, semakin
dalam pula lubang di tubuhnya. Akhirnya sekujur tubuh Sepasang Macan Kumbang itu
terbakar dan berlubang.
Bagaikan binatang buas pemakan daging, cairan itu terus melebar dan menggerogoti
daging Jakula dan Juwana. Sehingga seluruh daging kedua orang itu lebur.
Yang tersisa, hanya tulang belulang berwarna kehitaman dan berbau busuk.
"Aaah...!"
Beberapa penduduk Desa Keranggan yang menyaksi-
kan korban perbuatan keji empat orang aneh itu, terpekik dengan wajah pucat
pasi. Tanpa sadar mereka melangkah mundur. Bahkan, ada beberapa orang lari
meninggalkan tempat mengerikan itu. Mereka takut kalau-kalau kejadian itu
merembet dan menimpa dirinya.
Sementara keempat orang aneh yang mempunyai sifat kejam seperti iblis itu
tertawa terbahak-bahak. Kematian Sepasang Macan Kumbang yang mengerikan itu
telah membuat hati mereka merasa puas dan bahagia sekali.
"Ha... ha... ha.....! hebat sekali penemuan barumu itu, Kakang Gumilang. Tapi,
sudahkah ramuan itu kau beri nama?" tanya lelaki kurus berjubah kuning pucat
yang bernama Sangkuni.
"Ha ha ha....! Tentu saja sudah, Adi Sangkuni. Racun ini kunamakan 'Carian
Neraka'. Caritan beracun ini kelak akan kuperbanyak, agar kau lebih sering
menikmati tontonan yang menggembirakan seperti ini," sahut Gumilang dengan nada
penuh kebanggaan. Jelas ia
merasa puas sekali dengan hasil yang diperolehnya itu.
"He... he... he...!" Bukan kau saja yang telah men-ciptakan racun baru seperti
itu, Kakang Gumilang. Aku pun telah berhasil membuat racun yang tak kalah hebat
dari racunmu," ujar Suro Lejang sambil mengeluarkan sebuah bumbung bambu dari
balik bajunya. Kemudian ia
menolehkan kepalanya ke arah beberapa penduduk yang masih berada di tempat itu.
Lima belas orang penduduk Desa Keranggan yang terpaku menyaksikan kejadian itu,
menjadi pucat ketika melihat tatapan mara orang aneh itu! Tubuh mereka gemetar,
kemudian mereka melangkah mundur ketika melihat sorot mata Suro Lejang seperti
mata seekor harimau buas itu. tatapan itu tentu saja membuat mereka ketakutan
setengah mati! "He... he... he...! Kalian cepat maju kemari. Aku akan memberi hadiah yang sangat
menarik buat kalian semua.
Ayo kemari, jangan takut-takut...." Bujuk Suro Lejang sambil menatap tajam
penduduk Desa Keranggan.
"Ampun, Tuan....ampun....!" ucap seorang lelaki ber-
kumis lebat yang menjadi sasaran Suro Lejang. Kedua lututnya gemetar, membuat
dirinya terpaku dan tak bisa meninggalkan tempat itu. keringat dingin mengucur
deras membasahi pakaiannya. Dan, dari sela-sela pahanya tampak mengucur carian
berbau tak sedap. Jelas kalau lelaki itu dilanda ketakutan yang sangat hebat.
Lelaki berpakaian serba hijau itu terkekeh gembira melihat tingkah laku orang
itu. Ketakutan dan ketidak-berdayaan calon korbannya membangkitkan rasa bahagia
tersendiri di hatinya. Sehingga tawanya pun semakin nyaring dan keras.
"Berhenti....!" Bentak Suro Lejang, ketika mendengar suara langkah kaki beberapa
orang yang hendak
meninggalkan tempat itu. "Kalau kalian tidak ingin kubuat menyesal telah
dilahirkan ke dunia, tetaplah tinggal di tempat! Bagi yang membantah akan
kusiksa sampai mati!"
ancam lelaki berpakaian serba hijau itu dengan sepasang mata mencorong tajam.
Melihat kebengisan yang terpancar di wajah Suro Lejang. Jelas kalau ancaman itu
bukan sekadar gertakan belaka.
Delapan orang penduduk Desa Keranggan yang semula hendak meninggalkan tempat
itu, segera menghentikan langkahnya. Namun empat orang di antaranya berbuat
nekat. Mereka melarikan diri tanpa menghiraukan
ancaman lelaki berpakaian serba hijau itu.
"Keparat...!" maki Suro Lejang marah, ketika empat orang penduduk itu kabur.
Belum gema suara makiannya lenyap, tubuh Suro
Lejang sudah melesat dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Gerakan yang
dilakukan lelaki bengis itu sangat cepat sekali. Sehingga, dalam sekejapan mata,
kedua kakinya telah mendarat sejauh dua batang tombak di depan keempat orang
penduduk itu. "Aaah...!"
Karuan saja keempat penduduk Desa Keranggan yang hendak melarikan diri itu
terkejut setengah mati! Serasa copot jantung mereka ketik amelihat lelaki
berpakaian serba hijau yang berwajah bengis itu telah berdiri meng-hadang jalan
mereka. "Ampunilah kami, Tuan... Kami mengaku salah...
ampun, Tuan...."
Keempat orang penduduk desa itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut, dan
meratap mohon ampun. Tubuh mereka gemetar hebat melihat sinar mata yang sangat
mengerikan dari lelaki bengis itu.
"Kalau memang kalian telah mengaku bersalah,
bangkitlah! Jangan takut. Aku tidak alan menyakiti kalian.
Bahkan akan kuberi hadiah-hadiah yang sangat menarik atas keberanian kalian
meninggalkan tempat ini," sahut Suro Lejang tersenyum sinis, seraya melangkah
maju mendekati keempat orang yang tengah dilanda ketakutan hebat itu.
Mendengar ucapan bernada lembut dan terdengar
manis itu, keempat orang penduduk itu pun serentak mengangkat wajahnya. Seolah-
olah mereka hendak
memastikan kalau lelaki berpakaian serba hijau itu memang benar-benar tidak
marah. "He he he.... Bagus....bagus... Pandanglah wajahku.
Apakah diriku terlihat seperti orang jahat?" ucap Suro Lejang sambil memamerkan
senyumnya. Jemari tangan Suro Lejang meraih kantung kain di balik pakaiannya.


Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dikeluarkannya empat butir pil berwarna hijau.
