Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16


Pedang Sabungsari itu telah terlepas dari tangannya, terlempar beberapa langkah dari kakinya.
Ketika berniat memungut pedangnya, Sela Antep telah berdiri selangkah dari senjatanya itu sambil menggenggam tongkat batang besi sambil tertawa. Disela-sela derai tertawanya Sela Antep itupun berkata " Nah, sekarang siapakah yang berhak tertawa di paling akhir " Apakah kaiimasih akan mentertawakan namaku dan berkata, bahwa aku tidak pantas mempergunakan nama itu " Apakau kau masih berpendapat bahwa namaku lebih baik diganti dengan Watu Kambang " -
Sabungsari berdiri termangu-mangu. Selangkah ia bergeser surut. Ia tidak mungkin lagi menggapai pedangnya. Jika ia mencobanya juga, maka tongkat besi di tangan Sela Antep itu akan terayun ke ubun-ubunnya dan memecahkan kepalanya.
" Sekarang menyerah sajalah - berkata Sela Antep ~ apapun yang kau lakukan, kau akan mati. Karena itu, sebaiknya kau memilih saja jalan terbaik untuk mati. - ,
Sabungsari berdiri memaatung. Sekali-kali di pandanginya pedangnya yang kemudian justru telah diinjak oleh Sela Antep dengan kaki kirinya.
Sambil mengayun-ayunkan tongkat besinya Sela Antep berkata pula - Cepat .katakan. Kau ingin mati dengan cepat atau lambat " -
Sabungsari berdiri tegak sambil memandang Sela Antep dengan tajamnya. Mata Sela Antep itu dimata Sabungsari bagaikan mata seekor harimau'yang melihat seekor kijang yang sudah tidak mampu lagi mengayunkan kakinya untuk lari. Karena itu, maka Sela Antep itupun telah mempersiapkan diri untuk melibat sambil mengayunkan tongkatnya kekepala Sabungsari.
Namun Sela Antep itu masih berkata - Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Kesombonganmu telah menjeratmu ke dalam kematian. "
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ketika ia melihat Sela Antep siap untuk menloncat, maka Sabungsaripun telah bersiap pula.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Sela Anteppun telah mengambil ancang-ancang. Tongkatnya mulai berputar.
Dengan lantang Sela Antep itupun telah berteriak pula ~ Terimalah nasibmu, anak iblis. Kepalamu akan pecah oleh tongkatku ini. --
Demikianlah mulutnya terkatub, maka Sela Antep itupun telah meloncat sambil mengayunkan tongkat besinya.
Tetapi pada saat itu pula. Sabungsaripun telah melepaskan ilmunya. Ia tidak saja memandang Sela Antep dengan tajamnya. Tetapi tiba-tiba saja dari sorot matanya telah memancar cahaya yang dilontarkan oleh ilmunya yang jarang ada duanya.
Sela Antep terkejut. Tetapi tubuhnya sudah melayang. Tongkatnya telah terangkat tinggi-tinggi.
Namun ilmu Sabungsari itu telah membenturnya. Tongkat Sela Antep tidak pernah sempat terayun dan apalagi menyentuh tubuh Sabungsari. Tetapi tubuh Sela. Antep itulah yang kemudian terlempar dan terbanting jatuh.
Sebuah teriakan nyaring terdengar melengking tinggi. Umpat kasar masih terdengar dari mulurnya. Namun kemudian suaranya itupun menjadi semakin perlahan.
Untuk beberapa saat Sela Antep masih sempat mengumpat-umpat. Namun kemudian suaranyapun semakin menghilang. Daya tahan tubuhnya yang tinggi ternyata tidak mampu melindungi dirinya dari tusukan cahaya yang memancar dari kedua mata Sabungsari yang langsung menghunjam ke jantungnya. Suara Sela Antep itu hilang bersama nafasnya yang terhenti.
Sabungsaripun kemudian melangkah perlahan-lahan. Di pungutnya pedangnya dan diserungkahnya kedalam wrangkanya. Ternyata bahwa Sela Antep itu memiliki kekuatan yang sangat besar dan daya tahan yang sangat tinggi. Namun Sela Antep tidak mampu mengatasi ilmu Sabungsari.
Ki Ajar Trikaya tertegun. Seorang lagi dari para pengikut Empu Tunggul Pawaka terbunuh didalam pertempuran itu.
Sementara itu, Ki Wijil memang mulai terdesak oleh kedua lawannya. Sayoga justru sebaliknya. Tetapi Sayoga masih juga belum berhasil mengalahkan lawannya.
Ditengah tengah halaman itu, Agung Sedayu masih bertempur melawan Empu Tunggul Pawaka yang menjadi semakin gelisah. Ia melihat Ki Ajar Trikaya sudah terbebas dari lawan -lawannya. Iapun melihat beberapa orang telah berhasil menyingkirkan lawan-lawan mereka.
Sabungsari yang telah kehilangan lawannya jtupun kemudian memperhatikan pertempuran dihalaman itu dengan saksama. Iapun kemudian mulai memperhatikan Ki Wijil yang mengalami kesulitan dengan kedua orang lawannya. Namun Ki Ajar Trikaya mndekatinya sambil berkata - Bayangi Empu Tunggul Pawaka. Ia seorang yang berilmu sangat tinggi. -
- Bagamana dengan Ki Wijil " -
- Aku akan mendekatinya - jawab Ki Ajar.-
Sabungsari mengangguk-angguk, sementara Ki Ajarpun kemudian melangkah mendekati Ki Wijil yang bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi, meskipun tataran ilmu mereka tidak sama.
Dipendapa, Glagah Putih telah berhasil mengatasi sesak, nafasnya serta perasaan nyeri ditubuhnya. Darahnya telah mengalir sewajarnya. Meskipun kekuatannya masih belum pulih seutuhnya, namun Glagah Putih telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu, maka iapun segera bangkit berdiri. Obat yang ditelannya telah membantu mempercepat perkembangan keadaannya.
Glagah Putih itupun kemudian berdiri disebelah Sabungsari, tidak terlalu jauh dari arena pertempuran antara Agung Sedayu dengan Empu Tunggul Pawaka, sementara Ki Ajar Trikaya berdiri tegak memperhatikan pertempuran antara Ki Wijil dengan kedua orang lawannya.
- Maaf Ki Wijil ~ berkata Ki Ajar - anak muda itu telah membantuku, mengambil seorang lawanku. Sekarang aku telah bebas. Mungkin Ki Wijil tidak berkeberatan jika aku telah bebas.
Mungkin Ki Wijil tidak berkeberatan jika aku bergabung bersama Ki Wijil. Biarlah salah seorang dari kedua lawan Ki Wijil itu aku ambil alih. -
Ki Wijil tertawa. Katanya '" Baiklah, jika Ki Ajar menghendaki. Ambillah. Pilihlah, yang mana yang Ki Ajar kehendaki. --
Kedua lawan Ki Wijil itu mengumpat. Seorang diantara mereka berteriak " Jangan banyak bicara Ki Ajar. Kau tidak sekedar sakit. Tetapi sebentar lagi kau akan mati.
Tetapi Ki Ajar justru tertawa. Katanya -- Selama ini Empu Tunggul Pawaka dapat menguasai padepokan ini dan memaksaku berpura-pura sakit. Aku tidak dapat melawan. Aku lebih banyak memikirkan keselamatan para cantrik. Apalagi jumlah kalian terlalu banyak untuk dilawan seorang diri. Namun kini datang orang-orang yang ternyata bersedia membantuku. Karena itu, maka akupun bangkit. Para .cantrikpun bangkit pula. Aku yakin bahwa para cantrik akan dapat menguasai orang-orang yang selama ini memperlakukan mereka dengan cara yang buruk sekali. -
Sebenarnyalah, sekelompok cantrik telah turun ke halaman. Mereka telah melemparkan orang-orang yang terbunuh serta membawa orang-orang yang menyerah dan tertangkap hidup-hidup dengan tangan yang terikat.
- Itulah mereka - berkata Ki Ajar Trikaya - kalian tidak akan dapat berbuat banyak. -
- Persetan. Empu Tunggul Pawaka akan menyapu kalian sampai "orang yang terakhir. -
Ia mendapat lawan yang akan mampu mengimbangi kemampuanya. "
- Omong kosong. Orang itu akan menjadi debu. Ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. "
- Kau jangan menipu diri sendiri. Kau lihat saja pertempuran itu. -
Orang itu tidak menjawab lagi. Namun ia telah memisahkan diri dari kawannya yang bertempur melawan Ki Wijil. Sementara orang itu bemiat menghadapi Ki Ajar Trikaya.
- Ki Ajar Trikaya memang bergeser beberapa langkah untuk mengambil jarak dari arena pertempuran antara Ki Wijil dan seorang lawannya.
Dengan demikian, maka Ki Wijil tidak lagi harus bertempur melawan dua orang. Sehingga keseimbangan pertempuran itupun segera berubah. Dengan ilmunya yang tinggi, maka Ki Wijilpun segera mendesak lawannya.
Empu Tunggul Pawaka memang menjadi berdebar-debar melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Jika ia tidak segera mengalahkan lawannya dan mengatasi kesulitan yang dialami oleh orang-orangnya, maka akhirnya ia dan semua orang-orangnya akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Empu Tunggul Pawakapun berniat untuk dengan cepat menghabisi lawannya yang masih terhitung muda itu.
Namun ketika ia meningkatkan ilmunya, maka lawannya itupun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga pada tataran yang sangat tinggi.
" Jadi apa yang dikatakan orang itu benar - berkata Empu Tunggul Pawaka didalam hatinya. Ia memang sudah mendengar bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Seorang yang jarang ada tandingnya.
Namun Empu Tunggul Pawaka terlalu yakin akan dirinya. Ketika Agung Sedayu masih mampu mengimbangi ilmunya yang hampir sampai kepuncak, maka Empu Tunggul Pawaka itu berkata didalam hatinya " Betapapuri tinggi ilmumu, namun kau harus mengakui bahwa kematangan ilmuku masih jauh lebih tinggi lagi.
Dengan demikian, maka Empu Tunggul Pawaka itupun kemudian telah menyerang Agung Sedayu bagaikan angin prahara yang menguncang pucuk-pucuk pepohonan. Bahkan pepohonan raksasa sekalipun.
Agung Sedayu merasakan deru serangan-serangan yang datang itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun harus meningkatkan ilmunya, sehingga pertahanannyapun menjadi seteguh batu karang. Serangan-serangan Empu Tunggul Pawaka setiap kali kandas oleh ketahanan ilmu Agung Sedayu yang sangat tinggi. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Empu Tunggul Pawaka sama sekali tidak mampu menggoyangkan pertahanan lawannya yang dianggapnya masih terhitung muda itu, apalagi menembusnya.
Meskipun demikian, serangan-serangan yang datang beruntun itu sempat juga mendesak Agung Sedayu untuk melangkah Surut. Namun sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan. Bahkan pada kesempatan yang terbuka, serangan-serangan Agung Sedayupun datang membadai.
Pertempuran antara keduanyapun menjadi semakin menegangkan. Keduanya saling menyerang, saling mendesak dan saling menghindar dan menangkis serangan-serangan lawan, sehingga benturanpun semakin sering terjadi.
Namun Empu Tunggul Pawaka masih belum mampu mengatasi kemampuan Agung Sedayu.
Karena itu, maka Empu Tunggul Pawakapun kemudian telah merambah kepada ilmu-ilmu puncaknya.
Benturan-benturan yang terjadipun menjadi semakin sering pula. Sekali-sekali Empu Tunggul Pawaka yang terdesak. Namun pada kesempatan lain, Agung Sedayulah yang harus meloncat surut.
Namun Empu Tunggul Pawaka yang tidak segera mampu mendesak Agung Sedayu itupun telah mempergunakan snejatanya yang semula terselip pada wrangkanya yang menempel dipunggungnya. Empu Tunggul Pawaka itu telah menarik sebilah keris yang besar dan panjang. Keris yang berwarna kehitam-hitama dengan pamor yang berkeredipan memantulkan cahaya matahari.
Agung Sedayu melangkah surut. Ia melihat keris yang besar itu bagaikan memancarkan cahaya yang kemerah-merahan.
" Pertempuran ini akan segera berakhir, Agung Sedayu -berkata Empu Tunggul Pawaka kemudian.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati. Bahkan ketika ia melihat keris yang bagaikan membara itu, Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmu kebalnya. Seandainya keris itu memiliki kekuatan yang mampu menembus ilmu kebalnya, namun ilmu kebalnya tentu sudah menahan sebagian besar dari kelebihan kekuatan keris itu.
Demikian, sejenak kemudian, maka keris itupun telah berputaran Diseputar Empu Tunggul Pawaka itu seakan-akan mengembun kabut yang berwarna merah ke putih-putihan.
Agung Sedayu menyadari, bahwa sentuhan kabut itu akan sama artinya dengan sentuhan ujung keris Empu Tunggul Pawaka. Karena itu, maka Agung Sedayu harus menghindari libatan kabut berwarna bara yang keputih-putihan itu.
Namun semakin lama putaran keris Empu Tunggul Pawaka itu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu mengalami kesulitan untuk menghindar. Bahkan kemudian terasa ujung keris itu mulai menyentuh kulit Agung Sedayu.
Tetapi justru Empu Tunggul Pawakalah yang telah meloncat surut. Dengan wajah yang tegang Empu Tunggul Pawaka itupun berkata - Ternyata kau memiliki ilmu kebal Agung Sedayu. -
Agung Sedayu tidak memburunya. Sambil berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Empu Tunggul Pawaka, Agung Sedayupun berkata - Empu, sebaiknya kita cari cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini. "
~ Kau mulai bimbang, bahwa kau akan mampu melawan aku" -
- Tidak, Justru kaulah yang terkejut ketika ujung kerismu meraba ilmu kebalku. -
- Aku memang terkejut. Tetapi bukan berarti bahwa aku mencemaskan kemampuanku. Sejak semula aku sudah mengagumimu. Ternyata kau benar-benar seorang yang berilmu tinggi. -
~ Pujian Empu agak berlebihan. ~
- Tidak Agung Sedayu. Tetapi kau jangan merasa dirimu terlalu besar. Ilmu kebal itu memang agak mempersulit aku. Namun tidak akan banyak berarti. Jika aku memujimu, karena jarang orang seumurmu memiliki ilmu kebal itu. -
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun dibalik pujian yang diucapkan Empu Tunggul Pawaka itu tersirat kesombongannya, sehingga Empu Tunggul Pawaka itu telah merendahkannya.
Agung Sedayupun seera mempersiapkan dirinya. Ia tidak mau mengalami kesulitan dan terlambat mengambil sikap menghadapi senjata lawannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayupun telah mengurai cambuknya pula.
