Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


" Siapapun Agung Sedayu, dan ada berapa lapis ilmumu, namun kau tidak akan mampu bertahan sepenginang lagi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun menyadari, bahwa pedang lawannya memang sangat berbahaya. Dengan dialasi ilmu lawannya yang tinggi itu, maka pedangnya menjadi sangat berbahaya. Agung Sedayupun menduga, bahwa semakin lama serangan-serangan lawannya akan menjadi semakin berbahaya
"Ki Lurah"berkata Ki Darpatenaya"ilmu Wukir Sewu pada akhirnya akan dapat menyelesaikan pertempuran ini.-"
Tetapi Agung Sedayu tersenyum sambil berkata " Kau kira aku akan menyerah dan membiarkan ujung pedangnya mematuk jantungku, Ki Sanak."
"Kau tidak mempunyai pilihan." -
Agung Sedayu menjawab"Aku masih mempunyai beberapa pilihan."
Ki Darpatenaya memandang Agung Sedayu dengan tajamnya Kemudian iapun berkata"Bersiaplah untuk mati, Agung Sedayu."
Ketika Ki Darpatenaya itu sudah bersiap untuk menyerangnya maka Agung Sedayupun berkata"Aku akan menunjukkan salah satu pilihan itu."
Ki Darpatenaya termangu-mangu sejenak. Wajahnya berkerut ketika ia melihat Agung Sedayu mengurai cambuknya
. " Senjatamu aneh, Ki Lurah. Atau kau menganggap bahwa aku bagimu tidak lebih dari seekor kerbau yang dungu ?"
"Bukan aku yang mengatakan."
"Mengatakan apa ?"
"Bahwa kau tidak lebih dari seekor kerbau yang dungu."
" Persetan. Tetapi kau akan menyesali kesombonganmu disaat kematianku. Kau lawan,pedangku, Kiai Galih serta ilmuku Wukir Sewu" dengan cambuk seorang gembala"
'" Bersiaplah. Bukan maksudku memperlakukan kau seperti seekor kerbau. Tetapi senjataku memang berwujud cambuk seperti ini."
" Bagus " sahut Ki Darpatenaya " mungkin aku akan dapat mempelajari serba sedikit ilmu cambukmu sebelum kau mati. Tetapi aku akan sempat mengingat-ingat, bahwa kau adalah guruku dalam ilmu menggembala kambing."
" Ternyata kerbau masih terlalu kuat"sahut Agung Sedayu " memang kau lebih tepat disebut seekor kambing."
"Iblis kait"geram Ki Darpatenaya"aku tidak mengira bahwa kau ternyata terlalu sombong.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknya mulai berputar. Tiba-tiba saja cambuk itu meledak dengan kerasnya, seakan-akan getarannya dapat meruntuhkan gunung."
Tetapi Ki Darpatenaya justru berteriak "Ternyata kesombongan--mu sama sekali tidak seimbang dengan kemampuanmu. Anak gembala yang masih telajangpun mampu meledakkan cambuknya seperti itu."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekat Dipeganginya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya Sedangkan ujung juntainya dipeganginya dengan tangan kirinya
Ki Darpatenaya telah bersiap pula Ia sadar, bahwa ledakan cambuk itu bukan ukuran tingkat kemampuan Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal itu.
Sebenarnyalah, ketika kemudian Agung Sedayu menghentakkan lagi cambuknya sendai pancing, maka jantung orang itupun menjadi berdebar-debar. Meskipun cambuk itu tidak lagi meledak, dan bahkan seakan-akan sekedar berdesis, namun terasa di jantung Ki Darpatenaya getar yang menyesakkan dada
Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun berlangsung semakin mencengkam ketika Agung Sedayu mulai menyerang dengan cambuknya Juntainya seakan-akan memiliki penglihatan sehingga selalu memburu kemana Ki Darpatenaya meloncat
"Ilmu iblis"geram Ki Darpatenaya
"Aku sedang mengajarimu, bagaimana menggembalakan seekor kambing" berkata Agung Sedayu.
Bahkan hampir saja pedang yang disebut sebagai pusaka yaitu, hampir saja terlepas dari tangannya
" Ternyata kemampuan ilmu Agung Sedayu memang sangat mendebarkan"berkata Ki Darpatenaya didalam hatinya
Sekali lagi. ia menyesali dirinya. Kenapa ia tidak lebih dahulu membunuh Empu Wisanata sebelum berhadapan dengan Agung Sedayu.
Pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Ki Darpatenaya harus mengerahkan tenaga dari kemampuannya untuk menghindari kejaran ujung cambuk Agung Sedayu. Bahkan kesempatannya untuk menyerang, apalagi kesempatan untuk menghentakkan seluruh kemampuannya agar dapat menembus ilmu kebal lawannya menjadi sangat sempit. .
"Jika saja aku menemui Empu Wisanata lebih dahulu " berkata Ki Darpatenaya di dalam hatinya " aku tentu tidak memerlukan waktu yang panjang sebagaimana membunuh Agung Sedayu ini. Baru kemudian, aku dapat bertempur melawan Agung Sedayu tanpa merasa dikejar oleh waktu."
Tetapi Ki Darpatenaya masih merasa yakin akan dapat membunuh lawannya Ki Darpatenaya itu tidak hanya bersandar kepada selapis ilmunya Ja tidak sekedar mengandalkan pusakanya yang disebutnya Kiai Galih. Ia juga tidak hanya bertumpu pada ilmu Wukir Sewunya
Sementara itu, ujung cambuk Agung Sedayu semakin menekannya Meskipun Ki Darpatenaya menggeliat ketika terasa ujung camtuk Agung Sedayu justru telah menyengat punggungnya
Ki Darpatenaya memang merasa punggungnya menjadi pedih. Bahkan terasa cairan yang hangat meleleh dari lukanya.
Namun luka itu telah membuat Ki Darpatenaya menjadi semakin " garang. Pedangnya beprutar semakin cepat Bahkan kemudian yang nampak adalah semacam kabut diseputar tubuhnya
Gulungan kabut itupun kemudian bergerak semakin mendekati Agung sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya Ketika gulungan kabut yang menutupi tubuh Ki Darpatenaya itu menjadi semakin dekat maka Agung
Sedayu telah menghentakkan cambuknya menghantam gulungan kabut itu.
Gulungan kabut itu memang tergetar selangkah surut Namun gulungan kabut itu tidak menjadi pecah. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat
Agung Sedayu menyadari, bahwa yang nampak seperti gulungan kabut putih dan bahkan memercikkan kilatan pantulan cahaya matahari itu adalah tajamnya pedang yang disebut Kiai Galih itu. Karena itu, Agung Sedayupun justru bergeser surut Iapun sadar, bahwa Ki Darpatenaya telah mengetrapkan ilmunya yang lebih berbahaya pula. Sentuhan gulungan kabut putih itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya, karena ilmu Ki Darpatenaya mampu memecahkan ilmu kebalnya
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmunya Dengan kemampuan puncaknya dalam ilmu cambuk serta di lamban dengan puncak kekuatan tenaga dalamnya maka Agung Sedayupun sekali lagi mengayunkan cambuknya menghantam gulungan kabut yang semakin mendekatinya
Ki Darpatenayalah yang kemudian terkejut. Ilmunyalah yang kemudian pecah sehingga Ki Darpatenaya sendiri terpental beberapa langkah surat. Dan bahkan Ki Darpatenaya itu telah kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh berguling.
Namun dengan tangkasnya Ki Darpatenaya itu bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. *
Ketika Agung Sedayu kemudian memburunya dan mengayunkan cambuknya mendatar, Ki Darpatenaya itu sempat meloncat dan berputar sekali diudara. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya kearah jantung Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu sempat mengelak. Ujung pedang itu tidak menyentuhnya Bahkan dengan cepat Agung Sedayu berputar sambil menebas mendatar dengan cambuknya
Ki Darpatenaya terlambat mengelak. Ujung Cambuk Agung Sedayu masih mampu menggapai lambungnya.
Meskipun tidak terlalu dalam namun segores luka telah membekas di lambungnya Seperti luka di pundak Agung Sedayu, maka luka itupun telah berdarah pula
Ternyata titik-titik darah pada kedua orang yang sedang bertempur itu telah membuat mereka menjadi, semakin garang.
Ternyata Ki Darpatenaya benar-benar seorang yang pilih tanding. Dalam keadaan yang terdesak, maka pedangnya telah berputar kembali gulungan asap putih telah menyelimuti dirinya
Namun gulungan asap putih itu tidak bergerak mendekati Agung Sedayu. Tetapi gulungan asap putih itu benar-benar menjadi asap yang seolah-olah diterbangkan angin. Lenyap. Bersama Ki Darpatenaya.
" Gila"geram Agung Sedayu. Namun sebelum-Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, terasa sentuhan angin dibelakangnya
Agung Sedayu terkejut Tetapi ujung pedang lawannya itu telah menyentuh punggungnya pula Bagaimanapun juga ilmu kebal Agung Sedayu masih juga berarti dalam pertempuran itu, sehingga luka dipunggungnya tidak lebih parah dari luka di punggung Ki Darpatenaya
Dengan cepat Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu Sapta Penggraita sambil meloncat mengambil jarak.
Sesaat kemudian, Agung Sedayupun telah melihat gumpalan asap itu lagi ketika Agung Sedayu memutar tubuhnya
Dengan cepat Agung Sedayu menghentakkan cambuknya melecut ke arah Ki Darpatenaya Tetapi Ki Darpatenaya sempat meloncat surut sehingga ujung cambuk itu tidak mengenainya
Ketika Agung Sedayu kemudian bersiap untuk menyerangnya, maka asap putih itupun telah menguap bagaikan ditiup angin yang kencang.
Namun Agung Sedayu telah mengetrapkan Aji Sapta Panggraita Meskipun mata kewadagannya tidak dapat melihat, tetapi ia dapat merasakan, dimana Ki Darpatenaya berada Bahkan Aji Sapta Pangrasa yang juga ditrapkannya, dapat merasakan sentuhan angin lembut oleh getar putaran pedang Ki Darpatenaya
Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi lawan yang tidak dilihatnya, tetapi dirasakan kehadirannya serta diketahui arahnya itu.
Cambuk Agung Sedayulah yang kemudian berputar dengan cepat mengelilingi tubuhnya Ia tidak ingin Ki Darpatenaya mendahuluinya menyerang dari arah yang tidak diduganya Bagaimanapun juga kecepatan penggraita dan perasaannya masih juga agak gagap menanggapi gerak cepat lawannya yang tidak dilihatnya dengan mata wadagnya
Namun demikian, Ki Darpatenaya itu sudah merasa sangat terhambat. Bahkan di luar sadarnya ia pun berdesis " Luar biasa. Ki Lurah mempunyai lambaran yang berlapis-lapis. Ia mampu mengatasi Aji Panglimunanku. "
Meskipun demikian, Agung Sedayu telah dicengkam oleh ketegangan yang amat sangat ia harus benar-benar memusatkan perhatiannya untuk menangkap isyarat dari Aji Sapta Panggraita dan Sapta Pangrasa untuk mengetahui dimana dan kedatangan serangan Ki Darpatanaya.
Namun Agung Sedayu masih juga berhasil menghindari atau menangkal serangan-serangan Ki parpatenaya. Cambuknyalah yang bergerak dengan cepat pula. Berputar! menebas, menghentak sendai pancing dan bahkan mematuk seperti seekor ular.
Tetapi Agung Sedayu harus menghadapi kenyataan, bahwa ujung pedang Ki Darpatenaya itu telah menggores kulitnya pula. Terasa pinggang Agung Sedayu menjadi pedih. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam. Namun darah telah menitik pula dari lukanya itu.
. Karena itu, maka Agung Sedayu ternyata tidak dapat sekedar mempercayakan diri kepada ilmu Sapta Panggraita dan Sapta pangrasa, karena ia tidak dapat mengimbangi kecepatan serangan-serangan Ki Darpatenaya yang tidak dapat dilihatnya dengan mata wadagnya
Karena itu, maka Agung Sedayupun harus berusaha untuk mengelabuhi lawannya Iapun harus dapat membuat lawannya kebingungan.
Ketika kemudian serangan-serangan Ki Darpatenaya menjadi semakin cepat dan semakin berbahaya serta sentuhan-sentuhan ujung pedangnya itu beberapa kali menyengat kulit Agung Sedayu meskipun tidak menggoreskan luka maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan Ajinya yang lain. Kakang Kawah Adi Ari-ari.
Ki Darpatenayalah yang kemudian menjadi bingung. Tiba-tiba saja ia melihat tiga orang Agung Sedayu yang memencar. Sekali-sekali ketiganya bergerak saling berpencar. Namun kemudian ketiganya berlari berputar-putar sehingga ketiganya berbaur menjadi satu sebelum berpisah lagi.
Dengan kekuatan penglihatan batinnya, maka Ki Darpatenaya akhirnya memang dapat mengetahui yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya Tetapi setiap kali ketiganya berbaur, sehingga setiap kali, Ki Darpatenaya harus memusatkan nalar budinya untuk dapat mengetahui lawannya yang sebenarnya.
Sementara itu, serangan-serangan Agung Sedayupun datang beruntun. Cambuknya berputaran dan menghentak-hentak dengan garangnya .
Dengan Aji Sapta Panggraita dan Sapta Pangrasa Agung Sedayu mampu mengarahkan serangannya meskipun Agung Sedayu tidak dapat memilih sasaran pada tubuh Ki Darpatenaya.
Ternyata Ki Darpatenayalah yang kemudian mengalami kesulitan. Beberapa kali Ujung cambuk Agung Sedayu dapat mengenainya. Satu hentakan sendai pancing yang dilambari dengan puncak ilmu cambuknya sempat menyentuh paha Ki Darpatenaya sehingga pahanya telah terkoyak.
" Iblis kau Agung Sedayu-" teriak Ki Darpatenaya -Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dengan pengamatan ilmunya, mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ujudnya yang seakan-akan menjadi tiga sosok itu, berdiri diarah yang berbeda
Ki Darpatenaya ternyata justru meloncat menjauh untuk mengambil jarak. Ia tidak lagi memutar pedangnya Iapun tidak lagi mengetrapkan Aji Panglimunan. Tetapi Ki Darpatenaya itu telah bersiap mempergunakan ilmunya yang lain.