Lalu, diberikannya kepada keempat penduduk Desa
Keranggan itu. "Telanlah obat ini. Niscaya tubuh kalian akan bertambah kuat. Dan tenaga kalian
pun akan menjadi berlipat ganda," bujuk Suro Lejang mengangsurkan empat butir
pil di tangannya ke arah empat orang itu.
Suro Lejang kembali memamerkan senyum manisnya
ketika melihat kepala orang-orang itu menggeleng, dan menolak pil yang
diangsurrkannya. Karena tidak sabar melihat empat orang itu masih tetap
menggelengkan kepalanya, meski telah dibujuk baik-baik. Maka, terpaksa ia
menjejalkan pil-pil itu ke dalam mulut empat orang penduduk yang tidak mampu
untuk menolaknya lagi.
"Nah, begitu baru enak...!" tawa Suro Lejang kembali menggema ketika melihat pil-
pil itu ditelan keempat orang warga Desa Keranggan.
Tidak berapa lama setelah pil-pil itu memasuki
kerongkongan mereka, terdengar keluhan-keluhan
kesakitan dari mulut keempat orang itu. Masing-masing dari mereka memegangi
lehernya erat-erat. Sepasang mata mereka terbelalak seolah-olah hendak melompat
keluar dari tempatnya.
"Aiiir....aiiir...Hauuus....!"
Keempat orang penduduk Desa Keranggan itu ber-
teriak-teriak parau sambil memegangi lehernya. Sebab, kerongkongan mereka terasa
sangat kering dan panas.
Bahkan bibir keempat orang penduduk desa yang sial itu telah pecah-pecah, akibat
rasa panas yang menjalari leher dan wajah mereka.
Melihat keadaan keempat orang itu, Suro Lejang dan ketiga orang kawannya tertawa
terbahak-bahak. Jelas sekali kalau mereka sangat gembira melihat penderitaan
penduduk desa yang tengah sekarat itu.
Tawa keempat orang aneh yang kejamnya luar biasa itu terdengar semakin keras,
ketika tubuh keempat orang desa itu mulai bergulingan dan berkelojotan menahan
rasa sakit yang sangat.
"Ha... ha... ha...! Kau lihat itu, Kakang Gumilang!
Nampaknya mereka sudah semakin menikmati pil
pemberianku!" seru Suro Lejang ketika melihat mulut keempat orang itu
mengeluarkan buih berwarna kehijauan.
Gumilang, Sangkuni, dan lelaki berpakaian serba
merah yang bernama Lawa Gurintang, tertawa semakin keras ketika menyaksikan
pemandangan itu. Tubuh-tubuh sengsara yang berkelojotan itu meregang nyawa itu,
rupanya menimbulkan kegembiraan di hati mereka.
Tawa keempat orang berwatak iblis itu baru terhenti setelah keempat orang
pendduk desa yang malang itu menghembuskan napasnya. Penderitaannya yang me-
nyiksa itu lenyap bersamaan dengan keluarnya roh keempat orang malang itu.
*** 3 AHANAM! Siapa yang telah melakukan perbuatan
biadab ini?"
"J Suara bentakan nyaring, tiba-tiba terdengar
disusul munculnya seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun. Sorot
matanya yang tajam tertuju kepada empat orang lelaki berpakaian menyolok itu.
Di belakang lelaki tua itu, tampak belasan orang mengenakan seragam putih
mengiringinya. Jelas lelaki tua yang masih gagah itu merupakan orang penting di
Desa Keranggan.
"He... he... he... Siapakah kau, Orang Tua" Mengapa memandangi kami seperti itu"
Apakah kau manuduh kami yang melakukannya?" bentak lelaki kurus berwajah kuning
pucat seraya melangkah maju beberapa tindak. Dan sepasang matanya menyipit
menatap wajah lelaki tua itu.
"Hm.... Rupanya kalian orang baru di desa ini. perlu diketahui bahwa aku adalah Ki
Bongol. Dan, Desa
Keranggan beserta warganya merupakan tanggung jawab-ku. Karena akulah Kepala
Desa di sini! Mengapa kalian menghukum wargaku demikian kejam" Apa salah mereka
terhadap kalian?" ujar lelaki tua yang bernama Ki Bongol itu menuntut jawaban.
Lelaki berpakaian kuning pucat yang tak lain Sangkuni, tertawa terbahak-bahak.
Sikap yang ditunjukkan itu jelas menghina, tak heran wajah Ki Bongol berubah
merah menahan geram.
"Ketahuilah, Ki Bongol. Kami adalah Empat Iblis
Lembah Beracun. Kehadiran kami di desa ini, meringankan tugasmu. Karena itu kau
boleh beristirahat menjadi Kepala Desa. Serahkan saja segala urusan di desa ini
kepada kami. Dan semua akan beres," ujar Sangkuni sambil ber-kacak pinggang.
Jawaban yang sangat kurang ajar itu tentu saja membuat pengawal Ki Bongol geram.
Kalau saja lelaki tua itu tidak keburu mencegah, tentu pengawal Kepala Desa
Keranggan yang marah itu sudah melancarkan serangan ke arah lelaki berwajah
pucat yang berani berlaku kurang ajar terhadap pimpinannya.
"Hm... Sudah kuduga kedatangan kalian di desa ini
mengandung niat tidak baik. Sekarang kau dan ketiga kawanmu itu boleh pilih!
Tinggalkan desa ini, atau terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk mengusir
kalian?" ancam Ki Bongol tegas.
Sambil berkata demikian, lelaki tua yang masih
nampak gagah itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Dan matanya menatap
tajam ke arah tamu yang telah mengganggu ketentraman desanya.
"Huh! Kau terlalu bertele-tele, Adi Sangkuni! Sudah, bunuh saja orang tua tak
berguna itu habis perkara!" ujar Suro Lejang yang merasa tidak sabar mendengar
per-debatan itu.
Sangkuni yang semula masih hendak menanggapi
ucapan Ki Bongol, sejenak menoleh ke arah Suro Lejang.
Lalu, kembali berpaling menghadap Kepala Desa
Keranggan. Sepasang matanya tampak berkilat penuh ancaman!
Ki Bongol sadar tatapan Sangkuni mengandung
ancaman maut. Cepat ia mengibaskan tangannya sebagai perintah kepada para
pengawalnya untuk mengepung keempat ibls itu. Sementara, ia sendiri sudah
meloloskan pedangnya dan menghadapi Sangkuni.
"Hm....!"
Sambil menggeram gusar, Sangkuni yang berjuluk Iblis Muka Mayat mengibaskan
tangannya ke depan.