Empu Tunggul Pawaka itu mengerutkan dahinya. Katanya --Aku juga sudah mendengar tentang ilmu cambuk yang pernah menggetarkan lereng Gunung Merapi dan sekitarnya. Dan sekarang, aku akan mendapat kehormatan untuk melayani ilmu cambuk yang kondang itu. "
Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Namun ujung cambuknya mulai bergetar ketika Empu Tunggul Pawaka mulai bergetar.
Sesaat kemudian, terdengar cambuk Agung Sedayu meledak dengan kerasnya, sehingga rasa-rasanya Gunung Kukusan itu akan runtuh.
Empu Tunggul Pawaka itu meloncat selangkah surut. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Katanya " Kau masih juga bermain-main, Agung Sedayu. Aku tahu, bahwa ledakan yang memekakkan telinga itu bukan batas kemampuanmu. Ledakkan yang demikian itu adalah ledakkan cambuk anak-anak gembala yang menggiring lembunya pulang kekandang menjelang senja hari. -
Agung Sedayu bergeser selangkah maju. Sementara Erripu Tunggul Pawaka itu berkata - Nah, tunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, agar aku dapat menjajagi ditataran mana aku harus meningkatkan ilmuku. -
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku tidak mengira bahwa seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi serta sudah mengendap seperti Empu, masih juga sempat menyombongkan diri Empu, kesombongan hanya pantas disandang oleh orang-orang seumurku serta yang ilmunya masih belum menjadi matang. -
Wajah Empu Tunggal Pawaka menjadi merah. Kata-kata Agung Sedayu itu menusuk langsung ke pusat jantungnya. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Empu Tunggul Pawaka itu telah meloncat menyerang Agung Sedayu. kerisnya berputaran semakin cepat. Bukan saja kabut yang kemerah-merahan yang nampak diseputar tubuh Empu Tunggul Pawaka, tetapi udara diseputarnyapun menjadi panas pula.
Tetapi Agung Sedayu telah berlindung dibalik ilmu kebalnya. Karena itu, panasnya udara tidak begitu terasa menyengat kulit.
Dalam pada itu, ketika serangan-serangan Empu Tunggul Pawaka datang membadai, maka Agung Sedayupun telah menghentakkan cambuknya pula. Suaranya tidak lagi menggelegar seperti ledakkan guruh dilangit. Tetapi getar suara terasa menerpa dada Empu Tunggul Pawaka.
Tetapi Empu Tunggul Pawaka tidak lagi memuji kelebihan Agung Sedayu. Bahkan jantungnyalah yang bergetar. Kemampuan Agung Sedayu tidak sekedar pantas dipuji, tetapi Empu Tunggul Pawaka harus menjadi sangat berhati-hati.'
" Orang ini ternyata sangat berbahaya " berkata Empu Tunggul Pawaka didalam hatinya.
Pertempuran diantara kedua orang berilmu sangat tinggi itu menjadi semakin sengit. Keris Empu Tunggul Pawaka berputaran semakin cepat. Kabut yang merah keputih-putihan itupun menebar semakin lebar.
Namun setiap kali, Empu Tunggul Pawaka harus berloncatan menghindari ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat. Bahkan kadang-kadang ujungnya seakan-akan memburu tubuh Empu Tunggul Pawaka yang bergerak dengan cepat.
Namun Agung Sedayulah yang kemudian terkejut ketika cambuknya menyentuh kulit Empu Tunggu! Pawaka. Rasa-rasanya ujung cambuk itu telah menyentuh kulit sebatang kayu yang kokoh. Kulit Empu Tunggul Pawaka tidak terluka meskipun dorongan serangan cambuk Agung Sedayu itu telah mengguncang keseimbangannya.
Empu Tunggul Pawaka memang tergeser selangkah mundur. Tetapi ujung cambuk Agung Sedayu yang dihentakkan dengan kemampuannya yang sangat tinggi itu tidak melukai lawannya.
Ternyata Empu Tunggul Pawaka juga memiliki perisai ilmu kebal yang matang. Mungkin Aji Tameng Waja. Mungkin ilmu kebal yang lain. Namun ternyata lecutan cambuk Agung Sedayu tidak melukainya, meskipun Agung Sedayu yakin, bahwa serangannya itu telah menyakiti lawannya. Bahkan lawannya itu telah terdorong surut, meskipun Empu Tunggul Pawaka masih tetap mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Empu Tunggul Pawaka tidak jatuh terlentang.
Namun sorot mata Empu Tunggul Pawaka itu memancarkan kemarahannya yang membakar isi dadanya. Orang yang masih terhitung muda itu mampu mengguncang keseimbangannya.
Dengan demikian Empu Tunggul Pawakapun menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras. Kerisnya berputaran dan menggapai-gapai, menyusup disela-sela putaran cambuk lawannya. Udara panaspun menjadi semakin memanasi arena. Namun Agung Sedayu masih mampu bertahan karena perisai ilmu kebalnya.
Empu Tunggul Pawaka yang marah itu harus menyadari kenyataan yang dihadapinya. Ia menyadari bahwa dengan demikian pertempuran itu tidak akan segera berakhir.
Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka harus mempergunakan ilmunya yang lain. Ia tidak ingin pertempuran itu menjadi semakin berkepanjangan, sementara orang-orangnya menjadi semakin menyusut.
Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka itupun telah menghentakkan ilmunya yang lain. Tiba-tiba saja Empu Tunggul Pawaka mampu bergerak semakin cepat. Demikian cepatnya, sehingga mampu melampaui kecepatan gerak ujung cambuk Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut ketika ujung keris Empu Tunggul Pawaka itu menggores kulitnya. Hanya goresan tipis. Jika saja Agung Sedayu tidak mengenakan ilmu kebalnya, maka keris itu tentu sudah membenam ditubuhnya, mengoyak dagingnya yang memeras darahnya.
Ternyata kemampuan dan kekuatan ilmu Empu Tunggul Pawaka itu benar-benar sangat berbahaya.
Ketika Agung Sedayu bersiap untuk bergeser maju, maka terdengar Ki Tunggul Pawaka itu tertawa. Katanya " Ilmu kebalmu benar-benar kokoh seperti selapis baja, sehingga ujung kerisku yang aku banggakan ini hanya mampu melukai kulitmu segores kecil saja. Tetapi segores kecil itu cukup bagiku, Agung Sedayu. Tidak ada orang yang akan dapat membebaskan diri dari kematian dengan luka seujung duri sekalipun. "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Luka yang segores tipis itu terasa menjadi panas.
- Tetapi namamu akan tetap dikenang orang, Agung Sedayu. Jika kau mati, aku tetap mengagumimu. "
Agung Sedayu masih berdiri mematung. Ada semacam keragu-raguan didalam hatinya.
Dengan nada berat Agung Sedayu itu berdesis " Kau telah mempergunakan racun yang sangat kuat. -
-- Ya. Nasibmu memang buruk, Agung Sedayu. Kedatanganmu ke padepokan ini adalah kunjunganmu yang pertama dan yang terakhir kali. "
Agung Sedayupun terdiam. Ia menjadi semakin ragu akan kemampuannya menawarkan racun yang menyusup kedalam tubuhnya. Luka yang segores itu menjadi semakin panas. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi gemetar.
Namun ketika tubuhnya yang gemetar itu hampir saja terjatuh dengan lemahnya, maka hatinyapun segera menghentak. Ia tidak boleh ragu-ragu. Ia telah menerima kurnia dari Yang Maha Agung kemampuan untuk menolak segala macam racun yang menyusup kedalam darahnya. Semakin ia ragu, maka kemampuan itu seakan-akan menjadi semakin kabur. Namun ketika keyakinannya itu kembali menyala didalam hatinya, kepercayaannya yang utuh, bahwa ia memang telah menerima kurnia itu, maka kakinya yang hampir saja kehilangan kekuatannya untuk tegak sebagai tumpuhan tubuhnya, telah menjadi kuat kembali. Agung Sedayupun kemudian menjadi sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak boleh ragu-ragu. Ia harus menggenggam kepercayaan itu sepenuhnya.
Ketetapan hatinya itu serasa telah menghentakkan tubuhnya pula. Terasa kekuatan yang sangat besar telah menjalar dari pusat jantungnya, melalui arus darahnya mengalir keseluruh tubuhnya.
Empu Tunggul Pawaka termangu-mangu sejenak. Wajah Agung Sedayu yang menjadi pucat itu telah menjadi merah kembali.
Tubuhnya yang lemah dan gemetar telah menjadi kuat dan tegar menghadapi segala kemungkinan.
Beberapa saat Empu Tunggul Pawaka menunggu. Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Tubuhnya tidak bergetar dan jatuh berguling ditanah. Ia tidak menjadi kejang-kejang sambil berteriak-teriak ketakutan oleh pengaruh racun yang telah menyentuh darahnya yang mengembun dilukanya yang segores itu.
Kegelisahan nampak memancar disorot mata Empu Tunggul Pawaka. Bahkan kemudian iapun berdesis " Iblis manakah yang telah menyelamatkanmu dari racunku, Agung Sedayu "
Agung Sedayu yang benar-benar sudah mampu menguasai dirinya itu tersenyum. Katanya " Empu. Hidup mati kita tidak tergantung kepada siapapun juga. Tidak pula kepada racunmu. Seharusnya hatimu mulai terbuka, bahwa racunmu tidak mampu membunuhku, karena yang Maha Agung masih melindungi aku. "
Tubuh Empu Tunggul Pawakalah yang menjadi bergetar karena kemarahan yang tidak tertahankan lagi. Dengan garangnya Empu Tunggul Pawaka itu menyerang Agung Sedayu. Kerisnya berputaran, terayun-ayun dan tiba-tiba saja menukik mematuk tubuh Agung Sedayu.
Agung Sedayu dengan tangkasnya berloncatan menghindar. Pada goresan luka tipis di kulitnya telah mengalir darah. Semula darah itu berwarna kebiru-biruan. Namun kemudian menjadi merah menyala.
Empu Tunggul Pawaka menggeram. Darah Agung Sedayu sudah menjadi bersih dari racunnya.
Bahkan kemudian Empu Tunggul Pawaka itu menjadi semakin geram, bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak terpengaruh oleh luka tipisnya itu. Ketika Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka terasa jantung Empu Tunggul Pawaka tergetar meskipun hentakkan cambuk itu seolah-ojah tidak berbunyi sama sekali.
" Kau benar-benar orang yang mumpuni, Agung Sedayu " berkata Empu Tunggul Pawaka kemudian " ternyata kau memiliki kemampuan menawarkan racun yang menyusup kedalam darahmu. -Agung Sedayu tidak menjawab. Namun sekali lagi ia menghentakkan cambuknya sendai pancing.
Empu Tunggul Pawaka yang marah itupun kemudian telah mengerahkan kemampuannya, la menjadi semakin cepat bergerak.
Tubuhnya menjadi bagaikan bayangan yang berterbangan di sekitar Agung Sedayu. Semakin lama menjadi semakin cepat.
Untuk melindungi dirinya dari sentuhan ujung keris Empu Tunggul Pawaka, Agung Sedayu telah memutar cambuk diseputar tubuhnya. Meskipun Agung Sedayu telah memutar cambuk diseputar tubuhnya. Meskipun Agung Sedayu kemudian meyakini bahwa dirinya mampu menawarkan racun karena goresan senjata lawannya, tetapi ia harus berusaha menghindari goresan-goresan berikutnya. Semakin banyak racun bertimbun didalam dirinya, maka akan menjadi semakin berbahaya baginya.
Namun semakin lama terasa semakin sulit bagi Agung Sedayu untuk mengikuti kecepatan gerak Empu Tunggul Pawaka. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmunya memperingan tubuhnya, sehingga tubuhnya menjadi seakan-akan tidak berbobot.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat mengimbangi kecepatan gerak lawannya, yang agaknya juga memiliki ilmu yang sama.
Sekali lagi Empu Tunggul Pawaka terkejut. Agung Sedayu itu ternyata mampu bergerak demikian cepatnya sehingga mampu mengimbangi kecepatan geraknya.
Namun Empu Tunggul Pawaka tidak hanya mampu bergerak cepat. Namun sekali-sekali Agung Sedayu merasa kehilangan jejak. Empu Tunggul Pawaka yang berloncatan itu seakanakan telah hilang dari pengamatannya. Namun tiba-tiba saja ia mendengar hentakkan gerak lawannya disisinya, sehingga Agung Sedayu itu dengan tergesa-gesa harus bergerak menghindari atau mengambil jarak.
Namun semakin lama keadaan Agung Sedayu menjadi semakin sulit meskipun ia telah mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Bahkan keris lawannya itu telah menggores lagi ditubuhnya. Segores tipis.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau terpengaruh lagi oleh keragu-raguannya, karena ia sadar, bahwa keragu-raguan itu akan merupakan bencana baginya.
Dengan penuh keyakinan, Agung Sedayu bertempur dengan tegarnya, meskipun sekali-sekali ia mengalami kesulitan.
Glagah Putih dan Sabungsari memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun keduanya tidak dapat memasuki lingkaran pertempuran. Mereka tidak tahu, apakah Agung Sedayu sependapat atau tidak, jika mereka ikut melibatkan diri.
Dalam pada itu, Ki Wijilpun telah menyelesaikan lawannya pula. Ki Wijil tidak dapat menghindari kematian, karena lawannya menjadi seperti orang yang kehilangan akal.
Bahkan Ki Ajar Trikaya yang sudah berusaha menghindari kemungkinan yang buruk itu, akhirnya harus melihat kenyataan, lawannya terkapar membeku.
Pertempuran di halaman itupun menjadi semakin mereda. Sayoga telah menyelesaikan lawannya pula. Sementara Sekar Mirah dan Nyi Dwani lelah menghentikan pertempuran. Demikian pula Empu Wisanata dan Ki Jayaraga. Dari tempatnya berdiri mereka menyaksikan, pertempuran antara Agung Sedayu dan Empu Tunggul Pawaka.
Sebenarnyalah mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Mereka tahu benar betapa tingginya ilmu Empu Tunggul Pawaka itu. Meskipun merekapun mengetahui bahwa Agung Sedayu juga berilmu tinggi, tetapi menurut pengertian mereka, sulit untuk dapat mengimbangi ilmu Empu Tunggal Pawaka.
