Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 12

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 12


Tetapi orang itupun kemudian tersenyum sambil memandang jalan yang memanjang di hadapannya. Di dalam hatinya ia berkata, "Jika saja aku dapat memasang kendali pada anak itu."
Ki Lebdagati itupun kemudian melangkah ke jurusan yang berbeda dengan jalan yang dilalui Risang. Ia masih saja berkata kepada diri sendiri, "Tetapi agaknya memang terlalu sulit untuk dapat mengetrapkan kendali pada anak itu. Namun bagaimanapun juga aku harus berusaha. Tanah Perdikan ini harus dapat menjadi bagian dari satu kesatuan yang besar menentang kekuasaan Panembahan Senapati di Mataram. Apalagi jika Madiun benar-benar dapat bangkit dengan segera. Selagi Mataram masih belum terlalu kuat."
Sementara itu Risang telah berpacu kembali ke padukuhan induk. Ibunya memang agak terlalu lama menunggu. Ia mengira bahwa Risang tidak akan terlalu lama. Demikian ia melepas Kasadha di perbatasan, maka Risangpun akan segera kembali pulang.
Dalam pada itu, Kasadha masih berada pula di perjalanan. Namun karena kudanya berlari cukup kencang, maka iapun sudah menjadi semakin dekat dengan tempat tinggal Ki Rangga Dipayuda.
Meskipun Kasadha berhenti juga sejenak untuk memberi kesempatan kudanya minum, makan rumput dan beristirahat, namun ada semacam dorongan agar ia berusaha untuk secepatnya sampai di rumah Ki Rangga Dipayuda.
Sebenarnyalah Ki Rangga telah pula berada di rumahnya. Karena jarak rumahnya dari Pajang tidak terlalu jauh, maka sebelum matahari terlalu tinggi, Ki Ranggapun telah berada di rumahnya.
"Aku mendapat istirahat dua atau tiga hari," berkata Ki Rangga itu kepada keluarganya.
"Dua atau tiga hari," desak Jangkung, "biasanya bagi seorang prajurit hitungan hari itu selalu pasti."
Ki Rangga tersenyum. Katanya, "Aku mendapat waktu istirahat dua hari. Tetapi jika aku menambahnya satu hari lagi, maka aku tidak akan dianggap bersalah, karena kesempatan untuk itu memang ada."
"Lalu ayah akan mempergunakan atau tidak?" bertanya Jangkung pula.
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Ya. Aku akan mempergunakannya."
"Ayah nampak ragu-ragu," berkata Jangkung.
"Tetapi apa kepentinganmu" Biasanya kau tidak pernah mempersoalkan berapa hari aku beristirahat," berkata Ki Rangga kemudian.
"Soalnya aku ingin minta agar ayah mengantarkan aku menghadap Ki Tumenggung Ranamanggala," berkata Jangkung.
"Untuk apa kau menghadap Ki Tumenggung Ranamanggala?" bertanya Ki Rangga.
"Aku mengenal anaknya dengan baik. Ia mengatakan kepadaku bahwa ayahnya memerlukan seekor kuda yang paling baik," jawab Jangkung Jaladri.
Ki Rangga tertawa semakin keras. Katanya, "Kau sudah dewasa. Seharusnya kau dapat menyelesaikan persoalanmu sendiri tanpa harus membawa nama ayah. Beristirahat atau tidak, ayah agak berkeberatan membawamu menghadap Ki Tumenggung Ranamanggala."
"Kenapa?" bertanya Jangkung.
"Sudah tentu aku merasa segan untuk berhubungan dengan seorang Tumenggung karena seekor kuda. Jika aku bukan seorang prajurit, tentu aku tidak akan berkeberatan," jawab ayahnya. Namun katanya selanjutnya, "Apalagi dalam dua hari ini kita akan mendapatkan seorang tamu."
"Siapa?" bertanya Jangkung.
"Kasadha," jawab ayahnya!
"Kakang Kasadha?" tiba-tiba saja Riris mengulang di luar sadarnya.
"Kalau Kasadha kenapa?" bertanya Jangkung.
Wajah Riris memang menjadi merah. Namun ia menjawab, "Kalau Kasadha kenapa" Kalau bukan Kasadha kenapa" Bukankah aku hanya bertanya?"
"Pertanyaanmu agak lain," desis Jangkung.
Riris tiba-tiba saja sudah bergeser sambil mencubit lengan kakaknya.
"Riris, Riris," kakaknya menyeringai kesakitan.
"Sudahlah," berkata Ki Rangga, "sebaiknya kalian mempersiapkan sebuah bilik dan mungkin menambah sedikit lauk agar tamu kita akan makan dengan senang disini."
Riris tidak menjawab. Sementara Nyi Rangga yang mendengar keterangan Ki Rangga bahwa Kasadha akan datang, telah pergi pula ke dapur untuk bersiap-siap agar makan yang akan dihidangkan menjadi lebih baik. Sementara Riris membersihkan bilik di gandok.
Ketika Riris keluar dari gandok sebelah kanan, Sumbaga menemuinya sambil bertanya, "Siapa lagi yang akan datang, Riris" Anak Sembojan itu?"
"Bukan," jawab Riris, "yang akan datang adalah Kakang Kasadha. Seorang Lurah Prajurit dalam kesatuan ayah."
"Untuk apa ia datang kemari?" bertanya Sumbaga.
Riris termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Tidak apa-apa. Ia mendapat waktu beristirahat sebagaimana ayah. Ia kemarin menurut ayah, telah pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Hari ini ia akan kembali ke Pajang. Dalam perjalanan kembali itulah ia akan singgah disini dan mungkin akan bermalam semalam."
Dengan wajah berkerut Sumbaga bertanya, "Kenapa anak-anak muda itu bergantian datang kemari?"
Riris menjadi semakin heran mendengar pertanyaan Sumbaga itu. Karena itu, iapun justru bertanya, "Siapa yang kau maksud dengan anak-anak muda itu" Ada berapa anak muda yang sering datang kemari?"
"Anak Sembojan itu juga," jawab Sumbaga.
"Bukankah hanya dua orang?" sahut Riris, "Kakang Bharata dan Kakang Kasadha?"
Wajah Sumbaga menjadi tegang mendengar nama itu. Dengan suara yang agak gemetar ia bertanya, "Untuk apa sebenarnya mereka kemari?"
"Pertanyaanmu aneh Kakang," jawab Riris, "Kakang sudah tahu bahwa keduanya adalah bekas anak buah ayah. Bahkan Kakang Kasadha kini kembali menjadi bawahan ayah."
"Jika semua bawahan paman Dipayuda datang kemari, apakah rumah ini akan dapat menampung?" bertanya Sumbaga kemudian.
"Aku menjadi semakin tidak mengerti maksudmu," desis Riris.
"Aku tidak senang melihat anak-anak muda itu datang kemari. Apakah itu Bharata, apakah itu Kasadha," geram Sumbaga.
Tetapi Riris tidak sempat bertanya lebih jauh. Sumbaga itu kemudian meninggalkan Riris yang terheran-heran.
Namun Riris yang sudah menginjak dewasa itu, dapat menduga apakah maksud Sumbaga sebenarnya. Meskipun ia tidak yakin akan kebenaran dugaannya. Tetapi Riris mulai berpikir tentang sikap Sumbaga. Bahkan Riris mulai menilai sikap Sumbaga sehari-hari kepadanya.
Tetapi Riris berusaha untuk tidak memikirkan lebih panjang lagi. Ia masih harus menilai sikap Sumbaga lebih jauh lagi di hari-hari mendatang.
Sebenarnyalah, hari itu Kasadha telah singgah di rumah Ki Rangga Dipayuda. Justru karena Ki Rangga ada di rumah, maka rasa-rasanya kedatangan Kasadha menjadi lebih banyak mendapat perhatian. Apalagi kedatangannya memang sudah diketahui lebih dahulu oleh keluarga Ki Rangga Dipayuda.
Sumbaga yang memperhatikan anak muda yang bernama Kasadha itu termangu-mangu. Wajahnya mirip dengan anak muda yang pernah datang ke rumah itu. Anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan.
Darahnya memang terasa menjadi semakin cepat mengalir melihat kehadiran anak muda yang seakan-akan diterima dengan lebih baik dari Bharata. Menurut dugaan Sumbaga, Ki Rangga telah memerlukan pulang untuk menerima kedatangan anak muda yang sebenarnya tidak lebih dari anak buah Ki Rangga itu sendiri. Seakan-akan Kasadha bagi Ki Rangga Dipayuda adalah seorang yang khusus bagi keluarganya.
Sebenarnyalah, seisi rumah itu menjadi gembira karena kedatangan Kasadha. Jangkungpun segera mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangannya dalam pertandingannya melawan Ki Rangga Prangwiryawan.
"Memang tidak selalu seseorang yang memiliki pangkat dan jabatan lebih tinggi akan dapat mengalahkan orang yang pangkat dan jabatannya lebih rendah dalam olah kanuragan," berkata Jangkung kepada Kasadha setelah mereka duduk di pendapa.
"Bukan hanya olah kanuragan," justru Ki Rangga menyambung, "dalam pengetahuan yang lainpun anak-anak muda memiliki kelebihan dari orang-orang tua yang pangkat dan jabatannya lebih tinggi. Tetapi meskipun dalam banyak hal anak-anak muda memiliki kelebihan, namun satu hal yang anak muda dimanapun di seluruh permukaan bumi ini tidak dapat melebihi orang-orang tua."
"Tentang apa" Pengalaman?" bertanya Jangkung.
"Tidak. Tentang pengalaman anak-anak muda akan dapat melebihi orang tua. Apalagi orang tua yang terbiasa hidup di bawah ruang lingkup yang sangat sempit," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Jadi tentang apa?" bertanya Jangkung.
"Umur," jawab Ki Rangga sambil tersenyum.
Kasadhapun tertawa pula. Namun Jangkung nampaknya tidak mau kalah, Iapun berkata, "Tetapi apa pula yang tidak dapat ditandingi pada anak-anak muda oleh orang-orang tua di seluruh muka bumi."
"Kemudaannya itulah," jawab Ki Rangga.
Kasadha justru tertawa semakin keras. Demikian pula Jangkung sendiri.
Ketika kemudian Riris datang membawa minuman dan makanan, serta kemudian ikut duduk bersama mereka, maka pembicaraanpun menjadi semakin meluas. Bertebaran antara perjalanan Kasadha dan keadaan Tanah Perdikan Sembojan yang baru saja dikunjunginya.
"Kenapa Kakang Bharata tidak singgah ketika kembali ke Tanah Perdikan?" bertanya Riris.
Kasadha mengerutkan dahinya sejenak. Namun kemudian wajahnya cepat berubah. Senyumnya mulai membayang lagi di bibirnya. Jawabnya, "Bharata ingin segera kembali. Ia sudah terlambat sehari sehingga ibunya sudah mulai cemas."
"Seharusnya ia pulang sehari lebih cepat," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Riris hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Jangkung minta agar Kasadha menceriterakan kesibukan baraknya di saat diselenggarakan pertandingan.
"Tidak ada yang menarik," jawab Jangkung sambil memandang kepada Ki Rangga. Lalu katanya, "Namun agaknya Ki Rangga lebih banyak mengetahui daripada aku. Aku hanya sekedar menonton atau masuk ke arena. Selebihnya tidak tahu. Ki Rangga tentu tahu sejak pertandingan itu dirancang."
"Ah, aku ingin mendengar ceritera itu dengan nada yang berbeda. Aku sudah mendengarkan ayah berceritera. Tetapi baru dalam garis besarnya. Kau tentu lebih banyak mengerti pelaksanaan dari pertandingan itu daripada ayah."
Tetapi Kasadha tetap mengelak. Katanya, "Mungkin aku akan berceritera dari sisi pandang yang khusus. Tidak menyeluruh."
Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, "Kau tentu takut membuat kesalahan agar penilaian atasanmu terhadapmu tidak menurun."
"Ah kau," potong Ki Rangga Dipayuda.
Jangkung tertawa. Kasadhapun tertawa pula.
Ki Ranggapun kemudian mempersilahkan minum minuman yang sudah tidak terlalu panas lagi sambil mencicipi makanan yang dihidangkan.
Setelah makan bersama-sama dengan keluarga Ki Rangga, maka Kasadhapun dipersilahkan untuk beristirahat di bilik gandok yang memang telah dipersiapkan. Jangkung mengantarkannya ke bilik itu sambil berkata, "Beristirahatlah. Nanti sebelum senja kita berjalan-jalan ke sudut desa. Kita dapat melihat bulak di sebelah. Besok pagi-pagi kita akan pergi ke pasar. Pasar yang tentu akan menarik, karena kebetulan besok adalah hari pasaran."
Kasadha mengangguk-angguk sambil berkata, "Terima kasih. Tetapi besok siang aku sudah harus kembali ke barak."
"Ayah ada disini. Kau mendapat kesempatan beristirahat sampai sepekan," berkata Jangkung.
"Ah, tentu tidak," jawab Kasadha.
"Nah, silahkan. Aku akan melihat kuda-kuda yang ada dikandang," berkata Jangkung kemudian.
Ketika Jangkung meninggalkannya, Kasadha duduk sendiri di serambi gandok sambil memandang halaman yang nampak sejuk dan bersih. Riris sempat datang ke serambi untuk menghidangkan minuman hangat.
Beberapa saat mereka bercakap-cakap di serambi gandok. Bahkan Kasadha sempat bertanya, "Kenapa kau tidak pernah pergi ke Pajang selagi Ki Rangga ada di Pajang. Mungkin kau dapat melihat-lihat keadaan kota. Pasarnya atau tata kehidupannya yang tentu agak lain dengan tata kehidupan disini."
"Aku sudah sering pergi ke Pajang. Tetapi hanya sebentar-sebentar saja. Aku memang tidak sempat melihat kehidupan di Pajang seutuhnya. Namun agaknya aku tidak akan kerasan tinggal disana."
"Kenapa?" bertanya Kasadha.
"Rasa-rasanya tidak ada ketenangan. Di padukuhan ini, kehidupan terasa tenang. Meskipun sekali-sekali terjadi gejolak karena gelombang kehidupan yang dapat menempuh siapa saja, namun rasa-rasanya tidak selalu diburu seperti hidup di Pajang," jawab Riris.
Kasadha tersenyum. Katanya, "Tetapi untuk mencapai tataran kehidupan yang lebih tinggi, maka di Pajang rasa-rasanya lebih banyak kemungkinannya."
"Jika semua orang berpendirian seperti itu, maka padukuhan dan padesan akan menjadi kosong," jawab Riris.
Kasadha tertawa. Katanya, "Kau benar Riris. Ada kalanya orang yang terdampar di Pajang yang ramai justru kehilangan kesempatan sama sekali. Tidak demikian halnya hidup di padukuhan. Tanah memang perlu diolah untuk dapat menghasilkan pangan bagi kita semuanya."