Agung Sedayupun telah mempersiapkan diri pula Kedua ujudnya yang semu itupun menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya lenyap sama sekali.
Yang kemudian berhadapan adalah Ki Darpatenaya dan Agung Sedayu pada jarak beberapa langkah.
Ketika Agung Sedayu melihat lawannya mempersiapkan ilmu puncaknya yang lain, maka Agung Sedayupun telah bersiap-siap pula. Ketika ia melihat Ki Darpatenaya menyarungkan pedangnya maka tahulah Agung Sedayu, apa yang akan dilakukannya
Agung Sedayupun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang menghadap keairah Ki Darpatenaya. Tangan kanannya memegang tangkai cambuknya sementara tangan kirinya menggenggam ujung cambuknya Namun Agung Sedayu telah memusatkan nalar budinya untuk menghadapi serangan Ki Darpatenaya berikutnya
Agung Sedayu masih belum tahu, apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu. Tetapi yang pasti, tentu puncak dari ilmu-ilmunya
Tidak ada kesempatan untuk meloncat menyerang dengan cambuknya Yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu adalah menghadapi serangan itu dengan ilmunya pula
Ki Darpatenayapun kemudian berdiri sambil menyilangkan tangannya didadanya. Sejenak ia berdiri tegak. Namun tiba-tiba Ki Darpatenaya itu menghembuskan kabut dari mulurnya. Kabut yang berwarna merah kehitam-hitaman.
Kabut itu meluncur dengan cepat kearah Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak tahu, apakah kabut itu mengandung racun atau tidak. Tetapi yang kemudian terasa mendahului sentuhan kabut itu adalah udara yang menjadi panas.
Karena itu, Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Iapun tidak meloncat menghindari, karena kabut itu akan mengalir tidak berkeputusan mengejarnya kemanapun ia menghindar. Sementara itu, Agung Sedayupun yakin, bahwa kabut yang merah kehitam-hitaman itu akan mampu menembus ilmu kebalnya
Karena itu, yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah membentur ilmu Ki Darpatenaya itu dengan ilmunya pula
Demikian kabut itu meluncur, maka dari kedua belah mata Agung Sedayu telah memancar seleret sinar yang tajam. Sinar yang langsung membentur kabut yang merah kehitam-hitaman itu.
Benturan ilmu yang dahsyat telah terjadi Kabut itu pecah berderai, berserakkan sebelum menyentuh tubuh Abung Sedayu. Namun getar benturan itu sebagian telah berbalik menimpa Agung Sedayu sendiri, sehingga Agung Sedayu terlempar beberapa langkah surut Untunglah bahwa ilmu kebalnya masih tetap melindunginya meskipun getar balik kemampuan ilmunya itu sempat menyakitinya
Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga Agung Sedayu itupun terjatuh berguling ditanak
Agung Sedayu memang tidak segera dapat bangkit Beberapa orang prajurit yang bertempur bersamanya beserta beberapa orang pengawal telah berlari-lari mengerumuninya Namun beberapa orang di-. antara merekapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala, kemungkinan.
Namun dalam pada itu, keadaan Ki Darpatenaya justru lebih buruk lagi Ki Darpatenaya itu telah terlempar beberapa langkah surut. Terbanting jatuh dan tidak dapat bangkit kembali. Nafasnya menjadi terengah-engah. Isi dadanya serasa telah runtuh dari pegangannya.
Beberapa orang juga telah melingkarinya. Seorang diantara mereka berjongkok disampingnya sambil berdesis " Ki Darpatenaya, Ki Darpatenaya.
Terdengar ki Darpatenaya itu berdesah menahan sakit Namun kemudian iapun berdesis"Aku akan membunuhnya. "
" Apakah Ki Darpatenaya membawa obat yang dapat meringankan keadaan Ki Darpatenaya " " bertanya orang yang berjongkok itu,
Ki Darpatenaya memandanginya dengan tatapan mata yang tajam. Dalam keadaannya yang sulit itu, ia masih juga menggeram pula"Jangan biarkan Agung Sedayu melarikan diri."
"Tidak"sahut orang yang berjongkok di sampingnya"Agung Sedayu tidak dapat bangkit lagi.
"He" Ia sudah mati" "
"Mungkin ia sudah mati."
" Akhirnya aku dapat membunuhnya. Sekarang, aku akan membunuh Empu Wisanata. "
Ki Darpatenaya itu memaksa untuk bangkit Namun tiba-tiba dari sela-sela bibirnya, mengalir darahnya yang segar.
Ki Darpatenaya itu terbatuk. Kepalanya yang sudah diangkatnya itu diletakkannya kembali. Tangan orang yang berjongkok disampingnya itulah yang menahan kepalanya itu .
Mata Ki Darpatenayapun mulai menjadi pudar. Orang yang berjongkok itu bertanya pula"Dimana obat yang Ki Darpatenaya bawa itu?"
Tetapi Ki Darpatenaya tidak menjawabnya Matanya yang redup itupun kemudian terpejam. Tetapi masih terdengar ia berdesis " Akhirnya aku bunuh Ki Lurah Agung Sedayu yang namanya berkibar di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya
Suaranyapun menjadi semakin lambat dan bahkan kemudian hilang bersamaan dengan larikan nafasnya yang terakhir.
Pada saat itulah, Agung Sedayu bangkit dan duduk dibantu oleh dua orang prajuritnya. Dengan suara lirih ia berdesis"Cari hubungan dengan Glagah Putih, Sabungsari atau Kiai Wijil dan Nyi Wijil.
Belum lagi mulutnya terkatub rapat, terdengar jawaban " Aku di sini, Ki Lurah.
"KiWijil." ' .
"Ya, Ki Lurah. Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijilpun berjongkok disebelahnya duduk.
Dengan suara yang bergetar Agung Sedayupun bertanya " Bagaimana dengan Ki Darpatenaya ?"
Seorang prajurit menjawab"Ki Darpatenaya telah meninggal."
"Kau pasti?"bertanya Agung Sedayu
" Nampak pada suasana orang-orang yang mengusungnya ke belakang medan."
Ki Saba Lintang sendiri tentu akan segera tampil."
" Terima kasih Ki Wijil. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih dan Sabungsari?"
" Glagah Putih telah menyelesaikan lawannya, meskipun Glagah Putih juga terluka didalam. Tetapi ia tidak apa-apa."
"Sabungsari?" '"Kami masih menunggu seorang penghubung."
" Kenapa menunggu. Pergilah. Lihat, apa yang terjadi dengan Sabungsari."
Sementara seorang penghubung berusaha mencari keterangan tentang Sabungsari, maka Ki wijil dan Nyi Wijillah yang kemudian berada di induk pasukan. Sedangkan Agung Sedayu telah dipapah mundur kebe-lakang rhedan pertempuran. Dengan dikawal oleh beberapa orang prajurit, Agung Sedayu duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Meskipun ia terluka didalam, tetapi Agung Sedayu masih tetap mengikuti jalannya pertempuran lewat para penghubung yang hilir mudik.
Pada saat itu, Sabungsaripun ternyata telah sampai di puncak ilmunya
Lawannya, Tunjung Tuwuh telah menyerangnya dengan lontaran-lontaran paser beracun, sehingga Sabungsari tidak sempat mendekatinya.
Karena itu, maka Sabungsari telah melawan Tunjung Tuwuh dengan ilmu pamungkasnya. - ...
Ketika paser-paser kecil itu memburunya kemana ia meloncat mengelak, maka Sabungsari menjadi tidak sabar lagi. Dengan langkah-langkah panjang Sabungsari meloncat menjauh mengambil jarak sampai keluar jangkauan paser-paser itu.
"Jangan lari"teriak Tunjung Tuwuh.
Tanpa memperhitungkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, maka Tunjung Tuwuh itu telah meloncat memburunya. Namun pada saat itu pula, Sabungsari melontarkan ilmunya. Mirip dengan ilmu yang dimiliki Agung Sedayu, maka dari kedua mata Sabungsari telah memencar sinar yang gemerlap, meluncur menyambar rubuh Tunjung Tuwuh.
Tunjung Tuwuh yang tidak mengira akan mendapat serangan yang demikian dashyatnya, terkejut bukan kepalang. Dengan cepat ia berusaha untuk mengelak. Dijatuhkannya tubuhnya kesamping. Kemudian berguling dengan cepat. Namun, demikian ia bangkit, maka serangan Sabungsari telah meluncur dengan cepatnya
Tidak ada kesempatan bagi Tunjung Tuwuh untuk melepaskan diri. Meskipun sekali lagi ia meloncat dan berputar di udara, namun serangan Sabungsari itu menyentuh tubuhnya
Tubuh Tunjung Tuwuh itu bagaikan diputar. Sentuhan serangan Sabungsari itu bagaikan telah membakar bahunya sehingga Tunjung Tuwuh itu kehilangan keseimbangannya
Dengan derasnya Tunjung Tuwuh itu terbanting jatuh. Kemudian iapun menggeliat kesakitan sambil berdesah tertahan.
Beberapa orang dengan cepat menolongnya dan membawanya ke-belakang medan pertempuran.
Sabungsari sama sekali tidak menghalanginya. Bahkan iapun berdesis ketika beberapa orang telah siap untuk memburunya menyelesaikan Tunjung Tuwuh itu meskipun sudah berada diantara kawan-kawannya
" Sudah cukup"desis Sabungsari "jangan menyerang orang yang sudah tidak berdaya"
Orang-orang yang sudah*siap untuk mengejar Tunjung Tuwuh itupun tertegun. Sementara Sabungsaripun berkata " Masih banyak lawan yang harus kita hadapi."
Dalam pada itu, penghubung yang diperintahkan untuk menghubungi Sabungsari telah melihat apa yang terjadi. Tetapi untuk mensahkan tugasnya, maka iapun telah mendekati Sabungsari sambil berkata " Apa yang dapat aku laporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu?"
" Kedudukan kita mantap " sahut Sabungsari " kita akan bergerak maju."
"Bagaimana dengan lawan yang kau hadapi?"
" Namanya Tunjung Tuwuh. Tetapi orang itu tidak menjadi masalah lagi di sayap ini"
"Ya. Aku memang melihatnya"
" Sampaikan kepada Ki Lurah. Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah sendiri"
" Ki Lurah mengalami luka dalam. Tetapi keadaannya sudah menjadi semakin baik."
Sabungsaripun kemudian berkata " Baik. Keadaan terakhir, aku akan memasuki medan lagi. Kita harus dapat segera menghalau lawan. Kita tidak perlu menunggu senja Keadaan pasukan lawan di sayap ini sudah menjadi'semakin buruk."
Penghubung itupun kemudian meninggalkan Sabungsari yang kemudian berada diantara para pengawal Tanah Perdikan.
Ketika penghubung itu kemudian melaporkan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun telah memerintahkan lewat para penghubung kepada setiap pemimpin kelompok untuk dengan segera menghalau pasukan lawan. Jika mungkin pasukan itu dapat dihancurkan sehingga tidak akan mempunyai kekuatan untuk menyerang kembali. Setidak-tidaknya dalam waktu dekat
Sementara itu Agung Sedayupun telah menerima laporan tentang keadaan Glagah Putih. Namun laporan itu juga menyebutkan, bahwa Glagah Putih telah mendapat pengobatan seperlunya.
Para pemimpin kelompok pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun segera memerintahkan seriap orang dalam kelompoknya untuk mengerahkan kemampuan mereka Tanda-tanda bahwa pasukan lawan sudah kehilangan semakin jelas. Perlawanan mereka- tidak lagi terasa garang. Goncangan-goncanganpun telah terjadi pada garis pertempuran itu
Orang-brang berilmu tinggi yang masih bertempur diantara para prajurit dan pengawal Tanah Perdikanpun ikut menentukan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun semakin menekan pasukan lawan.
Ki Saba Lintangpun telah mendapat laporan tentang keadaan pasukannya. Iapun telah mendapat laporan, bahwa beberapa orang berilmu tinggi telah dilumpuhkan. Dua orang saudara seperguruan yang bertempur melawan Glagah Putih telah terbunuh. Tunjung Tuwuh telah tidak berdaya lagi Suranata tidak lagi mampu melawan karena luka-lukanya, sementara Wira Aran telah menjadi pingsan. Keadaannya bahkan menjadi buruk sekali Sedangkan Ki Darpatenaya yang berniat untuk membunuh Agung Sedayu dan Empu Wisanata justru telah terbunuh oleh Agung Sedayu.
"Darpatenaya mati?"bertanya Ki Saba Lintang.
"Ya "jawab searang penghubung.
Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun tersenyum dan berkata kepada pengawalnya yang paling dipercaya." Orang itu memang harus mati."
"Kenapa ?"bertanya kepercayaan Ki Saba Lintang itu.
"Aku membencinya Jika ia mendapat kesempatan, maka ia tentu akan mengambil alih kepemimpinan kita Orang-orang yang telah sepakat untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati yang diperluas. Ia merasa memiliki banyak kelebihan dari aku dan orang-orang lain' yang bergabung dengan kita"
Pengawalnya menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berdesis"Tetapi pasukan kita sekarang terdesak. Jika Ki Darpatenaya benar-benar dapat membunuh Agung Sedayu dimedan ini dan kemudian membunuh Empu Wisanata di medan Utara, maka kita akan mempunyai kesempatan untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan dapat mencapai padukuhan induk selambat-lambatnya esok siang.
"Jika Ki Darpatenaya berhasil, apakah kita masih akan dapat ikut memasuki padukuhan induk?"
Pengawalnya menarik nafas dalam-dalam. Kalanya"Mungkin Ki Darpatenaya akan memanfaatkan kemenangan itu. Tetapi ia tidak akan dapat bertindak dengan serta merta. Ia harus memperhitungkan sikap banyak orang dengan berbagai macam sikap. Tetapi bahwa Ki Saba Lintanglah yang memiliki tongkat baja putih itu, pengaruhnya akan sangat besar.
"Sudahlah. Sekarang, apa yang harus aku lakukan"
"Menurut Ki Saba lintang?"