Empu Tunggul Pawaka seakan-akan tinggal seorang diri. Namun Empu Tunggul Pawaka tidak merasa gentar, la masih yakin, bahwa ia akan dapat membinasakan semua lawan-lawannya. Empu Tunggul Pawaka juga melihat Bahwa Empu Tunggul Pawaka tidak tahu apa sebabnya. Ia mengira bahwa kedua-duanya telah menyerang karena kawan-kawan mereka telah habis dibinasakan. Sementara itu nara cantrikpun telah menguasai orang-orang yang semula mengawasi dan mengatur sikap dan tingkah laku mereka.
Beberapa orang dengan tangan terikat telah digiring ke halaman padepokan itu.
Namun Empu Tunggul Pawaka justru menganggap bahwa Empu Wisanata dan Nyi Dwani daat menempatkan diri. Jika mereka telah terbunuh seperti kawan-kawannya, maka Empu Tunggul Pawaka akan benar-benar sendiri. Tetapi keberadaan mereka berdua akan dapat membantu disaat-saat terakhir dari pertempuran itu. Setelah ia mampu membinasakan orang yang bernama Agung Sedayu itu, maka yang lain tidak akan begitu sulit lagi.
Tetapi ternyata bahwa tidak terlalu mudah untuk membunuh Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal. Yang mampu memperingankan tubuhnya dan yang mempunyai ilmu cambuk yang mendebarkan jantungnya.
Namun pada sat-saat terakhir, meskipun Agung Sedayu sudah mengetrapkan ilmunya memperingankan tubuh, namui kadang-kadang ia masih juga terlambat mengikuti gerak lawannya.
Karena itu, maka sekali lagi, ujung keris Empu Wisanata itu menggapai tubuh Agung Sedayu.
Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ilmu memperingan ilmu Empu Tunggul Pawaka itu, Karena itu, maka iapun telah mengetrapkan ilmunya Sapta Panggraita.
Ternyata kemampuannya menangkap gerak lawannya yang sangat cepat dengan ilmunya Sapta Pangrai'i itu menjadi semakin meningkat. Agung Sedayu dengan ketajaman pangraitannya seakan-akan dapat mengetahui lebih dahulu, kemana lawannya akan bergerak sehingga beberapa kali Agung Sedayu bukan saja mampu mengikuti gerak lawannya, tetapi bahkan dapat memotongnya dengan serangan-serangan cambuknya yang berbahaya.
Empu Tunggul Pawakalah yang kemudian melenting beberapa langkah surut. Ujung cambuk Agung Sedayu telah menembus pertahanan lawannya dan bahkan mengguncang ilmu kebalnya.
Ternyata serangan Agung Sedayu yang menghentikan segenap kemampuannya itu mampu melukai kulit Empu Tunggul Pawaka.
Agung Sedayu sengaja tidak memburunya. Dengan nada rendah iapun berkata -- Empu. Apakah kita benar-benar harus bertempur habis-habisan " "
Empu Tunggul Pawaka itu mengerutkan dahinya. Katanya " Kita sudah melangkah sejauh ini. Sementara itu kau masih bertanya-
" Maksudku, apakah kita tidak dapat memilih jalan lain. "
" Jika kau akan menyerah, menyerahlah. Jika tidak, maka kau akan mati. Hanya itu pilihanmu Agung Sedayu. ~
" Tidak, Empu. Aku masih mempunyai pilihan lain. -
" Apa " Minta bantuan kepada kawan-kawanmu yang telah berhasil membunuh lawan-lawannya " "
" Ya, Empu. Tetapi masih ada lagi pilihan yang lain tanpa melibatkan mereka. Aku sendiri akan membunuhmu. -
Jantung Empu Tunggul Pawaka bagaikan ditusuk dengan duri kemarung. Seseorang telah mengancam akan membunuhnya, sementara ia merasa sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dan tidak terkalahkan.
Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka itupun berkata " Agung Sedayu. Apakah matahari sudah akan terbit di Selatan, sehingga seseorang mampu membunuhku " "
" Kesombonganmu itu adalah satu sebab kehancuranmu, Empu. Kau bukan seorang yang demikian berharga sehingga matahari akan menangis kematianmu. "
Kemarahan Empu Tunggul Pawaka benar-benar telah membakar otaknya. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, iapun segera meloncat menyerang Agung Sedayu. Kemampuannya bergerak cepat, melebihi kemampuan Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu sudah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh. Namun ilmu Sapta Panggraila Agung Sedayu itu dapat membantunya.
Meskipun demikian, serangan-serangan yang datang begitu cepat masih juga sempat mendesak Agung Sedayu. Seperti bayangan yang terbang mengelilinginya, Empu Tunggul Pawaka memaksa Agung Sedayu untu mengerahkan kemampuannya.
Tetapi ilmu yang telah dikerahkan itu masih belum yang terakhir bagi Agung Sedayu. Ketika kecepatan gerak Empu Tunggul Pawaka yang semakin meningkat itu masih juga mampu mengejutkan lawannya dengan memotong serangannya, namun Agung Sedayu merasa perlu mengetrapkan ilmunya yang lain.
Dalam pertempuran yang semakin cepat itulah, maka Empu Tunggul Pawaka terkejut. Ketika kecepatan geraknya semakin meningkat, maka tiba-tiba sasaran serangannya menjadi kabur.
Tiba-tiba saja Empu Tunggul Pawaka itu melihat tiga orang Agung Sedayu yang berloncatan dengan cambuk ditangan.
- Gila " Empu Tunggul Pawaka berteriak - Kakang kawah adi ari-ari. --
Tiga sosok ujud Agung Sedayu itupun bergerak bersama-sama mendekati Empu Tunggul Pawaka yang menjadi tegang sejenak. Namun Empu Tunggul Pawaka itupun tersenyum sambil berkata -Baiklah Agung Sedayu, agaknya kau ingin menunjukkan permainanmu yang terbaik. Tetapi marilah. Aku akan melayaninya.
Ketiga sosok ujud Agung Sedayu itu tidak menjawab. Namun mereka telah bersama-sama menyerang.
Empu Tunggul Pawakapun segera berloncatan mengelakkan serangan-serangan itu. Ia tahu, bahwa hanya ada satu Agung Sedayu. Dan itu berarti bahwa hanya ada satu ujud cambuk yang berbahaya baginya. Namun Empu Tunggul Pawaka memerlukan waktu untuk mengetahui, yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya dari ketiga ujud itu.
Dalam pertempuran yang sengit, maka terasa lecutan ujung cambuk Agung Sedayu telah menembus ilmu kebalnya sehingga tubuhnya telah tergetar. Bahkan segores luka telah menandai betapa kuatnya lecutan cambuk Agung Sedayu yang telah berhasil menembus ilmu kebal Empu Tunggul Pawaka.
Namun ketajaman penglihatan batin Empu Tunggul Pawaka telah berhasil mengetahui, sosok Agung Sedayu yang sebenarnya. Karena itu, maka serangan-serangan Empu Tunggul Pawaka telah dipusatkan kepada sosok itu. Bahkan kemudian dari putaran keris Empu tunggul Pawaka itu seakan-akan telah memancar percikan-percikan cahaya api yang meluncur kearah sosok. Agung Sedayu. "
Beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Iapun segera menyadari bahwa lawannya mampu memecahkan ilmunya yang mampu mengaburkan keberadaannya itu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah menarik kembali ilmunya itu, sehingga yang nampak hanyalah sesosok Agung Sedayu saja.
Meskipun demikian, Empu Tunggul Pawaka yang telah melepaskan ilmunya yang menggetarkan jantung itu sama sekali tidak mengendorkan serangan-serangannya. Percikan-percikan api dari putaran keris Empu Tunggul Pawaka itu masih saja menyerang Agung Sedayu.
Dengan demikian Agung Sedayu masih saja harus berloncatan menghindar. Ujung Cambuknya setiap kali dihentakkannya, menghantam percikan-percikan api yang semakin lama menjadi semakin deras mengalir dari putaran kerisnya.
Semakin lama Agung Sedayu semakin merasa terdesak. Percikan api yang luput dari hentakan ujung cambuknya dan tidak berhasil di hindarinya, terasa betapa panasnya menyengat kulitnya. Apalagi seandainya Agung Sedayu itu tidak melapisi pertahanannya dengan ilmu kebalnya, maka kulitnya tentu sudah dikoyak-koyak oleh percikan api yang panasnya melampaui bara itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu itupun semakin lama menjadi semakin terdesak. Sekali-sekali Agung Sedayu sempat meloncat menyerang. Tetapi semakin dekat ia dengan Empu Tunggul Pawaka, maka terasa percikan-percikan api itupun menjadi semakin panas.
Dengan demikian, keadaan Agung Sedayu menjadi semakin sulit. Empu Tunggul Pawakalah yang kemudian berusaha untuk' bertempur pada jarak yang dekat. Meskipun ujung cambuk Agung Sedayu sekali-sekali masih sempat menembus ilmu kebalnya, namun Empu Tunggul Pawaka memperhitungkan kemungkinan yang terburuk akan terjadi pada Agung Sedayu.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin' tegang. Kesempatan bagi Agung Sedayu menjadi semakin kecil. Beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan mengambil jarak, sehingga dengan demikian, maka ujung cambuknya tidak lagi dapat menggapai tubuh lawannya.
Glagah Putih dan Sabungsari setiap kali ikut bergeser. Tetapi mereka masih tetap menahan diri untuk, tidak mencampuri pertempuran itu.
Ki Wijil, anak laki-lakinya, Ki Jayaraga dan apalagi Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan Empu Wisanata dan Nyi Dwanipun justru mencemaskan keadaan Agung Sedayu. Apalagi keduanya berkeyakinan bahwa Empu Tunggul Pawaka adalah orang yang tidak terkalahkan.
Sebenarnyalah Agung Sedayu berada dalam kesulitan yang mendesak. Ia seakan-akan sudah tidak melihat kemungkinan untuk melepaskan dari diri tekanan Empu Tunggul Pawaka.
Namun Agung Sedayu masih belum tuntas. Karena itu, dalam keadaan yang paling gawat, maka Agung Sedayu telah sampai pada puncak kemampuannya.
Ketika serangan Empu Tunggul Pawaka datang membadai, maka Agung Sedayupun telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar, bahwa. Empu Tunggul Pawaka akan memburunya. Tetapi Agung Sedayu telah mempergunakan waktu yang sesaat itu untuk sampai pada tataran tertinggi dari kemampuan yang dikuasainya.
Agung Sedayu melihat Empu Tunggul Pawaka itu memutar kerisnya untuk melontarkan percikan-percikan api kearahnya. Namun Agung Sedayu sudah sampai pada tataran tertinggi dari kemampuannya. Dengan tangkasnya Agung Sedayu meloncat mengelakkan serangan itu. Sekali ia berguling. Namun kemudian ia melenting bangkit. Demikian Empu Tunggul Pawaka itu memburunya, maka Agung Sedayupun telah melepaskan ilmu pamungkasnya. Dari sepasang mata Agung Sedayu itu seakan-akan telah memancar sinar yang tajam, langsung mematuk kearah dada Empu Tunggul Pawaka.
Empu Tunggul Pawaka terkejut sekali melihat serangan Agung Sedayu itu. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa didalam diri Agung Sedayu itu tersimpan berbagai macam ilmu yang dapat mengacaukannya. Bahkan yang kemudian dihadapinya adalah ilmu yang sangat berbahaya.
Empu Tunggul Pawaka terlambat untuk mengelakkan serangan itu. Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka telah membentur ilmu yang dipancarkan dari sepasang mata Agung Sedayu itu. Dengan memutar kerisnya, maka Empu Tunggul Pawaka itu mengerahkan segenap kemampuannya, melawan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu.
Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua orang yang berilmu sangat tinggi telah membenturkan ilmu puncak mereka masing-masing, sementara itu, keduanya telah melapisi diri mereka dengan ilmu kebal.
Benturan dua ilmu yang dahsyat itu telah menggetarkan udara. Dua kekuatan raksasa yang saling menghantam telah menimbulkan pantulan yang dahsyat. Sementara itu dorongan ilmu lawannya telah menghentak demikian kuatnya.
Berbareng Agung. Sedayu dan Empu Tunggul Pawaka terlempar beberapa langkah surut. Keduanya telah terbanting di tanah.
Namun dengan serta-merta keduanya masih mampu bangkit berdiri. Dorongan kemarahan yang menyala didada mereka telah membuat keduanya tidak menghentikan pertempuran.
Dengan sisa tenaganya, Empu Tunggul Pawaka masih juga meloncat menyerang Agung Sedayu, sementara Agung Sedayupun telah bersiap pula menghentakkan kemampuannya yang tersisa.
Namun Agung Sedayu tidak mengulangi serangan dengan sorot matanya. Tetapi segala kemampuan dan kekuatannya telah dihimpunnya lewat tangannya dan kemudian menjalar pada cambuknya. Agung Sedayu itu telah sampai pada puncak tertinggi ilmu cambuknya, yang menurut Kiai Gringsing jangan dipergunakan jika tidak terdesak dalam keadaan yang sangat gawat.
Demikian Empu Tunggul Pawaka memutar kerisnya, maka Agung Sedayupun telah meloncat menghentakkan cambuknya di lambari dengan puncak tertinggi ilmu yang pernah diwarisinya dari gurunya, Kiai Gringsing.
Hentakkan cambuk Agung Sedayu itu ternyata mempunyai akibat yang menentukan. Benturan yang telah menguras sebagian tenaga dan kekuatan Empu Tunggul Pawaka, telah melemahkan daya tahan ilmu kebalnya. Karena itu, maka hentakkan cambuk Agung Sedayu itu benar-benar telah memecahkan pertahanannya. Bahkan putaran kerisnya tidak mampu menghentikan sergapan ujung cambuk Agung Sedayu yang dahsyat itu.
Empu Tunggul Pawaka menggeliat ketika ujung cambuk Agung Sedayu-itu seakan-akan telah memeluk tubuhnya. Ketika ujung cambuk itu ditarik dengan kekuatan yang sangat besar, tubuh Empu Tunggul Pawaka bagaikan terputar setengah lingkaran. Namun sebelum Empu Tunggul Pawaka itu sempat berbuat sesuatu, satu kali lagi, Agung Sedayu melecut Empu Tunggul Pawaka dengan dahsyatnya.
Lukapun telah menggores di tubuh Empu Tunggul Pawaka. Segores melingkari tubuhnya, mengoyak kedua lengan sebelah menyebelah, dada dan bahkan punggungnya, sedang yang segores lagi telah melukai lambungnya.
Empu Tunggul Pawaka terdorong beberapa langkah. Orang yang berilmu sangat tinggi itu tidak mampu mempertahankan keseimbangannya lagi. Karena itu, maka iapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terguling di tanah.
Agung Sedayu sempat memandanginya sejenak. Namun tubuhnyapun kemudian menjadi sangat lemah. Ia telah menghentakkan segenap sisa tenaganya, sehingga seakan-akan ia tidak lagi mempunyai tenaga untuk dapat mempertahankan keseimbangannya.