"Seperti Kakang Bharata. Ia tentu tidak akan meninggalkan Tanah Perdikannya. Ia pernah hidup di kota untuk beberapa lama. Namun akhirnya ia kembali pula ke Tanah Perdikannya," jawab Riris.
Wajah Kasadha berkerut mendengar nama Bharata terlontar dari bibir Riris. Namun ia sudah terbiasa mengendalikan perasaannya sehingga sama sekali tidak membayang di wajahnya.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Orang-orang seperti Bharata tidak seharusnya meninggalkan kampung halamannya. Tenaga dan pikirannya sangat diperlukan oleh putaran kehidupan di lingkungannya."
Namun Riris tidak berbincang lebih lama lagi. Sambil mempersilahkan Kasadha minum dan beristirahat, maka Ririspun berkata, "Ah, sudahlah Kakang. Aku harus membantu ibu."
Sepeninggal Riris, Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Setelah beberapa kali bertemu, maka Riris tidak lagi nampak terlalu canggung. Ia sudah dapat berbicara lancar serta mengemukakan pendapatnya. Namun Kasadha memang menjadi berdebar-debar jika Riris menyebut nama Bharata.
Ketika Kasadha baru menghirup minuman hangatnya sambil duduk bersandar dinding serambi dengan melipat kakinya, tiba-tiba Sumbaga telah menghampirinya.
Kasadha memang terkejut. Ia belum begitu mengenal Sumbaga, meskipun ia sudah tahu serba sedikit tentang anak muda yang ada di rumah Ki Rangga itu.
"Marilah, duduklah," Kasadha mempersilahkan anak muda itu untuk duduk di sebelahnya.
Namun Sumbaga menggeleng lemah. Katanya, "Terima kasih. Aku tidak merasa perlu untuk duduk."
"O," justru Kasadhalah yang bangkit berdiri, "jadi, apakah ada pesan untukku?"
"Ya," jawab Sumbaga.
"Dari Ki Rangga atau dari Riris?" bertanya Kasadha pula.
Namun dengan tegas Sumbaga menjawab, "Tidak dari Riris. Dan tidak pula dari Ki Rangga."
"Jadi, pesan dari siapa?" Kasadha menjadi agak heran.
"Dari aku sendiri," jawab Sumbaga.
"O," Kasadha mengangguk-angguk meskipun ia masih tetap merasa heran melihat sikap anak muda itu, "pesan apa yang kau maksud?"
"Kenapa kau datang kemari?" bertanya Sumbaga.
Wajah Kasadha menjadi tegang. Ia tidak segera tahu arah pertanyaan Sumbaga. Namun iapun kemudian menjawab, "Aku hanya sekedar singgah. Aku baru pulang dari Tanah Perdikan Sembojan menuju ke Pajang."
"Jika kau hanya sekedar singgah, kenapa kau tidak segera melanjutkan perjalanan?" bertanya Sumbaga kemudian.
"Aku akan bermalam semalam disini," jawab Kasadha.
"Kenapa kau bermalam disini" Bukankah Pajang tidak terlalu jauh dari sini?" desak Sumbaga.
Kasadha memang menjadi bingung. Dengan tanpa mengetahui latar belakang sikap Sumbaga, Kasadha itupun menjawab, "Ki Rangga minta aku bermalam disini."
"Apakah kau tidak tahu, bahwa itu hanya sekedar basa-basi" Seharusnya kau tanggap akan sikap Ki Rangga Dipayuda. Ia tidak senang jika seseorang bermalam di rumah ini," berkata Sumbaga.
"Tetapi tidak ada kesan seperti itu. Juga pada Jangkung dan Riris," jawab Kasadha lugu.
"Sudahlah. Sekarang, sebaiknya kau tinggalkan rumah ini. Jika kau tidak pergi sekarang juga, maka akibatnya akan kurang baik bagimu. Meskipun kau seorang prajurit pilihan yang mampu memenangkan pertandingan di barakmu, namun disini kau bukan apa-apa bagiku," berkata Sumbaga.
"Aku tidak tahu maksudmu. Jika demikian, baiklah aku berbicara berterus terang. Setidak-tidaknya kepada Jangkung. Apakah yang kau katakan itu benar. Sebab menilik sikap mereka, maka mereka merasa senang aku bermalam disini," jawab Kasadha.
"Kau terlalu dungu. Kau tidak perlu bertanya kepada siapapun juga. Mereka semuanya lamis. Sekarang, kemasi pakaianmu dan pergilah. Aku akan membawa kudamu kemari," berkata Sumbaga pula.
Kasadha memang menjadi agak bingung. Tetapi ia tidak langsung mempercayai kata-kata itu. Ia yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar pada anak muda yang bernama Sumbaga itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan pergi sebelum aku berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda atau Jangkung. Aku bukan pengemis yang dapat kau usir begitu saja dari tempat ini. Aku datang ke rumah Ki Rangga, pimpinanku yang aku kenal dengan baik. Jika kau mengada-ada, apa sebenarnya kepentinganmu?"
Wajah Sumbaga menjadi merah. Katanya, "Jika kau tidak mau pergi, kau jangan menyesal. Kau akan membuat perhitungan dengan aku. Jika kau jantan, maka kau tidak akan mengatakan hal ini kepada siapapun juga. Kecuali jika kau tidak lebih dari seorang perempuan yang hanya pantas mengenakan kain panjang dengan sabuk kemben dan memotong brambang di dapur. Nanti tengah malam aku akan menemuimu lagi."
Sumbaga tidak menunggu jawaban Kasadha. Iapun kemudian telah meninggalkan Kasadha termangu-mangu.
Kasadha itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil duduk kembali. Dihirupnya minumannya sambil berdesah perlahan, "Ada apa pula dengan Sumbaga."
Tetapi Kasadha tidak menunjukkan kegelisahannya itu. Ia berlaku wajar saja.
Setelah mandi dan berbenah diri, menjelang senja bersama-sama dengan Jangkung, Kasadha melihat-lihat jalan padukuhan. Kemudian keduanya pergi ke mulut jalan induk padukuhan itu untuk melihat bulak yang luas, yang terbentang di sebelah padukuhan itu.
"Sawah, batang padi dan air yang mengalir di parit-parit selalu menarik perhatian," berkata Kasadha ketika mereka berdiri di tanggul parit di luar padukuhan.
"Di ujung Kademangan ini masih terdapat sebuah hutan yang memanjang, menusuk masuk ke daerah Kademangan sebelah. Tetapi hutan itu terjulur lebih luas lagi sampai kelereng bukit," berkata Jangkung.
"Apakah padukuhan-padukuhan terdekat dengan hutan itu tidak merasa terganggu" Bukankah hutan itu masih dihuni binatang buas?" bertanya Kasadha.
"Di luar hutan itu terdapat semacam padang perdu yang seakan-akan memisahkan lingkungan hutan dan lingkungan padesan yang berpenghuni. Kemudian sawah dan pategalan. Meskipun demikian para petani cukup berhati-hati, sehingga hampir tidak pernah terjadi seorang petani diserang oleh binatang buas meskipun hal itu memang pernah terjadi tiga tahun yang lalu," jawab Jangkung.
Kasadha mengangguk-angguk. Ada keinginannya untuk melihat padang perdu itu. Namun nampaknya senja menjadi semakin suram, sehingga keduanyapun kemudian memutuskan untuk kembali saja.
"Besok pagi kita akan melihat-lihat lebih banyak. Jika kau ingin pergi ke hutan, besok kita melihat hutan itu," berkata Jangkung.
Kasadha tertawa. Katanya, "Besok kita pergi ke pasar. Jika tidak terlalu siang kita dapat pergi ke padang perdu itu. Tetapi jika kesiangan, biarlah kita tidak usah kesana."
Jangkungpun tertawa. Katanya, "Agaknya kau sudah sering melihat hutan. Dan hutan dimana-mana tentu tidak akan banyak bedanya."
Kasadha masih tertawa. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk, sambil berkata, "Tanah masih cukup luas. Tetapi apakah disini ada hutan khusus?"
"Maksudmu?" bertanya Jangkung.
"Hutan yang menghasilkan kayu-kayuan atau buah-buahan yang dipelihara secara khusus. Tidak dibiarkan begitu saja seperti hutan-hutan yang liar itu?" bertanya Kasadha.
"Tidak," jawab Jangkung.
Kasadhapun tidak bertanya lagi. Namun tiba-tiba saja niatnya untuk berbicara dengan Jangkung tentang sikap Sumbaga tidak tertahankan. Berbeda dengan Bharata yang tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan penghuni rumah itu sebelum ia memenuhi tantangan Sumbaga. Tetapi Bharata juga tidak mengatakan apapun sesudahnya, sehingga Sumbaga sempat mengaku telah terjatuh ketika isi rumah itu bertanya tentang wajahnya yang memar.
Ketika Jangkung mendengar ceritera Kasadha sambil melangkah menyusup jalan padukuhan yang menjadi semakin suram itu, ia terkejut. Dengan nada tinggi ia berkata, "Aku akan memanggilnya. Aku akan berbicara dengan Kakang Sumbaga."
"Jangan tergesa-gesa," cegah Kasadha, "aku masih belum tahu apa yang akan dilakukannya."
"Jadi?" bertanya Jangkung.
"Aku akan melihat apa yang akan dilakukannya," jawab Kasadha.
"Aku akan berada di bilikmu malam nanti," berkata Jangkung lalu katanya pula, "aku akan berada di belakang selintru jika ia benar-benar mendatangimu malam nanti."
"Tetapi sebaiknya kau tidak usah mengatakan kepada Ki Rangga lebih dahulu," desis Kasadha.
Jangkung mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, "Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar terjadi atasnya. Atau pada dasarnya Kakang Sumbaga memang agak terganggu keseimbangan jiwanya?"
Kasadha tidak menyahut. Sementara itu, langkah merekapun sudah hampir sampai regol halaman rumah Ki Rangga Dipayuda.
Dua orang anak muda yang berpapasan sempat menyapa Jangkung. Namun mereka berjalan terus.
Setelah makan malam dan berbincang-bincang dengan keluarga Ki Rangga beberapa lama maka Ki Ranggapun berkata, "Nah, jika kau sudah lelah, beristirahatlah. Sebaiknya kau tidak usah kembali ke barak besok. Lusa kita bersama-sama kembali. Ki Tumenggung tentu tidak akan menyalahkan kau."
Kasadha memang menjadi ragu-ragu. Jika yang berkata demikian itu adalah atasannya langsung, maka ia percaya bahwa ia memang tidak akan dianggap bersalah.
Tetapi iapun merasa segan untuk bermalam dua malam di rumah Ki Rangga. Apalagi mengingat sikap Sumbaga.
Karena itu, maka Kasadhapun kemudian berkata, "Ki Rangga. Agaknya Ki Tumenggung Jayayuda memang tidak menganggap aku bersalah. Tetapi rasa-rasanya aku akan meninggalkan kesatuanku terlalu lama. Para pemimpin kelompoklah yang tentu menunggu-nunggu."
Ki Rangga Dipayuda tersenyum. Katanya, "Jika aku bukan salah seorang Pandhega di barak kita, maka aku akan dapat, mengabaikan alasanmu. Tetapi aku justru salah seorang pimpinan di barak itu."
"Justru itu," sahut Jangkung, "ayah dapat memerintahkan Kasadha untuk mengawal ayah sampai lusa."
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Kau kira aku dapat berbuat apa saja menurut kemauanku tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku."
"Tetapi bukankah ayah sudah menganjurkan agar Kasadha pulang besok lusa bersama ayah," berkata Jangkung.
"Itulah yang dapat aku lakukan tanpa menyimpang dari paugeran. Bukan memerintahkan Kasadha untuk mengawalku," jawab Ki Rangga.
Jangkung mengerutkan dahinya. Katanya, "Itulah yang membuat aku sulit untuk berada di dunia keprajuritan sebagaimana ayah."
Kasadhapun tertawa. Katanya, "Kau sendiri yang mempersulit persoalan yang sebenarnya cukup sederhana."
Jangkung juga tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Ki Ranggapun kemudian telah mempersilahkan sekali lagi agar Kasadha beristirahat di bilik gandok.
"Marilah," berkata Jangkung, "aku antar kau ke bilikmu."
Sebenarnya Jangkung ingin tetap berada di bilik Kasadha sampai Sumbaga datang kepadanya.
Beberapa saat kemudian, rumah Ki Rangga Dipayuda itu menjadi sepi. Semua orang telah berada di dalam bilik masing-masing kecuali Jangkung yang sengaja berada di bilik yang diperuntukkan bagi Kasadha.
Di dalam bilik itu memang terdapat sebuah selintru yang dibuat dari kayu.
"Aku akan tidur di belakang selintru ini," berkata Jangkung, "jika Sumbaga datang, aku tentu akan terbangun. Bukankah ia harus mengetuk pintu lebih dahulu?"
Kasadha mengangguk. Katanya, "Tentu. Pintu itu diselarak dan hanya dapat dibuka dari dalam."
Jangkungpun kemudian telah membentangkan sebuah tikar. Ia sengaja tidur di tempat yang sempit di antara dinding bilik itu dengan sebuah selintru kayu. Sementara itu, ia mempersilahkan Jangkung tidur di amben bambu yang memang tersedia di dalam bilik itu.
Ternyata baik Jangkung maupun Kasadha tidak segera dapat tidur. Mereka bahkan seakan-akan menunggu sampai tengah malam.
Sebenarnyalah seperti yang pernah terjadi dengan Risang, maka tengah malam Sumbaga itu telah mengetuk pintu bilik gandok.
Kasadha dan Jangkung ternyata masih belum tidur. Karena itu, maka dengan cepat Kasadha menyahut, "Ya. Aku belum tidur."
Kasadhapun segera bangkit. Namun Jangkung yang juga sudah bangkit memberi isyarat agar Kasadha berhati-hati.
Ketika kemudian pintu terbuka, dilihatnya Sumbaga berdiri termangu-mangu di muka pintu. Dengan nada rendah Sumbaga berkata, "Apakah kau mengatakan hal ini kepada seseorang?"
"Tidak," jawab Kasadha, "tetapi apa maksudmu?"
"Kita akan pergi ke halaman belakang. Aku sudah menyalakan sebuah obor kecil di bawah rumpun bambu. Kita akan berkelahi. Jika kau kalah, kau berjanji untuk tidak akan datang lagi ke rumah ini. Jika kau memaksa untuk datang, maka aku akan memukulimu. Tetapi jika kau masih datang lagi, maka aku akan membunuhmu," berkata Sumbaga.
"Jika kau yang kalah?" bertanya Kasadha.