"Kita akan turun ke medan"
"Apakah ada gunanya?"
"Jadi?" "Bagaimana laporan dari sisi Utara?"
"Pemimpin pasukan tanah Perdikan terluka parah. Tetapi orang lain telah mengambil alih. Seorang setua Empu Wisanata. Tetapi bukan Empu Wisanata.
"Selanjutnya?" "Belum ada laporan berikutnya"
Pengawal Ki Saba Lintang yang paling dipercaya itupun kemudian berkata"Sebaiknya kita bertahan saja sampai senja. Mudah-mudahan pasukan disisi Utara mampu memecahkan pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sementara pasukan khusus yang langsung menuju kepadukuhan induk berhasil menduduki padukuhan induk itu."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya"Karena itu, maka kita harus turun ke medan. Masih ada beberapa orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh yang berada di medan.
Demikianlah, Ki Saba Lintang bersama pengawalnya yang paling dipercayanya itu, diikuti oleh beberapa orang pengawal pilihan telah maju ke medan. Ki Saba Lintangpun telah'memberikan perintah kepada seluruh pasukannya untuk berusaha bertahan sampai matahari terbenam.
Dalam pada itu, matahari memang sudah menjadi semakin rendah. Beberapa saat lagi, senja akan turun. Namun berita terakhir yang sampai kepada Ki Saba Lintang membuat jantungnya berdegup semakin cepat
Pasukan yang bertempur disisi Utara dapat didesak mundur oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun pimpinan pasukan Tanah Perdikan itu terluka parah.
Sebenarnyalah, pimpinan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berada disisi Utara terluka parah.
Prastawa pingsan ketika para pengawalnya sempat menyelamatkannya. Lukanya sangat parah di lambung dan di bahunya
Ki Jayaragalah yang telah mengambil alih pimpinan. Dalam keadaan yang gawat, maka Ki Jayaraga tidak mempunyai pilihan. Sementara itu, para pengawal tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di dalam pasukan disisi Utara itu telah mengenalnya
Dibawah pimpinannya, pasukan yang marah itu telah mendesak pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara
Sementara itu, pasukan yang memisahkan diri dan menyerang langsung padukuhan induk itupun telah pecah dan tidak berdaya. Ki Pringgareja tidak berhasil membalas dendam. Namun Ki Pringgareja sendiri yang mampu lolos dari maut di medan disisi Selatan, justru telah terbunuh.
Pasukannyapun pecah bercerai berai. Sebagian dari antara mereka berhasil meloloskan diri Sebagian yang lain menyerah dan sebagian lagi terbunuh di pertempuran.
Keadaan Prastawa memang gawat Seorang penghubung khusus telah melarikan kudanya ke padukuhan induk. Namun penghubung itu harus mengambil jalan melingkar, karena jalan yang akan dilaluinya menjadi arena pertempuran yang menebar ketika para pengawal Tanah Perdikan sedang memburu lawan-lawannya yang melarikan diri.
Penghubung itu memasuki padukuhan induk lewat pintu regol butulan.
Ketika penghubung itu sampai dirumah Ki Gede, maka dari pengawal yang berada di rumah itu, penghubung itu diberi tahu bahwa Ki Gede berada di gerbang utama padukuhan induk Tanah Perdikan itu. "
Dengan tergesa-gesa penghubung itu telah menemui Ki Gede dan menyampaikan berita bahwa Prastawa terluka parah.
Jantung Ki Gede menjadi berdebaran. Iapun telah memerintahkan seseorang menyiapkan dua ekor kuda bagi dirinya dan Ki Argajaya Sementara itu, diperintahkannya seorang penghubung untuk menyampaikan perintahnya kepada Sekar Mirah, bahwa Sekar Mirah bertanggung-jawab atas keselamatan padukuhan induk.
Sekar Mirah terkejut mendengar perintah itu. Tetapi ia tidak sempat bertanya, Ki Gede dan Ki Argajaya yang disusul di antara pasukan yang berada di luar padukuhan induk, telah berpacu ke medan di sebelah Utara bersama orang pengawal berkuda.
Ketika mereka sampai di medan, pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mendesak pasukan lawan. Ki Jayaraga telah berhasil membunuh Ki Sima Sikara yang berusaha menghentikannya Tetapi justru Ki Sima Sikaralah yang terbunuh di pertempuran itu.
Sementara tidak seorangpun yang dapat menghalangi Sayoga yang bertempur dengan garangnya diantara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit
Tetapi Pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak sempat memburu pasukan lawan yang hampir saja pecah. Langitpun menjadi suram oleh senja yang telah turun.
Dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan yang bertempur diperbatasan di sebelah Barat telah berhasil menghalau pasukan lawan pula Ki Saba Lintang memang memerintahkan pasukannya untuk bertahan. Meskipun demikian, pasukan Ki Saba Lintang itu harus memelihara keutuhan pasukannya sambil bergerak mundur.
Ki Argajaya dengan tegang duduk di sebuah amben panjang, di padukuhan di belakang garis pertempuran disisi Utara Karena keadaan luka-lukanya, maka Prastawa telah dibawa ke padukuhan itu. Seorang tabib yang terbaik telah datang untuk berusaha mengobatinya
"Kenapa bukan aku saja"geram Ki Argajaya
" Kita semuanya akan selalu berdoa. Mudah-mudahan obat-obatan yang diberikan kepadanya akan dapat meringankan penderitaannya Semoga Yang Maha Agung akan mempergunakan para tabib, obat-obatan dan segala perawatan sebagai lantaran penyembuhnya"berkata KiGede Menoreh.
"Kita akan membawanya ke padukuhan induk. "
"Jangan sekarang"cegah tabib yang mengobatinya"ia perlu beristirahat Biarlah keadaannya membaik. Baru kemudian kita akan membawanya ke padukuhan induk. "
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Namun dengan gelisah iapun bertanya kepada tabib yang mengobatinya " Bagaimana menurut pen-dapatmu" "
"Aku akan bemsaha sambil berdoa. Mudah-mudahan keadaan Prastawa segera menjadi baik. "
Dalam pada itu, Prastawa sendiri masih tetap diam. Matanya terpejam. Namun nafasnya sudah menjadi semakin teratur.
"Apakah isterinya perlu diberitahu ?"bertanya Ki Argajaya.
"Jangan sekarang sahut Ki Gede " kita tunggu sampai esok. Sokurlah jika keadaannya sudah membaik; "
Ki Argajaya nampak sangat gelisah. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia melihat tarikan nafas Prastawa menjadi semakin teratur. Darah sudah tidak lagi mengalir dari lukanya
Sementara itu senjapun menjadi semakin muram. Perlahan-lahan malampun turun menyelimuti Tanah Perdikan Menoreh.
Medan pertempuran yang riuh, garang dan berbau darah, telah menjadi sepi. Yang nampak adalah beberapa orang yang membawa obor belarak dan oncor biji jarak mengamati orang-orang yang terbaring diam di bekas arena pertempuran itu. Mereka telah mengumpulkan orang-orang yang telah terbunuh di medan. Mereka telah menolong dan merawat orang-orang yang terluka tetapi masih bertahan hidup.
Yang terdengar di bekas arena pertempuran itu adalah rintihan kesakitan.
Angin berhembus kencang. Langit nampak muram. Bintang-bin-tangpun kemudian telah lenyap ditelan awan yang mengambang.
" Marilah. Kita harus segera menyelesaikan tugas kita. Nampaknya langit menjadi mendung. Sebelum hujan, maka mereka yang terluka harus sudah dibawa ke padukuhan.
Tetapi seorang kawannya yang menengadahkah wajahnya ke langit berkata " Mudah-mudahan hujan tidak turun. Angin yang kencang akan menghembus mendung ke Utara."
Yang lain -mengangguk-angguk. Namun merekapun memang menjadi semakin cepat menyelesaikan tugas mereka. Dengan ekrak mereka mengangkut tubuh-tubuh yang lemah dan tidak berdaya sambil mengerang menahan sakit. Sementara yang lain, telah mengumpulkan tubuh-tubuh yang telah membeku.
" Orang-orang Ki Saba Lintang tidak ada yang turun ke bekas arena pertempuran itu."berkata seorang pengawal.
" Agaknya mereka sengaja menunggu setelah kita selesai." sahut kawannya
" Mereka tidak percaya bahwa kita menghormati paugeran perang dengan baik."
" Mereka sendiri yang tidak menghormatinya. Mereka sendiri . yang membuat bayangan-bayangan kotor."
" Sudahlah. Jangan pedulikan " berkata pemimpin kelomr poknya"kita selesaikan tugas kita"
. "Tetapi jika kawan-kawan mereka tidak menghiraukan lagi ?"
" Nanti, setelah kita yakin, bahwa mereka ditelantarkan oleh kawan-kawan mereka, kita berkewajiban menyelamatkan mereka yang masih hidup dan menguburkan mereka yang terbunuh"
Ternyata hal itu terjadi di perbatasan sebelah Barat dan di bekas arena pertempuran di sisi Utara Orang-orang yang masih segar dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang dan Ki Sima Sikara itu tidak menghiraukan lagi kawan-kawan mereka yang tertinggal di arena
Berbeda dengan Ki Sima Sikara yang terbunuh di medan, ternyata Ki Saba Lintang masih sempat menyelinap dan menyelamatkan diri meskipun pengawalnya yang paling dipercaya itu terluka parah. Namun dalam gerak mundur, para pengikutnya masih dapat melindunginya tanpa rnenghiraukan korban yang jatuh.
Sementara itu, keadaan di perkemahan pasukan Tanah Perdikan Menoreh menjadi sangat sibuk. Bahkan laki-laki. yang telah ubanan ikut pula membantu merawat orang-orang yang terluka. Beberapa perempuan yang berhati tegar telah menyediakan diri untuk turun pula ke perkemahan.
Suasana yang serupa telah terjadi pula di pedukuhan induk. Sekar Mirah yang mau tidak mau harus memegang pimpinan, telah memerintahkan membawa orang-orang yang terluka ke banjar.
Dalam pada itu, Ki Gede dan Ki Argajaya dengan gelisah menunggu Prastawa yang terluka parah. Namun lewat tengah malam Prastawa telah menjadi berangsur baik. Matanya yang terpejam sekali-sekali telah dibukanya Bahkan Prastawa itu sekali-sekali tersenyum kepada Ki
Gede, kepada ayahnya dan orang-orang yang menungguinya
Tetapi tabib yang merawatnya berkata kepadanya"Kau harus teristirahat mutlak."
Prastawa mengerti, bahwa jika tidak perlu sekali ia tidak boleh bergerak dan berbicara.
Sementara itu, titik-titik minuman telah diteteskan ke bibirnya agar selalu basah, serta tenggorokannya tidak terasa sangat kering.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang sudah menjadi semakin baik telah memerintahkan dua orang petugas sandi untuk mengamati kegiatan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Apakah mereka bersiap-siap untuk menyerang besok pagi. Menilik keadaan pasukan mereka yang hampir saja dapat dipecahkan seandainya senja tidak segera turun, maka Ki Saba Lintang tidak akan terlalu bodoh untuk mengerahkan pasukannya menyerang pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tentu menyadari bahwa di dalam pasukan Tanah Perdikan Mencreh masih terdapat orang-orang berilmu tinggi yang akan dapat turun ke medan. Sementara itu, Ki Saba Lintang telah banyak kehilangan para pemimpinnya Bahkan seorang yang dengan sengaja mencari Agung Sedayu telah terbunuh pula
Sebenarnyalah malam itu Ki Saba Lintang telah berbicara dengan para pemimpin pasukannya yang tersisa. Namun Ki Saba Lintang telah memerintahkan pengawasan yang ketat terhadap pasukan lawan. Ki Saba Lintang tidak ingin malapetaka terjadi lagi sebagaimana terjadi pada pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja disisi Selatan, yang justru mendapat serangan dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang pemimpin yang sempat berkumpul bersama Ki Saba Lintang itu nampak sudah tidak bergairah lagi. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi atas pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Seorang yang perutnya buncit berkata"Jika kita memaksa diri, maka besok sebelum matahari mencapai puncak langit, kita tentu sudah hancur berantakan."
Seorang yang berkepala botakpun berkata " Ya Tidak ada gunanya lagi melanjutkan pertempuran. Hari ini kita sudah terlalu memaksa diri. Korban sudah terlalu banyak jatuh. Tanah Perdikan Menoreh masih dapat mengerahkan semua laki-laki sampai yang ubanan sekalipun untuk menambah jumlah pasukan mereka. Sementara itu, kita sudah tidak dapat menambah jumlah lagi. Jika masih ada kawan-kawan kita yang datang, jumlahnya hanya satu dua. Dan itu tidak berarti sama sekali. " Ternyata para pemimpin yang lainpun sependapat Suranata yang terluka parah, ketika ditemui oleh seorang pemimpin yang ingin mendengar pendapatnya, berkata"Kita tidak akan mampu melawan kekuatan Tanah Perdikan Menorah. Agaknya kita salah hitung, sehingga kita terperosok kedalam neraka ini. "
Ketika pendapat itu kemudian disampaikan kepada Ki Saba Lintang, maka Ki Saba Lintangpun akhirnya memutuskan untuk tidak menyerang Tanah Perdikan.
"Esok kita beristirahat-berkata Ki Saba Lintang.
"Apakah kita akan tetap berada disini ?"bertanya seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang.
"Ya. Kita akan bersiap-siap untuk menarik diri."
" Yang terjadi atas Ki Pringgareja dapat terjadi atas kita jika kita tidak meninggalkan tempat ini sekarang."
" Sebaiknya kita meninggalkan tempat ini sebelum fajar. Kita mempunyai waktu untuk bersiap-siap."
Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata"Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang dalat keadaan terluka parah " Apakah kita tidak menunggu keadaan mereka sedikit lebih baik. Jika kita besok sehari-semalam masih berada disini, kita mendapat kesempatan untuk mengatur segala-galanya.