Agung Sedayu itupun kemudian jatuh berlutut disisi Empu Tunggul Pawaka.
Namun ketika ia melihat Empu Tunggul Pawaka itu membuka matanya, maka Agung Sedayu berusaha bertahan untuk tidak terbaring disisi Empu Tunggul Pawaka itu.
Bahkan kemudian terdengar Empu Tunggul Pawaka itu berdesis lemah - Kau memang luar biasa Agung Sedayu. Sejak semula sudah aku katakan, aku mengangumimu. -
Nafas Agung Sedayu menjadi terengah-engah. Ia berusaha untuk bergeser mendekat. Tetapi hampir saja jatuh terjerembab.
Sabungsari dan Glagah Putihpun dengan cepat mendekati. Namun perhatian Agung Sedayu tertuju sepenuhnya kepada Empu Tunggul Pawaka.
" Kau masih terhitung muda, Agung Sedayu. Pada saatnya kau akan dapat menggulung tanah ini. Kemampuanmu akan tidak tertandingi. -
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia masih melihat Empu Tunggul Pawaka itu tersenyum. Suaranya menjadi semakin lemah - Ilmu kebalku adalah ilmu kebal yang jarang ada duanya. Tetapi kemampuan ilmumu mampu memecahkannya. -
Agung Sedayu masih berdiam diri. Suara Empu Tunggul Pawaka itu menjadi kian melemah. - Kau menang Agung Sedayu. -
- Empu - desis Agung Sedayu. -
Empu Tunggul Pawaka itu tersenyum. Namun kemudian matanyapun segera terpejam.
Ki Wijil dan Ki Ajar Trikaya telah berjongkok disebelah tubuh Empu Tunggul Pawaka itu pula. Namun Empu Tunggul Pawaka itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sekar Mirahlah yang kemudian berjongkok di belakang Agung Sedayu. Dengan suara tertahan Sekar Mirah itupun berdesis -Kakang. --
Agung Sedayu yang mendengar suara itu, cepat berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah memandanginya dengan sorot mata yang penuh dengan kecemasan.
Namun Agung Sedayu itupun tersenyum sambil berdesis ~ Aku tidak apa-apa Sekar Mirah. -
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun ketika Agung Sedayu mencoba bangkit berdiri, maka keseimbangannyapun masih goyah.
Glagah Putih, Sabungsari dan Sekar Mirah dengan cepat berusaha membantunya. Tetapi Agung Sedayu itu berkata - Terima kasih. Biarlah aku berdiri sendiri. "
Sabungsari dan Glagah Putihpun melepaskannya. Namun Sekar Mirah masih memegangi lengannya.
" Marilah, kakang. Duduklah dahulu. -
Sekar Mirahpun kemudian membimbing Agung Sedayu ke tangga pendapa.
Ketika kemudian Agung Sedayu duduk, maka Glagah Putih dan Sabungsaripun berdiri pula dihadapannya. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata - Kakang harus minum obat yang dapat membantu ketahanan tubuh kakang. -
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Baiklah. Tolong, ambilkan sebutir di kantong bajuku. -
Glagah Putihlah yuang kemudian telah memungut sebutir obat reramuan yang kemudian ditelan oleh Agung Sedayu.
" Bagaimana dengan kau sendiri, Glagah Putih " " bertanya Agung Sedayu.
" Aku sudah baik, kakang. -
Agung Sedayu sempat memandang Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang berdiri termangu-mangu. Namun mereka menyadari keadaan mereka, sehingga mereka'tidak dapat berbuat sesuatu.
" Glagah Putih dan Sabungsari - desis Agung Sedayu " mendekatlah. -
Keduanya menjadi tegang. Sementara Agung Sedayu berkata - Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian, apa yang telah kami katakan kepada Nyi Dwani untuk memancingnya agar ia bersedia membawa kami kepada Ki Saba Lintang. -
Glagah Putih dan Sabungsaripun telah mendengarkan uraian singkat Agung Sedayu dan sekali-sekali di genapi oleh Sekar Mirah. Bagaimana mereka berhasil membakar kecemburuan Nyi Dwani, sehingga persoalannya telah berkembang menjadi sebagaimana yang terjadi
" Kita harus memelihara perasaan Nyi Dwani itu. Dengan demikian maka akan membawa kita kepada Ki Saba Lintang dan tempat yang mereka pergunakan untuk menyembunyikan Rara Wulan.-
Glagah Putih dan -Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Glagah Putih berdesis - Aku mengerti, kakang. -
- Aku minta semuanya menyesuaikan diri dengan sikap ini. Setiap pembicaraan dengan Nyi Dwani jangan menyimpang, agar Nyi Dwani tidak menjadi curiga dan membatalkan niatnya membawa kita kepada Ki Saba Lintang. Nyi Dwani tentu ingin inembebaskan Rara Wulan, karena ia tidak ingin kehilangan Ki Saba Lintang itu. ~
Orang-orang yang berada di halaman itu berdiri termangu-mangu; Mereka tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan Glagah Putih dan Sabungsari.
Namun mereka melihat Agung Sedayu itu menelan obat yang diambil oleh Glagah Putih dari sebuah bumbung kecil yang disimpan di kantong bajunya.
Dengan demikian, maka mereka mengira bahwa pembicaraan mereka berkisar pada keadaan Agung Sedayu itu sendiri.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu telah minta Glagah Putih dan Sabungsari minta Ki Wijil, Ki Ajar Trikaya, Ki Jayaraga dan Sayoga untuk berkumpul. Sementara itu, mereka diminta pula untuk serba sedikit memberi tahukan, persoalan mereka dengan Nyi Dwani dan Empu Wisanata.
~ Terakhir, kalian panggil Empu Wisanata dan Nyi Dwani untuk naik ke pendapa pula. -
Demikian, sejenak kemudian, merekapun telah duduk di pendapa. Ki Ajar Trikayapun segera mengemukakan, bahwa ia harus membersihkan padepokannya. Di halaman itu, beberapa sosok tubuh terkapar membeku.
" Silahkan Ki Ajar. Tetapi bukanlah Ki Ajar tidak akan melakukan sendiri " ~
-Tidak. Aku akan berbicara dengan para cantrik. -
- Kami mohon maaf Ki Ajar. Kami tidak dapat membantu sekarang. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan. -
" Silahkan. Silahkan. "
Namun Ki Wijillah yang kemudian berkata -- Biarlah aku membantu Ki Ajar Trikaya. Silahkan kalian membicarakan persoalan kalian. "
Agung Sedayu ternyata tidak berkeberatan, sehingga dengan demikian, maka Ki Ajar Trikaya, Ki Wijil dan Sayoga telah turun dari pendapa dan menemui para cantrik. Mereka harus mengumpulkan sosok-sosok tubuh yang terbaring dihalaman. Juga mereka yang terluka yang tangannya sudah terikat.
Dipendapa, Agung Sedayu yang masih lemah itu berkata " Aku minta waktu beberapa saat untuk memperbaiki keadaanku sebelum kita meninggalkan padepokan ini dan menemui Ki Saba Lintang. "
- Silahkan, Ki Lurah - Sahut Empu Wisanata " Kami tahu, keadaan Ki Lurah yang agak mengalami kesulitan. Juga angger Glagah Putih. -
Agung Sedayu memang memerlukan waktu beberapa saat untuk menata.kembali keadaan tubuhnya. Urat-urat nadinya, syarafnya dan degup jantungnya. Dengan mengatur pernafasannya, Agung Sedayu berupaya untuk segera menemukan keseimbangan kembali segala unsur yang ada didalam dirinya.
Namun ternyata Agung Sedayu memang memerlukan waktu.
Ketika Ki Ajar Trikaya sudah memberikan beberapa petunjuk kepada para cantriknya, agar Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk mengatur dirinya dengan tenang, ditunggui oleh Sekar Mirah.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrik masih sempat mempersiapkan minuman bagi mereka yang kemudian duduk di pendapa. Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang juga berada di pendapa itu, duduk dengan gelisah. Mereka merasa berada diantara orang-orang yang asing.
Namun untuk menjaga agar tidak terjadi salah paham atau justru menimbulkan kecurigaan di hati Nyi Dwani dan Empu Wisanata, mereka yang berada di pendapa itu sama sekali tidak berbicara tentang Rara Wulan dan Ki Saba Lintang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah.berhasil memancing kecemburuan Nyi Dwani. Karena itu, perasaan itu harus tetap dijaga agar Nyi Dwani bersedia membawa mereka kepada Ki Saba Lintang dan Rara Wulan.
Ternyata Agung Sedayu memerlukan waktu yang cukup lama. ' Ketika kemudian langit menjadi buram, Agung Sedayu baru merasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur baik. Kekuatannya mulai tumbuh dan berkembang kembali meskipun tidak terlalu cepat. Obat yang telah ditelannya, agaknya sangat membantunya
Di halaman, para cantrik, sibuk mempersiapkan penguburan orang-orang yang telah terbunuh. Para cantrik itu telah mempersiapkan beberapa lubang kubur disebuah kuburan tua, tidak terlalu jauh dari padepokan itu, sedikit agak terpisah dari kuburan yang sudah' ada sebelumnya
" Kuburan itu dihormati oleh orang-orang padukuhan sebelah - berkata Ki Ajar Trikaya kepada Ki Jayaraga yang ikut turun ke halaman.
- Siapakah sosok yang paling dihormati di kuburan itu" -
" Tokoh cikal-bakal padukuhan kecil itu. Ki Semanu. Ialah yang mula-mula membuka hutan untuk satu lingkungan pemukiman. Menurut ceritera orang padukuhan itu, Ki Semanulah yang mampu menaklukkan jin penunggu hutan yang dibuka itu. Jin bertanduk dan bermata bara. Ternyata padukuhan itu semakin lama menjadi semakin ramai juga. Setelah beberapa keturunan, maka penghuni padukuhan itu menjadi semakin banyak. - .
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya - Apakah penguburan itu akan dilakukan sekarang" ~ Atau menunggu besok"
- Semuanya sudah siap - sahut Ki Ajar Trikaya.
" Tetapi senja sudah turun. "
- Ada beberapa obor telah disiapkan. Semakin cepat selesai semakin baik. -
Ki Jayaraga mengangguk-angguk pula.
Seperti dikatakan oleh Ki Ajar, maka sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalkan padepokan menuju ke kuburan tua. Dua orang cantrik yang menemui Ki Bekel di padukuhan sebelah telah kembali dan menyatakan bahwa Ki Bekel tidak berkeberatan untuk memberikan tempat untuk sosok mayat beberapa orang yang dianggap berniat buruk itu.
-Tetapi kuburan bagi mereka itu harus dipisahkan. Kuburan itu tidak boleh terletak diatas gumuk kecil itu. Harus dikubur dipating bawah, didekat tanggul sungai kecil yang mengalir didekat gumuk kecil itu. -
Ki Jayaraga melihat nyala api obor yang. mendahului iring-iringan itu seperti beberapa ekor burung kemamang yang terbang di kegelapan. Burung yang berbulu api, yang dipelihara oleh hantu dan setan.
Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayupun telah menjadi lebih baik. Sementara itu waktu mereka menjadi semakin mendesak. Mereka tidak akan dapat menunggu sampai esok. Malam itu mereka harus berangkat mencari Ki Saba Lintang berdasarkan petunjuk yang akan diberikan oleh Empu Wisanata dan Nyi Dwani. .


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah para cantrik menyuguhkan nasi yang hangat, maka Agung Sedayu telah mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Ki Ajar memang berusaha untuk menahan mereka agar berangkat esok pagi. Tetapi Agung Sedayupun menyahut - Kami mohon maaf, Ki Ajar, bahwa kami telah merepotkan Ki Ajar. Terima kasih atas kesediaan Ki Ajar menyambut kedatangan kami. -
- Sebagaimana kau ketahui, bahwa kalian telah membebaskan padepokan ini dari tangan Empu Tunggul Pawaka. Tentu tidak ada kekuatan yang kami miliki untuk dapat mengusirnya. Tanpa kedatangan Ki Lurah, maka kami tidak akan mampu membebaskan diri kami. ~
~ Kita mempunyai kepentingan yang sejalan, Ki Ajar. Selanjutnya kami mohon agar Empu Wisanata dan Nyi Dwani dapat kami bawa bersama kami. -
- Silahkan, Ki Lurah. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Lurah. "
Empu Wisanatalah yang kemudian menyahut " Aku secara pribadi dan anakku mohon maaf atas segala peristiwa yang telah terjadi disini, Ki Ajar. -
Ki Ajar Trikaya tersenyum. Katanya " Empu tidak melakukannya secara pribadi. Demikian pula yang dilakukan oleh Nyi Dwani yang di padepokan ini dikenal dengan Jaka Dwara. Yang kalian lakukan adalah bagian saja dari kelakuan sekelompok orang yang berbuat secara bersama-sama. Karena itu, mungkin secara pribadi, apa yang kalian lakukan itu justru bertentangan dengan niat yang tersirat dihati kalian sendiri. ~
" Tetapi sudah sewajarnya, bahwa kami harus mengakui kesalahan itu, Ki Ajar. Apalagi aku yang setiap.saat selalu mengawasi Ki Ajar. "
" Tetapi bukankah itu tugas yang dibebankan kepadamu oleh sekelompok orang itu" Atau katakanlah oleh pemimpinmu yang disebut Empu Tunggul Pawaka itu" -
Nyi Dwani mengangguk. Sementara Ki Ajar berkata - Kau tidak mempunyai pilihan lain, Nyi Dwani. jika kau sudah menyatukan diri kedalam satu kelompok, maka yang kau lakukan adalah kelakuan dari kelompok itu. Hanya-kadang-kadang saja' seseorang yang pribadinya kuat- mampu melepaskan diri dari cengkaman kelakuan itu dan tetap berpegang pada sikap pribadinya.
Nyi Dwani menundukkan kepalanya. Tetapi perempuan itu berdesis - Terima-kasih atas pengertian Ki Ajar Trikaya. -
Ki Ajar itu tertawa. Katanya - Aku sudah tua, ngger. Sudah kenyang makan pahit dan manisnya kehidupan. -
Nyi Dwani tidak menyahut lagi. Kepalanya justru tertunduk lesu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan mereka yang datang bersamanya telah siap untuk meninggalkan padepokan itu. Empu Wisanata dan Nyi Dwani' ikut bersama mereka pula.