"Aku tidak akan berbicara tentang sesuatu hal yang tidak mungkin," jawab Sumbaga.
"Jadi menurut dugaanmu, kau tidak mungkin kalah?" bertanya Kasadha.
"Ya. Aku tidak mungkin kalah. Aku adalah seorang laki-laki sejati," jawab Sumbaga.
Kasadha memang masih ragu-ragu. Namun Sumbaga itu kemudian berkata, "Pergilah. Aku menunggu. Jangan takut bahwa aku akan membunuhmu."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat bertanya lagi. Sementara Sumbaga telah meninggalkan gandok menuju ke halaman belakang rumah Ki Rangga. Agak jauh di bawah rumpun bambu Sumbaga telah menyalakan sebuah obor kecil yang hanya dapat menerangi sebuah lingkaran kecil di bawah rumpun bambu itu.
Di dalam biliknya Kasadha termangu-mangu sejenak.
Jangkung yang telah keluar dari balik selintru itupun berdesis, "Memang aneh. Tetapi pergilah ke kebun belakang. Aku akan melihat apa yang akan dilakukan oleh Sumbaga itu."
Kasadha mengangguk. Namun iapun telah meninggalkan senjatanya di bilik itu. Meskipun ia belum pernah membicarakan persoalan Sumbaga itu dengan Bharata, tetapi seperti Bharata, ia tidak ingin kehilangan pengamatan diri dan mempergunakan senjata untuk melawan Sumbaga dalam keadaan yang sulit.
Sejenak kemudian, Kasadha sudah berada di kebun belakang di bawah rumpun bambu. Ternyata apa yang telah terjadi atas Bharata telah terulang lagi. Sumbaga telah mengancam Kasadha agar tidak datang lagi ke tempat itu dan apalagi bertemu dengan Riris.
Ternyata Kasadha kemudian mengetahui, kenapa Sumbaga itu mengancam agar ia pergi dan tidak kembali. Ternyata Sumbaga tidak mau melihat seseorang bertemu dan berbicara dengan Riris, apalagi kemudian berhubungan lebih erat lagi.
Dalam pada itu Jangkung ternyata telah dapat mendengar semuanya. Di luar pengetahuan Sumbaga, maka Jangkung mendengar apa yang telah dikatakan Sumbaga kepada Kasadha.
Jantung Jangkung memang menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia kehilangan kekang diri dan meloncat menyerang Sumbaga yang telah berani mengancam tamunya. Bahkan Sumbaga telah mengulangi keterangannya, bahwa sebenarnya Ki Rangga juga membenci orang-orang yang bermalam di rumahnya.
Namun untunglah bahwa Jangkung masih tetap menahan diri. Bahkan kemudian timbul keinginannya, untuk mengetahui apa yang akan terjadi kemudian, ia yakin, bahwa Kasadha tidak akan mengalami kesulitan karena Kasadha adalah seorang prajurit yang sangat baik. Bahkan ia telah mampu mengalahkan salah seorang pimpinannya, Ki Rangga Prangwiryawan.
Sejenak kemudian, maka Kasadhapun telah bertempur pula melawan Sumbaga. Ternyata Sumbaga adalah seorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar.
Namun apa yang pernah terjadi dengan Bharata, telah terulang kembali. Kasadha semakin lama semakin menekannya. Bahkan seperti juga Bharata, Kasadha memberinya kesempatan untuk menghentikan perkelahian Tetapi Sumbaga tidak pernah mengakui bahwa ia akan kalah dalam perkelahian itu.
Beberapa kali Sumbaga telah terlempar jatuh. Bahkan kemudian nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Tenaganya sudah jauh susut. Bahkan berdiripun seakan-akan tidak lagi mampu untuk tegak.
Tetapi setiap kali Kasadha mengatakan bahwa ia akan kalah, Sumbaga telah menolaknya. Bahkan iapun kemudian berkata dengan penuh keyakinan akan kemenangannya, "Nah Kasadha. Sekarang kau harus menyadari, bahwa kau ternyata tidak dapat berbual apa-apa. Berjanjilah, bahwa kau tidak akan datang kembali ke rumah ini."
Kasadha bergeser beberapa langkah surut. Katanya, "Bukan aku yang akan kalah. Kau harus melihat kenyataan, bahwa kau sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi."
"Menyerahlah. Berjanjilah agar aku tidak menjadi marah dan membunuhmu," geram Sumbaga.
Kasadha memang menjadi jengkel. Dengan kerasnya ia menyerang. Kakinya yang terayun dengan derasnya telah mengenai lambungnya sehingga Sumbaga yang sudah lemah itu terlempar selangkah menyamping dan kemudian jatuh terbanting di tanah.
Tetapi anak muda itu telah terbangun lagi meskipun agak kesulitan untuk bangkit. Sekali lagi Sumbaga mengancam, "Nah, kau harus melihat kenyataan. Kau sudah aku kalahkan. Pergilah dan jangan kembali."
Kasadha yang jengkel itu menjawab, "Tidak. Aku akan kembali seribu kali. Aku akan mengunjungi Riris sesuka hatiku. Aku senang kepada gadis itu dan gadis itu senang kepadaku. Nah, apa pedulimu."
Sumbaga mengumpat kasar sambil menyerang. Tangannya terjulur lurus mengarah ke kening Kasadha. Tetapi Kasadha menghindari, maka hampir saja Sumbaga itu jatuh terjerembab dengan sendirinya.
Yang tidak dilakukan oleh Bharata adalah dengan sengaja membakar hati anak muda itu. Kasadha ingin tahu, sampai sejauh mana sikap Sumbaga yang tidak sewajarnya itu. Jika Bharata memaksa Sumbaga untuk melihat kenyataan dan mengakui kekalahannya, maka Kasadha telah menggelitik hati Sumbaga. Katanya, "Sumbaga. Ketahuilah. Beberapa hari lagi, orang tuaku akan datang kemari. Mereka akan melamar Riris untuk menjadi isteriku. Kau tidak akan dapat mencegahnya, karena kau tidak dapat mengalahkan aku."
"Iblis kau," sekali lagi Sumbaga meloncat menyerang. Tetapi ketika Kasadha berhasil menghindarinya, maka Sumbaga justru telah terseret oleh kekuatannya yang tersisa. Sejenak Sumbaga terhuyung-huyung. Namun kemudian Sumbaga itu telah jatuh tertelungkup.
Tertatih-tatih anak muda itu bangkit. Sementara Kasadha masih tetap memanasi hati anak muda itu, sehingga beberapa kali Sumbaga menyerang, namun beberapa kali anak muda itu jatuh terjerembab. Sehingga akhirnya, Sumbaga itu tidak dapat lagi untuk bangkit. Ketika ia mencoba untuk berdiri, maka iapun telah terjatuh pada lututnya.
Namun ia masih berkata, "Ingat Kasadha. Aku telah mengalahkanmu. Kau telah berjanji untuk tidak akan kembali lagi ke rumah ini untuk selama-lamanya."
"Tentu aku akan kembali bersama orang tuaku. Dalam waktu dekat, Sumbaga. Kau boleh menyaksikan apa yang akan dikatakan oleh orang tuaku," jawab Kasadha.
Sumbaga menggeram. Namun ketika ia mengerahkan sisa tenaganya untuk menyerang, maka iapun telah terjatuh lagi.
Sumbaga kemudian duduk sambil mengerang. Namun ternyata ia tidak sekedar mengerang kesakitan. Tetapi Sumbaga itu telah menangis.
"Sumbaga," Kasadha terkejut. Dengan hati-hati ia mendekat sambil bertanya, "Kenapa kau menangis?"
Sumbaga justru menangis semakin keras. Betapa ia berusaha menahan tangisnya, namun ia tidak mampu melakukannya. Air matanya mengalir di antara jari-jari tangannya yang menutup wajahnya.
"Kenapa kau tidak menepati janjimu Kasadha," suaranya mengambang di sela-sela isaknya, "kau berjanji untuk tidak kembali lagi."
Kasadha menjadi bingung. Ia tidak pernah ingin berjanji sebagaimana dimaksud oleh Sumbaga. Tetapi ia ingin agar Sumbaga itu tidak menangis semakin keras.
Dalam pada itu, Jangkung tidak dapat terus menerus bersembunyi. Semula ia mengagumi Kasadha yang memiliki ilmu yang tinggi. Namun kemudian ia menjadi jengkel dan marah melihat sikap Sumbaga. Tetapi ketika ia melihat Sumbaga menangis, maka Jangkungpun menjadi bingung.
Karena itu, maka Jangkungpun justru telah meloncat dari persembunyiannya dan melangkah mendekat Sumbaga yang menangis.
"Kakang Sumbaga, kenapa kau menangis?" bertanya Jangkung.
Sumbaga terkejut. Sekejap tangisnya terhenti. Namun kehadiran Jangkung telah membuat hatinya semakin kacau. Di luar sadarnya ia bertanya, "Apa yang kau lakukan disini?"
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun bertanya pula, "Kenapa semuanya itu kau lakukan" Kau adalah sanak kadang kami. Kau adalah keluarga kami."
Sumbaga termangu-mangu sejenak. Namun isaknya masih saja terdengar. Sementara air matanya masih juga mengembun di pelupuknya.
Tetapi Sumbaga tidak menjawab.
"Sudahlah," berkata Kasadha kemudian, "kembalilah ke dalam bilikmu."
Sumbaga tidak menjawab. Namun Jangkung masih juga bertanya, "Apakah kau berbuat seperti ini juga kepada Bharata saat ia berada disini" Pagi-pagi kami melihat wajahmu memar dan tubuhmu seolah-olah kesakitan. Setiap kali kau ditanya tentang memar itu maka kau selalu menjawab, bahwa kau tergelincir dan jatuh. Ternyata yang terjadi atasmu waktu itu sebagaimana terjadi sekarang."
Sumbaga mengangguk kecil.
"Untunglah kau berhadapan dengan Bharata dan Kasadha. Jika hal ini kau lakukan terhadap orang lain, mungkin kau sudah dibunuhnya," berkata Jangkung.
Namun jawab Sumbaga mengejutkan, "Aku tidak pernah dikalahkan oleh siapapun juga."
"Apalagi sikapmu seperti itu," sahut Jangkung, "seseorang yang sebenarnya tidak ingin membunuhmu, justru kau dorong untuk melakukannya. Aku tahu sebenarnya kau tahu bahwa kau telah dikalahkan oleh Bharata dan Kasadha. Tetapi tentu ada sesuatu yang tidak wajar atasmu."
Wajah Sumbaga menegang. Namun kemudian tangisnya tiba-tiba meninggi.
"Sudah. Sudahlah," berkata Kasadha, "kembali sajalah ke bilikmu. Mumpung masih malam. Kau dapat beristirahat sejenak sebelum besok pagi-pagi kau harus mandi. Kecuali wajahmu yang tentu pengap bukan saja karena memar, tetapi juga karena kau telah menangis seperti perempuan."
"Aku adalah laki-laki sejati," jawabnya di sela-sela isaknya.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak melihat sikap Sumbaga. Namun iapun kemudian berkata lebih keras, "Cepat kembali ke bilikmu."
Sumbaga mencoba untuk diam. Meskipun nampak dadanya yang justru menjadi sesak, tetapi Sumbaga memang diam. Sambil menunduk iapun telah bangkit dan berjalan meninggalkan rumpun bambu dan obor kecilnya.
Jangkunglah yang kemudian memadamkan obor kecil itu dan membawanya kembali ke belakang rumah, karena obor kecil itu sering dipergunakan jika ada keperluan malam hari di belakang rumah dekat sumur. Jika malam hari masih harus mencuci mangkuk atau alat-alat dapur yang lain karena satu keperluan. Atau harus pergi ke pakiwan di malam hari, maka obor itu dinyalakan.
Kasadhapun kemudian telah kembali pula ke biliknya setelah membersihkan dirinya di pakiwan. Sementara Jangkung telah ikut pula ke bilik Kasadha di gandok.
Beberapa saat keduanya masih berbincang. Kasadha sependapat dengan Jangkung, bahwa hal yang sama tentu pernah terjadi pula atas Bharata.
"Waktu itu tidak ada seorang saksipun," berkata Jangkung, "karena itu Kakang Sumbaga masih dapat mengelak dengan mengatakan bahwa ia terjatuh. Sementara Bharata tentu agak segan pula untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berdesis, "Jangkung, apakah dengan demikian Sumbaga justru berbahaya bagi Riris."
"Ya. Selama ini kami sangat percaya kepadanya. Jika aku pergi sementara ayah berada di Pajang, Sumbagalah yang aku serahi untuk melindungi rumah ini. Tugas itu dilakukan dengan baik karena ia memang masih mempunyai hubungan keluarga dengan kami. Namun dalam keadaan kecewa, maka hal-hal yang tidak diinginkan akan dapat terjadi," desis Jangkung.
"Kau dan Ki Rangga harus segera mengambil langkah-langkah tertentu untuk melindungi Riris. Meskipun kehadirannya itu juga dalam rangka usaha Ki Rangga untuk melindungi seisi rumah ini termasuk Riris," berkata Kasadha pula.
Jangkung, mengangguk-angguk. Katanya, "Mumpung ayah ada di rumah. Besok pagi-pagi aku akan berbicara dengan ayah tentang Kakang Sumbaga."
Kasadha mengangguk-angguk. Agaknya itulah yang terbaik yang dapat dilakukan oleh Jangkung.
Demikianlah sejenak kemudian, Jangkung telah mempersilahkan Kasadha untuk tidur lagi. Katanya, "Aku akan kembali ke bilikku. Pintu samping tentu tidak diselarak oleh ayah karena ayah tahu aku mengantarmu ke dalam bilikmu."
Sepeninggal Jangkung, maka Kasadhapun telah berbaring di amben bambu di dalam biliknya. Angan-angannya menerawang ke beberapa saat mundur. Ia membayangkan Bharata yang juga mendapat perlakuan sebagaimana dirinya oleh Sumbaga.
"Tentu Sumbaga melihat apa yang terjadi dengan Bharata dan Riris. Mungkin karena itu, ia menjadi curiga kepada setiap anak muda yang datang ke rumah ini, karena sebenarnya Sumbaga sendiri juga menaruh hati kepada gadis itu," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Kasadha justru menjadi gelisah karena angan-angannya itu. Karena itu, ia justru tidak dapat tertidur lagi.
Beberapa kali ia justru bangkit dan berjalan hilir mudik. Namun kemudian ia duduk lagi di pembaringannya dan bahkan membaringkan diri.
Ketika Kasadha mendengar ayam jantan berkokok menjelang fajar, maka Kasadhapun tidak lagi berniat untuk tidur, sehingga semalam suntuk anak muda itu tidak tertidur sama sekali. Bahkan kemudian iapun telah bangkit dan melangkah keluar bilik di gandok itu.