" Kita tinggalkan mereka yang sudah tidak mungkin mengikuti perjalanan mundur kita "
Ki Saba Lintang menarik nafas panjang. Ada semacam pertentangan didalam dadanya
. " Ki Saba Lintang tidak dapat hanya memikirkan mereka yang terluka saja tanpa memikirkan kami. Padahal, dalam keadaan yang paling gawat; kamilah yang akan dapat berbuat sesuatu bagi keselamatan sisa-sisa pasukan kita "
" Ki Saba Lintang " berkata yang lain"jika kita menunggu sampai besok, maka kita tentu akan dilumatkan disini. Para pengintai dari Tanah Perdikan Menoreh tentu sudah dapat menilai keadaan kita disini, sehingga mereka besok akan datang untuk menginjak kepala kita sampai ' hancur."
Akhirnya Ki Saba Lintang tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujui pendapat para pemimpin pasukannya yang tersisa. Apalagi Ki Saba Lintang menyadari, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi didalam pasukannya, sebagian besar telah ditebas habis oleh orang-orang yang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh.
"Baiklah " berkata Ki Saba Lintang kemudian " kita akan meninggalkan tempat ini. Kumpulkan semua orang yang tersisa Panggil orang-orang yang masih berada di Pucang Kerep. Dua orang harus mendahului kita menemui orang-orang kita yang berada disisi Utara Tanah Perdikan ini. Beri tahukan, agar mereka segera mempersiapkan diri. Pemimpin mereka yang ada disini sekarang, akan segera kembali untuk memberikan penjelasan.
" Biar kita sendiri saja yang memberitahukan kepada mereka agar tidak terjadi salah paham"berkata seorang yang berkepala botak.
" Kita masih akan menerakan langkah-langkah berikutnya " jawab Ki Saba Lintang.
"Jika demikian, salah seorang dari kami akan menyertai kedua orang penghubung itu. "
Demikianlah sejenak kemudian, tiga ekor kuda telah berderap di kegelapan malam menuju ke sisi Utara Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, beberapa orang masih membicarakan apa yang akan mereka lakukan setelah mereka menarik diri.
" Untuk sementara kita akan berkumpul di hutan disebelah Gunung Tidar " berkata Ki Saba Lintang " kita akan menentukan langkah-langkah kita selanjutnya "
" Kita masing-masing masih mempunyai tempat tinggal " berkata salah seorang dari mereka.
"Aku tahu. Tetapi bukankah gegayuhan kita tidak akan terhenti sampai disini" Apakah dengan kekalahan ini kita akan menjadi berputus asa dan tidak lagi berniat untuk membangunkan kembali perguruan KedungJati" "
" Baiklah " berkata orang yang perutnya buncit " kita akan menentukan langkah itu kemudian. "
Demikianlah, maka merekapun telah mengambil keputusan untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Sepeninggal para pemimpin yang tersisa, Ki Saba Lintang masih berbicara dengan pengawal kepercayaannya yang terluka Dengan nada menyesal kepercayaan Ki Saba Lintang itu berkata "Seharusnya kita susun dahulu perguruan Kedung Jati serta tatanan unda-usuk kekuasaan dan wewenang. Baru kita mengambil langkah-langkah besar seperti ini."
" Aku mengerti. Tetapi sulit untuk melaksanakannya. Orang-orang liar itu sulit untuk diatur, apalagi dalam tatanan unda-usuk kekuasaan dan wewenang. "
" Setidak-tidaknya kita sendiri harus mempunyai lajer yang maton. Kita dapat memetik pengalaman dari apa yang terjadi. Seandainya Tanah Perdikan Menoreh dapat kita duduki, maka persoalan kepemimpinan akan menjadi masalah. Siapakah yang akan memimpin pasukan gabungan ini menuju ke Mataram. Apalagi jika Ki Darpatenaya berhasil membunuh Agung Sedayu. Atau Ki Sima Sikara benar-benar berhasil menembus pertanahan Tanah Perdikan Menoreh disisi utara serta Ki Pringgareja dapat menguasai padukuhan induk Tanah Perdikan."
Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar. Tetapi semula aku masih berharap bahwa tongkat baja putih yang satu lagi akan jatuh ke tangan Nyi Dwani atau kemudian Nyi Yatni. Dengan sepasang tongkat baja putih itu, aku yakin akan mendapat pengakuan untuk memimpin kekuatan yang besar ini.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu himpunan kekuatan yang didasari pada kebangkitan perguruan Kedung Jati."
Setelah perang ini selesai, kita dapat membayangkan bahwa semuanya itu baru merupakan bayangan. Setiap kelompok kekuatan kita masih belum mempunyai ikatan yang mapan. Sebagian dari kita adalah orang-orang yang bercita-cita Sebagian lagi berdiri diatas dendam yang membara didalam jantung mereka Sebagian lagi bergabung dengan kita tanpa tujuan apa-apa"
" Ya. Kita memang tergesa-gesa mengambil langkah."
" Pertemuan di hutan sebelah Gunung Tidar, seharusnya bukan pertemuan untuk merencanakan serangan-serangan berikutnya Tetapi bagaimana kita dapat menyusun diri sebaik-baiknya Semuanya harus jelas. Termasuk tatanan unda-usuk kekuasaan dan wewenang. "
"Aku sependapat"
"Nah. Jika demikian, Ki Saba Lintang tidak usah memerintahkan seluruh pasukan ini berangkat bersama-sama seakan-akan kita sudah merupakan satu kesatuan yang utuh. Biarlah kelompok-kelompok yang ingin berangkat lebih dahulu, berangkat meninggalkan kita Dengan satu kesepakatan untuk bertemu di hutan sebelah Gunung Tidar. "
Ki Saba Lintangpun mengangguk-angguk. "Kita akan membawa orang-orang yang terluka sejauh dapat kita lakukan. Kita mempunyai beberapa buah pedati di Pucang Kerep. "
" Apakah itu pedati milik kita?"bertanya Ki Saba Lintang. Pengawal kepercayaan Ki Saba Lintang itupun tersenyum sambil berkata " Apakah ada bedanya apakah pedati itu milik kita atau milik orang-orang Pucang Kerep?"
Ki Saba Lintang tidak menjawab.
Demikianlah, maka diperkemahan itu telah terjadi kesibukan yang meningkat Ternyata setiap orang telah berkumpul dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing. Sama sekali tidak lagi nampak kesatuan yang utuh yang tunduk pada satu perintah.
Tanpa diperintahkan, maka kelompok-kelompok itu telah bersiap untuk berangkat meninggalkan perkemahan itu menurut kebijaksanaan pemimpin mereka masing-masing.
Ki Saba Lintang sengaja tidak menegur mereka. Dibiarkannya kelompok-kelompok itu bergerombol dan bersiap untuk meninggalkan perkemahan.
"Mereka tidak menunggu tengah malam"berkata pengawal kepercayaan Ki Saba Lintang.
Tetapi para pemimpin itu masih sedikit menghargai keterikatan mereka Mereka masih memberitahukan kepada Ki Saba Lintang, bahwa mereka akan berangkat
"Tidak usah menjelang Fajar"berkata seorang yang bertubuh raksasa
" Menjelang fajar adalah batas terakhir " berkata Ki Saba Lintang.
Demikianlah sekelompok demi sekelompok orang-orang yang berada diperkemahan itu beranjak pergi. Rasa-rasanya mereka ingin segera menjauhi neraka yang telah membakar beberapa orang kawan-kawan mereka
" Tidak ada yang kita dapatkan disini " geram orang bertubuh raksasa itu diantara kawan-kawannya
"Kematian"sahut kawannya
" Jahanam orang-orang Tanah Perdikan Menoreh " berkata orang bertubuh raksasa itu lagi"dendam ini tidak akan padam sampai akhir hayatku."
Sementara itu, beberapa buah pedati yang diambil dari Pucang Kerep merambat lamban mendekati perkemahan. Sementara itu, Ki Saba Lintang rnasih juga memikirkan kawan-kawannya yang terluka
Namun ketika Ki Saba Lintang mengajak Suranata maka Suranata itupun berkata"Tinggalkan aku disini."
Ki Saba Lintang terkejut mendengar jawaban itu. Dengan nada tinggi iapun bertanya"Kenapa kau ingin tinggal " Bagaimana dengan saudara perempuanmu itu ?"
"Aku titipkan Yatni kepadamu, Ki Saba Lintang^"
"Nyi Yatni itu tidak akan mau pergi sendiri tanpa kau."
"Aku akan berbicara dengan Yatni."
Ketika kemudian Nyi Yatni menemui Suranata, maka Yatnipun menangis. Dengan nada tinggi ia berkata " Kakang akan menemui Dwani Ternyata kakang telah berpihak kepadanya."
"Tidak Yatni. Aku tidak akan menemui Dwani."
"Ayah?" " Tidak. Aku tidak akan menemui siapa-siapa. Tetapi aku tidak ingin menjadi beban."
"Tetapi jika kakang ditinggalkan disini, keadaan kakang akan menjadi semakin gawat. Tidak ada orang yang merawat luka-luka kakang.'"
" Aku sudah berangsur baik, Yatni. Aku dapat merawat diriku sendiri"
"Lalu apa yang akan kakang lakukan ?"
"Aku akan menyusul kalian ke hutan di kaki Gunung Tidar."
"Jika kita sudah berangkat meninggalkan tempat itu ?"
"Aku akan mencari kalian,Utara Gunung Kendeng. Bukankah Ki Saba Lintang mempunyai landasan yang mapan di sebelah utara Gunung Kendeng."
"Jika kita sudah bergerak lagi ketempat lain ?"
"Bukankah kalian dapat meninggalkan pesan di padepokan di sebelah Gunung Kendeng itu " Aku akan mencari kalian. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, kapan aku dapat bertemu dengan kalian."
" Kenapa kakang tidak berangkat bersama kami ?" bertanya Yatni.
"Aku percayakan kau kepada Ki Saba Lintang."
"Apa sebenarnya yang kakang maui?"
"Aku tidak dapat melupakan begitu saja tongkat baja putih di tangan Nyi Lurah itu. Aku tahu bahwa Dwani sudah kehilangan gairah perjuangannya, sehingga tidak mungkin diharapkan lagi. Apalagi ia berada di Tanah Perdikan bersama ayah. Karena itu, aku masih bermimpi bahwa kau pada suatu saat akan memegang tongkat Baja putih itu, Yatni."
"Saudara seperguruan kakang itu sudah kehilangan harapan."
Suranata menarik nafas dalam-dalam.
"Bukan saja kehilangan harapan. Tetapi Sura Aran telah meninggal belum lama ini"
Suranata tidak menanggapinya Tetapi matanya menerawang memandang langit-langit barak perkemahannya yang berbuat dari ilalang.
Lampu minyak yang redup terletak di sebuah ajuk-ajuk yang tinggi di sudut ruang itu.
"Sudahlah. Jangan hiraukan aku"desis Suranata
" Jika kau tinggal, kakang. Kau akan berada di sini bersama orang-orang yang sudah tidak berdaya lagi. Yang sudah tidak dapat bergerak sama sekali. Orang-orang yang nyawanya sudah berada di ujung rambutnya. Jika mereka mati, maka kakang akan tinggal bersama mayat-mayat yang tidak terurus."
"Kenapa mereka kalian tinggalkan ?"
"Kami akan membawa orang-orang kami. Gerombolan-gerombolan yang selama ini bertempur bersama kami, telah sepakat untuk meninggalkan kawan-kawan mereka yang sudah tidak berpengharapan untuk dapat hidup lebih lama lagi"
" Apakah kau tidak dapat membawa mereka, Ki Saba Lintang. Serta menguburkan orang-orang yang terbunuh ?"
" Kami sudah menapak ke jalan yang lain sejak semula Kamipun tidak mengirimkan kelompok-kelompok yang mengambil kawan-kawan kami yang tertinggal di medan, terutama yang masih bertahan hidup."
"Kenapa kau lakukan itu?"
" Aku tidak dapat berbuat lebih banyak lagi dari yang dapat aku lakukan sekarang ini Akupun harus segera meninggalkan tempat ini, jika. aku dan orang-orang tidak ingin disergap oleh orang-orang Tanah. Perdikan Menoreh."
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Saba Lintang-pun berkata"Aku harus memperhitungkan orang-orang yang masih dapat melakukan sesuatu yang jumlahnya lebih banyak dari mereka yang sudah tidak berdaya teriuka dan apalagi terbunuh."
"Kau sudah tidak menghiraukan arti hubungan kita dengan mereka selama ini"
"Aku tidak mempunyai pilihan lain, Suranata"
" Baiklah. Tinggalkan aku. Aku akan menempuh jalanku sendiri untuk sementara, sebelum aku akan bergabung kembali dengan kalian. Apakah di hutan sebelah Gunung Tidar, atau di sebelah Utara Gunung Kendeng."
Nyi Yatni mengusap matanya yang basah. Katanya"Aku minta diri kakang. Tetapi jika kakang masih ingin mendapatkan tongkat baja putih itu untukku, aku sangat berterima-kasih.
" Aku akan berusaha Yatni. Tongkat itu akan sangat berarti bagimu."
Malam itu, ketika orang terakhir yang masih mampu berjalan meninggalkan perkemahan itu, Suranata masih berbaring dipembaringan bambu beralaskan anyaman daun kelapa yang sudah mengering. Seorang yahg berperawakan kecil, berkumis tipis menyempatkan diri untuk mendekati pembaringannya sambil berdesis " Kau tidak ikut bersama kami Suranata?"
Suranata menggeleng. Suaranya lemah"Tidak, Bengkring. Aku akan tinggal disini. "
" Besok orang-orang Tanah Perdikan akan memasuki bekas perkemahan ini."
"Ya " "Kau akan ditangkap dan diperlakukan dengan buruk sekali."
"Mudah-mudahan tidak. Mungkin aku dapat meninggalkan tempat ini sebelum fajar. "
" Kau masih terlalu lemah. "
" Lukaku sudah diobati. Akupun sudah menelan obat untuk menambah kekuatan tubuhku sekedarnya"
"Tetapi darahmu akan mengalir lagi." Suranata menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bukankah kawan-kawanmu sudah berangkat, Bengkring ?"
"Mereka baru mulai bergerak."
"Berangkatlah. Nanti kau ketinggalan.-"
"Mereka berjalan seperti siput."
"Pergilah." "Segala-galanya menjadi lain. "
"Apa yang lain?"