Wuuut...! Serangkum angin pukulan berhembus amat kuat,
diiringi hawa busuk yang memualkan perut. Mencium adanya hawa beracun dari
pukulan lawan, Ki Bongol melompat ke samping. Kemudian disusul dengan lesatan
tubuhnya, disertai sambaran pedanngya mengancam tubuh lawan.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali melompat, Ki Bongol langsung mengirimkan
serangkaian serangan yang cepat dan susul menyusul!
Gerakan lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu, ternyata masih sangat
berbahaya! Sehingga Sangkuni pun sempat berdecak kagum.
Lawan yang dihadapi Ki Bongol kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Tak
mengherankan ketika Sangkuni melancarkan serangan balasan, lelaki setengah baya
itu terdesak hebat!
Namun, Ki Bongol bukanlah jenis orang yang mudah menyerah! Meskipun ia sadar
akan kehebatan lawannya, tapi lelaki tua itu tidak gentar sedikitpun. Pedang di
tangannya terus berkelebatan guna mengatasi serangan lawan.
Perlawanan Kepala Desa Keranggan itu membangkit-
kan amarah Sangkuni. Ketika pertarungan memasuki jurus kedua puluh tiga, Iblis
Muka Mayat melepaskan pukulan berantai yang membuat Ki Bongol kelabakan!
"Haiiit...!"
Buggg...! Serangan lawan yang cepat dan susul menyusul itum membuat Ki Bongol terpaksa
menerima pukulan lawan berkali-kali di dadanya, tanpa dapat dielakkan.
"Huaaakh...!"
Tubuh lelaki setengah baya itu langsung terjungkal ke belakang! Darah kental
berwarna kehitaman muncrat dari mulutnya. Dan tubuh Ki Bongol pun rebah ke
tanah. "Ki Bongol...!"
Teriak dua orang lelaki gagah yang merupakan
pengawal utama Kepala Desa Keranggan. Mereka serentak menghambur ke arah tubuh
kepala desanya. Hati mereka terkejut ketika melihat orang tua itu sudah tidak
bernapas lagi. Dadanya yang terkena hantaman telapak tangan lawan, tampak hangus
bagaikan terbakar!
"Bangsat! Pembunuh keji, terimalah pembalasanku!"
teriak seorang berkumis tebal. Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat
menerjang Sangkuni.
Wuuut! Tusukan pedangnya luput ketika Sangkuni memiringkan tubuhnya sedikit. Tanpa
membuang waktu lai, lelaki berwajah pucat itu mengirimkan pukulan keras ke arah
kepala lawannya!
Prakkk! Tanpa sempat berteriak, tubuhnya langsung roboh dan tewas seketika. Karena
pukulan Sangkuni telah memecah-kan batok kepalanya!
Begitu lawannya roboh, Sangkuni merasakan sambaran angin tajam dari belakanngya.
Ia cepat merundukkan kepala. Sambil berbalik, Iblis Muka Mayat menjatuhkan
tubuhnya dan langsung mengirimkan tendangan kilat ke ulu hati pembokonngya.
Buggg...! "Hukhhh...!"
Pengawal Ki Bongol itu, kontan terjengkang hingga dua tombak! Tubuhnya
berkelojotan menahan rasa sakit pada ulu hatinya. Sesaat kemudian tubuhnya diam
tak bergerak! Setelah ketiga lawannya menjadi mayat, Sangkuni
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu, tawa iblisnya meledak ketika
melihat mayat para pengawal Ki Bongol yang berpakaian serba putih telah tewas
ber-gelimpangan.
"Hm.... Kau terlalu lamban, Adi Sangkuni. Lihat, para pengawal lelaki tua itu
telah menjadi mayat, selagi kau menghadapi lawan-lawanmu," ujar Suro Lejang
tertawa terbahak-bahak.
"Ahhh, itu tidak penting, Kakang Suro Lejang. Sekarang lebih baik kita kumpulkan
seluruh penduduk Desa
Keranggan ini. lalu, kita umumkan kepala desa yang baru.
Siapa lagi, kalau bukan Kakang Lawa Gurintang sebagai kepala desa yang baru!"
teriak Sangkuni sambil memandang lelaki tinggi besar berjubah merah yang
merupakan orang pertama dari Empat Iblis Lembah Beracun itu.
"Hm... Kalau begitu, apa lagi yang kalian tunggu" Cepat kumpulkan orang-orang desa
ini! siapa saja yang berani membantah bunuh!" ujar Lawa Gurintang dengan suara
dingin. Mendengar perintah itu, Sangkuni, Suro Lejang serta Gumilang, bergegas menyebar.
Kemudian, mereka telah kembali sambil menggiring orang-orang Desa Keranggan ke
tanah lapang di depan balai desa. Setelah mereka berkumpul, Sangkuni tampil
menghadapi warga desa yang hanya dapat pasrah itu.
"Seluruh warga Desa Keranggan, dengarkan baik-baik!
Mulai saat ini, yang menjadi kepala desa kalian adalah Lawa Gurintang! Semua
perintah dan peraturannya harus dipatuhi. Siapa saja yang berani membantah, akan
dibunuh tanpa ampun!" seru Sangkuni yang membuat semua kepala warga desa itu
tertunduk dalam.
Usai menyampaikan semua rencananya, Empat Iblis
Lembah Beracun itu segera meninggalkan halaman balai desa. Sedangkan kerumunan
warga Desa Keranggan itu dibubarkan, setelah sebelumnya memilih beberapa gadis
desa sebagai pemuas nafsu iblis mereka.
Sambil tertawa tergelak, Empat Iblis Lembah Beracun melangkah ke arah sebuah
rumah besar. Tempat
kediaman Kepala Desa Keranggan yang lama yaitu Ki Bongol.
*** Empat orang lelaki gagah itu bergegas menerobos
semak belukar. Mereka bergerak dan memasuki Hutan Keranggan. Melihat wajah-wajah
mereka yang pucat, jelas, keempat orang gagah itu tengah menderita luka.
Langkah-langkah kaki merekapun terlihat oleng.
"Huaaakh...!"
Lelaki yang berjalan paling belakang, tiba-tiba terguling dan memuntahkan darah
kental berwarna kehitaman.
Wajahnya nampak semakin memucat. Melihat gerakan tubuhnya, ia tidak mampu lagi
berdiri. Jelas ia tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan.
"Adi Lungga...!"
Ketiga orang lelaki gagah lainnya serentak berbalik dan menghambur ke arah orang
yang bernama Lungga itu.
serentak mereka menjatuhkan diri di samping tubuh lelaki berusia tiga puluh
tahun yang tergeletak lemah itu.