Dalam pada itu, Ki Ajar itupun berkata - Jadi Ki Wijil juga akan meninggalkan padepokan ini bersama Ki Lurah Agung Sedayu"
" Mereka menitipkan kuda mereka dirumahku, Ki Ajar. Tetapi setelah aku mengantarkan tamu-tamuku, aku akan segera mengunjungi padepokan ini lagi. -
" Terima kasih, Ki Wijil. Lain kali aku juga ingin mempersilahkan Ki Lurah berdua dan kadang yang lain untuk mengunjungi padepokan kecil yang terpencil ini. "
" Kami tidak akan pernah melupakan padepokan ini, Ki Ajar- sahut Agung Sedayu - pada suatu saat, kami akan memerlukan berkunjung ke tempat ini. "
Para cantrik padepokan itupun ikut melepas para tamu itu di halaman. Mereka menganggap bahwa para tamu yang datang itu adalah api yang menyulut keberanian mereka untuk berbuat sesuatu bagi kebebasan mereka.
Kepada para cantrik Agung Sedayu dan mereka yang datang bersamanya itu melambaikan tangannya. Sementara itu Agung Sedayu sempat berbisik kepada Ki Ajar - Maaf Ki Ajar. Aku mohon orang-orang yang ditahan disini, jangan sampai ada yang dapat melepaskan diri dalam waktu dekat ini. Jika seorang saja dari antara mereka terlepas, maka tugas kami akan dapat menjadi gagal. -
Ki Ajar Trikaya mengangguk sambil menjawab lirih - Baik, Ki Lurah. Aku akan berusaha bersama para cantrik. Sementara orang:orang yang paling berbahaya sudah tidak ada lagi. Ki Lurah sudah menghabisi Empu Tunggul Pawaka. "
Demikianlah, maka sejenak kemudian maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan padepokan itu. Empu Wisanata dan Nyi Dwani menuntun kuda mereka, sementara yang lain berjalan kaki, karena kuda-kuda mereka, mereka titipkan * dirumah Ki Wijil.
Malam yang gelappun telah menyelubungi Gunung Kukusan. Namun iring-iringan itu berjalan terus. Mereka adalah orang-orang yang terlatih, sehingga penglihatan merekapun cukup tajam untuk mengamati jalan yang rumpil. Lorong sempit berbatu-batu padas. Kadang-kadang menurun, kadang-kadang sedikit menanjak.
. Meskipun sebenarnya kekuatan dan tenaga Agung Sedayu belum pulih seutuhnya, tetapi keadaannya sudah menjadi semakin baik. Agung Sedayu berharap, bahwa jika saatnya mereka sampai di tempat Ki Saba Lintang, keadaannya sudah benar-benar pulih.
Agung Sedayu menduga, bahwa di tempat tinggal Ki Saba . Lintang, yang barangkali justru pusat pengendalian dari gerakan orang-orang yang berniat untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati itu, terdapat juga orang-orang berilmu tinggi sebagaimana Empu Tunggul Pawaka.
Iring-iringan kecil itu bergerak terus menembus gelapnya malam; Bukan saja karena malam yang semakin dalam, tetapi kabutpun telah menyelimuti kaki Gunung Kukusan itu.
Ketika kemudian mereka sampai dirumah Ki Wijil, mereka hanya sempat beristirahat sejenak. Nyi Wijil masih sempat menghidangkan minuman dan makanan. Namun sekelompok orang itu tidak dapat menghabiskan malam itu di rumah Ki Wijil. Mereka harus melanjutkan perjalanan.
" Kita masih mempunyai waktu sehari untuk menempuh perjalanan esok " berkata Ki Jayaraga.
" Ya. Sebaiknya kita sampai tujuan menjelang malam. Ada beberapa keuntungan yang kita dapatkan dengan kegelapan yang kemudian turun. - berkata Empu Wisanata.
Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis " Kita memang tidak terlalu tergesa-gesa. Kita dapat beristirahat lebih lama. Tetapi kita akan segera berangkat lagi. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. "
Ki Wijillah yang kemudian berdesis " Biarlah aku ikut bersama Ki Lurah. ~
Agung Sedayu memandang Ki Wijil dengan kerut di kening.
Dengan nada dalam iapun berkata ~ Kami telah terlalu banyak menyibukkan Ki Wijil. Pertolongan Ki Wijil sudah cukup besar sampai saat ini. ~
" Tiba-tiba saja aku ingin melepaskan kejenuhanku. Sudah terlalu lama aku tinggal dirumah saja. Setiap pagi pergi ke sawah. Kemudian saat matahari turuni pulang dengan tubuh yang basah oleh keringat. Demikian juga anakku dan yang tidak lebih sibuknya adalah Nyi Wijil. Kesibukan yang itu-itu saja. Masak dan kemudian membawa ke sawah. Mencuci pakaian dan mengisi jambangan. Agaknya Nyi Wijilpun sekali-sekali ingin melihat apa yang terjadi diluar rumahnya. Ingin menghindari panasnya perapian saat-saat ia membuat gula kelapa. -
" Maksud Ki Wijil" -
Ki Wijilpun kemudian berpaling kepada isterinya yang telah menghidangkan minuman dan makanan. Katanya kepada isterinya -Bagaimana menurut pendapatmu" Aku melihat keinginan itu disorot matamu. -
Nyi Wijil tertawa. Katanya - Aku sudah semakin tua. "
" Aku juga ~ jawab Ki Wijil - tetapi bukankah orang-orang tua sekali-sekali juga membuat hatinya menjadi lebih segar dengan kesibukan yang berbeda dari kesibukan sehari-hari. -
Nyi Wijil tertawa. Katanya - Kakang masih saja seperti' remaja yang sedang jatuh cinta. -
Ki Wijilpun tertawa pula. Bahkan orang-orang yang mendengarnya ikut tersenyum pula.
Tetapi Ki Wijil justru berpaling kepada Nyi Dwani. Katanya -- Beginikah tingkah laku orang-orang yang sedang jatuh cinta" -
- Ah " Nyi Dwani tidak menjawab.
Namun Nyi Wijil itupun kemudian berkata - Baiklah. Aku ikut bersama Ki Lurah dan Nyi Lurah. Kehadiran Nyi Lurah memang membuat jantungku berdebar lebih cepat. Darahku rasa-rasanya telah dipanasi oleh sikapnya. -
Agung Sedayu dan orang-orang yang hadir dirumah Ki Wijil itu segera menyadari, bahwa Nyi Wijilpun bukan orang kebanyakan. Ia tentu juga seorang berilmu tinggi sebagaimana Ki Wijil sendiri.
Bahkan Ki Wijil itupun kemudian berkata - Jika sempat, kami ingin singgah di Kepatihan Mataram. -
" Kami akan mengantarkan Ki Wijil dan Nyi Wijil jika Ki Wijil dan Nyi Wijil ingin singgah di Kepatihan Mataram. -
- Sudah lama sekali kami tidak bertemu - berkata Ki Wijil selanjurnya.
Untuk beberapa saat, mereka yang berada dirumah Ki Wijil itu sempat beristirahat. Minuman hangat, makananan, dan Glagah Putih itupun menjadi heran. Selagi orang-orang lain sibuk berbincang, Sayoga itu dapat tidur mendekur. Apalagi nampaknya iapun merasa letih setelah berjalan dan bahkan berkelahi di padepokan Ki Ajar Trikaya.
Nyi Wijil yang melihat anaknya tidur diamben yang besar diruang dalam itupun tersenyum. Katanya " Anak itu memang pemalas. Demikian ia duduk dan apalagi berbaring, maka ia tentu akan mendenkur.
Kemudian Ki wijil pun berkata " Siapa yang ingin tidur, silahkan. Ki Lurah tentu akan segera membangunkannya jika kita akan berangkat. -
Tetapi Glagah Putihlah yang menjawab -- Jika aku juga berbaring dan tertidur, mungkin baru besok siang .aku dapat dibangunkan. -
Sabungsari yang duduk bersandar dinding dengan mata yang hampir terpejam, tersenyum sambil menjawab " Matakulah yang hampir terpejam. Tetapi aku juga tidak berani berbaring. -
" Kita memang dikejar oleh waktu - berkata Agung Sedayu kemudian.
Namun Agung Sedayu memang memberi waktu untuk beristirahat, sambil menunggu Nyi Wijil mempersiapkan diri, sementara itu, seorang pembantu Ki Wijil tengah sibuk menyiapkan kuda-kuda mereka yang akan melanjutkan perjalanan itu.
Ketika Glagah Putih dan Sabungsari mendengar ringkik seekor kuda, maka merekapun mengerti, bahwa seseorang tengah mempersiapkan kuda-kuda mereka, sehingga merekapun telah keluar pula dari ruang dalam dan pergi ke belakang untuk membantu menyiapkan kuda-kuda yang akan menempuh perjalanan panjang.
Beberapa saat kemudian, Nyi Wijilpun sudah siap. Demikian keluar dari ruang dalam, Ki Jayaragapun memandanginya sambil mengerutkan dahinya Hampir diluar sadarnya ia berdesis - Apakah aku berhadapan dengan Srigunting Kuning" -
Nyi Wijil itu terkejut. Dengan nada tinggi ia bertanya - Ki Jayaraga mengenal Srigunting Kuning" "
" Ya Aku pernah hidup dipesisir Utara. Beberapa puluh tahun yang lalu. Masa-masa buruk yang pernah aku jalani. -
Nyi Wijil itu tersenyum. Katanya ~ Apakah menurut pendapat Ki Jayaraga, umur Srigunting Kuning itu sekarang seumurku" -
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Katanya - Aku belum pernah langsung berhubungan dengan Srigunting Kuning. Tetapi ciri-ciri yang aku lihat pada Nyi Wijil sama dengan ciri-ciri yang pernah aku dengar, dikenakan oleh Srigunting Kuning. -
Ki Wijilpun tertawa pula. Katanya - Ki Jayaraga hampir benar. -
Ki Jayaraga-menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata " Hampir benar. Jadi aku tidak berhadapan dengan Srigunting Kuning itu sendiri. -
" Srigunting Kuning adalah kakak seperguruanku - berkata Nyi Wijil kemudian " Ia sudah terlalu tua. Tetapi sebelum Srigunting Kuning hilang dari dunia olah kanuragan, ia sudah berubah. "
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Wijilpun berkata - Aku sudah memperingatkan Nyi Wijil untuk tidak mengenakan ciri-ciri perguruannya, justru ada kesan yang suram pada salah seorang saudara seperguruannya. Tetapi Nyi Wijil justru ingin memperbaiki citra perguruannya. Dengan ciri-ciri perguruannya, ia melakukan tugas-tugas kemanusiaan. Agaknya yang tertangkap oleh Ki Jayaraga adalah justru warna-warna buram dari Srigunting Kuning. ~
" Aku kemudian meninggalkan pesisir Utara, mengembara kemana-mana. Aku selalu dikejar oleh perasaan kecewa. Tidak seorangpun muridku yang akhirnya menjadi seorang yang baik. Semuanya menjadi penjahat yang tidak tanggung-tanggung. Baru kemudian aku menemukan seorang murid yang dapat memberikan kebanggaan kepadaku. Namun bukan akulah yang membentuk pribadinya. Aku menemukan seseorang yang kepribadiannya sudah terbentuk. -
" Srigunting Kuning yang kemudian itupun tidak terlalu lama berada di pesisir Utara. Ketika segalanya bergeser ke Selatan maka Srigunting Kuning itupun hilang dari pesisir Utara dan berada di sisi Selatan.
Nyi Wijil tersenyum. Katanya ~ Aku beruntung menjadi isteri Ki Wijil. Aku tanggalkan segala-galanya. Namun sekali-sekali saja dalam keadaan yang sangat penting, aku mengenakan kelengkapan dan ciri-ciri yang dapat dikenali sebagai Srikunting Kuning. Tetapi Ki Patih Mandaraka tidak berkeberatan aku mengenakan ciri-ciri ini. -
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia memang belum pernah berhadapan langsung dengan seorang perempuan yang disebut Sringunting Kuning. Seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam. Kemudian garis-garis kuning terdapat dibagian leher, pergelangan tangan dan ujung celana hitamnya. Perempuan itu juga mengenakan ikat pinggang kuning dan selempang kuning didadanya, sementara di pinggangnya tergantung sepasang pedang disebelah-menyebelah.
Sekar Mirah yang melihat sepasang pedang itupun segera teringat kepada Pandan Wangi, isteri kakaknya, Swandaru. Pandan Wangi juga menyandang sepasang pedang jika ia mengenakan pakaian khususnya. Tetapi tidak dengan ciri-ciri yang lain. -
Sejenak kemudian, maka segala sesuatunya sudah siap. Minuman dan makananpun telah hampir habis pula. Karena itu, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk berangkat.
Kuda-kudapun sudah diikat dihalaman. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih masih memerlukan untuk makan sebutir obat untuk memacu agar kekuatan tubuh mereka segera pulih kembali seutuhnya.
Nyi Wijillah yang kemudian membangunkan Sayoga yang masih tidur mendengkur.
Demikian Sayoga bangun, iapun terkejut melihat ibunya telah bersiap dengan pakaian khususnya yang sudah jarang sekali dikenakannya.
- Apa yang akan ibu lakukan" -
- Ayah dan ibu akan pergi bersama Ki Lurah Agung Sedayu. Bagaimana dengan kau" Apakah kau akan ikut atau tidak" --
" Aku tidak mau dirumah sendiri. "
" Bukankah ada beberapa orang pembantu yang menemanimu" -
- Aku ikut bersama ayah dan ibu. -
" Jika demikian bersiaplah. Kita tidak akan pergi bertamasya " berkata Nyi Wijil.
" Tetapi kenapa ibu harus mengenakan pakaian itu" Jika ibu melepas selempang dan ikat pinggang itu dan kemudian mengenakan yang lain, kesannya sudah akan berbeda. -
- Kali ini aku terdorong satu keinginan untuk mengenakannya, Sayoga. Ayahpun juga tidak berkeberatan. Yang lainpun tidak. "
" Tetapi ibu sudah tidak muda lagi. Rambut ibu sudah ubanan. " '
" Apa salahnya. Ibumu sudah menyembunyikan ubannya dibawah ikat kepalanya. - Sahut Ki Wijil'.
" Ah, agaknya ayahlah yang merindukan masa-masa lalu itu.-
Yang mendengarkanpun tertawa pula. Bahkan Nyi Dwani yang tegang sempat juga tersenyum.