"Kawan-kawan kita yang terluka parah, ditinggalkan begitu saja Aku tahu, bahwa yang melakukan bukan Ki Saba Lintang, karena Ki Saba Lintang membawa orang-orangnya yang terluka Tetapi bukankah Ki Saba Lintang itu Panglima kami " Ia bertanggung jawab terhadap semua orang dalam paskannya Ia dapat memerintahkan setiap pemimpin kelompok atau gerombolan yang bergabung kepadanya untuk membawa semua orang-orangnya
"Kau kira Ki Saba Lintang mempunyai kekuasaan untuk itu " " Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berguman "Belum lagi kita berbicara tentang orang-orang yang terluka di medan perang sehingga tidak mampu beranjak dari tempatnya sementara kawan-kawannya tidak sempat menolong dan menyingkirkan mereka.
"Jangan menambah lukaku menjadi pedih, Bengkring. "
"Maaf, Ki suranata "
"Aku tidak menyalahkanmu. Aku mengerti perasaanmu. "
"Karena itu pula kau tidak mau pergi bersama kami. " desis Bengkring. " Kau ingin menunjukkan kesetiakawananmu terhadap orang-orang yang tidak berdaya. Kau akan ikut mengalami keadaan yang terburuk yang dapat terjadi dengan mereka. Bahkan seandainya orang-orang Tanah Perdikan tidak datang kemari dan kalian akan kelaparan dan kehausan, kau akan mengalaminya juga. "
" Sudahlah Bengkring, pergilah. Kau termasuk orang yang selamat Tidak segores lukanya terdapat pada kulitmu. Dengan trampil kau mampu menghindari setiap ujung senjata yang mengarah ke tubuhmu. Sekarang, pergilah. Kau diperlukan oleh orang-orang yang terluka dise-panjang perjalanan. Mereka memerlukan orang-orang seperti kau. Orang-orang yang tidak terlalu mementingkan diri sendiri. "
Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Dalam keadaan seperti ini kita akan dapat menilai apakah kita mempunyai arti bagi orang lain. Mungkin kita adalah orang-orang yang dianggap sampah bagi kebanyakan orang yang hidup wajar. Tetapi kita jangan menjadi sampahnya sampah. Dosa apakah yang lebih besar daripada seorang yang dianggap berkhianat dan memberontak. Tetapi yang berkhianat dan memberontak itu hendaknya masih juga mempunyai arti bagi orang lain."
"Pergilah " desis Suranata"kau termask salah seorang yang masih aku dapat memberikan arti bagi orang lain."
Jilid 319 Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Selamat tinggal Ki Suranata"
Suranata tidak menjawab. Bengkring itupun kemudian melangkah meninggalkannya Sekali ia masih berpaling dan berkata "Orang-orang lain yang tertinggal akan berbesar hati karena kau juga tidak pergi, Ki suranata "
Ki Suranata tidak menjawab lagi.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, perkemahan itu menjadi sepi. Bengkring telah berjalan menyusul kawan-kawannya yang berjalan lebih dahulu. Namun seperti yang dikatakannya, mereka berjalan seperti siput Beberapa pedati tersuruk-suruk menyusuri jalan yang tidak begitu rata sehingga orang-orang yang ada didalamnya justru terguncang-guncang.
Ternyata tidak semua kelompok atau gerombolan yang berada di medan sebelah Barat itu berniat untuk singgah di perkemahan pasukan yang berada disisi utara. Ada diantara mereka yang langsung menjauhi perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mencari jalan lain untuk sampai ke Gunung Tidar.
Namun ada pula diantara mereka yang ingin bertemu dengan kelompok-kelompok yang berada di sisi utara Tanah Perdikan Menoreh untuk membicarakan langkah-langkah mereka selanjutnya
Suranata yang tertinggal di barak perkemahan masih berbaring diam. Namun kemudian, iapun mencoba untuk bangkit perlahan-lahan. Suranata itu sadar sepenuhnya, jika ia terlalu banyak bergerak, maka darahnya akan mengucur lagi dari luka-lukanya yang mulai mampat
Ketika ia sampai di ruang yang panjang, dilihatnya beberapa orang berbaring sambil merintih kesakitan. Seorang yang terluka parah, mengerang sambil memanggil-manggil sebuah nama Namun tidak seorangpun yang datang mendekatinya, karena orang-orang lain yang ada di ruang itu hampir tidak mampu beringsut dari pembaringannya Selembar ketepe bertarak yang sudah mulai kering.
Suranatalah yang melangkah hati-hati mendekati orang yang mengerang itu. Sambil duduk di sebelah, Suranatapun bertanya"Siapa yang kau panggil?"
"Kakang Semu" "Siapakah yang bernama Semu?"
" Ia yang mengajakku pergi kemari. Ialah yang menjanjikan sebuah tanah yang luas dan subur. Airnya melimpah tanpa batas. Berapapun luasnya tanah yang ingin digarapnya, tidak akan ada batasnya."
"Kau menyesal ?"
" Hanya orang gila yang tidak menyesal. Aku telah berjuang untuk merebut tanah yang dijanjikannya. Tetapi inilah yang aku dapatkan. Dalam keadaan terluka parah, Semu pergi meninggalkan aku Dibiarkannya aku kehausan dan besok aku akan mati disini tanpa seorangpun yang mengurus tubuhku yang membeku. Burung-burung pemakan bangkai yang mencium bau mayat yang bertebaran disini, akan segera berdatangan mengoyak tubuhku sampai lumat"
"Kita masih dapat menunggu keajaiban. Sepanjang kita masih bernafas, maka keajaiban itu masih akan dapat terjadi"
"Semuanya sudah pergi"
"Tidak." " Siapa yang tidak pergi " Kau " Kau sendiri terluka parah. Apa yang dapat kau lakukan?"
"Berdoa" " Berdoa ?" orang yang terluka itu terkejut Suranata sendiri terkejut Sebelumnya ia tidak pernah mengucapkan kata-kata itu. Berdoa
Kepada siap ia berdoa untuk keselamatan "
Orang yang terluka parah dan ditinggalkan oleh kawannya yang bernama Semu itupun bertanya " Ki Sanak. Jika aku berdoa, adakah yang mendengarkan doaku ?"
Suranata sendiri tidak tahu kenapa ia tiba-tiba saja menjawab " Yang Maha Agung akan mendengar doamu. Doa kita."
Orang itu termangu-mangu sejenak; Namun iapun, bertanya lagi "Apakah Yang Maha Agung itu mengenal aku ?"
" Yang Maha Agung mengenal siapapun yang menyebut nama-Nya dengan kesungguhan hati."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Suranata berkata "Aku akan mencari air bagimu."
"Kau sendiri terluka."
"Lukaku tidak separah lukamu dan luka kawan-kawan kita yang tertinggal disini"
Suranatapun bergeser dengan sangat berhati-hati agar lukanya
Belum lagi Suranata beranjak beberapa langkah, iapun mendengar orang yang sebelumnya selalu mengerang sambil memanggil-manggil nama kawannya itu mulai berdoa. Ia mengucapkan saja kata-kata yang bergejolak diliatinya dengan penuh keyakinan.
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Orang itu sudah berdoa dengan kesungguhan hati. Tetapi ia sendiri justru masih belum melakukannya
Namun Suranata meneruskan langkahnya. Perlahan-lahan sekali sambil berpegangan pada tiang-tiang barak. Disana-sini beberapa orang terdengar merintih. Namun ada diantara mereka yang sudah tidak bernafas lagi.
Lampu minyak masih menyala di ajuk-ajuk. Sinarnya yang pudar menggapai-gapai dengan malasnya. Sementara itu, Suranatapun akhirnya mampu mencapai dapur barak itu.
Masih ada siwur tergantung di tiang bambu didekat gentong yang berisi air. Dengan siwur tempurung kelapa itu Suranata mengambil air dan membawa kembali ke ruang yang panjang.
Ternyata tidak hanya seorang yang kehausan. Dua orang, tiga orang bahkan lebih lagi.
Suranata memberikan titik-titik air kedalam mulut mereka Sedikit-sedikit saja, karena Suranata masih belum dapat berjalan hilir mudik ke dapur karena tubuhnya yang masih sangat letih dan lemah. Darahnya masih saja setiap saat dapat mengalir lagi dari luka-lukanya
Sementara itu, orang-orang yang meninggalkan perkemahan itu mengalir menjauhi perbatasan. Pasukan Ki Saba Lintang yang ada disisi Utarapun tidak lagi merasa terikat pada satu perintah. Ada diantara mereka yang telah membawa orang-orangnya meninggalkan perkemahan.
Tetapi seperti juga orang-orang yang langsung berada dibawah pimpinan Ki Saba Lintang, maka mereka yang berada disisi Utara itu sebagian besar juga berpendapat, bahwa orang-orang yang terluka dan tidak berpengharapan lagi, akan mereka tinggalkan.
Bahkan bekas prajurit yang tergabung dengan merekapun telah berubah pula Ikatan mereka menjadi semakin kendor. Bahkan cenderung untuk mementingkan diri sendiri. Mereka tidak lagi menghiraukan kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan mereka condong untuk meninggalkan mereka di perkemahan.
"Kita tidak dapat mengorbankan diri untuk orang-orang yang terluka parah. Biarlah mereka menerima nasib mereka. Sedangkan kami akan memperjuangkan nasib kami sendiri."
Karena itulah, maka di bekas medan pertempuran tidak nampak kelompok-kelompok orang yang berusaha mencari dan menyelamatkan kawan-kawan mereka yang terluka parah.
Seperti yang direncanakan, maka setelah tengah malam, Agung Sedayu telah memerintahkan orang-orangnya untuk mulai menolong para pengikut Ki Saba Lintang yang terluka. Bahkan disisi Utara, usaha ku dimulai sedikit lebih awal, setelah para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh mendapat kepastian, bahwa lawarrmereka tidak berusaha untuk menolong kawan-kawannya yang terluka dan tertinggal di medan.
Empu Wisanata sendiri telah turun ke bekas medan pertempuran di-malam itu. Selain mencari korban dipihak Tanah Perdikan, maka Empu Wisanata juga melihat apakah anaknya ada diantara mereka yang terluka.
Tetapi Suranata tidak berada di medan disisi Utara itu. Suranata memang terluka dan bahkan parah Tetapi disisi Barat
Ketika malam menjadi semakin dalam, di dini hari menjelang fajar, Agung Sedayu disisi Barat mendapat kepastian, bahwa tidak akan ada serangan dihari berikutnya
" Mereka telah meninggalkan perkemahan mereka " berkata
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun bertanya "Kau yakin ?"
" Aku yakin, Ki Lurah. Aku sudah mendekati perkemahan itu. Tidak ada lagi kelompok-kelompok orang bersenjata di perkemahan itu. Meskipun aku tidak memasukinya, tetapi aku yakin, perkemahan itu sudah kosong."
Agung Sedayu yang masih lemah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "Kita persiapkan sebuah kelompok untuk meyakinkan kebenaran laporanmu."
Agung Sedayupun kemudian telah mengumpulkan beberapa orang terpilih. Diantara mereka adalah beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus. Yang lain adalah sekelompok pengawal yang terpercaya. Bersama mereka Agung Sedayu minta Ki Wijil dan Nyi Wijil.
Demikianlah, menjelang fajar, maka sekelompok orang terpilih itu telah bergerak menuju ke perkemahan lawan. Sementara itu, kelompok-kelompok lainpun telah bersiap pula. Jika para petugas yang pergi ke perkemahan itu mengalami kesulitan, maka kelompok-kelompok yang dipersiapkan itu akan dengan cepat membantu setelah isyarat dengan panah sendaren atau panah api yang akan naik keudara.
Namun sekelompok orang terpilih yang pergi ke perkemahan itu, tidak menemui hambatan apapun. Tidak ada kelompok-kelompok peronda. Tidak ada tempat-tempat penjagaan dan bahkan tidak ada gerak pasukan sama sekali di perkemahan. Tidak ada asap yang membubung tinggi dari perapian di dapur.
"Mereka benar-benar telah pergi"desis Ki Wijil.
"Ya. Mereka telah pergi " desis pemimpin sekelompok prajurit dari pasukan Khusus yang menyertai Ki Wijil itu.
"Tunggulah disini " desis Ki Wijil kemudian " aku dan Nyi Wijil akan memasuki lingkungan perkemahan mereka."
" Berhati-hatilah, Ki Wijil"desis pemimpin kelompok itu.
Ki Wijil mengangguk kecil.
Berdua bersama Nyi Wijil, mereka mendekati perkemahan yang sepi. Lampu minyak dibebcrapa tempat masih nampak menyala. Tetapi perkemahan itu seakan-akan sedang tertidur nyenyak.
Dengan hati-hati Ki Wijil dan Nyi Wijil memasuki halaman disebe-lah barak perkemahan itu. Ketika mereka masuk ke dapur, maka yang nampak adalah beberapa peralatan yang berserakan, bahan-bahan mentah yang teronggok disana-sini. Tetapi tidak seorangpun yang nampak.
Dari dapur Ki Wijil dan Nyi Wijil mendekati pintu barak utama yang mejjoanjang; Ketika keduanya tidak melihat seorangpun, maka keduanyapun selangkah demi selangkah memasuki pintu yang terbuka itu.
"Kosong"desis Ki Wijil.
"Tidak"sahut Nyi Wijil.
Ki Wijilpunrhengangguk. Ia melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring diam. Tetapi terdengar erang kesakitan disana-sini.
"Mereka meninggalkan orang-orang yang terluka parah."
"Bagaimana hal seperti ini dapat terjadi " desis Nyi Wijil.
Namun keduanya terkejut ketika mereka mendengar suara dari sudut yang agak gelap dibarak itu " Selamat malam Ki Wijil dan Nyi Wijil."
Keduanya segera bersiap. Namun tidak seorangpun yang bangkit berdiri. Dalam kesamaran cahaya yang redup, yang seakan-akan tidak menggapai sudut ruangan, mereka melihat seseorang duduk dengan lemahnya bersandar dinding.