Ternyata hari telah menjadi terang tanah. Ayam-ayam sudah keluar dari kandangnya dan berkeliaran di halaman meskipun beberapa ekor di antaranya masih nampak kedinginan di sudut pendapa.
Lampu minyak di pendapa masih menyala. Namun di jalan padukuhan di depan rumah Ki Rangga telah terdengar pedati yang lewat. Suara tembang para pedagang yang duduk memeluk lutut di dalam pedati yang berjalan lamban menuju ke pasar.
"Kebetulan hari pasaran," berkata Kasadha kepada diri sendiri.
Beberapa saat kemudian Kasadha telah pergi ke pakiwan. Ternyata jambangannya masih belum terisi. Karena itu, maka Kasadhapun telah menarik senggot timba untuk mengisi jambangan. Baru setelah jambangan itu penuh, Kasadhapun mandi pula.
Betapa sejuknya air dingin di pagi hari. Bukan saja badannya yang menjadi segar. Tetapi penalarannya dan perasaannyapun terasa menjadi lebih bening.
Ketika langit menjadi terang dan matahari mulai bangkit, Jangkung telah pergi ke bilik Kasadha. Ia termangu-mangu sejenak ketika ia melihat Kasadha justru sudah berbenah diri.
"Kau mandi atau tidak?" bertanya Jangkung.
"Tentu," jawab Kasadha, "bukankah kau lihat, bahwa aku sudah siap?"
Jangkung yang juga sudah mandi dan berpakaian rapi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira kau terlambat bangun karena letih dan mengantuk. Ternyata kau tentu bangun lebih dahulu dari aku."
"Aku bukan saja bangun lebih dahulu. Tetapi aku memang tidak tidur semalam," jawab Kasadha.
"Jangan terlalu kau pikirkan. Aku datang untuk mengajakmu berbicara dengan ayah sebelum kita pergi ke pasar. Agaknya ayah sudah duduk di ruang dalam. Minuman panasnya telah tersedia," ajak Jangkung.
Berdua mereka kemudian telah masuk ke ruang dalam. Ternyata Riris sedang sibuk mempersiapkan minuman dan makanan. Ketika ia melihat Jangkung dan Kasadha datang, maka Ririspun berkata, "Marilah, silahkan Kakang."
"Bukankah kau tidak terbiasa mempersilahkan aku seperti itu" Kau biarkan saja aku minum atau tidak minum," sahut Jangkung.
"Aku tidak mempersilahkanmu," jawab Riris.
"Jadi siapa?" bertanya Jangkung.
"Ah, entahlah," wajah Riris terasa menjadi panas. Bahkan iapun kemudian telah meninggalkan ruang itu.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau selalu mengganggu adikmu," desis Ki Rangga Dipayuda yang juga sudah duduk di ruang tengah. Lalu katanya, "Sebenarnya biar saja ia duduk disini. Riris yang sudah menjadi semakin dewasa sudah harus tidak lagi menjadi seorang pemalu."
"Tetapi sudah saatnya ia dipingit ayah," jawab Jangkung. Ia sengaja berbicara agak keras asar Riris dapat mendengarnya.
Tetapi Ki Rangga Dipayuda justru tertawa. Katanya, "Pada saatnya gadis itu memang harus dipingit. Beberapa orang gadis anak tetangga kita juga ada yang dipingit. Tetapi aku mempunyai cara sendiri untuk memingit anak gadisku."
Jangkung tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum ketika ia mendengar nampan yang dilemparkan ke geledeg rendah di ruang samping. Tentu Riris yang tersinggung.
"Sudahlah, duduklah," minta Ki Rangga kepada Jangkung. Iapun kemudian juga mempersilahkan Kasadha duduk.
"Minumlah," Ki Rangga mempersilahkan, "mumpung masih hangat."
Kasadha yang tidak tidur semalam suntuk itupun menghirup minuman hangat, sehingga tubuhnya yang menjadi agak segar setelah mandi, menjadi lebih segar lagi. Darahnya serasa menjadi hangat menjalar ke seluruh tubuhnya.
Namun dalam pada itu Jangkungpun kemudian berkata, "Ayah, sebenarnya ada sesuatu yang penting aku katakan kepada ayah."
"Tentang apa?" bertanya ayahnya.
"Kakang Sumbaga," jawab Jangkung.
"Ada apa dengan Sumbaga?" bertanya Ki Rangga pula.
Jangkung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ada sesuatu yang tidak wajar."
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, "Aku belum melihatnya pagi ini. Tetapi apa yang sudah dilakukannya?"
Jangkung memang agak ragu-ragu. Tetapi ia telah melihat sendiri apa yang telah terjadi. Iapun mencemaskan Riris dimana-mana datang apabila ia berada di rumah sendiri. Jangkungpun teringat kepada anak muda yang menjadi seperti kehilangan akal karena ia mencintai Riris, tetapi Riris tidak menanggapinya, sehingga anak muda itu telah mencoba mempergunakan kekerasan. Untunglah saat itu ada Bharata, dan secara kebetulan ketika kekerasan itu terjadi lagi, Kasadha sempat menolongnya.
"Kau nampaknya ragu-ragu untuk mengatakannya," desis ayahnya kemudian.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dipaksakannya bibirnya untuk mengatakan apa yang dilihatnya semalam.
Ki Rangga Dipayuda mendengarkan keterangan Jangkung itu dengan saksama. Namun terasa betapa jantungnya berdenyut semakin keras.
Demikian Jangkung selesai dengan keterangannya tentang Sumbaga, maka Ki Ranggapun berkata, "Jangkung, sebaiknya kau panggil Sumbaga. Biarlah aku berbicara dengan anak itu."
"Baik ayah," jawab Jangkung.
"Hati-hatilah. Dalam keadaan seperti itu, Sumbaga akan menjadi terlalu cepat tersinggung," pesan Ki Rangga.
"Baik ayah," jawab Jangkung kemudian.
Sejenak kemudian maka Jangkungpun telah keluar dari ruang dalam itu untuk memanggil Sumbaga. Sementara itu Ki Rangga bertanya tentang beberapa hal kepada Kasadha dalam hubungannya dengan Sumbaga.
Seperti Jangkung, maka Kasadhapun telah berkata terus terang. Bahkan Kasadhapun berkata bahwa hal serupa telah terjadi pula terhadap Bharata beberapa saat yang lalu. Tetapi agaknya Bharata tidak dapat mengatakan hal itu kepada siapapun.
Ki Rangga Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, "Kenapa hal itu harus terjadi. Aku semula percaya kepada anak itu. Namun tiba-tiba ia telah berubah."
Dalam pada itu, dengan tergesa-gesa Jangkung telah masuk ke ruang dalam. Dengan wajah yang nampak gelisah ia berkata, "Sumbaga tidak ada ayah."
"Kemana?" bertanya Ki Rangga.
Jangkung tidak menjawab. Tetapi ia menunjukkan sesobek kain yang ditulisi dengan kapur yang agaknya di colek dari botekan kapur sirih.
Wajah Ki Rangga menjadi tegang. Tulisan itu berbunyi, "Jangkung, pagi ini aku pergi entah kemana."
Ki Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika kemudian Nyi Rangga masuk ke ruang dalam dan duduk bersama mereka, maka Ki Ranggapun berkata, "Satu persoalan lagi telah timbul."
"Persoalan apa Ki Lurah?" bertanya Nyi Rangga yang sudah terbiasa memanggil Ki Lurah.
"Dalam hubungannya dengan anakmu, Riris," jawab Ki Rangga.
"Apakah laki-laki yang pernah menjadi kehilangan akal itu mengganggu Riris lagi?" bertanya Nyi Rangga pula.
"Tidak," Ki Rangga Dipayuda menggeleng. Iapun kemudian telah menceriterakan tentang tingkah laku Sumbaga dan bahwa anak muda itu ternyata telah pergi.
"Jadi Sumbaga telah pergi?" suara Nyi Rangga menjadi dalam sekali.
"Aku juga tidak mengira sama sekali," jawab Ki Rangga.
"Kenapa ia berbuat seperti itu?" mata Nyi Rangga menjadi basah, "aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri."
"Aku juga tidak mengira sama sekali," jawab Ki Rangga.
"Aku mohon maaf, bahwa kedatanganku ke rumah ini sudah menimbulkan persoalan," desis Kasadha sambil mengangguk dalam-dalam.
"Tidak. Bukan salahmu," jawab Ki Rangga, "aku kira bahwa hal ini terjadi, justru lebih baik. Persoalannya segera kita ketahui sebelum terjadi sesuatu atas Riris. Bagaimanapun juga Sumbaga adalah seorang laki-laki dewasa. Jika hatinya telah ditumbuhi perasaan yang satu itu terhadap seorang gadis, maka matanya akan dapat menjadi buta. Ia tidak lagi tahu siapakah yang dihadapinya."
Kasadha menundukkan kepalanya. Tetapi bagaimanapun juga ia juga merasa menjadi salah satu sebab kepergian anak muda yang bernama Sumbaga.
"Jangkung," berkata Ki Rangga, "jika demikian, maka kau sekarang menjadi satu-satunya pelindung adikmu. Jika besok aku kembali ke Pajang, maka keselamatan Riris akan sangat tergantung kepadamu."
Jangkung mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah Riris tidak perlu tahu tentang hal ini?"
"Aku kira ia lebih baik mengetahuinya sehingga ia dapat menjadi lebih berhati-hati jika ia bertemu dengan Sumbaga di manapun juga," berkata ayahnya. Lalu katanya kepada Nyi Rangga, "Terserah kepadamu, bagaimana caranya kau berbicara dengan anak gadismu."
Nyi Rangga mengangguk kecil sambil menjawab, "Aku akan mencobanya. Aku akan berbicara dengan Riris."
"Baiklah," desis Ki Rangga Dipayuda, "kau dapat mengatakan kepadanya secepatnya."
Nyi Rangga itupun kemudian minta diri untuk menemui Riris. Namun ia masih sempat mempersilahkan Kasadha untuk minum dan makan makanan yang telah dihidangkan.
Namun dalam pada itu, Kasadha dan Jangkungpun telah minta diri pula. Mereka akan melihat keramaian pasar yang sedang pasaran. Hari yang paling ramai dalam waktu sepekan.
Seperti yang direncanakan, maka Jangkung telah mengajak Kasadha untuk pergi ke pasar. Ketika mereka melihat matahari yang mulai memanjat langit, Jangkung berkata, "Sudah agak kesiangan."
"Masih belum," jawab Kasadha, "bahkan sepagi ini pada umumnya pasar belum temawon."
Jangkung mengangguk. Tetapi katanya, "Jika kita dapat datang pagi-pagi, maka kita akan dapat melihat para pedagang membuka dagangannya. Aku senang melihat bagaimana mereka mengatur dagangan mereka. Kemudian menjajakannya."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, memang ada sesuatu yang menarik, bagaimana seorang penjual telur menghitung telur yang dibawanya atau saat ia membeli telur dari pedagang yang mengumpulkan telur di padesan dan menjualnya di pasar."
"Juga para pedagang gula kelapa. Mereka menghitung dagangannya sambil berdendang," desis Jangkung.
Namun mereka masih sempat melihat pasar itu menjadi semakin ramai menjelang temawon. Orang-orang yang datang untuk berbelanja semakin lama semakin banyak. Biasanya mereka berbelanja untuk sepekan, karena di hari-hari lain, kecuali hari pasaran, pasar tidak seramai itu. Biasanya tidak lebih dari beberapa orang saja yang berjualan di pasar. Sedangkan di pinggir pasar hanya ada satu saja pande besi yang membuka bengkelnya. Tetapi di hari pasaran ada tujuh atau delapan pande besi yang sibuk bekerja membuat alat-alat pertanian dan barang-barang keperluan rumah tangga yang lain.
Sementara itu, di rumah, Nyi Rangga Dipayuda telah memanggil Riris. Dengan hati-hati Nyi Rangga memberitahukan, apa yang telah dilakukan Sumbaga. Baik terhadap Kasadha, maupun terhadap Bharata. Nyi Ranggapun telah memberitahukan, kenapa Sumbaga telah berlaku demikian.
Wajah Riris terasa menjadi panas. Namun kemudian air matanya mulai mengalir di pipinya. Dengan menahan isak iapun bertanya, "Jadi Kakang Sumbaga telah pergi?"
"Ya Riris," jawab ibunya, "akupun merasa kehilangan."
"Aku sudah menduga perasaan apa yang tersembunyi di jantung Kakang Sumbaga. Tetapi aku masih belum yakin benar sehingga aku tidak berbuat apa-apa."
"Apa yang dapat kau lakukan seandainya hal itu dikatakan kepadamu?" bertanya ibunya.
Riris tidak segera menjawab. Tetapi ia masih saja mengusap air mata yang mengalir dari pelupuknya.
"Riris," berkata ibunya, "kemungkinan itu masih ada. Suatu ketika Sumbaga datang untuk melamarmu mendahului orang lain."
Suara Riris menjadi semakin sendat, "Ibu. Aku menganggap Kakang Sumbaga sebagai kakak kandungku sendiri. Aku tidak dapat merubah perasaan itu. Tetapi seandainya aku dapat berbicara dengan Kakang Sumbaga, maka aku akan dapat menjelaskannya."
Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Iapun tahu, bahwa Riris menganggap anak muda itu sebagaimana saudara kandung sendiri.
"Baiklah Riris," berkata ibunya, "sekarang kau sudah mengetahuinya. Bahkan kakakmu Sumbaga itu telah melakukan perbuatan yang tidak kita duga sebelumnya. Ia masih beruntung, bahwa ia berhadapan dengan Bharata dan Kasadha sehingga mereka tidak berbuat lebih jauh daripada memenuhi keinginan Sumbaga itu."
Riris mengangguk. Namun ia tidak menjawab lagi.
"Meskipun selama ini Sumbaga tidak pernah melakukan satu hal yang tidak sepantasnya, namun kau harus berhati-hati Riris. Kita tidak dapat membayangkan apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Meskipun sebelumnya nampak baik-baik saja, tetapi kekecewaan dan harapan yang pudar bahkan padam sama sekali akan dapat merubah seseorang," pesan ibunya.
Riris mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun peristiwa itu ternyata membekas dalam di hati gadis itu. Ketika ia kemudian berada di dalam biliknya, maka Riris mulai merenung.
"Aku sama sekali tidak berniat mengecewakan siapapun juga," berkata Riris kepada diri sendiri, "tetapi akupun tidak dapat mengorbankan diriku untuk sesuatu yang akan dapat menyiksaku seumur hidupku."