"Maaa... maafkan aku, Kakang.... Aku.... Aku tid....tidak sanggup lagi. Larilah kalian.
Jangan hiraukan aku...." Ucap Lungga terbata-bata. Nampak lelaki muda itu sangat
sukar mengeluarkan ucapannya. Desah napasnya makin
melemah, membaut ketiga orang lainnya saling berpandangan satu sama lain.
"Tapi, kami tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, Adi.
Kami.... kami harus membawamu," ujar seorang dari ketiga lelaki gagah itu, sambil
membelai kening Lungga yang basah oleh peluh.
"Tidak, Kakang Guraba. Kakang bertiga harus selamat dari kejaran iblis itu.
Cepatlah, sebelum racun yang mengeram di dalam tubuh kalian menyebar ke seluruh
tubuh. Ingatlah! Waktu yang kalian miliki hanya sampai tengah hari. Setelah itu,
kalian tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup. Bila hal itu sampai terjadi,
habislah kesempatan kita untuk melenyapkan manusia-manusia iblis itu. Dan itu
berarti kakang bertiga telah mengecewa-kan harapanku," ucap Lungga dengan suara
lirih. "Adi...!"
Guraba berseru keras sambil mengguncang-
guncangkan tubuh adik seperguruannya. Namun Lungga telah menghembuskan napasnya
yang terakhir. Kepalanya terkulai dalam pangkuan Guraba.
"Bedebah kalian, Iblis-iblis Lembah Beracun! Aku bersumpah akan membalas
kematian adik seperguruanku ini!" geram Guraba dengan sepasang mata berkilat
tajam. Sementara dua orang lainnya tak mampu berkata-kata, kecuali menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Jelas kedua orang itu sangat terpukul dengan kematian Lungga.
Ketiga orang lelaki gagah itu tengah tenggelam dalam duka, tiba-tiba terdengar
langkah kaki ke arah mereka.
Ketiganya kaget dan seling berpandangan dengan wajah pucat!
"Kalian berdua larilah. Biar aku yang menghadapi manusia keparat itu!" ujar
Guraba dengan suara parau.
"Jangan bodoh, Kakang! Kita berempat saja tidak
mampu melawan mereka, apalagi Kakang sendiri. Ingat pesan Adi Lungga! Dia
menghendaki agar kita bertiga selamat, dan kelak kita membuat perhitungan dengan
mereka. Apakah Kakang tega membiarkan arwah adik seperguruan kita itu tidak
tenang" Ayolah kita tinggalkan tempat ini. jangan turuti hawa nafsu yang dapat
mencelakakan kita!" bujuk salah seorang yang usianya lima tahun lebih muda dari
Guraba. Kedua sisi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu tampak cemas. Terlebih
suara langkah kaki orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar jelas.
Guraba yang memang sangat menyayangi adik seper-
guruannya itu, termenung ketika mendengar ucapan tersebut. Jelas sekali ucapan
itu mengena di hatinya. Ter-bukti ia menolehkan kepalanya dengan gerakan
perlahan. "Lalu, bagaimana dengan Adi Lungga....?" Tanya
Guraba bagaikan orang bodoh. Padahal, biasanya dia yang selalu membimbing adik-
adik seperguruannya dalam segala hal. Namun kematian Lungga membuat pikiran
lelaki gagah itu buntu. Ia tidak tahu lagi harus bebuat apa.
"Terpaksa kita tinggalkan, Kakang. Sebab, jangankan membawa beban, untuk
menyelamatkan diri sendiri saja sudah sangat sulit. Apalagi tenaga yang kita
miliki sudah semakin susut. Dan, aku yakin Adi Lungga pun dapat memaklumi
kesulitan kita," sahut orang ketiga ikut menimpali. Wajahnya yang berbentuk
persegi dengan tarikan bibir menggambarkan kekerasan hatinya itu.
Meskipun demikian, nada ucapannya terdengar pelan. Biar bagaimanapun ia
memaklumi seberapa besar rasa sayang Guraba terhadap Lungga.
"Tapi...." Guraba rupanya hendak membantah. Ia masih merasa berat untuk
meninggalkan mayat adik seperguruannya yang paling bungsu itu.
"Kakang! Kita tidak mempunyai waktu lagi! Dan kalau memang kita tidak mau
meninggalkan tempat ini, biarlah kita hadapi mereka bersama-sama! Aku pun tidak
takut mati dalam menegakkan keadilan!"
Sambil berkata demikian, lelaki kedua yang bernama Pradana itu melangkah dan


Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tegak di sebalah kanan Guraba.
Mendengar ucapan bernada keras yang jelas mem-
bayangkan kekerasan hati itu, membuat Guraba tersentak kaget. Dan, sikap yang
ditunjukkan Pradana itu membuatnya sadar terhadap ketololan yang dibuatnya.
"Maafkan aku, adi. Seharusnya aku tidak bersikap setolol ini. Mari kita pergi...."
Ujar Guraba. Dengan perasaan sedih Guraba melangkah meninggalkan tempat itu. sesekali
kepalanya menoleh ke arah tubuh Lungga yag terbujur kaku. Jelas hatinya masih
diliputi kesedihan yang mendalam dan tidak tega meninggalkan mayat adik
seperguruannya yang paling bungsu itu.
Melihat Guraba sudah melangkah hendak meninggal-
kan tempat itu, bergegas kedua orang adik seperguruannya mengikuti. Kekesalan di
wajah Pradana lenyap ketika melihat wajah kakak seperguruannya masih diliputi
rasa duka. Sayang, tindakan ketiga orang lelaki gagah itu terlambat! Di hadapan mereka
telah berdiri sesosok tubuh berjubah kuning pucat!
"Iblis Muka Mayat...!"
Seruan Guraba dan Pradana hampir bersamaan.
Serentak ketiganya melangkah mundur dengan wajah pucat! Kehadiran tokoh sesat
berwatak iblis itu, melenyapkan harapan mereka untuk lolos dari kejarannya.
"He... he... he.... Mau lari ke mana kalian, Tikus-tikus Busuk" Jangan mimpi dapat
lolos dari kematian! Karena kalian telah mencoba melarikan diri, maka kematian
kalian semakin menyakitkan," ujar Sangkuni.
Meskipun ucapan yang dikeluarkannya terdengar
penuh ancaman, namun wajah lelaki berwajah pucat itu terlihat gembira. Seolah-
olah ia tidak berhadapan dengan musuh, melainkan dengan seorang sahabat. Guraba
sudah mengetahui keanehan sifat lawannya, tentu saja menjadi berdebar tegang!