Dengan hati-hati Ki Wijil melangkah mendekat Namun kemudian Ki Wijil itupun berdesis "Angger Suranata-"
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun bertanya " Apa yang akan Ki Wijil lakukan di barak perkemahan ini" "
" Kami mendapat laporan bahwa perkemahan ini telah kosong "
" Ya " " Kenapa kau masih tinggal di sini" "
"Bukan hanya aku Tetapi seperti yang kau lihat, banyak diantara kami yang tertinggal disini. Karena itu, aku menolak ketika aku akan dibawa dengan pedati oleh Ki Saba Lintang. "
" Kau tinggal karena banyak orang terluka yang ditinggal disini" "
" Ya. Salah seorang dari kami harus dapat melayani yang lain meskipun sambil merangkak. Jika aku tidak tinggal, maka beberapa orang diantara mereka yang terluka parah itu sudah mati kehausan. Bukan aku yang membuat mereka tidak mati. Tetapi aku sekedar alat untuk menunda kematian mereka. "
Ki Wijil dan Nyi Wijil saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Wijil pun berbicara dengan pemimpin prajurit dan pengawal yang menyertainya untuk memberf bantuan sejauh dapat mereka lakukan bagi mereka yang terluka parah.
"Yang sudah meninggal, kumpulkan saja di sudut barak itu, sedangkan yang lain di sisi sebelah. "
Para prajurit dan pengawal pun kemudian telah berusaha merawat sejauh dapat mereka lakukan. Beberapa orang diantara mereka telah mengambil dan menitikkan air dibibir mereka yang mengerang dan mengeluh kehausan.
Keadaan yang hampir sama telah terjadi pula disisi Utara. Sekelompok prajurit dan pengawal telah pergi ke perkemahan lawan ketika mereka mendapat laporan bahwa perkemahan itu telah kosong. Tetapi kelompok terakhir yang meninggalkan perkemahan disisi Utara itu baru berlangsung menjelang fajar, karena mereka menunggu kelompok-kelompok yang mengalir dari sisi sebelah Barat
Empu Wisanata dan Sayogalah yang memimpin sekelompok prajurit dan pengawal untuk pergi dan melihat perkemahan yang sudah ditinggalkan oleh pasukan lawan itu. Tetapi didalamnya juga diketemukan orang-orang yang terluka dan bahkan yang telah meninggal dunia sebagaimana yang mereka ketemukan di medan.
Sementara itu, dua. orang tabib yang terbaik sedang menunggui Prastawa Keadaannya memang berangsur baik meskipun masih mencemaskan. Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya menunggui Prastawa dengan tegang. Sementara Ki Jayaraga masih sibuk mengatur para prajurit dan pengawal yang masih harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
" Kita tidak boleh lengah " berkata Ki Jayaraga " mereka memang telah meninggalkan perkemahan. Tetapi jika tiba-tiba mereka datang seperti banjir bandang, sementara kalian tidak bersiap, maka kita semua akan digulungnya sampai lumat.
Karena itu, maka Ki Jayaraga telah menugaskan kelompok-kelompok prajurit ditempat-tempat yang dianggapnya penting untuk mengamati keadaan, sementara yang lain bersiap untuk bergerak jika diperlukan.
Namun yang terjadi kemudian adalah kedatangan dua orang penghubung yang dikirim oleh Empu Wisanata. Mereka memerlukan sekelompok orang untuk membawa orang-orang yang terluka parah.
Para prajurit dan pengawal itupun menjadi semakin sibuk. Tetapi mereka tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang yang terluka terbaring berserakan didalam barak yang telah ditinggalkan oleh pasukannya
Kesibukan itupun berlangsung sampai hari menjelang terang.
Namun satu hal yang pasti, pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu telah ditarik dari medan. Mereka harus mengakui kenyataan, bahwa mereka telah gagal.
Kesibukan pasukan Tanah Perdikan di hari itu adalah membenahi pasukan, Para prajurit yang berasal dari Ganjurpun telah menghimpun diri setelah mereka diurai di beberapa medan. Demikian pula para prajurit dan Pasukan Khusus serta para pengawal Tanah Perdikan. Dengan demikian, merekapun mengetahui orang-orang mereka yang telah menyusut selama pertempuran terjadi
Upacara yang dilakukan kemudian adalah upacara duka. Tanah Perdikan Menoreh, para prajurit dan Pasukan Khusus telah kehilangan putra-putra mereka yang terbaik.
Namun semuanya menyadari, bahwa hal itu memang tidak dapat dihindari jika mereka tidak ingin kehilangan tanah tempat mereka berpijak.
Sementara itu, para petugas sandipun sibuk mengamati keadaan untuk meyakinkan bahwa disekitar Tanah Perdikan Menoreh tidak ada lagi pasukan yang siap untuk menyerang.
Tetapi kemungkinan-kemungkinan lain masih dapat terjadi Jika kelompok-kelompok yang gagal itu menyimpan dendam dihati, maka mereka akan dapat mengambil langkah sendiri-sendiri. Mereka akan dapat mendalangi padukuhan-padukuhan dan melepaskan dendam mereka kepada orang-orang yang tidak bersalah.
Karena itu, maka kekuatan para pengawalpun segera ditebarkan di seluruh Tanah Perdikan. Sebagian para pengawal dikembalikan ke padukuhan masing-masing. Namun masih ada kelompok pengawal berkuda yang siap untuk bergerak. Sementara itu, para prajurit yang datang dari Ganjur serta para prajurit dari Pasukan Khusus masih tetap dalam keadaan kesiagaan tertinggi.
Dalam pada itu, Prastawapun telah dibawa ke padukuhan induk. Dua orang tabib terbaik dari Tanah Perdikan Menoreh bergantian selalu mengawasinya. Sementara isterinya seakan-akan tidak pernah beranjak dari bibir pembaringannya.
Selama Prastawa masih belum dapat menjalankan tugasnya, maka Glagah Putih yang sudah berangsur baik bersama Sabungsari diminta untuk memimpin para pengawal Tanah Perdikan. Meskipun Glagah Putih masih belum langsung mengunjungi padukuhan-padukuhan, tetapi ia dapat memberikan petunjuk kepada para pemimpin kelompok dari padukuhan-padukuhan yang setiap hari datang ke banjar. Sementara itu, Sabungsarilah yang langsung mendatangi padukuhan-padukuhan untuk memberikan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya
Sebenarnyalah, kecemasan para pemimpin Tanah Perdikan itu terbukti. Sekelompok orang yang mendendam, yang dipimpin oleh seorang gegedug yang ditakuti diseputar Gunung Sumbing telah mempunyai rencananya sendiri.
" Jika pasukan yang besar itu tidak mampu menerobos pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku mempunyai caraku sendiri" geram Kerta Landak kepada para pengikutnya.
" Apa yang akan Ki Lurah lakukan" " bertanya seorang pengikutnya
"Apa yang kita dapatkan dari Tanah Perdikan Menoreh" Ki Saba Lintang telah membawa sekian banyak kelompok, perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan, bahkan kelompok-kelompok bekas prajurit yang mendendam, menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Namun tidak ada hasilnya sama sekali.
Para pengikutnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sementara Kerta Landak berkata selanjurnya " Kita akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh."
" Apa yang dapat kita lakukan menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang sangat kuat itu."
"Kau memang dungu" geram Kena Landak "kita tidak akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kita akan merunduk orang-orang kaya di Tanah Perdikan Menoreh. Kita tahu bahwa banyak orang kaya di Tanah Perdikan itu. Di malam hari kita akan memasuki sebuah padukuhan. Merampok orang-orang kaya di padukuhan itu. Kemudian dengan cepat melarikan diri."
Para pendukungnya termangu-mangu sejenak. Namun orang diantara merekapun berkata "Jika kita ingin merampok, kenapa kita tidak memilih sasaran yang lain. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tentu masih tetap dalam kesiagaan tertinggi Bahkan mungkin untuk beberapa pekan mendatang. "
" Kita akan melakukan sesuatu yang lain dari yang pernah kita lakukah. Kita tidak hanya sekedar merampok. Tetapi kita akan melepaskan dendam kita Berapa orang kawan kita yang telah terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh. Setiap nyawa harus diganti dengan nyawa Kitapun akan dapat menimbulkan keresahan di Tanah Perdikan itu. Sekarang kita memasuki sebuah padukuhan, pada kesempatan lain padukuhan yang lain."
Para pengikutnya termangu-mangu. Seorang diantaranya berdesis "Kita akan melakukan pekerjaan yang berbahaya "
"Untuk mendapat kepuasan tertinggi, bahayanya memang akan terasa makin besar. Siapa yang ketakutan, aku tidak berkeberatan untuk mengijinkannya tinggal. "
Tetapi tidak seorangpun yang bersedia disebut seorang penakut. Karena itu, maka tidak seorangpun yang menyatakan dirinya untuk tinggal
Namun Kerta Landak bukan seorang yang bodoh. Karena itu, ia tidak tergesa-gesa melepaskan dendamnya. Ia menunggu sampai suasana 'di Tanah Perdikan menjadi dingin.
Sebenarnyalah, dari hari ke hari, keadaan Tanah Perdikan menjadi tenang kembali. Tetapi masih ada satu dua keluarga yang pergi ke kuburan untuk menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih merah. Mereka yang telah gugur di pertempuran telah dimakamkan dalam satu upacara yang khidmat, berjajar memanjang.
Tetapi dari hari ke hari, pasar telah menjadi ramai kembali. Para peianipun telah pergi mengerjakan sawahnya. Namun di perbatasan, tanaman dibeberapa bahu sawah telah rusak terinjak-injak. Bahkan para petani yang terpaksa memperbaharui tanamannya, masih sering menemukan, berbagai jenis senjata yang tertinggal.
Namun Tanah Perdikan Menoreh tidak menutup mata atas kerusakan itu. Para bebahu tidak membiarkan para petani itu mengalami kesulitan karena mereka tidak akan dapat menuai hasil sawahnya. Tetapi Tanah Perdikan telah membantu mereka untuk mendapatkan benih serta membantu beaya menggarap kembali sawahnya itu.
Meskipun demikian, para pengawal masih-tetap bersiaga sepenuhnya. Baik para pengawal di padukuhan-padukuhan, maupun para pengawal yang berada di banjar padukuhan induk.
Dalam pada itu, para prajurit dari Ganjur dan para prajurit dari Pasukan Khusus telah ditarik semuanya ke dalam barak Pasukan Khusus. Untuk beberapa lama pasukan yang berasal dari Ganjur itu masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh. Masih belum ada perintah bagi pasukan itu untuk kembali ke Ganjur.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wirayuda yang ikut sibuk di Tanah Perdikan Menoreh telah mengirimkan laporan sementara ke Mataram. Namun untuk beberapa hari, Ki Tumenggung masih berada di barak Pasukan Khusus untuk menyelesaikan laporan lengkapnya.
Laporan dari Tanah Perdikan Menoreh sangat menarik perhatian Ki Patih Mandaraka. Ternyata beberapa orang yang berhimpun untuk menguasai Tanah Perdikan Menoreh itu terdiri dari berbagai macam gerombolan dengan latar belakang yang berbeda-beda dan kepentingan yang tentu berbeda-beda pula.
Dengan demikian, maka rencana untuk membangun kembali sebuah perguruan yang besar beralaskan perguruan Kedung Jati itu menjadi sangat kabur.
Tetapi Ki Wirayudapun melaporkan, bahwa masih saja ada usaha untuk memiliki tongkat baja putih yang dimiliki oleh Nyi Lurah Agung Sedayu.
Namun Ki Patih masih menunggu laporan yang lebih lengkap dan terperinci dari Ki Tumenggung Wirayuda
Sementara itu keadaan Tanah Perdikan Menorehpun telah menjadi pulih kembali. Kehidupan sehari-hari sudah berjalan seperti biasanya. Jalan-jalan telah menjadi ramai. Anak-anak sudah berani bermain diluar padukuhan. Sedangkan para remaja sudah berani membawa kambing mereka ke padang rumput untuk digembalakan.
Namun para pengawal tidak menjadi lengah. Mereka masih saja meronda dan mengawasi keadaan. Bahkan di siang haripun, para pengawal berkuda masih saja mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Sementara para pengawal di padukuhan-padukuhanpun masih tetap mengisi banjar padukuhan mereka masing-masing.
Prastawa yang terluka parah itupun semakin lama berangsur semakin baik. Luka-lukanya mulai mengering. Bahkan Prastawa sudah dapat makan semakin banyak. Hampir pulih sebagaimana sebelum ia terluka.
Isterinyapun mulai menjadi cerah lagi. Prastawa yang sudah dapat berjalan perlahan-lahan keluar dari pembaringannya, nampak sering duduk diserambi bersama isterinya.
Sementara itu, Glagah Putih telah dapat berpacu di atas punggung kudanya datang ke padukuhan-padukuhan bersama Sabungsari. Sedangkan Agung Sedayu juga sudah datang ke barak pasukan khusus setiap hari sebagaimana biasa dilakukannya sebelum terjadi perang.
Namun rumah Agung Sedayu itu menjadi semakin banyak penghuninya. Selain Ki Jayaraga, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tinggal dirumah itu pula. Selain mereka adalah Empu Wisanata dan anak perempuannya, Nyi Dwani.
Karena itu, maka gandok kanan dan kiri rumah Agung Sedayu itu telah terisi. Bahkan ruang di belakangpun telah terisi pula. Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga tinggal di sebuah ruang di belakang, beradu dinding dengan bilik yang dipakai oleh Sukra.
Karena jumlah penghuninya yang banyak, maka setiap hari, Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani menjadi sibuk. Bahkan Nyi Wijilpun sering pula ikut membantu di dapur.
Dalam pada itu, ketika suasana Tanah Perdikan sudah benar-benar menjadi tenang, maka Empu Wisanatapun telah menemui Agung Sedayu yang sedang duduk di serambi bersama Sekar Mirah
"Marilah Empu" Sekar Mirah mempersilahkan.
" Terima kasih, Nyi Lurah " Empu Wisanata itu mengangguk sambil kemudian duduk bersama keduanya.
" Agaknya ada sesuatu yang ingin Empu katakan " desis Agung Sedayu.
" Ya, Ki Lurah"jawab Empu Wisanata "jika diijinkan, aku ingin menemui anakku yang berada di banjar. Ia terluka parah."