Anak muda yang pernah kecewa itupun pernah berbuat di luar kendali nalarnya bahkan dengan dibantu oleh beberapa orang keluarganya telah berniat mempergunakan kekerasan. Sumbagapun seperti tidak lagi berpijak pada kesadaran nalarnya, sehingga ia telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal terhadap tamu-tamu keluarganya.
Tetapi angan-angan Riris tidak berhenti sampai sekian. Yang kemudian terbayang adalah dua orang anak muda yang sering datang ke rumah itu. Keduanya pernah mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya dari Sumbaga.
Kasadha dan Bharata. Yang seorang adalah seorang Lurah prajurit yang nampaknya akan mempunyai masa depan yang baik dilangsungkan keprajuritan, karena ternyata memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, bahkan dengan seorang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sedang seorang yang lain pada wakili yang tidak terlalu lama akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Keduanya adalah sahabat yang sangat akrab," berkata Riris di dalam hatinya.
Namun Ririspun sadar, bahwa pada suatu saat akan dapat terjadi perubahan.
Sebagai seorang gadis yang telah dewasa Riris serba sedikit dapat menangkap sikap kedua orang anak muda itu. Keduanya pernah menolongnya, menyelamatkannya dari tangan seorang yang kehilangan nalarnya. Juga karena kecewa.
Di luar sadarnya Riris berharap, bahkan berdoa, semoga ia tidak dihadapkan pada satu keadaan yang tidak dapat diatasinya lagi. Jika kedua orang anak muda itu bersama-sama mempunyai perasaan yang sama terhadapnya, maka ia benar-benar akan terjebak ke dalam persoalan yang sangat sulit untuk dipecahkan.
Riris dengan cemas membayangkan, seandainya, ya, seandainya kedua-duanya menaruh hati kepadanya, apakah ia akan dapat memilih satu di antaranya" Tetapi sudah tentu tidak mungkin kedua-duanya. Jika ia memilih seorang di antaranya dan yang lain menjadi kecewa, maka yang kecewa itu akan dapat berbuat sesuatu di luar kendali nalarnya.
Hati Riris tentu akan hancur jika ia melihat Kasadha dan Bharata itu pada suatu saat akan berselisih karena dirinya. Namun bayangan itu agaknya tidak mustahil akan terjadi.
Sementara itu Kasadha dan Jangkung sudah beberapa lama berada si pasar. Mereka sempat melihat pande besi yang bekerja keras di depan perapian yang panas untuk membuat alat-alat dari besi dan baja. Cangkul, parang, kejen bajak, pisau dan bahkan kapak pembelah kayu.
Kasadha memang tertarik melihat pande besi yang sedang bekerja mengayunkan alat pemukul dari besi yang berat untuk menempa besi yang tengah membara membentuk alat-alat yang dikehendaki.
Untuk beberapa lama mereka menunggui pande besi di satu dua bengkel kerja di pinggir pasar itu. Suara besi beradu saat mereka menempa terdengar seperti irama yang menghentak-hentak dari sebuah kerja yang keras.
Beberapa orang pande besi itu sudah mengenal dengan baik Jangkung yang sering datang untuk membeli alat-alat bagi orang-orang yang bekerja di sawahnya, sehingga Jangkung dapat berbicara bahkan berkelakar dengan mereka sambil melihat-lihat para pande besi itu bekerja.
Beberapa saat kemudian, maka Jangkung dan Kasadha telah melangkah keluar dari pasar. Tetapi mereka masih melihat-lihat pasar hewan di sebelahnya. Berbagai macam binatang peliharaan diperjualbelikan. Kambing, kerbau, lembu dan bahkan ada juga beberapa ekor kuda. Tetapi bukan kuda tunggangan sebagaimana diperdagangkan oleh Jangkung. Kuda yang ada di pasar itu adalah kuda beban.
"Kau tentu tidak tertarik kepada kuda-kuda itu Jangkung?" bertanya Kasadha.
Jangkung tertawa. Katanya, "Tetapi kuda-kuda seperti itu banyak dibutuhkan oleh para pedagang untuk membawa barang-barang dagangannya. Kecuali pedati, kuda beban merupakan alat angkutan yang cukup baik, yang dapat lewat melalui jalan-jalan sempit."
Kasadhapun mengangguk-angguk. Sebuah pedati yang dapat membawa beban yang cukup banyak, namun tidak dapat melalui jalan-jalan sempit sebagaimana dapat dilalui oleh kuda beban.
Beberapa saat kemudian, maka keduanyapun merasa sudah cukup lama melihat-lihat pasar, karena keduanya ternyata tidak membeli apapun juga. Bagi Kasadha agaknya lebih senang membeli apapun juga di Pasar Pajang yang memang lebih besar dari pasar yang dilihatnya itu, meskipun pasar itu cukup ramai.
"Nah," berkata Jangkung, "kita nanti akan melihat-lihat padang perdu di tepi hutan. Kau harus pulang besok pagi sebagaimana dikatakan ayah."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Bukan karena aku tidak betah tinggal di rumahmu, tetapi apakah para pemimpin kelompok di pasukanku tidak menunggu-nunggu. Aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku akan kembali hari ini."
"Tentu tidak. Bukankah pasukanmu tidak akan berangkat ke medan perang" Seandainya sore nanti pasukanmu harus berperang dan kau tidak kembali hari ini, maka kau akan dapat dipersalahkan," berkata Jangkung, "tetapi hal itu tidak akan terjadi."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia memang lebih senang tinggal satu hari lagi di rumah Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia juga merasa terganggu oleh peristiwa yang menyangkut anak muda yang bernama Sumbaga itu.
Jangkung seakan-akan dapat membaca perasaan Kasadha. Karena itu maka iapun bertanya meskipun agak ragu, "Apakah kau kecewa karena sikap Sumbaga?"
"Tidak," jawab Kasadha dengan serta-merta meskipun sebenarnya memang demikian, "bukankah sudah aku katakan sejak belum terjadi persoalan dengan Sumbaga itu, bahwa aku hanya akan bermalam satu malam saja" Aku tidak dapat mengabaikan kegelisahan para pemimpin kelompok itu."
"Mereka tidak akan gelisah. Kau adalah seorang yang pilih tanding. Para pemimpin kelompokmu tahu bahwa kau dapat melindungi dirimu sendiri," berkata Jangkung.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku belum dapat mengambil keputusan. Tetapi baiklah kita pergi ke padang perdu."
"Kita pulang dahulu mengambil kuda," berkata Jangkung.
Keduanyapun kemudian telah meninggalkan pasar yang ramai itu. Namun mereka tidak melihat sepasang mata yang memandangi mereka dari sela-sela banyak orang.
Ternyata Sumbaga masih berada di pasar. Ia memang kebingungan kemana ia harus pergi. Ia tidak dapat begitu saja pulang, karena keluarganya tentu akan segera menghubungi Ki Rangga Dipayuda lagi.
Namun dalam pada itu, di luar sadarnya, sepasang mata Sumbaga itu masih juga nampak basah. Sekali-sekali ia mengusap matanya dengan lengan bajunya. Begitu kecewa ia menghadapi kenyataan itu, maka hatinya yang sebenarnya memang lemah, terasa bagaikan terkoyak-koyak.
Tetapi Sumbaga memang sudah bertekad untuk meninggalkan rumah Ki Rangga Dipayuda yang baginya tidak lebih dari neraka yang selalu menyiksanya.
Sumbaga tahu bahwa Ki Rangga dan Nyi Rangga Dipayuda, bahkan Jangkung dan Riris bersikap baik kepadanya. Bahkan ia sudah diakunya sebagai keluarga sendiri. Namun kenyataan yang dihadapinya ternyata terlalu pahit.
*** JILID 44 KARENA itu, maka dengan membawa sebuah bungkusan kecil Sumbaga kemudian meninggalkan pasar itu setelah membeli beberapa potong makanan untuk bekal di perjalanan meskipun ia belum tahu kemana ia harus pergi.
Sementara itu Kasadha dan Jangkung telah mempersiapkan kuda mereka. Kepada ayah dan ibunya Jangkung minta diri untuk melihat-lihat padang perdu dan hutan yang menjelujur sampai kelereng pegunungan.
"Apa yang akan kalian lihat di padang perdu itu?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
Jangkung mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Yang akan kami lihat adalah padang perdu itu sendiri. Padang yang mengantarai hutan dan sawah yang digarap oleh para petani. Kami juga ingin melihat-lihat hutan yang memanjang itu."
"Tetapi berhati-hatilah," pesan Ki Rangga Dipayuda.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah meninggalkan halaman rumah Ki Rangga Dipayuda. Berkuda keduanya menyusuri jalan padukuhan. Beberapa orang kawan Jangkung sempat bertanya, "kemana kedua orang itu akan pergi."
"Sekedar melihat-lihat," jawab Jangkung.
Sekali-sekali kawan-kawannya sempat mengagumi kuda Jangkung. Tetapi seorang kawannya yang bertubuh agak pendek berkata, "Bukankah kuda merupakan sumber penghasilannya."
Kawannya tertawa. Katanya, "Kenapa ia tidak mau menjadi prajurit seperti ayahnya?"
"Mungkin belum saja. Jangkung juga rajin melatih diri. Jika pada suatu ketika ia memiliki ilmu yang tinggi, maka ia akan dapat langsung menjadi seorang pemimpin di lingkungan keprajuritan," jawab kawannya yang bertubuh pendek.
Namun kawannya yang lain berkata, "Sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan dunia keprajuritan. Jangkung lebih senang mengikuti kemauannya sendiri. Apakah ia akan dapat mematuhi segala peraturan di lingkungan keprajuritan?"
Kawannya yang bertubuh pendek itu tertawa. Katanya, "Hari ini ia bangun pagi-pagi. Tetapi pada hari yang lain, mungkin ia baru bangun saat matahari sudah sepenggalah."
Yang lainpun tertawa. Tetapi Jangkung di antara kawan-kawannya termasuk seorang anak muda yang disenangi. Apalagi jika kebetulan ada uang di dalam kantung ikat-pinggangnya, Jangkung sering membelikan makanan dan minuman bagi kawan-kawannya. Jika kebetulan ia mendapat giliran ronda, maka ia sering membawa sebakul kecil kacang rebus atau pisang rebus.
Sementara itu Jangkung dan Kasadha telah melarikan kuda mereka setelah mereka berada di luar padukuhan. Meskipun tidak terlalu kencang, namun debupun telah dilontarkan di belakang kaki-kaki kuda mereka.
"Hutan itu tidak terlalu jauh," berkata Jangkung ketika mereka berada di bulak, "Tidak lebih dari tiga buah bulak panjang dan sebuah bulak yang agak pendek yang langsung berhubungan dengan padang perdu itu."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun terasa udara memang segar menyentuh kulit wajahnya. Selembar awan putih mengambang di atas pebukitan di ujung langit.
Ketika Kasadha menengadahkan wajahnya, dilihatnya sekelompok burung bangau terbang ke Selatan mengarungi birunya langit.
Demikianlah kuda-kuda itu berderap melintasi bulak panjang, menyusup ke sebuah padukuhan. Ternyata Jangkung mempunyai banyak kawan di padukuhan itu, sebagaimana di padukuhannya sendiri.
Ketika mereka kemudian muncul lagi di bulak panjang, maka kuda-kuda merekapun berlari lebih cepat. Matahari sudah semakin tinggi, sehingga sinarnya mulai menggatalkan kulit.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak ketika mereka melihat seseorang yang berjalan agak jauh di depan ke arah yang sama dengan perjalanan mereka. Tetapi meskipun mereka hanya melihat punggungnya, tetapi mereka, terutama Jangkung segera mengenalinya. Orang itu adalah Sumbaga.
Karena itu, maka hampir di luar sadarnya, maka keduanya telah mempercepat perjalanan mereka.
Sebenarnyalah orang itu adalah Sumbaga yang berjalan sambil menunduk. Karena ia sudah merasa berjalan di pinggir jalan, apalagi pikirannya yang sedang kalut, maka ia sama sekali tidak menghiraukannya ketika ia mendengar derap kaki kuda. Ia tidak mengira sama sekali bahwa keduanya adalah Jangkung dan Kasadha, karena Sumbaga baru saja melihat mereka berada di pasar.
Sumbaga terkejut ketika kedua orang penunggang kuda yang melampauinya itu tiba-tiba saja berhenti. Dua orang anak muda meloncat turun dari punggung kudanya.
Ketika Sumbaga menyadari bahwa penunggangnya adalah Jangkung dan Kasadha, maka Sumbagapun menghentikan langkahnya. Namun ketika ia bersiap untuk meloncati parit dan berlari lewat pematang. Jangkung dengan cepat memotong langkahnya, sehingga Sumbaga itu terhenyak surut selangkah.
"Kenapa kalian menyusul aku?" bertanya Sumbaga dengan wajah tegang.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk memberikan kesan yang lain di wajahnya. Karena itu, maka iapun justru tersenyum. Katanya, "Aku tidak sengaja menyusulmu, Kakang."
"Jadi apa?" bertanya Sumbaga.
"Kami berniat pergi ke ujung hutan itu untuk melihat-lihat," jawab Jangkung.
"Melihat apa" Ada apa di ujung hutan?" bertanya Sumbaga.
"Kami memang ingin melihat hutan yang memanjang sampai kelereng pebukitan itu," jawab Jangkung.
"Bohong. Kalian tentu menyusul aku. Kalian tentu ingin menantang aku," berkata Sumbaga kemudian.
"Kau jangan berprasangka buruk seperti itu," berkata Jangkung dengan kening berkerut.
"Baiklah. Jika kalian memang ingin menantang aku, lakukanlah. Aku tidak akan lari apapun yang terjadi atas diriku. Mungkin Kasadha merasa dendam bahwa ia tidak dapat membunuh aku. Atau kau Jangkung, kau selama ini merasa tersisih sejak aku berada di rumahmu," berkata Sumbaga lantang. Bahkan katanya kemudian, "Majulah kalian berdua. Kalian sangka aku akan lari" Sama sekali tidak."
"Sumbaga," berkata Jangkung menyabarkan diri, "aku benar-benar tidak ingin berbuat sesuatu atasmu. Kami tidak sengaja menyusulmu."
"Kau dapat berbicara apapun menurut seleramu. Tetapi jika kalian sudah siap, kita akan mulai. Aku akan melawan kalian berdua bersama-sama," berkata Sumbaga.
Jangkung tidak menghiraukan lagi kata-kata Sumbaga. Tetapi ia berkata, "Adalah kebetulan bahwa kami berdua telah menyusulmu."
"Nah, bersiaplah," berkata Sumbaga.
"Kakang," berkata Jangkung yang masih saja tidak menghiraukan sikap Sumbaga, "ayah, ibu dan Riris merasa kehilangan sepeninggalmu."
"Kau mulai menghina aku," geram Sumbaga.