Namun yang kemudian terlintas di kepala Nyi Dwani adalah sebuah kekuatan yang besar, yang akan dapat menghancurkan kekuatan Ki Saba Lintang. Karena itu, maka ia masih sempat berbisik di telinga Sekar Mirah " Nyi Lurah. Bukankah Ki Lurah hanya sekedar ingin membebaskan Rara Wulan" -
" Ya. Ia akan sangat menderita jika ia harus melayani kemauan Ki Saba'Lintang. -
~ Tetapi tidak lebih dari itu" "
" Tentu. - " Tetapi kelompok ini akan menjadi kelompok yang sangat kuat. Aku tidak ingin Ki Lurah menghancurkan kekuatan Ki Saba Lintang. "
" Tentu tidak. - " Tetapi Ki Lurah sudah menghancurkan kekuatan Empu Tunggul Pawaka. "--
" Itu terjadi begitu tiba-tiba. Justru saat kami belum siap menghadapi kenyataan yang ada di padepokan itu. -
Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Jika terjadi sesuatu dengan Ki Saba Lintang, maka perasaannyapun akan tertusuk pula.
Tetapi Nyi Dwani tidak mau membayangkan, bahwa ada seorang gadis di sarang Ki Saba Lintang. Jika benar Rara Wulan diambil oleh Ki Saba Lintang, maka ia tidak akan membiarkannya.
Karena itu, maka dorongan untuk menemui Ki Saba Lintang itu ternyata lebih besar dari kekhawatiran Nyi Dwani bahwa Agung Sedayu akan melumpuhkan kekuatan Ki Saba Lintang. Apalagi Nyi Dwanipun yakin, bahwa didalam sarang Ki Saba Lintang tentu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi yang akan dapat melindungi Ki Saba Lintang.
Demikianlah, sebelum fajar, sebuah iring-iringan kecil telah mulai bergerak. Untuk tidak menarik perhatian orang di perjalanan, maka mereka tidak bersama-sama. Iring-iringan itu telah dipecah menjadi beberapa kelompok kecil yang berjarak beberapa puluh langkah.
Meskipun demikian, orang-orang itupun sadar, bahwa pakaian yang mereka kenakan, terutama pakaian beberapa orang perempuan yang ada diantara mereka, agak berbeda dengan pakaian orang kebanyakan.
Namun sekilas, Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Nyi Wijil, nampak sebagaimana orang laki-laki yang menempuh perjalanan bersama mereka.
Bahkan mereka meniru pakaian yang dikenakan oleh Nyi Dwani pada saat ia menyebut dirinya Jaka Dwara. Sekar Mirah dan Nyi Wijilpun juga mengenakan ikat kepala.
Nyi Dwani dan Empu Wisanatalah yang menuntun perjalanan itu. Mereka berpacu dengan waktu. Meskipun demikian, ketika kemudian matahari terbit, mereka tidak dapat berpacu dengan waktu. Meskipun demikian, ketika kemudian matahari terbit, mereka tidak dapat berpacu tanpa menghiraukan jalan yang mereka lewati
Ternyata jalan yang mereka lewati cukup panjang. Beberapa kali mereka harus berhenti dan memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Merekapun berhenti ketika haus dan lapar terasa menggelitik perut dan kerongkongan.
" Tetapi mereka tidak berhenti disatu kedai. Ketika mereka berhenti didepan sebuah pasar, mereka telah membagi diri kedalam empat buah kedai. Nyi Dwani dan Empu Wisanata masuk kedalam sebuah kedai bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sementara itu yang lainpun memilih kedai yang berlainan.
Agung Sedayu dan orang-orang yang sudah terbiasa mengembara segera mengetahui kemana mereka pergi.
Semula Agung Sedayu memang agak cemas, ketika jalan yang ditempuhnya serasa menuju ke Sangkal Putung. Namun demikian mereka melewati Cawas, maka merekapun berbelok mengikuti alur Kali Dengkek, tetapi kearah udik.
- Apakah kita akan pergi ke Prambanan" ~ bertanya Agung Sedayu kepada Empu Wisanata.
- Salah satu tempat untuk bertemu adalah Prambanan ~ berkata Empu Wisanata dengan berterus terang,
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Ketika mereka mendekati Taji, maka merekapun mengambil jalan sempit menuju ke Prambanan, meninggalkan alur kali Dengkeng mendekati Kali Opak.
- Kami akan pergi ke hutan disebelah utara Prambanan. Ada sebuah padukuhan kecil yang kemudian dipergunakan seutuhnya sebagai satu padepokan. Padepokan itu salah satu padepokan yang dipergunakan oleh Ki Saba Lintang. Ada beberapa orang pendukung, Ki Saba Lintang yang ada di padepokan itu " berkata Nyi Dwani.
- Jadi bagaimana dengan kami" - bertanya Agung Sedayu.
- Jika .kalian percaya kepada kami, maka biarlah kami memasuki padepokan itu untuk menemui Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang ada di padepokan itu, maka Rara Wulan tentu juga berada di padepokan itu.
Agung Sedayupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Aku percaya kepadamu, Nyi Dwani. Tetapi kaupun harus menghormati kepercayaan yang aku berikan kepadamu. Aku juga tidak ingin menahan Empu Wisanata, karena jika Nyi Dwani datang seorang diri, akan dapat menimbulkan kecurigaan. -
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Ia merasa ragu, apakah Nyi'Dwani tidak berubah pikiran, atau'justru mencari kebenaran berita bahwa Ki Saba Lintang telah menginginkan Rara Wulan dan bahkan menculiknya.
Tetapi nampaknya sorot mata Nyi Dwani memancarkan gejolak perasaannya sebagai seorang perempuan. Apapun yang dikatakan oleh Saba Lintang, tentu tidak akan mudah dipercayainya.
Apalagi jika Nyi Dwani melihat, bahwa Rara Wulan memang ada di sarang Ki Saba Lintang.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah memberitahukan kepada orang-orang yang datang bersamanya, bahwa mereka akan .melepaskan Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk pergi ke sebuah padepokan kecil. Salah satu dari beberapa sarang Ki Saba Lintang.
Empu Wisanatalah yang kemudian menjelaskan " Aku sudah berhutang budi terhadap kalian. Jika saja kalian mau, sudah dua kali aku terbunuh. Di Tanah Perdikan Menoreh dan di padepokan Ki Ajar Trikaya. Tetapi ternyata aku masih hidup. Betapapun hitamnya warna jantungku, namun aku masih juga mempunyai perasaan. Apalagi aku hanyut kedalam arus usaha Ki Saba Lintang, semata-mata karena aku ingin melindungi anak perempuanku.
Beberapa orang memang menjadi ragu-ragu. Banyak hal yang dapat terjadi. Jikp Nyi Dwani ingkar, maka persoalannya akan menjadi lain. Bahkan mungkin jiwa Rara Wulanpun terancam.
Namun dalam keragu-raguan itu, Ki Jayaragapun berkata -Aku sependapat dengan Ki Lurah. Biarlah Nyi Dwani dan Empu Wisanata pergi ke padepokan itu. Aku percaya bahwa keduanya akan berpegang pada janji mereka. -
" Nah. Jika demikian, aku persilahkan Empu Wisanata dan Nyi Dwani pergi ke padepokan itu. "
Justru Nyi Dwanilah yang kemudian termangu-mangu. Namun kemudian berdua bersama Empu Wisanata, Nyi Dwani itupun melarikan kudanya menuju ke padukuhan kecil yang telah dijadikan sebuah padepokan, dekat hutan disebelah Utara Prambanan.
Agung Sedayu dan yang lainpun telah mencari tempat untuk menunggu. Mereka telah menjauhi jalur jalan dan berada di sebuah padang perdu. Embu Wisanata dan Nyi Dwani akan menemui mereka ditempat ini. Jika tidak mungkin kedua-duanya, maka salah seorang dari mereka akan datang dan mengabarkan apa yang terjadi di padukuhan yang telah menjadi padepokan itu.
Dalam pada itu, gelap malam telah menyelimuti bumi. Langit yang baru ditaburi beribu bintang yang berkeredipan. Lembaran-lembaran awan tipis melintas didorong angin ke Utara.
Dingin malam mulai menyentuh kulit. Semilir angin lembut menggoyang daun perdu yang tumbuh disekitar mereka.
Dalam pada itu Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi semakin dekat dengan padepokan disebelah hutan itu. Bagaimanapun juga jantung mereka menjadi berdebar-debar.
" Ayah ~ bertanya Nyi Dwani kemudian - apakah kakang Saba Lintang akan menjadi sangat marah jika aku melepaskan Rara Wulan tanpa mendapat persetujuannya" "
-- Saba Lintang tentu akan marah. Tetapi kemarahannya tidak akan berbahaya bagimu, Dwani.-
" Jadi menurut ayah, langkah yang aku ambil sudah benar" -
" Aku tahu perasaanmu Dwani. Kau tentu tidak mau ada seorang perempuan lain yang mengotori perasaan Saba Lintang. Karena itu, maka kau memang tidak mempunyai pilihan lain. -
" Aku harus melemparkan Rara Wulan dari tangan Kakang Saba Lintang. -
" Tetapi bukan salah Rara Wulan. Gadis itu tentu sudah menjadi ketakutan. -
Nyi Dwani mengangguk sambil menjawab -- Ya. Memang bukan salah Rara Wulan. -
Empu Wisanata tidak menyahut lagi. Didepan mereka adalah gerbang padukuhan yang telah dijadikan padepokan.
Ketika kuda mereka berderap memasuki gerbang, maka beberapa orang bersenjata berlari-lari mendekat. Dengan tombak yang merunduk seorang yang bertubuh tinggi, tegap bertanya -Siapa kalian dan untuk apa kalian kemari" "
Nyi Dwani yang masih duduk di punggung kuda telah menendang tombak itu sehingga terlepas dari genggaman. Karena itu, maka dua orang yang lain telah meloncat sambil menjulurkan senjata mereka
" Buka matamu, siapa aku" -
Orang-orang itu tertegun. Baru kemudian mereka melihat dikeremangan malam Nyi Dwani dan Empu Wisanata.
" Ampun, Nyi. Kami tidak tahu, bahwa Nyi Dwani dan Empu Wisanatalah yang telah datang ke padepokan ini. -
Nyi Dwani dan Empu Wisanatapun kemudian meloncat dari punggung kudanya. Dilepaskannya saja kuda mereka di halaman. Dua orang diantara mereka yang mengerumuninya itu dengan serta-merta telah menangkap kendali kuda-kuda itu dan membawanya menepi, mengikat di patok-patok yang telah disediakan disebelah pendapa bangunan induk padepokan yang semula agaknya banjar padukuhan itu yang terletak dekat dengan pintu gerbang.
Nyi Dwanilah yang kemudian dengan tergesa-gesa naik ke pendapa.
Seorang yang berada di pringgitan dengan tergesa-gesa menyongsong dan mempersilahkannya duduk.
- Di mana kakang Saba Lintang" -
- Ki Saba Lintang tidak sedang berada di padepokan ini, Nyi - jawab orang itu.
~ Kemana" - Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab ~ Ki Saba Lintang berada di Menoreh, Nyi. ~
- Di Menoreh" Di Klajor maksudmu" "
- Ya, Nyi.- - Sejak kapan" - - Sepekan yang lalu. "
- Sepekan yang lalu" "
-"Ya, Nyi- - Kenapa kakang Saba Lintang tidak memberi tahu aku" -
- Hari ini dua orang menuju ke Gunung Kukusan. "
- Kenapa baru hari ini" -
- Ki Saba Lintang memang berpesan, agar hari ini, maksudnya sepekan setelah Ki Saba Lintang berangkat, Nyi Dwani di persilahkan menyusul ke Klajor. -
Jantung Nyi Dwani berdebar semakin cepat. Berbagai macam bayangan melintas di kepalanya.
Namun kemudian Nyi Dwani itupun bertanya " Siapa yang diserahi pimpinan disini sekarang"-
- Ki Carang Parang. - - Ki Carang Parang.-Orang itu mengangguk.
--.Panggil Ki Carang Parang itu kemari. -
Orang itupun kemudian meninggalkan pringgitan, sementara Nyi Dwani dan Empu Wisanata .masih tetap berdiri sambil melangkah mengitari pringgitan itu.
Sejenak kemudian, orang yang disebut Ki Carang Parung itupun muncul dari pintu pringgitan. Demikian ia melihat Empu Wisanata dan Nyi Dwani, maka iapun mengangguk-angguk;
" Selamat datang Empu Wisanata dan Nyi Dwani. -
" Kapan kakang Saba Lintang pergi ke Klajor" -
~ Sepekan yang lalu, Nyi. Tadi siang, dua orang justru sedang menuju ke ujung Kali Geduwang untuk menyusul Nyi Dwani. "
" Kenapa baru hari ini" Jika kakang Saba Lintang berpesan agar setelah sepekan aku menyusul, dan hari ini baru ada orang menyusul aku, berarti akn kehilangan waktu dua hari. -
-- Pesannya memang demikian. Nyi. Sepekan setelah keberangkatannya, maka Nyi Dwani supaya disusul dan diberi tahu, untuk pergi ke Klajor. -
" Kalian tentu tidak mendengarkan pesan kakang Saba Lintang dengan baik. -
" Benar, Nyi. Kami tidak salah. -
" Kenapa tiba-tiba saja kakang Saba Lintang pergi ke Tanah Perdikan" -
" Kami tidak diberi tahu Nyi. Tetapi agaknya ada sesuatu yang penting. "
" Kenapa kakang Saba Lintang tidak memanggil aku lebih dahulu dan bersama-sama pergi ke Klajor di Menoreh. -
" Aku tidak tahu, Nyi; -
" Agaknya kau menyembunyikan sesuatu. -
" Benar, Nyi. Aku tidak tahu. -
Nyi Dwani memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berkata ~ Aku akan pergi ke Klajor sekarang.'--
"Sekarang" Malam ini" "
" Ya. -- " Kenapa tidak esok pagi saja, Nyi. Bukankah masih ada waktu sampai esok" -
" Tidak. Aku akan pergi sekarang. Mari ayah. -
"Nyi Dwani dapat beristirahat disini malam ini"
Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi iapun segera turun ke halaman diikuti oleh Empu Wisanata.
Sejenak kemudian, kedua ekor kuda itu sudah berlari meninggalkan padepokan itu.
Demikian mereka keluar dari regol padepokan, Nyi Dwani itupun berkata ~ Agaknya yang dikatakan oleh Ki Lurah itu, benar ayah. Kakang Saba Lintang sengaja meninggalkan aku untuk mendapat kesempatan, mengambil gadis itu. -
" Memang mungkin, Dwani. Tetapi gadis itu tidak bersalah.-
"Aku mengerti. Rara Wulan tentu tidak akan memilih seorang duda yang dahinya sudah mulai berkerut. Tetapi seharusnya Rara Wulan itu sempat melawan. "
"Rara Wulan tidak mempunyai tenaga dan kemampuan yang cukup untuk melawan Ki Saba Lintang. -
" Kenapa ia tidak berteriak atau berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. -
" Jika saja ia sempat, maka ia tentu akan melakukannya. -Nyi Dwani tidak bertanya lagi. Namun kudanyapun berlari lebih kencang lagi meskipun malam menjadi semakin gelap.