Makin gembira hati lelaki kurus itu, semakin menyakitkan cara kematian yang
mereka terima. Bayang-bayang yang mengerikan itu memenuhi benak Guraba dan kedua adik
seperguruannya.
"Ha... ha... ha.... Lihatlah, Anak-anak. Aku akan memberikan tontonan yang menarik
untuk kalian," ucap Sangkuni kepada belasan pengikutnya yang telah
mengepung ketiga pendekar itu.
Sambil memperdengarkan tawanya yang mengekeh.
Iblis Muka Mayat mengeluarkan benda kecil berbentuk pipih dari lipatan sabuknya.
Guraba dan kedua orang adik seperguruannya memperhatikan benda yang berada di
tangan lelaki berwajah pucat itu. Dada mereka berdegup keras ketika melihat
Sangkuni menempelkan benda kecil di bibirnya.
Sesaat kemudian, terdengarlah siulan lembut bernada aneh. Suara itu terus
menyelusup ke seluruh hutan dengan irama yang sangat asing bagi telinga ketiga
pendekar itu. Sesaat kemudian, terdengarlah suara berkeresekan di sekeliling tempat itu.
Denyut jantung ketiga lelaki gagah itu berdegup keras! Tampak dari segala
penjuru semak belukar bermunculan ratusan ekor tikus dan bergerak mengurung
Guraba serta kedua orang adik seperguruannya. Tentu saja hal itu membuat wajah
mereka pucat dengan mata terbelalak.
"Hah....!"
Ketiga orang pendekar itu gemetar hebat! Ratusan ekor tikus ganas itu bergerak
ke arah mereka.
"Ba....bagaimana....ini, Kakang...?" ucap Pradana
dengan suara gemetar karena rasa ngeri yang men-
cengkeram hatinya, seraya merapatkan tubuhnya ke Guraba.
Guraba, lelaki gagah berusia lima puluh tahun
merupakan orang pertama dari Empat Pendekar Gunung Larang, tidak sempat
menyahuti ucapan Pradana. Sebab, dirinya sendiri tengah dilanda rasa ngeri dan
jijik! Sangkuni yang menyaksikan ketiga orang pendekar
yang tengah dilanda ketakutan hebat, tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian ia meniup
kembali benda kecil yang mengeluarkan irama aneh itu. Serentak ratusan ekor
tikus buas dengan mata berwarna merah berlompatan dan
saling berebut menerjang ketiga orang pendekar itu.
*** 4 aa....!" Guraba dan Pradana dengan napas
"A tersenggal-senggal, serentak menoleh ke
belakang. Bukan main ngeri hati mereka menyaksikan pemandangan itu.
Tubuh adik seperguruannya yang berada di belakangnya, tampak tengah
berkelojotan, dikeroyok ratusan ekor tikus buas! Sehingga tubuhnya lenyap
terselimuti tikus-tikus yang tengah menjadi gila akibat irama tiupan yang masih
terus diperdengarkan Sangkuni.
"Heaaat...!"
Kedua orang lelaki gagah yang tengah dilanda
kengerian hebat itu juga tak luput mendapat serangan tikus-tikus hutan yang
ganas itu, mereka mengibaskan kedua tangan dan kakinya. Namun, kawanan tikus-
tikus buas itu tetap saja menyerangnya meski beberapa di antaranya mati akibat
pukulan dan tendangan kedua orang itu. Binatang-binatang menjijikkan itu terus
saja merangsek maju menerjang Guraba dan Pradana.
Di tengah sibuknya Guraba dan Pradana mempertahankan selembar nyawanya dari
ancaman tikus-tikus buas itu, tiba-tiba melayang sosok bayangan putih menyambar
lengan kedua orang itu.
"Haiiit...!"
Setelah berhasil menangkap lengan Guraba dan
Pradana, sosok bayangan putih itu berseru nyaring. Tubuhnya kembali melambung
dan berjumpalitan beberapa kali di udara bagai seekor burung raksasa.
Sosok bayangan putih melayang hingga beberapa
tombak dari tempat itu. Dengan gerakan yang ringan, tanpa menimbulkan bunyi
sedikitpun, sosok tubuh itu mendaratkan kakinya di tempat yang aman.
Setelah menurunkan tubuh kedua orang lelaki gagah yang ditolongnya, tangan sosok
bayangan putih itu berkelebat cepat. Beberapa ekor tikus yang masih menempel di
tubuh Guraba dan Pradana, kontan berjatuhan tewas.
Tanpa sadar Guraba dan Pradana masih berteriak-teriak bagaikan orang gila. Jelas
jiwa mereka terguncang dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
Menyaksikan kedua orang lelaki gagah itu terus
menjerit-jerit dan berlompatan bagai orang kerasukan setan, kedua tangan sosok
berjubah putih itu kembali bergerak. Totokan-totokan kilat yang dilancarkannya
membuat Guraba dan Pradana melorot jatuh tak sadarkan diri.
"Kenanga! Bawa kedua orang itu pergi. Biar aku sendiri ang menghadapi manusia-
manusia jahat itu...!" seru sosok berjubah putih kepada dara jelita berpakaian
hijau yang selebar wajahnya tampak memucat.
Gadis jelita yang bernama Kenanga itu, melangkah maju meski hatinya diliputi
rasa jijik. Rupanya terguncang juga pendekar jelita itu ketika melihat ratusan
ekor tikus buas bergerak ke arah mereka.
Sosok berjubah putih yang sudah pasti Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih
itu, bergegas menyambar Guraba dan Pradana. Lalu, dihampirinya Kenanga yang
tengah melangkah ragu. Diberikannya tubuh kedua orang lelaki itu kepada
kekasihnya. "Kenanga, pergilah dan cari tepat yang aman. Aku akan mengacaukan binatang-
binatang menjijikkan itu. Kalau tidak, mereka akan mengejar kita terus," ujar
Panji yang segera membalikkan tubuhnya menghadapi ratusan ekor tikus yang hanya
tinggal tiga tombak di depannya.
"Hmh...!"
Terdengar geraman lirih dari mulut pemuda tampan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya bergerak saling susul menyusul
melancarkan pukulan jarak jauh!
Blarrr...! Ledakan keras terdengar saling susul menyusul, ketika pukulan-pukulan jarak jauh
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih memporak porandakan tikus-tikus buas itu.
Dan serentak puluhan ekor tikus buas terlempar dalam keadaan tak berbentuk.
Darah segar memercik dan
menebarkan bau amis yang memualkan perut.