"Tidak," jawab Jangkung, "apakah selama ini kau tidak merasakan sikap ayah dan ibu terhadapmu sebagaimana sikap mereka kepada anak sendiri" Apakah kau tidak merasakan sikap Riris kepadamu tidak ubahnya sebagaimana sikapnya terhadap aku?"
Wajah Sumbaga menegang. Sementara itu Sumbaga berkata selanjutnya, "Kakang, menurut pengakuan ayah dan ibu sendiri, kau sudah dianggapnya sebagai anak kandungnya. Kenapa kau tiba-tiba meninggalkannya" Apakah salah ayah dan ibu kepadamu. Apa pula salah Riris yang menganggapmu sebagai kakak kandungnya pula?"
Sumbaga tidak menjawab. Tetapi wajahnya menunduk dalam-dalam.
"Nah Kakang, sekarang aku minta Kakang kembali. Jika kami sekeluarga melakukan kesalahan terhadap Kakang dan Kakang tidak dapat memaafkannya lagi, sebaiknya Kakang berkata berterus-terangan kepada ayah dan ibu, sehingga kepergian Kakang tidak menimbulkan persoalan di dalam keluarga kami," berkata Jangkung selanjutnya.
Sumbaga tidak segera menjawab. Namun kepalanya masih saja tertunduk. Sementara Jangkung berkata selanjutnya, "Jika seandainya kau benar-benar akan pergi, dan tidak dapat dibatalkan lagi, sebaiknya kau minta diri dengan baik kepada ayah dan ibu. Kau harus menyadari, bahwa kau, sudah tentu dengan seluruh keluargamu, masih kadang sendiri. Jika kau pergi begitu saja, maka bukan hanya kau sajalah yang akan terpisah dari kami. Tetapi juga seluruh keluargamu akan tidak lagi mau mengenal kami. Apalagi jika kau bagaikan hilang begitu saja."
Sumbaga yang masih menunduk itu tiba-tiba saja terduduk di pinggir jalan. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Ternyata dari sela-sela jarinya telah mengalir air matanya, sementara Sumbaga mencoba bertahan, tetapi justru isaknya telah mengguncang tubuhnya.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Sumbaga adalah seorang anak muda yang hatinya lemah. Meskipun ia berusaha untuk menjadi seorang laki-laki, tetapi sulit baginya untuk menyembunyikan sifat-sifatnya yang sebenarnya.
Jangkungpun kemudian duduk di sebelahnya. Katanya, "Kau jangan menangis lagi seperti itu. Orang akan mengira kau seorang perempuan. Atau setidak-tidaknya seorang laki-laki tetapi hatinya rapuh. Seharusnya kau mengangkat wajahmu dan menghadapi kenyataan dengan hati yang tegar."
Sumbaga mencoba menahan tangisnya. Tetapi ia tetap tidak dapat menyembunyikan isaknya.
"Baiklah. Marilah kita kembali. Kau akan naik kuda bersamaku," berkata Jangkung.
Sumbaga mengusap matanya. Sekilas dipandanginya Kasadha.
Kasadha masih saja berdiri tegak sambil memegangi kendali kudanya. Ia memang merasa kasihan melihat keadaan Sumbaga. Tetapi ia tentu tidak dapat menolongnya.
"Marilah," ajak Jangkung, "ayah, ibu dan seluruh keluarga kami akan menjadi senang sekali jika kau pulang. Segalanya akan dapat kita bicarakan. Bukankah kita keluarga yang saling terbuka. Katakan apa yang tersimpan dalam hatimu, biarlah ayah dan ibu menanggapinya. Mereka sudah tahu sebagian kecil dari persoalan yang mungkin menggetarkan hatimu. Tetapi yang terbaik adalah apabila kita berbicara dengan terbuka. Kasadhapun bukan orang lain bagi ayah. Ia adalah bawahannya yang akan selalu tunduk pada perintahnya."
Sumbaga seakan-akan justru kehilangan penalarannya. Ia tidak tahu, yang manakah yang terbaik untuk dilakukannya.
Namun ketika Jangkung mendesaknya sekali lagi, Sumbaga tidak menolaknya. Seperti kanak-kanak yang sedang merajuk, Jangkung membimbingnya sambil berkata, "Marilah. Aku akan naik ke punggung kudaku. Nanti kau duduk di belakangku. Kudaku adalah kuda yang sangat baik. Besar dan kuat."
Kepada Kasadha, Jangkung berkata, "Nanti sore saja kita pergi ke hutan. Kau tidak mempunyai pilihan lain, bahwa kau harus bermalam lagi, karena besok kau harus mengawal ayah kembali ke Pajang."
Kasadha memang tidak dapat menolak lagi. Ia tahu bahwa persoalan tentang Sumbaga tidak dapat dibiarkannya begitu saja. Anak muda itu harus mendapat penjelasan apa yang sebaiknya dilakukan. Bagaimana ia harus bersikap terhadap keluarga Ki Rangga Dipayuda. Termasuk anak perempuannya yang bernama Riris.
Demikianlah mereka bertiga kemudian telah menempuh jalan kembali. Kasadha berkuda sendiri di belakang Jangkung yang membawa Sumbaga di punggung kudanya pula.
Namun Jangkung ternyata telah memilih lewat jalan-jalan kecil di antara bentangan sawah yang luas. Ia menghindari padukuhan-padukuhan yang tadi dilewatinya. Bahwa Sumbaga duduk bersamanya di atas punggung seekor kuda akan dapat menarik perhatian kawan-kawannya yang melihatnya.
Bahkan ketika mereka mendekati padukuhan tempat tinggal Ki Rangga, Sumbaga sendiri minta untuk turun dan berjalan kaki saja.
"Anak-anak akan menertawakan kita," berkata Sumbaga.
Jangkung tidak menolak. Iapun kemudian berjalan pula sambil menuntun kudanya. Demikian pula Kasadha.
Sekali lagi mereka melewati jalan di depan pasar. Namun mereka tidak singgah lagi di pasar yang masih cukup ramai itu. Bahkan mereka sama sekali tidak lagi memperhatikan kesibukan orang yang sedang berjual-beli.
Ki Rangga Dipayuda yang sedang duduk di pendapa terkejut melihat Jangkung dan Kasadha kembali justru bersama-sama dengan Sumbaga. Karena itu, maka Ki Rangga Dipayudapun telah bangkit dan menyongsong mereka.
Sikap Ki Rangga itu justru mengejutkan Sumbaga. Tiba-tiba saja ia berhenti dan bahkan akan berlari keluar regol halaman.
Namun dengan cepat Kasadha sempat menangkap lengannya, sehingga Sumbaga tidak lepas keluar dari regol halaman itu.
"Kenapa?" bertanya Jangkung sambil mendekatinya, "bukankah kau setuju untuk berbicara dengan ayah, ibu Riris dan aku. Bahkan dengan Kasadha, anak buah ayah?"
Sumbaga termangu-mangu sejenak. Namun matanya sudah mulai menjadi merah. Tetapi dengan cepat Jangkung berdesis perlahan di telinganya, "Bukankah kau seorang laki-laki."
Sumbaga mengangguk kecil. Sementara Jangkung berkata pula, "Hadapi kenyataan ini dengan ketegaran hati seorang laki-laki. Hatimu tidak rapuh seperti anak-anak yang cengeng."
Sumbaga mengangguk-angguk lagi.
"Marilah," berkata Ki Rangga Dipayuda yang sudah menjadi semakin dekat, "aku memang berharap, bahwa kau akan datang kembali menemui aku Sumbaga."
Sumbaga menundukkan kepalanya. Ki Rangga sendirilah yang kemudian menggandengnya naik ke pendapa.
Demikian mereka duduk di atas tikar pandan putih bergaris-garis biru yang terbentang di pendapa, Ki Rangga Dipayuda bertanya, "Kenapa kau meninggalkan kami begitu saja tanpa memberitahukan lebih dahulu?"
Sumbaga tidak menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang menunduk dalam-dalam.
Namun Jangkunglah yang kemudian berkata, "Aku menjumpainya di bulak menuju ke hutan. Aku minta Kakang Sumbaga untuk pulang dan berbicara dengan terbuka. Mungkin ibu dan Riris dapat ikut berbicara sehingga persoalannya akan menjadi tuntas."
"Tidak. Tidak," tiba-tiba saja Sumbaga berdesis. Tetapi suaranya terdesak oleh isaknya.
"Kau tidak akan menangis Kakang," Jangkung memang harus menyabarkan dirinya. Ia memang menjadi jengkel atas sikap Sumbaga yang dinilainya cengeng itu. Tetapi ia tidak dapat membuat hati anak muda itu semakin sakit.
Sumbaga memang bertahan untuk tidak benar-benar menangis seperti perempuan. Meskipun air matanya mulai menitik.
Tetapi Ki Rangga Dipayuda justru berkata, "Jika kau memang ingin menangis Sumbaga, menangislah. Aku tahu, bahwa ada sesuatu yang menghentak-hentak di dadamu, namun terasa sulit sekali untuk mengungkapkannya. Itulah agaknya, maka kau memilih pergi dari rumah ini. Tetapi jika dengan menangis hatimu menjadi lapang, menangislah. Aku yakin, bahwa kau tidak akan menangis seandainya kau diikat pada sebuah tiang dan dilecut dengan cambuk. Tetapi wadagmu. Tubuhmu. Kau tentu akan bertahan dan bahkan mungkin kau masih sempat tersenyum atau mengumpat. Tetapi nampaknya kau merasa bahwa hatimulah yang dicambuk sehingga luka parah. Karena itu, maka kau menangis."
Jantung Sumbaga bagaikan meledak mendengar kata-kata Ki Rangga Dipayuda. Tetapi ia justru mampu menahan tangisnya, sehingga air matanya tidak lagi meleleh di pipinya.
"Aku sudah tahu apa yang terjadi atasmu," berkata Ki Rangga Dipayuda, "karena itu, maka aku dan bibimu ingin berbicara denganmu. Kami sangat menyesal ketika kami mengetahui bahwa kau telah meninggalkan rumah ini tanpa memberitahukan kepada siapapun juga. Karena itu, kami merasa sangat bergembira ketika kau telah kembali apapun sebabnya."
Sumbaga tidak menyahut sama sekali. Bahkan kepalanya menjadi semakin dalam menunduk.
"Duduklah," berkata Ki Rangga Dipayuda, "biar bibimu ikut duduk disini."
Sumbaga masih menunduk saja. Sementara Ki Rangga berkata kepada Jangkung, "panggil ibumu."
Jangkungpun bergeser dan kemudian bangkit untuk memanggil ibunya di belakang.
Nyi Ranggapun merasa gembira ketika ia mendengar Sumbaga pulang. Demikian pula Riris meskipun tidak nampak tersirat di wajahnya. Setidak-tidaknya Riris akan mendapat kesempatan untuk menjelaskan perasaannya kepada Sumbaga.
Ketika Nyi Rangga telah berada di pendapa pula, maka Ki Ranggapun berkata, "Jangkung dan Kasadha. Aku minta kalian tinggalkan kami. Tanpa kalian, Sumbaga akan dapat berbicara lebih leluasa."
Jangkung mengerutkan dahinya. Sumbaga telah bersedia untuk berbicara dengan terbuka, sehingga sebenarnya ia tidak perlu meninggalkan pendapa.
Tetapi Kasadha telah beringsut dan menggamitnya, sehingga Jangkungpun kemudian telah bangkit pula dan meninggalkan kedua orang tuanya yang duduk dihadap oleh Sumbaga.
"Ngger Sumbaga," berkata Nyi Rangga kemudian, "kenapa kau tiba-tiba saja telah meninggalkan kami. Apapun yang bergejolak di dalam hatimu, bukankah sebaiknya kau bicarakan dengan kami. Aku dan pamanmu, yang menganggap kau sebagai anak sendiri."
Terasa wajah Sumbaga menjadi panas. Dengan suara sendat ia menjawab, "Aku tidak pantas tinggal di rumah paman dan bibi. Aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar."
"Tidak Sumbaga," berkata Ki Rangga, "kau tidak bersalah. Tentu bukan maksudmu, bahwa perasaanmu telah berkembang sebagaimana yang kau alami. Bahkan kaupun tentu merasa tersiksa pula karenanya. Aku kira kau akan merasa lebih senang jika perasaanmu tidak tumbuh sebagaimana yang kau alami sekarang."
Sumbaga menundukkan kepalanya semakin dalam. Sementara Nyi Ranggapun berkata, "Sumbaga. Sebaiknya kau mau berpikir dengan tenang. Kau harus mempergunakan nalarmu. Bukan sekedar perasaanmu. Kau tahu, bahwa adikmu, Riris, menganggapmu sebagai kakak kandungnya. Karena itu, maka sudah tentu bahwa ia menyayangimu. Tetapi sikapnya tidak akan lebih dari sikap seorang adik kepada kakaknya."
Sumbaga mengangguk-angguk. Tetapi dadanya telah menjadi sesak kembali. Isaknya mulai menghentak-hentak di dadanya, sehingga rasa-rasanya dadanya telah tersumbat.
"Menangislah Sumbaga," berkata Ki Rangga, "aku tidak berkeberatan."
"Aku mohon maaf Bibi. Aku mohon maaf," tangis Sumbaga.
"Seperti kata pamanmu, kau tidak bersalah," berkata Nyi Rangga.
"Tetapi aku sudah berlaku kasar terhadap tamu-tamu paman disini. Aku benar-benar seperti orang yang kehilangan nalar, sehingga aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan," berkata Sumbaga di sela-sela isaknya.
"Sudahlah," berkata Nyi Rangga yang matanya ikut menjadi kemerah-merahan, "kita akan dapat melupakannya. Aku harap bahwa kau tidak lagi berlaku kasar terhadap tamu-tamu paman. Kesadaranmu yang mengatakan hal itu adalah pertanda bahwa nalarmu telah terbuka."
"Bibi, aku takut, bahwa pada suatu saat aku tidak dapat mengendalikan diri lagi terhadap tamu-tamu paman dan apalagi tamu-tamu Riris. Aku benar-benar menjadi seperti orang gila. Dan dalam saat-saat seperti ini aku sempat menyadarinya. Tetapi aku tidak tahu apakah kesadaran itu akan tetap dapat aku pertahankan setiap kejap mataku," berkata Sumbaga yang masih saja disertai isaknya yang tertahan-tahan.
"Kenapa tidak?" desis Ki Rangga, "seseorang yang mengerti bahwa ia telah bertindak salah, maka ia tidak akan mengulanginya. Apalagi kekasaranmu terhadap tamu-tamuku itu sudah kami ketahui pula sebabnya dan hal itu kau sadari pula."