" Tentu aku tidak berkeberatan, Empu. Tetapi sebaiknya Empu berbicara dengan Ki Gede. Biarlah nanti aku antar Empu menemui Ki Gede. "
"Terima kasih, Ki Lurah"Empu Wisanata mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah, sedikit lewat senja, maka Agung Sedayupun telah mengantarkan Empu Wisanata menghadap Ki Gede untuk minta ijin menemui Suranata yang berada di banjar.
" Anakku berada di banjar sebagai seorang tawanan " berkata Empu Wisanata.
Ki Gede mengangguk sambil menjawab " Ya, Empu. Tetapi Empu telah menunjukkan ketulusan empu dalan pertempuran untuk mempertahankan Tanah Perdikan ini. Empu telah membiarkan diri Empu dihinakan dan disebut sebagai pengkhianat oleh orang-orang yang semula berjalan seiring dengan Empu."
" Aku tidak pernah merasa benar-benar berjalan seiring dengan mereka, Ki Gede. Tetapi Ki Saba Lintang mampu menjerat Dwani, sehingga aku harus berada diantara mereka. "
"Nyi Dwani sekarang agaknya juga sudah berubah. "
" Ya. Tetapi Yatnilah yang sekarang berada di dalam jerat Ki Saba Lintang. Namun Yatni yang sudah meninggalkan aku lebih dahulu, tidak begitu menjadi beban perasaanku. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun Ki Gede itupun kernudian bertanya " Apakah Empu akan menengok Suranata bersama Nyi Dwani ?"
"Ya. Aku akan mengajak Dwani menemui kakaknya. Aku tidak tahu sikap Suranata sekarang. Tetapi hatiku tersentuh juga oleh tekad Suranata, tidak meninggalkan kawan-kawannya yang juga terluka parah. Bahkan ada diantara mereka yang tidak tertolong lagi. Hari ini, seorang lagi diantara mereka yang meninggal dunia."
" Ya. Tadi pagi seorang kawan Suranata meninggal meskipun luka-lukanya sudah mendapat perawatan yang baik."
Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Tentu bukan salah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mereka telah memberikan obat dan merawat sebagaimana orang-orang Tanah Perdikan sendiri. Tetapi luka-lukanya memang sudah sangat parah.
Ki Gede memang tidak berkeberatan sama sekali bahwa Empu Wisanata akan melihat keadaan anaknya di banjar. Ki Gedepun berharap bahwa pertemuan itu akan memberikan arti bagi Suranata.
Sebenarnyalah, dikeesokan harinya Empu Wisanata telah mengajak Nyi Dwani untuk pergi ke banjar. Menemani mereka adalah Ki Wijil, yang di medan pertempuran langsung, berhadapan dengan Suranata itu.
Di banjar padukuhan induk, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil diterima oleh pemimpin yang sedang bertugas. Pemimpin pengawal itu ternyata sudah menerima pesan dari Ki Gede, bahwa Ki Gede tidak keberatan jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani bertemu dengan Suranata.
Suranata sendiri sudah berangsur baik. Meskipun ia masih sangat lemah. Seorang pengawal telah mempersilahkan Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil duduk di pendapa.
Sejenak kemudian, dibantu oleh seorang pengawal, Surana-tapun telah dibawa ke pendapa pula.
Suranata tidak terkejut melihat kehadiran ayah dan adik perempuannya itu. Ia memang sudah menduga bahwa pada suatu saat mereka tentu akan datang. Namun yang tidak diduganya, ayahnya justru datang bersama dengan Ki Wijil.
"Bagaimana keadaanmu, Suranata ?" bertanya ayahnya.
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun menjawab "Aku sudah menjadi berangsur baik, ayah."
" Luka kakang nampaknya sangat parah " desis Nyi Dwani.
Diluar sadarnya Suranatapun memandang Ki Wijil yang duduk disebelah ayahnya.
Dengan sendat ia menjawab " Ki Wijil masih membiarkan aku hidup lebih lama lagi. Aku ingin mengucapkan terima-kasih.
" Bukan aku yang menentukan, apakah angger Suranata masih akan berumur panjang" sahut Ki Wijil.
" Ki Wijil bukan saja tidak membunuhku. Tetapi sebelum Ki Wijil meninggalkan tubuhku yang terluka parah, Ki Wijil telah memberikan obat sehingga darah di luka-lukaku menjadi terhambat Jika saja hal itu tidak dilakukan oleh Ki Wijil, maka darahku tentu sudah menjadi kering."
" Empu Wisanata mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berdesis "Aku juga mengucapkan terima kasih, Ki Wijil."
Ki Wijil menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu diluar sadarnya Nyi Dwani bertanya " Jadi di medan kakang Suranata bertemu dengan Ki Wijil ?"
" Bukan salah Ki Wijil " desis Suranata " akulah yang tidak tahu diri. Aku merasa diriku terlalu tangguh. Aku mengira bahwa aku mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Ki Wijil. Tetapi ternyata ilmuku tidak ada sehitamnya kuku bagi Ki Wijil."
"Angger Suranata terlalu merendahkan diri."
"Kemurahannya sajalah yang membuat aku masih bertemu dengan kau sekarang, Dwani."
Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa kakaknya bukan seorang yang mengenal basa-basi. Ia akan mengumpati Ki Wijil seandainya hatinya tidak merasakan sentuhan-sentuhan lembut Karena itu, maka Nyi Dwanipun percaya, bahwa Ki Wijil memang telah membiarkan kakaknya hidup meskipun ia mempunyai kesempatan untuk membunuhnya.
Nyi Dwanipun segera teringat, apa yang pernah dialaminya sendiri ketika ia berperang tanding melawan Sekar Mirah. Seandainya ia tidak mempunyai pengalaman itu, maka mungkin ia sudah membunuh saudara perempuannya sendiri.
Ternyata peristiwa itu telah menambah pengalaman jiwa Nyi Dwani. Bahwa tidak semua permusuhan harus diselesaikan dengan kematian


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyi Dwanipun mengucap sokur didalam hatinya, bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang hatinya seluas samudra. Yang mampu meredam dendam diliatinya.
Dalam pada itu, maka Empu Wisanatapun kemudian bertanya kepada Suranata "Jika kau sembuh nanti, apa rencanamu?"
" Aku tahanan disini. Aku tidak dapat membuat rencana apa-apa. Aku menunggu diadili dan dijatuhi hukuman. Mungkin hukuman mati."
Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Nyi Dwani berdesis " Tidak, kakang. Kakang tidak akan dihukum mati."
" Aku telah melakukan satu kesalahan yang tidak ada duanya. Aku telah terlibat dalam pemberontakan. Hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukuman mati."
" Aku dapat mohon keringanan hukuman bagimu."
" Tidak, ayah, Biarlah hukuman itu dijatuhkan sesuai dengan paugeran yang berlaku. Jika ayah mohon keringanan hukuman, itu berarti hutangku masih belum lunasi"
" Sudah Suranata "jawab ayahnya "jika kau melarikan diri dari masa hukumanmu, itu berarti kau masih berhutang. Tetapi pengampunan adalah salah satu kemurahan yang menghapuskan hutang itu."
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Terimakasih atas kesediaan ayah untuk memohon pengampunan. Akupun mengucapkan terima-kasih seandainya ada kemurahan untuk memberikan pengampunan sehingga hukumanku menjadi lebih ringan. Tetapi aku mohon, biarlah aku menerima hukuman yang memang seharusnya aku terima. Tanpa pengampunan sama sekali. Dengan demikian aku benar-benar telah melunasi hutangku. Aku akan merasa tidak mempunyai beban lagi, ayah."
Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam, Katanya "Baiklah. Aku tidak akan mengajukan permohonan itu. Tetapi jika pengampunan itu datang dengan sendirinya, kau tidak pantas untuk menolaknya"
Suranata mengangguk kecil. Katanya "Aku mengerti, ayah."
" Sementara ini, kemana kawan-kawanmu pergi" Apakah kau berjanji untuk menyusul mereka atau tanpa pembicaraan apapun kau ditinggalkan begitu saja oleh Ki Saba Lintang" "
" Ki Saba Lintang akan membawaku. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan sekian banyak orang yang terluka tanpa dapat berbuat apa-apa sama sekali. Dalam keadaan yang demikian, maka mereka tentu akan binasa. Kehausan, kehabisan darah dari gejolak kekecewaan dan kemarahan yang dapat mencekik mereka"
"Apakah mereka mengatakan, kemana mereka akan pergi" "
"Ke hutan disebelah Gunung Tidar.
Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya " Sarang yang sulit ditembus."
"Ya " "Apakah kau menguasai lingkungan ilu" "
" Tidak " jawab Suranata " aku baru dua tiga kali datang ketempat itu. Karena itu aku tidak dapat mengetahui keadaan lingkungan itu sebaik-baiknya"
Empu Wisanata mengangguk-angguk, sementara. Suranata bertanya "Apa yang akan ayah lakukan?"
" Aku tidak dapat berbuat apa-apa Suranata. Jika saja Ki Lurah mengusulkan kepada Ki Patih Mandaraka"
" Ayah harus mencegahnya. Hutan itu tidak diketahui dengan pasti isinya Karena itu, jika sekelompok prajurit memasuki lingkungan itu, mereka benar-benar berada dalam bahaya Apalagi tempat itu menjadi semacam ajang pertemuan orang-orang berilmu tinggi yang datang dari mana-mana Mungkin saja setelah pertempuran itu Ki Saba Lintang kehilangan banyak orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi dapat saja tiba-tiba datang dua tiga orang berilmu tinggi dari pengembaraan mereka, atau orang-orang berilmu tinggi yang ingin mencari hubungan dengan orang-orang berilmu tinggi dilingkungan mereka"
Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya "Aku mengerti, Suranata."
" Tetapi kakang jangan menolak pengampunan " berkata Nyi Dwani selanjutnya "aku mengerti perasaan kakang. Perasaan bersalah. Tetapi pengampunan adalah sah."
Suranata tersenyum. Katanya " Aku akan memikirkannya, Dwani."
" Terima kasih, kakang. Semakin cepat kakang bebas, maka semakin cepat pula kakang dapat menempuh satu kehidupan yang baru."
" Mudah-mudahan aku masih dapat menemukan sesuatu yang pantas bagi masa depanku..
" Tentu kakang " sahut Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani itupun kemudian berdesis "Kakang, bagaimana dengan mbokayu Yatni."
"Biarlah ia menemukan hari-harinya sendiri.
" Apakah ia pergi bersama Ki Saba Lintang" " bertanya Nyi Dwani agak canggung.
"Tidak" jawab Nyi Dwani dengan serta-merta.
" Bagus. Mungkin Ki Saba Lintang memang lebih tepat bagi Yatni."
Nyi Dwani tidak menyahut. Bagaimanapun juga ia mempunyai kenangan tersendiri. Hubungannya yang akrab dengan Ki Saba Lintang. Harapan-harapan yang pernah disusun bersamanya. Bahkan ia telah melakukan apa saja untuk membangun mimpi-mimpinya itu.
Tetapi Nyi Dwani itupun ternyata telah mengucapkan sokur, bahwa segala-sesuatunya masih belum terlanjur. Meskipun terasa pahit, tetapi kepergian Ki Saba Lintang dari sisinya akan dapat memberikan kemungkinan untuk memiliki masa depan yang lebih baik.
Untuk beberapa lama Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil masih berbincang dengan Suranata Namun ketika mereka melihat Suranata menjadi letih karena keadaannya yang masih belum pulih kembali, maka Empu Wisanatapun minta diri.
" Kami akan kembali, Suranata Aku harap kau segera sembuh."
"Terima kasih ayah. "
"Kakang " suara Nyi Dwani menjadi semakin dalam "aku mohon kakang jangan menolak pengampunan."
Suranata tertawa. Sambil mengangguk ia berdesis "Aku akan mempertimbangkannya, Dwani."
" Angger Suranata" berkata Ki Wijil kemudian "seperti yang dikatakan oleh Nyi Dwani, pengampunan itu adalah sah. Karena itu, angger tidak perlu merasa berhutang karena pengampunan. Kecuali seperti yang dikatakan oleh Empu Wisanata, angger sengaja melarikan diri sebelum masa hukuman itu habis."
Suranata menarik nafas dalam-dalam. Matanya memandang kekejauhan melintasi halaman banjar yang luas. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk kecil.
" Angger Suranata jangan menetapkan hukuman atas diri sendiri lebih dahulu. Sebelum hukuman yang sebenarnya itu jatuh, angger merasa seakan-akan mendapat pengampunan yang yang dapat menjadi beban di masa mendatang " berkata Ki Wijil kemudian.
" Ya, Ki Wijil" desis Suranata.
Ketika kemudian Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil minta diri, maka Suranata itupun berdesis " Aku mohon ampun, ayah. Jika pengampunan itu datang dari ayah, maka justru bebanku akan berkurang. Selama ini aku telah menjadi anak yang durhaka."
Empu Wisanata tersenyum. Katanya "Aku telah mengampunimu, Suranata."
Nyi Dwani yang sudah melangkah di halaman, tiba-tiba saja telah berbalik. Dipeluknya kakaknya sendiri sambil berkata " Kakang. Pada suatu saat, kita akan bersama lagi. "
Suranata mengangguk. Katanya "Ya Kita akan bersama lagi dalam suasana yang damai."
Nyi Dwani melepaskan kakaknya. Namun iapun kemudian sibuk mengusap air matanya
Sepeninggal Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil, rasa-rasanya dada Suranata menjadi semakin lapang. Ia sudah memberanikan diri mohon pengampunan ayahnya. Dan itu sudah cukup baginya. Ia tidak memerlukan pengampunan dari siapapun lagi. Apakah ia akan diadili di Tanah Perdikan Menoreh atau dibawa ke Mataram, sudah bukan soal lagi baginya Apakah ia akan dihukum seumur hidup atau dihukum mati, ia sudah pasrah.
Sementara itu Empu Wisanata memang memenuhi keinginan Suranata. Ia tidak berusaha minta keringanan hukuman secara langsung kepada siapapun. Namun justru keengganan Suranata untuk mohon pengampunan itu diceritakannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.