Rupanya binatang-binatang menjijikkan itu merasa getar juga terhadap amukan
Pendekar Naga Putih. Mereka berhenti bergerak dan matanya menatap tajam ke arah
pemuda tampan berjubah putih itu.
Namun irama siulan yang kembali dialunkan Sangkuni, membuat ratusan ekor tikus
itu tersentak gelisah.
Meskipun demikian, binatang-binatang buas itu tak satupun menyerang Pendekar
Naga Putih. Seolah-olah naluri mereka menangkap adanya bahaya yang terpandar
dari tatapan mata pemuda tampan berjubah putih.
Sehingga, tikus-tikus buas itu hanya berkeliaran di depan Pendekar Naga Putih
dengan gerakan gelisah.
Pendekar Naga Putih sadar, ratusan tikus itu menjadi buas dan liar karena siulan
dari lelaki kurus berwajah pucat itu. Maka, ia segera bergegas melompat ke arah
Sangkuni. Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melancarkan serangan
berbahaya ke arah Iblis Muka Mayat!
Wuuut...! Wuuut...!
Sangkuni yang semula menganggap remeh pemuda
tampan berjubah putih itu, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Hembusan
angin pukulan yang menderu itu, membuat Sangkuni sadar bahwa serangan pemuda
tampan berjubah putih itu tidak bisa dianggap main-main.
Tubuhnya segera bergerak ke kirimenghindari hantaman telapak tangan lawan. Namun
gerakan yang dilakukan Iblis Muka Mayat itu terlambat. Sehingga, sebuah tamparan
yang menyusul hantaman telapak tangan mendarat telak di bahu Iblis Muka Mayat!
Desss...! Pukulan keras itu membuat tubuh Sangkuni ter-
jengkang, hingga dua batang tombak jauhnya. Tokoh termuda dari Empat Iblis
Lembah Beracun itu menjerit kesakitan. Wajahnya yang pucat nampak semakin putih.
"Keparat! Kulumat tubuhmu, Pemuda Setan!" maki
Sangkuni. Iblis Muka Mayat itu menjadi berang karena merasa dipermainkan seorang anak muda
di hadapan pengikutnya.
Kalau saja tokoh sesat Empat Iblis Lembah Beracun itu tidak mengalaminya
sendiri, mungkin ia tidak dapat mempercayai begitu saja. Ia yang merasa selama
ini selalu mengagulkan kepandaiannya, ternyata dapat dipecundangi lawannya dalam
segebrakan saja. Padahal, kalau dilihat dari usia lawannya, paling banyak
sekitar dua puluh tahun atau lebih sedikit. Kenyataan itu yang membuat dirinya
terpaku dan malu.
"Sebutkan namamu, sebelum tubuhmu kulumat
hancur!" bentak Sangkuni sambil menatap tajam sosok pemuda tampan berjubah putih
yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Mendadak wajah Sangkuni tegang ketika sepasang
matanya meneliti sosok tubuh di depannya. Sejenak lelaki berwajah pucat itu
merayapi sekujur tubuh Panji dengan kening semakin berkerut. Hatinya berdebar
tegang setelah mengetahui ciri-ciri pemuda tampan di depannya, persis dengan
gambaran seorang pendekar muda digdaya yang didengarnya berjuluk Pendekar Naga
Putih. Bayangan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba
persilatan itu, membuat Sangkuni melangkah mundur.
Tokoh termuda Empat Iblis Lembah Beracun itu
menggertakkan giginya kuat-kuat. Diusirnya bayangan Pendekar Naga Putih yang
telah menciutkan nyalinya.
Sangkuni tidak percaya sebelum menyaksikan sendiri ciri-ciri terakhir dari
pendekar muda yang memiliki kesaktian yang menggiriskan itu. Lapisan kabut
bersinar putih keperakan pada tubuh pemuda di depannya tidak terlihat, membuat
keberanian Iblis Muka Mayat kembali muncul.
"Hm.... Seharusnya akulah yang bertanya demikian
kepadamu, Kisanak. Siapakah kau" Dan mengapa kau ingin membunuh mereka dengan
cara yang sangat
kejam?" tanya Panji dengan sinar mata mencorong tajam.
Sikap Pendekar Naga Putih itu terlihat tetap tenang, meskipun ia sadar bahwa
lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu merupakan seorang ahli racun yang tidak
ada bandingannya. Belum lagi benda kecil yang berada di tangannya yang dapat
membuat binatang-binatang menjijikkan seperti tikus-tikus hutan itu menjadi buas
dan patuh terhadap perintahnya. Kepandaian yang sangat jarang dimiliki tokoh-
tokoh persilatan lainnya.
"Bangasat! Rupanya kau pendekar usilan yang suka mencampuri urusan orang lain!
Kalau itu maumu, kubikin mampus kau!" geram Sangkuni yang langsung mengibaskan
lengan kanannya dengan gerakan tak terduga.
Melihat cara lawannya melontarkan serangan,
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak
berlaku curang dengan memancing lawannya melalui pembicaraan dan makian. Maka,
apabila lawan lengah, ia melontarkan serangan dengan gerakan yang sangat
mendadak sekali. Dan hal itu sama sekali tidak disukai Pendekar Naga Putih.
Sepasang mata Panji mengeluarkan sinar berapi ketika melihat puluhan jarun-jarum
halus yang mengandung racun, meluncur ke arahnya.
"Hiiih...!"
Sambil menggertak marah, Pendekar Naga Putih
mendorongkan telapak tangan kanannya ke depan.
Serangkum angin pukulan berhawa dingin menusuk,
menderu memapaki puluhan batang jarum beracun itu.
Pyaaar...! Jarum-jarum beracun yang sedianya hendak merejam tubuh Pendekar Naga Putih,
langsung terpukul balik! Dan kini meluncur deras mengancam pemiliknya, si Iblis
Muka Mayat! "Aaah...!"
Tentu saja kenyataan itu kembali membuat Sangkuni terperangah pucat! Bukan
berbaliknya jarum-jarum itu yang membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut.
Melainkan bentuk jarum-jarum itulah yang membuatnya terperanjat. Sebab, senjata-
senjata beracun yang dilontarkan tadi, kini berbalik dalam keadaan memecah
menjadi tiga bagian.
Sangkuni sadar, pemuda tampan yang kinii tengah berhadapan dengannya, jelas
bukan pemuda sembarangan.
Sebab, hanya tokoh-tokoh tingkat tinggi sajalah yang dapat melakukan hal itu,
tapi pemuda tampan yang usianya masih sangat muda itu, ternyata mampu mengatur
kekuatan tenaganya melalui jarum-jarum itu.