"Tetapi aku takut paman. Aku selalu takut melihat bayanganku sendiri. Bayangan yang hitam yang kadang-kadang membesar seakan-akan siap mencengkamku dalam kekelamannya," jawab Sumbaga. Lalu katanya, "Karena itu, maka aku lebih baik mohon diri saja paman. Aku akan pergi."
"Sumbaga," berkata Nyi Rangga, "ketika kami berniat mengajakmu kemari, sudah tentu kami sama sekali tidak membayangkan, bahwa kau akan demikian cepatnya meninggalkan kami. Karena itu, aku minta kau mempertimbangkannya lagi."
Sumbaga terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara itu Ki Rangga berkata, "Sumbaga. Aku minta kau tetap berada di rumah ini. Besok aku harus kembali ke Pajang. Sementara itu Jangkung akan sibuk dengan pekerjaannya yang tidak mengenal waktu. Kadang-kadang ia memang tidak pergi sama sekali. Bahkan sampai dua tiga hari. Tetapi kemudian selama sepekan hampir tidak berada di rumah kecuali malam hari. Karena itu maka kehadiranmu disini penting sekali. Kecuali ikut menjaga adikmu Riris, juga mengatur orang-orang yang bekerja di sawah. Pekerjaan jangan sampai terbengkalai. Namun imbalan bagi mereka juga jangan sampai sendat. Termasuk makan dan minum mereka siang hari selama mereka bekerja di sawah."
"Tetapi...," desis Sumbaga.
"Sudahlah," potong Ki Rangga, "kita lupakan apa yang pernah terjadi. Kita mulai dari lembaran baru. Meskipun demikian kita wajib mengingat bahwa kita tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah kita lakukan."
Sumbaga tidak menjawab. Sementara itu Nyi Rangga berkata, "Ingat. Kau bagi kami tidak berbeda sama sekali dengan Jangkung dan Riris."
Sumbaga menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya iapun mengangguk kecil sambil berkata, "Jika paman dan bibi mengampuni aku, maka aku akan bersedia kembali ke rumah ini."
"Bukankah sudah aku katakan, kita lupakan semuanya. Kita lupakan namun harus selalu kita ingat, untuk tidak terulang kembali," berkata Ki Rangga.
Sumbaga mengerutkan dahinya. Sementara Nyi Rangga berkata, "Kenapa harus mempergunakan kalimat yang berbelit" Nampaknya Sumbaga justru menjadi bingung."
Ki Rangga tersenyum. Katanya, "Maksudku, kita tidak akan mempersoalkannya lagi. Kita melupakannya. Atau dengan kata lain, kita memaafkan kesalahan yang pernah terjadi. Tetapi kita berharap bahwa kesalahan itu tidak akan pernah dilakukan lagi."
"Ya, ya," desis Nyi Rangga, "begitulah maksud pamanmu Sumbaga."
Sumbaga mengangguk kecil sambil menyahut, "Aku mengerti bibi."
"Nah, jika demikian kembalilah ke bilikmu. Aku justru berharap bahwa kau akan menjadi kawan yang baik dari Ki Lurah Kasadha. Juga menjadi kawan yang baik jika Bharata datang kemari," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Wajah Sumbaga menjadi merah. Namun iapun kemudian telah mengangguk.
"Baiklah," berkata Nyi Rangga, "kembalilah ke bilikmu."
Sumbagapun kemudian beringsut dan bangkit meninggalkan tempat itu. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke biliknya, di bagian belakang gandok sebelah kanan.
Jangkung dan Kasadha melihat Sumbaga turun dari pendapa. Tetapi Jangkung menarik nafas panjang ketika ia melihat Sumbaga memasuki seketheng menuju ke biliknya.
"Ayah dan ibu tentu telah meyakinkannya, bahwa sebaiknya ia tinggal di rumah ini," berkata Jangkung.
Namun hampir di luar sadarnya Kasadhapun bertanya, "Bagaimana dengan Riris. Apakah anak muda itu tidak berbahaya bagi adikmu?"
Sebenarnyalah pertanyaan yang sama telah dilontarkan pula oleh Nyi Rangga, meskipun dengan gaya yang berbeda. Dengan nada rendah Nyi Rangga bertanya kepada Ki Rangga, "Apakah Sumbaga tidak akan berbuat apa-apa terhadap Riris?"
"Tidak," jawab Ki Rangga, "anak muda seperti Sumbaga itu, tidak akan berani melanggar janjinya sendiri. Hatinya terlalu lembut. Atau katakanlah dengan istilah lain, hatinya terlalu lemah. Tetapi bukan mustahil bahwa anak-anak yang berhati lemah pada suatu saat menjadi gila dan kehilangan akal. Karena itu, maka kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita harus terbuka di hadapan Riris, agar iapun berhati-hati."
Sementara itu, Jangkungpun menjawab pertanyaan Kasadha dengan jawaban yang serupa, "Aku yakin, bahwa Sumbaga yang hatinya sebenarnya rapuh itu tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Apalagi jika ayah dan ibu mengancamnya."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia menjawab, "Mudah-mudahan penglihatanku benar."
"Aku yakin," jawab Jangkung.
Sedangkan di pendapa Nyi Rangga masih duduk termangu-mangu. Sekali-sekali nampak kepalanya terangguk-angguk. Namun nampaknya tidak begitu sejalan dengan perasaannya. Beberapa kali nampak dahinya berkerut. Namun kemudian ternyata angan-angannya terjulur ke arah yang sama dengan angan-angan Riris sendiri.
Hampir di luar sadarnya Nyi Rangga berdesis, "Kali ini Sumbaga menjadi kecewa. Namun nampaknya anak itu masih dapat mencapai keseimbangan jiwanya setelah terhempas pada kebingungan yang hampir tidak teratasi. Namun bagaimana jika pada suatu saat terjadi sesuatu yang lebih menggelisahkan lagi."
"Apakah yang kau maksud?" bertanya Ki Rangga.
Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke pintu. Baru kemudian ia berkata, "Aku senang sekali mendapat kunjungan Angger Kasadha dan Angger Bharata. Tetapi apakah Ki Lurah tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka dengan Riris pada suatu waktu akan bergeser?"
"Maksudmu?" bertanya Ki Rangga mendesak.
"Seharusnya Ki Lurah mulai memikirkannya. Riris tentu akan menjadi gelisah jika kedua anak muda itu menaruh hati kepadanya," desis Nyi Rangga.
Ki Rangga mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa pendek. Katanya, "Kita jangan terlalu berbangga dengan anak gadis kita. Belum tentu keduanya atau bahkan salah satu di antaranya memperhatikan gadis kita dengan pandangan seorang anak muda. Mungkin mereka terikat oleh unggah-ungguh karena gadis itu anakku. Anak atasannya. Bagi Bharata, akupun masih dihormati sebagai atasannya meskipun sekedar bekas."
"Kita tidak akan merasa sakit hati jika keduanya sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap anak gadis kita Ki Lurah. Tetapi jika hal itu terjadi, apakah kita dan terutama Riris sudah siap menghadapinya?" bertanya Nyi Rangga.
"Untuk sementara kita tidak usah menjadi gelisah karena itu," berkata Ki Rangga, "apalagi keduanya jarang sekali bertemu dengan Riris. Bahkan mungkin Riris sudah berhubungan dengan anak muda di padukuhan ini atau kawan Jangkung yang lain," Ki Rangga berhenti sejenak. Namun katanya kemudian, "Tetapi sebaiknya kita berbicara dengan Jangkung. Agaknya ia banyak mengetahui persoalan yang kita bicarakan ini."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah Ki Lurah, Nanti, pada satu kesempatan tersendiri kita berbicara dengan Jangkung. Bahkan jika perlu kita berbicara dengan Riris."
"Ah, jangan tergesa-gesa. Jika selama ini Riris belum memikirkan sama sekali persoalan ini, atau bahkan seperti yang aku katakan, gadis kita itu sudah berhubungan dengan kawan Jangkung atau anak muda yang lain yang belum dapat dikatakan kepada kita, maka hal itu akan dapat menggelisahkannya," jawab Ki Rangga.
"Tetapi itu lebih baik daripada tiba-tiba saja ia dihadapkan pada persoalan itu," desis Nyi Rangga.
Namun sambil mengangguk-angguk kecil Ki Rangga berkata, "Aku masih memikirkan kemungkinan lain. Seandainya karena itu Riris justru berharap, sementara keduanya sama sekali tidak menaruh perhatian, apakah kita tidak akan turut bersedih."
Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit, dari mana harus dimulai. Tetapi perasaan seorang ibu ternyata lebih tajam terhadap anak gadisnya dari seorang ayah. Apalagi Riris memang lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya yang bertugas sebagai seorang prajurit.
Namun Nyi Rangga tidak memaksakan kehendaknya. Ia memang ingin memastikan, bahwa anak gadisnya tidak justru terdorong untuk memperhatikan anak-anak muda itu atau seorang di antaranya lebih dahulu.
Namun dalam pada itu, Riris yang mengetahui bahwa Sumbaga telah berada di biliknya, telah langsung menemuinya. Dengan lembut Riris menjelaskan sikapnya kepada Sumbaga.
"Kau bagiku tidak kurang dari Kakang Jangkung. Karena itu aku memang mengasihimu sebagai aku mengasihi Kakang Jangkung. Aku mohon, Kakang Sumbaga dapat mengerti," berkata Riris.
Sumbaga mengangguk-angguk. Ia seakan-akan tidak sedang berhadapan dengan seorang gadis yang pernah dicintainya. Tetapi ia merasa berhadapan dengan seorang perempuan yang pantas memberinya nasehat.
"Aku minta maaf kepadamu Kakang. Tetapi ini adalah kenyataanku, sehingga aku tidak dapat merubah sikap dan perasaanku terhadap Kakang dengan sikap dan perasaan yang lain. Kau bagiku adalah Kakang kandungku," berkata Riris kemudian.
Sumbaga yang menunduk itu tiba-tiba telah terisak kembali. Memang agak mengherankan, bahwa justru Sumbagalah yang terisak-isak di depan seorang gadis. Namun Riris yang semula nampak tegar, akhirnya matanya menjadi basah juga.
"Sudahlah Kakang," berkata Riris, "tempatkan dirimu disini sebagaimana Kakang Jangkung. Kau akan menjadi terbiasa dan kau akan menganggap aku sebagai adikmu sendiri. Aku memang bukan orang lain bagimu Kakang."
Sumbaga mengangguk-angguk. Di sela-sela isaknya ia berkata, "Aku minta maaf kepadamu Riris."
"Bukan kau Kakang, akulah yang minta maaf kepadamu. Selanjutnya, kita akan melupakan bahwa pada suatu saat, hubungan kita sebagai kakak beradik agak terganggu," berkata Riris sambil mengusap matanya.
Sumbaga mengangguk-angguk kecil, ia berusaha untuk menahan isaknya yang terasa justru mendesak.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Riris tidak terlalu lama menemuinya. Sejenak kemudian gadis itupun berkata, "Sudahlah Kakang. Aku akan berbicara dengan ayah dan ibu."
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada ayah dan ibunya, Ki Rangga dan Nyi Rangga menjadi berdebar-debar. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Ternyata kau sudah benar-benar dewasa Riris. Kami memang ingin berbicara denganmu tentang kakakmu Sumbaga. Tetapi kau sudah langsung menemui dan berbicara dengannya."
"Aku hanya ingin Kakang Sumbaga mengetahui perasaanku yang sebenarnya ayah," jawab Riris.
"Baiklah. Agaknya keterbukaan hatimu itu akan memberikan pengertian kepadanya dan mendapat tanggapan yang baik," berkata Ki Rangga kemudian.
"Nampaknya memang demikian ayah. Kakang Sumbaga dapat mengerti," jawab Riris.
Ketika Riris kemudian pergi ke dapur, maka Ki Rangga dan Nyi Rangga telah memanggil Jangkung yang sudah bersiap-siap untuk pergi ke hutan di ujung Kademangan itu bersama Kasadha.
"Kau akan pergi kemana?" bertanya Ki Rangga ketika Jangkung datang menemuinya.
"Tadi kami belum jadi pergi ke hutan ayah," jawab Jangkung.
"Apa yang sebenarnya menarik hatimu untuk membawa Kasadha pergi ke hutan itu?" bertanya Ki Rangga.
"Tidak ada apa-apa. Tetapi bukankah dengan demikian Kasadha akan tertahan disini. Biarlah besok ia kembali ke Pajang bersama ayah," jawab Jangkung.
Ki Rangga tersenyum. Tetapi ia bertanya, "Dimana Kasadha sekarang?"
"Ia menunggu di serambi gandok. Ia tahu bahwa ayah dan ibu agaknya akan berbicara tentang Sumbaga, sehingga ia tidak ikut datang menemui ayah dan ibu," jawab Jangkung.
"Baiklah. Jika demikian kita akan berbicara malam nanti saja. Riris sendiri justru sudah menemui Sumbaga dan berbicara dengan berterus-terang tentang sikap dan perasaannya terhadap Sumbaga. Nampaknya Sumbaga dapat mengerti betapapun pahitnya kenyataan itu," desis ayahnya.
"Jadi Riris sendiri telah berbicara langsung?" bertanya Jangkung.
"Ya. Aku juga tidak mengira bahwa anak itu dapat melakukannya. Nampaknya usia dewasanya telah banyak mempengaruhi sikap jiwanya," desis ibunya.
Jangkung mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, "Tetapi Riris termasuk seorang gadis pemalu. Aku tidak mengira bahwa ia dapat berbicara langsung dengan Sumbaga. Mungkin justru karena ia merasa bahwa Sumbaga itu saudaranya. Keikhlasannya menganggap Sumbaga itu sebagaimana saudara kandung sendiri telah membuatnya mempunyai keberanian untuk berbicara."
Ayah dan ibunya mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Nanti malam kita dapat berbicara lebih luas tentang Riris."
Jangkungpun kemudian telah minta diri. Kasadha yang masih duduk di serambi mengerutkan dahinya sambil bertanya, "Begitu cepatnya?"
"Tidak banyak yang ayah dan ibu katakan. Nampaknya mereka akan berbicara langsung dengan Riris," jawab Jangkung, Kemudian katanya, "Marilah. Kita akan melihat-lihat isi Kademangan ini. Kau harus menghabiskan waktumu disini agar kau tidak berpikir untuk kembali ke Pajang."
Kasadha tersenyum. Namun ia memang tidak akan kembali ke Pajang hari itu.
Untuk beberapa lama keduanya berkuda melintasi jalan-jalan bulak. Jangkung telah membawa Kasadha melalui jalan lain, agar kawan-kawannya yang tadi melihatnya lewat tidak merasa heran bahwa ia telah lewat lagi bersama orang itu juga.