Beberapa saat kemudian, Nyi Dwani dan Empu Wisanata telah bertemu dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan orang-orang yang menunggu bersama mereka. Dengan singkat Nyi Dwani menceriterakan, bahwa Ki Saba Lintang berada di Klajor.
- Klajor di Tanah Perdikan Menoreh" -
- Ya - jawab Nyi Dwani. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya - Jadi semua gerakan Ki Saba Lintang di Tanah Perdikan itu digerakkan dari Klajor" -
Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk.
-Jadi, kita harus pergi ke Klajor"- bertanya Agung Sedayu kemudian.
-Ya " jawab Nyi Dwani " jika kedua orang ku sempat sampai di padepokan Ki Ajar Trikaya dan lepas dari tangan para cantrik, maka keduanya akan dapat segera menghubungi kakang Saba Lintang. Karena itu, maka kita harus lebih dahulu sampai di Tanah Perdikan Menoreh. -
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Iapun menjadi cemas. Jika kedua orang yang pergi ke ujung Kali Keduwang itu sempat lebih dahulu menghubungi Ki Saba Lintang, maka semua rencana itu akan gagal.
Karena itu, maka iring-iringan itupun telah bergerak lagi. Mereka langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Jarak yang masih terhitung panjang.
- Kita menghindari Mataram - berkata Agung Sedayu. Agung Sedayu tidak perlu lagi petunjuk dari Nyi Dwani, jalan manakah yang harus mereka tempuh. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayulah yang kemudian berada di depan bersamaan dengan Sekar Mirah. Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari berkuda dibelakang Empu Wisanata dan Nyi Dwani, sedangkan yang lain sengaja membuat jarak.
Malam itu mereka harus sampai ke Klajor. Meskipun kedua orang dari Prambanan itu baru berangkat hari itu, namun mungkin sekali orang itu akan berusaha secepatnya sampai di Klajor setelah mereka mengetahui, bahwa rahasia padepokan Ki Ajar Trikaya telah pecah.
" Jika mereka sampai di padepokan Ki Ajar, mudah-mudahan Ki Ajar dan para cantrik tanggap sehingga mereka tidak akan dapat keluar lagi dari padepokan. -
Tetapi jika yang terjadi tidak sebagaimana yang mereka harapkan, maka persoalannya akan menjadi lain.
Demikianlah, maka iring-iringan itu berjalan terus meskipun malam menjadi semakin pekat. Namun bintang-bintang di langit sedikit memberikan cahaya yang cukup bagi mereka yang penglihatannya cukup terlatih.
Namun bagaimanapun juga mereka tidak dapat memaksa kuda-kuda mereka berlari tanpa henti. Karena itu, maka mereka harus memberikan kesempatan kuda-kuda mereka berhenti beristirahat. Minum air dari parit yang jernih serta sedikit makan rumput yang tumbuh di tanggul-tanggul di pinggir jalan.
Di dini hari mereka sampai di tepian Kali Praga. Agung
Sedayu terpaksa membangunkan tukang satang yang tertidur disebuah gubug kecil di tepian, beralaskan tikar pandan yang kasar.
-- Ada kawannya Ki Sanak" - bertanya Agung Sedayu.
Seorang tukang satang terbangun. Sambil menggeliat iapun menjawab ~ Ada. Apakah kalian akan menyeberang" - .
-Ya.-- - Tetapi upahnya rangkap di malam hari. Nanti aku harus menyeberang kembali tanpa penumpang. -
- Kenapa tidak menunggu saja diseberang" -
- Bagianku sebelah Timur malam ini. -
_Baik. Aku akan mengupah lipat dari biasanya. "
Ketika dua orang tukang satang keluar dari gubugnya, iapun berkata - Tentu tidak dapat sekali menyeberang, karena kalian masing-masing membawa seekor kuda. "
- Pakai dua rakit sekaligus - jawab Agung Sedayu.
Orang itu mengangguk. Iapun kemudian membangunkan kawannya yang tidur di gubug kecil yang lain.
Sejenak kemudian, maka dua buah rakit telah menyeberang. Sambil duduk diatas rakit, Agung Sedayupun bertanya - Apakah malam ini ada dua orang berkuda yang menyeberang" -
Tukang satang itu menggeleng. Katanya ~ Aku tidak membawanya. Tetapi agaknya aku juga tidak melihat rakit yang bergerak. -
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Beberapa saat kemudian, maka dua buah rakit itu telah menepi disisi Barat Kali Praga. Setelah membayar upahnya, maka merekapun segera meneruskan perjalanan. Mereka berharap untuk sampai di Klajor selagi malam masih gelap.
Iring-iringan itu masih harus menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan untuk beberapa lama. Agung Sedayu memang berharap agar mereka tidak bertemu dengan peronda. Sementara itu, iring-iringan itupun telah menghindari padukuhan-padukuhan yang akan dapat menghambat tugas-tugas yang sedang mereka lakukan. Para peronda di padukuhan-padukuhan itu akan dapat mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bahkan mungkin akan ada yang mengambil langkah-langkah sendiri yang tidak saling mendukung.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itupun telah sampai di jalan yang mulai menanjak di daerah pebukitan. Namun kemudian Agung Sedayupun berhenti diantara gumuk-gumuk kecil.
- Kita sudah sampai di pategalan di luar padukuhan Klajor. -
- Ya - sahut Nyi Dwani - biarlah aku dan ayah pergi ke sarang kakang Saba Lintang. Rumah yang dipergunakan itu, memang tidak berada di padukuhan Klajor itu sendiri. Tetapi sedikit dialasnya, dibalik sebuah gumuk kecil. -
-Gurnuk kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon randu alas dan cangkring. "
- Ya. - - Yang ada mata airnya" -
- Ya. - Agung Sedayu menarik nafas. Tempat itu memang agak tersembunyi. Tetapi bahwa Ki Saba Lintang membuat sarangnya ditempat itu, adalah pilihan tempat yang sangat tepat.
Seperti di Prambanan, maka Agung Sedayu telah melepas Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk pergi ke sarang Ki Saba Lintang.
Di kegelapan sisa malam, maka Nyi Dwani dan Empu Wisanatapun telah menempuh ujung perjalanannya. Jalan memang agak sulit. Batu-batu padas yang runcing dan tanah yang miring. Namun Nyi Dwani sudah beberapa kali pergi ke tempat itu bersama Ki Saba Lintang dan Empu Wisanata.
Perjalanan mereka terhenti, ketika dua orang pengawas dengan tiba-tiba telah meloncat menghentikan mereka. Namun Nyi Dwanipun telah membentak mereka - Apakah kalian sudah menjadi buta" -
- O, Nyi Dwani - desis salah seorang dari mereka.
Nyi Dwani tidak menyahut. Tetapi kudanyapun berjalan terus.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, mereka mendekati sebuah lingkungan yang dipagari rapat dengan bambu utuh yang berjajar rapat Lingkungan yang tidak terlalu luas.
Sejenak kemudian, maka kuda Nyi Dwani dan Empu Wisanatapun telah bergerak memasuki regol yang dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Namun ketika orang-orang yang bertugas itu melihat Nyi Dwani dan Empu Wisanata, maka merekapun segera mempersilahkan keduanya masuk.
Sambil menyeberang Halaman, Nyi Dwani dan ayahnyapun telah mematangkan sikap yang akan mereka ambil menghadapi Ki Saba Lintang.
Keduanyapun kemudian meloncat turun ke halaman. Menyerahkan kuda mereka kepada seorang petugas yang sengaja datang menyongsong mereka.
" Dimana Ki Saba Lintang" - berkata Nyi Dwani kepada seorang yang dengan tergesa-gesa turun dari tangga pendapa.
" Ada di dalam, Nyi " jawab orang itu - apakah aku harus memberitahukan kepada Ki Saba Lintang" Atau Nyi Dwani langsung saja masuk keruang dalam" -
~ Siapa yang ada diruang dalam" -
- Ada beberapa orang. "
- Laki-laki atau perempuan" -
Orang itu menjadi heran. Dengan kerut didahi iapun menjawab ~ Tentu laki-laki Nyi. Bukankah disini, ditempat yang bersifat sementara ini tidak ada perempuan" -
" Aku sudah mengerti, dungu. Tetapi bukankah disini sekarang ada seorang perempuan - Nyi Dwani mencoba memancing.
Jawab orang itu membuat jantung Nyi Dwani bagaikan membara. Katanya ~ O, maksud Nyi Dwani gadis cantik dari Menoreh"-
Tetapi Nyi Dwani berusaha menahan gejolak didadanya. Bahkan iapun tersenyum sambil bertanya - Jadi gadis itu cantik" -
- Cantik sekali, Nyi. - Jilid 313 NYI DWANI tidak bertanya lagi. Ia mencemaskan dirinya sendiri. Jika jantungnya meledak, maka ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya sendiri, sehingga dengan demikian rencananya justru akan gagal.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kemudian Nyi Dwani masuk kcruang dalam bersama Empu Wisanata, maka dilihatnya dua orang yang duduk terkantuk-kantuk. Tetapi ketika pintu berderit, maka keduanya terkejut.
Keduanya segera bangkit berdiri dan mempersilahkan Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk duduk.
- Dimana Ki Saba Lintang" -
- Tidur Nyi. - - Dimana" - - Di bilik sebelah. "
- Sendiri" - - Ya, sendiri. Apakah aku harus membangunkannya" -Nyi Dwani tersenyum. Katanya - Aku akan menyusulnya. -
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa pendek sambil berdesis
- Silahkan Nyi. - Tetapi suara tertawanya terputus, ketika Nyi Dwani tiba-tiba membentak - Kenapa kau tertawa"-
Orang itu tergagap. Mulutnyapun kemudian terkatup rapat-rapat.
Nyi Dwanipun kemudian terkejut -- Dimana bilik kakang Saba Lintang" ~
- Bukankah Nyi Dwani sudah mengetahuinya" -
- Mungkin kakang Saba Lintang sudah pindah ke bilik yang lain. "
- Tidak Nyi. Masih dibilik yang dahulu. "
- Siapakah yang berada di bilik sebelah" -
- Kosong, Nyi. - Nyi Dwani mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya - Kenapa kalian berdua berada di ruang ini" Apakah ruang ini harus diawasi atau dijaga" -
- Ya, Nyi. - - Sejak kapan" - - Sejak sentong di serambi itu berisi. -
- O. Siapa yang berada di sentong diserambi" -
- Sentong itu menjadi sentong tahanan. Seorang gadis ada di sentong itu. -
- Seorang gadis" Siapa" "
- Rara Wulan. - Nyi Dwani memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada berat ia bertanya ~ Kenapa tidak ditempatkan di gandok" Bukankah di gandok lebih mudah mengawasinya" -
-- Di malam pertama memang ditempatkan di gandok. Tetapi di malam kedua hampir saja terjadi mala petaka. Seorang pembantu Ki Saba Lintang hampir saja bertindak kasar terhadap gadis itu. Ketika seorang petugas memperingatkannya, petugas itu justru dibunuhnya. "
- Siapa orang itu" "
- Resa Tengah. - - Ia memang gila. Dimana Resa Tengah sekarang" "
- Mati. ~ - Mati" - - Ya, dibunuh oleh Ki Saba Lintang dengan tangannya sendiri. "
Jantung Nyi Dwani berdesir. Ia tidak mau bertanya lebih panjang lagi untuk menjaga agar hatinya jangan terbakar sebelum ia bertemu dengan Ki Saba Lintang. Agaknya telah terjadi semacam persaingan diantara laki-laki yang buas di sarang itu untuk memperebutkan seorang gadis.
Karena itu, maka Nyi Dwani itupun justru tersenyum. Kemudian itupun berkata Kepada Empu Wisanata"Selamat malam ayah. Silahkan ayah tidur di gandok " Empu Wisanata mengangguk. Katanya"Kau akan tidur di mana " " "Kau juga harus tidur di gandok Dwani. Ki Saba Lintang belum menjadi suamimu."
Nyi Dwani tersenyum. Namun ia melangkah ke bilik Ki Saba Lintang yang tertutup. Tetapi Nyi Dwani tahu, bahwa pintu itu tidak diselarak. Telinga Ki Saba Lintang sangat tajam, sehingga jika terdengar pintu berderit betapapun lemburnya, ia tentu terbangun. Apalagi ada beberapa orang petugas didalam rumah itu.
"Dwani "panggil Empu Wisanata.
Tetapi Nyi Dwanipun berkata sekali lagi"Selamat malam ayah. "
Empu Wisanata tidak dapat mencegah Nyi Dwani. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk pergi meninggalkan ruang dalam. Empu Wisanata tahu, kemana ia harus pergi. Orang-orang disarang Ki Saba Lin-tangpun tahu, dimana Empu Wisanata akan tidur.
Dalam pada itu, Nyi Dwanipun telah membuka pintu lereg bilik Ki Saba Lintang yang memang tidak diselarak. Namun meskipun Nyi Dwani itu mendorong dengan hati-hati, tetapi Ki Saba Lintangpun telah terbangun. Dengan serta-merta iapun bangkit dan bardiri disisi pembaringannya
Namun Ki Saba Lintang itupun menarik nafas panjang. Ia melihat Nyi Dwani yang tersenyum di pintu biliknya "Nyi Dwani"desis Ki Saba Lintang.
Nyi Dwani melangkah maju. Dengan nada lembut iapun bertanya " kau letih, kakang. "
" Tidak, Nyi " jawab Ki Saba Lintang yang kemudian justru bertanya"kapan kau datang Nyi. "
"Baru saja kakang. Kakang memanggilku " "
" Ya. Sepekan setelah aku meninggalkan Prambanan aku minta kau datang. Tetapi aku tidak mengira bahwa kau begitu cepat datang kemari.-
" Demikian orang yang menyampaikan pesanmu itu datnag, maka akupun segera berangkat "
"Siapakah yang menyertaimu " "
"Ayah." "O, dimana Empu Wisanata sekarang" "
"Baru saja ayah pergi ke gandok. "
"Ada yang penting yang ingin aku katakan kepadamu, Nyi. "
"Aku tahu. Tetapi kenapa harus menungu sepekan ?"
"Aku telah mempersiapkan segala-galanya"
"Aku letih, kakang. Apakah aku boleh tidur. " "
"Kau akan tidur dimana" "
Nyi Dwani tersenyum. Katanya"Di bilik sebelah. Bukankah bilik itu kosong."