Ketika jarum-jarum beracun itu mendekati tubuhnya, Sangkuni segera melempar
tubuh ke samping dan
langsung berguling. Begitu tubuhnya melenting bangkit, tokoh sesat ahli racun
itu langsung meniup benda pipih di tangannya. Siulan aneh yang membangkitkan
kebuasan tikus-tikus hutan itu pun kembali terdengar.
Melihat tikus-tikus hutan yang diam mematung itu kembali bergeark liar, bergegas
Pendekar Naga Putih melesat ke arah Sangkuni. Sepasang tangan Pendekar Naga
Putih langsung mengirimkan dua buah serangan sekaligus!
Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, tokoh termuda Empat Iblis Lembah
Beracun itu melompat bergulingan. Ketika Sangkuni bangkit hatinya terkejut
melihat sepasang tangan lawan masih terus mengejar dan mengancam tubuhnya. Tidak
ada kesempatan untuk meng-
hindari, maka dia nekat memapak serangan yang mengarah ke lehernya.
Plakkk! Brettt! Desss....!
"Ughhh...!"
Sangkuni tidak menduga gerakan lawan sangat cepat!
Selagi tubuhnya terhuyung, benda di tangannya langsung direbut pemuda tampan
berjubah putih. Bahkan, sebuah hantaman telapak tangan kiri pemuda tampan itu
menghajar telak dadanya. Sangkuni pun terjungkal hingga dua batang tombak
jauhnya. Darah segar muncrat dari mulut lelaki tinggi kurus itu. Sekujur
tubuhnya menggigil hebat akibat 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang merasuk ke
dalam tubuhnya.
"Huaaakh...!"
Darah kental berwarna merah pekat kembali muncrat dari mulut Iblis Muka Mayat.
Setelah itu, tubuhnya meregang, berkelojotan dan diam tak bergerak lagi. Tewas!
Belasan orang lelai berpakaian serba hitam yang
semenjak tadi hanya berdiri terpaku, tersentak kaget!
Mereka hampir tidak percaya kalau pemimpinnya yang berkepandaian sangat tinggi
itu, tewas di tangan seorang pemuda tampan yan tidak mereka kenal.
Pendekar Naga Putih tahu belasan orang itu hanya keroco-keroco Sangkuni.
Karenanya mereka dibiarkan hidup.
"Sampaikan kepada pemimpinmu yang lain. Katakan
bahwa Pendekar Naga Putih telah membunuh saudaranya," ujar Panji lantang. "Bawa
mayat pemimpin kalian ini!"
lanjut Panji. Dengan sikap takut-takut empat laki-laki berseragam hitam itu segera mengangkat


Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mayat Sangkuni, dan mem-bawanya pergi dari hutan itu.
Sepeninggalan belasan orang lelaki berpakaian serba hitam itu, Pendekar Naga
Putih melangkahkan kakinya meninggalkan hutan Keranggan. Sekali berkelebat saja,
tubuh pemuda tampan itu lenyap di balik lebatnya pepohonan hutan itu.
*** 5 OSOK tubuh yang mengenakan jubah berwarna putih
itu, terus mempercepat larinya menuju arah selatan S Hutan Keranggan itu. Begitu
tiba di luar hutan, sosok tubuh berjubah putih itu melesat menyusuri jalan lebar
yang berbatu-batu.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah ia di sebuah gubuk kecil di tepi sungai.
Tanpa mengetuk pintu, ia langsung memasuki gubuk itu.
"Ah, kiranya kau, Kakang. Mengapa kau tidak memberi tanda-tanda sebelum masuk?"
tegur gadis jelita kepada pemuda tampan berjubah putih. Ia melintangkan
pedangnya di depan dada. Jelas kedatangan sosok berjubah putih yang tidak lain
dari Panji si Pendekar Naga Putih itu telah membuatnya terkejut.
Pendekar Naga Putih tertawa kecil melihat wajah gadis jelita itu cemberut.
Dilangkahkan kakinya mendekati dua balai-balai bambu yang telah reot. Lalu
tubuhnya membungkuk, diperiksanya dua sosok tubuh lelaki yang tengah terbaring
di atas balai-balai bambu itu.
"Hm....keadaan mereka cukup parah, Kenanga. Jelas
mereka tidak mungkin sembuh dalam waktu dekat. Racun yang merasuk ke dalam
tubuhnya sangat aneh. Untung daya kerja racun ini sangat lambat. Kalau tidak
akibatnya sangat mengerikan," ujar Panji setelah memeriksa keadaan Guraba dan
Pradana. "Benar, Kakang. Aku sendiri belum mengetahui jenis racun yang mengeram dalam
tubuh mereka. Bagaimana dengan Kakang" Apakah sudah dapat mengetahui jenis racun
itu?" tanya Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya dengan penuh harap. Sebab ia
tahu bahwa kepandaian ilmu pengobatan Pendekar Naga Putih sudah sangat tinggi.
"Hhh...sayang akupun belum mengethuinya secara
pasti. Kabar yang kita dengar dalam perjalanan itu ternyata benar. Orang-orang
Lembah Beracun itu telah keluar dari tempat kediamannya. Dan kini mereka mulai
menebarkan bencana. Entah apa yang dialami penduduk desa itu" ingin rasanya aku
menyelidiki desa itu," ujar Panji sambil melepaskan pandangannya keluar pintu.
"Lalu, bagaimana dengan kedua orang itu, Kakang"
Apakah merka akan kita tinggalkan begitu saja?" tanya Kenanga ketika melihat
sinar mata kekasihnya yang menyiratkan keinginan hatinya.
"Hm.... begini saja. Kita cari desa terdekat untuk menitipkan kedua pendekar ini.
Setelah itu, kau bisa mengobati mereka dengan tenang. Karena pengobatan ini
membutuhkan waku cukup lama. Aku berharap kau suka merawatnya. Dan aku sendiri
akan pergi menyelidiki Desa Keranggan, bagaimana" Apakah kau setuju dengan
pendapatku?" tanya Panji sambil menatap wajah kekasihnya lekat-lekat.
Sejenak gadis jelita itu terdiam. Kemudian, kakinya melangkah ke arah pintu
gubuk yang terbuka ebar. Sambil menyandarkan tubuhnya di pintu gubuk itu,
Kenanga melepaskan pandangannya ke arah cakrawala biru. Jelas sekali kalau dara
jelita itu merasa sangat berat untuk berpisah dengan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih segera menghampiri gadis jelita yang termenung memikirkan
usulnya itu. Dipeluknya tubuh Kenanga erat-erat dari belakang. Hingga beberapa
saat lamanya kedua pendekar muda itu terdiam tanpa kata.