Sebelum senja turun, keduanya telah berada di rumah kembali. Setelah mandi dan membenahi diri, maka keduanya duduk di serambi sambil meneguk minuman hangat. Ketika Riris menghidangkan minuman dan makanan, Jangkung tidak lagi mengganggunya. Apalagi sikap Ririspun rasa-rasanya sudah berubah, ia bukan lagi seorang gadis kecil yang manja. Tetapi juga sikapnya.
Untuk beberapa lama Jangkung masih saja berada di serambi gandok. Ketika lampu dinyalakan, maka keduanya telah dipanggil untuk masuk ke ruang dalam. Ki Rangga Dipayuda, Nyi Rangga dan Riris sudah duduk lebih dahulu di ruang itu. Ternyata di ruang dalam juga telah tersedia minuman panas dan makanan.
Beberapa saat mereka bercakap-cakap. Sementara Jangkung bertanya, "Apakah ayah tidak memanggil Kakang Sumbaga?"
"Aku sudah minta agar ia masuk. Tetapi mungkin masih ada gejolak di dalam hatinya, sehingga anak itu tidak mau datang," jawab Ki Rangga.
"Apakah sekali lagi aku memanggilnya?" bertanya Jangkung.
Ki Rangga Dipayuda menggeleng. Katanya, "Tidak usah. Biarlah ia mendapatkan ketenangan dahulu."
Jangkung mengangguk kecil.
Beberapa saat kemudian, maka Riris telah pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam mereka. Namun Riris tidak lupa menyediakan makan malam bagi Sumbaga sebagaimana selalu dilakukan sebelumnya.
Baru setelah makan malam dan berbincang-bincang sejenak, maka Kasadha telah dipersilahkan untuk beristirahat di biliknya, sementara Ki Rangga dan Nyi Rangga masih akan berbicara di ruang dalam. Adapun Riris berada di dapur untuk mencuci mangkuk dan alat-alat dapur yang masih kotor dibantu oleh seorang perempuan yang sudah separo baya yang memang bekerja di rumah itu. Namun Riris bukanlah seorang gadis yang malas, yang menyerahkan segala pekerjaan kepada ibu dan pembantu-pembantunya. Tetapi Riris juga melakukannya sebagaimana ibunya.
Di ruang dalam Ki Rangga dan Nyi Rangga mulai mempertanyakan tanggapan Jangkung tentang adik perempuannya. Apakah Jangkung melihat atau merasakan hubungan yang lain antara Riris dengan Kasadha dan Bharata.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, "Sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Nampaknya sikap mereka wajar-wajar saja. Tetapi untuk mengatakan tidak ada apa-apa sama sekali juga tidak tepat."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin memang masih terlalu sulit untuk menjajaginya karena hubungan mereka yang jarang dan belum terlalu lama."
"Tetapi sikap Riris kepada keduanya nampaknya sama sekali tidak berbeda," berkata Jangkung.
"Justru itulah yang membuat kami, orang-orang tua ini, berpikir. Kau lihat sendiri, akibat dari perasaan yang tumbuh di hati Sumbaga. Seseorang yang sedang dicengkam oleh perasaan seperti itu, maka rasa-rasanya matanya menjadi gelap. Dalam ceritera dan dongeng-dongeng kita pernah mendengar bahwa persoalan antara laki-laki dan perempuan dapat membuat hitam menjadi putih, tetapi juga putih menjadi hitam," berkata Ki Rangga.
Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Ayah dan ibu mencemaskan hubungan antara Kasadha dan Bharata yang sampai sekarang terjalin sangat baik itu akan dapat retak karena Riris."
"Mungkin hanya semacam ketakutan yang tidak berdasar. Mungkin Kasadha dan Bharata sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Riris," sahut Ki Rangga.
Jangkung mengangguk-angguk kecil. Ia dapat mengerti perasaan kedua orang tuanya. Namun katanya kemudian, "Aku akan mencoba untuk mengikuti perkembangan hubungan mereka."
"Baiklah," berkata Ki Rangga, "Mudah-mudahan yang dicemaskan itu tidak terjadi."
"Aku juga berharap demikian ayah," jawab Jangkung.
Namun dalam pada itu Nyi Ranggapun berkata, "Tetapi bagaimana dengan kau sendiri Jangkung" Kau sudah dewasa penuh sekarang. Seharusnya kau mulai berbicara tentang seorang gadis. Ayahmu dan aku semakin lama akan menjadi semakin tua. Sementara itu masih belum ada seorang cucupun yang dapat kami timang."
"Ah. Ibu selalu berbelok kesana. Apapun yang kita bicarakan, akhirnya ibu tentu bermuara pada pertanyaan seperti itu," desis Jangkung.
Namun ayahnya cepat menjawab, "Bukankah itu wajar Jangkung. Tugasku yang diperpanjang ini tentu tidak akan berbilang sebanyak jari sebelah tangan. Jika dua atau tiga tahun lagi aku sudah diperkenankan untuk beristirahat lagi, maka akupun berharap ada seorang cucu yang dapat menemaniku mengisi waktu-waktuku yang luang."
"Ah, sudahlah. Jika sampai kesana, maka sebaiknya aku menemani Kasadha yang sendiri di biliknya," berkata Jangkung.
"Biarlah ia beristirahat," berkata Nyi Rangga.
"Ia tentu tidak dapat segera tidur," berkata Jangkung.
"Tetapi dengarlah kata-kata ayahmu dan kata-kataku, Jangkung. Kau sudah cukup dewasa. Kaupun sudah memiliki lapangan tersendiri untuk menunjang hidupmu kelak. Kaupun akan mewarisi sawah dan ladang ayahmu. Apa lagi yang harus ditunggu?" berkata ibunya.
"Baiklah ibu," jawab Jangkung, "mulai besok aku akan memilih seorang di antara kawan-kawan gadisku. Tetapi tentu dengan syarat, aku harus mengulangi lagi, karena aku tidak mau menjadi kehilangan pegangan seperti Sumbaga."
"Sudah berapa kali aku mendengar jawaban seperti itu, Jangkung," berkata ibunya, "Yang belum hanyalah keteranganmu yang terakhir."
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh."
Jika sudah sampai ke jawaban itu, maka ibu dan ayahnya selalu harus diam, karena Jangkung tentu akan segera pergi. Apalagi saat itu ia mempunyai alasan untuk menemani Kasadha, sehingga ayah dan ibunya tidak menahannya lebih lama lagi.
Riris sendiri masih menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Diaturnya mangkuk-mangkuk yang telah dicuci di paga bambu di sudut dapur. Kemudian dibenahinya perapian dan alat-alat dapur yang lain. Menyimpan sisa makan dan lauk-pauknya di gledeg setelah dipanasi.
Ketika Riris kemudian masuk ke ruang dalam, yang ditemuinya hanya ayah dan ibunya saja. Ririspun tidak menanyakan kakaknya, karena ia tahu, Jangkung tentu berada di gandok bersama Kasadha.
Ketika kemudian Riris duduk bersama ayah dan ibunya, mereka tidak lagi berbicara tentang Kasadha dan Bharata. Tetapi mereka masih juga berbicara tentang Sumbaga. Ki Rangga dan Nyi Rangga masih memperingatkan agar Riris tetap berhati-hati meskipun menurut pendapat gadis itu, Sumbaga dapat mengerti penjelasan yang diberikan meskipun kenyataan itu sangat menyakitkan hatinya.
"Baiklah ayah," berkata Riris kemudian, "namun mudah-mudahan Kakang Sumbaga telah benar-benar berubah. Untunglah bahwa perlakuan kasar Kakang Sumbaga tertuju kepada Kakang Kasadha dan Kakang Bharata yang kedua-duanya mampu menahan diri sehingga Kakang Sumbaga tidak mengalami kesulitan yang tidak teratasi."
Ki Rangga dan Nyi Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Kita semua berharap, agar Sumbaga benar-benar berubah."
Setelah berbincang-bincang lama, maka Ki Ranggapun kemudian berkata, "Sudahlah. Aku akan beristirahat. Besok aku kembali ke Pajang. Waktu istirahatku telah habis. Aku juga harus mempertanggung-jawabkan kelambatan Kasadha kembali ke pasukannya."
"Tetapi bukankah hal itu tidak akan menjadi persoalan?" bertanya Riris.
"Tidak. Tidak apa-apa. Apalagi Kasadha baru saja menunjukkan bahwa ia adalah seorang prajurit yang baik," jawab Ki Rangga sambil tersenyum.
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Ranggapun telah berada di biliknya bersama Nyi Rangga, sementara Riris juga pergi ke biliknya pula. Namun Ki Rangga berkata, "Biarlah pintu butulan sebelah kiri tidak diselarak. Jangkung masih ada di gandok."
Namun hampir di luar sadarnya, di dalam biliknya Ki Rangga itu berkata, "Kasadha dan Bharata adalah dua orang yang memiliki banyak kesamaan. Keduanya adalah prajurit yang berani, tangguh dan berkemampuan tinggi. Bertanggung jawab namun bukan pendendam. Memang sulit untuk memilih satu di antara dua. Namun aku dapat melihat perbedaan di antara keduanya."
Nyi Rangga mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya pula ia bertanya, "Apakah perbedaan itu?"
"Aku merasa lebih dekat dengan Kasadha. Setiap hari aku bertemu, berbicara dan berbincang tentang banyak hal. Ia selalu patuh akan perintahku, karena kebetulan ia adalah anak buahku," berkata Ki Rangga kemudian.
Nyi Rangga tidak menyahut. Ia mengerti pendapat Ki Rangga. Sementara Bharata berada di tempat yang jauh. Ki Rangga tidak melihat perkembangan pribadinya. Apalagi jika nanti Bharata telah di wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan. Meskipun melihat pribadi Bharata yang mantap itu agaknya sulit untuk berubah, namun seseorang memang mungkin sekali berubah oleh pengaruh keadaan di luar atau di dalam dirinya.
Untuk beberapa saat Nyi Rangga masih saja duduk merenung sementara Ki Rangga sudah berbaring. Tetapi matanya masih saja terbuka menatap rusuk-rusuk atap rumahnya yang bagaikan membeku di malam yang mulai dingin untuk beberapa lama. Namun iapun segera tertidur nyenyak.
Namun Jangkung masih saja berada di bilik Kasadha. Keduanya masih berbicara tentang berbagai masalah yang menyangkut anak-anak muda. Keduanya memang berdiri di sisi yang berlainan karena Kasadha adalah seorang prajurit, tetapi ia sendiri bukan seorang prajurit.
Sebagaimana dikatakan oleh ayahnya, bahwa pengabdian itu tidak memilih jalan dan padang. Dimanapun seseorang akan dapat memberikan pengabdian kepada negerinya dengan tulus.
Ternyata Kasadhapun bersikap seperti ayah Jangkung. Perbedaan sisi tempat mereka berpijak adalah sekedar landasan pengabdian yang sama-sama mereka berikan.
Baru lewat tengah malam Jangkung kemudian meninggalkan bilik Kasadha sambil berkata, "Besok kau terkantuk-kantuk di jalan."
Kasadha tersenyum. Katanya, "Masih banyak waktu untuk beristirahat. Bukankah sekarang belum pagi?"
Jangkungpun tersenyum. Katanya, "Aku sudah mengantuk."
Demikianlah Jangkung kemudian telah meninggalkan Kasadha sendiri. Ketika ia membuka pintu yang belum diselarak, maka Nyi Rangga yang belum dapat tidur telah keluar pula dari biliknya untuk melihat, apakah benar-benar Jangkung yang telah membuka pintu.
"Aku ibu," desis Jangkung ketika ia melihat ibunya keluar dari biliknya.
"O," desis ibunya, "kau baru meninggalkan Angger Kasadha?"
"Ya ibu," jawab Jangkung.
"Ia memerlukan beristirahat lebih banyak. Besok ia akan kembali ke Pajang," berkata ibunya.
"Bukankah Kasadha akan kembali bersama ayah?" bertanya Jangkung.
"Ya," jawab ibunya.
"Dimana ayah sekarang?" bertanya Jangkung pula.
"Sudah tidur," jawab ibunya.
Jangkung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia memandang pintu bilik Riris. Dengan isyarat ia bertanya, apakah adiknya itu ada di dalam.
"Nampaknya ia sudah tidur," jawab ibunya.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati ibunya Jangkung berkata perlahan, "Jika benar ia berdiri di jalan simpang, maka ia akan mendapat kesulitan. Kasadha dan Bharata memang memiliki banyak persamaan. Bukan hanya ujudnya, tetapi juga sikap dan bahkan pandangan hidupnya."
Nyi Rangga mengangguk. Katanya, "Ayahmu juga berkata demikian."
"Apakah ayah mengatakan, yang mana yang lebih baik dari keduanya?" bertanya Jangkung hampir berbisik.
Nyi Rangga menggeleng. Tetapi iapun kemudian berdesis, "Bagi ayahmu, Kasadha memiliki kelebihan."
"Apa kelebihannya?" bertanya Jangkung.
"Kasadha adalah anak buah ayah. Ayahmu mengenal Kasadha seperti mengenal kau. Setiap hari mereka bertemu, berbicara dan merundingkan banyak hal," jawab ibunya.
"Itu terlalu pribadi. Bukan secara umum. Bagaimana kelak jika ayah tidak lagi menjadi prajurit?" bertanya Jangkung sambil sekali-sekali memandang pintu bilik adiknya.
"Itulah pendapat ayahmu. Kenapa?" bertanya ibunya.
"Aku mempunyai perhitungan lain. Bharata bukan seorang prajurit. Tetapi ia memiliki kelebihan sebagai seorang prajurit yang dapat ditrapkan dalam tugas-tugasnya sebagai Kepala sebuah Tanah Perdikan yang besar. Ia mempunyai pandangan yang tentu harus menyeluruh atas rakyat di Tanah Perdikannya, termasuk para pengawal Tanah Perdikan yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai prajurit di Tanah Perdikan itu," sahut Kasadha.
"Apakah itu artinya kau sudah mulai memilih?" bertanya ibunya.
Jangkung mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian menggeleng. Katanya, "Tidak. Semuanya adalah wewenang Riris."
Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Namun sambil melangkah mendekati anak laki-lakinya Nyi Rangga bertanya, "Jangkung. Semuanya memang wewenang Riris. Tetapi jika adikmu itu mengalami kesulitan, bukankah kita wajib memberikan pertimbangan. Bahkan kita dapat mendesaknya dengan alasan-alasan tertentu. Meskipun segala sesuatunya terserah kepada Riris untuk mengambil keputusan akhir."
"Sudahlah ibu. Kita jangan terburu-buru digelisahkan oleh sesuatu yang belum pasti. Baik Kasadha maupun Bharata belum tentu menaruh hati kepada Riris. Biarlah kita tidak usah memikirkannya sekarang," desis Jangkung.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 4 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Meet Sennas 2
^