Ki Lurah Agung Sedayupun tanggap akan sikap Suranata. Namun justru karena itu, Agung Sedayu menganggap bahwa penyesalan yang sebenarnya telah mengendap sampai ke dasar jantung Suranata.
" Ia pantas mendapat pengampunan " berkata Agung Sedayu dalam hatinya " tetapi bukan berarti bahwa ia tidak harus menjalani hukuman sama sekali karena ia sudah memberontak terhadap Mataram. "
Dalam pada itu, keadaan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar sudah pulih kembali. Para petugas sandi yang mengamati keadaan sampai ketempat yang jauh di luar batas Tanah Perdikan Menoreh, tidak melihat pertanda apapun yang dapat mengancam ketenangan Tanah Perdikan, sehingga karena itu, maka tidak ada alasan lagi bagi rakyat Tanah Perdikan untuk merasa terancam.
Dengan demikian maka kehidupanpun telah berjalan sebagaimana sebelum terjadi perang yang telah mengguncang Tanah Perdikan itu.
Ketika laporan terperinci dari Ki Tumenggung Wirayuda sampai di Mataram, maka Mataram telah memerintahkan para prajurit dari Ganjur untuk kembali ke barak mereka
Sesuai dengan laporan itu, maka kehadiran para prajurit dari Ganjur itu sudah tidak diperlukan lagi.
Ketika pasukan dari Ganjur itu meninggalkan Tanah Perdikan, maka Ki Gede sendiri ikut hadir untuk melepas mereka Atas nama rakyat Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para prajurit yang telah membantu menyelamatkan Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, Ki Gede telah menyerahkan kenang-kenangan bagi para prajurit Ganjur itu.
" Memang harganya tidak seberapa jika dinilai dengan uang. Apalagi diperbandingkan dengan pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dari Ganjur. Tetapi kami serahkan kenang-kenangan yang tidak berharga ini sebagai ucapan terima kasih kami yang tulus. "
Ki Gede telah menyerahkan tiga ekor kuda yang besar dan tegar bagi pasukan yang kembali ke Ganjur itu.
Namun dalam pada itu, pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dari Ganjur itu ditandai dengan beberapa nisan yang terdapat di makam para prajurit dan pengawal yang gugur.
Namun ketenangan dan ketentraman di Tanah Perdikan Menoreh itu telah menjadi perhatian bagi dua orang yang memang bertugas untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan. Dengan sabar mereka menunggu Tanah Perdikan itu menjadi terasa tenang, serta kehidupan mulai berjalan dengan wajar.
Ketika Kerta Landak mendapat laporan itu, maka iapun tertawa sambil berkata " Agaknya sudah saatnya kita bertindak. Yang penting kita harus membuat Tanah Perdikan menjadi resah. Aku tidak ingin melihat Tanah Perdikan itu menjadi tenang untuk waktu yang lama. Dendam yang tersimpan ini harus ditumpahkan.
" Apakah kita tidak perlu berhubungan dengan kelompok-kelompok lain yang mengalami keadaan yang sama seperti kita?"
" Kau akan kehilangan sebagian dari rejeki yang disediakan bagi kita di Tanah Perdikan itu. "
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara Kerta Landak berkata " Kita akan mandi, menyelam sekaligus minum sepuas-puasnya. "
Tetapi seorang yang lainpun bertanya "Apakah kita benar-benar tidak akan pergi ke Gunung Tidar untuk bertemu dan berbicara dengan kelompok-kelompok yang lain, yang telah sepakat untuk berbicara di hutan sebelah Gunung Tidar itu ?"
" Buat apa " Aku jemu mendengarkan Ki Saba Lintang berbicara tentang sebuah perguruan yang bakal berdiri. Apa kelebihan nama perguruan Kedurig Jati" Tongkat baja putih itu" Ki Saba Lintang yang sudah memegang satu diantara sepasang tongkat itu sama sekali tidak berdaya di Tanah Perdikan Menoreh Padahal di Tanah Perdikanpun hanya ada satu saja tongkat baja putih itu."
" Tetapi kita akan menjalin hubungan kita terus-menerus dengan kelompok-kelompok yang lain."
" Apakah itu perlu?" bertanya Kerta Landak " apakah keuntungan kita dengan hubungan seperti itu" Dalam pergaulan antara kelompok-kelompok yang berusaha menyatu dibawah pimpinan Ki Saba Lintang itu yang ada hanyalah kewajiban-kewajiban. Kita tidak pernah mendengar baik-baik yang ada pada kita. Karena itu, aku menjadi jemu. Aku masih berharap Ki Darpatenaya akan mampu membunuh Agung Sedayu dan Empu Wisanata. Tetapi ternyata semuanya itu tidak lebih dari sebuah mimpi. Ternyata bukan Ki Lurah Agung Sedayu yang terbunuh. Apalagi kemudian membunuh Empu Wisanata. Tetapi ternyata justru Darpatenaya itu sendiri yang terbunuh."
"Ki Lurah Agung Sedayu memang mempunyai kemampuan iblis " desis Ki Kerta Landak "namun kita tidak akan bertemu siapa-siapa dari Tanah Perdikan Menoreh, selain para pengawal di padukuhan-padukuhan. Kita akan dengan serentak merampok ampat atau lima rumah disebuah padukuhan. Kemudian kita akan segera melarikan diri. Aku masih belum dapat mengatakan, siapa saja yang harus dibunuh dalam perampokan itu. Hal itu sangat tergantung kepada keadaan. Tetapi pada dasarnya kita memang akan merampok dan membunuh untuk melepaskan dendam kita, sekaligus mendapatkan bekal untuk hidup kami mendatang."
Kawan-kawannya tidak ada yang membantah lagi. Merekapun menyatakan tunduk kepada Ki Kerta Landak
Demikianlah, Ki Kerta Landak itupun telah mematangkan rencananya. Mereka akan mendatangi sebuah padukuhan yang terhitung kaya Mereka harus dapat bekerja dengan cepat, agar mereka dapat cepat pergi sebelum keadaan menjadi semakin buruk.
" Kita bagi kelompok yang akan pergi bersama kita ke Tanati Perdikan Menoreh menjadi ampat. Tiga kelompok akan merampok ditiga rumah bersamaan, satu kelompok mengamati keadaan. Jika perlu maka dapat saja terjadi benturan senjata Namun kitalah yang harus lebih banyak mengalah dan berusaha untuk melarikan diri. Jangan sampai terjebak kedalam lingkaran kekuatan para pengawal sehingga kita terikat dalam pertempuran yang panjang. Jika para pengawal itu sempat memanggil bantuan, maka kita akan terjebak dan tidak akan pernah dapat keluar dari Tanah Perdikan itu^lagi.
Demikianlah, maka tiga hari sebelum rencana itu dilaksanakan, Kerta Landak telah mengirimkan beberapa orang bergantian mengamati sasaran. Sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh dari perbatasan telah dipilih oleh Kerta Landak. Padukuhan yang agak besar dan mempunyai beberapa orang yang hidup berkecukupan. Selain petani yang memiliki tanah yang luas, juga seorang saudagar ternak. Yang lain seorang Bekel tua, sedangkan masih ada pula juragan kain dan kerajinan tangan.
Para petugas mendahului rencana perampokan itu telah memberikan laporan terperinci kepada Kerta Landak. Merekapun sudah mengamati keadaan rumahnya. Seorang yang berpura-pura menawakan gerabah dengan menuntun seekor kuda beban berhasil memasuki beberapa halaman rumah dari orang-orang yang dianggap memiliki kekayaan lebih banyak dari tetangga-tetangganya
Ternyata rencana Kerta Landak cukup matang. Selain memperhitungkan keadaan di padukuhan itu, Kerta Landak telah menghitung hari dan pasaran dengan seksama.
Kita harus memasuki padukuhan itu dari arah Timur " berkata Ki Sura Landak" ingat, jangan lebih dari saat ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya."
"Kita akan pergi kearah mana?" bertanya seorang kawan
" Kita akan dapat pergi kearah manapun. Sebaiknya kita memang berpencar, agar para pengawal yang tentu akan segera berdatangan tidak dapat mengejar kita ke satu arah. Namun kita-puh akan segera berkumpul lagi di tempat yang akan kita pilih nanti.
Kerta Landak itupun kemudian telah menunjuk kita orang yang akan memimpin kelompok-kelompok kecil yang akan merampok ditiga rumah bersamaan waktunya, kemudian satu kelompok yang lain akan dipimpinnya sendiri untuk mengamati, keadaan. Jika perlu bertempur dengan para pengawal untuk melindungi kawan-kawannya yang melarikan diri.
" Aku akan menyebarkan sirep pada wayah sepi uwong. Aku berharap bahwa pengaruhnya akan dapat menjangkau seluruh padukuhan."
" Kau mampu melakukannya ?" bertanya seorang kawannya.
" Aku tidak sendiri. Aku akan melakukannya berempat, masing-masing dari sudut-sudut padukuhan. Seandainya ada yang tidak terjangkau oleh ilmu sirep itu, maka jumlah tidak akan terlalu banyak. Kita akan dapat mengatasinya.
Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, Kerta Landak telah membawa sekelompok pengikutnya untuk merampok di padukuhan Nambangan. Sebuah padukuhan yang cukup besar, terletak tidak jauh dari Kali Praga. Ada beberapa orang yang dapat dianggap kaya tinggal di padukuhan itu.
Padukuhan Nambangan adalah salah satu padukuhan dari Tanah Perdikan Menoreh yang terhitung agak minggir ke Utara.
" Ingat. Kita mendatangi padukuhan itu dari arah Timur. Pada saat wayah sepi uwong, aku akan menebarkan sirep. Kemudian menjelang tengah malam kita akan memasuki padukuhan itu. Tetapi kita tidak boleh berada di Padukuhan itu sampai lewat ayam jantan berkokok untuk akan segera bangkit dan kita akan mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka sempat memukul kentongan sehingga suaranya terdengar sampai ke padukuhan lain. "
Para pengikutnya mendengarkan pesan Kerta Landak itu baik-baik. Mereka juga tidak mau mati di Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana kawan-kawan mereka.
Sebenarnyalah, menjelang wayah sepi uwong, Kerta Landak dan para pengikutnya sudah mendekati padukuhan Nambangan dari arah Timur. Mereka sudah bersiap untuk memasuki padukuhan itu menjelang tengah malam, setelah sirep yang ditebarkan oleh Kerta Landak dan tiga orang kawannya mencengkam seisi padukuhan.
Kerta Landak sendiri bersama tiga orang kawannya yang memiliki kemampuan ilmu sirep telah bersiap ditempat mereka masing-masing. Mereka tidak akan menunggu isyarat apa-apa. Demikian mereka sampai di sudut padukuhan, maka merekapun langsung mencari tempat yang terbaik untuk memusatkan nalar budi mereka, menebarkan sirep keseluruh padukuhan.
Diwayah sepi uwong, padukuhan itu memang sudah tertidur. Yang masih belum tertidur hanyalah tinggal beberapa orang saja, selain anak-anak muda yang meronda di gardu-gardu.
Anak-anak kecil yang biasanya terbangun pada saat-saat menjelang ayam jantan berkokok, tidak seorangpun yang membuka matanya. Mereka tidak sempat minta minum ibunya, karena tidak seorangpun diantara anak-anak kecil itu yang terbangun. Bahkan ibunyapun tertidur dengan pulasnya. Mereka tidak ingat lagi untuk memberi bayi-bayi mereka minum mejelang tengah malam.
Seorang laki-laki yang masih duduk sambil merenung dituang dalam telah mematikan lampu dan berbaring diamben yang besar di ruang dalam. Tidur.
Padukuhan Nambangan benar-benar telah tertidur lelap. Mereka tidak sempat berusaha melawan sirep, karena pada wayah sepi uwong hampir semua orang memang sudah tertidur.
Sementara itu, anak-anak muda yang berada di gardupun telah diganggu oleh perasaan kantuk yang sangat. Ada satu dua orang yang tidak mampu bertahan. Tiba-tiba saja rhereka telah menjatuhkan diri dan berbaring, bahkan tertidur di gardu.
"Malam terasa aneh" berkata seorang anak muda "Mata seakan-akan tidak lagi dapat dibuka. "
" Kita semua menjadi kantuk. "
" Udaranya terasa segar sekali " desis seorang yang bersandar dinding disudut gardu " tidak hujan, tetapi sejuknya. Bukan dingin." .
"Langit bersih"berkata yang lebih tua.
Tetapi anak muda yang bersandar dinding disudut gardu itu sudah tidak menjawab lagi.
Namun perasaan kantuk tu telah mencengkam semuanya. Satu-satu mereka yang berada di gardu itu tertidur. Yang tertua itupun akhirnya tertidur juga "
Angin malam bertiup semilir. Langit bersih. Bintang-bintang nampak bertebaran dilangit. berkeredipan seakan-akan melontarkan isyarat manis.
Dari kejauhan terdengar lolong anjing memecah sepinya malam. Namun orang-orang sepadukuhan Nambang tidak ada lagi yang mendengarnya, kecuali seorang tua yang rambutnya sudah putih seperti kapas.
" Malam yang aneh " berkata orang tua itu di dalam hatinya Orang tua yang mempunyai beberapa pengalaman khusus dimasa mudanya, yang membuat penggraitanya menjadi tajam. Ketika orang tua itu masih menjadi seorang pengawal, pernah mengalami luka-luka yang sangat parah. Hampir saja nyawanya tertenggut dari tubuhnya. Namun akhirnya ia dapat sembuh kembali.
Pengalaman itu sangat berarti bagi hidupnya. Untuk beberapa lama ia masih tetap menjadi pengawal Tanah Perdikan sampai waktunya ia mengundurkan diri setelah pengalamannya menjadi semakin luas.
Orang tua itupun telah dicengkam oleh perasaan kantuk. Tetapi ia berusaha melawan. Iapun menjadi heran, bahwa cucunya yang biasanya terbangun ditengah malam, sama sekali tidak menggeliat di dekapan ibunya yang juga tertidur pulas. Ayah bayi itu bahkan mendekur keras sekali. Namun seisi rumah itu samai sekali tidak merasa terganggu.
Pendekar Kedok Putih 2 Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian Tangan Geledek 17
^