"Mengapa kita harus berpisah karena persoalan ini, Kakang" Kalau pengobatan ini
hanya beberapa hari, bukankah Kakang bisa menunggu" Setelah itu, baru kita
bersama-sama menyelidiki Desa Keranggan," ucap
Kenanga dengan suara lirih. Sementara pandangannya tetap tertuju ke langit biru.
"Aku bisa saja mengunggu sampai kedua orang itu
sembuh. Tapi, apakah iblis-iblis itu tidak melakukan kejahatan selama beberapa
hari itu" Ingat, Kenanga. Kita dilahirkan sebagai pendekar-pendekar yang tidak
boleh mengutamakan kepentingan sendiri. Dan kita harus rela mengenyampingkan
kepentingan pribadi demi keselamatan orang banyak. Apakah kau telah lupa, atau
sengaja tidak mau mengingat segala wejangan yang pernah diberikan guru kita?"
ujar Panji menekan nada suaranya agar tetap lembut dan tidak menyinggung
perasaan kekasihnya itu.
"Apa yang kau katakan itu benar, Kakang. Aku sadar dengan jalan hidupku yang
telah digariskan untuk kita.
Tapi, mengingat Kakang menghadapi bahaya seorang diri, rasanya aku tidak bisa
membayangkan. Aku takut
kehilangan kau, Kakang. Hanya Kakanglah satu-satunya tempat aku menggantungkan
harapan untuk mengarungi hidup di dunia ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi,
Kakang. Aku tidak sanggup membayangkan hari-hari tanpa adanya Kakang di sisiku.
Maafkan aku, Kakang. Entah mengapa hatiku menjadi lemah ketika Kakang mengatakan
akan pergi sendiri dalam menempuh bahaya itu,"
suara dara jelita yang parau itu berganti dengan isak lirih.
Membuat Panji terharu.
Pendekar Naga Putih tidak berkata-kata sama sekali, hanya pelukannya saja
dipererat, menandakan betapa ia sayang terhadap kekasihnya itu. Hatinya sangat
berat untuk berpisah dengan kekasihnya. Tapi, tugas yang diemban sebagai seorang
pendekat menuntutnya untuk mengutamakan kepentingan orang banyak. Dan panggilan
itu tidak bisa dihindari.
Entah berapa lama kedua pendekar itu tenggelam
dalam pelukan. Setelah isak Kenanga reda, Pendekar Naga Putih mengangkat wajah
kekasihnya. Dihapusnya sisa air mata yang membasahi pipi kekasihnya. Lalu dia
menatap lekat-lekat mata kekasihnya.
"Kapan Kakang akan pergi menyelidiki keadaan Desa Keranggan itu?" tanya Kenanga
yang sudah dapat mem-bedakan antara kepentingan dirinya dengan orang banyak.
Di wajah dara jelita itu mengembang senyum tulus.
Sepasang mata yang bulat dan jernih kembali bercahaya.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dia hanya
mengecup bibir kekasihnya dengan penuh kasih sayang.
Jelas Pendekar Naga Putih tengah berusaha untuk me-yakinkan kekasihnya itu.
Kenanga sama sekali tidak mengelak ketika Pendekar Naga Putih mengecup bibirnya.
Bahkan gadis jelita itu membalas dengan hangat. Seolah-olah ia ingin menumpah-
kan segala kerinduan hatinya. Kenanga tidak ingin melepaskan pelukan kekasihnya.
"Cukup, Kenanga...." Desah Panji sambil melepaskan kecupannya. "Aku takut kita
terbakar. Sabaiknya, kita segera membawa kedua orang itu ke desa yang terdekat
dari tempat ini," ucap Panji sambil melepaskan pelukan kekasihnya.
Kenanga mengangguk tanpa kata. Diam-diam ia
merasa berterima kasih kepada kekasihnya. Sebab, apa yang dikatakan pemuda
tampan itu sama sekali tidak meleset.
"Ayolah, tunggu apa lagi....?" Ajak Panji yang sudah membawa tubuh Guraba dan
Pradana di atas bahunya.
Sebentar kemudian, keduanya pun sudah melesat
meninggalkan gubuk kecil itu.
*** Sang malam sudah menampakkan kekuasaannya.
Bulan sepotong yang menggantung di langit kelam itu, menebarkan cahaya temaram.
Bintang di langit tampak berkedip bagaikan mata dara remaja yang tegah dilanda
cinta. Saat itu, sesosok bayangan putih berkelebatan
melintas perkebunan menuju Desa Keranggan. Pepohonan yang tumbuh dengan teratur,
membuat sosok bayangan puith itu terkadang lenyap, kemudian muncul bagaikan
bayangan hantu yang dapat menghilang dari pandangan mata. Sosok bayangan putih
itu terus bergerak. Kali ini tubuhnya berlompatan daru satu atap rumah ke atap
lainnya. Jubahnya yang panjang berwarna putih itu, menimbulkan kesan seram bagi seorang
yang berjiwa penakut. Apalagi gerakan sosok tubuh itu demikian cepat dan tanpa
menimbulkan suara.
Tidak berapa lama kemudian, sosok bayangan putih itu menhentikan larinya. Tubuhnya berdiri tegak di atas sebuah rumah yang
paling besar di antara rumah-rumah penduduk lainnya. Sepasang matanya tampak
emncorong tajam, membuat bulu tengkuk orang yang kebetulan melihatnya akan
berdiri. Merinding. Hal itu wajar saja.
Sebab, pancaran mata sosok bayangan berjubah putih itu memang sanggup
menggetakan hati seorang lelaki yang paling pemberani sekalipun!
"Aneh. Mengapa desa ini nampak sepi sekali" Padahal, hari belum terlalu larut"
Di pelataran rumah besar yang merupakan kediaman kepala desa ini tidak terlihat
ada penjaga" Hm.... Suasana sunyi yang mencurigakan!"
gumam sosok tubuh berjubah putih itu sambil mengedarkan pandangannya
berkeliling. Setelah menanti agak lama, keadaan tetap tidak
berubah, sesosok tubuh itu bergerak turun dari atas atap.
Namun gerak kakinya tertahan ketika lamat-lamat
telinganya menangkap suara isak lirih dari salah satu kamar rumah itu.
Sosok berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih, tertegun sejenak.
Jelas ia hendak memastikan dari mana asal suara isak tangis lirih itu. Begitu
Renjana Pendekar 13 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Pertarungan Raja Raja Arak 2
^