"Kenapa kau tidak tidur disini saja" "
Nyi Dwani tertawa Katanya " Aku akan tidur dibilik sebelah. Ayah sudah berpesan, bahwa aku tidak boleh tidur disini. "
"Ah, orang-orang tua biasanya terlalu khawatir. "
Nyi Dwani menggeleng sambil menjawab"Aku akan tidur disebelah.-
Namun Nyi Dwani itu justru duduk disebelah Ki Saba Lintang. Katanya"Kakang tentu juga letih. Tidurlah. Aku akan menunggu sampai keringatku kering. Nanti aku akan pergi ke bilik yang kosong itu. "
"Sebaiknya kau tidur disini saja "
Tetapi Nyi Dwani itupun menjawab"Ayah ada disini sekarang. Karena itu, aku akan tidur dibilik itu."
Ki Saba Lintang tidak memaksa. Tetapi Nyi Dwani tidak juga beranjak pergi.
Saba Lintang memang agak bimbang. Tetapi kemudian iapun berkata "Nyi. Ada sesuatu yang penting akan aku katakan kepadamu. Tetapi sebenarnya tidak terlalu tergesa-gesa, sehingga kau dapat datang esok siang. Kau tidak perlu menempuh perjalanan malam, bahkan sampai dini' hari."
" Sudah aku katakan, kakang. Sebaiknya esok pagi saja kakang . bercerita. Sekarang aku ingin beristirahat. Bukan hanya tubuhku. Tetapi juga otakku. Bukankah persoalannya tidak terlalu penting sehingga dapat ditunda sampai esok siang " "
Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berdesis"Ya Dapat ditunda sampai esok."
" Karena itu, sekarang jika kakang ingin tidur, tidurlah. Apakah aku harus memijit kaki kakang."
"Kau aneh, Nyi Kau yang letih karena berkuda dari jarak yang sangat jauh. Tetapi kau yang akan memijit aku. "
Nyi Dwani tertawa. Katanya"Jadi " "
"Aku yang memijitmu. "
"Nanti kuwalat, kakang. Biarlah kakang beristirahat. Akupun beristirahat. Bukankah kita sama-sama letih meskipun kerja kita berbeda."
Ki Saba Lintang mengangguk. Nyi Dwanipun kemudian bangkit sambil berkata " bcrbaringlah. Aku akan tidur nyenyak, jika kau yakin kakang sudah tidur pula "
"Sebenarnya aku telah tidur nyenyak. Tetapi kau yang telah membangunkan aku."
Nyi Dwani tersenyum. Katanya - Karena itu, sekarang kakang tidur saja lagi Aku juga akan tidur. -
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Nyi Dwanipun bangkit berdiri. Katanya - Aku sekedar melaporkan diri, bahwa aku telah datang.-
Ketika kemudian Nyi Dwani melangkah keluar, Ki Saba Lintang memandanginya dengan mata yang hampir tak berkedip. Namun Nyi Dwanipun kemudian telah menutup pintu dari luar sambil tersenyum.
Ketika Nyi Dwani berada di ruang dalam, maka orang-orang yang ada di ruang itupun memandanginya dengan heran. Namun mereka menjadi tergagap ketika Nyi Dwani itu berkata
- Ada apa " - - Tidak, Nyi Tidak ada apa-apa -
- Kenapa kau memandang aku seperti itu " -
- Maksud kami, maksud kami... - orang itu menjadi gagap. Sedangkan seorang yang lain berkata - Nyi akan pergi kemana " -
- Aku akan beristirahat, - jawab Nyi Dwani - kau kira aku mau apa"-
Orang itu semakin bingung. Karena itu, maka merekapun tidak berkata apa-apa lagi.
Nyi Dwanilah yang kemudian bertanya - Siapakah yang ada di bilik itu"-
- Kosong Nyi. Tetapi bilik di serambi itu terisi. -
Nyi Dwani tidak bertanya lagi. Namun iapun kemudian pergi ke bilik yang kosong itu. Ketika ia mendorong pintu lereg, maka sekali lagi ia berpaling kepada para penjaga yang ada di ruang dalam. Tetapi Nyi Dwani tidak berkata apa-apa.
Demikian Nyi Dwani hilang dibalik pintu, maka seorang diantara mereka yang ada di ruang dalam itupun berdesis - Kenapa Nyi Dwani itu tidak jadi tidur di bilik Ki Saba Lintang. -
- Entahlah. Bukan urusanmu. -
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa tertahan. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang itupun telah duduk kembali. Namun sekali-sekali mereka saling berpandangan.
Malam yang tersisa itupun merangkak keujungnya. Ki.Saba Lintang ternyata sudah terlalu sulit untuk dapat tidur lagi. Karena itu, maka dengan gelisah ia berbaring di pembaringannya Bahkan sekali-sekali ia bangkit dan duduk sambil berdesah. Keringatnya mengalir membasahi bajunya
Namun Ki Saba Lintang tidak keluar dari biliknya sampai fajar membayang di langit
Tetapi sebelum Ki Saba Lintang itu membuka pintu biliknya, terjadi keributan di halaman. Seorang pengikut Ki Saba Lintang, menemukan kawannya terbaring diam di longkangan. Kepalanya tersandar dinding bilik di serambi rumah itu.
Ketika orang yang menemukannya maraba tubuhnya, ternyata tubuhnya telah membeku. Senjatanya masih tergenggam erat ditangan-nya. Agaknya orang itu masih belum sempat mempergunakannya Sarang Ki Saba Lintang itupun menjadi gempar. Dengan tergesa-gesa Ki Saba Lintang itupun keluar dari biliknya dan turun ke longkangan. Orang yang telah membeku itu masih berada di tempatnya.
Bukan hanya Ki Saba Lintang, tetapi Nyi Dwani dan Empu Wisanatapun telah berlari-lari ke longkangan pula .Beberapa orang yang berilmu tinggi yang berada di sarang Ki Saba Lintang itupun telah berkumpul pula
- Apa yang terjadi " bertanya seorang yang bermata setajam mata burung hantu.
Ki Saba Lintang tidak segera menjawab. Iapun segera teringat sesuatu. Karena itu, maka iapun segera berlari masuk ke serambi. Dengan serta meria didorongnya pintu bilik di serambi itu. Ternyata bilik itu sudah kosong.
- Gadis itu telah melarikan diri - geram Ki Saba Lintang sambil berlari keluar.
- Siapa " - Bertanya Nyi Dwani.
- Rara Wulan. Aku telah mengambil Rara Wulan dan aku tahan di bilik ini.-
- O - Nyi Dwani mengerukan keningnya
Seorang yang bertubuh tinggi melangkah mendekati dinding bilik di serambi itu. Dengan jari-jarinya ia menekan dinding di sudut Ternyata dinding itu sudah terlepas dari ikatannya dengan uang di sudut bilik itu.
- Anak iblis - geram Ki Saba Lintang - apakah gadis itu mampu melarikan diri"-
Beberapa orang yang berkerumun itupun saling berpandangan sejenak. Seorang yang bertubuh pendek berkata - aku tidak yakin. Meskipun gadis itu memiliki bekal ilmu kanuragan, tetapi ia tidak dapat membuka dinding itu tanpa mengejutkan petugas yang berjaga-jaga di longkangan ini meskipun seandainya orang itu tertidur. Bahkan mungkin yang bertugas didalampun akan dapat mendengarnya -
- Satu hal yang mustahil terjadi. Aku sudah menempatkan penjaga didalam dan diluar rumah. -
- Para penjaga itu menjadi lengah, karena mereka menganggap bahwa hanya seorang gadis kecil sajalah yang ada didalamnya. -
- Ia harus menebus kelengahannya itu dengan nyawanya - berkata Empu Wisanta.
Tetapi Ki Saba Lintangpun kemudian berkata kepada beberapa orang pengikutnya - Gadis itu tentu masih belum terlalu jauh. Cari mereka di sekitar tempat ini. Tetapi hati-hatilah terhadap orang-orang Tanah Perdikan. '
Beberapa orang pengikutnya termangu-mangu sejenak. Sementara' itu, langitpun semakin terang.
- Beberapa orang berpencarlah - berkata Ki Saba Lintang selanjutnya.
Orang yang bertubuh pendek berkata - Aku akan mencarinya Biarlah aku sendiri. -
- Kenapa harus sendiri" - bertanya Ki Saba Lintang - Serba sedikit gadis itu memiliki ilmu yang dapat dipergunakannya untuk melindungi dirinya sendiri.-
Orang bertubuh pendek itu tertawa. Katanya - Kau mencemaskan kemampuanku " -
Ki Saba lintang justru termangu-mangu sejenak. Sementara orang bertubuh pendek itu berkata - Jika aku membawa dua orang tiga orang, aku justru khawatir, bahwa orang-orang Tanah Perdikan akan melihat kami. Tetapi jika aku sendiri, maka aku yakin, bahwa aku akan terlepas dari penglihatan mereka -
- Aku sependapat - berkata orang yang bermata elang - lebih baik kita sendiri-sendiri. Kita akan mampu menyembunyikan diri dari perhatian orang-orang Tanah Perdikan. Langit sudah menjadi terang. Matahari akan segera memanjat naik. Beberapa orang laki-laki akan berada di sawah mereka -
Ki Saba Lintang nampak ragu-ragu. Sementara itu, Nyi Dwanipun memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
Jantung Nyi Dwani menjadi semakin semakin berdebar-debar melihat keragu-raguan Ki Saba Lintang, seakan-akan Ki Saba Lintang tidak dapat mempercayai orang-orangnya sendiri.
- Kenapa kakang Saba Lintang menjadi terlalu curiga kepada kawan-kawannya " - bertanya Nyi Dwani di dalam hatinya
Namun Ki Saba Lintang itu akhirnya berkata - Baiklah. Pergilah berpencar. Sekali lagi aku memperingatkan, hati-hatilah terhadap orangorang Tanah Perdikan. Mereka mempunyai beberapa orang berilmu tinggi yang sangat berbahaya Sementara itu, Rara Wulan adalah gadis yang sangat berharga bagi kita. -
Jantung Nyi Dwani terasa berdentang lebih keras. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
Sejenak kemudian, maka beberapa orang, justru orang-orang terpenting dari padepokan itu, telah pergi meninggalkan sarangnya untuk mencari Rara Wulan yang hilang.
Sementara itu, seorang petugas telah berlari-lari memasuki halaman sarang Ki Saba Lintang.
- Ada apa " - bertanya seorang kawannya
Orang itupun kemudian telah menghadap Ki Saba Lintang. Dengan nafas yang memburu, maka iapun berkata - Beberapa orang kawan yang bertugas di mulut lorong itu terbunuh. -
Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan serta meria iapun bertanya - Siapa yang telah membunuhnya " -
Kami tidak tahu, Ki Saba Lintang. Kami datang untuk menggantikan mereka. Tetapi ternyata mereka sudah mati terbunuh. Karena itu, maka aku telah ditugaskan oleh pemimpin kelompok untuk menyampaikan berita ini kepada Ki Saba Lintang.
- Agaknya Rara Wulan yang telah melakukannya Gadis itu memiliki bekal yang cukup untuk bertempur melawan orang-orang yang bertugas berjaga-jaga di mulut lorong itu. -
Tetapi Nyi Dwanipun berdesis - Apakah bekal gadis itu cukup tinggi untuk melawan beberapa orang sekaligus. -
- Mungkin para petugas itu sedang lengah, sehingga Rara Wulan mendapat kesempatan untuk menyergapnya -
- Mudah-mudahan gadis itu tertangkap. Kita akan dapat bertanya kepadanya - berkata Nyi Dwani kemudian.
- Tetapi aku curiga, bahwa justru orang-orang kami sendiri yang telah melepaskannya -
- Apa keuntungannya " - bertanya Nyi Dwani.
- Laki-laki di barak ini menjadi buas. Sedangkan Rara Wulan seorang gadis yang cantik. Bukan saja cantik, tetapi juga cerdik, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu untuk melepaskan dirinya. -
Nyi Dwani mengangguk-angguk. Terasa dadanya menjadi bergetar. Apalagi ketika Ki Saba Lintang berkata selanjutnya - Anak itu sangat berarti bagiku.-
Hampir diluar sadarnya Nyi Dwani yang jantungnya berdegup semakin cepat itu bertanya
- Kenapa ia menjadi sangat berarti bagimu " "
- Itulah yang ingin aku katakan kepadamu, Nyi Dwani. -
- Bahwa gadis itu sangat cantik sehingga kau memerlukannya " "
Untunglah bahwa Ki Saba Lintang tidak begitu menghiraukan jawaban Nyi Dwani itu. Bahkan iapun berkata selanjurnya - Besok kita akan mendapatkan tongkat baja putih itu jika gadis itu dapat kita kete-mukan. -
- Tongkat baja putih " -
- Ya. Aku telah menculik Rara Wulan. Aku ancam Agung Sedayu dan Sekar Mirah, jika mereka tidak menyerahkan tongkat baja putih itu, maka Rara Wulan tidak akan pernah kembali kepada mereka -
-Jadi"- - Aku telah memaksakan sebuah perjanjian. Rara Wulan harus mereka tukar dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah itu. -
Jantung Nyi Dwanipun bagaikan telah diremas. Dengan suara bergetar ia bertanya - Apakah Agung Sedayu dan Sekar Mirah setuju dengan perjanjian yang telah kau paksakan itu " -
- Mereka tidak mempunyai pilihan. -
Jantung Nyi Dwani bagaikan menjadi terbakar. Ia baru sadar, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang hanya berdasarkan pada perasaan saja, sehingga mengkesampingkan penalaran. Agung Sedayu dan Sekar Mirah
Jantung Empu Wisanatapun menjadi bergejolak. Semalam, dengan diam-diam ia berhasil keluar dari biliknya dan tanpa diketahui oleh para penjaga menyusup ke longkangan. Seorang yang bertugas berjaga-jaga dilongkangan telah dibunuhnya Kemudian dengan kemampuannya yang tinggi, Empu Wisanata berhasil membuka dinding bilik Rara Wulan tanpa didengar oleh siapapun, sementara Nyi Dwani berada di bilik Ki Saba Lintang.
Kehadiran Nyi Dwani telah membuat Ki Saba Lintang menjadi lengah. Pendengarannya yang sangat tajam, tidak berhasil menangkap suara tali-tali pengikat dinding yang putus. Kemudian Empu Wisanata membuka dinding itu, sehingga Rara Wulan dapat menyusup keluar setelah perlahan-lahan sekali Empu Wisanata menyatakan maksudnya, membebaskan gadis itu.
Renjana Pendekar 7 Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah Themarriage Roller Coaster 2
^